Kabut Di Telaga See Ouw Jilid 24

Cerita Silat Mandarin Serial Bu-beng Sian-su Karya Batara

"KAU harus bersungguh-sungguh," sang ibu melirik, "Pesan dan guru-gurumu bukan tidak beralasan, Boen Siong. Apa yang dikatakan kulihat benar pula, jangan ragu."

"Aku akan melaksanakannya sesuai perintah. Akan tetapi mampukah aku mengerjakan semua itu, ibu, berhasilkah kiranya mencapai cita-cita suhu. Aku belum tahu keadaannya nanti."

"Kau pasti berhasil!" sang suhu terkekeh. "Aku hendak memberikan sinkangku kepadamu, Boen Siong, tiada gunanya lagi tua bangka macam aku menyimpan tenaga sakti. Kau akan menjadi aku sewaktu muda!"

"Apa, suhu hendak memberikan sinkang kepadaku?"

"Ya, heh-heh, tak usah terkejut. Usiaku sudah delapan puluh tahun dan tua bangka macam aku tak mungkin berkiprah di dunia kang-ouw. Kaulah gantinya, kau yang akan mengangkat nama besarku dan kalahkan murid-murid Gobi dan lain-lainnya itu. Ha-ha, puas arwahku nanti kalau kau dapat mengalahkan musuh-musuhmu, Boen Siong. Itu tiada ubahnya mengalahkan Ji Leng dan lain-lainnya bagiku. Aku hendak memberikan sinkangku kepadamu!"

Boen Siong terkejut dan mengerutkan kening akan tetapi sang ibu justeru gembira dan girang bukan main. Nyonya ini berseri dan begitu gembira hingga tertawa kecil, sang anak dilihatnya bingung. Dan ketika nyonya itu berseru agar pemuda itu mengucap terima kasih justeru Boen Siong menggeleng.

"Nanti dulu, harap ibu jangan buru-buru. Kita sama tahu bahwa perbuatan itu membahayakan suhu, mana mungkin aku terima. Sebaiknya kita berpikir sehat dan tidak menerimanya!"

"Heh-heh, bodoh, goblok dan tolol. Aku tidak memberikan semuanya, Boen siong, aku menyisakannya sedikit untukku, kenapa ditolak. Kau harus menerimanya atau kuanggap membangkang terhadap guru!"

"Nah, bagaimana itu," sang ibu tertawa dan berseri-seri, menang lagi. "Suhumu sudah memperhitungkannya, Boen Siong, tugasmu memang berat. Kalau kau berhadapan dengan orang biasa saja agaknya tak perlu suhumu memberikan sinkang. Akan tetapi Naga Gurun Gobi itu, musuh besarmu itu, wah ia pewaris Ji Leng Hwesio dan mendapatkan langsung sinkangnya. Suhumu tidak salah!"

"Ha-ha, benar, ibumu lebih cerdas. Betapapun lihainya ilmu silatmu namun berhadapan dengan musuhmu itu aku khawatir juga, Boen Siong. Satu-satunya jalan ialah menandinginya dan memberimu sin-kang pula. Mendiang Ji Leng tidak merasa sayang, kenapa aku tidak. Kalau ia memberikan sinkangnya maka akupun akan melakukannya demikian. Naga Gurun Gobi adalah titisan Ji Leng sementara kau harus menjadi titisan Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip yang tak kalah pamor, ha-ha!"

"Ayo Boen Siong cepat haturkan terima kasih," sang ibu begitu gembira. "Suhumu tak tanggung-tanggung mencetak dirimu, Boen Siong. Cepat berlutut dan ucapkan terima kasih!"

Namun pemuda ini menggeleng dan menolak. Boen Siong tetap berkata bahwa pemberian itu adalah berbahaya, tak mau mencelakai gurunya. Dan ketika sang suhu maupun ibunya tertegun maka pemuda itu menarik napas dalam berkata dengan suara berat hal yang mengherankan namun sekaligus membuat kakek ini haru dan girang. Muridnya seorang berbudi tinggi.

"Aku terpaksa menolak dan boleh dianggap membangkang. Untuk yang satu ini terpaksa tak dapat kuterima, suhu. Aku tak mau membahayakan dirimu dan merusak kesehatanmu. Itu terlalu berbahaya dan beresiko tinggi. Aku tak mau mendapat operan sinkangmu."

"Akan tetapi suhumu tidak memberikannya semua!"

"Benar, akan tetapi maaf ibu, kaupun tahu bahwa usia suhu terlalu berbahaya untuk mengoperkan ini. Kalau ia masih cukup muda dan kuat tentu aku tak akan menolak. Tapi dalam usia delapan puluhan ini? Ah, pulihnya lambat, ibu, kesehatannya bakal menurun, dan aku tak mau ini!"

"Ha-ha, heh-heh-heh!" sang kakek terkekeh dan tertawa-tawa dan memang harus diakui kata-kata muridnya benar, kagum dan haru. "Kau tidak salah, Boen Siong, akan tetapi apa gunanya tua bangka macam aku hidup berpanjang-panjang lagi. Tanpa itupun kematian akan datang, kesehatan pasti menurun. Daripada sia-sia terbuang percuma bukankah lebih baik diwariskan kepadamu!"

"Tidak, dalam hal ini aku ták dapat menerimanya. Kematian dan kesehatan boleh mengancammu, suhu, tapi jangan karena aku. Kalau untuk ini aku menjadi gara-gara lebih baik kutolak dan tidak kuterima!"

"Ha-ha-ha. kakek itu tergelak menggetarkan guha. "Ini bukan kemauanmu, Boen Siong, melainkan kemauanku. Tak ada yang salah jika kau menerimanya!"

"Akan tetapi aku tak mau menjadi sumber sebab, tak mau menjadi gara-gara!"

"Eh, sumber sebab adalah aku!"

"Tidak, suhu salah. Kalau aku tak mengetahui resikonya boleh jadi kau benar, suhu, akan tetapi dengan mengetahui ini maka aku bertanggung jawab. Betapapun aku tak dapat menerimanya dan suhu boleh menganggap aku membangkang!"

Percakapan menjadi putus dan terbelalaklah kakek itu dengan wajah merah. Li Ceng sendiri terkejut mendengar kata-kata puteranya itu dan tiba-tiba nyonya ini terisak. Ada kagum dan haru tapi juga kecewa. Dalam sikap dan kata-kata itu tiba-tiba terlihatlah oleh nyonya ini betapa puteranya sama benar dengan bapaknya. Seperti itulah Naga Gurun Gobi! Maka ketika ia terharu dan memeluk puteranya ini, menangis maka kakek itu mengepal tinju dan merasa bingung, juga marah dan merasa tertantang!

Akan tetapi Boen Siong adalah pemuda keras hati dan keras pendirian. Sekali menyatakan pendapat pasti dipegangnya teguh. Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip harus berhati-hati kalau sudah begini. Memaksakan kehendak hanyalah menimbulkan keributan saja. Maka ketika kakek itu menarik napas dalam-dalam menahan marahnya, mengendalikan diri mendinginkan otak dan perasaannya maka kakek itu mengangguk-angguk dan akhirnya tersenyum. Betapapun ia harus bersikap cerdik!

"Baiklah," katanya, "kali ini kau menang akan tetapi perintah dan cita-citaku pertama harus kau turut. Kau harus menaklukkan dunia kang-ouw dan mengangkat nama besar gurumu. Kau harus memimpin mereka mencegah timbulnya kejahatan!

"Untuk ini aku sanggup. Maaf kalau keinginanmu tadi kutolak, suhu, betapapun aku tak mau mencelakai orang yang kucinta!"

"Ya-ya, aku tahu. Sekarang pergilah dan biarkan aku dengan ibumu dan mulai besok kau harus melatih ilmu-ilmu terakhir dariku. Besok akan kuuji Siok-kut-kang dan lain-lainnya yang kau dapat dari aku."

Boen Siong mengangguk dan lega. Dia mundur dan malam itu Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip bercakap-cakap dengan Li hujin. Li Ceng kecewa juga puteranya menolak itu. Akan tetapi karena ia dapat melihat pula benarnya kata-kata puteranya, memang terlalu berbahaya bagi kakek ini memberikan sinkangnya maka malam itu si nyonya menemani kakek ini sampai larut malam.

Boen Siong tak curiga mengira guru dan ibunya itu bercakap tentang persiapan turun gunung. Ibunya memang akan ikut. Maka ketika keesokannya ia bersila dan duduk lagi berhadapan dengan suhunya itu, sang ibu di belakang maka kakek ini berseri-seri memandang muridnya. Meskipun buta akan tetapi kakek ini seperti orang melek saja, pendengarannya telah begitu tajam hingga tahu persis di mana lawan berada.

"Hari ini terakhir kalinya ingin kuuji ilmu-ilmumu. Coba kau perlihatkan Siok-kut-kang yang kau miliki, Boen Siong, juga Nui-kang dan Thian-te-bu-pian-to-hoat yang kau pelajari dari aku. Kalau belum sempurna ingin kusempurnakan dan jangan mengecewakan gurumu kalau sudah turun gunung."

Pemuda itu mengangguk, lengan dan tubuhnya tiba-tiba bergetar. Tidak seperti biasa di mana ia akan bergembira kalau disuruh gurunya maka hari ini agak lain. Wajah pemuda itu muram, bayang kesedihan tak dapat disembunyikan. Akan tetapi ketika gurunya menunggu dan ia harus melaksanakan itu.

Siok-kut-kang (Ilmu Pengerut Tulang) adalah ilmu yang harus dikerjakan dengan penuh konsentrasi maka iapun menarik napas dalam-dalam dan sekali ia membentak mendadak pemuda itu membuang kedua lengannya ke samping dan berbareng dengan bunyi-bunyi berkerotok tiba-tiba tubuhnya mengkerut dan kecil seperti bayi!

"Krekk!" Orang akan takjub melihat ini. Boen Siong, yang semula berbentuk pemuda dewasa dan tegap serta gagah mendadak hilang menjadi seorang kerdil aneh yang tingginya tak lebih dari sembilan puluh senti. Pemuda itu tiba-tiba menjadi separoh tingginya semula dan kecil serta aneh. Akan tetapi ketika kakek itu tertawa bergelak dan memuji girang, Boen Siong membentak mengembalikan tubuhnya semula maka kakek itu terbahak-babak bertepuk tangan.

"Ha-ha Bagus, sempurna sekali, cocok dan sudah tepat. Akan tetapi tunjukkan Nui-kang kepadaku, Boen Siong, apakah selihai Siok-kut-kng yang kau miliki!"

Pemuda ini mengangguk, menggosok-gosok seluruh tubuhnya. Nui-kang (ilmu Lemaskan Tulang) pada hakekatnya adalah ilmu karet. Tubuh tidak akan mengecil seperti Siok-kut-kang akan tetapi dapat dilentur-lenturkan ke segala penjuru. Ilmu ini tak kalah aneh dibanding Siok-kut-kang. Maka ketika ia berseru keras menepuk paha mendadak pemuda ini sudah berbalik dan melempar punggung ke atas, tengkurap....Wut!"

Selanjutnya Boen Siong melipatkan tangan kebelakang, menekuk kaki seperti kepiting dan tiba-tiba pemuda ini sudah berputar dan berjalan miring-miring. Geraknya lucu dan aneh hingga sang suhu tergelak-gelak. Lalu ketika pemuda itu meliuk dan melompat-lompat, berganti posisi seperti ular menggeliat atau bangau memelintir leher maka pemuda ini sudah menjadi manusia karet yang demikian elastisnya. Ditekuk atau dilipat tetap sama dan pantat serta kepalanya tak dapat dibedakan lagi. Sama besar!

"Ha-ha-heh-heh, kau melebihi aku. Nui-kangmu lebih hebat dari aku. Ha-ha, sempurna sekali gerak tubuhmu itu, Boen Siong. Kau seperti karet yang dapat dilentur-lenturkan. Bagus, penguasaanmu sudah matang. Heh-heh, cukup dan sekarang mainkan Thian-te-bu-pian- to-hoat untuk kulihat!"

Boen Siong melepaskan kaki tangannya dan lenyaplah sudah gerakan seperti gurita ini. la mulai tersenyum melihat kegembiraan gurunya dan tiba-tiba gurunya membentak. Sepasang golok terbang menyambar berkeredep dan orang akan terkejut melihat serangan itu. Jarak demikian dekat dan berbahaya sekali.

Akan tetapi ketika Boen Siong mengelak dan menyambut dengan jentikan kuku-kuku jari, golok berdenting dan terpental ke atas maka pemuda itu sudah menyambar dan menangkap golok ini sebagai isyarat bahwa ia cukup tangkas dan siap mainkan Thian-te-bu- pian-to-hoat (Silat Golok Langit Bumi Tak Bertepi).

"Trik-trangg!"

Golok disambar kedua tangan dan tiba-tiba pemuda itu telah bersilat. Dengan seruan pendek-pendek namun langkah kaki panjang-panjang Boen Siong telah mainkan Thian-te-bu-pian-to-hoat dengan gerakan mantap dan penuh konsentrasi. Mula-mula golok di kedua tangannya berdengung lalu mendesing. Cepat menyilang naik turun lalu berobah seperti ombak bergemuruh, menggetarkan dinding guha dan tampaklah betapa siang-to (sepasang golok) di tangannya itu berubah menjadi sepasang cahaya yang bergerak amat cepatnya, begitu cepatnya hingga tak dapat diikuti pandang mata lagi.

Lalu ketika sang guru membentak agar mainkan Bong-eng-sut (Bayangan Elang Cahaya) maka lenyaplah pemuda itu berputar dengan kedua goloknya yang kini tidak mengeluarkan suara lagi, tanda bahwa permainan puncak telah dilaksanakan pemuda ini dan tampak betapa dinding guha tergores-gores.

"Ha-ha-ha, kau sudah menyamai gurumu, hebat. Akan tetapi jangan sombong dan ihat ini... wut-wut-wut!" belasan golok kecil tiba-tiba menyambar ke delapan penjuru guha dan tiba-tiba terpental menyambar Boen Siong. Sama seperti datangnya tadi golok-golok kecil ini berkeredepan menyilaukan mata, ujungnya telah patah mengenai dinding guha akan tetapi justeru inilah yang paling berbahaya. Benda-benda kecil ini menyambar dan inilah keistimewaan Jiong Bing Lip si Golok Terbang.

Akan tetapi ketika Boen Siong menangkis begitu cepatnya dan setiap tangkisan membuat golok terpotong, potongan inilah yang menghantam benda-benda kecil itu maka duapuluh empat serangan maut digagalkan begitu mudah, runtuh dan sebagian menancap dinding guha.

"Ha-ha-ha!" sang kakek tergelak-gelak. "Kau memuaskan hatiku, Boen Siong, akan tetapi belum cukup. Awas aku maju dan jaga serangan!" si kakek mencelat dan tiba-tiba menyambar dengan sepasang golok panjang di tangan.

Golok ini berkeredep menyilaukan mata dan Boen Siong terkejut. Tubuh gurunya menyambar bak elang melesat. Itulah Bong- eng-sut yang dilakukan pula. Namun ketika ia mengelak dan menangkis, bunga api berpijar di udara maka Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip sudah menyerang muridnya ini lebih gencar, lebih buas!

"Ha-ha-ha, ini ujian terakhir. Hadapi aku seperti menghadapi musuh besarmu, Boen Siong, atau kau mampus dan tak jadi turun gunung. Awas.... cring-crangg."

Bunga api berhamburan memuncrat dan Boen Siong agak tersentak melihat serangan gurunya. Golok terpental dan masing-masing sama terhuyung akan tetapi gurunya sudah maju agi. Bong-eng-sut membuat kakek itu melesat berkelebat ke depan, benar-benar bagai elang cahaya yang begitu cepatnya. Akan tetapi ketika sang murid menangkis dan mementalkan lagi, kakek itu terbahak maka Pek-gan Hui-to. Jiong Bing Lip ini sudah menerjang muridnya lebih dahsyat, tangan kiri mulai bergerak dan tampaklah pukulan panas menyambar dan lengan kakek itu berpijar bagai bara api.

"Suhu!" Boen Siong terkejut. "Ada apa kau mengeluarkan Lui-cu-sin-hwe-kang seolah bertanding mati hidup Aku bukan musuh besarmu!"

"Ha-ha, sudah kubilang bahwa ini pertandingan akhir, ujian terakhir. Aku ingin kau bersungguh-sungguh menghadapiku, Boen Siong, anggap seperti musuh besar. Keluarkan Lui-cu-sin-hwe-kang (Tenaga Api Sakti Mutiara Geledek) pula dan ingin kulihat seberapa hebat kau memiliki sinkang itu. Ayo, atau kau mampus....blarr!"

Bola api pecah berantakan menghantam dinding guha dan Boen Siong berjungkir balik menyelamatkan diri ke belakang. Suhunya demikian bersungguh-sungguh hingga pemuda ini kaget bukan main. Wajahnya berobah pucat. Akan tetapi ketika ia melayang turun dan sang suhu menyambarnya lagi, golok diseling pukulan Lui-cu-sin-hwe-kang maka iapun mengertakkan gigi dan apa boleh buat harus mengimbangi suhunya itu mati-matian. Boen Siong menganggap bahwa gurunya benar-benar hendak menguji terakhir kalinya.

"Baiklah," katanya. "Kau aneh seperti orang tidak waras saja, suhu. Kalau kau ingin aku mengeluarkan semua ilmu kepandaianku baiklah kukeluarkan di sini. Akan tetapi ingat, betapapun kita guru dan murid!"

"Jangan Banyak cakap, ha-ha! Sambut dan terimalah pukulanku, bocah. Chi Koan maupun Peng Houw tak akan bersikap lunak kepadamu. Haiitttt.... wut-blarr!"

Golok terpental bertemu golok akan tetapi Lui-cu-sin-hwe-kang yang dikerahkan Boen Siong membuat suhunya bergoyang-goyang. Aneh, kakek ini tertawa bergelak, Boen Siong terhuyung mundur. Dan ketika pemuda itu menahan napas betapa suhunya bersungguh-sungguh, ia benar-benar didesak dan harus membela diri maka pemuda inipun membentak dan Bong-eng-sut membuat tubuhnya lenyap berkelebat ketika Lui-cu-sin-hwe-kang menyambar kembali.

"Desss!" Lantai guha berlubang. Kali ini ledakan begitu kuat hingga sebagian atap rontok. Boen Siong melengking menyambar gurunya itu. Lalu ketika pemuda ini membalas dan menambah kecepatannya maka si kakek tergelak mengelak sana-sini, juga menangkis.

"Bagus, ini yang ku mau. Kau harus bertempur seperti menghadapi musuh besarmu, Boen Siong. Dua orang itu tak mungkin mengalah kepadamu kalau kau berhadapan. Ayo, mainkan segenap ilmu silatmu aku akan menambah Lui-cu-sin-hwe-kangku!"

Darah muda membuat Boen Siong terbakar. Betapapun akhirnya ia gemas, Suhunya menyerang begitu sungguh-sungguh dan ia pun mengelak serta membalas tak kalah garang. Kini iapun menambah Lui-cu-sin-hwe-kangnya hingga bola-bola api berpijar. Lengan kirinyapun berkeredep bagai bara panas, menyambar dan bersiutan membentur Lui-su-cin-hwe-kang yang dilancarkan gurunya.

Dan ketika sebentar kemudian guha menjadi terang- benderang oleh bunga api guru dan murid, golok masih berseliweran dan mendesing tak kalah bahaya maka Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip diam-diam kagum akan kepandaian muridnya ini, benar-benar hampir setingkat!

Akan tetapi kakek ini penasaran. Dalam benturan atau tangkisan muridnya terasalah betapa dalam beberapa kali pertemuan muridnya itu mengurangi tenaganya. Hal ini membuat pemuda itu terhuyung dan bahkan terpental sementara ia hanya bergoyang-goyang atau tergetar sedikit. Kakek ini maklum bahwa muridnya tak mau mencelakainya, lebih baik diri sendiri celaka dan orang lain selamat.

Maka ketika ia menjadi gemas namun juga marah, dibentaknya pemuda itu agar tidak setengah-setengah maka tiba-tiba ia menimpukkan golok di tangan kanannya dan menyambar dengan kedua lengan berkerotok. Kedua telapak kakek ini menghantam dengan pukulan Lui-cu-sin-hwe-kang.

"Aku tak mau kau setengah-setengah. Mampus atau selamatkan dirimu, Boen Siong, jangan si tua bangka ini kau kecewakan!"

Pemuda itu terkejut. Golok menyambar mendahului pukulan gurunya dan cepat ia menangkis. Tubuh direndahkan dan lutut setengah ditekuk. Akan tetapi ketika goloknya mencelat bertemu golok gurunya, tanda betapa kuat lontaran gurunya maka saat itulah tubuh gurunya menyambar dan menghantam dengan kedua telapak tangan terbuka.

"Suhu!" tak ada waktu bagi pemuda ini berpikir panjang. la masih kaget oleh benturan golok yang amat kuat itu, kini semakin kaget oleh serangan gurunya yang begitu dahsyat. Maka ketika ia terpekik dan menyambut cepat, untunglah ia sudah merendahkan tubuh maka dengan kuda-kuda setengah berjongkok ia pun mengerahkan Lui-cu-sin-hwe-kang menyambut gurunya itu, kedua tangan dibuka dan betapa lengan pemuda ini berpijar.

"Desss!" Guha serasa ambruk. Seluruh dinding bergetar hebat dan dua pasang lengan guru dan murid menyatu, saling cengkeram dan dorong sementara uap panas membumbung naik. Kedua lengan mereka sama-sama berpijar dan orang akan takjub melihat ini betapa masing-masing mengerahkan tenaga dan empat lengan itu bagaikan api, hidup dan menyala namun kemudian surut.

Boen Siong mengurangi tenaganya hingga gurunya terkejut, mengurangi pula tekanan dan kakek itu melotot. Ia sudah mengambil ancang-ancang untuk menerobos pertahanan pemuda itu, masuk dan menyelinap lalu menyalurkan sinkangnya ke tubuh sang murid. Akan tetapi karena Boen Siong mengurangi tenaganya dan inilah berbahaya, bukan itu maksudnya maka ia membentak agar pemuda itu adu kuat, bukan melemahkan pertahanan.

"Bodoh, jangan kurangi tenagamu. Kerahkan dan dorong semua kekuatanmu, Boen Siong, ingin kulihat seberapa jauh tingkat sinkangmu!"

"Akan tetapi itu berbahaya, salah satu bisa roboh. Kalau kau tak kuat maka kau roboh, suhu, lebih baik aku saja atau tarik semua tenagamu!"

"Keparat, kau merendahkan aku. Sangkamu kau bisa mengalahkan gurumu? Heh lihat ini, Boen Siong, kau mampus kalau tak cepat menambah tenagamu!"

Tenaga amat dahsyat tiba-tiba mendorong pemuda ini dan Boen Siong terkejut betapa gurunya bersungguh-sungguh. Sadarlah dia bahwa gurunya ini memang hebat. ketika ia membentak dan menambah tenaganya lagi, bertahan dan mendorong maka kakek itu bergoyang-goyang dan wajahpun tiba-tiba berseri. Boen Siong mengimbangi tenaganya dan sejauh itu ia puas,muridnya benar-benar tak di bawah tingkatnya.

Akan tetapi kakek ini membentak, menambah tenaganya dan Lui-cu-sin hwe-kang kembali menyambar. Boen Siong kembali harus mengimbangi gurunya kalau tak ingin celaka. Akan tetapi ketika suhunya menambah dan menyerang lagi, pemuda ini berubah maka ia berseru bahwa perbuatan itu berbahaya. Adu sinkang itu seolah adu jiwa saja.

"Tidak, jangan! Ah, kurangi tenagamu dan jangan mendesak, suhu, salah satu di antara kita bisa celaka!"

"Aku memang ingin menguji semua kepandaianmu. Jangan cerewet dan menggurui aku, Boen Siong, tambah tenagamu pula dan nanti kita tarik bersama-sama kalau kurasa cukup!"

Pemuda ini terbelalak, merah pucat. la menjadi ragu akan tetapi sekali lagi gurunya membentak. Masing-masing sudah delapan bagian mengerahkan tenaga dan sama-sama bergoyang-goyang. Dan ketika ia menjadi kecut serta ngeri, tinggal dua bagian lagi sisa tenaga di tubuh maka gurunya berseru bahwa ada ilmu baru yang hendak diberikan, kata-kata yang membuat pemuda ini tertegun.

"Kau tak usah ragu atau melemahkan pertahanan. Tambah sampai sembilan bagian tenagamu, Boen Siong, di situ kita sama-sama berhenti. Ada ilmu baru yang hendak kuberikan dan syaratnya, adalah mengerahkan tenaga sembilan bagian!"

Boen Siong terkejut, berseri. Kalau begini tentu lain, ia tak perlu ragu lagi. Maka ketika ia membentak dan sang suhu tergelak, itulah saatnya masing-masing menambah tenaga maka tepat sembilan bagian mendadak jari gurunya memencet pergelangan kirinya menutup nadi Lek-bu-hiat.

"Suhu!"

Terlambat. Boen Siong tertotok dan ngerilah dia memandang wajah gurunya itu. Nadi ini merupakan aliran masuknya sinkang, kalau ditutup berarti ia tak dapat menarik tenaganya lagi. Yang terjadi adalah pengerahan tenaga bukannya penghentian tenaga, ibarat saluran maka semuanya bakal tumpah keluar, tentu saja berbahaya, terutama bagi gurunya!

Dan ketika benar saja kakek itu tersuruk dan terdorong, Boen Siong tak dapat mengendalikan tenaganya lagi maka kakek ini terbatuk akan tetapi secepat itu ia memegang nadi yang lain dan tiba-tiba menerima lalu mengalirkan masuk sinkangnya ke tubuh pemuda itu. Nadi Ui-beng-hiat dibuka.

"Suhu! Boen Siong benar-benar ngeri. la panik dan berteriak akan tetapi suhunya terkekeh. Tubuh kakek ini menggelembung lalu mengempis lagi, Ia menggelembung dan mengempis karena ganti-berganti ia menerima lalu mengeluarkan lagi dorongan sinkang muridnya. Dan karena setiap dorongan ditambah tenaganya sendiri, itulah yang membuat Boen Siong ngeri maka bagai air bah membanjir pemuda inipun tak mampu menolak tenaga suhunya lewat nadi Ui-beng-hiat itu.

Sinkang Si kakek mengalir deras dan Boen Siong ganti menggelembung, wajah dan tubuh pemuda ini merah kehitaman. Lalu ketika, Boen Siong seakan meledak, tangan gurunya masih memencet nadi Lek-bu-hiat maka tepat sembilan bagian tenaga memasuki tubuhnya kakek itupun roboh dan lepaslah pencetan di pergelangan nadi kiri.

"Bress!" Boen Siong mencelat dan terlempar menabrak dinding. Bagai balon yang ditiup kemudian pecah tiba-tiba maka pemuda ini terhempas begitu hebatnya. Dua nadi penting, Lek-bu-hiat dan Ui-beng-hiat dikuasai gurunya. la bagai boneka yang harus menurut saja apa yang dikehendaki tuannya.

Maka ketika Ui-beng-hiat dibanjiri sinkang sementara Lek-bu- hiat ditutup, terjadilah arus deras besar-besaran memasuki pemuda itu maka Boen Siong tak dapat menguasai dirinya ketika Lek-bu-hiat dilepas akan tetapi Ui-beng-hiat sudah penuh tenaga sakti. Pemuda ini mencelat dan terhempas ke dalam dinding, melesak. Hal ini karena gurunya mendorong dan mengembalikan semua tenaga. Kalau Lek-bu-hiat tidak dibuka tentu Boen Siong akan pecah berantakan.

Tenaga sakti yang memenuhi tubuhnya itu ibarat balon yang sudah mencapai titik tertinggi, bakal meledakkan tubuhnya kalau tidak cepat mengempis atau terbukanya sebuah lubang. Dan karena saat itu Lek-bu-hiat dibuka namun Boen Siong didorong, pemuda ini mampu menguasai dirinya maka ia terlempar dan mencelat menabrak dinding, melesak sedalam tubuhnya. Akan tetapi karena saat itu sang kakek sudah menguras tenaganya, keadaannya berkebalikan dengan Boen Siong.

Maka kakek ini bagai lampu teplok kehabisan minyak, roboh dan terduduk namun celakanya guhapun runtuh. Hal ini karena hantaman tubuh Boen Siong, yang amblas dan melesak di dinding itu. Maka ketika pemuda itu mengeluh sementara gurunya menyeringai kehabisan tenaga, dengan akal cerdiknya kakek ini telah mengoper sinkangnya ke tubuh sang murid maka runtuhnya guha itu amat tak diduga dan terkuburlah kakek ini hidup-hidup.

"Locianpwe!" Bayangan merah melesat dan itulah Li Ceng atau Li-hujin. Nyonya ini berada di belakang ketika semua keributan terjadi. la baru terkejut ketika mendengar suara gemuruh itu. Maka ketika ia berteriak namun si kakek telah terbenam, guha runtuh begitu dahsyat maka nyonya ini terbelalak dan tertegun di tempat, mundur dan menjauh.

"Boen Siong!"

Tak ada jawaban. Wanita ini bahkan harus menyingkir lagi ketika batu terakhir berdebum. la ngeri dan pucat lalu tersedu-sedu. Kakek itu dan puteranya agaknya tertimpa reruntuhan guha. Akan tetapi ketika wanita ini memekik dan siap menerjang, membongkar atau membuang reruntuk guha mendadak di sebelah kanannya terdengar suara berkeresek dan. Boen Siong muncul dengan debu sekujur tubuh, bagai mayat hidup.

"Puteraku!"

Tak ayal lagi wanita ini menubruk dan girang bukan main. Tangisnya kian mengguguk akan tetapi beda, bukan duka melainkan suka. Dan ketika Boen Siong mengebut-ngebutkan seluruh tubuhnya dari debu dan kotoran guha, iapun teruruk namun dapat keluar maka ibunya menunjuk dan menuding, teringat lagi kakek itu.

"Ah, ia di situ, Boen Siong, guru terkubur hidup-hidup. Tolong dan keluarkan dia!"

Boen Siong menggigil dan merah kehitaman. la belum kehilangan semua kekagetan itu, tenaga sakti itu masih bergolak dan berputar-putar. Untunglah, berkat kepandaiannya dan terbukanya lagi nadi Lek- bu-hiat iapun dapat menguasai diri.

Kelebihan sinkang diputar dan bergerak naik turun, masih limbung akan tetapi cukup tegak. Maka ketika ia bergerak dan meraup batu-batu reruntuhan, angin pukulannya sudah membuat batu-batu beterbangan maka tampaklah kakek itu terbenam dan pucat pasi.

"Suhu!" Boen Siong menyambar dan gemetar mengangkat gurunya ini. Kakek itu membuka mata dan menyeringai, bola putihnya berputar naik turun. Lalu ketika ia terkekeh namun terbatuk, melontakkan darah segar maka Boen Siong menggigil mencengkeram gemas.

"Kau menipuku!" pemuda itu membentak. "Kau mengelabuhi dan menipu aku suhu. Kau mengoperkan sinkangmu kepadaku!"

"Heh-heh, aku lebih keras darimu. Aku menang. Kau tak manpu lagi mencegahku, Boen Siong. Sinkangku, ha-ha... telah masuk ke tubuhmu. Aku, ugh!" kakek itu terbatuk lagi, melontakkan darah dan Boen Siong pun menotok dan menangis. Pemuda ini gemetar mencengkeram suhunya akan tetapi segera meletakkan dan menolong gurunya itu.

Kalau saja guha tak runtuh dan membenamkan kakek ini barangkali kakek itu selamat. Kalaupun luka tak seberapa, biarpun tetap berbahaya karena tenaganya tinggal satu bagian saja. Maka begitu guha menguburnya hidup-hidup dan batu serta benda keras menghantamnya, inilah yang tak dapat diterima tubuhnya yang tua maka kakek itu luka-luka dan dua iganya patah, ditambah lagi dengan tulang bahu dan kaki.

"Kau... hu-hu-hu!" Boen Siong tak dapat menahan sedu-sedannya lagi. "Kau gila, suhu, kau mencelakai dirimu sendiri. Lihat apa yang terjadi ini dan kenapa kau menipuku!"

"Sudahlah, tolong dan cepat sadarkan dia," sang ibu berseru dan khawatir juga, kakek itu pingsan. "Betapapun maksud baiknya diperuntukkan dirimu, Boen Siong, kau tak dapat lagi menolaknya. Tolong dan sadarkan gurumu dan jangan memaki-makinya."

"Aku akan mengembalikan sinkangnya ini. Siapa bilang tak dapat kutolak dan lihat apa yang kulakukan!"

"Boen Siong!"

Akan tetapi pemuda itu sudah duduk bersila menempelkan tangannya pada pundak gurunya. Dengan air mata bercucuran dan marah namun haru pemuda ini tak mau mendengar seruan itu. Ia hendak mengembalikan sinkang gurunya. Akan tetapi ketika tiba-tiba gurunya bergerak dan mengeluh, menepis itu maka kakek ini membentak, tersendat-sendat.

"Kau jangan membuatku tak mati meram. Kau hentikan itu! Kalau ingin mengembalikan kebaikanku jangan tanggung-tanggung, Boen Siong. Kembalikan pula semua makan minum yang telah membuatmu besar begini. Kembalikan pula budi baikku kepada ibumu. Aku mau mati dan jangan macam-macam. Berhenti atau kugigit putus lidahku!"

Pemuda ini tertegun, pucat. Ia gemetar memandang gurunya itu akan tetapi gurunya menggapai ibunya. Dipanggilnya Li-hujin berulang-ulang. Lalu ketika wanita itu mendekat tersedu-sedu, kakek ini tersenyum maka Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip berkata, terengah diseling batuk dan muntah darah.

"Uh-uh! Anakmu, si konyol itu... benar-benar keras kepala, hujin, tak kalah dengan aku sewaktu muda. Namun aku menang, heh-heh... ia tak dapat mengembalikan apa yang sudah kuberikan. Kalian, uh... boleh turun gunung. Kalahkan Naga Gurun Gobi Peng Houw dan taklukkan dunia. Aku... aku akan melihatnya dari alam baka. Heh-heh... akan kutemui Ji Leng Hwesio yang bakal melotot melihat muridnya dikalahkan muridku. Uh, dampingi puteramu laksanakan perintahku, hujin... hati-hati terhadap musuh yang curang. Aku.... aku rasanya tak dapat bertahan lagi..!"

"Locianpwe!"

Diam, tunggu. Jangan antar kematianku dengan tangis, wanita bodoh. Aku ingin mati meram dan melihat Boen Siong mengalahkan musuh-musuhnya. Aku, heh-heh... aku akan menghajar kalian di akherat kalau pesan dan perintahku sampai gagal. Aku, uhh... selamat ting...gal!"

Kakek itu terguling dan Li-hujin menjerit. Boen Siong mengeluh menyambar gurunya namun kakek ini telah tewas. Ia menyeringai dan seakan ketawa dan hancurlah perasaan Boen Siong melihat kematian gurunya itu. Gurunya tewas untuk mengoper sinkang kepadanya. Maka ketika sang ibu tersedu-sedu sementara ia pun tersedak dan mengguguk, hanya sekejap saja maka Boen Siong seakan mendengar kata-kata gurunya yang selalu mengiang.

"Orang hidup pasti mati, dan kematian adalah sesuatu yang wajar. Menangisi kematian dan meratapi kedukaan adalah perbuatan cengeng, muridku, jangan terlarut dan hanyut berlebihan. Kau murid Jiong Bing Lip yang gagah perkasa dan tunjukkan itu!"

Boen Siong menggigit bibir dan akhirnya menghentikan sedu-sedannya. Tidak seperti sang ibu yang mengguguk dan meraung-raung adalah dia yang lalu bersila, memangku jenasah gurunya ini. Semua telah terjadi, semua itu dikehendaki gurunya pula. Maka ketika ia menggigit bibir menahan segala perihnya hati, kedukaan itu menusuk tajam maka ia menenangkan diri dengan bersamadhi dan menguatkan batin.

Pemuda ini akhirnya berhasil dan dibukanya kembali kedua matanya, melihat sang ibu tersedu-sedu namun akhirnya ditepuknya perlahan, disadarkan bahwa yang lewat tak mungkin kembali. Boen Siong mendadak begitu dewasa di saat itu, pandang mata dan sikap serta tutur katanya tiada ubahnya gurunya sendiri.

Dan ketika sang ibu terisak berguncang-guncang belum dapat menghentikan tangisnya, pemuda ini bangkit berdiri maka ia berkata bahwa kematian adalah sesuatu yang tak dapat dihindari. Kata-kata gurunya meluncur lagi seakan Jiong Bing Lip sendiri.

"Semua sudah terjadi, dan suhu pun menghendakinya. Tak perlu menangis atau meratap berlebihan, ibu, air mata darahpun tak dapat menghidupkan lagi mendiang suhu. Mari kita bereskan jenasahnya dan keluar dari sini."

"Tapi... tapi ia penghutang budi besar. Tanpa dia tak mungkin ibumu hidup, puteraku. Aku merasa sedih dan betul-betul kehilangan. Kakek ini pelita hidupku!"

"Tapi sekarang semuanya sudah lewat, ia telah meninggalkanmu. Meratap dan mengiba hanya menunjukkan kekerdilan diri sendiri, ibu. Bangkit dan tengoklah bahwa di depan masih banyak yang menanti. Kita menghadapi tugas dan pesan-pesan suhu."

Li-hujin tertegun dan menghapus air matanya. Entah kenapa sorot dan kata-kata puteranya itu, menggetarkan kalbunya. Sikap dan kata-kata puteranya ini begitu tenang seakan semuanya memang begitu wajar. Kematian bukan hal yang aneh! Dan ketika ia terpukul bahwa meratap dan mengiba hanya menunjukkan kekerdilan jiwa, mukanya memerah segera wanita ini bangun dan mengertakkan gigi. la tak boleh lemah di hadapan puteranya ini!

"Baiklah," katanya. "Kau tidak salah, puteraku, akan tetapi aku tak ingin meninggalkan tempat ini hari ini juga. Aku ingin menyatakan balas budiku tiga hari menjaga makamnya, setelah itu baru keluar!"

"Terserah ibu," pemuda itu menjawab. Aku juga tidak mengatakan bahwa hari ini kita pergi."

Wanita itu mengangguk dan melompat menyambar golok. la mencongkel dan membuat lubang akan tetapi Boen Siong bergerak. Sekali kibas tiba-tiba tanah berhamburan. Dan ketika pemuda itu menusuk dan mencongkel mempergunakan dua telunjuknya, cepat dan seakan pisau belati maka lubang telah dibuat dan tanpa banyak bicara pemuda mengangkat dan meletakkan jenasah gurunya disitu.

Li Ceng tertegun. la menahan isak duduk di sebelah puteranya yang telah bersila. Tanpa banyak cakap pula Boen Siong bersamadhi Ďi makam gurunya ini. Dan ketika tiga hari lewat tanpa terasa maka pemuda itu membuka mata dan sang ibupun bangkit berdiri. Air mata membekas di pipi yang masih sembab.

"Kita telah menepati janji, waktunya untuk keluar. Bagaimana keadaanmu ibu, cukup sehatkah untuk turun gunung."

"Aku sehat, hanya rasanya tak sanggup meninggalkan kakek ini sendirian disini. Kalau tak ingat pesan dan kata-katanya barangkali lebih baik aku menemani disini, Boen Siong, betapapun tak dapat kulupakan segala budi baiknya!"

"Ibu harus berpikir jernih, semua ada masa-masanya sendiri. Yang ada di sini hanyalah jasad suhu, ibu, bukan dirinya secara utuh. Tak guna terikat berlebihan oleh masa lalu yang telah lewat. Marilah keluar kalau ibu siap."

Li Ceng menahan isaknya lagi yang hampir meledak. Betapapun wanita tidaklah seperti laki-laki. Akan tetapi karena ia pun wanita gagah dan percuma mengiba di situ, kata-kata puteranya benar maka wanita inipun menabur bunga sebelum pergi "Baiklah, selamat tinggal. Semoga pesan dan kata-katamu dapat kami laksanakan, locianpwe. Doa restumu dari sana tetap kami harapkan. Lain kali kami akan datang dan tenangkan arwahmu!"

Boen Siong mengikuti ibunya yang sudah berkelebat keluar. lapun memberi hormat terakhir kalinya dan berkemak-kemik mengucap selamat tinggal. Dengan menindas segala keharuannya iapun menahan panasnya air mata. Lalu ketika ia berkelebat mengikuti ibunya maka merekapun telah keluar di mulut sebuah terowongan bawah tanah. Mulut guha ini tertutup alang-alang dan semak belukar, ibunya berhenti di sini, sekali lagi menoleh ke belakang.

"Locianpwe, doamu harap menyertai kami. Semoga musuh-musuh kami dapat kami bunuh, terutama jahanam Chi Koan!"

Boen Siong tak terbawa oleh sikap dan kata-kata ibunya ini. Setelah ia dewasa dan merenung jauh maka tampaklah bahwa bakat sang ayah melekat kuat. Seperti Naga Gurun Gobi Peng Houw iapun berpembawaan kalem dan tenang. Maka ketika ia diam saja mendengar kata-kata ibunya, baginya tugas menghadapi musuh-musuhnya nanti lebih karena kewajiban maka iapun menarik lengan ibunya berkelebat menguak semak-semak. Tak ingin ibunya berlarut-larut.

"Mari, kita turun gunung. Cukup semuanya itu, ibu. Perhatikan pandangan ke depan dan jangan lihat masa silam!"

Li Ceng melayang dibawa puteranya ini. la terkejut ketika tiba-tiba tersentak terbang, Boen Siong mempergunakan Bong-eng-sutnya itu. Akan tetapi ketika mereka turun gunung dan meluncur bagai elang cahaya mendadak wanita ini menahan diri menghentak lengan puteranya itu.

"Tunggu, kita ke puncak. Sebelum turun dan mencari musuh-musuh kita maka naik dulu ke atas, Boen Siong. Temui pimpinan Kun-lun dan cari berita di sana!"

"Ibu hendak ke atas?"

"Ya, sebentar saja."

"Baik!" belum habis ucapan ini tiba-tiba sang nyonya mencelat dan terpekik. Boen Siong menyendal lengannya dan terbang ke atas. Dan ketika mereka melewati jurang dan tempat-tempat lebar, begitu cepatnya maka Li-hujin nyaris tak percaya ketika sebentar kemudian sudah di puncak. Boen Siong juga terkejut bahwa gerakan tubuhnya begitu cepatnya. Bagai cahaya menyambar."

Akan tetapi yang lebih kaget adalah penghuni Kun-lun. Sebagaimana diketahui ibu dan anak ini berada di wilayah Kun-lun. Karena mendiang Jiong Bing Lip bersembunyi di perut gunung maka ibu dan anak itu di situ pula. Para murid, yakni tosu-tosu muda yang berjaga di tempat-tempat tertentu tersentak ketika melihat bayangan Boen Siong tadi.

Mereka terkejut karena di pinggang gunung tiba-tiba menyambar cahaya yang amat cepatnya, turun lalu berhenti dan ternyata seorang pemuda dan wanita cantik. Lalu ketika pemuda ini menyambar dan berkelebat keatas, berbalik menuju puncak maka para murid itu berubah dan dengan siulan bagai burung malam mereka secara estafet memberi tahu suheng dan pimpinan di atas.

Boen Siong tertegun ketika tahu-tahu dirinya dikepung. Selama ini ia tak pernah keluar dan sekali keluar langsung berhadapan dengan tosu-tosu Kun-lun. Heran dan kagum juga dia bagaimana kedatangannya diketahui. Akan tetapi ketika sang ibu melepaskan diri dan melompat ke seorang kakek, tosu berusia limapuluhan tahun berwajah bundar maka murid-murid tertegun mendengar wanita itu berseru,

"Suheng, ini aku Li Ceng!"

Tosu itu, Bi Wi Cinjin adanya terkejut. Tak dapat disembunyikan betapa tosu ini tiba-tiba mundur berubah, kaget dan tercengang. Akan tetapi ketika Li Ceng berlutut dan tersedu-sedu di depan suhengnya itu, inilah ketua Kun-lun yang menggantikan Kim Cu Cinjin maka kakek itu berseru mengangkat tongkat, girang tapi juga heran.

"Hei, Li Ceng-sumoi kiranya. Bagaimana kau masih hidup dan muncul tiba-tiba di sini. Ah, siapa pemuda itu dan kenapa membuat kami terkejut, sumoi. Bukankah dulu kau terlempar dan mati di dalam jurang!"

"Aku masih hidup, seseorang menolongku. Dia puteraku, suheng, Boen Siong. Kami datang memang ingin menemuimu dan maaf kalau membuat kejutan!"

Li Ceng diangkat bangun dan wanita ini cepat memanggil puteranya itu. Boen Siong maju memberi hormat, mengherankan sekaligus membuat tercengang para murid karena setelah melihat dekat maka tampaklah bahwa pemuda ini mirip benar dengan Naga Gurun Gobi Peng Houw. Dan ketika bisikan serta seruan heran terdengar disana sini, Bi Wi Cinjin juga tercengang maka ketua Kun-lun itu kagum memandang Boen Siong. Pemuda inilah yang disebut sebagai cahaya melesat oleh para murid di kaki gunung.

"Siancai, ini kiranya puteramu Boen Siong. Ah, ia mirip sekali dengan ayahnya, Sumoi. Mirip benar dengan..."

"Suheng tak usah mengingat-ingatkan musuh besar kami. Kami datang untuk mencari berita, suheng, bolehkah kami masuk dan bicara di dalam saja!" Li Ceng memotong dan mengerdip cepat, tak mau ketua Kun-lun menyebut ayah Boen Siong karena selama ini ia menekankan bahwa Naga Gurun Gobi adalah musuh. Boen Siong masih tak tahu siapa ayahnya itu.

Dan ketika Bi Wi terkejut dan sadar mengangguk-angguk, Ia pun maklum akan sakit hati wanita ini maka tosu itu bergumam menahan kata-katanya, membalik. "Baiklah, mari ke dalam. Sejak kau lenyap memang benyak berita untukmu. Mari, mari masuk, sumoi. Dan kalian... kakek itu memandang murid-muridnya. "Bubar saja!"

Para murid membalik dan masuklah Bi Wi Cinjin diikuti sutenya, Heng Bi, tosu lain yang sejak tadi begitu lekat memandang Boen Siong akan tetapi tak mengeluarkan suara. Lalu ketika mereka didalam dan Li Ceng masih terisak dipersilahkan duduk, Bi Wi menutup pintu saling berisyarat dengan sutenya maka dua pimpinan Kun-lun itu bersila. Kini Heng Bi tak dapat menyembunyikan kagum terhadap Boen Siong.

"Puteramu telah begini besar, dan dewasa pula. Bagaimana kau menemukan puteramu ini, sumoi, dan bagaimana pula ia menjadi orang yang begini hebat. Aku melihat gerakannya tadi ketika naik ke puncak!"

"Aku menemukannya secara kebetulan, justeru di Kun-lun ini pula. Kedatangan Chi Koan dulu membuat pertemuan kami ibu dan anak, suheng, panjang ceritanya akan tetapi dapat kuterangkan secara singkat. Kami bertahun-tahun ini justeru hidup di Kun-Lun!"

"Eh!?"

"Benar, suheng, maksudku di perut gunung. Tentu suheng masih ingat ketika dulu aku disembunyikan di guha bawah tanah."

"Tapi kau terjeblos ke jurang!"

"Justeru itulah. Di bawah sana ada seseorang menolongku dan dia adalah Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip, guru puteraku ini!"

"Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip? Maksudmu bahwa tokoh sakti setingkat Ji Leng Hwesio dan sesepuh kami mendiang Kun Lun-supek?"

"Benar, suheng, di tangan dia itulah ternyata anakku dibawa. Dia, kekek itu baru saja meninggal dunia. Kami... kami baru saja berkabung!" nyonya ini tak dapat menahan kesedihannya lagi dan menangislah dia teringat kakek itu.

Boen Siong duduk tenang di belakang ibunya sementara dua pimpinan Kun-lun terkejut. Baru mendengar tentang kakek ini saja mereka berubah. Akan tetapi ketika kakek itu meninggal maka merekapun merangkapkan tangan mengucapkan belasungkawa.

"Siancai, tidak kami sangka. Betul-betul di luar dugaan bahwa seorang tokoh sakti bersembunyi di Kun-lun. Ah, kau beruntung, sumoi, betapapun nasibmu baik. Selamat untuk puteramu dan kami turut berduka cita atas wafatnya. Tentu beliau ini sudah uzur!"

Benar, dan... dan maaf selama ini tak pernah kami memberitahumu. Kami tak diperbolehkan keluar, suheng, kau tentu tahu watak seperti kakek sakti ini. Kami baru keluar setelah ia wafat."

"Siancai, tak apa. Cobalah kau ceritakan serba singkat pertemuanmu dengan kakek itu, juga puteramu yang gagah perkasa ini."

Li Ceng mengangguk, mengusap air matanya. Setelah ia berhasil menenangkan dirinya lagi maka ia segera menceritakan pertemuannya dengan kakek itu. Betapa Jiong Bing Lip membawa puteranya dan justeru jatuhnya di jurang membuat pertemuannya dengan anaknya yang satu-satunya ini. Lalu ketika dengan bangga ia menceritakan betapa Boen Siong telah memperoleh semua warisan gurunya, bahkan sinkang gurunya hingga mengakibatkan kakek itu tewas maka dua pimpinan Kun-lun ini terbelalak dan takjub, memuji bertepuk tangan.

"Pantas, luar biasa sekali. Kami berdua hampir tak percaya bahwa cahaya itu adalah puteramu, sumoi. Gerakannya benar-benar mentakjubkan dan pinto yakin ia mampu menandingi Lui-thian-to-jit yang dimiliki Chi Koan itu. Ah, beruntung dan selamat untuk kedua kalinya untuk puteramu ini!"

Boen Siong tersipu-sipu. Sang ibu dengan bangga memuji-muji dirinya dan cepat ia menyenggol tak kentara. Betapapun ia tak senang, di samping tak suka menonjolkan diri juga karena ia belum percaya penuh. Bukankah di dunia ini ada orang seperti Chi Koan dan Naga Gurun Gobi Peng Houw. Bagaimana kalau ia kalah. Maka ketika ia berdehem dan menghentikan pujian ibunya segera ia membungkuk berkata perlahan,

"Jiwi-locianpwe tak usah mendengarkan kata-kata ibuku ini. Di atas gunung masih ada gunung, di atas langit masih ada langit. Sebaiknya kita cerita tentang yang lain saja sebagai berita. Bukankah kedatangan ibu juga untuk maksud ini."

Dua pimpinan Kun-lun kagum. Mereka mengangguk-angguk dan seketika merasa suka kepada anak muda ini. Boen Siong tampak sederhana dan rendah hati, persis seperti ayahnya itu. Dan ketika mereka maklum bahwa membicarakan pemuda ini hanya membuat Boen Siong tak suka maka Heng Bi Cinjin balik menceritakan kisah Kun-lun, yakni sejak didatangi Chi Koan dan diobrak-abrik.

"Kami berdua hampir tewas. Delapan bulan kami menyembuhkan luka, sumoi, jahanam Chi Koan itu benar-benar keparat. Ia membuat tanganku patah dan nyaris remuk!"

"Dan muridku Ceng Tek juga nyaris binasa. Kwi-bo menyerang dengan jarum-jarum beracunnya, Sumoi tapi untunglah kami semua selamat. Sekarang apa yang kau kehendaki dan apa yang bisa kami lakukan?"

"Mana dan bagaimana dengan Kim Cu suheng. Bukankah sejak itu ia turun gunung mencari puteraku Boen Siong."

"Siancai, ia meninggalkan lagi tempat ini. Setahun setelah kau lenyap ia datang dengan muka sedih, Sumoi, suheng tak berhasil menemukan puteramu. Ia menolong dan mengobati aku lalu pergi."

"Ke mana?"

"Aku tak tahu, yang jelas merantau dan mengobati hatinya yang pedih."

Li Ceng tertegun. la teringat suhengnya tertua dan tiba-tiba iba. Suhengnya itupun bukannya tanpa masalah. Peristiwa buruk di masa lampau membuat ia kehilangan kedudukan, diganti Bi Wi Cinjin ini dan iapun terharu. Dan ketika ia terisak menanyakan perihal dunia kang-ouw maka Bi Wi Cinjin menarik napas dalam.

"Semuanya masih buruk, tidak terlalu jauh dengan dulu. Selama Chi Koan masih hidup maka tak ada ketenangan di dunia ini, Sumoi. Pinto mendengar bahwa di selatan terdapat gerakan."

"Gerakan apa."

"Sepertinya persiapan perang besar-besaran. Pinto tidak begitu jelas hanya selentingan menunjukkan bahwa See-ouw-pang berdiri di balik semuanya ini. Kami terlalu jauh dengan pusat keramaian itu Sumoi, kalau ingin jelas tentunya harus turun gunung. Akan tetapi kami enggan, sudah terlalu banyak penderitaan yang kami alami. Asal tidak mengganggu langsung tentu tak kami hiraukan."

"Hm, dan... Naga Gurun Gobi Peng Houw?"

"Ia berada di Gobi, kabarnya tak pernah keluar lagi sejak kau lenyap."

Bi Wi Cinjin tersenyum pahit, mengerling dan mendapat anggukan sutenya dan Li Ceng menahan tangis. Hampir saja ia terisak namun dapat dicegahnya itu. Dan ketika pembicaraan berkisar pada Naga Gurun Gobi ini, juga tentu saja Chi Koan maka wanita itu mendapat keterangan bahwa Chi Koan tak diketahui di mana rimbanya.

"Yang hanya pinto ketahui adalah Naga Gurun Gobi itu, Chi Koan entah ke mana. Kalau kau ingin menemuinya pergilah kesana!"

"Baik, aku ke sana. Kukira cukup, suheng, terima kasih untuk semua keteranganmu ini. Aku dan Boen Siong akan mencarinya termasuk jalhanam Chi Koan itu!"

Bi Wi Cinjin mengangguk-angguk dan iapun bangkit melihat wanita ini menyambar Boen Siong. Pemuda itupun mengikuti ibunya akan tetapi sebelum benar-benar pergi mendadak ketua dan wakil ketua ini menghadang. Pintu dipalang dan Heng Bi Cinjinpun melompat mencegah dua orang itu, Lalu ketika Li Ceng terkejut kenapa ditutup dari muka belakang maka Bi Wi Cinjin mengebutkan lengan baju, tertawa sareh.

"Sumoi, mundur dan berilah kami kesempatan untuk menguji puteramu ini. Kalau ia benar-benar tangguh tenanglah hati kami melepas kalian berdua. Maaf suteku Heng Bi ingin main-main sebentar!"

Li Ceng tertegun, namun tiba-tiba berseri. Tentu saja sebagai tokoh persilatan suhengnya ini "gatal" tangan mendengar puteranya menjadi murid Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip. Hanya kalangan tua saja yang masih ingat kakek itu, yang muda-muda tak mungkin lagi. Maka melepaskan puteranya melompat mundur iapun tak ragu membiarkan puteranya dijajal. Boen Siong sendiri terkejut.

"Bagus, suheng boleh saksikan kepandaiannya. Kalau ia kalah biarlah kubatalkan maksudku turun gunung. Tapi kalau ia menang harap suheng memberi dukungan!"

"Heh-heh, tentu saja. Orang seperti Chi Koan atau Naga Gurun Gobi itu bukan orang- orang sembarangan, sumoi. Setelah melihat kalian masih hidup dan kini hendak turun gunung siapa sampai hati. Biarlah sute main- main sebentar dan kalau meyakinkan tentu kami tak ragu melepas kalian."

Yang bingung namun canggung tentu saja Boen Siong Sang ibu melepasnya dan terang-terangan membiarkan dia sendiri. Akan tetapi karena yang dihadapi adalah tokoh-tokoh Kun-lun juga selama ini lawan tandingnya hanya guru sendiri maka Boen Siong membungkuk dan cepat tanggap, girang namun berdebar juga.

"Locianpwe terpengaruh oleh sikap dan kata-kata ibu. Sebenarnya ibu berlebihan adanya. Kalau kini jiwi hendak menguji diriku tentu saja aku berterima kasih sekali, hanya locianpwe harap maafkan kalau kiranya kepandaianku masih buruk."

" Heh-heh, tak perlu merendah. Kalau suhumu yang terhormat Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip telah mewariskan semua kepandaiannya tentu tak perlu lagi kami mengujimu, Boen Siong, hanya karena belum merasakan maka sangsi juga hati ini. Pinto telah mendapat perkenan ciangbunin (ketua), cabut senjatamu dan mari main-main sebentar!"

Heng Bi Cinjin, yang sejak tadi kagum dan memandang pemuda ini memang gatal tangan dan sudah ingin mencoba. Saling tukar isyarat dengan suhengnya menghasilkan semua itu. la akan menghadapi pemuda ini sepenuh tenaga. Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip bukan sembarang nama. Namun ketika pemuda itu tersenyum melipat tangan ke belakang, memasang kuda-kuda dengan tumit terangkat iapun tertegun dan merasa tak puas. Itu adalah bhesi atau pasangan kuda-kuda biasa!

"Pinto bersungguh-sungguh, cabut senjatamu dan jangan main-main. Sekali pinto bergerak pinto tak akan segan-segan merobohkanmu, anak muda. Keluarkan senjatamu dan pasanglah kuda-kuda yang baik!"

"Ini adalah pembukaan dasar Bong-eng-sut. Kalau kau menyerang dan dapat menyentuh bajuku biarlah kuanggap menang, locianpwe, aku mundur dan akan mencabut senjata."

"Bong-eng-sut (Elang Cahaya)?"

"Ya, aku tentu saja tak merendahkanmu, Ibu sudah memberi tahu kelihaian orang-orang Kun-lun dan silakan locianpwe mulai. Aku akan mempergunakan Bong-eng-sutku terlebih dahulu."

"Dan ilmumu terbang itu adalah Bong eng-sut?"

"Benar, locianpwe, silakan mulai..."

Belum habis kata-kata ini mendadak Heng Bi Cinjin tergelak, maju dan membentak dan tiba- tiba ia telah menyerang Boen Siong dengan pukulan tangan kirinya. Sepuluh jari mencengkeram akan tetapi tangan yang lain siap menampar, jari-jari tosu itu berkerotok. Dan ketika Boen Siong mengelak hingga lawan menyambar angin, waspada akan tangan yang lain maka benar saja kelima jari tosu itu menampar dan melesat dari samping.

"Wut!" Boen Siong lenyap. Seperti namanya, pemuda inipun menyambar bak elang cahaya. la tahu-tahu sudah di belakang Heng Bi Cinjin. Dan ketika tosu itu terkejut membalikkan tubuh, kesiur angin di belakangnya membuat ia terperanjat maka Boen Siong yang disangka menyerang ternyata menunggu saja, tak bergerak.

"Wut!" Dua kali tosu Ini gagal lagi. Boen Siong lenyap dengan amat cepatnya ketika berkelebat dan menghilang. Heng Bi berteriak dan menjadi kaget. Dan ketika enam kali ia kecele Boen Siong berpindah cepat maka suhengnya berseru agar mencabut pedang mainkan Kun-lun Kiam-sut. Sebagai penonton ia dapat membaca keadaan.

"Cabut pedangmu, mainkan Kun-lun Kiam-sut. Tanpa senjata tak mungkin menjangkau lawanmu, sute. Anak muda ini ternyata benar-benar lihai dan awas di belakang!"

Heng Bi terkejut ketika sang suheng berseru dan memberi peringatan. Ia membalik dan mencabut pedang ketika Boen Siong membalas, jari pemuda itu menjentik. Dan ketika pedang terpental berdenting nyaring, bunga api berpijar maka wakil ketua ini terkejut karena telapaknya pedas dan iapun terhuyung. Bukan main kuatnya jentikan pemuda itu!

"Bagus, pinto jadi penasaran. Kalau begitu maafkan pinto yang mencabut pedang, anak muda, kalau kau terdesak cabut pula senjatamu!"

Boen Siong mengangguk, tersenyum menghindar. la sudah diserang dan ditusuk serta ditikam ketika berturut-turut dan amat cepatnya ketika wakil Kun-lun ini menyerang. Heng Bi Cinjin sendiri berkelebatan mengeluarkan ginkang akan tetapi Boen Siong lebih hebat lagi. Mudah dan tenang akan tetapi cekatan ia selalu menghalau pedang. Dan ketika pedang terpental dipukul pemuda itu, tak satupun mengenai sasaran maka tosu ini semakin terkejut saja karena tubuh pemuda itupun tak dapat disentuh, lenyap beterbangan mendahului dirinya.

"Bagus, pinto akan mengeluarkan pukulan-pukulan sinkang. Jaga serangan pinto, anak muda, pinto akan menggabung kepandaian pinto!"

Boen Siong mengangguk dan berkelebatan lenyap. Bagaimana tosu itu akan menyerangnya kalau ia menghilang lebih dulu. Dengan Bong-eng-sut atau Elang Cahaya ia selalu mendahului. Dan ketika belasan jurus kemudian Heng Bi Cinjin tak dapat memukul, ią selalu kehilangan sasaran maka Bi Wi terbelalak dan sadar bahwa sutenya bukan tandingan.

"Pinto ikut menimbrung!" ketua ini membentak dan maju berkelebat. "Awas dan jaga pukulan, anak muda. Gunakan sinkangmu dan jangan mengelak!" lalu ketika Boen Siong dipaksa beradu pukulan, ketua dan wakilnya mengeluarkan Khong-san-jeng-kin (Gunung Kosong Berkekuatan Seribu Kati) maka Boen Siong mengeluarkan Lui-cu-sin-hwe-kangnya akan tetapi karena belum pandai mengukur ia membuat dua orang itu terjengkang.

"Bresss!" Boen Siong dan dua ketua itu sama-sama terkejut. Ibunya, yang terpekik dan ikut terkejut meneriaki puteranya agar tidak keras-keras. Boen Siong hanya mengerahkan seperlima tenaganya tadi. Dan ketika pemuda itu terkejut sementara Bi Wi dan sutenya berubah, hanya sedikit saja namun mereka terbanting maka dua kakek bergulingan meloncat bangun dan kagum akan tetapi juga mulai percaya. Dua tokoh Kun-lun ini mengeluarkan keringat dingin.

"Bagus, pinto tak sia-sia. Kami berdua belum puas, anak muda. Mari main-main lagi dan tunjukkan kehebatanmu!"

Boen Siong berhati-hati. Setelah dengan dua bagian saja ia mampu membuat lawannya bergulingan maka maklumlah dia bahwa pukulannya terlalu keras. Ia pun mengurangi tenaganya dan bertandinglah mereka dengan cepat. Namun ketika tampak bahwa pemuda ini lebih kuat, juga lebih cepat maka dua pimpinan Kun-lun mengakui bahwa mereka benar-benar bukan tandingan pemuda ini.

Pedang di tangan selalu terpental bertemu kuku jari pemuda itu, tubuhpun selalu terhuyung setiap pemuda itu mengibas. Dan ketika perlahan tetapi pasti mereka terus terdesak, bayangan pemuda itu jauh lebih cepat dibanding mereka maka dua pimpinan ini segera ngos-ngosan sementara Boen Siong masih segar dan belum berkeringat!

"Cukup!" Bi Wi Cinjin mundur melompat ke belakang. "Uji coba telah cukup, anak muda. Kau benar-benar hebat dan tidak meragukan kami. Akan tetapi sebelum menemui musuh-musuhmu cobalah berhadapan dulu dengan rekan-rekan kami dari Heng-san!"

"Benar, Heng-san memiliki tokoh lebih tangguh dari kami berdua. Di sana pimpinannya memiliki Lui-yang-sin-kang dan ilmu-ilmu lain, Boen Siong. Coba kau ujilah dirimu biar semakin mantap lagi!"

Li Ceng melompat dan girang bukan main. Ia berseri-seri betapa dua suhengnya dikalahkan dengan mudah. Puteranya memang hebat. Dan mengangguk bahwa saran itu benar, di Heng-san ada tokoh yang lebih tinggi ia pun menyambar puteranya melompat keluar, berkelebat tertawa.

"Kalian tidak salah, ini bagus untuk Boen Siong. Baiklah lain kali kami datang lagi, jiwi-suheng (kakak berdua), selamat tinggal dan kami turun gunung!"

Bi Wi dan Heng Bi Cinjin mengusap keringat. Tak perlu berlama-lama tahulah mereka bahwa Boen Siong memang hebat. Getaran pukulan pemuda itu membuat kemeng (ngilu), telapak yang memegang pedangpun rasanya pedas dan masih sakit. Maka ketika menarik napas dalam mendelong keluar, ibu dan anak melompat menghilang maka Bi Wi berseru menaruh harapan.

"Siancai, semoga anak itu betul-betul tandingan Chi Koan. Suruh anak murid memberi jalan, sute. Biarkan mereka turun gunung!"

Heng Bi berkelebat dan bersuit panjang. Ini pertanda bagi anak-anak murid agar tidak mengganggu Boen Siong dan ibunya. Mencegah pun rasanya tidak mungkin. Boen Siong melesat bagai cahaya di kaki gunung. Dan ketika murid-murid tertegun dan kagum bukan main, timbulah harapan di hati masing-masing maka kehadiran dan kehebatan Boen Siong menjadi buah bibir. Ketua dan wakil ketua telah menceritakan kekalahannya kepada mereka.

Akan tetapi Boen Siong adalah pemuda rendah hati. Watak sang ayah menurun kuat dan iapun tak suka dipamer-pamerkan. Ia bahkan menegur ibunya kenapa membiarkan ia diuji. Akan tetapi ketika sang ibu balik memperingatkan bahwa semua itu atas pesan gurunya, Boen Siong mengerutkan kening maka ia tak bisa apa-apa ketika ibunya mengajak ke Heng-san.

"Aku bukan mau pamer nak, melainkan melaksanakan perintah gurumu. Bi Wi dan Heng Bi suheng tidak salah, Boen Siong. Di dunia ini persilatan paling tangguh memang Heng-san. Mereka pewaris Siang Kek dan Siang Lam Cinjin. Mari ke sana dan berkenalan dengan murid-muridnya!"

"Tidak mencari Chi Koan dan Naga Gurun Gobi Peng Houw?"

"Dicari sambil berjalan. Gobi masih di utara dan kita akan melewati pula Heng-San. Mari kita temui pimpinannya dan laksanakan perintah gurumu!"

Boen Siong tak dapat berbuat apa-apa. la pun tak enak mengganggu kegembiraan ibunya ini sebagai tanda suka-cita. Ibu mana tak senang melihat anaknya jadi orang. Maka ketika ia bergerak dan menuju Heng-san, inilah yang membuat mereka terlambat menerima berita See-ouw-pang maka dua hari kemudian Boen Siong sudah tiba di sini. Heng-san lebih angker daripada Kun-lun!

Waktu itu yang memimpin Heng-san adalah Sin Tong Tojin, murid perantauan Heng-san yang kini kembali dan memimpin partai. Karena ia adalah murid tertua mendiang Siang Kek dan Siang Lam yang gagah perkasa, juga suheng dari Hoo Cinjin maupun Sin Gwan Tojin maka kehadiran laki-laki ini disambut gembira.

Sejak Heng-san diobrak-abrik Chi Koan dan si buta itu malang-melintang maka seperti partai-partai lain keadaan di Heng-san inipun menyedihkan. Banyak tokoh-tokoh mereka tewas. Dan karena Gobi hanya mengandalkan Peng Houw si pewaris mendiang Ji Leng maka secara kelompok partai ini paling kuat dibanding partai-partai lain. Kepandaian tokoh dan pimpinannya hampir merata, tidak seperti Go-bi yang hanya menonjol seorang dua saja.

Waktu itu Sin Tong Tojin pulang kandang. Ia telah mendengar kematian sepasang gurunya, juga saudara atau murid-murid lain. Dan karena ia murid tertua setelah Sin Gwan dan Tan Hoo Cinjin maka lelaki ini diangkat dan langsung menjadi ketua. Heng-san memiliki tiga ilmu andalan yang dahsyat. Pertama adalah Lui-yang-sin-kang, pukulan Petir. Lalu kedua dan ketiga adalah Tit-ci-thian-tung dan Thi-hi-hiat. Nama yang terakhir ini adalah ilmu sedot dan amat berbahaya sekali.

Dulu semasa pimpinannya hanya mampu diatasi Hok-te Sin-kang, ilmu dari kitab dahsyat Bu-tek-cin-keng itu. Akan tetapi karena Hok-te Sin-kang bukan untuk umum, hanya Ji Leng dan Naga Gurun Gobi Peng Houw yang memiliki maka secara perorangan Go-bi di atas semua partai namun secara kelompok maka Heng-san inilah yang terkuat....

Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.