Kabut Di Telaga See Ouw Jilid 21 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Serial Bu-beng Sian-su Karya Batara
Kabut Di Telaga See Ouw Jilid 21
Karya : Batara

"MAAF, aku tergelitik. Sekedar meramaikan suasana aku ingin bermain-main denganmu, nona. Aku Beng San murid nomor dua suhuku Chi Koan!"

Tepuk tangan lenyap. Para tamu terkejut dan membelalakkan mata ketika melihat gerakan pemuda itu tadi. Gerakan ini jauh lebih cepat daripada gerakan gadis di atas panggung, murid Sepasang Naga Menara itu.

Namun ketika mereka girang dan bertepuk tangan lagi maka Beng San mengangguk dan akhirnya menjura di depan gadis ini, tadi mengerahkan Lui-thian-to-jit alias Kilat Menyambar Matahari yang tentu saja luar biasa, benar-benar bagai kilat menyambar.

"Maaf, sekali lagi maaf. Kalau kehadiranku sekiranya nengganggu aku siap turun, nona. Aku hanya ingin berkenalan dan menguji kepandaianku yang rendah."

Beng San berkata sekali lagi karena gadis didepannya itu terbelalak dan tertegun. Sesungguhnya gadis ini terkejut dan tiba-tba semburat melihat datangnya si pemuda, bukan apa-apa selain jumpa pertama di tepi telaga tadi. Karena tadi ia memandang rendah si buta maka terhadap murid-muridnya tentu lebih lagi. Hanya setelah Chi Koan duduk di kursi kehormatan dan mendapat simpati undangan barulah gadis ini dan gurunya memuji.

Kini tiba-tiba lawan yang dihadapi adalah pemuda itu, pemuda yang semula dipandang rendah. Dan melihat betapa gerakan pemuda itu jauh lebih cepat dibanding dirinya diam-diam gadis ini menjadi gentar dan pucat. Akan tetapi Lan Hoa segera sadar. la berdiri di atas panggung terbuka di mana semua mata memandangnya. Tadi tepuk riuh penonton untuknya, kini tiba-tiba seolah untuk pemuda itu. Maka ketika ia menjadi merah dan menenangkan guncangan hatinya segera ia membalas dan berkata dengen senyum dipaksakan.

"Beng-kongcu adalah murid yang terhormat Chi-Taihiap, tentu saja berkepandaian tinggi. Kalau kini ingin main- main dan menambah pengalamanku yang bodoh tentu aku beruntung sekali. Mari kongcu, hanya kebiasaanku adalah bermain pedang. Kalau kongcu siap cabutlah senjatamu dan bukalah mataku lebar-lebar."

Beng San tersenyum. Bukan tiada maksud kalau ia naik panggung dan tiba-tiba menghadapi murid Siang-liong-tah ini. Tadi harus diakui bahwa ia tertarik dan tergetar melihat gadis berpedang ini. Sikapnya yang gagah dan satu-satunya wanita di tepi telaga membuat ia terhanyut. Alangkah nikmatnya nantinya kalau dapat mendekati gadis ini, bersentuhan dan membelainya sebagaimana ia membelai gadis-gadis Sin hong-pang.

Akan tetapi begitu muncul sepasang gadis kembar itu dan kecantikan mereka jauh lebih menonjol dibanding gadis ini maka Beng San justeru ingin memamerkan kepandaian dan menarik perhatian gadis-gadis itu, sepasang dara jelita yang nyaris kembar segala-galanya! Beng San ingin segera menunjukkan bahwa ia pantas bersanding dengan puteri Lam-hai kong-jiu itu.

Murid Sepasang Naga Menara ini menjadi tak berarti apa-apa baginya, karena itu sikapnyapun sombong ketika memandang dan mengejek. Pandang mata ini tentu saja dirasakan Lan Hoa. Gadis itu mengerutkan kening dan menjadi tidak senang, itulah sebabnya langsung mengajak bertarung lawan senjata karena keahliannya memang pedang.

Diam-diam akan dirobohkannya pemuda ini, bibir dan mata pemuda itu menyakitkan hatinya. Akan tetapi ketika Beng San menggeleng dan tetap bertangan kosong, katanya tak pernah mempergunakan senjata maka gadis ini tertegun juga.

"Suhu tak pernah mengajariku bermain senjata, paling-paling tongkat atau ranting pohon. Kalau kau ingin bersenjata silakan bersenjata,nona. Aku akan menghadapinya dengan tangan kosong dan jangan khawatir, kalau roboh memang nasibku!"

Tawa dan senyum lebar membuat gadis ini marah. Kalau saja Beng San tidak menyertainya dengan pandang mata atau bibir mengejek mungkin dia akan menerima lain, betapapun kata-kata itu halus dan dalam batas kesopanan. Mereka yang tak melihat pandang mata atau bibir pemuda ini akan mengangguk-angguk, sikap itu dinilai wajar. Akan tetapi bagi sepasang kakek gagah yang melihat itu tentu saja mengangkat alis mereka. Sikap atau kesombongan itupun tampak.

"Hoa-ji (anak Hoa), kalau musuh bertangan kosong sebaiknya kaupun tak mempergunakan senjata. Hadapilah dengan tangan kosong pula dan jangan berat sebelah!"

"Ah, aku laki-laki, dia wanita. Kalaupun berpedang sudah wajar, locianpwe, hitung-hitung mengalah pada wanita!" Beng San mendahului, memotong gadis itu dan Lan Hoa diam-diam girang.

Sesungguhnya gadis ini bingung mendengar seruan gurunya tadi, ia ingin cepat merobohkan lawan dengan pedangnya. Dan ketika Beng San berkata seperti itu dan justeru kebetulan maka iapun membentak dan sudah mencabut pedangnya, gerakannya cepat dan pedangpun tahu-tahu mendesing dan sudah disilangkan depan dada.

"Beng-kongcu sendiri yang memintanya, aku hanya tinggal menurut. Bukan aku tak patuh padamu, suhu, tapi lawan menghendaki begitu. Baik bersiaplah dan lihat pedang!" gadis ini tak memberi kesempatan lagi khawatir dicegah gurunya. Semakin gemas melihat kesombongan pemuda ini.

Sementara Beng San ada betulnya juga. Sejak menjadi murid Peng Houw kemudian si buta Chi Koan sesungguhnya ia tak pernah diajari bermain senjata. Lihat saja Soan-hoan-ciang (Kibasan Angin Puyuh) yang dimilikinya itu, lalu Thian-ap-ting dan Lui-pek-po-kian yang didapatnya dari Gobi.

Dan ketika terakhir ia medapatkan Lui-thian-Lo-jit yang amat hebat itu, ilmu meringankun tubuh yang diberikun Chi Koan kepadanya maka pemuda ini sesungguhnya seorang ahli tangan kosong dan tentu saja semua itu harus diikuti sinkang atau lweekang (tenaga dalam) yang benar-benar tangguh. Dan pemuda ini telah mendapatkannya!

"Singg!"

Beng San mengelak dan tersenyum ringan. Gerakannya tak kalah cepat dengan gerakan pedang dan para tamu pun kagum. Bukan main-main gerakan tadi, meleng sedikit tentu kena. Tapi Beng San yang mampu mengelak dan menyelamatkan dirinya membuat penonton kagum dan semakin kagum lagi ketika pemuda itu naik turun dan berlompatan disambar pedang.

Lan Hoa menjadi marah dan gadis ini membalik dan menusuk lagi, ia melengking dan akhirnya berkelebatan melihat pemuda itu hanya maju mundur menghindari senjatanya. Namun begitu ia berkelebat dan pemuda ini berseru tertawa maka Beng Sanpun mengeluarkan Lui-thian-lo-jitnya itu dan lenyaplah pemuda ini mendahului pedang yang menyambar-nyambar.

"Sing-singgg...!"

Para tamu terbelalak. Mereka kehilangan bayangan gadis itu namun bertepuk riuh ketika Beng San berkelebatan tak kalah cepat. Baju pemuda ini yang hijau lebar berseliweran naik turun menutupi bayangan lawan. Akhirnya bergerak begitu cepatnya hingga tubuh Lan Hoa terkurung, malah dikelilingi bayangan hijau ini.

Dan ketika pedang tak mampu menusuk atau membacok pemuda itu, kagetlah gadis ini maka Lan Hoa menjadi pucat dan guru serta susioknya terkejut sekali melihat betapa hebatnya gerakan pemuda itu mengelilingi murid mereka, berkelebatan layaknya iblis saja padahal pemuda itu sama sekali belum membalas.

Beng San memang memutari gadis ini dengan ginkangnya yang luar biasa agar gadis itu pening, sebenarnya mudah merobohkan namun sengaja ia tak secepat itu mencapai kemenangan, bukan karena kebaikan hatinya melainkan semata agar kehebatannya itu ditonton dua dara jelita itu, semakin lama semakin baik!

Maka ketika ia tertawa-tawa sementara pedang mengaung dan mendesing lemah, seiring dengan lemahnya murid Sepasang Naga Menara itu maka Lan Hoa gemetaran. Hebat dan akhirnya ketika ia menjerit dan melontarkan pedangnya Beng san menangkap itu dengan dua telunjuk dan jari tengahnya.

"Cep!" selesailah pertandingan. Lan Hoa menangis dan jatuh terduduk.

Namun Beng San cepat-cepat menghampiri. Telinga pemuda itu mendengar seruan gurunya agar jangan menyinggung perasaan, Chi Koan mengerahkan itu lewat ilmunya Coan-im-jip-bit (Kirim Suara Dari Jauh). Dan ketika pemuda ini sadar dan cepat mengembalikan pedang, menyerahkannya dengan gagang terlebih dahulu maka satu di antara dua kakek gagah melayang ke atas panggung.

"Luar biasa, hebat sekali. Kau benar-benar mengagumkan, anak muda. Murid keponakanku kalah. Ah, kalau kau bersifat kejam tentu sejak tadi kau telah merobohkan Lan Hoa. Terima kasih untuk kemuliaan hatimu!" dan cepat menolong muridnya menerima pedang kakek ini menghibur Lan Hoa yang sesenggukan. Baru kali itu gadis ini mengalami kekalahan, apalagi di depan umum.

"Aku bodoh, aku tak mampu menerima kepandaianmu. Biar aku pergi, susiok, aku hanya memalukan kalian berdua!"

"Eh-eh!" sang kakek menjulurkan lengannya dan menangkap gadis ini. "Jangan pergi, Lan Hoa, kalah menang dalam pibu (adu kepandaian) adalah hal biasa. Bersikaplah ksatria dan kau memang bukan tandingannya. Maaf!" kakek ini membalik dan menghadapi Beng San. "Murid keponakanku masih kanak-kanak, kongcu rasanya masih mentah menerima kekalahannya tadi. Kau benar-benar hebat sebagai murid Chi-taihiap!"

"Locianpwe terlalu memuji," Beng San merobah sikap dan tentu saja tak berani sembarangan terhadap kakek ini, bukan takut melainkan semata teguran gurunya tadi. "Kalau Siauwte (aku yang muda) mendapat kemenangan tentulah semata rejeki saja. Maaf pula kalau adik Lan Hoa terpukul."

Kakek ini mengangguk-angguk. Setelah Beng San merendah dan menjura dalam-dalam lenyaplah ketidaksenangannya tadi akan kesombongan yang dirasa. Tentu saja kakek ini tak tahu bahwa Beng San diingatkan gurunya untuk tidak menonjolkan kepongahan. Apa gunanya si buta itu susah payah menarik persahabatan, bukankah rusak susu sebelanga oleh setetes tuba.

Maka ketika kakek itu mengangguk-angguk dan justeru kagum akan kepandaian pemuda ini, memang tak mungkin muridnya menang akhirnya kakek ini membawa muridnya turun dan Lan Hoa tak menghiraukan anggukan Beng San kepadanya. Mata pemuda itu masih menunjukkan kesombongan!

Beng San menjadi pusat perhatian. Sekarang tamu undangan telah dapat menilai, baru murid saja sudah begitu hebatnya,apalagi sang guru. Namun ketika pemuda ini meloncat turun dan hendak mengundurkan dirinya ternyata Ning-pangcu tertawa menahan, berkelebat keatas.

"Tunggu, tunggu dulu. Keramaian sudah kau buat, kongcu, masa harus mundur. Kami semua telah melihat kelihaianmu, tentu semakin senang kalau ada sahabat yang maju pula. Janganlah tergesa dan biarlah tetap di sini!" kemudian menghadapi para tamu undangan ketua See-ouw-pang ini berseru,

"Cuwi-enghiong, terutama yang muda-muda harap menemani San-kongcu ini. Kalian orang selatan tentu punya jago-jago marilah naik dan ini hanya sebuah pibu persahabatan!"

Akan tetapi kalangan mudanya rupanya enggan. Setelah melihat kehebatan pemuda itu mendadak saja nyali mereka kuncup. Siapa tidak takut menghadapi pemuda itu. Mereka ngeri kalau diputari seperti gasing, salah-salah roboh dan pening sendiri. Dan ketika Ning-pangcu mengulang tiga kali namun tak ada batang hidung yang nongol akhirnya ketua See-ouw-pang ini mulai menujukan pandangannya pada dua dara jelita puteri Lam-hai-kong-jiu, dua gadis yang duduk di kursi kehormatan.

"Apakah jiwi-siocia (dua nona berdua) tak berkenan menemani San-kongcu ini. Karena para sahabat tak ada yang naik bagaimana kalau jiwi mewakili. Maaf, aku tidak memaksa, jiwi-siocia, hanya terpaksa karena tak ada kalangan muda naik ke lui-tai!"

"Hm, kehormatan begi kami kalau berkenalan dengan murid-murid tangguh dari Gobi. Tapi masa wanita harus selalu mendahului laki-laki, pangcu, apakah kami harus maju lagi setelah mundurnya enci Lan Hoa. Di mana kegagahan dan keberanian sobat-sobat muda orang selatan. Masa harus mengajukan wanita dan berlindung di balik punggung!"

"Heh-heh, tepat sekali. Kalian keroco-keroco muda membuat aku malu, anak-anak. Masa tak ada satupun pemuda tampil kedepan. Hayo, jangan menyuruh perempuan saja, mana muka kita terhadap Chi-taihiap!"

Yang-liu Lo-lo terkekeh berdiri dan kata-katanya ini semakin memerahkan golongan pemuda. Tadi omongan gadis kembar itu saja cukup memerahkan telinga, diam-diam mereka menjadi malu dan bangkitlah keberanian untuk coba-coba naik panggung. Bukankah ini pibu persahabatan. Maka ketika nenek itu berdiri dan kata-katanya demikian pedas, mereka dianggap keroco maka bangkitlah secara bersamaan dua pemuda tinggi kekar di deretan kiri dan kanan, hal yang tentu saja membuat orang-orang bertepuk tangan, terutama golongan tua yan terselamatkan mukanya oleh gerakan ini.

"Bagus, Sepasang Cakar Besi rupanya tampil ke depan. Ha-ha, anak-anak muda kita bukan golongan keroco, Yang-liu Lo-lo. Lihat mereka bangkit memenuhi tantangan Ning-pangcu untuk main-main dengan San-kongcu itu!"

"Maaf, kami lebih bersifat minta petunjuk," satu di antara dua pemuda itu melompat dan sudah berada di atas panggung, disusul temannya. "Kami dua bersaudara sebenarnya tak enak berada di sini, pangcu, tapi kebiasaan kami untuk selalu bertempur berdua. Entahlah bagaimana dengan San-kongcu apakah kehadiran kami dirasa tak menyenangkan. Kalau kami dianggap tak adil memang inilah kemampuan kami, tadi tak naik ke panggung lui-tai karena ragu dan kini memberanikan diri!"

"Ha-ha, Sepasang Cakar Besi Lo Hak dan Lo Bun. Karena kalian biasa berdua tentu akan dilayani berdua pula, Io-heng-te. Di sana masih ada saudara Siauw Lam suheng San- kongcu ini Kalau ingin adil dapat saja maju sekligus empat orang.

....ADA HALAMAN YANG HILANG...

Dan ketika benar saja ia berkelebatan begitu cepatnya hingga para tamu sendiri pusing, hanya mereka yang berkepandaian tinggi yang mampu mengikuti gerakannya maka pada jurus ke delapan ia telah merobohkan lawan di sebelah kanan.

Beng San melakukan totokan ke pergelangan tangan dan lepaslah cakar besi itu, lawan menjerit dan roboh. Dan ketika detik berikutnya ia menotok dan merobohkan yang kiri akhirnya dua bersaudara Lo-hengte terjerembab dan senjata mereka mencelat keluar panggung.

"Plak-plak!"

Bertepuk riuhlah tamu undangan. Beng San telah berdiri lagi di tengah panggung dengan wajah berseri-seri. Dua bersaudara itu mengeluh dan terbelalak kepadanya. Akan tetapi karena Beng San tidak membantu lawan bangun dan mereka berdiri susah payah maka Lo-hengte ini merah padam menjura dalam- dalam.

"Kami mengaku kalah, San-kongcu benar-benar hebat. Terima kasih untuk pelajaran ini dan kami kagum seumur hidup!"

Ning-pengcu melayang lagi ke atas panggung. Dia mengantar turunnya dua pemuda itu dengan hiburan dan kata-kata membesarkan hati, betapapun mereka adalah tamunya juga. Dan ketika laki-laki itu bertanya lagi siapa yang naik ternyata tak ada lagi hingga akhirnya ketua See-Ouw-pang ini memandang kembali dua gadis kembar tu, Lin Lin dan Lan Lan.

"Agaknya harapan kami tinggal pada nona berdua. Kalau tidak keberatan silakan, jiwi-siocia. Keramaian panggung kian memuncak!"

Satu di antara dua gadis itu mengangguk. Tadi mereka telah berbisik-bisik dan akhirnya yang duduk sebelah kanan melayang naik. Beng San kecewa kenapa tidak kedua-duanya, karena ia mengharapkan dua gadis itu akan dihadapinya berbareng. Alangkah nikmatnya dapat bersentuhan dengan puteri-puteri Lam-hai-kong-jiu ini apalagi ia telah mulai tergila-gila.

Akan tetapi karena lawan telah masuk dan betapapun ia merasa girang, jauh lebih baik daripada tidak maka ia mendahului menjura dan wajahnya sudah begitu berseri memandang gadis yang telah berjungkir balik dan turun dengan manis ini.

"Selamat bertemu, nona menggirangkan hatiku. Tidak tahu siapakah nama nona yang mulia dan agaknya kita akan sama-sama bertanding menggunakan tangan kosong. Aku yang bodoh tentu saja merasa mendapat kehormatan bisa berkenalan dengan ilmu Tangan Kosong Dari Selatan!"

"Aku Lan Lan, terpaksa masuk atas undangan Ning-pangcu. Karena kau sudah bertanding dua kali agaknya beristirahatlah, kongcu, biar suhengmu menggantikan kau di sini. Aku bukan orang yang suka menghadapi lawan yang sudah terbuang tenaganya."

"Ha-ha, betul. Kau mundurlah, sute, sekarang giliranku. Kau sudah dua kali bertanding dan sekarang saatnya beristirahat!" Siauw Lam, yang tiba-tiba berkelebat dan merasa mendapat kesempatan mendadak berjungkir balik di atas panggung dengan sikap mengejutkan. Hampir saja kebiasaannya bersikap kasar lepas tak terkendali.

Pemuda itu begitu girang oleh kata-kata gadis ini dan Beng San pun terkejut. Hampir saja ia marah oleh masuknya sang suheng yang dirasa mengganggu ini. Akan tetapi sebelum dua pemuda itu bersitegang dan tentu bakal memalukan Chi Koan, urusan wanita bisa membuat lupa diri maka si buta sudah bangkit dan berseru perlahan dengan tongkat menuding.

"Siauw Lam, mundurlah. Biarkan sutemu menghadapi Ang-siocia (nona Ang). Kulihat Beng San masih dapat menghadapi lawan dan nanti bagianmu yang lain!"

Bukan main kecewanya Siauw Lam. Wajah pemuda ini merah dan sedetik ia memandang gurunya dengan kilatan mata marah. Orang akan terkejut melihat pemuda itu melototi gurunya, mata itu bengis dan bersifat dendam. Aneh bahwa guru dimusuhi muridnya. Akan tetapi ketika pemuda itu membalik dan meloncat turun, maka orang tertegun karena pemuda ini tak menjawab atau mengiyakan gurunya sebagaimana kebiasaan murid terhadap yang disegani.

Untunglah Beng San sudah menarik perhatian tamu undangan lagi dengan kegembiraannya di atas panggung. Pemuda ini memang girang bahwa gurunya sendiri menyuruh sang suheng pergi, berarti dia dapat menghadapi lawannya yang cantik ini dengen bebas. la sudah begitu kagum akan kejelitaan puteri Lam-hai-kong-jiu ini, terangsang pula oleh bau harum rambut gadis itu ketika menyambar di atas panggung.

Maka ketika ia tersenyum dan berseri mempersilakan lawan, sedetik gadis itu mengerutkan kening tapi justeru kerutan ini membuat ia terpesona, kedua ujung alis hampir beradu maka pemuda ini semakin tergila-gila dan mengaku betapa cantik jelitanya lawan di depannya ini. Dan dia harus merobohkan dan menundukkannya!

"Silakan nona mulai, aku masih sanggup melayanimu."

"Baik...!" gadis itu tak banyak bicara lagi, siku terangkat dan tangan kanan sudah membentuk paruh burung. "Hati-hati, San-kongcu, aku menyerang!"

Ning-pangcu tertawa dan sudah meloncat turun panggung. la bertepuk tangan begitu gadis itu menggerakkan jarinya, tahu-tahu dengan amat cepat kelima jari yang membentuk paruh burung sudah menyambar wajah Beng San. Dan ketika sejengkal sebelum sampai mendadak kelima jari itu terbuka, mencengkeram den menotok leher serta pundak maka Beng San terkejut dan mengelak serta menangkis. Gerakan itu cepat dan luar biasa sekali, juga indah.

"Aih, hebat!" pemuda ini memuji dan cepat ia mengerahkan sinkang menolak. Dua lengan beradu dan hampir sama cepat ia menangkis dan mementalkan serangan itu. Akan tetapi ketika tengan si gadis sudah membalik lagi dan Berg tergetar oleh lengan yang halus lembut itu, jeri-jari yang hangat maka hampir saja matanya tertusuk ketika tau tau dengan gerakan melentur jari gadis itu sudah menegang dan menyambar matanya. Dua kali lebih cepat daripade tadi.

"Plak-plak!"

Beng San berseru keras dan mengeluarkan keringat dingin. Untunglah ia mengerahkan sinkang dan lagi-lagi lawan terpental. Dari adu tenaga ini ia boleh merasa menang. Akan tetapi karena selanjutnya gadis itu berkelebatan cepat dan tangan yang lain menampar dan mendorong maka hilanglah nafsu Beng San untuk merasakan atau mencium bau harum rambut si jelita, dikejar dan dua tangan kosong gadis itu berpindah-pindah dari satu sisi ke sisi yang lain, dibuka dan mengepal dan selanjutnya gaya serangan beraneka ragam dipertunjukkan di situ. Semuanya serba hebat dan cepat.

Dan ketika gadis itu beterbangan dan mengelilingi pemuda ini dengan amat cepatnya, lenyaplah tubuhnya berganti mejadi bayangan hitam yang meyambar-nyambar maka Beng San bener-benar tak berani main-main lagi karena puteri Lam-hai-kong-jiu ini jauh di atas Sepasang Cakar Besi dan masih dua tingkat di atas kepandaian Lan Hoa, murid Sepasang Naga Menara itu!

Terkejutlah Beng San. Sekarang barulah dia tahu kenapa gadis ini duduk di kursi kehormatan, kenapa Ning-pangcu begitu menghormat karena gadis yang masih muda usia ini ternyata kepandaiannya setingkat dengan jajaran para cianpwe itu, golongan atas. Maka ketíka ia membentak dan berseru mengimbangi, keluarlah Lui-thian-to-jitnya maka di sini barulah dia mampu menandingi gadis itu yang secara cerdik tak mau beradu tenaga lagi dan memaksa dia dengan serangan-serangan cepat, entah pukulan paruh burung atau cengkeraman dan totokan, juga tamparan.

Di sini terbuktilah nama besar Lam-hai-kong-jiu. Memang untuk wilayah selatan siapa tidak tahu kehebatan kakek itu. Lam-hai-kong- jiu adalah seorang pendekar yang dengan tangan kosongnya te-lah merobohkan dan menundukkan lawan-lawan alot. Bahkan Sepasang Naga Menara hanya dapat mengimbangi kalau mereka maju berbareng.

Maka ketika puterinya berkelebatan dan sepasang tangan kosongnya itu begitu cepat mencengkeram dan menotok, lawan akan bingung oleh perubahan yang berganti-ganti ini maka Beng San sendiri untuk sejurus dua kelabakan dan terdesak.

Untunglah pemuda in berbekal ilmu lain. Soan-hoan-ciang, ilmu yang didapatnya dari Naga Gurun Gobi Peng Houw belum dikeluarkan, juga Thai-san-ap-ting atau Cui-pek-po-kian, dua ilmu yang didapatnya dari pimpinan Gobi Ji-hwesio dan Sam-hwesio. Setelah dia menjadi murid si buta Chi Koan maka dua ilmu Gobi ini dimatangkan dan dipoles, Beng San belum mengeluarken ilmu-ilmu itu.

Dan ketika ia berpikir ilmu apa yang harus dikeluarkan maka Thai-san-ap-ting menjadi pilihannya, satu pilihan jitu karena dengan begitu ia tak memperlihatkan Soan-hoan-ciang yang bukan didapatnyu dari gurunya sekarang. Memperlihatkan Soan-hoan-ciang hanya akan membuat gurunya tidak senang, bukankah Peng Houw adalah musuh besar suhunya.

Beng San sudah membentak dan mendorongkan kedua lengannya ke depan. Thai-san-ap-ting adalah ilmu dorong karena namanya saja Mendorong Gunung Thai San, Sebagaimana otang mendorong gunung maka tentu saja dibutuhkan lweekang (tenaga dalam) atau sinkang (tenaga sakti) kuat. Tanpa bantuan tenaga ini jangan harap mampu melakukannya. Maka ketika pemuda itu membentak dan mendorongkan kedua tangannya ke depan, maka berkesiurlah angin dahsyat tiba-tiba gerakan gadis ini tertahan karena pukulan Beng San memang amat kuat dan ampuh sekali.

"Ihh.!" gadis ini terkejut dan berseru lirih. la mengandalkan kecepatan untuk menyerang dan merobohkan lawan, kini kecepatannya tiba-tiba ditahan dan tentu saja ia terkejut. Dan ketika ia terhuyung dan setengah berhenti maka Beng San menggerakkan tangan kirinya mendorong cepat, melihat kesempatan.

"Awas, nona!"

Gadis itu berubah. Tak ada lain jalan kecuali menangkis, mengelak atau mundur tak mungkin, di belakangnya tempat kosong. Dan ketika apa boleh buat ia menangkis dan mengerahkan sinkangnya ternyata ia terpelanting dan harus bergulingan menyelamatkan diri.

"Dess!"

Pucatlah puteri Lam-hai-kong-jiu ini sudah diketahuinya bahwa lawan memiliki sinkang unggul, seharusnya ia tak perlu beradu tenaga tapi apa boleh buat. Thai-san-ap-ting membuatnya terkejut. Dan ketika ia terlempar dan bergulingan di atas panggung maka Beng San girang karena posisinya di atas angin, mengejar dan berseru memperingatkan lagi.

Gadis ini kelabakan dan cepat sekali terdesak dan ia harus mengelak ke sana-sini dengan susah payah, sebentar kemudian betul-betul terdesak dan selalu dipaksa menangkis, inilah yang membuat ia mengeluh. Dan ketika Beng San tinggal menanti saat yang baik dan sejurus dua lagi lawan pasti ropoh mendadak terdengar seruan agar pemuda itu berhenti.

"Cukup, jangan desak gadis itu lagi. Laki-laki harus mengalah kepada wanita Beng San. Biarkan lawanmu berdiri dan akuilah bahwa ilmunya tangan kosong jauh lebih hebat dibanding dirimu, beraneka ragam!"

Beng San berhenti dan gadis itu meloncat bangun dengan wajah merah padam. Sesosok bayangan berkelebat diatas panggung. la menolong saudaranya ini yang terisak dan malu hati, Beng San berdebar dan untuk kedua kalinya terguncang. Betapa cantiknya puteri-puteri Lam hai itu. Akan tetapi ketika lawan menjura dan minta maaf atas kebodohan adiknya, Beng San sadar maka ia tersenyum dan buru-buru membalas pula. Sepasang matanya tak lepas-lepasnya memandangi wajah jelita ini. Sukar baginya untuk memilih!

"Kongcu benar-benar unggul, ilmu pukulanmu hebat. Meskipun kami menang beraneka ragam namun ternyata dengan satu macam ilmu pukulan saja adikku kalah. Tolong tanya ilmu apakah itu dan bolehkah kami tahu!"

"Hm," Beng San menekan guncangan jantungnya mendengar suara merdu itu suara yang membuatnya terhanyut dan tenggelam. "Itu adalah, Thai-san-ap-ting warisan guruku, nona. Aku terpaksa mengeluarkannya karena saudaramu hebat. la mendesakku dan hampir membuatku roboh!"

"Terima kasih, kiranya Thai-san-ap-ting. Kami telah mendengar ilmu itu dan ayah pernah memujinya sebagai sebuah ilmu pukulan amat dahsyat. Kami telah melihatnya dan sekali lagi terima kasih!" gadis itu membawa adiknya turun dan berkelebatlah bayangan Ning-pangcu ke atas panggung.

Tiga kali Beng San telah melakukan pertandingan dan ketiga-tiganya dimenangkan pemuda ini. Maka ketika ia tertawa dan memuji pemuda ini mengucap terima kasih pada dua gadis kembar itu akhirnya Beng San menjadi unggulan teratas di mana tak ada tamu undangan yang berani naik lagi, khususnya di kalangan muda.

"Agaknya cukup bagi San-kongcu, terima kasih untuk peran sertanya di sini. Kalau para cianpwe ingin memanaskan badan silakan naik dan pemilihan bengcu dapat segera dilakukan, yang muda-muda telah menghangatkan suasana!"

"He-He, aku penasaran kepada anak muda ini. Jangan suruh ia cepat-cepat berlalu, pangcu. Kalau masih ada tenaganya biarlah kuuji coba!" Yang-liu Lo-lo nenek berpakaian lucu merah putih itu tiba-tiba melesat ke atas panggung dan berseru pada tuan rumah.

Beng San sudah siap turun ketika tiba-tiba dihadang, nenek ini berjungkir balik dan turun di depannya. Dan ketika ia tertegun mengerutkan kening, nenek itu terkekeh-kekeh maka pemuda ini enggan dan tiba-tiba memandang suhengnya. Akan tetapi si nenek tertawa, menggaet pundaknya.

"Heh, aku memang tidak cantik seperti puteri Lam-hai-kong-jiu itu, anak muda. Kau enggan ya, menghadapi tua bangka macam aku. Tapi kalau kau takut tentu saja boleh gantikan suhengmu, gurumu tentu tak menolak!"

Para tamu tertawa. Memang keengganan pemuda ini terbaca semua orang. Setelah menghadapi lawan yang cantik tiba-tiba berhadapan dengan nenek buruk, siapa mau. Tapi ketika dikiranya takut dan ini memanumaskan pemuda itu maka Beng San tak jadi memanggil suhengnya, apalagi Siauw Lam tiba-tiba berseru.

"Benar, kau masih kuat. Tak perlu memandang atau minta tolong kepadaku, sute. Jangan karena tak cantik lalu kau hindari. Hadapilah, suhu tak apa-apa!"

Undangan semakin tertawa lebar. Kata-kata ini membuat mereka geli dan lucu, Beng San dipojokkan suhengnya sendiri. Namun ketika Chi Koan tiba-tiba berdiri dan mengangkat tongkatnya mendadak si buta ini berseru,

"Siauw Lam, yang terhormat Yang-liu Lo-lo locianpwe seharusnya diberi tenaga segar. Kalaupun ia menang tentu tak memuaskan. Kau majulah gantikan sutemu dan main-mainlah sebentar dengan beliau!"

Beng San girang. la pura-pura lelah dan mengangguk dan sebelum suhengnya menolak iapun meloncat turun. Nenek itu terbelalak. Dan ketika ia tertawa suhunya memerintah, Siauw Lam berkerut dan marah sutenya sudah duduk di kursinya maka hampir saja pemuda ini menghantam kursi disuruh berhadapan dengan nenek buruk.

"Sialan, terkutuk. Kau seharusnya masih bisa di sana, sute, mau enaknya sendiri. Kalau bukan suhu yang memerintah tak sudi aku!"

"Sabar, masih satu di sana. Encinya belum naik, suheng, bagianmu masih tersisa. Aku lelah dan lihat keringat ini, belum kering. Cepat naik atau nanti dikira takut!"

"Hm,..." Siauw Lam ogah-ogahan dan naik panggung, tidak melompat melainkan melewati anak tangga, matanya tak senang. "Karena suhu memerintahku baiklah kuturuti, locianpwe. Hanya kalau aku roboh jangan tertawakan."

Yang-liu Lo-lo mengerutkan kening. Ia melihat lawannya ini aras-arasan (agak malas kurang semangat) dan tersinggung. Kalau saja tidak terlanjur menantang agaknya iapun tak sudi menghadapi pemuda ini. Masa dia, seorang angkatan tua dihadapi lawan yang tampak tak sungguh-sungguh dan melecehkan, ogah-ogahan pemuda itu jelas sekali. Namun karena ia justeru gemas dan ingin segera membalas maka iapun tak banyak cakap, menggerakkan sepasang gaetan bajanya membentak,

"Kau anak muda menggantikan sutemu, bagus, tenaga segar memang lebih baik. Tapi kalau kau tak bersungguih-sungguh jangan salahkan aku kalau gaetanku tak punya mata. Cabut senjatamu!"

"Aku seperti suteku, selalu bertangan kosong. Kalau kau bersenjata silakan maju, locianpwe, bagiku sama saja bersenjata atau tidak."

"Hm, kau melecehkan, tapi aku bukan orang tua yang harus mengalah pada anak muda, bocah, jangan sombong atau senjataku menggaet kepalamu nanti. whiirrrr!" gaetan itu tiba-tiba bergerak amat cepat dan belum habis seruan itu sudah didahului desing mengerikan ke leher Siauw Lam.

Yang-liu Lo-lo rupanya nenek keras dan dapat bersikap. ganas, serangan kata-katanya terhadap Chi Koan tadi merupakan bukti. Dan ketika senjatanya menyambar dan Siauw Lam mengelak, dikejar dan akhirnya menangkis, senjata yang lain meluncur dengan amat cepatnya ketika senjata pertama terpental.

"Sing-plakk!"

Gaetan ini membalik dan seperti benda hidup saja meliuk dan menyambar lagi. Siauw Lam mundur dan membelalakkan matanya. Namun ketika ia dikejar dan kembali menangkis, yang lain menyambar maka berturut-turut sepasang gaetan yang maju satu persatu ini susul-menyusul dengan amat ganasnya dan seakan kuku naga yang tak habis-habisnya menyerang.

Yang-liu Lo-lo ternyata nenek lihai yang melempar kembali setiap tangkisan itu, mengembalikannya kepada Siauw Lam dengan cara mengayun bandul. Dengan begini gaetannya terpental namun justeru menyerang lagi, disusul yang lain dan tentu saja Siauw Lam terkejut. Nenek ini berbahaya! Dan ketika ia mundur namun akhirnya mengeluarkan Lui-thian-to-jit, inilah satu-satunya jalan menyelamatkan diri.

Maka berkelebatanlah pemuda itu mengelak dan menghindar dari sepasang gaetan baja yang lihai itu, yang mematuk atau menggaetnya bagai kuku naga, meliuk dan naik turun dan barulah kemudian dengan ilmu meringankan tubuhnya itu ia selamat. Namun ketika si nenek terkekeh dan menggerakkan kedua kakinya pula beterbanganlah nenek ini menyamai ginkangnya

"Hi-hik, balas dan jangan lari menghindar saja. Ayo anak muda, tunjukkan kepandaianmu dan keluarkan senjatamu!"

Siauw Lam marah. Tiba-tiba ia membentak dan mengeluarkan Thai-san-ap-tingnya. Sama seperti sutenya tadi ia menggerakkan kedua lengan ke depan, mendorong. Akan tetapi ketika si nenek lincah berkelit dan senjata menyambar dari belakang maka nenek ini terkekeh karena si pemuda kehilangan sasaran sementara ia masih terus menyerang. Penonton mulai bertepuk riuh.

"Ayo, keluarkan senjatamu. Thai-san-ap-tingmu sudah kukenal, anak muda, aku tak mau beradu tenaga. Heh-heh, orang tua harus menghemat pukulan!"

Siauw Lam menjadi berang. Ternyata nenek ini selalu menghindar setiap ia melepas Thai-san-ap-tingnya. Harap diketahui saja bahwa kegagalan berarti pemborosan tenaga. Maka ketika ia membentak dan tidak lagi melepas pukulannya maka pemuda itupun hanya mengandalkan ginkang berkelebatan mengimbangi nenek ini.

"Baik, kau tak berani beradu tenaga, Kalau begitu mari beradu ginkang, Yang-liu Lo-Lo, siapa cepat dan tahan berpusing!"

Nenek ini geli. la mengejek dan memanaskan lawan dengan kekehnya yang nyaring. Ketika pemuda itu menpercepat gerakan iapun tertawa dan menambah kecepatannya pula. Ternyata nenek ini hebat, tubuhnya ringan dan gesit bagai walet menyambar-nyambar. Dan karena senjata di kedua tangannya itu merupakan tangan lain yang membuat jangkauannya begitu panjang, menyambar dan bercuitan menyerang lawannya ini maka Siauw Lam menjadi panas namun justeru inilah yang dicari. Nenek itu hendak mengacaukan konsentrasinya dengan kemarahan yang meledak!

"Ayo, ayo lebih cepat lagi. Gerakanmu kurang cepat, anak muda, masih kalah oleh senjataku. Awas dan cabut senjatamu kalau tak ingin roboh... bret!"

Akhirnya leher baju Siauw Lam terkuak juga, robek oleh salah satu d antera sepasang gaetan itu dan bukan main marahnya pemuda ini. la tak sadar bahwa kemarahan hanya membuat lubang pertahanannya tembus, Yang-liu Lo-lo adalah tokoh tua yang banyak pengalaman.

Dan ketika benar saja pemuda itu menggeram-geram dan mulai lagi mengeluarkan Thai-san-ap-tingnya, sayangnya si nenek menghindar dan selalu menjauh sebelum dipukul maka tawa atau kekeh nenek itu terlampau menyakitkan bagi Siauw Lam.

"Kau tak belajar baik-baik dari gurumu, agaknya sutemu lebih lihai. Ah, tahu begini lebih baik kalian maju berdua, anak muda. Panggil sutemu atau menyerah baik-baik... bret!"

Kembali baju pundak terobek dan kalau Siauw Lam tidak mengerahkan sinkangnya bukan tak mungkin daging pundaknya tercabut. Gaetan itu menyambar namun licin bertemu daging pundak yang atos, akibatnya hanya merobek baju pundak tapi itu lebih dari cukup. Siauw Lam mendidih. Dan ketika ia membentak dan kehilangan cara bersilatnya yang benar akhirnya si nenek mempermainkannya.

Dan justeru semakin terkekeh, cerdik memaneskan lawan dan Chi Koan mendengarkan jalannya pertandingan dengan kepala dimiringkan. Itulah cara Si buta melihat orang bertempur. Dan ketika ia berkerut kening mendengar baju robek, si nenek terkekeh- kekeh menyambarkan senjatanya naik turun akhirnya punggung pemuda itu robek lagi terkuak lebar.

"Brett!" Penonton kagum. Bagi mereka angkatan tua maka tiga kali gaetan mental merupakan bukti bahwa pemuda itu memiliki sinkang kuat. Sepasang Naga Menara dan Lo-han-hok-houw mengangguk-angguk, gaetan itu tak mampu melukai lawan meskipun mengait dan menyengat, padahal orang lain tentu roboh dan luka berdarah. Yang-liu Lo-lo tidak main-main dalam serangannya itu.

Dua kakek itu maklum sampai di mana kehebatan nenek. Namun ketika pemuda itu hanya terhuyung saja dan melotot gusar, menggeram dan membalas namun si nenek menjauh sebelum dipukul maka nenek ini benar-benar cerdik memanaskan lawan.

"Ayo, keluarkan senjatamu, atau panggil sutemu. Hi-hik, kau akan roboh beberapa jurus lagi, anak muda. Menyerahlah dan aku menghentikan seranganku!"

"Aku masih berdiri tegak, tak perlu kau sombong. Kalau kau dapat merobohkan aku janganlah menghindar dan lari menyelamatkan diri, Yang-liu Lo-lo, terimalah pukulanku dan lihat siapa yang roboh!"

"Hi-hik, kerbau dungu tak punya otak. Kalau kau dapat menyentuh tubuhku berarti aku kalah, anak muda. Jangan mengomel dan membuang suara sia-sia. Ih bau mulutmu seperti kentut!"

Bukan main marahnya pemuda ini. Ia dijelek-jelekan nenek itu melampaui batas dan ia pun menggerakkan tangan kirinya. Suara berkeretek terdengar, disusul kilauan cahaya putih di lengan itu. Dan ketika si nenek terkejut akan tetapi memutar senjatanya lebih cepat, Siauw Lam siap melepaskan Cui-pek-po-kiannya maka satu gaetan menyambar mata kanan sementara gaetan yang lain menusuk pantat kiri.

"Plak-bret!"

Siauw Lam menangkis sambaran ke mata akan tetapi gaetan ke pantat tak sempat dikelit. Yang-liu Lo-Lo nakal mempermainkan pemuda itu hingga tak pelak lagi celana bagian ini memberebet. Tamu undangan terbahak karena pantat pemuda itu kelihatan. Celana luar dan celana dalam sekaligus sobek. Dan ketika pemuda itu terkejut bukan main dan Lan Lan serta Lin Lin terpekik membuang muka, begitu pula Lan Hoa yang duduk di sebelahnya maka Yang-liu Lo-lo terkekeh-kekeh sampai terpingkal.

"Wah, mulus dan padat. He-he, sayang aku nenek-nenek!"

Bukan tanpa alasan kalau nenek ini berbuat seperti itu. Ia sengaja membakar kemarahan lawan sampai ke titik didih, siauw Lam kalah pengalaman dan terjebak siasat ini. Maka ketika ia melengking dan begitu gusar, pandangannya gelap maka si nenek tiba-tiba menghilang dan ketika pemuda itu melepas pukulannya menghantam lantai panggung maka bersamaan itu sepasang gaetan menyambar lehernya dari belakang.

"Crep!" Senjata ini mengait bagai mata pancing ke kulit Siauw Lam. Kalau saja Siau Lam tak memiliki sinkang yang membuat tubuhnya kebal tentu senjata itu melesak dan tertanam di kulit dagingnya. Yang-liu Lo-lo sendiri sebenarnya juga tak mengerahkan segenap tenaganya menarik, Ia cukup mengedut dan mengejutkan lawan, gaetan telah tertancap di situ.

Dan ketika semua bersorak inilah kemenangan si nenek, pibu memang tidak sampai bersifat mengadu jiwa maka sebenarnya dengan kejadian itu Siauw Lam harus menyerah kalah, meskipun sesungguhnya kepandaiannya belum dikeluarkan penuh, apalagi Si nenek selalu menghindar dan mengelak dari Thai-san-ap-ting atau Cui-pek-po-kiannya.

Akan tetapi yang dilakukan pemuda ini benar-benar mengejutkan. Menganggap bahwa itu hanya sebuah pibu dan semuanya berlandaskan persahabatan maka nenek ini tak menyangka kebrutalan si pemuda. Kalaupun ia mengejek dan mentertawakan pemuda itu maka itu adalah hal lumrah karena ia adalah angkatan tua. Tokoh tua mengejek atau mempermainkan orang muda adalah biasa, apalagi dalam sebuah pibu, sebuah pertandingan persahabatan.

Maka ketika pemuda itu tiba-tiba membalik dan menangkap gaetannya, menghentak lalu mendorongnya dengan Thai-san-ap-ting nenek ini menjadi terkejut bukan main dan para tamu undanganpun berseru keras saking kaget dan pucatnya.

"Kau menghina dan mempermainkan aku, sekarang terimalah pembalasanku. Mampuslah!"

Yang-liu Lo-lo menjerit nyaring. la begitu kaget melihat kekasaran pemuda ini. Sungguh pemuda ini tak tahu sopan santun pibu. Maka ketika ia ditarik lalu didorong kuat-kuat, terbawa dan mundur bagai dilempar maka gaetan patah dan tubuh nenek itu berjungkir balik keluar panggung, terpaksa melepas senjata yang hancur dicengkeram pemuda itu.

"Aiihhhhh...!"

Tamu undangan terbelalak. Siapapun tak dapat menerima ini dan Chi Koan terkejut setengah mati. Ia tadi siap-siap memberi tahu muridnya bahwa terjebak nenek itu namun terlambat. Yang-liu Lo-lo rupanya cerdik bertindak cepat, mendahului dan dicapailah kemenangan telak itu. Maka ketika muridnya tiba-tiba membalik dan justeru menyerang, seharusnya berhenti dan menyerah baik-baik.

Maka Chi Koan kaget sekali oleh kebrutalan muridya ini dan iapun mencelat ke depan ketika si nenek didorong dan terlempar oleh Thai-san-ap-ting yang dahsyat. Siauw Lam mengerahkan seluruh tenaganya agar si nenek binasa.

"Plak!" benturan benda hitam menghajar sepasang gaetan itu. Chi Koan berkelebat amat cepatnya dan orangpun terkejut melihat gerakannya yang luar biasa. Bayangan putih menyambar dan gaetan tahu-tahu patah, kalau tidak tentu si nenek tertusuk dan celaka oleh gagang gaetannya sendiri, paling sedikit dadanya patah. Maka ketika tahu-tahu si buta berdiri di situ dan Siauw Lam terhuyung hampir roboh, ia berhadapan dengan gurunya sendiri maka pemuda ini pucat sementara suhunya merah padam.

"Kau berbuat curang dalam pibu. Meskipun kau tak puas namun kekalahanmu nyata, Siuuw Lam, kau kalah cerdik dengan nenek ini. Segera minta maaf atau aku menghajarmu!"

Bentakan itu didengar semua tamu dan pemuda ini berubah-ubah. Yang-liu Lo-lo sudah berjungkir balik dan melayang turun dengan dada ampeg. Untung Si buta turun tangan, kalau tidak tentu ia binasa oleh kelicikan pemuda itu, paling tidak luka parah. Dan ketika nenek ini juga berapi-api dan hanpir saja ia marah besar, untunglah si buta membentak muridnya mengembalikan kepercayaannya maka nenek ini hilang kemarahannya menganggap pemuda itu tak tahu diri.

'Hmn, tak cukup minta maaf. Sepasang gaetanku harus diganti, anak muda, baru aku mau damai!"

Chi Koan mengangguk, membentak muridnya lagi. "Dengar itu, Yang-liu Lo-lo locianpwe memaafkanmu. Berbuat curang dalam pibu adalah sebuah kehinaan, Siauw Lam. Minta maaf dan segera ganti sepasang gaetan baja itu!"

Kalau saja tak ingat gurunya amat lihai barangkali pemuda ini akan melawan. Di luar arena sudah biasa ia membantah atau mendebat. Namun karena di sini banyak orang dan ia harus tunduk, kemarahanpun ia tahan maka pemuda ini menjura dan menggigil berkata,

"Harap Yang-liu.Lo-lo locianpwe maafkan aku. Kalau saja kau tidak membakar kemarahanku dengan ejekan dan permainan barangkali aku tak lupa diri. Sekali lagi aku minta maaf dan besok kucarikan pengganti sepasang senjatamu itu."

"Baik, besok kutunggu. Memandang gurumu kumaafkan semua perbuatanmu, anak muda. Harap lain kali jangan diulangi karena bagi orang tua sudah biasa mengejek atau mempermainkan yang muda. Bukankah ini pibu, bukan pertandingan mati hidup!"

Siauw Lam mundur dan tidak menjawab. Pandang matanya yang berapi ditujukan kebawah, kelau orang melihat bakal terkejut karena mata itu semerah saga. Dan ketika semua orang menjadi lega dan Chi Koan berhasil mengembalikan nama baik maka si buta itu menjura kepada semua tamu menyampakan maafnya.

"Muridku yang muda terbawa emosinya. Aku sebagai gurunya mohon maaf kepada cuwi-enghiong kalau pemandangan tadi terasa tak sedap. Anak muda memang begitu, sembrono. Harap Ning-pangcu maafkan pula dan biarlah kami menonton keramaian."

"Tunggu, kau sudah di sini. Jagoku tak ada lain kecuali kau, taihiap. Sebagai orang yang lebih matang dan banyak pengalaman tentunya kau tak akan melakukan seperti apa yang dilakukan muridmu. Pemilihan bengcu sudah dimulai, dan aku tetap. menjagoimu untuk memimpin orang-orang selatan!"

Ning-pangcu meloncat dan sudah berada di atas panggung ketika mengeluarkan seruannya itu. Sikap si buta semakin simpatik dan orang bertambah tertarik saja. Gerakan yang tadi diperlihatkannya dan menyelamatkun Yang-liu Lo-lo adalah perbuatan terpuji. Siapa lagi yang bertanggung jawab kalau bukan gurunya. Maka ketika semua itu menambah simpati dan hormat, orang semakin kagum akan si buta ini maka Chi Koan tentu suja pura-pura terkejut dan menggoyang tangan.

"Hmn, Ning-pangcu jangan membuat aku malu. Di sini benyak para cianpwe golongan atas, tak berani aku dijagokan. Harap pangcu cari yang lain saja dan ingat bahwa aku hanya tamu undangan, bukan orang selatan!"

"Kau sudah diterima, detik ini kau keluarga besar kami. Orang-orang selatan sudah menerimamu bulat, Chi-taihiap, dengar aku mengajukan pertanyaan. Maaf..!" ketua See-ouw-pang itu menghadap ke delapan penjuru mata angin, berkata lantang. "Salahkah kata-kataku tadi bahwa Chi-taihiap ini tidak kita anggap orang asing, cuwi-enghiong. Tidak benarkah kata-kataku bahwa Chi-taihiap telah kita terima sebaga orang selatan!"

"Setuju!"

"Benar!" semua bersorak dan bertepuk riuh. Taihiap kita anggap orang selatan Ning-pangcu. Dia keluarga besar kita!"

"Nah, apa kataku," sang ketua berseri-seri. "Mereka tak menolakmu lagi, Chi-taihiap. Kalau alasanmu merasa bukan orang selatan sekarang tak beralasan lagi. Kau keluarga besar kami, keluarga orang-orang selatan. Bergabunglah dan ikutlah pemilihan bengcu!"

Chi Koan tak dapat menolak lagi. Dengan tongkatnya ia tersipu-sipu mengetuk sana-sini, mengucap terima kasih dan segala gerak-geriknya ini tentu saja mengundang simpati dan rasa haru. Si buta itu begitu halus dan lembut sekali, tidak sombong dan rendah hati. Maka ketika ia terpaksa mengikuti kemauan Ning-pangcu ini dan mengangguk berulang-ulang kepada semua tamu, khususnya kepada tokoh-tokoh tua.

Maka sepasang kakek gagah dan yang lain-lain menjadi gatal tangan dan ingin segera bertanding dengan si buta yang kesohor itu. Sekarang Mereka tak perlu sungkan lagi karena yang dihadapi orang setingkat, paling tidak bukan anak-anak muda seperti Beng San dan Siauw Lam itu. Maka ketika Sepasang Naga Menara bangkit berdiri dan melayang ke atas panggung, riuhlah penonton bertepuk sorak maka dua kakek ini terkekeh tak sungkan-sungkan lagi.

"Dalam pertemuan di tepi telaga tadi Chi-taihiap telah mendorong dan meninggalkan perahu kami. Sekarang kami ingin didorong dan merasakan kelihaian Chi-taihiap. Harap permintaan kami dikabulkan dan biarlah mata kami terbuka lebar merasakan langsung kehebatan anak murid Gobi!"

Satu di antara dua kekek itu menggosok-gosok kedua tangannya dan inilah paman guru (susiok) Lan Hoa. Kakek itu terkekeh sementara suhengnya mengangguk-angguk. Wajah kegembiraan tak dapat disembunyikan lagi. Tapi Ning-pangcu yang berkerut melihat dua kakek itu cepat- cepat bertanya,

"Maaf, jiwi-lo-enghiong (dua kakek gagah berdua) apakah hendak maju berbareng. Masa Chi-taihiap harus melayani kalian bersamaan!"

"Ha, tidak, jangan salah paham. Kami maju untuk memberikan pilihan kepada lawan, pangcu, hendak memilih aku atau suhengku. Kami tampil hanya untuk dipilih!"

"Benar," kakek satunya mengangguk-angguk. "Kami sudah gatal tangan untuk merasakan kelihaian Chi-taihiap ini secara langsung, pangcu, dan tadi tak saling mengalah untuk maju lebih dahulu. Sekaang terserah Chi-taihiap, pilih aku atau sute!"

"Ha, begitu kiranya. Jiwi-lo-enghiong benar-benar aneh. Ah, pibu bagi kita orang-orang persilatan memang selalu menarik, tangan rasanya gatal dan seminggu bisa tak tidur kalau belum kesampaian. Baik, silakan Chi-taihiap tentukan sendiri dan mana yang dipilih!"

Ning-pangcu gembira, lega dua kakek ini datang-datang bukan untuk mengeroyok melainkan menentukan pilihan. Kalau si buta minta dikeroyok tentu lain, itu kehendak pribadi. Tapi karena biasanya pibu berjalan satu-satu maka ketua See-ouw-pang ini terkejut ketika si buta justeru mengangguk dan berkata, minta dikeroyok!

"Aku yang rendah bukannya bersombong. Karena aku bersenjatakan tongkat sementara jiwi-lo-enghiong ini bertangan kosong bagaimana kalau memberi pelajaran kepadaku secara berbareng saja. Aku bersenjata, jiwi tidak. Rasanya adil kalau jiwi tidak menganggapku sombong."

"Wah, kami diminta mengeroyok? Dua tua bangka mengerubut seorang pemuda? Ha-ha jangan membuatku malu. Justeru kami yang memintamu untuk bersenjata, Chi-taihiap, dan kami akan bertangan kosong saja. Karena kau buta biarlah kami tak mempergunakan senjata, tapi tak usah mengeroyok. Satu lawan satu saja!"

"Kalau begitu terserah, itu juga baik. Maaf kalau kata-kataku kurang berkenan!"

"Ha-ha, tidak, saudara Chi. Kau jujur dan mengagumkan kami. Kalau begitu biar suteku mundur dan aku yang maju!" kakek pertama bersiap-siap namun sang adik menolak.

"Tidak, suheng di luar saja. Aku yang maju dan nanti gantian!"

"Wah, tapi aku sudah bicara."

"Aku juga, suheng harap mengalah. Biarkan aku main-main sebentar dan nanti suheng mengambil bagian!"

Orang-orang tertawa. Mereka bagaikan melihat sepasang pembeli yang tertarik akan sebuah barang, ngotot dan saling tak mau digeser. Tapi ketika sang suheng mengalah dan mundur terkekeh, meloncat dan kembali ke tempat duduknya maka Ning-pangcu gembira bertepuk tangan. Chi Koan tersenyum-senyum dan tentu saja geli melihat perdebatan itu, diam-diam sudah mengukur kekuatan dua orang ini di perahu tadi dan itulah sebabnya iapun tak takut dikeroyok.

"Ji lo-enghiong (kakek gagah kedua) sudah memperoleh tiket pertarungan, bagus. Kami gembira dan semoga pibu mengakrabkan kalian berdua dan mempererat persahabatan!" lalu membungkuk dan memberi hormat pada dua oang itu, meloncat dan mundur memberikan ruangan, segera kakek ini berhadapan dengan Chi Koan, tadi ngotot dan ingin maju karena sesungguhnya kakek ini masih penasaran dengan peristiwa di atas perahu!

"Aku sudah melihat kepandian murid-muridmu, Chi-taihiap tentu lebih lagi. Biarpun di perahu kita sudah sedikit berkenalan akan tetapi tentu saja terlalu pendek. Aku Ji-liong-tah (Naga Menara Kedua) ingin petunjuk secara lengkap!" kakek itu berkata dan tidak sungkan-sungkan lagi menyiapkan diri.

Setelah dia tahu kelihaian murid-murid si buta tentu saja kakek ini tak perlu ragu. Yang dihadapi adalah jago Gobi, cucu murid mendiang Ji Leng Hwesio yang sakti. Maka ketika ia bersiap dan menyuruh pemuda itu maju, Chi Koan menggeleng ternyata si buta ini lagi-lagi meraih simpati.

"Aku lebih muda, bersenjata pula. Sebaiknya lo-enghiong maju dulu dan aku menerima!"

"Baik, masuk akal pula. Terima kasih, anak muda, awas serangan!" kakek itu tak membuang waktu lagi dan segera tangannya menjulur maju. Ia hendak menangkap dan merampas tongkat dan Chi Koan menghindar. Orang merasa kagum akan kelihaiannya. Tanpa melihat ia berkelit, begitu tepat dan cepat. Dan ketika kakek ini masih membentak dan menggerakkan tanganya yang menangkap namun lagi-lagi gagal maka ia melayangkan kakinya dan secara cepat dan mentakjubkan ia melakukan tendangan berantai tujuh kali berturut-turut.

"Plak-plak-dess!"

Chi Koan menggerakkan tongkat dan si kakek terkejut. Tulang keringnya terpukul, hampir menjerit kalau tidak cepat mengerahkan sinkang. Dan ketika kakek ini berubah dan melayangkan tangan, menyodok dan menampar maka Chi Koan maju mundur mengelak dan menangkis. Tongkat adalah andalannya dan sesungguhnya tanpa tongkat inipun ia berani menghadapi lawan.

Hanya karena tak mau dianggap jumawa dan terlalu sombong ia mempergunakan senjata itu, padahal siapa tidak tahu kehebatan lengannya kalau ia mempergunakan Hok-te sin-kang, ilmu yang amat dahsyat dari Bu-tek-cin-keng itu.

Namun karena si buta ini tak mau berlagak dan ia sedang mengambil hati orang-orang itu, di depan mereka ia harus bersikap lembut dan murah hati maka inilah yang dilakukannya dan dalam tangkisan itupun ia mengendalikan tenaganya hingga si kakek hanya merasa kesakitan. Padahal, kalau ia mau sekali hantam saja kaki itu bisa remuk!

Chi Koan mengelak sana-sini dari serangan-serangan kakek itu. Hal ini membuat lawan penasaran dan akhirnya pekik keras meluncur gemas. Ji-liong-tah begitu kaget tak mampu menyentuh tubuh lawan, jangankan kulit tubuhnya, ujung bajunya saja tak dapat. Maka ketika ia membentak dan berkelebatan cepat.

Sepasang kakinya naik turun berganti-ganti maka tampak bahwa kelihaian kakek ini sesungguhnya berada pada sepasang kakinya itu. Sepasang lengannya hanya mengganggu dan berseliweran saja, meskipun tentu saja tak bakal dilewatkan kalau kesempatan ada!

Chi Koan tersenyum. Telinganya yang tajam mendengar desir beterbangan tubuh lawannya, apa boleh buat mengerahkan ginkangnya dan sekali melesat mendadak tubuhnya menghilang. Orang terbelalak kaget melihat gerakan si buta yang luar biasa ini, lenyap bagai iblis. Dan ketika kakek itu juga terkejut kehilangan sasaran mendadak ujung tongkat berkelebat di depan hidungnya disertai bentakan perlahan.

"Awas, lo-enghiong!"

Kakek in kaget sekali. la membuang tubuh ke kiri dan bergulingan meloncat bangun. Si buta tahu-tahu di sampingnya. Dan ketika lawan tersenyum dan minta ia menyerang lagi, kakek itu merah maka diterjangnya si buta dengan kedua kepalan dan kaki bertendangan.

"Bagus, lihai sekali. Tongkatmu mengejutkan, anak muda, tapi aku membalasmu!"

Chi Koan mengelak dan menangkis lagi. Ketika lawan bergerak kian cepat ia pun tiba-tiba berkelebat menghilang, inilah Lui-thian-to-ji andalan itu. Dan ketika ia muncul dengan ujung tongkat mendekati hidung atau mata maka kakek ini kembali melempar tubuh sambil berteriak kaget. Hal ini terjadi berulang-ulang hinga si kakek pucat. Kalau ia ditangkis maka kaki atau tangannya gemetaran, sekali malah rasanya remuk.

Tidak aneh karena Chi Koan menambah tenaganya di situ, lama-lama membuat tulang ngilu dan kakek ini berubah. Sadarlah dia bahwa si buta ini memang lihai. Dan ketika duapuluh jurus berlalu dengan cepat namun ia selalu mendesis atau mengeluh kesakitan, ujung tongkat tahu-tahu menyambar bagai siluman maka kakek ini tiba-tiba mengangkat tangannya dan berseru nyaring, mundur melompat jauh.

"Chi-enghiorg benar-benar luar biasa, aku mengaku kalah!"

Tamu undangan terhenyak. Mereka yang tidak begitu tinggi kepandaiannya hanya melihat bayangan berseliweran, terutama si buta itu. Kelebatan tubuhnya begitu luar biasa hingga tak mampu ditangkap mata. Maka ketika tiba-tiba kakek itu berseru mundur, mengaku kalah mereka inipun masih belum habis dari rasa bengongnya.

"Ah..., Ji Liong Tah main-main. Masih seru bertanding sudah mengaku kalah!"

Teriakan seorang penonton dari kursi belakang membuat kakek itu menjadi merah. Bagi mereka pertandingan memang kurang sengit, kakek itu tampaknya hanya main-main saja. Namun karena para cianpwe tahu betapa pertandingan itu sesungguhnya seru, mereka yang bermata tajam dapat melihat betapa Si kakek mengeluh dan mendesis setiap dipukul tongkat maka mereka maklum bahwa kepandaian si buta memang tinggi. Tidak sembarang orang dapat menmbuat Ji-liong-tah kesakitan.

"Susiok sebaiknya pakai pedang. Pertandingan harap diulang lagi dan rasanya adil kalau sama-sama bersenjata!" Lan Hoa, gadis itu tiba-tiba berseru dan bangkit dengan wajah penasaran. lapun Merasa susioknya kurang sungguh-sungguh, apa lagi hanya bertangan kosong. Maka ketika seruannya disambut tepuk sorak setuju, tentu saja yang tidak puas tak ingin kecewa maka kakek itu serba bingung.

Namun Chi Ko serta merta membungkukkan tubuh dalam-dalam. "Ji-lo-enghiong boleh mengulang pertandingan lagi, bersenjata. Aku juga heran bahwa lo-enghiong buru-buru menyerah kalah."

Kakek ini berseri tertolong. Kalau saja si buta tak memintanya langsung tentu ia sungkan, betapapun ia harus tahu diri. Dan karena ia juga pensaran belum mengeluarkan seluruh kepandaiannya, tadi hanya bertangan kosong maka ia menyeringai berkata,

"Si tua bangka macam aku rasanya malu hati. Namun karena kau sendiri yang menyuruhnya biarlah ku coba lagi, Chi-enghiong, kalau ini juga kalah memang kepandaianku masih rendah. Baiklah, terima kasih untuk kesediaanmu!"

Bukan tanpa maksud jika si buta meminta lawan kembali. Chi Koan telah merencanakan untuk menundukkan semua hati orang-orang gagah itu dengan kepandaiannya. Kalau si kakek belum bersenjata tentu belum puas. Maka ketika kebetulan gadis itu berseru dan ia menerima, lawan harus mengakui luar dalam maka iapun tak ragu menyambut itu, kini menggetarkan tongkat dan diam-diam dikerahkannya tenaga mujijat Hok-te Sin-kang itu!

"lo-enghiong harap maju kembali. Kalau dalam sepuluh jurus aku tak mampu melepaskan pedangmu biarlah aku dianggap kalah!"

Kakek ini terkejut. "Sepuluh jurus?"

"Ya sepuluh jurus, lo-enghiong, agar semua orang puas. Majulah dan akan kucoba melepaskan pedangmu...!"

Kabut Di Telaga See Ouw Jilid 21

Cerita Silat Mandarin Serial Bu-beng Sian-su Karya Batara
Kabut Di Telaga See Ouw Jilid 21
Karya : Batara

"MAAF, aku tergelitik. Sekedar meramaikan suasana aku ingin bermain-main denganmu, nona. Aku Beng San murid nomor dua suhuku Chi Koan!"

Tepuk tangan lenyap. Para tamu terkejut dan membelalakkan mata ketika melihat gerakan pemuda itu tadi. Gerakan ini jauh lebih cepat daripada gerakan gadis di atas panggung, murid Sepasang Naga Menara itu.

Namun ketika mereka girang dan bertepuk tangan lagi maka Beng San mengangguk dan akhirnya menjura di depan gadis ini, tadi mengerahkan Lui-thian-to-jit alias Kilat Menyambar Matahari yang tentu saja luar biasa, benar-benar bagai kilat menyambar.

"Maaf, sekali lagi maaf. Kalau kehadiranku sekiranya nengganggu aku siap turun, nona. Aku hanya ingin berkenalan dan menguji kepandaianku yang rendah."

Beng San berkata sekali lagi karena gadis didepannya itu terbelalak dan tertegun. Sesungguhnya gadis ini terkejut dan tiba-tba semburat melihat datangnya si pemuda, bukan apa-apa selain jumpa pertama di tepi telaga tadi. Karena tadi ia memandang rendah si buta maka terhadap murid-muridnya tentu lebih lagi. Hanya setelah Chi Koan duduk di kursi kehormatan dan mendapat simpati undangan barulah gadis ini dan gurunya memuji.

Kini tiba-tiba lawan yang dihadapi adalah pemuda itu, pemuda yang semula dipandang rendah. Dan melihat betapa gerakan pemuda itu jauh lebih cepat dibanding dirinya diam-diam gadis ini menjadi gentar dan pucat. Akan tetapi Lan Hoa segera sadar. la berdiri di atas panggung terbuka di mana semua mata memandangnya. Tadi tepuk riuh penonton untuknya, kini tiba-tiba seolah untuk pemuda itu. Maka ketika ia menjadi merah dan menenangkan guncangan hatinya segera ia membalas dan berkata dengen senyum dipaksakan.

"Beng-kongcu adalah murid yang terhormat Chi-Taihiap, tentu saja berkepandaian tinggi. Kalau kini ingin main- main dan menambah pengalamanku yang bodoh tentu aku beruntung sekali. Mari kongcu, hanya kebiasaanku adalah bermain pedang. Kalau kongcu siap cabutlah senjatamu dan bukalah mataku lebar-lebar."

Beng San tersenyum. Bukan tiada maksud kalau ia naik panggung dan tiba-tiba menghadapi murid Siang-liong-tah ini. Tadi harus diakui bahwa ia tertarik dan tergetar melihat gadis berpedang ini. Sikapnya yang gagah dan satu-satunya wanita di tepi telaga membuat ia terhanyut. Alangkah nikmatnya nantinya kalau dapat mendekati gadis ini, bersentuhan dan membelainya sebagaimana ia membelai gadis-gadis Sin hong-pang.

Akan tetapi begitu muncul sepasang gadis kembar itu dan kecantikan mereka jauh lebih menonjol dibanding gadis ini maka Beng San justeru ingin memamerkan kepandaian dan menarik perhatian gadis-gadis itu, sepasang dara jelita yang nyaris kembar segala-galanya! Beng San ingin segera menunjukkan bahwa ia pantas bersanding dengan puteri Lam-hai kong-jiu itu.

Murid Sepasang Naga Menara ini menjadi tak berarti apa-apa baginya, karena itu sikapnyapun sombong ketika memandang dan mengejek. Pandang mata ini tentu saja dirasakan Lan Hoa. Gadis itu mengerutkan kening dan menjadi tidak senang, itulah sebabnya langsung mengajak bertarung lawan senjata karena keahliannya memang pedang.

Diam-diam akan dirobohkannya pemuda ini, bibir dan mata pemuda itu menyakitkan hatinya. Akan tetapi ketika Beng San menggeleng dan tetap bertangan kosong, katanya tak pernah mempergunakan senjata maka gadis ini tertegun juga.

"Suhu tak pernah mengajariku bermain senjata, paling-paling tongkat atau ranting pohon. Kalau kau ingin bersenjata silakan bersenjata,nona. Aku akan menghadapinya dengan tangan kosong dan jangan khawatir, kalau roboh memang nasibku!"

Tawa dan senyum lebar membuat gadis ini marah. Kalau saja Beng San tidak menyertainya dengan pandang mata atau bibir mengejek mungkin dia akan menerima lain, betapapun kata-kata itu halus dan dalam batas kesopanan. Mereka yang tak melihat pandang mata atau bibir pemuda ini akan mengangguk-angguk, sikap itu dinilai wajar. Akan tetapi bagi sepasang kakek gagah yang melihat itu tentu saja mengangkat alis mereka. Sikap atau kesombongan itupun tampak.

"Hoa-ji (anak Hoa), kalau musuh bertangan kosong sebaiknya kaupun tak mempergunakan senjata. Hadapilah dengan tangan kosong pula dan jangan berat sebelah!"

"Ah, aku laki-laki, dia wanita. Kalaupun berpedang sudah wajar, locianpwe, hitung-hitung mengalah pada wanita!" Beng San mendahului, memotong gadis itu dan Lan Hoa diam-diam girang.

Sesungguhnya gadis ini bingung mendengar seruan gurunya tadi, ia ingin cepat merobohkan lawan dengan pedangnya. Dan ketika Beng San berkata seperti itu dan justeru kebetulan maka iapun membentak dan sudah mencabut pedangnya, gerakannya cepat dan pedangpun tahu-tahu mendesing dan sudah disilangkan depan dada.

"Beng-kongcu sendiri yang memintanya, aku hanya tinggal menurut. Bukan aku tak patuh padamu, suhu, tapi lawan menghendaki begitu. Baik bersiaplah dan lihat pedang!" gadis ini tak memberi kesempatan lagi khawatir dicegah gurunya. Semakin gemas melihat kesombongan pemuda ini.

Sementara Beng San ada betulnya juga. Sejak menjadi murid Peng Houw kemudian si buta Chi Koan sesungguhnya ia tak pernah diajari bermain senjata. Lihat saja Soan-hoan-ciang (Kibasan Angin Puyuh) yang dimilikinya itu, lalu Thian-ap-ting dan Lui-pek-po-kian yang didapatnya dari Gobi.

Dan ketika terakhir ia medapatkan Lui-thian-Lo-jit yang amat hebat itu, ilmu meringankun tubuh yang diberikun Chi Koan kepadanya maka pemuda ini sesungguhnya seorang ahli tangan kosong dan tentu saja semua itu harus diikuti sinkang atau lweekang (tenaga dalam) yang benar-benar tangguh. Dan pemuda ini telah mendapatkannya!

"Singg!"

Beng San mengelak dan tersenyum ringan. Gerakannya tak kalah cepat dengan gerakan pedang dan para tamu pun kagum. Bukan main-main gerakan tadi, meleng sedikit tentu kena. Tapi Beng San yang mampu mengelak dan menyelamatkan dirinya membuat penonton kagum dan semakin kagum lagi ketika pemuda itu naik turun dan berlompatan disambar pedang.

Lan Hoa menjadi marah dan gadis ini membalik dan menusuk lagi, ia melengking dan akhirnya berkelebatan melihat pemuda itu hanya maju mundur menghindari senjatanya. Namun begitu ia berkelebat dan pemuda ini berseru tertawa maka Beng Sanpun mengeluarkan Lui-thian-lo-jitnya itu dan lenyaplah pemuda ini mendahului pedang yang menyambar-nyambar.

"Sing-singgg...!"

Para tamu terbelalak. Mereka kehilangan bayangan gadis itu namun bertepuk riuh ketika Beng San berkelebatan tak kalah cepat. Baju pemuda ini yang hijau lebar berseliweran naik turun menutupi bayangan lawan. Akhirnya bergerak begitu cepatnya hingga tubuh Lan Hoa terkurung, malah dikelilingi bayangan hijau ini.

Dan ketika pedang tak mampu menusuk atau membacok pemuda itu, kagetlah gadis ini maka Lan Hoa menjadi pucat dan guru serta susioknya terkejut sekali melihat betapa hebatnya gerakan pemuda itu mengelilingi murid mereka, berkelebatan layaknya iblis saja padahal pemuda itu sama sekali belum membalas.

Beng San memang memutari gadis ini dengan ginkangnya yang luar biasa agar gadis itu pening, sebenarnya mudah merobohkan namun sengaja ia tak secepat itu mencapai kemenangan, bukan karena kebaikan hatinya melainkan semata agar kehebatannya itu ditonton dua dara jelita itu, semakin lama semakin baik!

Maka ketika ia tertawa-tawa sementara pedang mengaung dan mendesing lemah, seiring dengan lemahnya murid Sepasang Naga Menara itu maka Lan Hoa gemetaran. Hebat dan akhirnya ketika ia menjerit dan melontarkan pedangnya Beng san menangkap itu dengan dua telunjuk dan jari tengahnya.

"Cep!" selesailah pertandingan. Lan Hoa menangis dan jatuh terduduk.

Namun Beng San cepat-cepat menghampiri. Telinga pemuda itu mendengar seruan gurunya agar jangan menyinggung perasaan, Chi Koan mengerahkan itu lewat ilmunya Coan-im-jip-bit (Kirim Suara Dari Jauh). Dan ketika pemuda ini sadar dan cepat mengembalikan pedang, menyerahkannya dengan gagang terlebih dahulu maka satu di antara dua kakek gagah melayang ke atas panggung.

"Luar biasa, hebat sekali. Kau benar-benar mengagumkan, anak muda. Murid keponakanku kalah. Ah, kalau kau bersifat kejam tentu sejak tadi kau telah merobohkan Lan Hoa. Terima kasih untuk kemuliaan hatimu!" dan cepat menolong muridnya menerima pedang kakek ini menghibur Lan Hoa yang sesenggukan. Baru kali itu gadis ini mengalami kekalahan, apalagi di depan umum.

"Aku bodoh, aku tak mampu menerima kepandaianmu. Biar aku pergi, susiok, aku hanya memalukan kalian berdua!"

"Eh-eh!" sang kakek menjulurkan lengannya dan menangkap gadis ini. "Jangan pergi, Lan Hoa, kalah menang dalam pibu (adu kepandaian) adalah hal biasa. Bersikaplah ksatria dan kau memang bukan tandingannya. Maaf!" kakek ini membalik dan menghadapi Beng San. "Murid keponakanku masih kanak-kanak, kongcu rasanya masih mentah menerima kekalahannya tadi. Kau benar-benar hebat sebagai murid Chi-taihiap!"

"Locianpwe terlalu memuji," Beng San merobah sikap dan tentu saja tak berani sembarangan terhadap kakek ini, bukan takut melainkan semata teguran gurunya tadi. "Kalau Siauwte (aku yang muda) mendapat kemenangan tentulah semata rejeki saja. Maaf pula kalau adik Lan Hoa terpukul."

Kakek ini mengangguk-angguk. Setelah Beng San merendah dan menjura dalam-dalam lenyaplah ketidaksenangannya tadi akan kesombongan yang dirasa. Tentu saja kakek ini tak tahu bahwa Beng San diingatkan gurunya untuk tidak menonjolkan kepongahan. Apa gunanya si buta itu susah payah menarik persahabatan, bukankah rusak susu sebelanga oleh setetes tuba.

Maka ketika kakek itu mengangguk-angguk dan justeru kagum akan kepandaian pemuda ini, memang tak mungkin muridnya menang akhirnya kakek ini membawa muridnya turun dan Lan Hoa tak menghiraukan anggukan Beng San kepadanya. Mata pemuda itu masih menunjukkan kesombongan!

Beng San menjadi pusat perhatian. Sekarang tamu undangan telah dapat menilai, baru murid saja sudah begitu hebatnya,apalagi sang guru. Namun ketika pemuda ini meloncat turun dan hendak mengundurkan dirinya ternyata Ning-pangcu tertawa menahan, berkelebat keatas.

"Tunggu, tunggu dulu. Keramaian sudah kau buat, kongcu, masa harus mundur. Kami semua telah melihat kelihaianmu, tentu semakin senang kalau ada sahabat yang maju pula. Janganlah tergesa dan biarlah tetap di sini!" kemudian menghadapi para tamu undangan ketua See-ouw-pang ini berseru,

"Cuwi-enghiong, terutama yang muda-muda harap menemani San-kongcu ini. Kalian orang selatan tentu punya jago-jago marilah naik dan ini hanya sebuah pibu persahabatan!"

Akan tetapi kalangan mudanya rupanya enggan. Setelah melihat kehebatan pemuda itu mendadak saja nyali mereka kuncup. Siapa tidak takut menghadapi pemuda itu. Mereka ngeri kalau diputari seperti gasing, salah-salah roboh dan pening sendiri. Dan ketika Ning-pangcu mengulang tiga kali namun tak ada batang hidung yang nongol akhirnya ketua See-ouw-pang ini mulai menujukan pandangannya pada dua dara jelita puteri Lam-hai-kong-jiu, dua gadis yang duduk di kursi kehormatan.

"Apakah jiwi-siocia (dua nona berdua) tak berkenan menemani San-kongcu ini. Karena para sahabat tak ada yang naik bagaimana kalau jiwi mewakili. Maaf, aku tidak memaksa, jiwi-siocia, hanya terpaksa karena tak ada kalangan muda naik ke lui-tai!"

"Hm, kehormatan begi kami kalau berkenalan dengan murid-murid tangguh dari Gobi. Tapi masa wanita harus selalu mendahului laki-laki, pangcu, apakah kami harus maju lagi setelah mundurnya enci Lan Hoa. Di mana kegagahan dan keberanian sobat-sobat muda orang selatan. Masa harus mengajukan wanita dan berlindung di balik punggung!"

"Heh-heh, tepat sekali. Kalian keroco-keroco muda membuat aku malu, anak-anak. Masa tak ada satupun pemuda tampil kedepan. Hayo, jangan menyuruh perempuan saja, mana muka kita terhadap Chi-taihiap!"

Yang-liu Lo-lo terkekeh berdiri dan kata-katanya ini semakin memerahkan golongan pemuda. Tadi omongan gadis kembar itu saja cukup memerahkan telinga, diam-diam mereka menjadi malu dan bangkitlah keberanian untuk coba-coba naik panggung. Bukankah ini pibu persahabatan. Maka ketika nenek itu berdiri dan kata-katanya demikian pedas, mereka dianggap keroco maka bangkitlah secara bersamaan dua pemuda tinggi kekar di deretan kiri dan kanan, hal yang tentu saja membuat orang-orang bertepuk tangan, terutama golongan tua yan terselamatkan mukanya oleh gerakan ini.

"Bagus, Sepasang Cakar Besi rupanya tampil ke depan. Ha-ha, anak-anak muda kita bukan golongan keroco, Yang-liu Lo-lo. Lihat mereka bangkit memenuhi tantangan Ning-pangcu untuk main-main dengan San-kongcu itu!"

"Maaf, kami lebih bersifat minta petunjuk," satu di antara dua pemuda itu melompat dan sudah berada di atas panggung, disusul temannya. "Kami dua bersaudara sebenarnya tak enak berada di sini, pangcu, tapi kebiasaan kami untuk selalu bertempur berdua. Entahlah bagaimana dengan San-kongcu apakah kehadiran kami dirasa tak menyenangkan. Kalau kami dianggap tak adil memang inilah kemampuan kami, tadi tak naik ke panggung lui-tai karena ragu dan kini memberanikan diri!"

"Ha-ha, Sepasang Cakar Besi Lo Hak dan Lo Bun. Karena kalian biasa berdua tentu akan dilayani berdua pula, Io-heng-te. Di sana masih ada saudara Siauw Lam suheng San- kongcu ini Kalau ingin adil dapat saja maju sekligus empat orang.

....ADA HALAMAN YANG HILANG...

Dan ketika benar saja ia berkelebatan begitu cepatnya hingga para tamu sendiri pusing, hanya mereka yang berkepandaian tinggi yang mampu mengikuti gerakannya maka pada jurus ke delapan ia telah merobohkan lawan di sebelah kanan.

Beng San melakukan totokan ke pergelangan tangan dan lepaslah cakar besi itu, lawan menjerit dan roboh. Dan ketika detik berikutnya ia menotok dan merobohkan yang kiri akhirnya dua bersaudara Lo-hengte terjerembab dan senjata mereka mencelat keluar panggung.

"Plak-plak!"

Bertepuk riuhlah tamu undangan. Beng San telah berdiri lagi di tengah panggung dengan wajah berseri-seri. Dua bersaudara itu mengeluh dan terbelalak kepadanya. Akan tetapi karena Beng San tidak membantu lawan bangun dan mereka berdiri susah payah maka Lo-hengte ini merah padam menjura dalam- dalam.

"Kami mengaku kalah, San-kongcu benar-benar hebat. Terima kasih untuk pelajaran ini dan kami kagum seumur hidup!"

Ning-pengcu melayang lagi ke atas panggung. Dia mengantar turunnya dua pemuda itu dengan hiburan dan kata-kata membesarkan hati, betapapun mereka adalah tamunya juga. Dan ketika laki-laki itu bertanya lagi siapa yang naik ternyata tak ada lagi hingga akhirnya ketua See-Ouw-pang ini memandang kembali dua gadis kembar tu, Lin Lin dan Lan Lan.

"Agaknya harapan kami tinggal pada nona berdua. Kalau tidak keberatan silakan, jiwi-siocia. Keramaian panggung kian memuncak!"

Satu di antara dua gadis itu mengangguk. Tadi mereka telah berbisik-bisik dan akhirnya yang duduk sebelah kanan melayang naik. Beng San kecewa kenapa tidak kedua-duanya, karena ia mengharapkan dua gadis itu akan dihadapinya berbareng. Alangkah nikmatnya dapat bersentuhan dengan puteri-puteri Lam-hai-kong-jiu ini apalagi ia telah mulai tergila-gila.

Akan tetapi karena lawan telah masuk dan betapapun ia merasa girang, jauh lebih baik daripada tidak maka ia mendahului menjura dan wajahnya sudah begitu berseri memandang gadis yang telah berjungkir balik dan turun dengan manis ini.

"Selamat bertemu, nona menggirangkan hatiku. Tidak tahu siapakah nama nona yang mulia dan agaknya kita akan sama-sama bertanding menggunakan tangan kosong. Aku yang bodoh tentu saja merasa mendapat kehormatan bisa berkenalan dengan ilmu Tangan Kosong Dari Selatan!"

"Aku Lan Lan, terpaksa masuk atas undangan Ning-pangcu. Karena kau sudah bertanding dua kali agaknya beristirahatlah, kongcu, biar suhengmu menggantikan kau di sini. Aku bukan orang yang suka menghadapi lawan yang sudah terbuang tenaganya."

"Ha-ha, betul. Kau mundurlah, sute, sekarang giliranku. Kau sudah dua kali bertanding dan sekarang saatnya beristirahat!" Siauw Lam, yang tiba-tiba berkelebat dan merasa mendapat kesempatan mendadak berjungkir balik di atas panggung dengan sikap mengejutkan. Hampir saja kebiasaannya bersikap kasar lepas tak terkendali.

Pemuda itu begitu girang oleh kata-kata gadis ini dan Beng San pun terkejut. Hampir saja ia marah oleh masuknya sang suheng yang dirasa mengganggu ini. Akan tetapi sebelum dua pemuda itu bersitegang dan tentu bakal memalukan Chi Koan, urusan wanita bisa membuat lupa diri maka si buta sudah bangkit dan berseru perlahan dengan tongkat menuding.

"Siauw Lam, mundurlah. Biarkan sutemu menghadapi Ang-siocia (nona Ang). Kulihat Beng San masih dapat menghadapi lawan dan nanti bagianmu yang lain!"

Bukan main kecewanya Siauw Lam. Wajah pemuda ini merah dan sedetik ia memandang gurunya dengan kilatan mata marah. Orang akan terkejut melihat pemuda itu melototi gurunya, mata itu bengis dan bersifat dendam. Aneh bahwa guru dimusuhi muridnya. Akan tetapi ketika pemuda itu membalik dan meloncat turun, maka orang tertegun karena pemuda ini tak menjawab atau mengiyakan gurunya sebagaimana kebiasaan murid terhadap yang disegani.

Untunglah Beng San sudah menarik perhatian tamu undangan lagi dengan kegembiraannya di atas panggung. Pemuda ini memang girang bahwa gurunya sendiri menyuruh sang suheng pergi, berarti dia dapat menghadapi lawannya yang cantik ini dengen bebas. la sudah begitu kagum akan kejelitaan puteri Lam-hai-kong-jiu ini, terangsang pula oleh bau harum rambut gadis itu ketika menyambar di atas panggung.

Maka ketika ia tersenyum dan berseri mempersilakan lawan, sedetik gadis itu mengerutkan kening tapi justeru kerutan ini membuat ia terpesona, kedua ujung alis hampir beradu maka pemuda ini semakin tergila-gila dan mengaku betapa cantik jelitanya lawan di depannya ini. Dan dia harus merobohkan dan menundukkannya!

"Silakan nona mulai, aku masih sanggup melayanimu."

"Baik...!" gadis itu tak banyak bicara lagi, siku terangkat dan tangan kanan sudah membentuk paruh burung. "Hati-hati, San-kongcu, aku menyerang!"

Ning-pangcu tertawa dan sudah meloncat turun panggung. la bertepuk tangan begitu gadis itu menggerakkan jarinya, tahu-tahu dengan amat cepat kelima jari yang membentuk paruh burung sudah menyambar wajah Beng San. Dan ketika sejengkal sebelum sampai mendadak kelima jari itu terbuka, mencengkeram den menotok leher serta pundak maka Beng San terkejut dan mengelak serta menangkis. Gerakan itu cepat dan luar biasa sekali, juga indah.

"Aih, hebat!" pemuda ini memuji dan cepat ia mengerahkan sinkang menolak. Dua lengan beradu dan hampir sama cepat ia menangkis dan mementalkan serangan itu. Akan tetapi ketika tengan si gadis sudah membalik lagi dan Berg tergetar oleh lengan yang halus lembut itu, jeri-jari yang hangat maka hampir saja matanya tertusuk ketika tau tau dengan gerakan melentur jari gadis itu sudah menegang dan menyambar matanya. Dua kali lebih cepat daripade tadi.

"Plak-plak!"

Beng San berseru keras dan mengeluarkan keringat dingin. Untunglah ia mengerahkan sinkang dan lagi-lagi lawan terpental. Dari adu tenaga ini ia boleh merasa menang. Akan tetapi karena selanjutnya gadis itu berkelebatan cepat dan tangan yang lain menampar dan mendorong maka hilanglah nafsu Beng San untuk merasakan atau mencium bau harum rambut si jelita, dikejar dan dua tangan kosong gadis itu berpindah-pindah dari satu sisi ke sisi yang lain, dibuka dan mengepal dan selanjutnya gaya serangan beraneka ragam dipertunjukkan di situ. Semuanya serba hebat dan cepat.

Dan ketika gadis itu beterbangan dan mengelilingi pemuda ini dengan amat cepatnya, lenyaplah tubuhnya berganti mejadi bayangan hitam yang meyambar-nyambar maka Beng San bener-benar tak berani main-main lagi karena puteri Lam-hai-kong-jiu ini jauh di atas Sepasang Cakar Besi dan masih dua tingkat di atas kepandaian Lan Hoa, murid Sepasang Naga Menara itu!

Terkejutlah Beng San. Sekarang barulah dia tahu kenapa gadis ini duduk di kursi kehormatan, kenapa Ning-pangcu begitu menghormat karena gadis yang masih muda usia ini ternyata kepandaiannya setingkat dengan jajaran para cianpwe itu, golongan atas. Maka ketíka ia membentak dan berseru mengimbangi, keluarlah Lui-thian-to-jitnya maka di sini barulah dia mampu menandingi gadis itu yang secara cerdik tak mau beradu tenaga lagi dan memaksa dia dengan serangan-serangan cepat, entah pukulan paruh burung atau cengkeraman dan totokan, juga tamparan.

Di sini terbuktilah nama besar Lam-hai-kong-jiu. Memang untuk wilayah selatan siapa tidak tahu kehebatan kakek itu. Lam-hai-kong- jiu adalah seorang pendekar yang dengan tangan kosongnya te-lah merobohkan dan menundukkan lawan-lawan alot. Bahkan Sepasang Naga Menara hanya dapat mengimbangi kalau mereka maju berbareng.

Maka ketika puterinya berkelebatan dan sepasang tangan kosongnya itu begitu cepat mencengkeram dan menotok, lawan akan bingung oleh perubahan yang berganti-ganti ini maka Beng San sendiri untuk sejurus dua kelabakan dan terdesak.

Untunglah pemuda in berbekal ilmu lain. Soan-hoan-ciang, ilmu yang didapatnya dari Naga Gurun Gobi Peng Houw belum dikeluarkan, juga Thai-san-ap-ting atau Cui-pek-po-kian, dua ilmu yang didapatnya dari pimpinan Gobi Ji-hwesio dan Sam-hwesio. Setelah dia menjadi murid si buta Chi Koan maka dua ilmu Gobi ini dimatangkan dan dipoles, Beng San belum mengeluarken ilmu-ilmu itu.

Dan ketika ia berpikir ilmu apa yang harus dikeluarkan maka Thai-san-ap-ting menjadi pilihannya, satu pilihan jitu karena dengan begitu ia tak memperlihatkan Soan-hoan-ciang yang bukan didapatnyu dari gurunya sekarang. Memperlihatkan Soan-hoan-ciang hanya akan membuat gurunya tidak senang, bukankah Peng Houw adalah musuh besar suhunya.

Beng San sudah membentak dan mendorongkan kedua lengannya ke depan. Thai-san-ap-ting adalah ilmu dorong karena namanya saja Mendorong Gunung Thai San, Sebagaimana otang mendorong gunung maka tentu saja dibutuhkan lweekang (tenaga dalam) atau sinkang (tenaga sakti) kuat. Tanpa bantuan tenaga ini jangan harap mampu melakukannya. Maka ketika pemuda itu membentak dan mendorongkan kedua tangannya ke depan, maka berkesiurlah angin dahsyat tiba-tiba gerakan gadis ini tertahan karena pukulan Beng San memang amat kuat dan ampuh sekali.

"Ihh.!" gadis ini terkejut dan berseru lirih. la mengandalkan kecepatan untuk menyerang dan merobohkan lawan, kini kecepatannya tiba-tiba ditahan dan tentu saja ia terkejut. Dan ketika ia terhuyung dan setengah berhenti maka Beng San menggerakkan tangan kirinya mendorong cepat, melihat kesempatan.

"Awas, nona!"

Gadis itu berubah. Tak ada lain jalan kecuali menangkis, mengelak atau mundur tak mungkin, di belakangnya tempat kosong. Dan ketika apa boleh buat ia menangkis dan mengerahkan sinkangnya ternyata ia terpelanting dan harus bergulingan menyelamatkan diri.

"Dess!"

Pucatlah puteri Lam-hai-kong-jiu ini sudah diketahuinya bahwa lawan memiliki sinkang unggul, seharusnya ia tak perlu beradu tenaga tapi apa boleh buat. Thai-san-ap-ting membuatnya terkejut. Dan ketika ia terlempar dan bergulingan di atas panggung maka Beng San girang karena posisinya di atas angin, mengejar dan berseru memperingatkan lagi.

Gadis ini kelabakan dan cepat sekali terdesak dan ia harus mengelak ke sana-sini dengan susah payah, sebentar kemudian betul-betul terdesak dan selalu dipaksa menangkis, inilah yang membuat ia mengeluh. Dan ketika Beng San tinggal menanti saat yang baik dan sejurus dua lagi lawan pasti ropoh mendadak terdengar seruan agar pemuda itu berhenti.

"Cukup, jangan desak gadis itu lagi. Laki-laki harus mengalah kepada wanita Beng San. Biarkan lawanmu berdiri dan akuilah bahwa ilmunya tangan kosong jauh lebih hebat dibanding dirimu, beraneka ragam!"

Beng San berhenti dan gadis itu meloncat bangun dengan wajah merah padam. Sesosok bayangan berkelebat diatas panggung. la menolong saudaranya ini yang terisak dan malu hati, Beng San berdebar dan untuk kedua kalinya terguncang. Betapa cantiknya puteri-puteri Lam hai itu. Akan tetapi ketika lawan menjura dan minta maaf atas kebodohan adiknya, Beng San sadar maka ia tersenyum dan buru-buru membalas pula. Sepasang matanya tak lepas-lepasnya memandangi wajah jelita ini. Sukar baginya untuk memilih!

"Kongcu benar-benar unggul, ilmu pukulanmu hebat. Meskipun kami menang beraneka ragam namun ternyata dengan satu macam ilmu pukulan saja adikku kalah. Tolong tanya ilmu apakah itu dan bolehkah kami tahu!"

"Hm," Beng San menekan guncangan jantungnya mendengar suara merdu itu suara yang membuatnya terhanyut dan tenggelam. "Itu adalah, Thai-san-ap-ting warisan guruku, nona. Aku terpaksa mengeluarkannya karena saudaramu hebat. la mendesakku dan hampir membuatku roboh!"

"Terima kasih, kiranya Thai-san-ap-ting. Kami telah mendengar ilmu itu dan ayah pernah memujinya sebagai sebuah ilmu pukulan amat dahsyat. Kami telah melihatnya dan sekali lagi terima kasih!" gadis itu membawa adiknya turun dan berkelebatlah bayangan Ning-pangcu ke atas panggung.

Tiga kali Beng San telah melakukan pertandingan dan ketiga-tiganya dimenangkan pemuda ini. Maka ketika ia tertawa dan memuji pemuda ini mengucap terima kasih pada dua gadis kembar itu akhirnya Beng San menjadi unggulan teratas di mana tak ada tamu undangan yang berani naik lagi, khususnya di kalangan muda.

"Agaknya cukup bagi San-kongcu, terima kasih untuk peran sertanya di sini. Kalau para cianpwe ingin memanaskan badan silakan naik dan pemilihan bengcu dapat segera dilakukan, yang muda-muda telah menghangatkan suasana!"

"He-He, aku penasaran kepada anak muda ini. Jangan suruh ia cepat-cepat berlalu, pangcu. Kalau masih ada tenaganya biarlah kuuji coba!" Yang-liu Lo-lo nenek berpakaian lucu merah putih itu tiba-tiba melesat ke atas panggung dan berseru pada tuan rumah.

Beng San sudah siap turun ketika tiba-tiba dihadang, nenek ini berjungkir balik dan turun di depannya. Dan ketika ia tertegun mengerutkan kening, nenek itu terkekeh-kekeh maka pemuda ini enggan dan tiba-tiba memandang suhengnya. Akan tetapi si nenek tertawa, menggaet pundaknya.

"Heh, aku memang tidak cantik seperti puteri Lam-hai-kong-jiu itu, anak muda. Kau enggan ya, menghadapi tua bangka macam aku. Tapi kalau kau takut tentu saja boleh gantikan suhengmu, gurumu tentu tak menolak!"

Para tamu tertawa. Memang keengganan pemuda ini terbaca semua orang. Setelah menghadapi lawan yang cantik tiba-tiba berhadapan dengan nenek buruk, siapa mau. Tapi ketika dikiranya takut dan ini memanumaskan pemuda itu maka Beng San tak jadi memanggil suhengnya, apalagi Siauw Lam tiba-tiba berseru.

"Benar, kau masih kuat. Tak perlu memandang atau minta tolong kepadaku, sute. Jangan karena tak cantik lalu kau hindari. Hadapilah, suhu tak apa-apa!"

Undangan semakin tertawa lebar. Kata-kata ini membuat mereka geli dan lucu, Beng San dipojokkan suhengnya sendiri. Namun ketika Chi Koan tiba-tiba berdiri dan mengangkat tongkatnya mendadak si buta ini berseru,

"Siauw Lam, yang terhormat Yang-liu Lo-lo locianpwe seharusnya diberi tenaga segar. Kalaupun ia menang tentu tak memuaskan. Kau majulah gantikan sutemu dan main-mainlah sebentar dengan beliau!"

Beng San girang. la pura-pura lelah dan mengangguk dan sebelum suhengnya menolak iapun meloncat turun. Nenek itu terbelalak. Dan ketika ia tertawa suhunya memerintah, Siauw Lam berkerut dan marah sutenya sudah duduk di kursinya maka hampir saja pemuda ini menghantam kursi disuruh berhadapan dengan nenek buruk.

"Sialan, terkutuk. Kau seharusnya masih bisa di sana, sute, mau enaknya sendiri. Kalau bukan suhu yang memerintah tak sudi aku!"

"Sabar, masih satu di sana. Encinya belum naik, suheng, bagianmu masih tersisa. Aku lelah dan lihat keringat ini, belum kering. Cepat naik atau nanti dikira takut!"

"Hm,..." Siauw Lam ogah-ogahan dan naik panggung, tidak melompat melainkan melewati anak tangga, matanya tak senang. "Karena suhu memerintahku baiklah kuturuti, locianpwe. Hanya kalau aku roboh jangan tertawakan."

Yang-liu Lo-lo mengerutkan kening. Ia melihat lawannya ini aras-arasan (agak malas kurang semangat) dan tersinggung. Kalau saja tidak terlanjur menantang agaknya iapun tak sudi menghadapi pemuda ini. Masa dia, seorang angkatan tua dihadapi lawan yang tampak tak sungguh-sungguh dan melecehkan, ogah-ogahan pemuda itu jelas sekali. Namun karena ia justeru gemas dan ingin segera membalas maka iapun tak banyak cakap, menggerakkan sepasang gaetan bajanya membentak,

"Kau anak muda menggantikan sutemu, bagus, tenaga segar memang lebih baik. Tapi kalau kau tak bersungguih-sungguh jangan salahkan aku kalau gaetanku tak punya mata. Cabut senjatamu!"

"Aku seperti suteku, selalu bertangan kosong. Kalau kau bersenjata silakan maju, locianpwe, bagiku sama saja bersenjata atau tidak."

"Hm, kau melecehkan, tapi aku bukan orang tua yang harus mengalah pada anak muda, bocah, jangan sombong atau senjataku menggaet kepalamu nanti. whiirrrr!" gaetan itu tiba-tiba bergerak amat cepat dan belum habis seruan itu sudah didahului desing mengerikan ke leher Siauw Lam.

Yang-liu Lo-lo rupanya nenek keras dan dapat bersikap. ganas, serangan kata-katanya terhadap Chi Koan tadi merupakan bukti. Dan ketika senjatanya menyambar dan Siauw Lam mengelak, dikejar dan akhirnya menangkis, senjata yang lain meluncur dengan amat cepatnya ketika senjata pertama terpental.

"Sing-plakk!"

Gaetan ini membalik dan seperti benda hidup saja meliuk dan menyambar lagi. Siauw Lam mundur dan membelalakkan matanya. Namun ketika ia dikejar dan kembali menangkis, yang lain menyambar maka berturut-turut sepasang gaetan yang maju satu persatu ini susul-menyusul dengan amat ganasnya dan seakan kuku naga yang tak habis-habisnya menyerang.

Yang-liu Lo-lo ternyata nenek lihai yang melempar kembali setiap tangkisan itu, mengembalikannya kepada Siauw Lam dengan cara mengayun bandul. Dengan begini gaetannya terpental namun justeru menyerang lagi, disusul yang lain dan tentu saja Siauw Lam terkejut. Nenek ini berbahaya! Dan ketika ia mundur namun akhirnya mengeluarkan Lui-thian-to-jit, inilah satu-satunya jalan menyelamatkan diri.

Maka berkelebatanlah pemuda itu mengelak dan menghindar dari sepasang gaetan baja yang lihai itu, yang mematuk atau menggaetnya bagai kuku naga, meliuk dan naik turun dan barulah kemudian dengan ilmu meringankan tubuhnya itu ia selamat. Namun ketika si nenek terkekeh dan menggerakkan kedua kakinya pula beterbanganlah nenek ini menyamai ginkangnya

"Hi-hik, balas dan jangan lari menghindar saja. Ayo anak muda, tunjukkan kepandaianmu dan keluarkan senjatamu!"

Siauw Lam marah. Tiba-tiba ia membentak dan mengeluarkan Thai-san-ap-tingnya. Sama seperti sutenya tadi ia menggerakkan kedua lengan ke depan, mendorong. Akan tetapi ketika si nenek lincah berkelit dan senjata menyambar dari belakang maka nenek ini terkekeh karena si pemuda kehilangan sasaran sementara ia masih terus menyerang. Penonton mulai bertepuk riuh.

"Ayo, keluarkan senjatamu. Thai-san-ap-tingmu sudah kukenal, anak muda, aku tak mau beradu tenaga. Heh-heh, orang tua harus menghemat pukulan!"

Siauw Lam menjadi berang. Ternyata nenek ini selalu menghindar setiap ia melepas Thai-san-ap-tingnya. Harap diketahui saja bahwa kegagalan berarti pemborosan tenaga. Maka ketika ia membentak dan tidak lagi melepas pukulannya maka pemuda itupun hanya mengandalkan ginkang berkelebatan mengimbangi nenek ini.

"Baik, kau tak berani beradu tenaga, Kalau begitu mari beradu ginkang, Yang-liu Lo-Lo, siapa cepat dan tahan berpusing!"

Nenek ini geli. la mengejek dan memanaskan lawan dengan kekehnya yang nyaring. Ketika pemuda itu menpercepat gerakan iapun tertawa dan menambah kecepatannya pula. Ternyata nenek ini hebat, tubuhnya ringan dan gesit bagai walet menyambar-nyambar. Dan karena senjata di kedua tangannya itu merupakan tangan lain yang membuat jangkauannya begitu panjang, menyambar dan bercuitan menyerang lawannya ini maka Siauw Lam menjadi panas namun justeru inilah yang dicari. Nenek itu hendak mengacaukan konsentrasinya dengan kemarahan yang meledak!

"Ayo, ayo lebih cepat lagi. Gerakanmu kurang cepat, anak muda, masih kalah oleh senjataku. Awas dan cabut senjatamu kalau tak ingin roboh... bret!"

Akhirnya leher baju Siauw Lam terkuak juga, robek oleh salah satu d antera sepasang gaetan itu dan bukan main marahnya pemuda ini. la tak sadar bahwa kemarahan hanya membuat lubang pertahanannya tembus, Yang-liu Lo-lo adalah tokoh tua yang banyak pengalaman.

Dan ketika benar saja pemuda itu menggeram-geram dan mulai lagi mengeluarkan Thai-san-ap-tingnya, sayangnya si nenek menghindar dan selalu menjauh sebelum dipukul maka tawa atau kekeh nenek itu terlampau menyakitkan bagi Siauw Lam.

"Kau tak belajar baik-baik dari gurumu, agaknya sutemu lebih lihai. Ah, tahu begini lebih baik kalian maju berdua, anak muda. Panggil sutemu atau menyerah baik-baik... bret!"

Kembali baju pundak terobek dan kalau Siauw Lam tidak mengerahkan sinkangnya bukan tak mungkin daging pundaknya tercabut. Gaetan itu menyambar namun licin bertemu daging pundak yang atos, akibatnya hanya merobek baju pundak tapi itu lebih dari cukup. Siauw Lam mendidih. Dan ketika ia membentak dan kehilangan cara bersilatnya yang benar akhirnya si nenek mempermainkannya.

Dan justeru semakin terkekeh, cerdik memaneskan lawan dan Chi Koan mendengarkan jalannya pertandingan dengan kepala dimiringkan. Itulah cara Si buta melihat orang bertempur. Dan ketika ia berkerut kening mendengar baju robek, si nenek terkekeh- kekeh menyambarkan senjatanya naik turun akhirnya punggung pemuda itu robek lagi terkuak lebar.

"Brett!" Penonton kagum. Bagi mereka angkatan tua maka tiga kali gaetan mental merupakan bukti bahwa pemuda itu memiliki sinkang kuat. Sepasang Naga Menara dan Lo-han-hok-houw mengangguk-angguk, gaetan itu tak mampu melukai lawan meskipun mengait dan menyengat, padahal orang lain tentu roboh dan luka berdarah. Yang-liu Lo-lo tidak main-main dalam serangannya itu.

Dua kakek itu maklum sampai di mana kehebatan nenek. Namun ketika pemuda itu hanya terhuyung saja dan melotot gusar, menggeram dan membalas namun si nenek menjauh sebelum dipukul maka nenek ini benar-benar cerdik memanaskan lawan.

"Ayo, keluarkan senjatamu, atau panggil sutemu. Hi-hik, kau akan roboh beberapa jurus lagi, anak muda. Menyerahlah dan aku menghentikan seranganku!"

"Aku masih berdiri tegak, tak perlu kau sombong. Kalau kau dapat merobohkan aku janganlah menghindar dan lari menyelamatkan diri, Yang-liu Lo-lo, terimalah pukulanku dan lihat siapa yang roboh!"

"Hi-hik, kerbau dungu tak punya otak. Kalau kau dapat menyentuh tubuhku berarti aku kalah, anak muda. Jangan mengomel dan membuang suara sia-sia. Ih bau mulutmu seperti kentut!"

Bukan main marahnya pemuda ini. Ia dijelek-jelekan nenek itu melampaui batas dan ia pun menggerakkan tangan kirinya. Suara berkeretek terdengar, disusul kilauan cahaya putih di lengan itu. Dan ketika si nenek terkejut akan tetapi memutar senjatanya lebih cepat, Siauw Lam siap melepaskan Cui-pek-po-kiannya maka satu gaetan menyambar mata kanan sementara gaetan yang lain menusuk pantat kiri.

"Plak-bret!"

Siauw Lam menangkis sambaran ke mata akan tetapi gaetan ke pantat tak sempat dikelit. Yang-liu Lo-Lo nakal mempermainkan pemuda itu hingga tak pelak lagi celana bagian ini memberebet. Tamu undangan terbahak karena pantat pemuda itu kelihatan. Celana luar dan celana dalam sekaligus sobek. Dan ketika pemuda itu terkejut bukan main dan Lan Lan serta Lin Lin terpekik membuang muka, begitu pula Lan Hoa yang duduk di sebelahnya maka Yang-liu Lo-lo terkekeh-kekeh sampai terpingkal.

"Wah, mulus dan padat. He-he, sayang aku nenek-nenek!"

Bukan tanpa alasan kalau nenek ini berbuat seperti itu. Ia sengaja membakar kemarahan lawan sampai ke titik didih, siauw Lam kalah pengalaman dan terjebak siasat ini. Maka ketika ia melengking dan begitu gusar, pandangannya gelap maka si nenek tiba-tiba menghilang dan ketika pemuda itu melepas pukulannya menghantam lantai panggung maka bersamaan itu sepasang gaetan menyambar lehernya dari belakang.

"Crep!" Senjata ini mengait bagai mata pancing ke kulit Siauw Lam. Kalau saja Siau Lam tak memiliki sinkang yang membuat tubuhnya kebal tentu senjata itu melesak dan tertanam di kulit dagingnya. Yang-liu Lo-lo sendiri sebenarnya juga tak mengerahkan segenap tenaganya menarik, Ia cukup mengedut dan mengejutkan lawan, gaetan telah tertancap di situ.

Dan ketika semua bersorak inilah kemenangan si nenek, pibu memang tidak sampai bersifat mengadu jiwa maka sebenarnya dengan kejadian itu Siauw Lam harus menyerah kalah, meskipun sesungguhnya kepandaiannya belum dikeluarkan penuh, apalagi Si nenek selalu menghindar dan mengelak dari Thai-san-ap-ting atau Cui-pek-po-kiannya.

Akan tetapi yang dilakukan pemuda ini benar-benar mengejutkan. Menganggap bahwa itu hanya sebuah pibu dan semuanya berlandaskan persahabatan maka nenek ini tak menyangka kebrutalan si pemuda. Kalaupun ia mengejek dan mentertawakan pemuda itu maka itu adalah hal lumrah karena ia adalah angkatan tua. Tokoh tua mengejek atau mempermainkan orang muda adalah biasa, apalagi dalam sebuah pibu, sebuah pertandingan persahabatan.

Maka ketika pemuda itu tiba-tiba membalik dan menangkap gaetannya, menghentak lalu mendorongnya dengan Thai-san-ap-ting nenek ini menjadi terkejut bukan main dan para tamu undanganpun berseru keras saking kaget dan pucatnya.

"Kau menghina dan mempermainkan aku, sekarang terimalah pembalasanku. Mampuslah!"

Yang-liu Lo-lo menjerit nyaring. la begitu kaget melihat kekasaran pemuda ini. Sungguh pemuda ini tak tahu sopan santun pibu. Maka ketika ia ditarik lalu didorong kuat-kuat, terbawa dan mundur bagai dilempar maka gaetan patah dan tubuh nenek itu berjungkir balik keluar panggung, terpaksa melepas senjata yang hancur dicengkeram pemuda itu.

"Aiihhhhh...!"

Tamu undangan terbelalak. Siapapun tak dapat menerima ini dan Chi Koan terkejut setengah mati. Ia tadi siap-siap memberi tahu muridnya bahwa terjebak nenek itu namun terlambat. Yang-liu Lo-lo rupanya cerdik bertindak cepat, mendahului dan dicapailah kemenangan telak itu. Maka ketika muridnya tiba-tiba membalik dan justeru menyerang, seharusnya berhenti dan menyerah baik-baik.

Maka Chi Koan kaget sekali oleh kebrutalan muridya ini dan iapun mencelat ke depan ketika si nenek didorong dan terlempar oleh Thai-san-ap-ting yang dahsyat. Siauw Lam mengerahkan seluruh tenaganya agar si nenek binasa.

"Plak!" benturan benda hitam menghajar sepasang gaetan itu. Chi Koan berkelebat amat cepatnya dan orangpun terkejut melihat gerakannya yang luar biasa. Bayangan putih menyambar dan gaetan tahu-tahu patah, kalau tidak tentu si nenek tertusuk dan celaka oleh gagang gaetannya sendiri, paling sedikit dadanya patah. Maka ketika tahu-tahu si buta berdiri di situ dan Siauw Lam terhuyung hampir roboh, ia berhadapan dengan gurunya sendiri maka pemuda ini pucat sementara suhunya merah padam.

"Kau berbuat curang dalam pibu. Meskipun kau tak puas namun kekalahanmu nyata, Siuuw Lam, kau kalah cerdik dengan nenek ini. Segera minta maaf atau aku menghajarmu!"

Bentakan itu didengar semua tamu dan pemuda ini berubah-ubah. Yang-liu Lo-lo sudah berjungkir balik dan melayang turun dengan dada ampeg. Untung Si buta turun tangan, kalau tidak tentu ia binasa oleh kelicikan pemuda itu, paling tidak luka parah. Dan ketika nenek ini juga berapi-api dan hanpir saja ia marah besar, untunglah si buta membentak muridnya mengembalikan kepercayaannya maka nenek ini hilang kemarahannya menganggap pemuda itu tak tahu diri.

'Hmn, tak cukup minta maaf. Sepasang gaetanku harus diganti, anak muda, baru aku mau damai!"

Chi Koan mengangguk, membentak muridnya lagi. "Dengar itu, Yang-liu Lo-lo locianpwe memaafkanmu. Berbuat curang dalam pibu adalah sebuah kehinaan, Siauw Lam. Minta maaf dan segera ganti sepasang gaetan baja itu!"

Kalau saja tak ingat gurunya amat lihai barangkali pemuda ini akan melawan. Di luar arena sudah biasa ia membantah atau mendebat. Namun karena di sini banyak orang dan ia harus tunduk, kemarahanpun ia tahan maka pemuda ini menjura dan menggigil berkata,

"Harap Yang-liu.Lo-lo locianpwe maafkan aku. Kalau saja kau tidak membakar kemarahanku dengan ejekan dan permainan barangkali aku tak lupa diri. Sekali lagi aku minta maaf dan besok kucarikan pengganti sepasang senjatamu itu."

"Baik, besok kutunggu. Memandang gurumu kumaafkan semua perbuatanmu, anak muda. Harap lain kali jangan diulangi karena bagi orang tua sudah biasa mengejek atau mempermainkan yang muda. Bukankah ini pibu, bukan pertandingan mati hidup!"

Siauw Lam mundur dan tidak menjawab. Pandang matanya yang berapi ditujukan kebawah, kelau orang melihat bakal terkejut karena mata itu semerah saga. Dan ketika semua orang menjadi lega dan Chi Koan berhasil mengembalikan nama baik maka si buta itu menjura kepada semua tamu menyampakan maafnya.

"Muridku yang muda terbawa emosinya. Aku sebagai gurunya mohon maaf kepada cuwi-enghiong kalau pemandangan tadi terasa tak sedap. Anak muda memang begitu, sembrono. Harap Ning-pangcu maafkan pula dan biarlah kami menonton keramaian."

"Tunggu, kau sudah di sini. Jagoku tak ada lain kecuali kau, taihiap. Sebagai orang yang lebih matang dan banyak pengalaman tentunya kau tak akan melakukan seperti apa yang dilakukan muridmu. Pemilihan bengcu sudah dimulai, dan aku tetap. menjagoimu untuk memimpin orang-orang selatan!"

Ning-pangcu meloncat dan sudah berada di atas panggung ketika mengeluarkan seruannya itu. Sikap si buta semakin simpatik dan orang bertambah tertarik saja. Gerakan yang tadi diperlihatkannya dan menyelamatkun Yang-liu Lo-lo adalah perbuatan terpuji. Siapa lagi yang bertanggung jawab kalau bukan gurunya. Maka ketika semua itu menambah simpati dan hormat, orang semakin kagum akan si buta ini maka Chi Koan tentu suja pura-pura terkejut dan menggoyang tangan.

"Hmn, Ning-pangcu jangan membuat aku malu. Di sini benyak para cianpwe golongan atas, tak berani aku dijagokan. Harap pangcu cari yang lain saja dan ingat bahwa aku hanya tamu undangan, bukan orang selatan!"

"Kau sudah diterima, detik ini kau keluarga besar kami. Orang-orang selatan sudah menerimamu bulat, Chi-taihiap, dengar aku mengajukan pertanyaan. Maaf..!" ketua See-ouw-pang itu menghadap ke delapan penjuru mata angin, berkata lantang. "Salahkah kata-kataku tadi bahwa Chi-taihiap ini tidak kita anggap orang asing, cuwi-enghiong. Tidak benarkah kata-kataku bahwa Chi-taihiap telah kita terima sebaga orang selatan!"

"Setuju!"

"Benar!" semua bersorak dan bertepuk riuh. Taihiap kita anggap orang selatan Ning-pangcu. Dia keluarga besar kita!"

"Nah, apa kataku," sang ketua berseri-seri. "Mereka tak menolakmu lagi, Chi-taihiap. Kalau alasanmu merasa bukan orang selatan sekarang tak beralasan lagi. Kau keluarga besar kami, keluarga orang-orang selatan. Bergabunglah dan ikutlah pemilihan bengcu!"

Chi Koan tak dapat menolak lagi. Dengan tongkatnya ia tersipu-sipu mengetuk sana-sini, mengucap terima kasih dan segala gerak-geriknya ini tentu saja mengundang simpati dan rasa haru. Si buta itu begitu halus dan lembut sekali, tidak sombong dan rendah hati. Maka ketika ia terpaksa mengikuti kemauan Ning-pangcu ini dan mengangguk berulang-ulang kepada semua tamu, khususnya kepada tokoh-tokoh tua.

Maka sepasang kakek gagah dan yang lain-lain menjadi gatal tangan dan ingin segera bertanding dengan si buta yang kesohor itu. Sekarang Mereka tak perlu sungkan lagi karena yang dihadapi orang setingkat, paling tidak bukan anak-anak muda seperti Beng San dan Siauw Lam itu. Maka ketika Sepasang Naga Menara bangkit berdiri dan melayang ke atas panggung, riuhlah penonton bertepuk sorak maka dua kakek ini terkekeh tak sungkan-sungkan lagi.

"Dalam pertemuan di tepi telaga tadi Chi-taihiap telah mendorong dan meninggalkan perahu kami. Sekarang kami ingin didorong dan merasakan kelihaian Chi-taihiap. Harap permintaan kami dikabulkan dan biarlah mata kami terbuka lebar merasakan langsung kehebatan anak murid Gobi!"

Satu di antara dua kekek itu menggosok-gosok kedua tangannya dan inilah paman guru (susiok) Lan Hoa. Kakek itu terkekeh sementara suhengnya mengangguk-angguk. Wajah kegembiraan tak dapat disembunyikan lagi. Tapi Ning-pangcu yang berkerut melihat dua kakek itu cepat- cepat bertanya,

"Maaf, jiwi-lo-enghiong (dua kakek gagah berdua) apakah hendak maju berbareng. Masa Chi-taihiap harus melayani kalian bersamaan!"

"Ha, tidak, jangan salah paham. Kami maju untuk memberikan pilihan kepada lawan, pangcu, hendak memilih aku atau suhengku. Kami tampil hanya untuk dipilih!"

"Benar," kakek satunya mengangguk-angguk. "Kami sudah gatal tangan untuk merasakan kelihaian Chi-taihiap ini secara langsung, pangcu, dan tadi tak saling mengalah untuk maju lebih dahulu. Sekaang terserah Chi-taihiap, pilih aku atau sute!"

"Ha, begitu kiranya. Jiwi-lo-enghiong benar-benar aneh. Ah, pibu bagi kita orang-orang persilatan memang selalu menarik, tangan rasanya gatal dan seminggu bisa tak tidur kalau belum kesampaian. Baik, silakan Chi-taihiap tentukan sendiri dan mana yang dipilih!"

Ning-pangcu gembira, lega dua kakek ini datang-datang bukan untuk mengeroyok melainkan menentukan pilihan. Kalau si buta minta dikeroyok tentu lain, itu kehendak pribadi. Tapi karena biasanya pibu berjalan satu-satu maka ketua See-ouw-pang ini terkejut ketika si buta justeru mengangguk dan berkata, minta dikeroyok!

"Aku yang rendah bukannya bersombong. Karena aku bersenjatakan tongkat sementara jiwi-lo-enghiong ini bertangan kosong bagaimana kalau memberi pelajaran kepadaku secara berbareng saja. Aku bersenjata, jiwi tidak. Rasanya adil kalau jiwi tidak menganggapku sombong."

"Wah, kami diminta mengeroyok? Dua tua bangka mengerubut seorang pemuda? Ha-ha jangan membuatku malu. Justeru kami yang memintamu untuk bersenjata, Chi-taihiap, dan kami akan bertangan kosong saja. Karena kau buta biarlah kami tak mempergunakan senjata, tapi tak usah mengeroyok. Satu lawan satu saja!"

"Kalau begitu terserah, itu juga baik. Maaf kalau kata-kataku kurang berkenan!"

"Ha-ha, tidak, saudara Chi. Kau jujur dan mengagumkan kami. Kalau begitu biar suteku mundur dan aku yang maju!" kakek pertama bersiap-siap namun sang adik menolak.

"Tidak, suheng di luar saja. Aku yang maju dan nanti gantian!"

"Wah, tapi aku sudah bicara."

"Aku juga, suheng harap mengalah. Biarkan aku main-main sebentar dan nanti suheng mengambil bagian!"

Orang-orang tertawa. Mereka bagaikan melihat sepasang pembeli yang tertarik akan sebuah barang, ngotot dan saling tak mau digeser. Tapi ketika sang suheng mengalah dan mundur terkekeh, meloncat dan kembali ke tempat duduknya maka Ning-pangcu gembira bertepuk tangan. Chi Koan tersenyum-senyum dan tentu saja geli melihat perdebatan itu, diam-diam sudah mengukur kekuatan dua orang ini di perahu tadi dan itulah sebabnya iapun tak takut dikeroyok.

"Ji lo-enghiong (kakek gagah kedua) sudah memperoleh tiket pertarungan, bagus. Kami gembira dan semoga pibu mengakrabkan kalian berdua dan mempererat persahabatan!" lalu membungkuk dan memberi hormat pada dua oang itu, meloncat dan mundur memberikan ruangan, segera kakek ini berhadapan dengan Chi Koan, tadi ngotot dan ingin maju karena sesungguhnya kakek ini masih penasaran dengan peristiwa di atas perahu!

"Aku sudah melihat kepandian murid-muridmu, Chi-taihiap tentu lebih lagi. Biarpun di perahu kita sudah sedikit berkenalan akan tetapi tentu saja terlalu pendek. Aku Ji-liong-tah (Naga Menara Kedua) ingin petunjuk secara lengkap!" kakek itu berkata dan tidak sungkan-sungkan lagi menyiapkan diri.

Setelah dia tahu kelihaian murid-murid si buta tentu saja kakek ini tak perlu ragu. Yang dihadapi adalah jago Gobi, cucu murid mendiang Ji Leng Hwesio yang sakti. Maka ketika ia bersiap dan menyuruh pemuda itu maju, Chi Koan menggeleng ternyata si buta ini lagi-lagi meraih simpati.

"Aku lebih muda, bersenjata pula. Sebaiknya lo-enghiong maju dulu dan aku menerima!"

"Baik, masuk akal pula. Terima kasih, anak muda, awas serangan!" kakek itu tak membuang waktu lagi dan segera tangannya menjulur maju. Ia hendak menangkap dan merampas tongkat dan Chi Koan menghindar. Orang merasa kagum akan kelihaiannya. Tanpa melihat ia berkelit, begitu tepat dan cepat. Dan ketika kakek ini masih membentak dan menggerakkan tanganya yang menangkap namun lagi-lagi gagal maka ia melayangkan kakinya dan secara cepat dan mentakjubkan ia melakukan tendangan berantai tujuh kali berturut-turut.

"Plak-plak-dess!"

Chi Koan menggerakkan tongkat dan si kakek terkejut. Tulang keringnya terpukul, hampir menjerit kalau tidak cepat mengerahkan sinkang. Dan ketika kakek ini berubah dan melayangkan tangan, menyodok dan menampar maka Chi Koan maju mundur mengelak dan menangkis. Tongkat adalah andalannya dan sesungguhnya tanpa tongkat inipun ia berani menghadapi lawan.

Hanya karena tak mau dianggap jumawa dan terlalu sombong ia mempergunakan senjata itu, padahal siapa tidak tahu kehebatan lengannya kalau ia mempergunakan Hok-te sin-kang, ilmu yang amat dahsyat dari Bu-tek-cin-keng itu.

Namun karena si buta ini tak mau berlagak dan ia sedang mengambil hati orang-orang itu, di depan mereka ia harus bersikap lembut dan murah hati maka inilah yang dilakukannya dan dalam tangkisan itupun ia mengendalikan tenaganya hingga si kakek hanya merasa kesakitan. Padahal, kalau ia mau sekali hantam saja kaki itu bisa remuk!

Chi Koan mengelak sana-sini dari serangan-serangan kakek itu. Hal ini membuat lawan penasaran dan akhirnya pekik keras meluncur gemas. Ji-liong-tah begitu kaget tak mampu menyentuh tubuh lawan, jangankan kulit tubuhnya, ujung bajunya saja tak dapat. Maka ketika ia membentak dan berkelebatan cepat.

Sepasang kakinya naik turun berganti-ganti maka tampak bahwa kelihaian kakek ini sesungguhnya berada pada sepasang kakinya itu. Sepasang lengannya hanya mengganggu dan berseliweran saja, meskipun tentu saja tak bakal dilewatkan kalau kesempatan ada!

Chi Koan tersenyum. Telinganya yang tajam mendengar desir beterbangan tubuh lawannya, apa boleh buat mengerahkan ginkangnya dan sekali melesat mendadak tubuhnya menghilang. Orang terbelalak kaget melihat gerakan si buta yang luar biasa ini, lenyap bagai iblis. Dan ketika kakek itu juga terkejut kehilangan sasaran mendadak ujung tongkat berkelebat di depan hidungnya disertai bentakan perlahan.

"Awas, lo-enghiong!"

Kakek in kaget sekali. la membuang tubuh ke kiri dan bergulingan meloncat bangun. Si buta tahu-tahu di sampingnya. Dan ketika lawan tersenyum dan minta ia menyerang lagi, kakek itu merah maka diterjangnya si buta dengan kedua kepalan dan kaki bertendangan.

"Bagus, lihai sekali. Tongkatmu mengejutkan, anak muda, tapi aku membalasmu!"

Chi Koan mengelak dan menangkis lagi. Ketika lawan bergerak kian cepat ia pun tiba-tiba berkelebat menghilang, inilah Lui-thian-to-ji andalan itu. Dan ketika ia muncul dengan ujung tongkat mendekati hidung atau mata maka kakek ini kembali melempar tubuh sambil berteriak kaget. Hal ini terjadi berulang-ulang hinga si kakek pucat. Kalau ia ditangkis maka kaki atau tangannya gemetaran, sekali malah rasanya remuk.

Tidak aneh karena Chi Koan menambah tenaganya di situ, lama-lama membuat tulang ngilu dan kakek ini berubah. Sadarlah dia bahwa si buta ini memang lihai. Dan ketika duapuluh jurus berlalu dengan cepat namun ia selalu mendesis atau mengeluh kesakitan, ujung tongkat tahu-tahu menyambar bagai siluman maka kakek ini tiba-tiba mengangkat tangannya dan berseru nyaring, mundur melompat jauh.

"Chi-enghiorg benar-benar luar biasa, aku mengaku kalah!"

Tamu undangan terhenyak. Mereka yang tidak begitu tinggi kepandaiannya hanya melihat bayangan berseliweran, terutama si buta itu. Kelebatan tubuhnya begitu luar biasa hingga tak mampu ditangkap mata. Maka ketika tiba-tiba kakek itu berseru mundur, mengaku kalah mereka inipun masih belum habis dari rasa bengongnya.

"Ah..., Ji Liong Tah main-main. Masih seru bertanding sudah mengaku kalah!"

Teriakan seorang penonton dari kursi belakang membuat kakek itu menjadi merah. Bagi mereka pertandingan memang kurang sengit, kakek itu tampaknya hanya main-main saja. Namun karena para cianpwe tahu betapa pertandingan itu sesungguhnya seru, mereka yang bermata tajam dapat melihat betapa Si kakek mengeluh dan mendesis setiap dipukul tongkat maka mereka maklum bahwa kepandaian si buta memang tinggi. Tidak sembarang orang dapat menmbuat Ji-liong-tah kesakitan.

"Susiok sebaiknya pakai pedang. Pertandingan harap diulang lagi dan rasanya adil kalau sama-sama bersenjata!" Lan Hoa, gadis itu tiba-tiba berseru dan bangkit dengan wajah penasaran. lapun Merasa susioknya kurang sungguh-sungguh, apa lagi hanya bertangan kosong. Maka ketika seruannya disambut tepuk sorak setuju, tentu saja yang tidak puas tak ingin kecewa maka kakek itu serba bingung.

Namun Chi Ko serta merta membungkukkan tubuh dalam-dalam. "Ji-lo-enghiong boleh mengulang pertandingan lagi, bersenjata. Aku juga heran bahwa lo-enghiong buru-buru menyerah kalah."

Kakek ini berseri tertolong. Kalau saja si buta tak memintanya langsung tentu ia sungkan, betapapun ia harus tahu diri. Dan karena ia juga pensaran belum mengeluarkan seluruh kepandaiannya, tadi hanya bertangan kosong maka ia menyeringai berkata,

"Si tua bangka macam aku rasanya malu hati. Namun karena kau sendiri yang menyuruhnya biarlah ku coba lagi, Chi-enghiong, kalau ini juga kalah memang kepandaianku masih rendah. Baiklah, terima kasih untuk kesediaanmu!"

Bukan tanpa maksud jika si buta meminta lawan kembali. Chi Koan telah merencanakan untuk menundukkan semua hati orang-orang gagah itu dengan kepandaiannya. Kalau si kakek belum bersenjata tentu belum puas. Maka ketika kebetulan gadis itu berseru dan ia menerima, lawan harus mengakui luar dalam maka iapun tak ragu menyambut itu, kini menggetarkan tongkat dan diam-diam dikerahkannya tenaga mujijat Hok-te Sin-kang itu!

"lo-enghiong harap maju kembali. Kalau dalam sepuluh jurus aku tak mampu melepaskan pedangmu biarlah aku dianggap kalah!"

Kakek ini terkejut. "Sepuluh jurus?"

"Ya sepuluh jurus, lo-enghiong, agar semua orang puas. Majulah dan akan kucoba melepaskan pedangmu...!"