Kabut Di Telaga See Ouw Jilid 22

Cerita Silat Mandarin Serial Bu-beng Sian-su episode Kabut Di Telaga See Ouw Jilid 22 karya Batara
Sonny Ogawa
Cerita Silat Mandarin Serial Bu-beng Sian-su Karya Batara
Kabut Di Telaga See Ouw Jilid 22
Karya : Batara

KAKEK ini menggeram. "Hm, bertangan kosong saja si buta mengalahkanya dua puluh jurus, itupun karena ia buru-buru mundur atas permintaan sendiri. Kini dengan pedangnya ia akan dirobohkan sepuluh jurus? Terlalu! Maka ketika ia bersiap dengan sengit, mulai marah tiba-tiba kakek itupun mengelebatkan pedangnya menusuk paha lawan berseru,

"Awas, Satu!"

Chi Koan megelak dan tidak menangkis. Ia mengangkat sebelah kakinya dan pedang lewat mengenai angin kosong. Gerakannya begitu sederhana dan gampang. Dan ketika kakek itu s makin marah terdengar tepuk tangan memuji, gerakan itu dianggap menghinanya maka kakek ini membalik dan menyabet, dikelit akan tetapi ia sudah mengejar dan menghitung dua.

Hitungan ini bukan tanpa maksud karena ia akan balik mengejek lawannya kalau sepuluh jurus lewat. Akan dibayarnya hutang malu tadi terhadap si buta. Namun ketika si buta kembali mengelak dan tiga kali berturut-turut pedangnya mengenai angin kosong, cepat dan tepat lawannya menghindar maka kakek itu terkejut dan menjadi gusar. Hitungan sudah melewati tiga.

"Awas, empat dan lima...!"

Chi Koan mulai bergerak ke kiri kanan lebih cepat. Kakek ini mulai berkelebatan sementara pedangnya mendesing-desing menyilaukan mata, babatan atau tusukannya kian cepat. Dan ketika hitungan kian gencar akan tetepi belum satupun mengenai si buta, lawan masih mengelak dan bergerak maju mundur maka jurus kedelapan lewat dengan cepat sementara si buta belum membalas ataupun menangkis. Tepuk riuh mulai mengguncang.

"Sembilan!"

Chi Koan tiba-tiba menggetarkan tangannya. Sebenarnya Si buta ini sudah mengerahkan Hok-te Sin-kang sejak tadi, belum membalas atau menangkis sengaja membuat kakek itu marah lebih dulu. Dengan kemarahan biasanya ilmu silat menjadi kacau, mudah sekali pukul menjatuhkan lawan. Maka ketika bentakan itu diiringi tubrukan kilat, pedang menyendok kemudian membabat leher maka inilah yang ditunggu dan tangan kiri si buta bergerak menangkis.

"Trangg!"

Semua orang terkejut. Bagai pedang atau tongkat baja tangan kiri itu berpijar mengenai pedang, bukan punggung melainkan mata pedangnya, begitu berani! Dan ketika Ji-liong-tah terpekik tertolak keras, mati-matian mempertahankan senjatanya maka tongkat di tangan si buta mengetuk pergelangannya dan...tak!, lepaslah pedang itu tepat sepuluh jurus.

Kakek itu terhuyung dan pucat pasi. Ia terbelalak memandang lawan dan Chi Koan menyimpan tongkatnya berseri-seri. la telah melepaskan pedang kakek itu sepuluh jurus tepat. Bahkan, kalau mau jujur sebenarnya pertandingan hanya dua jurus saja. Ia menangkis dan membalas maka lawanpun kalah, pedang betul-betul terlepas! Dan ketika kakek itu pucat, sementara si buta puas sekali, Chi Koan telah menyimpnn tongkatnya maka sibuta yang pura-pura merendah berkata halus, tentu saja tak menyakiti lawan.

"Ji-lo-englhiong telah berhati murah kepadaku, terim kasih. Janjiku tepat namun harus ku akui bahwa pedang lo-enghiong cukup menyibukkan!"

Tepuk riuh tak dapat ditahan lagi. Tamu undangan tiba-tiba sadar dalam pesona mentakjubkan, mereka melihat betapa hebatnya si buta ini, setelnh delapan jurus berturut-turut mengelak dan mundur-mundur dicecar pedang. Dan ketika mereka kagum dan tentu saja bersorak,memuji, sikap simpatik itu bertambah mengesankan maka kakek kedua dari Sepasang Naga Menara ini menarik napas dan akhirnya kagum mengakui kawan memang benar-benar lihai. Tangkisan tadi membuat lengannya linu dan sakit serta pedas.

Ha ha, si tua bangku seperti aku memang harus mengakui kekalahan. Ah, tanpa mengalahpun pasti menang, anak muda, tangkisanmu terakhir tadi membuatku sakit. Tentu itu Hok-te Sin-kang!"

"Lo-enghiong terlau memuji, akan tetapi itu benar Hok-te Sin-kang. Aku tak dapat mempergunakan ilmu lain karena ilmu kepadaian lo-enghiong cukup tinggi!"

Chi Koan memuji, cerdik mengambil hati dan terkekehlah kakek itu. Betapapun ia puas lawannya memberi muka, kekalahannya di depan umum terasa wajar dan tidak menyakitkan. Akan tetapi sebelum ia turun mendadak suhengnya melayang naik dan tertawa nyaring.

"Heh-he, Chi-siauwhiap benar-benar luar biasa. Akan lebil luar biasa lagi kalau kau mau menghadapi kami berdua, permintaan ini semata karena percaya kelihaianmu. Melihat Hok-te Sin-kang tadi tampaknya kami berduapun harus bekerja susah payah!"

Ning-pungcu terkejut. Dalam pibu tentu saja pertandingun harus dilakukun satu lawan satu, keroyokan dilarang, kecuali kalau si buta itu menghendaki. Maka ketika itu ia meloncat naik dan buru-buru berseru, tentu saja ketua See-ouw-pang harus menjaga suasana maka ia memperingatkan dua kakek itu agar tetap dalam batas-batas sebuah pibu.

"Wah-wah, Chi-taihiap baru saja bertanding, lagi pula ini sifatnya pertandingan persahabatan. Apakah tidak sebaiknya satu lawan satu, Ji-locianpwe. Ingat bahwa ini pibu persahabatan!"

"Harap pangcu mundur. Calon bengcu harus siap diuji apa saja. Kedua locianpwe ini tidak salah, pangcu, justeru menambah gembira hatiku. Kalau lt-lo-eng-hiong (kakek gagah pertama ingin maju bareng silakan saja, terima kasih untuk kepercayaannya yeng luar biasa ini."

Chi Koan tertawa, justeru merasa kebetulan karena kalau ia menantang dan menyuruh maju mengeroyok tentu kesannya sombong. Sekarang kakek ini minta sendiri dan ia girang, semakin diuji semakin orang lain tahu kepandaiannya. Biarlah! Maka ketika ia menyambut dan justeru lawan gembira sekali, begitu juga penonton maka Ning-pangcu membelalakkan mata dan masih ragu.

"Taihiap menghendaki mereka maju bersama?" tanyanya.

"Kalau itu ujian bagiku, pangcu, bagi seorang calon bengcu. Kalau aku tidak di anggap sombong tentu saja aku gembira menerimanya. Ini kehormatan besar bagiku."

"Ha-ha, lengkaplah sudah!" kakek itu tertawa bergelak. "Aku menantang dan ia menerima, pangcu, mau apalagi. Mundurlah dan biar kami berdua menghadapi, tanganku sudah gatal-gatal!"

It-liong-tah (Naga Pertama) tak sabar lagi dan mengedip sutenya dengan gembira bukan main. la sengaja mendahului dan naik ke situ sebelum sang sute mundur, sendirian saja ia pun ragu. Itulah sebabnya ingin mengeroyok di samping uji coba. Bukankah calon bengcu harus berani menghadapi apa saja. Dan karena ia penasaran adiknya roboh, tanganpun gatal dan ingin maju berdua maka kakek ini tak perduli lagi seruan Ning-pangcu karena si buta sudah menerimanya.

Tamu undangan bersorak setuju dan merekapun mendukung itu, agaknya kepercayaan terhadap si buta pun bertambah. Kelihaian Chi Koan menebalkan kegembiraan, mereka ingin lebih gembira lagi jika si buta dikeroyok! Maka ketika Ning-pangcu tak dapat berbuat apa-apa dan semua dikehendaki kedua pihak, bahkan juga penonton akhirnya laki-laki ini meloncat turun dan menyeringai kecut.

"Baiklah, Chi-taihiap juga menghendaki, hanya kutinggalkan pesan agar pibu tetap dalam batas persahabatan."

"Ha-ha, jangan khawatir. Kami dua tua bangka ini tak lupa siapa lawan, Ning-pangcu. Chi-siauwhiap adalah orang sendiri. Mari, aku sudah gatal tangan dan siap merasakan Hok-te Sin-kangmu itu... singgg!"

Kakek ini sudah mencabut pedang dan ia terkekeh-kekeh membolang-balingkan senjatanya itu. Suara mengaung dan menderu-deru mendemonstrasikan tenaganya yang hebat, angin bertiup dan penonton di depan berkibar bajunya. Nyata kakek ini memang hebat, tak kalah dengan sutenya. Dan ketika si buta tersenyum mengangguk-angguk dan mencabut tongkat maka pemuda ini berkata lima belas jurus ia akan melepaskan pedang di tangan kedua kakek itu.

Jiwi-lo-enghiong (dua kakek gagah) sudah maju berdua, baiklah limabelas jurus aku akan melepaskan pedang jiwi. Bila lebih dari limabelas jurus baiklah aku dianggap kalah."

"Ah, Kau berjanji seperti itu?"

"Sedikit banyak aku sudah merasakan kehebatan sutemu tadi, It-lo-enghiong, dan gerakan-gerakannya sudah mulai kukenal. Kupikir limabelas jurus aku mampu melepaskan pedang kalian."

"He he, amat, sombong, tapi benar juga. Eh telingamu tajam melebihi orang awas, anak muda, hebat juga kau telah mempelajari silat pedang suteku. Baiklah, janjmu kuterima. Akan tetapi kalau kami tak dapat merobohkanmu dalam limabelas jurus pula biarlah kami dianggap kalah!'"

"Adil! Aku juga begitu, suheng, baru saja kupikir seperti itu. Biarlah kita mundur kalau dalam limabelas jurus kita tak mampu melepaskan tongkatnya!" kakek kedua, Ji-liong-tah berseru nyaring dengan kekeh akan tetapi pandang mata penasaran. la menyambung kata-kata suhengnya.

Sementara para penonton tentu saja girang dan bertepuk riuh. Mereka inilah pihak paling beruntung yang bakal mendapat atraksi menarik. Dua pihak sudah sama-sama perang sesumbar, masing-masing ingin merobohkan dan mengalahkan yang lain dalam lima belas jurus. Ini tentu akan dilakukan mati-matian.

Maka ketika mereka bertepuk gaduh dan teriakan atau suitan terdengar di tempat itu, pertandingan bakal berjalan seru maka lt-liong-tah telah memberi isyarat sutenya dan tiba-tiba menggedruk lantai panggung. Bhesi atau pasangan Naga Menara dibuka.

"Anak muda, kami segera mulai. Bersiaplah!"

"Benar, sekarang kami akan mati-matian, orang she Chi. Awas!"

Chi Koan tersenyum akan tetapi sikapnya tetap tenang dan mengagumkan. Wajahnya yang gagah dan tampan itu semakin berseri-seri. Orang justeru terharu melihat kelopak matanya yang bergerak-gerak itu, miringkan kepala dan bersiap mempersilakan lawan.

Sementara dua kakek di depan mendoyongkan tubuh di kiri kanan. Pedang bergetar den siap bergerak, sekali menyambar tentu hebat. Dan ketika It-liong-tah memberi tanda dan sutenya mengangguk tahu-tahu menyerang, maka kakek itu tib-tiba membentak dan pedangpun menusuk lurus, disusul sutenya yang membacok pingang.

"Awas, jurus pertama!"

Chi Koan tak berkelit dan membuat penonton tersirap. Mereka melihat betapa cepatnya pedang menyambar, namun Si buta seolah tak peduli, ia tetap begitu sampai pedang sejengkal di perut. Akan tetapi ketika kakek itu menyontek dan menikam dagu, inilah kelanjutannya maka mereka benar-benar kagum. Karena secepat itu si buta mengelak dan menangkis, pedang kedua disembar kakinya bagai kuda menyepak.

"Trangg!"

Orang benar-benar riuh. Gerakan atau gaya yang diperlihatkan si buta ini benar-benar luar biasa dan mengagumkan. Kaki atau tulang belakang punggungpun seakan bermata. Dan ketika it-liong-tah terpekik pedangnya terpental, Ji-liong-tah terhuyung dan hampir terjelungup disepak pedangnya maka dua kakek ini terkejut karena dalam segebrakan itu saja mereka merasakan kelihaian si buta. Orang buta ini seakan melek saja!

"Hmh, bagus, tapi awas jurus kedua...!" kakek pertama tak mau berhenti dan ia mengikuti ayunan pedangnya memutar tubuh. Gerak itu disebut Naga Menara Berputar Dua Kali, pinggang meliuk dan tahu-tahu ia bertukar tempat dengan sutenya.

Memang mereka sudah berpasangan dan mainkan Siang-liong-tah-kiam-hoat (Silat Pedang Sepasang Naga Menara). Dan ketika masing-masing menusuk dan membabat lagi, bhesi atau pasangan kuda-kuda dibuat sekokoh mungkin maka Chi Koan harus mengakui bahwa dalam tangkisan pertamanya tadi ia tak mampu melepaskan pedang lawan. Belum secepat itu pertandingan usai.

"Trang-trangg!"

Si buta melakukan gerak membungkuk, perut hampir menempel lantai dan saat itulah tongkatnya menyambar ke atas. Sekaligus ia menangkis dua batang pedang mengejutkan lawan, bunga api berpijar. Dan ketika dua kakek itu terdorong oleh tenaga yang amat kuat, si buta menambah tenaganya maka bhesi atau pasangan kuda-kuda Naga Menara nyaris goyah!

Hal ini membuat kakek pertama terkejut dan penasaran, mulai mengenal kehebatan Hok-te Sin-kang. Akan tetapi karena pertandingan baru berjalan dua jurus dan belum apa-apa maka kakek ini memindah sepasang kakinya dan selanjutnya sambil menekuk atau menggeser lutut ia merobah-robah gerakan, maju mundur dengan cepat dan sepasang kakinyapun mencuat berkali-kali. Pedang mulai diiringi tendangan.

Dan ketika sang sute mengikuti dan lantai panggung tergurat srat-sret-srat-sret maka tampaklah betapa dua kakek ini sudah mengelilingi lawan dengan cepat dan kaki mereka kokoh tak mudah bergeming. Permainan bhesi atau silat kaki ini menjadi menarik karena gerak atau perpindahan kaki itu demikian indah dan amat kuatnya, juga gagah!

Penonton bersorak-sorai. Mereka melihat betapa si buta berkelebatan dan tampak kewalahan, menghindar atau mengelak serta menangkis akan tetapi tongkat hanya membuat pedang terpental. Pinggang ke atas dari dua kakek ini boleh terdorong akun tetapi sepasang kaki mereka menancap kuat, inilah bhesi atau pasangan kuda-kuda yang membuat penonton riuh.

Mereka kagum dan memuji Sepasang Naga Menara itu. Dan ketika jurus demi jurus lewat dengan cepat dan It-liong-tah menghitung-hitung, terkekeh dan tertawa melihat lawan berkelebatan mengelak sana-sini maka sepuluh jurus lewat dengan cepat dan tamu-tamu terhormat membelalakkan mata.

Akan tetapi Beng San tertawa. Anak muda ini tiba-tiba geli melihat tontonan itu, tahu benar gurunya bersandiwara dan tawanya membuat kening berkerut penonton sebelah. la ditanya kenapa tertawa. Dan ketika ia menjawab bahwa empat jurus lagi gurunya beraksi, lawan akan roboh maka penonton itu penasaran, tak percaya!

"Suhu hanya mendengarkan dan mempelajari ilmu silat kakek itu, silat pedang pasangan itu. Setelah itu suhu akan membalas dan empat jurus lagi mereka bakal terkejut!"

"Tapi suhumu kelabakan, ia maju mundur kebingungan!"

"Ha-ha, itu akalnya saja. Lihat sudahkah pedang mengenai tubuhnya, Sobat, apakah dua kakek itu mampu menyentuh pakaiannya meskipun mendesak dan merangsek!"

Orang ini terkejut. Memang dalam sepuluh jurus ini belum satu kalipun pedang di tangan dua kakek itu menyentuh si buta. Jangankan tubuhnya, pakaiannyapun tidak! Maka ketika ia mulai ragu dan menonton dengan perasaan tegang tiba-tiba saja terdengar benturan nyaring dan pedang di tangan Ji-liong-tah terlepas ke udara.

"Tiga belas!"

Orang itu berubah. Benar saja ramalan ini terbukti ketika si buta menangkis Ji-liong-tah, begitu kuatnya hingga pedang mencelat dari tangan tuannya. Akan tetapi ketika kakek itu berjungkir balik menyambar pedangnya lagi. Suhengnya menyerang dan melindunginya hingga selamat dari kejaran si buta maka kakek itu mendapatkan senjatanya lagi namun Chi Koan tertawa menyambut It-liong-tah, kakek pertama.

"Empat belas!"

It-liong-tah mati-matian mempertahankan senjata. Setelah sepuluh jurus lewat dan tiga jurus berikut berjalan dengan cepat dan lebih seru maka sepasang kakek ini mati-matian mendesak lawan. Dalam lima belas jurus inipun apabila si buta tak mampu dirobohkan maka mereka harus mundur, mengakui kalah. Hal itu mengakibatkan mereka menjadi penasaran dan kaget serta marah, apalagi selama sepuluh jurus itu tak satupun serangan-serangan mereka mengenai lawan. Tubuh si buta itu bagai bayang-bayang saja yang tak dapat disentuh.

Maka ketika masing-masing menjadi geram dan pedang di tangan bersilang naik turun delapan kali, memotong dan mencegat si buta itu maka lawan menangkis akan tetapi itulah yang dikehendaki Chi Koan. Tongkat di tangan sebenarnya sudah terisi Hok-te Sin-kang dan hanya karena menunggu saat baik saja si buta ini membiarkan diri didesak.

Dengan Lui-thian-to-jitnya (Kilat Menyambar Matahari) mana mungkin dua kakek itu menyentuh tubuhnya, pakaianpun tidak. Maka ketika membuat lawan penasaran dan kalau saja ini bukan pibu tentu sejak tadi ia menghntam dan merobohkan mereka maka baru pada jurus ketigabelas itulah ia bergerak dan pedang di tangan Ji-liong-tah ditangkis terlepas, telapak luka berdarah akan tetapi tak disangka kakek kedua itu berjungkir balik merampas pedangnya lagi.

Kakek ini rupanya berusah mati-matian untuk tetap mempertahankan senjata, biarpun telapak terkupas dan tak mungkin dipakai menyerang lagi. Dan karena ia beruntung sang suheng menusuk dan menghadang lawan pedang tertangkap kembali maka It-liong-tah inilah korban berikutnya karena begitu pedang menusuk secepat itu pula Chi Koan menggetarkan gagang tongkat dan membentur dengan amat keras, kakipun menyapu dari bawah.

"Trang-blukk!"

Sang kakek terlempar sementara pedangnya patah dua. It-liong-tah terguling-guling dan merasa paha luarnya remuk redam, mengeluh dan membelalakkan mata sementara sutenya menyerang kembali. Kakek ini memindah pedang di tangan kiri dan membacok dari atas, karena telapak kanannya sudah pecah dan beset luka-luka.

Akan tetapi karena Chi Koan sudah miringkan kepala dan mendengar desing pedang itu, gemas juga akan kenekatan kakek ini maka iapun memindah tongkat di tangan kiri dan bacokan itu disambutnya dengan dua jari telunjuk dan tengah yang tentu saja terisi penuh Hok-te Sin-kang.

"Pletak!" Kakek ini terkejut dan terseru tertahan. Pedangnya bagai batang lidi bertemu dua jari si buta, ditekuk dan patah dan saat tertegun itulah tongkat menyontek. Gerakan ini tak diduga karena datang begitu tiba-tiba, sekuat apapun kuda-kudanya pasti roboh. Maka ketika si buta mengungkit dan mendepak perlahan, terpelantinglah kakek itu maka Ji- liong-tah inipun terjerembab dan roboh tersungkur, dagunya mengenai papan panggung.

"Dukk!" Selesailah pertandingan diiringi tepuk sorak penonton. Begitu riuh mereka bertepuk setelah semuanya berjalan menegangkan. Kemenangan dan kegagahan si buta ini memang benar-benar mengagumkan, suara mereka menutup serangan dan keluhan Ji-liong-tah. Akan tetapi ketika Chi Koan maju dan menolong kakek itu, mengusap dan menggosok-gosok tubuhnya maka simpati penonton bertambah dan hiruk-pikukpun tak depat dicegah lagi.

"Chi-taihiap menang telak!"

"Chi-taihiap gagah dan patut menjadi bengcu!"

"Hidup Chi-bengcu!"

Chi Koan bangkit tersipu-sipu dan menggoyang-goyang lengan. Seruan dan pekik penonton tentu saja membuatnya rikuh. la memang girang akan tetapi harus tetap menjaga perasaan lawan, tak boleh dua kakek itu dendam. Maka ketika ia menggoyang-goyang lengan dan berseru bahwa di situ masih terdapat banyak orang pandai, ketua-ketua Pek-lian-pang dan Ui-eng-pang serta Yang-liu Lo-lo dan lain-lain maka sikap si buta ini semakin menaruh kagum dan hormat yang besar. Taktik Chi Koan memang jitu sekali.

"Tunggu, cuwi-enghiong harap jangan buru-buru menyebutku bengcu. Di sini masih terdapat banyak orang-orang pandai dan aku belum berani menerima sebutan itu. Harap cuwi-enghiong tenang dan pibu belum usai!"

Penonton berteriak gaduh dan Ning-pangcu melayang naik ke atas panggung. Sebenarnya dialah yang menyulut keadaan dan membuat tamu-tamu undangan gembira. Maka ketika dia mengangkat tangan tinggi-tinggi dan minta semua tenang, wajah ketua See-ouw-pang ini juga gembira dan berseri-seri maka dia memandang semuanya dan menghadap tokoh-tokoh di kursi depan, para tamu kehormatan yang tampak terkejut dan mulai gentar.

"Aku tak tahu lagi apa yang harus kukatakan di sini. Kalian telah melihat kemenangan dan kelihaian jagoku, cuwi-enghiong. Chi-taihiap menang telak atas saudara kita yang terhormat Siang-Liong-tah. Sekarang kutegaskan pendapatku pribadi, Chi-taihiap memang layak menjadi bengcu. Akan tetapi karena di sini masih hadir yang terhormat rekan-rekan Pek-lian-pang dan Ui-eng-pang, juga Yang-liu Lo-lo dan lain-lain maka kupersilakan naik bila ingin menguji Chi-taihiap. Entahlah bagaimana maunya kalian asal semua berlaku jujur dan adil. Pibu ini akan semakin ramai bila yang terhormat Yang-liu Lo-lo dan lain-lain menyemarakkan suasana."

Tepuk riuh meledak lagi. Dari kiri kanan muncul seruan-seruan agar orang-orang yang disebut itu naik, Di kursi kehormatan memang masih berkumpul lima tokoh yang belum menunjukkan kepandaian, kecuali Yang-liu Lo-lo yang sudah bertanding dengan Siauw Lam.

Akan tetapi karena mereka ini mulai kecut dan gentar, kepandaian si buta memeng luar biasa maka ketua Ui-eng-png maupun Pek-lian-pang tampak ragu dan saling pandang, begitu juga Lo Han-hok-houw ataupun Tong-bun-Su-jin (Empat Pendekar Keluarga Tong).

Di antara mereka ini sebenarnya Tong-bun-su-jin itulah yang paling banyak, jumlah mereka empat orang. Akan tetapi karena mereka rikuh dan malu hati maka akibatnya semua yang disebut ini seakan menunggu yang lain untuk maju, dorong-mendorong dengan isyarat mata.

"Ha-ha, sebaiknya maju saja bareng. Suhu tentu tak keberatan menerima itu. Eh, maaf Ning-pangcu, daripada menunggu satu sama lain sebaiknya suhu dikeroyok saja, biar mantap. Calon bengcu harus berani menghadapi tantangan apapun dan aku yakin suhu mampu mengalahkan mereka!"

Beng San, yang berdiri dan bertepuk tangan tiba-tiba mengejutkan semua undangan. Kata-katanya nyaring dan lantang sementara Chi Koan ikut terkejut. Sebagai orang yang harus menunjukkan perangai baik tentu saja ia membentak muridnya itu. Akan tetapi ketika anak ini membantah dan bandel menyanggah, bukankah gurunya harus meyakinkan semua orang maka kata-kata anak muda itu terdengar berani dan masuk akal, meskipun bagi yang berkepentingan membuat telinga panas dan wajah merah.

"Aku tidak mengagul-agulkan diri, melainkan semata agar orang benar-benar puas dan percaya kepandaianmu. Kalau kau dapat merobohkan dan mengalahkan mereka tentu jabatan bengcu tak perlu diragukan lagi, suhu. Sebagai orang yang paling dekat dan tahu kepandaianmu aku yakin kau dapat mengalahkan mereka. Bukankah sedikit banyak aku telah mengukur kepandaian penantangku tadi!"

"Akan tetapi usulmu sombong dan merendahkan orang, tidak memandang mata!"

"Ah, ini bukan sombong atau tidak, suhu, bukan memandang sebelah mata atau tidak. Kalau tak ada lagi yang mampu menandingimu satu lawan satu apakah tidak sebaiknya dikeroyok saja. Aku hanya ingin menunjukkan kepada semua orang bahwa kau patut menjadi bengcu, itu saja!"

Chi Koan mengejap-ngejapkan mata dan debat atau bantahan ini memang dapat diterima semua orang. Sebagai calon bengcu yang kelak bertugas berat para tokoh di situ memang harus diyakinkan luar dalam. Untuk itu boleh saja dia dikeroyok. Dengan Hok-te Sin-kangnya ia mampu mengalahkan semua lawan-lawannya. Akan tetapi karena bagaimanapun ia harus pura-pura marah, menegur dan menolak muridnya itu maka Yang-liu Lo-lo terkekeh dan tiba-tiba melayang naik ke panggung lui-tai.

"Muridmu berani dan amat percaya diri. Kalau benar kau mampu menghadapi kami semua boleh saja kami maju, Chi-taihiap, akan tetapi kalau kau kalah atau roboh hilanglah kesempatanmu menjadi bengcu. Heh-heh, kami harus mengakui bahwa satu lawan satu berat. Jalan menandingimu rupanya harus maju bareng. Kalau kau berani kami tak akan menganggapmu sombong dan justru kami menaruh hormat setinggi-tingginya!"

"Benar!" Lo-han-hok-houw si gemuk pendek terkekeh, menyambung dan berjungkir balik pula ke atas panggung. Kalau muridmu demikian percaya tak apa kami semua msju, Chi-taihiap, justeru membuka mata kami dan meyakinkan kami akan kepandaianmu yang luar biasa itu. kami tak menganggapmu sombong!"

"Nah, apalagi," Yang-liu Lo-lo gembira sambil menepuk kedua tangannya. "Lo-han-hok-houw sudah setuju, Chi-taihiap, dan mereka yang lain tentu sependapat pula. Ayo, kalian ke sini!"

Dua ketua Ui-eng-pang dan Pek-lian-pang akhirnya berkelebat ke panggung lui-tai. Gerakan mereka ini disusul pula oleh Tong-bun-su-jin dan penuhlah panggung dengan tokoh-tokoh utama. Sorak dan tepuk tangan meledak lagi. Akan tetapi ketika empat saudara Tong itu mengangkat tangan tinggi-tinggi dan menenangkan semua orang maka yang mukanya kehijauan tertawa masam berkata, suaranya rendah akan tetapi panggung dan tamu undangan tergetar oleh kekuatan khikang yang dikerahkan laki-laki ini. Dialah Tong Kit saudara tertua.

"Maaf, harap cuwi-enghiong tenang. Kami empat bersaudara Tong telah bicara sendiri dengan sedikit malu hati. Tanpa bermaksud mengurangi apalagi merendahkan Chi-taihiap kami ingin maju dulu menghadapi calon bengcu. Yang bersangkutan siap dikeroyok. Karena kami berjumlah paling banyak dan Yang-liu Lo-lo serta rekan-rekan bakal memenuhi panggung kalau maju semua bagaimana jika kami berempat main-main dulu dengan Chi-taihiap. Kalau kami kalah barulah Ui-eng-pangcu dan kawan-kawan membantu baru semua dari kami mengeroyok. Sebab kalau belum apa-apa sudah menjatuhkan vonis Chi-taihiap tak memperoleh lagi kesempatannya bukankah rasanya tak adil dengen merobohkan kami berempat saja rasanya cukup menjadi tolok ukur bahwa Chi-taihiap memang pantas menjadi bengcu. Akan tetapi kalau masih siap menghadapi gelombang kedua tentu saja kami semakin mantap dan percaya bahwa sahabat kita ini benar-benar pantas menjedi bengcu, kalau ia sudah dapat merobonkan kami. Nah, bagaimana pendapat cuwi enghiong dan rekan-rekan!"

Tepuk riuh meledak lagi. Chi Koan tersenyum-senyum mendengar ini dan Yang-liu Lo-lo dan lainnya mengangguk-angguk. Sepintas laki-laki ini bersikap jujur akan tetapi bagi yang mengerti justeru mengerutkan kening. Ujian pertama menghadapi empat orang itu akan disusul ujian kedua menghadapi keroyokan total. Kalau si buta habis tenaganya maka dalam pertandingan kedua bakal terancam bahaya. Inilah kecerdikan saudara tertua Tong-bun-su-jin itu. Dan ketika Yang-liu Lo-Lo serta yang lain mengangguk-angguk, saling pandang dan mengerti maka nenek itu terkekeh menjawab,

"Aku pribadi hanya ikut-ikutan, terserah Ui-eng-pangcu dan lain-lain. Akan tetapi kalau calon bengcu menolak agaknya berabe juga. Heh-heh, biarlah aku menonton di bawah dulu dan silakan kalian ambil keputusan!"

Dua ketua Ui-eng-pang dan Pek-lian-pang tersenyum. Mereka saling pandang dan memberi isyarat. Lalu ketika masing-masing mengangguk dan melayang turun, disusul Lo-han-hok-houw maka dua orang ini berseru,

"Yang-liu Lo-lo tidak salah. Karena Chi-taihiap tentu tak takut menghadapi ini biarlah nanti saja aku kembali!"

"Dan aku menunggu kesempatan itu. Nenek itu benar, Han-pangcu, kita menonton saja di bawah dan biar Tong-bun-su-jin main-main dulu deng saudara Chi!"

"Dan aku malu sendirian di sini Ha-ha, biar kuikut kalian lagi, Pek-lian-pangcu. Tentu Chi-taihiap tak keberatan menerima tantangan Tong-bun-su-jin!" Lo-han-hok-houw, yang juga bergerak dan melayang turun mengikuti dua rekannya ini.

Semua orang sudeh duduk kembali dan tinggallah Tong-bun-Su-jin di panggung lui-tai. Mereka ini memang sudah berbisik-bisik untuk menghadapi saja si buta itu, baru yang lain kalau mereka roboh. Maka ketika yang tertua sudah mempersiapkan diri dan membentuk lingkaran segi empat, mencabut senjata musing-masing yang aneh maka berturut-turut semua undangan dibuat tertawa ketika masing-masing mengeluarkan alat pertukangan seperti palu dan gergaji, juga bor dan potlod!

"Ha-ha Tong-bun-su-jin hendak membangun rumah. Beruntunglah Ning-pangcu mendapat ahli-ahli bangunan seperti ini!"

"Atau mereka mau menggergaji calon bengcu. Hei, hati-hati, Chi-taihiap. Alat-alat pertukangan di tangan mereka berbahaya!"

Chi Koan miringkan kepala dan terkejut juga oleh senjata-senjata aneh di tangan Tong-bun-su-jin ini. Ternyata ia menghadapi sekelompok para tukang yang kebetulan bersaudara. Tong Kit yang tertua memegang palu, sementara adiknya Tong Lam dan Tong Mui membawa gergaji dan bor panjang. Tong Nu, saudara termuda membawa potlod dan benang.

Akan tetapi karena mereka jelas bukan orang-orang sembarangan dan alat-alat tukang di tangan mereka itu adalah senjata berbahaya, potlod dan benang dapat menotok dan menjirat leher maka Chi Koan berhati-hati karena palu dan gergaji serta bor itu bukanlah barang mainan di tangan empat orang ini, apalagi sebagai tokoh-tokoh selatan!

Namun si buta tentu saja tidak gentar. Bukanlah Chi Koan kalau takut menghadapi semua itu. Maka ketika ia tersenyum dan hilang terkejutnya, sebenarnya lebih heran daripada terkejut maka wajah si buta ini tak menunjukkan reaksi apa-apa dan tetap tenang serta kalem, hal yang membuat Tong-dun-su-jin kagum.

"Suwi (empat saudara terhormat) sudah bersiap, silakan mulai saja. Aku akan merobohkan kalian dan hati-hati menjaga senjata!"

"Taihiap akan memukul lepas senjata kami pula?"

"Benar, Tong-lo-enghiong, dan agaknya tidak lebih dari dua puluh lima jurus!"

"Bagus, kau sendiri yang berjanji. Kami mulai dan awas!"

Tong kit yang pertama memberi aba-aba dan tiba-tiba tanpa banyak cakap lagi ia menerjang dan menggerakkan palunya dengan tangan kokoh dan kuat. Deru menyambar disusul saudara nomor dua, gergaji yang digerakkan menyerong seperti orang memangkas kayu. Lalu ketika yang lain menyambar dengan amat cepat, bor dan potlod serta benang maka berturut-turut dan susul-menyusul empat bersaudara itu telah mencegat atau memotong jalan lari Chi Koan.

"Trik-plak-crangg!"

Chi Koan memang harus menangkis dan si buta inipun cepat menggerakkan tongkat mengerahkan Hok-te Sin-kang. la membuat senjata lawan terpental dan empat orang itu terkejut karena telapak mereka pedas dan sakit,senjata di tangan hampir saja mencelat! Dan ketika mereka berseru keras melemaskan pegangan, mundur dan menyerang lagi maka selanjutnya empat bersaudara ini berkelebatan mengurung dan menyerang akan tetapi mereka lebih berhati- hati untuk bertemu tongkat.

"Wut-wut-wiirrr!"

Empat tubuh beterbangan bagai Rajawali menyambar-nyanbar dan tepuk tangan penonton tak dapat ditahan lagi. Bagai siluman atau bayang-bayang setan empat saudara ini mengetok dan memukul, menjirat atau menotok dan ternyata yang amat merepotken adalah senjata di tangan saudara termuda.

Laki-laki inilah yang menerobos pertahanan dan benang atau potlodnya itu menjadi pendobrak, saudaranya yang lain tinggal masuk dan inilah yang berbahaya. Palu dan gergaji serta bor bercuitan menyembar-nyambar. Dan ketika Chi Koan mengerutkan kening sementara penonton mulai bersorak-sorak ada yang menghitung jurus demi jurus maka si buta membentak dan tiba-tiba berkelebatan mengerahkan Lui-thian-to-jitnya itu.

"Plak-tring-crangg!"

Betapapun Tong-bun-su-jin tak mungkin menghindar. Setelah mereka beterbangan dan Chi Koan mengerahkan ginkangnya maka tubuh si menyapu sana-sini membentur senjata lawan dan terpekiklah empat bersaudara itu karena mereka terpental dan jatuh terpelanting. jurus sudah melewati tujuh dan sekejap kemudian limabelas. Tak pelak lagi penontonpun menjadi riuh. Mereka yang tak mampu mengikuti pertandingan mulai mendengarkan seruan atau teriakan teman-teman mereka.

Namun ketika teman-teman inipun terkejut kehilangan sasaran, si buta tak dapat diikuti lagi sementara Tong-bun-su-jin terjengkang dan berteriak kaget maka tongkat panjang yang melebar bagai payung itu menguasai keadaan dan trang-tring-trang-tring disusul dengan keluhan ataupun jerit kesakitan!

Kagumlah semua orang. Chi Koan memang tak ingin main-main lagi dan unjuk gigi. Setelah berturut-turut ia dijajal dan menghadapi lawan yang kian bertambah iapun tak mau bertindak setengah-setengah. Sekaranglah saatnya menundukkan orang-orang kang-ouw ini.

Maka ketika ia berkelebatan sementara tongkatnya menangkis dan memuncratkan bunga api, lawan terpekik dan pucat serta berubah maka orang termuda dari Tong-bun-su-jin itulah yang harus dirobohkannya pertama kali dulu. Benang dan potlod yang menyambar dibelit, Chi Koan sudah memutar tongkatnya secara membalik. Maka ketika lawan, terkejut menarik benang, molor dan pu-tus iapun mengungkit dan... bress!"

Robohlah laki-laki itu dengan lutut terkilir. Chi Koan menendangnya dari bawah dan laki-laki ini terlempar keluar panggung. Akan tetapi karena si buta tidak berhenti di situ saja dan meneruskan gerakan, tiga lawannya kehilangan ujung tombak maka tangan kiri mendorong dan menjeritlah orang ketiga dari Tong-bun-su-jin.

Laki-laki ini kena pukulan Hok-te Sin kang dan terbanting, hitungan sudah lewat duapuluh jurus. Lalu ketika orang pertama dan kedua menjadi pucat, kini merekalah yang dikelilingi si buta itu maka tak ada jalan lain ketika gergaji dan palu harus menangkis dan mempertahankan diri, padahal seharusnya tak boleh mereka beradu tenaga dengan tongkat di tangan si buta itu.

"Crang-crangg!"

Telapak yang sakit malah terbeset. Tanpa ampun lagi dua orang ini melepaskan senjata mereka, berteriak gentar. Akan tetapi karena Chi Koan benar-benar hendak merobohkan mereka dan tak memberi ampun maka jari si buta bergerak dan hampir berbareng dengan tongkat totokan lihai membuat kakak beradik itu mengeluh dan roboh dengan tubuh kaku, mirip batang pisang.

"Bluk-bluk!" Pecahlah pekik gegap-gempita menggetarkan panggung. Duapuluh lima jurus si buta menyelesaikan pertandingan dan Tong-bun-su-jin berserakan dengan muka pucat. Mereka yang di luar tertatih-tatih bangun, merangkak dan akhirnya berjalan susah-payah mendekati suheng dan ji-suheng mereka.

Dan ketika Chi Koan menyimpan tongkatnya kembali setelah membebaskan totokan mereka, merah padamlah empat bersaudara ini maka si buta berseri-seri membungkukkan tubuh, sikapnya hormat dan simpatik.

"Maaf... maaf aku telah menyakiti Su-wi semua. Pertandingan telah usai, Suwi-enghiong, dan aku harus mengakui bahwa senjata kalian yang aneh-aneh hampir saja membuatku bingung. Untunglah aku memiliki Hok-te Sin-kang dan peninggalan guruku ini ternyata penyelamat diriku. Harap kalian bangun dan maaf kalau pukulanku terlalu keras!"

Empat bersaudara itu menjura dalam-dalam dan kekalahan ini harus mereka terima dengan jiwa besar. Tak ada lagi rasa ragu atau dendam, lawan memberi muka mereka. Dan ketika yang tertua menyeringai pahit, kekalahan harus diterima dengan lapang dada maka laki-laki berusia limu puluhan ini berkata, suaranya benar-benar merendah,

"Chi-taihiap benar-benar pantas menjadi jago, kami mengakui kehebatanmu. Beruntung kami merasakan Hok-te Sin-kang dan peninggalan Bu-tek-cin-keng itu kiranya betul-betul hebat. Terima kasih dan puas kami kalah!"

"Heh-heh, hi-hik!" Yang-liu Lo-lo melayang dan terkekeh di atas panggung. "Sekarang bagaimana ujian terakhir, Tong bun-su-jin, masih berlaku atau tidak. Apakah Chi-taihiap masih berani menghadapi keroyokan penuh!"

"Luar biasa, benar-benar mengagumkan. Aku si Penakluk Harimau ini dibuat melek lahir batin, Yang-liu Lo-lo sungguh perkasa dan lihai sekali Chi-taihiap ini. Ha-ha, tentu kami kecewa kalau ujian terakhir dibatalkan. Masa Chi-taihiap harus mundur!"

Lo-han-hok-houw (Buddha Penakluk Harimau) berkelebat den tertawa-tawa pula di panggung lui-tai. Dia cepat menyusul Yang-liu Lo-lo setelah melihat betapa nenek itu memberi isyarat dan minta teman-temannya ke atas.

Si buta mengusap keringat dan sedikit atau banyak telah berkurang tenaganya. Maka ketika ia gembira namun sedikit gentar, sendirian saja tak mungkin ia berani maka diajaknya kawan-kawannya itu dan Chi Koan maklum akan maksud orang-orang kang-ouw ini, apalagi setelah ketua Ji-eng-pang dan Pek-lian-pang naik.

"Benar, kami harus mengakui kehebatan calon bengcu ini, akan tetapi kecewa kalau belum sedikit bersentuhan. Ah... kau benar-benar mengagumkn kami semua Chi-taihiap, dan agaknya hampir sepakat bahwa kedudukan bengcu memang pantas kau yang memegangnya. Akan tetapi biarlah kami main-main sebentar, dan berilah Kemurahan kepada kami agar sudi merasakan Hok-te Sin-kang itu. Kami juga gatal!"

Chi Koan tertawa. Tentu saja ia harus berhati-hati setelah semua orang-orang ini naik. Akan tetapi karena sudah tekadnya untuk merobohkan dan menundukkan, kekuatan mereka ini dapat dipakainya menggempur Peng Houw maka ia berseri-seri dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

"Yang-Liu Lo-lo dan cuwi sekalian tak usah khawatir, aku tak akan mundur. Karena aku sudah berjanji dan akan menghadapi kalian maka boleh kalian puaskan hati bermain-main dengan aku. Namun terus terang tak berani kutentukan berapa jurus, jumlah cuwi cukup banyak!"

"Ha-ha, kamipun tak menentukan jurus. Asal kau dapat merobohkan kami semua cukup bagi kami, Chi-taihiap. Kami gembira menyaksikan kepandaianmu yang luar biasa itu. Kau patut memimpin kami!"

"Dan ini pibu terakhir bagi pemilihan bengcu. Akan tetapi apakah Tong-bun-su jin dan Siang-liong-tah locianpwe boleh maju lagi, kalau tidak jumlahnya tetap!"

Chi Koan tertawa menyambut seruan orang-orang ini. Memang kalau Lo-han-hok-houw dan dua ketua Ui-eng-pang serta Pek-lian- pang dan Yang-liu Lo-lo maju maka jumlah mereka akan tetap empat orang. Lain kalau Tong-bun-su-jin membantu apalagi jika ditambah sepasang kakek di sana itu, Sepasang Naga Menara. Maka ketika ia mengangguk dan tak gentar menghadapi orang-orang itu, biarlah kelihaiannya diketahui semua orang maka ia berkata bahwa Tong-bun-su jin boleh maju, bahkan bersama dua kakek gagah itu.

"Aku tak keberatan cuwi semua maju, silakan naik ke atas. Jiwi-locianpwe juga boleh sekalian. Mari, mari kita main-main dan biarlah puncak kegembiraan ini kita tutup bersama!"

Dua kakek itu tertawa bergelak. Mereka sudah disebut-sebut dan kini menerima undangan, siapa tidak girang menebus kekalahan. Maka ketika mereka berkelebat dan tahu-tahu berjungkir balik di atas panggung, wajah berseri dan mulut terkekeh-kekeh maka duakakek ini berseru dengan pedang dicabut, senjata-senjata baru.

"Chi-taihiap benar-benar seorang gagah dan amat mengagumkan. Karena kami dipanggil dan diminta mengeroyok tentu saja kami tak menolaknya. Kalau kami kalah lagi sungguh pantas kami menjadi budakmu dan biarlah dua tua bangka macam kami mengabdi kepadamu seumur hidup!"

Chi Koan berseri-seri. Seruan atau kata-kata kakek ini disusul seruan atau kata-kata senada. Tong-bun-su-jin dan lain-lain menyatakan serupa pula. Maka ketika ia menggetarkan tongkat dan undangan menjadi riuh, inilah puncak keramaian maka si buta bersiap dan wajahnya yang memang tampan itu semakin tampan saja, kemerah-merahan.

"Jiwi tak kuminta menjadi budakku, begitu pula cuwi-enghiong. Kalau aku dapat mengalahkan kalian paling-paling kuminta bantuan kalian untuk menghadapi musuh besarku Peng Houw. Tanpa bantuan ini tentu selamanya sakit hatiku tak pernah terbalas."

"Jangan khawatir, kami siap di belakangmu. Karena Naga Gurun Gobi itu telah menyakiti dan menyusahkan dirimu tentu kami tak akan tinggal diam, Chi-taihiap. Orang-orang selatan siap membantumu dan sakit hatimu itu bakal terbalas!"

"Terima kasih, kalau begitu kalian majulah dan mari kita main-Main!"

Chi Koan begitu girang dan tiba-tiba menggetarkan seluruh tubuhnya mengerahkan Hok-te Sin-kang, mengejutkan semua lawan karena tiba-tiba keluarlah hawa panas mendorong mereka. Belum apa-apa semua orang terkejut. Akan tetapi ketika Yang-liu terkekeh dan menjeletarkan rambut maka seruan nenek itu menyadarkan mereka bahwa pertandingan harus dimulai. Nenek ini meminjam sepasang besi pengait yang menjepit pinggiran tenda, senjatanya sendiri telah dihancurkan Siauw Lam.

"Mari, cukup sudah bicara. Awas keroyok pemuda ini namun hati-hati Hok-te-sin-kangnya itu!"

Semua mengangguk dan nenek itu berkelebat ke depan dengan gaetan besinya. la memelopori kawan-kewannya dan gaetannya itu menusuk leher, menggantol dan siap menarik namun Chi Koan mengelak. Dari sambaran angin ia tahu bahwa lawan yang lain menyusul tak kalah berbahaya, karena saat itu Lo-han-hok-houw dan teman-teman menyambar pula.

Si Penakluk Harimau ini bertangan kosong akan tetapi sepasang cengkeramannya sangat berbahaya dan cepat, berkerotok dan menyambar dan tahu-tahu telah mendekat pinggang. Sekali kena cengkeram lawan bakal sulit melepaskan diri, kalau tidak terluka pakaianlah yang akan hancur. Jari-jari itu penuh tenaga sinkang, siutannya saja memberi tanda.

Namun ketika Si buta menggerakkan tongkat dan mengelak serta menangkis, juga menendang dan menghalau serangan-serangan itu maka lawan terpental dan senjata yang bertemu tongkat mengeluarkan bunga api.

"Tring-trangg!"

Tepuk sorak menggegap-gempita. Tamu undangan segera kehilangan si buta ketika dalam waktu bersamaan para tokoh menerjang berbareng. Sepuluh orang itu memenuhi panggung dan menutup pandangan mata, si buta lenyap di tengah. Namun ketika mereka terpental dan semua berseru kaget, Hok-te Sin-kang mendorong mereka maka Yang-liu Lo-lo sudah berjungkir balik menarik senjatanya.

Tadi memang gerakannya untuk memancing dan memelopori serangan. Akan tetapi nenek ini sudah menerjang lagi. Dia berkelebat di belakang Chi Koan dan menusuk serta menggaet, tentu saja amat hati-hati dan menghindar bila pemuda itu menangkis. Dalam pengalaman kawan-kawannya tadi nenek ini tak berani beradu tenaga, ia hendak merepotkan dan membuat si buta lengah.

Namun karena yang dihadapi adalah seorang yang lihai dan kenyang pertempuran, Chi Koan bukan anak-anak maka si buta tertawa memutar tongkat, cepat bagai kitiran dan nenek itu memaki. Tongkat telah membentuk perisai lebar membungkus si buta, begitu cepatnya hingga pemuda ini lenyap.

Dan ketika dari putaran tongkat itu keluar angin amat kuat, juga hawa panas yang mendorong orang-orang itu maka Tong-bun-su-jin dan lain-lain menjadi kagum namun juga penasaran bahwa dalam gebrakan cepat berikut mereka terdesak dan tak mampu menembus putaran tongkat itu.

"Trang-cranggg!"

Tepuk riuh meledak lagi. Pedang di tangan sepasang kakek bertemu tongkat mengeluarkan bunga api berpijar, terpental dan hampir menyembar tuannya sendiri kalau Ji-liong-tah maupun suhengnya tak membuang tubuh membanting bergulingan. Dan ketika mereka pucat meloncat bangun, untunglah yang lain melindungi dan menyerang si buta maka dua kakek itu mengeluarkan keringat dingin karena telapak yang terbeset hampir saja terluka lagi.

"Jangan terlampau dekat, serang dari belakang!"

"Atau kau dari kiri, suheng, aku sebelah kanan!"

Chi Koan tersenyum memutar tongkat dengan rapat. Ia sengaja belum mengerahkan ginkangnya berkelebatan seperti burung menyambar-nyambar, lawanlah yang mengelilingi dan ia cukup bertahan dengan tenang. Dan ketika ia mementalkan senjata orang-orang itu dan Hok-te Sin-kangnya membuat mereka terhuyung atau bahkan terpelanting, lawan terkejut mempertahankan senjata maka dalam pertandingan ini si buta belum membalas apalagi melepns pukulan. Tangan kirinya masih bersiap dengan jari-jari berkerotok!

Yang-liu Lo-lo dan lain-lain kagum. Nenek ini harus mengakui bahwa dalam hal sinkang dirinya kalah jauh dengan si buta itu. Dikeroyok sepuluh orang saja si buta tak mampu ditembus, kalaupun memaksa maka tongkat mementalkan mereka, kian lama kian sakit. Dan ketika mereka sama-sama maklum betapa hebatnya tongkat di tangan si buta itu.

Adu tenaga hanya membuat telapak pedas dan sakit maka sejenak orang-orang ini bingung dengan apa mereka mengalahkan lawannya itu. Senjata hanya berseliweran naik turun dan sesekali menyambar datang, itupun cepat ditarik kalau tongkat si buta membentur!

Penonton tertawa-tawa. Sekarang sepuluh orang itu berkelebatan bingung dan tampak hati-hati sekali. Sepasang kakek gagah tak berani mengulang kesalahan tadi, kalau menyerang selalu di belakang atau samping kiri kanan. Dan ketika Tong bun-su-jin. juga bergerak amat berhati-hati, mereka yang sudah berkenalan tak berani gegabah maka hanya ketua Pek-lian-pang atau Ui-eng-pang yang semula berani beradu depan dan menjajal si buta akan tetapi akhirnya terkejut dan mundur setelah dibentur tongkat, terpental dan telapak mereka nyaris beset!

Kini semua lawan benar-benar kagum. Sekarang mereka benar-benar membuktikan kehebatan si buta ini. Hok-te Sin-kang di batang tongkat tak mampu mereka tembus. Dan ketika mereka berkelebatan dengan bingung, mengelilingi danmenarik senjata kalau ditangkis maka si buta tiba-tiba tertawa bergelak dan melempar tongkatnya, amblas di pilar panggung lui-tai.

"Cuwi-enghiong, kalian agaknya jerih sekali dengan tongkatku. Baiklah, kubuang senjata ini dan biarlah aku bertangan kosong saja!"

Semua terkejut. Tak mereka sangka si buta demikian berani. Akan tetapi melihat tongkat amblas di pilar lui-tai, bergetar dan tinggal gagangnya saja maka orang-orang ini menjadi pucat namun girang berseru keras. Mungkin tanpa tongkat si buta dapat mereka kalahkan.

"Chi-taihiap, kau benar-benar berani sekali menghadapi kami. Awas jangan salahkan kami kalau tanpa senjata kau roboh!"

"Ha-ha, majulah. Justeru tangan kakiku ini merupakan senjata sebenarnya, Cuwi lo-enghiong. Agar kalian tak ragu-ragu dan takut menghadapi tongkat biar kaki tanganku ini saja yang bekerja. Majulah!"

Penonton bertepuk riuh. Mereka terkejut dan kagum akan lontaran tongkat yang demikian kuatnya itu. Hanya mereka yang memiliki sinkang luar biasa mampu menembus pilar seperti itu. Maka ketika mereka bersorak dan memuji riuh, si buta berkelebat dan terbang menyambar-nyambar maka Tong-bun-su-jin dan lain-lain berseru keras karena bayangan si buta lenyap mengelilingi mereka. Dan bersamaan itu menderulah Hok-te Sin-kang dari kedua lengan dan kaki.

"Dess-dess!"

Yang-llu Lo-lo dan lain-lain berteriak. Mereka tiba-tiba terdorong dan terpental oleh tamparan kaki dan lengan pemuda itu, terjengkang dan bergulingan karena lengan dan kaki pemuda itu tiba-tiba lebih hebat daripada tongkat. Dan ketika mereka terbanting dan bergulingan dengan muka pucat, inilah saat di mana Chi Koan benar-benar mengeluarkan kepandaiannya maka pemuda itu berkelebatan dan Lui-thian-lo-jitnya membuat tubuhnya menyambar-nyambar bagai kilat menyambar matahari.

"Ha-ha , aku kini membalas. Jaga dan hati-hati melindungi tubuh kalian, cuwi-enghiong. Maaf bila pukulanku terlampau keras... des-dess!"

Yang-liu Lo-lo kembali bergulingan dan senjata di tangan tak ada artinya lagi. Pedang atau gaetan besi tertolak oleh sambaran Hok-te Sin-kang itu, kalaupun mengena akan membalik dan terpental menyambar tubuh sendiri. Dan ketika orang-orang itu menjadi pucat dan kaget setengah mati, sorak penonton menggegap-gempita.

Maka tamparan atau pukulan Chi Koan mulai mendapat sasaran dan Tong-bun-su-jin serta kawan-kawan mengeluh dan terhuyung-huyung, jatuh dan bangkit lagi akan tetapi pemuda itu berseliweran naik turun. Setiap tangan bergerak atau kaki menendang terlemparlah seorang lawan, untung pemuda ini tak mengeluarkan semua tenaganya karena si buta tetap mengendalikan pukulan.

Yang-liu Lo-lo terseok-seok dan empat kali roboh terpelanting. ketika akhirnya senjata di tangan nenek itu bengkok dan patah ditampar si buta, disusul pedang di tangan Sepasang Naga Menara maka dua kakek ini roboh terjerembab.

"Bres-bress!!"

Tepuk riuh tak dapat ditahan lagi. Satu demi satu sepuluh orang itu akhirnya terjengkang oleh pukulan Hok-te Sinkang. Mereka yang mencoba bertahan malah terdorong dan keluar panggung, terbanting dan mengeluh di sana.

Dan ketika tak sampai sepeminuman teh tokoh-tokoh ini berserakan di panggung lui-tai, senjata mencelat atau terlempar entah ke mana maka si buta menghentikan gerakannya dan berdiri lagi di atas panggung. Wajahnya bertambah merah dan hanya sedikit keringat membasahi dahinya. Tepuk sorak menyambut.

"Ha-he, jagoku menang. Kau telah menyelesaikan pertandingan, Chi-taihiap, kau pantas menjadi bengcu. Hidup Chi-taihiap!"

Ning-pangcu meloncat dan berjungkir balik di atas panggung. la bersorak dan tepuk tangannya disambut tamu-tamu undangan. Pekik dan riuhpun menjadi-jadi. Dan ketika Chi Koan menjura dan memutar ke segala penjuru, mengucap terima kasih maka Beng San meloncat ke panggung lui-tai menolong orang-orang kang-ouw itu. Anak-anak murid Ui-eng-pang dan Pek-lian-pang juga menolong ketua mereka.

"Suhu menang, suhu pantas juara. Kau sekarang memimpin orang-orang ini suhu. Kau bengcu orang-orang selatan!"

Chi Koan berseri-seri dan mencabut tongkatnya di pilar. Tanpa dituntun ia mengetahui di mana tongkatnya berada, tanda betapa tajam telinga dan ingatan Si buta ini. Dan ketika iu digandeng muridnya sementara Ning-pangcu memuji-muji, kemenangan itu sungguh menggirangkan hatinya maka Siauw Lam tiba-tiba lenyap dan menghilang dari tempat itu, entah ke mana.

Kemenangan ini memang pantas disyukuri. Sebenarnya tanpa basa-basi bisa saja si buta itu merobohkan semua orang secepatnya. Dengan Hok-te Sin-kangnya dapat saja dia nenantang sejak awal. Akan tetapi karena Chi Koan adalah laki-laki cerdik dan segala bentuk kesombongan harus dibuang jauh-jauh, dia berhadapan dengan umum maka itulah taktiknya dan perlahan tetapi pasti ia menarik perhatian orang dengan kepandaiannya sedikit demi sedikit.

Dengan begini kesan sombong tiada, biarpun sebenarnya sejak tadi bisa saja ia menyuruh dikeroyok dan takabur. Maka ketika ia memperoleh simpati dengan cara yang mantap, hati semua orang berhasil direngkuh maka sikapnya menolong Yang-liu Lo-lo maupun lain-lain menyuburkan rasa hormat dan kagum.

Si buta ini telah berhasil menarik simpati massa dan inilah modal pentingnya. Dan ketika semua masih bersuara gaduh dan masing-masing membicarakan pertandingan itu sebagai buah bibir maka Ning-pangcu mengangkat tangan tinggi-tinggi menghentikan semua keributan itu.

"Mohon perhatian, mohon perhatian. Harap cuwi tenang dan dengarkan kata-kataku ini. Setelah pertandingan ini usai dan Chi-taihiap memenangkan telak maka tidak berlebihan kiranya jika Chi-taihiap memimpin kita mulai sekarang. Bagaimana pendapat cuwi-enghiong tentang jago kita ini. Resmikah dia diterima sebagai bengcu!"

"Setuju!"

"Tepat sekali! Chi-taihiap telah melewati beberapa syarat, Ning-pangcu. Kami setuju ia menjadi bengcu!"

"Dan ia pantas memimpin kita. Orang-orang Utara tak mungkin sombong lagi, pangcu. Kita mendapat pelindung dan pemimpin andalan. Hidup Chi-bengcu!"

Chi Koan berseri dan tersenyum membalas delapan penjuru. Teriakan dan seruan itu membuatnya girang. la telah berhasil menundukkan orang-orang selatan ini. Dan ketika hari itu juga ia diangkat sebagai bengcu, tibalah saatnya menetap di sebuah tempat tinggal maka ia berkerut teringat ini, tak tahu di mana ia harus tinggal. Akan tetapi Ning-pangcu menawarkan See-ouw-pang.

"Taihiap tak usah bingung-bingung, kami See-ouw-pang menawarkan diri. Tinggalah di sini di belakang. bukit itu, taihiap. Dengan tinggal di dini mudah bagi kami menghubungimu bila ada sesuatu keperluan penting. Biasanya sebulan sekali kami orang-orang selatan mengadakan rapat."

"Terima kasih, tawaranmu menggirangkan hatiku. Baiklah sementara ini kuterima maksudmu, sambil satu saat aku mencari tempat sendiri. Betapapun tak enak kalau harus mengganggu dirimu."

"Tak apa, kami sungguh rela. Berada di sini berarti memperkuat kedudukan kami taihiap. Biarlah bukit itu kau miliki dan kami berikan kepadamu. Kami See-ouw-pang biar tetap di tepi telaga sini!"

"Dan bulan depan kita mengadakan pertemuan pertama. Kita umumkan pengangkatan bengcu ini kepada saudara-saudara yang mungkin belum hadir, Ning- pangcu. Dan sejak hari ini pula kita mulai memprogram pekerjaan kita."

"Bengcu telah hadir, kita siapkan rencana-rencana masa depan untuk kita sodorkan dan kita kerjakan bersama!" Ji-liong- tah berseru dan disambung orang pertama Tong-bun-Su-Jin.

"Benar, kita telah bersatu-padu. Kalau orang-orang Utara berani mengganggu kita tak usah kita takuti lagi, pangcu. Bersama bengcu dapat kita pukul mundur mereka!"

"Tapi ingat urusan bengcu sendiri," ketua See-ouw-pang mengangguk-angguk. "Ingat bahwa Naga Gurun Gobi telah membunuh pula kekasihku Siang-mauw Sian-li. Dendam kami sama!"

"Sudahlah, Chi Koan begitu gembira. Urusan kita urusan bersama, Cuwi-eng-hiong. Kalau orang-orang utara berani macam-macam tentu aku tak akan tinggal diam. Biarlah kuhadapi mereka seperti juga kalian akan membantuku bila Naga Gurun Gobi Peng Houw datang. Aku berterima kasih dan sekali lagi terima kasih atas kepercayan cuwi mengangkatku sebagai bengcu!"

Pesta atau keramaian di tempat Ning pangcu berakhir. Chi Koan telah diangkat sebagai bengcu sekaligus mendapat tempat tinggal di belakang telaga itu, sebuah bukit di belakang See-ouw-pang dimana perkumpulan ini semakin kuat dan percaya diri setelah adanya si buta di situ.

Dengan adanya pemuda ini tentu saja mereka bagaikan harimau tumbuh tanduk. Kegagahan dan kelihaian si buta ini menjadi buah bibir. Akan tetapi ketika Chi Koan tak melihat muridnya Siau Lam terkejutlah dia maka Beng San juga tertegun tak melihat suhengnya di situ.

"Aku tak tahu ke mana dia, aku tak melihat perginya. Suheng lenyap begitu saja, Suhu, entah apa yang dia lakukan!"

"Dan siapa di antara para tamu yang pergi tanpa pamit?"

"Eh... Semuanya pamit, suhu, kecuali dua gadis kembar itu puteri Lam-hai-kong-jiu yang cantik-cantik!"

Chi Koan berkerut kening. Kegembiraannya menjadi terganggu oleh lenyapnya Siauw Lam ini. Dia tak tahu apa dan ke mana pemuda itu pergi. Akan tetapi mendengar dua gadis itu juga tak pamit meninggalkan See-ouw-pang maka dia pun menjadi tak nyaman dan berdebar, mulai curiga. Apakah kepergian muridnya ini ada hubungannya dengan dua gadis cantik itu? Ataukah Siauw Lam mendongkol oleh bentakannya di atas panggung?"

Sebagai guru yang cukup mengenal muridnya Chi Koanpun gelisah. Harus diakuinya bahwa muridnya yang satu ini mulai berani, kadang-kadang sikapnya kurang ajar dan hanya karena mengalah sering dia bersabar. Maka mendesis mencekal tongkatnya diapun menyuruh Beng San mencari, sekaligus memanggil Mei Bo, wanita yang menjadi pengganti Hong Cu.

"Kau selidiki dan cari suhengmu itu beberapa hari, lalu laporkan kemari. Panggil Mei Bo secara hati-hati dan suruh ia ke sini pula."

"Baik, suhu," lalu ketika anak itu berangkat dan pergi menyeringai maka Mei Bo, gadis Sin-hong-pang itu telah berada di pelukan Chi Koan. Dalam keramaian itu gadis ini menjadi penonton secara diam-diam.

"Aku tak tahu dimana muridku Siauw Lam. la pergi dari sini, Mei Bo, tolong kerahkan anak buahmu membantu Beng San. la kuperintahkan mencari suhengnya. Dan untuk hubungan kita sebaiknya lebih berhati-hati karena aku sudah menjadi bengcu di sini. Orang lain tak boleh tahu masalahi ini!"

"Hmh, aku justeru gembira. Selamat untukmu, Koan-ko, dan ada kabar baik untuk kita. Aku... aku hamil!"

"Apa..!"

"Benar, koko, aku hamil. Aku tak mau memberitahukan ini sengaja menunggu pengangkatanmu sebagai bengcu. Anak kita, ah... ia putera seorang bengcu terkenal, hi-hik!" gadis itu merangkul si buta dan tak malu atau segan-segan mencium, tak tahu betapa si buta keget setengah mati akan tetapi menahan kekagetannya itu, mendorong dan membuat gadis ini terlempar karena saat itu munculah Ning-pangcu berseri-seri.

Pintu terbuka dan Mei Bo ceroboh sekali, tak menutup kamar. Dan ketika ketua See-ouw-pang itu membungkuk dan telah mendengarkan percakapan, tertegunlah Chi Koan, maka Si buta menahan pukulannya yang hampir saja melayang.

"Kionghi (selamat)... kionghi. Mei Bo beruntung mendapatkan rejekinya, Chi-taihiap. Tak ada wanita sebahagia itu di saat seperti ini. Kami See-ouw-pang turut mengucapkan selamat, dan hubungan ini rupanya tak perlu disembunyikan lagi. Kalian dapat meresmikan diri dan secepatnya menikah. Kami membantu menyiapkan segalanya!"

"Nah..." gadis itu hilang kagetnya. Meloncat bangun. "Aneh kalau masih bersembunyi-sembunyi lagi, Koan-ko. Hubungan ini tak perlu dirahasia-rahasiakan lagi. Aku telah minta Ning-pungcu mengurus pernikahan kita. Sebulan dua aku resmi menjadi isterimu!"

"Jadi... jadi kalian?"

"Benar, taihiap, Mei Bo telah menceritakannya kepadaku. Sebagai murid utama Sin-hong-pang dan kini mewakili mendiang kekasihku Siang-mauw Siun-li maka hubungan kami sudahlah akrab. Kami See-ouw-pang menyambutnya gembira. Dan karena taihiap telah menjadi bengcu dan tak enak kalau orang menduga macam-macam biarlah hubungan ini diresmikan dan kami See-ouw-pang siap membantu dan merayakannya!"

Chi Koan menggigil dan berubah pucat. Sungguh tak disangkanya bahwa secepat itu Mei Bo bercerita kepada Ning-pangcu, dan tak disangkanya pula gadis itu hamil. Akan tetapi karena ia harus menahan diri dan sekarang menjadi bengcu, inilah yang harus dijaga tiba-tiba ia tertawa bergelak dan menyambar serta memeluk kekasihnya itu, diam-diam mengetuk jalan darah di belakang punggung tepat di mana kepala janin menghadap.

"Moi-moi, ceritamu sungguh membuat aku terkejut, tapi aku girang sekali. Benar kata Ning-pangcu bahwa kita tak usah sembunyi-sembunyi lagi. Baiklah,sebentar lagi kita menikah, tapi cari dulu muridku Siauw Lam dan suruh anak-anak muridmu mencari pula. Sebulan lagi akan ada pertemuan pertama, biar kubicarakan ini dengan Ning-pangcu dan pulanglah hati-hati. Jangan sampai terpeleset atau jatuh!"

Mei Bo tak merasakan apa-apa ketika diusap atau diurut. la hanya menggelinjang geli ketika dicubit pinggangnya, lega dan sejenak kaget ketika didorong dan terpelanting. Dikiranya si buta tadi menyerang. Maka ketika ia tertawa dan merasa lega, keluar dan mengedip Ning-pangcu maka laki-laki ini berkata bahwa dia hendak melapor bahwa bulan depan di tempat ini akan datang seorang sutenya yang sudah diundang.

"Barangkali taihiap pernah dengar nama seorang suteku bernama Kim-liong-pian (Cambuk Naga Emas) Song Kam. Dia ku undang dan bulan depan datang kemari. Karena bulan itu adalah bulan pertama kita rapat maka sengaja kucari suteku untuk hadir. Kepandaiannya lebih tinggi dariku, maklum ia seorang pengelana. Dan karena ia tentu membawa banyak kabar dari dunia kang-ouw maka selain untuk kukenalkan dirimu juga sekaligus mencari informasi, terutama tentang musuh kita Peng Houw!"

"Hm, aku tak kenal," Chi Koan mengingat-ingat, akan tetapi menggeleng. "Kalau sutemu seorang pengelana tentu beritanya banyak, pangcu, syukur kalau ia datang dan lebih hebat darimu. Dan masalah hubunganku dengn Mei Bo, hmm... sebaiknya jangan diberitakan dulu menunggu selesainya pertemuan repat. Aku tak menyangka bahwa benih cintaku membuahkan hasil. Beruntung kau dengan mendiang Siang-mauw Sian-li tak apa-apa!"

Wajah Ning-pangeu memerah, akan tetapi tertawa getir. "Kami memang akrab, akan tetapi belum sejauh itu. Kematiannya merobek hatiku, taihiap, dan bantuanmulah yang kuharapkan kelak. Maaf aku kembali karena kedatanganku memang hendak memberitahukan perihal suteku itu. Aku mengganggu kalian berdua tadi."

"Tak apa, terima kasih. Biarlah aku sendiri, pangcu, dan. tolong carikan pula muridku Siauw Lam. Ia pergi tanpa memberi tahu!"

"Kami akan mencarinya, maaf," lalu ketika ketua See-ouw-pang itu membalik dan berkelebat keluar maka s buta ini termenung dengan gigi gemeretuk, tidak lagi masalah Mei Bo melainkan justeru ketua See-ouw-pang ini sendiri. Orang yang harus dilenyapkan...!

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.