Sang Penerus Bagian 06 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
TETAPI orang-orang tua itu menduga bahwa harimau itu telah meloncat memanjat pepohonan dan kemudian keluar dari halaman. Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Manggada berkata,

"Kiai. Mungkin aku dapat berceritera tentang dua ekor harimau yang pernah aku lihat...”

"Dimana kau lihat dua ekor harimau yang besar dan garang itu?" bertanya Kiai Gumrah. Keterangan Manggada itu sangat menarik perhatiannya.

"Ketika kami berada di balik hutan di lingkungan kuasa Panembahan Lebdadadi, maka Ki Pandi yang bongkok itu juga mempunyai dua ekor harimau yang jinak. Jinak bagi Ki Pandi, tetapi ia tetap garang bagi orang lain, terutama sesuai dengan petunjuk Ki Pandi. Kecuali kegarangan harimau sebagaimana kebanyakan harimau liar, maka kedua ekor harimau itu telah mendapat latihan-latihan khusus dari Ki Pandi” berkata Manggada kemudian.

"Ki Pandi orang bongkok itu?" tiba-tiba saja juragan gula itu bertanya.

"Ya...!" desis Manggada ragu-ragu. Ia tidak tahu, bagaimana tanggapan Kiai Gumrah dan kawan-kawannya itu terhadap orang yang bernama Ki Pandi itu. Jika mereka justru bermusuhan, maka tanggapan mereka tentu akan menjadi aneh, karena harimau-harimau itu justru telah menyelamatkan pusaka-pusaka itu.

Tetapi seorang tamu Kiai Gumrah yang lain pun kemudian tertawa sambil berkata, "Orang bongkok yang selalu murung itu? He, darimana ia tahu bahwa ada persoalan yang timbul di sini. Seandainya kedua ekor harimau itu memang milik orang bongkok itu?”

"Ki Pandi, dan tentu kedua ekor harimau itu mengenal burung-burung elang yang berkuku baja itu. Ki Pandi pernah bertempur dengan Panembahan Lebdadadi”

Orang-orang tua itu mengangguk-angguk. Juragan gula itulah yang kemudian berkata "Memang masuk akal. Tetapi kita masih harus melihat, apakah benar Ki Pandi telah ikut campur dalam persoalan ini”

"Dan bahkan mungkin juga Ki Ajar Pangukan" desis Laksana.

"Siapakah Ki Ajar Pangukan itu?"bertanya salah seorang kawan Kiai Gumrah.

Laksana termangu-mangu sejenak. Ia tidak mengerti bagaimana menjelaskan orang yang bernama Ki Ajar Pangukan itu.

Agaknya Kiai Gumrah mengerti kesulitan Laksana. Katanya "Kau tentu tidak akan dapat memberikan keterangan lebih banyak ngger, karena bagaimana pun juga kami akan sulit membayangkannya seandainya kami memang belum mengenalnya. Tetapi bagiku orang itu tidak terlalu asing”

"He, jangan sombong Kiai Gumrah. Kau kira kau dapat mengenali orang seisi bumi ini?"

"Jangan marah!" berkata Kiai Gumrah "Tetapi pengetahuanku memang lebih luas dari kau. Aku sudah pernah menjadi penjaja gula keliling dari pasar ke pasar sehingga aku melihat dunia yang penuh dengan gejolak ini”

"Tetapi ternyata pengenalanmu atas dunia ini masih belum seluas anak-anak itu. He, kau tahu darimana datangnya harimau-harimau itu?" sahut kawannya.

Kiai Gumrah justru tertawa. Katanya "Jangan merajuk begitu kek. Kita sama-sama penyadap legen kelapa”

Yang lain pun tertawa pula, sementara orang itu berkata "Kalau begitu aku pulang saja”

Kawan-kawannya tertawa semakin keras. Kiai Gumrah justru berkata "He, aku masih mempunyai hidangan buat kalian. Marilah. Kita teruskan permainan kita”

"Tetapi mangkuk-mangkuk itu sudah pecah. Isinya sudah berserakan. Apa yang harus kami makan dan kami minum jika kami masih harus meneruskan permainan itu?”

"Kau kira aku sudah tidak mempunyai makanan lagi? Di dalam kuali di dapur masih terdapat ketela dan sukun yang direbus dengan legen. Kalau kalian tidak percaya, bertanyalah kepada kedua orang cucuku itu”

Ketiga orang tamu Kiai Gumrah itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian juragan gula itu berkata, "Baiklah. Kami akan meneruskan permainan sampai menjelang fajar. Besok aku harus pergi ke pasar pagi-pagi. Aku sudah membuat perjanjian jual beli gula dipasar dengan pedagang dari Kademangan sebelah.”

Manggada dan Laksana pun kemudian membantu mengumpulkan dan membersihkan mangkuk-mangkuk yang pecah serta makanan yang tumpah. Baru kemudian mereka menghidangkan makanan yang masih tersisa dua kuali. Tetapi orang-orang tua itu nampaknya sudah merasa letih. Mereka tidak lagi banyak tertawa, meskipun sekali-sekali masih terdengar mereka berkelakar.

Menjelang fajar, permainan itu memang sudah selesai. Ketiga orang tamu Kiai Gumrah pun telah minta diri. Ternyata mereka tidak menghitung lembaran-lembaran daun ketela pohon yang mereka pergunakan dalam permainan dadu itu. Orang-orang tua itu tidak benar-benar bertaruh dengan gula kelapa sebagaimana yang mereka katakan. Sehingga dengan demikian maka Manggada dan Laksana pun semakin yakin bahwa orang-orang itu telah dengan sengaja membantu Kiai Gumrah melindungi pusaka-pusaka yang dititipkan di rumah itu.

Meskipun ceritera tentang pusaka yang dititipkan itu pun masih harus diuji kebenarannya. Agaknya Kiai Gumrah memang tidak mengatakan yang sebenarnya kepada Manggada dan Laksana. Tetapi Manggada dan Laksana merasakan bahwa orang tua itu sama sekali tidak bermaksud buruk.

Ketika para tamu Kiai Gumrah itu sudah bangkit berdiri dan minta diri, juragan gula itu masih sempat berkata kepada kedua orang anak muda itu,

"Kalian telah melihat apa yang terjadi di sini. Mungkin ada hal-hal yang membuat kalian heran dan bahkan kecewa. Kau mungkin merasakan bahwa tidak semua yang pernah kau dengar tentang Kiai Gumrah, tentang kami, pedagang-pedagang gula ini serta tentang pusaka-pusaka itu, benar adanya. Karena itu, maka apakah tidak sebaiknya kalian meninggalkan tempat ini. Berulang kali kami menyatakan hal itu, karena sebenarnyalah kami merasa ikut bertanggung jawab atas keselamatan kalian. Justru karena kalian sebenarnya tidak terlibat dalam persoalan yang terjadi di sini”

Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Meskipun ragu-ragu, namun Manggada masih berusaha menjelaskan sikapnya. Katanya,

"Kiai. Kami masih ingin memohon, bahwa kami diperkenankan tinggal di sini untuk beberapa lama. Persoalan yang terjadi di sini semakin lama menjadi semakin menarik. Ketika kami melihat burung-burung elang berkuku baja itu, kami merasa seolah-olah kami memang telah terlibat. Apalagi dengan jejak kedua ekor harimau itu. Seakan-akan kami telah mengenalinya. Seandainya harimau itu harimau liar, maka mungkin tubuh kami juga sudah dikoyak-koyaknya disaat kami pingsan. Tetapi ternyata kami masih utuh, sehingga seakan-akan kami yakin bahwa kedua ekor harimau itu telah mengenal kami dengan baik. Atau setidak-tidaknya dikendalikan oleh orang yang telah mengenal kami”

Keempat orang tua itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian seorang di antara mereka berkata,

"Kami dapat mengerti perasaanmu ngger. Tetapi kau pun harus ingat, bahwa yang sedang kami hadapi adalah bukan orang-orang kebanyakan. Mereka pun orang-orang berilmu tinggi. Kiai Windu Kusuma menurut penilaianku, adalah orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Namun ia tidak sempat mempergunakannya karena kehadiran dua ekor harimau yang baginya menyimpan rahasia yang sulit ditebak. Sementara itu Kiai Windu Kusuma juga memperhitungkan kemampuan kami berempat. Tetapi apa yang dilihat dan diamatinya malam ini tentu akan menjadi bahan bagi langkah-langkahnya selanjutnya. Jika ia menyebut-nyebut nama seorang Panembahan, maka Panembahan itu tentu seorang yang jarang ada duanya”

"Kami mengerti Kiai. Tetapi sulit bagi kami untuk meninggalkan tempat ini sebelum persoalannya menjadi tuntas” desis Manggada.

Orang-orang tua itu memang tidak dapat memaksa Manggada dan Laksana untuk meninggalkan tempat itu. Karena itu, maka akhirnya Kiai Gumrah pun berkata,

"Jika demikian, apa boleh buat. Tetapi sebagaimana kalian ketahui, bahwa ada kemungkinan buruk dapat terjadi atas kami dan tentu saja juga atas kalian sebagaimana baru saja terjadi. Meskipun kemudian ternyata bahwa Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang masih melindungi kalian berdua dan kami semuanya. Karena kalian berdua juga sudah cukup mempunyai penilaian atas persoalan yang kalian hadapi, serta menyadari bahaya yang mungkin mengancam kalian, maka sebaiknya kalian pertimbangkan keputusan kalian sebaik-baiknya”

"Rasa-rasanya kami sudah mengambil keputusan Kiai” jawab Manggada.

Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Tetapi hatinya telah tergetar mendengar tekad anak-anak muda itu. Katanya "Baiklah ngger. Tekadmu tidak tergoyahkan lagi. Aku berterima kasih kepadamu. Apa pun yang dapat kalian lakukan, tetapi niatmu harus aku hargai. Karena itu, jika tekadmu sudah bulat serta menyadari kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi, maka aku tidak berkeberatan kalian tinggal di rumahku untuk sementara”

Manggada dan Laksana itu pun mengangguk hormat. Hampir berbareng kedua orang anak muda itu berkata "Terima kasih. Kiai”

"Nah, sekarang kalian telah menjadi bagian dari persoalan yang sedang aku hadapi. Jika semula kalian yang berusaha mendorongku keluar dari pergumulan yang sengit karena pusaka-pusaka yang dititipkan kepadaku itu, maka kemudian akulah yang berusaha memaksamu keluar. Tetapi kita bersama-sama tidak berhasil. Karena itu, maka biarlah kita bersama-sama terlibat di dalamnya” berkata Kiai Gumrah kemudian.

Tetapi juragan gula itu berkata "Aku tidak tahu yang kau maksud...”

Kiai Gumrah tersenyum. Katanya "Kedua anak muda ini pernah menganjurkan agar aku berusaha untuk menghindar dari keadaan yang rumit ini atau menitipkan pusaka-pusaka itu kepada prajurit Pajang atau tindakan pengamanan yang lain. Tetapi justru karena aku berkeberatan, maka nampaknya mereka justru terikat di rumah ini untuk melihat akhir dari persoalan yang kita hadapi”

Juragan gula itu pun tertawa. Katanya "Jika demikian, maka kita memang sudah sama-sama bertekad untuk menghadapi persoalan ini. Langsung atau tidak langsung kita memang akan berhadapan dengan Panembahan itu”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Mereka menyadari sepenuhnya, bahwa orang-orang tua yang menginginkannya meninggalkan tempat, itu sama sekali bukan didorong oleh keinginan mereka merahasiakan persoalan yang mereka hadapi, tetapi justru karena mereka mencemaskan nasib mereka.

Karena itu, maka kedua anak muda itu merasa bahwa mereka harus mempertanggung-jawabkan sendiri keputusan yang telah mereka ambil. Mereka tidak akan dapat menyalahkan atau menuntut pertanggung-jawaban siapa pun jika terjadi sesuatu atas diri mereka.

Demikianlah, maka sejenak kemudian para tamu Kiai Gumrah itu pun telah minta diri, sementara cahaya di langit pun menjadi semakin terang. Fajar pun tersirat di bibir awan di langit. Kicau burung telah membangunkan seisi padukuhan.

Tetapi banjar di sebelah rumah Kiai Gumrah itu masih tetap sepi. Bahkan ternyata semalaman Kiai Gumrah telah lupa menyalakan lampu di banjar karena perhatiannya sepenuhnya tertuju kepada ancaman yang ternyata benar-benar datang ke rumahnya itu.

Kiai Gumrah dan kedua orang anak muda itu pun kemudian telah masuk kembali ke ruang dalam. Mereka masih harus membenahi ruang dalam rumah Kiai Gumrah yang sempit itu. Mereka harus membuang mangkuk-mangkuk yang telah pecah serta makanan yang telah tumpah, yang semalam sudah mereka kumpulkan di sudut ruangan.

Kepada kedua orang anak muda itu Kiai Gumrah pun berkata "Kita mempunyai pekerjaan hari ini. Kita harus memperbaiki dinding yang roboh itu. Kita akan menebang beberapa batang bambu di belakang”

Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Namun mereka setiap kali menjadi berdebar-debar jika mereka teringat bahwa di sudut halaman belakang telah dikuburkan sesosok tubuh. Niskara. Meskipun kematian Niskara itu tidak disebabkan oleh orang yang ada di rumah itu semalam, tetapi justru masih merupakan teka-teki yang baru dapat diduga-duga jawabannya.

Namun dalam pada itu, selagi seisi rumah itu sibuk membersihkan ruang dalam, tiga orang anak muda telah mendatangi rumah Kiai Gumrah. Di depan rumah mereka telah memanggil-manggil dengan lantangnya.

"Kiai, Kiai Gumrah...!”

Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Namun ketika mereka akan melangkah keluar, Kiai Gumrah itu berkata "Tentu anak-anak muda padukuhan ini”

Manggada dan Laksana menarik nafas dalam-dalam. Jika mereka anak-anak muda padukuhan itu, maksud kedatangan mereka tentu tidak ada hubungannya dengan peristiwa yang terjadi semalam. Sebenarnyalah ketika Kiai Gumrah muncul dari pintu rumahnya, maka yang ditanyakan oleh anak-anak muda itu adalah tentang lampu yang semalam tidak menyala di banjar.

"Semalam kami tidak melihat lampu menyala di banjar. Sebenarnya ketika kami lewat di depan banjar itu, kami ingin singgah barang sebentar. Tetapi banjar itu gelap” berkata salah seorang dari anak-anak muda itu.

"Maaf ngger...!" jawab Kiai Gumrah "Aku benar-benar lupa. Apalagi aku memang agak kurang sehat semalaman”

"Sudah beberapa kali Kiai lupa menyalakan lampu di banjar. Meskipun sudah ada banjar yang baru, tetapi banjar ini pun masih tetap kita pergunakan. Karena itu, seharusnya Kiai tidak boleh lupa”

"Lain kali tidak akan terulang lagi ngger” jawab Kiai Gumrah yang terbungkuk-bungkuk dihadapan anak-anak muda itu.

Manggada dan Laksana menarik nafas dalam-dalam. Mereka mengerti bahwa dihadapan anak-anak itu Kiai Gumrah tidak lebih dari seorang pembuat dan penjual gula kelapa. Namun ketika anak-anak muda itu melihat Manggada dan Laksana yang berdiri di belakang Kiai Gumrah, maka salah seorang di antara mereka bertanya,

"Siapakah mereka Kiai?"

Kiai Gumrah berpaling. Sambil mengerutkan dahinya ia kemudian menjawab "Mereka adalah cucu-cucuku, ngger!”

"Apakah mereka akan tinggal bersama Kiai di sini?" bertanya anak muda itu.

"Untuk sementara ngger" jawab Kiai Gumrah.

"Nah, jika demikian, biarlah ia bergaul dengan kami. Biarlah mereka ikut dengan kegiatan-kegiatan kami. Gugur gunung memperbaiki bendungan yang setiap kali kami lakukan. Meratakan jalan-jalan padukuhan dan terutama meronda di malam hari”

"Baik ngger. Aku akan mendorongnya untuk melakukannya. Tetapi mereka adalah pemalu yang memang jarang bergaul dengan orang lain selain keluarganya sendiri" jawab Kiai Gumrah.

"Mereka tidak boleh berbuat begitu" berkata anak muda yang lain. "Jika mereka tidak bergaul dengan kami, maka anak-anak muda di padukuhan ini tidak mengenalnya. Hal itu akan dapat menumbuhkan salah paham yang merugikan bagi kedua cucu Kiai itu”

"Ya, ya ngger" jawab Kiai Gumrah yang kemudian berpaling kepada Manggada dan Laksana "bukankah kalian dengar sendiri. Sebaiknya kalian juga bergabung dengan mereka”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Manggada berkata, "Tetapi kami belum mengenal seorang pun di antara mereka kek”

"Sekarang kau dapat memperkenalkan diri. Nah, jabat tangan mereka, lalu malam nanti datanglah ke banjar”

Manggada dan Laksana termangu-mangu. Tetapi mereka pun melangkah keluar dan menjabat tangan ketiga orang anak muda itu.

"Datanglah ke banjar nanti malam. Aku akan berada di banjar lama itu. Meskipun malam nanti bukan giliranku meronda, tetapi aku akan datang. Kalian dapat berkenalan dengan anak-anak muda di padukuhan ini meskipun kau hanya akan tinggal di sini untuk sementara”

"Baiklah" jawab Manggada "Nanti malam biarlah kami berdua datang ke banjar”

"Bukankah kalian dapat membantu Kiai Gumrah untuk menyalakan lampu di banjar? Kiai Gumrah sudah semakin tua. Ia masih harus memanjat pohon kelapa pagi dan sore” berkata anak muda yang lain.

"Kami akan melakukannya" jawab Manggada.

Sementara itu Kiai Gumrah menyela "Sejak mereka berada di sini, mereka sama sekali belum pernah ke luar halaman. Kedatangan angger bertiga agaknya dapat memancing mereka keluar dari halaman rumah ini. Setidak-tidaknya membantu aku membersihkan dan menyalakan lampu di banjar lama itu”

"Ya” sahut salah seorang dari mereka "Lambat laun kalian akan mengenal seisi padukuhan ini. Dengan demikian kalian tidak akan canggung lagi berada di sini”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Demikianlah, maka ketiga orang anak muda itu pun telah minta diri. Tetapi seorang di antara mereka masih berpesan "Nah, jangan lupa menyalakan lampu di banjar lama. Dan biarlah kedua cucu Kiai itu membantu Kiai dan bergabung bersama kami”

"Ya, ya ngger" jawab Kiai Gumrah. Sepeninggal anak-anak muda itu, Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Aku benar-benar lupa menyalakan lampu semalam. Untung anak-anak muda itu tidak datang kemari. Jika mereka datang kemari, sementara di rumah ini masih ada Kiai Windu Kusuma, maka persoalannya akan menjadi berkepanjangan. Seisi padukuhan akan tergerak untuk mempersoalkannya”

“Jika mereka lewat di depan banjar, apakah mereka tidak mendengar keributan yang terjadi di halaman rumah ini Kiai?" bertanya Laksana.

“Halaman-halaman rumah di padukuhan ini pada umumnya luas ngger. Apalagi halaman banjar itu, sehingga apa yang terjadi di halaman rumahku yang dibatasi dinding batu meskipun tidak terlalu tinggi itu, agaknya memang tidak diketahui orang, kecuali jika ada sekelompok peronda yang menengok halaman ini dari pintu regol halaman”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk, sementara Kiai Gumrah itu berkata "Nah, anak-anak muda itu sudah minta agar kau bergabung dengan mereka. Karena itu, sebaiknya kalian memang sering datang ke banjar. Kalian dapat menyalakan lampu dan membantu membersihkan banjar itu pagi dan sore”

"Baik Kiai" jawab Laksana dan Manggada hampir berbareng.

"Selanjutnya jika kalian memang sudah berniat tinggal di sini meskipun untuk sementara, kalian tidak perlu menyebutku Kiai lagi. Panggil saja aku dengan kakek, agar pada saat tertentu, kalian tidak keliru menyebutnya!”

Kedua orang anak muda itu mengangguk mengiakan. Mereka memang lebih senang memanggilnya dengan sebutan yang sama agar mereka tidak perlu mengingat-ingat kapan dan dimana mereka harus memanggil kakek dan kapan mereka harus menyebutnya Kiai.

"Terima kasih. Kiai" berkata Manggada "Bagi kami tentu akan lebih baik, kek”

"Nah. begitulah. Mulai nanti malam, maka lampu di banjar adalah tugas kalian. Bukan hanya lampu, tetapi kalian juga harus menjaga kebersihan banjar itu. Seperti yang dikatakan oleh anak-anak muda itu, maka banjar yang lama itu masih tetap dipergunakan meskipun sudah ada yang baru”

"Baik, kek. Banjar lama itu akan menjadi beban tugas kami” jawab Manggada.

"Nah, sekarang, kita selesaikan pekerjaan kita. Aku terlambat mengambil bumbung itu. Tetapi belum terlalu lambat” berkata Kiai Gumrah.

"Jika kakek tidak berkeberatan, kami juga ingin belajar menyadap legen manggar, kek” berkata Laksana ketika Kiai Gumrah mengambil bumbung dan siap pergi ke kebun untuk mengambil bumbung yang tergantung pada manggar kelapa dan menggantinya dengan yang baru.

Kiai Gumrah tertawa. Katanya "Pada saatnya kalian akan belajar menyadap legen”

Manggada dan Laksana tidak berbicara lagi. Sementara itu Kiai Gumrah pun telah pergi ke kebun. Meskipun semalam suntuk orang tua itu tidak tidur, tetapi badannya sama sekali tidak nampak menjadi lesu, sementara Manggada dan Laksana yang muda itu merasa mulai diganggu oleh kantuk.

Selagi seisi rumah itu menjadi sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing, maka Ki Windu Kusuma pun sibuk berbincang dengan orang-orangnya. Putut Sempada yang juga ada di antara mereka hanya dapat mengumpat-umpat. Ia telah kehilangan seorang kawannya yang dianggapnya cukup baik. Niskara yang telah dikoyak-koyak oleh harimau.

"Ternyata orang tua itu telah memelihara harimau jadi-jadian" geram Putut Sempada.

"Belum tentu..." jawab Kiai Windu Kusuma "Mungkin dua ekor harimau kelaparan yang tersesat sampai ke halaman rumah orang tua itu”

"Memang mungkin. Tetapi kemungkinan itu mempunyai kesempatan yang sama dengan kemungkinan yang aku katakan, bahwa orang itu memelihara harimau jadi-jadian. Atau malahan pusaka-pusaka itulah yang telah menjelma menjadi harimau” berkala Putut Sempada.

"Dugaanku belum sampai kesana. Tetapi seandainya demikian, maka pantaslah jika Panembahan menghendaki pusaka-pusaka itu secepatnya...” jawab Kiai Windu Kusuma.

"Tetapi bukankah alasan Panembahan bukan karena pusaka-pusaka itu dapat menjelma menjadi harimau yang garang?" sahut Putut Sempada..

"Ya. Memang bukan. Tetapi apakah kau yakin bahwa apa yang dikatakan oleh Panembahan itu adalah yang sebenarnya?" bertanya Kiai Windu Kusuma.

Putut Sempada menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata "Memang mungkin. Tetapi kita tidak dapat mencurigai Panembahan seperti itu”

"Aku sama sekali tidak mencurigai Panembahan. Tetapi apakah artinya jantung segar yang harus disiapkan jika pusaka-pusaka itu dapat kita kuasai?" bertanya Kiai Windu Kusuma.

"Panembahan mengetahui, bahwa pusaka yang disimpan oleh Kiai Gumrah itu, salah satu di antaranya adalah Kiai Simarengu. Selain itu masih ada songsong yang diberi nama Simariwut. Nah, apakah tidak mungkin bahwa nama yang memang mempunyai arti harimau itu ada hubungannya dengan harimau jadi-jadian yang ada di rumah Kiai Gumrah?"

"Ternyata aku menjadi ragu-ragu. Antara percaya dan tidak. Aku masih mencoba untuk menolak anggapan bahwa ada hubungan antara pusaka-pusaka itu dengan harimau yang ada di rumah itu. Tetapi setiap kali aku teringat tentang pusaka-pusaka itu, nama yang diberikan kepada pusaka-pusaka itu, dan perintah Panembahan untuk menyediakan jantung manusia segar yang harus dikorbankan sebagai makanan pusaka yang bernama Simarengu itu”

Putut Sempada menarik nafas panjang. Katanya "Kita sama-sama ragu. Tetapi baiklah kita kesampingkan keragu-raguan itu”

Kiai Windu Kusuma mengangguk-angguk. Katanya "Ya. Apa pun alasan Panembahan, kita harus mendapatkan pusaka-pusaka itu. Kemudian jantung manusia yang segar dan korban bagi pusaka yang disebut Kiai Simarengu”

"Semuanya itu harus secepatnya kita lakukan" berkata Putut Sempada "karena menurut Panembahan, jika pada purnama bulan dengan korban itu belum diberikan bagi Kiai Simarengu, maka tuahnya akan hilang sama sekali”

Kiai Windu Kusuma menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Ya. Kita memang harus secepatnya menguasai Kiai Simarengu. Sebelum purnama bulan depan ujung tombak itu harus sudah ditanam di dada seseorang. Sudah tentu bukan setiap orang yang berjantung segar yang dapat dikorbankan”

“Itu adalah persoalan Panembahan sendiri. Panembahanlah yang akan menentukan, orang yang bagaimana yang pantas untuk menjadi korbannya itu. Serta upacara apa saja yang harus diselenggarakan. Tugas kita adalah menyediakan pusaka-pusaka itu”

“Tetapi darimana Panembahan tahu tentang pusaka-pusaka itu. Darimana pula ia mengetahui bahwa jika sampai purnama bulan depan pusaka-pusaka itu belum dimandikan dan disediakan korban jantung manusia yang segar tuahnya akan hilang untuk selama-lamanya” pertanyaan itu meluncur dari bibir Kiai Windu Kusuma tanpa disadarinya.

Namun Putut Sempada menyahut "Tidak seorang pun tahu. Tidak pula ada yang tahu bahwa tiba-tiba saja Panembahan dengan mata hatinya sendiri, bahwa di rumah itu tersimpan pusaka-pusaka yang dicarinya untuk waktu yang lama”

Kiai Windu Kusuma mengangguk-angguk. Memang banyak hal yang tidak mereka ketahui tentang Panembahan. Tentang ketajaman penglihatan batinnya serta kepekaan panggaritanya. Karena itu, betapa tingginya ilmu Kiai Windu Kusuma, namun ia tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh orang yang disebutnya Panembahan.

Dalam pada itu, ternyata semua pembicaraan itu terdengar oleh Kundala. Seorang yang hatinya sedang diombang-ambingkan oleh kebingungannya. Kundala seakan-akan sedang berdiri diambang pintu. Terdapat dua tarikan yang sangat kuat menghisapnya keluar dan ke dalam. Seakan-akan ia melihat cahaya putih, di dalam dan cahaya yang hitam di luar tanpa mengetahui sumbernya.

"Gila...!" geram Kundala "Kenapa aku mendengar pembicaraan mereka? Jika aku tidak mendengarnya, aku tidak akan merasa berdosa jika aku tidak mengatakannya kepada Kiai Gumrah”

Namun kemudian sambil menghentakkan tangannya ia berkata "Persetan dengan Kiai Gumrah. Aku adalah pengikut setia Kiai Windu Kusuma. Aku sudah memperingatkan Kiai Gumrah untuk membunuhku agar aku tidak dapat datang justru membunuhnya”

Kundala hanya dapat menggeletakkan giginya, menghentakkan kaki dan tangannya. Namun ia tidak dapat melepaskan diri dari tarikan yang seakan-akan sama kuatnya. Ia merasa berkewajiban untuk tetap setia kepada Kiai Windu Kusuma. Tetapi ia merasa bahwa hidupnya yang tersisa itu sudah bukan miliknya. Tetapi milik Kiai Gumrah, sehingga apa yang diketahuinya rasa-rasanya harus diketahui pula oleh Kiai Gumrah.

"Gila. Agaknya aku sudah gila" desis Kundala sambil memukuli kepalanya sendiri.

Namun Kundala telah berusaha sekuat-kuatnya untuk tidak menunjukkan perubahan sikap dihadapan Kiai Windu Kusuma. Jika gejolak perasaannya itu diketahui oleh Kiai Windu Kusuma, maka ia tidak akan dapat berharap hidup lebih lama lagi.

"Kecuali jika aku melarikan diri dan mengungsikan hidupku pada Kiai Gumrah” berkata Kundala di dalam hatinya.

Tetapi ia tidak akan dapat melakukannya. Jika ia berbuat demikian, maka ia telah menjadi seorang pengkhianat. Namun sebuah pertanyaan tiba-tiba saja seperti petir yang meledak ditelinganya telah mengejutkannya "Apakah aku memang belum berkhianat?"

Kundala tidak dapat berbuat ingkar kepada dirinya sendiri. Bahwa ia telah memberitahukan akan kedatangan orang-orang berilmu tinggi untuk mengambil pusaka-pusaka itu ketika ia menjemput Putut Sempada di pasar, bukankah itu sudah berarti suatu pengkhianatan.

Karena itulah, maka Kundala itu pun telah tenggelam dalam goncangan perasaan. Ia tidak segera dapat menemukan pijakan sikap yang mapan. Yang kemudian dilakukannya adalah sekedar menyembunyikan gejolak perasaannya itu terhadap Kiai Windu Kusuma serta kawan-kawannya, agar ia tidak dihukum mati dihadapan mereka sebagai pengkhianatan.

Namun untuk sementara Kundala masih mempuyai waktu berpikir ulang atas sikapnya. Menurut pembicaraan Kiai Windu Kusuma dan Putut Sempada dengan beberapa orang pengikutnya, agaknya mereka tidak akan langsung mengambil tindakan baru. Kegagalan mereka telah membuat mereka semakin berhati-hati. Ternyata Kiai Gumrah mempunyai beberapa orang kawan yang berilmu tinggi dan yang meragukan mereka adalah sepasang harimau yang tiba-tiba saja ada di halaman rumah Kiai Gumrah.

Sementara Kiai Windu Kusuma membuat perhitungan-perhitungan baru, maka rumah Kiai Gumrah menjadi semakin ramai. Kawan-kawan Kiai Gumrah yang tiga orang itu, berganti-ganti datang mengunjunginya. Tidak saja disiang hari. Tetapi kadang-kadang juga di malam hari. Bahkan kadang-kadang mereka bertiga berkumpul bersama-sama sambil bermain dadu dengan hitungan daun ketela pohon atau daun melinjo. Orang-orang tua itu nampaknya selain berjaga-jaga karena adanya pusaka-pusaka di rumah itu, juga untuk mengisi kekosongan hidup mereka dihari tua.

Manggada dan Laksana bahkan sering bertanya di antara mereka "Apakah orang-orang tua itu tidak berkeluarga di rumah mereka? Apakah mereka tidak mempunyai anak atau cucu atau apa pun?"

Tetapi anak-anak muda itu tidak berani bertanya. Kepada Kiai Gumrah pun mereka juga tidak bertanya tentang keluarganya. Meskipun Kiai Gumrah pernah mengatakan bahwa ia mempunyai anak dan cucu yang tinggal di tempat lain karena anaknya tidak ingin menggantikan tugasnya menjaga banjar lama itu.

Dalam pada itu, memenuhi permintaan anak-anak muda yang pernah datang ke rumah Kiai Gumrah, maka Manggada dan Laksana pun sudah pula sering berada di banjar lama. Di sore hari mereka menyalakan lampu di banjar dan oncor di regol. Di pagi hari keduanya membantu Kiai Gumrah menyapu halaman dan membersihkan ruangan-ruangan banjar lama setelah Kiai Gumrah mengambil dan memasang bumbungnya di manggar batang kelapa.

Dengan demikian maka Manggada dan Laksana mulai berkenalan dan bergaul dengan anak-anak muda di padukuhan itu. Mereka berusaha menyesuaikan diri dengan pergaulan anak-anak muda di padukuhan itu. Di malam hari beberapa orang anak muda kadang-kadang duduk-duduk di banjar lama itu. Bergurau dan mengisi waktu mereka dengan berbagai macam permainan. Terutama mereka yang bertugas ronda pada malam itu.

Di siang hari anak-anak muda kebanyakan bekerja di sawah dan ladang mereka. Jika keadaan mendesak, mereka bersama-sama melakukan kerja untuk kepentingan bersama. Memperbaiki bendungan yang harus sering mereka lakukan. Setiap kebocoran betapa kecilnya harus segera diperbaiki. Jika kebocoran itu menjadi semakin besar, maka mereka akan mengalami kesulitan, apalagi dimusim hujan. Banjir dapat datang setiap saat. Selain bendungan, maka parit-parit pun banyak menuntut pemeliharaan.

Meskipun Kiai Gumrah tidak mempunyai sawah, selain kebunnya yang banyak ditanami pohon kelapa sebagai gantungan hidupnya, namun Kiai Gumrah sendiri juga sering ikut dalam kerja bersama-sama memperbaiki bendungan, parit dan pemeliharaan jalur-jalur air yang menusuk membelah tanah persawahan.

Kehadiran Manggada dan Laksana memang memberikan kesempatan Kiai Gumrah untuk lebih banyak berada di rumahnya, karena kedua orang anak muda itu dapat mewakilinya. Meskipun demikian Kiai Gumrah selalu mengingatkan Manggada dan Laksana agar mereka berhati-hati.

"Orang-orang yang berniat jahat itu mengenal kalian sebagai cucu-cucuku" berkata Kiai Gumrah "Karena itu, mereka akan dapat berbuat jahat terhadap kalian”

"Tetapi setiap kali, kami berada di antara orang banyak, Kiai" jawab Manggada "Aku kira, mereka juga memperhitungkan hal itu”

"Tetapi tentu ada saatnya kalian hanya berdua. Mungkin saat kalian membersihkan banjar atau menyalakan lampu atau pada saat-saat lain. Karena itu dalam keadaan terpaksa, jangan segan-segan membunyikan isyarat”

"Baik, Kiai..." jawab Manggada.

Demikianlah maka hari dan hari pun lewat. Ternyata masih belum ada tanda-tanda bahwa orang-orang yang menginginkan pusaka-pusaka itu kembali. Meskipun demikian, namun kawan-kawan Kiai Gumrah masih saja sering datang ke rumah Ki Gumrah. Kadang-kadang sendiri, berdua atau bahkan bertiga bersama-sama.

Setelah sekian hari berlalu, teka-teki tentang dua ekor harimau itu pun masih tetap belum terpecahkan. Sejak peristiwa itu, maka tidak pernah nampak seekor harimau pun di halaman rumah itu. Atau bahkan di padukuhan itu. Jejaknya pun tidak pernah dilihat orang di padukuhan. Namun setelah agak lama keadaan menjadi tenang, maka tiba-tiba Manggada dan Laksana telah melihat seekor elang yang terbang melayang-layang di atas rumah Kiai Gumrah.

Karena itu, maka ia pun segera berlindung di bawah rimbunnya pepohonan. Sementara itu, Kiai Gumrah agaknya juga melihat burung elang itu. Ia memberi tahukan hal itu kepada Manggada dan Laksana dari kebun kelapanya.

"Hati-hatilah" berkata Kiai Gumrah "Elang itu nampak lagi di langit”

"Ya, Kiai" jawab Manggada.

Namun Kiai Gumrah sendiri sama sekali tidak berusaha untuk berlindung dari pengamatan burung elang itu. Ia masih saja memanjat sebatang pohon kelapa. Tetapi tidak untuk memasang bumbung legen. Kiai Gumrah memanjat sebatang pohon kelapa yang dibiarkannya berbuah untuk mengambil buahnya.

Dalam pada itu, dari balik rimbunnya dedaunan, Manggada dan Laksana berusaha untuk dapat melihat apa yang dilakukan elang itu. Seperti yang pernah dilakukan beberapa saat yang lampau, maka elang itu berputar-putar beberapa kali di atas rumah Kiai Gumrah, menukik dan kembali naik ke ketinggian. Namun beberapa saat kemudian, maka elang itu pun telah terbang menjauh, sehingga akhirnya hilang di langit.

Ketika Kiai Gumrah kemudian turun dari pohon kelapa. Manggada dan Laksana pun telah mendekatinya. Kedua anak muda itu ikut memungut beberapa butir kelapa yang dipetik oleh Kiai Gumrah dari batangnya itu.

"Elang itu berputar-putar, Kiai” desis Laksana.

"Seperti yang pernah dilakukan beberapa saat lalu" jawab Kiai Gumrah "Nampaknya orang-orang itu sudah mulai bersiap-siap untuk bergerak lagi”

"Mereka tentu sudah siap pula untuk melawan dua ekor harimau itu, Kiai" berkata Manggada kemudian.

"Mereka mungkin benar-benar menyangka bahwa kedua ekor harimau itu adalah harimau jadi-jadian. Atau barangkali tombak-tombak atau payung itulah yang dikiranya dapat menjelma menjadi harimau atau dari dalamnya keluar sepasang harimau itu”

"Apa pun yang mereka katakan, tetapi nampaknya harimau itu telah membantu kita. Atau tanpa niat membantu kita, tetapi harimau-harimau itu adalah musuh bebuyutan dari orang-orang yang datang itu sehingga harimau-harimau itu menyerang mereka” sahut Manggada kemudian.

"Apa pun yang akan terjadi, kita harus meningkatkan kewaspadaan kita. Kita berhadapan dengan orang yang berilmu sangat tinggi meskipun mereka kurang memperhitungkan penalaran kita" berkata Manggada kemudian.

"Maksudmu?" bertanya Kiai Gumrah.

"Bukankah burung elang itu telah mengisyaratkan kepada kita agar kita bersiap menghadapi segala kemungkinan?" jawab Manggada meskipun agak ragu.

"Kau benar ngger. Tetapi mungkin juga justru Panembahan itu ingin menakuti kita atau semacam tantangan bagi kita, karena mereka terlalu yakin akan kelebihan mereka” jawab Kiai Gumrah.

Manggada mengangguk-angguk. Sementara Laksana bertanya "Semacam sikap sombong begitu, Kiai?"

"Ya, begitulah. Tetapi kesombongan mereka benar-benar berisi karena mereka memang berilmu tinggi” jawab Kiai Gumrah.

Manggada dan Laksana tidak bertanya lagi. Sementara itu Manggada telah mengupas kelapa-kelapa yang baru saja dipetik itu dengan slumbat, semacam linggis yang ujungnya tajam dan pipih. Namun ketika mereka membawa kelapa-kelapa yang sudah terkupas itu ke dapur, Manggada masih bertanya lagi "Kiai, apakah Kiai tidak berniat untuk membuat hubungan dengan Ki Pandi?"

"Si Bongkok itu?" bertanya Kiai Gumrah.

"Ya, Kiai. Kami masih menghubungkan kedua ekor harimau yang datang itu dengan kedua ekor harimau milik Ki Pandi. Mungkin kedua ekor harimau itu masih mengenali kami berdua, sehingga saat kami pingsan, kami tidak dikoyak-koyaknya seperti Niskara itu”

Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya "Aku tidak tahu di mana Si Bongkok itu berada. Aku memang mengenalinya, tetapi tidak begitu akrab. Meskipun demikian, jika kami bertemu, maka aku akan menjajagi hatinya, apakah ia merasa bersangkut-paut dalam persoalan ini, atau karena Si Bongkok itu sekedar ingin menyelamatkan kalian berdua dari tangan Niskara meskipun akibatnya juga menyelamatkan pusaka-pusaka itu”

Manggada dan Laksana hanya mengangguk-angguk saja. Mereka sadar sepenuhnya bahwa tidak semua dikatakan dengan terbuka oleh Kiai Gumrah. Bagaimana pun juga Kiai Gumrah harus berhati-hati terhadap dua orang anak muda yang belum diketahui dengan pasti asal-usulnya.

Demikianlah, maka ketiga orang itu pun menjadi sibuk memecah dan mencukil kelapa. Kiai Gumrah hari itu ingin membuat minyak kelapa karena minyaknya sudah habis. Selain untuk memasak. Kiai Gumrah juga mempergunakan minyak kelapa untuk lampu di rumahnya dan di banjar. Karena kesibukannya itu, maka hari itu Kiai Gumrah memang tidak pergi menyerahkan gula kelapa kepada juragan gula yang tinggal tidak terlalu jauh dari rumahnya.

"Besok saja akan aku serahkan sekaligus dengan hasil besok pagi" berkata Kiai Gumrah "Hari ini aku masih mempunyai uang cukup. He, bukankah beras masih cukup sampai dua hari lagi?"

"Masih, Kiai” jawab Manggada.

"Baiklah. Biarlah hari ini aku tidak pergi. Aku akan membuat minyak kelapa” berkata Kiai Gumrah kemudian.

Bertiga mereka pun kemudian sibuk mengukur kelapa. Memeras santannya dan kemudian memanasi santan itu agar menjadi minyak. Namun dalam pada itu, Manggada dan Laksana sempat berbicara di antara mereka ketika Kiai Gumrah keluar dari dapur beberapa saat.

"Kiai Gumrah tidak meninggalkan rumahnya bukan karena membuat minyak. Kami dapat melakukannya" berkata Manggada.

"Ya. Tentu elang itu membuatnya berjaga-jaga hari ini dan tentu juga malam nanti" sahut Laksana.

"Ia menanggapi isyarat burung elang itu dengan sungguh-sungguh" desis Manggada.

Keduanya pun terdiam ketika Kiai Gumrah telah berada di dapur itu lagi. Untuk beberapa saat ketiganya terdiam. Mereka sibuk dengan tugas mereka masing-masing di dapur itu. Namun selagi mereka bertiga sibuk, tiba-tiba saja seseorang muncul dari pintu butulan. Sambil tertawa orang itu bertanya,

"He, Kiai Gumrah. Apa yang kau kerjakan hari ini? Kenapa kau tidak menyerahkan gula? Aku menunggu-nunggu sesiang ini sehingga hari ini aku terpaksa tidak pergi ke pasar. Tentu sudah kesiangan. Para pedagang gula telah meninggalkan pasar”

"Aku sedang membuat minyak" berkata Kiai Gumrah.

"Kenapa begitu tergesa-gesa? Bukankah dapat kau lakukan siang nanti? Seandainya minyakmu sudah habis sama sekali, bukankah baru nanti malam minyak itu kau pergunakan”

"Aku akan menggoreng ikan lele. Sebentar lagi aku akan turun ke belumbang" berkata Kiai Gumrah.

Juragan gula yang datang itu ternyata malahan berjongkok di samping Kiai Gumrah yang menunggu santannya yang mendidih. Katanya "Pekerjaan yang menjemukan. Kau harus mengaduk santan itu terus-menerus”

Kiai Gumrah itu mengangguk. Katanya "Aku sudah terbiasa melakukannya” Lalu tiba-tiba katanya kepada Manggada dan Laksana "Ambil kayu bakar lagi, anak-anak”

Manggada dan Laksana pun kemudian bangkit dan melangkah keluar dapur untuk mengambil kayu bakar. Namun sambil memungut kayu bakar Manggada berkata "Juragan gula itu juga melihat elang yang berputaran. Mereka tentu sedang merundingkan apa yang akan mereka lakukan, karena agaknya mereka mulai mendapat isyarat, bahwa Kiai Windu Kusuma atau bahkan Panembahan itu sendiri akan mulai bergerak lagi”

Laksana mengangguk-angguk. Katanya "Kenapa kita tidak boleh mendengar pembicaraan mereka?"

"Tentu ada sebabnya. Mereka tidak ingin membuat kita gelisah, atau mereka memang belum sepenuhnya mempercayai kita” jawab Manggada.

Laksana mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak berbicara lagi. Mereka masing-masing membawa seonggok kayu bakar ke dapur untuk memanasi santan yang dibuat minyak itu. Ketika mereka masuk ke dapur, maka dilihatnya Kiai Gumrah dan juragan gula itu berbincang dengan sungguh-sungguh. Sekilas mereka memandang kedua orang anak muda yang masuk sambil membawa kayu bakar itu. Namun mereka ternyata masih berbincang terus.

Meskipun perlahan-lahan Manggada dan Laksana dapat mendengar juga Kiai Gumrah berkata "Baiklah. Biarlah orang itu di sini untuk satu dua hari.”

Keduanya ternyata tidak berbicara lebih panjang lagi. Juragan gula itu pun bangkit berdiri sambil berkata kepada Manggada dan Laksana "Ngger. Kami memang tidak akan merahasiakan lagi kegelisahan kami. Kalian lihat burung elang itu terbang berputar-putar lagi. Kalian tentu juga dapat menduga maksudnya.”

"Ya Kiai...!" jawab Manggada dan Laksana hampir berbareng.

"Nah, karena itu, maka salah seorang dari antara kami bertiga akan tinggal di rumah ini. Kita memang harus berjaga-jaga. Jika kita masih saja sekedar bermain-main, sementara lawan kita mulai bersungguh-sungguh, maka kita akan dapat terjebak dalam kesulitan yang parah.”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk kecil. Sementara juragan gula itu berkata "Sudahlah, aku minta diri. Malam nanti di rumah ini akan bertambah penghuninya meskipun sebelumnya juga hampir selalu berada di rumah ini.”

Demikian juragan gula itu pergi, maka Kiai Gumrah pun berkata kepada Manggada dan Laksana dengan nada dalam "Aku tidak dapat berpura-pura lagi ngger. Aku dan saudara-saudaraku itu memang menjadi gelisah. Kami benar-benar harus mempertahankan pusaka-pusaka itu. Tetapi jangan bertanya lebih dahulu, apakah aku berbohong atau tidak tentang pusaka-pusaka itu. Yang penting, pusaka-pusaka itu tidak boleh berpindah ke tangan orang lain.”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk pula. Namun tiba-tiba saja Laksana bertanya "Tetapi apakah benar tidak boleh ada pihak lain yang ikut melindungi pusaka-pusaka itu, kek. Misalnya prajurit Pajang atau setidak-tidaknya orang-orang padukuhan ini.”

"Alasanku seperti yang pernah aku katakan ngger. Aku tidak berpura-pura. Kau tentu tahu, jika aku melibatkan orang-orang padukuhan untuk melawan orang-orang berilmu tinggi itu, apakah tidak sama artinya aku menabur maut di padukuhan ini?"

Manggada dan Laksana masih saja mengangguk-angguk. Mereka mengerti bahwa akibatnya memang akan menjadi sangat parah. Sementara itu. Kiai Gumrah juga tidak dapat menyerahkan pusaka-pusaka itu kepada prajurit Pajang.

"Sudahlah. Apa pun yang terjadi, kita akan mempertahankan pusaka-pusaka itu dengan kekuatan dan kemampuan kita sendiri” berkata Kiai Gumrah. Lalu katanya pula "Tetapi sebaiknya malam nanti kau tidak terlalu lama berada di banjar. Sebaiknya setelah beberapa saat berkumpul dengan anak-anak muda jika mereka datang ke banjar, kalian harus segera pulang. Kalian dapat memberi alasan apa saja. Mungkin ada pekerjaan yang harus kalian lakukan, atau salah seorang dari kalian mengatakan bahwa badan kalian sedang tidak enak atau apa pun. Elang yang berputar-putar itu membuat aku menjadi gelisah. Apalagi orang-orang itu tentu sudah mengenal kalian pula...!”

"Baik Kiai...!" jawab Manggada "Kami tidak akan terlalu lama berada di banjar malam nanti...”

Selanjutnya,
Sang Penerus Bagian 07

Sang Penerus Bagian 06

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
TETAPI orang-orang tua itu menduga bahwa harimau itu telah meloncat memanjat pepohonan dan kemudian keluar dari halaman. Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Manggada berkata,

"Kiai. Mungkin aku dapat berceritera tentang dua ekor harimau yang pernah aku lihat...”

"Dimana kau lihat dua ekor harimau yang besar dan garang itu?" bertanya Kiai Gumrah. Keterangan Manggada itu sangat menarik perhatiannya.

"Ketika kami berada di balik hutan di lingkungan kuasa Panembahan Lebdadadi, maka Ki Pandi yang bongkok itu juga mempunyai dua ekor harimau yang jinak. Jinak bagi Ki Pandi, tetapi ia tetap garang bagi orang lain, terutama sesuai dengan petunjuk Ki Pandi. Kecuali kegarangan harimau sebagaimana kebanyakan harimau liar, maka kedua ekor harimau itu telah mendapat latihan-latihan khusus dari Ki Pandi” berkata Manggada kemudian.

"Ki Pandi orang bongkok itu?" tiba-tiba saja juragan gula itu bertanya.

"Ya...!" desis Manggada ragu-ragu. Ia tidak tahu, bagaimana tanggapan Kiai Gumrah dan kawan-kawannya itu terhadap orang yang bernama Ki Pandi itu. Jika mereka justru bermusuhan, maka tanggapan mereka tentu akan menjadi aneh, karena harimau-harimau itu justru telah menyelamatkan pusaka-pusaka itu.

Tetapi seorang tamu Kiai Gumrah yang lain pun kemudian tertawa sambil berkata, "Orang bongkok yang selalu murung itu? He, darimana ia tahu bahwa ada persoalan yang timbul di sini. Seandainya kedua ekor harimau itu memang milik orang bongkok itu?”

"Ki Pandi, dan tentu kedua ekor harimau itu mengenal burung-burung elang yang berkuku baja itu. Ki Pandi pernah bertempur dengan Panembahan Lebdadadi”

Orang-orang tua itu mengangguk-angguk. Juragan gula itulah yang kemudian berkata "Memang masuk akal. Tetapi kita masih harus melihat, apakah benar Ki Pandi telah ikut campur dalam persoalan ini”

"Dan bahkan mungkin juga Ki Ajar Pangukan" desis Laksana.

"Siapakah Ki Ajar Pangukan itu?"bertanya salah seorang kawan Kiai Gumrah.

Laksana termangu-mangu sejenak. Ia tidak mengerti bagaimana menjelaskan orang yang bernama Ki Ajar Pangukan itu.

Agaknya Kiai Gumrah mengerti kesulitan Laksana. Katanya "Kau tentu tidak akan dapat memberikan keterangan lebih banyak ngger, karena bagaimana pun juga kami akan sulit membayangkannya seandainya kami memang belum mengenalnya. Tetapi bagiku orang itu tidak terlalu asing”

"He, jangan sombong Kiai Gumrah. Kau kira kau dapat mengenali orang seisi bumi ini?"

"Jangan marah!" berkata Kiai Gumrah "Tetapi pengetahuanku memang lebih luas dari kau. Aku sudah pernah menjadi penjaja gula keliling dari pasar ke pasar sehingga aku melihat dunia yang penuh dengan gejolak ini”

"Tetapi ternyata pengenalanmu atas dunia ini masih belum seluas anak-anak itu. He, kau tahu darimana datangnya harimau-harimau itu?" sahut kawannya.

Kiai Gumrah justru tertawa. Katanya "Jangan merajuk begitu kek. Kita sama-sama penyadap legen kelapa”

Yang lain pun tertawa pula, sementara orang itu berkata "Kalau begitu aku pulang saja”

Kawan-kawannya tertawa semakin keras. Kiai Gumrah justru berkata "He, aku masih mempunyai hidangan buat kalian. Marilah. Kita teruskan permainan kita”

"Tetapi mangkuk-mangkuk itu sudah pecah. Isinya sudah berserakan. Apa yang harus kami makan dan kami minum jika kami masih harus meneruskan permainan itu?”

"Kau kira aku sudah tidak mempunyai makanan lagi? Di dalam kuali di dapur masih terdapat ketela dan sukun yang direbus dengan legen. Kalau kalian tidak percaya, bertanyalah kepada kedua orang cucuku itu”

Ketiga orang tamu Kiai Gumrah itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian juragan gula itu berkata, "Baiklah. Kami akan meneruskan permainan sampai menjelang fajar. Besok aku harus pergi ke pasar pagi-pagi. Aku sudah membuat perjanjian jual beli gula dipasar dengan pedagang dari Kademangan sebelah.”

Manggada dan Laksana pun kemudian membantu mengumpulkan dan membersihkan mangkuk-mangkuk yang pecah serta makanan yang tumpah. Baru kemudian mereka menghidangkan makanan yang masih tersisa dua kuali. Tetapi orang-orang tua itu nampaknya sudah merasa letih. Mereka tidak lagi banyak tertawa, meskipun sekali-sekali masih terdengar mereka berkelakar.

Menjelang fajar, permainan itu memang sudah selesai. Ketiga orang tamu Kiai Gumrah pun telah minta diri. Ternyata mereka tidak menghitung lembaran-lembaran daun ketela pohon yang mereka pergunakan dalam permainan dadu itu. Orang-orang tua itu tidak benar-benar bertaruh dengan gula kelapa sebagaimana yang mereka katakan. Sehingga dengan demikian maka Manggada dan Laksana pun semakin yakin bahwa orang-orang itu telah dengan sengaja membantu Kiai Gumrah melindungi pusaka-pusaka yang dititipkan di rumah itu.

Meskipun ceritera tentang pusaka yang dititipkan itu pun masih harus diuji kebenarannya. Agaknya Kiai Gumrah memang tidak mengatakan yang sebenarnya kepada Manggada dan Laksana. Tetapi Manggada dan Laksana merasakan bahwa orang tua itu sama sekali tidak bermaksud buruk.

Ketika para tamu Kiai Gumrah itu sudah bangkit berdiri dan minta diri, juragan gula itu masih sempat berkata kepada kedua orang anak muda itu,

"Kalian telah melihat apa yang terjadi di sini. Mungkin ada hal-hal yang membuat kalian heran dan bahkan kecewa. Kau mungkin merasakan bahwa tidak semua yang pernah kau dengar tentang Kiai Gumrah, tentang kami, pedagang-pedagang gula ini serta tentang pusaka-pusaka itu, benar adanya. Karena itu, maka apakah tidak sebaiknya kalian meninggalkan tempat ini. Berulang kali kami menyatakan hal itu, karena sebenarnyalah kami merasa ikut bertanggung jawab atas keselamatan kalian. Justru karena kalian sebenarnya tidak terlibat dalam persoalan yang terjadi di sini”

Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Meskipun ragu-ragu, namun Manggada masih berusaha menjelaskan sikapnya. Katanya,

"Kiai. Kami masih ingin memohon, bahwa kami diperkenankan tinggal di sini untuk beberapa lama. Persoalan yang terjadi di sini semakin lama menjadi semakin menarik. Ketika kami melihat burung-burung elang berkuku baja itu, kami merasa seolah-olah kami memang telah terlibat. Apalagi dengan jejak kedua ekor harimau itu. Seakan-akan kami telah mengenalinya. Seandainya harimau itu harimau liar, maka mungkin tubuh kami juga sudah dikoyak-koyaknya disaat kami pingsan. Tetapi ternyata kami masih utuh, sehingga seakan-akan kami yakin bahwa kedua ekor harimau itu telah mengenal kami dengan baik. Atau setidak-tidaknya dikendalikan oleh orang yang telah mengenal kami”

Keempat orang tua itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian seorang di antara mereka berkata,

"Kami dapat mengerti perasaanmu ngger. Tetapi kau pun harus ingat, bahwa yang sedang kami hadapi adalah bukan orang-orang kebanyakan. Mereka pun orang-orang berilmu tinggi. Kiai Windu Kusuma menurut penilaianku, adalah orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Namun ia tidak sempat mempergunakannya karena kehadiran dua ekor harimau yang baginya menyimpan rahasia yang sulit ditebak. Sementara itu Kiai Windu Kusuma juga memperhitungkan kemampuan kami berempat. Tetapi apa yang dilihat dan diamatinya malam ini tentu akan menjadi bahan bagi langkah-langkahnya selanjutnya. Jika ia menyebut-nyebut nama seorang Panembahan, maka Panembahan itu tentu seorang yang jarang ada duanya”

"Kami mengerti Kiai. Tetapi sulit bagi kami untuk meninggalkan tempat ini sebelum persoalannya menjadi tuntas” desis Manggada.

Orang-orang tua itu memang tidak dapat memaksa Manggada dan Laksana untuk meninggalkan tempat itu. Karena itu, maka akhirnya Kiai Gumrah pun berkata,

"Jika demikian, apa boleh buat. Tetapi sebagaimana kalian ketahui, bahwa ada kemungkinan buruk dapat terjadi atas kami dan tentu saja juga atas kalian sebagaimana baru saja terjadi. Meskipun kemudian ternyata bahwa Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang masih melindungi kalian berdua dan kami semuanya. Karena kalian berdua juga sudah cukup mempunyai penilaian atas persoalan yang kalian hadapi, serta menyadari bahaya yang mungkin mengancam kalian, maka sebaiknya kalian pertimbangkan keputusan kalian sebaik-baiknya”

"Rasa-rasanya kami sudah mengambil keputusan Kiai” jawab Manggada.

Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Tetapi hatinya telah tergetar mendengar tekad anak-anak muda itu. Katanya "Baiklah ngger. Tekadmu tidak tergoyahkan lagi. Aku berterima kasih kepadamu. Apa pun yang dapat kalian lakukan, tetapi niatmu harus aku hargai. Karena itu, jika tekadmu sudah bulat serta menyadari kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi, maka aku tidak berkeberatan kalian tinggal di rumahku untuk sementara”

Manggada dan Laksana itu pun mengangguk hormat. Hampir berbareng kedua orang anak muda itu berkata "Terima kasih. Kiai”

"Nah, sekarang kalian telah menjadi bagian dari persoalan yang sedang aku hadapi. Jika semula kalian yang berusaha mendorongku keluar dari pergumulan yang sengit karena pusaka-pusaka yang dititipkan kepadaku itu, maka kemudian akulah yang berusaha memaksamu keluar. Tetapi kita bersama-sama tidak berhasil. Karena itu, maka biarlah kita bersama-sama terlibat di dalamnya” berkata Kiai Gumrah kemudian.

Tetapi juragan gula itu berkata "Aku tidak tahu yang kau maksud...”

Kiai Gumrah tersenyum. Katanya "Kedua anak muda ini pernah menganjurkan agar aku berusaha untuk menghindar dari keadaan yang rumit ini atau menitipkan pusaka-pusaka itu kepada prajurit Pajang atau tindakan pengamanan yang lain. Tetapi justru karena aku berkeberatan, maka nampaknya mereka justru terikat di rumah ini untuk melihat akhir dari persoalan yang kita hadapi”

Juragan gula itu pun tertawa. Katanya "Jika demikian, maka kita memang sudah sama-sama bertekad untuk menghadapi persoalan ini. Langsung atau tidak langsung kita memang akan berhadapan dengan Panembahan itu”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Mereka menyadari sepenuhnya, bahwa orang-orang tua yang menginginkannya meninggalkan tempat, itu sama sekali bukan didorong oleh keinginan mereka merahasiakan persoalan yang mereka hadapi, tetapi justru karena mereka mencemaskan nasib mereka.

Karena itu, maka kedua anak muda itu merasa bahwa mereka harus mempertanggung-jawabkan sendiri keputusan yang telah mereka ambil. Mereka tidak akan dapat menyalahkan atau menuntut pertanggung-jawaban siapa pun jika terjadi sesuatu atas diri mereka.

Demikianlah, maka sejenak kemudian para tamu Kiai Gumrah itu pun telah minta diri, sementara cahaya di langit pun menjadi semakin terang. Fajar pun tersirat di bibir awan di langit. Kicau burung telah membangunkan seisi padukuhan.

Tetapi banjar di sebelah rumah Kiai Gumrah itu masih tetap sepi. Bahkan ternyata semalaman Kiai Gumrah telah lupa menyalakan lampu di banjar karena perhatiannya sepenuhnya tertuju kepada ancaman yang ternyata benar-benar datang ke rumahnya itu.

Kiai Gumrah dan kedua orang anak muda itu pun kemudian telah masuk kembali ke ruang dalam. Mereka masih harus membenahi ruang dalam rumah Kiai Gumrah yang sempit itu. Mereka harus membuang mangkuk-mangkuk yang telah pecah serta makanan yang telah tumpah, yang semalam sudah mereka kumpulkan di sudut ruangan.

Kepada kedua orang anak muda itu Kiai Gumrah pun berkata "Kita mempunyai pekerjaan hari ini. Kita harus memperbaiki dinding yang roboh itu. Kita akan menebang beberapa batang bambu di belakang”

Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Namun mereka setiap kali menjadi berdebar-debar jika mereka teringat bahwa di sudut halaman belakang telah dikuburkan sesosok tubuh. Niskara. Meskipun kematian Niskara itu tidak disebabkan oleh orang yang ada di rumah itu semalam, tetapi justru masih merupakan teka-teki yang baru dapat diduga-duga jawabannya.

Namun dalam pada itu, selagi seisi rumah itu sibuk membersihkan ruang dalam, tiga orang anak muda telah mendatangi rumah Kiai Gumrah. Di depan rumah mereka telah memanggil-manggil dengan lantangnya.

"Kiai, Kiai Gumrah...!”

Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Namun ketika mereka akan melangkah keluar, Kiai Gumrah itu berkata "Tentu anak-anak muda padukuhan ini”

Manggada dan Laksana menarik nafas dalam-dalam. Jika mereka anak-anak muda padukuhan itu, maksud kedatangan mereka tentu tidak ada hubungannya dengan peristiwa yang terjadi semalam. Sebenarnyalah ketika Kiai Gumrah muncul dari pintu rumahnya, maka yang ditanyakan oleh anak-anak muda itu adalah tentang lampu yang semalam tidak menyala di banjar.

"Semalam kami tidak melihat lampu menyala di banjar. Sebenarnya ketika kami lewat di depan banjar itu, kami ingin singgah barang sebentar. Tetapi banjar itu gelap” berkata salah seorang dari anak-anak muda itu.

"Maaf ngger...!" jawab Kiai Gumrah "Aku benar-benar lupa. Apalagi aku memang agak kurang sehat semalaman”

"Sudah beberapa kali Kiai lupa menyalakan lampu di banjar. Meskipun sudah ada banjar yang baru, tetapi banjar ini pun masih tetap kita pergunakan. Karena itu, seharusnya Kiai tidak boleh lupa”

"Lain kali tidak akan terulang lagi ngger” jawab Kiai Gumrah yang terbungkuk-bungkuk dihadapan anak-anak muda itu.

Manggada dan Laksana menarik nafas dalam-dalam. Mereka mengerti bahwa dihadapan anak-anak itu Kiai Gumrah tidak lebih dari seorang pembuat dan penjual gula kelapa. Namun ketika anak-anak muda itu melihat Manggada dan Laksana yang berdiri di belakang Kiai Gumrah, maka salah seorang di antara mereka bertanya,

"Siapakah mereka Kiai?"

Kiai Gumrah berpaling. Sambil mengerutkan dahinya ia kemudian menjawab "Mereka adalah cucu-cucuku, ngger!”

"Apakah mereka akan tinggal bersama Kiai di sini?" bertanya anak muda itu.

"Untuk sementara ngger" jawab Kiai Gumrah.

"Nah, jika demikian, biarlah ia bergaul dengan kami. Biarlah mereka ikut dengan kegiatan-kegiatan kami. Gugur gunung memperbaiki bendungan yang setiap kali kami lakukan. Meratakan jalan-jalan padukuhan dan terutama meronda di malam hari”

"Baik ngger. Aku akan mendorongnya untuk melakukannya. Tetapi mereka adalah pemalu yang memang jarang bergaul dengan orang lain selain keluarganya sendiri" jawab Kiai Gumrah.

"Mereka tidak boleh berbuat begitu" berkata anak muda yang lain. "Jika mereka tidak bergaul dengan kami, maka anak-anak muda di padukuhan ini tidak mengenalnya. Hal itu akan dapat menumbuhkan salah paham yang merugikan bagi kedua cucu Kiai itu”

"Ya, ya ngger" jawab Kiai Gumrah yang kemudian berpaling kepada Manggada dan Laksana "bukankah kalian dengar sendiri. Sebaiknya kalian juga bergabung dengan mereka”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Manggada berkata, "Tetapi kami belum mengenal seorang pun di antara mereka kek”

"Sekarang kau dapat memperkenalkan diri. Nah, jabat tangan mereka, lalu malam nanti datanglah ke banjar”

Manggada dan Laksana termangu-mangu. Tetapi mereka pun melangkah keluar dan menjabat tangan ketiga orang anak muda itu.

"Datanglah ke banjar nanti malam. Aku akan berada di banjar lama itu. Meskipun malam nanti bukan giliranku meronda, tetapi aku akan datang. Kalian dapat berkenalan dengan anak-anak muda di padukuhan ini meskipun kau hanya akan tinggal di sini untuk sementara”

"Baiklah" jawab Manggada "Nanti malam biarlah kami berdua datang ke banjar”

"Bukankah kalian dapat membantu Kiai Gumrah untuk menyalakan lampu di banjar? Kiai Gumrah sudah semakin tua. Ia masih harus memanjat pohon kelapa pagi dan sore” berkata anak muda yang lain.

"Kami akan melakukannya" jawab Manggada.

Sementara itu Kiai Gumrah menyela "Sejak mereka berada di sini, mereka sama sekali belum pernah ke luar halaman. Kedatangan angger bertiga agaknya dapat memancing mereka keluar dari halaman rumah ini. Setidak-tidaknya membantu aku membersihkan dan menyalakan lampu di banjar lama itu”

"Ya” sahut salah seorang dari mereka "Lambat laun kalian akan mengenal seisi padukuhan ini. Dengan demikian kalian tidak akan canggung lagi berada di sini”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Demikianlah, maka ketiga orang anak muda itu pun telah minta diri. Tetapi seorang di antara mereka masih berpesan "Nah, jangan lupa menyalakan lampu di banjar lama. Dan biarlah kedua cucu Kiai itu membantu Kiai dan bergabung bersama kami”

"Ya, ya ngger" jawab Kiai Gumrah. Sepeninggal anak-anak muda itu, Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Aku benar-benar lupa menyalakan lampu semalam. Untung anak-anak muda itu tidak datang kemari. Jika mereka datang kemari, sementara di rumah ini masih ada Kiai Windu Kusuma, maka persoalannya akan menjadi berkepanjangan. Seisi padukuhan akan tergerak untuk mempersoalkannya”

“Jika mereka lewat di depan banjar, apakah mereka tidak mendengar keributan yang terjadi di halaman rumah ini Kiai?" bertanya Laksana.

“Halaman-halaman rumah di padukuhan ini pada umumnya luas ngger. Apalagi halaman banjar itu, sehingga apa yang terjadi di halaman rumahku yang dibatasi dinding batu meskipun tidak terlalu tinggi itu, agaknya memang tidak diketahui orang, kecuali jika ada sekelompok peronda yang menengok halaman ini dari pintu regol halaman”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk, sementara Kiai Gumrah itu berkata "Nah, anak-anak muda itu sudah minta agar kau bergabung dengan mereka. Karena itu, sebaiknya kalian memang sering datang ke banjar. Kalian dapat menyalakan lampu dan membantu membersihkan banjar itu pagi dan sore”

"Baik Kiai" jawab Laksana dan Manggada hampir berbareng.

"Selanjutnya jika kalian memang sudah berniat tinggal di sini meskipun untuk sementara, kalian tidak perlu menyebutku Kiai lagi. Panggil saja aku dengan kakek, agar pada saat tertentu, kalian tidak keliru menyebutnya!”

Kedua orang anak muda itu mengangguk mengiakan. Mereka memang lebih senang memanggilnya dengan sebutan yang sama agar mereka tidak perlu mengingat-ingat kapan dan dimana mereka harus memanggil kakek dan kapan mereka harus menyebutnya Kiai.

"Terima kasih. Kiai" berkata Manggada "Bagi kami tentu akan lebih baik, kek”

"Nah. begitulah. Mulai nanti malam, maka lampu di banjar adalah tugas kalian. Bukan hanya lampu, tetapi kalian juga harus menjaga kebersihan banjar itu. Seperti yang dikatakan oleh anak-anak muda itu, maka banjar yang lama itu masih tetap dipergunakan meskipun sudah ada yang baru”

"Baik, kek. Banjar lama itu akan menjadi beban tugas kami” jawab Manggada.

"Nah, sekarang, kita selesaikan pekerjaan kita. Aku terlambat mengambil bumbung itu. Tetapi belum terlalu lambat” berkata Kiai Gumrah.

"Jika kakek tidak berkeberatan, kami juga ingin belajar menyadap legen manggar, kek” berkata Laksana ketika Kiai Gumrah mengambil bumbung dan siap pergi ke kebun untuk mengambil bumbung yang tergantung pada manggar kelapa dan menggantinya dengan yang baru.

Kiai Gumrah tertawa. Katanya "Pada saatnya kalian akan belajar menyadap legen”

Manggada dan Laksana tidak berbicara lagi. Sementara itu Kiai Gumrah pun telah pergi ke kebun. Meskipun semalam suntuk orang tua itu tidak tidur, tetapi badannya sama sekali tidak nampak menjadi lesu, sementara Manggada dan Laksana yang muda itu merasa mulai diganggu oleh kantuk.

Selagi seisi rumah itu menjadi sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing, maka Ki Windu Kusuma pun sibuk berbincang dengan orang-orangnya. Putut Sempada yang juga ada di antara mereka hanya dapat mengumpat-umpat. Ia telah kehilangan seorang kawannya yang dianggapnya cukup baik. Niskara yang telah dikoyak-koyak oleh harimau.

"Ternyata orang tua itu telah memelihara harimau jadi-jadian" geram Putut Sempada.

"Belum tentu..." jawab Kiai Windu Kusuma "Mungkin dua ekor harimau kelaparan yang tersesat sampai ke halaman rumah orang tua itu”

"Memang mungkin. Tetapi kemungkinan itu mempunyai kesempatan yang sama dengan kemungkinan yang aku katakan, bahwa orang itu memelihara harimau jadi-jadian. Atau malahan pusaka-pusaka itulah yang telah menjelma menjadi harimau” berkala Putut Sempada.

"Dugaanku belum sampai kesana. Tetapi seandainya demikian, maka pantaslah jika Panembahan menghendaki pusaka-pusaka itu secepatnya...” jawab Kiai Windu Kusuma.

"Tetapi bukankah alasan Panembahan bukan karena pusaka-pusaka itu dapat menjelma menjadi harimau yang garang?" sahut Putut Sempada..

"Ya. Memang bukan. Tetapi apakah kau yakin bahwa apa yang dikatakan oleh Panembahan itu adalah yang sebenarnya?" bertanya Kiai Windu Kusuma.

Putut Sempada menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata "Memang mungkin. Tetapi kita tidak dapat mencurigai Panembahan seperti itu”

"Aku sama sekali tidak mencurigai Panembahan. Tetapi apakah artinya jantung segar yang harus disiapkan jika pusaka-pusaka itu dapat kita kuasai?" bertanya Kiai Windu Kusuma.

"Panembahan mengetahui, bahwa pusaka yang disimpan oleh Kiai Gumrah itu, salah satu di antaranya adalah Kiai Simarengu. Selain itu masih ada songsong yang diberi nama Simariwut. Nah, apakah tidak mungkin bahwa nama yang memang mempunyai arti harimau itu ada hubungannya dengan harimau jadi-jadian yang ada di rumah Kiai Gumrah?"

"Ternyata aku menjadi ragu-ragu. Antara percaya dan tidak. Aku masih mencoba untuk menolak anggapan bahwa ada hubungan antara pusaka-pusaka itu dengan harimau yang ada di rumah itu. Tetapi setiap kali aku teringat tentang pusaka-pusaka itu, nama yang diberikan kepada pusaka-pusaka itu, dan perintah Panembahan untuk menyediakan jantung manusia segar yang harus dikorbankan sebagai makanan pusaka yang bernama Simarengu itu”

Putut Sempada menarik nafas panjang. Katanya "Kita sama-sama ragu. Tetapi baiklah kita kesampingkan keragu-raguan itu”

Kiai Windu Kusuma mengangguk-angguk. Katanya "Ya. Apa pun alasan Panembahan, kita harus mendapatkan pusaka-pusaka itu. Kemudian jantung manusia yang segar dan korban bagi pusaka yang disebut Kiai Simarengu”

"Semuanya itu harus secepatnya kita lakukan" berkata Putut Sempada "karena menurut Panembahan, jika pada purnama bulan dengan korban itu belum diberikan bagi Kiai Simarengu, maka tuahnya akan hilang sama sekali”

Kiai Windu Kusuma menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Ya. Kita memang harus secepatnya menguasai Kiai Simarengu. Sebelum purnama bulan depan ujung tombak itu harus sudah ditanam di dada seseorang. Sudah tentu bukan setiap orang yang berjantung segar yang dapat dikorbankan”

“Itu adalah persoalan Panembahan sendiri. Panembahanlah yang akan menentukan, orang yang bagaimana yang pantas untuk menjadi korbannya itu. Serta upacara apa saja yang harus diselenggarakan. Tugas kita adalah menyediakan pusaka-pusaka itu”

“Tetapi darimana Panembahan tahu tentang pusaka-pusaka itu. Darimana pula ia mengetahui bahwa jika sampai purnama bulan depan pusaka-pusaka itu belum dimandikan dan disediakan korban jantung manusia yang segar tuahnya akan hilang untuk selama-lamanya” pertanyaan itu meluncur dari bibir Kiai Windu Kusuma tanpa disadarinya.

Namun Putut Sempada menyahut "Tidak seorang pun tahu. Tidak pula ada yang tahu bahwa tiba-tiba saja Panembahan dengan mata hatinya sendiri, bahwa di rumah itu tersimpan pusaka-pusaka yang dicarinya untuk waktu yang lama”

Kiai Windu Kusuma mengangguk-angguk. Memang banyak hal yang tidak mereka ketahui tentang Panembahan. Tentang ketajaman penglihatan batinnya serta kepekaan panggaritanya. Karena itu, betapa tingginya ilmu Kiai Windu Kusuma, namun ia tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh orang yang disebutnya Panembahan.

Dalam pada itu, ternyata semua pembicaraan itu terdengar oleh Kundala. Seorang yang hatinya sedang diombang-ambingkan oleh kebingungannya. Kundala seakan-akan sedang berdiri diambang pintu. Terdapat dua tarikan yang sangat kuat menghisapnya keluar dan ke dalam. Seakan-akan ia melihat cahaya putih, di dalam dan cahaya yang hitam di luar tanpa mengetahui sumbernya.

"Gila...!" geram Kundala "Kenapa aku mendengar pembicaraan mereka? Jika aku tidak mendengarnya, aku tidak akan merasa berdosa jika aku tidak mengatakannya kepada Kiai Gumrah”

Namun kemudian sambil menghentakkan tangannya ia berkata "Persetan dengan Kiai Gumrah. Aku adalah pengikut setia Kiai Windu Kusuma. Aku sudah memperingatkan Kiai Gumrah untuk membunuhku agar aku tidak dapat datang justru membunuhnya”

Kundala hanya dapat menggeletakkan giginya, menghentakkan kaki dan tangannya. Namun ia tidak dapat melepaskan diri dari tarikan yang seakan-akan sama kuatnya. Ia merasa berkewajiban untuk tetap setia kepada Kiai Windu Kusuma. Tetapi ia merasa bahwa hidupnya yang tersisa itu sudah bukan miliknya. Tetapi milik Kiai Gumrah, sehingga apa yang diketahuinya rasa-rasanya harus diketahui pula oleh Kiai Gumrah.

"Gila. Agaknya aku sudah gila" desis Kundala sambil memukuli kepalanya sendiri.

Namun Kundala telah berusaha sekuat-kuatnya untuk tidak menunjukkan perubahan sikap dihadapan Kiai Windu Kusuma. Jika gejolak perasaannya itu diketahui oleh Kiai Windu Kusuma, maka ia tidak akan dapat berharap hidup lebih lama lagi.

"Kecuali jika aku melarikan diri dan mengungsikan hidupku pada Kiai Gumrah” berkata Kundala di dalam hatinya.

Tetapi ia tidak akan dapat melakukannya. Jika ia berbuat demikian, maka ia telah menjadi seorang pengkhianat. Namun sebuah pertanyaan tiba-tiba saja seperti petir yang meledak ditelinganya telah mengejutkannya "Apakah aku memang belum berkhianat?"

Kundala tidak dapat berbuat ingkar kepada dirinya sendiri. Bahwa ia telah memberitahukan akan kedatangan orang-orang berilmu tinggi untuk mengambil pusaka-pusaka itu ketika ia menjemput Putut Sempada di pasar, bukankah itu sudah berarti suatu pengkhianatan.

Karena itulah, maka Kundala itu pun telah tenggelam dalam goncangan perasaan. Ia tidak segera dapat menemukan pijakan sikap yang mapan. Yang kemudian dilakukannya adalah sekedar menyembunyikan gejolak perasaannya itu terhadap Kiai Windu Kusuma serta kawan-kawannya, agar ia tidak dihukum mati dihadapan mereka sebagai pengkhianatan.

Namun untuk sementara Kundala masih mempuyai waktu berpikir ulang atas sikapnya. Menurut pembicaraan Kiai Windu Kusuma dan Putut Sempada dengan beberapa orang pengikutnya, agaknya mereka tidak akan langsung mengambil tindakan baru. Kegagalan mereka telah membuat mereka semakin berhati-hati. Ternyata Kiai Gumrah mempunyai beberapa orang kawan yang berilmu tinggi dan yang meragukan mereka adalah sepasang harimau yang tiba-tiba saja ada di halaman rumah Kiai Gumrah.

Sementara Kiai Windu Kusuma membuat perhitungan-perhitungan baru, maka rumah Kiai Gumrah menjadi semakin ramai. Kawan-kawan Kiai Gumrah yang tiga orang itu, berganti-ganti datang mengunjunginya. Tidak saja disiang hari. Tetapi kadang-kadang juga di malam hari. Bahkan kadang-kadang mereka bertiga berkumpul bersama-sama sambil bermain dadu dengan hitungan daun ketela pohon atau daun melinjo. Orang-orang tua itu nampaknya selain berjaga-jaga karena adanya pusaka-pusaka di rumah itu, juga untuk mengisi kekosongan hidup mereka dihari tua.

Manggada dan Laksana bahkan sering bertanya di antara mereka "Apakah orang-orang tua itu tidak berkeluarga di rumah mereka? Apakah mereka tidak mempunyai anak atau cucu atau apa pun?"

Tetapi anak-anak muda itu tidak berani bertanya. Kepada Kiai Gumrah pun mereka juga tidak bertanya tentang keluarganya. Meskipun Kiai Gumrah pernah mengatakan bahwa ia mempunyai anak dan cucu yang tinggal di tempat lain karena anaknya tidak ingin menggantikan tugasnya menjaga banjar lama itu.

Dalam pada itu, memenuhi permintaan anak-anak muda yang pernah datang ke rumah Kiai Gumrah, maka Manggada dan Laksana pun sudah pula sering berada di banjar lama. Di sore hari mereka menyalakan lampu di banjar dan oncor di regol. Di pagi hari keduanya membantu Kiai Gumrah menyapu halaman dan membersihkan ruangan-ruangan banjar lama setelah Kiai Gumrah mengambil dan memasang bumbungnya di manggar batang kelapa.

Dengan demikian maka Manggada dan Laksana mulai berkenalan dan bergaul dengan anak-anak muda di padukuhan itu. Mereka berusaha menyesuaikan diri dengan pergaulan anak-anak muda di padukuhan itu. Di malam hari beberapa orang anak muda kadang-kadang duduk-duduk di banjar lama itu. Bergurau dan mengisi waktu mereka dengan berbagai macam permainan. Terutama mereka yang bertugas ronda pada malam itu.

Di siang hari anak-anak muda kebanyakan bekerja di sawah dan ladang mereka. Jika keadaan mendesak, mereka bersama-sama melakukan kerja untuk kepentingan bersama. Memperbaiki bendungan yang harus sering mereka lakukan. Setiap kebocoran betapa kecilnya harus segera diperbaiki. Jika kebocoran itu menjadi semakin besar, maka mereka akan mengalami kesulitan, apalagi dimusim hujan. Banjir dapat datang setiap saat. Selain bendungan, maka parit-parit pun banyak menuntut pemeliharaan.

Meskipun Kiai Gumrah tidak mempunyai sawah, selain kebunnya yang banyak ditanami pohon kelapa sebagai gantungan hidupnya, namun Kiai Gumrah sendiri juga sering ikut dalam kerja bersama-sama memperbaiki bendungan, parit dan pemeliharaan jalur-jalur air yang menusuk membelah tanah persawahan.

Kehadiran Manggada dan Laksana memang memberikan kesempatan Kiai Gumrah untuk lebih banyak berada di rumahnya, karena kedua orang anak muda itu dapat mewakilinya. Meskipun demikian Kiai Gumrah selalu mengingatkan Manggada dan Laksana agar mereka berhati-hati.

"Orang-orang yang berniat jahat itu mengenal kalian sebagai cucu-cucuku" berkata Kiai Gumrah "Karena itu, mereka akan dapat berbuat jahat terhadap kalian”

"Tetapi setiap kali, kami berada di antara orang banyak, Kiai" jawab Manggada "Aku kira, mereka juga memperhitungkan hal itu”

"Tetapi tentu ada saatnya kalian hanya berdua. Mungkin saat kalian membersihkan banjar atau menyalakan lampu atau pada saat-saat lain. Karena itu dalam keadaan terpaksa, jangan segan-segan membunyikan isyarat”

"Baik, Kiai..." jawab Manggada.

Demikianlah maka hari dan hari pun lewat. Ternyata masih belum ada tanda-tanda bahwa orang-orang yang menginginkan pusaka-pusaka itu kembali. Meskipun demikian, namun kawan-kawan Kiai Gumrah masih saja sering datang ke rumah Ki Gumrah. Kadang-kadang sendiri, berdua atau bahkan bertiga bersama-sama.

Setelah sekian hari berlalu, teka-teki tentang dua ekor harimau itu pun masih tetap belum terpecahkan. Sejak peristiwa itu, maka tidak pernah nampak seekor harimau pun di halaman rumah itu. Atau bahkan di padukuhan itu. Jejaknya pun tidak pernah dilihat orang di padukuhan. Namun setelah agak lama keadaan menjadi tenang, maka tiba-tiba Manggada dan Laksana telah melihat seekor elang yang terbang melayang-layang di atas rumah Kiai Gumrah.

Karena itu, maka ia pun segera berlindung di bawah rimbunnya pepohonan. Sementara itu, Kiai Gumrah agaknya juga melihat burung elang itu. Ia memberi tahukan hal itu kepada Manggada dan Laksana dari kebun kelapanya.

"Hati-hatilah" berkata Kiai Gumrah "Elang itu nampak lagi di langit”

"Ya, Kiai" jawab Manggada.

Namun Kiai Gumrah sendiri sama sekali tidak berusaha untuk berlindung dari pengamatan burung elang itu. Ia masih saja memanjat sebatang pohon kelapa. Tetapi tidak untuk memasang bumbung legen. Kiai Gumrah memanjat sebatang pohon kelapa yang dibiarkannya berbuah untuk mengambil buahnya.

Dalam pada itu, dari balik rimbunnya dedaunan, Manggada dan Laksana berusaha untuk dapat melihat apa yang dilakukan elang itu. Seperti yang pernah dilakukan beberapa saat yang lampau, maka elang itu berputar-putar beberapa kali di atas rumah Kiai Gumrah, menukik dan kembali naik ke ketinggian. Namun beberapa saat kemudian, maka elang itu pun telah terbang menjauh, sehingga akhirnya hilang di langit.

Ketika Kiai Gumrah kemudian turun dari pohon kelapa. Manggada dan Laksana pun telah mendekatinya. Kedua anak muda itu ikut memungut beberapa butir kelapa yang dipetik oleh Kiai Gumrah dari batangnya itu.

"Elang itu berputar-putar, Kiai” desis Laksana.

"Seperti yang pernah dilakukan beberapa saat lalu" jawab Kiai Gumrah "Nampaknya orang-orang itu sudah mulai bersiap-siap untuk bergerak lagi”

"Mereka tentu sudah siap pula untuk melawan dua ekor harimau itu, Kiai" berkata Manggada kemudian.

"Mereka mungkin benar-benar menyangka bahwa kedua ekor harimau itu adalah harimau jadi-jadian. Atau barangkali tombak-tombak atau payung itulah yang dikiranya dapat menjelma menjadi harimau atau dari dalamnya keluar sepasang harimau itu”

"Apa pun yang mereka katakan, tetapi nampaknya harimau itu telah membantu kita. Atau tanpa niat membantu kita, tetapi harimau-harimau itu adalah musuh bebuyutan dari orang-orang yang datang itu sehingga harimau-harimau itu menyerang mereka” sahut Manggada kemudian.

"Apa pun yang akan terjadi, kita harus meningkatkan kewaspadaan kita. Kita berhadapan dengan orang yang berilmu sangat tinggi meskipun mereka kurang memperhitungkan penalaran kita" berkata Manggada kemudian.

"Maksudmu?" bertanya Kiai Gumrah.

"Bukankah burung elang itu telah mengisyaratkan kepada kita agar kita bersiap menghadapi segala kemungkinan?" jawab Manggada meskipun agak ragu.

"Kau benar ngger. Tetapi mungkin juga justru Panembahan itu ingin menakuti kita atau semacam tantangan bagi kita, karena mereka terlalu yakin akan kelebihan mereka” jawab Kiai Gumrah.

Manggada mengangguk-angguk. Sementara Laksana bertanya "Semacam sikap sombong begitu, Kiai?"

"Ya, begitulah. Tetapi kesombongan mereka benar-benar berisi karena mereka memang berilmu tinggi” jawab Kiai Gumrah.

Manggada dan Laksana tidak bertanya lagi. Sementara itu Manggada telah mengupas kelapa-kelapa yang baru saja dipetik itu dengan slumbat, semacam linggis yang ujungnya tajam dan pipih. Namun ketika mereka membawa kelapa-kelapa yang sudah terkupas itu ke dapur, Manggada masih bertanya lagi "Kiai, apakah Kiai tidak berniat untuk membuat hubungan dengan Ki Pandi?"

"Si Bongkok itu?" bertanya Kiai Gumrah.

"Ya, Kiai. Kami masih menghubungkan kedua ekor harimau yang datang itu dengan kedua ekor harimau milik Ki Pandi. Mungkin kedua ekor harimau itu masih mengenali kami berdua, sehingga saat kami pingsan, kami tidak dikoyak-koyaknya seperti Niskara itu”

Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya "Aku tidak tahu di mana Si Bongkok itu berada. Aku memang mengenalinya, tetapi tidak begitu akrab. Meskipun demikian, jika kami bertemu, maka aku akan menjajagi hatinya, apakah ia merasa bersangkut-paut dalam persoalan ini, atau karena Si Bongkok itu sekedar ingin menyelamatkan kalian berdua dari tangan Niskara meskipun akibatnya juga menyelamatkan pusaka-pusaka itu”

Manggada dan Laksana hanya mengangguk-angguk saja. Mereka sadar sepenuhnya bahwa tidak semua dikatakan dengan terbuka oleh Kiai Gumrah. Bagaimana pun juga Kiai Gumrah harus berhati-hati terhadap dua orang anak muda yang belum diketahui dengan pasti asal-usulnya.

Demikianlah, maka ketiga orang itu pun menjadi sibuk memecah dan mencukil kelapa. Kiai Gumrah hari itu ingin membuat minyak kelapa karena minyaknya sudah habis. Selain untuk memasak. Kiai Gumrah juga mempergunakan minyak kelapa untuk lampu di rumahnya dan di banjar. Karena kesibukannya itu, maka hari itu Kiai Gumrah memang tidak pergi menyerahkan gula kelapa kepada juragan gula yang tinggal tidak terlalu jauh dari rumahnya.

"Besok saja akan aku serahkan sekaligus dengan hasil besok pagi" berkata Kiai Gumrah "Hari ini aku masih mempunyai uang cukup. He, bukankah beras masih cukup sampai dua hari lagi?"

"Masih, Kiai” jawab Manggada.

"Baiklah. Biarlah hari ini aku tidak pergi. Aku akan membuat minyak kelapa” berkata Kiai Gumrah kemudian.

Bertiga mereka pun kemudian sibuk mengukur kelapa. Memeras santannya dan kemudian memanasi santan itu agar menjadi minyak. Namun dalam pada itu, Manggada dan Laksana sempat berbicara di antara mereka ketika Kiai Gumrah keluar dari dapur beberapa saat.

"Kiai Gumrah tidak meninggalkan rumahnya bukan karena membuat minyak. Kami dapat melakukannya" berkata Manggada.

"Ya. Tentu elang itu membuatnya berjaga-jaga hari ini dan tentu juga malam nanti" sahut Laksana.

"Ia menanggapi isyarat burung elang itu dengan sungguh-sungguh" desis Manggada.

Keduanya pun terdiam ketika Kiai Gumrah telah berada di dapur itu lagi. Untuk beberapa saat ketiganya terdiam. Mereka sibuk dengan tugas mereka masing-masing di dapur itu. Namun selagi mereka bertiga sibuk, tiba-tiba saja seseorang muncul dari pintu butulan. Sambil tertawa orang itu bertanya,

"He, Kiai Gumrah. Apa yang kau kerjakan hari ini? Kenapa kau tidak menyerahkan gula? Aku menunggu-nunggu sesiang ini sehingga hari ini aku terpaksa tidak pergi ke pasar. Tentu sudah kesiangan. Para pedagang gula telah meninggalkan pasar”

"Aku sedang membuat minyak" berkata Kiai Gumrah.

"Kenapa begitu tergesa-gesa? Bukankah dapat kau lakukan siang nanti? Seandainya minyakmu sudah habis sama sekali, bukankah baru nanti malam minyak itu kau pergunakan”

"Aku akan menggoreng ikan lele. Sebentar lagi aku akan turun ke belumbang" berkata Kiai Gumrah.

Juragan gula yang datang itu ternyata malahan berjongkok di samping Kiai Gumrah yang menunggu santannya yang mendidih. Katanya "Pekerjaan yang menjemukan. Kau harus mengaduk santan itu terus-menerus”

Kiai Gumrah itu mengangguk. Katanya "Aku sudah terbiasa melakukannya” Lalu tiba-tiba katanya kepada Manggada dan Laksana "Ambil kayu bakar lagi, anak-anak”

Manggada dan Laksana pun kemudian bangkit dan melangkah keluar dapur untuk mengambil kayu bakar. Namun sambil memungut kayu bakar Manggada berkata "Juragan gula itu juga melihat elang yang berputaran. Mereka tentu sedang merundingkan apa yang akan mereka lakukan, karena agaknya mereka mulai mendapat isyarat, bahwa Kiai Windu Kusuma atau bahkan Panembahan itu sendiri akan mulai bergerak lagi”

Laksana mengangguk-angguk. Katanya "Kenapa kita tidak boleh mendengar pembicaraan mereka?"

"Tentu ada sebabnya. Mereka tidak ingin membuat kita gelisah, atau mereka memang belum sepenuhnya mempercayai kita” jawab Manggada.

Laksana mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak berbicara lagi. Mereka masing-masing membawa seonggok kayu bakar ke dapur untuk memanasi santan yang dibuat minyak itu. Ketika mereka masuk ke dapur, maka dilihatnya Kiai Gumrah dan juragan gula itu berbincang dengan sungguh-sungguh. Sekilas mereka memandang kedua orang anak muda yang masuk sambil membawa kayu bakar itu. Namun mereka ternyata masih berbincang terus.

Meskipun perlahan-lahan Manggada dan Laksana dapat mendengar juga Kiai Gumrah berkata "Baiklah. Biarlah orang itu di sini untuk satu dua hari.”

Keduanya ternyata tidak berbicara lebih panjang lagi. Juragan gula itu pun bangkit berdiri sambil berkata kepada Manggada dan Laksana "Ngger. Kami memang tidak akan merahasiakan lagi kegelisahan kami. Kalian lihat burung elang itu terbang berputar-putar lagi. Kalian tentu juga dapat menduga maksudnya.”

"Ya Kiai...!" jawab Manggada dan Laksana hampir berbareng.

"Nah, karena itu, maka salah seorang dari antara kami bertiga akan tinggal di rumah ini. Kita memang harus berjaga-jaga. Jika kita masih saja sekedar bermain-main, sementara lawan kita mulai bersungguh-sungguh, maka kita akan dapat terjebak dalam kesulitan yang parah.”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk kecil. Sementara juragan gula itu berkata "Sudahlah, aku minta diri. Malam nanti di rumah ini akan bertambah penghuninya meskipun sebelumnya juga hampir selalu berada di rumah ini.”

Demikian juragan gula itu pergi, maka Kiai Gumrah pun berkata kepada Manggada dan Laksana dengan nada dalam "Aku tidak dapat berpura-pura lagi ngger. Aku dan saudara-saudaraku itu memang menjadi gelisah. Kami benar-benar harus mempertahankan pusaka-pusaka itu. Tetapi jangan bertanya lebih dahulu, apakah aku berbohong atau tidak tentang pusaka-pusaka itu. Yang penting, pusaka-pusaka itu tidak boleh berpindah ke tangan orang lain.”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk pula. Namun tiba-tiba saja Laksana bertanya "Tetapi apakah benar tidak boleh ada pihak lain yang ikut melindungi pusaka-pusaka itu, kek. Misalnya prajurit Pajang atau setidak-tidaknya orang-orang padukuhan ini.”

"Alasanku seperti yang pernah aku katakan ngger. Aku tidak berpura-pura. Kau tentu tahu, jika aku melibatkan orang-orang padukuhan untuk melawan orang-orang berilmu tinggi itu, apakah tidak sama artinya aku menabur maut di padukuhan ini?"

Manggada dan Laksana masih saja mengangguk-angguk. Mereka mengerti bahwa akibatnya memang akan menjadi sangat parah. Sementara itu. Kiai Gumrah juga tidak dapat menyerahkan pusaka-pusaka itu kepada prajurit Pajang.

"Sudahlah. Apa pun yang terjadi, kita akan mempertahankan pusaka-pusaka itu dengan kekuatan dan kemampuan kita sendiri” berkata Kiai Gumrah. Lalu katanya pula "Tetapi sebaiknya malam nanti kau tidak terlalu lama berada di banjar. Sebaiknya setelah beberapa saat berkumpul dengan anak-anak muda jika mereka datang ke banjar, kalian harus segera pulang. Kalian dapat memberi alasan apa saja. Mungkin ada pekerjaan yang harus kalian lakukan, atau salah seorang dari kalian mengatakan bahwa badan kalian sedang tidak enak atau apa pun. Elang yang berputar-putar itu membuat aku menjadi gelisah. Apalagi orang-orang itu tentu sudah mengenal kalian pula...!”

"Baik Kiai...!" jawab Manggada "Kami tidak akan terlalu lama berada di banjar malam nanti...”

Selanjutnya,
Sang Penerus Bagian 07