Mas Rara Bagian 02 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
MANGGADA tersenyum sambil menjawab. “Kami tidak mendapatkan apa-apa selain ilmu dasar. Hanya itu”

“Tetapi kalian berdua mampu membunuh seekor harimau“ berkata Wirantana.

“Satu kebetulan. Atau mungkin karena terdorong oleh satu kewajiban yang harus kami lakukan untuk membantu sesama” jawab Manggada.

Wirantana mengangguk-angguk. Namun katanya “Tetapi aku masih sangsi, apakah aku mampu melakukannya, seandainya terpaksa aku melakukannya. Meskipun umurku lebih tua dari kalian, namun agaknya dalam ilmu kanuragan, kalian sudah lebih dewasa dari aku”

Manggada menggeleng lemah. Namun Laksanalah yang berkata “Kami masih baru mulai. Kami belum apa-apa”

Demikianlah, mereka sempat berbicara tentang berbagai macam pengalaman mereka masing-masing. Saat-saat mereka berada di perguruan mereka. Adalah diluar sadar bahwa Laksana kemudian menceriterakan pula kebiasaan mereka menangkap harimau untuk diambil kulitnya, dan dijual kepada pedagang kulit binatang buas dan binatang liar. Sehingga pada suatu saat pamannya menghentikannya, karena hal itu dianggap dapat mengganggu keseimbangan kehidupan di hutan.

Wirantana mengangguk-angguk. Katanya “Jadi membunuh, bahkan menangkap harimau adalah pekerjaan kalian sehari-hari?“

Anak-anak muda itu mengerutkan keningnya. Namun hal itu sudah terlanjur dikatakannya. Wirantana nampaknya memang tidak menaruh perhatian yang berlebihan. Namun ketika ia kembali ke pendapa, ia telah menceritakan kepada ayahnya.

Ayahnya mengangguk-angguk. Ia percaya akan ceritera itu. Kedua anak muda itu tentu anak-anak muda yang memang memiliki kelebihan dari anak-anak muda kebanyakan. Bahkan dari Wirantana yang pernah dikirimnya berguru, dan belum lama kembali kepada keluarganya.

Tetapi Ki Partija memang tidak perlu merasa iri. Bahkan ia menganggap kehadiran kedua anak muda itu akan dapat membantu anaknya mengembangkan ilmunya.

“Jika saja anak-anak muda itu mau tinggal bersama Wirantana untuk beberapa lama” berkata Ki Partija Wirasentana di dalam hatinya.

Namun pada hari itu, Ki Partija telah mempersiapkan segala-galanya dengan cepat. Besok mereka akan menyelenggarakan upacara ucapan sukur dengan memanggil tetangga-tetangganya. Makan bersama, dan kelenengan sepanjang malam. Ki Partija memang mempunyai kelompok yang terbiasa mengadakan latihan-latihan menabuh gamelan, sehingga justru pada malam sukuran, Ki Partija ingin mencoba kemampuan kawan-kawannya itu.

Dengan demikian, sejak hari itu, beberapa perempuan telah menjadi sibuk. Mereka mulai mengumpulkan bahan-bahan mentah yang dapat mereka lakukan pada hari itu. Dari lumbung, beberapa orang perempuan telah mengambil padi dan mulai menumbuknya di lesung yang panjang. Kemudian yang lain mengambil daun pisang di kebun belakang yang cukup luas. Kemudian yang lain lagi pergi ke pategalan memetik dedaunan yang dapat dipergunakan untuk membuat nasi megana.

Namun bukan saja hasil kebun dan pategalan sendiri. Beberapa orang tetangga yang ikut mengucap sukur bahwa Mas Rara selamat, telah datang memberikan sumbangan apa saja. Yang kebiasaannya membuat gula kelapa, telah datang dengan membawa setenggok gula kelapa. Ada yang membawa sebakul telur itik. Tetapi ada juga yang membawa dua ekor ayam hidup-hidup. Dengan demikian, beberapa macam bahan telah datang sendiri, sehingga Ki Partija Wirasentana tidak perlu membelinya lagi keesokan harinya.

Malam itu di rumah Ki Partija sudah ramai dikunjungi orang. Beberapa orang duduk di pendapa namun ada juga yang duduk-duduk di serambi gandok. Terutama anak-anak muda yang ingin berkenalan dengan Manggada dan Laksana.

Namun dalam pada itu, yang sangat mengejutkan adalah kehadiran seorang utusan dari Raden Panji Prangpranata yang juga hadir di pendapa. Dengan tergopoh-gopoh Ki Partija Wirasentana telah menemui tamunya yang khusus itu. Tentu ada sesuatu yang penting sehingga Raden Panji Prangpranata teleh mengirimkan utusan untuk datang ke rumahnya.

Dengan penuh hormat, Ki Partija Wirasentana menyapa tamunya, serta menanyakan keselamatan perjalanannya. Juga ditanyakan pula keselamatan Raden Panji Prangpranata serta keluarganya.

“Baik, Ki Partija Wirasentana!” jawab utusan itu “Kami dan keluarga Raden Panji dalam keadaan selamat”

Ki Partija mengangguk-angguk sambil berdesis “Sukurlah, namun kedatangan Ki Sanak yang tiba-tiba telah membuat hatiku berdebar-debar. Sebab kami akan menyelanggarakan upacara pernyataan sukur karena Mas Rara telah diselamatkan dari terkaman seekor harimau yang sangat besar”

Orang itu tersenyum, katanya “Baru saja aku mendengar tentang hal itu. Sebenarnya kedatanganku tidak ada sangkut pautnya dengan rencana Ki Partija menyelenggarakan upacara pernyataan sukur. Aku justru terkejut ketika memasuki halaman rumah ini, ternyata banyak orang berada di dalamnya”

Ki Partija Wirasentana mengangguk-angguk sambil berkata “Kebetulan sekali Ki Sanak. Dengan demikian Ki Sanak dapat menyampaikan kepada Raden Panji, bahwa baru saja terjadi peristiwa yang hampir saja merenggut jiwa Mas Rara”

“Tetapi bukankah Mas Rara sudah selamat sekarang?” bertanya utusan itu.

“Sudah Ki Sanak. Itulah sebabnya kami membuat upacara pernyataan sukur besok malam” jawab Ki Partija Wirasentana yang tina-tiba bertanya “apakah Ki Sanak akan bermalam sampai besok?”

Orang itu tersenyum, katanya “Aku hanya bermalam semalam. Besok pagi aku sudah berangkat kembali”

“Kenapa tidak besok lusa saja?” sahut Ki Partija “besok Ki Sanak dapat ikut upacara pernyataan sukur itu. Besok malam Mas Rara akan menari untuk membuat suasana semakin meriah”

“Mas Rara akan menari besok?” bertanya orang itu.

“Ya” jawab Ki Partija.

“Mas Rara dapat menari?” bertanya utusan itu pula.

“Anakku adalah penari terbaik di padukuhan ini” jawab Ki Partija “Aku mempunyai seperangkat gamelan yang akan dipergunakan besok. Para penabuh juga dari padukuhan ini”

Utusan itu menarik nafas dalam-dalam. Ia memang sudah melihat itu ada di pringgitan.

“Nanti, jika kawan-kawan sudah lengkap, kami akan mengadakan latihan” berkata Ki Partija.

Utusan itu mengangguk-angguk, namun katanya “Beruntunglah aku melihat latihan itu, sehingga aku dapat melihat Mas Rara menari. Aku tentu akan menceritakannya pada Raden Panji Prangpranata”

“Apalagi jika Ki Sanak sempat menyaksikannya besok” berkata Ki Partija.

Tetapi orang itu tersenyum sambil berkata “Aku besok harus kembali”

Ki Partija pun kemudian menanyakan keperluan utusan itu datang ke padukuhan Nguter.

“Ki Partija Wirasentana.” jawab orang itu “sebenarnya aku mendapat perintah dari Raden Panji untuk melihat keadaan Mas Rara yang sudah agak lama tidak dikunjunginya, karena kesibukannya. Selain itu, Raden Panji nampaknya sudah mulai bersiap-siap untuk menentukan hari perkawinannya dengan Mas Rara. Oleh karena itu. Raden Panji minta Ki Partija untuk bersiap-siap. Dalam waktu dua tiga pekan lagi, Raden Panji akan mengirim utusan lagi."

Ki Partija mengangguk-angguk. Katanya “Kami hanya menunggu perintah, Ki Sanak. Apapun yang diperintahkan oleh Raden Panji, kami akan melaksanakan. Kami tidak berwenang untuk menyatakan pendapat apapun di hadapan Raden Panji Prangpranata”

“Ada dua kemungkinan yang akan ditawarkan Raden Panji“ berkata utusan itu pula “perkawinan agung itu diadakan di sini, kemudian diboyong Raden Panji, atau perkawinan agung diadakan di rumah Raden Panji. Ditinjau dari segi adat, maka perkawinan itu sebaiknya dilakukan di sini. Tetapi mengingat tempat dan kelayakan bagi para tamu Raden Panji yang akan diundang, sebaiknya perkawinan dilakukan di rumah Raden Panji”

Ki Partija mengangguk-angguk. Katanya “Sekali lagi aku nyatakan, kami hanya melakukan segala perintah Raden Panji. Dimanapun perkawinan agung itu dilakukan, kami tidak akan berkeberatan”

“Kesulitan yang lain jika perkawinan itu dilakukan di sini, jaraknya terlalu jauh dari para tamu yang akan diundang oleh Raden Panji. Jika upacara selesai, Raden Panji harus menyediakan penginapan yang pantas bagi para tamunya. Dan itu agaknya tidak mungkin dilakukan mengingat tidak ada rumah yang pantas di sini. Jarak perjalanan ke tempat ini sangat melelahkan. Berkuda, lebih dari setengah hari perjalanan. Aku memang tidak terlalu cepat berpacu, karena aku tidak tergesa-gesa. Beberapa kali aku berhenti untuk makan, terutama yang aku tidak tahan adalah minum, serta memberi minuman dan makanan kudaku” berkata utusan itu.

Ki Partija mengangguk-angguk. Katanya “Sudah aku katakan Ki Sanak. Terserah kepada Raden Panji. Kami hanya tinggal melaksanakannya”

Utusan itu mengangguk-angguk. Lalu katanya “Jika demikian Ki Partija, aku akan menyampaikannya kepada Raden Panji. Namun agaknya Raden Panji cenderung untuk melaksanakan perkawinan itu di rumah Raden Panji yang memadai. Pada suatu saat, Raden Panji akan mengirimkan utusan disertai dengan pertanda dirinya untuk menjemput Mas Rara. Aku juga belum tahu, kapan itu dilakukan. Apalagi jika Raden Panji kemudian mempunyai rencana lain."

“Kami akan melakukan dengan sebaik-baiknya. Kami menunggu dengan sabar dan dengan kesungguhan hati“ jawab Ki Partija.

“Nah, jika Ki Partija tidak mempunyai persoalan lagi, biarlah hasil pembicaraan ini aku bawa kepada Raden Panji“ berkata utusan itu “sekarang, silahkan Ki partija meneruskan acara yang telah kau susun. Mungkin latihan atau apa. Tetapi jika Ki Partija tidak berkeberatan, aku ingin berbicara dengan kedua anak muda yang telah berhasil membunuh harimau itu”

“Tentu. Aku sama sekali tidak berkeberatan“ berkata Ki Partija Wirasentana “aku akan memanggilnya. Anak-anak muda itu masih berada di gandok. Beberapa orang anak muda dari padukuhan Nguter ini telah datang untuk menemuinya dan berbicara dengan keduanya”

Ki Partija pun kemudian menyuruh seseorang untuk memanggil Manggada dan Laksana agar datang ke pendapa untuk menemui utusan dari Raden Panji Prangpranata. Sejenak kemudian, kedua anak muda itu telah hadir. Beberapa orang anak muda dari Nguter, ikut naik ke pendapa dan duduk pula diantara mereka.

Utusan itu agak terkejut melihat keduanya. Masih terlalu muda. Sementara itu, dari seseorang ia telah mendengar, bahwa adik Ki Partija telah mendapat gelar Pembunuh Harimau. Namun yang kemudian menolong Mas Rara. justru dua orang yang masih sangat muda.

Untuk beberapa saat, utusan itu berbicara dengan Manggada dan Laksana. Memang tidak terlalu banyak yang mereka bicarakan selain peristiwa sekitar pembunuhan harimau yang hampir saja menerkam Mas Rara itu.

“Kalian akan mendapat hadiah secukupnya dari Raden Panji“ berkata utusan itu.

Tetapi Manggada menggeleng sambil berkata, “Terima kasih. Bukan maksud kami untuk mendapatkan hadiah apapun. Kami melakukannya karena kami merasa berkewajiban”

Orang itu tersenyum. Katanya “Aku tahu. Raden Panji memberikan hadiah karena rasa terima kasihnya. Mungkin sekadar kenangan bagi kalian berdua.Tetapi Raden Panji tidak akan menilainya dengan uang, karena keselamatan jiwa Mas Rara tidak akan dapat dihargai berapapun juga”

Manggada dan Laksana menarik nafas dalam-dalam. Keduanya kemudian mengangguk hormat. Namun keduanya sama sekali tidak menjawab lagi.

Demikianlah. Sejenak kemudian, utusan itu berkata kepada Ki Partija Wirasentana, “Silahkan meneruskan rencana kalian. Latihan atau memasang perlengkapan, memindahkan gamelan atau apapun juga. Bukankah gamelan besok tidak akan ditempatkan di pringgitan?“

“Kami akan melakukan latihan dahulu Ki Sanak. Besok siang baru gamelan akan dipindah di sisi pendapa, berseberangan dengan pringgitan itu“ jawab Ki Partija Wirasentana.

Sejenak kemudian, Ki Partija Wirasentana telah mempersilahkan para penabuh untuk menempati tempatnya. Hampir semuanya orang dari padukuhan Nguter, meskipun ada satu dua orang datang dari padukuhan tetangga. Tetapi sudah menjadi kebiasaan mereka untuk setiap kali melakukan latihan bersama dengan orang-orang Nguter.

Utusan Raden Panji ternyata seorang yang mampu menikmati irama gamelan. Apalagi ketika para penari mulai melakukan latihan. Beberapa orang membawakan pethilan tari topeng. Namun yang paling menarik adalah ketika Mas Rara melakukan latihan sangat memikat para pehpnton. Apalagi besok, jika Mas Rara mengenakan pakaian lengkap seorang penari. Anak-anak muda Nguter memandanginya tanpa berkedip. Mas Rara bukan saja seorang penari yang baik, tapi juga seorang gadis yang sangat cantik.

Manggada dan Laksana memandang gadis itu bagaikan membeku. Mereka belum pernah melihat gadis secantik gadis yang sedang menari itu. Anak gadis Ki Wiradadi yang diambil oleh sekelompok orang berilmu hitam untuk dikorbankan, juga cantik. Tapi gadis itu tidak sedang bersolek seperti Mas Rara. Anak gadis Ki Wiradadi justru nampak kusut dan lemah. Sedangkan Mas Rara nampak bersih dan segar.

Selagi Mas Rara menari dengan asyiknya, di halaman, pamannya pun tengah mengaguminya. Bahkan Ki Resa yang digelari Pembunuh Harimau itu sempat menggeram “Kenapa gadis itu telah dijual?“

Sekilas Ki Resa memandang utusan Raden Panji Prangpranata. Dengan mata yang memancarkan ketidak senangan, ia kemudian meninggalkan halaman, dan keluar regol turun ke jalan.

Ternyata di jalan, di depan rumah Ki Partija Wirasentana, cukup ramai. Meski yang berlangsung di pendapa baru latihan, tapi telah banyak orang datang. Bukan saja untuk menonton, tetapi juga untuk ikut menyatakan kegembiraan mereka bahwa Mas Rara selamat.

Ki Resa tidak menghiraukan mereka. Ia hanya mengangguk jika ada orang mengangguk kepadanya. Namun tidak sepatah kata keluar dari mulutnya. Beberapa orang yang melihat sikapnya, menjadi heran. Beberapa orang hanya mendengar bahwa Ki Resa merasa kurang senang karena ia didahului oleh dua orang anak muda yang telah membunuh harimau itu.

Orang-orang itu coba untuk mengerti, bahwa Ki Resa yang mendapat panggilan Pembunuh Harimau itu menjadi kecewa karena bukan dirinya yang membunuh harimau itu. Tetapi justru dua orang anak muda. Namun tidak seorang pun yang dapat menyalahkan kedua anak muda itu. Jika keduanya tidak berbuat sesuatu, apalagi membunuh harimau itu, Mas Rara tidak akan dapat lagi menari di pendapa rumahnya. Demikianlah. Malam itu rumah Mas Rara menjadi sangat sibuk. Orang-orang perempuan mulai memasak untuk menyiapkan hidangan buat besok.

Namun akhirnya pendapa rumah itu sepi, ketika latihan telah selesai, serta orang-orang yang ikut menyatakan kegembiraan mereka telah pulang, karena malam berikutnya mereka akan datang lagi sebagai tamu dalam upacara pernyataan sukur. Beberapa orang yang tinggal dan mulai merasa ngantuk, berbaring di serambi. Ki Partija Wirasentana pun telah beristirahat setelah mempersilahkan Manggada dan Laksana beristirahat di gandok, ditemani Wirantana. Sementara itu, utusan Raden Panji Prangpranata dipersilahkan beristirahat di biliknya.

Namun dalam pada itu, meskipun pendapa keadaannya sepi, tapi tidak demikian halnya dengan didapur. Beberapa orang masih saja sibuk. Tetapi beberapa orang mulai berbaring di mana saja tersedia tempat, meskipun di sebelah orang yang sedang mengkukur kelapa.

Ketika matahari terbit di hari berikutnya, rumah Mas Rara menjadi semakin sibuk. Malam mendatang, akan diselenggarakan upacara yang menarik itu. Namun pagi itu utusan Raden Panji Prangpranata telah minta diri. Betapapun Ki Partija Wirasentana mencoba menahannya, namun utusan itu tetap mohon diri untuk kembali.

“Aku tidak berani melanggar perintah Raden Panji“ berkata utusan itu “jika aku tidak pulang hari ini, Raden Panji akan marah”

Dengan demikian, keluarga Mas Rara tidak dapat menahannya lagi, Namun utusan itu sempat sekali lagi mengucapkan terima kasih kepada Manggada dan Laksana yang telah menyelamatkan Mas Rara.

“Jika tidak perkawinan agung itu akan batal. Yang terjadi adalah iring-iringan untuk mengantarkan tubuh membeku ke kuburan. Ah, itu memang tidak akan terjadi“ berkata utusan itu.

“Kami sekadar melakukan kewajiban. Bukankah kewajiban kita adalah saling tolong-menolong?“ sahut Manggada.

“Ya. Meskipun demikian, kami harus mengenal kalian, tempat tinggal kalian dan keluarga kalian“ berkata utusan itu.

Tetapi Manggada menggeleng. Katanya “Ki Sanak boleh mengenal nama kami. Itu sudah cukup. Besok kami sudah akan meninggalkan tempat ini. Dan barangkali kita tidak akan bertemu lagi”

Orang itu tersenyum. Katanya, “Kalian memang anak-anak muda yang rendah hati. Tetapi apa salahnya jika kami mengenal kalian lebih banyak? Seandainya kami tidak ingin memberikan apapun juga, bukankah kita dapat berkenalan dan bersahabat lebih akrab?”

Tetapi Manggada hanya tersenyum. Sementara Laksana berkata. “Tetapi kami dapat menduga sebelumnya apa yang akan Ki Sanak lakukan”

“Baiklah!“ berkata utusan itu. Namun ia berharap bahwa ayah Mas Rara akan dapat memberikan lebih banyak keterangan tentang kedua orang anak muda itu.

Sementara utusan itu minta diri. Ki Resa tidak mendekat. la benar-benar merasa benci kepadanya, meskipun orang itu tidak lebih dari seorang utusan. Sebenarnyalah bahwa Ki Resa sangat membenci orang yang disebut Raden Panji Prangpranata. Seorang yang berkedudukan tinggi, kaya raya serta memiliki kekuasaan atas daerah yang luas, termasuk padukuhan Nguter. Sejenak kemudian, orang itu minta diri. Wirantana, Manggada dan Laksana mengantarkannya sampai ke regol halaman.

Demikian kuda itu berpacu meninggalkan halaman Ki Partija, Ki Resa mendekati mereka sambil berdesis kepada Wirantana “He, apakah kau rela adikmu dijual oleh ayah ibumu?“

Wirantana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya. “Aku tidak tahu maksud paman”

“Kau memang bodoh. Apalagi kau agak lama meninggalkan kedua orang tuamu, karena menuntut ilmu. Sekarang kau telah kembali. Kau tidak lagi Wirantana yang bodoh, lemah dan tidak mampu berpikir. Kau sekarang sudah memiliki ilmu. Umurmu sudah menjadi makin dewasa. Karena itu, kau harus mampu berpikir tentang sikap kedua orang tuamu atas adikmu itu” geram Ki Resa. Tetapi Ki Resa tidak menunggu Wirantana menjawab. Ia segera melangkah meninggalkan anak muda itu.

Wirantana berdiri termangu-mangu. Namun kemudian ia bergumam “Aku tidak mengerti maksud paman. Kenapa paman menganggap Mas Rara telah dijual kepada Raden Panji”

“Bagaimana sebenarnya?“ bertanya Manggada.

“Aku tidak tahu. Aku harus bertanya kepada ayah dan ibu, apa yang sebenarnya terjadi atas adikku itu. Tetapi aku sama sekali tidak melihat kesan yang tidak wajar pada adikku” berkata Wirantana.

“Ia seorang gadis“ berkata Manggada biasanya seorang gadis tidak pernah menyatakan pendapatnya. Apapun yang akan terjadi atas dirinya”

“Tetapi adikku sangat terbuka hatinya kepadaku. la tidak pernah menyembunyikan sesuatu. Apalagi jika benar kata paman, bahwa Mas Rara telah dijual” berkata Wirantana.

“Mungkin Mas Rara sendiri tidak tahu apa yang telah dibicarakan tentang dirinya, oleh ayah dan ibumu“ desis Manggada.

Anak-anak muda itu tidak berbicara lebih lanjut ketika beberapa orang datang mendekati mereka sambil tersenyum. Seorang diantara mereka berkata “ He, apakah aku masih mendapat bagian kerja di rumahmu Wirantana? Mengusung gamelan atau memasang oncor di sudut-sudut halaman, atau apa saja?“

“Ah“ sahut Wirantana “tidak ada kerja apapun di rumah. Hanya sekadar menyapu. halaman. Dan itu sudah aku lakukan”

Orang-orang itu tertawa. Namun sambil memasuki legol, seorang diantara mereka berkata “Jika kerja sudah habis, maka biarlah menunggu saja waktunya suguhan dikeluarkan”

Wirantana juga tertawa. Namun ia tidak menjawab. Beberapa saat anak-anak muda itu masih berdiri di regol. Namun kemudian Wirantana berkata “Silahkan beristirahat di serambi gandok. Aku akan berbicara dengan ayah dan ibu”

Manggada dan Laksana tidak menolak. Keduanya kemudian pergi ke serambi gandok, sementara Wirantana pergi ke ruang dalam untuk berbicara dengan ayahnya.

Sementara itu, kesibukan masih saja berlangsung di luar dan di dalam rumah sampai kedapur. Mas Rara sendiri ternyata bukan seorang gadis yang manja. Ia ikut sibuk bersama perempuan-perempuan di dapur.

Ketika Wirantana kemudian menghadap ayahnya, dan menyampaikan pertanyaannya, maka ayahnya sama sekali tidak mau memberikan keterangan, sehingga Wirantana menjadi sangat kecewa. Dengan wajah tegang, Wirantana menemui Manggada dan Laksana yang duduk di amben panjang, di serambi gandok.

“Ayah masih saja menganggap aku anak-anak“ berkata Wirantana.

“Bagaimana?” bertanya Manggada.

“Ayah dan ibu sama sekali tidak menjawab pertanyaanku. Ayah hanya mengatakan bahwa Raden Panji adalah orang yang berwibawa dan sangat berkuasa“ jawab Wirantana.

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, Wirantana berkata, “Tetapi menilik keterangan itu, memang ada unsur yang tidak wajar dalam perkawinan yang akan dilangsungkan antara Mas Rara dan Raden Panji. Namun agaknya perkawinan itu akan memberikan kebanggaan, bukan saja keluargaku, tapi seluruh padukuhan Nguter. Ternyata Mas Rara sangat dihormati, sebelum ia menjadi isteri Raden Panji. Para penghuni padukuhan ini tentu berharap, Mas Rara akan dapat mengangkat derajat seluruh padukuhan ini. Mas Rara akan dapat memanfaatkan kekuasaan Raden Panji bagi kepentingan padukuhan kecil yang sampai saat ini tidak memiliki kelebihan apapun juga dari padukuhan-padukuhan lain”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Dengan nada datar Manggada berkata “Jika demikian, perkawinan itu akan memberikan arti kepada padukuhan ini”

“Ya. Tetapi paman agaknya sangat tidak setuju” berkata Wirantana.

“Mungkin lambat laun kau akan mengerti apa sebabnya adikmu menjadi isteri Raden Panji, dan kenapa pamanmu tidak menyukainya“ berkata Laksana. Lalu “Tetapi menilik sikap tetangga-tetanggamu, semua akan ikut berbangga atas rencana perkawinan itu”

Wirantana mengangguk-angguk. Ia sependapat dengan anak muda yang telah menolong adiknya dari cabikan taring harimau itu.

“Ya“ berkata Wirantana kemudian. “Seluruh padukuhan ikut bergembira karena adikku selamat. Dari tetangga-tetangga kami mendapat banyak sekali sumbangan. Bahan mentah, bahkan keamanan yang sudah siap untuk disuguhkan dan ada diantara mereka yang menyumbang uang”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sementara Wirantana berkata selanjutnya “Kami tidak dapat menolaknya. Jika kami tidak mau menerima sumbangan Itu, tetangga-tetangga kami akan menjadi sakit hati. Mereka menuduh kami mulai menjadi sombong sebelum Mas Rara menjadi isteri Raden Panji”

Namun tiba-tiba Manggada bertanya. “Apakah kau pernah bertemu dengan Raden Panji?“

Wirantana menggeleng. Katanya “Belum. Aku belum lama kembali”

“Bagaimana dengan adikmu?“ bertanya Manggada pula.

“Anak itu tidak pernah mengatakan sesuatu. Sebagaimana layaknya seorang gadis, ia menerimanya dengan wajar. Tidak ada tanda-tanda bahwa ia merasa dijual seperti yang dikatakan paman. Seperti sudah aku katakan, ia hanya terbuka padaku. Tetapi aku tidak tahu tentang soal yang satu ini” suara Wirantana merendah.

Manggada dan Laksana hanya mengangguk-angguk saja. Namun agaknya Wirantana merasa belum puas jika belum mengetahui kenapa pamannya selalu menganggap bahwa adiknya telah dijual.

Tetapi Wirantana kemudian berkata “Baiklah. Biarlah aku membantu mengatur tempat di pendapa”

“Kami dapat membantumu“ berkata Manggada.

“Kalian adalah tamu kami“ jawab Wirantana. Tetapi sambil tersenyum Laksana berkata “Di mana-mana kami tidak terbiasa diperlakukan sebagai tamu. Kami lebih sering berada di satu tempat untuk melakukan kerja apapun”

Wirantana pun tidak berkeberatan. Ia sadar, bahwa perasaan kedua anak muda itu tentu tidak enak, jika mereka hanya sekadar duduk sementara orang lain sibuk di halaman, di pendapa dan dimana-mana.

Demikianlah. Menjelang senja, semuanya sudah siap. Bahkan orang mulai memasang obor disudut-sudut halaman, di regol dan bahkan di belakang rumah. Para penabuh gamelan dan para penari sudah mulai mempersiapkan diri. Demikian pula Mas Rara. Sejenak kemudian, gamelan pun mulai dibunyikan. Suasana di rumah Ki Partija Wirasentana menjadi semakin meriah. Lampu-lampu minyak terdapat di mana-mana.

Sementara di dapur, segala sesuatu telah dipersiapkan. Malam itu, bukan saja seisi rumah Ki Partija Wirasentana merasa bersukur atas keselamatan Mas Rara, tapi seisi padukuhan menjadi bergembira karenanya. Sejak orang tua sampai kanak-kanak. Yang biasanya tidur sejak hari gelap, sempat bermain-main sampai jauh malam. Bahkan dengan sedikit uang saku untuk membeli gelali, kacang serta binteng jahe.

Ada diantara mereka yang tertarik pada suara gamelan, dun melihat beberapa saat di halaman. Mereka sekejap mengagumi orang-orang yang menari di pendapa. Namun kemudian mereka berlari-lari lagi di halaman.

Ketika para tamu di pendapa dipersilahkan makan nasi punar yang berwarna kuning, anak-anak pun dipanggil pula ke longkangan. Mereka juga mendapat sepincuk nasi punar, kedele goreng dan sekerat daging ayam serta telur dadar.

Betapa gembiranya anak-anak itu. Mereka tidak saja makan nasi kuning, tetapi justru saat mereka berdesakan untuk menerima sepincuk nasi itulah yang sangat menarik bagi mereka.

Namun semuanya itu perlahan-lahan berlalu. Ki Bekel padukuhan Nguter atas nama Ki Partija Wirasentana menyatakan kegembiraan hati seluruh keluarga serta mengucapkan sukur kehadapan Yang Maha Agung, bahwa Mas Kara telah diselamatkan.

Manggada dan Laksana sama sekali tidak menduga, bahwa Ki Bekel telah memanggil mereka berdua dan diperkenalkan kepada semua orang yang hadir di pendapa. Wajah kedua anak muda itu menjadi merah. Kaki meleka rasa-rasanya menjadi seberat timah, ketika melangkah di pendapa. Semua mata memandang mereka berdua. Bahkan ketika orang-orang Nguter bertepuk tangan gemuruh, Manggada dan Laksana hampir menjadi pingsan karenanya. Mereka agaknya memilih berkelahi melawan seekor harimau daripada berdiri di pendapa itu.

Namun, sementara semua orang bersuka itu, Ki Resa masih saja tetap menyendiri sambil bergeremang. Ia tidak dapat mencegah apa yang akan terjadi dengan Mas Rara, yang akan diperisteri Raden Panji Prangpranata itu. Ki Resa sama sekali tidak mau naik ke pendapa. Ia berjalan hilir mudik di depan regol rumah kakaknya itu.

Lewat tengah malam, suasana sudah menjadi tenang. Irama gamelan tidak lagi gemuruh mengiringi tari-tarian. Yang terdengar adalah suara gamelan yang tenang, mengalir dalam irama terayun lembut. Kadang-kadang melengking dalam nada tinggi, namun kemudian menurun rendah seperti seekor burung yang melayang-layang di udara malam.

Menjelang dini, satu dua orang mulai mohon diri. Terutama orang-orang tua yang sudah tidak tahan lagi duduk semalam suntuk. Udara malam yang dingin, rasa-rasanya membuat darah mereka lambat mengalir. Namun anak-anak muda tetap bertahan sampai fajar. Baru ketika langit menjadi merah, keramaian di pendapa itu resmi dinyatakan selesai.

Tetapi dari dapur sekali lagi telah mengalir minuman panas dan nasi langgi yang hangat dengan serundeng kuning gemerisik dan dendeng basah yang lunak. Tidak digoreng dengan minyak, tetapi dipanggang di atas api kecil.

Mereka yang ikut menghadiri keramaian dalam upacara sukuran itu, ternyata pulang dengan perut kenyang. Ki Bekel yang terhitung masih belum terlalu tua, bertahan sampai selesai. Bahkan sampai orang terakhir meninggalkan pendapa rumah itu.

Ki Bekel masih sempat menemui Mas Rara untuk mengucapkan selamat, dan kemudian berpesan. “Lain kali berhati-hati. Di hutan itu masih terdapat beberapa ekor binatang buas yang kadang-kadang mengganggu kita. Namun jika anak-anak muda itu kelak meninggalkan padukuhan ini, kita masih mempunyai Ki Resa, Si Pembunuh Harimau. Karena itu, kita tidak usah khawatir. Meskipun demikian, sebaiknya jangan pergi sendiri jika kau mengirim nasi ayahmu di sawah yang dekat dengan hutan itu. Kau boleh mengirim nasi ke sawah, tetapi yang jauh dari hutan. Jika terjadi sesuatu atasmu, Raden Panji tentu tidak hanya menyalahkan ayahmu, tetapi kami semua. Penduduk padukuhan Nguter. Barangkali akulah yang akan menerima hukuman paling berat”

Mas Rara mengangguk hormat, sambil berdesis bertahan “Ya Ki Bekel”

“Ajak ayahmu jika kau akan pergi ke sawah dekat hutan itu“ berkata Ki Bekel pula “tidak ada seekor harimau pun yang berani mengusikmu”

“Ya Ki Bekel“ sekali lagi Mas Rara mengangguk. Namun kemudian Ki Bekel bertanya “Di mana Ki Resa? Aku tidak melihatnya sejak sore”

“Paman agak sibuk Ki Bekel“ jawab Mas Rara.

Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya. “Salam buat pamanmu”

“Ya Ki Bekel“ jawab Mas Rara sambil mengangguk hormat.

Demikianlah. Ki Bekel kemudian minta diri. Ketika ia keluar dari regol, langit sudah menjadi semakin terang. Namun Ki Bekel sudah tidak bertemu dengan Ki Resa.

Yang kemudian tinggal adalah orang-orang yang membersihkan jalan di depan rumah Ki Partija Wirasentana. Jalan yang menjadi kotor oleh dedaunan bungkus makanan, karena di sepanjang jalan di depan rumah itu bertebaran orang-orang yang memanfaatkan keramaian itu untuk berjualan.

Demikian pula orang-orang yang sibuk membersihkan halaman pendapa, bahkan bagian dalam rumah. Perempuan-perempuan di dapur sibuk membersihkan perkakas yang kotor.

Manggada dan Laksana ikut pula membantu Wirantana membersihkan halaman. Mencabut tiang-tiang obor dan membantu menyimpan gamelan ke ruang tengah.

Ketika matahari memanjat semakin tinggi, sebagian kerja di bagian luar rumah sudah hampir selesai. Karena itu, Manggada dan Laksana mulai membicarakan, kapan mereka akan meneruskan perjalanan.

Namun sebelum mereka mengambil keputusan, menjelang tengah hari, datang dua orang berkuda memasuki regol rumah Ki Partija Wirasentana. Dua orang yang kemudian menyatakan diri utusan Raden Panji Prangpranata.

Ki Partija Wirasentana terkejut bukan buatan. Baru saja utusan yang datang terdahulu kemarin meninggalkan rumah itu, tiba-tiba dua orang yang lain telah datang pula.

Tetapi dengan ramah seorang diantaranya berkata. “Kami mohon maaf, bahwa kedatangan kami telah mengejutkan Ki Wirasentana. Sebenarnya tidak ada hal yang terlalu penting. Kami hanya akan menyampaikan beberapa pesan”

Ki Wirasentana menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Aku sudah menjadi sangat berdebar-debar”

“Kami mengerti“ jawab salah seorang diantara mereka “karena itu kami merasa wajib untuk segera memberikan ketenangan kepada Ki Wirasentana”

Ternyata kedua orang itu tidak tergesa-gesa menyampaikan sesuatu. Mereka sempat menunggu minuman hangat dan beberapa potong makanan, sebelum mereka menyampaikan pesan dari Raden Panji, sehingga Ki Partija Wirasentana menjadi tenang.

Baru setelah meneguk minuman hangat, dan makan beberapa potong makanan, salah seorang dari mereka berkata “Baiklah Ki Wirasentana. Kami memang membawa pesan dari Raden Panji Prangpranata”

Ki Partija mengangguk-angguk, sementara utusan itu berkata selanjutnya “Utusan yang kemarin datang kemari, telah memberikan laporan kepada Raden Panji. Semua keterangan yang diberikan telah diterima Raden Panji dengan hati-hati. Karena persoalannya menyangkut seorang perempuan yang akan menjadi isterinya”

Ki Partija Wirasentana masih mengangguk-angguk. Sedangkan utusan itu melanjutkan “Ternyata Raden Panji kemudian mengambil kesimpulan, bahwa segala sesuatunya harus dipercepat pelaksanaannya. Apalagi ketika utusan yang datang sebelum kami itu melaporkan bahwa Mas Rara benar-benar sudah menjadi dewasa penuh. Ketika kemarin utusan itu melihat latihan yang dilakukan Mas Rara, ia mengambil kesimpulan, Mas Rara sudah pantas melaksanakan perkawinan dengan Raden Panji Prangpranata”

Ki Partija Wirasentana menarik nafas dalam-dalam. Sedangkan utusan itu masih berkata, “Peristiwa yang terjadi atas Mas Rara, sangat mengejutkan Raden Panji. Bagi Raden Panji, kurang pantas jika bakal isterinya masih harus pergi ke sawah mendukung bakul berisi makanan, untuk mengirim ayahnya. Apakah tidak ada orang lain yang dapat melakukannya?”

Ki Partija mengangguk kecil sambil berkata “Aku minta maaf. Tolong, sampaikan pada Raden Panji. Aku tidak mengira bahwa suatu saat Mas Rara akan bertemu harimau. Bagiku, seorang gadis harus dapat melakukan pekerjaan yang memang harus dilakukannya. Ia tidak boleh menjadi manja, meskipun ia sudah pasti akan menjadi isteri seorang pemimpin yang berkuasa. Jika ia menjadi manja, ia tidak akan dapat menjadi seorang isteri yang baik”

Utusan Raden Panji itu tersenyum sambil menjawab. “Maksud Ki Partija memang baik. Tetapi yang telah terjadi itu mencemaskan hati Raden Panji. Karena itu, selagi peristiwa seperti itu belum terulang, biarlah segala sesuatunya segera diselesaikan”

“Maksud Raden Panji?“ bertanya Ki Partija Wirasentana.

“Ki Partija“ berkata utusan itu “Raden Panji akan segera menyelesaikan segala macam upacara yang harus dilakukan. Raden Panji dalam akhir pekan ini akan mengirim utusan resmi untuk menyerahkan mas kawin bagi Mas Rara”

“Akhir pekan ini?“ Ki Partija Wirasentana terkejut “begitu cepat?“

“Ya. Sebulan kemudian, perkawinan diselenggarakan. Keterangan utusan kemarin, Ki Partija menyerahkan kepada kebijaksanaan Raden Panji, apakah perkawinan itu akan diselenggarakan di sini atau di rumah Raden Panji. Ternyata Raden Panji mengambil keputusan, perkawinan diselenggarakan di rumah Raden Panji. Karena itu, agar segala persiapan dapat diselenggarakan dengan baik, setelah upacara penyerahan mas kawin, pertengahan bulan, Mas Rara akan dijemput dan dibawa ke rumah Raden Panji. Mas Rara akan mengalami pingitan setengah bulan. Memang terlalu pendek, karena seharusnya pingitan berlangsung empatpuluh hari empat puluh malam. Tetapi Raden Panji menganggap bagi Mas Rara tidak perlu. Segala sesuatunya dilakukan karena rasa cemas, akan terjadi lagi sesuatu yang bisa mencelakai Mas Rara.” berkata utusan itu.

Ki Partija termangu-mangu sejenak. Kemudian ia berdesis “Kenapa begitu tergesa-gesa? Aku kira tidak setiap saat ada harimau keluar dari hutan. Apalagi sejak peristiwa itu terjadi, Mas Rara tidak pernah lagi pergi ke sawah mengirim makanan”

“Tetapi apakah Ki Partija Wirasentana mempunyai alasan bahwa waktu sebulan itu terasa terlalu pendek? Bukankah segala sesuatunya akan dilakukan di rumah Raden Panji? Sejak sekarang Raden Panji sudah menugaskan orang untuk melakukan apa saja yang penting bagi perkawinan agung itu. Rumah Ki Tumenggung sudah mulai dibenahi. Bahkan sampai dinding halaman pun telah diperbaiki dan dibersihkan. Setiap hari tidak kurang dari lima orang bekerja keras membersihkan rumah, beserta halaman dan kebun belakang“ berkata utusan itu.

Ki Partija hanya dapat mengangguk-angguk. Jika segala sesuatunya dilakukan di rumah Raden Panji, ia tidak mempunyai alasan waktu itu terlalu pendek. Karena itu, Ki Partijapun berkata “Terserah kepada Raden Panji. Apapun yang diperintahkan, akan kami lakukan dengan sebaik-baiknya”

“Sukurlah” berkata orang itu “utusan yang kemarin datang juga mengatakan, Ki Partija menyerahkan segala sesuatunya pada Raden Panji”

Ki Partija mengangguk-angguk. Ia memang tidak bisa berbuat lain daripada mengiakan segala pesan Raden Panji Prangpranata.

Namun kemudian utusan itu berpesan “Ki Partija. Selain itu semua, Ki Partija diminta menahan dua orang anak muda yang telah menolong Mas Rara agar tidak meninggalkan tempat ini. Raden Panji benar-benar merasa berhutang budi. Jika mereka mengaku pengembara, maka mereka tentunya tidak mempunyai batasan waktu sampai kapan harus kembali pulang. Diharap mereka dapat ikut menghadap Raden Panji saat Mas Rara dijemput kelak”

Ki Partija Wirasentana mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya “Tetapi sebaiknya Ki Sanak berbicara langsung dengan mereka. Mereka tentu akan lebih memperhatikan pesan itu daripada aku yang mengatakannya”

“Baiklah. Aku akan bertemu dengan mereka. Selama keduanya berada di sini, semua biaya hidupnya ditanggung Raden Panji” berkata utusan itu.

“Ah, bukan begitu“ berkata Ki Partija “mereka tidak memerlukan apa-apa kecuali makan. Dan itu tidak seberapa. Apalagi keduanya sebaya dengan anakku, sehingga mereka merasa mempunyai kawan seimbang di sini”

“Jangan segan-segan“ berkata utusan itu “meskipun hanya makan dan minum, tetapi mereka akan berada di sini kira-kira setengah bulan”

“Bukan apa-apa“ jawab Ki Partija “terima kasih atas perhatian Raden Panji. Untuk makan dua orang, aku tidak merasa keberatan”

Sebelum utusan itu menjawab, Ki Partija Wirasentana telah mendahuluinya “Maaf Ki Sanak. Aku akan memanggil anak-anak itu”

Sejenak kemudian, Manggada dan Laksana telah menghadap utusan Raden Panji Prangpranata, untuk mendengarkan permintaan Raden Panji. Setelah usai, Manggada dan Laksana saling berpandangan. Namun kemudian Manggada menjawab,

“Sebenarnya kami tidak ingin menetap di suatu tempat untuk waktu terlalu lama. Sebenarnya kami sudah harus sampai di rumah. Jika orang tua kami mengetahui bahwa kami telah meninggalkan rumah paman tetapi belum sampai di rumah, mereka akan gelisah”

“Tetapi ini perintah Raden Panji Prangpranata“ berkata utusan itu “tidak seorangpun berwenang menolak perintahnya. Apalagi perintah kepada kalian berdua mengandung kemungkinan menguntungkan bagi kalian. Setidak-tidaknya, secara pribadi, Raden Panji dapat mengucapkan terima kasih kepada kalian”

“Yang kami lakukan tidak lebih dari kewajiban terhadap sesama“ berkata Manggada.

“Tidak ada alasan apapun juga“ berkata utusan itu sambil tertawa. Katanya kemudian “Seharusnya kalian berdua berterima kasih karena mendapat perhatian khusus dari Raden Panji Prangpranata. Sebaiknya kalian menyesuaikan diri dengan keinginannya. Jika kalian tidak meneputi perintahnya, Raden Panji akan marah, meskipun semula ia berniat mengucapkan terima kasih pada kalian”

“Anak-anak muda“ berkata Ki Partija Wirasentana kemudian “aku minta kalian bersedia. Seperti yang dikatakan utusan Raden Panji, untuk kepentingan apapun Raden Panji tidak ingin perintahnya ditentang. Sebaiknya, kalian berdua tetap tinggal di sini sampai Raden Panji menjemput Mas Rara untuk dibawa ke rumahnya, menjelang perkawinan agung itu”

Manggada dan Laksana termangu-mangu. Namun kemudian Manggada berkata “Baiklah. Jika kami memang harus menunggu, kami akan menunggu”

“Terima kasih“ berkata Ki Partija Wirasentana “Wirantana tentu akan senang mendengar keputusanmu. Ia akan mendapat kawan yang sebaya di rumah ini”

Demikianlah, Manggada dan Laksana kemudian meninggalkan pendapa. Kedua utusan itu masih berbincang beberapa lama. Namun kemudian keduanya minta diri untuk segera kembali.

“Begitu cepat?“ bertanya Ki Partija “aku kira Ki Sanak berdua akan bermalam. Bukankah Ki Sanak hampir semalam menempuh perjalanan, karena menjelang tengah hari Ki Sanak sampai di sini”

Namun seorang diantara mereka menjawab. “Kami masih akan singgah di rumah seorang kadang. Kami akan bermalam di sana. Besok pagi-pagi kami akan menempuh perjalanan kembali”

Keduanya tidak dapat ditahan-tahan lagi, dan kemudian meninggalkan rumah Ki Partija Wirasentana. Namun demikian masih meninggalkan pesan, agar kedua orang anak muda itu benar-benar tidak meninggalkan rumah Ki Partija Wirasentana. Karena itulah, Ki Partija benar-benar minta agar Manggada dan Laksana tidak meninggalkan rumahnya.

“Kita tidak dapat menduga apa yang akan dilakukan oleh Raden Panji jika kita menolak perintahnya“ berkata Ki Partija Wirasentana. Lalu katanya pula “Meskipun seandainya angger berdua telah jauh, Raden Panji akan memerintahkan orang-orangnya untuk melacak sampai kalian berdua ditemukan. Selain itu, aku pun agaknya akan menemui kesulitan”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sebenarnya mereka tidak menjadi takut diancam akan dilacak sampai ke manapun. Mereka sadar, bahwa kekuasaan Raden Panji ada batasnya. Keduanya merasa dapat menyelamatkan diri mereka sendiri dari jangkauan tangan para pengikut Raden Panji. Tetapi jika yang kemudian mengalami kesulitan adalah Ki Partija, maka persoalannya akan berbeda.

Karena itu, kedua orang anak muda itu terpaksa menunggu untuk waktu yang lama. Sampai saatnya Mas Rara dijemput. Mereka berdua agaknya harus ikut bersama orang-orang yang menjemput Mas Rara itu, menghadap Raden Panji.

“Orang yang aneh!“ berkata Manggada “Orang itu memaksa memberikan hadiah kepada orang lain, dengan mengancam”

“Kita tidak dapat menolak, justru karena kita mengingat keselamatan Ki Partija Wirasentana!” berkata Laksana.

Manggada mengangguk-angguk. Mereka memang tidak mempunyai pilihan lain. Untunglah di rumah itu ada anak muda yang hampir sebaya dengan mereka. Anak Ki Partija Wirasentana sendiri, sehingga mereka dapat bergerak lebih bebas. Bersama Wirantana, mereka tidak merasa berada dalam tahanan, karena mereka di pagi hari telah ikut ke sawah. Mengerjakan pekerjaan yang dikerjakan oleh Wirantana, membantu Ki Partija Wirasentana.

Tetapi Mas Rara tidak lagi mengirimkan makanan ke sawah. Pekerjaan itu kemudian dilakukan oleh orang lain. Seorang laki-laki muda pembantu Ki Partija. Ternyata Manggada dan Laksana juga terampil bekerja di sawah. Mereka telah terbiasa melakukannya, di samping kebiasaan mereka memasuki hutan untuk berburu binatang.

Manggada dan Laksana menjadi semakin akrab dengan Wirantana. Karena Wirantana baru saja pulang dari sebuah perguruan, maka mereka sempat berlatih bersama. Meskipun Wirantana belum mencapai tataran sebagaimana Manggada dan Laksana, namun perbedaan itu hanyalah selapis tipis. Pada saat-saat tertentu, mereka mampu berlatih dengan baik. Di sore hari, jika tidak ada pekerjaan di sawah, atau bahkan di malam hari.

Dengan latihan-latihan itu, mereka bertiga mampu mungembangkan kemampuan mereka masing-masing. Manggada dan Laksana yang mempunyai dasar unsur-unsur ilmu yang berbeda dari Wirantana, dapat saling mengambil keuntungan dari perbedaan itu. Anak-anak muda yang masih ingin berkembang itu, telah berusaha menemukan sesuatu yang dapat memperkaya unsur-unsur gerak mereka masing-masing. Namun atas usul Wirantana, mereka selalu menyembunyikan kemampuan mereka yang sebenarnya dari pamannya, Ki Resa.

“Kenapa?“ bertanya Manggada.

“Entahlah“ jawab Wirantana “Aku tidak tahu, kenapa aku tidak begitu yakin akan niat baik paman. Paman selalu mencela sikap ayah. Meskipun mungkin paman benar, tetapi cara yang ditempuh oleh paman, terasa agak kurang mapan”

“Bukankah Ki Resa itu adik ayahmu?“ bertanya Laksana.

“Ya. Tetapi umur mereka terpaut banyak. Ayah adalah anak sulung, sedang paman Resa anak bungsu. Diantara mereka, masih ada dua orang saudara ayah. Seorang laki-laki dan seorang perempuan. Sebenarnya empat, Tetapi dua orang meninggal di saat mereka sedang tumbuh. Kedua-duanya perempuan” jawab Wirantana.

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Namun Laksana kemudian bertanya “Pamanmu tidak setuju bahwa Mas Rara akan menjadi isteri Raden Panji”

“Ya. Itu jelas. Paman selalu menuduh ayah menjual anak gadisnya. Namun seharusnya paman juga mempertimbangkan kekuasaan Raden Panji. Sementara itu, aku tidak melihat akibat buruk pada Mas Rara sampai saat ini” jawab Wirantana. Tetapi ia pun berkata selanjutnya. “Namun aku kadang-kadang melihat Mas Rara merenung. Aku tidak tahu sebabnya. Agaknya hal yang satu ini disembunyikannya rapat-rapat, meskipun dalam hal lain, Mas Rara selalu terbuka padaku. Tetapi sebagai seorang gadis, Mas Rara memang tidak banyak pilihan. Terutama tentang jodohnya...!”

Selanjutnya,
Mas Rara Bagian 03

Mas Rara Bagian 02

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
MANGGADA tersenyum sambil menjawab. “Kami tidak mendapatkan apa-apa selain ilmu dasar. Hanya itu”

“Tetapi kalian berdua mampu membunuh seekor harimau“ berkata Wirantana.

“Satu kebetulan. Atau mungkin karena terdorong oleh satu kewajiban yang harus kami lakukan untuk membantu sesama” jawab Manggada.

Wirantana mengangguk-angguk. Namun katanya “Tetapi aku masih sangsi, apakah aku mampu melakukannya, seandainya terpaksa aku melakukannya. Meskipun umurku lebih tua dari kalian, namun agaknya dalam ilmu kanuragan, kalian sudah lebih dewasa dari aku”

Manggada menggeleng lemah. Namun Laksanalah yang berkata “Kami masih baru mulai. Kami belum apa-apa”

Demikianlah, mereka sempat berbicara tentang berbagai macam pengalaman mereka masing-masing. Saat-saat mereka berada di perguruan mereka. Adalah diluar sadar bahwa Laksana kemudian menceriterakan pula kebiasaan mereka menangkap harimau untuk diambil kulitnya, dan dijual kepada pedagang kulit binatang buas dan binatang liar. Sehingga pada suatu saat pamannya menghentikannya, karena hal itu dianggap dapat mengganggu keseimbangan kehidupan di hutan.

Wirantana mengangguk-angguk. Katanya “Jadi membunuh, bahkan menangkap harimau adalah pekerjaan kalian sehari-hari?“

Anak-anak muda itu mengerutkan keningnya. Namun hal itu sudah terlanjur dikatakannya. Wirantana nampaknya memang tidak menaruh perhatian yang berlebihan. Namun ketika ia kembali ke pendapa, ia telah menceritakan kepada ayahnya.

Ayahnya mengangguk-angguk. Ia percaya akan ceritera itu. Kedua anak muda itu tentu anak-anak muda yang memang memiliki kelebihan dari anak-anak muda kebanyakan. Bahkan dari Wirantana yang pernah dikirimnya berguru, dan belum lama kembali kepada keluarganya.

Tetapi Ki Partija memang tidak perlu merasa iri. Bahkan ia menganggap kehadiran kedua anak muda itu akan dapat membantu anaknya mengembangkan ilmunya.

“Jika saja anak-anak muda itu mau tinggal bersama Wirantana untuk beberapa lama” berkata Ki Partija Wirasentana di dalam hatinya.

Namun pada hari itu, Ki Partija telah mempersiapkan segala-galanya dengan cepat. Besok mereka akan menyelenggarakan upacara ucapan sukur dengan memanggil tetangga-tetangganya. Makan bersama, dan kelenengan sepanjang malam. Ki Partija memang mempunyai kelompok yang terbiasa mengadakan latihan-latihan menabuh gamelan, sehingga justru pada malam sukuran, Ki Partija ingin mencoba kemampuan kawan-kawannya itu.

Dengan demikian, sejak hari itu, beberapa perempuan telah menjadi sibuk. Mereka mulai mengumpulkan bahan-bahan mentah yang dapat mereka lakukan pada hari itu. Dari lumbung, beberapa orang perempuan telah mengambil padi dan mulai menumbuknya di lesung yang panjang. Kemudian yang lain mengambil daun pisang di kebun belakang yang cukup luas. Kemudian yang lain lagi pergi ke pategalan memetik dedaunan yang dapat dipergunakan untuk membuat nasi megana.

Namun bukan saja hasil kebun dan pategalan sendiri. Beberapa orang tetangga yang ikut mengucap sukur bahwa Mas Rara selamat, telah datang memberikan sumbangan apa saja. Yang kebiasaannya membuat gula kelapa, telah datang dengan membawa setenggok gula kelapa. Ada yang membawa sebakul telur itik. Tetapi ada juga yang membawa dua ekor ayam hidup-hidup. Dengan demikian, beberapa macam bahan telah datang sendiri, sehingga Ki Partija Wirasentana tidak perlu membelinya lagi keesokan harinya.

Malam itu di rumah Ki Partija sudah ramai dikunjungi orang. Beberapa orang duduk di pendapa namun ada juga yang duduk-duduk di serambi gandok. Terutama anak-anak muda yang ingin berkenalan dengan Manggada dan Laksana.

Namun dalam pada itu, yang sangat mengejutkan adalah kehadiran seorang utusan dari Raden Panji Prangpranata yang juga hadir di pendapa. Dengan tergopoh-gopoh Ki Partija Wirasentana telah menemui tamunya yang khusus itu. Tentu ada sesuatu yang penting sehingga Raden Panji Prangpranata teleh mengirimkan utusan untuk datang ke rumahnya.

Dengan penuh hormat, Ki Partija Wirasentana menyapa tamunya, serta menanyakan keselamatan perjalanannya. Juga ditanyakan pula keselamatan Raden Panji Prangpranata serta keluarganya.

“Baik, Ki Partija Wirasentana!” jawab utusan itu “Kami dan keluarga Raden Panji dalam keadaan selamat”

Ki Partija mengangguk-angguk sambil berdesis “Sukurlah, namun kedatangan Ki Sanak yang tiba-tiba telah membuat hatiku berdebar-debar. Sebab kami akan menyelanggarakan upacara pernyataan sukur karena Mas Rara telah diselamatkan dari terkaman seekor harimau yang sangat besar”

Orang itu tersenyum, katanya “Baru saja aku mendengar tentang hal itu. Sebenarnya kedatanganku tidak ada sangkut pautnya dengan rencana Ki Partija menyelenggarakan upacara pernyataan sukur. Aku justru terkejut ketika memasuki halaman rumah ini, ternyata banyak orang berada di dalamnya”

Ki Partija Wirasentana mengangguk-angguk sambil berkata “Kebetulan sekali Ki Sanak. Dengan demikian Ki Sanak dapat menyampaikan kepada Raden Panji, bahwa baru saja terjadi peristiwa yang hampir saja merenggut jiwa Mas Rara”

“Tetapi bukankah Mas Rara sudah selamat sekarang?” bertanya utusan itu.

“Sudah Ki Sanak. Itulah sebabnya kami membuat upacara pernyataan sukur besok malam” jawab Ki Partija Wirasentana yang tina-tiba bertanya “apakah Ki Sanak akan bermalam sampai besok?”

Orang itu tersenyum, katanya “Aku hanya bermalam semalam. Besok pagi aku sudah berangkat kembali”

“Kenapa tidak besok lusa saja?” sahut Ki Partija “besok Ki Sanak dapat ikut upacara pernyataan sukur itu. Besok malam Mas Rara akan menari untuk membuat suasana semakin meriah”

“Mas Rara akan menari besok?” bertanya orang itu.

“Ya” jawab Ki Partija.

“Mas Rara dapat menari?” bertanya utusan itu pula.

“Anakku adalah penari terbaik di padukuhan ini” jawab Ki Partija “Aku mempunyai seperangkat gamelan yang akan dipergunakan besok. Para penabuh juga dari padukuhan ini”

Utusan itu menarik nafas dalam-dalam. Ia memang sudah melihat itu ada di pringgitan.

“Nanti, jika kawan-kawan sudah lengkap, kami akan mengadakan latihan” berkata Ki Partija.

Utusan itu mengangguk-angguk, namun katanya “Beruntunglah aku melihat latihan itu, sehingga aku dapat melihat Mas Rara menari. Aku tentu akan menceritakannya pada Raden Panji Prangpranata”

“Apalagi jika Ki Sanak sempat menyaksikannya besok” berkata Ki Partija.

Tetapi orang itu tersenyum sambil berkata “Aku besok harus kembali”

Ki Partija pun kemudian menanyakan keperluan utusan itu datang ke padukuhan Nguter.

“Ki Partija Wirasentana.” jawab orang itu “sebenarnya aku mendapat perintah dari Raden Panji untuk melihat keadaan Mas Rara yang sudah agak lama tidak dikunjunginya, karena kesibukannya. Selain itu, Raden Panji nampaknya sudah mulai bersiap-siap untuk menentukan hari perkawinannya dengan Mas Rara. Oleh karena itu. Raden Panji minta Ki Partija untuk bersiap-siap. Dalam waktu dua tiga pekan lagi, Raden Panji akan mengirim utusan lagi."

Ki Partija mengangguk-angguk. Katanya “Kami hanya menunggu perintah, Ki Sanak. Apapun yang diperintahkan oleh Raden Panji, kami akan melaksanakan. Kami tidak berwenang untuk menyatakan pendapat apapun di hadapan Raden Panji Prangpranata”

“Ada dua kemungkinan yang akan ditawarkan Raden Panji“ berkata utusan itu pula “perkawinan agung itu diadakan di sini, kemudian diboyong Raden Panji, atau perkawinan agung diadakan di rumah Raden Panji. Ditinjau dari segi adat, maka perkawinan itu sebaiknya dilakukan di sini. Tetapi mengingat tempat dan kelayakan bagi para tamu Raden Panji yang akan diundang, sebaiknya perkawinan dilakukan di rumah Raden Panji”

Ki Partija mengangguk-angguk. Katanya “Sekali lagi aku nyatakan, kami hanya melakukan segala perintah Raden Panji. Dimanapun perkawinan agung itu dilakukan, kami tidak akan berkeberatan”

“Kesulitan yang lain jika perkawinan itu dilakukan di sini, jaraknya terlalu jauh dari para tamu yang akan diundang oleh Raden Panji. Jika upacara selesai, Raden Panji harus menyediakan penginapan yang pantas bagi para tamunya. Dan itu agaknya tidak mungkin dilakukan mengingat tidak ada rumah yang pantas di sini. Jarak perjalanan ke tempat ini sangat melelahkan. Berkuda, lebih dari setengah hari perjalanan. Aku memang tidak terlalu cepat berpacu, karena aku tidak tergesa-gesa. Beberapa kali aku berhenti untuk makan, terutama yang aku tidak tahan adalah minum, serta memberi minuman dan makanan kudaku” berkata utusan itu.

Ki Partija mengangguk-angguk. Katanya “Sudah aku katakan Ki Sanak. Terserah kepada Raden Panji. Kami hanya tinggal melaksanakannya”

Utusan itu mengangguk-angguk. Lalu katanya “Jika demikian Ki Partija, aku akan menyampaikannya kepada Raden Panji. Namun agaknya Raden Panji cenderung untuk melaksanakan perkawinan itu di rumah Raden Panji yang memadai. Pada suatu saat, Raden Panji akan mengirimkan utusan disertai dengan pertanda dirinya untuk menjemput Mas Rara. Aku juga belum tahu, kapan itu dilakukan. Apalagi jika Raden Panji kemudian mempunyai rencana lain."

“Kami akan melakukan dengan sebaik-baiknya. Kami menunggu dengan sabar dan dengan kesungguhan hati“ jawab Ki Partija.

“Nah, jika Ki Partija tidak mempunyai persoalan lagi, biarlah hasil pembicaraan ini aku bawa kepada Raden Panji“ berkata utusan itu “sekarang, silahkan Ki partija meneruskan acara yang telah kau susun. Mungkin latihan atau apa. Tetapi jika Ki Partija tidak berkeberatan, aku ingin berbicara dengan kedua anak muda yang telah berhasil membunuh harimau itu”

“Tentu. Aku sama sekali tidak berkeberatan“ berkata Ki Partija Wirasentana “aku akan memanggilnya. Anak-anak muda itu masih berada di gandok. Beberapa orang anak muda dari padukuhan Nguter ini telah datang untuk menemuinya dan berbicara dengan keduanya”

Ki Partija pun kemudian menyuruh seseorang untuk memanggil Manggada dan Laksana agar datang ke pendapa untuk menemui utusan dari Raden Panji Prangpranata. Sejenak kemudian, kedua anak muda itu telah hadir. Beberapa orang anak muda dari Nguter, ikut naik ke pendapa dan duduk pula diantara mereka.

Utusan itu agak terkejut melihat keduanya. Masih terlalu muda. Sementara itu, dari seseorang ia telah mendengar, bahwa adik Ki Partija telah mendapat gelar Pembunuh Harimau. Namun yang kemudian menolong Mas Rara. justru dua orang yang masih sangat muda.

Untuk beberapa saat, utusan itu berbicara dengan Manggada dan Laksana. Memang tidak terlalu banyak yang mereka bicarakan selain peristiwa sekitar pembunuhan harimau yang hampir saja menerkam Mas Rara itu.

“Kalian akan mendapat hadiah secukupnya dari Raden Panji“ berkata utusan itu.

Tetapi Manggada menggeleng sambil berkata, “Terima kasih. Bukan maksud kami untuk mendapatkan hadiah apapun. Kami melakukannya karena kami merasa berkewajiban”

Orang itu tersenyum. Katanya “Aku tahu. Raden Panji memberikan hadiah karena rasa terima kasihnya. Mungkin sekadar kenangan bagi kalian berdua.Tetapi Raden Panji tidak akan menilainya dengan uang, karena keselamatan jiwa Mas Rara tidak akan dapat dihargai berapapun juga”

Manggada dan Laksana menarik nafas dalam-dalam. Keduanya kemudian mengangguk hormat. Namun keduanya sama sekali tidak menjawab lagi.

Demikianlah. Sejenak kemudian, utusan itu berkata kepada Ki Partija Wirasentana, “Silahkan meneruskan rencana kalian. Latihan atau memasang perlengkapan, memindahkan gamelan atau apapun juga. Bukankah gamelan besok tidak akan ditempatkan di pringgitan?“

“Kami akan melakukan latihan dahulu Ki Sanak. Besok siang baru gamelan akan dipindah di sisi pendapa, berseberangan dengan pringgitan itu“ jawab Ki Partija Wirasentana.

Sejenak kemudian, Ki Partija Wirasentana telah mempersilahkan para penabuh untuk menempati tempatnya. Hampir semuanya orang dari padukuhan Nguter, meskipun ada satu dua orang datang dari padukuhan tetangga. Tetapi sudah menjadi kebiasaan mereka untuk setiap kali melakukan latihan bersama dengan orang-orang Nguter.

Utusan Raden Panji ternyata seorang yang mampu menikmati irama gamelan. Apalagi ketika para penari mulai melakukan latihan. Beberapa orang membawakan pethilan tari topeng. Namun yang paling menarik adalah ketika Mas Rara melakukan latihan sangat memikat para pehpnton. Apalagi besok, jika Mas Rara mengenakan pakaian lengkap seorang penari. Anak-anak muda Nguter memandanginya tanpa berkedip. Mas Rara bukan saja seorang penari yang baik, tapi juga seorang gadis yang sangat cantik.

Manggada dan Laksana memandang gadis itu bagaikan membeku. Mereka belum pernah melihat gadis secantik gadis yang sedang menari itu. Anak gadis Ki Wiradadi yang diambil oleh sekelompok orang berilmu hitam untuk dikorbankan, juga cantik. Tapi gadis itu tidak sedang bersolek seperti Mas Rara. Anak gadis Ki Wiradadi justru nampak kusut dan lemah. Sedangkan Mas Rara nampak bersih dan segar.

Selagi Mas Rara menari dengan asyiknya, di halaman, pamannya pun tengah mengaguminya. Bahkan Ki Resa yang digelari Pembunuh Harimau itu sempat menggeram “Kenapa gadis itu telah dijual?“

Sekilas Ki Resa memandang utusan Raden Panji Prangpranata. Dengan mata yang memancarkan ketidak senangan, ia kemudian meninggalkan halaman, dan keluar regol turun ke jalan.

Ternyata di jalan, di depan rumah Ki Partija Wirasentana, cukup ramai. Meski yang berlangsung di pendapa baru latihan, tapi telah banyak orang datang. Bukan saja untuk menonton, tetapi juga untuk ikut menyatakan kegembiraan mereka bahwa Mas Rara selamat.

Ki Resa tidak menghiraukan mereka. Ia hanya mengangguk jika ada orang mengangguk kepadanya. Namun tidak sepatah kata keluar dari mulutnya. Beberapa orang yang melihat sikapnya, menjadi heran. Beberapa orang hanya mendengar bahwa Ki Resa merasa kurang senang karena ia didahului oleh dua orang anak muda yang telah membunuh harimau itu.

Orang-orang itu coba untuk mengerti, bahwa Ki Resa yang mendapat panggilan Pembunuh Harimau itu menjadi kecewa karena bukan dirinya yang membunuh harimau itu. Tetapi justru dua orang anak muda. Namun tidak seorang pun yang dapat menyalahkan kedua anak muda itu. Jika keduanya tidak berbuat sesuatu, apalagi membunuh harimau itu, Mas Rara tidak akan dapat lagi menari di pendapa rumahnya. Demikianlah. Malam itu rumah Mas Rara menjadi sangat sibuk. Orang-orang perempuan mulai memasak untuk menyiapkan hidangan buat besok.

Namun akhirnya pendapa rumah itu sepi, ketika latihan telah selesai, serta orang-orang yang ikut menyatakan kegembiraan mereka telah pulang, karena malam berikutnya mereka akan datang lagi sebagai tamu dalam upacara pernyataan sukur. Beberapa orang yang tinggal dan mulai merasa ngantuk, berbaring di serambi. Ki Partija Wirasentana pun telah beristirahat setelah mempersilahkan Manggada dan Laksana beristirahat di gandok, ditemani Wirantana. Sementara itu, utusan Raden Panji Prangpranata dipersilahkan beristirahat di biliknya.

Namun dalam pada itu, meskipun pendapa keadaannya sepi, tapi tidak demikian halnya dengan didapur. Beberapa orang masih saja sibuk. Tetapi beberapa orang mulai berbaring di mana saja tersedia tempat, meskipun di sebelah orang yang sedang mengkukur kelapa.

Ketika matahari terbit di hari berikutnya, rumah Mas Rara menjadi semakin sibuk. Malam mendatang, akan diselenggarakan upacara yang menarik itu. Namun pagi itu utusan Raden Panji Prangpranata telah minta diri. Betapapun Ki Partija Wirasentana mencoba menahannya, namun utusan itu tetap mohon diri untuk kembali.

“Aku tidak berani melanggar perintah Raden Panji“ berkata utusan itu “jika aku tidak pulang hari ini, Raden Panji akan marah”

Dengan demikian, keluarga Mas Rara tidak dapat menahannya lagi, Namun utusan itu sempat sekali lagi mengucapkan terima kasih kepada Manggada dan Laksana yang telah menyelamatkan Mas Rara.

“Jika tidak perkawinan agung itu akan batal. Yang terjadi adalah iring-iringan untuk mengantarkan tubuh membeku ke kuburan. Ah, itu memang tidak akan terjadi“ berkata utusan itu.

“Kami sekadar melakukan kewajiban. Bukankah kewajiban kita adalah saling tolong-menolong?“ sahut Manggada.

“Ya. Meskipun demikian, kami harus mengenal kalian, tempat tinggal kalian dan keluarga kalian“ berkata utusan itu.

Tetapi Manggada menggeleng. Katanya “Ki Sanak boleh mengenal nama kami. Itu sudah cukup. Besok kami sudah akan meninggalkan tempat ini. Dan barangkali kita tidak akan bertemu lagi”

Orang itu tersenyum. Katanya, “Kalian memang anak-anak muda yang rendah hati. Tetapi apa salahnya jika kami mengenal kalian lebih banyak? Seandainya kami tidak ingin memberikan apapun juga, bukankah kita dapat berkenalan dan bersahabat lebih akrab?”

Tetapi Manggada hanya tersenyum. Sementara Laksana berkata. “Tetapi kami dapat menduga sebelumnya apa yang akan Ki Sanak lakukan”

“Baiklah!“ berkata utusan itu. Namun ia berharap bahwa ayah Mas Rara akan dapat memberikan lebih banyak keterangan tentang kedua orang anak muda itu.

Sementara utusan itu minta diri. Ki Resa tidak mendekat. la benar-benar merasa benci kepadanya, meskipun orang itu tidak lebih dari seorang utusan. Sebenarnyalah bahwa Ki Resa sangat membenci orang yang disebut Raden Panji Prangpranata. Seorang yang berkedudukan tinggi, kaya raya serta memiliki kekuasaan atas daerah yang luas, termasuk padukuhan Nguter. Sejenak kemudian, orang itu minta diri. Wirantana, Manggada dan Laksana mengantarkannya sampai ke regol halaman.

Demikian kuda itu berpacu meninggalkan halaman Ki Partija, Ki Resa mendekati mereka sambil berdesis kepada Wirantana “He, apakah kau rela adikmu dijual oleh ayah ibumu?“

Wirantana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya. “Aku tidak tahu maksud paman”

“Kau memang bodoh. Apalagi kau agak lama meninggalkan kedua orang tuamu, karena menuntut ilmu. Sekarang kau telah kembali. Kau tidak lagi Wirantana yang bodoh, lemah dan tidak mampu berpikir. Kau sekarang sudah memiliki ilmu. Umurmu sudah menjadi makin dewasa. Karena itu, kau harus mampu berpikir tentang sikap kedua orang tuamu atas adikmu itu” geram Ki Resa. Tetapi Ki Resa tidak menunggu Wirantana menjawab. Ia segera melangkah meninggalkan anak muda itu.

Wirantana berdiri termangu-mangu. Namun kemudian ia bergumam “Aku tidak mengerti maksud paman. Kenapa paman menganggap Mas Rara telah dijual kepada Raden Panji”

“Bagaimana sebenarnya?“ bertanya Manggada.

“Aku tidak tahu. Aku harus bertanya kepada ayah dan ibu, apa yang sebenarnya terjadi atas adikku itu. Tetapi aku sama sekali tidak melihat kesan yang tidak wajar pada adikku” berkata Wirantana.

“Ia seorang gadis“ berkata Manggada biasanya seorang gadis tidak pernah menyatakan pendapatnya. Apapun yang akan terjadi atas dirinya”

“Tetapi adikku sangat terbuka hatinya kepadaku. la tidak pernah menyembunyikan sesuatu. Apalagi jika benar kata paman, bahwa Mas Rara telah dijual” berkata Wirantana.

“Mungkin Mas Rara sendiri tidak tahu apa yang telah dibicarakan tentang dirinya, oleh ayah dan ibumu“ desis Manggada.

Anak-anak muda itu tidak berbicara lebih lanjut ketika beberapa orang datang mendekati mereka sambil tersenyum. Seorang diantara mereka berkata “ He, apakah aku masih mendapat bagian kerja di rumahmu Wirantana? Mengusung gamelan atau memasang oncor di sudut-sudut halaman, atau apa saja?“

“Ah“ sahut Wirantana “tidak ada kerja apapun di rumah. Hanya sekadar menyapu. halaman. Dan itu sudah aku lakukan”

Orang-orang itu tertawa. Namun sambil memasuki legol, seorang diantara mereka berkata “Jika kerja sudah habis, maka biarlah menunggu saja waktunya suguhan dikeluarkan”

Wirantana juga tertawa. Namun ia tidak menjawab. Beberapa saat anak-anak muda itu masih berdiri di regol. Namun kemudian Wirantana berkata “Silahkan beristirahat di serambi gandok. Aku akan berbicara dengan ayah dan ibu”

Manggada dan Laksana tidak menolak. Keduanya kemudian pergi ke serambi gandok, sementara Wirantana pergi ke ruang dalam untuk berbicara dengan ayahnya.

Sementara itu, kesibukan masih saja berlangsung di luar dan di dalam rumah sampai kedapur. Mas Rara sendiri ternyata bukan seorang gadis yang manja. Ia ikut sibuk bersama perempuan-perempuan di dapur.

Ketika Wirantana kemudian menghadap ayahnya, dan menyampaikan pertanyaannya, maka ayahnya sama sekali tidak mau memberikan keterangan, sehingga Wirantana menjadi sangat kecewa. Dengan wajah tegang, Wirantana menemui Manggada dan Laksana yang duduk di amben panjang, di serambi gandok.

“Ayah masih saja menganggap aku anak-anak“ berkata Wirantana.

“Bagaimana?” bertanya Manggada.

“Ayah dan ibu sama sekali tidak menjawab pertanyaanku. Ayah hanya mengatakan bahwa Raden Panji adalah orang yang berwibawa dan sangat berkuasa“ jawab Wirantana.

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, Wirantana berkata, “Tetapi menilik keterangan itu, memang ada unsur yang tidak wajar dalam perkawinan yang akan dilangsungkan antara Mas Rara dan Raden Panji. Namun agaknya perkawinan itu akan memberikan kebanggaan, bukan saja keluargaku, tapi seluruh padukuhan Nguter. Ternyata Mas Rara sangat dihormati, sebelum ia menjadi isteri Raden Panji. Para penghuni padukuhan ini tentu berharap, Mas Rara akan dapat mengangkat derajat seluruh padukuhan ini. Mas Rara akan dapat memanfaatkan kekuasaan Raden Panji bagi kepentingan padukuhan kecil yang sampai saat ini tidak memiliki kelebihan apapun juga dari padukuhan-padukuhan lain”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Dengan nada datar Manggada berkata “Jika demikian, perkawinan itu akan memberikan arti kepada padukuhan ini”

“Ya. Tetapi paman agaknya sangat tidak setuju” berkata Wirantana.

“Mungkin lambat laun kau akan mengerti apa sebabnya adikmu menjadi isteri Raden Panji, dan kenapa pamanmu tidak menyukainya“ berkata Laksana. Lalu “Tetapi menilik sikap tetangga-tetanggamu, semua akan ikut berbangga atas rencana perkawinan itu”

Wirantana mengangguk-angguk. Ia sependapat dengan anak muda yang telah menolong adiknya dari cabikan taring harimau itu.

“Ya“ berkata Wirantana kemudian. “Seluruh padukuhan ikut bergembira karena adikku selamat. Dari tetangga-tetangga kami mendapat banyak sekali sumbangan. Bahan mentah, bahkan keamanan yang sudah siap untuk disuguhkan dan ada diantara mereka yang menyumbang uang”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sementara Wirantana berkata selanjutnya “Kami tidak dapat menolaknya. Jika kami tidak mau menerima sumbangan Itu, tetangga-tetangga kami akan menjadi sakit hati. Mereka menuduh kami mulai menjadi sombong sebelum Mas Rara menjadi isteri Raden Panji”

Namun tiba-tiba Manggada bertanya. “Apakah kau pernah bertemu dengan Raden Panji?“

Wirantana menggeleng. Katanya “Belum. Aku belum lama kembali”

“Bagaimana dengan adikmu?“ bertanya Manggada pula.

“Anak itu tidak pernah mengatakan sesuatu. Sebagaimana layaknya seorang gadis, ia menerimanya dengan wajar. Tidak ada tanda-tanda bahwa ia merasa dijual seperti yang dikatakan paman. Seperti sudah aku katakan, ia hanya terbuka padaku. Tetapi aku tidak tahu tentang soal yang satu ini” suara Wirantana merendah.

Manggada dan Laksana hanya mengangguk-angguk saja. Namun agaknya Wirantana merasa belum puas jika belum mengetahui kenapa pamannya selalu menganggap bahwa adiknya telah dijual.

Tetapi Wirantana kemudian berkata “Baiklah. Biarlah aku membantu mengatur tempat di pendapa”

“Kami dapat membantumu“ berkata Manggada.

“Kalian adalah tamu kami“ jawab Wirantana. Tetapi sambil tersenyum Laksana berkata “Di mana-mana kami tidak terbiasa diperlakukan sebagai tamu. Kami lebih sering berada di satu tempat untuk melakukan kerja apapun”

Wirantana pun tidak berkeberatan. Ia sadar, bahwa perasaan kedua anak muda itu tentu tidak enak, jika mereka hanya sekadar duduk sementara orang lain sibuk di halaman, di pendapa dan dimana-mana.

Demikianlah. Menjelang senja, semuanya sudah siap. Bahkan orang mulai memasang obor disudut-sudut halaman, di regol dan bahkan di belakang rumah. Para penabuh gamelan dan para penari sudah mulai mempersiapkan diri. Demikian pula Mas Rara. Sejenak kemudian, gamelan pun mulai dibunyikan. Suasana di rumah Ki Partija Wirasentana menjadi semakin meriah. Lampu-lampu minyak terdapat di mana-mana.

Sementara di dapur, segala sesuatu telah dipersiapkan. Malam itu, bukan saja seisi rumah Ki Partija Wirasentana merasa bersukur atas keselamatan Mas Rara, tapi seisi padukuhan menjadi bergembira karenanya. Sejak orang tua sampai kanak-kanak. Yang biasanya tidur sejak hari gelap, sempat bermain-main sampai jauh malam. Bahkan dengan sedikit uang saku untuk membeli gelali, kacang serta binteng jahe.

Ada diantara mereka yang tertarik pada suara gamelan, dun melihat beberapa saat di halaman. Mereka sekejap mengagumi orang-orang yang menari di pendapa. Namun kemudian mereka berlari-lari lagi di halaman.

Ketika para tamu di pendapa dipersilahkan makan nasi punar yang berwarna kuning, anak-anak pun dipanggil pula ke longkangan. Mereka juga mendapat sepincuk nasi punar, kedele goreng dan sekerat daging ayam serta telur dadar.

Betapa gembiranya anak-anak itu. Mereka tidak saja makan nasi kuning, tetapi justru saat mereka berdesakan untuk menerima sepincuk nasi itulah yang sangat menarik bagi mereka.

Namun semuanya itu perlahan-lahan berlalu. Ki Bekel padukuhan Nguter atas nama Ki Partija Wirasentana menyatakan kegembiraan hati seluruh keluarga serta mengucapkan sukur kehadapan Yang Maha Agung, bahwa Mas Kara telah diselamatkan.

Manggada dan Laksana sama sekali tidak menduga, bahwa Ki Bekel telah memanggil mereka berdua dan diperkenalkan kepada semua orang yang hadir di pendapa. Wajah kedua anak muda itu menjadi merah. Kaki meleka rasa-rasanya menjadi seberat timah, ketika melangkah di pendapa. Semua mata memandang mereka berdua. Bahkan ketika orang-orang Nguter bertepuk tangan gemuruh, Manggada dan Laksana hampir menjadi pingsan karenanya. Mereka agaknya memilih berkelahi melawan seekor harimau daripada berdiri di pendapa itu.

Namun, sementara semua orang bersuka itu, Ki Resa masih saja tetap menyendiri sambil bergeremang. Ia tidak dapat mencegah apa yang akan terjadi dengan Mas Rara, yang akan diperisteri Raden Panji Prangpranata itu. Ki Resa sama sekali tidak mau naik ke pendapa. Ia berjalan hilir mudik di depan regol rumah kakaknya itu.

Lewat tengah malam, suasana sudah menjadi tenang. Irama gamelan tidak lagi gemuruh mengiringi tari-tarian. Yang terdengar adalah suara gamelan yang tenang, mengalir dalam irama terayun lembut. Kadang-kadang melengking dalam nada tinggi, namun kemudian menurun rendah seperti seekor burung yang melayang-layang di udara malam.

Menjelang dini, satu dua orang mulai mohon diri. Terutama orang-orang tua yang sudah tidak tahan lagi duduk semalam suntuk. Udara malam yang dingin, rasa-rasanya membuat darah mereka lambat mengalir. Namun anak-anak muda tetap bertahan sampai fajar. Baru ketika langit menjadi merah, keramaian di pendapa itu resmi dinyatakan selesai.

Tetapi dari dapur sekali lagi telah mengalir minuman panas dan nasi langgi yang hangat dengan serundeng kuning gemerisik dan dendeng basah yang lunak. Tidak digoreng dengan minyak, tetapi dipanggang di atas api kecil.

Mereka yang ikut menghadiri keramaian dalam upacara sukuran itu, ternyata pulang dengan perut kenyang. Ki Bekel yang terhitung masih belum terlalu tua, bertahan sampai selesai. Bahkan sampai orang terakhir meninggalkan pendapa rumah itu.

Ki Bekel masih sempat menemui Mas Rara untuk mengucapkan selamat, dan kemudian berpesan. “Lain kali berhati-hati. Di hutan itu masih terdapat beberapa ekor binatang buas yang kadang-kadang mengganggu kita. Namun jika anak-anak muda itu kelak meninggalkan padukuhan ini, kita masih mempunyai Ki Resa, Si Pembunuh Harimau. Karena itu, kita tidak usah khawatir. Meskipun demikian, sebaiknya jangan pergi sendiri jika kau mengirim nasi ayahmu di sawah yang dekat dengan hutan itu. Kau boleh mengirim nasi ke sawah, tetapi yang jauh dari hutan. Jika terjadi sesuatu atasmu, Raden Panji tentu tidak hanya menyalahkan ayahmu, tetapi kami semua. Penduduk padukuhan Nguter. Barangkali akulah yang akan menerima hukuman paling berat”

Mas Rara mengangguk hormat, sambil berdesis bertahan “Ya Ki Bekel”

“Ajak ayahmu jika kau akan pergi ke sawah dekat hutan itu“ berkata Ki Bekel pula “tidak ada seekor harimau pun yang berani mengusikmu”

“Ya Ki Bekel“ sekali lagi Mas Rara mengangguk. Namun kemudian Ki Bekel bertanya “Di mana Ki Resa? Aku tidak melihatnya sejak sore”

“Paman agak sibuk Ki Bekel“ jawab Mas Rara.

Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya. “Salam buat pamanmu”

“Ya Ki Bekel“ jawab Mas Rara sambil mengangguk hormat.

Demikianlah. Ki Bekel kemudian minta diri. Ketika ia keluar dari regol, langit sudah menjadi semakin terang. Namun Ki Bekel sudah tidak bertemu dengan Ki Resa.

Yang kemudian tinggal adalah orang-orang yang membersihkan jalan di depan rumah Ki Partija Wirasentana. Jalan yang menjadi kotor oleh dedaunan bungkus makanan, karena di sepanjang jalan di depan rumah itu bertebaran orang-orang yang memanfaatkan keramaian itu untuk berjualan.

Demikian pula orang-orang yang sibuk membersihkan halaman pendapa, bahkan bagian dalam rumah. Perempuan-perempuan di dapur sibuk membersihkan perkakas yang kotor.

Manggada dan Laksana ikut pula membantu Wirantana membersihkan halaman. Mencabut tiang-tiang obor dan membantu menyimpan gamelan ke ruang tengah.

Ketika matahari memanjat semakin tinggi, sebagian kerja di bagian luar rumah sudah hampir selesai. Karena itu, Manggada dan Laksana mulai membicarakan, kapan mereka akan meneruskan perjalanan.

Namun sebelum mereka mengambil keputusan, menjelang tengah hari, datang dua orang berkuda memasuki regol rumah Ki Partija Wirasentana. Dua orang yang kemudian menyatakan diri utusan Raden Panji Prangpranata.

Ki Partija Wirasentana terkejut bukan buatan. Baru saja utusan yang datang terdahulu kemarin meninggalkan rumah itu, tiba-tiba dua orang yang lain telah datang pula.

Tetapi dengan ramah seorang diantaranya berkata. “Kami mohon maaf, bahwa kedatangan kami telah mengejutkan Ki Wirasentana. Sebenarnya tidak ada hal yang terlalu penting. Kami hanya akan menyampaikan beberapa pesan”

Ki Wirasentana menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Aku sudah menjadi sangat berdebar-debar”

“Kami mengerti“ jawab salah seorang diantara mereka “karena itu kami merasa wajib untuk segera memberikan ketenangan kepada Ki Wirasentana”

Ternyata kedua orang itu tidak tergesa-gesa menyampaikan sesuatu. Mereka sempat menunggu minuman hangat dan beberapa potong makanan, sebelum mereka menyampaikan pesan dari Raden Panji, sehingga Ki Partija Wirasentana menjadi tenang.

Baru setelah meneguk minuman hangat, dan makan beberapa potong makanan, salah seorang dari mereka berkata “Baiklah Ki Wirasentana. Kami memang membawa pesan dari Raden Panji Prangpranata”

Ki Partija mengangguk-angguk, sementara utusan itu berkata selanjutnya “Utusan yang kemarin datang kemari, telah memberikan laporan kepada Raden Panji. Semua keterangan yang diberikan telah diterima Raden Panji dengan hati-hati. Karena persoalannya menyangkut seorang perempuan yang akan menjadi isterinya”

Ki Partija Wirasentana masih mengangguk-angguk. Sedangkan utusan itu melanjutkan “Ternyata Raden Panji kemudian mengambil kesimpulan, bahwa segala sesuatunya harus dipercepat pelaksanaannya. Apalagi ketika utusan yang datang sebelum kami itu melaporkan bahwa Mas Rara benar-benar sudah menjadi dewasa penuh. Ketika kemarin utusan itu melihat latihan yang dilakukan Mas Rara, ia mengambil kesimpulan, Mas Rara sudah pantas melaksanakan perkawinan dengan Raden Panji Prangpranata”

Ki Partija Wirasentana menarik nafas dalam-dalam. Sedangkan utusan itu masih berkata, “Peristiwa yang terjadi atas Mas Rara, sangat mengejutkan Raden Panji. Bagi Raden Panji, kurang pantas jika bakal isterinya masih harus pergi ke sawah mendukung bakul berisi makanan, untuk mengirim ayahnya. Apakah tidak ada orang lain yang dapat melakukannya?”

Ki Partija mengangguk kecil sambil berkata “Aku minta maaf. Tolong, sampaikan pada Raden Panji. Aku tidak mengira bahwa suatu saat Mas Rara akan bertemu harimau. Bagiku, seorang gadis harus dapat melakukan pekerjaan yang memang harus dilakukannya. Ia tidak boleh menjadi manja, meskipun ia sudah pasti akan menjadi isteri seorang pemimpin yang berkuasa. Jika ia menjadi manja, ia tidak akan dapat menjadi seorang isteri yang baik”

Utusan Raden Panji itu tersenyum sambil menjawab. “Maksud Ki Partija memang baik. Tetapi yang telah terjadi itu mencemaskan hati Raden Panji. Karena itu, selagi peristiwa seperti itu belum terulang, biarlah segala sesuatunya segera diselesaikan”

“Maksud Raden Panji?“ bertanya Ki Partija Wirasentana.

“Ki Partija“ berkata utusan itu “Raden Panji akan segera menyelesaikan segala macam upacara yang harus dilakukan. Raden Panji dalam akhir pekan ini akan mengirim utusan resmi untuk menyerahkan mas kawin bagi Mas Rara”

“Akhir pekan ini?“ Ki Partija Wirasentana terkejut “begitu cepat?“

“Ya. Sebulan kemudian, perkawinan diselenggarakan. Keterangan utusan kemarin, Ki Partija menyerahkan kepada kebijaksanaan Raden Panji, apakah perkawinan itu akan diselenggarakan di sini atau di rumah Raden Panji. Ternyata Raden Panji mengambil keputusan, perkawinan diselenggarakan di rumah Raden Panji. Karena itu, agar segala persiapan dapat diselenggarakan dengan baik, setelah upacara penyerahan mas kawin, pertengahan bulan, Mas Rara akan dijemput dan dibawa ke rumah Raden Panji. Mas Rara akan mengalami pingitan setengah bulan. Memang terlalu pendek, karena seharusnya pingitan berlangsung empatpuluh hari empat puluh malam. Tetapi Raden Panji menganggap bagi Mas Rara tidak perlu. Segala sesuatunya dilakukan karena rasa cemas, akan terjadi lagi sesuatu yang bisa mencelakai Mas Rara.” berkata utusan itu.

Ki Partija termangu-mangu sejenak. Kemudian ia berdesis “Kenapa begitu tergesa-gesa? Aku kira tidak setiap saat ada harimau keluar dari hutan. Apalagi sejak peristiwa itu terjadi, Mas Rara tidak pernah lagi pergi ke sawah mengirim makanan”

“Tetapi apakah Ki Partija Wirasentana mempunyai alasan bahwa waktu sebulan itu terasa terlalu pendek? Bukankah segala sesuatunya akan dilakukan di rumah Raden Panji? Sejak sekarang Raden Panji sudah menugaskan orang untuk melakukan apa saja yang penting bagi perkawinan agung itu. Rumah Ki Tumenggung sudah mulai dibenahi. Bahkan sampai dinding halaman pun telah diperbaiki dan dibersihkan. Setiap hari tidak kurang dari lima orang bekerja keras membersihkan rumah, beserta halaman dan kebun belakang“ berkata utusan itu.

Ki Partija hanya dapat mengangguk-angguk. Jika segala sesuatunya dilakukan di rumah Raden Panji, ia tidak mempunyai alasan waktu itu terlalu pendek. Karena itu, Ki Partijapun berkata “Terserah kepada Raden Panji. Apapun yang diperintahkan, akan kami lakukan dengan sebaik-baiknya”

“Sukurlah” berkata orang itu “utusan yang kemarin datang juga mengatakan, Ki Partija menyerahkan segala sesuatunya pada Raden Panji”

Ki Partija mengangguk-angguk. Ia memang tidak bisa berbuat lain daripada mengiakan segala pesan Raden Panji Prangpranata.

Namun kemudian utusan itu berpesan “Ki Partija. Selain itu semua, Ki Partija diminta menahan dua orang anak muda yang telah menolong Mas Rara agar tidak meninggalkan tempat ini. Raden Panji benar-benar merasa berhutang budi. Jika mereka mengaku pengembara, maka mereka tentunya tidak mempunyai batasan waktu sampai kapan harus kembali pulang. Diharap mereka dapat ikut menghadap Raden Panji saat Mas Rara dijemput kelak”

Ki Partija Wirasentana mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya “Tetapi sebaiknya Ki Sanak berbicara langsung dengan mereka. Mereka tentu akan lebih memperhatikan pesan itu daripada aku yang mengatakannya”

“Baiklah. Aku akan bertemu dengan mereka. Selama keduanya berada di sini, semua biaya hidupnya ditanggung Raden Panji” berkata utusan itu.

“Ah, bukan begitu“ berkata Ki Partija “mereka tidak memerlukan apa-apa kecuali makan. Dan itu tidak seberapa. Apalagi keduanya sebaya dengan anakku, sehingga mereka merasa mempunyai kawan seimbang di sini”

“Jangan segan-segan“ berkata utusan itu “meskipun hanya makan dan minum, tetapi mereka akan berada di sini kira-kira setengah bulan”

“Bukan apa-apa“ jawab Ki Partija “terima kasih atas perhatian Raden Panji. Untuk makan dua orang, aku tidak merasa keberatan”

Sebelum utusan itu menjawab, Ki Partija Wirasentana telah mendahuluinya “Maaf Ki Sanak. Aku akan memanggil anak-anak itu”

Sejenak kemudian, Manggada dan Laksana telah menghadap utusan Raden Panji Prangpranata, untuk mendengarkan permintaan Raden Panji. Setelah usai, Manggada dan Laksana saling berpandangan. Namun kemudian Manggada menjawab,

“Sebenarnya kami tidak ingin menetap di suatu tempat untuk waktu terlalu lama. Sebenarnya kami sudah harus sampai di rumah. Jika orang tua kami mengetahui bahwa kami telah meninggalkan rumah paman tetapi belum sampai di rumah, mereka akan gelisah”

“Tetapi ini perintah Raden Panji Prangpranata“ berkata utusan itu “tidak seorangpun berwenang menolak perintahnya. Apalagi perintah kepada kalian berdua mengandung kemungkinan menguntungkan bagi kalian. Setidak-tidaknya, secara pribadi, Raden Panji dapat mengucapkan terima kasih kepada kalian”

“Yang kami lakukan tidak lebih dari kewajiban terhadap sesama“ berkata Manggada.

“Tidak ada alasan apapun juga“ berkata utusan itu sambil tertawa. Katanya kemudian “Seharusnya kalian berdua berterima kasih karena mendapat perhatian khusus dari Raden Panji Prangpranata. Sebaiknya kalian menyesuaikan diri dengan keinginannya. Jika kalian tidak meneputi perintahnya, Raden Panji akan marah, meskipun semula ia berniat mengucapkan terima kasih pada kalian”

“Anak-anak muda“ berkata Ki Partija Wirasentana kemudian “aku minta kalian bersedia. Seperti yang dikatakan utusan Raden Panji, untuk kepentingan apapun Raden Panji tidak ingin perintahnya ditentang. Sebaiknya, kalian berdua tetap tinggal di sini sampai Raden Panji menjemput Mas Rara untuk dibawa ke rumahnya, menjelang perkawinan agung itu”

Manggada dan Laksana termangu-mangu. Namun kemudian Manggada berkata “Baiklah. Jika kami memang harus menunggu, kami akan menunggu”

“Terima kasih“ berkata Ki Partija Wirasentana “Wirantana tentu akan senang mendengar keputusanmu. Ia akan mendapat kawan yang sebaya di rumah ini”

Demikianlah, Manggada dan Laksana kemudian meninggalkan pendapa. Kedua utusan itu masih berbincang beberapa lama. Namun kemudian keduanya minta diri untuk segera kembali.

“Begitu cepat?“ bertanya Ki Partija “aku kira Ki Sanak berdua akan bermalam. Bukankah Ki Sanak hampir semalam menempuh perjalanan, karena menjelang tengah hari Ki Sanak sampai di sini”

Namun seorang diantara mereka menjawab. “Kami masih akan singgah di rumah seorang kadang. Kami akan bermalam di sana. Besok pagi-pagi kami akan menempuh perjalanan kembali”

Keduanya tidak dapat ditahan-tahan lagi, dan kemudian meninggalkan rumah Ki Partija Wirasentana. Namun demikian masih meninggalkan pesan, agar kedua orang anak muda itu benar-benar tidak meninggalkan rumah Ki Partija Wirasentana. Karena itulah, Ki Partija benar-benar minta agar Manggada dan Laksana tidak meninggalkan rumahnya.

“Kita tidak dapat menduga apa yang akan dilakukan oleh Raden Panji jika kita menolak perintahnya“ berkata Ki Partija Wirasentana. Lalu katanya pula “Meskipun seandainya angger berdua telah jauh, Raden Panji akan memerintahkan orang-orangnya untuk melacak sampai kalian berdua ditemukan. Selain itu, aku pun agaknya akan menemui kesulitan”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sebenarnya mereka tidak menjadi takut diancam akan dilacak sampai ke manapun. Mereka sadar, bahwa kekuasaan Raden Panji ada batasnya. Keduanya merasa dapat menyelamatkan diri mereka sendiri dari jangkauan tangan para pengikut Raden Panji. Tetapi jika yang kemudian mengalami kesulitan adalah Ki Partija, maka persoalannya akan berbeda.

Karena itu, kedua orang anak muda itu terpaksa menunggu untuk waktu yang lama. Sampai saatnya Mas Rara dijemput. Mereka berdua agaknya harus ikut bersama orang-orang yang menjemput Mas Rara itu, menghadap Raden Panji.

“Orang yang aneh!“ berkata Manggada “Orang itu memaksa memberikan hadiah kepada orang lain, dengan mengancam”

“Kita tidak dapat menolak, justru karena kita mengingat keselamatan Ki Partija Wirasentana!” berkata Laksana.

Manggada mengangguk-angguk. Mereka memang tidak mempunyai pilihan lain. Untunglah di rumah itu ada anak muda yang hampir sebaya dengan mereka. Anak Ki Partija Wirasentana sendiri, sehingga mereka dapat bergerak lebih bebas. Bersama Wirantana, mereka tidak merasa berada dalam tahanan, karena mereka di pagi hari telah ikut ke sawah. Mengerjakan pekerjaan yang dikerjakan oleh Wirantana, membantu Ki Partija Wirasentana.

Tetapi Mas Rara tidak lagi mengirimkan makanan ke sawah. Pekerjaan itu kemudian dilakukan oleh orang lain. Seorang laki-laki muda pembantu Ki Partija. Ternyata Manggada dan Laksana juga terampil bekerja di sawah. Mereka telah terbiasa melakukannya, di samping kebiasaan mereka memasuki hutan untuk berburu binatang.

Manggada dan Laksana menjadi semakin akrab dengan Wirantana. Karena Wirantana baru saja pulang dari sebuah perguruan, maka mereka sempat berlatih bersama. Meskipun Wirantana belum mencapai tataran sebagaimana Manggada dan Laksana, namun perbedaan itu hanyalah selapis tipis. Pada saat-saat tertentu, mereka mampu berlatih dengan baik. Di sore hari, jika tidak ada pekerjaan di sawah, atau bahkan di malam hari.

Dengan latihan-latihan itu, mereka bertiga mampu mungembangkan kemampuan mereka masing-masing. Manggada dan Laksana yang mempunyai dasar unsur-unsur ilmu yang berbeda dari Wirantana, dapat saling mengambil keuntungan dari perbedaan itu. Anak-anak muda yang masih ingin berkembang itu, telah berusaha menemukan sesuatu yang dapat memperkaya unsur-unsur gerak mereka masing-masing. Namun atas usul Wirantana, mereka selalu menyembunyikan kemampuan mereka yang sebenarnya dari pamannya, Ki Resa.

“Kenapa?“ bertanya Manggada.

“Entahlah“ jawab Wirantana “Aku tidak tahu, kenapa aku tidak begitu yakin akan niat baik paman. Paman selalu mencela sikap ayah. Meskipun mungkin paman benar, tetapi cara yang ditempuh oleh paman, terasa agak kurang mapan”

“Bukankah Ki Resa itu adik ayahmu?“ bertanya Laksana.

“Ya. Tetapi umur mereka terpaut banyak. Ayah adalah anak sulung, sedang paman Resa anak bungsu. Diantara mereka, masih ada dua orang saudara ayah. Seorang laki-laki dan seorang perempuan. Sebenarnya empat, Tetapi dua orang meninggal di saat mereka sedang tumbuh. Kedua-duanya perempuan” jawab Wirantana.

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Namun Laksana kemudian bertanya “Pamanmu tidak setuju bahwa Mas Rara akan menjadi isteri Raden Panji”

“Ya. Itu jelas. Paman selalu menuduh ayah menjual anak gadisnya. Namun seharusnya paman juga mempertimbangkan kekuasaan Raden Panji. Sementara itu, aku tidak melihat akibat buruk pada Mas Rara sampai saat ini” jawab Wirantana. Tetapi ia pun berkata selanjutnya. “Namun aku kadang-kadang melihat Mas Rara merenung. Aku tidak tahu sebabnya. Agaknya hal yang satu ini disembunyikannya rapat-rapat, meskipun dalam hal lain, Mas Rara selalu terbuka padaku. Tetapi sebagai seorang gadis, Mas Rara memang tidak banyak pilihan. Terutama tentang jodohnya...!”

Selanjutnya,
Mas Rara Bagian 03