"OMITOHUD, sunggüh keji. Apa yang terjadi padamu, Ting Beng? Kau luka-luka!"
"Dan kalian terbacok lengannya. Ah, apa yang terjadi, Cia Sun. Siapa jahanam yang melukai kalian berdua!"
Gu Lai Hwesio dan See Cong Cinjin berteriak kaget melihat keadaan murid-muridnya. Mereka melompat dan menyambar ke bawah dan segera dua ketua partai itu menjadi pucat. Murid yang disebut-sebut itu parah, terkapar dan luka-luka, yang terakhir malah buntung lengannya. Dan ketika dua kakek itu berlutut sementara Ko Pek Tojin juga berseru tertahan melihat yang lain, murid Hoa-san maka semua melapor bahwa tempat mereka diserbu orang. Keadaan benar-benar geger.
"Teecu... teecu melarikan diri. Hoa-san diobrak-abrik musuh, suhu, banyak yang tewas. Teecu melapor dan mohon ampun!"
"Dan Bu-tong terbakar, teecu menyelamatkan diri. Mohon ampun suhu, teecu melapor dan tak kuat lagi...!"
"Dan su-kouw (bibi guru) diculik musuh. Kami semua tak dapat menandingi suhu, mereka datang bagai air bah. Teecu... teecu..!"
Para murid tak kuat lagi dan berkelojotan kejang-kejang. Cia Sun murid See-tong-pai malah mengeluh dan tewas menuding-nuding. Dialah yang melaporkan sumoi (adik seperguruan perempuan) gurunya yang diculik orang. Dan ketika See Cong Cinjin melengking begitu marah, mencabut pedang dan membacok gusar maka pohon di sebelahnya roboh terbabat.
"Crakk!" semua terkejut dan mundur. Begitu marahnya ketua See-tong-pai itu hingga tak mampu mengeluarkan kata-kata, berita itu terlalu hebat, terutama berita sumoinya itu. Maka ketika ia menggigil dan tak bergerak-gerak, sejenak pedang gemetaran di tangan mendadak ia meloncat dan berkelebat keluar.
"Chi Koan, kau biang keladi semua ini. Awas pembalasan pinto!"
"Benar, kau mengerahkan orang-orang selatan. Pinceng tak dapat tinggal diam, anak muda. Pinceng akan membalas dan membunuhmu!" Gu Lai Hwesio meloncat pula dan iapun sudah terbang berendeng dengan rekannya dari See-tong-pai.
Hanya Ko Pek Tojin yang lebih tenang, memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam. Akan tetapi ketika kekek itupun melompat dan hendak keluar maka pimpinan Gobi berkelebat dan berseru, Peng Houw dan yang lain mengejar See Cong Cinjin dan Gu Lai Hwesio.
"Tenang, harap sabar. Pinceng berbelasungkawa atas semua kejadian ini, To-tiang, akan tetapi mengamuk dan melabrak sendirian tak bakal menang. Musuh sudah menyerbu, kumpulkan kekuatan dan sama-sama kita sambut!"
Tosu ini sadar. la dihadang dan dicegat dua pimpinan Gobi sementara anak murid Gobi menjadi ribut, yang parah diurus akan tetapi akhirnya tewas. Tak ada satupun yang hidup. Dan ketika ia menggigil sementara Sin Tong Tojin mengangguk dan memandang kepadanya maka ketua Heng-san itu berkata,
"Kita senasib, Heng-san juga hancur. Musuh mendahului dan telah menyerang kita, Totiang, tenang dan sabarlah dan apa yang dikata Ji-lo-suhu tidak salah. Kumpulkan kekuatan dan kita bersatu menghadapi orang-orang selatan!"
"Dan Gobi pasti didatangi juga, mereka telah terhasut. Mari bantu Gu Lai Hwesio dan See Cong Cinjin, Totiang, lihat mereka tampaknya tak mudah dikendalikan!" Sam-hwesio tiba-tiba berkelebat karena di sana ketua Bu-tong dan See-tong tiba-tiba menyerang Peng Houw. Naga Gurun Gobi mencegah mereka namun dua ketua itu naik pitam, terutama See Cong Cinjin. Maka ketika semua terkejut dan berkelebatan menyambar,
ketua See-tong melengking-lengking maka Ji-hwesio dan Sam-hwesio berseru di sini, "Sabar, hentikan serangan. Pinceng mau bicara, Cinjin, kami tak bermaksud mencegahmu selain memberitahukan jangan sendirian menghadapi musuh. Berbahaya!" dan karena hwesio inilah tuan rumah dan menangkis serta mengebutkan ujung jubahnya, terpental namun lawan terhuyung-huyung maka pimpinan ini berseru dan cepat mengulapkan lengannya. Kakek itu tampak merah kehitaman.
"Jangan timbulkan perpecahan untuk urusan yang sama. Lihat rekan kita dari Heng-san dan Hoa-san. Mereka sama-sama terpukul akan tetapi bersatu-padu tak sendiri-sendiri, Cinjin, Peng Houw benar karena ia bermaksud menyadarkanmu!" lalu ketika dua ketua itu mengangguk dan mau bersama maka mereka membujuk dan berkata serak,
"Ji-Lo-suhu benar, kita tak boleh sendiri-sendiri. Musuh terlalu kuat dan berbahaya, Cinjin, melabrak tanpa perhitungan hanya menyerahkan nyawa sia-sia. Sabar dan tenanglah dan kami akan membantumu!"
"Akan tetapi sumoiku, Kwi Hong... ah, semuanya minta cepat ditolong, Lo jin, mana mungkin pinto berlama-lama. Pinto harus segera datang!"
"Baik, dan mampukah kau menolongnya? Sempatkah ke mana dan menyelamatkan sumoimu itu? Kau dan kami sama-sama terlambat, Cinjin, akan tetapi mengamuk dan buta-tuli begini tak ada gunanya. Kau membuang tenaga dan semangat sia-sia. Marilah bicara baik-baik dan kurasa hanya anak muda ini dan ayahnya yang mampu menolong kita!" lalu ketika kakek itu tertegun dan memandang Boen Siong.
Maka Sin Tong Tojin tiba-tiba mencabut pedangnya, berkata, "Karena keadaan demikian darurat dan harus serba cepat maka pinto ingin mengadakan upacara kilat. Marilah kita goreskan darah kedahi anak muda ini sebagai tanda pengangkatan bengcu. Pinto mulai!" kemudian ketika pedang bergerak dan menyabet ibu jari, lukalah bagian itu maka kakek ini melompat menggoreskan darahnya di dahi Boen Siong. "Pinto mengangkatmu sebagai bengcu!"
Sadarlah yang lain. Ko Pek Tojin tiba-tiba juga bergerak dan kakek ini melukai ibu jarinya pula. la berseru menyusul perbuatan Heng-san-paicu. Lalu ketika berturut-turut Gu Lai Hwesio dan lainnya menggoreskan darah mereka, Boen Siong tergetar dan terharu maka semua kakek-kakek itu membungkukkan tubuh dalam-dalam di depannya. Sin Tong Tojin memimpin.
"Keadaan sudah memaksa, kami tunggu perintah. Apa yang harus dilakukan, bengcu, kami siap mengikutimu dan menggempur orang-orang selatan!"
Pemuda ini menggigil, serasa mimpi. la melihat betapa lima ketua partai menunggu perintahnya. Sementara supeknya tiba-tiba melompat. Lalu ketika kakek ini menjura dan berseru mewakili Kun-lun, enam partai besar telah dipimpin tokoh-tokohnya maka kakek itu menjura dan berkata, Boen Siong merah padam.
"Akupun tak mau kalah. Kau telah di angkat dan menjadi bengcu, Boen Siong, apapun perintahmu pinto turut. Pinto mewakili Kun-lun!"
Untunglah di kala pemuda ini semakin jengah dan gugup, orang-orang tua itu tak main-main maka ibunya berseru bahwa sang ayah dapat dimintai nasihat, bukankah ayahnya telah menduduki jabatan itu.
"Tanya dan minta pertimbangan ayahmu. Bengcu selalu didampingi penasihat, Boen Siong, jangan gugup dan tanyalah ayahmu!"
Pemuda ini membalik, menghadapi ayahnya. Akan tetapi belum ia bertanya sang ayah sudah memberi tahu.
"Kau di depan dan mendahului kami. Lihat dan cegahlah kejahatan berikut, Boen Siong. Awasi dan tahan sepak terjang mereka. Kami menyusul!"
Pemuda itu mengangguk. Memang diantara semuanya dialah yang berkepandaian paling tinggi. Boan-eng-sutnya dapat diandalkan untuk terbang mencari musuh. Maka membalik dan menghadapi orang-orang itu iapun menjura dan berkata,
"Ayah telah memberi nasihat. Aku duluan, cuwi-locianpwe. Aku akan melihat dan menahan mereka!" lalu berkelebat tidak bertanya ini-itu lagi Boen Siong menyambar dengan Elang Cahayanya itu. Ia membuat kagum karena tahu-tahu melesat begitu jauh, sebentar saja di tepi gurun. Akan tetapi ketika terdengar teriakan dan seruan, dua bayangan berkelebat menyambar maka Siao Yen dan kakaknya menyusul.
"Tunggu, kami ikut. Perlahan dan jangan cepat-cepat, sute. Kamipun akan membantumu!"
"Benar, bertiga lebih kuat. Tunggu dan perlahan sedikit, sute. Biar suhu dan subo menyusul!"
Boen Siong menoleh dan giranglah melihat suheng dan sucinya itu. Bayangan hijau kuning bagai susul-menyusul, cepat sekali mengejarnya. Dan ketika mereka telah berada dekat karena pemuda ini memperlambat larinya maka Boen Siong ditepuk dan mereka bertiga terbang menyambar. Lalu ketika lenyap dan memasuki hutan maka orang-orang tua itupun sadar dan melompat menyusul. Gerakan ilmu meringankan tubuh tiga orang muda itu membakar semangat.
Dan ketika yang paling bangga tentu saja Li Ceng, wanita inilah yang paling berseri-seri maka ia menyenggol lengan suaminya yang kagum dan mengangguk-angguk. Tentu saja mereka harus bergerak dan menahan serbuan itu. Chi Koan telah menghasut orang-orang selatan dan kini menggempur partai-partai besar. Lalu begitu berkelebat dan telah meninggalkan pesan-pesan. Semua anak murid diminta berhati-hati dan sebagian dibawa maka rombongan menjadi lebih besar dan bentrokan itu tak mungkin dihindarkan lagi!
Memang si buta telah bergerak dan mengerahkan orang-orang selatan ini. Di bawah pimpinannya dan kecerdikannya bermain sandiwara si buta telah menghasut dan menggerakkan orang-orang itu ke utara. Orang selatan merasa dilukai. Orang Utara dianggap sombong dan semena-mena. Maka setelah persiapan dan kemampuan dirasa cukup, berbulan-bulan menunggu dan mengasah senjata maka hari itu dengan wajah berseri-seri Chi Koan memimpin orang-orang selatan ini.
"Sambil ke Gobi kita terjang semua pengikut dan sahabatnya. Rampas dan ambil kembali Bu-tek-cin-keng itu, cuwi-enghiong, yang asli masih disimpan di sana. Cuwi boleh berganti membacanya asal tidak berebut!"
Inilah yang paling membakar dan meluapkan semangat. Jago silat mana tak ingin mempelajari kepandaian lebih tinggi dari yang sudah dimiliki. Siapa tak tergila-gila kalau sudah dibujuk dan diiming-imingi Bu-tek-cin-keng itu. Chi Koan telah berjanji memberikannya kepada mereka. Dan karena kepandaian si buta demikian mengagumkan sementara ia memperolehnya dari kitab sakti itu, inilah yang membuat mabok maka tak satupun. sadar bahwa mereka sebenarnya digiring oleh si buta memenuhi dendam pribadi. Membunuh dan mengeroyok Peng Houw!
Yang pertama diterjang justeru Hoa-san-pai. Partai ini digilas dan dihancurkan bagai duri lunak dibabat senjata tajam. Selain paling dekat juga dinilai menjadi pengganjal. Akan tetapi ketika tak didapati ketuanya dan mendapat kabar bahwa Ko Pek Tojin menuju Heng-san maka ke sinilah orang-orang selatan melabrak buas. Mereka naik ke Heng-san dan ingin menangkap Sin Tong Tojin.
Akan tetapi ketika sang ketua tak ada di tempat begitu pula wakilnya, mereka pergi bersama pimpinan Bu-tong dan See-tong maka Chi Koan mengerutkan keningnya dan berdebar. la mendapat keterangan bahwa kakek itu ke Gobi dan baru saja seorang pemuda lihai menundukkan tokoh-tokoh kang-ouw termasuk ketua Heng-san-pai itu.
"Kita terlambat, akan tetapi tak apa. Bakar dan hancurkan tempat ini, cuwi enghiong, begitu pula Bu-tong dan lain-lain. Maju!"
Keganasan massa adalah wujud perbuatan iblis dalam bentuk kumpulan orang-orang keras itu. Mereka bersorak-sorai dan menghancurkan Heng-san sebagaimana di Hoa-san beberapa hari yang lalu. Dan karena lawan yang dihadapi jelas tak setanding, kemenangan membuat mereka sombong dan lupa diri maka terjangan orang-orang selatan ini membuat giris, mulai brutal dan keluar jalur hingga membuat kening beberapa tokoh tua berkerut, Siang-liong-tah umpamanya, juga Tong-bun-su-jin (Empat Orang Gagah Keluarga Tong).
"Serbuan kita bukanlah seperti perampok yang menjarah dan mengambil harta orang. Kita datang untuk menaklukkan dan menghancurkan kesombongan orang-orang utara, bengcu. Kalau pimpinan atau tokoh-tokohnya tak ada sebaiknya tinggalkan tantangan saja. Bukan begini!"
"Benar, kami juga tak setuju. Sobat-sobat kita keluar rel, bengcu, cegah dan larang mereka berbuat brutal. Kita datang bukan untuk menjarah dan merusak!"
Chi Koan tersenyum, bersikap manis. Seperti biasa ia selalu memperlihatkan watak ramah dan penyabar. Sikap inilah yang dipakai merobohkan hati orang-orang selatan yang merasa sejuk. Senyum dan watak ramahnya memang memikat, padahal diam-diam ia tertawa. Maka pura-pura menghela napas dan mengangguk-angguk ia berkata,
"Kalian yang brutal dan merusak harus dicegah. Akan tetapi bagaimana aku dapat mengetahuinya, Su-wi-enghiong, mataku buta, tak tahu seorang demi seorang. Kalian tolonglah dan cegah mereka itu, kalian lebih tahu. Memang kedatangan kita bukan untuk merampok. Kita datang untuk menundukkan dan menghancurkan kesombongan orang-orang utara. Kalian cegahlah!"
Tong-bun-su-jin berpandangan. Mereka sebenarnya sudah mencegah akan tetapi jumlah yang terlampau banyak membuat mereka bingung. Diam-diam mereka heran bahwa di dalam rombongan tiba-tiba terdapat kelompok orang-orang buas. Mereka itu berpotongan seperti gali alias rampok. Heran, dari mana mereka datang!
Dan karena jumlah mereka semakin banyak dan banyak saja, berbaur dan campur-aduk maka mereka merasa kewalahan apalagi setelah ada yang tak senang dan memusuhi mereka, padahal mereka tak boleh bermusuhan dan harus menjaga kesatuan.
"Bagaimana," satu di antara empat orang gagah itu memandang saudaranya. "Aku telah mencegah mereka, Kit-ko (kakak Kit), akan tetapi mereka tak senang dan malah memusuhi aku. Katanya aku dianggap sok (sombong)!"
"Hm, aku juga. Kutegur dan kucegah orang-orang di antara mereka, Lam-te (adik Lam), akan tetapi diriku malah dimusuhi. Kalau saja tak ingat harus menjaga kesatuan dan keutuhan mau rasanya kulabrak dan kumaki mereka itu!"
"Benar!" satu di antara kakek Liong berseru pula. "Akupun begitu, Tong-bun-su-jin. Kutegur baik-baik malah menantang dan mengajak bermusuhan. Kalau tak ingat betapa kita harus menjaga keutuhan dan kesatuan tentu kutampar mulut mereka itu. Heran bahwa di antara kita tiba-tiba kedatangan orang-orang sekasar itu. Mereka bagaikan gali atau sebangsanya!"
Tong-bun-su-jin mengangguk-angguk sementara Chi Koan diam-diam tertawa. Tentu saja di rombongan itu terdapat sebangsa gali atau orang-orang kasar karena muridnyalah yang mengumpulkan. Secara diam-diam dan amat hati-hati ia memerintahkan Beng San mencari dan menyusupkan para rampok atau begal di situ. Dan karena di manapun juga namanya penjahat pasti ada, baik di utara atau selatan maka ia mengumpulkan orang-orang ini untuk memperkeruh dan memperparah suasana. Dan usahanya berhasil!
Beng San telah kembali kepada suhunya setelah gagal mencari sang suheng. Siauw Lam, suhengnya itu menghilang entah ke mana. Dan ketika melapor dan berkata bahwa ia lebih berat mendampingi suhunya daripada mencari dan menangkap suhengnya maka Chi Koan menghela napas ketika itu.
"Teecu telah mendengar keberangkatan suhu, dan teecu tak tahan untuk berdiam diri saja. Suheng belum ditemukan tapi serbuan ini lebih penting, suhu, mohon maaf jika teecu kembali dan ingin mendampingimu."
"Baiklah, tak apa. Kalau begitu kebetulan, Beng San, cari dan kumpulkan segala perampok dan penjahat memperkuat kedudukan kita. Cari dan kerahkan mereka memperkuat barisan."
"Apa, suhu menyuruh teecu mencari dan mengumpulkan para rampok? Suhu hendak mencampur dan menyatukan mereka dengan kaum pendekar?"
"Benar!" suhunya tertawa. "Cari dan kumpulkan mereka, Beng San, sebanyak-banyaknya. Aku tidak salah memberi perintah akan tetapi lakukan secara tidak kentara, sedikit demi sedikit namun sepanjang perjalanan. Tundukkan mereka dan suruh bantu menyerbu utara."
"Akan tetapi..." pemuda ini terbelalak. "Mana mungkin itu, suhu, bakal terdapat kekacauan. Dan apa pula maksudmu, apakah tidak membahayakan kita sendiri!"
"Ha-ha, tidak kalau kita bertindak hati-hati. Maksudku jelas, Beng San, memperkuat kedudukan. Sedang kekacauan, hmm... pasti terjadi kalau sudah selesai. Selama kau dan aku dapat mengendalikan keadaan tak perlu kita khawatir. Sudahlah, cari dan tundukkan mereka itu dan susupkan secara diam-diam. Jangan sampai para pendekar tahu."
Pemuda ini menjublak, masih ragu. Akan tetapi ketika gurunya berkata bahwa ada semacam hukum kebersamaan bila sekelompok atau segolongan orang menghadapi musuh yang sama maka ia mengangguk-angguk.
"Manusia di manapun sama. Asal menyangkut persoalan lebih besar dan kepentingan lebih besar maka yang kecil-kecil dikesampingkan, muridku. Baik para perampok itu maupun kaum pendekar sama-sama memusuhi selatan. Nah, kalau mereka bersatu-padu dan dapat menyamakan sikap maka urusan pribadi atau hal-hal pribadi dapat dikesampingkan. Cari dan laksanakan perintahku dan jangan khawatir!
"Baiklah," pemuda itu bangkit berdiri. "Akan kulaksanakan perintahmu, suhu, mudah-mudahan semuanya betul."
"Tentu betul, tak usah takut. Tundukan dan kuasai mereka, muridku, sedang aku mengendalikan dan memimpin para pendekar ini!"
Beng San berkelebat, meninggalkan gurunya lagi. Kali ini ia lebih bersinar-sinar dan kecerdikan gurunya menular cepat. Ia maklum apa yang dikehendaki gurunya itu dengan mengumpulkan para penjahat ini. Tentu agar lebih panas dan semarak lagi. Maka ketika ia tertawa dan mengumpulkan orang-orang kasar itu, menundukkan dan bukan hal sukar baginya maka pemuda ini menjadi tokoh di situ sementara gurunya mengendalikan kaum pendekar. Tentu saja semua ini terjadi secara diam-diam dan amat dirahasiakan.
Tong-bun-su-jin dan lain-lain tak tahu. Mereka hanya terheran-heran ketika setiap perjalanan bertambahlah orang mereka. Semua ini memang terjadi sedikit demi sedikit dan di malam hari pula. Chi Koan benar-benar cerdik. Maka ketika dalam serbuan terjadi hal-hal di luar batas, penjarahan dan kesewenangan umpamanya maka Tong-bun-su-jin dan kawan-kawan terkejut. Dan karena kebuasan itu merangsang yang lain, yang baik-baik ikut brutal maka empat orang gagah ini menemui Chi Koan didampingi sepasang kakek Naga Menara itu.
Akan tetapi Chi Koan menyerahkan balik kepada mereka. Dengan alasan buta dan tak tahu satu persatu pemuda ini ganti meminta empat bersaudara itu menindak. Alasannya begitu tepat dan masuk akal pula. Akan tetapi karena jumlahnya banyak dan tak mungkin Tong-bun-sujin bekerja sendiri maka terjadilah percakapan itu dan kakek Naga Menara juga gemas dan marah.
"Bagaimana," Si buta akhirnya bertanya lagi. "Tidak sanggupkah kalian mencegahnya, suwi-enghiong (empat orang gagah). Kalau tak dapat atau merepotkan diri sendiri saja baiklah kita biarkan dulu nanti setelah selesai diurus. Kupikir serbuan ini lebih penting dan ketidaksenangan pribadi harap disimpan dulu. Aku akan memerintahkan muridku untuk meredam itu."
Empat orang itu menghela napas. Karena mereka memang tak sanggup dan urusan yang lebih besar memang harus didahulukan maka mereka memendam saja kemarahan di hati ini. Hoa-san dan Heng-san telah dihancurkan. Akan tetapi ketika Bu-tong dan See-tong dilabrak pula, kebrutalan kian menjadi-jadi maka Orang-orang buas itu bertindak lebih mengerikan lagi. Hwesio atau tosu yang sudah menyerah dibabat juga. Kepala mereka dipenggal!
"Ha-ha, inilah pelampiasan dendam sejati. Bacok dan kutungi lehernya, Tek Hu, pancang dan tanam kepalanya itu diujung tombak. Gantungkan di pilar!"
Para pendekar menahan napas dan marah melihat ini. Tiga murid muda dibacok putus dan kepala mereka ditusuk tombak, digantung atau dipermainkan di atas pilar. Lalu ketika yang lain tertawa-tawa dan Tong-bun-su-jin tak mampu meredam keberangan tiba-tiba meloncat dan membanting orang yang memenggal kepala murid itu.
"Turun! Kalian biadab dan tak tahu sopan. Musuh yang sudah tidak berdaya tak boleh disiksa apalagi dibunuh!"
Semua kaget, Tong Nu orang termuda menyambar dan membanting laki-laki tiga puluhan itu. Lalu diikuti tiga saudaranya yang berkelebatan melindungi. Dan ketika belasan orang menjadi marah dan itulah para perampok atau begal berwajah kasar, maju dan membentak pria ini maka kaum pendekar bergerak pula dan yang lain berlompatan dan mengepung para pendekar.
"Hm, Tong-bun-su-jin selalu mengagul-agulkan diri. Apa maksudmu dengan bersikap sesombong ini, orang she Tong, tidak tahukah kalian bahwa bila kami yang kalah kamilah yang didera dan dibunuh. Kau berkali-kali menentang kami!"
"Jahat, keji! Perbuatan ini tak boleh dilakukan, sobat. Orang yang sudah menyerah tak boleh disiksa, apalagi dibunuh. Tapi kalian melakukan dan melanggar norma-norma hidup. Jahanam itu seperti perampok keji. la tak berjantung dan tak berperikemanusiaan. Kami tak dapat membiarkan ini dan kalian boleh mengeroyok kami!"
"Sombong!" laki-laki itu menjadi marah dan gusar juga. "Tong-bun-su-jin menantang kita, kawan-kawan. Bunuh!" lalu ketika empat orang gagah itu dikeroyok dan diserang orang-orang kasar ini maka para pendekar melompat maju dan membantu Tong-bun-su-jin. Akan tetapi yang di luar menyerbu masuk. Mereka adalah perampok sahabat orang-orang kasar itu, jumlahnya tak kurang dari seratus orang. Dan ketika para pendekar terkejut dan membalik menghadapi serangan ini maka dua pihak tiba-tiba pecah dan berhantam sendiri!
"Trang-tring-trang-tringg!"
Umpat dan caci berhamburan keluar. Kaum pendekar tiba-tiba baku hantam dengan orang-orang kasar ini, hampir saja pertumpahan darah terjadi. Akan tetapi ketika berkelebat dua bayangan dan Beng San serta suhunya muncul, membentak dan menangkis semua senjata itu maka semua mundur dan kewibawaan guru dan muridnya ini betul-betul terasa, terutama Beng San yang menguasai betul para benggolan penjahat itu.
"Berhenti, siapa main kacau dan memecah persatuan!"
Para pendekar dan kaum sesat sama-sama jerih. Begitu si buta dan muridnya muncul maka semua berlompatan ke belakang. Mereka gentar oleh kelihaian guru dan murid ini. Akan tetapi karena Tong-bun-su-jin dianggap biang gara-gara, empat pendekar inilah yang memulai duluan maka laki-laki tinggi besar yang tadi membela Tek Hu berkata dengan suara nyaring, ia memojokkan empat bersaudara itu terutama yang muda.
"Tong-bun-su-jin mencari gara-gara. Ia menantang dan menentang kami, taihiap, rekan kami Tek Hu dibanting!"
"Hm, siapa kau," Chi Koan tak kenal, miringkan kepalanya. Akan tetapi ketika Beng San berkata bahwa itulah Niang La pimpinan "orang gagah" di hutan Hek-kiok (Bambu Hitam) maka pemuda inilah yang meloncat maju dan cepat mengedip. Dia harus menguasai keadaan dan mengendalikan orang-orang itu.
"Ini Niang-enghiong yang kukenal baik. Kalau dia berkata Tong-bun-su-jin menjadi gara-gara tolong kau tanya, suhu, mungkin dia benar atau ada kesalahpahaman di sini."
Chi Koan membalik, menghadapi empat bersaudara itu. "Tolong Tong-enghiong (orang gagah Tong) beri jawaban tentang ini. Kenapa kau membanting orang sendiri dan mengucapkan tantangan."
"Hm!" Tong Kit mewakili adiknya. "Adikku Tong Nu tak tahan melihat kekejaman di sini, Chi-taihiap. Masa musuh yang sudah menyerah dibantai dan dipenggal kepalanya. Aturan mana itu. Bukankah kejam dan tak beradab. Memangnya kita sebangsa perampok!"
"Tong-bun-su-jin sok suci!" orang she Niang tiba-tiba berseru. "Ini pertempuran bukannya main-main. Memangnya kalau kita kalah musuh tak akan menyiksa dan membunuh kita. Dia seperti wanita, berhati lemah!"
Orang-orang sesat tiba-tiba tertawa. Begitu berisik tawa mereka hingga empat bersaudara Tong merah padam. Mereka membentak dan mencabut senjata lagi. Akan tetapi ketika Chi Koan membentak dan menyuruh diam, Beng San juga membentak agar si kasar mundur maka gurunya memalangkan tongkat bersikap keren.
"Dua-duanya sudah kudengar, dan kalian sama-sama memiliki kebenaran sendiri. Akan tetapi sementara ini kularang kalian berbaku hantam, Niang-enghiong. Karena Tong-bun-su-jin juga tidak salah maka kuminta selanjutnya kalian tak boleh semena-mena lagi. Musuh yang menyerah tak boleh dibunuh, kecuali melawan dan membahayakan kita. Nah, jangan bertengkar dan perhatikan baik-baik pesanku ini. Kita masih harus menyerbu Kun-lun dan setelah itu Gobi. Musuh yang lebih berbahaya ada di depan mata, kendalikan diri kalian masing-masing dan jangan membuat aku menurunkan hukuman."
Kata-kata ini tegas dan amat berwibawa dan karena lebih condong membela Tong-bun-su-jin maka orang she Niang mengutuk. Chi Koan bersikap cerdik menghadapi persoalan itu. la tentu saja tak mau kehilangan para pendekar karena mereka inilah inti kekuatan. Orang-orang kasar itu hanya sekedar meramaikan. Maka ketika Tong-bun-su-jin mengangguk-angguk sementara kaum pendekar menjadi lega, girang dan tersenyum oleh kata-kata itu maka simpatik mereka tentu saja semakin bertambah lagi dan diam-diam mereka melepas ejekan kepada orang-orang kasar itu. Mulut mereka seakan berkata,
"Nih, rasakan akibatnya!" Dan ketika Chi Koan mengetukkan tongkat sampai amblas di lantai yang keras, membuat orang-orang kasar meleletkan lidah dan gentar maka kejadian selanjutnya agak teratur namun terlanjur membawa korban, yakni para murid yang roboh dan akhirnya tewas setelah datang ke Gobi, menyusul ketua. Hoa-san dan Heng-san serta See-tong dan Bu-tong memang telah digilas.
Di See-tong-pai Chi Koan malah menangkap Kwi Hong, gadis semampai Sumoi See Cong Cinjin. Dan ketika gadis ini disekap dan menjadi tawanan, Beng San inilah yang merobohkan gadis itu maka dalam perjalanan berikutnya mereka menuju Kun-lun, partai terakhir sebelum Gobi.
Akan tetapi tidak seperti lainnya maka di Kun-lun telah berdiri tiga orang muda gagah menunggu mereka. Itulah Boen Siong dan Siao Yen serta Po Kwan. Tiga orang ini terbang tak henti-henti dengan muka cemas dan kaget. Mereka telah mendengar bahwa serbuan akan dilanjutkan ke Kun-lun. Hoa-san dan lain-lain telah dihancurkan. Maka ketika mengerahkan ilmu lari cepat mereka namun tetap saja dua kakak beradik ini tak mampu mengikuti akhirnya Boen Siong berkata agar masing-masing memegang sebelah lengannya.
"Suheng dan suci harap pegang erat-erat pergelangan tanganku. Keadaan sudah demikian memaksa. Aku hendak mempergunakan Boan-eng-sut dan memberi tahu Kun-lun agar berjaga-jaga!"
Dua kakak beradik itu kagum. Mereka telah mengerahkan seluruh ilmu lari cepat mereka namun tetap saja tertinggal. Mula-mula tak begitu jauh akan tetapi lama-kelamaan jauh juga. Kalau mula-mula hanya satu dua tombak akhirnya menjadi puluhan tombak, padahal Boen Siong belum berkeringat dan mengeluarkan seluruh tenaganya. Dan ketika akhirnya pemuda itu berhenti dan menunggu mereka, berkata seperti itu maka kakak beradik ini tak dapat menahan kekaguman lagi memuji sute mereka itu.
"Kau hebat, benar-benar mengagumkan. Boan-eng-sut yang kau miliki sungguh luar biasa, sute. Gurumu ternyata benar-benar sakti dan kau sebagai muridnya membuat kami mandi keringat!"
"Hm, suheng tak perlu memuji dan mari pegang pergelangan kananku. Suci memegang yang kiri dan awas perhatikan!" Boen Siong telah dipegang pergelangannya kiri kanan dan mendadak ia menghentak dan menjejak kaki kuat-kuat.
Dua kakak beradik itu telah siap akan tetapi tak urung berseru kaget juga. Tubuh mereka terangkat dan melayang naik. Lalu ketika pemuda itu benar-benar mengajak terbang dan tak sedikitpun kaki menyentuh tanah, terkesiap dan kagumlah kakak beradik ini maka Siao Yen sampai gemetar dan jari tangannya tiba-tiba meremas lembut.
Boen Siong tergetar, darahnya tersirap. Sejenak ia berdenyut lebih cepat dan melirik ke kiri. Akan tetapi ketika kebetulan dua mata beradu dan gadis itu melengos bersemu dadu maka jantung pemuda inipun seakan berdentang-dentang dan sedetik Boen Siong merasa gugup.
Untunglah kekhawatiran akan serbuan itu menekan semua perasaan ini. Boen Siong melupakan sejenak meskipun beberapa kali gadis itu mencengkeram lembut lagi. Dialah yang menyuruh pegang! Dan ketika pemuda itu berseru keras mengerahkan semua kecepatannya, dua kakak beradik itu semakin terkejut dan melayang-layang maka keesokannya setelah menerabas hutan merekapun tiba di Kun-lun. Anak-anak murid bengong dan terkejut ketika tiga bayangan berkelebat dan lenyap. Benar-benar bagai iblis!
Heng Bi Cinjin lah yang paling kaget. Pagi itu ketika tiga bayangan berkelebat dan tahu-tahu berdiri di depannya yang sedang duduk bersila maka ia membuka mata dan langsung menghantam. Sin-ma-kang (Kuda Sakti) yang menjadi andalan meluncur menyambut kesiur anak-anak muda itu. Ia mengira diserang! Akan tetapi ketika Boen Siong menangkis dan ia terpental, untunglah tak menabrak dinding dan bergulingan meloncat bangun maka tosu yang kaget ini berseru tertahan. Boen Siong dan suheng serta sucinya memberi hormat, membungkuk dalam-dalam.
"Siancai, Kau kiranya. Kau membuat kaget, Boen Siong. Pinto sampai mencelat!"
"Maaf, harap susiok tidak menyalahkan kami. Karena ingin bertemu langsung dan memberi tahu ancaman bahaya terpaksa kami mengejutkanmu. Kami datang untuk urusan penting dan manakah Bi Wi susiok yang tidak kami lihat!"
Kakek ini terheran-heran, tak mendengar kata-kata terakhir. Ia melihat Siao Yen dan kakaknya dan tentu saja bertanya-tanya. Akan tetapi ketika dua anak muda itu menjura dan memperkenalkan diri maka mengertilah tosu ini.
"Kami Po Kwan dan Siao Yen, kakak beradik. Karena sute mengemban tugas berat maka kami mendampinginya. Harap locianpwe maafkan dan semoga kedatangan kami tidak mengganggu."
"Sute?"
"Mereka adalah murid-murid ayah," Boen Siong menerangkan. Mereka benar suheng dan suciku, sekarang dimanakah Bi Wi susiok karena ada urusan penting yang harus diketahui!"
"Siancai, anak-anak itu kiranya. Kalian sudah besar. Ah, pinto tentu saja tak tahu akan tetapi suheng ada di dalam. Ada urusan apa dan mari masuk, suheng juga bersamadhi!" Heng Bi Cinjin akhirnya kagum dan ia tentu saja bertanya tentang keperluan anak-anak muda itu.
Boen Siong menceritakan apa yang terjadi dan tosu ini tampak kaget. Dan ketika ia berhenti dan merandek di tengah jalan, pucat maka ia lupa membawa anak-anak ini menemui ketua Kun-lun. "Chi Koan, si buta itu menyerbu dengan orang-orang selatan? Hoa-san dan Heng-san hancur? Ah hebat sekali ini Boen Siong. Beritamu benar-benar menggemparkan!"
"Karena itulah kami cepat ke sini. Sekarang mana Bi Wi susiok dan mohon kami diantar."
"Ah-ah, betul, aku lupa. Mari... mari, anak-anak, pinto benar-benar terkejut!"
Siao Yen tak tertawa melihat kegugupan itu karena ia tahu betul betapa kaget dan gelisahnya tosu tua ini. Heng Bi Cinjin adalah wakil ketua Kun-lun sementara Bi Wi pimpinannya, suheng sekaligus ketua. Dan ketika mereka akhirnya bertemu kakek gemuk itu, mendengar ketukan dan membuka mata maka tiga anak muda ini cepat memberi hormat. Bi Wi tertegun namun bersinar-sinar.
"Siauw-te datang mengganggu susiok. Karena ada urusan penting dan amat mendesak maka kami datang berkunjung. Ini suheng dan suci murid-murid ayah."
"Siancai," kakek itu bangkit dan tersenyum gembira. "Kau, Boen Siong, dan ini murid-murid ayahmu. Hm, kalau begitu sudah akur dan pinto turut gembira!" kakek ini mengebutkan lengannya dan ia tak melihat betapa wajah sutenya pucat. Perhatiannya tertuju kepada anak-anak muda ini, terutama Boen Siong.
Akan tetapi ketika Heng Bi membungkuk dan berkata bahwa orang-orang selatan menyerbu dan menghancurkan Heng-san dan Hoa san dipimpin Chi Koan maka kakek itu berubah, urusan benar-benar penting. "Maaf, Mereka hendak menyampaikan serbuan orang-orang selatan, suheng. Bahwa Chi Koan memimpin dan telah menghancurkan Heng-san dan Hoa-san-pai."
"Siancai. Luar biasa ini. Lalu bagaimana dengan ketuanya atau para pimpinannya?"
"Pinto belum mendengar banyak, akan tetapi sekarang menuju ke sini dan Kun-lun hendak dihancurkan pula!"
Wajah Bi Wi tergetar pucat akan tetapi kakek ini berhasil menguasai perasaannya lagi. Hanya sejenak saja ia terkejut selanjutnya biasa lagi. Wajah gemuk itu tenang meskipun tegang. Dan ketika ia menghela napas dan berkata bahwa Chi Koan selalu membuat onar, di mana- mana selalu berbuat kerusuhan maka kakek ini tampak prihatin dan sedih tak dibuat-buat.
"Hm, lagi-lagi Chi Koan. Agaknya selama hidup ia ditakdirkan menjadi perusuh. Baik, lalu apa yang hendak kalian lakukan, Boen Siong, bagaimana pula dengan ketua atau pimpinan partai-partai itu?"
"Sute telah diangkat sebagai bengcu!" Siao Yen tiba-tiba tak dapat menahan perasaannya lagi, antara bangga dan ingin pamer. "Ia ke sini atas perintah ayahnya, locianpwe. Suhu Penasihat Bengcu dan para ketua menyusul belakangan. Kami diminta duluan!"
"Ah, kau seorang bengcu? Jadi keinginan ibumu benar-benar berhasil?"
Boen Siong semburat merah, menyesal pernyataan sucinya tadi. Akan tetapi karena tak menyangka apa-apa dan mengangguk membenarkan maka ia berkata bahwa semua itu bukan kehendaknya. Dan Po Kwan tiba-tiba berseru.
"Kim Cu totiang di sana pula, locianpwe. Mewakili Kun-lun iapun mengangkat sute sebagai bengcu. Nanti datang pula!"
Bi Wi dan Heng Bi tiba-tiba terkejut. Serentak mereka menmıberi hormat sebagaimana layaknya terhadap pemimpin. Dan ketika Boen Siong tersentak dan mencegah dua kakek itu maka Bi Wi terlanjur berseru,
"Maafkan kami. Kalau suheng telah mengangkatmu mewakili Kun-lun maka kaupun datang bukan sebagai orang biasa, Boen Siong. Kau adalah bengcu dan kami harus menyambutmu sebagai bengcu pula. Terima kasih atas kunjunganmu!" lalu melipat punggung dalam-dalam memberi hormat pemuda inipun seketika jengah dan menegur.
"Jiwi-susiok (dua paman guru) tak usah begitu. Betapapun kalian lebih tua dan kalianlah yang harus dihormati. Jangan berlebihan dan membuatku kikuk!"
"Tidak, kau telah berdiri di atas orang banyak. Jabatan itu bukanlah main-main, Boen Siong, bengcu berarti peminpin semua orang. Dan suheng telah mewakili Kun-lun pula. Selamat dan maafkan kami kalau tidak menyambutmu sejak awal!"
Boen Siong menyesali suheng dan sucinya ini akan tetapi mereka tersenyum- senyum. Justeru sikap itu semakin mengagumkan kakak beradik ini betapa rendah hati dan sederhananya pemuda itu. Sang sute benar-benar mirip ayahnya. Dan ketika Boen Siong berhasil menahan dua kakek itu agar tidak berlebihan, atau pembicaraan bakal canggung dan kaku maka Bi Wi tersenyum dan mengangguk-angguk.
"Baiklak, sekarang apa yang kau lakukan. Apa perintah ayahmu."
"Ayah memerintahkan aku agar menahan dan mencegah serbuan itu. Akan tetapi karena semua partai dihancurkan tinggallah Kun-lun seorang maka aku ke sini dan ingin menahan mereka di tempat ini!"
"Baik, dan menunggu mereka naik ke atas?"
"Inilah yang kupikirkan. Aku hendak minta pendapatmu, susiok, bagaimana sebaiknya. Aku masih muda dan kurang pengalaman."
"Hm!" tosu itu mengangguk-angguk, kini memandang Heng Bi Cinjin. "Bagaimana pendapatmu sute. Apa yang sebaiknya kita lakukan."
"Suheng tak mempersilahkan mereka duduk. Sebaiknya duduk dulu dan biar kututup pintunya!" Heng Bi Cinjin meloncat dan iapun menutup pintu ruangan ketika suhengnya sadar.
Bi Wi Cinjin tersipu malu dan iapun cepat mempersilakan tamu-tamunya duduk, tentu saja di lantai karena tak ada meja kursi di ruangan itu. Ini sanggar pemujaan. Dan ketika kakek itu duduk diikuti semuanya, wajahpun semua tegang maka kakek ini bertanya bagaimana jawaban sutenya. Heng Bi telah berdampingan dengan suhengnya itu.
"Boen Siong memang berkepandaian tinggi, akan tetapi masih muda dan kurang pengalaman. Menurut pendapatku disambut saja di bawah, suheng, selain agar tidak merusak bangunan juga tempat yang lega menjadikan kita leluasa. Akan tetapi tentu saja tidak sembarang tempat!"
"Maksudmu?"
"Kita bendung kaki gunung dengan tanggul-tanggul yang kokoh. Kita sambut si buta itu di tepi sungai Liong-kiang!"
"Hm, jauh di bawah sana?"
"Benar, suheng, selain menjauhkan dari lingkungan penduduk juga ceruk di sungai itu dapat dipakai untuk menjebak!"
Bi Wi Cinjin terkejut, mengangguk-angguk. Dan ketika Boen Siong berseri menyambut itu pemuda ini berseru, "Bagus sekali, susiok benar-benar tepat. Aku telah melihat tempat itu dan musuh dapat digiring kalau kita mau!"
Siao Yen dan kakaknya mendengar saja. Mereka tentu saja tak tahu bagian yang dimaksudkan itu dan Heng Bi Cinjin segera meminta persetujuan. Kalau sang ketua tak setuju diapun tak dapat berbuat apa-apa, itu adalah usul. Akan tetapi ketika Bi Wi Cinjin menghela napas dan berkata lirih kakek ini menyetujui.
"Baiklah, pinto rasa tak ada salahnya. Akan tetapi berapa banyak jumlah musuh itu, sute, adakah tempat itu tak terlalu luas. Pinto harus memperhitungkan keselamatan para murid bila mereka ingin lari bersembunyi."
"Boen Siong tentunya tahu, pinto, belum dengar!"
"Hm, yang jelas, ratusan orang. Aku, memotong dan mendahului mereka, susiok Belum kutemukan mereka di tengah jalan."
"Kalau begitu selidikilah. Kami mempersiapkan diri di sini dan kau menyelidiki."
"Akan tetapi mereka baru datang," Bi Wi Cinjin mengerutkan kening. "Masa menyuruh pergi lagi, sute, anak-anak ini tentu lelah.'
"Tak apa," Boen Siong memandang suheng dan sucinya. "Setelah berunding dan menentukan sikap aku dapat menyelidiki mereka, susiok, dan suheng atau suci biar menjaga di sini dulu!"
"Mana mungkin!" Siao Yen tiba-tiba berseru. "Kami datang untuk mendampingimu, sute. Kalau kau sendirian dan kami di sini apa gunanya datang. Tidak, kamipun tak lelah. Ini penting!"
"Hm..." Po Kwan mengangguk-angguk, melirik adiknya. "Siao Yen benar, sute, kami datang memang untuk membantumu. Hanya kalau kami tak secepat dirimu dan hendak berangkat duluan silakan, kami menyusul."
"Baiklah," Boen Siong tak enak. "Yang jelas aku tak memaksa kalian, suheng, kalau lelah boleh beristirahat dulu. Kalau ikut tentu saja lebih baik lagi, aku ada teman."
Bi wi Cinjin dan sutenya mengangguk-angguk. Mereka merasa betapa besar tanggung jawab pemuda itu. Duduk sebagai bengcu memang berat. Dan ketika diputuskan bahwa Kun-lun akan menyambut di bawah, segera menanggul kaki gunung khususnya di perairan sungai Liong-kiang akhirnya menjelang sore Boen Siong diperbolehkan meninggalkan tempat itu. Dua pimpinan Kun-lun ini tak tega membiarkan anak muda itu berangkat cepat- cepat.
"Hati-hati, kami sudah mulai bekerja. Batu dan segalanya sudah kami siapkan di bawah, Boen Siong. Besok pagi-pagi benar semua murid sudah akan mengelilingi kaki gunung dengan tanggul kokoh. Berangkatlah dan terima kasih untuk semua bantuanmu ini."
Pemuda itu mengangguk dan berkelebat meninggalkan Kun-lun. Anak murid sudah disebar untuk mengetahui sejauh mana musuh mendekati tempat mereka. Di sinilah Boen Siong memperoleh keterangan. Dan ketika sore itu juga ia meninggalkan Kun-lun dan suheng serta sucinya mengikuti di belakang maka kakak beradik yang sungkan ini menyuruh pemuda itu duluan.
"Yang pokok sudah selesai, Kun-lun telah mempersiapkan diri. Sekarang tinggal menyelidiki musuh, sute, pergi dan duluilah kami karena kami tak secepat Boan-eng-sutmu. Kami akan menyebar di kiri kanan dan akan bertemu di depan nanti."
"Baiklah," Boen Siong melirik sucinya. “Aku duluan, suheng. Telah sama-sama kita dengar tadi bahwa musuh telah tiba di Ui-san-kok!"
Po Kwan mengangguk dan sutenya itupun berkelebat lenyap. Mereka telah berada di persimpangan jalan dan Kun-lun telah jauh di belakang. Haripun mulai gelap dan Ui-san-kok adalah pegunungan di luar kota He-bun. Menurut utusan yang disebar di depan tempat itu tidaklah jauh lagi, kira-kira sehari perjalanan biasa.
Maka ketika ia bergerak dan meminta adiknya ke kiri, ia sendiri ke kanan maka Boen Siong yang lurus di depan akan mereka jumpai lagi dalam perjalanan melingkar. Siao Yen mengangguk dan berkelebat pula membagi tugas. Akan tetapi begitu kakaknya lenyap dan ia kembali lagi maka iapun mengejar Boen Siong lewat jalur lurus. Perasaannya berdegupan!
"Hm, sute menentang bahaya, mana mungkin kutinggalkan? Biarlah kususul dia di jalan ini pula dan semoga tak ada apa-apa!"
Memang tak ada apa-apa bagi Boen Siong kecuali rombongan orang-orang selatan itu. Hampir seribu orang yang dipecah dalam beberapa rombongan membuat barisan ini bak serombongan harimau mencari mangsa. Chi Koan tentu saja berada di tengah, muridnya dalam rombongan nomor dua sementara di depan sendiri adalah sepasang kakek Naga Menara itu. Mereka berjalan cukup teratur dan tentu saja menjauhi keramaian.
Gunung dan bukit-bukit terjal adalah perjalanan sehari-hari, hanya malam mereka berhenti. Maka ketika malam itu tiba di San-kok, Lembah Bunga Seruni maka rombongan berhenti den kebetulan yang di depan dapat memasuki lembah. Yang lain di luar dan mendirikan kemah-kemah darurat.
Malam itu sepasang kakek Naga Menara memimpin rombongannya. Di pinggir lembah, sedikit jauh dari kakek ini berdirilah rombongan Beng San. Beng San sendiri tak memiliki tenda karena justeru menjaga sebuah tenda kecil berwarna hitam. Di dalam tenda ini terdengar isak tangis.
Itulah Kwi Hong Sumoi ketua See-tong-pai, gadis cantik gagah yang menjadi tawanan dan telah mengamuk serta membunuh belasan orang ketika partainya diserbu. Dan ketika malam itu seperti biasa Beng San tiduran di sini, di luar tenda maka orang melihat bahwa ia begitu setia dan bertanggung jawab menjaga tawanan yang satu ini.
"Siapapun tak boleh mengganggu atau mendekati gadis ini. la tawananku, berbahaya kalau lolos. Kalau kalian berani mengganggu apalagi menyakitinya maka kalian akan berhadapan dengan aku. Tawanan tak boleh diperlakukan kasar, apalagi dihina. Ia tanggunganku dan kalian jangan dekat-dekat!"
Begitulah ucapan berulang-ulang yang dikatakan pemuda ini. Baik kaum pendekar maupun golongan sesat mengangguk-angguk. Bagi para pendekar kata-kata pemuda itu sesuai isi hati mereka. Tawanan tak boleh diganggu, apalagi wanita. Akan tetapi bagi kaum sesat yang tahu dengan apa yang dilakukan pemuda ini diam-diam tertawa geli dan mencemooh.
"Huh, apanya yang dijaga? Kaulah harimau di depan kelinci, San-kongcu. Justeru kaulah yang mengganggu dan menyakiti gadis itu!"
Ini benar, akan tetapi tentu saja tak diketahui para pendekar macam kakek Naga Menara itu maupun Tong-bun-sujin. Beng San cerdik sekali berada di rombongannya yang sebagian besar orang sesat. Justeru dialah yang mengumpulkan orang-orang itu dan menjadi semacam pelindungnya bila ada pendekar muncul, melihat keadaan umpamanya.
Dan ketika selama ini gerak-geriknya aman sementara para pendekarpun tak menyangka bahwa pemuda itu telah berbuat keji kepada tawanan, bukankah guru dan murid tampil ramah dan berbudi-pekerti baik maka orang-orang ini tak tahu betapa sesungguhnya gadis itu telah dirusak dan dipermainkan Beng San habis-habisan!
Malam itu setelah Se-tong-pai hancur maka Beng San tak menyia-nyiakan kesempatan. Mula-mula dia menyerahkan gadis itu kepada anak murid See-ouw-pang. Siapapun melihat bahwa dia memperlakukan tawanan baik-baik. Bahkan dengan bersuara lantang ia mengancam siapapun yang mengganggu dan menyakiti gadis itu.
Maka ketika malamnya ia muncul di tenda dan Kwi Hong baru saja sadar, menangis dan awut-awutan maka pemuda itu duduk bersinar-sinar menyentuh pundak gadis ini, sikap dan kata-katanya memang mula-mula lemah-lembut.
"Sudahlah, jangan menangis lagi. Semua yang terjadi sudah terjadi, Kwi Hong, air mata darahpun tak dapat menghapus semua kepahitan ini. Aku menyesal, akan tetapi semua ini atas tuntutan orang-orang selatan."
"Pergi, pergi kau. Bunuh atau bebaskan aku, Beng San, hanya itu pilihanmu!"
"Hm, kau keras kepala. Kau tak melihat betapa aku bersikap baik dan manis kepadamu. Kalau aku tak mencegah maka dirimu benar-benar celaka, Kwi Hong, tidakkah kau melihat betapa aku kasihan kepadamu, Aku, hmm... aku harus menyatakan cinta kepadamu. Benar, aku cinta kepadamu!" lalu ketika pemuda ini membelai dan mengusap wajah itu, menghapus air mata yang membanjir keluar maka gadis ini tersentak dan menarik kepalanya kuat-kuat.
"Kau... kau menyentuhku? Kau bilang apa?"
"Benar, aku bilang cinta. Ya, aku mencintaimu, Kwi Hong, itulah sebabnya aku menyelamatkanmu dan menyembunyikanmu di sini. Kalau tidak..."
Masuklah seseorang berwajah amat buruk. Masuknya orang ini menghentikan percakapan dan Kwi Hong tertegun. 0rang ini menyeringai dan memberi hormat kepada Beng San. Dan ketika ia berkata bahwa guru pemuda itu memanggil, Beng San mengerutkan kening maka laki-laki ini menutup, matanya menyambar Kwi Hong penuh gairah, terkekeh.
"Siauwhiap diminta secepatnya ke sana karena ada urusan penting. Gurumu menyuruhku menjaga sebentar di sini. Aku akan menggantikanmu."
"Hm... apa? Penting apa?"
"Mana kutahu? Yang jelas siauwhiap diminta cepat datang, dan gadis ini..he he, akan kujaga baik-baik!"
Pemuda itu menarik napas panjang, pura-pura kesal. Lalu ketika ia berkelebat dan lenyap sejenak maka pria buruk inilah yang menemani Kwi Hong. Gadis itu didekati dan merasa ngeri melihat lubang hidung yang growong, bibir tebal dan hitam sementara gusinya kotor!
"Heh-heh," laki-laki itu tertawa. "Sekarang kau bersamaku, manis. Kutipu pemuda itu agar dapat bersenang-senang denganmu. Uh, bunga begini cantik tak boleh disia-siakan!"
Tangan itu menjulur dan tahu-tahu menerkam Kwi Hong. Gadis ini menjerit akan tetapi ditutup mulutnya dan tiba-tiba hidung lelaki itu telah menciuminya. Bau busuk keluar dari gusi kotor itu, ketika terkekeh rongga mulutnya penuh uap. Dan ketika gadis ini berteriak akan tetapi roboh dipeluk, meronta dan tersumbatlah mulutnya didekap telapak lebar maka Kwi Hong hampir pingsan oleh perbuatan laki-laki ini. la ditindih dan sudah dicopoti bajunya.
"Heh-heh, barang segar. Tawanan seperti kau tak perlu dihormat berlebihan, nona. Mari bersenang-senang dan kita ke sorga!"
Akan tetapi saat itu berkelebat bayangan Beng San. Pemuda ini tahu-tahu kembali lagi dan tentu saja gadis itu girang. Kwi Hong melihat pemuda itu. Dan ketika Beng San membentak dan mencengkeram laki-laki itu, menariknya lepas maka jari pemuda inipun menampar dan telah mendarat di dahi laki-laki itu, satu di antara orang sesat yang sengaja dipasangnya untuk mengecoh Kwi Hong.
"Bangsat kau, krakk!" dahi itu retak, dan orang inipun roboh. la terkejut dan pucat sekali akan tetapi gerakan Beng San berlangsung cepat. Semuanya tahu-tahu telah terjadi. Dan ketika Beng San menendang mayat laki-laki itu sementara Kwi Hong menangis dan terisak-isak maka pemuda ini menyeka keringat dan tergetar oleh baju robek di belahan dada. Si kasar itulah yang melakukannya.
"Hm, lihat ini. Apakah begitu yang kau suka, Kwi Hong. Enakkah digerumut sebangsa keparat jahanam ini. Haruskah aku bersikap sekasar dan sebuas itu!"
Kwi Hong menghentikan tangisnya, terbelalak. Tentu saja ia berterima kasih kepada pemuda ini akan tetapi kata-kata pemuda itu membuat ia berdebar. Tiba-tiba wajahnya merah padam ketika dengan tatapan langsung mata pemuda itu menembus bajunya, langsung ke dada yang setengah telanjang. Dan ketika ia mengeluh namun tak dapat memutar tubuh, ia menjadi ngeri maka pemuda itu berlutut kembali dan mendesis.
"Lihat, penipu itu menipuku. Baik-baik aku menyatakan cinta, Kwi Hong, masa sikapmu seperti ini."
"Jangan pandang bajuku," gadis itu merintih. "Buang dan buka totokanmu, Beng San, biar kubetulkan pakaianku."
"Hmn, kau semakin manis seperti ini. Aku menyukaimu, Kwi Hong, aku mencintaimu. Katakanlah aku tak bertepuk sebelah tangan dan setelah itu kubuka totokanku."
Gadis itu menangis, tersedu-sedu. Ia menundukkan mukanya untuk menyembunyikan tatapan jalang pemuda itu ke dadanya. Ia merasa malu dan jengah sekali. Akan tetapi ketika pemuda itu menyambar dan tahu-tahu mendongakkan wajahnya, nafsu iblis tak dapat ditahan pemuda ini lagi maka Beng San berkata dengan nada ancaman.
"Aku tak ingin seperti jahanam itu. Aku ingin memperolehmu secara baik-baik, Kwi Hong. Katakan bahwa kau menerima cintaku!"
"Tidak!" gadis itu tiba-tiba menjerit. "Kau merusak dan menghancurkan See-tong-pai, Beng San. Kau membuat anak-anak murid terbunuh. Kau kejam!"
"Hm, aku tak membunuh siapapun, tak melukai siapapun. Kau jangan selalu berkata begitu, Kwi Hong. Sudah berkali-kali kutegaskan bahwa aku tak bersikap kejam. Buktinya aku memperlakukanmu baik-baik dan sampai saat ini tak ada siapapun yang mengganggumu, bahkan aku baru saja membunuh orang yang berani menghinamu!"
"Benar, akan tetapi kau menyerang dan merobohkan aku. Kau menghalangi aku menerjang kawan-kawanmu. Kau sama dengan mereka itu!"
"Baiklah, kalau begitu aku minta maaf. Sekarang katakan bahwa aku tak bertepuk sebelah tangan dan kau menerima cintaku!"
"Tidak, aku telah bertunangan. Kalaupun kau tak membantu teman-temanmu itupun aku tak dapat menerimamu. Aku telah menjadi calon isteri orang lain!"
Pemuda ini terkejut, mundur. Wajah yang merah itu sedetik berubah dan kelihatan pucat. Akan tetapi ketika ia menyeringai dan mengelus pipi itu maka pemuda ini berkata lagi, sekarang nadanya berbeda, "Hal inipun tak membuatku menyerah. Meskipun bertunangan akan tetapi dapat dibatalkan, Kwi Hong, kau belum menjadi isteri beneran. Aku tetap mencintaimu dan tak akan undur!"
Gadis itu pucat, terbeliak. Tiba-tiba ia menjadi seram melihat pemuda ini terkekeh. Kekehnya sama dengan laki-laki yang dibunuh tadi. Dan ketika wajah itu mendekat dan ia tak mungkin mengelak, ia tertotok maka Beng San menciumnya dan memeluk tubuhnya.
"Mau tidak mau kau harus menerima cintaku. Apa gunanya aku melindungi dan menyelamatkanmu, Kwi Hong. Kalau untuk ditolak lebih baik tidak!" pemuda itu menubruknya dan selanjutnya Beng San menciumi penuh nafsu.
Kwi Hong tak dapat menjerit ketika urat gagunya tiba-tiba ditotok. Dan ketika ia merintih dan hampir pingsan, pemuda itu menciuminya maka dengan buas akhirnya Beng San melepas baju gadis ini. Kwi Hong menjerit sekeras-kerasnya akan tetapi suaranya tercekik di kerongkongan, ia tak dapat mengeluarkan itu. Dan ketika ia mendelik dan merasa tertusuk, kesakitan sangat akhirnya gadis ini benar-benar pingsan dan malam itu Beng San berhasil menggagahinya.
Gadis See-tong ini nyaris gila. Keesokannya ketika sadar ia memaki-maki. Suaranya dilengking-lengkingkan akan tetapi yang keluar hanyalah jerit lirih tak berarti. Beng San telah meninggalkannya akan tetapi malamnya datang lagi. Dan ketika untuk kedua kali ia dipaksa lagi, pemuda itu menotok dan menggagahinya maka gadis See-tong-pai ini benar-benar terpukul hebat dan roboh pingsan.
Setiap ia sadar setiap itu pula kejadian itu berulang di depan matanya. Ia terguncang. Dan ketika akhirnya ia tak kuat dan terganggu syarafnya, Beng San benar-benar keji maka pemuda ini baru melepaskan totokannya setelah gadis itu gila.
"Heh-heh, hi-hik! Mana laki-laki tampan yang harus kulayani itu. Eh, mendekat dan ke marilah, penjaga. Mana orang muda tampan itu. Ayo suruh ia masuk!"
Kwi Hong menari dan melenggak-lenggok ketika menghempiri sekerumunan laki-laki di luar. la telah dibebaskan dan pagi itu tertawa-tawa, sikapnya miring. Dan ketika semua terkejut dan tertawa, satu di antara mereka bangkit dan menghampiri maka laki-laki ini berkata menyambar pinggang gadis itu. Kwi Hong memaang cantik dan masih menggairahkan.
"Akulah orang yang kau cari-cari. Adakah yang perlu kuberikan, Hong-moi, mari bersenang-senang dan kita ke rumpun bambu itu!"
"Heh-heh, hi-hik... kau tampan. Mari koko, mari ke sana. Ah, belaianmu semalam membuatku tak dapat tidur dan terbayang-bayang, hik-hik..!"
Semua meledak dan terkekeh-kekeh. Gadis itu mau saja diajak ke rumpun bambu dan selanjutnya lenyap sekejap. Akan tetapi ketika terdengar jeritan dan pasangannya berlumuran darah, lidahnya digigit Kwi Hong maka gemparlah keadaan dan gadis itu dikepung.
"Serang, tangkap dia. Awas panggil San-kongcu!"
Namun gadis ini mendadak mendeprok. la tersedu dan mencakari rambutnya sambil bergulingan. Lidah yang digigit putus dibuang keluar. Dan ketika semua menjadi ngeri dan merasa seram, datanglah Tong-bun-su-jin maka empat orang gagah ini terbelalak.
"Apa yang terjadi, kenapa tawanan lolos!"
"San-kongcu membebaskannya. la gila, Tong-bun-su-jin, mengamuk dan menggigit Mo Lui!"
Empat orang itu terbelalak. Mereka melihat lidah yang putus itu, pemiliknya sudah pingsan. Dan ketika mereka saling pandang dan yang tertua melompat dan menotok maka gadis itu tak bergerak lagi dan lumpuh dengan mudah. Kini tertawa-tawa.
"Hi-hik, siapa kalian. Apakah mau kencan lagi dengan aku!"
Empat orang itu mengerutkan kening. Tong Kit orang tertua merasa ada yang tak beres, tentu saja kasihan. Dan ketika berkelebat bayangan Beng San dan kebetulan sekali maka orang tertua Tong-bun su-jin bicara.
"San-siauwhiap menelantarkan orang gila, benarkah. Kalau gadis ini terganggu atau sakit justeru harus dirawat, siauw-hiap. Bukankah ia tanggung jawabmu dan kenapa bisa begini. la tak boleh keluar, berbahaya!"
"Hm, memang aku membebaskannya, akan tetapi sekedar menghirup hawa segar. la begini sejak diganggu jahanam Wo Tu, Tong-bun-su-jin. la telah kubunuh akan tetapi gadis ini terlanjur terguncang. Aku bingung!"
Beng San melimpahkan kepada laki-laki yang dibunuhnya itu dan Tong-bun-su-jin mengerutkan kening. Memang mereka telah mendengar kejadian itu karena tentu saja Beng San menyebarnya cepat. Justeru dengan dibunuhnya laki-laki itu ia dapat menimpakan kesalahan. Diri sendiri bebas dan tetap bersih! Dan ketika ia memperlihatkan muka kebingungan dan sedih, di depan orang-orang gagah ini ia harus berbaik dan ramah hati maka Tong-bun-su-jin terkecoh.
"Baiklah, akan tetapi tetap juga tanggung jawabmu. Karena ia sumoi See Cong Cinjin dan cukup berharga harap kau tidak melepaskannya begini saja. Siapa tahu kakek itu menyerah tanpa syarat."
Beng San mengangguk, menerima kembali gadis itu. Ia pura-pura bertanya kepada rombongannya kenapa Kwi Hong ada di situ. Dan ketika dijawab bahwa Mo Lui mengganggunya maka pemuda itu membentak agar orangnya tahu aturan.
"Gadis gila tak boleh diganggu lagi. Aku memberinya kebebasan untuk menghirup hawa segar. Kalau kalian ada yang mengganggunya lagi maka kalian akan berhadapan dengan aku!"
Cerdik dan licin sekali pemuda ini memutar balik fakta. Sebenarnya dialah yang memberikan Kwi Hong kepada orang-orang itu. Ia sengaja melepas gadis itu agar diganggu. Tapi ketika jatuh korban dan ditegur, tentu saja Beng San terkejut maka ia menyalahkan orang-orang itu yang menyeringai kecut. Pimpinan gampang sekali menyalahkan bawahan.
"Baik, kami taat perintah. Kalau begitu cekal dan masukkan dia, kongcu, jangan dilepas lagi. Kami akan menjaga di luar!"
Beng San mengangguk, empat orang gagah itupun pergi. Dan ketika terpaksa merawat dan tak melepaskan Kwi Hong, diam-diam mengumpat maka setiap malam pemuda itu menjaga di luar tenda. la sudah tak ingin menggagahi atau mempermainkan Kwi Hong lagi. Siapa mau gadis gila!
Dan dì malam itulah Boen Siong datang. Datang sebagai penyelidik dan harus berhati-hati tentu saja pemuda ini tak mau gegabah. Sudah dilihatnya rombongan besar itu. Tenda atau kemah-kemah kecil bertebaran di dalam lembah, juga di luar di seberang sana. Dan karena ia hanya ingin mengetahui kekuatan musuh, jumlah atau para penghuninya maka dengan hati-hati dan amat luar biasa pemuda ini menyelinap masuk.
Dengan Boan-eng-sutnya yang luar biasa tidak terlalu sukar bagi pemuda ini menyelidiki musuh. Kemah demi kemah didatangi. la ingin tahu benar di mana si buta berada. Boen Siong sudah mengepal tinju dan marah sekali kepada musuh bebuyutan ayahnya ini. Akan tetapi ketika tiba-tiba terdengar isak tangis dan ia tertegun, telinganya menangkap suara itu dibagian dalam maka ia berkelebat dan langsung menyambar.
Boen Siong adalah pemuda yang kurang pengalaman. Ia tak tahu bahwa di setiap sudut-sudut gelap selalu bersembunyi beberapa pasang mata mengintainya. Ia tak tahu bahwa sejak ia masuk sesungguhnya gerak-geriknya ketahuan. Maka ketika ia berjumpalitan dan hinggap di kemah hitam ini, beberapa mata memandangnya terbelalak maka pemuda itupun tak tahu betapa Beng San yang tadinya berjaga dan di luar tenda telah mendapat isyarat adanya musuh!
Beng San terkejut dan terheran-heran. la mendapat laporan bahwa seseorang yang dapat bergerak secepat iblis mendatangi tempat itu. Hanya karena Boen Siong berhenti dan hinggap di tempat tempat tertentu maka gerak-geriknya terpantau. Lain misalnya jika pemuda ini lari terbang dan berkelebat seperti iblis.
Maka ketika kehadirannya diketahui dan bersiaplah orang-orang itu, anak buah Beng San maka Beng San sendiri akhirnya kagum dan terbelalak melihat Boen siong menggantol kaki di ujung tenda melihat ke dalam. Kain tenda sedikitpun tak bergerak atau mengeriput, padahal di sentuh angin sedikit saja biasanya bergoyang!
Maklum bahwa yang datang adalah musuh tangguh, kebetulan sinar bulan menerangi wajah ini maka Beng San tertegun karena lawan di atas tenda itu adalah seorang pemuda tampan dan gesit serta memiliki sepasang mata mencorong. Hal itu terlihat ketika secara kebetulan Boen Siong memandang ke bagian di mana Beng San bersembunyi!
Beng San tergetar. Ia hampir menyangka bahwa pemuda itu adalah Po Kwan. Akan tetapi karena Po Kwan lebih tinggi dan lebih jangkung, ia menarik kepalanya dibalik dedaunan lebat, cepat bersembunyi di tempat gelap maka Boen Siong menaruh perhatiannya lagi ke dalam tenda.
Isak dan tangis itu terdengar sudah, jelas dan benar di sini. Dan ketika Boen Siong memperhatikan dan melihat kaki tangan gadis itu terikat, terkejut dan teringat sumoi See Cong Cinjin maka ia pun menyambar ke bawah dan tahu-tahu tenda telah dibelah tanpa suara.
"Sst, benarkah kau Kwi Hong? Aku datang menolongmu...!"
"Dan kalian terbacok lengannya. Ah, apa yang terjadi, Cia Sun. Siapa jahanam yang melukai kalian berdua!"
Gu Lai Hwesio dan See Cong Cinjin berteriak kaget melihat keadaan murid-muridnya. Mereka melompat dan menyambar ke bawah dan segera dua ketua partai itu menjadi pucat. Murid yang disebut-sebut itu parah, terkapar dan luka-luka, yang terakhir malah buntung lengannya. Dan ketika dua kakek itu berlutut sementara Ko Pek Tojin juga berseru tertahan melihat yang lain, murid Hoa-san maka semua melapor bahwa tempat mereka diserbu orang. Keadaan benar-benar geger.
"Teecu... teecu melarikan diri. Hoa-san diobrak-abrik musuh, suhu, banyak yang tewas. Teecu melapor dan mohon ampun!"
"Dan Bu-tong terbakar, teecu menyelamatkan diri. Mohon ampun suhu, teecu melapor dan tak kuat lagi...!"
"Dan su-kouw (bibi guru) diculik musuh. Kami semua tak dapat menandingi suhu, mereka datang bagai air bah. Teecu... teecu..!"
Para murid tak kuat lagi dan berkelojotan kejang-kejang. Cia Sun murid See-tong-pai malah mengeluh dan tewas menuding-nuding. Dialah yang melaporkan sumoi (adik seperguruan perempuan) gurunya yang diculik orang. Dan ketika See Cong Cinjin melengking begitu marah, mencabut pedang dan membacok gusar maka pohon di sebelahnya roboh terbabat.
"Crakk!" semua terkejut dan mundur. Begitu marahnya ketua See-tong-pai itu hingga tak mampu mengeluarkan kata-kata, berita itu terlalu hebat, terutama berita sumoinya itu. Maka ketika ia menggigil dan tak bergerak-gerak, sejenak pedang gemetaran di tangan mendadak ia meloncat dan berkelebat keluar.
"Chi Koan, kau biang keladi semua ini. Awas pembalasan pinto!"
"Benar, kau mengerahkan orang-orang selatan. Pinceng tak dapat tinggal diam, anak muda. Pinceng akan membalas dan membunuhmu!" Gu Lai Hwesio meloncat pula dan iapun sudah terbang berendeng dengan rekannya dari See-tong-pai.
Hanya Ko Pek Tojin yang lebih tenang, memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam. Akan tetapi ketika kekek itupun melompat dan hendak keluar maka pimpinan Gobi berkelebat dan berseru, Peng Houw dan yang lain mengejar See Cong Cinjin dan Gu Lai Hwesio.
"Tenang, harap sabar. Pinceng berbelasungkawa atas semua kejadian ini, To-tiang, akan tetapi mengamuk dan melabrak sendirian tak bakal menang. Musuh sudah menyerbu, kumpulkan kekuatan dan sama-sama kita sambut!"
Tosu ini sadar. la dihadang dan dicegat dua pimpinan Gobi sementara anak murid Gobi menjadi ribut, yang parah diurus akan tetapi akhirnya tewas. Tak ada satupun yang hidup. Dan ketika ia menggigil sementara Sin Tong Tojin mengangguk dan memandang kepadanya maka ketua Heng-san itu berkata,
"Kita senasib, Heng-san juga hancur. Musuh mendahului dan telah menyerang kita, Totiang, tenang dan sabarlah dan apa yang dikata Ji-lo-suhu tidak salah. Kumpulkan kekuatan dan kita bersatu menghadapi orang-orang selatan!"
"Dan Gobi pasti didatangi juga, mereka telah terhasut. Mari bantu Gu Lai Hwesio dan See Cong Cinjin, Totiang, lihat mereka tampaknya tak mudah dikendalikan!" Sam-hwesio tiba-tiba berkelebat karena di sana ketua Bu-tong dan See-tong tiba-tiba menyerang Peng Houw. Naga Gurun Gobi mencegah mereka namun dua ketua itu naik pitam, terutama See Cong Cinjin. Maka ketika semua terkejut dan berkelebatan menyambar,
ketua See-tong melengking-lengking maka Ji-hwesio dan Sam-hwesio berseru di sini, "Sabar, hentikan serangan. Pinceng mau bicara, Cinjin, kami tak bermaksud mencegahmu selain memberitahukan jangan sendirian menghadapi musuh. Berbahaya!" dan karena hwesio inilah tuan rumah dan menangkis serta mengebutkan ujung jubahnya, terpental namun lawan terhuyung-huyung maka pimpinan ini berseru dan cepat mengulapkan lengannya. Kakek itu tampak merah kehitaman.
"Jangan timbulkan perpecahan untuk urusan yang sama. Lihat rekan kita dari Heng-san dan Hoa-san. Mereka sama-sama terpukul akan tetapi bersatu-padu tak sendiri-sendiri, Cinjin, Peng Houw benar karena ia bermaksud menyadarkanmu!" lalu ketika dua ketua itu mengangguk dan mau bersama maka mereka membujuk dan berkata serak,
"Ji-Lo-suhu benar, kita tak boleh sendiri-sendiri. Musuh terlalu kuat dan berbahaya, Cinjin, melabrak tanpa perhitungan hanya menyerahkan nyawa sia-sia. Sabar dan tenanglah dan kami akan membantumu!"
"Akan tetapi sumoiku, Kwi Hong... ah, semuanya minta cepat ditolong, Lo jin, mana mungkin pinto berlama-lama. Pinto harus segera datang!"
"Baik, dan mampukah kau menolongnya? Sempatkah ke mana dan menyelamatkan sumoimu itu? Kau dan kami sama-sama terlambat, Cinjin, akan tetapi mengamuk dan buta-tuli begini tak ada gunanya. Kau membuang tenaga dan semangat sia-sia. Marilah bicara baik-baik dan kurasa hanya anak muda ini dan ayahnya yang mampu menolong kita!" lalu ketika kakek itu tertegun dan memandang Boen Siong.
Maka Sin Tong Tojin tiba-tiba mencabut pedangnya, berkata, "Karena keadaan demikian darurat dan harus serba cepat maka pinto ingin mengadakan upacara kilat. Marilah kita goreskan darah kedahi anak muda ini sebagai tanda pengangkatan bengcu. Pinto mulai!" kemudian ketika pedang bergerak dan menyabet ibu jari, lukalah bagian itu maka kakek ini melompat menggoreskan darahnya di dahi Boen Siong. "Pinto mengangkatmu sebagai bengcu!"
Sadarlah yang lain. Ko Pek Tojin tiba-tiba juga bergerak dan kakek ini melukai ibu jarinya pula. la berseru menyusul perbuatan Heng-san-paicu. Lalu ketika berturut-turut Gu Lai Hwesio dan lainnya menggoreskan darah mereka, Boen Siong tergetar dan terharu maka semua kakek-kakek itu membungkukkan tubuh dalam-dalam di depannya. Sin Tong Tojin memimpin.
"Keadaan sudah memaksa, kami tunggu perintah. Apa yang harus dilakukan, bengcu, kami siap mengikutimu dan menggempur orang-orang selatan!"
Pemuda ini menggigil, serasa mimpi. la melihat betapa lima ketua partai menunggu perintahnya. Sementara supeknya tiba-tiba melompat. Lalu ketika kakek ini menjura dan berseru mewakili Kun-lun, enam partai besar telah dipimpin tokoh-tokohnya maka kakek itu menjura dan berkata, Boen Siong merah padam.
"Akupun tak mau kalah. Kau telah di angkat dan menjadi bengcu, Boen Siong, apapun perintahmu pinto turut. Pinto mewakili Kun-lun!"
Untunglah di kala pemuda ini semakin jengah dan gugup, orang-orang tua itu tak main-main maka ibunya berseru bahwa sang ayah dapat dimintai nasihat, bukankah ayahnya telah menduduki jabatan itu.
"Tanya dan minta pertimbangan ayahmu. Bengcu selalu didampingi penasihat, Boen Siong, jangan gugup dan tanyalah ayahmu!"
Pemuda ini membalik, menghadapi ayahnya. Akan tetapi belum ia bertanya sang ayah sudah memberi tahu.
"Kau di depan dan mendahului kami. Lihat dan cegahlah kejahatan berikut, Boen Siong. Awasi dan tahan sepak terjang mereka. Kami menyusul!"
Pemuda itu mengangguk. Memang diantara semuanya dialah yang berkepandaian paling tinggi. Boan-eng-sutnya dapat diandalkan untuk terbang mencari musuh. Maka membalik dan menghadapi orang-orang itu iapun menjura dan berkata,
"Ayah telah memberi nasihat. Aku duluan, cuwi-locianpwe. Aku akan melihat dan menahan mereka!" lalu berkelebat tidak bertanya ini-itu lagi Boen Siong menyambar dengan Elang Cahayanya itu. Ia membuat kagum karena tahu-tahu melesat begitu jauh, sebentar saja di tepi gurun. Akan tetapi ketika terdengar teriakan dan seruan, dua bayangan berkelebat menyambar maka Siao Yen dan kakaknya menyusul.
"Tunggu, kami ikut. Perlahan dan jangan cepat-cepat, sute. Kamipun akan membantumu!"
"Benar, bertiga lebih kuat. Tunggu dan perlahan sedikit, sute. Biar suhu dan subo menyusul!"
Boen Siong menoleh dan giranglah melihat suheng dan sucinya itu. Bayangan hijau kuning bagai susul-menyusul, cepat sekali mengejarnya. Dan ketika mereka telah berada dekat karena pemuda ini memperlambat larinya maka Boen Siong ditepuk dan mereka bertiga terbang menyambar. Lalu ketika lenyap dan memasuki hutan maka orang-orang tua itupun sadar dan melompat menyusul. Gerakan ilmu meringankan tubuh tiga orang muda itu membakar semangat.
Dan ketika yang paling bangga tentu saja Li Ceng, wanita inilah yang paling berseri-seri maka ia menyenggol lengan suaminya yang kagum dan mengangguk-angguk. Tentu saja mereka harus bergerak dan menahan serbuan itu. Chi Koan telah menghasut orang-orang selatan dan kini menggempur partai-partai besar. Lalu begitu berkelebat dan telah meninggalkan pesan-pesan. Semua anak murid diminta berhati-hati dan sebagian dibawa maka rombongan menjadi lebih besar dan bentrokan itu tak mungkin dihindarkan lagi!
* * * * * * * *
Memang si buta telah bergerak dan mengerahkan orang-orang selatan ini. Di bawah pimpinannya dan kecerdikannya bermain sandiwara si buta telah menghasut dan menggerakkan orang-orang itu ke utara. Orang selatan merasa dilukai. Orang Utara dianggap sombong dan semena-mena. Maka setelah persiapan dan kemampuan dirasa cukup, berbulan-bulan menunggu dan mengasah senjata maka hari itu dengan wajah berseri-seri Chi Koan memimpin orang-orang selatan ini.
"Sambil ke Gobi kita terjang semua pengikut dan sahabatnya. Rampas dan ambil kembali Bu-tek-cin-keng itu, cuwi-enghiong, yang asli masih disimpan di sana. Cuwi boleh berganti membacanya asal tidak berebut!"
Inilah yang paling membakar dan meluapkan semangat. Jago silat mana tak ingin mempelajari kepandaian lebih tinggi dari yang sudah dimiliki. Siapa tak tergila-gila kalau sudah dibujuk dan diiming-imingi Bu-tek-cin-keng itu. Chi Koan telah berjanji memberikannya kepada mereka. Dan karena kepandaian si buta demikian mengagumkan sementara ia memperolehnya dari kitab sakti itu, inilah yang membuat mabok maka tak satupun. sadar bahwa mereka sebenarnya digiring oleh si buta memenuhi dendam pribadi. Membunuh dan mengeroyok Peng Houw!
Yang pertama diterjang justeru Hoa-san-pai. Partai ini digilas dan dihancurkan bagai duri lunak dibabat senjata tajam. Selain paling dekat juga dinilai menjadi pengganjal. Akan tetapi ketika tak didapati ketuanya dan mendapat kabar bahwa Ko Pek Tojin menuju Heng-san maka ke sinilah orang-orang selatan melabrak buas. Mereka naik ke Heng-san dan ingin menangkap Sin Tong Tojin.
Akan tetapi ketika sang ketua tak ada di tempat begitu pula wakilnya, mereka pergi bersama pimpinan Bu-tong dan See-tong maka Chi Koan mengerutkan keningnya dan berdebar. la mendapat keterangan bahwa kakek itu ke Gobi dan baru saja seorang pemuda lihai menundukkan tokoh-tokoh kang-ouw termasuk ketua Heng-san-pai itu.
"Kita terlambat, akan tetapi tak apa. Bakar dan hancurkan tempat ini, cuwi enghiong, begitu pula Bu-tong dan lain-lain. Maju!"
Keganasan massa adalah wujud perbuatan iblis dalam bentuk kumpulan orang-orang keras itu. Mereka bersorak-sorai dan menghancurkan Heng-san sebagaimana di Hoa-san beberapa hari yang lalu. Dan karena lawan yang dihadapi jelas tak setanding, kemenangan membuat mereka sombong dan lupa diri maka terjangan orang-orang selatan ini membuat giris, mulai brutal dan keluar jalur hingga membuat kening beberapa tokoh tua berkerut, Siang-liong-tah umpamanya, juga Tong-bun-su-jin (Empat Orang Gagah Keluarga Tong).
"Serbuan kita bukanlah seperti perampok yang menjarah dan mengambil harta orang. Kita datang untuk menaklukkan dan menghancurkan kesombongan orang-orang utara, bengcu. Kalau pimpinan atau tokoh-tokohnya tak ada sebaiknya tinggalkan tantangan saja. Bukan begini!"
"Benar, kami juga tak setuju. Sobat-sobat kita keluar rel, bengcu, cegah dan larang mereka berbuat brutal. Kita datang bukan untuk menjarah dan merusak!"
Chi Koan tersenyum, bersikap manis. Seperti biasa ia selalu memperlihatkan watak ramah dan penyabar. Sikap inilah yang dipakai merobohkan hati orang-orang selatan yang merasa sejuk. Senyum dan watak ramahnya memang memikat, padahal diam-diam ia tertawa. Maka pura-pura menghela napas dan mengangguk-angguk ia berkata,
"Kalian yang brutal dan merusak harus dicegah. Akan tetapi bagaimana aku dapat mengetahuinya, Su-wi-enghiong, mataku buta, tak tahu seorang demi seorang. Kalian tolonglah dan cegah mereka itu, kalian lebih tahu. Memang kedatangan kita bukan untuk merampok. Kita datang untuk menundukkan dan menghancurkan kesombongan orang-orang utara. Kalian cegahlah!"
Tong-bun-su-jin berpandangan. Mereka sebenarnya sudah mencegah akan tetapi jumlah yang terlampau banyak membuat mereka bingung. Diam-diam mereka heran bahwa di dalam rombongan tiba-tiba terdapat kelompok orang-orang buas. Mereka itu berpotongan seperti gali alias rampok. Heran, dari mana mereka datang!
Dan karena jumlah mereka semakin banyak dan banyak saja, berbaur dan campur-aduk maka mereka merasa kewalahan apalagi setelah ada yang tak senang dan memusuhi mereka, padahal mereka tak boleh bermusuhan dan harus menjaga kesatuan.
"Bagaimana," satu di antara empat orang gagah itu memandang saudaranya. "Aku telah mencegah mereka, Kit-ko (kakak Kit), akan tetapi mereka tak senang dan malah memusuhi aku. Katanya aku dianggap sok (sombong)!"
"Hm, aku juga. Kutegur dan kucegah orang-orang di antara mereka, Lam-te (adik Lam), akan tetapi diriku malah dimusuhi. Kalau saja tak ingat harus menjaga kesatuan dan keutuhan mau rasanya kulabrak dan kumaki mereka itu!"
"Benar!" satu di antara kakek Liong berseru pula. "Akupun begitu, Tong-bun-su-jin. Kutegur baik-baik malah menantang dan mengajak bermusuhan. Kalau tak ingat betapa kita harus menjaga keutuhan dan kesatuan tentu kutampar mulut mereka itu. Heran bahwa di antara kita tiba-tiba kedatangan orang-orang sekasar itu. Mereka bagaikan gali atau sebangsanya!"
Tong-bun-su-jin mengangguk-angguk sementara Chi Koan diam-diam tertawa. Tentu saja di rombongan itu terdapat sebangsa gali atau orang-orang kasar karena muridnyalah yang mengumpulkan. Secara diam-diam dan amat hati-hati ia memerintahkan Beng San mencari dan menyusupkan para rampok atau begal di situ. Dan karena di manapun juga namanya penjahat pasti ada, baik di utara atau selatan maka ia mengumpulkan orang-orang ini untuk memperkeruh dan memperparah suasana. Dan usahanya berhasil!
Beng San telah kembali kepada suhunya setelah gagal mencari sang suheng. Siauw Lam, suhengnya itu menghilang entah ke mana. Dan ketika melapor dan berkata bahwa ia lebih berat mendampingi suhunya daripada mencari dan menangkap suhengnya maka Chi Koan menghela napas ketika itu.
"Teecu telah mendengar keberangkatan suhu, dan teecu tak tahan untuk berdiam diri saja. Suheng belum ditemukan tapi serbuan ini lebih penting, suhu, mohon maaf jika teecu kembali dan ingin mendampingimu."
"Baiklah, tak apa. Kalau begitu kebetulan, Beng San, cari dan kumpulkan segala perampok dan penjahat memperkuat kedudukan kita. Cari dan kerahkan mereka memperkuat barisan."
"Apa, suhu menyuruh teecu mencari dan mengumpulkan para rampok? Suhu hendak mencampur dan menyatukan mereka dengan kaum pendekar?"
"Benar!" suhunya tertawa. "Cari dan kumpulkan mereka, Beng San, sebanyak-banyaknya. Aku tidak salah memberi perintah akan tetapi lakukan secara tidak kentara, sedikit demi sedikit namun sepanjang perjalanan. Tundukkan mereka dan suruh bantu menyerbu utara."
"Akan tetapi..." pemuda ini terbelalak. "Mana mungkin itu, suhu, bakal terdapat kekacauan. Dan apa pula maksudmu, apakah tidak membahayakan kita sendiri!"
"Ha-ha, tidak kalau kita bertindak hati-hati. Maksudku jelas, Beng San, memperkuat kedudukan. Sedang kekacauan, hmm... pasti terjadi kalau sudah selesai. Selama kau dan aku dapat mengendalikan keadaan tak perlu kita khawatir. Sudahlah, cari dan tundukkan mereka itu dan susupkan secara diam-diam. Jangan sampai para pendekar tahu."
Pemuda ini menjublak, masih ragu. Akan tetapi ketika gurunya berkata bahwa ada semacam hukum kebersamaan bila sekelompok atau segolongan orang menghadapi musuh yang sama maka ia mengangguk-angguk.
"Manusia di manapun sama. Asal menyangkut persoalan lebih besar dan kepentingan lebih besar maka yang kecil-kecil dikesampingkan, muridku. Baik para perampok itu maupun kaum pendekar sama-sama memusuhi selatan. Nah, kalau mereka bersatu-padu dan dapat menyamakan sikap maka urusan pribadi atau hal-hal pribadi dapat dikesampingkan. Cari dan laksanakan perintahku dan jangan khawatir!
"Baiklah," pemuda itu bangkit berdiri. "Akan kulaksanakan perintahmu, suhu, mudah-mudahan semuanya betul."
"Tentu betul, tak usah takut. Tundukan dan kuasai mereka, muridku, sedang aku mengendalikan dan memimpin para pendekar ini!"
Beng San berkelebat, meninggalkan gurunya lagi. Kali ini ia lebih bersinar-sinar dan kecerdikan gurunya menular cepat. Ia maklum apa yang dikehendaki gurunya itu dengan mengumpulkan para penjahat ini. Tentu agar lebih panas dan semarak lagi. Maka ketika ia tertawa dan mengumpulkan orang-orang kasar itu, menundukkan dan bukan hal sukar baginya maka pemuda ini menjadi tokoh di situ sementara gurunya mengendalikan kaum pendekar. Tentu saja semua ini terjadi secara diam-diam dan amat dirahasiakan.
Tong-bun-su-jin dan lain-lain tak tahu. Mereka hanya terheran-heran ketika setiap perjalanan bertambahlah orang mereka. Semua ini memang terjadi sedikit demi sedikit dan di malam hari pula. Chi Koan benar-benar cerdik. Maka ketika dalam serbuan terjadi hal-hal di luar batas, penjarahan dan kesewenangan umpamanya maka Tong-bun-su-jin dan kawan-kawan terkejut. Dan karena kebuasan itu merangsang yang lain, yang baik-baik ikut brutal maka empat orang gagah ini menemui Chi Koan didampingi sepasang kakek Naga Menara itu.
Akan tetapi Chi Koan menyerahkan balik kepada mereka. Dengan alasan buta dan tak tahu satu persatu pemuda ini ganti meminta empat bersaudara itu menindak. Alasannya begitu tepat dan masuk akal pula. Akan tetapi karena jumlahnya banyak dan tak mungkin Tong-bun-sujin bekerja sendiri maka terjadilah percakapan itu dan kakek Naga Menara juga gemas dan marah.
"Bagaimana," Si buta akhirnya bertanya lagi. "Tidak sanggupkah kalian mencegahnya, suwi-enghiong (empat orang gagah). Kalau tak dapat atau merepotkan diri sendiri saja baiklah kita biarkan dulu nanti setelah selesai diurus. Kupikir serbuan ini lebih penting dan ketidaksenangan pribadi harap disimpan dulu. Aku akan memerintahkan muridku untuk meredam itu."
Empat orang itu menghela napas. Karena mereka memang tak sanggup dan urusan yang lebih besar memang harus didahulukan maka mereka memendam saja kemarahan di hati ini. Hoa-san dan Heng-san telah dihancurkan. Akan tetapi ketika Bu-tong dan See-tong dilabrak pula, kebrutalan kian menjadi-jadi maka Orang-orang buas itu bertindak lebih mengerikan lagi. Hwesio atau tosu yang sudah menyerah dibabat juga. Kepala mereka dipenggal!
"Ha-ha, inilah pelampiasan dendam sejati. Bacok dan kutungi lehernya, Tek Hu, pancang dan tanam kepalanya itu diujung tombak. Gantungkan di pilar!"
Para pendekar menahan napas dan marah melihat ini. Tiga murid muda dibacok putus dan kepala mereka ditusuk tombak, digantung atau dipermainkan di atas pilar. Lalu ketika yang lain tertawa-tawa dan Tong-bun-su-jin tak mampu meredam keberangan tiba-tiba meloncat dan membanting orang yang memenggal kepala murid itu.
"Turun! Kalian biadab dan tak tahu sopan. Musuh yang sudah tidak berdaya tak boleh disiksa apalagi dibunuh!"
Semua kaget, Tong Nu orang termuda menyambar dan membanting laki-laki tiga puluhan itu. Lalu diikuti tiga saudaranya yang berkelebatan melindungi. Dan ketika belasan orang menjadi marah dan itulah para perampok atau begal berwajah kasar, maju dan membentak pria ini maka kaum pendekar bergerak pula dan yang lain berlompatan dan mengepung para pendekar.
"Hm, Tong-bun-su-jin selalu mengagul-agulkan diri. Apa maksudmu dengan bersikap sesombong ini, orang she Tong, tidak tahukah kalian bahwa bila kami yang kalah kamilah yang didera dan dibunuh. Kau berkali-kali menentang kami!"
"Jahat, keji! Perbuatan ini tak boleh dilakukan, sobat. Orang yang sudah menyerah tak boleh disiksa, apalagi dibunuh. Tapi kalian melakukan dan melanggar norma-norma hidup. Jahanam itu seperti perampok keji. la tak berjantung dan tak berperikemanusiaan. Kami tak dapat membiarkan ini dan kalian boleh mengeroyok kami!"
"Sombong!" laki-laki itu menjadi marah dan gusar juga. "Tong-bun-su-jin menantang kita, kawan-kawan. Bunuh!" lalu ketika empat orang gagah itu dikeroyok dan diserang orang-orang kasar ini maka para pendekar melompat maju dan membantu Tong-bun-su-jin. Akan tetapi yang di luar menyerbu masuk. Mereka adalah perampok sahabat orang-orang kasar itu, jumlahnya tak kurang dari seratus orang. Dan ketika para pendekar terkejut dan membalik menghadapi serangan ini maka dua pihak tiba-tiba pecah dan berhantam sendiri!
"Trang-tring-trang-tringg!"
Umpat dan caci berhamburan keluar. Kaum pendekar tiba-tiba baku hantam dengan orang-orang kasar ini, hampir saja pertumpahan darah terjadi. Akan tetapi ketika berkelebat dua bayangan dan Beng San serta suhunya muncul, membentak dan menangkis semua senjata itu maka semua mundur dan kewibawaan guru dan muridnya ini betul-betul terasa, terutama Beng San yang menguasai betul para benggolan penjahat itu.
"Berhenti, siapa main kacau dan memecah persatuan!"
Para pendekar dan kaum sesat sama-sama jerih. Begitu si buta dan muridnya muncul maka semua berlompatan ke belakang. Mereka gentar oleh kelihaian guru dan murid ini. Akan tetapi karena Tong-bun-su-jin dianggap biang gara-gara, empat pendekar inilah yang memulai duluan maka laki-laki tinggi besar yang tadi membela Tek Hu berkata dengan suara nyaring, ia memojokkan empat bersaudara itu terutama yang muda.
"Tong-bun-su-jin mencari gara-gara. Ia menantang dan menentang kami, taihiap, rekan kami Tek Hu dibanting!"
"Hm, siapa kau," Chi Koan tak kenal, miringkan kepalanya. Akan tetapi ketika Beng San berkata bahwa itulah Niang La pimpinan "orang gagah" di hutan Hek-kiok (Bambu Hitam) maka pemuda inilah yang meloncat maju dan cepat mengedip. Dia harus menguasai keadaan dan mengendalikan orang-orang itu.
"Ini Niang-enghiong yang kukenal baik. Kalau dia berkata Tong-bun-su-jin menjadi gara-gara tolong kau tanya, suhu, mungkin dia benar atau ada kesalahpahaman di sini."
Chi Koan membalik, menghadapi empat bersaudara itu. "Tolong Tong-enghiong (orang gagah Tong) beri jawaban tentang ini. Kenapa kau membanting orang sendiri dan mengucapkan tantangan."
"Hm!" Tong Kit mewakili adiknya. "Adikku Tong Nu tak tahan melihat kekejaman di sini, Chi-taihiap. Masa musuh yang sudah menyerah dibantai dan dipenggal kepalanya. Aturan mana itu. Bukankah kejam dan tak beradab. Memangnya kita sebangsa perampok!"
"Tong-bun-su-jin sok suci!" orang she Niang tiba-tiba berseru. "Ini pertempuran bukannya main-main. Memangnya kalau kita kalah musuh tak akan menyiksa dan membunuh kita. Dia seperti wanita, berhati lemah!"
Orang-orang sesat tiba-tiba tertawa. Begitu berisik tawa mereka hingga empat bersaudara Tong merah padam. Mereka membentak dan mencabut senjata lagi. Akan tetapi ketika Chi Koan membentak dan menyuruh diam, Beng San juga membentak agar si kasar mundur maka gurunya memalangkan tongkat bersikap keren.
"Dua-duanya sudah kudengar, dan kalian sama-sama memiliki kebenaran sendiri. Akan tetapi sementara ini kularang kalian berbaku hantam, Niang-enghiong. Karena Tong-bun-su-jin juga tidak salah maka kuminta selanjutnya kalian tak boleh semena-mena lagi. Musuh yang menyerah tak boleh dibunuh, kecuali melawan dan membahayakan kita. Nah, jangan bertengkar dan perhatikan baik-baik pesanku ini. Kita masih harus menyerbu Kun-lun dan setelah itu Gobi. Musuh yang lebih berbahaya ada di depan mata, kendalikan diri kalian masing-masing dan jangan membuat aku menurunkan hukuman."
Kata-kata ini tegas dan amat berwibawa dan karena lebih condong membela Tong-bun-su-jin maka orang she Niang mengutuk. Chi Koan bersikap cerdik menghadapi persoalan itu. la tentu saja tak mau kehilangan para pendekar karena mereka inilah inti kekuatan. Orang-orang kasar itu hanya sekedar meramaikan. Maka ketika Tong-bun-su-jin mengangguk-angguk sementara kaum pendekar menjadi lega, girang dan tersenyum oleh kata-kata itu maka simpatik mereka tentu saja semakin bertambah lagi dan diam-diam mereka melepas ejekan kepada orang-orang kasar itu. Mulut mereka seakan berkata,
"Nih, rasakan akibatnya!" Dan ketika Chi Koan mengetukkan tongkat sampai amblas di lantai yang keras, membuat orang-orang kasar meleletkan lidah dan gentar maka kejadian selanjutnya agak teratur namun terlanjur membawa korban, yakni para murid yang roboh dan akhirnya tewas setelah datang ke Gobi, menyusul ketua. Hoa-san dan Heng-san serta See-tong dan Bu-tong memang telah digilas.
Di See-tong-pai Chi Koan malah menangkap Kwi Hong, gadis semampai Sumoi See Cong Cinjin. Dan ketika gadis ini disekap dan menjadi tawanan, Beng San inilah yang merobohkan gadis itu maka dalam perjalanan berikutnya mereka menuju Kun-lun, partai terakhir sebelum Gobi.
Akan tetapi tidak seperti lainnya maka di Kun-lun telah berdiri tiga orang muda gagah menunggu mereka. Itulah Boen Siong dan Siao Yen serta Po Kwan. Tiga orang ini terbang tak henti-henti dengan muka cemas dan kaget. Mereka telah mendengar bahwa serbuan akan dilanjutkan ke Kun-lun. Hoa-san dan lain-lain telah dihancurkan. Maka ketika mengerahkan ilmu lari cepat mereka namun tetap saja dua kakak beradik ini tak mampu mengikuti akhirnya Boen Siong berkata agar masing-masing memegang sebelah lengannya.
"Suheng dan suci harap pegang erat-erat pergelangan tanganku. Keadaan sudah demikian memaksa. Aku hendak mempergunakan Boan-eng-sut dan memberi tahu Kun-lun agar berjaga-jaga!"
Dua kakak beradik itu kagum. Mereka telah mengerahkan seluruh ilmu lari cepat mereka namun tetap saja tertinggal. Mula-mula tak begitu jauh akan tetapi lama-kelamaan jauh juga. Kalau mula-mula hanya satu dua tombak akhirnya menjadi puluhan tombak, padahal Boen Siong belum berkeringat dan mengeluarkan seluruh tenaganya. Dan ketika akhirnya pemuda itu berhenti dan menunggu mereka, berkata seperti itu maka kakak beradik ini tak dapat menahan kekaguman lagi memuji sute mereka itu.
"Kau hebat, benar-benar mengagumkan. Boan-eng-sut yang kau miliki sungguh luar biasa, sute. Gurumu ternyata benar-benar sakti dan kau sebagai muridnya membuat kami mandi keringat!"
"Hm, suheng tak perlu memuji dan mari pegang pergelangan kananku. Suci memegang yang kiri dan awas perhatikan!" Boen Siong telah dipegang pergelangannya kiri kanan dan mendadak ia menghentak dan menjejak kaki kuat-kuat.
Dua kakak beradik itu telah siap akan tetapi tak urung berseru kaget juga. Tubuh mereka terangkat dan melayang naik. Lalu ketika pemuda itu benar-benar mengajak terbang dan tak sedikitpun kaki menyentuh tanah, terkesiap dan kagumlah kakak beradik ini maka Siao Yen sampai gemetar dan jari tangannya tiba-tiba meremas lembut.
Boen Siong tergetar, darahnya tersirap. Sejenak ia berdenyut lebih cepat dan melirik ke kiri. Akan tetapi ketika kebetulan dua mata beradu dan gadis itu melengos bersemu dadu maka jantung pemuda inipun seakan berdentang-dentang dan sedetik Boen Siong merasa gugup.
Untunglah kekhawatiran akan serbuan itu menekan semua perasaan ini. Boen Siong melupakan sejenak meskipun beberapa kali gadis itu mencengkeram lembut lagi. Dialah yang menyuruh pegang! Dan ketika pemuda itu berseru keras mengerahkan semua kecepatannya, dua kakak beradik itu semakin terkejut dan melayang-layang maka keesokannya setelah menerabas hutan merekapun tiba di Kun-lun. Anak-anak murid bengong dan terkejut ketika tiga bayangan berkelebat dan lenyap. Benar-benar bagai iblis!
Heng Bi Cinjin lah yang paling kaget. Pagi itu ketika tiga bayangan berkelebat dan tahu-tahu berdiri di depannya yang sedang duduk bersila maka ia membuka mata dan langsung menghantam. Sin-ma-kang (Kuda Sakti) yang menjadi andalan meluncur menyambut kesiur anak-anak muda itu. Ia mengira diserang! Akan tetapi ketika Boen Siong menangkis dan ia terpental, untunglah tak menabrak dinding dan bergulingan meloncat bangun maka tosu yang kaget ini berseru tertahan. Boen Siong dan suheng serta sucinya memberi hormat, membungkuk dalam-dalam.
"Siancai, Kau kiranya. Kau membuat kaget, Boen Siong. Pinto sampai mencelat!"
"Maaf, harap susiok tidak menyalahkan kami. Karena ingin bertemu langsung dan memberi tahu ancaman bahaya terpaksa kami mengejutkanmu. Kami datang untuk urusan penting dan manakah Bi Wi susiok yang tidak kami lihat!"
Kakek ini terheran-heran, tak mendengar kata-kata terakhir. Ia melihat Siao Yen dan kakaknya dan tentu saja bertanya-tanya. Akan tetapi ketika dua anak muda itu menjura dan memperkenalkan diri maka mengertilah tosu ini.
"Kami Po Kwan dan Siao Yen, kakak beradik. Karena sute mengemban tugas berat maka kami mendampinginya. Harap locianpwe maafkan dan semoga kedatangan kami tidak mengganggu."
"Sute?"
"Mereka adalah murid-murid ayah," Boen Siong menerangkan. Mereka benar suheng dan suciku, sekarang dimanakah Bi Wi susiok karena ada urusan penting yang harus diketahui!"
"Siancai, anak-anak itu kiranya. Kalian sudah besar. Ah, pinto tentu saja tak tahu akan tetapi suheng ada di dalam. Ada urusan apa dan mari masuk, suheng juga bersamadhi!" Heng Bi Cinjin akhirnya kagum dan ia tentu saja bertanya tentang keperluan anak-anak muda itu.
Boen Siong menceritakan apa yang terjadi dan tosu ini tampak kaget. Dan ketika ia berhenti dan merandek di tengah jalan, pucat maka ia lupa membawa anak-anak ini menemui ketua Kun-lun. "Chi Koan, si buta itu menyerbu dengan orang-orang selatan? Hoa-san dan Heng-san hancur? Ah hebat sekali ini Boen Siong. Beritamu benar-benar menggemparkan!"
"Karena itulah kami cepat ke sini. Sekarang mana Bi Wi susiok dan mohon kami diantar."
"Ah-ah, betul, aku lupa. Mari... mari, anak-anak, pinto benar-benar terkejut!"
Siao Yen tak tertawa melihat kegugupan itu karena ia tahu betul betapa kaget dan gelisahnya tosu tua ini. Heng Bi Cinjin adalah wakil ketua Kun-lun sementara Bi Wi pimpinannya, suheng sekaligus ketua. Dan ketika mereka akhirnya bertemu kakek gemuk itu, mendengar ketukan dan membuka mata maka tiga anak muda ini cepat memberi hormat. Bi Wi tertegun namun bersinar-sinar.
"Siauw-te datang mengganggu susiok. Karena ada urusan penting dan amat mendesak maka kami datang berkunjung. Ini suheng dan suci murid-murid ayah."
"Siancai," kakek itu bangkit dan tersenyum gembira. "Kau, Boen Siong, dan ini murid-murid ayahmu. Hm, kalau begitu sudah akur dan pinto turut gembira!" kakek ini mengebutkan lengannya dan ia tak melihat betapa wajah sutenya pucat. Perhatiannya tertuju kepada anak-anak muda ini, terutama Boen Siong.
Akan tetapi ketika Heng Bi membungkuk dan berkata bahwa orang-orang selatan menyerbu dan menghancurkan Heng-san dan Hoa san dipimpin Chi Koan maka kakek itu berubah, urusan benar-benar penting. "Maaf, Mereka hendak menyampaikan serbuan orang-orang selatan, suheng. Bahwa Chi Koan memimpin dan telah menghancurkan Heng-san dan Hoa-san-pai."
"Siancai. Luar biasa ini. Lalu bagaimana dengan ketuanya atau para pimpinannya?"
"Pinto belum mendengar banyak, akan tetapi sekarang menuju ke sini dan Kun-lun hendak dihancurkan pula!"
Wajah Bi Wi tergetar pucat akan tetapi kakek ini berhasil menguasai perasaannya lagi. Hanya sejenak saja ia terkejut selanjutnya biasa lagi. Wajah gemuk itu tenang meskipun tegang. Dan ketika ia menghela napas dan berkata bahwa Chi Koan selalu membuat onar, di mana- mana selalu berbuat kerusuhan maka kakek ini tampak prihatin dan sedih tak dibuat-buat.
"Hm, lagi-lagi Chi Koan. Agaknya selama hidup ia ditakdirkan menjadi perusuh. Baik, lalu apa yang hendak kalian lakukan, Boen Siong, bagaimana pula dengan ketua atau pimpinan partai-partai itu?"
"Sute telah diangkat sebagai bengcu!" Siao Yen tiba-tiba tak dapat menahan perasaannya lagi, antara bangga dan ingin pamer. "Ia ke sini atas perintah ayahnya, locianpwe. Suhu Penasihat Bengcu dan para ketua menyusul belakangan. Kami diminta duluan!"
"Ah, kau seorang bengcu? Jadi keinginan ibumu benar-benar berhasil?"
Boen Siong semburat merah, menyesal pernyataan sucinya tadi. Akan tetapi karena tak menyangka apa-apa dan mengangguk membenarkan maka ia berkata bahwa semua itu bukan kehendaknya. Dan Po Kwan tiba-tiba berseru.
"Kim Cu totiang di sana pula, locianpwe. Mewakili Kun-lun iapun mengangkat sute sebagai bengcu. Nanti datang pula!"
Bi Wi dan Heng Bi tiba-tiba terkejut. Serentak mereka menmıberi hormat sebagaimana layaknya terhadap pemimpin. Dan ketika Boen Siong tersentak dan mencegah dua kakek itu maka Bi Wi terlanjur berseru,
"Maafkan kami. Kalau suheng telah mengangkatmu mewakili Kun-lun maka kaupun datang bukan sebagai orang biasa, Boen Siong. Kau adalah bengcu dan kami harus menyambutmu sebagai bengcu pula. Terima kasih atas kunjunganmu!" lalu melipat punggung dalam-dalam memberi hormat pemuda inipun seketika jengah dan menegur.
"Jiwi-susiok (dua paman guru) tak usah begitu. Betapapun kalian lebih tua dan kalianlah yang harus dihormati. Jangan berlebihan dan membuatku kikuk!"
"Tidak, kau telah berdiri di atas orang banyak. Jabatan itu bukanlah main-main, Boen Siong, bengcu berarti peminpin semua orang. Dan suheng telah mewakili Kun-lun pula. Selamat dan maafkan kami kalau tidak menyambutmu sejak awal!"
Boen Siong menyesali suheng dan sucinya ini akan tetapi mereka tersenyum- senyum. Justeru sikap itu semakin mengagumkan kakak beradik ini betapa rendah hati dan sederhananya pemuda itu. Sang sute benar-benar mirip ayahnya. Dan ketika Boen Siong berhasil menahan dua kakek itu agar tidak berlebihan, atau pembicaraan bakal canggung dan kaku maka Bi Wi tersenyum dan mengangguk-angguk.
"Baiklak, sekarang apa yang kau lakukan. Apa perintah ayahmu."
"Ayah memerintahkan aku agar menahan dan mencegah serbuan itu. Akan tetapi karena semua partai dihancurkan tinggallah Kun-lun seorang maka aku ke sini dan ingin menahan mereka di tempat ini!"
"Baik, dan menunggu mereka naik ke atas?"
"Inilah yang kupikirkan. Aku hendak minta pendapatmu, susiok, bagaimana sebaiknya. Aku masih muda dan kurang pengalaman."
"Hm!" tosu itu mengangguk-angguk, kini memandang Heng Bi Cinjin. "Bagaimana pendapatmu sute. Apa yang sebaiknya kita lakukan."
"Suheng tak mempersilahkan mereka duduk. Sebaiknya duduk dulu dan biar kututup pintunya!" Heng Bi Cinjin meloncat dan iapun menutup pintu ruangan ketika suhengnya sadar.
Bi Wi Cinjin tersipu malu dan iapun cepat mempersilakan tamu-tamunya duduk, tentu saja di lantai karena tak ada meja kursi di ruangan itu. Ini sanggar pemujaan. Dan ketika kakek itu duduk diikuti semuanya, wajahpun semua tegang maka kakek ini bertanya bagaimana jawaban sutenya. Heng Bi telah berdampingan dengan suhengnya itu.
"Boen Siong memang berkepandaian tinggi, akan tetapi masih muda dan kurang pengalaman. Menurut pendapatku disambut saja di bawah, suheng, selain agar tidak merusak bangunan juga tempat yang lega menjadikan kita leluasa. Akan tetapi tentu saja tidak sembarang tempat!"
"Maksudmu?"
"Kita bendung kaki gunung dengan tanggul-tanggul yang kokoh. Kita sambut si buta itu di tepi sungai Liong-kiang!"
"Hm, jauh di bawah sana?"
"Benar, suheng, selain menjauhkan dari lingkungan penduduk juga ceruk di sungai itu dapat dipakai untuk menjebak!"
Bi Wi Cinjin terkejut, mengangguk-angguk. Dan ketika Boen Siong berseri menyambut itu pemuda ini berseru, "Bagus sekali, susiok benar-benar tepat. Aku telah melihat tempat itu dan musuh dapat digiring kalau kita mau!"
Siao Yen dan kakaknya mendengar saja. Mereka tentu saja tak tahu bagian yang dimaksudkan itu dan Heng Bi Cinjin segera meminta persetujuan. Kalau sang ketua tak setuju diapun tak dapat berbuat apa-apa, itu adalah usul. Akan tetapi ketika Bi Wi Cinjin menghela napas dan berkata lirih kakek ini menyetujui.
"Baiklah, pinto rasa tak ada salahnya. Akan tetapi berapa banyak jumlah musuh itu, sute, adakah tempat itu tak terlalu luas. Pinto harus memperhitungkan keselamatan para murid bila mereka ingin lari bersembunyi."
"Boen Siong tentunya tahu, pinto, belum dengar!"
"Hm, yang jelas, ratusan orang. Aku, memotong dan mendahului mereka, susiok Belum kutemukan mereka di tengah jalan."
"Kalau begitu selidikilah. Kami mempersiapkan diri di sini dan kau menyelidiki."
"Akan tetapi mereka baru datang," Bi Wi Cinjin mengerutkan kening. "Masa menyuruh pergi lagi, sute, anak-anak ini tentu lelah.'
"Tak apa," Boen Siong memandang suheng dan sucinya. "Setelah berunding dan menentukan sikap aku dapat menyelidiki mereka, susiok, dan suheng atau suci biar menjaga di sini dulu!"
"Mana mungkin!" Siao Yen tiba-tiba berseru. "Kami datang untuk mendampingimu, sute. Kalau kau sendirian dan kami di sini apa gunanya datang. Tidak, kamipun tak lelah. Ini penting!"
"Hm..." Po Kwan mengangguk-angguk, melirik adiknya. "Siao Yen benar, sute, kami datang memang untuk membantumu. Hanya kalau kami tak secepat dirimu dan hendak berangkat duluan silakan, kami menyusul."
"Baiklah," Boen Siong tak enak. "Yang jelas aku tak memaksa kalian, suheng, kalau lelah boleh beristirahat dulu. Kalau ikut tentu saja lebih baik lagi, aku ada teman."
Bi wi Cinjin dan sutenya mengangguk-angguk. Mereka merasa betapa besar tanggung jawab pemuda itu. Duduk sebagai bengcu memang berat. Dan ketika diputuskan bahwa Kun-lun akan menyambut di bawah, segera menanggul kaki gunung khususnya di perairan sungai Liong-kiang akhirnya menjelang sore Boen Siong diperbolehkan meninggalkan tempat itu. Dua pimpinan Kun-lun ini tak tega membiarkan anak muda itu berangkat cepat- cepat.
"Hati-hati, kami sudah mulai bekerja. Batu dan segalanya sudah kami siapkan di bawah, Boen Siong. Besok pagi-pagi benar semua murid sudah akan mengelilingi kaki gunung dengan tanggul kokoh. Berangkatlah dan terima kasih untuk semua bantuanmu ini."
Pemuda itu mengangguk dan berkelebat meninggalkan Kun-lun. Anak murid sudah disebar untuk mengetahui sejauh mana musuh mendekati tempat mereka. Di sinilah Boen Siong memperoleh keterangan. Dan ketika sore itu juga ia meninggalkan Kun-lun dan suheng serta sucinya mengikuti di belakang maka kakak beradik yang sungkan ini menyuruh pemuda itu duluan.
"Yang pokok sudah selesai, Kun-lun telah mempersiapkan diri. Sekarang tinggal menyelidiki musuh, sute, pergi dan duluilah kami karena kami tak secepat Boan-eng-sutmu. Kami akan menyebar di kiri kanan dan akan bertemu di depan nanti."
"Baiklah," Boen Siong melirik sucinya. “Aku duluan, suheng. Telah sama-sama kita dengar tadi bahwa musuh telah tiba di Ui-san-kok!"
Po Kwan mengangguk dan sutenya itupun berkelebat lenyap. Mereka telah berada di persimpangan jalan dan Kun-lun telah jauh di belakang. Haripun mulai gelap dan Ui-san-kok adalah pegunungan di luar kota He-bun. Menurut utusan yang disebar di depan tempat itu tidaklah jauh lagi, kira-kira sehari perjalanan biasa.
Maka ketika ia bergerak dan meminta adiknya ke kiri, ia sendiri ke kanan maka Boen Siong yang lurus di depan akan mereka jumpai lagi dalam perjalanan melingkar. Siao Yen mengangguk dan berkelebat pula membagi tugas. Akan tetapi begitu kakaknya lenyap dan ia kembali lagi maka iapun mengejar Boen Siong lewat jalur lurus. Perasaannya berdegupan!
"Hm, sute menentang bahaya, mana mungkin kutinggalkan? Biarlah kususul dia di jalan ini pula dan semoga tak ada apa-apa!"
Memang tak ada apa-apa bagi Boen Siong kecuali rombongan orang-orang selatan itu. Hampir seribu orang yang dipecah dalam beberapa rombongan membuat barisan ini bak serombongan harimau mencari mangsa. Chi Koan tentu saja berada di tengah, muridnya dalam rombongan nomor dua sementara di depan sendiri adalah sepasang kakek Naga Menara itu. Mereka berjalan cukup teratur dan tentu saja menjauhi keramaian.
Gunung dan bukit-bukit terjal adalah perjalanan sehari-hari, hanya malam mereka berhenti. Maka ketika malam itu tiba di San-kok, Lembah Bunga Seruni maka rombongan berhenti den kebetulan yang di depan dapat memasuki lembah. Yang lain di luar dan mendirikan kemah-kemah darurat.
Malam itu sepasang kakek Naga Menara memimpin rombongannya. Di pinggir lembah, sedikit jauh dari kakek ini berdirilah rombongan Beng San. Beng San sendiri tak memiliki tenda karena justeru menjaga sebuah tenda kecil berwarna hitam. Di dalam tenda ini terdengar isak tangis.
Itulah Kwi Hong Sumoi ketua See-tong-pai, gadis cantik gagah yang menjadi tawanan dan telah mengamuk serta membunuh belasan orang ketika partainya diserbu. Dan ketika malam itu seperti biasa Beng San tiduran di sini, di luar tenda maka orang melihat bahwa ia begitu setia dan bertanggung jawab menjaga tawanan yang satu ini.
"Siapapun tak boleh mengganggu atau mendekati gadis ini. la tawananku, berbahaya kalau lolos. Kalau kalian berani mengganggu apalagi menyakitinya maka kalian akan berhadapan dengan aku. Tawanan tak boleh diperlakukan kasar, apalagi dihina. Ia tanggunganku dan kalian jangan dekat-dekat!"
Begitulah ucapan berulang-ulang yang dikatakan pemuda ini. Baik kaum pendekar maupun golongan sesat mengangguk-angguk. Bagi para pendekar kata-kata pemuda itu sesuai isi hati mereka. Tawanan tak boleh diganggu, apalagi wanita. Akan tetapi bagi kaum sesat yang tahu dengan apa yang dilakukan pemuda ini diam-diam tertawa geli dan mencemooh.
"Huh, apanya yang dijaga? Kaulah harimau di depan kelinci, San-kongcu. Justeru kaulah yang mengganggu dan menyakiti gadis itu!"
Ini benar, akan tetapi tentu saja tak diketahui para pendekar macam kakek Naga Menara itu maupun Tong-bun-sujin. Beng San cerdik sekali berada di rombongannya yang sebagian besar orang sesat. Justeru dialah yang mengumpulkan orang-orang itu dan menjadi semacam pelindungnya bila ada pendekar muncul, melihat keadaan umpamanya.
Dan ketika selama ini gerak-geriknya aman sementara para pendekarpun tak menyangka bahwa pemuda itu telah berbuat keji kepada tawanan, bukankah guru dan murid tampil ramah dan berbudi-pekerti baik maka orang-orang ini tak tahu betapa sesungguhnya gadis itu telah dirusak dan dipermainkan Beng San habis-habisan!
Malam itu setelah Se-tong-pai hancur maka Beng San tak menyia-nyiakan kesempatan. Mula-mula dia menyerahkan gadis itu kepada anak murid See-ouw-pang. Siapapun melihat bahwa dia memperlakukan tawanan baik-baik. Bahkan dengan bersuara lantang ia mengancam siapapun yang mengganggu dan menyakiti gadis itu.
Maka ketika malamnya ia muncul di tenda dan Kwi Hong baru saja sadar, menangis dan awut-awutan maka pemuda itu duduk bersinar-sinar menyentuh pundak gadis ini, sikap dan kata-katanya memang mula-mula lemah-lembut.
"Sudahlah, jangan menangis lagi. Semua yang terjadi sudah terjadi, Kwi Hong, air mata darahpun tak dapat menghapus semua kepahitan ini. Aku menyesal, akan tetapi semua ini atas tuntutan orang-orang selatan."
"Pergi, pergi kau. Bunuh atau bebaskan aku, Beng San, hanya itu pilihanmu!"
"Hm, kau keras kepala. Kau tak melihat betapa aku bersikap baik dan manis kepadamu. Kalau aku tak mencegah maka dirimu benar-benar celaka, Kwi Hong, tidakkah kau melihat betapa aku kasihan kepadamu, Aku, hmm... aku harus menyatakan cinta kepadamu. Benar, aku cinta kepadamu!" lalu ketika pemuda ini membelai dan mengusap wajah itu, menghapus air mata yang membanjir keluar maka gadis ini tersentak dan menarik kepalanya kuat-kuat.
"Kau... kau menyentuhku? Kau bilang apa?"
"Benar, aku bilang cinta. Ya, aku mencintaimu, Kwi Hong, itulah sebabnya aku menyelamatkanmu dan menyembunyikanmu di sini. Kalau tidak..."
Masuklah seseorang berwajah amat buruk. Masuknya orang ini menghentikan percakapan dan Kwi Hong tertegun. 0rang ini menyeringai dan memberi hormat kepada Beng San. Dan ketika ia berkata bahwa guru pemuda itu memanggil, Beng San mengerutkan kening maka laki-laki ini menutup, matanya menyambar Kwi Hong penuh gairah, terkekeh.
"Siauwhiap diminta secepatnya ke sana karena ada urusan penting. Gurumu menyuruhku menjaga sebentar di sini. Aku akan menggantikanmu."
"Hm... apa? Penting apa?"
"Mana kutahu? Yang jelas siauwhiap diminta cepat datang, dan gadis ini..he he, akan kujaga baik-baik!"
Pemuda itu menarik napas panjang, pura-pura kesal. Lalu ketika ia berkelebat dan lenyap sejenak maka pria buruk inilah yang menemani Kwi Hong. Gadis itu didekati dan merasa ngeri melihat lubang hidung yang growong, bibir tebal dan hitam sementara gusinya kotor!
"Heh-heh," laki-laki itu tertawa. "Sekarang kau bersamaku, manis. Kutipu pemuda itu agar dapat bersenang-senang denganmu. Uh, bunga begini cantik tak boleh disia-siakan!"
Tangan itu menjulur dan tahu-tahu menerkam Kwi Hong. Gadis ini menjerit akan tetapi ditutup mulutnya dan tiba-tiba hidung lelaki itu telah menciuminya. Bau busuk keluar dari gusi kotor itu, ketika terkekeh rongga mulutnya penuh uap. Dan ketika gadis ini berteriak akan tetapi roboh dipeluk, meronta dan tersumbatlah mulutnya didekap telapak lebar maka Kwi Hong hampir pingsan oleh perbuatan laki-laki ini. la ditindih dan sudah dicopoti bajunya.
"Heh-heh, barang segar. Tawanan seperti kau tak perlu dihormat berlebihan, nona. Mari bersenang-senang dan kita ke sorga!"
Akan tetapi saat itu berkelebat bayangan Beng San. Pemuda ini tahu-tahu kembali lagi dan tentu saja gadis itu girang. Kwi Hong melihat pemuda itu. Dan ketika Beng San membentak dan mencengkeram laki-laki itu, menariknya lepas maka jari pemuda inipun menampar dan telah mendarat di dahi laki-laki itu, satu di antara orang sesat yang sengaja dipasangnya untuk mengecoh Kwi Hong.
"Bangsat kau, krakk!" dahi itu retak, dan orang inipun roboh. la terkejut dan pucat sekali akan tetapi gerakan Beng San berlangsung cepat. Semuanya tahu-tahu telah terjadi. Dan ketika Beng San menendang mayat laki-laki itu sementara Kwi Hong menangis dan terisak-isak maka pemuda ini menyeka keringat dan tergetar oleh baju robek di belahan dada. Si kasar itulah yang melakukannya.
"Hm, lihat ini. Apakah begitu yang kau suka, Kwi Hong. Enakkah digerumut sebangsa keparat jahanam ini. Haruskah aku bersikap sekasar dan sebuas itu!"
Kwi Hong menghentikan tangisnya, terbelalak. Tentu saja ia berterima kasih kepada pemuda ini akan tetapi kata-kata pemuda itu membuat ia berdebar. Tiba-tiba wajahnya merah padam ketika dengan tatapan langsung mata pemuda itu menembus bajunya, langsung ke dada yang setengah telanjang. Dan ketika ia mengeluh namun tak dapat memutar tubuh, ia menjadi ngeri maka pemuda itu berlutut kembali dan mendesis.
"Lihat, penipu itu menipuku. Baik-baik aku menyatakan cinta, Kwi Hong, masa sikapmu seperti ini."
"Jangan pandang bajuku," gadis itu merintih. "Buang dan buka totokanmu, Beng San, biar kubetulkan pakaianku."
"Hmn, kau semakin manis seperti ini. Aku menyukaimu, Kwi Hong, aku mencintaimu. Katakanlah aku tak bertepuk sebelah tangan dan setelah itu kubuka totokanku."
Gadis itu menangis, tersedu-sedu. Ia menundukkan mukanya untuk menyembunyikan tatapan jalang pemuda itu ke dadanya. Ia merasa malu dan jengah sekali. Akan tetapi ketika pemuda itu menyambar dan tahu-tahu mendongakkan wajahnya, nafsu iblis tak dapat ditahan pemuda ini lagi maka Beng San berkata dengan nada ancaman.
"Aku tak ingin seperti jahanam itu. Aku ingin memperolehmu secara baik-baik, Kwi Hong. Katakan bahwa kau menerima cintaku!"
"Tidak!" gadis itu tiba-tiba menjerit. "Kau merusak dan menghancurkan See-tong-pai, Beng San. Kau membuat anak-anak murid terbunuh. Kau kejam!"
"Hm, aku tak membunuh siapapun, tak melukai siapapun. Kau jangan selalu berkata begitu, Kwi Hong. Sudah berkali-kali kutegaskan bahwa aku tak bersikap kejam. Buktinya aku memperlakukanmu baik-baik dan sampai saat ini tak ada siapapun yang mengganggumu, bahkan aku baru saja membunuh orang yang berani menghinamu!"
"Benar, akan tetapi kau menyerang dan merobohkan aku. Kau menghalangi aku menerjang kawan-kawanmu. Kau sama dengan mereka itu!"
"Baiklah, kalau begitu aku minta maaf. Sekarang katakan bahwa aku tak bertepuk sebelah tangan dan kau menerima cintaku!"
"Tidak, aku telah bertunangan. Kalaupun kau tak membantu teman-temanmu itupun aku tak dapat menerimamu. Aku telah menjadi calon isteri orang lain!"
Pemuda ini terkejut, mundur. Wajah yang merah itu sedetik berubah dan kelihatan pucat. Akan tetapi ketika ia menyeringai dan mengelus pipi itu maka pemuda ini berkata lagi, sekarang nadanya berbeda, "Hal inipun tak membuatku menyerah. Meskipun bertunangan akan tetapi dapat dibatalkan, Kwi Hong, kau belum menjadi isteri beneran. Aku tetap mencintaimu dan tak akan undur!"
Gadis itu pucat, terbeliak. Tiba-tiba ia menjadi seram melihat pemuda ini terkekeh. Kekehnya sama dengan laki-laki yang dibunuh tadi. Dan ketika wajah itu mendekat dan ia tak mungkin mengelak, ia tertotok maka Beng San menciumnya dan memeluk tubuhnya.
"Mau tidak mau kau harus menerima cintaku. Apa gunanya aku melindungi dan menyelamatkanmu, Kwi Hong. Kalau untuk ditolak lebih baik tidak!" pemuda itu menubruknya dan selanjutnya Beng San menciumi penuh nafsu.
Kwi Hong tak dapat menjerit ketika urat gagunya tiba-tiba ditotok. Dan ketika ia merintih dan hampir pingsan, pemuda itu menciuminya maka dengan buas akhirnya Beng San melepas baju gadis ini. Kwi Hong menjerit sekeras-kerasnya akan tetapi suaranya tercekik di kerongkongan, ia tak dapat mengeluarkan itu. Dan ketika ia mendelik dan merasa tertusuk, kesakitan sangat akhirnya gadis ini benar-benar pingsan dan malam itu Beng San berhasil menggagahinya.
Gadis See-tong ini nyaris gila. Keesokannya ketika sadar ia memaki-maki. Suaranya dilengking-lengkingkan akan tetapi yang keluar hanyalah jerit lirih tak berarti. Beng San telah meninggalkannya akan tetapi malamnya datang lagi. Dan ketika untuk kedua kali ia dipaksa lagi, pemuda itu menotok dan menggagahinya maka gadis See-tong-pai ini benar-benar terpukul hebat dan roboh pingsan.
Setiap ia sadar setiap itu pula kejadian itu berulang di depan matanya. Ia terguncang. Dan ketika akhirnya ia tak kuat dan terganggu syarafnya, Beng San benar-benar keji maka pemuda ini baru melepaskan totokannya setelah gadis itu gila.
"Heh-heh, hi-hik! Mana laki-laki tampan yang harus kulayani itu. Eh, mendekat dan ke marilah, penjaga. Mana orang muda tampan itu. Ayo suruh ia masuk!"
Kwi Hong menari dan melenggak-lenggok ketika menghempiri sekerumunan laki-laki di luar. la telah dibebaskan dan pagi itu tertawa-tawa, sikapnya miring. Dan ketika semua terkejut dan tertawa, satu di antara mereka bangkit dan menghampiri maka laki-laki ini berkata menyambar pinggang gadis itu. Kwi Hong memaang cantik dan masih menggairahkan.
"Akulah orang yang kau cari-cari. Adakah yang perlu kuberikan, Hong-moi, mari bersenang-senang dan kita ke rumpun bambu itu!"
"Heh-heh, hi-hik... kau tampan. Mari koko, mari ke sana. Ah, belaianmu semalam membuatku tak dapat tidur dan terbayang-bayang, hik-hik..!"
Semua meledak dan terkekeh-kekeh. Gadis itu mau saja diajak ke rumpun bambu dan selanjutnya lenyap sekejap. Akan tetapi ketika terdengar jeritan dan pasangannya berlumuran darah, lidahnya digigit Kwi Hong maka gemparlah keadaan dan gadis itu dikepung.
"Serang, tangkap dia. Awas panggil San-kongcu!"
Namun gadis ini mendadak mendeprok. la tersedu dan mencakari rambutnya sambil bergulingan. Lidah yang digigit putus dibuang keluar. Dan ketika semua menjadi ngeri dan merasa seram, datanglah Tong-bun-su-jin maka empat orang gagah ini terbelalak.
"Apa yang terjadi, kenapa tawanan lolos!"
"San-kongcu membebaskannya. la gila, Tong-bun-su-jin, mengamuk dan menggigit Mo Lui!"
Empat orang itu terbelalak. Mereka melihat lidah yang putus itu, pemiliknya sudah pingsan. Dan ketika mereka saling pandang dan yang tertua melompat dan menotok maka gadis itu tak bergerak lagi dan lumpuh dengan mudah. Kini tertawa-tawa.
"Hi-hik, siapa kalian. Apakah mau kencan lagi dengan aku!"
Empat orang itu mengerutkan kening. Tong Kit orang tertua merasa ada yang tak beres, tentu saja kasihan. Dan ketika berkelebat bayangan Beng San dan kebetulan sekali maka orang tertua Tong-bun su-jin bicara.
"San-siauwhiap menelantarkan orang gila, benarkah. Kalau gadis ini terganggu atau sakit justeru harus dirawat, siauw-hiap. Bukankah ia tanggung jawabmu dan kenapa bisa begini. la tak boleh keluar, berbahaya!"
"Hm, memang aku membebaskannya, akan tetapi sekedar menghirup hawa segar. la begini sejak diganggu jahanam Wo Tu, Tong-bun-su-jin. la telah kubunuh akan tetapi gadis ini terlanjur terguncang. Aku bingung!"
Beng San melimpahkan kepada laki-laki yang dibunuhnya itu dan Tong-bun-su-jin mengerutkan kening. Memang mereka telah mendengar kejadian itu karena tentu saja Beng San menyebarnya cepat. Justeru dengan dibunuhnya laki-laki itu ia dapat menimpakan kesalahan. Diri sendiri bebas dan tetap bersih! Dan ketika ia memperlihatkan muka kebingungan dan sedih, di depan orang-orang gagah ini ia harus berbaik dan ramah hati maka Tong-bun-su-jin terkecoh.
"Baiklah, akan tetapi tetap juga tanggung jawabmu. Karena ia sumoi See Cong Cinjin dan cukup berharga harap kau tidak melepaskannya begini saja. Siapa tahu kakek itu menyerah tanpa syarat."
Beng San mengangguk, menerima kembali gadis itu. Ia pura-pura bertanya kepada rombongannya kenapa Kwi Hong ada di situ. Dan ketika dijawab bahwa Mo Lui mengganggunya maka pemuda itu membentak agar orangnya tahu aturan.
"Gadis gila tak boleh diganggu lagi. Aku memberinya kebebasan untuk menghirup hawa segar. Kalau kalian ada yang mengganggunya lagi maka kalian akan berhadapan dengan aku!"
Cerdik dan licin sekali pemuda ini memutar balik fakta. Sebenarnya dialah yang memberikan Kwi Hong kepada orang-orang itu. Ia sengaja melepas gadis itu agar diganggu. Tapi ketika jatuh korban dan ditegur, tentu saja Beng San terkejut maka ia menyalahkan orang-orang itu yang menyeringai kecut. Pimpinan gampang sekali menyalahkan bawahan.
"Baik, kami taat perintah. Kalau begitu cekal dan masukkan dia, kongcu, jangan dilepas lagi. Kami akan menjaga di luar!"
Beng San mengangguk, empat orang gagah itupun pergi. Dan ketika terpaksa merawat dan tak melepaskan Kwi Hong, diam-diam mengumpat maka setiap malam pemuda itu menjaga di luar tenda. la sudah tak ingin menggagahi atau mempermainkan Kwi Hong lagi. Siapa mau gadis gila!
Dan dì malam itulah Boen Siong datang. Datang sebagai penyelidik dan harus berhati-hati tentu saja pemuda ini tak mau gegabah. Sudah dilihatnya rombongan besar itu. Tenda atau kemah-kemah kecil bertebaran di dalam lembah, juga di luar di seberang sana. Dan karena ia hanya ingin mengetahui kekuatan musuh, jumlah atau para penghuninya maka dengan hati-hati dan amat luar biasa pemuda ini menyelinap masuk.
Dengan Boan-eng-sutnya yang luar biasa tidak terlalu sukar bagi pemuda ini menyelidiki musuh. Kemah demi kemah didatangi. la ingin tahu benar di mana si buta berada. Boen Siong sudah mengepal tinju dan marah sekali kepada musuh bebuyutan ayahnya ini. Akan tetapi ketika tiba-tiba terdengar isak tangis dan ia tertegun, telinganya menangkap suara itu dibagian dalam maka ia berkelebat dan langsung menyambar.
Boen Siong adalah pemuda yang kurang pengalaman. Ia tak tahu bahwa di setiap sudut-sudut gelap selalu bersembunyi beberapa pasang mata mengintainya. Ia tak tahu bahwa sejak ia masuk sesungguhnya gerak-geriknya ketahuan. Maka ketika ia berjumpalitan dan hinggap di kemah hitam ini, beberapa mata memandangnya terbelalak maka pemuda itupun tak tahu betapa Beng San yang tadinya berjaga dan di luar tenda telah mendapat isyarat adanya musuh!
Beng San terkejut dan terheran-heran. la mendapat laporan bahwa seseorang yang dapat bergerak secepat iblis mendatangi tempat itu. Hanya karena Boen Siong berhenti dan hinggap di tempat tempat tertentu maka gerak-geriknya terpantau. Lain misalnya jika pemuda ini lari terbang dan berkelebat seperti iblis.
Maka ketika kehadirannya diketahui dan bersiaplah orang-orang itu, anak buah Beng San maka Beng San sendiri akhirnya kagum dan terbelalak melihat Boen siong menggantol kaki di ujung tenda melihat ke dalam. Kain tenda sedikitpun tak bergerak atau mengeriput, padahal di sentuh angin sedikit saja biasanya bergoyang!
Maklum bahwa yang datang adalah musuh tangguh, kebetulan sinar bulan menerangi wajah ini maka Beng San tertegun karena lawan di atas tenda itu adalah seorang pemuda tampan dan gesit serta memiliki sepasang mata mencorong. Hal itu terlihat ketika secara kebetulan Boen Siong memandang ke bagian di mana Beng San bersembunyi!
Beng San tergetar. Ia hampir menyangka bahwa pemuda itu adalah Po Kwan. Akan tetapi karena Po Kwan lebih tinggi dan lebih jangkung, ia menarik kepalanya dibalik dedaunan lebat, cepat bersembunyi di tempat gelap maka Boen Siong menaruh perhatiannya lagi ke dalam tenda.
Isak dan tangis itu terdengar sudah, jelas dan benar di sini. Dan ketika Boen Siong memperhatikan dan melihat kaki tangan gadis itu terikat, terkejut dan teringat sumoi See Cong Cinjin maka ia pun menyambar ke bawah dan tahu-tahu tenda telah dibelah tanpa suara.
"Sst, benarkah kau Kwi Hong? Aku datang menolongmu...!"