X6P58KpuBfdX9YvoDfejjA12jdjgThuq3ef2E1Tb
Sonny Ogawa
Kumpulan Cerita Silat Online Indonesia dan Mandarin

Menjenguk Cakrawala Bagian 02

Cerita Silat Indonesia Serial Arya Manggada episode Menjenguk Cakrawala Bagian 02 karya SH Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Arya Manggada Karya SH Mintardja
LAKSANA mengerutkan keningnya. Senjata semacam itu memang berbahaya, tetapi sudah terlalu banyak dikenal orang, sehingga bukan senjata asing. Dalam latihan-latihan berat, Laksana juga sudah berlatih, bagaimana harus melawan senjata seperti itu.

Sejenak kemudian, maka lawannya itu telah meloncat. Ia menjadi bertambah garang. Tangannya terayun-ayun dengan derasnya mengarah terutama ke kepala Laksana. Laksana memang harus bekerja lebih keras. Ia tidak berani membentur serangan lawan begitu saja. Sentuhan keling di genggaman tangan orang berwajah cacat itu akan dapat mengoyakkan kulit dagingnya.

Karena itu, maka Laksana harus lebih banyak menghindari serangan-serangan lawan atau berusaha untuk menangkis pada pergelangan tangannya. Namun di samping itu Laksana justru menjadi semakin sering menyerang. Kakinyalah yang lebih banyak dipergunakan.

Beberapa orang yang menyaksikan pertempuran memang menjadi bertambah tegang. Kawan-kawan orang yang berwajah cacat sudah melihat betapa tangkasnya anak muda itu. Tamunyalah yang kemudian mengangguk-angguk. Namun jantungnya berdegub semakin cepat. Kemampuan anak muda itu benar-benar di luar dugaannya.

Ternyata Laksana mampu bertahan terhadap lawannya yang bersenjata keling di genggaman kedua tangannya itu. Dengan kecepatan geraknya serta ketrampilannya menerapkan unsur-unsur gerak yang sudah dipelajarinya, maka lawannya yang berwajah cacat itu tidak dapat serta-merta mengalahkannya, meskipun ia sudah mempergunakan senjata.

Dalam pertempuran yang keras dan panjang di saat-saat berikutnya, maka justru Laksanalah yang berhasil mendesak orang berwajah cacat itu. Namun demikian, maka kemungkinan yang berbahaya masih saja dapat terjadi atas anak muda itu, karena keling yang bergigi pendek selalu menyambar tubuhnya.

Ketika matahari turun ke balik cakrawala, maka langit pun menjadi semakin suram. Beberapa orang yang menghuni kedai di sekitar arena telah menutup pintunya. Namun cahaya lampu nampak menembus celah-celah dinding yang berlubang.

Sebenarnyalah para penghuni di sekitar arena pertempuran itu hatinya kecut. Pertempuran nampaknya masih berlangsung panjang. Apalagi setelah tamu yang ditunggu orang berwajah cacat itu datang. Agaknya kemungkinan yang lebih buruk dapat terjadi.

Ternyata tamu yang datang kemudian memang tersinggung oleh peristiwa itu. Jika orang berwajah cacat dapat dikalahkan oleh anak muda itu, maka sikap orang-orang di sekitar tempat akan berubah. Orang berwajah cacat itu tidak akan ditakuti lagi, karena ada orang lain yang menjadi lebih ditakuti. Jika demikian halnya, maka kedudukannya pun akan berubah pula.

Karenanya, maka orang itu pun merasa perlu mencampuri perkelahian, meskipun sebenarnya ia merasa sangat kecewa kepada orang berwajah cacat yang tidak dapat segera mengalahkan anak muda itu.

Dalam malam yang semakin gelap, orang itupun telah berdiri di pinggir arena pertempuran. Meskipun malam seakan-akan membuat semuanya semakin hitam, tetapi ketajaman matanya masih melihat, betapa orang berwajah cacat itu justru semakin terdesak.

Tiba-tiba saja ia berteriak, "Kau jangan terlalu berhati-hati terhadap anak-anak muda yang deksura itu. Jika kau memang tidak sampai hati menyelesaikannya, maka biarlah aku yang menyelesaikan anak itu. Hatimu memang terlalu lemah menghadapi keadaan seperti itu. Tetapi jika kau tetap dengan sifat-sifatmu, maka akhirnya kau akan tersisih dari pembicaraan orang banyak di tempat ini. Perkelahian yang kau lakukan sudah terlalu lama”

"Anak itu akan segera kehabisan nafas” geram orang berwajah cacat. "Karena itu, aku akan segera menyelesaikannya”

"Sudahlah” berkata tamunya, "jangan terlalu baik hati”

Orang berwajah cacat itu tidak sempat mencegah ketika tamunya tiba-tiba saja sudah turun ke arena. Dengan nada geram ia berkata, "Kau sudah terlalu jauh tenggelam ke dalam sifat-sifatmu yang cengeng. Jangan gemetar melihat darah. Hancurkan saja lawanmu yang memang tidak pantas dibelas-kasihani”

Orang berwajah cacat itu ingin menjawab. Tetapi tamunya telah mendahului, "Supaya pekerjaan ini cepat selesai, kita akan menyelesaikan bersama-sama. Aku tidak mau membuang banyak waktu yang tidak berarti disini”

Sejenak orang berwajah cacat itu justru menjadi tegang. Namun sejenak kemudian tamunya telah meloncat dengan loncatan panjang, menyerang Laksana. Laksana melihat serangan yang ganas. Karena itu, iapun serta-merta telah meloncat menghindarinya. Ia sadar bahwa serangan itu bukan sekadar untuk menjajaginya. Tetapi jika ia tersentuh oleh serangan itu, maka akibatnya akan sangat berbahaya baginya.

Sementara itu, orang berwajah cacat itu masih saja termangu-mangu. Tetapi ketika tamunya sudah bertempur dengan sengitnya, maka iapun melibatkan dirinya pula. Orang-orang yang masih sempat menyaksikan pertempuran dari kejauhan jadi bertambah tegang, tidak lagi dapat mengikuti setiap gerak mereka yang bertempur.

Mereka tidak dapat lagi menilai apa yang terjadi, namun tahu bahwa anak muda itu harus bertempur melawan dua orang yang ditakuti di lingkungan itu. Orang berwajah cacat dianggap tidak akan pernah terkalahkan. Apalagi bersama kawan-kawannya. Mereka mengira tamunya pun tentu orang yang memiliki kelebihan sebagaimana orang berwajah cacat itu sendiri. Sehingga dengan demikian, nasib anak muda itu tentu dalam keadaan gawat.

Sebenarnyalah, untuk melawan kedua orang itu, Laksana memang mengalami kesulitan. Apalagi orang yang berwajah cacat itu telah mengenakan keling di genggaman tangannya. Sejenak kemudian, Laksanapun benar-benar mulai terdesak.

Sebenarnya Laksana tidak terlalu terpengaruh oleh gelapnya malam, karena bersama ayahnya ia telah melatih diri untuk bertempur di dalam gelap. Jika tidak di dalam sanggar yang hanya disinari sebuah lampu kecil di sudut yang jauh, maka mereka berlatih di gelapnya malam. Bahkan ayahnya telah memberikan beberapa petunjuk tentang gelap itu sendiri dalam hubungannya dengan penglihatan matanya.

Sehingga dengan demikian, maka Laksana tidak kehilangan pegangan ketika malam menjadi semakin gelap. Bersama ayahnya bahkan Laksana telah berlatih menembus gelapnya malam dengan pandangan matanya, bukan saja di tempat terbuka, tetapi di dalam hutan lebat.

Namun ternyata bahwa kedua lawannya itupun memiliki pengalaman luas pula untuk mengatasi kegelapan, sehingga dengan demikian keduanya tidak terlalu banyak terganggu oleh gelapnya malam. Yang terjadi kemudian adalah, Laksana benar-benar terdesak karena kemampuan lawan-lawannya. Tamu orang berwajah cacat itu memiliki kecepatan gerak luar biasa.

Sementara si berwajah cacat itu adalah orang yang sangat kuat. Gerigi kelingnya telah menyentuh lengan Laksana sehingga menggoreskan luka meski tidak begitu dalam, meskipun ia telah berusaha menangkisnya dengan membentur pergelangan tangan itu.

Laksana serta-merta meloncat menjauhi lawan-lawannya untuk mengambil jarak. Ia merasakan pedih yang menyengat. Tetapi kedua lawannya agaknya tidak mau melepaskannya. Mereka bersiap untuk memburunya, ketika tiba-tiba saja mereka tertegun karena tawa di luar arena.

"Bagus” Manggada lah yang ternyata telah tertawa, "ternyata kalian berdua merupakan kekuatan yang sangat dahsyat. Meskipun alasan yang diberikan tamu yang terhormat itu tidak masuk akal, namun terjadilah pengeroyokan oleh dua orang yang ditakuti orang-orang di lingkungan ini. Jika dua raksasa telah maju bersama-sama, maka dapat dibayangkan, betapa besarnya kemampuan dan kekuatan mereka”

"Setan. Siapa kau?" geram tamu orang berwajah cacat itu.

Manggada melangkah pula memasuki arena. Sebenarnya ia cenderung untuk menghindari perkelahian. Tetapi Laksana agaknya bersikap lain, sementara Manggada tidak akan dapat membiarkan Laksana mengalami kesulitan. Bagaimanapun juga, maka Manggada terpaksa melibatkan diri pula.

"Ki Sanak” berkata Manggada, "nampaknya pertempuran menjadi tidak adil karena saudaraku harus bertempur melawan dua orang. Karena itu, maka akupun ingin ikut pula bermain kucing dan tikus yang ternyata sangat menarik ini. Meskipun demikian, segala sesuatunya terserah kepada Ki Sanak. Jika Ki Sanak merasa perlu melibatkan kawan-kawan, kami tidak berkeberatan. Karena kami sudah mengetahui bahwa harga diri Ki Sanak ternyata tidak begitu tinggi. Ki Sanak berusaha menghapus kenyataan dengan alasan yang dibuat-buat, seolah-olah kawanmu yang tidak dapat menerima kedatanganmu dengan baik itu terlalu cengeng, lemah hati dan sangat berbelas kasihan. Padahal, kau tentu tahu bahwa ia memang tidak punya kemampuan untuk melawan saudaraku itu”

"Tutup mulutmu” bentak tamu orang berwajah cacat itu. "Apakah aku harus membungkam mulutmu lebih dahulu?"

"Terserah kepadamu dan kepada kawan-kawanmu. Pokoknya aku akan berkelahi di samping saudaraku. Siapa pun yang ingin melawan kami silahkan memasuki arena. Harga diri agaknya memang tidak begitu penting bagi kalian” berkata Manggada yang kemudian melangkah mendekati adik sepupunya.

Kedua lawan yang garang itu termangu-mangu sejenak. Dua anak muda itu nampaknya memang meyakinkan. Tetapi ketika Manggada menyebut-nyebut harga diri, maka harga diri mereka sebenarnyalah telah tersentuh. Karena itu, kedua orang itu tidak serta-merta memanggil kawan-kawannya untuk ikut memasuki arena.

"Marilah” berkata Manggada kemudian, "kami sudah siap”

"Jika kalian ingin ikut bermain semuanya, kami tidak berkeberatan” berkata Laksana. Lalu, "Dengan demikian kami dan orang-orang di lingkungan ini akan dapat menilai seberapa besar nama kalian dibandingkan dengan harga diri kalian”

"Cukup” bentak orang berwajah cacat itu. "Aku akan membunuhmu”

Manggada dan Laksanapun telah bersiap sepenuhnya. Sementara itu Manggada sempat berbisik, "Kau telah menyeret kita dalam persoalan yang tidak ada artinya seperti ini”

Laksana mengerutkan dahinya. Iapun kemudian menjawab dengan suara yang lambat hampir berdesis, "Siapa bilang tidak ada artinya? Aku merasa mendapatkan petunjuk yang sangat berharga tentang pengembangan ilmuku”

"O” Manggada mengangguk-angguk, "jika itu yang kau maksud, aku sependapat. Tetapi apakah cukup berharga dibandingkan dengan kemungkinan yang bakal terjadi?"

Laksana termangu-mangu. Namun akhirnya ia bergumam, "Sudah terlanjur”

Manggada tidak bertanya lagi. Ia pun harus bersiap sepenuhnya menghadapi lawannya itu. Ternyata bahwa Manggada harus berhadapan dengan orang yang disebut tamu oleh orang yang cacat wajahnya itu, sementara orang yang cacat itu tetap akan berhadapan dengan Laksana. Meskipun orang cacat itu harus mengakui di dalam hati, bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan anak muda itu.

Tetapi ia tidak mempunyai pilihan lain. Ia hanya berharap agar tamunya akan dengan cepat mengalahkan anak muda yang seorang lagi, yang sejak semula hanya melihat-lihat saja. Orang yang berwajah cacat itu berharap bahwa anak muda itu tidak memiliki kemampuan sebagaimana anak muda yang bertempur melawannya.

Jika tamunya itu sudah berhasil, maka ia tentu akan dapat membantunya mengalahkan lawannya itu. Karena itu, maka yang harus dilakukan kemudian adalah justru lebih banyak bertahan saja daripada menyerang.

Demikianlah, sejenak kemudian kedua orang itu telah terlibat dalam pertempuran. Tetapi mereka berdua harus melawan dua orang anak muda. Orang berwajah cacat itu telah kembali lagi dalam keadaannya semula sebelum tamunya itu melibatkan diri. Lawannya, anak muda itu, telah dengan serta-merta mulai mendesaknya lagi, meskipun ia tetap mempergunakan keling bergerigi di tangannya.

Namun ia masih tetap berharap bahwa tamunya akan segera membantunya setelah ia menyelesaikan lawannya. Orang berwajah cacat itu yakin bahwa tamunya tidak akan mengalami kesulitan, karena menurut pengenalannya, tamunya itu adalah orang yang memiliki kemampuan lebih tinggi daripadanya. Sementara itu ia menduga bahwa anak muda yang melawan tamunya tidak memiliki kemampuan seperti lawannya itu.

Sesaat Manggada memang agak canggung. Karena itu, beberapa kali ia justru berloncatan mengambil jarak. Orang berwajah cacat itu menjadi semakin yakin, bahwa dalam waktu dekat tamunya itu akan segera menyelesaikan lawannya, justru karena orang itu sekilas sempat melihat bagaimana lawannya berloncatan surut.

Lawan Manggada itu memang memiliki ilmu yang lebih tinggi dari orang berwajah cacat itu. Karena itu, maka pada benturan-benturan pertama, Manggada masih belum dapat mengetrapkan ilmunya dengan mapan sebagaimana Laksana. Tetapi lawan yang pertama bagi Laksana adalah lawan yang tidak memiliki ilmu setinggi tamu orang yang berwajah cacat itu. Sehingga dengan demikian Laksana dapat menyesuaikan ilmunya dengan tataran selapis demi selapis.

Namun keuntungan Manggada adalah bahwa ia telah menyaksikan Laksana bertempur. Dari pengamatan itu, maka Manggada telah mendapat pengalaman pula yang dapat membantunya melawan tamu dari orang berwajah cacat itu.

Perlahan-lahan Manggada mulai menyesuaikan dirinya. Ia mulai mantap mengetrapkan unsur-unsur gerak yang sudah dipelajarinya dan bahkan iapun mulai mampu mengambil sikap menghadapi unsur-unsur gerak yang baru ditemuinya saat itu, yang dipergunakan oleh lawannya yang jauh lebih berpengalaman.

Untunglah bahwa Manggadapun telah menempa diri dengan latihan-latihan yang berat dan keras. Bahkan sebagai saudara yang lebih tua dalam perguruannya, Manggada memang memiliki kelebihan dari Laksana. Meskipun umur keduanya hanya terpaut setahun, tetapi cara berpikir Manggada memang lebih dewasa dari adik sepupunya.

Apalagi Manggada yang berguru pada pamannya itu telah terpisah dari kedua orang tuanya, sementara Laksana meskipun berguru pada guru yang sama dengan Manggada, tetapi ia berada di rumah sendiri. Gurunya itu adalah juga ayahnya, sehingga ia menjadi lebih manja dari sepupunya.

Meskipun gurunya tidak membedakan antara kedua muridnya, namun perkembangan yang wajar telah terjadi. Manggada yang harus lebih prihatin dari adik sepupunya itu tumbuh menjadi lebih dewasa dari Laksana. Demikian pula penguasaan ilmu mereka. Meskipun pada dasarnya mereka memiliki ilmu yang sama, karena dasar ilmu gurunya telah tertuang seluruhnya, namun Manggada agak lebih dewasa mengendapkan ilmu itu di dalam dirinya.

Karena itu, maka menghadapi lawan yang lebih baik dari orang yang berwajah cacat itu, Manggada segera berhasil mengimbanginya. Karena itu, maka pertempuran di antara merekapun segera meningkat menjadi semakin sengit. Keduanya berusaha untuk meningkatkan kemampuan mereka dan mengatasi lawannya.

Berbekal pengalaman yang panjang, maka tamu orang berwajah cacat itu segera mengetahui bahwa lawannya, anak muda itu adalah seorang yang baru saja keluar dari sebuah perguruan dengan ilmunya yang masih utuh dan lugu. Namun dalam beberapa saat kemudian segera terasa, bahwa anak muda itu dengan cepat berusaha untuk memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh ilmunya. Unsur-unsur geraknya justru mulai berkembang bahkan rasa-rasanya anak muda itu telah diberi beberapa umpan untuk dapat dipecahkannya dengan bekal ilmu yang ada padanya.

Tamu dari orang berwajah cacat itu memang menjadi heran. Anak itu tentu anak yang sangat cerdas. Namun karena itu pula maka orang itupun menjadi semakin berhati-hati. Anak muda yang dijumpainya itu benar-benar anak muda yang luar biasa.

Dalam pada itu, Manggada semakin lama menjadi semakin mapan. Ia justru mulai menilai arti dari latihan-latihan yang dilakukan dengan keras di dalam maupun di luar sanggar. Ia mulai mendapat kesempatan untuk mengetrapkan pesan-pesan gurunya yang sebelumnya hanya dilakukan dengan tidak bersungguh-sungguh betapapun beratnya latihan.

Tetapi dalam perkelahian yang sebenarnya, maka Manggada tidak perlu terlalu banyak mengekang diri. Ia tidak perlu memperhitungkan apakah serangannya akan menyakiti lawannya atau tidak.

Karena itulah, maka semakin lama terasa oleh lawannya, bahwa kemampuan Manggada justru menjadi semakin berat. Semakin lama semakin terasa menekan.

Orang yang berwajah cacat itu ternyata telah menjadi semakin sulit. Betapapun ia mempergunakan senjatanya dengan segenap kemampuannya, tetapi anak muda itu benar-benar mampu berloncatan secepat burung sikatan menyambar bilalang. Namun sekali-sekali serangannya datang dengan dahsyatnya seolah-olah seekor burung garuda menyambar mangsanya.

Orang yang berwajah cacat itu benar-benar sudah kehilangan kesempatan untuk melawan. Beberapa kali tangan Laksana telah mengenai tubuhnya. Bahkan dua kali mengenai keningnya dan sekali menyambar tengkuknya. Rasa-rasanya tulang-tulangnya sudah berpatahan sehingga tubuhnya menjadi semakin lama semakin lemah.

Tetapi yang ditunggu tidak juga segera datang. Tamunya tidak segera dapat mengalahkan anak muda yang ikut turun ke arena itu, yang semula disangkanya tidak mempunyai kemampuan seperti anak muda yang lain yang bertempur melawannya. Namun dalam kesempatan-kesempatan kecil, orang yang berwajah cacat itu melihat bahwa tamunya itu justru mulai terdesak.

"Anak-anak gila” geram orang berwajah cacat itu. Dengan demikian, maka ia tidak lagi mempunyai harapan untuk mendapat pertolongan dari tamunya. Beberapa saat ia masih mencoba bertahan. Namun sementara itu tamunyapun telah mulai disentuh oleh tangan Manggada yang terasa seberat timah hitam.

Karena itu, maka kedua orang yang sedang bertempur itu sama sekali tidak melihat kemungkinan untuk dapat memenangkan pertempuran itu. Tetapi mereka tidak mau dihinakan karena kekalahan mereka, sehingga orang-orang di sekitar tempat itu akan memberikan penilaian yang sangat merugikan kepada mereka.

Karena itu, maka tamu orang berwajah cacat itu, tiba-tiba saja telah memberikan isyarat kepada kawan-kawannya. Kedua orang pengikutnya menjadi ragu-ragu. Hal seperti itu jarang sekali dilakukan. Hanya apabila orang bertubuh tinggi tegap, berjambang dan berjanggut lebat itu membentur lawan yang tidak terkalahkan, barulah ia mengisyaratkan kedua orang itu untuk ikut membantu.

Namun ternyata bahwa isyarat yang hanya mereka berdua sajalah yang mengerti itu telah diberikan. Karena kedua orang itu ragu-ragu, maka tamu orang cacat itu tiba-tiba saja telah berteriak, "He, jangan biarkan anak itu lari. Cepat, kepung anak itu”

Barulah kedua orang pengikutnya yakin, bahwa orang bertubuh tinggi tegap itu memang memerlukan mereka. Karena itu, maka kedua orang pengikutnya itupun telah turun pula ke arena. Dengan serta-merta mereka telah menyergap dengan garangnya.

Manggada memang terkejut melihat kedua orang itu turun. Karena itu, maka iapun harus semakin berhati-hati menghadapi tiga orang lawan. Sebenarnyalah bahwa bertiga lawan Manggada itu menjadi terlalu berat. Manggada yang belum berpengalaman itu telah terlibat dalam pertempuran yang demikian sengitnya.

Di lingkaran pertempuran yang lain, orang berwajah cacat itupun telah memanggil kawan-kawannya pula. Ia sadar, bahwa dua di antara kawannya telah dikalahkan oleh lawannya yang muda itu, sehingga tenaganya tentu sudah susut. Tetapi seorang yang lain masih segar dan belum kehilangan tenaga sama sekali.

Demikianlah, maka Laksanapun harus bertempur menghadapi empat orang lawan. Meskipun dua di antara mereka masih belum pulih, tetapi berempat mereka merupakan kekuatan yang luar biasa.

Beberapa saat lamanya mereka bertempur. Manggada melawan tiga orang, sementara Laksana melawan empat orang. Sedangkan orang berwajah cacat itu masih juga mempergunakan keling di tangannya.

Kedua anak muda itu harus mengerahkan kemampuannya untuk mengatasi lawan-lawannya. Namun bagaimanapun juga ternyata mereka merasa bahwa betapa beratnya bertempur melawan tiga dan empat orang.

Untuk beberapa saat Manggada dan Laksana masih bertahan. Namun akhirnya Manggada tidak dapat ingkar, bahwa ilmunya yang diterimanya selama ia berguru, masih jauh dari mencukupi. Demikian pula Laksana. Ia harus menyadari, bahwa demikian ia lepas dari perguruannya, bukan berarti bahwa ia adalah orang yang terkuat di bawah lengkung langit.

Ketika ia bertempur seorang melawan seorang, maka ia memang merasa bahwa ilmunya seakan-akan mampu mengatasi. Namun kemudian ternyata bahwa ia telah keliru menilai diri, sehingga tidak ada kemungkinan yang paling baik daripada menghindar.

Karena itu, maka pada kesempatan berikutnya, Manggada dan Laksana itupun telah bergeser saling menjauh. Namun dengan isyarat tertentu, maka keduanya telah meloncat meninggalkan arena pertempuran, tanpa mencabut senjata mereka lebih dahulu.

Kedua anak muda itu telah berlari menghindari lawan-lawan mereka. Keduanya ternyata telah memilih arah yang berbeda. Meskipun lawan-lawannya berusaha untuk mengejarnya, tetapi mereka terpaksa berhenti sebelum sempat menangkap.

Lawan-lawannya yang tahu kemampuan kedua anak muda itu tidak mau berpencar. Mereka mengejar kedua anak muda yang berlari ke arah yang berbeda itu dalam kelompok masing-masing. Mereka menyadari, jika mereka berpencar, maka mereka akan dapat menempuh bahaya, karena mereka masing-masing bahkan dua orang di antara mereka bersama-sama tidak akan dapat melawan seorang di antara anak-anak muda itu. Karena itu, demikian kedua anak muda itu masuk ke gelapnya malam, merekapun telah berhenti mengejar.

Beberapa orang di antara mereka terdengar mengumpat. Orang yang berwajah cacat itupun mengumpat pula. Namun orang yang disebut tamunya itu berkata,

"Mereka memang pantas dihukum. Tetapi sebenarnyalah bahwa aku kagum terhadap mereka. Dengan jujur aku katakan, bahwa aku belum pernah bertemu dengan anak-anak muda seperti itu. Baik sikapnya maupun kemampuannya. Nah, siapakah di antara kita, seorang-seorang, merasa bahwa kemampuannya dapat mengimbangi anak muda itu?"

Semua orang terdiam, karena setiap orang memang mengakui di dalam hati, bahwa tidak seorang pun di antara mereka yang mampu mengimbangi kemampuan anak-anak muda itu.

"Sudahlah” berkata tamu orang berwajah cacat itu, "kita lupakan saja mereka. Jika mereka kembali, kita jangan menghiraukannya. Karena jika timbul lagi perselisihan, kitalah yang akan menderita malu. Kita harus mengakui, bahwa kita tidak akan dapat mengalahkannya. Apalagi jika anak-anak itu kembali dengan orang yang paling dihormatinya. Gurunya. Karena aku yakin, menilik unsur-unsur geraknya, kedua anak muda itu adalah murid-murid seperguruan. Mereka agaknya baru saja keluar dari perguruannya untuk melihat cakrawala yang lebih luas dari dunia olah kanuragan. Kita adalah orang yang pertama atau setidak-tidaknya termasuk orang-orang di permulaan usaha mereka untuk menjajagi kemampuan mereka sendiri sebagaimana anak-anak muda yang baru mendapatkan ilmu. Menurut penglihatanku yang sekilas, nampaknya mereka bukan orang-orang jahat yang pantas untuk dihukum atau pemeras-pemeras seperti kita”

Orang berwajah cacat itu sama sekali tidak menjawab. Tetapi ia membenarkan di dalam hati, bahwa dua orang anak muda itu sulit untuk dikalahkan. Apalagi jika kemudian datang gurunya atau saudara tua seperguruan.

"Sekarang kita akan membicarakan urusan kita sendiri” berkata orang yang disebut tamu orang cacat di wajahnya itu.

Orang berwajah cacat itu mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian berkata, "Tetapi kedai-kedai itu sudah tutup”

"Bukankah kau dapat memaksa salah seorang di antara mereka membuka kedainya?" bertanya tamunya itu.

Orang berwajah cacat itu mengangguk-angguk. Jawabnya, "Baiklah. Aku akan memaksa mereka membuka pintu kedainya”

Sebenarnyalah orang berwajah cacat itu telah memaksa pemilik kedai yang telah menutup pintunya itu untuk membuka kembali. Pemilik kedai itu memang tidak akan dapat menyatakan keberatannya, karena jika demikian maka akibatnya akan sangat buruk baginya.

Sementara itu, Manggada dan Laksana masih berlari-lari kecil menjauhi padukuhan itu. Mereka memang terpisah. Namun beberapa saat kemudian, keduanya telah berusaha menemukan jalan induk. Keduanya memang saling mencari untuk beberapa saat.

Namun akhirnya merekapun dapat saling menemukan. Ketika Manggada berjalan menyusuri jalan induk di malam yang gelap, maka diketemukannya adik sepupunya itu duduk di bawah sebatang pohon di pinggir jalan yang sepi, meskipun di siang hari jalan itu cukup ramai.

Manggadapun kemudian telah duduk pula di sampingnya. Ternyata keduanya memang terengah-engah. Untuk beberapa saat keduanya berdiam diri. Sementara itu Laksana malahan bersandar pada batang pohon itu.

Baru sejenak kemudian Manggada berkata, "Rasa-rasanya kita sudah puas sempat berlari-lari dalam kegelapan. Hampir saja aku terperosok ke dalam sumur sebelum aku keluar dari padukuan itu”

Laksana menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba saja ia tertawa. Katanya, "Bukankah kita telah mendapat satu pengalaman yang menarik? Dengan demikian kita dapat menilai diri kita sendiri”

"Bagaimana kita dapat menilai diri kita?" bertanya Manggada. "Kita tidak mempunyai takaran, apakah orang-orang itu dianggap memiliki kemampuan tinggi, sedang, atau justru berkemampuan sangat rendah. Jika ternyata menurut ukuran dunia olah kanuragan, orang-orang itu berkemampuan sangat rendah, maka alangkah bodohnya kita”

"Kita harus mengambil takaran yang lain” berkata Laksana.

"Maksudmu?" bertanya Manggada.

"Kita akan berkelahi lagi” jawab Laksana pula.

Manggada mengerutkan keningnya. Dengan nada heran ia bertanya, "Dengan siapa?"

"Kita harus menguji ilmu kita dengan siapa pun kita berkelahi” jawab Laksana.

"Itulah yang dicemaskan oleh paman” jawab Manggada. "Kita tidak perlu berbuat demikian”

"Tetapi bukankah terasa manfaatnya bahwa kita telah bertempur dengan orang-orang itu?" bertanya Laksana. Lalu katanya, "Dengan demikian kita dapat menjajagi kemampuan kita serta kesempatan untuk mengembangkan unsur-unsur gerak yang pernah kita pelajari. Ternyata kadang-kadang kita berhadapan dengan unsur gerak yang tidak terduga sebelumnya dan tidak dapat diatasi dengan unsur gerak yang manapun yang pernah kita kuasai. Namun bukan berarti bahwa kita harus gagal. Pada saat demikian itulah maka unsur gerak yang kita kuasai itu berkembang. Jika tidak, maka tubuh kita akan disakiti. Tanpa memaksa diri dengan cara itu, maka perkembangan ilmu kita akan lambat”

Tetapi Manggada menggelengkan kepalanya. Katanya, "Tetapi aku tidak sependapat dengan caramu. Mungkin kita dapat melakukannya dengan orang-orang lain yang memiliki ilmu dari keturunan perguruan yang lain yang dapat berlatih bersama kita. Dengan demikian kita tidak perlu berkelahi tanpa sebab”

"Kenapa harus menunggu sampai ada orang lain menolong kita? Baiklah. Kita memang tidak perlu memancing persoalan. Tetapi jika persoalan itu datang kepada kita, maka kita tidak akan menghindar” berkata Laksana.

Manggada menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Untuk beberapa saat lamanya keduanya duduk berdiam diri di bawah pohon di pinggir jalan itu. Laksana yang bersandar pada batangnya yang cukup besar justru mulai terkantuk-kantuk. Angin malam yang sejuk mengusap wajahnya dengan lembut.

Namun sambil memejamkan matanya Laksana itu sempat berkata, "Mudah-mudahan ada penyamun lewat dan ingin menyamun kita”

"Ah, kau ini ada-ada saja” desis Manggada.

Laksana tertawa. Namun tiba-tiba saja ia berkata, "Marilah. Kita berjalan terus. Bulak di hadapan kita adalah bulak yang panjang. Mungkin kita mempunyai kesempatan untuk dirampok orang”

"Jangan mengigau begitu” potong Manggada.

Laksana masih saja tertawa. Katanya, "Apakah salahnya mencari pengalaman? Bukankah pengalaman akan dapat menjadi guru yang sangat baik?"

"Ah, kau” geram Manggada.

Tetapi Laksana masih saja tertawa. Bahkan kemudian iapun telah menarik tangan Manggada sambil berkata, "Marilah. Kita berjalan terus”

Manggada tidak dapat menolak. Iapun kemudian bangkit dan melangkah meneruskan perjalanan. Dalam gelapnya malam mereka menyusuri jalan yang agaknya menuju ke tempat-tempat terpenting di sekitar tempat itu. Meskipun keduanya belum mengetahui dengan pasti, namun keduanya mengerti bahwa jalan yang mereka lalui adalah jalan yang paling banyak dilewati orang di siang hari.

"Mungkin jalan ini menuju ke padukuhan induk sebuah kademangan yang besar” berkata Laksana.

"Kita baru dapat menentukan arah besok pagi” berkata Manggada. "Bahkan mungkin kita menempuh jalan yang salah”

"Tidak banyak berarti” jawab Laksana. "Jika kita salah jalan, kita akan mencari jalan kembali ke garis lurus yang harus kita lewati. Kita akan tetap mempunyai ancar-ancar. Sementara itu seharusnya kau dapat mengenali jalan menuju ke rumahmu itu”

"Tetapi jika kita berjalan di malam hari, memang agak sulit untuk mengenalinya. Apalagi sudah lama aku tidak lewat jalan itu lagi” jawab Manggada.

"Tidak apa-apa” berkata Laksana. "Kita mempunyai waktu tidak terbatas”

"Tetapi bekal kitalah yang terbatas” berkata Manggada. "Jika kita tidak sampai ke tujuan pada waktunya, sementara itu bekal itu habis di jalan, apa yang kita lakukan? Minta-minta? Atau sekaligus menjajagi ilmu kita, kita akan merampok?"

Laksana termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Kita akan berusaha untuk menyelesaikan perjalanan kita sebelum bekal kita habis”

Manggada tidak menjawab. Tetapi ternyata mereka masih saja berjalan terus. Namun Laksanapun ternyata tidak mau memasuki padukuhan-padukuhan yang ada di hadapan mereka. Ia lebih senang menghindari gardu-gardu yang biasanya terdapat di belakang regol padukuhan.

"Kenapa kita menghindari mereka?" justru Manggadalah yang bertanya kemudian.

"Buat apa bersusah-susah melayani mereka? Mereka tentu akan bertanya tentang seribu macam soal sehingga mungkin dapat membuatku marah” sahut Laksana.

"Bukankah kau memang ingin berkelahi?" bertanya Manggada.

"Tetapi tidak dengan anak-anak padukuhan. Tidak ada gunanya sama sekali. Mereka bukan orang-orang yang memiliki kemampuan yang dapat memberikan pengalaman bagi kita” jawab Laksana.

Manggada tidak menjawab. Tetapi sebenarnya ia bingung. Apakah Laksana memang segan bertengkar dengan mereka atau justru karena kesombongannya sehingga ia menganggap anak-anak muda itu tidak berarti bagi pengalamannya.

Untuk beberapa saat keduanya berjalan sambil berdiam diri. Manggada dan Laksana sempat menilai peristiwa yang baru saja terjadi. Laksana menganggap bahwa pengalaman yang diperoleh itu telah memberikan manfaat baginya. Sementara itu, Manggadapun mengakui bahwa pertempuran itu telah membuka pintu pengalaman yang berharga bagi perjalanan ilmu mereka. Tetapi Manggada tidak sependapat bahwa cara seperti itu akan selalu ditempuh oleh Laksana.

Selain akan dapat menumbuhkan permusuhan dan dendam, suatu ketika mungkin mereka akan membentur kekuatan yang tidak teratasi. Bukan berarti bahwa mereka harus ketakutan menghadapi ilmu yang lebih tinggi, tetapi sebab dari benturan ilmu itu sendiri harus berarti. Bukan justru dicari-cari.

Untuk beberapa saat lamanya keduanya masih saja berdiam diri. Sementara malam menjadi semakin dalam. Jika mereka berjalan melalui jalan yang dekat dengan mulut-mulut lorong di padukuhan, maka merekapun melihat obor yang menyala di pintu gerbang atau di gardu-gardu. Tetapi keduanya tidak berniat untuk berjalan melalui gerbang-gerbang padukuhan yang pada umumnya terdapat gardu-gardu perondan di dekatnya.

Namun beberapa saat kemudian Laksanapun berkata, "Apakah kita akan berjalan terus semalam suntuk?"

"Bukankah kau yang ingin berjalan terus untuk mendapatkan kemungkinan bertemu dengan penyamun di malam hari atau perampok yang berpapasan di jalan ini?" jawab Manggada.

Laksana terrpangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Jika demikian aku mempunyai usul baru”

"Apa?" bertanya Manggada.

"Kita beristirahat” jawab Laksana. "Agaknya aku mulai kantuk dan letih”

Manggada mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian berkata, "Dimana menurut pendapatmu tempat yang terbaik untuk beristirahat?"

"Biasanya kedai-kedai yang besar memberikan tempat untuk menginap. Biasanya bagi para pedagang yang kemalaman atau tempat yang memang diperuntukkan bagi pertemuan para pedagang dari berbagai tempat yang jauh akan dapat diberikan tempat meskipun mungkin kurang baik” berkata Laksana. "Bukankah ayah pernah mengatakannya tentang hal itu?"

"Tetapi kita bukan pedagang” sahut Manggada.

"Tentu bukan soal, asal kita juga membayar seperti seorang pedagang. Atau kita dapat mengaku pedagang. Atau kita dapat mengaku sebagai seorang pedagang yang kemalaman” berkata Laksana.

Manggada mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian berkata, "Malam telah larut. Apakah tidak sebaiknya kita mencari pengalaman lain. Kita dapat bermalam dimana saja. Kita akan mencari sebuah pategalan yang agaknya tidak terlalu sering didatangi orang atau padang perdu atau tempat-tempat lain yang barangkali baik untuk bermalam”

Tetapi Laksana mengerutkan keningnya. Katanya, "Setiap saat hujan dapat turun. Lihat, beberapa lembar awan lewat di depan wajah langit”

"Apa salahnya hujan turun? Tentu para petani yang sawahnya tidak terjangkau oleh parit-parit dan sungai-sungai buatan yang sengaja digali untuk menyalurkan air ke bulak-bulak akan sangat berterima kasih jika hujan turun. Apalagi bagi mereka yang sudah mulai menanam padi seperti sawah sebelah” sahut Manggada.

"Tetapi sawah sebelah mendapat air dari parit itu” berkata Laksana.

"Ya sawah di sebelah-menyebelah jalan itu. Tetapi di tempat lain parit itu tidak akan menjangkaunya” jawab Manggada.

Laksana tidak segera menjawab. Namun kemudian katanya seakan-akan ditujukan kepada diri sendiri, "Tetapi lebih baik kita mencari penginapan. Di penginapan kita akan dapat memesan minuman dan makanan. Setidak-tidaknya untuk makan pagi besok”

"Bukankah pengalaman akan dapat menjadi guru yang baik?" bertanya Manggada.

"Lebih baik mencari pengalaman tentang olah kanuragan daripada sekedar tidur di pategalan dikerumuni nyamuk dan barangkali anjing-anjing liar” jawab Laksana.

Manggada menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat memaksa adik sepupunya. Karena itu, maka katanya, "Baiklah. Tetapi kaulah yang mencari penginapan”

"Tentu kita berdua” sahut Laksana.

Manggada terdiam. Mereka berdua berjalan menyusuri jalan di tengah-tengah bulak. Namun ketika jalan itu menuju ke sebuah padukuhan yang besar, maka Laksana berkata,

"Kita memasuki padukuhan itu. Mungkin di padukuhan itu terdapat sebuah kedai yang besar yang memberikan tempat untuk menginap”

"Jadi kita akan memasuki gerbang padukuhan itu?" bertanya Manggada.

"Ya. Tentu saja kita akan mengaku pedagang yang kemalaman di perjalanan” jawab Laksana.

"Pedagang apa? Kita tidak membawa apapun dan barangkali tampang dan pakaian kita tidak menunjukkan bahwa kita adalah pedagang” desis Manggada.

Laksanapun mengangguk-angguk. Katanya, "Kita memang harus menyiapkan jawaban atas pertanyaan orang-orang yang tentu ada di gardu di belakang gerbang itu”

"Nah, kaulah yang harus menyediakan jawaban itu” berkata Manggada.

Laksana mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Baiklah. Kita akan mengatakan kepada mereka, bahwa kita adalah dua orang yang sedang menempuh perjalanan karena satu kepentingan keluarga. Tentu tidak ada orang yang berhak bertanya kepentingan itu, karena itu sifatnya sangat pribadi”

Manggada mengangguk-angguk. Tetapi ia masih juga bertanya, "Jadi kita tidak mengaku sebagai pedagang?"

"Tidak. Daripada kita akan mengalami kesulitan jika mereka bertanya lebih jauh” jawab Laksana.

Manggada mengangguk-angguk. Ia harus menyesuaikan diri dengan rencana Laksana itu, agar jawaban mereka tidak bersimpang siur.

Demikianlah, maka mereka berdua telah menuju ke padukuhan besar di hadapan mereka. Tidak seperti yang telah mereka lakukan, menyimpang melalui jalan-jalan yang lebih kecil. Seperti yang mereka duga, mereka harus berhenti di gerbang itu yang memang terdapat sebuah gardu ronda. Beberapa anak muda yang bertugas malam itu telah menghentikan mereka.

"Siapakah kalian?" bertanya anak muda yang bertanggung jawab di gardu malam itu.

"Kami adalah pejalan yang kemalaman” jawab Laksana.

"Pengembara?" bertanya anak muda itu lagi.

"Bukan. Tetapi kami dalam perjalanan menuju ke rumah saudara kami karena satu keperluan keluarga” jawab Laksana.

"Keperluan apa?" bertanya anak muda itu lagi.

"Maaf, Ki Sanak” jawab Laksana, "keperluan kami adalah sangat pribadi, sehingga kami tidak dapat menyebutkan di hadapan Ki Sanak”

Anak muda itu mengangguk-angguk. Tetapi ia masih bertanya lagi, "Sekarang kalian berdua akan pergi kemana?"

"Kami akan bermalam di padukuhan ini” jawab Laksana yang kemudian justru bertanya, "Ki Sanak, apakah di padukuhan ini ada penginapan?"

Anak muda itu termangu-mangu. Iapun kemudian berpaling kepada kawan-kawannya sambil berkata, "Apakah kita dapat membiarkan mereka pergi ke penginapan? Sementara orang-orang di penginapan itu sedang bersiap-siap menghadapi kemungkinan buruk itu?"

Beberapa anak muda yang berdiri di depan gardunya itupun saling berpandangan sejenak. Namun seorang di antara mereka melangkah maju sambil bertanya, "Apakah bukan justru keduanya itu yang harus dicurigai?"

Tetapi anak muda yang bertanggung jawab di gardu itu menggeleng. "Aku tidak mencurigai mereka menilik ujud dan sikap mereka. Apalagi mereka masih terlalu muda, lebih muda dari kita”

Manggada dan Laksana yang mendengar jawaban anak muda yang bertanggung jawab di gardu itu menarik nafas dalam-dalam. Mereka berharap bahwa mereka mendapat kesempatan untuk bermalam di penginapan tanpa harus menjawab pertanyaan yang terlalu menjemukan.

Bahkan anak muda itu justru berkata, "Bahkan sebaiknya kita memberitahukan kepada mereka, bahwa penginapan itu justru baru bersiap-siap menghadapi kemungkinan buruk”

Anak-anak muda yang lain mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, "Terserah saja kepadamu”

Pemimpin dari para peronda malam itupun kemudian berkata kepada Manggada dan Laksana, "Anak-anak muda, di padukuhan ini memang terdapat sebuah penginapan. Tetapi pada saat ini, keresahan baru tertuju pada penginapan itu”

"Apa yang terjadi di penginapan itu?" bertanya Manggada.

"Dua orang yang sedang menginap di penginapan itu merasa terancam jiwanya. Kedua orang itu merasa bahwa sekelompok orang akan datang kepada mereka dan berusaha membunuh mereka” jawab anak muda itu.

"Kenapa? Siapakah yang bersalah di antara mereka? Apakah kedua orang itu telah melakukan kesalahan sehingga sekelompok orang akan mengejar mereka, atau sekelompok orang itu yang akan berbuat kejahatan?" bertanya Laksana.

Anak muda yang memimpin sekelompok peronda itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian jawabnya, "Aku tidak tahu. Tetapi nampaknya Ki Bekel dan Ki Jagabaya yang mendapat laporan tentang kemungkinan itu telah berpihak kepada kedua orang yang ada di penginapan. Selain dari itu, jika penginapan itu memberikan kesan yang buruk, maka penginapan itu akan menjadi tidak laku. Dengan demikian, maka penghasilan dari padukuhan ini dari pajak yang diberikan oleh penginapan itu akan menjadi susut”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sementara itu anak muda yang bertanggung jawab di gardu itu bertanya, "Nah, terserah kepada kalian. Jika kalian tidak ingin terlibat ke dalam kesulitan yang mungkin terjadi di penginapan itu, maka kalian dapat tinggal disini bersama kami. Kalian dapat tidur di gardu itu. Sementara besok kalian dapat mandi di rumahku”

"Terima kasih” jawab Manggada.

Namun Laksana menjawab, "Ki Sanak, kami sangat berterima kasih atas tawaran itu. Tetapi kami tidak ingin merepotkan kalian. Apalagi kesulitan di penginapan itu, bukankah belum pasti akan terjadi?"

"Terserah kepada kalian” jawab anak muda itu. "Tetapi aku telah memberi peringatan kepadamu. Jika terjadi sesuatu, kalian tidak akan terkejut lagi karenanya”

Manggada dan Laksana termangu-mangu. Justru niat baik itu telah menyentuh hati mereka. Karena itu, maka bukan sepantasnya keduanya menolak niat baik itu. Juga untuk melepaskan diri dari tuduhan bahwa keduanya terlibat dalam persoalan yang tidak mereka ketahui itu, maka Manggadapun kemudian berkata,

"Jika demikian, maka biarlah kami bermalam di gardu ini saja”

"Jika itu keputusan kalian, silahkan. Dengan demikian, maka kalianpun telah menempatkan diri kalian pada tempat yang tidak akan terkait dengan persoalan yang dapat terjadi di penginapan itu. Kalian pun tidak akan dapat dicurigai menjadi ujung paruh sekelompok orang yang akan menyerang penginapan itu, meskipun aku sendiri tidak mencurigai kalian” berkata anak muda yang memimpin kawan-kawannya di gardu perondaan itu.

"Terima kasih” sahut Manggada dan Laksana hampir berbarengan.

Demikianlah, maka kedua orang anak muda itu telah dipersilahkan naik ke gardu. Keduanya telah dipersilahkan untuk tidur di gardu yang sengaja dibuat agak gelap, setelah mereka meletakkan obor agak jauh dari gardu itu.

Manggada dan Laksanapun tidak lagi memikirkan penginapan yang telah diancam oleh sekelompok penjahat. Ketika anak-anak muda yang meronda itu agaknya tidak lagi menghiraukan mereka, maka keduanyapun telah terbaring dalam bayangan gelap di gardu itu.

Tetapi keduanya cukup berhati-hati. Meskipun keduanya telah terbaring, namun keduanya telah bersepakat untuk tidur bergantian. Yang mula-mula tidur adalah Laksana. Manggada akan membangunkannya bila malam menjelang dini hari. Dan sebelum terang tanah keduanya harus sudah bangun dan meninggalkan gardu itu. Mereka memang tidak perlu singgah untuk mandi di rumah anak muda yang memimpin kawan-kawannya malam itu di gardu vang ternyata baik hati kepada mereka berdua.

Sejenak kemudian Laksana yang mempercayakan pengamatan suasana kepada Manggada ternyata telah tertidur. Tarikan nafasnya yang teratur memang menunjukkan bahwa ia benar-benar tidur nyenyak karena badannya yang agak penat. Meskipun keduanya tidak sempat mandi dan membenahi diri, tetapi mereka tidak merasa terganggu. Lebih-lebih Laksana, yang sebentar kemudian telah bermimpi.

Beberapa saat lamanya tidak terjadi sesuatu yang dapat mengganggu anak-anak muda padukuhan itu. Dua orang telah duduk di bibir gardu tanpa mengganggu Laksana yang tertidur. Dua orang yang lain duduk di dekat perapian, sementara dua yang lain bermain macanan di bawah obor yang ditancapkan tidak terlalu dekat dengan gardu itu, sedangkan beberapa orang berjaga-jaga di luar regol padukuhan.

Nampaknya kabar tentang akan datangnya sekelompok orang yang akan membunuh dua orang di penginapan itu telah mencengkam setiap orang, sehingga anak-anak muda itu semakin malam menjadi semakin gelisah.

Manggada yang masih belum tertidur merasakan kegelisahan itu. Bahkan anak-anak yang mencoba melupakan kegelisahan itu dengan bermain macananpun tidak dapat memusatkan nalar dan perhatian mereka kepada permainan itu, sehingga akhirnya merekapun menjadi jemu.

Seorang yang agaknya tidak mempunyai keberanian cukup, justru telah menjadi terlalu banyak minum. Setiap jantungnya berdegup keras, maka diteguknya air dingin di gendi yang terletak di sisi gardu. Beberapa kali ia meneguk air gendi itu sehingga rasa-rasanya perutnya menjadi gembung.

Manggada yang berbaring diam itu kemudian mendengar seorang di antara para peronda itu berkata, "Jika mereka masuk melalui gerbang ini, maka kita adalah orang-orang yang pertama mengalami bencana”

"Kita tidak seorang diri” jawab kawannya. "Jika perlu kita pukul kentongan, maka Ki Bekel dan Ki Jagabaya akan segera datang kemari”

Anak muda yang pertama mengangguk-angguk. Tetapi ia masih menjawab, "Yang harus kita perhitungkan adalah jarak waktu antara kesulitan yang datang itu dengan kedatangan Ki Bekel dan Ki Jagabaya”

"Tetapi Ki Bekel dan Ki Jagabaya tidak dapat berada di salah satu pintu gerbang padukuhan ini. Mungkin mereka akan memasuki padukuhan ini melalui pintu gerbang yang lain. Atau bahkan sama sekali tidak melalui pintu gerbang yang manapun, karena mereka datang dengan meloncati dinding” jawab kawannya.

Keduanya ternyata telah terdiam beberapa saat. Namun bagi Manggada, maka pembicaraan itu dapat diartikannya sebagai satu kenyataan betapa gelisahnya anak-anak muda di padukuhan itu. Sementara itu, mereka masih belum tahu pasti, apakah dua orang yang berada di penginapan itu bukannya justru yang bersalah, sehingga karena perasaan bersalah itu demikian mencengkam mereka, maka mereka merasa sekelompok orang telah mengejar mereka, bahkan untuk membunuh mereka.

Tetapi Manggada masih tetap berdiam diri saja. Bahkan ia sempat merasakan betapa segarnya udara di malam hari. Sambil berbaring maka rasa-rasanya ia benar-benar dapat mengendorkan urat-uratnya yang tegang selama dalam perjalanan, bahkan perkelahian yang telah terjadi sepanjang perjalanannya.

Namun dalam keadaan yang demikian, Manggada telah berniat untuk melihat apa yang akan terjadi di padukuhan itu. Bahkan iapun merasa wajib untuk membantu jika anak-anak muda padukuhan itu yang ternyata telah berbaik hati kepadanya mengalami sesuatu.

Demikianlah, ketika malam menjadi semakin larut, justru menjelang dini hari, Manggada telah menyentuh Laksana agar ia bangun dan menggantikannya. Manggada telah merasa mengantuk sekali, sehingga jika ia masih saja berbaring dalam keadaan seperti itu, maka ia tentu akan segera tertidur.

Laksana memang segera terbangun. Ia mengerti akan tugasnya. Ia harus menggantikan Manggada berjaga-jaga, karena mereka tidak tahu apa yang bakal terjadi di gardu itu. Namun Laksana masih juga berbisik,

"Jika kita bermalam di penginapan, kita tidak perlu bergantian berjaga-jaga dan kita mendapat tempat yang lebih baik dari alas gardu yang keras ini”

"Apakah kita akan pergi ke penginapan?" bertanya Manggada.

"Untuk apa?" bertanya Laksana. "Sebentar lagi hari akan menjadi pagi”

Manggada tersenyum. Namun iapun kemudian memejamkan matanya sambil berkata perlahan, "Pokoknya kau harus berjaga-jaga sejak sekarang”

Laksana tidak menjawab. Namun ia telah mengusap matanya. Menggeliat dan bahkan bangkit duduk di sudut gardu itu. Dua orang anak muda yang berdiri di depan gardu berpaling.

Seorang di antara merekapun berkata, "Masih belum pagi. Kau sudah bangun?"

Laksana menjawab asal saja, "Udara terasa panas di gardu ini”

Anak muda itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia menjawab, "Aku justru merasa sangat dingin”

Laksana menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak menjawab. Untuk beberapa saat Laksana masih duduk bersandar dinding gardu itu. Namun tiba-tiba saja Manggada bergerak dengan tiba-tiba memiringkan tubuhnya dan melekatkan kepalanya di lantai gardu yang bertiang agak tinggi.

Laksana termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian telah bergeser menepi dan turun pula dari gardu itu, diikuti oleh Manggada. Berdua mereka bergeser ke samping gardu dan menempelkan telinga mereka.

"Kau dengar?" bertanya Manggada.

"Tetapi tidak begitu jelas” jawab Laksana.

Keduanya kemudian telah bergeser ke tengah jalan sambil berkata kepada anak-anak yang ada di sekitarnya, "Minggir. Jangan berdiri di jalan”

"Ada apa?" bertanya salah seorang di antara anak-anak muda itu.

"Cepat” teriak Manggada.

Hampir di luar sadar, maka anak-anak muda itu sudah bergeser keluar dari jalur jalan padukuhan itu.

"Kuda” Manggada hampir berteriak. "Aku mendengar derap kaki kuda. Tidak hanya seekor, tetapi beberapa ekor kuda”

Anak muda yang bertanggung jawab di pintu gerbang itu dengan cepat meloncat mendekat. Dengan keras ia bertanya, "Dari mana kau tahu bahwa ada beberapa ekor kuda berderap di jalan ini? Menjauh atau mendekat?"

"Tentu mendekat” jawab Manggada.

Anak muda itu mencoba menempatkan telinganya di jalan itu, sebagaimana dilakukan oleh Laksana dan Manggada. Tetapi mereka tidak dapat menangkap derap kaki kuda sebagaimana didengar oleh Laksana dan Manggada. Karena itu, maka anak muda itupun bertanya, "Kau yakin akan pendengaranmu?"

"Ya” jawab Manggada.

"Jika demikian aku harus memberitahukan kepada Ki Bekel dan Ki Jagabaya” berkata anak muda itu. Lalu iapun berteriak, "Pukul kentongan”

"Jangan bodoh” potong Manggada. "Dengan demikian maka mereka tidak akan melanjutkan perjalanan ke padukuhan ini. Tetapi mungkin mereka memang orang-orang berkuda yang tidak mempunyai kepentingan apa-apa disini atau orang-orang yang tidak ada hubungannya dengan kita. Sebaliknya, jika mereka berniat jahat dan tidak mengurungkan niatnya memasuki padukuhan ini, maka mereka tentu orang-orang yang berilmu tinggi”

"Lalu, apa yang sebaiknya kita lakukan?" bertanya anak muda yang memimpin kawan-kawannya di gardu itu.

"Panggil Ki Bekel dan Ki Jagabaya. Cepat, tanpa isyarat kentongan” jawab Manggada. "Kuda-kuda itu masih agak jauh. Tetapi jika kuda-kuda itu datang lebih dahulu, kita akan menghentikannya dan bertanya tentang banyak hal kepada mereka, sehingga saatnya Ki Bekel dan Ki Jagabaya datang. Sementara itu, ada di antara kalian yang menghubungi orang yang merasa dirinya terancam oleh sekelompok orang. Biarlah mereka mengenali orang-orang berkuda itu. Apakah orang-orang berkuda itulah yang mereka maksud atau bukan”

Anak muda yang memimpin kawan-kawannya itu ternyata mampu bergerak cepat. Iapun segera memilih dua orang pelari cepat untuk menghubungi Ki Bekel dan Ki Jagabaya. Sementara itu, merekapun telah mendapat pesan agar mereka pergi ke penginapan untuk memberitahukan kepada kedua orang yang merasa dirinya terancam.

Sejenak kemudian kedua orang itupun telah berlari meninggalkan gardu dan menuju ke banjar, karena Ki Bekel dan Ki Jagabaya serta beberapa orang bebahu yang lain memang bersiaga di banjar.

Sementara itu, anak-anak muda yang berada di pintu gerbangpun segera besiap. Manggada tidak jadi tidur di ujung malam. Tetapi bersama Laksana ia perada di antara anak-anak muda padukuhan itu.

Beberapa saat lamanya anak-anak muda itu menunggu dalam ketegangan. Mereka berharap bahwa Ki Bekel dan Ki Jagabaya datang lebih dahulu dari orang-orang berkuda yang tentu menjadi semakin dekat.

Sebenarnyalah sejenak kemudian anak-anak muda itu telah mendengar derap kaki kuda. Mereka tidak perlu melekatkan telinga mereka di atas tanah. Tanpa ilmu apapun juga, merekapun kemudian dapat menduga, bahwa yang datang tentu lebih dari seekor kuda.

"Ki Bekel dan Ki Jagabaya belum datang” berkata anak muda yang memimpin kawan-kawannya yang bertugas di gerbang itu.

"Kau yang mengambil sikap sekarang. Bukankah kau pemimpin disini saat ini?" bertanya Manggada.

"Tetapi aku tidak tahu apa yang harus kita lakukan” jawab anak muda itu. Namun tiba-tiba saja ia berkata, "Kau sajalah yang mengambil alih pimpinan”

"Aku bukan penghuni padukuhan ini” jawab Manggada.

"Hanya untuk menghadapi orang-orang itu saja. Nanti aku akan memberikan laporan kepada Ki Bekel dan Ki Jagabaya. Yang lain-lain biarlah kami yang melakukannya” berkata anak muda itu dengan gagap. Lalu katanya, "Bukan karena kami ketakutan. Jika kalian harus mempergunakan kekerasan, maka kami semua akan ikut pula membantu kalian. Itu tugas kami. Tetapi aku kebingungan menghadapi persoalannya”

Manggada termangu-mangu sejenak. Sementara itu Laksana berkata, "Ambil alih saja pimpinan. Jika kau tidak mau, aku akan melakukannya”

Manggada memang menjadi ragu-ragu. Namun akhirnya ketika derap kaki kuda itu terdengar semakin jelas, iapun berkata, "Baik. Aku ambil alih pimpinan. Tetapi sebelum Ki Bekel dan Ki Jagabaya datang, semua tunduk kepadaku. Apakah kalian bersedia?"

"Bersedia” hampir di luar sadar anak-anak muda itu menjawab.

Demikianlah, maka Manggada pun telah berdiri di tengah-tengah pintu gerbang bersama Laksana. Beberapa orang anak muda telah diminta untuk membawa obor dan berdiri di sebelah-menyebelah, sementara itu pintu gerbang padukuhan itu masih terbuka sepenuhnya.

Sementara itu, beberapa ekor kuda memang berlari kencang menuju ke padukuhan itu. Ketika iring-iringan kecil itu menjadi semakin dekat, maka para penunggang kuda itupun melihat, beberapa orang anak muda berdiri di tengah-tengah pintu gerbang, sehingga karena itu, maka orang yang berkuda di paling depan harus memberikan isyarat agar iring-iringan itu berhenti.

Beberapa orang penunggang kuda itu dengan tangkasnya telah menarik kendali kuda masing-masing, sehingga kuda-kuda itupun dengan serta-merta telah berhenti di depan pintu gerbang. Seekor di antaranya yang agak terkejut telah meringkik sambil berdiri pada kedua kaki belakangnya. Namun penunggangnya yang trampil telah berhasil menguasainya.

"Maaf, Ki Sanak” Manggadalah yang melangkah ke depan. "Kami adalah anak-anak muda padukuhan ini yang sedang meronda. Kami agak terkejut mendengar derap kedatangan beberapa ekor kuda di malam yang justru hampir sampai pada dini hari”

"Kami juga minta maaf, anak-anak muda” berkata orang yang agaknya memimpin kawan-kawannya. "Kami mohon ijin untuk memasuki padukuhanmu dan bertemu dengan dua orang yang menurut penyelidikan kami bermalam di sebuah penginapan di padukuhan ini”

"Apakah demikian pentingnya sehingga Ki Sanak harus menemuinya sekarang?" bertanya Manggada.

"Anak muda” jawab pemimpin sekelompok orang berkuda itu, "mereka terlalu licik. Kami takut kalau kami akan kehilangan jejak. Karena itu, ijinkanlah kami datang ke penginapan itu. Kami tidak akan berurusan dengan orang lain, kecuali dengan kedua orang itu”

"Ki Sanak” berkata Manggada, "di padukuhan ini terdapat tatanan dan paugeran. Karena itu, maka kami berharap Ki Sanak mempertimbangkannya. Ki Sanak tidak akan dapat berbuat sesuatu tanpa memperhatikan paugeran itu”

"Apakah yang harus aku lakukan?" bertanya orang itu.

"Bertemu dan berbicara dengan Ki Bekel” jawab Manggada.

"Baiklah. Kami tidak berkeberatan. Tetapi beri kesempatan kami untuk meyakinkan diri, bahwa orang itu tidak akan lari. Kami akan berada di penginapan itu. Kemudian kami akan berbicara dengan Ki Bekel. Kami berjanji bahwa kami akan bertindak setelah kami berbicara dengan Ki Bekel atau orang yang ditugaskannya” jawab pemimpin kelompok itu.

Manggada mengerutkan keningnya. Menurut pertimbangan nalarnya orang itu tentu bukan sekelompok penjahat. Mereka nampaknya mengenal tertib dan unggah-ungguh. Wajah-wajah merekapun tidak nampak garang dan bengis, bahkan sikap mereka memang menjauhkan mereka dari dugaan bahwa mereka adalah perampok-perampok.

Namun dalam pada itu, Manggada berkata, "Ki Sanak, kami telah mengundang Ki Bekel dan Ki Jagabaya demikian kami mendengar derap kaki kuda kalian. Karena itu, kami mohon kalian menunggu barang sebentar”

"Tetapi apakah anak muda berani menanggung bahwa kedua orang itu tidak akan lari?" bertanya orang itu.

"Bukan kewajiban kami untuk menahan mereka agar tidak melarikan diri” jawab Manggada.

"Anak muda” berkata pemimpin dari orang-orang berkuda itu, "kami mohon kesediaan anak-anak muda untuk menolong kami. Memberi kesempatan kepada kami untuk menemui kedua orang itu. Dengan syarat apapun juga yang harus kami penuhi”

"Kami mohon Ki Sanak menunggu Ki Bekel” berkata Manggada.

Pemimpin dari orang-orang berkuda itu menarik nafas dalam-dalam. Seorang yang lain mendekatinya sambil berdesis, "Jika mereka berkeberatan apaboleh buat”

Tetapi pemimpin mereka menggeleng. Katanya, "Mereka masih terlalu kanak-kanak. Kita tidak dapat berbenturan kekerasan melawan anak-anak”

"Jadi apa yang harus kita lakukan?" bertanya kawannya.

"Menunggu Ki Bekel yang menurut keterangan mereka sudah dijemput” jawab pemimpin kelompok itu.

Pembicaraan itu yang meskipun tidak dapat didengar sepenuhnya oleh Manggada dan Laksana, namun mereka dapat mengambil kesimpulan bahwa orang-orang berkuda itu bukan orang-orang kasar, terutama pemimpinnya. Karena itu, maka telah timbul keinginan di hati Manggada untuk mengetahui persoalan apakah yang sebenarnya dihadapi oleh orang-orang berkuda itu.

Karena itu, maka Manggadapun bertanya, "Ki Sanak, kepentingan apakah yang telah mendorong Ki Sanak untuk dengan segera menemui kedua orang itu?"

"Itu adalah persoalan kami” jawab orang itu.

"Benar” berkata Manggada. "Tetapi persoalan yang kalian hadapi akan dapat menjadi pertimbangan kami, apakah kami akan membiarkan kalian langsung bertemu dengan kedua orang itu atau tidak. Jika kalian akan merampok mereka berdua, apalagi hal itu kalian lakukan di padukuhan kami, maka kami tentu tidak akan membiarkannya. Bagaimanapun juga ketenangan dari padukuhan ini menjadi tanggung jawab kami. Tetapi jika kalian melakukan satu langkah yang benar, maka kami tentu akan mempertimbangkannya...”

Selanjutnya,
Menjenguk Cakrawala Bagian 03