Kabut Di Telaga See Ouw Jilid 13 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Serial Bu-beng Sian-su Karya Batara

WANITA ini memandang. Chi Koan juga miringkan kepala mendengarkan sesuatu. Siauw Lam mengikuti jari telunjuk tak melihat apa-apa. Tapi ketika gurunya tertawa dan berkelebat ke depan tiba-tiba si buta itu berseru girang.

"Ada suara di sana, isak tangis. Itu suara Li Ceng!"

Terkejutlah Kwi-bo menyambar ke depan. Tanpa banyak bicara lagi wanita ini terkekeh membawa tawanannya, Siauw Lam berteriak mengejar dan menyusul dua orang itu. Lalu ketika mereka tiba di depan sebuah guha dan inilah tempat tinggal Kim Cu Cinjin, di sinilah Li Ceng disembunyikan kedua suhengnya maka Chi Koan terbahak berkelebat masuk.

"Li Ceng, di sini kiranya kau bersembunyi!"

Wanita di balik dinding rahasia itu baru saja terisak terkejut. Memang ia menangis dan mengeluh memaki-maki suhengnya, tak disangka bahwa suara di balik dinding itu terdengar Chi Koan. Betapa tajam telinga si buta. Namun ketika Li Ceng menahan semua suaranya dan si buta tertegun kehilangan sasaran,di balik lubang kecil wanita ini melihat sii buta maka Chi Koan berkejap-kejap miringkan kepala. Kwi-bo sudah berkelebat masuk dan heran tak melihat apa-apa, kecuali sebatang lilin kecil yang hampir habis.

"Guha ini kosong, tak ada orangnya!"

"Tidak, kudengar jelas suara itu, Kwi-bo, ia ada di sini. lsaknya tadi kutangkap jelas, ia Li Ceng!"

Kwi-bo terbelalak. Tadinya ia terkekeh dan girang bahwa sasaran yang dicari sudah didapat. Ia mengira wanita itu ada di guha ini dan bersiap-siap menangkapnya. Chi Koan ada di depan dan ia akan mencegat kalau korban lolos keluar. Tapi ketika tak ada apa-apa dan ia ragukan pendengaran si buta ini, Sementara tosu di tangannya melepaskan diri maka Siauw Lam yang meloncat dan masuk ke dalam tak melihat apa-apa pula.

"Tempat ini kosong, tak ada orangnya!"

"Tidak, aku yakin ada orangnya. Coba kau ceritakan bentuk guha ini, Kwi-bo, adakah ruangan lain yung masih ada?”

"Guha tidak dalam, hanya memiliki dua buah ruangan. Dan kita sudah berada di ruang kedua!"

"Hm-hm, kalau begitu coba kalian diam!" Chi Koan memasang telinga dan Kwi bo serta muridnya terbelalak tegang. Mereka sampai melupakan tawanan yang diam-diam memberosot, matanya liar dan mencari kesempatan. Lalu ketika Si buta menyeringai dan mengetukkan tongkat tiba-tiba ia berseru agar Semua mengetuk dinding.

"Coba cari tempat kosong yang kira-kira ada. Ketuk semua tempat!"

Pucatlah Li Ceng. Sejak tadi ia menahan napas dan memperhatikan semua gerak-gerik si buta yang amat dibencinya itu. Semula ia ingin berteriak dan menerjang lawannya, biarlah si buta menjebol dinding rahasia dan bertempur mati hidup. Tapi ketika ia tak melihat Bi Wi Cinjin maupun Heng Bi Cinjin, pastilah ada apa-apa dengan kedua suhengnya itu maka tiba-tiba ia merobah pikiran dan ingin menyelamatkan diri.

Sungguh kasihan wanita ini. Tadi memaki-maki dan menangis dikurung kedua suhengnya di balik kamar rahasia. la bukan penakut dan siap menghadapi siapapun. Kedatangan Chi Koan telah didengar. Tapi ketika ia ditotok dan dilumpuhkan suhengnya, roboh dan terguling untuk akhirnya batas totokan lenyap maka ia memaki dan melompat bangun sambil menangis tersedu-sedu, memukul-mukul dinding guha tapi ia tetap terkurung, air mata habis sampai akhirnya tinggal isak kecil dan keluhan.

Suara yang didengar telinga Si buta yang amat tajam dan munculah musuhnya itu. Si buta datang dengan sikapnya yang amat dibenci. Dan ketika ia tertegun dan menahan napas, si buta miringkan kepala mendengar semua suara tiba-tiba saja si buta itu telah memerintahkan untuk mengetuk semua dinding mencari tempat kosong. Berarti si buta yakin bahwa di tempat ini ada kamar rahasia!

Habislah harapan Li Ceng. Ia hampir saja menjerit memberitahukan dirinya ketika tiba-tiba sebuah benda hitam menrrik perhatiannya. Benda itu ada di atas ruangan menempel langit-langit, tak kurang dari tiga meter akan tetapi ia sanggup meraihnya. Dan karena benda itu semacam bola berduri yang dapat dipakainya sebagai senjata, meloncatlah ia menyambar benda itu maka gerakannya ini tertangkap si buta dan Chi Koan berseru gembira.

"Ia ada di sini!"

Bersamaan itu tongkatnya mencoblos lubang kecil pengantar suara. Dari lubang inilah sesungguhnya isak tangis Li Ceng terdengar. Maka ketika yang lain mengetuk dinding guha namun seketika menghentikan pekerjaan mereka, di saat itu loloslah si tosu muda maka Kwi-bo maupun Siauw Lam berseri gembira melihat betapa lubung kecil yang dicoblos si buta pecah dan memperlihatkan sebuah celah lebar. Ruangan kosong yang menjadi sebuah kamar rahasia di balik guha ini!

Akan tetapi bersamaan itu terdengar bentukan nyaring. Li Ceng yang sudah meloncat dan meraih benda itu secepat kilat menimpukkannya ke depan. Ia sudah tak dapat menyembunyikan diri lagi, si buta mengetahui keberadaannya. Dan tepat si buta menusukkan tongkatnya maka benda itu menyambar dan si buta terkejut menyangka ditimpuk batu biasa.

"Blarrr!"

Ternyata ledakan dahsyat menggetarkan isi guha. Benda itu meledak mengenai tongkat si buta, hancur dan terlemparlah si buta keluar guha. Kwi-bo dan Siauw Lam juga berteriak karena ledakan ini membuat guha itu roboh. Atapnya ambruk! Dan ketika dua orang itu juga terlempar oleh ledakan dahsyat, hawa di dalam guha tiba-tiba begitu kuatnya melempar mereka.

Maka Li Ceng sendiri tak kalah kagetnya karena benda yang disambarnya itu ternyata sebuah dinamit! la terlempar ke atas dan bersamaan itu lantai guha pecah, sebuah lubang menganga menerima tubuhnya dan terjebloslah wanita ini ke sumur yang amat dalam. Benturan sana-sini membuat wanita ini pingsan, mengeluh tak sadarkan diri.

Dan ketika ia terus ke bawah dan lenyap memasuki lubang yang seakan tak berdasar, di atas guha itu roboh dengan suaranya yang gemuruh maka orang tak tahu lagi nasib wanita itu sementara Chi Koan dan muridnya serta Kwi-bo menyelamatkan diri dengan bergulingan dan tiarap.

Ledakan masih terdengar beberapa kali ketika batu-batu guha berdentum, jatuh di bawah dan menimpa lereng terjal yang amat mengerikan. Dan ketika semua suara-suara itu hilang sementara Siauw Lam sudah ditindih Kwi-bo, anaK laki-laki ini disambar dan untung tak jauh dari wanita itu maka Kwi-bo bangkit menggigil dan gemetar memandang debu tebal di atas guha yang roboh itu, mencari si buta.

"Chi Koan, di mana kau?"

Sebatang tongkat muncul. Itulah tongkat si buta den Chi Koan tampak berdiri di antara reruntuhan puing. Mukanya penuh debu dan pakaianpun tak keruan. Wajah si buta ini pucat. Namun ketika Kwi bo bergerak dan menyambar lengannya maka ia dipeluk dan mendapat ciuman hangat.

"Syukur kau selamat, aku ngeri sekali!"

"Mana Siauw Lam, bagaimana anak itu!"

"Aku di sini, suhu, babak-belur. Kepalaku benjut!" anak itu muncul dan terhuyung mendekati gurunya. Ia memar di sana-sini dan kepalanya berdarah. Sebutir batu menghantamnya tadi. Dan ketika Chi Koan menyambar muridnya dan marah memandang ke depan maka ia bertanya bagaimana dengan guha itu.

"Hancur, tak tersisa. Apa yang terjadi dan bagaimana bisa begitu, Chi Koan. Apa yang kau lakukan!"

"Aku menangkis dinamit, untung tidak besar. Li Ceng menimpukkannya kepadaku. Mana wanita keparat itu!"

"Ia di dalam guha, tentu tewas!"

"Hm kita cari mayatnya, Kwi-bo, atau aku khawatir ia masih hidup. Mari bongkar semua puing itu dan cari dia!"

Kwi-bo mengangguk. Sebenarnya ia tak yakin bahwa korbannya masih hidup di dalam guha yang runtuh itu. Bagaimana seorang manusia tak akan tewas dikubur hidup-hidup. Tapi karena tak mau membuat temannya marah dan ia berkelebat menggerakkan tangannya maka Siauw Lam terpekik mendapatkan potongan lengan manusia.

"Ini ada lengan orang, putus!"

Kwi-bo menyambar. Ia memperhatikan itu dan Chi Koan mendekatinya berkejap-kejap. Tampak si buta serius mendengarkan keterangan. Dan ketika Kwi-bo berkata bahwa itu lengan laki-laki, bukan perempuan maka semua teringat tosu muda yang lolos melarikan diri tadi.

"Ini bukan lengan Li Ceng, ini milik keledai muda tadi!"

"Hm, ia melarikan diri?"

"Benar, Chi Koan, kubiarkan. Toh kita sudah mendapatkan jejak Li Ceng!"

“Kau sembrono, bagaimana kalau ia melakukan sesuatu yang tidak kita ketahui..."

"Melakukan apa?"

"Mana kutahu? Ia dapat melakukan yang tidak kita duga, Kwi-bo, misalkan menginjak ranjau agar kita mampus!"

Wanita ini bergidik, tapi masih membela diri. "Di tempat seperti ini kupikir tak mungkin tosu baik-baik macam Bi Wi Cinjin atau Heng Bi Cinjin melakukan perbuatan curang. Mereka orang-orang terkenal yang pantang melakukan perbuatan kotor!"

"Tapi siapa menyangka ledakan di dalam guha itu. Nyatanya di sini terjadi hal begitu."

"Baiklah aku minta maaf, Chi Koan. Kita cari lagi dan keruk timbunan batu-batu ini!"

Si buta tak jadi marah. Kalau saja temannya masih membantah dan adu debat tentu ia gusar. Apa yang terjadi itu mengingatkannya akan peristiwa di Heng-san-pai, ketika dulu dan gurunya melawan dedengkot sakti Siang Kek Cinjin dan Siang Lam Cinjin.

Di lorong rahasia bawah tanah ia bersama gurunya mengalami bahaya yang nyaris merenggut nyawa, ledakan dinamit bertubi-tubi. Tapi ketika Kwi-bo sudah meminta maaf dan menggali reruntuhan guha maka iapun tak jadi marah dan mencongkel segala bebatuan dengan tongkatnya yang panjang.

Akan tetapi tak ada yang didapat kecuali seonggok tubuh yang lepas bagian tubuhnya. Siauw Lam mendapat lagi sepotong kaki dan Kwi-bo menemukan sebuah kepala. Itulah jenasah si tosu muda yang tewas berkeping-keping.

Ledakan demikian dahsyat hingga tosu yang berada di mulut guha itu tertimpa lebih dulu. Ia terlempar dan tewas menemui ajalnya. Dan ketika pekerjaan dihentikan dengan muka terheran-heran, tak ada jenasah Li Ceng yang mereka cari maka lubang menganga tiba-tiba terlihat.

"Itu ada sebuah sumur!" Kwi-bo berkelebat. Sepotong papan batu menimpa lubang dan wanita itu memindahkannya. Siauw Lam tak melihat. Kalah awas! Dan. ketika wanita itu ngeri dan pucat memandang ke bawah maka Chi Koan berlutut menjulurkan tongkatnya.

"Amat dalam, gelap gulita. Dalam sekali!" Kwi-bo berseru.

"Coba ambil sepotong batu," Si buta tak perduli. "Lempar dan ukur kedalamannya, Kwi-bo aku ingin tahu."

Wanita ini menyambar batu. Ia langsung melemparkan itu dan Chi Koan menempelkan telinga di pinggir lubang. Batu meluncur dan tak terdengar suaranya. Tapi ketika terdengar suara "plung" dan jauh di bawah sana, tak kurang dari dua ratus meter akhirnya si buta puas mengangguk-angguk.

"Dalam sekali, dan tak mungkin hidup. Hm ini palung di atas gunung, Kwi bo. Li Ceng pasti terjatuh di sana. la tewas!"

"Ya, itu robekan bajunya, terjepit batu!"

Kwi-bo meloncat dan tiba-tiba melihat ini. Ia meraih dan memberikannya kepada si buta dan Chi Koan mengangguk-angguk. la telah mengukur kedalaman sumur itu, tak kurang dari sepuluh pohon kelapa tingginya. Dan karena ia yakin wanita itu tewas di bawah, batu itu lama bertemu lantai dasar maka ia bangkit dan menarik tongkatnya lagi. Mata itu berkejap-kejap tapi betapapun wajah itu kelihatan murung.

"Kita gagal, tapi biarlah. Mari kembali dan kita turun."

Kwi-bo mengibaskan ujung rambutnya. Ia membuang kengerian melihat sumur yang gelap gulita itu. Betapa dalam dan berbahayanya sumur ini. Dan karena Ia juga kecewa tak mendapatkan korbannya maka ia mengangguk dan Chi Koan memanggil muridnya untuk dipanggul lagi.

Siauw Lam tak banyak bicara pula. Anak ini masih terguncang oleh robohnya guha itu, ledakannya begitu dahsyat dan baru kali itu ia melihatnya. Maka ketika gurunya minta turun dan ia memasang tubuh tahu-tahu gurunya itu telah meloncat dan hinggap di atas kedua pundaknya.

Si buta menggerakkan tongkat dan sang murid terdorong. Lalu begitu Siauw Lam berkelebat dan membawa gurunya maka tempat itupun ditinggalkan sementara di muka gunung tubuh dan mayat murid-murid Kun-lun masih bergeletakan.

* * * * * * * *

Tewaskah Li Ceng terjeblos di sumur amat dalam itu? Benarkah ia tak mungkin hidup seperti dugaan Chi Koan? Tanpa kehendak Yang Maha Kuasa tentu begitu, akan tetapi Tuhan rupanya belum menghendaki wanita ini tewas. Sesuatu yang ajaib terjadi.

Seekor mahluk berlengan panjang melongok dari sebuah lubang di dinding sumur, tepat ketika wanita in terjeblos dan meluncur ke bawah dengan amat cepatnya. Dan ketika mahluk ini menguik menjulurkan lengannya maka tepat sekali tubuh wanita itu diterima.

"Bret!"

Mahluk ini terbawa ke depan. Beban yang berat membuatnya tak mampu menguasai diri, tertarik dan terlempar keluar akan tetapi tangannya yang lain menggapai dan mencengkeram bibir lubang. Tepat sekali ia menahan dirinya di situ, menguik-nguik. Tapi ketika ia tak mampu naik dan bergelantungan bergoyang-goyang, suaranya keras seolah memanggil-manggil seseorang maka terdengar seruan perlahan dan seutas tali panjang menyambar dan membelit pergelangan tangan binatang ini.

"Hek-wan (Lutung Hitam), apa yang kau lakukan!"

Binatang ini tersentek naik. Tali itu mengedut dan Ia terbawa ke atas, LiCeng di pelukan yang lain dan robohlah keduanya di lubang dinding sumur itu. Lalu ketika binatang ini meloncat bangun dan terhuyung sempoyongan maka ledakan di atas menggetarkan palung itu namun Li Ceng masih pingsan. Nyonya ini selamat ketika secara kebetulan hewan yang ternyata kera besar itu melongok di luar lubang.

Runtuhnya guha dan suara hiruk-pikuk rupanya mengejutkan binatang ini, melihat dan Saat itulah tubuh si nyonya terjerumus. Dan ketika secara otomatis ia menangkap dan menerima, selamatlah nyonya ini maka binatang ini sudah terhuyung menuju ke tempat remang-remang di mana sesosok bayangan gelap bersila di situ. Hewan ini menangis.

"Hm , apa yang terjadi. Siapa yang kau tolong dan tangkap itu, Hek-wan. Kenapa kau membahayakan dirimu sendiri."

"Nguk-nguuk…!” hewan ini berlutut, perutnya menempel lantai dan air matapun bercucuran. Ia mengeluarkan suara-suara aneh namun sosok tubuh yang bersila itu mengangguk-angguk.

Berkali-kali terdengar gumam dan suara jawabannya, agaknya ia mengerti betul maksud binatang itu. Lalu ketika ia mengangkat tangannya dan menyuruh binatang ini membawa sang nyonya maka si hitam berdiri dan sempoyongan mengambil Li Ceng, memanggulnya di atas pundaknya yang tebal.

"Baiklah, letakkan di situ. Biarkan aku memeriksanya."

Binatang ini mengeluarkan suara tanda mengerti. la meletakkan nyonya itu di depan sosok tubuh ini dan bayangan itumemeriksa Peng-hujin. la bergumam dan mengangguk lega, menotok dan mengusap kepala nyonya ini yang terbentur batu. Li Ceng pingsan terantuk benda keras.

Dan ketika nyonya itu sadar membuka matanya, berkejap dan sejenak bingung berada di mana mendadak ia menjadi kaget melihat sebuah lengan berbulu terjulur dan menjamah mukanya, teringat Chi Koan.

"Jahanam terkutuk!" langsung saja nyonya ini meloncat bangun menghantam lawan, mengira itulah si buta yang hendak berkurang ajar, begitu siuman kejadian itulah yang diingatnya. Tapi ketika dada tebal dihantam mental dan Ia menjerit maka binatang itu, Hek-wan mengeluarkan suara nguk-nguk yang membuat ia ngeri. Mengira berada di akherat!

"Siapa kau. Binatang bedebah dari mana!"

Hewan itu mundur. Di bawah cahaya remang-remang yang tak begitu jelas nyonya ini membelalakkan mata. Ia bertemu pandang dengan sepasang mata kecil bulat merah, benda itu berkedip dan membuatnya gentar dan seram. Begini rupanya alam kematian itu, roh manusia disambut mahluk hitam berbulu yang amat menyeramkan.

Tapi ketika terdengar suara batuk-batuk dan helaan napas panjang, sang nyonya terkejut dan membalik maka ia lebih kaget lagi karena di belakangnya duduk bersila sebuah mahluk lain yang entah siapa.

"Iiihhhhhh..." Li Ceng berseru dan menyerang lagi. la begitu kaget dan seram berada di tempat gelap itu. Sepasang mata putih menyambarnya bagai sepasang gundu bercahaya, begitu mengerikan dan menganggap ia berhadapan dengan seorang iblis lain.

Tapi ketika mahluk itu menangkapnya dan menerima serangannya dengan amat lembut, sebuah telapak dingin menyambut dan menahan pukulannya maka nyonya ini bagai melesat sukmanya oleh kengerian dan rasa seram yang sangat.

"Plakk!"

Kelima jarinya tak dapat lepas dari telapak dingin itu. la menarik dan berteriak namun gagal. Bahkan dari telapak itu menyalur hawa dingin yang membuat kepalanya gemetar. Kemarahan dan rasa panas lenyap. Dan ketika menggigil dan dilepaskan perlahan, jatuh terduduk maka orang yang bersila itu berkata padanya bahwa ia tak usah takut.

"Tempat ini bukan neraka, bukan tempat setan. Hek-wan telah menolongmu dari bahaya kematian, hujin. Siapakah kau dan ada apa ribut-ribut di atas itu. Bagaimana guha pertapaan Kim Cu Cinjin roboh!"

Li Ceng terbelalak lebar-lebar. Setelah ia terbiasa dengan gelap dan cahaya remang- remang itu memberinya petunjuk maka yang duduk bersila itu ternyata seorang kakek yang matanya buta. Bola mata itu masih ada di tempat namun semua serba putih. Chi Koan juga buta akan tetapi pemuda itu kosong kelopaknya, bola matanya pecah ketika dulu ditusuk mendiang susioknya sendiri, peristiwa Go-bi yang menggetarkan itu.

Maka ketika ia terkesima dan seketika sadar, berlutut dan menangis tiba-tiba ia tak dapat bicara apa-apa kecuali menumpahkan semua kesedihan dan kemarahannya lewat air mata. Kakek di depan itu juga tak bicara apa-apa kecuali membiarkan nyonya ini menengis. la hanya menghela napas dalam-dalam, tenang dan masih bersila dengan sikapnya yang agung itu.

Tapi ketika nyonya ini sadar dan melompat bangun maka ia berseru bahwa seorang iblis mengejar-ngejarnya dan membuat rumah tangganya hancur berantakan.

"Aku adalah Li Ceng, sumoi dari suhengku Kim Cu Cinjin. Seorang iblis mengejar dan hendak menangkapku, locianpwe, mempermainkan dan menghina aku. Siapakah kau dan bolehkah kutahu bagaimana kau berada di sini!"

"Aku adalah Pek-gan Hui-to (Golok Terbang Mata Putih), sahabat sekaligus musuh Ji Leng Hwesio ketua Go-bi. Siapa aku agaknya tak akan kau kenal, hujin, tapi kalau kau sumoi Kim Cu Cinjin berarti kau murid Kun-lun. Hm, apa hubunganmu dengan Kun-lun Lojin."

"la supekku, tapi sudah mendiang!"

"Kalau begitu kau murid siapa?"

"Kakekku sendiri Lui-cu Lo-Sam. Apakah locinpwe mengenal dan tahu kakekku!"

"Ah, kau isteri Si Naga Gurun Go-bi!"

"Benar, locianpwe, itu suamiku. Tapi...!"

Si kakek terkekeh-kekeh. Tiba-tiba ia bangkit berdiri dan terkejutlah Li Ceng melihat betapa jangkungnya kakek ini. Tingginya tak kurang dari dua meter! Dan ketika ia tertegun dan membelalakkan mata mendadak kakek itu menggerakkan tangan dan meluncurlah belasan sinar putih menancap di atas guha.

"Cep-cep-cep!"

Tujuh belas hui-to (golok terbang) berjajar rapi membentuk barisan aneh. Li Ceng memperhatikan dan terkejut karena itulah huruf atau nama seseorang. Bunyinya adalah: Jiong Bing Lip! Dan ketika ia tertegun dan kaget serta kagum Juga gentar maka kakek itu duduk lagi namun masih terkekeh-kekeh. Tawanya menggetarkan guha dan si lutung hitum menguik ketakutan.

"Heh-heh-heh...! Sungguh tak kusangka bahwa kau adalah keluarga Si Naga Gurun Go-bi, menantu Ji Leng Hwesio yang sudah wafat. Ah, takdir sungguh membuat orang menjadi gila, siauw-hujin. Kalau Ji Leng Hwesio masih hidup mungkin ia mentertawakan. Nasib, sungguh nasib benar-benar mempermainkan aku!"

Menunduk dan menutupi mukanya mendadak kakek ini menangis. Lutung Hitam ikut menangis dan Li Ceng pun menangis. Lucu keadaan itu! Tapi ketika si kakek mengangkat mukanya dan heran melihat nyonya muda itu menangis maka iapun terbelalak dan tangispun tiba-tiba terhenti. Hek-wan atau Lutung Hitam juga menyeringai, tangispun lenyap.

"Ada apa kau menangis. Kenapa ikut- ikutan!"

"Aku menangis karena locianpwe menangis. Kata-katamu tadi persis sama dengan keadaanku, locianpwe. Nasib membuat manusia menjadi gila dan mempermainkan seenaknya. Aku juga merasa begitu!"

Kakek ini tertegun. "Kau menangis karena persamaan pandangan?"

"Ya, aku juga merasa begitu. Nasib atau takdir sungguh kejam!"

"Ha-ha! Tapi nasib atau takdir kadang juga menyenangkan, hujin, bagaimana pendapatmu kalau begini!"

"Tak mungkin. Nasib lebih banyak buruknya daripada baiknya, locianpwe. Aku tak percaya!"

"Tapi baik buruk tergantung kita. Kali ini buruk mungkin lain kali baik. Manusia juga berubah-ubah. Nah, bagaimana pendapatmu tentang itu!"

Sang nyonya diam.

"Heh-heh" kakek itu melanjutkan. "Pandanganmu tidak sepenuhnya sama, hujin, ada juga yang berbeda tajam. Bagiku nasib atau takdir sana-sama membawa kebaikan atau keburukan. Semuanya tergatung kita. Katakan sekarang kenapa bagimu lebih banyak buruk daripada baiknya!"

Li Ceng bersinar-sinar. Setelah ia berhadapan dan bicara dengan kakek itu maka ia menangkap sesuatu yang jujur dan blak-blakan. la tak tahu siapa Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip ini akan tetapi kalau ia bersahabat dan kenal dengan orang-orang seperti Kun-lun Lo-jin atau mendiang Ji Leng Hwesio tentu kakek ini bukan orang sembarangan.

Kelihaian hui-to terbangnya menjadi bukti. Bukan hal mudah menancapkan tujuhbelas golok terbang membentuk nama! Maka ketika ia mulai tertarik dan suka kepada kakek ini maju dan berlutut maka sebelumnya ia mengucapkan terima kasih dulu atas pertolongan yang diberikan kakek itu.

"Sebelumnya baiklah teecu haturkan terima kasih atas pertolongan locianpwe menyelamatkan diriku. Tentang nasib buruk yang menimpaku cukup panjang, tentu saja aku akan bercerita...!"

"Heh-heh, bukan kepadaku. Yang menolongmu adalah Hek-wan, hujin, binatang sekaligus sahabat setiaku ini."

Li Ceng tertegun.

"Kau enggan berterima kasih? Tak apalah, itu hanya basa-basi!"

Nyonya ini terpukul. Tiba-tiba ia bangkit dan mendekati binatang berbulu lebat itu. Si lutung memandangnya bersinar-sinar dan menguik. Dan ketika ia mengeraskan hati membungkuk di depan kera besar ini maka ia berkata tak mau disebut tak kenal budi.

"Hek-wan, tuanmu berkata tajam. Aku bukan manusia tak kenal terima kasih. Baiklah kuhaturkan kepadamu dan terimalah terima kasihku ini!"

"Heh-heh, lucu! Kalau berterima kasih seharusnya kepadaku, nyonya.Tanpa aku tak mungkin binatang itu ada di sini!"

Li Ceng terkejut, membalik. "Kalau begitu akupun berterima kesih kepadamu, tadi sudah kukatakan!"

"Lucu, lebih lucu lagi! Dua-duanya tak benar, nyonya. Apakah kakekmu Lui-cu Lo Sam tak memberi pendidikan tentang Tuhan. Terima kasih, itu hanya untuknya, bukan aku atau binatang ini! Ha..ha.." dan ketika nyonya itu terbelalak dan mendongkol maka kakek ini berseru lagi, "Aku di sini semata kemurahan Tuhan belaka, tanpa Dia tak mungkin aku hidup. Heh, kau harus berterima kasih kepadanya. Kau tak mempelajari kitab suci?"

Merah padamlah wajah wanita ini. Sebagai murid Kun-lun dan isteri seorang seperti Peng Houw tentu saja ia tahu semua itu. Bahkan suaminya adalah penghafal kitab suci, jagoan membaca! Tapi karena kakek ini jungkir balik bicaranya dan aneh serta sukar diikuti, terbelalaklah dia dengan marah akhirnya Li Ceng diam saja dengan muka gelap! Namun kakek itu terkekeh, terbatuk-batuk. Lalu ketika ia menarik napas dalam dan bicara lagi maka yang keluar adalah kata-kata sareh dan bijak, sabar.

"Sudahlah, tak perlu marah-marah. Hidup sudah dipenuhi berbagai persoalan yang membangkitkan marah dan emosi, hujin, kalau orang selalu marah maka cepat masuk kubur. Marah tiada guna, kesabaran harus dilatih. Sekarang ceritakan apa yang ingin kau ceritakan tapi agaknya aku sudah tahu semua.”

"Apa yang locianpwe ketahui," Li Ceng penasaran bertanya. "Kalau kau sudah tahu maka tak ada gunanya aku bercerita. Bukankah locianpwe sudah tahu!"

"Heh-heh, benar, kalau begitu duduklah. Bukankah kau menderita karena kehilangan anakmu."

Li Ceng mencelat bangun. "Locianpwe tahu?" matanya terbelalak.

"Duduklah," kakek itu mengulapkan lengannya. "Semuanya sudah kutahu, anak baik. Bagaimana tidak tahu kalau di sini aku sendiri tersangkut."

"Maksud locianpwe?"

"Hmn duduklah, tekan kemarahanmu. Ingat bahwa aku telah menyelamatkan dirimu...!"

Wanita ini sadar. Segera ia duduk dan berdebar memandang kakek itu Pek gan Hui-to Jiong Bing Lip ini benar-benar orang uar biasa, pribadinya penuh misteri dan mengandung teka-teki. Akan tetapi karena ia merasa telah diselamatkan dan Hek-wan di sampingnya itu bersimpuh dengan sikap yang manis akhirnya iapun duduk dan memandang kakek itu dengan takut-takut gentar, juga gelisah.

"Tolong locianpwe jelaskan arti kata-kata tadi. Apa maksud locianpwe bahwa locianpwe terlibat."

"Ini karena nasib, atau takdir tadi. Ingatkah kau kata-kataku tadi?"

"Ya, lalu bagaimana?"

"Tidak bagaimana-bagaimana. Hek-wan itulah yang membawa anakmu...!"

Li Ceng mencelat bangun. Untuk kesekian kalinya ia dibuat kaget lagi oleh sikap dan kata-kata kakek ini. Tadi tentang anaknya yang diculik dan sekarang penculiknya, bagaimana tidak mencelos. Tapi ketika ia ditepuk dan terduduk lagi maka iapun menggigil ditahan sebuah tenaga yang amat kuatnya.

"Itulah yang namanya tekdir, kadang merugikan namun menguntungkan juga tergantung penerima. Sekarang tenanglah kuberi tahu bahwa binatangku itu tidak bersalah. la kebetulan saja menemukan anak itu ketika pembantumu berteriak-teriak, mengambil dan memberinya kepadaku karena perasaannya yang tajam memberi tahu bahwa anak itu dalam bahaya."

"Di mana puteraku, di mana sekarang Boen Siong!" nyonya ini tak kuat, berseru dan memandang kakek itu dengan mata berapi-api namun si kakek tak melihatnya. Mata kakek yang buta itu tak tahu pandangan berapi nyonya muda ini namun perasaannya memberi tahu. Maka ketika ia terbatuk-batuk dan tersenyum bicara iapun menenangkan dengan mengebutkan ujung lengan bajunya.

"Anakmu selamat, ia tak apa-apa. ia telah menjadi muridku dan tentu saja tak boleh kau bawa begitu saja."

"Locianpwe merampas anak dari ibunya? Locianpwe merenggut kebahagiaan ibu dengan anaknya!"

"Tenang, diamlah. Rumah tanggamu kacau dan sedang kalut, hujin. Apa gunanya kembali kepada suamimu itu kalau ia menghinamu seperti itu. Aku tidak merenggut kebahagiaanmu, justeru aku menolong kalian ibu dan anak!"

Li Ceng. Tiba-tiba ia mengguguk dan menutupi mukanya lagi teringat suaminya itu, betapa Peng houw menghinanya dan menuduhnya ternoda oleh Chi Koan. Betapa sakit dan perihnya tuduhan itu. Betapa kejamnya ayah Boen Siong itu. Maka ketika ia tersedu dan menggUguk di situ iapun membenarkan kate-kata kakek ini. Tapi karena iapun ingin tahu puteranya maka iapun menjerit minta dipertemukan dengan Boen Siong.

"Kau tak boleh bersikap kejam kepadaku. Kalau kau tak merenggut kebahagiaan ibu kepada anaknya coba tunjukkan puteraku, locianpwe. Di mana dia dan berikan padaku. Tunjukkan iktikad baikmu!"

"Hm, kemarahan membuat orang tak dapat berpikir jernih. Kalau aku beriktikad jahat kenapa menolongmu, hujin, bukankah kubiarkan saja kau mati di bawah sumur. Tentang anakmu jangan khuwatir... inilah dia!"

Si kakek menggerakkan tangan ke belakang dan tiba-tiba seorang anak menangis keras-keras. Entah bagaimana tahu-tahu Boen Siong ada di situ, anak ini dipeluk dan dibelai penuh sayang oleh kakek ini. Dan ketika Li Ceng menjerit dan menubruk anaknya maka ibu itupun menerima dan kakek ini memberikannya, mendorong.

"Nah, itulah anakmu, lihat apa yang kulakukan. Jahatkah perbuatanku, nyonya, lihat apakah ia cacad atau berubah?"

Li Ceng tersedu-sedu. Pertemuannya dengan buah hati tentu seja membuatnya begitu gembira. la mengguguk saking haru dan bahagia, berkali-kali diciumi dan didekapnya anak tersayang itu. Tapi ketika ia teringat kakek ini dan berlutut mengucapkan terima kasih maka iapun menggigil bicara,

"Locianpwe telah menyelamatkan buah hatiku, locianpwe telah menyelamatkan aku pula dari kematian di bawah sumur. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan dan membalas semua budi kebaikanmu, locianpwe. Katakanlah sekarang apa yang hendak kau lakukan kepada puteraku ini dan benarkah kau hendak mengambilnya sebagai murid. Bagaimana dengan aku dan apa maksud semua perbuatanmu itu?"

"Hm, sebenarnya aku hendak membalas Ji Leng Hwesio melalui suamimu. Aku penasaran dan pernah dikalahkan hwesio itu, hujin. Tapi melihat betapa hwesio itu memiliki murid lain biarlah ini saja yang kubalas. Aku hendak menggemleng puteramu mewarisi semua kepandaianku!"

"Siapa yang locianpwe maksudkan dengan murid lain itu?"

"Siapa lagi kalau bukan bocah she Chi itu. Aku melihat kepandaiannya lebih lengkap dibanding suamimu...!"

"Locianpwe tahu? Maksudku locianpwe menonton kepandaian musuhku itu?"

"Sebenarnya aku di sana melihat semuanya yang terjadi. Tapi karena suamimu dan bocah itu sama-sama murid musuhku yang membuatku penasaran seumur hidup maka kubiarkan saja. Untunglah Giok Yang Cinjin datang, kau selamat."

"Jadi... jadi locianpwe tahu semua itu?"

"Ya...” kakek ini terkekeh. "Tapi tiba-tiba aku kasihan kepada puteramu ini, dibawa lari jatuh bangun, kupikir tak bakal selamat kalau Chi Koan menemukannya. Maka ketika Hek-wan kusuruh mengambil dan membawanya ke mari maka diam-diam aku hendak mengadu bocah ini dengan ayahnya kelak. Ha-ha, ingin kulihat apakah murid Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip mampu menandingi murid Ji Leng Hwesio. Tapi pikiranku berubah, bocah she Chi itu ternyata keji!"

Li Ceng terbelalak dengan air mata deras mengucur. Tiba-tiba ia merasa sakit hati juga kepada kakek ini. Puteranya hendak diadu dengan sang ayah! Tapi teringat betapa Peng Houw memperlakukannya secara kejam tiba-tiba ia beringas dan mengepalkan tinju.

"Tidak, bukan hanya Chi Koan. Bapaknyapun harus diberi pelajaran, locianpwe. Biarlah kau didik puteraku dan hadapkan kepada ayahnya. Aku juga benci!"

"Eh!” Si kakek melengak. "Kau bersungguh-sungguh?"

"Aku bersungguh-sungguh. Kau telah mengembalikan harapan dan jiwaku dengan anakku. Gemblenglah dia dan tandingkan dengan ayahnya, aku benci suami yang tak tahu kesetiaan seorang isteri."

"Ha-ha-heh-heh-heh! Pucuk dicinta ulampun tiba, siauw-hujin, kalau begitu bebaslah kemauanku menurunkan semua kepandaian. Akan kuadu dia dengan bapaknya, dan akan kuwarisi dia sinkang langsung yang kupunyai. Ufh, Ji Leng Hwesio akan melihat tenaga sakti siapa yang lebih unggul. Ha-ha, bocah ini pewaris tunggalku!" lalu ketika kekek itu terkekeh-kekeh dan tergelak gembira.

Maka Li Ceng pun mantap. menyerahkan Boen Siong. la maklum dengan siapa ia berhadapan dan sekali lihat ia percaya kakek ini , Kakek itu musuh bebuyutan ketua Go-bi, berkepandaiannya tinggi dan tentu kesaktiannya tak perlu diragukan lagi. Maka ketika ia rela menyerahkan Boen Siong dan hari itu juga mendampingi puteranya dididik dan digembleng kakek ini maka sejak itu pula wanita ini tak pernah keluar guha.

Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip ternyata begitu gembira dan merasa mantap. Inilah satu di antara tokoh-tokoh sakti yang masih hidup. Li Ceng segera mendengar kisah kakek ini yang penuh petualangan, betapa sejak muda sudah sering bertanding dengan mendiang Ji Leng Hwesio tapi kakek ini selalu kalah.

Kekalahannya selalu tipis dan akhirnya ia meninggalkan Tiong-goan, masuk keluar Nepal dan Bhutan untuk akhirnya bertapa dipuncak Himalaya. Di situ kakek ini memperdalam ilmunya untuk suatu kali datang lagi menemui Ji Leng Hwesio.

Tapi ketika didengarnya kabar betapa sesepuh itu meninggal dunia, mewariskan sinkangnya kepada muridnya terkasih sementara murid yang lain mencuri dan mempelajari Bu-tek-cin-keng maka kakek ini tiba-tiba kecewa dan masygul. Bukan maksudnya menghadapi tokoh-tokoh muda.

la memiliki kesombongan sebagai tokoh tua, tokoh yang selama ini tak dikenal orang lagi saking lamanya ia meninggalkan dunia kang-ouw. Maka ketika tiba-tiba didengarnya kematian hwesio itu dan juga Kun-lun Lo-jin, Sepasang kakek sakti dedengkot Heng-san maka kakek ini lemas semangatnya ditinggalkan tokoh-tokoh seangkatan.

"Aku tak mau berhadapan dengan orang-orang muda itu. Menang tak menambah pangkat sementara kalah malah justeru memalukan, seperti Siang Kek dan Siang Lam Cinjin itu. Maka aku berpikir sebaiknya mewariskan kepandaianku kepada murid yang amat berbakat, hujin, dan kebetulan kulihat puteramu yang bertulang baik. Aku ingin menggemblengnya, kelak kuadu dengan ayahnya. Bukan sebagai anak melawan bapak melainkan sebagai murid Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip melawan murid Ji Leng Hwesio. Dan maksud hatiku kesampaian, tapi tak nyana kau sebagai ibunya hadir mendampingi ditolong binatang piaraanku Hek-wan si Lutung Hitam ini. Ha-ha, takdir membuat orang susah dan senang berbarengan, hujin. Siapa sangka bahwa penculikmu sekaligus penolongmu!"

Li Ceng bersinar-sinar. ia sekarang tak perduli lagi penculikan anaknya. ia telah bertemu Boen Siong dan bersyukur berhadapan dengan kakek seangkatan supeknya. Tapi ingin membuktikan apakah kakek itu benar dapat menghadapi Chi Koan iapun terus terang menyatakan keraguan.

"Maaf, locianpwe boleh bicara apa saja. Tapi berhasilkah kiranya ia menghadapi ayahnya. Suamiku memang betul hebatnya memiliki Hok-te Sin-kang yang diwarisi dari mendiang gurunya, sementara Chi Koan lebih banyak lagi karena ia mendapatkannya dari Beng Kong Hwesio yang merupakan gurunya sebelum mendapatkan Bu-tek-cin-keng. Apakah Boen Siong mampu menghadapi dua orang itu dengan tingkat kemampuan yang kelak dimiliki? Dengan lain kata apakah tak ada kekhawatiran kalau ia selalu kalah seperti dulu locianpwe menghadapi hwesio itu?"

"Hm inilah yang membuatku penasaran. Aku tak dapat lagi menguji kepandaianku dengan musuhku yang tangguh itu, hujin, tapi aku akan membuktikannya dengan muridku kelak!"

"Bagaimana kalau locianpwe mengadakan uji coba dulu. Artinya bagaimana kalau locianpwe menghadapi Chi Koan dan mencari kelebihan serta kekurangannya."

"Hah, kau menyuruhku berhadapan dengan bocah ingusan itu? Sudah kubilang aku tak mau merendahkan diriku melayani anak-anak muda. Aku angkatan tua!"

"Salah, sikap seperti itu harus ditinggalkan. Aku justeru sebaliknya berpikir, locianpwe, jajakilah pemuda itu hingga tahu kelebihan dan kekurangannya. Kau tak perlu membunuhnya, tapi berbekal pertandingan langsung kau dapat mendidik Boen Siong sesuai kepandaianmu!"

"Tapi ia bukan Ji Leng Hwesio!"

"Sama saja. Atau locianpwe cari suamiku karena Ji Leng Hwesio mewariskan sinkangnya kepada suamiku!"

Kakek ini terbelalak. Tiba-tiba ia tergerak dan gatal tangannya. Dan ketika dengan berapi Li Ceng menceritakan kehebatan suaminya, sinkang atau tenaga sakti yang diwarisinya langsung dari dedengkot Go-bi maka kakek itu tertawa bergelak. Li Ceng menutupnya dengan kata-kata yang membakar.

"Berhadapan dengan suamiku tiada ubahnya berhadapan dengan mendiang Ji Leng Hwesio sendiri. Chi Koan pun tak kuat menahan pukulan suamiku itu, meskipun pemuda itu lebih beragam ilmunya. Karena itu cari dan hadapi suamiku, locianpwe, jajakilah kepandaiannya biar tahu kelebihan dan kekurangannya. Berbekal ini Boen Siong akan lebih tangguh, tak perlu menderita kalah seperti jamanmu dulu!"

"Ha-ha, kau membakarku hujin. Sesungguhnya tua bangka macam aku tak berminat menghadapi anak-anak muda seperti mereka, Li Ceng, tapi karena suamimu mewarisi langsung tenaga Ji Leng Hwesio biarlah kucoba. Baik, besok kita cari dia!"

"Atau Chi Koan kalau si buta ketemu dulu!"

"Baiklah, baiklah, satu di antara keduanya atau mungkin kedua-duanya, ha-ha!" dan ketika hari itu diputuskan bahwa Chi Koan atau Peng Houw dicari dan akan dihajar maka Li Ceng girang bukan main menerima janji ini, bertanya dan akhirnya mendapat jawaban kenapa kakek ini berada di Kun-lun.

Ternyata Pek-gan Hui-to ini selalu ditempatkan di situ kalau bertamu ke Kun-lun, yakni ketika mendiang Kun-lun Lojin masih hidup dan dua tokoh sakti yang sering mengadu ilmu silat ini tiada yang kalah atau menang. Dari situ dapat diambil kesimpulan bahwa kakek ini benar-benar luar biasa, apalagi sekarang, yang katanya telah lebih maju setelah bertapa di satu di antara puncak-puncak Himalaya.

Maka ketika Li Ceng semakin mantap dan hanya ingin membuktikan saja maka keesokannya diajak keluar dan ternyata lorong bawah tanah itu menembus perut gunung sampai di dekat sebuah dusun, jauh di kaki Kun-lun.

Di sini Li Ceng tertegun dan teringat suhengnya Bi Wi Cinjin maupun Heng Bi Cinjin. Ia sebenarnya ingin melihat dua suhengnya itu setelah kepergian Chi Koan. Tapi karena kakek itu tampaknya tak senang dan ia menahan keinginannya maka tak jadi mengeluarkan kata-katanya dan kakek itu mematung sejenak di atas sebuah batu hitam, mencorat-coret.

"Menurut perhitungan seharusnya Chi Koan lebih dulu ditemukan daripada suamimu. Mana yang kau pilih, mencari pemuda itu dulu atau suamimu."

"Biarlah jahanam itu. Bertemu diapun tak ada jeleknya, locianpwe, asal kau hajar dan syukur membunuhnya sekalian!"

"Heh-heh, tidak bisa. Itu bukan tugasku, Li Ceng, melainkan muridku kelak. keinginanmu hanya melihat aku mengalahkan murid Ji Leng Hwesio."

"Baiklah, terserah locianpwe dan kemana kita mencari?"

"Hm, kulihat dulu. Biar kutabur bubuk sakti ini untuk mencari jejak!" lalu ketika si kakek menaburkan sesuatu di batu hitam dan berkemak-kemik tiba-tiba bagian sebelah timur meledak.

"Heh-heh, di sini, tak jauh dari sini. Arah timur. Mari ikut aku dan lihat pemuda itu kuhajar!"

Li Ceng terpekik ketika tangannya tahu-tahu disambar. la terkejut memejamkan mata ketika angin keras menerjang mukanya. Begitu cepat si kakek bergerak dan terbang melesat. Lalu ketika ie mem buka matanya namun tak kuat menahan, berdesir merasa dibawa melayang maka ia menjadi girang dan berdebar menunggu bukti kakek lni, Mencari dan menghajar Chi Koan!

* * * * * * * *

Si buta memang ke arah timur. Setelah mengobrak-abrik Kun-lun dan gagal menemukan Li Ceng maka Chi Koan murung sepanjang jalan. Hal ini dapat dimengerti karena sesungguhnya diam-diam kecewa. Tak dapat disangkal nafsunya akan selalu mengggelegak membayangkan nyonya muda itu.

la tak akan puas sebelum mendapatkan wanita itu, bentuk pelampiasan dendam dan sakit hatinya kepada Peng Houw. Maka ketika perjalanannya ke Kun-lun gagal dan guha roboh mengubur wanita itu maka si buta merasa masygul dan ini diketahui baik oleh Kwi-bo.

"Tak usah murung, kita dapat mencari penggantinya di dalam perjalanan. Kalau kau setuju di dusun itu kita beristirahat, Chi Koan, kucarikan sekedar penghibur atau aku melayanimu!"

"Hm, bersenang-senang denganmu mulai jenuh. Carikan pengganti dan yang cocok dengan seleraku, Kwi-bo. Siauw Lam biar mencari buah-buahan atau makanan untuk kita."

Mereka berhenti. Di luar dusun itu anak laki-laki disuruh mencari makanan. Siauw Lam mengangguk dan tahu kemurungan gurunya pula. Maka ketika ia melepaskan gurunya dan Kwi-bo memegang si buta maka Chi Koan miringkan kepala mencari-cari sesuatu.

"Apa yang kau dengarkan," Kwi-bo bertanya, turut memasang telinga. "Aku mendengar tangis bayi, Kwi-bo, tiga orang."

"Bayi? Kau mencari bayi? Hi-hik, lucu amat. Untuk apa seorang bayi!"

"Bodoh, bukan bayinya melainkan, ibunya. Ayo antarkan aku ke sana dan cari yang paling montok!"

Kwi-bo tertegun. Tiba-tiba ia sadar dan terkekeh dan tentu saja tak membuang waktu lagi mengantar si buta ini. Teringatlah dia bahwa Li Ceng juga seorang ibu muda yang kencang dan montok payudaranya. Agaknya dari sinilah timbul gagasan Chi Koan untuk mendapatkan yang sama. Maka ketika mereka masuk dan dusun itu terheran-heran seorang buta diiringi wanita cantik maka Kwi-bo tersenyum simpul menuju rumah besar yang tentu milik kepala dusun. Tangis bayi didengarnya pula di sana.

"Cocok, telingamu benar-benar tajam. Tapi baru seorang yang kudengar, Chi Koan, entah di mana dua yang lain. Tapi ini agaknya cukup bagimu!"

"Dua yang lain tetap harus kau cari. Kumpulkan mereka dan mintalah sebuah kamar besar untukku."

"Dan untukku juga, untuk kita! Hi-hi senangnya bercinta bersama-sama, Chi Koan. Kita dapat saling menonton!"

"Kali ini tidak," si buta menggeleng. "Kau cari kamar yang lain, Kwi-bo, aku ingin bermain cinta secara halus. Aku tak ingin menakut-nakuti mereka." lalu ketika wanita ini tertegun dan kecewa langkah merekapun sudah tiba di rumah besar itu.

Seorang lelaki tua menyambut bersama wanita sebayanya. Melihat mereka mudah diduga pasangan ini suami isteri, tentu kepala dusun. Dan ketika benar saja kakek itu kepala dusun maka Kwi-bo bersikap halus sesuai keinginan Chi Koan, padahal sebenarnya ia tak sabar dan ingin menampar serta menendang suami isteri itu.

"Kami orang yang kelelahan di jalan, dapatkah kalian memberikan sebuah tempat untuk kami beristirahat, terutama temanku ini."

Kakek itu mengerutkan alis. Kwi-bo dipandangnya terbelalak dan penuh.kagum. Tiba-tiba lelaki tua itu terkekeh. Dan ketika ia mengangguk-angguk sementara isterinya berkerut curiga maka kepala dusun ini berseru,

"Jiwi dari mana jauh-jauh melakukan perjalanan seperti ini. Ah, kasihan temanmu ini, tampak letih dan kusut. Mari-mari, masuk dan duduk dulu di ruang dalam beristirahat!" kemudian menyuruh isterinya ke dapur kakek itu memerintahkan menyiapkan minuman. "Kau ambil penawar haus dan sekedar makanan kecil, biarlah tamu kita ini beristirahat sejenak disini!"

Kwi-bo adalah wanita matang. Melihat gerak-gerik dan pandang mata kakek itu diam-diam tertawa geli. Kakek yang usianya hampir enampuluhan tahun ini jelalatan, matanya bak seorang pemuda yang masih penuh gairah. Sebal dia! Tapi karena Chi Koan melarangnya membuat ribut dan ketenangan serta sikap halus harus diperlihatkan agar tak membuat takut penghuni rumah.

Maka wanita inipun bahkan mengerlingkan matanya dan membuat gerakan menyambut. Senyum genitnya membuet si kakek berdesir, terkekeh-kekeh. Dan ketika saat itu muncullah seorang pemuda tegap membawa cangkul maka kekek itu tiba- tiba berseru mengalihkan perhatian Kwi-bo kepada pemuda ini.

"Eh, Hao-siu, cepat berangkat dan awasi sawah kita. Jangan pemalas!" dan ketika pemuda itu mengangguk namun tertegun melihat Kwi-bo, rambut panjang memikat itu membuatnya berdetak maka Kwi-bopun melempar senyum yang membuat hatinya berjungkir balik. Si kakek membentaknya agar cepat pergi.

"Pemalas, bikin malu orang tua saja. Eh, ini minumnya, nona. Siapa namamu?"

Nyonya rumah datang diiring pelayan. Kwi-bo melihat seraut wajah manis dan Chi Koan cepat-cepat miringkan kepala pula. Langkah dua orang itu didengar. Tapi ketika Kwi-bo berbisik bahwa yang datang adalah seorang gadis buruk, pelayan maka Chi Koan mengangguk-angguk dan nyonya rumah duduk menemani mereka. Perasaannya tampak was-was, tidak seperti suaminya yang terkekeh-kekeh dan girang mendapat wanita cantik.

"Kami ingin beristirahat barang sehari dua, bolehkah kami menginap dan adakah kamar untuk temanku ini?"

"Heh-heh, ada, ada! Maaf, apakah dia ini suamimu, nona. Dan dari kota manakah kalian berasal, hendak ke mana?"

"Kami dari kota raja, hendak berkunjung menengok famili. Dan temanku ini... hmm... kami bersaudara, bukan suami isteri."

Kakek itu terkekeh-kekeh. Agaknya dia gembira mendengar jawaban ini. Sementara isterinya semakin berkerut dan melihat sesuatu yang tidak menyenangkan. Kerling dan lirik Kwi-bo dirasanya terlalu berani, ia menginjak kaki suaminya. Dan ketika suaminya terkejut dan menahan diri maka laki-laki tua itu sadar bahwa isterinya ada di sampingnya.

"Baiklah, baiklah. Kami akan menyiapkan untuk kalian dua kamar tidur. Kalian rupanya kelelahan. Mari minum dan nikmati teh hangat ini, juga penganan kecil ini"

Kwi-bo tertawa sebal. Kalau saja Chi Koan tak mencegah perangainya maka yang dilakukan adalah melempar dan membunuh kakek itu. la dapat menguasai rumah ini dengan kekerasan. Akan tetapi karena si buta sedang mencari suasana lain, sementara tangis bayi di dalam meledak nyaring tiba-tiba bangkitlah nyonya rumah menowel lengan suaminya.

"Cucu kita ingin didekati kakeknya, cobalah kau tenangkan dia dan biar kubantu Bi Leng!"

Sang kakek tertegun. Terpaksa ia bangkit berdiri dan meninggalkan tamunya, diam-diam Kwi-bo tersenyum melihat kakek itu berkejap padanya. Tuan rumah ternyata seorang kakek hidung belang. Dan ketika ia juga berkejap dan kakek itu girang bukan main, gayung bersambut maka sekilas bayangan seorang wanita muda lenyap di balik pintu.

"Hm, kakek itu tak tahu diri. Ia mengerjap padaku, Chi Koan, apa yang harus kulakukan kepadanya."

"Biar saja keblingsatan, bukankah kau mulai menaksir Hao-siu."

"Eh, kau tahu?"

"Wanita sepertimu tak biasa membiarkan rumput muda, Kwi-bo, apa saja dapat kau lakukan dan tentu saja aku tahu."

"Hi-hik, kau pintar. Tapi tentunya kau harus mendapatkan dulu ibu bayi itu, masih muda, segar!"

"Aku tahu, dan aku sudah mendengar langkah kakinya. Paling tidak ia berusia tujuh belas tahun."

"Astaga, telingamu seperti kucing saja. Dugaanmu betul, Chi Koan, hanya tampaknya kurang cantik!"

"Tak apa, asal segar. Dan aku tiba-tiba haus wanita menyusui."

Kwi-bo terkekeh-kekeh. Untung Chi Koan menginjak kakinya dengan cepat karena nyonya rumah terkejut dan berhenti terbelalak, heran dan kaget bahwa ada seorang wanita cantik tertawa begitu bebas, kesannya urakan dan liar. Tapi ketika Kwi-bo menghentikan tawanya dan wanita itu masuk lagi maka Chi Koan berbisik agar mereka menunjukkan sikap sebagai tamu baik-baik.

"Jangan mengumbar tawamu, kendalikan. Jangan membuat takut calon korbanku hingga kita harus bersikap kasar."

"Baiklah, maaf. Aku kaget akan perasaanmu yang awas itu, Chi Koan, kau seperti tidak buta saja!"

Dua orang itu lalu bersikap sopan, Kwi-bo mengendalikan dirinya namun nyonya rumah terlanjur tak senang. Tawa tamunya seperti tawa kuda, jalang. Maka ketika ia berbisik pada suaminya agar berhati-hati, Chi Koan mendengar itu dari luar maka si buta mengetukkan tongkat berkata lagi.

"Nah, nenek itu sudah memperingatkan suaminya. Hati-hatilah sikapmu!"

"Apa yang dia katakan?"

"Tawamu yang katanya seperti kuda betina jalang itu. Bersikaplah sopan dan jangan membuat ribut."

Kwi-bo merah mengepalkan tinju. Kalau saja ia tak ingat perintah ini tentu ia sudah mencelat dan membanting wanita tua itu. Ia dikatakan seperti kuda jalang! Tapi menahan marah dan bersikap sopan ia pun pura-pura bersikap baik ketika tuan rumah muncul kembali, tersenyum dan kakek ini bersikap biasa-biasa saja.

Tentu saja ia tak mendengarkan kata-kata isterinya karena Kwi-bo membalas kedipannya ketika ia mengedip. Tutup bertemu mangkoknya! Dan ketika hari itu mereka beristirahat dan untunglah Siauw Lam tak berkunjung ke situ, anak ini telah diperintahkan untuk menunggu dan diam di luar dusun maka malam harinya di saat makan bersama dua orang mulai menjalankan siasat masing-masing.

Bi Leng anak kepala dusun ternyata, seorang wanita muda yang usianya sekitar tujuh belas tahun, tubuhnya segar dan muda dan berkali-kali ia harus mendiamkan bayinya dengan menyusui. Di hadapan orang buta ia tak perlu malu-malu mengerjakan itu, sementara Hao-siu. Suaminya adalah menantu kepala dusun.

Maka ketika dalam percakapan ini Kwi-bo memuji-muji tuan rumah, kakinya di bawah meja menyentuh atau menyenggol kaki Hao-siu maka pemuda petani yang menantu kepala dusun itu berdesir dan dua kali tersedak. Isteri kepala dusun berkurang kemarahannya setelah kwi-bo merobah sikap.

Ketidak senangannya mulai surut, meskipun beberapa kali perasaannya masih kurang sedap. Suaminya sering mengawasi Wanita ini seperti orang lapar, atau harimau yang layaknya ingin menerkam saja. Dan ketika saat makan selesai dan mereka dipersilakan tidur maka Kwi-bo mendapat tugas untuk mengantarkan Bi Leng ke kamar Chi Koan.

"Bawa wanita itu kepadaku, minumkan seteguk anggur. Dan kau sendiri, hmm... terserah apa yang kau lakukan, Kwi-bo, tapi sekali lagi jangan sampai membuat ribut!"

"Aku sudah menggoda pemuda itu, Hao-siu gelagapan."

"Ya, aku tahu, ia tersedak dua kali."

"Aku... Hi-hik, kau mengikuti semua gerakan!"

"Kita sama-sama tahu, Kwi-bo, dan malam ini aku ingin bermain cinta dengan halus. Bawalah Bi Leng ke sini dan tidurkan kedua orang tuanya."

Kwi-bo terkekeh. Menidurkan pemilik rumah berarti menotoknya hingga pagi, ia berkelebat dan melaksanakan tugasnya. Dan ketika tanpa sukar ia merobohkan suami isteri itu, sang kakek menggeliat sementara isterinya mengeluh dan terguling pingsan maka wanita ini sudah bergerak ke kamar belakang di mana suami isteri muda itu tidur.

Ternyata dua orang ini gelisah. Tanpa sepengetahuan Kwi-bo diam-diam Chi Koan melancarkan daya-pengasih. Ilmu ini adalah ilmu batin dan dengan sikap serta gerak-geriknya ia mempengaruhi puteri kepala dusun itu. Bi Leng tersentak ketika seakan tak sengaja ujung kakinya disentuh kaki Chi Koan, terusap dan naiklah hawa dingin yang membuat kepalanya pusing. Di bawah meja makan tadi ternyata telah terjadi tukar-menukar gesekan kaki.

Bi Leng tiba-tiba mengeluh ketika yang teringat adalah wajah si buta itu. Baginya wajah ini tiba-tiba begitu memelas, ia merasa haru dan kasihan bukan main. Dan karena Chi Koan adalah pemuda tampan yang sanggup menggeterkan hati wanita, kebutaannya justeru menimbulkan rasa kasihan maka perasaan ini dipergunakan baik-baik dan mudah sekali daya pengasih itu menembus benteng pertahanan Bi Leng.

Akan tetapi wanita ini adalah seorang ibu muda, sudah bersuami. Tentu saja ia bingung kenapa tiba-tiba ia seakan jatuh cinta kepada orang lain. Perasaan macam apa itu. Maka ketika ia menekan dan coba membuang pikirannya jauh-jauh ternyata semakin diusir wajah si buta itu semakin melekat! Ia tak tahu bahwa di dalam kamarnya si buta ini duduk bersila, mengerahkan kekuatan dan bobolah semua pertahanan.

Jangankan wanita dusun ini, Hong Cu gadis lihai dari Sin-hong-pang saja roboh! Maka ketika ia gelisah dan menggeliat bangun, mengeluh dan meninggalkan pembaringan tiba-tiba saja suaminya juga mengalami hal yang sama akan tetapi yang diingat adalah Kwi-bo!

Jadilah suami isteri ini meninggalkan bilik. Bi Leng seakan orang tersihir menuju kanmar Chi Koan, sementara suaminya yang tertegun dan melihat Kwi-bo tiba-tiba muncul di depannya tersentak. Belum lagi ia sadar akan apa yang dilakukan tiba-tiba wanita itu menotok dan menyambarnya keluar. Kwi-bo membawanya ke kamar di sebelah si buta itu.

Lalu ketika ia mengeluh dan meneguk secawan minuman manis, sama seperti isterinya di sana maka masuklah suami isteri muda ini dalam perangkap jahat. Mereka tak tahu apa yang mereka lakukan sampai akhirnya jerit dan keluhan tertahan terdengar di kamar Chi Koan.

Saat itu menjelang pagi dan Chi Koan telah mendapatkan korbannya. Pengaruh daya- pengasih lenyap dan wanita itupun sadar. Dan ketika Bi Leng tersentak dan berlari meninggalkan kamar maka hampir dalam waktu bersamaan suaminyapun meloncat dari kamar Kwi-bo.

"Bi Leng!" Suami ini menangkap isterinya.

Sang isteri menjerit dan meronta-ronta namun tangis bayi menyadarkan mereka. Sambil mengguguk wanita ini menubruk bayinva, menyusui dan mendiamkan bayinya dengan tangis tersedu-sedu. Lalu ketika si bayi diam dan mereka kembali berpandangan maka sang isteri terkejut karena suaminya telanjang bulat, lupa ketika tadi mengejar dan menyusul isterinya ini. "Kau...!"

Hao-siu terkejut. Ia baru melompat keluar dari kamar Kwi-bo mendengar jerit isterinya tadi, tak sadar bahwa iapun masih dalam keadaan bugil. Semalam dinina-bobok wanita cantik itu, terbang ke awang-awang. Maka ketika isterinya menjerit dan menubruk serta memukul-mukulnya maka pemuda ini sadar dan cepat mencengkeram isterinya itu.

"Jangan menuduh sepihak. Kaupun melakukan penyelewengan di kamar lain, Bi Leng. Kau bersama si buta itu!"

"Aku. , aku tidak sadar. Aku seperti tersihir!"

"Akupun juga. Aku tidak sadar dan tak tahu apa yang kulakukan. Diam dan jangan membuat ayah ibu bangun dan kita ketahuan!"

Tersentaklah Bi Leng. la tiba-tiba sadar bahwa ayah ibunya bisa bangun dan mengetahui keadaan mereka. Betapa memalukan dan rendahnya perbuatan mereka itu. Dan ketika masing-masing sadar bahwa mereka dikerjai lawan maka suami isteri itu berjanji untuk tidak mengulang kejadian semalam.

Akan tetapi mana mungkin! Yang menguasai mereka adalah Chi Koan yang amat lihai, juga Kwi-bo yang pandai merayu dan bersikap genit. Maka ketika malam kedua mulailah getaran daya-pengasih itu menyebar kembali, menyedot dan membawa wanita itu akhirnya Bi Leng tunduk dan menyerah di bawah kekuatan si buta.

Hao-siu juga terlena dan mabok di belaian Kwi-bo dan kejadian ini berlangsung empat hari berturut-turut. Dan ketika kebosanan mulai menghinggapi Chi Koan dan si buta minta agar kekasihnya membawa dua ibu muda lain yang diingatnya kembali maka puteri kepala dusun ini terbelalak dan ngeri.

"Bawa mereka kepadaku, biar kuusap kepalanya. Lalu semuanya boleh kau tinggalkan dan tak perlu melayani aku lagi."

Pucatlah wanita muda ini. la akhirnya tahu bahwa tamu yang berada di rumahnya ini bukan orang sembarangan. Empat kali ia telah menyerahkan diri. Maka ketika dengan ngeri dan rasa takut ia membawa kawannya yang lain, Yan-kim dan Sui-ma maka dua orang inipun terkena daya sihir Chi Koan di mana secara bersamaan dua wanita muda itu berada di kamar dan melayani si buta berbareng.

Gegerlah tempat tinggal kepala dusun. Dua suami yang kehilangan isteri dan mencari mereka ternyata menemukan isteri masing-masing di rumah itu. Untunglah Bi Leng sigap memberi tahu bahwa Yan-kim dan Suima menemani dirinya untuk menenangkan anak yang rewel. Tapi karena dua suami itu lama-lama curiga kenapa isteri mereka bergerak seperti orang lupa ingatan, dipanggil tak menoleh dan membuat mereka marah maka Kwi-bo muncul di sini meninggalkan Hao-siu.

Cepat sekali wanita ini mempergunakan kepandaiannya merobohkan laki-laki muda itu. Kalau sang isteri berada di kamar Chi Koan maka sang suami berada di kamarnya. Dua lelaki sekaligus tak apa. Dan ketika hal ini membuat Hao-siu tersinggung dan marah akhirnya menantu kepala dusun ini melapor kepada mertunya.

"Apa, mereka... mereka menggauli isteri-isteri orang? Si buta itu menyihir Yan-kim dan Sui-ma? Dan.... dan wanita itu memasukkan dua laki-laki ke kamarnya? Celaka, keparat jahanam. Kotorlah rumah ini, Hao-siu. Panggil orang-orang dan bunuh mereka itu. Mana cangkulmu, mana sabit dan senjata tejam!"

Kakek kepala dusun marah sekali berlari ke belakang. la marah bukan sekedar cerita ini melainkan marah karena wanita ini tak mau melayaninya. Sebenarnya ia, sudah menunggu- nunggu dan saling kedip diantara mereka membuat tubuhnya panas dingin. Siapa tidak meledak kalau tiba-tiba wanita itu main gila dengan orang lain, di rumahnya lagi. Maka ketika ia berteriak-teriak dan kebetulan Kwi-bo baru saja mengerjai dua petani muda ini maka pintu kamar yang dibabat cangkul pecah berantakan.

"Gu Pin, keluar dan kuhajar kau. Juga Luan-ho. Kalian berdua jahanam keparat yang menodai rumah ini. Keluar... brak-braakk!" dua lelaki terlonjak di atas tempat tidur dan mereka itulah suami dari wanita muda yang berada di kamar Chi Koan.

Yan-kim dan Sui-ma terpekik ketakutan, gegerlah rumah itu. Pagi itu dua wanita ini dibuat kaget oleh kemarahan kepala dusun. Kakek itu membacok dengan sabit dan cangkulnya di tangan. Pintu kamar itu roboh. Lalu ketika dua pemuda itu menggigil telanjang bulat di satu pembaringan maka kakek itu tak dapat menahan marahnya lagi dan membacok dua suami sial itu.

"Ampun, kami... kami minta ampun!"

Akan tetapi sabit dan cangkul di tangan laki-laki yang kalap ini terayun deras. Pundak dan paha lawannya terkena. Dalam keadaan seperti itu tenagapun rasanya seperti anak muda saja. Dan ketika dua petani itu menjerit dan roboh terguling-guling maka isteri mereka terpekik menjerit dari kamar si buta.

"Jangan bunuh suamiku...!"

"Jangan bunuh mereka...!" hao-siu juga melakukan hal yang sama dan Bi Leng juga!

Tersentaklah tangan yang menggigil itu. Wajah tua yang beringas ini terkejut, Hao-siu tiba-tiba dipandang dan mundurlah pemuda itu. Ia tergetar oleh pandang mata mertuanya yang seperti api. Mata itu seperti membakarnya. Dan ketika kakek itu membentak dan ia menyelinap, berdatanganlah orang-orang lain dengan senjata di tangan maka pagi yang cerah itu menjadi pagi yang gaduh oleh teriakan dan orang kena bacok.

Hao-siu sendiri melarikan diri dan tiba-tiba bersembunyi di balik punggung penduduk. Semua orang gempar melihat ini, apalagi ketika kakek itu mengejar dan menyerang menantunya. Dan ketika semua itu ditambah jerit dan teriakan wanita maka dengan tenangnya Chi Koan tersenyum-senyum keluar. Di belakangnya mengiring Kwi-bo dan Siauw Lam. Wanita itu terkekeh-kekeh.

"Hi-hik, apa yang harus kulakukan kalau sudah begini, Chi Koan. Apakah mengumumkan kepada mereka bahwa laki-laki maupun perempuannya brengsek semua!"

"Mana Bi Leng, panggil ia ke mari!"

"Itu di sana...!" lalu ketika wanita ini berkelebat dan menyambar puteri kepala dusun maka wanita atau ibu muda ini menjerit.

"Lepaskan... lepaskan aku!"

"Hi-hik, kau rupanya yang menjadi gara-gara. Tak apa... pertanggung-jawabkan dulu perbuatanmu dan hadapilah Chi Koan...!"

Kabut Di Telaga See Ouw Jilid 13

Cerita Silat Mandarin Serial Bu-beng Sian-su Karya Batara

WANITA ini memandang. Chi Koan juga miringkan kepala mendengarkan sesuatu. Siauw Lam mengikuti jari telunjuk tak melihat apa-apa. Tapi ketika gurunya tertawa dan berkelebat ke depan tiba-tiba si buta itu berseru girang.

"Ada suara di sana, isak tangis. Itu suara Li Ceng!"

Terkejutlah Kwi-bo menyambar ke depan. Tanpa banyak bicara lagi wanita ini terkekeh membawa tawanannya, Siauw Lam berteriak mengejar dan menyusul dua orang itu. Lalu ketika mereka tiba di depan sebuah guha dan inilah tempat tinggal Kim Cu Cinjin, di sinilah Li Ceng disembunyikan kedua suhengnya maka Chi Koan terbahak berkelebat masuk.

"Li Ceng, di sini kiranya kau bersembunyi!"

Wanita di balik dinding rahasia itu baru saja terisak terkejut. Memang ia menangis dan mengeluh memaki-maki suhengnya, tak disangka bahwa suara di balik dinding itu terdengar Chi Koan. Betapa tajam telinga si buta. Namun ketika Li Ceng menahan semua suaranya dan si buta tertegun kehilangan sasaran,di balik lubang kecil wanita ini melihat sii buta maka Chi Koan berkejap-kejap miringkan kepala. Kwi-bo sudah berkelebat masuk dan heran tak melihat apa-apa, kecuali sebatang lilin kecil yang hampir habis.

"Guha ini kosong, tak ada orangnya!"

"Tidak, kudengar jelas suara itu, Kwi-bo, ia ada di sini. lsaknya tadi kutangkap jelas, ia Li Ceng!"

Kwi-bo terbelalak. Tadinya ia terkekeh dan girang bahwa sasaran yang dicari sudah didapat. Ia mengira wanita itu ada di guha ini dan bersiap-siap menangkapnya. Chi Koan ada di depan dan ia akan mencegat kalau korban lolos keluar. Tapi ketika tak ada apa-apa dan ia ragukan pendengaran si buta ini, Sementara tosu di tangannya melepaskan diri maka Siauw Lam yang meloncat dan masuk ke dalam tak melihat apa-apa pula.

"Tempat ini kosong, tak ada orangnya!"

"Tidak, aku yakin ada orangnya. Coba kau ceritakan bentuk guha ini, Kwi-bo, adakah ruangan lain yung masih ada?”

"Guha tidak dalam, hanya memiliki dua buah ruangan. Dan kita sudah berada di ruang kedua!"

"Hm-hm, kalau begitu coba kalian diam!" Chi Koan memasang telinga dan Kwi bo serta muridnya terbelalak tegang. Mereka sampai melupakan tawanan yang diam-diam memberosot, matanya liar dan mencari kesempatan. Lalu ketika Si buta menyeringai dan mengetukkan tongkat tiba-tiba ia berseru agar Semua mengetuk dinding.

"Coba cari tempat kosong yang kira-kira ada. Ketuk semua tempat!"

Pucatlah Li Ceng. Sejak tadi ia menahan napas dan memperhatikan semua gerak-gerik si buta yang amat dibencinya itu. Semula ia ingin berteriak dan menerjang lawannya, biarlah si buta menjebol dinding rahasia dan bertempur mati hidup. Tapi ketika ia tak melihat Bi Wi Cinjin maupun Heng Bi Cinjin, pastilah ada apa-apa dengan kedua suhengnya itu maka tiba-tiba ia merobah pikiran dan ingin menyelamatkan diri.

Sungguh kasihan wanita ini. Tadi memaki-maki dan menangis dikurung kedua suhengnya di balik kamar rahasia. la bukan penakut dan siap menghadapi siapapun. Kedatangan Chi Koan telah didengar. Tapi ketika ia ditotok dan dilumpuhkan suhengnya, roboh dan terguling untuk akhirnya batas totokan lenyap maka ia memaki dan melompat bangun sambil menangis tersedu-sedu, memukul-mukul dinding guha tapi ia tetap terkurung, air mata habis sampai akhirnya tinggal isak kecil dan keluhan.

Suara yang didengar telinga Si buta yang amat tajam dan munculah musuhnya itu. Si buta datang dengan sikapnya yang amat dibenci. Dan ketika ia tertegun dan menahan napas, si buta miringkan kepala mendengar semua suara tiba-tiba saja si buta itu telah memerintahkan untuk mengetuk semua dinding mencari tempat kosong. Berarti si buta yakin bahwa di tempat ini ada kamar rahasia!

Habislah harapan Li Ceng. Ia hampir saja menjerit memberitahukan dirinya ketika tiba-tiba sebuah benda hitam menrrik perhatiannya. Benda itu ada di atas ruangan menempel langit-langit, tak kurang dari tiga meter akan tetapi ia sanggup meraihnya. Dan karena benda itu semacam bola berduri yang dapat dipakainya sebagai senjata, meloncatlah ia menyambar benda itu maka gerakannya ini tertangkap si buta dan Chi Koan berseru gembira.

"Ia ada di sini!"

Bersamaan itu tongkatnya mencoblos lubang kecil pengantar suara. Dari lubang inilah sesungguhnya isak tangis Li Ceng terdengar. Maka ketika yang lain mengetuk dinding guha namun seketika menghentikan pekerjaan mereka, di saat itu loloslah si tosu muda maka Kwi-bo maupun Siauw Lam berseri gembira melihat betapa lubung kecil yang dicoblos si buta pecah dan memperlihatkan sebuah celah lebar. Ruangan kosong yang menjadi sebuah kamar rahasia di balik guha ini!

Akan tetapi bersamaan itu terdengar bentukan nyaring. Li Ceng yang sudah meloncat dan meraih benda itu secepat kilat menimpukkannya ke depan. Ia sudah tak dapat menyembunyikan diri lagi, si buta mengetahui keberadaannya. Dan tepat si buta menusukkan tongkatnya maka benda itu menyambar dan si buta terkejut menyangka ditimpuk batu biasa.

"Blarrr!"

Ternyata ledakan dahsyat menggetarkan isi guha. Benda itu meledak mengenai tongkat si buta, hancur dan terlemparlah si buta keluar guha. Kwi-bo dan Siauw Lam juga berteriak karena ledakan ini membuat guha itu roboh. Atapnya ambruk! Dan ketika dua orang itu juga terlempar oleh ledakan dahsyat, hawa di dalam guha tiba-tiba begitu kuatnya melempar mereka.

Maka Li Ceng sendiri tak kalah kagetnya karena benda yang disambarnya itu ternyata sebuah dinamit! la terlempar ke atas dan bersamaan itu lantai guha pecah, sebuah lubang menganga menerima tubuhnya dan terjebloslah wanita ini ke sumur yang amat dalam. Benturan sana-sini membuat wanita ini pingsan, mengeluh tak sadarkan diri.

Dan ketika ia terus ke bawah dan lenyap memasuki lubang yang seakan tak berdasar, di atas guha itu roboh dengan suaranya yang gemuruh maka orang tak tahu lagi nasib wanita itu sementara Chi Koan dan muridnya serta Kwi-bo menyelamatkan diri dengan bergulingan dan tiarap.

Ledakan masih terdengar beberapa kali ketika batu-batu guha berdentum, jatuh di bawah dan menimpa lereng terjal yang amat mengerikan. Dan ketika semua suara-suara itu hilang sementara Siauw Lam sudah ditindih Kwi-bo, anaK laki-laki ini disambar dan untung tak jauh dari wanita itu maka Kwi-bo bangkit menggigil dan gemetar memandang debu tebal di atas guha yang roboh itu, mencari si buta.

"Chi Koan, di mana kau?"

Sebatang tongkat muncul. Itulah tongkat si buta den Chi Koan tampak berdiri di antara reruntuhan puing. Mukanya penuh debu dan pakaianpun tak keruan. Wajah si buta ini pucat. Namun ketika Kwi bo bergerak dan menyambar lengannya maka ia dipeluk dan mendapat ciuman hangat.

"Syukur kau selamat, aku ngeri sekali!"

"Mana Siauw Lam, bagaimana anak itu!"

"Aku di sini, suhu, babak-belur. Kepalaku benjut!" anak itu muncul dan terhuyung mendekati gurunya. Ia memar di sana-sini dan kepalanya berdarah. Sebutir batu menghantamnya tadi. Dan ketika Chi Koan menyambar muridnya dan marah memandang ke depan maka ia bertanya bagaimana dengan guha itu.

"Hancur, tak tersisa. Apa yang terjadi dan bagaimana bisa begitu, Chi Koan. Apa yang kau lakukan!"

"Aku menangkis dinamit, untung tidak besar. Li Ceng menimpukkannya kepadaku. Mana wanita keparat itu!"

"Ia di dalam guha, tentu tewas!"

"Hm kita cari mayatnya, Kwi-bo, atau aku khawatir ia masih hidup. Mari bongkar semua puing itu dan cari dia!"

Kwi-bo mengangguk. Sebenarnya ia tak yakin bahwa korbannya masih hidup di dalam guha yang runtuh itu. Bagaimana seorang manusia tak akan tewas dikubur hidup-hidup. Tapi karena tak mau membuat temannya marah dan ia berkelebat menggerakkan tangannya maka Siauw Lam terpekik mendapatkan potongan lengan manusia.

"Ini ada lengan orang, putus!"

Kwi-bo menyambar. Ia memperhatikan itu dan Chi Koan mendekatinya berkejap-kejap. Tampak si buta serius mendengarkan keterangan. Dan ketika Kwi-bo berkata bahwa itu lengan laki-laki, bukan perempuan maka semua teringat tosu muda yang lolos melarikan diri tadi.

"Ini bukan lengan Li Ceng, ini milik keledai muda tadi!"

"Hm, ia melarikan diri?"

"Benar, Chi Koan, kubiarkan. Toh kita sudah mendapatkan jejak Li Ceng!"

“Kau sembrono, bagaimana kalau ia melakukan sesuatu yang tidak kita ketahui..."

"Melakukan apa?"

"Mana kutahu? Ia dapat melakukan yang tidak kita duga, Kwi-bo, misalkan menginjak ranjau agar kita mampus!"

Wanita ini bergidik, tapi masih membela diri. "Di tempat seperti ini kupikir tak mungkin tosu baik-baik macam Bi Wi Cinjin atau Heng Bi Cinjin melakukan perbuatan curang. Mereka orang-orang terkenal yang pantang melakukan perbuatan kotor!"

"Tapi siapa menyangka ledakan di dalam guha itu. Nyatanya di sini terjadi hal begitu."

"Baiklah aku minta maaf, Chi Koan. Kita cari lagi dan keruk timbunan batu-batu ini!"

Si buta tak jadi marah. Kalau saja temannya masih membantah dan adu debat tentu ia gusar. Apa yang terjadi itu mengingatkannya akan peristiwa di Heng-san-pai, ketika dulu dan gurunya melawan dedengkot sakti Siang Kek Cinjin dan Siang Lam Cinjin.

Di lorong rahasia bawah tanah ia bersama gurunya mengalami bahaya yang nyaris merenggut nyawa, ledakan dinamit bertubi-tubi. Tapi ketika Kwi-bo sudah meminta maaf dan menggali reruntuhan guha maka iapun tak jadi marah dan mencongkel segala bebatuan dengan tongkatnya yang panjang.

Akan tetapi tak ada yang didapat kecuali seonggok tubuh yang lepas bagian tubuhnya. Siauw Lam mendapat lagi sepotong kaki dan Kwi-bo menemukan sebuah kepala. Itulah jenasah si tosu muda yang tewas berkeping-keping.

Ledakan demikian dahsyat hingga tosu yang berada di mulut guha itu tertimpa lebih dulu. Ia terlempar dan tewas menemui ajalnya. Dan ketika pekerjaan dihentikan dengan muka terheran-heran, tak ada jenasah Li Ceng yang mereka cari maka lubang menganga tiba-tiba terlihat.

"Itu ada sebuah sumur!" Kwi-bo berkelebat. Sepotong papan batu menimpa lubang dan wanita itu memindahkannya. Siauw Lam tak melihat. Kalah awas! Dan. ketika wanita itu ngeri dan pucat memandang ke bawah maka Chi Koan berlutut menjulurkan tongkatnya.

"Amat dalam, gelap gulita. Dalam sekali!" Kwi-bo berseru.

"Coba ambil sepotong batu," Si buta tak perduli. "Lempar dan ukur kedalamannya, Kwi-bo aku ingin tahu."

Wanita ini menyambar batu. Ia langsung melemparkan itu dan Chi Koan menempelkan telinga di pinggir lubang. Batu meluncur dan tak terdengar suaranya. Tapi ketika terdengar suara "plung" dan jauh di bawah sana, tak kurang dari dua ratus meter akhirnya si buta puas mengangguk-angguk.

"Dalam sekali, dan tak mungkin hidup. Hm ini palung di atas gunung, Kwi bo. Li Ceng pasti terjatuh di sana. la tewas!"

"Ya, itu robekan bajunya, terjepit batu!"

Kwi-bo meloncat dan tiba-tiba melihat ini. Ia meraih dan memberikannya kepada si buta dan Chi Koan mengangguk-angguk. la telah mengukur kedalaman sumur itu, tak kurang dari sepuluh pohon kelapa tingginya. Dan karena ia yakin wanita itu tewas di bawah, batu itu lama bertemu lantai dasar maka ia bangkit dan menarik tongkatnya lagi. Mata itu berkejap-kejap tapi betapapun wajah itu kelihatan murung.

"Kita gagal, tapi biarlah. Mari kembali dan kita turun."

Kwi-bo mengibaskan ujung rambutnya. Ia membuang kengerian melihat sumur yang gelap gulita itu. Betapa dalam dan berbahayanya sumur ini. Dan karena Ia juga kecewa tak mendapatkan korbannya maka ia mengangguk dan Chi Koan memanggil muridnya untuk dipanggul lagi.

Siauw Lam tak banyak bicara pula. Anak ini masih terguncang oleh robohnya guha itu, ledakannya begitu dahsyat dan baru kali itu ia melihatnya. Maka ketika gurunya minta turun dan ia memasang tubuh tahu-tahu gurunya itu telah meloncat dan hinggap di atas kedua pundaknya.

Si buta menggerakkan tongkat dan sang murid terdorong. Lalu begitu Siauw Lam berkelebat dan membawa gurunya maka tempat itupun ditinggalkan sementara di muka gunung tubuh dan mayat murid-murid Kun-lun masih bergeletakan.

* * * * * * * *

Tewaskah Li Ceng terjeblos di sumur amat dalam itu? Benarkah ia tak mungkin hidup seperti dugaan Chi Koan? Tanpa kehendak Yang Maha Kuasa tentu begitu, akan tetapi Tuhan rupanya belum menghendaki wanita ini tewas. Sesuatu yang ajaib terjadi.

Seekor mahluk berlengan panjang melongok dari sebuah lubang di dinding sumur, tepat ketika wanita in terjeblos dan meluncur ke bawah dengan amat cepatnya. Dan ketika mahluk ini menguik menjulurkan lengannya maka tepat sekali tubuh wanita itu diterima.

"Bret!"

Mahluk ini terbawa ke depan. Beban yang berat membuatnya tak mampu menguasai diri, tertarik dan terlempar keluar akan tetapi tangannya yang lain menggapai dan mencengkeram bibir lubang. Tepat sekali ia menahan dirinya di situ, menguik-nguik. Tapi ketika ia tak mampu naik dan bergelantungan bergoyang-goyang, suaranya keras seolah memanggil-manggil seseorang maka terdengar seruan perlahan dan seutas tali panjang menyambar dan membelit pergelangan tangan binatang ini.

"Hek-wan (Lutung Hitam), apa yang kau lakukan!"

Binatang ini tersentek naik. Tali itu mengedut dan Ia terbawa ke atas, LiCeng di pelukan yang lain dan robohlah keduanya di lubang dinding sumur itu. Lalu ketika binatang ini meloncat bangun dan terhuyung sempoyongan maka ledakan di atas menggetarkan palung itu namun Li Ceng masih pingsan. Nyonya ini selamat ketika secara kebetulan hewan yang ternyata kera besar itu melongok di luar lubang.

Runtuhnya guha dan suara hiruk-pikuk rupanya mengejutkan binatang ini, melihat dan Saat itulah tubuh si nyonya terjerumus. Dan ketika secara otomatis ia menangkap dan menerima, selamatlah nyonya ini maka binatang ini sudah terhuyung menuju ke tempat remang-remang di mana sesosok bayangan gelap bersila di situ. Hewan ini menangis.

"Hm , apa yang terjadi. Siapa yang kau tolong dan tangkap itu, Hek-wan. Kenapa kau membahayakan dirimu sendiri."

"Nguk-nguuk…!” hewan ini berlutut, perutnya menempel lantai dan air matapun bercucuran. Ia mengeluarkan suara-suara aneh namun sosok tubuh yang bersila itu mengangguk-angguk.

Berkali-kali terdengar gumam dan suara jawabannya, agaknya ia mengerti betul maksud binatang itu. Lalu ketika ia mengangkat tangannya dan menyuruh binatang ini membawa sang nyonya maka si hitam berdiri dan sempoyongan mengambil Li Ceng, memanggulnya di atas pundaknya yang tebal.

"Baiklah, letakkan di situ. Biarkan aku memeriksanya."

Binatang ini mengeluarkan suara tanda mengerti. la meletakkan nyonya itu di depan sosok tubuh ini dan bayangan itumemeriksa Peng-hujin. la bergumam dan mengangguk lega, menotok dan mengusap kepala nyonya ini yang terbentur batu. Li Ceng pingsan terantuk benda keras.

Dan ketika nyonya itu sadar membuka matanya, berkejap dan sejenak bingung berada di mana mendadak ia menjadi kaget melihat sebuah lengan berbulu terjulur dan menjamah mukanya, teringat Chi Koan.

"Jahanam terkutuk!" langsung saja nyonya ini meloncat bangun menghantam lawan, mengira itulah si buta yang hendak berkurang ajar, begitu siuman kejadian itulah yang diingatnya. Tapi ketika dada tebal dihantam mental dan Ia menjerit maka binatang itu, Hek-wan mengeluarkan suara nguk-nguk yang membuat ia ngeri. Mengira berada di akherat!

"Siapa kau. Binatang bedebah dari mana!"

Hewan itu mundur. Di bawah cahaya remang-remang yang tak begitu jelas nyonya ini membelalakkan mata. Ia bertemu pandang dengan sepasang mata kecil bulat merah, benda itu berkedip dan membuatnya gentar dan seram. Begini rupanya alam kematian itu, roh manusia disambut mahluk hitam berbulu yang amat menyeramkan.

Tapi ketika terdengar suara batuk-batuk dan helaan napas panjang, sang nyonya terkejut dan membalik maka ia lebih kaget lagi karena di belakangnya duduk bersila sebuah mahluk lain yang entah siapa.

"Iiihhhhhh..." Li Ceng berseru dan menyerang lagi. la begitu kaget dan seram berada di tempat gelap itu. Sepasang mata putih menyambarnya bagai sepasang gundu bercahaya, begitu mengerikan dan menganggap ia berhadapan dengan seorang iblis lain.

Tapi ketika mahluk itu menangkapnya dan menerima serangannya dengan amat lembut, sebuah telapak dingin menyambut dan menahan pukulannya maka nyonya ini bagai melesat sukmanya oleh kengerian dan rasa seram yang sangat.

"Plakk!"

Kelima jarinya tak dapat lepas dari telapak dingin itu. la menarik dan berteriak namun gagal. Bahkan dari telapak itu menyalur hawa dingin yang membuat kepalanya gemetar. Kemarahan dan rasa panas lenyap. Dan ketika menggigil dan dilepaskan perlahan, jatuh terduduk maka orang yang bersila itu berkata padanya bahwa ia tak usah takut.

"Tempat ini bukan neraka, bukan tempat setan. Hek-wan telah menolongmu dari bahaya kematian, hujin. Siapakah kau dan ada apa ribut-ribut di atas itu. Bagaimana guha pertapaan Kim Cu Cinjin roboh!"

Li Ceng terbelalak lebar-lebar. Setelah ia terbiasa dengan gelap dan cahaya remang- remang itu memberinya petunjuk maka yang duduk bersila itu ternyata seorang kakek yang matanya buta. Bola mata itu masih ada di tempat namun semua serba putih. Chi Koan juga buta akan tetapi pemuda itu kosong kelopaknya, bola matanya pecah ketika dulu ditusuk mendiang susioknya sendiri, peristiwa Go-bi yang menggetarkan itu.

Maka ketika ia terkesima dan seketika sadar, berlutut dan menangis tiba-tiba ia tak dapat bicara apa-apa kecuali menumpahkan semua kesedihan dan kemarahannya lewat air mata. Kakek di depan itu juga tak bicara apa-apa kecuali membiarkan nyonya ini menengis. la hanya menghela napas dalam-dalam, tenang dan masih bersila dengan sikapnya yang agung itu.

Tapi ketika nyonya ini sadar dan melompat bangun maka ia berseru bahwa seorang iblis mengejar-ngejarnya dan membuat rumah tangganya hancur berantakan.

"Aku adalah Li Ceng, sumoi dari suhengku Kim Cu Cinjin. Seorang iblis mengejar dan hendak menangkapku, locianpwe, mempermainkan dan menghina aku. Siapakah kau dan bolehkah kutahu bagaimana kau berada di sini!"

"Aku adalah Pek-gan Hui-to (Golok Terbang Mata Putih), sahabat sekaligus musuh Ji Leng Hwesio ketua Go-bi. Siapa aku agaknya tak akan kau kenal, hujin, tapi kalau kau sumoi Kim Cu Cinjin berarti kau murid Kun-lun. Hm, apa hubunganmu dengan Kun-lun Lojin."

"la supekku, tapi sudah mendiang!"

"Kalau begitu kau murid siapa?"

"Kakekku sendiri Lui-cu Lo-Sam. Apakah locinpwe mengenal dan tahu kakekku!"

"Ah, kau isteri Si Naga Gurun Go-bi!"

"Benar, locianpwe, itu suamiku. Tapi...!"

Si kakek terkekeh-kekeh. Tiba-tiba ia bangkit berdiri dan terkejutlah Li Ceng melihat betapa jangkungnya kakek ini. Tingginya tak kurang dari dua meter! Dan ketika ia tertegun dan membelalakkan mata mendadak kakek itu menggerakkan tangan dan meluncurlah belasan sinar putih menancap di atas guha.

"Cep-cep-cep!"

Tujuh belas hui-to (golok terbang) berjajar rapi membentuk barisan aneh. Li Ceng memperhatikan dan terkejut karena itulah huruf atau nama seseorang. Bunyinya adalah: Jiong Bing Lip! Dan ketika ia tertegun dan kaget serta kagum Juga gentar maka kakek itu duduk lagi namun masih terkekeh-kekeh. Tawanya menggetarkan guha dan si lutung hitum menguik ketakutan.

"Heh-heh-heh...! Sungguh tak kusangka bahwa kau adalah keluarga Si Naga Gurun Go-bi, menantu Ji Leng Hwesio yang sudah wafat. Ah, takdir sungguh membuat orang menjadi gila, siauw-hujin. Kalau Ji Leng Hwesio masih hidup mungkin ia mentertawakan. Nasib, sungguh nasib benar-benar mempermainkan aku!"

Menunduk dan menutupi mukanya mendadak kakek ini menangis. Lutung Hitam ikut menangis dan Li Ceng pun menangis. Lucu keadaan itu! Tapi ketika si kakek mengangkat mukanya dan heran melihat nyonya muda itu menangis maka iapun terbelalak dan tangispun tiba-tiba terhenti. Hek-wan atau Lutung Hitam juga menyeringai, tangispun lenyap.

"Ada apa kau menangis. Kenapa ikut- ikutan!"

"Aku menangis karena locianpwe menangis. Kata-katamu tadi persis sama dengan keadaanku, locianpwe. Nasib membuat manusia menjadi gila dan mempermainkan seenaknya. Aku juga merasa begitu!"

Kakek ini tertegun. "Kau menangis karena persamaan pandangan?"

"Ya, aku juga merasa begitu. Nasib atau takdir sungguh kejam!"

"Ha-ha! Tapi nasib atau takdir kadang juga menyenangkan, hujin, bagaimana pendapatmu kalau begini!"

"Tak mungkin. Nasib lebih banyak buruknya daripada baiknya, locianpwe. Aku tak percaya!"

"Tapi baik buruk tergantung kita. Kali ini buruk mungkin lain kali baik. Manusia juga berubah-ubah. Nah, bagaimana pendapatmu tentang itu!"

Sang nyonya diam.

"Heh-heh" kakek itu melanjutkan. "Pandanganmu tidak sepenuhnya sama, hujin, ada juga yang berbeda tajam. Bagiku nasib atau takdir sana-sama membawa kebaikan atau keburukan. Semuanya tergatung kita. Katakan sekarang kenapa bagimu lebih banyak buruk daripada baiknya!"

Li Ceng bersinar-sinar. Setelah ia berhadapan dan bicara dengan kakek itu maka ia menangkap sesuatu yang jujur dan blak-blakan. la tak tahu siapa Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip ini akan tetapi kalau ia bersahabat dan kenal dengan orang-orang seperti Kun-lun Lo-jin atau mendiang Ji Leng Hwesio tentu kakek ini bukan orang sembarangan.

Kelihaian hui-to terbangnya menjadi bukti. Bukan hal mudah menancapkan tujuhbelas golok terbang membentuk nama! Maka ketika ia mulai tertarik dan suka kepada kakek ini maju dan berlutut maka sebelumnya ia mengucapkan terima kasih dulu atas pertolongan yang diberikan kakek itu.

"Sebelumnya baiklah teecu haturkan terima kasih atas pertolongan locianpwe menyelamatkan diriku. Tentang nasib buruk yang menimpaku cukup panjang, tentu saja aku akan bercerita...!"

"Heh-heh, bukan kepadaku. Yang menolongmu adalah Hek-wan, hujin, binatang sekaligus sahabat setiaku ini."

Li Ceng tertegun.

"Kau enggan berterima kasih? Tak apalah, itu hanya basa-basi!"

Nyonya ini terpukul. Tiba-tiba ia bangkit dan mendekati binatang berbulu lebat itu. Si lutung memandangnya bersinar-sinar dan menguik. Dan ketika ia mengeraskan hati membungkuk di depan kera besar ini maka ia berkata tak mau disebut tak kenal budi.

"Hek-wan, tuanmu berkata tajam. Aku bukan manusia tak kenal terima kasih. Baiklah kuhaturkan kepadamu dan terimalah terima kasihku ini!"

"Heh-heh, lucu! Kalau berterima kasih seharusnya kepadaku, nyonya.Tanpa aku tak mungkin binatang itu ada di sini!"

Li Ceng terkejut, membalik. "Kalau begitu akupun berterima kesih kepadamu, tadi sudah kukatakan!"

"Lucu, lebih lucu lagi! Dua-duanya tak benar, nyonya. Apakah kakekmu Lui-cu Lo Sam tak memberi pendidikan tentang Tuhan. Terima kasih, itu hanya untuknya, bukan aku atau binatang ini! Ha..ha.." dan ketika nyonya itu terbelalak dan mendongkol maka kakek ini berseru lagi, "Aku di sini semata kemurahan Tuhan belaka, tanpa Dia tak mungkin aku hidup. Heh, kau harus berterima kasih kepadanya. Kau tak mempelajari kitab suci?"

Merah padamlah wajah wanita ini. Sebagai murid Kun-lun dan isteri seorang seperti Peng Houw tentu saja ia tahu semua itu. Bahkan suaminya adalah penghafal kitab suci, jagoan membaca! Tapi karena kakek ini jungkir balik bicaranya dan aneh serta sukar diikuti, terbelalaklah dia dengan marah akhirnya Li Ceng diam saja dengan muka gelap! Namun kakek itu terkekeh, terbatuk-batuk. Lalu ketika ia menarik napas dalam dan bicara lagi maka yang keluar adalah kata-kata sareh dan bijak, sabar.

"Sudahlah, tak perlu marah-marah. Hidup sudah dipenuhi berbagai persoalan yang membangkitkan marah dan emosi, hujin, kalau orang selalu marah maka cepat masuk kubur. Marah tiada guna, kesabaran harus dilatih. Sekarang ceritakan apa yang ingin kau ceritakan tapi agaknya aku sudah tahu semua.”

"Apa yang locianpwe ketahui," Li Ceng penasaran bertanya. "Kalau kau sudah tahu maka tak ada gunanya aku bercerita. Bukankah locianpwe sudah tahu!"

"Heh-heh, benar, kalau begitu duduklah. Bukankah kau menderita karena kehilangan anakmu."

Li Ceng mencelat bangun. "Locianpwe tahu?" matanya terbelalak.

"Duduklah," kakek itu mengulapkan lengannya. "Semuanya sudah kutahu, anak baik. Bagaimana tidak tahu kalau di sini aku sendiri tersangkut."

"Maksud locianpwe?"

"Hmn duduklah, tekan kemarahanmu. Ingat bahwa aku telah menyelamatkan dirimu...!"

Wanita ini sadar. Segera ia duduk dan berdebar memandang kakek itu Pek gan Hui-to Jiong Bing Lip ini benar-benar orang uar biasa, pribadinya penuh misteri dan mengandung teka-teki. Akan tetapi karena ia merasa telah diselamatkan dan Hek-wan di sampingnya itu bersimpuh dengan sikap yang manis akhirnya iapun duduk dan memandang kakek itu dengan takut-takut gentar, juga gelisah.

"Tolong locianpwe jelaskan arti kata-kata tadi. Apa maksud locianpwe bahwa locianpwe terlibat."

"Ini karena nasib, atau takdir tadi. Ingatkah kau kata-kataku tadi?"

"Ya, lalu bagaimana?"

"Tidak bagaimana-bagaimana. Hek-wan itulah yang membawa anakmu...!"

Li Ceng mencelat bangun. Untuk kesekian kalinya ia dibuat kaget lagi oleh sikap dan kata-kata kakek ini. Tadi tentang anaknya yang diculik dan sekarang penculiknya, bagaimana tidak mencelos. Tapi ketika ia ditepuk dan terduduk lagi maka iapun menggigil ditahan sebuah tenaga yang amat kuatnya.

"Itulah yang namanya tekdir, kadang merugikan namun menguntungkan juga tergantung penerima. Sekarang tenanglah kuberi tahu bahwa binatangku itu tidak bersalah. la kebetulan saja menemukan anak itu ketika pembantumu berteriak-teriak, mengambil dan memberinya kepadaku karena perasaannya yang tajam memberi tahu bahwa anak itu dalam bahaya."

"Di mana puteraku, di mana sekarang Boen Siong!" nyonya ini tak kuat, berseru dan memandang kakek itu dengan mata berapi-api namun si kakek tak melihatnya. Mata kakek yang buta itu tak tahu pandangan berapi nyonya muda ini namun perasaannya memberi tahu. Maka ketika ia terbatuk-batuk dan tersenyum bicara iapun menenangkan dengan mengebutkan ujung lengan bajunya.

"Anakmu selamat, ia tak apa-apa. ia telah menjadi muridku dan tentu saja tak boleh kau bawa begitu saja."

"Locianpwe merampas anak dari ibunya? Locianpwe merenggut kebahagiaan ibu dengan anaknya!"

"Tenang, diamlah. Rumah tanggamu kacau dan sedang kalut, hujin. Apa gunanya kembali kepada suamimu itu kalau ia menghinamu seperti itu. Aku tidak merenggut kebahagiaanmu, justeru aku menolong kalian ibu dan anak!"

Li Ceng. Tiba-tiba ia mengguguk dan menutupi mukanya lagi teringat suaminya itu, betapa Peng houw menghinanya dan menuduhnya ternoda oleh Chi Koan. Betapa sakit dan perihnya tuduhan itu. Betapa kejamnya ayah Boen Siong itu. Maka ketika ia tersedu dan menggUguk di situ iapun membenarkan kate-kata kakek ini. Tapi karena iapun ingin tahu puteranya maka iapun menjerit minta dipertemukan dengan Boen Siong.

"Kau tak boleh bersikap kejam kepadaku. Kalau kau tak merenggut kebahagiaan ibu kepada anaknya coba tunjukkan puteraku, locianpwe. Di mana dia dan berikan padaku. Tunjukkan iktikad baikmu!"

"Hm, kemarahan membuat orang tak dapat berpikir jernih. Kalau aku beriktikad jahat kenapa menolongmu, hujin, bukankah kubiarkan saja kau mati di bawah sumur. Tentang anakmu jangan khuwatir... inilah dia!"

Si kakek menggerakkan tangan ke belakang dan tiba-tiba seorang anak menangis keras-keras. Entah bagaimana tahu-tahu Boen Siong ada di situ, anak ini dipeluk dan dibelai penuh sayang oleh kakek ini. Dan ketika Li Ceng menjerit dan menubruk anaknya maka ibu itupun menerima dan kakek ini memberikannya, mendorong.

"Nah, itulah anakmu, lihat apa yang kulakukan. Jahatkah perbuatanku, nyonya, lihat apakah ia cacad atau berubah?"

Li Ceng tersedu-sedu. Pertemuannya dengan buah hati tentu seja membuatnya begitu gembira. la mengguguk saking haru dan bahagia, berkali-kali diciumi dan didekapnya anak tersayang itu. Tapi ketika ia teringat kakek ini dan berlutut mengucapkan terima kasih maka iapun menggigil bicara,

"Locianpwe telah menyelamatkan buah hatiku, locianpwe telah menyelamatkan aku pula dari kematian di bawah sumur. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan dan membalas semua budi kebaikanmu, locianpwe. Katakanlah sekarang apa yang hendak kau lakukan kepada puteraku ini dan benarkah kau hendak mengambilnya sebagai murid. Bagaimana dengan aku dan apa maksud semua perbuatanmu itu?"

"Hm, sebenarnya aku hendak membalas Ji Leng Hwesio melalui suamimu. Aku penasaran dan pernah dikalahkan hwesio itu, hujin. Tapi melihat betapa hwesio itu memiliki murid lain biarlah ini saja yang kubalas. Aku hendak menggemleng puteramu mewarisi semua kepandaianku!"

"Siapa yang locianpwe maksudkan dengan murid lain itu?"

"Siapa lagi kalau bukan bocah she Chi itu. Aku melihat kepandaiannya lebih lengkap dibanding suamimu...!"

"Locianpwe tahu? Maksudku locianpwe menonton kepandaian musuhku itu?"

"Sebenarnya aku di sana melihat semuanya yang terjadi. Tapi karena suamimu dan bocah itu sama-sama murid musuhku yang membuatku penasaran seumur hidup maka kubiarkan saja. Untunglah Giok Yang Cinjin datang, kau selamat."

"Jadi... jadi locianpwe tahu semua itu?"

"Ya...” kakek ini terkekeh. "Tapi tiba-tiba aku kasihan kepada puteramu ini, dibawa lari jatuh bangun, kupikir tak bakal selamat kalau Chi Koan menemukannya. Maka ketika Hek-wan kusuruh mengambil dan membawanya ke mari maka diam-diam aku hendak mengadu bocah ini dengan ayahnya kelak. Ha-ha, ingin kulihat apakah murid Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip mampu menandingi murid Ji Leng Hwesio. Tapi pikiranku berubah, bocah she Chi itu ternyata keji!"

Li Ceng terbelalak dengan air mata deras mengucur. Tiba-tiba ia merasa sakit hati juga kepada kakek ini. Puteranya hendak diadu dengan sang ayah! Tapi teringat betapa Peng Houw memperlakukannya secara kejam tiba-tiba ia beringas dan mengepalkan tinju.

"Tidak, bukan hanya Chi Koan. Bapaknyapun harus diberi pelajaran, locianpwe. Biarlah kau didik puteraku dan hadapkan kepada ayahnya. Aku juga benci!"

"Eh!” Si kakek melengak. "Kau bersungguh-sungguh?"

"Aku bersungguh-sungguh. Kau telah mengembalikan harapan dan jiwaku dengan anakku. Gemblenglah dia dan tandingkan dengan ayahnya, aku benci suami yang tak tahu kesetiaan seorang isteri."

"Ha-ha-heh-heh-heh! Pucuk dicinta ulampun tiba, siauw-hujin, kalau begitu bebaslah kemauanku menurunkan semua kepandaian. Akan kuadu dia dengan bapaknya, dan akan kuwarisi dia sinkang langsung yang kupunyai. Ufh, Ji Leng Hwesio akan melihat tenaga sakti siapa yang lebih unggul. Ha-ha, bocah ini pewaris tunggalku!" lalu ketika kekek itu terkekeh-kekeh dan tergelak gembira.

Maka Li Ceng pun mantap. menyerahkan Boen Siong. la maklum dengan siapa ia berhadapan dan sekali lihat ia percaya kakek ini , Kakek itu musuh bebuyutan ketua Go-bi, berkepandaiannya tinggi dan tentu kesaktiannya tak perlu diragukan lagi. Maka ketika ia rela menyerahkan Boen Siong dan hari itu juga mendampingi puteranya dididik dan digembleng kakek ini maka sejak itu pula wanita ini tak pernah keluar guha.

Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip ternyata begitu gembira dan merasa mantap. Inilah satu di antara tokoh-tokoh sakti yang masih hidup. Li Ceng segera mendengar kisah kakek ini yang penuh petualangan, betapa sejak muda sudah sering bertanding dengan mendiang Ji Leng Hwesio tapi kakek ini selalu kalah.

Kekalahannya selalu tipis dan akhirnya ia meninggalkan Tiong-goan, masuk keluar Nepal dan Bhutan untuk akhirnya bertapa dipuncak Himalaya. Di situ kakek ini memperdalam ilmunya untuk suatu kali datang lagi menemui Ji Leng Hwesio.

Tapi ketika didengarnya kabar betapa sesepuh itu meninggal dunia, mewariskan sinkangnya kepada muridnya terkasih sementara murid yang lain mencuri dan mempelajari Bu-tek-cin-keng maka kakek ini tiba-tiba kecewa dan masygul. Bukan maksudnya menghadapi tokoh-tokoh muda.

la memiliki kesombongan sebagai tokoh tua, tokoh yang selama ini tak dikenal orang lagi saking lamanya ia meninggalkan dunia kang-ouw. Maka ketika tiba-tiba didengarnya kematian hwesio itu dan juga Kun-lun Lo-jin, Sepasang kakek sakti dedengkot Heng-san maka kakek ini lemas semangatnya ditinggalkan tokoh-tokoh seangkatan.

"Aku tak mau berhadapan dengan orang-orang muda itu. Menang tak menambah pangkat sementara kalah malah justeru memalukan, seperti Siang Kek dan Siang Lam Cinjin itu. Maka aku berpikir sebaiknya mewariskan kepandaianku kepada murid yang amat berbakat, hujin, dan kebetulan kulihat puteramu yang bertulang baik. Aku ingin menggemblengnya, kelak kuadu dengan ayahnya. Bukan sebagai anak melawan bapak melainkan sebagai murid Pek-gan Hui-to Jiong Bing Lip melawan murid Ji Leng Hwesio. Dan maksud hatiku kesampaian, tapi tak nyana kau sebagai ibunya hadir mendampingi ditolong binatang piaraanku Hek-wan si Lutung Hitam ini. Ha-ha, takdir membuat orang susah dan senang berbarengan, hujin. Siapa sangka bahwa penculikmu sekaligus penolongmu!"

Li Ceng bersinar-sinar. ia sekarang tak perduli lagi penculikan anaknya. ia telah bertemu Boen Siong dan bersyukur berhadapan dengan kakek seangkatan supeknya. Tapi ingin membuktikan apakah kakek itu benar dapat menghadapi Chi Koan iapun terus terang menyatakan keraguan.

"Maaf, locianpwe boleh bicara apa saja. Tapi berhasilkah kiranya ia menghadapi ayahnya. Suamiku memang betul hebatnya memiliki Hok-te Sin-kang yang diwarisi dari mendiang gurunya, sementara Chi Koan lebih banyak lagi karena ia mendapatkannya dari Beng Kong Hwesio yang merupakan gurunya sebelum mendapatkan Bu-tek-cin-keng. Apakah Boen Siong mampu menghadapi dua orang itu dengan tingkat kemampuan yang kelak dimiliki? Dengan lain kata apakah tak ada kekhawatiran kalau ia selalu kalah seperti dulu locianpwe menghadapi hwesio itu?"

"Hm inilah yang membuatku penasaran. Aku tak dapat lagi menguji kepandaianku dengan musuhku yang tangguh itu, hujin, tapi aku akan membuktikannya dengan muridku kelak!"

"Bagaimana kalau locianpwe mengadakan uji coba dulu. Artinya bagaimana kalau locianpwe menghadapi Chi Koan dan mencari kelebihan serta kekurangannya."

"Hah, kau menyuruhku berhadapan dengan bocah ingusan itu? Sudah kubilang aku tak mau merendahkan diriku melayani anak-anak muda. Aku angkatan tua!"

"Salah, sikap seperti itu harus ditinggalkan. Aku justeru sebaliknya berpikir, locianpwe, jajakilah pemuda itu hingga tahu kelebihan dan kekurangannya. Kau tak perlu membunuhnya, tapi berbekal pertandingan langsung kau dapat mendidik Boen Siong sesuai kepandaianmu!"

"Tapi ia bukan Ji Leng Hwesio!"

"Sama saja. Atau locianpwe cari suamiku karena Ji Leng Hwesio mewariskan sinkangnya kepada suamiku!"

Kakek ini terbelalak. Tiba-tiba ia tergerak dan gatal tangannya. Dan ketika dengan berapi Li Ceng menceritakan kehebatan suaminya, sinkang atau tenaga sakti yang diwarisinya langsung dari dedengkot Go-bi maka kakek itu tertawa bergelak. Li Ceng menutupnya dengan kata-kata yang membakar.

"Berhadapan dengan suamiku tiada ubahnya berhadapan dengan mendiang Ji Leng Hwesio sendiri. Chi Koan pun tak kuat menahan pukulan suamiku itu, meskipun pemuda itu lebih beragam ilmunya. Karena itu cari dan hadapi suamiku, locianpwe, jajakilah kepandaiannya biar tahu kelebihan dan kekurangannya. Berbekal ini Boen Siong akan lebih tangguh, tak perlu menderita kalah seperti jamanmu dulu!"

"Ha-ha, kau membakarku hujin. Sesungguhnya tua bangka macam aku tak berminat menghadapi anak-anak muda seperti mereka, Li Ceng, tapi karena suamimu mewarisi langsung tenaga Ji Leng Hwesio biarlah kucoba. Baik, besok kita cari dia!"

"Atau Chi Koan kalau si buta ketemu dulu!"

"Baiklah, baiklah, satu di antara keduanya atau mungkin kedua-duanya, ha-ha!" dan ketika hari itu diputuskan bahwa Chi Koan atau Peng Houw dicari dan akan dihajar maka Li Ceng girang bukan main menerima janji ini, bertanya dan akhirnya mendapat jawaban kenapa kakek ini berada di Kun-lun.

Ternyata Pek-gan Hui-to ini selalu ditempatkan di situ kalau bertamu ke Kun-lun, yakni ketika mendiang Kun-lun Lojin masih hidup dan dua tokoh sakti yang sering mengadu ilmu silat ini tiada yang kalah atau menang. Dari situ dapat diambil kesimpulan bahwa kakek ini benar-benar luar biasa, apalagi sekarang, yang katanya telah lebih maju setelah bertapa di satu di antara puncak-puncak Himalaya.

Maka ketika Li Ceng semakin mantap dan hanya ingin membuktikan saja maka keesokannya diajak keluar dan ternyata lorong bawah tanah itu menembus perut gunung sampai di dekat sebuah dusun, jauh di kaki Kun-lun.

Di sini Li Ceng tertegun dan teringat suhengnya Bi Wi Cinjin maupun Heng Bi Cinjin. Ia sebenarnya ingin melihat dua suhengnya itu setelah kepergian Chi Koan. Tapi karena kakek itu tampaknya tak senang dan ia menahan keinginannya maka tak jadi mengeluarkan kata-katanya dan kakek itu mematung sejenak di atas sebuah batu hitam, mencorat-coret.

"Menurut perhitungan seharusnya Chi Koan lebih dulu ditemukan daripada suamimu. Mana yang kau pilih, mencari pemuda itu dulu atau suamimu."

"Biarlah jahanam itu. Bertemu diapun tak ada jeleknya, locianpwe, asal kau hajar dan syukur membunuhnya sekalian!"

"Heh-heh, tidak bisa. Itu bukan tugasku, Li Ceng, melainkan muridku kelak. keinginanmu hanya melihat aku mengalahkan murid Ji Leng Hwesio."

"Baiklah, terserah locianpwe dan kemana kita mencari?"

"Hm, kulihat dulu. Biar kutabur bubuk sakti ini untuk mencari jejak!" lalu ketika si kakek menaburkan sesuatu di batu hitam dan berkemak-kemik tiba-tiba bagian sebelah timur meledak.

"Heh-heh, di sini, tak jauh dari sini. Arah timur. Mari ikut aku dan lihat pemuda itu kuhajar!"

Li Ceng terpekik ketika tangannya tahu-tahu disambar. la terkejut memejamkan mata ketika angin keras menerjang mukanya. Begitu cepat si kakek bergerak dan terbang melesat. Lalu ketika ie mem buka matanya namun tak kuat menahan, berdesir merasa dibawa melayang maka ia menjadi girang dan berdebar menunggu bukti kakek lni, Mencari dan menghajar Chi Koan!

* * * * * * * *

Si buta memang ke arah timur. Setelah mengobrak-abrik Kun-lun dan gagal menemukan Li Ceng maka Chi Koan murung sepanjang jalan. Hal ini dapat dimengerti karena sesungguhnya diam-diam kecewa. Tak dapat disangkal nafsunya akan selalu mengggelegak membayangkan nyonya muda itu.

la tak akan puas sebelum mendapatkan wanita itu, bentuk pelampiasan dendam dan sakit hatinya kepada Peng Houw. Maka ketika perjalanannya ke Kun-lun gagal dan guha roboh mengubur wanita itu maka si buta merasa masygul dan ini diketahui baik oleh Kwi-bo.

"Tak usah murung, kita dapat mencari penggantinya di dalam perjalanan. Kalau kau setuju di dusun itu kita beristirahat, Chi Koan, kucarikan sekedar penghibur atau aku melayanimu!"

"Hm, bersenang-senang denganmu mulai jenuh. Carikan pengganti dan yang cocok dengan seleraku, Kwi-bo. Siauw Lam biar mencari buah-buahan atau makanan untuk kita."

Mereka berhenti. Di luar dusun itu anak laki-laki disuruh mencari makanan. Siauw Lam mengangguk dan tahu kemurungan gurunya pula. Maka ketika ia melepaskan gurunya dan Kwi-bo memegang si buta maka Chi Koan miringkan kepala mencari-cari sesuatu.

"Apa yang kau dengarkan," Kwi-bo bertanya, turut memasang telinga. "Aku mendengar tangis bayi, Kwi-bo, tiga orang."

"Bayi? Kau mencari bayi? Hi-hik, lucu amat. Untuk apa seorang bayi!"

"Bodoh, bukan bayinya melainkan, ibunya. Ayo antarkan aku ke sana dan cari yang paling montok!"

Kwi-bo tertegun. Tiba-tiba ia sadar dan terkekeh dan tentu saja tak membuang waktu lagi mengantar si buta ini. Teringatlah dia bahwa Li Ceng juga seorang ibu muda yang kencang dan montok payudaranya. Agaknya dari sinilah timbul gagasan Chi Koan untuk mendapatkan yang sama. Maka ketika mereka masuk dan dusun itu terheran-heran seorang buta diiringi wanita cantik maka Kwi-bo tersenyum simpul menuju rumah besar yang tentu milik kepala dusun. Tangis bayi didengarnya pula di sana.

"Cocok, telingamu benar-benar tajam. Tapi baru seorang yang kudengar, Chi Koan, entah di mana dua yang lain. Tapi ini agaknya cukup bagimu!"

"Dua yang lain tetap harus kau cari. Kumpulkan mereka dan mintalah sebuah kamar besar untukku."

"Dan untukku juga, untuk kita! Hi-hi senangnya bercinta bersama-sama, Chi Koan. Kita dapat saling menonton!"

"Kali ini tidak," si buta menggeleng. "Kau cari kamar yang lain, Kwi-bo, aku ingin bermain cinta secara halus. Aku tak ingin menakut-nakuti mereka." lalu ketika wanita ini tertegun dan kecewa langkah merekapun sudah tiba di rumah besar itu.

Seorang lelaki tua menyambut bersama wanita sebayanya. Melihat mereka mudah diduga pasangan ini suami isteri, tentu kepala dusun. Dan ketika benar saja kakek itu kepala dusun maka Kwi-bo bersikap halus sesuai keinginan Chi Koan, padahal sebenarnya ia tak sabar dan ingin menampar serta menendang suami isteri itu.

"Kami orang yang kelelahan di jalan, dapatkah kalian memberikan sebuah tempat untuk kami beristirahat, terutama temanku ini."

Kakek itu mengerutkan alis. Kwi-bo dipandangnya terbelalak dan penuh.kagum. Tiba-tiba lelaki tua itu terkekeh. Dan ketika ia mengangguk-angguk sementara isterinya berkerut curiga maka kepala dusun ini berseru,

"Jiwi dari mana jauh-jauh melakukan perjalanan seperti ini. Ah, kasihan temanmu ini, tampak letih dan kusut. Mari-mari, masuk dan duduk dulu di ruang dalam beristirahat!" kemudian menyuruh isterinya ke dapur kakek itu memerintahkan menyiapkan minuman. "Kau ambil penawar haus dan sekedar makanan kecil, biarlah tamu kita ini beristirahat sejenak disini!"

Kwi-bo adalah wanita matang. Melihat gerak-gerik dan pandang mata kakek itu diam-diam tertawa geli. Kakek yang usianya hampir enampuluhan tahun ini jelalatan, matanya bak seorang pemuda yang masih penuh gairah. Sebal dia! Tapi karena Chi Koan melarangnya membuat ribut dan ketenangan serta sikap halus harus diperlihatkan agar tak membuat takut penghuni rumah.

Maka wanita inipun bahkan mengerlingkan matanya dan membuat gerakan menyambut. Senyum genitnya membuet si kakek berdesir, terkekeh-kekeh. Dan ketika saat itu muncullah seorang pemuda tegap membawa cangkul maka kekek itu tiba- tiba berseru mengalihkan perhatian Kwi-bo kepada pemuda ini.

"Eh, Hao-siu, cepat berangkat dan awasi sawah kita. Jangan pemalas!" dan ketika pemuda itu mengangguk namun tertegun melihat Kwi-bo, rambut panjang memikat itu membuatnya berdetak maka Kwi-bopun melempar senyum yang membuat hatinya berjungkir balik. Si kakek membentaknya agar cepat pergi.

"Pemalas, bikin malu orang tua saja. Eh, ini minumnya, nona. Siapa namamu?"

Nyonya rumah datang diiring pelayan. Kwi-bo melihat seraut wajah manis dan Chi Koan cepat-cepat miringkan kepala pula. Langkah dua orang itu didengar. Tapi ketika Kwi-bo berbisik bahwa yang datang adalah seorang gadis buruk, pelayan maka Chi Koan mengangguk-angguk dan nyonya rumah duduk menemani mereka. Perasaannya tampak was-was, tidak seperti suaminya yang terkekeh-kekeh dan girang mendapat wanita cantik.

"Kami ingin beristirahat barang sehari dua, bolehkah kami menginap dan adakah kamar untuk temanku ini?"

"Heh-heh, ada, ada! Maaf, apakah dia ini suamimu, nona. Dan dari kota manakah kalian berasal, hendak ke mana?"

"Kami dari kota raja, hendak berkunjung menengok famili. Dan temanku ini... hmm... kami bersaudara, bukan suami isteri."

Kakek itu terkekeh-kekeh. Agaknya dia gembira mendengar jawaban ini. Sementara isterinya semakin berkerut dan melihat sesuatu yang tidak menyenangkan. Kerling dan lirik Kwi-bo dirasanya terlalu berani, ia menginjak kaki suaminya. Dan ketika suaminya terkejut dan menahan diri maka laki-laki tua itu sadar bahwa isterinya ada di sampingnya.

"Baiklah, baiklah. Kami akan menyiapkan untuk kalian dua kamar tidur. Kalian rupanya kelelahan. Mari minum dan nikmati teh hangat ini, juga penganan kecil ini"

Kwi-bo tertawa sebal. Kalau saja Chi Koan tak mencegah perangainya maka yang dilakukan adalah melempar dan membunuh kakek itu. la dapat menguasai rumah ini dengan kekerasan. Akan tetapi karena si buta sedang mencari suasana lain, sementara tangis bayi di dalam meledak nyaring tiba-tiba bangkitlah nyonya rumah menowel lengan suaminya.

"Cucu kita ingin didekati kakeknya, cobalah kau tenangkan dia dan biar kubantu Bi Leng!"

Sang kakek tertegun. Terpaksa ia bangkit berdiri dan meninggalkan tamunya, diam-diam Kwi-bo tersenyum melihat kakek itu berkejap padanya. Tuan rumah ternyata seorang kakek hidung belang. Dan ketika ia juga berkejap dan kakek itu girang bukan main, gayung bersambut maka sekilas bayangan seorang wanita muda lenyap di balik pintu.

"Hm, kakek itu tak tahu diri. Ia mengerjap padaku, Chi Koan, apa yang harus kulakukan kepadanya."

"Biar saja keblingsatan, bukankah kau mulai menaksir Hao-siu."

"Eh, kau tahu?"

"Wanita sepertimu tak biasa membiarkan rumput muda, Kwi-bo, apa saja dapat kau lakukan dan tentu saja aku tahu."

"Hi-hik, kau pintar. Tapi tentunya kau harus mendapatkan dulu ibu bayi itu, masih muda, segar!"

"Aku tahu, dan aku sudah mendengar langkah kakinya. Paling tidak ia berusia tujuh belas tahun."

"Astaga, telingamu seperti kucing saja. Dugaanmu betul, Chi Koan, hanya tampaknya kurang cantik!"

"Tak apa, asal segar. Dan aku tiba-tiba haus wanita menyusui."

Kwi-bo terkekeh-kekeh. Untung Chi Koan menginjak kakinya dengan cepat karena nyonya rumah terkejut dan berhenti terbelalak, heran dan kaget bahwa ada seorang wanita cantik tertawa begitu bebas, kesannya urakan dan liar. Tapi ketika Kwi-bo menghentikan tawanya dan wanita itu masuk lagi maka Chi Koan berbisik agar mereka menunjukkan sikap sebagai tamu baik-baik.

"Jangan mengumbar tawamu, kendalikan. Jangan membuat takut calon korbanku hingga kita harus bersikap kasar."

"Baiklah, maaf. Aku kaget akan perasaanmu yang awas itu, Chi Koan, kau seperti tidak buta saja!"

Dua orang itu lalu bersikap sopan, Kwi-bo mengendalikan dirinya namun nyonya rumah terlanjur tak senang. Tawa tamunya seperti tawa kuda, jalang. Maka ketika ia berbisik pada suaminya agar berhati-hati, Chi Koan mendengar itu dari luar maka si buta mengetukkan tongkat berkata lagi.

"Nah, nenek itu sudah memperingatkan suaminya. Hati-hatilah sikapmu!"

"Apa yang dia katakan?"

"Tawamu yang katanya seperti kuda betina jalang itu. Bersikaplah sopan dan jangan membuat ribut."

Kwi-bo merah mengepalkan tinju. Kalau saja ia tak ingat perintah ini tentu ia sudah mencelat dan membanting wanita tua itu. Ia dikatakan seperti kuda jalang! Tapi menahan marah dan bersikap sopan ia pun pura-pura bersikap baik ketika tuan rumah muncul kembali, tersenyum dan kakek ini bersikap biasa-biasa saja.

Tentu saja ia tak mendengarkan kata-kata isterinya karena Kwi-bo membalas kedipannya ketika ia mengedip. Tutup bertemu mangkoknya! Dan ketika hari itu mereka beristirahat dan untunglah Siauw Lam tak berkunjung ke situ, anak ini telah diperintahkan untuk menunggu dan diam di luar dusun maka malam harinya di saat makan bersama dua orang mulai menjalankan siasat masing-masing.

Bi Leng anak kepala dusun ternyata, seorang wanita muda yang usianya sekitar tujuh belas tahun, tubuhnya segar dan muda dan berkali-kali ia harus mendiamkan bayinya dengan menyusui. Di hadapan orang buta ia tak perlu malu-malu mengerjakan itu, sementara Hao-siu. Suaminya adalah menantu kepala dusun.

Maka ketika dalam percakapan ini Kwi-bo memuji-muji tuan rumah, kakinya di bawah meja menyentuh atau menyenggol kaki Hao-siu maka pemuda petani yang menantu kepala dusun itu berdesir dan dua kali tersedak. Isteri kepala dusun berkurang kemarahannya setelah kwi-bo merobah sikap.

Ketidak senangannya mulai surut, meskipun beberapa kali perasaannya masih kurang sedap. Suaminya sering mengawasi Wanita ini seperti orang lapar, atau harimau yang layaknya ingin menerkam saja. Dan ketika saat makan selesai dan mereka dipersilakan tidur maka Kwi-bo mendapat tugas untuk mengantarkan Bi Leng ke kamar Chi Koan.

"Bawa wanita itu kepadaku, minumkan seteguk anggur. Dan kau sendiri, hmm... terserah apa yang kau lakukan, Kwi-bo, tapi sekali lagi jangan sampai membuat ribut!"

"Aku sudah menggoda pemuda itu, Hao-siu gelagapan."

"Ya, aku tahu, ia tersedak dua kali."

"Aku... Hi-hik, kau mengikuti semua gerakan!"

"Kita sama-sama tahu, Kwi-bo, dan malam ini aku ingin bermain cinta dengan halus. Bawalah Bi Leng ke sini dan tidurkan kedua orang tuanya."

Kwi-bo terkekeh. Menidurkan pemilik rumah berarti menotoknya hingga pagi, ia berkelebat dan melaksanakan tugasnya. Dan ketika tanpa sukar ia merobohkan suami isteri itu, sang kakek menggeliat sementara isterinya mengeluh dan terguling pingsan maka wanita ini sudah bergerak ke kamar belakang di mana suami isteri muda itu tidur.

Ternyata dua orang ini gelisah. Tanpa sepengetahuan Kwi-bo diam-diam Chi Koan melancarkan daya-pengasih. Ilmu ini adalah ilmu batin dan dengan sikap serta gerak-geriknya ia mempengaruhi puteri kepala dusun itu. Bi Leng tersentak ketika seakan tak sengaja ujung kakinya disentuh kaki Chi Koan, terusap dan naiklah hawa dingin yang membuat kepalanya pusing. Di bawah meja makan tadi ternyata telah terjadi tukar-menukar gesekan kaki.

Bi Leng tiba-tiba mengeluh ketika yang teringat adalah wajah si buta itu. Baginya wajah ini tiba-tiba begitu memelas, ia merasa haru dan kasihan bukan main. Dan karena Chi Koan adalah pemuda tampan yang sanggup menggeterkan hati wanita, kebutaannya justeru menimbulkan rasa kasihan maka perasaan ini dipergunakan baik-baik dan mudah sekali daya pengasih itu menembus benteng pertahanan Bi Leng.

Akan tetapi wanita ini adalah seorang ibu muda, sudah bersuami. Tentu saja ia bingung kenapa tiba-tiba ia seakan jatuh cinta kepada orang lain. Perasaan macam apa itu. Maka ketika ia menekan dan coba membuang pikirannya jauh-jauh ternyata semakin diusir wajah si buta itu semakin melekat! Ia tak tahu bahwa di dalam kamarnya si buta ini duduk bersila, mengerahkan kekuatan dan bobolah semua pertahanan.

Jangankan wanita dusun ini, Hong Cu gadis lihai dari Sin-hong-pang saja roboh! Maka ketika ia gelisah dan menggeliat bangun, mengeluh dan meninggalkan pembaringan tiba-tiba saja suaminya juga mengalami hal yang sama akan tetapi yang diingat adalah Kwi-bo!

Jadilah suami isteri ini meninggalkan bilik. Bi Leng seakan orang tersihir menuju kanmar Chi Koan, sementara suaminya yang tertegun dan melihat Kwi-bo tiba-tiba muncul di depannya tersentak. Belum lagi ia sadar akan apa yang dilakukan tiba-tiba wanita itu menotok dan menyambarnya keluar. Kwi-bo membawanya ke kamar di sebelah si buta itu.

Lalu ketika ia mengeluh dan meneguk secawan minuman manis, sama seperti isterinya di sana maka masuklah suami isteri muda ini dalam perangkap jahat. Mereka tak tahu apa yang mereka lakukan sampai akhirnya jerit dan keluhan tertahan terdengar di kamar Chi Koan.

Saat itu menjelang pagi dan Chi Koan telah mendapatkan korbannya. Pengaruh daya- pengasih lenyap dan wanita itupun sadar. Dan ketika Bi Leng tersentak dan berlari meninggalkan kamar maka hampir dalam waktu bersamaan suaminyapun meloncat dari kamar Kwi-bo.

"Bi Leng!" Suami ini menangkap isterinya.

Sang isteri menjerit dan meronta-ronta namun tangis bayi menyadarkan mereka. Sambil mengguguk wanita ini menubruk bayinva, menyusui dan mendiamkan bayinya dengan tangis tersedu-sedu. Lalu ketika si bayi diam dan mereka kembali berpandangan maka sang isteri terkejut karena suaminya telanjang bulat, lupa ketika tadi mengejar dan menyusul isterinya ini. "Kau...!"

Hao-siu terkejut. Ia baru melompat keluar dari kamar Kwi-bo mendengar jerit isterinya tadi, tak sadar bahwa iapun masih dalam keadaan bugil. Semalam dinina-bobok wanita cantik itu, terbang ke awang-awang. Maka ketika isterinya menjerit dan menubruk serta memukul-mukulnya maka pemuda ini sadar dan cepat mencengkeram isterinya itu.

"Jangan menuduh sepihak. Kaupun melakukan penyelewengan di kamar lain, Bi Leng. Kau bersama si buta itu!"

"Aku. , aku tidak sadar. Aku seperti tersihir!"

"Akupun juga. Aku tidak sadar dan tak tahu apa yang kulakukan. Diam dan jangan membuat ayah ibu bangun dan kita ketahuan!"

Tersentaklah Bi Leng. la tiba-tiba sadar bahwa ayah ibunya bisa bangun dan mengetahui keadaan mereka. Betapa memalukan dan rendahnya perbuatan mereka itu. Dan ketika masing-masing sadar bahwa mereka dikerjai lawan maka suami isteri itu berjanji untuk tidak mengulang kejadian semalam.

Akan tetapi mana mungkin! Yang menguasai mereka adalah Chi Koan yang amat lihai, juga Kwi-bo yang pandai merayu dan bersikap genit. Maka ketika malam kedua mulailah getaran daya-pengasih itu menyebar kembali, menyedot dan membawa wanita itu akhirnya Bi Leng tunduk dan menyerah di bawah kekuatan si buta.

Hao-siu juga terlena dan mabok di belaian Kwi-bo dan kejadian ini berlangsung empat hari berturut-turut. Dan ketika kebosanan mulai menghinggapi Chi Koan dan si buta minta agar kekasihnya membawa dua ibu muda lain yang diingatnya kembali maka puteri kepala dusun ini terbelalak dan ngeri.

"Bawa mereka kepadaku, biar kuusap kepalanya. Lalu semuanya boleh kau tinggalkan dan tak perlu melayani aku lagi."

Pucatlah wanita muda ini. la akhirnya tahu bahwa tamu yang berada di rumahnya ini bukan orang sembarangan. Empat kali ia telah menyerahkan diri. Maka ketika dengan ngeri dan rasa takut ia membawa kawannya yang lain, Yan-kim dan Sui-ma maka dua orang inipun terkena daya sihir Chi Koan di mana secara bersamaan dua wanita muda itu berada di kamar dan melayani si buta berbareng.

Gegerlah tempat tinggal kepala dusun. Dua suami yang kehilangan isteri dan mencari mereka ternyata menemukan isteri masing-masing di rumah itu. Untunglah Bi Leng sigap memberi tahu bahwa Yan-kim dan Suima menemani dirinya untuk menenangkan anak yang rewel. Tapi karena dua suami itu lama-lama curiga kenapa isteri mereka bergerak seperti orang lupa ingatan, dipanggil tak menoleh dan membuat mereka marah maka Kwi-bo muncul di sini meninggalkan Hao-siu.

Cepat sekali wanita ini mempergunakan kepandaiannya merobohkan laki-laki muda itu. Kalau sang isteri berada di kamar Chi Koan maka sang suami berada di kamarnya. Dua lelaki sekaligus tak apa. Dan ketika hal ini membuat Hao-siu tersinggung dan marah akhirnya menantu kepala dusun ini melapor kepada mertunya.

"Apa, mereka... mereka menggauli isteri-isteri orang? Si buta itu menyihir Yan-kim dan Sui-ma? Dan.... dan wanita itu memasukkan dua laki-laki ke kamarnya? Celaka, keparat jahanam. Kotorlah rumah ini, Hao-siu. Panggil orang-orang dan bunuh mereka itu. Mana cangkulmu, mana sabit dan senjata tejam!"

Kakek kepala dusun marah sekali berlari ke belakang. la marah bukan sekedar cerita ini melainkan marah karena wanita ini tak mau melayaninya. Sebenarnya ia, sudah menunggu- nunggu dan saling kedip diantara mereka membuat tubuhnya panas dingin. Siapa tidak meledak kalau tiba-tiba wanita itu main gila dengan orang lain, di rumahnya lagi. Maka ketika ia berteriak-teriak dan kebetulan Kwi-bo baru saja mengerjai dua petani muda ini maka pintu kamar yang dibabat cangkul pecah berantakan.

"Gu Pin, keluar dan kuhajar kau. Juga Luan-ho. Kalian berdua jahanam keparat yang menodai rumah ini. Keluar... brak-braakk!" dua lelaki terlonjak di atas tempat tidur dan mereka itulah suami dari wanita muda yang berada di kamar Chi Koan.

Yan-kim dan Sui-ma terpekik ketakutan, gegerlah rumah itu. Pagi itu dua wanita ini dibuat kaget oleh kemarahan kepala dusun. Kakek itu membacok dengan sabit dan cangkulnya di tangan. Pintu kamar itu roboh. Lalu ketika dua pemuda itu menggigil telanjang bulat di satu pembaringan maka kakek itu tak dapat menahan marahnya lagi dan membacok dua suami sial itu.

"Ampun, kami... kami minta ampun!"

Akan tetapi sabit dan cangkul di tangan laki-laki yang kalap ini terayun deras. Pundak dan paha lawannya terkena. Dalam keadaan seperti itu tenagapun rasanya seperti anak muda saja. Dan ketika dua petani itu menjerit dan roboh terguling-guling maka isteri mereka terpekik menjerit dari kamar si buta.

"Jangan bunuh suamiku...!"

"Jangan bunuh mereka...!" hao-siu juga melakukan hal yang sama dan Bi Leng juga!

Tersentaklah tangan yang menggigil itu. Wajah tua yang beringas ini terkejut, Hao-siu tiba-tiba dipandang dan mundurlah pemuda itu. Ia tergetar oleh pandang mata mertuanya yang seperti api. Mata itu seperti membakarnya. Dan ketika kakek itu membentak dan ia menyelinap, berdatanganlah orang-orang lain dengan senjata di tangan maka pagi yang cerah itu menjadi pagi yang gaduh oleh teriakan dan orang kena bacok.

Hao-siu sendiri melarikan diri dan tiba-tiba bersembunyi di balik punggung penduduk. Semua orang gempar melihat ini, apalagi ketika kakek itu mengejar dan menyerang menantunya. Dan ketika semua itu ditambah jerit dan teriakan wanita maka dengan tenangnya Chi Koan tersenyum-senyum keluar. Di belakangnya mengiring Kwi-bo dan Siauw Lam. Wanita itu terkekeh-kekeh.

"Hi-hik, apa yang harus kulakukan kalau sudah begini, Chi Koan. Apakah mengumumkan kepada mereka bahwa laki-laki maupun perempuannya brengsek semua!"

"Mana Bi Leng, panggil ia ke mari!"

"Itu di sana...!" lalu ketika wanita ini berkelebat dan menyambar puteri kepala dusun maka wanita atau ibu muda ini menjerit.

"Lepaskan... lepaskan aku!"

"Hi-hik, kau rupanya yang menjadi gara-gara. Tak apa... pertanggung-jawabkan dulu perbuatanmu dan hadapilah Chi Koan...!"