TOSU itu berkerut, namun tiba-tiba tertawa dingin. "Kau boleh berteriak atau menggetarkan gunung ini namun pinto tak tahu di mana anak isterimu. Pergilah dan jangan membuat ribut di sini Naga Gurun Gobi. Kun-lun tak ada urusan denganmu dan juga tak menghendaki kehadiranmu. Pergilah dan jangan membuat kami yang sudah celaka ini menjadi mata gelap."
Peng Houw benar-benar membelalakkan mata. Sikap dan kata-kata tosu ini betul-betul demikian dingin dan menusuk perasaan. la seakan dianggap biang penyakit. Kehadirannya tak dikehendaki oleh Kun-lun. la diminta pergi, diusir secara halus. Dan ketika ia menjadi marah namun cepat menekan kemarahannya itu, lengan yang patah dari tosu ini mengingatkan ia berhadapan dengan orang yang sedang menderita maka pemuda ini tiba-tiba mengeluh dan memejamkan mata, menggigit bibir menguatkan hati namun tiba-tiba ia membentak.
Heng Bi Cinjin terkejut menyangka diserang akan tetapi Peng Houw berkelebat menuju ke dalam, melampiaskan marah dan kecewanya pemuda ini memasuki pendopo itu, berkelebat dan lenyap. Dan ketika tosu itu sadar dan membentak maka Heng Bi Cinjin mengejar disusul murid-murid yang lain. Mengharukan sekali melihat tosu ini lari dengan tangan terpegal-pegal.
"Naga Gurun Gobi, kembali kau. Jangan kurang ajar!"
Namun Peng Houw lenyap ke dalam. la merasa penasaran dan sakit hati sekali oleh sikap orang-orang Kun-lun ini. Dari murid sampai pimpinannya ternyata tak menaruh hormat, sikap mereka begitu dingin. Maka ketika ia melesat dan lenyap ke dalam segera pemuda ini memanggil-manggil Kim Cu Cinjin.
"Kim Cu totiang, di mana kau. Keluarlah!"
Akan tetapi Peng Houw tak bakalan menemukan bekas ketua Kun-lun-pai ini. Orang yang dicari sudah pergi dan yang didapat malah seorang tosu gemuk ramah bersila di lantai belakang, menghadap tanaman rumput. Inilah Bi Wi Cinjin yang sebelah lengannya juga digantung, patah. maka ketika Peng Houw bertemu tosu itu dan tertegun menghentikan teriakan, tosu ini membuka mata dengan bibir digigit menahan sakit maka pemuda itu terkejut dan terdengarlah helaan napas panjang penuh kecewa.
"Siancai, Peng-siauwhiap kiranya. Hm, Kim Cu-suheng sudah tak menjabat di sini, anak muda, pergi dan percuma kau berteriak-teriak memanggilnya. Pinto menggantikannya dan mungkin kau ingat siapa pinto."
"Bi Wi totiang!" pemuda itu berseru dan langsung ingat.
"Ya, pinto adanya. Heran bahwa kau sebagai orang muda berpendidikan harus berteriak-teriak di rumah orang. Siancai, mungkin ada yang dapat pinto bantu, anak muda, tapi setelah ini harap kau pergi karena kami tak suka kedatangan tamu asing!"
Tosu itu bangkit berdiri dan tertegunlah Peng Houw mendengar kata-katanya. Meskipun lebih halus daripada Heng Bi Cinjin akan tetapi sikap dan kata-kata kakek ini sama. Kun-lun tak menghendaki kehadirannya dan ia dianggap orang asing, padahal isterinya adalah murid partai itu.
Peng Houw benar-benar membelalakkan mata. Sikap dan kata-kata tosu ini betul-betul demikian dingin dan menusuk perasaan. la seakan dianggap biang penyakit. Kehadirannya tak dikehendaki oleh Kun-lun. la diminta pergi, diusir secara halus. Dan ketika ia menjadi marah namun cepat menekan kemarahannya itu, lengan yang patah dari tosu ini mengingatkan ia berhadapan dengan orang yang sedang menderita maka pemuda ini tiba-tiba mengeluh dan memejamkan mata, menggigit bibir menguatkan hati namun tiba-tiba ia membentak.
Heng Bi Cinjin terkejut menyangka diserang akan tetapi Peng Houw berkelebat menuju ke dalam, melampiaskan marah dan kecewanya pemuda ini memasuki pendopo itu, berkelebat dan lenyap. Dan ketika tosu itu sadar dan membentak maka Heng Bi Cinjin mengejar disusul murid-murid yang lain. Mengharukan sekali melihat tosu ini lari dengan tangan terpegal-pegal.
"Naga Gurun Gobi, kembali kau. Jangan kurang ajar!"
Namun Peng Houw lenyap ke dalam. la merasa penasaran dan sakit hati sekali oleh sikap orang-orang Kun-lun ini. Dari murid sampai pimpinannya ternyata tak menaruh hormat, sikap mereka begitu dingin. Maka ketika ia melesat dan lenyap ke dalam segera pemuda ini memanggil-manggil Kim Cu Cinjin.
"Kim Cu totiang, di mana kau. Keluarlah!"
Akan tetapi Peng Houw tak bakalan menemukan bekas ketua Kun-lun-pai ini. Orang yang dicari sudah pergi dan yang didapat malah seorang tosu gemuk ramah bersila di lantai belakang, menghadap tanaman rumput. Inilah Bi Wi Cinjin yang sebelah lengannya juga digantung, patah. maka ketika Peng Houw bertemu tosu itu dan tertegun menghentikan teriakan, tosu ini membuka mata dengan bibir digigit menahan sakit maka pemuda itu terkejut dan terdengarlah helaan napas panjang penuh kecewa.
"Siancai, Peng-siauwhiap kiranya. Hm, Kim Cu-suheng sudah tak menjabat di sini, anak muda, pergi dan percuma kau berteriak-teriak memanggilnya. Pinto menggantikannya dan mungkin kau ingat siapa pinto."
"Bi Wi totiang!" pemuda itu berseru dan langsung ingat.
"Ya, pinto adanya. Heran bahwa kau sebagai orang muda berpendidikan harus berteriak-teriak di rumah orang. Siancai, mungkin ada yang dapat pinto bantu, anak muda, tapi setelah ini harap kau pergi karena kami tak suka kedatangan tamu asing!"
Tosu itu bangkit berdiri dan tertegunlah Peng Houw mendengar kata-katanya. Meskipun lebih halus daripada Heng Bi Cinjin akan tetapi sikap dan kata-kata kakek ini sama. Kun-lun tak menghendaki kehadirannya dan ia dianggap orang asing, padahal isterinya adalah murid partai itu.
Tapi karena orang menymbutnya lebih ramah dan kakek itu berdiri dengan lemah, sesungguhnya perut Bi Wi Cinjin masih terluka oleh tendangan Chi Koan maka terhuyunglah tosu itu mendekati Peng Houw. Pemuda ini másih berdiri tertegun sampai akhirnya bayangan Heng Bi Cinjin dan para murid berkelebat datang.
"Peng Houw, kau tak punya adat. Keluar dan jangan ganggu ketenangan kami!"
"Siancai, semua mundur. Anak muda ini sudah menemui pinto, sute, biarkan ia bicara dan menyatakan maksudnya. Setelah itu biarkan ia pergi dan kita tak menghendaki siapapun merusak ketenangan Kun-lun, atau kita mempertahankannya dan mengusir setiap pengganggu."
Peng Houw merah dan pucat berganti-ganti. Cepat sekali puluhan murid Kun lun mengepung. Kata-kata ketua mereka membuat semuanya mundur, kecuali Heng Bi Cinjin yang sudah berdiri di sebelah kiri suhengnya. Lalu ketika tosu itu memandang marah dan Peng Houw merasa dimusuhi segera pemuda ini menarik napas dalam-dalam dan menjura di depan Bi Wi Cinjin, menekan semua gejolak hatinya yang ingin meledak-ledak.
"Maafkan aku, bukan maksudku untuk membuat onar. Aku datang untuk mencari isteri dan anakku, Bi Wi totiang, kalau tidak ada biarlah Kim Cu Cinjin. Namun karena semuanya tidak ada dan rupanya kalian sendiri sedang tertimpa musibah biarlah aku pergi dan maaf kalau kedatanganku mengganggu. Tak kusangka sambutan Kun-lun seperti ini dan menganggapku seperti orang asing. Baiklah, aku pergi dan sekali lagi maaf!"
Tanpa menunggu jawaban lagi pemuda ini berkelebat keluar. Cukuplah baginya melihat semua itu. Tak ada gunanya disitu lagi kalau tuan rumah bersikap memusuhi. Maka ketika Bi Wi Cinjin tertegun dan hendak memanggil, tak jadi karena pemuda itu lenyap dengan cepatnya maka pagi itu juga Peng Houw meninggalkan Kun-lun dengan hati terbakar. Ia tertusuk oleh sambutan murid-murid dan pimpinan partai persilatan itu.
Namun di kaki gunung tiba-tiba tosu pertama dijumpai. Tiba-tiba ia menyambar dan menangkap tosu ini. Dan ketika tosu itu terkejut dan Peng Houw mencengkeramnya marah, tosu itu berteriak maka Peng Houw membentak untuk menceritakan kenapa sikap murid Kun-lun tidak sehormat kepada bekas ketuanya dulu.
"Katakan kepadaku apa alasan kalian tak menghormat Kim Cu Cinjin seperti dulu lagi. Atau aku membantingmu dan melemparmu sebagai hukumanmu tak tahu adat kepada tetua!"
"Lepaskan aku...!" tosu ini meronta. "Orang seperti itu tak perlu dihormat lagi, Naga Gurun Gobi. Masa ketua Kun-lun memiliki kekasih gelap!"
"Apa?"
"Lepaskan aku!" orang itu meronta minta dilepaskan. "Kim Cu Cinjin berkekasih gelap dengan tiga orang jumlahnya. Apakah orang seperti itu pantas memimpin Kun-lun lagi!"
Lalu ketika pemuda itu terkejut dan tertegun, maka tosu ini mengebut-ngebutkan ujung bajunya untuk kemudian ngeloyor pergi, tak menghiraukan atau memperdulikan Peng Houw lagi dan sikapnya yang ketus membuat Naga Gurun Gobi ini merah padam. Tiba-tiba teringatlah Peng tHouw kisah di atas gunung, yakni ketika mereka bertiga, dia dan Kim Cu Cinjin serta Li Ceng berhadapan dengan kakek dewa Bu-beng Sian-su.
Waktu itu kakek dewa itu sedang memberi wejangan tentang kejujuran yang tak dapat diterima orang, yakni kejujuran menyakitkan. Dan ketika Kim Cu Cinjin itulah yang justeru pertama kali mengerti wejangan kakek ini, mengakui perbuatannya yang khilaf di masa muda maka terigatlah Peng Houw akan pengakuan bekas ketua Kun-lun-pai itu.
"Pinto bukan orang bersih, pinto juga manusia lemah di masa muda. Kalau ibu Li Ceng menyeleweng dengan laki-laki lain adalah pinto yang melarikan isteri-isteri orang, Peng Houw. Pinto manusia sesat sebelum bertemu pimpinan Kun-lun yang membimbing pinto!"
Itulah kata-kata' yang dulu pernah diingatnya dikatakan Kim Cu Cinjin ini. Jadi itukah sebabnya murid Kun-lun tak menghormatinya lagi? Jadi itukah sebabnya kakek ini tak berada di Kun-lun lagi? Peng Houw menarik napas. Alangkah banyaknya manusia berbuat salah. Alangkah mudahnya manusia terjerumus dosa.
Dan satu di antaranya adalah dia sendiri, menghina dan merendahkan isteri. Maka ketika Peng Houw menarik napas dalam-dalam dan mengerti tindakan murid itu akhirnya ia berkelebat dan mengeluh meninggalkan tempat itu. Dosa, manusia banyak melakukan dosa!
Naga Gurun Gobi ini terpukul berat. Ia meninggalkan Kun-lun dengan perasaan getir, tak tahu dan sama sekali tak menyangka bahwa di perut gunung, di bawah terowongan rahasia terdapatlah anak isterinya itu. Namun karena ia sudah meninggalkan tempat itu dan berjanji tak akan datang ke tempat itu maka pencarian Naga Gurun Gobi ini tentu saja sia-sia dan seumur hidup ia tak bakal menemukan isteri dan anaknya!
Tiga anak ini pandai menyesuaikan diri di Go-bi. Karena mereka adalah titipan Peng Houw dan murid si Naga Gurun Go-bi itu maka tentu saja sikap para hwesio di tempat itu baik dan hormat sikapnya. Bahkan Ji-hwesio sendiri berkenan menurunkan kepandaian Go-bi kepada tiga rèmaja tanggung ini, seperti misalnya pukulan Thai-san-ap-ting dan. Cui-pek-po-kie.
Dua ilmu ini adalah andalan mendiang Ji Beng Hwesio yang merupakan sute Ji Leng, tokoh atau sesepuh yang dulu Tujuh Siluman Langit sendiri tak mampu menandingi. Dan karena Ji-hwesio suka kepada anak-anak itu, terutama Beng San yang cerdas maka anak inilah yang justeru mengagumkan si hwesio, juga murid-murid Gobi yang lain.
Betapa tidak Cui-pek-po-kian dan Thai-san-ap-ting yang sulit itu dilalap demikian mudah oleh anak tanggung ini bahkan melampaui Po Kwan suhengnya, enam bulan saja jauh lebih mahir daripada suudara seperguruannya itu. Dan ketika Ji-hwesio memandang kagum sementara Siao Yen mengerutkan kening, melihat kakaknya menonton maka anak perempuan ini mendesis menyenggol lengan kakaknya itu.
"Apa yang kau pikirkan, kenapa malah berseri-seri!"
"Hm," sang kakak tak tahu kalau adiknya bersungut. "Aku kagum kepada anak itu, Siao Yen. Cepat benar ia menguasa ilmu Thai-san-ap-ting, padahal enam bulan ini aku sukar menghapal jurus-jurus yang sulit."
"Kagum apa!" sang adik malah mendongkol. "Lihat ia semakin sombong, Kwan-ko, masa seperti itu harus kau kagumi. Beng San sudah mulai tidak memandang kita!"
"Tak usah iri," sang kakak masih tak memandang adiknya, disana Beng San menggerak-gerakkan kedua tangan dan kaki bermain silat. "Kurasa ia bangga terhadap kemajuannya, Siao Yen, dan itu wajar. Akupun akan bangga kalau dapat menguasai Thai-san-ap-ting ini secepat dia."
"Eh, kau menganggapku iri? Kau tak melihat sinar matanya sekarang ini? La merendahkan aku, Kwan-ko, juga kau. Ia merasa dirinya lebih pintar!"
"Stt, itu Ji-losuhu datang. Jangan bicara yang tidak-tidak dan cepat beri hormat!" sang kakak menutup adiknya ketika tiba-tiba munculah Ji-hwesio dari dalam pendopo.
Hwesio itu berseri-seri menuruni anak tangga dan tampaknya sudah melihat latihan silat Beng San ini. Ia bertepuk tangan dan memuji. Dan ketika dua kakak beradik itu memberi hormat dan ia tertawa maka hwesio ini mengebutkan lengan bajunya meminta agar Po Kwan menunjukkan kemajuannya.
"Pinceng sudah melihat Beng San berlatih, coba sekarang kau maju dan perlihatkan kepandaianmu. Ayo, perlihatkan kepada pinceng sampai di mana Thai-san ap-ting yang kau kuasai, Po Kwan, coba pinceng ingin tahu dan biar sekarang Beng San beristirahat!"
"Siauwte masih merasa bodoh menguasai ilmu-ilmu Go-bi. Agaknya siauwte masih kalah bagus dengan Beng San sute, lo-suhu, siauwte khawatir memalukan saja,"
Po Kwan merendah, selama ini memang selalu bersikap hormat dan kepada siapapun ia tak pernah tinggi hati. Justeru sebagai murid Naga Gurun Gobi ia merasa tak memiliki kepandaian berarti, hal ini karena yang diajarkan suhunya hanyalah Soan-hoan-ciang dan ilmu meringankan tubuh, bukan Hok-te Sin-kun yang dahsyat itu.
Maka ketika di sini ia mendapat tambahan ilmu namun merasa kalah pandai dengan sutenya, justeru Beng Sanlah yang dinilai lebih maju maka ia semakin rendah hati namun sedikitpun tak ada rasa tak senang atau tak suka kepada sutenya itu.
"Ha-ha..." Ji-hwesio tertawa gembira. "Di sini kau selalu merendah dan menganggap diri bodoh, Po Kwan, padahal sesungguhnya jelek-jelek kau murid Naga Gurun Gobi Peng Houw. Hayo, perlihatkan Thai-san-ap-ting biar pinceng lihat, kalau ada yang kurang sempurna pinceng sempurnakan!"
Remaja tanggung itu mengangguk. Setelah melirik agar adiknya mundur dan tidak menunjukkan sikap kurang senangnya kepada Beng San ia melangkah maju di depan ketua Go-bi itu, membungkuk dan tiba-tiba bersilat. Gerak kakinya maju mundur disertai dorongan-dorongan tangan, kuat bertenaga dan berkesiurlah angin pukulan dari lengan anak laki-laki ini. Tapi ketika Beng San tertawa dan berseru bahwa kedudukan bhesi (kuda-kuda) suhengnya kurang kuat maka Po Kwan merah mukanya dan Ji-hwesio mengangguk-angguk.
"Kaki kirimu kurang ditekuk, lutut kananmu terlalu membengkok. He, jurus Thai-san Membuang Tenaga bukan begitu suheng. Kedudukan kedua kaki harus sama dan seimbang!"
"Omitohud, benar sekali. Sutemu tidak salah, Po Kwan, pinceng juga melihat itu. Samakan kedudukan kaki dan lutut kanan jangan terlalu membengkok!"
Anak laki-laki ini memerah mukanya, cepat membetulkan kedudukan kaki dan mengangguk, bersilat dan melanjutkan lagi dengan gerakan-gerakan kuat dan mentap. Tapi ketika beberapa kali sang sute menegur dan menertawainya akhirnye Siao Yen tak tahan dan membentak.
"Beng San, kau jangan banyak omong. Kalau benar merasa lebih pandai cobalah hadapi kakakku dan lihat siapa yang betul!"
"Ha-ha boleh..!" Ji-hwesio menangkap lain dari seruan anak gadis ini "Kalau Thai-san-ap-ting sama-sama diadukan kelihatan yang lebih matang, Siao Yen. Boleh mereka bertanding dan bia sutemu membuktikan pula teguran-tegurannya tadi!"
Po Kwan terkejut. Dia melakukan gerakan silat atas dasar permintaan hwesio itu, melatih atau mematangkan Thai-san-ap-ting yang menjadi andalan Go-bi. Maka ketika tiba-tiba ia disuruh bertanding melawan sutenya dan sama-sama mempergunakan Thai-san-ap-ting ia pun terkejut dan serba salah, merasa bahwa sesungguhnya dalam mempelajari ilmu itu ia kalah cerdas dibanding sutenya. la merasa bahwa teguran sutenya benar.
Maka ketika adiknya berseru seperti itu namun Ji-hwesio menangkap lain, seruan adiknya sesungguhnya berdasarkan kemarahan maka ia tak dapat menolak lagi ketika Sutenya meloncat dan tertawa, justeru merasa senang.
"Baik, aku dapat menunjukkan kesalahan-kesalahanmu, membuktikan bahwa gerakanku tentu lebih baik daripada gerakanmu. Mari, kita sama-sama mempergunakan Thai-san-ap-ting, suheng, dan benar adikmu melihat bahwa teguranku demi kebaikanmu juga!"
Lalu ketika anak ini mendorong dan bergerak memukul suhengnya segera Po Kwan menangkis namun terhuyung, posisi kaki kurang kuat dan selanjutnya maju dan merangseklah anak itu menggempur suhengnya. Beng San memang kokoh dan kuat serta benar gerakan-gerakannya, hingga tiga kali sang suheng kembali dibuat terhuyung.
Ji-hwesio menonton dan berseri-seri namun sebaliknya Siao Yen cemberut dan bermuka gelap. Hanya dialah yang merasa betapa anak laki-laki itu bersikap jumawa. Dan ketika dalam gebrakan berikut kakaknya terdorong dan terbenting maka berhentilah anak itu memainkan Thai-san-ap-ting.
"Nah, kedudukan kaki seperti inilah yang keliru. Kau masih terlalu membengkok, suheng, sementara kaki kirimu tertarik ke samping. Robohlah!"
Dorongan atau gempuran tenaga Thai-san-ap-ting membuat Po Kwan tak mampu mempertahankan diri lagi. Anak ini terbanting dan roboh. Dan ketika ia bangkit dengan muka merah maka Beng San tertawa gembira sementara Ji-hwesio terkekeh pula.
"Bagus, cukup. Beng San telah membuktikan kebenarannya dan suhengmu harus memperbaiki dan menyempurnakan gerakan-gerakannya. Kedua kakimu masih tidak seimbang, Po Kwan, dengan begini kau gampang dirobohkan!"
"Siauw-te mengaku bodoh," anak ini tersipu-sipu. "Siauw-te memang kurang menguasai Thai-san-ap-ting, lo-suhu, sute memang lebih pandai."
"Dan Siao Yen boleh maju pula kalau penasaran" Beng San tiba-tiba berseru. "Suciku itu rupanya tak rela kalau aku lebih dulu menguasai ilmu ini, locianpwe. Bagaimana kalau kami main-main sebentar dan kau menontonnya."
"Bagus!" anak perempuan ini sudah melompat dan menerjang, kali ini Ji-hwesio terkejut. "Kau tak boleh sombong menguasai ilmu lebih dulu, Beng San, betapapun kami adalah suheng dan sucimu!" dan ketika langsung saja gadis ini memukul dan mengibas mempergunakan Soan-hoan-ciang dan Thai-san-ap-ting berganti-ganti maka hwesio Gobi itu terbelalak berseru terkejut.
"He, kalian hanya mempergunakan Thai-san-ap-ting, bukan yang lain. Pergunakan ilmu itu, Siao Yen, jangan Soan-hoan-ciang!"
Gadis ini menekan kemarahannya. Karena yang memerintah adalah ketua Gobi dan mereka memang harus bertempur mempergunakan Thian San-ap-ting terpaksa ia merobah gerakannya mainkan ilmu silat itu. Dibanding kakaknya gadis ini setali tiga uang, maksudnya kecerdasan mereka masih di bawah Beng San dan tertawalah anak itu melihat lubang-lubang kelemahan Siao Yen.
Kalau Po Kwan lemah atau sering keliru kuda-kuda kakinya adalah gadis ini keliru gerakan tangannya. Siku atau tekukan lengan acapkali terlalu jauh. Maka ketika ia berkelit dan membalas tak kalah cepat akhirnya dalam sebuah adu tenaga gadis ini terpelanting.
"Duk!"
Siao Yen berjungkir balik meloncat bangun! la melengking dan menerjang lagi akan tetapi lawan melihat lubang-lubang kelemahan itu. Posisi tangan yang terlalu keluar mudah dihalau dan terdoronglah gadis itu oleh pukulan lawan. Dan ketika dua kali ia terpelanting dan Siao Yen semakin gusar maka Ji-hwesio tiba-tiba bertepuk tangan menyuruh dua anak itu berhenti, melihat bahwa pertandingan sudah menjurus ke arah permusuhan.
"Cukup, berhenti. Pinceng tidak menghendaki kalian bertempur sampai luka dan menyakiti yang lain. Mundur dan cukup sampai di sini!"
Dua anak itu melompat mundur. Wajah Siao Yen merah terbakar sementara anak laki- laki itu berseri dan tertawa. Jelas bahwa Beng San lebih mahir daripada lawannya. Namun karena anak ini cerdik dan tak ingin memberikan kesan berlebih maka iapun sudah berlutut di depan hwesio itu berkata merendah,
"Lo-suhu telah melihat kemarahan suci kepadaku, akan tetapi ini semata semangat kami yang tak mau kalah. Kami berterima kasih atas petunjuk dan pelajaran ilmu ini, lo-suhu, semoga yang lain dapat kami terima lagi untuk menambah dan memperdalam kepandaian kami."
"Omitohud, kau benar. Mereka akhirnya akan memiliki tingkat yang sama denganmu, Beng San. Betapapun ilmu yang kalian peroleh sama. Kau boleh meneruskan Cui-pek-po-kian kalau Thai-san-ap-ting semakin matang kau kuasai!"
Anak ini girang. Hari itu ia telah menunjukkan keunggulannya dan selesailah pertikaian kecil antara dirinya. Dengan Siao Yen. Po Kwan sendiri termangu-mangu dan heran serta kagum akan kepesatan sutenya itu. Beng San memang cerdas.
Dan ketika hari-hari berikut dilalui lagi dengan latihan sungguh-sungguh tiga bulan kemudian kakak beradik ini telah menguasai Thai-san-ap-ting maka di Sana Beng San malah telah menanjak dengan menguasai Cui-pek-po-kian!
Siao Yen berkerut kening dan merah padam. Tidak seperti kakaknya yang sabar dan pengalah adalah gadis ini berwatak keras dan tidak suka mengalah. Kalau dihitung-hitung maka Beng San adalah adik seperguruan, mereka adalah suheng dan suci. Namun karena Beng San memang cerdas dan inilah yang menonjol pada anak laki-laki itu maka Siao Yen melihat betapa pemuda tanggung ini mulai sombong. Mungkin karena tidak adanya guru mereka di tempat itu!
"Ha-ha, aku melaju di depan. Kau ketinggalan, Siao Yen. Boleh main-main lagi kalau kau penasaran!"
Gadis ini panas, matanya berapi. "Jangan sombong, bentaknya. Kau boleh mendahului kami, Beng San, akan tetapi satu saat kamipun akan sampai ke sana!"
"Ha-ha dan aku akan menerima ilmu yang lain, kau tetap saja kalah!"
Hampir saja gadis ini menerjang. Kalau saja saat itu tak ada hwesio yang berseliweran di antara mereka mungkin ia sudah menyambar dan menyerang anak laki-laki ini. Sikap sutenya semakin sombong. Dan karena Beng San sering memanggil namanya begitu saja kalau mereka hanya berdua, tidak menyebut suci sebagaimana mestinya.
Maka gadis ini merasa direndahkan akan tetapi harus diakui bahwa anak yang menjadi sutenya itu lebih lihai daripada dirinya. Akibatnya gadis ini memendam rasa dan ditumpahkanlah semua kekesalannya itu kepada sang kakak. Namun ketika sang kakak mengangguk-angguk dan menarik napas dalam maka ia merasa disudutkan dan disangka iri.
"Kemajuan Beng San memang mengagumkan, otaknya jauh lebih cerdas dibanding kita. Sudahlah jangan membicarakan kelebihannya, Siao Yen, hanya membuat perasaan tak puas saja. Ingatlah nasihat Giok Yang totiang bahwa kita tak boleh menaruh dengki atau marah kepada orang lain. Bakat atau kecerdasan tiap-tiap orang tidak sama, kita harus menyadari ini."
"Tapi aku bukannya iri, hanya tak senang sikapnya yang sombong itu. Ia mulai jumawa!"
"Kupikir bukan begitu, bukan sombong. Hanya ia merasa bangga atas kemajuan yang diperolehnya. Sudahlah biarkan begitu sampai nanti suhu kembali. Suhulah yang akan menentukan benar tidaknya itu."
Siao Yen semakin tak puas. Akhirnya ia menutup tentang kekurangojaran Beng San yang memanggil namanya begitu saja, bukan Suci (kakak seperguruan perempuan). Tapi ketika kakaknya tersenyum dan tertawa lebar maka sederhana saja jawaban anak laki-laki ini.
"Sebut-menyebut itu hanya basa-basi antara pergaulan. Beng San sebaya denganku, Siao Yen, tak heran kalau ia merasa canggung menyebutmu suci, padahal kau pantas menjadi adiknya. Sudahlah jangan pikirkan itu karena bukan hal yang kelewat batas."
Habislah harapan gadis ini. Ia sama sekali tak mendapat dukungan kakaknya dan sebagai pelepas jengkelnya ia meloncat pergi. Diam-diam ia memaki kakaknya itu. Dan ketika hari demi hari dilewatkan lagi sampai akhirnya dua tahun lewat belum juga suhu mereka datang maka Beng San semakin lihai saja dan kini usia anak-anak tanggung itu sudah menginjak dewasa.
Po Kwan dan Beng San tujuh belas tahun, sementara Siao Yen berusia lima belas tahun dan tampaklah kecantikan gadis ini yang mulai menonjol, terutama sepasang matanya yang beralis hitam panjang dengan sepasang pipi kemerah-merahan. Dan berbareng dengan ini mulailah Beng San merasa jatuh hati.
"Siao Yen, kau cantik' sekali. Ah, pagi ini kau begaikan bidadari saja!"
Pagi itu anak laki-laki ini terbengng kagum nemuji gadis ini. Siao Yen baru saja muncul dari bilik belakang dengan rambut basah. la masih mengurai rambutnya itu dan pakaian longgar yang dikenakan dibelit sebuah ikat pinggang hitam. Anak rambut di dahi semakin menambah manis saja. Dua tahun ini gadis itu mendapatkan kamar mandi khusus untuk dirinya, di belakang dapur para hwesio karena dialah satu-satunya wanita di situ.
Maka ketika tiba-tiba Beng San muncul di situ memuji dirinya, terkejutlah gadis ini maka Siao Yen yang memendam marah tak dapat menahan diri lagi, langsung mendamprat.
"Jangan kurang ajar di tempat orang. Apa maumu datang ke sini, Beng San, apa maksud kata-katamu itu!"
"Hm! pemuda ini bersinar-sinar, melangkah maju. "Aku, hmm... aku hendak menyampaikan sesuatu kepadamu, Siao Yen. Memberikan sesuatu. Kuikat sekuntum mawar merah untukmu."
Gadis ini tertegun. Di tempat sepi itu, di belakang dapur yang belum ada kegiatan maka leluasa sekali Beng San mencegat dan menghadang dirinya. Waktu itu para hwesio sibuk di tempat lain membersihkan halaman dan lain-lain, membakar daun-daun kering dan biasanya menjelang tengah hari nanti barulah kesibukan dapur dimulai. Siao Yen sering membantu para hwesio ini membuat bubur dan masakan tanpa daging, tak heran ia bebas keluar masuk pula di tempat ini, tidak seperti Beng San yang hanya sekali dua datang.
Maka ketika tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan seikat bunga dan memberikannya dengan tersenyum-senyum, ia tertegun dan mengerutkan kening maka perobahan anak ini mengherankan sekaligus membuatnya berdebar. Pandang mata Beng San adalah pandang mata seorang pemuda yang sudah mengenal berahi.
"Terimalah," kata-kata itu lembut dan halus. "Kupersembahkan khusus untukmu, Siao Yen, kucari di luar hutan sana. Masih segar, harum. Aku akan mencarinya lagi kalau kau suka."
Tak terasa seikat bunga itu sudah disodorkan dan digenggamkan ke tangan gadis ini. Siao Yen menerima seakan tanpa sadar karena ia masih heran dan terkejut akan perobahan sikap lawan. Beng San begitu halus dan lembut sekali, pandang mata pemuda itupun mesra. Tapi ketika ia berdebar dan membelalakkan mata tiba-tiba saja anak muda itu mendoyongkan tubuhnya dan... cup, pipi kirinyapun dicium.
"Yen-moi, aku mencintaimu!"
Bukan main kagetnya gadis ini. Tanpa terasa lagi ia membentak dan menampar pemuda itu. Bunga mawarpun dibuang. Dan ketika dua kali tamparan diterima Beng San tanpa menghindar, pipi pemuda itupun bengap maka gadis ini terisak memutar tubuhnya.
"Beng San, kau kurang ajar"
Anak ini tertegun. Siao Yen lari meninggalkannya sementara mawar hutan itu tercampak di atas tanah. Sejenak ada rasa panas dan sakit di hati. Ia marah. Tapi ketika tiba-tiba terdengar tawa seseorang dan Beng San terkejut mendongak ke atas, seorang anak laki-laki bertengger di dahan sebatang pohon maka ia membentak merasa kaget.
"Siapa kau!" bentakan ini disusul gerakan ke atas pula. Beng San kaget dan malu karena perbuatannya tadi rupanya diketahui orang lain, cepat sekali ia melayang naik namun anak laki-laki di atas pohon itu mendadak melayang turun. la berada di atas sementara anak itu sudah di bawah. Dan ketika anak itu terkekeh mentertawainya maka ia mendengar kata-kata yang membuat dadanya gemuruh.
"Heh-heh, aku lebih dulu di sini. Kau tak perlu cemburu meliat aku mengintai kekasihmu, bocah. Akupun juga tertarik dan ingin menyatakan cinta. Mari kita kejar dan lihat siapa yang berhasil!"
Beng San terkejut. Anak itu tiba-tiba lenyap dan tahu-tahu berkelebat mesuki dapur, menyelinap dan memotong jalan dan tiba-tiba terdengarlah jerit Siao Yen. Dan ketika ia berjungkir balik melayang turun maka dilihatnya anak itu sudah tertawa menghadang gadis itu.
"Ha-ha, selamat bertemu. Kau dan kakakmu rupanya di sini, Siao Yen, dan kau semakin cantik saja. Aduh, kau sudah dewasa, dan aku melihatmu di belakang tadi. Ah, kau seperti setangkai mawar segar!"
"Siauw Lam!" gadis itu terkejut mendekap mulut. "Kau... kau berani muncul di sini? Kau jahanam keparat itu? Bagus, aku punya perhitungan denganmu dan terimalah ini... .wuutt!" gadis itu berkelebat, sejenak membelalakkan mata dan kaget sekali mengenal siapa anak laki-laki di depannya ini.
Tentu saja mula-mula ia pangling akan tetapi suara dan tawa itu dikenalnya benar, apalagi sikap yang selalu kurang ajar ini. Tapi ketika ia menerjang dan anak itu bergerak lenyap maka ia tertegun kehilangan sasaran. Hanya Beng San yang melihat betapa anak itu berkelebat demikian cepatnya di belakang Siao Yen.
"Aku di sini!"
Gadis ini membalik dan berseru keras. la menghantam namun lagi-lagi lawan menghilang. Itulah Lui-thian-to-jit yang amat hebat. Dan ketika dua kali ia terbelalak dan hanya Beng San yang melihat anak itu menyelinap di bawah ketiak maka pemuda yang terbakar dan panas hatinya ini menerjang.
"Siao Yen, tikus busuk ini mempermainkanmu. Marilah kita bunuh dan hajar dia!"
Siauw Lam bergerak dan menangkis. Setelah Beng San menyerangnya dan Siao Yen melihat pula maka ia tak mungkin menghilang lagi. Gadis itu membentak dan menerjangnya pula. Dan ketika ia menangkis dan menggerakkan lengan kekiri kanan maka Beng San kaget sekali karena anak laki-laki itu mempergunakan Thai-san-ap-ting dan Cui-pek-po-kian.
"Duk-plak!"
Mereka terdorong dan Siao Yen hampir terjengkang. Beng San berseru keras dan menerjang lagi, Siao Yen juga membentak dan menyerang anak yang amat dibencinya ini. Dan ketika lawan terkekeh dan berkelebatan mengelak sana-sini,maka Beng San yang belum mengenal siapa lawannya tiga kali berseru tertahan karena lawan mereka itu mempergunakan ilmu-ilmu silat Go-bi yang mereka pelajari yaitu Thai-san-ap-ting, ia menguasai Thai-san-ap-ting!
"Duk-plak!" benturan terjadi lagi dan kali ini anak itu terbanting. Dari tiga kali adu tenaga Beng San terkejut sekali karena ia selalu terdorong, kali ini bahkan terbanting. Dan ketika ia bergulingan meloncat bangun dengan mata terbelalak, pucat dan kaget siapakah sebenarnya lawannya ini maka Cui-pek-po-kian kali ini menyambar dan ia berseru keras menangkis dan mempergunakan ilmu yang sama pula.
"Dukk!" Tetap saja ia terbanting dan bergulingan. Dari benturan itu maklumlah dia bahwa meskipun sama-sama Thai-san-ap-ting ataupun Cui-pek-po-kian namun tenaga yang mengisi ilmu itu tidak sama. Anak di depannya ini hebat sekali, tenaganya begitu kuat. Dan ketika di sana Siao Yen juga terpelanting dan bergulingan mengeluh pucat maka ia tak tahan untuk mengeluarkan pisau panjang di balik punggungnya. Beng San senang mempergunakan pisau ini untuk berburu atau kadang-kadang mencari babi hutan.
"Wuut-wuuttt... !"pisau itu sudah menyambar dan bergerak naik turun akan tetapi lawan di depannya ini tertawa.
Siauw Lam mengelak dan meloncat untuk akhirnya menampar pergelangan anak itu, Beng San mengaduh dan hampir saja senjata di tangannya itu terlepas. Dan karena ribut-ribut ini diiringi bentakan dan lengkingan Siao Yen, para hwesio mendengar dan berdatangan maka Siauw Lam tiba-tiba melihat bayangan seorang anak lain tinggi kurus.
"Siao Yen, siapa pengacau ini!"
"Ia Siauw Lam, bocah keparat itu. Tangkap dan robohkan dia, Kwan-ko, jangan sampai lolos!"
"Ha-ha!" Siauw Lam akhirnya mengenal Po Kwan, tapi berbareng itu melihat berkelebatnya bayangan para hwesio. Kedatanganku ke sini bukan hendak bentrok dengan kalian, Po Kwan. Kalau aku mau tentu kalian semua dapat kurobohkan. Sudahlah lain kali kita bertemu lagi dan minggir... duk-plak!" Siauw Lam mendorong dua anak itu untuk kemudian mengibas Po Kwan.
Anak ini tergetar dan terhuyung dan berkelebatlah lawan melarikan diri. Dari kiri kanan telah muncul hwesio-hwesio Go-bi. Dan ketika mereka membentak namun didorong terpelanting, Siauw Lam tertawa-tawa maka anak itu lenyap melompati pagar tembok yang tinggi.
"Cukup main-main di sini, lain kali aku datang lagi!"
Siao Yen melengking dan mengejar. Para hwesio yang terkejut dan hilang kagetnya tentu saja ikut mengejar, mereka berseru siapa anak itu. Dan ketika dijawab bahwa itulah Siauw Lam, murid si buta yang hebat tiba-tiba semua merandek dan menghentikan pengejaran.
"Siauw Lam? Murid si buta Chi Koan?"
"Benar, kejar dan tangkap dia, siauw suhu. Itu bocah yang kurang ajar itu!"
Akan tetapi para hwesio terlanjur gentar membayangkan Chi Koan. Teringatlah mereka anak laki-laki yang dulu dibawa gurunya itu, bocah nakal yang kurang ajar pula. Dan ketika mereka berhenti sementara Siauw Lam sudah lenyap di luar tembok tinggi, Siao Yen membanting-banting kaki di sini maka kakaknya berkelebat dan Beng San menyusul pula di situ.
"Bodoh, celaka sekali. Kita melepaskan anak itu, Kwan-ko. Ia datang dan pergi seenaknya. Kita kehilangan muka!"
"Sabar, tenanglah," sang kakak mengusap keringat dengan wajah berubah, terkejut dan tergetar bahwa yang datang adalah Siauw lam, anak yang dulu mematahkan tangannya itu. "Para siauw-suhu di sini tentu gentar terhadap gurunya, Yen-moi, bukan takut terhadap anak itu. Biarlah kita kembali dan laporkan kepada Ji-Lo-suhu."
"Benar...!" seorang di antara para hwesio mengangguk, juga mengusap keringat. "Yang kami takuti bukan anak itu Siao Yen, melainkan Chi Koan. Kalau anak itu ada di sini jangan-jangan gurunya datang pula. Sudahlah biar pinceng melapor dan kembali saja ke dalam. Biar penjagaan diperketat."
Beng San diam mendengarkan saja. Selama ini ia tak mengenal Siauw Lam kecuali si buta. la masih kaget dan kagum akan kelihaian lawannya tadi. Baru sekaranglah dia mengerti kenapa anak itu bisa mainkan Cui-pek-po-kin dan Thai-san ap-ting, kiranya murid Chi Koan, bekas murid Go-bi. Maka ketika ia diam dengan mata terbelalak sementara Siao Yen tiba-tiba melihatnya marah, persoalan itu sebenarnya berasal dari mereka berdua maka gadis ini mendengus dan memutar tubuh melompat pergi.
Po Kwan menarik napas dalam. Tentu saja ia tak tahu persoalan adiknya dengan Beng San. la tak tahu bahwa Beng San sudah menaruh hati dan mencintai adiknya. Maka ketika ia melihat sutenya ini dan bertanya bagaimana mula-mula Siauw Lam ada di situ justeru Beng San menjawabnya dengan gelengan kepala.
"Aku tak tahu, ia tiba-tiba saja sudah di sini. Tadi ia mengganggu Siao Yen, suheng, dan aku datang menolong. la lihai sekali, aku kalah!"
"Hm, ia murid Chi Koan, musuh bebuyutan suhu. Tentu saja ia lihai dan kita bukan tandingannya, sute. Tapi kenapa ia datang dan untuk apa."
"Aku tak tahu, mungkin kebetulan saja!"
"Tak mungkin!" Po Kwan menggeleng, tak percaya. "Anak itu suka membuat onar dan ribut, sute. Kalau ia datang tentu ada apa-apa. Marilah kita menghadap lo-suhu dan mendengarkan keterangannya, siapa tahu ia tahu."
Beng San mengangguk. ia bergerak ketika suhengnya itu melompat, kali ini tentu saja ia mengisi kesempatan dengan bertanya siapakah Siauw Lam itu, maksudnya apakah anak itu murid Gobi atau bekas pelayan di situ. Namun ketika Po Kwan menjawab bahwa anak itu bekas pelayan gurunya sendiri maka tak banyak yang didapat anak ini hingga Beng San tak bertanya-tanya lagi.
Ji-hwesio yang diberi tahu terkejut dan mengerutkan kening. Tak dapat disembunyikan betapa wajah hwesio ini berubah. Kalau Siauw Lam muncul di situ tentu gurunya ada pula. Maka ketika ia berkata bahwa penjagaan supaya diperketat, tak banyak, kata-kata yang keluar dari pimpinan Gobi ini maka para murid dan tiga anak muda ini diminta waspada siapa tahu musuh datang mengganggu lagi.
"Pinceng tak tahu ada apa ia datang, tapi baik atau burük iktikadnya kita perlu menyambut dan mempersiapkan diri. Sudahlah kita berjaga-jaga lagi dan harap semua waspada."
Beng San lagi-lagi termangu. Urusan Siao Yen sudah dilupakannya dan ia benar- benar terkesan oleh kehebatan anak laki-laki itu. Masih dirasanya kekuatan dahsyat anak itu. Masih dirasanya rasa nyeri atau sakit di persendian tulangnya. Dan ketika akhirnya ia menyendiri dankebetulan ditegur seorang hwesio kepala maka ia bersinar dan bérkejaplah matanya ingin mengorek tentang sesuatu yang dirasanya penuh teka-teki.
"Ah, Kam-lo-suhu kiranya. Mari... mari duduk. Aku sedang merenungkan penjahat muda tadi, lo-suhu, hebat sekali dia. Kiranya murid si buta Chi Koan. Dapatkah lo-suhu menceritakan sedikit tentang dia dan berapa lama ia pernah tinggal di sini. Bagaimana ia mula-mula datang?"
"Hm, anak itu dibawa Hui-bin si pengkhianat. la diselundupkan dan akhirnya menjadi murid si buta itu, Beng San, kami tahu setelah terlambat."
"Hui-bin?"
"Ya, bekas murid Go-bi, kini menjalani hukuman."
"Ah, coba lo-suhu ceritakan itu. Di mana terhukum menerima hukumannya, sudah bebas atau belum!" anak ini tentu saja tertarik dan kalau ia bukan murid Peng Houw tentu hwesio limapuluhan tahun ini tak mau bercerita. Suara anak itu menunjukkan keinginan tahu yang besar, sayang hwesio kepala ini tak melihat mata yang bersinar aneh dari anak itu.
Dan ketika ia bercerita bahwa Hui-bin di hukum di atas bukit, tempat dulu di mana Si buta menjalani hukumannya maka Beng San berseri-seri dan otaknya yang cerdas sudah dapat merangkai atau paling tidak menangkap apa yang menyebabkan anak itu datang.
"Pengkhianat itu menerima hukumannya, pimpinan sudah mengurungnya di atas bukit itu. Kalau ia dapat bersikap baik-baik dan mau bertobat mungkin lima enam tahun lagi dibebaskan. Namun kalau ia tak bertobat dan masih berkelakuan buruk tentu tetap ditahan dan tak diperbolehkan keluar."
"Hm!" Beng San memandang puncak bukit di belakang Go-bi, mengangguk-angguk. "Jadi dia ada di sana?"
"ya, tapi tempat itu merupakan daerah terlarang. Siapapun tak boleh ke sana tanpa ijin pimpinan!"
Beng San merasa cukup. Sekarang ia melihat titik kecil, dalam teka-teki ini dirangkai dan ditemukan kesimpulan dan berdebarlah perasaannya memandang atas bukit itu. Memang sudah diketahuinya bahwa siapapun dilarang mendekati bukit itu, hanya tak disangkanya bahwa di sana ada seorang pesakitan. Hui-bin! Maka ketika ia mengangguk- angguk dan menyembunyikan kegirangannya melihat sesuatu, iapun berpura-pura bersikap biasa hingga hwesio ini tak curiga.
"Hm, begitu kiranya," anak ini mendamprat Hui-bin. "Pantas kalau ia dihukum di sana, lo-suhu. Pengkhianat atau pengacau memang perlu diberi pelajaran keras. Kalau tidak tentu nama Gobi bakal hancur!"
Hari itu dilewatkan anak ini dengan sebuah rencana diam-diam. Setelah ia mendapat secuil keterangan dan dirasa cukup iapun tertarik perhatiannya pada puncak bukit itu. Kalau kemarin dan hari yang lain perasaannya biasa-biasa saja terhadap bukit itu kini ada sesuatu yang menggetar-getarkan kalbunya. Ia ingin menjumpai pesakitan itu. la yakin akan bertemu lagi dengan bocah bernama Siauw Lam itu.
Maka ketika malam. itu kebetulan sinar bulan bersembunyi di langit yang hitam maka secara diam-diam namun amat hati-hati anak laki-laki ini berkelebat keluar Go-bi untuk menuju kebukit larangan itu. Untunglah ia tahu tempat mana yang dijaga dan mana yang kosong. Dengan ilmunya meringankan tubuh, anak ini mendaki bukit, sengaja memutar dan dari belakang agar tak ketahuan para hwesio Gobi. Agak berbahaya kalau ia mendaki dari depan, siapa tahu bayangannya terlihat dari bawah, apalagi setelah siang tadi Go bi dikejutkan hadirnya Siauw Lam.
Maka ketika ia mendaki dan memutar bukit itu menuju atas maka Beng San tak tahu bahwa seseorang miringkan kepala mengikuti segala gerak-geriknya dari puncak. Orang ini sudah berada di sana sejak siang tadi, duduk di depan guha sementara sepasang matanya yang kosong berkejap-kejap kelopaknya. Šiapa lagi kalau bukan Si buta Chi Koan!
Maka ketika anak itu mendaki lewat belakang sementara sibuta ini mendengarkan dengan miringkan kepala, tersenyum dan mengangguk serta tiba-tiba mengetukkan tongkat maka berkelebatlah seseorang dari dalam guha.
"Suhu memanggil teecu?"
"Benar, ada seseorang datang ke sini, jalan belakang. Coba kau lihat siapa dia, Siauw Lam, tapi melihat langkah kakinya tak begitu berbahaya bagi kita. Hanya heran sekali siapa orang ini, berani benar dia.!"
Siauw Lam, pemuda itu terkejut. Orang akan lebih terkejut lagi melihat dirinya tahu- tahu telah berada di bukit itu , padahal di bawah penjagaan para hwesio demikian ketat. Tapi ketika ia mengangguk dan berkelebat melewati gurunya maka diam-diam Beng San dipapak dan disambut dari depan.
"Tangkap dan bawa saja dia ke sini, biarkan aku melihat!"
Pemuda itu mengangguk. Siauw Lam telah melihat bayangan Beng San ketika anak itu dengan cepat namun hati-hati mendaki lewat belakang. Mula-mula pemuda ini terkejut mengira Po Kwan, tapi setelah dilihatnya bahwa bayangan di bawah itu adalah anak yang siang tadi bertempur dengannya, tubuhnya yang kekar dan sedikit lebih pendek dibanding Po Kwan maka hampir saja Siauw Lam tertawa.
Akan tetapi murid si buta ini berkelebat di balik sebuah batu hitam. Jarak diantara mereka tinggal beberapa tombak lagi dan begitu Beng San melewati batu ini kontan saja Siauw Lam menyambar. Siang tadi ia berani dikeroyok dua, apalagi sekarang. Maka begitu ia meloncat dan dua jarinya menotok tiba-tiba saja Beng San terkejut dan mengeluh.
"Tuk!" robohlah anak ini. Beng San tak menyangka dan tentu saja terkejut setengah mati. Ia mengira diserang pimpinan Gobi. Tapi ketika Siauw Lam berkelebat di depannya dan tertawa bertolak pinggang, tertegunlah Beng San maka anak itu mengejek dengan kata-kata merendahkan.
"Heh-heh, kiranya kau. He, siapa namamu tikus busuk. Kita sudah bertemu siang tadi akan tetapi sekarang aku lupa!"
Aneh, Beng San tiba-tiba berseri. Rasa terkejut hilang terganti rasa gembira, legalah hatinya bahwa yang menotoknya ini adalah anak lihai itu, orang yang memang dicari-cari. Maka ketika ia tertawa dan coba bangun namun roboh, ia tak perduli rasa sakit maka Siauw Lam ganti terkejut dan terheran-heran.
"Bagus, kau disini. Aku ingin menemuimu, Siauw Lam, tepat dugaanku bahwa kau di bukit ini. Ugh... tolong bebaskan totokanmu. kita bicara baik-baik.Kau tentu ingin menghubungi Hui-bin siauw-suhu itu"
"Kau... siapa namamu!" Siauw Lam membentak, akhirnya sadar. "Apakah kau murid Gobi atau bukan. Kenapa bersama Siao Yen!"
"Lepaskan aku, aku Beng San. Aku murid Naga Gurun Gobi Peng Houw. Kau tak perlu takut karena kepandaianmu masih lebih tinggi daripada aku. Aku ingin bertemu gurumu!"
Tercenganglah Siauw Lam. Sama sekali tak disangkanya pemuda tawanannya ini murid Peng Houw. Tapi ketika ia tertawa dan menjadi beringas mendadak ia menampar kepala pemuda itu berseru marah, "Bagus, kau kiranya murid Naga Gurun Gobi. Kalau begitu kau mampus dan biar kuhajar di sini!"
Namun terdengar bentakan dan seruan. Chi Koan, si buta di depan guha membentak muridnya agar Membawa anak itu ke atas. Percakapan ini tentu saja mengherankan si buta pula. Dan ketika Siauw Lam sadar dan menendang tawanannya maka Beng San dibawa ke atas seperti orang menendang bola, bak-bik-buk tak keruan. Dan akhirnya sampailah anak itu di puncak, berdebuk babak-belur.
"Hm, jangan sakiti dan bebaskan dia. Biarkan bicara dan lihat sekeliling, Siauw Lam. Jaga jangan sampai orang lain datang!"
Beng San menyeringai menahan sakit. Ditendang seperti bola menumbuk batu dan kerikil-kerikil tajam membuat ia kesakitan. Akan tetapi ia menggigit bibir dan menahan semua rasa sakit, kagum memandang seorang pria berusia tiga puluhan tahun yang bersila di depan guha itu.
Baru sekaranglah ia tahu, bahwa di atas bukit ini ada sebuah guha, tentu ini tempat hukuman bagi Hui-bin murid Gobi yang berdosa itu. Dan ketika dari dalam tertatihlah seseorang melangkah keluar, lamban dan kedua lengan serta kakinya bekas diborgol maka orang itu bertanya serak siapa pemuda yang ditangkap itu.
"Beng San, murid Peng Houw. la mengintai dan rupanya disuruh pimpinan Gobi, paman. Sekarang suhu akan menanyainya dan aku akan menggebuknya kalau ia bohong!"
"Hm murid Peng Houw? Bunuh saja, dan kita cepat turun!"
"Suhu akan menanyainya dulu, dan siang tadi aku telah menghajarnya berulang-ulang."
"Hm, bawa pemuda ini ke sini!" Chi Koan mengangkat tangan menyuruh muridnya. Malam ini memang kita pergi, Hui-bin , tapi tak perlu tergesa-gesa. Biarpun seluruh Gobi keluar kita tetap lolos. Mana anak itu!"
Lalu ketika Beng San didorong dan dibebaskan totokannya, diam-diam Siauw Lam khawatir maka Chi Koan menggerakkan lengannya dan tahu-tahu anak ini lumpuh kembali. Bahu dan kepalanya diraba- raba, jari-jari itu berkerotok.
"Siapa namamu tadi," Si buta bertanya keren. "Dan benarkah kedatanganmu diperintah tokoh-tokoh Gobi?"
Beng San sedikit gentar, akan tetapi ia dapat menguasai rasa takutnya, bahkan berlutut. "Ampunkan siauw-te!" anak ini merendah. "Siauw-te datang atas keinginan sendiri, Chi-taihiap, bukan atas perintah siapapun. Siauw-te dapat menduga Siauw Lam ada di sini dan tentu bersama dirimu pula. Siauw-te datang untuk mengecek kesimpulan sendiri."
"Hm, sikapmu tenang, suaramu pun kuat. Kalau begitu apa maksudmu mengecek tadi, bocah. Apa yang perlu kau ketahui dan benarkah kau tidak bohong!"
"Siauw-te berani bersumpah....!"
"Aku tak perlu sumpah. Katakan apa maksudmu dengan kata-katamu tadi!"
Beng San keder, akan tetapi menelan ludah. "Begini..!" katanya. "Siauw-te menaruh kagum kepada murid taihiap ini. Ingin menemuinya dan berguru kepada taihiap yang sakti!"
Chi Koan terkejut, hampir tertawa bergelak. Dari sikap dan kata-kata anak ini segera ia tahu bahwa ia berhadapan dengan seorang bocah pemberani. Bukti bahwa tanpa takut-takut mengakui diri sendiri sebagai murid Naga Gurun Gobi menunjukkan nyalí anak itu, kecuali anak itu tak tahu bahwa gurunya dan dia bermusuhan. Maka ketika ia menguasai dirinya lagi dan membentak bengis segera ia bertanya apakah anak itu tidak gila meminta dia sebagai guru.
"Kau adalah murid Naga Gurun Gobi, gurumupun hebat. Apakah kau tak tahu bahwa ia memusuhiku dan alasan apa yang membuatmu berpikiran seperti ini!"
"Ampun!" anak ini membenturkan dahinya dibatu hitam. "Terus terang siauwte tak puas dengan guru siauwte itu, taihiap. la hanya mengajariku Soan-hoan-ciang dan ilmu meringankan tubuh. Sekarangpun dititipkan orang dan hanya mendapatkan tambahan Thai-san-ap-ting dan Cui-pek-po-kian. Siauwte ingin maju, namun tak mungkin kemajuan itu akan siauwte peroleh kalau hanya menjadi murid Peng Houw!"
Terkejutlah Chi Koan. Anak ini telah berani menyebut nama gurunya begitu saja. Peng Houw! Betapa kurang ajar dan marahnya kalau yang bersangkutan tahu. Bocah ini seperti orang seangkatan saja, sungguh berani. Akan tetapi karena tentu saja ia tak menelan mentah-mentah jawaban ini dan ia menggerakkan tangan tiba-tiba anak itu terlempar dan terbanting menumbuk dinding.
"Coba kau hadapi muridku dan kulihat omonganmu!"
Beng San menahan sakit. la terhuyung bangun dan bekas totokan lenyap. Si buta ini hebat sekali dan melemparnya begitu mudah. Sekali lengan bergerak iapun terbanting. Dirinya benar-benar seperti anak kecil berhadapan dengan si buta ini. Namun karena ia sedang menaruh harapan dan sesungguhnya ia mulai benci kepada gurunya itu, ilmu yang dipelajari hanya itu-itu saja maka anak in memang bertekad untuk meraih dan memperoleh ilmu yang lebih tinggi.
Beng San tidak bohong kalau tiba-tiba ingin berguru kepada si buta. la telah melihat betapa kepandaiannya masih tak berarti menghadapi Siauw Lam, padahal ia telah mendapat tambahan Thai-san-ap-ting dan Cui-pek-po-kian. ia dapat membayangkan bagaimana seandainya tak mendapatkan tambahan ilmu itu, sungguh kepandaiannya rendah sekali.
Maka ketika tiba-tiba timbullah keinginannya untuk menyamai Siauw Lam, timbullah harapannya kalau ia menjadi murid si buta ini maka ia telah bersiap untuk mempertaruhkan segala-galanya. Kalau perlu nyawapun siap dikorbankan! Anak ini memang anak yang penuh keberanian, namun di samping itu Beng San adalah anak yang cerdik dan dapat melihat keadaan. Sekali bertemu si buta dan terjadi tanya jawab segera ia tahu. bahwa meskipun bengis dan keren namun sikap itu hanya luarnya saja.
Perasaannya mengatakan bahwa si buta diam-diam tertarik kepadanya, kagum akan keberaniannya dan inilah modal untuk mendapatkan sesuatu. Ia telah merendahkan gurunya sendiri begitu rupa, terang-terangan menyatakan tak puasnya kepada Naga Gurun Gobi itu. Maka ketika ia dibanting dan terlempar menumbuk dinding, Si bute ingin mengujinya dengan Siauw Lan iapun merasa girang dan tidak takut, justeru malah kebetulan!
"Baik, aku akan membuktikan omonganku, Chi-taihiap. Aku telah bertanding dengannya dan siang tadi kalah. Akan tetapi aku siap mengulang, babak-belur juga tidak apa!"
Chi Koan kagum. Dari sini ia dapat menangkap keberanian luar biasa pada a-nak ini. Ada persamaan antara anak ini dengan Siauw Lam, dua-duanya sama berani. Maka ketika ia tersenyum dan timbulah sesuatu di pikirannya, betapapun ia tak begitu saja percaya anak ini maka ia memerintahkan muridnya agar menyerang dan membuat anak itu mengeluarkan semua kepandaiannya, kalau perlu dibunuh!
"Hajar dan habisi dia, betapapun dia murid Peng Houw!"
Siauw Lam gembira. Betapapun ia merasa disaingi melihat keberanian anak ini. Beng San benar-benar anak luar biasa dan sikapnya tenang, meskipun sedikit pucat. Maka ketika ia meloncat dan menyerang serta menusuk dahi lawan segera ia membentak agar anak itu roboh.
"Heh, guruku sudah mengijinkan. Mampus dan robohlah!"
Beng San mengelak. Suara dingin yang didengarnya terakhir itu menggetarkannya juga. Harapannya rupanya kandas. Akan tetapi karena ia sudah bertekad dan mempersiapkan segala-galanya maka ia menggigit bibir dan ketika Siauw Lam mengejar dan melepas pukulan cepat ia pun menangkis dan kali ini dipaksa adu tenaga.
"Duk!"
Anak itu terpelanting. la telah mengerahkan sinkangnya namun betapapun lawan lebih kuat, selanjutnya ia dikejar dan bergulingan ke sana-sini menghadapi tekanan-tekanan. Cepat sekali Siauw Lam mendesaknya dengan kejam. Dua pukulan mengenai pelipisnya. Namun ketika Beng San masih mampu melakukan perlawanan dan benar-benar berjuang sekuat tenaga mengelak dan menangkis sana-sini akhirnya ia mengeluh ketika sebuah tamparan mengenai tengkuknya.
"Plak!" Bintang bertaburan di langit hitam. Anak ini seakan pingsan menerima pukulan kuat itu, tulang lehernya seakan patah. Akan tetapi ketika ia mampu bergulingan menjauh dan melompat bangun, menggeram dan marah kepada lawannya maka Beng San menubruk dan membalas bagai seekor kerbau gila.
Soan-hoan-ciang dan Thai-san-ap-ting silih berganti menyambar-nyambar, begitu pula Cui-pek-po-kian yang menjadi andalannya itu. Namun karena lawan mengenal dan mempelajari pula ilmu ini, tertawa dan berkelit maka dari samping Siauw Lam membalas dan menampar tengkuknya lagi.
"Plak!" Untuk kedua kali Beng San terbanting. Kali ini mengeluh dan tak mampu bergulingan merasa kepalanya berputar. Kejaran dan balasan lawan ditangkisnya sebisanya. Dan ketika terdengar seruan agar ia dibunuh, habislah harapan anak ini maka Beng San tak ingat apa-apa lagi ketika dadanya tiba-tiba merasa ditimpa palu godam dan napas pun berhenti.
"Dess!" Anak itu roboh dan tidak bergerak-gerak lagi. Siauw Lam benar-benar hendak membunuhnya dengan satu tamparan maut ke kepala, akan tetapi ketika gurunya menjulurkan tongkat den menangkis pukulan itu maka si buta berkata bahwa semuanya cukup.
"Aku hanya ingin mengujinya saja, ternyata ia benar. Cukup, bocah itu tak bohong, Siauw Lam, ia hanya memiliki Soan-ciang dan ilmu meringankan tubuh."
"Tapi ia memiliki pula Thai-san-ap-ting dan Cu-pek-po-kian!"
"Hmn, ia mempelajarinya di sini, di Gobi. Tentu Ji-hwesio atau pimpinan lain yang membimbingnya. Sudahlah bawa anak itu ke sini dan kulihat keadaannya."
Chi Koan akhirnya memeriksa. Hantaman ke dada yang dilakukan muridnya tadi cukuplah berat. Untuk beberapa saat napas pemudai ini terhenti. Maka ketika dia mengurut dan tak lama pemuda itupun bergerak lagi maka diam-diam ia kagum karena hanya pemuda dengan daya tahan luar biasa yang mampu bertahan seperti ini, dan untuk ini Siauw Lam kalah!
Si buta berseri-seri. Ia melihat sesuatu yang tak dimiliki muridnya. Ada sesuatu yang mengejutkan sekaligus membuatnya heran, yakni bahwa detak jantung di sebelah kanan. Agaknya hanya satu di antara sejuta anak yang memiliki kelainan begini! Maka ketika ia berseri-seri dan melihat keajaiban ini maka cepat ia menotok dan menyadarkan anak itu. Kiranya inilah yang menyelamatkan Beng San, ia dipukul dada kirinya bukan dada kanan!
Anak ini mengeluh. Beng San tentu saja tak tahu letak kelainan jantungnya itu. Sesungguhnya pukulan Siauw Lam tadi mematikan. Untunglah karena jantungnya bukan di sebelah kiri melainkan sebelah kanan maka ia selamat dari hantaman itu hanya membuatnya sesak napas saja. la membuka mata ketika perlahan-lahan kesadarannya pulih. Mula-mula ia melihat langit hitam dengan bintang di sana-sini, bingung. Akan tetapi ketika sepasang kelopak kosong berkejap-kejap dan itulah wajah si buta maka ia terkejut dan sadar serta tiba-tiba melompat bangun.
"Eh!'" Siauw Lam merasa heran. "Ia sehat, suhu. ia seakan tak apa-apa!"
Beng San terkejut. la menoleh dan melihat lawannya itu dan menjadi marah. Tiba-tiba kemarahannya membubung dan siap meledak. Akan tetapi ketika pundaknya ditekan dan si buta menyuruhnya diam maka ia tertegun dan menahan semua kemarahannya itu, bahkan terheran-heran dan terkejut, lalu girang.
"Kau telah membuktikan omonganmu, semuanya benar. Kalau kau ingin menjadi muridku maka syaratnya sekarang bawalah orang ini dengan selamat keluar Go-bi. Kami menunggumu di luar."
"Suhu...!" Siauw Lam terkejut berseru keras. "Kau... kau menerima anak ini sebagai murid? Kau menyerahkan pamanku Hui-bin kepadanya? Ah, tidak, jangan. Ia tak akan dapat menjaganya, suhu, kepandaiannya rendah sekali. Biar pamanku bersamaku dan aku yang melindunginya!"
"Hm murid harus patuh kepada guru. Karena ia calon sutenmu maka ia harus dapat menunjukkan kesetiaannya, Siauw Lam. Kalau ia gagal maka gagal pula menjadi muridku. Hui-bin dapat kita urus nanti!"
Siauw Lam masih terkejut dan bingung akan kata-kata gurunya yang demikian mendadak dan amat tiba-tiba membuatnya tak senang, marah. Akan tetapi karena tak mungkin ia membantah dan kata-kata gurunya sudah diucapkan maka ia mengikuti saja ketika suhunya berkelebat dan turun bukit, sebagaimana biasa ia diminta sebagai penunjuk jalan Keluar dan turun dari bukit.
"Ayo pergi dari sini!"
Tinggallah Beng San dengan laki-laki muka hitam itu, hwesio murtad. Memang kedatangan Siauw Lam ada kaitannya dengan hwesio ini karena sebagaimana diketahui hwesio itu adalah paman Siauw Lam. Pemuda itu merasa kangen dan ingin tahu keadaan pamannya, sekaligus membebaskannya dari hukuman karena betapapun ia sekarang merasa memiliki kepandaian cukup. Gurunya sendiri mula-mula acuh dan ogah-ogahan. Akan tetapi ketika dia mengancam untuk pergi menemui sendiri, di sinilah Chi Koan tertegun mengerutkan kening maka gejala perlawanan muridnya itu membuat alis Chi Koan berkerut.
"Betapapun dia keluargaku satu-satunya, orang yang masih hidup. Kalau kau tak mau menemaniku ke sana biarlah aku sendiri, suhu, dan kau boleh tunggu di sini sampai aku datang!"
Si buta diam-diam geram. Muridnya sekarang mulai berani dan menantang. Maka ketika dia mengalah dan menuruti kemauan itu, datang ke Gobi maka diam-diam ia ingin memberi pelajaran muridnya itu. la belum menemukan itu sampai ketika tiba-tiba Beng San muncul. Sebuah pikiran bagus mencuat. Maka ketika ia tersenyum dan inilah rupanya saat untuk melakukan itu, betapapun muridnya tak boleh kurang ajar maka ia ingin menerima seorang murid lagi agar Siauw Lam tak macam-macam.
Akan tetapi tentu saja ia harus menguji anak itu sedemikian rupa. Sekilas dalam percakapan tadi ia menangkap bahwa anak ini tidak sekasar muridnya. Hal ini dapat dimaklumi karena Beng San adalah murid si Naga Gurun Gobi Peng Houw, juga sebelum itu mendapat didikan Giok Yang Cinjin. Maka ketika ia mulai tertarik dan suka kepada anak ini apalagi adanya keanehan di tubuh anak itu tiba-tiba keinginan si buta menjadi kuat untuk mengambil murid.
Beng San sendiri tentu saja tak tahu akan adanya kerikil-kerikil kecil di hati si buta itu terhadap muridnya. Memang harus diakui bahwa Siauw Lam kadang-kadang berani kepada gurunya, menentang atau menolak sesuatu kalau merasa tidak cocok. Dan karena ia adalah tumpuan gurunya untuk ke mana-mana.
Chi Koan masih tergantung kepada muridnya ini agar tidak ketemu Peng Houw maka inilah yang membuat si buta kadang-kadang harus mengalah dan membiarkan muridnya berani, kadang- kadang malah kurang ajar, mengancam seperti ketika hendak ke Gobi itu.
Kini Beng San berdua saja dengan si hwesio empatpuluhan itu. la melihat hweSio ini melotot dan tidak senang akan tetapi tak banyak berkutik. Chi Koan dan muridnya telah lenyap di situ. Maka ketika kemarahannya ditumpahkan kepada anak ini mendadak Hui-bin membentak apakah anak itu dapat membawanya lolos.
"Aku tak mau mempertaruhkan jiwaku kepadamu. Kau anak kecil tahu apa. Bawa pinceng ke tempat aman dan selanjutnya pinceng keluar sendiri!"
"Aku akan membantumu," Beng San khawatir juga. "Chi-taihiap telah memerintahkan aku membawamu sampai keluar lo-suhu. Kalau aku gagal tentu maksudku juga gagal. Aku tahu tempat aman yang sepi penjagaannya. Mari, kita lewat belakang."
Hwesio itu mendengus. Tentu saja ia juga gelisah diserahkan anak ini. Rasanya jauh lebih tenang kalau Siauw Lam menjaganya. Akan tetapi karena yakin bahwa tak mungkin Siauw Lam membiarkannya begitu saja maka ia bergerak di belakang Beng San ketika anak itu berkelebat dan menuruni bukit. Akan tetapi hwesio ini tak dapat bergerak cepat.
Ia masih terhuyung dan limbung setelah sekian tahun pergelangan kaki dan tangannya diborgol. Bahkan bekas borgol itupun masih tampak jelas. Maka ketika Beng San harus memeganginya dan tempat-tempat curam membuat mereka harus berhati-hati maka perjalanan begitu lama hingga tahu-tahu sinar kemerahan muncul di ufuk barat, dan bersamaan itu ayam jantanpun berkokok.
"Ah, baru melewati pagar berduri. Cepat, lo-suhu, hari sudah terang tanah!"
"Aku tahu, tak usah banyak bacot. Kalau kepandaianmu tidak demikian rendah tentu kau dapat membawaku lebih cepat, anak tolol, paling tidak menggendongku seperti kalau Siauw Lam membawaku. Hayo, kau dapat menggendongku atau tidak!"
"Baiklah," Beng San melihat mereka sudah di tanah datar. "Kalau di sini aku tak keberatan, mari lo-suhu naik ke punggungku dan cepat pergi!"
Akan tetapi muncul tiga bayangan berkelebat. Mereka ini adalah penjaga di belakang Gobi yang kebetulan melihat Beng San, hwesio-hwesio muda yang berkat bantuan fajar melihat gerakan dua orang itu. Maka ketika mereka berlari dan cepat mendekati tentu saja ketiganya kaget karena Beng San tahu-tahu meloloskan tawanan.
"Hei, apa yang kau lakukan itu. Kau dari puncak bukit, Beng San, kau membawa tawanan!"
"Dan kau memasuki daerah terlarang. Berhenti dan serahkan diri untuk kami hadapkan pimpinan!"
Beng San terkejut. Hui-bin juga menjadi pucat akan tetapi pemuda ini tiba-tiba tertawa. Cepat Beng San berkata bahwa ia membawa orang sakit, tawanan sedang sakit. Dan ketika ia menurunkan hwesio itu sementara tiga penjaga sudah dekat maka mereka tertegun namun secepat itu Beng San tiba-tiba bergerak dan menyodok serta menyerang.
"Kalian tak perlu repot-repot, aku memang akan membawanya ke Ji-lo-suhu. Tawanan sakit dan lihat apakah kalian tak berbelas kasihan...!"
Namun bersamaan itu pemuda ini sudah merobohkan tiga hwesio penjaga. Serangannya dilakukan ketika mereka lengah, terbelalak memandang hukuman yang memang kuyu dan seperti sakit. Maka ketika Beng San berkelebat dan tahu-tahu menyerang mereka tiga hwesio ini tak sempat menangkis dan ulu hati mereka tersodok membuat mereka jatuh dan pingsan.
"Cepat, naik dan mari pergi!"
Hui-bin tersenyum lebar. Ternyata anak ini benar-benar cerdik dan melompatlah ia ke punggung Beng San, mau tak mau memuji juga. Namun karena hari sudah terang tanah dan di atas tembok tinggi berdirilah para penjaga yang lain maka anak itu terlihat dan dari menara barat, Ia dituding...
"Peng Houw, kau tak punya adat. Keluar dan jangan ganggu ketenangan kami!"
"Siancai, semua mundur. Anak muda ini sudah menemui pinto, sute, biarkan ia bicara dan menyatakan maksudnya. Setelah itu biarkan ia pergi dan kita tak menghendaki siapapun merusak ketenangan Kun-lun, atau kita mempertahankannya dan mengusir setiap pengganggu."
Peng Houw merah dan pucat berganti-ganti. Cepat sekali puluhan murid Kun lun mengepung. Kata-kata ketua mereka membuat semuanya mundur, kecuali Heng Bi Cinjin yang sudah berdiri di sebelah kiri suhengnya. Lalu ketika tosu itu memandang marah dan Peng Houw merasa dimusuhi segera pemuda ini menarik napas dalam-dalam dan menjura di depan Bi Wi Cinjin, menekan semua gejolak hatinya yang ingin meledak-ledak.
"Maafkan aku, bukan maksudku untuk membuat onar. Aku datang untuk mencari isteri dan anakku, Bi Wi totiang, kalau tidak ada biarlah Kim Cu Cinjin. Namun karena semuanya tidak ada dan rupanya kalian sendiri sedang tertimpa musibah biarlah aku pergi dan maaf kalau kedatanganku mengganggu. Tak kusangka sambutan Kun-lun seperti ini dan menganggapku seperti orang asing. Baiklah, aku pergi dan sekali lagi maaf!"
Tanpa menunggu jawaban lagi pemuda ini berkelebat keluar. Cukuplah baginya melihat semua itu. Tak ada gunanya disitu lagi kalau tuan rumah bersikap memusuhi. Maka ketika Bi Wi Cinjin tertegun dan hendak memanggil, tak jadi karena pemuda itu lenyap dengan cepatnya maka pagi itu juga Peng Houw meninggalkan Kun-lun dengan hati terbakar. Ia tertusuk oleh sambutan murid-murid dan pimpinan partai persilatan itu.
Namun di kaki gunung tiba-tiba tosu pertama dijumpai. Tiba-tiba ia menyambar dan menangkap tosu ini. Dan ketika tosu itu terkejut dan Peng Houw mencengkeramnya marah, tosu itu berteriak maka Peng Houw membentak untuk menceritakan kenapa sikap murid Kun-lun tidak sehormat kepada bekas ketuanya dulu.
"Katakan kepadaku apa alasan kalian tak menghormat Kim Cu Cinjin seperti dulu lagi. Atau aku membantingmu dan melemparmu sebagai hukumanmu tak tahu adat kepada tetua!"
"Lepaskan aku...!" tosu ini meronta. "Orang seperti itu tak perlu dihormat lagi, Naga Gurun Gobi. Masa ketua Kun-lun memiliki kekasih gelap!"
"Apa?"
"Lepaskan aku!" orang itu meronta minta dilepaskan. "Kim Cu Cinjin berkekasih gelap dengan tiga orang jumlahnya. Apakah orang seperti itu pantas memimpin Kun-lun lagi!"
Lalu ketika pemuda itu terkejut dan tertegun, maka tosu ini mengebut-ngebutkan ujung bajunya untuk kemudian ngeloyor pergi, tak menghiraukan atau memperdulikan Peng Houw lagi dan sikapnya yang ketus membuat Naga Gurun Gobi ini merah padam. Tiba-tiba teringatlah Peng tHouw kisah di atas gunung, yakni ketika mereka bertiga, dia dan Kim Cu Cinjin serta Li Ceng berhadapan dengan kakek dewa Bu-beng Sian-su.
Waktu itu kakek dewa itu sedang memberi wejangan tentang kejujuran yang tak dapat diterima orang, yakni kejujuran menyakitkan. Dan ketika Kim Cu Cinjin itulah yang justeru pertama kali mengerti wejangan kakek ini, mengakui perbuatannya yang khilaf di masa muda maka terigatlah Peng Houw akan pengakuan bekas ketua Kun-lun-pai itu.
"Pinto bukan orang bersih, pinto juga manusia lemah di masa muda. Kalau ibu Li Ceng menyeleweng dengan laki-laki lain adalah pinto yang melarikan isteri-isteri orang, Peng Houw. Pinto manusia sesat sebelum bertemu pimpinan Kun-lun yang membimbing pinto!"
Itulah kata-kata' yang dulu pernah diingatnya dikatakan Kim Cu Cinjin ini. Jadi itukah sebabnya murid Kun-lun tak menghormatinya lagi? Jadi itukah sebabnya kakek ini tak berada di Kun-lun lagi? Peng Houw menarik napas. Alangkah banyaknya manusia berbuat salah. Alangkah mudahnya manusia terjerumus dosa.
Dan satu di antaranya adalah dia sendiri, menghina dan merendahkan isteri. Maka ketika Peng Houw menarik napas dalam-dalam dan mengerti tindakan murid itu akhirnya ia berkelebat dan mengeluh meninggalkan tempat itu. Dosa, manusia banyak melakukan dosa!
Naga Gurun Gobi ini terpukul berat. Ia meninggalkan Kun-lun dengan perasaan getir, tak tahu dan sama sekali tak menyangka bahwa di perut gunung, di bawah terowongan rahasia terdapatlah anak isterinya itu. Namun karena ia sudah meninggalkan tempat itu dan berjanji tak akan datang ke tempat itu maka pencarian Naga Gurun Gobi ini tentu saja sia-sia dan seumur hidup ia tak bakal menemukan isteri dan anaknya!
* * * * * * * *
Tiga anak ini pandai menyesuaikan diri di Go-bi. Karena mereka adalah titipan Peng Houw dan murid si Naga Gurun Go-bi itu maka tentu saja sikap para hwesio di tempat itu baik dan hormat sikapnya. Bahkan Ji-hwesio sendiri berkenan menurunkan kepandaian Go-bi kepada tiga rèmaja tanggung ini, seperti misalnya pukulan Thai-san-ap-ting dan. Cui-pek-po-kie.
Dua ilmu ini adalah andalan mendiang Ji Beng Hwesio yang merupakan sute Ji Leng, tokoh atau sesepuh yang dulu Tujuh Siluman Langit sendiri tak mampu menandingi. Dan karena Ji-hwesio suka kepada anak-anak itu, terutama Beng San yang cerdas maka anak inilah yang justeru mengagumkan si hwesio, juga murid-murid Gobi yang lain.
Betapa tidak Cui-pek-po-kian dan Thai-san-ap-ting yang sulit itu dilalap demikian mudah oleh anak tanggung ini bahkan melampaui Po Kwan suhengnya, enam bulan saja jauh lebih mahir daripada suudara seperguruannya itu. Dan ketika Ji-hwesio memandang kagum sementara Siao Yen mengerutkan kening, melihat kakaknya menonton maka anak perempuan ini mendesis menyenggol lengan kakaknya itu.
"Apa yang kau pikirkan, kenapa malah berseri-seri!"
"Hm," sang kakak tak tahu kalau adiknya bersungut. "Aku kagum kepada anak itu, Siao Yen. Cepat benar ia menguasa ilmu Thai-san-ap-ting, padahal enam bulan ini aku sukar menghapal jurus-jurus yang sulit."
"Kagum apa!" sang adik malah mendongkol. "Lihat ia semakin sombong, Kwan-ko, masa seperti itu harus kau kagumi. Beng San sudah mulai tidak memandang kita!"
"Tak usah iri," sang kakak masih tak memandang adiknya, disana Beng San menggerak-gerakkan kedua tangan dan kaki bermain silat. "Kurasa ia bangga terhadap kemajuannya, Siao Yen, dan itu wajar. Akupun akan bangga kalau dapat menguasai Thai-san-ap-ting ini secepat dia."
"Eh, kau menganggapku iri? Kau tak melihat sinar matanya sekarang ini? La merendahkan aku, Kwan-ko, juga kau. Ia merasa dirinya lebih pintar!"
"Stt, itu Ji-losuhu datang. Jangan bicara yang tidak-tidak dan cepat beri hormat!" sang kakak menutup adiknya ketika tiba-tiba munculah Ji-hwesio dari dalam pendopo.
Hwesio itu berseri-seri menuruni anak tangga dan tampaknya sudah melihat latihan silat Beng San ini. Ia bertepuk tangan dan memuji. Dan ketika dua kakak beradik itu memberi hormat dan ia tertawa maka hwesio ini mengebutkan lengan bajunya meminta agar Po Kwan menunjukkan kemajuannya.
"Pinceng sudah melihat Beng San berlatih, coba sekarang kau maju dan perlihatkan kepandaianmu. Ayo, perlihatkan kepada pinceng sampai di mana Thai-san ap-ting yang kau kuasai, Po Kwan, coba pinceng ingin tahu dan biar sekarang Beng San beristirahat!"
"Siauwte masih merasa bodoh menguasai ilmu-ilmu Go-bi. Agaknya siauwte masih kalah bagus dengan Beng San sute, lo-suhu, siauwte khawatir memalukan saja,"
Po Kwan merendah, selama ini memang selalu bersikap hormat dan kepada siapapun ia tak pernah tinggi hati. Justeru sebagai murid Naga Gurun Gobi ia merasa tak memiliki kepandaian berarti, hal ini karena yang diajarkan suhunya hanyalah Soan-hoan-ciang dan ilmu meringankan tubuh, bukan Hok-te Sin-kun yang dahsyat itu.
Maka ketika di sini ia mendapat tambahan ilmu namun merasa kalah pandai dengan sutenya, justeru Beng Sanlah yang dinilai lebih maju maka ia semakin rendah hati namun sedikitpun tak ada rasa tak senang atau tak suka kepada sutenya itu.
"Ha-ha..." Ji-hwesio tertawa gembira. "Di sini kau selalu merendah dan menganggap diri bodoh, Po Kwan, padahal sesungguhnya jelek-jelek kau murid Naga Gurun Gobi Peng Houw. Hayo, perlihatkan Thai-san-ap-ting biar pinceng lihat, kalau ada yang kurang sempurna pinceng sempurnakan!"
Remaja tanggung itu mengangguk. Setelah melirik agar adiknya mundur dan tidak menunjukkan sikap kurang senangnya kepada Beng San ia melangkah maju di depan ketua Go-bi itu, membungkuk dan tiba-tiba bersilat. Gerak kakinya maju mundur disertai dorongan-dorongan tangan, kuat bertenaga dan berkesiurlah angin pukulan dari lengan anak laki-laki ini. Tapi ketika Beng San tertawa dan berseru bahwa kedudukan bhesi (kuda-kuda) suhengnya kurang kuat maka Po Kwan merah mukanya dan Ji-hwesio mengangguk-angguk.
"Kaki kirimu kurang ditekuk, lutut kananmu terlalu membengkok. He, jurus Thai-san Membuang Tenaga bukan begitu suheng. Kedudukan kedua kaki harus sama dan seimbang!"
"Omitohud, benar sekali. Sutemu tidak salah, Po Kwan, pinceng juga melihat itu. Samakan kedudukan kaki dan lutut kanan jangan terlalu membengkok!"
Anak laki-laki ini memerah mukanya, cepat membetulkan kedudukan kaki dan mengangguk, bersilat dan melanjutkan lagi dengan gerakan-gerakan kuat dan mentap. Tapi ketika beberapa kali sang sute menegur dan menertawainya akhirnye Siao Yen tak tahan dan membentak.
"Beng San, kau jangan banyak omong. Kalau benar merasa lebih pandai cobalah hadapi kakakku dan lihat siapa yang betul!"
"Ha-ha boleh..!" Ji-hwesio menangkap lain dari seruan anak gadis ini "Kalau Thai-san-ap-ting sama-sama diadukan kelihatan yang lebih matang, Siao Yen. Boleh mereka bertanding dan bia sutemu membuktikan pula teguran-tegurannya tadi!"
Po Kwan terkejut. Dia melakukan gerakan silat atas dasar permintaan hwesio itu, melatih atau mematangkan Thai-san-ap-ting yang menjadi andalan Go-bi. Maka ketika tiba-tiba ia disuruh bertanding melawan sutenya dan sama-sama mempergunakan Thai-san-ap-ting ia pun terkejut dan serba salah, merasa bahwa sesungguhnya dalam mempelajari ilmu itu ia kalah cerdas dibanding sutenya. la merasa bahwa teguran sutenya benar.
Maka ketika adiknya berseru seperti itu namun Ji-hwesio menangkap lain, seruan adiknya sesungguhnya berdasarkan kemarahan maka ia tak dapat menolak lagi ketika Sutenya meloncat dan tertawa, justeru merasa senang.
"Baik, aku dapat menunjukkan kesalahan-kesalahanmu, membuktikan bahwa gerakanku tentu lebih baik daripada gerakanmu. Mari, kita sama-sama mempergunakan Thai-san-ap-ting, suheng, dan benar adikmu melihat bahwa teguranku demi kebaikanmu juga!"
Lalu ketika anak ini mendorong dan bergerak memukul suhengnya segera Po Kwan menangkis namun terhuyung, posisi kaki kurang kuat dan selanjutnya maju dan merangseklah anak itu menggempur suhengnya. Beng San memang kokoh dan kuat serta benar gerakan-gerakannya, hingga tiga kali sang suheng kembali dibuat terhuyung.
Ji-hwesio menonton dan berseri-seri namun sebaliknya Siao Yen cemberut dan bermuka gelap. Hanya dialah yang merasa betapa anak laki-laki itu bersikap jumawa. Dan ketika dalam gebrakan berikut kakaknya terdorong dan terbenting maka berhentilah anak itu memainkan Thai-san-ap-ting.
"Nah, kedudukan kaki seperti inilah yang keliru. Kau masih terlalu membengkok, suheng, sementara kaki kirimu tertarik ke samping. Robohlah!"
Dorongan atau gempuran tenaga Thai-san-ap-ting membuat Po Kwan tak mampu mempertahankan diri lagi. Anak ini terbanting dan roboh. Dan ketika ia bangkit dengan muka merah maka Beng San tertawa gembira sementara Ji-hwesio terkekeh pula.
"Bagus, cukup. Beng San telah membuktikan kebenarannya dan suhengmu harus memperbaiki dan menyempurnakan gerakan-gerakannya. Kedua kakimu masih tidak seimbang, Po Kwan, dengan begini kau gampang dirobohkan!"
"Siauw-te mengaku bodoh," anak ini tersipu-sipu. "Siauw-te memang kurang menguasai Thai-san-ap-ting, lo-suhu, sute memang lebih pandai."
"Dan Siao Yen boleh maju pula kalau penasaran" Beng San tiba-tiba berseru. "Suciku itu rupanya tak rela kalau aku lebih dulu menguasai ilmu ini, locianpwe. Bagaimana kalau kami main-main sebentar dan kau menontonnya."
"Bagus!" anak perempuan ini sudah melompat dan menerjang, kali ini Ji-hwesio terkejut. "Kau tak boleh sombong menguasai ilmu lebih dulu, Beng San, betapapun kami adalah suheng dan sucimu!" dan ketika langsung saja gadis ini memukul dan mengibas mempergunakan Soan-hoan-ciang dan Thai-san-ap-ting berganti-ganti maka hwesio Gobi itu terbelalak berseru terkejut.
"He, kalian hanya mempergunakan Thai-san-ap-ting, bukan yang lain. Pergunakan ilmu itu, Siao Yen, jangan Soan-hoan-ciang!"
Gadis ini menekan kemarahannya. Karena yang memerintah adalah ketua Gobi dan mereka memang harus bertempur mempergunakan Thian San-ap-ting terpaksa ia merobah gerakannya mainkan ilmu silat itu. Dibanding kakaknya gadis ini setali tiga uang, maksudnya kecerdasan mereka masih di bawah Beng San dan tertawalah anak itu melihat lubang-lubang kelemahan Siao Yen.
Kalau Po Kwan lemah atau sering keliru kuda-kuda kakinya adalah gadis ini keliru gerakan tangannya. Siku atau tekukan lengan acapkali terlalu jauh. Maka ketika ia berkelit dan membalas tak kalah cepat akhirnya dalam sebuah adu tenaga gadis ini terpelanting.
"Duk!"
Siao Yen berjungkir balik meloncat bangun! la melengking dan menerjang lagi akan tetapi lawan melihat lubang-lubang kelemahan itu. Posisi tangan yang terlalu keluar mudah dihalau dan terdoronglah gadis itu oleh pukulan lawan. Dan ketika dua kali ia terpelanting dan Siao Yen semakin gusar maka Ji-hwesio tiba-tiba bertepuk tangan menyuruh dua anak itu berhenti, melihat bahwa pertandingan sudah menjurus ke arah permusuhan.
"Cukup, berhenti. Pinceng tidak menghendaki kalian bertempur sampai luka dan menyakiti yang lain. Mundur dan cukup sampai di sini!"
Dua anak itu melompat mundur. Wajah Siao Yen merah terbakar sementara anak laki- laki itu berseri dan tertawa. Jelas bahwa Beng San lebih mahir daripada lawannya. Namun karena anak ini cerdik dan tak ingin memberikan kesan berlebih maka iapun sudah berlutut di depan hwesio itu berkata merendah,
"Lo-suhu telah melihat kemarahan suci kepadaku, akan tetapi ini semata semangat kami yang tak mau kalah. Kami berterima kasih atas petunjuk dan pelajaran ilmu ini, lo-suhu, semoga yang lain dapat kami terima lagi untuk menambah dan memperdalam kepandaian kami."
"Omitohud, kau benar. Mereka akhirnya akan memiliki tingkat yang sama denganmu, Beng San. Betapapun ilmu yang kalian peroleh sama. Kau boleh meneruskan Cui-pek-po-kian kalau Thai-san-ap-ting semakin matang kau kuasai!"
Anak ini girang. Hari itu ia telah menunjukkan keunggulannya dan selesailah pertikaian kecil antara dirinya. Dengan Siao Yen. Po Kwan sendiri termangu-mangu dan heran serta kagum akan kepesatan sutenya itu. Beng San memang cerdas.
Dan ketika hari-hari berikut dilalui lagi dengan latihan sungguh-sungguh tiga bulan kemudian kakak beradik ini telah menguasai Thai-san-ap-ting maka di Sana Beng San malah telah menanjak dengan menguasai Cui-pek-po-kian!
Siao Yen berkerut kening dan merah padam. Tidak seperti kakaknya yang sabar dan pengalah adalah gadis ini berwatak keras dan tidak suka mengalah. Kalau dihitung-hitung maka Beng San adalah adik seperguruan, mereka adalah suheng dan suci. Namun karena Beng San memang cerdas dan inilah yang menonjol pada anak laki-laki itu maka Siao Yen melihat betapa pemuda tanggung ini mulai sombong. Mungkin karena tidak adanya guru mereka di tempat itu!
"Ha-ha, aku melaju di depan. Kau ketinggalan, Siao Yen. Boleh main-main lagi kalau kau penasaran!"
Gadis ini panas, matanya berapi. "Jangan sombong, bentaknya. Kau boleh mendahului kami, Beng San, akan tetapi satu saat kamipun akan sampai ke sana!"
"Ha-ha dan aku akan menerima ilmu yang lain, kau tetap saja kalah!"
Hampir saja gadis ini menerjang. Kalau saja saat itu tak ada hwesio yang berseliweran di antara mereka mungkin ia sudah menyambar dan menyerang anak laki-laki ini. Sikap sutenya semakin sombong. Dan karena Beng San sering memanggil namanya begitu saja kalau mereka hanya berdua, tidak menyebut suci sebagaimana mestinya.
Maka gadis ini merasa direndahkan akan tetapi harus diakui bahwa anak yang menjadi sutenya itu lebih lihai daripada dirinya. Akibatnya gadis ini memendam rasa dan ditumpahkanlah semua kekesalannya itu kepada sang kakak. Namun ketika sang kakak mengangguk-angguk dan menarik napas dalam maka ia merasa disudutkan dan disangka iri.
"Kemajuan Beng San memang mengagumkan, otaknya jauh lebih cerdas dibanding kita. Sudahlah jangan membicarakan kelebihannya, Siao Yen, hanya membuat perasaan tak puas saja. Ingatlah nasihat Giok Yang totiang bahwa kita tak boleh menaruh dengki atau marah kepada orang lain. Bakat atau kecerdasan tiap-tiap orang tidak sama, kita harus menyadari ini."
"Tapi aku bukannya iri, hanya tak senang sikapnya yang sombong itu. Ia mulai jumawa!"
"Kupikir bukan begitu, bukan sombong. Hanya ia merasa bangga atas kemajuan yang diperolehnya. Sudahlah biarkan begitu sampai nanti suhu kembali. Suhulah yang akan menentukan benar tidaknya itu."
Siao Yen semakin tak puas. Akhirnya ia menutup tentang kekurangojaran Beng San yang memanggil namanya begitu saja, bukan Suci (kakak seperguruan perempuan). Tapi ketika kakaknya tersenyum dan tertawa lebar maka sederhana saja jawaban anak laki-laki ini.
"Sebut-menyebut itu hanya basa-basi antara pergaulan. Beng San sebaya denganku, Siao Yen, tak heran kalau ia merasa canggung menyebutmu suci, padahal kau pantas menjadi adiknya. Sudahlah jangan pikirkan itu karena bukan hal yang kelewat batas."
Habislah harapan gadis ini. Ia sama sekali tak mendapat dukungan kakaknya dan sebagai pelepas jengkelnya ia meloncat pergi. Diam-diam ia memaki kakaknya itu. Dan ketika hari demi hari dilewatkan lagi sampai akhirnya dua tahun lewat belum juga suhu mereka datang maka Beng San semakin lihai saja dan kini usia anak-anak tanggung itu sudah menginjak dewasa.
Po Kwan dan Beng San tujuh belas tahun, sementara Siao Yen berusia lima belas tahun dan tampaklah kecantikan gadis ini yang mulai menonjol, terutama sepasang matanya yang beralis hitam panjang dengan sepasang pipi kemerah-merahan. Dan berbareng dengan ini mulailah Beng San merasa jatuh hati.
"Siao Yen, kau cantik' sekali. Ah, pagi ini kau begaikan bidadari saja!"
Pagi itu anak laki-laki ini terbengng kagum nemuji gadis ini. Siao Yen baru saja muncul dari bilik belakang dengan rambut basah. la masih mengurai rambutnya itu dan pakaian longgar yang dikenakan dibelit sebuah ikat pinggang hitam. Anak rambut di dahi semakin menambah manis saja. Dua tahun ini gadis itu mendapatkan kamar mandi khusus untuk dirinya, di belakang dapur para hwesio karena dialah satu-satunya wanita di situ.
Maka ketika tiba-tiba Beng San muncul di situ memuji dirinya, terkejutlah gadis ini maka Siao Yen yang memendam marah tak dapat menahan diri lagi, langsung mendamprat.
"Jangan kurang ajar di tempat orang. Apa maumu datang ke sini, Beng San, apa maksud kata-katamu itu!"
"Hm! pemuda ini bersinar-sinar, melangkah maju. "Aku, hmm... aku hendak menyampaikan sesuatu kepadamu, Siao Yen. Memberikan sesuatu. Kuikat sekuntum mawar merah untukmu."
Gadis ini tertegun. Di tempat sepi itu, di belakang dapur yang belum ada kegiatan maka leluasa sekali Beng San mencegat dan menghadang dirinya. Waktu itu para hwesio sibuk di tempat lain membersihkan halaman dan lain-lain, membakar daun-daun kering dan biasanya menjelang tengah hari nanti barulah kesibukan dapur dimulai. Siao Yen sering membantu para hwesio ini membuat bubur dan masakan tanpa daging, tak heran ia bebas keluar masuk pula di tempat ini, tidak seperti Beng San yang hanya sekali dua datang.
Maka ketika tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan seikat bunga dan memberikannya dengan tersenyum-senyum, ia tertegun dan mengerutkan kening maka perobahan anak ini mengherankan sekaligus membuatnya berdebar. Pandang mata Beng San adalah pandang mata seorang pemuda yang sudah mengenal berahi.
"Terimalah," kata-kata itu lembut dan halus. "Kupersembahkan khusus untukmu, Siao Yen, kucari di luar hutan sana. Masih segar, harum. Aku akan mencarinya lagi kalau kau suka."
Tak terasa seikat bunga itu sudah disodorkan dan digenggamkan ke tangan gadis ini. Siao Yen menerima seakan tanpa sadar karena ia masih heran dan terkejut akan perobahan sikap lawan. Beng San begitu halus dan lembut sekali, pandang mata pemuda itupun mesra. Tapi ketika ia berdebar dan membelalakkan mata tiba-tiba saja anak muda itu mendoyongkan tubuhnya dan... cup, pipi kirinyapun dicium.
"Yen-moi, aku mencintaimu!"
Bukan main kagetnya gadis ini. Tanpa terasa lagi ia membentak dan menampar pemuda itu. Bunga mawarpun dibuang. Dan ketika dua kali tamparan diterima Beng San tanpa menghindar, pipi pemuda itupun bengap maka gadis ini terisak memutar tubuhnya.
"Beng San, kau kurang ajar"
Anak ini tertegun. Siao Yen lari meninggalkannya sementara mawar hutan itu tercampak di atas tanah. Sejenak ada rasa panas dan sakit di hati. Ia marah. Tapi ketika tiba-tiba terdengar tawa seseorang dan Beng San terkejut mendongak ke atas, seorang anak laki-laki bertengger di dahan sebatang pohon maka ia membentak merasa kaget.
"Siapa kau!" bentakan ini disusul gerakan ke atas pula. Beng San kaget dan malu karena perbuatannya tadi rupanya diketahui orang lain, cepat sekali ia melayang naik namun anak laki-laki di atas pohon itu mendadak melayang turun. la berada di atas sementara anak itu sudah di bawah. Dan ketika anak itu terkekeh mentertawainya maka ia mendengar kata-kata yang membuat dadanya gemuruh.
"Heh-heh, aku lebih dulu di sini. Kau tak perlu cemburu meliat aku mengintai kekasihmu, bocah. Akupun juga tertarik dan ingin menyatakan cinta. Mari kita kejar dan lihat siapa yang berhasil!"
Beng San terkejut. Anak itu tiba-tiba lenyap dan tahu-tahu berkelebat mesuki dapur, menyelinap dan memotong jalan dan tiba-tiba terdengarlah jerit Siao Yen. Dan ketika ia berjungkir balik melayang turun maka dilihatnya anak itu sudah tertawa menghadang gadis itu.
"Ha-ha, selamat bertemu. Kau dan kakakmu rupanya di sini, Siao Yen, dan kau semakin cantik saja. Aduh, kau sudah dewasa, dan aku melihatmu di belakang tadi. Ah, kau seperti setangkai mawar segar!"
"Siauw Lam!" gadis itu terkejut mendekap mulut. "Kau... kau berani muncul di sini? Kau jahanam keparat itu? Bagus, aku punya perhitungan denganmu dan terimalah ini... .wuutt!" gadis itu berkelebat, sejenak membelalakkan mata dan kaget sekali mengenal siapa anak laki-laki di depannya ini.
Tentu saja mula-mula ia pangling akan tetapi suara dan tawa itu dikenalnya benar, apalagi sikap yang selalu kurang ajar ini. Tapi ketika ia menerjang dan anak itu bergerak lenyap maka ia tertegun kehilangan sasaran. Hanya Beng San yang melihat betapa anak itu berkelebat demikian cepatnya di belakang Siao Yen.
"Aku di sini!"
Gadis ini membalik dan berseru keras. la menghantam namun lagi-lagi lawan menghilang. Itulah Lui-thian-to-jit yang amat hebat. Dan ketika dua kali ia terbelalak dan hanya Beng San yang melihat anak itu menyelinap di bawah ketiak maka pemuda yang terbakar dan panas hatinya ini menerjang.
"Siao Yen, tikus busuk ini mempermainkanmu. Marilah kita bunuh dan hajar dia!"
Siauw Lam bergerak dan menangkis. Setelah Beng San menyerangnya dan Siao Yen melihat pula maka ia tak mungkin menghilang lagi. Gadis itu membentak dan menerjangnya pula. Dan ketika ia menangkis dan menggerakkan lengan kekiri kanan maka Beng San kaget sekali karena anak laki-laki itu mempergunakan Thai-san-ap-ting dan Cui-pek-po-kian.
"Duk-plak!"
Mereka terdorong dan Siao Yen hampir terjengkang. Beng San berseru keras dan menerjang lagi, Siao Yen juga membentak dan menyerang anak yang amat dibencinya ini. Dan ketika lawan terkekeh dan berkelebatan mengelak sana-sini,maka Beng San yang belum mengenal siapa lawannya tiga kali berseru tertahan karena lawan mereka itu mempergunakan ilmu-ilmu silat Go-bi yang mereka pelajari yaitu Thai-san-ap-ting, ia menguasai Thai-san-ap-ting!
"Duk-plak!" benturan terjadi lagi dan kali ini anak itu terbanting. Dari tiga kali adu tenaga Beng San terkejut sekali karena ia selalu terdorong, kali ini bahkan terbanting. Dan ketika ia bergulingan meloncat bangun dengan mata terbelalak, pucat dan kaget siapakah sebenarnya lawannya ini maka Cui-pek-po-kian kali ini menyambar dan ia berseru keras menangkis dan mempergunakan ilmu yang sama pula.
"Dukk!" Tetap saja ia terbanting dan bergulingan. Dari benturan itu maklumlah dia bahwa meskipun sama-sama Thai-san-ap-ting ataupun Cui-pek-po-kian namun tenaga yang mengisi ilmu itu tidak sama. Anak di depannya ini hebat sekali, tenaganya begitu kuat. Dan ketika di sana Siao Yen juga terpelanting dan bergulingan mengeluh pucat maka ia tak tahan untuk mengeluarkan pisau panjang di balik punggungnya. Beng San senang mempergunakan pisau ini untuk berburu atau kadang-kadang mencari babi hutan.
"Wuut-wuuttt... !"pisau itu sudah menyambar dan bergerak naik turun akan tetapi lawan di depannya ini tertawa.
Siauw Lam mengelak dan meloncat untuk akhirnya menampar pergelangan anak itu, Beng San mengaduh dan hampir saja senjata di tangannya itu terlepas. Dan karena ribut-ribut ini diiringi bentakan dan lengkingan Siao Yen, para hwesio mendengar dan berdatangan maka Siauw Lam tiba-tiba melihat bayangan seorang anak lain tinggi kurus.
"Siao Yen, siapa pengacau ini!"
"Ia Siauw Lam, bocah keparat itu. Tangkap dan robohkan dia, Kwan-ko, jangan sampai lolos!"
"Ha-ha!" Siauw Lam akhirnya mengenal Po Kwan, tapi berbareng itu melihat berkelebatnya bayangan para hwesio. Kedatanganku ke sini bukan hendak bentrok dengan kalian, Po Kwan. Kalau aku mau tentu kalian semua dapat kurobohkan. Sudahlah lain kali kita bertemu lagi dan minggir... duk-plak!" Siauw Lam mendorong dua anak itu untuk kemudian mengibas Po Kwan.
Anak ini tergetar dan terhuyung dan berkelebatlah lawan melarikan diri. Dari kiri kanan telah muncul hwesio-hwesio Go-bi. Dan ketika mereka membentak namun didorong terpelanting, Siauw Lam tertawa-tawa maka anak itu lenyap melompati pagar tembok yang tinggi.
"Cukup main-main di sini, lain kali aku datang lagi!"
Siao Yen melengking dan mengejar. Para hwesio yang terkejut dan hilang kagetnya tentu saja ikut mengejar, mereka berseru siapa anak itu. Dan ketika dijawab bahwa itulah Siauw Lam, murid si buta yang hebat tiba-tiba semua merandek dan menghentikan pengejaran.
"Siauw Lam? Murid si buta Chi Koan?"
"Benar, kejar dan tangkap dia, siauw suhu. Itu bocah yang kurang ajar itu!"
Akan tetapi para hwesio terlanjur gentar membayangkan Chi Koan. Teringatlah mereka anak laki-laki yang dulu dibawa gurunya itu, bocah nakal yang kurang ajar pula. Dan ketika mereka berhenti sementara Siauw Lam sudah lenyap di luar tembok tinggi, Siao Yen membanting-banting kaki di sini maka kakaknya berkelebat dan Beng San menyusul pula di situ.
"Bodoh, celaka sekali. Kita melepaskan anak itu, Kwan-ko. Ia datang dan pergi seenaknya. Kita kehilangan muka!"
"Sabar, tenanglah," sang kakak mengusap keringat dengan wajah berubah, terkejut dan tergetar bahwa yang datang adalah Siauw lam, anak yang dulu mematahkan tangannya itu. "Para siauw-suhu di sini tentu gentar terhadap gurunya, Yen-moi, bukan takut terhadap anak itu. Biarlah kita kembali dan laporkan kepada Ji-Lo-suhu."
"Benar...!" seorang di antara para hwesio mengangguk, juga mengusap keringat. "Yang kami takuti bukan anak itu Siao Yen, melainkan Chi Koan. Kalau anak itu ada di sini jangan-jangan gurunya datang pula. Sudahlah biar pinceng melapor dan kembali saja ke dalam. Biar penjagaan diperketat."
Beng San diam mendengarkan saja. Selama ini ia tak mengenal Siauw Lam kecuali si buta. la masih kaget dan kagum akan kelihaian lawannya tadi. Baru sekaranglah dia mengerti kenapa anak itu bisa mainkan Cui-pek-po-kin dan Thai-san ap-ting, kiranya murid Chi Koan, bekas murid Go-bi. Maka ketika ia diam dengan mata terbelalak sementara Siao Yen tiba-tiba melihatnya marah, persoalan itu sebenarnya berasal dari mereka berdua maka gadis ini mendengus dan memutar tubuh melompat pergi.
Po Kwan menarik napas dalam. Tentu saja ia tak tahu persoalan adiknya dengan Beng San. la tak tahu bahwa Beng San sudah menaruh hati dan mencintai adiknya. Maka ketika ia melihat sutenya ini dan bertanya bagaimana mula-mula Siauw Lam ada di situ justeru Beng San menjawabnya dengan gelengan kepala.
"Aku tak tahu, ia tiba-tiba saja sudah di sini. Tadi ia mengganggu Siao Yen, suheng, dan aku datang menolong. la lihai sekali, aku kalah!"
"Hm, ia murid Chi Koan, musuh bebuyutan suhu. Tentu saja ia lihai dan kita bukan tandingannya, sute. Tapi kenapa ia datang dan untuk apa."
"Aku tak tahu, mungkin kebetulan saja!"
"Tak mungkin!" Po Kwan menggeleng, tak percaya. "Anak itu suka membuat onar dan ribut, sute. Kalau ia datang tentu ada apa-apa. Marilah kita menghadap lo-suhu dan mendengarkan keterangannya, siapa tahu ia tahu."
Beng San mengangguk. ia bergerak ketika suhengnya itu melompat, kali ini tentu saja ia mengisi kesempatan dengan bertanya siapakah Siauw Lam itu, maksudnya apakah anak itu murid Gobi atau bekas pelayan di situ. Namun ketika Po Kwan menjawab bahwa anak itu bekas pelayan gurunya sendiri maka tak banyak yang didapat anak ini hingga Beng San tak bertanya-tanya lagi.
Ji-hwesio yang diberi tahu terkejut dan mengerutkan kening. Tak dapat disembunyikan betapa wajah hwesio ini berubah. Kalau Siauw Lam muncul di situ tentu gurunya ada pula. Maka ketika ia berkata bahwa penjagaan supaya diperketat, tak banyak, kata-kata yang keluar dari pimpinan Gobi ini maka para murid dan tiga anak muda ini diminta waspada siapa tahu musuh datang mengganggu lagi.
"Pinceng tak tahu ada apa ia datang, tapi baik atau burük iktikadnya kita perlu menyambut dan mempersiapkan diri. Sudahlah kita berjaga-jaga lagi dan harap semua waspada."
Beng San lagi-lagi termangu. Urusan Siao Yen sudah dilupakannya dan ia benar- benar terkesan oleh kehebatan anak laki-laki itu. Masih dirasanya kekuatan dahsyat anak itu. Masih dirasanya rasa nyeri atau sakit di persendian tulangnya. Dan ketika akhirnya ia menyendiri dankebetulan ditegur seorang hwesio kepala maka ia bersinar dan bérkejaplah matanya ingin mengorek tentang sesuatu yang dirasanya penuh teka-teki.
"Ah, Kam-lo-suhu kiranya. Mari... mari duduk. Aku sedang merenungkan penjahat muda tadi, lo-suhu, hebat sekali dia. Kiranya murid si buta Chi Koan. Dapatkah lo-suhu menceritakan sedikit tentang dia dan berapa lama ia pernah tinggal di sini. Bagaimana ia mula-mula datang?"
"Hm, anak itu dibawa Hui-bin si pengkhianat. la diselundupkan dan akhirnya menjadi murid si buta itu, Beng San, kami tahu setelah terlambat."
"Hui-bin?"
"Ya, bekas murid Go-bi, kini menjalani hukuman."
"Ah, coba lo-suhu ceritakan itu. Di mana terhukum menerima hukumannya, sudah bebas atau belum!" anak ini tentu saja tertarik dan kalau ia bukan murid Peng Houw tentu hwesio limapuluhan tahun ini tak mau bercerita. Suara anak itu menunjukkan keinginan tahu yang besar, sayang hwesio kepala ini tak melihat mata yang bersinar aneh dari anak itu.
Dan ketika ia bercerita bahwa Hui-bin di hukum di atas bukit, tempat dulu di mana Si buta menjalani hukumannya maka Beng San berseri-seri dan otaknya yang cerdas sudah dapat merangkai atau paling tidak menangkap apa yang menyebabkan anak itu datang.
"Pengkhianat itu menerima hukumannya, pimpinan sudah mengurungnya di atas bukit itu. Kalau ia dapat bersikap baik-baik dan mau bertobat mungkin lima enam tahun lagi dibebaskan. Namun kalau ia tak bertobat dan masih berkelakuan buruk tentu tetap ditahan dan tak diperbolehkan keluar."
"Hm!" Beng San memandang puncak bukit di belakang Go-bi, mengangguk-angguk. "Jadi dia ada di sana?"
"ya, tapi tempat itu merupakan daerah terlarang. Siapapun tak boleh ke sana tanpa ijin pimpinan!"
Beng San merasa cukup. Sekarang ia melihat titik kecil, dalam teka-teki ini dirangkai dan ditemukan kesimpulan dan berdebarlah perasaannya memandang atas bukit itu. Memang sudah diketahuinya bahwa siapapun dilarang mendekati bukit itu, hanya tak disangkanya bahwa di sana ada seorang pesakitan. Hui-bin! Maka ketika ia mengangguk- angguk dan menyembunyikan kegirangannya melihat sesuatu, iapun berpura-pura bersikap biasa hingga hwesio ini tak curiga.
"Hm, begitu kiranya," anak ini mendamprat Hui-bin. "Pantas kalau ia dihukum di sana, lo-suhu. Pengkhianat atau pengacau memang perlu diberi pelajaran keras. Kalau tidak tentu nama Gobi bakal hancur!"
Hari itu dilewatkan anak ini dengan sebuah rencana diam-diam. Setelah ia mendapat secuil keterangan dan dirasa cukup iapun tertarik perhatiannya pada puncak bukit itu. Kalau kemarin dan hari yang lain perasaannya biasa-biasa saja terhadap bukit itu kini ada sesuatu yang menggetar-getarkan kalbunya. Ia ingin menjumpai pesakitan itu. la yakin akan bertemu lagi dengan bocah bernama Siauw Lam itu.
Maka ketika malam. itu kebetulan sinar bulan bersembunyi di langit yang hitam maka secara diam-diam namun amat hati-hati anak laki-laki ini berkelebat keluar Go-bi untuk menuju kebukit larangan itu. Untunglah ia tahu tempat mana yang dijaga dan mana yang kosong. Dengan ilmunya meringankan tubuh, anak ini mendaki bukit, sengaja memutar dan dari belakang agar tak ketahuan para hwesio Gobi. Agak berbahaya kalau ia mendaki dari depan, siapa tahu bayangannya terlihat dari bawah, apalagi setelah siang tadi Go bi dikejutkan hadirnya Siauw Lam.
Maka ketika ia mendaki dan memutar bukit itu menuju atas maka Beng San tak tahu bahwa seseorang miringkan kepala mengikuti segala gerak-geriknya dari puncak. Orang ini sudah berada di sana sejak siang tadi, duduk di depan guha sementara sepasang matanya yang kosong berkejap-kejap kelopaknya. Šiapa lagi kalau bukan Si buta Chi Koan!
Maka ketika anak itu mendaki lewat belakang sementara sibuta ini mendengarkan dengan miringkan kepala, tersenyum dan mengangguk serta tiba-tiba mengetukkan tongkat maka berkelebatlah seseorang dari dalam guha.
"Suhu memanggil teecu?"
"Benar, ada seseorang datang ke sini, jalan belakang. Coba kau lihat siapa dia, Siauw Lam, tapi melihat langkah kakinya tak begitu berbahaya bagi kita. Hanya heran sekali siapa orang ini, berani benar dia.!"
Siauw Lam, pemuda itu terkejut. Orang akan lebih terkejut lagi melihat dirinya tahu- tahu telah berada di bukit itu , padahal di bawah penjagaan para hwesio demikian ketat. Tapi ketika ia mengangguk dan berkelebat melewati gurunya maka diam-diam Beng San dipapak dan disambut dari depan.
"Tangkap dan bawa saja dia ke sini, biarkan aku melihat!"
Pemuda itu mengangguk. Siauw Lam telah melihat bayangan Beng San ketika anak itu dengan cepat namun hati-hati mendaki lewat belakang. Mula-mula pemuda ini terkejut mengira Po Kwan, tapi setelah dilihatnya bahwa bayangan di bawah itu adalah anak yang siang tadi bertempur dengannya, tubuhnya yang kekar dan sedikit lebih pendek dibanding Po Kwan maka hampir saja Siauw Lam tertawa.
Akan tetapi murid si buta ini berkelebat di balik sebuah batu hitam. Jarak diantara mereka tinggal beberapa tombak lagi dan begitu Beng San melewati batu ini kontan saja Siauw Lam menyambar. Siang tadi ia berani dikeroyok dua, apalagi sekarang. Maka begitu ia meloncat dan dua jarinya menotok tiba-tiba saja Beng San terkejut dan mengeluh.
"Tuk!" robohlah anak ini. Beng San tak menyangka dan tentu saja terkejut setengah mati. Ia mengira diserang pimpinan Gobi. Tapi ketika Siauw Lam berkelebat di depannya dan tertawa bertolak pinggang, tertegunlah Beng San maka anak itu mengejek dengan kata-kata merendahkan.
"Heh-heh, kiranya kau. He, siapa namamu tikus busuk. Kita sudah bertemu siang tadi akan tetapi sekarang aku lupa!"
Aneh, Beng San tiba-tiba berseri. Rasa terkejut hilang terganti rasa gembira, legalah hatinya bahwa yang menotoknya ini adalah anak lihai itu, orang yang memang dicari-cari. Maka ketika ia tertawa dan coba bangun namun roboh, ia tak perduli rasa sakit maka Siauw Lam ganti terkejut dan terheran-heran.
"Bagus, kau disini. Aku ingin menemuimu, Siauw Lam, tepat dugaanku bahwa kau di bukit ini. Ugh... tolong bebaskan totokanmu. kita bicara baik-baik.Kau tentu ingin menghubungi Hui-bin siauw-suhu itu"
"Kau... siapa namamu!" Siauw Lam membentak, akhirnya sadar. "Apakah kau murid Gobi atau bukan. Kenapa bersama Siao Yen!"
"Lepaskan aku, aku Beng San. Aku murid Naga Gurun Gobi Peng Houw. Kau tak perlu takut karena kepandaianmu masih lebih tinggi daripada aku. Aku ingin bertemu gurumu!"
Tercenganglah Siauw Lam. Sama sekali tak disangkanya pemuda tawanannya ini murid Peng Houw. Tapi ketika ia tertawa dan menjadi beringas mendadak ia menampar kepala pemuda itu berseru marah, "Bagus, kau kiranya murid Naga Gurun Gobi. Kalau begitu kau mampus dan biar kuhajar di sini!"
Namun terdengar bentakan dan seruan. Chi Koan, si buta di depan guha membentak muridnya agar Membawa anak itu ke atas. Percakapan ini tentu saja mengherankan si buta pula. Dan ketika Siauw Lam sadar dan menendang tawanannya maka Beng San dibawa ke atas seperti orang menendang bola, bak-bik-buk tak keruan. Dan akhirnya sampailah anak itu di puncak, berdebuk babak-belur.
"Hm, jangan sakiti dan bebaskan dia. Biarkan bicara dan lihat sekeliling, Siauw Lam. Jaga jangan sampai orang lain datang!"
Beng San menyeringai menahan sakit. Ditendang seperti bola menumbuk batu dan kerikil-kerikil tajam membuat ia kesakitan. Akan tetapi ia menggigit bibir dan menahan semua rasa sakit, kagum memandang seorang pria berusia tiga puluhan tahun yang bersila di depan guha itu.
Baru sekaranglah ia tahu, bahwa di atas bukit ini ada sebuah guha, tentu ini tempat hukuman bagi Hui-bin murid Gobi yang berdosa itu. Dan ketika dari dalam tertatihlah seseorang melangkah keluar, lamban dan kedua lengan serta kakinya bekas diborgol maka orang itu bertanya serak siapa pemuda yang ditangkap itu.
"Beng San, murid Peng Houw. la mengintai dan rupanya disuruh pimpinan Gobi, paman. Sekarang suhu akan menanyainya dan aku akan menggebuknya kalau ia bohong!"
"Hm murid Peng Houw? Bunuh saja, dan kita cepat turun!"
"Suhu akan menanyainya dulu, dan siang tadi aku telah menghajarnya berulang-ulang."
"Hm, bawa pemuda ini ke sini!" Chi Koan mengangkat tangan menyuruh muridnya. Malam ini memang kita pergi, Hui-bin , tapi tak perlu tergesa-gesa. Biarpun seluruh Gobi keluar kita tetap lolos. Mana anak itu!"
Lalu ketika Beng San didorong dan dibebaskan totokannya, diam-diam Siauw Lam khawatir maka Chi Koan menggerakkan lengannya dan tahu-tahu anak ini lumpuh kembali. Bahu dan kepalanya diraba- raba, jari-jari itu berkerotok.
"Siapa namamu tadi," Si buta bertanya keren. "Dan benarkah kedatanganmu diperintah tokoh-tokoh Gobi?"
Beng San sedikit gentar, akan tetapi ia dapat menguasai rasa takutnya, bahkan berlutut. "Ampunkan siauw-te!" anak ini merendah. "Siauw-te datang atas keinginan sendiri, Chi-taihiap, bukan atas perintah siapapun. Siauw-te dapat menduga Siauw Lam ada di sini dan tentu bersama dirimu pula. Siauw-te datang untuk mengecek kesimpulan sendiri."
"Hm, sikapmu tenang, suaramu pun kuat. Kalau begitu apa maksudmu mengecek tadi, bocah. Apa yang perlu kau ketahui dan benarkah kau tidak bohong!"
"Siauw-te berani bersumpah....!"
"Aku tak perlu sumpah. Katakan apa maksudmu dengan kata-katamu tadi!"
Beng San keder, akan tetapi menelan ludah. "Begini..!" katanya. "Siauw-te menaruh kagum kepada murid taihiap ini. Ingin menemuinya dan berguru kepada taihiap yang sakti!"
Chi Koan terkejut, hampir tertawa bergelak. Dari sikap dan kata-kata anak ini segera ia tahu bahwa ia berhadapan dengan seorang bocah pemberani. Bukti bahwa tanpa takut-takut mengakui diri sendiri sebagai murid Naga Gurun Gobi menunjukkan nyalí anak itu, kecuali anak itu tak tahu bahwa gurunya dan dia bermusuhan. Maka ketika ia menguasai dirinya lagi dan membentak bengis segera ia bertanya apakah anak itu tidak gila meminta dia sebagai guru.
"Kau adalah murid Naga Gurun Gobi, gurumupun hebat. Apakah kau tak tahu bahwa ia memusuhiku dan alasan apa yang membuatmu berpikiran seperti ini!"
"Ampun!" anak ini membenturkan dahinya dibatu hitam. "Terus terang siauwte tak puas dengan guru siauwte itu, taihiap. la hanya mengajariku Soan-hoan-ciang dan ilmu meringankan tubuh. Sekarangpun dititipkan orang dan hanya mendapatkan tambahan Thai-san-ap-ting dan Cui-pek-po-kian. Siauwte ingin maju, namun tak mungkin kemajuan itu akan siauwte peroleh kalau hanya menjadi murid Peng Houw!"
Terkejutlah Chi Koan. Anak ini telah berani menyebut nama gurunya begitu saja. Peng Houw! Betapa kurang ajar dan marahnya kalau yang bersangkutan tahu. Bocah ini seperti orang seangkatan saja, sungguh berani. Akan tetapi karena tentu saja ia tak menelan mentah-mentah jawaban ini dan ia menggerakkan tangan tiba-tiba anak itu terlempar dan terbanting menumbuk dinding.
"Coba kau hadapi muridku dan kulihat omonganmu!"
Beng San menahan sakit. la terhuyung bangun dan bekas totokan lenyap. Si buta ini hebat sekali dan melemparnya begitu mudah. Sekali lengan bergerak iapun terbanting. Dirinya benar-benar seperti anak kecil berhadapan dengan si buta ini. Namun karena ia sedang menaruh harapan dan sesungguhnya ia mulai benci kepada gurunya itu, ilmu yang dipelajari hanya itu-itu saja maka anak in memang bertekad untuk meraih dan memperoleh ilmu yang lebih tinggi.
Beng San tidak bohong kalau tiba-tiba ingin berguru kepada si buta. la telah melihat betapa kepandaiannya masih tak berarti menghadapi Siauw Lam, padahal ia telah mendapat tambahan Thai-san-ap-ting dan Cui-pek-po-kian. ia dapat membayangkan bagaimana seandainya tak mendapatkan tambahan ilmu itu, sungguh kepandaiannya rendah sekali.
Maka ketika tiba-tiba timbullah keinginannya untuk menyamai Siauw Lam, timbullah harapannya kalau ia menjadi murid si buta ini maka ia telah bersiap untuk mempertaruhkan segala-galanya. Kalau perlu nyawapun siap dikorbankan! Anak ini memang anak yang penuh keberanian, namun di samping itu Beng San adalah anak yang cerdik dan dapat melihat keadaan. Sekali bertemu si buta dan terjadi tanya jawab segera ia tahu. bahwa meskipun bengis dan keren namun sikap itu hanya luarnya saja.
Perasaannya mengatakan bahwa si buta diam-diam tertarik kepadanya, kagum akan keberaniannya dan inilah modal untuk mendapatkan sesuatu. Ia telah merendahkan gurunya sendiri begitu rupa, terang-terangan menyatakan tak puasnya kepada Naga Gurun Gobi itu. Maka ketika ia dibanting dan terlempar menumbuk dinding, Si bute ingin mengujinya dengan Siauw Lan iapun merasa girang dan tidak takut, justeru malah kebetulan!
"Baik, aku akan membuktikan omonganku, Chi-taihiap. Aku telah bertanding dengannya dan siang tadi kalah. Akan tetapi aku siap mengulang, babak-belur juga tidak apa!"
Chi Koan kagum. Dari sini ia dapat menangkap keberanian luar biasa pada a-nak ini. Ada persamaan antara anak ini dengan Siauw Lam, dua-duanya sama berani. Maka ketika ia tersenyum dan timbulah sesuatu di pikirannya, betapapun ia tak begitu saja percaya anak ini maka ia memerintahkan muridnya agar menyerang dan membuat anak itu mengeluarkan semua kepandaiannya, kalau perlu dibunuh!
"Hajar dan habisi dia, betapapun dia murid Peng Houw!"
Siauw Lam gembira. Betapapun ia merasa disaingi melihat keberanian anak ini. Beng San benar-benar anak luar biasa dan sikapnya tenang, meskipun sedikit pucat. Maka ketika ia meloncat dan menyerang serta menusuk dahi lawan segera ia membentak agar anak itu roboh.
"Heh, guruku sudah mengijinkan. Mampus dan robohlah!"
Beng San mengelak. Suara dingin yang didengarnya terakhir itu menggetarkannya juga. Harapannya rupanya kandas. Akan tetapi karena ia sudah bertekad dan mempersiapkan segala-galanya maka ia menggigit bibir dan ketika Siauw Lam mengejar dan melepas pukulan cepat ia pun menangkis dan kali ini dipaksa adu tenaga.
"Duk!"
Anak itu terpelanting. la telah mengerahkan sinkangnya namun betapapun lawan lebih kuat, selanjutnya ia dikejar dan bergulingan ke sana-sini menghadapi tekanan-tekanan. Cepat sekali Siauw Lam mendesaknya dengan kejam. Dua pukulan mengenai pelipisnya. Namun ketika Beng San masih mampu melakukan perlawanan dan benar-benar berjuang sekuat tenaga mengelak dan menangkis sana-sini akhirnya ia mengeluh ketika sebuah tamparan mengenai tengkuknya.
"Plak!" Bintang bertaburan di langit hitam. Anak ini seakan pingsan menerima pukulan kuat itu, tulang lehernya seakan patah. Akan tetapi ketika ia mampu bergulingan menjauh dan melompat bangun, menggeram dan marah kepada lawannya maka Beng San menubruk dan membalas bagai seekor kerbau gila.
Soan-hoan-ciang dan Thai-san-ap-ting silih berganti menyambar-nyambar, begitu pula Cui-pek-po-kian yang menjadi andalannya itu. Namun karena lawan mengenal dan mempelajari pula ilmu ini, tertawa dan berkelit maka dari samping Siauw Lam membalas dan menampar tengkuknya lagi.
"Plak!" Untuk kedua kali Beng San terbanting. Kali ini mengeluh dan tak mampu bergulingan merasa kepalanya berputar. Kejaran dan balasan lawan ditangkisnya sebisanya. Dan ketika terdengar seruan agar ia dibunuh, habislah harapan anak ini maka Beng San tak ingat apa-apa lagi ketika dadanya tiba-tiba merasa ditimpa palu godam dan napas pun berhenti.
"Dess!" Anak itu roboh dan tidak bergerak-gerak lagi. Siauw Lam benar-benar hendak membunuhnya dengan satu tamparan maut ke kepala, akan tetapi ketika gurunya menjulurkan tongkat den menangkis pukulan itu maka si buta berkata bahwa semuanya cukup.
"Aku hanya ingin mengujinya saja, ternyata ia benar. Cukup, bocah itu tak bohong, Siauw Lam, ia hanya memiliki Soan-ciang dan ilmu meringankan tubuh."
"Tapi ia memiliki pula Thai-san-ap-ting dan Cu-pek-po-kian!"
"Hmn, ia mempelajarinya di sini, di Gobi. Tentu Ji-hwesio atau pimpinan lain yang membimbingnya. Sudahlah bawa anak itu ke sini dan kulihat keadaannya."
Chi Koan akhirnya memeriksa. Hantaman ke dada yang dilakukan muridnya tadi cukuplah berat. Untuk beberapa saat napas pemudai ini terhenti. Maka ketika dia mengurut dan tak lama pemuda itupun bergerak lagi maka diam-diam ia kagum karena hanya pemuda dengan daya tahan luar biasa yang mampu bertahan seperti ini, dan untuk ini Siauw Lam kalah!
Si buta berseri-seri. Ia melihat sesuatu yang tak dimiliki muridnya. Ada sesuatu yang mengejutkan sekaligus membuatnya heran, yakni bahwa detak jantung di sebelah kanan. Agaknya hanya satu di antara sejuta anak yang memiliki kelainan begini! Maka ketika ia berseri-seri dan melihat keajaiban ini maka cepat ia menotok dan menyadarkan anak itu. Kiranya inilah yang menyelamatkan Beng San, ia dipukul dada kirinya bukan dada kanan!
Anak ini mengeluh. Beng San tentu saja tak tahu letak kelainan jantungnya itu. Sesungguhnya pukulan Siauw Lam tadi mematikan. Untunglah karena jantungnya bukan di sebelah kiri melainkan sebelah kanan maka ia selamat dari hantaman itu hanya membuatnya sesak napas saja. la membuka mata ketika perlahan-lahan kesadarannya pulih. Mula-mula ia melihat langit hitam dengan bintang di sana-sini, bingung. Akan tetapi ketika sepasang kelopak kosong berkejap-kejap dan itulah wajah si buta maka ia terkejut dan sadar serta tiba-tiba melompat bangun.
"Eh!'" Siauw Lam merasa heran. "Ia sehat, suhu. ia seakan tak apa-apa!"
Beng San terkejut. la menoleh dan melihat lawannya itu dan menjadi marah. Tiba-tiba kemarahannya membubung dan siap meledak. Akan tetapi ketika pundaknya ditekan dan si buta menyuruhnya diam maka ia tertegun dan menahan semua kemarahannya itu, bahkan terheran-heran dan terkejut, lalu girang.
"Kau telah membuktikan omonganmu, semuanya benar. Kalau kau ingin menjadi muridku maka syaratnya sekarang bawalah orang ini dengan selamat keluar Go-bi. Kami menunggumu di luar."
"Suhu...!" Siauw Lam terkejut berseru keras. "Kau... kau menerima anak ini sebagai murid? Kau menyerahkan pamanku Hui-bin kepadanya? Ah, tidak, jangan. Ia tak akan dapat menjaganya, suhu, kepandaiannya rendah sekali. Biar pamanku bersamaku dan aku yang melindunginya!"
"Hm murid harus patuh kepada guru. Karena ia calon sutenmu maka ia harus dapat menunjukkan kesetiaannya, Siauw Lam. Kalau ia gagal maka gagal pula menjadi muridku. Hui-bin dapat kita urus nanti!"
Siauw Lam masih terkejut dan bingung akan kata-kata gurunya yang demikian mendadak dan amat tiba-tiba membuatnya tak senang, marah. Akan tetapi karena tak mungkin ia membantah dan kata-kata gurunya sudah diucapkan maka ia mengikuti saja ketika suhunya berkelebat dan turun bukit, sebagaimana biasa ia diminta sebagai penunjuk jalan Keluar dan turun dari bukit.
"Ayo pergi dari sini!"
Tinggallah Beng San dengan laki-laki muka hitam itu, hwesio murtad. Memang kedatangan Siauw Lam ada kaitannya dengan hwesio ini karena sebagaimana diketahui hwesio itu adalah paman Siauw Lam. Pemuda itu merasa kangen dan ingin tahu keadaan pamannya, sekaligus membebaskannya dari hukuman karena betapapun ia sekarang merasa memiliki kepandaian cukup. Gurunya sendiri mula-mula acuh dan ogah-ogahan. Akan tetapi ketika dia mengancam untuk pergi menemui sendiri, di sinilah Chi Koan tertegun mengerutkan kening maka gejala perlawanan muridnya itu membuat alis Chi Koan berkerut.
"Betapapun dia keluargaku satu-satunya, orang yang masih hidup. Kalau kau tak mau menemaniku ke sana biarlah aku sendiri, suhu, dan kau boleh tunggu di sini sampai aku datang!"
Si buta diam-diam geram. Muridnya sekarang mulai berani dan menantang. Maka ketika dia mengalah dan menuruti kemauan itu, datang ke Gobi maka diam-diam ia ingin memberi pelajaran muridnya itu. la belum menemukan itu sampai ketika tiba-tiba Beng San muncul. Sebuah pikiran bagus mencuat. Maka ketika ia tersenyum dan inilah rupanya saat untuk melakukan itu, betapapun muridnya tak boleh kurang ajar maka ia ingin menerima seorang murid lagi agar Siauw Lam tak macam-macam.
Akan tetapi tentu saja ia harus menguji anak itu sedemikian rupa. Sekilas dalam percakapan tadi ia menangkap bahwa anak ini tidak sekasar muridnya. Hal ini dapat dimaklumi karena Beng San adalah murid si Naga Gurun Gobi Peng Houw, juga sebelum itu mendapat didikan Giok Yang Cinjin. Maka ketika ia mulai tertarik dan suka kepada anak ini apalagi adanya keanehan di tubuh anak itu tiba-tiba keinginan si buta menjadi kuat untuk mengambil murid.
Beng San sendiri tentu saja tak tahu akan adanya kerikil-kerikil kecil di hati si buta itu terhadap muridnya. Memang harus diakui bahwa Siauw Lam kadang-kadang berani kepada gurunya, menentang atau menolak sesuatu kalau merasa tidak cocok. Dan karena ia adalah tumpuan gurunya untuk ke mana-mana.
Chi Koan masih tergantung kepada muridnya ini agar tidak ketemu Peng Houw maka inilah yang membuat si buta kadang-kadang harus mengalah dan membiarkan muridnya berani, kadang- kadang malah kurang ajar, mengancam seperti ketika hendak ke Gobi itu.
Kini Beng San berdua saja dengan si hwesio empatpuluhan itu. la melihat hweSio ini melotot dan tidak senang akan tetapi tak banyak berkutik. Chi Koan dan muridnya telah lenyap di situ. Maka ketika kemarahannya ditumpahkan kepada anak ini mendadak Hui-bin membentak apakah anak itu dapat membawanya lolos.
"Aku tak mau mempertaruhkan jiwaku kepadamu. Kau anak kecil tahu apa. Bawa pinceng ke tempat aman dan selanjutnya pinceng keluar sendiri!"
"Aku akan membantumu," Beng San khawatir juga. "Chi-taihiap telah memerintahkan aku membawamu sampai keluar lo-suhu. Kalau aku gagal tentu maksudku juga gagal. Aku tahu tempat aman yang sepi penjagaannya. Mari, kita lewat belakang."
Hwesio itu mendengus. Tentu saja ia juga gelisah diserahkan anak ini. Rasanya jauh lebih tenang kalau Siauw Lam menjaganya. Akan tetapi karena yakin bahwa tak mungkin Siauw Lam membiarkannya begitu saja maka ia bergerak di belakang Beng San ketika anak itu berkelebat dan menuruni bukit. Akan tetapi hwesio ini tak dapat bergerak cepat.
Ia masih terhuyung dan limbung setelah sekian tahun pergelangan kaki dan tangannya diborgol. Bahkan bekas borgol itupun masih tampak jelas. Maka ketika Beng San harus memeganginya dan tempat-tempat curam membuat mereka harus berhati-hati maka perjalanan begitu lama hingga tahu-tahu sinar kemerahan muncul di ufuk barat, dan bersamaan itu ayam jantanpun berkokok.
"Ah, baru melewati pagar berduri. Cepat, lo-suhu, hari sudah terang tanah!"
"Aku tahu, tak usah banyak bacot. Kalau kepandaianmu tidak demikian rendah tentu kau dapat membawaku lebih cepat, anak tolol, paling tidak menggendongku seperti kalau Siauw Lam membawaku. Hayo, kau dapat menggendongku atau tidak!"
"Baiklah," Beng San melihat mereka sudah di tanah datar. "Kalau di sini aku tak keberatan, mari lo-suhu naik ke punggungku dan cepat pergi!"
Akan tetapi muncul tiga bayangan berkelebat. Mereka ini adalah penjaga di belakang Gobi yang kebetulan melihat Beng San, hwesio-hwesio muda yang berkat bantuan fajar melihat gerakan dua orang itu. Maka ketika mereka berlari dan cepat mendekati tentu saja ketiganya kaget karena Beng San tahu-tahu meloloskan tawanan.
"Hei, apa yang kau lakukan itu. Kau dari puncak bukit, Beng San, kau membawa tawanan!"
"Dan kau memasuki daerah terlarang. Berhenti dan serahkan diri untuk kami hadapkan pimpinan!"
Beng San terkejut. Hui-bin juga menjadi pucat akan tetapi pemuda ini tiba-tiba tertawa. Cepat Beng San berkata bahwa ia membawa orang sakit, tawanan sedang sakit. Dan ketika ia menurunkan hwesio itu sementara tiga penjaga sudah dekat maka mereka tertegun namun secepat itu Beng San tiba-tiba bergerak dan menyodok serta menyerang.
"Kalian tak perlu repot-repot, aku memang akan membawanya ke Ji-lo-suhu. Tawanan sakit dan lihat apakah kalian tak berbelas kasihan...!"
Namun bersamaan itu pemuda ini sudah merobohkan tiga hwesio penjaga. Serangannya dilakukan ketika mereka lengah, terbelalak memandang hukuman yang memang kuyu dan seperti sakit. Maka ketika Beng San berkelebat dan tahu-tahu menyerang mereka tiga hwesio ini tak sempat menangkis dan ulu hati mereka tersodok membuat mereka jatuh dan pingsan.
"Cepat, naik dan mari pergi!"
Hui-bin tersenyum lebar. Ternyata anak ini benar-benar cerdik dan melompatlah ia ke punggung Beng San, mau tak mau memuji juga. Namun karena hari sudah terang tanah dan di atas tembok tinggi berdirilah para penjaga yang lain maka anak itu terlihat dan dari menara barat, Ia dituding...