X6P58KpuBfdX9YvoDfejjA12jdjgThuq3ef2E1Tb
Sonny Ogawa
Kumpulan Cerita Silat Online Indonesia dan Mandarin

Menjenguk Cakrawala Bagian 01

Cerita Silat Indonesia Serial Arya Manggada episode Menjenguk Cakrawala Bagian 01 Karya SH Mintardja
Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
LANGIT bersih ketika matahari mulai turun ke balik cakrawala. Satu-satu bintang mulai nampak memancar. Namun senja menjadi semakin gelap.

Dua orang anak muda justru berjalan menyusup memasuki sebuah hutan yang lebat. Keduanya tanpa ragu-ragu menerobos kegelapan, di antara pohon-pohon raksasa yang tumbuh di antara semak-semak yang pepat. Sudah menjadi kebiasaan mereka berdua, dalam saat-saat tertentu mereka memasuki hutan yang lebat untuk berburu.

Tidak seperti yang dilakukan oleh kebanyakan pemburu. Keduanya tidak terlalu tegang menghadapi binatang-binatang hutan yang mungkin justru menyerang lebih dahulu sebelum diburu. Bahkan binatang yang paling buas sekalipun.

Seperti biasanya, keduanya berada di dalam hutan hampir semalam suntuk. Mereka sama sekali tidak merasa terganggu oleh gelapnya malam. Penglihatan mereka yang terlatih menjadi seakan-akan lebih tajam dari penglihatan orang kebanyakan. Seolah-olah penglihatan mereka dapat menembus kegelapan yang betapapun pekatnya. Dibantu oleh ketajaman penglihatan batin mereka, maka mereka seakan-akan tidak ubahnya berjalan di siang hari.

Lewat tengah malam keduanya telah berhasil menangkap seekor harimau loreng yang besar. Kedua anak muda itu telah berhasil membunuh binatang itu dengan pisau di tangan masing-masing, sebagaimana sering mereka lakukan. Meskipun kedua anak muda itu terluka pula di tubuh mereka, namun mereka seakan-akan tidak merasakan betapa pedihnya.

Menjelang dini hari kedua anak muda itu telah memasuki regol halaman rumah mereka. Rumah yang sederhana, meskipun nampak lengkap. Sebuah pendapa yang tidak begitu besar, pringgitan dan rumah yang sebenarnya. Di belakang terdapat sebuah longkangan kecil. Kemudian sebuah bangunan lagi yang dipergunakan sebagai dapur. Di sebelah dapur terdapat kandang sepasang lembu yang biasa dipergunakan untuk bekerja di sawah dan pategalan.

Ketika mereka memasuki longkangan lewat pintu butulan yang diselarak dari dalam, namun sedemikian sehingga kedua anak muda itu dapat membuka dari luar, maka merekapun mendapati dapur itu masih sepi. Perapian masih belum menyala dan belum ada orang yang menjerang air.

“Kita datang lebih pagi dari pekan yang lalu” berkata seorang di antara kedua orang anak muda itu.

“Ya. Nampaknya kita memang lebih cepat berhasil hari ini” sahut yang lain.

“Kita sempat beristirahat sebentar” gumam yang pertama.

Yang lain tidak menjawab. Namun setelah meletakkan tubuh harimau hasil buruan mereka di longkangan, maka merekapun telah membaringkan diri di sebuah amben bambu yang agak besar di dapur. Ternyata kedua anak muda yang letih itu telah tertidur.

Ketika mereka terbangun, mereka melihat perapian telah menyala dan airpun telah dijerang. Namun mereka tidak melihat seorangpun yang berada di dapur. Sementara itu, langitpun mulai menjadi terang oleh cahaya pagi yang mulai memancar dari ujung timur.

Meskipun mereka tidak melihat siapapun di dapur, tetapi kedua anak muda yang sebaya itu tahu benar, siapakah yang telah menyalakan api di perapian dan siapakah yang telah menjerang air.

Karena itu, maka kedua anak muda itupun telah pergi ke pakiwan untuk membersihkan diri dan untuk selanjutnya melakukan kewajiban mereka masing-masing.

Baru ketika matahari mulai memanjat semakin tinggi, anak-anak muda itu mulai menguliti hasil buruan mereka. Yang terpenting dari hasil buruan itu adalah justru kulitnya. Setiap kali ada pedagang yang lewat melalui padukuhan itu untuk mencari bermacam-macam barang yang dapat dibelinya dan dijualnya kembali di kota-kota yang ramai. Antara lain adalah kulit harimau.

Pedagang itu biasanya tidak memilih. Harimau loreng, harimau tutul atau harimau hitam lekam yang sering terdapat di dahan-dahan pepohonan. Satu jenis harimau yang disebut harimau kumbang yang dapat memanjat pepohonan, sehingga harimau kumbang termasuk harimau yang berbahaya.

Agaknya tidak seperti biasanya, menjelang tengah hari, maka kedua anak muda itu telah dipanggil menghadap oleh Ki Citrabawa, ayah dari salah seorang anak muda yang berburu harimau itu.

“Kemarilah, Laksana” panggil Ki Citrabawa.

Laksana, anaknya, termangu-mangu sejenak. Sementara itu ayahnya berkata, “Ajak Manggada bersamamu”

Laksana mengangguk. Iapun kemudian memanggil Manggada untuk bersamanya menghadap Ki Citrabawa.

“Kita selesaikan dulu kulit harimau ini” sahut Manggada.

“Ayah memanggil kita sekarang” berkata Laksana.

Manggada mengerutkan keningnya. Ia merasakan sesuatu yang lain. Namun dengan demikian, maka Manggadapun merasa bahwa pamannya itu tentu mempunyai kepentingan yang mendesak. Karena itu, maka Manggada pun kemudian telah meletakkan pekerjaannya, membersihkan diri dan kemudian menghadap pamannya bersama adik sepupunya, Laksana.

“Marilah, duduklah” berkata Ki Citrabawa.

Kedua anak muda itu pun telah duduk menghadap di sebuah amben yang besar. Keduanya menundukkan kepala ketika mereka melihat wajah Ki Citrabawa nampak bersungguh-sungguh.

“Anak-anakku” berkata Ki Citrabawa, “aku berbangga bahwa kalian mempunyai ketrampilan yang tinggi setelah kalian menempa diri dengan ilmu kanuragan. Kalian berhasil berburu harimau dengan cara yang khusus, sehingga kalian mempunyai kemampuan berburu melampaui pemburu yang manapun juga”

Kedua anak muda itu masih menundukkan kepalanya. Namun mereka merasa bahwa tekanan kata-kata Ki Citrabawa itu agak berbeda dari kebiasaannya.

Sementara itu Ki Citrabawa melanjutkan, “Bahkan kalian berdua mampu menangkap dan membunuh seekor harimau tanpa senjata apapun. Kalian jarang sekali mempergunakan pisau yang kalian bawa. Hanya dalam keadaan yang terpaksa dan gawat sajalah kalian mempergunakan pisau kalian” Ki Citrabawa berhenti sejenak. Karena kedua anak muda itu masih saja menundukkan kepalanya, maka Ki Citrabawa pun berkata selanjutnya, “Aku tahu, bahwa kulit harimau yang utuh, tidak ada bekas tusukan senjata yang dapat melubangi kulit, harganya lebih mahal daripada kulit harimau yang telah cacat.”

Kedua anak muda itu masih saja berdiam diri sambil menunduk.

“Meskipun demikian” berkata Ki Citrabawa selanjutnya, “ada sesuatu yang ingin aku katakan kepada kalian. Jika kalian meneruskan pekerjaan kalian berburu harimau, maka pada suatu saat apa yang kau lakukan itu akan dapat mengganggu keseimbangan alam.”

Hampir berbareng kedua anak muda itu mengangkat wajahnya. Sementara itu Ki Citrabawa berkata selanjutnya, “Dari hari ke hari jumlah harimau akan semakin susut jauh lebih cepat dari putaran alam itu sendiri. Sehingga pada suatu saat, maka jumlah harimau menjadi jauh dari mencukupi untuk berlangsungnya keseimbangan alam di dalam hutan itu.”

Kedua anak muda itu saling berpandangan sejenak. Namun Laksanalah yang bertanya kepada ayahnya, “Jadi, apakah kita harus membiarkan saja jumlah harimau bertambah tanpa hitungan, sehingga membahayakan para petani? Bukan saja ternak yang hilang, tetapi pernah terjadi, petanilah yang telah diterkam oleh harimau.”

“Tentu tidak” berkata Ki Citrabawa. “Tetapi juga tidak dibenarkan membunuh harimau tanpa hitungan seperti yang kalian lakukan. Kalian memang mendapat uang cukup untuk memenuhi bukan saja kebutuhan kalian, tetapi juga membantu meringankan kebutuhan kami sekeluarga. Tetapi aku minta kalian menghentikan pembunuhan-pembunuhan itu. Aku kira apa yang kalian lakukan telah cukup”

Kedua anak muda itu tidak yakin akan pendengarannya. Namun Ki Citrabawa mengulanginya, “Harimau itu adalah harimau terakhir yang kau bunuh”

Kedua anak muda itu termangu-mangu. Namun Ki Citrabawa telah mengatakannya. Mereka tidak lagi diperkenankan berburu harimau. Namun Ki Citrabawapun berkata, “Tetapi bukan berarti bahwa kalian harus membiarkan saja jika kalian melihat seorang petani diterkam oleh seekor harimau. Bagaimanapun juga dalam keadaan yang demikian, nyawa petani itu memang harus diselamatkan. Jika perlu, dengan terpaksa sekali, kalian memang harus membunuh harimau itu”

Anak-anak muda itu sama sekali tidak menyahut. Mereka tidak berani membantah perintah itu. Bagi kedua anak muda itu, Ki Citrabawa bukan saja ayah dan paman mereka. Tetapi Ki Citrabawa adalah guru mereka.

Untuk beberapa saat kedua anak muda itu tertunduk diam. Terbayang masa-masa yang panjang tanpa kesibukan. Mereka hanya melakukan pekerjaan mereka sehari-hari sebagaimana orang lain melakukannya. Bangun pagi-pagi, menyapu halaman, mengisi jambangan di pakiwan, pergi ke sawah dan mencari kayu bakar.

Agaknya Ki Citrabawa dapat membaca perasaan kedua anak muda itu. Katanya, “Anak-anak muda, aku mengerti, bahwa kalian menginginkan sesuatu yang dapat memberikan kesibukan kepada kalian. Tetapi berburu harimau tidak ada bedanya dengan pergi ke sawah. Apa yang kalian lakukan hari ini, tidak ubahnya dengan apa yang kalian lakukan pekan yang lalu, pekan sebelumnya, dan hari-hari sebelum itu”

Kedua anak muda itu tiba-tiba saja telah tersentuh hatinya. Ketika keduanya mengangkat wajahnya, maka Ki Citrabawa berkata, “Agaknya memang sudah datang waktunya bagi kalian untuk memandang dunia ini dari jarak yang lebih dekat”

“Maksud Paman?” tiba-tiba saja Manggada bertanya.

“Anak-anak” suara Ki Citrabawa merendah, “kalian sudah cukup lama berada di padukuhan ini”

“Aku memang anak padukuhan ini, Ayah” sahut Laksana.

Ki Citrabawa tersenyum. Katanya, “Baiklah. Menurut pendapatku, kalian telah cukup menimba pengetahuan di padukuhan ini. Kalian telah mempelajari berbagai macam tatanan kehidupan. Kalian telah mempelajari berbagai macam pengetahuan termasuk kesusastraan sejauh jangkauanku, karena aku sendiri adalah seorang yang berpendidikan rendah. Dan kalian juga mempelajari ilmu kanuragan. Jika kalian tetap berada disini, maka ilmu kalian tidak akan berkembang. Aku telah memberikan dasar pengetahuanku dengan tuntas. Kalian harus mengembangkannya sendiri, sehingga justru pada suatu saat, ilmu kalian akan melampaui ilmuku. Tentu saja dengan perkembangannya yang kalian padukan dengan pengalaman kalian sendiri”

Kedua anak muda itu saling berpandangan sejenak. Secercah cahaya membayang di wajah anak-anak muda itu. Mereka mengerti maksud Ki Citrabawa, bahwa yang dikatakan itu adalah isyarat bahwa mereka diperkenankan untuk menempuh perjalanan, meninggalkan padukuhan itu untuk mengenal lingkungan baru.

Sementara itu Ki Citrabawa berkata selanjutnya, “Namun segala sesuatunya terserah kepada kalian. Apakah kalian memiliki keinginan untuk melihat suasana di luar padukuhan ini atau tidak. Jika kalian sudah merasa puas melihat ujung ke ujung padukuhan ini, sawah dan ladang serta pategalan dan hutan diseberang padang perdu, maka akupun tidak akan memaksa kalian keluar dari padukuhan ini”

Kedua anak muda itu menjadi berdebar-debar. Untuk beberapa saat mereka saling berdiam diri. Namun kemudian Manggada memberanikan diri untuk berkata, “Paman, jika benar Paman mengijinkan kami menempuh satu perjalanan, karena kewajiban kami disini sudah selesai, maka sebenarnyalah aku ingin melihat kampung halamanku. Aku memang sudah rindu kepada ayah dan ibu”

Ki Citrabawa tersenyum. Katanya, “Tentu saja kau boleh mengunjungi ayah dan ibumu. Bahkan seandainya kalau belum menyelesaikan kewajibanmu disini untuk mempelajari berbagai macam ilmu sekalipun, jika kau ingin, kau boleh pulang untuk waktu tertentu. Apalagi sekarang, kau sudah menyelesaikannya, meskipun hanya sejumput kecil karena memang hanya itu yang dapat aku berikan kepada kalian. Semisal air di dalam mangkuk, semuanya sudah aku tuang sampai kering”

“Terima kasih, Paman” desis Manggada. “Dengan demikian, maka aku ingin mohon ijin untuk pulang. Sebenarnyalah aku sudah ingin sekali bertemu dengan ayah dan ibu serta melihat kampung halamanku”

Ki Citrabawa belum sempat menjawab ketika Laksana memotong, “Ayah, aku boleh ikut Kakang Manggada bukan?”

Ki Citrabawa memandang anaknya dengan kerut di kening. Namun kemudian iapun menarik nafas dalam-dalam.

“Bukankah Ayah mengatakan bahwa aku sudah terlalu tua untuk tetap berada di padepokan ini? Ketika aku masih anak-anak, bahkan menjelang remaja, aku pernah mengunjungi rumah paman. Tetapi itu sudah lama. Bahkan sejak Kakang Manggada berada disini, aku belum pernah mengunjunginya lagi” berkata Laksana.

Ki Citrabawa tidak melarang anaknya untuk pergi. Tetapi iapun masih berkata, “Kau harus minta ijin dahulu kepada ibumu”

“Ayah sajalah yang mengatakannya” jawab Laksana. “Jika aku sendiri yang minta ijin itu kepada ibu, maka ibu akan melarangnya”

Ayahnya tersenyum. Katanya, “Baiklah. Aku akan mengatakannya kepada ibumu”

Demikianlah, betapapun beratnya, namun akhirnya Nyi Citrabawa terpaksa melepaskan anaknya pergi meninggalkan padukuhan bersama dengan Manggada. Sebagaimana seekor anak burung yang telah ditumbuhi bulu-bulu pada sayapnya, terbang meninggalkan sarangnya untuk terbang berputar menjenguk batas cakrawala.

Sebagaimana anak-anak muda yang untuk pertama kalinya akan menempuh perjalanan tanpa orang tuanya atau orang lain yang lebih tua, maka mereka harus mempersiapkan diri mereka sebaik-baiknya.

Di malam hari menjelang keberangkatan kedua anak muda itu, Ki Citrabawa suami isteri telah memberikan banyak sekali pesan kepada mereka. Meskipun setiap kesempatan keduanya selalu memberikan petunjuk-petunjuk bagi hari-hari yang bakal mereka lalui.

“Menurut perhitungan lahiriah, maka masa depan kalian masih panjang. Jangan kau sandarkan masa depan kalian kepada orang lain. Tetapi kalian mempunyai kebebasan untuk menentukannya. Namun kebebasan kalian bukan kebebasan yang mutlak”

Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Mereka menyadari, bahwa ada kekuasaan yang berada di luar kemampuan penalaran manusia. Akhirnya saat itupun tiba. Kedua anak muda itu telah bersiap untuk berangkat meninggalkan rumah Ki Citrabawa.

Kedua orang suami isteri itu melepaskan anak dan kemanakannya di regol halaman, sementara beberapa orang pembantu rumah itupun ikut pula melepas mereka.

Sanggar di halaman samping rumah itu akan menjadi sepi. Nyi Citrabawa berusaha untuk bertahan agar matanya tidak menjadi basah. Ia harus melepas anak dan kemanakannya itu dengan wajah yang cerah, agar anak dan kemanakannya yang akan menempuh perjalanan itu, tidak terpengaruh karenanya.

“Kapan kalian pulang?” bertanya Nyi Citrabawa dengan suara yang agak bergetar.

“Setelah kami membuktikan kepada Ayah dan Ibu, apa yang telah aku dapatkan di rumah Paman ini” jawab Manggada.

Pamannya tersenyum. Dengan nada lembut ia berkata, “Itulah yang aku cemaskan. Kalian tidak perlu menunjukkan kepada siapapun tentang apa yang telah kalian dapatkan disini. Kalian tidak perlu mencari sasaran pembuktian itu, karena ilmu yang kalian pelajari bukan ilmu yang harus kalian pamerkan kepada siapapun juga. Bukankah kau ingat pesan itu?”

“Ya, ya, Paman” suara Manggada menjadi gagap.

“Nah, mumpung masih pagi, berangkatlah” berkata Ki Citrabawa.

Setelah mencium tangan Nyi Citrabawa, anak dan kemanakannya itupun telah melangkah meninggalkan rumah yang selama itu menjadi tempat mereka berteduh di panasnya matahari dan di basahnya hujan yang tertumpah dari langit.

Meskipun sudah lama mereka lakukan, tetapi kedua anak muda itu pernah menempuh perjalanan dari rumah Ki Citrabawa sampai ke rumah kakak Ki Citrabawa itu, ayah Manggada yang tinggal tidak terlalu jauh dari batas kota Pajang. Perjalanan yang akan mereka tempuh selama dua hari dua malam.

Kedua anak muda itupun menyadari, bahwa mereka harus bermalam dua malam di perjalanan. Memang mereka dapat memperpendek perjalanan mereka jika mereka berjalan cepat dan tidak terlalu sering berhenti. Tetapi kedua anak muda itu memang memutuskan untuk berjalan seenaknya saja dan tidak akan memaksa diri jika mereka merasa letih.

Beberapa saat kemudian, maka kedua anak muda itu telah keluar dari padukuhan. Mereka mulai memandang ke seberang bulak panjang di hadapan mereka. Hampir setiap hari mereka berjalan melewati jalan itu jika mereka pergi ke sawah. Namun rasa-rasanya jalan itu masih belum banyak mereka kenal justru pada saat mereka akan menempuh perjalanan jauh.

Beberapa orang kawan-kawan mereka yang mereka temui di sepanjang jalan selalu bertanya, mereka akan pergi kemana?

“Aku akan menengok ayah dan ibu” jawab Manggada.

Jawaban yang diucapkan sebanyak pertanyaan yang diterimanya. Namun ketika mereka mulai melintasi padukuhan demi padukuhan, maka merekapun telah memasuki lingkungan yang benar-benar hampir tidak pernah mereka lalui. Jika mereka pernah melewati jalan itu, maka itu sudah lama sekali mereka lakukan.

Sementara itu, mataharipun telah melintasi puncaknya dan perlahan-lahan turun di sebelah barat.

“Apakah kita akan berjalan terus?” bertanya Laksana.

“Maksudmu?” bertanya Manggada.

“Aku mulai merasa lapar” jawab Laksana.

Manggada tersenyum. Katanya, “Maksudmu kita akan berhenti di sebuah kedai?”

Laksana justru tertawa. Katanya, “Apakah kau tidak lapar? Lihat, matahari mulai turun”

“Baiklah. Kita singgah sebentar”

Keduanyapun kemudian mulai memperhatikan bangunan-bangunan yang ada di pinggir jalan. Mungkin mereka akan menjumpai sebuah kedai yang memadai untuk melepaskan haus dan lapar. Di sebuah padukuhan yang agak besar, mereka memang mendapatkan sebuah kedai yang besar di simpang empat di jalan induk padukuhan itu.

“Kita singgah sebentar di kedai itu” desis Laksana.

Manggada mengangguk. Desisnya, “Mudah-mudahan masakannya cukup sesuai dengan seleraku”

Laksana tertawa. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Keduanyapun kemudian telah memasuki kedai itu. Beberapa orang telah ada di dalamnya pula. Mereka nampaknya sedang sibuk dengan makanan dan minuman masing-masing, sehingga mereka tidak menghiraukan Manggada dan Laksana, yang kemudian duduk di sudut.

Beberapa saat kemudian keduanyapun telah menghadapi masing-masing semangkuk minuman panas dan semangkuk nasi serta kelengkapannya.

“Nampaknya pemilik kedai ini seleranya cukup baik” berkata Laksana.

Manggada tertawa. Katanya, “Ya. Aku sependapat”

Namun sebelum mereka sempat makan sampai separonya, tiba-tiba suasana yang tenang di dalam kedai itu berubah. Beberapa orang telah bangkit. Tergesa-gesa membayar dan meninggalkan kedai itu.

Manggada dan Laksana masih saja termangu-mangu. Mereka tidak tahu apa yang telah terjadi. Karena itu, maka mereka masih tetap berada di tempatnya.

Dalam pada itu, seorang yang sudah melampaui pertengahan abad dengan tergesa-gesa lewat di dekat keduanya sambil berbisik, “Anak-anak muda, tinggalkan kedai ini. Yang datang itu adalah orang yang berbahaya”

“Kenapa?” bertanya Laksana.

“Ia adalah orang yang merasa dirinya berkuasa disini” jawab orang itu sambil meninggalkan kedai itu dengan tergesa-gesa lewat pintu samping. Namun di luar dinding masih terdengar orang itu berkata, “Bukankah kau orang asing disini?”

Manggada menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Marilah. Kita tinggalkan tempat ini”

Tetapi Laksana justru telah berbisik, “He, kebetulan sekali. Bukankah kita belum pernah mencoba kemampuan kita? Selama ini kita telah berlatih dengan sungguh-sungguh mempergunakan kemampuan kita untuk, menangkap harimau dan binatang buruan yang lain. Tetapi kita belum pernah membenturkan kekuatan dan kemampuan ilmu kita dengan kekuatan yang sebenarnya dari ilmu yang lain”

“Bukankah paman mengatakan bahwa hal itu tidak perlu?” berkata Manggada.

“Tetapi apa gunanya kita berlatih bertahun-tahun jika kita sekali-kali tidak mencoba mempergunakannya?” bertanya Laksana.

“Kita harus menurut perintah guru” jawab Manggada. “Kita tidak perlu menyombongkan diri”

“Kita tidak menyombongkan diri. Kita berlaku wajar saja. Tetapi jika orang itu memperlakukan kita justru tidak wajar, maka kita tidak akan lari” jawab Laksana.

“Tetapi kita sudah berniat berbuat sesuatu untuk menunjukkan kemampuan kita” desis Manggada.

Tetapi nampaknya Laksana tidak sependapat dengan Manggada. Sehingga katanya, “Duduk sajalah. Kita tidak berbuat apa-apa. Jika mereka juga tidak berbuat apa-apa atas kita, maka tidak akan terjadi apa-apa”

Manggada menarik nafas dalam-dalam. Tetapi seperti adik sepupunya, maka Manggadapun tidak beranjak dari tempatnya.

Orang yang telah memberikan peringatan kepada kedua anak muda itu memang menunggu dari agak jauh. Namun ia menjadi berdebar-debar, karena ia tidak melihat kedua anak muda itu keluar pada saat empat orang bertubuh tinggi tegap dan berwajah garang telah berdiri di pintu kedai itu.

“Anak-anak yang keras kepala” desis orang yang telah berumur lebih dari setengah abad itu.

“Ada apa?” bertanya seorang kawannya yang juga telah meninggalkan kedai itu.

“Dua orang anak muda itu masih berada di dalam kedai. Keduanya tidak tahu, bahwa keempat orang itu tidak senang jika masih ada orang lain di dalam kedai yang mereka masuki” jawab orang yang sudah separo baya itu.

“Anak-anak itu tidak tahu” jawab kawannya. “Tetapi dilihatnya kurang baik bagi keduanya”

“Aku sudah membisikkan kepada mereka. Tetapi karena aku sendiri tergesa-gesa, maka aku kira keduanya tidak mendengar jelas, sehingga keduanya tidak meninggalkan tempatnya” berkata orang yang sudah separo baya itu.

Kawannya mengangguk-angguk, namun keduanya nampak menjadi semakin cemas ketika keempat orang itu memasuki kedai yang baru saja mereka tinggalkan.

Pemilik kedai itupun menjadi berdebar-debar. Ia memang tidak sempat memberitahukan kepada kedua orang anak muda yang masih ada di dalam kedai itu. Sehingga karena itu, maka kedainya masih belum kosong sepenuhnya.

Keempat orang itupun kemudian duduk di dua amben bambu yang berhadapan. Sedangkan di antara dua amben bambu itu terdapat sebuah geledeg bambu yang rendah untuk meletakkan berbagai macam makanan yang tersedia di dalam warung itu.

Namun demikian mereka mulai duduk, maka perhatian mereka mulai tertuju kepada Manggada dan Laksana yang nampaknya memang tidak menghiraukan mereka berempat. Mereka masih saja makan dan sekali-sekali meneguk minuman mereka.

Keempat orang itu berpandangan sejenak. Seorang di antara mereka kemudian telah memberi isyarat kepada pemilik kedai itu untuk mendekat. Dengan ragu-ragu pemilik kedai itu melangkah mendekati keempat orang yang berwajah garang itu. Jantungnya memang terasa berdegupan semakin cepat. Pemilik kedai itu telah mengenal sifat dan watak keempat orang yang memasuki kedainya itu.

Demikian pemilik kedai itu mendekat, maka iapun ditarik oleh salah seorang di antara keempat orang itu dan dipaksanya duduk di dekatnya. Rasa-rasanya jantungnya memang akan terlepas. Dengan tegang ia duduk sambil menundukkan kepalanya.

“Kau mengenal kami?” bertanya orang yang menariknya duduk.

“Ya, ya, Kiai” jawab orang itu gagap.

“Jika demikian, kenapa tidak kau lakukan kebiasaan yang telah berlaku untuk waktu yang lama di kedaimu ini? Kami tidak mau terganggu oleh orang lain di kedai ini. Kami tidak mau melihat wajah-wajah jelek dan kotor dari siapapun juga” geram orang itu.

“Ya, ya, Kiai” jawab pemilik kedai itu semakin ketakutan.

“Nah. Kali ini aku berbaik hati dengan memberi kesempatan kepada kedua tikus-tikus kecil itu untuk pergi. Aku dan kawan-kawanku hari ini justru sedang menunggu tamu-tamu kami yang terhormat. Kaupun harus merasa mendapat kehormatan, bahwa kedaimu telah kami pilih untuk menerima tamu kami itu” berkata orang itu. “Tetapi kaupun harus menyesuaikan diri dengan mempersiapkan diri kedai ini sebaik-baiknya”

“Baik, baik, Kiai” jawab pemilik kedai itu.

Orang yang dipanggil Kiai itupun mengangguk-angguk. Katanya, “Cepat, lakukan sebelum tamu-tamuku itu datang”

Pemilik kedai itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan jantung yang berdebaran iapun telah bangkit dan melangkah mendekati Manggada dan Laksana yang tidak menghiraukan apa yang telah terjadi itu.

Sebenarnyalah bahwa keempat orang yang memasuki kedai itupun merasa heran melihat sikap kedua anak muda yang sama sekali tidak menghiraukan kehadiran mereka. Mungkin kedua orang itu memang bukan orang yang pernah singgah di kedai itu, dan tidak mengetahui apa yang biasa mereka lakukan. Tetapi bahwa keduanya nampak acuh tidak acuh saja itulah yang telah menumbuhkan pertanyaan di hati mereka.

“Anak-anak muda” berkata pemilik kedai itu, “aku minta maaf bahwa aku terpaksa minta agar kalian meninggalkan kedai ini. Mungkin kalian telah mendengar, bahwa di kedai ini akan hadir beberapa orang tamu terhormat dari keempat orang itu”

Laksanalah yang dengar serta-merta menjawab, “Bukankah masih banyak tempat disini? Jangan paksa kami makan dan minum dengan tergesa-gesa”

“Sudahlah” berkata Manggada, “kita sudah cukup kenyang”

“Aku belum” jawab Laksana yang justru telah memesan lagi. “Beri aku semangkuk nasi megana”

Pemilik kedai itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kedai ini akan aku tutup, anak muda. Kami akan menerima tamu. Sayang sekali, kami tidak dapat melayani anak muda berdua sebaik-baiknya. Mudah-mudahan lain kali kami dapat berbuat lebih baik”

“Siapa yang kau maksud dengan kami?” bertanya Laksana.

Pemilik kedai itu memang menjadi berdebar-debar. Tetapi iapun menjawab, “Kami yang mengurus kedai ini. Termasuk aku dan beberapa orang pelayanku”

Laksana tidak menjawab. Tetapi ia justru berkata hampir berteriak, “Nasi megana satu mangkuk lagi. Wedang jahe dengan gula kelapa semangkuk dan he, kenapa tidak kalian sediakan jenang alot disini?”

“Anak muda” potong pemilik kedai itu.

“Tuak. Aku minta tuak sebumbung besar” Laksana semakin berteriak.

Manggada menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sudah mengenal sifat dan watak adik sepupunya. Jika demikian maka setiap usaha untuk mencegahnya justru akan mendorongnya untuk melakukan lebih keras lagi.

Ternyata kemudian keempat orang yang datang itu menjadi marah juga mendengar jawaban-jawaban Laksana. Seorang di antara merekapun kemudian berdiri dan melangkah mendekati kedua anak muda itu.

“Aku tidak dapat berkata dengan baik seperti pemilik kedai ini” berkata orang itu. “Aku memberimu waktu untuk membayar segala macam makanan dan minuman yang telah kau pesan. Sesudah itu pergi dari sini”

“Aku berhak menentukan, kapan aku akan keluar dari kedai ini. Karena itu kau tidak berhak mengusirku seperti itu. Ini bukan kedaimu dan bukan pula barang daganganmu”

“Anak muda” desis pemilik kedai itu, “sudahlah. Silahkan meninggalkan kedai ini. Aku tidak akan minta kau membayar makanan dan minuman yang sudah kau pesan”

Manggada menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti bahwa pemilik kedai itupun menjadi ketakutan. Namun Laksanalah yang telah menjawab, “Kau juga mau menghina aku, he? Kau kira aku tidak mempunyai uang untuk membayar makanan dan minumanku? Nah, sebutkan, berapa harga kedaimu dengan segala isinya. Aku akan membelinya sekarang. Dan aku akan mengusir semua orang untuk meninggalkan kedaiku ini”

“Laksana” Manggada menggamit adik sepupunya.

Tetapi Laksana masih berkata selanjutnya, “Jangan ganggu aku makan dan minum”

“Anak iblis” laki-laki garang yang mendekatinya itu menjadi tidak sabar lagi. “Jika kalian tidak pergi, aku lempar kalian keluar”

Laksana memandang orang itu dengan tajamnya. Namun iapun kemudian berdiri. Sambil menunjuk ke pintu Laksana itupun berteriak, “Keluar”

Namun sikap Laksana itu justru membuat orang yang garang itu terheran-heran. Ia tidak menyangka sama sekali bahwa anak muda itu akan berani mengusirnya keluar dari kedai itu. Justru karena itu, maka laki-laki itu berdiri bagaikan membeku di tempatnya.

Namun orang itu terkejut ketika sekali lagi ia mendengar Laksana membentaknya sekali lagi, “Keluar, kau dengar? Bawa kawan-kawanmu keluar. Cegah tamumu datang kemari, karena aku sendiri akan menerima tamuku pula disini”

Pemilik kedai itu hampir menjadi pingsan karenanya. Sikap Laksana benar-benar tidak diduganya. Namun laki-laki yang garang itu benar-benar tidak sabar lagi. Ia justru maju selangkah.

Dengan garang pula ia telah memukul gledeg bambu rendah di depan lincak bambu tempat duduk Laksana dan Manggada.

“Aku peringatkan sekali lagi, jangan berbuat gila seperti ini. Atau lehermu akan aku putar sampai patah” geram laki-laki itu.

Tetapi sebelum kata-katanya terlontar seluruhnya dan bibirnya terkatub, Laksana telah mendahuluinya, disiramnya wajah orang itu dengan minuman hangatnya. Justru wedang jahe.

“Gila” orang laki-laki yang garang itu mengumpat sejadi-jadinya. Selangkah ia surut. Namun giginyalah yang kemudian gemeretak oleh kemarahan yang bagaikan memecahkan dadanya.

Namun sekali lagi anak muda itu mendahuluinya. Dengan tangkas Laksana telah meloncati gledeg rendah tempat makanan dan mangkuk minumannya. Dengan lantang ia berkata, “Kau kira kau ini siapa, he?”

Laki-laki yang garang itu benar-benar telah kehilangan kendali oleh kemarahan yang menghentak. Tiba-tiba saja tangannya terayun deras mengarah ke wajah Laksana. Tetapi Laksana sempat mengelak. Bahkan kemudian katanya, “Kita berkelahi di luar, agar kita tidak merusakkan isi kedai ini”

Ketika Laksana melangkah keluar, maka orang yang garang itu mengikutinya. Bahkan dengan tidak sabar, ia telah mendahului menyerang begitu Laksana sampai di luar pintu. Dengan tangkas Laksana mengelak. Bahkan tubuhnyapun telah berputar. Kakinya terayun deras mengarah ke dada orang yang garang itu.

Serangan yang benar-benar tidak terduga oleh lawannya. Karena itu, maka kaki itu benar-benar telah dikenainya meskipun tidak terlalu keras. Orang yang garang itu justru surut selangkah. Bukan karena dorongan kaki Laksana. Tetapi karena orang itu terkejut bahwa kaki anak muda itu telah menyentuh dadanya.

Namun dengan demikian maka orang yang garang itu menyadari bahwa anak muda itu tentu memiliki bekal yang cukup dalam olah kanuragan, sehingga dengan demikian maka iapun menjadi lebih berhati-hati. Namun sejenak kemudian orang itu telah menyerang kembali. Bukan lagi tanpa perhitungan seperti yang sudah dilakukannya. Tetapi ia mulai menganggap bahwa banyak kemungkinan dapat terjadi.

Laksana adalah seorang anak muda yang telah ditempa oleh ayahnya di bidang olah kanuragan. Bahkan rasa-rasanya ia telah mempelajari ilmu yang dimiliki ayahnya sampai tuntas. Tetapi ia belum berpengalaman untuk turun ke dunia olah kanuragan yang keras dan yang mempunyai seribu wajah.

Sehingga dengan demikian maka mula-mula Laksana memang menjadi gugup. Yang dilakukan oleh orang yang garang itu kadang-kadang sama sekali bertentangan dengan perhitungannya. Unsur-unsur geraknyapun sebagian besar belum pernah dilihatnya.

Namun seperti yang selalu dikatakan oleh ayahnya, bahwa ia harus mampu mengambil sikap menghadapi persoalan-persoalan baru dalam kehidupan, termasuk dalam olah kanuragan. Dalam latihan-latihan yang berat, ayahnya memang telah menunjukkan berbagai macam warna dari beberapa jenis unsur gerak yang terdapat dalam beberapa jenis ilmu yang lain. Namun hanya sekilas dan tidak mendalam.

Karena itu, ketika ia benar-benar bertemu dengan ilmu dari perguruan yang lain, maka Laksana harus dengan susah payah menyesuaikan diri. Tetapi karena latihan-latihan yang berat yang pernah dilakukannya, serta pesan-pesan yang lengkap dari ayahnya serta berbagai macam contoh yang pernah dilihatnya, maka lambat laun Laksana mampu menempatkan dirinya. Yang semula nampak aneh dan tidak dimengertinya, maka lambat laun mulai dapat dibacanya.

Namun dalam pada itu, untuk mendapatkan pengalaman itu, lawannya justru telah berhasil mengenainya beberapa kali. Laksana memang harus membayar mahal bagi pengalamannya itu. Ketika ia menyerang lawannya tetapi tidak mengenainya, Laksana menduga bahwa lawannya akan menyerangnya kembali. Tetapi lawannya tidak melakukannya.

Ia justru mengambil jarak selangkah. Baru ketika Laksana siap untuk menyerangnya, orang itu telah meloncat maju. Tidak langsung menyerangnya, tetapi ia seakan-akan telah menjatuhkan diri beberapa jengkal di sebelahnya, berguling sambil menggerakkan kakinya menjepit kedua kakinya dan berputar dengan cepatnya.

Laksana memang terkejut. Kakinya bagaikan digulung oleh kekuatan lawannya, sehingga iapun telah terjatuh. Tetapi anak muda itu tidak segera meloncat bangkit. Ia memperhitungkan, bahwa jika ia melakukannya, maka lawannya akan dengan serta-merta menyerangnya.

Karena itu, maka Laksana itu justru telah berguling beberapa kali mengambil jarak. Baru dengan menggeliat, Laksana meloncat bangkit dan berdiri tegak. Lawannya memang ketinggalan selangkah. Ketika ia berhasil membanting Laksana, maka iapun segera meloncat berdiri dan siap untuk bertempur. Tetapi ternyata lawannya telah berguling menjauh dan melenting beberapa langkah daripadanya.

Orang yang garang itupun segera memburunya. Tetapi sekali lagi ia terkejut. Tiba-tiba saja Laksana itu telah menyongsongnya dengan sebuah serangan. Anak itu telah meloncat sambil mengayunkan kedua kakinya, sehingga tubuhnya bagaikan mendatar.

Serangan yang cepat dan tidak terduga itu memang tidak dapat dihindarinya. Untuk mengurangi tekanan pada dadanya, agar tulang tulang iganya tidak berpatahan, maka orang berwajah garang itu telah menyilangkan tangannya di dadanya.

Tetapi dorongan serangan Laksana itu memang demikian derasnya sehingga orang berwajah garang itu telah terdorong beberapa langkah surut dan bahkan kemudian kehilangan keseimbangannya. Orang itu jatuh berguling sampai ke depan pintu kedai itu. Ternyata beberapa orang kawannya telah berdiri di pintu menyaksikan pertempuran itu.

Di sekitar arena itu memang berkerumun beberapa orang. Tetapi mereka sama sekali tidak berani mendekat. Mereka mengerti, bahwa orang-orang yang datang ke kedai itu adalah orang-orang yang berilmu dan berwatak keras. Mereka merasa diri mereka memiliki kelebihan dari orang lain, sehingga mereka dapat berbuat apa saja.

Orang yang terjatuh itu telah berusaha untuk bangkit. Namun rasa-rasanya dadanya bagaikan tertimpa oleh sebongkah batu hitam. Untunglah bahwa dengan cepat ia berhasil melindungi dadanya itu dengan tangannya yang menyilang. Namun demikian, serangan yang demikian kerasnya itu benar-benar telah menyakitinya.

Ketika ia tegak berdiri, maka wajahnya nampak pucat. Tubuhnya bergetar oleh sakit dan marah yang tidak tertahankan. “Aku akan bunuh anak itu” geramnya.

Tetapi seorang kawannya berkata, “Kelihatannya kau sudah terlalu letih. Anak itu memiliki sesuatu yang tidak kita perhitungkan semula. Karena itu, maka kau menjadi lengah”

“Ya. Sekarang aku sadari itu. Karena itu, aku akan berhati-hati” jawab orang yang kesakitan itu.

Tetapi seorang kawannya menjawab, “Terlambat”

“Tidak. Aku belum apa-apa” jawab orang itu.

Kawannya menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Aku akan menyelesaikan anak itu”

“Jangan” orang yang dadanya bagaikan pepat itu masih membantah.

Tetapi orang yang paling garang di antara mereka berempat, berkumis di atas bibirnya meskipun tidak begitu lebat dan di keningnya nampak segores cacat yang membuat wajahnya menjadi semakin seram menggeram, “Biarlah orang lain melakukannya. Jika kau sekali lagi menghadapinya, kau akan mati”

“Tidak. Akulah yang akan membunuhnya” berkata orang itu.

Adalah di luar dugaan bahwa orang berwajah cacat itu telah mendorong kawannya yang baru saja bertempur melawan Laksana. Demikian keras tenaga dorongnya itu, maka orang yang masih berdiri dengan gemetar itu telah kehilangan keseimbangannya dan sekali lagi jatuh terlentang.

“Bangun” teriak orang yang berwajah cacat yang agaknya pemimpinnya itu.

Tertatih-tatih orang itu bangkit. Sementara itu dengan wajah yang berkerut, pemimpinnya itu berkata, “Nah, kau percaya bahwa kau sudah tidak dapat berkelahi lagi?”

Orang itu tidak menjawab. Sementara orang berwajah cacat itu berkata kepada kawannya yang lain, “Kau hukum anak itu, agar harga diri kita tidak runtuh di lingkungan ini. Kau tunjukkan kepada orang-orang yang melihat pertempuran ini meskipun dari kejauhan, bahwa anak itu tidak berarti apa-apa bagi kami. Jika terjadi kekalahan atas salah seorang kawan kita, karena ia terlalu bodoh dan sombong”

Ketiga orang itu berpaling ketika mereka mendengar seseorang berkata di belakang mereka, “Apakah memang begitu menurut dugaanmu?”

“Anak setan” geram orang yang cacat itu. Ternyata anak muda yang seorang lagi masih duduk di amben di dalam kedai sambil memegangi mangkuk wedang jahenya.

Tetapi ketika ketiga orang itu memandanginya dengan tegang, maka anak muda itu telah bangkit dan berjalan keluar melalui pintu samping. Tanpa menghiraukan orang-orang yang berdiri di pintu itu, maka Manggada telah melangkah mendekati Laksana.

“Berhati-hatilah” berkata Manggada. “Mereka agaknya akan bersungguh-sungguh”

“Aku akan menghancurkannya” jawab Laksana.

“Jangan salah menilai. Orang yang pertama itu tidak menyangka bahwa ia akan berhadapan dengan orang yang telah serba sedikit mempelajari ilmu kanuragan. Tetapi orang kedua tidak akan membuat kesalahan yang serupa”

Laksana tersenyum. Katanya, “Ternyata kemampuannya tidak menggetarkan jantungku”

“Aku peringatkan kau, Laksana. Jangan terlalu sombong” berkata Manggada.

Laksana mengerutkan keningnya. Ia mulai menjadi bersungguh-sungguh. Peringatan Manggada itu seakan-akan adalah gema suara ayahnya yang sering diucapkannya, “Jangan sombong”

Karena itu maka Laksanapun mengangguk kecil sambil menjawab, “Baiklah, aku akan berhati-hati”

Manggada menarik nafas dalam-dalam. Ia berharap bahwa dengan demikian, Laksana tidak akan kehilangan kewaspadaan. Jika ia menganggap dirinya terlalu baik, maka ia justru akan terjerat ke dalam kesulitan.

Dalam pada itu, seorang di antara orang-orang garang yang berdiri di depan kedai itu telah bersiap-siap. Orang yang telah dikalahkan oleh Laksana itu berdiri di belakang pemimpinnya dengan wajah yang pucat.

Sejenak kemudian, maka orang yang telah ditunjuk oleh orang cacat pada wajahnya itu telah melangkah mendekati Laksana. Dengan nada berat ia berkata, “Nah, apakah kalian akan maju berdua?”

Laksanalah yang menyongsongnya. Katanya, “Aku masih cukup kuat untuk mengalahkanmu, Ki Sanak. Marilah, kita akan melihat, siapakah yang lebih berhak mengusir orang lain dari kedai itu. Kau atau aku”

Orang yang garang itu memang sudah marah. Kekalahan kawannya merupakan satu penghinaan bagi kelompoknya. Karena itu, maka ia harus menebusnya. Ia harus memberikan kesan bahwa kekalahan kawannya itu karena kelengahan semata-mata sebagaimana dikehendaki oleh pemimpinnya.

“Aku harus mengalahkannya dengan cepat” berkata orang itu di dalam hatinya.

Sejenak kedua orang itu telah berhadapan. Manggada masih tetap berdiri di luar arena tanpa berbuat sesuatu. Ia berdiri saja sambil menyilangkan tangannya di dada. Bahkan Manggada sempat bergeser berlindung dari panasnya matahari menjelang sore hari. Tidak ada kesan kegelisahan dan kecemasan di wajahnya.

Kedua orang yang akan berkelahi itupun telah berdiri berhadapan. Beberapa langkah mereka bergeser untuk menyesuaikan diri dengan arena. Orang yang garang itu dengan cerdik telah bergeser ke arah barat, sehingga Laksana menjadi silau karenanya.

“Jangan memandang matahari” terdengar suara Manggada yang berdiri di tempat yang terlindung.

Laksana baru menyadari, bahwa pandangan matanya memang terganggu oleh silaunya sinar matahari yang turun di sisi langit sebelah barat. Karena itu, maka Laksanapun telah bergeser pula. Ia telah menentukan arah menghadapi lawannya, sehingga keduanya kemudian telah berdiri berhadapan ke arah utara dan selatan.

Kemenangan Laksana atas lawannya yang pertama telah menumbuhkan kepercayaan pada dirinya, bahwa ilmunya memang mampu mengatasi ilmu yang dipergunakan oleh lawannya itu. Laksana merasa bahwa unsur-unsur yang ada pada ilmunya cukup lengkap untuk melawan dan bahkan mengatasi unsur-unsur yang ada di dalam ilmu lawannya itu.

Persoalannya adalah ada pada kemampuannya mengembangkan unsur-unsur itu. Mengetrapkan sesuai dengan keadaan yang dihadapinya. Karena itu, maka ia harus cepat mengambil sikap terhadap perkembangan keadaan. Ia tidak dapat berpegang pada bentuk yang pernah dipelajarinya begitu saja. Tetapi ia harus mampu mengetrapkan sesuai dengan kemungkinan dan unsur-unsur gerak yang dipergunakan oleh lawannya.

Dengan bekal pengalamannya yang pendek itu, maka Laksana telah menghadapi lawannya yang kedua. Beberapa saat mereka masih saling memperhatikan. Tetapi lawan Laksana tidak sempat lagi bergeser untuk mengambil keuntungan dari cahaya matahari yang menjadi semakin rendah. Tetapi lawannya itu memang tidak ingin berlama-lama.

Selangkah demi selangkah ia mendekati Laksana. Kemudian dengan tiba-tiba ia telah meloncat menyerang dengan garangnya. Kedua tangannya telah terjulur lurus ke arah dada.

Laksana yang melihat serangan itu, dengan cepat telah bergeser. Bahkan dengan cepat Laksana telah memutar tubuhnya. Kakinya terayun mendatar ke arah kening lawannya. Namun lawannyapun dengan cepat telah merendahkan dirinya, sehingga kaki Laksana terayun tanpa menyentuhnya. Bahkan lawannya itu dengan cepat pula menyapu kaki Laksana yang satu lagi, tempat tubuhnya bertumpu.

Tetapi dengan tangkasnya, dengan kekuatan satu kakinya, Laksana telah melenting tinggi dan kemudian jatuh beberapa langkah ke samping. Namun demikian kakinya menginjak tanah, maka iapun telah meloncat maju dengan loncatan panjang. Tangannyalah yang telah menyerang kening.

Tetapi lawannya sempat menangkis serangan itu. Dengan tangannya pula lawannya telah menangkis serangan Laksana itu dan menebaskannya keluar. Sementara tangannya yang lain justru telah memukul dada.

Adalah giliran Laksana yang harus menangkis serangan lawannya itu. Tetapi Laksana tidak bergeser mundur. Ia justru telah menyusup maju sambil mengibaskan serangan lawannya ke samping. Dengan sekuat tenaganya, Laksana telah menghantam bagian bawah perut lawannya dengan lututnya.

Satu serangan yang datang demikian cepatnya. Yang terdengar adalah keluhan tertahan. Perut lawannya rasa-rasanya telah diremas dan diputar sekuat tenaga. Perasaan mual, sakit, dan sesak telah mencengkam seisi perut dan dada lawannya itu.

Ketika Laksana kemudian bergeser mundur setapak, maka lawannya terbungkuk menahan sakit. Kedua tangannya memegangi perutnya yang seolah-olah seluruh isinya, termasuk usus-ususnya akan meloncat keluar. Ternyata Laksana tidak melepaskan kesempatan itu. Dengan sekuat tenaganya, maka tangannya telah terayun menyambar kening lawannya yang kesakitan itu.

Terdengar lawannya itu mengaduh. Pukulan Laksana demikian kerasnya sehingga lawannya itu seakan-akan telah terangkat dan terlempar beberapa langkah surut. Bahkan orang itupun telah terbanting jatuh di tanah. Ia tidak segera dapat meloncat bangkit. Tetapi beberapa saat lamanya ia bergulung-gulung sambil memegangi perutnya, namun sekali-sekali sempat mengusap keningnya. Rasa-rasanya keningnya menjadi bengkak, sehingga sebelah matanya menjadi kabur karenanya.

Laksana tidak memburu lawannya. Ia tidak menyerang lawannya yang dalam keadaan tidak lagi mampu mempertahankan dirinya. Karena itu, maka iapun telah berdiri tegak sambil bertolak pinggang.

Manggada berdiri sambil mengangguk-angguk. Ternyata Laksana mampu mengetrapkan ilmunya dengan sangat mapan. Meskipun Manggada sendiri tidak berkelahi, tetapi ia telah memanfaatkan perkelahian itu untuk mengamatinya dengan seksama. Ternyata Laksana dengan demikian telah mendapatkan pengalaman dengan ilmunya. Tetapi meskipun Manggada sendiri tidak melakukannya, namun iapun telah mendapatkan pengalaman yang hampir sama nilainya dengan pengalaman Laksana. Apalagi dalam tataran perguruannya,

Manggada adalah murid yang tertua dibandingkan dengan Laksana, meskipun guru mereka berdua adalah ayah Laksana. Dalam pada itu, orang-orang yang berdiri di depan kedai itupun menjadi semakin marah.

Orang yang telah dikalahkan pertama kali oleh Laksana itupun menggeram, “Aku akan bertempur dengan senjata. Aku akan membunuhnya”

“Tolong saudaramu yang cengeng itu” berkata orang yang wajahnya cacat sambil memandang kawannya yang berguling-guling kesakitan. “Biarlah aku sendiri menyelesaikannya. Jika aku terpaksa, maka akupun mempergunakan senjata”

“Aku masih ada” berkata kawannya yang satu lagi, yang belum mendapat kesempatan untuk berkelahi.

Tetapi orang yang cacat wajahnya itu menggeram, “Awasi anak muda yang satu lagi. Jika ia turun ke arena, maka adalah tugasmu untuk menyelesaikan. Aku tidak telaten. Sebentar lagi tamu kita benar-benar akan datang menjelang senja.

Sementara matahari telah menjadi semakin rendah. Jika mereka datang dan kedua anak itu belum dapat kita selesaikan, maka rasa-rasanya wajah kita akan tercoreng arang. Anak-anak ingusan itu saja telah berhasil mempermainkan kita”

Orang yang wajahnya cacat itu tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun segera melangkah mendekati Laksana yang berdiri tegak dengan tangan di pinggang. Sementara seorang lainnya, yang telah dikalahkan oleh Laksana, telah mendekati kawannya yang masih saja kesakitan berguling-guling di tanah. Namun perhatian Laksana pun kemudian telah tertuju kepada orang yang berwajah cacat itu. Dibiarkannya seseorang mendekati dan kemudian berjongkok di sebelah orang yang kesakitan itu. Sementara itu, seorang lagi telah berdiri tegak sambil mengawasi Manggada yang masih saja berada di tempatnya.

“Anak muda” berkata orang berwajah cacat itu, “ternyata kau telah membuat kami menjadi benar-benar marah. Kau sudah menyakiti dua orang kawanku yang lengah. Mereka memang terlalu bodoh karena mereka menganggap kau terlalu lemah. Namun ternyata mereka telah terjebak oleh kelengahan mereka sendiri, sehingga mereka mengalami kesulitan”

“Sekarang kau mau apa?” bertanya Laksana.

Wajah orang yang cacat itu menjadi semburat merah. Kemarahan yang menghentak-hentak di dadanya seakan-akan telah meluap sampai ke wajahnya itu. “Anak muda” berkata orang itu, “aku masih berusaha untuk menyabarkan diri. Meskipun kau telah menyakiti dua orang kawanku, tetapi aku beri kesempatan kau pergi”

“Pergi atau tidak pergi, tergantung kepada kehendakku sendiri” jawab Laksana. “Kau sama sekali tidak berwenang untuk mengatur aku. Aku bukan anakmu, bukan adikmu dan bukan pula budakmu”

“Anak setan” geram orang itu. “Kau benar-benar keras kepala”

“Kau yang keras kepala. Kau merasa berkuasa disini, sehingga jika kau memasuki kedai itu, semua orang berlari-larian pergi meskipun mereka sebenarnya belum selesai. Apakah kau sebenarnya mempunyai wewenang berbuat demikian?” bertanya Laksana

“Bukan salahku” geram orang itu. “Mereka telah pergi dengan sendirinya”

“Tidak. Kau telah mengusir mereka sebagaimana kau lakukan atas kami. Kau tidak dapat ingkar, karena aku sendiri mengalami” jawab Laksana.

“Jika demikian, apa boleh buat. Aku harus benar-benar menghukummu dan kawanmu itu” geram orang yang cacat itu.

Tetapi Laksana tidak mau kalah garang dari lawannya yang berwajah cacat itu. Karena itu, maka iapun menyahut, “Akulah yang wajib menghukummu. Bukan kau menghukum kami”

Orang berwajah cacat itu benar-benar kehabisan kesabaran. Tetapi ia sudah melihat apa yang dapat dilakukan oleh anak muda itu, sehingga karena itu, maka iapun harus berhati-hati. Ia tidak dapat dengan serta-merta bertindak sebagaimana sering dilakukannya atas orang-orang yang membuatnya marah karena kesalahan-kesalahan kecil.

Seorang yang terlambat keluar dari kedai di saat ia masuk, agaknya sudah cukup alasan baginya untuk memukuli orang itu sampai pingsan. Tetapi terhadap anak-anak muda itu ia harus berhati-hati. Ketika orang itu bersiap, maka Laksana pun telah bersiap pula. Matahari yang menjadi semakin rendah membuat langit menjadi semakin merah. Sekelompok burung bangau nampak terbang dari selatan menuju ke utara.

Orang itu sama sekali tidak lagi menghiraukan cahaya matahari yang silau. Ia tahu bahwa anak muda itu tidak akan membiarkan cahaya matahari yang merah itu membuat matanya menjadi merah pula. Laksanapun menyadari, bahwa lawannya itu menjadi sangat berhati-hati. Kecuali sikapnya, maka pandangan matanya menunjukkan kepadanya, bahwa orang itu memiliki kelebihan dari kawan-kawannya.

Laksana memang menjadi berdebar-debar. Ada kecemasan di hatinya. Tetapi ia juga menjadi gembira, bahwa ia akan dapat mencoba ilmunya dengan orang yang memiliki ilmu setingkat lebih tinggi dari orang-orang yang sebelumnya telah dikalahkannya.

Beberapa saat Laksana menunggu. Tetapi karena orang itu tidak juga segera menyerangnya, maka Laksanalah vang tidak sabar lagi. Ialah yang kemudian mulai menyerang. Namun demikian, Laksana tidak melupakan pesan ayahnya, bahwa ia tidak boleh kehilangan akal. Ia harus menanggapi semua persoalan dengan tenang. Setiap mengambil keputusan otaknya tidak boleh dalam keadaan keruh, karena dengan demikian maka keputusan yang diambilnya itupun akan dapat merupakan keputusan yang keruh.

Serangan Laksana memang bukan serangan yang menentukan. Karena itu, maka dengan bergeser selangkah, orang yang cacat di wajahnya itu dengan mudah mengelakkannya. Namun adalah di luar dugaan, bahwa tiba-tiba saja Laksana telah melenting menyambar kening.

Orang itu terkejut. Dengan cepat pula ia harus memiringkan kepalanya untuk menghindari serangan anak muda itu. Tetapi ternyata bahwa serangan yang sebenarnya adalah menyusul kemudian. Kaki Laksanalah yang berputar menyambar dengan derasnya.

Tidak ada kesempatan bagi orang berwajah cacat itu untuk menghindar. Karena itu, maka tidak ada pilihan lain daripada menangkis serangan itu. Karena itu, maka segera terjadi benturan demikian pertempuran itu dimulai.

Ternyata kedua orang itu telah terkejut. Laksana merasa seakan-akan kakinya telah membentur batu. Karena itu, dengan serta-merta ia telah menarik kakinya yang meloncat beberapa langkah surut untuk mengambil jarak. Beberapa saat ia harus berusaha mengatasi rasa sakit pada kakinya itu.

Namun dalam pada itu, orang berwajah cacat itupun telah terdorong surut. Kaki Laksana rasa-rasanya telah menghentakkan kekuatan yang luar biasa, sehingga orang berwajah cacat itu tidak mampu tetap tegak di tempatnya. Bahkan iapun harus berusaha untuk mengatasi keseimbangannya yang goyah.

Ketika orang itu berhasil berdiri dengan mantap, maka Laksanapun telah berdiri tegak pula. Keduanya ternyata telah dapat mengatasi kesulitan di dalam diri mereka masing-masing. Beberapa saat kemudian merekapun telah bersikap pula. Beberapa langkah mereka bergeser.

Namun nampak pada keduanya, bahwa mereka masih tetap berhati-hati. Orang yang berwajah cacat dan memiliki pengalaman yang jauh lebih banyak itu, terpaksa harus menahan diri. Anak muda itu adalah orang yang sangat berbahaya baginya.

Sejenak kemudian, maka hampir berbareng keduanya telah melangkah mendekat. Bahkan keduanya telah mulai mengayunkan serangan-serangan meskipun belum terlalu berbahaya. Namun kemudian menjadi semakin cepat dan semakin keras.

Serangan-serangan yang dilontarkan oleh kedua pihak tidak saja menjadi semakin kuat, tetapi mulai mengarah ke sasaran-sasaran yang berbahaya. Keduanya mulai membuat perhitungan-perhitungan yang cermat serta mulai menuangkan kemampuannya dengan lembaran ilmu yang semakin meningkat.

Di luar arena Manggada memperhatikan pertempuran itu dengan seksama. Ia tidak saja melihat kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi, tetapi ia telah menekuni pertempuran itu untuk memanfaatkannya sebagai satu pengalaman. Meskipun ia sendiri tidak bertempur sebagaimana Laksana, namun ia melihat bagaimana Laksana menentukan langkah-langkahnya pada saat-saat yang gawat.

Manggada mampu menilai keputusan-keputusan yang telah diambil oleh Laksana dalam waktu yang singkat di saat-saat ia menghadapi serangan-serangan lawannya, yang tidak dapat dilawan dengan unsur-unsur yang telah dikuasainya. Namun dengan serta-merta Laksana telah mengembangkan unsur-unsur gerak yang telah dikuasainya itu, hampir tanpa jarak waktu untuk merenung.

Ternyata latihan-latihan yang berat, serta pengenalan mereka atas beberapa jenis ilmu di luar rangkuman ilmu dari perguruan mereka, telah membuat Laksana dengan cepat menanggapi keadaan dan sekaligus mengatasinya. Penguasaan tubuh yang mapan hampir mutlak, telah mampu dengan cepat menentukan apa yang harus dilakukannya.

Manggada menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat Laksana mulai mampu menempatkan diri di antara serunya badai ilmu lawan yang melandanya.

Sebenarnyalah orang berwajah cacat itu mulai menjadi gelisah. Ia sudah meningkatkan ilmunya hampir sampai ke puncak. Namun anak muda itu masih saja mampu mengimbanginya. Bahkan karena kemudaannya, nampaknya ia masih terlalu bergejolak jiwanya sehingga tercermin dalam ungkapan-ungkapan geraknya.

Demikianlah pertempuran antara kedua orang itu menjadi semakin sengit. Keduanya bergerak semakin cepat dan semakin keras. Ternyata bahwa Laksana tidak mengecewakan. Meskipun ia belum berpengalaman, namun karena bekal yang dimilikinya cukup lengkap, ditambah dengan kemampuannya mengurai dan kemudian mengambil sikap serta mengembangkan ilmunya, maka perlawanan Laksana benar-benar telah membuat lawannya menjadi semakin gelisah dan tegang.

Apalagi langit memang menjadi semakin buram. Sejenak kemudian saatnya senja akan turun. Sesuai dengan rencana, maka tamu orang yang berwajah cacat itu akan datang menjelang senja. Karena itu, maka orang berwajah cacat itupun telah memutuskan untuk meningkatkan ilmunya benar-benar sampai ke puncak, agar ia dapat menyelesaikan lawannya yang masih muda itu sebelum tamunya benar-benar datang.

Tetapi orang berwajah cacat itu tidak dapat merencanakan akhir dari pertempuran itu menurut kehendaknya sendiri. Laksanapun ternyata memiliki kekuatan untuk ikut menentukan. Ia bukannya sudah dikuasai oleh orang berwajah cacat itu, bahkan setiap kali justru Laksanalah yang telah menekan lawannya sehingga orang berwajah cacat itu beberapa kali harus berloncatan surut.

Kegelisahan semakin mencengkam jantung orang berwajah cacat itu. Semakin rendah matahari, maka iapun menjadi semakin gelisah. Ternyata orang berwajah cacat itu tidak mampu melakukan rencananya. Sampai saatnya senja turun, ia masih belum mampu menguasai lawannya yang masih muda itu.

Bahkan dalam pertempuran yang menjadi semakin cepat, maka sekali sekali tangan Laksana telah mampu mengenai tubuh orang berwajah cacat itu. Mula-mula tangan itu hanya menyentuhnya. Namun kemudian menjadi semakin keras dan ternyata sentuhan-sentuhan itu akhirnya telah menyakitinya.

Sementara itu, meskipun orang berwajah cacat itu sekali-sekali mampu juga mengenai tubuh lawannya, tetapi dalam perbandingan yang lebih kecil. Apalagi ketika kemudian ternyata daya tahan anak muda itu ternyata jauh melampaui dugaannya. Ketika orang berwajah cacat itu sempat menghantam kening anak muda itu dengan seluruh kekuatannya, anak muda itu hanya terdorong dua langkah surut. Namun kemudian ia telah kembali dan seakan-akan tubuhnya tidak pernah dikenai oleh lawannya itu.

Ketika orang berwajah cacat itu menjadi semakin gelisah dan bahkan hampir saja berputus asa, maka tamu yang ditunggu-tunggunya itu telah datang. Dua orang kawannya dengan tergesa-gesa telah menyongsong tamu yang mereka tunggu-tunggu itu. Seorang yang bertubuh tinggi, tegap, berjambang dan berjanggut lebat, diiringi oleh dua orang kawannya yang nampaknya sangat patuh kepadanya.

“Apa yang terjadi?” bertanya orang berjambang lebat itu.

“Dua orang anak muda telah mengacaukan persiapan kami untuk menerima kalian di tempat ini” jawab orang yang dikalahkan oleh Laksana pertama kali. Sementara kawannya yang ikut menyongsong tamu-tamu itu adalah orang yang perutnya bagaikan diremas dengan batu penggilingan.

“Oh” orang bertubuh tinggi tegap itu mengangguk-angguk. “Kenapa kalian tidak menyelesaikannya saja?”

“Ki Lurah sedang menghajar mereka” jawab orang yang menyongsongnya.

Tetapi orang berkumis lebat itu tidak dapat dikelabuhinya. Meskipun langit menjadi semakin suram, namun orang itupun melihat apa yang telah terjadi di sebelah kedai itu. Karena itulah, maka iapun telah melangkah mendekati arena pertempuran. Sejenak orang itu berdiri termangu-mangu. Namun kemudian tiba-tiba saja ia tertawa sambil berkata,

“Jadi kalian sedang bermain kelinci?”

Orang berwajah cacat itu terkejut. Ia tidak melihat tamu yang ditunggunya sudah datang karena ia sibuk bertempur tanpa sempat berpaling sama sekali. Namun karena ia mendengar suaranya, maka iapun telah meloncat mengambil jarak.

Laksana tidak memburunya. Agaknya ia memang memberi kesempatan kepada lawannya untuk sesaat berpaling ke arah orang yang menyapanya.

Orang berwajah cacat itu menarik nafas dalam-dalam. Terasa di beberapa bagian tubuhnya, tulang-tulangnya bagaikan retak. Serangan-serangan anak muda itu yang mengenai bagian-bagian tubuhnya ternyata telah membuatnya benar-benar kesakitan.

“Apakah kau sedang mengisi waktumu sambil menunggu aku datang?” bertanya orang berjambang lebat itu.

Orang berwajah cacat itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Anak-anak ini memang pantas dihukum. Maafkan, aku terlambat menyambutmu”

Orang itu tersenyum. Katanya, “Teruskan. Aku senang melihat permainan ini. Jarang sekali di saat terakhir ini, aku melihat permainan tikus dan kucing. Tetapi agaknya kucingnya agak sakit-sakitan kali ini, sehingga tikusnya mendapat kesempatan lebih banyak”

Wajah orang yang masih saja merasa kesakitan itu menjadi merah. Cacat di wajah itu seakan-akan telah menyala.

Namun orang yang baru datang itu tertawa. Katanya, "Jangan menyesali keadaan. Nah, teruskan”

Tetapi orang-orang terkejut ketika mereka tiba-tiba saja mendengar Laksana juga tertawa. Katanya, "Ki Sanak, jika kau tertarik pada permainan ini, apakah kau akan ikut pula?"

Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, "Aku senang melihat sikapmu. Kau adalah seorang anak muda yang bukan saja berani, tetapi kau memang mempunyai bekal yang cukup”

"Nah” berkata Laksana, "jadi kau mau ikut?"

Orang itu tertawa. Katanya, "Teruskan permainan kalian. Aku akan menjadi penonton yang baik. Aku juga tidak mempunyai keperluan yang sangat mendesak”

"Baiklah” berkata Laksana, "kami akan meneruskan permainan ini. Juga kawanku bermain agaknya masih belum menjadi jemu”

"Tentu tidak. Ia sudah terbiasa bermain menjadi kucing. Tetapi biasanya ia mendapatkan kawan bermain yang pantas menjadi tikus. Tetapi agaknya kau terlalu tangkas sehingga kucingnya berkesan sakit-sakitan” sahut orang itu sambil tertawa.

Jantung orang yang wajahnya cacat itu bagaikan meledak. Singgungan pada perasaannya itu telah membuatnya semakin marah. Karena itu, maka untuk sesaat ia dapat melupakan perasaan sakit di beberapa bagian dari tubuhnya.

"Lihat” geram orang berwajah cacat itu, "kau akan mendapatkan sebuah hadiah yang pantas hari ini”

"Apa?" bertanya tamunya.

"Kepala seekor tikus” jawab orang berwajah cacat itu.

"Bagus. Aku akan sangat berterima kasih” berkata tamunya sambil mengangguk-angguk.

Orang berwajah cacat itupun kemudian telah melangkah mendekati Laksana. Tetapi ternyata ia tidak akan bertempur dengan tangannya. Tiba-tiba saja orang berwajah cacat itu telah mengambil senjatanya. Semacam keling bulat panjang yang dikenakan pada kedua belah genggaman tangannya. Keling besi baja dengan gigi-gigi pendek yang tajam.

"Aku akan memecahkan kepalamu” geram orang berwajah cacat itu...

Selanjutnya,
Menjenguk Cakrawala Bagian 02