Mas Rara Bagian 06 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
WIRANTANA menjadi sedikit berpengharapan ketika ia melihat sais dan pembantunya itu mampu mendesak lawannya menjauhi kereta kuda itu.

Namun yang tidak terduga-duga itupun telah terjadi. Dalam ketakutan itu, tiba-tiba saja Ki Resa yang terbaring itu telah meloncat bangkit. Dengan cepat ia berlari ke arah pedati yang berhenti di pinggir jalan itu. Sekali loncat, Ki Resa telah duduk di tempat sais. Satu hentakan telah mengejutkan kuda sang menarik pedati itu, sehingga kuda itu segera berlari.

Tetapi Ki Resa telah membawa keretanya justru berbalik ke arah padukuhan Nguter. Namun ada lebih dari sepuluh simpangan yang akan dapat dilaluinya. sebelum jalan itu memasuki padukuhan Nguter.

Tidak seorang pun menduga bahwa hal itu akan terjadi. Mas Rara yang ada di dalam pedati menjerit. Tetapi pedati yang ditarik seekor kuda itu terus berlari. Wirantana pun berteriak keras-keras dengan suara parau “Paman, paman...!"

Ki Resa berpaling pun tidak. Bahkan ia telah berdiri ditempat sais kereta itu biasanya duduk. Wirantana tidak ingin membiarkan hal itu terjadi tanpa diketahui sebab-sebabnya. Ia yang menganggap sikap pamannya agak kurang dimengerti, menjadi semakin membingungkannya. Karena itu, Wirantana segera berlari meninggalkan lawannya kearah kudanya.

Untunglah bahwa pembantu sais itu tanggap akan keadaan. Ketika lawan Wirantana mengejarnya, pembantu sais dengan cambuk di tangannya telah menyerang orang itu, sehingga orang itu tidak dapat mencegah Wirantana yang dengan kecepatan yang tinggi telah meloncat ke punggung kudanya. Sejenak kemudian, kuda itu telah berlari seperti angin mengejar Ki Resa yang telah melarikan Mas Rara.

Ternyata Ki Resa menyadari, apa yang terjadi. Sambil mengumpat ia menghentikan kereta kudanya yang tidak dapat berpacu secepat kuda Wirantana. Dengan sigap, Ki Resa meloncat turun. Pedangnya ternyata telah berayun di tangannya.

Wirantana yang melihat pamannya meloncat turun. telah menarik kekang kudanya pula. Iapun telah meloncat turun pula. “Apa artinya ini paman” teriak Wirantana.

“Aku peringatkan, jangan mencampuri persoalan ini. Sebaiknya kau tidak mengikuti aku dan Mas Rara“ geram Ki Resa.

“Aku minta paman membawa Mas Rara kembali, Mas Rara akan dibawa menghadap Raden Panji Prangpranata sebagaimana direncanakan“ minta Wirantana.

“Sekali lagi aku peringatkan. Kau tidak mempunyai kesempatan berbuat apa-apa. Aku akan membunuhmu jika kau keras kepala. Karena itu, pergilah“ suara Ki Resa gemetar.

“Aku akan mencegahnya sampai aku mendapat penjelasan yang dapat meyakinkan aku“ berkata Wirantana.

“Kau jangan terlalu sombong menghadapi aku“ berkata Ki Resa “sementara itu, orang-orang yang mencegat Mas Rara akan membunuh semua prajurit dan orang-orang yang bersama mereka”

“Jadi paman bekerjasama dengan mereka? Paman berpura-pura jatuh dan tidak bangkit lagi. Paman ternyata telah melakukan hal yang serupa sampai dua kali. Ketika rumah ayah dirampok orang, paman begitu cepat menjadi pingsan. Agaknya paman telah bekerjasama dengan mereka. Sekarang paman bekerjasama dengan orang-orang untuk mencegat Mas Rara, menculiknya dan mempergunakannya untuk memeras Raden Panji” berkata Wirantana.

Ki Resa tertawa. Suara tertawanya bergetar memenuhi udara. Bagi Wirantana, pamannya itu tiba-tiba saja telah berubah menjadi iblis yang garang. Tetapi Wirantana sama sekali tidak menjadi ketakutan. Bahkan kemarahannya justru telah meggelegak.

“Paman!“ berkata Wirantana . “Aku hormati paman sebagai orangtuaku sendiri. Tetapi dalam keadaan seperti ini, aku terpaksa melawan paman”

“Bagaimana jika orang-orang yang mencegat iring-iringan ini kemudian datang kemari, sedangkan semua prajurit dan orang-orang yang menyertai Mas Rara telah terbunuh” bertanya Ki Resa.

“Aku akan mempertaruhkan nyawaku demi kehormatan adikku. Adikku tidak akan dapat dipergunakan sebagai alat untuk memeras Raden Panji Prangpranata” geram Wirantana.

Ki Resa tidak menjawab lagi. Tetapi senjatanya mulai terjulur. Tetapi Wirantana telah mengangkat pedangnya pula. Dengan nada rendah ia berkata “Maaf paman. Aku terpaksa berani melawan paman dalam keadaan seperti ini”

Ki Resa masih juga tidak menjawab. Tetapi ia sudah meloncat menyerang dengan garangnya. Anak itu harus segera diselesaikan agar ia dengan cepat dapat menyingkirkan Mas Rara. Keduanya segera bertempur dengan sengitnya. Ternyata Ki Resa harus mengakui, bahwa Wirantana yang baru pulang dari berguru itu memiliki bekal yang semakin mapan untuk menghadapinya.

Dalam pada itu, sais dan pembantunya segera mengalami kesulitan menghadapi dua orang yang garang. Sais yang telah kehilangan kudanya itu memberi isyarat kepada kawannya untuk bertempur sambil berlari-lari. Beberapa saat kemudian, keduanya telah bergeser semakin dekat dengan arena pertempuran yang lain.

Sambil bertempur, tiba-tiba saja Manggada berteriak kepada salah seorang prajurit yang bertempur bersamanya. “Bantu kedua orang sais itu”

Seorang prajurit yang sedang bertempur itupun tanggap. Ia pun segera melompat meninggalkan arena untuk membantu kedua orang sais yang mengalami kesulitan, sehingga harus bertempur sambil berlari-lari mendekati arena pertempuran itu.

Ketika seorang diantara lawan-lawannya berusaha mencegahnya, Laksana telah meloncat menyerang sehingga prajurit itu sempat meninggalkan lawannya. Sementara Manggada telah berloncatan dengan garangnya.

Kedua sais mengucap sukur didalam hati ketika seorang prajurit datang mendekati mereka. Seorang diantara kedua lawan mereka harus menghadapi prajurit yang datang membantu itu, sehingga mereka berdua tinggal melawan seorang saja. Dengan demikian, mereka menjadi semakin berpengharapan untuk tetap hidup.

Manggada dan Laksana pun kemudian masing-masing harus melawan dua orang. Tetapi Manggada dan Laksana sama sekali tidak menjadi goyah. Keduanya mampu bertempur mengatasi kedua orang lawan masing-masing.

Bahkan ketika pertempuran itu masih juga belum ada tanda-tanda segera selesai, sementara keduanya terguncang oleh sikap Ki Resa yang sulit diketahui, Manggada dan Laksana telah menghentakkan segala kemampuannya.

Tetapi adalah diluar dugaan mereka. Kedua orang anak muda yang marah dan gelisah itu, seakan-akan telah menumpahkan segala-galanya yang dimilikinya dalam ilmu kanuragan. Gelora di dalam dada mereka, serta darah muda mereka yang mendidih, bagaikan telah mematangkan kekuatan, kemampuan dan ilmu yang tersimpan di dalam diri mereka.

Adalah mengejutkan bahwa tiba-tiba saja kekuatan mereka bagaikan berlipat. Sesuatu rasa-rasanya telah menggelegak, bergelora dan muncul dari dasar ke permukaan. Bahkan kedua anak muda itu untuk sesaat bagaikan dituntun oleh pedangnya. Namun barulah mereka sadar bahwa kemampuan ilmu pedangnyalah yang telah bergetar menggerakkan pedang itu.

Keduanya dalam saat yang gawat itu ingat apa yang pernah terjadi atas diri mereka. Mereka teringat, bagaimana seorang Ajar yang tinggal di tempat terpencil bersama seorang yang punggungnya bongkok namun berilmu sangat tinggi, memberikan bekal kepada mereka. Ki Ajar yang seakan-akan telah meningkatkan alas kemampuan ilmu mereka, sehingga dengan demikian ilmu mereka pun terangkat dalam keutuhannya dan semakin tinggi.

Ketika kedua anak muda itu berada dalam gegolak kemarahan yang memuncak, kekuatan itu telah muncul dari dasarnya, yang tersimpan didalam diri mereka, sehingga baik Manggada maupun Laksana telah menjadi semakin garang.

Karena itulah, kedua lawan masing-masing menjadi sangat terkejut ketika tiba-tiba saja senjata mereka bersentuhan. Kekuatan kedua anak muda itu benar-benar bagaikan berlipat.

Dua orang yang bertempur melawan Manggada telah bergeser menebar untuk mengambil tempat yang lapang. Mereka berusaha untuk meyakinkan diri bahwa mereka adalah orang-orang yang ditakuti, serta memang memiliki kekuatan dan kemampuan yang bisa mendukung kegarangan mereka.

Tetapi Manggada yang marah, yang menghentakkan segenap kemampuan didalam diri mereka, justru bagaikan mendapat kesempatan untuk menguji ilmunya. Dalam pertempuran yang berkembang selanjutnya, kedua lawan Manggada benar-benar menjadi heran. Dua orang anak yang masih terhitung muda itu, ternyata telah memiliki ilmu yang tidak dapat mereka jangkau sama sekali.

Perlahan-lahan tetapi pasti, kedua orang itu telah terdesak. Bahkan ketika seorang diantara keduanya menjadi marah pula, dan mencoba menghantam Manggada dengan pedangnya yang dilambari segenap kekuatannya, orang itu akhirnya menyesal. Benturan yang sangat keras telah terjadi. Manggada tidak berusaha untuk menghindar. Namun ia telah menangkis serangan itu. Rasa-rasanya Manggada ingin menjajagi kemampuan sendiri yang masih baru saja dikenalinya dengan baik.

Lawannya benar-benar terkejut. Benturan itu telah menggetarkan pedangnya. Telapak tangannya terasa menjadi sangat panas. Bahkan rasa-asanya kulitnya akan terkelupas. Sebelum ia sempat memperbaiki keadaan tangannya, terasa pedang Manggada berputar. Pedangnya sendiri tiba-tiba bagaikan telah hanyut dihisap oleh putaran pedang anak muda itu. Satu hentakkan telah melemparkan pedang orang itu sehingga jatuh beberapa langkah dari padanya.

Dalam keadaan yang gawat itu, kawannya telah meloncat menyerang Manggada dengan garangnya. Sabetan pedang yang terayun deras langsung mengarah ke leher anak muda itu.

Tetapi Manggada sempat melihat serangan itu. Dengan tangkas ia telah merendahkan dirinya. Begitu ayunan pedang itu meluncur diatas kepalanya, pedang Manggada pun telah terjulur langsung menusuk dada lawannya.

Terdengar erang kesakitan. Namun ketika kemudian Manggada menarik pedangnya, orang itu terhuyung-huyung roboh. Ternyata sentuhan ujung pedang Manggada telah menggapai jantungnya, sehingga orang itu tidak sempat berbuat sesuatu. Tarikan nafas yang panjang, telah mengakhiri hidupnya.

Sementara itu, kawannya yang telah kehilangan senjatanya tidak sempat berbuat banyak. Ketika ia melihat kawannya tertusuk pedang dadanya, ia berusaha melarikan diri. Tetapi sebelum ia sempat meloncat menjauh, Manggada dengan cepat telah bangkit. Ternyata kemarahannya yang memuncak telah membuat darahnya bagaikan menggelegak. Dengan derasnya, Manggada telah mengayunkan pedangnya dengan satu tebasan mendatar.

Ujung pedang Manggada ternyata telah mengoyak dada lawannya itu menyilang. Dengan demikian, lawannya itupun telah terdorong dan bahkan kemudian terlempar jatuh terlentang. Darah bagaikan memancar dari luka itu demikian derasnya, sehingga orang itu tidak lagi mempunyai kesempatan untuk bangkit kembali.

Pada saat yang demikian, Laksana pun telah mendesak lawan-lawannya. Seorang diantara kedua lawannya ternyata mampu bergerak cepat sekali, sehingga sesekali Laksana harus bergeser mundur.

Sementara itu, Manggada meloncat meninggalkan arena menuju ke tempat kedua orang sais yang juga tengah bertempur sambil berteriak pada Laksana yang masih bertempur dengan sengitnya “Selesaikan lawan-lawanmu. Bantu para prajurit di bukit. Aku akan mengurus Ki Resa yang aneh itu”

Laksana tidak menjawab. Sementara Manggada berlari dengan cepat. Ketika ia sempat mendekati sais dan pembantunya yang sedang bertempur, ia mengayunkan pedangnya. Segores luka telah menyilang di punggung orang yang bertempur melawan kedua orang sais dan pembantunya yang kurang memiliki kemampuan itu. Untunglah bahwa seorang diantaranya pandai bermain cambuk, sehingga sempat menyulitkan lawannya. Tetapi lawannya itu kemudian tidak berdaya lagi, terbaring diatas rerumputan kering.

Ketika Manggada kemudian meloncat kepunggung kudanya, sais dan pembantunya segera membantu prajurit yang tadi membantunya. Seorang yang harus bertempur melawan tiga orang itupun tidak mampu berlahan terlalu lama. Iapun segera terdesak.

Sementara itu, Manggada telah berpacu menyusul Wirantana yang masih bertempur melawan Ki Resa. Meskipun kemampuan Wirantana sudah meningkat jauh setelah ia pergi berguru, tetapi Ki Resa yang disebut pembunuh harimau itu ternyata tidak mudah dikalahkannya. Bahkan perlahan-lahan Ki Resa telah mampu mendesak Wirantana. Meskipun dasar ilmu Wirantana cukup tinggi, tetapi anak muda itu masih belum cukup berpengalaman untuk menghadapi pamannya yang garang dan keras itu.

Bahkan Ki Resa masih sekali lagi memperingatkannya “Wirantana. Jika kau tidak mau pergi, aku benar-benar akan membunuhmu”

Wirantana menggeram. Katanya “Paman jangan bermimpi buruk seperti itu. Seharusnya paman cepat bangun dan menyadari apa yang telah paman lakukan”

Ki Resa menggeram. Dengan garang ia berkata “Jika demikian, kau akan mati. Aku akan membawa Mas Rara sejauh-jauhnya tanpa dapat diketahui oleh siapapun”

Wirantana tidak menjawab. Ia telah menyerang dengan cepatnya. Namun Ki Resa memang memiliki kemampuan yang tinggi. Pada saat yang demikian, Mas Rara sudah turun dari pedatinya. Ia memang menjadi ketakutan melihat pertempuran itu. Iapun tidak mampu berbuat sesuatu selain menjadi gemetar.

Ketika Mas Rara berniat untuk melarikan diri dari pertempuran antara kakaknya dan pamannya, kakinya rasa-rasanya menjadi sangat berat. Ia tidak sampai hati meninggalkan kakaknya dalam kesulitan. Tetapi iapun tidak mau jatuh ketangan pamannya yang kasar dan garang itu.

Pada saat yang demikian, seekor kuda dengan penunggangnya telah berlari mendekat. Mas Rara pun segera melihat bahwa penunggang kuda itu adalah anak muda yang telah menolongnya ketika ia hampir saja diterkam oleh seekor harimau. Karena itu, harapannya telah berkembang. Kuda itu berpacu sangat cepat, sehingga sejenak kemudian Manggada telah meloncat turun dan langsung berlari ke arena.

“Setan kau“ geram Ki Resa yang serba sedikit mengetahui kemampuan anak muda itu.

Manggada tidak menyahut sama sekali. Ia segera menempatkan diri di sebelah Wirantana yang meloncat surut mengambil jarak dari pamannya yang kehilangan akal itu.

“Ki Resa“ tiba-tiba Manggada berdesis “kami ingin Ki Resa mempertanggung-jawabkan langkah-langkah yang kau ambil.”

Tetapi Ki Resa menggeram “Kalian akan mati bersama-sama”

Tidak ada lagi pembicaraan. Manggada dan Wirantana telah bersiap untuk bertempur melawan Ki Resa yang garang itu. Tetapi Ki Resa sudah berada ditengah arus. Apakah ia akan kembali atau berlanjut, tidak akan banyak bedanya. Ia harus menempuh tekanan yang sangat berat. Kedua orang anak muda itu memiliki bekal yang cukup untuk mengatasinya. Namun Ki Resa harus menghadapinya.

Sementara Mas Rara telah menjadi semakin jauh daripadanya. Ketika Ki Resa sekali menengok kearah Mas Rara, maka Wirantana segera tanggap akan niatnya. Iapun telah meloncat dan berdiri diantara Ki Resa dengan adiknya itu. Ki Resa mengumpat kasar.

Sementara itu Manggada sempat juga bertanya “Apakah sebenarnya maksud Ki Resa terhadap Mas Rara?”

“Persetan, apa pedulimu“ geram Ki Resa.

“Jangan sampai terjadi salah paham. Tetapi agaknya Ki Resa berniat buruk terhadap Mas Rara. Justru karena Ki Resa telah berpura-pura pingsan” berkata Manggada pula.

“Tutup mulutmu. Bersiaplah untuk mati“ suara Ki Resa bergetar oleh kemarahan yang menggelegak di dadanya.

Manggada tidak bertanya lagi. Dari arah yang berbeda, Manggada dan Wirantana kemudian telah mendekati Ki Resa. Sejenak kemudian, merekapun telah terlibat lagi dalam pertempuran yang sengit. Tetapi Wirantana tidak sendiri. Ia bertempur bersama Manggada yang justru telah mampu mengangkat kekuatan yang semula masih tersembunyi di bawah permukaan.

Sementara itu, Laksanapun menjadi semakin garang. Dua orang lawannya telah tidak berdaya. Keduanya telah terluka di tubuh mereka. Seorang terluka di lambung, sedangkan yang lain dilsisi bagian dadanya. Namun luka mereka cukup dalam, sehingga mereka tidak mampu lagi meneruskan pertempuran.

Seorang lagi yang bertempur melawan prajurit yang mengawal Mas Rara yang dikirim oleh Raden Panji Prangpranata itupun telah kehilangan keberanian, sehingga dengan serta merta telah melarikan diri ke bukit. Ia berharap bahwa kawan-kawannya yang bertempur di bukit akan dapat menguasai keadaan.

Sebenarnya pertempuran di bukit masih berlangsung dengan sengitnya. Ternyata kekuatan mereka justru seim-bang. Pemimpin prajurit yang mengawal Mas Rara tidak dapat meninggalkan prajurit-prajuritnya yang mengalami pertempuran yang sengit, sehingga ia benar-benar mempercayakan Mas Rara kepada Ki Resa serta kakak gadis itu, Wirantana.

Demikian sengitnya pertempuran itu, sehingga pemimpin prajurit itu tidak tahu apa yang telah terjadi dengan Mas Rara. Namun Laksana dan seorang prajurit yang kehilangan lawannya itu telah menuju ke bukit pula. Prajurit itu telah mengejar lawannya yang justru juga telah berlari ke bukit itu.

Ketika orang yang dikejar oleh prajurit itu mampu mencapai bukit, maka kawan-kawannya telah menyambutnya dengan harapan. Meskipun hanya seorang, tetapi mereka berharap bahwa yang seorang itu akan dapat mempengaruhi keadaan yang seimbang itu.

Namun kemudian seorang prajurit ternyata telah menyusul. Bahkan kemudian seorang anak muda. Kehadiran Laksana tidak banyak mendapat perhatian. Orang-orang yang bertempur di bukit memang tidak begitu memperhatikannya. Bahkan ketika Laksana berhasil mengalahkan lawan-lawannya. Namun orang yang baru saja melarikan diri dari pertempuran di ngarai itu berteriak.

“Hati-hati. Anak itu sangat berbahaya”

Pemimpin prajurit yang bertempur dengan segenap kemampuannya itupun melihat kehadiran Laksana. la memang heran, kenapa Laksana tidak datang bersama Manggada. Biasanya keduanya tidak pernah berpisah. Karena itu, ketika Laksana berada tidak jauh daripadanya, iapun bertanya “Dimana saudaramu”

“Ia berada bersama Mas Rara“ jawab Laksana.

Pemimpin prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata saudara anak muda itu tidak berada dalam keadaan yang gawat. Di bukit, Laksana langsung melibatkan diri kedalam pertempuran. Ia memang tidak terbiasa bertempur dalam satu kesatuan sebagaimana para prajurit yang meskipun dalam kelompok yang paling kecil yang terdiri dari dua atau tiga orang, mereka mampu menunjukkan kerjasama yang baik. Saling mengisi dan yang satu tanggap atas sikap yang lain.

Karena itu, untuk melawan yang jumlahnya lebih banyak, para prajurit itu tidak membebani satu atau dua orang yang harus bertempur melawan lawan yang rangkap. Mereka seakan-akan bergantian menghadapi kelebihan jumlah lawan itu.

Tetapi Laksana tidak merasa perlu berbuat demikian. Ia bertempur melawan orang yang terdekat dengannya. Bahkan jika dua orang sekaligus, maka ia akan menghadapinya sendiri.

Para prajurit yang menyadari cara anak muda itu bertempur, sama sekali tidak langsung mengganggunya. Namun prajurit yang ada didekatnya, selalu mengawasinya. Jika anak muda itu berada dalam kesulitan, maka prajurit yang terdekat harus berusaha mempengaruhi medan.

Dalam waktu yang pendek, Laksana ternyata telah mendapat dua orang lawan, justru karena seorang yang berteriak tentang kemampuannya itu. Namun Laksana sama sekali tidak gentar. Meskipun sebelumnya ia telah mengerahkan tenaganya, namun kedua orang lawannya itupun sudah bertempur pula sebelumnya.

Beberapa saat kemudian, maka Laksana telah bertempur dengan garangnya. Kedua orang lawannya segera mengakui, bahwa anak muda itu benar-benar memiliki ilmu yang tinggi. Sementara itu Laksana yang menghentakkan segenap kekuatan yang ada didalam dirinya, telah mengungkit pula landasan kekuatan yang pernah diwarisinya dari Ki Ajar.

Dalam waktu yang tidak terlalu lama, ternyata kedua lawan Laksana itu sudah mulai bergeser surut. Mereka merasa betapa senjata anak muda itu sangat berbahaya bagi mereka. Beberapa kali desing senjata ibu bagaikan telah menyentuh telinga mereka.

Pemimpin orang-orang yang mencegat iring-iringan Mas Rara itu memang menjadi tidak telaten. Dengan marah ia berteriak ”Cepat, selesaikan mereka. Kita tidak mempunyai waktu banyak. Kita harus segera meninggalkan tempat ini. Lihat, waktu telah berjalan terlalu cepat. Bunga itu tentu sudah dipetik sekarang. Mas Rara tentu sudah dikuasainya”

Kata-kata itu benar-benar mengejutkan semua prajurit yang mendengarnya. Terutama pemimpinnya. Karena itu, maka ia menjadi sangat marah. Sejalan dengan itu, ia merasa sangat menyesal, bahwa ia tidak berada didekat Mas Rara.

“Tetapi aku percaya kepada pamannya, kakaknya dan kedua orang anak muda itu” berkata pemimpin prajurit itu didalam hatinya.

Namun dalam pada itu, iapun telah meneriakkan aba-aba yang garang “Hancurkan para perampok sampai orang yang terakhir. Sisakan satu dua orang saja akan kita peras sampai darahnya kering jika Mas Rara benar-benar hilang”

“Cepat, bunuh semua orang“ pemimpin perampok itu berteriak. la masih ingin mempengaruhi agar para prajurit menjadi gelisah. Katanya “Sebenarnya sasaran kita sudah tercapai sampai disini. Seandainya kita tinggalkan tempat ini, kita sudah tidak akan dirugikan apapun lagi”

“Jangan seorangpun lolos dari tempat ini“ teriak pemimpin prajurit itu.

Tetapi pemimpin perampok itu tertawa. Katanya “Kalian tidak akan dapat berbuat apa-apa. Jika Mas Rara sudah kami kuasai, maka kalian harus meletakkan senjata, membungkuk dihadapan kami dan membiarkan leher kalian ditebas hingga kepala kalian terlepas”

“Tidak benar“ teriak Laksana “kakang Manggada dan Wirantana tetap menguasai Mas Rara”

Pemimpin perampok itu termangu-mangu. Tetapi iapun segera berteriak “Ki Resa akan menyelesaikan segala-galanya”

Sekali lagi para prajurit itu terkejut. Sementara itu, pemimpin perampok itu tertawa sambil berkata lantang “Kalian telah dipermainkan oleh Ki Resa. Sekarang Mas Rara tentu sudah dikuasai Ki Resa. Jika kalian tidak menyerah, maka Mas Rara tidak akan pernah kalian ketemukan. Tetapi jika kalian menyerah dan memberikan leher kalian, maka kami masih berpikir untuk mengembalikan Mas Rara kepada satu dua orang diantara kalian”

Kata-kata itu telah menimbulkan ketegangan dihati para prajurit yang mendapat tugas untuk mengambil Mas Rara. Mereka sama sekali tidak mengira, bahwa pamannya sendiri telah berniat buruk.

Dengan nada kebingungan pemimpin prajurit itu bertanya “Apakah Ki Resa menginginkan tebusan”

“Ketahuilah, Ki Resa sudah beberapa lama menaruh hati kepada gadis itu. Karena itu, maka ia berusaha menggagalkan usaha kalian membawa Mas Rara kepada Raden Panji” berkata pemimpin perampok itu Namun katanya kemudian “Tetapi jika Raden Panji bersedia memberi tebusan jauh lebih besar dari upah yang kami terima dari Ki Resa, maka kami akan mengambil gadis itu dari tangan Ki Resa dengan perjanjian tersendiri. Kamilah yang akan membunuh Ki Resa”

“Kalian memang iblis“ geram pemimpin prajurit yang menjadi bingung karena kata-kata pemimpin perampok yang simpang siur itu.

Namun Laksana tiba-tiba telah menjelaskan “Jangan hiraukan mereka. Mas Rara dan Ki Resa, kedua-duanya telah dikuasai oleh kakang Manggada, Wirantana, seorang prajurit yang masih ada disana dan sais pedati serta pembantunya. Ki Resa sudah tidak berdaya, sementara Mas Rara dalam keadaan baik”

“Omong kosong“ teriak pemimpin perampok itu.

Laksana yang marah itu memang memperhitungkan, bahwa orang itu adalah pemimpin perampok yang telah mencegat perjalanan para prajurit yang menjemput Mas Rara. Karena itu, maka Laksana telah melepaskan lawannya dan langsung berlari menuju ke pemimpin perampok yang berteriak-teriak itu.

Sambil berlari Laksana berkata “Aku sudah tahu segala-galanya tentang Ki Resa dan tentang kalian. Tetapi ternyata kalian lebih rakus dari Ki Resa yang berbuat bagi kepentingan satu keinginan yang menurut keyakinannya akan baik baginya. Tetapi kalian adalah ular berkepala rangkap sehingga kalian berusaha menggigit kesana kemari. Karena itu, maka hukuman bagi kalian adalah dengan memenggal semua kepala yang melekat ditubuh”

Pemimpin prajurit yang menjemput Mas Rara itu masih termangu-mangu sejenak. Ia memang belum yakin terhadap apa yang dikatakan baik oleh pemimpin perampok itu maupun yang dikatakan oleh Laksana.

Tetapi sejenak kemudian Laksana benar-benar telah menyerang pemimpin perampok itu sambil berteriak “Jangan seorangpun dibiarkan lolos”

Pertempuranpun telah menjadi semakin sengit. Dilereng bukit kecil itu, dentang senjata beradu mengumandang diantara teriakan-teriakan marah orang-orang yang sedang bertempur. Tetapi sekali-sekali terdengar juga jerit ngeri dari orang yang tertusuk senjata dilambungnya dan jatuh terguling dari bibir batu padas ke batu dibawahnya.

Para perampok itu memang menjadi semakin garang bahkan menjadi liar. Namun Laksana dan para prajurit yang telah basah oleh keringat itupun bertempur semakin cepat dan keras pula.

Laksana yang telah mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuannya dengan landasan kekuatan yang mendasari ilmunya, telah mengejutkan pemimpin perampok itu. Pedangnya berputaran semakin cepat. Sekali-sekali menebas mendatar, kemudiun terayun menyilang. Ketika pemimpin perampok itu bergeser surut, maka ujung pedang itu mematuk seperti kepala seekor ular bandotan.

Semakin lama pemimpin perampok itu menjadi semakin bingung menghadapi anak muda itu, sehingga akhirnya iapun memberi isyarat kepada seorang pengikutnya. Dengan serta merta pengikutnya itupun telah meloncat mendekatinya dan langsung melibatkan diri melawan Laksana yang bagaikan banteng ketaton.

Laksana memang terdesak surut beberapa langkah. Tetapi ia sekedar mengambil ancang-ancang serta untuk mengamati lawannya yang baru. Namun kemudian serangannyapun telah membadai pula. Demikian pula para prajurit yang marah. Pemimpin prajurit itu sekali lagi berteriak “Jangan biarkan seorangpun lolos”

Pemimpin perampok itu masih juga berteriak “Mas Rara akan mati ditangan kami”

“Omong kosong“ Laksanalah yang menjawab “jangan hiraukan. Aku bertanggung jawab atas keteranganku. Mas Rara selamat”

Benturan senjatapun menjadi semakin garang. Para prajurit memang telah menebar, seakan-akan mengepung arena pertempuran itu. Perlahan-lahan jumlah para prajurit menjadi semakin lebih banyak dari para perampok yang satu-satu kehilangan kesempatan untuk melawan.

Sementara itu, Manggada dan Wirantana masih bertempur melawan Ki Resa yang jantungnya bagaikan terbakar oleh kemarahannya. Ternyata rencananya tidak berjalan selancar yang diinginkannya. Tetapi memang tidak ada jalan kembali bagi Ki Resa. Dengan demikian maka ia harus bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya.

Namun kedua orang anak muda itu benar-benar telah mendesak Ki Resa sehingga beberapa langkah ia terdorong surut. Senjata kedua anak muda itu bagaikan mengelilingi tubuhnya dan sekali-sekali menyentuh bajunya. Anak-anak muda itu mampu bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi, sehingga Ki Resa itu menjadi semakin kesulitan menghindari serangan-serangan senjata mereka.

“Paman“ geram Wirantana kemudian “menyerahlah. Kita akan berbicara.

“Iblis kau“ teriak Ki Resa sambil menyerang dengan garang.

Tetapi Wirantana sempat meloncat surut. Sementara Manggada justru menjulurkan senjatanya menggapai kearah punggung. Ki Resa menggeliat. Namun Manggada yang telah berhasil mengangkat landasan kemampuannya itu benar-benar merupakan kekuatan yang sulit untuk dilawan. Ki Resa memang berhasil menggeliat menghindari ujung pedang Manggada. Tetapi ujung pedang itupun telah berputar pula langsung menebas kesamping.

Ki Resa harus meloncat surut menghindari kejaran ujung pedang Manggada. Namun tiba-tiba saja Ki Resa berteriak sambil mengumpat kasar. Dengan serta merta Ki Resa melenting tinggi berputar diudara dan berdiri tegak beberapa langkah dari Manggada dan Wirantana.

Tetapi lengan Ki Resa telah tergores ujung senjata Wirantana meskipun tidak begitu dalam. Ternyata ketika ujung pedang Wirantana hampir mengoyak lengan pamannya, dengan kekuatan naluriah, Wirantana justru menahan ayunan pedangnya sehingga yang terjadi hanyalah satu goresan yang tidak dalam di lengan pamannya. Meskipun demikian, darah mulai menitik dari tubuh Ki Resa yang dijuluki Pembunuh Harimau itu.

“Paman“ desis Wirantana sambil berdiri termangu-mangu.

“Kau sudah melukai lenganku anak iblis“ geram Ki Resa.

“Kita dapat berbicara dengan baik“ sahut Manggada.

Tetapi Ki Resa tidak menghiraukannya. Tiba-tiba saja ia sudah meloncat menyerang lagi dengan garangnya. Pertempuran telah berlangsung lagi semakin sengit. Ki Resa benar-benar telah sampai kepuncak kemampuannya. Namun setiap kali ia membentur kekuatan dan kemampuan Manggada yang harus diakuinya sebagai satu kenyataan berada diatas kekuatan dan kemampuannya. Sementara itu Wirantana yang baru saja meninggalkan perguruannya telah memiliki bekal yang tinggi pula.

Dalam keadaan yang kalut, maka Ki Resa seakan-akan menjadi tidak menghiraukan lagi apa yang akan terjadi atas dirinya. Dengan sisa tenaga dan puncak kemampuannya ia telah mengamuk sejadi-jadinya.

Mas Rara yang menyaksikan pertempuran itu dengan jantung yang berdentangan. Memang sudah agak lama ia merasakan keanehan sikap pamannya kepadanya. Tetapi ia tidak mengerti arti dari keanehan sikap itu. Bahkan sampai saatnya ia menyaksikan pertempuran yang membuatnya hampir kehilangan akal itu, ia tidak tahu pasti apa yang sebenarnya dikehendaki oleh pamannya itu.

Tetapi bagi Wirantana dan Manggada, sikap Ki Resa tentu sikap yang tidak sewajarnya. Bahkan tentu berniat buruk, apalagi dengan bekerja sama dengan para perampok yang telah mencegat perjalanan Mas Rara ke rumah bakal suaminya, Raden Panji Prangpranata.

Namun bagaimanapun juga, Mas Rara benar-benar telah terguncang hatinya menyaksikan pertempuran antara pamannya dan kakaknya itu. Pamannya yang dihormatinya sebagaimana orang tuanya sendiri. Apalagi ketika ia melihat bahwa darah telah membasahi pakaian pamannya itu.

Namun ternyata bahwa Ki Resa sama sekali sudah tidak terkendali lagi. Ketika dengan garangnya ia meloncat menyerang Manggada, maka Manggada sempat bergeser kesamping. Tetapi Ki Resa tidak melepaskannya, ia justru telah berputar dan menyerang sekali lagi.

Tetapi seperti Wirantana, ternyata Manggada masih merasa ragu. Ketika terasa ujung pedangnya menyentuh lambung Ki Resa, maka Manggada justru telah menarik pedangnya. Meskipun demikian, ujung pedangnya memang telah melukai lambung Ki Resa. Kulitnya telah tergores pula dan darahpun telah mengalir dari luka itu.

Ketika Ki Resa bergeser mundur, Manggada sempat pula berkata “Ki Resa, bangunlah dari mimpi burukmu. Masih ada kesempatan untuk berbicara”

Tetapi Manggada terkejut. Justru saat ia berbicara, Ki Resa meloncat menyerangnya. Manggada masih sempat mengelak. Namun Ki Resa telah memburunya seperti orang yang benar-benar telah kehilangan akal. Beberapa langkah Manggada masih juga bergeser surut sambil berusaha menangkis setiap serangan. Sementara itu Wirantanalah yang telah menyerang Ki Resa yang sedang membabi buta itu.

Ki Resa seakan-akan tidak menghiraukan serangan itu. Ujung pedang Wirantana memang telah menempel ke pundak Ki Resa, tetapi Ki Resa sama sekali tidak menghiraukannya. Baru ketika Manggada meloncat mengambil jarak, Ki Resa telah berpaling dan memburu Wirantana.

Satu serangan yang keras telah memaksa Wirantana juga berloncatan surut. Namun ketika Wirantana benar-benar terdesak, bukan karena kemampuan Ki Resa, tetapi pengaruh hubungan keluarga yang masih sulit disingkirkan oleh Wirantana. maka Manggada tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun telah menyerang Ki Resa dengan uluran pedangnya.

Ki Resa yang berusaha mengelak, justru masuk ke garis ayunan pedang Wirantana. Karena itu, maka sebuah goresan telah menyilang dipunggung pamannya itu. Ki Resa menggeram. Ia tidak dapat lagi menahan perasaan pedih dari luka-luka ditubuhnya. Luka dilengannya, dilambungnya dan kemudian di punggungnya, terasa bagaikan disengat api. Apalagi ketika keringatnya mengalir membasahi luka-lukanya.

Wirantana masih juga sekali lagi berusaha menyadarkan pamannya itu. Katanya betapapun terdengar nada keraguan “Paman. Apakah paman benar-benar tidak mau melihat kenyataan ini”

“Tutup mulutmu tikus kecil“ bentak Ki Resa yang justru meloncat menyerang.

Wirantana benar-benar kehilangan kesadarannya. Sambil mengelak, iapun telah berputar sambil mengayunkan pedangnya. Ki Resa tidak berusaha untuk menghindar. Tetapi ia berusaha menangkis serangan itu dengan sekuat tenaganya.

Namun Ki Resa memang sudah mulai letih. Tangannya terasa menjadi pedih. Sementara itu, Manggada telah mengacukan senjatanya pula. Satu lagi goresan telah melukai pundaknya. Namun Ki Resa benar-benar telah menjadi gila. Darah telah membasahi seluruh tubuhnya. Namun ia sama sekali tidak berniat untuk menghentikan perlawanannya.

Mas Rara pun telah berpaling. Bagaimanapun juga, ia tidak sampai hati melihat seluruh pakaian pamannya basah oleh darahnya. Beberapa saat kemudian, Mas Rara justru mendengar kakaknya memanggil-manggil. “Paman. Paman”

Diluar sadarnya, Mas Rara berpaling kembali kearah pamannya. Namun ia terkejut. Dilihatnya pamannya terbaring diam, sementara Wirantana dan Manggada berjongkok di sebelahnya.

“Paman. Paman“ Wirantana mengguncang tubuh pamannya.

Ki Resa membuka matanya. Tetapi darah sudah terlalu banyak mengalir dari lukanya. Dalam keadaan yang gawat itu Ki Resa berdesis “Dimana Mas Rara?”

“Ada disini paman.“ desis Wirantana.

Mas Rara memang sudah berdiri di belakang kakaknya. Ia masih agak ketakutan menghadapi sikap pamannya yang tidak dimengertinya.

“Wirantana“ berkata Ki Resa dengan suara yang dalam “sudah lama aku menginginkannya. Diam-diam aku mencintainya”

“Tetapi tidak mungkin paman. Mas Rara adalah kemanakan paman sendiri. Bukankah paman adik ayah” bertanya Wirantana.

Ki Resa tidak menjawab. Nafasnya semakin memburu.

“Sudahlah“ berkata Wirantana “kita bawa paman ke padukuhan terdekat. Mungkin ada seorang tabib yang dapat mengobatinya”

Ki Resa menjadi semakin lemah. Disela-sela bibirnya terdengar desis perlahan “Ayahmu, ayahmu... Aku mohon maaf...“ suara Ki Resa bagaikan tersumbat dikerongkongan.

“Kita angkat paman ke dalam pedati” berkata Wirantana.

Tetapi ternyata semuanya tidak berarti lagi. Darah yang mengalir terlalu banyak itu telah membuatnya terlalu lemah dan tidak mampu lagi bertahan untuk tetap hidup. Karena itu, ketika Wirantana akan mengangkatnya bersama Manggada, maka Wirantanapun menarik nafas sambil berdesis “Kita terlambat Manggada”

Tubuh itu tidak jadi diangkat. Wirantanapun kemudian berdiri dengan kepala tunduk.

“Kita telah membunuhnya“ desis anak muda itu.

“Aku mohon maaf Wirantana“ desis Manggada.

“Kau tidak bersalah Manggada. Paman memang bersalah“ jawab Wirantana.

Namun merekapun berpaling ketika mereka mendengar isak tangis Mas Rara. Wirantana mendekati adiknya sambil berdesis “Sudahlah Mas Rara. Kita tidak berniat melakukannya. Beberapa kali aku sudah memberikan peringatan. Tetapi paman benar-benar sudah kehilangan penalarannya. Mungkin paman merasa bahwa kematian adalah jalan yang paling baik untuk menghindari pertanggung-jawaban dari langkah yang telah diambilnya. Ia tidak sekedar main-main. Ia telah mengerahkan sekelompok orang untuk mencegat iring-iringan ini. Tentu ada korban diantara para prajurit”

Mas Rara menutup wajahnya. Sementara Wirantanapun kemudian membimbingnya kembali ke pedatinya.

“Naiklah. Kita akan kembali ketempat kita berhenti“ berkata Wirantana.

“Bagaimana dengan paman” bertanya Mas Rara.

“Aku akan membawanya, Paman akan aku tompangkan diatas punggung kuda” jawab Wirantana.

Sejenak kemudian, maka Manggada telah mengendalikan kereta kuda itu. Diikatnya kudanya dibelakang kereta. Sementara itu Wirantana duduk diatas punggung kudanya sambil membawa tubuh pamannya.

Sementara itu pertempuran di bukitpun telah menjadi semakin reda. Perlawanan para perampok sudah tidak banyak berarti lagi. Mereka memang tidak sempat melarikan diri, karena para prajurit telah berusaha mengepungnya. Sehingga beberapa saat kemudian maka pertempuran pun telah berakhir.

Pemimpin prajurit yang mengawal Mas Rara segera mengatur orang-orangnya. Kemarahan masih memancar di wajahnya. Apalagi ternyata sogores luka telah menyilang dipunggungnya. Untunglah bahwa luka itu tidak dalam. sehingga obat yang dibawanya dapat membuatnya untuk sementara memampatkan luka-lukanya.

Pemimpin perampok itupun kemudian harus melihat kenyataan. Dibawah bukit kecil itu, semuanya telah berkumpul. Para perampok yang bekerja bagi kepentingan Ki Resa itu akan menjadi tawanan dan dibawa menghadap Raden Panji Prangpranata. Namun orang yang bertanggung jawab atas peristiwa itu telah terbunuh, Ki Resa.

Ternyata beberapa orang prajurit memang telah terluka. Dua orang diantaranya parah. Sementara itu, tiga orang perampok telah terbunuh. Sedangkan beberapa orang yang lain telah terluka pula.

“Perjalanan masih cukup jauh“ berkata pemimpin prajurit itu ”Mereka membuat kepalaku menjadi bagaikan pecah. Sebenarnya aku ingin membunuh mereka semua, sehingga tidak akan menjadi beban diperjalanan”

Tetapi pemimpin prajurit itu tidak dapat melakukannya. Ia tidak dapat membunuh orang-orang yang sudah tidak berdaya betapapun darahnya bagaikan mendidih.

Ternyata perjalanan Mas Rara benar-benar terlambat. Bukan saja karena pertempuran itu, tetapi mereka harus menunggu para perampok itu menguburkan kawan-kawannya. Sementara itu Wirantana dan Manggadapun tengah berbicara dengan Laksana dan Mas Rara. Apa yang harus mereka lakukan dengan Ki Resa.

“Apakah kita akan menguburkannya bersama-sama dengan para penjahat” desis Mas Rara “kita bawa paman pulang. Kita serahkan kepada ayah dan ibu”

“Tetapi perjalanan kita sudah cukup jauh. Apakah kita harus kembali” bertanya Manggada.

"Tetapi paman tidak dapat dikubur bersama para penjahat itu“ Mas Rara mulai menangis lagi.

“Tetapi apakah kita dapat kembali” bertanya Wirantana.

Ketika mereka berpaling kepada pemimpin prajurit yang sedang sibuk sambil membentak-bentak marah, maka mereka menjadi ragu untuk menyampaikan kepadanya, bahwa mereka ingin membawa Ki Resa kembali.

Tetapi Manggada kemudian mengusulkan “Aku dan Laksana akan membawanya pulang. Kalian akan meneruskan perjalanan menghadap Raden Panji Prangpranata.”

Wirantana termangu-mangu sejenak. Tetapi kemudian ia berkata “Aku merasa ragu. Apakah ayah dan ibu akan dapat mengerti. Atau bahkan mungkin akan dapat timbul salah paham.”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sementara Wirantana berkata “Aku akan membawa paman kembali.”

“Jangan“ potong Mas Rara “Aku takut berjalan sendiri...”

“Manggada dan Laksana akan menemanimu!“ berkata Wirantana.

“Aku tidak mau...!“ jawab Mas Rara.

Wirantana memang menjadi bingung. Sementara itu pemimpin prajurit itupun telah berteriak “He, kenapa kau belum berbuat apa-apa?”

“Apa yang kau maksud.” bertanya Wirantana.

“Korban yang lain telah dikuburkan“ bentak pemimpin prajurit itu. Lalu katanya “Kau jangan membuat perjalanan ini semakin lambat.”

“Kami sedang membicarakan tentang penguburan paman“ jawab Wirantana berteriak pula.

“Cepat lakukan. Apalagi yang harus dipikirkan“ Pemimpin prajurit itu menjadi semakin keras...

Selanjutnya,
Mas Rara Bagian 07

Mas Rara Bagian 06

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
WIRANTANA menjadi sedikit berpengharapan ketika ia melihat sais dan pembantunya itu mampu mendesak lawannya menjauhi kereta kuda itu.

Namun yang tidak terduga-duga itupun telah terjadi. Dalam ketakutan itu, tiba-tiba saja Ki Resa yang terbaring itu telah meloncat bangkit. Dengan cepat ia berlari ke arah pedati yang berhenti di pinggir jalan itu. Sekali loncat, Ki Resa telah duduk di tempat sais. Satu hentakan telah mengejutkan kuda sang menarik pedati itu, sehingga kuda itu segera berlari.

Tetapi Ki Resa telah membawa keretanya justru berbalik ke arah padukuhan Nguter. Namun ada lebih dari sepuluh simpangan yang akan dapat dilaluinya. sebelum jalan itu memasuki padukuhan Nguter.

Tidak seorang pun menduga bahwa hal itu akan terjadi. Mas Rara yang ada di dalam pedati menjerit. Tetapi pedati yang ditarik seekor kuda itu terus berlari. Wirantana pun berteriak keras-keras dengan suara parau “Paman, paman...!"

Ki Resa berpaling pun tidak. Bahkan ia telah berdiri ditempat sais kereta itu biasanya duduk. Wirantana tidak ingin membiarkan hal itu terjadi tanpa diketahui sebab-sebabnya. Ia yang menganggap sikap pamannya agak kurang dimengerti, menjadi semakin membingungkannya. Karena itu, Wirantana segera berlari meninggalkan lawannya kearah kudanya.

Untunglah bahwa pembantu sais itu tanggap akan keadaan. Ketika lawan Wirantana mengejarnya, pembantu sais dengan cambuk di tangannya telah menyerang orang itu, sehingga orang itu tidak dapat mencegah Wirantana yang dengan kecepatan yang tinggi telah meloncat ke punggung kudanya. Sejenak kemudian, kuda itu telah berlari seperti angin mengejar Ki Resa yang telah melarikan Mas Rara.

Ternyata Ki Resa menyadari, apa yang terjadi. Sambil mengumpat ia menghentikan kereta kudanya yang tidak dapat berpacu secepat kuda Wirantana. Dengan sigap, Ki Resa meloncat turun. Pedangnya ternyata telah berayun di tangannya.

Wirantana yang melihat pamannya meloncat turun. telah menarik kekang kudanya pula. Iapun telah meloncat turun pula. “Apa artinya ini paman” teriak Wirantana.

“Aku peringatkan, jangan mencampuri persoalan ini. Sebaiknya kau tidak mengikuti aku dan Mas Rara“ geram Ki Resa.

“Aku minta paman membawa Mas Rara kembali, Mas Rara akan dibawa menghadap Raden Panji Prangpranata sebagaimana direncanakan“ minta Wirantana.

“Sekali lagi aku peringatkan. Kau tidak mempunyai kesempatan berbuat apa-apa. Aku akan membunuhmu jika kau keras kepala. Karena itu, pergilah“ suara Ki Resa gemetar.

“Aku akan mencegahnya sampai aku mendapat penjelasan yang dapat meyakinkan aku“ berkata Wirantana.

“Kau jangan terlalu sombong menghadapi aku“ berkata Ki Resa “sementara itu, orang-orang yang mencegat Mas Rara akan membunuh semua prajurit dan orang-orang yang bersama mereka”

“Jadi paman bekerjasama dengan mereka? Paman berpura-pura jatuh dan tidak bangkit lagi. Paman ternyata telah melakukan hal yang serupa sampai dua kali. Ketika rumah ayah dirampok orang, paman begitu cepat menjadi pingsan. Agaknya paman telah bekerjasama dengan mereka. Sekarang paman bekerjasama dengan orang-orang untuk mencegat Mas Rara, menculiknya dan mempergunakannya untuk memeras Raden Panji” berkata Wirantana.

Ki Resa tertawa. Suara tertawanya bergetar memenuhi udara. Bagi Wirantana, pamannya itu tiba-tiba saja telah berubah menjadi iblis yang garang. Tetapi Wirantana sama sekali tidak menjadi ketakutan. Bahkan kemarahannya justru telah meggelegak.

“Paman!“ berkata Wirantana . “Aku hormati paman sebagai orangtuaku sendiri. Tetapi dalam keadaan seperti ini, aku terpaksa melawan paman”

“Bagaimana jika orang-orang yang mencegat iring-iringan ini kemudian datang kemari, sedangkan semua prajurit dan orang-orang yang menyertai Mas Rara telah terbunuh” bertanya Ki Resa.

“Aku akan mempertaruhkan nyawaku demi kehormatan adikku. Adikku tidak akan dapat dipergunakan sebagai alat untuk memeras Raden Panji Prangpranata” geram Wirantana.

Ki Resa tidak menjawab lagi. Tetapi senjatanya mulai terjulur. Tetapi Wirantana telah mengangkat pedangnya pula. Dengan nada rendah ia berkata “Maaf paman. Aku terpaksa berani melawan paman dalam keadaan seperti ini”

Ki Resa masih juga tidak menjawab. Tetapi ia sudah meloncat menyerang dengan garangnya. Anak itu harus segera diselesaikan agar ia dengan cepat dapat menyingkirkan Mas Rara. Keduanya segera bertempur dengan sengitnya. Ternyata Ki Resa harus mengakui, bahwa Wirantana yang baru pulang dari berguru itu memiliki bekal yang semakin mapan untuk menghadapinya.

Dalam pada itu, sais dan pembantunya segera mengalami kesulitan menghadapi dua orang yang garang. Sais yang telah kehilangan kudanya itu memberi isyarat kepada kawannya untuk bertempur sambil berlari-lari. Beberapa saat kemudian, keduanya telah bergeser semakin dekat dengan arena pertempuran yang lain.

Sambil bertempur, tiba-tiba saja Manggada berteriak kepada salah seorang prajurit yang bertempur bersamanya. “Bantu kedua orang sais itu”

Seorang prajurit yang sedang bertempur itupun tanggap. Ia pun segera melompat meninggalkan arena untuk membantu kedua orang sais yang mengalami kesulitan, sehingga harus bertempur sambil berlari-lari mendekati arena pertempuran itu.

Ketika seorang diantara lawan-lawannya berusaha mencegahnya, Laksana telah meloncat menyerang sehingga prajurit itu sempat meninggalkan lawannya. Sementara Manggada telah berloncatan dengan garangnya.

Kedua sais mengucap sukur didalam hati ketika seorang prajurit datang mendekati mereka. Seorang diantara kedua lawan mereka harus menghadapi prajurit yang datang membantu itu, sehingga mereka berdua tinggal melawan seorang saja. Dengan demikian, mereka menjadi semakin berpengharapan untuk tetap hidup.

Manggada dan Laksana pun kemudian masing-masing harus melawan dua orang. Tetapi Manggada dan Laksana sama sekali tidak menjadi goyah. Keduanya mampu bertempur mengatasi kedua orang lawan masing-masing.

Bahkan ketika pertempuran itu masih juga belum ada tanda-tanda segera selesai, sementara keduanya terguncang oleh sikap Ki Resa yang sulit diketahui, Manggada dan Laksana telah menghentakkan segala kemampuannya.

Tetapi adalah diluar dugaan mereka. Kedua orang anak muda yang marah dan gelisah itu, seakan-akan telah menumpahkan segala-galanya yang dimilikinya dalam ilmu kanuragan. Gelora di dalam dada mereka, serta darah muda mereka yang mendidih, bagaikan telah mematangkan kekuatan, kemampuan dan ilmu yang tersimpan di dalam diri mereka.

Adalah mengejutkan bahwa tiba-tiba saja kekuatan mereka bagaikan berlipat. Sesuatu rasa-rasanya telah menggelegak, bergelora dan muncul dari dasar ke permukaan. Bahkan kedua anak muda itu untuk sesaat bagaikan dituntun oleh pedangnya. Namun barulah mereka sadar bahwa kemampuan ilmu pedangnyalah yang telah bergetar menggerakkan pedang itu.

Keduanya dalam saat yang gawat itu ingat apa yang pernah terjadi atas diri mereka. Mereka teringat, bagaimana seorang Ajar yang tinggal di tempat terpencil bersama seorang yang punggungnya bongkok namun berilmu sangat tinggi, memberikan bekal kepada mereka. Ki Ajar yang seakan-akan telah meningkatkan alas kemampuan ilmu mereka, sehingga dengan demikian ilmu mereka pun terangkat dalam keutuhannya dan semakin tinggi.

Ketika kedua anak muda itu berada dalam gegolak kemarahan yang memuncak, kekuatan itu telah muncul dari dasarnya, yang tersimpan didalam diri mereka, sehingga baik Manggada maupun Laksana telah menjadi semakin garang.

Karena itulah, kedua lawan masing-masing menjadi sangat terkejut ketika tiba-tiba saja senjata mereka bersentuhan. Kekuatan kedua anak muda itu benar-benar bagaikan berlipat.

Dua orang yang bertempur melawan Manggada telah bergeser menebar untuk mengambil tempat yang lapang. Mereka berusaha untuk meyakinkan diri bahwa mereka adalah orang-orang yang ditakuti, serta memang memiliki kekuatan dan kemampuan yang bisa mendukung kegarangan mereka.

Tetapi Manggada yang marah, yang menghentakkan segenap kemampuan didalam diri mereka, justru bagaikan mendapat kesempatan untuk menguji ilmunya. Dalam pertempuran yang berkembang selanjutnya, kedua lawan Manggada benar-benar menjadi heran. Dua orang anak yang masih terhitung muda itu, ternyata telah memiliki ilmu yang tidak dapat mereka jangkau sama sekali.

Perlahan-lahan tetapi pasti, kedua orang itu telah terdesak. Bahkan ketika seorang diantara keduanya menjadi marah pula, dan mencoba menghantam Manggada dengan pedangnya yang dilambari segenap kekuatannya, orang itu akhirnya menyesal. Benturan yang sangat keras telah terjadi. Manggada tidak berusaha untuk menghindar. Namun ia telah menangkis serangan itu. Rasa-rasanya Manggada ingin menjajagi kemampuan sendiri yang masih baru saja dikenalinya dengan baik.

Lawannya benar-benar terkejut. Benturan itu telah menggetarkan pedangnya. Telapak tangannya terasa menjadi sangat panas. Bahkan rasa-asanya kulitnya akan terkelupas. Sebelum ia sempat memperbaiki keadaan tangannya, terasa pedang Manggada berputar. Pedangnya sendiri tiba-tiba bagaikan telah hanyut dihisap oleh putaran pedang anak muda itu. Satu hentakkan telah melemparkan pedang orang itu sehingga jatuh beberapa langkah dari padanya.

Dalam keadaan yang gawat itu, kawannya telah meloncat menyerang Manggada dengan garangnya. Sabetan pedang yang terayun deras langsung mengarah ke leher anak muda itu.

Tetapi Manggada sempat melihat serangan itu. Dengan tangkas ia telah merendahkan dirinya. Begitu ayunan pedang itu meluncur diatas kepalanya, pedang Manggada pun telah terjulur langsung menusuk dada lawannya.

Terdengar erang kesakitan. Namun ketika kemudian Manggada menarik pedangnya, orang itu terhuyung-huyung roboh. Ternyata sentuhan ujung pedang Manggada telah menggapai jantungnya, sehingga orang itu tidak sempat berbuat sesuatu. Tarikan nafas yang panjang, telah mengakhiri hidupnya.

Sementara itu, kawannya yang telah kehilangan senjatanya tidak sempat berbuat banyak. Ketika ia melihat kawannya tertusuk pedang dadanya, ia berusaha melarikan diri. Tetapi sebelum ia sempat meloncat menjauh, Manggada dengan cepat telah bangkit. Ternyata kemarahannya yang memuncak telah membuat darahnya bagaikan menggelegak. Dengan derasnya, Manggada telah mengayunkan pedangnya dengan satu tebasan mendatar.

Ujung pedang Manggada ternyata telah mengoyak dada lawannya itu menyilang. Dengan demikian, lawannya itupun telah terdorong dan bahkan kemudian terlempar jatuh terlentang. Darah bagaikan memancar dari luka itu demikian derasnya, sehingga orang itu tidak lagi mempunyai kesempatan untuk bangkit kembali.

Pada saat yang demikian, Laksana pun telah mendesak lawan-lawannya. Seorang diantara kedua lawannya ternyata mampu bergerak cepat sekali, sehingga sesekali Laksana harus bergeser mundur.

Sementara itu, Manggada meloncat meninggalkan arena menuju ke tempat kedua orang sais yang juga tengah bertempur sambil berteriak pada Laksana yang masih bertempur dengan sengitnya “Selesaikan lawan-lawanmu. Bantu para prajurit di bukit. Aku akan mengurus Ki Resa yang aneh itu”

Laksana tidak menjawab. Sementara Manggada berlari dengan cepat. Ketika ia sempat mendekati sais dan pembantunya yang sedang bertempur, ia mengayunkan pedangnya. Segores luka telah menyilang di punggung orang yang bertempur melawan kedua orang sais dan pembantunya yang kurang memiliki kemampuan itu. Untunglah bahwa seorang diantaranya pandai bermain cambuk, sehingga sempat menyulitkan lawannya. Tetapi lawannya itu kemudian tidak berdaya lagi, terbaring diatas rerumputan kering.

Ketika Manggada kemudian meloncat kepunggung kudanya, sais dan pembantunya segera membantu prajurit yang tadi membantunya. Seorang yang harus bertempur melawan tiga orang itupun tidak mampu berlahan terlalu lama. Iapun segera terdesak.

Sementara itu, Manggada telah berpacu menyusul Wirantana yang masih bertempur melawan Ki Resa. Meskipun kemampuan Wirantana sudah meningkat jauh setelah ia pergi berguru, tetapi Ki Resa yang disebut pembunuh harimau itu ternyata tidak mudah dikalahkannya. Bahkan perlahan-lahan Ki Resa telah mampu mendesak Wirantana. Meskipun dasar ilmu Wirantana cukup tinggi, tetapi anak muda itu masih belum cukup berpengalaman untuk menghadapi pamannya yang garang dan keras itu.

Bahkan Ki Resa masih sekali lagi memperingatkannya “Wirantana. Jika kau tidak mau pergi, aku benar-benar akan membunuhmu”

Wirantana menggeram. Katanya “Paman jangan bermimpi buruk seperti itu. Seharusnya paman cepat bangun dan menyadari apa yang telah paman lakukan”

Ki Resa menggeram. Dengan garang ia berkata “Jika demikian, kau akan mati. Aku akan membawa Mas Rara sejauh-jauhnya tanpa dapat diketahui oleh siapapun”

Wirantana tidak menjawab. Ia telah menyerang dengan cepatnya. Namun Ki Resa memang memiliki kemampuan yang tinggi. Pada saat yang demikian, Mas Rara sudah turun dari pedatinya. Ia memang menjadi ketakutan melihat pertempuran itu. Iapun tidak mampu berbuat sesuatu selain menjadi gemetar.

Ketika Mas Rara berniat untuk melarikan diri dari pertempuran antara kakaknya dan pamannya, kakinya rasa-rasanya menjadi sangat berat. Ia tidak sampai hati meninggalkan kakaknya dalam kesulitan. Tetapi iapun tidak mau jatuh ketangan pamannya yang kasar dan garang itu.

Pada saat yang demikian, seekor kuda dengan penunggangnya telah berlari mendekat. Mas Rara pun segera melihat bahwa penunggang kuda itu adalah anak muda yang telah menolongnya ketika ia hampir saja diterkam oleh seekor harimau. Karena itu, harapannya telah berkembang. Kuda itu berpacu sangat cepat, sehingga sejenak kemudian Manggada telah meloncat turun dan langsung berlari ke arena.

“Setan kau“ geram Ki Resa yang serba sedikit mengetahui kemampuan anak muda itu.

Manggada tidak menyahut sama sekali. Ia segera menempatkan diri di sebelah Wirantana yang meloncat surut mengambil jarak dari pamannya yang kehilangan akal itu.

“Ki Resa“ tiba-tiba Manggada berdesis “kami ingin Ki Resa mempertanggung-jawabkan langkah-langkah yang kau ambil.”

Tetapi Ki Resa menggeram “Kalian akan mati bersama-sama”

Tidak ada lagi pembicaraan. Manggada dan Wirantana telah bersiap untuk bertempur melawan Ki Resa yang garang itu. Tetapi Ki Resa sudah berada ditengah arus. Apakah ia akan kembali atau berlanjut, tidak akan banyak bedanya. Ia harus menempuh tekanan yang sangat berat. Kedua orang anak muda itu memiliki bekal yang cukup untuk mengatasinya. Namun Ki Resa harus menghadapinya.

Sementara Mas Rara telah menjadi semakin jauh daripadanya. Ketika Ki Resa sekali menengok kearah Mas Rara, maka Wirantana segera tanggap akan niatnya. Iapun telah meloncat dan berdiri diantara Ki Resa dengan adiknya itu. Ki Resa mengumpat kasar.

Sementara itu Manggada sempat juga bertanya “Apakah sebenarnya maksud Ki Resa terhadap Mas Rara?”

“Persetan, apa pedulimu“ geram Ki Resa.

“Jangan sampai terjadi salah paham. Tetapi agaknya Ki Resa berniat buruk terhadap Mas Rara. Justru karena Ki Resa telah berpura-pura pingsan” berkata Manggada pula.

“Tutup mulutmu. Bersiaplah untuk mati“ suara Ki Resa bergetar oleh kemarahan yang menggelegak di dadanya.

Manggada tidak bertanya lagi. Dari arah yang berbeda, Manggada dan Wirantana kemudian telah mendekati Ki Resa. Sejenak kemudian, merekapun telah terlibat lagi dalam pertempuran yang sengit. Tetapi Wirantana tidak sendiri. Ia bertempur bersama Manggada yang justru telah mampu mengangkat kekuatan yang semula masih tersembunyi di bawah permukaan.

Sementara itu, Laksanapun menjadi semakin garang. Dua orang lawannya telah tidak berdaya. Keduanya telah terluka di tubuh mereka. Seorang terluka di lambung, sedangkan yang lain dilsisi bagian dadanya. Namun luka mereka cukup dalam, sehingga mereka tidak mampu lagi meneruskan pertempuran.

Seorang lagi yang bertempur melawan prajurit yang mengawal Mas Rara yang dikirim oleh Raden Panji Prangpranata itupun telah kehilangan keberanian, sehingga dengan serta merta telah melarikan diri ke bukit. Ia berharap bahwa kawan-kawannya yang bertempur di bukit akan dapat menguasai keadaan.

Sebenarnya pertempuran di bukit masih berlangsung dengan sengitnya. Ternyata kekuatan mereka justru seim-bang. Pemimpin prajurit yang mengawal Mas Rara tidak dapat meninggalkan prajurit-prajuritnya yang mengalami pertempuran yang sengit, sehingga ia benar-benar mempercayakan Mas Rara kepada Ki Resa serta kakak gadis itu, Wirantana.

Demikian sengitnya pertempuran itu, sehingga pemimpin prajurit itu tidak tahu apa yang telah terjadi dengan Mas Rara. Namun Laksana dan seorang prajurit yang kehilangan lawannya itu telah menuju ke bukit pula. Prajurit itu telah mengejar lawannya yang justru juga telah berlari ke bukit itu.

Ketika orang yang dikejar oleh prajurit itu mampu mencapai bukit, maka kawan-kawannya telah menyambutnya dengan harapan. Meskipun hanya seorang, tetapi mereka berharap bahwa yang seorang itu akan dapat mempengaruhi keadaan yang seimbang itu.

Namun kemudian seorang prajurit ternyata telah menyusul. Bahkan kemudian seorang anak muda. Kehadiran Laksana tidak banyak mendapat perhatian. Orang-orang yang bertempur di bukit memang tidak begitu memperhatikannya. Bahkan ketika Laksana berhasil mengalahkan lawan-lawannya. Namun orang yang baru saja melarikan diri dari pertempuran di ngarai itu berteriak.

“Hati-hati. Anak itu sangat berbahaya”

Pemimpin prajurit yang bertempur dengan segenap kemampuannya itupun melihat kehadiran Laksana. la memang heran, kenapa Laksana tidak datang bersama Manggada. Biasanya keduanya tidak pernah berpisah. Karena itu, ketika Laksana berada tidak jauh daripadanya, iapun bertanya “Dimana saudaramu”

“Ia berada bersama Mas Rara“ jawab Laksana.

Pemimpin prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata saudara anak muda itu tidak berada dalam keadaan yang gawat. Di bukit, Laksana langsung melibatkan diri kedalam pertempuran. Ia memang tidak terbiasa bertempur dalam satu kesatuan sebagaimana para prajurit yang meskipun dalam kelompok yang paling kecil yang terdiri dari dua atau tiga orang, mereka mampu menunjukkan kerjasama yang baik. Saling mengisi dan yang satu tanggap atas sikap yang lain.

Karena itu, untuk melawan yang jumlahnya lebih banyak, para prajurit itu tidak membebani satu atau dua orang yang harus bertempur melawan lawan yang rangkap. Mereka seakan-akan bergantian menghadapi kelebihan jumlah lawan itu.

Tetapi Laksana tidak merasa perlu berbuat demikian. Ia bertempur melawan orang yang terdekat dengannya. Bahkan jika dua orang sekaligus, maka ia akan menghadapinya sendiri.

Para prajurit yang menyadari cara anak muda itu bertempur, sama sekali tidak langsung mengganggunya. Namun prajurit yang ada didekatnya, selalu mengawasinya. Jika anak muda itu berada dalam kesulitan, maka prajurit yang terdekat harus berusaha mempengaruhi medan.

Dalam waktu yang pendek, Laksana ternyata telah mendapat dua orang lawan, justru karena seorang yang berteriak tentang kemampuannya itu. Namun Laksana sama sekali tidak gentar. Meskipun sebelumnya ia telah mengerahkan tenaganya, namun kedua orang lawannya itupun sudah bertempur pula sebelumnya.

Beberapa saat kemudian, maka Laksana telah bertempur dengan garangnya. Kedua orang lawannya segera mengakui, bahwa anak muda itu benar-benar memiliki ilmu yang tinggi. Sementara itu Laksana yang menghentakkan segenap kekuatan yang ada didalam dirinya, telah mengungkit pula landasan kekuatan yang pernah diwarisinya dari Ki Ajar.

Dalam waktu yang tidak terlalu lama, ternyata kedua lawan Laksana itu sudah mulai bergeser surut. Mereka merasa betapa senjata anak muda itu sangat berbahaya bagi mereka. Beberapa kali desing senjata ibu bagaikan telah menyentuh telinga mereka.

Pemimpin orang-orang yang mencegat iring-iringan Mas Rara itu memang menjadi tidak telaten. Dengan marah ia berteriak ”Cepat, selesaikan mereka. Kita tidak mempunyai waktu banyak. Kita harus segera meninggalkan tempat ini. Lihat, waktu telah berjalan terlalu cepat. Bunga itu tentu sudah dipetik sekarang. Mas Rara tentu sudah dikuasainya”

Kata-kata itu benar-benar mengejutkan semua prajurit yang mendengarnya. Terutama pemimpinnya. Karena itu, maka ia menjadi sangat marah. Sejalan dengan itu, ia merasa sangat menyesal, bahwa ia tidak berada didekat Mas Rara.

“Tetapi aku percaya kepada pamannya, kakaknya dan kedua orang anak muda itu” berkata pemimpin prajurit itu didalam hatinya.

Namun dalam pada itu, iapun telah meneriakkan aba-aba yang garang “Hancurkan para perampok sampai orang yang terakhir. Sisakan satu dua orang saja akan kita peras sampai darahnya kering jika Mas Rara benar-benar hilang”

“Cepat, bunuh semua orang“ pemimpin perampok itu berteriak. la masih ingin mempengaruhi agar para prajurit menjadi gelisah. Katanya “Sebenarnya sasaran kita sudah tercapai sampai disini. Seandainya kita tinggalkan tempat ini, kita sudah tidak akan dirugikan apapun lagi”

“Jangan seorangpun lolos dari tempat ini“ teriak pemimpin prajurit itu.

Tetapi pemimpin perampok itu tertawa. Katanya “Kalian tidak akan dapat berbuat apa-apa. Jika Mas Rara sudah kami kuasai, maka kalian harus meletakkan senjata, membungkuk dihadapan kami dan membiarkan leher kalian ditebas hingga kepala kalian terlepas”

“Tidak benar“ teriak Laksana “kakang Manggada dan Wirantana tetap menguasai Mas Rara”

Pemimpin perampok itu termangu-mangu. Tetapi iapun segera berteriak “Ki Resa akan menyelesaikan segala-galanya”

Sekali lagi para prajurit itu terkejut. Sementara itu, pemimpin perampok itu tertawa sambil berkata lantang “Kalian telah dipermainkan oleh Ki Resa. Sekarang Mas Rara tentu sudah dikuasai Ki Resa. Jika kalian tidak menyerah, maka Mas Rara tidak akan pernah kalian ketemukan. Tetapi jika kalian menyerah dan memberikan leher kalian, maka kami masih berpikir untuk mengembalikan Mas Rara kepada satu dua orang diantara kalian”

Kata-kata itu telah menimbulkan ketegangan dihati para prajurit yang mendapat tugas untuk mengambil Mas Rara. Mereka sama sekali tidak mengira, bahwa pamannya sendiri telah berniat buruk.

Dengan nada kebingungan pemimpin prajurit itu bertanya “Apakah Ki Resa menginginkan tebusan”

“Ketahuilah, Ki Resa sudah beberapa lama menaruh hati kepada gadis itu. Karena itu, maka ia berusaha menggagalkan usaha kalian membawa Mas Rara kepada Raden Panji” berkata pemimpin perampok itu Namun katanya kemudian “Tetapi jika Raden Panji bersedia memberi tebusan jauh lebih besar dari upah yang kami terima dari Ki Resa, maka kami akan mengambil gadis itu dari tangan Ki Resa dengan perjanjian tersendiri. Kamilah yang akan membunuh Ki Resa”

“Kalian memang iblis“ geram pemimpin prajurit yang menjadi bingung karena kata-kata pemimpin perampok yang simpang siur itu.

Namun Laksana tiba-tiba telah menjelaskan “Jangan hiraukan mereka. Mas Rara dan Ki Resa, kedua-duanya telah dikuasai oleh kakang Manggada, Wirantana, seorang prajurit yang masih ada disana dan sais pedati serta pembantunya. Ki Resa sudah tidak berdaya, sementara Mas Rara dalam keadaan baik”

“Omong kosong“ teriak pemimpin perampok itu.

Laksana yang marah itu memang memperhitungkan, bahwa orang itu adalah pemimpin perampok yang telah mencegat perjalanan para prajurit yang menjemput Mas Rara. Karena itu, maka Laksana telah melepaskan lawannya dan langsung berlari menuju ke pemimpin perampok yang berteriak-teriak itu.

Sambil berlari Laksana berkata “Aku sudah tahu segala-galanya tentang Ki Resa dan tentang kalian. Tetapi ternyata kalian lebih rakus dari Ki Resa yang berbuat bagi kepentingan satu keinginan yang menurut keyakinannya akan baik baginya. Tetapi kalian adalah ular berkepala rangkap sehingga kalian berusaha menggigit kesana kemari. Karena itu, maka hukuman bagi kalian adalah dengan memenggal semua kepala yang melekat ditubuh”

Pemimpin prajurit yang menjemput Mas Rara itu masih termangu-mangu sejenak. Ia memang belum yakin terhadap apa yang dikatakan baik oleh pemimpin perampok itu maupun yang dikatakan oleh Laksana.

Tetapi sejenak kemudian Laksana benar-benar telah menyerang pemimpin perampok itu sambil berteriak “Jangan seorangpun dibiarkan lolos”

Pertempuranpun telah menjadi semakin sengit. Dilereng bukit kecil itu, dentang senjata beradu mengumandang diantara teriakan-teriakan marah orang-orang yang sedang bertempur. Tetapi sekali-sekali terdengar juga jerit ngeri dari orang yang tertusuk senjata dilambungnya dan jatuh terguling dari bibir batu padas ke batu dibawahnya.

Para perampok itu memang menjadi semakin garang bahkan menjadi liar. Namun Laksana dan para prajurit yang telah basah oleh keringat itupun bertempur semakin cepat dan keras pula.

Laksana yang telah mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuannya dengan landasan kekuatan yang mendasari ilmunya, telah mengejutkan pemimpin perampok itu. Pedangnya berputaran semakin cepat. Sekali-sekali menebas mendatar, kemudiun terayun menyilang. Ketika pemimpin perampok itu bergeser surut, maka ujung pedang itu mematuk seperti kepala seekor ular bandotan.

Semakin lama pemimpin perampok itu menjadi semakin bingung menghadapi anak muda itu, sehingga akhirnya iapun memberi isyarat kepada seorang pengikutnya. Dengan serta merta pengikutnya itupun telah meloncat mendekatinya dan langsung melibatkan diri melawan Laksana yang bagaikan banteng ketaton.

Laksana memang terdesak surut beberapa langkah. Tetapi ia sekedar mengambil ancang-ancang serta untuk mengamati lawannya yang baru. Namun kemudian serangannyapun telah membadai pula. Demikian pula para prajurit yang marah. Pemimpin prajurit itu sekali lagi berteriak “Jangan biarkan seorangpun lolos”

Pemimpin perampok itu masih juga berteriak “Mas Rara akan mati ditangan kami”

“Omong kosong“ Laksanalah yang menjawab “jangan hiraukan. Aku bertanggung jawab atas keteranganku. Mas Rara selamat”

Benturan senjatapun menjadi semakin garang. Para prajurit memang telah menebar, seakan-akan mengepung arena pertempuran itu. Perlahan-lahan jumlah para prajurit menjadi semakin lebih banyak dari para perampok yang satu-satu kehilangan kesempatan untuk melawan.

Sementara itu, Manggada dan Wirantana masih bertempur melawan Ki Resa yang jantungnya bagaikan terbakar oleh kemarahannya. Ternyata rencananya tidak berjalan selancar yang diinginkannya. Tetapi memang tidak ada jalan kembali bagi Ki Resa. Dengan demikian maka ia harus bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya.

Namun kedua orang anak muda itu benar-benar telah mendesak Ki Resa sehingga beberapa langkah ia terdorong surut. Senjata kedua anak muda itu bagaikan mengelilingi tubuhnya dan sekali-sekali menyentuh bajunya. Anak-anak muda itu mampu bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi, sehingga Ki Resa itu menjadi semakin kesulitan menghindari serangan-serangan senjata mereka.

“Paman“ geram Wirantana kemudian “menyerahlah. Kita akan berbicara.

“Iblis kau“ teriak Ki Resa sambil menyerang dengan garang.

Tetapi Wirantana sempat meloncat surut. Sementara Manggada justru menjulurkan senjatanya menggapai kearah punggung. Ki Resa menggeliat. Namun Manggada yang telah berhasil mengangkat landasan kemampuannya itu benar-benar merupakan kekuatan yang sulit untuk dilawan. Ki Resa memang berhasil menggeliat menghindari ujung pedang Manggada. Tetapi ujung pedang itupun telah berputar pula langsung menebas kesamping.

Ki Resa harus meloncat surut menghindari kejaran ujung pedang Manggada. Namun tiba-tiba saja Ki Resa berteriak sambil mengumpat kasar. Dengan serta merta Ki Resa melenting tinggi berputar diudara dan berdiri tegak beberapa langkah dari Manggada dan Wirantana.

Tetapi lengan Ki Resa telah tergores ujung senjata Wirantana meskipun tidak begitu dalam. Ternyata ketika ujung pedang Wirantana hampir mengoyak lengan pamannya, dengan kekuatan naluriah, Wirantana justru menahan ayunan pedangnya sehingga yang terjadi hanyalah satu goresan yang tidak dalam di lengan pamannya. Meskipun demikian, darah mulai menitik dari tubuh Ki Resa yang dijuluki Pembunuh Harimau itu.

“Paman“ desis Wirantana sambil berdiri termangu-mangu.

“Kau sudah melukai lenganku anak iblis“ geram Ki Resa.

“Kita dapat berbicara dengan baik“ sahut Manggada.

Tetapi Ki Resa tidak menghiraukannya. Tiba-tiba saja ia sudah meloncat menyerang lagi dengan garangnya. Pertempuran telah berlangsung lagi semakin sengit. Ki Resa benar-benar telah sampai kepuncak kemampuannya. Namun setiap kali ia membentur kekuatan dan kemampuan Manggada yang harus diakuinya sebagai satu kenyataan berada diatas kekuatan dan kemampuannya. Sementara itu Wirantana yang baru saja meninggalkan perguruannya telah memiliki bekal yang tinggi pula.

Dalam keadaan yang kalut, maka Ki Resa seakan-akan menjadi tidak menghiraukan lagi apa yang akan terjadi atas dirinya. Dengan sisa tenaga dan puncak kemampuannya ia telah mengamuk sejadi-jadinya.

Mas Rara yang menyaksikan pertempuran itu dengan jantung yang berdentangan. Memang sudah agak lama ia merasakan keanehan sikap pamannya kepadanya. Tetapi ia tidak mengerti arti dari keanehan sikap itu. Bahkan sampai saatnya ia menyaksikan pertempuran yang membuatnya hampir kehilangan akal itu, ia tidak tahu pasti apa yang sebenarnya dikehendaki oleh pamannya itu.

Tetapi bagi Wirantana dan Manggada, sikap Ki Resa tentu sikap yang tidak sewajarnya. Bahkan tentu berniat buruk, apalagi dengan bekerja sama dengan para perampok yang telah mencegat perjalanan Mas Rara ke rumah bakal suaminya, Raden Panji Prangpranata.

Namun bagaimanapun juga, Mas Rara benar-benar telah terguncang hatinya menyaksikan pertempuran antara pamannya dan kakaknya itu. Pamannya yang dihormatinya sebagaimana orang tuanya sendiri. Apalagi ketika ia melihat bahwa darah telah membasahi pakaian pamannya itu.

Namun ternyata bahwa Ki Resa sama sekali sudah tidak terkendali lagi. Ketika dengan garangnya ia meloncat menyerang Manggada, maka Manggada sempat bergeser kesamping. Tetapi Ki Resa tidak melepaskannya, ia justru telah berputar dan menyerang sekali lagi.

Tetapi seperti Wirantana, ternyata Manggada masih merasa ragu. Ketika terasa ujung pedangnya menyentuh lambung Ki Resa, maka Manggada justru telah menarik pedangnya. Meskipun demikian, ujung pedangnya memang telah melukai lambung Ki Resa. Kulitnya telah tergores pula dan darahpun telah mengalir dari luka itu.

Ketika Ki Resa bergeser mundur, Manggada sempat pula berkata “Ki Resa, bangunlah dari mimpi burukmu. Masih ada kesempatan untuk berbicara”

Tetapi Manggada terkejut. Justru saat ia berbicara, Ki Resa meloncat menyerangnya. Manggada masih sempat mengelak. Namun Ki Resa telah memburunya seperti orang yang benar-benar telah kehilangan akal. Beberapa langkah Manggada masih juga bergeser surut sambil berusaha menangkis setiap serangan. Sementara itu Wirantanalah yang telah menyerang Ki Resa yang sedang membabi buta itu.

Ki Resa seakan-akan tidak menghiraukan serangan itu. Ujung pedang Wirantana memang telah menempel ke pundak Ki Resa, tetapi Ki Resa sama sekali tidak menghiraukannya. Baru ketika Manggada meloncat mengambil jarak, Ki Resa telah berpaling dan memburu Wirantana.

Satu serangan yang keras telah memaksa Wirantana juga berloncatan surut. Namun ketika Wirantana benar-benar terdesak, bukan karena kemampuan Ki Resa, tetapi pengaruh hubungan keluarga yang masih sulit disingkirkan oleh Wirantana. maka Manggada tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun telah menyerang Ki Resa dengan uluran pedangnya.

Ki Resa yang berusaha mengelak, justru masuk ke garis ayunan pedang Wirantana. Karena itu, maka sebuah goresan telah menyilang dipunggung pamannya itu. Ki Resa menggeram. Ia tidak dapat lagi menahan perasaan pedih dari luka-luka ditubuhnya. Luka dilengannya, dilambungnya dan kemudian di punggungnya, terasa bagaikan disengat api. Apalagi ketika keringatnya mengalir membasahi luka-lukanya.

Wirantana masih juga sekali lagi berusaha menyadarkan pamannya itu. Katanya betapapun terdengar nada keraguan “Paman. Apakah paman benar-benar tidak mau melihat kenyataan ini”

“Tutup mulutmu tikus kecil“ bentak Ki Resa yang justru meloncat menyerang.

Wirantana benar-benar kehilangan kesadarannya. Sambil mengelak, iapun telah berputar sambil mengayunkan pedangnya. Ki Resa tidak berusaha untuk menghindar. Tetapi ia berusaha menangkis serangan itu dengan sekuat tenaganya.

Namun Ki Resa memang sudah mulai letih. Tangannya terasa menjadi pedih. Sementara itu, Manggada telah mengacukan senjatanya pula. Satu lagi goresan telah melukai pundaknya. Namun Ki Resa benar-benar telah menjadi gila. Darah telah membasahi seluruh tubuhnya. Namun ia sama sekali tidak berniat untuk menghentikan perlawanannya.

Mas Rara pun telah berpaling. Bagaimanapun juga, ia tidak sampai hati melihat seluruh pakaian pamannya basah oleh darahnya. Beberapa saat kemudian, Mas Rara justru mendengar kakaknya memanggil-manggil. “Paman. Paman”

Diluar sadarnya, Mas Rara berpaling kembali kearah pamannya. Namun ia terkejut. Dilihatnya pamannya terbaring diam, sementara Wirantana dan Manggada berjongkok di sebelahnya.

“Paman. Paman“ Wirantana mengguncang tubuh pamannya.

Ki Resa membuka matanya. Tetapi darah sudah terlalu banyak mengalir dari lukanya. Dalam keadaan yang gawat itu Ki Resa berdesis “Dimana Mas Rara?”

“Ada disini paman.“ desis Wirantana.

Mas Rara memang sudah berdiri di belakang kakaknya. Ia masih agak ketakutan menghadapi sikap pamannya yang tidak dimengertinya.

“Wirantana“ berkata Ki Resa dengan suara yang dalam “sudah lama aku menginginkannya. Diam-diam aku mencintainya”

“Tetapi tidak mungkin paman. Mas Rara adalah kemanakan paman sendiri. Bukankah paman adik ayah” bertanya Wirantana.

Ki Resa tidak menjawab. Nafasnya semakin memburu.

“Sudahlah“ berkata Wirantana “kita bawa paman ke padukuhan terdekat. Mungkin ada seorang tabib yang dapat mengobatinya”

Ki Resa menjadi semakin lemah. Disela-sela bibirnya terdengar desis perlahan “Ayahmu, ayahmu... Aku mohon maaf...“ suara Ki Resa bagaikan tersumbat dikerongkongan.

“Kita angkat paman ke dalam pedati” berkata Wirantana.

Tetapi ternyata semuanya tidak berarti lagi. Darah yang mengalir terlalu banyak itu telah membuatnya terlalu lemah dan tidak mampu lagi bertahan untuk tetap hidup. Karena itu, ketika Wirantana akan mengangkatnya bersama Manggada, maka Wirantanapun menarik nafas sambil berdesis “Kita terlambat Manggada”

Tubuh itu tidak jadi diangkat. Wirantanapun kemudian berdiri dengan kepala tunduk.

“Kita telah membunuhnya“ desis anak muda itu.

“Aku mohon maaf Wirantana“ desis Manggada.

“Kau tidak bersalah Manggada. Paman memang bersalah“ jawab Wirantana.

Namun merekapun berpaling ketika mereka mendengar isak tangis Mas Rara. Wirantana mendekati adiknya sambil berdesis “Sudahlah Mas Rara. Kita tidak berniat melakukannya. Beberapa kali aku sudah memberikan peringatan. Tetapi paman benar-benar sudah kehilangan penalarannya. Mungkin paman merasa bahwa kematian adalah jalan yang paling baik untuk menghindari pertanggung-jawaban dari langkah yang telah diambilnya. Ia tidak sekedar main-main. Ia telah mengerahkan sekelompok orang untuk mencegat iring-iringan ini. Tentu ada korban diantara para prajurit”

Mas Rara menutup wajahnya. Sementara Wirantanapun kemudian membimbingnya kembali ke pedatinya.

“Naiklah. Kita akan kembali ketempat kita berhenti“ berkata Wirantana.

“Bagaimana dengan paman” bertanya Mas Rara.

“Aku akan membawanya, Paman akan aku tompangkan diatas punggung kuda” jawab Wirantana.

Sejenak kemudian, maka Manggada telah mengendalikan kereta kuda itu. Diikatnya kudanya dibelakang kereta. Sementara itu Wirantana duduk diatas punggung kudanya sambil membawa tubuh pamannya.

Sementara itu pertempuran di bukitpun telah menjadi semakin reda. Perlawanan para perampok sudah tidak banyak berarti lagi. Mereka memang tidak sempat melarikan diri, karena para prajurit telah berusaha mengepungnya. Sehingga beberapa saat kemudian maka pertempuran pun telah berakhir.

Pemimpin prajurit yang mengawal Mas Rara segera mengatur orang-orangnya. Kemarahan masih memancar di wajahnya. Apalagi ternyata sogores luka telah menyilang dipunggungnya. Untunglah bahwa luka itu tidak dalam. sehingga obat yang dibawanya dapat membuatnya untuk sementara memampatkan luka-lukanya.

Pemimpin perampok itupun kemudian harus melihat kenyataan. Dibawah bukit kecil itu, semuanya telah berkumpul. Para perampok yang bekerja bagi kepentingan Ki Resa itu akan menjadi tawanan dan dibawa menghadap Raden Panji Prangpranata. Namun orang yang bertanggung jawab atas peristiwa itu telah terbunuh, Ki Resa.

Ternyata beberapa orang prajurit memang telah terluka. Dua orang diantaranya parah. Sementara itu, tiga orang perampok telah terbunuh. Sedangkan beberapa orang yang lain telah terluka pula.

“Perjalanan masih cukup jauh“ berkata pemimpin prajurit itu ”Mereka membuat kepalaku menjadi bagaikan pecah. Sebenarnya aku ingin membunuh mereka semua, sehingga tidak akan menjadi beban diperjalanan”

Tetapi pemimpin prajurit itu tidak dapat melakukannya. Ia tidak dapat membunuh orang-orang yang sudah tidak berdaya betapapun darahnya bagaikan mendidih.

Ternyata perjalanan Mas Rara benar-benar terlambat. Bukan saja karena pertempuran itu, tetapi mereka harus menunggu para perampok itu menguburkan kawan-kawannya. Sementara itu Wirantana dan Manggadapun tengah berbicara dengan Laksana dan Mas Rara. Apa yang harus mereka lakukan dengan Ki Resa.

“Apakah kita akan menguburkannya bersama-sama dengan para penjahat” desis Mas Rara “kita bawa paman pulang. Kita serahkan kepada ayah dan ibu”

“Tetapi perjalanan kita sudah cukup jauh. Apakah kita harus kembali” bertanya Manggada.

"Tetapi paman tidak dapat dikubur bersama para penjahat itu“ Mas Rara mulai menangis lagi.

“Tetapi apakah kita dapat kembali” bertanya Wirantana.

Ketika mereka berpaling kepada pemimpin prajurit yang sedang sibuk sambil membentak-bentak marah, maka mereka menjadi ragu untuk menyampaikan kepadanya, bahwa mereka ingin membawa Ki Resa kembali.

Tetapi Manggada kemudian mengusulkan “Aku dan Laksana akan membawanya pulang. Kalian akan meneruskan perjalanan menghadap Raden Panji Prangpranata.”

Wirantana termangu-mangu sejenak. Tetapi kemudian ia berkata “Aku merasa ragu. Apakah ayah dan ibu akan dapat mengerti. Atau bahkan mungkin akan dapat timbul salah paham.”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sementara Wirantana berkata “Aku akan membawa paman kembali.”

“Jangan“ potong Mas Rara “Aku takut berjalan sendiri...”

“Manggada dan Laksana akan menemanimu!“ berkata Wirantana.

“Aku tidak mau...!“ jawab Mas Rara.

Wirantana memang menjadi bingung. Sementara itu pemimpin prajurit itupun telah berteriak “He, kenapa kau belum berbuat apa-apa?”

“Apa yang kau maksud.” bertanya Wirantana.

“Korban yang lain telah dikuburkan“ bentak pemimpin prajurit itu. Lalu katanya “Kau jangan membuat perjalanan ini semakin lambat.”

“Kami sedang membicarakan tentang penguburan paman“ jawab Wirantana berteriak pula.

“Cepat lakukan. Apalagi yang harus dipikirkan“ Pemimpin prajurit itu menjadi semakin keras...

Selanjutnya,
Mas Rara Bagian 07