Kabut Di Telaga See Ouw Jilid 12 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Serial Bu-beng Sian-su Karya Batara
"IBLIS dari mana ini berani mengacau kun-lun. Mampuslah!"

Kemarahan Li Ceng semakin meledak lagi. la ditusuk dan serangan pedang terlihat ganas dan cepat. Untunglah karena ia mengenal ilmu pedang Kun-lun dan tahu segala gerak atau perkembangannya maka ia berkelit dan tidak mundur melainkan justeru maju ke depan, menyelinap dan menghantam wajah tosu itu dengan siku terlipat.

Gerak atau balasan serangannya ini mengejutkan Ceng Tek Tojin hingga tosu itu berseru keras. Wajahnya tahu-tahu sudah diancam siku lancip itu, sekali kena tentu ia terjengkang. Maka ketika ia menarik pedangnya namun Li Ceng bergerak mendahului, betapapun jelek-jelek ia adalah murid Kun-lun juga maka sapuan nyonya ini membuat sang tosu terjerembab. Kaki wanita itu menendang pinggul luarnya.

"Dess!" Ceng Tek Tojin terguling-guling. Tosu ini kaget dan juga marah melompat bangun. Untunglah karena murid yang lain menyerang Li Ceng maka nyonya itu tak mengejar, juga bukan maksudnya untuk menurunkan tangan besi atau membunuh lawan. Maka ketika para tosu mengeroyok lagi dan wanita ini juga habis kesabarannya tiba-tiba cucu Lui-cu Lo Sam itu melengking berkelebatan, kaki tangan menendang dan menampar.

"Kalian orang-orang busuk tak tahu kawan. Biarlah kurobohkan dan mana suheng Kim Cu Cinjin!"

Terlemparlah para tosu itu. Mereka berteriak dan menjerit bergulingan ditampar atau ditendang. Kali ini tamparan itu lebih kuat, juga kaki yang menendang bagaikan sepakan kuda liar yang sedang marah. Pinggang atau pinggul seketika lebam. Dan ketika Ceng Tek Tojin juga bergulingen terpental pedangnya, ia kaget dan mulai pucat maka berkelebatlah bayangan Heng Bi Cinjin yang mendengar ribut-ribut itu, juga seruan Li Ceng yang menyebut suheng kepada bekas ketua Kun-lun.

"Berhenti! Jangan serang-menyerang!"

Datangnya pimpinan Kun-lun membuat para murid girang. Mereka meloncat bangun dan yang kesakitan merintih-rintih. Ceng Tek sendiri memungut pedangnya dengan tangan menggigil, matanya kemerahan. Dan ketika Heng Bi Cinjin telah berhadapan dengan wanita itu, Li Ceng berapi dengan muka terbakar maka terkejutlah tosu ini mengenal siapa yang datang.

"Sumoi...!"

Tertegunlah semua orang. Heng Bi tiba-tiba melangkah maju dan menangkap pundak Li Ceng. Tosu ini mengenal wanita itu membuat kemarahan Li Ceng lenyap. Tersedulah nyonya ini. Lalu ketika ia menubruk dan memeluk kakek itu, Heng Bi Cinjin berkejap-kejap maka tosu ini berseru menumpahkan keheranan.

"Siancai, kiranya Li Ceng-sumoi. Astaga, apa yang membuatmu seperti ini sumoi, pinto sendiri nyaris tak mengenal. Ah, apa yang terjadi dan kenapa kau mengamuk di sini!"

Li Ceng masih menumpahkan tangisnya. Setelah ia dikenal dan kakek inilah satu-satunya orang yang menyambut baik maka ia menjadi lega sekaligus mendongkol. Li Ceng masih tak sadar akan keadaannya yang tak keruan, pakaiannya yang robek-robek dan rambutnya yang pendek itu. Ia telah memapas sebagian rambutnya ketika dulu bertengkar dengan suaminya, bukti atau sumpah akan kesuciannya.

Dan ketika ia mengguguk sementara murid-murid terkejut, Ceng Tek sendiri mundur dan berseru tertahan maka Heng Bi Cinjin mengusap-usap kepala wanita ini yang tampak begitu penuh kesedihan.

"Sudahlah... sudahlah, pinto tak akan bertanya lagi. Kau kiranya ingin bertemu Kim Cu-suheng. Marilah, pinto antar. Maafkan anak-anak murid yang tak mengenal dirimu karena keadaanmu seperti ini." Lalu mengusir para murid mengulapkan lengan bajunya kakek ini membawa Li Ceng ke dalam.

Ceng Tek Tojin buru-buru berseru meminta maaf. "Susiok (paman guru), ampunkan teecu. Teecu benar-benar pangling kepada sukouw (bibi guru)!"

Heng Bi Cinjin tak menghiraukan. Memang siapapun tak dapat disalahkan kalau keadaan wanita ini seperti itu. Siapa mengira isteri Naga Gurun Gobi riap-riapan seperti orang gila. Siapa menyangka bahwa itu adalah bibi guru mereka. Maka ketika Li Ceng dibawa ke dalam dan keluarlah Bi Wi Cinjin maka tosu itu juga tertegun dan merangkapkan kedua tangannya.

"Siancai! Siapa ini. Ada apa dan hendak ke mana?"

"Ini Li Ceng-sumoi, saudara kita. Masa kau tak mengenal, suheng. Lihat baik-baik dan perhatikan dia."

"Ah, Tuhan Yang Maha Agung. Benar, Li Ceng sumoi kiranya. Siancai, apa yang menyebabkan dirimu seperti ini, Sumoi, pinto benar-benar tak mengenal. Maaf" Lalu memeluk dan menangkap pundak sumoinya itu ketua Kun-lun inipun mengucap puja-puji, tak mengenal dan benar-benar pangling karena keadaan sang sumoi yang seperti itu.

Barulah Li Ceng sadar bahwa dirinya memang tidak keruan, ia mengguguk dan menangis di bahu suhengnya nomor dua ini. Tapi ketika Heng Bi Cinjin berseru bahwa ia ingin bertemu Kim Cu, justeru pengakuan itulah yang membuat Heng Bi mengenal maka Bi wi Cinjin melepas dan mendorong sumoinya.

"Siancai, suheng di belakang gunung. Kalau begitu biarlah Heng Bi sute mengantarmu."

"Baiklah, kalau begitu permisi, suheng. Kuantar sumoi ke sana."

Mereka bergerak lagi. Kini para murid membungkuk sepanjang jalan dan menundukkan muka dalam-dalam. Setelah mereka tahu siapa wanita itu maka tak ada lagi yang berani macam-macam. Pantas begitu mudah mereka dirobohkan. Dan ketika Li Ceng dibawa dan terus ke belakang gunung maka wanita ini mulai sadar akan hal-hal yng ganjil.

"Tunggu, berhenti dulu. Kenapa kau membawaku ke belakang gunung, sam-heng (kakak ketiga). Bukankah Kim Cu suheng seharusnya di depan!"

"Hm, twa-heng (kakak tertua) sudah tak menduduki jabatan ketua Kun-lun lagi. Twa-heng tinggal sendiri dan menyepi di belakang, sumoi, karena itulah kau kubawa ke sini dan pinto mengantarmu."

"Apa, Kim Cu suheng tak menduduki kursi ketua? Jadi ia sudah melepaskan jabatan?"

"Begitulah, Sumoi, dan twa-heng kini menetap di belakang. la ingin tenang."

"Apa yang terjadi, kenapa begitu!"

"Tak ada apa-apa, hanya Kim Cu suheng menghendaki ketenangan. Marilah, kita berangkat lagi atau tidak."

Li Ceng tertegun. la tak menyangka sama sekali suhengnya itu tak menjadi ketua Kun-lun lagi. Dipandangnya sam-suheng ini lekat-lekat dan ia merasa sesuatu yang disembunyikan. Dan ketika ia meloncat dan memegang suhengnya itu maka ia bertanya bagaimana mungkin ketua Kun-lun meletakkan jabatan begitu tiba-tiba.

"Aku merasa ada sesuatu yang kau sembunyikan. Tak mungkin Kim Cu suheng meletakkan jabatan tanpa memberi tahu orang lain, apalagi aku sumoinya. Agaknya ada sesuatu yang tidak kau katakan sam-heng, sebutkan kenapa dan berterus terang sajalah!"

"Pinto tak dapat memberi tahu lebih selain bahwa itu kehendak Kim Cu suheng sendiri. Selanjutnya silakan tanya Kim Cu suheng saja."

Li Ceng terbelalak. Ia melihat sikap yang tiba-tiba dingin dari sam-suhengnya ini, tapi karena sang tosu sudah menjawab dan ia tak mungkin mendesak maka ia menarik napas panjang dan berkata, "Baiklah, agaknya ada sesuatu yang harus kuketahui. Marilah kita lanjutkan perjalanan dan antarkan aku kepadanya."

Heng Bi Cinjin melanjutkan langkahnya. Kini ia bersikap agak dingin dan acuh mereka sudah di puncak untuk akhirnya turun di belakang. Lalu setelah melalui jalanan berliku sampailah mereka di depan sebuah guha, di mana tosu ini berhenti.

"Twa-heng," suaranya nyaring diarahkan ke dalam. "Mohon maaf pinto mengantar Li Ceng-sumoi ke sini. la ingin bertemu denganmu. Dapatkah kau menemuinya dan bolehkah kami masuk!"

"Pinto sedang menunggu kalian. Masuk dan bawalah ke dalam, sute. Pinto sudah mendengar keributan di bawah."

"Suheng!" Li Ceng berseru dan meloncat ke dalam. "Kenapa kau tak mau keluar dan menyambut aku!"

Heng Bi Cinjin juga melompat ke dalam. Setelah Kim Cu Cinjin berseru pada mereka dan diam-diam tosu ini kagum, sang suheng sudah tahu maka tampaklah Kim Cu Cinjin bersila di dalam guha. Pakaiannya bersahaja dengan lengan baju gerombyongan. Wajahnya agung dan sabar menunjukkan taraf kebijaksanaannya yang tinggi. Dan ketika Li Ceng sudah menubruk dan memeluk suhengnya itu, menangis tersedu maka tosu ini tersenyum mengusap rambut sumoinya.

"siancai, rambutmu kau potong pendek. Ada apa mencari pinto dan mana suamimu Naga Gurun Gobi, sumoi. Kenapa menangis dan keadaanmu seperti ini. Tak aneh kalau para murid menyangkamu orang gila."

"Aku bertengkar dengan suamiku, kami mendapat cobaan. Sesuatu yang berat menimpa kami, suheng, menghancurkan rumah tangga kami. Aku dan Houw-ko berpisah!"

"Siancai... apa yang terjadi. Rumah tangga tak luput dari cobaan. Hm, keadaanmu kusut dan meyedihkan, sumoi, pinto dapat memuklumi kesungguhanmu. Duduklah, ceritakan yang baik dan pinto akan membantu."

Li Ceng tersedu-sedu. Dengan suhengnya ini ia amat dekat dan akrab sekali. Dengan Kim Cu Cinjin inilah ia tak malu-malu berterus terang. Tapi ketika Heng Bi Cinjin batuk-batuk dan mengingatkannya, ia sadar maka tosu yang rupanya tahu diri itu berkata, merangkapkan kedua tangan.

"Suheng, Sumoi, rasanya cukup pinto di sini dulu. Pinto masih ada kerjaan. Mohon pamit dan pinto hendak kembali dulu!"

"Terima kasih," Kim Cu Cinjin mengangguk. "Kau benar, sute, silakan pergi. Nanti kalau sumoi ada perlu biarlah bantuanmu diperlukan lagi."

Heng Bi mengangguk. la melihat sesuatu yang serius hendak diceritakan Li Ceng kepada suhengnya itu. Sebagai orang yang mengenal etika ia harus mundur. maka ketika ia mengebutkan lengan bajunya dan berkelebat keluar maka tinggallah Li Ceng berdua. Dan begitu suhengnya tersenyum wanita ini mendadak menangis lagi, mengguguk.

"Suheng, aku... aku sedang ditimpa bencana. Rumah tanggaku berantakan. Tolonglah aku atau bunuh aku sekalian!"

"Hm-hm, omongan apa ini. Tak ada yang tak dapat diselesaikan, Sumoi, bicaralah yang baik dan hentikan tangismu. Pinto adalah kakakmu, sekaligus orang tua. Apa yang terjadi dan ceritakanlah, pinto akan membantu."

"Aku... aku bertengkar dengan suamiku!"

"Sudah kau katakan."

"Aku kehilangan anak!"

"Hm, ini berita mengejutkan. Apa yang terjadi hingga semuanya begitu, Sumoi. Bagaimana anakmu hilang dan ke mana suamimu itu."

"Aku tak tahu, kami berpisah. Dan anakku dia... dia, ah, kau harus bantu aku mencarinya, suheng. Atau aku mati karena gila!"

"Tenanglah, sabarlah," sang tosu mengusap dan mengelus-elus rambut wanita ini. "Semuanya terasa begitu mendadak, Sumoi, ceritakanlah dari awal. Bagaimana pinto mencernanya kalau kau terus menangis begini. Terangkanlah bagaimana mula-mula begitu."

"Ini karena jahanam Chi Koan, dialah gara-garanya!"

"Siancai, Chi Koan? Maksudmu pemuda buta itu?"

"Ya, dia suheng. Jahanam keparat itu. Gara-gara dia maka rumah tanggaku berantakan. Hidupku hancur!"

"Hm-hm, bagaimana ini. Bukankah anak itu berada di Go-bi...!"

"Ia lolos, keluar sarang. Chi Koan datang dan membuat gara-gara di rumahku!"

"Astaga, hebat ini. Tapi ceritakanlah dari depan, biarkan pinto mendengarnya secara urut. Pinto bingung. Dan hentikanlah tangismu."

Li Ceng masih tersedu-sedu. Bicara tentang ini selalu membuat hatinya tercabik dan terkoyak-koyak. Alangkah sakitnya teringat semua itu apalagi tuduhan suaminya yang begitu keji. Maka ketika ia justeru mengguguk dan memukul-mukul tubuh suhengnya maka Kim Cu Cinjin mulai terkejut dan tergetar, pucat.

Akan tetapi tosu ini adalah kakek yang kenyang asam garam kehidupan dunia. Iapun telah merasakan pahit getir peristiwa. Maka ketika ia menarik napas dalam dan membiarkan sumoinya mengguguk sedih, membiarkan dirinya dipukul-pukul pula akhirnya yang dilakukan tosu ini adalah menunggu dan bersabar. Sikapnya berhasil. Betapapun Li Ceng butuh perhatian.

Maka ketika tosu itu diam saja sementara air matanya terkuras habis akhirnya wanita mengangkat wajahnya dan bertemu tatapan lembut itu. Mata ini sejuk dan amat arif. Mata itu begitu tenang dan dalam. Dan ketika ia tersentak dan sadar, terbawa dalam keheningan sebuah telaga yang sejuk akhirnya Li Ceng mengangkat tubuhnya dan tinggal isak-isak kecil.

"Menangislah kalau masih ingin menangis. Tangis dapat meringankan penderitaanmu, sumoi. Pinto akan menunggumu dan mendengar semua ceritamu."

Bangkitlah ketegaran wanita ini. Betapapun ia adalah murid Kun-lun yang gagah, cucu Mutiara Geledek Lo Sam yang menjadi adik seperguruan mendiang Kun-lun Lo-jin. Maka ketika Li Ceng menghapus air matanya dan menggeleng menggigit bibir, mata dipejamkan akhirnya wanita ini berkata bahwa air matanya telah terkuras habis.

"Aku letih menangis lagi, air mataku habis. Baiklah kau dengarkan ceritaku, suheng, tapi setelah itu tolonglah. Siapa yang kuharap selain kau."

"Pinto adalah suhengmu, sumoi, sekaligus orang tuamu. Mendengar tangismu siapa tahan, Sumoi. Katakanlah dan pinto akan membantu."

Tenanglah wanita ini. Kata-kata itu terasa begitu sejuk dan menenangkan. Ia mendapat kekuatan. Lalu ketika nyonya muda ihi mulai bercerita dari awal sampai akhir, betapa Chi Koan mengganggunya dan anaknya diculik maka Kim Cu Cin-jin mendengarkan dengan mata terbelalak sampai akhirnya mengeluarkan seruan berkali-kali, apalagi ketika mendengar Kwi-bo masih hidup.

"Astaga, jadi iblis betina itu belum mati? Chi Koan lolos pula dari ruang hukumannya? Hebat, dunia geger lagi, Sumoi.Mengejutkan betul ceritamu ini. Siancai, pinto benar-benar tak menyangka!"

"Dan puteraku hilang diculik orang. Aku tak tahu di mana dan siapa penculiknya, suheng. Hanya katanya dibawa seekor mahluk berbulu besar. Dan... dan suamiku menuduhku seperti itu pula. Aduh, sakit hati ini Suheng."

"Hm, hm... Tuhan Maha Agung! Cobaanmu benar-benar berat, Sumoi! Sungguh tak kukira suamimu dapat bersikap seperti itu. Akan pinto cari, kutegur dia. Tak boleh Peng Houw bersikap seperti itu!"

Li Ceng terisak, memandang suhengnya penuh harap. "Suheng mau membantuku?"

"Tentu, aku membantumu, sumoi, ini kewajibanku. Hm, akan kucari Naga Gurun Gobi itu dan kutegur dia. Kalau dia tak mau tahu pinto akan melabraknya, biarpun pinto harus mati untuk ini!"

"Suheng!"

"Sudahlah, Kau tenanglah. Pinto sudah tahu dan agaknya iblis betina itulah yang menjadi gara-gara. Pinto akan turun gunung dan kutemukan anak dan suamimu itu."

Nyonya ini terharu bukan main. la mengeluh dan menubruk suhengnya itu dan Kim Cu Cinjin bergeter meramkan mata. Saat itu berkelebat dua bayangan dan masuklah seorang gadis cantik dan pemuda berbaju hitam. Inilah Bwee Hui dan tunangannya, Yu Kam. Lalu ketika Kim Cu Cinjn mendorong tubuh Li Ceng maka pandang mata Bwee Hui tampak marah dan tak senang.

"Ayah, siapa wanita ini. Kudengar ribut- ribut di bawah gunung!"

"Hm...," Kim Cu Cinjin tanggap keadaan. "Ini adalah sumoiku Li Ceng, Bwee Hui, isteri Naga Gurun Gobi yang mencariku. Jelek-jelek ia bibimu juga, berilah hormat!"

Gadis itu terkejut. Nyonya muda di depannya ini paling lebih tua hanya tiga sampai empat tahun saja, dan Ia harus menyebutnya bibi. Dan ketika ia terkejut membelalakkan mata, Li Ceng juga terkejut bahwa suhengnya dipanggil ayah maka iapun bangkit dan bertanya,

"Suheng, siapa gadis ini. Kenapa memanggilmu ayah!"

"Duduklah, inilah hasil peristiwa masa mudaku dulu. Ia puteriku Bwee Hui dari kekasihku Bwee Ci, Sumoi. Dulu duapuluh lima tahun yang lalu sepak terjangku penuh penyelewengan. Inilah buah yang kutanam, pinto memetiknya sekarang."

Li Ceng tertegun. "Jadi suheng...!"

"Ya, ingatlah wejangen Bu-beng Sian-Su dulu. KEJUJURAN MENYAKITKAN memang tak dapat diterima, tapi mau apa lagi, pinto harus jantan menanggung akibat. Sudahlah jangan omongkan itu, dan ini tunangan Bwee Hui, Yu Kam."

Dua orang muda itu memberi hormat. Setelah Bwee Hui tahu duduk persoalannya maka tentu saja gadis ini terkejut juga. Tadinya ia menyangka inilah wanita ketiga dalam hidup ayahnya, ia pun mulai marah. Tapi begitu tahu bahwa ini adalah sumoi ayahnya, sekaligus isteri Naga Gurun Gobi Peng Houw maka ia pun menunduk dan menyebut "bibi", suaranya lirih, begitu pula Yu Kam. Dua muda-mudi ini canggung. Sang bibi masih begitu muda, sepantasnya sebagai enci!

"Hm... jangan panggil aku bibi. Usiamu dan usiaku tak berbeda jauh, Bwee Hui, hubunganku dengan ayahmu tak ada kaitannya dengan kalian. Panggil saja aku enci, aku tak ingin kikuk!" Li Ceng rikuh dan menangkap kecanggungan itu juga. Ia bicara blak-blakan dan Bwee Hui berseri, segera gadis itu menangkap sebuah keterbukaan. Dan karena sang ayah kedatangan sumoi sendiri akhirnya ia keluar memohon maaf.

"Baiklah, terima kasih atas kerendahan hati Ceng-cici. Aku hanya ingin menemui ayah ada apa gerangan. Sekarang maafkan kami dan biarlah kalian bercakap-cakap."

Dua orang itu meninggalkan guha. Kim Cu Cinjin lega dan Li Ceng pun tak merasa terganggu lagi. la duduk dan berhadapan dengan suhengnya. Dan ketika tiba-tiba ia teringat kedudukan Kim Cu Cinjin maka Li Ceng bertanya ini,

"Suheng, kudengar bahwa kau tak menduduki kursi ketua lagi. Ada apa gerangan, kenapa diam-diam dan tak memberi tahu aku!"

"Hm, sebabnya ya itu tadi, buntut dari peristiwa lama. Pinto tak mau mencoreng nama baik Kun-lun, sumoi, perbuatan pinto tak boleh merendahkan derajat partai. Pinto telah berdosa dengan mengganggu wanita semasa muda pinto."

“Jadi suheng meletakkan jabatan karena itu?"

"Ya, ini tidak berhenti di sini saja, Bwee Hui adalah orang kedua yang mencari dan meminta tanggung jawab pinto. Sebelumnya telah datang orang pertama ibu dan anak, dan untuk ini pinto sudah cukup malu. Padahal masih ada orang ketiga yang mungkin datang dan meminta tanggung jawab lagi. Karena itu daripada berturut-turut memalukan Kun-lun, pinto melepaskan kedudukan saja, Sumoi. Pinto sekarang menjadi orang biasa dan tak akan membawa-bawa partai!"

Kim Cu Cinjin lalu bercerita. Ia menerangkan sebab musababnya meningnggalkan kursi ketua, betapa Bwee Hui dan Leng Nio mencarinya menuntut tanggung jawab. Dan ketika Li Ceng mendengarkan itu dengan mata terbelalak maka seketika mukanya menjadi merah ketika dia ingat betapa dirinya disangka wanita ketiga kekasih suhengnya ini.

"Hm, para murid langsung menyerangku. Kiranya ini yang terjadi, suheng, kaupun rupanya mendapat persoalan berat. Dan aku mengganggumu. Ah, maafkan aku, suheng, aku tak tahu!"

"Sudahlah, aku laki-laki, tabah menerima persoalan. Dan ini salahku juga, sumoi. Kalau dulu tak bermain api tentu tak begini jadinya. Pinto menerima semua ini, pinto memang harus menanggung akibat."

Li Ceng kagum. la memandang. Suhengnya bersinar-sinar dan wajah lembut serta pandang mata bijak itu membuatnya terpukau. Sudah sedemikian tinggi gemblengan batin yang diterima suhengnya, ia terharu. Dan ketika ia mengangguk-angguk dan menarik napas dalam maka Kim Cu Cinjin tersenyum padanya.

"Sekarang persoalanmu. Cobaan yang kau terima tak kalah berat, sumoi, bahkan lebih berat. Kau seorang ibu yang kehilangan anak, tentu lebih pedih. Pinto akan menolongmu dan besok pinto berangkat."

Nyonya ini tersentak. "Suheng akan turun gunung?"

"Ya mencarinya. Pinto akan minta bantuan ketua-ketua partai untuk menemukan puteramu pula. Ada ketua Heng-san dan Hoa-san yang dapat pinto temui, kau tinggal di sini saja."

"Ah, aku ikut. Masa kau bekerja sendiri, suheng. Aku tak mau berpangku tangan!"

"Tidak, kau letih. Sekarang giliranku, sumoi, kau beristirahat saja di sini. Pinto tak lama. Kau tak boleh ikut karena harus mewakili pinto menjaga Kun-lun!"

Nyonya ini tertegun.

"Dan pinto akan membawa Bwee Hui dan Yu Kam, mereka dapat kujadikan teman di perjalanan."

Lalu ketika nyonya ini menunduk dan merasa ada benarnya maka Kim Cu Cin-jin berkata bahwa dia akan menemui sutenya dulu, memberi tahu bahwa besok meninggalkan guha, mulai bekerja.

"Hari ini kau tinggal saja di sini, jelek-jelek kau murid Kun-lun juga. Karena besok pinto berangkat bantulah kedua suhengmu menjaga partai, Sumoi. Sekarang tunggulah di sini, pinto akan menemui Bi wi sute dan Heng Bi sute sebentar!"

Li Ceng juga mengangguk. la membiarkan suhengnya berkelebat dan termenung di situ, untunglah tak lama kemudian datanglah dua muda-mudi itu, Bwee Hui dan Yu Kam. Dan ketika dua anak muda ini menemaninya dan bercakap-cakap, semakin terhiburlah Li Ceng maka Bwee Hui berkata bahwa ia telah mendengar perihal Boen Siong.

"Ayah telah memberi tahu kami, besok kami diajak. Ceng-cici tak usah khawatir dan kami akan membekuk penculik anakmu itu. Akan kuhajar dia, dan kubawa ke mari!"

"Benar, kami tak akan tinggal diam mendengar ini, cici. Percayalah kami akan berusaha sungguh-sungguh!" Yu Kam pemuda baju hitam itu juga bicara.

"Terima kasih", Li Ceng menjawab. "Pernyataan dan bantuan kalian membesarkan hatiku, Bwee Hui, syukur kalau segera berhasil. Tapi maafkan kalau aku merepotkan kalian."

"Ah, kehormatan besar bagi kami bisa membantu Naga Gurun Gobi suami isteri. Sudah lama kami mendengar tentang kalian, enci, dan heran bahwa ada orang begitu berani bermain-main kumis harimau. Bagaimana kalau suamimu membekuknya lebih dulu, tentu mampus dia!" Yu Kam kembali bicara.

"Apa yang dikatakan Kim-suheng tentang suamiku." Li Ceng agak tak enak.

"Ayah tak bicara apa-apa, kecuali bahwa kalian suami isteri saling berpisah untuk menemukan putera kalian itu."

"Hm, memang benar," nyonya ini lega. "Kami berpisah untuk mencari anak kami, Bwee Hui, dan mudah-mudahan kami menemukan secepatnya."

Selanjutnya mereka bicara lain lagi. Li Ceng lega bahwa suhengnya melindungi mukanya, artinya tak memberitahukan pertengkarannya dengan suaminya itu. Dan ketika mereka bicara ini-itu menghibur nyonya ini maka Li Ceng segera tahu bahwa Bwee Hui sesungguhnya gadis yang baik, berwatak gagah sementara pemuda tunangannya itu juga gagah dan ringan hati. 

Yu Kam menceritakan bahwa gurunya adalah seorang tokoh kurang terkenal bernama Peng Hoat Tojin, suka mengelana dan bepergian meninggalkan muridnya itu. Lalu ketika percakapan semakin dalam dan jauh kebelakang muncullah Kim Cu Cinjin memasuki guhanya, wajahnya berseri.

"Bi Wi sute den Heng Bi sute telah mendengar ceritaku. Untuk sementara ini kau berada di bawah perlindungannya, sumoi tolong wakili aku membantu mereka pula. Maaf pinto telah sedikit bercerita kepada anak-anak ini!"

"Tak apa," Li Ceng bangkit dan menyambut. "Justeru aku merepotkanmu, suheng, tak enak rasanya membawa-bawa orang lain pula. Ah, kalau saja penculik itu segera ketemu!"

"Sudahlah, pinto akan berusaha, anak-anak juga akan membantu. Hanya ada sedikit hal yang membuat pinto bingung."

"Apa itu?"

"Leng Nio dan Leng Houw...!"

"Siapa mereka ini?" Li Ceng mengerutkan kening, heran. "Mereka adalah yang kuceritakan itu, Sumoi ibu dan anak yang datang pertama kali. Pinto menunggu dan sebenarnya memberi batas waktu, aneh bahwa tak muncul juga."

"Biarkan saja!" Bwee Hui tiba-tiba tak senang dan marah. "Kalau mereka tak datang di saat kau pergi bukanlah salahmu, ayah. Lagi pula aku menyangsikan iktikad baik mereka. Kudengar bahwa si Pedang Merah itu bukan wanita baik-baik!"

Kim Cu Cinjin menghela napas. Li Ceng teringat dan memerah mukanya. Kiranya yang dimaksud adalah ibu dan anak itu, suhengnya telah bercerita. Maka ketika ia diam saja merasa bukan urusannya, Bwee Hui membuang muka maka Kim Cu berkata sebaiknya puterinya itu membawa Li Ceng ke belakang perumahan.

"la lelah, pinto telah meminta sebuah kamar tak jauh dari kamarmu. Bawa encimu beristirahat, Bwee Hui, pinto akan mengumpulkan tenaga. Bersiaplah besok."

Gadis itu mengangguk. Li Ceng telah cukup bicara dan Kim Cu Cinjin memberinya kesempatan. Dan ketika gadis itu berkelebat disusul tunangannya, Li Ceng mengangguk dan berterima kasih pada suhengnya maka hari itu nyonya ini berada di Kun-lun dan Bwee Hui memberikan seperangkat pakaian kepada wanita ini.

"Ceng-cici harap ganti pakaian, yang itu buang saja. Mandi dan bersihkan dirimu, Cici. Pakailah ini!"

Kembali sang nyonya terhibur. Ternyata puteri suhengnya ini memang gadis baik-baik, dapat mengerti perasaan oranh lain dan menyediakan yang diperlukan. Dan ketika mereka semakin akrab dan malam itu sang nyonya benar benar merasa tenang, maka keesokannya seperti yang telah direncanakan berangkatlah Kim Cu Cinjin bersama anak-anak muda itu. Kepergiannya hanya diketahui ketua dan Wakil ketua Kun-lun, juga Li Ceng.

"Kalian tak usah memberi tahu para murid bahwa pinto meninggalkan gunung. Biasa-biasa sajalah. Dan sekali lagi harap jiwi-sute (adik berdua) melindungi dan menjaga baik-baik sumoi kita ini. Pinto tak akan lama."

"Baiklah, pergilah. Kami akan menjaga semuanya di sini sebaik mungkin, Suheng. Dan masalah sumoi tanggung jawab kami berdua. Pergilah!"

Namun Kim Cu Cinjin tiba-tiba mendekat dan berbisik perlahan di telinga Bi Wi Cinjin. Apa yang dikatakan tak ada yang tahu namun ketua Kun-lun itu mengangguk-angguk. Lalu ketika tosu itu berkelebat pergi disusul sepasang anak muda itu maka di saat hari masih berkabut tiga orang ini meninggalkan gunung.

"Suheng, hati-hati..." Li Ceng berseru lirih.

Kim Cu Cinjin mengangguk dan melambaikan tangannya. Lalu ketika berkelebat dan menghilang di tikungan maka Bwee Hui dan Yu Kam juga lenyap mengejar kakek gagah itu.

* * * * * * * *

Sebulan sudah Kim Cu Cinjin meninggalkan gunung. Li Ceng yang sendirian di situ merasa kesepian, juga gelisah. Sang suheng berkata bahwa perjalanan paling lambat dua tiga minggu saja, selebihnya akan pulang dan melapor.

Tapi ketika sebulan tak ada tanda- tanda kembali sementara kehidupan hanya itu-itu saja, para murid berkebun dan bercocok tanam maka wanita ini mulai tak betah dan ingin meninggalkan gunung.

"Aku mulai tak kerasan," katanya kepada Bi Wi Cinjin, ketua Kun-lun. "Berapa lama lagi harus menunggu di sini, suheng. Mana mungkin aku berpeluk tangan saja. Kim Cu suheng tak pulang-pulang!"

"Siancai, bersabarlah. Pinto tak dapat membantu apa-apa, tapi cobalah seminggu dua minggu lagi. Tentu ada yang penting kalau suheng belum juga pulang!"

"Tapi aku gelisah, khawatir. Jangan- jangan...."

"Apa yang kau pikirkan?"

"Jahanam Chi Koan bertemu dengannya di tengah jalan!"

Alis putih itu terangkat. Bi Wi Cinjin adalah seorang tosu yang sabar dan kesabarannya hampir menyamai suhengnya Kim Cu Cinjin. Batinnyapun juga kuat. Tapi mendengar kata-kata itu mendadak mukanya berobah dan sedetik warna pucat merona disitu. Akan tetapi dia mengetukkan tongkat, berdehem.

"Mati hidup di tengan yang Maha Kuasa. Kalau itu yang terjadi maka ini adalah nasib, sumoi, siapapun tak dapat mencegah. Tapi mudah-mudahan tidak. Pinto berharap lain."

"Lalu berapa lama lagi aku menunggu?"

"Mana kutahu sumoi? Pinto juga di sini tak tahu apa yang terjadi. Cobalah bersabar seminggu dua minggu lagi." "Kalau belum juga datang?"

"Hm..." kakek ini tertegun, "terserah dirimu sumoi, Kim Cu suheng tak menepati janjinya!"

"Aku akan pergi, aku tak mau menunggu lebih lama lagi!"

"Baiklah kalau begitu, pinto hanya dapat mengucapkan prihatin."

Lalu ketika Li Ceng hendak memutar tubuhnya mendadak berkelebat bayangan Heng Bi Cin-jin, gemetar dan mandi keringat. Dan ketika langsung saja tosu ini mendekati dan berbisik-bisik di telinga ketuanya tiba-tiba wajah Bi Wi Cinjin berubah.

"Sumoi, kita ke belakang!" serunya sambil menarik tangan Li Ceng.

Wanita itu terkejut tapi Heng Bi Cinjin mengangguk, berkelebat dan lari ke guhu Kim Cu Cinjin. Dan ketika Bi Wi Cinjin tergesa dan gugup membawa Li Ceng maka wanita ini bertanya apa yang terjadi.

"Pinto tak dapat memberi tahu sekarang, nanti saja di dalam guha. Mari kesana dan kerahkan ilmu lari cepatmu!"

"Tunggu, ada apa ini. Kenapa kalian tampak pucat, jiwi-suheng, kenapa seperti orang ketakutan. Ada apa dan jawab dulu pertanyaanku!"

"Tidak, nanti saja. Sekarang kau harus turut kepada kami, Sumoi, karena ada sesuatu yang harus kami kerjakan. Ingat Pesan Kim Cu suheng bahwa kau harus meringankan pekerjaan kami!"

Terpaksa nyonya ini mandah ditarik. la sudah di puncak gunung dan turun dibalik bukit untuk menuju guha Kim Cu Cinjin. Tepat di atas ia mendengar ribut-ribut dan menengok ke bawah. Tapi ketika Bi Wi Cinjin mengetuk pundaknya dan menyeretnya lari lagi maka Li Ceng berubah dan pucat. Ada apa-apa yang dirasanya tidak beres.

"Suheng, aku tak mau dipaksa-paksa begini. Katakan dulu dan apa ribut-ribut di bawah itu!"

"Nanti di guha saja. Pinto terburu-buru, sumoi, jangan menyulitkan pinto dan mari cepat!"

Li Ceng ditarik dan tak diberi kesempatan lagi. Kalau saja dua kakek ini tak dipercaya sebagai orang baik-baik tentu nyonya itu akan berontak dan marah melepaskan diri. Bi Wi Cinjin bersikap setengah kasar, menyeret dan menariknya dengan cengkeraman kuat. Dan ketika mereka tiba di dalam guha dan langsung menuju belakang tiba-tiba saja ketua Kun-lun itu menotok tengkuk si nyonya dan melempar wanita ini ke dinding. Heng Bi memencet sesuatu dan tampaklah sebuah ruangan rahasia.

"Sumoi, maafkan pinto berdua. Musuh datang, Chi Koan mencari-cari dirimu!"

Kagetlah wanita ini. Totokan Bi Wi Cinjin membuatnya terkejut dan marah sekali, perbuatan itu sungguh tak disangka. Tapi ketika ia mendengar keta-kata itu dan dua suhengnya menutup pintu kamar, jeruji besi menghalangi dirinya maka ketua dan wakil ketua Kun-lun itu berkelebat pergi, buru-buru dan amat tergesa.

"Suheng...!" hanya keluhan yang keluar dari mulut wanita itu. Selanjutnya Li Ceng bagai dicekik karena urat gagunyapun dihentikan. la dibuat tak bersuara.

Dan ketika dua orang itu meninggalkan guha sementara pintu ruangan merapat kembali, menutup bagai semula maka Li Ceng terguling di sudut guha tak mampu berbuat apa-apa. Ia benar-benar telah dilumpuhkan dua suhengnya sendiri. Bi Wi Cinjin dan Heng Bi Cinjin berkelebat dan turun gunung. Tadi wakil pimpinan itu berkata bahwa seorang pemuda buta mendaki gunung, dituntun atau disertai seorang bocah lelaki dan seorang wanita cantik berambut riap-riapan.

Murid di bawah gunung yang bertemu mereka ini dikibas dan dibanting roboh. Dan karena Kim Cu sudah memberi tahu mereka lolosnya Chi Koan, betapa si buta keluar dan mengganggu keluarga Gurun Gobi maka belum tewasnya Kwi-bo juga diceritakan Kim Cu Cinjin kepada sutenya.

"Sumoi datang membawa berita, kita harus berhati-hati. Kalau ada seorang pemuda buta datang bersama seorang anak laki-laki maka kita semua harus waspada, sute, karena itulah Chi Koan yang lolos dari ruang hukuman. Pinto terpaksa pergi, jaga dan lindungi Sumoi baik-baik dan masukkan ia ke kamar rahasia bila bahaya mengancam."

Dan pagi itu Heng Bi Cinjin menerima laporan. Seorang murid bergegas memberi tahu datangnya tiga orang mendaki gunung, satu di antaranya buta dan yang lain seorang anak laki-laki dan wanita cantik. Semua ini merupakan ciri-ciri Chi Koan. Maka ketika Heng Bi Cinjin berkelebat ke bawah dan melihat itu maka segera ia membuktikan bahwa si buta itu memang Chi Koan adanya.

Cepat ia ke atas dan diberitahunyalah sang ketua, kebetulan Li Ceng ada di situ. Dan ketika ia berbisik dan tak boleh didengar sang nyonya, bergeraklah Bi Wi Cinjin maka ketua Kun-lun yang tahu betapa lihainya musuh buru-buru menyimpan dan menyembunyikan sumoinya itu. Peringatan Kim Cu Cinjin telah datang.

Tak perlu lama tosu ini turun gunung, para murid berlarian ke atas. Mereka ketakutan dan berteriak-teriak dan langsung berlutut bertemu dua pimpinan ini. Bagai burung cecowetan mereka melapor. Dan ketika Bi Wi Cinjin tertegun dan berhenti, yang masih di bawah menyusul dengan tubuh gemetaran maka terdengar tawa bergelak yang menggetarkan isi hutan. Permukaan gunung bagai dipukul genta dahsyat, bergetar-getar.

"Ha-ha, mana Kim Cu Cinjin. Suruh ia keluar, tikus-tikus busuk. Temukan aku dengannya atau kalian mampus!"

Terdengar jerit dan pekik kematian. Lima tubuh besar, para murid yang tertangkap tahu-tahu meluncur dan menghantam Bi Wi dan Heng Bi Cinjin. Lontaran itu begitu kuat hingga ketua dan wakil ketua ini mengelak. Lima tubuh itu menghantam dinding. Dan ketika mereka berdebuk dengan kepala pecah, gegerlah tempat itu maka seorang wanita cantik berkelebat dan tahu-tahu sudah berdiri di depan Bi Wi Cinjin dan sutenya.

"Hi-hik, ada ini tosu-tosu berharga. Eh, mana Kim Cu Cinjin ketua Kun-lunpai keledai gundul. Siapa kalian dan kenapa ia tak mau keluar. Heh, kami tak butuh kalian dan suruh Kim Cu Cinjin menyambut!"

Kwi Bo wanita itu menyerang Heng Bi Cinjin. Siapapun tak tahu bahwa ketua Kun-lun sudah berganti. Hal ini disengaja Kim Cu Cinjin agar skandalnya tak diketahui umum. Ia tak mau Kun-lun harus menderita malu oleh perbuatannya di masa silam. Maka ketika Heng Bi diserang dan Kwi-bo melancarkan tamparan maut, kelima jarinya mengancam dan menampar kepala.

Maka wakil Kun-lun yang lihai ini tak mengelak. Heng Bi mendengus dan justeru menangkis, menggerakkan lengan bajunya menghantam telapak wanita itu. Dan ketika Kwi-bo menjerit dan terpental, berjungkir balik maka kagetlah wanita ini karena ia tak mengenal lawan.

"Plak!" Wanita itu memaki-maki meluncur turun. la terbelalak dan berubah namun saat itu sesosok bayangan mencelat lurus. Dari bawah melesatlah bayangan tinggi panjang, turun dan tahu-tahu berhadapan dengan tosu-tosu Ku-lun ini. Dan ketika tawa seorang bocah mengguncangkan tempat itu, ia memanggul seorang buta yang membuat mereka tampak tinggi dan panjang maka Chi Koan, Si buta ini tertawa bergelak. Tongkat panjang di tangannya itu bergetar-getar.

"Kwi-bo, kau bertemu lawan kuat.Mundurlah, dia bukan lawanmu!"

Semua ngeri. Si buta ini yang mencelat dari bawah menuju tempat itu tak kurang harus melampaui dua tebing setinggi pohon kelapa, padahal di sampingnya terdapat jurang yang sekali meleset tentu membawa kehancuran. Dan ketika Kwi-bo terkekeh penasaran namun membentak berani, berkelebat dan mendahului si buta maka wanita ini berseru mencabut senjatanya, tongkat berkepala tengkorak.

"Aku tak mau kalah. Coba kulihat sekali lagi dan apakah benar ia benar-benar kuat!"

Heng Bi tergetar. la kagum dan kaget oleh cara si buta naik ke atas. Hanya dengan menjejakkan kakinya begitu saja mencelatlah Si buta ini ke atas tebing. Sang murid memanggul di kedua pundak. Tapi ketika Kwi-bo menyerangnya lagi dan tongkat berkepala tengkorak itu menyambar dahsyat, mengaung dan mengeluarkan bau busuk maka tosu ini mengelak dan kali ini sambil menggeser kakinya ia menampar dari samping.

"Plak!"

Tongkat tergetar dan melenceng. Kwi-bo terpekik tapi menyerang lagi, tubuhnya berkelebat dan rambut di atas kepala menyabet pula. Namun karena Heng Bi Cinjin adalah tokoh kawakan dan sin-kangnya juga tinggi maka menggerakkan kedua lengannya menangkis dan menghantam rambut itu Kwi-bo terbanting dan bergulingan.

"Des-prat!"

Wanita itu berteriak marah. Ia hendak maju lagi akan tetapi Chi Koan menggerakkan tubuh muridnya. Tanpa dapat ditahan lagi Siauw Lam meluncur ke depan, menabrak dan menjerit mencengkeram wanita ini. Lalu ketika suhunya memalangkan tongkat menahan wanita ini, Kwi-bo terhuyung bangun maka tawa si buta itu menggetarkan dada.

"Cukup, kau bukan lawannya. Siapa tosu ini dan serahkan padaku!" kemudian menghadapi Heng Bi Cinjin dan miringkan kepala, menghitung jumlah musuh maka Chi Koan bertanya, mulutnya tersenyum mengejek. "Kepandaianmu tidak jelek, tentu kau sute Kim Cu Cinjin. Hm siapa kau, tosu bau. Mana Kim Cu Cinjin kenapa ia tak keluar menyambut."

"Pinto adalah Heng Bi Cinjin, wakil Kun- lun-pai. Kalau kau mencari Kim Cu suheng maka ia tak ada di sini, Chi Koan, dan suheng sudah tidak menjabat ketua lagi. Apa perlumu datang ke sini!"

"Heh-heh, aku mendengar Kun-lun menyembunyikan seorang wanita, dan mencari ini. Kalau Kim Cu tak menjabat ketua lagi sekarang siapa yang memimpin. Katakan dan suruh ia ke mari."

"Pinto adalah pimpinan Kun-lun, Bi Wi Cinjin. Kalau kau mencari seseorang siapa yang kau maksud, Chi Koan. Pinto tak tahu-menahu dan seharusnya kau tak mengganggu Kun-lun."

"Bi Wi Cinjin? Heh-heh, aku ingat kau, tosu bau. Kau adalah kakek gemuk sute Kim Cu Cinjin. Bagus, kau kiranya!" lalu menepuk pundak muridnya bertanya apakah jawabannya betul Siauw Lam pun mengangguk.

"Benar, gemuk pendek, suhu, seperti kodok. heh-heh!"

Wajah para murid memerah. Kata-kata anak itu membuat mereka melotot namun Siauw Lam terkekeh-kekeh. Bi Wi Cinjin sebenarnya tidaklah seperti kodok dan kata- kata itu tentu saja semacam ejekan saja. Akan tetapi karena yang diejek adalah ketua Kun-lun maka para murid tentu saja marah dan melotot, terutama Ceng Tek. Namun Bi Wi Cinjin tersenyum sabar, menahan semua murid agar tidak bergerak.

"Pinto benar adalah sute Kim Cu suheng, agaknya kau masih ingat. Bagus, Chi Koan, di sini tak ada wanita yang kau maksud kecuali temanmu ini. Heran bahwa Kwi-bo masih hidup!"

"Heh, jangan mendoakan supaya cepat mati. Kau sendiri kalau macam-macam umurmu bisa habis, Bi Wi Cinjin. Memangnya kenapa kalau aku masih hidup!" Kwi-bo melengking.

"Siancai, pinto mendengar peristiwa di Hek See-hwa (Bunga Pasir Hitam). Kalau kau masih hidup adalah rahmat bagimu. Hm. pinto juga tak merasa ada urusan denganmu, Kwi-bo. Kun-lun tak bermusuhan dengan siapapun kecuali kalau diganggu!"

"Sombong, kami datang memang untuk mengganggu. Chi Koan bertanya tentang Li Ceng, Bi Wi Cinjin. Kau menyembunyikannya di sini. Hayo serahkan wanita itu atau kau hendak menggaulinya sendiri!"

"Tutup mulutmu!" Heng Bi Cinjin membentak. "Orang yang kau katakan tak ada di sini, Kwi-bo. Kalau kau bermulut kotor kubunuh nanti."

"Heh-heh, aku sudah menyelidiki, tak mungkin keliru. Isteri Gurun Gobi itu ada di Sini atau kau sembunyikan. Hm, yang berkepentingan adalah Chi Koan, kalau kau berdusta hadapilah Chi Koan!"

Kwi-bo memang cerdik. Setelah tahu kelihaian tosu ini tentu saja ia tak berani gegabah lagi. Hanya karena ada Chi Koan di situ ia besar hati, sombong. Maka ketika tosu itu membentaknya dan Siap menyerang, kata- katanya tadi sungguh menghina Bi Wi Cinjin maka cepat disodorkannye Chi Koan kalau tosu ini mengamuk. Chi Koan tertawa.

"Benar, aku mencari Li Ceng. Nah, serahkan wanita itu kalau Kun-lun tak ingin kuobrak-abrik!"

"Tak ada wanita itu di sini!" Heng Bi berseru. "Kalau kau tidak percaya terserah dirimu, tapi kami tentu tak mau tinggal diam!"

"Bagus," Chi Koan lenyap senyumnya. "Kalau begitu aku naik ke atas, tosu bau, minggirlah atau kau boleh terima pukulanku!"

Berbareng dengan ini Chi Koan menggerakkan kaki muridnya maju ke depan. Siauw Lam meloncat dan menerjang tosu ini, Heng Bi membentak dan menghantam si buta itu. Tapi ketika Chi Koan menggerakkan lengan kirinya mengibas ke depan maka tosu itu terbanting bergulingan berteriak kaget.

"Desss!"

Inilah Hok-te Sin-kang yang dilancarkan si buta. Bi Wi Cinjin sendiri yang berada di dekat sutenya terhuyung mundur oleh kibasán itu, padahal Chi Koan menyerang adik seperguruannya. Dan ketika si buta terbang dan membawa muridnya ke atas, Siauw Lam terkekeh-kekeh maka Kwi-bo berkelebat dan mengkuti temannya ini, bergerak di belakang setelah Chi Koan mendorong mundur para tosu itu.

"Hi-hik, jangan sendiri. Kubantu kau mencari wanita itu, Chi Koan. Ayo kita naik dan obrak-abrik perkumpulan tosu-tosu bau ini!"

Marahlah Heng Bi Cinjin dan suhengnya. Meskipun mereka tahu kelihaian si buta itu namun Kun-lun bukan partai persilatan yang boleh diinjak-injak. Chi Koan telah membawa muridnya keatas, disusui kwi-bo yang berlari di belakang pemuda ini. Lalu ketika dua pimpinan itu membentak dan mengejar lawan, dikuti murid-murid yang lain maka gegerlah partai persiatan itu oleh sepak terjang si buta.

"Chi Koan, berhenti. Pinto tak memperkenankan kau naik ke atas!"

"Ha-ha, kejarlah. Muridku dan Kwi-bo akan mencari wanita itu sampai dapat, Bi Wi Cinjin, kau tosu bau penipu. Tempat ini akan kuobrak-abrik, Kun-lun akan kuhancurkan!"

Bi Wi Cinjin marah sekali. Tosu yang biasanya sabar dan lembut hati ini tiba-tiba membentak gusar berkelebat ke atas. Ia mendahului para murid dan sutenya Heng Bi Cinjin, langsung menghantam Kwi-bo di belakang si buta, karena wanita itulah yang paling dekat. Tapi ketika Kwi-bo menjerit berjungkir balik, pukulan menyambar Chi Koan maka si buta menggerakkan tongkat ke belakang dan terpentalah tosu itu bertemu tongkat sakti di tangan si buta.

"Plak!" Bi Wi Cinjin terpelanting meloncat bangun. Chi Koan memang hebat namun ia penasaran. Kun-lun tak boleh dihina orang lain. Maka membentak dan berseru keras ia menyerang lagi, kali ini sepasang kaki anak kecil itu hingga Siauw Lam berteriak. Dari belakang deru pukulan itu menghantam, hampir saja Siauw Lam roboh. Tapi ketika Chi Koan membalik dan lagi-lagi menggerakkan tongkat maka ketua kun-lun itu terbanting dan Chi Koan menyuruh muridnya berlari lagi.

"Ha-ha, bukan lawanku. Terus naik keatas, Siauw Lam, cari dan temukan wanita itu. Tosu-tosu ini bagianku!"

Sang bocah meloncat dan lari lagi. Ia agak terhuyung tapi bantuan gurunya membuat ia senang, ketua Kun-lun itu malah terbanting. Akan tetapi ketika dari mana-mana muncul bayangan-bayangan lain, murid dan tosu-tosu senior maka kwi-bo diminta untuk menghadapi mereka itu.

"Yang cecunguk ini bagianmu, para tokohnya untukku. Hayo sikat mereka, Kwi-bo. Habisi!" kwi-bo terkekeh. Pada dasarnya wanita ini adalah seorang kejam yang paling senang membunuh-bunuhi orang. Di dekat Chi Koan ia menjadi lebih ganas lagi. Maka ketika para tosu itu bermunculan dan tongkat tengkoraknya itu menyambar maka terdengarlah teriakan dan jerit kaget di antara para tosu ini.

Tiga diantaranya terjengkang dengan pundak remuk, yang lain terhuyung oleh angin sambarannya. Dan ketika otomatis mereka mundur dan Kwi-bo naik keatas lagi, terkekeh-kekeh maka Chi Koan sudah di puncak mengandalkan muridnya ini, masih di atas pundak.

"Masuk dan cari sekeliling penjuru, aku menjagamu!"

Siauw Lam tertawa-tawa. Kakinya sudah terlatih menahan beban, berminggu-minggu ini gurunya tak pernah turun. Maka ketika ia melompat dan berlarian memasuki pendopo depan, masuk dan berlari-lari di sepanjang lorong-lorong bilik maka di sini Chi Koan menggerakkan tongkat panjangnya merusak meja kursi.

"Ha-ha, senang sekali, Tempat ini luas dan segar, suhu. Tosu-tosu bau itu pandai memilih tempat!"

"Hm, Kun-lun memang pegunungan sejuk. Cari ruang utama dan kamar pimpinan, Siauw Lam. Seingatku di sebelah kiri ada bangunan merah!"

"Betul, itu yang kau maksud. Tapi... hei...!"

Bi Wi Cinjin ada di situ. Ternyata ketua Kun-lun ini memotong jalan. Setelah ia terbanting oleh tongkat Si buta maka kakek ini mencabut pedang. Perlu diketahui bahwa pimpinan atau tokoh-tokoh Kun-lun jarang mempergunakan senjata, kalau mereka sekarang mencabut pedang dapatlah diketahui betapa hebatnya musuh yang datang.

Bi Wi dan Heng Bi Cinjin meluncur dari bangunan merah, itulah tempat tinggal mereka sebagai ketua dan wakil ketua Kun-lun. Maka ketika Siauw Lam melihat mereka sementara teriakan atau bentakan para murid ramai di situ, Kwi-bo menjeletarkan rambutnya bertubi-tubi maka tiga orang ini sudah dikepung dan Heng Bi berseru pada ketuanya itu.

"Suheng, lumpuhkan dulu anak laki-laki itu, baru gurunya!"

Bi wi injin mengangguk. Ceng Tek muridnya disuruh menghadapi Kwi-bo, menyerang bersama murid-murid lain. Dan karena Kwi-bo di belakang Chi Koan, tak mungkin menempel terus maka jadilah wanita itu terpisah dan kini mengamuk bersama tongkat tengkoraknya, wanita itu menghadapi sekian bayak murid Kun-lun.

"Chi Koan, bantu aku. Mereka ini tosu-tosu keparat yang tak malu mengeroyok wanita!"

"Hm, tenang sajalah," si buta miringkan kepala. "Musuhmu tak lebih dari lima puluh orang, Kwi-bo, bermain-main sajalah dulu. Aku hendak menghadapi pimpinannya dan kupaksa mereka mengaku!"

Bi Wi dan Heng Bi Cinjin sudah bergerak. Dengan pedang di tangan mereka membabat kaki Siauw Lam, si bocah terkejut dan berteriak ngeri. Tapi ketika Chi Koan memukulkan tongkatnya ke bawah dan pedang terpental bertemu senjatanya maka anak itu tertawa girang berbesar hati.

"Ha-ha, bagus. Tapi ketok kepala mereka suhu, jangan biarkan menyerang aku. Wah, berabe nanti, kakiku bisa putus!"

"Jangan khawatir," sang guru berkata. "Sebelum mereka membabat kakimu mereka akan roboh, Siauw Lam. Turuti perintahku dan meloncatlah!"

Siauw Lam meloncat, persis ketika babatan pedang menyambar lagi. Lalu ketika ia turun dan gurunya menggerakkan tongkat maka Bi Wi dan sutenya terdorong lagi, mundur. Namun dua pimpinan Kun-lun ini bukanlah orang-orang biasa. Heng Bi Cinjin terutama Bi Wi memiliki Sin-ma-kang seperti suhengnya Kim Cu Cinjin.

Tenaga Kuda Sakti itu merupakan latihan sinkang memindah tenaga, dapat diatur semaunya dari kiri ke kanan, juga atas ke bawah. Dan ketika pedang terpental namun tangan kiri mereka bergerak, melepas pukulan itu maka Siauw Lam sesak napasnya dihantam angin pukulan kuat ini.

"Ugh! si anak terbatuk. "Sesak napasku, suhu. Pukulan mereka kuat!"

"Hm," Chi Koan repot juga. "Kalau begitu bantulah Kwi-bo di sana Siauw Lam, hajar tosu- tosu tengik itu. Rampas pedang mereka dan pergunakan sebagai senjata!"

Anak ini adalah murid Chi Koan yang lihai. Meskipun ia baru belasan tahun akan tetapi gemblengan suhunya sejak di Go-bi membuat Siauw Lam berfisik kuat. Bukti bahwa ia mampu memanggul suhunya berminggu- minggu sudah menyatakan itu. Di sepanjang jalan latihan silat tak pernah pula dilalaikan.

Maka ketika tiba-tiba gurunya melepaskan diri dan meloncat meninggalkan pundaknya, melempar ia ke arah Kwi-bo maka Siauw Lam ber-jungkir balik menendang seorang tosu yang kebetulan jatuh terguling-guling.

"Kesinikan pedangmu!"

Sang tosu terkejut. Ia terlempar oleh tendangan Kwi-bo dan kesakitan merasa pahanya remuk, kini anak laki-laki itu menyambarnya bagai seekor elang kecil, meluncur dan merampas pedangnya dengan cepat sekali. Dan ketika ia tak mampu mempertahankan pedangnya dirampas si bocah, Siauw Lam sudah menginjak lantai maka langsung saja anak itu membabat lawannya.

"Hi-hi, sekarang kau mampus!"

Murid ini tak mampu mengelak lagi. la terbabat perutnya dan roboh lagi, darah memuncrat mengejutkan tosu-tosu yang lain. Dan ketika selanjutnya anak itu membantu Kwi-bo, menyerang dan tertawa-tawa maka Ceng Tek yang marah mengeroyok Kwi-bo berseru agar para sutenya berhati-hati.

"Jangan sembrono menghadapi anak setan itu. Awas..!"

Kwi-bo tertawa panjang. la meledakkan rambutnya ketika menangkis dan membalas serangan lawan. Lalu ketika ia berkelebatan dibantu Siauw Lam, betapapun anak itu cukup berbahaya maka di pihak lain, di tempat Bi Wi Cinjin terjadi pertandingan seru yang menegangkan. Chi Koan setelah melepaskan muridnya bahkan menjadi berbahaya.

Si buta itu bertelinga tajam hingge tahu serangan- serangan pedang, juga pukulan Bi Wi Cinjin yang mempergunakan Sin-ma-kengnya. Tapi ketika Hok-te Sin-kang menangkis dan kakek itu terpental, Hok-te Sin-kang masih jauh di atas Sin-ma-kang maka tosu ini terdesak dan terhuyung-huyung, maju dan menyerang lagi, namun si buta bukanlah lawannya.

Dan ketika tóngkat panjang menggebuk pundaknya, tosu ini menggeliat maka Heng Bi Cinjin terpelanting dan bahkan dua kali disambar tongkat itu. Akan tetapi tokoh-tokoh Kun-lun adalah orang-orang gagah. Chi Koan tahu betapa lawan tak akan menyerah. Maka ketika ia berseru menangkis lagi, tongkat menderu berat tiba-tiba pedang di tangan Heng Bi Cinjin patah.

"Krakk!" Tosu itu terpelanting. Chi Koan mengejarnya namun Bi Wi Cinjin membentak, sang sute masih bergulingan. Dan ketika si buta itu membalik dan menangkis kakek ni maka pedang di tangan Bi Wi juga patah namun sisanya masih dicekal erat, meskipun telapaknya pecah berdarah.

"Hmn, kalian orang-orang nekat. Kalau aku tak menaruh belas kasihan jangan harap kalian hidup, Bi Wi Cinjin. Yang aku perlukan adalah wanita itu,bukan kakek-kakek seperti kalian. Pergilah!"

Tangan Chi Koan mendorong dan menyambarlah Hok-te Sin-kang ke tubuh kakek itu. Ketua Kun-lun ini pucat namun ia menangkis. Dan ketika ia mengeluh tangannya patah, terbanting dan bergulingan maka sutenya Heng Bi Cinjin sudah meloncat bangun.

"Chi Koan, mati hidup di tangan Yang Maha Kuasa. Kalau kami mati kami puas karena membela kebenaran!"

"Hm, kau tosu busuk yang sama-sama tak tahu diri. Pedangmu sudah patah, Heng Bi Cinjin, tapi mulutmu masih bercuap-cuap sombong. Terimalah, kaupun akan roboh!"

Tosu ini mengelak. la kehilangan pedang tapi tak kehilangan keberanian. Meskipun dirinya kalah lihai namun pantang baginya menyerah, inilah kegagahan tosu Kun-lun yang rata-rata dimiliki pimpinannya. Maka ketika ia dikejar dan Hok-te Sin-kang menghimpit dari delapan penjuru, tosu ini sesak maka apa boleh buat ia mengangkat kedua tangannya menerima pukulan itu.

"Dess-krakk!"

Heng Bi Cinjin terbanting dan berteriak. Lebih hebat dari suhengnya yang hanya menderita sebelah tangan adalah tosu ini patah kedua-duanya. la tak kuat menerima Hok-te Sin-kang itu. Dan ketika ia terbanting dan roboh, pingsan maka Bi Wi Cinjin terbelalak meloncat bangun, terhuyung.

"Chi Koan, kau pemuda keji!"

"Ha-ha, majulah. Sekalian kau kubereskan, Bi Wi Cinjin. Majulah dan rasakan kelihaianku!"

Sang kakek membentak dan berseru marah. Meskipun sebelah tangannya patah dihajar musuh akan tetapi ketua Kun lun ini benar-benar gagah berani. Ia menyambar pedang lain menusuk si buta itu. Tapi ketika Chi Koan menangkapnya dan membetot pedang itu, menarik maka Bi Wi Cinjin berseru pucat terbawa ke depan.

"Desss!"

Lambungnya terkena tendangan lutut. Chi Koan mengangkat sebelah kakinya menghantam perut kakek itu, Bi Wi Cin-jin serasa pecah dan hancur ususnya. Dan ketika kakek itu mengeluh dan terbanting roboh pula, muntah darah maka tosu ini pingsan menyusul sutenya.

Ributlah anak murid yang melihat itu. Ceng Tek, yang belum dapat merobohkan Kwi-bo yang berkelebatan memainkan rambutnya menjadi mata gelap. Tosu ini membentak dan tiba-tiba melontarkan pedangnya ke dada Kwi-bo, yang saat itu dihujani senjata dan sibuk menangkis serta membalas. Dan ketika desing pedang tos ini menyambar cepat, Kwi-bo terkejut maka wanita itu menjerit memanggil Chi Koan.

"Tranggg!"

Chi Koan bergerak cepat di saat yang tepat pula. Potongan pedang Bi Wi Cinjin ditendangnya menghantam pedang itu, tepat mengenai tengahnya hingga kedua pedang runtuh. Pedang milik Ceng Tek patah. Dan ketika tosu itu terbelalak sementara kwi-bo melotot marah, hampir saja ia roboh maka menyambarlah jarum-jarum halus ke tubuh tosu itu.

"Cep-cep!"

Ceng Tek mengeluh dan roboh. la masih bengong oleh timpukan si buta, begitu tepat dan cepatnya si buta menghantam. Tentu pendengaran yang luar biasa tajam itulah yang menuntun si buta. Dan ketika ia terguling sementara para murid cerai-berai, robohnya pimpinan dan murid tertua meruntuhkan keberanian mereka maka tosu-tosu itu berlarian dan menghambur keluar.

Kwi-bo berjungkir balik melayang turun. Ia telah menghajar tosu itu dan puas berseri- seri, Siauw Lam bersimbah darah pedangnya.pula. Lalu ketika wanita itu meloncat dan mencium Chi Koan, terkekeh maka wanita itu berseru agar Bi Wi Cinjin dan sutenya dibunuh.

"Mereka orang-orang jahat, untuk apa dibiarkan hidup. Biar mereka kubunuh, Chi Koan, kemarikan pedangmu!"

Yang terakhir ini ditujukan Siauw Lam dan Kwi-bo sudah merampas pedang itu pula. Namun ketika ia berkelebat dan hendak menetak si tosu maka Chi Koan menangkapnya dan berkata,

"Tidak usah, biarkan saja. Tujuan kita mencari Li Ceng, bukan tua bangka-tua bangka itu. Mari ke dalam dan kita lanjutkan pencarian ini!"

Kwi-bo tertawa. Ia melempar pedang itu dan Siauw Lam disambar gurunya, Si buta sudah mulai masuk ke dalam. Dan ketika mereka memeriksa tempat itu dan seluruh ruangan ditendang pintunya, Li Ceng tak ada maka Chi Koan mengerutkan alisnya marah.

"Kau atau tosu-tosu itu yang bohong. Ia tak ada di sini, Kwi-bo, mana buktinya!"

"Nanti dulu, kita tangkap seorang murid untuk dikompres. Tak mungkin aku bohong, Chi Koan, untuk apa dan buat apa main-main denganmu. Tua bangka itulah yang bohong!"

"Baik, kalau begitu tangkap mereka dan bawa ke sini!"

Kwi-bo berkelebat dan masuk lagi. Tak sukar baginya menangkap seorang murid yang sedang terluka, yang merintih dan hendak melarikan diri ketika ia terlihat. Dan ketika tosu itu dibanting dan pucat berhadapan dengan si buta, yang tersenyum tapi jelas membayangkan kekejaman maka ia menggigil meminta ampun.

"Kau akan diampuni kalau membantu kami. Nah, katakan di mana wanita itu dan bicaralah atau telingamu kutusuk!"

"Ampun,.. aku tak tahu, Kwi-bo. Tapi supek membawanya di balik pinggang gunung. Li Ceng-sukouw berada di belakang..."

"Hm, sebelah mana!"

"Di sana!"

"Baik, kau antarkan kami dan kuampuni nyawamu!" Kwi-bo berseri, memandang Chi Koan dan si buta berkejap-kejap. Itulah tanda bahwa si buta merasa gembira. Lalu ketika tosu ini dibangunkan dan disuruh berangkat maka dengan tertatih namun takut-takut murid itu menuju belakang gunung. letaknya tersembunyi.

"Aku... aku tak tahu persis. Tapi jiwi dapat mencari di situ, ada sebuah guha..."

"Antarkan kami dan tunjukkan sampai dapat, atau kepalamu kupancung!" Kwi-bo menggertak.

Terpaksa tosu ini beringsut lagi dan Siauw Lam tertawa. Anak ini geli melihat si tosu terpincang-pincang, kakinya luka. Lalu ketika anak itu menendang dan menyuruhnya cepat maka Chi Koan berseri mencium bau wanita.

"Benar, tosu ini rupanya tak bohong. Ada kucium bau harum seorang wanita, Kwi-bo, mudah-mudahan Li Ceng."

"Hm, kau!" Kwi-bo terkekeh gemas. "Cintamu kepada wanita itu tak kunjung padam, Chi Koan, iri aku. Ah, kalau saja aku si betina itu!"

"Heh-heh, Nikmat bagiku kalau dapat bermain cinta dengan isteri Peng Houw. Aku dapat membalas sakit hatiku, Kwi bo, juga hatimu. Kau tak perlu cemburu kalau ia tertangkap!"

"Dan aku akan menonton. Kau harus menepati janjimu untuk mempermainkan wanita itu di depan mataku!"

"Ya, jangan khawatir. Kau boleh menontonnya dan ikut bersama pula kalau suka!"

Kwi bo terkekeh cabul. Sang tosu yang mendengar ini meremang tengkuknya dan ia merasa ngeri. Keji benar orang-orang di depannya ini.. Dan ketika ia disuruh jalan lagi dan mulai gemetar, ini sebuah pengkhianatan maka Kwi-bo mencium pipinya dan berkata,

"Kau pernah bermain cinta? Kau seorang tosu muda yang masih murni?"

Tosu ini gagap.

"Hi-hik, jangan takut. Kalau kau dapat menyenangkan hatiku maka akupun suka kepadamu. Ayolah, temukan wanita itu dan ini sekedar hadiah untukmu...cup!" sebuah kecupan kembali mendarat dan kali ini di bibir!

Bukan main kelabakannya tosu muda itu dan ia semburat merah padam. Siauw Lam yang terbiasa melihat ini tertawa, tosu itu blingsatan. Tapi ketika ia berjalan lagi dan menggigil tak keruan, dua kali ciuman itu membuatnya panas dingin maka Kwi-bo mengelus pantatnya bagai mengelus pantat sapi.

"Kau masih murni, hi-hik... masih jejaka. Tentu sekuat kuda jantan kalau bermain cinta. Ah, cepat temukan wanita itu dan kita bersenang-senang, totiang. Siapa namamu dan bolehkah kupanggil kanda!"

Tosu ini menggigil lagi. Kalau saja tak ada orang lain di situ mungkin ia akan menubruk dan memeluk wanita ini, Rangsangan Kwi-bo membuat berahinya terbakar sampai ke kepala. Tapi ketika ia jalan lagi dan berhenti di bawah maka ia menuding dengan suara gemetar, antara berahi dan takut. Kwi-bo diam-diam telah memencet jalan darah di punggungnya yang membuat lelaki bakal mendidih.

"Itu, di sana guha sepengetahuanku..!"


Kabut Di Telaga See Ouw Jilid 12

Cerita Silat Mandarin Serial Bu-beng Sian-su Karya Batara
"IBLIS dari mana ini berani mengacau kun-lun. Mampuslah!"

Kemarahan Li Ceng semakin meledak lagi. la ditusuk dan serangan pedang terlihat ganas dan cepat. Untunglah karena ia mengenal ilmu pedang Kun-lun dan tahu segala gerak atau perkembangannya maka ia berkelit dan tidak mundur melainkan justeru maju ke depan, menyelinap dan menghantam wajah tosu itu dengan siku terlipat.

Gerak atau balasan serangannya ini mengejutkan Ceng Tek Tojin hingga tosu itu berseru keras. Wajahnya tahu-tahu sudah diancam siku lancip itu, sekali kena tentu ia terjengkang. Maka ketika ia menarik pedangnya namun Li Ceng bergerak mendahului, betapapun jelek-jelek ia adalah murid Kun-lun juga maka sapuan nyonya ini membuat sang tosu terjerembab. Kaki wanita itu menendang pinggul luarnya.

"Dess!" Ceng Tek Tojin terguling-guling. Tosu ini kaget dan juga marah melompat bangun. Untunglah karena murid yang lain menyerang Li Ceng maka nyonya itu tak mengejar, juga bukan maksudnya untuk menurunkan tangan besi atau membunuh lawan. Maka ketika para tosu mengeroyok lagi dan wanita ini juga habis kesabarannya tiba-tiba cucu Lui-cu Lo Sam itu melengking berkelebatan, kaki tangan menendang dan menampar.

"Kalian orang-orang busuk tak tahu kawan. Biarlah kurobohkan dan mana suheng Kim Cu Cinjin!"

Terlemparlah para tosu itu. Mereka berteriak dan menjerit bergulingan ditampar atau ditendang. Kali ini tamparan itu lebih kuat, juga kaki yang menendang bagaikan sepakan kuda liar yang sedang marah. Pinggang atau pinggul seketika lebam. Dan ketika Ceng Tek Tojin juga bergulingen terpental pedangnya, ia kaget dan mulai pucat maka berkelebatlah bayangan Heng Bi Cinjin yang mendengar ribut-ribut itu, juga seruan Li Ceng yang menyebut suheng kepada bekas ketua Kun-lun.

"Berhenti! Jangan serang-menyerang!"

Datangnya pimpinan Kun-lun membuat para murid girang. Mereka meloncat bangun dan yang kesakitan merintih-rintih. Ceng Tek sendiri memungut pedangnya dengan tangan menggigil, matanya kemerahan. Dan ketika Heng Bi Cinjin telah berhadapan dengan wanita itu, Li Ceng berapi dengan muka terbakar maka terkejutlah tosu ini mengenal siapa yang datang.

"Sumoi...!"

Tertegunlah semua orang. Heng Bi tiba-tiba melangkah maju dan menangkap pundak Li Ceng. Tosu ini mengenal wanita itu membuat kemarahan Li Ceng lenyap. Tersedulah nyonya ini. Lalu ketika ia menubruk dan memeluk kakek itu, Heng Bi Cinjin berkejap-kejap maka tosu ini berseru menumpahkan keheranan.

"Siancai, kiranya Li Ceng-sumoi. Astaga, apa yang membuatmu seperti ini sumoi, pinto sendiri nyaris tak mengenal. Ah, apa yang terjadi dan kenapa kau mengamuk di sini!"

Li Ceng masih menumpahkan tangisnya. Setelah ia dikenal dan kakek inilah satu-satunya orang yang menyambut baik maka ia menjadi lega sekaligus mendongkol. Li Ceng masih tak sadar akan keadaannya yang tak keruan, pakaiannya yang robek-robek dan rambutnya yang pendek itu. Ia telah memapas sebagian rambutnya ketika dulu bertengkar dengan suaminya, bukti atau sumpah akan kesuciannya.

Dan ketika ia mengguguk sementara murid-murid terkejut, Ceng Tek sendiri mundur dan berseru tertahan maka Heng Bi Cinjin mengusap-usap kepala wanita ini yang tampak begitu penuh kesedihan.

"Sudahlah... sudahlah, pinto tak akan bertanya lagi. Kau kiranya ingin bertemu Kim Cu-suheng. Marilah, pinto antar. Maafkan anak-anak murid yang tak mengenal dirimu karena keadaanmu seperti ini." Lalu mengusir para murid mengulapkan lengan bajunya kakek ini membawa Li Ceng ke dalam.

Ceng Tek Tojin buru-buru berseru meminta maaf. "Susiok (paman guru), ampunkan teecu. Teecu benar-benar pangling kepada sukouw (bibi guru)!"

Heng Bi Cinjin tak menghiraukan. Memang siapapun tak dapat disalahkan kalau keadaan wanita ini seperti itu. Siapa mengira isteri Naga Gurun Gobi riap-riapan seperti orang gila. Siapa menyangka bahwa itu adalah bibi guru mereka. Maka ketika Li Ceng dibawa ke dalam dan keluarlah Bi Wi Cinjin maka tosu itu juga tertegun dan merangkapkan kedua tangannya.

"Siancai! Siapa ini. Ada apa dan hendak ke mana?"

"Ini Li Ceng-sumoi, saudara kita. Masa kau tak mengenal, suheng. Lihat baik-baik dan perhatikan dia."

"Ah, Tuhan Yang Maha Agung. Benar, Li Ceng sumoi kiranya. Siancai, apa yang menyebabkan dirimu seperti ini, Sumoi, pinto benar-benar tak mengenal. Maaf" Lalu memeluk dan menangkap pundak sumoinya itu ketua Kun-lun inipun mengucap puja-puji, tak mengenal dan benar-benar pangling karena keadaan sang sumoi yang seperti itu.

Barulah Li Ceng sadar bahwa dirinya memang tidak keruan, ia mengguguk dan menangis di bahu suhengnya nomor dua ini. Tapi ketika Heng Bi Cinjin berseru bahwa ia ingin bertemu Kim Cu, justeru pengakuan itulah yang membuat Heng Bi mengenal maka Bi wi Cinjin melepas dan mendorong sumoinya.

"Siancai, suheng di belakang gunung. Kalau begitu biarlah Heng Bi sute mengantarmu."

"Baiklah, kalau begitu permisi, suheng. Kuantar sumoi ke sana."

Mereka bergerak lagi. Kini para murid membungkuk sepanjang jalan dan menundukkan muka dalam-dalam. Setelah mereka tahu siapa wanita itu maka tak ada lagi yang berani macam-macam. Pantas begitu mudah mereka dirobohkan. Dan ketika Li Ceng dibawa dan terus ke belakang gunung maka wanita ini mulai sadar akan hal-hal yng ganjil.

"Tunggu, berhenti dulu. Kenapa kau membawaku ke belakang gunung, sam-heng (kakak ketiga). Bukankah Kim Cu suheng seharusnya di depan!"

"Hm, twa-heng (kakak tertua) sudah tak menduduki jabatan ketua Kun-lun lagi. Twa-heng tinggal sendiri dan menyepi di belakang, sumoi, karena itulah kau kubawa ke sini dan pinto mengantarmu."

"Apa, Kim Cu suheng tak menduduki kursi ketua? Jadi ia sudah melepaskan jabatan?"

"Begitulah, Sumoi, dan twa-heng kini menetap di belakang. la ingin tenang."

"Apa yang terjadi, kenapa begitu!"

"Tak ada apa-apa, hanya Kim Cu suheng menghendaki ketenangan. Marilah, kita berangkat lagi atau tidak."

Li Ceng tertegun. la tak menyangka sama sekali suhengnya itu tak menjadi ketua Kun-lun lagi. Dipandangnya sam-suheng ini lekat-lekat dan ia merasa sesuatu yang disembunyikan. Dan ketika ia meloncat dan memegang suhengnya itu maka ia bertanya bagaimana mungkin ketua Kun-lun meletakkan jabatan begitu tiba-tiba.

"Aku merasa ada sesuatu yang kau sembunyikan. Tak mungkin Kim Cu suheng meletakkan jabatan tanpa memberi tahu orang lain, apalagi aku sumoinya. Agaknya ada sesuatu yang tidak kau katakan sam-heng, sebutkan kenapa dan berterus terang sajalah!"

"Pinto tak dapat memberi tahu lebih selain bahwa itu kehendak Kim Cu suheng sendiri. Selanjutnya silakan tanya Kim Cu suheng saja."

Li Ceng terbelalak. Ia melihat sikap yang tiba-tiba dingin dari sam-suhengnya ini, tapi karena sang tosu sudah menjawab dan ia tak mungkin mendesak maka ia menarik napas panjang dan berkata, "Baiklah, agaknya ada sesuatu yang harus kuketahui. Marilah kita lanjutkan perjalanan dan antarkan aku kepadanya."

Heng Bi Cinjin melanjutkan langkahnya. Kini ia bersikap agak dingin dan acuh mereka sudah di puncak untuk akhirnya turun di belakang. Lalu setelah melalui jalanan berliku sampailah mereka di depan sebuah guha, di mana tosu ini berhenti.

"Twa-heng," suaranya nyaring diarahkan ke dalam. "Mohon maaf pinto mengantar Li Ceng-sumoi ke sini. la ingin bertemu denganmu. Dapatkah kau menemuinya dan bolehkah kami masuk!"

"Pinto sedang menunggu kalian. Masuk dan bawalah ke dalam, sute. Pinto sudah mendengar keributan di bawah."

"Suheng!" Li Ceng berseru dan meloncat ke dalam. "Kenapa kau tak mau keluar dan menyambut aku!"

Heng Bi Cinjin juga melompat ke dalam. Setelah Kim Cu Cinjin berseru pada mereka dan diam-diam tosu ini kagum, sang suheng sudah tahu maka tampaklah Kim Cu Cinjin bersila di dalam guha. Pakaiannya bersahaja dengan lengan baju gerombyongan. Wajahnya agung dan sabar menunjukkan taraf kebijaksanaannya yang tinggi. Dan ketika Li Ceng sudah menubruk dan memeluk suhengnya itu, menangis tersedu maka tosu ini tersenyum mengusap rambut sumoinya.

"siancai, rambutmu kau potong pendek. Ada apa mencari pinto dan mana suamimu Naga Gurun Gobi, sumoi. Kenapa menangis dan keadaanmu seperti ini. Tak aneh kalau para murid menyangkamu orang gila."

"Aku bertengkar dengan suamiku, kami mendapat cobaan. Sesuatu yang berat menimpa kami, suheng, menghancurkan rumah tangga kami. Aku dan Houw-ko berpisah!"

"Siancai... apa yang terjadi. Rumah tangga tak luput dari cobaan. Hm, keadaanmu kusut dan meyedihkan, sumoi, pinto dapat memuklumi kesungguhanmu. Duduklah, ceritakan yang baik dan pinto akan membantu."

Li Ceng tersedu-sedu. Dengan suhengnya ini ia amat dekat dan akrab sekali. Dengan Kim Cu Cinjin inilah ia tak malu-malu berterus terang. Tapi ketika Heng Bi Cinjin batuk-batuk dan mengingatkannya, ia sadar maka tosu yang rupanya tahu diri itu berkata, merangkapkan kedua tangan.

"Suheng, Sumoi, rasanya cukup pinto di sini dulu. Pinto masih ada kerjaan. Mohon pamit dan pinto hendak kembali dulu!"

"Terima kasih," Kim Cu Cinjin mengangguk. "Kau benar, sute, silakan pergi. Nanti kalau sumoi ada perlu biarlah bantuanmu diperlukan lagi."

Heng Bi mengangguk. la melihat sesuatu yang serius hendak diceritakan Li Ceng kepada suhengnya itu. Sebagai orang yang mengenal etika ia harus mundur. maka ketika ia mengebutkan lengan bajunya dan berkelebat keluar maka tinggallah Li Ceng berdua. Dan begitu suhengnya tersenyum wanita ini mendadak menangis lagi, mengguguk.

"Suheng, aku... aku sedang ditimpa bencana. Rumah tanggaku berantakan. Tolonglah aku atau bunuh aku sekalian!"

"Hm-hm, omongan apa ini. Tak ada yang tak dapat diselesaikan, Sumoi, bicaralah yang baik dan hentikan tangismu. Pinto adalah kakakmu, sekaligus orang tua. Apa yang terjadi dan ceritakanlah, pinto akan membantu."

"Aku... aku bertengkar dengan suamiku!"

"Sudah kau katakan."

"Aku kehilangan anak!"

"Hm, ini berita mengejutkan. Apa yang terjadi hingga semuanya begitu, Sumoi. Bagaimana anakmu hilang dan ke mana suamimu itu."

"Aku tak tahu, kami berpisah. Dan anakku dia... dia, ah, kau harus bantu aku mencarinya, suheng. Atau aku mati karena gila!"

"Tenanglah, sabarlah," sang tosu mengusap dan mengelus-elus rambut wanita ini. "Semuanya terasa begitu mendadak, Sumoi, ceritakanlah dari awal. Bagaimana pinto mencernanya kalau kau terus menangis begini. Terangkanlah bagaimana mula-mula begitu."

"Ini karena jahanam Chi Koan, dialah gara-garanya!"

"Siancai, Chi Koan? Maksudmu pemuda buta itu?"

"Ya, dia suheng. Jahanam keparat itu. Gara-gara dia maka rumah tanggaku berantakan. Hidupku hancur!"

"Hm-hm, bagaimana ini. Bukankah anak itu berada di Go-bi...!"

"Ia lolos, keluar sarang. Chi Koan datang dan membuat gara-gara di rumahku!"

"Astaga, hebat ini. Tapi ceritakanlah dari depan, biarkan pinto mendengarnya secara urut. Pinto bingung. Dan hentikanlah tangismu."

Li Ceng masih tersedu-sedu. Bicara tentang ini selalu membuat hatinya tercabik dan terkoyak-koyak. Alangkah sakitnya teringat semua itu apalagi tuduhan suaminya yang begitu keji. Maka ketika ia justeru mengguguk dan memukul-mukul tubuh suhengnya maka Kim Cu Cinjin mulai terkejut dan tergetar, pucat.

Akan tetapi tosu ini adalah kakek yang kenyang asam garam kehidupan dunia. Iapun telah merasakan pahit getir peristiwa. Maka ketika ia menarik napas dalam dan membiarkan sumoinya mengguguk sedih, membiarkan dirinya dipukul-pukul pula akhirnya yang dilakukan tosu ini adalah menunggu dan bersabar. Sikapnya berhasil. Betapapun Li Ceng butuh perhatian.

Maka ketika tosu itu diam saja sementara air matanya terkuras habis akhirnya wanita mengangkat wajahnya dan bertemu tatapan lembut itu. Mata ini sejuk dan amat arif. Mata itu begitu tenang dan dalam. Dan ketika ia tersentak dan sadar, terbawa dalam keheningan sebuah telaga yang sejuk akhirnya Li Ceng mengangkat tubuhnya dan tinggal isak-isak kecil.

"Menangislah kalau masih ingin menangis. Tangis dapat meringankan penderitaanmu, sumoi. Pinto akan menunggumu dan mendengar semua ceritamu."

Bangkitlah ketegaran wanita ini. Betapapun ia adalah murid Kun-lun yang gagah, cucu Mutiara Geledek Lo Sam yang menjadi adik seperguruan mendiang Kun-lun Lo-jin. Maka ketika Li Ceng menghapus air matanya dan menggeleng menggigit bibir, mata dipejamkan akhirnya wanita ini berkata bahwa air matanya telah terkuras habis.

"Aku letih menangis lagi, air mataku habis. Baiklah kau dengarkan ceritaku, suheng, tapi setelah itu tolonglah. Siapa yang kuharap selain kau."

"Pinto adalah suhengmu, sumoi, sekaligus orang tuamu. Mendengar tangismu siapa tahan, Sumoi. Katakanlah dan pinto akan membantu."

Tenanglah wanita ini. Kata-kata itu terasa begitu sejuk dan menenangkan. Ia mendapat kekuatan. Lalu ketika nyonya muda ihi mulai bercerita dari awal sampai akhir, betapa Chi Koan mengganggunya dan anaknya diculik maka Kim Cu Cin-jin mendengarkan dengan mata terbelalak sampai akhirnya mengeluarkan seruan berkali-kali, apalagi ketika mendengar Kwi-bo masih hidup.

"Astaga, jadi iblis betina itu belum mati? Chi Koan lolos pula dari ruang hukumannya? Hebat, dunia geger lagi, Sumoi.Mengejutkan betul ceritamu ini. Siancai, pinto benar-benar tak menyangka!"

"Dan puteraku hilang diculik orang. Aku tak tahu di mana dan siapa penculiknya, suheng. Hanya katanya dibawa seekor mahluk berbulu besar. Dan... dan suamiku menuduhku seperti itu pula. Aduh, sakit hati ini Suheng."

"Hm, hm... Tuhan Maha Agung! Cobaanmu benar-benar berat, Sumoi! Sungguh tak kukira suamimu dapat bersikap seperti itu. Akan pinto cari, kutegur dia. Tak boleh Peng Houw bersikap seperti itu!"

Li Ceng terisak, memandang suhengnya penuh harap. "Suheng mau membantuku?"

"Tentu, aku membantumu, sumoi, ini kewajibanku. Hm, akan kucari Naga Gurun Gobi itu dan kutegur dia. Kalau dia tak mau tahu pinto akan melabraknya, biarpun pinto harus mati untuk ini!"

"Suheng!"

"Sudahlah, Kau tenanglah. Pinto sudah tahu dan agaknya iblis betina itulah yang menjadi gara-gara. Pinto akan turun gunung dan kutemukan anak dan suamimu itu."

Nyonya ini terharu bukan main. la mengeluh dan menubruk suhengnya itu dan Kim Cu Cinjin bergeter meramkan mata. Saat itu berkelebat dua bayangan dan masuklah seorang gadis cantik dan pemuda berbaju hitam. Inilah Bwee Hui dan tunangannya, Yu Kam. Lalu ketika Kim Cu Cinjn mendorong tubuh Li Ceng maka pandang mata Bwee Hui tampak marah dan tak senang.

"Ayah, siapa wanita ini. Kudengar ribut- ribut di bawah gunung!"

"Hm...," Kim Cu Cinjin tanggap keadaan. "Ini adalah sumoiku Li Ceng, Bwee Hui, isteri Naga Gurun Gobi yang mencariku. Jelek-jelek ia bibimu juga, berilah hormat!"

Gadis itu terkejut. Nyonya muda di depannya ini paling lebih tua hanya tiga sampai empat tahun saja, dan Ia harus menyebutnya bibi. Dan ketika ia terkejut membelalakkan mata, Li Ceng juga terkejut bahwa suhengnya dipanggil ayah maka iapun bangkit dan bertanya,

"Suheng, siapa gadis ini. Kenapa memanggilmu ayah!"

"Duduklah, inilah hasil peristiwa masa mudaku dulu. Ia puteriku Bwee Hui dari kekasihku Bwee Ci, Sumoi. Dulu duapuluh lima tahun yang lalu sepak terjangku penuh penyelewengan. Inilah buah yang kutanam, pinto memetiknya sekarang."

Li Ceng tertegun. "Jadi suheng...!"

"Ya, ingatlah wejangen Bu-beng Sian-Su dulu. KEJUJURAN MENYAKITKAN memang tak dapat diterima, tapi mau apa lagi, pinto harus jantan menanggung akibat. Sudahlah jangan omongkan itu, dan ini tunangan Bwee Hui, Yu Kam."

Dua orang muda itu memberi hormat. Setelah Bwee Hui tahu duduk persoalannya maka tentu saja gadis ini terkejut juga. Tadinya ia menyangka inilah wanita ketiga dalam hidup ayahnya, ia pun mulai marah. Tapi begitu tahu bahwa ini adalah sumoi ayahnya, sekaligus isteri Naga Gurun Gobi Peng Houw maka ia pun menunduk dan menyebut "bibi", suaranya lirih, begitu pula Yu Kam. Dua muda-mudi ini canggung. Sang bibi masih begitu muda, sepantasnya sebagai enci!

"Hm... jangan panggil aku bibi. Usiamu dan usiaku tak berbeda jauh, Bwee Hui, hubunganku dengan ayahmu tak ada kaitannya dengan kalian. Panggil saja aku enci, aku tak ingin kikuk!" Li Ceng rikuh dan menangkap kecanggungan itu juga. Ia bicara blak-blakan dan Bwee Hui berseri, segera gadis itu menangkap sebuah keterbukaan. Dan karena sang ayah kedatangan sumoi sendiri akhirnya ia keluar memohon maaf.

"Baiklah, terima kasih atas kerendahan hati Ceng-cici. Aku hanya ingin menemui ayah ada apa gerangan. Sekarang maafkan kami dan biarlah kalian bercakap-cakap."

Dua orang itu meninggalkan guha. Kim Cu Cinjin lega dan Li Ceng pun tak merasa terganggu lagi. la duduk dan berhadapan dengan suhengnya. Dan ketika tiba-tiba ia teringat kedudukan Kim Cu Cinjin maka Li Ceng bertanya ini,

"Suheng, kudengar bahwa kau tak menduduki kursi ketua lagi. Ada apa gerangan, kenapa diam-diam dan tak memberi tahu aku!"

"Hm, sebabnya ya itu tadi, buntut dari peristiwa lama. Pinto tak mau mencoreng nama baik Kun-lun, sumoi, perbuatan pinto tak boleh merendahkan derajat partai. Pinto telah berdosa dengan mengganggu wanita semasa muda pinto."

“Jadi suheng meletakkan jabatan karena itu?"

"Ya, ini tidak berhenti di sini saja, Bwee Hui adalah orang kedua yang mencari dan meminta tanggung jawab pinto. Sebelumnya telah datang orang pertama ibu dan anak, dan untuk ini pinto sudah cukup malu. Padahal masih ada orang ketiga yang mungkin datang dan meminta tanggung jawab lagi. Karena itu daripada berturut-turut memalukan Kun-lun, pinto melepaskan kedudukan saja, Sumoi. Pinto sekarang menjadi orang biasa dan tak akan membawa-bawa partai!"

Kim Cu Cinjin lalu bercerita. Ia menerangkan sebab musababnya meningnggalkan kursi ketua, betapa Bwee Hui dan Leng Nio mencarinya menuntut tanggung jawab. Dan ketika Li Ceng mendengarkan itu dengan mata terbelalak maka seketika mukanya menjadi merah ketika dia ingat betapa dirinya disangka wanita ketiga kekasih suhengnya ini.

"Hm, para murid langsung menyerangku. Kiranya ini yang terjadi, suheng, kaupun rupanya mendapat persoalan berat. Dan aku mengganggumu. Ah, maafkan aku, suheng, aku tak tahu!"

"Sudahlah, aku laki-laki, tabah menerima persoalan. Dan ini salahku juga, sumoi. Kalau dulu tak bermain api tentu tak begini jadinya. Pinto menerima semua ini, pinto memang harus menanggung akibat."

Li Ceng kagum. la memandang. Suhengnya bersinar-sinar dan wajah lembut serta pandang mata bijak itu membuatnya terpukau. Sudah sedemikian tinggi gemblengan batin yang diterima suhengnya, ia terharu. Dan ketika ia mengangguk-angguk dan menarik napas dalam maka Kim Cu Cinjin tersenyum padanya.

"Sekarang persoalanmu. Cobaan yang kau terima tak kalah berat, sumoi, bahkan lebih berat. Kau seorang ibu yang kehilangan anak, tentu lebih pedih. Pinto akan menolongmu dan besok pinto berangkat."

Nyonya ini tersentak. "Suheng akan turun gunung?"

"Ya mencarinya. Pinto akan minta bantuan ketua-ketua partai untuk menemukan puteramu pula. Ada ketua Heng-san dan Hoa-san yang dapat pinto temui, kau tinggal di sini saja."

"Ah, aku ikut. Masa kau bekerja sendiri, suheng. Aku tak mau berpangku tangan!"

"Tidak, kau letih. Sekarang giliranku, sumoi, kau beristirahat saja di sini. Pinto tak lama. Kau tak boleh ikut karena harus mewakili pinto menjaga Kun-lun!"

Nyonya ini tertegun.

"Dan pinto akan membawa Bwee Hui dan Yu Kam, mereka dapat kujadikan teman di perjalanan."

Lalu ketika nyonya ini menunduk dan merasa ada benarnya maka Kim Cu Cin-jin berkata bahwa dia akan menemui sutenya dulu, memberi tahu bahwa besok meninggalkan guha, mulai bekerja.

"Hari ini kau tinggal saja di sini, jelek-jelek kau murid Kun-lun juga. Karena besok pinto berangkat bantulah kedua suhengmu menjaga partai, Sumoi. Sekarang tunggulah di sini, pinto akan menemui Bi wi sute dan Heng Bi sute sebentar!"

Li Ceng juga mengangguk. la membiarkan suhengnya berkelebat dan termenung di situ, untunglah tak lama kemudian datanglah dua muda-mudi itu, Bwee Hui dan Yu Kam. Dan ketika dua anak muda ini menemaninya dan bercakap-cakap, semakin terhiburlah Li Ceng maka Bwee Hui berkata bahwa ia telah mendengar perihal Boen Siong.

"Ayah telah memberi tahu kami, besok kami diajak. Ceng-cici tak usah khawatir dan kami akan membekuk penculik anakmu itu. Akan kuhajar dia, dan kubawa ke mari!"

"Benar, kami tak akan tinggal diam mendengar ini, cici. Percayalah kami akan berusaha sungguh-sungguh!" Yu Kam pemuda baju hitam itu juga bicara.

"Terima kasih", Li Ceng menjawab. "Pernyataan dan bantuan kalian membesarkan hatiku, Bwee Hui, syukur kalau segera berhasil. Tapi maafkan kalau aku merepotkan kalian."

"Ah, kehormatan besar bagi kami bisa membantu Naga Gurun Gobi suami isteri. Sudah lama kami mendengar tentang kalian, enci, dan heran bahwa ada orang begitu berani bermain-main kumis harimau. Bagaimana kalau suamimu membekuknya lebih dulu, tentu mampus dia!" Yu Kam kembali bicara.

"Apa yang dikatakan Kim-suheng tentang suamiku." Li Ceng agak tak enak.

"Ayah tak bicara apa-apa, kecuali bahwa kalian suami isteri saling berpisah untuk menemukan putera kalian itu."

"Hm, memang benar," nyonya ini lega. "Kami berpisah untuk mencari anak kami, Bwee Hui, dan mudah-mudahan kami menemukan secepatnya."

Selanjutnya mereka bicara lain lagi. Li Ceng lega bahwa suhengnya melindungi mukanya, artinya tak memberitahukan pertengkarannya dengan suaminya itu. Dan ketika mereka bicara ini-itu menghibur nyonya ini maka Li Ceng segera tahu bahwa Bwee Hui sesungguhnya gadis yang baik, berwatak gagah sementara pemuda tunangannya itu juga gagah dan ringan hati. 

Yu Kam menceritakan bahwa gurunya adalah seorang tokoh kurang terkenal bernama Peng Hoat Tojin, suka mengelana dan bepergian meninggalkan muridnya itu. Lalu ketika percakapan semakin dalam dan jauh kebelakang muncullah Kim Cu Cinjin memasuki guhanya, wajahnya berseri.

"Bi Wi sute den Heng Bi sute telah mendengar ceritaku. Untuk sementara ini kau berada di bawah perlindungannya, sumoi tolong wakili aku membantu mereka pula. Maaf pinto telah sedikit bercerita kepada anak-anak ini!"

"Tak apa," Li Ceng bangkit dan menyambut. "Justeru aku merepotkanmu, suheng, tak enak rasanya membawa-bawa orang lain pula. Ah, kalau saja penculik itu segera ketemu!"

"Sudahlah, pinto akan berusaha, anak-anak juga akan membantu. Hanya ada sedikit hal yang membuat pinto bingung."

"Apa itu?"

"Leng Nio dan Leng Houw...!"

"Siapa mereka ini?" Li Ceng mengerutkan kening, heran. "Mereka adalah yang kuceritakan itu, Sumoi ibu dan anak yang datang pertama kali. Pinto menunggu dan sebenarnya memberi batas waktu, aneh bahwa tak muncul juga."

"Biarkan saja!" Bwee Hui tiba-tiba tak senang dan marah. "Kalau mereka tak datang di saat kau pergi bukanlah salahmu, ayah. Lagi pula aku menyangsikan iktikad baik mereka. Kudengar bahwa si Pedang Merah itu bukan wanita baik-baik!"

Kim Cu Cinjin menghela napas. Li Ceng teringat dan memerah mukanya. Kiranya yang dimaksud adalah ibu dan anak itu, suhengnya telah bercerita. Maka ketika ia diam saja merasa bukan urusannya, Bwee Hui membuang muka maka Kim Cu berkata sebaiknya puterinya itu membawa Li Ceng ke belakang perumahan.

"la lelah, pinto telah meminta sebuah kamar tak jauh dari kamarmu. Bawa encimu beristirahat, Bwee Hui, pinto akan mengumpulkan tenaga. Bersiaplah besok."

Gadis itu mengangguk. Li Ceng telah cukup bicara dan Kim Cu Cinjin memberinya kesempatan. Dan ketika gadis itu berkelebat disusul tunangannya, Li Ceng mengangguk dan berterima kasih pada suhengnya maka hari itu nyonya ini berada di Kun-lun dan Bwee Hui memberikan seperangkat pakaian kepada wanita ini.

"Ceng-cici harap ganti pakaian, yang itu buang saja. Mandi dan bersihkan dirimu, Cici. Pakailah ini!"

Kembali sang nyonya terhibur. Ternyata puteri suhengnya ini memang gadis baik-baik, dapat mengerti perasaan oranh lain dan menyediakan yang diperlukan. Dan ketika mereka semakin akrab dan malam itu sang nyonya benar benar merasa tenang, maka keesokannya seperti yang telah direncanakan berangkatlah Kim Cu Cinjin bersama anak-anak muda itu. Kepergiannya hanya diketahui ketua dan Wakil ketua Kun-lun, juga Li Ceng.

"Kalian tak usah memberi tahu para murid bahwa pinto meninggalkan gunung. Biasa-biasa sajalah. Dan sekali lagi harap jiwi-sute (adik berdua) melindungi dan menjaga baik-baik sumoi kita ini. Pinto tak akan lama."

"Baiklah, pergilah. Kami akan menjaga semuanya di sini sebaik mungkin, Suheng. Dan masalah sumoi tanggung jawab kami berdua. Pergilah!"

Namun Kim Cu Cinjin tiba-tiba mendekat dan berbisik perlahan di telinga Bi Wi Cinjin. Apa yang dikatakan tak ada yang tahu namun ketua Kun-lun itu mengangguk-angguk. Lalu ketika tosu itu berkelebat pergi disusul sepasang anak muda itu maka di saat hari masih berkabut tiga orang ini meninggalkan gunung.

"Suheng, hati-hati..." Li Ceng berseru lirih.

Kim Cu Cinjin mengangguk dan melambaikan tangannya. Lalu ketika berkelebat dan menghilang di tikungan maka Bwee Hui dan Yu Kam juga lenyap mengejar kakek gagah itu.

* * * * * * * *

Sebulan sudah Kim Cu Cinjin meninggalkan gunung. Li Ceng yang sendirian di situ merasa kesepian, juga gelisah. Sang suheng berkata bahwa perjalanan paling lambat dua tiga minggu saja, selebihnya akan pulang dan melapor.

Tapi ketika sebulan tak ada tanda- tanda kembali sementara kehidupan hanya itu-itu saja, para murid berkebun dan bercocok tanam maka wanita ini mulai tak betah dan ingin meninggalkan gunung.

"Aku mulai tak kerasan," katanya kepada Bi Wi Cinjin, ketua Kun-lun. "Berapa lama lagi harus menunggu di sini, suheng. Mana mungkin aku berpeluk tangan saja. Kim Cu suheng tak pulang-pulang!"

"Siancai, bersabarlah. Pinto tak dapat membantu apa-apa, tapi cobalah seminggu dua minggu lagi. Tentu ada yang penting kalau suheng belum juga pulang!"

"Tapi aku gelisah, khawatir. Jangan- jangan...."

"Apa yang kau pikirkan?"

"Jahanam Chi Koan bertemu dengannya di tengah jalan!"

Alis putih itu terangkat. Bi Wi Cinjin adalah seorang tosu yang sabar dan kesabarannya hampir menyamai suhengnya Kim Cu Cinjin. Batinnyapun juga kuat. Tapi mendengar kata-kata itu mendadak mukanya berobah dan sedetik warna pucat merona disitu. Akan tetapi dia mengetukkan tongkat, berdehem.

"Mati hidup di tengan yang Maha Kuasa. Kalau itu yang terjadi maka ini adalah nasib, sumoi, siapapun tak dapat mencegah. Tapi mudah-mudahan tidak. Pinto berharap lain."

"Lalu berapa lama lagi aku menunggu?"

"Mana kutahu sumoi? Pinto juga di sini tak tahu apa yang terjadi. Cobalah bersabar seminggu dua minggu lagi." "Kalau belum juga datang?"

"Hm..." kakek ini tertegun, "terserah dirimu sumoi, Kim Cu suheng tak menepati janjinya!"

"Aku akan pergi, aku tak mau menunggu lebih lama lagi!"

"Baiklah kalau begitu, pinto hanya dapat mengucapkan prihatin."

Lalu ketika Li Ceng hendak memutar tubuhnya mendadak berkelebat bayangan Heng Bi Cin-jin, gemetar dan mandi keringat. Dan ketika langsung saja tosu ini mendekati dan berbisik-bisik di telinga ketuanya tiba-tiba wajah Bi Wi Cinjin berubah.

"Sumoi, kita ke belakang!" serunya sambil menarik tangan Li Ceng.

Wanita itu terkejut tapi Heng Bi Cinjin mengangguk, berkelebat dan lari ke guhu Kim Cu Cinjin. Dan ketika Bi Wi Cinjin tergesa dan gugup membawa Li Ceng maka wanita ini bertanya apa yang terjadi.

"Pinto tak dapat memberi tahu sekarang, nanti saja di dalam guha. Mari kesana dan kerahkan ilmu lari cepatmu!"

"Tunggu, ada apa ini. Kenapa kalian tampak pucat, jiwi-suheng, kenapa seperti orang ketakutan. Ada apa dan jawab dulu pertanyaanku!"

"Tidak, nanti saja. Sekarang kau harus turut kepada kami, Sumoi, karena ada sesuatu yang harus kami kerjakan. Ingat Pesan Kim Cu suheng bahwa kau harus meringankan pekerjaan kami!"

Terpaksa nyonya ini mandah ditarik. la sudah di puncak gunung dan turun dibalik bukit untuk menuju guha Kim Cu Cinjin. Tepat di atas ia mendengar ribut-ribut dan menengok ke bawah. Tapi ketika Bi Wi Cinjin mengetuk pundaknya dan menyeretnya lari lagi maka Li Ceng berubah dan pucat. Ada apa-apa yang dirasanya tidak beres.

"Suheng, aku tak mau dipaksa-paksa begini. Katakan dulu dan apa ribut-ribut di bawah itu!"

"Nanti di guha saja. Pinto terburu-buru, sumoi, jangan menyulitkan pinto dan mari cepat!"

Li Ceng ditarik dan tak diberi kesempatan lagi. Kalau saja dua kakek ini tak dipercaya sebagai orang baik-baik tentu nyonya itu akan berontak dan marah melepaskan diri. Bi Wi Cinjin bersikap setengah kasar, menyeret dan menariknya dengan cengkeraman kuat. Dan ketika mereka tiba di dalam guha dan langsung menuju belakang tiba-tiba saja ketua Kun-lun itu menotok tengkuk si nyonya dan melempar wanita ini ke dinding. Heng Bi memencet sesuatu dan tampaklah sebuah ruangan rahasia.

"Sumoi, maafkan pinto berdua. Musuh datang, Chi Koan mencari-cari dirimu!"

Kagetlah wanita ini. Totokan Bi Wi Cinjin membuatnya terkejut dan marah sekali, perbuatan itu sungguh tak disangka. Tapi ketika ia mendengar keta-kata itu dan dua suhengnya menutup pintu kamar, jeruji besi menghalangi dirinya maka ketua dan wakil ketua Kun-lun itu berkelebat pergi, buru-buru dan amat tergesa.

"Suheng...!" hanya keluhan yang keluar dari mulut wanita itu. Selanjutnya Li Ceng bagai dicekik karena urat gagunyapun dihentikan. la dibuat tak bersuara.

Dan ketika dua orang itu meninggalkan guha sementara pintu ruangan merapat kembali, menutup bagai semula maka Li Ceng terguling di sudut guha tak mampu berbuat apa-apa. Ia benar-benar telah dilumpuhkan dua suhengnya sendiri. Bi Wi Cinjin dan Heng Bi Cinjin berkelebat dan turun gunung. Tadi wakil pimpinan itu berkata bahwa seorang pemuda buta mendaki gunung, dituntun atau disertai seorang bocah lelaki dan seorang wanita cantik berambut riap-riapan.

Murid di bawah gunung yang bertemu mereka ini dikibas dan dibanting roboh. Dan karena Kim Cu sudah memberi tahu mereka lolosnya Chi Koan, betapa si buta keluar dan mengganggu keluarga Gurun Gobi maka belum tewasnya Kwi-bo juga diceritakan Kim Cu Cinjin kepada sutenya.

"Sumoi datang membawa berita, kita harus berhati-hati. Kalau ada seorang pemuda buta datang bersama seorang anak laki-laki maka kita semua harus waspada, sute, karena itulah Chi Koan yang lolos dari ruang hukuman. Pinto terpaksa pergi, jaga dan lindungi Sumoi baik-baik dan masukkan ia ke kamar rahasia bila bahaya mengancam."

Dan pagi itu Heng Bi Cinjin menerima laporan. Seorang murid bergegas memberi tahu datangnya tiga orang mendaki gunung, satu di antaranya buta dan yang lain seorang anak laki-laki dan wanita cantik. Semua ini merupakan ciri-ciri Chi Koan. Maka ketika Heng Bi Cinjin berkelebat ke bawah dan melihat itu maka segera ia membuktikan bahwa si buta itu memang Chi Koan adanya.

Cepat ia ke atas dan diberitahunyalah sang ketua, kebetulan Li Ceng ada di situ. Dan ketika ia berbisik dan tak boleh didengar sang nyonya, bergeraklah Bi Wi Cinjin maka ketua Kun-lun yang tahu betapa lihainya musuh buru-buru menyimpan dan menyembunyikan sumoinya itu. Peringatan Kim Cu Cinjin telah datang.

Tak perlu lama tosu ini turun gunung, para murid berlarian ke atas. Mereka ketakutan dan berteriak-teriak dan langsung berlutut bertemu dua pimpinan ini. Bagai burung cecowetan mereka melapor. Dan ketika Bi Wi Cinjin tertegun dan berhenti, yang masih di bawah menyusul dengan tubuh gemetaran maka terdengar tawa bergelak yang menggetarkan isi hutan. Permukaan gunung bagai dipukul genta dahsyat, bergetar-getar.

"Ha-ha, mana Kim Cu Cinjin. Suruh ia keluar, tikus-tikus busuk. Temukan aku dengannya atau kalian mampus!"

Terdengar jerit dan pekik kematian. Lima tubuh besar, para murid yang tertangkap tahu-tahu meluncur dan menghantam Bi Wi dan Heng Bi Cinjin. Lontaran itu begitu kuat hingga ketua dan wakil ketua ini mengelak. Lima tubuh itu menghantam dinding. Dan ketika mereka berdebuk dengan kepala pecah, gegerlah tempat itu maka seorang wanita cantik berkelebat dan tahu-tahu sudah berdiri di depan Bi Wi Cinjin dan sutenya.

"Hi-hik, ada ini tosu-tosu berharga. Eh, mana Kim Cu Cinjin ketua Kun-lunpai keledai gundul. Siapa kalian dan kenapa ia tak mau keluar. Heh, kami tak butuh kalian dan suruh Kim Cu Cinjin menyambut!"

Kwi Bo wanita itu menyerang Heng Bi Cinjin. Siapapun tak tahu bahwa ketua Kun-lun sudah berganti. Hal ini disengaja Kim Cu Cinjin agar skandalnya tak diketahui umum. Ia tak mau Kun-lun harus menderita malu oleh perbuatannya di masa silam. Maka ketika Heng Bi diserang dan Kwi-bo melancarkan tamparan maut, kelima jarinya mengancam dan menampar kepala.

Maka wakil Kun-lun yang lihai ini tak mengelak. Heng Bi mendengus dan justeru menangkis, menggerakkan lengan bajunya menghantam telapak wanita itu. Dan ketika Kwi-bo menjerit dan terpental, berjungkir balik maka kagetlah wanita ini karena ia tak mengenal lawan.

"Plak!" Wanita itu memaki-maki meluncur turun. la terbelalak dan berubah namun saat itu sesosok bayangan mencelat lurus. Dari bawah melesatlah bayangan tinggi panjang, turun dan tahu-tahu berhadapan dengan tosu-tosu Ku-lun ini. Dan ketika tawa seorang bocah mengguncangkan tempat itu, ia memanggul seorang buta yang membuat mereka tampak tinggi dan panjang maka Chi Koan, Si buta ini tertawa bergelak. Tongkat panjang di tangannya itu bergetar-getar.

"Kwi-bo, kau bertemu lawan kuat.Mundurlah, dia bukan lawanmu!"

Semua ngeri. Si buta ini yang mencelat dari bawah menuju tempat itu tak kurang harus melampaui dua tebing setinggi pohon kelapa, padahal di sampingnya terdapat jurang yang sekali meleset tentu membawa kehancuran. Dan ketika Kwi-bo terkekeh penasaran namun membentak berani, berkelebat dan mendahului si buta maka wanita ini berseru mencabut senjatanya, tongkat berkepala tengkorak.

"Aku tak mau kalah. Coba kulihat sekali lagi dan apakah benar ia benar-benar kuat!"

Heng Bi tergetar. la kagum dan kaget oleh cara si buta naik ke atas. Hanya dengan menjejakkan kakinya begitu saja mencelatlah Si buta ini ke atas tebing. Sang murid memanggul di kedua pundak. Tapi ketika Kwi-bo menyerangnya lagi dan tongkat berkepala tengkorak itu menyambar dahsyat, mengaung dan mengeluarkan bau busuk maka tosu ini mengelak dan kali ini sambil menggeser kakinya ia menampar dari samping.

"Plak!"

Tongkat tergetar dan melenceng. Kwi-bo terpekik tapi menyerang lagi, tubuhnya berkelebat dan rambut di atas kepala menyabet pula. Namun karena Heng Bi Cinjin adalah tokoh kawakan dan sin-kangnya juga tinggi maka menggerakkan kedua lengannya menangkis dan menghantam rambut itu Kwi-bo terbanting dan bergulingan.

"Des-prat!"

Wanita itu berteriak marah. Ia hendak maju lagi akan tetapi Chi Koan menggerakkan tubuh muridnya. Tanpa dapat ditahan lagi Siauw Lam meluncur ke depan, menabrak dan menjerit mencengkeram wanita ini. Lalu ketika suhunya memalangkan tongkat menahan wanita ini, Kwi-bo terhuyung bangun maka tawa si buta itu menggetarkan dada.

"Cukup, kau bukan lawannya. Siapa tosu ini dan serahkan padaku!" kemudian menghadapi Heng Bi Cinjin dan miringkan kepala, menghitung jumlah musuh maka Chi Koan bertanya, mulutnya tersenyum mengejek. "Kepandaianmu tidak jelek, tentu kau sute Kim Cu Cinjin. Hm siapa kau, tosu bau. Mana Kim Cu Cinjin kenapa ia tak keluar menyambut."

"Pinto adalah Heng Bi Cinjin, wakil Kun- lun-pai. Kalau kau mencari Kim Cu suheng maka ia tak ada di sini, Chi Koan, dan suheng sudah tidak menjabat ketua lagi. Apa perlumu datang ke sini!"

"Heh-heh, aku mendengar Kun-lun menyembunyikan seorang wanita, dan mencari ini. Kalau Kim Cu tak menjabat ketua lagi sekarang siapa yang memimpin. Katakan dan suruh ia ke mari."

"Pinto adalah pimpinan Kun-lun, Bi Wi Cinjin. Kalau kau mencari seseorang siapa yang kau maksud, Chi Koan. Pinto tak tahu-menahu dan seharusnya kau tak mengganggu Kun-lun."

"Bi Wi Cinjin? Heh-heh, aku ingat kau, tosu bau. Kau adalah kakek gemuk sute Kim Cu Cinjin. Bagus, kau kiranya!" lalu menepuk pundak muridnya bertanya apakah jawabannya betul Siauw Lam pun mengangguk.

"Benar, gemuk pendek, suhu, seperti kodok. heh-heh!"

Wajah para murid memerah. Kata-kata anak itu membuat mereka melotot namun Siauw Lam terkekeh-kekeh. Bi Wi Cinjin sebenarnya tidaklah seperti kodok dan kata- kata itu tentu saja semacam ejekan saja. Akan tetapi karena yang diejek adalah ketua Kun-lun maka para murid tentu saja marah dan melotot, terutama Ceng Tek. Namun Bi Wi Cinjin tersenyum sabar, menahan semua murid agar tidak bergerak.

"Pinto benar adalah sute Kim Cu suheng, agaknya kau masih ingat. Bagus, Chi Koan, di sini tak ada wanita yang kau maksud kecuali temanmu ini. Heran bahwa Kwi-bo masih hidup!"

"Heh, jangan mendoakan supaya cepat mati. Kau sendiri kalau macam-macam umurmu bisa habis, Bi Wi Cinjin. Memangnya kenapa kalau aku masih hidup!" Kwi-bo melengking.

"Siancai, pinto mendengar peristiwa di Hek See-hwa (Bunga Pasir Hitam). Kalau kau masih hidup adalah rahmat bagimu. Hm. pinto juga tak merasa ada urusan denganmu, Kwi-bo. Kun-lun tak bermusuhan dengan siapapun kecuali kalau diganggu!"

"Sombong, kami datang memang untuk mengganggu. Chi Koan bertanya tentang Li Ceng, Bi Wi Cinjin. Kau menyembunyikannya di sini. Hayo serahkan wanita itu atau kau hendak menggaulinya sendiri!"

"Tutup mulutmu!" Heng Bi Cinjin membentak. "Orang yang kau katakan tak ada di sini, Kwi-bo. Kalau kau bermulut kotor kubunuh nanti."

"Heh-heh, aku sudah menyelidiki, tak mungkin keliru. Isteri Gurun Gobi itu ada di Sini atau kau sembunyikan. Hm, yang berkepentingan adalah Chi Koan, kalau kau berdusta hadapilah Chi Koan!"

Kwi-bo memang cerdik. Setelah tahu kelihaian tosu ini tentu saja ia tak berani gegabah lagi. Hanya karena ada Chi Koan di situ ia besar hati, sombong. Maka ketika tosu itu membentaknya dan Siap menyerang, kata- katanya tadi sungguh menghina Bi Wi Cinjin maka cepat disodorkannye Chi Koan kalau tosu ini mengamuk. Chi Koan tertawa.

"Benar, aku mencari Li Ceng. Nah, serahkan wanita itu kalau Kun-lun tak ingin kuobrak-abrik!"

"Tak ada wanita itu di sini!" Heng Bi berseru. "Kalau kau tidak percaya terserah dirimu, tapi kami tentu tak mau tinggal diam!"

"Bagus," Chi Koan lenyap senyumnya. "Kalau begitu aku naik ke atas, tosu bau, minggirlah atau kau boleh terima pukulanku!"

Berbareng dengan ini Chi Koan menggerakkan kaki muridnya maju ke depan. Siauw Lam meloncat dan menerjang tosu ini, Heng Bi membentak dan menghantam si buta itu. Tapi ketika Chi Koan menggerakkan lengan kirinya mengibas ke depan maka tosu itu terbanting bergulingan berteriak kaget.

"Desss!"

Inilah Hok-te Sin-kang yang dilancarkan si buta. Bi Wi Cinjin sendiri yang berada di dekat sutenya terhuyung mundur oleh kibasán itu, padahal Chi Koan menyerang adik seperguruannya. Dan ketika si buta terbang dan membawa muridnya ke atas, Siauw Lam terkekeh-kekeh maka Kwi-bo berkelebat dan mengkuti temannya ini, bergerak di belakang setelah Chi Koan mendorong mundur para tosu itu.

"Hi-hik, jangan sendiri. Kubantu kau mencari wanita itu, Chi Koan. Ayo kita naik dan obrak-abrik perkumpulan tosu-tosu bau ini!"

Marahlah Heng Bi Cinjin dan suhengnya. Meskipun mereka tahu kelihaian si buta itu namun Kun-lun bukan partai persilatan yang boleh diinjak-injak. Chi Koan telah membawa muridnya keatas, disusui kwi-bo yang berlari di belakang pemuda ini. Lalu ketika dua pimpinan itu membentak dan mengejar lawan, dikuti murid-murid yang lain maka gegerlah partai persiatan itu oleh sepak terjang si buta.

"Chi Koan, berhenti. Pinto tak memperkenankan kau naik ke atas!"

"Ha-ha, kejarlah. Muridku dan Kwi-bo akan mencari wanita itu sampai dapat, Bi Wi Cinjin, kau tosu bau penipu. Tempat ini akan kuobrak-abrik, Kun-lun akan kuhancurkan!"

Bi Wi Cinjin marah sekali. Tosu yang biasanya sabar dan lembut hati ini tiba-tiba membentak gusar berkelebat ke atas. Ia mendahului para murid dan sutenya Heng Bi Cinjin, langsung menghantam Kwi-bo di belakang si buta, karena wanita itulah yang paling dekat. Tapi ketika Kwi-bo menjerit berjungkir balik, pukulan menyambar Chi Koan maka si buta menggerakkan tongkat ke belakang dan terpentalah tosu itu bertemu tongkat sakti di tangan si buta.

"Plak!" Bi Wi Cinjin terpelanting meloncat bangun. Chi Koan memang hebat namun ia penasaran. Kun-lun tak boleh dihina orang lain. Maka membentak dan berseru keras ia menyerang lagi, kali ini sepasang kaki anak kecil itu hingga Siauw Lam berteriak. Dari belakang deru pukulan itu menghantam, hampir saja Siauw Lam roboh. Tapi ketika Chi Koan membalik dan lagi-lagi menggerakkan tongkat maka ketua kun-lun itu terbanting dan Chi Koan menyuruh muridnya berlari lagi.

"Ha-ha, bukan lawanku. Terus naik keatas, Siauw Lam, cari dan temukan wanita itu. Tosu-tosu ini bagianku!"

Sang bocah meloncat dan lari lagi. Ia agak terhuyung tapi bantuan gurunya membuat ia senang, ketua Kun-lun itu malah terbanting. Akan tetapi ketika dari mana-mana muncul bayangan-bayangan lain, murid dan tosu-tosu senior maka kwi-bo diminta untuk menghadapi mereka itu.

"Yang cecunguk ini bagianmu, para tokohnya untukku. Hayo sikat mereka, Kwi-bo. Habisi!" kwi-bo terkekeh. Pada dasarnya wanita ini adalah seorang kejam yang paling senang membunuh-bunuhi orang. Di dekat Chi Koan ia menjadi lebih ganas lagi. Maka ketika para tosu itu bermunculan dan tongkat tengkoraknya itu menyambar maka terdengarlah teriakan dan jerit kaget di antara para tosu ini.

Tiga diantaranya terjengkang dengan pundak remuk, yang lain terhuyung oleh angin sambarannya. Dan ketika otomatis mereka mundur dan Kwi-bo naik keatas lagi, terkekeh-kekeh maka Chi Koan sudah di puncak mengandalkan muridnya ini, masih di atas pundak.

"Masuk dan cari sekeliling penjuru, aku menjagamu!"

Siauw Lam tertawa-tawa. Kakinya sudah terlatih menahan beban, berminggu-minggu ini gurunya tak pernah turun. Maka ketika ia melompat dan berlarian memasuki pendopo depan, masuk dan berlari-lari di sepanjang lorong-lorong bilik maka di sini Chi Koan menggerakkan tongkat panjangnya merusak meja kursi.

"Ha-ha, senang sekali, Tempat ini luas dan segar, suhu. Tosu-tosu bau itu pandai memilih tempat!"

"Hm, Kun-lun memang pegunungan sejuk. Cari ruang utama dan kamar pimpinan, Siauw Lam. Seingatku di sebelah kiri ada bangunan merah!"

"Betul, itu yang kau maksud. Tapi... hei...!"

Bi Wi Cinjin ada di situ. Ternyata ketua Kun-lun ini memotong jalan. Setelah ia terbanting oleh tongkat Si buta maka kakek ini mencabut pedang. Perlu diketahui bahwa pimpinan atau tokoh-tokoh Kun-lun jarang mempergunakan senjata, kalau mereka sekarang mencabut pedang dapatlah diketahui betapa hebatnya musuh yang datang.

Bi Wi dan Heng Bi Cinjin meluncur dari bangunan merah, itulah tempat tinggal mereka sebagai ketua dan wakil ketua Kun-lun. Maka ketika Siauw Lam melihat mereka sementara teriakan atau bentakan para murid ramai di situ, Kwi-bo menjeletarkan rambutnya bertubi-tubi maka tiga orang ini sudah dikepung dan Heng Bi berseru pada ketuanya itu.

"Suheng, lumpuhkan dulu anak laki-laki itu, baru gurunya!"

Bi wi injin mengangguk. Ceng Tek muridnya disuruh menghadapi Kwi-bo, menyerang bersama murid-murid lain. Dan karena Kwi-bo di belakang Chi Koan, tak mungkin menempel terus maka jadilah wanita itu terpisah dan kini mengamuk bersama tongkat tengkoraknya, wanita itu menghadapi sekian bayak murid Kun-lun.

"Chi Koan, bantu aku. Mereka ini tosu-tosu keparat yang tak malu mengeroyok wanita!"

"Hm, tenang sajalah," si buta miringkan kepala. "Musuhmu tak lebih dari lima puluh orang, Kwi-bo, bermain-main sajalah dulu. Aku hendak menghadapi pimpinannya dan kupaksa mereka mengaku!"

Bi Wi dan Heng Bi Cinjin sudah bergerak. Dengan pedang di tangan mereka membabat kaki Siauw Lam, si bocah terkejut dan berteriak ngeri. Tapi ketika Chi Koan memukulkan tongkatnya ke bawah dan pedang terpental bertemu senjatanya maka anak itu tertawa girang berbesar hati.

"Ha-ha, bagus. Tapi ketok kepala mereka suhu, jangan biarkan menyerang aku. Wah, berabe nanti, kakiku bisa putus!"

"Jangan khawatir," sang guru berkata. "Sebelum mereka membabat kakimu mereka akan roboh, Siauw Lam. Turuti perintahku dan meloncatlah!"

Siauw Lam meloncat, persis ketika babatan pedang menyambar lagi. Lalu ketika ia turun dan gurunya menggerakkan tongkat maka Bi Wi dan sutenya terdorong lagi, mundur. Namun dua pimpinan Kun-lun ini bukanlah orang-orang biasa. Heng Bi Cinjin terutama Bi Wi memiliki Sin-ma-kang seperti suhengnya Kim Cu Cinjin.

Tenaga Kuda Sakti itu merupakan latihan sinkang memindah tenaga, dapat diatur semaunya dari kiri ke kanan, juga atas ke bawah. Dan ketika pedang terpental namun tangan kiri mereka bergerak, melepas pukulan itu maka Siauw Lam sesak napasnya dihantam angin pukulan kuat ini.

"Ugh! si anak terbatuk. "Sesak napasku, suhu. Pukulan mereka kuat!"

"Hm," Chi Koan repot juga. "Kalau begitu bantulah Kwi-bo di sana Siauw Lam, hajar tosu- tosu tengik itu. Rampas pedang mereka dan pergunakan sebagai senjata!"

Anak ini adalah murid Chi Koan yang lihai. Meskipun ia baru belasan tahun akan tetapi gemblengan suhunya sejak di Go-bi membuat Siauw Lam berfisik kuat. Bukti bahwa ia mampu memanggul suhunya berminggu- minggu sudah menyatakan itu. Di sepanjang jalan latihan silat tak pernah pula dilalaikan.

Maka ketika tiba-tiba gurunya melepaskan diri dan meloncat meninggalkan pundaknya, melempar ia ke arah Kwi-bo maka Siauw Lam ber-jungkir balik menendang seorang tosu yang kebetulan jatuh terguling-guling.

"Kesinikan pedangmu!"

Sang tosu terkejut. Ia terlempar oleh tendangan Kwi-bo dan kesakitan merasa pahanya remuk, kini anak laki-laki itu menyambarnya bagai seekor elang kecil, meluncur dan merampas pedangnya dengan cepat sekali. Dan ketika ia tak mampu mempertahankan pedangnya dirampas si bocah, Siauw Lam sudah menginjak lantai maka langsung saja anak itu membabat lawannya.

"Hi-hi, sekarang kau mampus!"

Murid ini tak mampu mengelak lagi. la terbabat perutnya dan roboh lagi, darah memuncrat mengejutkan tosu-tosu yang lain. Dan ketika selanjutnya anak itu membantu Kwi-bo, menyerang dan tertawa-tawa maka Ceng Tek yang marah mengeroyok Kwi-bo berseru agar para sutenya berhati-hati.

"Jangan sembrono menghadapi anak setan itu. Awas..!"

Kwi-bo tertawa panjang. la meledakkan rambutnya ketika menangkis dan membalas serangan lawan. Lalu ketika ia berkelebatan dibantu Siauw Lam, betapapun anak itu cukup berbahaya maka di pihak lain, di tempat Bi Wi Cinjin terjadi pertandingan seru yang menegangkan. Chi Koan setelah melepaskan muridnya bahkan menjadi berbahaya.

Si buta itu bertelinga tajam hingge tahu serangan- serangan pedang, juga pukulan Bi Wi Cinjin yang mempergunakan Sin-ma-kengnya. Tapi ketika Hok-te Sin-kang menangkis dan kakek itu terpental, Hok-te Sin-kang masih jauh di atas Sin-ma-kang maka tosu ini terdesak dan terhuyung-huyung, maju dan menyerang lagi, namun si buta bukanlah lawannya.

Dan ketika tóngkat panjang menggebuk pundaknya, tosu ini menggeliat maka Heng Bi Cinjin terpelanting dan bahkan dua kali disambar tongkat itu. Akan tetapi tokoh-tokoh Kun-lun adalah orang-orang gagah. Chi Koan tahu betapa lawan tak akan menyerah. Maka ketika ia berseru menangkis lagi, tongkat menderu berat tiba-tiba pedang di tangan Heng Bi Cinjin patah.

"Krakk!" Tosu itu terpelanting. Chi Koan mengejarnya namun Bi Wi Cinjin membentak, sang sute masih bergulingan. Dan ketika si buta itu membalik dan menangkis kakek ni maka pedang di tangan Bi Wi juga patah namun sisanya masih dicekal erat, meskipun telapaknya pecah berdarah.

"Hmn, kalian orang-orang nekat. Kalau aku tak menaruh belas kasihan jangan harap kalian hidup, Bi Wi Cinjin. Yang aku perlukan adalah wanita itu,bukan kakek-kakek seperti kalian. Pergilah!"

Tangan Chi Koan mendorong dan menyambarlah Hok-te Sin-kang ke tubuh kakek itu. Ketua Kun-lun ini pucat namun ia menangkis. Dan ketika ia mengeluh tangannya patah, terbanting dan bergulingan maka sutenya Heng Bi Cinjin sudah meloncat bangun.

"Chi Koan, mati hidup di tangan Yang Maha Kuasa. Kalau kami mati kami puas karena membela kebenaran!"

"Hm, kau tosu busuk yang sama-sama tak tahu diri. Pedangmu sudah patah, Heng Bi Cinjin, tapi mulutmu masih bercuap-cuap sombong. Terimalah, kaupun akan roboh!"

Tosu ini mengelak. la kehilangan pedang tapi tak kehilangan keberanian. Meskipun dirinya kalah lihai namun pantang baginya menyerah, inilah kegagahan tosu Kun-lun yang rata-rata dimiliki pimpinannya. Maka ketika ia dikejar dan Hok-te Sin-kang menghimpit dari delapan penjuru, tosu ini sesak maka apa boleh buat ia mengangkat kedua tangannya menerima pukulan itu.

"Dess-krakk!"

Heng Bi Cinjin terbanting dan berteriak. Lebih hebat dari suhengnya yang hanya menderita sebelah tangan adalah tosu ini patah kedua-duanya. la tak kuat menerima Hok-te Sin-kang itu. Dan ketika ia terbanting dan roboh, pingsan maka Bi Wi Cinjin terbelalak meloncat bangun, terhuyung.

"Chi Koan, kau pemuda keji!"

"Ha-ha, majulah. Sekalian kau kubereskan, Bi Wi Cinjin. Majulah dan rasakan kelihaianku!"

Sang kakek membentak dan berseru marah. Meskipun sebelah tangannya patah dihajar musuh akan tetapi ketua Kun lun ini benar-benar gagah berani. Ia menyambar pedang lain menusuk si buta itu. Tapi ketika Chi Koan menangkapnya dan membetot pedang itu, menarik maka Bi Wi Cinjin berseru pucat terbawa ke depan.

"Desss!"

Lambungnya terkena tendangan lutut. Chi Koan mengangkat sebelah kakinya menghantam perut kakek itu, Bi Wi Cin-jin serasa pecah dan hancur ususnya. Dan ketika kakek itu mengeluh dan terbanting roboh pula, muntah darah maka tosu ini pingsan menyusul sutenya.

Ributlah anak murid yang melihat itu. Ceng Tek, yang belum dapat merobohkan Kwi-bo yang berkelebatan memainkan rambutnya menjadi mata gelap. Tosu ini membentak dan tiba-tiba melontarkan pedangnya ke dada Kwi-bo, yang saat itu dihujani senjata dan sibuk menangkis serta membalas. Dan ketika desing pedang tos ini menyambar cepat, Kwi-bo terkejut maka wanita itu menjerit memanggil Chi Koan.

"Tranggg!"

Chi Koan bergerak cepat di saat yang tepat pula. Potongan pedang Bi Wi Cinjin ditendangnya menghantam pedang itu, tepat mengenai tengahnya hingga kedua pedang runtuh. Pedang milik Ceng Tek patah. Dan ketika tosu itu terbelalak sementara kwi-bo melotot marah, hampir saja ia roboh maka menyambarlah jarum-jarum halus ke tubuh tosu itu.

"Cep-cep!"

Ceng Tek mengeluh dan roboh. la masih bengong oleh timpukan si buta, begitu tepat dan cepatnya si buta menghantam. Tentu pendengaran yang luar biasa tajam itulah yang menuntun si buta. Dan ketika ia terguling sementara para murid cerai-berai, robohnya pimpinan dan murid tertua meruntuhkan keberanian mereka maka tosu-tosu itu berlarian dan menghambur keluar.

Kwi-bo berjungkir balik melayang turun. Ia telah menghajar tosu itu dan puas berseri- seri, Siauw Lam bersimbah darah pedangnya.pula. Lalu ketika wanita itu meloncat dan mencium Chi Koan, terkekeh maka wanita itu berseru agar Bi Wi Cinjin dan sutenya dibunuh.

"Mereka orang-orang jahat, untuk apa dibiarkan hidup. Biar mereka kubunuh, Chi Koan, kemarikan pedangmu!"

Yang terakhir ini ditujukan Siauw Lam dan Kwi-bo sudah merampas pedang itu pula. Namun ketika ia berkelebat dan hendak menetak si tosu maka Chi Koan menangkapnya dan berkata,

"Tidak usah, biarkan saja. Tujuan kita mencari Li Ceng, bukan tua bangka-tua bangka itu. Mari ke dalam dan kita lanjutkan pencarian ini!"

Kwi-bo tertawa. Ia melempar pedang itu dan Siauw Lam disambar gurunya, Si buta sudah mulai masuk ke dalam. Dan ketika mereka memeriksa tempat itu dan seluruh ruangan ditendang pintunya, Li Ceng tak ada maka Chi Koan mengerutkan alisnya marah.

"Kau atau tosu-tosu itu yang bohong. Ia tak ada di sini, Kwi-bo, mana buktinya!"

"Nanti dulu, kita tangkap seorang murid untuk dikompres. Tak mungkin aku bohong, Chi Koan, untuk apa dan buat apa main-main denganmu. Tua bangka itulah yang bohong!"

"Baik, kalau begitu tangkap mereka dan bawa ke sini!"

Kwi-bo berkelebat dan masuk lagi. Tak sukar baginya menangkap seorang murid yang sedang terluka, yang merintih dan hendak melarikan diri ketika ia terlihat. Dan ketika tosu itu dibanting dan pucat berhadapan dengan si buta, yang tersenyum tapi jelas membayangkan kekejaman maka ia menggigil meminta ampun.

"Kau akan diampuni kalau membantu kami. Nah, katakan di mana wanita itu dan bicaralah atau telingamu kutusuk!"

"Ampun,.. aku tak tahu, Kwi-bo. Tapi supek membawanya di balik pinggang gunung. Li Ceng-sukouw berada di belakang..."

"Hm, sebelah mana!"

"Di sana!"

"Baik, kau antarkan kami dan kuampuni nyawamu!" Kwi-bo berseri, memandang Chi Koan dan si buta berkejap-kejap. Itulah tanda bahwa si buta merasa gembira. Lalu ketika tosu ini dibangunkan dan disuruh berangkat maka dengan tertatih namun takut-takut murid itu menuju belakang gunung. letaknya tersembunyi.

"Aku... aku tak tahu persis. Tapi jiwi dapat mencari di situ, ada sebuah guha..."

"Antarkan kami dan tunjukkan sampai dapat, atau kepalamu kupancung!" Kwi-bo menggertak.

Terpaksa tosu ini beringsut lagi dan Siauw Lam tertawa. Anak ini geli melihat si tosu terpincang-pincang, kakinya luka. Lalu ketika anak itu menendang dan menyuruhnya cepat maka Chi Koan berseri mencium bau wanita.

"Benar, tosu ini rupanya tak bohong. Ada kucium bau harum seorang wanita, Kwi-bo, mudah-mudahan Li Ceng."

"Hm, kau!" Kwi-bo terkekeh gemas. "Cintamu kepada wanita itu tak kunjung padam, Chi Koan, iri aku. Ah, kalau saja aku si betina itu!"

"Heh-heh, Nikmat bagiku kalau dapat bermain cinta dengan isteri Peng Houw. Aku dapat membalas sakit hatiku, Kwi bo, juga hatimu. Kau tak perlu cemburu kalau ia tertangkap!"

"Dan aku akan menonton. Kau harus menepati janjimu untuk mempermainkan wanita itu di depan mataku!"

"Ya, jangan khawatir. Kau boleh menontonnya dan ikut bersama pula kalau suka!"

Kwi bo terkekeh cabul. Sang tosu yang mendengar ini meremang tengkuknya dan ia merasa ngeri. Keji benar orang-orang di depannya ini.. Dan ketika ia disuruh jalan lagi dan mulai gemetar, ini sebuah pengkhianatan maka Kwi-bo mencium pipinya dan berkata,

"Kau pernah bermain cinta? Kau seorang tosu muda yang masih murni?"

Tosu ini gagap.

"Hi-hik, jangan takut. Kalau kau dapat menyenangkan hatiku maka akupun suka kepadamu. Ayolah, temukan wanita itu dan ini sekedar hadiah untukmu...cup!" sebuah kecupan kembali mendarat dan kali ini di bibir!

Bukan main kelabakannya tosu muda itu dan ia semburat merah padam. Siauw Lam yang terbiasa melihat ini tertawa, tosu itu blingsatan. Tapi ketika ia berjalan lagi dan menggigil tak keruan, dua kali ciuman itu membuatnya panas dingin maka Kwi-bo mengelus pantatnya bagai mengelus pantat sapi.

"Kau masih murni, hi-hik... masih jejaka. Tentu sekuat kuda jantan kalau bermain cinta. Ah, cepat temukan wanita itu dan kita bersenang-senang, totiang. Siapa namamu dan bolehkah kupanggil kanda!"

Tosu ini menggigil lagi. Kalau saja tak ada orang lain di situ mungkin ia akan menubruk dan memeluk wanita ini, Rangsangan Kwi-bo membuat berahinya terbakar sampai ke kepala. Tapi ketika ia jalan lagi dan berhenti di bawah maka ia menuding dengan suara gemetar, antara berahi dan takut. Kwi-bo diam-diam telah memencet jalan darah di punggungnya yang membuat lelaki bakal mendidih.

"Itu, di sana guha sepengetahuanku..!"