Mas Rara Bagian 05 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
SEMENTARA, iring-iringan itu telah mendekati regol halaman rumah Ki Partija yang sudah mengetahui akan kedatangan iring-iringan itu. Karena itu, bersama beberapa orang tua, bahkan Ki Bekel pedukuhan Nguter, serta dua utusan yang terdahulu, Ki Partija Wirasentana menyambut iring-iringan yang datang itu di regol halaman rumahnya.

Sejenak kemudian, maka para tamu itu telah berada di pendapa induk di atas tikar pandan yang putih. Sementara beberapa orang pembantu di rumah Ki Partija telah menerima kuda-kuda para tamu dan menambatkannya di patok-patok yang sudah tersedia.

Selelah masing-masing pihak saling menyatakan keselamatan mereka, maka orang tertua dari utusan Raden Panji Prungpranata itupun telah menyampaikan pesan serta tugas kedatangan mereka ke rumah Ki Partija Wirasentana itu.

Memang bukan satu hal yang baru, karena masing-masing pihak telah mengetahui kepentingan kedatangan utusan itu. Ki Bekellah yang mewakili Ki Partija Wirasentana menerima utusun itu dan menerima pesan-pesannya. Kemudian atas nama Ki Partija Wirasentana mengucapkan terimakasih atas perkenan Raden Panji Prangpranata untuk menjemput anak gadisnya.

Sementara itu, Ki Resa pun telah berada pula diantara mereka. Dengan sikap yang sangat ramah ia ikut serta memberikan beberapa keterangan tentang Mas Rara dan keadaannya. Ketika pembicaraan mereka sampai pada keberangkatan Mas Rara esok ke rumah Raden Panji, maka pada kesempatan itulah Ki Partija Wirasentana menceriterakan bahwa telah terjadi usaha perampokan di rumah itu.

Para utusan itu terkejut. Demikian pula utusan yang telah datang sebelumnya. Bahwa dengan serta merta kedua utusan itu bertanya hampir berbareng “Kenapa Ki Partija tidak pernah mengatakannya sebelumnya?”

“Aku memang menunggu sampai semuanya hadir.“ jawab Ki Partija Wirasentana, “Dengan demikian, maka kita akan dapat membicarakannya bersama-sama sehubungan dengan akan keberangkatan Mas Rara esok. Ki Bekel telah memperingatkan kepadaku, bahwa yang dapat terjadi mungkin sekali bukan sekedar perampokan harta benda, tetapi juga usaha untuk menangkap Mas Rara, membawanya dan menjadikannya taruhan untuk mendapat uang tebusan sebanyak-banyaknya.”

Orang tertua diantara para utusan itu mengangguk-angguk. Namun dengan menyesal orang itu berkata “Kenapa Ki Partija tidak memberitahukan hal itu kepada Raden Panji”

Sebelum Ki Partija menjawab, Ki Resalah yang telah menjawab lebih dulu “Kami tidak ingin terlalu menggantungkan diri kepada Raden Panji. Bukan karena kami tidak yakin bahwa Raden Panji tentu akan menolong. Tetapi kami tidak ingin memberikan kesan, bahwa kami menjadi terlalu manja. Segala sesuatunya kami bebankan kepada Raden Panji. Karena itu, hal-hal yang dapat kami selesaikan, telah kami selesaikan sendiri”

Utusan Raden Panji itu mengangguk-angguk. Sementara Ki Resa berkata selanjutnya “Jika para utusan Raden Panji tidak berkeberatan, biarlah besok aku ikut mengantarkan Mas Rara sampai ke rumah Raden Panji”

Utusan yang tertua itu tersenyum. Katanya “Jika hal itu merepotkan Ki Resa, aku kira tidak perlu Ki Resa lakukan. Kami sudah menjadi dua belas orang. Tentu sudah cukup banyak. Kami kebetulan adalah prajurit-prajurit Pajang yang setidak-tidaknya telah dibekali dengan kemampuan olah kanuragan serba sedikit, sehingga jika ada yang berniat jahat, maka kami akan berusaha mengatasinya."

“Aku percaya sepenuhnya...“ jawab Ki Resa “jika aku ingin ikut serta, semata-mata karena kecintaan orangtua terhadap anaknya yang sulit untuk disembunyikannya. Jika aku tidak ikut dalam iring-iringan besok, maka aku justru akan menjadi sangat gelisah untuk waktu yang lama. Tetapi jika aku ikut serta, maka sekembalinya aku dari rumah Raden Panji, maka aku akan dapat segera tidur nyenyak karena aku tahu bahwa anakku itu sudah selamat sampai ketujuan”

Utusan yang tertua itu tersenyum. Katanya. “Ternyata bahwa keluarga Ki Partija Wirasentana adalah keluarga yang sangat akrab, menjunjung tinggi harga diri dan kewibawaan. Itulah sebabnya, maka keluarga ini telah menerima anugerah sehingga seorang diantaranya, telah mencuat dari antara sasamanya, karena akan menjadi isteri seorang yang terpandang, berkuasa dan berwibawa pula”

“Ah, Ki Sanak terlalu memuji“ berkata Ki Partija Wirasentana segala sesuatunya kami kembalikan kepada kurnia Yang Maha Agung”

Sementara itu, maka hidanganpun segera telah dihidangkan. Ki Bekel atas nama Ki Partija telah mempersilahkan para tamu baik utusan dari Raden Panji maupun orang-orang tua dari padukuhan Nguter untuk minum dan makan makanan yang disuguhkan.

Dalam pada itu, ketika pembicaraan dilanjutkan, maka setelah beberapa kali ditanyakan kepada Mas Rara yang terpaksa hadir dalam pembicaraan itu, gadis itu berkeberatan jika harus naik kuda dengan cara apapun. Karena itu, maka berkali-kali ia berkata dengan nada dalam hampir tidak terdengar oleh orang lain, “Aku akan berjalan kaki saja...!”

“Tidak...!“ berkata ayahnya “jika kau berkeberatan untuk naik kuda, maka kau akan dibawa dengun tandu. Mereka akan membawamu dengan tandu berganti-ganti empat orang pada setiap giliran."

“Tidak. Aku juga tidak mau naik tandu. Aku akan berjalan kaki saja” Jawab Mas Rara.

“Jangan mempersulit tugas para utusan itu Mas Rara“ berkata ayahnya “kesannya tentu kurang baik. Kau akan disangka menjadi terlalu manja”

“Tidak. Aku justru tidak mau bermanja-manja. Aku akan berjalan kaki. Bukankah hal itu telah terbiasa aku lakukan” berkata Mas Rara.

Ayahnya memang menjadi agak kebingungan. Karena itu, maka ia masih belum dapat memberikan jawaban kepada utusan yang datang itu.

Namun tiba-tiba Wirantana berkata “Ayah. Bagaimana jika Mas Rara naik pedati yang ditarik dengan seekor kuda”

Ayahnya mengerutkan keningnya. Sementara Wirantana berkata “Bukankah Ki Jagabaya dari Kademangan mempunyai sejenis pedati yang ditarik oleh seekor kuda”

Ayahnya mengangguk-angguk. Desisnya “Kereta kuda!”

Ki Bekel mengangguk-angguk pula. Katanya “Ya. Ki Jagabaya dari Kademangan memang banyak akalnya. la telah membuat sebuah kereta kuda yang cukup bagus. Aku kira Ki Jagabaya tidak akan berkeberatan untuk dipergunukan”

Ki Partija Wirasentana termangu-mangu sejenak. Pendapat Wirantana memang menarik. Meminjam kereta Ki Jagabaya dari Kademangan, yang juga sudah dikenal baik Ki Partija. Meski hubungan mereka tidak terlalu dekat, tapi dengan pengaruh Ki Bekel. Ki Jagabaya akan bersedia meminjamkannya.

Namun agaknya Ki Resa bersikap lain. Katanya Apakah pantas kita mengganggu Ki Jagabaya, yang selama ini tidak tahu menahu tentang persoalan yang kita hadapi”

“Ah“ sahut Ki Bekel “Ki Jagabaya tentu sudah mendengar bahwa Mas Rara akan menjadi istri Raden Panji Prangpranata. Ki Jagabaya juga tahu siapa Raden Panji itu. Mungkin itu satu-sutunya pemecahan, selain mengikuti keinginan Mas Rara untuk berjalan kaki. Tapi jika Mas Rara benar-benar akan berjalan kaki, maka kuda-kuda yang dibawa para utusan tidak ada gunanya. Semua orang yang menjemputnya tentu akan berjalan kaki pula."

“Jika bukan Ki Jagabaya, kita juga harus memikirkan Raden Panji itu sendiri. Apa pantas bahwa bakal istri Raden Panji mempergunakan sebuah kereta pinjaman” berkata Ki Resa kemudian.

Tetapi salah seorang dari utusan Raden Panji berkata “Aku kira, jika itu pemecahan terbaik, Raden Panji tidak akan keberatan. Kereta itu tentu akan segera dikembalikan. Bahkan Raden Panji tentu akan sangat berterima kasih pada Ki Jagabaya”

Ki Resa menarik nafas dalam-dalam. Tapi ia segera tersenyum sambil berkata ”Jika demikian, maka tentu tidak akan ada keberatannya lagi”

“Tetapi semuanya harus diselesaikan hari ini. Besok kita akan berangkat pagi-pagi” berkata salah seorang utusan itu.

Ki Partija pun kemudian telah mempersilahkan tamu-tamunya untuk beristirahat di tempat yang sudah disediakan. Sementara itu, ia sendiri akan pergi ke rumah Ki Jagabaya di padukuhan lain bersama Ki Bekel.

Ternyata Ki Partija tidak menemui kesulitan. Ki Jagabaya dengan senang hati meminjamkan kereta kudanya. Bahkan katanya,

“Biarlah kusirnya ikut serta. Ia tentu tidak akan keberatan. Selain ia memang terbiasa mengendalikan kuda penarik kereta itu, ia adalah orang yang ikut membuat kereta itu. Tetapi sudah tentu kecepatan kereta kudaku tidak akan dapat menyamai kecepatan kuda yang berlari tanpa beban. Apalagi keretaku kalau dibawa lari terlalu kencang, rodanya akan dapat lepas dari porosnya”

Ki Bekel tertawa. Ki Jagabaya pun tertawa pula. Sementara itu Ki Partija berkata “Bukankah itu jauh lebih baik dari pada anak gadisku berjalan kaki? la benar-benar tidak mau naik kuda dengan cara apapun. Ia juga tidak mau dibawa dengan tandu. la ingin berjalan kaki. Kereta Ki Jagabaya menjadi sutu-satunya jalan keluar terbaik”

“Silahkan, silahkan“ berkata Ki Jagabaya dengan ramah “Orangku akan mengurus segala sesuatunya mengenai kereta dan kuda itu. Kebetulan ia juga pandai menyabit rumput. Aku tahu siapa calon suami Mas Rara. Adalah satu kehormatan bagiku bila Mas Rara bersedia naik kereta kudaku”

Ki Partija menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah mendapatkan pemecahan atas kesulitannya. Karena itu, berkali-kali dia mengucapkan terima kasih. “Besok, sebelum fajar. kereta itu sudah berada di rumah Ki Partija" berkata Ki Jagabaya “Biarlah malam ini segala sesuatunya dibenahi”

Ki Partija bersama Ki Bekel kemudian mohon diri. Ki Bekel ternyata tidak lagi kembali ke rumah Ki Partija.

“Besok pagi-pagi aku akan datang“ berkata Ki Bekel.

Ketika Ki Partija kemudian sampai di rumahnya, masih ada beberapa orang yang menunggu untuk mendengarkan keterangannya, apakah kereta itu dapat dipinjamkan atau tidak.

"Ki Jagabaya sangat baik. Selain keretanya juga sais, gamel serta pekatiknya juga dipinjamkannya. Besok, menjelang fajar, kereta itu sudah berada disini” berkata Ki Partija.

"Sukurlah!" berkata seorang diantara tetangganya, "Aku ikut memikirkan, bagaimana perjalanan Mas Rara nanti. Tetapi nampaknya kereta itu cukup memadai, meski tidak akan dapat berlari cepat”

Dengan demikian, tetangga-tetangganya kemudian minta diri untuk pulang. Besok mereka akan datang kembali untuk melepas Mas Rara yang akan pergi ke rumah bakal suaminya, menjelang hari perkawinannya.

Malam itu, semua keluarga Ki Partija hampir tidak dapat tidur. Ki Partija duduk di bibir pembaringannya. Demikian pula Nyi Partija. Rasa-rasanya hati mereka pedih berpisah dengan gadisnya, meski gadis itu akan kawin. Seakan-akan mereka akan kehilangan hartanya yang paling berharga. Bahkan Nyi Partija mulai terdengar terisak.

Ki Partija menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada lembut, ia berkata “Sudahlah Nyi. Kita justru harus berdoa agar anak kita menemukan kebahagiaan di hari depannya. Apalagi menurut perhitungan lahiriah, Raden Panji adalah orang berkuasa, kaya dan bersungguh-sungguh”

Nyi Partija masih saja menitikkan airmata, tapi ia tidak mengatakan sesuatu. Sebenarnya, Ki Partija juga merasa sedih harus melepaskan anak gadisnya. Ada sesuatu yang tidak dapat dikatakan kepada siapapun juga, selain harus dipikulnya sendiri. Ia tidak pernah membicarakannya dengan siapapun, juga pada isterinya, karena ia tidak ingin membebani perasaan siapapun.

Sementara itu, Mus Rara sendiri juga tidak dapat tidur di dalam kamarnya. Meski ia berbaring, matanya tetap terbuka memandangi langit-langit di atas biliknya. Dari matanya, meleleh air bening. Namun Mas Rara tidak mengeluh. Tidak ada orang yang mau mendengarkannya. Semua orang menganggap bahwa dia akan menjadi sangat bahagia. Ia akan menjadi gadis yang dapat menjunjung derajat orang tuanya, karena berhasil jadi istri orang besar.

Wirantana pun tidak bisa tidur. Ia menjadi gelisah didalam biliknya. Sementara Manggada dan Laksana yang juga berada dibilik itu, ikut-ikutan tak bisa tidur. Kegelisahan Wirantana membuat Manggada dan Laksana ketularan.

“Sudahlah“ berkata Manggada yang kemudian bangkit duduk “Seharusnya kau bersukur karena adikmu akan segera kawin dengan orang terpandang”

“Tetapi rasa-rasanya ada sesuatu yang tersembunyi dari peristiwa ini. Ayah dan ibu nampaknya tidak terbuka“ berkata Wirantana ”Sejak aku kembali dari berguru, aku merasakan sesuatu yang tidak wajar. Juga pada paman Resa. Entahlah, aku merasa menjadi orang asing di rumah ini. Tidak seperti waktu aku belum meninggalkan rumah ini. Semuanya akrab dan saling terbuka. Tidak ada rahasia yang menyelubungi rumah ini. Apalagi penghuninya”

“Tidurlah“ berkata Manggada kau harus beristirahat”

“Esok aku akan ikut. Boleh tidak boleh. Paman Resa juga akan ikut. Ada sesuatu yang mendesakku untuk ikut. Mungkin bahaya sedang mengancam Mas Rara, sehingga paman dan aku didorong oleh naluri untuk menyelamatkan Mas Rara”

“Perasaanmu terlalu peka. Mungkin karena kau terlalu sayang pada adikmu, sebagairnana Ki Resa sayang pada kemenakannya” berkata Laksana sambil berbaring. Ia sudah menutupi kedua matanya dengan lengan agar dapat tidur. Tetapi pembicaraan antara Wirantana dan Manggada semakin membuatnya gelisah dan tidak dapat tidur.

“Mungkin. Tapi aku tidak dapat menyingkirkannya“ berkata Wirantana ”Bukankah besok paman ikut pula. Sais kereta kudu Ki Jagabaya juga akan ikut serta. Bukankah dengan demikian aku mempunyai kawan dalam perjalanan pulang ke padukuhan ini”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Namun Laksana masih juga berkata “Sekarang tidurlah. Besok kita akan bangun pagi-pagi”

Wirantana mengangguk. Ia pun kemudian telah berbaring pula diamben yang cukup besar untuk mereka bertiga. Gandok sebelah menyebelah telah diperuntukkan bagi para tamu sehingga Manggada dan Laksana harus berada pula di bilik Wirantana. Yang tidak nampak di rumah itu kemudian adalah Ki Resa. Seperti malam-malam sebelumnya, ia bagaikan telah hilang. Telapi sebelum fajar ia telah berada di rumah itu kembali.

Di dini hari, maka semua orang telah terbangun. Mereka segera bersiap-siap, agar sebelum matahari terbit, mereka dapat mulai dengan perjalanan menuju ke rumah Raden Panji Prangpranata. Menjelang fajar semuanya telah bersiap di pendapa. Hidanganpun telah disuguhkan pula. Mas Rara juga sudah berbenah diri dan berpakaian rapi meskipun tidak berpakaian pengantin.

Ki Partija terkejut ketika ia melihat Wirantana pun telah bersiap. Karena itu, maka Ki Partija telah memanggilnya dan bertanya. “Kau akan pergi kemana?”

“Aku akan menyertai perjalanan Mas Rara” Jawab Wirantana.

“Untuk apa? Sudah banyak pengawal yang mengantarkannya. Pamanmu, bahkan akan ikut pula“ berkata ayahnya.

Sementara Ki Resa yang ada disebelahnya telah berkata. “Kau tidak usah berbuat aneh-aneh Wirantana. Kau tidak perlu ikut mengantar Mas Rara. Kau dapat menyinggung perasaan para utusan itu, karena kita seakan-akan tidak mempercayainya. Bahkan aku akan ikut serta itupun telah aku pertimbangkan berulang kali. Tetapi rasa-rasanya ada sesuatu yang telah mendesak, sehingga aku merasa berkewajiban untuk ikut serta”

Wirantana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata. “Aku tidak ingin melepas kedua anak muda yang telah menolong Mas Rara, sebagai pernyataan terima kasih. Bukankah keduanya telah dipanggil oleh Raden Panji Prangpranata”

“Kenapa kau harus melepas mereka sampai ke rumah Raden Panji? Bukankah kau dapat melepas mereka di halaman ini saja” bertanya Ki Resa.

Tetapi jawab Wirantana “Aku akan mengawani paman pulang. Mengawani sais pedati kuda itu”

Ki Partija menjadi bingung. Soal perjalanan Mas Rara sudah teratasi, Ki Jagabaya telah mengirimkan kereta kuda yang dijanjikannya. Namun tiba-tiba saja Wirantana berniat untuk ikut.

Ketika hal itu diketahui utusan Raden Panji, ia berkata, “Tidak ada keberatannya. Jika kakak Mas Rara ingin ikut, ada baiknya. Biar Raden Panji bisa mengenal kakak iparnya, di samping Ki Resa yang akan mewakili Ki Partija menyerahkan Mas Rara”

Ki Resa termangu-mangu sejenak. Tapi Ki Partija kemudian berkata “Jika demikian, baiklah. Biar Wirantana ikut mengantarkan Mas Rara, serta melepas kedua anak muda yang telah menyelamatkan nyawa adiknya”

Ki Resa ternyata masih juga bergumam “Kau masih seperti kanak-kanak saja Wirantana. Ingin ikut-ikutan apapun yang dilakukan oleh orang lain”

Wirantana tidak menjawab. Ia memang agak takut dan menghormati pamannya. Namun rasa-rasanya ada dorongan kuat yang memaksanya ikut dalam iring-iringan itu. Demikianlah. Saat langit makin cerah, iring-iringan siap. Begitu matahari tarbit. mereka berangkat meninggalkan halaman rumah itu.

Nyai Partija tidak dapat menahan tangisnya ketika ia melepas Mas Rara dan membantunya naik ke atas pedati. Diciuminya anak gadis itu beberapa kali, sehingga wajahnya basah airmata. Apalagi ketika ia melihat bahwa Mas Rara tidak lagi menangis seperti dirinya.

Meskipun matanya basah, tapi wajah gadis itu seakan kosong. Mas Rara sudah kehilangan perasaannya, sehingga ia tidak dapat lagi merasakan perpisahan itu.

“Mas Rara...!“ desis ibunya.

Mas Rara hanya berkata lirih “Tubuhku bukan milikku lagi ibu. Aku tidak perlu menangisinya”

“Tidak anakku, tidak!“ Nyi Partija hampir menjerit sehingga semua orang berpaling padanya.

“Jangan menangis ibu“ bisik Mas Rara yang berkaca-kaca “Bukankah aku akan kawin dengan orang berkedudukan tinggi, kaya raya dan berkuasa”

Ibunya justru memeluk anaknya semakin erat. Namun Ki Partija mendekatinya sambil berkata. “Sudahlah Nyi. Semuanya sudah siap berangkat”

Ki Partija kemudian menggandeng istrinya mundur. Sementura itu, pemimpin utusan Raden Panji telah sekali lagi minta diri. Sejenak kemudian, iring-iringan itu berangkat meninggalkan halaman rumah Ki Partija. Nyi Partija menjerit, seakan-akan melepas mayat anaknya untuk dibawa ke kubur.

Sebaliknya, Ki Bekel dan beberapa bebahu desa yang ikut melepas keberangkatan Mas Rara, yang didampingi Ki Resi, Wirantana, Manggada dan Laksana, nampak cerah wajahnya. Seolah-olah mereka bisa merasakan kebahagiaan yang nantinya bakal diperoleh Mas Rara beserta orangtua dan saudaranya. Oleh karenanya mereka tidak terlalu memperhatikan apa yang dilakukan Nyi Partija Wirasentana.

Kebahagiaan Mas Rara dan Ki Partija, berarti pula kebahagiaan seluruh penduduk pedukuhan Nguter. Kenapa Nyi Partija jadi histeris dan nelangsa, mereka sama sekali tak tahu dan tak habis pikir. Tapi mereka memupusnya dengan anggapan bahwa apa yang diperbuat Nyi Partija adalah luapan rasa seorang ibu yang akan ditinggal anak tercintanya. Bukan apa-apa, sehingga tak perlu dikhawatirkan.

Ki Bekelpun tetap tersenyum melihat iring-iringan yang sudah keluar dari halaman rumah Ki Partija. Tangannya masih tetap melambai-lambai. Seakan-akan dialah Ki Partija yang berbahagia.

Tak lama kemudian, iring-iringan itu sudah menyusuri jalan-jalan padukuhan Nguter. Berjejal orang yang ingin melihat keberangkatan Mas Rara dengan pedati yang ditarik seekor kuda besar milik Ki Jagabaya. Sebuah kereta kuda yang sangat menyenangkan.

“Satu perjalanan yang sangat menarik“ seorang perempuan separo baya berdesis “sebentar lagi, Mas Rara akan membuat kedua orangtuanya jadi orang sangat dihormati. Selama ini Ki Partija adalah orang yang baik. Anak-anaknya juga baik dan cukup ramah. Mudah-mudahan kelak mereka tidak berubah!”

Tetapi di halaman rumah Ki Partija, beberapa orang jadi heran melihat sikap Nyi Partija. Namun mereka hanya menduga perempuan itu sangat mengasihi anaknya sehingga merasa segan melepaskannya, meski untuk menjalani masa yang harus dijalani setiap orang. Perkawinan.

Demikianlah, iring-iringan itu berjalan agak lebih cepat. Meski tak dapat berpacu dengan kuda-kuda lepas, tapi karena itu tidak merambat sebagaimana pedati yang ditarik seekor lembu.

Ketika matahari naik, mereka sudah berada di bulak panjang. Orang-orang yang kebetulan ada di sawah, berlari-lari melintasi pematang menuju jalan untuk melihat apa yang sebenarnya lewat. Beberapa diantara mereka memang tahu bahwa hari itu Mas Rara telah dijemput oleh utusan bakal suaminya. Raden Panji Prangpranata, seorang berkedudukan tinggi.

Iring-iringan itu berjalan terus. Wirantana, Manggada dan Laksana berada tepat di belakang kereta kuda yang ditumpangi Mas Rara, yang duduk di dalam kereta sambil menunduk. Seakan-akan tidak lagi tertarik pada apapun di sekitarnya. Mas Rara tidak lagi ingin melihat sawah yang menghijau, atau perbukitan yang kemerah-merahan yang disirami sinar matahari pagi.

Di bagian depan kereta, duduk dua orang yang saling berdiam diri. Keduanya adalah sais dan pembantunya. Di sisi pedati itu, terikat seekor kuda cadangan jika kuda penarik pedati letih.

Ki Resa berada paling depan bersama pemimpin utusan Raden Panji yang memimpin utusan Raden Panji yang menjemput Mas Rara. Sebab Ki Resa adalah wakil Ki Partija menyerahkan Mas Rara pada keluarga, Raden Panji Prangpranata.

Iring-iringan itu memang sangat menarik perhatian. Tiap melewati padukuhan, selain ada yang bertanya siapakah yang sebenarnya lewat, dan mereka berjejal di sepanjang jalan.

Menjelang matahari menggapai puncak langit, panasnya mulai menyengat kulit. Untunglah pedati Ki Jagabaya dilengkapi atap dari anyaman bambu sehingga Mas Rara tidak mengalami cubitan matahari. Namun demikian, keringat membasahi seluruh tubuhnya. Bukan saja karena udara yang panas, tapi juga karena kegelisahan yang mencengkam.

Beberapa saat kemudian, iring-iringan itu telah mendekati jalan yang menyusup di celah-celah bukit kecil di sebelah kanan dan kiri jalan. Hutan kecil menyelimuti kedua bukit itu, sehingga rasa-rasanya iring-iringan itu akan memasuki satu daerah yang jarang dilalui orang meskipun jalan itu merupakan satu-satunya jalan menuju ke rumah Raden Panji.

Yang tidak diduga oleh iring-iringan itu adalah bahwa di bukit sebelah kiri sekelompok orang telah menunggu. Bahkan beberapa diantara mereka rasa-rasanya sudah tidak sabar lagi, sehingga dipanasnya matahari siang mereka berdiri mengamati jalan.

Namun orang-orang itu sempat mengumpat-umpat. Matahari semakin panas, tapi iring-iringan itu belum nampak. Kawan-kawannya yang berlindung di bawah rimbunnya pepohonan sempat menertawakannya. Seorang yang bertubuh gemuk dengan perut besar berkata.

“Sudahlah. Mereka tidak akan lolos dari tangan kita. Tunggulah dengan tenang di sini”

“Setan kau“ geram seorang yang bertubuh tinggi berkumis lebat “Bagamiana jika mereka merubah rencana mereka”

“Tidak. Mereka tidak akan merubah rencana“ jawab orang yang bermata seperti matu burung hantu.

Mereka pun terdiam. Sementara matahari menjadi semakin tinggi. Tapi tiba-tiba saja orang yang berdiri di atas sebongkah batu padas berkata lantang “Itulah. Iring-iringan itu mulai nampak”

Yang bertubuh gemuk tertawa “Nah, kau yakin sekarang...!”

“Tutup mulutmu...!“ geram yang berkumis lebat. Orang-orang itu segera menempatkan dirinya sesuai perintah sambil menunggu iring-iringan sampai. Namun pemimpin dari kelompok itu bertanya “Berapa orang bersama kita sekarang”

“Duapuluh orang“ sahut orang yang bertubuh tinggi berkumis lebat itu.

“Sudah jauh dari cukup“ sahut orang yang bertubuh gemuk “menurut perhitunganku, sepuluh orang saja sudah cukup”

“Mereka semuanya berjumlah sekitar limabelas orang“ berkata pemimpin kelompok itu.

“Tetapi mereka adalah tikus-tikus kecil yang tidak mampu berbuat banyak. Mereka memang prajurit-prajurit. Tetapi mereka prajurit kehormatan yang tugasnya hanya berjaga-jaga di regol bangsawan. Sesekali berbaris memberikan penghormatan. Kemudian kembali ke gardu minum-minuman panas dengan gula kelapa. Sagon yang hangat dan hawug-hawug manis. Itu saja”

“Jangan merendahkan kemampuan mereka“ berkata pemimpin kelompok itu “kita harus dapat membawa Mas Rara hidup-hidup. Jika ia berniat membunuh diri, kita harus mencegahnya. Sementara itu, harta kekayaan, emas dan perhiasan yang ada dan dipakai oleh Mas Rara atau dibawa iring-iringan itu menjadi milik kita selain upah yang di terima”

“Kita tidak akan gagal. Kita dengan dua puluh orang adalah kekuatan yang selama ini belum pernah kita himpun. Sekarang kita berkesempatan untuk mencoba, apakah kekuatan ini bukan berarti banjir bandang yang tidak akan dapat dibendung oleh siapapun” sahut orang yang bertubuh tinggi berkumis lebat itu.

Pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Ia yakin akan kekuatannya. Apalagi jumlah mereka ternyata lebih banyak dari iring-iringan itu. Menurut ukuran mereka, seorang lawan seorang pun mereka akan menang. Apalagi menurut perkiraan, prajurit kehormutan itu bukan prajurit yang mampu bermain senjata. Mereka hanya bisa berbaris dan memberi hormat para pemimpin dan Senapati yang lewat dihadapan mereka.

Makin lama, iring-iringan itu makin dekat. Duapuluh orang yang menunggu itu telah bersembunyi dibalik bebatuan, gumpalan-gumpalan padas, rimbunnya gerumbul-gerumbul perdu di lereng bukit dan semak-semak.

Di sepanjang perjalanan, Ki Resa lebih banyak bicara pada pemimpin utusan Raden Panji. Dengan ramah, diceriterakannya lingkungan yang mereka lewati. Nama-nama padukuhan, perbukitan dan sungai-sungai yang mengalir ditengah-tengah persawahan. Bahkan sungai-sungai yang kecil sekalipun juga diceriterakannya. Termasuk kebiasaan sungai-sungai itu pada musim basah maupun kering.

Pemimpin pasukan utusan Raden Panji itu tidak ingin mengecewakan Ki Resa yang begitu ramah. Sesekali terdengar suara tawanya. Namun dengan demikian, pimpinan utusan itu tidak sempat memperhatikan jalan dihadapannya.

Tapi Manggada dan Laksana yang pernah mendapat pengalaman berat di daerah perbukitan, diluar kehendak mereka, telah memperhatikan pepohonan dilereng bukit kecil yang dikiri-kanan jalan yang mereka lewati itu. Naluri mereka sebagai pengembara, telah memperingatkan mereka bahwa celah-celah bukit itu adalah lingkungan yang berbahaya.

Keduanya ternyata telah melihat sesuatu. Mereka melihat ujung batang ilalang bergerak-bergerak. Bukan oleh angin, karena geruknya tidak merata. Demikian pula pada gerumbul perdu liar. Ketika Manggada menggamit Laksana, sebelum mengatakan sesuatu. Laksanalah yang justru berdesis. “Angin yang aneh itu”

“Ya...!“ sahut Manggada.

“Apa yang kalian katakan?” bertanya Wirantana.

“Ada, yang kurang wajar dibalik semak-semak dilereng bukit kecil itu.“ desis Manggada.

Wirantana coba memperhatikannya. Tapi ketajaman penglihatan dan penggraitanya tidak setajam Manggada dan Laksana. Hanya dengan memusatkan segenap perhatiannya, akhirnya Wirantana melihat juga keanehan itu.

“Aku akan memberitahu paman!“ berkata Wirantana.

Tetapi Manggada menggeleng. Katanya “Jangan. Aku akan berbicara dengan pimpinan prajurit yang menjemput adikmu”

Wirantana termangu-mangu sejenak. Tapi ia kemudian mengangguk dan berkata “Terserah padamu”

Manggada kemudian mempercepat kudanya, melintasi kereta kuda dan kemudian berderap disebelah pemimpin prajurit utusan itu. Ternyata sikap Manggada bukan lagi sikap anak-anak muda yang kerjanya hanya berkelakar dan sesekali bergurau dengan para peronda digardu jika tidak sedang berada di sanggar. Dengan sikap seorang yang memiliki ketajaman penglihatan, ia berkata.

“Aku melihat sesuatu yang tidak wajar dibalik gerumbul-gerumbul perdu dan batang ilalang liar itu”

Pemimpin utusan yang lebih banyak mendengarkan cerita Ki Resa itu tersentak. Ia sadar bahwa iring-iringan itu akan memasuki daerah berbahaya. Bukit kecil yang lerengnya ditumbuhi pohon-pohon perdu rimbun serta batu-batu padas.

Namun Ki Resa yang juga terkejut mendengar laporan Manggada itu memotong hampir diluar sadarnya “Kau jangan mengigau anak iblis”

“Aku minta kalian memperhatikannya“ sahut Manggada.

“Setiap hari aku melewati daerah ini. Aku tidak pernah mendapat kesulitan apa-apa“ jawab Ki Resa.

Tetapi perhatian pemimpin utusan itu telah tertuju pada lereng bukit kecil sebelah-menyebelah jalan yang mereka lalui itu. Jaraknya sudah menjadi makin dekat, sehingga pemimpin utusan itu tiba-tiba menghentikan iring-iringan.

Ketika ia mengangkat tangannya untuk memberi isyarat, Ki Resa justru bertanya "Kenapa kita harus berhenti disini? Apakah igauan anak itu pantas diperhatikan?”

Pemimpin prajurit itu tidak menjawab. Ia mulai melihat gerakan dedaunan yang tidak wajar. Apalagi orang-orang yang bersembunyi dibalik dedaunan itu telah mengumpat-umpat karena iring-iringan itu berhenti. Dengan demikian, guncangan tubuhnya telah menggerakkan dedaunan tempat mereka berlindung.

“Ki Resa...“ berkata pemimpin utusan itu “Aku minta Ki Resa memperhatikan dengan sungguh-sungguh.”

Ki Resa termangu-mangu sejenak. Ia kemudian melihat juga getar dedaunan. Bukan karena angin. Tetapi Ki Resa kemudian bertanya “Tetapi bukankah kemarin iring-iringan ini juga melewati jalan itu”

“Ya. Tapi ketika kami datang, kami tidak membawa barang-barang berharga, karena barang-barang itu telah lebih dulu sampai dan kemudian sekelompok orang telah berusaha merampoknya. Agaknya orang-orang itu terlambat mengetahuinya. Saat ini, mereka tentu menyangka barang-barang itu dipakai oleh Mas Rara, sehingga mereka berusaha untuk merampasnya” berkata pemimpin prajurit itu.

Ki Resa termangu-mangu. Wajahnya menjadi tegang, sehingga tidak sesadarnya ia menggeram. Pemimpin prajurit itu melihat betapa jantung Ki Resa bergejolak. Karena itu ia berkata “Sebaiknya kita jangan kehilangan pegangan. Kita hadapi segalanya dengan kekuatan dan penalaran jernih. Jika kita mata gelap, kita akan kehilangan beberapa kemungkinan terbaik yang dapat kita lakukan”

“Setan itu harus dihancurkan sampai lumat...“ geram Ki Resa.

“Kita belum tahu kekuatan mereka. Karena itu kita harus hati-hati” kata pemimpin utusan itu.

Beberapa saat iring-iringan itu tidak bergerak. Sementara Wirantana mendekati adiknya yang mulai ketakutan. Tapi Mas Rara masih saja menunduk dalam-dalam.

Laksana kemudian berdesis pada Wirantana “Jaga adikmu baik-baik. Mungkin akan ada usaha menculiknya. Dengan menguasai adikmu, orang-orang itu akan dapat minta tebusan sebanyak-banyaknya pada Raden Panji."

Wirantana mengangguk. Tiba-tiba giginya jadi gemeretak. Katanya. “Inilah agaknya yang menggelitik aku untuk ikut dalam iring-iringan ini”

Sementara itu, kedua orang yang duduk di pedati itu telah memutar pedangnya dan meletakkannya di pangkuan mereka. Sementara itu, seorang diantaranya telah meraih cambuk yang besar, yang sebelumnya hanya merupakan hiasan saja di bagian depan keretanya. Seluruh kekuatan yang mengawal Mas Rara telah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.

Pemimpin utusan itu telah menepuk pundak Manggada sambil berkata “Terimakasih anak muda. Ternyata kelebihanmu tidak hanya sekadar membunuh seekor harimau. Tetapi kau memiliki ketajaman penglihatan melampaui seorang prajurit, karena kaulah yang pertama kali sempat melihatnya, meskipun aku membawa sekelompok prajurit”

Manggada tidak menjawab. Tetapi tatapan matanya tidak lepas dari lereng bukit kecil yang sudah terlalu dekat didepannya. Sebenarnyalah, bahwa beberapa orang prajurit telah mempersiapkan senjata jarak jauh mereka. Beberapa orang dengan tangkasnya telah menarik busur yang semula terselip dalam endong yang tergantung pada ikat pinggang para prajurit itu, siap untuk dipasang di busurnya.

Wajah Ki Resa yang menjadi tegang dan kemerah-merahan itu bagaikan tersentuh lidah api. Giginya gemeretak dan sesekali terdengar geramnya yang garang. “Kita akan menyerang mereka“ berkata Ki Resa.

“Jangan tergesa-gesa!“ berkata pemimpin prajurit itu “Mereka mempunyai landasan yang jauh lebih baik dari kita. Kita membawa perempuan yang harus mendapat perlindungan khusus. Perempuan itu adalah Mas Rara, bakal isteri Raden Panji”

“Jadi kita akan menunggu disini...?!“ bertanya Ki Resa.

“Kita akan melakukan satu gerakan yang pantas bagi gerakan prajurit. berkata pemimpin utusan itu. Prajurit itu kemudian berdesis kepada Manggada “Kau dan adikmu serta Wirantana sebaiknya menjaga Mas Rara. Kami akan bergerak maju”

Manggada mengangguk-angguk. Ia sadar bahwa tugas itu adalah tugas yang sangat berat. Tetapi nampaknya pemimpin prajurit itu memiliki kepercayaan penuh kepadanya.

“Ki Resa...“ berkata pemimpin utusan itu “Kita akan bergerak maju”

Tetapi jawab Ki Resa “Aku tidak sampai hati meninggalkan anakku dalam keadaan seperti ini. Sebaiknya kita bergerak bersama-sama dan tidak meninggalkan Mas Rara disini”

“Itu berbahaya sekali“ berkata pemimpin prajurit itu. Kita percayakan Mas Rara kepada beberapa orang yang memiliki kemampuan untuk menjaganya. Sementara itu, kita akan melihat suasana. Jika kita harus bergerak mundur, maka kita akan bertempur disini. Tidak dicelah-celah itu”

Ki Resa menjadi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya “Jika kalian akan menyongsong mereka, biarlah aku membantu menjaga Mas Rara di sini. Aku tidak sampai hati meninggalkannya hanya ditunggui anak-anak”

Pemimpin pasukan itu menjadi ragu-ragu. Tapi kemudian katanya “Baiklah. Memang tugas kami menghadapi orang-orang yang mencegat itu. Jika Ki Resa ingin tetap di sini untuk ikut menjaga Mas Rara, silahkan. Kami mengucapkan terima kasih”

Dengan demikian, pemimpin prajurit yang mengawal Mas Rara, termasuk dua utusan yang lebih dulu datang ke rumah Ki Partija, bersiap menyongsong lawan. Mereka turun dari kuda dan mengikatkannya pada batang-batang pohon atau perdu yang tumbuh di pinggir jalan.

Dengan isyarat, pemimpin prajurit itu memerintahkan para prajurit bergerak. Beberapa orang bahkan telah menyiapkan busur, lengkap dengan anak panah yang siap diluncurkan. Tapi pemimpin prajurit itu memberi isyarat bahwa mereka tidak maju lewat jalan yang menembus celah-celah bukit kecil itu. Pemimpin prajurit itu mengisyaratkan agar para prajurit berpencar.

Dengan demikian, mereka bisa mengecoh para pencegat, sambil memecahkan konsentrasi mereka. Tanpa perbuatan semacam itu, mereka bisa terdesak dalam waktu singkat. Sebab mereka belum mengetahui kekuatan para pencegat tersebut.

Untuk memberi semangat kepada para bawahannya, pimpinan prajurit tersebut juga ikut terjun ke gelanggang, sehingga dia bisa langsung mengawasi dan mengkomando bawahannya bila nanti terdesak.

Manggada, Laksana dan Wirantana, tetap di tempat sambil mengamati pembagian tugas berdasar siasat dari pemimpin prajurit. Kendati ada perasaan untuk ikut bersama prajurit itu mendahului menyerbu para pencegat, namun mereka sadar bahwa sasaran utama gerombolan yang akan mencegat iring-iringan itu adalah Mas Rara. Oleh karenanya, mereka menahan keinginan tersebut. Calon istri Raden Panji Prangpranata lebih penting dijaga keselamatannya.

Namun sebelum meninggalkan kereta Mas Rara, pemimpin prajurit itu sempat berbisik di telinga Manggada, tanpa terdengar orang lain “Hati-hati. Dalam keadaan seperti ini, kita pantas mencurigai siapa saja”

Manggada tidak begitu mengerti pesan itu. Tapi ia mencoba untuk memahaminya. Ketika para prajurit mendekati bukit, Manggada telah berada di sebelah kereta Mas Rara. Laksana dan Wirantana pun telah siap menghadapi segala kemungkinan. Sedang di depan kereta itu, Ki Resa telah turun dari kudanya dan mengamati para prajurit dengan seksama.

Kedua orang yang dikirim Ki Jagabaya mula-mula tetap duduk di atas kereta, meski senjata sudah mereka siapkan. Namun akhirnya, kedua orang itu turun juga. Tapi tidak beranjak lebih dua langkah dari kereta mereka.

Seorang diantara mereka justru menggenggam sebuah cambuk besar, yang semula hanya jadi hiasan kereta. Cambuk itu bisa jadi senjata cukup berbahaya. Meski demikian, di lambungnya tetap terselip sebilah pedang. Sedang yang satunya hanya menggeser pedangnya agar siap dicabut jika lawan datang mendekat.

Orang-orang yang bersembunyi di belakang gerumbul-gerumbul liar mengumpat habis-habisan melihat sikap para prajurit. Mereka akhirnya menyadari bahwa prajurit-prajurit itu ternyata bukan sekadar prajurit kehormatan yang hanya bisa berdiri di sebelah regol jika ada tamu terhormat datang ke rumah Raden Panji. Mereka benar-benar prajurit yang siap bertempur.

Apalagi ketika prajurit-prajurit itu kemudian menebar dan siap memanjat bukit. Separo dari mereka di sebelah kiri jalan, sebagian lagi di sebelah kanan. Pemimpin penghadang Mas Rara itu kemudian meneriakkan aba-aba untuk menyerang para prajurit yang mulai memanjat. Tapi para prajurit sudah siap.

Untuk menahan arus serangan, para prajurit yang membawa busur dan anak panah telah menyerang mereka, sehingga orang-orang liar itu terpaksa berhenti untuk menghindar atau menangkis anak-anak panah yang melesat bagai angin itu.

Dengan demikian, pemimpin prajurit sempat menilai lawan-lawannya. Ternyata mereka orang-orang yang memiliki kemampuan dan pengalaman bermain senjata. Anak panah yang dilontarkan para prajurit tidak ada yang langsung dapat menghentikan seorangpun diantara mereka. Dua orang memang terluka lengannya, tapi sama sekali tidak berarti. Darah yang menitik satu-satu, tidak dihiraukannya.

Tapi para prajurit itu benar-benar telah siap. Mereka jadi makin berhati-hati setelah mereka menyadari keadaan lawan. Ketika orang-orang itu menyerang makin dekat, dan busur serta anak panah tak menguntungkan lagi, mereka mencabut senjatanya masing-masing. Ada yang pakai pedang, ada yang pakai tombak pendek.

Sementara senjata lawan-lawan mereka ujudnya cukup mengerikan dan mendirikan bulu tengkuk. Ada yang membawa bindi, tombak bertaji di sebelah mata tombaknya, atau canggah bertangkai pendek. Ada pula yang membawa kapak bertangkai panjang, atau jenis-jenis senjata lainnya.

Para prajurit memang harus benar-benar mengerahkan segenap kemampuannya untuk melawan orang-orang itu, yang menurut pengamatan para prajurit, merupakan gerombolan perampok yang sudah berpengalaman.

Dalam pada itu, dengan isyarat, pemimpin perampok memerintahkan sebagian orang-orangnya untuk langsung menyerang orang-orang yang berjaga-jaga di sekitar kereta yang membawa Mas Rara.

Pemimpin prajurit tidak dapat berbuat banyak. Dalam waktu yang pendek, mereka sudah telah digempur oleh perampok-perampok itu. Meskipun demikian, pemimpin prajurit itu sempat memerintahkan dua orang diantara mereka untuk ikut melindungi Mas Rara.

“Di sana ada Manggada, Laksana. Wirantana dan Ki Resa. Mudah-mudahan kalian akan dapat melindunginya!“ berkata pemimpin prajurit itu.

la tidak dapat pergi ke kereta Mas Rara meski sebenarnya ia ingin melakukannya. Sebab ia harus mengatur prajurit-prajuritnya lebih dulu menghadapi kelompok orang kasar dan liar itu.

Demikianlah. Pertempuranpun berlangsung. Pemimpin prajurit beberapa kali meneriakkan aba-aba. Selain untuk membesarkan hati bawahannya, ia juga mulai melihat beberapa kelemahan pada pertahanan orang-orangnya.

“Kalian adalah prajurit prajurit yang memiliki kemampuan bertempur dalam kesatuan. Jangan terpancing untuk melepaskan kesatuan itu sampai kelompok yang sekecil sekalipun“ teriak pemimpin prajurit itu.

Perintah itu ternyata berarti sekali bagi para prajurit. Mereka yang biasa bertempur dalam kerjasama, kemudian mengetrapkannya untuk menghadapi lawan-lawan kasar dan bertempur secara keras itu. Tapi secara pribadi, prajurit-prajurit itu memiliki kemampuan yang memadai karena latihan-latihan cukup berat.

Sementara itu. beberapa orang penghadang iring-iringan itu telah berlari-lari menuju ke kereta Mas Rara. Namun Manggada. Laksana, Wirantana dan kedua sais kereta itu, serta Ki Resa, sudah siap menghadapi mereka. Sementara dua orang prajurit yang diperintahkan pimpinan pasukan, juga telah menyusul orang-orang itu.

Namun orang-orang yang akan menyerang kereta Mas Rara itu cukup cerdik. Mereka coba mengurangi lawan mereka, sehingga seorang diantara mereka kemudian berteriak “Kita bantai dulu dua orang itu. Mereka tentu akan mengganggu tugas kita mengambil Mas Rara”

Tapi ketika orang-orang itu berhenti, Manggada dan Laksana tanggap akan keadaan. Tanpa menunggu, Manggada berteriak ke arah Wirantana “Bantu Ki Resa jika ada yang datang. Aku akan membantu kedua prajurit itu sambil menghentikan mereka agar tidak mencapai kereta ini”

Sebenarnya kedua prajurit itu terkejut melihat orang-orang yang diikutinya berhenti. Apalagi ketika mereka bersiap menyerangnya. Berdua mereka tentu tidak akan mampu melawan pecahan kelompok perampok itu. Karenanya kedua prajurit itu sudah bersiap untuk melarikan diri, berputar dan kemudian bergabung dengan orang-orang yang menjaga Mas Rara.

Bersama mereka, kedua prajurit itu tentu akan dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik. Tidak harus melawan orang yang jumlahnya terlalu banyak dibanding jumlah mereka yang hanya berdua. Tetapi niat itu diurungkan ketika kedua prajurit itu melihat dua anak muda berlari-lari menyongsong mereka,

“Anak-anak muda itu...“ desis seorang diantara kedua prajurit itu.

“Mereka bukan anak-anak muda kebanyakan...“ desis yang lain “Mereka adalah anak-anak muda yang aneh!”

“Kita harus bertahan“ desis prajurit pertama. Keduanya terdiam. Namun masing-masing telah mempersiapkan senjatanya untuk menghadapi orang-orang yang berbalik menyerangnya. Namun sejenak kemudian, orang-orang yang mengetahui kalau anak muda telah berlari ke arah mereka. Karena itu, sebagian dari mereka bersiap kedua prajurit di belakang mereka, sebagian lagi menghadapi kedua anak muda itu.

“Kebetulan sekali“ desis seorang diantara perampok-perampok itu “kita akan membantai empat orang sekaligus”

Sejenak kemudian, Manggada dan Laksana telah mendekati sekelompok diantara orang-orang yang mencegat perjalanan mereka itu. Sebagian dari mereka telah menyerang dua orang prajurit yang telah bersiap sebelumnya.

Dengan demikian, pertempuran terjadi dengan sengitnya. Empat orang melawan hampir separo dari dua puluh orang yang menghentikan perjalanan Mas Rara itu. Sekitar tujuh orang bertempur dengan garangnya, dan berusaha secepatnya menghabisi nyawa keempat orang yang telah berani menghadapi mereka itu.

Tetapi kedua orang prajurit itu mampu bertempur dengan tangkas. Sementara itu, Manggada dan Laksana pun memiliki ketangkasan melampaui prajurit. Dengan demikian, Manggada dan Laksana telah mengejutkan lawan-lawan mereka. Justru setiap sentuhan senjata serta benturan kekuatan, lawan-lawan anak muda itu harus berdesah menahan gejolak di dalam jantung mereka. Kemarahan yang menjadi semakin membara, namun juga pengakuan bahwa keduanya tidak mudah untuk ditundukkan.

Pertempuran semakin lama menjadi semakin sengit. Ketujuh orang itu telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Mereka memang berniat untuk dengan cepat menyelesaikan pertempuran itu. Di dekat pedati, Ki Resa menyaksikan dengan wajah yang tegang. Dentang senjata serta teriakan orang-orang yang sedang bertempur itu, seolah-olah dentang genta sebesar bukit di telinganya. Keringat mulai membasahi keningnya. Jantungnya berdentang semakin cepat, sementara tangannya menjadi gemetar.

Wirantana yang juga berada di dekat kereta Mas Rara, menjadi tegang sebagaimana Ki Resa. Ia melihat pertempuran di bukit itu menjadi semakin garang. Namun jarak yang agak jauh, telah menghalangi penglihatannya, sehingga ia tidak dapat melihat, apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi Wirantana sempat melihat pertempuran yang lebih dekat dari mereka. Dua orang prajurit bersama Manggada dan Laksana, bertempur melawan sekitar tujuh orang.

Dalam pada itu, ternyata salah seorang dari ketujuh orang yang bertempur melawan dua orang prajurit serta Manggada dan Laksana, telah memberikan isyarat. Isyarat yang tidak diketahui oleh keempat orang lawan mereka.

Namun tiba-tiba dua orang diantara mereka telah meloncat keluar dari arena pertempuran dan berlari ke arah Mas Rara yang ditunggui oleh Ki Resa, Wirantana dan dua orang yang dikirim oleh Ki Jagabaya bersama pedati kudanya.

Kedua orang prajurit dan kedua anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun mereka kemudian tidak banyak menghiraukan lagi. Di dekat kereta Mas Rara ada Ki Resa serta Wirantana. Masih ada sais dan pembantunya, sehingga menurut perhitungan mereka, kedua orang itu tidak akan mampu berbuat banyak. Bahkan dengan kepergian dua orang itu, tugas kedua prajurit serta kedua anak muda itu menjadi semakin ringan.

Ki Resa yang melihat dua orang berlari-lari ke arahnya segera bersiap. Ki Resa dan Wirantana telah menambatkan kuda mereka pula. Sementara sais dan pembantunya telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Dua orang itu ternyata telah memilih lawan. Seorang langsung menyerang Ki Resa, sedangkan seorang lagi menyerang Wirantana. Pertempuran segera terjadi. Sais dan pembantunya telah bersiap di sebelah menyebelah kereta. Merekalah yang kemudian menjaga Mas Rara dengan mempersiapkan senjata mereka sebaik-baiknya.

Tetapi adalah di luar dugaan setiap orang. Ki Resa yang digelari pembunuh harimau, serta ditakuti oleh banyak orang itu, ternyata tidak mampu bertahan sepenginang. Hanya beberapa saat saja ia bertahan, kemudian terdengar teriakan kesakitan. Sejenak kemudian, Ki Resa telah berguling jatuh.

Sementara itu, Wirantana masih bertahan sekuat tenaganya. Tanpa mengenal gentar, ia bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuannya. Ia memang mampu mendesak lawannya yang justru semakin lama menjadi semakin jauh dari kereta kuda itu.

Namun Wirantana menjadi sangat gelisah ketika ia melihat pamannya jatuh terguling dan tidak bergerak lagi. Sementara itu, ia tidak dapat berbuat apa-apa, karena ia masih terikat dalam pertempuran melawan seorang lawannya. Tetapi Wirantana masih berpengharapan. Kedua orang sais dan pembantunya itu dengan serta merta telah menyerang orang yang telah menjatuhkan Ki Resa.

Ledakan cambuk mulai terdengar memekakkan telinga. Ternyata bahwa ujung cambuk yang menggeliat dan menghentak-hentak itu telah mendesak orang yang berusaha untuk dapat menggapai kereta kuda yang didalamnya terdapat Mas Rara itu...

Selanjutnya,
Mas Rara Bagian 06

Mas Rara Bagian 05

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
SEMENTARA, iring-iringan itu telah mendekati regol halaman rumah Ki Partija yang sudah mengetahui akan kedatangan iring-iringan itu. Karena itu, bersama beberapa orang tua, bahkan Ki Bekel pedukuhan Nguter, serta dua utusan yang terdahulu, Ki Partija Wirasentana menyambut iring-iringan yang datang itu di regol halaman rumahnya.

Sejenak kemudian, maka para tamu itu telah berada di pendapa induk di atas tikar pandan yang putih. Sementara beberapa orang pembantu di rumah Ki Partija telah menerima kuda-kuda para tamu dan menambatkannya di patok-patok yang sudah tersedia.

Selelah masing-masing pihak saling menyatakan keselamatan mereka, maka orang tertua dari utusan Raden Panji Prungpranata itupun telah menyampaikan pesan serta tugas kedatangan mereka ke rumah Ki Partija Wirasentana itu.

Memang bukan satu hal yang baru, karena masing-masing pihak telah mengetahui kepentingan kedatangan utusan itu. Ki Bekellah yang mewakili Ki Partija Wirasentana menerima utusun itu dan menerima pesan-pesannya. Kemudian atas nama Ki Partija Wirasentana mengucapkan terimakasih atas perkenan Raden Panji Prangpranata untuk menjemput anak gadisnya.

Sementara itu, Ki Resa pun telah berada pula diantara mereka. Dengan sikap yang sangat ramah ia ikut serta memberikan beberapa keterangan tentang Mas Rara dan keadaannya. Ketika pembicaraan mereka sampai pada keberangkatan Mas Rara esok ke rumah Raden Panji, maka pada kesempatan itulah Ki Partija Wirasentana menceriterakan bahwa telah terjadi usaha perampokan di rumah itu.

Para utusan itu terkejut. Demikian pula utusan yang telah datang sebelumnya. Bahwa dengan serta merta kedua utusan itu bertanya hampir berbareng “Kenapa Ki Partija tidak pernah mengatakannya sebelumnya?”

“Aku memang menunggu sampai semuanya hadir.“ jawab Ki Partija Wirasentana, “Dengan demikian, maka kita akan dapat membicarakannya bersama-sama sehubungan dengan akan keberangkatan Mas Rara esok. Ki Bekel telah memperingatkan kepadaku, bahwa yang dapat terjadi mungkin sekali bukan sekedar perampokan harta benda, tetapi juga usaha untuk menangkap Mas Rara, membawanya dan menjadikannya taruhan untuk mendapat uang tebusan sebanyak-banyaknya.”

Orang tertua diantara para utusan itu mengangguk-angguk. Namun dengan menyesal orang itu berkata “Kenapa Ki Partija tidak memberitahukan hal itu kepada Raden Panji”

Sebelum Ki Partija menjawab, Ki Resalah yang telah menjawab lebih dulu “Kami tidak ingin terlalu menggantungkan diri kepada Raden Panji. Bukan karena kami tidak yakin bahwa Raden Panji tentu akan menolong. Tetapi kami tidak ingin memberikan kesan, bahwa kami menjadi terlalu manja. Segala sesuatunya kami bebankan kepada Raden Panji. Karena itu, hal-hal yang dapat kami selesaikan, telah kami selesaikan sendiri”

Utusan Raden Panji itu mengangguk-angguk. Sementara Ki Resa berkata selanjutnya “Jika para utusan Raden Panji tidak berkeberatan, biarlah besok aku ikut mengantarkan Mas Rara sampai ke rumah Raden Panji”

Utusan yang tertua itu tersenyum. Katanya “Jika hal itu merepotkan Ki Resa, aku kira tidak perlu Ki Resa lakukan. Kami sudah menjadi dua belas orang. Tentu sudah cukup banyak. Kami kebetulan adalah prajurit-prajurit Pajang yang setidak-tidaknya telah dibekali dengan kemampuan olah kanuragan serba sedikit, sehingga jika ada yang berniat jahat, maka kami akan berusaha mengatasinya."

“Aku percaya sepenuhnya...“ jawab Ki Resa “jika aku ingin ikut serta, semata-mata karena kecintaan orangtua terhadap anaknya yang sulit untuk disembunyikannya. Jika aku tidak ikut dalam iring-iringan besok, maka aku justru akan menjadi sangat gelisah untuk waktu yang lama. Tetapi jika aku ikut serta, maka sekembalinya aku dari rumah Raden Panji, maka aku akan dapat segera tidur nyenyak karena aku tahu bahwa anakku itu sudah selamat sampai ketujuan”

Utusan yang tertua itu tersenyum. Katanya. “Ternyata bahwa keluarga Ki Partija Wirasentana adalah keluarga yang sangat akrab, menjunjung tinggi harga diri dan kewibawaan. Itulah sebabnya, maka keluarga ini telah menerima anugerah sehingga seorang diantaranya, telah mencuat dari antara sasamanya, karena akan menjadi isteri seorang yang terpandang, berkuasa dan berwibawa pula”

“Ah, Ki Sanak terlalu memuji“ berkata Ki Partija Wirasentana segala sesuatunya kami kembalikan kepada kurnia Yang Maha Agung”

Sementara itu, maka hidanganpun segera telah dihidangkan. Ki Bekel atas nama Ki Partija telah mempersilahkan para tamu baik utusan dari Raden Panji maupun orang-orang tua dari padukuhan Nguter untuk minum dan makan makanan yang disuguhkan.

Dalam pada itu, ketika pembicaraan dilanjutkan, maka setelah beberapa kali ditanyakan kepada Mas Rara yang terpaksa hadir dalam pembicaraan itu, gadis itu berkeberatan jika harus naik kuda dengan cara apapun. Karena itu, maka berkali-kali ia berkata dengan nada dalam hampir tidak terdengar oleh orang lain, “Aku akan berjalan kaki saja...!”

“Tidak...!“ berkata ayahnya “jika kau berkeberatan untuk naik kuda, maka kau akan dibawa dengun tandu. Mereka akan membawamu dengan tandu berganti-ganti empat orang pada setiap giliran."

“Tidak. Aku juga tidak mau naik tandu. Aku akan berjalan kaki saja” Jawab Mas Rara.

“Jangan mempersulit tugas para utusan itu Mas Rara“ berkata ayahnya “kesannya tentu kurang baik. Kau akan disangka menjadi terlalu manja”

“Tidak. Aku justru tidak mau bermanja-manja. Aku akan berjalan kaki. Bukankah hal itu telah terbiasa aku lakukan” berkata Mas Rara.

Ayahnya memang menjadi agak kebingungan. Karena itu, maka ia masih belum dapat memberikan jawaban kepada utusan yang datang itu.

Namun tiba-tiba Wirantana berkata “Ayah. Bagaimana jika Mas Rara naik pedati yang ditarik dengan seekor kuda”

Ayahnya mengerutkan keningnya. Sementara Wirantana berkata “Bukankah Ki Jagabaya dari Kademangan mempunyai sejenis pedati yang ditarik oleh seekor kuda”

Ayahnya mengangguk-angguk. Desisnya “Kereta kuda!”

Ki Bekel mengangguk-angguk pula. Katanya “Ya. Ki Jagabaya dari Kademangan memang banyak akalnya. la telah membuat sebuah kereta kuda yang cukup bagus. Aku kira Ki Jagabaya tidak akan berkeberatan untuk dipergunukan”

Ki Partija Wirasentana termangu-mangu sejenak. Pendapat Wirantana memang menarik. Meminjam kereta Ki Jagabaya dari Kademangan, yang juga sudah dikenal baik Ki Partija. Meski hubungan mereka tidak terlalu dekat, tapi dengan pengaruh Ki Bekel. Ki Jagabaya akan bersedia meminjamkannya.

Namun agaknya Ki Resa bersikap lain. Katanya Apakah pantas kita mengganggu Ki Jagabaya, yang selama ini tidak tahu menahu tentang persoalan yang kita hadapi”

“Ah“ sahut Ki Bekel “Ki Jagabaya tentu sudah mendengar bahwa Mas Rara akan menjadi istri Raden Panji Prangpranata. Ki Jagabaya juga tahu siapa Raden Panji itu. Mungkin itu satu-sutunya pemecahan, selain mengikuti keinginan Mas Rara untuk berjalan kaki. Tapi jika Mas Rara benar-benar akan berjalan kaki, maka kuda-kuda yang dibawa para utusan tidak ada gunanya. Semua orang yang menjemputnya tentu akan berjalan kaki pula."

“Jika bukan Ki Jagabaya, kita juga harus memikirkan Raden Panji itu sendiri. Apa pantas bahwa bakal istri Raden Panji mempergunakan sebuah kereta pinjaman” berkata Ki Resa kemudian.

Tetapi salah seorang dari utusan Raden Panji berkata “Aku kira, jika itu pemecahan terbaik, Raden Panji tidak akan keberatan. Kereta itu tentu akan segera dikembalikan. Bahkan Raden Panji tentu akan sangat berterima kasih pada Ki Jagabaya”

Ki Resa menarik nafas dalam-dalam. Tapi ia segera tersenyum sambil berkata ”Jika demikian, maka tentu tidak akan ada keberatannya lagi”

“Tetapi semuanya harus diselesaikan hari ini. Besok kita akan berangkat pagi-pagi” berkata salah seorang utusan itu.

Ki Partija pun kemudian telah mempersilahkan tamu-tamunya untuk beristirahat di tempat yang sudah disediakan. Sementara itu, ia sendiri akan pergi ke rumah Ki Jagabaya di padukuhan lain bersama Ki Bekel.

Ternyata Ki Partija tidak menemui kesulitan. Ki Jagabaya dengan senang hati meminjamkan kereta kudanya. Bahkan katanya,

“Biarlah kusirnya ikut serta. Ia tentu tidak akan keberatan. Selain ia memang terbiasa mengendalikan kuda penarik kereta itu, ia adalah orang yang ikut membuat kereta itu. Tetapi sudah tentu kecepatan kereta kudaku tidak akan dapat menyamai kecepatan kuda yang berlari tanpa beban. Apalagi keretaku kalau dibawa lari terlalu kencang, rodanya akan dapat lepas dari porosnya”

Ki Bekel tertawa. Ki Jagabaya pun tertawa pula. Sementara itu Ki Partija berkata “Bukankah itu jauh lebih baik dari pada anak gadisku berjalan kaki? la benar-benar tidak mau naik kuda dengan cara apapun. Ia juga tidak mau dibawa dengan tandu. la ingin berjalan kaki. Kereta Ki Jagabaya menjadi sutu-satunya jalan keluar terbaik”

“Silahkan, silahkan“ berkata Ki Jagabaya dengan ramah “Orangku akan mengurus segala sesuatunya mengenai kereta dan kuda itu. Kebetulan ia juga pandai menyabit rumput. Aku tahu siapa calon suami Mas Rara. Adalah satu kehormatan bagiku bila Mas Rara bersedia naik kereta kudaku”

Ki Partija menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah mendapatkan pemecahan atas kesulitannya. Karena itu, berkali-kali dia mengucapkan terima kasih. “Besok, sebelum fajar. kereta itu sudah berada di rumah Ki Partija" berkata Ki Jagabaya “Biarlah malam ini segala sesuatunya dibenahi”

Ki Partija bersama Ki Bekel kemudian mohon diri. Ki Bekel ternyata tidak lagi kembali ke rumah Ki Partija.

“Besok pagi-pagi aku akan datang“ berkata Ki Bekel.

Ketika Ki Partija kemudian sampai di rumahnya, masih ada beberapa orang yang menunggu untuk mendengarkan keterangannya, apakah kereta itu dapat dipinjamkan atau tidak.

"Ki Jagabaya sangat baik. Selain keretanya juga sais, gamel serta pekatiknya juga dipinjamkannya. Besok, menjelang fajar, kereta itu sudah berada disini” berkata Ki Partija.

"Sukurlah!" berkata seorang diantara tetangganya, "Aku ikut memikirkan, bagaimana perjalanan Mas Rara nanti. Tetapi nampaknya kereta itu cukup memadai, meski tidak akan dapat berlari cepat”

Dengan demikian, tetangga-tetangganya kemudian minta diri untuk pulang. Besok mereka akan datang kembali untuk melepas Mas Rara yang akan pergi ke rumah bakal suaminya, menjelang hari perkawinannya.

Malam itu, semua keluarga Ki Partija hampir tidak dapat tidur. Ki Partija duduk di bibir pembaringannya. Demikian pula Nyi Partija. Rasa-rasanya hati mereka pedih berpisah dengan gadisnya, meski gadis itu akan kawin. Seakan-akan mereka akan kehilangan hartanya yang paling berharga. Bahkan Nyi Partija mulai terdengar terisak.

Ki Partija menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada lembut, ia berkata “Sudahlah Nyi. Kita justru harus berdoa agar anak kita menemukan kebahagiaan di hari depannya. Apalagi menurut perhitungan lahiriah, Raden Panji adalah orang berkuasa, kaya dan bersungguh-sungguh”

Nyi Partija masih saja menitikkan airmata, tapi ia tidak mengatakan sesuatu. Sebenarnya, Ki Partija juga merasa sedih harus melepaskan anak gadisnya. Ada sesuatu yang tidak dapat dikatakan kepada siapapun juga, selain harus dipikulnya sendiri. Ia tidak pernah membicarakannya dengan siapapun, juga pada isterinya, karena ia tidak ingin membebani perasaan siapapun.

Sementara itu, Mus Rara sendiri juga tidak dapat tidur di dalam kamarnya. Meski ia berbaring, matanya tetap terbuka memandangi langit-langit di atas biliknya. Dari matanya, meleleh air bening. Namun Mas Rara tidak mengeluh. Tidak ada orang yang mau mendengarkannya. Semua orang menganggap bahwa dia akan menjadi sangat bahagia. Ia akan menjadi gadis yang dapat menjunjung derajat orang tuanya, karena berhasil jadi istri orang besar.

Wirantana pun tidak bisa tidur. Ia menjadi gelisah didalam biliknya. Sementara Manggada dan Laksana yang juga berada dibilik itu, ikut-ikutan tak bisa tidur. Kegelisahan Wirantana membuat Manggada dan Laksana ketularan.

“Sudahlah“ berkata Manggada yang kemudian bangkit duduk “Seharusnya kau bersukur karena adikmu akan segera kawin dengan orang terpandang”

“Tetapi rasa-rasanya ada sesuatu yang tersembunyi dari peristiwa ini. Ayah dan ibu nampaknya tidak terbuka“ berkata Wirantana ”Sejak aku kembali dari berguru, aku merasakan sesuatu yang tidak wajar. Juga pada paman Resa. Entahlah, aku merasa menjadi orang asing di rumah ini. Tidak seperti waktu aku belum meninggalkan rumah ini. Semuanya akrab dan saling terbuka. Tidak ada rahasia yang menyelubungi rumah ini. Apalagi penghuninya”

“Tidurlah“ berkata Manggada kau harus beristirahat”

“Esok aku akan ikut. Boleh tidak boleh. Paman Resa juga akan ikut. Ada sesuatu yang mendesakku untuk ikut. Mungkin bahaya sedang mengancam Mas Rara, sehingga paman dan aku didorong oleh naluri untuk menyelamatkan Mas Rara”

“Perasaanmu terlalu peka. Mungkin karena kau terlalu sayang pada adikmu, sebagairnana Ki Resa sayang pada kemenakannya” berkata Laksana sambil berbaring. Ia sudah menutupi kedua matanya dengan lengan agar dapat tidur. Tetapi pembicaraan antara Wirantana dan Manggada semakin membuatnya gelisah dan tidak dapat tidur.

“Mungkin. Tapi aku tidak dapat menyingkirkannya“ berkata Wirantana ”Bukankah besok paman ikut pula. Sais kereta kudu Ki Jagabaya juga akan ikut serta. Bukankah dengan demikian aku mempunyai kawan dalam perjalanan pulang ke padukuhan ini”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Namun Laksana masih juga berkata “Sekarang tidurlah. Besok kita akan bangun pagi-pagi”

Wirantana mengangguk. Ia pun kemudian telah berbaring pula diamben yang cukup besar untuk mereka bertiga. Gandok sebelah menyebelah telah diperuntukkan bagi para tamu sehingga Manggada dan Laksana harus berada pula di bilik Wirantana. Yang tidak nampak di rumah itu kemudian adalah Ki Resa. Seperti malam-malam sebelumnya, ia bagaikan telah hilang. Telapi sebelum fajar ia telah berada di rumah itu kembali.

Di dini hari, maka semua orang telah terbangun. Mereka segera bersiap-siap, agar sebelum matahari terbit, mereka dapat mulai dengan perjalanan menuju ke rumah Raden Panji Prangpranata. Menjelang fajar semuanya telah bersiap di pendapa. Hidanganpun telah disuguhkan pula. Mas Rara juga sudah berbenah diri dan berpakaian rapi meskipun tidak berpakaian pengantin.

Ki Partija terkejut ketika ia melihat Wirantana pun telah bersiap. Karena itu, maka Ki Partija telah memanggilnya dan bertanya. “Kau akan pergi kemana?”

“Aku akan menyertai perjalanan Mas Rara” Jawab Wirantana.

“Untuk apa? Sudah banyak pengawal yang mengantarkannya. Pamanmu, bahkan akan ikut pula“ berkata ayahnya.

Sementara Ki Resa yang ada disebelahnya telah berkata. “Kau tidak usah berbuat aneh-aneh Wirantana. Kau tidak perlu ikut mengantar Mas Rara. Kau dapat menyinggung perasaan para utusan itu, karena kita seakan-akan tidak mempercayainya. Bahkan aku akan ikut serta itupun telah aku pertimbangkan berulang kali. Tetapi rasa-rasanya ada sesuatu yang telah mendesak, sehingga aku merasa berkewajiban untuk ikut serta”

Wirantana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata. “Aku tidak ingin melepas kedua anak muda yang telah menolong Mas Rara, sebagai pernyataan terima kasih. Bukankah keduanya telah dipanggil oleh Raden Panji Prangpranata”

“Kenapa kau harus melepas mereka sampai ke rumah Raden Panji? Bukankah kau dapat melepas mereka di halaman ini saja” bertanya Ki Resa.

Tetapi jawab Wirantana “Aku akan mengawani paman pulang. Mengawani sais pedati kuda itu”

Ki Partija menjadi bingung. Soal perjalanan Mas Rara sudah teratasi, Ki Jagabaya telah mengirimkan kereta kuda yang dijanjikannya. Namun tiba-tiba saja Wirantana berniat untuk ikut.

Ketika hal itu diketahui utusan Raden Panji, ia berkata, “Tidak ada keberatannya. Jika kakak Mas Rara ingin ikut, ada baiknya. Biar Raden Panji bisa mengenal kakak iparnya, di samping Ki Resa yang akan mewakili Ki Partija menyerahkan Mas Rara”

Ki Resa termangu-mangu sejenak. Tapi Ki Partija kemudian berkata “Jika demikian, baiklah. Biar Wirantana ikut mengantarkan Mas Rara, serta melepas kedua anak muda yang telah menyelamatkan nyawa adiknya”

Ki Resa ternyata masih juga bergumam “Kau masih seperti kanak-kanak saja Wirantana. Ingin ikut-ikutan apapun yang dilakukan oleh orang lain”

Wirantana tidak menjawab. Ia memang agak takut dan menghormati pamannya. Namun rasa-rasanya ada dorongan kuat yang memaksanya ikut dalam iring-iringan itu. Demikianlah. Saat langit makin cerah, iring-iringan siap. Begitu matahari tarbit. mereka berangkat meninggalkan halaman rumah itu.

Nyai Partija tidak dapat menahan tangisnya ketika ia melepas Mas Rara dan membantunya naik ke atas pedati. Diciuminya anak gadis itu beberapa kali, sehingga wajahnya basah airmata. Apalagi ketika ia melihat bahwa Mas Rara tidak lagi menangis seperti dirinya.

Meskipun matanya basah, tapi wajah gadis itu seakan kosong. Mas Rara sudah kehilangan perasaannya, sehingga ia tidak dapat lagi merasakan perpisahan itu.

“Mas Rara...!“ desis ibunya.

Mas Rara hanya berkata lirih “Tubuhku bukan milikku lagi ibu. Aku tidak perlu menangisinya”

“Tidak anakku, tidak!“ Nyi Partija hampir menjerit sehingga semua orang berpaling padanya.

“Jangan menangis ibu“ bisik Mas Rara yang berkaca-kaca “Bukankah aku akan kawin dengan orang berkedudukan tinggi, kaya raya dan berkuasa”

Ibunya justru memeluk anaknya semakin erat. Namun Ki Partija mendekatinya sambil berkata. “Sudahlah Nyi. Semuanya sudah siap berangkat”

Ki Partija kemudian menggandeng istrinya mundur. Sementura itu, pemimpin utusan Raden Panji telah sekali lagi minta diri. Sejenak kemudian, iring-iringan itu berangkat meninggalkan halaman rumah Ki Partija. Nyi Partija menjerit, seakan-akan melepas mayat anaknya untuk dibawa ke kubur.

Sebaliknya, Ki Bekel dan beberapa bebahu desa yang ikut melepas keberangkatan Mas Rara, yang didampingi Ki Resi, Wirantana, Manggada dan Laksana, nampak cerah wajahnya. Seolah-olah mereka bisa merasakan kebahagiaan yang nantinya bakal diperoleh Mas Rara beserta orangtua dan saudaranya. Oleh karenanya mereka tidak terlalu memperhatikan apa yang dilakukan Nyi Partija Wirasentana.

Kebahagiaan Mas Rara dan Ki Partija, berarti pula kebahagiaan seluruh penduduk pedukuhan Nguter. Kenapa Nyi Partija jadi histeris dan nelangsa, mereka sama sekali tak tahu dan tak habis pikir. Tapi mereka memupusnya dengan anggapan bahwa apa yang diperbuat Nyi Partija adalah luapan rasa seorang ibu yang akan ditinggal anak tercintanya. Bukan apa-apa, sehingga tak perlu dikhawatirkan.

Ki Bekelpun tetap tersenyum melihat iring-iringan yang sudah keluar dari halaman rumah Ki Partija. Tangannya masih tetap melambai-lambai. Seakan-akan dialah Ki Partija yang berbahagia.

Tak lama kemudian, iring-iringan itu sudah menyusuri jalan-jalan padukuhan Nguter. Berjejal orang yang ingin melihat keberangkatan Mas Rara dengan pedati yang ditarik seekor kuda besar milik Ki Jagabaya. Sebuah kereta kuda yang sangat menyenangkan.

“Satu perjalanan yang sangat menarik“ seorang perempuan separo baya berdesis “sebentar lagi, Mas Rara akan membuat kedua orangtuanya jadi orang sangat dihormati. Selama ini Ki Partija adalah orang yang baik. Anak-anaknya juga baik dan cukup ramah. Mudah-mudahan kelak mereka tidak berubah!”

Tetapi di halaman rumah Ki Partija, beberapa orang jadi heran melihat sikap Nyi Partija. Namun mereka hanya menduga perempuan itu sangat mengasihi anaknya sehingga merasa segan melepaskannya, meski untuk menjalani masa yang harus dijalani setiap orang. Perkawinan.

Demikianlah, iring-iringan itu berjalan agak lebih cepat. Meski tak dapat berpacu dengan kuda-kuda lepas, tapi karena itu tidak merambat sebagaimana pedati yang ditarik seekor lembu.

Ketika matahari naik, mereka sudah berada di bulak panjang. Orang-orang yang kebetulan ada di sawah, berlari-lari melintasi pematang menuju jalan untuk melihat apa yang sebenarnya lewat. Beberapa diantara mereka memang tahu bahwa hari itu Mas Rara telah dijemput oleh utusan bakal suaminya. Raden Panji Prangpranata, seorang berkedudukan tinggi.

Iring-iringan itu berjalan terus. Wirantana, Manggada dan Laksana berada tepat di belakang kereta kuda yang ditumpangi Mas Rara, yang duduk di dalam kereta sambil menunduk. Seakan-akan tidak lagi tertarik pada apapun di sekitarnya. Mas Rara tidak lagi ingin melihat sawah yang menghijau, atau perbukitan yang kemerah-merahan yang disirami sinar matahari pagi.

Di bagian depan kereta, duduk dua orang yang saling berdiam diri. Keduanya adalah sais dan pembantunya. Di sisi pedati itu, terikat seekor kuda cadangan jika kuda penarik pedati letih.

Ki Resa berada paling depan bersama pemimpin utusan Raden Panji yang memimpin utusan Raden Panji yang menjemput Mas Rara. Sebab Ki Resa adalah wakil Ki Partija menyerahkan Mas Rara pada keluarga, Raden Panji Prangpranata.

Iring-iringan itu memang sangat menarik perhatian. Tiap melewati padukuhan, selain ada yang bertanya siapakah yang sebenarnya lewat, dan mereka berjejal di sepanjang jalan.

Menjelang matahari menggapai puncak langit, panasnya mulai menyengat kulit. Untunglah pedati Ki Jagabaya dilengkapi atap dari anyaman bambu sehingga Mas Rara tidak mengalami cubitan matahari. Namun demikian, keringat membasahi seluruh tubuhnya. Bukan saja karena udara yang panas, tapi juga karena kegelisahan yang mencengkam.

Beberapa saat kemudian, iring-iringan itu telah mendekati jalan yang menyusup di celah-celah bukit kecil di sebelah kanan dan kiri jalan. Hutan kecil menyelimuti kedua bukit itu, sehingga rasa-rasanya iring-iringan itu akan memasuki satu daerah yang jarang dilalui orang meskipun jalan itu merupakan satu-satunya jalan menuju ke rumah Raden Panji.

Yang tidak diduga oleh iring-iringan itu adalah bahwa di bukit sebelah kiri sekelompok orang telah menunggu. Bahkan beberapa diantara mereka rasa-rasanya sudah tidak sabar lagi, sehingga dipanasnya matahari siang mereka berdiri mengamati jalan.

Namun orang-orang itu sempat mengumpat-umpat. Matahari semakin panas, tapi iring-iringan itu belum nampak. Kawan-kawannya yang berlindung di bawah rimbunnya pepohonan sempat menertawakannya. Seorang yang bertubuh gemuk dengan perut besar berkata.

“Sudahlah. Mereka tidak akan lolos dari tangan kita. Tunggulah dengan tenang di sini”

“Setan kau“ geram seorang yang bertubuh tinggi berkumis lebat “Bagamiana jika mereka merubah rencana mereka”

“Tidak. Mereka tidak akan merubah rencana“ jawab orang yang bermata seperti matu burung hantu.

Mereka pun terdiam. Sementara matahari menjadi semakin tinggi. Tapi tiba-tiba saja orang yang berdiri di atas sebongkah batu padas berkata lantang “Itulah. Iring-iringan itu mulai nampak”

Yang bertubuh gemuk tertawa “Nah, kau yakin sekarang...!”

“Tutup mulutmu...!“ geram yang berkumis lebat. Orang-orang itu segera menempatkan dirinya sesuai perintah sambil menunggu iring-iringan sampai. Namun pemimpin dari kelompok itu bertanya “Berapa orang bersama kita sekarang”

“Duapuluh orang“ sahut orang yang bertubuh tinggi berkumis lebat itu.

“Sudah jauh dari cukup“ sahut orang yang bertubuh gemuk “menurut perhitunganku, sepuluh orang saja sudah cukup”

“Mereka semuanya berjumlah sekitar limabelas orang“ berkata pemimpin kelompok itu.

“Tetapi mereka adalah tikus-tikus kecil yang tidak mampu berbuat banyak. Mereka memang prajurit-prajurit. Tetapi mereka prajurit kehormatan yang tugasnya hanya berjaga-jaga di regol bangsawan. Sesekali berbaris memberikan penghormatan. Kemudian kembali ke gardu minum-minuman panas dengan gula kelapa. Sagon yang hangat dan hawug-hawug manis. Itu saja”

“Jangan merendahkan kemampuan mereka“ berkata pemimpin kelompok itu “kita harus dapat membawa Mas Rara hidup-hidup. Jika ia berniat membunuh diri, kita harus mencegahnya. Sementara itu, harta kekayaan, emas dan perhiasan yang ada dan dipakai oleh Mas Rara atau dibawa iring-iringan itu menjadi milik kita selain upah yang di terima”

“Kita tidak akan gagal. Kita dengan dua puluh orang adalah kekuatan yang selama ini belum pernah kita himpun. Sekarang kita berkesempatan untuk mencoba, apakah kekuatan ini bukan berarti banjir bandang yang tidak akan dapat dibendung oleh siapapun” sahut orang yang bertubuh tinggi berkumis lebat itu.

Pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Ia yakin akan kekuatannya. Apalagi jumlah mereka ternyata lebih banyak dari iring-iringan itu. Menurut ukuran mereka, seorang lawan seorang pun mereka akan menang. Apalagi menurut perkiraan, prajurit kehormutan itu bukan prajurit yang mampu bermain senjata. Mereka hanya bisa berbaris dan memberi hormat para pemimpin dan Senapati yang lewat dihadapan mereka.

Makin lama, iring-iringan itu makin dekat. Duapuluh orang yang menunggu itu telah bersembunyi dibalik bebatuan, gumpalan-gumpalan padas, rimbunnya gerumbul-gerumbul perdu di lereng bukit dan semak-semak.

Di sepanjang perjalanan, Ki Resa lebih banyak bicara pada pemimpin utusan Raden Panji. Dengan ramah, diceriterakannya lingkungan yang mereka lewati. Nama-nama padukuhan, perbukitan dan sungai-sungai yang mengalir ditengah-tengah persawahan. Bahkan sungai-sungai yang kecil sekalipun juga diceriterakannya. Termasuk kebiasaan sungai-sungai itu pada musim basah maupun kering.

Pemimpin pasukan utusan Raden Panji itu tidak ingin mengecewakan Ki Resa yang begitu ramah. Sesekali terdengar suara tawanya. Namun dengan demikian, pimpinan utusan itu tidak sempat memperhatikan jalan dihadapannya.

Tapi Manggada dan Laksana yang pernah mendapat pengalaman berat di daerah perbukitan, diluar kehendak mereka, telah memperhatikan pepohonan dilereng bukit kecil yang dikiri-kanan jalan yang mereka lewati itu. Naluri mereka sebagai pengembara, telah memperingatkan mereka bahwa celah-celah bukit itu adalah lingkungan yang berbahaya.

Keduanya ternyata telah melihat sesuatu. Mereka melihat ujung batang ilalang bergerak-bergerak. Bukan oleh angin, karena geruknya tidak merata. Demikian pula pada gerumbul perdu liar. Ketika Manggada menggamit Laksana, sebelum mengatakan sesuatu. Laksanalah yang justru berdesis. “Angin yang aneh itu”

“Ya...!“ sahut Manggada.

“Apa yang kalian katakan?” bertanya Wirantana.

“Ada, yang kurang wajar dibalik semak-semak dilereng bukit kecil itu.“ desis Manggada.

Wirantana coba memperhatikannya. Tapi ketajaman penglihatan dan penggraitanya tidak setajam Manggada dan Laksana. Hanya dengan memusatkan segenap perhatiannya, akhirnya Wirantana melihat juga keanehan itu.

“Aku akan memberitahu paman!“ berkata Wirantana.

Tetapi Manggada menggeleng. Katanya “Jangan. Aku akan berbicara dengan pimpinan prajurit yang menjemput adikmu”

Wirantana termangu-mangu sejenak. Tapi ia kemudian mengangguk dan berkata “Terserah padamu”

Manggada kemudian mempercepat kudanya, melintasi kereta kuda dan kemudian berderap disebelah pemimpin prajurit utusan itu. Ternyata sikap Manggada bukan lagi sikap anak-anak muda yang kerjanya hanya berkelakar dan sesekali bergurau dengan para peronda digardu jika tidak sedang berada di sanggar. Dengan sikap seorang yang memiliki ketajaman penglihatan, ia berkata.

“Aku melihat sesuatu yang tidak wajar dibalik gerumbul-gerumbul perdu dan batang ilalang liar itu”

Pemimpin utusan yang lebih banyak mendengarkan cerita Ki Resa itu tersentak. Ia sadar bahwa iring-iringan itu akan memasuki daerah berbahaya. Bukit kecil yang lerengnya ditumbuhi pohon-pohon perdu rimbun serta batu-batu padas.

Namun Ki Resa yang juga terkejut mendengar laporan Manggada itu memotong hampir diluar sadarnya “Kau jangan mengigau anak iblis”

“Aku minta kalian memperhatikannya“ sahut Manggada.

“Setiap hari aku melewati daerah ini. Aku tidak pernah mendapat kesulitan apa-apa“ jawab Ki Resa.

Tetapi perhatian pemimpin utusan itu telah tertuju pada lereng bukit kecil sebelah-menyebelah jalan yang mereka lalui itu. Jaraknya sudah menjadi makin dekat, sehingga pemimpin utusan itu tiba-tiba menghentikan iring-iringan.

Ketika ia mengangkat tangannya untuk memberi isyarat, Ki Resa justru bertanya "Kenapa kita harus berhenti disini? Apakah igauan anak itu pantas diperhatikan?”

Pemimpin prajurit itu tidak menjawab. Ia mulai melihat gerakan dedaunan yang tidak wajar. Apalagi orang-orang yang bersembunyi dibalik dedaunan itu telah mengumpat-umpat karena iring-iringan itu berhenti. Dengan demikian, guncangan tubuhnya telah menggerakkan dedaunan tempat mereka berlindung.

“Ki Resa...“ berkata pemimpin utusan itu “Aku minta Ki Resa memperhatikan dengan sungguh-sungguh.”

Ki Resa termangu-mangu sejenak. Ia kemudian melihat juga getar dedaunan. Bukan karena angin. Tetapi Ki Resa kemudian bertanya “Tetapi bukankah kemarin iring-iringan ini juga melewati jalan itu”

“Ya. Tapi ketika kami datang, kami tidak membawa barang-barang berharga, karena barang-barang itu telah lebih dulu sampai dan kemudian sekelompok orang telah berusaha merampoknya. Agaknya orang-orang itu terlambat mengetahuinya. Saat ini, mereka tentu menyangka barang-barang itu dipakai oleh Mas Rara, sehingga mereka berusaha untuk merampasnya” berkata pemimpin prajurit itu.

Ki Resa termangu-mangu. Wajahnya menjadi tegang, sehingga tidak sesadarnya ia menggeram. Pemimpin prajurit itu melihat betapa jantung Ki Resa bergejolak. Karena itu ia berkata “Sebaiknya kita jangan kehilangan pegangan. Kita hadapi segalanya dengan kekuatan dan penalaran jernih. Jika kita mata gelap, kita akan kehilangan beberapa kemungkinan terbaik yang dapat kita lakukan”

“Setan itu harus dihancurkan sampai lumat...“ geram Ki Resa.

“Kita belum tahu kekuatan mereka. Karena itu kita harus hati-hati” kata pemimpin utusan itu.

Beberapa saat iring-iringan itu tidak bergerak. Sementara Wirantana mendekati adiknya yang mulai ketakutan. Tapi Mas Rara masih saja menunduk dalam-dalam.

Laksana kemudian berdesis pada Wirantana “Jaga adikmu baik-baik. Mungkin akan ada usaha menculiknya. Dengan menguasai adikmu, orang-orang itu akan dapat minta tebusan sebanyak-banyaknya pada Raden Panji."

Wirantana mengangguk. Tiba-tiba giginya jadi gemeretak. Katanya. “Inilah agaknya yang menggelitik aku untuk ikut dalam iring-iringan ini”

Sementara itu, kedua orang yang duduk di pedati itu telah memutar pedangnya dan meletakkannya di pangkuan mereka. Sementara itu, seorang diantaranya telah meraih cambuk yang besar, yang sebelumnya hanya merupakan hiasan saja di bagian depan keretanya. Seluruh kekuatan yang mengawal Mas Rara telah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.

Pemimpin utusan itu telah menepuk pundak Manggada sambil berkata “Terimakasih anak muda. Ternyata kelebihanmu tidak hanya sekadar membunuh seekor harimau. Tetapi kau memiliki ketajaman penglihatan melampaui seorang prajurit, karena kaulah yang pertama kali sempat melihatnya, meskipun aku membawa sekelompok prajurit”

Manggada tidak menjawab. Tetapi tatapan matanya tidak lepas dari lereng bukit kecil yang sudah terlalu dekat didepannya. Sebenarnyalah, bahwa beberapa orang prajurit telah mempersiapkan senjata jarak jauh mereka. Beberapa orang dengan tangkasnya telah menarik busur yang semula terselip dalam endong yang tergantung pada ikat pinggang para prajurit itu, siap untuk dipasang di busurnya.

Wajah Ki Resa yang menjadi tegang dan kemerah-merahan itu bagaikan tersentuh lidah api. Giginya gemeretak dan sesekali terdengar geramnya yang garang. “Kita akan menyerang mereka“ berkata Ki Resa.

“Jangan tergesa-gesa!“ berkata pemimpin prajurit itu “Mereka mempunyai landasan yang jauh lebih baik dari kita. Kita membawa perempuan yang harus mendapat perlindungan khusus. Perempuan itu adalah Mas Rara, bakal isteri Raden Panji”

“Jadi kita akan menunggu disini...?!“ bertanya Ki Resa.

“Kita akan melakukan satu gerakan yang pantas bagi gerakan prajurit. berkata pemimpin utusan itu. Prajurit itu kemudian berdesis kepada Manggada “Kau dan adikmu serta Wirantana sebaiknya menjaga Mas Rara. Kami akan bergerak maju”

Manggada mengangguk-angguk. Ia sadar bahwa tugas itu adalah tugas yang sangat berat. Tetapi nampaknya pemimpin prajurit itu memiliki kepercayaan penuh kepadanya.

“Ki Resa...“ berkata pemimpin utusan itu “Kita akan bergerak maju”

Tetapi jawab Ki Resa “Aku tidak sampai hati meninggalkan anakku dalam keadaan seperti ini. Sebaiknya kita bergerak bersama-sama dan tidak meninggalkan Mas Rara disini”

“Itu berbahaya sekali“ berkata pemimpin prajurit itu. Kita percayakan Mas Rara kepada beberapa orang yang memiliki kemampuan untuk menjaganya. Sementara itu, kita akan melihat suasana. Jika kita harus bergerak mundur, maka kita akan bertempur disini. Tidak dicelah-celah itu”

Ki Resa menjadi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya “Jika kalian akan menyongsong mereka, biarlah aku membantu menjaga Mas Rara di sini. Aku tidak sampai hati meninggalkannya hanya ditunggui anak-anak”

Pemimpin pasukan itu menjadi ragu-ragu. Tapi kemudian katanya “Baiklah. Memang tugas kami menghadapi orang-orang yang mencegat itu. Jika Ki Resa ingin tetap di sini untuk ikut menjaga Mas Rara, silahkan. Kami mengucapkan terima kasih”

Dengan demikian, pemimpin prajurit yang mengawal Mas Rara, termasuk dua utusan yang lebih dulu datang ke rumah Ki Partija, bersiap menyongsong lawan. Mereka turun dari kuda dan mengikatkannya pada batang-batang pohon atau perdu yang tumbuh di pinggir jalan.

Dengan isyarat, pemimpin prajurit itu memerintahkan para prajurit bergerak. Beberapa orang bahkan telah menyiapkan busur, lengkap dengan anak panah yang siap diluncurkan. Tapi pemimpin prajurit itu memberi isyarat bahwa mereka tidak maju lewat jalan yang menembus celah-celah bukit kecil itu. Pemimpin prajurit itu mengisyaratkan agar para prajurit berpencar.

Dengan demikian, mereka bisa mengecoh para pencegat, sambil memecahkan konsentrasi mereka. Tanpa perbuatan semacam itu, mereka bisa terdesak dalam waktu singkat. Sebab mereka belum mengetahui kekuatan para pencegat tersebut.

Untuk memberi semangat kepada para bawahannya, pimpinan prajurit tersebut juga ikut terjun ke gelanggang, sehingga dia bisa langsung mengawasi dan mengkomando bawahannya bila nanti terdesak.

Manggada, Laksana dan Wirantana, tetap di tempat sambil mengamati pembagian tugas berdasar siasat dari pemimpin prajurit. Kendati ada perasaan untuk ikut bersama prajurit itu mendahului menyerbu para pencegat, namun mereka sadar bahwa sasaran utama gerombolan yang akan mencegat iring-iringan itu adalah Mas Rara. Oleh karenanya, mereka menahan keinginan tersebut. Calon istri Raden Panji Prangpranata lebih penting dijaga keselamatannya.

Namun sebelum meninggalkan kereta Mas Rara, pemimpin prajurit itu sempat berbisik di telinga Manggada, tanpa terdengar orang lain “Hati-hati. Dalam keadaan seperti ini, kita pantas mencurigai siapa saja”

Manggada tidak begitu mengerti pesan itu. Tapi ia mencoba untuk memahaminya. Ketika para prajurit mendekati bukit, Manggada telah berada di sebelah kereta Mas Rara. Laksana dan Wirantana pun telah siap menghadapi segala kemungkinan. Sedang di depan kereta itu, Ki Resa telah turun dari kudanya dan mengamati para prajurit dengan seksama.

Kedua orang yang dikirim Ki Jagabaya mula-mula tetap duduk di atas kereta, meski senjata sudah mereka siapkan. Namun akhirnya, kedua orang itu turun juga. Tapi tidak beranjak lebih dua langkah dari kereta mereka.

Seorang diantara mereka justru menggenggam sebuah cambuk besar, yang semula hanya jadi hiasan kereta. Cambuk itu bisa jadi senjata cukup berbahaya. Meski demikian, di lambungnya tetap terselip sebilah pedang. Sedang yang satunya hanya menggeser pedangnya agar siap dicabut jika lawan datang mendekat.

Orang-orang yang bersembunyi di belakang gerumbul-gerumbul liar mengumpat habis-habisan melihat sikap para prajurit. Mereka akhirnya menyadari bahwa prajurit-prajurit itu ternyata bukan sekadar prajurit kehormatan yang hanya bisa berdiri di sebelah regol jika ada tamu terhormat datang ke rumah Raden Panji. Mereka benar-benar prajurit yang siap bertempur.

Apalagi ketika prajurit-prajurit itu kemudian menebar dan siap memanjat bukit. Separo dari mereka di sebelah kiri jalan, sebagian lagi di sebelah kanan. Pemimpin penghadang Mas Rara itu kemudian meneriakkan aba-aba untuk menyerang para prajurit yang mulai memanjat. Tapi para prajurit sudah siap.

Untuk menahan arus serangan, para prajurit yang membawa busur dan anak panah telah menyerang mereka, sehingga orang-orang liar itu terpaksa berhenti untuk menghindar atau menangkis anak-anak panah yang melesat bagai angin itu.

Dengan demikian, pemimpin prajurit sempat menilai lawan-lawannya. Ternyata mereka orang-orang yang memiliki kemampuan dan pengalaman bermain senjata. Anak panah yang dilontarkan para prajurit tidak ada yang langsung dapat menghentikan seorangpun diantara mereka. Dua orang memang terluka lengannya, tapi sama sekali tidak berarti. Darah yang menitik satu-satu, tidak dihiraukannya.

Tapi para prajurit itu benar-benar telah siap. Mereka jadi makin berhati-hati setelah mereka menyadari keadaan lawan. Ketika orang-orang itu menyerang makin dekat, dan busur serta anak panah tak menguntungkan lagi, mereka mencabut senjatanya masing-masing. Ada yang pakai pedang, ada yang pakai tombak pendek.

Sementara senjata lawan-lawan mereka ujudnya cukup mengerikan dan mendirikan bulu tengkuk. Ada yang membawa bindi, tombak bertaji di sebelah mata tombaknya, atau canggah bertangkai pendek. Ada pula yang membawa kapak bertangkai panjang, atau jenis-jenis senjata lainnya.

Para prajurit memang harus benar-benar mengerahkan segenap kemampuannya untuk melawan orang-orang itu, yang menurut pengamatan para prajurit, merupakan gerombolan perampok yang sudah berpengalaman.

Dalam pada itu, dengan isyarat, pemimpin perampok memerintahkan sebagian orang-orangnya untuk langsung menyerang orang-orang yang berjaga-jaga di sekitar kereta yang membawa Mas Rara.

Pemimpin prajurit tidak dapat berbuat banyak. Dalam waktu yang pendek, mereka sudah telah digempur oleh perampok-perampok itu. Meskipun demikian, pemimpin prajurit itu sempat memerintahkan dua orang diantara mereka untuk ikut melindungi Mas Rara.

“Di sana ada Manggada, Laksana. Wirantana dan Ki Resa. Mudah-mudahan kalian akan dapat melindunginya!“ berkata pemimpin prajurit itu.

la tidak dapat pergi ke kereta Mas Rara meski sebenarnya ia ingin melakukannya. Sebab ia harus mengatur prajurit-prajuritnya lebih dulu menghadapi kelompok orang kasar dan liar itu.

Demikianlah. Pertempuranpun berlangsung. Pemimpin prajurit beberapa kali meneriakkan aba-aba. Selain untuk membesarkan hati bawahannya, ia juga mulai melihat beberapa kelemahan pada pertahanan orang-orangnya.

“Kalian adalah prajurit prajurit yang memiliki kemampuan bertempur dalam kesatuan. Jangan terpancing untuk melepaskan kesatuan itu sampai kelompok yang sekecil sekalipun“ teriak pemimpin prajurit itu.

Perintah itu ternyata berarti sekali bagi para prajurit. Mereka yang biasa bertempur dalam kerjasama, kemudian mengetrapkannya untuk menghadapi lawan-lawan kasar dan bertempur secara keras itu. Tapi secara pribadi, prajurit-prajurit itu memiliki kemampuan yang memadai karena latihan-latihan cukup berat.

Sementara itu. beberapa orang penghadang iring-iringan itu telah berlari-lari menuju ke kereta Mas Rara. Namun Manggada. Laksana, Wirantana dan kedua sais kereta itu, serta Ki Resa, sudah siap menghadapi mereka. Sementara dua orang prajurit yang diperintahkan pimpinan pasukan, juga telah menyusul orang-orang itu.

Namun orang-orang yang akan menyerang kereta Mas Rara itu cukup cerdik. Mereka coba mengurangi lawan mereka, sehingga seorang diantara mereka kemudian berteriak “Kita bantai dulu dua orang itu. Mereka tentu akan mengganggu tugas kita mengambil Mas Rara”

Tapi ketika orang-orang itu berhenti, Manggada dan Laksana tanggap akan keadaan. Tanpa menunggu, Manggada berteriak ke arah Wirantana “Bantu Ki Resa jika ada yang datang. Aku akan membantu kedua prajurit itu sambil menghentikan mereka agar tidak mencapai kereta ini”

Sebenarnya kedua prajurit itu terkejut melihat orang-orang yang diikutinya berhenti. Apalagi ketika mereka bersiap menyerangnya. Berdua mereka tentu tidak akan mampu melawan pecahan kelompok perampok itu. Karenanya kedua prajurit itu sudah bersiap untuk melarikan diri, berputar dan kemudian bergabung dengan orang-orang yang menjaga Mas Rara.

Bersama mereka, kedua prajurit itu tentu akan dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik. Tidak harus melawan orang yang jumlahnya terlalu banyak dibanding jumlah mereka yang hanya berdua. Tetapi niat itu diurungkan ketika kedua prajurit itu melihat dua anak muda berlari-lari menyongsong mereka,

“Anak-anak muda itu...“ desis seorang diantara kedua prajurit itu.

“Mereka bukan anak-anak muda kebanyakan...“ desis yang lain “Mereka adalah anak-anak muda yang aneh!”

“Kita harus bertahan“ desis prajurit pertama. Keduanya terdiam. Namun masing-masing telah mempersiapkan senjatanya untuk menghadapi orang-orang yang berbalik menyerangnya. Namun sejenak kemudian, orang-orang yang mengetahui kalau anak muda telah berlari ke arah mereka. Karena itu, sebagian dari mereka bersiap kedua prajurit di belakang mereka, sebagian lagi menghadapi kedua anak muda itu.

“Kebetulan sekali“ desis seorang diantara perampok-perampok itu “kita akan membantai empat orang sekaligus”

Sejenak kemudian, Manggada dan Laksana telah mendekati sekelompok diantara orang-orang yang mencegat perjalanan mereka itu. Sebagian dari mereka telah menyerang dua orang prajurit yang telah bersiap sebelumnya.

Dengan demikian, pertempuran terjadi dengan sengitnya. Empat orang melawan hampir separo dari dua puluh orang yang menghentikan perjalanan Mas Rara itu. Sekitar tujuh orang bertempur dengan garangnya, dan berusaha secepatnya menghabisi nyawa keempat orang yang telah berani menghadapi mereka itu.

Tetapi kedua orang prajurit itu mampu bertempur dengan tangkas. Sementara itu, Manggada dan Laksana pun memiliki ketangkasan melampaui prajurit. Dengan demikian, Manggada dan Laksana telah mengejutkan lawan-lawan mereka. Justru setiap sentuhan senjata serta benturan kekuatan, lawan-lawan anak muda itu harus berdesah menahan gejolak di dalam jantung mereka. Kemarahan yang menjadi semakin membara, namun juga pengakuan bahwa keduanya tidak mudah untuk ditundukkan.

Pertempuran semakin lama menjadi semakin sengit. Ketujuh orang itu telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Mereka memang berniat untuk dengan cepat menyelesaikan pertempuran itu. Di dekat pedati, Ki Resa menyaksikan dengan wajah yang tegang. Dentang senjata serta teriakan orang-orang yang sedang bertempur itu, seolah-olah dentang genta sebesar bukit di telinganya. Keringat mulai membasahi keningnya. Jantungnya berdentang semakin cepat, sementara tangannya menjadi gemetar.

Wirantana yang juga berada di dekat kereta Mas Rara, menjadi tegang sebagaimana Ki Resa. Ia melihat pertempuran di bukit itu menjadi semakin garang. Namun jarak yang agak jauh, telah menghalangi penglihatannya, sehingga ia tidak dapat melihat, apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi Wirantana sempat melihat pertempuran yang lebih dekat dari mereka. Dua orang prajurit bersama Manggada dan Laksana, bertempur melawan sekitar tujuh orang.

Dalam pada itu, ternyata salah seorang dari ketujuh orang yang bertempur melawan dua orang prajurit serta Manggada dan Laksana, telah memberikan isyarat. Isyarat yang tidak diketahui oleh keempat orang lawan mereka.

Namun tiba-tiba dua orang diantara mereka telah meloncat keluar dari arena pertempuran dan berlari ke arah Mas Rara yang ditunggui oleh Ki Resa, Wirantana dan dua orang yang dikirim oleh Ki Jagabaya bersama pedati kudanya.

Kedua orang prajurit dan kedua anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun mereka kemudian tidak banyak menghiraukan lagi. Di dekat kereta Mas Rara ada Ki Resa serta Wirantana. Masih ada sais dan pembantunya, sehingga menurut perhitungan mereka, kedua orang itu tidak akan mampu berbuat banyak. Bahkan dengan kepergian dua orang itu, tugas kedua prajurit serta kedua anak muda itu menjadi semakin ringan.

Ki Resa yang melihat dua orang berlari-lari ke arahnya segera bersiap. Ki Resa dan Wirantana telah menambatkan kuda mereka pula. Sementara sais dan pembantunya telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Dua orang itu ternyata telah memilih lawan. Seorang langsung menyerang Ki Resa, sedangkan seorang lagi menyerang Wirantana. Pertempuran segera terjadi. Sais dan pembantunya telah bersiap di sebelah menyebelah kereta. Merekalah yang kemudian menjaga Mas Rara dengan mempersiapkan senjata mereka sebaik-baiknya.

Tetapi adalah di luar dugaan setiap orang. Ki Resa yang digelari pembunuh harimau, serta ditakuti oleh banyak orang itu, ternyata tidak mampu bertahan sepenginang. Hanya beberapa saat saja ia bertahan, kemudian terdengar teriakan kesakitan. Sejenak kemudian, Ki Resa telah berguling jatuh.

Sementara itu, Wirantana masih bertahan sekuat tenaganya. Tanpa mengenal gentar, ia bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuannya. Ia memang mampu mendesak lawannya yang justru semakin lama menjadi semakin jauh dari kereta kuda itu.

Namun Wirantana menjadi sangat gelisah ketika ia melihat pamannya jatuh terguling dan tidak bergerak lagi. Sementara itu, ia tidak dapat berbuat apa-apa, karena ia masih terikat dalam pertempuran melawan seorang lawannya. Tetapi Wirantana masih berpengharapan. Kedua orang sais dan pembantunya itu dengan serta merta telah menyerang orang yang telah menjatuhkan Ki Resa.

Ledakan cambuk mulai terdengar memekakkan telinga. Ternyata bahwa ujung cambuk yang menggeliat dan menghentak-hentak itu telah mendesak orang yang berusaha untuk dapat menggapai kereta kuda yang didalamnya terdapat Mas Rara itu...

Selanjutnya,
Mas Rara Bagian 06