Kabut Di Telaga See Ouw Jilid 27 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Serial Bu-beng Sian-su Karya Batara

GU LAI HWESIO adalah tokoh yang suka bergurau dan meledaklah tawa yang lain. Mendengar godaan ini, Memang dua anak muda itu hanya berpandangean saja dan masing-masing tampak ragu. Wajah keduanya juga memerah sementara Boen Siong berdebaran tak keruan. Alangkah cantiknya gadis ini pada saat itu. Pipi itu kemerah-merahan bak tomat masak.

Akan tetapi ketika semua orang tertawa dan Boen Siong merah padam, lebih-lebih Siao Yen maka gadis. itu menunduk dan menjura, kata-katanya gemetar ketika diserukan.

"Harap sute mulai dan biarlah aku bertahan!"

Namun Boen Siong menggeleng. Ia berkata bahwa gadis itulah yang harus menyerang lebih dulu, ia laki-laki. Dan ketika orang-orang tua riuh bertepuk tangan, masing-masing masih juga mengalah akhirnya gadis ini membentak dan apa boleh buat menyerang lebih dulu.

"Baiklah, jaga, Sute. Awas serangan!" Siao Yen tak ingin digoda lagi dan iapun berkelebat mendorongkan tangan kiri ke depan. Soan-hoan-ciang atau Pukulan Angin Topan dilancarkan, tentu saja tak sekuat tenaga namun Boen Siong mengelak. Pukulan luput dan mengenai tempat kosong. Dan ketika gadis itu terbelalak dan membalik ke kanan, Boen Siong melangkah ke tempat itu maka iapun mengejar dan Boen Siong mengelak lagi.

"Dess!" lantai menerima hajaran dan tempat itu tergetar. Boen Siong memuji kagum akan tetapi gadis ini penasaran. la gagal. Maka berkelebat dan mengerahkan ginkangnya tiba-tiba gadis inipun lenyap dan kini tangan kanannya menyambar dengan Thai-san-ap-ting (Menindih Gunung Thai san), cepat dan disusul tangan kiri dan Boen Siong tak mungkin mengelak saja, iapun menangkis.

Dan ketika gadis itu terpental dan Siao Yen merasa kaget, ia terhuyung ke belakang maka gadis ini melengking dan berkelebetanlah tubuhnya menyambar-nyambar, cepat dan ringan sampai akhirnya hilang tak mampu dikuti mata biasa lagi. Heng-san-paicu dan lain-lain menjadi kagum dan beberapa di antaranva mengakui bahwa gadis ini benar-benar lihai. Mungkin Ko Pek To jin dan See Cong Cinjin bukan tandingan.

Dan ketika dua ketua itu tak tertawa-tawa lagi menyaksikan pertandingan, masing-masing harus mengerahkan tenaga untuk dapat menonton dengan baik maka Boen Siong berkelebaten pula dan lawan melengking-lengking tak mampu mengejar. Bahkan dua kali terpental oleh tangkisan pemuda itu.

"Duk-plak!" Gadis ini penasaran. Akhirnya ia mengganti Soan-hoan-ciang dengan Thai-san-ap-ting sepenuhnya, berkelebatan dan mendorong serta memukul akan tetapi lawan gesit mengelak cepat. Hanya untuk pukulan berbahaya Boen Siong menangkis. Dan karena setiap tangkisan membuat gadis itu terpental, Naga Gurun Gobi terkejut dan kagum sekali maka pendekar itu berseru agar gadis itu merobah tenaga.

"Keluarkan inti sinkangmu, mainkan Cui-pek-po-kian!"

Siao Yen ragu-ragu. Seruan gurunya berarti pengerahan Hok-te Sin-kang, padahal ia tak ingin bersikap keras dan hanya perkenalan saja. Akan tetapi ketika ia terpelanting dan kaget serta penasaran gurunya kembali berseru maka Peng Houw berkata agar gadis itu tak usah ragu-ragu.

"Cepat dan gabung dengan Cui-pek-po-kian, atau kau terjungkal!"

Gadis ini menggigit bibir. Sebagai penonton yang tentu saja awas dan tahu keadaan maka seruan atau kata-kata gurunya beralasan. Ia tak boleh menunda lagi atau kata-kata gurunya menjadi kenyataan. Dan karena ia tak ingin roboh begitu cepat, kini ia mulai marah dan jengkel akhirnya gadis ini merobah gerakan dan tangan kirinya kini melancarkan Cui-po-kian, satu pukulan yang dulu membuat mendiang Ji Beng Hwesio dedengkot nomor dua ditakuti orang.

"Des-dess!" Boen Siong terkejut ketika hawa panas menyambar dari tangan gadis itu. la mengelak dan berkelebat lenyap dan akhirnya pukulan menghantam pilar besi. Pilar bergoyang-goyang dan semua orang meleletkan lidah. Akan tetapi karena pemuda itu menghilang dan gadis ini gagal, Siao Yen kagum maka ia membalik dan melihat pemuda itu berjungkir balik melayang turun, baru saja menghindar dari serangannya yang dahsyat itu.

"Awas susulan!"

Boen Siong dipapak. Ia belum menginjak lantai ketika tahu-tahu gadis itu menyambar datang. Dua tangan mendorong ke atas dan Cui-pek-po-kian serta Thai-an-ap-ting menderu, bukan main dahsyatnya. Dan ketika pemuda itu rasanya tak mungkin menghindar dan mau tak mau harus menyambut pukulan, memang inilah yang terjadi maka Boen Siong menggerakkan tangannya ke bawah dan... plak"

Empat telapak tangan bertemu dan melekat di udara, sejenak menahan pemuda itu dan telapak yang halus membuat darah Boen Siong berdesir. la menungging dengan kaki tertekuk ke belakang sementara wajah mereka begitu dekat. Mata yang indah lebar itu terbelalak. Dan ketika Boen Siong memejamkan mata tak kuat menahan, hatinya berdebar-debar maka Siao Yen membentak dan terlemparlah pemuda itu ke atas lagi, tinggi sekali.

"Bresss!" Boen Siong baru terkejut ketika bentakan dan dorongan gadis itu melemparnya ke atas. la merasa tenaga yang kuat namun lembut menolaknya tinggi, begitu tinggi hingga kepalanya membentur belandar tak ayal lagi benjut dan iapun berteriak tertahan. Dan ketika ia berjungkir balik dan melayang turun, ibunya berkelebat maju maka Siao Yen mundur menjauh sementara Peng- hujin mencengkeram puteranya.

"Kau tak sungguh-sungguh, goblok dan tolol. Jangan membuat malu ibumu!" Pemuda ini tersentak, la melayang turun dan hinggap di lantai ketika ibunya mencengkeram dan membentak, bukan main malunya. Dan ketika ia merah padam sementara yang lain bengong sejenak, meledak dan tertawa melihat benjut di kepala pemuda itu maka Li Ceng membentak puteranya lagi untuk bersungguh-sungguh.

"Bertanding bukan meramkan mata, itu akibatnya kalau setengah-setengah. Hayo sungguh-sungguh atau aku menghajarmu!"

Peng Houw mengerutkan kening. Tampak betapa isterinya bersikap keras sementara puteranya mengangguk diam. Jelas sekali pemuda itu mandah dimarahi. Maka ketika ia menghela napas merasa terharu, betapa keras isterinya mendidik maka ia menegur ketika isterinya duduk kembali. Boen Siong sudah berhadapan lagi dengan Siao Yen.

"Kau jangan menghardiknya seperti anak kecil begitu. la telah dewasa, Ceng-moi, bukan anak-anak lagi. Hargailah dia di depan orang banyak."

"Huh, aku tak suka ia setengah-setengah. Masa menerima pukulan sambil meramkan mata, pertandingan macam apa itu. Aku tak senang ia kalah hanya membuat aku malu. Dan Boen Siong tak mungkin kalah!"

Peng Houw kembali menghela napas. Ia melihat betapa isterinya sekarang keras sekali. Penderitaan dan kesengsaraan membuat isterinya lain. Maka ketika ia diam sementara Boen Siong mendengarkan percakapan itu, melirik dan mengangguk kepada ayahnya maka pendekar itu terharu mendengar bisikan puteranya, dilakukan dengan pengerahan Coan- im-jip-bit.

"Ayah tak usah bertengkar dengan ibu, biarkanlah saja. Aku yang salah dan terima kasih atas pembelaan ayah."

Naga Gurun Gobi semakin terharu. Puteranya tak melihat lagi kepadanya karena lawan bersiap lagi. Siao Yen tak enak juga melihat benjut itu, kepala pemuda ini tampak lucu. Maka ketika ia berkata pemuda itu ganti menyerangnya, Boen Siong menggeleng ternyata dengan tersenyum pemuda ini menolak.

"Tidak, aku laki-laki, lagi pula aku belum kalah. Silakan maju lagi nanti aku membalas."

"Hmm, kau yang minta. Kali ini harus hati-hati, sute. Aku akan semakin menyesal kalau kau celaka lagi!" Siao yen tak mau berdebat lagi dan ia pun menyambung cepat. Godaan atau tawa Gu Lai hwesio tak mau didengar. Maka berkelebat dan membentak lagi, pukulan dilepas dan menyambar ke depan maka Boen Siong mengelak dan ketika dikejar iapun menangkis.

"Plak..!" Gadis itu terhuyung. Untuk kesekian kalinya ia kalah tenaga, akan tetapi ketika ia melelengking dan mengerahkan ginkang, lenyap menyambar-nyambar segera pemuda itu dihujani serangan hingga tak mungkin Boen Siong bersikap lamban, bergerak dan mengikuti pula dan pemuda inipun mengerahkan ginkangnya.

Akan tetapi ketika gadis itu lenyap dan gerakannya semakin cepat, begitu cepatnya hingga Ko Pek Tojin dan lain-lain tak mampu mengikuti dengan pandang matanya, maka Li Ceng berseru agar puteranya mengeluarkan Boan-eng-sut, ingin pamer di depan suami bahwa puteranya jauh lebih cepat lagi.

"Jangan dengan ginkang biasa. Keluarkan Boan-eng-sutmu, Boen Siong, tunjukkan kepada ayahmu bahwa kecepatan Siao Yen dapat kau atasi. Atau aku mencurigaimu ada apa-apa yang membuatmu mengalah kepada gadis itu!"

Boen Siong merah padam dan tawa penontonpun tak dapat dicegah lagi. Memang kata-kata atau seruan nyonya itu memecah ketegangan. Bagi Heng-san-pai-cu dan lain-lain yang telah mengenal betul kehebatan pemuda ini maka sikap yang ditunjukkan Boen Siong memang belum sepenuhnya. Mereka tahu betul kelihaian pemuda ini, apalagi Boan-eng-sut (Elang Cahaya) yang mengagumkan itu.

Maka ketika See Cong Cinjin bertepuk tangan sementara Gu Lai Hwesio tergelak-gelak, semua ini buat Boen Siong semakin merah maka pemuda itupun membentak dan begitu ia berseru keras mendadak tubuhnya lenyap dua kali lebih cepat daripada lawan.

"Slap-slap!"

Siao Yen kaget sekali. Tahu-tahu ia kebingungan ketika dalam gerakannya yang cepat iapun kehilangan sasaran. Pemuda itu tak dilihatnya lagi. Dan ketika ia terkejut dan celingukan bingung di mana lawan mendadak terdengar seruan Boen Siong di samping kirinya.

"Awas, suci, waspada sedikit!"

Pundaknya tahu-tahu ditempar dan ia terpekik. Gadis ini memutar tubuh ke belakang akan tetapi Boen Siong pun menghilang lagi, begitu cepatnya gerakan pemuda itu hingga pangkal lengannya kali ini ditepuk. Dan ketika ia menjerit serta kaget dan penasaran, lawan bagai siluman maka Ji-hwesio bangkit berdiri tak mampu menahan kekagumannya lagi.

"Omitohud, luar biasa. Ini benar-benar mengagumkan dan belum pernah pinceng lihat di dunia ini ilmu meringankan tubuh yang begitu mentakjubkan. Kau kalah, Siao Yen, lawanmu menyerangmu berkakali-kali!”

“Akan tetapi Siao Yen belum roboh. la masih dapat mempertahankan diri!" suara Sam-hwesio membuat orang mengangguk-angguk dan itupun memang benar. Lalu ketika terdengar seruan bahwa Siao Yen pun belum mengeluarkan inti kepandaiannya, gadis itu masih belum mengeluarkan Hok-te Sin-kang maka Peng-hujin maklum dan berseru pada gadis itu, bangga dan gembira bahwa di depan suaminya dapat memperlihatkan kehebatan puteranya itu.

"Boleh, keluarkan inti kepandaianmu. Boen Siong tak hanya pandai bergerak cepat, Houw-ko, iapun memiliki Lui-cu-sin-hwe-kang (Tenaga Api Sakti Mutiara Geledek) warisan suhunya!"

Maka pertandingan menjadi ramai ketika gadis itu tiba-tiba membentak dan mengeluarkan Hok-te Sin-kangnya. Tenaga sakti ini warisan Peng Houw sendiri dan hebatnya bukan main-main. Meskipun setengah bagian akan tetapi Sin Tong Tojin ketua Heng-san-pai belum tentu kuat bertahan. Maka ketika gadis itu melengking dan kedua tangan mendorong bagai orang merobohkan gunung, berkesiurlah angin dahsyat menyambar Boen Siong maka pemuda itu terkejut ketika tertiup dan hampir terjengkang.

"Hyaahhhh!" Boen Siong tak membuang waktu lagi den iapun tiba-tiba mendorongkan kedua tangannya ke depan. Hawa panas menyambar ketika Lui-cu-sin-hwe-kang menyambut, bahkan kilatan api tampak di lengan pemuda ini. Berpijar!

Dan ketika ledakan keras terdengar diantara dua orang itu, Siao Yen terpekik maka gadis itu teruyung namun maju lagi, kaget dan memukul secara memutar sambil meliukkan pinggang. Hok-te Sin-kang benar-benar hebat ketika dengan penasaran gadis ini menambah tenaganya lagi. Baju para penonton di ujung sana sampai berkibar!

Akan tetapi ketika Boen Siong mengelak dan mendorong dari samping, gadis itu berseru tertahan maka ia terhuyung dan sempoyongan mundur, marah dan membalik lagi menyerang hebat. la berseru agar dihadapi secara berdepan. Gadis itu benar-benar penasaran. Dan ketika Boen Siong melayani dan mendorongkan kedua tangannya, berdepan maka bresss...!" gadis itu terbanting dan bergulingan dengan wajah pucat. Mengeluh!

Cukuplah pertandingan ini bagi Peng Houw. Terkejut dan kagum bahwa puteranya mampu menghadapi Hok-te Sin-kang membuat pendekar itu maklum bahwa puteranya benar-benar hebat bukan main. Ia teringat keterangan isterinya betapa mendiang kakek sakti Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip memberikan sinkangnya kepada pemuda itu. Maka ketika ia berseru agar pertandingan dihentikan, sinkang dan ginkang pemuda itu tak kalah memukau maka Peng Houw berseri-seri mengulapkan lengannya, bangkit dan berdiri.

"Cukup, muridku kalah. Kau memang hebat, Boen Siong, akan tetapi Siao Yen seorang wanita. Sekarang hadapilah suhengmu dan kalau kau menang maka ujianmu adalah dikeroyok!"

Siao Yen mengusap keringat dengan wajah kemerah-merahan. Pipinya bersemu dadu mengerling pemuda itu. Antara kaget dan kagum menjadi satu. Maka ketika menjura dan mundur teratur, Gu Lai Hwesio tergelak-gelak maka tokoh Bu-tong yang amat percaya jagonya ini berseru,

“Tak usah menunggu, sekarangpun diadu saja, Peng-taihiap. Atau kau sendiri maju ke depan karena murid-muridmu bakal kalah!"

"Benar, ini pibu. Taihiap maju sendiri dan pertandingan tentu seru!"

Akan tetapi Peng Houw menggeleng dan tersenyum menolak ketua Bu-tong dan See-tong itu. la tetap memanggil muridnya Po Kwan dan berkelebatlah pemuda itu ke depan. Lalu ketika pemuda ini menjura dan membungkuk di depan yang tua-tua, diam-diam pemuda ini kagum akan kehebatan sutenya maka pemuda itu menghadap gurunya berkata merendah,

"Teecu sudah siap, akan tetapi mohon maaf bila kepandaian teecu begitu rendah dan memalukan suhu."

"Tidak! Kau mengerti. Kepandaianmu seusap di atas adikmu, Po Kwan. Kalau kau maju mungkin Boen Siong harus bersikap lebih hati-hati. Serang dan bertandinglah kalian dan jangan ragu. Kalau kalah berarti harus maju berdua!"

Pemuda mengangguk, sebenarnya segan. Mengeroyok adalah hal yang lebih tak enak lagi akan tetapi berhadapan satu lawan satupun agaknya berat. Ia kagum dan tergetar oleh Boan-eng-sut yang ditunjukkan sutenya tadi, dalam hal gin-kang harus mengaku kalah biarpun belum bertanding. Akan tetapi kerena dalam ilmu silat ia belum beradu tenaga, dan inilah yang akan dicobanya sesuai perintah gurunya maka iapun menghadapi sutenya dan memberi hormat di depan sutenya itu. Biarpun lebih muda akan tetapi sutenya ini putera suhunya.

"Sute telah menunjukkan kepandaian yang mengagumkan di depan semua orang, dan akupun mengakui kehebatanmu yang luar biasa itu. Akan tetapi karena suhu memerintahku dan tak mungkin aku menolak harap sute bermurah hati dan mohon maaf bila pukulanku terlalu keras."

Boen Siong tersenyum, Ia memberi hormat pula di depan suhengnya itu. Dari kata-kata dan sikap ini saja ia sudah merasa senang kepada murid ayahnya ini. Suhengnya ini tak berkesan sombong, bahkan rendah hati. Maka berkata dialah yang minta maaf kalau terlalu lancang, Po Kwan tersenyum maka Boen Siong menyuruh suhengnya maju. Akan tetapi pemuda itu menggeleng.

"Tidak, aku lebih tua, sute, kaulah yang maju dan silakan mulai. Jangan sungkan-sungkan."

Boen Siong mengangguk puas. Dari sini kembali ia melihat watak baik suhengnya ini, sebagai yang tua mengalah kepada yang muda. Dan karena mereka sama-Sama lelaki dan ia pun tak perlu sungkan seperti ketika menghadapi sucinya tadi maka Boen Siong pun berseru sambil berkelebat ke depan, tangan kirinya miring membacok bagai sikap sebatang golok.

"Baiklah, aku mulai, suheng. Hati-hati!"

Po Kwan tak mengelak ketika serangan tiba. Justeru ia menggerakkan tangannya menyambut, menangkis dan menjajal tenaga sutenya seperti yang ia inginkan. Dan ketika dua lengan beradu dan ia terhuyung dengan kulit panas, terkejutlah dia maka Boen Siong telah menyusuli dengan serangan-serangan cepat dan terhadap suhengnya ini tampak betapa pemuda itu tak bersikap sungkan. Beradu lengan atau pukulan tidak membuat perasaan Boen Siong tergetar seperti ketika tadi beradu dengan kulit lengan Siao Yen yang halus.

"Duk-dukk!"

Po Kwan semakin terkejut ketika dari tangkisan-tangkisan berikut ia tergetar dan terdorong. la belum mengeluarkan Hok-te Sin-kangnya itu seperti halnya sang sute yang belum mengeluarkan Lui-cu-sin-hwe-kang. Hal itu tampak dari lengan Boen Siong yang masih biasa, tidak berkilat atau berpijar seperti kalau ia mengeluarkan Tenaga Api Sakti itu.

Maka ketika ia terpental sementara serangan-serangan sutenya semakin cepat, berserulah pemuda itu mengibas dengan Soan-hoan-ciang atau Thai-san-ap-ting maka pemuda ini berkelebatan pula mengerahkan ginkang, diam-diam kagum dan kaget karena meskipun ia telah menambah tenaganya namun tetap juga ia terhuyung dan terdorong!

"Bagus, sute, akan tetapi sekarang aku membalasmu!" Seperti tadi adiknya mengeluarkan dua ilmu pukulan itu maka Thai-san-ap-ting maupun Kibasan Angin Puyuh (Soan-hoan-ciang) menderu dan menyambar Boen Siong. Akan tetapi Boen Siong berkelit dan mengelak lincah, dikejar dan akhirnya mengeluarkan ginkangnya pula mengimbangi suhengnya itu.

Dan ketika dua pemuda ini berkelebatan dan mengelilingi dengan cepat, bayangan putih dan kuning saling belit bagai sepasang naga bertarung maka tampak bahwa masing-masing beradu cepat dan dak-duk-dak-duk pukulan menggetarkan ruangan hingga jantung penonton berguncang-guncang oleh pertandingan menegangkan ini. Masing-masing belum ada yang terdesak dan sama kuat!

Semua menjadi kagum. Dari sini tampaklah bahwa Po Kwan memang seusap lebih tinggi dibanding adiknya, terutama dalam hal sinkang. Meskipun tergetar dan terdorong akan tetapi belum satu kalipun pemuda itu terpelanting. Hal ini membuat Boen Siong kagum pula dan mau tak mau pemuda ini mengakui kelihaian suhengnya. Akan tetapi ketika Boen Siong membentak dan mengeluarkan Boan-eng-sutnya, inilah yang dicemaskan Po Kwan maka pemuda itu terkejut melihat lawan tiba-tiba menghilang.

"Awas, aku menambah kecepatan!"

Po Kwan mengeluh. Kalau Boen Siong mengeluarkan itu maka yang terjadi ialah bergeraknya bayangan putih yang menyilaukan pandangan. Begitu membentak dan menjejakkan kakinya maka pemuda ini lenyap tak mampu diikuti mata lagi. Akibatnya sang suheng kebingungan, dua kali menerima tamparan. Dan ketika begitu cepatnya pemuda itu berkelebatan mengelilingi suhengnya maka Peng Houw tak sabar lagi berseru.

"Keluarkan inti kepandaianmu. Jaga dan lindungi tubuhmu baik-baik, Po Kwan, dorong kedua lenganmu ke depan!"

Pemuda ini tak dapat berbuat lain. Seruan suhunya memerintahkan dia mengeluarkan Hok-te Sin-kang, itulah inti kepandaian Maka ketika ia membentak dan berseru keras, mendorongkan kedua lengannya ke depan maka berkesiurlah angin dahsyat pukulan Hok-te Sin-kang.

"Des-Des..!" Boen Siong terpental dan berseru tertahan berjungkir balik ke atas. Setelah Hok-te Sin-kang menyambar sementara ia hanya mengandalkan Boan-eng-sut maka tubuh suhengnya mengeluarkan semacam tenaga mujijat yang membuat pukulan atau tamparannya tertolak. la begitu kagum dan terkejut karena tubuh suhengnya seperti karet. Dan ketika sang suheng membalas dan dari kedua lengan menyambar tenaga yang amat hebat, Hok-te Sin-kang yang luar biasa itu maka ia tertiup dan kalau tidak berhati-hati bakal terjengkang atau benjut seperti tadi!

Akan tetapi Boen Siong telah merasakan kehebatan tenaga ini lewat Siao Yen tadi. Diam-diam ia mengakui bahwa sang suheng lebih kuat. Dorongan dan sambaran itu membuat mukanya pedas, kalau tidak berhati-hati bisa tersayat dan alangkah berbahayanya! Maka berseru dan merobah pola serangannya, melayang dan berjungkir balik turun tiba-tiba pemuda ini mengerahkan Lui-cu-sin-hwe-kangnya dan mendadak kedua lengannya berkilat dan berpijar-pijar bagai api.

"Awas, suheng, akupun membalasmu!"

Semua penonton terbelalak. Boen Siong meluncur turun sementara sang suheng menyambut dengan dorongan ke atas. Adu pukulan dahsyat tak mungkin dihindarkan lagi. Dan ketika benar saja empat lengan beradu dan terdengar ledakan keras, pilar sampai tergetar maka sejenak tubuh Boen Siong tertahan di udara akan tetapi akhirnya mendesak dan sang suheng terdorong mundur. Wajah Po Kwan menjadi pucat karena kedua lengannya panas bagai disentuh bara.

"Dess!" Siapapun melihat betapa wajah pemuda ini berubah. Boen Siong telah turun kembali sementara suhengnya masih terhuyung-huyung, baru setelah beberapa langkah berhenti. Dan ketika pujian meluncur dari mulut Peng Houw, pendekar ini kagum sekali maka muridnya menjadi merah dan perasaan tak ingin kalahpun timbul. Penasaran

"Sute, kau benar-benar tak memalukan. Akan tetapi sambutlah pukulanku dan kita bertanding lagi!" Po Kwan melompat dan kini pemuda itu menambah tenaganya. Ia betul-betul penasaran akan benturan tadi dan kiut-miut menahan sakit. Maka menbentuk dan melepas pukulan lagi, Hok-te Sin-kang menyambar lebih dahsyat maka Boen Siong maklum bahwa suhengnya ini penasaran.

"Baik, hati-hati, suheng, akupun akan membalasmu."

Tidak seperti suhengnya yang panas dan merah mukanya adalah pemuda ini sabar dan tenang. Sikap ini membuat sang ayah mengangguk-angguk dan merasa tepat. Justeru dengan sikap sepertí ini puteranya dapat menguasa keadaan. Dan ketika benar saja benturan untuk kedua kali terdengar lebih keras dan muridnya terpekik tertahan, terdorong dan hampir terpelanting maka Po Kwanpun semakin penasaran dan pemuda yang mulai kehilangan kontrol diri ini menjadi gemas, berkelebat dan menyerang lebih kuat akan tetapi Boen Siong melayani.

Pemuda ini maju mundur dan menangkis dan setiap tangkisan membuat suhengnya terhuyung, apalagi ketika kedua lengannya semakin berkilat dan mencorong bagai bara api, Dan ketika hawa panas juga timbul dan bersamaan itu dak-duk pukulan disertai terdesaknya pemuda itu maka Peng Houw maklum muridnya tak menang. Setengah Hok-te Sin-kang tak cukup menghadapi puteranya yang tangguh.

"Cukup!" tiba-tiba pendekar itu berseru nyaring. "Hentikan dan kau mundurlah, Po Kwan. Sekarang kalian berdua maju dan hadapilah adikmu itu!"

Po Kwan mandi keringat dan basah kuyup. Mati-matian ia mempertahankan diri dan Hok-te Sin-kangnya lumer terkena panas. Tiba-tiba tenaganya cepat habis dan iapun gemetaran hebat. Maka begitu suhunya berseru dan ia merasa lega, inilah kesempatan mengatur napas maka ngeri melihat kedua lengan sutenya yang merah marong, berpijar-pijar!

"Maaf, suheng, ayah telah menghentikan kita."

"Tak apa, kau hebat. Aku... aku mengaku kalah, sute. Sinkangmu luar biasa dan Boan-eng-sutmu pun tak memalukan!" Po Kwan terengah, kagum. Lalu ketika adiknya dipanggil dan Siao Yen berkelebat ragu-ragu, Li Ceng berseri memuji puteranya maka gadis itupun menghadapi suhunya dengan sikap setengah gentar, juga sungkan.

Akan tetapi Peng Houw memberi tanda. "Kau dan kakakmu maju, berendeng, di kiri kanan. Gabung tenaga kalian dan biar kulihat sampai di mana kehebatan Lui-cu-sin-hwe-kang."

Gadis ini mengangguk, memberi hormat. Dan ketika kakaknya juga diperintahkan untuk maju kembali, menyerang Boen Siong maka Po Kwan tampak ragu dan melirik suhunya itu.

"Tak apa, ada aku di sini. Aku yang akan menghentikan pertandingan bila bahaya mengancam semuanya!"

Legalah pemuda itu, membalik menghadapi sutenya. Dan ketika Boen Siong menyambut dengan senyum dikulum, halus dan menyejukkan maka pemuda itu berkata agar mematuhi perintah.

"Ayah sebagai penonton, jauh lebih awas daripada kita. Kalau ini yang dikehendaki maju dan bersiaplah, suheng, aku akan menerimanya. Betapapun ini ujian bagiku dan kerahkan kepandaian kalian."

"Baik, akan tetapi sekarang kami berdua. Hati-hati dan waspadalah, sute. Berat bagi kami akan tetapi ini perintah, jangan dianggap curang."

"Tidak, aku tahu. Kalian mulailah dan jangan ragu."

Po Kwan memberi isyarat adiknya dan Siao Yen pun mengangguk. Mereka sudah berhadapan di kiri kanan Boen Siong sementara pemuda itupun bersiap. Dan ketika mereka tak banyak bicara lagi dan membuang keraguan, sute di depan mereka ini benar-benar lihai maka Po Kwan membentak disusul adiknya.

"Awas, sute!"

Angin menderu dari kanan. Po Kwan melompat dan bersamaan itu Siao Yen pun bergerak. Dan ketika Boen Siong mengelak ke kiri akan tetapi disambut serangan gadis itu, menangkis akan tetapi dihantam dari kanan maka pemuda ini tak mungkin menghindar lagi dan cepat mengembangkan lengan menangkis keduanya.

"Duk-plak!" Boen Siong terhuyung. Dari dua tenaga Hok-te Sin-kang itu mendadak keluarlah gencetan amat dahsyat. Boen Siong tak mampu mempertahankan diri dan terdorong! Dan ketika ia terkejut sementara lawan bergerak maju, mengejar dan berseru keras maka maklumlah Boen Siong bahwa digabung menjadi satu ilmu pukulan Hok-te Sin-kang itu memang dahsyat sekali. Dan lampu di tengah ruangan tiba-tiba jatuh!

Pemuda ini berkelebat mempergunakan Boan-eng-sut ketika dicecar dan dijepit. Tiba-tiba dengan cepat ia dikepung dari kiri kanan, bahkan kadang-kadang dari muka belakang ketika pasangan kakak beradik itu memburu dan mengejarnya. Dan ketika kembali ia menangkis akan tetapi terhuyung untuk kedua kalinya, lantai bergetar begitu hebat maka hampir saja Boen Siong terpeleset dan terpelanting.

"Hebat!" pemuda ini berseru. "Tenaga kalian luar biasa kuatnya, suleng, dadaku sesak"

"Akan tetapi kau mampu lolos. Inipun tak kalah hebat, sute. Kau mengagumkan!" lalu ketika keduanya mendesak dan mengejar lagi, wajah pendekar Gobi berseri-seri maka Li Ceng terkejut dan mengerutkan kening. Cemas! Wanita ini melihat betapa setiap dorongan membuat puteranya mundur, hanya dengan Boan-eng-sut yang memang luar biasa itu Boen Siong melepaskan diri. Akan tetapi karena sikap ini berkesan penakut, lari dan meninggalkan pertandingan dihimpit Hok-te Sin-kang yang dahsyat maka wanita ini khawatir dan mulai tak senang. Masa puteranya harus kalah!

"Boen Siong, keluarkan senjatamu. Tak usah malu karena kaupun dikeroyok!"

"Hm! Sang suami mengangguk. "Boleh, Siong-ji. Kelurkan ilmu golokmu kalau memang terdesak."

Akan tetapi Boen Siong menggeleng dan berseru pada ayah ibunya bahwa hal itu belum perlu. Justeru ia ingin merasakan tekanan dan hebatnya Hok-te Sin-kang. Maka ketiks ia berkelebatan Sementara suheng dan sucinya terus mengejar, keduanya mulai berseri dan girang akan desakan ini maka Po Kwan tak takut jika sutenya megeluarkn golok.

"Benar, tak apa. Kamipun ingin tahu permainan Thian-te-bu-pian-to-hot (Silat Golok Langit Bumi Tak Bertepi) warisan gurumu itu, Sute. Perlihatkanlah kepada kami dan biar kami tahu kelihaian mendiang locianpwe Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip."

"Tidak, aku benar-benar belum terdesak. Kalau kalian mampu menjepit dan mengurung aku barulah ilmu golok itu kukeluarkan, suheng. Akan tetapi rasanya aku sanggup bertangan kosong dulu, nanti semuanya belakangan!"

Po Kwan membentak melihat ketangguhan sutenya itu. Memang biarpun didesak dan ditekan di kiri kanan akan tetapi sutenya belum terdesak hebat. Hok-te Sin-kang menyambar dan mengepung akan tetapi selalu lolos. Dengan Boan-eng-sutnya yang luar biasa pemuda itu selalu menghilang. Dan ketika ia penasaran tetapi juga bingung bagaimana menjepit lawannya ini, tubuh sang sute bagai siluman berkelebatan maka terdengarlah bisikan agar mendesak pemuda itu ke tembok.

"Kalian bertanding tak mempergunakan akal. Tekan dan desak dia ke tembok, Po Kwan, jaga dari kiri kanan agar tak dapat lolos! Dan kau..." bisikan itu menyelinap ke telinga Siao Yen. "Kaupun tak usah setengah-setengah, Siao Yen. Pepetlah dia ke dinding dan buat tak mampu keluar!"

Kakak beradik itu girang. Itulah suara suhu mereka dan tentu saja petunjuk ini membuat keduanya berseri. Kenapa tak mereka lihat itu, alangkah bodohnya! Maka ketika keduanya membentak dan maju serentak, mendorong dan ditangkis maka lagi-lagi Boen Siong terhuyung mundur dan akhirnya tak sadar membelakangi tembok, hal yang membuat ibunya kaget.

"Boen Siong, jangan mundur lagi. Belakangmu tembok!"

Boen Siong terkejut. la sendiri mengingat-ingat petunjuk gurunya sebelum wafat. Ada kata-kata atau nasihat bila ia menghadapi Hok-te Sin-kang. Maka ketika sambil beterbangan ini mengingat-ingat petunjuk itu, kaget ketika ibunya berseru mendadak kakak beradik itu sudah berada di depannya dan mendorong berbareng. Kesiur angin dahsyat membuat pakaiannya berkibar.

"Sute, kali ini kau tak dapat meloloskan diri lagi. Keluarkanlah Thian-te-bu-pin-to-hoat atau kau celaka!"

Ajaib, saat itulah petunjuk sang guru datang. Boen Siong tak mungkin mundur ke belakang lagi setelah membelakangi tembok, ia sadar setelah terlambat. Dan ketika petunjuk itu datang di saat ia hampir mencabut goloknya, hanya dengan Thian-te-bu-pian-to-hoat ia mampu meloloskan diri maka terlihatlah pergelangan kiri kanan kakak beradik itu, tepatnya jalan darah Lek-bu-hiat dan Ui-beng-hiat!

"Jalan darah ini adalah keluar masuknya hawa sakti. Karena Hok-te Sin-kang benar-benar dahsyat maka totok dan lumpuhkanlah pukulan itu, muridku, paling tidak pemiliknya akan terkejut sedetik. Dan inilah cara kita menyelamatkan diri." begitu suhunya pernah berkata dan pemuda itu kini mengingatnya kembali.

Saat itu ia tak dapat berpikir panjang dan kakak beradik itupun sudah menjepitnya. Maka ketika tiba-tiba ia berseru keras dan menyongsong dengan amat berani, maju dan menotok pergelangan kakak beradik itu maka Siao Yen maupun kakaknya benar-benar tak menyangka. Pukulan sudah demikian dahsyat menyambar akan tetapi tiba-tiba hilang setengah jalan.

"Tuk-tuk!" Boen Siong memberosot keluar dan kakak beradik itu berteriak. Pergelangan terasa sakit dan saat itulah serangan gagal, mereka terkejut dan kaget bukan main. Dan ketika keduanya tertegun sementara Boen Siong telah melepaskan diri, ia selamat di luar maka bukan hanya kakak beradik itu yang terkejut akan tetapi pendekar Gurun Gobi juga bangkit dan berseru kaget.

"Ahh!" Peng Houw tak tahu apa yang terjadi namun maklum bahwa sesuatu mengguncang murid-muridnya. Siao Yen dan kakaknya masih terbelalak, bengong. Tetapi ketika sang suhu bangkit dan berkelebat maju, sadarlah dua muda-mudi itu maka mereka menjatuhkan diri berlutut mohon ampun. Li Ceng tiba-tiba bersorak dan mencelat dari kursinya.

"Hore, puteraku menang!"

Bukan hanya wanita ini yang gembira melainkan Gu Lai Hwesio yang menjagokan Boen Siong senang. Hwesio itu tergelak-gelak sementara dua pimpinan Gobi tertegun. Tak ada yang tahu bahwa Peng Houw dan dua pimpinan inilah yang paling terkejut oleh kejadian itu, kecuali Li Ceng. Maka ketika pendekar itu masih terbelalak memandang murid-muridnya, kakak beradik itu gemetar maka Po Kwan kembali minta ampun atas kekalahannya, tahu gurunya terkejut dan kecewa. Hok-te sin-kang sudah dilumpuhkan orang!

"Ampun, teecu berdua bodoh. Sute benar-benar lihai dan kami mengakui kelebihannya, suhu. Maaf Kami tak mampu berbuat apa-apa karena mendadak tenaga kami hilang."

"Bangunlah, kalian hanya memenuhi perintahku, Po Kwan. Kalah menang bukan hal luar biasa. Hanya apa yang terjadi dan kenapa tenaga kalian tiba-tiba hilang!"

"Sute menotok pergelangan teecu."

"Benar, dan kami sedetik lumpuh!"

"Hm, mana yang ditotok. Apakah masih terasa sakit!"

Dua kakak beradik itu menunjukkan pergelangan mereka dan Peng Houw tertegun. Sebagai orang yang banyak pengalaman iapun terkejut, segera matanya bersinar dan mengangguk-angguk. Pertandingan tadi bukan dianggapnya pertandingan Boen Siong melawan muridnya melainkan mendiang Ji Leng Hwesio dan Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip. Sebagai pewaris sesepuh Gobi tentu saja ia merasa penasaran. Agaknya Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip telah menemukan rahasianya.

Akan tetapi karena iapun cepat dapat menangkal dan mengatasinya, yakni jangan biarkan lawan menotok pergelangan itu maka ia menganggap bahwa Hok-te Sin-kang masih hebat! Pendekar ini segera menyuruh murid-muridnya mundur. Wajah yang semula muram dan tampak tegang sudah pulih lagi, kakak beradik itu lega. Dan ketika kemenangan ini disambut tepuk ríuh penonton, kecuali pimpinan Gobi maka Peng Houw berseri-seri dan tidak kelihatan kecewa lagi, hal yang membuat Ji-hwesio dan Sam-hwesio heran.

"Boen Siong memang hebat, dan ia pantas memiliki kemenangan itu. Aku sekarang percaya akan kepandaiannya, cuwi totiang (Bapak Pendeta Sekalian), dan aku percaya bahwa iapun dapat mengalahkan Chi Koan!"

Semakin nyaringlah tepuk tangan ketua-ketua partai itu. Kalau Naga Gurun Gobi sendiri berani menyatakan itu maka pernyataannya dapat dipertanggungjawabkan. Tentu saja mereka girang bukan main. Akan tetapi ketika ketua Bu-tong berseru agar pendekar itu menjajal puteranya, tak tahu bahwa sesungguhnya Hok-te Sin-kang telah diadu dengan warisan Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip maka Peng Houw menggeleng tertawa.

"Tidak perlu, dua muridku tadi telah mewarisi hampir semua kepandaianku. Dengan kemenangan ini telah dapat ku ukur kepandaiannya, lo-suhu, kami berimbang. Yang jelas dapat mengalahkan Chi Koan dan ia atau aku sama saja!"

Mengangguk-angguklah hwesio itu dengan wajah puas. Kalau sekali lagi Naga Gurun Gobi ini berkata seperti itu berarti pilihannya tidak keliru, bahkan yang muda rasanya lebih kuat daripada yang tua tenaganya masih utuh. Dan ketika yang lain tertawa dan percaya juga, hari itu Boen Siong semakin dikagumi maka malam harinya setelah semua tamu dipersilakan istirahat maka duduklah ayah dan anak di dalam kamar. Heng-san-paicu dan lain-lain diminta menginap.

"Mengejutkan, dan gurumu cerdik sekali. Selama ini tak pernah kutahu bahwa dengan totokan itu Hok-te Sin-kang bakal terhenti, puteraku. Akan tetapi kalau aku tahu dan tak membiarkan dirimu menotok maka Hok-te Sin-kang masih tetap berbahaya. Ceritakan kepadaku bagaimana gurumu tahu!"

Boen Siong menarik napas, tersenyum pahit. Sebagai orang yang merasa dikalahkan tentu saja ia tahu perasaan ayahnya ini. Sebagai pewaris Ji Leng Hwesio yang berhadapan dengan pewaris Pek-gan hui-to Jiong Bing Lip maka kesetiaan kepada guru amatlah tinggi, dan itu ditunjukkan ayahnya terhadap sesepuh Gobi yang sakti itu.

Akan tetapi mendengar kata-kata ayahnya bahwa dengan tidak membiarkan jalan darah itu tertotok maka Hok-te Sin-kang merupakan ancaman bahaya maka iapun mengakui dan melihat kebenaran ini, mengangguk.

"Ayah benar, memang tidak salah. Akan tetapi akupun belum mengeluarkan Thian-te-bu-pian-to-hoat yang diciptakan suhu. Kalaupun Hok-te Sin-kang masih menyambar ada penangkis yang belum kukeluarkan itu. Apakah ayah penasaran dan menyesali kejadian tadi? Kalau begitu aku mohon maaf, akan tetapi harus kuakui bahwa Hok-te Sin-kang benar-benar hebat!"

"Hm-hm, penasaran memang penasaran. Akan tetapi aku puas melihat kepandaianmu tadi, puteraku, dan dengan adanya kejadian ini kau pasti dapat mengalahkan Chi Koan. Si buta itu tentu tak tahu bahwa kelemahan Hok-te Sin-kang telah diketahui!"

"Lalu apa maksud ayah sekarang?"

"Aku ingin melihat Thian-te-bu-pian-to-hoat itu. Coba tunjukkan kepadaku dan kuukur dengan Hok-te Sin-kang!"

Boen Siong mengerutkan kening. Kalau saja yang di depannya ini bukan ayahnya sendiri tentu ia menolak. Dari kecerdasan ayahnya tadi menangkal totokan Lek-bu-hiat dan Ui-beng-hiat segera ia tahu bahwa sang ayah amat pintar. Sekali lihat tahu cara menolak! Akan tetapi heran untuk apa ayahnya minta maka iapun bertanya, "Ayah mengherankan aku, untuk apakah kuperlihatkan ilmu itu."

"Hm, sekedar mencari titik lemahnya, Boen Siong, akupun penasaran bahwa mendiang gurumu telah menemukan titik lemah Hok-te Sin-kang!"

Pemuda ini tertawa. Tiba-tiba ia kagum akan kejujuran ayahnya ini. Betapa gamblangnya! Akan tetapi karena ruangan itu tak begitu lebar sementara ibunya sebentar lagi datang, ibunya menyiapkan makan minum mereka maka pemuda ini berkata, "Sebaiknya besok saja di luar. Ibupun sebentar datang, ayah, nanti curiga!"

Benar saja, pintu dibuka. Li Ceng masuk dan wanita itu berseri-seri membawa nampan. Bau sedap mengepul ketika ayam bakar diletakkan. Dan ketika Peng Houw mengerutkan kening melihat ini, sang isteri tertawa maka wanita itu bertanya kenapa kening suaminya berkerut.

"Aneh, datang-datang disambut kernyit. Eh, aku membawa sesuatu yang istimewa untuk kalian, suamiku, masa tak senang. Hayo makan dan ini minumnya, air putih!"

"Hm, apakah semua ini diketahui penghuni. Ingat bahwa di tempat ini pantang makanan berjwa, Ceng-moi. Kalau diketahui aku yang tak enak."

"Ah, kenapa harus diberi tahu. Aku dan Siao Yen yang masak secara diam-diam dan percayalah semuanya aman!"

"Akan tetapi baunya..."

"Eh, salah siapa? Hidung mereka itulah yang tak tahu diri, aku tidak menawar-nawarkan. Ayo makan dan ini untuk kemenangan puteraku!" Li Ceng tak perduli dan wanita itu sudah mengambilkan nasi dan lauknya untuk suami. Lalu ketika ia memberikan pula kepada Boen Siong, tersenyum dan melirik sang ayah mendadak pendekar ini berkata bahwa harus ada yang diundang.

"Sebaiknya kakak beradik itu makan pula bersama kita, panggillah keduanya."

Boen Siong bangkit, terharu. Ia melihat betapa ayahnya begitu mencintai kakak beradik itu. Maka berkelebat mendahului ibunya iapun berkata dialah yang akan memanggil suheng dan sucinya itu. "Ayah betul, suheng dan suci akan kucari. Kenapa ibu lupa dan harus kita sendiri!"

Li Ceng cemberut, suasanapun terganggu. Akan tetapi ketika suaminya berkata bahwa kakak beradik itulah yang amat dekat dengannya selama ini, tak mungkin meninggalkannya begitu saja maka Peng Houw meraih isterinya ini membujuk.

"Sudahlah, kitapun tak akan begitu terganggu. Kegembiraan ini marilah dirayakan bersama, Ceng-moi, bukankah Boen Siong telah memanggil pula. Apalagi Siao Yen membantumu memasak, masa tidak diberi!"

Sang nyonya tersenyum dan iapun mau mengerti. Akan tetapi ketika Boen Siong muncul sendiri lagi, kakak beradik itu telah makan di dapur maka Li Ceng tersentuh melihat suaminya menghela napas.

"Lihat, betapa tahu dirinya mereka itu. Jelas mereka tak mau mengganggu kita, Ceng-moi, kalau begitu mari bertiga dan kita makan."

Boen Siong mengangguk. Memang ia telah menemui suheng dan sucinya itu akan tetapi mereka makan di dapur. Siao Yen bahkan tampak tersipu-sipu. Dan ketika ia berkata bahwa ayahnya memanggil untuk makan bersama, sang suheng berdiri maka suhengnya itulah yang menjawab bahwa mereka keburu makan,

"Maaf, kami mendahului. Terima kasih, akan tetapi kami terlanjur di sini, sute silakan kalian bertiga dan biarlah kegembiraan itu kalian nikmati!"

Boen Siong kembali akan tetapi diam-diam ia terharu. Segera ia mengerti bahwa semua itu disengaja. Kakak beradik itu makan di dapur agar tak diundang, mereka kikuk di samping tak ingin mengganggu pertemuan keluarga ini. Maka ketika ia kembali dan ayahnya mengangguk-angguk, begitulah watak kakak beradik itu maka Li Ceng pun menjadi lunak dan makan bersama ini benar-benar dinikmati.

Dan ketika keesokannya Boen Siong menepati janji, berkelebat bersama ayahnya ke tempat sepi maka pendekar ini melihat permainan Thian-te-bu-pian-to-hoat dan menjadi kagum. Puteranya lenyap bersama gulungan golok yang tiada bertepi, lebar dan bergulung-gulung dan angin sambarannya membuat ia harus menjauh. Kulit serasa teriris!

"Bagus, hebat. Ciptaan gurumu benar-benar luar biasa, Siong-ji, cukup dan aku puas!"

Tak sampai semuanya tiba-tiba pendekar itupun menyuruh berhenti. Boen Siong heran dan kagum ayahnya tampak berseri-seri. Wajah itu seakan mendapat jawabannya. Dan ketika ia bertanya tetapi disambut tawa, sang ayah berkelebat dan kembali pulang maka pemuda inipun merasa tercengang dan curiga.

"Apakah ayah menemukan titik lemahnya. Aku belum menghabiskan semua permainanku, kenapa tertawa!"

"Tak apa-apa. Aku hanya kagum akan tetapi kuperoleh sesuatu yang berharga, Siong-ji, mari pulang dan kelak kuceritakan!"

"Apa itu?"

"Sudahlah, pulang dulu kelak kuberitahukan!" dan karena ayahnya tak mau didesak lagi sementara iapun mengikuti maka pemuda inipun terheran-heran dan diam-diam menyimpan tanda tanya akan sikap ayahnya yang aneh ini.

Belum cukup Heng-san-paicu dan kawan-kawan merundingkan persoalan mereka datanglah seseorang yang tak diduga. Seorang kakek tinggi kurus, berwajah terang dengan rambut digelung ke atas minta bertemu. Rambutnya seperti seorang tosu akan tetapi pakaian dan sikapnya bebas. Anak murid Gobi tak ada yang mengenal. Akan tetapi begitu diajak masuk dan menghadap pimpinan, saat itu Peng Houw dan isterinya berada di situ maka Li Ceng menjerit dan mencelat ke depan.

"Suheng!" Teriakan atau seruan nyonya ini mengejutkan yang lain. Peng Houw berubah dan mengenal pula tosu itu. Dan ketika ia berkelebat dan menjura di depan kakek ini, Ji Hwesio dan lain-lain terheran maka Naga Gurun Gobi itu berkata,

"Selamat datang, sungguh menggirangkan. Masuk dan mari duduk, Kim Cu totiang. Sungguh kehadiran totiang tepat sekali di saat kami sedang berunding!"

Ji Hwesio dan Sam-hwesio terkejut. Setelah mereka memperhatikan dan tosu aneh ini tertawa maka bergeraklah keduanya dari kursi mereka. Dua pimpinan Gobi ini membungkuk. Dan ketika Heng-san paicu dan lain-lain baru mengenal maka melompatlah mereka menyongsong kakek aneh ini.

"Omitohud, Kim Cu Cinjin kiranya. Wah, pinceng benar-benar pangling dan tak mengenalmu, Cinjin, ke mana kau selama ini dan bagaimana tiba-tiba datang ke sini?"

"Siancai, pinto juga pangling. Dandananmu aneh tak seperti biasanya, Cinjin, bagaimana muncul di sini di saat kita semua berkumpul!"

"Ha-ha, maaf, inilah tamu yang datang mengganggu. Kebetulan saja kudengar semuanya ini di tengah jalan, Gu Lai lo-suhu. Kedatanganku sebenarnya untuk menemui sumoiku ini dan Naga Gurun Gobi. Kebetulan kalian di sini, maaf semoga kehadiranku tak membuat kalian kurang senang!"

Kim Cu Cinjin, kakek atau tosu aneh ini membalas hormat ke sana ke mari. Inilah bekas ketua Kun lun yang lihai itu, suheng Peng-hujin alias Li Ceng. Maka ketika ia tertawa-tawa dan menjura ke semua orang, termasuk pimpinan Gobi maka Ji-hwesio dan Sam-hwesio yang girang melihat tosu ini segera menyambut. Li Ceng tersèdu dan menubruk suhengnya itu.

"Ke mana saja kau ini. Lama amat meninggalkan Kun-lun, suheng, pergi tanpa berita. Lihat betapa semua orang pangling padamu dengan dandananmu yang begini aneh. Kau memakai pakaian berkembang-kembang!"

Memang Kim Cu Cinjin mengenakan pakaian berkembang-kembang. Setelah ia melepaskan diri dari jabatannya sebagai ketua Kun-lun maka kakek ini merasa tak pantas lagi sebagai pendeta. Sejak bekas kekasihnya datang berturut-turut iapun terpukul. Masa lalunya menguak luka. Maka ketika ia meninggalkan kedudukan dan turun gunung, juga sekalian mencari putera sumoinya yang hilang.

Maka dalam perjalanan kakek ini mengganti baju dan hanya rambutnya saja yang tetap digelung sebagai kebiasaan lama. Kakek ini jadi mirip setengah tosu setengah bukan, bahkan mungkin dianggap sinting, meskipun wajah dan matanya jelas waras. Dan ketika hari itu ia datang di Gobi, tepat di saat banyak orang berkumpul maka kedatangannya menggembirakan namun juga mengherankan, terutama dandanannya yang aneh itu, pakaian kembang-kembang.

"Duduk dan mari bercakap-cakap dengan kami. Kebetulan ada sesuatu yang penting, Cinjin, yang agaknya perlu bantuanmu. Duduk, mari duduk...!"

Pimpinan Gobi mempersilakan kakek ini akan tetapi Kim Cu Cinjin tak beranjak. la dipeluk dan dirangkul sumoinya, Li Ceng terharu dan tersedu-sedu. Akan tetapi ketika sejenak ia melepaskan diri dan memandang Peng Houw, sinar matanya mendadak penuh teguran maka pendekar itu tanggap dan cepat menjura.

"Kalau Cinjin ada perlu denganku mari ke belakang, di sana kita dapat bercakap-cakap."

"Benar, aku perlu denganmu. Akan tetapi nantipun tak apa, Peng Houw, kalian sedang sibuk. Biar sumoiku yang menemani dan mana Boen Siong!"

"la di belakang, ada apa," Li Ceng berkata mendahului suaminya, sikap dan nada kakek itu tak senang. "Kau agaknya sudah tahu semuanya, suheng, begitu pula Boen Siong!"

"Tentu saja, aku kembali ke Kun-lun. Akan tetapi ketika tak kulihat engkau di sana maka kususul dan akhirnya ke sini."

"Hm, aku ingin tahu apa yang terjadi setelah kau bertemu suamimu!"

Peng Houw menarik napas dalam. Ia mendapat isyarat dari pimpinan Gobi agar membawa tosu itu ke belakang saja, urusan lain dapat dilanjutkan nanti. Maka ketika ia mengangguk dan memberi isyarat isterinya pula segera pendekar itu memotong.

"Sebaiknya kita ke belakang, mari ke sana. Biar Ji-susiok dan lain-lain melanjutkan pembicaraan tadi."

"Hm, tak apa-apa. Setelah selesai silakan ke sini, totiang, kami tunggu," Ji-hwesio menyambung.

Kim Cu Cinjin menjura lagi dan iapun setuju. Sebenarnya bukan maksudnya mengganggu orang-orang itu karena keperluannya adalah dengan suami isteri ini. Ia ingin menegur Naga Gurun Gobi itu. Maka mendapat kesempatan dan ijin tuan rumah, iapun girang segera Peng Houw membawa tamunya ini ke belakang. Dan di tengah jalan berkelebat tiga bayangan susul-menyusul.

"Ayah, siapa tamu kita ini!"

"Suhu, apakah kalian mencari kami!"

Dua orang pemuda dan seorang gadis tahu-tahu telah berdiri di situ dan Kim Cu Cinjin tertegun. Tentu saja ia pangling kepada kakak beradik ini akan tetapi perhatiannya segera tertuju kepada pemuda berwajah tampan itu. Pemuda inilah yang memanggil Peng Houw dan tampak betapa hubungan mereka akrab sekali. Itulah Boen Siong. Dan ketika Li Ceng girang menyambar puteranya, berseru bahwa itulah supeknya (uwa) Kim Cu Cinjin maka Boen Siong dan lain-lain terkejut. la datang bersama suheng dan sucinya.

"Cepat beri hormat dan jangan di tengah jalan. Inilah supekmu Kim Cu Cinjin, Boen Siong, baru saja datang mencari ibumu. Hayo kalian maju dan jangan berhimpitan!"

Tiga orang muda itu terkejut. Hampir serentak semuanya memberi hormat, Boen Siong sudah berdampingan dengan suhengnya ini. Dan ketika kakek itu terbelalak namun berseri-seri, melompat dan mencengkeram pemuda ini maka tawanya menggetarkan jantung.

"Kau... ha-ha, kau Boen Siong? Kau sudah sebesar dan sedewasa ini? Thian Yang Maha Agung. Belasan tahun pinto mencarimu akan tetapi siapa sangka mendekam di Kun-lun, anak baik. Kau benar-benar seperti ayahmu di waktu muda. Kau... ha-ha, sungguh gagah dan perkasa sekali. Aku telah mendengar semuanya di Kun-lun begitu pula sepak terjangmu di Heng- san. Huwaduh, sungguh gembira mempunyai keponakan seperti ini. Tak kusangka gurumu Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip menyembunyikanmu!" berkata begini tosu itu mengerahkan Sin-ma-kangnya dan Tenaga Kuda Sakti ini meremas pundak Boen Siong.

Orang lain yang diremas tentu hancur. Akan tetapi ketika kakek itu kagum betapa dari pundak itu keluar tenaga lembut yang amat kuat menolak cengkeramannya, bahkan merasa panas dan terbakar kalau ia meneruskan cengkeraman itu maka kakek ini melepaskan jarinya dan diam-diam kaget bahwa semuda itu pemuda ini sudah memiliki sin-kang (tenaga sakti) demikian kuatnya. Akan tetapi ketika maklum bahwa ini adalah murid Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip, satu di antara jajaran tokoh-tokoh besar maka kakek itu berseri-seri dan Boen Siong merasa jengah. Ia bahkan kikuk kalau terlalu dipuji. Dan kakek itu tiba-tiba teringat muda-mudi itu.

"Eh, siapa ini!"

"Siauw-te Po Kwan."

"Dan teecu Siao Yen...!"

"Hm, Po Kwan? Siao Yen?" kakek itu terbelalak. "Thian Maha Pemurah, kalian ini yang dulu masih kecil-kecil? Kalian sudah dewasa dan gagah-gagah pula? Huwaduh, sungguh pinto tiba-tiba merasa tua! Ha-ha, tak kusangka kalian berdua, Po Kwan, bagus sekali. Kaupun gagah dan tentu berkepandaian tinggi. Dan adikmu, cantik dan sudah dewasa!"

Kakek ini maju dan menyambar keduanya dan sama seperti tadi iapun mencengkeram mennguji kepandaian. Mulut tertawa-tawa akan tetapi dari sepuluh jari kakek itu mengalir daya cengkeram yang dahsyat. Batupun bakal remuk ketika dicengkeram. Akan tetapi ketika Hok-te Sin-kang melindungi secara otomatis dan kakek itu terkejut, melepaskan jarinya maka ia kagum mengangguk-angguk.

"Pantas menjadi murid Naga Gurun Gobi... pantas menjadi murid Naga Gurun Gobi!"

Li Ceng berseru mengajak suhengnya masuk ke dalam. Mereka sudah tiba di kamar sendiri dan anak-anak muda itupun tersenyum. Tentu saja mereka tahu ketika diuji. Bahu serasa sakit! Akan tetapi ketika kakek itu terkekeh-kekeh dan begitu girang, terutama memandang Boen Siong maka ia berkata biarlah anak muda itu ikut.

"Bocah ini membuat pinto nyasar kemana-mana. Kalau sekarang di sini kenapa tidak bersama saja? Baik, sumoi, silakan sekalian!”

Akan tetapi Li Ceng ragu, memandang suaminya. Dan ketika pandangannya jatuh ke puteranya dan menganggap tak usah Boen Siong menemani mereka maka Kim Cu Cinjin menangkap jalan pikirannya.

"Tidak, tidak perlu takut. Justeru dengan adanya Boen Siong pinto dapat mengetahui lebih baik, Sumoi. Paling tidak kau tak akan membela suamimu."

"Apakah suheng akan marah-marah."

"Tadinya begitu, akan tetapi setelah melihat puteramu ini maka lenyaplah kemarahan pinto!"

Peng Houw tersenyum pahit. Tentu saja iapun tahu gerak-gerik bekas ketua Kun-lun ini. Mau apalagi kalau bukan menegur dirinya. Maka berkata bahwa iapun tak keberatan ditemani Boen Siong, iapun sudah mengakui kesalahannya maka Li Ceng terharu melihat suaminya seakan tak hendak membela diri lagi, pasrah. Nyonya ini terisak dan iapun menyambar lengan suaminya itu.

Kim Cu Cinjin terkekeh dan maklumlah dia bahwa suami isteri ini sudah seperti sedia kala. Benci dan pertikaian itu tak ada. Dan ketika ia balas menyambar Boen Siong dan bertanya heran bagaimanakah sikap pendekar itu terhadap anaknya maka Boen Siong menunduk menjawab bahwa ayahnya baik, tak ada apa-apa.

"Heh, kenapa seperti wanita. Angkat mukamu dan jawab dengan gagah, Boen Siong. Benarkah ayahmu baik!"

"Baik, baik," Boen Siong tersipu. "Ayah baik dan justeru amat memperhatikan aku dan ibu, supek. Ia sengsara setelah kehilangan kami."

"Akan tetapi ia tetap di sini, tak pernah mencari!"

"Siapa bilang!" Li Ceng berseru dan membantah. Justeru dalam keputusasaannya tak menemukan kami Houw-ko mengorbankan sesuatu yang paling berharga, suheng. Kalau bukan karena aku tak mungkin dilakukannya itu!"

"Melakukan apa," kakek ini terbelalak.

"Ia. eh...!" Li Ceng terkejut ketika kakinya diinjak. Hampir saja wanita ini berkata bahwa suaminya sudah tak memiliki lagi Hok-te Sin-kang yang dahsyat itu, suaminya sudah patah arang!

Akan tetapi ketika ia sadar diinjak kakinya, hal itu tak perlu diketahui orang lain maka Peng Houw mengajak kakek ini masuk. Ia mengedip dan memberi tanda agar isterinya tak bicara itu. "Kita masuk saja, tak enak di luar."

Kakek ini mengangguk. Akhirnya ia mengikuti suami isteri itu ke kamar besar. Setelah Peng-hujin berada di situ dan Peng Houw berkumpul dengan anak isterinya maka kamar lama diberikan Boen Siong. Pendekar ini telah mendapat kamar baru yang luas dan lebih lega. Dan ketika semua masuk sementara Siao Yen dan kakaknya menyiapkan minuman, tuan rumah berhadapan dengan kakek itu maka langsung saja Kim Cu Cinjin menegur pendekar iní.

Akan tetapi Li Ceng membela dan melindungi suaminya. Ia berkata bahwa suaminya sudah cukup mencari, dialah yang tak mau keluar dan sengaja bersembunyi. Dan ketika Boen Siong juga menyatakan ayahnya baik-baik saja, merekalah yang terlalu lama maka kakek ini terbelalak, namun akhirnya terkekeh. Ia dikeroyok!

"Heh-heh, kalau begini jadinya tak usah suamimu kumarahi. Aku mendengar Boen Siong akan kau adu dengan ayahnya, Sumoi dan aku tentu saja terkejut. Aku khawatir dan menyusul dari Heng-san tetapi kalian rukun-rukun saja, malah pinto sekarang dikeroyok. Wah, tahu begini tak usah datang!"

Semua tertawa. Akhirnya pembicaraan menjadi hangat dan lumerlah kemarahan kakek ini. Ayah dan anak serta ibu benar-benar tak ada ganjalan lagi. Dan ketika Li Ceng teringat musuh besarnya Chi Koan yang kini sedang dirundingkan pimpinan Gobi maka nyonya ini mengepal tinju.

"Aku telah mendapatkan jejak musuh besarku. Chi Koan di telaga See-ouw Suheng, tahukah kau!"

"Ya-ya, pinto tahu, dan kedatangan pinto memang ingin membicarakan ini pula. Setelah kalian baik-baik saja dan tak ada apa-apa lagi maka pinto hendak menerangkan sesuatu yang penting. Keparat itu telah menjadi bengcu di selatan!"

"Aku tahu, bukan berita baru. Dan Boen Siong, hmm... ia telah ke sana pula!"

"Ke sana?"

"Betul, suheng, sebelum bertemu ayahnya. Waktu itu ia keluar sebentar dan meninggalkan aku. Di sanalah ia menolong puteri Lam-hai-kong-jiu Ang-taihiap!"

"Ah, apa yang terjadi dengan gadis itu?"

"Penindasan terhadap wanita, ia dipermainkan dan diperkosa seorang pemuda!"

Kini Kim Cu Cinjin memandang pemuda itu. Boen Siong mengangguk dan bersinar-Sinar dan tiba-tiba sepasang matanyapun mencorong. Teringatlah pemuda itu akan seorang gadis cantik yang dicampakkan seorang pemuda. Ia tak tahu bahwa gadis itu adalah puteri Lam-hai-kong-jiu, semua diketahui setelah penjahat itu melarikan diri. Dan ketika ia bercerita secara singkat bahwa ia bertemu dengan murid Chi Koan, sayang tak sempat mengejar karena harus menolong gadis malang itu maka Peng Houw mengerutkan kening mendengar penuturan puteranya ini. Ini belum didengarnya.

"Siapakah yang kau jumpai itu, Siauw Lam atau Beng San."

"Siauw Lam, ayah, dan seumur hidup tak akan kulupa kekejamannya. Gadis itu akhirnya pulang setelah menceritakan semuanya kepadaku. la penuh dendam dan akan melapor ayahnya."

"Hm!" Kim Cu Cinjin mengangguk-angguk, tiba-tiba terkekeh. "Guru kencing berdiri muridpun kencing berlari, Boen Siong. Sekarang bocah itu telah dicari dan hendak dibunuh gurunya sendiri!"

"Apa yang terjadi."

"la menjadi jai-hwa-cat di selatan. Ia tiba-tiba membuat gurunya tercoreng-moreng!"

"Jai-hwa-cat (Pemerkosa)?" Li Ceng terkejut.

"Benar, sumoi, dan inilah berita terakhir yang kudapatkan. Anak itu menimbulkan kemarahan besar pada setiap orang. Entah kenapa ia merusak nama gurunya sendiri."

"Rusak apa!" sang nyonya membanting kaki. "Sejak dulu si buta itu memang rusak, suheng. Chi Koan memang bejat dan tak aneh kalau punya murid bejat pula!"

"Hm, benar, akan tetapi pinto buru-buru pulang dan tak ingin bertemu orang-orang selatan itu. Karena pinto kangen dan rindu kampung halaman akhirnya pinto ke Kun-lun. Dan di situlah pinto tahu bahwa kau telah menemukan puteramu dan menuju Heng-san, Ia membuat geger disana"

Boen Siong jengah, dilirik ayahnya. Akan tetapi sang ibu yang bangga dan justeru tersenyum mengangkat lengannya.

"Justeru ia sekarang diangkat menjadi bengcu, bengcu utara. Sebentar lagi anak ini diresmikan semua pihak, suheng, ayahnya sebagai penasihat!"

"Bengcu?"

"Ya, bengcu. Dialah yang akan menghadapi Chi Koan dan membunuh buta keparat itu. Heng-san-paicu dan lain-lain memberi tandingan dan akan menghancurkan bengcu Selatan, si buta Chi Koan!"

Kim Cu Cinjin menjadi kagum dan ia pun berseri-seri. Kalau Heng-san-paicu dan lain-lain mengangkat pemuda ini maka Boen Siong benar-benar pemuda pilihan. Tak gampang diangkat ketua-ketua partai yang lihai itu. Dan ketika ia bangkit dan memberi selamat, Boen Siong tersipu-sipu maka terdengar panggilan bahwa mereka semua diminta datang ke bangsal pertemuan. Ada berita darurat. Kakak beradik itulah yang memberi tahu atas permintaan ketua Gobi.

"Maaf dan ampunkan teecu. Ji-locianpwe dan Sam-locianpwe mengundang kalian, suhu, ada berita mendadak. Suhu diharap datang berikut Kim Cu totiang dan lain-lain!"

Peng Houw terkejut. Tak biasanya pimpinan Gobi mengganggu orang, apalagi mereka yang sedang bergembira. Namun bangkit dan cepat ke sana maka dilihatlah wajah-wajah tegang penuh kemarahan. Di lantai terdapat seorang tosu muda mandi darah!

"Siancai, apa ini. Siapa dan kenapa orang ini, Ji-losuhu. la luka berat!" Kim Cu Cinjin tak dapat menahan kagetnya dan melompatlah kakek itu ke tengah rangan.

Peng Houw dan semua berkelebat pula dan ternyata ketua Heng-san-pai menolong. Ternyata tosu muda itu adalah murid Heng-san. Dan ketika semua tertegun dan kaget serta marah, jelas tosu ini dihajar orang maka Sin Tong Tojin akhirnya menyadarkan tosu ini. Tadi datang terbata-bata dan roboh serta pingsan, setelah memberi tahu bahwa Heng'san diserbu banyak orang!

"Teecu... teecu tak kuat lagi. Oh, teecu melapor bahwa tempat kita diserbu banyak orang, suhu. mereka... mereka orang-orang selatan...!"

"Mana sute dan adik-adikmu yang lain. Berapa hari kau datang ke sini, Cong Ham, berapa lama kejadian itu berlangsung!" ketua Heng-san-pai tampak pucat dan kata-katanya gemetar akan tetapi penuh marah.

Murid itu mencoba berkata-kata lagi akan tetapi roboh, kali ini berkelojotan dan akhirnya tewas. Dan ketika semua terkejut dan menjadi marah maka terdengar laporan bahwa ada murid-murid Hoa-san dan Bu-tong serta See-tong menyusul, juga luka-luka.

"Mohon suhu ijinkan masuk ke dalam. Para sahabat dari Bu-tong dan Hoa-san serta See-tong harus digotong. Mereka tak dapat berjalan lagi, parah!"

Seorang hwesio muda melapor takut-takut dan bukan main kagetnya Gu Lai Hwesio dan rekan-rekannya. Tanpa disuruh lagi merekalah yang berkelebat keluar. Dan ketika tertegun melihat halaman maka empat tubuh terkapar mandi darah....

Kabut Di Telaga See Ouw Jilid 27

Cerita Silat Mandarin Serial Bu-beng Sian-su Karya Batara

GU LAI HWESIO adalah tokoh yang suka bergurau dan meledaklah tawa yang lain. Mendengar godaan ini, Memang dua anak muda itu hanya berpandangean saja dan masing-masing tampak ragu. Wajah keduanya juga memerah sementara Boen Siong berdebaran tak keruan. Alangkah cantiknya gadis ini pada saat itu. Pipi itu kemerah-merahan bak tomat masak.

Akan tetapi ketika semua orang tertawa dan Boen Siong merah padam, lebih-lebih Siao Yen maka gadis. itu menunduk dan menjura, kata-katanya gemetar ketika diserukan.

"Harap sute mulai dan biarlah aku bertahan!"

Namun Boen Siong menggeleng. Ia berkata bahwa gadis itulah yang harus menyerang lebih dulu, ia laki-laki. Dan ketika orang-orang tua riuh bertepuk tangan, masing-masing masih juga mengalah akhirnya gadis ini membentak dan apa boleh buat menyerang lebih dulu.

"Baiklah, jaga, Sute. Awas serangan!" Siao Yen tak ingin digoda lagi dan iapun berkelebat mendorongkan tangan kiri ke depan. Soan-hoan-ciang atau Pukulan Angin Topan dilancarkan, tentu saja tak sekuat tenaga namun Boen Siong mengelak. Pukulan luput dan mengenai tempat kosong. Dan ketika gadis itu terbelalak dan membalik ke kanan, Boen Siong melangkah ke tempat itu maka iapun mengejar dan Boen Siong mengelak lagi.

"Dess!" lantai menerima hajaran dan tempat itu tergetar. Boen Siong memuji kagum akan tetapi gadis ini penasaran. la gagal. Maka berkelebat dan mengerahkan ginkangnya tiba-tiba gadis inipun lenyap dan kini tangan kanannya menyambar dengan Thai-san-ap-ting (Menindih Gunung Thai san), cepat dan disusul tangan kiri dan Boen Siong tak mungkin mengelak saja, iapun menangkis.

Dan ketika gadis itu terpental dan Siao Yen merasa kaget, ia terhuyung ke belakang maka gadis ini melengking dan berkelebetanlah tubuhnya menyambar-nyambar, cepat dan ringan sampai akhirnya hilang tak mampu dikuti mata biasa lagi. Heng-san-paicu dan lain-lain menjadi kagum dan beberapa di antaranva mengakui bahwa gadis ini benar-benar lihai. Mungkin Ko Pek To jin dan See Cong Cinjin bukan tandingan.

Dan ketika dua ketua itu tak tertawa-tawa lagi menyaksikan pertandingan, masing-masing harus mengerahkan tenaga untuk dapat menonton dengan baik maka Boen Siong berkelebaten pula dan lawan melengking-lengking tak mampu mengejar. Bahkan dua kali terpental oleh tangkisan pemuda itu.

"Duk-plak!" Gadis ini penasaran. Akhirnya ia mengganti Soan-hoan-ciang dengan Thai-san-ap-ting sepenuhnya, berkelebatan dan mendorong serta memukul akan tetapi lawan gesit mengelak cepat. Hanya untuk pukulan berbahaya Boen Siong menangkis. Dan karena setiap tangkisan membuat gadis itu terpental, Naga Gurun Gobi terkejut dan kagum sekali maka pendekar itu berseru agar gadis itu merobah tenaga.

"Keluarkan inti sinkangmu, mainkan Cui-pek-po-kian!"

Siao Yen ragu-ragu. Seruan gurunya berarti pengerahan Hok-te Sin-kang, padahal ia tak ingin bersikap keras dan hanya perkenalan saja. Akan tetapi ketika ia terpelanting dan kaget serta penasaran gurunya kembali berseru maka Peng Houw berkata agar gadis itu tak usah ragu-ragu.

"Cepat dan gabung dengan Cui-pek-po-kian, atau kau terjungkal!"

Gadis ini menggigit bibir. Sebagai penonton yang tentu saja awas dan tahu keadaan maka seruan atau kata-kata gurunya beralasan. Ia tak boleh menunda lagi atau kata-kata gurunya menjadi kenyataan. Dan karena ia tak ingin roboh begitu cepat, kini ia mulai marah dan jengkel akhirnya gadis ini merobah gerakan dan tangan kirinya kini melancarkan Cui-po-kian, satu pukulan yang dulu membuat mendiang Ji Beng Hwesio dedengkot nomor dua ditakuti orang.

"Des-dess!" Boen Siong terkejut ketika hawa panas menyambar dari tangan gadis itu. la mengelak dan berkelebat lenyap dan akhirnya pukulan menghantam pilar besi. Pilar bergoyang-goyang dan semua orang meleletkan lidah. Akan tetapi karena pemuda itu menghilang dan gadis ini gagal, Siao Yen kagum maka ia membalik dan melihat pemuda itu berjungkir balik melayang turun, baru saja menghindar dari serangannya yang dahsyat itu.

"Awas susulan!"

Boen Siong dipapak. Ia belum menginjak lantai ketika tahu-tahu gadis itu menyambar datang. Dua tangan mendorong ke atas dan Cui-pek-po-kian serta Thai-an-ap-ting menderu, bukan main dahsyatnya. Dan ketika pemuda itu rasanya tak mungkin menghindar dan mau tak mau harus menyambut pukulan, memang inilah yang terjadi maka Boen Siong menggerakkan tangannya ke bawah dan... plak"

Empat telapak tangan bertemu dan melekat di udara, sejenak menahan pemuda itu dan telapak yang halus membuat darah Boen Siong berdesir. la menungging dengan kaki tertekuk ke belakang sementara wajah mereka begitu dekat. Mata yang indah lebar itu terbelalak. Dan ketika Boen Siong memejamkan mata tak kuat menahan, hatinya berdebar-debar maka Siao Yen membentak dan terlemparlah pemuda itu ke atas lagi, tinggi sekali.

"Bresss!" Boen Siong baru terkejut ketika bentakan dan dorongan gadis itu melemparnya ke atas. la merasa tenaga yang kuat namun lembut menolaknya tinggi, begitu tinggi hingga kepalanya membentur belandar tak ayal lagi benjut dan iapun berteriak tertahan. Dan ketika ia berjungkir balik dan melayang turun, ibunya berkelebat maju maka Siao Yen mundur menjauh sementara Peng- hujin mencengkeram puteranya.

"Kau tak sungguh-sungguh, goblok dan tolol. Jangan membuat malu ibumu!" Pemuda ini tersentak, la melayang turun dan hinggap di lantai ketika ibunya mencengkeram dan membentak, bukan main malunya. Dan ketika ia merah padam sementara yang lain bengong sejenak, meledak dan tertawa melihat benjut di kepala pemuda itu maka Li Ceng membentak puteranya lagi untuk bersungguh-sungguh.

"Bertanding bukan meramkan mata, itu akibatnya kalau setengah-setengah. Hayo sungguh-sungguh atau aku menghajarmu!"

Peng Houw mengerutkan kening. Tampak betapa isterinya bersikap keras sementara puteranya mengangguk diam. Jelas sekali pemuda itu mandah dimarahi. Maka ketika ia menghela napas merasa terharu, betapa keras isterinya mendidik maka ia menegur ketika isterinya duduk kembali. Boen Siong sudah berhadapan lagi dengan Siao Yen.

"Kau jangan menghardiknya seperti anak kecil begitu. la telah dewasa, Ceng-moi, bukan anak-anak lagi. Hargailah dia di depan orang banyak."

"Huh, aku tak suka ia setengah-setengah. Masa menerima pukulan sambil meramkan mata, pertandingan macam apa itu. Aku tak senang ia kalah hanya membuat aku malu. Dan Boen Siong tak mungkin kalah!"

Peng Houw kembali menghela napas. Ia melihat betapa isterinya sekarang keras sekali. Penderitaan dan kesengsaraan membuat isterinya lain. Maka ketika ia diam sementara Boen Siong mendengarkan percakapan itu, melirik dan mengangguk kepada ayahnya maka pendekar itu terharu mendengar bisikan puteranya, dilakukan dengan pengerahan Coan- im-jip-bit.

"Ayah tak usah bertengkar dengan ibu, biarkanlah saja. Aku yang salah dan terima kasih atas pembelaan ayah."

Naga Gurun Gobi semakin terharu. Puteranya tak melihat lagi kepadanya karena lawan bersiap lagi. Siao Yen tak enak juga melihat benjut itu, kepala pemuda ini tampak lucu. Maka ketika ia berkata pemuda itu ganti menyerangnya, Boen Siong menggeleng ternyata dengan tersenyum pemuda ini menolak.

"Tidak, aku laki-laki, lagi pula aku belum kalah. Silakan maju lagi nanti aku membalas."

"Hmm, kau yang minta. Kali ini harus hati-hati, sute. Aku akan semakin menyesal kalau kau celaka lagi!" Siao yen tak mau berdebat lagi dan ia pun menyambung cepat. Godaan atau tawa Gu Lai hwesio tak mau didengar. Maka berkelebat dan membentak lagi, pukulan dilepas dan menyambar ke depan maka Boen Siong mengelak dan ketika dikejar iapun menangkis.

"Plak..!" Gadis itu terhuyung. Untuk kesekian kalinya ia kalah tenaga, akan tetapi ketika ia melelengking dan mengerahkan ginkang, lenyap menyambar-nyambar segera pemuda itu dihujani serangan hingga tak mungkin Boen Siong bersikap lamban, bergerak dan mengikuti pula dan pemuda inipun mengerahkan ginkangnya.

Akan tetapi ketika gadis itu lenyap dan gerakannya semakin cepat, begitu cepatnya hingga Ko Pek Tojin dan lain-lain tak mampu mengikuti dengan pandang matanya, maka Li Ceng berseru agar puteranya mengeluarkan Boan-eng-sut, ingin pamer di depan suami bahwa puteranya jauh lebih cepat lagi.

"Jangan dengan ginkang biasa. Keluarkan Boan-eng-sutmu, Boen Siong, tunjukkan kepada ayahmu bahwa kecepatan Siao Yen dapat kau atasi. Atau aku mencurigaimu ada apa-apa yang membuatmu mengalah kepada gadis itu!"

Boen Siong merah padam dan tawa penontonpun tak dapat dicegah lagi. Memang kata-kata atau seruan nyonya itu memecah ketegangan. Bagi Heng-san-pai-cu dan lain-lain yang telah mengenal betul kehebatan pemuda ini maka sikap yang ditunjukkan Boen Siong memang belum sepenuhnya. Mereka tahu betul kelihaian pemuda ini, apalagi Boan-eng-sut (Elang Cahaya) yang mengagumkan itu.

Maka ketika See Cong Cinjin bertepuk tangan sementara Gu Lai Hwesio tergelak-gelak, semua ini buat Boen Siong semakin merah maka pemuda itupun membentak dan begitu ia berseru keras mendadak tubuhnya lenyap dua kali lebih cepat daripada lawan.

"Slap-slap!"

Siao Yen kaget sekali. Tahu-tahu ia kebingungan ketika dalam gerakannya yang cepat iapun kehilangan sasaran. Pemuda itu tak dilihatnya lagi. Dan ketika ia terkejut dan celingukan bingung di mana lawan mendadak terdengar seruan Boen Siong di samping kirinya.

"Awas, suci, waspada sedikit!"

Pundaknya tahu-tahu ditempar dan ia terpekik. Gadis ini memutar tubuh ke belakang akan tetapi Boen Siong pun menghilang lagi, begitu cepatnya gerakan pemuda itu hingga pangkal lengannya kali ini ditepuk. Dan ketika ia menjerit serta kaget dan penasaran, lawan bagai siluman maka Ji-hwesio bangkit berdiri tak mampu menahan kekagumannya lagi.

"Omitohud, luar biasa. Ini benar-benar mengagumkan dan belum pernah pinceng lihat di dunia ini ilmu meringankan tubuh yang begitu mentakjubkan. Kau kalah, Siao Yen, lawanmu menyerangmu berkakali-kali!”

“Akan tetapi Siao Yen belum roboh. la masih dapat mempertahankan diri!" suara Sam-hwesio membuat orang mengangguk-angguk dan itupun memang benar. Lalu ketika terdengar seruan bahwa Siao Yen pun belum mengeluarkan inti kepandaiannya, gadis itu masih belum mengeluarkan Hok-te Sin-kang maka Peng-hujin maklum dan berseru pada gadis itu, bangga dan gembira bahwa di depan suaminya dapat memperlihatkan kehebatan puteranya itu.

"Boleh, keluarkan inti kepandaianmu. Boen Siong tak hanya pandai bergerak cepat, Houw-ko, iapun memiliki Lui-cu-sin-hwe-kang (Tenaga Api Sakti Mutiara Geledek) warisan suhunya!"

Maka pertandingan menjadi ramai ketika gadis itu tiba-tiba membentak dan mengeluarkan Hok-te Sin-kangnya. Tenaga sakti ini warisan Peng Houw sendiri dan hebatnya bukan main-main. Meskipun setengah bagian akan tetapi Sin Tong Tojin ketua Heng-san-pai belum tentu kuat bertahan. Maka ketika gadis itu melengking dan kedua tangan mendorong bagai orang merobohkan gunung, berkesiurlah angin dahsyat menyambar Boen Siong maka pemuda itu terkejut ketika tertiup dan hampir terjengkang.

"Hyaahhhh!" Boen Siong tak membuang waktu lagi den iapun tiba-tiba mendorongkan kedua tangannya ke depan. Hawa panas menyambar ketika Lui-cu-sin-hwe-kang menyambut, bahkan kilatan api tampak di lengan pemuda ini. Berpijar!

Dan ketika ledakan keras terdengar diantara dua orang itu, Siao Yen terpekik maka gadis itu teruyung namun maju lagi, kaget dan memukul secara memutar sambil meliukkan pinggang. Hok-te Sin-kang benar-benar hebat ketika dengan penasaran gadis ini menambah tenaganya lagi. Baju para penonton di ujung sana sampai berkibar!

Akan tetapi ketika Boen Siong mengelak dan mendorong dari samping, gadis itu berseru tertahan maka ia terhuyung dan sempoyongan mundur, marah dan membalik lagi menyerang hebat. la berseru agar dihadapi secara berdepan. Gadis itu benar-benar penasaran. Dan ketika Boen Siong melayani dan mendorongkan kedua tangannya, berdepan maka bresss...!" gadis itu terbanting dan bergulingan dengan wajah pucat. Mengeluh!

Cukuplah pertandingan ini bagi Peng Houw. Terkejut dan kagum bahwa puteranya mampu menghadapi Hok-te Sin-kang membuat pendekar itu maklum bahwa puteranya benar-benar hebat bukan main. Ia teringat keterangan isterinya betapa mendiang kakek sakti Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip memberikan sinkangnya kepada pemuda itu. Maka ketika ia berseru agar pertandingan dihentikan, sinkang dan ginkang pemuda itu tak kalah memukau maka Peng Houw berseri-seri mengulapkan lengannya, bangkit dan berdiri.

"Cukup, muridku kalah. Kau memang hebat, Boen Siong, akan tetapi Siao Yen seorang wanita. Sekarang hadapilah suhengmu dan kalau kau menang maka ujianmu adalah dikeroyok!"

Siao Yen mengusap keringat dengan wajah kemerah-merahan. Pipinya bersemu dadu mengerling pemuda itu. Antara kaget dan kagum menjadi satu. Maka ketika menjura dan mundur teratur, Gu Lai Hwesio tergelak-gelak maka tokoh Bu-tong yang amat percaya jagonya ini berseru,

“Tak usah menunggu, sekarangpun diadu saja, Peng-taihiap. Atau kau sendiri maju ke depan karena murid-muridmu bakal kalah!"

"Benar, ini pibu. Taihiap maju sendiri dan pertandingan tentu seru!"

Akan tetapi Peng Houw menggeleng dan tersenyum menolak ketua Bu-tong dan See-tong itu. la tetap memanggil muridnya Po Kwan dan berkelebatlah pemuda itu ke depan. Lalu ketika pemuda ini menjura dan membungkuk di depan yang tua-tua, diam-diam pemuda ini kagum akan kehebatan sutenya maka pemuda itu menghadap gurunya berkata merendah,

"Teecu sudah siap, akan tetapi mohon maaf bila kepandaian teecu begitu rendah dan memalukan suhu."

"Tidak! Kau mengerti. Kepandaianmu seusap di atas adikmu, Po Kwan. Kalau kau maju mungkin Boen Siong harus bersikap lebih hati-hati. Serang dan bertandinglah kalian dan jangan ragu. Kalau kalah berarti harus maju berdua!"

Pemuda mengangguk, sebenarnya segan. Mengeroyok adalah hal yang lebih tak enak lagi akan tetapi berhadapan satu lawan satupun agaknya berat. Ia kagum dan tergetar oleh Boan-eng-sut yang ditunjukkan sutenya tadi, dalam hal gin-kang harus mengaku kalah biarpun belum bertanding. Akan tetapi kerena dalam ilmu silat ia belum beradu tenaga, dan inilah yang akan dicobanya sesuai perintah gurunya maka iapun menghadapi sutenya dan memberi hormat di depan sutenya itu. Biarpun lebih muda akan tetapi sutenya ini putera suhunya.

"Sute telah menunjukkan kepandaian yang mengagumkan di depan semua orang, dan akupun mengakui kehebatanmu yang luar biasa itu. Akan tetapi karena suhu memerintahku dan tak mungkin aku menolak harap sute bermurah hati dan mohon maaf bila pukulanku terlalu keras."

Boen Siong tersenyum, Ia memberi hormat pula di depan suhengnya itu. Dari kata-kata dan sikap ini saja ia sudah merasa senang kepada murid ayahnya ini. Suhengnya ini tak berkesan sombong, bahkan rendah hati. Maka berkata dialah yang minta maaf kalau terlalu lancang, Po Kwan tersenyum maka Boen Siong menyuruh suhengnya maju. Akan tetapi pemuda itu menggeleng.

"Tidak, aku lebih tua, sute, kaulah yang maju dan silakan mulai. Jangan sungkan-sungkan."

Boen Siong mengangguk puas. Dari sini kembali ia melihat watak baik suhengnya ini, sebagai yang tua mengalah kepada yang muda. Dan karena mereka sama-Sama lelaki dan ia pun tak perlu sungkan seperti ketika menghadapi sucinya tadi maka Boen Siong pun berseru sambil berkelebat ke depan, tangan kirinya miring membacok bagai sikap sebatang golok.

"Baiklah, aku mulai, suheng. Hati-hati!"

Po Kwan tak mengelak ketika serangan tiba. Justeru ia menggerakkan tangannya menyambut, menangkis dan menjajal tenaga sutenya seperti yang ia inginkan. Dan ketika dua lengan beradu dan ia terhuyung dengan kulit panas, terkejutlah dia maka Boen Siong telah menyusuli dengan serangan-serangan cepat dan terhadap suhengnya ini tampak betapa pemuda itu tak bersikap sungkan. Beradu lengan atau pukulan tidak membuat perasaan Boen Siong tergetar seperti ketika tadi beradu dengan kulit lengan Siao Yen yang halus.

"Duk-dukk!"

Po Kwan semakin terkejut ketika dari tangkisan-tangkisan berikut ia tergetar dan terdorong. la belum mengeluarkan Hok-te Sin-kangnya itu seperti halnya sang sute yang belum mengeluarkan Lui-cu-sin-hwe-kang. Hal itu tampak dari lengan Boen Siong yang masih biasa, tidak berkilat atau berpijar seperti kalau ia mengeluarkan Tenaga Api Sakti itu.

Maka ketika ia terpental sementara serangan-serangan sutenya semakin cepat, berserulah pemuda itu mengibas dengan Soan-hoan-ciang atau Thai-san-ap-ting maka pemuda ini berkelebatan pula mengerahkan ginkang, diam-diam kagum dan kaget karena meskipun ia telah menambah tenaganya namun tetap juga ia terhuyung dan terdorong!

"Bagus, sute, akan tetapi sekarang aku membalasmu!" Seperti tadi adiknya mengeluarkan dua ilmu pukulan itu maka Thai-san-ap-ting maupun Kibasan Angin Puyuh (Soan-hoan-ciang) menderu dan menyambar Boen Siong. Akan tetapi Boen Siong berkelit dan mengelak lincah, dikejar dan akhirnya mengeluarkan ginkangnya pula mengimbangi suhengnya itu.

Dan ketika dua pemuda ini berkelebatan dan mengelilingi dengan cepat, bayangan putih dan kuning saling belit bagai sepasang naga bertarung maka tampak bahwa masing-masing beradu cepat dan dak-duk-dak-duk pukulan menggetarkan ruangan hingga jantung penonton berguncang-guncang oleh pertandingan menegangkan ini. Masing-masing belum ada yang terdesak dan sama kuat!

Semua menjadi kagum. Dari sini tampaklah bahwa Po Kwan memang seusap lebih tinggi dibanding adiknya, terutama dalam hal sinkang. Meskipun tergetar dan terdorong akan tetapi belum satu kalipun pemuda itu terpelanting. Hal ini membuat Boen Siong kagum pula dan mau tak mau pemuda ini mengakui kelihaian suhengnya. Akan tetapi ketika Boen Siong membentak dan mengeluarkan Boan-eng-sutnya, inilah yang dicemaskan Po Kwan maka pemuda itu terkejut melihat lawan tiba-tiba menghilang.

"Awas, aku menambah kecepatan!"

Po Kwan mengeluh. Kalau Boen Siong mengeluarkan itu maka yang terjadi ialah bergeraknya bayangan putih yang menyilaukan pandangan. Begitu membentak dan menjejakkan kakinya maka pemuda ini lenyap tak mampu diikuti mata lagi. Akibatnya sang suheng kebingungan, dua kali menerima tamparan. Dan ketika begitu cepatnya pemuda itu berkelebatan mengelilingi suhengnya maka Peng Houw tak sabar lagi berseru.

"Keluarkan inti kepandaianmu. Jaga dan lindungi tubuhmu baik-baik, Po Kwan, dorong kedua lenganmu ke depan!"

Pemuda ini tak dapat berbuat lain. Seruan suhunya memerintahkan dia mengeluarkan Hok-te Sin-kang, itulah inti kepandaian Maka ketika ia membentak dan berseru keras, mendorongkan kedua lengannya ke depan maka berkesiurlah angin dahsyat pukulan Hok-te Sin-kang.

"Des-Des..!" Boen Siong terpental dan berseru tertahan berjungkir balik ke atas. Setelah Hok-te Sin-kang menyambar sementara ia hanya mengandalkan Boan-eng-sut maka tubuh suhengnya mengeluarkan semacam tenaga mujijat yang membuat pukulan atau tamparannya tertolak. la begitu kagum dan terkejut karena tubuh suhengnya seperti karet. Dan ketika sang suheng membalas dan dari kedua lengan menyambar tenaga yang amat hebat, Hok-te Sin-kang yang luar biasa itu maka ia tertiup dan kalau tidak berhati-hati bakal terjengkang atau benjut seperti tadi!

Akan tetapi Boen Siong telah merasakan kehebatan tenaga ini lewat Siao Yen tadi. Diam-diam ia mengakui bahwa sang suheng lebih kuat. Dorongan dan sambaran itu membuat mukanya pedas, kalau tidak berhati-hati bisa tersayat dan alangkah berbahayanya! Maka berseru dan merobah pola serangannya, melayang dan berjungkir balik turun tiba-tiba pemuda ini mengerahkan Lui-cu-sin-hwe-kangnya dan mendadak kedua lengannya berkilat dan berpijar-pijar bagai api.

"Awas, suheng, akupun membalasmu!"

Semua penonton terbelalak. Boen Siong meluncur turun sementara sang suheng menyambut dengan dorongan ke atas. Adu pukulan dahsyat tak mungkin dihindarkan lagi. Dan ketika benar saja empat lengan beradu dan terdengar ledakan keras, pilar sampai tergetar maka sejenak tubuh Boen Siong tertahan di udara akan tetapi akhirnya mendesak dan sang suheng terdorong mundur. Wajah Po Kwan menjadi pucat karena kedua lengannya panas bagai disentuh bara.

"Dess!" Siapapun melihat betapa wajah pemuda ini berubah. Boen Siong telah turun kembali sementara suhengnya masih terhuyung-huyung, baru setelah beberapa langkah berhenti. Dan ketika pujian meluncur dari mulut Peng Houw, pendekar ini kagum sekali maka muridnya menjadi merah dan perasaan tak ingin kalahpun timbul. Penasaran

"Sute, kau benar-benar tak memalukan. Akan tetapi sambutlah pukulanku dan kita bertanding lagi!" Po Kwan melompat dan kini pemuda itu menambah tenaganya. Ia betul-betul penasaran akan benturan tadi dan kiut-miut menahan sakit. Maka menbentuk dan melepas pukulan lagi, Hok-te Sin-kang menyambar lebih dahsyat maka Boen Siong maklum bahwa suhengnya ini penasaran.

"Baik, hati-hati, suheng, akupun akan membalasmu."

Tidak seperti suhengnya yang panas dan merah mukanya adalah pemuda ini sabar dan tenang. Sikap ini membuat sang ayah mengangguk-angguk dan merasa tepat. Justeru dengan sikap sepertí ini puteranya dapat menguasa keadaan. Dan ketika benar saja benturan untuk kedua kali terdengar lebih keras dan muridnya terpekik tertahan, terdorong dan hampir terpelanting maka Po Kwanpun semakin penasaran dan pemuda yang mulai kehilangan kontrol diri ini menjadi gemas, berkelebat dan menyerang lebih kuat akan tetapi Boen Siong melayani.

Pemuda ini maju mundur dan menangkis dan setiap tangkisan membuat suhengnya terhuyung, apalagi ketika kedua lengannya semakin berkilat dan mencorong bagai bara api, Dan ketika hawa panas juga timbul dan bersamaan itu dak-duk pukulan disertai terdesaknya pemuda itu maka Peng Houw maklum muridnya tak menang. Setengah Hok-te Sin-kang tak cukup menghadapi puteranya yang tangguh.

"Cukup!" tiba-tiba pendekar itu berseru nyaring. "Hentikan dan kau mundurlah, Po Kwan. Sekarang kalian berdua maju dan hadapilah adikmu itu!"

Po Kwan mandi keringat dan basah kuyup. Mati-matian ia mempertahankan diri dan Hok-te Sin-kangnya lumer terkena panas. Tiba-tiba tenaganya cepat habis dan iapun gemetaran hebat. Maka begitu suhunya berseru dan ia merasa lega, inilah kesempatan mengatur napas maka ngeri melihat kedua lengan sutenya yang merah marong, berpijar-pijar!

"Maaf, suheng, ayah telah menghentikan kita."

"Tak apa, kau hebat. Aku... aku mengaku kalah, sute. Sinkangmu luar biasa dan Boan-eng-sutmu pun tak memalukan!" Po Kwan terengah, kagum. Lalu ketika adiknya dipanggil dan Siao Yen berkelebat ragu-ragu, Li Ceng berseri memuji puteranya maka gadis itupun menghadapi suhunya dengan sikap setengah gentar, juga sungkan.

Akan tetapi Peng Houw memberi tanda. "Kau dan kakakmu maju, berendeng, di kiri kanan. Gabung tenaga kalian dan biar kulihat sampai di mana kehebatan Lui-cu-sin-hwe-kang."

Gadis ini mengangguk, memberi hormat. Dan ketika kakaknya juga diperintahkan untuk maju kembali, menyerang Boen Siong maka Po Kwan tampak ragu dan melirik suhunya itu.

"Tak apa, ada aku di sini. Aku yang akan menghentikan pertandingan bila bahaya mengancam semuanya!"

Legalah pemuda itu, membalik menghadapi sutenya. Dan ketika Boen Siong menyambut dengan senyum dikulum, halus dan menyejukkan maka pemuda itu berkata agar mematuhi perintah.

"Ayah sebagai penonton, jauh lebih awas daripada kita. Kalau ini yang dikehendaki maju dan bersiaplah, suheng, aku akan menerimanya. Betapapun ini ujian bagiku dan kerahkan kepandaian kalian."

"Baik, akan tetapi sekarang kami berdua. Hati-hati dan waspadalah, sute. Berat bagi kami akan tetapi ini perintah, jangan dianggap curang."

"Tidak, aku tahu. Kalian mulailah dan jangan ragu."

Po Kwan memberi isyarat adiknya dan Siao Yen pun mengangguk. Mereka sudah berhadapan di kiri kanan Boen Siong sementara pemuda itupun bersiap. Dan ketika mereka tak banyak bicara lagi dan membuang keraguan, sute di depan mereka ini benar-benar lihai maka Po Kwan membentak disusul adiknya.

"Awas, sute!"

Angin menderu dari kanan. Po Kwan melompat dan bersamaan itu Siao Yen pun bergerak. Dan ketika Boen Siong mengelak ke kiri akan tetapi disambut serangan gadis itu, menangkis akan tetapi dihantam dari kanan maka pemuda ini tak mungkin menghindar lagi dan cepat mengembangkan lengan menangkis keduanya.

"Duk-plak!" Boen Siong terhuyung. Dari dua tenaga Hok-te Sin-kang itu mendadak keluarlah gencetan amat dahsyat. Boen Siong tak mampu mempertahankan diri dan terdorong! Dan ketika ia terkejut sementara lawan bergerak maju, mengejar dan berseru keras maka maklumlah Boen Siong bahwa digabung menjadi satu ilmu pukulan Hok-te Sin-kang itu memang dahsyat sekali. Dan lampu di tengah ruangan tiba-tiba jatuh!

Pemuda ini berkelebat mempergunakan Boan-eng-sut ketika dicecar dan dijepit. Tiba-tiba dengan cepat ia dikepung dari kiri kanan, bahkan kadang-kadang dari muka belakang ketika pasangan kakak beradik itu memburu dan mengejarnya. Dan ketika kembali ia menangkis akan tetapi terhuyung untuk kedua kalinya, lantai bergetar begitu hebat maka hampir saja Boen Siong terpeleset dan terpelanting.

"Hebat!" pemuda ini berseru. "Tenaga kalian luar biasa kuatnya, suleng, dadaku sesak"

"Akan tetapi kau mampu lolos. Inipun tak kalah hebat, sute. Kau mengagumkan!" lalu ketika keduanya mendesak dan mengejar lagi, wajah pendekar Gobi berseri-seri maka Li Ceng terkejut dan mengerutkan kening. Cemas! Wanita ini melihat betapa setiap dorongan membuat puteranya mundur, hanya dengan Boan-eng-sut yang memang luar biasa itu Boen Siong melepaskan diri. Akan tetapi karena sikap ini berkesan penakut, lari dan meninggalkan pertandingan dihimpit Hok-te Sin-kang yang dahsyat maka wanita ini khawatir dan mulai tak senang. Masa puteranya harus kalah!

"Boen Siong, keluarkan senjatamu. Tak usah malu karena kaupun dikeroyok!"

"Hm! Sang suami mengangguk. "Boleh, Siong-ji. Kelurkan ilmu golokmu kalau memang terdesak."

Akan tetapi Boen Siong menggeleng dan berseru pada ayah ibunya bahwa hal itu belum perlu. Justeru ia ingin merasakan tekanan dan hebatnya Hok-te Sin-kang. Maka ketiks ia berkelebatan Sementara suheng dan sucinya terus mengejar, keduanya mulai berseri dan girang akan desakan ini maka Po Kwan tak takut jika sutenya megeluarkn golok.

"Benar, tak apa. Kamipun ingin tahu permainan Thian-te-bu-pian-to-hot (Silat Golok Langit Bumi Tak Bertepi) warisan gurumu itu, Sute. Perlihatkanlah kepada kami dan biar kami tahu kelihaian mendiang locianpwe Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip."

"Tidak, aku benar-benar belum terdesak. Kalau kalian mampu menjepit dan mengurung aku barulah ilmu golok itu kukeluarkan, suheng. Akan tetapi rasanya aku sanggup bertangan kosong dulu, nanti semuanya belakangan!"

Po Kwan membentak melihat ketangguhan sutenya itu. Memang biarpun didesak dan ditekan di kiri kanan akan tetapi sutenya belum terdesak hebat. Hok-te Sin-kang menyambar dan mengepung akan tetapi selalu lolos. Dengan Boan-eng-sutnya yang luar biasa pemuda itu selalu menghilang. Dan ketika ia penasaran tetapi juga bingung bagaimana menjepit lawannya ini, tubuh sang sute bagai siluman berkelebatan maka terdengarlah bisikan agar mendesak pemuda itu ke tembok.

"Kalian bertanding tak mempergunakan akal. Tekan dan desak dia ke tembok, Po Kwan, jaga dari kiri kanan agar tak dapat lolos! Dan kau..." bisikan itu menyelinap ke telinga Siao Yen. "Kaupun tak usah setengah-setengah, Siao Yen. Pepetlah dia ke dinding dan buat tak mampu keluar!"

Kakak beradik itu girang. Itulah suara suhu mereka dan tentu saja petunjuk ini membuat keduanya berseri. Kenapa tak mereka lihat itu, alangkah bodohnya! Maka ketika keduanya membentak dan maju serentak, mendorong dan ditangkis maka lagi-lagi Boen Siong terhuyung mundur dan akhirnya tak sadar membelakangi tembok, hal yang membuat ibunya kaget.

"Boen Siong, jangan mundur lagi. Belakangmu tembok!"

Boen Siong terkejut. la sendiri mengingat-ingat petunjuk gurunya sebelum wafat. Ada kata-kata atau nasihat bila ia menghadapi Hok-te Sin-kang. Maka ketika sambil beterbangan ini mengingat-ingat petunjuk itu, kaget ketika ibunya berseru mendadak kakak beradik itu sudah berada di depannya dan mendorong berbareng. Kesiur angin dahsyat membuat pakaiannya berkibar.

"Sute, kali ini kau tak dapat meloloskan diri lagi. Keluarkanlah Thian-te-bu-pin-to-hoat atau kau celaka!"

Ajaib, saat itulah petunjuk sang guru datang. Boen Siong tak mungkin mundur ke belakang lagi setelah membelakangi tembok, ia sadar setelah terlambat. Dan ketika petunjuk itu datang di saat ia hampir mencabut goloknya, hanya dengan Thian-te-bu-pian-to-hoat ia mampu meloloskan diri maka terlihatlah pergelangan kiri kanan kakak beradik itu, tepatnya jalan darah Lek-bu-hiat dan Ui-beng-hiat!

"Jalan darah ini adalah keluar masuknya hawa sakti. Karena Hok-te Sin-kang benar-benar dahsyat maka totok dan lumpuhkanlah pukulan itu, muridku, paling tidak pemiliknya akan terkejut sedetik. Dan inilah cara kita menyelamatkan diri." begitu suhunya pernah berkata dan pemuda itu kini mengingatnya kembali.

Saat itu ia tak dapat berpikir panjang dan kakak beradik itupun sudah menjepitnya. Maka ketika tiba-tiba ia berseru keras dan menyongsong dengan amat berani, maju dan menotok pergelangan kakak beradik itu maka Siao Yen maupun kakaknya benar-benar tak menyangka. Pukulan sudah demikian dahsyat menyambar akan tetapi tiba-tiba hilang setengah jalan.

"Tuk-tuk!" Boen Siong memberosot keluar dan kakak beradik itu berteriak. Pergelangan terasa sakit dan saat itulah serangan gagal, mereka terkejut dan kaget bukan main. Dan ketika keduanya tertegun sementara Boen Siong telah melepaskan diri, ia selamat di luar maka bukan hanya kakak beradik itu yang terkejut akan tetapi pendekar Gurun Gobi juga bangkit dan berseru kaget.

"Ahh!" Peng Houw tak tahu apa yang terjadi namun maklum bahwa sesuatu mengguncang murid-muridnya. Siao Yen dan kakaknya masih terbelalak, bengong. Tetapi ketika sang suhu bangkit dan berkelebat maju, sadarlah dua muda-mudi itu maka mereka menjatuhkan diri berlutut mohon ampun. Li Ceng tiba-tiba bersorak dan mencelat dari kursinya.

"Hore, puteraku menang!"

Bukan hanya wanita ini yang gembira melainkan Gu Lai Hwesio yang menjagokan Boen Siong senang. Hwesio itu tergelak-gelak sementara dua pimpinan Gobi tertegun. Tak ada yang tahu bahwa Peng Houw dan dua pimpinan inilah yang paling terkejut oleh kejadian itu, kecuali Li Ceng. Maka ketika pendekar itu masih terbelalak memandang murid-muridnya, kakak beradik itu gemetar maka Po Kwan kembali minta ampun atas kekalahannya, tahu gurunya terkejut dan kecewa. Hok-te sin-kang sudah dilumpuhkan orang!

"Ampun, teecu berdua bodoh. Sute benar-benar lihai dan kami mengakui kelebihannya, suhu. Maaf Kami tak mampu berbuat apa-apa karena mendadak tenaga kami hilang."

"Bangunlah, kalian hanya memenuhi perintahku, Po Kwan. Kalah menang bukan hal luar biasa. Hanya apa yang terjadi dan kenapa tenaga kalian tiba-tiba hilang!"

"Sute menotok pergelangan teecu."

"Benar, dan kami sedetik lumpuh!"

"Hm, mana yang ditotok. Apakah masih terasa sakit!"

Dua kakak beradik itu menunjukkan pergelangan mereka dan Peng Houw tertegun. Sebagai orang yang banyak pengalaman iapun terkejut, segera matanya bersinar dan mengangguk-angguk. Pertandingan tadi bukan dianggapnya pertandingan Boen Siong melawan muridnya melainkan mendiang Ji Leng Hwesio dan Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip. Sebagai pewaris sesepuh Gobi tentu saja ia merasa penasaran. Agaknya Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip telah menemukan rahasianya.

Akan tetapi karena iapun cepat dapat menangkal dan mengatasinya, yakni jangan biarkan lawan menotok pergelangan itu maka ia menganggap bahwa Hok-te Sin-kang masih hebat! Pendekar ini segera menyuruh murid-muridnya mundur. Wajah yang semula muram dan tampak tegang sudah pulih lagi, kakak beradik itu lega. Dan ketika kemenangan ini disambut tepuk ríuh penonton, kecuali pimpinan Gobi maka Peng Houw berseri-seri dan tidak kelihatan kecewa lagi, hal yang membuat Ji-hwesio dan Sam-hwesio heran.

"Boen Siong memang hebat, dan ia pantas memiliki kemenangan itu. Aku sekarang percaya akan kepandaiannya, cuwi totiang (Bapak Pendeta Sekalian), dan aku percaya bahwa iapun dapat mengalahkan Chi Koan!"

Semakin nyaringlah tepuk tangan ketua-ketua partai itu. Kalau Naga Gurun Gobi sendiri berani menyatakan itu maka pernyataannya dapat dipertanggungjawabkan. Tentu saja mereka girang bukan main. Akan tetapi ketika ketua Bu-tong berseru agar pendekar itu menjajal puteranya, tak tahu bahwa sesungguhnya Hok-te Sin-kang telah diadu dengan warisan Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip maka Peng Houw menggeleng tertawa.

"Tidak perlu, dua muridku tadi telah mewarisi hampir semua kepandaianku. Dengan kemenangan ini telah dapat ku ukur kepandaiannya, lo-suhu, kami berimbang. Yang jelas dapat mengalahkan Chi Koan dan ia atau aku sama saja!"

Mengangguk-angguklah hwesio itu dengan wajah puas. Kalau sekali lagi Naga Gurun Gobi ini berkata seperti itu berarti pilihannya tidak keliru, bahkan yang muda rasanya lebih kuat daripada yang tua tenaganya masih utuh. Dan ketika yang lain tertawa dan percaya juga, hari itu Boen Siong semakin dikagumi maka malam harinya setelah semua tamu dipersilakan istirahat maka duduklah ayah dan anak di dalam kamar. Heng-san-paicu dan lain-lain diminta menginap.

"Mengejutkan, dan gurumu cerdik sekali. Selama ini tak pernah kutahu bahwa dengan totokan itu Hok-te Sin-kang bakal terhenti, puteraku. Akan tetapi kalau aku tahu dan tak membiarkan dirimu menotok maka Hok-te Sin-kang masih tetap berbahaya. Ceritakan kepadaku bagaimana gurumu tahu!"

Boen Siong menarik napas, tersenyum pahit. Sebagai orang yang merasa dikalahkan tentu saja ia tahu perasaan ayahnya ini. Sebagai pewaris Ji Leng Hwesio yang berhadapan dengan pewaris Pek-gan hui-to Jiong Bing Lip maka kesetiaan kepada guru amatlah tinggi, dan itu ditunjukkan ayahnya terhadap sesepuh Gobi yang sakti itu.

Akan tetapi mendengar kata-kata ayahnya bahwa dengan tidak membiarkan jalan darah itu tertotok maka Hok-te Sin-kang merupakan ancaman bahaya maka iapun mengakui dan melihat kebenaran ini, mengangguk.

"Ayah benar, memang tidak salah. Akan tetapi akupun belum mengeluarkan Thian-te-bu-pian-to-hoat yang diciptakan suhu. Kalaupun Hok-te Sin-kang masih menyambar ada penangkis yang belum kukeluarkan itu. Apakah ayah penasaran dan menyesali kejadian tadi? Kalau begitu aku mohon maaf, akan tetapi harus kuakui bahwa Hok-te Sin-kang benar-benar hebat!"

"Hm-hm, penasaran memang penasaran. Akan tetapi aku puas melihat kepandaianmu tadi, puteraku, dan dengan adanya kejadian ini kau pasti dapat mengalahkan Chi Koan. Si buta itu tentu tak tahu bahwa kelemahan Hok-te Sin-kang telah diketahui!"

"Lalu apa maksud ayah sekarang?"

"Aku ingin melihat Thian-te-bu-pian-to-hoat itu. Coba tunjukkan kepadaku dan kuukur dengan Hok-te Sin-kang!"

Boen Siong mengerutkan kening. Kalau saja yang di depannya ini bukan ayahnya sendiri tentu ia menolak. Dari kecerdasan ayahnya tadi menangkal totokan Lek-bu-hiat dan Ui-beng-hiat segera ia tahu bahwa sang ayah amat pintar. Sekali lihat tahu cara menolak! Akan tetapi heran untuk apa ayahnya minta maka iapun bertanya, "Ayah mengherankan aku, untuk apakah kuperlihatkan ilmu itu."

"Hm, sekedar mencari titik lemahnya, Boen Siong, akupun penasaran bahwa mendiang gurumu telah menemukan titik lemah Hok-te Sin-kang!"

Pemuda ini tertawa. Tiba-tiba ia kagum akan kejujuran ayahnya ini. Betapa gamblangnya! Akan tetapi karena ruangan itu tak begitu lebar sementara ibunya sebentar lagi datang, ibunya menyiapkan makan minum mereka maka pemuda ini berkata, "Sebaiknya besok saja di luar. Ibupun sebentar datang, ayah, nanti curiga!"

Benar saja, pintu dibuka. Li Ceng masuk dan wanita itu berseri-seri membawa nampan. Bau sedap mengepul ketika ayam bakar diletakkan. Dan ketika Peng Houw mengerutkan kening melihat ini, sang isteri tertawa maka wanita itu bertanya kenapa kening suaminya berkerut.

"Aneh, datang-datang disambut kernyit. Eh, aku membawa sesuatu yang istimewa untuk kalian, suamiku, masa tak senang. Hayo makan dan ini minumnya, air putih!"

"Hm, apakah semua ini diketahui penghuni. Ingat bahwa di tempat ini pantang makanan berjwa, Ceng-moi. Kalau diketahui aku yang tak enak."

"Ah, kenapa harus diberi tahu. Aku dan Siao Yen yang masak secara diam-diam dan percayalah semuanya aman!"

"Akan tetapi baunya..."

"Eh, salah siapa? Hidung mereka itulah yang tak tahu diri, aku tidak menawar-nawarkan. Ayo makan dan ini untuk kemenangan puteraku!" Li Ceng tak perduli dan wanita itu sudah mengambilkan nasi dan lauknya untuk suami. Lalu ketika ia memberikan pula kepada Boen Siong, tersenyum dan melirik sang ayah mendadak pendekar ini berkata bahwa harus ada yang diundang.

"Sebaiknya kakak beradik itu makan pula bersama kita, panggillah keduanya."

Boen Siong bangkit, terharu. Ia melihat betapa ayahnya begitu mencintai kakak beradik itu. Maka berkelebat mendahului ibunya iapun berkata dialah yang akan memanggil suheng dan sucinya itu. "Ayah betul, suheng dan suci akan kucari. Kenapa ibu lupa dan harus kita sendiri!"

Li Ceng cemberut, suasanapun terganggu. Akan tetapi ketika suaminya berkata bahwa kakak beradik itulah yang amat dekat dengannya selama ini, tak mungkin meninggalkannya begitu saja maka Peng Houw meraih isterinya ini membujuk.

"Sudahlah, kitapun tak akan begitu terganggu. Kegembiraan ini marilah dirayakan bersama, Ceng-moi, bukankah Boen Siong telah memanggil pula. Apalagi Siao Yen membantumu memasak, masa tidak diberi!"

Sang nyonya tersenyum dan iapun mau mengerti. Akan tetapi ketika Boen Siong muncul sendiri lagi, kakak beradik itu telah makan di dapur maka Li Ceng tersentuh melihat suaminya menghela napas.

"Lihat, betapa tahu dirinya mereka itu. Jelas mereka tak mau mengganggu kita, Ceng-moi, kalau begitu mari bertiga dan kita makan."

Boen Siong mengangguk. Memang ia telah menemui suheng dan sucinya itu akan tetapi mereka makan di dapur. Siao Yen bahkan tampak tersipu-sipu. Dan ketika ia berkata bahwa ayahnya memanggil untuk makan bersama, sang suheng berdiri maka suhengnya itulah yang menjawab bahwa mereka keburu makan,

"Maaf, kami mendahului. Terima kasih, akan tetapi kami terlanjur di sini, sute silakan kalian bertiga dan biarlah kegembiraan itu kalian nikmati!"

Boen Siong kembali akan tetapi diam-diam ia terharu. Segera ia mengerti bahwa semua itu disengaja. Kakak beradik itu makan di dapur agar tak diundang, mereka kikuk di samping tak ingin mengganggu pertemuan keluarga ini. Maka ketika ia kembali dan ayahnya mengangguk-angguk, begitulah watak kakak beradik itu maka Li Ceng pun menjadi lunak dan makan bersama ini benar-benar dinikmati.

Dan ketika keesokannya Boen Siong menepati janji, berkelebat bersama ayahnya ke tempat sepi maka pendekar ini melihat permainan Thian-te-bu-pian-to-hoat dan menjadi kagum. Puteranya lenyap bersama gulungan golok yang tiada bertepi, lebar dan bergulung-gulung dan angin sambarannya membuat ia harus menjauh. Kulit serasa teriris!

"Bagus, hebat. Ciptaan gurumu benar-benar luar biasa, Siong-ji, cukup dan aku puas!"

Tak sampai semuanya tiba-tiba pendekar itupun menyuruh berhenti. Boen Siong heran dan kagum ayahnya tampak berseri-seri. Wajah itu seakan mendapat jawabannya. Dan ketika ia bertanya tetapi disambut tawa, sang ayah berkelebat dan kembali pulang maka pemuda inipun merasa tercengang dan curiga.

"Apakah ayah menemukan titik lemahnya. Aku belum menghabiskan semua permainanku, kenapa tertawa!"

"Tak apa-apa. Aku hanya kagum akan tetapi kuperoleh sesuatu yang berharga, Siong-ji, mari pulang dan kelak kuceritakan!"

"Apa itu?"

"Sudahlah, pulang dulu kelak kuberitahukan!" dan karena ayahnya tak mau didesak lagi sementara iapun mengikuti maka pemuda inipun terheran-heran dan diam-diam menyimpan tanda tanya akan sikap ayahnya yang aneh ini.

Belum cukup Heng-san-paicu dan kawan-kawan merundingkan persoalan mereka datanglah seseorang yang tak diduga. Seorang kakek tinggi kurus, berwajah terang dengan rambut digelung ke atas minta bertemu. Rambutnya seperti seorang tosu akan tetapi pakaian dan sikapnya bebas. Anak murid Gobi tak ada yang mengenal. Akan tetapi begitu diajak masuk dan menghadap pimpinan, saat itu Peng Houw dan isterinya berada di situ maka Li Ceng menjerit dan mencelat ke depan.

"Suheng!" Teriakan atau seruan nyonya ini mengejutkan yang lain. Peng Houw berubah dan mengenal pula tosu itu. Dan ketika ia berkelebat dan menjura di depan kakek ini, Ji Hwesio dan lain-lain terheran maka Naga Gurun Gobi itu berkata,

"Selamat datang, sungguh menggirangkan. Masuk dan mari duduk, Kim Cu totiang. Sungguh kehadiran totiang tepat sekali di saat kami sedang berunding!"

Ji Hwesio dan Sam-hwesio terkejut. Setelah mereka memperhatikan dan tosu aneh ini tertawa maka bergeraklah keduanya dari kursi mereka. Dua pimpinan Gobi ini membungkuk. Dan ketika Heng-san paicu dan lain-lain baru mengenal maka melompatlah mereka menyongsong kakek aneh ini.

"Omitohud, Kim Cu Cinjin kiranya. Wah, pinceng benar-benar pangling dan tak mengenalmu, Cinjin, ke mana kau selama ini dan bagaimana tiba-tiba datang ke sini?"

"Siancai, pinto juga pangling. Dandananmu aneh tak seperti biasanya, Cinjin, bagaimana muncul di sini di saat kita semua berkumpul!"

"Ha-ha, maaf, inilah tamu yang datang mengganggu. Kebetulan saja kudengar semuanya ini di tengah jalan, Gu Lai lo-suhu. Kedatanganku sebenarnya untuk menemui sumoiku ini dan Naga Gurun Gobi. Kebetulan kalian di sini, maaf semoga kehadiranku tak membuat kalian kurang senang!"

Kim Cu Cinjin, kakek atau tosu aneh ini membalas hormat ke sana ke mari. Inilah bekas ketua Kun lun yang lihai itu, suheng Peng-hujin alias Li Ceng. Maka ketika ia tertawa-tawa dan menjura ke semua orang, termasuk pimpinan Gobi maka Ji-hwesio dan Sam-hwesio yang girang melihat tosu ini segera menyambut. Li Ceng tersèdu dan menubruk suhengnya itu.

"Ke mana saja kau ini. Lama amat meninggalkan Kun-lun, suheng, pergi tanpa berita. Lihat betapa semua orang pangling padamu dengan dandananmu yang begini aneh. Kau memakai pakaian berkembang-kembang!"

Memang Kim Cu Cinjin mengenakan pakaian berkembang-kembang. Setelah ia melepaskan diri dari jabatannya sebagai ketua Kun-lun maka kakek ini merasa tak pantas lagi sebagai pendeta. Sejak bekas kekasihnya datang berturut-turut iapun terpukul. Masa lalunya menguak luka. Maka ketika ia meninggalkan kedudukan dan turun gunung, juga sekalian mencari putera sumoinya yang hilang.

Maka dalam perjalanan kakek ini mengganti baju dan hanya rambutnya saja yang tetap digelung sebagai kebiasaan lama. Kakek ini jadi mirip setengah tosu setengah bukan, bahkan mungkin dianggap sinting, meskipun wajah dan matanya jelas waras. Dan ketika hari itu ia datang di Gobi, tepat di saat banyak orang berkumpul maka kedatangannya menggembirakan namun juga mengherankan, terutama dandanannya yang aneh itu, pakaian kembang-kembang.

"Duduk dan mari bercakap-cakap dengan kami. Kebetulan ada sesuatu yang penting, Cinjin, yang agaknya perlu bantuanmu. Duduk, mari duduk...!"

Pimpinan Gobi mempersilakan kakek ini akan tetapi Kim Cu Cinjin tak beranjak. la dipeluk dan dirangkul sumoinya, Li Ceng terharu dan tersedu-sedu. Akan tetapi ketika sejenak ia melepaskan diri dan memandang Peng Houw, sinar matanya mendadak penuh teguran maka pendekar itu tanggap dan cepat menjura.

"Kalau Cinjin ada perlu denganku mari ke belakang, di sana kita dapat bercakap-cakap."

"Benar, aku perlu denganmu. Akan tetapi nantipun tak apa, Peng Houw, kalian sedang sibuk. Biar sumoiku yang menemani dan mana Boen Siong!"

"la di belakang, ada apa," Li Ceng berkata mendahului suaminya, sikap dan nada kakek itu tak senang. "Kau agaknya sudah tahu semuanya, suheng, begitu pula Boen Siong!"

"Tentu saja, aku kembali ke Kun-lun. Akan tetapi ketika tak kulihat engkau di sana maka kususul dan akhirnya ke sini."

"Hm, aku ingin tahu apa yang terjadi setelah kau bertemu suamimu!"

Peng Houw menarik napas dalam. Ia mendapat isyarat dari pimpinan Gobi agar membawa tosu itu ke belakang saja, urusan lain dapat dilanjutkan nanti. Maka ketika ia mengangguk dan memberi isyarat isterinya pula segera pendekar itu memotong.

"Sebaiknya kita ke belakang, mari ke sana. Biar Ji-susiok dan lain-lain melanjutkan pembicaraan tadi."

"Hm, tak apa-apa. Setelah selesai silakan ke sini, totiang, kami tunggu," Ji-hwesio menyambung.

Kim Cu Cinjin menjura lagi dan iapun setuju. Sebenarnya bukan maksudnya mengganggu orang-orang itu karena keperluannya adalah dengan suami isteri ini. Ia ingin menegur Naga Gurun Gobi itu. Maka mendapat kesempatan dan ijin tuan rumah, iapun girang segera Peng Houw membawa tamunya ini ke belakang. Dan di tengah jalan berkelebat tiga bayangan susul-menyusul.

"Ayah, siapa tamu kita ini!"

"Suhu, apakah kalian mencari kami!"

Dua orang pemuda dan seorang gadis tahu-tahu telah berdiri di situ dan Kim Cu Cinjin tertegun. Tentu saja ia pangling kepada kakak beradik ini akan tetapi perhatiannya segera tertuju kepada pemuda berwajah tampan itu. Pemuda inilah yang memanggil Peng Houw dan tampak betapa hubungan mereka akrab sekali. Itulah Boen Siong. Dan ketika Li Ceng girang menyambar puteranya, berseru bahwa itulah supeknya (uwa) Kim Cu Cinjin maka Boen Siong dan lain-lain terkejut. la datang bersama suheng dan sucinya.

"Cepat beri hormat dan jangan di tengah jalan. Inilah supekmu Kim Cu Cinjin, Boen Siong, baru saja datang mencari ibumu. Hayo kalian maju dan jangan berhimpitan!"

Tiga orang muda itu terkejut. Hampir serentak semuanya memberi hormat, Boen Siong sudah berdampingan dengan suhengnya ini. Dan ketika kakek itu terbelalak namun berseri-seri, melompat dan mencengkeram pemuda ini maka tawanya menggetarkan jantung.

"Kau... ha-ha, kau Boen Siong? Kau sudah sebesar dan sedewasa ini? Thian Yang Maha Agung. Belasan tahun pinto mencarimu akan tetapi siapa sangka mendekam di Kun-lun, anak baik. Kau benar-benar seperti ayahmu di waktu muda. Kau... ha-ha, sungguh gagah dan perkasa sekali. Aku telah mendengar semuanya di Kun-lun begitu pula sepak terjangmu di Heng- san. Huwaduh, sungguh gembira mempunyai keponakan seperti ini. Tak kusangka gurumu Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip menyembunyikanmu!" berkata begini tosu itu mengerahkan Sin-ma-kangnya dan Tenaga Kuda Sakti ini meremas pundak Boen Siong.

Orang lain yang diremas tentu hancur. Akan tetapi ketika kakek itu kagum betapa dari pundak itu keluar tenaga lembut yang amat kuat menolak cengkeramannya, bahkan merasa panas dan terbakar kalau ia meneruskan cengkeraman itu maka kakek ini melepaskan jarinya dan diam-diam kaget bahwa semuda itu pemuda ini sudah memiliki sin-kang (tenaga sakti) demikian kuatnya. Akan tetapi ketika maklum bahwa ini adalah murid Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip, satu di antara jajaran tokoh-tokoh besar maka kakek itu berseri-seri dan Boen Siong merasa jengah. Ia bahkan kikuk kalau terlalu dipuji. Dan kakek itu tiba-tiba teringat muda-mudi itu.

"Eh, siapa ini!"

"Siauw-te Po Kwan."

"Dan teecu Siao Yen...!"

"Hm, Po Kwan? Siao Yen?" kakek itu terbelalak. "Thian Maha Pemurah, kalian ini yang dulu masih kecil-kecil? Kalian sudah dewasa dan gagah-gagah pula? Huwaduh, sungguh pinto tiba-tiba merasa tua! Ha-ha, tak kusangka kalian berdua, Po Kwan, bagus sekali. Kaupun gagah dan tentu berkepandaian tinggi. Dan adikmu, cantik dan sudah dewasa!"

Kakek ini maju dan menyambar keduanya dan sama seperti tadi iapun mencengkeram mennguji kepandaian. Mulut tertawa-tawa akan tetapi dari sepuluh jari kakek itu mengalir daya cengkeram yang dahsyat. Batupun bakal remuk ketika dicengkeram. Akan tetapi ketika Hok-te Sin-kang melindungi secara otomatis dan kakek itu terkejut, melepaskan jarinya maka ia kagum mengangguk-angguk.

"Pantas menjadi murid Naga Gurun Gobi... pantas menjadi murid Naga Gurun Gobi!"

Li Ceng berseru mengajak suhengnya masuk ke dalam. Mereka sudah tiba di kamar sendiri dan anak-anak muda itupun tersenyum. Tentu saja mereka tahu ketika diuji. Bahu serasa sakit! Akan tetapi ketika kakek itu terkekeh-kekeh dan begitu girang, terutama memandang Boen Siong maka ia berkata biarlah anak muda itu ikut.

"Bocah ini membuat pinto nyasar kemana-mana. Kalau sekarang di sini kenapa tidak bersama saja? Baik, sumoi, silakan sekalian!”

Akan tetapi Li Ceng ragu, memandang suaminya. Dan ketika pandangannya jatuh ke puteranya dan menganggap tak usah Boen Siong menemani mereka maka Kim Cu Cinjin menangkap jalan pikirannya.

"Tidak, tidak perlu takut. Justeru dengan adanya Boen Siong pinto dapat mengetahui lebih baik, Sumoi. Paling tidak kau tak akan membela suamimu."

"Apakah suheng akan marah-marah."

"Tadinya begitu, akan tetapi setelah melihat puteramu ini maka lenyaplah kemarahan pinto!"

Peng Houw tersenyum pahit. Tentu saja iapun tahu gerak-gerik bekas ketua Kun-lun ini. Mau apalagi kalau bukan menegur dirinya. Maka berkata bahwa iapun tak keberatan ditemani Boen Siong, iapun sudah mengakui kesalahannya maka Li Ceng terharu melihat suaminya seakan tak hendak membela diri lagi, pasrah. Nyonya ini terisak dan iapun menyambar lengan suaminya itu.

Kim Cu Cinjin terkekeh dan maklumlah dia bahwa suami isteri ini sudah seperti sedia kala. Benci dan pertikaian itu tak ada. Dan ketika ia balas menyambar Boen Siong dan bertanya heran bagaimanakah sikap pendekar itu terhadap anaknya maka Boen Siong menunduk menjawab bahwa ayahnya baik, tak ada apa-apa.

"Heh, kenapa seperti wanita. Angkat mukamu dan jawab dengan gagah, Boen Siong. Benarkah ayahmu baik!"

"Baik, baik," Boen Siong tersipu. "Ayah baik dan justeru amat memperhatikan aku dan ibu, supek. Ia sengsara setelah kehilangan kami."

"Akan tetapi ia tetap di sini, tak pernah mencari!"

"Siapa bilang!" Li Ceng berseru dan membantah. Justeru dalam keputusasaannya tak menemukan kami Houw-ko mengorbankan sesuatu yang paling berharga, suheng. Kalau bukan karena aku tak mungkin dilakukannya itu!"

"Melakukan apa," kakek ini terbelalak.

"Ia. eh...!" Li Ceng terkejut ketika kakinya diinjak. Hampir saja wanita ini berkata bahwa suaminya sudah tak memiliki lagi Hok-te Sin-kang yang dahsyat itu, suaminya sudah patah arang!

Akan tetapi ketika ia sadar diinjak kakinya, hal itu tak perlu diketahui orang lain maka Peng Houw mengajak kakek ini masuk. Ia mengedip dan memberi tanda agar isterinya tak bicara itu. "Kita masuk saja, tak enak di luar."

Kakek ini mengangguk. Akhirnya ia mengikuti suami isteri itu ke kamar besar. Setelah Peng-hujin berada di situ dan Peng Houw berkumpul dengan anak isterinya maka kamar lama diberikan Boen Siong. Pendekar ini telah mendapat kamar baru yang luas dan lebih lega. Dan ketika semua masuk sementara Siao Yen dan kakaknya menyiapkan minuman, tuan rumah berhadapan dengan kakek itu maka langsung saja Kim Cu Cinjin menegur pendekar iní.

Akan tetapi Li Ceng membela dan melindungi suaminya. Ia berkata bahwa suaminya sudah cukup mencari, dialah yang tak mau keluar dan sengaja bersembunyi. Dan ketika Boen Siong juga menyatakan ayahnya baik-baik saja, merekalah yang terlalu lama maka kakek ini terbelalak, namun akhirnya terkekeh. Ia dikeroyok!

"Heh-heh, kalau begini jadinya tak usah suamimu kumarahi. Aku mendengar Boen Siong akan kau adu dengan ayahnya, Sumoi dan aku tentu saja terkejut. Aku khawatir dan menyusul dari Heng-san tetapi kalian rukun-rukun saja, malah pinto sekarang dikeroyok. Wah, tahu begini tak usah datang!"

Semua tertawa. Akhirnya pembicaraan menjadi hangat dan lumerlah kemarahan kakek ini. Ayah dan anak serta ibu benar-benar tak ada ganjalan lagi. Dan ketika Li Ceng teringat musuh besarnya Chi Koan yang kini sedang dirundingkan pimpinan Gobi maka nyonya ini mengepal tinju.

"Aku telah mendapatkan jejak musuh besarku. Chi Koan di telaga See-ouw Suheng, tahukah kau!"

"Ya-ya, pinto tahu, dan kedatangan pinto memang ingin membicarakan ini pula. Setelah kalian baik-baik saja dan tak ada apa-apa lagi maka pinto hendak menerangkan sesuatu yang penting. Keparat itu telah menjadi bengcu di selatan!"

"Aku tahu, bukan berita baru. Dan Boen Siong, hmm... ia telah ke sana pula!"

"Ke sana?"

"Betul, suheng, sebelum bertemu ayahnya. Waktu itu ia keluar sebentar dan meninggalkan aku. Di sanalah ia menolong puteri Lam-hai-kong-jiu Ang-taihiap!"

"Ah, apa yang terjadi dengan gadis itu?"

"Penindasan terhadap wanita, ia dipermainkan dan diperkosa seorang pemuda!"

Kini Kim Cu Cinjin memandang pemuda itu. Boen Siong mengangguk dan bersinar-Sinar dan tiba-tiba sepasang matanyapun mencorong. Teringatlah pemuda itu akan seorang gadis cantik yang dicampakkan seorang pemuda. Ia tak tahu bahwa gadis itu adalah puteri Lam-hai-kong-jiu, semua diketahui setelah penjahat itu melarikan diri. Dan ketika ia bercerita secara singkat bahwa ia bertemu dengan murid Chi Koan, sayang tak sempat mengejar karena harus menolong gadis malang itu maka Peng Houw mengerutkan kening mendengar penuturan puteranya ini. Ini belum didengarnya.

"Siapakah yang kau jumpai itu, Siauw Lam atau Beng San."

"Siauw Lam, ayah, dan seumur hidup tak akan kulupa kekejamannya. Gadis itu akhirnya pulang setelah menceritakan semuanya kepadaku. la penuh dendam dan akan melapor ayahnya."

"Hm!" Kim Cu Cinjin mengangguk-angguk, tiba-tiba terkekeh. "Guru kencing berdiri muridpun kencing berlari, Boen Siong. Sekarang bocah itu telah dicari dan hendak dibunuh gurunya sendiri!"

"Apa yang terjadi."

"la menjadi jai-hwa-cat di selatan. Ia tiba-tiba membuat gurunya tercoreng-moreng!"

"Jai-hwa-cat (Pemerkosa)?" Li Ceng terkejut.

"Benar, sumoi, dan inilah berita terakhir yang kudapatkan. Anak itu menimbulkan kemarahan besar pada setiap orang. Entah kenapa ia merusak nama gurunya sendiri."

"Rusak apa!" sang nyonya membanting kaki. "Sejak dulu si buta itu memang rusak, suheng. Chi Koan memang bejat dan tak aneh kalau punya murid bejat pula!"

"Hm, benar, akan tetapi pinto buru-buru pulang dan tak ingin bertemu orang-orang selatan itu. Karena pinto kangen dan rindu kampung halaman akhirnya pinto ke Kun-lun. Dan di situlah pinto tahu bahwa kau telah menemukan puteramu dan menuju Heng-san, Ia membuat geger disana"

Boen Siong jengah, dilirik ayahnya. Akan tetapi sang ibu yang bangga dan justeru tersenyum mengangkat lengannya.

"Justeru ia sekarang diangkat menjadi bengcu, bengcu utara. Sebentar lagi anak ini diresmikan semua pihak, suheng, ayahnya sebagai penasihat!"

"Bengcu?"

"Ya, bengcu. Dialah yang akan menghadapi Chi Koan dan membunuh buta keparat itu. Heng-san-paicu dan lain-lain memberi tandingan dan akan menghancurkan bengcu Selatan, si buta Chi Koan!"

Kim Cu Cinjin menjadi kagum dan ia pun berseri-seri. Kalau Heng-san-paicu dan lain-lain mengangkat pemuda ini maka Boen Siong benar-benar pemuda pilihan. Tak gampang diangkat ketua-ketua partai yang lihai itu. Dan ketika ia bangkit dan memberi selamat, Boen Siong tersipu-sipu maka terdengar panggilan bahwa mereka semua diminta datang ke bangsal pertemuan. Ada berita darurat. Kakak beradik itulah yang memberi tahu atas permintaan ketua Gobi.

"Maaf dan ampunkan teecu. Ji-locianpwe dan Sam-locianpwe mengundang kalian, suhu, ada berita mendadak. Suhu diharap datang berikut Kim Cu totiang dan lain-lain!"

Peng Houw terkejut. Tak biasanya pimpinan Gobi mengganggu orang, apalagi mereka yang sedang bergembira. Namun bangkit dan cepat ke sana maka dilihatlah wajah-wajah tegang penuh kemarahan. Di lantai terdapat seorang tosu muda mandi darah!

"Siancai, apa ini. Siapa dan kenapa orang ini, Ji-losuhu. la luka berat!" Kim Cu Cinjin tak dapat menahan kagetnya dan melompatlah kakek itu ke tengah rangan.

Peng Houw dan semua berkelebat pula dan ternyata ketua Heng-san-pai menolong. Ternyata tosu muda itu adalah murid Heng-san. Dan ketika semua tertegun dan kaget serta marah, jelas tosu ini dihajar orang maka Sin Tong Tojin akhirnya menyadarkan tosu ini. Tadi datang terbata-bata dan roboh serta pingsan, setelah memberi tahu bahwa Heng'san diserbu banyak orang!

"Teecu... teecu tak kuat lagi. Oh, teecu melapor bahwa tempat kita diserbu banyak orang, suhu. mereka... mereka orang-orang selatan...!"

"Mana sute dan adik-adikmu yang lain. Berapa hari kau datang ke sini, Cong Ham, berapa lama kejadian itu berlangsung!" ketua Heng-san-pai tampak pucat dan kata-katanya gemetar akan tetapi penuh marah.

Murid itu mencoba berkata-kata lagi akan tetapi roboh, kali ini berkelojotan dan akhirnya tewas. Dan ketika semua terkejut dan menjadi marah maka terdengar laporan bahwa ada murid-murid Hoa-san dan Bu-tong serta See-tong menyusul, juga luka-luka.

"Mohon suhu ijinkan masuk ke dalam. Para sahabat dari Bu-tong dan Hoa-san serta See-tong harus digotong. Mereka tak dapat berjalan lagi, parah!"

Seorang hwesio muda melapor takut-takut dan bukan main kagetnya Gu Lai Hwesio dan rekan-rekannya. Tanpa disuruh lagi merekalah yang berkelebat keluar. Dan ketika tertegun melihat halaman maka empat tubuh terkapar mandi darah....