Kabut Di Telaga See Ouw Jilid 25 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Serial Bu-beng Sian-su Karya Batara

AKAN tetapi hari itu tidak seperti biasanya Heng-san kelihatan ramai. Ada kunjungan tamu-tamu penting di partai persilatan ini. Ko Pek Tojin ketua Hoa-san bertandang bersama dua ketua partai lain dari Bu-tong dan See-tong. Mereka datang bersama wakil dan beberapa murid terpandai, seakan kunjungan biasa akan tetapi sebenarnya membahas gerakan di utara.

Apa yang terjadi dan didengar di See-ouw-pang memasuki telinga ketua partai-partai persilatan terkenal ini. Maka ketika Ko Pek berkunjung diiring Gu Lai Hwesio dan See Cong Cinjin, masing-masing dari Bu-tong dan See-tong-pai maka kedatangan Boen Siong tentu saja menyebar cepat dan menggegerkan.

Namun waktu itu pemuda ini tak tahu bahwa di Heng-san sedang terjadi penyambutan tamu-tamu agung. Kedatangannya ke Heng-san pun sebenarnya atas dorongan sang ibu, bukan keinginan diri sendiri. Maka ketika ia terkejut berhenti di kaki gunung, banyak murid berjaga dan mengawasi penuh curiga ia pun cepat menyembunyikan diri bersama ibunya. Li Cengpun terkejut dan heran melihat perobahan ini.

"Heng San, seperti ada keramaian. Apakah Heng-san berulang tahun, puteraku, rasanya tidak. Akan tetapi seluruh gunung dijaga ketat!"

"Benar, dan lima tosu tadi memandang kita penuh curiga. Kalau begini sulit tidak ketahuan, ibu, aku tak tahu betul jalan-jalan di sini."

"Gampang, malam nanti saja. Kita masuk setelah gelap dan naik saja di pohon yang tinggi itu. Mari!" sang ibu mengejak dan nyonya inipun sudah berjungkir balik ke atas, Boen Siong mengikuti dan amanlah mereka di sini. Lalu ketika pemuda itu memuji ibunya yang cerdik dan pintar, inilah cara tak diketahui orang maka sang ibu tertawa dan menuding.

"Ibumu sudah sering merantau, turun gunung bukan baru pertama kali ini. Lihat, jalanan berkelok itu bagus untukmu, Boen Siong, akan tetapi di atas sana kian banyak penjaganya. Nah, bagaimana siasatmu nanti ataukah kita masuk terang-terangan saja!"

"Jangan, aku tak suka. Karena maksud kita hanya sekedar maln-main tak perlu diketahui banyak orang, ibu. Kalau saja aku sendiri tak sukar ke sana, akan tetapi kau ikut!"

"Tentu saja, jelek-jelek mereka mengenal ibu, masa harus sendiri Boen Siong, kalau ada apa-apa denganmu dapat kujelaskan duduk persoalannya. Kau masih hijau, belum boleh sendirian!"

"Hm, kalau begitu bagaimana menurut ibu, apakah ibu pernah ke sini."

"Aku sudah lupa jalannya, akan tetapi setelah gelap kau dapat membawaku ke atas. Jelek-jelek pasti kuingat juga. Nah, mampukah melewati penjagaan itu yang kian banyak ke atas!"

"Aku sendiri mampu, akan tetapi...!"

"He, mau menyesali ibumu lagi? Kau tak senang berdua?"

"Tidak, bukan begitu. Akan tetapi aku curiga keramaian ini, ibu, apakah tidak sebaiknya kuselidiki dulu. Jangan-jangan waktu kita tidak tepat. Maksudku siapa tahu adanya suatu perkabungan."

"Tak mungkin, tosu-tosu itu tak menunjukkan wajah sedih. Mereka biasa-biasa saja akan tetapi harus diakui mereka melakukan penjagaan ketat, puteraku. Aku menduga adanya tamu penting."

"Tamu?"

"Ya, begitu kira-kira. Atau, hmmm....kau tunggu di Sini!."

Lalu ketika Li-hujin meloncat dan berjungkir balik turun, di bawah tiba-tiba berjalan seorang tosu muda maka nyonya ini menotok dan langsung menyeretnya ke semak- semak belukar. Hanya terdengar suara perlahan ketika tosu muda itu roboh dan tertotok, selanjutnya diam dan terbelalak ketika seorang wanita menawannya.

Tapi ketika ia ditanya keramaian apakah yang ada di situ. menjawab dan menggigil maka Li-hujin memukulnya pingsan dan selanjutnya melempar tosu muda ini ke tempat lain, naik dan berjungkir balik lagi ke atas.

"Benar, ada tamu. Dugaanku cocok, Boen Siong, tiga ketua partai bertandang di puncak. Kebetulan dan malah menyenangkan!" sang nyonya tertawa dan pemuda itupun mengerutkan alisnya.

"Kebetulan? Menyenangkan?"

"Ya, sekali kerja empat lima pekerjaan selesai. Kita tak perlu jauh-jauh dan dapat menguji ilmumu kepada mereka. Ko Pe Tojin dan Gu Lai Hwesio ada di sana, juga See Tong Cinjin ketua See-tong-pai!"

"Ah, ibu suka mengadu aku. Sebenarnya aku pribadi tak suka, kenapa malah gembira!"

"Eh, bodoh! Yang menghendaki begini adalah suhumu, Boen Siong, kau hanya melaksanakan tugas. Ibu kebetulan senang karena siapa tak bangga puteranya menjadi orang terkenal!"

"Tapi malah banyak orang...!"

"Kebetulan, sekali tepuk dua lalat tertangkup. Ayo jangan mengomel dan persiapkan dirimu. Aku telah mengenal ketua Hoa san itu!"

Lalu ketika Boen Siong tak dapat berbuat apa-apa sementara ibunya keliatan genbira maka hari itu mereka menunggu gelap dan jalanan serta tanda-tanda lain dikenali. Pemuda ini akhirnya meloncat turun setelah keadaan dirasa memungkinkan. Ibunya tampak tak sabar sementara pemuda ini berkerut kening. Akan tetapi ketika obor dipasang di sepanjang jalan naik, bagaikan ular benda-benda ini berkelok sampai ke atas maka Li-hujin tertegun dan gemas juga. Boen Siong hampir tertawa.

"Sebaiknya ibu tunggu saja di sini, aku sendirian. Kalau ada apa-apa aku dapat memanggil dan memberitahumu."

"Tidak, aku ingin melihat kau mengalahkan tokoh-tokoh di atas itu. Tanpa mata kepalaku sendiri tak puas rasanya hati ini, puteraku. Ayo naik dan berhati-hati saja. Kita menyelinap di samping obor-obor itu!"

"Baiklah, kalau begitu ibu pegang tanganku dan awas!"

Li-hujin hampir menjerit ketika tiba-tiba puteranya menyendal dan mengangkatnya naik. Bong-eng-sut atau Elang Cahaya benar-benar serasa kilat menyambar dan tahu-tahu mereka tiba di leher gunung. Begitu cepat puteranya melesat ini. Dan ketika selanjutnya bayangan mereka menyambar dan lenyap di samping obor, tak ada anak murid yang tahu maka di puncak barulah pemuda ini melepaskan ibunya karena di pusat keramaian ini tempatnya terang-benderang!

"Celaka, tak ada persembunyian lagi. Rasanya harus terang-terangan, Boen Siong. Tempat ini tiada ubahnya siang hari."

"Ibu di sini saja, aku akan menuju ke gedung itu. Asal kita hati-hati dan tidak gegabah tentu tak akan ketahuan."

"Tidak, bawa aku ke tengah itu. Dari sini masih jauh, puteraku. Sanggupkah membawaku dan aku di genteng sana saja!"

Boen Siong tertegun, melihat ibunya menunjuk gedung paling besar dan memang itulah penerimaan tamu-tamu agung. Di sana duduk empat kakek-kakek gagah dan pemuda inipun ragu. Akan tetapi ketika ibunya mendesak dan apa boleh buat herus dituruti akhirnya ia mengangguk dan berkata,

"Lewat bawah jelas ketahuan. Satu-satunya jalan hanya melemparmu, ibu. Asal kau menjaga keseimbangan ginkang mu dan jangan berisik aku sunggup melontarmu dari sini!"

"Akan tetapi amatlah jauh."

"Tak apa, lontarkan dan kau menyusul. Aku tak sabar dan rasanya tegang sekali!"

Boen Siong memegang ibunya dan tiba-tiba melontar. Hebat tenaga pemuda ini karena seperti melempar kayu kering saja ia membuat ibunya terbang jauh. Mereka berada di atas pohon dan jarak kegedung itu tak kurang dari lima puluh meter. Akan tetapi ketika sang hujin berjungkir balik melayang turun, kagum dan ngeri oleh lontaran puteranya tadi ternyata kakek tinggi kurus dibawah ruangan tiba-tiba berseru keras dan melayang ke atas. Inilah yang membuat Boen Siong terkejut.

"Siapa kurang ajar di atas gedung. Turun!" bersamaan itu tiga kakek yang lain berkelebat dan menyusul pula. Empat bayangan berkelebatan cepat.

Dan Li-hujin tentu saja terkejut. la baru menaruh kakinya ketika serangkum angin menyambar, dahsyat dan membuat ia terpekik dan otomatis menangkis. Namun ketika ia terbanting dan terguling-guling ke bawah, gegerlah tempat itu maka Boen Siong menyambar ibunya dan... wut, lenyap dari empat kakek yang bukan lain ketua-ketua partai itu. Yang pertama adalah Sin Tong Tojin ketua Heng-san!

Semua terkejut dan berseru tertahan. Sin Tong Tojin, kakek berwajah merah dengan alis putihnya tampak berobah. Kakek ini terkejut bukan main ketika seseorang berkelebat dan lenyap, hanya sekilas ia melihat bayangan seorang pemuda. Namun ketika lawan tak kelihatan lagi sementara yang lain berlompatan naik, tempat itu menjadi gaduh maka Gu Lui Hwesio ketua Bu-tong mendentangkan toyanya. Kakek ini juga melihat namun tak begitu jelas.

"Omitohud, masa hantu mengganggu. Siapa yang datang dan bagaimana penglihatanmu, Heng-san-paicu, pinceng (aku) seperti melihat iblis dan tahu-tahu lenyap!"

"Benar, pinto juga begitu. Akan tetapi jerit tadi jelas perempuan, Gu Lai lo-hu, pinto tak mungkin salah!"

"Dan pinto seakan melihat siluman menyambar kemudian hilang. Siancai, ia pasti orang pandai dan bukan iblis!" Ko Pek Tojin ketua Hoa-san terkejut dan meraba pedang. la pun melihat bayangan itu akan tetapi tak tahu siapa. Yang melihat jelas hanyalah tuan rumah.

Sin Tong To-jin memang paling tinggi kepandaiannya. Maka ketika dengan muka merah kakek ini membentak menyuruh murid-muridnya menyebar, terkejut dan mengepalkan tinju maka kakek inilah yang berkata bahwa bayangan itu seorang pemuda.

"Dia pemuda tak lebih dari sembilan belas tahun, wajahnya cakap dan gagah. Akan tetapi pinto tak mengenal dan gerakannya benar-benar luar biasa sekali. Iblis, siapa pemuda ini dan wanita itu!"

Heng-san menjadi ribut dan puncak itupun ramai. Mereka tak tahu bahwa Boen siong sudah di atas pohon bersama ibunya dan diam-diam kagum memuji kakek pertama itu. Tentu saja ia belum mengenal dan ibunya juga baru kali itu melihat Sin Tong Tojin. Ketua Heng-san yang baru ini memang dulunya perantau dan kini baru muncul memimpin partai.

Maka ketika Boen Siong menyesali ibunya kenapa tak mau mendengar kata-katanya, sang ibu terkejut namun sudah menenangkan diri mendadak wanita ini melayang turun dan berseru, Boen Siong kaget sekali.

"Maaf, kami disini. Aku dan puteraku tak berniat mengacau, cuwi-enghiong. Kenekadankulah yang membuat kalian jadi tak nyaman. Boen Siong, turunlah!"

Lalu ketika pemuda ini melayang dan berkelebat di samping ibunya, tentu saja yang lain terkejut dan berkelebatan maka ibu dan anak sudah dikepung. Ko Pek Tojin berseru dan tiba-tiba mengenal wanita itu, menuding.

"He, ini Peng-hujin (nyonya Peng)!"

Akan tetapi Li Ceng cepat menjura dan mengedipkan mata. "Aku sekarang Li hujin dan sebatangkara hanya sekarang berdua dengan puteraku ini. Sekali lagi maafkan kedatangan kami akan tetapi lihai benar lo-enghiong ini. Siapakah dia?"

Li Ceng memberi hormat puda kakek bermuka merah itu dan Ko Pe Tojin yang mengenal baik tokoh-tokoh Kun-lun cepat menjelaskan, lega dan tertawa.

"Dia adalah cucu sekaligus murid mendiang Lui-cu Si Mutiara Geledek, dari Kun-lun. Tentu rekan-rekan tahu dan inilah yang terhormat ketua Heng-san-pangcu, Kedatanganmu benar-benar mengejutkan, hujin, akan tetapi puteramu yang luar biasa ini... ah, kiranya dia yang menyambrmu tadi!"

"Benar, maafkan kami," Li Ceng tersenyum lagi, ia tak disebut-sebut sebagai Peng-hujin. "Kami tak tahu adanya keramaian di sini, totiang, mendapat perintah dari suheng kami Bi Wi Cinjin untuk berkunjung disini. Karena tak tahu dan tak ingin mengganggu kalian maka terpaksa diam-diam kami mengintai, tak tahunya Heng-san-paicu (ketua Heng-san) benar-benar lihai dan hampir saja aku celaka!"

Ketua Heng-san tersenyum dan mengangguk-angguk akan tetapi pandang matanya lekat mengawasi Boen Siong. Pemuda inilah yang dilihatnya tadi dan tentu saja diam-diam ia kagum, juga penasaran. Gerakan pemuda ini seperti cahaya cepatnya dan nyaris tak dapat diikuti matanya. Belum pernah ia menjumpai pemuda seperti ini!

Maka ketika ia tertawa dan merangkapkan tangan, kiranya mereka ini orang-orang Kun-lun maka ia memaafkan nyonya itu sekaligus mengundang masuk, pandang matanya masih lekat kepada Boen Siong.

"Hujin sudah di sini , dan putermu pun begitu hebatnya. Kalau tidak menghaturkan undangan lalu apalagi yang dapat kami lakukan? Mari-mari masuk, hujin, terima kasih untuk perhatian Bi Wi Cinjin dan kebetulan semua sahabat datang berkumpul. Marilah, masih ada kursi dan silakan pemuda ini menemani kami."

Boen Siong serba salah. la kaget dan menggerutu ketika ibunya tiba-tiba malah melompat turun dan menampakkan diri. Wajahnya memerah dipandang ketua Heng san yang tajam bersinar-sinar itu, merasa bersalah dan cepat membungkuk. Dan ketika kakek itu tertawa dan merangkapkan tangan, mendorong dan berkata ramah maka diam-diam ketua Heng-san ini menguji dengan pukulan jarak jauhnya menyerang Boen Siong.

"Tak apa, semua sudah lewat. Pinto sendiri baru kali ini mengenal ibumu, anak muda. Kalau tak ada Ko Pek totiang disini barangkali semua bisa salah paham. Masuklah, pinto terkejut tapi bangga menemui anak muda sepertimu!"

Tadinya Boen Siong tak tahu kalau diuji. la membungkuk di depan ketua Heng-san ini namun tiba-tiba dari kepalan ketua itu menyambar angin pukulan dahsyat. Bajunya sampai berkibar dan hampir ia terjengkang. Maka ketika ia kaget dan mengerahkan sinkangnya, bertahan dan menolak maka Sin Tong Tojin terkejut betapa dari tubuh pemuda itu keluar hawa yang amat kuat bagai tembok!

"Dess!" pukulan kakek ini mental dan Heng-san-paicu berseru tertahan. Ia terdorong dan terhuyung mundur, kalau meneruskan tentu terjengkang! Maka ketika kakek ini kaget bukan main dan membelalakkan matanya, kagum akan tetapi juga penasaran maka Li Ceng berseru sambil tertawa.

"Heng-san-paicu jangan menyerang puteraku dulu, kalau ingin main-main sebaiknya di dalam. Maaf, bolehkah kami masuk atau tetap di sini saja!"

"Siancai, sungguh hebat!" kakek ini mengebutkan lengan bajunya. "Anak muda ini sungguh mengejutkan, hujin, akan tetapi marilah masuk. Pinto mengundang kalian dan biar di dalam main-main saja!" lalu tertawa dan berbisik kepada seorang wakilnya, bergeraklah tuan rumah mengundang ibu dan anak maka Li Ceng berseri-seri sementara Boen Siong mengerutkan kening. la baru tahu bahwa diuji dan diserang.

"Ibu jangan terlampau gembira, sungkan rasanya berada di antara orang-orang ini!"

"Bodoh, justeru inilah kesempatanmu. Kita telah baik-baik bertemu tuan rumah anakku, mereka tokoh-tokoh terkenal dan di sinilalh kau akan belajar banyak. Diamlah dan jangan mengomeli ibu!"

Boen Siong tak berkata apa-apa lagi dan merekapun telah duduk berhadapan dengan tuan rumah. Sebuah meja panjang diletakkan di tengah ruangan dan Heng-San-paicu segera didampingi dua sutenya yang berwajah angker. Sebelah kiri adalah Goat Gin Tojin sedang yang kanan Cam Bong Cinjin. Yang terakhir ini sute pertama gemuk pendek, sorot matanya tajam dan sejak tadi bisik-bisik dengan ketuanya.

Li Ceng sendiri berdampingan dengan Ko Pek Tojin dan puteranya di sebelah, ibu dan anak berhadapan dengan tuan rumah. Lalu ketika Gu Lai Hwesio dan See Cong Cinjin berada di kiri kanan, empat sisi meja penuh orang maka Sin Tong Tojin mengucapkan selamat datang atas kehadiran ibu dan anak ini. Mereka dianggap wakil Kun-lun karena Li-hujin menyebut-nyebut Bi Wi Cinjin ketua Kun-lun.

"Maaf kalau penyambutan kami ada yang kurang. Bahagia hati pinto melihat kalian dari Kun-lun datang berkunjung, hujin, dan karena kebetulan sahabat kami dari Hoa-san dan Bu-tong serta See-tong bertamu pula maka agaknya tak ada jeleknya untuk melanjutkan pembicaraan tadi agar jiwi (kalian berdua) dengar. Di utara konon sedang terjadi pergerakan, naga-naganya hendak menyerang selatan. Tapi karena saudara kami deri Hoa-san yang lebih tahu silakan totiang bicara dan terangkan lagi."

"Siancai, untung anak muda ini bukan musuh," Ko Pek Tojin tertawa dan mengangguk-angguk. "Memang benar bahwa kedatangan kami berkaitan dengan berita itu hujin, dan ditunjang oleh laporan rekan-rekan kami dari Bu-tong dan See-tong maka agaknya kami orang-orang selatan harus waspada. Sudahkah jiwi dengar adanya pertemuan di See-ouw-pang!"

"Tidak! Ada apa dengan itu. Kami sendiri baru turun gunung, totiang, tak tahu apa-apa. Ada apa dengan See-ouw-pang," sang hujin menggeleng.

"Hm, sesuatu yang menggetarkan membuat hati kami was-was. Kabarnya si buta Chi Koan telah diangkat bengcu (pemimpin) oleh orang-orang utara.

"Chi Koan, jahanam itu? Bagus sekali, aku dan puteraku memang mencari-carinya!"

Li-hujin tiba-tiba bangkit dan memotong dan sepasang matanya berapi-api. Boen Siong berkerut melihat ibunya ini dan cepat menginjak kaki. Ia mengingatkan ibunya agar duduk kembali, Ko Pek Tojin belum selesai bercerita. Maka ketika wenita ini sadar dan tersipu-sipu duduk dan cepat minta maaf maka Heng-dan-paicu melihat ketenangan Boen Siong. Pemuda ini begitu kalem namun sorot matanya bersinar-sinar. Nama Chi Koan membuat mata pemuda itu begitu mencorong!

"Maaf, pinto akan melanjutkan," tosu itu mengangguk-angguk, maklum akan kemarahan nyonya itu. "Memang bukan hanya kau yang terkejut melainkan semua di antara kami juga kaget, hujin. Kalau ia tiba-tiba di sana dan menjadi bengcu maka celakalah kedudukan kita. Orang utara bisa dihasut dan memusuhi selatan!"

"Benar, dan ini bisa perang saudara," Gu Lai Hwesio mengangguk dan menyambung. "Si buta itu amat licik dan lihai, hujin, dan kami terus terang khawatir sekali. Itulah sebabnya kami ke sini untuk berbincang dan membuat keseimbangan."

"Apa maksud lo-suhu?"

"Artinya kami hendak mencari seorang bengcu pula dan mengimbangi si buta itu. Tapi sebelum kami selesai maka kaupun datang!"

"Maaf, aku tak bermaksud mengganggu kalian. Kalau di sini sedang mengadakan pembicaraan begitu serius maka akupun gembira, lo-suhu, dan tentang bengcu, aku mengajukan puteraku untuk mewakili selatan!"

"Ibu!" bukan hanya Boen Siong yang terkejut melainkan semua yang hadir juga membelalakkan matanya. Mereka kaget dan heran akan tetapi juga geli. Siapa pemuda ini!

Biarpun telah menunjukkan ilmu meringankan tubuhnya yang hebat akan tetapi belum diketahui kepandaiannya yang lain. Sesungguhnya mereka hendak ke Gobi dan menunjuk pewaris Bu-tek-cin-keng itu. Hanya Naga Gurun Gobi itulah yang tepat menjadi bengcu!

Maka ketika Heng-san-paicu tiba-tiba tértawa dan See Cong Cinjin juga tak dapat menahan geli hatinya, wanita itu begitu bersemangat dan tampak berlebihan maka See Cong Cinjin bangkit berdiri berkata nyaring.

"Hujin terlampau bersemangat, akan tetapi tak berani kami merendahkan. Untuk menjadi bengcu seseorang harus berkepandaian amat tinggi, jauh di atas kami ketua-ketua partai persilatan. Kalau hujin mengajukan putera hujin apakah tidak kasihan kepadanya? Dia masih muda dan belum berpengalaman, lagi pula pilihan kami jatuh kepada Naga Gurun Gobi Peng Houw. Kalau puteramu dapat mengalahkan pendekar itu dan berarti mampu menandingi Chi Koan tentu kami tak keberatan, hanya mungkinkah itu!"

Li Ceng bangkit, berapi-api. Akan tetapi sebelum dia bicara maka Ko Pek To jin mengebutkan lengan bajunya, tertawa sereh. "Harap tenang, tenang dulu. Rekan kami dari See-tong rupanya tak salah akan tetapi Li-hujin juga tidak keliru. Ia membela kita, dan kita harus berterima kasih telah mengajukan puteranya. Namun karena kita belum ada kesepakatan memilih bengcu lebih baik diteruskan dulu pembicaraan ini sampai terdapat kesepakatan bulat!"

"Pinto setuju Naga Gurun Gobi itu. Dia sudah jelas mampu mengatasi Chi Koan, Ko Pek Totiang, tinggal yang bersangkutan dihubungi dan diminta kesediaannya!"

"Omitohud, pinceng juga. Pinceng rasa hanya pemuda itulah yang tepat menjadi bengcu, Ko Pek Tojin. Tanpa meremehkan yang lain pinceng mendukung suara See Cong Cinjin!"

Li Ceng bersinar dan marah sekali mendengar seruan-seruan ini. Ketua Bu-tong dan See-tong telah menyuarakan pendapat mereka dan anehnya Boen Siong mengangguk-angguk. Pemuda itu tak kelihatan marah atau tersinggung. Dan ketika sang ibu melotot dan mendesis marah maka wanita ini bangkit lagi berkata suaranya melengking tajam,

"Gu Lai lo-suhu, dan totiang See Cong Cinjin. Bukan aku tak tahu diri dan hendak memaksakan kehendak akan tetapi apa yang kuajukan tadi semata berdasar pengamatan dan keyakinanku belaka. Boleh saja kalian memilih jago akan tetapi akupun punya jago. Ketahuilah bahwa sesungguhnya puteraku ini akan mengalahkan Naga Gurun Gobi, juga Chi Koan, karena suhunya Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip barangkali telah kalian dengar Nah, aku tetap mengajukan puteraku dan siapa yang ingin mencoba kepandaiannya boleh maju. Sesungguhnya kami melaksanakan tugas menyatukan dunia kang-ouw dan kebetulan kalau ada peristiwa ini. Aku sudah bicara dan kalian boleh membuktikan!"

Terkejutlah semua orang mendengar dan melihat sikap nyonya itu. Wajah yang kemerah-merahan dan pandang mata berapi membuat semua kaget, apalagi dengan disebutnya nama Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip itu, tokoh yang setingkat Ji Leng dan bahkan dedengkot mereka Siang Lam Cinjin dan Siang Kek Cinjin.

Maka ketika sejenak semua berubah dan memandang Boen Siong, tak dinyana bahwa pemuda itu murid kakek sakti itu maka Boen Siong sendiri buru-buru bangkit dan menjura. Sikapnya lembut dan sederhana, rendah hati.

"Maaf kalau ibu sampai menyebut-nyebut mendiang suhu dan bersikap keras. Aku pribadi setuju pilihan bengcu jatuh ke orang yang betul-betul tepat, cuwi-locianpwe, jangan terlampau mendengarkan kata-kata ibu karena akupun ragu menerima kedudukan bengcu. Aku masih muda, belum pengalaman. Harap cuwi-locianpwe tak usah mendengarkan ibu dan teruskanlah bicara.”

"Boen Siong!" sang ibu membentak. "Bukankah suhumu menugaskan kau memimpin dunia kang-ouw? Kenapa kau bicara dan bersikap seperti ini? Kesempatan ini terbuka untukmu, tak perlu tedeng aling-aling lagi dan menyembunyikan diri!"

"Siancai!" Heng-san-paicu kini bangkit berdiri. "Ibumu tampak bersemangat dan menaruh kepercayaan besar sekali kepadamu. Kalau benar kau murid Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip berarti kedudukanmu diatas kami, anak muda. Sudah lama tak ada berita gurumu itu dan tahu-tahu munculah kau sebagai muridnya. Begini saja pinto ada usul, kita mengadakan pertandingan persahabatan dan melihat dulu kepandaianmu. Ibumu tampaknya ingin sekali menunjukkan anaknya dan pinto siap menyuruh sute, kalian berdua main-main sebentar dan ruangan tengah ini rasanya cukup untuk dijadikan arena!"

"Omitohud, pinceng juga begitu. Kalau sang ibu begitu semangat dan menonjolkan puteranya tentu anak muda ini tidak main-main, Heng-san-paicu, dan kita telah melihat ilmu meringankan tubuhnya tadi. Aha, pineeng.juga tertarik!" Gu Lai Hwesio ketua Bu-tong juga menimpali.

"Dan pinto penasaran akan gerakan anak muda ini tadi. Kalau Li-hujin sudah menyodorkan anaknya biarlah kita coba. Sebagai murid Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip tentu tidak memalukan!"

Lengkaplah kakek-kakek itu bicara sementara Ko Pek Tojin mengangguk-angguk. Ketua Hoa-san ini juga penasaran dan ingin sekali melihat kelihaian anak muda ini, Li-hujin begitu percaya besar! Maka ketika ia tertawa dan mengambil minuman mendadak kakek itu berseru bahwa sebaiknya di meja itu dulu pertandingan dimulai.

"Rasanya tak perlu terlalu keras. Barangkali di sini saja kita dapat mengukur kepandaian, See Cong Totiang. Bagaimana kalau masing-masing memenuhi arak tapi tak boleh tumpah. Siapa paling tinggi dialah pemenangnya, baru setelah itu bertanding ilmu silat!"

"Ha-ha, cocok. Kita memang belum tahu sampai di mana tenaga anak muda ini. Kalau celaka dan ada apa-apa tentu tak enak terhadap Li-hujin. Eh, permainan arak selamanya menyenangkan, Heng-san-paicu, barangkali bisa suruh muridmu mengambil lagi!"

Gu Lai Hwesio berseri-seri dan ia pun memandang ketua Heng-san meminta tambah. Saat itu di meja ada delapan cawan di mana masing-masing tinggal separoh. Memenuhi cawan berarti harus menambah minun. Maka ketika tuan rumah mengangguk dan bertepuk tangan, menyuruh murid membawa seguci raksasa minuman ini maka dua murid menggotong arak baru setinggi sekitar satu meter. Benar-benar guci raksasa!

"Ha-ha siapa bisa menghabiskan ini. Kalau aku tukang minum tentu perutku pecah!" Ko Pek Tojin terkekeh.

"Akan tetapi seperempat dapat kuminum habis," Heng-san-paicu tiba-tiba berkata. "Kalau anak muda inipun mampu mengimbangi aku maka iapun hebat, Ko Pek Totiang, tanpa bertempurpun rasanya kalah!"

"Wah, seperempat guci raksasa ini Pinceng tak sanggup, isinya bisa seratus gelas!"

"Dan pinto juga berat, akan tetapi kalauHeng-san-paicu dapat melakukannya berarti anak muda ini harus lebih lagi.”

“Wah, ini permainan mengasyikkan!"

See Cong Cinjin tertawa-tawa dan suasanapun tiba-tiba gembira. Semua mengangguk-angguk dan menantang Boen Siong, sementara pemuda itu mengerutkan kening. Ia bukan peminum, apalagi ahlinya! Akan tetapi ketika ibunya berbisik bahwa ia tak boleh membuat malu, sang ibu terlanjur mengangkat dirinya maka pemuda ini menggerutu kenapa ibunya terlalu berani.

"Kau memang kelewatan, dan aku menjadi korban. Masa setengah guci harus kuhabiskan, ibu. Seorang raksasapun bisa pecah!"

"Tak usah berpura-pura, ibumu lebih tahu. Kalau tak ingin ibumu malu terima dan majulah, anakku, jangan membuatku gemas. Kau bahkan dapat menghabiskan semuanya!"

Bisik dan kata-kata ini didengar ketua Heng-san dan diam-diam kakek itu terkejut. Pemuda ini dapat menghabiskan seluruh guci? Gila, luar biasa kalau begitu! Akan tetapi karena belum dibuktikan dan dua murid itu diminta memenuhi cawan, Cam Bong Cinjin tiba-tiba bergerak dan menuangkannya dengan sebelah tangan maka semua meleletkan lidah betapa dengan mudahnya tosu gemuk pendek ini bekerja dan memenuhi cawan.

"Silakan!" katanya. "Mungkin pinto memelopori dan jangan ditertawakan kalau tumpah" berkata begini tosu itu menambah dan menambah cawannya dengan sebelah yang lain memegang dan menahan. Arak terus dituangkan sampai akhirnya berhenti, anehnya tak ada yang tumpah dan tangan kiri tosu ini mengigil hebat.

la membuat arak dua senti di atas bibir cawan, tentu saja mengerahkan lweekang (tenaga dalam) dan tangan kiri itulah yang bekerja. Dan ketika arak terus bergerak-gerak tanpa tak ada yang tumpah, inilah demonstrasi tenaga dalam maka Ko Pek Tojin dan Gu Lai Hwesio tertawa bergelak, juga See Cong Cinjin ketua See-tong-pai.

"Hm... Cam Bong Totiang sudah mulai unjuk gigi, biarlah pinto ikut-ikutan dan dua senti rasanya sanggup!"

"Dan pinceng menambahnya sedikit. Ha-ha, asal tidak tumpah dan mengotori baju biarlah pinceng menandingimu, totiang, tapi maaf kalau muncrat dan jatuh!" hwesio itu sudah menggetarkan tangannya dan dengan cawan di telapak kiri ia menuang arak dengan tangan kanan.

Ketua Bu-tong ini melakukan hal yang sama dengan Cam Bong Cinjin dan terus mengisi sampai hampir tiga senti. Lalu ketika di sini ia berhenti dan terkekeh-kekeh, See Cong juga menyambar dan mengisi cawannya melebihi bibir atas maka empat orang itu sudah susul-menyusul dan akhirnya Cam Bong berseru keras dan menambah tenaganya hingga arak lebih tiga senti di bibir cawan, lebih tinggi dari Gu Lai Hwesio dan lain-lain!

"Ha ha, ayo anak muda itu, juga Heng san-paicu. Mari siapa lebih tinggi tapi pinceng rasanya mentok di Sini!"

Gu Lai Hwesio terbahak-bahak dan memang telah puncak. la menandingi Cam Bong Cinjin akan tetapi tosu itu menambah lagi, akhirnya berada lima senti di atas cawan dan arakpun mendidih. Empat orang ini telah mengerahkan lweekang mereka dan masing-masing mulai merah. Pengerahan tenaga membuat muka mereka tegang.

Lalu ketika Heng-san-paicu tersenyum dan menepuk permukaan meja, cawannya mencelat dan diterima telapak tangan maka kakek itu menuangkan arak dan sebentar kemudian sudah sepuluh senti. Cawan yang ditepukpun tak tumpah apalagi pecah!

"Pinto mengikuti main-main ini. Biarlah ikut meramaikan suasana dan maaf kalau dianggap seperti anak kecil!"

Semua terbelalak dan kagum dan Gu Lai Hwesio maupun Ko Pek Tojin memuji. Kalau mereka menyambar dan mengangkat baik-baik cawan di atas meja adalah ketua Heng-san ini menepuk dan menangkapnya di udara. Tepukan itu saja sudah dapat dapat memuncratkan arak akan tetapi buktinya tak ada yang tumpah. Dari sini saja dapat diukur bahwa kepandaian kakek ini memang hebat, dan ia memang paling hebat di antara semua yang hadir.

Dan ketika kakek itu tersenyum-senyum memandang Boen Siong, satu persatu telah menunjukkan kepandaian maka pemuda ini ragu-ragu dan tampaknya enggan.

"Ayo, maju dan lakukan seperti mereka. Jangan membuat ibumu malu, Boen Siong, tunjukkan bahwa kau murid suhumu yang lihai!"

Pemuda ini menarik napas, sedikit memerah. Kalau saja keadaan tak mendesaknya dan tuan rumah serta yang lain seakan mengejeknya barangkali iapun tertawa masam dan tak meladeni. Akan tetapi tantangan itu dan pandang mata ketua Heng-San membuatnya panas.

Kakek ini tiba-tiba melontarkan cawannya dan arakpun tak tumpah, dua tiga kali dan terkekeh-kekeh. Dan ketika semua kagum dan memuji kakek itu, memang kakek ini hebat sekali akhirnya Boen Siong menepuknya dan cawan itupun mencelat ke atas, jatuh dan melayang dengan tengkurap!

Akan tetapi hebatnya arak di dalam cawan itu tak tumpah. Boen Siong telah mengerahkan sinkangnya (tenaga sakti) hingga arak tahu-tahu membeku. Arak ini telah menjadi es dan karena itu menempel atau melekat di tempatnya. Maka ketika ia jatuh dan meluncur ke bawah, semua terkejut dan berseru keras maka pemuda ini menerima tenang lalu memegang guci dan menuangkannya secara terbalik pula.

Akan tetapi arak di dalam guci membeku! Boen Siong pura-pura mengguncang-guncangnya dan mengeluh. Diketuk-ketuknya guci itu tapi tak juga keluar isinya. Arak benar-benar telah membatu! Akan tetapi ketika pemuda ini meniup dan menghentakkannya ke atas meja mendadak arakpun muncrat dan pemuda ini cepat menerimanya dengan cawan di tangan, mengisi sampai penuh!

"Maaf, arakmu terlalu lama. Berat juga menuangkannya, Heng-san-paicu, akan tetapi syukur sudah keluar. Ah, maaf kalau ketinggian!"

Li Ceng terkekeh-kekeh sementara semua ketua persilatan berubah dan pucat mukanya. Mereka melihat betapa pemuda itu mengisi cawannya dengan cara yang aneh, memuncratkan dulu arak di guci lalu menangkap dan menerimanya di cawan. Dan ketika semua tersedot masuk ke cawan dan guci diletakkan dan akhirnya arak lima belas senti di bibir cawan maka kehebatan ketua Heng-san tertandingi dan kalah lihai!

Heng-san-paicu tertegun dan putih mukanya. Wajahnya yang merah menjadi pucat karena pemuda itu melampauinya. la jelas kalah. Akan tetapi penasaran dan meletakkan cawan di meja tiba-tiba ia berseru siapakah yang dapat mengangkat cawannya.

"Pinto telah melihat kehebatan pemuda ini, akan tetapi siapakah yang mampu menggeser atau mengangkat cawan pinto!"

Gu Lai Hwesio terbelelak. Jelas kakek ini menantang Boen Siong akan tetapi karena ia yang paling dekat maka iapun tertantang dan membentak. Sekali mengulurkan tangan yang lain iapun mengangkat dan menggeser cawan itu. Akan tetapi ketika tak mau dipindah dan seakan terpantek, telapak kakek itu di bawah meja maka dari sinilah Heng-san paicu menahan dan 'memaku' cawannya. Ketua Bu-tong gagal!

"Omitohud, pinceng menyerah. Heng-san-paicu benar-benar hebat dan pinceng tak mampu!"

"Coba pinto!" See Cong berseru dan hampir berbareng dengan Ko Pek Tojin. "Kalau pinto juga tak kuat berarti tenagaku lemah, Heng-san-paicu. Biar kucoba dan berhati-heatilah!"

Akan tetapi ketua ini berbisik agar lawan mundur, dua orang itu siap mengerahkan tenaga dan kakek ini bakal repot. Paling tidak ia nanti lelah. Maka ketika Ko Pek maupun See Cong pura-pura kalah, mundur dan mengusap keringat maka pemuda inilah yang dipaksa maju. Dan begitu Boen Siong tersenyum seraya mengetuk permukaan meja tiba-tiba sinkang yang dikerahkan Heng-san-paicu terpukul berantakan.

"Maafkan aku yang muda. Main-main ini kian menarik, Sin-lo lo-enghiong, biarlah kuangkat dan kupindahkan ke sudut..tak!!" kakek itu merasa kaget bukan main ketika cengkeramannya di bawah terlepas dan panas. Ketukan jari pemuda itu membuatnya berjengit dan otomatis cawanpun lolos, dengan mudah Boen Siong mengangkat dan memindahkannya ke sudut, ke tempat ibunya. Lalu ketika kakek itu benar-benar pucat dan terhenyak, terpaku dan sejenak tak mampu bicara maka Li Ceng terkekeh-kekeh anaknya mampu bekerja begitu mudah.

"Hi-hik, Sin-lo-enghiong rupanya tak bersungguh-sungguh. Kau mengalah dan memberi muka kepada puteraku, lo-enghiong (orang tua gagah), terima kasih!"

Wajah kakek ini merah padam setelah sadar dan hilang kagetnya. Kini ia tak ragu-ragu menganggap pemuda itu lawan berat akan tetapi tentu saja masih penasaran. Ginkang dan sinkang pemuda itu telah dilihatnya, akan tetapi kepandaian silatnya belum! Maka ketika ia bertepuk dan memandang sutenya, Cam Bong cepat tanggap maka tosu pendek gemuk inilah yang bangkit berdiri. Pandang mataketuanya cukup membuat ia maklum apa yang telah terjadi, dan apa pula yang harus dikerjakan.

"Suheng minta aku main-main denganmu! Mari dan ke sinilah, anak muda. Biar kulapangkan tempat ini agar lega!" meja kursi ditendang dan tak lama kemudian terdapatlah ruangan luas untuk bertanding.

Anak murid riuh dan kagum akan tetapi yang paling girang tentu saja Li Ceng, wanita ini begitu gembira puteranya menunjukkan kelihaian. Memang itulah yang dicari. Maka ketika ia tertawa dan mendorong puteranya menuju arena, tuan rumah telah menantang maka Heng-ssn-paicu diam-diam tergetar dan mulai ngeri menghadapi anak muda ini. Ia kalah kuat!

Akan tetapi kakek ini tak mau begitu saja. la ingin menyaksikan kepandaian pemuda ini dan biarlah sutenya mencoba. Sekarang sutenya sudah menunggu. Dan ketika Ko Pek Tojin dan lain-lain bertepuk tangan, menjadi gembira maka kakek itu berseru agar Boen Siong tak usah sungkan-sungkan.

"Kita adalah orang-orang sendiri, Semua teman. Maju dan hadapilah lawanmu anak muda, nanti pinto menjajal dan ingin berkenalan pula!"

"Benar pinceng juga gatal tangan. Kalau kau menang pinceng juga ingin main-main, anak muda. Biar kulihat kepandaian pewaris Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip."

Boen Siong tak mungkin mundur. Ia menghela napas dan agak malu-malu meninggalkan kursinya. la telah menaruh pula cawan araknya. Dan ketika ia melangkah dan menghadapi tosu gemuk pendek itu, menjura dan bersikap hormat maka tak terlihat kesombongan atau kejumawaan sedikitpun, hal yang membuat Ko Pek Tojin dan lain-lain kagum.

"Aku terpaksa karena dorongan ibuku. Aku juga serba salah kalau sudah begini Cam lo-enghiong, maju kena mundur kena. Maaf harap kau tidak terlalu keras dan bersikaplah lunak sedikit."

"Kau rendah hati, akan tetapi kepandaianmu tinggi. Karena kita sudah berhadapan dan kabarnya gurumu seorang ahli golok keluarkanlah senjatamu, anak muda. Aku juga akan bermain pedang dan jangan sungkan-sungkan!"

"Maaf, sebaiknya bertangan kosong saja. Aku tak berani mengeluarkan senjata, Cam-lo-enghiong. Sebaiknya kita saling serang dan merobek baju lawan. Siapa terenggut dialah kalah, setuju?"

"Baik, tosu ini berseru. "Akan tetapi senjata boleh sewaktu-waktu dikeluarkan, anak muda. Kalau terdesak cabutlah itu, Awas!" lalu tidak menunggu tanya jawab lagi segera tosu ini menyerang dan mencengkeram Boen Siong.

la menyambar leher pemuda itu akan tetapi tangan yang lain siap bergerak, kalau ditangkis atau terpental maka inilah utamanya, jari-jari itu sudah menegang dan berkerotok, kaku bagai baja! Akan tetapi ketika Boen Siong berkelit dan mundur ke samping, dikejar dan diserang lagi maka tujuh kali pemuda ini mengelak dan semua serangan luput.

"Awas!" Cam Bong menjadi gemas dan marah, tiba-tiba berkelebat. "Jangan mengelak saja, anak muda, hati-hati!" lalu ketika ia beterbangan dan mengerahkan Sin-sian-hoan-eng (Dewa Menukar Bayangan) maka tubuh gemuk pendek itu mendadak sudah berputaran dan kedua tangannya bergerak amat cepat melepas pukulan-pukulan panas. Lui-yang Sin-kang!

Li Ceng terkejut dan berseru pada puteranya untuk menangkis. Boen Siong memang tak mungkin mengelak saja dan mulailah pemuda ini menangkis. Ia mengerahkan sinkang di kedua tangannya, menampar atau menghalau dan terkejutlah tosu itu betapa tulang jari-jarinya seakan pecah. Dan ketika pemuda itu berkelebatan pula dan munculah Bong-eng-sut ini, Elang Cahaya maka Cam Bong Cinjin menjadi kaget karena pening. Gerakannya kalah cepat dan malah pemuda itu yang menyambar-nyambar!

Terjadilah pertandingan menarik yang membuat anak murid bertepuk tangan. Mereka riuh dan gaduh akan tetapi kemudian hening. Pemuda yang semula didesak dan mundur-mundur itu sekarang berobah, pimpinan mereka yang terdesak dan mundur-mundur. Dan ketika mereka tak dapat lagi mengikuti bayangan pemuda itu yang demikian cepatnya, Sin Tong Tojin juga pening dan kaget di luar pertandingan maka sutenya apalagi dan mengeluh untuk kemudian roboh. Satu tamparan ringan mengenai pundaknya dan tosu pendek gemuk itu terjengkang!

"Plak!" Keadaan benar-benar mengejutkan dan tersiraplah darah semua orang. Mereka tertegun melihat tosu itu roboh akan tetapi Goat Gin Tojin tiba-tiba berkelebat. Dia inilah yang menolong Cam Bong Cin jin dan sang suheng mengeluh kesakitan. Pundaknya seakan retak-retak! Akan tetapi ketika semua lega dan tosu itu tertatih-tatih, membungkuk dan menghormat ketuanya maka gemparlah murid-murid Heng-san karena begitu cepatnya wakil pimpinan mereka roboh!

Yang pucat bukan hanya Heng-san-paicu. Gu Lai Hwesio dan See Cong Cin-jin dan Ko Pek Tojin juga berubah. Mereka tahu betul kelihaian tokoh kedua partai persilatan ini, bahwa kepandaian tosu itu hampir berimbang dengan mereka. Maka ketika tiba-tiba semua tak bergerak dan saling pandang, cepatnya pertandingan itu membuat mereka tertegun.

Maka Li Ceng tertawa menyambar puteranya. Wanita ini girang bukan main dan amat senang. "Lihat, tidak pantaskah puteraku menjadi bengcu. Berani bertaruh bahwa siapapun tak ada yang mengalahkannya, Sin-lo-enghiong, keroyok dan maju berbareng saja buktikan kata-kataku. Ketahuilah bahwa suhunya sendiri tak mampu mengalahkannya lagi!"

Sin Tong Tojin terkejut sementara Boen Siong membentak ibunya jangan bersombong. Dalam kegembiraan dan kegirangannya ibu ini lupa diri, sikap dan kata-katanya memang berkesan sombong. Akan tetapi karena semua itu didorong rasa kegembiraannya, juga pelampias ketidakpercayaan orang-orang tadi maka seruan atau kata-kata wanita ini membuat Ko Pek Tojin dan lain-lainnya merah. Untunglah Boen Siong tak sombong diri dan pemuda itu tetap merendah, ia menjura dan meminta maaf pada lawannya tadi.

Lalu ketika Heng-san-paicu terhenyak dan membelalakkan matanya, berubah maka pemuda itu berjalan dan sudah membungkuk di depannya.

"Maafkan aku, juga ibuku. Tak ada maksudku untuk menjadi bengcu atau segalanya itu, paicu. Tanpa inipun tetap saja aku ingin menghadapi musuh-musuh besarku, terutama Chi Koan. Kalau semua ini tak menyenangkan hatimu biarlah kami pergi, ibu semakin lupa diri nanti."

"Hm, tetap sajalah di sini!" Kakek itu bergerak dan mengulapkan lengannya. "Kau dan ibumu adalah tamu-tamu undangan kami, Siong-kongcu. Kalau ibumu begitu lantang suaranya tidaklah salah, kau memang hebat. Orang tua mana tak kagum anaknya begini lihai!" lalu memandang Ko Pek Tojin dan lain-lain kakek ini mempersilakan. "Kami dari Heng-san telah mendapat pelajaran, kalau jiwi-totiang ingin bertanding dengan anak muda ini silakan. Nanti giliran kami lagi."

Gu wi Hwesio dan See Cong Cinjin tampak kebingungan. Mereka saling pandang dan tiba-tiba seakan menyuruh yang lain maju dulu, hal ini menggelikan dan membuat para tosu tertawa. Akan tetapi ketika Li Ceng melompat dan menjura berseri-seri ternyata nyonya ini menantangkan puteranya. Boen Siong lagi-lagi terkejut, juga tak senang.

"Jiwi tak usah takut-takut, aku tahu betul kelihaian puteraku ini. Kalau jiwi tidak keberatan silakan maju berbareng saja. Tidak merendahkan, akan tetapi aku ingin membuktikan bahwa puteraku pantas menjadi bengcu!"

Boen Siong membentak ibunya dan sekali lagi wajah pemuda ini merah. Ia seakan ditawar-tawarkan dan sengaja diadu. Ia seperti jengkerik jagoan! Akan tetapi ketika ibunya tertawa dan mundur tak menghiraukan, kata-katanya telah membakar dua ketua itu maka Gu Lai maupun See Cong Cinjin bergerak ke depan. Hwesio ini mengetrukkan tongkat dan merah padam.

"Omitohud, pinceng benar-benar menerima getah. Gara-gara tak mempercayai puteramu sekarang kau menantang kami, Li-hujin, baiklah akan tetapi terserah See Cong Cinjin. Kupikir ia tak takut dan tak perlu takut, ha-ha!"

Ketua See-tong-pai itu berkelebat dan mencabut tongkat pendek. Ia digelitik rekannya ini dan mau tak mau harus maju Juga. Tidak maju dianggap takut! Maka ketika apa boleh buat ia tertawa masam dan menghadapi ketua Heng-san-pai, tuan rumah adalah saksinya maka ia berkata melindungi diri.

"Dua ketua diminta mengeroyok pemuda ini. Kalau tak melihat sutemu roboh demikian cepat rasanya tak sanggup pinto maju, Heng-san-paicu, akan tetapi anak muda ini hebat dan ibunya menantang kami. Siancai, semoga tak dipersalahkan dan kalau ada apa- apa harap kami jangan diolok-olok!"

"Kami tahu, semua ini kehendak pihak Li hujin. Karena Siong-sicu benar-benar lihai dan suteku roboh dalam beberapa gebrakan saja rasanya pantas ia menerima kalian berdua, See Cong Cinjin. Kalau kalian masih tak sanggup barangkali dapat ditambah Ko Pek Totiang dan pinto sendiri. Ha-ha, dan kita empat tua bangka diberi pelajaran seorang pemuda. Aih, kalau ia benar-benar dapat merobohkan kami Sungguh Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip gagah perkasa. Omitohud, pinceng tak perlu malu lagi!"

Sin Tong Tojin mengangguk-angguk dan ketua ini memberi tanda. la melirik Ko Pek Tojin dan rekannya dari Hoa-san itu menghela napas. Kalau benar dua orang itu kalah agaknya tak perlu lagi merasa sungkan, mereka berempat akan mengukur habis-habisan. Dan karena ini berkaitan dengan bengcu dan timbullah ketegangan di hati kakek ini maka Ko Pek Tojin mengangguk dan membalas isyarat tuan rumah tadi.

"Pinto tak perlu malu lagi kalau Bu-tong-paicu dan See-tong-paicu roboh. Tapi kalau bertigapun masih kalah kuat agaknya kaupun perlu maju, Totiang, lalu kita adu anak ini dengan Naga Gurun Gobi Peng Houw!"

"Ya, pinto juga berpikir begitu. Akan tetapi marilah kita lihat pertandingan ini apakah dua rekan kita masih juga tak mampu!"

Dua orang ini memandang ke tengah arena karena saat itu See Cong Cinjin dan ketua Bu-tong sudah berhadap-hadapan Gu Lai Hwesio mengeluarkan toyanya dan toya inilah yang dimain-mainkan, menderu dan menunjukkan tenaganya yang hebat, akan tetapi Boen Siong tenang-tenang saja. Diam-diam pemuda ini melirik dan menegur ibunya akan tetapi sang ibu tertawa-tawa.

Memang wanita itu gembira sekali puteranya diuji. Sekaranglah semua orang akan terbuka. Dia tak akin memicingkan matanya lagi dan inilah jagonya. Ia tak sabar menunggu gebrakan itu. Maka ketika puteranya melirik dan kelihatan canggung, baru kali ini Boen Siong menghadapi ketua partai maka ibu itu berseru, nyaring.

"Tak usah sungkan lagi. Kau turun gunung memang untuk ini, anakku. Ingatlah pesan gurumu sebelum meninggal. Hadapi dan jangan lihat ibumu karena lawanmu adalah mereka!"

See Cong Cinjin tertawa dan tosu ini mengetuk-ngetukkan tongkat pendeknya. la seorang ahli tung-hoat (silat tongkat) dan inilah andalannya, bersama Gu Lai Hwesio yang bersenjatakan toya tentu ramai. Mereka dapat berpasangan serasi. Maka ketika ia berseru agar anak muda itu siap, sang ibu benar maka tongkat tiba-tiba menyambar diiring loncatan kaki menendang pemuda itu.

"Benar, tak perlu ragu lagi. Cabut senjatamu dan hadapi kami, anak muda. Awas tongkat dan hati-hati!"

Boen Siong mengelak dan bergerak kekiri ketika serangan itu berlangsung cepat. la menghindar dan menunggu karena saat itu Gu Lai Hwesio tertawa, kakek ini berkelebat dan toyapun tiba-tiba menderu mencegat di belakang. Nyata dua orang itu sudah bekerja sama baik. Dan ketika ia menangkis dan menghalau toya itu, terdengar suara nyaring seakan lengan pemuda ini sebatang logam maka Gu Lai Hwesio terpental dan hwesio itu kaget karena toyanya mengeluarkan bunga api.

"Tranggg!"

Bukan hanya hwesio ini yang kaget melainkan Heng-san-paicu dan Ko Pek Tojin ikut terkejut. Boen Siong mengerahkan sinkangnya dan lengannya tiba-tiba sekeras baja. Lengan itu mampu menangkis toya dan berpijar. Lalu ketika See Tong Cinjin mengejar dan menyerang lagi, berkelebatlah dua oreng itu mengadu cepat maka Bu-tong-paicu maupun See-tong-paicu seakan berlomba. Boen Siong masih mempergunakan kedua kaki tangannya.

"Plak-desss!" See Cong Cinjin kali ini tergetar dan kakek itu terhuyung. tongkat diterima telapak pemuda itu dan bukan main kuatnya, ia hampir terpelanting! Dan ketika kakek ini berhati-hati dan berseru keras, terbang dan memutari pemuda itu maka Gu Lai Hwesio beradu cepat dan tak mau kalah.

Akan tetapi Boen Siong mempergunakan Bong-eng-sutnya yang luar biasa itu. Sekali pemuda ini berkelebat lenyaplah dia. Dua lawannya terkejut memekik keras karena bayangan pemuda itu menyambar-nyambar. Lalu ketika tongkat dan toya dihalau sepasang tangan yang kuat, ditangkis atau ditampar bila menyerang maka dua ketua ini tak mampu mengikuti bayangan Boen Siong saking cepatnya pemuda itu bergerak.

"Plak-plak!" Boen Siong menepuk atau memukul perlahan toya di tangan Gu Lai Hwesio. Kakek itu terdorong dan terhuyung akan tetapi sudah maju lagi. Hwe-sio ini penasaran. Dan ketika ia membentak dan menyerang marah, rekannya juga penasaran dan kaget sekali maka Boen Siong tersenyum berkelebatan dan tiba-tiba tak ingin merobohkan lawan cepat-cepat. Tiba-tiba ia sadar bahwa dua kakek ini adalah ketua-ketua partai terhormat.

Sesungguhnya dengan Bong-eng-sutnya itu ia melihat betapa lambannya dua kakek-kakek ini. Memang Boen Siong sudah menyamai tingkat gurunya, bahkan sudah lebih tinggi lagi sejak sinkang gurunya dimasukkan. Maka ketika ia menyambar-nyambar dan begitu mudahnya mengelak atau menangkis, tenagapun diatur agar tak terlalu keras maka pertandingan tampaknya berjalan ramai akan tetapi bagi yang berkepandaian tinggi tidaklah dapat dibohongi. Heng-san-paicu dapat melihat itu!

Kakek ini terkejut dan diam-diam berdebar. Sekarang ia yakin betapa pemuda itu benar-benar hebat sekali. Kalau Ia mau dapat dirobohkannya See Cong Cin-jin dan Gu Lai Hwesio. Akan tetapi ketika ia mengangguk-angguk dan merasa kagum, delapan kali ia melihat Bu-tong-Paicu maupun See-tong-paicu terhuyung dan meringis maka maklumlah tosu ini bahwa pemuda itu bersikap ringan hati. Dan ia mulai simpatik!

Memang Boen Siong tak ingin menjatuhkan lawan terlalu cepat. Di hadapan demikian banyak orang dan ditonton terlalu banyak mata ia harus menjaga perasaan kakek-kakek itu. Betapapun mereka adalah tokoh-tokoh persilatan terkenal. Maka ketika ia hanya berputaran dan terbang mengelilingi saja, membuat pening dan sekali dua menampar maka Gu Lai Hwesio maupun See Cong Cinjin akhirnya merasa bahwa pemuda itu tidak bersungguh-sungguh.

Dua orang ini maklum bahwa kalau mau sudah sejak tadi pemuda itu merobohlan mereks. Wajah yang merah karena penasaran mulai berubah, mereka kagum dan menaruh hormat. Lalu ketika tiba-tiba tongkat dan toya bertemu berbenturan, Boen Siong sengaja membuat itu maka dua orang ini tiba-tiba melompat mundur dan berseru kalah.

"Omitohud, cukup. Pinceng harus tahu diri dan mengaku kalah. Kau hebat, anak muda. Pinceng tak mampu menandingimu!"

"Benar pintopun harus tahu diri. Berkali-kali kau mengampuni kami, anak muda. Pinto tak mau mengangkat senjata lagi dan mengaku kalah!"

Ributlah anak-anak murid melihat dua ketua itu berlompatan dan mengusap keringat. Mereka masih melihat pertandingan yang seru dan menarik, kini tiba-tiba dua orang itu mengangkat tangan dan menyerah. Maka ketika Semua penasaran dan merasá sayang, hanya Heng-san-paicu dan beberapa saja yang tahu betul maka Boen Siong berhenti bergerak dan menjura di depan dua kakek-kakek ini. Wajahnya sama sekali tak berkeringat dan masih segar.

"Maaf, jiwi bermurah hati kepadaku. Betapapun kalian hebat, lo-enghiong, aku dibuat sibuk. Terima kasih atas kehormatan ini dan ilmu kepandaian kalian tak boleh dibuat main-main!"

"Siancai, ini baru menarik. Kau berkepandaian tinggi akan tetapi begini rendah hati, Siong-kongcu. Pinto benar-benar kagum dan menghargai sikapmu. Bagaimana kalau sekarang pinto berdua Ko Pek To-jin!"

Tong Tojin tak ragu-ragu lagi dan berkelebatlah kakek ini di depan pemuda itu. Boen Siong telah mengalahkan lawan-lawannya dan tentu saja ia kagum sekali. Jarang didapat pemuda yang begini rendah hati sementara ilmunya demikian tinggi. Maka ketika ia bergerak dan sudah memberi tanda Ko Pek Tojin, ketua Ho-san ini melompat dan mencabut pedangnya maka kakek itupun mengangguk-angguk dan berseru.

"Pinto juga merasa kerdil dan tak berarti. Akan tetapi kalau Heng-san-paicu mengajakku rasanya berani juga hati ini, anak muda, entahlalh kalau kau takut!"

"Semua maju berbareng saja!" Li Ceng tiba-tiba berkelebat dan memegang lengan puteranya. "Empat orangpun tak perlu ditakuti puteraku, Heng-san-paicu, bukan sombong akan tetapi aku tahu benar kepandaian puteraku. la hanya tandingan Naga Gurun Gobi Peng Houw!"

Heng-san-paicu dan Ko Pek Tọjin terkejut mengerutkan keningnya. Sesabar-sabar mereka akan tetapi mendidih juga perasaan hati mendengarnya. Boen Siong membentak dan bahkan mendorong ibunya, terpelanting dan tertegun serta menyesal. Lalu ketika pemuda ini menolong dan minta ibunya tak bicara begitu besar, sungguh sombong sekali maka Li Ceng berapi memandang marah puteranya ini. Sang ibu benar-benar ingin menunjukkan seluruh kemampuan puteranya.

"Aku tidak sombong, justeru sebal dan tak suka kepura-puraan ini. Kalau kau mau sesungguhnya sejak tadi kau dapat merobohkan Bu-tong-paicu dan See-tong-paicu, Boen Siong, akan tetapi kau bersandiwara dan mengulur-ulur waktu. Aku tak senang. Aku ingin kau bersungguh-sungguh dan satu-satunya jalan dikeroyok. Semua, biar tahu!"

See Cong Cinjin dan Gu Lai Hwesio kemerah-merahan. Memang harus diakui bahwa pemuda itu menyelamatkan muka mereka. Dengan pertandingan yang lama dan berkesan seru merekapun tak jatuh muka di depan para murid. Dan ketika semua baru tahu dan murid-murid Heng-san terkejut, Gu Lai Hwesio menjura dan merangkapkan tangan maka berkatalah ketua ini terus terang.

"Omitohud, pinceng tak perlu diselamatkan lagi. Memang puteramu hebat dan luar biasa, hujin, kalau ia mau agaknya duapuluh jurus saja pinceng berdua roboh. Omitohud, pinceng mengaku!"

Geger dan ributlah murid-murid Heng- San mendengar ini. Baru mereka tahu bahwa pertandingan tadi kiranya pura-pura seru, sebenarnya kosong dan pemuda itu sengaja menyelamatkan muka kakek-kakek itu. Maka ketika semua kagum akan tetapi Heng-san-paicu membentak dan menyuruh muridnya diam. Semua sirap dan menundukkan kepala maka kakek ini menghadapi Boen Siong menahan marah.

"Ibumu terlampau bersemangat mengajukan dirimu. Kalau kami semua mengeroyokmu beranikah kau menghadapinya, anak muda. Kami sebagai orang-orang gagah rasanya tersinggung dan terhina sekali. Kalau pinto tak melihatmu benar-benar lihai barangkali tak perlu mengeroyok dan satu lawan satu!"

Boen Siong serba salah, menyesalkan ibunya. Akan tetapi karena ia harus menunjukkan kesungguhannya, betapapun ibunya sudah bicara besar maka hati-hati menjawab, kerendahan hati dan sopan santun tetap dijaga.

"Maafkan ibu, juga diriku yang bodoh ini. Kalau kau menyatakan takut tentu saja tak perlu takut, Sin-lo-enghiong, akan tetapi jangan dianggap sebuah kesombongan bila aku menerima tantangan ini. lbu mendesakku, dan kaupun menantangku. Kalau aku roboh dan celaka dalam pertandingan ini anggap saja hukumanku yang kelewat percaya diri. Aku hanya menjalankan tugas dan sekali lagi maaf...!"

Ko Pek Tojin menghela napas dan memuji pemuda ini. Dalam keadaan seperti itu masih juga pemuda ini menjaga perasaan orang, benar-benar mengagumkan. Akan tetapi karena ia pun gemas dan penasaran akan sikap Li-hujin, begitu sombong menjagokan puteranya maka iapun batuk-batuk dan berbisik pada ketua Heng-san-pai itu, dan rekannya inipun tiba-tiba berseri, memandang dua sutenya di samping, bertepuk tangan.

"Kalian ke sinilah bagaimana kalau menggantikan Bu-tong-paicu dan See-tong paicu yang baru bertempur. Jumlah kita tetap empat orang, sute. Yang terhormat Hoa-san-paicu mengajukan usul!"

Goat Gin Tojin dan Cam Bong Cinjin melompat. Tosu pendek gemuk ini telah pulih dan ia bersinar-sinar. Ternyata mereka diminta mewakili Gu Lai Hwesio dan See Cong Cinjin. Akan tetapi sebelum menjawab tiba-tiba Li-hujin melengking kembali, Boen Siong benar- benar kaget.

"Tak usah berempat, berenam pun boleh Heng-san-paicu. Silakan semua maju dan tak usah tukar-menukar!"

"lbu...!"

"Diam, kau harus bersungguh-sungguh. Ibu tak senang kau main-main, Boen Siong, tak pernah kau seperti ini kalau suhumu menguji. Bersungguh-sungguhlah dan keluarkan semua kepandaiannu!"

Heng-san-paicu merah padam. la hampir marah akan tetapi Ko Pek Tojin tiba-tiba tertawa. Ketua Hoa-san ini melihat betapa mendongkolnya sang ibu, kata-kata itu mengejutkannya tetapi juga sekaligus menggirangkan. Pemuda ini ternyata belum mengeluarkan semua kepandaiannya, biarlah diuji habis-habisan dan akan dilihatnya itu. Maka ketika ia tertawa dan mengherankan tuan rumah, maju dan melangkah maka kakek ini menggapai ketua Bu-tong dan See-tong.

"Tunggu apalagi. Kali ini mati hidup kepercayaan kita kepada anak muda ini Gu Lai lo-suhu, marilah dan jangan ragu-ragu. Berenam pun rasanya masih kurang. Ayo, tak mungkin anak muda itu takut dan ibunya sudah begitu percaya!"

Sekagum-kagumnya Gu Lai Hwesio tetap juga ia tertegun. Pemuda ini masih ditambah mereka lagi? Enam mengeroyok satu? Tapi ketika See Cong Cinjin meloncat dan tidak ragu-ragu iapun berkelebat dan membawa toyanya lagi. Rekannya itu sudah menyambut.

"Bagus, kita ditantang dan diminta maju semua. Hanya Chi Koan atau Naga Gurun Gobi berani seperti ini. Pinto tak perlu malu dan jangan disalahkan!"

Hwesio ini melompat dan apa boleh buat terpaksa mengikuti rekannya. Iapun merasa penasaran dan marah kepada wanita itu. Begitu sombongnya menjagokan putera. Maka ketika ia menderu-derukan toya dan minta maaf jangan disalahkan nanti, inilah pertandingan mendebarkan yang amat menentukan maka Boen Siong terbelalak dan mengeluh. Ia dipojokkan dan harus menerima.

"Omitohud, ini benar-benar luar biasa . Kalau pemuda ini dapat mengalahkan kita pantas juga pilihanku berubah, Sin Tong Tojin. Ada dua calon bengcu yang masuk perhitungan!"

"Benar, dan pinto akan mempertimbangkannya pula. Li-hujin demikian bersemangat menjagokan puteranya!"

"Dan pinto langsung mendukung.kalau ia dapat menghadapi' Thi-khi-hiat atau Tit-ci-thian-tungku biarlah Heng-san mengaku kalah!" Sin Tong Tojin menjawab belakangan dan ketua Heng-san ini terbakar darahnya. Ia marah kepada Li hujin itu dan bersiap-siap merobohkan puteranya. Biarlah dia memberi pelajaran.

Dan karena hanya kakek ini yang belum maju, dialah yang paling tinggi dan belum menjajal maka Boen Siong berdebar tegang namun tetap bersikap tenang. Enam orang itu telah mengepung dan iapun mengencangkan otot-ototnya.

"Cabutlah senjatamu, kami tak akan main-main. Sekali ini kau dipaksa bersungguh-sungguh, anak muda, di samping menyenangkan ibumu juga membuka lebar-lebar mata kami. Cabutlah!"

Ko Pek Tojin berseru dan kakek ini merasa kasihan juga. Ia melihat keraguan di mata pemuda itu, bukan takut akan tetapi ragu. Namun ketika Boen Siong menarik napas dan berkata bahwa senjata dicabut belakangan, kalau sudah diperlukan maka kakek ini tak membujuk lagi dan berkata.

"Baiklah, pinto sudah memberi nasehat. Kali ini Heng-san-paicu marah, anak muda, berhati-hatilah. Pinto mendahului!"

Lalu ketika kakek ini menusuk dan menggerakkan pedangnya, ditarik dan menyerang lagi maka Gu Lai Hwesio dan See Cong Cinjin mengikuti, mengayun atau menggerakkan toyanya itu dan menderulah senjata di tangan ketua partai ini. Heng-san-paicu masih menunggu dan Goat Gin Tojin maju menyusul. Lalu ketika Lam Bong Cinjin membentak dan mengejar pemuda itu barulah ketua ini bergerak dan lengannya bergetar mendengung bagai tongkat.

"Wutt!" Boen Siong mengelak dan menangkis serta berlompatan. Dari enam orang itu hanyalah Ko Pek Tojin dan Heng-san-paicu yang belum berkenalan, juga Goat Gin Tojin. Akan tetapi karena dua yang pertama adalah ketua-ketua partai dan jelas tak boleh dibuat main-main, terkejut oleh pukulan di belakangnya maka Boen Siong membalik dan menangkis lengan ampuh ketua Heng-san-paicu ini.

"Dukk!" Boen Siong tergetar akan tetapi lawanpun terhuyung. Dikeroyok dan harus membagi tenaga membuat pemuda ini kewalahan. Untunglah ia cepat menangkis lengan kakek itu dan terkejut, lengan itu kuat dan alot, tulangnya seperti besi! Akan tetapi karena Boen Siong tak mungkin berpikir panjang lagi, lawan sudah berkelebat dan menyerangnye dari muka dan belakang maka iapun mengeluarkan Bong-eng-sutnya itu alias Elang Cahaya.

"Slap-slap!" pemuda ini lenyap dan sebagai gantinya tubuhnya menjadi bayangan yang menyambar-nyambar. Para murid bersorak dan tepuk riuhpun muncul. Heng San-Paicu membentak dan mengeluarkan Sin-sian-hoan-engnya. Lalu ketika berturut-turut Goat Gin Tojin dan Cam Bong Cinjin mengikuti ketuanya, juga Ko Pek dan See Cong Cinjin tak mau kalah maka Gu Lai Hwesio memekik dan mengayun toyanya menderu-deru.

"Plak-plak-dess!"

Toya bertemu lengan dan bunga api berpijar. Tidak seperti tadi yang banyak mengalah maka Boen Siong sudah dipaksa bersungguh-sungguh. Ia tak boleh main-main menghadapi lawan-lawan tangguh ini, apalagi ketua Heng-san yang marah. Dan ketika kakek itu melengking dan mendorongkan lengannya berulang-ulang, uap atau hawa panas meledak dan menyambar maka Lui-yang Sin-kang atau Pukulan Petir menggelegar.

"Blar-blarr...!

Kabut Di Telaga See Ouw Jilid 25

Cerita Silat Mandarin Serial Bu-beng Sian-su Karya Batara

AKAN tetapi hari itu tidak seperti biasanya Heng-san kelihatan ramai. Ada kunjungan tamu-tamu penting di partai persilatan ini. Ko Pek Tojin ketua Hoa-san bertandang bersama dua ketua partai lain dari Bu-tong dan See-tong. Mereka datang bersama wakil dan beberapa murid terpandai, seakan kunjungan biasa akan tetapi sebenarnya membahas gerakan di utara.

Apa yang terjadi dan didengar di See-ouw-pang memasuki telinga ketua partai-partai persilatan terkenal ini. Maka ketika Ko Pek berkunjung diiring Gu Lai Hwesio dan See Cong Cinjin, masing-masing dari Bu-tong dan See-tong-pai maka kedatangan Boen Siong tentu saja menyebar cepat dan menggegerkan.

Namun waktu itu pemuda ini tak tahu bahwa di Heng-san sedang terjadi penyambutan tamu-tamu agung. Kedatangannya ke Heng-san pun sebenarnya atas dorongan sang ibu, bukan keinginan diri sendiri. Maka ketika ia terkejut berhenti di kaki gunung, banyak murid berjaga dan mengawasi penuh curiga ia pun cepat menyembunyikan diri bersama ibunya. Li Cengpun terkejut dan heran melihat perobahan ini.

"Heng San, seperti ada keramaian. Apakah Heng-san berulang tahun, puteraku, rasanya tidak. Akan tetapi seluruh gunung dijaga ketat!"

"Benar, dan lima tosu tadi memandang kita penuh curiga. Kalau begini sulit tidak ketahuan, ibu, aku tak tahu betul jalan-jalan di sini."

"Gampang, malam nanti saja. Kita masuk setelah gelap dan naik saja di pohon yang tinggi itu. Mari!" sang ibu mengejak dan nyonya inipun sudah berjungkir balik ke atas, Boen Siong mengikuti dan amanlah mereka di sini. Lalu ketika pemuda itu memuji ibunya yang cerdik dan pintar, inilah cara tak diketahui orang maka sang ibu tertawa dan menuding.

"Ibumu sudah sering merantau, turun gunung bukan baru pertama kali ini. Lihat, jalanan berkelok itu bagus untukmu, Boen Siong, akan tetapi di atas sana kian banyak penjaganya. Nah, bagaimana siasatmu nanti ataukah kita masuk terang-terangan saja!"

"Jangan, aku tak suka. Karena maksud kita hanya sekedar maln-main tak perlu diketahui banyak orang, ibu. Kalau saja aku sendiri tak sukar ke sana, akan tetapi kau ikut!"

"Tentu saja, jelek-jelek mereka mengenal ibu, masa harus sendiri Boen Siong, kalau ada apa-apa denganmu dapat kujelaskan duduk persoalannya. Kau masih hijau, belum boleh sendirian!"

"Hm, kalau begitu bagaimana menurut ibu, apakah ibu pernah ke sini."

"Aku sudah lupa jalannya, akan tetapi setelah gelap kau dapat membawaku ke atas. Jelek-jelek pasti kuingat juga. Nah, mampukah melewati penjagaan itu yang kian banyak ke atas!"

"Aku sendiri mampu, akan tetapi...!"

"He, mau menyesali ibumu lagi? Kau tak senang berdua?"

"Tidak, bukan begitu. Akan tetapi aku curiga keramaian ini, ibu, apakah tidak sebaiknya kuselidiki dulu. Jangan-jangan waktu kita tidak tepat. Maksudku siapa tahu adanya suatu perkabungan."

"Tak mungkin, tosu-tosu itu tak menunjukkan wajah sedih. Mereka biasa-biasa saja akan tetapi harus diakui mereka melakukan penjagaan ketat, puteraku. Aku menduga adanya tamu penting."

"Tamu?"

"Ya, begitu kira-kira. Atau, hmmm....kau tunggu di Sini!."

Lalu ketika Li-hujin meloncat dan berjungkir balik turun, di bawah tiba-tiba berjalan seorang tosu muda maka nyonya ini menotok dan langsung menyeretnya ke semak- semak belukar. Hanya terdengar suara perlahan ketika tosu muda itu roboh dan tertotok, selanjutnya diam dan terbelalak ketika seorang wanita menawannya.

Tapi ketika ia ditanya keramaian apakah yang ada di situ. menjawab dan menggigil maka Li-hujin memukulnya pingsan dan selanjutnya melempar tosu muda ini ke tempat lain, naik dan berjungkir balik lagi ke atas.

"Benar, ada tamu. Dugaanku cocok, Boen Siong, tiga ketua partai bertandang di puncak. Kebetulan dan malah menyenangkan!" sang nyonya tertawa dan pemuda itupun mengerutkan alisnya.

"Kebetulan? Menyenangkan?"

"Ya, sekali kerja empat lima pekerjaan selesai. Kita tak perlu jauh-jauh dan dapat menguji ilmumu kepada mereka. Ko Pe Tojin dan Gu Lai Hwesio ada di sana, juga See Tong Cinjin ketua See-tong-pai!"

"Ah, ibu suka mengadu aku. Sebenarnya aku pribadi tak suka, kenapa malah gembira!"

"Eh, bodoh! Yang menghendaki begini adalah suhumu, Boen Siong, kau hanya melaksanakan tugas. Ibu kebetulan senang karena siapa tak bangga puteranya menjadi orang terkenal!"

"Tapi malah banyak orang...!"

"Kebetulan, sekali tepuk dua lalat tertangkup. Ayo jangan mengomel dan persiapkan dirimu. Aku telah mengenal ketua Hoa san itu!"

Lalu ketika Boen Siong tak dapat berbuat apa-apa sementara ibunya keliatan genbira maka hari itu mereka menunggu gelap dan jalanan serta tanda-tanda lain dikenali. Pemuda ini akhirnya meloncat turun setelah keadaan dirasa memungkinkan. Ibunya tampak tak sabar sementara pemuda ini berkerut kening. Akan tetapi ketika obor dipasang di sepanjang jalan naik, bagaikan ular benda-benda ini berkelok sampai ke atas maka Li-hujin tertegun dan gemas juga. Boen Siong hampir tertawa.

"Sebaiknya ibu tunggu saja di sini, aku sendirian. Kalau ada apa-apa aku dapat memanggil dan memberitahumu."

"Tidak, aku ingin melihat kau mengalahkan tokoh-tokoh di atas itu. Tanpa mata kepalaku sendiri tak puas rasanya hati ini, puteraku. Ayo naik dan berhati-hati saja. Kita menyelinap di samping obor-obor itu!"

"Baiklah, kalau begitu ibu pegang tanganku dan awas!"

Li-hujin hampir menjerit ketika tiba-tiba puteranya menyendal dan mengangkatnya naik. Bong-eng-sut atau Elang Cahaya benar-benar serasa kilat menyambar dan tahu-tahu mereka tiba di leher gunung. Begitu cepat puteranya melesat ini. Dan ketika selanjutnya bayangan mereka menyambar dan lenyap di samping obor, tak ada anak murid yang tahu maka di puncak barulah pemuda ini melepaskan ibunya karena di pusat keramaian ini tempatnya terang-benderang!

"Celaka, tak ada persembunyian lagi. Rasanya harus terang-terangan, Boen Siong. Tempat ini tiada ubahnya siang hari."

"Ibu di sini saja, aku akan menuju ke gedung itu. Asal kita hati-hati dan tidak gegabah tentu tak akan ketahuan."

"Tidak, bawa aku ke tengah itu. Dari sini masih jauh, puteraku. Sanggupkah membawaku dan aku di genteng sana saja!"

Boen Siong tertegun, melihat ibunya menunjuk gedung paling besar dan memang itulah penerimaan tamu-tamu agung. Di sana duduk empat kakek-kakek gagah dan pemuda inipun ragu. Akan tetapi ketika ibunya mendesak dan apa boleh buat herus dituruti akhirnya ia mengangguk dan berkata,

"Lewat bawah jelas ketahuan. Satu-satunya jalan hanya melemparmu, ibu. Asal kau menjaga keseimbangan ginkang mu dan jangan berisik aku sunggup melontarmu dari sini!"

"Akan tetapi amatlah jauh."

"Tak apa, lontarkan dan kau menyusul. Aku tak sabar dan rasanya tegang sekali!"

Boen Siong memegang ibunya dan tiba-tiba melontar. Hebat tenaga pemuda ini karena seperti melempar kayu kering saja ia membuat ibunya terbang jauh. Mereka berada di atas pohon dan jarak kegedung itu tak kurang dari lima puluh meter. Akan tetapi ketika sang hujin berjungkir balik melayang turun, kagum dan ngeri oleh lontaran puteranya tadi ternyata kakek tinggi kurus dibawah ruangan tiba-tiba berseru keras dan melayang ke atas. Inilah yang membuat Boen Siong terkejut.

"Siapa kurang ajar di atas gedung. Turun!" bersamaan itu tiga kakek yang lain berkelebat dan menyusul pula. Empat bayangan berkelebatan cepat.

Dan Li-hujin tentu saja terkejut. la baru menaruh kakinya ketika serangkum angin menyambar, dahsyat dan membuat ia terpekik dan otomatis menangkis. Namun ketika ia terbanting dan terguling-guling ke bawah, gegerlah tempat itu maka Boen Siong menyambar ibunya dan... wut, lenyap dari empat kakek yang bukan lain ketua-ketua partai itu. Yang pertama adalah Sin Tong Tojin ketua Heng-san!

Semua terkejut dan berseru tertahan. Sin Tong Tojin, kakek berwajah merah dengan alis putihnya tampak berobah. Kakek ini terkejut bukan main ketika seseorang berkelebat dan lenyap, hanya sekilas ia melihat bayangan seorang pemuda. Namun ketika lawan tak kelihatan lagi sementara yang lain berlompatan naik, tempat itu menjadi gaduh maka Gu Lui Hwesio ketua Bu-tong mendentangkan toyanya. Kakek ini juga melihat namun tak begitu jelas.

"Omitohud, masa hantu mengganggu. Siapa yang datang dan bagaimana penglihatanmu, Heng-san-paicu, pinceng (aku) seperti melihat iblis dan tahu-tahu lenyap!"

"Benar, pinto juga begitu. Akan tetapi jerit tadi jelas perempuan, Gu Lai lo-hu, pinto tak mungkin salah!"

"Dan pinto seakan melihat siluman menyambar kemudian hilang. Siancai, ia pasti orang pandai dan bukan iblis!" Ko Pek Tojin ketua Hoa-san terkejut dan meraba pedang. la pun melihat bayangan itu akan tetapi tak tahu siapa. Yang melihat jelas hanyalah tuan rumah.

Sin Tong To-jin memang paling tinggi kepandaiannya. Maka ketika dengan muka merah kakek ini membentak menyuruh murid-muridnya menyebar, terkejut dan mengepalkan tinju maka kakek inilah yang berkata bahwa bayangan itu seorang pemuda.

"Dia pemuda tak lebih dari sembilan belas tahun, wajahnya cakap dan gagah. Akan tetapi pinto tak mengenal dan gerakannya benar-benar luar biasa sekali. Iblis, siapa pemuda ini dan wanita itu!"

Heng-san menjadi ribut dan puncak itupun ramai. Mereka tak tahu bahwa Boen siong sudah di atas pohon bersama ibunya dan diam-diam kagum memuji kakek pertama itu. Tentu saja ia belum mengenal dan ibunya juga baru kali itu melihat Sin Tong Tojin. Ketua Heng-san yang baru ini memang dulunya perantau dan kini baru muncul memimpin partai.

Maka ketika Boen Siong menyesali ibunya kenapa tak mau mendengar kata-katanya, sang ibu terkejut namun sudah menenangkan diri mendadak wanita ini melayang turun dan berseru, Boen Siong kaget sekali.

"Maaf, kami disini. Aku dan puteraku tak berniat mengacau, cuwi-enghiong. Kenekadankulah yang membuat kalian jadi tak nyaman. Boen Siong, turunlah!"

Lalu ketika pemuda ini melayang dan berkelebat di samping ibunya, tentu saja yang lain terkejut dan berkelebatan maka ibu dan anak sudah dikepung. Ko Pek Tojin berseru dan tiba-tiba mengenal wanita itu, menuding.

"He, ini Peng-hujin (nyonya Peng)!"

Akan tetapi Li Ceng cepat menjura dan mengedipkan mata. "Aku sekarang Li hujin dan sebatangkara hanya sekarang berdua dengan puteraku ini. Sekali lagi maafkan kedatangan kami akan tetapi lihai benar lo-enghiong ini. Siapakah dia?"

Li Ceng memberi hormat puda kakek bermuka merah itu dan Ko Pe Tojin yang mengenal baik tokoh-tokoh Kun-lun cepat menjelaskan, lega dan tertawa.

"Dia adalah cucu sekaligus murid mendiang Lui-cu Si Mutiara Geledek, dari Kun-lun. Tentu rekan-rekan tahu dan inilah yang terhormat ketua Heng-san-pangcu, Kedatanganmu benar-benar mengejutkan, hujin, akan tetapi puteramu yang luar biasa ini... ah, kiranya dia yang menyambrmu tadi!"

"Benar, maafkan kami," Li Ceng tersenyum lagi, ia tak disebut-sebut sebagai Peng-hujin. "Kami tak tahu adanya keramaian di sini, totiang, mendapat perintah dari suheng kami Bi Wi Cinjin untuk berkunjung disini. Karena tak tahu dan tak ingin mengganggu kalian maka terpaksa diam-diam kami mengintai, tak tahunya Heng-san-paicu (ketua Heng-san) benar-benar lihai dan hampir saja aku celaka!"

Ketua Heng-san tersenyum dan mengangguk-angguk akan tetapi pandang matanya lekat mengawasi Boen Siong. Pemuda inilah yang dilihatnya tadi dan tentu saja diam-diam ia kagum, juga penasaran. Gerakan pemuda ini seperti cahaya cepatnya dan nyaris tak dapat diikuti matanya. Belum pernah ia menjumpai pemuda seperti ini!

Maka ketika ia tertawa dan merangkapkan tangan, kiranya mereka ini orang-orang Kun-lun maka ia memaafkan nyonya itu sekaligus mengundang masuk, pandang matanya masih lekat kepada Boen Siong.

"Hujin sudah di sini , dan putermu pun begitu hebatnya. Kalau tidak menghaturkan undangan lalu apalagi yang dapat kami lakukan? Mari-mari masuk, hujin, terima kasih untuk perhatian Bi Wi Cinjin dan kebetulan semua sahabat datang berkumpul. Marilah, masih ada kursi dan silakan pemuda ini menemani kami."

Boen Siong serba salah. la kaget dan menggerutu ketika ibunya tiba-tiba malah melompat turun dan menampakkan diri. Wajahnya memerah dipandang ketua Heng san yang tajam bersinar-sinar itu, merasa bersalah dan cepat membungkuk. Dan ketika kakek itu tertawa dan merangkapkan tangan, mendorong dan berkata ramah maka diam-diam ketua Heng-san ini menguji dengan pukulan jarak jauhnya menyerang Boen Siong.

"Tak apa, semua sudah lewat. Pinto sendiri baru kali ini mengenal ibumu, anak muda. Kalau tak ada Ko Pek totiang disini barangkali semua bisa salah paham. Masuklah, pinto terkejut tapi bangga menemui anak muda sepertimu!"

Tadinya Boen Siong tak tahu kalau diuji. la membungkuk di depan ketua Heng-san ini namun tiba-tiba dari kepalan ketua itu menyambar angin pukulan dahsyat. Bajunya sampai berkibar dan hampir ia terjengkang. Maka ketika ia kaget dan mengerahkan sinkangnya, bertahan dan menolak maka Sin Tong Tojin terkejut betapa dari tubuh pemuda itu keluar hawa yang amat kuat bagai tembok!

"Dess!" pukulan kakek ini mental dan Heng-san-paicu berseru tertahan. Ia terdorong dan terhuyung mundur, kalau meneruskan tentu terjengkang! Maka ketika kakek ini kaget bukan main dan membelalakkan matanya, kagum akan tetapi juga penasaran maka Li Ceng berseru sambil tertawa.

"Heng-san-paicu jangan menyerang puteraku dulu, kalau ingin main-main sebaiknya di dalam. Maaf, bolehkah kami masuk atau tetap di sini saja!"

"Siancai, sungguh hebat!" kakek ini mengebutkan lengan bajunya. "Anak muda ini sungguh mengejutkan, hujin, akan tetapi marilah masuk. Pinto mengundang kalian dan biar di dalam main-main saja!" lalu tertawa dan berbisik kepada seorang wakilnya, bergeraklah tuan rumah mengundang ibu dan anak maka Li Ceng berseri-seri sementara Boen Siong mengerutkan kening. la baru tahu bahwa diuji dan diserang.

"Ibu jangan terlampau gembira, sungkan rasanya berada di antara orang-orang ini!"

"Bodoh, justeru inilah kesempatanmu. Kita telah baik-baik bertemu tuan rumah anakku, mereka tokoh-tokoh terkenal dan di sinilalh kau akan belajar banyak. Diamlah dan jangan mengomeli ibu!"

Boen Siong tak berkata apa-apa lagi dan merekapun telah duduk berhadapan dengan tuan rumah. Sebuah meja panjang diletakkan di tengah ruangan dan Heng-San-paicu segera didampingi dua sutenya yang berwajah angker. Sebelah kiri adalah Goat Gin Tojin sedang yang kanan Cam Bong Cinjin. Yang terakhir ini sute pertama gemuk pendek, sorot matanya tajam dan sejak tadi bisik-bisik dengan ketuanya.

Li Ceng sendiri berdampingan dengan Ko Pek Tojin dan puteranya di sebelah, ibu dan anak berhadapan dengan tuan rumah. Lalu ketika Gu Lai Hwesio dan See Cong Cinjin berada di kiri kanan, empat sisi meja penuh orang maka Sin Tong Tojin mengucapkan selamat datang atas kehadiran ibu dan anak ini. Mereka dianggap wakil Kun-lun karena Li-hujin menyebut-nyebut Bi Wi Cinjin ketua Kun-lun.

"Maaf kalau penyambutan kami ada yang kurang. Bahagia hati pinto melihat kalian dari Kun-lun datang berkunjung, hujin, dan karena kebetulan sahabat kami dari Hoa-san dan Bu-tong serta See-tong bertamu pula maka agaknya tak ada jeleknya untuk melanjutkan pembicaraan tadi agar jiwi (kalian berdua) dengar. Di utara konon sedang terjadi pergerakan, naga-naganya hendak menyerang selatan. Tapi karena saudara kami deri Hoa-san yang lebih tahu silakan totiang bicara dan terangkan lagi."

"Siancai, untung anak muda ini bukan musuh," Ko Pek Tojin tertawa dan mengangguk-angguk. "Memang benar bahwa kedatangan kami berkaitan dengan berita itu hujin, dan ditunjang oleh laporan rekan-rekan kami dari Bu-tong dan See-tong maka agaknya kami orang-orang selatan harus waspada. Sudahkah jiwi dengar adanya pertemuan di See-ouw-pang!"

"Tidak! Ada apa dengan itu. Kami sendiri baru turun gunung, totiang, tak tahu apa-apa. Ada apa dengan See-ouw-pang," sang hujin menggeleng.

"Hm, sesuatu yang menggetarkan membuat hati kami was-was. Kabarnya si buta Chi Koan telah diangkat bengcu (pemimpin) oleh orang-orang utara.

"Chi Koan, jahanam itu? Bagus sekali, aku dan puteraku memang mencari-carinya!"

Li-hujin tiba-tiba bangkit dan memotong dan sepasang matanya berapi-api. Boen Siong berkerut melihat ibunya ini dan cepat menginjak kaki. Ia mengingatkan ibunya agar duduk kembali, Ko Pek Tojin belum selesai bercerita. Maka ketika wenita ini sadar dan tersipu-sipu duduk dan cepat minta maaf maka Heng-dan-paicu melihat ketenangan Boen Siong. Pemuda ini begitu kalem namun sorot matanya bersinar-sinar. Nama Chi Koan membuat mata pemuda itu begitu mencorong!

"Maaf, pinto akan melanjutkan," tosu itu mengangguk-angguk, maklum akan kemarahan nyonya itu. "Memang bukan hanya kau yang terkejut melainkan semua di antara kami juga kaget, hujin. Kalau ia tiba-tiba di sana dan menjadi bengcu maka celakalah kedudukan kita. Orang utara bisa dihasut dan memusuhi selatan!"

"Benar, dan ini bisa perang saudara," Gu Lai Hwesio mengangguk dan menyambung. "Si buta itu amat licik dan lihai, hujin, dan kami terus terang khawatir sekali. Itulah sebabnya kami ke sini untuk berbincang dan membuat keseimbangan."

"Apa maksud lo-suhu?"

"Artinya kami hendak mencari seorang bengcu pula dan mengimbangi si buta itu. Tapi sebelum kami selesai maka kaupun datang!"

"Maaf, aku tak bermaksud mengganggu kalian. Kalau di sini sedang mengadakan pembicaraan begitu serius maka akupun gembira, lo-suhu, dan tentang bengcu, aku mengajukan puteraku untuk mewakili selatan!"

"Ibu!" bukan hanya Boen Siong yang terkejut melainkan semua yang hadir juga membelalakkan matanya. Mereka kaget dan heran akan tetapi juga geli. Siapa pemuda ini!

Biarpun telah menunjukkan ilmu meringankan tubuhnya yang hebat akan tetapi belum diketahui kepandaiannya yang lain. Sesungguhnya mereka hendak ke Gobi dan menunjuk pewaris Bu-tek-cin-keng itu. Hanya Naga Gurun Gobi itulah yang tepat menjadi bengcu!

Maka ketika Heng-san-paicu tiba-tiba tértawa dan See Cong Cinjin juga tak dapat menahan geli hatinya, wanita itu begitu bersemangat dan tampak berlebihan maka See Cong Cinjin bangkit berdiri berkata nyaring.

"Hujin terlampau bersemangat, akan tetapi tak berani kami merendahkan. Untuk menjadi bengcu seseorang harus berkepandaian amat tinggi, jauh di atas kami ketua-ketua partai persilatan. Kalau hujin mengajukan putera hujin apakah tidak kasihan kepadanya? Dia masih muda dan belum berpengalaman, lagi pula pilihan kami jatuh kepada Naga Gurun Gobi Peng Houw. Kalau puteramu dapat mengalahkan pendekar itu dan berarti mampu menandingi Chi Koan tentu kami tak keberatan, hanya mungkinkah itu!"

Li Ceng bangkit, berapi-api. Akan tetapi sebelum dia bicara maka Ko Pek To jin mengebutkan lengan bajunya, tertawa sereh. "Harap tenang, tenang dulu. Rekan kami dari See-tong rupanya tak salah akan tetapi Li-hujin juga tidak keliru. Ia membela kita, dan kita harus berterima kasih telah mengajukan puteranya. Namun karena kita belum ada kesepakatan memilih bengcu lebih baik diteruskan dulu pembicaraan ini sampai terdapat kesepakatan bulat!"

"Pinto setuju Naga Gurun Gobi itu. Dia sudah jelas mampu mengatasi Chi Koan, Ko Pek Totiang, tinggal yang bersangkutan dihubungi dan diminta kesediaannya!"

"Omitohud, pinceng juga. Pinceng rasa hanya pemuda itulah yang tepat menjadi bengcu, Ko Pek Tojin. Tanpa meremehkan yang lain pinceng mendukung suara See Cong Cinjin!"

Li Ceng bersinar dan marah sekali mendengar seruan-seruan ini. Ketua Bu-tong dan See-tong telah menyuarakan pendapat mereka dan anehnya Boen Siong mengangguk-angguk. Pemuda itu tak kelihatan marah atau tersinggung. Dan ketika sang ibu melotot dan mendesis marah maka wanita ini bangkit lagi berkata suaranya melengking tajam,

"Gu Lai lo-suhu, dan totiang See Cong Cinjin. Bukan aku tak tahu diri dan hendak memaksakan kehendak akan tetapi apa yang kuajukan tadi semata berdasar pengamatan dan keyakinanku belaka. Boleh saja kalian memilih jago akan tetapi akupun punya jago. Ketahuilah bahwa sesungguhnya puteraku ini akan mengalahkan Naga Gurun Gobi, juga Chi Koan, karena suhunya Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip barangkali telah kalian dengar Nah, aku tetap mengajukan puteraku dan siapa yang ingin mencoba kepandaiannya boleh maju. Sesungguhnya kami melaksanakan tugas menyatukan dunia kang-ouw dan kebetulan kalau ada peristiwa ini. Aku sudah bicara dan kalian boleh membuktikan!"

Terkejutlah semua orang mendengar dan melihat sikap nyonya itu. Wajah yang kemerah-merahan dan pandang mata berapi membuat semua kaget, apalagi dengan disebutnya nama Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip itu, tokoh yang setingkat Ji Leng dan bahkan dedengkot mereka Siang Lam Cinjin dan Siang Kek Cinjin.

Maka ketika sejenak semua berubah dan memandang Boen Siong, tak dinyana bahwa pemuda itu murid kakek sakti itu maka Boen Siong sendiri buru-buru bangkit dan menjura. Sikapnya lembut dan sederhana, rendah hati.

"Maaf kalau ibu sampai menyebut-nyebut mendiang suhu dan bersikap keras. Aku pribadi setuju pilihan bengcu jatuh ke orang yang betul-betul tepat, cuwi-locianpwe, jangan terlampau mendengarkan kata-kata ibu karena akupun ragu menerima kedudukan bengcu. Aku masih muda, belum pengalaman. Harap cuwi-locianpwe tak usah mendengarkan ibu dan teruskanlah bicara.”

"Boen Siong!" sang ibu membentak. "Bukankah suhumu menugaskan kau memimpin dunia kang-ouw? Kenapa kau bicara dan bersikap seperti ini? Kesempatan ini terbuka untukmu, tak perlu tedeng aling-aling lagi dan menyembunyikan diri!"

"Siancai!" Heng-san-paicu kini bangkit berdiri. "Ibumu tampak bersemangat dan menaruh kepercayaan besar sekali kepadamu. Kalau benar kau murid Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip berarti kedudukanmu diatas kami, anak muda. Sudah lama tak ada berita gurumu itu dan tahu-tahu munculah kau sebagai muridnya. Begini saja pinto ada usul, kita mengadakan pertandingan persahabatan dan melihat dulu kepandaianmu. Ibumu tampaknya ingin sekali menunjukkan anaknya dan pinto siap menyuruh sute, kalian berdua main-main sebentar dan ruangan tengah ini rasanya cukup untuk dijadikan arena!"

"Omitohud, pinceng juga begitu. Kalau sang ibu begitu semangat dan menonjolkan puteranya tentu anak muda ini tidak main-main, Heng-san-paicu, dan kita telah melihat ilmu meringankan tubuhnya tadi. Aha, pineeng.juga tertarik!" Gu Lai Hwesio ketua Bu-tong juga menimpali.

"Dan pinto penasaran akan gerakan anak muda ini tadi. Kalau Li-hujin sudah menyodorkan anaknya biarlah kita coba. Sebagai murid Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip tentu tidak memalukan!"

Lengkaplah kakek-kakek itu bicara sementara Ko Pek Tojin mengangguk-angguk. Ketua Hoa-san ini juga penasaran dan ingin sekali melihat kelihaian anak muda ini, Li-hujin begitu percaya besar! Maka ketika ia tertawa dan mengambil minuman mendadak kakek itu berseru bahwa sebaiknya di meja itu dulu pertandingan dimulai.

"Rasanya tak perlu terlalu keras. Barangkali di sini saja kita dapat mengukur kepandaian, See Cong Totiang. Bagaimana kalau masing-masing memenuhi arak tapi tak boleh tumpah. Siapa paling tinggi dialah pemenangnya, baru setelah itu bertanding ilmu silat!"

"Ha-ha, cocok. Kita memang belum tahu sampai di mana tenaga anak muda ini. Kalau celaka dan ada apa-apa tentu tak enak terhadap Li-hujin. Eh, permainan arak selamanya menyenangkan, Heng-san-paicu, barangkali bisa suruh muridmu mengambil lagi!"

Gu Lai Hwesio berseri-seri dan ia pun memandang ketua Heng-san meminta tambah. Saat itu di meja ada delapan cawan di mana masing-masing tinggal separoh. Memenuhi cawan berarti harus menambah minun. Maka ketika tuan rumah mengangguk dan bertepuk tangan, menyuruh murid membawa seguci raksasa minuman ini maka dua murid menggotong arak baru setinggi sekitar satu meter. Benar-benar guci raksasa!

"Ha-ha siapa bisa menghabiskan ini. Kalau aku tukang minum tentu perutku pecah!" Ko Pek Tojin terkekeh.

"Akan tetapi seperempat dapat kuminum habis," Heng-san-paicu tiba-tiba berkata. "Kalau anak muda inipun mampu mengimbangi aku maka iapun hebat, Ko Pek Totiang, tanpa bertempurpun rasanya kalah!"

"Wah, seperempat guci raksasa ini Pinceng tak sanggup, isinya bisa seratus gelas!"

"Dan pinto juga berat, akan tetapi kalauHeng-san-paicu dapat melakukannya berarti anak muda ini harus lebih lagi.”

“Wah, ini permainan mengasyikkan!"

See Cong Cinjin tertawa-tawa dan suasanapun tiba-tiba gembira. Semua mengangguk-angguk dan menantang Boen Siong, sementara pemuda itu mengerutkan kening. Ia bukan peminum, apalagi ahlinya! Akan tetapi ketika ibunya berbisik bahwa ia tak boleh membuat malu, sang ibu terlanjur mengangkat dirinya maka pemuda ini menggerutu kenapa ibunya terlalu berani.

"Kau memang kelewatan, dan aku menjadi korban. Masa setengah guci harus kuhabiskan, ibu. Seorang raksasapun bisa pecah!"

"Tak usah berpura-pura, ibumu lebih tahu. Kalau tak ingin ibumu malu terima dan majulah, anakku, jangan membuatku gemas. Kau bahkan dapat menghabiskan semuanya!"

Bisik dan kata-kata ini didengar ketua Heng-san dan diam-diam kakek itu terkejut. Pemuda ini dapat menghabiskan seluruh guci? Gila, luar biasa kalau begitu! Akan tetapi karena belum dibuktikan dan dua murid itu diminta memenuhi cawan, Cam Bong Cinjin tiba-tiba bergerak dan menuangkannya dengan sebelah tangan maka semua meleletkan lidah betapa dengan mudahnya tosu gemuk pendek ini bekerja dan memenuhi cawan.

"Silakan!" katanya. "Mungkin pinto memelopori dan jangan ditertawakan kalau tumpah" berkata begini tosu itu menambah dan menambah cawannya dengan sebelah yang lain memegang dan menahan. Arak terus dituangkan sampai akhirnya berhenti, anehnya tak ada yang tumpah dan tangan kiri tosu ini mengigil hebat.

la membuat arak dua senti di atas bibir cawan, tentu saja mengerahkan lweekang (tenaga dalam) dan tangan kiri itulah yang bekerja. Dan ketika arak terus bergerak-gerak tanpa tak ada yang tumpah, inilah demonstrasi tenaga dalam maka Ko Pek Tojin dan Gu Lai Hwesio tertawa bergelak, juga See Cong Cinjin ketua See-tong-pai.

"Hm... Cam Bong Totiang sudah mulai unjuk gigi, biarlah pinto ikut-ikutan dan dua senti rasanya sanggup!"

"Dan pinceng menambahnya sedikit. Ha-ha, asal tidak tumpah dan mengotori baju biarlah pinceng menandingimu, totiang, tapi maaf kalau muncrat dan jatuh!" hwesio itu sudah menggetarkan tangannya dan dengan cawan di telapak kiri ia menuang arak dengan tangan kanan.

Ketua Bu-tong ini melakukan hal yang sama dengan Cam Bong Cinjin dan terus mengisi sampai hampir tiga senti. Lalu ketika di sini ia berhenti dan terkekeh-kekeh, See Cong juga menyambar dan mengisi cawannya melebihi bibir atas maka empat orang itu sudah susul-menyusul dan akhirnya Cam Bong berseru keras dan menambah tenaganya hingga arak lebih tiga senti di bibir cawan, lebih tinggi dari Gu Lai Hwesio dan lain-lain!

"Ha ha, ayo anak muda itu, juga Heng san-paicu. Mari siapa lebih tinggi tapi pinceng rasanya mentok di Sini!"

Gu Lai Hwesio terbahak-bahak dan memang telah puncak. la menandingi Cam Bong Cinjin akan tetapi tosu itu menambah lagi, akhirnya berada lima senti di atas cawan dan arakpun mendidih. Empat orang ini telah mengerahkan lweekang mereka dan masing-masing mulai merah. Pengerahan tenaga membuat muka mereka tegang.

Lalu ketika Heng-san-paicu tersenyum dan menepuk permukaan meja, cawannya mencelat dan diterima telapak tangan maka kakek itu menuangkan arak dan sebentar kemudian sudah sepuluh senti. Cawan yang ditepukpun tak tumpah apalagi pecah!

"Pinto mengikuti main-main ini. Biarlah ikut meramaikan suasana dan maaf kalau dianggap seperti anak kecil!"

Semua terbelalak dan kagum dan Gu Lai Hwesio maupun Ko Pek Tojin memuji. Kalau mereka menyambar dan mengangkat baik-baik cawan di atas meja adalah ketua Heng-san ini menepuk dan menangkapnya di udara. Tepukan itu saja sudah dapat dapat memuncratkan arak akan tetapi buktinya tak ada yang tumpah. Dari sini saja dapat diukur bahwa kepandaian kakek ini memang hebat, dan ia memang paling hebat di antara semua yang hadir.

Dan ketika kakek itu tersenyum-senyum memandang Boen Siong, satu persatu telah menunjukkan kepandaian maka pemuda ini ragu-ragu dan tampaknya enggan.

"Ayo, maju dan lakukan seperti mereka. Jangan membuat ibumu malu, Boen Siong, tunjukkan bahwa kau murid suhumu yang lihai!"

Pemuda ini menarik napas, sedikit memerah. Kalau saja keadaan tak mendesaknya dan tuan rumah serta yang lain seakan mengejeknya barangkali iapun tertawa masam dan tak meladeni. Akan tetapi tantangan itu dan pandang mata ketua Heng-San membuatnya panas.

Kakek ini tiba-tiba melontarkan cawannya dan arakpun tak tumpah, dua tiga kali dan terkekeh-kekeh. Dan ketika semua kagum dan memuji kakek itu, memang kakek ini hebat sekali akhirnya Boen Siong menepuknya dan cawan itupun mencelat ke atas, jatuh dan melayang dengan tengkurap!

Akan tetapi hebatnya arak di dalam cawan itu tak tumpah. Boen Siong telah mengerahkan sinkangnya (tenaga sakti) hingga arak tahu-tahu membeku. Arak ini telah menjadi es dan karena itu menempel atau melekat di tempatnya. Maka ketika ia jatuh dan meluncur ke bawah, semua terkejut dan berseru keras maka pemuda ini menerima tenang lalu memegang guci dan menuangkannya secara terbalik pula.

Akan tetapi arak di dalam guci membeku! Boen Siong pura-pura mengguncang-guncangnya dan mengeluh. Diketuk-ketuknya guci itu tapi tak juga keluar isinya. Arak benar-benar telah membatu! Akan tetapi ketika pemuda ini meniup dan menghentakkannya ke atas meja mendadak arakpun muncrat dan pemuda ini cepat menerimanya dengan cawan di tangan, mengisi sampai penuh!

"Maaf, arakmu terlalu lama. Berat juga menuangkannya, Heng-san-paicu, akan tetapi syukur sudah keluar. Ah, maaf kalau ketinggian!"

Li Ceng terkekeh-kekeh sementara semua ketua persilatan berubah dan pucat mukanya. Mereka melihat betapa pemuda itu mengisi cawannya dengan cara yang aneh, memuncratkan dulu arak di guci lalu menangkap dan menerimanya di cawan. Dan ketika semua tersedot masuk ke cawan dan guci diletakkan dan akhirnya arak lima belas senti di bibir cawan maka kehebatan ketua Heng-san tertandingi dan kalah lihai!

Heng-san-paicu tertegun dan putih mukanya. Wajahnya yang merah menjadi pucat karena pemuda itu melampauinya. la jelas kalah. Akan tetapi penasaran dan meletakkan cawan di meja tiba-tiba ia berseru siapakah yang dapat mengangkat cawannya.

"Pinto telah melihat kehebatan pemuda ini, akan tetapi siapakah yang mampu menggeser atau mengangkat cawan pinto!"

Gu Lai Hwesio terbelelak. Jelas kakek ini menantang Boen Siong akan tetapi karena ia yang paling dekat maka iapun tertantang dan membentak. Sekali mengulurkan tangan yang lain iapun mengangkat dan menggeser cawan itu. Akan tetapi ketika tak mau dipindah dan seakan terpantek, telapak kakek itu di bawah meja maka dari sinilah Heng-san paicu menahan dan 'memaku' cawannya. Ketua Bu-tong gagal!

"Omitohud, pinceng menyerah. Heng-san-paicu benar-benar hebat dan pinceng tak mampu!"

"Coba pinto!" See Cong berseru dan hampir berbareng dengan Ko Pek Tojin. "Kalau pinto juga tak kuat berarti tenagaku lemah, Heng-san-paicu. Biar kucoba dan berhati-heatilah!"

Akan tetapi ketua ini berbisik agar lawan mundur, dua orang itu siap mengerahkan tenaga dan kakek ini bakal repot. Paling tidak ia nanti lelah. Maka ketika Ko Pek maupun See Cong pura-pura kalah, mundur dan mengusap keringat maka pemuda inilah yang dipaksa maju. Dan begitu Boen Siong tersenyum seraya mengetuk permukaan meja tiba-tiba sinkang yang dikerahkan Heng-san-paicu terpukul berantakan.

"Maafkan aku yang muda. Main-main ini kian menarik, Sin-lo lo-enghiong, biarlah kuangkat dan kupindahkan ke sudut..tak!!" kakek itu merasa kaget bukan main ketika cengkeramannya di bawah terlepas dan panas. Ketukan jari pemuda itu membuatnya berjengit dan otomatis cawanpun lolos, dengan mudah Boen Siong mengangkat dan memindahkannya ke sudut, ke tempat ibunya. Lalu ketika kakek itu benar-benar pucat dan terhenyak, terpaku dan sejenak tak mampu bicara maka Li Ceng terkekeh-kekeh anaknya mampu bekerja begitu mudah.

"Hi-hik, Sin-lo-enghiong rupanya tak bersungguh-sungguh. Kau mengalah dan memberi muka kepada puteraku, lo-enghiong (orang tua gagah), terima kasih!"

Wajah kakek ini merah padam setelah sadar dan hilang kagetnya. Kini ia tak ragu-ragu menganggap pemuda itu lawan berat akan tetapi tentu saja masih penasaran. Ginkang dan sinkang pemuda itu telah dilihatnya, akan tetapi kepandaian silatnya belum! Maka ketika ia bertepuk dan memandang sutenya, Cam Bong cepat tanggap maka tosu pendek gemuk inilah yang bangkit berdiri. Pandang mataketuanya cukup membuat ia maklum apa yang telah terjadi, dan apa pula yang harus dikerjakan.

"Suheng minta aku main-main denganmu! Mari dan ke sinilah, anak muda. Biar kulapangkan tempat ini agar lega!" meja kursi ditendang dan tak lama kemudian terdapatlah ruangan luas untuk bertanding.

Anak murid riuh dan kagum akan tetapi yang paling girang tentu saja Li Ceng, wanita ini begitu gembira puteranya menunjukkan kelihaian. Memang itulah yang dicari. Maka ketika ia tertawa dan mendorong puteranya menuju arena, tuan rumah telah menantang maka Heng-ssn-paicu diam-diam tergetar dan mulai ngeri menghadapi anak muda ini. Ia kalah kuat!

Akan tetapi kakek ini tak mau begitu saja. la ingin menyaksikan kepandaian pemuda ini dan biarlah sutenya mencoba. Sekarang sutenya sudah menunggu. Dan ketika Ko Pek Tojin dan lain-lain bertepuk tangan, menjadi gembira maka kakek itu berseru agar Boen Siong tak usah sungkan-sungkan.

"Kita adalah orang-orang sendiri, Semua teman. Maju dan hadapilah lawanmu anak muda, nanti pinto menjajal dan ingin berkenalan pula!"

"Benar pinceng juga gatal tangan. Kalau kau menang pinceng juga ingin main-main, anak muda. Biar kulihat kepandaian pewaris Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip."

Boen Siong tak mungkin mundur. Ia menghela napas dan agak malu-malu meninggalkan kursinya. la telah menaruh pula cawan araknya. Dan ketika ia melangkah dan menghadapi tosu gemuk pendek itu, menjura dan bersikap hormat maka tak terlihat kesombongan atau kejumawaan sedikitpun, hal yang membuat Ko Pek Tojin dan lain-lain kagum.

"Aku terpaksa karena dorongan ibuku. Aku juga serba salah kalau sudah begini Cam lo-enghiong, maju kena mundur kena. Maaf harap kau tidak terlalu keras dan bersikaplah lunak sedikit."

"Kau rendah hati, akan tetapi kepandaianmu tinggi. Karena kita sudah berhadapan dan kabarnya gurumu seorang ahli golok keluarkanlah senjatamu, anak muda. Aku juga akan bermain pedang dan jangan sungkan-sungkan!"

"Maaf, sebaiknya bertangan kosong saja. Aku tak berani mengeluarkan senjata, Cam-lo-enghiong. Sebaiknya kita saling serang dan merobek baju lawan. Siapa terenggut dialah kalah, setuju?"

"Baik, tosu ini berseru. "Akan tetapi senjata boleh sewaktu-waktu dikeluarkan, anak muda. Kalau terdesak cabutlah itu, Awas!" lalu tidak menunggu tanya jawab lagi segera tosu ini menyerang dan mencengkeram Boen Siong.

la menyambar leher pemuda itu akan tetapi tangan yang lain siap bergerak, kalau ditangkis atau terpental maka inilah utamanya, jari-jari itu sudah menegang dan berkerotok, kaku bagai baja! Akan tetapi ketika Boen Siong berkelit dan mundur ke samping, dikejar dan diserang lagi maka tujuh kali pemuda ini mengelak dan semua serangan luput.

"Awas!" Cam Bong menjadi gemas dan marah, tiba-tiba berkelebat. "Jangan mengelak saja, anak muda, hati-hati!" lalu ketika ia beterbangan dan mengerahkan Sin-sian-hoan-eng (Dewa Menukar Bayangan) maka tubuh gemuk pendek itu mendadak sudah berputaran dan kedua tangannya bergerak amat cepat melepas pukulan-pukulan panas. Lui-yang Sin-kang!

Li Ceng terkejut dan berseru pada puteranya untuk menangkis. Boen Siong memang tak mungkin mengelak saja dan mulailah pemuda ini menangkis. Ia mengerahkan sinkang di kedua tangannya, menampar atau menghalau dan terkejutlah tosu itu betapa tulang jari-jarinya seakan pecah. Dan ketika pemuda itu berkelebatan pula dan munculah Bong-eng-sut ini, Elang Cahaya maka Cam Bong Cinjin menjadi kaget karena pening. Gerakannya kalah cepat dan malah pemuda itu yang menyambar-nyambar!

Terjadilah pertandingan menarik yang membuat anak murid bertepuk tangan. Mereka riuh dan gaduh akan tetapi kemudian hening. Pemuda yang semula didesak dan mundur-mundur itu sekarang berobah, pimpinan mereka yang terdesak dan mundur-mundur. Dan ketika mereka tak dapat lagi mengikuti bayangan pemuda itu yang demikian cepatnya, Sin Tong Tojin juga pening dan kaget di luar pertandingan maka sutenya apalagi dan mengeluh untuk kemudian roboh. Satu tamparan ringan mengenai pundaknya dan tosu pendek gemuk itu terjengkang!

"Plak!" Keadaan benar-benar mengejutkan dan tersiraplah darah semua orang. Mereka tertegun melihat tosu itu roboh akan tetapi Goat Gin Tojin tiba-tiba berkelebat. Dia inilah yang menolong Cam Bong Cin jin dan sang suheng mengeluh kesakitan. Pundaknya seakan retak-retak! Akan tetapi ketika semua lega dan tosu itu tertatih-tatih, membungkuk dan menghormat ketuanya maka gemparlah murid-murid Heng-san karena begitu cepatnya wakil pimpinan mereka roboh!

Yang pucat bukan hanya Heng-san-paicu. Gu Lai Hwesio dan See Cong Cin-jin dan Ko Pek Tojin juga berubah. Mereka tahu betul kelihaian tokoh kedua partai persilatan ini, bahwa kepandaian tosu itu hampir berimbang dengan mereka. Maka ketika tiba-tiba semua tak bergerak dan saling pandang, cepatnya pertandingan itu membuat mereka tertegun.

Maka Li Ceng tertawa menyambar puteranya. Wanita ini girang bukan main dan amat senang. "Lihat, tidak pantaskah puteraku menjadi bengcu. Berani bertaruh bahwa siapapun tak ada yang mengalahkannya, Sin-lo-enghiong, keroyok dan maju berbareng saja buktikan kata-kataku. Ketahuilah bahwa suhunya sendiri tak mampu mengalahkannya lagi!"

Sin Tong Tojin terkejut sementara Boen Siong membentak ibunya jangan bersombong. Dalam kegembiraan dan kegirangannya ibu ini lupa diri, sikap dan kata-katanya memang berkesan sombong. Akan tetapi karena semua itu didorong rasa kegembiraannya, juga pelampias ketidakpercayaan orang-orang tadi maka seruan atau kata-kata wanita ini membuat Ko Pek Tojin dan lain-lainnya merah. Untunglah Boen Siong tak sombong diri dan pemuda itu tetap merendah, ia menjura dan meminta maaf pada lawannya tadi.

Lalu ketika Heng-san-paicu terhenyak dan membelalakkan matanya, berubah maka pemuda itu berjalan dan sudah membungkuk di depannya.

"Maafkan aku, juga ibuku. Tak ada maksudku untuk menjadi bengcu atau segalanya itu, paicu. Tanpa inipun tetap saja aku ingin menghadapi musuh-musuh besarku, terutama Chi Koan. Kalau semua ini tak menyenangkan hatimu biarlah kami pergi, ibu semakin lupa diri nanti."

"Hm, tetap sajalah di sini!" Kakek itu bergerak dan mengulapkan lengannya. "Kau dan ibumu adalah tamu-tamu undangan kami, Siong-kongcu. Kalau ibumu begitu lantang suaranya tidaklah salah, kau memang hebat. Orang tua mana tak kagum anaknya begini lihai!" lalu memandang Ko Pek Tojin dan lain-lain kakek ini mempersilakan. "Kami dari Heng-san telah mendapat pelajaran, kalau jiwi-totiang ingin bertanding dengan anak muda ini silakan. Nanti giliran kami lagi."

Gu wi Hwesio dan See Cong Cinjin tampak kebingungan. Mereka saling pandang dan tiba-tiba seakan menyuruh yang lain maju dulu, hal ini menggelikan dan membuat para tosu tertawa. Akan tetapi ketika Li Ceng melompat dan menjura berseri-seri ternyata nyonya ini menantangkan puteranya. Boen Siong lagi-lagi terkejut, juga tak senang.

"Jiwi tak usah takut-takut, aku tahu betul kelihaian puteraku ini. Kalau jiwi tidak keberatan silakan maju berbareng saja. Tidak merendahkan, akan tetapi aku ingin membuktikan bahwa puteraku pantas menjadi bengcu!"

Boen Siong membentak ibunya dan sekali lagi wajah pemuda ini merah. Ia seakan ditawar-tawarkan dan sengaja diadu. Ia seperti jengkerik jagoan! Akan tetapi ketika ibunya tertawa dan mundur tak menghiraukan, kata-katanya telah membakar dua ketua itu maka Gu Lai maupun See Cong Cinjin bergerak ke depan. Hwesio ini mengetrukkan tongkat dan merah padam.

"Omitohud, pinceng benar-benar menerima getah. Gara-gara tak mempercayai puteramu sekarang kau menantang kami, Li-hujin, baiklah akan tetapi terserah See Cong Cinjin. Kupikir ia tak takut dan tak perlu takut, ha-ha!"

Ketua See-tong-pai itu berkelebat dan mencabut tongkat pendek. Ia digelitik rekannya ini dan mau tak mau harus maju Juga. Tidak maju dianggap takut! Maka ketika apa boleh buat ia tertawa masam dan menghadapi ketua Heng-san-pai, tuan rumah adalah saksinya maka ia berkata melindungi diri.

"Dua ketua diminta mengeroyok pemuda ini. Kalau tak melihat sutemu roboh demikian cepat rasanya tak sanggup pinto maju, Heng-san-paicu, akan tetapi anak muda ini hebat dan ibunya menantang kami. Siancai, semoga tak dipersalahkan dan kalau ada apa- apa harap kami jangan diolok-olok!"

"Kami tahu, semua ini kehendak pihak Li hujin. Karena Siong-sicu benar-benar lihai dan suteku roboh dalam beberapa gebrakan saja rasanya pantas ia menerima kalian berdua, See Cong Cinjin. Kalau kalian masih tak sanggup barangkali dapat ditambah Ko Pek Totiang dan pinto sendiri. Ha-ha, dan kita empat tua bangka diberi pelajaran seorang pemuda. Aih, kalau ia benar-benar dapat merobohkan kami Sungguh Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip gagah perkasa. Omitohud, pinceng tak perlu malu lagi!"

Sin Tong Tojin mengangguk-angguk dan ketua ini memberi tanda. la melirik Ko Pek Tojin dan rekannya dari Hoa-san itu menghela napas. Kalau benar dua orang itu kalah agaknya tak perlu lagi merasa sungkan, mereka berempat akan mengukur habis-habisan. Dan karena ini berkaitan dengan bengcu dan timbullah ketegangan di hati kakek ini maka Ko Pek Tojin mengangguk dan membalas isyarat tuan rumah tadi.

"Pinto tak perlu malu lagi kalau Bu-tong-paicu dan See-tong-paicu roboh. Tapi kalau bertigapun masih kalah kuat agaknya kaupun perlu maju, Totiang, lalu kita adu anak ini dengan Naga Gurun Gobi Peng Houw!"

"Ya, pinto juga berpikir begitu. Akan tetapi marilah kita lihat pertandingan ini apakah dua rekan kita masih juga tak mampu!"

Dua orang ini memandang ke tengah arena karena saat itu See Cong Cinjin dan ketua Bu-tong sudah berhadap-hadapan Gu Lai Hwesio mengeluarkan toyanya dan toya inilah yang dimain-mainkan, menderu dan menunjukkan tenaganya yang hebat, akan tetapi Boen Siong tenang-tenang saja. Diam-diam pemuda ini melirik dan menegur ibunya akan tetapi sang ibu tertawa-tawa.

Memang wanita itu gembira sekali puteranya diuji. Sekaranglah semua orang akan terbuka. Dia tak akin memicingkan matanya lagi dan inilah jagonya. Ia tak sabar menunggu gebrakan itu. Maka ketika puteranya melirik dan kelihatan canggung, baru kali ini Boen Siong menghadapi ketua partai maka ibu itu berseru, nyaring.

"Tak usah sungkan lagi. Kau turun gunung memang untuk ini, anakku. Ingatlah pesan gurumu sebelum meninggal. Hadapi dan jangan lihat ibumu karena lawanmu adalah mereka!"

See Cong Cinjin tertawa dan tosu ini mengetuk-ngetukkan tongkat pendeknya. la seorang ahli tung-hoat (silat tongkat) dan inilah andalannya, bersama Gu Lai Hwesio yang bersenjatakan toya tentu ramai. Mereka dapat berpasangan serasi. Maka ketika ia berseru agar anak muda itu siap, sang ibu benar maka tongkat tiba-tiba menyambar diiring loncatan kaki menendang pemuda itu.

"Benar, tak perlu ragu lagi. Cabut senjatamu dan hadapi kami, anak muda. Awas tongkat dan hati-hati!"

Boen Siong mengelak dan bergerak kekiri ketika serangan itu berlangsung cepat. la menghindar dan menunggu karena saat itu Gu Lai Hwesio tertawa, kakek ini berkelebat dan toyapun tiba-tiba menderu mencegat di belakang. Nyata dua orang itu sudah bekerja sama baik. Dan ketika ia menangkis dan menghalau toya itu, terdengar suara nyaring seakan lengan pemuda ini sebatang logam maka Gu Lai Hwesio terpental dan hwesio itu kaget karena toyanya mengeluarkan bunga api.

"Tranggg!"

Bukan hanya hwesio ini yang kaget melainkan Heng-san-paicu dan Ko Pek Tojin ikut terkejut. Boen Siong mengerahkan sinkangnya dan lengannya tiba-tiba sekeras baja. Lengan itu mampu menangkis toya dan berpijar. Lalu ketika See Tong Cinjin mengejar dan menyerang lagi, berkelebatlah dua oreng itu mengadu cepat maka Bu-tong-paicu maupun See-tong-paicu seakan berlomba. Boen Siong masih mempergunakan kedua kaki tangannya.

"Plak-desss!" See Cong Cinjin kali ini tergetar dan kakek itu terhuyung. tongkat diterima telapak pemuda itu dan bukan main kuatnya, ia hampir terpelanting! Dan ketika kakek ini berhati-hati dan berseru keras, terbang dan memutari pemuda itu maka Gu Lai Hwesio beradu cepat dan tak mau kalah.

Akan tetapi Boen Siong mempergunakan Bong-eng-sutnya yang luar biasa itu. Sekali pemuda ini berkelebat lenyaplah dia. Dua lawannya terkejut memekik keras karena bayangan pemuda itu menyambar-nyambar. Lalu ketika tongkat dan toya dihalau sepasang tangan yang kuat, ditangkis atau ditampar bila menyerang maka dua ketua ini tak mampu mengikuti bayangan Boen Siong saking cepatnya pemuda itu bergerak.

"Plak-plak!" Boen Siong menepuk atau memukul perlahan toya di tangan Gu Lai Hwesio. Kakek itu terdorong dan terhuyung akan tetapi sudah maju lagi. Hwe-sio ini penasaran. Dan ketika ia membentak dan menyerang marah, rekannya juga penasaran dan kaget sekali maka Boen Siong tersenyum berkelebatan dan tiba-tiba tak ingin merobohkan lawan cepat-cepat. Tiba-tiba ia sadar bahwa dua kakek ini adalah ketua-ketua partai terhormat.

Sesungguhnya dengan Bong-eng-sutnya itu ia melihat betapa lambannya dua kakek-kakek ini. Memang Boen Siong sudah menyamai tingkat gurunya, bahkan sudah lebih tinggi lagi sejak sinkang gurunya dimasukkan. Maka ketika ia menyambar-nyambar dan begitu mudahnya mengelak atau menangkis, tenagapun diatur agar tak terlalu keras maka pertandingan tampaknya berjalan ramai akan tetapi bagi yang berkepandaian tinggi tidaklah dapat dibohongi. Heng-san-paicu dapat melihat itu!

Kakek ini terkejut dan diam-diam berdebar. Sekarang ia yakin betapa pemuda itu benar-benar hebat sekali. Kalau Ia mau dapat dirobohkannya See Cong Cin-jin dan Gu Lai Hwesio. Akan tetapi ketika ia mengangguk-angguk dan merasa kagum, delapan kali ia melihat Bu-tong-Paicu maupun See-tong-paicu terhuyung dan meringis maka maklumlah tosu ini bahwa pemuda itu bersikap ringan hati. Dan ia mulai simpatik!

Memang Boen Siong tak ingin menjatuhkan lawan terlalu cepat. Di hadapan demikian banyak orang dan ditonton terlalu banyak mata ia harus menjaga perasaan kakek-kakek itu. Betapapun mereka adalah tokoh-tokoh persilatan terkenal. Maka ketika ia hanya berputaran dan terbang mengelilingi saja, membuat pening dan sekali dua menampar maka Gu Lai Hwesio maupun See Cong Cinjin akhirnya merasa bahwa pemuda itu tidak bersungguh-sungguh.

Dua orang ini maklum bahwa kalau mau sudah sejak tadi pemuda itu merobohlan mereks. Wajah yang merah karena penasaran mulai berubah, mereka kagum dan menaruh hormat. Lalu ketika tiba-tiba tongkat dan toya bertemu berbenturan, Boen Siong sengaja membuat itu maka dua orang ini tiba-tiba melompat mundur dan berseru kalah.

"Omitohud, cukup. Pinceng harus tahu diri dan mengaku kalah. Kau hebat, anak muda. Pinceng tak mampu menandingimu!"

"Benar pintopun harus tahu diri. Berkali-kali kau mengampuni kami, anak muda. Pinto tak mau mengangkat senjata lagi dan mengaku kalah!"

Ributlah anak-anak murid melihat dua ketua itu berlompatan dan mengusap keringat. Mereka masih melihat pertandingan yang seru dan menarik, kini tiba-tiba dua orang itu mengangkat tangan dan menyerah. Maka ketika Semua penasaran dan merasá sayang, hanya Heng-san-paicu dan beberapa saja yang tahu betul maka Boen Siong berhenti bergerak dan menjura di depan dua kakek-kakek ini. Wajahnya sama sekali tak berkeringat dan masih segar.

"Maaf, jiwi bermurah hati kepadaku. Betapapun kalian hebat, lo-enghiong, aku dibuat sibuk. Terima kasih atas kehormatan ini dan ilmu kepandaian kalian tak boleh dibuat main-main!"

"Siancai, ini baru menarik. Kau berkepandaian tinggi akan tetapi begini rendah hati, Siong-kongcu. Pinto benar-benar kagum dan menghargai sikapmu. Bagaimana kalau sekarang pinto berdua Ko Pek To-jin!"

Tong Tojin tak ragu-ragu lagi dan berkelebatlah kakek ini di depan pemuda itu. Boen Siong telah mengalahkan lawan-lawannya dan tentu saja ia kagum sekali. Jarang didapat pemuda yang begini rendah hati sementara ilmunya demikian tinggi. Maka ketika ia bergerak dan sudah memberi tanda Ko Pek Tojin, ketua Ho-san ini melompat dan mencabut pedangnya maka kakek itupun mengangguk-angguk dan berseru.

"Pinto juga merasa kerdil dan tak berarti. Akan tetapi kalau Heng-san-paicu mengajakku rasanya berani juga hati ini, anak muda, entahlalh kalau kau takut!"

"Semua maju berbareng saja!" Li Ceng tiba-tiba berkelebat dan memegang lengan puteranya. "Empat orangpun tak perlu ditakuti puteraku, Heng-san-paicu, bukan sombong akan tetapi aku tahu benar kepandaian puteraku. la hanya tandingan Naga Gurun Gobi Peng Houw!"

Heng-san-paicu dan Ko Pek Tọjin terkejut mengerutkan keningnya. Sesabar-sabar mereka akan tetapi mendidih juga perasaan hati mendengarnya. Boen Siong membentak dan bahkan mendorong ibunya, terpelanting dan tertegun serta menyesal. Lalu ketika pemuda ini menolong dan minta ibunya tak bicara begitu besar, sungguh sombong sekali maka Li Ceng berapi memandang marah puteranya ini. Sang ibu benar-benar ingin menunjukkan seluruh kemampuan puteranya.

"Aku tidak sombong, justeru sebal dan tak suka kepura-puraan ini. Kalau kau mau sesungguhnya sejak tadi kau dapat merobohkan Bu-tong-paicu dan See-tong-paicu, Boen Siong, akan tetapi kau bersandiwara dan mengulur-ulur waktu. Aku tak senang. Aku ingin kau bersungguh-sungguh dan satu-satunya jalan dikeroyok. Semua, biar tahu!"

See Cong Cinjin dan Gu Lai Hwesio kemerah-merahan. Memang harus diakui bahwa pemuda itu menyelamatkan muka mereka. Dengan pertandingan yang lama dan berkesan seru merekapun tak jatuh muka di depan para murid. Dan ketika semua baru tahu dan murid-murid Heng-san terkejut, Gu Lai Hwesio menjura dan merangkapkan tangan maka berkatalah ketua ini terus terang.

"Omitohud, pinceng tak perlu diselamatkan lagi. Memang puteramu hebat dan luar biasa, hujin, kalau ia mau agaknya duapuluh jurus saja pinceng berdua roboh. Omitohud, pinceng mengaku!"

Geger dan ributlah murid-murid Heng- San mendengar ini. Baru mereka tahu bahwa pertandingan tadi kiranya pura-pura seru, sebenarnya kosong dan pemuda itu sengaja menyelamatkan muka kakek-kakek itu. Maka ketika semua kagum akan tetapi Heng-san-paicu membentak dan menyuruh muridnya diam. Semua sirap dan menundukkan kepala maka kakek ini menghadapi Boen Siong menahan marah.

"Ibumu terlampau bersemangat mengajukan dirimu. Kalau kami semua mengeroyokmu beranikah kau menghadapinya, anak muda. Kami sebagai orang-orang gagah rasanya tersinggung dan terhina sekali. Kalau pinto tak melihatmu benar-benar lihai barangkali tak perlu mengeroyok dan satu lawan satu!"

Boen Siong serba salah, menyesalkan ibunya. Akan tetapi karena ia harus menunjukkan kesungguhannya, betapapun ibunya sudah bicara besar maka hati-hati menjawab, kerendahan hati dan sopan santun tetap dijaga.

"Maafkan ibu, juga diriku yang bodoh ini. Kalau kau menyatakan takut tentu saja tak perlu takut, Sin-lo-enghiong, akan tetapi jangan dianggap sebuah kesombongan bila aku menerima tantangan ini. lbu mendesakku, dan kaupun menantangku. Kalau aku roboh dan celaka dalam pertandingan ini anggap saja hukumanku yang kelewat percaya diri. Aku hanya menjalankan tugas dan sekali lagi maaf...!"

Ko Pek Tojin menghela napas dan memuji pemuda ini. Dalam keadaan seperti itu masih juga pemuda ini menjaga perasaan orang, benar-benar mengagumkan. Akan tetapi karena ia pun gemas dan penasaran akan sikap Li-hujin, begitu sombong menjagokan puteranya maka iapun batuk-batuk dan berbisik pada ketua Heng-san-pai itu, dan rekannya inipun tiba-tiba berseri, memandang dua sutenya di samping, bertepuk tangan.

"Kalian ke sinilah bagaimana kalau menggantikan Bu-tong-paicu dan See-tong paicu yang baru bertempur. Jumlah kita tetap empat orang, sute. Yang terhormat Hoa-san-paicu mengajukan usul!"

Goat Gin Tojin dan Cam Bong Cinjin melompat. Tosu pendek gemuk ini telah pulih dan ia bersinar-sinar. Ternyata mereka diminta mewakili Gu Lai Hwesio dan See Cong Cinjin. Akan tetapi sebelum menjawab tiba-tiba Li-hujin melengking kembali, Boen Siong benar- benar kaget.

"Tak usah berempat, berenam pun boleh Heng-san-paicu. Silakan semua maju dan tak usah tukar-menukar!"

"lbu...!"

"Diam, kau harus bersungguh-sungguh. Ibu tak senang kau main-main, Boen Siong, tak pernah kau seperti ini kalau suhumu menguji. Bersungguh-sungguhlah dan keluarkan semua kepandaiannu!"

Heng-san-paicu merah padam. la hampir marah akan tetapi Ko Pek Tojin tiba-tiba tertawa. Ketua Hoa-san ini melihat betapa mendongkolnya sang ibu, kata-kata itu mengejutkannya tetapi juga sekaligus menggirangkan. Pemuda ini ternyata belum mengeluarkan semua kepandaiannya, biarlah diuji habis-habisan dan akan dilihatnya itu. Maka ketika ia tertawa dan mengherankan tuan rumah, maju dan melangkah maka kakek ini menggapai ketua Bu-tong dan See-tong.

"Tunggu apalagi. Kali ini mati hidup kepercayaan kita kepada anak muda ini Gu Lai lo-suhu, marilah dan jangan ragu-ragu. Berenam pun rasanya masih kurang. Ayo, tak mungkin anak muda itu takut dan ibunya sudah begitu percaya!"

Sekagum-kagumnya Gu Lai Hwesio tetap juga ia tertegun. Pemuda ini masih ditambah mereka lagi? Enam mengeroyok satu? Tapi ketika See Cong Cinjin meloncat dan tidak ragu-ragu iapun berkelebat dan membawa toyanya lagi. Rekannya itu sudah menyambut.

"Bagus, kita ditantang dan diminta maju semua. Hanya Chi Koan atau Naga Gurun Gobi berani seperti ini. Pinto tak perlu malu dan jangan disalahkan!"

Hwesio ini melompat dan apa boleh buat terpaksa mengikuti rekannya. Iapun merasa penasaran dan marah kepada wanita itu. Begitu sombongnya menjagokan putera. Maka ketika ia menderu-derukan toya dan minta maaf jangan disalahkan nanti, inilah pertandingan mendebarkan yang amat menentukan maka Boen Siong terbelalak dan mengeluh. Ia dipojokkan dan harus menerima.

"Omitohud, ini benar-benar luar biasa . Kalau pemuda ini dapat mengalahkan kita pantas juga pilihanku berubah, Sin Tong Tojin. Ada dua calon bengcu yang masuk perhitungan!"

"Benar, dan pinto akan mempertimbangkannya pula. Li-hujin demikian bersemangat menjagokan puteranya!"

"Dan pinto langsung mendukung.kalau ia dapat menghadapi' Thi-khi-hiat atau Tit-ci-thian-tungku biarlah Heng-san mengaku kalah!" Sin Tong Tojin menjawab belakangan dan ketua Heng-san ini terbakar darahnya. Ia marah kepada Li hujin itu dan bersiap-siap merobohkan puteranya. Biarlah dia memberi pelajaran.

Dan karena hanya kakek ini yang belum maju, dialah yang paling tinggi dan belum menjajal maka Boen Siong berdebar tegang namun tetap bersikap tenang. Enam orang itu telah mengepung dan iapun mengencangkan otot-ototnya.

"Cabutlah senjatamu, kami tak akan main-main. Sekali ini kau dipaksa bersungguh-sungguh, anak muda, di samping menyenangkan ibumu juga membuka lebar-lebar mata kami. Cabutlah!"

Ko Pek Tojin berseru dan kakek ini merasa kasihan juga. Ia melihat keraguan di mata pemuda itu, bukan takut akan tetapi ragu. Namun ketika Boen Siong menarik napas dan berkata bahwa senjata dicabut belakangan, kalau sudah diperlukan maka kakek ini tak membujuk lagi dan berkata.

"Baiklah, pinto sudah memberi nasehat. Kali ini Heng-san-paicu marah, anak muda, berhati-hatilah. Pinto mendahului!"

Lalu ketika kakek ini menusuk dan menggerakkan pedangnya, ditarik dan menyerang lagi maka Gu Lai Hwesio dan See Cong Cinjin mengikuti, mengayun atau menggerakkan toyanya itu dan menderulah senjata di tangan ketua partai ini. Heng-san-paicu masih menunggu dan Goat Gin Tojin maju menyusul. Lalu ketika Lam Bong Cinjin membentak dan mengejar pemuda itu barulah ketua ini bergerak dan lengannya bergetar mendengung bagai tongkat.

"Wutt!" Boen Siong mengelak dan menangkis serta berlompatan. Dari enam orang itu hanyalah Ko Pek Tojin dan Heng-san-paicu yang belum berkenalan, juga Goat Gin Tojin. Akan tetapi karena dua yang pertama adalah ketua-ketua partai dan jelas tak boleh dibuat main-main, terkejut oleh pukulan di belakangnya maka Boen Siong membalik dan menangkis lengan ampuh ketua Heng-san-paicu ini.

"Dukk!" Boen Siong tergetar akan tetapi lawanpun terhuyung. Dikeroyok dan harus membagi tenaga membuat pemuda ini kewalahan. Untunglah ia cepat menangkis lengan kakek itu dan terkejut, lengan itu kuat dan alot, tulangnya seperti besi! Akan tetapi karena Boen Siong tak mungkin berpikir panjang lagi, lawan sudah berkelebat dan menyerangnye dari muka dan belakang maka iapun mengeluarkan Bong-eng-sutnya itu alias Elang Cahaya.

"Slap-slap!" pemuda ini lenyap dan sebagai gantinya tubuhnya menjadi bayangan yang menyambar-nyambar. Para murid bersorak dan tepuk riuhpun muncul. Heng San-Paicu membentak dan mengeluarkan Sin-sian-hoan-engnya. Lalu ketika berturut-turut Goat Gin Tojin dan Cam Bong Cinjin mengikuti ketuanya, juga Ko Pek dan See Cong Cinjin tak mau kalah maka Gu Lai Hwesio memekik dan mengayun toyanya menderu-deru.

"Plak-plak-dess!"

Toya bertemu lengan dan bunga api berpijar. Tidak seperti tadi yang banyak mengalah maka Boen Siong sudah dipaksa bersungguh-sungguh. Ia tak boleh main-main menghadapi lawan-lawan tangguh ini, apalagi ketua Heng-san yang marah. Dan ketika kakek itu melengking dan mendorongkan lengannya berulang-ulang, uap atau hawa panas meledak dan menyambar maka Lui-yang Sin-kang atau Pukulan Petir menggelegar.

"Blar-blarr...!