Sang Penerus Bagian 07 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
TETAPI sebelum matahari turun di sisi Barat belahan langit, Ki Gumrah yang sedang sibuk menuang minyaknya ke dalam guci, terkejut mendengar suara orang memanggilnya sambil mengetuk pintu depan rumahnya. Karena Kiai Gumrah tidak segera menjawab, maka ketukan pintu dan suara yang memanggil namanya itu menjadi semakin keras. Tetapi suara itu terdengar akrab sekali.

Manggada dan Laksana yang sedang membantunya menuang minyak itu termangu-mangu. Sementara Kiai Gumrah berkata. "Lihat, siapa yang datang. Tetapi berhati-hatilah. Pergilah kalian berdua...”

Manggada dan Laksana pun telah pergi ke pintu depan rumahnya. Pintu itu tidak diselarak. Karena itu, maka Manggada pun telah membuka perlahan-lahan, sementara Laksana tetap berhati-hati karena hal-hal yang tidak terduga akan dapat terjadi.

Ketika pintu itu terbuka, maka kedua anak muda itu terkejut. Yang berdiri di muka pintu ternyata tidak hanya seorang saja. Tetapi tiga orang. Seorang laki-laki, seorang perempuan dan seorang gadis yang sedang tumbuh dewasa.

Ternyata bukan saja Manggada dan Laksana yang terkejut. Tetapi ketiga orang yang berdiri di muka pintu itu pun terkejut. Dengan kerut di keningnya, laki-laki yang berdiri di depan pintu itu bertanya, "Bukankah ini rumah Kiai Gumrah?"

Manggada termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawab "Ya paman. Rumah ini rumah Kiai Gumrah”

"Apakah Kiai Gumrah ada?" bertanya orang itu.

"Ada. Kakek sedang menuang minyak. Biarlah aku memanggilnya" sahut Manggada.

"Tetapi siapakah kalian berdua?" bertanya orang itu.

"Kami cucunya, paman" jawab Manggada.

"Cucunya? He, kalian anak siapa?" bertanya perempuan yang berdiri termangu-mangu.

Manggada dan Laksana memang menjadi bingung. Mereka tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu. Namun selagi keduanya berdiri termangu-mangu, maka terdengar suara Kiai Gumrah.

"He, ternyata kalian yang datang. Marilah, masuklah”

Ketiga orang itu pun kemudian melangkah masuk ke ruang dalam. Dengan wajah yang cerah Kiai Gumrah berkata "Marilah. Sudah lama kalian tidak datang melihat rumah ini”

"Kami memang sedang sibuk ayah" jawab laki-laki itu "daerah kami baru saja terserang banjir. Hujan yang tidak berkeputusan telah membuat. Kali Panjer meluap. Untunglah bahwa rumah kami tidak hanyut”

"Sukurlah" Kiai Gumrah mengangguk-angguk "Marilah, duduklah” Kiai Gumrah pun kemudian melangkah mendekati gadis yang sedang tumbuh dewasa itu "Kau sudah besar sekarang nduk. Sudah berapa tahun kau tidak ikut datang kemari. Ketika ayah dan ibumu beberapa waktu yang lalu datang kemari, kau tidak ikut bersama mereka”

"Ayah dan ibu tidak memperbolehkan aku ikut kakek...!” jawab gadis itu.

"Kenapa?" bertanya Kiai Gumrah.

Gadis itu tidak menjawab. Tetapi ia berpaling memandangi laki-laki dan perempuan yang ternyata adalah ayah dan ibunya itu. Ayahnya tersenyum sambil menjawab "Waktu itu kami datang hanya sekedar menengok ayah. Kami hanya bermalam satu malam saja. Anak itu tentu akan kelelahan jika ikut bersama kami”

"Sebenarnya tidak kek. Aku dapat berjalan dengan jarak dua tiga kali lipat jarak yang kami tempuh sampai ke-rumah kakek ini” sahut gadis itu.

Kakeknya tertawa. Katanya "Nah, ayah dan ibumu tidak mau kau menjadi sangat letih. Sekarang ayah dan ibumu agaknya akan bermalam lebih dari satu malam di sini”

"Anak itu pulalah yang memaksa kami untuk datang kemari, ayah" berkata ibunya.

"Bukan. Bukan aku kek" sahut gadis itu "Ayah dan ibu memang ingin menengok kakek”

Kiai Gumrah tertawa berkepanjangan. Katanya kemudian "Duduklah. Duduklah...”

Mereka bertiga pun kemudian duduk di amben yang cukup besar di ruang dalam, sementara Manggada dan Laksana masih berdiri termangu-mangu. Baru sejenak kemudian ayah gadis itu bertanya. "Ayah, siapakah kedua orang anak muda ini? Mereka mengatakan bahwa mereka adalah cucu ayah. Sepengetahuanku cucu ayah hanya seorang saja. Winih ini”

Kiai Gumrah tertawa. Katanya "Keduanya memang cucuku meskipun ayah dan ibunya kedua-duanya bukan anakku!”

"Maksud ayah?" bertanya anaknya.

"Mereka telah tersesat ke rumah ini dalam perjalanannya ke Pajang. Ternyata keduanya kerasan tinggal di sini. Sehingga mereka telah aku anggap sebagai cucuku sendiri” Kiai Gumrah berhenti sejenak, lalu katanya kepada Manggada dan Laksana "Nah, sekarang kau sempat berkenalan dengan anakku. Bukankah aku pernah mengatakan bahwa aku mempunyai seorang anak tetapi sudah lama sekali pergi meninggalkan rumah ini? Sekarang ia datang bersama seluruh keluarganya karena anaknya memang hanya seorang yang dinamainya Winih”

Anak dan menantu Kiai Gumrah itu tertawa. Tetapi Winih menundukkan kepalanya. Sementara Manggada dan Laksana mengangguk hormat. Dengan nada rendah Manggada berkata, "Kami mohon maaf paman. Kami berdua belum mengenal paman sebelumnya”

"Namanya Prawara. Panggil saja paman Prawara!” potong Kiai Gumrah sambil tertawa.

"Jika kalian kemudian dianggap cucu ayahku dan kau juga menganggap ayahku sebagai kakekmu, maka kita sudah menjadi keluarga” namun Prawara itu pun kemudian bertanya "Ayah, jika demikian sebaiknya siapakah yang lebih dituakan. Winih atau kedua anak muda ini?"

"Biarlah Manggada dan Laksana dianggap lebih tua. Umurnya memang lebih tua dari Winih” jawab Kiai Gumrah. Lalu katanya kepada Winih "Nduk, panggil keduanya dengan sebutan, kakang, karena kau dianggap sebagai cucuku yang lebih muda dari mereka”

Seleret Winih memandang Manggada dan Laksana. Namun ia pun kemudian menundukkan kepalanya pula. Ketika Kiai Gumrah kemudian juga duduk di amben itu, ia pun berkata, "Marilah, duduk pulalah di sini”

Manggada dan Laksana menjadi ragu-ragu. Di luar sadarnya Manggada berkata "Kami akan ke dapur Kiai”

"Duduk sajalah dahulu. Biarlah nanti saja kita membuat minuman bagi tamu-tamu kita” jawab Kiai Gumrah.

"Tidak usah ngger!" berkata Nyi Prawara. "Biarlah, nanti aku dan Winih membuatnya sendiri”

Manggada dan Laksana tidak membantah lagi. Mereka duduk di amben yang besar itu pula bersama ketiga orang tamu yang baru datang itu. Kiai Gumrah pun kemudian telah mempertanyakan keselamatan mereka. Keadaan tempat tinggal mereka yang diterpa banjir. Serta perjalanan mereka sampai ke rumah itu.

Sementara itu Ki Prawara pun bertanya pula. "Bagaimana pula keadaan ayah selama ini?"

"Kami baik-baik saja di sini. Kedua anak muda ini telah membantu aku dalam segala hal. Mereka pulalah yang setiap hari membersihkan banjar, menyalakan lampu dan jika di banjar itu hadir anak-anak muda sebelum ke banjar yang baru, maka keduanya ikut pula bersama mereka. Bahkan kedua anak ini dapat mewakili aku melakukan kegiatan di padukuhan ini”

“Sukurlah" Ki Prawara mengangguk-angguk. "kami memang selalu memikirkan keadaan ayah di sini. Bahwa ayah tidak bersedia tinggal bersama kami, membuat kami kadang-kadang gelisah sebagaimana sejak dua pekan terakhir. Akhirnya kami memaksa diri untuk datang betapa pun sibuknya kami mengerjakan sawah dan ladang dimusim seperti ini”

Kiai Gumrah tertawa. Katanya, "Aku sudah menduga bahwa kalian akan datang. Dalam kegelisahan seperti ini, kedatangan kalian dapat sedikit memberikan ketenangan kepada kami”

Ki Prawara mengerutkan keningnya. Di luar sadarnya, dipandanginya Manggada dan Laksana. Namun Kiai Gumrah yang tanggap itu pun berkata "Keduanya telah mengetahui segala-galanya tentang pusaka-pusaka itu. Setidak-tidaknya sebagian besar dari persoalan yang sedang aku hadapi”

Ki Prawara pun menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berkata "Kami datang sesuai dengan pesan ayah”

Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Katanya dengan nada rendah kepada Manggada dan Laksana. "Aku telah memberikan kesan kepada anakku. Ia memang anakku. Bukan dongeng sebagaimana pernah kalian dengar dan kepura-puraan yang pernah kalian lihat terjadi di rumah ini. Kegelisahan yang semakin mencengkam memaksa aku untuk memanggilnya, karena aku berharap bahwa anakku dapat membantuku”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk kecil. Seperti juga Kiai Gumrah dan kawan-kawannya yang berdagang gula itu, maka Ki Prawara itu menilik ujud lahiriahnya tidak lebih dari seorang petani kebanyakan. Pakaiannya, sikapnya dan caranya berbicara. Namun Manggada dan Laksana yakin bahwa Ki Prawara adalah seorang yang tentu juga berilmu tinggi.

Namun dalam pada itu. Nyi Prawara yang sejak semula mendengarkan pembicaraan itu pun berkata. "Ayah, biarlah aku pergi ke dapur untuk merebus air”

Namun Manggadalah yang menyahut "Masih ada air terjerang di atas perapian”

"Kebetulan" jawab Nyi Prawara yang kemudian menggamit Winih "Marilah. Bantu aku membuat minuman”

“Kau dapat mencari mangkuk di paga bambu" berkata Kiai Gumrah

“Biarlah aku mengambilnya" berkata Laksana.

"Tidak" dengan cepat Nyi Prawara menyahut "Duduk sajalah ngger. Biarlah aku dan Winih yang berada di dapur. Bukankah kami berada di rumah ayah sehingga tidak bedanya di rumah sendiri”

Laksana tidak menjawab. Ia pun merasa bahwa Ki Prawara, Nyi Prawara dan Winih adalah keluarga terdekat Kiai Gumrah. Sedangkan ia dan Manggada adalah orang yang tersesat saja sampai ke rumah itu. Sehingga karena itu, maka Nyi Prawara dan winih dapat berbuat lebih banyak di rumah itu. Karena itu, ketika Nyi Prawara dan Winih pergi ke dapur, Laksana tidak beranjak dari tempatnya.

Dalam pada itu Kiai Gumrah pun berkata kepada Manggada dan Laksana, "Baiklah aku berterus terang. Anakku memang memiliki sedikit kemampuan sehingga ia akan dapat membantuku melindungi pusaka-pusaka itu disamping beberapa orang kawan-kawanku, para pedagang gula itu. Seperti pernah aku katakan, bahwa orang-orang yang menghendaki pusaka-pusaka itu mulai bersungguh-sungguh, sehingga kami pun harus mulai bersungguh-sungguh pula. Karena itu, maka kami harus menghimpun segala orang yang akan dapat ikut serta membantuku. Tentu bukan anak-anak muda padukuhan ini, karena hal itu akan dapat berarti menghancurkan mereka pula. Juga bukan para prajurit Pajang, karena mereka akan dapat membuat kebijaksanaan yang tidak sesuai dengan keinginan kita meskipun mereka juga berniat melindungi pusaka-pusaka itu...!”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Kiai Gumrah memang pernah mengatakan hal itu. Tetapi agaknya ia sengaja mengulanginya dihadapan Ki Prawara.

Dalam pada itu, di dapur, Nyi Prawara dan Winih menjadi sibuk membuat minuman. Meskipun mereka tidak terbiasa dengan peralatan dapur Kiai Gumrah, namun mereka pun akhirnya dapat menyiapkan wedang jahe hangat dengan gula kelapa yang banyak terdapat di dapur itu.

Namun dalam pada itu, selagi Nyi Prawara sibuk menyiapkan minuman, ia pun terkejut ketika tiba-tiba seseorang telah berdiri di pintu dapur. Orang itu pun terkejut pula melihat dua orang perempuan di dapur itu.

Namun Nyi Prawara masih juga sempat bertanya "Apakah keperluan Ki Sanak? Siapakah yang Ki Sanak cari?"

Tetapi Winih justru bertanya "Apakah Ki Sanak juga cucu kakek Gumrah?"

"Tidak” jawab orang itu "tetapi aku memang mencari Kiai Gumrah!”

Keduanya memang merasa heran, bahwa orang itu tidak mengetuk pintu depan, tetapi langsung ke pintu dapur. Namun Nyi Prawara itu pun kemudian berkata "Winih, panggil kakekmu”

Winih pun kemudian bergegas masuk ke ruang dalam sambil berkata "Kek, ada tamu”

"Tamu?" bertanya Kiai Gumrah.

"Ya. Orang itu langsung masuk ke dapur" jawab Winih.

Kiai Gumrah mengerutkan dahinya. Namun ia pun kemudian segera bangkit dan melangkah menuju ke dapur. Ternyata Kiai Gumrah pun terkejut. Hampir di luar sadarnya ia berdesis, "Kundala...!”

"Ya, Kiai..." jawab orang itu lirih, seakan-akan hanya untuk didengarnya sendiri saja.

"Marilah, masuklah" Kiai Gumrah mempersilahkan.

"Tidak Kiai..." jawab Kundala "Aku sedang dalam perjalanan menemui seseorang!”

"Siapa?" bertanya Kiai Gumrah.

Kundala memang ragu-ragu. Keningnya telah menitikkan keringat. Bahkan baju dibagian punggungnya pun telah menjadi basah kuyup seakan-akan ia baru saja kehujanan di bulak panjang. Ia memang tidak dapat dengan serta merta menyebutkan sebuah nama.

Kiai Gumrah agaknya tanggap akan kesulitan perasaan Kundala. Karena itu, maka ia tidak mendesaknya. Ia justru bertanya "Barangkali kau mempunyai keperluan dengan aku atau dengan kedua cucuku? Marilah duduklah”

"Tidak Kiai" jawab Kundala "Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin singgah untuk melihat keselamatan Kiai dan cucu-cucu Kiai. Agaknya semuanya selamat di sini. Bahkan mungkin di rumah ini sedang ada tamu”

"Ya. Memang ada tamu di rumah ini. Tetapi mereka adalah keluargaku sendiri”

"Tidak ada yang ingin aku sampaikan kecuali sekedar menengok keselamatan Kiai itulah”

Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada lembut ia berkata "Kundala. Aku tahu bahwa kau berada dalam kebingungan yang sangat. Terserah kepadamu, apakah kau akan mengatakannya atau tidak. Tetapi tentu ada yang mendorongmu untuk singgah di rumahku ini. Aku yakin bahwa itu adalah nuranimu yang untuk waktu yang panjang tentu telah kau timbuni dengan ketamakan, kedengkian dan kepura-puraan. Tetapi kenapa kau justru berusaha menutup telinga hatimu dan membiarkan kepura-puraan itu menguasai dan kemudian menimbuni nuranimu sehingga tenggelam jauh kedasar jiwamu?"

Kundala termangu-mangu sejenak. Tetapi ia mengakui bahwa dorongan nuraninyalah yang telah membawanya singgah ke rumah Kiai Gumrah. Bahkan nuraninya itu pula telah mendorongnya untuk mengatakan kenapa ia telah singgah.

Kiai Gumrah membiarkan Kundala itu termangu-mangu di muka pintu. Keringatnya semakin banyak mengalir membasahi pakaiannya, sementara hatinya telah diguncang-guncang oleh keragu-raguan. Namun akhirnya ia berkata “Kiai. Aku baru saja menemui utusan Panembahan”

"Utusannya?" bertanya Kiai Gumrah.

"Ya Kiai. Utusan Panembahan itu akan berbicara dengan Kiai Windu Kusuma tentang pusaka-pusaka itu” jawab Kundala.

"Kenapa utusan itu tidak langsung menemui Kiai Windu Kusuma?" bertanya Kiai Gumrah.

"Nampaknya memang masih ada jarak antara Panembahan dan Kiai Windu Kusuma meskipun Kiai Windu Kusuma telan berada di bawah pengaruh Panembahan” jawab Kundala.

"Lalu apa tugasmu menemui utusan Panembahan?"

"Kami akan membicarakan pertemuan antara Panembahan dan Kiai Windu Kusuma. Pertemuan langsung itu harus dilakukan tanpa gangguan apa pun juga. Termasuk keselamatan Panembahan itu sendiri. Karena itu. maka penyelenggaraan pertemuan itu harus dilakukan dengan sangat berhati-hati" jawab Kundala.

Kiai Gumrah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya "Apakah Panembahan dan Kiai Windu Kusuma belum pernah melakukan pertemuan itu?"

"Sudah. Sudah beberapa kali. Tetapi di tempat yang jauh dan terpencil. Pertemuan kali ini akan dilakukan di tempat Kiai Windu Kusuma” jawab Kundala pula.

"Di mana tempat itu?"

Kundala tidak menjawab. Ia justru termangu-mangu kebingungan. Sekali-sekali dipandanginya Nyi Prawara yang duduk di amben yang lain di dapur itu. Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Kepada Nyi Prawara ia berkata,

"Ngger. Aku minta tamuku ini juga disuguh minuman yang hangat. Nanti, hidangkan saja minuman yang lain ke ruang dalam. Suamimu tentu sudah haus”

Nyi Prawara seakan-akan tersadar dari sebuah renungan yang dalam. Tergagap ia berkata "Ya, ya. Ayah”

Nyi Prawara pun kemudian telah menyuguhkan minuman hangat kepada Kundala yang tegang. Kemudian ia pun telah membawa minuman ke ruang dalam.

"Ia menantuku" berkata Kiai Gumrah.

Kundala mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata "Aku tidak mempunyai banyak waktu”

"Minumlah...” Kiai Gumrah mempersilahkan.

Kundala pun kemudian meneguk mangkuknya menghirup minuman hangat dengan gula kelapa. Sementara itu Kiai Gumrah berkata "Jadi bagaimana dengan burung-burung elang itu? Apakah burung-burung elang itu dilepaskan oleh Panembahan atau oleh Kiai Windu Kusuma?"

"Seorang pembantu Panembahan yang menjadi serati burung-burung elang itu berada bersama Kiai Windu Kusuma" jawab Kundala meskipun agak ragu.

"Tetapi kaulah yang mendapat tugas untuk menjadi penghubung sebelum pertemuan itu diselenggarakan" desis Kiai Gumrah.

Kundala mengangguk kecil.

"Aku mengucapkan terima kasih atas keteranganmu" berkata Kiai Gumrah "Tetapi apakah masih ada hal lain yang dapat aku ketahui?"

Kundala menjadi semakin tegang. Beberapa kali ia mengusap keningnya yang basah oleh keringat. Pertentangan di dalam dirinya semakin bergejolak. Sekali-sekali terdengar ia berdesah.

Kiai Gumrah membiarkan Kundala dalam kegelisahannya. Bahkan ia pun kemudian mempersilahkan lagi "Minumlah, selagi masih hangat”

Kundala mengangkat mangkuknya. Ia pun menghirup lagi seteguk. Baru kemudian ia berkata "Panembahan nampaknya mengenali pusaka-pusaka yang tersimpan itu dengan baik, Kiai”

"Darimana ia tahu?" bertanya Kiai Gumrah.

Seakan-akan di luar sadar Kundala pun menceriterakan apa yang pernah didengarnya pembicaraan antara Kiai Windu kusuma dengan Putut Sempada tentang pusaka-pusaka yang tersimpan di rumah Kiai Gumrah itu.

Kiai Gumrah pun menarik nafas dalam-dalam. Dengan kerut di kening Kiai Gumrah berkata hampir kepada diri sendiri "Darimana ia mengetahui bahwa di antara pusaka-pusaka itu terdapat Kiai Simarengu dan Kiai Simariwut”

"Entahlah!" Kundala menyahut lirih.

Namun tiba-tiba Kundala itu pun berkata "Sudahlah Kiai. Aku sudah terlalu lama di sini. Aku harus segera kembali agar aku tidak dicurigai oleh Kiai Wmdu Kusuma. Apalagi sekarang dalam beberapa hal aku sudah mulai tersisih. Bukan karena aku dianggap tidak setia, tetapi aku dianggap tidak cukup memiliki kemampuan untuk menghadapi pekerjaan-pekerjaan besar. Namun mudah-mudahan pada suatu saat, aku masih diperlukan oleh Kiai Windukusuma”

Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Katanya "Terima kasih. Keteranganmu sangat penting artinya bagi kami. Hati-hatilah. Mungkin burung elang itu memantau perjalananmu”

"Memang mungkin, tetapi aku tidak melihat burung itu di langit”

"Minumlah dahulu. Aku akan melihat, apakah burung itu terbang atau tidak” berkata Kiai Gumrah yang kemudian keluar dari dapur dan menengadahkan wajahnya. Namun ia pun kemudian masuk lagi ke dapur sambil berkata "Burung itu tidak ada.”

"Baiklah Kiai" berkata Kundala "Aku mohon diri”

"Berhati-hatilah. Kau berada di kandang serigala. Setiap saat serigala-serigala itu. akan dapat menggigitmu” pesan Kiai Gumrah.

Kundala tidak menunggu lebih lama lagi. Ia pun segera minta diri dan meninggalkan Kiai Gumrah yang termangu-mangu.

Ketika kemudian Kiai Gumrah berada di ruang dalam bersama anak, menantu dan cucunya, maka ternyata Kiai Gumrah tidak merahasiakan kehadiran dan pesan-pesan Kundala. Dengan demikian maka Manggada dan Laksana mengambil kesimpulan bahwa Kiai Gumrah mengharap kedatangan anaknya benar-benar untuk membantunya melindungi pusaka-pusaka itu.

Karena itu, maka kedua anak muda itu berkesimpulan bahwa Ki Prawara itu tentu juga seorang yang berilmu tinggi. Jika tidak demikian, maka kehadirannya tentu tidak akan berarti apa-apa. Justru malah membahayakan jiwa Ki Prawara itu sendiri. Apalagi isteri dan anak gadisnya.

Ternyata pesan Kundala itu telah ditanggapi dengan sungguh-sungguh oleh Kiai Gumrah dan Ki Prawara. Mereka memperhitungkan bahwa Panembahan itu akan turun sendiri untuk mengambil pusaka-pusaka itu.

"Lebih dari itu Panembahan itu berniat untuk mengorbankan seseorang. Ia memerlukan jantung seseorang yang masih segar. Bahkan mungkin jantung seseorang yang disyaratkan oleh Panembahan itu” berkata Kiai Gumrah.

"Nampaknya Panembahan itu masih hidup pada jalan yang gelap, pada jaman manusia masih terpisah dari Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Nampaknya Panembahan itu masih belum menyadari kesesatannya, sehingga ia telah mengabdi kepada kegelapan” desis Ki Prawara “Dengan demikian maka ia merupakan manusia yang sangat berbahaya pada jaman seperti ini. Ia sampai hati mengorbankan sesamanya dengan cara yang tidak pantas dan tidak berperi-kemanusiaan sama sekali untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Satu kekuatan yang berasal dari dunia kegelapan”

"Itulah yang kita hadapi sekarang Prawara?” desis Kiai Gumrah "ternyata kita berhadapan dengan kekuatan iblis dalam arti yang sebenarnya”

Manggada pun kemudian sempat menceriterakan dengan singkat, bagaimana seorang Panembahan yang juga memiliki burung-burung elang itu membenamkan Kerisnya di dada gadis-gadis yang masih suci di setiap bulan purnama karena Panembahan itu memuja keris yang dianggapnya sangat bertuah itu. Keris yang jika digenapi mereguk darah gadis-gadis dalam jumlah tertentu akan menjadi keris yang dapat mendukung derajatnya karena tuahnya yang tidak ada bandingnya. Bahkan keris itu akan menjadi pusaka yang paling sakti di muka bumi”

Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam, sementara tengkuk Nyi Prawara terasa meremang. "Sekarang kejahatan seperli itu akan diulangi. Aku yakin bahwa Panembahan yang kau katakan itu adalah Panembahan yang ingin memiliki pusaka-pusaka itu pula. Beberapa pertandanya sama terutama bahwa ia memuja kuasa kegelapan” berkata Kiai Gumrah.

Ki Prawara mengangguk-angguk. Katanya kemudian "Jika demikian kita memang harus menjadi sangat berhati-hati”

Kiai Gumrah mengangguk pula. Katanya "Malam nanti, seorang di antara kita akan berada di rumah ini pula”

"Siapa ayah?" bertanya Ki Prawara.

"Kiai Linggar. Ia akan tidur di rumah ini untuk menjaga kemungkinan buruk yang dapat terjadi” jawab Kiai Gumrah.

"Bagaimana dengan saudara-saudara kita yang lain?" bertanya Prawara

"Hampir semua saudara-saudara kita sudah mengetahui apa yang dapat terjadi di sini. Mereka sudah berada di putaran kejadian sehingga tidak terlalu sulit lagi untuk menghubungi mereka seorang demi seorang, sebagaimana kau sendiri"

Prawara mengangguk-angguk. Panembahan yang disebut-sebut itu telah bersungguh-sungguh pula, sehingga mereka pun harus bersungguh-sungguh sebagaimana Panembahan itu.

Demikianlah, maka sejenak kemudian Nyi Prawara pun telah berada di dapur pula. Ketika Kiai Gumrah akan menyiapkan makan bagi mereka, Nyi Prawara itu berkata, "Bukankah kami, perempuan, lebih pantas untuk berada di dapur?"

"Biasanya aku, Manggada dan Laksanalah yang masak untuk kami sendiri. Aku ajari mereka membumbui bermacam-macam masakan, sehingga sekarang mereka telah dapat melakukannya” berkata Kiai Gumrah.

"Tetapi hari-hari biasa di rumah ini tidak ada seorang perempuan. Sekarang ada dua orang perempuan di sini” sahut Nyi Prawara.

Kiai Gumrah tertawa. Katanya "Baiklah. Jika kau akan memetik sayuran, ambillah di halaman belakang. Daun kacang panjang, so, melinjo dan kroto, atau terung ungu. Jika kau senang sayur rebung, sekaranglah musimnya”

"Baik ayah. Kami akan mengambil bahan-bahan itu sendiri di halaman belakang” jawab Nyi Prawara.

Dengan kehadiran anak, menantu dan cucunya, maka rumah Kiai Gumrah menjadi semakin terasa hidup. Rumah dan halaman yang telah dibersihkan oleh Manggada dan Laksana akan menjadi semakin nampak cerah karena ada tangan-tangan perempuan yang memeliharanya, meskipun hanya untuk sementara.

Dalam pada itu, ketika malam kemudian turun, maka rumah itu menjadi semakin ramai. Ternyata, yang datang ke rumah Kiai Gumrah bukan hanya seorang kawannya yang untuk sementara akan berada. di rumah itu, tetapi, yang datang ternyata ampat orang termasuk juragan gula kelapa itu. Di antara mereka terdapat orang yang telah mengirimkan pesan untuk Ki Prawara.

Ki Prawara telah ikut menyambut tamu-tamu Kiai Gumrah itu. Terdengar suara tertawa yang gembira. Orang-orang tua itu mulai berkelakar dengan ramainya.

"Pesanku kapan sampai kepadamu Prawara?” bertanya salah seorang di antara tamu-tamu Kiai Gumrah.

"Dua hari yang lalu Kiai” jawab Prawara.

"Ternyata pesan itu memerlukan waktu tiga hari untuk sampai ke telingamu”

"Tetapi aku sekarang sudah ada di sini" jawab Prawara.

Sementara itu Kiai Linggar pun berkata "Jika demikian, maka aku tidak perlu lagi berada di tempat ini. Rumah ini akan menjadi penuh sesak. Selain Prawara, isteri dan anak gadisnya, di sini sudah ada dua orang cucu Kiai Gumrah yang lain”

"Ya" Juragan gula itulah yang menjawab "Di sini kau hanya akan memenuhi ruangan dan menghabiskan makanan yang disediakan oleh Nyi Prawara”

Orang-orang tua itu tertawa. Ki Prawara pun tertawa pula. Demikianlah malam itu rumah Kiai Gumrah menjadi ramai. Meskipun mereka tidak bermain dadu, tetapi kehadiran Ki Prawara telah menyerap perhatian tamu-tamu Kiai Gumrah. Ki Prawara ternyata seorang yang pandai menyusun ceritera sehingga hal-hal yang biasa terjadi menjadi sangat menarik. Ia sempat menceriterakan pengalaman hidupnya yang terpisah dari ayahnya untuk waktu yang lama.

Sementara itu, Nyi Prawara dan Winih masih saja sibuk di dapur. Manggada dan Laksana ikut membantunya dan kemudian menghidangkan suguhan ke ruang dalam. Minuman, makanan dan makan malam. Meskipun hanya sayur-sayuran saja, tetapi karena Nyi Prawara pandai memasak, hidangan itu terasa nikmat di mulut tamu-tamu Kiai Gumrah.

Namun menjelang, tengah malam, suara tertawa dan kelakar menjadi semakin susut. Pembicaraan orang-orang tua itu menjadi semakin bersungguh-sungguh. Manggada dan Laksana yang sudah selesai menghidangkan suguhan bagi mereka yang berada di ruang dalam, duduk dibersandar dinding di dapur. Justru karena mereka sudah tidak sibuk lagi, maka mereka mulai merasa kantuk. Karena itu, maka Nyi Prawara pun berkata,

"Duduklah di dalam ngger. Kalian sudah berhak mendengarkan pembicaraan orang-orang tua itu, karena kalian memang sudah memanjat usia dewasa”

Manggada dan Laksana memang menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian Manggada itu pun menyahut "Biarlah kami duduk di sini saja Nyi. Mungkin masih ada yang harus kami kerjakan. Jika minuman para tamu itu habis, maka kami akan menuang lagi”

"Bukankah itu dapat dilakukan oleh Winih?" sahut Nyi Prawara sambil memandang anak gadisnya.

Namun Manggada berkata "Adi winih tentu letih. Bukankah ia baru datang hari ini”

Tetapi Nyi Prawara tertawa, katanya "Ia terbiasa berjalan jauh. Di rumah sehari-hari ia bekerja disawah, sehingga tubuhnya telah terbiasa”

Manggada dan Laksana hanya mengangguk-angguk saja, sementara Winih sendiri memang tidak nampak letih. Juga tidak nampak mengantuk. Ia masih tetap nampak segar. Dalam pada itu, diam-diam Manggada dan Laksana memandangi gadis itu. Gadis itu nampak tegar. Tubuhnya seakan-akan selalu bergerak, apa pun yang dilakukan. Seakan-akan gadis itu tidak dapat duduk diam barang sekejap pun.

Jika ia duduk, maka kakinya atau tangannya yang bergerak-gerak, Meskipun ujudnya Winih telah dewasa, namun wajahnya masih nampak kekanak-kanakan. Tetapi jika sekali-sekali Manggada dan Laksana, sempat memandang matanya, maka di mata itu seakan-akan tersimpan api gejolak jiwanya.

Tetapi Winih masih belum menjadi akrab dengan Manggada dan Laksana. Di antara mereka masih ada jarak, justru karena Manggada dan Laksana adalah anak-anak muda, sedangkan Winih seorang gadis yang sama-sama meningkat dewasa.

Namun dalam pada itu terdengar Kiai Gumrah memanggil Manggada dan Laksana. Ternyata Kiai Gumrah justru ingin Manggada dan Laksana mendengarkan pembicaraan mereka yang mulai bersungguh-sungguh.

"Sayang. Kita semuanya sudah menjadi tua. Satu-satunya orang yang masih terhitung muda adalah kau, Prawara” berkata Kiai Linggar.

"Itulah kelemahan kita!" berkata juragan gula itu "Kita mabuk akan kebanggaan atas diri kita sendiri, sehingga kita lupa, bahwa pada suatu saat kita akan menjadi tua, dan kehilangan landasan kekuatan kewadagan kita. Jika sebentar lagi kita sudah harus merenungi kerapuhan wadag kita, maka orang-orang yang lebih muda masih belum siap untuk menggantikan tugas kita”

"Kiai sekalian masih belum terlambat" berkata Prawara "Masih ada kesempatan untuk menempa mereka yang lebih muda dari kita, atau katakan lebih muda dari aku”

Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Hampir di luar sadarnya mereka memandang Manggada dan Laksana yang sudah duduk di amben itu pula, meskipun agak di belakang. Tetapi Manggada dan Laksana agaknya menundukkan wajah mereka.

Orang-orang tua yang ada di ruang dalam itu tanggap akan maksud Kiai Gumrah. Tetapi mereka masih harus berpikir, "Apakah keduanya bersedia untuk benar-benar, bergabung dengan orang-orang tua itu dalam arti yang sebenarnya. Karena mereka tahu, bahwa anak-anak muda itu sedang dalam perjalanan pulang ke rumah mereka tidak jauh dari Kotaraja.

Namun Prawaralah yang kemudian berkata. "Tetapi yang penting bagi kita adalah persoalan dalam waktu dekat ini. Jika menurut ayah, seorang pengikut Kiai Windu Kusuma yang bernama Kundala telah mengabarkan hal-hal tersebut, berarti bahwa kita harus menanggapinya dengan mengerahkan segenap, kemampuan yang ada pada kita. Untuk waktu yang pendek dan mendesak ini, kita belum sempat memikirkan, siapakah yang akan menjadi penerus kita kemudian. Karena dihadapan kita sekarang ternyata menganga mulut sekelompok buaya yang buas.”

Orang-orang tua itu mengangguk-angguk. Juragan gula itu pun berkata "Untunglah, bahwa ada seseorang yang bernama Kundala. Dengan demikian kita berharap untuk selanjutnya, ia akan dapat membantu kita”

Demikianlah, orang-orang tua itu berbicara berkepanjangan. Namun akhirnya mereka pun menjadi letih. Kiai Linggarlah yang kemudian berkata "Sudahlah. Kami datang untuk mengucapkan selamat datang kepada Prawara. Selain itu, aku pun tidak perlu lagi berada di rumah ini untuk sementara. Karena itu, aku mohon diri”

Ternyata orang-orang tua yang lain pun telah minta diri pula. Juragan gula itu pun berkata "Sudah terlalu malam. Aku kira sudah tidak ada suguhan lagi yang akan dihidangkan. Karena itu, kami akan pulang saja”

Ki Prawara tertawa. Tetapi Kiai Gumrah berkata, "Kalian harus membayar sebanyak yang kalian makan hari ini”

Orang-orang tua itu tertawa. Namun mereka berjalan terus meninggalkan rumah Kiai Gumrah. Demikian mereka keluar dari regol halaman, mereka bertemu dengan beberapa orang anak muda yang sedang meronda. Namun anak-anak muda itu sudah mengenal orang-orang tua itu, sehingga mereka tidak terlalu banyak bertanya-tanya. Tetapi justru kepada Manggada dan Laksana anak-anak muda itu bertanya, kenapa ia tidak pergi ke banjar.

“Kami hanya sekedar menyalakan lampu. Kami harus segera pulang karena di rumah banyak tamu.” jawab Manggada.

"Tetapi bukankah mereka tamu kakekmu?" bertanya salah seorang di antara mereka.

“Ya. Tetapi bukankah harus ada yang merebus air dan menyediakan hidangan meskipun hanya sekedar merebus ketela pohon atau ubi rambat?"

Anak-anak muda itu tersenyum. Seorang di antara mereka berkata "He, jika tersisa bawa ke banjar. Kami akan beristirahat di banjar sebentar”

Laksanalah yang menjawab "Sayang. Yang masih tersisa tinggal gula kelapa”

"Tentu, kakekmu setiap hari membuat gula" sahut salah seorang dari anak-anak muda itu.

Manggada dan Laksana hanya tertawa saja. Namun mereka kemudian justru masuk kembali ke regol halaman dan menutupnya ketika orang-orang tua yang meninggalkan rumah itu sudah menjadi semakin jauh.

Malam itu Manggada dan Laksana harus tidur di amben dapur. Namun bagi mereka berdua sama sekali tidak ada persoalan. Amben yang besar di ruang tengah dipergunakan untuk Ki Prawara, Nyi Prawara dan Winih.

Namun kehadiran Ki Prawara memang membuat Manggada dan Laksana menjadi semakin tenang, karena mereka tahu bahwa Ki Prawara itu tentu memiliki ilmu yang dapat diandalkan sebagaimana dikatakan oleh Kiai Gumrah dan kawan-kawannya.

Ketika kemudian fajar menyingsing, sebagaimana biasa Manggada dan Laksana sudah bangun. Mereka segera pergi ke banjar dan membersihkan halaman banjar, mengisi jambangannya dan memadamkan lampu-lampunya. Baru kemudian mereka pulang untuk membersihkan halaman rumah Kiai Gumrah.

Tetapi ketika mereka memasuki halaman, ternyata bahwa halaman rumah itu sudah menjadi bersih. Mereka masih melihat Winih menyelesaikan pekerjaannya dengan memasukkan sampah ke lubang sampah di sudut halaman.

"Kami terlambat!" berkata Manggada.

"Seberapa luas halaman banjar itu, sehingga kalian berdua baru selesai?" bertanya Winih yang sudah mulai mengatasi keseganan masing-masing.

“Bukan hanya membersihkan halaman." jawab Laksana "Kami harus membersihkan ruangan-ruangan banjar dan mengisi jambangan di pakiwan”

"Oh" Winih mengangguk-angguk "Sebelum kalian datang, apakah semuanya itu dilakukan oleh kakek sendiri?”

"Agaknya memang demikian. Tetapi justru karena itu, maka rumah kakek inilah yang tidak mendapat waktu untuk dibersihkan. Waktu kami datang, nampaknya rumah dan halaman ini jarang disapu sedangkan perabot di dalampun agaknya tidak sempat disentuh tangan. Kakek memang terlalu sibuk. Sedangkan pohon-pohon kelapa itu memerlukan perhatiannya" jawab Manggada.

"Kasihan kakek...!" desis Winih "Jika aku tahu, aku tentu sudah datang jauh sebelum ayah dan ibu mengajak aku kemari...”

Manggada dan Laksana yang kemudian melintas sempat berhenti sejenak. Namun kemudian mereka mulai melangkah lagi melintas halaman samping. Sambil berjalan Manggada pun berdesis "Kami akan mengisi jambangan”

"Ayah sudah mengisinya" sahut Winih.

"Kalau begitu, apa lagi yang harus kami kerjakan? Menyiapkan minuman?" Laksana justru bertanya.

“Ibu sedang sibuk di dapur." jawab Winih.

"Dan kakek?” bertanya Manggada.

"Kakek sudah berada di kebun dengan bumbung-bumbungnya”

Manggada dan Laksana saling berpandangan. Agaknya tugas mereka menjadi ringan oleh kehadiran Ki Prawara dengan keluarganya di rumah itu. Namun dalam pada itu Winih itu pun tiba-tiba berkata, "Bukankah kita tidak mempunyai pekerjaan apa-apa lagi? Bagaimana jika kita pergi ke pasar?"

"Ke pasar?” ulang Manggada.

“Ya. Aku akan minta kepada ibu agar aku saja yang berbelanja di pasar. Tetapi bukankah kalian juga tidak ada kerja di rumah pagi ini? Nah, kita sajalah yang pergi ke pasar”

Manggada dan Laksana memang menjadi ragu-ragu. Mereka memang senang untuk berbelanja bersama Winih yang ceria itu. Namun dengan ragu Manggada berkata “Kami harus minta ijin dahulu kepada kakek.”

"Kakek tentu tidak berkeberatan. Bukan kalian yang berbelanja. Tetapi aku. Bukankah pantas jika aku yang berbelanja? Kalian hanya menemani aku saja" berkata Winih dengan lancar. Seakan-akan mereka sudah akrab sebelumnya.

Manggada dan Laksana masih saja ragu-ragu. Mereka selalu ingat akan pesan Kiai Gumrah, bahwa mereka harus berhati-hati karena orang-orang berilmu tinggi itu sudah mengenal mereka.

"Kenapa kalian ragu-ragu? Apakah kalian merasa malu berjalan bersama seorang gadis?" bertanya Winih.

Manggada dan Laksana justru merasa jantungnya tergetar mendengar pertanyaan itu. Namun mereka menyadari bahwa pertanyaan itu meluncur dari mulut Winih dengan lugu, jujur dan tanpa maksud apa-apa. Karena itu, maka meskipun agak memaksa diri Manggada menjawab.

"Tidak. Soalnya bukan itu. Tetapi kakek selalu berpesan agar kami berhati-hati dalam keadaan yang nampaknya semakin genting ini.”

“Tetapi bukankah itu persoalan kakek, kawan-kawannya dan barangkali ayah. Tetapi itu bukan persoalan kita.”

"Kami berdua sudah terlibat ke dalam persoalan itu.” jawab Laksana.

"Jadi kalian takut pergi ke pasar?" bertanya Winih.

Bagaimana pun juga Manggada dan Laksana tersinggung mendengar pertanyaan itu. Namun justru karena itu, mereka tidak segera menjawab. Tetapi Winih sambil meneruskan kerjanya berdesis seakan-akan kepada diri sendiri "Jika demikian aku akan pergi sendiri ke pasar.”

Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Namun Manggada pun kemudian berkata "Baiklah. Kami akan pergi. Tetapi kami harus minta ijin lebih dahulu kepada kakek.”

Wajah Winih nampak menjadi gembira. Katanya. "Jika demikian aku akan segera mandi. Kita pergi ke pasar selagi masih pagi. Kita akan mendapatkan sayur-sayuran yang masih segar.”

Hampir di luar sadarnya Laksana berkata "Selama ini kami mengambil sayuran di kebun.”

"Tetapi di pasar kita mendapatkan sayuran yang jenisnya jauh lebih banyak dari yang ada di kebun kakek.” jawab Winih.

"Tentu saja" sahut Laksana "Tetapi kita harus membelinya. Di kebun kita tinggal memetik...”

"Aku akan minta uang kepada ibu...!” desis Winih.

Manggada dan Laksana hanya termangu-mangu saja. Sementara itu Winihpuh telah berlari masuk rumah mencari ibunya, sementara, sapunya ditinggalkannya begitu saja....

Selanjutnya,
Sang Penerus Bagian 08

Sang Penerus Bagian 07

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
TETAPI sebelum matahari turun di sisi Barat belahan langit, Ki Gumrah yang sedang sibuk menuang minyaknya ke dalam guci, terkejut mendengar suara orang memanggilnya sambil mengetuk pintu depan rumahnya. Karena Kiai Gumrah tidak segera menjawab, maka ketukan pintu dan suara yang memanggil namanya itu menjadi semakin keras. Tetapi suara itu terdengar akrab sekali.

Manggada dan Laksana yang sedang membantunya menuang minyak itu termangu-mangu. Sementara Kiai Gumrah berkata. "Lihat, siapa yang datang. Tetapi berhati-hatilah. Pergilah kalian berdua...”

Manggada dan Laksana pun telah pergi ke pintu depan rumahnya. Pintu itu tidak diselarak. Karena itu, maka Manggada pun telah membuka perlahan-lahan, sementara Laksana tetap berhati-hati karena hal-hal yang tidak terduga akan dapat terjadi.

Ketika pintu itu terbuka, maka kedua anak muda itu terkejut. Yang berdiri di muka pintu ternyata tidak hanya seorang saja. Tetapi tiga orang. Seorang laki-laki, seorang perempuan dan seorang gadis yang sedang tumbuh dewasa.

Ternyata bukan saja Manggada dan Laksana yang terkejut. Tetapi ketiga orang yang berdiri di muka pintu itu pun terkejut. Dengan kerut di keningnya, laki-laki yang berdiri di depan pintu itu bertanya, "Bukankah ini rumah Kiai Gumrah?"

Manggada termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawab "Ya paman. Rumah ini rumah Kiai Gumrah”

"Apakah Kiai Gumrah ada?" bertanya orang itu.

"Ada. Kakek sedang menuang minyak. Biarlah aku memanggilnya" sahut Manggada.

"Tetapi siapakah kalian berdua?" bertanya orang itu.

"Kami cucunya, paman" jawab Manggada.

"Cucunya? He, kalian anak siapa?" bertanya perempuan yang berdiri termangu-mangu.

Manggada dan Laksana memang menjadi bingung. Mereka tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu. Namun selagi keduanya berdiri termangu-mangu, maka terdengar suara Kiai Gumrah.

"He, ternyata kalian yang datang. Marilah, masuklah”

Ketiga orang itu pun kemudian melangkah masuk ke ruang dalam. Dengan wajah yang cerah Kiai Gumrah berkata "Marilah. Sudah lama kalian tidak datang melihat rumah ini”

"Kami memang sedang sibuk ayah" jawab laki-laki itu "daerah kami baru saja terserang banjir. Hujan yang tidak berkeputusan telah membuat. Kali Panjer meluap. Untunglah bahwa rumah kami tidak hanyut”

"Sukurlah" Kiai Gumrah mengangguk-angguk "Marilah, duduklah” Kiai Gumrah pun kemudian melangkah mendekati gadis yang sedang tumbuh dewasa itu "Kau sudah besar sekarang nduk. Sudah berapa tahun kau tidak ikut datang kemari. Ketika ayah dan ibumu beberapa waktu yang lalu datang kemari, kau tidak ikut bersama mereka”

"Ayah dan ibu tidak memperbolehkan aku ikut kakek...!” jawab gadis itu.

"Kenapa?" bertanya Kiai Gumrah.

Gadis itu tidak menjawab. Tetapi ia berpaling memandangi laki-laki dan perempuan yang ternyata adalah ayah dan ibunya itu. Ayahnya tersenyum sambil menjawab "Waktu itu kami datang hanya sekedar menengok ayah. Kami hanya bermalam satu malam saja. Anak itu tentu akan kelelahan jika ikut bersama kami”

"Sebenarnya tidak kek. Aku dapat berjalan dengan jarak dua tiga kali lipat jarak yang kami tempuh sampai ke-rumah kakek ini” sahut gadis itu.

Kakeknya tertawa. Katanya "Nah, ayah dan ibumu tidak mau kau menjadi sangat letih. Sekarang ayah dan ibumu agaknya akan bermalam lebih dari satu malam di sini”

"Anak itu pulalah yang memaksa kami untuk datang kemari, ayah" berkata ibunya.

"Bukan. Bukan aku kek" sahut gadis itu "Ayah dan ibu memang ingin menengok kakek”

Kiai Gumrah tertawa berkepanjangan. Katanya kemudian "Duduklah. Duduklah...”

Mereka bertiga pun kemudian duduk di amben yang cukup besar di ruang dalam, sementara Manggada dan Laksana masih berdiri termangu-mangu. Baru sejenak kemudian ayah gadis itu bertanya. "Ayah, siapakah kedua orang anak muda ini? Mereka mengatakan bahwa mereka adalah cucu ayah. Sepengetahuanku cucu ayah hanya seorang saja. Winih ini”

Kiai Gumrah tertawa. Katanya "Keduanya memang cucuku meskipun ayah dan ibunya kedua-duanya bukan anakku!”

"Maksud ayah?" bertanya anaknya.

"Mereka telah tersesat ke rumah ini dalam perjalanannya ke Pajang. Ternyata keduanya kerasan tinggal di sini. Sehingga mereka telah aku anggap sebagai cucuku sendiri” Kiai Gumrah berhenti sejenak, lalu katanya kepada Manggada dan Laksana "Nah, sekarang kau sempat berkenalan dengan anakku. Bukankah aku pernah mengatakan bahwa aku mempunyai seorang anak tetapi sudah lama sekali pergi meninggalkan rumah ini? Sekarang ia datang bersama seluruh keluarganya karena anaknya memang hanya seorang yang dinamainya Winih”

Anak dan menantu Kiai Gumrah itu tertawa. Tetapi Winih menundukkan kepalanya. Sementara Manggada dan Laksana mengangguk hormat. Dengan nada rendah Manggada berkata, "Kami mohon maaf paman. Kami berdua belum mengenal paman sebelumnya”

"Namanya Prawara. Panggil saja paman Prawara!” potong Kiai Gumrah sambil tertawa.

"Jika kalian kemudian dianggap cucu ayahku dan kau juga menganggap ayahku sebagai kakekmu, maka kita sudah menjadi keluarga” namun Prawara itu pun kemudian bertanya "Ayah, jika demikian sebaiknya siapakah yang lebih dituakan. Winih atau kedua anak muda ini?"

"Biarlah Manggada dan Laksana dianggap lebih tua. Umurnya memang lebih tua dari Winih” jawab Kiai Gumrah. Lalu katanya kepada Winih "Nduk, panggil keduanya dengan sebutan, kakang, karena kau dianggap sebagai cucuku yang lebih muda dari mereka”

Seleret Winih memandang Manggada dan Laksana. Namun ia pun kemudian menundukkan kepalanya pula. Ketika Kiai Gumrah kemudian juga duduk di amben itu, ia pun berkata, "Marilah, duduk pulalah di sini”

Manggada dan Laksana menjadi ragu-ragu. Di luar sadarnya Manggada berkata "Kami akan ke dapur Kiai”

"Duduk sajalah dahulu. Biarlah nanti saja kita membuat minuman bagi tamu-tamu kita” jawab Kiai Gumrah.

"Tidak usah ngger!" berkata Nyi Prawara. "Biarlah, nanti aku dan Winih membuatnya sendiri”

Manggada dan Laksana tidak membantah lagi. Mereka duduk di amben yang besar itu pula bersama ketiga orang tamu yang baru datang itu. Kiai Gumrah pun kemudian telah mempertanyakan keselamatan mereka. Keadaan tempat tinggal mereka yang diterpa banjir. Serta perjalanan mereka sampai ke rumah itu.

Sementara itu Ki Prawara pun bertanya pula. "Bagaimana pula keadaan ayah selama ini?"

"Kami baik-baik saja di sini. Kedua anak muda ini telah membantu aku dalam segala hal. Mereka pulalah yang setiap hari membersihkan banjar, menyalakan lampu dan jika di banjar itu hadir anak-anak muda sebelum ke banjar yang baru, maka keduanya ikut pula bersama mereka. Bahkan kedua anak ini dapat mewakili aku melakukan kegiatan di padukuhan ini”

“Sukurlah" Ki Prawara mengangguk-angguk. "kami memang selalu memikirkan keadaan ayah di sini. Bahwa ayah tidak bersedia tinggal bersama kami, membuat kami kadang-kadang gelisah sebagaimana sejak dua pekan terakhir. Akhirnya kami memaksa diri untuk datang betapa pun sibuknya kami mengerjakan sawah dan ladang dimusim seperti ini”

Kiai Gumrah tertawa. Katanya, "Aku sudah menduga bahwa kalian akan datang. Dalam kegelisahan seperti ini, kedatangan kalian dapat sedikit memberikan ketenangan kepada kami”

Ki Prawara mengerutkan keningnya. Di luar sadarnya, dipandanginya Manggada dan Laksana. Namun Kiai Gumrah yang tanggap itu pun berkata "Keduanya telah mengetahui segala-galanya tentang pusaka-pusaka itu. Setidak-tidaknya sebagian besar dari persoalan yang sedang aku hadapi”

Ki Prawara pun menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berkata "Kami datang sesuai dengan pesan ayah”

Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Katanya dengan nada rendah kepada Manggada dan Laksana. "Aku telah memberikan kesan kepada anakku. Ia memang anakku. Bukan dongeng sebagaimana pernah kalian dengar dan kepura-puraan yang pernah kalian lihat terjadi di rumah ini. Kegelisahan yang semakin mencengkam memaksa aku untuk memanggilnya, karena aku berharap bahwa anakku dapat membantuku”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk kecil. Seperti juga Kiai Gumrah dan kawan-kawannya yang berdagang gula itu, maka Ki Prawara itu menilik ujud lahiriahnya tidak lebih dari seorang petani kebanyakan. Pakaiannya, sikapnya dan caranya berbicara. Namun Manggada dan Laksana yakin bahwa Ki Prawara adalah seorang yang tentu juga berilmu tinggi.

Namun dalam pada itu. Nyi Prawara yang sejak semula mendengarkan pembicaraan itu pun berkata. "Ayah, biarlah aku pergi ke dapur untuk merebus air”

Namun Manggadalah yang menyahut "Masih ada air terjerang di atas perapian”

"Kebetulan" jawab Nyi Prawara yang kemudian menggamit Winih "Marilah. Bantu aku membuat minuman”

“Kau dapat mencari mangkuk di paga bambu" berkata Kiai Gumrah

“Biarlah aku mengambilnya" berkata Laksana.

"Tidak" dengan cepat Nyi Prawara menyahut "Duduk sajalah ngger. Biarlah aku dan Winih yang berada di dapur. Bukankah kami berada di rumah ayah sehingga tidak bedanya di rumah sendiri”

Laksana tidak menjawab. Ia pun merasa bahwa Ki Prawara, Nyi Prawara dan Winih adalah keluarga terdekat Kiai Gumrah. Sedangkan ia dan Manggada adalah orang yang tersesat saja sampai ke rumah itu. Sehingga karena itu, maka Nyi Prawara dan winih dapat berbuat lebih banyak di rumah itu. Karena itu, ketika Nyi Prawara dan Winih pergi ke dapur, Laksana tidak beranjak dari tempatnya.

Dalam pada itu Kiai Gumrah pun berkata kepada Manggada dan Laksana, "Baiklah aku berterus terang. Anakku memang memiliki sedikit kemampuan sehingga ia akan dapat membantuku melindungi pusaka-pusaka itu disamping beberapa orang kawan-kawanku, para pedagang gula itu. Seperti pernah aku katakan, bahwa orang-orang yang menghendaki pusaka-pusaka itu mulai bersungguh-sungguh, sehingga kami pun harus mulai bersungguh-sungguh pula. Karena itu, maka kami harus menghimpun segala orang yang akan dapat ikut serta membantuku. Tentu bukan anak-anak muda padukuhan ini, karena hal itu akan dapat berarti menghancurkan mereka pula. Juga bukan para prajurit Pajang, karena mereka akan dapat membuat kebijaksanaan yang tidak sesuai dengan keinginan kita meskipun mereka juga berniat melindungi pusaka-pusaka itu...!”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Kiai Gumrah memang pernah mengatakan hal itu. Tetapi agaknya ia sengaja mengulanginya dihadapan Ki Prawara.

Dalam pada itu, di dapur, Nyi Prawara dan Winih menjadi sibuk membuat minuman. Meskipun mereka tidak terbiasa dengan peralatan dapur Kiai Gumrah, namun mereka pun akhirnya dapat menyiapkan wedang jahe hangat dengan gula kelapa yang banyak terdapat di dapur itu.

Namun dalam pada itu, selagi Nyi Prawara sibuk menyiapkan minuman, ia pun terkejut ketika tiba-tiba seseorang telah berdiri di pintu dapur. Orang itu pun terkejut pula melihat dua orang perempuan di dapur itu.

Namun Nyi Prawara masih juga sempat bertanya "Apakah keperluan Ki Sanak? Siapakah yang Ki Sanak cari?"

Tetapi Winih justru bertanya "Apakah Ki Sanak juga cucu kakek Gumrah?"

"Tidak” jawab orang itu "tetapi aku memang mencari Kiai Gumrah!”

Keduanya memang merasa heran, bahwa orang itu tidak mengetuk pintu depan, tetapi langsung ke pintu dapur. Namun Nyi Prawara itu pun kemudian berkata "Winih, panggil kakekmu”

Winih pun kemudian bergegas masuk ke ruang dalam sambil berkata "Kek, ada tamu”

"Tamu?" bertanya Kiai Gumrah.

"Ya. Orang itu langsung masuk ke dapur" jawab Winih.

Kiai Gumrah mengerutkan dahinya. Namun ia pun kemudian segera bangkit dan melangkah menuju ke dapur. Ternyata Kiai Gumrah pun terkejut. Hampir di luar sadarnya ia berdesis, "Kundala...!”

"Ya, Kiai..." jawab orang itu lirih, seakan-akan hanya untuk didengarnya sendiri saja.

"Marilah, masuklah" Kiai Gumrah mempersilahkan.

"Tidak Kiai..." jawab Kundala "Aku sedang dalam perjalanan menemui seseorang!”

"Siapa?" bertanya Kiai Gumrah.

Kundala memang ragu-ragu. Keningnya telah menitikkan keringat. Bahkan baju dibagian punggungnya pun telah menjadi basah kuyup seakan-akan ia baru saja kehujanan di bulak panjang. Ia memang tidak dapat dengan serta merta menyebutkan sebuah nama.

Kiai Gumrah agaknya tanggap akan kesulitan perasaan Kundala. Karena itu, maka ia tidak mendesaknya. Ia justru bertanya "Barangkali kau mempunyai keperluan dengan aku atau dengan kedua cucuku? Marilah duduklah”

"Tidak Kiai" jawab Kundala "Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin singgah untuk melihat keselamatan Kiai dan cucu-cucu Kiai. Agaknya semuanya selamat di sini. Bahkan mungkin di rumah ini sedang ada tamu”

"Ya. Memang ada tamu di rumah ini. Tetapi mereka adalah keluargaku sendiri”

"Tidak ada yang ingin aku sampaikan kecuali sekedar menengok keselamatan Kiai itulah”

Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada lembut ia berkata "Kundala. Aku tahu bahwa kau berada dalam kebingungan yang sangat. Terserah kepadamu, apakah kau akan mengatakannya atau tidak. Tetapi tentu ada yang mendorongmu untuk singgah di rumahku ini. Aku yakin bahwa itu adalah nuranimu yang untuk waktu yang panjang tentu telah kau timbuni dengan ketamakan, kedengkian dan kepura-puraan. Tetapi kenapa kau justru berusaha menutup telinga hatimu dan membiarkan kepura-puraan itu menguasai dan kemudian menimbuni nuranimu sehingga tenggelam jauh kedasar jiwamu?"

Kundala termangu-mangu sejenak. Tetapi ia mengakui bahwa dorongan nuraninyalah yang telah membawanya singgah ke rumah Kiai Gumrah. Bahkan nuraninya itu pula telah mendorongnya untuk mengatakan kenapa ia telah singgah.

Kiai Gumrah membiarkan Kundala itu termangu-mangu di muka pintu. Keringatnya semakin banyak mengalir membasahi pakaiannya, sementara hatinya telah diguncang-guncang oleh keragu-raguan. Namun akhirnya ia berkata “Kiai. Aku baru saja menemui utusan Panembahan”

"Utusannya?" bertanya Kiai Gumrah.

"Ya Kiai. Utusan Panembahan itu akan berbicara dengan Kiai Windu Kusuma tentang pusaka-pusaka itu” jawab Kundala.

"Kenapa utusan itu tidak langsung menemui Kiai Windu Kusuma?" bertanya Kiai Gumrah.

"Nampaknya memang masih ada jarak antara Panembahan dan Kiai Windu Kusuma meskipun Kiai Windu Kusuma telan berada di bawah pengaruh Panembahan” jawab Kundala.

"Lalu apa tugasmu menemui utusan Panembahan?"

"Kami akan membicarakan pertemuan antara Panembahan dan Kiai Windu Kusuma. Pertemuan langsung itu harus dilakukan tanpa gangguan apa pun juga. Termasuk keselamatan Panembahan itu sendiri. Karena itu. maka penyelenggaraan pertemuan itu harus dilakukan dengan sangat berhati-hati" jawab Kundala.

Kiai Gumrah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya "Apakah Panembahan dan Kiai Windu Kusuma belum pernah melakukan pertemuan itu?"

"Sudah. Sudah beberapa kali. Tetapi di tempat yang jauh dan terpencil. Pertemuan kali ini akan dilakukan di tempat Kiai Windu Kusuma” jawab Kundala pula.

"Di mana tempat itu?"

Kundala tidak menjawab. Ia justru termangu-mangu kebingungan. Sekali-sekali dipandanginya Nyi Prawara yang duduk di amben yang lain di dapur itu. Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Kepada Nyi Prawara ia berkata,

"Ngger. Aku minta tamuku ini juga disuguh minuman yang hangat. Nanti, hidangkan saja minuman yang lain ke ruang dalam. Suamimu tentu sudah haus”

Nyi Prawara seakan-akan tersadar dari sebuah renungan yang dalam. Tergagap ia berkata "Ya, ya. Ayah”

Nyi Prawara pun kemudian telah menyuguhkan minuman hangat kepada Kundala yang tegang. Kemudian ia pun telah membawa minuman ke ruang dalam.

"Ia menantuku" berkata Kiai Gumrah.

Kundala mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata "Aku tidak mempunyai banyak waktu”

"Minumlah...” Kiai Gumrah mempersilahkan.

Kundala pun kemudian meneguk mangkuknya menghirup minuman hangat dengan gula kelapa. Sementara itu Kiai Gumrah berkata "Jadi bagaimana dengan burung-burung elang itu? Apakah burung-burung elang itu dilepaskan oleh Panembahan atau oleh Kiai Windu Kusuma?"

"Seorang pembantu Panembahan yang menjadi serati burung-burung elang itu berada bersama Kiai Windu Kusuma" jawab Kundala meskipun agak ragu.

"Tetapi kaulah yang mendapat tugas untuk menjadi penghubung sebelum pertemuan itu diselenggarakan" desis Kiai Gumrah.

Kundala mengangguk kecil.

"Aku mengucapkan terima kasih atas keteranganmu" berkata Kiai Gumrah "Tetapi apakah masih ada hal lain yang dapat aku ketahui?"

Kundala menjadi semakin tegang. Beberapa kali ia mengusap keningnya yang basah oleh keringat. Pertentangan di dalam dirinya semakin bergejolak. Sekali-sekali terdengar ia berdesah.

Kiai Gumrah membiarkan Kundala dalam kegelisahannya. Bahkan ia pun kemudian mempersilahkan lagi "Minumlah, selagi masih hangat”

Kundala mengangkat mangkuknya. Ia pun menghirup lagi seteguk. Baru kemudian ia berkata "Panembahan nampaknya mengenali pusaka-pusaka yang tersimpan itu dengan baik, Kiai”

"Darimana ia tahu?" bertanya Kiai Gumrah.

Seakan-akan di luar sadar Kundala pun menceriterakan apa yang pernah didengarnya pembicaraan antara Kiai Windu kusuma dengan Putut Sempada tentang pusaka-pusaka yang tersimpan di rumah Kiai Gumrah itu.

Kiai Gumrah pun menarik nafas dalam-dalam. Dengan kerut di kening Kiai Gumrah berkata hampir kepada diri sendiri "Darimana ia mengetahui bahwa di antara pusaka-pusaka itu terdapat Kiai Simarengu dan Kiai Simariwut”

"Entahlah!" Kundala menyahut lirih.

Namun tiba-tiba Kundala itu pun berkata "Sudahlah Kiai. Aku sudah terlalu lama di sini. Aku harus segera kembali agar aku tidak dicurigai oleh Kiai Wmdu Kusuma. Apalagi sekarang dalam beberapa hal aku sudah mulai tersisih. Bukan karena aku dianggap tidak setia, tetapi aku dianggap tidak cukup memiliki kemampuan untuk menghadapi pekerjaan-pekerjaan besar. Namun mudah-mudahan pada suatu saat, aku masih diperlukan oleh Kiai Windukusuma”

Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Katanya "Terima kasih. Keteranganmu sangat penting artinya bagi kami. Hati-hatilah. Mungkin burung elang itu memantau perjalananmu”

"Memang mungkin, tetapi aku tidak melihat burung itu di langit”

"Minumlah dahulu. Aku akan melihat, apakah burung itu terbang atau tidak” berkata Kiai Gumrah yang kemudian keluar dari dapur dan menengadahkan wajahnya. Namun ia pun kemudian masuk lagi ke dapur sambil berkata "Burung itu tidak ada.”

"Baiklah Kiai" berkata Kundala "Aku mohon diri”

"Berhati-hatilah. Kau berada di kandang serigala. Setiap saat serigala-serigala itu. akan dapat menggigitmu” pesan Kiai Gumrah.

Kundala tidak menunggu lebih lama lagi. Ia pun segera minta diri dan meninggalkan Kiai Gumrah yang termangu-mangu.

Ketika kemudian Kiai Gumrah berada di ruang dalam bersama anak, menantu dan cucunya, maka ternyata Kiai Gumrah tidak merahasiakan kehadiran dan pesan-pesan Kundala. Dengan demikian maka Manggada dan Laksana mengambil kesimpulan bahwa Kiai Gumrah mengharap kedatangan anaknya benar-benar untuk membantunya melindungi pusaka-pusaka itu.

Karena itu, maka kedua anak muda itu berkesimpulan bahwa Ki Prawara itu tentu juga seorang yang berilmu tinggi. Jika tidak demikian, maka kehadirannya tentu tidak akan berarti apa-apa. Justru malah membahayakan jiwa Ki Prawara itu sendiri. Apalagi isteri dan anak gadisnya.

Ternyata pesan Kundala itu telah ditanggapi dengan sungguh-sungguh oleh Kiai Gumrah dan Ki Prawara. Mereka memperhitungkan bahwa Panembahan itu akan turun sendiri untuk mengambil pusaka-pusaka itu.

"Lebih dari itu Panembahan itu berniat untuk mengorbankan seseorang. Ia memerlukan jantung seseorang yang masih segar. Bahkan mungkin jantung seseorang yang disyaratkan oleh Panembahan itu” berkata Kiai Gumrah.

"Nampaknya Panembahan itu masih hidup pada jalan yang gelap, pada jaman manusia masih terpisah dari Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Nampaknya Panembahan itu masih belum menyadari kesesatannya, sehingga ia telah mengabdi kepada kegelapan” desis Ki Prawara “Dengan demikian maka ia merupakan manusia yang sangat berbahaya pada jaman seperti ini. Ia sampai hati mengorbankan sesamanya dengan cara yang tidak pantas dan tidak berperi-kemanusiaan sama sekali untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Satu kekuatan yang berasal dari dunia kegelapan”

"Itulah yang kita hadapi sekarang Prawara?” desis Kiai Gumrah "ternyata kita berhadapan dengan kekuatan iblis dalam arti yang sebenarnya”

Manggada pun kemudian sempat menceriterakan dengan singkat, bagaimana seorang Panembahan yang juga memiliki burung-burung elang itu membenamkan Kerisnya di dada gadis-gadis yang masih suci di setiap bulan purnama karena Panembahan itu memuja keris yang dianggapnya sangat bertuah itu. Keris yang jika digenapi mereguk darah gadis-gadis dalam jumlah tertentu akan menjadi keris yang dapat mendukung derajatnya karena tuahnya yang tidak ada bandingnya. Bahkan keris itu akan menjadi pusaka yang paling sakti di muka bumi”

Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam, sementara tengkuk Nyi Prawara terasa meremang. "Sekarang kejahatan seperli itu akan diulangi. Aku yakin bahwa Panembahan yang kau katakan itu adalah Panembahan yang ingin memiliki pusaka-pusaka itu pula. Beberapa pertandanya sama terutama bahwa ia memuja kuasa kegelapan” berkata Kiai Gumrah.

Ki Prawara mengangguk-angguk. Katanya kemudian "Jika demikian kita memang harus menjadi sangat berhati-hati”

Kiai Gumrah mengangguk pula. Katanya "Malam nanti, seorang di antara kita akan berada di rumah ini pula”

"Siapa ayah?" bertanya Ki Prawara.

"Kiai Linggar. Ia akan tidur di rumah ini untuk menjaga kemungkinan buruk yang dapat terjadi” jawab Kiai Gumrah.

"Bagaimana dengan saudara-saudara kita yang lain?" bertanya Prawara

"Hampir semua saudara-saudara kita sudah mengetahui apa yang dapat terjadi di sini. Mereka sudah berada di putaran kejadian sehingga tidak terlalu sulit lagi untuk menghubungi mereka seorang demi seorang, sebagaimana kau sendiri"

Prawara mengangguk-angguk. Panembahan yang disebut-sebut itu telah bersungguh-sungguh pula, sehingga mereka pun harus bersungguh-sungguh sebagaimana Panembahan itu.

Demikianlah, maka sejenak kemudian Nyi Prawara pun telah berada di dapur pula. Ketika Kiai Gumrah akan menyiapkan makan bagi mereka, Nyi Prawara itu berkata, "Bukankah kami, perempuan, lebih pantas untuk berada di dapur?"

"Biasanya aku, Manggada dan Laksanalah yang masak untuk kami sendiri. Aku ajari mereka membumbui bermacam-macam masakan, sehingga sekarang mereka telah dapat melakukannya” berkata Kiai Gumrah.

"Tetapi hari-hari biasa di rumah ini tidak ada seorang perempuan. Sekarang ada dua orang perempuan di sini” sahut Nyi Prawara.

Kiai Gumrah tertawa. Katanya "Baiklah. Jika kau akan memetik sayuran, ambillah di halaman belakang. Daun kacang panjang, so, melinjo dan kroto, atau terung ungu. Jika kau senang sayur rebung, sekaranglah musimnya”

"Baik ayah. Kami akan mengambil bahan-bahan itu sendiri di halaman belakang” jawab Nyi Prawara.

Dengan kehadiran anak, menantu dan cucunya, maka rumah Kiai Gumrah menjadi semakin terasa hidup. Rumah dan halaman yang telah dibersihkan oleh Manggada dan Laksana akan menjadi semakin nampak cerah karena ada tangan-tangan perempuan yang memeliharanya, meskipun hanya untuk sementara.

Dalam pada itu, ketika malam kemudian turun, maka rumah itu menjadi semakin ramai. Ternyata, yang datang ke rumah Kiai Gumrah bukan hanya seorang kawannya yang untuk sementara akan berada. di rumah itu, tetapi, yang datang ternyata ampat orang termasuk juragan gula kelapa itu. Di antara mereka terdapat orang yang telah mengirimkan pesan untuk Ki Prawara.

Ki Prawara telah ikut menyambut tamu-tamu Kiai Gumrah itu. Terdengar suara tertawa yang gembira. Orang-orang tua itu mulai berkelakar dengan ramainya.

"Pesanku kapan sampai kepadamu Prawara?” bertanya salah seorang di antara tamu-tamu Kiai Gumrah.

"Dua hari yang lalu Kiai” jawab Prawara.

"Ternyata pesan itu memerlukan waktu tiga hari untuk sampai ke telingamu”

"Tetapi aku sekarang sudah ada di sini" jawab Prawara.

Sementara itu Kiai Linggar pun berkata "Jika demikian, maka aku tidak perlu lagi berada di tempat ini. Rumah ini akan menjadi penuh sesak. Selain Prawara, isteri dan anak gadisnya, di sini sudah ada dua orang cucu Kiai Gumrah yang lain”

"Ya" Juragan gula itulah yang menjawab "Di sini kau hanya akan memenuhi ruangan dan menghabiskan makanan yang disediakan oleh Nyi Prawara”

Orang-orang tua itu tertawa. Ki Prawara pun tertawa pula. Demikianlah malam itu rumah Kiai Gumrah menjadi ramai. Meskipun mereka tidak bermain dadu, tetapi kehadiran Ki Prawara telah menyerap perhatian tamu-tamu Kiai Gumrah. Ki Prawara ternyata seorang yang pandai menyusun ceritera sehingga hal-hal yang biasa terjadi menjadi sangat menarik. Ia sempat menceriterakan pengalaman hidupnya yang terpisah dari ayahnya untuk waktu yang lama.

Sementara itu, Nyi Prawara dan Winih masih saja sibuk di dapur. Manggada dan Laksana ikut membantunya dan kemudian menghidangkan suguhan ke ruang dalam. Minuman, makanan dan makan malam. Meskipun hanya sayur-sayuran saja, tetapi karena Nyi Prawara pandai memasak, hidangan itu terasa nikmat di mulut tamu-tamu Kiai Gumrah.

Namun menjelang, tengah malam, suara tertawa dan kelakar menjadi semakin susut. Pembicaraan orang-orang tua itu menjadi semakin bersungguh-sungguh. Manggada dan Laksana yang sudah selesai menghidangkan suguhan bagi mereka yang berada di ruang dalam, duduk dibersandar dinding di dapur. Justru karena mereka sudah tidak sibuk lagi, maka mereka mulai merasa kantuk. Karena itu, maka Nyi Prawara pun berkata,

"Duduklah di dalam ngger. Kalian sudah berhak mendengarkan pembicaraan orang-orang tua itu, karena kalian memang sudah memanjat usia dewasa”

Manggada dan Laksana memang menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian Manggada itu pun menyahut "Biarlah kami duduk di sini saja Nyi. Mungkin masih ada yang harus kami kerjakan. Jika minuman para tamu itu habis, maka kami akan menuang lagi”

"Bukankah itu dapat dilakukan oleh Winih?" sahut Nyi Prawara sambil memandang anak gadisnya.

Namun Manggada berkata "Adi winih tentu letih. Bukankah ia baru datang hari ini”

Tetapi Nyi Prawara tertawa, katanya "Ia terbiasa berjalan jauh. Di rumah sehari-hari ia bekerja disawah, sehingga tubuhnya telah terbiasa”

Manggada dan Laksana hanya mengangguk-angguk saja, sementara Winih sendiri memang tidak nampak letih. Juga tidak nampak mengantuk. Ia masih tetap nampak segar. Dalam pada itu, diam-diam Manggada dan Laksana memandangi gadis itu. Gadis itu nampak tegar. Tubuhnya seakan-akan selalu bergerak, apa pun yang dilakukan. Seakan-akan gadis itu tidak dapat duduk diam barang sekejap pun.

Jika ia duduk, maka kakinya atau tangannya yang bergerak-gerak, Meskipun ujudnya Winih telah dewasa, namun wajahnya masih nampak kekanak-kanakan. Tetapi jika sekali-sekali Manggada dan Laksana, sempat memandang matanya, maka di mata itu seakan-akan tersimpan api gejolak jiwanya.

Tetapi Winih masih belum menjadi akrab dengan Manggada dan Laksana. Di antara mereka masih ada jarak, justru karena Manggada dan Laksana adalah anak-anak muda, sedangkan Winih seorang gadis yang sama-sama meningkat dewasa.

Namun dalam pada itu terdengar Kiai Gumrah memanggil Manggada dan Laksana. Ternyata Kiai Gumrah justru ingin Manggada dan Laksana mendengarkan pembicaraan mereka yang mulai bersungguh-sungguh.

"Sayang. Kita semuanya sudah menjadi tua. Satu-satunya orang yang masih terhitung muda adalah kau, Prawara” berkata Kiai Linggar.

"Itulah kelemahan kita!" berkata juragan gula itu "Kita mabuk akan kebanggaan atas diri kita sendiri, sehingga kita lupa, bahwa pada suatu saat kita akan menjadi tua, dan kehilangan landasan kekuatan kewadagan kita. Jika sebentar lagi kita sudah harus merenungi kerapuhan wadag kita, maka orang-orang yang lebih muda masih belum siap untuk menggantikan tugas kita”

"Kiai sekalian masih belum terlambat" berkata Prawara "Masih ada kesempatan untuk menempa mereka yang lebih muda dari kita, atau katakan lebih muda dari aku”

Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Hampir di luar sadarnya mereka memandang Manggada dan Laksana yang sudah duduk di amben itu pula, meskipun agak di belakang. Tetapi Manggada dan Laksana agaknya menundukkan wajah mereka.

Orang-orang tua yang ada di ruang dalam itu tanggap akan maksud Kiai Gumrah. Tetapi mereka masih harus berpikir, "Apakah keduanya bersedia untuk benar-benar, bergabung dengan orang-orang tua itu dalam arti yang sebenarnya. Karena mereka tahu, bahwa anak-anak muda itu sedang dalam perjalanan pulang ke rumah mereka tidak jauh dari Kotaraja.

Namun Prawaralah yang kemudian berkata. "Tetapi yang penting bagi kita adalah persoalan dalam waktu dekat ini. Jika menurut ayah, seorang pengikut Kiai Windu Kusuma yang bernama Kundala telah mengabarkan hal-hal tersebut, berarti bahwa kita harus menanggapinya dengan mengerahkan segenap, kemampuan yang ada pada kita. Untuk waktu yang pendek dan mendesak ini, kita belum sempat memikirkan, siapakah yang akan menjadi penerus kita kemudian. Karena dihadapan kita sekarang ternyata menganga mulut sekelompok buaya yang buas.”

Orang-orang tua itu mengangguk-angguk. Juragan gula itu pun berkata "Untunglah, bahwa ada seseorang yang bernama Kundala. Dengan demikian kita berharap untuk selanjutnya, ia akan dapat membantu kita”

Demikianlah, orang-orang tua itu berbicara berkepanjangan. Namun akhirnya mereka pun menjadi letih. Kiai Linggarlah yang kemudian berkata "Sudahlah. Kami datang untuk mengucapkan selamat datang kepada Prawara. Selain itu, aku pun tidak perlu lagi berada di rumah ini untuk sementara. Karena itu, aku mohon diri”

Ternyata orang-orang tua yang lain pun telah minta diri pula. Juragan gula itu pun berkata "Sudah terlalu malam. Aku kira sudah tidak ada suguhan lagi yang akan dihidangkan. Karena itu, kami akan pulang saja”

Ki Prawara tertawa. Tetapi Kiai Gumrah berkata, "Kalian harus membayar sebanyak yang kalian makan hari ini”

Orang-orang tua itu tertawa. Namun mereka berjalan terus meninggalkan rumah Kiai Gumrah. Demikian mereka keluar dari regol halaman, mereka bertemu dengan beberapa orang anak muda yang sedang meronda. Namun anak-anak muda itu sudah mengenal orang-orang tua itu, sehingga mereka tidak terlalu banyak bertanya-tanya. Tetapi justru kepada Manggada dan Laksana anak-anak muda itu bertanya, kenapa ia tidak pergi ke banjar.

“Kami hanya sekedar menyalakan lampu. Kami harus segera pulang karena di rumah banyak tamu.” jawab Manggada.

"Tetapi bukankah mereka tamu kakekmu?" bertanya salah seorang di antara mereka.

“Ya. Tetapi bukankah harus ada yang merebus air dan menyediakan hidangan meskipun hanya sekedar merebus ketela pohon atau ubi rambat?"

Anak-anak muda itu tersenyum. Seorang di antara mereka berkata "He, jika tersisa bawa ke banjar. Kami akan beristirahat di banjar sebentar”

Laksanalah yang menjawab "Sayang. Yang masih tersisa tinggal gula kelapa”

"Tentu, kakekmu setiap hari membuat gula" sahut salah seorang dari anak-anak muda itu.

Manggada dan Laksana hanya tertawa saja. Namun mereka kemudian justru masuk kembali ke regol halaman dan menutupnya ketika orang-orang tua yang meninggalkan rumah itu sudah menjadi semakin jauh.

Malam itu Manggada dan Laksana harus tidur di amben dapur. Namun bagi mereka berdua sama sekali tidak ada persoalan. Amben yang besar di ruang tengah dipergunakan untuk Ki Prawara, Nyi Prawara dan Winih.

Namun kehadiran Ki Prawara memang membuat Manggada dan Laksana menjadi semakin tenang, karena mereka tahu bahwa Ki Prawara itu tentu memiliki ilmu yang dapat diandalkan sebagaimana dikatakan oleh Kiai Gumrah dan kawan-kawannya.

Ketika kemudian fajar menyingsing, sebagaimana biasa Manggada dan Laksana sudah bangun. Mereka segera pergi ke banjar dan membersihkan halaman banjar, mengisi jambangannya dan memadamkan lampu-lampunya. Baru kemudian mereka pulang untuk membersihkan halaman rumah Kiai Gumrah.

Tetapi ketika mereka memasuki halaman, ternyata bahwa halaman rumah itu sudah menjadi bersih. Mereka masih melihat Winih menyelesaikan pekerjaannya dengan memasukkan sampah ke lubang sampah di sudut halaman.

"Kami terlambat!" berkata Manggada.

"Seberapa luas halaman banjar itu, sehingga kalian berdua baru selesai?" bertanya Winih yang sudah mulai mengatasi keseganan masing-masing.

“Bukan hanya membersihkan halaman." jawab Laksana "Kami harus membersihkan ruangan-ruangan banjar dan mengisi jambangan di pakiwan”

"Oh" Winih mengangguk-angguk "Sebelum kalian datang, apakah semuanya itu dilakukan oleh kakek sendiri?”

"Agaknya memang demikian. Tetapi justru karena itu, maka rumah kakek inilah yang tidak mendapat waktu untuk dibersihkan. Waktu kami datang, nampaknya rumah dan halaman ini jarang disapu sedangkan perabot di dalampun agaknya tidak sempat disentuh tangan. Kakek memang terlalu sibuk. Sedangkan pohon-pohon kelapa itu memerlukan perhatiannya" jawab Manggada.

"Kasihan kakek...!" desis Winih "Jika aku tahu, aku tentu sudah datang jauh sebelum ayah dan ibu mengajak aku kemari...”

Manggada dan Laksana yang kemudian melintas sempat berhenti sejenak. Namun kemudian mereka mulai melangkah lagi melintas halaman samping. Sambil berjalan Manggada pun berdesis "Kami akan mengisi jambangan”

"Ayah sudah mengisinya" sahut Winih.

"Kalau begitu, apa lagi yang harus kami kerjakan? Menyiapkan minuman?" Laksana justru bertanya.

“Ibu sedang sibuk di dapur." jawab Winih.

"Dan kakek?” bertanya Manggada.

"Kakek sudah berada di kebun dengan bumbung-bumbungnya”

Manggada dan Laksana saling berpandangan. Agaknya tugas mereka menjadi ringan oleh kehadiran Ki Prawara dengan keluarganya di rumah itu. Namun dalam pada itu Winih itu pun tiba-tiba berkata, "Bukankah kita tidak mempunyai pekerjaan apa-apa lagi? Bagaimana jika kita pergi ke pasar?"

"Ke pasar?” ulang Manggada.

“Ya. Aku akan minta kepada ibu agar aku saja yang berbelanja di pasar. Tetapi bukankah kalian juga tidak ada kerja di rumah pagi ini? Nah, kita sajalah yang pergi ke pasar”

Manggada dan Laksana memang menjadi ragu-ragu. Mereka memang senang untuk berbelanja bersama Winih yang ceria itu. Namun dengan ragu Manggada berkata “Kami harus minta ijin dahulu kepada kakek.”

"Kakek tentu tidak berkeberatan. Bukan kalian yang berbelanja. Tetapi aku. Bukankah pantas jika aku yang berbelanja? Kalian hanya menemani aku saja" berkata Winih dengan lancar. Seakan-akan mereka sudah akrab sebelumnya.

Manggada dan Laksana masih saja ragu-ragu. Mereka selalu ingat akan pesan Kiai Gumrah, bahwa mereka harus berhati-hati karena orang-orang berilmu tinggi itu sudah mengenal mereka.

"Kenapa kalian ragu-ragu? Apakah kalian merasa malu berjalan bersama seorang gadis?" bertanya Winih.

Manggada dan Laksana justru merasa jantungnya tergetar mendengar pertanyaan itu. Namun mereka menyadari bahwa pertanyaan itu meluncur dari mulut Winih dengan lugu, jujur dan tanpa maksud apa-apa. Karena itu, maka meskipun agak memaksa diri Manggada menjawab.

"Tidak. Soalnya bukan itu. Tetapi kakek selalu berpesan agar kami berhati-hati dalam keadaan yang nampaknya semakin genting ini.”

“Tetapi bukankah itu persoalan kakek, kawan-kawannya dan barangkali ayah. Tetapi itu bukan persoalan kita.”

"Kami berdua sudah terlibat ke dalam persoalan itu.” jawab Laksana.

"Jadi kalian takut pergi ke pasar?" bertanya Winih.

Bagaimana pun juga Manggada dan Laksana tersinggung mendengar pertanyaan itu. Namun justru karena itu, mereka tidak segera menjawab. Tetapi Winih sambil meneruskan kerjanya berdesis seakan-akan kepada diri sendiri "Jika demikian aku akan pergi sendiri ke pasar.”

Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Namun Manggada pun kemudian berkata "Baiklah. Kami akan pergi. Tetapi kami harus minta ijin lebih dahulu kepada kakek.”

Wajah Winih nampak menjadi gembira. Katanya. "Jika demikian aku akan segera mandi. Kita pergi ke pasar selagi masih pagi. Kita akan mendapatkan sayur-sayuran yang masih segar.”

Hampir di luar sadarnya Laksana berkata "Selama ini kami mengambil sayuran di kebun.”

"Tetapi di pasar kita mendapatkan sayuran yang jenisnya jauh lebih banyak dari yang ada di kebun kakek.” jawab Winih.

"Tentu saja" sahut Laksana "Tetapi kita harus membelinya. Di kebun kita tinggal memetik...”

"Aku akan minta uang kepada ibu...!” desis Winih.

Manggada dan Laksana hanya termangu-mangu saja. Sementara itu Winihpuh telah berlari masuk rumah mencari ibunya, sementara, sapunya ditinggalkannya begitu saja....

Selanjutnya,
Sang Penerus Bagian 08