Mas Rara Bagian 07 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
TETAPI Wirantana pun menjadi marah. Katanya “Ini adalah pamanku. Kau kira ia akan dapat disejajarkan dengan para perampok itu?“

“Justru pamanmu otak dari peristiwa ini“ pemimpin prajurit itupun menjadi semakin marah.

Wirantana menggeretakkan giginya. Katanya “Pamanku yang mengupah mereka. Pamanku tidak sama dengan mereka!”

“Tetapi akibat dari tingkah pamanmu maka tugasku telah terhambat. Orang-orangku terluka dan bahkan akupun telah terluka!“ berkata pemimpin prajurit itu.

“Kau kira kami hanya duduk saja bertopang dagu? Siapa yang telah menyelamatkan Mas Rara? Tanpa kami, kalian telah kehilangan Mas Rara. Dan kalian akan mendapat hukuman dari Raden Panji.” geram Wirantana.

“Sudahlah.” desis Manggada “Jangan timbulkan persoalan baru!”

Pemimpin prajurit itupun termangu-mangu sejenak. Tanpa anak-anak muda itu, maka agaknya persoalannya memang akan menjadi semakin rumit. Namun demikian ia masih juga berkata “Apapun yang akan kau lakukan atas pamanmu. Aku tidak mau dihambat lebih lama lagi.”

“Jika kau akan pergi dahulu, pergilah. Tetapi Mas Rara tidak akan mau beranjak dari tempat ini sebelum pamannya dikuburkan dengan baik.” jawab Wirantana.

Pemimpin prajurit itu tidak dapat mengatasi lagi jika itu merupakan keputusan Mas Rara. Saat itu Mas Rara adalah segala-galanya. Karena itu, maka pemimpin prajaurit itupun telah menampakkan kemurahannya kepada para tawanannya.

Dengan ketus pemimpin prajurit itu membentak-bentak, agar para tawanannya itu dengan cepat menguburkan kawan-kawannya yang terbunuh. Dalam pada itu, Wirantanapun kemudian telah memutuskan untuk menguguburkan Ki Resa ditempat itu, tetapi terpisah dari para perampok. Memberinya pertanda yang jelas, sehingga pada suatu saat akan dapat dilakukan upacara pemindahan kuburnya.

Dibantu oleh sais kereta kuda itu, bersama Manggada dan Laksana, mereka telah menggali lubang kubur, dibawah sebatang pohon cangkring agak jauh dari jalan. Beberapa orang prajurit telah membantunya pula, agar segalu sesuatunya dapat berlangsung lebih cepat.

Namun bagaimanapun juga, perjalanan mereka tentu akan menjadi semakin lambat karena mereka akan membawa tawanan yang hanya berjalan kaki, sambil membawa kawan-kawan mereka yang terluka.

Demikianlah Akhrnya mereka selesai dengan tugas terakhir mereka di bawah bukit kecil itu. Semua korban telah dlkuburkan. Ki Resi pun telah dikuburkan pula.

Sejenak kemudian, iring-iringan yang menjadi semakin besar itu mulai bergerak kembali. Beberapa orang prajurit yang lerluka dan tidak mampu berkuda sendiri, telah didampingi oleh temannya. Namun para tawanan terpaksa harus berjalan diantara orang-orang berkuda itu, dengan tangan terikat. Hanya mereka yang membantu kawan-kawannya yang terluka saja yang dlbebaskan dari ikatan.

Perjalanan menuju rumah Raden Panji Prangpranata terpaksa jadi makin lambat, para tawanan yang terluka ada yang tidak mampu lagi berjalan Karena itu, kawan-kawannya harus membuat usungan dari bambu, yang mereka potong dari pinggir-pinggir jalan atau dipategalan-pategalan.

Setiap kali, pemimpin prajurit yang menjemput Mas Rara itu membentak-bentak marah. Bahkan kadang-kadang prajurit-prajuritnya sendiri ikut dibentak-bentak.

Mas Rara duduk di kereta kudanya yang berjalan lambat. Namun bagi Mas Rara, perjalanan yang lebih lambat itu terasa lebih baik, karena tubuhnya tidak terguncang-guncang.

Wirantana berkuda tidak lebih dari dua langkah di sebelah kereta itu. Setiap kali Mas Rara tidak melihat kakaknya, ia memanggil-manggil. Manggada dan Laksana berkuda di belakang kereta itu.

Kedua anak muda itu telah memberikan ketenangan di hati Mas Rara. Meski kedua anak muda itu belum lama dikenalnya, namun Mas Rara rasa-rasanya telah menaruh kepercayaan yang sangat besar pada mereka.

Demikianlah. Iring-iringan itu merambat seperti siput sakit. Pemimpin prajurit hampir kehilangan akal, dan berniat membunuh orang-orang yang terluka parah. Untunglah pada saat-saat terakhir penalarannya masih mampu menahan, sehingga di luar sadarnya pemimpin prajurit itu menekan dadanya dengan telapak tangan, seakan-akan ingin mengendapkan gejolak yang hampir tak tertahankan.

Dengan hambatan yang sangat menyakitkan hati, justru bersumber dari orang yang dianggap akan sangat membantunya itu, pemimpin prajurit utusan Raden Panji memutuskan untuk bermalam di perjalanan. Ketika mereka memasuki sebuah padukuhan besar, pemimpin prajurit itu telah menemui Ki Bekel, dan menyatakan maksudnya untuk bermalam di padukuhan itu.

Ketika Ki Bekel mengetahui bahwa iring-iringan itu adalah utusan Raden Panji Prangpranata, yang menjemput bakal istri Raden Panji, Ki Bekel mempersilahkan mereka bermalam di banjar.

“Tetapi sebagian terpaksa bermalam di rumah-rumah sekitar banjar“ berkata Ki Bekel “Banjar itu terlalu sempit untuk bermalam sekian banyak orang.”

“Tidak perlu Ki Bekel“ berkata pemimpin prajurit itu “banjar itu cukup luas”

Ki Bekel sendiri berada di banjar ketika para prajurit mengatur diri untuk bermalam. Para tawanan ditempatkan di pendapa, diawasi beberapa orang prajurit bersenjata karena mereka terikat, sulit bagi mereka untuk melakukan gerakan apapun. Apalagi pemimpin prajurit setiap kali membentak-bentak mereka. Bahkan seorang diantara mereka, yang mencoba membantah, telah dipukul mulutnya hingga sebuah giginya patah.

Ki Bekel yang baik itu telah memerintahkan orang-orangnya untuk menyediakan makan dan minum bagi iring-iringan itu. Ki Bekel juga mengerahkan orang-orang yang dianggap mampu memberikan pengobatan pada para prajurit dan para tawanan yang terluka. Yang agak sulit bagi Ki Bekel, menyediakan makanan buat kuda-kuda para prajurit. Tetapi hal itu akhirnya teratasi juga.

Mas Rara sendiri ditempatkan di sebuah bilik yang ada di banjar. Yang ada di pintu bilik itu adalah kakaknya dan kedua anak muda yang telah menolongnya dari kuku-kuku tajam seekor harimau, serta melepaskannya dari tangan pamannya yang ternyala lebih garang dari seekor harimau tua.

Ketiga anak muda itupun telah berbaring di atas sehelai tikar pandan yang dibentangkan hampir menyilang pintu bilik itu. Bahkan setiap kali Mas Rara memanggil nama kakaknya.

“Aku di sini.” Jawab Wlrantana.

“Jangan pergi kakang.” desis Mas Rara.

“Aku tldak akan pergi. Jika aku pergi, ke pakiwan misalnya, maka Manggada dan Laksana akan ada ada di sini.“ jawab Wirantana.

Pemimpin prajurit itupun tidak mengganggu ketiga anak muda itu. Mereka mengerti bahwa ada ketergantungan dari Mas Rara kepada kakaknya dan dua orang anak muda itu. Mas Rara nampaknya lebih percaya kepada anak-anak muda itu dari pada kepada para prajurit.

Dua orang sais dan pembantunya telah berada di serambi itu pula. Tetapi mereka Justru berada di ujung. Dua orang prajurit telah menemanl mereka dan kemudian beristirahat bersama-sama di atas tlkar yang panjang.

Para prajurit memang tampak letih, sebagaimana Manggada, Laksana dan Wirantana. Mas Rarapun merasa dirinya seperti di perjalanan menuju ke neraka. Bahkan kadang- kadang Mas Rara tidak tahu lagi, apakah ia masih seorang yang bebas dan memiliki dirinya sendiri atau tidak. Tetapi tubuhnya memang terasa sangat lelah.

Beberapa orang prajurit telah mendapat tugas untuk berjaga-jaga. Dua orang di regol banjar, dan empat orang mengawani para tawanan. Mereka akan melakukan tugas itu berganti-ganti. Sementara yang tidak sedang bertugas dapat beristirahat sepenuhnya.

Ketika orang-orang yang ditugaskan Ki Bekel untuk menyiapkan makan dan minum telah siap, maka Ki Bekel mempersilahkan mereka untuk makan dan minum.

“Seadanya, selagi masih hangat“ berkata Ki Bekel kepada pemimpin prajurit.

“Terima kasih Ki Bekel.“ jawab pemimpin prajurit itu “atas nama Raden Panji Prangpranata!”

“Ah bukan apa-apa“ desis Ki Bekel “hanya sekadarnya”

Ternyata suguhan itu menjadi sangat berarti bagi para prajurit dan juga para tawanan. Mereka memang merasa sangat lapar. Tenaga mereka yang seakan-akan telah terkuras habis itu memerlukan dukungan baru agar tubuh mereka terasa tetap segar.

Tetapi beberapa orang diantara mereka, setelah perutnya menjadi kenyang, justru telah tertidur mendekur di sembarang tempat. Pemimpin prajurit itupun tidak mengganggu mereka asal bukan yang sedang bertugas. Pemimpin prajurit itupun merasa betapa tubuhnya menjadi letih.

Wirantana sendiri hampir tidak dapat beristirahat. Setiap kali adiknya selalu memanggil-manggilnya dari dalam bilik. Namun Wirantana menyadari, bahwa Mas Rara sedang dalam keadaan yang kurang menentu. Ketakutan, kecemasan dan berbagai macam perasaan berbaur di dalam hatinya.

Namun kemudian ternyata bahwa akhirnya Mas Rarapun sempat beristirahat barang sejenak di dalam biliknya. Tetapi makan yang di suguhkan kepadanya hanya dimakannya sedikit sekali.

Malam itu, tidak terjadi sesuatu di banjar yang dipergunakan oleh para prajurit utusan Raden Panji itu beristirahat. Para prajuritpun sempat beristirahat dengan baik. Semantara pagi-pagi benar, demikian mereka selesai berbenah diri, Ki Bekel telah berada di banjar itu pula dan mempersilahkan para prajurit untuk makan dan minum. Demikian pula para tawanan.

“Kami di padukuhan ini tahu, bahwa para prajurit akan berangkat pagi-pagi.” berkata Ki Bekel.

Pemimpin prajurit itu hanya dapat mengucapkan terima-kasih yang sebesar-besarnya kepada Ki Bekel, yang telah membantu dengan sungguh-sungguh kesulitan yang dialami oleh para prajurit yang mengemban tugas dari Raden Panji Prangpranata itu.

Demikianlah, ketika matahari mulai melontarkan sinarnya yang kekuning-kuningan, maka iring-iringan itu telah mulai bergerak lagi. Mas Rara telah berada di dalam keretanya pula. Namun seperti di hari sebelumnya, iring-iringan itu merambat sangat lamban.

Tetapi pemimpin prajurit itu tidak dapat mengatasinya. Ia tidak mampu berbuat lebih jauh dari yang dapat dilakukannya itu. la tidak dapat melepaskan orang-orang yang telah berusaha merampok iring-iringan itu, tetapi la juga tidak dapat memerintahkan untuk membunuh mereka semuanya.

Mataharipun kemudian memanjat langit semakin tinggi. Bahkan kemudian telah mencapai puncak langit. Namun iring-iringan itu masih belum sampai ketujuan. Ketika panas matahari bagaikan membakar punggung, maka pemimpin prajurit itupun telah memerintahkan iring-iringan itu untuk beristirahat. Ia melihat, terutama para prajurit yang terluka, telah menjadi sangat letih. Kuda-kuda merekapun menjadi haus. Sementara itu, pemimpin prajurit itu juga memikirkan keadaan Mas Rara yang berada di dalam kereta. Meski ia hanya duduk, namun ia tentu merasa letih juga.

Namun setelah menempuh perjalanan yang berat dan lamban, akhirnya iring-iringan itu telah mendekati tujuan. Sebuah padukuhan yang besar di luar dinding kota Pajang, justru agak di Utara.

Itu adalah padukuhan khusus. Disekelilingnya terdapat dinding yang lebih tinggi dari rata-rata dinding yang terdapat pada padukuhan-padukuhan lain. Di samping beberapa pintu gerbang yang lebih kecil, terdapat sebuah pintu gerbang induk yang besar, dengan pintu yang kokoh. Padukuhan itu adalah padukuhan Banyuanyar.

Sebelum iring-iringan itu memasuki pintu gerbang padukuhan, pemimpin prajurit memberitahukan pada Wirantana bahwa yang ada dihadapan mereka adalah padukuhan yang akan mereka masuki.

“Di padukuhan itu Raden Panji Prangpranata tinggal“ berkata pimpinan prajurit itu.

Wirantana mengangguk-angguk. Ia merasa sedikit lega, bahwa perjalanan yang panjang, melelahkan dan lamban itu, akan segera berakhir. Menurut pendapat Wirantana, sebelum mereka sampai tujuan, bahaya masih mengancam adik perempuannya.

Makin dekat mereka dengan pintu gerbang padukuhan Banyuanyar, ketegangan menjadi semakin menurun. Tetapi jantung serasa berdebar pula oleh sebab yang lain. Wirantana tidak lagi mencemaskan adik perempuannya, tetapi ia mulai membayangkan seseorang yang bernama Raden Panji Prangpranata.

Ketika ia berada di sebelah Manggada, di sisi kereta Mas Rara, tiba-tiba saja ia berdesis “Rasa-rasanya aku ingin segera bertemu dengan Raden Panji”

“Apakah kau pernah bertemu sebelumnya?“ bertanya Manggada.

Wirantana menggeleng. Katanya “Aku belum pernah bertemu dengan Raden Panji”

Manggada mengangguk-angguk. Sementara Laksana bertanya pula “Di mana Raden Panji pernah bertemu dengan adikmu?“

“Aku tidak begitu jelas. Tetapi menurut keterangan ayah dan ibu, Raden Panji ketika sedang dalam perjalanan keliling untuk melihat-lihat daerah yang menjadi tanggung-jawabnya diluar kota Pajang, telah singgah di banjar padukuhan Nguter. Pada saat itu, persiapan dilakukan dengan sangat hati-hati. Beberapa orang gadis ditunjuk untuk menghidangkan hidangan bagi Raden Panji Prangpranata. Termasuk Mas Rara“ jawab Wirantana.

“Kau berada dimana pada waktu itu?“ bertanya Manggada.

“Aku masih berada di sebuah perguruan.“ jawab Wirantana.

Manggada mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Ujung iring-iringan itu sudah berada di mulut pintu gerbang. Seorang prajurit menyongsong keluar pintu gerbang. Ketika ia berbicara dengan pemimpin prajurit yang datang itu, tampak terjadi ketegangan.

“Kau di sini“ berkata Wirantana kepada Manggada dan Laksana. Sebelum Manggada dan Laksana menyahut, Wirantana telah mendekati pemimpin prajurit itu. Baru kemudian ia tahu, bahwa ternyata Raden Panji Prangpranata sangat cemas karena kedatangan Mas Rara terlambat.

“Raden Panji telah menyiapkan sekelompok prajurit untuk menyusul kalian.“ berkata prajurit itu.

“Hal ini adalah di luar kemampuan kami untuk mengatasi“ jawab pemimpin prajurit yang membawa Mas Rara itu “sebagaimana kau lihat, aku membawa kawan-kawan kita yang terluka. Tetapi juga tawanan. Orang-orang yang telah mencegat perjalanan kami”

Prajurit yang menyongsong itu mengangguk-angguk. Lalu katanya “Baiklah. Mari, Mas Rara akan ditempatkan di rumah Raden Panji yang sebelah Timur, sebelum Raden Panji sendiri akan menerimanya”

Pemimpin prajurit itu mengangguk sambil menjawab “Baik. Tapi bagaimana dengan tawanan yang kami bawa?“

Prajurit yang menerima kedatangan iring-iringan itu termangu-mangu sejenak. Katanya kemudian “Kami akan membawa mereka”

la kemudian memerintahkan beberapa prajurit yang ada di regol untuk mengambil-alih para tawanan. Meski demikian, karena hal itu diluar perhitungan, ia masih minta pertimbangan beberapa orang prajurit lain, sehingga akhirnya ia berkata “Biarlah mereka membawa para tawanan itu”

Pemimpin prajurit yang baru datang menyerahkan para tawanan pada pemimpin kelompok yang akan membawa para tawanan itu ke barak. Beberapa saat kemudian, para tawanan diterima oleh sekelompok prajurit yang kemudian membawanya pergi, Yang tinggal kemudian adalah para prajurit yang akan membawa Mas Rara ke tempat yang telah disediakan.

Ketika iring-iringan itu kemudian memasuki regol padukuhan. Wirantana, Manggada dan Laksana segera mengetahui bahwa padukuhan itu sudah dibenahi, dan dalam keadaan siap menerima calon istri Raden Panji Prangpranata.

Wirantana mengangguk-angguk. Bagaimanapun juga, ia merasa berbangga bahwa adiknya mendapat kehormatan besar. selain karena ia akan jadi istri seorang yang berpengaruh dan berkuasa, ternyata ia juga dianggap seorang yang harus dihormati.

Beberapa saat kemudian, mereka telah menyusuri jalan induk padukuhan Banyuanyar. Penduduk yang tahu kedatangan Mas Rara, telah keluar dari regol-regol halaman rumah mereka untuk melihat wajah gadis yang akan jadi istri pemimpin mereka.

Beberapa orang memang sempat melihat wajah Mas Rara, meski sekilas. Namun wajah itu selalu menunduk dalam-dalam. Sedangkan yang lain, sama sekali tak melihatnya.

Di tengah-tengah padukuhan itu, iring-iringan memasuki sebuah halaman rumah yang tidak terlalu luas, tapi sangat bagus. Pendapanya yang sedang-sedang saja, memberikan kesan ramping. Demikian pula gandok kiri dan kanan, juga bukan gandok besar dan panjang. Tapi cukup memberikan kelengkapan bentuk sebuah rumah yang utuh.

Ketika kereta kuda Mas Rara berhenti di halaman, pemimpin prajurit kemudian mempersilahkan Wirantana membantu Mas Rara turun dari keretanya, dan membawanya ke pendapa. Beberapa orang perempuan telah siap menyambutnya. Demikian Mas Rara mendekati pendapa, perempuan-perempuan itu bergegas menyongsong dan membimbingnya.

Mas Rara jadi bingung. Tapi ia tidak dapat berbuat lain kecuali mengikuti saja kemana perempuan-perempuan itu membawanya. Sejenak kemudian, Mas Rara telah duduk di pendapa. Seorang laki-laki setengah baya kemudian berbicara pada pemimpin prajurit yang membawa Mas Rara itu.

“Biarlah kakaknya ikut naik ke pendapa“ berkata orang setengah baya itu.

“Kedua anak muda itu adalah sahabatnya. Keduanya adalah yang telah menolong Mas Rara dari keganasan seekor harimau. Bukankah Raden Panji memerintahkan agar kedua-nya kami bawa serta?“ berkata pemimpin prajurit itu.

“Ya. Tapi biarlah keduanya berada di gandok saja.“ berkata orang setengah baya itu.

“Kenapa?“ bertanya pemimpin prajurit itu.

“Mereka bukan keluarga Mas Rara. Kedudukan mereka lain dari kakak Mas Rara“ berkata orang setengah baya itu. Lalu katanya perlahan-lahan “Raden Panji tidak begitu senang terhadap kedua anak muda itu?“

“Jika demikian, kenapa Raden Panji memerintahkan dengan sungguh-sungguh agar keduanya harus kami bawa bersama Mas Rara?” bertanya kepala prajurit itu pula.

“Bukankah sepantasnya Raden Panji mengucapkan terima kasih kepada mereka?” jawab orang setengah baya itu.

Kepala prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia kemudian memberanikan diri bertanya. “Kenapa Raden Panji tidak senang pada mereka? Bukankah Raden Panji belum pernah bertemu dengan kedua anak muda itu?“

Orang setengah baya itu menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya “Aku tidak tahu”

Pemimpin prajurit itu tidak bertanya lagi. Katanya “Kau sajalah yang mengatur. Kau yang membawa keduanya ke gandok, sementara kakak Mas Rara ke pendapa”

Orang setengah baya itu menarik nafas panjang. Tetapi sambil mengangguk kecil, ia berkata “Baiklah. Aku akan mempersilahkannya”

Pemimpin prajurit itu kemudian memerintahkan bawahannya menarik diri dari halaman rumah itu, dan kembali ke barak masing-masing. Mereka yang terluka, memerlukan perawatan yang sebaik-baiknya. Namun ternyata seorang diantara yang terluka tidak dapat diselamatkan jiwanya, meski ia sudah mendapat perawatan sementara.

Tetapi pemimpin prajurit memerintahkan pada para prajurit untuk sementara jangan sampai terdengar keluarga Mas Rara. Mereka tentu akan merasa sedih mendengar bahwa diantara mereka yang menjemputnya, ada korban. Apalagi ia sadar bahwa penyebab bencana itu adalah pamannya sendiri.

Orang setengah baya itu kemudian mempersilahkan Wirantana untuk naik ke pendapa. Tetapi Manggada dan Laksana dipersilahkan naik ke serambi gandok. Wirantana mulai merasakan sesuatu yang kurang pada tempatnya. Karena itu ia berkata “Biarlah kedua orang sahabatku itu duduk bersamaku di pendapa”

Tetapi orang setengah baya itu menggeleng. Katanya “Maaf Ki Sanak. Raden Panji memerintahkan bahwa hanya keluarga Mas Rara saja yang dipersilahkan naik ke pendapa. Bukan maksudnya untuk membedakan tamu, tapi sekedar untuk mengetahui mana keluarga Mas Rara, mana yang bukan keluarganya”

“Tetapi keduanya sudah seperti keluarga sendiri. Tanpa keduanya, Mas Rara tidak akan pernah duduk di pendapa rumah ini“ berkata Wirantana. Lalu katanya pula “Dua kali keduanya menyelamatkan Mas Rara. Karena itu, mereka berhak disebut keluarga kami”

“Maaf Ki Sanak. Aku hanya menerima perintah dari Raden Panji“ jawab orang itu.

“Jika demikian, biarlah aku disini saja“ berkata Wirantana. “Ki Sanak dimohon untuk naik“ berkata orang itu”

Tetapi Wirantana tetap tidak mau. Bahkan Manggada dan Laksana telah minta kepadanya untuk naik.

“Biarlah kami menunggu di serambi“ berkata Manggada.

“Tidak“ jawab Wirantana.

Sementara itu, seorang perempuan yang berada di pendapa telah mendatangi orang yang mempersilahkan Wirantana itu sambil berkata. “Mas Rara memanggil kakaknya”

Orang setengah baya itu berkata “Nah, bukankah Ki Sanak dipersilahkan naik”

“Hanya dengan kedua orang kawanku ini aku akan naik“ jawab Wirantana.

“Tetapi Mas Rara memanggil“ desis orang itu,

Tetapi Wirantana tidak beranjak dari tempatnya. Bahkan katanya “Biar Mas Rara datang kemari”

Orang yang sudah separo baya itu mengerutkan keningnya. Tetapi akhirnya ia tidak dapat berbuat lain. Katanya “Baiklah. Tetapi aku sudah melakukan sesuai dengan perintah Raden Panji. Padahal di sini perintah Raden Panji harus dilakukan dengan baik. Jika Raden Panji menjadi marah, maka aku tidak bertanggung jawab”

“Begitu mudah Raden Panji marah?“ bertanya Wirantana.

“Setiap perintahnya yang tidak dilakukan dengan baik, dapat membuatnya marah. Itu wajar sekali. Bukan hanya Raden Panji. Setiap orang yang dikecewakan orang lain, akan marah. Hanya ungkapan kemarahannya yang berbeda-beda. Karena Raden Panji memiliki segala-galanya di sini, ia dapat menjadi marah dan melakukan apa saja yang dikehendaki atas orang-orang yang tidak melakukan perintahnya” berkata orang itu.

“Menarik sekali“ berkata Wirantana.

“Pada saatnya kau akan berkata lain“ jawab orang itu.

Wirantana termangu-mangu. Sementara Manggada dan Laksana telah mempersilahkan Wirantana naik ke pendapa. Sendiri.

“Kami akan menunggu di serambi“ desis Manggada beberapa kali.

Tetapi Wirantana berkeras untuk mengajak mereka naik ke pendapa.

Akhirnya ketiga orang itu naik. Mereka duduk agak jauh dari Mas Rara yang didampingi beberapa orang perempuan. Sementara itu, orang yang separo baya duduk pula diantara mereka. Di pendapa itu pula, tetapi agak menepi, duduk pula dua orang yang siap melaksanakan perintah orang separo baya itu.

Beberapa saat kemudian, para pelayan telah menghidangkan minuman untuk Mas Rara, kakaknya serta orang-orang yang menyertainya, termasuk sais dan pembantunya yang duduk di serambi gandok, ditemani seorang pembantu rumah itu.

Beberapa saat mereka harus menunggu. Mas Rara yang sebenarnya haus, rasa-rasanya tidak dapat meneguk minuman yang dihidangkan Wedang sere yang manis dengan gula aren itu rasa-rasanya sulit untuk melintas di tenggorokannya. Berbeda dengan Mas Rara, maka Wirantana, Manggada dan Laksana telah meneguk minumannya sehingga mangkuknya kering.

Untuk beberapa saat Mas Rara duduk diantara beberapa orang perempuan. Seorang perempuan yang tertua diantara mereka berusaha memecahkan kebekuan dengan sikapnya yang ramah. Beberapa pertanyaan diajukan kepada Mas Rara. Tetapi Mas Rara nampaknya memang menjadi terlalu tegang, sehingga jawaban-jawabannya kadang justru kurang dapat didengar oleh perempuan itu.

Meskipun demikian, perempuan-perempuan itu dapat mengerti sikap itu. Seorang gadis yang berada di rumah bakal suaminya, memang dapat menjadi sangat tegang. Apalagi yang dilakukan Mas Rara bukanlah kebiasaan yang berlaku diantara para gadis. Biasanya calon pengantin laki-lakinya yang datang ke rumah calon pengantin perempuan. Bahkan ada yang datang sejak selapan hari sebelum hari perkawinan dilaksanakan.

Sementara itu, orang yang telah mempersilahkan Wirantana naik ke pendapa itu satu-satu yang menanyakan keselamatan perjalanan iring-iringan itu. Tetapi suasananya ternyata memang kurang menguntungkan. Agaknya orang itu menjadi kecewa atas sikap Wirantana, sehingga pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkannya tidak lebih sekadar melakukan kewajiban sebagai orang yang ditugaskan untuk menerima keluarga Mas Rara.

Namun beberapa saat kemudian, telah datang seorang yang mendapat perintah dari Raden Panji untuk menemui orang yang sudah separo baya itu. Dengan hormat orang itu menyampaikan pesan Raden Panji kepada orang itu “Para tamu dipersilahkan untuk beristirahat. Besok pagi-pagi Raden Panji akan datang menemui Mas Rara dan para tamu dl sini”

“Ya, besok!” jawab orang yang baru datang itu. Orang separo baya itu menarik nafas dalam-dalam. Namun tidak ada yang dapat merubah perintah Raden Panji.

“Baiklah“ berkata orang separo baya itu “Aku akan menyampaikannya pada para tamu”

Ketika hal itu disampaikan pada Wirantana dan Mas Rara, maka tampak kekecewaan memancar di wajah Wirantana. Sementara, Mas Rara justru berperasaan lain. Mas Rara seakan-akan mendapat kesempatan menarik nafas, dan rasa-rasanya seperti seorang pesakitan yang ditunda vonisnya.

Dengan demikian, setelah meneguk minuman dan makan sepotong makanan, orang separo baya itu mempersilahkan para tamu beristirahat. Mas Rara mendapat tempat di ruang dalam, sementara Wirantana dipersilahkan tidur di gandok kanan. Tapi orang itu tidak mempersilahkan Manggada dan Laksana untuk istirahat di gandok sebelah kiri, karena Wirantana tentu akan mencegahnya. Dengan demikian, Manggada dan Laksana akan berada di gandok kanan bersama Wirantana, meski hanya ada satu amben dalam bilik itu. Tapi cukup besar.

Sebenarnya Mas Rara merasa keberatan ditempatkan di ruang dalam. Ia merasa telah dipisahkan dengan kakaknya. Tetapi perempuan-perempuan yang melayaninya telah memberitahukan kepadanya bahwa kakaknya berada di gandok.

“Jika Mas Rara membutuhkannya, kami akan memanggilnya“ berkata yang tertua diantara perempuan-perempuan itu.

Sementara Wirantana sempat bertanya pada orang yang menerima adiknya itu “Kenapa Raden Panji baru dapat menemui Mas Rara besok pagi?“

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar, ia berkata “Raden Panji akhir-akhir ini memang menjadi sangat sibuk”

“Tetapi bukankah kedatangan Mas Rara sudah direncanakan sebelumnya, sehingga Raden Panji dapat menyiapkan waktunya untuk itu?“ bertanya Wirantana.

“Ya. Raden Panji memang telah menyiapkan waktunya. Tetapi karena sesuatu hal di luar kemampuan kalian, serta para prajurit yang menjemput Mas Rara, kalian datang terlambat. Memang bukan salah kalian. Tetapi tampaknya Raden Panji telah mempunyai rencana lain dalam pengaturan tugasnya” berkata orang separuh baya itu.

“Apakah begitu banyak tugas Raden Panji, sehingga ia sama sekali tidak sempat untuk datang menemui Mas Rara meski hanya sekejap, dan kemudian ditinggalkannya lagi” bertanya Wirantana.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian, katanya “Akhir-akhir ini Raden Panji jarang berada di rumah. Setiap kali Raden Panji harus pergi, mau tidak mau. Jika tidak dipanggil menghadap ke Pajang, datang pemberitahuan bahwa telah terjadi keributan di suatu tempat. Tampaknya, saat-saat terakhir ini, kerusuhan menjadi semakin meningkat”

“Kerusuhan?“ bertanya Wirantana.

“Ya. Beberapa Kademangan mengalami kesulitan dengan sawah mereka. Panen sering gagal, hama dan penyakit membunuh ratusam ternak” berkata orangtua itu “sehingga karena itu, tugas Raden Panji menjadi semakin banyak, kadang-kadang Raden Panji Justru tidak sempat mengurusi dirinya sendiri karena tingkah laku orang-orang yang kelaparan itu. Mereka harus mendapat penanganan khusus. Raden Panji menganggap bahwa orang-orang yang kelaparan itu tidak dapat disamakan dengan perampok, penyamun dan penjahat-penjahat lain. Mereka melakukan perbuatan negatif sekadar untuk mempertahankan diri agar tidak mati kelaparan bersama keluarga mereka”

Wirantana mengangguk-angguk. Keterangan itu telah membuat gambarannya tentang Raden Panji jadi kabur. Semula ia menyangka bahwa Raden Panji adalah orang yang sombong, keras dan mementingkan diri sendiri. Ternyata bahwa ia telah memerintahkan bakal istrinya untuk datang kepadanya. Kemudian sikapnya yang kurang ramah, dan seakan-akan justru mengabaikan kedatangan Mas Rara.

Namun dari cerita orang separo baya itu, Raden Panji seakan-akan merupakan seorang pahlawan yang bijaksana, yang tahu menempatkan dirinya dalam gejolak waktu dan keadaan. Sehingga justru karena itu, Raden Panji sama sekali bukan orang yang mementingkan diri sendiri.

Tetapi Wirantana tidak dapat bertanya kepada orang itu tentang kepastian sosok Raden Panji. Semua orang rasa-rasanya telah membuat tirai batas antara pengenalannya dengan sosok itu sendiri. Ayahnya, ibunya, dan bahkan adiknya juga tidak pernah mengatakan sesuatu tentang Raden Panji itu.

Tetapi Mas Rara memang harus menunggu kedatangan bakal suaminya besok. Mungkin hari itu Raden Panji telah mendapat berita tentang satu peristiwa yang harus segera ditanganinya.

Manggada dan Laksana yang sempat berbicara berdua saja ketika Wirantana pergi ke pakiwan, telah menyatakan keheranannya pula atas sikap Raden Panji.

“Betapapun sibuknya, Raden Panji tentu dapat menyempatkan diri untuk melihat calon istrinya. Apalagi ia telah mendapat laporan bahwa iring-iringan prajurit yang menjemput calon istrinya telah mendapat gangguan. Sasarannya justru calon istrinya itu sendiri” berkata Laksana.

“Ya. Tetapi barangkali Raden Panji justru kecewa setelah mendengar sikap paman Mas Rara itu sendiri“ jawab Manggada “atau karena Raden Panji menganggap bahwa tidak akan terjadi apa-apa lagi, karena orang yang langsung merencanakan perbuatan itu telah terbunuh”

“Tetapi bagaimanapun juga, sikapnya kurang dapat dimengerti“ desis Laksana “bahkan aku condong menganggapnya terlalu sombong karena ia seorang pemimpin yang berpangkat tinggi, sedang keluarga Mas Rara adalah keluarga orang kecil”

Manggada mengangguk-angguk. Sebenarnyalah ia berpendapat bahwa Raden Panji Prangpranata memang menganggap bahwa kedudukannya jauh lebih tinggi dari kedudukan bakal isterinya, sehingga ia dapat berbuat apa saja menurut keinginannya. Ia dapat memerintahkan untuk memanggil bakal isterinya. Kemudian membiarkannya menunggu sampai ia sempat datang menemuinya. Ketika Wirantana kemudian selesai, maka bergantianlah Manggada dan Laksana pergi ke pakiwan.

Tetapi ketika ketiga orang anak muda itu kemudian duduk-duduk di serambi, seorang diantara perempuan-perempuan yang menemani Mas Rara, datang. Dengan nada rendah ia bertanya “Siapakah diantara anak-anak muda yang bernama Wirantana?“

“Aku“ jawab Wirantana.

“Maaf anakmas Mas Rara memanggil anakmas” berkata perempuan itu.

Wirantana mengungguk kecil sambil berkata “Baiklah. Aku akan datang segera“

“Marilah anakmas, aku akan mengantar anakmas menemui Mas Rara di ruang dalam“ berkata perempuan itu.

Wirantana berpaling kepada Manggada dan Laksana. Sambil mengangguk kecil Manggada berkata. “Lihatlah. Mungkin adikmu sangat memerlukanmu”

Wirantana kemudian mengikuti perempuan itu pergi ke ruang dalam.

“Silahkan anakmas!“ perempuan itu mempersilahkan Wirantana masuk ke bilik adiknya.

Di dalam bilik itu ternyata adiknya ditunggui oleh dua orang perempuan. Namun ketika Wirantana masuk ke dalam bilik itu, kedua orang perempuan itu keluar.

“Ada yang perlu aku tolong?“ bertanya Wirantana setelah menutup pintu bilik itu.

Mas Rara tidak menjawab. Kepalanya menunduk dalam-dalam.

“Bukankah kau panggil aku?“ bertanya Wirantana pula.

Mas Rara masih tetap berdiam diri. Namun dari kedua matanya mengalir air mata.

“Apa yang terjadi?“ bertanya Wirantana gelisah.

Tetapi Mas Rara tidak menjawab.

“Mas Rara“ desak Wirantana “Kenapa? Ada apa?“

Mas Rara masih tetap saja berdiam diri.

“Apakah kau kecewa karena Raden Panji baru akan menemuimu besok?“ bertanya Wirantana.

Mas Rara menggeleng kecil, hampir tidak tertangkap kesannya oleh Wirantana.

“Apa sebenarnya yang telah terjadi?“ desak Wirantana yang menjadi bingung oleh sikap adiknya.

Tetapi Mas Rara tetap berdiam diri. Wirantana jadi tambah bingung. Tetapi akhirnya ia duduk saja di bibir pembaringan tanpa mengucapkan kata-kata apapun. Keduanya saling berdiam diri untuk beberapa saat. Tetapi Wirantana menjadi pening karena suasana itu. Akhirnya ia berkata,

“Barangkali kau belum dapat mengatakannya sekarang Mas Rara. Tetapi aku tidak pantas berada di sini. Di luar beberapa orang perempuan menunggu. Karena itu, biarlah aku keluar saja dulu. Nanti jika kau merasa bahwa waktunya sudah datang untuk mengatakan sesuatu, panggil aku lagi”

Mas Rara mengangguk. Namun justru karena itu Wirantana menjadi semakin tidak mengerti dengan perasaan adiknya yang sebenarnya. Wirantana jadi semakin ragu. Apakah adiknya merasa berbahagia atau tidak.

“Baiklah...“ berkata Wirantana “Aku akan menunggu di gandok”

Mas Rara diam membeku. Tetapi ketika Wirantana bangkit berdiri, Mas Rara tiba-tiba terisak.

“Kenapa kau sebenarnya?“ Wirantana menjadi makin bingung. Apalagi ketika ia kemudian mendengar suara adiknya diantara isak tangisnya.

“Aku ingin pulang”

Wirantana duduk kembali di bibir pembaringan adiknya. Dengan nada rendah ia bertanya “Kenapa? Kenapa?“

Tetapi Mas Rara telah terdiam sama sekali. Tidak ada kata-kata yang terloncat dari sela-sela bibirnya. Gadis itu menunduk saja, sementara air matanya menitik satu-satu.

Wirantana benar-benar menjadi bingung. Ia mencoba untuk meraba-raba, apakah yang telah terjadi dengan adiknya. Mungkin karena tingkah laku pamannya yang membuatnya bukan saja sakit hati, tetapi juga sangat malu terhadap Raden Panji dan orang-orang di sekitarnya.

Tetapi Mas Rara tetap tidak mau mengatakan sesuatu. Sehingga akhirnya Wirantana berkata lagi “Baiklah. Aku menunggu di gandok”

Sekali lagi Mas Rara mengangguk. Ketika Wirantana keluar, beberapa orang perempuan yang ada di depan bilik itu bangkit berdiri dan mengangguk hormat, sehingga Wirantana menjudi segan karenanya.

Manggada dan Laksana yang berada di gandok ternyata juga bertanya-tanya, untuk apa Mas Rara memanggil Wirantana. Sementara itu Wirantana telah berusaha untuk menenangkan hatinya sendiri.

“Mas Rara belum pernah berpisah dengan ayah dan ibu“ berkata Wirantana di dalam hatinya “Karena itu, agaknya ia selalu dibayangi kecemasan tentang dirinya sendiri. Apalagi karena tingkah paman yang sama sekali tidak terduga”

Ketika kegelisahan Wirantana disampaikan pada Manggada dan Laksana, kedua anak muda itu ikut-ikutan jadi gelisah. Meskipun Wirantana berusaha menenangkan perasaannya, tetapi gejolak perasaan adiknya yang tertutup di bilik, makin membuatnya gelisah.

“Mas Rara tidak pernah bersikap seperti itu sebelumnya“ berkata Wirantana di dalam hatinya. Tetapi ia sadar bahwa hal itu terjadi ketika mereka masih remaja. Ketika ia pergi berguru dan kemudian kembali, terjadi banyak perubahan. Adiknya telah tumbuh menjadi gadls dewasa, sebagaimana dirinya juga telah menjadi dewasa.

Manggada dan Laksana setiap kali hanya mengangguk-angguk saja, la tidak mau menambah kegelisahan hati anak muda itu. Keduanya berusaha dapat membantu meringankan beban perasaan Wirantana, meski tidak bisa memberikan jalan keluarnya.

Ketika kemudian malam turun, setelah makan malam yang dihidangkan ke biliknya, Wirantana bersama Manggada dan Laksana tetap berada di biliknya. Tidak ada minat dari ketiga anak muda itu melihat-lihat keadaan. Apalagi Manggada dan Laksana merasa diri mereka seakan-akan berada di tempat yang sangat asing.

Ketiga anak muda itu mendengar beberapa orang berbicara di pendapa. Tetapi mereka merasa ragu-ragu untuk keluar dari dalam bilik itu. Tapi ketika mereka kemudian mendengar percakapan di serambi gandok, Wirantana membuka pintu bilik gandok itu.

Dua orang duduk di serambi. Seorang diantara mereka berdesis “Kami sangka kalian sudah tidur. Mungkin lelah karena perjalanan yang panjang. Tetapi mungkin juga karena merasa tidak ada lagi yang harus kalian kerjakan”

Wirantana termangu-mangu sejenak. Namun ia kemudian melangkah keluar diikuti Manggada dan Laksana.

“Apakah Ki Sanak juga termasuk prajurit Pajang yang berada di bawah pimpinan Raden Panji?“ bertanya Wirantana.

Kedua orang itu memandang Wirantana dengan tajamnya. Seorang diantara mereka menjawab “Kami memang pembantu-pembantu terdekat Raden Panji. Bukankah kau kakak Mas Rara yang akan diperisteri Raden Panji?“

“Ya!“ jawab Wirantana.

“Sedangkan kedua orang anak muda itu disebut-sebut telah menyelamatkan Mas Rara dari terkaman harimau yang tersesat itu?“ bertanya orang itu pula.

“Ya...!“ jawab Wirantana pula.

“Marilah. Duduklah. Masih belum terlalu malam untuk berbincang-bincang“ berkata orang itu.

Wirantana, Manggada dan Laksana pun telah duduk pula bersama kedua orang itu. Keduanya berganti-ganti bertanya tentang keluarga Wirantana. Tentang perjalanan yang telah mereka tempuh dan tentang hambatan-hambatan yang terjadi.

“Kenapa pamanmu berlaku kasar terhadap adik perempuanmu itu?“ bertanya orang itu tiba-tiba.

Pertanyaan yang sangat tidak disukai oleh Wirantana. Namun iapun telah menjawab “Aku tidak tahu. Tidak ada yang tahu kenapa paman berbuat seperti itu. Aku kira paman pun tidak tahu kenapa ia berlaku seperti itu”

Kedua orang itu mengerutkan keningnya. Namun seorang diantara keduanya telah bertanya pula. “Pamanmu telah membunuh beberapa orang. Bahkan diantaranya prajurit Pajang. Meskipun bukan karena tangannya sendiri, tetapi ia adalah penyebab dari kematian itu”

“Ya“ jawab Wirantana. Ia menjadi semakin tidak senang dengan pertanyaan-pertanyaan kedua orang itu. Namun ia pun tetap menjawab pula “Tetapi paman juga telah terbunuh”

Kedua orang itu tersenyum. Seorang diantaranya justru tertawa sambil berkata “Tetapi kematiannya adalah karena salahnya sendiri. Berbeda dengan prajurit itu”

“Kenapa dengan prajurit itu?“ bertanya Wirantana.

“Ia mati karena melaksanakan tugas. Ia mati sebagai pahlawan“ jawab orang itu.

“Apakah itu bukan salahnya sendiri?“ justru Wirantanalah yang bertanya.

“Kenapa salahnya sendiri?“ orang itu ganti bertanya.

“Jika ia menyesali kematiannya karena mengemban tugas, sebaiknya ia tidak menjadi prajurit saja. Bukankah ketika ia menyatakan diri menjadi prajurit, akibat seperti itu sudah diperhitungkan. Justru kematian yang paling berarti dari seorang prajurit adalah mati di peperangan selagi menjalani pengabdian”

Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Seorang diantara mereka berkata. “Jadi itukah pandanganmu tentang seorang prajurit? Dia baru berrarti jika mati di medan perang? Atau katakanlah, tiap prajurit yang masuk dalam arena pertempuran, untuk melaksanakan pengabdian, sebaiknya mati. Dengan demikian, ia baru bisa berarti?“

“Tidak“ Jawab Wirantana “Aku tidak mengatakan demikian. Aku hanya mengatakan bahwa kematian yang paling berarti bagi seorang prajurit adalah mati di medan perang, selagi menjalankan pengabdian. Tentu saja dalam arti luas”

Orang itu tertawa. Katanya “Pandai juga kau bermain dengan kata-kata. Tetapi baiklah. Aku setuju dengan pendapatmu”

“Terima kasih“ jawab Wirantana. Ia berharap bahwa tidak ada pertanyaan lagi tentang pamannya yang telah terbunuh itu. Tapi Wirantana salah duga. Orang itu masih bertanya lagi “Apakah sebelumnya tidak ada tanda-tanda tentang sikap pamanmu itu pada adikmu?“

“Tidak“ jawab Wirantana singkat.

Kedua orang itu mengerti bahwa Wirantana tidak senang mendengar pertanyaan-pertanyaan mereka tentang pamannya. Tapi seorang diantara mereka justru bertanya “Apakah pamanmu belum beristeri?“

Jantung Wirantana terasa berdenyut makin cepat. Tapi ia masih coba menjawab. “Belum!”

“Berapa umur pamanmu?“ bertanya yang lain.

Seperti mimpi, Wirantana menjawab “Tigapuluh”

“Masih begitu muda?“ bertanya orang itu pula.

“Ya“ jawab Wirantana.

Orang itu tertawa. Dengan nada tinggi ia bertanya. “Kau tidak senang mendengar pertanyaan-pertanyaan tentang pamanmu?”

“Tepat“ jawab Wirantana.

“Kau tersinggung? Seharusnya kau tidak usah tersinggung. Peristiwa itu menunjukkan keadaan keluargamu yang rapuh. Jika tidak, peristiwa semacam itu tidak akan terjadi. Sebenarnya Raden Panji jadi sangat kecewa. Siapa tahu sebelum kejadian itu memang sudah ada hubungan antara pamanmu dengan Mas Rara“ berkata orang itu.

“Jika demikian, apakah pamanku begitu bodoh sehingga harus menunggu sampai Mas Rara dijemput? Bukankah sebelumnya mereka dapat dengan mudah melarikan diri?“ justru Wirantanalah yang kemudian bertanya.

“Kenapa tidak mereka lakukan? Tapi jika hal itu mereka lakukan, Mas Rara tentu tidak akan menerima mas kawin dari Raden Panji“ jawab orang itu.

Wajah Wirantana jadi panas. Manggada dan Laksana masih berdiam diri. Tapi jantung mereka berdetak makin cepat. Dengan suara bergetar, Wirantana berkata. “Jadi kau nilai adikku tidak lebih dari mas kawinnya?“

Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun seorang diantara mereka menjawab “Ya. Mas kawin itu bagi keluargamu merupakan kurnia yang tidak ternilai. Jauh lebih bernilai dari adikmu”

“Siapa yang menilai seperti itu, kau atau Raden Panji?“ tiba-tiba saja Manggada yang tidak tahan lagi bertanya pula.

Lagi, kedua orang itu termangu-mangu. Wirantana yang tanggap justru mendesak. “Aku, sebagai kakak Mas Rara, merasa perlu untuk mendapat penjelasan dari Raden Panji”

“Kau berani menanyakannya?“ bertanya salah seorang dari kedua orang itu.

“Kenapa tidak? Kami orang-orang padesan, adalah orang-orang yang terbuka. Lebih baik aku bertanya pada Raden Panji dengan akibat apapun, daripada kegelisahan ini kubawa pulang dan menyampaikannya pada ayah dan ibu. Mereka tentu akan jadi gelisah. Bahkan jika Raden Panji memang kecewa, aku akan membawa adikku kembali. Mas kawin itu masih utuh disimpan ayah di tempat yang paling tersembunyi, setelah hampir terjadi perampokan“ jawab Wirantana.

“Kau tidak perlu bertanya pada Raden Panji?“ berkata orang itu dengan nada menurun.

“Aku akan bertanya. Raden Panji tentu mengerti bahwa orang-orang padesan seperti kami tidak banyak mengenal unggah-ungguh. Tapi jika hanya bertanya tentang hal itu kami harus digantung, akan kami jalani” jawab Wirantana.

“Kau benar-benar akan digantung jika berani menanyakannya.“ geram orang itu.

“Apa boleh buat...!“ jawab Wirantana.

“Mas Rara pun akan digantung pula...!“ berkata orang yang lain.

“Jika Raden Panji memang menganggap Mas Rara curang, dalam hubungannya dengan paman, bertanya atau tidak bertanya, lambat atau cepat, ia juga akan digantung“ jawab Wirantana.

“Anak dungu!” tiba-tiba seorang diantara mereka membentak. “Dengar perintah kami.”

Wajah Wirantana jadi merah. Dengan geram ia berkata. “Aku tidak akan menuruti perintahmu. Besok aku akan bertanya pada Raden Panji, apakah ia benar-benar kecewa terhadap adikku, dan menuduhnya berkhianat sebelum benar-benar jadi istri Raden Panji. Jika tuduhan itu benar-benar dilontarkan oleh Raden Panji, sebaiknya dia mengambil langkah-langkah yang pantas dari seorang pemimpin...”

Kedua orang itu menjadi tegang. Seorang diantara mereka berkata “Jika ada diantara kalian yang menanyakan hal itu pada Raden Panji, setelah itu kita akan membuat perhitungan!”

“Aku akan menanggung semua akibat dari perbuatanku!“ jawab Wirantana “Mungkin akibat itu sangat menyakitkan. Bahkan mungkin kematian. Tapi nilai adikku tidak hanya sebesar mas kawin yang diberikan Raden Panji, berapapun banyaknya...”

“Anak iblis!“ geram seorang diantara kedua orang itu. “Pikirkan dulu segala langkahmu agar kau tidak menyesal. Kau jangan menganggap aku sedang bermain-main.”

“Perjalanan yang kami tempuh juga bukan tamasya yang sejuk segar!“ jawab Wirantana “Nyawa kami pun hampir tersangkut dalam perjalanan itu...”

Kedua orang itu menggeretakkan gigi. Seorang diantara mereka berkata “Marilah. Memang sulit bicara dengan orang-orang padesan yang dungu. Tapi jika besok ia benar-benar digantung, itu bukan salah kita”

Dengan tergesa-gesa, kedua orung itu meninggalkan serambi gandok. Keduanya turun ke halaman dan kemudian keluar dari regol...

Selanjutnya,
Mas Rara Bagian 08

Mas Rara Bagian 07

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
TETAPI Wirantana pun menjadi marah. Katanya “Ini adalah pamanku. Kau kira ia akan dapat disejajarkan dengan para perampok itu?“

“Justru pamanmu otak dari peristiwa ini“ pemimpin prajurit itupun menjadi semakin marah.

Wirantana menggeretakkan giginya. Katanya “Pamanku yang mengupah mereka. Pamanku tidak sama dengan mereka!”

“Tetapi akibat dari tingkah pamanmu maka tugasku telah terhambat. Orang-orangku terluka dan bahkan akupun telah terluka!“ berkata pemimpin prajurit itu.

“Kau kira kami hanya duduk saja bertopang dagu? Siapa yang telah menyelamatkan Mas Rara? Tanpa kami, kalian telah kehilangan Mas Rara. Dan kalian akan mendapat hukuman dari Raden Panji.” geram Wirantana.

“Sudahlah.” desis Manggada “Jangan timbulkan persoalan baru!”

Pemimpin prajurit itupun termangu-mangu sejenak. Tanpa anak-anak muda itu, maka agaknya persoalannya memang akan menjadi semakin rumit. Namun demikian ia masih juga berkata “Apapun yang akan kau lakukan atas pamanmu. Aku tidak mau dihambat lebih lama lagi.”

“Jika kau akan pergi dahulu, pergilah. Tetapi Mas Rara tidak akan mau beranjak dari tempat ini sebelum pamannya dikuburkan dengan baik.” jawab Wirantana.

Pemimpin prajurit itu tidak dapat mengatasi lagi jika itu merupakan keputusan Mas Rara. Saat itu Mas Rara adalah segala-galanya. Karena itu, maka pemimpin prajaurit itupun telah menampakkan kemurahannya kepada para tawanannya.

Dengan ketus pemimpin prajurit itu membentak-bentak, agar para tawanannya itu dengan cepat menguburkan kawan-kawannya yang terbunuh. Dalam pada itu, Wirantanapun kemudian telah memutuskan untuk menguguburkan Ki Resa ditempat itu, tetapi terpisah dari para perampok. Memberinya pertanda yang jelas, sehingga pada suatu saat akan dapat dilakukan upacara pemindahan kuburnya.

Dibantu oleh sais kereta kuda itu, bersama Manggada dan Laksana, mereka telah menggali lubang kubur, dibawah sebatang pohon cangkring agak jauh dari jalan. Beberapa orang prajurit telah membantunya pula, agar segalu sesuatunya dapat berlangsung lebih cepat.

Namun bagaimanapun juga, perjalanan mereka tentu akan menjadi semakin lambat karena mereka akan membawa tawanan yang hanya berjalan kaki, sambil membawa kawan-kawan mereka yang terluka.

Demikianlah Akhrnya mereka selesai dengan tugas terakhir mereka di bawah bukit kecil itu. Semua korban telah dlkuburkan. Ki Resi pun telah dikuburkan pula.

Sejenak kemudian, iring-iringan yang menjadi semakin besar itu mulai bergerak kembali. Beberapa orang prajurit yang lerluka dan tidak mampu berkuda sendiri, telah didampingi oleh temannya. Namun para tawanan terpaksa harus berjalan diantara orang-orang berkuda itu, dengan tangan terikat. Hanya mereka yang membantu kawan-kawannya yang terluka saja yang dlbebaskan dari ikatan.

Perjalanan menuju rumah Raden Panji Prangpranata terpaksa jadi makin lambat, para tawanan yang terluka ada yang tidak mampu lagi berjalan Karena itu, kawan-kawannya harus membuat usungan dari bambu, yang mereka potong dari pinggir-pinggir jalan atau dipategalan-pategalan.

Setiap kali, pemimpin prajurit yang menjemput Mas Rara itu membentak-bentak marah. Bahkan kadang-kadang prajurit-prajuritnya sendiri ikut dibentak-bentak.

Mas Rara duduk di kereta kudanya yang berjalan lambat. Namun bagi Mas Rara, perjalanan yang lebih lambat itu terasa lebih baik, karena tubuhnya tidak terguncang-guncang.

Wirantana berkuda tidak lebih dari dua langkah di sebelah kereta itu. Setiap kali Mas Rara tidak melihat kakaknya, ia memanggil-manggil. Manggada dan Laksana berkuda di belakang kereta itu.

Kedua anak muda itu telah memberikan ketenangan di hati Mas Rara. Meski kedua anak muda itu belum lama dikenalnya, namun Mas Rara rasa-rasanya telah menaruh kepercayaan yang sangat besar pada mereka.

Demikianlah. Iring-iringan itu merambat seperti siput sakit. Pemimpin prajurit hampir kehilangan akal, dan berniat membunuh orang-orang yang terluka parah. Untunglah pada saat-saat terakhir penalarannya masih mampu menahan, sehingga di luar sadarnya pemimpin prajurit itu menekan dadanya dengan telapak tangan, seakan-akan ingin mengendapkan gejolak yang hampir tak tertahankan.

Dengan hambatan yang sangat menyakitkan hati, justru bersumber dari orang yang dianggap akan sangat membantunya itu, pemimpin prajurit utusan Raden Panji memutuskan untuk bermalam di perjalanan. Ketika mereka memasuki sebuah padukuhan besar, pemimpin prajurit itu telah menemui Ki Bekel, dan menyatakan maksudnya untuk bermalam di padukuhan itu.

Ketika Ki Bekel mengetahui bahwa iring-iringan itu adalah utusan Raden Panji Prangpranata, yang menjemput bakal istri Raden Panji, Ki Bekel mempersilahkan mereka bermalam di banjar.

“Tetapi sebagian terpaksa bermalam di rumah-rumah sekitar banjar“ berkata Ki Bekel “Banjar itu terlalu sempit untuk bermalam sekian banyak orang.”

“Tidak perlu Ki Bekel“ berkata pemimpin prajurit itu “banjar itu cukup luas”

Ki Bekel sendiri berada di banjar ketika para prajurit mengatur diri untuk bermalam. Para tawanan ditempatkan di pendapa, diawasi beberapa orang prajurit bersenjata karena mereka terikat, sulit bagi mereka untuk melakukan gerakan apapun. Apalagi pemimpin prajurit setiap kali membentak-bentak mereka. Bahkan seorang diantara mereka, yang mencoba membantah, telah dipukul mulutnya hingga sebuah giginya patah.

Ki Bekel yang baik itu telah memerintahkan orang-orangnya untuk menyediakan makan dan minum bagi iring-iringan itu. Ki Bekel juga mengerahkan orang-orang yang dianggap mampu memberikan pengobatan pada para prajurit dan para tawanan yang terluka. Yang agak sulit bagi Ki Bekel, menyediakan makanan buat kuda-kuda para prajurit. Tetapi hal itu akhirnya teratasi juga.

Mas Rara sendiri ditempatkan di sebuah bilik yang ada di banjar. Yang ada di pintu bilik itu adalah kakaknya dan kedua anak muda yang telah menolongnya dari kuku-kuku tajam seekor harimau, serta melepaskannya dari tangan pamannya yang ternyala lebih garang dari seekor harimau tua.

Ketiga anak muda itupun telah berbaring di atas sehelai tikar pandan yang dibentangkan hampir menyilang pintu bilik itu. Bahkan setiap kali Mas Rara memanggil nama kakaknya.

“Aku di sini.” Jawab Wlrantana.

“Jangan pergi kakang.” desis Mas Rara.

“Aku tldak akan pergi. Jika aku pergi, ke pakiwan misalnya, maka Manggada dan Laksana akan ada ada di sini.“ jawab Wirantana.

Pemimpin prajurit itupun tidak mengganggu ketiga anak muda itu. Mereka mengerti bahwa ada ketergantungan dari Mas Rara kepada kakaknya dan dua orang anak muda itu. Mas Rara nampaknya lebih percaya kepada anak-anak muda itu dari pada kepada para prajurit.

Dua orang sais dan pembantunya telah berada di serambi itu pula. Tetapi mereka Justru berada di ujung. Dua orang prajurit telah menemanl mereka dan kemudian beristirahat bersama-sama di atas tlkar yang panjang.

Para prajurit memang tampak letih, sebagaimana Manggada, Laksana dan Wirantana. Mas Rarapun merasa dirinya seperti di perjalanan menuju ke neraka. Bahkan kadang- kadang Mas Rara tidak tahu lagi, apakah ia masih seorang yang bebas dan memiliki dirinya sendiri atau tidak. Tetapi tubuhnya memang terasa sangat lelah.

Beberapa orang prajurit telah mendapat tugas untuk berjaga-jaga. Dua orang di regol banjar, dan empat orang mengawani para tawanan. Mereka akan melakukan tugas itu berganti-ganti. Sementara yang tidak sedang bertugas dapat beristirahat sepenuhnya.

Ketika orang-orang yang ditugaskan Ki Bekel untuk menyiapkan makan dan minum telah siap, maka Ki Bekel mempersilahkan mereka untuk makan dan minum.

“Seadanya, selagi masih hangat“ berkata Ki Bekel kepada pemimpin prajurit.

“Terima kasih Ki Bekel.“ jawab pemimpin prajurit itu “atas nama Raden Panji Prangpranata!”

“Ah bukan apa-apa“ desis Ki Bekel “hanya sekadarnya”

Ternyata suguhan itu menjadi sangat berarti bagi para prajurit dan juga para tawanan. Mereka memang merasa sangat lapar. Tenaga mereka yang seakan-akan telah terkuras habis itu memerlukan dukungan baru agar tubuh mereka terasa tetap segar.

Tetapi beberapa orang diantara mereka, setelah perutnya menjadi kenyang, justru telah tertidur mendekur di sembarang tempat. Pemimpin prajurit itupun tidak mengganggu mereka asal bukan yang sedang bertugas. Pemimpin prajurit itupun merasa betapa tubuhnya menjadi letih.

Wirantana sendiri hampir tidak dapat beristirahat. Setiap kali adiknya selalu memanggil-manggilnya dari dalam bilik. Namun Wirantana menyadari, bahwa Mas Rara sedang dalam keadaan yang kurang menentu. Ketakutan, kecemasan dan berbagai macam perasaan berbaur di dalam hatinya.

Namun kemudian ternyata bahwa akhirnya Mas Rarapun sempat beristirahat barang sejenak di dalam biliknya. Tetapi makan yang di suguhkan kepadanya hanya dimakannya sedikit sekali.

Malam itu, tidak terjadi sesuatu di banjar yang dipergunakan oleh para prajurit utusan Raden Panji itu beristirahat. Para prajuritpun sempat beristirahat dengan baik. Semantara pagi-pagi benar, demikian mereka selesai berbenah diri, Ki Bekel telah berada di banjar itu pula dan mempersilahkan para prajurit untuk makan dan minum. Demikian pula para tawanan.

“Kami di padukuhan ini tahu, bahwa para prajurit akan berangkat pagi-pagi.” berkata Ki Bekel.

Pemimpin prajurit itu hanya dapat mengucapkan terima-kasih yang sebesar-besarnya kepada Ki Bekel, yang telah membantu dengan sungguh-sungguh kesulitan yang dialami oleh para prajurit yang mengemban tugas dari Raden Panji Prangpranata itu.

Demikianlah, ketika matahari mulai melontarkan sinarnya yang kekuning-kuningan, maka iring-iringan itu telah mulai bergerak lagi. Mas Rara telah berada di dalam keretanya pula. Namun seperti di hari sebelumnya, iring-iringan itu merambat sangat lamban.

Tetapi pemimpin prajurit itu tidak dapat mengatasinya. Ia tidak mampu berbuat lebih jauh dari yang dapat dilakukannya itu. la tidak dapat melepaskan orang-orang yang telah berusaha merampok iring-iringan itu, tetapi la juga tidak dapat memerintahkan untuk membunuh mereka semuanya.

Mataharipun kemudian memanjat langit semakin tinggi. Bahkan kemudian telah mencapai puncak langit. Namun iring-iringan itu masih belum sampai ketujuan. Ketika panas matahari bagaikan membakar punggung, maka pemimpin prajurit itupun telah memerintahkan iring-iringan itu untuk beristirahat. Ia melihat, terutama para prajurit yang terluka, telah menjadi sangat letih. Kuda-kuda merekapun menjadi haus. Sementara itu, pemimpin prajurit itu juga memikirkan keadaan Mas Rara yang berada di dalam kereta. Meski ia hanya duduk, namun ia tentu merasa letih juga.

Namun setelah menempuh perjalanan yang berat dan lamban, akhirnya iring-iringan itu telah mendekati tujuan. Sebuah padukuhan yang besar di luar dinding kota Pajang, justru agak di Utara.

Itu adalah padukuhan khusus. Disekelilingnya terdapat dinding yang lebih tinggi dari rata-rata dinding yang terdapat pada padukuhan-padukuhan lain. Di samping beberapa pintu gerbang yang lebih kecil, terdapat sebuah pintu gerbang induk yang besar, dengan pintu yang kokoh. Padukuhan itu adalah padukuhan Banyuanyar.

Sebelum iring-iringan itu memasuki pintu gerbang padukuhan, pemimpin prajurit memberitahukan pada Wirantana bahwa yang ada dihadapan mereka adalah padukuhan yang akan mereka masuki.

“Di padukuhan itu Raden Panji Prangpranata tinggal“ berkata pimpinan prajurit itu.

Wirantana mengangguk-angguk. Ia merasa sedikit lega, bahwa perjalanan yang panjang, melelahkan dan lamban itu, akan segera berakhir. Menurut pendapat Wirantana, sebelum mereka sampai tujuan, bahaya masih mengancam adik perempuannya.

Makin dekat mereka dengan pintu gerbang padukuhan Banyuanyar, ketegangan menjadi semakin menurun. Tetapi jantung serasa berdebar pula oleh sebab yang lain. Wirantana tidak lagi mencemaskan adik perempuannya, tetapi ia mulai membayangkan seseorang yang bernama Raden Panji Prangpranata.

Ketika ia berada di sebelah Manggada, di sisi kereta Mas Rara, tiba-tiba saja ia berdesis “Rasa-rasanya aku ingin segera bertemu dengan Raden Panji”

“Apakah kau pernah bertemu sebelumnya?“ bertanya Manggada.

Wirantana menggeleng. Katanya “Aku belum pernah bertemu dengan Raden Panji”

Manggada mengangguk-angguk. Sementara Laksana bertanya pula “Di mana Raden Panji pernah bertemu dengan adikmu?“

“Aku tidak begitu jelas. Tetapi menurut keterangan ayah dan ibu, Raden Panji ketika sedang dalam perjalanan keliling untuk melihat-lihat daerah yang menjadi tanggung-jawabnya diluar kota Pajang, telah singgah di banjar padukuhan Nguter. Pada saat itu, persiapan dilakukan dengan sangat hati-hati. Beberapa orang gadis ditunjuk untuk menghidangkan hidangan bagi Raden Panji Prangpranata. Termasuk Mas Rara“ jawab Wirantana.

“Kau berada dimana pada waktu itu?“ bertanya Manggada.

“Aku masih berada di sebuah perguruan.“ jawab Wirantana.

Manggada mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Ujung iring-iringan itu sudah berada di mulut pintu gerbang. Seorang prajurit menyongsong keluar pintu gerbang. Ketika ia berbicara dengan pemimpin prajurit yang datang itu, tampak terjadi ketegangan.

“Kau di sini“ berkata Wirantana kepada Manggada dan Laksana. Sebelum Manggada dan Laksana menyahut, Wirantana telah mendekati pemimpin prajurit itu. Baru kemudian ia tahu, bahwa ternyata Raden Panji Prangpranata sangat cemas karena kedatangan Mas Rara terlambat.

“Raden Panji telah menyiapkan sekelompok prajurit untuk menyusul kalian.“ berkata prajurit itu.

“Hal ini adalah di luar kemampuan kami untuk mengatasi“ jawab pemimpin prajurit yang membawa Mas Rara itu “sebagaimana kau lihat, aku membawa kawan-kawan kita yang terluka. Tetapi juga tawanan. Orang-orang yang telah mencegat perjalanan kami”

Prajurit yang menyongsong itu mengangguk-angguk. Lalu katanya “Baiklah. Mari, Mas Rara akan ditempatkan di rumah Raden Panji yang sebelah Timur, sebelum Raden Panji sendiri akan menerimanya”

Pemimpin prajurit itu mengangguk sambil menjawab “Baik. Tapi bagaimana dengan tawanan yang kami bawa?“

Prajurit yang menerima kedatangan iring-iringan itu termangu-mangu sejenak. Katanya kemudian “Kami akan membawa mereka”

la kemudian memerintahkan beberapa prajurit yang ada di regol untuk mengambil-alih para tawanan. Meski demikian, karena hal itu diluar perhitungan, ia masih minta pertimbangan beberapa orang prajurit lain, sehingga akhirnya ia berkata “Biarlah mereka membawa para tawanan itu”

Pemimpin prajurit yang baru datang menyerahkan para tawanan pada pemimpin kelompok yang akan membawa para tawanan itu ke barak. Beberapa saat kemudian, para tawanan diterima oleh sekelompok prajurit yang kemudian membawanya pergi, Yang tinggal kemudian adalah para prajurit yang akan membawa Mas Rara ke tempat yang telah disediakan.

Ketika iring-iringan itu kemudian memasuki regol padukuhan. Wirantana, Manggada dan Laksana segera mengetahui bahwa padukuhan itu sudah dibenahi, dan dalam keadaan siap menerima calon istri Raden Panji Prangpranata.

Wirantana mengangguk-angguk. Bagaimanapun juga, ia merasa berbangga bahwa adiknya mendapat kehormatan besar. selain karena ia akan jadi istri seorang yang berpengaruh dan berkuasa, ternyata ia juga dianggap seorang yang harus dihormati.

Beberapa saat kemudian, mereka telah menyusuri jalan induk padukuhan Banyuanyar. Penduduk yang tahu kedatangan Mas Rara, telah keluar dari regol-regol halaman rumah mereka untuk melihat wajah gadis yang akan jadi istri pemimpin mereka.

Beberapa orang memang sempat melihat wajah Mas Rara, meski sekilas. Namun wajah itu selalu menunduk dalam-dalam. Sedangkan yang lain, sama sekali tak melihatnya.

Di tengah-tengah padukuhan itu, iring-iringan memasuki sebuah halaman rumah yang tidak terlalu luas, tapi sangat bagus. Pendapanya yang sedang-sedang saja, memberikan kesan ramping. Demikian pula gandok kiri dan kanan, juga bukan gandok besar dan panjang. Tapi cukup memberikan kelengkapan bentuk sebuah rumah yang utuh.

Ketika kereta kuda Mas Rara berhenti di halaman, pemimpin prajurit kemudian mempersilahkan Wirantana membantu Mas Rara turun dari keretanya, dan membawanya ke pendapa. Beberapa orang perempuan telah siap menyambutnya. Demikian Mas Rara mendekati pendapa, perempuan-perempuan itu bergegas menyongsong dan membimbingnya.

Mas Rara jadi bingung. Tapi ia tidak dapat berbuat lain kecuali mengikuti saja kemana perempuan-perempuan itu membawanya. Sejenak kemudian, Mas Rara telah duduk di pendapa. Seorang laki-laki setengah baya kemudian berbicara pada pemimpin prajurit yang membawa Mas Rara itu.

“Biarlah kakaknya ikut naik ke pendapa“ berkata orang setengah baya itu.

“Kedua anak muda itu adalah sahabatnya. Keduanya adalah yang telah menolong Mas Rara dari keganasan seekor harimau. Bukankah Raden Panji memerintahkan agar kedua-nya kami bawa serta?“ berkata pemimpin prajurit itu.

“Ya. Tapi biarlah keduanya berada di gandok saja.“ berkata orang setengah baya itu.

“Kenapa?“ bertanya pemimpin prajurit itu.

“Mereka bukan keluarga Mas Rara. Kedudukan mereka lain dari kakak Mas Rara“ berkata orang setengah baya itu. Lalu katanya perlahan-lahan “Raden Panji tidak begitu senang terhadap kedua anak muda itu?“

“Jika demikian, kenapa Raden Panji memerintahkan dengan sungguh-sungguh agar keduanya harus kami bawa bersama Mas Rara?” bertanya kepala prajurit itu pula.

“Bukankah sepantasnya Raden Panji mengucapkan terima kasih kepada mereka?” jawab orang setengah baya itu.

Kepala prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia kemudian memberanikan diri bertanya. “Kenapa Raden Panji tidak senang pada mereka? Bukankah Raden Panji belum pernah bertemu dengan kedua anak muda itu?“

Orang setengah baya itu menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya “Aku tidak tahu”

Pemimpin prajurit itu tidak bertanya lagi. Katanya “Kau sajalah yang mengatur. Kau yang membawa keduanya ke gandok, sementara kakak Mas Rara ke pendapa”

Orang setengah baya itu menarik nafas panjang. Tetapi sambil mengangguk kecil, ia berkata “Baiklah. Aku akan mempersilahkannya”

Pemimpin prajurit itu kemudian memerintahkan bawahannya menarik diri dari halaman rumah itu, dan kembali ke barak masing-masing. Mereka yang terluka, memerlukan perawatan yang sebaik-baiknya. Namun ternyata seorang diantara yang terluka tidak dapat diselamatkan jiwanya, meski ia sudah mendapat perawatan sementara.

Tetapi pemimpin prajurit memerintahkan pada para prajurit untuk sementara jangan sampai terdengar keluarga Mas Rara. Mereka tentu akan merasa sedih mendengar bahwa diantara mereka yang menjemputnya, ada korban. Apalagi ia sadar bahwa penyebab bencana itu adalah pamannya sendiri.

Orang setengah baya itu kemudian mempersilahkan Wirantana untuk naik ke pendapa. Tetapi Manggada dan Laksana dipersilahkan naik ke serambi gandok. Wirantana mulai merasakan sesuatu yang kurang pada tempatnya. Karena itu ia berkata “Biarlah kedua orang sahabatku itu duduk bersamaku di pendapa”

Tetapi orang setengah baya itu menggeleng. Katanya “Maaf Ki Sanak. Raden Panji memerintahkan bahwa hanya keluarga Mas Rara saja yang dipersilahkan naik ke pendapa. Bukan maksudnya untuk membedakan tamu, tapi sekedar untuk mengetahui mana keluarga Mas Rara, mana yang bukan keluarganya”

“Tetapi keduanya sudah seperti keluarga sendiri. Tanpa keduanya, Mas Rara tidak akan pernah duduk di pendapa rumah ini“ berkata Wirantana. Lalu katanya pula “Dua kali keduanya menyelamatkan Mas Rara. Karena itu, mereka berhak disebut keluarga kami”

“Maaf Ki Sanak. Aku hanya menerima perintah dari Raden Panji“ jawab orang itu.

“Jika demikian, biarlah aku disini saja“ berkata Wirantana. “Ki Sanak dimohon untuk naik“ berkata orang itu”

Tetapi Wirantana tetap tidak mau. Bahkan Manggada dan Laksana telah minta kepadanya untuk naik.

“Biarlah kami menunggu di serambi“ berkata Manggada.

“Tidak“ jawab Wirantana.

Sementara itu, seorang perempuan yang berada di pendapa telah mendatangi orang yang mempersilahkan Wirantana itu sambil berkata. “Mas Rara memanggil kakaknya”

Orang setengah baya itu berkata “Nah, bukankah Ki Sanak dipersilahkan naik”

“Hanya dengan kedua orang kawanku ini aku akan naik“ jawab Wirantana.

“Tetapi Mas Rara memanggil“ desis orang itu,

Tetapi Wirantana tidak beranjak dari tempatnya. Bahkan katanya “Biar Mas Rara datang kemari”

Orang yang sudah separo baya itu mengerutkan keningnya. Tetapi akhirnya ia tidak dapat berbuat lain. Katanya “Baiklah. Tetapi aku sudah melakukan sesuai dengan perintah Raden Panji. Padahal di sini perintah Raden Panji harus dilakukan dengan baik. Jika Raden Panji menjadi marah, maka aku tidak bertanggung jawab”

“Begitu mudah Raden Panji marah?“ bertanya Wirantana.

“Setiap perintahnya yang tidak dilakukan dengan baik, dapat membuatnya marah. Itu wajar sekali. Bukan hanya Raden Panji. Setiap orang yang dikecewakan orang lain, akan marah. Hanya ungkapan kemarahannya yang berbeda-beda. Karena Raden Panji memiliki segala-galanya di sini, ia dapat menjadi marah dan melakukan apa saja yang dikehendaki atas orang-orang yang tidak melakukan perintahnya” berkata orang itu.

“Menarik sekali“ berkata Wirantana.

“Pada saatnya kau akan berkata lain“ jawab orang itu.

Wirantana termangu-mangu. Sementara Manggada dan Laksana telah mempersilahkan Wirantana naik ke pendapa. Sendiri.

“Kami akan menunggu di serambi“ desis Manggada beberapa kali.

Tetapi Wirantana berkeras untuk mengajak mereka naik ke pendapa.

Akhirnya ketiga orang itu naik. Mereka duduk agak jauh dari Mas Rara yang didampingi beberapa orang perempuan. Sementara itu, orang yang separo baya duduk pula diantara mereka. Di pendapa itu pula, tetapi agak menepi, duduk pula dua orang yang siap melaksanakan perintah orang separo baya itu.

Beberapa saat kemudian, para pelayan telah menghidangkan minuman untuk Mas Rara, kakaknya serta orang-orang yang menyertainya, termasuk sais dan pembantunya yang duduk di serambi gandok, ditemani seorang pembantu rumah itu.

Beberapa saat mereka harus menunggu. Mas Rara yang sebenarnya haus, rasa-rasanya tidak dapat meneguk minuman yang dihidangkan Wedang sere yang manis dengan gula aren itu rasa-rasanya sulit untuk melintas di tenggorokannya. Berbeda dengan Mas Rara, maka Wirantana, Manggada dan Laksana telah meneguk minumannya sehingga mangkuknya kering.

Untuk beberapa saat Mas Rara duduk diantara beberapa orang perempuan. Seorang perempuan yang tertua diantara mereka berusaha memecahkan kebekuan dengan sikapnya yang ramah. Beberapa pertanyaan diajukan kepada Mas Rara. Tetapi Mas Rara nampaknya memang menjadi terlalu tegang, sehingga jawaban-jawabannya kadang justru kurang dapat didengar oleh perempuan itu.

Meskipun demikian, perempuan-perempuan itu dapat mengerti sikap itu. Seorang gadis yang berada di rumah bakal suaminya, memang dapat menjadi sangat tegang. Apalagi yang dilakukan Mas Rara bukanlah kebiasaan yang berlaku diantara para gadis. Biasanya calon pengantin laki-lakinya yang datang ke rumah calon pengantin perempuan. Bahkan ada yang datang sejak selapan hari sebelum hari perkawinan dilaksanakan.

Sementara itu, orang yang telah mempersilahkan Wirantana naik ke pendapa itu satu-satu yang menanyakan keselamatan perjalanan iring-iringan itu. Tetapi suasananya ternyata memang kurang menguntungkan. Agaknya orang itu menjadi kecewa atas sikap Wirantana, sehingga pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkannya tidak lebih sekadar melakukan kewajiban sebagai orang yang ditugaskan untuk menerima keluarga Mas Rara.

Namun beberapa saat kemudian, telah datang seorang yang mendapat perintah dari Raden Panji untuk menemui orang yang sudah separo baya itu. Dengan hormat orang itu menyampaikan pesan Raden Panji kepada orang itu “Para tamu dipersilahkan untuk beristirahat. Besok pagi-pagi Raden Panji akan datang menemui Mas Rara dan para tamu dl sini”

“Ya, besok!” jawab orang yang baru datang itu. Orang separo baya itu menarik nafas dalam-dalam. Namun tidak ada yang dapat merubah perintah Raden Panji.

“Baiklah“ berkata orang separo baya itu “Aku akan menyampaikannya pada para tamu”

Ketika hal itu disampaikan pada Wirantana dan Mas Rara, maka tampak kekecewaan memancar di wajah Wirantana. Sementara, Mas Rara justru berperasaan lain. Mas Rara seakan-akan mendapat kesempatan menarik nafas, dan rasa-rasanya seperti seorang pesakitan yang ditunda vonisnya.

Dengan demikian, setelah meneguk minuman dan makan sepotong makanan, orang separo baya itu mempersilahkan para tamu beristirahat. Mas Rara mendapat tempat di ruang dalam, sementara Wirantana dipersilahkan tidur di gandok kanan. Tapi orang itu tidak mempersilahkan Manggada dan Laksana untuk istirahat di gandok sebelah kiri, karena Wirantana tentu akan mencegahnya. Dengan demikian, Manggada dan Laksana akan berada di gandok kanan bersama Wirantana, meski hanya ada satu amben dalam bilik itu. Tapi cukup besar.

Sebenarnya Mas Rara merasa keberatan ditempatkan di ruang dalam. Ia merasa telah dipisahkan dengan kakaknya. Tetapi perempuan-perempuan yang melayaninya telah memberitahukan kepadanya bahwa kakaknya berada di gandok.

“Jika Mas Rara membutuhkannya, kami akan memanggilnya“ berkata yang tertua diantara perempuan-perempuan itu.

Sementara Wirantana sempat bertanya pada orang yang menerima adiknya itu “Kenapa Raden Panji baru dapat menemui Mas Rara besok pagi?“

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar, ia berkata “Raden Panji akhir-akhir ini memang menjadi sangat sibuk”

“Tetapi bukankah kedatangan Mas Rara sudah direncanakan sebelumnya, sehingga Raden Panji dapat menyiapkan waktunya untuk itu?“ bertanya Wirantana.

“Ya. Raden Panji memang telah menyiapkan waktunya. Tetapi karena sesuatu hal di luar kemampuan kalian, serta para prajurit yang menjemput Mas Rara, kalian datang terlambat. Memang bukan salah kalian. Tetapi tampaknya Raden Panji telah mempunyai rencana lain dalam pengaturan tugasnya” berkata orang separuh baya itu.

“Apakah begitu banyak tugas Raden Panji, sehingga ia sama sekali tidak sempat untuk datang menemui Mas Rara meski hanya sekejap, dan kemudian ditinggalkannya lagi” bertanya Wirantana.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian, katanya “Akhir-akhir ini Raden Panji jarang berada di rumah. Setiap kali Raden Panji harus pergi, mau tidak mau. Jika tidak dipanggil menghadap ke Pajang, datang pemberitahuan bahwa telah terjadi keributan di suatu tempat. Tampaknya, saat-saat terakhir ini, kerusuhan menjadi semakin meningkat”

“Kerusuhan?“ bertanya Wirantana.

“Ya. Beberapa Kademangan mengalami kesulitan dengan sawah mereka. Panen sering gagal, hama dan penyakit membunuh ratusam ternak” berkata orangtua itu “sehingga karena itu, tugas Raden Panji menjadi semakin banyak, kadang-kadang Raden Panji Justru tidak sempat mengurusi dirinya sendiri karena tingkah laku orang-orang yang kelaparan itu. Mereka harus mendapat penanganan khusus. Raden Panji menganggap bahwa orang-orang yang kelaparan itu tidak dapat disamakan dengan perampok, penyamun dan penjahat-penjahat lain. Mereka melakukan perbuatan negatif sekadar untuk mempertahankan diri agar tidak mati kelaparan bersama keluarga mereka”

Wirantana mengangguk-angguk. Keterangan itu telah membuat gambarannya tentang Raden Panji jadi kabur. Semula ia menyangka bahwa Raden Panji adalah orang yang sombong, keras dan mementingkan diri sendiri. Ternyata bahwa ia telah memerintahkan bakal istrinya untuk datang kepadanya. Kemudian sikapnya yang kurang ramah, dan seakan-akan justru mengabaikan kedatangan Mas Rara.

Namun dari cerita orang separo baya itu, Raden Panji seakan-akan merupakan seorang pahlawan yang bijaksana, yang tahu menempatkan dirinya dalam gejolak waktu dan keadaan. Sehingga justru karena itu, Raden Panji sama sekali bukan orang yang mementingkan diri sendiri.

Tetapi Wirantana tidak dapat bertanya kepada orang itu tentang kepastian sosok Raden Panji. Semua orang rasa-rasanya telah membuat tirai batas antara pengenalannya dengan sosok itu sendiri. Ayahnya, ibunya, dan bahkan adiknya juga tidak pernah mengatakan sesuatu tentang Raden Panji itu.

Tetapi Mas Rara memang harus menunggu kedatangan bakal suaminya besok. Mungkin hari itu Raden Panji telah mendapat berita tentang satu peristiwa yang harus segera ditanganinya.

Manggada dan Laksana yang sempat berbicara berdua saja ketika Wirantana pergi ke pakiwan, telah menyatakan keheranannya pula atas sikap Raden Panji.

“Betapapun sibuknya, Raden Panji tentu dapat menyempatkan diri untuk melihat calon istrinya. Apalagi ia telah mendapat laporan bahwa iring-iringan prajurit yang menjemput calon istrinya telah mendapat gangguan. Sasarannya justru calon istrinya itu sendiri” berkata Laksana.

“Ya. Tetapi barangkali Raden Panji justru kecewa setelah mendengar sikap paman Mas Rara itu sendiri“ jawab Manggada “atau karena Raden Panji menganggap bahwa tidak akan terjadi apa-apa lagi, karena orang yang langsung merencanakan perbuatan itu telah terbunuh”

“Tetapi bagaimanapun juga, sikapnya kurang dapat dimengerti“ desis Laksana “bahkan aku condong menganggapnya terlalu sombong karena ia seorang pemimpin yang berpangkat tinggi, sedang keluarga Mas Rara adalah keluarga orang kecil”

Manggada mengangguk-angguk. Sebenarnyalah ia berpendapat bahwa Raden Panji Prangpranata memang menganggap bahwa kedudukannya jauh lebih tinggi dari kedudukan bakal isterinya, sehingga ia dapat berbuat apa saja menurut keinginannya. Ia dapat memerintahkan untuk memanggil bakal isterinya. Kemudian membiarkannya menunggu sampai ia sempat datang menemuinya. Ketika Wirantana kemudian selesai, maka bergantianlah Manggada dan Laksana pergi ke pakiwan.

Tetapi ketika ketiga orang anak muda itu kemudian duduk-duduk di serambi, seorang diantara perempuan-perempuan yang menemani Mas Rara, datang. Dengan nada rendah ia bertanya “Siapakah diantara anak-anak muda yang bernama Wirantana?“

“Aku“ jawab Wirantana.

“Maaf anakmas Mas Rara memanggil anakmas” berkata perempuan itu.

Wirantana mengungguk kecil sambil berkata “Baiklah. Aku akan datang segera“

“Marilah anakmas, aku akan mengantar anakmas menemui Mas Rara di ruang dalam“ berkata perempuan itu.

Wirantana berpaling kepada Manggada dan Laksana. Sambil mengangguk kecil Manggada berkata. “Lihatlah. Mungkin adikmu sangat memerlukanmu”

Wirantana kemudian mengikuti perempuan itu pergi ke ruang dalam.

“Silahkan anakmas!“ perempuan itu mempersilahkan Wirantana masuk ke bilik adiknya.

Di dalam bilik itu ternyata adiknya ditunggui oleh dua orang perempuan. Namun ketika Wirantana masuk ke dalam bilik itu, kedua orang perempuan itu keluar.

“Ada yang perlu aku tolong?“ bertanya Wirantana setelah menutup pintu bilik itu.

Mas Rara tidak menjawab. Kepalanya menunduk dalam-dalam.

“Bukankah kau panggil aku?“ bertanya Wirantana pula.

Mas Rara masih tetap berdiam diri. Namun dari kedua matanya mengalir air mata.

“Apa yang terjadi?“ bertanya Wirantana gelisah.

Tetapi Mas Rara tidak menjawab.

“Mas Rara“ desak Wirantana “Kenapa? Ada apa?“

Mas Rara masih tetap saja berdiam diri.

“Apakah kau kecewa karena Raden Panji baru akan menemuimu besok?“ bertanya Wirantana.

Mas Rara menggeleng kecil, hampir tidak tertangkap kesannya oleh Wirantana.

“Apa sebenarnya yang telah terjadi?“ desak Wirantana yang menjadi bingung oleh sikap adiknya.

Tetapi Mas Rara tetap berdiam diri. Wirantana jadi tambah bingung. Tetapi akhirnya ia duduk saja di bibir pembaringan tanpa mengucapkan kata-kata apapun. Keduanya saling berdiam diri untuk beberapa saat. Tetapi Wirantana menjadi pening karena suasana itu. Akhirnya ia berkata,

“Barangkali kau belum dapat mengatakannya sekarang Mas Rara. Tetapi aku tidak pantas berada di sini. Di luar beberapa orang perempuan menunggu. Karena itu, biarlah aku keluar saja dulu. Nanti jika kau merasa bahwa waktunya sudah datang untuk mengatakan sesuatu, panggil aku lagi”

Mas Rara mengangguk. Namun justru karena itu Wirantana menjadi semakin tidak mengerti dengan perasaan adiknya yang sebenarnya. Wirantana jadi semakin ragu. Apakah adiknya merasa berbahagia atau tidak.

“Baiklah...“ berkata Wirantana “Aku akan menunggu di gandok”

Mas Rara diam membeku. Tetapi ketika Wirantana bangkit berdiri, Mas Rara tiba-tiba terisak.

“Kenapa kau sebenarnya?“ Wirantana menjadi makin bingung. Apalagi ketika ia kemudian mendengar suara adiknya diantara isak tangisnya.

“Aku ingin pulang”

Wirantana duduk kembali di bibir pembaringan adiknya. Dengan nada rendah ia bertanya “Kenapa? Kenapa?“

Tetapi Mas Rara telah terdiam sama sekali. Tidak ada kata-kata yang terloncat dari sela-sela bibirnya. Gadis itu menunduk saja, sementara air matanya menitik satu-satu.

Wirantana benar-benar menjadi bingung. Ia mencoba untuk meraba-raba, apakah yang telah terjadi dengan adiknya. Mungkin karena tingkah laku pamannya yang membuatnya bukan saja sakit hati, tetapi juga sangat malu terhadap Raden Panji dan orang-orang di sekitarnya.

Tetapi Mas Rara tetap tidak mau mengatakan sesuatu. Sehingga akhirnya Wirantana berkata lagi “Baiklah. Aku menunggu di gandok”

Sekali lagi Mas Rara mengangguk. Ketika Wirantana keluar, beberapa orang perempuan yang ada di depan bilik itu bangkit berdiri dan mengangguk hormat, sehingga Wirantana menjudi segan karenanya.

Manggada dan Laksana yang berada di gandok ternyata juga bertanya-tanya, untuk apa Mas Rara memanggil Wirantana. Sementara itu Wirantana telah berusaha untuk menenangkan hatinya sendiri.

“Mas Rara belum pernah berpisah dengan ayah dan ibu“ berkata Wirantana di dalam hatinya “Karena itu, agaknya ia selalu dibayangi kecemasan tentang dirinya sendiri. Apalagi karena tingkah paman yang sama sekali tidak terduga”

Ketika kegelisahan Wirantana disampaikan pada Manggada dan Laksana, kedua anak muda itu ikut-ikutan jadi gelisah. Meskipun Wirantana berusaha menenangkan perasaannya, tetapi gejolak perasaan adiknya yang tertutup di bilik, makin membuatnya gelisah.

“Mas Rara tidak pernah bersikap seperti itu sebelumnya“ berkata Wirantana di dalam hatinya. Tetapi ia sadar bahwa hal itu terjadi ketika mereka masih remaja. Ketika ia pergi berguru dan kemudian kembali, terjadi banyak perubahan. Adiknya telah tumbuh menjadi gadls dewasa, sebagaimana dirinya juga telah menjadi dewasa.

Manggada dan Laksana setiap kali hanya mengangguk-angguk saja, la tidak mau menambah kegelisahan hati anak muda itu. Keduanya berusaha dapat membantu meringankan beban perasaan Wirantana, meski tidak bisa memberikan jalan keluarnya.

Ketika kemudian malam turun, setelah makan malam yang dihidangkan ke biliknya, Wirantana bersama Manggada dan Laksana tetap berada di biliknya. Tidak ada minat dari ketiga anak muda itu melihat-lihat keadaan. Apalagi Manggada dan Laksana merasa diri mereka seakan-akan berada di tempat yang sangat asing.

Ketiga anak muda itu mendengar beberapa orang berbicara di pendapa. Tetapi mereka merasa ragu-ragu untuk keluar dari dalam bilik itu. Tapi ketika mereka kemudian mendengar percakapan di serambi gandok, Wirantana membuka pintu bilik gandok itu.

Dua orang duduk di serambi. Seorang diantara mereka berdesis “Kami sangka kalian sudah tidur. Mungkin lelah karena perjalanan yang panjang. Tetapi mungkin juga karena merasa tidak ada lagi yang harus kalian kerjakan”

Wirantana termangu-mangu sejenak. Namun ia kemudian melangkah keluar diikuti Manggada dan Laksana.

“Apakah Ki Sanak juga termasuk prajurit Pajang yang berada di bawah pimpinan Raden Panji?“ bertanya Wirantana.

Kedua orang itu memandang Wirantana dengan tajamnya. Seorang diantara mereka menjawab “Kami memang pembantu-pembantu terdekat Raden Panji. Bukankah kau kakak Mas Rara yang akan diperisteri Raden Panji?“

“Ya!“ jawab Wirantana.

“Sedangkan kedua orang anak muda itu disebut-sebut telah menyelamatkan Mas Rara dari terkaman harimau yang tersesat itu?“ bertanya orang itu pula.

“Ya...!“ jawab Wirantana pula.

“Marilah. Duduklah. Masih belum terlalu malam untuk berbincang-bincang“ berkata orang itu.

Wirantana, Manggada dan Laksana pun telah duduk pula bersama kedua orang itu. Keduanya berganti-ganti bertanya tentang keluarga Wirantana. Tentang perjalanan yang telah mereka tempuh dan tentang hambatan-hambatan yang terjadi.

“Kenapa pamanmu berlaku kasar terhadap adik perempuanmu itu?“ bertanya orang itu tiba-tiba.

Pertanyaan yang sangat tidak disukai oleh Wirantana. Namun iapun telah menjawab “Aku tidak tahu. Tidak ada yang tahu kenapa paman berbuat seperti itu. Aku kira paman pun tidak tahu kenapa ia berlaku seperti itu”

Kedua orang itu mengerutkan keningnya. Namun seorang diantara keduanya telah bertanya pula. “Pamanmu telah membunuh beberapa orang. Bahkan diantaranya prajurit Pajang. Meskipun bukan karena tangannya sendiri, tetapi ia adalah penyebab dari kematian itu”

“Ya“ jawab Wirantana. Ia menjadi semakin tidak senang dengan pertanyaan-pertanyaan kedua orang itu. Namun ia pun tetap menjawab pula “Tetapi paman juga telah terbunuh”

Kedua orang itu tersenyum. Seorang diantaranya justru tertawa sambil berkata “Tetapi kematiannya adalah karena salahnya sendiri. Berbeda dengan prajurit itu”

“Kenapa dengan prajurit itu?“ bertanya Wirantana.

“Ia mati karena melaksanakan tugas. Ia mati sebagai pahlawan“ jawab orang itu.

“Apakah itu bukan salahnya sendiri?“ justru Wirantanalah yang bertanya.

“Kenapa salahnya sendiri?“ orang itu ganti bertanya.

“Jika ia menyesali kematiannya karena mengemban tugas, sebaiknya ia tidak menjadi prajurit saja. Bukankah ketika ia menyatakan diri menjadi prajurit, akibat seperti itu sudah diperhitungkan. Justru kematian yang paling berarti dari seorang prajurit adalah mati di peperangan selagi menjalani pengabdian”

Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Seorang diantara mereka berkata. “Jadi itukah pandanganmu tentang seorang prajurit? Dia baru berrarti jika mati di medan perang? Atau katakanlah, tiap prajurit yang masuk dalam arena pertempuran, untuk melaksanakan pengabdian, sebaiknya mati. Dengan demikian, ia baru bisa berarti?“

“Tidak“ Jawab Wirantana “Aku tidak mengatakan demikian. Aku hanya mengatakan bahwa kematian yang paling berarti bagi seorang prajurit adalah mati di medan perang, selagi menjalankan pengabdian. Tentu saja dalam arti luas”

Orang itu tertawa. Katanya “Pandai juga kau bermain dengan kata-kata. Tetapi baiklah. Aku setuju dengan pendapatmu”

“Terima kasih“ jawab Wirantana. Ia berharap bahwa tidak ada pertanyaan lagi tentang pamannya yang telah terbunuh itu. Tapi Wirantana salah duga. Orang itu masih bertanya lagi “Apakah sebelumnya tidak ada tanda-tanda tentang sikap pamanmu itu pada adikmu?“

“Tidak“ jawab Wirantana singkat.

Kedua orang itu mengerti bahwa Wirantana tidak senang mendengar pertanyaan-pertanyaan mereka tentang pamannya. Tapi seorang diantara mereka justru bertanya “Apakah pamanmu belum beristeri?“

Jantung Wirantana terasa berdenyut makin cepat. Tapi ia masih coba menjawab. “Belum!”

“Berapa umur pamanmu?“ bertanya yang lain.

Seperti mimpi, Wirantana menjawab “Tigapuluh”

“Masih begitu muda?“ bertanya orang itu pula.

“Ya“ jawab Wirantana.

Orang itu tertawa. Dengan nada tinggi ia bertanya. “Kau tidak senang mendengar pertanyaan-pertanyaan tentang pamanmu?”

“Tepat“ jawab Wirantana.

“Kau tersinggung? Seharusnya kau tidak usah tersinggung. Peristiwa itu menunjukkan keadaan keluargamu yang rapuh. Jika tidak, peristiwa semacam itu tidak akan terjadi. Sebenarnya Raden Panji jadi sangat kecewa. Siapa tahu sebelum kejadian itu memang sudah ada hubungan antara pamanmu dengan Mas Rara“ berkata orang itu.

“Jika demikian, apakah pamanku begitu bodoh sehingga harus menunggu sampai Mas Rara dijemput? Bukankah sebelumnya mereka dapat dengan mudah melarikan diri?“ justru Wirantanalah yang kemudian bertanya.

“Kenapa tidak mereka lakukan? Tapi jika hal itu mereka lakukan, Mas Rara tentu tidak akan menerima mas kawin dari Raden Panji“ jawab orang itu.

Wajah Wirantana jadi panas. Manggada dan Laksana masih berdiam diri. Tapi jantung mereka berdetak makin cepat. Dengan suara bergetar, Wirantana berkata. “Jadi kau nilai adikku tidak lebih dari mas kawinnya?“

Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun seorang diantara mereka menjawab “Ya. Mas kawin itu bagi keluargamu merupakan kurnia yang tidak ternilai. Jauh lebih bernilai dari adikmu”

“Siapa yang menilai seperti itu, kau atau Raden Panji?“ tiba-tiba saja Manggada yang tidak tahan lagi bertanya pula.

Lagi, kedua orang itu termangu-mangu. Wirantana yang tanggap justru mendesak. “Aku, sebagai kakak Mas Rara, merasa perlu untuk mendapat penjelasan dari Raden Panji”

“Kau berani menanyakannya?“ bertanya salah seorang dari kedua orang itu.

“Kenapa tidak? Kami orang-orang padesan, adalah orang-orang yang terbuka. Lebih baik aku bertanya pada Raden Panji dengan akibat apapun, daripada kegelisahan ini kubawa pulang dan menyampaikannya pada ayah dan ibu. Mereka tentu akan jadi gelisah. Bahkan jika Raden Panji memang kecewa, aku akan membawa adikku kembali. Mas kawin itu masih utuh disimpan ayah di tempat yang paling tersembunyi, setelah hampir terjadi perampokan“ jawab Wirantana.

“Kau tidak perlu bertanya pada Raden Panji?“ berkata orang itu dengan nada menurun.

“Aku akan bertanya. Raden Panji tentu mengerti bahwa orang-orang padesan seperti kami tidak banyak mengenal unggah-ungguh. Tapi jika hanya bertanya tentang hal itu kami harus digantung, akan kami jalani” jawab Wirantana.

“Kau benar-benar akan digantung jika berani menanyakannya.“ geram orang itu.

“Apa boleh buat...!“ jawab Wirantana.

“Mas Rara pun akan digantung pula...!“ berkata orang yang lain.

“Jika Raden Panji memang menganggap Mas Rara curang, dalam hubungannya dengan paman, bertanya atau tidak bertanya, lambat atau cepat, ia juga akan digantung“ jawab Wirantana.

“Anak dungu!” tiba-tiba seorang diantara mereka membentak. “Dengar perintah kami.”

Wajah Wirantana jadi merah. Dengan geram ia berkata. “Aku tidak akan menuruti perintahmu. Besok aku akan bertanya pada Raden Panji, apakah ia benar-benar kecewa terhadap adikku, dan menuduhnya berkhianat sebelum benar-benar jadi istri Raden Panji. Jika tuduhan itu benar-benar dilontarkan oleh Raden Panji, sebaiknya dia mengambil langkah-langkah yang pantas dari seorang pemimpin...”

Kedua orang itu menjadi tegang. Seorang diantara mereka berkata “Jika ada diantara kalian yang menanyakan hal itu pada Raden Panji, setelah itu kita akan membuat perhitungan!”

“Aku akan menanggung semua akibat dari perbuatanku!“ jawab Wirantana “Mungkin akibat itu sangat menyakitkan. Bahkan mungkin kematian. Tapi nilai adikku tidak hanya sebesar mas kawin yang diberikan Raden Panji, berapapun banyaknya...”

“Anak iblis!“ geram seorang diantara kedua orang itu. “Pikirkan dulu segala langkahmu agar kau tidak menyesal. Kau jangan menganggap aku sedang bermain-main.”

“Perjalanan yang kami tempuh juga bukan tamasya yang sejuk segar!“ jawab Wirantana “Nyawa kami pun hampir tersangkut dalam perjalanan itu...”

Kedua orang itu menggeretakkan gigi. Seorang diantara mereka berkata “Marilah. Memang sulit bicara dengan orang-orang padesan yang dungu. Tapi jika besok ia benar-benar digantung, itu bukan salah kita”

Dengan tergesa-gesa, kedua orung itu meninggalkan serambi gandok. Keduanya turun ke halaman dan kemudian keluar dari regol...

Selanjutnya,
Mas Rara Bagian 08