Mas Rara Bagian 01 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
SEJENAK kemudian, ketiga orang bertubuh raksasa itu mulai dipaksa untuk mengelak dari serangan-serangan Manggada dan Laksana. Namun serangan-serangan kedua orang anak muda yang bertempur berpasangan itu rasa-rasanya selalu memburu mereka. Sehingga dengan demikian maka kedua orang itupun telah mulai dengan serangan-serangan mereka pula.

Dengan demikian maka pertempuran pun menjadi semakin lama semakin cepat. Berbeda dengan lawan-lawan ketiga raksasa yang terdahulu, maka kedua anak muda itu justru telah lebih dahulu mengenai mereka. Seorang diantara mereka harus menyeringai menahan sakit ketika serangan Manggada mengenai lambungnya. Kemudian disusul pula oleh tumit Laksana yang langsung menghantam dada.

Bahkan kemudian sekali lagi Manggada sempat mengayunkan sisi telapak tangannya mengenai tengkuk yang seorang lagi sehingga orang itu jatuh menelungkup. Meskipun ia masih bangkit lagi, namun wajahnya bukan saja menjadi kotor, tetapi kulit didahinya tersobek hampir sampai ke pelipis. Sehingga dengan demikian maka darahpun mulai mengucur.

Dalam perkelahian selanjutnya, ternyata ketiga orang itu sama sekali tidak berdaya. Manggada dan Laksana benar-benar telah meningkatkan ilmu mereka, sehingga dalam waktu yang pendek ketiga orang itu telah tidak berdaya sama sekali. Bahkan ketika Ki Sudagar sendiri serta ayah Miranti mencoba membantunya, kedua anak muda itu sama sekali tidak menjadi goyah.

Ketika para pengikut Ki Sudagar Resakanti itu mulai meraba senjatanya, maka Manggada pun berkata “Jangan mencoba menarik senjata kalian. Akupun juga bersenjata. Jika kalian menarik pedang, berarti akan terjadi pembunuhan disini, karena kalian bertiga tidak akan mampu mengimbangi ilmu pedang kami berdua”

Ketiga orang itu termangu-mangu. Namun ketika mereka melihat Manggada menarik pedangnya dan memutarnya dengan cepat, maka ketiganya menjadi semakin ragu-ragu.

“Apakah kalian ingin terbunuh disini?“ bentak Laksana tiba-tiba. Lalu katanya pula “Yang pertama akan mati bukan kalian bertiga, tetapi Ki Sudagar Resakanti. Ia merupakan sumber dari kekisruhan ini. Kedua adalah ayah Miranti, yang telah sampai hati menjual anak gadisnya”

Wajah ketiga orang itu menjadi semakin tegang. Numun tiba-tiba saja terdengar Ki Sudagar Resakanti berteriak “Bunuh ketiga cucurut itu. Aku yang bertanggung jawab. Mereka telah mengacaukan rencanaku yang telah matang”

Ketiga orang itu berpaling sejenak. Wajah Ki Sudagar memang telah menjadi merah membara. Karena itu, maka ketiga orang itupun benar-benar telah menarik senjatanya dan mencoba berpencar. Namun ternyata mereka tidak banyak mendapat kesempatan. Manggada telah siap menyerang sambil berkata,

“Jadi kalian sama sekali tidak mau mendengar kata-kataku?“

Sebelum orang-orang itu menjawab, maka Manggada dan Laksana telah meloncat menyerang. Senjata mereka berputaran dengan cepat menyusup perhanan ketiga orang bertubuh raksasa itu. Seorang diantara mereka setiap kali harus bergeser mengambil jarak, karena ia harus menyeka darahnya yang mengucur dari luka didahinya. Tetapi justru karena itu, maka orang itulah yang terbebas dari ujung pedang Manggada dan Laksana.

Kedua orang bertubuh raksasa itu hampir berbareng mengaduh kesakitan. Ujung pedang Manggada dan Laksana telah mengoyak tubuh kedua orang yang bertubuh raksasa itu. Seorang dilambungnya dan seorang dipundaknya. Dengan pucat keduanya meraba lukanya yang mulai memancarkan darah yang masih hangat dari tubuh mereka.

“Ki Sudagar“ geram Manggada “sekali lagi aku peringatkan, jika kau tidak memerintahkan orang-orangmu berhenti maka kau adalah orang yang akan mati pertama kali."

Wajah Ki Sudagar menjadi pucat ketika Manggada mendekatinya sambil berkata kepada Laksana. “Jika ketiga orang itu masih melawan, hancurkan mereka. Aku akan membunuh Ki Sudagar”

Wajah Ki Sudagar menjadi semakin pucat. Setelah termangu-mangu sejenak, maka iapun berkata, “Baik. Baiklah. Orang-orangku akan berhenti”

“Bawa orang-orangmu pergi. Tinggalkan tempat ini. Jangan bermimpi lagi untuk mengambil Miranti sebagai menantumu. Biarlah ia merancang hari depannya dengan anak muda yang dicintainya, sehingga ia akan memiliki keutuhan pilihan. Apapun yang terjadi kelak adalah tanggung jawabnya sendiri”

Ki Sudagar masih termangu-mangu. Namun Manggada itu membentak "Cepat, sebelum kami berdua menjadi gila”

Ki Sudagar tidak menjawab lagi. Iapun segera melangkah menuju ke kudanya diikuti oleh ayah Miranti dan ketiga orang yang telah terluka itu. Sejenak kemudian, maka kuda-kuda mereka telah berderap meninggalkan rumah itu.

Manggada dan Laksana telah menyarungkan pedangnya. Kemudian katanya kepada Ki Bekel “Segalanya sekarang terserah kepada Ki Bekel. Namun menurut pendapatku, biarlah untuk sementara Miranti berada dirumah Ki Bekel. Selanjutnya, terserah apa yang terbaik dilakukannya sesuai dengan pertimbangan Ki Bekel”

“Kita akan membicarakannya ngger“ berkata Ki Bekel.

“Maaf Ki Bekel. Aku tidak dapat mengikuti Ki Bekel kembali ke padukuhun Ki Bekel. Kami berdua akan melanjutkan perjalanan. Kami serahkan kedua ekor kuda itu disini” sahut Manggada. “Bukankah aku singgah untuk sekedar minta ijin bermalam di banjar. Tetapi sekarang hari telah siang. Bahkan hampir tengah hari. Bukankah aku tidak perlu bermalam lagi?”

Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Namun saudara Ki Winduwara itu berkata “Aku mohon angger berdua sudi bermalam disini barang semalam saja”

Tetapi Manggada dan Laksana menggeleng. Dengan nada rendah Laksana berkata “Kami akan melanjutkan pernjalanan kami yang masih panjang. Kami mohon maaf”

Ki Winduwara-lah yang kemudian berkata kepada anaknya Sela Aji. Kaulah yang wajib mengucapkan seribu kali terima kasih kepada mereka berdua. Mereka telah berbuat terlalu banyak bagi kalian berdua. sehingga kalian bebas dari bencana”

Sela Aji telah mengajak Miranti untuk mendekati kedua orang anak muda itu. Dengan suara yang lemah Sela Aji yang kepalanya masih pening itu berkata, “Aku mengucapkan beribu terima kasih”

Manggada tersenyum. Sambil minta diri maka ditepuknya pundak Sela Aji sambil berkata “Kau tempuh jalanmu dengan kesulitan yang hampir mencelakaimu. Karena itu, kau harus menyelamatkan perkawinan kalian sampai akhir hidup kalian”

Sela Aji mengangguk kecil. Demikian pula Miranti. Bahkan dari sela-sela bibirnya ia berucap, "Terima kasih anak-anak muda yang baik”

Ki Bekel, Ki Winduwara, para bebahu dan paman Sela Aji tidak mampu lagi menahan kedua anak muda itu. Keduanyapun segera minta diri betapapun paman Sela Aji itu menahannya.

Demikianlah kedua orang anak muda itu telah melanjutkan perjalanan mereka. Mereka memang merasa letih dan kantuk. Semalam mereka tidak jadi menumpang untuk tidur di banjar.

Namun Laksana itupun kemudian berkata, “Ternyata bukan bersumber dari hutan Jatimalang. Lebih-lebih lagi mereka bukan kawan yang baik untuk menjajagi ilmu kita. Kita masih memerlukan orang lain yang lebih baik dari ketiga orang raksasa dungu itu”

“Ah kau. Kau harus ingat pesan ayahmu” jawab Manggada.

“Ya, ya. Aku ingat!“ sahut Laksana sambil tersenyum. Namun katanya kemudian “He, bukankah Miranti gadis yang cantik?“

“Ah kau“ desis Manggada.

Laksana tertawa. Namun ia tidak menjawab lagi. Manggada dan Laksana memutuskan untuk tidak segera kembali ke rumah ayah Manggada. Padahal mereka meninggalkan tempat berguru, terutama Manggada, didorong oleh perasaan rindu pada ayah dan ibunya.

Namun ternyata, kedua anak muda itu tiba-tiba saja merasa perlu melihat dunia ini lebih banyak. Justru karena mereka telah hadir di cakrawala, maka mereka merasa tetapa sempitnya penglihatan mereka. Karenanya, kedua anak muda itu telah memutuskan untuk tidak segera pulang. Dengan demikian, keduanya tidak memilih jalan terdekat menuju ke Pajang, tempat tinggal orang tua Manggada, tapi melingkar.

Manggada dan Laksana berjalan menelusuri jalan sempit yang membawa mereka ke dekat sebuah hutan yang tidak seluas hutan Jatimalang. Ketika mereka menuruni tebing sebuah sungai, tidak jauh dari hutan kecil itu, Manggada sempat bertanya kepada seorang petani yang sedang mencuci cangkulnya sambil memandikan seekor lembu.

“Ki Sanak, sungai ini disebut sungai apa?“

Petani itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian, ia justru bertanya, “Apakah anak-anak muda bukan penghuni padukuhan di sekitar tempat ini?“

“Bukan Ki Sanak“ jawab Manggada.

Petani itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian “Sungai ini disebut Kali Jlantah, yang mengalir dari antara lereng Gunung Lawu dan Gunung Kukusan”

Manggada mengangguk-angguk. Namun ia masih juga bertanya “Hutan yang di sebelah itu?“

Petani itu mengangkat wajahnya. Tetapi hutan itu tidak nampak dari tempat mereka berdiri, karena terhalang tebing. Namun petani itu sudah tahu pasti, bahwa tidak terlalu jauh dari tempat itu memang terdapat sebuah hutan. Karena itu ia jawab, “Hutan itu disebut hutan Nguter, anak-anak muda, karena letaknya tidak jauh dari sebuah padukuhan yang disebut Nguter. Sebuah padukuhan yang mulai tumbuh, meskipun tidak terlalu cepat”

"Tetapi apakah letaknya yang dekat dengan hutan itu tidak mengganggu?” bertanya Laksana.

“Tentu tidak” jawab petani itu “tetapi sekali-sekali memang pernah ada seekor harimau yang berkeliaran mendekati padukuhan. Pernah terjadi ternak dimangsa oleh harimau yang kebetulan kelaparan. Biasanya harimau-harimau yang telah menjadi tua dan tidak lagi mampu berburu di hutan yang lebat itu”

Kedua anak muda itupun mengangguk-angguk. Namun keduanya tiba-tiba saja ingin melihat-lihat padukuhan yang ada di dekat hutan itu. Setelah mengucapkan terima kasih kepada petani itu, keduanya lalu menyusuri Kali Jlantah menuju kesebuah padukuhan yang dipisahkan bulak panjang dan berada tidak jauh pula dari sebuah hutan yang disebut Hutan Nguter, sebagaimana nama padukuhan terdekat dan hutan itu.

Demikian keduanya naik ke atas tebing, mereka telah berada di sebuah padang perdu itu, terdapat bulak yang luas sekali. Di kejauhan, nampak sebuah hutan yang dipisahkan oleh padang perdu pula, serta bulak panjang dengan sebuah padukuhan.

Manggada dan Laksana kemudian menyeberangi padang perdu dan turun ke jalan sempit di ujung bulak. Menyusuri jalan sempit itu, mereka melintasi sebuah bulak yang luas.

Beberapa buah gubug terdapat diantara kotak-kotak sawah. Agaknya orang-orang yang pergi ke sawah tidak perlu hilir mudik pulang ke rumah masing-masing, di waktu mereka beristirahat di tengah hari. Biasanya, keluarga merekalah yang pergi ke sawah untuk mengirimkan makan siang mereka.

Matahari memang terasa semakin panas menyengat kulit. Namun di jalan sempit, di tengah-tengah bulak yang luas itu, Manggada dan Laksana mulai bertemu dengan beberapa orang yang membawa makanan ke sawah.

Dua orang anak berjalan sambil berteriak-teriak menyanyikan sebuah tembang yang patah-patah dan tidak berujung pangkal. Sementara beberapa puluh langkah di belakang mereka, seorang perempuan separo baya menggendong sebuah bakul makanan sambil mengusap keringat di keningnya.

Tetapi kerja itu sudah dilakukannya setiap hari. Kedua anak muda itu berjalan semakin lama semakin dekat dengan hutan yang tidak begitu besar itu. Sedangkan di sisi lain, nampak sebuah padukuhan yang hijau, diantara tanaman yang subur di sawah.

Agak jauh di depan mereka, nampak seorang perempuan yang berjalan menggendong bakul pula. Tetapi kedua anak muda itu tidak dapat melihat dengan jelas, karena jaraknya yang masih cukup jauh.

Nampaknya, perempuan itu bukannya seorang perempuan yang sudah seperti baya, sebagaimana yang dijumpainya sebelumnya. Tetapi perempuan itu adalah perempuan yang masih cukup muda. Namun kedua anak muda itu tidak berpapasan dengan perempuan itu. Sebelum mereka bertemu jalan, perempuan itu sudah berbelok meniti sebuah pematang.

Laksana tiba-tiba saja menarik nafas panjang, sementara Manggada sempat bertanya "Kenapa?“

“Tidak apa-apa” jawab Laksana.

Manggada tersenyum. Tetapi ia tidak berkata sesuatu. Namun ketika Manggada dan Laksana berjalan semakin dekat dengan pematang tempat perempuan itu berbelok, dan berjalan di tengah-tengah hijaunya batang padi, tiba-tiba saja mereka terkejut.

Kedua anak muda itu mendengar jerit panjang. Kemudian mereka melihatl perempuan yang masih nampak tersembul diantara batang padi itu berbalik, berlari dengan cepatnya. Namun ketika perempuan itu meloncati parit di ujung pematang, ia terperosok jatuh.

Manggada dan Laksana dengan cepat berlari mendekatinya. Dengan serta merta, keduanya telah menolongnya berdiri sambil bertanya hampir berbareng. “Ada apa?“

Perempuan itu ternyata adalah seorang perempuan muda Wajahnya menjadi pucat, dan bibirnya yang bergerak nampaknya tidak dapat melontarkan kata-kata. Tetapi tagnannya bergerak menunjuk ke satu arah.

Manggada dan Laksana berpaling mengikuti arah tangan perempuan itu. Ternyata keduanya terkejut. Manggada dan Laksana telah memapah perempuan muda itu beberapa langkah surut. Kedua unuk muda itu telah melihat seekor harimau yang tersembul dari rimbunnya batang padi muda yang tumbuh subur.

Perempuan yang ketakutan itu menjadi sangat gemetar. Tetapi Manggada berkata, “Jangan cemas. Kami akan berusaha untuk mengusir harimau itu”

“Tetapi, tetapi“ perempuan itu nampaknya masih akan berbicara. Namun mulutnya bagaikan sulit untuk dipergunakan.

“Tenanglah“ berkata Laksana.

Manggada dan Laksana kemudian meletakkan perempuan muda itu duduk di pinggir jalan. Sementara Manggada dan laksana mempersiapkan diri untuk melawan harimau itu.

Keduanya tiba-tiba teringat pekerjaan mereka sebelum meninggalkan padukuhan tempat mereka menempa diri. Mereka memang sering berburu binatang buas untuk diambil kulitnya, yang dapat mereka jual kepada para pedagang kulit binatang buas.

Tetapi yang mereka hadapi saat ini bukan sekadar harimau buruan, tapi mereka harus melindungi seorang perempuan muda yang ketakutan. Karena itu, mereka tidak saja harus memperhatikan diri mereka berdua, tetapi juga harus memperhatikan perempuan itu. Jika perempuan itu menjadi semakin ketakutan, maka ia akan dapat menjadi pingsan karenanya.

Di pinggang kedua anak muda itu, masih terselip pedang. Karenanya, mereka dapat mempergunakannya untuk melawan harimau itu, karena mereka tidak sedang memerlukan kulitnya. Menghadapi seekor harimau yang besar itu, kedua anak muda itu berpencar. Harimau itu, menurut pengamatan Manggada dan Laksana, adalah seekor harimau yang memang sudah agak tua, yang sudah malas berburu kijang atau jenis-jenis binatang buruan lainnya.

Nampaknya harimau itu sudah menjadi sangat lapar, sehingga tidak sabar lagi menunggu senja. Dengan harapan untuk bertemu buruan yang lemah, dan tidak mampu berlari secepat kijang atau rusa, harimau itu telah menyeberangi padang perdu di pinggir hutan itu untuk memasuki bulak persawahan.

Beberapa saat kemudian, harimau itu mulai merunduk. Harimau itu menjadi marah, ketika melihat dua orang anak muda yang dengan sengaja datang mendekatinya.

Sementara itu, dari kejauhan seorang yang juga akan mengirim makan ke sawah dan melihat harimau yang sudah berada di jalan bulak itu, telah berteriak-teriak sambil berlari menjauh tanpa menghiraukan apa yang dapat terjadi atas mereka yang sudah berhadapan dengan harimau itu.

Sebenarnyalah perempuan muda yang duduk di tanggul parit, agak mundur beberapa langkah dari Manggada dan Laksana dengan sangat ketakutan. Ia sama sekali sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk berlari menjauh. Kakinya bagaikan telah membeku.

Teriakan orang yang berlari menjauh itu, ternyata telah didengar oleh beberapa orang, sehingga mereka yang berada di sawah atau mulai beristirahat di gubug, telah meloncat turun dan berlari ke jalan.

“Ada apa?“ bertanya seseorang. Harimau, harimau“ teriak orang itu sambil berlari tanpa berhenti.

Sejenak kemudian, berita tentang kehadiran seekor harimau di sawah itu telah sampai ke padukuhan. Orang-orang padukuhan yang menganggap bahwa seekor harimau dapat mendatangkan kematian, kemudian membunyikan kentongan dalam nada titir.

Seekor harimau yang turun ke sawah, atau bahkan datang ke padukuhan, bukannya untuk pertama kali. Namun demikian, harimau masih juga merupakan seekor binatang yang menakutkan. Belum setahun, seekor hurimau telah membunuh seorang petani yang bekerja di sawah dan singgah di padang perdu untuk mencari kayu bakar.

Sepekan kemudian, baru ditemukan sisa-sisa tubuhnya yang telah dikoyak-koyak oleh harimau, diseret ke dalam hutan. Sedangkan sebelumnya, seekor harimau telah menerkam beberapa ekor kambing beberapa malam berturut-turut.

Seekor diantara harimau yang turun ke padukuhan itu, telah berhasil dibunuh oleh para petani. Mereka yang marah, ramai-ramai berusaha menjebak harimau itu dan membunuhnya. Diantara para petani itu, seorang yang bertubuh tinggi kekar, berjanggut dan berjambang, dengan bulu dada yang lebat, adalah orang yang paling berani. Ia adalah orang yang memimpin perburuan harimau itu, sehingga berhasil membunuhnya.

Suara titir dan teriakan-teriakan, kembali membangkitkan kemarahan para petani, sehingga mereka bergegas keluar dari rumahnya

“Dimana harimau itu?“ bertanya seorang petani pada seorang yang berlari-lari di lorong, di muka rumahnya.

“Di sawah“ jawab orang itu “Hampir saja menerkam orang”

“Siapa yang akan diterkamnya? Lalu bagaimana?“ bertanya orang itu kembali.

“Entahlah“ jawab orang itu dengan nafas terengah-engah “beberapa orang laki-laki bersenjata telah mendatanginya”

“Siapa yang akan diterkam?“ bertanya orang itu mendesak.

“Mas Rara“ jawab orang itu.

“Mas Rara?“ mata orang itu terbelalak. Dengan tangkasnya ia berlari masuk ke dalam rumahnya untuk mengambil sebatang tombak pendek. Kemudian berlari dengan cepat menuju ke gerbang padukuhan.

Ia segera tahu di mana harimau itu. Karena itu, ia pun berlari sepanjang bulak dengan tombak pendek di tangannya. Akhirnya, dari kejauhan ia melihat beberapa orang berkerumun. Dari kejauhan sudah nampak beberapa buah ujung senjata yang mencuat diantara beberapa orang yang berdiri dalam lingkaran.

Dengan jantung berdebar, ia bertanya kepada diri sendiri “Apa yang telah terjadi dengan Mas Rara?“

Sejenak kemudian, ia telah menyibak orang-orang yang berdiri dalam lingkaran. Ia berharap bahwa ia tidak terlambat. Yang dilihatnya di dalam lingkaran orang-orang padukuhan itu, adalah Mas Rara yang pingsan. Kepalanya terletak di pangkuan kakak laki-lakinya. Sementara kedua orang tuanya menangisi di sebelahnya.

“Kenapa dengan Mas Rara, kakang?“ bertanya yang bertubuh kekar itu. Suaranya menggelegar dan membangunkan ayah Mas Rara dari keadaannya.

Sambil berpaling, berdesis, “Kau Resa”

“Bagaimana dengan Rara kakang?“ bertanya orang bertubuh kekar yang dipanggil Resa itu.

“Ia pingsan. Tubuhnya menjadi dingin seperti membeku” jawab ayah Mas Rara.

Resa lalu berjongkok di sebelahnya. Namun ia berkata “Ki Sampar tentu akan segera menyembuhkannya”

Seorang tua yang sibuk mengobati Mas Rara berpaling. Tetapi sekejap kemudian ia telah sibuk lagi memijit-mijit kening Mas Rara dengan sejenis reramuan. Resa pun kemudian bangkit berdiri sambil berkata “Apakah harimau itu telah lari?“

“Tidak Ki Resa“ jawab seseorang.

“Lalu?“ bertanya Resa.

Beberapa orang di sisi lain telah menyibak. Di belakang mereka, seekor harimau yang besar tergolek tidak bernyawa.

“Kalian telah membunuhnya beramai-ramai?“ bertanya Resa.

“Tidak Ki Resa“ jawab beberapa orang hampir berbareng.

“Lalu bagaimana?“ bertanya Resa heran.

“Dua orang anak muda itulah yang membunuhnya“ jawab seorang.

“Dua orang anak muda?“ Resa menjadi semakin heran.

Beberapa orang pun kemudian menunjuk dua orang anak muda yang berdiri diantara mereka, yang mengerumuni Mas Rara yang pingsan itu.

“Siapa mereka?“ hampir diluar sadarnya Resa bertanya.

Orang-orang itu menggelengkan kepalanya. Memang tidak seorang pun diantara mereka mengenai kedua orang anak muda itu. Namun wajah Resa telah berubah. Ia justru tidak senang melihat dua orang anak muda yang telah membunuh seekor harimau yang sangat besar. Yang lebih besar dari seekor harimau yang pernah dibunuhnya bersama-sama dengan beberapa orang.

Namun Resa masih berusaha untuk bersikap wajar. Apalagi Mas Rara masih belum sadarkan diri. Tetapi sejenak kemudian, Mas Rara mulai bergerak. Dengan nada rendah, Ki Sampar berkata kepada orang-orang yang berkerumun,

“Mundurlah. Mundurlah agar udara menjadi segar. Jika kalian berkerumun terlalu dekat, udara akan menjadi pengab. Bau keringat kalian akan membuatnya pingsan lagi”

Ayahnya pun telah berkata pula kepada orang-orang itu “Tolonglah, tolonglah”

Orang-orang yang berkerumun itupun berdesakan mundur. Sementara itu, Mas Rara benar-benar telah sadar. Bahkan kemudian gadis itu menangis tersedu-sedu.

“Sudahlah Rara. Sudahlah“ berkata kakaknya yang kemudian mengusap air matanya dengan jari-jarinya “jangan menangis. Kau berada di sawah. Nanti orang-orang melihatmu menangis”

“Kakang“ desis Mas Rara. Namun wajahnya tiba-tiba nampak ketakutan “bagaimana dengan harimau itu”

“Harimau itu sudah mati“ jawab kakaknya.

“Mati? Kaulah yang membunuhnya kakang?“ bertanya Mas Rara.

Kakaknya menggeleng. Namun katanya “Sudahlah. Nanti kau akan tahu. Sekarang, bangkitlah dan coba duduk. Kau perlu minum”

Mas Rara memang berusaha untuk bangkit. Minum seteguk air yang dibawanya untuk mengirim ayahnya dan kakaknya yang bekerja di sawah. Air kendi yang segar, telah membuat tenaganya pulih kembali. Apalagi ketika ia melihat banyak orang bersenjata mengerumuninya, sehingga ia tidak perlu ketakutan lagi. Apalagi ketika ia melihat pamannya yang bertubuh tegap tegar, dan dikagumi oleh orang-orang sepadukuhannya karena keberaniannya. Bahkan, ada orang yang menyebutnya Ki Resa, si pembunuh harimau.

“Paman telah membunuh harimau itu?“ bertanya Mas Rara.

Resa menjadi agak bimbang untuk menjawab. Namun kemudian katanya "Sudahlah. Kau harus merasa sehat lebih dahulu. Kemudian, jika mungkin, pulanglah, agar kau tidak kepanasan di tengah sawah ini”

“Ia masih lemah paman“ desis kakaknya.

“Kau dapat memapahnya“ berkata pamannya. Kakaknya mengangguk kecil. Katanya

“Baiklah. Aku akan mencobanya”

“Aku dapat berjalan sendiri kakang“ berkata Mas Rara.

“Marilah. Aku akan membantumu“ jawab kakaknya.

Dibantu oleh kakaknya, Mas Rara pun telah berjalan tertatih-tatih bersama ibunya. Sementara ayahnya masih sempat menemui Manggada dan Laksana untuk mengucapkan terima kasih. Katanya kemudian, “Kami mohon kalian berdua bersedia untuk singgah di rumah kami”

Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Sementara ayah Mas Rara mendesaknya “Kami mohon anak-anak muda. Kami mohon”

Manggada dan Laksana tidak dapat menolak permintaan itu. Karena itu, katanya hampir berbareng “Baiklah. Kami akan singgah”

Ketika orang-orang itu kemudian beriringan kembali ke padukuhan, maka beberapa orang diantara mereka berniat membawa harimau itu kembali untuk diambil kulitnya. Namun Resa yang pernah digelari Pembunuh harimau, membentak, “Untuk apa kalian bawa harimau itu?“

“Kulitnya laku dijual Ki Resa“ jawab salah seorang diantara mereka.

“Tetapi harimau itu adalah hak ke dua anak muda itu“ jawab Ki Resa yang tiba-tiba saja berkata “He, panggil anak-anak muda itu. Cepat, sebelum ia pergi jauh”

Orang-orang itu menjadi heran. Nada kata-kata Ki Resa nampaknya tidak begitu ramah.

“Cepat!“ bahkan ia membentak.

Seorang diantara mereka telah berlari-lari menyusul kedua orang anak muda yang berjalan paling belakang dari iring-iringan itu.

“Anak-anak muda“ berkata orang itu. “Ki Resa minta kalian untuk menemuinya sebentar. Hanya sebentar!”

Kedua anak muda itu termangu-mangu. Namun mereka pun melangkah kembali, mendekati Ki Resa yang memandangi mereka dengan tajamnya.

“Kalian yang mengaku telah membunuh harimau ini?“ bertanya Resa.

“Ya Ki Sanak“ jawab Manggada “kami terpaksa membunuhnya, karena harimau itu akan menerkam gadis yang pingsan itu”

“Aku pamannya. Aku adalah Ki Resa yang digelari Pembunuh Harimau. Kenapa kau harus melakukannya? Apa kalian kira, tanpa kalian aku tidak mampu membunuhnya?“ bertanya Ki Resa.

Manggada dan Laksana menjadi heran. Ia tidak mengerti, kenapa tiba-tiba saja orang itu menjadi marah kepada mereka. Karena Manggada dan Laksana tidak segera menjawab, maka Ki Resa membentak “Kenapa? Kenapa kalian diam saja? kalian sudah mengaku dapat membunuh harimau itu, sekarang kalian harus dapat mempertanggung-jawabkan!”

Manggadalah yang kemudian bertanya. “Ki Resa, apakah kami telah melakukan kesalahan?“

“Kau terlalu sombong. Kau dan kawanmu itu, dengan sengaja ingin menunjukkan kepada orang-orang padukuhan ini bahwa kalian adalah orang-orang yang memiliki kelebihan dengan membunuh harimau tua yang sudah tidak bergigi itu” jawab Ki Resa “Kau kira dengan permainanmu itu, aku akan mengagumimu?“

Manggada dan Laksana akhirnya mengerti kenapa orang itu menjadi marah. Agaknya, orang yang telah disebut pembunuh harimau, adalah orang yang sangat dikagumi di padukuhan itu. Kehadiran mereka berdua, dianggap menjadi saingan bagi orang itu.

Wajah Laksana menjadi tegang. Tetapi sebelum ia mengatakan sesuatu, Manggada telah mendahului “Ki Resa. Jika kami dianggap bersalah, kami minta maaf. Tetapi kami tidak sempat berpikir sama sekali pada waktu itu. Apalagi kami sama sekali tidak tahu bahwa perbuatan kami telah membuat Ki Resa tidak senang. Sebab, saat itu harimau telah meloncat menerkam, sebelum Ki Resa datang”

Ki Resa mengerutkan keningnya. Jawaban anak muda itu nampaknya dapat dimengerti oleh orang-orang yang ikut mendengar pembicaraan itu, sehingga Ki Resa menahan diri untuk menghindari prasangka buruk dari orang-orang yang akan mengambil kulit harimau itu.

Bahkan kemudian, sambil melangkah pergi, ia berkata “Jika kalian menginginkan kulitnya, bicaralah dengan anak-anak itu”

Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Sementara itu, orang-orang yang akan membawa harimau itu telah berbicara kepada Manggada dan Laksana.

“Bawalah...“ jawab Manggada “tetapi kulit harimau itu tidak dapat dijual mahal. Beberapa buah lubang terdapat pada kulit itu”

Seorang anak muda yang lebih tua sedikit dari Manggada bertanya “Jadi seharusnya bagaimana?“

“Kulit harimau akan menjadi lebih mahal jika tidak terdapat luka-luka di tubuhnya“ jawab Manggada.

“Tetapi hampir tidak mungkin dapat membunuh harimau tanpa melukainya“ desis anak muda itu.

Manggada tidak menjawab. Ia memang tidak ingin bercerita lebih panjang tentang kebiasaannya menangkap harimau, hingga pada suatu saat pamannya harus menghentikannya.

Sementara itu, seorang telah berlari-lari kembali dari iring-iringan yang menjadi semakin jauh. Dengan nada tinggi, orang itu berkata, "Ki Sanak. Marilah. Kami, bukan saja keluarga Mas Rara, tetapi seisi padukuhan, mempersilahkan kalian singgah."

“Baik, baik Ki Sanak jawab Manggada kami akan segera menyusul bersama saudara-saudara yang akan membawa harimau ini untuk dikuliti”

Akhirnya, beberapa orang telah mengangkat harimau yang cukup berat itu untuk dibawa ke padukuhan bersama dengan Manggada dan Laksana. Agak jauh di hadapan mereka, Ki Resa berjalan cepat, menyusul iring-iringan Mas Rara.

Dalam pada itu, Laksana berdesis kepada Manggada “Kenapa kau terlalu merendahkan diri terhadap Ki Resa? Jika itu jadi perselisihan, bukan salah kita. Aku justru ingin tahu, apakah orang yang disebut Pembunuh Harimau itu dapat mengalahkan aku seorang diri. Tanpa kau...”

“Sudahlah“ berkata Manggada “kita akan memasuki satu lingkungan baru. Sebaiknya kita bersikap baik, sehingga kesan pertama yang ditangkap oleh orang-orang padukuhan atas kita cukup baik. Mungkin pada kesempatan lain kita akan dapat bersikap lain terhadap Ki Resa”

Laksana termangu-mangu. Namun ia tidak menjawab lagi. Keduanya tidak banyak berbicara lagi. Iring-iringan itu telah melewati bulak panjang. Semakin lama semakin bertambah-tambah. Orang-orang yang berada di sawah, hampir semuanya ikut bersama-sama iring-iringan itu kembali ke padukuhan. Bahkan beberapa orang seakan-akan menyongsong mereka, untuk melihat apa yang telah terjadi dengan Mas Rara.

Seorang gadis yang sebaya dengan Mas Rara, yang tidak berani menyongsong ke sawah, berbisik kepada kawannya di mulut lorong padukuhan “Jika terjadi sesuatu atas Mas Rara, maka Raden Panji akan marah sekali. Seisi padukuhan ini akan dihukumnya tanpa ampun”

“Sukurlah bahwa Mas Rara dapat diselamatkan. Beberapa saat lagi, ia akan duduk di pelaminan dengan seorang bangsawan tinggi yang sangat dihormati“ sahut kawannya juga seorang gadis. Gadis yang pertama itu, berkata lagi “Banyak kawan-kawan sebaya kita menjadi iri”

Tetapi gadis yang pertama mencubitnya. Katanya “Ah, apakah kau juga iri?“

“Bukankah bakal suaminya, Raden Panji, berkuasa dan kaya raya?“ jawabnya sambil menghindari cubitan kawannya.

Yang lain tidak menjawab lagi. Mereka telah melihat iring-iringan datang. Di bagian depan, orang tua Mas Rara disusul Mas Rara yang dibimbing kakaknya. Namun Mas Rara, meskipun masih nampak lemah, tapi sudah mampu berjalan lebih baik. Ketika iring-iringan itu memasuki padukuhan, tidak banyak pertanyaan dapat dijawab. Iring-iringan itu langsung menuju ke rumah Mas Rara.

Karena beberapa orang ikut masuk ke halaman rumah Mas Rara, orang tua gadis itu sibuk mencari kedua anak muda yang telah membunuh harimau, yang hampir saja menerkam anak gadisnya.

“Mereka ada di belakang“ berkata Resa yang sudah ada di rumah itu pula.

”Kami akan menyambut mereka sebagai pernyataan terima kasih“ berkata ayah Mas Rara.

“Biarkan saja mereka!“ berkata Ki Resa dengan nada berat. “Mereka akan menjadi manja, dan bahkan sombong. Mereka akan mengira bahwa di padukuhan ini tidak ada orang lain yang dapat melakukan sesuatu yang lebih baik dari yang dapat mereka lakukan. Mereka mengira bahwa membunuh harimau adalah satu kerja yang tidak ada bandingnya”

Ayah Mas Rara menarik nafas dalam-dalam. Dengan sabar, orang tua itu berkata “Seluruh padukuhan itu tahu Resa, bahwa kau tentu akan mampu melakukannya. Tetapi saat itu, adalah kebetulan bahwa kedua orang anak muda itu ada di dekat anakmu, yang hampir saja diterkam seekor harimau. Sudah tentu tidak seorang pun akan memilih untuk menunggu kedatanganmu”

“Aku mengerti kakang, aku mengerti“ jawab Resa “Tetapi dengan demikian, seluruh isi padukuhan ini dengar serta merta telah mengaguminya. Terimalah keduanya dengan wajar. Tanpa harus dibuat-buat”

“Apakah yang aku lakukan tidak wajar? Aku, orang tua dari seorang gadis yang diselamatkan jiwanya. Bukankah wajar jika aku merasa sangat bergembira, dan menyatakan sukur kepada Yang Maha Pencipta, yang telah melindungi anakku dengan lantaran kedua anak muda itu?“ bertanya ayah Mas Rara.

“Ketika aku membunuh harimau, orang-orang padukuhan ini tidak menjadi gempar seperti ini“ geram Ki Resa.

“Kenapa tidak?“ bertanya ayah Mas Rara “bukankah waktu itu justru semua orang keluar dari rumahnya, ikut beramai-ramai membunuh harimau itu. Kaulah yang berhasil menghunjamkan tombak pendekmu ke tubuh harimau itu, sehingga harimau itu tidak bernafas lagi, setelah lukanya arang keranjang dihujani senjata oleh orang sepadukuhan”

“Kakang memperkecil keberhasilanku, seolah-olah aku hanya dapat melakukannya dengan bantuan orang sepadukuhan“ geram Ki Resa.

Ayah Mas Rara menarik nafas dalam-lalam. Namun ia tidak bertanya lagi. Sementara itu, bersama beberapa orang, Manggada dan Laksana telah memasuki halaman itu pula. Dengan tergesa-gesa, ayah Mas Rara mempersilahkan naik ke pendapa yang tidak begitu luas. Beberapa orang laki-laki telah ikut duduk pula di pendapa. Mereka adalah orang-orang yang mengagumi kedua anak muda yang belum mereka kenal itu.

Sebenarnyalah mereka mengetahui bahwa sebelumnya, Ki Resa pernah juga membunuh seekor harimau bersama-sama dengan hampir setiap laki-laki padukuhan yang keluar sambil membawa senjata. Sehingga Ki Resa digelari Pembunuh Harimau. Namun ketika kemanakannya sendiri hampir diterkam seekor harimau, justru orang lainlah yang menolongnya.

Orang-orang yang ada dipendapa itu ingin mengenai lebih jauh kedua anak muda itu. Siapakah mereka, dan dari mana saja mereka berjalan, atau menuju kemana, sehingga mereka melintasi bulak panjang didekat padukuhan mereka.

Beberapa saat kemudian, ayah Mas Rara berkata dengan nada rendah “Selamat datang dipadukuhan Nguter anak-anak muda”

“Terima kasih Ki Sanak. Tetapi bolehkah aku tahu nama Ki Sanak? Bukankah Ki Sanak orang tua gadis itu?“ bertanya Manggada.

Ayah Mas Rara tertawa. Katanya “Ya anak-anak muda. Aku adalah ayah gadis itu. Namaku Ki Partija“ kemudian, sambil menunjuk kakak Mas Rara yang sudah duduk di pendapa itu pula, ia berkata “Itu adalah anakku yang sulung. Namanya Wirantana. Kakak anak gadisku yang akhir-akhir dipanggil Mas Rara”

“Kenapa akhir-akhir ini?“ bertanya Laksana.

“Namanya bukan Mas Rara, tetapi Wiranti. Karena anak gadisku akan diambil menjadi isteri Raden Panji Prangpranata, maka orang-orangpun telah memanggilnya Mas Rara."

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Namun hampir di luar sadarnya, Laksana bertanya “Nama Ki Sanak agak bernada lain dengan nama anak-anak Ki Sanak”

Ki Partija, ayah gadis itu tersenyum. Katanya “Nama itu adalah pemberian kedua orang tuaku. Aku memang tidak merubahnya, meskipun setelah kawin aku mempunyai nama lain. Tetapi aku tidak pernah mempergunakannya”

“Siapa nama itu?“ bertanya Manggada.

“Wirasentana. Nama yang aku buat sendiri setelah aku berumah tangga. Tetapi jarang sekali orang yang memanggilku demikian. Orang-orang di sekitarku masih saja memanggilku Ki Partija. Aku senang dengan panggilan itu” jawab orang itu.

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sementara itu, hidangan mulai disuguhkan. Minuman dan makanan. Setelah meneguk minuman dan mencicipi beberapa potong makanan, Manggada dan Laksana minta diri untuk melanjutkan perjalanan.

Tetapi ternyata ia tidak berhasil keluar dari pendapa rumah itu. Ki Wirapartija telah mencegahnya. Dengan sungguh-sungguh, ia minta agar kedua anak muda itu menunggu. Besok keluarga itu akan mengadakan upacara, mengucapkan sukur kepada Yang Maha Agung bahwa anaknya telah diselamatkan dari maut. Anak gadis yang diharapkan akan dapat menjadi tumpuan kebanggaan orang tuanya.

“Kami benar-benar tidak rela angger berdua meninggalkan rumahku sebelum hadir dalam upacara sukuran itu“ berkata Ki Partija Wirasentana.

Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Tetapi sebelum mereka menjawab, Ki Partija telah berkata,

“Sekali lagi aku minta anak-anak muda untuk tetap tinggal. Kami akan mempersilahkan angger berdua untuk beristirahat di gandok sebelah kanan. Kalian telah menyelamatkan jiwa anakku. Itu bukan sekadar satu peristiwa yang dapat dilakukan begitu saja, dan kemudian tidak punya kesan apapun. Angger berdua harus tahu, bahwa yang kalian lakukan itu tidak akan dapat dilupakan seumur hidup. Bahkan akan tetap berpengaruh pada sikap dan cara berpikirnya!”

Kedua anak muda itu tidak dapat memaksa. Beberapa orang telah menekankan permintaan Ki Partija dengan sungguh-sungguh. Akhirnya Manggada berkata, “Baiklah. Aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya”

“Bagus“ Ki Partija hampir berteriak. Lalu katanya kepada anak laki-lakinya “Wirantana. Bawa kedua anak muda ini ke gandok kanan. Biarlah mereka beristirahat”

Wirantana mengangguk kecil. Kemudian katanya “Marilah Ki Sanak, perlu beristirahat. Kami telah menyiapkan gandok sebelah kanan bagi Ki Sanak berdua”

Manggada dan Laksana pun kemudian meninggalkan pendapa. Ki Partija kemudian berkata kepada orang-orang yang ikut duduk di pendapa itu, “Biarlah anak-anak muda itu beristirahat lebih dahulu. Berkelahi dengan seekor harimau, bukan pekerjaan ringan. Jauh lebih berat daripada mengisi sepuluh jambangan pakiwan yang besar-besar. Bahkan akan dapat mengancam nyawa mereka sendiri. Adalah jarang ada anak-anak muda yang memiliki kemampuan sebagaimana kedua anak muda itu”

“Nanti sore kalian akan mendapat kesempatan berbincang-bincang lagi dengan mereka“ berkata Ki Partija.

Ketika pendapa rumah itu telah menjadi sepi, Ki Resa telah menemui kakaknya, Ki Partija Wirasentana. Seperti diduga oleh kakaknya, Ki Resa kemudian berkata “Kakang terlalu memanjakan anak-anak itu. seperti yang sudah aku katakan. Jika mereka mau pergi, biar saja mereka pergi. Untuk apa kakang menahan mereka”

“Resa“ berkata kakaknya “seperti yang sudah aku katakan. Aku memang menjadi sangat bergembira bahwa anakmu lepas dari maut. Kau tidak boleh memikirkan kepentinganmu sendiri, seakan-akan anak-anak muda itu menyaingi kebesaran namamu sebagai pembunuh harimau. Kau mendapatkan kebesaran namamu sendiri, sehingga anak itupun mendapatkannya pula. Jika saat itu kami harus menunggu kedatanganmu, maka anakmu, Mas Rara, tentu sudah mati diterkam harimau yang besar itu. Apa daya seorang gadis”

“Aku tidak mengecilkan arti kemampuannya kakang. Kakang dapat mengucapkan terima kasih, memberinya sedikit uang, dan menyuruhnya pergi” berkata Ki Resa.

Tetapi kakaknya menggeleng. Katanya. “Persoalannya menyangkut hidup dan mati. Bukan sekadar upah seperti menebang sebatang pohon. Bagi Mas Rara, juga bagiku, semua milikku tidak akan cukup untuk membayar jasa yang telah diberikan“ Ki Partija berhenti sejenak. Lalu “Apalagi kedua anak muda itu sebaya, bahkan lebih muda sedikit dari Wirantana. Mereka akan dapat menjadi kawan yang baik”

Ki Resa hanya dapat menggeram. Ia tidak dapat membantah niat kakaknya untuk menahan kedua anak muda itu.

Seperti yang dikatakan oleh ayahnya, Wirantana menjadi cepat akrab dengan Manggada dan Laksana. Wirantana yang sedikit lebih tua dari kedua anak muda itu, ternyata juga belum terlalu lama tinggal di rumahnya. Anak muda itu juga baru saja kembali dari rumah seorang sahabat ayahnya yang memiliki kemampuan ilmu kanuragan.

“Tetapi yang kami pelajari, adalah sangat sederhana sekali“ berkata Wirantana...

Selanjutnya,
Mas Rara Bagian 02

Mas Rara Bagian 01

Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
SEJENAK kemudian, ketiga orang bertubuh raksasa itu mulai dipaksa untuk mengelak dari serangan-serangan Manggada dan Laksana. Namun serangan-serangan kedua orang anak muda yang bertempur berpasangan itu rasa-rasanya selalu memburu mereka. Sehingga dengan demikian maka kedua orang itupun telah mulai dengan serangan-serangan mereka pula.

Dengan demikian maka pertempuran pun menjadi semakin lama semakin cepat. Berbeda dengan lawan-lawan ketiga raksasa yang terdahulu, maka kedua anak muda itu justru telah lebih dahulu mengenai mereka. Seorang diantara mereka harus menyeringai menahan sakit ketika serangan Manggada mengenai lambungnya. Kemudian disusul pula oleh tumit Laksana yang langsung menghantam dada.

Bahkan kemudian sekali lagi Manggada sempat mengayunkan sisi telapak tangannya mengenai tengkuk yang seorang lagi sehingga orang itu jatuh menelungkup. Meskipun ia masih bangkit lagi, namun wajahnya bukan saja menjadi kotor, tetapi kulit didahinya tersobek hampir sampai ke pelipis. Sehingga dengan demikian maka darahpun mulai mengucur.

Dalam perkelahian selanjutnya, ternyata ketiga orang itu sama sekali tidak berdaya. Manggada dan Laksana benar-benar telah meningkatkan ilmu mereka, sehingga dalam waktu yang pendek ketiga orang itu telah tidak berdaya sama sekali. Bahkan ketika Ki Sudagar sendiri serta ayah Miranti mencoba membantunya, kedua anak muda itu sama sekali tidak menjadi goyah.

Ketika para pengikut Ki Sudagar Resakanti itu mulai meraba senjatanya, maka Manggada pun berkata “Jangan mencoba menarik senjata kalian. Akupun juga bersenjata. Jika kalian menarik pedang, berarti akan terjadi pembunuhan disini, karena kalian bertiga tidak akan mampu mengimbangi ilmu pedang kami berdua”

Ketiga orang itu termangu-mangu. Namun ketika mereka melihat Manggada menarik pedangnya dan memutarnya dengan cepat, maka ketiganya menjadi semakin ragu-ragu.

“Apakah kalian ingin terbunuh disini?“ bentak Laksana tiba-tiba. Lalu katanya pula “Yang pertama akan mati bukan kalian bertiga, tetapi Ki Sudagar Resakanti. Ia merupakan sumber dari kekisruhan ini. Kedua adalah ayah Miranti, yang telah sampai hati menjual anak gadisnya”

Wajah ketiga orang itu menjadi semakin tegang. Numun tiba-tiba saja terdengar Ki Sudagar Resakanti berteriak “Bunuh ketiga cucurut itu. Aku yang bertanggung jawab. Mereka telah mengacaukan rencanaku yang telah matang”

Ketiga orang itu berpaling sejenak. Wajah Ki Sudagar memang telah menjadi merah membara. Karena itu, maka ketiga orang itupun benar-benar telah menarik senjatanya dan mencoba berpencar. Namun ternyata mereka tidak banyak mendapat kesempatan. Manggada telah siap menyerang sambil berkata,

“Jadi kalian sama sekali tidak mau mendengar kata-kataku?“

Sebelum orang-orang itu menjawab, maka Manggada dan Laksana telah meloncat menyerang. Senjata mereka berputaran dengan cepat menyusup perhanan ketiga orang bertubuh raksasa itu. Seorang diantara mereka setiap kali harus bergeser mengambil jarak, karena ia harus menyeka darahnya yang mengucur dari luka didahinya. Tetapi justru karena itu, maka orang itulah yang terbebas dari ujung pedang Manggada dan Laksana.

Kedua orang bertubuh raksasa itu hampir berbareng mengaduh kesakitan. Ujung pedang Manggada dan Laksana telah mengoyak tubuh kedua orang yang bertubuh raksasa itu. Seorang dilambungnya dan seorang dipundaknya. Dengan pucat keduanya meraba lukanya yang mulai memancarkan darah yang masih hangat dari tubuh mereka.

“Ki Sudagar“ geram Manggada “sekali lagi aku peringatkan, jika kau tidak memerintahkan orang-orangmu berhenti maka kau adalah orang yang akan mati pertama kali."

Wajah Ki Sudagar menjadi pucat ketika Manggada mendekatinya sambil berkata kepada Laksana. “Jika ketiga orang itu masih melawan, hancurkan mereka. Aku akan membunuh Ki Sudagar”

Wajah Ki Sudagar menjadi semakin pucat. Setelah termangu-mangu sejenak, maka iapun berkata, “Baik. Baiklah. Orang-orangku akan berhenti”

“Bawa orang-orangmu pergi. Tinggalkan tempat ini. Jangan bermimpi lagi untuk mengambil Miranti sebagai menantumu. Biarlah ia merancang hari depannya dengan anak muda yang dicintainya, sehingga ia akan memiliki keutuhan pilihan. Apapun yang terjadi kelak adalah tanggung jawabnya sendiri”

Ki Sudagar masih termangu-mangu. Namun Manggada itu membentak "Cepat, sebelum kami berdua menjadi gila”

Ki Sudagar tidak menjawab lagi. Iapun segera melangkah menuju ke kudanya diikuti oleh ayah Miranti dan ketiga orang yang telah terluka itu. Sejenak kemudian, maka kuda-kuda mereka telah berderap meninggalkan rumah itu.

Manggada dan Laksana telah menyarungkan pedangnya. Kemudian katanya kepada Ki Bekel “Segalanya sekarang terserah kepada Ki Bekel. Namun menurut pendapatku, biarlah untuk sementara Miranti berada dirumah Ki Bekel. Selanjutnya, terserah apa yang terbaik dilakukannya sesuai dengan pertimbangan Ki Bekel”

“Kita akan membicarakannya ngger“ berkata Ki Bekel.

“Maaf Ki Bekel. Aku tidak dapat mengikuti Ki Bekel kembali ke padukuhun Ki Bekel. Kami berdua akan melanjutkan perjalanan. Kami serahkan kedua ekor kuda itu disini” sahut Manggada. “Bukankah aku singgah untuk sekedar minta ijin bermalam di banjar. Tetapi sekarang hari telah siang. Bahkan hampir tengah hari. Bukankah aku tidak perlu bermalam lagi?”

Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Namun saudara Ki Winduwara itu berkata “Aku mohon angger berdua sudi bermalam disini barang semalam saja”

Tetapi Manggada dan Laksana menggeleng. Dengan nada rendah Laksana berkata “Kami akan melanjutkan pernjalanan kami yang masih panjang. Kami mohon maaf”

Ki Winduwara-lah yang kemudian berkata kepada anaknya Sela Aji. Kaulah yang wajib mengucapkan seribu kali terima kasih kepada mereka berdua. Mereka telah berbuat terlalu banyak bagi kalian berdua. sehingga kalian bebas dari bencana”

Sela Aji telah mengajak Miranti untuk mendekati kedua orang anak muda itu. Dengan suara yang lemah Sela Aji yang kepalanya masih pening itu berkata, “Aku mengucapkan beribu terima kasih”

Manggada tersenyum. Sambil minta diri maka ditepuknya pundak Sela Aji sambil berkata “Kau tempuh jalanmu dengan kesulitan yang hampir mencelakaimu. Karena itu, kau harus menyelamatkan perkawinan kalian sampai akhir hidup kalian”

Sela Aji mengangguk kecil. Demikian pula Miranti. Bahkan dari sela-sela bibirnya ia berucap, "Terima kasih anak-anak muda yang baik”

Ki Bekel, Ki Winduwara, para bebahu dan paman Sela Aji tidak mampu lagi menahan kedua anak muda itu. Keduanyapun segera minta diri betapapun paman Sela Aji itu menahannya.

Demikianlah kedua orang anak muda itu telah melanjutkan perjalanan mereka. Mereka memang merasa letih dan kantuk. Semalam mereka tidak jadi menumpang untuk tidur di banjar.

Namun Laksana itupun kemudian berkata, “Ternyata bukan bersumber dari hutan Jatimalang. Lebih-lebih lagi mereka bukan kawan yang baik untuk menjajagi ilmu kita. Kita masih memerlukan orang lain yang lebih baik dari ketiga orang raksasa dungu itu”

“Ah kau. Kau harus ingat pesan ayahmu” jawab Manggada.

“Ya, ya. Aku ingat!“ sahut Laksana sambil tersenyum. Namun katanya kemudian “He, bukankah Miranti gadis yang cantik?“

“Ah kau“ desis Manggada.

Laksana tertawa. Namun ia tidak menjawab lagi. Manggada dan Laksana memutuskan untuk tidak segera kembali ke rumah ayah Manggada. Padahal mereka meninggalkan tempat berguru, terutama Manggada, didorong oleh perasaan rindu pada ayah dan ibunya.

Namun ternyata, kedua anak muda itu tiba-tiba saja merasa perlu melihat dunia ini lebih banyak. Justru karena mereka telah hadir di cakrawala, maka mereka merasa tetapa sempitnya penglihatan mereka. Karenanya, kedua anak muda itu telah memutuskan untuk tidak segera pulang. Dengan demikian, keduanya tidak memilih jalan terdekat menuju ke Pajang, tempat tinggal orang tua Manggada, tapi melingkar.

Manggada dan Laksana berjalan menelusuri jalan sempit yang membawa mereka ke dekat sebuah hutan yang tidak seluas hutan Jatimalang. Ketika mereka menuruni tebing sebuah sungai, tidak jauh dari hutan kecil itu, Manggada sempat bertanya kepada seorang petani yang sedang mencuci cangkulnya sambil memandikan seekor lembu.

“Ki Sanak, sungai ini disebut sungai apa?“

Petani itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian, ia justru bertanya, “Apakah anak-anak muda bukan penghuni padukuhan di sekitar tempat ini?“

“Bukan Ki Sanak“ jawab Manggada.

Petani itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian “Sungai ini disebut Kali Jlantah, yang mengalir dari antara lereng Gunung Lawu dan Gunung Kukusan”

Manggada mengangguk-angguk. Namun ia masih juga bertanya “Hutan yang di sebelah itu?“

Petani itu mengangkat wajahnya. Tetapi hutan itu tidak nampak dari tempat mereka berdiri, karena terhalang tebing. Namun petani itu sudah tahu pasti, bahwa tidak terlalu jauh dari tempat itu memang terdapat sebuah hutan. Karena itu ia jawab, “Hutan itu disebut hutan Nguter, anak-anak muda, karena letaknya tidak jauh dari sebuah padukuhan yang disebut Nguter. Sebuah padukuhan yang mulai tumbuh, meskipun tidak terlalu cepat”

"Tetapi apakah letaknya yang dekat dengan hutan itu tidak mengganggu?” bertanya Laksana.

“Tentu tidak” jawab petani itu “tetapi sekali-sekali memang pernah ada seekor harimau yang berkeliaran mendekati padukuhan. Pernah terjadi ternak dimangsa oleh harimau yang kebetulan kelaparan. Biasanya harimau-harimau yang telah menjadi tua dan tidak lagi mampu berburu di hutan yang lebat itu”

Kedua anak muda itupun mengangguk-angguk. Namun keduanya tiba-tiba saja ingin melihat-lihat padukuhan yang ada di dekat hutan itu. Setelah mengucapkan terima kasih kepada petani itu, keduanya lalu menyusuri Kali Jlantah menuju kesebuah padukuhan yang dipisahkan bulak panjang dan berada tidak jauh pula dari sebuah hutan yang disebut Hutan Nguter, sebagaimana nama padukuhan terdekat dan hutan itu.

Demikian keduanya naik ke atas tebing, mereka telah berada di sebuah padang perdu itu, terdapat bulak yang luas sekali. Di kejauhan, nampak sebuah hutan yang dipisahkan oleh padang perdu pula, serta bulak panjang dengan sebuah padukuhan.

Manggada dan Laksana kemudian menyeberangi padang perdu dan turun ke jalan sempit di ujung bulak. Menyusuri jalan sempit itu, mereka melintasi sebuah bulak yang luas.

Beberapa buah gubug terdapat diantara kotak-kotak sawah. Agaknya orang-orang yang pergi ke sawah tidak perlu hilir mudik pulang ke rumah masing-masing, di waktu mereka beristirahat di tengah hari. Biasanya, keluarga merekalah yang pergi ke sawah untuk mengirimkan makan siang mereka.

Matahari memang terasa semakin panas menyengat kulit. Namun di jalan sempit, di tengah-tengah bulak yang luas itu, Manggada dan Laksana mulai bertemu dengan beberapa orang yang membawa makanan ke sawah.

Dua orang anak berjalan sambil berteriak-teriak menyanyikan sebuah tembang yang patah-patah dan tidak berujung pangkal. Sementara beberapa puluh langkah di belakang mereka, seorang perempuan separo baya menggendong sebuah bakul makanan sambil mengusap keringat di keningnya.

Tetapi kerja itu sudah dilakukannya setiap hari. Kedua anak muda itu berjalan semakin lama semakin dekat dengan hutan yang tidak begitu besar itu. Sedangkan di sisi lain, nampak sebuah padukuhan yang hijau, diantara tanaman yang subur di sawah.

Agak jauh di depan mereka, nampak seorang perempuan yang berjalan menggendong bakul pula. Tetapi kedua anak muda itu tidak dapat melihat dengan jelas, karena jaraknya yang masih cukup jauh.

Nampaknya, perempuan itu bukannya seorang perempuan yang sudah seperti baya, sebagaimana yang dijumpainya sebelumnya. Tetapi perempuan itu adalah perempuan yang masih cukup muda. Namun kedua anak muda itu tidak berpapasan dengan perempuan itu. Sebelum mereka bertemu jalan, perempuan itu sudah berbelok meniti sebuah pematang.

Laksana tiba-tiba saja menarik nafas panjang, sementara Manggada sempat bertanya "Kenapa?“

“Tidak apa-apa” jawab Laksana.

Manggada tersenyum. Tetapi ia tidak berkata sesuatu. Namun ketika Manggada dan Laksana berjalan semakin dekat dengan pematang tempat perempuan itu berbelok, dan berjalan di tengah-tengah hijaunya batang padi, tiba-tiba saja mereka terkejut.

Kedua anak muda itu mendengar jerit panjang. Kemudian mereka melihatl perempuan yang masih nampak tersembul diantara batang padi itu berbalik, berlari dengan cepatnya. Namun ketika perempuan itu meloncati parit di ujung pematang, ia terperosok jatuh.

Manggada dan Laksana dengan cepat berlari mendekatinya. Dengan serta merta, keduanya telah menolongnya berdiri sambil bertanya hampir berbareng. “Ada apa?“

Perempuan itu ternyata adalah seorang perempuan muda Wajahnya menjadi pucat, dan bibirnya yang bergerak nampaknya tidak dapat melontarkan kata-kata. Tetapi tagnannya bergerak menunjuk ke satu arah.

Manggada dan Laksana berpaling mengikuti arah tangan perempuan itu. Ternyata keduanya terkejut. Manggada dan Laksana telah memapah perempuan muda itu beberapa langkah surut. Kedua unuk muda itu telah melihat seekor harimau yang tersembul dari rimbunnya batang padi muda yang tumbuh subur.

Perempuan yang ketakutan itu menjadi sangat gemetar. Tetapi Manggada berkata, “Jangan cemas. Kami akan berusaha untuk mengusir harimau itu”

“Tetapi, tetapi“ perempuan itu nampaknya masih akan berbicara. Namun mulutnya bagaikan sulit untuk dipergunakan.

“Tenanglah“ berkata Laksana.

Manggada dan Laksana kemudian meletakkan perempuan muda itu duduk di pinggir jalan. Sementara Manggada dan laksana mempersiapkan diri untuk melawan harimau itu.

Keduanya tiba-tiba teringat pekerjaan mereka sebelum meninggalkan padukuhan tempat mereka menempa diri. Mereka memang sering berburu binatang buas untuk diambil kulitnya, yang dapat mereka jual kepada para pedagang kulit binatang buas.

Tetapi yang mereka hadapi saat ini bukan sekadar harimau buruan, tapi mereka harus melindungi seorang perempuan muda yang ketakutan. Karena itu, mereka tidak saja harus memperhatikan diri mereka berdua, tetapi juga harus memperhatikan perempuan itu. Jika perempuan itu menjadi semakin ketakutan, maka ia akan dapat menjadi pingsan karenanya.

Di pinggang kedua anak muda itu, masih terselip pedang. Karenanya, mereka dapat mempergunakannya untuk melawan harimau itu, karena mereka tidak sedang memerlukan kulitnya. Menghadapi seekor harimau yang besar itu, kedua anak muda itu berpencar. Harimau itu, menurut pengamatan Manggada dan Laksana, adalah seekor harimau yang memang sudah agak tua, yang sudah malas berburu kijang atau jenis-jenis binatang buruan lainnya.

Nampaknya harimau itu sudah menjadi sangat lapar, sehingga tidak sabar lagi menunggu senja. Dengan harapan untuk bertemu buruan yang lemah, dan tidak mampu berlari secepat kijang atau rusa, harimau itu telah menyeberangi padang perdu di pinggir hutan itu untuk memasuki bulak persawahan.

Beberapa saat kemudian, harimau itu mulai merunduk. Harimau itu menjadi marah, ketika melihat dua orang anak muda yang dengan sengaja datang mendekatinya.

Sementara itu, dari kejauhan seorang yang juga akan mengirim makan ke sawah dan melihat harimau yang sudah berada di jalan bulak itu, telah berteriak-teriak sambil berlari menjauh tanpa menghiraukan apa yang dapat terjadi atas mereka yang sudah berhadapan dengan harimau itu.

Sebenarnyalah perempuan muda yang duduk di tanggul parit, agak mundur beberapa langkah dari Manggada dan Laksana dengan sangat ketakutan. Ia sama sekali sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk berlari menjauh. Kakinya bagaikan telah membeku.

Teriakan orang yang berlari menjauh itu, ternyata telah didengar oleh beberapa orang, sehingga mereka yang berada di sawah atau mulai beristirahat di gubug, telah meloncat turun dan berlari ke jalan.

“Ada apa?“ bertanya seseorang. Harimau, harimau“ teriak orang itu sambil berlari tanpa berhenti.

Sejenak kemudian, berita tentang kehadiran seekor harimau di sawah itu telah sampai ke padukuhan. Orang-orang padukuhan yang menganggap bahwa seekor harimau dapat mendatangkan kematian, kemudian membunyikan kentongan dalam nada titir.

Seekor harimau yang turun ke sawah, atau bahkan datang ke padukuhan, bukannya untuk pertama kali. Namun demikian, harimau masih juga merupakan seekor binatang yang menakutkan. Belum setahun, seekor hurimau telah membunuh seorang petani yang bekerja di sawah dan singgah di padang perdu untuk mencari kayu bakar.

Sepekan kemudian, baru ditemukan sisa-sisa tubuhnya yang telah dikoyak-koyak oleh harimau, diseret ke dalam hutan. Sedangkan sebelumnya, seekor harimau telah menerkam beberapa ekor kambing beberapa malam berturut-turut.

Seekor diantara harimau yang turun ke padukuhan itu, telah berhasil dibunuh oleh para petani. Mereka yang marah, ramai-ramai berusaha menjebak harimau itu dan membunuhnya. Diantara para petani itu, seorang yang bertubuh tinggi kekar, berjanggut dan berjambang, dengan bulu dada yang lebat, adalah orang yang paling berani. Ia adalah orang yang memimpin perburuan harimau itu, sehingga berhasil membunuhnya.

Suara titir dan teriakan-teriakan, kembali membangkitkan kemarahan para petani, sehingga mereka bergegas keluar dari rumahnya

“Dimana harimau itu?“ bertanya seorang petani pada seorang yang berlari-lari di lorong, di muka rumahnya.

“Di sawah“ jawab orang itu “Hampir saja menerkam orang”

“Siapa yang akan diterkamnya? Lalu bagaimana?“ bertanya orang itu kembali.

“Entahlah“ jawab orang itu dengan nafas terengah-engah “beberapa orang laki-laki bersenjata telah mendatanginya”

“Siapa yang akan diterkam?“ bertanya orang itu mendesak.

“Mas Rara“ jawab orang itu.

“Mas Rara?“ mata orang itu terbelalak. Dengan tangkasnya ia berlari masuk ke dalam rumahnya untuk mengambil sebatang tombak pendek. Kemudian berlari dengan cepat menuju ke gerbang padukuhan.

Ia segera tahu di mana harimau itu. Karena itu, ia pun berlari sepanjang bulak dengan tombak pendek di tangannya. Akhirnya, dari kejauhan ia melihat beberapa orang berkerumun. Dari kejauhan sudah nampak beberapa buah ujung senjata yang mencuat diantara beberapa orang yang berdiri dalam lingkaran.

Dengan jantung berdebar, ia bertanya kepada diri sendiri “Apa yang telah terjadi dengan Mas Rara?“

Sejenak kemudian, ia telah menyibak orang-orang yang berdiri dalam lingkaran. Ia berharap bahwa ia tidak terlambat. Yang dilihatnya di dalam lingkaran orang-orang padukuhan itu, adalah Mas Rara yang pingsan. Kepalanya terletak di pangkuan kakak laki-lakinya. Sementara kedua orang tuanya menangisi di sebelahnya.

“Kenapa dengan Mas Rara, kakang?“ bertanya yang bertubuh kekar itu. Suaranya menggelegar dan membangunkan ayah Mas Rara dari keadaannya.

Sambil berpaling, berdesis, “Kau Resa”

“Bagaimana dengan Rara kakang?“ bertanya orang bertubuh kekar yang dipanggil Resa itu.

“Ia pingsan. Tubuhnya menjadi dingin seperti membeku” jawab ayah Mas Rara.

Resa lalu berjongkok di sebelahnya. Namun ia berkata “Ki Sampar tentu akan segera menyembuhkannya”

Seorang tua yang sibuk mengobati Mas Rara berpaling. Tetapi sekejap kemudian ia telah sibuk lagi memijit-mijit kening Mas Rara dengan sejenis reramuan. Resa pun kemudian bangkit berdiri sambil berkata “Apakah harimau itu telah lari?“

“Tidak Ki Resa“ jawab seseorang.

“Lalu?“ bertanya Resa.

Beberapa orang di sisi lain telah menyibak. Di belakang mereka, seekor harimau yang besar tergolek tidak bernyawa.

“Kalian telah membunuhnya beramai-ramai?“ bertanya Resa.

“Tidak Ki Resa“ jawab beberapa orang hampir berbareng.

“Lalu bagaimana?“ bertanya Resa heran.

“Dua orang anak muda itulah yang membunuhnya“ jawab seorang.

“Dua orang anak muda?“ Resa menjadi semakin heran.

Beberapa orang pun kemudian menunjuk dua orang anak muda yang berdiri diantara mereka, yang mengerumuni Mas Rara yang pingsan itu.

“Siapa mereka?“ hampir diluar sadarnya Resa bertanya.

Orang-orang itu menggelengkan kepalanya. Memang tidak seorang pun diantara mereka mengenai kedua orang anak muda itu. Namun wajah Resa telah berubah. Ia justru tidak senang melihat dua orang anak muda yang telah membunuh seekor harimau yang sangat besar. Yang lebih besar dari seekor harimau yang pernah dibunuhnya bersama-sama dengan beberapa orang.

Namun Resa masih berusaha untuk bersikap wajar. Apalagi Mas Rara masih belum sadarkan diri. Tetapi sejenak kemudian, Mas Rara mulai bergerak. Dengan nada rendah, Ki Sampar berkata kepada orang-orang yang berkerumun,

“Mundurlah. Mundurlah agar udara menjadi segar. Jika kalian berkerumun terlalu dekat, udara akan menjadi pengab. Bau keringat kalian akan membuatnya pingsan lagi”

Ayahnya pun telah berkata pula kepada orang-orang itu “Tolonglah, tolonglah”

Orang-orang yang berkerumun itupun berdesakan mundur. Sementara itu, Mas Rara benar-benar telah sadar. Bahkan kemudian gadis itu menangis tersedu-sedu.

“Sudahlah Rara. Sudahlah“ berkata kakaknya yang kemudian mengusap air matanya dengan jari-jarinya “jangan menangis. Kau berada di sawah. Nanti orang-orang melihatmu menangis”

“Kakang“ desis Mas Rara. Namun wajahnya tiba-tiba nampak ketakutan “bagaimana dengan harimau itu”

“Harimau itu sudah mati“ jawab kakaknya.

“Mati? Kaulah yang membunuhnya kakang?“ bertanya Mas Rara.

Kakaknya menggeleng. Namun katanya “Sudahlah. Nanti kau akan tahu. Sekarang, bangkitlah dan coba duduk. Kau perlu minum”

Mas Rara memang berusaha untuk bangkit. Minum seteguk air yang dibawanya untuk mengirim ayahnya dan kakaknya yang bekerja di sawah. Air kendi yang segar, telah membuat tenaganya pulih kembali. Apalagi ketika ia melihat banyak orang bersenjata mengerumuninya, sehingga ia tidak perlu ketakutan lagi. Apalagi ketika ia melihat pamannya yang bertubuh tegap tegar, dan dikagumi oleh orang-orang sepadukuhannya karena keberaniannya. Bahkan, ada orang yang menyebutnya Ki Resa, si pembunuh harimau.

“Paman telah membunuh harimau itu?“ bertanya Mas Rara.

Resa menjadi agak bimbang untuk menjawab. Namun kemudian katanya "Sudahlah. Kau harus merasa sehat lebih dahulu. Kemudian, jika mungkin, pulanglah, agar kau tidak kepanasan di tengah sawah ini”

“Ia masih lemah paman“ desis kakaknya.

“Kau dapat memapahnya“ berkata pamannya. Kakaknya mengangguk kecil. Katanya

“Baiklah. Aku akan mencobanya”

“Aku dapat berjalan sendiri kakang“ berkata Mas Rara.

“Marilah. Aku akan membantumu“ jawab kakaknya.

Dibantu oleh kakaknya, Mas Rara pun telah berjalan tertatih-tatih bersama ibunya. Sementara ayahnya masih sempat menemui Manggada dan Laksana untuk mengucapkan terima kasih. Katanya kemudian, “Kami mohon kalian berdua bersedia untuk singgah di rumah kami”

Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Sementara ayah Mas Rara mendesaknya “Kami mohon anak-anak muda. Kami mohon”

Manggada dan Laksana tidak dapat menolak permintaan itu. Karena itu, katanya hampir berbareng “Baiklah. Kami akan singgah”

Ketika orang-orang itu kemudian beriringan kembali ke padukuhan, maka beberapa orang diantara mereka berniat membawa harimau itu kembali untuk diambil kulitnya. Namun Resa yang pernah digelari Pembunuh harimau, membentak, “Untuk apa kalian bawa harimau itu?“

“Kulitnya laku dijual Ki Resa“ jawab salah seorang diantara mereka.

“Tetapi harimau itu adalah hak ke dua anak muda itu“ jawab Ki Resa yang tiba-tiba saja berkata “He, panggil anak-anak muda itu. Cepat, sebelum ia pergi jauh”

Orang-orang itu menjadi heran. Nada kata-kata Ki Resa nampaknya tidak begitu ramah.

“Cepat!“ bahkan ia membentak.

Seorang diantara mereka telah berlari-lari menyusul kedua orang anak muda yang berjalan paling belakang dari iring-iringan itu.

“Anak-anak muda“ berkata orang itu. “Ki Resa minta kalian untuk menemuinya sebentar. Hanya sebentar!”

Kedua anak muda itu termangu-mangu. Namun mereka pun melangkah kembali, mendekati Ki Resa yang memandangi mereka dengan tajamnya.

“Kalian yang mengaku telah membunuh harimau ini?“ bertanya Resa.

“Ya Ki Sanak“ jawab Manggada “kami terpaksa membunuhnya, karena harimau itu akan menerkam gadis yang pingsan itu”

“Aku pamannya. Aku adalah Ki Resa yang digelari Pembunuh Harimau. Kenapa kau harus melakukannya? Apa kalian kira, tanpa kalian aku tidak mampu membunuhnya?“ bertanya Ki Resa.

Manggada dan Laksana menjadi heran. Ia tidak mengerti, kenapa tiba-tiba saja orang itu menjadi marah kepada mereka. Karena Manggada dan Laksana tidak segera menjawab, maka Ki Resa membentak “Kenapa? Kenapa kalian diam saja? kalian sudah mengaku dapat membunuh harimau itu, sekarang kalian harus dapat mempertanggung-jawabkan!”

Manggadalah yang kemudian bertanya. “Ki Resa, apakah kami telah melakukan kesalahan?“

“Kau terlalu sombong. Kau dan kawanmu itu, dengan sengaja ingin menunjukkan kepada orang-orang padukuhan ini bahwa kalian adalah orang-orang yang memiliki kelebihan dengan membunuh harimau tua yang sudah tidak bergigi itu” jawab Ki Resa “Kau kira dengan permainanmu itu, aku akan mengagumimu?“

Manggada dan Laksana akhirnya mengerti kenapa orang itu menjadi marah. Agaknya, orang yang telah disebut pembunuh harimau, adalah orang yang sangat dikagumi di padukuhan itu. Kehadiran mereka berdua, dianggap menjadi saingan bagi orang itu.

Wajah Laksana menjadi tegang. Tetapi sebelum ia mengatakan sesuatu, Manggada telah mendahului “Ki Resa. Jika kami dianggap bersalah, kami minta maaf. Tetapi kami tidak sempat berpikir sama sekali pada waktu itu. Apalagi kami sama sekali tidak tahu bahwa perbuatan kami telah membuat Ki Resa tidak senang. Sebab, saat itu harimau telah meloncat menerkam, sebelum Ki Resa datang”

Ki Resa mengerutkan keningnya. Jawaban anak muda itu nampaknya dapat dimengerti oleh orang-orang yang ikut mendengar pembicaraan itu, sehingga Ki Resa menahan diri untuk menghindari prasangka buruk dari orang-orang yang akan mengambil kulit harimau itu.

Bahkan kemudian, sambil melangkah pergi, ia berkata “Jika kalian menginginkan kulitnya, bicaralah dengan anak-anak itu”

Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Sementara itu, orang-orang yang akan membawa harimau itu telah berbicara kepada Manggada dan Laksana.

“Bawalah...“ jawab Manggada “tetapi kulit harimau itu tidak dapat dijual mahal. Beberapa buah lubang terdapat pada kulit itu”

Seorang anak muda yang lebih tua sedikit dari Manggada bertanya “Jadi seharusnya bagaimana?“

“Kulit harimau akan menjadi lebih mahal jika tidak terdapat luka-luka di tubuhnya“ jawab Manggada.

“Tetapi hampir tidak mungkin dapat membunuh harimau tanpa melukainya“ desis anak muda itu.

Manggada tidak menjawab. Ia memang tidak ingin bercerita lebih panjang tentang kebiasaannya menangkap harimau, hingga pada suatu saat pamannya harus menghentikannya.

Sementara itu, seorang telah berlari-lari kembali dari iring-iringan yang menjadi semakin jauh. Dengan nada tinggi, orang itu berkata, "Ki Sanak. Marilah. Kami, bukan saja keluarga Mas Rara, tetapi seisi padukuhan, mempersilahkan kalian singgah."

“Baik, baik Ki Sanak jawab Manggada kami akan segera menyusul bersama saudara-saudara yang akan membawa harimau ini untuk dikuliti”

Akhirnya, beberapa orang telah mengangkat harimau yang cukup berat itu untuk dibawa ke padukuhan bersama dengan Manggada dan Laksana. Agak jauh di hadapan mereka, Ki Resa berjalan cepat, menyusul iring-iringan Mas Rara.

Dalam pada itu, Laksana berdesis kepada Manggada “Kenapa kau terlalu merendahkan diri terhadap Ki Resa? Jika itu jadi perselisihan, bukan salah kita. Aku justru ingin tahu, apakah orang yang disebut Pembunuh Harimau itu dapat mengalahkan aku seorang diri. Tanpa kau...”

“Sudahlah“ berkata Manggada “kita akan memasuki satu lingkungan baru. Sebaiknya kita bersikap baik, sehingga kesan pertama yang ditangkap oleh orang-orang padukuhan atas kita cukup baik. Mungkin pada kesempatan lain kita akan dapat bersikap lain terhadap Ki Resa”

Laksana termangu-mangu. Namun ia tidak menjawab lagi. Keduanya tidak banyak berbicara lagi. Iring-iringan itu telah melewati bulak panjang. Semakin lama semakin bertambah-tambah. Orang-orang yang berada di sawah, hampir semuanya ikut bersama-sama iring-iringan itu kembali ke padukuhan. Bahkan beberapa orang seakan-akan menyongsong mereka, untuk melihat apa yang telah terjadi dengan Mas Rara.

Seorang gadis yang sebaya dengan Mas Rara, yang tidak berani menyongsong ke sawah, berbisik kepada kawannya di mulut lorong padukuhan “Jika terjadi sesuatu atas Mas Rara, maka Raden Panji akan marah sekali. Seisi padukuhan ini akan dihukumnya tanpa ampun”

“Sukurlah bahwa Mas Rara dapat diselamatkan. Beberapa saat lagi, ia akan duduk di pelaminan dengan seorang bangsawan tinggi yang sangat dihormati“ sahut kawannya juga seorang gadis. Gadis yang pertama itu, berkata lagi “Banyak kawan-kawan sebaya kita menjadi iri”

Tetapi gadis yang pertama mencubitnya. Katanya “Ah, apakah kau juga iri?“

“Bukankah bakal suaminya, Raden Panji, berkuasa dan kaya raya?“ jawabnya sambil menghindari cubitan kawannya.

Yang lain tidak menjawab lagi. Mereka telah melihat iring-iringan datang. Di bagian depan, orang tua Mas Rara disusul Mas Rara yang dibimbing kakaknya. Namun Mas Rara, meskipun masih nampak lemah, tapi sudah mampu berjalan lebih baik. Ketika iring-iringan itu memasuki padukuhan, tidak banyak pertanyaan dapat dijawab. Iring-iringan itu langsung menuju ke rumah Mas Rara.

Karena beberapa orang ikut masuk ke halaman rumah Mas Rara, orang tua gadis itu sibuk mencari kedua anak muda yang telah membunuh harimau, yang hampir saja menerkam anak gadisnya.

“Mereka ada di belakang“ berkata Resa yang sudah ada di rumah itu pula.

”Kami akan menyambut mereka sebagai pernyataan terima kasih“ berkata ayah Mas Rara.

“Biarkan saja mereka!“ berkata Ki Resa dengan nada berat. “Mereka akan menjadi manja, dan bahkan sombong. Mereka akan mengira bahwa di padukuhan ini tidak ada orang lain yang dapat melakukan sesuatu yang lebih baik dari yang dapat mereka lakukan. Mereka mengira bahwa membunuh harimau adalah satu kerja yang tidak ada bandingnya”

Ayah Mas Rara menarik nafas dalam-dalam. Dengan sabar, orang tua itu berkata “Seluruh padukuhan itu tahu Resa, bahwa kau tentu akan mampu melakukannya. Tetapi saat itu, adalah kebetulan bahwa kedua orang anak muda itu ada di dekat anakmu, yang hampir saja diterkam seekor harimau. Sudah tentu tidak seorang pun akan memilih untuk menunggu kedatanganmu”

“Aku mengerti kakang, aku mengerti“ jawab Resa “Tetapi dengan demikian, seluruh isi padukuhan ini dengar serta merta telah mengaguminya. Terimalah keduanya dengan wajar. Tanpa harus dibuat-buat”

“Apakah yang aku lakukan tidak wajar? Aku, orang tua dari seorang gadis yang diselamatkan jiwanya. Bukankah wajar jika aku merasa sangat bergembira, dan menyatakan sukur kepada Yang Maha Pencipta, yang telah melindungi anakku dengan lantaran kedua anak muda itu?“ bertanya ayah Mas Rara.

“Ketika aku membunuh harimau, orang-orang padukuhan ini tidak menjadi gempar seperti ini“ geram Ki Resa.

“Kenapa tidak?“ bertanya ayah Mas Rara “bukankah waktu itu justru semua orang keluar dari rumahnya, ikut beramai-ramai membunuh harimau itu. Kaulah yang berhasil menghunjamkan tombak pendekmu ke tubuh harimau itu, sehingga harimau itu tidak bernafas lagi, setelah lukanya arang keranjang dihujani senjata oleh orang sepadukuhan”

“Kakang memperkecil keberhasilanku, seolah-olah aku hanya dapat melakukannya dengan bantuan orang sepadukuhan“ geram Ki Resa.

Ayah Mas Rara menarik nafas dalam-lalam. Namun ia tidak bertanya lagi. Sementara itu, bersama beberapa orang, Manggada dan Laksana telah memasuki halaman itu pula. Dengan tergesa-gesa, ayah Mas Rara mempersilahkan naik ke pendapa yang tidak begitu luas. Beberapa orang laki-laki telah ikut duduk pula di pendapa. Mereka adalah orang-orang yang mengagumi kedua anak muda yang belum mereka kenal itu.

Sebenarnyalah mereka mengetahui bahwa sebelumnya, Ki Resa pernah juga membunuh seekor harimau bersama-sama dengan hampir setiap laki-laki padukuhan yang keluar sambil membawa senjata. Sehingga Ki Resa digelari Pembunuh Harimau. Namun ketika kemanakannya sendiri hampir diterkam seekor harimau, justru orang lainlah yang menolongnya.

Orang-orang yang ada dipendapa itu ingin mengenai lebih jauh kedua anak muda itu. Siapakah mereka, dan dari mana saja mereka berjalan, atau menuju kemana, sehingga mereka melintasi bulak panjang didekat padukuhan mereka.

Beberapa saat kemudian, ayah Mas Rara berkata dengan nada rendah “Selamat datang dipadukuhan Nguter anak-anak muda”

“Terima kasih Ki Sanak. Tetapi bolehkah aku tahu nama Ki Sanak? Bukankah Ki Sanak orang tua gadis itu?“ bertanya Manggada.

Ayah Mas Rara tertawa. Katanya “Ya anak-anak muda. Aku adalah ayah gadis itu. Namaku Ki Partija“ kemudian, sambil menunjuk kakak Mas Rara yang sudah duduk di pendapa itu pula, ia berkata “Itu adalah anakku yang sulung. Namanya Wirantana. Kakak anak gadisku yang akhir-akhir dipanggil Mas Rara”

“Kenapa akhir-akhir ini?“ bertanya Laksana.

“Namanya bukan Mas Rara, tetapi Wiranti. Karena anak gadisku akan diambil menjadi isteri Raden Panji Prangpranata, maka orang-orangpun telah memanggilnya Mas Rara."

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Namun hampir di luar sadarnya, Laksana bertanya “Nama Ki Sanak agak bernada lain dengan nama anak-anak Ki Sanak”

Ki Partija, ayah gadis itu tersenyum. Katanya “Nama itu adalah pemberian kedua orang tuaku. Aku memang tidak merubahnya, meskipun setelah kawin aku mempunyai nama lain. Tetapi aku tidak pernah mempergunakannya”

“Siapa nama itu?“ bertanya Manggada.

“Wirasentana. Nama yang aku buat sendiri setelah aku berumah tangga. Tetapi jarang sekali orang yang memanggilku demikian. Orang-orang di sekitarku masih saja memanggilku Ki Partija. Aku senang dengan panggilan itu” jawab orang itu.

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sementara itu, hidangan mulai disuguhkan. Minuman dan makanan. Setelah meneguk minuman dan mencicipi beberapa potong makanan, Manggada dan Laksana minta diri untuk melanjutkan perjalanan.

Tetapi ternyata ia tidak berhasil keluar dari pendapa rumah itu. Ki Wirapartija telah mencegahnya. Dengan sungguh-sungguh, ia minta agar kedua anak muda itu menunggu. Besok keluarga itu akan mengadakan upacara, mengucapkan sukur kepada Yang Maha Agung bahwa anaknya telah diselamatkan dari maut. Anak gadis yang diharapkan akan dapat menjadi tumpuan kebanggaan orang tuanya.

“Kami benar-benar tidak rela angger berdua meninggalkan rumahku sebelum hadir dalam upacara sukuran itu“ berkata Ki Partija Wirasentana.

Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Tetapi sebelum mereka menjawab, Ki Partija telah berkata,

“Sekali lagi aku minta anak-anak muda untuk tetap tinggal. Kami akan mempersilahkan angger berdua untuk beristirahat di gandok sebelah kanan. Kalian telah menyelamatkan jiwa anakku. Itu bukan sekadar satu peristiwa yang dapat dilakukan begitu saja, dan kemudian tidak punya kesan apapun. Angger berdua harus tahu, bahwa yang kalian lakukan itu tidak akan dapat dilupakan seumur hidup. Bahkan akan tetap berpengaruh pada sikap dan cara berpikirnya!”

Kedua anak muda itu tidak dapat memaksa. Beberapa orang telah menekankan permintaan Ki Partija dengan sungguh-sungguh. Akhirnya Manggada berkata, “Baiklah. Aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya”

“Bagus“ Ki Partija hampir berteriak. Lalu katanya kepada anak laki-lakinya “Wirantana. Bawa kedua anak muda ini ke gandok kanan. Biarlah mereka beristirahat”

Wirantana mengangguk kecil. Kemudian katanya “Marilah Ki Sanak, perlu beristirahat. Kami telah menyiapkan gandok sebelah kanan bagi Ki Sanak berdua”

Manggada dan Laksana pun kemudian meninggalkan pendapa. Ki Partija kemudian berkata kepada orang-orang yang ikut duduk di pendapa itu, “Biarlah anak-anak muda itu beristirahat lebih dahulu. Berkelahi dengan seekor harimau, bukan pekerjaan ringan. Jauh lebih berat daripada mengisi sepuluh jambangan pakiwan yang besar-besar. Bahkan akan dapat mengancam nyawa mereka sendiri. Adalah jarang ada anak-anak muda yang memiliki kemampuan sebagaimana kedua anak muda itu”

“Nanti sore kalian akan mendapat kesempatan berbincang-bincang lagi dengan mereka“ berkata Ki Partija.

Ketika pendapa rumah itu telah menjadi sepi, Ki Resa telah menemui kakaknya, Ki Partija Wirasentana. Seperti diduga oleh kakaknya, Ki Resa kemudian berkata “Kakang terlalu memanjakan anak-anak itu. seperti yang sudah aku katakan. Jika mereka mau pergi, biar saja mereka pergi. Untuk apa kakang menahan mereka”

“Resa“ berkata kakaknya “seperti yang sudah aku katakan. Aku memang menjadi sangat bergembira bahwa anakmu lepas dari maut. Kau tidak boleh memikirkan kepentinganmu sendiri, seakan-akan anak-anak muda itu menyaingi kebesaran namamu sebagai pembunuh harimau. Kau mendapatkan kebesaran namamu sendiri, sehingga anak itupun mendapatkannya pula. Jika saat itu kami harus menunggu kedatanganmu, maka anakmu, Mas Rara, tentu sudah mati diterkam harimau yang besar itu. Apa daya seorang gadis”

“Aku tidak mengecilkan arti kemampuannya kakang. Kakang dapat mengucapkan terima kasih, memberinya sedikit uang, dan menyuruhnya pergi” berkata Ki Resa.

Tetapi kakaknya menggeleng. Katanya. “Persoalannya menyangkut hidup dan mati. Bukan sekadar upah seperti menebang sebatang pohon. Bagi Mas Rara, juga bagiku, semua milikku tidak akan cukup untuk membayar jasa yang telah diberikan“ Ki Partija berhenti sejenak. Lalu “Apalagi kedua anak muda itu sebaya, bahkan lebih muda sedikit dari Wirantana. Mereka akan dapat menjadi kawan yang baik”

Ki Resa hanya dapat menggeram. Ia tidak dapat membantah niat kakaknya untuk menahan kedua anak muda itu.

Seperti yang dikatakan oleh ayahnya, Wirantana menjadi cepat akrab dengan Manggada dan Laksana. Wirantana yang sedikit lebih tua dari kedua anak muda itu, ternyata juga belum terlalu lama tinggal di rumahnya. Anak muda itu juga baru saja kembali dari rumah seorang sahabat ayahnya yang memiliki kemampuan ilmu kanuragan.

“Tetapi yang kami pelajari, adalah sangat sederhana sekali“ berkata Wirantana...

Selanjutnya,
Mas Rara Bagian 02