Mas Rara Bagian 03 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
“SEPEKAN lagi, akan datang utusan Raden Panji untuk memberikan Mas Kawin kepada Mas Rara“ desis Laksana.

“Tiga hari lagi“ sahut Wirantana “Dua hari telah lewat. Karena itu ayah sudah bersiap-siap untuk menerima utusan itu” Wirantana berhenti sejenak, lalu “Tetapi nampaknya paman menjadi semakin jauh dari ayah”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sementara Wirantana berkata selanjutnya “Telah dua hari paman tidak kembali”

“Apakah pamanmu mempunyai rumah yang lain?“ bertanya Manggada.

“Ya. Paman memang mempunyai rumah sendiri. Warisan yang diterima dari kakek, sebagaimana ayah. Tetapi paman memang sering berada di sini” jawab Wirantana.

“Apakah pamanmu belum berkeluarga?“ bertanya Laksana.

Wirantana termangu-mangu. Katanya dengan nada dalam. “Aku sudah lama pergi dari rumah. Baru beberapa saat aku berada kembali diantara keluargaku. Karena itu, aku tidak tahu dengan apa yang telah terjadi dengan paman, serta keluarganya. Namun menurut pendengaranku, paman memang pernah kawin.”

“Pernah kawin?“ bertanya Laksana.

“Ya. Tetapi aku tidak tahu jelas, kenapa paman sekarang sendiri” jawab Wirantana.

Manggada dan Laksana tidak bertanya lebih jauh. Agaknya Wirantana bukan saja tidak banyak mengetahui tentang pamannya, tetapi ia pun agak segan untuk menceriterakannya.

Demikianlah, Ki Partija Wirasentana bersama keluarganya menjadi sibuk ketika hari yang ditentukan menjadi semakin dekat. Ki Partija merasa perlu untuk menyediakan penginapan bagi para utusan itu. Jika mereka menempuh perjalanan di siang hari, maka para tamu yang akan membawa mas kawin itu harus bermalam di padukuhan Nguter.

Karena itulah, Ki Partija membersihkan kedua gandok rumahnya. Manggada dan Laksana, bersama Wirantana. berada di balik belakang, Bahkan Ki Partija telah meminjam rumah di depannya, untuk disediakan pula sebagai penginapan, karena rumah. itu juga memiliki gandok kiri kanan yang memadai.

Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu itu datang. Seluruh keluarga Ki Partija diminta bersiap menyambut utusan. Ki Resa yang pergi telah kembali. Bahkan ia tidak menolak ketika Ki Partija memanggilnya untuk ikut menerima tamu yang akan datang. Ki Partija Wirasentana juga minta beberapa orang tua untuk ikut menerima utusan Raden Panji, yang akan datang untuk menyerahkan mas kawin.

Tetapi karena Ki Partija tidak tahu waktu yang tepat saat kedatangan utusan itu, maka di hari kelima, sejak menjelang tengah hari, beberapa orang telah bersiap-siap menyambutnya. "Jika mereka berangkat di malam hari, maka mereka akan sampai di sini menjelang tengah hari, seperti utusan yang datang sepekan lalu“ berkata Nyi Partija.

Mereka tidak akan menempuh perjalanan semalam suntuk, karena mereka membawa mas kawin. Meskipun kita mendapat mas kawin berlebihan bahkan tanpa mas kawinpun kita tidak akan berkeberatan, namun betapapun kecilnya, mas kawin itu tentu akan menarik perhatian. Terutama bagi orang yang berniat jahat” sahut Ki Partija Wirasentana. Isterinya mengangguk-angguk. Namun bagaimanapun juga, mereka telah bersiap untuk menerima tamu utusan Raden Panji Prangpranata.

Ternyata Ki Partija dan orang-orang yang telah bersiap di pendapa harus menunggu sampai sore hari. Ketika matahari menjadi semakin rendah, orang yang ditugaskan oleh Ki Partija Wirasentana mengamati kedatangan utusan itu di mulut lorong padukuhan, telah berlari-lari untiik menyampaikan laporan, bahwa sebuah iring-iringan telah nampak di bulak, di sebelah padukuhan.

“Apakah mereka itu utusan Raden Panji?“ bertanya Ki Partija Wirasentana.

“Entahlah. Tetapi mereka berlima, dan dua ekor kuda tanpa penunggang. Agaknya dua ekor kuda itu membawa beban“ jawab orang yang mengamati jalan bulak itu.

Ki Partija hampir memastikan bahwa mereka itulah utusan Raden Panji. Karena itu, orang-orang yang berada di pendapa itupun telah bersiap-siap menyambut tamu-tamu mereka. Sebenarnyalah bahwa lima orang itu adalah utusan Raden Panji, yang harus membawa mas kawin untuk orang tua Mas Rara.

Kelima orang itu kemudian diterima dengan sangat hormat oleh Ki Partija dengan keluarganya. Bahkan Ki Resa pun ikut menerima mereka. Sikapnya berubah sama sekali. Ia tidak lagi berwajah muram. Marah-marah dengan menuduh kakaknya telah menjual anak gadisnya. Dengan sikap yang ramah. Ki Resa ikut menerima utusan Raden Panji di pendapa.

Wirantana, Manggada dan Laksana sempat memperhatikan sikap Ki Resa. Bahkan Wirantana sempat berdesis. “Sikap paman agak berbeda dari kebiasaannya. Ketika Utusan yang terdahulu datang, paman sama sekali tidak mau ikut menerima. Tetapi sekarang paman nampak bersikap baik”

Manggada mengangguk-angguk. Katanya “Mungkin sesuatu telah berkembang di dalam dadanya”

Wirantana mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak berbicara lagi. Bahkan ia menjadi tegang, menyaksikan pertemuan yang diliputi kegembiraan sangat besar itu.

Sejenak kemudian, hidanganpun disuguhkan. Sambil berbincang dan tertawa-tawa, mereka menghirup minuman hangat, dan mencicipi beberapa potong makanan.

Namun sebenarnyalah, bahwa utusan yang datang itu tidak sebagaimana dibayangkan oleh Ki Partija. Ia menyangka bahwa utusan yang datang adalah orang-orang tua yang akan menyampaikan mas kawin dengan berbagai macam upacara adat. Diantara mereka tidak ada seorang perempuanpun. Hanya lima orang yang berpakaian sebagai pelayan dalam di rumah Raden Panji Prangpranata.

Meskipun demikian, orang tertua diantara mereka telah menggenapi adat itu. Ia merupakan utusan dan sekaligus mewakili orang-orang tua yang datang dengan resmi untuk melamar Mas Rara, dengan menyerahkan Mas Kawin. Kelima orang itupun kemudian mengambil mas kawin yang harus diserahkan. Tidak seperti biasanya, berupa sanggan dan pakaian sepengadeg, diiringi dua atau tiga buah jodang berisi makanan, disamping sejumlah uang. Yang dibawa kelima orang utusan itu membuat Ki Partija tercengang.

Agaknya Raden Panji ingin menyelesaikan upacara itu tanpa mengikuti urutan adat. Ia begitu saja menyerahkan sejumlah uang yang nilainya tidak pernah dibayangkan oleh Ki Partija Wirasentana. Lima kampil berisi kepingan-kepingan uang. Diantaranya kepingan uang perak dan emas. Selain itu, Raden Panji juga mengirimkan pakaian lima pangandeg. Yang tidak pernah diduga sebelumnya adalah, Raden Panji telah menyerahkan pula perhiasan sepengandeg. Centhung, tusuk konde, cunduk montul, kalung, subang, cincin, peniti renteng, bahkan pendhing. Semuanya dari emas dengan tretes permata.

Ki Partija Wirasentana tercenung beberapa saat. Yang dihadapinya itu seolah-olah sebuah mimpi ajaib. Karena itu. Ki Partija terkejut ketika yang tertua diantara kelima orang itu berkata,

“Semua yang dikirimkan Raden Panji telah kami serahkan. Dengan sengaja kami menunjukkan semuanya ini dihadapan saksi, sehingga jika Raden Panji menanyakannya, tidak akan ada selisihnya. Memang kami tidak menganut adat yang seharusnya berlaku dalam upacara asok tukon. Kami tidak disertai orang-orang tua laki-laki dan perempuan. Tidak pula membawa sanggan dan jodang. Semua itu dilakukan Raden Panji karena keadaan. Jarak yang panjang, serta waktu yang terasa sempit”

Ki Partija Wirasentana mengangguk dalam-dalam. Dengan nada rendah, ia berkata, “Ki Sanak. Apa yang diberikan oleh Raden Panji Prangpranata kepada keluarga kami, sudah terlalu banyak, Bahkan kami tidak tahu, bagaimana menghitung semua itu. Adapun mengenai upacara berdasarkan adat, kami sama sekali tidak merasa terlampaui. Jika ada perbedaan dari kebiasaan yang berlaku, hanyalah sekadar laku. Bukan isi dari upacara itu. Karenanya, kami mengucapkan beribu terima kasih tidak hanya satu dua kali. Tetapi berkali-kali dan setiap saat”

Kelima orang utusan itu tertawa. Yang tertua diantara mereka berkata. “Yang diberikan kepada Mas Rara memang sangat banyak. Itu jika dihitung dengan angka yang kita kenal. Tetapi tentu tidak bagi Raden Panji Prangpranata, karena Raden Panji memiliki jauh lebih banyak dari yang kita duga”

Ki Partija Wirasentana mengangguk-angguk. Demikian pula Ki Resa, yang juga menjadi sangat heran melihat barang-barang berharga sekian banyaknya. Namun pembicaraan itu terputus ketika para pelayan menghidangkan makan yang memang sudah dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Nasi maupun lauk pauknya masih hangat.

Ternyata kelima orang utusan itu juga tidak mempergunakan basa basi, sebagaimana orang-orang yang datang untuk menyerahkan asok tukon. Yang tertua diantara mereka telah mengatakan langsung keperluannya, sekaligus mengakhirinya. “Silahkan menyimpan barang-barang ini Ki Partija. Nampaknya kita akan segera menikmati hidangan yang masih hangat ini”

Ki Partija pun kemudian memanggil Wirantana. Kemudian mempersilahkan adiknya, Ki Resa bersama Wirantana untuk menyimpan barang-barang yang sangat berharga itu. Keduanya telah memasukkan benda-benda berharga itu ke dalam peti. Kemudian menyimpan peti itu di dalam bilik Ki Partija, langsung di bawah pengawasan Ki Partija sendiri.

Manggada dan Laksana yang tahu, bahwa barang-barang itu sangat tinggi nilainya, tidak berani menawarkan diri untuk membantu menyimpan di ruang dalam. Hal itu akun dapat mengundang persoalan. Karena itu, keduanya hanya mengamati saja dari kejauhan, ketika Ki Resa dan Wirantana membawa barang-barang berharga itu masuk.

Sementara itu, setelah barang-barang berharga disimpan, Ki Partija Wirasentana mempersilahkan tamu-tamunya menikmati hidangan bersama keluarga Ki Partija. Bahkan yang tertua diantara para utusan itu telah sempat bertanya tentang dua orang anak muda yang telah menolong Mas Rara dari cengkaman tajamnya kuku-kuku harimau.

“Apakah mereka masih ada di sini?“ bertanya utusan itu.

“Ya Ki Sanak. Sebagaimana pesan yang terdahulu. anak-anak muda itu ternyata bersedia tinggal di sini” jawab Ki Partija.

“Sukurlah. Raden Panji Prangpranata memang ingin bertemu langsung dengan anak-anak itu. Pada saat Mas Rara dijemput kelak, keduanya akan diminta ikut bersama dengan utusan yang menjemput itu” berkata orang tertua itu.

Ki Partija sempat berpaling kearah kedua orang anak muda itu. Sementara Wirantana yang telah selesai menyimpan barang-barang berharga itu, telah berada diantara mereka.

Demikianlah Sebagaimana direncanakan, maka Ki Partija Wirasentana telah membersihkan gandok rumahnya yang disediakan bagi tamu-tamunya. Tapi karena jumlahnya tidak sebanyak yang diduga, Ki Partija mengurungkan rencananya meminjam rumah di sebelah depan.

Malam itu, para utusan Raden Panji bermalam di rumah Ki Partija. Sementara Ki Partija Wirasentana dengan isterinya, sekali lagi menghitung uang dan perhiasan yang telah mereka terima. Tetapi mereka tidak mampu menyebut angka sesuai dengan nilai barang-barang yang telah diberikan Raden Panji Prangpranata kepada mereka.

“Ternyata anak itu membawa rejeki yang tidak terhitung jumlahnya, Nyi Rejeki lahiriah“ berkata Ki Partija Wirasentana datar.

Isterinya mengungguk kecil. Tetapi tidak ada kesan kegembiraan yang nampak di wajahnya. Sementara itu, Mas Rara terbaring di biliknya menengadah, memandang atap. Ia berusaha memejamkan matanya, tapi tidak dapat tidur nyenyak. Setiap kali, di luar sadarnya, matanya terbuka.

Di luar, suara jengkerik dan bilalang berderik bersahutan. Angin malam berhembus agak kencang. Mendung memang melintas. Tetapi sejenak kemudian, bintang-bintang mulai berkeredipan lagi di langit.

Manggada, Laksana dan Wirantana telah tidur mendekur. Seakan-akan anak-anak muda itu sama sekali tidak dibebani oleh perasaan apapun juga. Meskipun rumah Ki Partija Wirasentana nampaknya menjadi lelap, tetapi Ki Partija telah memerintahkan beberapa orang meronda di rumahnya. Mereka telah mendapat pesan Jika sesuatu terjadi, mereka harus segera memberikan isyarat. Jika keadaannya memang sangat genting, mereka diminta untuk membunyikan kentongan tanpa ragu-ragu.

Namun ternyata sampai terdengar ayam jantan berkokok untuk terakhir kalinya, tidak terjadi sesuatu di rumah itu. Beberapa orang yang ditugaskan untuk meronda rumah itu telah berkumpul dan duduk di serambi belakang. Sementara langit mulai menjadi cerah.

Para utusan yang bermalam di rumah Ki Partija Wirasentana, telah terbangun. Bergantian mereka pergi ke pakiwan. Sementara orang-orang perempuan telah sibuk di dapur, termasuk Mas Rara sendiri. Badan Mas Rara kelihatan lesu. Matanya redup, karena hampir semalaman ia tidak tidur sama sekali.

Manggada, Laksana dan Wirantana sibuk bergantian menimba air, mengisi jambangan di pakiwan. Kemudian mereka juga membantu membersihkan halaman dan kerja yang lain.

Ketika matahari naik, para tamu telah berada di pendapa. Hidangan telah disuguhkan pula. Minuman hangat dan nasi yang hangat pula. Ki Partija Wirasentana telah minta isterinya menyiapkan makan pagi-pagi, karena kelima orang tamu mereka, utusan Raden Panji Prangpranata itu, akan meninggalkan rumah itu.

Ketika para tamu itu mulai menyenduk nasi ke mangkuk mereka, Ki Resa pun telah datang pula dengan wajah yang cerah. Ki Partija telah memanggilnya untuk ikut bersama dengan tamu-tamunya, makan bersama di pendapa. Ki Resa tidak menolak. Iapun naik ke pendapa. Sikapnya tidak berubah. Ramah dan banyak tersenyum dan tertawa.

Seperti yang direncanakan. Beberapa saat kemudian, setelah para tamu itu selesai makan dan minum serta setelah beristirahat pula sebentar, sementara matahari naik semakin tinggi, maka para tamu itupun telah minta diri meninggulkan padepokan Nguter.

“Kami ingin minta diri kepada Mas Rara“ berkata orang tertua dari para utusan itu.

Ki Partija Wirasentana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk hormat sambil berkata “Gadis itu gadis pemalu!”

Kelima orang utusan itu tertawa. Seorang diantaranya berkata “Ia akan menjadi isteri Raden Panji”

Ki Partija masih saja termangu-mangu. Sementara utusan itu berkata “Mas Rara harus menyesuaikan diri. Ia akan menerima tamu-tamu Raden Panji. Diantaranya, ada pemimpin. Karena itu, ia tidak boleh menjadi gadis pemalu”

Ki Partija tidak dapat menjawab. Karena itu ia bangkit dan melangkah masuk, mencari Mas Rara. Ternyata Mas Rara masih berada di dapur. Seperti yang diduga, Mas Rara menolak untuk pergi ke pendapa. Ia merasa malu berhadapan dengan utusan Raden Panji Prangpranata.

Tetapi ayahnya memaksa. Dengan nada rendah, ayahnya berkata “Mas Rara. Jika kau tidak mau pergi ke pendapa, utusan itu tidak akan meninggalkan rumah ini. Mereka tidak perduli terlambat menghadap Raden Panji, dan kemudian dimarahi, atau bahkan dihukum. Mereka merasa wajib untuk minta diri padamu, karena kau bakal isteri Raden Panji”

“Tetapi aku malu ayah“ jawab Mas Rara.

“Jadi kau biarkan tamu-tamu itu berada di pendapa sampai nanti siang, atau nanti sore, atau bahwa bermalam lagi? Atau sampai datang utusan Raden Panji menyusul mereka?“ bertanya ayahnya.

Mas Rara menjadi bingung. Namun ibunya kemudian berkata dengan lembut “Kau harus belajar dengan kewajiban-kewajiban yang bakal dibebankan kepadamu Mas Rara. Kau bukan lagi kanak-kanak. Kau tidak boleh selalu dikekang perasaan malu”

Mas Rara masih tetap ragu-ragu. Namun akhirnya Mas Rara terpaksa mengikuti ayahnya ke pendapa, sambil berpegangan tangan ibunya. Ketika Mas Rara keluar lewat pintu pringgitan, wajahnya menunduk. Sementara itu, kelima orang utusan Raden Panji mendekatinya. Seorang diantara mereka berkata,

“Bukankah Mas Rara pernah menari dihadapan banyak tamu? Utusan yang pernah datang kemari menceriterakan bahwa Mas Rara adalah seorang penari yang baik. Kenapa Mas Rara sekarang merasa malu terhadap kami? Anggap saja kami berada diantara para penonton, jika Mas Rara sedang menari”

Mas Rara tersenyum tertahan. Tetapi ia justru menjadi semakin menunduk Wajahnya menjadi merah.

Ki Partija tersenyum. Tetapi ia tidak berkata sesuatu. Selanjutnya, para utusan itu minta diri untuk kembali dan memberikan laporan kepada Raden Panji. Ki Partija menggamit anaknya. Tetapi anaknya tidak tanggap. la masih saja menundukkan kepala sambil mempermainkan jari-jari tangannya sendiri.

“He“ akhirnya Ki Partija tidak sabar “kau harus menjawab. Para utusan itu minta diri”

Mas Rara termangu-mangu. Tetapi wajahnya justru terasa panas. Sekali lagi para utusan itu minta diri “Kami mohon diri Mas Rara. Kami harus kembali menghadap Raden Panji untuk memberikan laporan, bahwa kami telah melakukan perintah dengan sebaik-baiknya”

Dengan jantung berdebaran, Mas Rara akhirnya menjawab “Selamat jalan”

“Kau tidak mengucapkan terima kasih?“ bertanya bapaknya.

“Ah“ desah gadis itu.

Kelima utusan itu tertawa. Sementara, atas desakan ayahnya, Mas Rara berkata “Aku mengucapkan terima kasih”

“Tidak buat kami “ jawab salah seorang dari para utusan itu. Agaknya ia ingin menggoda Mas Rara. Karena itu ia bertanya “Jadi terima kasih itu buat siapa?“

Wajah Mas Rara terasa semakin panas. Ia tidak menjawab sama sekali.

“Sudahlah!" berkata utusan itu. “Kami sudah mengerti, terima kasih itu tentu Mas Rara tujukan kepada calon suami yang memerintahkan kami datang kemari”

Hampir saja Mas Rara lari ke dalam. Nanum orang-orang itu sambil tertawa bergerak, dan melangkah menuju tangga pendapa. Ki Partija membimbing Mas Rara untuk ikut mengantar tamunya sampai ke regol halaman, diikuti Nyi Partija.

Di regol, utusan itu sekali lagi minta diri kepada ayah dan ibu Mas Rara. Bahkan sekali lagi kepada Mas Rara. Kepada Ki Resa yang ikut pula mengantar, mereka telah minta diri pula. Namun yang tertua diantara mereka berpesan. “Jangan biarkan anak-anak itu pergi”

Ki Partija tersenyum sambil menjawab “Kami akan selalu berusaha memenuhi perintah Raden Panji Ki Sanak”

“Terima kasih“ jawab orang itu.

Sejenak kemudian, utusan Raden Panji itu telah meninggalkan regol halaman rumah Ki Partija. Mas Rara tidak lagi menunggu lebih lama. Ia kemudian berlari masuk lewat seketheng ke ruang dalam melalui butulan.

Ki Partija suami isteri membiarkannya. Anaknya memang tidak terbiasa bergaul dengan orang-orang yang belum dikenalnya. Lebih-lebih orang yang datang dari luar pudukuhan.

Demikianlah. Sepeninggal utusan itu, beberapa orang tetangga yang berada di pendapa telah minta diri. Ki Partija mengucapkan terima kasih kepada mereka yang bersedia ikut melepas para utusan itu. Sepeninggal para tamu, rumah Ki Partija menjadi lengang. Manggada dan Laksana telah dipersilakan oleh Wirantana kembali ke gandok sepeninggal tamu-tamunya.

“Kalian tidak boleh meninggalkan rumah ini“ berkata Wirantana kepada kedua anak muda itu.

“Aku sudah terlalu lama di sini“ desis Laksana.

“Tetapi ini perintah Raden Panji“ jawab Wirantana.

“Siapakah sebenarnya Raden Panji itu? Demikian besarkah kuasanya, sehingga apa yang diinginkan harus jadi?“ bertanya Laksana kemudian.

“Aku tidak tahu. Aku belum lama pulang jawab Wirantana.

“Menurut ayahmu?“ bertanya Laksana mendesak.

“Ayah tidak pernah berbicara dengan aku tentang Mas Rara. Aku masih dianggap anak-anak yang cukup disuapi makan dan minum“ jawab Wirantana.

Laksana tidak bertanya lagi. la mengerti bahwa Wirantana tidak banyak mengetahui tentang bakal adik iparnya itu. Demikianlah. Meski jemu, Manggada dan Laksana harus tetap tinggal di rumah itu. Sebenarnya mereka tidak takut pada Raden Panji. Keduanya sadar, kekuasaan Raden Panji tidak akan menjangkaunya. Jika ada utusan yang mengejarnya di luar batas kekuasaan Raden Panji, utusan itu dapat dilawannya.

Tetapi yang mereka pikirkan justru Ki Partija sekeluarga. Jika benar Raden Panji menjadi marah, karena anak muda itu meninggalkan rumah Ki Partija, kemudian menjatuhkan kemarahan itu kepada keluarga itu, maka Manggada dan Laksana akan merasa bersalah. Karenanya, kedua anak muda itu bertahan untuk tetap tinggal di rumah itu.

Hari itu, Manggada dan Laksana ikut Wirantana ke sawah Dengan bekerja di sawah, anak-anak muda itu bisa melupakan kejenuhan mereka Namun di sore hari, ketika keduanya berada di serambi gandok, rasa-rasanya mereka ingin segera meneruskan perjalanan.

Baru jika Wirantama datang, mereka dapat mengisi waktu dengan berbincang-bincang, bergurau, dan bahkan berbicara tentang olah kanuragan. Namun ketika malam turun, ketiga anak muda itu justru berada di kebun belakang. Di tempat yang agak jauh dari rumah mereka.

Dalam kegelapan malam, diantara pepohonan dan tanaman empon-empon yang di musim kering seakan-akan telah hilang, tapi pada musim hujan tumbuh lagi, anak-anak muda itu mencoba meningkatkan ilmu mereka. Juga berusaha untuk mempertajam penglihatan mereka. Berganti-ganti mereka berlatih olah kanuragan. Namun mereka selalu menjaga agar tidak ada orang lain yang mengetahuinya. Juga pamannya.

Ketika saat sepi mencengkam padukuhan Nguter, ketiga anak muda itu berhenti berlatih. Mereka kemudian pergi ke pakiwan, dan selanjutnya membenahi pakaiannya yang basah oleh keringat. Manggada dan Laksana berada di dalam biliknya, ketika terdengar suara kentongan di tengah malam. Keduanya bahkan telah berbaring. Laksana yang merasa letih, sudah memejamkan niatnya. Hampir saja ia tertidur, ketika ia mendengar pintu biliknya diketuk.

“Siapa?“ bertanya Manggada.

“Aku!“ jawab orang yang mengetuk pintu.

“Wirantana?“ bertanya Manggada pula.

“Ya...“ jawab yang di luar.

Manggada pun bangkit dan membuka pintu. Laksana yang sudah hampir tertidur, telah duduk di bibir pembaringannya.

Ketika pintu terbuka, Wirantana masuk sambil berdesah “Aku tidak dapat tidur. Aku merasa gelisah”

“Kenapa?“ bertanya Manggada.

Wirantana yang kemudian duduk diamben panjang di dalam bilik itu berdesis. “Entahlah. Tetapi aku tidak dapat tidur”

Manggada menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya “Kau memikirkan emas kawin yang diterima oleh adikmu itu”

“Kenapa aku memikirkanhya? Mas Kawin itu diberikan kepada adikku? Kenapa aku harus memikirkannya?“ bertanya Wirantana.

“Bukan mas kawin itu sendiri. Tetapi mungkin kau merasa cemas, bahwa dirumah ini tersimpan harta benda yang cukup banyak” berkata Manggada.

“Sst“ desis Wirantana “jangan terlalu keras”

“Mungkin kecemasan itu tidak kau sadari“ berkata Laksana ”tetapi memang ada baiknya kita berhati-hati”

Wirantana termangu-mangu. Namun kemudian katanya “Mungkin kalian benar. Baiklah. Aku akan kembali ke bilikku. Bagaimanapun juga benda-benda berharga yang sebelumnya tidak kita miliki ini akan dapat mengundang persoalan”

Manggada dan Laksana tidak menjawab. Tetapi keduanya bangkit ketika Wirantana kemudian keluar dari bilik itu dan kembali kebiliknya sendiri. Demikian menyelarak pintu, maka Laksana telah menjatuhkan diri lagi di pembaringannya. Sambil memejamkan matanya ia berkata, “Aku sudah hampir tertidur”

Manggada hanya tersenyum saja. Tetapi rasa-rasanya iapun tidak mudah untuk tidur. Benda-benda berharga itu memang dapat menarik perhatian orang-orang yang berniat jahat. Tetapi Manggada tidak ingin mengganggu Laksana yang ternyata beberapa saat kemudian telah tertidur nyenyak.

Sementara itu, malampun menjadi semakin larut. Diluar suara bilalang masih terus berderik disela-sela bunyi angkup. Merintih berkepanjangan. Di dalam biliknya, Wirantana juga tidak dapat tidur. Bahkan iapun kemudian duduk dipembaringannya. Suara-suara malam bagaikan berbisik ketelinganya agar Wirantana bertahan unluk tetap terjaga.

Untuk beberapa lama Wirantana duduk di pembaringannya. Kemudian ia bergeser menepi untuk dapat bersandar dinding. Namun rasa-rasanya menjadi semakin tidak mengantuk. Pendapat Manggada dan Laksana justru menjadi semakin mengganggu perasaannya.

Wirantana tiba-tiba tertarik suara gemerisik diluar dinding biliknya, yang terdengar bergeser menyusurii dinding. Bukan gemerisiknya angin malam didedaunan. Tiba-tiba saja wirantana sadar bahwa suara itu adalah suara langkah seseorang.

“Agaknya yang dicemaskan akan terjadi“ berkata Wirantana didalam hatinya.

Tetapi Wirantana masih tetap berdiam diri. Ia memang ingin melihat, apa yang akan dilakukan oleh orang-orang itu dan barangkali dapat diketahui siapakah mereka. Karena Wirantana berusaha untuk berdiam diri, serta berusaha mengatur pernafasannya dengan baik, maka ia memberikan kesan bahwa ia sudah tertidur nyenyak. Demikian pula Manggada didalam biliknya. Ia bahkan telah berbaring dipembaringannya meskipun masih belum tidur.

Dibiliknya, ternyata Mas Rara pun tidak dapat tidur pula meskipun dengan kegelisahan yang berbeda. Sedangkan Ki Partija Wirasentana dan isterinya juga masih saja selalu gelisah. Sebuah peti yang berisi benda-benda berharga ada dibawah pembaringannya. Bagaimanapun juga benda sebanyak itu belum pernah dimiliki sebelumnya.

Namun bukan hanya karena nilai-nilai yang tersimpan pada benda-benda itu. Tetapi persoalan yang terkandung didalamnya telah membuat mereka gelisah. Dalam pada itu, maka Wirantama semakin lama justru menjadi semakin gelisah. Ia telah mendengar langkah langkah yang berurutan. Tentu tidak hanya seorang saja atau bahkan tentu lebih dari dua orang.

Sejenak Wirantana masih bertahan ditempatnya. Ia menunggu perkembangan keadaan. Namun ia juga berharap bahwa Manggada dan Laksana atau salah seorang dari mereka masih tetap terjaga pula. Namun Wirantana menjadi sedikit tegang, karena ia mengerti, bahwa pamannya ada dirumah itu pula. Jika terjadi sesuatu, pamannya akan dapat membantunya. Wirantana tahu pasti, bahwa pamannya adalah seorang yang berilmu.

Tetapi Wirantana kemudian menjadi curiga. Orang yang berada diluar terlalu banyak untuk sekelompok pencuri. Karena itu, maka iapun telah memperhitungkan, bahwa orang-orang itu bukan pencuri yang akan memasuki rumah itu dengan diam-diam dan mengambil harta benda yang disimpan oleh ayahnya. Tetapi mereka tentu akan memasuki rumah itu dengan paksa dan tidak dengan sembunyi-sembunyi berusaha merampas benda-benda berharga itu.

Karena itu, maka Wirantanapun tidak lagi menunggu dengan diam-diam. Iapun kemudian telah bergeser lagi. Namun untuk mempersiapkan senjatanya. Sebenarnyalah, sejenak kemudian, maka telah terdengar pintu butulan diketuk orang. Tidak terlalu keras. Tetapi cukup dapat membangunkan orang-orang yang tidur diruang dalam.

Wirantana adalah orang yang pertama keluar dari biliknya. la ingin memperingatkan ayahnya agar berhati-hati. Kemudian minta kepada pamannya untuk tidak dengan serta merta membuka pintu butulan. Tetapi Wirantana terlambat. Ketika ia sampai ke ruang tengah maka ia telah melihat pamannya membuka pintu butulan.

“Paman!“ Wirantana berteriak.

Tetapi tepat pada saat itu, pamannya telah mengangkat selarak. Satu dorongan yang kuat telah menempa tubuh pamannya. Ternyata orang-orang yang berada diluar pintu telah mendorongnya keras-keras, sehingga Ki Resa terdorong beberapa langkah surut. Namun Ki Resa tidak mempunyai banyak kesempatan. Ketika ia berusaha memperbaiki keseimbangannya. maka tiba tiba sebuah pukulan yang keras dengan sepotong besi telah mengenai tengkuknya.

Ki Resa terhuyung-huyung beberapa langkah. Bahkan telah melanggar dinding. Namun Ki Resa masih berusaha mencabut keris. Tetapi agaknya, daya tahannya tidak mampu lagi mengatasi kesulitan didalam dirinya. Perlahan-lahan Ki Resa itu terjatuh disudut ruang.

Wirantana sempat meloncat mundur. Ketika ia melihat ayahnya membuka pintu biliknya, maka Wirantana segera meloncat masuk sambil mendorong ayahnya. Dengan cepat Wirantana menutup pintu bilik itu dari dalam dengan selarak yang kuat.

“Apa yang terjadi?“ bertanya ayahnya. Wirantana tidak segera menjawab. Tetapi ia sudah menggenggam pedang ditangannya.

“Dimana Mas Rara?“ bertanya Wirantana tiba-tiba.

“Didalam biliknya“ jawab ibunya.

Namun Wirantana tidak sempat bertanya lagi. Sejenak kemudian pintu bilik itu sudah digedor dari luar.

“Jangan dibuka“ desis Wirantana.

“Siapakah mereka?“ bertanya Ki Partija Wirasentana.

“Mereka adalah sekelompok penjahat“ jawab Wirantana.

“Bagaimana dengan adikmu?“ Nyi Partija Wirasentana hampir menangis.

Wirantana memang menjadi bingung. Ia tahu bahwa adiknya tentu akan menjadi sangat ketakutan. Tetapi jika ia membuka pintu itu dan keluar, maka orang-orang itu tentu menjadi sangat berbahaya, bukan saja baginya, tetapi juga bagi ayah dan ibunya serta benda-benda berharga yang baru saja diserahkan oleh Raden Panji.

Sementara itu, pintu bilik itu telah berderak-derak keras. Orang-orang yang ada diruang dalam berusaha untuk merusaknya sambil berteriak. “Keluar. Atau aku bakar rumah ini”

Wirantana memang benar-benar menjadi bingung. Tetapi ia siap di pintu bilik itu. Demikian pintu terbuka, maka ia tidak akan berpikir panjang. Pedangnya tentu akan mengoyak perut orang-orang yang akan menerobos masuk kedalam bilik itu.

Namun dalam pada itu, ternyata suara ribut itu terdengar oleh Manggada yang berada digandok. Dengan hati-hati ia telah membangunkan Laksana dan memberi isyarat bahwa sesuatu memang telah terjadi. Laksanapun segera mempersiapkan diri. Pedangnya kemudian telah terselip dipinggangnya.

“Marilah. Kita melihat apa yang telah terjadi“ berkata Laksana.

Kedua orang anak muda itu dengan sangat berhati-hati telah keluar dari pintu bilik mereka di gandok. Merekapun kemudian dengan hati-hati telah memasuki halaman samping. Lewat seketheng mereka memasuki longkangan. Keduanya terkejut ketika keduanya melihat bahwa pintu telah terbuka. Karenu itu, maka merekapun segera telah mendekat.

Namun tiba-tiba seseorang telah meloncat menyerang mereka, Nampaknya orang itu telah mendapat tugas untuk berjaga-jaga diluar.

Manggada sempat mengelak. Dengan lantang ia berkata “Laksana. Cegah orang itu. Aku akan masuk”

Laksanapun segera menempatkan diri untuk melawan orang itu. Sementara Manggada telah meloncat mendekati pintu. Dengan hati-hati ia bergerak masuk. Ia melihat Ki Resa terbaring disudut ruangan. Agaknya Ki Resa tidak sempat membela dirinya ketika ia begitu tiba-tiba mendapat serangan.

Ketika Manggada kemudian berada di ruang dalam, maka orang-orang yang sedang berusaha memecah pintu bilik Ki Wirasentana melihatnya. Karena itu, maka dua orang diantara mereka telah meloncat menyerang Manggada. Tetapi Manggada cukup tangkas. Iapun segera berloncatan diantara perabot rumah yang ada diruang dalam. Pedangnya langsung berputaran.

Kedua orang yang menyerangnya terkejut. Pada benturan yang terjadi, orang-orang itu langsung mengetahui, bahwa anak muda itu memiliki ilmu yang mapan.

Demikianlah, maka Manggada telah bertempur ditempat yang kurang menguntungkan. Tetapi lawannya yang bertempur berpasangan itupun tidak dapat dengan leluasa mengambil arah. Sehingga dengan demikian, maka pertempuran itu masih belum berkembang sampai ke puncak ilmu masing-masing.

Sementara itu, Wirantana mendengar pertempuran yang terjadi diluar. Sementara itu, ia mendengar saura Manggada lantang ”He, siapakah kalian yang telah berani memasuki rumah ini?“

“Persetan. Aku sumbat mulutmu dengan ujung pedang“ geram salah seorang dari mereka.

Manggada tidak menjawab. Tetapi ia sudah berloncatan di tempat yang agak sempit untuk bertempur. Karena itu ia kemudian memusatkan perlawanannya pada ketrampilan tangannya menggerakkan senjatanya. Ternyata Manggada tidak mengalami kesulitan melawan kedua orang lawannya itu.

Apalagi ketika sejenak kemudian, Laksana telah mendesak lawannya yang berusaha masuk ke ruang dalam untuk mendapat bantuan dari kawan-kawannya. Perhatian orang-orang itu benar-benar terpecah.

Namun untunglah bahwa orang-orang itu tidak tahu, bahwa Mas Rara ada di dalam bilik yang mana, sehingga mereka tidak langsung dapat mempergunakannya sebagai taruhan.

Ketika seorang lagi berusaha untuk membantu kawannya yang terdesak oleh Laksana, Wirantana berusaha untuk dapat mengetahui apa yang terjadi di luar. Ia juga mendengar suara Laksana, ketika pemuda itu berteriak “Jika kalian percaya kepada kemampuan kalian, kita bertempur di luar”

Tidak ada jawaban. Tetapi dengan bantuan seorang kawannya, maka lawan Laksana itu mendesak Laksana yang dengan sengaja menarik perhatian kedua orang itu dengan langkah langkah surut.

Sejenak kemudian, Laksana telah bertempur dengan dua orang lawan di longkangan. Di tempat yang lebih lapang, Laksana mampu bergerak lebih bebas daripada Manggada yang ada di dalam. Dengan demikian, pertempuran dj longkangan lebih cepat berkembang, sehingga ketiga orang itu bagai bayangan di kegelapan.

Sementara itu, Wirantana berusaha mengangkat selarak pintu bilik ayahnya, yang sudah hampir dapat dipecah oleh orang-orang yang memasuki rumah itu. Dengan isyarat ia minta ayahnya mundur. Ki Partija Wirasentana memang melangkah mundur, tapi ia memegang sebuah luwuk kehitaman, dengan pamor berkeredipan. Luwuk pusaka peninggalan orang tuanya.

Demikian pintu terbuka, Wirantana dengan cepat, memanfaatkan kesempatan saat orang yang berada di luar pintu memperhatikan pertempuran yang sedang terjadi di ruang itu. Dengan garang, Wirantana meloncat keluar setelah berdesis. “Tutup, dan selarak kembali pintu itu ayah”

Dua orang yang masih berdiri di muka pintu terkejut. Wirantana yang langsung menyerang berhasil mendesak kedua orang yang berada di depan pintu untuk melangkah surut. Dengan demikian, Ki Partija sempat menutup dan menyelarak pintu itu kembali.

Wirantana sempat menarik nafas panjang ketika melihat pintu bilik adiknya masih tertutup rapat, meski ia tahu bahwa adiknya tentu sudah terbangun dan menjadi ketakutan di dalam biliknya. Tetapi kehadiran Manggada di ruang itu telah membuatnya berbesar hati, karena Wirantana mengetahui tataran kemampuan anak muda itu. Dan ia pun mengerti bahwa Laksana telah bertempur di longkangan.

Sejenak kemudian, ketiga anak muda itu telah bertempur masing-masing melawan dua orang. Meski demikian, Wirantana masih juga merasa curiga, bahwa masih ada orang lain selain mereka berenam. Sebenarnyalah, selain keenam orang itu, ada orang ketujuh yang berusaha mengoyak dinding dari luar dengan kapak besar.

Nyi Wirasentana menjadi sangat ketakutan. Tetapi Ki Partija menenangkannya. Katanya. “Jangan takut Nyi. Aku sudah siap menebas lehernya. Begitu kepalanya mencuat masuk ke dalam dinding, ia akan mati”

Nyi Wirasentana menjadi agak tenang. Tetapi ketika ia mendengar kapak yang berderak-derak memecahkan dinding bilik itu dari luar, ia menjadi semakin gemetar.

Sementara itu, Manggada mulai memancing lawannya untuk bertempur di luar. Sambil menggeser mundur, ia mendekati pintu untuk kemudian meloncat keluar. Agaknya, kedua lawannya juga ingin bertempur di luar. Di tempat yang lebih lapang. Agar mereka dapat bergerak lebih banyak serta dapat memilih arah.

Tetapi Wirantana berusaha untuk tetap bertempur di dalam. Ia merasa wajib mengawasi bilik adiknya, dan sekaligus bilik ayahnya, meski ia yakin bahwa ayahnya akan mampu melindungi dirinya serta ibunya, apabila hanya seorang saja diantara lawannya yang berusaha masuk kedalam bilik itu.

Di longkangan, Laksana bertempur melawan dua orang lawan yang kasar. Namun Laksana sama sekali tidak gentar menghadapi mereka. Ternyata ia memiliki kelebihan dalam ilmu pedang dari lawannya. Meski kedua lawannya bertempur dengan keras dan kasar. Laksana yang tangkas itu sempat membuat kedua lawannya kebingungan.

Manggada yang telah berada di luar, telah berloncatan dengan cepatnya. Bahkan Manggada berhasil memancing lawannya turun ke halaman depan. Dengan demikian, ia mendapat kesempatan untuk berloncatan semakin panjang.

Kedua lawan Manggada terkejut menghadapi anak muda itu. Ternyata anak muda itu memang memiliki ilmu yang cukup tinggi, sehingga kedua orang itu tidak segera dapat mengalahkannya. Bahkan beberapa kali kedua orang itu kebingungan dan berloncatan mengambil jarak. Hanya karena keduanya mampu bekerja sama dengan baik, saling mengisi, dan memperhitungkan saat-saat paling baik untuk menyerang serta menghindar, mereka dapat bertahan lebih lama.

Namun demikian, Manggada tidak ingin membiarkan kedua lawannya, dan orang-orang lain yang datang ke rumah itu, sampai melakukan kejahatan. Dengan demikian, Manggada berniat mengakhiri perlawanan kedua orang itu secepatnya. Dengan tangkasnya, Manggada menekan kedua orang lawannya. Pedangnya terayun-ayun mendebarkan. Sekali menggapai lawannya yang seorang, namun kemudian terayun menebas kearah lawannya yang lain.

Beberapa kali Manggada dengan sengaja tidak menghindari serangan lawan-lawannya, tetapi langsung membentur serangan itu dengan menangkisnya. Ternyata bahwa kekuatan Manggada telah menggetarkan pegangan tangan lawannya atas senjata mereka.

Ketika Manggada menghentakkan kemampuannya, kedua lawannya menjadi semakin terdesak. Dalam serangan yang cepat, Manggada telah mendesak seorang lawannya, sehingga ia meloncat beberapa langkah surut. Tetapi Manggada tidak sempat memburu. Lawannya yang lain telah berusaha mengenainya dengan serangan lurus mengarah ke lambung.

Namun Manggada dengan cepat meloncat menghindar sambil menyerang lawannya yang seorang lagi, sehingga lawannya yang tidak menduga itu terkejut. Dengan serta merta, ia meloncat mundur. Ujung pedang Manggada memang tidak menyentuhnya, tapi Manggada tidak membiarkannya. Sebelum lawan yang lain meloncat menyerangnya, Manggada bergeser, memburu lawannya dengan pedang tetap terjulur.

Dengan tergesa-gesa, lawannya berusaha menangkis serangan itu. Tetapi Manggada sempat memutar pedangnya, sehingga lawannya mengaduh perlahan. Ujung pedang Manggada sempat menyentuhnya, meski tidak terlalu dalam.

Dengan demikian, perlawanan kedua orang di halaman itu menjadi semakin lemah. Tapi kedua orang itu masih berusaha untuk bertahan. Mereka berharap jika kawan-kawannya mampu mengalahkan lawan-lawan mereka, maka mereka akan datang dan membantu mengalahkan anak muda itu.

Dalam pada itu, Laksana pun mampu membuat lawannya terdesak. Meski sekali-sekali Laksana juga harus berloncatan surut, tapi arena itu seakan-akan telah dikuasai sepenuhnya oleh Laksana. Bahkan Kadang-kadang kedua lawannya harus berloncatan surut beberapa langkah, karena desakan Laksana yang sulit untuk diatasi.

Di dalam rumah, Wirantana masih bertempur pula melawan dua orang. Wirantana memang harus menjaga diri agar ia tidak keluar dari ruang dalam. Jika ia terhisap keluar, maka tidak ada lagi yang mengawasi bilik kedua orang tuanya dan adiknya.

Sementara itu, Mas Rara menjadi gemetar di dalam biliknya. Meskipun ia tidak tahu apa yang terjadi, tetapi Mas Rara sudah menduga, bahwa kedatangan orang-orang itu tentu ada hubungannya dengan mas kawin yang diterimanya dari Raden Panji Prangpranata.

Karena itu, Mas Rara pun memikirkan ayah dan ibunya. Jika orang-orang itu sempat masuk kedalam bilik kedua orang tuanya, maka nasib kedua orang tuanya tentu akan menjadi buruk sekali. Mungkin para perampok itu akan menyakiti orang tuanya, bahkan mungkin lebih dari itu. Kemungkinan lain adalah, seandainya orang tuanya selamat, maka masih harus dipertanyakan sikap Raden Panji Prangpranata.

Kebingungan dan kecemasan berbaur di dalam hatinya. Namun Mas Rara tidak berani beranjak dari biliknya. Tapi ia menyadari, bahwa pertempuran telah terjadi di longkangan rumahnya, di depan gandok di belakang seketheng. Mas Rara tidak mendengar apa yang terjadi di halaman, karena suaranya tertelan oleh kekerasan yang terjadi di ruang dalam.

Dalam pada itu, orang-orang yang datang kerumah itu telah berusaha dengan segenap kemampuan mereka untuk mengalahkan anak-anak muda itu. Dengan garang, seorang diantara mereka yang bertempur melawan Wirantana berteriak,

“Menyerahlah. Jika kau tetap melawan, kau akan mengalami nasib yung lebih buruk. Kau ayah dan ibu serta Mas Rara yang telah dilamar oleh Raden Panji Prangpranata”

Dalam pada itu, selagi Ki Partija Wirasentana yang berada di dalam biliknya masih dibayangi kecemasan karena suara kapak yang semakin keras berderak pada dinding biliknya, serta dentang senjata di ruang dalam, beberapa orang peronda bersiap-siap mengelilingi padepokan mereka untuk terakhir kalinya di malam itu, sebelum mereka pulang.

Empat orang telah bersiap di muka gardu, sementara tiga orang tetap berjaga-jaga menunggu gardu. Sejenak kemudian, keempat orang itu mulai berkeliling sambil membunyikan kentongan kecil dengan irama khusus, sebagaimana sering mereka perdengarkan jika sedang meronda.

Suara kotekan itu kemudian menelusuri jalan-jalan padukuhan, diselingi dengan dendang gembira untuk membangunkan orang-orang yang terlalu nyenyak tidur, sehingga dapat terjadi kemungkinan buruk jika seorang pencuri masuk ke dalam rumah mereka. Manggada menjadi cemas mendengar suara itu. Ia tidak ingin kehilangan kedua lawannya. Ia berniat menangkap mereka hidup-hidup.

Namun, suara kentongan dalam irama kotekan itu mengacaukan rencananya. Lawan-lawannya, juga lawan Laksana dan Wirantana, menjadi semakin cemas menghadapi anak-anak muda itu dan sebentar lagi tentu para peronda. Karena itu, beberapa saat kemudian, terdengar suitan nyaring dari longkangan, yang ternyata adalah isyarat dari salah seorang diantara mereka yang memasuki halaman rumah Ki Partija Wirasentana itu.

Demikianlah. Sekejap kemudian, orang-orang yang sedang bertempur itu melakukan gerakan agak mengejutkan lawan-lawan mereka, seakan-akan mereka serentak akan menyerang. Namun ternyata, mereka berloncatan menjauh dan kemudian melarikan diri.

Manggada dan Laksana berusaha untuk mengejar mereka. Tetapi ketika mereka berlari dan kemudian meloncati dinding halaman, turun ke jalan, mereka bertemu dengan para peronda yang juga berlari-lari ke regol halaman.

“He, berhenti, berhenti...!“ teriak salah seorang peronda.

Manggada dan Laksana terpaksa berhenti. Jika mereka berlari terus, mengejar orang-orang yang melarikan diri itu, akan terjadi salah paham. Para peronda yang belum melihat mereka dengan jelas dalam keremangan dini hari, akan mengira mereka berdua adalah orang-orang yang justru harus mereka tangkap, sebagaimana orang-orang yang telah berlari lebih dulu.

Apalagi belum semua orang padukuhan itu mengenai mereka berdua dengan baik. Keempat orang peronda itu telah mengepung mereka sambil mempersiapkan senjata yang mereka bawa, karena Manggada dan Laksana masih menggenggam senjata.

“Siapa kalian?“ bertanya orang tertua diantara para peronda.

“Kami adalah tamu Ki Partija“ jawab Manggada “kami sebenarnya sedang mengejar orang-orang yang berniat jahat di rumah ini...”

Seorang diantara para peronda itu ternyata dengan cepat mengenali kedua anak muda itu. Karenanya orang itu berkata lantang. “He, bukankah kalian anak-anak muda yang telah menolong Mas Rara dari harimau yang akan menerkamnya, dan kemudian singgah di rumah Ki Partija?”

“Ya. Malam ini rumah Ki Partija telah didatangi beberapa orang perampok.“ jawab Manggada.

Tetapi orang-orang itu tidak segera percaya. Namun seorang diantara mereka berkata “Kami memang melihat beberapa orang berlari-lari. Namun segera hilang ke halaman sebelah, sebelum kalian meloncat ke jalan.”

“Orang-orang itulah yang sedang kami kejar!“ jawab Manggada.

Beberapa orang diantara mereka saling berpandangan. Memang terasa sedikit kecurigaan nampak di sorot mata mereka. Sehingga Laksana bertanya “Bagaimana tanggapan kalian atas hal ini? Kami telah kehilangan buruan”

“Dimana Ki Partija Wirasentana?“ bertanya yang tertua diantara para peronda itu.

“Ada di dalam“ jawab Manggada. Lalu katanya “Marilah kita temui Ki Partija...”

Selanjutnya,
Mas Rara Bagian 04

Mas Rara Bagian 03

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
“SEPEKAN lagi, akan datang utusan Raden Panji untuk memberikan Mas Kawin kepada Mas Rara“ desis Laksana.

“Tiga hari lagi“ sahut Wirantana “Dua hari telah lewat. Karena itu ayah sudah bersiap-siap untuk menerima utusan itu” Wirantana berhenti sejenak, lalu “Tetapi nampaknya paman menjadi semakin jauh dari ayah”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sementara Wirantana berkata selanjutnya “Telah dua hari paman tidak kembali”

“Apakah pamanmu mempunyai rumah yang lain?“ bertanya Manggada.

“Ya. Paman memang mempunyai rumah sendiri. Warisan yang diterima dari kakek, sebagaimana ayah. Tetapi paman memang sering berada di sini” jawab Wirantana.

“Apakah pamanmu belum berkeluarga?“ bertanya Laksana.

Wirantana termangu-mangu. Katanya dengan nada dalam. “Aku sudah lama pergi dari rumah. Baru beberapa saat aku berada kembali diantara keluargaku. Karena itu, aku tidak tahu dengan apa yang telah terjadi dengan paman, serta keluarganya. Namun menurut pendengaranku, paman memang pernah kawin.”

“Pernah kawin?“ bertanya Laksana.

“Ya. Tetapi aku tidak tahu jelas, kenapa paman sekarang sendiri” jawab Wirantana.

Manggada dan Laksana tidak bertanya lebih jauh. Agaknya Wirantana bukan saja tidak banyak mengetahui tentang pamannya, tetapi ia pun agak segan untuk menceriterakannya.

Demikianlah, Ki Partija Wirasentana bersama keluarganya menjadi sibuk ketika hari yang ditentukan menjadi semakin dekat. Ki Partija merasa perlu untuk menyediakan penginapan bagi para utusan itu. Jika mereka menempuh perjalanan di siang hari, maka para tamu yang akan membawa mas kawin itu harus bermalam di padukuhan Nguter.

Karena itulah, Ki Partija membersihkan kedua gandok rumahnya. Manggada dan Laksana, bersama Wirantana. berada di balik belakang, Bahkan Ki Partija telah meminjam rumah di depannya, untuk disediakan pula sebagai penginapan, karena rumah. itu juga memiliki gandok kiri kanan yang memadai.

Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu itu datang. Seluruh keluarga Ki Partija diminta bersiap menyambut utusan. Ki Resa yang pergi telah kembali. Bahkan ia tidak menolak ketika Ki Partija memanggilnya untuk ikut menerima tamu yang akan datang. Ki Partija Wirasentana juga minta beberapa orang tua untuk ikut menerima utusan Raden Panji, yang akan datang untuk menyerahkan mas kawin.

Tetapi karena Ki Partija tidak tahu waktu yang tepat saat kedatangan utusan itu, maka di hari kelima, sejak menjelang tengah hari, beberapa orang telah bersiap-siap menyambutnya. "Jika mereka berangkat di malam hari, maka mereka akan sampai di sini menjelang tengah hari, seperti utusan yang datang sepekan lalu“ berkata Nyi Partija.

Mereka tidak akan menempuh perjalanan semalam suntuk, karena mereka membawa mas kawin. Meskipun kita mendapat mas kawin berlebihan bahkan tanpa mas kawinpun kita tidak akan berkeberatan, namun betapapun kecilnya, mas kawin itu tentu akan menarik perhatian. Terutama bagi orang yang berniat jahat” sahut Ki Partija Wirasentana. Isterinya mengangguk-angguk. Namun bagaimanapun juga, mereka telah bersiap untuk menerima tamu utusan Raden Panji Prangpranata.

Ternyata Ki Partija dan orang-orang yang telah bersiap di pendapa harus menunggu sampai sore hari. Ketika matahari menjadi semakin rendah, orang yang ditugaskan oleh Ki Partija Wirasentana mengamati kedatangan utusan itu di mulut lorong padukuhan, telah berlari-lari untiik menyampaikan laporan, bahwa sebuah iring-iringan telah nampak di bulak, di sebelah padukuhan.

“Apakah mereka itu utusan Raden Panji?“ bertanya Ki Partija Wirasentana.

“Entahlah. Tetapi mereka berlima, dan dua ekor kuda tanpa penunggang. Agaknya dua ekor kuda itu membawa beban“ jawab orang yang mengamati jalan bulak itu.

Ki Partija hampir memastikan bahwa mereka itulah utusan Raden Panji. Karena itu, orang-orang yang berada di pendapa itupun telah bersiap-siap menyambut tamu-tamu mereka. Sebenarnyalah bahwa lima orang itu adalah utusan Raden Panji, yang harus membawa mas kawin untuk orang tua Mas Rara.

Kelima orang itu kemudian diterima dengan sangat hormat oleh Ki Partija dengan keluarganya. Bahkan Ki Resa pun ikut menerima mereka. Sikapnya berubah sama sekali. Ia tidak lagi berwajah muram. Marah-marah dengan menuduh kakaknya telah menjual anak gadisnya. Dengan sikap yang ramah. Ki Resa ikut menerima utusan Raden Panji di pendapa.

Wirantana, Manggada dan Laksana sempat memperhatikan sikap Ki Resa. Bahkan Wirantana sempat berdesis. “Sikap paman agak berbeda dari kebiasaannya. Ketika Utusan yang terdahulu datang, paman sama sekali tidak mau ikut menerima. Tetapi sekarang paman nampak bersikap baik”

Manggada mengangguk-angguk. Katanya “Mungkin sesuatu telah berkembang di dalam dadanya”

Wirantana mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak berbicara lagi. Bahkan ia menjadi tegang, menyaksikan pertemuan yang diliputi kegembiraan sangat besar itu.

Sejenak kemudian, hidanganpun disuguhkan. Sambil berbincang dan tertawa-tawa, mereka menghirup minuman hangat, dan mencicipi beberapa potong makanan.

Namun sebenarnyalah, bahwa utusan yang datang itu tidak sebagaimana dibayangkan oleh Ki Partija. Ia menyangka bahwa utusan yang datang adalah orang-orang tua yang akan menyampaikan mas kawin dengan berbagai macam upacara adat. Diantara mereka tidak ada seorang perempuanpun. Hanya lima orang yang berpakaian sebagai pelayan dalam di rumah Raden Panji Prangpranata.

Meskipun demikian, orang tertua diantara mereka telah menggenapi adat itu. Ia merupakan utusan dan sekaligus mewakili orang-orang tua yang datang dengan resmi untuk melamar Mas Rara, dengan menyerahkan Mas Kawin. Kelima orang itupun kemudian mengambil mas kawin yang harus diserahkan. Tidak seperti biasanya, berupa sanggan dan pakaian sepengadeg, diiringi dua atau tiga buah jodang berisi makanan, disamping sejumlah uang. Yang dibawa kelima orang utusan itu membuat Ki Partija tercengang.

Agaknya Raden Panji ingin menyelesaikan upacara itu tanpa mengikuti urutan adat. Ia begitu saja menyerahkan sejumlah uang yang nilainya tidak pernah dibayangkan oleh Ki Partija Wirasentana. Lima kampil berisi kepingan-kepingan uang. Diantaranya kepingan uang perak dan emas. Selain itu, Raden Panji juga mengirimkan pakaian lima pangandeg. Yang tidak pernah diduga sebelumnya adalah, Raden Panji telah menyerahkan pula perhiasan sepengandeg. Centhung, tusuk konde, cunduk montul, kalung, subang, cincin, peniti renteng, bahkan pendhing. Semuanya dari emas dengan tretes permata.

Ki Partija Wirasentana tercenung beberapa saat. Yang dihadapinya itu seolah-olah sebuah mimpi ajaib. Karena itu. Ki Partija terkejut ketika yang tertua diantara kelima orang itu berkata,

“Semua yang dikirimkan Raden Panji telah kami serahkan. Dengan sengaja kami menunjukkan semuanya ini dihadapan saksi, sehingga jika Raden Panji menanyakannya, tidak akan ada selisihnya. Memang kami tidak menganut adat yang seharusnya berlaku dalam upacara asok tukon. Kami tidak disertai orang-orang tua laki-laki dan perempuan. Tidak pula membawa sanggan dan jodang. Semua itu dilakukan Raden Panji karena keadaan. Jarak yang panjang, serta waktu yang terasa sempit”

Ki Partija Wirasentana mengangguk dalam-dalam. Dengan nada rendah, ia berkata, “Ki Sanak. Apa yang diberikan oleh Raden Panji Prangpranata kepada keluarga kami, sudah terlalu banyak, Bahkan kami tidak tahu, bagaimana menghitung semua itu. Adapun mengenai upacara berdasarkan adat, kami sama sekali tidak merasa terlampaui. Jika ada perbedaan dari kebiasaan yang berlaku, hanyalah sekadar laku. Bukan isi dari upacara itu. Karenanya, kami mengucapkan beribu terima kasih tidak hanya satu dua kali. Tetapi berkali-kali dan setiap saat”

Kelima orang utusan itu tertawa. Yang tertua diantara mereka berkata. “Yang diberikan kepada Mas Rara memang sangat banyak. Itu jika dihitung dengan angka yang kita kenal. Tetapi tentu tidak bagi Raden Panji Prangpranata, karena Raden Panji memiliki jauh lebih banyak dari yang kita duga”

Ki Partija Wirasentana mengangguk-angguk. Demikian pula Ki Resa, yang juga menjadi sangat heran melihat barang-barang berharga sekian banyaknya. Namun pembicaraan itu terputus ketika para pelayan menghidangkan makan yang memang sudah dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Nasi maupun lauk pauknya masih hangat.

Ternyata kelima orang utusan itu juga tidak mempergunakan basa basi, sebagaimana orang-orang yang datang untuk menyerahkan asok tukon. Yang tertua diantara mereka telah mengatakan langsung keperluannya, sekaligus mengakhirinya. “Silahkan menyimpan barang-barang ini Ki Partija. Nampaknya kita akan segera menikmati hidangan yang masih hangat ini”

Ki Partija pun kemudian memanggil Wirantana. Kemudian mempersilahkan adiknya, Ki Resa bersama Wirantana untuk menyimpan barang-barang yang sangat berharga itu. Keduanya telah memasukkan benda-benda berharga itu ke dalam peti. Kemudian menyimpan peti itu di dalam bilik Ki Partija, langsung di bawah pengawasan Ki Partija sendiri.

Manggada dan Laksana yang tahu, bahwa barang-barang itu sangat tinggi nilainya, tidak berani menawarkan diri untuk membantu menyimpan di ruang dalam. Hal itu akun dapat mengundang persoalan. Karena itu, keduanya hanya mengamati saja dari kejauhan, ketika Ki Resa dan Wirantana membawa barang-barang berharga itu masuk.

Sementara itu, setelah barang-barang berharga disimpan, Ki Partija Wirasentana mempersilahkan tamu-tamunya menikmati hidangan bersama keluarga Ki Partija. Bahkan yang tertua diantara para utusan itu telah sempat bertanya tentang dua orang anak muda yang telah menolong Mas Rara dari cengkaman tajamnya kuku-kuku harimau.

“Apakah mereka masih ada di sini?“ bertanya utusan itu.

“Ya Ki Sanak. Sebagaimana pesan yang terdahulu. anak-anak muda itu ternyata bersedia tinggal di sini” jawab Ki Partija.

“Sukurlah. Raden Panji Prangpranata memang ingin bertemu langsung dengan anak-anak itu. Pada saat Mas Rara dijemput kelak, keduanya akan diminta ikut bersama dengan utusan yang menjemput itu” berkata orang tertua itu.

Ki Partija sempat berpaling kearah kedua orang anak muda itu. Sementara Wirantana yang telah selesai menyimpan barang-barang berharga itu, telah berada diantara mereka.

Demikianlah Sebagaimana direncanakan, maka Ki Partija Wirasentana telah membersihkan gandok rumahnya yang disediakan bagi tamu-tamunya. Tapi karena jumlahnya tidak sebanyak yang diduga, Ki Partija mengurungkan rencananya meminjam rumah di sebelah depan.

Malam itu, para utusan Raden Panji bermalam di rumah Ki Partija. Sementara Ki Partija Wirasentana dengan isterinya, sekali lagi menghitung uang dan perhiasan yang telah mereka terima. Tetapi mereka tidak mampu menyebut angka sesuai dengan nilai barang-barang yang telah diberikan Raden Panji Prangpranata kepada mereka.

“Ternyata anak itu membawa rejeki yang tidak terhitung jumlahnya, Nyi Rejeki lahiriah“ berkata Ki Partija Wirasentana datar.

Isterinya mengungguk kecil. Tetapi tidak ada kesan kegembiraan yang nampak di wajahnya. Sementara itu, Mas Rara terbaring di biliknya menengadah, memandang atap. Ia berusaha memejamkan matanya, tapi tidak dapat tidur nyenyak. Setiap kali, di luar sadarnya, matanya terbuka.

Di luar, suara jengkerik dan bilalang berderik bersahutan. Angin malam berhembus agak kencang. Mendung memang melintas. Tetapi sejenak kemudian, bintang-bintang mulai berkeredipan lagi di langit.

Manggada, Laksana dan Wirantana telah tidur mendekur. Seakan-akan anak-anak muda itu sama sekali tidak dibebani oleh perasaan apapun juga. Meskipun rumah Ki Partija Wirasentana nampaknya menjadi lelap, tetapi Ki Partija telah memerintahkan beberapa orang meronda di rumahnya. Mereka telah mendapat pesan Jika sesuatu terjadi, mereka harus segera memberikan isyarat. Jika keadaannya memang sangat genting, mereka diminta untuk membunyikan kentongan tanpa ragu-ragu.

Namun ternyata sampai terdengar ayam jantan berkokok untuk terakhir kalinya, tidak terjadi sesuatu di rumah itu. Beberapa orang yang ditugaskan untuk meronda rumah itu telah berkumpul dan duduk di serambi belakang. Sementara langit mulai menjadi cerah.

Para utusan yang bermalam di rumah Ki Partija Wirasentana, telah terbangun. Bergantian mereka pergi ke pakiwan. Sementara orang-orang perempuan telah sibuk di dapur, termasuk Mas Rara sendiri. Badan Mas Rara kelihatan lesu. Matanya redup, karena hampir semalaman ia tidak tidur sama sekali.

Manggada, Laksana dan Wirantana sibuk bergantian menimba air, mengisi jambangan di pakiwan. Kemudian mereka juga membantu membersihkan halaman dan kerja yang lain.

Ketika matahari naik, para tamu telah berada di pendapa. Hidangan telah disuguhkan pula. Minuman hangat dan nasi yang hangat pula. Ki Partija Wirasentana telah minta isterinya menyiapkan makan pagi-pagi, karena kelima orang tamu mereka, utusan Raden Panji Prangpranata itu, akan meninggalkan rumah itu.

Ketika para tamu itu mulai menyenduk nasi ke mangkuk mereka, Ki Resa pun telah datang pula dengan wajah yang cerah. Ki Partija telah memanggilnya untuk ikut bersama dengan tamu-tamunya, makan bersama di pendapa. Ki Resa tidak menolak. Iapun naik ke pendapa. Sikapnya tidak berubah. Ramah dan banyak tersenyum dan tertawa.

Seperti yang direncanakan. Beberapa saat kemudian, setelah para tamu itu selesai makan dan minum serta setelah beristirahat pula sebentar, sementara matahari naik semakin tinggi, maka para tamu itupun telah minta diri meninggulkan padepokan Nguter.

“Kami ingin minta diri kepada Mas Rara“ berkata orang tertua dari para utusan itu.

Ki Partija Wirasentana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk hormat sambil berkata “Gadis itu gadis pemalu!”

Kelima orang utusan itu tertawa. Seorang diantaranya berkata “Ia akan menjadi isteri Raden Panji”

Ki Partija masih saja termangu-mangu. Sementara utusan itu berkata “Mas Rara harus menyesuaikan diri. Ia akan menerima tamu-tamu Raden Panji. Diantaranya, ada pemimpin. Karena itu, ia tidak boleh menjadi gadis pemalu”

Ki Partija tidak dapat menjawab. Karena itu ia bangkit dan melangkah masuk, mencari Mas Rara. Ternyata Mas Rara masih berada di dapur. Seperti yang diduga, Mas Rara menolak untuk pergi ke pendapa. Ia merasa malu berhadapan dengan utusan Raden Panji Prangpranata.

Tetapi ayahnya memaksa. Dengan nada rendah, ayahnya berkata “Mas Rara. Jika kau tidak mau pergi ke pendapa, utusan itu tidak akan meninggalkan rumah ini. Mereka tidak perduli terlambat menghadap Raden Panji, dan kemudian dimarahi, atau bahkan dihukum. Mereka merasa wajib untuk minta diri padamu, karena kau bakal isteri Raden Panji”

“Tetapi aku malu ayah“ jawab Mas Rara.

“Jadi kau biarkan tamu-tamu itu berada di pendapa sampai nanti siang, atau nanti sore, atau bahwa bermalam lagi? Atau sampai datang utusan Raden Panji menyusul mereka?“ bertanya ayahnya.

Mas Rara menjadi bingung. Namun ibunya kemudian berkata dengan lembut “Kau harus belajar dengan kewajiban-kewajiban yang bakal dibebankan kepadamu Mas Rara. Kau bukan lagi kanak-kanak. Kau tidak boleh selalu dikekang perasaan malu”

Mas Rara masih tetap ragu-ragu. Namun akhirnya Mas Rara terpaksa mengikuti ayahnya ke pendapa, sambil berpegangan tangan ibunya. Ketika Mas Rara keluar lewat pintu pringgitan, wajahnya menunduk. Sementara itu, kelima orang utusan Raden Panji mendekatinya. Seorang diantara mereka berkata,

“Bukankah Mas Rara pernah menari dihadapan banyak tamu? Utusan yang pernah datang kemari menceriterakan bahwa Mas Rara adalah seorang penari yang baik. Kenapa Mas Rara sekarang merasa malu terhadap kami? Anggap saja kami berada diantara para penonton, jika Mas Rara sedang menari”

Mas Rara tersenyum tertahan. Tetapi ia justru menjadi semakin menunduk Wajahnya menjadi merah.

Ki Partija tersenyum. Tetapi ia tidak berkata sesuatu. Selanjutnya, para utusan itu minta diri untuk kembali dan memberikan laporan kepada Raden Panji. Ki Partija menggamit anaknya. Tetapi anaknya tidak tanggap. la masih saja menundukkan kepala sambil mempermainkan jari-jari tangannya sendiri.

“He“ akhirnya Ki Partija tidak sabar “kau harus menjawab. Para utusan itu minta diri”

Mas Rara termangu-mangu. Tetapi wajahnya justru terasa panas. Sekali lagi para utusan itu minta diri “Kami mohon diri Mas Rara. Kami harus kembali menghadap Raden Panji untuk memberikan laporan, bahwa kami telah melakukan perintah dengan sebaik-baiknya”

Dengan jantung berdebaran, Mas Rara akhirnya menjawab “Selamat jalan”

“Kau tidak mengucapkan terima kasih?“ bertanya bapaknya.

“Ah“ desah gadis itu.

Kelima utusan itu tertawa. Sementara, atas desakan ayahnya, Mas Rara berkata “Aku mengucapkan terima kasih”

“Tidak buat kami “ jawab salah seorang dari para utusan itu. Agaknya ia ingin menggoda Mas Rara. Karena itu ia bertanya “Jadi terima kasih itu buat siapa?“

Wajah Mas Rara terasa semakin panas. Ia tidak menjawab sama sekali.

“Sudahlah!" berkata utusan itu. “Kami sudah mengerti, terima kasih itu tentu Mas Rara tujukan kepada calon suami yang memerintahkan kami datang kemari”

Hampir saja Mas Rara lari ke dalam. Nanum orang-orang itu sambil tertawa bergerak, dan melangkah menuju tangga pendapa. Ki Partija membimbing Mas Rara untuk ikut mengantar tamunya sampai ke regol halaman, diikuti Nyi Partija.

Di regol, utusan itu sekali lagi minta diri kepada ayah dan ibu Mas Rara. Bahkan sekali lagi kepada Mas Rara. Kepada Ki Resa yang ikut pula mengantar, mereka telah minta diri pula. Namun yang tertua diantara mereka berpesan. “Jangan biarkan anak-anak itu pergi”

Ki Partija tersenyum sambil menjawab “Kami akan selalu berusaha memenuhi perintah Raden Panji Ki Sanak”

“Terima kasih“ jawab orang itu.

Sejenak kemudian, utusan Raden Panji itu telah meninggalkan regol halaman rumah Ki Partija. Mas Rara tidak lagi menunggu lebih lama. Ia kemudian berlari masuk lewat seketheng ke ruang dalam melalui butulan.

Ki Partija suami isteri membiarkannya. Anaknya memang tidak terbiasa bergaul dengan orang-orang yang belum dikenalnya. Lebih-lebih orang yang datang dari luar pudukuhan.

Demikianlah. Sepeninggal utusan itu, beberapa orang tetangga yang berada di pendapa telah minta diri. Ki Partija mengucapkan terima kasih kepada mereka yang bersedia ikut melepas para utusan itu. Sepeninggal para tamu, rumah Ki Partija menjadi lengang. Manggada dan Laksana telah dipersilakan oleh Wirantana kembali ke gandok sepeninggal tamu-tamunya.

“Kalian tidak boleh meninggalkan rumah ini“ berkata Wirantana kepada kedua anak muda itu.

“Aku sudah terlalu lama di sini“ desis Laksana.

“Tetapi ini perintah Raden Panji“ jawab Wirantana.

“Siapakah sebenarnya Raden Panji itu? Demikian besarkah kuasanya, sehingga apa yang diinginkan harus jadi?“ bertanya Laksana kemudian.

“Aku tidak tahu. Aku belum lama pulang jawab Wirantana.

“Menurut ayahmu?“ bertanya Laksana mendesak.

“Ayah tidak pernah berbicara dengan aku tentang Mas Rara. Aku masih dianggap anak-anak yang cukup disuapi makan dan minum“ jawab Wirantana.

Laksana tidak bertanya lagi. la mengerti bahwa Wirantana tidak banyak mengetahui tentang bakal adik iparnya itu. Demikianlah. Meski jemu, Manggada dan Laksana harus tetap tinggal di rumah itu. Sebenarnya mereka tidak takut pada Raden Panji. Keduanya sadar, kekuasaan Raden Panji tidak akan menjangkaunya. Jika ada utusan yang mengejarnya di luar batas kekuasaan Raden Panji, utusan itu dapat dilawannya.

Tetapi yang mereka pikirkan justru Ki Partija sekeluarga. Jika benar Raden Panji menjadi marah, karena anak muda itu meninggalkan rumah Ki Partija, kemudian menjatuhkan kemarahan itu kepada keluarga itu, maka Manggada dan Laksana akan merasa bersalah. Karenanya, kedua anak muda itu bertahan untuk tetap tinggal di rumah itu.

Hari itu, Manggada dan Laksana ikut Wirantana ke sawah Dengan bekerja di sawah, anak-anak muda itu bisa melupakan kejenuhan mereka Namun di sore hari, ketika keduanya berada di serambi gandok, rasa-rasanya mereka ingin segera meneruskan perjalanan.

Baru jika Wirantama datang, mereka dapat mengisi waktu dengan berbincang-bincang, bergurau, dan bahkan berbicara tentang olah kanuragan. Namun ketika malam turun, ketiga anak muda itu justru berada di kebun belakang. Di tempat yang agak jauh dari rumah mereka.

Dalam kegelapan malam, diantara pepohonan dan tanaman empon-empon yang di musim kering seakan-akan telah hilang, tapi pada musim hujan tumbuh lagi, anak-anak muda itu mencoba meningkatkan ilmu mereka. Juga berusaha untuk mempertajam penglihatan mereka. Berganti-ganti mereka berlatih olah kanuragan. Namun mereka selalu menjaga agar tidak ada orang lain yang mengetahuinya. Juga pamannya.

Ketika saat sepi mencengkam padukuhan Nguter, ketiga anak muda itu berhenti berlatih. Mereka kemudian pergi ke pakiwan, dan selanjutnya membenahi pakaiannya yang basah oleh keringat. Manggada dan Laksana berada di dalam biliknya, ketika terdengar suara kentongan di tengah malam. Keduanya bahkan telah berbaring. Laksana yang merasa letih, sudah memejamkan niatnya. Hampir saja ia tertidur, ketika ia mendengar pintu biliknya diketuk.

“Siapa?“ bertanya Manggada.

“Aku!“ jawab orang yang mengetuk pintu.

“Wirantana?“ bertanya Manggada pula.

“Ya...“ jawab yang di luar.

Manggada pun bangkit dan membuka pintu. Laksana yang sudah hampir tertidur, telah duduk di bibir pembaringannya.

Ketika pintu terbuka, Wirantana masuk sambil berdesah “Aku tidak dapat tidur. Aku merasa gelisah”

“Kenapa?“ bertanya Manggada.

Wirantana yang kemudian duduk diamben panjang di dalam bilik itu berdesis. “Entahlah. Tetapi aku tidak dapat tidur”

Manggada menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya “Kau memikirkan emas kawin yang diterima oleh adikmu itu”

“Kenapa aku memikirkanhya? Mas Kawin itu diberikan kepada adikku? Kenapa aku harus memikirkannya?“ bertanya Wirantana.

“Bukan mas kawin itu sendiri. Tetapi mungkin kau merasa cemas, bahwa dirumah ini tersimpan harta benda yang cukup banyak” berkata Manggada.

“Sst“ desis Wirantana “jangan terlalu keras”

“Mungkin kecemasan itu tidak kau sadari“ berkata Laksana ”tetapi memang ada baiknya kita berhati-hati”

Wirantana termangu-mangu. Namun kemudian katanya “Mungkin kalian benar. Baiklah. Aku akan kembali ke bilikku. Bagaimanapun juga benda-benda berharga yang sebelumnya tidak kita miliki ini akan dapat mengundang persoalan”

Manggada dan Laksana tidak menjawab. Tetapi keduanya bangkit ketika Wirantana kemudian keluar dari bilik itu dan kembali kebiliknya sendiri. Demikian menyelarak pintu, maka Laksana telah menjatuhkan diri lagi di pembaringannya. Sambil memejamkan matanya ia berkata, “Aku sudah hampir tertidur”

Manggada hanya tersenyum saja. Tetapi rasa-rasanya iapun tidak mudah untuk tidur. Benda-benda berharga itu memang dapat menarik perhatian orang-orang yang berniat jahat. Tetapi Manggada tidak ingin mengganggu Laksana yang ternyata beberapa saat kemudian telah tertidur nyenyak.

Sementara itu, malampun menjadi semakin larut. Diluar suara bilalang masih terus berderik disela-sela bunyi angkup. Merintih berkepanjangan. Di dalam biliknya, Wirantana juga tidak dapat tidur. Bahkan iapun kemudian duduk dipembaringannya. Suara-suara malam bagaikan berbisik ketelinganya agar Wirantana bertahan unluk tetap terjaga.

Untuk beberapa lama Wirantana duduk di pembaringannya. Kemudian ia bergeser menepi untuk dapat bersandar dinding. Namun rasa-rasanya menjadi semakin tidak mengantuk. Pendapat Manggada dan Laksana justru menjadi semakin mengganggu perasaannya.

Wirantana tiba-tiba tertarik suara gemerisik diluar dinding biliknya, yang terdengar bergeser menyusurii dinding. Bukan gemerisiknya angin malam didedaunan. Tiba-tiba saja wirantana sadar bahwa suara itu adalah suara langkah seseorang.

“Agaknya yang dicemaskan akan terjadi“ berkata Wirantana didalam hatinya.

Tetapi Wirantana masih tetap berdiam diri. Ia memang ingin melihat, apa yang akan dilakukan oleh orang-orang itu dan barangkali dapat diketahui siapakah mereka. Karena Wirantana berusaha untuk berdiam diri, serta berusaha mengatur pernafasannya dengan baik, maka ia memberikan kesan bahwa ia sudah tertidur nyenyak. Demikian pula Manggada didalam biliknya. Ia bahkan telah berbaring dipembaringannya meskipun masih belum tidur.

Dibiliknya, ternyata Mas Rara pun tidak dapat tidur pula meskipun dengan kegelisahan yang berbeda. Sedangkan Ki Partija Wirasentana dan isterinya juga masih saja selalu gelisah. Sebuah peti yang berisi benda-benda berharga ada dibawah pembaringannya. Bagaimanapun juga benda sebanyak itu belum pernah dimiliki sebelumnya.

Namun bukan hanya karena nilai-nilai yang tersimpan pada benda-benda itu. Tetapi persoalan yang terkandung didalamnya telah membuat mereka gelisah. Dalam pada itu, maka Wirantama semakin lama justru menjadi semakin gelisah. Ia telah mendengar langkah langkah yang berurutan. Tentu tidak hanya seorang saja atau bahkan tentu lebih dari dua orang.

Sejenak Wirantana masih bertahan ditempatnya. Ia menunggu perkembangan keadaan. Namun ia juga berharap bahwa Manggada dan Laksana atau salah seorang dari mereka masih tetap terjaga pula. Namun Wirantana menjadi sedikit tegang, karena ia mengerti, bahwa pamannya ada dirumah itu pula. Jika terjadi sesuatu, pamannya akan dapat membantunya. Wirantana tahu pasti, bahwa pamannya adalah seorang yang berilmu.

Tetapi Wirantana kemudian menjadi curiga. Orang yang berada diluar terlalu banyak untuk sekelompok pencuri. Karena itu, maka iapun telah memperhitungkan, bahwa orang-orang itu bukan pencuri yang akan memasuki rumah itu dengan diam-diam dan mengambil harta benda yang disimpan oleh ayahnya. Tetapi mereka tentu akan memasuki rumah itu dengan paksa dan tidak dengan sembunyi-sembunyi berusaha merampas benda-benda berharga itu.

Karena itu, maka Wirantanapun tidak lagi menunggu dengan diam-diam. Iapun kemudian telah bergeser lagi. Namun untuk mempersiapkan senjatanya. Sebenarnyalah, sejenak kemudian, maka telah terdengar pintu butulan diketuk orang. Tidak terlalu keras. Tetapi cukup dapat membangunkan orang-orang yang tidur diruang dalam.

Wirantana adalah orang yang pertama keluar dari biliknya. la ingin memperingatkan ayahnya agar berhati-hati. Kemudian minta kepada pamannya untuk tidak dengan serta merta membuka pintu butulan. Tetapi Wirantana terlambat. Ketika ia sampai ke ruang tengah maka ia telah melihat pamannya membuka pintu butulan.

“Paman!“ Wirantana berteriak.

Tetapi tepat pada saat itu, pamannya telah mengangkat selarak. Satu dorongan yang kuat telah menempa tubuh pamannya. Ternyata orang-orang yang berada diluar pintu telah mendorongnya keras-keras, sehingga Ki Resa terdorong beberapa langkah surut. Namun Ki Resa tidak mempunyai banyak kesempatan. Ketika ia berusaha memperbaiki keseimbangannya. maka tiba tiba sebuah pukulan yang keras dengan sepotong besi telah mengenai tengkuknya.

Ki Resa terhuyung-huyung beberapa langkah. Bahkan telah melanggar dinding. Namun Ki Resa masih berusaha mencabut keris. Tetapi agaknya, daya tahannya tidak mampu lagi mengatasi kesulitan didalam dirinya. Perlahan-lahan Ki Resa itu terjatuh disudut ruang.

Wirantana sempat meloncat mundur. Ketika ia melihat ayahnya membuka pintu biliknya, maka Wirantana segera meloncat masuk sambil mendorong ayahnya. Dengan cepat Wirantana menutup pintu bilik itu dari dalam dengan selarak yang kuat.

“Apa yang terjadi?“ bertanya ayahnya. Wirantana tidak segera menjawab. Tetapi ia sudah menggenggam pedang ditangannya.

“Dimana Mas Rara?“ bertanya Wirantana tiba-tiba.

“Didalam biliknya“ jawab ibunya.

Namun Wirantana tidak sempat bertanya lagi. Sejenak kemudian pintu bilik itu sudah digedor dari luar.

“Jangan dibuka“ desis Wirantana.

“Siapakah mereka?“ bertanya Ki Partija Wirasentana.

“Mereka adalah sekelompok penjahat“ jawab Wirantana.

“Bagaimana dengan adikmu?“ Nyi Partija Wirasentana hampir menangis.

Wirantana memang menjadi bingung. Ia tahu bahwa adiknya tentu akan menjadi sangat ketakutan. Tetapi jika ia membuka pintu itu dan keluar, maka orang-orang itu tentu menjadi sangat berbahaya, bukan saja baginya, tetapi juga bagi ayah dan ibunya serta benda-benda berharga yang baru saja diserahkan oleh Raden Panji.

Sementara itu, pintu bilik itu telah berderak-derak keras. Orang-orang yang ada diruang dalam berusaha untuk merusaknya sambil berteriak. “Keluar. Atau aku bakar rumah ini”

Wirantana memang benar-benar menjadi bingung. Tetapi ia siap di pintu bilik itu. Demikian pintu terbuka, maka ia tidak akan berpikir panjang. Pedangnya tentu akan mengoyak perut orang-orang yang akan menerobos masuk kedalam bilik itu.

Namun dalam pada itu, ternyata suara ribut itu terdengar oleh Manggada yang berada digandok. Dengan hati-hati ia telah membangunkan Laksana dan memberi isyarat bahwa sesuatu memang telah terjadi. Laksanapun segera mempersiapkan diri. Pedangnya kemudian telah terselip dipinggangnya.

“Marilah. Kita melihat apa yang telah terjadi“ berkata Laksana.

Kedua orang anak muda itu dengan sangat berhati-hati telah keluar dari pintu bilik mereka di gandok. Merekapun kemudian dengan hati-hati telah memasuki halaman samping. Lewat seketheng mereka memasuki longkangan. Keduanya terkejut ketika keduanya melihat bahwa pintu telah terbuka. Karenu itu, maka merekapun segera telah mendekat.

Namun tiba-tiba seseorang telah meloncat menyerang mereka, Nampaknya orang itu telah mendapat tugas untuk berjaga-jaga diluar.

Manggada sempat mengelak. Dengan lantang ia berkata “Laksana. Cegah orang itu. Aku akan masuk”

Laksanapun segera menempatkan diri untuk melawan orang itu. Sementara Manggada telah meloncat mendekati pintu. Dengan hati-hati ia bergerak masuk. Ia melihat Ki Resa terbaring disudut ruangan. Agaknya Ki Resa tidak sempat membela dirinya ketika ia begitu tiba-tiba mendapat serangan.

Ketika Manggada kemudian berada di ruang dalam, maka orang-orang yang sedang berusaha memecah pintu bilik Ki Wirasentana melihatnya. Karena itu, maka dua orang diantara mereka telah meloncat menyerang Manggada. Tetapi Manggada cukup tangkas. Iapun segera berloncatan diantara perabot rumah yang ada diruang dalam. Pedangnya langsung berputaran.

Kedua orang yang menyerangnya terkejut. Pada benturan yang terjadi, orang-orang itu langsung mengetahui, bahwa anak muda itu memiliki ilmu yang mapan.

Demikianlah, maka Manggada telah bertempur ditempat yang kurang menguntungkan. Tetapi lawannya yang bertempur berpasangan itupun tidak dapat dengan leluasa mengambil arah. Sehingga dengan demikian, maka pertempuran itu masih belum berkembang sampai ke puncak ilmu masing-masing.

Sementara itu, Wirantana mendengar pertempuran yang terjadi diluar. Sementara itu, ia mendengar saura Manggada lantang ”He, siapakah kalian yang telah berani memasuki rumah ini?“

“Persetan. Aku sumbat mulutmu dengan ujung pedang“ geram salah seorang dari mereka.

Manggada tidak menjawab. Tetapi ia sudah berloncatan di tempat yang agak sempit untuk bertempur. Karena itu ia kemudian memusatkan perlawanannya pada ketrampilan tangannya menggerakkan senjatanya. Ternyata Manggada tidak mengalami kesulitan melawan kedua orang lawannya itu.

Apalagi ketika sejenak kemudian, Laksana telah mendesak lawannya yang berusaha masuk ke ruang dalam untuk mendapat bantuan dari kawan-kawannya. Perhatian orang-orang itu benar-benar terpecah.

Namun untunglah bahwa orang-orang itu tidak tahu, bahwa Mas Rara ada di dalam bilik yang mana, sehingga mereka tidak langsung dapat mempergunakannya sebagai taruhan.

Ketika seorang lagi berusaha untuk membantu kawannya yang terdesak oleh Laksana, Wirantana berusaha untuk dapat mengetahui apa yang terjadi di luar. Ia juga mendengar suara Laksana, ketika pemuda itu berteriak “Jika kalian percaya kepada kemampuan kalian, kita bertempur di luar”

Tidak ada jawaban. Tetapi dengan bantuan seorang kawannya, maka lawan Laksana itu mendesak Laksana yang dengan sengaja menarik perhatian kedua orang itu dengan langkah langkah surut.

Sejenak kemudian, Laksana telah bertempur dengan dua orang lawan di longkangan. Di tempat yang lebih lapang, Laksana mampu bergerak lebih bebas daripada Manggada yang ada di dalam. Dengan demikian, pertempuran dj longkangan lebih cepat berkembang, sehingga ketiga orang itu bagai bayangan di kegelapan.

Sementara itu, Wirantana berusaha mengangkat selarak pintu bilik ayahnya, yang sudah hampir dapat dipecah oleh orang-orang yang memasuki rumah itu. Dengan isyarat ia minta ayahnya mundur. Ki Partija Wirasentana memang melangkah mundur, tapi ia memegang sebuah luwuk kehitaman, dengan pamor berkeredipan. Luwuk pusaka peninggalan orang tuanya.

Demikian pintu terbuka, Wirantana dengan cepat, memanfaatkan kesempatan saat orang yang berada di luar pintu memperhatikan pertempuran yang sedang terjadi di ruang itu. Dengan garang, Wirantana meloncat keluar setelah berdesis. “Tutup, dan selarak kembali pintu itu ayah”

Dua orang yang masih berdiri di muka pintu terkejut. Wirantana yang langsung menyerang berhasil mendesak kedua orang yang berada di depan pintu untuk melangkah surut. Dengan demikian, Ki Partija sempat menutup dan menyelarak pintu itu kembali.

Wirantana sempat menarik nafas panjang ketika melihat pintu bilik adiknya masih tertutup rapat, meski ia tahu bahwa adiknya tentu sudah terbangun dan menjadi ketakutan di dalam biliknya. Tetapi kehadiran Manggada di ruang itu telah membuatnya berbesar hati, karena Wirantana mengetahui tataran kemampuan anak muda itu. Dan ia pun mengerti bahwa Laksana telah bertempur di longkangan.

Sejenak kemudian, ketiga anak muda itu telah bertempur masing-masing melawan dua orang. Meski demikian, Wirantana masih juga merasa curiga, bahwa masih ada orang lain selain mereka berenam. Sebenarnyalah, selain keenam orang itu, ada orang ketujuh yang berusaha mengoyak dinding dari luar dengan kapak besar.

Nyi Wirasentana menjadi sangat ketakutan. Tetapi Ki Partija menenangkannya. Katanya. “Jangan takut Nyi. Aku sudah siap menebas lehernya. Begitu kepalanya mencuat masuk ke dalam dinding, ia akan mati”

Nyi Wirasentana menjadi agak tenang. Tetapi ketika ia mendengar kapak yang berderak-derak memecahkan dinding bilik itu dari luar, ia menjadi semakin gemetar.

Sementara itu, Manggada mulai memancing lawannya untuk bertempur di luar. Sambil menggeser mundur, ia mendekati pintu untuk kemudian meloncat keluar. Agaknya, kedua lawannya juga ingin bertempur di luar. Di tempat yang lebih lapang. Agar mereka dapat bergerak lebih banyak serta dapat memilih arah.

Tetapi Wirantana berusaha untuk tetap bertempur di dalam. Ia merasa wajib mengawasi bilik adiknya, dan sekaligus bilik ayahnya, meski ia yakin bahwa ayahnya akan mampu melindungi dirinya serta ibunya, apabila hanya seorang saja diantara lawannya yang berusaha masuk kedalam bilik itu.

Di longkangan, Laksana bertempur melawan dua orang lawan yang kasar. Namun Laksana sama sekali tidak gentar menghadapi mereka. Ternyata ia memiliki kelebihan dalam ilmu pedang dari lawannya. Meski kedua lawannya bertempur dengan keras dan kasar. Laksana yang tangkas itu sempat membuat kedua lawannya kebingungan.

Manggada yang telah berada di luar, telah berloncatan dengan cepatnya. Bahkan Manggada berhasil memancing lawannya turun ke halaman depan. Dengan demikian, ia mendapat kesempatan untuk berloncatan semakin panjang.

Kedua lawan Manggada terkejut menghadapi anak muda itu. Ternyata anak muda itu memang memiliki ilmu yang cukup tinggi, sehingga kedua orang itu tidak segera dapat mengalahkannya. Bahkan beberapa kali kedua orang itu kebingungan dan berloncatan mengambil jarak. Hanya karena keduanya mampu bekerja sama dengan baik, saling mengisi, dan memperhitungkan saat-saat paling baik untuk menyerang serta menghindar, mereka dapat bertahan lebih lama.

Namun demikian, Manggada tidak ingin membiarkan kedua lawannya, dan orang-orang lain yang datang ke rumah itu, sampai melakukan kejahatan. Dengan demikian, Manggada berniat mengakhiri perlawanan kedua orang itu secepatnya. Dengan tangkasnya, Manggada menekan kedua orang lawannya. Pedangnya terayun-ayun mendebarkan. Sekali menggapai lawannya yang seorang, namun kemudian terayun menebas kearah lawannya yang lain.

Beberapa kali Manggada dengan sengaja tidak menghindari serangan lawan-lawannya, tetapi langsung membentur serangan itu dengan menangkisnya. Ternyata bahwa kekuatan Manggada telah menggetarkan pegangan tangan lawannya atas senjata mereka.

Ketika Manggada menghentakkan kemampuannya, kedua lawannya menjadi semakin terdesak. Dalam serangan yang cepat, Manggada telah mendesak seorang lawannya, sehingga ia meloncat beberapa langkah surut. Tetapi Manggada tidak sempat memburu. Lawannya yang lain telah berusaha mengenainya dengan serangan lurus mengarah ke lambung.

Namun Manggada dengan cepat meloncat menghindar sambil menyerang lawannya yang seorang lagi, sehingga lawannya yang tidak menduga itu terkejut. Dengan serta merta, ia meloncat mundur. Ujung pedang Manggada memang tidak menyentuhnya, tapi Manggada tidak membiarkannya. Sebelum lawan yang lain meloncat menyerangnya, Manggada bergeser, memburu lawannya dengan pedang tetap terjulur.

Dengan tergesa-gesa, lawannya berusaha menangkis serangan itu. Tetapi Manggada sempat memutar pedangnya, sehingga lawannya mengaduh perlahan. Ujung pedang Manggada sempat menyentuhnya, meski tidak terlalu dalam.

Dengan demikian, perlawanan kedua orang di halaman itu menjadi semakin lemah. Tapi kedua orang itu masih berusaha untuk bertahan. Mereka berharap jika kawan-kawannya mampu mengalahkan lawan-lawan mereka, maka mereka akan datang dan membantu mengalahkan anak muda itu.

Dalam pada itu, Laksana pun mampu membuat lawannya terdesak. Meski sekali-sekali Laksana juga harus berloncatan surut, tapi arena itu seakan-akan telah dikuasai sepenuhnya oleh Laksana. Bahkan Kadang-kadang kedua lawannya harus berloncatan surut beberapa langkah, karena desakan Laksana yang sulit untuk diatasi.

Di dalam rumah, Wirantana masih bertempur pula melawan dua orang. Wirantana memang harus menjaga diri agar ia tidak keluar dari ruang dalam. Jika ia terhisap keluar, maka tidak ada lagi yang mengawasi bilik kedua orang tuanya dan adiknya.

Sementara itu, Mas Rara menjadi gemetar di dalam biliknya. Meskipun ia tidak tahu apa yang terjadi, tetapi Mas Rara sudah menduga, bahwa kedatangan orang-orang itu tentu ada hubungannya dengan mas kawin yang diterimanya dari Raden Panji Prangpranata.

Karena itu, Mas Rara pun memikirkan ayah dan ibunya. Jika orang-orang itu sempat masuk kedalam bilik kedua orang tuanya, maka nasib kedua orang tuanya tentu akan menjadi buruk sekali. Mungkin para perampok itu akan menyakiti orang tuanya, bahkan mungkin lebih dari itu. Kemungkinan lain adalah, seandainya orang tuanya selamat, maka masih harus dipertanyakan sikap Raden Panji Prangpranata.

Kebingungan dan kecemasan berbaur di dalam hatinya. Namun Mas Rara tidak berani beranjak dari biliknya. Tapi ia menyadari, bahwa pertempuran telah terjadi di longkangan rumahnya, di depan gandok di belakang seketheng. Mas Rara tidak mendengar apa yang terjadi di halaman, karena suaranya tertelan oleh kekerasan yang terjadi di ruang dalam.

Dalam pada itu, orang-orang yang datang kerumah itu telah berusaha dengan segenap kemampuan mereka untuk mengalahkan anak-anak muda itu. Dengan garang, seorang diantara mereka yang bertempur melawan Wirantana berteriak,

“Menyerahlah. Jika kau tetap melawan, kau akan mengalami nasib yung lebih buruk. Kau ayah dan ibu serta Mas Rara yang telah dilamar oleh Raden Panji Prangpranata”

Dalam pada itu, selagi Ki Partija Wirasentana yang berada di dalam biliknya masih dibayangi kecemasan karena suara kapak yang semakin keras berderak pada dinding biliknya, serta dentang senjata di ruang dalam, beberapa orang peronda bersiap-siap mengelilingi padepokan mereka untuk terakhir kalinya di malam itu, sebelum mereka pulang.

Empat orang telah bersiap di muka gardu, sementara tiga orang tetap berjaga-jaga menunggu gardu. Sejenak kemudian, keempat orang itu mulai berkeliling sambil membunyikan kentongan kecil dengan irama khusus, sebagaimana sering mereka perdengarkan jika sedang meronda.

Suara kotekan itu kemudian menelusuri jalan-jalan padukuhan, diselingi dengan dendang gembira untuk membangunkan orang-orang yang terlalu nyenyak tidur, sehingga dapat terjadi kemungkinan buruk jika seorang pencuri masuk ke dalam rumah mereka. Manggada menjadi cemas mendengar suara itu. Ia tidak ingin kehilangan kedua lawannya. Ia berniat menangkap mereka hidup-hidup.

Namun, suara kentongan dalam irama kotekan itu mengacaukan rencananya. Lawan-lawannya, juga lawan Laksana dan Wirantana, menjadi semakin cemas menghadapi anak-anak muda itu dan sebentar lagi tentu para peronda. Karena itu, beberapa saat kemudian, terdengar suitan nyaring dari longkangan, yang ternyata adalah isyarat dari salah seorang diantara mereka yang memasuki halaman rumah Ki Partija Wirasentana itu.

Demikianlah. Sekejap kemudian, orang-orang yang sedang bertempur itu melakukan gerakan agak mengejutkan lawan-lawan mereka, seakan-akan mereka serentak akan menyerang. Namun ternyata, mereka berloncatan menjauh dan kemudian melarikan diri.

Manggada dan Laksana berusaha untuk mengejar mereka. Tetapi ketika mereka berlari dan kemudian meloncati dinding halaman, turun ke jalan, mereka bertemu dengan para peronda yang juga berlari-lari ke regol halaman.

“He, berhenti, berhenti...!“ teriak salah seorang peronda.

Manggada dan Laksana terpaksa berhenti. Jika mereka berlari terus, mengejar orang-orang yang melarikan diri itu, akan terjadi salah paham. Para peronda yang belum melihat mereka dengan jelas dalam keremangan dini hari, akan mengira mereka berdua adalah orang-orang yang justru harus mereka tangkap, sebagaimana orang-orang yang telah berlari lebih dulu.

Apalagi belum semua orang padukuhan itu mengenai mereka berdua dengan baik. Keempat orang peronda itu telah mengepung mereka sambil mempersiapkan senjata yang mereka bawa, karena Manggada dan Laksana masih menggenggam senjata.

“Siapa kalian?“ bertanya orang tertua diantara para peronda.

“Kami adalah tamu Ki Partija“ jawab Manggada “kami sebenarnya sedang mengejar orang-orang yang berniat jahat di rumah ini...”

Seorang diantara para peronda itu ternyata dengan cepat mengenali kedua anak muda itu. Karenanya orang itu berkata lantang. “He, bukankah kalian anak-anak muda yang telah menolong Mas Rara dari harimau yang akan menerkamnya, dan kemudian singgah di rumah Ki Partija?”

“Ya. Malam ini rumah Ki Partija telah didatangi beberapa orang perampok.“ jawab Manggada.

Tetapi orang-orang itu tidak segera percaya. Namun seorang diantara mereka berkata “Kami memang melihat beberapa orang berlari-lari. Namun segera hilang ke halaman sebelah, sebelum kalian meloncat ke jalan.”

“Orang-orang itulah yang sedang kami kejar!“ jawab Manggada.

Beberapa orang diantara mereka saling berpandangan. Memang terasa sedikit kecurigaan nampak di sorot mata mereka. Sehingga Laksana bertanya “Bagaimana tanggapan kalian atas hal ini? Kami telah kehilangan buruan”

“Dimana Ki Partija Wirasentana?“ bertanya yang tertua diantara para peronda itu.

“Ada di dalam“ jawab Manggada. Lalu katanya “Marilah kita temui Ki Partija...”

Selanjutnya,
Mas Rara Bagian 04