Mas Rara Bagian 08 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
WIRANTANA, Manggada dan Laksana masih duduk di serambi. Dengan geram Wirantana berkata. “Orang itu telah menghilangkan kantukku!”

“Apa maksudnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyakitkan hati itu?“ desis Laksana.

“Kita memang perlu berhati-hati“ desis Manggada. Wirantana menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah, ia bertanya “Jika kalian berdua mendapatkan kesempatan untuk meninggalkan tempat ini, kalian akan meneruskan perjalanan kemana?“

Manggada dan Laksana termangu-mangu. Dengan nada rendah Manggada berkata “Agaknya kita masih harus jalan bersama-sama”

“Kenapa?“ bertanya Wirantana.

“Orang-orang itu telah mengancam. Sebaiknya kau tidak menempuh perjalanan sendiri”

“Jadi kalian akan kembali lagi ke rumah kami?“ bertanya Wirantana.

Manggada dan Laksana hanya menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Wirantana berdesis hampir pada diri sendiri. “Jangan terlalu memikirkan keselamatan kami. Aku tahu, kalian tentu punya kepentingan sendiri. Biarlah kami coba menyelesaikan persoalan kami sendiri”

“Kami adalah pengembara yang tidak terikat oleh waktu dan keadaan“ jawab Manggada “kami dapat mengubah rencana kami jika keadaan memanggil”

Wirantana tidak menjawab. Dalam keremangan cahaya lampu minyak, ia melihat seseorang mendekati tempat itu. Seorang yang abdi tua dari orang yang menerima kedatangan Mas Rara dan para pengiringnya.

Dengan ramah orang itu berdesis “Selamat malam anak-anak muda. Kiranya masih belum mengantuk!”

“Belum Kiai“ jawab Manggada “Udara terlalu panas di dalam”

“Bolehkah aku duduk?“ bertanya orangtua itu.

“Silahkan Kiai, silahkan“ Wirantana mempersilahkan sambil membimbing orangtua itu duduk di serambi gandok.

“Aku melihat dua orang tadi datang kemari“ berkata orangtua itu.

“Ya. Menurut keterangannya, mereka adalah pembantu dekat Raden Panji“ jawab Wirantana.

Orangtua itu tersenyum sambil mengangguk-angguk. Katanya “Keduanya memang mengabdi pada Raden Panji. Keduanya memang termasuk dekat, tapi tidak terlalu dekat”

Ketiga anak muda itu mengangguk-angguk. Sementara, orangtua itu kembali berkata “Aku tidak begitu mengerti apa yang kalian bicarakan dengan kedua orang itu anak muda. Tapi tampaknya kalian telah berselisih paham”

“Ya, Kiai“ jawab Wirantana “memang terjadi salah paham, tapi tidak terlalu penting”

“Apakah ia menyebut tentang Raden Panji?“ bertanya orangtua itu.

Wirantana memang terbuka. Ia mengatakan apa yang telah dibicarakannya dengan kedua orang tadi. Tanggapan orangtua itu mengejutkan. Katanya “Pantas. Aku sudah mengira bahwa la akan memperkecil arti Mas Rara bagi keluarganya, bagi Raden Panji dan bagi orang banyak”

“Kenapa?“ bertanya Wirantana.

“Istri Raden Panji yang terakhir adalah salah seorang dari saudara mereka.“ jawab orangtua itu.

“Istri yang terakhir?“ bertanya Manggada dengan nada tinggi.

Orangtua itu termangu-mangu sejenak. Namun ia kemudian mengangguk-angguk sambil menjawab “Ya, isteri yang terakhir, yang disingkirkannya beberapa saat lalu”

“Berapa isteri Raden Panji? Maksudku, sudah berapa kali ia kawin?“ bertanya Wirantana.

Orangtua itu mengerutkan keningnya. Ia memang menjadi ragu-ragu. Tetapi akhirnya ia berkata. “Yang aku ketahui ngger, Raden Panji telah pernah kawin lima kali. Dua diantaranya meninggal. Sedangkan tiga orang telah diceraikan. Yang terakhir dicerai adalah adik dari orang yang datang kemari itu."

Jantung ketiga anak muda itu berdegup keras. Baru saat itu mereka tahu, bahwa Raden Panji telah pernah kawin lima kali. Tetapi mereka tidak banyak bertanya lagi.

Orang itu kemudian berkata “selain itu, aku tidak tahu apa-apa tentang Raden Panji Prangpranata”

“Ia seorang prajurit?“ bertanya Laksana.

“Ya“ jawab orangtua itu singkat.

Laksana mengangguk-angguk. Tetapi ternyata masih meluncur pertanyaannya “Kenapa ia kawin sampai lima kali?“

Orangtua itu menggeleng. Katanya. “Aku tidak tahu apa-apa lagi”

“Berapa putera Raden Panji?“ bertanya Wirantana.

“Tidak seorangpun“ jawab orangtua itu.

Wirantana mengerutkan dahinya. Tetapi ia berdesis “Itulah agaknya yang jadi sebab Raden Panji masih saja ingin kawin. Lima kali ia kawin, tetapi ternyata ia masih belum mempunyai anak yang akan menyambung hidupnya, memperpanjang darah keturunannya”

“Tetapi bagaimana jika Raden Panji sendiri yang tidak dapat mempunyai anak, karena mandul atau sebab-sebab lain?“ bertanya Manggada.

“Sudahlah” berkata orangtua itu “kita berbicara tentang yang lain. Tidak baik kita membicarakan kekurangan seseorang. Apalagi orang itu adalah orang yang selama ini sangat kita hormati”

Wirantana, Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Mereka memang tidak berbicara lagi tentang kekurangan-kekurangan Raden Panji. Tetapi orangtua itu berceritera tentang kelebihan Raden Panji Prangpranata.

“Saat Demak kehilangan apinya, maka telah terjadi benturan kekuatan antara para Adipati keturunan Demak, yang memperebutkan tahta. Kekuasaan Adipati Pajang memang telah berkembang paling luas diantara mereka yang berebut tahta itu. Pajang telah memasuki satu masa perang saudara melawan Jipang. Raden Panji Prangpranata adalah seorang Senopati yang ikut menentukan kemenangan Pajang atas Jipang. Karena itu maka Raden Panji sekarang telah mendapat kedudukan yang cukup baik. Raden Panji bertugas untuk mengawasi dan mendapat wewenang mengambil sikap atas nama Pajang bagi daerah yang luas di sebelah Timur kota Pajang. Agaknya sampai ke padukuhan anak-anak muda ini”

Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Sementara itu, orangtua itu berceritera terus tentang kelebihan dan kuasa Raden Panji Prangpranata.

“Karena itu“ berkata orangtua itu kemudian “Beruntunglah Mas Rara yang akan menjadi isteri Raden Panji Prangpranata. Apalagi jika Mas Rara dapat memberi anak kepada Raden Panji. Maka ia benar-benar akan menjadi seorang perempuan yang sangat beruntung. Terhormat, kaya raya dan memiliki darah keturunan”

Wirantana menarik nafas dalam-dalam. Ia memang berharap adiknya, berbahagia. Ia sudah merasa sangat kecewa ketika ia mendengar bahwa adiknya akan menjadi isteri Raden Panji yang keenam. Namun ia sedikit dapat mengerti kenapa hal seperti itu terjadi, ketika ia mendengar bahwa kelima isteri Raden Panji itu tidak berputera sama sekali.

Namun orangtua itu kemudian telah minta diri, Malam menjadi semakin dalam. Katanya “Sudahlah. Beristirahatlah. Besok kalian pagi-pagi harus sudah siap. Bukankah Raden Panji besok akan menemui bakal isterinya?“

“Ya“ jawab Wirantana.

“Tidurlah. Raden Panji sangat menghargai waktu. Jika besok ia datang dan kalian belum siap, maka kalian akan ditinggalkannya“ berkata orang itu.

“Ditinggal kemana?“ bertanya Wirantana pula.

“Maksudku, kalian tidak akan dihiraukan lagi. Raden Panji sangat membenci orang yang terlambat“ jawab orangtua itu.

“Tetapi Raden Panji tidak mengatakan, kapan ia datang. Saat matahari terbit, sepenggalah, saat gumatel atau saat pasar temawon? Atau tengah hari?“ sahut Wirantana.

“Raden Panji yang menentukan segala-galanya. Bukan orang lain. Karena itu, maka orang lainlah yang harus menyesuaikan diri. Bangunlah pagi-pagi, lalu mandi. Kalian harus siap setiap saat Raden Panji memanggil kalian” berkata orangtua itu pula.

“Jadi bagaimana dengan Mas Rara?“ bertanya Wirantana. ”Apakah ia sudah tahu akan hal itu?“

“Tentu sudah. Perempuan-perempuan yang merawat dan melayani tentu sudah tahu, kapan ia harus siap. Diantara perempuan-perempuan itu, terdapat juru riasnya. Ia akan mulai meriasnya pagi-pagi sekali. Sudah tentu Mas Rara harus mandi sebelum matahari terbit” berkata orangtua itu pula.

Wirantana menarik nafas dalam-dalam. Gambarannya tentang Raden Panji menjadi semakin kabur. Ia tidak dapat melihat watak dan sifat Raden Panji sebagai satu kebulatan. Setiap keterangan telah memberikan gambaran yang berbeda-beda.

Namun Wirantana memang tidak terlalu banyak bertanya. Tetapi keterangan orangtua itu telah menahan keinginannya untuk berbicara langsung dengan Raden Panji.

Demikianlah, sejenak kemudian, maka orangtua itu pun telah meninggalkan gandok. Tertatih-tatih ia berjalan di kegelapan melintas pendapa dan hilang di balik regol halaman yang dijaga oleh prajurit bersenjata.

Wirantana tidak dapat mengatakan kepada siapa pun gambarannya tentang Raden Panji itu. Namun yang penting baginya, apakah Raden Panji itu dapat membahagiakan adiknya atau tidak. Tetapi seperti yang dikatakan oleh orangtua itu, agar mereka beristirahat, maka Wirantana pun kemudian telah mengajak Manggada dan Laksana masuk ke dalam biliknya.

“Sebaiknya sekarang kita tidur saja“ berkata Wirantana.

Manggada dan Laksana pun telah mengikuti Wirantana pula. Laksanalah yang menutup pintu bilik itu, menyelaraknya dan kemudian melangkah ke pembaringan.

Namun ternyata tidak mudah untuk segera dapat tidur. Apalagi Wirantana. Ia selalu membayangkan sosok Raden Panji Prangpranata. Seorang prajurit yang gagah berani, bertubuh tinggi kekar, berwajah keras. Terlalu yakin akan dirinya sendiri, sombong dan menganggap orang lain tidak terlalu penting.

Bahkan Manggada dan Laksana pun telah ikut pula membayangkan Raden Panji itu di dalam angan-angan mereka. Keduanya merasakan suasana yang aneh di rumah itu. Sejak mereka datang, sudah terasa suasana yang agak kurang baik bagi keduanya.

Suasuna itu terasa sekali ketika seseorang mempersilahkan Wirantana untuk naik dan menahan Manggada dan Laksana untuk tidak menyertainya. Namun kedua anak muda itu telah mencoba untuk menempatkan diri dengan baik, sehingga mereka tidak menunjukkan sikap bahwa mereka telah tersinggung.

Tetapi kedua anak muda itu tidak berkepentingan langsung sebagaimana Wirantana. Karena itu, maka keduanya tidak terlalu dicekam oleh angan-angannya tentang Raden Panji Prangpranata itu. Mereka hanya orang yang terkait karena kebetulan saja. Seandainya mereka tidak menemukan Mas Rara hampir menjadi korban kuku-kuku harimau yang ganas, maka mereka tidak akan berada di tempat itu.

Di ruang dalam, di bilik yang telah disediakan khusus bagi Mas Rara, ternyata bahwa Mas Rara sendiri pun menjadi sangat gelisah. Seperti Wirantana, maka hampir semalam suntuk gadis itu tidak dapat memejamkan matanya. Hanya karena badannya yang letih sajalah ia akhirnya lelap sesaat.

Tetapi pagi-pagi sekali perempuan-perempuan yang menungguinya telah menjadi sibuk. Mereka telah menyiapkan alat-alat untuk merias Mas Rara. Ternyata seperti yang dikatakan oleh orangtua yang menemui Wirantana dan Manggada serta Laksana, pagi-pagi sekali Mas Rara harus sudah disiapkan untuk menerima kedatangan Raden Panji.

Ketika Mas Rara terbangun, maka dua orang perempuan sudah merasa gelisah menunggu. Tetapi keduanya juga merasa segan untuk membangunkan gadis itu, karena mereka tahu, bahwa Mas Rara belum lama tertidur.

Untunglah bahwa kesibukan di dalam bilik itu telah membangunkannya. Demikian ia bangkit dan duduk di pembaringan, maka kedua orang perempuan itu sudah mendekatinya. Seorang diantara mereka berkata “Mas Rara. Marilah kami bantu Mas Rata mandi dengan air yang sudah kami siapkan”

Mas Rara termangu-mangu. Namun iapun kemudian berkata “Aku dapat mandi sendiri bibi”

“Kami telah menyiapkan air bunga yang wangi. Mas Rara akan segera menerima kedatangan Raden Panji Prangpranata. Karena itu, kami telah siap untuk membantu Mas Rara mempersiapkan diri” berkata perempuan itu.

Mas Rara tidak dapat mengelak ketika kedua orang perempuan itu kemudian membimbingnya membawa ke pakiwan. Ternyata dua orang perempuan yang lain telah menunggu di pakiwan. Mereka telah menyiapkan air bunga di sebuah jambangan khusus. Beberapa macam bunga telah ditaburkan ke dalam air di jambangan itu. Selain air bunga, telah disiapkan pula boreh berwarna kuning di dalam sebuah mangkuk tembaga yang berukir.

Seperti seorang bayi, maka Mas Rara harus membiarkan dirinya dimandikan oleh kedua orang perempuan itu. Kemudian mengusap seluruh tubuhnya dengan boreh itu.

Di pakiwan yang lain, Wirantana telah mandi pula. Ia tidak mau terlambat sebagaimana dikatakan oleh orangtua di serambi gandok semalam. Setelah Wirantana, maka Manggada dan Laksana pun telah berbenah diri pula.

Namun ternyata, ketiga anak muda yang berusaha untuk berpakaian serapi-rapinya itu, masih juga menjadi berdebar-debar. Sosok Raden Panji menjadi semakin membingungkan mereka. Karena itu, mereka jadi ingin berbuat sebaik-baiknya. Mereka tidak mau memberikan kesan buruk, demikian Raden Panji melihat mereka.

Karenanya, ketiga anak muda itu berbuat apa saja yang dapat mereka lakukan. Apalagi Wirantana, kakak Rara Wulan. Beberapa kali ia minta Manggada membetulkan ikat kepalanya.

“Bukankah sudah tidak miring?“ bertanya Wirantana.

“Kau tidak akan didudukkan di pelaminan hari ini Wirantana“ Laksana sempat bergurau dalam ketegangan itu.

Wirantana tertawa. Ia dapat juga menjawab “Tetapi aku adalah kakak Mas Rara, bakal istri Raden Panji yang besar itu”

Tapi jawaban itu justru merupakan ujung duri yang menyengat jantungnya sendiri. Tiba-tiba saja ia teringat bahwa Mas Rara akan menjadi istri Raden Panji yang keenam. Begitu matahari mulai naik, seorang pelayan menghidangkan makan pagi untuk ketiga orang muda itu. Bahkan pelayan itu sempat berpesan.

“Silahkan anak-anak muda, sebelum Raden Panji datang”

“Kapan Raden Panji datang? bertanya Wirantana.

“Kami tidak tahu anak muda. Pada saatnya, tentu akan datang utusan untuk memberitahukan kedatangan Raden Panji“ jawab pelayan yang menghidangkan makan pagi itu.

Wirantana menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu iapun berdesis “Terima kasih!”

Sepeninggal pelayan itu, Wirantana mengajak Manggada dan Laksana makan. Betapapun mereka memikirkan Raden Panji dan Mas Rara, namun anak-anak muda itu ternyata juga mampu menikmati hidangan yang diberikan kepada mereka.

“Jika setiap hari kita sempat makan seperti ini, maka kita akan segera menjadi gemuk“ desis Laksana.

“Tidak baik bagi pengembara“ jawab Manggada.

Wirantana menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Betapapun banyaknya kita makan, dan betapapun enaknya makan yang dihidangkan, tetapi jika hidup kita selalu dipanggang dalam kegelisahan, kita tidak akan dapat menjadi gemuk”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sambil menyuapi mulutnya, Laksana berkata. “Aku sependapat. Ketenangan dan kedamaian dihati, membuat tubuh kita menjadi segar!”

Tetapi pembicaraan mereka terputus. Tiba-tiba saja mereka mendengar suara ribut di halaman. Demikian mereka selesai makan, maka merekapun telah melangkah ke pintu, untuk melihat siapa yang baru saja datang.

Ketiga anak muda itu menjadi berdebar-debar. Dua orang prajurit telah berada dihalaman sambil memberikan beberapa pesan kepada kawan-kawannya yang memang sudah berada di halaman rumah itu. Kemudian perempuan-perempuan yang melayani Mas Rara pun telah mendapat pesan pula.

“Tampaknya Raden Panji sudah akan datang“ desis Wirantana.

Kedua anak muda yang lain telah mengangguk. Manggada berdesis “Sebentar lagi kau akan dipanggil naik”

“Bersama kalian“ sahut Wirantana.

“Jangan. Segala sesuatunya tergantung kepada perintah Raden Panji. Jangan membantah, sehingga kesan pertama pertemuanmu dengan Raden Panji tidak terasa suram. Biarkan kami berada dimana saja. Malahan kami akan bergabung dengan kedua orang tenaga Ki Jagabaya yang membawa pedati kuda itu!” berkata Manggada selanjutnya.

“Tetapi itu tidak adil.“ jawab Wirantana.

“Jika persoalannya adalah persoalan keluarga, maka itu cukup adil” jawab Manggada.

Wirantana tidak menjawab lagi. Tetapi ia masih memperhatikan kedua prajurit yang memberikan beberapa pesan itu. Beberapa orang perempuan yang melayani Mas Rara pun telah kembali pula kedalam bilik yang diperuntukkan bagi Mas Rara.

Sementara itu, seorang yang sudah berusia agak lanjut, sempat memberikan tuntunan apa yang harus dilakukan oleh Mas Rara. Bagaimana ia harus menghadap Raden Panji, berlutut di hadapannya, dan menyembah.

“Lakukan dengan sepenuh hati“ pesan perempuan itu dengan nada lembut “Kau akan menjadi seorang istri yang baik”

Mas Rara tidak menjawab. Ia menurut saja “ketika perempuan itu mempersilahkannya. Beberapa kali perempuan itu memperbaiki sikapnya, sehingga akhirnya perempuan itu berkata “Bagus Mas Rara. Kau sudah melakukan yang paling baik untuk menyenangkan hati Raden Panji”

Jantung Mas Rara berdegup semakin keras. Ia tidak menjawab. Tetapi hatinya menjerit. Ia merasa sebagai sesuatu yang sekadar untuk menyenangkan hati Raden Panji. Tetapi sejak semula Mas Rara memang merasa bahwa ia telah kehilangan dirinya sendiri. Apa yang dilakukannya untuk kepentingan orang lain. Bukan untuk dan karena niatnya sendiri.

Dalam pada itu, Wirantana dan kedua sahabatnya, Manggada serta Laksana, sudah duduk di serambi untuk mempersiapkan diri. Kedua prajurit itu telah melihat ketiga anak muda itu pula. Tetapi mereka seakan-akan tidak menghiraukannya.

“Mungkin mereka tidak tahu bahwa kau adalah kakak Mas Rara.“ berkata Manggada.

“Aku akan tetap berada disini, jika tidak ada perintah untuk berbuat sesuatu. Aku tidak mau dipersalahkan, atau bahkan mengetahui perlakuan kurang baik. Karena itu, lebih baik menunggu saja disini!" desis Wirantana.

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Mereka sependapat dengan Wirantana. Agaknya, di tempat itu, mereka sama sekali tidak mengenal kebiasaan yang berlaku.

Ketika prajurit itu merasa sudah cukup menyampaikan pesan-pesannya, keduanya kemudian meninggalkan halaman itu tanpa berpaling lagi pada anak-anak muda yang berada di serambi gandok. Sementara itu, orang yang berumur separo baya, yang kemarin menerima kedatangan Mas Rara, mengikutinya sampai ke regol.

Sepeninggal kedua orang prajurit itu, rumah itu terasa makin sibuk. Di pendapa, tikar pandan yang putih, berbunga-bunga anyaman berwarna biru, telah terbentang. Sementara para pelayan membenahi pakaian mereka.

Diantara mereka yang sibuk itu, tidak seorangpun berbicara kepada Wirantana tentang kedatangan Raden Panji. Sedangkan Wirantana sendiri tampaknya tidak mau menemui orang-orang yang sibuk itu, untuk bertanya pada mereka apa yang harus dilakukannya.

Namun ternyata anak-anak muda itu jadi gelisah dalam sikap menunggunya itu. Beberapa saat telah lewat. Belum ada tanda-tanda lagi bahwa Raden Panji akan segera datang, Sementara, segala sesuatunya sudah siap. Telah dua kali pelayan di rumah itu membersihkan debu diatas tikar pandan yang terbentang di pendapa.

“Berapa kali tikar itu dibersihkan dari debu?“ desis Manggada.

“Sehari dua puluh satu kali“ jawab Wirantana. Namun terasa hatinya yang kesal terungkap pada nada kata-katanya itu.

Ketika seorang pelayan mengambil mangkuk-mangkuk dan sisa makan pagi dibilik gandok, Wirantana bertanya “Kapan Raden Panji Prangpranata akan datang?“

Pelayan itu termangu-mangu sejenak. Namun ia kemudian menjawab “Sudah tentu sebentar lagi. Segala sesuatunya telah dipersiapkan. Utusannya sudah datang mendahuluinya”

Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Sementara pelayan itu berkata “Aku harus menyingkirkan sisa-sisa makanan itu sebelum rombongan Raden Panji datang”

Demikianlah. Pelayan itu dengan tergesa-gesa telah membawa sisa-sisa makanan itu kebelakang. Pertanyaan Wirantana seakan-akan telah memperingatkannya bahwa sebentar lagi rombongan Raden Panji akan datang.

Namun ternyata seisi rumah itu masih menunggu beberapa saat. Wirantana hampir tidak sabar lagi kelika kemudian datang dua prajurit yang memberitahukan bahwa Raden Panji Prangpranala sudah siap untuk berangkat.

“Sudah siap untuk berangkat, atau sudah sampai ke rumah ini“ desis Wirantana dengan nada kesal.

“Menurut pendengaranku, siap untuk berangkat“ jawab Manggada.

“Jadi kita masih harus menunggu Raden Panji beranjak untuk turun dari pendapa, kemudian melihat-lihat tanaman di halaman rumahnya yang tentu bagus sekali itu. Lantas memberikan pesan pada orang-orangnya, menerima penghormatan para prajurit, dan beristirahat di regol“ gumam Wirantana.

“Ah, kau...“ sahut Laksana “Kau harus belajar untuk bersabar sedikit.”

“Aku tidak telaten. Coba bayangkan, kita harus menunggu Raden Panji itu tertidur di regol“ geramnya.

“Sudahlah. Sebentar lagi Raden Panji akan datang“ berkata Manggada.

Di ruang dalam, Mas Rara pun telah dipersiapkan. Gadis itu harus kelihatan sangat cantik. Kulitnya menjadi kekuning-kuningan, setelah diusap dengan boreh yang berwarna kuning.

Sekali lagi pakaian dan riasnya dilihat oleh orang yang usianya sudah agak lanjut itu.. Mas Rara telah dimintanya untuk berdiri dan berputar-putar untuk dilihat kembali segala sesuatunya dari segala arah.

“Kita harus siap. Segala sesuatunya tidak boleh mengecewakan. Sebentar lagi Raden Panji akan datang“ berkata perempuan itu.

Sebenarnyalah, sejenak kemudian seorang lagi telah datang dan memberitahukan bahwa sebuah iring-iringan kecil telah mulai bergerak dari regol rumah Raden Panji di sebelah.

Demikianlah. Seisi rumah itu menjadi tegang. Raden Panji akan segera memasuki regol halaman rumah itu. Para prajurit yang bertugas telah siap menerima kehadiran Raden panji Prangpranata.

Sejenak kemudian, dua prajurit memasuki regol, mendahului sebuah iring-iringan kecil. Bukan hanya sekelompok prajurit, tapi juga beberapa orang yang dituakan oleh Raden Panji Piangpranata.

Raden Panji sendiri berjalan paling ujung. Sebelah menyebelah, agak dibelakangnya, berjalan dua orang yang sudah separo baya. Dibelakangnya lagi, beberapa orang bawahan Raden Panji dan beberapa pengiring yang lain.

Wirantara, Manggada dan Laksana menjadi tegang, seperti kebanyakan orang yang ada disitu. Anak muda itu sudah ikut turun ke halaman. Berdiri beberapa langkah disisi pendapa. Sementara itu, dari pintu pringgitan, beberapa orang telah membimbing Mas Rara keluar dari ruang dalam.

Raden Panji dan Mas Rara memang belum memasuki upacara perkawinan. Tapi saat itu, seakan-akan keduanya sudah akan dipertemukan, meski pakaian yang mereka kenakan masih belum secerah dan semeriah pakaian pengantin.

Wirantana, Manggada dan Laksana termangu-mangu melihat Mas Rara yang telah diberi pakaian sangat bagus. Pakaian yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Apalagi dipakai sehari-hari. Dan dengan pakaian itu, Mas Rara ternyata tidak memberikan kesan seorang gadis desa yang setiap hari bekerja di sawah, menumbuk padi dan bekerja didapur. Mas Rara tampak seperti seorang perempuan yang memang pantas dihormati karena derajatnya.

“Aneh...!“ desis Manggada didalam hatinya “Tidak seorangpun akan mengira bahwa gadis itu adalah dari padukuhan Nguter asalnya. Padukuhan yang berada didekat hutan lebat, diantara bukit-bukit padas dan padang perdu”

Demikian iring-iringan Raden Panji memasuki regol, dengan Raden Panji yang berjalan paling depan, anak-anak muda yang berdiri disisi pendapa itu terkejut. Untuk sesaat, mereka justru bagaikan membeku. Mereka melihat orang yang sama sekali tidak pernah dibayangkan sebelumnya.

Raden Panji Prangpranata memang seorang yang bertubuh tinggi tegap, sebagaimana umumnya seorang Senapati terpilih. Sikapnya mencerminkan sikap seorang prajurit yang tegar lahir dan batinnya. Tapi yang membuat jantung anak-anak muda itu berdebaran adalah kenyataan tentang Raden Panji itu. Wajahnya mecerminkan umurnya yang telah mulai condong menurun. Bahkan tidak lebih muda dari orang-orang separo baya yang menjadi pengapitnya.

Bahkan, jika dipandang wajahnya dengan seksama, akan tampak beberapa goresan diwajah itu. Goresan senjata yang membuatnya benar-benar tampak sebagai seorang prajurit yang telah menjelajahi pertempurun demi pertempuran. Namun wajah yang demikian, dalam umur yang mendekati senja, membuatnya bukan lagi seorang pria yang diimpi-impikan oleh gadis-gadis yang baru meninggalkan masa remajanya.

Wirantana benar-benar menjadi tegang melihat sosok Raden Panji itu. Ia sama sekali tidak mengira bahwa ia akan melihat bakal iparnya seorang yang sudah terlalu tua buat adiknya. Berwajah cacat, dan seorang pemimpin yang sangat meyakini akan derajat dan kedudukannya.

Untuk beberapa saat lamanya, Wirantana bagaikan mematung. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Sementara, Manggada dan Laksana pun menjadi bingung. Mereka tidak segera percaya bahwa orang yang menjadi ujung iring-iringan itu, dan menjadi pusat segala perhatian, adalah Raden Panji Prangpranata.

Namun ternyata seorang yang mendahului berdiri disebelah tangga pendapa telah memberitahukan kepada orang-orang yang ada disekitar pendapa itu. “Raden Panji Prangpranata berkenan naik ke pendapa, menemui bakal istrinya yang telah disiapkan untuk menerimanya”

Demikianlah. Sejenak kemudian, Reden Panji naik ke pendapa dengan para pengiringnya. Seperti yang sudah diberitahukan oleh perempuan-perempuan yang harus melayaninya. Mas Rara menyambut kedatangan Raden Panji sambil berjongkok dihadapannya dan kemudian menyembah.

Wirantana masih berdiri dihalaman. Diluar sadarnya, giginya telah terkatub rapat. “Jadi, inikah kenyataan itu?“ Wirantana menggeram dalam hati. “Ayah dan ibu tidak pernah berterus terang kepadaku. Mas Rara pun lebih baik menahan diri, sambil menangis dan membiarkan jantungnya terhimpit oleh perasaannya. Apakah yang sebenarnya terjadi pada keluargaku?"

Manggada dan Laksana hanya termangu-mangu saja. Mereka melihat sesuatu yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Mas Rara yang cantik itu ternyata telah dipersiapkun untuk menjadi bakal istri seorang yang telah terlalu tua baginya, serta berwajah sama sekali tidak menarik.

Mungkin dari belakang Raden Panji masih bisa menggetarkan hati perempuan karena bentuk tubuhnya. Tetapi ketika kemudian disadari bahwa laki-laki itu mengalami cacat wajah, dan umurnya sudah mendekati senja, perempuan-perempuan yang semula tertarik tidak akan dapat menginginkan kenyataan bahwa laki-laki itu sama sekali tidak menarik hati.

Tetapi Mas Rara telah disiapkan untuk menjadi istri laki-laki itu. Istri yang keenam. Jantung Wirantana bagaikan terguncang. Dadanya terasa lebih sakit lagi ketika ia sadar bahwa ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi.

Sejenak kemudian, Raden Panji Prangpranata telah duduk di pendapa. Mas Rara duduk beberapa langkah dihadapannya, dikerumuninya oleh beberapa orang perempuan. Ternyata Mas Rara tidak dapat menahan gejolak hatinya, sehingga titik-titik air matanya mulai meleleh dipipinya. Agaknya Raden Panji melihat airmata itu. Bahkan pertanyaannya yang pertama adalah justru tentang airmata itu.

“Kenapa ia menangis?“ bertanya Raden Panji. “Apakah pelayanan kalian tidak cukup memadai?“

“Ampun Raden Panji“ jawab perempuan yang usianya sudah agak lanjut “Mas Rara merasa sangat terharu, bahwa sebagai seorang gadis desa, ia telah mendapat kesempatan untuk diangkat pada derajat yang tinggi. Sebab Raden Panji berkenan memperistrinya”

“O“ Raden Panji mengangguk-angguk “ia memang cantik. Aku senang ia datang.”

“la pasti datang tepat pada waktunya Raden“ jawab perempuan itu “Kapan saja Raden memerintahkan, gadis itu tentu akan menghadap”

Tetapi Raden Panji mengerutkan dahinya sambil berkata “Aku masih tetap mempercayainya meskipun aku sudah mendengar bahwa pamannya telah berusaha untuk melarikannya. Aku kira, seperti laporan yang aku dengar, gadis ini tidak pernah mengadakan kesepakatan dengan pamannya untuk melarikan diri.”

“Ya Raden!“ jawab perempuan tua itu “ia adalah seorang gadis yang telah setia, menurut dan memiliki banyak kepandaian”

“Aku sudah mengerti. Aku sudah mendapat laporan tentang itu. “Jawab Raden Panji. lalu katanya. “Siapa saja yang menyertai gadis itu?"

“Kakak kandungnya Raden“ jawab perempuan itu.

“O“ Raden Panji mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, seseorang yang duduk beberapa jengkal dibelakang Raden Panji berkata. “Kedua anak muda yang menolong Mas Rara dari taring harimau itu juga ikut menyertai Mas Rara, Raden.”

“O“ anak-anak sombong itu!" desis Raden Panji. Tetapi Raden Panji sama sekali tidak bermaksud untuk menjaga agar kata-katanya tidak didengar oleh orang lain. Meski tidak terlalu keras, tetapi kata-kata itu jelas didengar oleh orang-orang bukan saja yang berada di pendapa, tapi juga yang berdiri disekitar pendapa, termasuk Wirantana, Manggada dan Laksana.

Ketiga orang anak muda itu memang terkejut mendengar tanggapan Raden Panji terhadap Manggada dan Laksana yang telah menolong Mas Rara dari terkaman harimau di pinggir hutan itu. Namun untuk beberapa saat kedua anak muda itu masih berusaha untuk menahan diri, sehingga keduanya masih berdiri termangu-magu di tempatnya. Apalagi mereka menyadari, siapakah yang telah mengatakannya itu.

Meskipun demikian, Manggada dan Laksana bukannya tidak berbuat apa-apa. Mereka justru telah bersiap-siap untuk menghadapi segala kemungkinan buruk yang dapat terjadi.

Dalam ketegangan itu, Raden Panji itupun kemudian berkata “Aku sudah duduk beberapa saat, tapi gadis itu belum berbicara apa-apa.”

“Mas Rara seorang pemalu Raden.“ sahut perempuan yang sudah agak tua itu “ia hanya mampu menyampaikan ucapan selamat serta sembah baktinya dengan tingkah laku”

“Ya. Ia sudah berjongkok dan menyembah dihadapanku. Tetapi ia harus menyapaku dan menyampaikan baktinya langsung dengan kata-kata.“ berkata Raden Panji.

Perempuan tua itu memang menjadi gelisah. Ia tidak menyangka bahwa Raden Panji akan memerintahkan gadis itu untuk menyapanya, sehingga ia tidak mengajarinya lebih dahulu. Namun demikian, perempuan tua itu masih berusaha untuk menghindarkan Mas Rara dari kebingungan.

“Raden, sebaiknya Raden Panjilah yang memberikan perintah atau pesan atau pertanyaan.“ berkata perempuan itu.

Tetapi jawaban Raden Panji membuat jantung perempuan Itu akan terlepas, "Sejak kapan kau mulai memerintah aku?”

Keringat dingin telah mengalir diseluruh tubuh perempuan tua itu. Tetapi la mencoba menuntun Mas Rara yang diketahuinya seorang gadis pemalu, dan lebih dari itu, gadis itu nampalnya telah memikul beban di hatinya. Dan perempuan tua itupun mengerti, bahwa sulit bagi seorang gadis untuk menerima satu kenyataan, kawin dengan seorang laki-laki seperti Raden Panji itu.

Tetapi perempuan tua itu bukan untuk pertama kalinya melayani seorang gadis yang akan jadi isteri Raden Panji. Karena itu, meski dengan jantung berdebaran, ia masih mampu menyesuaikan dirinya. Dengan lembut, perempuan itu berkata kepada Mas Rara. “Cobalah Mas Rara menyapa bakal suami Mas Rara, sekaligus menyampaikan sembah dan bakti Mas Rara”

Mas Rara masih saja menunduk. Rasa-rasanya, seisi dadanya telah bergejolak. la tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Karena Mas Rara tidak dapat melakukannya sendiri, maka perempuan tua itu kemudian berkata.

“Marilah Mas Rara. Aku akan menuntun Mas Rara. Tirukan kata-kataku!”

Mas Rara masih tetap menunduk dalam-dalam. Namun perempuan tua itu menggamitnya sambil berbicara. “Lakukanlah Mas Rara. Sebagai pernyataan cinta dan kesetiaan seorang calon isteri kepada suaminya."

Kata-kata itu bagaikan ujung duri yang menusuk jantungnya. Tetapi Mas Rara kemudian sadar bahwa ia memang telah kehilangan hak atas dirinya sendiri. Karenanya, ia harus menirukan kata-kata orang tua itu meskipun bertentangan dengan nuraninya.

Ketika orang tua itu mengucapkan beberapa patah kata, Mas Rara menirukannya, meski hampir tidak terdengar. Menyapa Raden Panji serta menyatakan bakti seorang calon isteri untuk menunjukkan cinta serta kesetiaannya, apapun yang sebenarnya bergejolak di dalam hatinya.

“Aku tidak puas dengan caramu mengajarinya!“ berkata Raden Panji kepada perempuan tua itu. Lalu katanya. “Sekarang, biar gadis itu berbicara sendiri. Seharusnya kau mengajarinya tidak di hadapanku.”

“Ampun Raden Panji...“ perempuan tua itu mengangguk hormat.

“Jika gadis itu dapat mengucapkannya sendiri, tanpa kau tuntun lagi, kau aku maafkan. Tetapi jika tidak, kau akan mendapat hukuman. Kau tahu siapa aku? Kau tahu bagaimana aku menghukum seseorang?“

“Ampun Raden Panji. Hamba mohon ampun!” minta perempuan itu.

“Tergantung kepada gadis itu.“ jawab Raden Panji.

Perempuan tua itu menjadi semakin berdebar-debar. Segala sesuatunya memang tergantung kepada Mas Rara. Di sebelah pendapa, Wirantana menjadi berkeringat. Bahkan kemudian ia berdesis. “Apa sebenarnya yang dilakukan oleh Raden Panji itu?“

Manggada dan Laksana juga menjadi heran. Mereka tidak mengerti sikap Raden Panji.

Sementara itu, Mas Rara ternyata masih menyadari arti dari perbuatannya bagi orang lain. Ia sadar bahwa perempuan tua itu akan mengalami kesulitan jika ia tidak mengucapkan kata-kata sebagaimana diajarkan oleh perempuan itu.

Mas Rara yang telah kehilangan dirinya sendiri itu, ternyata masih sempat memikirkan orang lain. Perempuan tua yang selalu bersikap baik kepadanya itu, tampaknya benar-benar dalam kesulitan. Karena itu, adalah di luar dugaan, tiba-tiba saja, meskipun suara terdengar dan tidak, Mas Rara telah mengucapkan kata-kata itu kembali sebagaimana perempuan tua itu menuntunnya.

Tiba-tiba saja Raden Panji tertawa. Di sela-sela derai tawanya, Raden Panji berkata “Bagus. Bagus. Kau memang seorang gadis cantik dan pintar. Kau juga baik hati. Jika aku tidak mengancam perempuan tua yang bodoh ini, kau tentu tidak akan mengatakannya. Tetapi agaknya kau tidak mau melihat perempuan tua ini aku hukum. Dengan demikian, kau memang pantas menjadi isteriku. Karena dengan demikian, kau akan mendapat kemuliaan yang tinggi.”

Mas Rara hanya menundukkan kepalanya saja. Sementara itu, perempuan tua yang melayani Mas Rara itu, sempat menarik nafas dalam-dalam. Bahkan ia sempat berdesir perlahan sekali, yang hanya dapat didengarnya sendiri.

”Terimakasih Mas Rara. Ternyata kau memang seorang gadis yang baik”

Demikianlah. Raden Panji pun telah mengambil tempat duduk di pendapa itu. Tidak seorangpun berani mengaturnya. Raden Panji duduk di depan pintu pringgitan, menghadap ke halaman. Sementara ia minta Mas Rara duduk di hadapannya.

“Aku belum sempat memandangi gadis itu sampai puas.“ berkata Raden Panji.

Namun kata-kata itu telah membuat jantung Mas Rara bagaikan tersentuh api. Tetapi ia tidak dapat mengelak untuk duduk di hadapan Raden Panji, di samping perempuan tua yang hampir saja mendapat hukuman dari Raden Panji itu. Namun demikian, mereka duduk, Raden Panji telah bertepuk tiga kali. Dua orang pelayan khusus segera menghadapnya dengan kepala tunduk.

“Aku haus. Keluarkan hidangan sekarang saja.“ perintah Raden Panji.

Kedua orang pelayan khusus itupun segera melakukan perintah itu. Dengan tergesa-gesa, keduanya telah pergi ke dapur untuk menyiapkan hidangan yang harus segera dibawa ke pendapa. Untunglah perempuan-perempuan yang ada di dapur adalah orang-orang yang sudah terbiasa melayani Raden Panji, sehingga mereka pun sudah siap pula menyediakan hidangan itu.

Sejenak kemudian, hidangan pun telah disajikan. Sementara itu beberapa orang yang berdiri di sebelah menyebelah pendapa masih saja berdiri. Demikian pula Wirantana, Manggada dan Laksana.

“Apa kita akan berdiri sehari penuh di sini?“ bertanya Wirantana.

Mangada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Namun merekapun mulai menjadi jemu. Meskipun demikian, keduanya masih bertahan untuk tidak beranjak dari tempatnya.

“Kita menunggu sebentar“ berkata Manggada “Beberapa orang juga masih berdiri di halaman”

“Tetapi sampai kapan?“ sahut Wirantana.

Manggada tidak menjawab. Seorang yang tampaknya melihat kegelisahan anak-anak muda itu mendekati mereka sambil berdesis,

“Tunggulah sebentar, sampai Raden Panji mempersilahkan. Biasanya setelah hidangan disuguhkan, Raden Panji akan mempersilahkan orang-orang yang berdiri di halaman untuk duduk di serambi gandok atau di mana saja, kecuali yang dipanggilnya naik ke pendapa”

Ketiga anak muda itu mengangguk-angguk kecil. Manggadalah yang berbisik. “Terimakasih...!”

Orang itu kemudian ternyata berdiri saja di belakang ketiga anak muda itu sambil menyaksikan hidangan disuguhkan di pendapa. Sebenarnyalah, ketika hidangan itu sudah dibagikan para tamu yang ada di pendapa, Raden Panji pun berkata lantang.

“Suruh anak-anak muda itu naik. Aku tahu, seorang adalah kakak Mas Rara dan dua orang adalah anak-anak muda yang merasa dirinya menjadi pahlawan. Aku memang ingin menghormati mereka dan mengucapkan terimakasih. Mereka merasa bahwa mereka telah menyelamatkan Mas Rara dari kuku-kuku harimau tua yang sudah tidak bertenaga sama sekali itu”

Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Sementara itu Wirantana berdesis. “Kenapa tanggapannya terhadap kalian agak aneh?“

“Entahlah!“ sahut Manggada “Mungkin hanya satu ungkapan saja. Mungkin Raden Panji memang orang yang baik”

Wirantana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian seseorang telah mempersiapkan ketiga anak muda itu naik ke pendapa, duduk diantara beberapa orang tamu terhormat.

“Nah...“ berkata Raden Panji kemudian. “Aku persilahkan kalian semuanya menikmati hidangan yang telah disajikan ini.”

Hampir serentak para tamu telah mengangkat mangkuknya, menghirup minuman yang masih panas. Wedang sere. Bahkan ada yang masih merasa terlalu panas, sehingga bibirnya terasa pedih. Tetapi semuanya telah mengangkat mangkuknya, diletakkan di bibir mereka. Sementara Raden Panji sendiri tampaknya menghirup minumannya dengan nikmatnya.

Wirantana yang merasa bahwa mangkuknya masih terlalu panas, akan meletakkan mangkuk itu. Namun orang yang duduk di sebelahnya berbisik tanpa menyingkirkan mangkuknya dari mulutnya. “Minumlah, meskipun tidak bersungguh-sungguh, karena minumanmu masih panas”

Wirantana termangu-mangu. Namun iapun kemudian telah mendekatkan mangkuknya di bibirnya pula. Baru ketika Raden Panji meletakkan mangkuknya, para tamupun telah melakukannya pula.

“Apa artinya ini semua?“ berkata Wirantana di dalam hatinya. Tetapi ia masih menahan diri untuk tetap berdiam diri.

Manggada dan Laksana pun merasa heran melihat kebiasaan yang agaknya memang berlaku diantara orang-orang yang dekat dengan Raden Panji. Demikian orang-orang yang ada di pendapa itu meletakkan mangkuknya.

Raden Panji tiba-tiba berkata kepada Wirantana. “He, anak muda. Apakah kau memang kakak kandung Mas Rara?“

Wirantana memang agak bingung. Tetapi kemudian iapun menjawab “Ya Raden Panji. Aku adalah kakak kandungnya”

Raden Panji mengangguk-angguk. Katanya “Aku hampir tidak percaya. Mas Rara adalah seorang gadis yang cantik. Tetapi kau tampaknya seperti benar-benar anak pedesaan”

Wirantana benar-benar menjadi bingung, bagaimana harus menjawab. Selain ia merasa tersinggung, iapun merasa heran bahwa Raden Panji telah mengatakan hal itu di hadapan banyak orang.

Namun Raden Panji berkata selanjutnya “Tetapi ayah dan ibunyapun tidak pantas menjadi orang tua Mas Rara. Apalagi setelah Mas Rara mengenakan pakaian yang pantas. Maka rasa-rasanya Mas Rara bukan anak padukuhan Nguter.

Wajah Wirantana terasa panas. Orang itu bukan saja telah merendahkan dirinya, tapi juga ayah dan ibunya. Diam-diam Wirantana memandang adiknya, yang dirias dengan baik. Ia memang melihat bahwa adiknya tidak seperti anak-anak pedesaan. Tidak seperti gadis Nguter kebanyakan. Tetapi bagaimanapun juga sulit baginya untuk menerima kata-kata Raden Panji itu tentang orang tuanya.

Meskipun demikian, Wirantana masih saja menahan diri. Ia justru telah menundukkan kepalanya tanpa mengucapkan sepatah katapun. Sebenarnyalah yang merasa tersinggung bukan hanya Wirantana. Tetapi juga Mas Rara.

Tetapi gadis itu sama sekali tidak mempunyai keberanian untuk berbuat sesuatu selain menundukkan kepalanya. Namun Mas Rara harus bertahan dengan sekuat tenaganya agar air mata tidak menitik. Apalagi untuk menangispun Mas Rara tidak lagi berani melakukannya.

Karena Wirantana hanya menundukkan kepalanya saja, maka Raden Panji mulai memandang kedua anak muda yang duduk di dekat Wirantana. Sambil mengangguk-angguk, Raden Panji bertanya “Apakah kau berdua pernah berguru pada seseorang?“

Manggada dan Laksana terkejut. Raden Panji memang memandang pada mereka. Tetapi pertanyaan itu masih terasa meragukan. Apakah memang ditujukan pada mereka.

Namun dalam pada itu, Raden Panji tiba-tiba saja membentak “He, kau yang merasa dirimu pahlawan. Siapa namamu, he?“

Barulah Manggada dan Laksana yakin bahwa Raden Panji memang berbicara kepada mereka. Mereka yakin bahwa Raden Panji sudah mengetahui nama mereka. Tetapi keduanya harus menjawab pertanyaan itu ”Namaku Manggada Raden Panji. Dan ini adalah adik sepupuku. Namanya Laksana”

Raden Panji mengangguk-angguk. Tetapi katanya “Apakah adik sepupumu itu bisu?“

Pertanyaan itu sangat mengejutkannya. Hampir di luar sadarnya, Manggada menjawab ”Tidak, Raden Panji”

“Jika tidak, suruh ia menjawab sendiri. Siapa namanya“ berkata Raden Panji tanpa memandang kedua anak muda itu.

Jantung kedua anak muda itu bagaikan berdentang semakin cepat dan keras. Tapi keduanya tidak dapat berbuat lain. Laksana akhirnya menjawab pertanyaan itu “Namaku Laksana, Raden Panji”

“Bagus...!“ jawab Raden Panji “ternyata kalian tahu apa yang harus kalian lakukan“ Raden Panji mengangguk-angguk. Namun Raden Panji masih bertanya “Kenapa kalian berdua menolong Mas Rara ketika hampir saja diterkam seekor harimau?“

Pertanyaan itu cukup membingungkan. Manggada dan Laksana bahkan Wirantana dan orang-orang yang ada di pendapa itu, tidak mengerti kenapa Raden Panji bertanya seperti itu. Karenanya, untuk beberapa saat Manggada dan Laksana tidak segera bisa menjawab. Keduanya saling berpandangan dengan jantung berdebaran.

Dalam pada itu, Raden Panji telah bertanya lagi “He, apakah kalian pernah berguru? Kalian belum menjawab pertanyaanku”

ketiganya jadi semakin bingung. Tetapi Manggada coba menjawab “Tidak Raden Panji. Kami tidak pernah berguru...“

“Jadi, kenapa kalian berusaha melawan seekor harimau. Bukankah itu berarti bahwa kalian akan dapat mati diterkam oleh harimau itu?“ bertanya Raden Panji pula.

Kedua anak muda itu tidak tahu apakah Raden Panji sedang menguji mereka, atau sedang bergurau, atau tengah menyelidiki mereka.

“He, sekarang kalian berdua jadi bisu...!“ bentak Raden Panji.

Manggada yang kebingunganpun tidak dapat berbuat lain kecuali menjawab apa saja yang dapat dikatakannya “Raden Panji. Agaknya memang sudah menjadi kewajiban kita untuk saling menolong...!”

“Apakah kau benar-benar berusaha menolong tanpa pamrih? Atau kalian mau mempertaruhkan nyawa kalian karena ada yang ingin kalian dapatkan dari pertolongan yang mahal itu?“ desak Raden Panji...

Selanjutnya,
Mas Rara Bagian 09

Mas Rara Bagian 08

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
WIRANTANA, Manggada dan Laksana masih duduk di serambi. Dengan geram Wirantana berkata. “Orang itu telah menghilangkan kantukku!”

“Apa maksudnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyakitkan hati itu?“ desis Laksana.

“Kita memang perlu berhati-hati“ desis Manggada. Wirantana menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah, ia bertanya “Jika kalian berdua mendapatkan kesempatan untuk meninggalkan tempat ini, kalian akan meneruskan perjalanan kemana?“

Manggada dan Laksana termangu-mangu. Dengan nada rendah Manggada berkata “Agaknya kita masih harus jalan bersama-sama”

“Kenapa?“ bertanya Wirantana.

“Orang-orang itu telah mengancam. Sebaiknya kau tidak menempuh perjalanan sendiri”

“Jadi kalian akan kembali lagi ke rumah kami?“ bertanya Wirantana.

Manggada dan Laksana hanya menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Wirantana berdesis hampir pada diri sendiri. “Jangan terlalu memikirkan keselamatan kami. Aku tahu, kalian tentu punya kepentingan sendiri. Biarlah kami coba menyelesaikan persoalan kami sendiri”

“Kami adalah pengembara yang tidak terikat oleh waktu dan keadaan“ jawab Manggada “kami dapat mengubah rencana kami jika keadaan memanggil”

Wirantana tidak menjawab. Dalam keremangan cahaya lampu minyak, ia melihat seseorang mendekati tempat itu. Seorang yang abdi tua dari orang yang menerima kedatangan Mas Rara dan para pengiringnya.

Dengan ramah orang itu berdesis “Selamat malam anak-anak muda. Kiranya masih belum mengantuk!”

“Belum Kiai“ jawab Manggada “Udara terlalu panas di dalam”

“Bolehkah aku duduk?“ bertanya orangtua itu.

“Silahkan Kiai, silahkan“ Wirantana mempersilahkan sambil membimbing orangtua itu duduk di serambi gandok.

“Aku melihat dua orang tadi datang kemari“ berkata orangtua itu.

“Ya. Menurut keterangannya, mereka adalah pembantu dekat Raden Panji“ jawab Wirantana.

Orangtua itu tersenyum sambil mengangguk-angguk. Katanya “Keduanya memang mengabdi pada Raden Panji. Keduanya memang termasuk dekat, tapi tidak terlalu dekat”

Ketiga anak muda itu mengangguk-angguk. Sementara, orangtua itu kembali berkata “Aku tidak begitu mengerti apa yang kalian bicarakan dengan kedua orang itu anak muda. Tapi tampaknya kalian telah berselisih paham”

“Ya, Kiai“ jawab Wirantana “memang terjadi salah paham, tapi tidak terlalu penting”

“Apakah ia menyebut tentang Raden Panji?“ bertanya orangtua itu.

Wirantana memang terbuka. Ia mengatakan apa yang telah dibicarakannya dengan kedua orang tadi. Tanggapan orangtua itu mengejutkan. Katanya “Pantas. Aku sudah mengira bahwa la akan memperkecil arti Mas Rara bagi keluarganya, bagi Raden Panji dan bagi orang banyak”

“Kenapa?“ bertanya Wirantana.

“Istri Raden Panji yang terakhir adalah salah seorang dari saudara mereka.“ jawab orangtua itu.

“Istri yang terakhir?“ bertanya Manggada dengan nada tinggi.

Orangtua itu termangu-mangu sejenak. Namun ia kemudian mengangguk-angguk sambil menjawab “Ya, isteri yang terakhir, yang disingkirkannya beberapa saat lalu”

“Berapa isteri Raden Panji? Maksudku, sudah berapa kali ia kawin?“ bertanya Wirantana.

Orangtua itu mengerutkan keningnya. Ia memang menjadi ragu-ragu. Tetapi akhirnya ia berkata. “Yang aku ketahui ngger, Raden Panji telah pernah kawin lima kali. Dua diantaranya meninggal. Sedangkan tiga orang telah diceraikan. Yang terakhir dicerai adalah adik dari orang yang datang kemari itu."

Jantung ketiga anak muda itu berdegup keras. Baru saat itu mereka tahu, bahwa Raden Panji telah pernah kawin lima kali. Tetapi mereka tidak banyak bertanya lagi.

Orang itu kemudian berkata “selain itu, aku tidak tahu apa-apa tentang Raden Panji Prangpranata”

“Ia seorang prajurit?“ bertanya Laksana.

“Ya“ jawab orangtua itu singkat.

Laksana mengangguk-angguk. Tetapi ternyata masih meluncur pertanyaannya “Kenapa ia kawin sampai lima kali?“

Orangtua itu menggeleng. Katanya. “Aku tidak tahu apa-apa lagi”

“Berapa putera Raden Panji?“ bertanya Wirantana.

“Tidak seorangpun“ jawab orangtua itu.

Wirantana mengerutkan dahinya. Tetapi ia berdesis “Itulah agaknya yang jadi sebab Raden Panji masih saja ingin kawin. Lima kali ia kawin, tetapi ternyata ia masih belum mempunyai anak yang akan menyambung hidupnya, memperpanjang darah keturunannya”

“Tetapi bagaimana jika Raden Panji sendiri yang tidak dapat mempunyai anak, karena mandul atau sebab-sebab lain?“ bertanya Manggada.

“Sudahlah” berkata orangtua itu “kita berbicara tentang yang lain. Tidak baik kita membicarakan kekurangan seseorang. Apalagi orang itu adalah orang yang selama ini sangat kita hormati”

Wirantana, Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Mereka memang tidak berbicara lagi tentang kekurangan-kekurangan Raden Panji. Tetapi orangtua itu berceritera tentang kelebihan Raden Panji Prangpranata.

“Saat Demak kehilangan apinya, maka telah terjadi benturan kekuatan antara para Adipati keturunan Demak, yang memperebutkan tahta. Kekuasaan Adipati Pajang memang telah berkembang paling luas diantara mereka yang berebut tahta itu. Pajang telah memasuki satu masa perang saudara melawan Jipang. Raden Panji Prangpranata adalah seorang Senopati yang ikut menentukan kemenangan Pajang atas Jipang. Karena itu maka Raden Panji sekarang telah mendapat kedudukan yang cukup baik. Raden Panji bertugas untuk mengawasi dan mendapat wewenang mengambil sikap atas nama Pajang bagi daerah yang luas di sebelah Timur kota Pajang. Agaknya sampai ke padukuhan anak-anak muda ini”

Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Sementara itu, orangtua itu berceritera terus tentang kelebihan dan kuasa Raden Panji Prangpranata.

“Karena itu“ berkata orangtua itu kemudian “Beruntunglah Mas Rara yang akan menjadi isteri Raden Panji Prangpranata. Apalagi jika Mas Rara dapat memberi anak kepada Raden Panji. Maka ia benar-benar akan menjadi seorang perempuan yang sangat beruntung. Terhormat, kaya raya dan memiliki darah keturunan”

Wirantana menarik nafas dalam-dalam. Ia memang berharap adiknya, berbahagia. Ia sudah merasa sangat kecewa ketika ia mendengar bahwa adiknya akan menjadi isteri Raden Panji yang keenam. Namun ia sedikit dapat mengerti kenapa hal seperti itu terjadi, ketika ia mendengar bahwa kelima isteri Raden Panji itu tidak berputera sama sekali.

Namun orangtua itu kemudian telah minta diri, Malam menjadi semakin dalam. Katanya “Sudahlah. Beristirahatlah. Besok kalian pagi-pagi harus sudah siap. Bukankah Raden Panji besok akan menemui bakal isterinya?“

“Ya“ jawab Wirantana.

“Tidurlah. Raden Panji sangat menghargai waktu. Jika besok ia datang dan kalian belum siap, maka kalian akan ditinggalkannya“ berkata orang itu.

“Ditinggal kemana?“ bertanya Wirantana pula.

“Maksudku, kalian tidak akan dihiraukan lagi. Raden Panji sangat membenci orang yang terlambat“ jawab orangtua itu.

“Tetapi Raden Panji tidak mengatakan, kapan ia datang. Saat matahari terbit, sepenggalah, saat gumatel atau saat pasar temawon? Atau tengah hari?“ sahut Wirantana.

“Raden Panji yang menentukan segala-galanya. Bukan orang lain. Karena itu, maka orang lainlah yang harus menyesuaikan diri. Bangunlah pagi-pagi, lalu mandi. Kalian harus siap setiap saat Raden Panji memanggil kalian” berkata orangtua itu pula.

“Jadi bagaimana dengan Mas Rara?“ bertanya Wirantana. ”Apakah ia sudah tahu akan hal itu?“

“Tentu sudah. Perempuan-perempuan yang merawat dan melayani tentu sudah tahu, kapan ia harus siap. Diantara perempuan-perempuan itu, terdapat juru riasnya. Ia akan mulai meriasnya pagi-pagi sekali. Sudah tentu Mas Rara harus mandi sebelum matahari terbit” berkata orangtua itu pula.

Wirantana menarik nafas dalam-dalam. Gambarannya tentang Raden Panji menjadi semakin kabur. Ia tidak dapat melihat watak dan sifat Raden Panji sebagai satu kebulatan. Setiap keterangan telah memberikan gambaran yang berbeda-beda.

Namun Wirantana memang tidak terlalu banyak bertanya. Tetapi keterangan orangtua itu telah menahan keinginannya untuk berbicara langsung dengan Raden Panji.

Demikianlah, sejenak kemudian, maka orangtua itu pun telah meninggalkan gandok. Tertatih-tatih ia berjalan di kegelapan melintas pendapa dan hilang di balik regol halaman yang dijaga oleh prajurit bersenjata.

Wirantana tidak dapat mengatakan kepada siapa pun gambarannya tentang Raden Panji itu. Namun yang penting baginya, apakah Raden Panji itu dapat membahagiakan adiknya atau tidak. Tetapi seperti yang dikatakan oleh orangtua itu, agar mereka beristirahat, maka Wirantana pun kemudian telah mengajak Manggada dan Laksana masuk ke dalam biliknya.

“Sebaiknya sekarang kita tidur saja“ berkata Wirantana.

Manggada dan Laksana pun telah mengikuti Wirantana pula. Laksanalah yang menutup pintu bilik itu, menyelaraknya dan kemudian melangkah ke pembaringan.

Namun ternyata tidak mudah untuk segera dapat tidur. Apalagi Wirantana. Ia selalu membayangkan sosok Raden Panji Prangpranata. Seorang prajurit yang gagah berani, bertubuh tinggi kekar, berwajah keras. Terlalu yakin akan dirinya sendiri, sombong dan menganggap orang lain tidak terlalu penting.

Bahkan Manggada dan Laksana pun telah ikut pula membayangkan Raden Panji itu di dalam angan-angan mereka. Keduanya merasakan suasana yang aneh di rumah itu. Sejak mereka datang, sudah terasa suasana yang agak kurang baik bagi keduanya.

Suasuna itu terasa sekali ketika seseorang mempersilahkan Wirantana untuk naik dan menahan Manggada dan Laksana untuk tidak menyertainya. Namun kedua anak muda itu telah mencoba untuk menempatkan diri dengan baik, sehingga mereka tidak menunjukkan sikap bahwa mereka telah tersinggung.

Tetapi kedua anak muda itu tidak berkepentingan langsung sebagaimana Wirantana. Karena itu, maka keduanya tidak terlalu dicekam oleh angan-angannya tentang Raden Panji Prangpranata itu. Mereka hanya orang yang terkait karena kebetulan saja. Seandainya mereka tidak menemukan Mas Rara hampir menjadi korban kuku-kuku harimau yang ganas, maka mereka tidak akan berada di tempat itu.

Di ruang dalam, di bilik yang telah disediakan khusus bagi Mas Rara, ternyata bahwa Mas Rara sendiri pun menjadi sangat gelisah. Seperti Wirantana, maka hampir semalam suntuk gadis itu tidak dapat memejamkan matanya. Hanya karena badannya yang letih sajalah ia akhirnya lelap sesaat.

Tetapi pagi-pagi sekali perempuan-perempuan yang menungguinya telah menjadi sibuk. Mereka telah menyiapkan alat-alat untuk merias Mas Rara. Ternyata seperti yang dikatakan oleh orangtua yang menemui Wirantana dan Manggada serta Laksana, pagi-pagi sekali Mas Rara harus sudah disiapkan untuk menerima kedatangan Raden Panji.

Ketika Mas Rara terbangun, maka dua orang perempuan sudah merasa gelisah menunggu. Tetapi keduanya juga merasa segan untuk membangunkan gadis itu, karena mereka tahu, bahwa Mas Rara belum lama tertidur.

Untunglah bahwa kesibukan di dalam bilik itu telah membangunkannya. Demikian ia bangkit dan duduk di pembaringan, maka kedua orang perempuan itu sudah mendekatinya. Seorang diantara mereka berkata “Mas Rara. Marilah kami bantu Mas Rata mandi dengan air yang sudah kami siapkan”

Mas Rara termangu-mangu. Namun iapun kemudian berkata “Aku dapat mandi sendiri bibi”

“Kami telah menyiapkan air bunga yang wangi. Mas Rara akan segera menerima kedatangan Raden Panji Prangpranata. Karena itu, kami telah siap untuk membantu Mas Rara mempersiapkan diri” berkata perempuan itu.

Mas Rara tidak dapat mengelak ketika kedua orang perempuan itu kemudian membimbingnya membawa ke pakiwan. Ternyata dua orang perempuan yang lain telah menunggu di pakiwan. Mereka telah menyiapkan air bunga di sebuah jambangan khusus. Beberapa macam bunga telah ditaburkan ke dalam air di jambangan itu. Selain air bunga, telah disiapkan pula boreh berwarna kuning di dalam sebuah mangkuk tembaga yang berukir.

Seperti seorang bayi, maka Mas Rara harus membiarkan dirinya dimandikan oleh kedua orang perempuan itu. Kemudian mengusap seluruh tubuhnya dengan boreh itu.

Di pakiwan yang lain, Wirantana telah mandi pula. Ia tidak mau terlambat sebagaimana dikatakan oleh orangtua di serambi gandok semalam. Setelah Wirantana, maka Manggada dan Laksana pun telah berbenah diri pula.

Namun ternyata, ketiga anak muda yang berusaha untuk berpakaian serapi-rapinya itu, masih juga menjadi berdebar-debar. Sosok Raden Panji menjadi semakin membingungkan mereka. Karena itu, mereka jadi ingin berbuat sebaik-baiknya. Mereka tidak mau memberikan kesan buruk, demikian Raden Panji melihat mereka.

Karenanya, ketiga anak muda itu berbuat apa saja yang dapat mereka lakukan. Apalagi Wirantana, kakak Rara Wulan. Beberapa kali ia minta Manggada membetulkan ikat kepalanya.

“Bukankah sudah tidak miring?“ bertanya Wirantana.

“Kau tidak akan didudukkan di pelaminan hari ini Wirantana“ Laksana sempat bergurau dalam ketegangan itu.

Wirantana tertawa. Ia dapat juga menjawab “Tetapi aku adalah kakak Mas Rara, bakal istri Raden Panji yang besar itu”

Tapi jawaban itu justru merupakan ujung duri yang menyengat jantungnya sendiri. Tiba-tiba saja ia teringat bahwa Mas Rara akan menjadi istri Raden Panji yang keenam. Begitu matahari mulai naik, seorang pelayan menghidangkan makan pagi untuk ketiga orang muda itu. Bahkan pelayan itu sempat berpesan.

“Silahkan anak-anak muda, sebelum Raden Panji datang”

“Kapan Raden Panji datang? bertanya Wirantana.

“Kami tidak tahu anak muda. Pada saatnya, tentu akan datang utusan untuk memberitahukan kedatangan Raden Panji“ jawab pelayan yang menghidangkan makan pagi itu.

Wirantana menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu iapun berdesis “Terima kasih!”

Sepeninggal pelayan itu, Wirantana mengajak Manggada dan Laksana makan. Betapapun mereka memikirkan Raden Panji dan Mas Rara, namun anak-anak muda itu ternyata juga mampu menikmati hidangan yang diberikan kepada mereka.

“Jika setiap hari kita sempat makan seperti ini, maka kita akan segera menjadi gemuk“ desis Laksana.

“Tidak baik bagi pengembara“ jawab Manggada.

Wirantana menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Betapapun banyaknya kita makan, dan betapapun enaknya makan yang dihidangkan, tetapi jika hidup kita selalu dipanggang dalam kegelisahan, kita tidak akan dapat menjadi gemuk”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sambil menyuapi mulutnya, Laksana berkata. “Aku sependapat. Ketenangan dan kedamaian dihati, membuat tubuh kita menjadi segar!”

Tetapi pembicaraan mereka terputus. Tiba-tiba saja mereka mendengar suara ribut di halaman. Demikian mereka selesai makan, maka merekapun telah melangkah ke pintu, untuk melihat siapa yang baru saja datang.

Ketiga anak muda itu menjadi berdebar-debar. Dua orang prajurit telah berada dihalaman sambil memberikan beberapa pesan kepada kawan-kawannya yang memang sudah berada di halaman rumah itu. Kemudian perempuan-perempuan yang melayani Mas Rara pun telah mendapat pesan pula.

“Tampaknya Raden Panji sudah akan datang“ desis Wirantana.

Kedua anak muda yang lain telah mengangguk. Manggada berdesis “Sebentar lagi kau akan dipanggil naik”

“Bersama kalian“ sahut Wirantana.

“Jangan. Segala sesuatunya tergantung kepada perintah Raden Panji. Jangan membantah, sehingga kesan pertama pertemuanmu dengan Raden Panji tidak terasa suram. Biarkan kami berada dimana saja. Malahan kami akan bergabung dengan kedua orang tenaga Ki Jagabaya yang membawa pedati kuda itu!” berkata Manggada selanjutnya.

“Tetapi itu tidak adil.“ jawab Wirantana.

“Jika persoalannya adalah persoalan keluarga, maka itu cukup adil” jawab Manggada.

Wirantana tidak menjawab lagi. Tetapi ia masih memperhatikan kedua prajurit yang memberikan beberapa pesan itu. Beberapa orang perempuan yang melayani Mas Rara pun telah kembali pula kedalam bilik yang diperuntukkan bagi Mas Rara.

Sementara itu, seorang yang sudah berusia agak lanjut, sempat memberikan tuntunan apa yang harus dilakukan oleh Mas Rara. Bagaimana ia harus menghadap Raden Panji, berlutut di hadapannya, dan menyembah.

“Lakukan dengan sepenuh hati“ pesan perempuan itu dengan nada lembut “Kau akan menjadi seorang istri yang baik”

Mas Rara tidak menjawab. Ia menurut saja “ketika perempuan itu mempersilahkannya. Beberapa kali perempuan itu memperbaiki sikapnya, sehingga akhirnya perempuan itu berkata “Bagus Mas Rara. Kau sudah melakukan yang paling baik untuk menyenangkan hati Raden Panji”

Jantung Mas Rara berdegup semakin keras. Ia tidak menjawab. Tetapi hatinya menjerit. Ia merasa sebagai sesuatu yang sekadar untuk menyenangkan hati Raden Panji. Tetapi sejak semula Mas Rara memang merasa bahwa ia telah kehilangan dirinya sendiri. Apa yang dilakukannya untuk kepentingan orang lain. Bukan untuk dan karena niatnya sendiri.

Dalam pada itu, Wirantana dan kedua sahabatnya, Manggada serta Laksana, sudah duduk di serambi untuk mempersiapkan diri. Kedua prajurit itu telah melihat ketiga anak muda itu pula. Tetapi mereka seakan-akan tidak menghiraukannya.

“Mungkin mereka tidak tahu bahwa kau adalah kakak Mas Rara.“ berkata Manggada.

“Aku akan tetap berada disini, jika tidak ada perintah untuk berbuat sesuatu. Aku tidak mau dipersalahkan, atau bahkan mengetahui perlakuan kurang baik. Karena itu, lebih baik menunggu saja disini!" desis Wirantana.

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Mereka sependapat dengan Wirantana. Agaknya, di tempat itu, mereka sama sekali tidak mengenal kebiasaan yang berlaku.

Ketika prajurit itu merasa sudah cukup menyampaikan pesan-pesannya, keduanya kemudian meninggalkan halaman itu tanpa berpaling lagi pada anak-anak muda yang berada di serambi gandok. Sementara itu, orang yang berumur separo baya, yang kemarin menerima kedatangan Mas Rara, mengikutinya sampai ke regol.

Sepeninggal kedua orang prajurit itu, rumah itu terasa makin sibuk. Di pendapa, tikar pandan yang putih, berbunga-bunga anyaman berwarna biru, telah terbentang. Sementara para pelayan membenahi pakaian mereka.

Diantara mereka yang sibuk itu, tidak seorangpun berbicara kepada Wirantana tentang kedatangan Raden Panji. Sedangkan Wirantana sendiri tampaknya tidak mau menemui orang-orang yang sibuk itu, untuk bertanya pada mereka apa yang harus dilakukannya.

Namun ternyata anak-anak muda itu jadi gelisah dalam sikap menunggunya itu. Beberapa saat telah lewat. Belum ada tanda-tanda lagi bahwa Raden Panji akan segera datang, Sementara, segala sesuatunya sudah siap. Telah dua kali pelayan di rumah itu membersihkan debu diatas tikar pandan yang terbentang di pendapa.

“Berapa kali tikar itu dibersihkan dari debu?“ desis Manggada.

“Sehari dua puluh satu kali“ jawab Wirantana. Namun terasa hatinya yang kesal terungkap pada nada kata-katanya itu.

Ketika seorang pelayan mengambil mangkuk-mangkuk dan sisa makan pagi dibilik gandok, Wirantana bertanya “Kapan Raden Panji Prangpranata akan datang?“

Pelayan itu termangu-mangu sejenak. Namun ia kemudian menjawab “Sudah tentu sebentar lagi. Segala sesuatunya telah dipersiapkan. Utusannya sudah datang mendahuluinya”

Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Sementara pelayan itu berkata “Aku harus menyingkirkan sisa-sisa makanan itu sebelum rombongan Raden Panji datang”

Demikianlah. Pelayan itu dengan tergesa-gesa telah membawa sisa-sisa makanan itu kebelakang. Pertanyaan Wirantana seakan-akan telah memperingatkannya bahwa sebentar lagi rombongan Raden Panji akan datang.

Namun ternyata seisi rumah itu masih menunggu beberapa saat. Wirantana hampir tidak sabar lagi kelika kemudian datang dua prajurit yang memberitahukan bahwa Raden Panji Prangpranala sudah siap untuk berangkat.

“Sudah siap untuk berangkat, atau sudah sampai ke rumah ini“ desis Wirantana dengan nada kesal.

“Menurut pendengaranku, siap untuk berangkat“ jawab Manggada.

“Jadi kita masih harus menunggu Raden Panji beranjak untuk turun dari pendapa, kemudian melihat-lihat tanaman di halaman rumahnya yang tentu bagus sekali itu. Lantas memberikan pesan pada orang-orangnya, menerima penghormatan para prajurit, dan beristirahat di regol“ gumam Wirantana.

“Ah, kau...“ sahut Laksana “Kau harus belajar untuk bersabar sedikit.”

“Aku tidak telaten. Coba bayangkan, kita harus menunggu Raden Panji itu tertidur di regol“ geramnya.

“Sudahlah. Sebentar lagi Raden Panji akan datang“ berkata Manggada.

Di ruang dalam, Mas Rara pun telah dipersiapkan. Gadis itu harus kelihatan sangat cantik. Kulitnya menjadi kekuning-kuningan, setelah diusap dengan boreh yang berwarna kuning.

Sekali lagi pakaian dan riasnya dilihat oleh orang yang usianya sudah agak lanjut itu.. Mas Rara telah dimintanya untuk berdiri dan berputar-putar untuk dilihat kembali segala sesuatunya dari segala arah.

“Kita harus siap. Segala sesuatunya tidak boleh mengecewakan. Sebentar lagi Raden Panji akan datang“ berkata perempuan itu.

Sebenarnyalah, sejenak kemudian seorang lagi telah datang dan memberitahukan bahwa sebuah iring-iringan kecil telah mulai bergerak dari regol rumah Raden Panji di sebelah.

Demikianlah. Seisi rumah itu menjadi tegang. Raden Panji akan segera memasuki regol halaman rumah itu. Para prajurit yang bertugas telah siap menerima kehadiran Raden panji Prangpranata.

Sejenak kemudian, dua prajurit memasuki regol, mendahului sebuah iring-iringan kecil. Bukan hanya sekelompok prajurit, tapi juga beberapa orang yang dituakan oleh Raden Panji Piangpranata.

Raden Panji sendiri berjalan paling ujung. Sebelah menyebelah, agak dibelakangnya, berjalan dua orang yang sudah separo baya. Dibelakangnya lagi, beberapa orang bawahan Raden Panji dan beberapa pengiring yang lain.

Wirantara, Manggada dan Laksana menjadi tegang, seperti kebanyakan orang yang ada disitu. Anak muda itu sudah ikut turun ke halaman. Berdiri beberapa langkah disisi pendapa. Sementara itu, dari pintu pringgitan, beberapa orang telah membimbing Mas Rara keluar dari ruang dalam.

Raden Panji dan Mas Rara memang belum memasuki upacara perkawinan. Tapi saat itu, seakan-akan keduanya sudah akan dipertemukan, meski pakaian yang mereka kenakan masih belum secerah dan semeriah pakaian pengantin.

Wirantana, Manggada dan Laksana termangu-mangu melihat Mas Rara yang telah diberi pakaian sangat bagus. Pakaian yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Apalagi dipakai sehari-hari. Dan dengan pakaian itu, Mas Rara ternyata tidak memberikan kesan seorang gadis desa yang setiap hari bekerja di sawah, menumbuk padi dan bekerja didapur. Mas Rara tampak seperti seorang perempuan yang memang pantas dihormati karena derajatnya.

“Aneh...!“ desis Manggada didalam hatinya “Tidak seorangpun akan mengira bahwa gadis itu adalah dari padukuhan Nguter asalnya. Padukuhan yang berada didekat hutan lebat, diantara bukit-bukit padas dan padang perdu”

Demikian iring-iringan Raden Panji memasuki regol, dengan Raden Panji yang berjalan paling depan, anak-anak muda yang berdiri disisi pendapa itu terkejut. Untuk sesaat, mereka justru bagaikan membeku. Mereka melihat orang yang sama sekali tidak pernah dibayangkan sebelumnya.

Raden Panji Prangpranata memang seorang yang bertubuh tinggi tegap, sebagaimana umumnya seorang Senapati terpilih. Sikapnya mencerminkan sikap seorang prajurit yang tegar lahir dan batinnya. Tapi yang membuat jantung anak-anak muda itu berdebaran adalah kenyataan tentang Raden Panji itu. Wajahnya mecerminkan umurnya yang telah mulai condong menurun. Bahkan tidak lebih muda dari orang-orang separo baya yang menjadi pengapitnya.

Bahkan, jika dipandang wajahnya dengan seksama, akan tampak beberapa goresan diwajah itu. Goresan senjata yang membuatnya benar-benar tampak sebagai seorang prajurit yang telah menjelajahi pertempurun demi pertempuran. Namun wajah yang demikian, dalam umur yang mendekati senja, membuatnya bukan lagi seorang pria yang diimpi-impikan oleh gadis-gadis yang baru meninggalkan masa remajanya.

Wirantana benar-benar menjadi tegang melihat sosok Raden Panji itu. Ia sama sekali tidak mengira bahwa ia akan melihat bakal iparnya seorang yang sudah terlalu tua buat adiknya. Berwajah cacat, dan seorang pemimpin yang sangat meyakini akan derajat dan kedudukannya.

Untuk beberapa saat lamanya, Wirantana bagaikan mematung. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Sementara, Manggada dan Laksana pun menjadi bingung. Mereka tidak segera percaya bahwa orang yang menjadi ujung iring-iringan itu, dan menjadi pusat segala perhatian, adalah Raden Panji Prangpranata.

Namun ternyata seorang yang mendahului berdiri disebelah tangga pendapa telah memberitahukan kepada orang-orang yang ada disekitar pendapa itu. “Raden Panji Prangpranata berkenan naik ke pendapa, menemui bakal istrinya yang telah disiapkan untuk menerimanya”

Demikianlah. Sejenak kemudian, Reden Panji naik ke pendapa dengan para pengiringnya. Seperti yang sudah diberitahukan oleh perempuan-perempuan yang harus melayaninya. Mas Rara menyambut kedatangan Raden Panji sambil berjongkok dihadapannya dan kemudian menyembah.

Wirantana masih berdiri dihalaman. Diluar sadarnya, giginya telah terkatub rapat. “Jadi, inikah kenyataan itu?“ Wirantana menggeram dalam hati. “Ayah dan ibu tidak pernah berterus terang kepadaku. Mas Rara pun lebih baik menahan diri, sambil menangis dan membiarkan jantungnya terhimpit oleh perasaannya. Apakah yang sebenarnya terjadi pada keluargaku?"

Manggada dan Laksana hanya termangu-mangu saja. Mereka melihat sesuatu yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Mas Rara yang cantik itu ternyata telah dipersiapkun untuk menjadi bakal istri seorang yang telah terlalu tua baginya, serta berwajah sama sekali tidak menarik.

Mungkin dari belakang Raden Panji masih bisa menggetarkan hati perempuan karena bentuk tubuhnya. Tetapi ketika kemudian disadari bahwa laki-laki itu mengalami cacat wajah, dan umurnya sudah mendekati senja, perempuan-perempuan yang semula tertarik tidak akan dapat menginginkan kenyataan bahwa laki-laki itu sama sekali tidak menarik hati.

Tetapi Mas Rara telah disiapkan untuk menjadi istri laki-laki itu. Istri yang keenam. Jantung Wirantana bagaikan terguncang. Dadanya terasa lebih sakit lagi ketika ia sadar bahwa ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi.

Sejenak kemudian, Raden Panji Prangpranata telah duduk di pendapa. Mas Rara duduk beberapa langkah dihadapannya, dikerumuninya oleh beberapa orang perempuan. Ternyata Mas Rara tidak dapat menahan gejolak hatinya, sehingga titik-titik air matanya mulai meleleh dipipinya. Agaknya Raden Panji melihat airmata itu. Bahkan pertanyaannya yang pertama adalah justru tentang airmata itu.

“Kenapa ia menangis?“ bertanya Raden Panji. “Apakah pelayanan kalian tidak cukup memadai?“

“Ampun Raden Panji“ jawab perempuan yang usianya sudah agak lanjut “Mas Rara merasa sangat terharu, bahwa sebagai seorang gadis desa, ia telah mendapat kesempatan untuk diangkat pada derajat yang tinggi. Sebab Raden Panji berkenan memperistrinya”

“O“ Raden Panji mengangguk-angguk “ia memang cantik. Aku senang ia datang.”

“la pasti datang tepat pada waktunya Raden“ jawab perempuan itu “Kapan saja Raden memerintahkan, gadis itu tentu akan menghadap”

Tetapi Raden Panji mengerutkan dahinya sambil berkata “Aku masih tetap mempercayainya meskipun aku sudah mendengar bahwa pamannya telah berusaha untuk melarikannya. Aku kira, seperti laporan yang aku dengar, gadis ini tidak pernah mengadakan kesepakatan dengan pamannya untuk melarikan diri.”

“Ya Raden!“ jawab perempuan tua itu “ia adalah seorang gadis yang telah setia, menurut dan memiliki banyak kepandaian”

“Aku sudah mengerti. Aku sudah mendapat laporan tentang itu. “Jawab Raden Panji. lalu katanya. “Siapa saja yang menyertai gadis itu?"

“Kakak kandungnya Raden“ jawab perempuan itu.

“O“ Raden Panji mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, seseorang yang duduk beberapa jengkal dibelakang Raden Panji berkata. “Kedua anak muda yang menolong Mas Rara dari taring harimau itu juga ikut menyertai Mas Rara, Raden.”

“O“ anak-anak sombong itu!" desis Raden Panji. Tetapi Raden Panji sama sekali tidak bermaksud untuk menjaga agar kata-katanya tidak didengar oleh orang lain. Meski tidak terlalu keras, tetapi kata-kata itu jelas didengar oleh orang-orang bukan saja yang berada di pendapa, tapi juga yang berdiri disekitar pendapa, termasuk Wirantana, Manggada dan Laksana.

Ketiga orang anak muda itu memang terkejut mendengar tanggapan Raden Panji terhadap Manggada dan Laksana yang telah menolong Mas Rara dari terkaman harimau di pinggir hutan itu. Namun untuk beberapa saat kedua anak muda itu masih berusaha untuk menahan diri, sehingga keduanya masih berdiri termangu-magu di tempatnya. Apalagi mereka menyadari, siapakah yang telah mengatakannya itu.

Meskipun demikian, Manggada dan Laksana bukannya tidak berbuat apa-apa. Mereka justru telah bersiap-siap untuk menghadapi segala kemungkinan buruk yang dapat terjadi.

Dalam ketegangan itu, Raden Panji itupun kemudian berkata “Aku sudah duduk beberapa saat, tapi gadis itu belum berbicara apa-apa.”

“Mas Rara seorang pemalu Raden.“ sahut perempuan yang sudah agak tua itu “ia hanya mampu menyampaikan ucapan selamat serta sembah baktinya dengan tingkah laku”

“Ya. Ia sudah berjongkok dan menyembah dihadapanku. Tetapi ia harus menyapaku dan menyampaikan baktinya langsung dengan kata-kata.“ berkata Raden Panji.

Perempuan tua itu memang menjadi gelisah. Ia tidak menyangka bahwa Raden Panji akan memerintahkan gadis itu untuk menyapanya, sehingga ia tidak mengajarinya lebih dahulu. Namun demikian, perempuan tua itu masih berusaha untuk menghindarkan Mas Rara dari kebingungan.

“Raden, sebaiknya Raden Panjilah yang memberikan perintah atau pesan atau pertanyaan.“ berkata perempuan itu.

Tetapi jawaban Raden Panji membuat jantung perempuan Itu akan terlepas, "Sejak kapan kau mulai memerintah aku?”

Keringat dingin telah mengalir diseluruh tubuh perempuan tua itu. Tetapi la mencoba menuntun Mas Rara yang diketahuinya seorang gadis pemalu, dan lebih dari itu, gadis itu nampalnya telah memikul beban di hatinya. Dan perempuan tua itupun mengerti, bahwa sulit bagi seorang gadis untuk menerima satu kenyataan, kawin dengan seorang laki-laki seperti Raden Panji itu.

Tetapi perempuan tua itu bukan untuk pertama kalinya melayani seorang gadis yang akan jadi isteri Raden Panji. Karena itu, meski dengan jantung berdebaran, ia masih mampu menyesuaikan dirinya. Dengan lembut, perempuan itu berkata kepada Mas Rara. “Cobalah Mas Rara menyapa bakal suami Mas Rara, sekaligus menyampaikan sembah dan bakti Mas Rara”

Mas Rara masih saja menunduk. Rasa-rasanya, seisi dadanya telah bergejolak. la tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Karena Mas Rara tidak dapat melakukannya sendiri, maka perempuan tua itu kemudian berkata.

“Marilah Mas Rara. Aku akan menuntun Mas Rara. Tirukan kata-kataku!”

Mas Rara masih tetap menunduk dalam-dalam. Namun perempuan tua itu menggamitnya sambil berbicara. “Lakukanlah Mas Rara. Sebagai pernyataan cinta dan kesetiaan seorang calon isteri kepada suaminya."

Kata-kata itu bagaikan ujung duri yang menusuk jantungnya. Tetapi Mas Rara kemudian sadar bahwa ia memang telah kehilangan hak atas dirinya sendiri. Karenanya, ia harus menirukan kata-kata orang tua itu meskipun bertentangan dengan nuraninya.

Ketika orang tua itu mengucapkan beberapa patah kata, Mas Rara menirukannya, meski hampir tidak terdengar. Menyapa Raden Panji serta menyatakan bakti seorang calon isteri untuk menunjukkan cinta serta kesetiaannya, apapun yang sebenarnya bergejolak di dalam hatinya.

“Aku tidak puas dengan caramu mengajarinya!“ berkata Raden Panji kepada perempuan tua itu. Lalu katanya. “Sekarang, biar gadis itu berbicara sendiri. Seharusnya kau mengajarinya tidak di hadapanku.”

“Ampun Raden Panji...“ perempuan tua itu mengangguk hormat.

“Jika gadis itu dapat mengucapkannya sendiri, tanpa kau tuntun lagi, kau aku maafkan. Tetapi jika tidak, kau akan mendapat hukuman. Kau tahu siapa aku? Kau tahu bagaimana aku menghukum seseorang?“

“Ampun Raden Panji. Hamba mohon ampun!” minta perempuan itu.

“Tergantung kepada gadis itu.“ jawab Raden Panji.

Perempuan tua itu menjadi semakin berdebar-debar. Segala sesuatunya memang tergantung kepada Mas Rara. Di sebelah pendapa, Wirantana menjadi berkeringat. Bahkan kemudian ia berdesis. “Apa sebenarnya yang dilakukan oleh Raden Panji itu?“

Manggada dan Laksana juga menjadi heran. Mereka tidak mengerti sikap Raden Panji.

Sementara itu, Mas Rara ternyata masih menyadari arti dari perbuatannya bagi orang lain. Ia sadar bahwa perempuan tua itu akan mengalami kesulitan jika ia tidak mengucapkan kata-kata sebagaimana diajarkan oleh perempuan itu.

Mas Rara yang telah kehilangan dirinya sendiri itu, ternyata masih sempat memikirkan orang lain. Perempuan tua yang selalu bersikap baik kepadanya itu, tampaknya benar-benar dalam kesulitan. Karena itu, adalah di luar dugaan, tiba-tiba saja, meskipun suara terdengar dan tidak, Mas Rara telah mengucapkan kata-kata itu kembali sebagaimana perempuan tua itu menuntunnya.

Tiba-tiba saja Raden Panji tertawa. Di sela-sela derai tawanya, Raden Panji berkata “Bagus. Bagus. Kau memang seorang gadis cantik dan pintar. Kau juga baik hati. Jika aku tidak mengancam perempuan tua yang bodoh ini, kau tentu tidak akan mengatakannya. Tetapi agaknya kau tidak mau melihat perempuan tua ini aku hukum. Dengan demikian, kau memang pantas menjadi isteriku. Karena dengan demikian, kau akan mendapat kemuliaan yang tinggi.”

Mas Rara hanya menundukkan kepalanya saja. Sementara itu, perempuan tua yang melayani Mas Rara itu, sempat menarik nafas dalam-dalam. Bahkan ia sempat berdesir perlahan sekali, yang hanya dapat didengarnya sendiri.

”Terimakasih Mas Rara. Ternyata kau memang seorang gadis yang baik”

Demikianlah. Raden Panji pun telah mengambil tempat duduk di pendapa itu. Tidak seorangpun berani mengaturnya. Raden Panji duduk di depan pintu pringgitan, menghadap ke halaman. Sementara ia minta Mas Rara duduk di hadapannya.

“Aku belum sempat memandangi gadis itu sampai puas.“ berkata Raden Panji.

Namun kata-kata itu telah membuat jantung Mas Rara bagaikan tersentuh api. Tetapi ia tidak dapat mengelak untuk duduk di hadapan Raden Panji, di samping perempuan tua yang hampir saja mendapat hukuman dari Raden Panji itu. Namun demikian, mereka duduk, Raden Panji telah bertepuk tiga kali. Dua orang pelayan khusus segera menghadapnya dengan kepala tunduk.

“Aku haus. Keluarkan hidangan sekarang saja.“ perintah Raden Panji.

Kedua orang pelayan khusus itupun segera melakukan perintah itu. Dengan tergesa-gesa, keduanya telah pergi ke dapur untuk menyiapkan hidangan yang harus segera dibawa ke pendapa. Untunglah perempuan-perempuan yang ada di dapur adalah orang-orang yang sudah terbiasa melayani Raden Panji, sehingga mereka pun sudah siap pula menyediakan hidangan itu.

Sejenak kemudian, hidangan pun telah disajikan. Sementara itu beberapa orang yang berdiri di sebelah menyebelah pendapa masih saja berdiri. Demikian pula Wirantana, Manggada dan Laksana.

“Apa kita akan berdiri sehari penuh di sini?“ bertanya Wirantana.

Mangada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Namun merekapun mulai menjadi jemu. Meskipun demikian, keduanya masih bertahan untuk tidak beranjak dari tempatnya.

“Kita menunggu sebentar“ berkata Manggada “Beberapa orang juga masih berdiri di halaman”

“Tetapi sampai kapan?“ sahut Wirantana.

Manggada tidak menjawab. Seorang yang tampaknya melihat kegelisahan anak-anak muda itu mendekati mereka sambil berdesis,

“Tunggulah sebentar, sampai Raden Panji mempersilahkan. Biasanya setelah hidangan disuguhkan, Raden Panji akan mempersilahkan orang-orang yang berdiri di halaman untuk duduk di serambi gandok atau di mana saja, kecuali yang dipanggilnya naik ke pendapa”

Ketiga anak muda itu mengangguk-angguk kecil. Manggadalah yang berbisik. “Terimakasih...!”

Orang itu kemudian ternyata berdiri saja di belakang ketiga anak muda itu sambil menyaksikan hidangan disuguhkan di pendapa. Sebenarnyalah, ketika hidangan itu sudah dibagikan para tamu yang ada di pendapa, Raden Panji pun berkata lantang.

“Suruh anak-anak muda itu naik. Aku tahu, seorang adalah kakak Mas Rara dan dua orang adalah anak-anak muda yang merasa dirinya menjadi pahlawan. Aku memang ingin menghormati mereka dan mengucapkan terimakasih. Mereka merasa bahwa mereka telah menyelamatkan Mas Rara dari kuku-kuku harimau tua yang sudah tidak bertenaga sama sekali itu”

Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Sementara itu Wirantana berdesis. “Kenapa tanggapannya terhadap kalian agak aneh?“

“Entahlah!“ sahut Manggada “Mungkin hanya satu ungkapan saja. Mungkin Raden Panji memang orang yang baik”

Wirantana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian seseorang telah mempersiapkan ketiga anak muda itu naik ke pendapa, duduk diantara beberapa orang tamu terhormat.

“Nah...“ berkata Raden Panji kemudian. “Aku persilahkan kalian semuanya menikmati hidangan yang telah disajikan ini.”

Hampir serentak para tamu telah mengangkat mangkuknya, menghirup minuman yang masih panas. Wedang sere. Bahkan ada yang masih merasa terlalu panas, sehingga bibirnya terasa pedih. Tetapi semuanya telah mengangkat mangkuknya, diletakkan di bibir mereka. Sementara Raden Panji sendiri tampaknya menghirup minumannya dengan nikmatnya.

Wirantana yang merasa bahwa mangkuknya masih terlalu panas, akan meletakkan mangkuk itu. Namun orang yang duduk di sebelahnya berbisik tanpa menyingkirkan mangkuknya dari mulutnya. “Minumlah, meskipun tidak bersungguh-sungguh, karena minumanmu masih panas”

Wirantana termangu-mangu. Namun iapun kemudian telah mendekatkan mangkuknya di bibirnya pula. Baru ketika Raden Panji meletakkan mangkuknya, para tamupun telah melakukannya pula.

“Apa artinya ini semua?“ berkata Wirantana di dalam hatinya. Tetapi ia masih menahan diri untuk tetap berdiam diri.

Manggada dan Laksana pun merasa heran melihat kebiasaan yang agaknya memang berlaku diantara orang-orang yang dekat dengan Raden Panji. Demikian orang-orang yang ada di pendapa itu meletakkan mangkuknya.

Raden Panji tiba-tiba berkata kepada Wirantana. “He, anak muda. Apakah kau memang kakak kandung Mas Rara?“

Wirantana memang agak bingung. Tetapi kemudian iapun menjawab “Ya Raden Panji. Aku adalah kakak kandungnya”

Raden Panji mengangguk-angguk. Katanya “Aku hampir tidak percaya. Mas Rara adalah seorang gadis yang cantik. Tetapi kau tampaknya seperti benar-benar anak pedesaan”

Wirantana benar-benar menjadi bingung, bagaimana harus menjawab. Selain ia merasa tersinggung, iapun merasa heran bahwa Raden Panji telah mengatakan hal itu di hadapan banyak orang.

Namun Raden Panji berkata selanjutnya “Tetapi ayah dan ibunyapun tidak pantas menjadi orang tua Mas Rara. Apalagi setelah Mas Rara mengenakan pakaian yang pantas. Maka rasa-rasanya Mas Rara bukan anak padukuhan Nguter.

Wajah Wirantana terasa panas. Orang itu bukan saja telah merendahkan dirinya, tapi juga ayah dan ibunya. Diam-diam Wirantana memandang adiknya, yang dirias dengan baik. Ia memang melihat bahwa adiknya tidak seperti anak-anak pedesaan. Tidak seperti gadis Nguter kebanyakan. Tetapi bagaimanapun juga sulit baginya untuk menerima kata-kata Raden Panji itu tentang orang tuanya.

Meskipun demikian, Wirantana masih saja menahan diri. Ia justru telah menundukkan kepalanya tanpa mengucapkan sepatah katapun. Sebenarnyalah yang merasa tersinggung bukan hanya Wirantana. Tetapi juga Mas Rara.

Tetapi gadis itu sama sekali tidak mempunyai keberanian untuk berbuat sesuatu selain menundukkan kepalanya. Namun Mas Rara harus bertahan dengan sekuat tenaganya agar air mata tidak menitik. Apalagi untuk menangispun Mas Rara tidak lagi berani melakukannya.

Karena Wirantana hanya menundukkan kepalanya saja, maka Raden Panji mulai memandang kedua anak muda yang duduk di dekat Wirantana. Sambil mengangguk-angguk, Raden Panji bertanya “Apakah kau berdua pernah berguru pada seseorang?“

Manggada dan Laksana terkejut. Raden Panji memang memandang pada mereka. Tetapi pertanyaan itu masih terasa meragukan. Apakah memang ditujukan pada mereka.

Namun dalam pada itu, Raden Panji tiba-tiba saja membentak “He, kau yang merasa dirimu pahlawan. Siapa namamu, he?“

Barulah Manggada dan Laksana yakin bahwa Raden Panji memang berbicara kepada mereka. Mereka yakin bahwa Raden Panji sudah mengetahui nama mereka. Tetapi keduanya harus menjawab pertanyaan itu ”Namaku Manggada Raden Panji. Dan ini adalah adik sepupuku. Namanya Laksana”

Raden Panji mengangguk-angguk. Tetapi katanya “Apakah adik sepupumu itu bisu?“

Pertanyaan itu sangat mengejutkannya. Hampir di luar sadarnya, Manggada menjawab ”Tidak, Raden Panji”

“Jika tidak, suruh ia menjawab sendiri. Siapa namanya“ berkata Raden Panji tanpa memandang kedua anak muda itu.

Jantung kedua anak muda itu bagaikan berdentang semakin cepat dan keras. Tapi keduanya tidak dapat berbuat lain. Laksana akhirnya menjawab pertanyaan itu “Namaku Laksana, Raden Panji”

“Bagus...!“ jawab Raden Panji “ternyata kalian tahu apa yang harus kalian lakukan“ Raden Panji mengangguk-angguk. Namun Raden Panji masih bertanya “Kenapa kalian berdua menolong Mas Rara ketika hampir saja diterkam seekor harimau?“

Pertanyaan itu cukup membingungkan. Manggada dan Laksana bahkan Wirantana dan orang-orang yang ada di pendapa itu, tidak mengerti kenapa Raden Panji bertanya seperti itu. Karenanya, untuk beberapa saat Manggada dan Laksana tidak segera bisa menjawab. Keduanya saling berpandangan dengan jantung berdebaran.

Dalam pada itu, Raden Panji telah bertanya lagi “He, apakah kalian pernah berguru? Kalian belum menjawab pertanyaanku”

ketiganya jadi semakin bingung. Tetapi Manggada coba menjawab “Tidak Raden Panji. Kami tidak pernah berguru...“

“Jadi, kenapa kalian berusaha melawan seekor harimau. Bukankah itu berarti bahwa kalian akan dapat mati diterkam oleh harimau itu?“ bertanya Raden Panji pula.

Kedua anak muda itu tidak tahu apakah Raden Panji sedang menguji mereka, atau sedang bergurau, atau tengah menyelidiki mereka.

“He, sekarang kalian berdua jadi bisu...!“ bentak Raden Panji.

Manggada yang kebingunganpun tidak dapat berbuat lain kecuali menjawab apa saja yang dapat dikatakannya “Raden Panji. Agaknya memang sudah menjadi kewajiban kita untuk saling menolong...!”

“Apakah kau benar-benar berusaha menolong tanpa pamrih? Atau kalian mau mempertaruhkan nyawa kalian karena ada yang ingin kalian dapatkan dari pertolongan yang mahal itu?“ desak Raden Panji...

Selanjutnya,
Mas Rara Bagian 09