Kabut Di Telaga See Ouw Jilid 14 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Serial Bu-beng Sian-su Karya Batara

Si BUTA menangkap dan menerima wanita ini. Kejadian di pagi itu sungguh menggegerkun dan mengejutkan semua orang. Mereka terbelalak dan bingung di depan rumah kepala dusun, senjata merunduk ke tanah tak jadi digerakkan. Mereka tak tahu harus berbuat apa. Lalu ketika Chi Koan mencengkeram dan menotok puteri kepala dusun, yang lunglai dan seketika tak mampu bersuara maka si buta berseru agar Bi Leng mengaku semu perbuatannya.

"Kau membuka rahasia di depan umum, kau menelanjangi kami semua. Katakan kepada mereka bahwa kaulah yang mula-mula memasuki kamarku dan minta dilayani sebagaimana hubungan pria wanita!"

“Tidak, tidak... aku, ah... lepaskan aku, kongcu. Aku tidak mengatakan apa-apa kepada siapapun. Suamikulah yang bicara, ia cemburu temanmu tak memakai dirinya lagi"

"Apa? Hao-siu cemburu kepada Kwi-bo?"

"Benar, ia marah-marah kepadaku, kecewa lalu melaporkan kepada ayah dan inilah akibatnya. Lepaskan aku dan jangan sakiti!"

Chi Koan membelalakkan kelopaknya yang kosong. Semula seperti Kwi-bo ia pun menduga wanita inilah yang membuka rahasia. Sungguh tak disangka kalau sang suami yang cemburu, marah karena kwi-bo tak memakainya lagi. Tapi ketika ia tiba-tiba tertawa bergelak dan Kwi-bo terkekeh, meliarlah wanita ini mencari petani muda itu maka didapatinya laki-laki itu bersembunyi di balik punggung penduduk.

"He, kau!" Kwi-bo memanggil dan berseru. "Ke sini, Hao-siu, kiranya kau yang menjadi gara-gara!"

Akan tetapi petani muda itu ketakutan di sana. la bahkan merunduk dan menyembunyikan diri, tiba-tiba sesal dan takut muncul. Tapi ketika Kwi-bo berkelebat dan penduduk berteriak didorong terpelanting, mudah saja wanita ini menangkap maka laki-laki itu sudah disambar dan sekali berjungkir balik wanita ini kembali lagi di dekat Chi Koan. Geraknya yang mengejutkan seperti walet menyambar membuat penduduk ngeri. Kwi bo pulang balik seperti pandai menghilang saja.

"Kau!" wanita ini terkekeh menekan tengkuk orang. "Kiranya gara-gara cemburu dan marah membuat gara-gara di pagi ini, Hao-siu, kurangkah kenikmatan yang kau dapat dariku hingga masih tidak puas. Hayo, katakan kepada penduduk bahwa kaupun memasuki kamarku dan minta dilayani!"

Petani muda ini gemetaran. la meronta melepeskan diri namun cengkeraman Kwi-bo membuat ia kesakitan. Semakin memberontak semakin nyeri dan sakit. Maka ketika ia menangis dan ketakutan setengah mati iapun mengakui bahwa sesungguhnya ia lebih dulu memasuki kamar Wanita itu.

"Aku... aku bingung. Aku merasa jatuh cinta. Lepaskan aku, kouwnio... lepaskan aku. Kuakui bahwa aku memasuki kamarmu dan kau mau melayani aku. Lepaskan aku..!"

"Katakan dulu apakah nikmat bercinta denganku atau tidak. Kau suka atau tidak!"

"Aku... aku suka... nikmat!"

"Heh-heh-heh!" Kwi-bo sengaja menggoda kepala dusun yang mendelik di situ. Percakapan itu didengarkan semua orang dan Gu Pin serta Luan-ho yang semula dianggap biang keladi ternyata hanya merupakan orang nomor dua dan tiga setelah Hao-siu ini.

Petani muda itu menyatakan betapa nikmat dan sukanya bercinta dengan wanita itu, padahal mertuanya mengincar lebih dulu dan ingin bermabok-mabokan dengan si cantik. ketika kakek itu tak dapat menahan marahnya dan memekik serta menggerakkan sabit maka ia menyabet menantunya itu dengan kata-kata kotor.

"Kau jahanam tak tahu malu, sudah punya isteri sendiri masih juga jelalatan mencari lain!"

Kwi-bo melempar petani muda ini kearah mertuanya. Semua orang menjerit ketika sabit mengenai leher, Hao-siu menjerit kemudian roboh. Luka di lehernya menganga. Lalu ketika dengan kalap kakek ini dibakar cemburu dan marah. Bi Leng menjerit-jerit maka tanpa ampun lagi kakek itu mencincang menantunya.

"Kau jahanam kurang ajar, kau manusia tak tahu budi. Ah, mampuslah...mampuslah!"

Bertubi-tubi sabit merobek tubuh petani muda itu. Kejadian berlangsung cepat hingga penduduk terbelalak tak sadar, mereka seakan dihipnotis iayaknya. Tapi ketika Bi Leng dilepaskan si buta dan wanita itu menubruk suaminya maka sadarlah penduduk dan serentak mereka menangkap dan merampas sabit di tangan lelaki tua itu. Tubuh Hao-siu bersimbah darah dan gegerlah penduduk, para wanitanya menjerit. Lalu ketika mereka berhamburan pula menubruk korban maka Kwi-bo terkekeh dan tiba-tiba menyambar Yan-kim dan Sui-ma.

"Mereka inipun juga tak tahu malu. Bunuh dan hukum seperti si Hao-siu itu!"

"Dan ini juga!" Siauw Lam terkekeh menangkap Gu Pin dan Luan-ho, melontarkan ke tengah penduduk. "Hukum dan cincang mereka, paman-paman. Mereka juga masuk ke kamar bibiku secara tak tahu malu!"

Serentak kaum laki-laki beringas dan memandang dua petani muda itu. Mereka tiba- tiba juga cemburu betapa wanita secantik Kwi- bo mau melayani rekan-rekan seperti ini. Alangkah beruntungnya mereka itu, dan alangkah rugi diri sendiri tak sempat menikmati anggur segar. Tapi ketika mereka hendak menubruk dan mencincang dua petani ini mendadak isteri kepala dusun berteriak menuding Kwi-bo juga Chi Koan.

"Jangan terhasut, dua orang ini iblis-iblis tak tahu malu. Kalau mereka orang baik-baik tak sudi membuka kebobrokan diri sendiri. Aku sudah curiga sejak semula, saudara-saudara. Bi Leng telah mengatakan kepadaku betapa ia seakan disihir si buta itu. Ia masuk tanpa sadar, dan Hao-siu juga. Tentu Luan-ho dan Gu Pin juga begitu karena mereka diguna-guna. Tangkap dan bunuh mereka itu mereka inilah iblis-iblis pengacau kampung!"

Bergeraklah para penduduk dusun itu. Dua suami isteri di sana mengangguk-angguk dan Sui-ma maupun Yan-kim mengiyakan kata-kata ini. Mereka seakan disihir dan diguna-guna, apa yang mereka lakukan adalah tanpa sadar. Maka ketika penduduk tiba-tiba marah dan membalik menghadapi si buta mendadak mereka berteriak dan menyerang pemuda itu.

"Hi-hik, kau yang diserang, bukan aku. Rupanya aku masih disayang mereka, Chi Koan. Para pemudanya melotot kepadaku," Kwi-bo terkekeh, melihat orang-orang itu tak menyerangnya karena mereka mungkin merasa sayang. Wanita secantik ini tak boleh dibunuh, biar ditangkap dan nanti diadili saja. Kalau perlu "dipakai” beramai-ramai, ada mata-mata nakal di antara para penduduk itu.

Maka ketika mereka menyerang dan hendak membunuh si buta, justeru di sinilah celakanya maka si buta tersenyum dan sekali ia menggerakkan tongkat berteriaklah para penduduk itu ketika terangkat dan terlempar ke belakang.

"Kalian tikus-tikus busuk tak tahu diri. Pergilah!"

Perlahan saja gerakan tongkat itu namun kesiur angin yang terbawa bukan main hebatnya. Belasan terbanting dan patah tulangnya, yang lain berdebuk dan menimpa teman sendiri, terpekik. Lalu ketika mereka berteriak dan roboh tak keruan maka Chi Koan berkata pada muridnya agar meninggalkan tempat itu.

"Mari pergi."

Siauw Lam tertawa. Ia sendiri gembira oleh kejadian itu dan merasa geli melihat yang terbanting dan mengaduh-aduh. Lucu sekali serangan penduduk dusun itu, tiada ubahnya laron menyerbu api. Maka ketika ia terkekeh dan menyambar lengan gurunya iapun melompat dan membawa gurunya pergi.

"Mari, suhu, kecoa-kecoa itu tunggang langgang!"

Chi Koan tersenyum. la melangkah tenang dan tak perduli kiri kanan lagi. Jerit dan pekik kesakitan itu bahkan mebuatnya berseri- Seri. Penduduk tentu saja gentar. Lalu ketika Kwi-bo mengikuti dan terkekeh di belakang si buta maka mereka yang mendapat hajaran tentu saja ngeri dan pucat. Akan tetapi tidak semua penduduk patah tulangnya. Mereka yang hanya terlempar dan terbanting menimpa tubuh teman sendiri dapat meloncat bangun.

Mereka inilah yang merasa penasaran dan ingin menangkap pengacau-pengacau itu. Namun karera si buta ternyata lihai dan. mereka gentar maka Kwi-bo menjadi sasaran dan wanita inilah yung sekarang hendak ditangkap.

"Berhenti, kaupun tak boleh pergi.. ayo tinggalkan teman-temanmu dan pertanggung jawabkan dulu perbuatanmu!"

"Hi-hik, pertanggung jawaban apa. Kalau aku tertangkap tentu kalian hendak mempermainkan aku, tikus-tikus busuk. Mata kalian telah bicara dan lahap menelan tubuhku. Pergilah!"

Rambut wanita ini bergerak dan pendudukpun menjerit. Mereka belum melihat kelihaian wanita ini kecuali menangkap Hao-siu tadi. Maka ketika tiba-tiba rambut meledak dan menghantam pecah pipi mereka maka tiga orang mengaduh dan bergulingan menjerit-jerit, tidak berhenti di sini karena Kwi-bo berkelebat mendahului, menggerakkan kaki tangannya dan mencelatlah petani-petani itu berteriak ngeri.

Mereka terbanting dan pecah kepalanya, Kwi-bo memang keji. Dan ketika wanita itu terkekeh dan berhenti bergerak maka dua puluh penduduk malang-melintang tak mampu bangkit lagi. Mereka patah tulang dan paling sedikit pecah pipinya.

"Nah, siapa ingin maju. Mari kukirim ke akherat!"

Buyarlah penduduk dusun. Mereka cerai-berai melihat keganasan wanita itu. Tak disangka begitu cepat teman-teman mereka roboh. Dan ketika sekejap kemudián penduduk melarikan diri ke rumah masing-masing, bersembunyi dan ngumpet di situ maka Kwi-bo berkelebat mengejar Chi Koan.

Si buta sudah berada di luar dusun tersenyum-senyum. Sepak terjang Kwi-bo tentu saja diketahui, Chi Koan tertawa mengejek sementara muridnya tertawa geli. Dan ketika wanita itu bersama mereka kembali maka Chi Koan berkata perjalanan dilanjutkan.

"Aku senang melihat seperti ini. Marilah sepanjang jalan mencari korban lain."

"Hik-hik, kau masih senang wanita-wanita muda yang menyusui bayinya? Kau belum puas dengan puteri kepala dusun dan dua temannya itu?"

"Hm, aku baru puas kalau mendapatkan Li Ceng. Sebelum itu gemuruh di dadaku masih meledak-ledak, Kwi-bo. Cari yang lain dan bikin onar baru."

"Baik, dan aku mempermainkan suami-suaminya. Hi-hik, nikmat juga mempermainkan petani-petani muda itu, Chi Koan. Mereka begitu kelaparan seperti kuda jantan masih haus. Ih, terangsang nafsuku, nikmat!"

Chi Koan tersenyum dengan kelopak berkejap-kejap. Membayangkan Kwi-bo di kerubut dua petani muda tiba-tiba membuat ia geli. Tentu petani-petani itu dipermainkan dulu, kalau perlu satu sama lain diadu. Dan karena Kwi-bo memiliki kebiasaan aneh mempermainkan korban dengan cara bermacam-macam, ada yang diikat dan disuruh menonton menggelepar-gelepar maka si buta ini geli dan tertawa gembira.

Kekecewaannya sedikit terobati dengan peristiwa di dusun itu. Ia telah menikmati Bi Leng yang berdada padat, juga Sui-ma dan Yan-kim. Akan tetapi karena berahi bagai madu yang tak kenal surut, kebosanan mulai membayang maka ia ingin mencari yang lain dan melepas lagi kekesalannya tentang Li Ceng.

Akhirnya dusun demi dusun yang dilalui dua orang ini selalu geger, suami dan isteri kalap. Dan ketika akhirnya beberapa hari kemudian si buta tiba di sebuah telaga yang beriak perlahan maka di tepi telaga itu ia berhenti mendengar tawa riang beberapa wanita mudai mencuci pakaian, saling berkecipak.

"Hm, berhenti di sini. Sampai di mana kita sekarang, Kwi-bo, rasanya ada sesuatu yang memikat hatiku."

"Hi-hik, kita mendekati kota Shan-yang, kalau tidak salah inin telaga Le-Ouw. Banyak gadis-gadis cantik di situ, Chi Koan, tapi mereka rupanya bukan gadis-gadis dusun. Seakan dari kota, wajahnya halus-halus!"

"Hm, coba lihat yang suaranya seperti burung kutilang itu. Ah, nyaring dan penuh keberanian."

"Dia seorang gadis baju merah, paling cantik. Ah, tajam sekali indera rasa mu, Chi Koan, dan di sebelah itu delapan pemuda memancing ikan. Hi-hik, rupanya seperti para pelajar!"

"Bagus, dekati mereka, lalu biarkan aku sendiri. Dan kau boleh dekati pemuda-pemuda itu."

Kwi-bo terkekeh. Mereka baru saja datang dan kehadirannya tentu saja menarik perhatian orang. Tawanya yang bebas lepas mengejutkan pemuda dan gadis-gadis itu. Mereka adalah kelompok sastrawan dari kota, sengaja menghibur diri di telaga itu untuk mencari kesegaran. Inilah putera-puteri kaum hartawan dan bangsawan, si baju merah justeru puteri Ong-taijin walikota Shan-yang.

Maka ketika tiba-tiba si buta muncul dan Kwi-bo terkekeh begitu lepasnya, sikapnya yang genit dan kerlingnya yang menyambar-nyambar membuat pera pemuda itu tertegun berdebar maka wanita ini sudah mendekati kelompok pelajar itu bicara nyaring.

"Maafkan kami yang mengganggu sebentar. Temanku si buta ini merasa haus dan lapar, adik-adik. Adakah di antara kalian membawa bekal berlebih. Tolonglah dia, kami belum mendapat makanan."

Gadis-gadis muda itu terharu. Chi Koan tertatih dengan tongkatnya dan tentu saja memasang sikap mengharukan. Dua kali ia terpeleset. Dan ketika para gadis itu terpekik ia hendak jatuh, Kwi-bo bersikap tak perduli maka gadis baju merah itu berseru,

"Aku membawa sisa roti kering, kalau kalian mau boleh ambil!"

"Bagus, terima kasih. Berikan padanya adik manis, dia yang lapar sementara aku ingin memancing saja. Aku ingin ikan!" lalu ketika gadis itu mengambil bungkusannya memberikan kepada Chi Koan, tentu saja si buta tak menyia-nyiakan kesempatan ini.

Maka seperti yang sudah-sudah cepat sekali Chi Koan melepaskan daya pengasih lewat ujung jari itu, bertemu dan mengontak dan selanjutnya gadis ini seakan tertegun. la kehilangan akal, tiba-tiba jari si buta digenggam. Tapi ketika teman-temannya tertawa dan ia terkejut, sadar maka gadis itu menarik tangannya dan Chi Koan berbisik mengucap terima kasih. Kwi-bo sudah di sana mendekati pemuda-pemuda itu.

"Terima kasih. Siapa namamu, nona. Sungguh beruntung si buta mendapat belas kasihanmu."

"Aku Ong Wi. Aku, ah... sudahlah. Kau makanlah roti itu agar tidak lapar lagi!" gadis ini kembali kepada teman-temannya dan ia tampak gugup dan bingung kenapa ia tadi begitu mesra.

Jari si buta digenggam seolah jari kekasih saja. Wajahnya memerah namun untunglah si buta tak melihat, tawa teman-temannya juga berhenti. Lalu ketika tiga di antara gadis-gadis itu meloncat keluar dari tepi air, mereka inilah yang mencuci pakaian, maka disana Kwi-bo melenggang dengan penuh pikat menghampiri seorang dari delapan pemuda itu yang rupanya belum mendapat ikan. Pancingnya itu masih terbenam kosong.

"Hi-hik, coba kupinjam pancingmu sebentar. Hei, itu ada ikan lewat!"

Pemuda ini tertegun. Kwi-bo yang tidak malu-malu lagi mendekatinya dan minta pancingnya membuat pemuda ini terkejut. Tahu-tahu tangannya sudah dipegang dan jari lembut itu mengusap perlahan, sedetik saja namun cukup membat tubuhnya panas dingin.

Harus diakui jari Kwi-bo amat lembut dan hangat, lagi-lagi wanita inipun melancarkan daya pikatnya lewat kerling mata dan senyum menyambar itu. Dan ketika ia sudah menyambar pancing yang berpindah tangan, menyendal dan mengangkat naik maka tiba-tiba saja seekor ikan gemuk telah tertangkap di ujung pancingnya.

"Hi-hik, lihat. Kau bodoh tak cepat menggerakkan batang pancingmu, kongcu. Ikan demikian banyak dibiarkan berkeliaran begitu saja. Ih, lihat. Ini lagi!" Kwi-bo sudah membuang pancing menyentak lagi, dua kali berturut-turut mendapatkan ikan yang gemuk segar dan tentu saja perbuatannya ini membuat kagum delapan pemuda itu.

Mereka bersorak dan memuji. Dan ketika sekejap kemudian wanita ini mendapatkan delapan ekor ikan dalam waktu begitu singkat, gemparlah pemuda-pemuda itu maka mereka menghentikan pancingnya dan malah menonton Wanita cantik itu.

"Hebat, cici luar biasa. Bagaimana begitu cepat menangkap ikan!"

"Dan semua besar dan gemuk-gemuk. Ah, ajarkan kami memancing seperti itu, cici. Kami sudah tiga jam di sini namun baru seekor dua saja yang tertangkap!"

"Hik-hik!" Kwi-bo tertawa dan tak menyia-nyiakan kekaguman para pemuda itu, melihat Chi Koan di sana telah pula mendapatkan 'ikannya'. "Pelajaran memancing mudah kuwariskan, cuwi-kongcu. Tapi karena ikan di sini sudah tinggal yang kecil-kecil marilah ikut denganku mencari yang besar. Hei, Siauw Lam!" wanita itu memanggil anak laki-laki itu. "Bantu kami membawa keranjang ikan ini dan mari ikut aku!"

Siauw Lam sudah terbiasa diperintah wanita ini. Maklum bahwa gurunya sedang ingin memikat gadis-gadis cantik itu, iapun tahu harus membiarkan suhunya sendirian. Tadinya ia bingung harus kemana, panggilan Kwi-bo membuatnya girang dan ia bakal tahu apa yang akan dilakukan wanita ini. 

Diam-diam ia mulai tertarik kepada kekasih gurunya yang satu ini, mata anak lelaki yang mulai nakal menjelajahi tubuh lawan jenis. Maka ketika ia melompat dan mengambil keranjang ikan segera Kwi-bo bergerak mengajak delapan pemuda itu menjauhi gadis-gadis temannya. Dua buah kereta tersembunyi di antara dedaunan.

"Hi-hik, marilah, kita mencari tempat yang dalam!"

Akan tetapi ada satu di antara delapan pemuda itu yang menggeleng. Dia adalah pemuda tinggi kecil yang alis matanya seperti sepasang golok. Sejak Kwi-bo datang di situ ia diam-diam mengerutkan kening. Pemuda inilah satu-satunya pemuda yang tidak bertepuk tangan ketika tadi Kwi-bo mendapatkan ikan demikian mudah. la memandang namun tidak mendekat. Dan ketika Kwi-bo mengajak semua temannya menjauhi tempat itu maka dialah yang berseru dan tiba-tiba maju dengan suaranya yang lantang.

"Teman-teman, kita di sini menjaga Ong Wi dan yang lain-lain ini. Bagaimana kalau kita meninggalkan mereka dan ada apa-apa dengan mereka. Bagaimana tanggung jawab kita dengan keluarga mereka!"

Tujuh temannya terkejut, namun Kwi bo tertawa. Eh. Si buta temanku menemani mereka, kongcu, kenapa takut. Lagi pula aku tidak mengajak meninggalkan tempat ini, hanya di sudut itu. Kau kenapa begini takut!"

"Aku tidak takut, tapi kita laki-laki tentu harus menjaga dan melindungi yang wanita. Kami belum mengenal siapa kalian, kouwnio. Tak baik terlalu percaya karena kita belum saling kenal!"

"Hik-hik, tapi aku hanya seorang wanita, temankupun juga buta. Apa yang dapat kami lakukan kepada kalian!"

Dua di antara pemuda tiba-tiba berseru. "Tempat ini terbuka dan aman , Kiat Seng. Tak ada apa-apa. Enci ini baik dan pandai memancing ikan. Kalau kau tak suka biar di sini saja, menjaga mereka itu!"

"Hm, kalau begitu baiklah. Bukan aku takut melainkan semata teringat tanggung jawab kita kepada orang tua Ong Wi dan lain-lain. Pergilah, aku di sini saja."

"Atau kau ingin bebas berpasangan dengan satu di antara gadis-gadis itu. hik-hik pandai benar akalmu mengelabuhi kita, kongcu. Tak apa kau di sini kalau memang berniat begitu. Jangan-jangan kau ingin bermesraan dengan kekasihmu di sini" Kwi-bo mengejek dengan kata-katanya yang pedas memerahkan telinga untuk membalas kemendongkolannya kepada pemuda itu.

Tentu saja ia tak setuju kalau satu di antara pemuda-pemuda itu menjaga di situ, gerak Chi Koan tentu tak bebas. Maka ketika ia mengolok-olok dan membakar telinga lawan, yang lain tertawa dan memerahkan wajah pemuda ini maka Kiat Seng pemuda itu akhirnya menggigit bibir.

"Aku tak kencan dengan siapapun disini. Aku hanya ingin menjaga. Kalau aku dianggap begitu baiklah aku ikut, hanya tanggung jawab harap dipikul bersama!"

"Hik-hik, tentu saja, Seng-kongcu, tak ada apa-apa di sini dan mari ikut denganku, Kujamin tak ada apa-apa dengan teman-temenmu itu. Temanku si buta tak dapat melihat!"

Kembali tujuh pemuda tertawa bersama. Mereka menganggap teman mereka itu terlalu berlebihan dan memang apa yang perlu ditakutkan di tempat itu. Telaga ini aman dan justeru mereka gembira ada seorang wanita cantik mau menemani. Gadis-gadis teman mereka itu tentu saja tak sebebas wanita ini dengan tawa dan kerling matanya yang menyambar-nyambar.

Sikap genit Kwi-bo sebentar saja sudah menarik perhatian pemuda-pemuda itu, empat di antaranya sudah merasa tergila-gila, apalagi pemuda pertama yang disentuh jari-jari Kwi-bo tadi, pemuda yang merasa panas dingin dan tak melepaskan perhatiannya sedikitpun kepada wanita matang ini. Gerak-gerik Kwi-bo memang sungguh memikat. Maka ketika wanita itu bergerak dan mengibaskan rambutnya yang lebat harum, genit terkeke-kekeh maka wanita itu melompat dan mengejarlah para pemuda itu serasa diajak bergenit-ria.

"Ayolah, kita tak jauh-jauh, cuwi-kongcu. Di tempat itu cukup dalam dan kita beramai-ramai menangkap!"

Delapan pemuda ini bergerak. Kwi-bo lenyap begitu cepat dan diam-diam para pemuda heran. Mereka masih tak curiga wanita ini adalah seorang iblis betina, maklum, Kwi-bo ramah dan hangat kepada mereka. Namun karena suara wanita itu ada di depan dan para pemuda mengejarnya maka wanita ini ternyata sudah berada di atas sebuah batu hitam di tengah telaga, duduk melipat kaki.

"Ayo, ayo ke mari. Naik dan melompatlah!"

Para pemuda tertegun. Di tepi telaga mereka berhenti, terbelalak karena bagaimana wanita itu dapat berada di situ, delapan sampai sembilan meter dari daratan. Namun ketika mereka melihat dua batu kecil muncul tipis di permukaan air, dari sinilah kiranya wanita itu melompat maka pemuda-pemuda itupun tertawa dan berseru gembira.

"Aih, enci sungguh berani. Bagaimana kalau sampai tercebur!"

"Hi-hik, ada kalian. Masa delapan pemuda membiarkan wanita tenggelam. Ayo, ke sini, cuwi-kongcu. Lihat ikan begitu banyak!" Kwi-bo menggerak-gerakkan pancingnya dan benar saja dua ekor ikan terjerat, menggelepar di ujung kail dan saat itulah para pemuda itu berlompatan. Mereka bagai ingin mendahului mendekati wanita ini, batu besar itu agaknya cukup untuk sepuluh orang.

Tapi ketika kwi-bo mengibaskan pancingnya dan ikan di ujung kail menyambar pemuda paling belakang maka pemuda ini berteriak menyelamatkan kepalanya memegangi teman di depan dan kagetiah teman itu. pemuda inipun berteriak memegangi yang lain, terpeleset dan akhirnya terguling sementara pemuda paling depan menarik bahu Kwi bo.

Sambar-menyambar terjadi dengan cepat dan seketika delapan pemuda itu tercebur, Kwi-bo terjatuh pula. Dan ketika wanita itu berteriak dan pura-pura gelagapan, tenggelam di air telaga maka justeru Seng-kongcu yang menolongnya karena paling dekat dengan wanita itu.

"Heiii... byur-byuurrrr!"

Delapan pemuda terjatuh ke air. Mereka tarik-menarik dan ribut sekali memaki-maki yang lain. Dua ternyata tak bisa berenang, ditolong temannya sementara Kwi-bo sudah gelagapan disambar Seng-kongcu, naik dan kembali ke batu hitam dan terbelalaklah pemuda-pemuda itu dengan geli dan gemas. Sebagian besar tertawa-tawa.

Tapi ketika tiba-tiba semua melotot memandang Kwi-bo, pakaian wanita itu basah kuyup melekat di badan, maka berdesirlah delapan pemuda itu melihat betapa segala lekuk-lengkung wanita itu tampak begitu sempurna. Tonjolan- tonjolannya begitu padat menggairahkan!

Akan tetapi tiba-tiba Seng-kongcu itu melepas baju luarnya. la pun basah kuyup namun Kwi-bo yang menggigil kedinginan disangka masuk angin, atau mungkin likat melihat wanita itu seakan telanjang bulat saja.

Pakaian Kwi-bo memang menempel begitu ketat hingga seakan tak berpakaian saja. Bukan kebetulan kalau wanita ini sengaja mendiamkan diri begitu rupa, seperti juga bukannya tak sengaja kalau ia melempar ikan di ujung kail menyambar pemuda paling belakang itu, yang kemudian berteriak dan menarik temannya hingga terjadilah sambar-menyambar di antara mereka, membuat mereka tercebur dan sama- sama basah kuyup!

Maka ketika semuanya berhasil dengan baik dan itulah maksud tujuan Wanita ini, mempertontonkan tubuhnya membuat darah berdesir di hati anak-anak muda itu maka sungguh tak disangka oleh wanita ini kalau tiba-tiba Seng-kongcu memberikan pakaiannya untuk menutupi tubuhnya dari pandang mata teman-temannya yang terbelalak. Jantung di dada pemuda- pemuda itu memang berdegup kencang.

"Maaf maaf..!" Seng-kongcu mewakili teman-temannya bicara. "Kami semua tidak sengaja, kouwnio. Hak Bun sembrono menarik kita dan kita sama-sama tercebur. Pakailah baju itu sampai nanti kering!"

"Hm..!" kwi-bo menarik napas dalam dengan mata bersinar-sinar, kagum namun juga penasaran kepada pemuda ini. "Kau telah menolong aku, Seng-kongcu, terimai kasih. Namun tubuhku tak akan cepat kering kalau ditutupi bajumu. Biarlah aku begini saja agar matahari memanaskan tubuhku."

Dengan gemulai dan penuh kelembutan wanita ini mengambil baju itu menyerahkannya kepada pemiliknya. Gerak tubuh itu bukan sembarang gerak karena inilah gerak dari Thian-mo-bu (Tarian Hantu Langit). Gerakan ini penuh pesona dan amat memikat karena dilakukan Kwi-bo dengan amat kuatnya. Gerak ketika mengangkat siku ke atas memperlihatkan sepasang bukit dadanya dari samping, menonjol dan penuh daya hipnotis hingga tujuh pemuda menahan napas.

Tapi ketika Seng kongcu mengerutkan kening dan justeru membuang muka, menerima bajunya dengan sikap kurang senang maka pemuda ini justeru tak tertarik dan seakan muak oleh gerak itu. Pemuda ini merasa bahwa wanita itu sengaja hendak merangsang selera rendah. la menjadi sebal!

"Hm , baiklah," katanya tiba-tiba. "Kalau begitu biar kau di sini bersama teman-temanku, kouwnio. Tempat ini serasa sesak bagiku. Aku ingin jalan-jalan di situ dan silakan kau dan teman-temanku di sini!"

Pemuda itu melompat dan pergi. Dia tidak kembali ke tempat gadis-gadis temannya itu melainkan berjalan-jalan menyusuri telaga, sikapnya acuh, sungguh membuat Kwi-bo tertegun. Dan ketika Wanita ini tiba-tiba menjadi merah dan gusar serta malu mendadak ia berkelebat dan jarak sembilan meter itu dilaluinya begitu mudah.

"He, berhenti!" para pemuda yang lain terkejut dan berseru tertahan. Wanita itu telah berjungkir balik di hadapan Kiat Seng. "Kau telah menghina dan merendahkan aku, Seng- kongcu. Coba katakan kau pemuda normal atau tidak!"

Pemuda itu terkejut. Kwi-bo telah mengusap dan menotok urat halusnya di belakang tengkuk, tempat yang membuat darah laki-laki akan berdesir dan dibangkitkan rasa nikmat. Inilah kebiasaan Kwi-bo kalau dia menemui laki-laki yang tangguh, atau sekedar menggoda kalau laki-laki di depannya akan dipermainkan lebih dahulu.

Dan ketika pemuda itu terkejut merasa disengat sesuatu yang aneh, hawa hangat memenuhi mukanya maka mendadak ia tertegun dan pandang matanya kepada wanita inipun berubah. Kwi-bo bertolak pinggang sambil membusungkan dadanya yang sudah membusung itu.

"Hm, aku... ah maaf, kouwnio. Apa yang kulakukan dan kenapa kau merasa direndahkan!"

Kwi-bo tersenyum mengejek. la telah melihat hasil usapannya berhasil dan pemuda ini gugup serta merah. Namun karena pandang mata pemuda itu masih tak mau langsung dan melengos ke tempat lain, hal yang membuatnya gemas maka ia berseru bahwa dua kesalahan besar dilakukan pemuda ini.

"Kau jelas merendahkan aku, menghina aku. Pertama adalah sikapmu menerima balik bajumu dan kedua adalah kata-katamu yang menusuk perasaanku. Kau seakan melihat aku wanita buruk, jijik memandang. Sekarang katakan dan lihat aku baik-baik apakah aku buruk atau cantik!"

Pemuda itu terkejut, merah padam.

"Katakan!" Kwi-bo membentak. "Aku buruk atau cantik, Seng-kongcu. Jawab dan jangan Kau menghina aku lagi!"

"Maaf, kau cantik!"

"Bagus, kalau begitu kenapa meninggalkan aku. Dengan pergi begitu saja berarti kau menyinggung peresaanku, menganggap aku wanita menjijikkan. Nah, maaf saja tidak cukup karena harus ditambah satu perbuatan nyata!"

Tujuh pemuda berlompatan turun. Tentu saja mereka kaget ketika melihat wanita itu berjungkir balik melompati telaga. Jarak sembilan meter dilalui begitu mudahnya. Maka ketika mereka menjadi kagum dan empat pemuda yang sudah tergila-gila tampak menjadi semakin tertarik lagi, jatuh cinta maka Kiat Seng yang dibentak dan dihadang wanita itu membuat mereka girang.

Bukan apa-apa melainkan semata mereka dapat nimbrung dan ikut-ikutan menyalahkan pemuda itu. Usaha untuk menarik hati wanita yang dalam pandangan mereka seperti bidadari. Apalagi Kwi-bo masih dalam pakaiannya yang basah kuyup!

"Benar, kau keterlaluan. Kau tak menghormat enci ini, Kiat Seng, padahal ia hendak mengajari kita ilmu memancing. Kau perlu ditegur, kalau perlu dihukum!"

"Ya, suruh ia mengelilingi telaga ini. Sekali putaran cukup!"

"Atau ia berenang menyeberangi telaga!"

"Atau aku menggantikan hukumannya asal diberi sebuah cium!"

Semua kaget. Pemuda baju biru itu, Hak Bun bicara dengan lantang tak malu-malu lagi. Ia terang-terangan memandang Kwi-bo dengan mata penuh gairah. Pemuda ini sudah menjadi begitu tergila-gila. Namun ketika Kwi-bo terkekeh dan mendepat sesuatu yang bagus mendadak wanita ini menggeleng.

"Cium boleh cium, tapi Kiat Seng harus menjalani hukumannya dahulu!"

Riuhlah tujuh pemuda itu. Tiba-tiba saja mereka menjadi berani sementara Seng-kongcu itu masih tertegun. la mengerutkan kening meskipun darah mudanya tersirap. Rupanya pemuda ini memiliki iman lebih tebal dibanding lain-lainnya, mampu menindas hawa nafsu yang naik dan tidak asal terkam.

la justeru memandang teman-temannya penuh teguran, tempat itu seketika ramai. Dan ketika ia berkata bahwa mereka tak boleh bersikap kurang ajar, mereka adalah para siucai (mahasiswa) yang sebentar lagi menempuh ujian maka pemuda ini mengeluarkan kata-katanya yang kembali membuat Kwi-bo tertegun.

"Harap kalian ingat bahwa kita bukanlah pemuda bergajulan. Delapan pemuda menemani satu wanita sebenarnya bukan perbuatan baik-baik, teman-teman, jangan menambah lagi dengan omongan kotor. Aku tak senang kalian begitu ingatlah petuah Lie-sianseng (guru Lie)".

"Hm, hi-hik. Kau rupanya kutu buku yang benar-benar patuh pada adat-istiadat. Omongan seperti itu bukan hal tabu, Seng-kongcu, kalian bukan anak-anak kecil dan sudah waktunya pacaran. Aku suka dicium, kalau aku mau. Dan suka sama suka bukanlah perbuatan aneh. Nah kembali pada hukumanmu maka pernyataan maaf saja tidak cukup. Teman-temanmu minta kau menyeberangi telaga atau berlari mengelilingi telaga, tapi aku tidak tega. Biarlah hukuman itu kujatuhkan yang ingan saja dan kau mencium pipiku!"

Terkejutlah pemuda itu. Tujuh temannya juga terkejut namun keterkejutan mereka karena iri. Hak Bun yang menahan- nahan hatinya tiba-tiba melotot. Enak benar Kiat Seng! Maka ketika tiba-tiba ia melangkah maju dan berseru kecewa mendadak saja ia sudah menjulurkan kepala mencium pipi wanita ini.

"Kiat Seng orangnya pemalu. Daripada gagal biarlah kuwakili, kouwnio. Akupun suka kepadamu dan jangan ditolak!"

Akan tetapi Kwi-bo mengelak marah. Seng-kongcu itu mundur membelalakkan mata sementara temannya yang lain-lain menelan ludah. Justeru terhadap pemuda yang tampak kemerahan dan ingin menolak ini ia menjadi penasaran. Berapa kuatkah daya tahan pemuda itu.

Semakin kuat justeru membuat Ia semakin penasaran. Ia ingin melihat pemuda ini mencium pipinya. Pemuda seperti ini biasanya akun menjadi lawan bermain Cinta yang menggairahkan, akan sekuat kuda liar kalau mampu ditundukkan. la sendiri sudah tak tahan!

Maka ketika tiba-tiba pemuda she Hak itu nyelonong maju dan mencium pipinya mendadak saja wanita ini melayangkan kaki dan.. mencelatlah pemuda itu ke air telaga, tercebur.

"Byuurrrr!"

Jerit dan kekagetan pemuda ini mengejutkan teman-temannya. Kiat Seng dan enam temannya terkejut melihat teman mereka itu mencelat ke air telaga. Kaki halus dan panjang indah itu kiranya menyimpan kekuatan dahsyat. Akan tetapi ketika teman mereka itu berenang menepi dan pucat serta merah berganti-ganti maka Kwi-bo enteng saja melepas tawanya.

"Aku hanya suka dicium Kiat Seng. Nah, yang lain tunggu giliran!"

Kata-kata ini membuat mereka terbelalak. Giliran? Jadi mereka akan mendapat giliran? Dan karena pada dasarnya mereka sudah dibuat jungkir balik oleh Kwi-bo yang pandai merangsang laki-laki maka pemuda yang sudah menepi dan hendak marah itu tak jadi memaki dan melompat lagi dengan mata penuh harap. Sikapnya seperti anjing melihat sepotong tulang yang digoyang-goyang di depan mulutnya.

"Kouwnio, kau tak adil. Kalau Kiat Seng tak mau kenapa harus memaksa. Bukankah masih ada yang lain di sini!"

"Hi-hik, ini hukuman untuknya. Diam dan tinggal di sana dulu, Hak Bun, aku tak bicara padamu. la harus membayar kesalahannya dan kalian tunggu giliran!"

Tujuh pemuda menelan ludah. Sekarang mereka tahu bahwa wanita di depan mereka ini bukan hanya sekedar pandai memancing akan tetapi, seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi. Gerak dan lompatannya tadi sudah jelas.

Dan karena mereka hanya para siucai yang mendalami buku-buku, bukan senjata atau ilmu silat maka semuanya tak berani bercuap-cuap dan tegang menanti giliran untuk diberi cium. Laki-laki mana tak tergetar melihat wanita seperti ini, wanita yang tubuhnya terbungkus pakaian tipis yang basah kuyup nyaris telanjang bulat!

Akan tetapi Kiat Seng ternyata pemuda yang santun dan teguh pendirian. Ia adalah putera seorang guru sastra namun ayahnya itu sudah meninggal dunia. Lie-sianseng adalah sahabat ayahnya dan sama kakek itulah ia mendapatkan pelajaran sastra. la memang tak suka ilmu silat karena ilmu silat dianggapnya identik dengan kekerasan.

Pemuda ini hanya hidup dengan ibunya yang lemah lembut bekerja di tempat Ong-taijin dan karena itulah ia bergaul dengan gadis baju merah itu yang secara tidak langsung adalah majikannya pula. Karena ia pemuda yang cerdas dan pandai maka ia tinggal di belakang gedung Ong-taijin itu, mendapat sebuah kamar besar bersama ibunya.

Hari itu mereka sedang liburan untuk menyiapkan diri menghadapi ujian, dipereaya menjaga puteri majikan dan sesungguhnya diam-diam puteri Ong-taijin itu jatuh cinta kepadanya. Maka ketika tiba-tiba datanglah wanita ini yang dinilai kurang santun, tertawa begitu lepas seperti orang tak tahu pendidikan maka diam-diam pemuda ini sudah menaruh rasa kurang suka dan itulah sebabnya tak mau diajak menjauhi teman-teman gadisnya.

Akan tetapi Kwi-bo berhasil memanaskan hatinya. la dianggap ingin main mata dengan teman-temannya perempuan. Sementara yang laki-laki mengikuti Kwi-bo. Apa boleh buat terpaksa ia ikut meskipun hatinya tak tenteram. Ia menangkap firasat tak baik pada si buta dan wanita itu, apalagi Kwi-bo begitu genit seakan menggoda teman-temannya agar roboh di pelukan. Pelajaran tata-susila yang diterimanya dari Lie-sianseng tidak begitu.

Wanita harus lembut dan sopan, menjaga tingkah lakunya dan tidak berkesan liar seperti wanita ini. Maka ketika tiba-tiba ia melihat sikap yang lebih berani lagi, bajunya dikembalikan sementara wanita itu membiarkan tubuhnya ditonton teman- temannya yang terbelalak berdetak oleh desir berahi pemuda ini sudah semakin tak senang lagi dan ingin menjauhi Wanita itu.

Akan tetapi ia dicegat. Pemuda ini terkeiut betapa bagai burung walet menyambar tahu-tahu wanita itu berjungkir balik di depannya. Tahulah ia sekarang bahwa wanita ini bukan wanita biasa, ia berhadapan dengan seorang wanita lihai yang mungkin dari golongan sesat. Hanya wanita seperti itulah yang patut dijuluki wanita sesat, tak malu dan mengobral kerling serta senyum nakal.

Maka ketika kini tiba-tiba saja ia diminta mencium pipi wanita itu untuk sebuah persoalan yang dianggap kurang ajar padahal wanita inilah yang sebenarnya kurang ajar dan tak tahu malu mendadak saja pemuda ini mengedikkan kepala dan usapan di belakang tengkuk kiranya kurang berhasil setelah pemuda itu menindas dengan segala pengetahuannya akan budi dan moral.

"Kouwnio, aku tiba-tiba saja ingin tahu siapakah kau dan namamu. Selama ini kita tak tahu masing-masing, mengenal hanya secara kebetulan saja. Menurut pelajaran yang kuterima dari guruku maka permintaanmu amat tidak sopan, juga berbau cabul. Siapakah kau dan bukankah tadi kau bilang sendiri bahwa dua belah pihak yang tidak sama suka tak boleh dipaksa. Aku tak merasa bersalah, sikapku adalah pendirianku pula, bebas. Kalaupun aku bersalah maka hukuman cium bukanlah hukuman, melainkan naluri rendah yang sekedar diturutkan oleh orang-orang yang biasanya bergelimang nafsu. Nah, maafkan aku dan silakan kau cari lain saja!"

Marahlah wanita ini. Dua kali ia ditolak dan kini pemuda itu memakinya. la dianggap orang yang bergelimang nafsu rendah, kata- kata yang cocok untuknya akan tetapi tentu saja tak dapat diterima. Maka ketika wanita itu melengking dan berkelebat iapun sudah menampar pemuda ini dengan amat marahnya. Gairahnya lenyap terganti nafsu untuk membunuh.

"Kau tak dapat dikasihani orang, baiklah, masih banyak pemuda lain yang suka mencium aku. Pergi dan mampuslah!"

Tujuh yang lain terkejut. Mereka dapat pula merasakan bahaya di atas kepala pemuda itu. Kwi-bo tak main-main lagi dan ingin melampiaskan kemarahannya. Meskipun pemuda itu menarik hatinya namun kalau bicaranya memanaskan telinga lebih baik dia bunuh saja, di situ masih ada tujuh pemuda lain yang siap melayani dirinya. Akan tetapi ketika tangannya bergerak dan kepala pemuda itu siap dipecahkan mendadak berkelebat bayangan merah dan bentakan seorang wanita.

"Selamanya kau memang kotor. Kalau pemuda ini tak mau kau paksa jangan kau paksa, Kwi-bo. Aku lawanmu dan jangan menindas orang-orang lemah...dess!"

Sebuah lengan halus menangkis tamparannya dan terpelantinglah wanita ini berteriak kaget. Begai rajawali menyambar munculah seorang wanita cantik berusia duapuluhan tahun, matanya bersihar-sinar memandang Kwi-bo yang bergulingan meloncat bangun. Terkejutlah delapan pemuda yang ada di situ. Lalu ketika di tempat lain terdengar pekik dan bentakan nyaring tiba-tiba saja di tempat para gadis itu terdengar jerit dan suara gaduh.

"Ada keributan, mari kita lihat!" para pemuda itu tiba-tiba berhamburan menuju ke teman-teman mereka di sana. Pekik dan jerit teman-teman perempuan itu seperti sedang ketakutan oleh sesuatu. Dan ketika mereka tiba di sana ternyata si buta yang mereka anggap lemah dan perlu dikasihani itu bertanding hebat dengan seorang kakek tua setinggi galah.

Para pemuda tertegun. Kiat Seng, pemuda itu juga ada di situ setelah dengan muka pucat diselamatkan wanita cantik itu. Mendengar jerit Ong Wi dan lain-lain ia memburu berlari, lupa kepada wanita itu dan lupa pula mengucapkan terima kasihnya. Namun ketika ia melihat puteri Ong-taijin itu selamat di sana, bergerombol dengan teman-temannya yang lain maka pemuda ini lega dan tujuh temannya yang lain juga bergerak dan sudah berkumpul dengan para gadis ini.

"Apa yang terjadi, siapa kakek tinggi kurus itu!"

"Kami... kami disihir. Si buta itu ternyata bukan orang baik-baik, Hak Bun. Ia mencium kami semua!"

"Apa?"

"Benar, Ong wi hampir saja direnggut kesuciannya. Dialah yang paling menderita, lihat pakaiannya yang koyak-koyak itu!" lalu ketika para pemuda terbelalak dan melihat gedis itu menangis tiba-tiba puteri Ong-taijin ini berlari ke kereta dan segera yang lain-lain mengikuti.

"Si buta itu jahanam keparat, ia hendak memperdayaiku. Mari pulang, Hak Bun, kita pulang...!"

"Ha-ha, benar. Kalian pulang dan tinggalkan tempat ini, anak-anak. Ini bukan tempat kalian dan cepat masuk rumah!"

Delapan pemuda terkejut dan memandang kakek setinggi galah itu. Mereka melihat kakek itu berkelebatan dan akhirnya lenyap. Si buta juga membentak dan mengejar dan dua orang di sana itu sudah saling berseliweran membentuk bayangan yang amat cepatnya. Begitu cepatnya hingga mereka pusing.

Lalu ketika mereka tak melihat apa-apa lagi kecuali bayangan biru dan putih yang saling belit mendadak terdengar benturan dan. terpelantinglah delapan pemuda ini ketika tanah yang mereka injak seakan ditimpa gajah.

"Aahhhh...!" semua kaget, bangun dan jatuh lagi karena tempat yang mereka injak berderak-derak. Tempat itu tiba-tiba seakan tempat licin yang membuat mereka sering terpeleset, jatuh dan bangun lagi dan sebentar saja pakaian mereka penuh debu.

Si buta mengeluarkan suara melengking-lengking yang membuat telinga sakit bukan main. Gendang seakan pecah. Untunglah ketika kakek itu tertawa bergelak dan tawanya ini membungkus suara melengking-lengking tadi, mereka terhuyung bangun maka di tengah-tengah pertandingan itu kembali kakek itu berseru.

"Cepat kembali dan pulang ke rumah masing-masing. Tinggalkan tempat ini."

Kuda meringkik dan para gadis di dalam kereta menjerit-jerit. Kaget oleh lengking si buta yang tinggi menyakitkan, rupanya binatang-binatang itupun tak tahan. Mereka melonjak dan bereaksi, kalau tidak cepat dikendalikan tentu kereta akan kabur dengan gila, penumpangnya bisa celaka.

Maka ketika Hak Bun dan Kiat Seng melompat menyambar tali kuda segera enam pemuda yang lain bergerak dan masuk ke dalam kereta. Kuda semakin sulit dikendalikan lagi, tali ikatnya putus. Dan begitu dua pemuda itu menyendal dan menyuruh kuda berlari maka dua kereta itu berderap kencang meninggalkan telaga.

"Awas, hati-hati... Ting-teng-ting-teng!" lonceng di bawah leher kuda berdentang berkali-kali. Dua ekor kuda dimasing-masing kereta membalap dengan kencang, untunglah Hak Bun maupun Kiat Seng sama-sama cekatan mengendalikan kuda.

Dan ketika mereka menghilang sementara gadis-gadis di dalam miring kiri kanan oleh gerakan roda mengenai tanah berbatu maka di sana si buta maupun temannya menghadapi lawan-lawan berat yang membuat masing-masing menjadi marah.

Kwi-bo, yang meloncat bangun dan sudah melihat siapa lawannya tentu saja gusar dan memekik. Inilah Li Ceng isteri Peng Houw, murid Kun-lun yang lihai itu. Maka ketika ia hilang kagetnya setelah sesaat membelalakkan mata maka ia menerjang dan keget juga bagaimana wanita yang disangkanya tewas tertimbun guha itu masih hidup.

"Kau di sini, bagus. Kau ternyata masih hidup. Mampus dan terima pukulanku, bocah, dan robohlah!"

Akan tetapi Li Ceng mendengus. la mengelak dan menangkis dan segera lawannya berteriak terpental. Kwi-bo boleh hebat akan tetapi wanita muda inipun lebih hebat. Setelah menjadi isteri Si Naga Gurun Gobi tentu saja kepandaian Li Ceng bertambah, sinkang dan ginkangnya maju pesat. Maka ketika ia berkelebatan dan sebentar kemudian Kwi-bo terdesak dan menangkis serangan-serangannya maka lawan keteter dan sesungguhnya wanita ini masih kalah bila dibandingkan cucu Mutiara Geledek Lo Sam ini.

Akan tetapi Kwi-bo tentu saja tak mau menyerah mentah-mentah. Ia mencabut senjatanya tongkat berkepala tengkorak itu, mengayun dan memencet gagangnya dan menyambarlah jarum-jarum halus ke tubuh lawan. Akan tetapi karena Li Ceng sudah mengetahui kebiasaan lawannya ini dan mengibaskan kelima jarinya maka semua jarum runtuh dan kembali lawan didesak. Kwi-bo pucat.

"Kau benar-benar wanita busuk. Dulu kau memfitnah suamiku, Kwi-bo, dan sekarang menyerang curang. Aku akan membunuhmu dan tak ada ampun lagi!"

Wanita ini mengeluarkan pukulannya berhawa panas dan Kwi-bo melempar tubuh bergulingan. Di balik hawa panas itu mencuat sinar putih bagai petir, itulah Lui-cu-kang atau Pukulan Mutiara Geledek yang amat ampuh, ia tak berani menerima dan melempar tubuh menyelamatkan diri. Dan ketika ia bergulingan meloncat bangun disana, pucat maka wanita ini berteriak pada Chi Koan agar cepat datang ke situ. Siauw Lam tak tampak batang hidungnya.

Akan tetapi Li Ceng tertawa mengejek. Ia gemas bukan main melihat wanita iblis ini memanggil Chi Koan, kemarahannya bertambah. Maka ketika ia membentak dan mengejar wanita itu maka Kwi bo menangkis akan tetapi kembali terpelanting.

"Chi Koan akan mampus menerima hukumannya pula. Kau dan dia sama-sama keji, Kwi-bo, sekarang kalian di lubang kematian dan sebentar lagi bertemulah dengan Raja Akherat!"

Kwi-bo pucat dan melempar tubuh lagi. Dulu ketika ia bertanding dengan wanita ini di rumahnya iapun terdesak dan akan celaka kalau tidak dibantu Chi Koan. Si buta itu benar-benar segalanya bagi dia, tempat di mana ia dapat berlindung kalau terdesak oleh musuh yang kuat.

Namun ketika kini seruannya tak mendapatkan tanggapan dan justeru di tempat lain terdengar benturan dan geraman si buta maka Kwi-bo menjadi terkejut dan ingin tahu juga apa yang menjadi sebabnya. Hal ini membuat ia berjungkir balik menjauhkan diri dari lawan, memutar tubuh dan lari untuk melihat Chi Koan bertanding hebat dengan seorang kakek tinggi kurus seperti galah. Dan ketika ia tertegun tak tahu siapa itu, melihat kakek itu berkelebatan cepat di antara tongkat temannya maka Kwi-bo menjublak akan tetapi saat itu Li Ceng mengejarnya dan membentak.

"Jangan melenggong saja. Kematianmu sudah dekat, Kwi-bo, terimalah!"

Kwi-bo berkelit. Ia mengelak dan sadar namun keyakinannya kepada si buta cukup besar. Hanya terhadap Peng Houw si buta mengaku kalah, yang lain tak masuk hitungan dan karena itu wanita inipun bangkit kemarahannya. Chi Koan pasti akan menolongnya nanti. Maka ketika membalik dan menerjang lawan segera dua wanita ini bertempur sengit dan masing-masing memiliki kepercayaan untuk menang.

Akan tetapi perhitungan Kwi-bo meleset. Ia tak tahu siapa lawan Chi Koan sebenarnya dan tentu saja tak tahu bahwa tokoh seangkatan Ji Leng Hwesio muncul. Kakek itu bukan lain adalah Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip, tokoh sakti yang dulu bertanding sama kuat dengan mendiang Kun-lun Lo-jin, seusap di bawah Ji Leng Hwesio dan yang akhirnya merantau meninggalkan Tiong-goan menuju Nepal dan Bhutan, bertapa di puncak Himalaya dan setelah memperoleh kesaktian tinggi lalu kembali ke daratan besar.

Sayang karena musuh-musuh seangkatannya tak ada lagi maka kakek ini membuang kecewa dengan tinggal di lorong bawah tanah, tempat di mana ia biasa tinggal kalau bertamu di Kun-lun. Dan karena kakek itu akhirnya bertemu Li Ceng dan mengangkat Boen Siong sebugai muridnya maka permintaan nyonya itu untuk mencari dan menghadapi Chi Koan dituruti, dengan catatan bahwa kalau si buta dapat dikalahkan maka ia tetap tak dibunuh, karena ia hanya ingin menunjukkan kepandaiannya kepada nyonya muda itu.

Begitulah hari itu kakek ini bertemu orang yang dicari Sepanjang jalan tentu saja mereka melihat bekas-bekas kekejaman Chi Koan di dusun-dusun yang ditinggalkan. Ratap tangis isteri atau suami yang kehilangan pasangannya membuat wajah wanita ini berapi-api. Seperti itulah perbuatan si buta kepadanya, ia kehilangan suami. Dan karena bekas-bekas kekejaman ini justeru mudah ditelusuri, di situlah mereka mencari lawan mereka maka di telaga itu Li Ceng menemukan si buta.

Waktu itu Chi Koan sendirian saja dengan gadis-gadis cantik yang merubunginya. Wajahnya yang tampan dan gerak-geriknya yang halus membuat gadis-gadis pelajar itu tersentuh juga. Pandangan jijik yang semula ditujukan kepada kelopak kosong yang bergerak-gerak itu akhirnya lenyap, terganti keharuan dan rasa iba yang dalam, apalagi getar suara Chi Koan yang penuh kekuatan batin membuat gadis-gadis itu dikuasai sesuatu yang menghipnotis.

Dan ketika perlahan-lahan mereka masuk dalam jebakan yang dilakukan si akłhirnya kenapa sepasang matanya buta maka di sini tiba-tiba si buta menangis dan para gadis ikut menangis melihat betapa wajah tampan namun buta itu basah oleh air mata. Wajah itu berkerut-kerut.

"Aku... aku dibutai sahabatku yang berkhianat. Ah, hidup sungguh buruk bagiku, cuwi-Siocia, langit seakan runtuh. Kekasihku yang malang direbut sahabatku itu dan agar tidak melihat wajahnya lagi ia menusuk mataku dengan sepasang garpu."

"Keji, jahat sekali. Siapa nama sahabatmu yang tak tahu diri itu, twako, dan eh siapa namamu pula!"

"Aku she Koan, namaku Chi. Sahabatku itu adalah Peng Houw dan ialah yang menusukkan garpu ke biji mataku ini. la mencintai kekasihku,ia ingin merebut secara paksa. Padahal kalau dia minta baik-baikpun pasti kuberikan. Ah, nasibku memang buruk!"

Chi Koan menangis dan terharulah gadis-gadis itu oleh ceritanya yang menyayat. Begitu pandai si buta ini bermain Sandiwara hingga gadis-gadis itu semakin dekat, bukan hanya secara fisik namun jiwa merekapun tergetar. Haru dan iba mudah menimbulkan kasih sayang. Dan ketika seorang di antaranya tiba-tiba memegang lengannya dan berbisik agar ia tak usah bersedih maka Chi Koan terkejut karena daya-pengasih yang dikerahkannya ternyata menjerat gadis ini, bukan Ong-siocia yang diincarnya itu.

"Kau... kau tak usah bersedih. Kalau nasibmu begitu malang biarlah kau tinggal di rumahku, Koan-twako. Aku akan membiayaimu dan membahagiakanmu!"

Yang lain terkejut. Akan tetapi karena perasaan iba dan kasih sudah menjalar di hati semua orang, gadis-gadis itu mengangguk maka yang lain bicara juga dengan nada yang sama,

"Atau kau tinggal di tempatku, orang tuaku juga kaya!"

"Atau di tempatku saja, di samping kamarku ada kamar kosong!"

Chi koan tertegun ketika gadis-gadis cantik itu berebut terpengaruh daya pengasihnya. Dari semua itu justeru Ong-siocia belum menyatakan pendapatnya, ia tak tahu bahwa gadis ini teringat Kiat seng. Maka ketika ia mengerutkan kening dan maklum bahwa gadis itu rupanya sudah terpikat orang lain, satu-satunya jalan ia harus memperkuat pengaruh batinnya maka iapun tersenyum dan tiba-tiba menghela napas, suaranya lirih ketika bertanya kepada gadis baju merah itu.

"Dan kau sendiri, tidakkah kau menaruh belas kasihan kepadaku, Ong-siocia? Tidak adakah tempat bernaung bagiku si papa ini?"

Gadis itu terkejut, merona wajahnya. Getaran suara si buta amat kuat dan tiba-tiba hilanglah wajah Kiat Seng. Temannya sudah saling menawarkan jasa baik sementara ia sendiri belum. Maka ketika ia terisak dan menghapus air matanya gadis yang sudah dipengaruhi daya pengasih ini maju mendekat, gemetar memegang tangan si buta.

"Akupun kasihan kepadamu, Koan-twako, akan tetapi entahlah ayah ibuku. Mereka tentu harus diberi tahu, aku tak dapat menjawab sekarang."

"Tapi kau dapat merajuk, ayah ibumu tentu menurut!"

'Ya... ya, dapat kulakukan itu. Tapi, ah... entahlah, aku bingung!"

Chi Koan tersenyum. la memperkuat lagi kekuatan batinnya dan tiba-tiba iapun menangkap lengan gadis itu. Yang lain membelalakan mata dan ada yang menangis terisak-isak. Sandiwaranya berhasil benar. Dan karena gadis inilah yang sebenarnya diincar dan bukan gadis-gadis lain iapun menarik lembut tiba-tiba ia telah menjatuhkan gadis itu dipangkuannya, tanganpun membelai, suara bergetar dan penuh daya sedot.

"Ong-siocia, gadis kekasihku itu sepertimu. karena ia telah meninggalkan aku maukah kau menggantikan. Bolehkah aku menciummu?"

Gadis ini terkejut. Untuk sedetik ia merasa kilatan menyambar, tubuhnya tahu-tahu sudah di pangkuan lelaki. Akan tetapi karena kekuatan batin yang dikerahkan Chi Koan amatlah kuatnya dan kesadaran itu hilang lagi maka iapun mengangguk dan tanpa sadar menjawab, "Ya, aku mau...!"

Chi Koan girang bukan main. Tentu saja ia langsung mencium namun karena di situ ada yang lain-lain maka iapun tak mau kepalang tanggung. Biasanya para gadis tak akan banyak cingcong lagi kalau semua mendapat getahnya. Maka ketika ia bertanya apakah yang lain di situ menaruh kasihan dan mau menciumnya serentak gadis-gadis itupun mengangguk. Mereka benar-benar sudah seperti disihir.

"Aku... aku mau...!"

"Akupun mau!"

"Kalau begitu ciumlah aku, lalu aku mencium kalian!"

Dan ketika serentak gadis-gadis itu membungkuk mencium pipi Chi Koan maka si buta hampir tertawa bergelak mencium gadis-gadis itu. Mereka ini lembut dan jinak- jinak terasa, satu demi satu dicium pipinya dan Chi Koan merasakan kegembiraan yang sangat. Satu demi satu ia merasakan pipi-pipi lembut, dan karena ia sudah terangsang dan bergerak lebih jauh maka iapun meremas bagian-bagian yang lain dan beberapa di entaranya menjerit kecil.

Akan tetapi gadis-gadis itu seperti boneka-boneka indah yang benar-benar kehilangan kesadarannya. Sebentar saja mereka terkejut dan selanjutnya Chi Koen mendorong, berahinya menggelegak. Dan ketika ia melepas kancing baju Ong-siocia dengan nafsu membubung, tiba-tiba gadis itu tersentak dan menjerit mendadak ia mundur dan pakaianpun robek.

Chi Koan bangkit dan menyambar lagi namun yang kena gadis lain, gadis ini juga terkejut dan robek pakaiannya. Lalu ketika si buta bertanya di mana Ong-siocia itu, gadis ini menggigil terbelalak tiba-tiba berkelebatlah bayangan tinggi kurus disertai bentakan, membuyarkan pengaruh sihir atau daya pengasih Chi Koan.

"Haiya, ini kiranya murid Ji Leng Hwesio. Lepaskan mereka dan jangan ganggu gadis-gadis itu, bocah she Ci. Jahat sekali perbuatanmu dan sungguh amat memalukan!"

Chi Koan terkejut. Kalau sambaran itu hanya sekedar sambaran dan tidak membuyarkan pengaruh sihirnya tentu ia tak akan sekaget itu. Angin menderu dan membuyarkan segala-galanya, bahkan terus menghantam dirinya dan dorongan amat kuat membuat ia terkejut, menangkis akan tetapi pukulan itu tiba lebih dulu. Dan ketika ia terbanting bergulingan dengan muka kaget, tongkat hampir saja terleps dari tangannya maka Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip menepuk kepala gadis-gadis ini menyadarkan mereka.

"Hayo... hayo pulang, jangan di sini. Si buta itu berbahaya untuk kalian!"

Menjerit dan terpekiklah gadis-gadis itu. Begitu pengaruh buyar serentak mereka terkejut setengah mati. Masing-masing tiba-tiba sadar akan apa yang telah dilakukan. Dan ketika mereka merah padam dan malu bukan main, betapa si buta telah mereka cium dan balas mencium mendadak mereka berserabutan dan kancing baju yang terlanjur dibuka lupa ditutup kembali, menjerit.

Dan berteriak-teriakan dan jeritan inilah yang didengar Kiat Seng dan teman-temannya tadi. Mereka melihat betapa teman-teman perempuan itu jatuh bangun, histeris dan pucat sementara di sana seorang kakek tinggi kurus berkelebatan menghadapi Si buta.

Deru angin pukulan membuat mereka terpelanting. Dan ketika semua melarikan diri dan di dalam kereta gadis-gadis itu mengguguk sambil bercerita tentu saja para pemuda ini meremang bulu tengkuknya karena di tempat lain merekapun sesungguhnya juga dipengaruhi Kwi-bo dan hampir melakukan apa yang seharusnya tak boleh dilakukan.

Chi Koan mula-mula terkejut oleh dorongan angin pukulan kuat itu. Ia terbanting namun meloncat bangun dan menganggap semuanya karena kurang siap. Ia diserang begitu tiba-tiba. Maka ketika ia menancapkan tongkat dan miringkan kepala meraba-raba siapa lawannya itu maka suara tua seorang kakek membuatnya tertegun.

"Heh-heh, kau kiranya bocah she Chi yang luar biasa itu. Hm, kali ini aku akan menghajarmu, bocah. Perbuatanmu di dusun-dusun sungguh keji sekali. Aku mewakili gurumu memberi adat!"

"Siapa kau!" Chi Koan membentak, diam-diam mengerahkan tenaganya dan memegang tongkat erat-erat. "Aku tak mengenal dirimu tapi kau, mengenal aku, orang tua. Sebutkan namamu sebelum tongkatku meremukkan kepalamu!"

"Heh-heh, sombong sekali. Aku kakek buyutmu Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip, tak mungkin kau kenal karena ketika aku sudah menjadi kakek-kakek kau baru lahir. Hmh, kau telah mewarisi ilmu kepandaian Bu-tek-cin-keng, bocah. Coba kau lontarkan kepadaku dan menyeranglah. Aku memang ingin menjajal!"

Chi Koan mengerutkan alisnya. Ia tak mengenal nama ini tapi mendengar lawan menyuruh ia mengeluarkan ilmu Bu-tek cin-keng tentu saja ia berhati-hati. Kalau orang sudah tahu tapi masih menyuruh menyerangnya tentu kakek itu bukan orang sembarangan. Angin pukulannya tadi sudah membuktikan. Maka ketika ia berhati-hati dan tidak segera menyerang, kakek itu terbelalak maka ia menyuruh kakek itu maju dan nanti dibalasnya.

"Aku orang muda, kau sudah tua bangka. Sebaiknya kau yang maju dan nanti aku bergerak."

"Ha-ha, merendahkan orang tua? Baiklah, terima ini dan jaga keselamatanmu! " tujuh sinar berkeredep.

Namun Chi Koan tak melihat ini, miringkan kepala dan tak mendengar sesuatu sampai tiba-tiba tujuh hui-to atau golok terbang itu begitu dekat. Barulah dalam jarak kurang dari semeter ia mendengar dengung halus dari tujuh senjata rahasia ini, terkejutlah si buta.

Dan kėtika ia mengelak den menangkis dengan tongkatnya maka tujuh hui- to itu terpental dan Chi Koan mengeluarkan keringat dingin karena dari situ ia tahu bahwa kakek di depannya ini benar-benar seorang ahli lempar golok yang tidak kedengaran suaranya!

"Trang-trang-trang!"

Si buta terhuyung dan berubah. Telapaknya pedas tergetar dan tongkat terasa hampir lepas. Terkejutlah dia karena sinkang dari lemparan hui-to itu benar-benar hebat sekali. Chi Koan tak tahu bahwa lawannya ini adalah seangkatan mendiang kakek gurunya Ji Leng Hwesio, jadi tak aneh kalau kepandaiannya memang tinggi.

Dan ketika ia terkejut dan kakek itu bukan lawan yang enteng sebaliknya kakek ini juga kagum karena dengan tepat dan jitu sekali si buta berhasil menangkis hui-to nya, padahal jarak sudah sedemikian dekat dan bagi orang lain tak mungkin menghindarinya. Ji Leng Hwesio sendiri mungkin tidak! Maka kagum oleh pendengaran si buta yang luar biasa tiba-tiba kakek ini tertawa bergelak, semangatnya timbul.

"Ha-ha, tak biasanya aku melawan orang-orang muda. Menang tak mendapat apa-apa sementara kalah malah mendapat malu seumur hidup. Heh, aku telah menyerangmu, anak muda, sekarang balaslah dan keluarkan Hok-te Sin-kang mu itu. Langsung saja!"

Chi Koan menjadi marah. Setelah ia tahu bahwa lawan di depannya ini benar-benar bukan kakek sembarangan iapun tak mau main-main lagi. la percaya bahwa kakek itu bukan orang gila yang begitu saja nminta diserang Hok-te Sin-kang. Pukulan itu amat dahsyat dan satu-satunya yang terdahsyat di antara warisan Bu-tek-cin-keng. Maka ketika ia membentak dan tiba-tiba mendorongkan tangan kirinya iapun berseru agar kakek itu berha-hati.

"Baik, terimalah, tua bangka. Awas kau.!" Dorongan Chi Koan disertai deru angin menyambar. Pemuda menjadi marah dan benar-benar mengeluarkan Hok-Te Sin-kang nya itu. Dan ketika si kakek terbelalak berseri-seri namun sayang tak dapat dilihat si buta ini maka kakek itupun berseru keras mengangkat tangan kirinya pula.

"Desss!" Dua tenaga kuat bertemu dan Chi Koan tertegun betapa pukulannya tertahan, menambah kekuatannya dan kakek itupun berseru keras, rupanya merasa tambahan tenaga dari depan namun tiba-tiba si kakek kehilangan sasaran. Cepat sekali Chi Koan menarik pukulannya, bergeser ke samping.

Akan tetapi ketika kakek itu juga menarik pukulannya dan bergeser ke samping maka Chi Koan kagum dan terkejut karena sikapnya ditiru lawan. Ia tak berhasil menjebak kakek itu agar terjerumus ke depan...!

Kabut Di Telaga See Ouw Jilid 14

Cerita Silat Mandarin Serial Bu-beng Sian-su Karya Batara

Si BUTA menangkap dan menerima wanita ini. Kejadian di pagi itu sungguh menggegerkun dan mengejutkan semua orang. Mereka terbelalak dan bingung di depan rumah kepala dusun, senjata merunduk ke tanah tak jadi digerakkan. Mereka tak tahu harus berbuat apa. Lalu ketika Chi Koan mencengkeram dan menotok puteri kepala dusun, yang lunglai dan seketika tak mampu bersuara maka si buta berseru agar Bi Leng mengaku semu perbuatannya.

"Kau membuka rahasia di depan umum, kau menelanjangi kami semua. Katakan kepada mereka bahwa kaulah yang mula-mula memasuki kamarku dan minta dilayani sebagaimana hubungan pria wanita!"

“Tidak, tidak... aku, ah... lepaskan aku, kongcu. Aku tidak mengatakan apa-apa kepada siapapun. Suamikulah yang bicara, ia cemburu temanmu tak memakai dirinya lagi"

"Apa? Hao-siu cemburu kepada Kwi-bo?"

"Benar, ia marah-marah kepadaku, kecewa lalu melaporkan kepada ayah dan inilah akibatnya. Lepaskan aku dan jangan sakiti!"

Chi Koan membelalakkan kelopaknya yang kosong. Semula seperti Kwi-bo ia pun menduga wanita inilah yang membuka rahasia. Sungguh tak disangka kalau sang suami yang cemburu, marah karena kwi-bo tak memakainya lagi. Tapi ketika ia tiba-tiba tertawa bergelak dan Kwi-bo terkekeh, meliarlah wanita ini mencari petani muda itu maka didapatinya laki-laki itu bersembunyi di balik punggung penduduk.

"He, kau!" Kwi-bo memanggil dan berseru. "Ke sini, Hao-siu, kiranya kau yang menjadi gara-gara!"

Akan tetapi petani muda itu ketakutan di sana. la bahkan merunduk dan menyembunyikan diri, tiba-tiba sesal dan takut muncul. Tapi ketika Kwi-bo berkelebat dan penduduk berteriak didorong terpelanting, mudah saja wanita ini menangkap maka laki-laki itu sudah disambar dan sekali berjungkir balik wanita ini kembali lagi di dekat Chi Koan. Geraknya yang mengejutkan seperti walet menyambar membuat penduduk ngeri. Kwi bo pulang balik seperti pandai menghilang saja.

"Kau!" wanita ini terkekeh menekan tengkuk orang. "Kiranya gara-gara cemburu dan marah membuat gara-gara di pagi ini, Hao-siu, kurangkah kenikmatan yang kau dapat dariku hingga masih tidak puas. Hayo, katakan kepada penduduk bahwa kaupun memasuki kamarku dan minta dilayani!"

Petani muda ini gemetaran. la meronta melepeskan diri namun cengkeraman Kwi-bo membuat ia kesakitan. Semakin memberontak semakin nyeri dan sakit. Maka ketika ia menangis dan ketakutan setengah mati iapun mengakui bahwa sesungguhnya ia lebih dulu memasuki kamar Wanita itu.

"Aku... aku bingung. Aku merasa jatuh cinta. Lepaskan aku, kouwnio... lepaskan aku. Kuakui bahwa aku memasuki kamarmu dan kau mau melayani aku. Lepaskan aku..!"

"Katakan dulu apakah nikmat bercinta denganku atau tidak. Kau suka atau tidak!"

"Aku... aku suka... nikmat!"

"Heh-heh-heh!" Kwi-bo sengaja menggoda kepala dusun yang mendelik di situ. Percakapan itu didengarkan semua orang dan Gu Pin serta Luan-ho yang semula dianggap biang keladi ternyata hanya merupakan orang nomor dua dan tiga setelah Hao-siu ini.

Petani muda itu menyatakan betapa nikmat dan sukanya bercinta dengan wanita itu, padahal mertuanya mengincar lebih dulu dan ingin bermabok-mabokan dengan si cantik. ketika kakek itu tak dapat menahan marahnya dan memekik serta menggerakkan sabit maka ia menyabet menantunya itu dengan kata-kata kotor.

"Kau jahanam tak tahu malu, sudah punya isteri sendiri masih juga jelalatan mencari lain!"

Kwi-bo melempar petani muda ini kearah mertuanya. Semua orang menjerit ketika sabit mengenai leher, Hao-siu menjerit kemudian roboh. Luka di lehernya menganga. Lalu ketika dengan kalap kakek ini dibakar cemburu dan marah. Bi Leng menjerit-jerit maka tanpa ampun lagi kakek itu mencincang menantunya.

"Kau jahanam kurang ajar, kau manusia tak tahu budi. Ah, mampuslah...mampuslah!"

Bertubi-tubi sabit merobek tubuh petani muda itu. Kejadian berlangsung cepat hingga penduduk terbelalak tak sadar, mereka seakan dihipnotis iayaknya. Tapi ketika Bi Leng dilepaskan si buta dan wanita itu menubruk suaminya maka sadarlah penduduk dan serentak mereka menangkap dan merampas sabit di tangan lelaki tua itu. Tubuh Hao-siu bersimbah darah dan gegerlah penduduk, para wanitanya menjerit. Lalu ketika mereka berhamburan pula menubruk korban maka Kwi-bo terkekeh dan tiba-tiba menyambar Yan-kim dan Sui-ma.

"Mereka inipun juga tak tahu malu. Bunuh dan hukum seperti si Hao-siu itu!"

"Dan ini juga!" Siauw Lam terkekeh menangkap Gu Pin dan Luan-ho, melontarkan ke tengah penduduk. "Hukum dan cincang mereka, paman-paman. Mereka juga masuk ke kamar bibiku secara tak tahu malu!"

Serentak kaum laki-laki beringas dan memandang dua petani muda itu. Mereka tiba- tiba juga cemburu betapa wanita secantik Kwi- bo mau melayani rekan-rekan seperti ini. Alangkah beruntungnya mereka itu, dan alangkah rugi diri sendiri tak sempat menikmati anggur segar. Tapi ketika mereka hendak menubruk dan mencincang dua petani ini mendadak isteri kepala dusun berteriak menuding Kwi-bo juga Chi Koan.

"Jangan terhasut, dua orang ini iblis-iblis tak tahu malu. Kalau mereka orang baik-baik tak sudi membuka kebobrokan diri sendiri. Aku sudah curiga sejak semula, saudara-saudara. Bi Leng telah mengatakan kepadaku betapa ia seakan disihir si buta itu. Ia masuk tanpa sadar, dan Hao-siu juga. Tentu Luan-ho dan Gu Pin juga begitu karena mereka diguna-guna. Tangkap dan bunuh mereka itu mereka inilah iblis-iblis pengacau kampung!"

Bergeraklah para penduduk dusun itu. Dua suami isteri di sana mengangguk-angguk dan Sui-ma maupun Yan-kim mengiyakan kata-kata ini. Mereka seakan disihir dan diguna-guna, apa yang mereka lakukan adalah tanpa sadar. Maka ketika penduduk tiba-tiba marah dan membalik menghadapi si buta mendadak mereka berteriak dan menyerang pemuda itu.

"Hi-hik, kau yang diserang, bukan aku. Rupanya aku masih disayang mereka, Chi Koan. Para pemudanya melotot kepadaku," Kwi-bo terkekeh, melihat orang-orang itu tak menyerangnya karena mereka mungkin merasa sayang. Wanita secantik ini tak boleh dibunuh, biar ditangkap dan nanti diadili saja. Kalau perlu "dipakai” beramai-ramai, ada mata-mata nakal di antara para penduduk itu.

Maka ketika mereka menyerang dan hendak membunuh si buta, justeru di sinilah celakanya maka si buta tersenyum dan sekali ia menggerakkan tongkat berteriaklah para penduduk itu ketika terangkat dan terlempar ke belakang.

"Kalian tikus-tikus busuk tak tahu diri. Pergilah!"

Perlahan saja gerakan tongkat itu namun kesiur angin yang terbawa bukan main hebatnya. Belasan terbanting dan patah tulangnya, yang lain berdebuk dan menimpa teman sendiri, terpekik. Lalu ketika mereka berteriak dan roboh tak keruan maka Chi Koan berkata pada muridnya agar meninggalkan tempat itu.

"Mari pergi."

Siauw Lam tertawa. Ia sendiri gembira oleh kejadian itu dan merasa geli melihat yang terbanting dan mengaduh-aduh. Lucu sekali serangan penduduk dusun itu, tiada ubahnya laron menyerbu api. Maka ketika ia terkekeh dan menyambar lengan gurunya iapun melompat dan membawa gurunya pergi.

"Mari, suhu, kecoa-kecoa itu tunggang langgang!"

Chi Koan tersenyum. la melangkah tenang dan tak perduli kiri kanan lagi. Jerit dan pekik kesakitan itu bahkan mebuatnya berseri- Seri. Penduduk tentu saja gentar. Lalu ketika Kwi-bo mengikuti dan terkekeh di belakang si buta maka mereka yang mendapat hajaran tentu saja ngeri dan pucat. Akan tetapi tidak semua penduduk patah tulangnya. Mereka yang hanya terlempar dan terbanting menimpa tubuh teman sendiri dapat meloncat bangun.

Mereka inilah yang merasa penasaran dan ingin menangkap pengacau-pengacau itu. Namun karera si buta ternyata lihai dan. mereka gentar maka Kwi-bo menjadi sasaran dan wanita inilah yung sekarang hendak ditangkap.

"Berhenti, kaupun tak boleh pergi.. ayo tinggalkan teman-temanmu dan pertanggung jawabkan dulu perbuatanmu!"

"Hi-hik, pertanggung jawaban apa. Kalau aku tertangkap tentu kalian hendak mempermainkan aku, tikus-tikus busuk. Mata kalian telah bicara dan lahap menelan tubuhku. Pergilah!"

Rambut wanita ini bergerak dan pendudukpun menjerit. Mereka belum melihat kelihaian wanita ini kecuali menangkap Hao-siu tadi. Maka ketika tiba-tiba rambut meledak dan menghantam pecah pipi mereka maka tiga orang mengaduh dan bergulingan menjerit-jerit, tidak berhenti di sini karena Kwi-bo berkelebat mendahului, menggerakkan kaki tangannya dan mencelatlah petani-petani itu berteriak ngeri.

Mereka terbanting dan pecah kepalanya, Kwi-bo memang keji. Dan ketika wanita itu terkekeh dan berhenti bergerak maka dua puluh penduduk malang-melintang tak mampu bangkit lagi. Mereka patah tulang dan paling sedikit pecah pipinya.

"Nah, siapa ingin maju. Mari kukirim ke akherat!"

Buyarlah penduduk dusun. Mereka cerai-berai melihat keganasan wanita itu. Tak disangka begitu cepat teman-teman mereka roboh. Dan ketika sekejap kemudián penduduk melarikan diri ke rumah masing-masing, bersembunyi dan ngumpet di situ maka Kwi-bo berkelebat mengejar Chi Koan.

Si buta sudah berada di luar dusun tersenyum-senyum. Sepak terjang Kwi-bo tentu saja diketahui, Chi Koan tertawa mengejek sementara muridnya tertawa geli. Dan ketika wanita itu bersama mereka kembali maka Chi Koan berkata perjalanan dilanjutkan.

"Aku senang melihat seperti ini. Marilah sepanjang jalan mencari korban lain."

"Hik-hik, kau masih senang wanita-wanita muda yang menyusui bayinya? Kau belum puas dengan puteri kepala dusun dan dua temannya itu?"

"Hm, aku baru puas kalau mendapatkan Li Ceng. Sebelum itu gemuruh di dadaku masih meledak-ledak, Kwi-bo. Cari yang lain dan bikin onar baru."

"Baik, dan aku mempermainkan suami-suaminya. Hi-hik, nikmat juga mempermainkan petani-petani muda itu, Chi Koan. Mereka begitu kelaparan seperti kuda jantan masih haus. Ih, terangsang nafsuku, nikmat!"

Chi Koan tersenyum dengan kelopak berkejap-kejap. Membayangkan Kwi-bo di kerubut dua petani muda tiba-tiba membuat ia geli. Tentu petani-petani itu dipermainkan dulu, kalau perlu satu sama lain diadu. Dan karena Kwi-bo memiliki kebiasaan aneh mempermainkan korban dengan cara bermacam-macam, ada yang diikat dan disuruh menonton menggelepar-gelepar maka si buta ini geli dan tertawa gembira.

Kekecewaannya sedikit terobati dengan peristiwa di dusun itu. Ia telah menikmati Bi Leng yang berdada padat, juga Sui-ma dan Yan-kim. Akan tetapi karena berahi bagai madu yang tak kenal surut, kebosanan mulai membayang maka ia ingin mencari yang lain dan melepas lagi kekesalannya tentang Li Ceng.

Akhirnya dusun demi dusun yang dilalui dua orang ini selalu geger, suami dan isteri kalap. Dan ketika akhirnya beberapa hari kemudian si buta tiba di sebuah telaga yang beriak perlahan maka di tepi telaga itu ia berhenti mendengar tawa riang beberapa wanita mudai mencuci pakaian, saling berkecipak.

"Hm, berhenti di sini. Sampai di mana kita sekarang, Kwi-bo, rasanya ada sesuatu yang memikat hatiku."

"Hi-hik, kita mendekati kota Shan-yang, kalau tidak salah inin telaga Le-Ouw. Banyak gadis-gadis cantik di situ, Chi Koan, tapi mereka rupanya bukan gadis-gadis dusun. Seakan dari kota, wajahnya halus-halus!"

"Hm, coba lihat yang suaranya seperti burung kutilang itu. Ah, nyaring dan penuh keberanian."

"Dia seorang gadis baju merah, paling cantik. Ah, tajam sekali indera rasa mu, Chi Koan, dan di sebelah itu delapan pemuda memancing ikan. Hi-hik, rupanya seperti para pelajar!"

"Bagus, dekati mereka, lalu biarkan aku sendiri. Dan kau boleh dekati pemuda-pemuda itu."

Kwi-bo terkekeh. Mereka baru saja datang dan kehadirannya tentu saja menarik perhatian orang. Tawanya yang bebas lepas mengejutkan pemuda dan gadis-gadis itu. Mereka adalah kelompok sastrawan dari kota, sengaja menghibur diri di telaga itu untuk mencari kesegaran. Inilah putera-puteri kaum hartawan dan bangsawan, si baju merah justeru puteri Ong-taijin walikota Shan-yang.

Maka ketika tiba-tiba si buta muncul dan Kwi-bo terkekeh begitu lepasnya, sikapnya yang genit dan kerlingnya yang menyambar-nyambar membuat pera pemuda itu tertegun berdebar maka wanita ini sudah mendekati kelompok pelajar itu bicara nyaring.

"Maafkan kami yang mengganggu sebentar. Temanku si buta ini merasa haus dan lapar, adik-adik. Adakah di antara kalian membawa bekal berlebih. Tolonglah dia, kami belum mendapat makanan."

Gadis-gadis muda itu terharu. Chi Koan tertatih dengan tongkatnya dan tentu saja memasang sikap mengharukan. Dua kali ia terpeleset. Dan ketika para gadis itu terpekik ia hendak jatuh, Kwi-bo bersikap tak perduli maka gadis baju merah itu berseru,

"Aku membawa sisa roti kering, kalau kalian mau boleh ambil!"

"Bagus, terima kasih. Berikan padanya adik manis, dia yang lapar sementara aku ingin memancing saja. Aku ingin ikan!" lalu ketika gadis itu mengambil bungkusannya memberikan kepada Chi Koan, tentu saja si buta tak menyia-nyiakan kesempatan ini.

Maka seperti yang sudah-sudah cepat sekali Chi Koan melepaskan daya pengasih lewat ujung jari itu, bertemu dan mengontak dan selanjutnya gadis ini seakan tertegun. la kehilangan akal, tiba-tiba jari si buta digenggam. Tapi ketika teman-temannya tertawa dan ia terkejut, sadar maka gadis itu menarik tangannya dan Chi Koan berbisik mengucap terima kasih. Kwi-bo sudah di sana mendekati pemuda-pemuda itu.

"Terima kasih. Siapa namamu, nona. Sungguh beruntung si buta mendapat belas kasihanmu."

"Aku Ong Wi. Aku, ah... sudahlah. Kau makanlah roti itu agar tidak lapar lagi!" gadis ini kembali kepada teman-temannya dan ia tampak gugup dan bingung kenapa ia tadi begitu mesra.

Jari si buta digenggam seolah jari kekasih saja. Wajahnya memerah namun untunglah si buta tak melihat, tawa teman-temannya juga berhenti. Lalu ketika tiga di antara gadis-gadis itu meloncat keluar dari tepi air, mereka inilah yang mencuci pakaian, maka disana Kwi-bo melenggang dengan penuh pikat menghampiri seorang dari delapan pemuda itu yang rupanya belum mendapat ikan. Pancingnya itu masih terbenam kosong.

"Hi-hik, coba kupinjam pancingmu sebentar. Hei, itu ada ikan lewat!"

Pemuda ini tertegun. Kwi-bo yang tidak malu-malu lagi mendekatinya dan minta pancingnya membuat pemuda ini terkejut. Tahu-tahu tangannya sudah dipegang dan jari lembut itu mengusap perlahan, sedetik saja namun cukup membat tubuhnya panas dingin.

Harus diakui jari Kwi-bo amat lembut dan hangat, lagi-lagi wanita inipun melancarkan daya pikatnya lewat kerling mata dan senyum menyambar itu. Dan ketika ia sudah menyambar pancing yang berpindah tangan, menyendal dan mengangkat naik maka tiba-tiba saja seekor ikan gemuk telah tertangkap di ujung pancingnya.

"Hi-hik, lihat. Kau bodoh tak cepat menggerakkan batang pancingmu, kongcu. Ikan demikian banyak dibiarkan berkeliaran begitu saja. Ih, lihat. Ini lagi!" Kwi-bo sudah membuang pancing menyentak lagi, dua kali berturut-turut mendapatkan ikan yang gemuk segar dan tentu saja perbuatannya ini membuat kagum delapan pemuda itu.

Mereka bersorak dan memuji. Dan ketika sekejap kemudian wanita ini mendapatkan delapan ekor ikan dalam waktu begitu singkat, gemparlah pemuda-pemuda itu maka mereka menghentikan pancingnya dan malah menonton Wanita cantik itu.

"Hebat, cici luar biasa. Bagaimana begitu cepat menangkap ikan!"

"Dan semua besar dan gemuk-gemuk. Ah, ajarkan kami memancing seperti itu, cici. Kami sudah tiga jam di sini namun baru seekor dua saja yang tertangkap!"

"Hik-hik!" Kwi-bo tertawa dan tak menyia-nyiakan kekaguman para pemuda itu, melihat Chi Koan di sana telah pula mendapatkan 'ikannya'. "Pelajaran memancing mudah kuwariskan, cuwi-kongcu. Tapi karena ikan di sini sudah tinggal yang kecil-kecil marilah ikut denganku mencari yang besar. Hei, Siauw Lam!" wanita itu memanggil anak laki-laki itu. "Bantu kami membawa keranjang ikan ini dan mari ikut aku!"

Siauw Lam sudah terbiasa diperintah wanita ini. Maklum bahwa gurunya sedang ingin memikat gadis-gadis cantik itu, iapun tahu harus membiarkan suhunya sendirian. Tadinya ia bingung harus kemana, panggilan Kwi-bo membuatnya girang dan ia bakal tahu apa yang akan dilakukan wanita ini. 

Diam-diam ia mulai tertarik kepada kekasih gurunya yang satu ini, mata anak lelaki yang mulai nakal menjelajahi tubuh lawan jenis. Maka ketika ia melompat dan mengambil keranjang ikan segera Kwi-bo bergerak mengajak delapan pemuda itu menjauhi gadis-gadis temannya. Dua buah kereta tersembunyi di antara dedaunan.

"Hi-hik, marilah, kita mencari tempat yang dalam!"

Akan tetapi ada satu di antara delapan pemuda itu yang menggeleng. Dia adalah pemuda tinggi kecil yang alis matanya seperti sepasang golok. Sejak Kwi-bo datang di situ ia diam-diam mengerutkan kening. Pemuda inilah satu-satunya pemuda yang tidak bertepuk tangan ketika tadi Kwi-bo mendapatkan ikan demikian mudah. la memandang namun tidak mendekat. Dan ketika Kwi-bo mengajak semua temannya menjauhi tempat itu maka dialah yang berseru dan tiba-tiba maju dengan suaranya yang lantang.

"Teman-teman, kita di sini menjaga Ong Wi dan yang lain-lain ini. Bagaimana kalau kita meninggalkan mereka dan ada apa-apa dengan mereka. Bagaimana tanggung jawab kita dengan keluarga mereka!"

Tujuh temannya terkejut, namun Kwi bo tertawa. Eh. Si buta temanku menemani mereka, kongcu, kenapa takut. Lagi pula aku tidak mengajak meninggalkan tempat ini, hanya di sudut itu. Kau kenapa begini takut!"

"Aku tidak takut, tapi kita laki-laki tentu harus menjaga dan melindungi yang wanita. Kami belum mengenal siapa kalian, kouwnio. Tak baik terlalu percaya karena kita belum saling kenal!"

"Hik-hik, tapi aku hanya seorang wanita, temankupun juga buta. Apa yang dapat kami lakukan kepada kalian!"

Dua di antara pemuda tiba-tiba berseru. "Tempat ini terbuka dan aman , Kiat Seng. Tak ada apa-apa. Enci ini baik dan pandai memancing ikan. Kalau kau tak suka biar di sini saja, menjaga mereka itu!"

"Hm, kalau begitu baiklah. Bukan aku takut melainkan semata teringat tanggung jawab kita kepada orang tua Ong Wi dan lain-lain. Pergilah, aku di sini saja."

"Atau kau ingin bebas berpasangan dengan satu di antara gadis-gadis itu. hik-hik pandai benar akalmu mengelabuhi kita, kongcu. Tak apa kau di sini kalau memang berniat begitu. Jangan-jangan kau ingin bermesraan dengan kekasihmu di sini" Kwi-bo mengejek dengan kata-katanya yang pedas memerahkan telinga untuk membalas kemendongkolannya kepada pemuda itu.

Tentu saja ia tak setuju kalau satu di antara pemuda-pemuda itu menjaga di situ, gerak Chi Koan tentu tak bebas. Maka ketika ia mengolok-olok dan membakar telinga lawan, yang lain tertawa dan memerahkan wajah pemuda ini maka Kiat Seng pemuda itu akhirnya menggigit bibir.

"Aku tak kencan dengan siapapun disini. Aku hanya ingin menjaga. Kalau aku dianggap begitu baiklah aku ikut, hanya tanggung jawab harap dipikul bersama!"

"Hik-hik, tentu saja, Seng-kongcu, tak ada apa-apa di sini dan mari ikut denganku, Kujamin tak ada apa-apa dengan teman-temenmu itu. Temanku si buta tak dapat melihat!"

Kembali tujuh pemuda tertawa bersama. Mereka menganggap teman mereka itu terlalu berlebihan dan memang apa yang perlu ditakutkan di tempat itu. Telaga ini aman dan justeru mereka gembira ada seorang wanita cantik mau menemani. Gadis-gadis teman mereka itu tentu saja tak sebebas wanita ini dengan tawa dan kerling matanya yang menyambar-nyambar.

Sikap genit Kwi-bo sebentar saja sudah menarik perhatian pemuda-pemuda itu, empat di antaranya sudah merasa tergila-gila, apalagi pemuda pertama yang disentuh jari-jari Kwi-bo tadi, pemuda yang merasa panas dingin dan tak melepaskan perhatiannya sedikitpun kepada wanita matang ini. Gerak-gerik Kwi-bo memang sungguh memikat. Maka ketika wanita itu bergerak dan mengibaskan rambutnya yang lebat harum, genit terkeke-kekeh maka wanita itu melompat dan mengejarlah para pemuda itu serasa diajak bergenit-ria.

"Ayolah, kita tak jauh-jauh, cuwi-kongcu. Di tempat itu cukup dalam dan kita beramai-ramai menangkap!"

Delapan pemuda ini bergerak. Kwi-bo lenyap begitu cepat dan diam-diam para pemuda heran. Mereka masih tak curiga wanita ini adalah seorang iblis betina, maklum, Kwi-bo ramah dan hangat kepada mereka. Namun karena suara wanita itu ada di depan dan para pemuda mengejarnya maka wanita ini ternyata sudah berada di atas sebuah batu hitam di tengah telaga, duduk melipat kaki.

"Ayo, ayo ke mari. Naik dan melompatlah!"

Para pemuda tertegun. Di tepi telaga mereka berhenti, terbelalak karena bagaimana wanita itu dapat berada di situ, delapan sampai sembilan meter dari daratan. Namun ketika mereka melihat dua batu kecil muncul tipis di permukaan air, dari sinilah kiranya wanita itu melompat maka pemuda-pemuda itupun tertawa dan berseru gembira.

"Aih, enci sungguh berani. Bagaimana kalau sampai tercebur!"

"Hi-hik, ada kalian. Masa delapan pemuda membiarkan wanita tenggelam. Ayo, ke sini, cuwi-kongcu. Lihat ikan begitu banyak!" Kwi-bo menggerak-gerakkan pancingnya dan benar saja dua ekor ikan terjerat, menggelepar di ujung kail dan saat itulah para pemuda itu berlompatan. Mereka bagai ingin mendahului mendekati wanita ini, batu besar itu agaknya cukup untuk sepuluh orang.

Tapi ketika kwi-bo mengibaskan pancingnya dan ikan di ujung kail menyambar pemuda paling belakang maka pemuda ini berteriak menyelamatkan kepalanya memegangi teman di depan dan kagetiah teman itu. pemuda inipun berteriak memegangi yang lain, terpeleset dan akhirnya terguling sementara pemuda paling depan menarik bahu Kwi bo.

Sambar-menyambar terjadi dengan cepat dan seketika delapan pemuda itu tercebur, Kwi-bo terjatuh pula. Dan ketika wanita itu berteriak dan pura-pura gelagapan, tenggelam di air telaga maka justeru Seng-kongcu yang menolongnya karena paling dekat dengan wanita itu.

"Heiii... byur-byuurrrr!"

Delapan pemuda terjatuh ke air. Mereka tarik-menarik dan ribut sekali memaki-maki yang lain. Dua ternyata tak bisa berenang, ditolong temannya sementara Kwi-bo sudah gelagapan disambar Seng-kongcu, naik dan kembali ke batu hitam dan terbelalaklah pemuda-pemuda itu dengan geli dan gemas. Sebagian besar tertawa-tawa.

Tapi ketika tiba-tiba semua melotot memandang Kwi-bo, pakaian wanita itu basah kuyup melekat di badan, maka berdesirlah delapan pemuda itu melihat betapa segala lekuk-lengkung wanita itu tampak begitu sempurna. Tonjolan- tonjolannya begitu padat menggairahkan!

Akan tetapi tiba-tiba Seng-kongcu itu melepas baju luarnya. la pun basah kuyup namun Kwi-bo yang menggigil kedinginan disangka masuk angin, atau mungkin likat melihat wanita itu seakan telanjang bulat saja.

Pakaian Kwi-bo memang menempel begitu ketat hingga seakan tak berpakaian saja. Bukan kebetulan kalau wanita ini sengaja mendiamkan diri begitu rupa, seperti juga bukannya tak sengaja kalau ia melempar ikan di ujung kail menyambar pemuda paling belakang itu, yang kemudian berteriak dan menarik temannya hingga terjadilah sambar-menyambar di antara mereka, membuat mereka tercebur dan sama- sama basah kuyup!

Maka ketika semuanya berhasil dengan baik dan itulah maksud tujuan Wanita ini, mempertontonkan tubuhnya membuat darah berdesir di hati anak-anak muda itu maka sungguh tak disangka oleh wanita ini kalau tiba-tiba Seng-kongcu memberikan pakaiannya untuk menutupi tubuhnya dari pandang mata teman-temannya yang terbelalak. Jantung di dada pemuda- pemuda itu memang berdegup kencang.

"Maaf maaf..!" Seng-kongcu mewakili teman-temannya bicara. "Kami semua tidak sengaja, kouwnio. Hak Bun sembrono menarik kita dan kita sama-sama tercebur. Pakailah baju itu sampai nanti kering!"

"Hm..!" kwi-bo menarik napas dalam dengan mata bersinar-sinar, kagum namun juga penasaran kepada pemuda ini. "Kau telah menolong aku, Seng-kongcu, terimai kasih. Namun tubuhku tak akan cepat kering kalau ditutupi bajumu. Biarlah aku begini saja agar matahari memanaskan tubuhku."

Dengan gemulai dan penuh kelembutan wanita ini mengambil baju itu menyerahkannya kepada pemiliknya. Gerak tubuh itu bukan sembarang gerak karena inilah gerak dari Thian-mo-bu (Tarian Hantu Langit). Gerakan ini penuh pesona dan amat memikat karena dilakukan Kwi-bo dengan amat kuatnya. Gerak ketika mengangkat siku ke atas memperlihatkan sepasang bukit dadanya dari samping, menonjol dan penuh daya hipnotis hingga tujuh pemuda menahan napas.

Tapi ketika Seng kongcu mengerutkan kening dan justeru membuang muka, menerima bajunya dengan sikap kurang senang maka pemuda ini justeru tak tertarik dan seakan muak oleh gerak itu. Pemuda ini merasa bahwa wanita itu sengaja hendak merangsang selera rendah. la menjadi sebal!

"Hm , baiklah," katanya tiba-tiba. "Kalau begitu biar kau di sini bersama teman-temanku, kouwnio. Tempat ini serasa sesak bagiku. Aku ingin jalan-jalan di situ dan silakan kau dan teman-temanku di sini!"

Pemuda itu melompat dan pergi. Dia tidak kembali ke tempat gadis-gadis temannya itu melainkan berjalan-jalan menyusuri telaga, sikapnya acuh, sungguh membuat Kwi-bo tertegun. Dan ketika Wanita ini tiba-tiba menjadi merah dan gusar serta malu mendadak ia berkelebat dan jarak sembilan meter itu dilaluinya begitu mudah.

"He, berhenti!" para pemuda yang lain terkejut dan berseru tertahan. Wanita itu telah berjungkir balik di hadapan Kiat Seng. "Kau telah menghina dan merendahkan aku, Seng- kongcu. Coba katakan kau pemuda normal atau tidak!"

Pemuda itu terkejut. Kwi-bo telah mengusap dan menotok urat halusnya di belakang tengkuk, tempat yang membuat darah laki-laki akan berdesir dan dibangkitkan rasa nikmat. Inilah kebiasaan Kwi-bo kalau dia menemui laki-laki yang tangguh, atau sekedar menggoda kalau laki-laki di depannya akan dipermainkan lebih dahulu.

Dan ketika pemuda itu terkejut merasa disengat sesuatu yang aneh, hawa hangat memenuhi mukanya maka mendadak ia tertegun dan pandang matanya kepada wanita inipun berubah. Kwi-bo bertolak pinggang sambil membusungkan dadanya yang sudah membusung itu.

"Hm, aku... ah maaf, kouwnio. Apa yang kulakukan dan kenapa kau merasa direndahkan!"

Kwi-bo tersenyum mengejek. la telah melihat hasil usapannya berhasil dan pemuda ini gugup serta merah. Namun karena pandang mata pemuda itu masih tak mau langsung dan melengos ke tempat lain, hal yang membuatnya gemas maka ia berseru bahwa dua kesalahan besar dilakukan pemuda ini.

"Kau jelas merendahkan aku, menghina aku. Pertama adalah sikapmu menerima balik bajumu dan kedua adalah kata-katamu yang menusuk perasaanku. Kau seakan melihat aku wanita buruk, jijik memandang. Sekarang katakan dan lihat aku baik-baik apakah aku buruk atau cantik!"

Pemuda itu terkejut, merah padam.

"Katakan!" Kwi-bo membentak. "Aku buruk atau cantik, Seng-kongcu. Jawab dan jangan Kau menghina aku lagi!"

"Maaf, kau cantik!"

"Bagus, kalau begitu kenapa meninggalkan aku. Dengan pergi begitu saja berarti kau menyinggung peresaanku, menganggap aku wanita menjijikkan. Nah, maaf saja tidak cukup karena harus ditambah satu perbuatan nyata!"

Tujuh pemuda berlompatan turun. Tentu saja mereka kaget ketika melihat wanita itu berjungkir balik melompati telaga. Jarak sembilan meter dilalui begitu mudahnya. Maka ketika mereka menjadi kagum dan empat pemuda yang sudah tergila-gila tampak menjadi semakin tertarik lagi, jatuh cinta maka Kiat Seng yang dibentak dan dihadang wanita itu membuat mereka girang.

Bukan apa-apa melainkan semata mereka dapat nimbrung dan ikut-ikutan menyalahkan pemuda itu. Usaha untuk menarik hati wanita yang dalam pandangan mereka seperti bidadari. Apalagi Kwi-bo masih dalam pakaiannya yang basah kuyup!

"Benar, kau keterlaluan. Kau tak menghormat enci ini, Kiat Seng, padahal ia hendak mengajari kita ilmu memancing. Kau perlu ditegur, kalau perlu dihukum!"

"Ya, suruh ia mengelilingi telaga ini. Sekali putaran cukup!"

"Atau ia berenang menyeberangi telaga!"

"Atau aku menggantikan hukumannya asal diberi sebuah cium!"

Semua kaget. Pemuda baju biru itu, Hak Bun bicara dengan lantang tak malu-malu lagi. Ia terang-terangan memandang Kwi-bo dengan mata penuh gairah. Pemuda ini sudah menjadi begitu tergila-gila. Namun ketika Kwi-bo terkekeh dan mendepat sesuatu yang bagus mendadak wanita ini menggeleng.

"Cium boleh cium, tapi Kiat Seng harus menjalani hukumannya dahulu!"

Riuhlah tujuh pemuda itu. Tiba-tiba saja mereka menjadi berani sementara Seng-kongcu itu masih tertegun. la mengerutkan kening meskipun darah mudanya tersirap. Rupanya pemuda ini memiliki iman lebih tebal dibanding lain-lainnya, mampu menindas hawa nafsu yang naik dan tidak asal terkam.

la justeru memandang teman-temannya penuh teguran, tempat itu seketika ramai. Dan ketika ia berkata bahwa mereka tak boleh bersikap kurang ajar, mereka adalah para siucai (mahasiswa) yang sebentar lagi menempuh ujian maka pemuda ini mengeluarkan kata-katanya yang kembali membuat Kwi-bo tertegun.

"Harap kalian ingat bahwa kita bukanlah pemuda bergajulan. Delapan pemuda menemani satu wanita sebenarnya bukan perbuatan baik-baik, teman-teman, jangan menambah lagi dengan omongan kotor. Aku tak senang kalian begitu ingatlah petuah Lie-sianseng (guru Lie)".

"Hm, hi-hik. Kau rupanya kutu buku yang benar-benar patuh pada adat-istiadat. Omongan seperti itu bukan hal tabu, Seng-kongcu, kalian bukan anak-anak kecil dan sudah waktunya pacaran. Aku suka dicium, kalau aku mau. Dan suka sama suka bukanlah perbuatan aneh. Nah kembali pada hukumanmu maka pernyataan maaf saja tidak cukup. Teman-temanmu minta kau menyeberangi telaga atau berlari mengelilingi telaga, tapi aku tidak tega. Biarlah hukuman itu kujatuhkan yang ingan saja dan kau mencium pipiku!"

Terkejutlah pemuda itu. Tujuh temannya juga terkejut namun keterkejutan mereka karena iri. Hak Bun yang menahan- nahan hatinya tiba-tiba melotot. Enak benar Kiat Seng! Maka ketika tiba-tiba ia melangkah maju dan berseru kecewa mendadak saja ia sudah menjulurkan kepala mencium pipi wanita ini.

"Kiat Seng orangnya pemalu. Daripada gagal biarlah kuwakili, kouwnio. Akupun suka kepadamu dan jangan ditolak!"

Akan tetapi Kwi-bo mengelak marah. Seng-kongcu itu mundur membelalakkan mata sementara temannya yang lain-lain menelan ludah. Justeru terhadap pemuda yang tampak kemerahan dan ingin menolak ini ia menjadi penasaran. Berapa kuatkah daya tahan pemuda itu.

Semakin kuat justeru membuat Ia semakin penasaran. Ia ingin melihat pemuda ini mencium pipinya. Pemuda seperti ini biasanya akun menjadi lawan bermain Cinta yang menggairahkan, akan sekuat kuda liar kalau mampu ditundukkan. la sendiri sudah tak tahan!

Maka ketika tiba-tiba pemuda she Hak itu nyelonong maju dan mencium pipinya mendadak saja wanita ini melayangkan kaki dan.. mencelatlah pemuda itu ke air telaga, tercebur.

"Byuurrrr!"

Jerit dan kekagetan pemuda ini mengejutkan teman-temannya. Kiat Seng dan enam temannya terkejut melihat teman mereka itu mencelat ke air telaga. Kaki halus dan panjang indah itu kiranya menyimpan kekuatan dahsyat. Akan tetapi ketika teman mereka itu berenang menepi dan pucat serta merah berganti-ganti maka Kwi-bo enteng saja melepas tawanya.

"Aku hanya suka dicium Kiat Seng. Nah, yang lain tunggu giliran!"

Kata-kata ini membuat mereka terbelalak. Giliran? Jadi mereka akan mendapat giliran? Dan karena pada dasarnya mereka sudah dibuat jungkir balik oleh Kwi-bo yang pandai merangsang laki-laki maka pemuda yang sudah menepi dan hendak marah itu tak jadi memaki dan melompat lagi dengan mata penuh harap. Sikapnya seperti anjing melihat sepotong tulang yang digoyang-goyang di depan mulutnya.

"Kouwnio, kau tak adil. Kalau Kiat Seng tak mau kenapa harus memaksa. Bukankah masih ada yang lain di sini!"

"Hi-hik, ini hukuman untuknya. Diam dan tinggal di sana dulu, Hak Bun, aku tak bicara padamu. la harus membayar kesalahannya dan kalian tunggu giliran!"

Tujuh pemuda menelan ludah. Sekarang mereka tahu bahwa wanita di depan mereka ini bukan hanya sekedar pandai memancing akan tetapi, seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi. Gerak dan lompatannya tadi sudah jelas.

Dan karena mereka hanya para siucai yang mendalami buku-buku, bukan senjata atau ilmu silat maka semuanya tak berani bercuap-cuap dan tegang menanti giliran untuk diberi cium. Laki-laki mana tak tergetar melihat wanita seperti ini, wanita yang tubuhnya terbungkus pakaian tipis yang basah kuyup nyaris telanjang bulat!

Akan tetapi Kiat Seng ternyata pemuda yang santun dan teguh pendirian. Ia adalah putera seorang guru sastra namun ayahnya itu sudah meninggal dunia. Lie-sianseng adalah sahabat ayahnya dan sama kakek itulah ia mendapatkan pelajaran sastra. la memang tak suka ilmu silat karena ilmu silat dianggapnya identik dengan kekerasan.

Pemuda ini hanya hidup dengan ibunya yang lemah lembut bekerja di tempat Ong-taijin dan karena itulah ia bergaul dengan gadis baju merah itu yang secara tidak langsung adalah majikannya pula. Karena ia pemuda yang cerdas dan pandai maka ia tinggal di belakang gedung Ong-taijin itu, mendapat sebuah kamar besar bersama ibunya.

Hari itu mereka sedang liburan untuk menyiapkan diri menghadapi ujian, dipereaya menjaga puteri majikan dan sesungguhnya diam-diam puteri Ong-taijin itu jatuh cinta kepadanya. Maka ketika tiba-tiba datanglah wanita ini yang dinilai kurang santun, tertawa begitu lepas seperti orang tak tahu pendidikan maka diam-diam pemuda ini sudah menaruh rasa kurang suka dan itulah sebabnya tak mau diajak menjauhi teman-teman gadisnya.

Akan tetapi Kwi-bo berhasil memanaskan hatinya. la dianggap ingin main mata dengan teman-temannya perempuan. Sementara yang laki-laki mengikuti Kwi-bo. Apa boleh buat terpaksa ia ikut meskipun hatinya tak tenteram. Ia menangkap firasat tak baik pada si buta dan wanita itu, apalagi Kwi-bo begitu genit seakan menggoda teman-temannya agar roboh di pelukan. Pelajaran tata-susila yang diterimanya dari Lie-sianseng tidak begitu.

Wanita harus lembut dan sopan, menjaga tingkah lakunya dan tidak berkesan liar seperti wanita ini. Maka ketika tiba-tiba ia melihat sikap yang lebih berani lagi, bajunya dikembalikan sementara wanita itu membiarkan tubuhnya ditonton teman- temannya yang terbelalak berdetak oleh desir berahi pemuda ini sudah semakin tak senang lagi dan ingin menjauhi Wanita itu.

Akan tetapi ia dicegat. Pemuda ini terkeiut betapa bagai burung walet menyambar tahu-tahu wanita itu berjungkir balik di depannya. Tahulah ia sekarang bahwa wanita ini bukan wanita biasa, ia berhadapan dengan seorang wanita lihai yang mungkin dari golongan sesat. Hanya wanita seperti itulah yang patut dijuluki wanita sesat, tak malu dan mengobral kerling serta senyum nakal.

Maka ketika kini tiba-tiba saja ia diminta mencium pipi wanita itu untuk sebuah persoalan yang dianggap kurang ajar padahal wanita inilah yang sebenarnya kurang ajar dan tak tahu malu mendadak saja pemuda ini mengedikkan kepala dan usapan di belakang tengkuk kiranya kurang berhasil setelah pemuda itu menindas dengan segala pengetahuannya akan budi dan moral.

"Kouwnio, aku tiba-tiba saja ingin tahu siapakah kau dan namamu. Selama ini kita tak tahu masing-masing, mengenal hanya secara kebetulan saja. Menurut pelajaran yang kuterima dari guruku maka permintaanmu amat tidak sopan, juga berbau cabul. Siapakah kau dan bukankah tadi kau bilang sendiri bahwa dua belah pihak yang tidak sama suka tak boleh dipaksa. Aku tak merasa bersalah, sikapku adalah pendirianku pula, bebas. Kalaupun aku bersalah maka hukuman cium bukanlah hukuman, melainkan naluri rendah yang sekedar diturutkan oleh orang-orang yang biasanya bergelimang nafsu. Nah, maafkan aku dan silakan kau cari lain saja!"

Marahlah wanita ini. Dua kali ia ditolak dan kini pemuda itu memakinya. la dianggap orang yang bergelimang nafsu rendah, kata- kata yang cocok untuknya akan tetapi tentu saja tak dapat diterima. Maka ketika wanita itu melengking dan berkelebat iapun sudah menampar pemuda ini dengan amat marahnya. Gairahnya lenyap terganti nafsu untuk membunuh.

"Kau tak dapat dikasihani orang, baiklah, masih banyak pemuda lain yang suka mencium aku. Pergi dan mampuslah!"

Tujuh yang lain terkejut. Mereka dapat pula merasakan bahaya di atas kepala pemuda itu. Kwi-bo tak main-main lagi dan ingin melampiaskan kemarahannya. Meskipun pemuda itu menarik hatinya namun kalau bicaranya memanaskan telinga lebih baik dia bunuh saja, di situ masih ada tujuh pemuda lain yang siap melayani dirinya. Akan tetapi ketika tangannya bergerak dan kepala pemuda itu siap dipecahkan mendadak berkelebat bayangan merah dan bentakan seorang wanita.

"Selamanya kau memang kotor. Kalau pemuda ini tak mau kau paksa jangan kau paksa, Kwi-bo. Aku lawanmu dan jangan menindas orang-orang lemah...dess!"

Sebuah lengan halus menangkis tamparannya dan terpelantinglah wanita ini berteriak kaget. Begai rajawali menyambar munculah seorang wanita cantik berusia duapuluhan tahun, matanya bersihar-sinar memandang Kwi-bo yang bergulingan meloncat bangun. Terkejutlah delapan pemuda yang ada di situ. Lalu ketika di tempat lain terdengar pekik dan bentakan nyaring tiba-tiba saja di tempat para gadis itu terdengar jerit dan suara gaduh.

"Ada keributan, mari kita lihat!" para pemuda itu tiba-tiba berhamburan menuju ke teman-teman mereka di sana. Pekik dan jerit teman-teman perempuan itu seperti sedang ketakutan oleh sesuatu. Dan ketika mereka tiba di sana ternyata si buta yang mereka anggap lemah dan perlu dikasihani itu bertanding hebat dengan seorang kakek tua setinggi galah.

Para pemuda tertegun. Kiat Seng, pemuda itu juga ada di situ setelah dengan muka pucat diselamatkan wanita cantik itu. Mendengar jerit Ong Wi dan lain-lain ia memburu berlari, lupa kepada wanita itu dan lupa pula mengucapkan terima kasihnya. Namun ketika ia melihat puteri Ong-taijin itu selamat di sana, bergerombol dengan teman-temannya yang lain maka pemuda ini lega dan tujuh temannya yang lain juga bergerak dan sudah berkumpul dengan para gadis ini.

"Apa yang terjadi, siapa kakek tinggi kurus itu!"

"Kami... kami disihir. Si buta itu ternyata bukan orang baik-baik, Hak Bun. Ia mencium kami semua!"

"Apa?"

"Benar, Ong wi hampir saja direnggut kesuciannya. Dialah yang paling menderita, lihat pakaiannya yang koyak-koyak itu!" lalu ketika para pemuda terbelalak dan melihat gedis itu menangis tiba-tiba puteri Ong-taijin ini berlari ke kereta dan segera yang lain-lain mengikuti.

"Si buta itu jahanam keparat, ia hendak memperdayaiku. Mari pulang, Hak Bun, kita pulang...!"

"Ha-ha, benar. Kalian pulang dan tinggalkan tempat ini, anak-anak. Ini bukan tempat kalian dan cepat masuk rumah!"

Delapan pemuda terkejut dan memandang kakek setinggi galah itu. Mereka melihat kakek itu berkelebatan dan akhirnya lenyap. Si buta juga membentak dan mengejar dan dua orang di sana itu sudah saling berseliweran membentuk bayangan yang amat cepatnya. Begitu cepatnya hingga mereka pusing.

Lalu ketika mereka tak melihat apa-apa lagi kecuali bayangan biru dan putih yang saling belit mendadak terdengar benturan dan. terpelantinglah delapan pemuda ini ketika tanah yang mereka injak seakan ditimpa gajah.

"Aahhhh...!" semua kaget, bangun dan jatuh lagi karena tempat yang mereka injak berderak-derak. Tempat itu tiba-tiba seakan tempat licin yang membuat mereka sering terpeleset, jatuh dan bangun lagi dan sebentar saja pakaian mereka penuh debu.

Si buta mengeluarkan suara melengking-lengking yang membuat telinga sakit bukan main. Gendang seakan pecah. Untunglah ketika kakek itu tertawa bergelak dan tawanya ini membungkus suara melengking-lengking tadi, mereka terhuyung bangun maka di tengah-tengah pertandingan itu kembali kakek itu berseru.

"Cepat kembali dan pulang ke rumah masing-masing. Tinggalkan tempat ini."

Kuda meringkik dan para gadis di dalam kereta menjerit-jerit. Kaget oleh lengking si buta yang tinggi menyakitkan, rupanya binatang-binatang itupun tak tahan. Mereka melonjak dan bereaksi, kalau tidak cepat dikendalikan tentu kereta akan kabur dengan gila, penumpangnya bisa celaka.

Maka ketika Hak Bun dan Kiat Seng melompat menyambar tali kuda segera enam pemuda yang lain bergerak dan masuk ke dalam kereta. Kuda semakin sulit dikendalikan lagi, tali ikatnya putus. Dan begitu dua pemuda itu menyendal dan menyuruh kuda berlari maka dua kereta itu berderap kencang meninggalkan telaga.

"Awas, hati-hati... Ting-teng-ting-teng!" lonceng di bawah leher kuda berdentang berkali-kali. Dua ekor kuda dimasing-masing kereta membalap dengan kencang, untunglah Hak Bun maupun Kiat Seng sama-sama cekatan mengendalikan kuda.

Dan ketika mereka menghilang sementara gadis-gadis di dalam miring kiri kanan oleh gerakan roda mengenai tanah berbatu maka di sana si buta maupun temannya menghadapi lawan-lawan berat yang membuat masing-masing menjadi marah.

Kwi-bo, yang meloncat bangun dan sudah melihat siapa lawannya tentu saja gusar dan memekik. Inilah Li Ceng isteri Peng Houw, murid Kun-lun yang lihai itu. Maka ketika ia hilang kagetnya setelah sesaat membelalakkan mata maka ia menerjang dan keget juga bagaimana wanita yang disangkanya tewas tertimbun guha itu masih hidup.

"Kau di sini, bagus. Kau ternyata masih hidup. Mampus dan terima pukulanku, bocah, dan robohlah!"

Akan tetapi Li Ceng mendengus. la mengelak dan menangkis dan segera lawannya berteriak terpental. Kwi-bo boleh hebat akan tetapi wanita muda inipun lebih hebat. Setelah menjadi isteri Si Naga Gurun Gobi tentu saja kepandaian Li Ceng bertambah, sinkang dan ginkangnya maju pesat. Maka ketika ia berkelebatan dan sebentar kemudian Kwi-bo terdesak dan menangkis serangan-serangannya maka lawan keteter dan sesungguhnya wanita ini masih kalah bila dibandingkan cucu Mutiara Geledek Lo Sam ini.

Akan tetapi Kwi-bo tentu saja tak mau menyerah mentah-mentah. Ia mencabut senjatanya tongkat berkepala tengkorak itu, mengayun dan memencet gagangnya dan menyambarlah jarum-jarum halus ke tubuh lawan. Akan tetapi karena Li Ceng sudah mengetahui kebiasaan lawannya ini dan mengibaskan kelima jarinya maka semua jarum runtuh dan kembali lawan didesak. Kwi-bo pucat.

"Kau benar-benar wanita busuk. Dulu kau memfitnah suamiku, Kwi-bo, dan sekarang menyerang curang. Aku akan membunuhmu dan tak ada ampun lagi!"

Wanita ini mengeluarkan pukulannya berhawa panas dan Kwi-bo melempar tubuh bergulingan. Di balik hawa panas itu mencuat sinar putih bagai petir, itulah Lui-cu-kang atau Pukulan Mutiara Geledek yang amat ampuh, ia tak berani menerima dan melempar tubuh menyelamatkan diri. Dan ketika ia bergulingan meloncat bangun disana, pucat maka wanita ini berteriak pada Chi Koan agar cepat datang ke situ. Siauw Lam tak tampak batang hidungnya.

Akan tetapi Li Ceng tertawa mengejek. Ia gemas bukan main melihat wanita iblis ini memanggil Chi Koan, kemarahannya bertambah. Maka ketika ia membentak dan mengejar wanita itu maka Kwi bo menangkis akan tetapi kembali terpelanting.

"Chi Koan akan mampus menerima hukumannya pula. Kau dan dia sama-sama keji, Kwi-bo, sekarang kalian di lubang kematian dan sebentar lagi bertemulah dengan Raja Akherat!"

Kwi-bo pucat dan melempar tubuh lagi. Dulu ketika ia bertanding dengan wanita ini di rumahnya iapun terdesak dan akan celaka kalau tidak dibantu Chi Koan. Si buta itu benar-benar segalanya bagi dia, tempat di mana ia dapat berlindung kalau terdesak oleh musuh yang kuat.

Namun ketika kini seruannya tak mendapatkan tanggapan dan justeru di tempat lain terdengar benturan dan geraman si buta maka Kwi-bo menjadi terkejut dan ingin tahu juga apa yang menjadi sebabnya. Hal ini membuat ia berjungkir balik menjauhkan diri dari lawan, memutar tubuh dan lari untuk melihat Chi Koan bertanding hebat dengan seorang kakek tinggi kurus seperti galah. Dan ketika ia tertegun tak tahu siapa itu, melihat kakek itu berkelebatan cepat di antara tongkat temannya maka Kwi-bo menjublak akan tetapi saat itu Li Ceng mengejarnya dan membentak.

"Jangan melenggong saja. Kematianmu sudah dekat, Kwi-bo, terimalah!"

Kwi-bo berkelit. Ia mengelak dan sadar namun keyakinannya kepada si buta cukup besar. Hanya terhadap Peng Houw si buta mengaku kalah, yang lain tak masuk hitungan dan karena itu wanita inipun bangkit kemarahannya. Chi Koan pasti akan menolongnya nanti. Maka ketika membalik dan menerjang lawan segera dua wanita ini bertempur sengit dan masing-masing memiliki kepercayaan untuk menang.

Akan tetapi perhitungan Kwi-bo meleset. Ia tak tahu siapa lawan Chi Koan sebenarnya dan tentu saja tak tahu bahwa tokoh seangkatan Ji Leng Hwesio muncul. Kakek itu bukan lain adalah Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip, tokoh sakti yang dulu bertanding sama kuat dengan mendiang Kun-lun Lo-jin, seusap di bawah Ji Leng Hwesio dan yang akhirnya merantau meninggalkan Tiong-goan menuju Nepal dan Bhutan, bertapa di puncak Himalaya dan setelah memperoleh kesaktian tinggi lalu kembali ke daratan besar.

Sayang karena musuh-musuh seangkatannya tak ada lagi maka kakek ini membuang kecewa dengan tinggal di lorong bawah tanah, tempat di mana ia biasa tinggal kalau bertamu di Kun-lun. Dan karena kakek itu akhirnya bertemu Li Ceng dan mengangkat Boen Siong sebugai muridnya maka permintaan nyonya itu untuk mencari dan menghadapi Chi Koan dituruti, dengan catatan bahwa kalau si buta dapat dikalahkan maka ia tetap tak dibunuh, karena ia hanya ingin menunjukkan kepandaiannya kepada nyonya muda itu.

Begitulah hari itu kakek ini bertemu orang yang dicari Sepanjang jalan tentu saja mereka melihat bekas-bekas kekejaman Chi Koan di dusun-dusun yang ditinggalkan. Ratap tangis isteri atau suami yang kehilangan pasangannya membuat wajah wanita ini berapi-api. Seperti itulah perbuatan si buta kepadanya, ia kehilangan suami. Dan karena bekas-bekas kekejaman ini justeru mudah ditelusuri, di situlah mereka mencari lawan mereka maka di telaga itu Li Ceng menemukan si buta.

Waktu itu Chi Koan sendirian saja dengan gadis-gadis cantik yang merubunginya. Wajahnya yang tampan dan gerak-geriknya yang halus membuat gadis-gadis pelajar itu tersentuh juga. Pandangan jijik yang semula ditujukan kepada kelopak kosong yang bergerak-gerak itu akhirnya lenyap, terganti keharuan dan rasa iba yang dalam, apalagi getar suara Chi Koan yang penuh kekuatan batin membuat gadis-gadis itu dikuasai sesuatu yang menghipnotis.

Dan ketika perlahan-lahan mereka masuk dalam jebakan yang dilakukan si akłhirnya kenapa sepasang matanya buta maka di sini tiba-tiba si buta menangis dan para gadis ikut menangis melihat betapa wajah tampan namun buta itu basah oleh air mata. Wajah itu berkerut-kerut.

"Aku... aku dibutai sahabatku yang berkhianat. Ah, hidup sungguh buruk bagiku, cuwi-Siocia, langit seakan runtuh. Kekasihku yang malang direbut sahabatku itu dan agar tidak melihat wajahnya lagi ia menusuk mataku dengan sepasang garpu."

"Keji, jahat sekali. Siapa nama sahabatmu yang tak tahu diri itu, twako, dan eh siapa namamu pula!"

"Aku she Koan, namaku Chi. Sahabatku itu adalah Peng Houw dan ialah yang menusukkan garpu ke biji mataku ini. la mencintai kekasihku,ia ingin merebut secara paksa. Padahal kalau dia minta baik-baikpun pasti kuberikan. Ah, nasibku memang buruk!"

Chi Koan menangis dan terharulah gadis-gadis itu oleh ceritanya yang menyayat. Begitu pandai si buta ini bermain Sandiwara hingga gadis-gadis itu semakin dekat, bukan hanya secara fisik namun jiwa merekapun tergetar. Haru dan iba mudah menimbulkan kasih sayang. Dan ketika seorang di antaranya tiba-tiba memegang lengannya dan berbisik agar ia tak usah bersedih maka Chi Koan terkejut karena daya-pengasih yang dikerahkannya ternyata menjerat gadis ini, bukan Ong-siocia yang diincarnya itu.

"Kau... kau tak usah bersedih. Kalau nasibmu begitu malang biarlah kau tinggal di rumahku, Koan-twako. Aku akan membiayaimu dan membahagiakanmu!"

Yang lain terkejut. Akan tetapi karena perasaan iba dan kasih sudah menjalar di hati semua orang, gadis-gadis itu mengangguk maka yang lain bicara juga dengan nada yang sama,

"Atau kau tinggal di tempatku, orang tuaku juga kaya!"

"Atau di tempatku saja, di samping kamarku ada kamar kosong!"

Chi koan tertegun ketika gadis-gadis cantik itu berebut terpengaruh daya pengasihnya. Dari semua itu justeru Ong-siocia belum menyatakan pendapatnya, ia tak tahu bahwa gadis ini teringat Kiat seng. Maka ketika ia mengerutkan kening dan maklum bahwa gadis itu rupanya sudah terpikat orang lain, satu-satunya jalan ia harus memperkuat pengaruh batinnya maka iapun tersenyum dan tiba-tiba menghela napas, suaranya lirih ketika bertanya kepada gadis baju merah itu.

"Dan kau sendiri, tidakkah kau menaruh belas kasihan kepadaku, Ong-siocia? Tidak adakah tempat bernaung bagiku si papa ini?"

Gadis itu terkejut, merona wajahnya. Getaran suara si buta amat kuat dan tiba-tiba hilanglah wajah Kiat Seng. Temannya sudah saling menawarkan jasa baik sementara ia sendiri belum. Maka ketika ia terisak dan menghapus air matanya gadis yang sudah dipengaruhi daya pengasih ini maju mendekat, gemetar memegang tangan si buta.

"Akupun kasihan kepadamu, Koan-twako, akan tetapi entahlah ayah ibuku. Mereka tentu harus diberi tahu, aku tak dapat menjawab sekarang."

"Tapi kau dapat merajuk, ayah ibumu tentu menurut!"

'Ya... ya, dapat kulakukan itu. Tapi, ah... entahlah, aku bingung!"

Chi Koan tersenyum. la memperkuat lagi kekuatan batinnya dan tiba-tiba iapun menangkap lengan gadis itu. Yang lain membelalakan mata dan ada yang menangis terisak-isak. Sandiwaranya berhasil benar. Dan karena gadis inilah yang sebenarnya diincar dan bukan gadis-gadis lain iapun menarik lembut tiba-tiba ia telah menjatuhkan gadis itu dipangkuannya, tanganpun membelai, suara bergetar dan penuh daya sedot.

"Ong-siocia, gadis kekasihku itu sepertimu. karena ia telah meninggalkan aku maukah kau menggantikan. Bolehkah aku menciummu?"

Gadis ini terkejut. Untuk sedetik ia merasa kilatan menyambar, tubuhnya tahu-tahu sudah di pangkuan lelaki. Akan tetapi karena kekuatan batin yang dikerahkan Chi Koan amatlah kuatnya dan kesadaran itu hilang lagi maka iapun mengangguk dan tanpa sadar menjawab, "Ya, aku mau...!"

Chi Koan girang bukan main. Tentu saja ia langsung mencium namun karena di situ ada yang lain-lain maka iapun tak mau kepalang tanggung. Biasanya para gadis tak akan banyak cingcong lagi kalau semua mendapat getahnya. Maka ketika ia bertanya apakah yang lain di situ menaruh kasihan dan mau menciumnya serentak gadis-gadis itupun mengangguk. Mereka benar-benar sudah seperti disihir.

"Aku... aku mau...!"

"Akupun mau!"

"Kalau begitu ciumlah aku, lalu aku mencium kalian!"

Dan ketika serentak gadis-gadis itu membungkuk mencium pipi Chi Koan maka si buta hampir tertawa bergelak mencium gadis-gadis itu. Mereka ini lembut dan jinak- jinak terasa, satu demi satu dicium pipinya dan Chi Koan merasakan kegembiraan yang sangat. Satu demi satu ia merasakan pipi-pipi lembut, dan karena ia sudah terangsang dan bergerak lebih jauh maka iapun meremas bagian-bagian yang lain dan beberapa di entaranya menjerit kecil.

Akan tetapi gadis-gadis itu seperti boneka-boneka indah yang benar-benar kehilangan kesadarannya. Sebentar saja mereka terkejut dan selanjutnya Chi Koen mendorong, berahinya menggelegak. Dan ketika ia melepas kancing baju Ong-siocia dengan nafsu membubung, tiba-tiba gadis itu tersentak dan menjerit mendadak ia mundur dan pakaianpun robek.

Chi Koan bangkit dan menyambar lagi namun yang kena gadis lain, gadis ini juga terkejut dan robek pakaiannya. Lalu ketika si buta bertanya di mana Ong-siocia itu, gadis ini menggigil terbelalak tiba-tiba berkelebatlah bayangan tinggi kurus disertai bentakan, membuyarkan pengaruh sihir atau daya pengasih Chi Koan.

"Haiya, ini kiranya murid Ji Leng Hwesio. Lepaskan mereka dan jangan ganggu gadis-gadis itu, bocah she Ci. Jahat sekali perbuatanmu dan sungguh amat memalukan!"

Chi Koan terkejut. Kalau sambaran itu hanya sekedar sambaran dan tidak membuyarkan pengaruh sihirnya tentu ia tak akan sekaget itu. Angin menderu dan membuyarkan segala-galanya, bahkan terus menghantam dirinya dan dorongan amat kuat membuat ia terkejut, menangkis akan tetapi pukulan itu tiba lebih dulu. Dan ketika ia terbanting bergulingan dengan muka kaget, tongkat hampir saja terleps dari tangannya maka Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip menepuk kepala gadis-gadis ini menyadarkan mereka.

"Hayo... hayo pulang, jangan di sini. Si buta itu berbahaya untuk kalian!"

Menjerit dan terpekiklah gadis-gadis itu. Begitu pengaruh buyar serentak mereka terkejut setengah mati. Masing-masing tiba-tiba sadar akan apa yang telah dilakukan. Dan ketika mereka merah padam dan malu bukan main, betapa si buta telah mereka cium dan balas mencium mendadak mereka berserabutan dan kancing baju yang terlanjur dibuka lupa ditutup kembali, menjerit.

Dan berteriak-teriakan dan jeritan inilah yang didengar Kiat Seng dan teman-temannya tadi. Mereka melihat betapa teman-teman perempuan itu jatuh bangun, histeris dan pucat sementara di sana seorang kakek tinggi kurus berkelebatan menghadapi Si buta.

Deru angin pukulan membuat mereka terpelanting. Dan ketika semua melarikan diri dan di dalam kereta gadis-gadis itu mengguguk sambil bercerita tentu saja para pemuda ini meremang bulu tengkuknya karena di tempat lain merekapun sesungguhnya juga dipengaruhi Kwi-bo dan hampir melakukan apa yang seharusnya tak boleh dilakukan.

Chi Koan mula-mula terkejut oleh dorongan angin pukulan kuat itu. Ia terbanting namun meloncat bangun dan menganggap semuanya karena kurang siap. Ia diserang begitu tiba-tiba. Maka ketika ia menancapkan tongkat dan miringkan kepala meraba-raba siapa lawannya itu maka suara tua seorang kakek membuatnya tertegun.

"Heh-heh, kau kiranya bocah she Chi yang luar biasa itu. Hm, kali ini aku akan menghajarmu, bocah. Perbuatanmu di dusun-dusun sungguh keji sekali. Aku mewakili gurumu memberi adat!"

"Siapa kau!" Chi Koan membentak, diam-diam mengerahkan tenaganya dan memegang tongkat erat-erat. "Aku tak mengenal dirimu tapi kau, mengenal aku, orang tua. Sebutkan namamu sebelum tongkatku meremukkan kepalamu!"

"Heh-heh, sombong sekali. Aku kakek buyutmu Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip, tak mungkin kau kenal karena ketika aku sudah menjadi kakek-kakek kau baru lahir. Hmh, kau telah mewarisi ilmu kepandaian Bu-tek-cin-keng, bocah. Coba kau lontarkan kepadaku dan menyeranglah. Aku memang ingin menjajal!"

Chi Koan mengerutkan alisnya. Ia tak mengenal nama ini tapi mendengar lawan menyuruh ia mengeluarkan ilmu Bu-tek cin-keng tentu saja ia berhati-hati. Kalau orang sudah tahu tapi masih menyuruh menyerangnya tentu kakek itu bukan orang sembarangan. Angin pukulannya tadi sudah membuktikan. Maka ketika ia berhati-hati dan tidak segera menyerang, kakek itu terbelalak maka ia menyuruh kakek itu maju dan nanti dibalasnya.

"Aku orang muda, kau sudah tua bangka. Sebaiknya kau yang maju dan nanti aku bergerak."

"Ha-ha, merendahkan orang tua? Baiklah, terima ini dan jaga keselamatanmu! " tujuh sinar berkeredep.

Namun Chi Koan tak melihat ini, miringkan kepala dan tak mendengar sesuatu sampai tiba-tiba tujuh hui-to atau golok terbang itu begitu dekat. Barulah dalam jarak kurang dari semeter ia mendengar dengung halus dari tujuh senjata rahasia ini, terkejutlah si buta.

Dan kėtika ia mengelak den menangkis dengan tongkatnya maka tujuh hui- to itu terpental dan Chi Koan mengeluarkan keringat dingin karena dari situ ia tahu bahwa kakek di depannya ini benar-benar seorang ahli lempar golok yang tidak kedengaran suaranya!

"Trang-trang-trang!"

Si buta terhuyung dan berubah. Telapaknya pedas tergetar dan tongkat terasa hampir lepas. Terkejutlah dia karena sinkang dari lemparan hui-to itu benar-benar hebat sekali. Chi Koan tak tahu bahwa lawannya ini adalah seangkatan mendiang kakek gurunya Ji Leng Hwesio, jadi tak aneh kalau kepandaiannya memang tinggi.

Dan ketika ia terkejut dan kakek itu bukan lawan yang enteng sebaliknya kakek ini juga kagum karena dengan tepat dan jitu sekali si buta berhasil menangkis hui-to nya, padahal jarak sudah sedemikian dekat dan bagi orang lain tak mungkin menghindarinya. Ji Leng Hwesio sendiri mungkin tidak! Maka kagum oleh pendengaran si buta yang luar biasa tiba-tiba kakek ini tertawa bergelak, semangatnya timbul.

"Ha-ha, tak biasanya aku melawan orang-orang muda. Menang tak mendapat apa-apa sementara kalah malah mendapat malu seumur hidup. Heh, aku telah menyerangmu, anak muda, sekarang balaslah dan keluarkan Hok-te Sin-kang mu itu. Langsung saja!"

Chi Koan menjadi marah. Setelah ia tahu bahwa lawan di depannya ini benar-benar bukan kakek sembarangan iapun tak mau main-main lagi. la percaya bahwa kakek itu bukan orang gila yang begitu saja nminta diserang Hok-te Sin-kang. Pukulan itu amat dahsyat dan satu-satunya yang terdahsyat di antara warisan Bu-tek-cin-keng. Maka ketika ia membentak dan tiba-tiba mendorongkan tangan kirinya iapun berseru agar kakek itu berha-hati.

"Baik, terimalah, tua bangka. Awas kau.!" Dorongan Chi Koan disertai deru angin menyambar. Pemuda menjadi marah dan benar-benar mengeluarkan Hok-Te Sin-kang nya itu. Dan ketika si kakek terbelalak berseri-seri namun sayang tak dapat dilihat si buta ini maka kakek itupun berseru keras mengangkat tangan kirinya pula.

"Desss!" Dua tenaga kuat bertemu dan Chi Koan tertegun betapa pukulannya tertahan, menambah kekuatannya dan kakek itupun berseru keras, rupanya merasa tambahan tenaga dari depan namun tiba-tiba si kakek kehilangan sasaran. Cepat sekali Chi Koan menarik pukulannya, bergeser ke samping.

Akan tetapi ketika kakek itu juga menarik pukulannya dan bergeser ke samping maka Chi Koan kagum dan terkejut karena sikapnya ditiru lawan. Ia tak berhasil menjebak kakek itu agar terjerumus ke depan...!