Kabut Di Telaga See Ouw Jilid 26 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Serial Bu-beng Sian-su Karya Batara

BOEN SIONG dibuat sibuk. Ia berkelebatan dan lenyap mengelak sana-sini. Pukulan atau hajaran Heng-san-paicu amatlah hebat. Dan karena hanya kakek inilah yang paling berbahaya, kedua lengannya mengeluarkan hawa panas yang membuat muka cepat merah maka pemuda ini tak mau melayani sang ketua Heng-san, sengaja melingkar dan mencari lainnya dan pertama-tama adalah See Cong Cinjin. Ketua See-tong-pai ini paling lemah baru Gu Lai Hwesio, kemudian berturut-turut Ko Pek Tojin dan Goat Gin Tojin.

Maka ketika terhadap empat orang inilah dia membalas pukulan, Lui-cu-sin-hwe-kang dikerahkan hingga membuat kedua lengan berpijar bagai bara maka Ko Pek Tojin dan lain-lain terkejut karena pedang atau tongkat mereka terbakar setiap bersentuhan dengan lengan pemuda itu, panas dan cepat ditiup lalu menerjang lagi akan tetapi Boan-eng-sut amatlah hebat. Ginkang Elang Cahaya ini benar-benar luar biasa tak mampu dikejar. Jangankan mereka, Heng-san-paicu sendiri dengan Sin- sian-hoan-engnya tak mampu menyusul pemuda itu, gerakannya selalu kalah cepat.

Maka ketika perlahan tetapi pasti Boen Siong mendesak See Cong Cinjin dan kawan-kawan, pukulan atau hajaran Cam Bong Cinjin dan suhengnya dikelit dulu maka duapuluh lima jurus kemudian tongkat dan pedang di tangan Ko Pek To jin benar-benar terbakar, begitu pula toya di tangan ketua Bu-tong, Gu Lai Hwesio.

"Ah, siluman, hebat sekali. Pedang pinto leleh, See Cong Cinjin, bagaimana senjatamu?"

"Tongkat pinto sama juga. Tongkat ini terbakar, Ko Pek Totiang, entah tenaga apa yang digunakan pemuda itu hingga begini!"

"Dan toya pinceng, astaga! Bengkok dan panas. Augh, pinceng tak dapat mempergunakan senjata lagi karena toya pinceng menjadi bara!"

Gu Lai Hwesio mengejutkan teman-temannya dan tiba-tiba ia membuang toyanya yang marong itu. Toya itu bengkok dan panasnya bukan main, kalau terus dipegang rusaklah telapak tangan. Maka ketika hwesio itu berseru keras dan toyanya dibuang menancap, amblas di dinding maka tongkat di tangan ketua see-tong-pai juga dilepaskan dan hanya pedang di tungan Ko Pek Tojin yang cepat dilontarkan ke langit-langit ruangan, menancap dan mengeluarkan suara dan belandar seketika menjadi hangus.

Dapat dibayangkan betapa hebatnya Lui-cu-sin-hwe-kang dikerahkan Boen Siong. Dan ketika tiga ketua sudah melepaskan senjata masing-masing dan terhuyung pucat. Saat itulah Boen Siong menghadapi ketua Heng-san-pai bersama kedua sutenya maka Goat Gin Tojin adalah korban berikut yang menjadi sasaran pemuda ini, yakni ketika tosu itu menusuk dan menggetarkan dua jarinya melancarkan Thi-khi-hiat, ilmu sedot.

"Plak!"

Lui-cu-sin-hwe-kang adalah ilmu panas sejenis Lui-yang Sin-kang. Tenaga yang dipakai adalah Yang-kang (Panas) dan tepat sekali menghadapi Thi-khi-hiat. Dengan Yang-kang ilmu sedot itu buyar. maka ketika sang tosu terkejut dan berbalik kehilangan tenaga, saat itulah Boen Siong menggerakkan kakinya maka tanpa ampun lagi lutut tosu ini menerima ujung kaki.

"Dess-augh!" Goat Gin Tojin terbanting dan bergulingan mengaduh-aduh. Ia meloncat bangun akan tetapi roboh lagi, tempurungnya terkilir. Baru setelah ia menepuk dan mengembalikan posisi dapatlah ia berdiri tegak lagi. Lalu ketika ia pucat dan terbelalak memandang pemuda itu, ngeri dan gentar maka Boen Siong bebas berhadapan dengan Cam Bong Cin-jin, juga ketua Heng-san. Ko Pek Tojin dan lain-lain masih bengong di tempat.

"Kini kita berdua. Mari kuterima lui-yang Sin-kang mu, lo-enghiong, maaf kalau tadi aku selalu menghindar... plak-dess!" Boen Siong membungkuk dan menerima pukulan dua orang itu dan Heng-san-paicu maupun sutenya tersentak. Mereka mengerahkan Lui-yang Sin-kang yang menjadi andalan, bertemu Lui-cu-sin-hwe-kang dan panas bertemu panas.

Akan tetapi ketika mereka terdorong dan lengan yang membara dari pemuda itu tak sanggup mereka tahan, terhuyung dan terpaksa melempar tubuh bergulingan maka Sin Tong Tojin maupun Cam Bong Cin jin sama-sama mengeluh.

"Desss!" Mereka kalah kuat dan harus mengakui kehebatan pemuda itu. Dari lengan Boen Siong keluar tenaga amat kuatnya dan mereka tak tahan, dari sini dapat diukur bahwa sinkang (tenaga sakti) mereka kalah kuat. Maka ketika mereka bergulingan meloncat bangun namun gebrak itu tentu saja masih belum memuaskan, mereka membentak dan berseru kembali maka dua tokoh Heng-san ini maju lagi dan Ko Pek Tojin serta lain-lainnya sadar. Tak boleh secepat itu mereka mengaku kalah.

"Keluarkan senjatamu, tunjukkan kepandaian khas gurumu Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip. Kami akan mengeroyok dan menyerangmu mati-matian, anak muda. Perlihatkan Golok Terbang (Hui-to) yang menjadi kehebatan gurumu!"

"Hm siauw-te (aku yang muda) tak merasa perlu. Pertandingan ini bukan pertandingan mati hidup, Sin Tong lo-enghiong. Kalau tidak terpaksa untuk apa mengeluarkan senjata. Siauw-te... wher siuuttttt!"

Pisau-pisau kecil mendadak meluncur dari tangan ketua Heng-san disusul benda-benda berkeredep lainnya dari Goat Gin Tojin dan Cam Bong Cinjin. Itulah senjata rahasia yang tiba-tiba dilepas tanpa banyak bicara lagi. Boen Siong terkejut dan menghentikan kata-katanya sementara ketua Heng-san sudah berseru pada ketiga rekannya untuk mengeluarkan pula senjata-senjata gelap. Dan ketika tanpa banyak cakap Ko Pek Tojin maupun See Cong Cinjin mengeluarkan senjata rahasia mereka, yang terakhir ini mengeluarkan pasir-pasir panas maka Gu Lai Hwesio mengeluarkan biji-biji tasbehnya yang berketrik.

"Singg-wirrr-trik-trikkk!"

Boen Siong terkejut dan berseru keras. la tak menyangka tokoh-tokoh persilatan itu sudah mulai mengeluarkan amgi (senjata rahasia). Hanya dalam keadaan terdesak atau sungguh-sungguh ingin mengujinya mereka itu melakukan itu. Maka ketika ia melengking dan mengeluarkan Boan-eng-sutnya, berkelebat dan mengelak itu maka semua senjata rahasia itu menancap di dinding dan rata-rata amblas melesak!

Akan tetapi Heng-san-paicu kembali berseru nyaring. la membentak agar pemuda itu mengeluarkan kepandaian khas gurunya, hui-to atau golok terbang yang menjadi kebanggaan kakek itu. Dan ketika ia kembali menerjang dan mengeluarkan pisau-pisau kecilnya, disusul Cam Bong Cinjin dan Goat Gin Tojin maka Ko Pek Tojin dan See Cong Cinjin serta Gu Lai Hwesio melepas lagi senjata-senjata gelap mereka. Semua benar-benar mendesak dan memaksa pemuda ini agar mengeluarkan ciri khas gurunya itu.

"Tunjukkan kepandaian yang membuat nama besar gurumu. Kami akan terus mendesak dan menyerangmu tanpa ampun, anak muda, atau kau benar-benar roboh dan jangan salahkan kami!"

Boen Siong mengeluh. la maklum bahwa orang-orang ini ingin ia mengeluarkan semua kepandaiannya. Lui-cu-sin-hwe-kang telah membuat mereka gentar akan tetapi dengan serangan senjata-senjata rahasia begini ia dipaksa mundur. Lawan menyerang dari jarak jauh. Dan karena percuma mempergunakan Boan-eng-sut tanpa membalas, ia bakal dikejar dan terus didesak apa boleh buat Boen Siong membentak dan memperingatkan orang-orang itu bahwa iapun akan melepas hui-tonya.

"Cuwi-lo-enghiong terlalu memaksa, akan tetapi siauw-te tak dapat menolak. Maafkan kalau balasan ini membuat cuwi terkejut dan hati-hatilah!" belum habis kata-kata itu Boen Siong pun merogoh saku bajunya. Cepat dan luar biasa ia melempar golok-golok kecil, berkeredep dan menyambar atau menangkis semua tasbeh dan pisau kecil, juga pedang dan pasir panas yang seketika terpental oleh tenaga kebut yang besar.

Lalu ketika semua berteriak dan kaget mengelak gugup, hui-to melejit dan menyambar mereka maka enam kancing baju terbabat putus dan tampaklah pakaian dalam enam tokoh persilatan ini. Bahkan khusus Heng San-paicu perutnya tergores dan hui-to menancap di samping tubuhnya, di pilar besar di mana kakek ini terhuyung pucat dan nyaris seputih kertas.

"Bret-bret-brett!"

Semua terbelalak dan jerih serta gentar. Memotong kancing baju tanpa melukai pemiliknya adalah kepandaian yang sukar diukur tingginya kalau bukan dilakukan seorang yang benar-benar matang. Putus berurutan bukanlah hal kebetulan, semua sama-sama di depan perut.

Maka ketika semua terbelalak dan Heng-san-paicu sampai tak dapat berkata-kata, ia pucat dan masih berdiri terhenyak maka Boen Siong sudah mengusap keringatnya dan menjura di depan lawan-lawannya ini, terutama ketua Heng-san yang tergores dan mendapat "pelajaran" paling pahit.

"Maafkan siauw-te, sudah siauw-te katakan tadi bahwa cuwi-lo-enghiong terlalu mendesakku. Kalau ada yang terluka siauw-te membawa obat dan biarkan kuboreh sebentar."

"Siancai, tidak perlu, kau benar-benar hebat sekali. Ah, sekarang pinto tak perlu ragu, anak muda. Kau benar-benar telah mewarisi kepandaian gurumu dan kalau kau mau golok terbangmu tadi dapat kau hunjamkan ke perut pinto!" Heng-san-paicu akhirnya sadar dan dialah yang bergerak lebih dulu menahan anak muda ini.

Boen Siong telah mengeluarkan obatnya akan tetapi ia menolak, tangan kiri mendekap perut yang tersayat sementara tangan kanan lalu memanggil seorang murid membawa obat sendiri. la menepuk-nepuk penuh kagum dan kaget akan kepandaian pemuda ini. Dan ketika seorang murid berkelebat cepat membawa obat luka, semula khawatir akan tetapi lega hanya berupa goresan kecil maka Cam Bong Cinjin dan lain-lain kagum bukan main.

"Omitohud, pemuda ini benar-benar andalan. Kau telah mengalahkan kami berenam, Siong-kongcu, sungguh hebat kepandaianmu. Pinceng percaya!"

"Dan pinto tak ragu lagi. Ah, kau calon bengcu yang tepat anak muda, kau tentu mampu menghadapi Chi Koan!"

"Akan tetapi ada Naga Gurun Gobi disana. Karena dua calon terdapat tentunya masing-masing harus diuji, siapa lebih unggul!"

Semua saling sahut akan tetapi yang belakangan ini bernada memperingatkan. Itulah suara Goat Gin Tojin yang membuat semua orang sadar. Memang masih ada Naga Gurun Gobi di sana! Akan tetapi ketika Li Ceng meloncat dan berdiri tegak, matanya bersinar dan berapi-api maka wanita ini berseru bahwa hal itu boleh dibuktikan. Puteranya memang akan diadu dengan Naga Gurun Gobi itu.

"Aku telah bertekad bahwa bengcu hanya seorang saja. Sehabis di sini kami akan ke sana, Cuwi-enghiong. Kalian boleh ikut dan saksikan betapa puteraku akan mengalahkan pendekar itu. Naga Gurun Gobi tak perlu kutakuti!"

"Ibu...!"

"Diam! Tugusmu belum selesai semua. Karena masih ada pengganjal di sana maka itupun harus kau singkirkan... Cuwi-enghiong!" wanita ini menghadapi kembali orang-orang itu. "Karena puteraku telah mengalahkan kalian maka kuundang kalian untuk menyaksikan betapa puteraku akan mengalahkan pula pendekar itu. Tiga hari setelah ini harap kalian datang ke Gobi dan saksikan Naga Gurun Gobi akan dirobohkan puteraku!"

Dan menyambar serta berkelebat keluar akhirnya wanita ini membawa puteranya meninggalkan Heng-san, langsung malam itu juga dan Heng-san-paicu serta lain-lain tertegun. Sebelum membalik dan menyambur puteranya tadi tampak wanita ini menangis, kata-katanyapun mengandung isak dan duka ditahan. Lalu ketika semua sadar dan melompat keluar, di bawah gunung tampak dua bayangan meluncur maka Ko Pek Tojin merangkapkan tangan berseru perlahan,

"Siancai, aneh Li-hujin ini. Bukankah pendekar itu adalah suaminya sendiri, kenapa dimusuhi demikian hebat."

"Dan pinceng juga tak habis pikir. Kalau itu puteranya bukankah berarti mengadu antara bapak dan anak, Ko Pek To-tiang, ada urusan apa sehingga Li-hujin demikian sakit hati!"

"Maaf, pinto tiba-tiba teringat sesuatu. Dulu wanita itu kehilangan anaknya, Lo-Suhu, dan konon bertengkar dengan suaminya sendiri. Tentu sebab ini ia marah-marah!"

"Ah, benar, dan ia tadi memberi isyarat pinto untuk tidak bicara tentang suaminya. Li-hujin tampaknya menyembunyikan sesuatu terhadap puteranya!"

"Apapun yang terjadi adalah urusan rumah tangga mereka. Pinto jadi ingin melihat pertandingan itu, Ko Pek Totiang, apakah kau tak ingin ke Gobi?"

"Wah siapa bilang. Pertemuan itu pasti mendebarkan, Heng-san-paicu, pinto juga ke sana. Bagaimana dengan See Cong Cinjin dan rekan Gu Lai lo-suhu!"

"Omitohud, ini peristiwa besar. Karena pinceng diundang tentu ke sana. Masa kejadian menarik harus dilewatkan!"

"Benar, dan pinto tak mau ketinggalan. Kita semua diundang bersama, Ko Pek Totiang, mari berbareng dan kita siap-siap!"

"Ya, kita siap-siap. Pemuda itu hebat sekali dan entah mana lebih hebat dengan bapaknya. Mari atur anak-anak murid dan besok pagi-pagi berangkat!"

Heng-san menjadi sibuk tapi kali ini berbeda. Undangan Li-hujin membuat semua gatal mata untuk menonton. Siapa tak ingin melihat pertandingan besar itu. Maka setelah meja kursi dikembalikan lagi dan masing-masing memulihkan tenaga maka keesokannya enam orang ini berangkat dan tentu saja langsung ke Gobi!

* * * * * * * *

Boen Siong melepaskan dirinya dari cekalan ibunya. Semalam ia diajak berlari cepat akan tetapi ibunya menangis tersedu-sedu. Setiap ditanya tak mau menjawab. Akan tetapi setelah pagi itu mereka jauh meninggalkan Heng-san, tangis ibunya juga mereda maka Boen Siong menghela napas menanya sekali lagi, suaranya lembut dan penuh kasih.

"Apakah ibu marah-marah kepadaku. Di sana aku melemparmu, akan tetapi Semata tak tahan omonganmu. Ibu terlalu berbangga dan berkesan sombong, ah. Kalau ini yang membuatmu marah biarlah aku minta maaf." Boen Siong memeluk ibunya dan tiba-tiba sang ibu meledak kembali.

Bukan itu yang membuat wanita ini menangis melainkan ingatannya akan suami. Peng Houw telah menyakiti hatinya begitu dalam dan sebentar lagi akan diadunya antara anak dan bapaknya ini. la membayangkan itu dan kemenangan puteranya. Akan tetapi ketika tiba-tiba rasa tak rela mendadak datang, ia tak mau Boen Siong mengalahkan ayahnya maka ia pun bingung dan menangis. Maklum bahwa di sudut hatinya yang paling dalam ia masih mencintai suaminya itu, betapapun ia telah disakiti dan dibuat benci!

"Aku... aku teringat musuhku. Aku teringat semua kebencian dan sakit hati ini, Boen Siong, ibu tak marah kepadamu. Membayangkan kita sebentar lagi di Gobi dan bertemu langsung yang membuat ibu merana, tiba-tiba ibu tak kuat. Aku.. ingin segera bertemu dia!"

"Jadi ibu tak marah kepadaku?"

"Tidak...!"

"Kalau begitu harap ibu berhenti menangis. Aku akan bingung kalau ibu seperti ini. Sekarang biar kucari makanan dan ibu tunggu sebentar."

Boen Siong melepaskan ibunya dan sekali berkelebat lenyap memasuki hutan. la mendengar kokok ayan hutan dan itulah sasarannya. Dan ketika tak lama kemudian ia telah muncul da datang kembali, sang ibu duduk di bawah pohon maka pemuda itu berseri memberikan hasil tangkapannya ini, dua ayam jantan cukup untuk sarapan.

"Ibu yang masak, aku yang membuat api. Lihat, cukup gemuk akan tetapi kecil-kecil...!"

Li Ceng tersenyum, bangkit menerima. Tiba-tiba ia melihat betapa gagah dan tampan puteranya. Gerak-gerik Boen Siong juga halus seperti ayahnya. Dan ketika hampir saja ia nenitikkan air mata begitu terharu, untunglah puteranya membalik dan sudah mencari kayu bakar maka ia membersihkan dua ekor ayam itu untuk kemudian sudah memanggangnya di atas api kecil. Bau sedappun tercium.

"Kau lapar?" sang ibu membuka percakapan. "Tak ada nasi di sini hanya ayam panggang ini saja."

"Ah, cukup. Ini saja sudah nikmat, ibu, asal kau yang mengolahnya semua terasa sedap. Aduh, perutku berkeruyuk!" Boen Siong tertawa dan menyambur sepotong paha yang masih panas. Akan tetapi ketika ia hendak menggigit dan membatalkan mendadak ia menyodorkan itu kepada ibunya. "Orang tua dulu, baru anak!"

Li Ceng terharu. Memang Boen Siong selalu memperhatikan dirinya lebih dari yang lain. Kali itupun sikapnya menunjukkan itu. Maka ketika ia menerima dan tersenyum mengambil yang lain, ganti memberikan puteranya ia berkata bahwa seorang ibu selalu menomorsatukan anak.

"Ibu belum lapar benar, sementara perutmu sudah berbunyi. Makanlah, anakku, ibu nomor dua. Ayo gigit dan jangan ragu!"

"Tapi ibu lebih dulu, anak belakangan."

"Baiklah, mari sama-sama makan." Kalau kau sudah ngotot begini percuma ia membujuk. "Ayo!"

Lalu ketika sang ibu menggigit dan barulah Boen Siong mengikuti maka keduanya tertawa dan Boen Siong girang betapa ibunya sudah tidak berduka lagi. la tak sungkan menyambar yang lain dan tentu saja memuji masakan ibunya ini. Dengan bumbu sederhana ternyata begitu lezat.

Dan ketika sejenak semua kedukaan lewat maka selesai makan dengan hati-hati Boen. Siong mulai bertanya kenapa ibunya begitu membenci Naga Gurun Gobi, di samping Chi Koan, karena selama ini ia sedikit sekali mendapat jawaban kecuali bahwa pendekar itu menyakiti hati ibunya.

"Sebentar lagi kita bertemu musuh besar. Sebelum bertemu dan berhadapan dengan Naga Gurun Gobi bisakah ibu memberi tahu kepadaku sebab-sebab ibu membencinya. Selama ini sedikit sekali ibu menerangkan perihal musuh yang satu ini, sementara aku mulai heran dan ragu bukankah ia seorang pendekar, tidak seperti Chi Koan yang jahat itu misalnya."

Li Ceng tertegun, tak menyangka. Akan tetapi ketika tiba-tiba ia mulai terisak dan Boen Siong terkejut maka buru-buru pemuda ini memegang lengan ibunya berkata halus, "Ah, kutarik kembali. Kalau pertanyaanku hanya membuatmu berduka lebih baik tak usah kau jawab, ibu, maafkan aku."

"Tidak, dia... dia, kau akan mengetahuinya nanti kalau sudah di Gobi, puteraku. Di sanalah semua jawaban kau dapatkan. Ibu, ah... terlalu sakit mengenang itu!" lalu ketika wanita ini benar-benar menangis dan Boen Siong menyesal maka pemuda ini memeluk dan membujuk ibunya itu.

"Sudahlah, aku tak bertanya lagi. Kalau ia membuatmu sakit hati berarti ia pun jahat, ibu, akan kuhajar dan kubalaskan sakit hatimu nanti. Kalau perlu kubunuh!"

"Jangan..." sang ibu tiba-tiba menjerit, meloncat mengejutkan puteranya ini. "Kau... kau tak boleh membunuhnya, Boen Siong, kau hanya menghajar dan mengalahkannya. lbu melarangmu membunuhnya!"

"Tapi ia jahat...!"

"Tidak, ia... ia sebenarnya baik. Akan tetapi, hu-hu-hu..." lalu ketika wanita ini tersedu dan melempar tubuhnya lagi maka Boen Siong tertegun melihat betapa ibunya menutupi muka demikian sedih. Kalau sudah begini ia dibuat terheran-heran. Sikap dan tingkah ibunya terasa aneh. Dan ketika ia membiarkan ibunya menangis sampai reda sendiri, Ia menjaga dan hanya menunggui ibunya akhirnya sang ibu mengusap air mata meloncat bangun. Wajah dan sepasang matanya lebam.

"Kita berangkat..." sang ibu menyambar lengan puteranya. "Lebih cepat bertemu lebih baik, puteraku. Jangan tanya ibu lagi sebab di sana kau akan tahu semuanya!"

Pemuda ini berdebar, Ia mengikuti saja ibunya pergi. Dan ketika pada hari kedua mereka makin dekat ke Gobi, sang ibu tampak menggigil maka jauh di tepi gurun yang luas wanita ini kembali berhenti, terengah, mukaya tampak kemerahan dan anehnya sepasang mata itupun banjir!

Boen Siong mengerutkan alis. Semakin dekat ke Gobi ia semakin heran akan tingkah laku ibunya itu. Kadang-kadang ibunya seperti orang yang ingin cepat-cepat sampai, akan tetapi tak jarang pula merandek dan berhenti memperlama perjalanan, seperti saat itu misalnya. Akan tetapi karena selama ini ia tak berani banyak tanya dan tak ingin ibunya berduka maka iapun diam saja dan seperti kebiasannya yang sudah-sudah ia pun tak menganggu ibunya itu, membiarkan ibunya merenung dan berkedip-kedip memandang gurun.

"Kita beristirahat disini, aku tiba-tiba merasa lelah."

Boen Siongpun mengangguk, tak banyak rewel. la berdebar memandang tepi gurun yang masih jauh di depan sana. Pagi itu matahari sudah naik cukup tinggi dan tampaklah uap panas di atas gurun, bergelombang. Getaran uapnya membuat berdebar sementara perguruan terkenal Go-bi-pai belum tampak gedung bangunannya. Tentu masih di tengah dan jauh ke sana. Dan ketika ibunya duduk dan iapun duduk, sang ibu terisak-isak.

Maka Boen Siong pun diam saja percuma menghibur ibunya. Ia sendiri merasa tak sabar dan ingin tahu bagaimana dan siapa pendekar Gurun Gobi itu, kenapa ibunya dibuat sakit hati. Akan tetapi ketika sang ibu menangis sementara Boen Siong merenung ke depan, menatap kosong mendadak terlihat bayangan hijau meluncur di tengah gurun, datang ke hutan itu!

"Ada orang!" pemuda ini berbisik ."Hentikan tangismu dan lihat siapa yang datang, ibu. la muncul dari tengah gurun"

Li Ceng terkejut, menghentikan tangisnya. Cepat mengusap air mata ager jelas memandang. Namun sementara wanita ini belum tahu benar siapa bayangan itu, Boen Siong telah tahu maka pemuda ini bergumam bahwa yang datang adalah seorang gadis.

"Yang datang adalah wanita muda delapan atau sembilan belas tahun. Apakah Gobi memiliki murid wanita, ibu, gerakannya cepat sekali dan kepandaiannya cukup tinggi!"

"Tak mungkin Gobi memiliki murid perempuan. Partai itu terdiri para hwesio tua muda, Boen Siong, kalau dia seorang Wanita tentu orang lain. Ibu belum jelas!"

"Kalau begitu melompatlah ke atas pohon, ia ke sini."

Li Ceng bergerak dan melayang naik ke atas pohon. Dari sini barulah ia melihat jelas dan ternyata yang datang adalah seorang gadis cantik jelita. Pakaiannya serba hijau sementara rambutnya yang hitam gemuk dikepang di kiri kanan, diikat atau dihias pita merah dan pipinya yang kemerah-merahan ketika berlari cepat membuat ia berdebar.

Gadis itu memang berkepandaian tinggi! Dan ketika sekejap kemudian gadis itu sudah berada di mulut hutan, terkejut melihat Boen Siong maka Li Ceng berjungkir balik melayang turun. Gadis itu semakin terkejut melihat ada orang lain lagi di situ, langsung berhenti.

"Eh...!" seruan merdu ini langsung membuat jantung Boen Siong bergetar. "Siapa kau dan ada apa di sini, sobat. Ini wilayah Gobi dan harap jangan dekat-dekat sini!"

"Kau!" Li Ceng membentak dan langsung meloncat di depan gadis ini galak. "Kau sendiri siapa dan dari mana. Hendak ke mana dan bagaimana muncul dari arah Go-bi-pai. Bukankah Gobi tak mempunyai murid wanita dan kau seperti maling kesiangan!"

Gadis ini terkejut, membelalakkan mata. Pertanyaannya tak dijawab malah ia ditanya dan dibentak. Kasar benar wanita ini! Akan tetapi ketika ia menahan kemarahannya dan menjura, sikapnya halus namun sopan maka ia pun menjawab bahwa ia murid Gobi secara tak langsung. Boen Siong memandang kagum. Sementara khawatir terhadap sikap ibunya. Sang ibu tampak tidak bersahabat.

"Bibi agaknya orang asing di sini, akan tetapi aku murid Gobi biarpun tak langsung. Namaku, hmm... seharusnya tamu memberitahukan namanya dulu dan ada keperluan apa bibi berdua di sini. Seingatku tanpa undangan khusus siapapun tak boleh menginjak wilayah ini, atau Gobi akan menganggapnya sebagai pelanggaran dan bibi berdua bisa celaka."

"Bah... anak ingusan bicara seperti itu. Aku datang memang ada urusan dengan Gobi bocah, pelanggaran atau tidak tak perduli. Kau tak perlu mengancamku dan justeru kebetulan datang di sini. Aku hendak menangkapmu!" lalu tanpa banyak bicara dan menyambar ke depan tiba-tiba Li-hujin menotok dan hendak merobohkan gadis itu, tentu saja dikelit dan sang gadispun marah. Akan tetapi ketika Li Ceng mengejar dan gadis ini membentak maka ia menangkis dan terpentalah nyonya itu.

"Aduh!"

Boen Siong terkejut menyambar ibunya. Untung sang ibu berjungkir balik dan dicekal puteranya. Dan ketika Li-hujin terkejut akan tetapi tentu saja marah bukan main, gadis itu berdiri dengan mata bersinar-sinar maka wanita ini membentak menerjang lagi. la melepaskan diri dari tangan Boen Siong merasa penasaran.

"Kau bocah ingusan berani melawan aku. Bugus, mari main-main dan lihat berapa jurus kau roboh!"

Akan tetapi betapa kaget dan herannya wanita ini melihat lawan berkelit dan menghalau dengan mudah. Totokan-totokan atau tamparan tangannya dikebut dari samping, angin kuat menyambar dan iapun terhuyung! Dan ketika wanita ini melengking sementara gadis itu tersenyum mengejek maka Li-hujin tak satupun mendaratkan pukulannya di tubuh gadis baju hijau itu.

"Boen Siong, bantu aku. Robohkan dia!"

Gadis itu terkejut memandang Boen Siong. Saat itu Boen Siong melihat ibunya terdesak dan tentu saja ia merasa kasihan. Tak boleh ibunya dipermalukan orang. Maka ketika berkelebat dan mendorong perlahan, pukulan sinkangnya membuat gadis itu terhuyung maka gadis itu pucat mukanya memandang ibu dan anak, tiba-tiba berseru.

"Subo, kau... kau kiranya!" lalu ketika gadis ini menghambur dan menjatuhkan diri berlutut.

Li Ceng terkesiap maka nyonya ini terpaku dan tertegun pula. Gadis itu tiba-tiba menangis den sudah memeluk kedua kakiya kencang-kencang.

"Benar, ini subo. Ah, kau mengejutkan dan mengagetkan aku, subo, kenapa baru hari ini datang dan ini kiranya sute Boen Siong. Siauw-te... siauw-te Siao Yen!"

Sang nyonya bagai disambar geledek mendengar itu. Tak disangkanya bahwa gadis cantik jelita ini adalah Siao Yen. Dan ketika sejenak ia tergetar dan berkejap-kejap, sungguh ia pangling maka Siao Yen tersedu-sedu bicara.

"Suhu... suhu menanti-nantikan kedatanganmu. la menderita dan tampak tua, subo. Suhu akhir-akhir ini sering sakit-sakitan. Kemarin ia jatuh dari tangga, demam dan menggigil. Sudah bertahun-tahun ini ia menyebut-nyebut namamu dan Boen Siong. Dan kalian, ah... tiba-tiba datang. Mari, subo, mari temui suhu dan kasihanilah semua dosa-dosanya!"

Meledaklah tangis dan sedu-sedan Li-hujin. Begitu Siao Yen membawa berita menyayat iapun segera tak tahan. Boen Siong terpaku bingung. Dan ketika gadis itu memeluk ibunya erat-erat sementara sang ibu roboh dan mengguguk tiada hentinya maka terdengarlah keluhan pendek-pendek dari mulut ibunya itu.

"Houw-ko, ooh, Houw-ko!" akan tetapi ketika tiba-tiba wanita ini teringat semua penderitaannya, betapa Peng Houw menyamaratakan dirinya dengan mendiang ibunya mendadak wanita ini melengking dan kalap. Siao Yen ditendang dan mencelat terlempar.

"Jahanam, pergi kau. Aku tak mengenalmu, bocah busuk. Siapa itu suhumu dan apa perduliku terhadap suhumu. Pergi, laporkan bahwa besok kami datang... dess!"

Gadis baju hijau yang mencelat dan terbanting roboh segera menjerit dan tak menyangka. la terguling-guling meloncat bangun dan wajahnya tampak begitu pucat. Boen Siong juga terkejut oleh perbuatan ibunya. Dan ketika ia berkelebat namun sang ibu menuding, wajah memerah padam maka wanita itu membentak agar gadis itu pergi.

"Enyah, jangan perlihatkan batang hidungmu kepadaku. Enyah, bocah cilik, atau kubunuh kau!"

Yang peling kaget tentu saja gadis ini. la memang Siao Yen dan seperti biasa setiap bulan ia hendak berbelanja rempah-rempah. Bumbu dapur habis dan dialah yang bertanggung jawab tentang itu. Mula-mula ia tak mengenal subonya karena sudah belasan tahun mereka berpisah. Li Ceng juga tak mengenal karena gadis ini telah tumbuh dewasa. Akan tetapi ketika nama Boen Siong disebut-sebut dan gadis ini terbelalak memandang Li-hujin teringatlah wanita itu maka segera ia menjerit dan girang bahwa subonya tahu-tahu ada di situ.

Akan tetapi kini tiba-tiba ia diusir sang subo seolah bersikap tak kenal-mengenal dan tentu suja ia kaget bukan main. Gudis ini tersedu. Dan ketika ia coba berlutut dan memanggil subonya, alangkah marah wanita itu tiba-tiba Li-hujin berkelebat dan sebuah tamparanpun mengenai kepala gadis itu.

"Kusuruh enyah tak mau enyah, baiklah, kubunuh kau..." lalu ketika tendangan dan pukulan bertubi menghajar gadis ini Siao Yen jatuh bangun maka Boen Siong tak kuat dan membentak ibunya.

"Cukup, ibu tak boleh bersikap kejam. Jangan siksa dan sakiti gadis ini dan biarkan ia pergi!"

Pertolongan Boen Siong menyelamatkan Siao Yen. Gadis itu tersedu-sedu dan mengguguk dan iapun terhuyung-huyung memandang subonya. Wanita itu tampak terbakar. Akan tetapi ketika ia membalik dan memutar tubuhnya maka gadis ini pergi, air matanya masih membanjir.

"Teecu akan memberi tahu suhu. Baiklah teecu pergi, subo, sampai jumpa kembali!"

Li-hujin menggigil dan gemetar ditempat. la masih terguncang oleh pertemuan itu dan tak disangkanya gadis itu adalah Siao Yen. Alangkah cantik dan halusnya. Akan tetapi karena ia harus menekan semua perasaan itu mengobarkan kemarahannya, tak boleh ia luluh maka Boen Siong bingung melihat sikap ibunya ini.

"Siapa dia, kenapa ibu marah-marah. Dia menyebutmu subo berarti bukan orang lain, ibu, akan tetapi kau tak menyambutnya secara bersahabat."

"Persetan dengan dia, persetan dengan suhunya itu. Aku benci dan tak suka kepadanya, Boen Siong, iapun musuh!"

"Akan tetapi ia bersikap baik, dan kalau ia mau kau tak dapat mengalahkannya."

"Ada kau di sini, masa mendiamkan ibumu dihina orang. Sudah, aku tak mau bicara dan kita menyembunyikan diri dulu. Belum waktunya kita bertemu musuh-musuh kita!" lalu ketika nyonya ini berkelebat meninggalkan mulut hutan, kembali dan menjauhi tempat itu maka Boen Siong mengikuti ibunya dan tak lama kemudian bergeraklah tiga bayangan dari tengah gurun.

Mereka sudah berada di belakang hutan dan kebetulan ibunya menemukan sebuah guha, masuk dan menangis akan tetapi Boen Siong melayang naik ke puncak sebuah pohon. Pemuda ini berkata ia hendak menjaga tempat itu kalau ada musuh datang, padahal sebenarnya dengan berdebar ia mengawasi tiga bayangan dari tengah gurun itu.

Satu dari bayangan itu adalah Siao Yen, pakaian serba hijaunya kentara. Dan ketika dengan matanya yang tajam pemuda ini melihat bahwa dua bayangan di kiri kanan gadis itu adalah seorang pria empat puluhan sementara yang berbaju kuning adalah seorang pemuda duapuluh tujuh tahunan, gagah dan cakap maka Boen Siong tergetar melihat wajah pria empat puluhan itu yang kuyu namun dagunya yang kuat menunjukkan wajah seorang gagah dan penuh wibawa. Sedikit jenggot pendek menghias wajahnya membuat lebih gagah lagi.

Sayang Boen Siong tak dapat melihat lebih lama. Tiga orang ini telah memasuki hutan dan kalau saja ia tak menjaga ibunya mau rasanya menyongsong orang-orang itu, terutama Siao Yen! Terhadap gadis yang satu ini ia merasa berdebar dan ada yang istimewa. Wajahnya tiba-tiba semburat dan selanjutnya ia melayang turun lagi kebawah. la harus berjaga-jaga.

Akan tetapi ketika tak ada apa-apa dan ia melayang naik lagi, tampaklah tiga bayangan bergerak kembali ke gurun maka Boen Siong lega bahwa ia dan ibunya tak terganggu. Siao Yen tampak diantara tiga bayangan itu dan tentu mereka kembali setelah tak berhasil menemui ibunya.

Boen Siong menghela napas. Setelah dekat dengan Gurun Gobi iapun berdebar- debar tak enak. Wajah pria gagah itu terbayang- bayang di depan matanya lagi. Siapakah dia? Pasti suhu gadis itu. Pendekar Gurun Gobi sendiri? la tak tahu. Maka ketika malam itu dilewatkan sunyi sementara sang ibu masih terisak-isak akhirnya pagi-pagi benar di kala burung baru berkicau ibunya sudah mengajak ke gurun. Matahari menyorotkan Slnarnya yang lembut kuning keemasan, kabutpun masih melayang-layang di permukaan gurun.

"Kita pergi. Kita datangi musuh kita, Boen Siong, siapkan tenagamu atau ibu akan terhina seumur hidup!"

Pemuda ini mengangguk, diam. Semalam ia bersila dan mengumpulkan tenaga. Telah didengarnya bahwa Gobi bukanlah tempat yang boleh dibuat main-main, dan di sana ada Sang Naga! Namun karena ia harus menuruti perintah ibunya dan lebih dari itu mengemban tugas mendiang suhunya maka iapun mengikuti ibunya melangkah lebar menembus kabut di permukaan gurun. Hawa terasa dingin mengiris wajah.

"Bawa aku dengan Boan-eng-sutmu. Jerihkan musuh dengan kepandaianmu, Boen Siong. Bawa cepat agar lekas sampai!"

Pemuda ini lagi-lagi mengangguk. Memang ibunya berlari cepat dengan gin-kang biasa sementara iapun mengikuti dengan sabar. Sekali-sekali ia tak mengganggu ibunya yang tampak kacau ini. Maka ketika tiba-tiba ia balik menyambar ibunya meloncat terbang, Boan-eng-sut adalah Elang Cahaya maka bak petir menyambar mendadak tubuh pemuda ini melesat tak dapat diikuti mata lagi. Kabut diterjang terpental dan Li-Hujin berseri-seri.

Sebentar saja puteranya berada di tengah gurun. Dan ketika tak lama kemudian tampaklah bangunan yang amat besar, putih dan berdiri kokoh di depan sana maka tembok yang luas memagari bangunan ini bagai sebuah benteng melindungi kerajaannya. Inilah markas atau pusat Go-bi-pai!

"Masuk dari gerbang depan, kalau ditutup melayang saja ke atas!"

Boen Siong lagi-lagi mengangguk. La berdebar membawa ibunya karena matanya yang tajanm telah melihat bahwa pintu gerbang dibuka lebar-lebar. Gobi agaknya siap menyambut mereka. Dan ketika ibunya tahu dan mereka sudah berada disini, Boen Siong tertegun maka diatas gerbang yang tinggi terpancanglah kain lebar bertuliskan:

“SELAMAT DATANG PENG-HUJIN!”

Li Ceng menjerit lirih. la melepaskan dirinya dari puteranya dan tiba-tiba dari balik pintu gerbang muncullah sebarisan hwesio muda. Mereka langsung membungkuk dan memberi hormat di depan wanita ini. Lalu ketika Li Ceng mendekap mulutnya merasa kaget, sama sekali tak menyangka sambutan itu maka berkelebatlah bayangan hijau dan Siao Yen berlutut di depan wanita ini.

"Selamat datang, suhu telah menanti subo di ruang dalam. Teecu diminta mengantar dan mari subo masuk ke dalam."

Tak terasa wanita itu mundur dan mengeluarkan isak tertahan. Boen Siong cepat mencekal ibunya berdebar tak karuan. Tak ada musuh yang menyambut demikian bersahabat. Akan tetapi ketika ibunya melengking dan melepaskan diri, menerjang dan menendang gadis itu maka sang ibu melesat masuk dengan maki-makian.

"Naga Gurun Gobi, keluarlah tak perlu meluluhkan aku. Sakit hati harus dibalas dan ini puteraku yang akan menghajarmu!" lalu berteriak-teriak dan mendorong atau menendang para hwesio di tangga pendapa, anehnya tak ada yang melawan maka Li-hujin menerobos ke dalam sementara Boen Siong berkelebat di belakang ibunya menjaga segala kemungkinan. Siao Yen gadis baju hijau pucat mengikuti dengan isak kecil.

Dan akhirnya berhentilah wanita itu di ruang dalam. Di tempat yang luas dimana kiri kanannya terdapat taman bunga berdirilah empat orang nenunggu mereka. Dua yang bersebelahan adalah dua orang hwesio tua berjenggot putih, menjura dan membungkuk dalam-dalam di depan Wanita ini. Sedangkan dua lagi yang terakhir adalah pria gagah itu dan pemuda baju kuning. Dan begitu melihat ibunya segera pemuda itu berlutut dan berseru nyaring, suaranya serak dan air matapun tiba-tiba membanjir.

"Subo...!"

Boen Siong benar-benar tertegun di sini. la melihat ibunya menggigil hebat sementara pria itu juga gemetar dan menggigil. Dua pasang mata bertaut dan terdengar keluhan ibunya. Pria itu tampak tua dan kurus, meskipun berwajah gagah akan tetapi saat itu tampak kuyu dan lemah. Dan ketika tak ada kata-kata di antara mereka namun bibir pria gagah itu berkemak-kemik, mengeluh dan akhirnya mengembangkan lengan mendadak pria ini terhuyung dan menubruk ibunya. Wajah gagah itupun tiba-tiba basah air mata.

"Ceng-moi...!"

Entah bagaimana jadinya mendadak ibunya mengguguk. Inilah Naga Gurun Gobi Peng Houw yang menderita itu. Sekian belas tahun mencari isterinya dan baru hari itu muncul. Maka ketika Peng Houw tak dapat menahan keharuannya dan segala rindu serta sesal menjadi satu, sang isteri berapi-api namun ia pasrah dan mengalah maka pria itupun maju dan memeluk isterinya ini. Li Ceng pun tak kuat dan perasaannya yang dikeras-keraskan mendadak menjadi lumer dan luluh. Sang suami tampak begitu kusut dan kuyu!

"Ceng-moi, maafkan aku.... ah, belasan tahun aku mencarimu namun gagal. Sekarang... sekarang tiba-tiba kau datang. Duh, maafkan semua dosa-dosaku, isteriku, demi Tuhan akupun menderita!"

Wanita itu tersedu dan memukul-mukul suaminya. Kemarahan dan keharuan menjadi satu. Kebencian dan kasih sayang bercampur-aduk pula. Dan ketika Li Ceng benar-benar hancur dan porak-poranda, ia tak dapat melampiaskan segala angan-angannya maka Peng Houw mengecup dan mencium kening isterinya itu memandang Boen Siong.

"Itu... itu anak kita...? Duh, Thian Yang Agung. Kau pertemukan aku dengan anak isteriku. Boen Siong, aku ayahmu, kemarilah, nak...!" lalu ketika dengan terhuyung dan menggandeng isterinya pendekar ini menghampiri Boen Siong maka pemuda itu menjadi pucat di samping bingung sekali.

"Ibu, ini ayah?"

"Benar, ia ayahmu. Aku... aku..!"

"Akan tetapi ibu mengatakan ayah dibunuh! Ah, bagaimana ini? Siapa yang benar?"

"Tidak Ia... ia ayahmu, Boen Siong. Akan tetapi dia pulalah yang merobek-robek hati ibumu. Dia... dia laki-laki keparat...!" Li Ceng menjerit dan tiba-tiba melepaskan diri. Semua orang terkejut ketika tanpa ba-bi-bu lagi menampar Naga Gurun Gobi.

Tamparannyak keras hingga Peng Houw terpelanting! Dan ketika Boen siong membentak dan menyambar ibunya, sementara pemuda baju kuning dan Siao Yen terpekik menolong suhu mereka maka dua hwesio tua yang sejak tadi berdiri tak jauh sekonyong-konyong berkelebat dan melindungi pendekar ini. Peng How pucat dan tiba-tiba batuk darah!

"Omitohud, hujin tak boleh bersikap kejam terhadap suami. Ketahuilah bahwa Peng-taihiap sedang sakit. la tak boleh dimusuhi!"

"Biar... biarlah!" Peng Houw terhuyung batuk-batuk. "Segala sakit hatinya masih kurang dengan tamparan itu, Ji-susiok. Aku dapat memaklumi perasaannya dan dosaku memang besar. Biarlah... biar ia memukulku lagi!" lalu melepaskan diri dari kedua muridnya Peng Houw melangkah gemetar menghadapi isterinya ini, mengusap darah dengan ujung bajunya.

"Ceng-moi, aku memang suami keparat. Pukul dan hukumlah sepuas hatimu. Aku memang suami keparat....!"

Li-hujin terhenyak dan berubah-ubah. la tak menyangka tamparannya membuat suaminya batuk darah. Suaminya terluka dalam! Maka ketika tiba-tiba ia mengguguk dan melompat, memeluk dan menciumi suaminya itu segera ia minta maaf dan tak tahu bahwa suami sakit.

"Ah... aku,.. tidak! Ah, tak akan kupukul atau kusakiti kau, Houw-ko, tak akan kuhukum biarpun sakit hatiku bertumpuk-tumpuk. Kau luka? Kau celaka oleh tamparanku tadi? Oohh, maafkan aku, Houw-ko, aku isteri tak tahu diri. Biar kuobati dan kurawat kau!"

Lalu ketika dengan penuh kasih sayang dan amat terharu serta mengguguk wanita ini mengusap sisa darah di bibir, membersihkan dan menuntun pendekar itu maka Boen Siong benar-benar terkesima dn terpukul hebat. Akan tetapi tiba- tiba ia teringat akan Naga Gurun Gobi itu, musuhnya!

"Ibu, mana Naga Gurun Gobi yang kita cari-cari itu. Bukankah aku harus mengalahkannya!"

Sang ibu menjerit dan tertusuk-tusuk. Tentu saja kata-kata ini membuat luka lebar sementara Peng Houw tertegun, tak tahu apa yang terjadi. Akan tetapi ketika Boen Siong diberi tahu bahwa Naga Gurun Gobi ada di depannya, itulah ayahnya sendiri maka pemuda ini terbelalak dan berubah, bagai disambar petir.

"Naga Gurun Gobi adalah ayahmu ini juga. Aku sengaja menyembunyikannya karena dendam dan sakit hatiku itu, Boen Siong. Akan tetapi Ia.... ah, ayahmupun menderita bertahun-tahun!"

"Omitohud...!" Ji-hwesio pimpinan Gobi merangkapkan tangan. "Sungguh berbahaya maksud hatimu, hujin. Kau hendak mengadu antara ayah dan anak. Padahal... padahal suamimu sudah tak sekuat dulu!"

"Apa maksudmu?"

"Ia...!"

"Cukup!" Peng Houw tiba-tiba berseru. "Urusan itu tak perlu diberitahukan, Ji-susiok. ltu adalah kehendakku pribadi dan jangan ganggu kebahagiaan ini dengan hel-hal yang kurang mengenakkan!" lalu menghampiri puteranya dituntun sang isteri Peng Houw memegang pundak pemuda ini, gemetar. "Kau.. benar-benar mirip aku waktu muda. Di mana kalian bersembunyi dan bagaimana setega itu membiarkan aku merana, Boen Siong. Sungguh tanpa ibumu tak kusangka inilah anakku!"

Boen Siong menahan sedu-sedan balas memeluk ayahnya itu. Bertiga dengan sang ibu merekapun berangkul-rangkulan. Akan tetapi ketika semuanya reda dan Sam-hwesio batuk-batuk, mundur dan berkata biarlah keluarga itu bicara di kamar belakang maka Peng Houw mengangguk dan teringat. Ruang itu adalah ruang terbuka di mana banyak pasang mata bisa melihat mereka.

"Pinceng gembira dan turut menyatakan kebahagiaan atas pertemuan kalian. Akan tetapi masuk dan ajaklah anak isterimu di kamarmu belakang, Peng Houw pinceng akan menyuruh anak murid menyiapkan sekedar pesta!"

"Terima kasih. Kau benar, Sam-susiok, terima kasih!" lalu ketika dua hwesio itu berkelebat sementara Siao Yen dan kakaknya penuh haru maka Boen Siong teringat pemuda baju kuning itu, bertanya pada ibunya.

"Oh, dia? Dia suhengmu Po Kwan, kakak Siao Yen!"

Po Kwan buru-buru maju dan menjura di depan sutenya ini. Meskipun mereka bukan kakak beradik satu perguruan akan tetapi karena putera suhunya maka Po Kwan menganggap Boen Siong sute. Boen Siongpun tak keberatan. Dan ketika Boen Siong balas menjura dan suhengnya berseri-Seri maka Po Kwan menyatakan kebahagiaannya atas pertemuan itu.

"Silakan sute bercakap-cakap di belakang. Kami akan membantu para siauw-hwesio mengadakan pesta kecil."

Jadilah pemuda itu mengikuti ayah ibunya. Di sini para hwesio membungkuk hormat dan Boen Siong terharu. Baru sekarang ia tahu ayahnya masih hidup. Diam-diam ingin juga ia tahu kepandaian ayahnya, meskipun tentu saja bukan dalam pertandingan kalah menang. Dan ketika mereka memasuki kamar dan betapa sederhana kamar itu, hanya terdapat sebuah pembaringan dan dua kursi bangku maka Li Ceng terisak melihat isi kamar ini. Tak ada meja makan di situ.

"Kau, kamarmu begini sederhana. Di mana kau makan, Houw-ko, apakah Siao Yen tak menyiapkan mejanya!"

"Hm, jangan nenyalahkan anak itu. Mejaku adalah lantai ini Ceng-moi, kadang-kadang bangku yang satu itu. Aku tawar menghadapi kehidupan, semuanya tak begitu menyenangkan lagi. Tapi setelah kalian datang dan aku merasa bergairah tentunya kau mengatur lagi makan minumku. Atau, hmm..., hukumanku belum cukup?"

"Houw-ko, jangan seperti itu. Aku akan merawat dan menjagamu seperti dulu-dulu lagi. Dan... dan aku puas sumpahku terkabul!"

"Sumpah apa."

"Bahwa kalau aku tidak bersalah akulah yang akan menemukan Boen Siong lebih dulu!"

Peng Houw menarik napas dalam, tersenyum pahit. Lalu mengangguk dan mempersilakan anak isterinya duduk iapun sudah bersila di tepi pembaringan. Boen Siong terharu betapa ayahnya batuk-batuk namun cepat menelan sebutir obat.

"Akhir-akhir ini tubuhku ringkih. Aku tak memiliki gairah hidup dan semangat lagi, Ceng-moi, kalau tak ingat akan Siao Yen dan Po Kwan rasanya ingin mati saja."

Sang isteri terisak, meremas atau mencengkeram lengan suaminya ini.

"Sekarang ceritakan kepadaku di mana saja kalian selama ini. Belasan tahun aku mecari namun selalu gagal. Aku putus asa!"

"Kami sembunyi di Kun-lun...!"

"Kun-lun?"

"Ya, kami di sana, Houw-ko, bersembunyi...!"

"Akan tetapi aku sudah ke sana, kalian tak ada!"

"Kami di perut gunung."

"Perut gunung?"

"Ya, perut gunung. Putera kita ini ternyata diambil Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip yang akhirnya menjadi gurunya. Kakek itu bersembunyi di terowongan bawah tanah."

"Astaga, ceritakan itu. Dan, eh... siapa kakek yang kau sebut tadi? Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip? Maksudmu tokoh angkatan tua seangkatan Ji Leng Hwesio suhu?"

"Benar, Houw-ko, ia juga seangkatan dengan Siang Kek dan Siang Lam Cinjin itu. Boen Siong ternyata dibawa kakek itu."

"Ceritakan, ceritakan kepadaku. Aku tak sabar mendengar!"

Lalu ketika Li Ceng menarik napas menceritakan itu, betapa kemudian lari ke Kun-lun dikejar Chi Koan dan Kwi-bo, hampir tertangkap dan terjeblos ke ruangan bawah tanah maka di sini Peng Houw mengepal tinju menahan marah.

"Jahanam Chi Koan itu, ia benar-benar hendak mengganggumu!"

"Ya, akan tetapi justeru di situlah aku menemukan putera kita Boen Siong. Locianpwe Jiong Bing Lip menolongku, Houw-ko, menggembleng putera kita ini dan telah mewarisi seluruh kepandaiannya. Dia baru saja mengalahkan tokoh-tokoh Heng-san dan See-tong serta Bu-tong juga Hoa-san-paicu!"

"Apa?" Peng Houw kaget. "Mendidik anak kita untuk membuat malu para ketua-ketua persilatan?"

"Tidak, ia hanya melaksanakan tugas gurunya. Sebelum tewas Jiong Bing Lip locianpwe meninggalkan pesan agar menyatukan dunia kang-ouw. Dan kebetulan di sana ada rencana pemilihan bengcu. Chi Koan, jahanam itu telah menjadi bengcu di utara. Boen Siong akan menandinginya!"

Peng Houw terkejut dan kelihatan kurang senang dan tiba-tiba ia memandang puteranya ini. Dua pasang mata beradu dan kewibawaan seorang ayah membuat Boen Siong tunduk. Dari pancaran ayahnya itu ia tahu sang ayah tak senang. Maka ketika ia berkata bahwa sang ibu mendesak, ia dipaksa bertanding maka Li Ceng mengangguk tak tedeng aling-aling lagi.

"Benar, aku mendukungnya. Untuk menguji kepandaiannya siapa lagi yang harus menjadi lawan, Houw-ko. Kalau tidak tokoh-tokoh seperti mereka itu ya kau sendiri!"

"Hm, aku sudah seperti singa ompong" Peng Houw tertawa pahit. "Kalaupun Boen Siong menyerangku pasti aku kalah, Ceng-moi. Aku... aku telah kehilangan Hok-te Sin-kang yang kumiliki itu!"

"Apa, kau kehilangan Hok-te Sin-kang? Maksudmu kau tak sehebat dulu lagi?" sang isteri terkejut, meloncat dari bangkunya.

"Benar, akan tetapi dengarlah penjelasanku. Bukankah sudah kubilang bahwa sejak aku tak dapat menemukan kalian berdua aku menjadi putus harapan dan tak bergairah hidup lagi. Aku... aku menyerahkan Hok-te Sin-kang itu kepada Po Kwan dan Siao Yen."

"Houw-ko!" Li Ceng tiba-tiba menjerit dan menubruk suaminya ini. Dari sini dapat diketahui betapa terpukul suaminya itu. Karena tak bergairah dan tak bersemangat hidup lagi lalu mengoperkan Hok-te sin-kang kepada orang lain, padahal ilmu itu amatlah hebatnya. Maka ketika ia tersedu-sedu dan menyayangkan serta menyesal bukan main segera wanita ini berkata kenapa suaminya bersikap seperti itu. Menyerahkan Hok-te Sin-kang sama halnya menyerahkan nyawa sendiri!

"Aku sudah tak memikirkan mati hidupku. Kepergian kalian membuat semangat dan jiwaku melayang-layang, Ceng-moi. Aku tahu dosa dan kesalahanku yang besar. Aku tak menyangka bahwa Tuhan masih memberiku kebahagiaan dengan munculnya dirimu di sini. Sedang ilmu itu, hmm... aku percaya kakak beradik itu. Po Kwan dan Siao Yen tidak seperti Beng San."

"Beng San? Siapa lagi dia?"

"Hm, ceritanyapun panjang. Kalau ceritamu sudah habis maka aku akan menceritakan ceritaku."

Li Ceng terisak-isak. la memeluk dan tak malu-malu mencium pipi suaminya ini. Keharuannya begitu besar. Rasa cintanya mengalahkan segala-galanya lagi. Lalu ketika ia melanjutkan sampai akhirnya datang ke Gobi, hari itu akan datang enam orang dari Heng-san dan lain-lain maka ia semburat meminta maaf.

"Aku mendongkol oleh suara Goat Gin Tojin bahwa calon bengcu ada dua, yakni dirimu dan Boen Siong. Dan karena aku bertekad Boen Siong lah yang memimpin orang-orang selatan, dia tak kalah olehmu maka ingin kutunjukkan bahwa jagoku tidak salah. Dengan begitu sekaligus aku dapat membalas sakit hati!"

"Tapi kau akhirnya mengampuni aku. Hm, dalam keadaan seperti ini diriku tiada ubahnya orang biasa, Ceng-moi. Dengan hilangnya Hok-te Sin-kang aku tak memiliki taring lagi. Aku hanya memilik Thai-san-ap-ting dan Cui-pek-po-kian serta Soan-hoan-ciang. Berhadapan dengan Chi Koan pasti aku roboh."

"Jadi karena itu Ji-hwesio tadi hendak melaporku?" sang nyonya teringat.

"Benar, akan tetapi hanya beberapa saja yang tahu keadaan ini. Orang luar, orang lain masih menganggapku sebagai Naga Gurun Gobi, padahal aku sudah tak bertaring."

"Kalau begitu tak tahu diri benar Po Kwan dan Siao Ye ini. Mau saja mereka menerima ilmumu terdahsyat!"

"Hush, jangan salahkan mereka. Mereka tahu setelah terlambat, Ceng-moi. Aku memberikannya secara diam-diam. Pikirku sebelum aku mati biarlah Hok-te sin-kang diwarisi muridku yang tepat. Kalau saja kutahu Boen Siong ada bersamamu..!"

Sang nyonya tersedu akan tetapi Peng Houw merangkul dan menghibur isterinya la berkata bahwa karena bosan hidup ia tak ingin apa-apa lagi. Sebelum ajal datang biarlah ilmu itu diwarisi dua muridnya. Dan ketika Li Ceng teringat betapa ia terpelanting oleh tangkisan Siao Yen, pantas gadis itu begitu hebat maka ia memeluk suaminya ini berbisik sendu,

"Houw-ko, kalau saja kutahu penderitaanmu tak mungkin berlama-lama aku meningalkanmu. Akan tetapi semuanya sudah menjadi bubur, mudah-mudahan saja kakak beradik itu baik-baik atau kelak Boen Siong membunuhnya!"

"Hm, mereka bukan Beng San. Justeru setelah tahu mereka tak pernah meninggalkan aku, Ceng-moi, merekapun takut kalau-kalau Chi Koan datang. Kakak beradik ini benar-benar baik, aku tak kecewa."

"Beng San, Beng San lagi. Siapa bocah ini dan dimana dia sekarang,"

Dia sekarang menjadi murid Chi Koan, dulu muridku."

"Apa?"

"Dengarlah ceritaku." lalu ketika ganti sang suami bercerita maka diceritakanlah oleh Peng Houw mula-mula kedatangan anak itu, dibawa oleh Giok Yang Cinjin lalu menjadi muridnya akan tetapi membelot. Waktu ia keluar mencari anak isteri terjadilah pertemuan Beng San dengan si buta, anak itu akhirnya diambil murid. Dan karena Beng San menginginkan Hok-te Sin-kang dan selama ini tak pernah mendapatkannya maka anak itu coba berguru pada Chi Koan agar mendapatkan Hok-te Sin-kang.

"Begitulah, ia licik dan jahat. Akan tetapi sejak aku kembali dan menjaga di sini maka aku tak tahu dunia luar lagi. Aku acuh."

Sang nyonya terisak. Suaminya berkerut-kerut ketika menceritakan itu dan garis-garis ketuaan tampak membayang jelas. Betapa sengsara dan tertekan batin suaminya ini, Li Ceng terharu. Dan ketika semuanya selesai bercerita maka munculah seorang hwesio memberitahukan bahwa pimpinan mengundang ke ruang tengah. Ada tamu-tamu dari Hoa-san dan Heng-san serta Bu-tong dan See-tong.

"Nah, itu!" Li Ceng tiba-tiba kebingungan. "Celaka sekali mereka datang, Houw-ko, bagaimana kini!"

"Tenanglah, ini semua karena aku. Marilah kita temui mereka dan bicara baik-baik, untuk apa takut."

"Aku tidak takut, akan tetapi bingung!"

"Apa bedanya? Akhirnya khawatir juga, Ceng-moi, akan tetapi harus dihadapi juga. Marilah kita sambut tamu-tamu itu dan aku percaya kepada pilihanmu."

"Maksudmu?"

"Biarlah putera kita menjadi bengcu, kalau mereka kehendaki. Sedang aku sendiri, hmm... Cukup penasihat saja."

Lalu ketika dengan tersenyum Peng Houw bangkit dan menggandeng anak isterinya maka benar saja enam orang itu di situ, Heng-san-paicu dan dua sutenya serta Ko Pek Tojin dan See Cong Cinjin, juga Gu Lai Hwesio. Dan anehnya mereka itu berseri-seri dan serentak berseru,

"Kionghi (selamat), kami semua turut bahagia atas kebahagiaanmu ini, Peng hujin. Lenyaplah sudah kekhawatiran kami bahwa kau mengadu anakmu dengan bapaknya!"

"Dan pinceng juga turut menyatakan suka cita. Aduh, rukun benar kalian kini, hujin. Selamat dan sekali lagi selamat!"

Li Ceng tersipu-sipu karena enam orang itu dipimpin Heng-san-paicu menjura dan membungkuk dalam-dalam. Ia benar-benar likat dan malu bukan main akan tetapi Naga Gurun Gobi tertawa. Sambil membalas dan mengucap terima kasih ia menyatakan selamat datang kepada tamu-tamunya ini. Lalu ketika Ji-hwesio dan Sam-hwesio mempersilakan duduk. Semua berseri maka pimpinan Gobi berkata bahwa ia telah menceritakan itu.

"Pinceng telah melancangi, akan tetapi kebahagiaan ini tak perlu disembunyikan lagi. Bila pinceng salah maafkan pinceng Peng How, orang tua acap kali pikun dan melangkah keliru."

"Ah, susiok tak salah, isteriku baru saja juga bercerita. Dan ia, he-he... ketakutan menghadapi Heng-san-paicu dan lain-lain ini."

"Padahal di Heng-san ia demikian galak dan berani. Ha-ha, pinto tak menyalahkannya, Peng-taihiap. Wanita memang selalu lebih dulu emosinya. Eh, harap Peng-hujin (nyonya Peng) tak pernah bertengkar lagi!"

Para tamu tertawa dan Li Ceng pun merah tersipu. Dialah yang mengundang tokoh-tokoh itu hingga sekarang datang. Kalau datang ya harus disambut. Maka ketika dengan lirih dan malu-malu ia meminta maaf, semua terkekeh maka Heng-san-paicu berseru,

"Sudahlah, kami justeru bergirang hati. Justeru kalau puteramu benar-benar berhadapan dengan ayahnya tak tahulah bagaimana perasaan kami. Kami datang untuk melanjutkan pembicaraan bengcu itu!"

"Mari duduk!" Ji-hwesio mempersilakan tamu-tamunya. "Pembicaraan dapat kita lanjutkan disini cuwi-enghiong (tuan-tuan yang gagah). Pinceng juga bahagia bahwa Peng Houw rukun kembali bersama keluarganya."

Semua orang duduk dan hanya Li Ceng yang masih tersipu. Likat benar berada di tengah orang-orang ini. Akan tetapi ketika pembicaraan beralih pada masalah bengcu dan Gobi menjadi kaget akan sepak terjang di utara, harap diketahui saja bahwa selama ini Gobi tak pernah beranjak keluar maka Ji-hwesio maupun Sam hwesio berubah mendengar Chi Koan telah mengumpulkan kekuatan di utara. Apa yang didengar di See-ouw-pang diceritakan dengan lugas. Peng Houw juga terkejut.

"Kami tak tahu siapa yang harus memimpin ini membendung serangan. Kami hanya melihatmu seorang, Peng-taihiap, akan tetapi setelah puteramu datang dan mengalahkan kami maka terus terang kami mengakui kepandaiannya pula."

"Benar, dan suheng tergores perutnya. Kalau puteramu mau bisa dibunuhnya suhengku ini, taihiap, puteramu benar-benar gagah dan berkepandaian tinggi"

"Dan rendah hati," Ko Pek Tojin mengangguk-angguk. Kami benar-benar takluk luar dalam tapi sekarang terserah kalian, apakah Peng-hujin tetap mengajukan Siong-kongcu memimpin kami."

"Hmm!" Peng Houw telah mendengar itu di kamar, "Untuk masalah ini terserah kalian, cuwi-enghiong, akan tetapi aku pribadi tak tertarik menjadi bengcu. Bahkan seandainya anak isteriku pun belum ketemu tak ingin aku menjadi apa-apa. Paling-paling aku hanya membantu kalian di belakang."

Heng-san-paicu tercengang lalu saling pandang dengan rekan-rekannya. Hanya Ji-hwesio dan Sam-hwesio serta Li Ceng dan Boen Siong yang tahu apa sebabnya, yakni karena tiadanya Hok-te Sin-kang itu. Maka ketika tamu tampak tercengang tapi semua tersenyum maka Heng-san-paicu dan lain-lain menganggap Naga Gurun Gobi ini sengaja memberi kesempatan puteranya.

"Taihiap orang tua yang bijak, kalau begitu kami tak keberatan dipimpin puteramu."

"Nanti dulu!" Boen Siong berseru. "Aku masih muda dan tak berpengalaman, lo-enghiong, mana berani memimpin orang-orang macam kalian. Sebaiknya yang lain saja!"

"Hm, usia muda bukanlah soal. Kalau ayahmu menjadi penasihat bukankah semuanya sama, Siong-kongcu? Usiamu boleh muda tapi kepandaianmu amat tinggi. Kalau kau dapat mengalahkan Chi Koan berarti dirimu setingkat ayahmu. Kau di atas kami!"

"Akan tetapi..." Li Ceng tiba-tiba menginjak kaki puteranya ini. Dengan isyarat mata ibu itu menegur Boen Siong agar tak menolak. Dan ketika pemuda itu bingung dan merasa likat, Ji-hwesio tiba-tiba tertawa mendadak hwesio ini berseru,

"Begini saja, pinceng masih netral. Karena enam rekan ini sudah memuji-mujimu cobalah kau main-main dengan kami. Pinceng tuan rumahnya berhak bicara juga, Boen Siong. Hadapilah suteku nanti pinceng berdua!"

"Wah, cocok. Kamipun sudah mengeroyoknya akan tetapi roboh, ji-losuhu, buktikanlah dan beri penilaianmu nanti!"

"Kalau begitu mari maju! Sam-hwesio meninggalkan kursinya dan tiba-tiba bergerak ke tengah ruangan, Ji-hwesio telah memberinya tanda. "Cobalah pinceng jajal Cui-pek-po-kian dan Thai-san-ap-ting ini, Boen Siong. Pinceng gatal tangan mendengar kehebatanmu!"

Boen Siong serba salah, tiba-tiba memandang ibunya. Kebiasaan ini membuat orang lain geli dan Li Ceng pun tersenyum. Akan tetapi ketika Peng Houw tiba-tiba mengangkat tangan dan berseru perlahan maka ia bertepuk tangan memanggil muridnya. Bayangan kuning dan hijau berkelebat.

"Sam-susiok rasanya tak usah capek-capek. Mundur dan biarkanlah muridku menjajal dan ingin kulihat pula sampai dimana kepandaian puteraku ini!"

Boen Siong salah tingkah. Siao Yen menjura di depan gurunya dan bertanya apa yang hendak diperintahkan, begitu pula Po Kwan. Akan tetapi mendengar betapa mereka disuruh bertanding melawan Boen Siong maka gadis ini tampak terkejut.

"Kami ada pembicaraan penting mengenai bengcu. Daripada Sam-susiok atau Ji-susiok mengeluarkan keringat baiklah kalian berdua mewakilinya. Kau maju dulu, Siao Yen, nanti kakakmu. Kalau masih kalah baru kalian berdua maju bersama!"

Lalu berbisik pada puteranya bahwa menghadapi kakak beradik itu tiada ubahnya menghadapi dirinya sendiri, masing-masing memperoleh setengah Hok-te Sin-kang maka Boen Siong meresa likat dan gugup. Terhadap gadis baju hijau ini ia begitu jengah.

Akan tetapi sang ibu sudah mendorong dan menyuruhnya maju. Terpaksa Boen Siong bangkit berdiri sementara semua mata memandangnya. Boen Siong adalah pemuda lembut yang halus gerak-geriknya, ia tak suka menjadi pusat perhatian. Maka ketika ia tampak begitu gugup sementara Siao Yen juga malu dan jengah maka dua muda-mudi ini hanya saling pandang ditertawakan yang tua-tua.

"Hayo, kalian bergebrak, bukan berpandang-pandangan. Ayahmu menyuruh bertanding bukannya main mata...!"

Kabut Di Telaga See Ouw Jilid 26

Cerita Silat Mandarin Serial Bu-beng Sian-su Karya Batara

BOEN SIONG dibuat sibuk. Ia berkelebatan dan lenyap mengelak sana-sini. Pukulan atau hajaran Heng-san-paicu amatlah hebat. Dan karena hanya kakek inilah yang paling berbahaya, kedua lengannya mengeluarkan hawa panas yang membuat muka cepat merah maka pemuda ini tak mau melayani sang ketua Heng-san, sengaja melingkar dan mencari lainnya dan pertama-tama adalah See Cong Cinjin. Ketua See-tong-pai ini paling lemah baru Gu Lai Hwesio, kemudian berturut-turut Ko Pek Tojin dan Goat Gin Tojin.

Maka ketika terhadap empat orang inilah dia membalas pukulan, Lui-cu-sin-hwe-kang dikerahkan hingga membuat kedua lengan berpijar bagai bara maka Ko Pek Tojin dan lain-lain terkejut karena pedang atau tongkat mereka terbakar setiap bersentuhan dengan lengan pemuda itu, panas dan cepat ditiup lalu menerjang lagi akan tetapi Boan-eng-sut amatlah hebat. Ginkang Elang Cahaya ini benar-benar luar biasa tak mampu dikejar. Jangankan mereka, Heng-san-paicu sendiri dengan Sin- sian-hoan-engnya tak mampu menyusul pemuda itu, gerakannya selalu kalah cepat.

Maka ketika perlahan tetapi pasti Boen Siong mendesak See Cong Cinjin dan kawan-kawan, pukulan atau hajaran Cam Bong Cinjin dan suhengnya dikelit dulu maka duapuluh lima jurus kemudian tongkat dan pedang di tangan Ko Pek To jin benar-benar terbakar, begitu pula toya di tangan ketua Bu-tong, Gu Lai Hwesio.

"Ah, siluman, hebat sekali. Pedang pinto leleh, See Cong Cinjin, bagaimana senjatamu?"

"Tongkat pinto sama juga. Tongkat ini terbakar, Ko Pek Totiang, entah tenaga apa yang digunakan pemuda itu hingga begini!"

"Dan toya pinceng, astaga! Bengkok dan panas. Augh, pinceng tak dapat mempergunakan senjata lagi karena toya pinceng menjadi bara!"

Gu Lai Hwesio mengejutkan teman-temannya dan tiba-tiba ia membuang toyanya yang marong itu. Toya itu bengkok dan panasnya bukan main, kalau terus dipegang rusaklah telapak tangan. Maka ketika hwesio itu berseru keras dan toyanya dibuang menancap, amblas di dinding maka tongkat di tangan ketua see-tong-pai juga dilepaskan dan hanya pedang di tungan Ko Pek Tojin yang cepat dilontarkan ke langit-langit ruangan, menancap dan mengeluarkan suara dan belandar seketika menjadi hangus.

Dapat dibayangkan betapa hebatnya Lui-cu-sin-hwe-kang dikerahkan Boen Siong. Dan ketika tiga ketua sudah melepaskan senjata masing-masing dan terhuyung pucat. Saat itulah Boen Siong menghadapi ketua Heng-san-pai bersama kedua sutenya maka Goat Gin Tojin adalah korban berikut yang menjadi sasaran pemuda ini, yakni ketika tosu itu menusuk dan menggetarkan dua jarinya melancarkan Thi-khi-hiat, ilmu sedot.

"Plak!"

Lui-cu-sin-hwe-kang adalah ilmu panas sejenis Lui-yang Sin-kang. Tenaga yang dipakai adalah Yang-kang (Panas) dan tepat sekali menghadapi Thi-khi-hiat. Dengan Yang-kang ilmu sedot itu buyar. maka ketika sang tosu terkejut dan berbalik kehilangan tenaga, saat itulah Boen Siong menggerakkan kakinya maka tanpa ampun lagi lutut tosu ini menerima ujung kaki.

"Dess-augh!" Goat Gin Tojin terbanting dan bergulingan mengaduh-aduh. Ia meloncat bangun akan tetapi roboh lagi, tempurungnya terkilir. Baru setelah ia menepuk dan mengembalikan posisi dapatlah ia berdiri tegak lagi. Lalu ketika ia pucat dan terbelalak memandang pemuda itu, ngeri dan gentar maka Boen Siong bebas berhadapan dengan Cam Bong Cin-jin, juga ketua Heng-san. Ko Pek Tojin dan lain-lain masih bengong di tempat.

"Kini kita berdua. Mari kuterima lui-yang Sin-kang mu, lo-enghiong, maaf kalau tadi aku selalu menghindar... plak-dess!" Boen Siong membungkuk dan menerima pukulan dua orang itu dan Heng-san-paicu maupun sutenya tersentak. Mereka mengerahkan Lui-yang Sin-kang yang menjadi andalan, bertemu Lui-cu-sin-hwe-kang dan panas bertemu panas.

Akan tetapi ketika mereka terdorong dan lengan yang membara dari pemuda itu tak sanggup mereka tahan, terhuyung dan terpaksa melempar tubuh bergulingan maka Sin Tong Tojin maupun Cam Bong Cin jin sama-sama mengeluh.

"Desss!" Mereka kalah kuat dan harus mengakui kehebatan pemuda itu. Dari lengan Boen Siong keluar tenaga amat kuatnya dan mereka tak tahan, dari sini dapat diukur bahwa sinkang (tenaga sakti) mereka kalah kuat. Maka ketika mereka bergulingan meloncat bangun namun gebrak itu tentu saja masih belum memuaskan, mereka membentak dan berseru kembali maka dua tokoh Heng-san ini maju lagi dan Ko Pek Tojin serta lain-lainnya sadar. Tak boleh secepat itu mereka mengaku kalah.

"Keluarkan senjatamu, tunjukkan kepandaian khas gurumu Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip. Kami akan mengeroyok dan menyerangmu mati-matian, anak muda. Perlihatkan Golok Terbang (Hui-to) yang menjadi kehebatan gurumu!"

"Hm siauw-te (aku yang muda) tak merasa perlu. Pertandingan ini bukan pertandingan mati hidup, Sin Tong lo-enghiong. Kalau tidak terpaksa untuk apa mengeluarkan senjata. Siauw-te... wher siuuttttt!"

Pisau-pisau kecil mendadak meluncur dari tangan ketua Heng-san disusul benda-benda berkeredep lainnya dari Goat Gin Tojin dan Cam Bong Cinjin. Itulah senjata rahasia yang tiba-tiba dilepas tanpa banyak bicara lagi. Boen Siong terkejut dan menghentikan kata-katanya sementara ketua Heng-san sudah berseru pada ketiga rekannya untuk mengeluarkan pula senjata-senjata gelap. Dan ketika tanpa banyak cakap Ko Pek Tojin maupun See Cong Cinjin mengeluarkan senjata rahasia mereka, yang terakhir ini mengeluarkan pasir-pasir panas maka Gu Lai Hwesio mengeluarkan biji-biji tasbehnya yang berketrik.

"Singg-wirrr-trik-trikkk!"

Boen Siong terkejut dan berseru keras. la tak menyangka tokoh-tokoh persilatan itu sudah mulai mengeluarkan amgi (senjata rahasia). Hanya dalam keadaan terdesak atau sungguh-sungguh ingin mengujinya mereka itu melakukan itu. Maka ketika ia melengking dan mengeluarkan Boan-eng-sutnya, berkelebat dan mengelak itu maka semua senjata rahasia itu menancap di dinding dan rata-rata amblas melesak!

Akan tetapi Heng-san-paicu kembali berseru nyaring. la membentak agar pemuda itu mengeluarkan kepandaian khas gurunya, hui-to atau golok terbang yang menjadi kebanggaan kakek itu. Dan ketika ia kembali menerjang dan mengeluarkan pisau-pisau kecilnya, disusul Cam Bong Cinjin dan Goat Gin Tojin maka Ko Pek Tojin dan See Cong Cinjin serta Gu Lai Hwesio melepas lagi senjata-senjata gelap mereka. Semua benar-benar mendesak dan memaksa pemuda ini agar mengeluarkan ciri khas gurunya itu.

"Tunjukkan kepandaian yang membuat nama besar gurumu. Kami akan terus mendesak dan menyerangmu tanpa ampun, anak muda, atau kau benar-benar roboh dan jangan salahkan kami!"

Boen Siong mengeluh. la maklum bahwa orang-orang ini ingin ia mengeluarkan semua kepandaiannya. Lui-cu-sin-hwe-kang telah membuat mereka gentar akan tetapi dengan serangan senjata-senjata rahasia begini ia dipaksa mundur. Lawan menyerang dari jarak jauh. Dan karena percuma mempergunakan Boan-eng-sut tanpa membalas, ia bakal dikejar dan terus didesak apa boleh buat Boen Siong membentak dan memperingatkan orang-orang itu bahwa iapun akan melepas hui-tonya.

"Cuwi-lo-enghiong terlalu memaksa, akan tetapi siauw-te tak dapat menolak. Maafkan kalau balasan ini membuat cuwi terkejut dan hati-hatilah!" belum habis kata-kata itu Boen Siong pun merogoh saku bajunya. Cepat dan luar biasa ia melempar golok-golok kecil, berkeredep dan menyambar atau menangkis semua tasbeh dan pisau kecil, juga pedang dan pasir panas yang seketika terpental oleh tenaga kebut yang besar.

Lalu ketika semua berteriak dan kaget mengelak gugup, hui-to melejit dan menyambar mereka maka enam kancing baju terbabat putus dan tampaklah pakaian dalam enam tokoh persilatan ini. Bahkan khusus Heng San-paicu perutnya tergores dan hui-to menancap di samping tubuhnya, di pilar besar di mana kakek ini terhuyung pucat dan nyaris seputih kertas.

"Bret-bret-brett!"

Semua terbelalak dan jerih serta gentar. Memotong kancing baju tanpa melukai pemiliknya adalah kepandaian yang sukar diukur tingginya kalau bukan dilakukan seorang yang benar-benar matang. Putus berurutan bukanlah hal kebetulan, semua sama-sama di depan perut.

Maka ketika semua terbelalak dan Heng-san-paicu sampai tak dapat berkata-kata, ia pucat dan masih berdiri terhenyak maka Boen Siong sudah mengusap keringatnya dan menjura di depan lawan-lawannya ini, terutama ketua Heng-san yang tergores dan mendapat "pelajaran" paling pahit.

"Maafkan siauw-te, sudah siauw-te katakan tadi bahwa cuwi-lo-enghiong terlalu mendesakku. Kalau ada yang terluka siauw-te membawa obat dan biarkan kuboreh sebentar."

"Siancai, tidak perlu, kau benar-benar hebat sekali. Ah, sekarang pinto tak perlu ragu, anak muda. Kau benar-benar telah mewarisi kepandaian gurumu dan kalau kau mau golok terbangmu tadi dapat kau hunjamkan ke perut pinto!" Heng-san-paicu akhirnya sadar dan dialah yang bergerak lebih dulu menahan anak muda ini.

Boen Siong telah mengeluarkan obatnya akan tetapi ia menolak, tangan kiri mendekap perut yang tersayat sementara tangan kanan lalu memanggil seorang murid membawa obat sendiri. la menepuk-nepuk penuh kagum dan kaget akan kepandaian pemuda ini. Dan ketika seorang murid berkelebat cepat membawa obat luka, semula khawatir akan tetapi lega hanya berupa goresan kecil maka Cam Bong Cinjin dan lain-lain kagum bukan main.

"Omitohud, pemuda ini benar-benar andalan. Kau telah mengalahkan kami berenam, Siong-kongcu, sungguh hebat kepandaianmu. Pinceng percaya!"

"Dan pinto tak ragu lagi. Ah, kau calon bengcu yang tepat anak muda, kau tentu mampu menghadapi Chi Koan!"

"Akan tetapi ada Naga Gurun Gobi disana. Karena dua calon terdapat tentunya masing-masing harus diuji, siapa lebih unggul!"

Semua saling sahut akan tetapi yang belakangan ini bernada memperingatkan. Itulah suara Goat Gin Tojin yang membuat semua orang sadar. Memang masih ada Naga Gurun Gobi di sana! Akan tetapi ketika Li Ceng meloncat dan berdiri tegak, matanya bersinar dan berapi-api maka wanita ini berseru bahwa hal itu boleh dibuktikan. Puteranya memang akan diadu dengan Naga Gurun Gobi itu.

"Aku telah bertekad bahwa bengcu hanya seorang saja. Sehabis di sini kami akan ke sana, Cuwi-enghiong. Kalian boleh ikut dan saksikan betapa puteraku akan mengalahkan pendekar itu. Naga Gurun Gobi tak perlu kutakuti!"

"Ibu...!"

"Diam! Tugusmu belum selesai semua. Karena masih ada pengganjal di sana maka itupun harus kau singkirkan... Cuwi-enghiong!" wanita ini menghadapi kembali orang-orang itu. "Karena puteraku telah mengalahkan kalian maka kuundang kalian untuk menyaksikan betapa puteraku akan mengalahkan pula pendekar itu. Tiga hari setelah ini harap kalian datang ke Gobi dan saksikan Naga Gurun Gobi akan dirobohkan puteraku!"

Dan menyambar serta berkelebat keluar akhirnya wanita ini membawa puteranya meninggalkan Heng-san, langsung malam itu juga dan Heng-san-paicu serta lain-lain tertegun. Sebelum membalik dan menyambur puteranya tadi tampak wanita ini menangis, kata-katanyapun mengandung isak dan duka ditahan. Lalu ketika semua sadar dan melompat keluar, di bawah gunung tampak dua bayangan meluncur maka Ko Pek Tojin merangkapkan tangan berseru perlahan,

"Siancai, aneh Li-hujin ini. Bukankah pendekar itu adalah suaminya sendiri, kenapa dimusuhi demikian hebat."

"Dan pinceng juga tak habis pikir. Kalau itu puteranya bukankah berarti mengadu antara bapak dan anak, Ko Pek To-tiang, ada urusan apa sehingga Li-hujin demikian sakit hati!"

"Maaf, pinto tiba-tiba teringat sesuatu. Dulu wanita itu kehilangan anaknya, Lo-Suhu, dan konon bertengkar dengan suaminya sendiri. Tentu sebab ini ia marah-marah!"

"Ah, benar, dan ia tadi memberi isyarat pinto untuk tidak bicara tentang suaminya. Li-hujin tampaknya menyembunyikan sesuatu terhadap puteranya!"

"Apapun yang terjadi adalah urusan rumah tangga mereka. Pinto jadi ingin melihat pertandingan itu, Ko Pek Totiang, apakah kau tak ingin ke Gobi?"

"Wah siapa bilang. Pertemuan itu pasti mendebarkan, Heng-san-paicu, pinto juga ke sana. Bagaimana dengan See Cong Cinjin dan rekan Gu Lai lo-suhu!"

"Omitohud, ini peristiwa besar. Karena pinceng diundang tentu ke sana. Masa kejadian menarik harus dilewatkan!"

"Benar, dan pinto tak mau ketinggalan. Kita semua diundang bersama, Ko Pek Totiang, mari berbareng dan kita siap-siap!"

"Ya, kita siap-siap. Pemuda itu hebat sekali dan entah mana lebih hebat dengan bapaknya. Mari atur anak-anak murid dan besok pagi-pagi berangkat!"

Heng-san menjadi sibuk tapi kali ini berbeda. Undangan Li-hujin membuat semua gatal mata untuk menonton. Siapa tak ingin melihat pertandingan besar itu. Maka setelah meja kursi dikembalikan lagi dan masing-masing memulihkan tenaga maka keesokannya enam orang ini berangkat dan tentu saja langsung ke Gobi!

* * * * * * * *

Boen Siong melepaskan dirinya dari cekalan ibunya. Semalam ia diajak berlari cepat akan tetapi ibunya menangis tersedu-sedu. Setiap ditanya tak mau menjawab. Akan tetapi setelah pagi itu mereka jauh meninggalkan Heng-san, tangis ibunya juga mereda maka Boen Siong menghela napas menanya sekali lagi, suaranya lembut dan penuh kasih.

"Apakah ibu marah-marah kepadaku. Di sana aku melemparmu, akan tetapi Semata tak tahan omonganmu. Ibu terlalu berbangga dan berkesan sombong, ah. Kalau ini yang membuatmu marah biarlah aku minta maaf." Boen Siong memeluk ibunya dan tiba-tiba sang ibu meledak kembali.

Bukan itu yang membuat wanita ini menangis melainkan ingatannya akan suami. Peng Houw telah menyakiti hatinya begitu dalam dan sebentar lagi akan diadunya antara anak dan bapaknya ini. la membayangkan itu dan kemenangan puteranya. Akan tetapi ketika tiba-tiba rasa tak rela mendadak datang, ia tak mau Boen Siong mengalahkan ayahnya maka ia pun bingung dan menangis. Maklum bahwa di sudut hatinya yang paling dalam ia masih mencintai suaminya itu, betapapun ia telah disakiti dan dibuat benci!

"Aku... aku teringat musuhku. Aku teringat semua kebencian dan sakit hati ini, Boen Siong, ibu tak marah kepadamu. Membayangkan kita sebentar lagi di Gobi dan bertemu langsung yang membuat ibu merana, tiba-tiba ibu tak kuat. Aku.. ingin segera bertemu dia!"

"Jadi ibu tak marah kepadaku?"

"Tidak...!"

"Kalau begitu harap ibu berhenti menangis. Aku akan bingung kalau ibu seperti ini. Sekarang biar kucari makanan dan ibu tunggu sebentar."

Boen Siong melepaskan ibunya dan sekali berkelebat lenyap memasuki hutan. la mendengar kokok ayan hutan dan itulah sasarannya. Dan ketika tak lama kemudian ia telah muncul da datang kembali, sang ibu duduk di bawah pohon maka pemuda itu berseri memberikan hasil tangkapannya ini, dua ayam jantan cukup untuk sarapan.

"Ibu yang masak, aku yang membuat api. Lihat, cukup gemuk akan tetapi kecil-kecil...!"

Li Ceng tersenyum, bangkit menerima. Tiba-tiba ia melihat betapa gagah dan tampan puteranya. Gerak-gerik Boen Siong juga halus seperti ayahnya. Dan ketika hampir saja ia nenitikkan air mata begitu terharu, untunglah puteranya membalik dan sudah mencari kayu bakar maka ia membersihkan dua ekor ayam itu untuk kemudian sudah memanggangnya di atas api kecil. Bau sedappun tercium.

"Kau lapar?" sang ibu membuka percakapan. "Tak ada nasi di sini hanya ayam panggang ini saja."

"Ah, cukup. Ini saja sudah nikmat, ibu, asal kau yang mengolahnya semua terasa sedap. Aduh, perutku berkeruyuk!" Boen Siong tertawa dan menyambur sepotong paha yang masih panas. Akan tetapi ketika ia hendak menggigit dan membatalkan mendadak ia menyodorkan itu kepada ibunya. "Orang tua dulu, baru anak!"

Li Ceng terharu. Memang Boen Siong selalu memperhatikan dirinya lebih dari yang lain. Kali itupun sikapnya menunjukkan itu. Maka ketika ia menerima dan tersenyum mengambil yang lain, ganti memberikan puteranya ia berkata bahwa seorang ibu selalu menomorsatukan anak.

"Ibu belum lapar benar, sementara perutmu sudah berbunyi. Makanlah, anakku, ibu nomor dua. Ayo gigit dan jangan ragu!"

"Tapi ibu lebih dulu, anak belakangan."

"Baiklah, mari sama-sama makan." Kalau kau sudah ngotot begini percuma ia membujuk. "Ayo!"

Lalu ketika sang ibu menggigit dan barulah Boen Siong mengikuti maka keduanya tertawa dan Boen Siong girang betapa ibunya sudah tidak berduka lagi. la tak sungkan menyambar yang lain dan tentu saja memuji masakan ibunya ini. Dengan bumbu sederhana ternyata begitu lezat.

Dan ketika sejenak semua kedukaan lewat maka selesai makan dengan hati-hati Boen. Siong mulai bertanya kenapa ibunya begitu membenci Naga Gurun Gobi, di samping Chi Koan, karena selama ini ia sedikit sekali mendapat jawaban kecuali bahwa pendekar itu menyakiti hati ibunya.

"Sebentar lagi kita bertemu musuh besar. Sebelum bertemu dan berhadapan dengan Naga Gurun Gobi bisakah ibu memberi tahu kepadaku sebab-sebab ibu membencinya. Selama ini sedikit sekali ibu menerangkan perihal musuh yang satu ini, sementara aku mulai heran dan ragu bukankah ia seorang pendekar, tidak seperti Chi Koan yang jahat itu misalnya."

Li Ceng tertegun, tak menyangka. Akan tetapi ketika tiba-tiba ia mulai terisak dan Boen Siong terkejut maka buru-buru pemuda ini memegang lengan ibunya berkata halus, "Ah, kutarik kembali. Kalau pertanyaanku hanya membuatmu berduka lebih baik tak usah kau jawab, ibu, maafkan aku."

"Tidak, dia... dia, kau akan mengetahuinya nanti kalau sudah di Gobi, puteraku. Di sanalah semua jawaban kau dapatkan. Ibu, ah... terlalu sakit mengenang itu!" lalu ketika wanita ini benar-benar menangis dan Boen Siong menyesal maka pemuda ini memeluk dan membujuk ibunya itu.

"Sudahlah, aku tak bertanya lagi. Kalau ia membuatmu sakit hati berarti ia pun jahat, ibu, akan kuhajar dan kubalaskan sakit hatimu nanti. Kalau perlu kubunuh!"

"Jangan..." sang ibu tiba-tiba menjerit, meloncat mengejutkan puteranya ini. "Kau... kau tak boleh membunuhnya, Boen Siong, kau hanya menghajar dan mengalahkannya. lbu melarangmu membunuhnya!"

"Tapi ia jahat...!"

"Tidak, ia... ia sebenarnya baik. Akan tetapi, hu-hu-hu..." lalu ketika wanita ini tersedu dan melempar tubuhnya lagi maka Boen Siong tertegun melihat betapa ibunya menutupi muka demikian sedih. Kalau sudah begini ia dibuat terheran-heran. Sikap dan tingkah ibunya terasa aneh. Dan ketika ia membiarkan ibunya menangis sampai reda sendiri, Ia menjaga dan hanya menunggui ibunya akhirnya sang ibu mengusap air mata meloncat bangun. Wajah dan sepasang matanya lebam.

"Kita berangkat..." sang ibu menyambar lengan puteranya. "Lebih cepat bertemu lebih baik, puteraku. Jangan tanya ibu lagi sebab di sana kau akan tahu semuanya!"

Pemuda ini berdebar, Ia mengikuti saja ibunya pergi. Dan ketika pada hari kedua mereka makin dekat ke Gobi, sang ibu tampak menggigil maka jauh di tepi gurun yang luas wanita ini kembali berhenti, terengah, mukaya tampak kemerahan dan anehnya sepasang mata itupun banjir!

Boen Siong mengerutkan alis. Semakin dekat ke Gobi ia semakin heran akan tingkah laku ibunya itu. Kadang-kadang ibunya seperti orang yang ingin cepat-cepat sampai, akan tetapi tak jarang pula merandek dan berhenti memperlama perjalanan, seperti saat itu misalnya. Akan tetapi karena selama ini ia tak berani banyak tanya dan tak ingin ibunya berduka maka iapun diam saja dan seperti kebiasannya yang sudah-sudah ia pun tak menganggu ibunya itu, membiarkan ibunya merenung dan berkedip-kedip memandang gurun.

"Kita beristirahat disini, aku tiba-tiba merasa lelah."

Boen Siongpun mengangguk, tak banyak rewel. la berdebar memandang tepi gurun yang masih jauh di depan sana. Pagi itu matahari sudah naik cukup tinggi dan tampaklah uap panas di atas gurun, bergelombang. Getaran uapnya membuat berdebar sementara perguruan terkenal Go-bi-pai belum tampak gedung bangunannya. Tentu masih di tengah dan jauh ke sana. Dan ketika ibunya duduk dan iapun duduk, sang ibu terisak-isak.

Maka Boen Siong pun diam saja percuma menghibur ibunya. Ia sendiri merasa tak sabar dan ingin tahu bagaimana dan siapa pendekar Gurun Gobi itu, kenapa ibunya dibuat sakit hati. Akan tetapi ketika sang ibu menangis sementara Boen Siong merenung ke depan, menatap kosong mendadak terlihat bayangan hijau meluncur di tengah gurun, datang ke hutan itu!

"Ada orang!" pemuda ini berbisik ."Hentikan tangismu dan lihat siapa yang datang, ibu. la muncul dari tengah gurun"

Li Ceng terkejut, menghentikan tangisnya. Cepat mengusap air mata ager jelas memandang. Namun sementara wanita ini belum tahu benar siapa bayangan itu, Boen Siong telah tahu maka pemuda ini bergumam bahwa yang datang adalah seorang gadis.

"Yang datang adalah wanita muda delapan atau sembilan belas tahun. Apakah Gobi memiliki murid wanita, ibu, gerakannya cepat sekali dan kepandaiannya cukup tinggi!"

"Tak mungkin Gobi memiliki murid perempuan. Partai itu terdiri para hwesio tua muda, Boen Siong, kalau dia seorang Wanita tentu orang lain. Ibu belum jelas!"

"Kalau begitu melompatlah ke atas pohon, ia ke sini."

Li Ceng bergerak dan melayang naik ke atas pohon. Dari sini barulah ia melihat jelas dan ternyata yang datang adalah seorang gadis cantik jelita. Pakaiannya serba hijau sementara rambutnya yang hitam gemuk dikepang di kiri kanan, diikat atau dihias pita merah dan pipinya yang kemerah-merahan ketika berlari cepat membuat ia berdebar.

Gadis itu memang berkepandaian tinggi! Dan ketika sekejap kemudian gadis itu sudah berada di mulut hutan, terkejut melihat Boen Siong maka Li Ceng berjungkir balik melayang turun. Gadis itu semakin terkejut melihat ada orang lain lagi di situ, langsung berhenti.

"Eh...!" seruan merdu ini langsung membuat jantung Boen Siong bergetar. "Siapa kau dan ada apa di sini, sobat. Ini wilayah Gobi dan harap jangan dekat-dekat sini!"

"Kau!" Li Ceng membentak dan langsung meloncat di depan gadis ini galak. "Kau sendiri siapa dan dari mana. Hendak ke mana dan bagaimana muncul dari arah Go-bi-pai. Bukankah Gobi tak mempunyai murid wanita dan kau seperti maling kesiangan!"

Gadis ini terkejut, membelalakkan mata. Pertanyaannya tak dijawab malah ia ditanya dan dibentak. Kasar benar wanita ini! Akan tetapi ketika ia menahan kemarahannya dan menjura, sikapnya halus namun sopan maka ia pun menjawab bahwa ia murid Gobi secara tak langsung. Boen Siong memandang kagum. Sementara khawatir terhadap sikap ibunya. Sang ibu tampak tidak bersahabat.

"Bibi agaknya orang asing di sini, akan tetapi aku murid Gobi biarpun tak langsung. Namaku, hmm... seharusnya tamu memberitahukan namanya dulu dan ada keperluan apa bibi berdua di sini. Seingatku tanpa undangan khusus siapapun tak boleh menginjak wilayah ini, atau Gobi akan menganggapnya sebagai pelanggaran dan bibi berdua bisa celaka."

"Bah... anak ingusan bicara seperti itu. Aku datang memang ada urusan dengan Gobi bocah, pelanggaran atau tidak tak perduli. Kau tak perlu mengancamku dan justeru kebetulan datang di sini. Aku hendak menangkapmu!" lalu tanpa banyak bicara dan menyambar ke depan tiba-tiba Li-hujin menotok dan hendak merobohkan gadis itu, tentu saja dikelit dan sang gadispun marah. Akan tetapi ketika Li Ceng mengejar dan gadis ini membentak maka ia menangkis dan terpentalah nyonya itu.

"Aduh!"

Boen Siong terkejut menyambar ibunya. Untung sang ibu berjungkir balik dan dicekal puteranya. Dan ketika Li-hujin terkejut akan tetapi tentu saja marah bukan main, gadis itu berdiri dengan mata bersinar-sinar maka wanita ini membentak menerjang lagi. la melepaskan diri dari tangan Boen Siong merasa penasaran.

"Kau bocah ingusan berani melawan aku. Bugus, mari main-main dan lihat berapa jurus kau roboh!"

Akan tetapi betapa kaget dan herannya wanita ini melihat lawan berkelit dan menghalau dengan mudah. Totokan-totokan atau tamparan tangannya dikebut dari samping, angin kuat menyambar dan iapun terhuyung! Dan ketika wanita ini melengking sementara gadis itu tersenyum mengejek maka Li-hujin tak satupun mendaratkan pukulannya di tubuh gadis baju hijau itu.

"Boen Siong, bantu aku. Robohkan dia!"

Gadis itu terkejut memandang Boen Siong. Saat itu Boen Siong melihat ibunya terdesak dan tentu saja ia merasa kasihan. Tak boleh ibunya dipermalukan orang. Maka ketika berkelebat dan mendorong perlahan, pukulan sinkangnya membuat gadis itu terhuyung maka gadis itu pucat mukanya memandang ibu dan anak, tiba-tiba berseru.

"Subo, kau... kau kiranya!" lalu ketika gadis ini menghambur dan menjatuhkan diri berlutut.

Li Ceng terkesiap maka nyonya ini terpaku dan tertegun pula. Gadis itu tiba-tiba menangis den sudah memeluk kedua kakiya kencang-kencang.

"Benar, ini subo. Ah, kau mengejutkan dan mengagetkan aku, subo, kenapa baru hari ini datang dan ini kiranya sute Boen Siong. Siauw-te... siauw-te Siao Yen!"

Sang nyonya bagai disambar geledek mendengar itu. Tak disangkanya bahwa gadis cantik jelita ini adalah Siao Yen. Dan ketika sejenak ia tergetar dan berkejap-kejap, sungguh ia pangling maka Siao Yen tersedu-sedu bicara.

"Suhu... suhu menanti-nantikan kedatanganmu. la menderita dan tampak tua, subo. Suhu akhir-akhir ini sering sakit-sakitan. Kemarin ia jatuh dari tangga, demam dan menggigil. Sudah bertahun-tahun ini ia menyebut-nyebut namamu dan Boen Siong. Dan kalian, ah... tiba-tiba datang. Mari, subo, mari temui suhu dan kasihanilah semua dosa-dosanya!"

Meledaklah tangis dan sedu-sedan Li-hujin. Begitu Siao Yen membawa berita menyayat iapun segera tak tahan. Boen Siong terpaku bingung. Dan ketika gadis itu memeluk ibunya erat-erat sementara sang ibu roboh dan mengguguk tiada hentinya maka terdengarlah keluhan pendek-pendek dari mulut ibunya itu.

"Houw-ko, ooh, Houw-ko!" akan tetapi ketika tiba-tiba wanita ini teringat semua penderitaannya, betapa Peng Houw menyamaratakan dirinya dengan mendiang ibunya mendadak wanita ini melengking dan kalap. Siao Yen ditendang dan mencelat terlempar.

"Jahanam, pergi kau. Aku tak mengenalmu, bocah busuk. Siapa itu suhumu dan apa perduliku terhadap suhumu. Pergi, laporkan bahwa besok kami datang... dess!"

Gadis baju hijau yang mencelat dan terbanting roboh segera menjerit dan tak menyangka. la terguling-guling meloncat bangun dan wajahnya tampak begitu pucat. Boen Siong juga terkejut oleh perbuatan ibunya. Dan ketika ia berkelebat namun sang ibu menuding, wajah memerah padam maka wanita itu membentak agar gadis itu pergi.

"Enyah, jangan perlihatkan batang hidungmu kepadaku. Enyah, bocah cilik, atau kubunuh kau!"

Yang peling kaget tentu saja gadis ini. la memang Siao Yen dan seperti biasa setiap bulan ia hendak berbelanja rempah-rempah. Bumbu dapur habis dan dialah yang bertanggung jawab tentang itu. Mula-mula ia tak mengenal subonya karena sudah belasan tahun mereka berpisah. Li Ceng juga tak mengenal karena gadis ini telah tumbuh dewasa. Akan tetapi ketika nama Boen Siong disebut-sebut dan gadis ini terbelalak memandang Li-hujin teringatlah wanita itu maka segera ia menjerit dan girang bahwa subonya tahu-tahu ada di situ.

Akan tetapi kini tiba-tiba ia diusir sang subo seolah bersikap tak kenal-mengenal dan tentu suja ia kaget bukan main. Gudis ini tersedu. Dan ketika ia coba berlutut dan memanggil subonya, alangkah marah wanita itu tiba-tiba Li-hujin berkelebat dan sebuah tamparanpun mengenai kepala gadis itu.

"Kusuruh enyah tak mau enyah, baiklah, kubunuh kau..." lalu ketika tendangan dan pukulan bertubi menghajar gadis ini Siao Yen jatuh bangun maka Boen Siong tak kuat dan membentak ibunya.

"Cukup, ibu tak boleh bersikap kejam. Jangan siksa dan sakiti gadis ini dan biarkan ia pergi!"

Pertolongan Boen Siong menyelamatkan Siao Yen. Gadis itu tersedu-sedu dan mengguguk dan iapun terhuyung-huyung memandang subonya. Wanita itu tampak terbakar. Akan tetapi ketika ia membalik dan memutar tubuhnya maka gadis ini pergi, air matanya masih membanjir.

"Teecu akan memberi tahu suhu. Baiklah teecu pergi, subo, sampai jumpa kembali!"

Li-hujin menggigil dan gemetar ditempat. la masih terguncang oleh pertemuan itu dan tak disangkanya gadis itu adalah Siao Yen. Alangkah cantik dan halusnya. Akan tetapi karena ia harus menekan semua perasaan itu mengobarkan kemarahannya, tak boleh ia luluh maka Boen Siong bingung melihat sikap ibunya ini.

"Siapa dia, kenapa ibu marah-marah. Dia menyebutmu subo berarti bukan orang lain, ibu, akan tetapi kau tak menyambutnya secara bersahabat."

"Persetan dengan dia, persetan dengan suhunya itu. Aku benci dan tak suka kepadanya, Boen Siong, iapun musuh!"

"Akan tetapi ia bersikap baik, dan kalau ia mau kau tak dapat mengalahkannya."

"Ada kau di sini, masa mendiamkan ibumu dihina orang. Sudah, aku tak mau bicara dan kita menyembunyikan diri dulu. Belum waktunya kita bertemu musuh-musuh kita!" lalu ketika nyonya ini berkelebat meninggalkan mulut hutan, kembali dan menjauhi tempat itu maka Boen Siong mengikuti ibunya dan tak lama kemudian bergeraklah tiga bayangan dari tengah gurun.

Mereka sudah berada di belakang hutan dan kebetulan ibunya menemukan sebuah guha, masuk dan menangis akan tetapi Boen Siong melayang naik ke puncak sebuah pohon. Pemuda ini berkata ia hendak menjaga tempat itu kalau ada musuh datang, padahal sebenarnya dengan berdebar ia mengawasi tiga bayangan dari tengah gurun itu.

Satu dari bayangan itu adalah Siao Yen, pakaian serba hijaunya kentara. Dan ketika dengan matanya yang tajam pemuda ini melihat bahwa dua bayangan di kiri kanan gadis itu adalah seorang pria empat puluhan sementara yang berbaju kuning adalah seorang pemuda duapuluh tujuh tahunan, gagah dan cakap maka Boen Siong tergetar melihat wajah pria empat puluhan itu yang kuyu namun dagunya yang kuat menunjukkan wajah seorang gagah dan penuh wibawa. Sedikit jenggot pendek menghias wajahnya membuat lebih gagah lagi.

Sayang Boen Siong tak dapat melihat lebih lama. Tiga orang ini telah memasuki hutan dan kalau saja ia tak menjaga ibunya mau rasanya menyongsong orang-orang itu, terutama Siao Yen! Terhadap gadis yang satu ini ia merasa berdebar dan ada yang istimewa. Wajahnya tiba-tiba semburat dan selanjutnya ia melayang turun lagi kebawah. la harus berjaga-jaga.

Akan tetapi ketika tak ada apa-apa dan ia melayang naik lagi, tampaklah tiga bayangan bergerak kembali ke gurun maka Boen Siong lega bahwa ia dan ibunya tak terganggu. Siao Yen tampak diantara tiga bayangan itu dan tentu mereka kembali setelah tak berhasil menemui ibunya.

Boen Siong menghela napas. Setelah dekat dengan Gurun Gobi iapun berdebar- debar tak enak. Wajah pria gagah itu terbayang- bayang di depan matanya lagi. Siapakah dia? Pasti suhu gadis itu. Pendekar Gurun Gobi sendiri? la tak tahu. Maka ketika malam itu dilewatkan sunyi sementara sang ibu masih terisak-isak akhirnya pagi-pagi benar di kala burung baru berkicau ibunya sudah mengajak ke gurun. Matahari menyorotkan Slnarnya yang lembut kuning keemasan, kabutpun masih melayang-layang di permukaan gurun.

"Kita pergi. Kita datangi musuh kita, Boen Siong, siapkan tenagamu atau ibu akan terhina seumur hidup!"

Pemuda ini mengangguk, diam. Semalam ia bersila dan mengumpulkan tenaga. Telah didengarnya bahwa Gobi bukanlah tempat yang boleh dibuat main-main, dan di sana ada Sang Naga! Namun karena ia harus menuruti perintah ibunya dan lebih dari itu mengemban tugas mendiang suhunya maka iapun mengikuti ibunya melangkah lebar menembus kabut di permukaan gurun. Hawa terasa dingin mengiris wajah.

"Bawa aku dengan Boan-eng-sutmu. Jerihkan musuh dengan kepandaianmu, Boen Siong. Bawa cepat agar lekas sampai!"

Pemuda ini lagi-lagi mengangguk. Memang ibunya berlari cepat dengan gin-kang biasa sementara iapun mengikuti dengan sabar. Sekali-sekali ia tak mengganggu ibunya yang tampak kacau ini. Maka ketika tiba-tiba ia balik menyambar ibunya meloncat terbang, Boan-eng-sut adalah Elang Cahaya maka bak petir menyambar mendadak tubuh pemuda ini melesat tak dapat diikuti mata lagi. Kabut diterjang terpental dan Li-Hujin berseri-seri.

Sebentar saja puteranya berada di tengah gurun. Dan ketika tak lama kemudian tampaklah bangunan yang amat besar, putih dan berdiri kokoh di depan sana maka tembok yang luas memagari bangunan ini bagai sebuah benteng melindungi kerajaannya. Inilah markas atau pusat Go-bi-pai!

"Masuk dari gerbang depan, kalau ditutup melayang saja ke atas!"

Boen Siong lagi-lagi mengangguk. La berdebar membawa ibunya karena matanya yang tajanm telah melihat bahwa pintu gerbang dibuka lebar-lebar. Gobi agaknya siap menyambut mereka. Dan ketika ibunya tahu dan mereka sudah berada disini, Boen Siong tertegun maka diatas gerbang yang tinggi terpancanglah kain lebar bertuliskan:

“SELAMAT DATANG PENG-HUJIN!”

Li Ceng menjerit lirih. la melepaskan dirinya dari puteranya dan tiba-tiba dari balik pintu gerbang muncullah sebarisan hwesio muda. Mereka langsung membungkuk dan memberi hormat di depan wanita ini. Lalu ketika Li Ceng mendekap mulutnya merasa kaget, sama sekali tak menyangka sambutan itu maka berkelebatlah bayangan hijau dan Siao Yen berlutut di depan wanita ini.

"Selamat datang, suhu telah menanti subo di ruang dalam. Teecu diminta mengantar dan mari subo masuk ke dalam."

Tak terasa wanita itu mundur dan mengeluarkan isak tertahan. Boen Siong cepat mencekal ibunya berdebar tak karuan. Tak ada musuh yang menyambut demikian bersahabat. Akan tetapi ketika ibunya melengking dan melepaskan diri, menerjang dan menendang gadis itu maka sang ibu melesat masuk dengan maki-makian.

"Naga Gurun Gobi, keluarlah tak perlu meluluhkan aku. Sakit hati harus dibalas dan ini puteraku yang akan menghajarmu!" lalu berteriak-teriak dan mendorong atau menendang para hwesio di tangga pendapa, anehnya tak ada yang melawan maka Li-hujin menerobos ke dalam sementara Boen Siong berkelebat di belakang ibunya menjaga segala kemungkinan. Siao Yen gadis baju hijau pucat mengikuti dengan isak kecil.

Dan akhirnya berhentilah wanita itu di ruang dalam. Di tempat yang luas dimana kiri kanannya terdapat taman bunga berdirilah empat orang nenunggu mereka. Dua yang bersebelahan adalah dua orang hwesio tua berjenggot putih, menjura dan membungkuk dalam-dalam di depan Wanita ini. Sedangkan dua lagi yang terakhir adalah pria gagah itu dan pemuda baju kuning. Dan begitu melihat ibunya segera pemuda itu berlutut dan berseru nyaring, suaranya serak dan air matapun tiba-tiba membanjir.

"Subo...!"

Boen Siong benar-benar tertegun di sini. la melihat ibunya menggigil hebat sementara pria itu juga gemetar dan menggigil. Dua pasang mata bertaut dan terdengar keluhan ibunya. Pria itu tampak tua dan kurus, meskipun berwajah gagah akan tetapi saat itu tampak kuyu dan lemah. Dan ketika tak ada kata-kata di antara mereka namun bibir pria gagah itu berkemak-kemik, mengeluh dan akhirnya mengembangkan lengan mendadak pria ini terhuyung dan menubruk ibunya. Wajah gagah itupun tiba-tiba basah air mata.

"Ceng-moi...!"

Entah bagaimana jadinya mendadak ibunya mengguguk. Inilah Naga Gurun Gobi Peng Houw yang menderita itu. Sekian belas tahun mencari isterinya dan baru hari itu muncul. Maka ketika Peng Houw tak dapat menahan keharuannya dan segala rindu serta sesal menjadi satu, sang isteri berapi-api namun ia pasrah dan mengalah maka pria itupun maju dan memeluk isterinya ini. Li Ceng pun tak kuat dan perasaannya yang dikeras-keraskan mendadak menjadi lumer dan luluh. Sang suami tampak begitu kusut dan kuyu!

"Ceng-moi, maafkan aku.... ah, belasan tahun aku mencarimu namun gagal. Sekarang... sekarang tiba-tiba kau datang. Duh, maafkan semua dosa-dosaku, isteriku, demi Tuhan akupun menderita!"

Wanita itu tersedu dan memukul-mukul suaminya. Kemarahan dan keharuan menjadi satu. Kebencian dan kasih sayang bercampur-aduk pula. Dan ketika Li Ceng benar-benar hancur dan porak-poranda, ia tak dapat melampiaskan segala angan-angannya maka Peng Houw mengecup dan mencium kening isterinya itu memandang Boen Siong.

"Itu... itu anak kita...? Duh, Thian Yang Agung. Kau pertemukan aku dengan anak isteriku. Boen Siong, aku ayahmu, kemarilah, nak...!" lalu ketika dengan terhuyung dan menggandeng isterinya pendekar ini menghampiri Boen Siong maka pemuda itu menjadi pucat di samping bingung sekali.

"Ibu, ini ayah?"

"Benar, ia ayahmu. Aku... aku..!"

"Akan tetapi ibu mengatakan ayah dibunuh! Ah, bagaimana ini? Siapa yang benar?"

"Tidak Ia... ia ayahmu, Boen Siong. Akan tetapi dia pulalah yang merobek-robek hati ibumu. Dia... dia laki-laki keparat...!" Li Ceng menjerit dan tiba-tiba melepaskan diri. Semua orang terkejut ketika tanpa ba-bi-bu lagi menampar Naga Gurun Gobi.

Tamparannyak keras hingga Peng Houw terpelanting! Dan ketika Boen siong membentak dan menyambar ibunya, sementara pemuda baju kuning dan Siao Yen terpekik menolong suhu mereka maka dua hwesio tua yang sejak tadi berdiri tak jauh sekonyong-konyong berkelebat dan melindungi pendekar ini. Peng How pucat dan tiba-tiba batuk darah!

"Omitohud, hujin tak boleh bersikap kejam terhadap suami. Ketahuilah bahwa Peng-taihiap sedang sakit. la tak boleh dimusuhi!"

"Biar... biarlah!" Peng Houw terhuyung batuk-batuk. "Segala sakit hatinya masih kurang dengan tamparan itu, Ji-susiok. Aku dapat memaklumi perasaannya dan dosaku memang besar. Biarlah... biar ia memukulku lagi!" lalu melepaskan diri dari kedua muridnya Peng Houw melangkah gemetar menghadapi isterinya ini, mengusap darah dengan ujung bajunya.

"Ceng-moi, aku memang suami keparat. Pukul dan hukumlah sepuas hatimu. Aku memang suami keparat....!"

Li-hujin terhenyak dan berubah-ubah. la tak menyangka tamparannya membuat suaminya batuk darah. Suaminya terluka dalam! Maka ketika tiba-tiba ia mengguguk dan melompat, memeluk dan menciumi suaminya itu segera ia minta maaf dan tak tahu bahwa suami sakit.

"Ah... aku,.. tidak! Ah, tak akan kupukul atau kusakiti kau, Houw-ko, tak akan kuhukum biarpun sakit hatiku bertumpuk-tumpuk. Kau luka? Kau celaka oleh tamparanku tadi? Oohh, maafkan aku, Houw-ko, aku isteri tak tahu diri. Biar kuobati dan kurawat kau!"

Lalu ketika dengan penuh kasih sayang dan amat terharu serta mengguguk wanita ini mengusap sisa darah di bibir, membersihkan dan menuntun pendekar itu maka Boen Siong benar-benar terkesima dn terpukul hebat. Akan tetapi tiba- tiba ia teringat akan Naga Gurun Gobi itu, musuhnya!

"Ibu, mana Naga Gurun Gobi yang kita cari-cari itu. Bukankah aku harus mengalahkannya!"

Sang ibu menjerit dan tertusuk-tusuk. Tentu saja kata-kata ini membuat luka lebar sementara Peng Houw tertegun, tak tahu apa yang terjadi. Akan tetapi ketika Boen Siong diberi tahu bahwa Naga Gurun Gobi ada di depannya, itulah ayahnya sendiri maka pemuda ini terbelalak dan berubah, bagai disambar petir.

"Naga Gurun Gobi adalah ayahmu ini juga. Aku sengaja menyembunyikannya karena dendam dan sakit hatiku itu, Boen Siong. Akan tetapi Ia.... ah, ayahmupun menderita bertahun-tahun!"

"Omitohud...!" Ji-hwesio pimpinan Gobi merangkapkan tangan. "Sungguh berbahaya maksud hatimu, hujin. Kau hendak mengadu antara ayah dan anak. Padahal... padahal suamimu sudah tak sekuat dulu!"

"Apa maksudmu?"

"Ia...!"

"Cukup!" Peng Houw tiba-tiba berseru. "Urusan itu tak perlu diberitahukan, Ji-susiok. ltu adalah kehendakku pribadi dan jangan ganggu kebahagiaan ini dengan hel-hal yang kurang mengenakkan!" lalu menghampiri puteranya dituntun sang isteri Peng Houw memegang pundak pemuda ini, gemetar. "Kau.. benar-benar mirip aku waktu muda. Di mana kalian bersembunyi dan bagaimana setega itu membiarkan aku merana, Boen Siong. Sungguh tanpa ibumu tak kusangka inilah anakku!"

Boen Siong menahan sedu-sedan balas memeluk ayahnya itu. Bertiga dengan sang ibu merekapun berangkul-rangkulan. Akan tetapi ketika semuanya reda dan Sam-hwesio batuk-batuk, mundur dan berkata biarlah keluarga itu bicara di kamar belakang maka Peng Houw mengangguk dan teringat. Ruang itu adalah ruang terbuka di mana banyak pasang mata bisa melihat mereka.

"Pinceng gembira dan turut menyatakan kebahagiaan atas pertemuan kalian. Akan tetapi masuk dan ajaklah anak isterimu di kamarmu belakang, Peng Houw pinceng akan menyuruh anak murid menyiapkan sekedar pesta!"

"Terima kasih. Kau benar, Sam-susiok, terima kasih!" lalu ketika dua hwesio itu berkelebat sementara Siao Yen dan kakaknya penuh haru maka Boen Siong teringat pemuda baju kuning itu, bertanya pada ibunya.

"Oh, dia? Dia suhengmu Po Kwan, kakak Siao Yen!"

Po Kwan buru-buru maju dan menjura di depan sutenya ini. Meskipun mereka bukan kakak beradik satu perguruan akan tetapi karena putera suhunya maka Po Kwan menganggap Boen Siong sute. Boen Siongpun tak keberatan. Dan ketika Boen Siong balas menjura dan suhengnya berseri-Seri maka Po Kwan menyatakan kebahagiaannya atas pertemuan itu.

"Silakan sute bercakap-cakap di belakang. Kami akan membantu para siauw-hwesio mengadakan pesta kecil."

Jadilah pemuda itu mengikuti ayah ibunya. Di sini para hwesio membungkuk hormat dan Boen Siong terharu. Baru sekarang ia tahu ayahnya masih hidup. Diam-diam ingin juga ia tahu kepandaian ayahnya, meskipun tentu saja bukan dalam pertandingan kalah menang. Dan ketika mereka memasuki kamar dan betapa sederhana kamar itu, hanya terdapat sebuah pembaringan dan dua kursi bangku maka Li Ceng terisak melihat isi kamar ini. Tak ada meja makan di situ.

"Kau, kamarmu begini sederhana. Di mana kau makan, Houw-ko, apakah Siao Yen tak menyiapkan mejanya!"

"Hm, jangan nenyalahkan anak itu. Mejaku adalah lantai ini Ceng-moi, kadang-kadang bangku yang satu itu. Aku tawar menghadapi kehidupan, semuanya tak begitu menyenangkan lagi. Tapi setelah kalian datang dan aku merasa bergairah tentunya kau mengatur lagi makan minumku. Atau, hmm..., hukumanku belum cukup?"

"Houw-ko, jangan seperti itu. Aku akan merawat dan menjagamu seperti dulu-dulu lagi. Dan... dan aku puas sumpahku terkabul!"

"Sumpah apa."

"Bahwa kalau aku tidak bersalah akulah yang akan menemukan Boen Siong lebih dulu!"

Peng Houw menarik napas dalam, tersenyum pahit. Lalu mengangguk dan mempersilakan anak isterinya duduk iapun sudah bersila di tepi pembaringan. Boen Siong terharu betapa ayahnya batuk-batuk namun cepat menelan sebutir obat.

"Akhir-akhir ini tubuhku ringkih. Aku tak memiliki gairah hidup dan semangat lagi, Ceng-moi, kalau tak ingat akan Siao Yen dan Po Kwan rasanya ingin mati saja."

Sang isteri terisak, meremas atau mencengkeram lengan suaminya ini.

"Sekarang ceritakan kepadaku di mana saja kalian selama ini. Belasan tahun aku mecari namun selalu gagal. Aku putus asa!"

"Kami sembunyi di Kun-lun...!"

"Kun-lun?"

"Ya, kami di sana, Houw-ko, bersembunyi...!"

"Akan tetapi aku sudah ke sana, kalian tak ada!"

"Kami di perut gunung."

"Perut gunung?"

"Ya, perut gunung. Putera kita ini ternyata diambil Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip yang akhirnya menjadi gurunya. Kakek itu bersembunyi di terowongan bawah tanah."

"Astaga, ceritakan itu. Dan, eh... siapa kakek yang kau sebut tadi? Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip? Maksudmu tokoh angkatan tua seangkatan Ji Leng Hwesio suhu?"

"Benar, Houw-ko, ia juga seangkatan dengan Siang Kek dan Siang Lam Cinjin itu. Boen Siong ternyata dibawa kakek itu."

"Ceritakan, ceritakan kepadaku. Aku tak sabar mendengar!"

Lalu ketika Li Ceng menarik napas menceritakan itu, betapa kemudian lari ke Kun-lun dikejar Chi Koan dan Kwi-bo, hampir tertangkap dan terjeblos ke ruangan bawah tanah maka di sini Peng Houw mengepal tinju menahan marah.

"Jahanam Chi Koan itu, ia benar-benar hendak mengganggumu!"

"Ya, akan tetapi justeru di situlah aku menemukan putera kita Boen Siong. Locianpwe Jiong Bing Lip menolongku, Houw-ko, menggembleng putera kita ini dan telah mewarisi seluruh kepandaiannya. Dia baru saja mengalahkan tokoh-tokoh Heng-san dan See-tong serta Bu-tong juga Hoa-san-paicu!"

"Apa?" Peng Houw kaget. "Mendidik anak kita untuk membuat malu para ketua-ketua persilatan?"

"Tidak, ia hanya melaksanakan tugas gurunya. Sebelum tewas Jiong Bing Lip locianpwe meninggalkan pesan agar menyatukan dunia kang-ouw. Dan kebetulan di sana ada rencana pemilihan bengcu. Chi Koan, jahanam itu telah menjadi bengcu di utara. Boen Siong akan menandinginya!"

Peng Houw terkejut dan kelihatan kurang senang dan tiba-tiba ia memandang puteranya ini. Dua pasang mata beradu dan kewibawaan seorang ayah membuat Boen Siong tunduk. Dari pancaran ayahnya itu ia tahu sang ayah tak senang. Maka ketika ia berkata bahwa sang ibu mendesak, ia dipaksa bertanding maka Li Ceng mengangguk tak tedeng aling-aling lagi.

"Benar, aku mendukungnya. Untuk menguji kepandaiannya siapa lagi yang harus menjadi lawan, Houw-ko. Kalau tidak tokoh-tokoh seperti mereka itu ya kau sendiri!"

"Hm, aku sudah seperti singa ompong" Peng Houw tertawa pahit. "Kalaupun Boen Siong menyerangku pasti aku kalah, Ceng-moi. Aku... aku telah kehilangan Hok-te Sin-kang yang kumiliki itu!"

"Apa, kau kehilangan Hok-te Sin-kang? Maksudmu kau tak sehebat dulu lagi?" sang isteri terkejut, meloncat dari bangkunya.

"Benar, akan tetapi dengarlah penjelasanku. Bukankah sudah kubilang bahwa sejak aku tak dapat menemukan kalian berdua aku menjadi putus harapan dan tak bergairah hidup lagi. Aku... aku menyerahkan Hok-te Sin-kang itu kepada Po Kwan dan Siao Yen."

"Houw-ko!" Li Ceng tiba-tiba menjerit dan menubruk suaminya ini. Dari sini dapat diketahui betapa terpukul suaminya itu. Karena tak bergairah dan tak bersemangat hidup lagi lalu mengoperkan Hok-te sin-kang kepada orang lain, padahal ilmu itu amatlah hebatnya. Maka ketika ia tersedu-sedu dan menyayangkan serta menyesal bukan main segera wanita ini berkata kenapa suaminya bersikap seperti itu. Menyerahkan Hok-te Sin-kang sama halnya menyerahkan nyawa sendiri!

"Aku sudah tak memikirkan mati hidupku. Kepergian kalian membuat semangat dan jiwaku melayang-layang, Ceng-moi. Aku tahu dosa dan kesalahanku yang besar. Aku tak menyangka bahwa Tuhan masih memberiku kebahagiaan dengan munculnya dirimu di sini. Sedang ilmu itu, hmm... aku percaya kakak beradik itu. Po Kwan dan Siao Yen tidak seperti Beng San."

"Beng San? Siapa lagi dia?"

"Hm, ceritanyapun panjang. Kalau ceritamu sudah habis maka aku akan menceritakan ceritaku."

Li Ceng terisak-isak. la memeluk dan tak malu-malu mencium pipi suaminya ini. Keharuannya begitu besar. Rasa cintanya mengalahkan segala-galanya lagi. Lalu ketika ia melanjutkan sampai akhirnya datang ke Gobi, hari itu akan datang enam orang dari Heng-san dan lain-lain maka ia semburat meminta maaf.

"Aku mendongkol oleh suara Goat Gin Tojin bahwa calon bengcu ada dua, yakni dirimu dan Boen Siong. Dan karena aku bertekad Boen Siong lah yang memimpin orang-orang selatan, dia tak kalah olehmu maka ingin kutunjukkan bahwa jagoku tidak salah. Dengan begitu sekaligus aku dapat membalas sakit hati!"

"Tapi kau akhirnya mengampuni aku. Hm, dalam keadaan seperti ini diriku tiada ubahnya orang biasa, Ceng-moi. Dengan hilangnya Hok-te Sin-kang aku tak memiliki taring lagi. Aku hanya memilik Thai-san-ap-ting dan Cui-pek-po-kian serta Soan-hoan-ciang. Berhadapan dengan Chi Koan pasti aku roboh."

"Jadi karena itu Ji-hwesio tadi hendak melaporku?" sang nyonya teringat.

"Benar, akan tetapi hanya beberapa saja yang tahu keadaan ini. Orang luar, orang lain masih menganggapku sebagai Naga Gurun Gobi, padahal aku sudah tak bertaring."

"Kalau begitu tak tahu diri benar Po Kwan dan Siao Ye ini. Mau saja mereka menerima ilmumu terdahsyat!"

"Hush, jangan salahkan mereka. Mereka tahu setelah terlambat, Ceng-moi. Aku memberikannya secara diam-diam. Pikirku sebelum aku mati biarlah Hok-te sin-kang diwarisi muridku yang tepat. Kalau saja kutahu Boen Siong ada bersamamu..!"

Sang nyonya tersedu akan tetapi Peng Houw merangkul dan menghibur isterinya la berkata bahwa karena bosan hidup ia tak ingin apa-apa lagi. Sebelum ajal datang biarlah ilmu itu diwarisi dua muridnya. Dan ketika Li Ceng teringat betapa ia terpelanting oleh tangkisan Siao Yen, pantas gadis itu begitu hebat maka ia memeluk suaminya ini berbisik sendu,

"Houw-ko, kalau saja kutahu penderitaanmu tak mungkin berlama-lama aku meningalkanmu. Akan tetapi semuanya sudah menjadi bubur, mudah-mudahan saja kakak beradik itu baik-baik atau kelak Boen Siong membunuhnya!"

"Hm, mereka bukan Beng San. Justeru setelah tahu mereka tak pernah meninggalkan aku, Ceng-moi, merekapun takut kalau-kalau Chi Koan datang. Kakak beradik ini benar-benar baik, aku tak kecewa."

"Beng San, Beng San lagi. Siapa bocah ini dan dimana dia sekarang,"

Dia sekarang menjadi murid Chi Koan, dulu muridku."

"Apa?"

"Dengarlah ceritaku." lalu ketika ganti sang suami bercerita maka diceritakanlah oleh Peng Houw mula-mula kedatangan anak itu, dibawa oleh Giok Yang Cinjin lalu menjadi muridnya akan tetapi membelot. Waktu ia keluar mencari anak isteri terjadilah pertemuan Beng San dengan si buta, anak itu akhirnya diambil murid. Dan karena Beng San menginginkan Hok-te Sin-kang dan selama ini tak pernah mendapatkannya maka anak itu coba berguru pada Chi Koan agar mendapatkan Hok-te Sin-kang.

"Begitulah, ia licik dan jahat. Akan tetapi sejak aku kembali dan menjaga di sini maka aku tak tahu dunia luar lagi. Aku acuh."

Sang nyonya terisak. Suaminya berkerut-kerut ketika menceritakan itu dan garis-garis ketuaan tampak membayang jelas. Betapa sengsara dan tertekan batin suaminya ini, Li Ceng terharu. Dan ketika semuanya selesai bercerita maka munculah seorang hwesio memberitahukan bahwa pimpinan mengundang ke ruang tengah. Ada tamu-tamu dari Hoa-san dan Heng-san serta Bu-tong dan See-tong.

"Nah, itu!" Li Ceng tiba-tiba kebingungan. "Celaka sekali mereka datang, Houw-ko, bagaimana kini!"

"Tenanglah, ini semua karena aku. Marilah kita temui mereka dan bicara baik-baik, untuk apa takut."

"Aku tidak takut, akan tetapi bingung!"

"Apa bedanya? Akhirnya khawatir juga, Ceng-moi, akan tetapi harus dihadapi juga. Marilah kita sambut tamu-tamu itu dan aku percaya kepada pilihanmu."

"Maksudmu?"

"Biarlah putera kita menjadi bengcu, kalau mereka kehendaki. Sedang aku sendiri, hmm... Cukup penasihat saja."

Lalu ketika dengan tersenyum Peng Houw bangkit dan menggandeng anak isterinya maka benar saja enam orang itu di situ, Heng-san-paicu dan dua sutenya serta Ko Pek Tojin dan See Cong Cinjin, juga Gu Lai Hwesio. Dan anehnya mereka itu berseri-seri dan serentak berseru,

"Kionghi (selamat), kami semua turut bahagia atas kebahagiaanmu ini, Peng hujin. Lenyaplah sudah kekhawatiran kami bahwa kau mengadu anakmu dengan bapaknya!"

"Dan pinceng juga turut menyatakan suka cita. Aduh, rukun benar kalian kini, hujin. Selamat dan sekali lagi selamat!"

Li Ceng tersipu-sipu karena enam orang itu dipimpin Heng-san-paicu menjura dan membungkuk dalam-dalam. Ia benar-benar likat dan malu bukan main akan tetapi Naga Gurun Gobi tertawa. Sambil membalas dan mengucap terima kasih ia menyatakan selamat datang kepada tamu-tamunya ini. Lalu ketika Ji-hwesio dan Sam-hwesio mempersilakan duduk. Semua berseri maka pimpinan Gobi berkata bahwa ia telah menceritakan itu.

"Pinceng telah melancangi, akan tetapi kebahagiaan ini tak perlu disembunyikan lagi. Bila pinceng salah maafkan pinceng Peng How, orang tua acap kali pikun dan melangkah keliru."

"Ah, susiok tak salah, isteriku baru saja juga bercerita. Dan ia, he-he... ketakutan menghadapi Heng-san-paicu dan lain-lain ini."

"Padahal di Heng-san ia demikian galak dan berani. Ha-ha, pinto tak menyalahkannya, Peng-taihiap. Wanita memang selalu lebih dulu emosinya. Eh, harap Peng-hujin (nyonya Peng) tak pernah bertengkar lagi!"

Para tamu tertawa dan Li Ceng pun merah tersipu. Dialah yang mengundang tokoh-tokoh itu hingga sekarang datang. Kalau datang ya harus disambut. Maka ketika dengan lirih dan malu-malu ia meminta maaf, semua terkekeh maka Heng-san-paicu berseru,

"Sudahlah, kami justeru bergirang hati. Justeru kalau puteramu benar-benar berhadapan dengan ayahnya tak tahulah bagaimana perasaan kami. Kami datang untuk melanjutkan pembicaraan bengcu itu!"

"Mari duduk!" Ji-hwesio mempersilakan tamu-tamunya. "Pembicaraan dapat kita lanjutkan disini cuwi-enghiong (tuan-tuan yang gagah). Pinceng juga bahagia bahwa Peng Houw rukun kembali bersama keluarganya."

Semua orang duduk dan hanya Li Ceng yang masih tersipu. Likat benar berada di tengah orang-orang ini. Akan tetapi ketika pembicaraan beralih pada masalah bengcu dan Gobi menjadi kaget akan sepak terjang di utara, harap diketahui saja bahwa selama ini Gobi tak pernah beranjak keluar maka Ji-hwesio maupun Sam hwesio berubah mendengar Chi Koan telah mengumpulkan kekuatan di utara. Apa yang didengar di See-ouw-pang diceritakan dengan lugas. Peng Houw juga terkejut.

"Kami tak tahu siapa yang harus memimpin ini membendung serangan. Kami hanya melihatmu seorang, Peng-taihiap, akan tetapi setelah puteramu datang dan mengalahkan kami maka terus terang kami mengakui kepandaiannya pula."

"Benar, dan suheng tergores perutnya. Kalau puteramu mau bisa dibunuhnya suhengku ini, taihiap, puteramu benar-benar gagah dan berkepandaian tinggi"

"Dan rendah hati," Ko Pek Tojin mengangguk-angguk. Kami benar-benar takluk luar dalam tapi sekarang terserah kalian, apakah Peng-hujin tetap mengajukan Siong-kongcu memimpin kami."

"Hmm!" Peng Houw telah mendengar itu di kamar, "Untuk masalah ini terserah kalian, cuwi-enghiong, akan tetapi aku pribadi tak tertarik menjadi bengcu. Bahkan seandainya anak isteriku pun belum ketemu tak ingin aku menjadi apa-apa. Paling-paling aku hanya membantu kalian di belakang."

Heng-san-paicu tercengang lalu saling pandang dengan rekan-rekannya. Hanya Ji-hwesio dan Sam-hwesio serta Li Ceng dan Boen Siong yang tahu apa sebabnya, yakni karena tiadanya Hok-te Sin-kang itu. Maka ketika tamu tampak tercengang tapi semua tersenyum maka Heng-san-paicu dan lain-lain menganggap Naga Gurun Gobi ini sengaja memberi kesempatan puteranya.

"Taihiap orang tua yang bijak, kalau begitu kami tak keberatan dipimpin puteramu."

"Nanti dulu!" Boen Siong berseru. "Aku masih muda dan tak berpengalaman, lo-enghiong, mana berani memimpin orang-orang macam kalian. Sebaiknya yang lain saja!"

"Hm, usia muda bukanlah soal. Kalau ayahmu menjadi penasihat bukankah semuanya sama, Siong-kongcu? Usiamu boleh muda tapi kepandaianmu amat tinggi. Kalau kau dapat mengalahkan Chi Koan berarti dirimu setingkat ayahmu. Kau di atas kami!"

"Akan tetapi..." Li Ceng tiba-tiba menginjak kaki puteranya ini. Dengan isyarat mata ibu itu menegur Boen Siong agar tak menolak. Dan ketika pemuda itu bingung dan merasa likat, Ji-hwesio tiba-tiba tertawa mendadak hwesio ini berseru,

"Begini saja, pinceng masih netral. Karena enam rekan ini sudah memuji-mujimu cobalah kau main-main dengan kami. Pinceng tuan rumahnya berhak bicara juga, Boen Siong. Hadapilah suteku nanti pinceng berdua!"

"Wah, cocok. Kamipun sudah mengeroyoknya akan tetapi roboh, ji-losuhu, buktikanlah dan beri penilaianmu nanti!"

"Kalau begitu mari maju! Sam-hwesio meninggalkan kursinya dan tiba-tiba bergerak ke tengah ruangan, Ji-hwesio telah memberinya tanda. "Cobalah pinceng jajal Cui-pek-po-kian dan Thai-san-ap-ting ini, Boen Siong. Pinceng gatal tangan mendengar kehebatanmu!"

Boen Siong serba salah, tiba-tiba memandang ibunya. Kebiasaan ini membuat orang lain geli dan Li Ceng pun tersenyum. Akan tetapi ketika Peng Houw tiba-tiba mengangkat tangan dan berseru perlahan maka ia bertepuk tangan memanggil muridnya. Bayangan kuning dan hijau berkelebat.

"Sam-susiok rasanya tak usah capek-capek. Mundur dan biarkanlah muridku menjajal dan ingin kulihat pula sampai dimana kepandaian puteraku ini!"

Boen Siong salah tingkah. Siao Yen menjura di depan gurunya dan bertanya apa yang hendak diperintahkan, begitu pula Po Kwan. Akan tetapi mendengar betapa mereka disuruh bertanding melawan Boen Siong maka gadis ini tampak terkejut.

"Kami ada pembicaraan penting mengenai bengcu. Daripada Sam-susiok atau Ji-susiok mengeluarkan keringat baiklah kalian berdua mewakilinya. Kau maju dulu, Siao Yen, nanti kakakmu. Kalau masih kalah baru kalian berdua maju bersama!"

Lalu berbisik pada puteranya bahwa menghadapi kakak beradik itu tiada ubahnya menghadapi dirinya sendiri, masing-masing memperoleh setengah Hok-te Sin-kang maka Boen Siong meresa likat dan gugup. Terhadap gadis baju hijau ini ia begitu jengah.

Akan tetapi sang ibu sudah mendorong dan menyuruhnya maju. Terpaksa Boen Siong bangkit berdiri sementara semua mata memandangnya. Boen Siong adalah pemuda lembut yang halus gerak-geriknya, ia tak suka menjadi pusat perhatian. Maka ketika ia tampak begitu gugup sementara Siao Yen juga malu dan jengah maka dua muda-mudi ini hanya saling pandang ditertawakan yang tua-tua.

"Hayo, kalian bergebrak, bukan berpandang-pandangan. Ayahmu menyuruh bertanding bukannya main mata...!"