Kabut Di Telaga See Ouw Jilid 10

Cerita Silat Mandarin Serial Bu-beng Sian-su episode Kabut Di Telaga See-ouw Jilid 10 karya Batara
Sonny Ogawa
Cerita Silat Mandarin Serial Bu-beng Sian-su Karya Batara

LUAR BIASA, Chi Koan tiba-tiba memang mempunyai mata, jernih dan hidup. Seperti sikapnya yang lembut dan penuh kasih sayang maka sepasang mata pemuda inipun juga begitu. Hanya sinarnya mencorong aneh, kebiru-biruan! Lalu ketika pemuda itu menggapai dan Hong Cu menggigil maka tanpa dapat ditahan lagi gadis inipun terduduk dan sudah dicengkeram pemuda itu,

"Aku ingin meresmikan pernikahan, kita menjadi pengantin. Maukah kau, Cu moi. Siapkah malam ini menjadi isteriku?"

"Aku... aku mau," gadis itu tak sadar, bau dupa semakin memabokkan.

"Dan cintakah kau kepadaku."

"Aku cinta!"

"Bagus, kalau begitu lepaskan pakaianmu , moi-moi, kita sama-sama meresmikan diri sebagai pengantin!"

Hong Cu terkejut. Sedetik terbawa perasaannya sebagai gadis baik-baik ia tersentak ketika jari-jari Chi Koan melepas, kancing bajunya. Pemuda itupun sudah melepas kancing sendiri dan melempar pakaiannya, jatuh di sudut.

Tapi ketika suara aneh mengiang lagi, asap dupa juga semakin tebal akhirnya hilang sudah kesadaran gadis ini dan tanpa terasa Hong Cu pun melepas pakaiannya yang lain, sekejap kemudian sudah telanjang bulat. Wajah gadis ini merah padam sementara napasnya memburu.

"Bagus, ah, indah sekali. Tancapkan dupa ini ke perapian, moi-moi, dan sedot dua kali agar pikiranmu menjadi segar!"

Chi Koan kagum, meremas dan membelai tubuh itu sementara Hong Cu memejamkan mata terengah-engah. Nafsu yang hebat menguasai dirinya. Ia telah memasuki alam sihir di bawah kekuatan batin Chi Koan. Dan ketika ia gemetar menancapkan dupa, chi Koan meraih dan menyambar pinggangnya tiba-tiba gadis ini roboh di pembaringan dan Chi Koanpun menciuminya habis-habisan.

Hong Cu telah menyedot dua kali asap dupa dan ia berbangkis. la tak tahu bahwa dupa itu adalah pembius yeng melupakan pikiran hati manusia normal. Ia terjebak oleh kepandaian Chi Koan. Dan ketika si buta memadamkan lampu sementara bau dupa terus membubung maka keluhan dan erangan gadis ini ditutup dengus dan cumbu birahi si buta.

Malam itu sumoi Siang-mauw Sian-Li ini terhanyut tanpa sadar. Ia menyerahkan dirinya dan merasa melayang-layang di bawah alam nikmat yang membubungnya ke langit dewa- dewi. Ia mabok dan terbius kelicikan si buta. Chi Koan akhirnya tak mampu menahan diri setelah tahap demi tahap dilalui dengan berat. Ia benar- benar tertarik dengan gadis cantik itu, gadis yang masih suci dan amat menggiurkan.

Tubuh yang padat dan penuh berisi. Tapi ketika keesokannya gadis ini sadar dan menjerit lirih, hilanglah semua pengaruh ilmu hitam maka dapat dibayangkan betapa kaget dan malunya murid Sin-hong-pang ini mendapatkan keadaan dirinya yang telanjang bulat bersama Chi Koan. Pemuda itu dilihatnya sebagai si buta yang tetap buta.

"Iihhhhhh...!"

Chi Koan terbangun dan menyambar pakaiannya. Semalam, memadu cinta dengan nikmat dan mesra ia berhasil menjatuhkan gadis ini. Hong Cu telah menyerahkan diri. Tapi begitu gadis itu berteriak dan melompat bangun maka Chi Koan pun otomatis terkejut dan sadar.

"Apa... ada apa.... !" si buta meloncat dan menyambar pakaiannya, buru-buru.

Hong Cu harus menutupi mukanya melihat tubuh telanjang bulat itu, ngeri. Tapi teringat dirinya sendiri yang juga tak berpakaian tiba-tiba gadis ini menngguguk dan menyambar pakaiannya pula. Sekarang ia ingat apa yang terjadi dan tiba-tiba kemarahan gadis itu meledak. Ia kecewa kenapa menyerahkan kegadisannya begitu mudah. Ia merasa bahwa sebuah ilmu hitam dilancarkan kepadanya. Maka membentak dan memaki-maki pemuda itu iapun menerjang dan mencekik lawannya.

"Kau... kau iblis jahat. Kau merusak aku...! Ah, kubunuh kau, Koan-ko... kubunuh kau!"

Akan tetapi Chi Koan adalah si buta yang hebat. Ia terkejut ketika pertama kali gadis itu memekik. Ia mengira ada musuh, atau orang datang. Tapi ketika gadis itu marah-marah karena kejadian semalam, Chi Koan mengelak maka si buta ini tersenyum dan menangkis, lega.

"Cu-moi, aku tak merusak siapa-siapa. Aku mencintaimu. Kalau kau menganggap kejadian semalam adalah salahku cobalah kau sebutkan salah yang mana karena bukankah kau menyerahkan dirimu secara tulus... plak-plak!" si buta menangkis dan menangkap, tentu saja mudah baginya karena Hong Cu bukan apa-apa dibanding yang lain. Ia menotok sekaligus menenangkan gadis itu. Dan ketika Hong Cu roboh dan pintu kamar diketuk,

Siauw Lam muncul di situ maka Hong Cu tertegun śementara Chi Koan membentak muridnya. "Keluar, tak ada apa-apa di sini!"

Lalu ketika Hong Cu merah padam melihat anak itu meleletkan lidah, keluar dan menutup pintu kamar lagi maka Chi Koan sudah mengangkatnya bangun dan membujuk, membebaskan totokan.

"Lihat, kita di rumah orang. Jangan ribut dan membuat orang berdatangan menengok kita, Cu-moi, apa yang terjadi tak dapat ditarik lagi. Kita sudah menjadi pengantin dan kau sadarlah."

Akan tetapi Hong Cu menangis melayangkan tangannya. Ia menampar dua kali dan Chi Koan terkejut, untuk ini tak sempat ia mengelak. Lalu ketika gadis itu melompat bangun dan menuding-nuding maka Hong Cu berseru gemetar,

"Kau... kau memperlakukan aku secara tak wajar. Kita menjadi pengantin tanpa saksi dan kebiasaan orang menikah. Kau, ah.. kau menipu aku, Koan-ko. Ini perbuatan terkutuk!"

"Hm, kalau begitu pergilah!" Chi Koan tiba-tiba berkata dingin. "Kalau kau menganggap ini bukan bukti cintaku silakan pergi dan buang kemarahanmu di luar,Hong Cu. Aku hanya ingin menunjukkan diriku sebagai laki-laki bertanggung jawab yang tak ingin banyak tingkah!"

Gadis itu pucat. Si buta menjadi kasar dan memerahkan telinganya. Ia mengguguk tapi tiba-tiba menerjang marah,menusuk, dan menampar tapi dengan mudah dikelit. Dan ketika ia terbanting oleh sebuah tangkisan kuat, sadarlah gadis ini akan kepandaian lawan maka Chi Koan tertawa dingin mengebutkan pakaiannya.

"Hong Cu, kau bukan tandinganku. Tunduk kepadaku atau silakan pergi!"

Kecewalah gadis ini. Ia tak menyangka begitu mudah si buta mencampakkannya. Tapi karena ia pun sadar bahwa dirinya yang menjadi sebab, si buta marah oleh serangannya akhirnya ia menghentikan tangis dan tinggal terisak-isak di sudut. Kehormatannya telah diserahkan semalam. Ia harus tahu keadaan. Dan ketika ia menutupi muka dan betapapun masih mengharap pemuda ini menghadapi Peng Houw, orang yang dibencinya akhirnya ia membiarkan saja ketika Chi Koan mendekati dan mengusap pundaknya.

Si buta akhirnya mereda juga. Kalau saja seandainya gadis ini marah-marah dan banyak tingkah bukan tak mungkin Chi Koan justeru akan membunuh. Pemuda itu juga marah karena Hong Cu memaki-maki. Namun melihat gadis itu terisak dean sedih di sudut kamar, sesungguhnya Chi Koan juga merasa sayang maka dibelainya dan diangkatnya Hong Cu bangun. Kata-kata lembutpun meluncur lagi.

"Maaf, aku bersikap kasar. Kalau kau mengerti dan tidak membuatku marah tak mungkin aku mengusirmu, Hong Cu, semua yang sudah terjadi tak mungkin ditarik lagi. Mari, duduklah. Lebih nikmat berbicara cinta daripada yang membangkitkan emosimu."

Hong Cu menahan sedu-sedan.

"Dan aku bertanggung jawab," si buta berkata lagi. "Lagi pula kau belum menerima janjiku, Hong Cu. Aku ingin memberikan sebuah ilmu ginkang untuk menambah kepandaianmu!"

Hong Cu terisak mendengarkan. Betapapun ia luluh juga setelah Chi Koan bersikap baik. Ia lega. Dan ketika pemuda itu mencium bibirnya dan ia diam saja, berbisik bahwa tak perlu bertengkar maka pagi itu murid Sin-hong-pang ini membuang sesalnya. Dengan bujuk rayunya dan kepandaiannya menjatuhkan wanita akhirnya Chi Koan berhasil menyadarkan gadis ini bahwa yang sudah terjadi tak bakal ditarik.

Ia bertanggung jawab dan membisikkan cintanya lagi kepada si gadis. Dan ketika perlahan-lahan Hong Cu dapat menerima dan tenang lagi, tersenyumlah Chi Koan meraih kekasihnya maka pagi itu iapun membujuk dan mencumbu gadis ini.

"Aku sayang kepadamu, aku cinta kepadamu. Kalau kau baik-baik dan tetap bersamaku tak mungkin aku menyia-nyiakanmu, Cu-moi, apalagi kita masih pengantin baru Ah, masih kuingat kemesraan kita semalam!"

Hong Cu semburat. Ia menyambut sedikit ketika dicium, mengeluh ketika jari-jari Chi Koan nakal merayap tubuhnya. Dan ketika pemuda itu membaringkannya di pemberingan dan lembut mengecup keningnya maka robohlah gadis ini oleh cumbu rayu si buta. Akhirnya Hong Cu berpikir bahwa si buta inilah laki-laki pertama dan terakhir yang menjadi tumpuan hidupnya. Ia tak banyak rewel ketika Chi Koan melepaskan bajunya.

Dan ketika pagi itu percintaan dilanjutkan lagi, hanyutlah gadis ini oleh bisikan-bisikan si buta akhirnya pertengkaran benar-benar lenyap dan sebagai gantinya Hong Cu merasa kagum akan kepandaian pemuda itu membangkitkan gairahnya!

Ia terlena dan mabok lagi dan hari-hari berikut serasa menjadi miliknya sendiri. Chi Koan juga mulai menurunkan Li-thian-to-jit kepadanya, sebuah ilmu meringankan tubuh yang membuat tubuhnya begitu ringan seakan walet menyambar-nyambar. Tapi ketika suatu hari datang wanita yang membuatnya kaget dan marah maka gadis ini bagai disambar petir mengetahui siapa sesungguhnya si buta itu.

Hal itu terjadi di hari ke tujuh dari bulan madu mereka. Hong Cu telah benar-benar mabok dan menaruh kepercayaan lagi kepada si buta ini. Tapi ketika malam itu berkelebat sesossok bayangan dan berjungkir balik di pintu kamar maka Hong Cu yang baru saja berdandan sehabis berlatih di belakang dibuat terkejut oleh bayangan ini, seorang wanita berambut panjang yang langsung memasuki kamar Chi Koan!

"Hi-hik, kucari-cari ternyata di sini. Heh, apa yang kau lakukan di tempat Sui-taijin ini, Chi Koan. Ayo bangun dan dengar sebuah kabar baik. Ihh, ada bau harum tubuh wanita di sini!"

Kwi Bo. Wanita itu mengejutkan Chi Koan yang sedang bersila di tepi pembaringannya. Ia juga baru masuk setelah hampir sehari penuh memberikan Lui-thian-to o-jit. Chi Koan merasa girang bahwa Hong Cu mulai patuh kepadanya, penurut. Dan karena ia juga tak mengunci pintu kamarnya karena sebentar lagi gadis itu akan memasuki kamarnya, mereka akan bercumbu sambil melepas lelah maka bukan main kagetnya si buta ini ketika tahu-tahu bekas gurunya itu muncul. Kwi-bo seperti kebiasaannya selalu terkekeh-kekeh dan bersuara nyaring.

"Kau..." Chi Koan meloncat. "Ada apa datang ke sini, Kwi-bo. Siapa menyuruhmu. Keluarlah dan pergi sekarang karena waktunya tak tepat untukmu!"

"Hi-hik...!" wanita itu malah tertawa, melihat si buta-itu berubah. "Mukamu pucat, Chi Koan, ada apa. Apakah takut kalau pemilik bau harum ini datang. Kau rupanya sudah mendapatkan kekasih baru!"

"Pergilah," Chi Koan tak sabar. "Bukan waktunya pertemuan ini, Kwi-bo. Jangan ganggu aku dan besok di luar hutan saja!"

Kwi-bo menjerit. Ia berteriak karena sambil mengibas Chi Koan melepaskan pukulan jarak jauhnya dengan Hok-te Sin-kang, ia mencelat, berjungkir balik di luar pintu kamar. Tapi karena ia benar-benar membawa berita penting dan dianggap perlu, juga wanita ini penasaran siapakah kiranya kekasih baru si buta itu maka ia berjungkir balik dan melesat lagi ke dalam.

"Chi Koan, jangan sombong. Betapa gampangnya kau melupakan bekas guru sendiri. He, dengarlah bahwa aku mendengar berita tentang Li Ceng. Kau mau bicara atau tidak!"

Si buta hampir saja melepas pukulan maut. Saat itu ia mendengar langkah kaki Hong Cu dan tentu saja Chi Koan khawatir. Kwi-bo dapat membuka rahasia dirinya dan ini yang tak dikehendaki. Berkelebatlah bayangan Hong Cu begitu mendengar kata-kata itu dan ia tertegun maka Chi Koan berada di persimpangan jalan ketika Kwi-bo dan Hong Cu sama-sama berada di kamarnya. Yang satu cantik berapi-api sementara yang lain genit dan cabul, terkekeh.

"Hi-hi.., ini kiranya kekasih barumu itu. Hm, tidak salah. Cantik dan muda, Chi Koan, menggiurkan. Tubuhnya padat dan ranum, tapi kau tetap tak boleh melupakan aku!"

"Siapa kau!"

Hong Cu membentak, geraknya tadi adalah ilmu meringankan tubuh Lui-thian-to-jit. "Bagaimana kau memasuki kamar seorang pemuda, wanita tak tahu malu. Siapa dirimu dan apa keperluanmu datang!"

"Hi-hik, galak, tapi gagah. Eh, perkenalkan aku sebagai guru bekas muridku ini, anak manis. la murid juga sekaligus kekasihku. Chi Koan adalah pemuda yang pertama kali belajar ilmu cinta dariku!"

"Kwi-bo!" Chi Koan melesat, menampar dan tiba-tiba menyerang lawannya itu. "Jangan banyak bicara di tempat ini dan keluarlah... des- dess!"

Kwi-bo tak mungkin mengelak diserang si buta yang amat lihai ini. Ia membuat Chi Koan marah sekali namun berita tentang didapatnya Li Ceng membuat ia menahan pukulan. Kwi-bo mencelat dan terbanting di luar sana, mengeluh sesak. Dan ketika ia bergulingan meloncat bangun namun roboh lagi, Chi Koan menyambar dan mengejarnya keluar maka wanita ini tercekik ketika si buta meloncat dan membawanya terbang keluar.

"Koan-ko!" Si buta tertegun. Ia mendengar panggilan Hong Cu dan saat itu berteriaklah muridnya Siauw Lam.

Anak laki-laki ini mendengar ribut-ribut itu dan menuju kamar suhunya, memanggil dan melihat suhunya memanggul seseorang. Dan ketika Siauw Lam terkejut karena itulah Kwi-bo yang dikenalnya, tentu saja ia tahu maka Chi Koan tiba-tiba meloncat dan terbang lagi namun di bawah tembok ia menabrak dinding karena matanya yang buta tak dapat melihat apa-apa. Chi Koan hanya mengandalkan pendengarannya yang tajam untuk menentukan arah dan jarak.

"Bressss!"

Si buta mengeluh dan sadar. Ia begitu gugup dan marah oleh kejadian ini, terpelanting ke bawah dan Kwi-bopun terlepas. Wanita itu menjerit terlempar keluar, untunglah totokannya terbuka dan berjungkir balik menyelamatkan diri. Namun karena saat itu Hong Cu mengejar dan membentak marah, gadis ini terpukul oleh kata-kata Kwi-bo maka iapun mencabut pedangnya dan sudah menusuk serta membacok wanita yang bergulingan ini.

"Kau siluman jahanam keparat!"

Kwi-bo melecutkan rambutnya sambil bergulingan. Wanita inipun juga marah atas perbuatan Chi Koan. Baik-baik ia memberi berita penting Chi Koan malah menghajarnya, semua ini tentu karena gadis ini. Maka ketika pedang terpental sementara Hong Cu terkejut, Kwi-bo sudah meloncat bangun maka ia melengking dan menerjang serta membalas lawan.

"Kaulah siluman jahanam. Gara-gara dirimu Chi Koan tak mau menerima aku!"

Hong Cu menangkis dan segera memekik pula. Ia telah mempelajari Lui-thian- to-jit dan tubuhnya bergerak menyambar-nyambar. Kwi-bo terkejut menyaksikan itu, melotot kepada Chi Koan. Namun karena ia harus membalas dan betapapun dirinya bukan wanita lemah, ia adalah satu dari Tujuh Siluman Langit maka wanita inipun menerjang dan berkelebatan mengimbangi Hong Cu.

"Plak-plak!" Rambut bertemu pedang dan sama-sama terpental. Hong Cu tergetar lengannya namun bergerak lagi, lebih cepat. Namun karena lawan bukanlah musuh yang ringan dan ia menggigit bibir maka balasan atau serangan Kwi-bo juga membuat wanita itu terbelalak karena dengan gesit dan cepat ia menghindari semuanya itu dengan gerak kaki Lui-thian-to-jit.

"Wut-plakk!"

Satu kali rambut bertemu pedang lagi. Kwi-bo yang memiliki beragam ilmu dan pengalaman segudang terpental ke belakang, mengayun satu kakinya dan meloncat menendang lawan. Ia bergerak begitu cepat hingga Hong Cu terkejut. Namun karena Lui-thian-to-jit benar-benar luar biasa dan gadis ini menjejakkan kaki meloncat tinggi-tinggi maka tendangan itupun luput dan Kwi-bo melepas jarum-jarum hitamnya.

"Keparat, ini Lui-thian-to-jit. Kau rupanya sudah tergila-gila kepada gadis ini, Chi Koan. Aku sendiripun tak pernah kau beri. Ah, kau pemuda tak kenal budi!"

Hong Cu menangkis dan meruntuhkan jarum-jarum hitam itu. Ia terbelalak karena dari sini segera tahu bahwa lawan bukanlah orang baik-baik. Wanita itu jelas wanita sesat. Dan karena ia sudah berkali-kali mendengar pembicaraan itu, mukanya pucat dan merah berganti-ganti akhirnya ia membentak siapa sebenarnya wanita itu. Chi Koan masih tertegun dan bingung di sana, dicekal muridnya yang cepat membantu gurunya ini setelah menabrak tembok.

"Aku Kwi-bo, satu di antara Tujuh Siluman Langit yang masih hidup. Hi-hik, kau sendiri siapa, bocah. Jangan cemburu karena bekas muridku ini sudah biasa berganti-ganti pacar!"

"Kau... kau Kwi-bo? Jadi pemuda itu?"

"Benar, ia adalah bekas muridku yang amat lihai. Hi-hik, dia adalah Chi Koan yang menggegerkan dunia kang-ouw itu.... plak-plak!"

Kwi-bo yang membungkuk dan melepaskan rambutnya akhirnya menghantam pedang yang terpental kuat. Hong Cu kaget bukan main hingga tenaganya hilang sebagian, ia terbelalak memandang Chi Koan. Dan ketika pedang terlepas dan mencelat dari tangannya, Kwi-bo terkekeh dan menusukkan kuku jarinya maka Hong Cu membanting tubuh menyelamatkan diri.

"Cret!" Kuku itu menancap tanah dan mengepul. Kwi-bo terkekeh mencabut tangannya lagi sementara Hong Cu bergulingan di sana. Sama sekali tak disangkanya bahwa si buta ini adalah Chi Koan. Dulu pemuda itu memperkenalkan dirinya sebagai Jin Koan, dan ia selanjutnya memanggil Koan-twako (kakak Koan) kemudian terakhir ini Koan-koko (kanda Koan). Hubungan mereka memang terjalin akrab dan ia pun suka.

Tak dapat disangkal bahwa mulai tumbuh perasaan cinta di hatinya, setelah ia dibuat hancur dan remuk oleh penolakan si Naga Gurun Gobi Peng Houw. Maka ketika ia terkejut bahwa si buta ini bukan Jin Koan melainkan Chi Koan, nama yang tentu saja membuat hatinya terguncang maka Hong Cu hampir saja terkena sambaran kuku lawannya yang mengejar dan terkekeh itu. Tapi akhirnya ia dapat melepaskan diri, meloncat bangun.

"Koan-koko, kau... kau she Chi? Kau bukan she Jin? Jadi selama ini kau menipuku?"

“Hi-hik, tipu dan kecurangan bukan hal aneh bagi Chi Koan. Tak usah menanyainya dan mampuslah menerima seranganku, bocah manis. Lebih baik mati dari pada mengenalnya lebih baik...des-dess!" kali ini rambut Kwi-bo menghantam cepat namun meledak mengenai sebatang pohon.

Hong Cu mengelak dan memandang si buta. Ia benar-benar terpukul. Dan ketika ia membentak meminta jawabannya, mengelak dan memungut pedangnya lagi maka Chi Koan menyeringai dan tak perlu menyembunyikan diri lagi.

"Semuanya betul, tak perlu kusangkal. Musuhmu dan musuh kita sama, Cu-moi. Peng Houw si keparat itu. Hentikan seranganmu dan akan kusuruh Kwi-bo mundur!"

Akan tetapi jawaban ini membuat Hong Cu menjerit. Ia telah mendapat kepastian dari yang bersangkutan, ternyata si buta itu adalah orang jahat yang amat keji. Siapa tidak tahu sepak terjang Chi Koan. Siapa tidak tahu bahwa ia berkhianat kepada Gobi dan gurunya sendiri. Maka melengking dan kecewa serta marah, tentu saja ia tak sudi bergaul dengan pemuda seperti ini tiba-tiba gadis Itu melepaskan pedangnya menyambar dada si buta. Adanya Kwi-bo yang tak tahu malu itu cukup membakar perasaannya.

"Kau penipu jahanam, kau kiranya manusia keji itu. Terimalah!"

Pedang mendesing dan menyambar cepat. Hong Cu menjadi putus asa dan hancur untuk kedua kali, bahkan yang ini amat hebat karena ia telah menyerahkan kehormatannya. Ia terjebak ke seorang pemuda seperti itu. Apa kata murid-murid Sin-hong-pang kalau tahu. Tapi ketika Chi Koan tertawa dingin dan menangkis perlahan, pedang patah bertemu tangannya maka Kwi-bo girang berkelebat berseru.

"Bagus, gadis seperti ini tak perlu diampuni lagi, Chi Koan. Biarlah ia mampus dan kita bebas berdua!"

Akan tetapi Chi Koan membentak. la tak mau Hong Cu dibunuh, ia masih merasa sayang. Maka ketika tangannya kembali bergerak dan menangkis serangan Kwi-bo, wanita itu terbanting dan menjerit maka Kwi-bo pun bergulingan memaki-maki. Hong Cu terbelalak dan masih bengong memandang pedangnya yang patah.

"Jangan bunuh dia, betapapun aku masih suka. Biarkan ia pergi dan laporkan beritamu, Kwi-bo. Jangan ganggu dan biarkan ia hidup...plak!"

Kwi-bo memaki-maki dan meloncat bangun. Kalau saja bukan Chi Koan yang menangkis tentu ia akan mengamuk dan menerjang lagi. Ia marah dan cemburu. Tapi karena Chi Koan di atas kepandaiannya dan iapun butuh perlindungan pemuda ini, mengebut dan membersihkan pakaiannya.

Maka Hong Cu meledak tangisnya dan meloncat pergi. "Chi Koan, kau kau membuatku benci. Suatu hari kelak aku akan membalas perbuatanmu!"

"Aku mencintaimu," Chi Koan berseru menyesal. "Kelak kita dapat berbicara yang lebih baik lagi, Hong Cu. Aku tak akan menyakitimu kalau kau bisa menerima semuanya ini!"

Akan tetapi mana mungkin Hong Cu bisa dibujuk seperti itu. Gadis ini marah dan kecewa serta terpukul hebat. Ia benar-benar tak menyangka telah masuk ke mulut seekor harimau. Maka mengguguk dan lenyap melompati tembok gadis Sin-hong-pang inipun meninggalkan tempat itu malam itu juga.

"Kau mengejutkan," Chi Koan menegur kawannya. "Kalau kau hendak menemui aku sebenarnya lihat keadaan dulu, Kwi-bo, bukan nyelonong dan masuk begitu saja. Kau membuatku tak senang."

"Eh, akulah yang tak senang! Jauh-jauh aku datang semata demi kegembiraanmu, Chi Koan. Mana lebih penting gadis itu atau Li Ceng. Nah, mana yang kau pilih!"

"Baik, kau juga benar. Sekarang ceritakan kepadaku laporan yang kau bawa."

"Hi-hik, begitu enak? Kau tak mempersilakan aku masuk ke kamarmu?"

"Hm, baiklah. Aku tahu kebiasaanmu, Kwi-bo. Marilah ke dalam dan kita bicara di kamarku."

Chi Koan mendongkol, tahu maksud bekas gurunya ini dan apa boleh buat mengajak ke dalam. Ia cepat mengusir muridnya dan Siauw Lam meleletkan lidah. Dulu gurunya juga memerintah begitu ketika wanita ini datang. Ia tertawa, namun hanya gerakan bibirnya saja. Dan ketika Kwi-bo menggandeng lengan Chi Koan dan terkekeh memperoleh kemenangannya maka di dalam kamar segera wanita ini bercerita, begitu asyik hingga tak terasa dua jam lebih terbuang.

Chi Koan berkerut dan berkejap-kejap untuk akhirnya menyeringai. Kwi-bo akan membuktikannya besok. Dan ketika malam itu wanita ini menagih janji, Chi Koan menarik napas panjang maka tanpa sungkan atau ragu lagi bekas gurunya ini membuka kancing bajunya.

"Kau telah siap, bagus. Tak ada gadis itupun masih ada aku di sini. Hi-hik, sebenarnya kita pasangan yang paling cocok, Chi Koan. Akulah yang tahu melayani segala keperluanmu. Hayo, buka!"

Chi Koan tersenyum. Gerakan gurunya merangsang syaraf-syaraf halus, dia bergetar dan bangkit gairahnya. Lalu ketika ia juga membuka kancing wanita itu dan ditubruk terkekeh maka Chi Koanpun terguling dan malam itu si buta ini melewatkan cintanya bersama si iblis yang haus birahi.

Tak habis-habisnya Kwi-bo menyerang dan melumat sampai si buta kewalahan. Kwi-bo memang wanita panas yang tak kenal puas. Tapi ketika semalam mereka memadu cinta maka keesokannya ketika ayam jantan berkokok Chi Koan telah berkemas dan menyambar buntalannya.

"Tak ada waktu lagi, semuanya harus dikejar. Bangun, Kwi-bo, antarkan aku ke sana dan panggil muridku Siauw Lam!"

Wanita ini menggeliat. Kebiasaannya terkekeh tak pernah lenyap, Kwi-bo meloncat dan mencium Chi Koan. Tapi ketika ia hendak menunduk dan membuka kancing baju maka Chi Koan mendorongnya.

"Cukup, tak ada waktu lagi, Kita pergi dan antarkan aku!"

"Baiklah, hi-hik. Tapi apa janjimu kalau wanita itu tertangkap, Chi Koan. Kau bisa berbuat banyak dengan calon korbanmu!"

"Aku akan memberimu Lui-thian-to-jit. Kau tak akan iri lagi kepada Hong Cu, Kwi-bo, dan selanjutnya kau harus selalu bekerja untukku!"

"Lui-thian-to-jit? Ah, hi-hik. Kau bersungguh-sungguh, Chi Koan, atau hanya menipuku saja!"

"Aku berjanji. Asal wanita itu tertangkap dan kukuasai dirinya ilmu itu akan kuberikan kepadamu. Sudahlah mana Siau Lam dan mari berangkat!"

Kwi-bo girang. Ia melihat kesungguhan pemuda ini dan mengecup pipinya, begitu girang sampai ia mencubit paha Chi Koan. Tapi ketika ia meloncat dan mencari anak itu, datang dan melemparnya kepada gurunya maka Siauw Lam mengucek-ngucek matanya dengan gugup, masih mengantuk.

"Wah, ada apa suhu. Benarkah kau mau pergi sekarang. Apakah teecu memberi tahu Sui-taijin!"

"Tak usah. Bawa buntalanku dan siapkan buntalanmu, Siauw Lam. Kita hendak melakukan perjalanan jauh. Kita ke Kun-lun."

"Hah, Kun-lun? Menghajar tosu-tosu bau itu di sana? Bagus, aku senang, suhu. Aku ikut. Hore, aku ingin tahu bagaimana tosu-tosu itu kau ketuk kepalanya!"

Chi Koan tak tertawa. Kwi-bo terkekeh tapi ia membentak agar muridnya mengambil buntalan. Kwi-bo membawa anak itu dengan pakaian kusut, Siauw Lam memang masih tidur nyenyak ketika disambar. Dan begitu anak itu lari dan memasuki kamarnya maka tak lama kemudian ia pun datang lagi dengan buntalan di ujung tongkat.

"Ha-ha, siap. Mari, suhu. Aku akan menggendongmu atau kita membawa kereta!"

"Kereta hanya menarik perhatian orang saja. Kita berjalan kaki, Siauw Lam. Aku juga dapat menggendong gurumu kalau kau capai!" Kwi-bo tertawa, geli melihat anak itu.

Chi Koan mengangguk. Membawa kereta di pagi seperti itu hanya menimbulkan berisik saja, ia tak mau mengganggu tuan rumah. Maka ketika ia mencelat di pundak muridnya dan Siauw Lam tertawa-tawa, tubuh gurunya begitu ringan seakan tak berbobot maka Kwi-bo berkelebat dan menjadi petunjuk jalan. Dan begitu si buta menekankan tongkatnya membuat Siauw Lam terkejut maka anak inipun terangkat dan terbang mengikuti Kwi-bo!

"Mari, Siauw Lam, jangan tunda waktu lagi!"

Anak ini terpekik. Ia merasa dilontarkan tenaga amat kuat ketika tongkat gurunya menekan lantai. Ia terdorong dan terbawa naik. Tapi ketika ia meloncat-loncat sesuai gerakan tongkat di atas tanah, Chi Koan mempergunakan mata muridnya mencari jalan maka Kwi-bo pun kagum dan tersusul dengan amat cepatnya. Anak kecil itu sudah berendeng dan mampu berlari cepat mengimbangi dirinya.

"Hi-hik, hampir tak kupercaya. Kalau sudah begini maka buta atau tidak tak ada bedanya bagimu, Chi Koan. Kau seolah orang melek saja!"

"Muridku pengganti mataku. Telingaku juga terjaga dengan baik, Kwi-bo, apapun dapat kudengar dari sini."

"Luar biasa, kau selamanya mengagumkan. Ah, biarlah kuuji muridmu sampai mana ia dapat mengiringi aku!"

Kwi-bo mengerahkan ilmu lari cepatnya dan terbang seperti setan. Wanita ini bukan orang sembarangan dan Siauw Lam terpekik, dengan amat cepatnya ia tertinggal jauh. Tapi ketika gurunya tersenyum dan berkata tak usah khawatir, tongkat menekan dan dipukul-pukulkan lagi maka anak inipun terpental dan terbang meloncat-loncat. Sekali loncat ada belasan tombak. Ia sampai takut!

"Heii, jangan terlalu kuat, suhu, aku tak dapat mengerem tubuhku. Heii, ada pohon di depan!"

Namun Chi Koan memukul dan mengangkat tongkatnya ke kiri. Dengan gerakan luar biasa ia membelokkan laju muridnya, pohon itu roboh dihantam. Dan ketika sang murid tertawa meluncur senang maka Kwi-bo yang hampir lenyap di tikungan tersusul lagi, bahkan anak ini di depan.

"Ha-ha, aku menyusulmu, Kwi-bo, yang mengendalikan diriku adalah suhu. Kau kalah!"

"Gurumu memang hebat," Kwi-bo mendecak. "Tapi jelek-jelek ia pernah menjadi muridku, Siauw Lam. Hayo kita bermandi keringat dan menyongsong matahari pagi!"

Anak laki-laki itu terkekeh. Ia sudah digerakkan gurunya lewat tongkat di tangan itu, membelok atau lurus dialah yang memberi aba-aba. Dan ketika Kwi-bo mempercepat larinya namun Chi Koan tenang saja mengendalikan muridnya maka ketika matahari terlihat di ufuk timur wanita itu sudah basah kuyup sementara sang bocah kelihatan segar-segar saja.

"Busyet, aku kalah. Kalau begini terus-menerus aku bisa kehabisan tenaga, Siauw Lam. Kurang ajar benar gurumu itu. Aih, aku memperlambat lariku asal sama-sama sampai!"

"Terserah dirimu," Siauw Lam tertawa. "Yang jelas aku dapat ke mana saja, Kwi-bo. Tongkat guruku pengganti kakiku. Aku tak capai!"

"Ya, tapi aku bakal kehabisan napas. He,he nanti aku menggendong gurumu, anak setan. Betapapun kita harus gantian!"

"Tak bisa, aku anak kecil!"

"Heh, jangan banyak bicara. Atau kulempar kau nanti!" dan ketika mereka sama-sama tertawa.

Sementara Chi Koan tersenyum-senyum, sepasang matanya berkejap membayangkan Li Ceng maka ia tertawa pula berseru melerai. "Sudahlah, tak usah bertengkar. Kalau saja sepasang mataku dapat melihat tentu kalian berdua yang kugendong. Jangan bicara yang tak ada gunanya, Kwi-bo. Aku ingin cepat-cepat menangkap wanita itu!"

"Hi-hik, baiklah. Mari!" lalu ketika wanita ini tancap gas dan berlari lagi akhirnya ia pun tak mau bicara dan menuju ke barat. Kun-lun!

* * * * * * * *

Baiklah kita ikuti sejenak ke mana sebenarnya perginya Li Ceng. Wanita ini, setelah hancur oleh sikap Peng Houw yang begitu kasar tak dapat mengendalikan dirinya lagi untuk menangis tersedu-sedu. Ia begitu sakit oleh kata-kata suaminya yang amat menusuk. Peng Houw menyamakan dirinya dengan mendiang ibunya dulu. Ia dianggap sama-sama me-nyeleweng!

Dan ketika Li Ceng menjerit dan menampar pemuda itu, hampir saja menusuk dan membacok maka datangnya uwak Kin dan dua anak itu membuat nyonya ini menahan diri dan akhirnya berlari pergi. Li Ceng mengguguk sepanjang jalan. Hatinya benar-benar hancur oleh sikap suaminya ini. Dunia seakan kiamat dan kata-kata suaminya itu terngiang-ngiang terus. Ia dianggap ternoda oleh jari Chi Koan. Ia dituduh tidak suci lagi.

Dan ketika wanita ini menjerit menerima pengalamannya akhirnya dua hari kemudian ia roboh di luar sebuah hutan. Dan celakanya datanglah gangguan baru, kaum perampok. Kalau saja nyonya ini tidak sedang ditekan penderitaan batin mungkin ia akan menghalau belasan laki-laki kasar itu atau memilih pergi. Ia tak suka membunuh orang. Tapi begitu belasan laki-laki berkelebat dan mengelilingi dirinya sambil tertawa-tawa maka nyonya ini berkilat dan bangkit duduk. Tujuh belas laki-laki kasar menjilat-jilatkan lidahnya ke bibir, bergairah!

"Ha, heh-heh. Ada seorang wanita cantik di wilayah kita, Su-ko. Ia menangis dan rupanya ditinggalkan pacarnya. Ha-ha, mari tolong dan angkat dia. Aduh, tubuhnya masih harum meskipun belum mandi!"

Tiga orang maju tertawa-tawa hendak mengangkat tubuh sang nyonya. Memang Li Ceng masih cantik dan kelihatan menarik walaupun tak sempat membersihkan tubuh, apalagi pakaiannya yang robek-robek itu membuat semua perampok melotot. Mereka tergetar oleh pundak dan kulit punggung yang halus. Nyonya ini merangsang nafsu mereka. Tapi begitu mereka membungkuk dan menyentuh ujung baju tiba-tiba Li Ceng mengangkat sebuah kakinya dan dengan cepat serta kuat tiga dagu terkena tendangan. Pecah!

"Kalian anjing-anjing busuk tak tahu malu. Enyahlah!"

Tiga orang itu menjerit. Ujung kaki yang mengenai dagu membuat mereka terjengkang dan roboh, menggeliat dan akhirnya tewas. Rahang mereka retak! Dan ketika yang lain terkejut dan berseru keras, melompat mundur maka nyonya ini meloncat bangun dengan pandangan berapi. Belasan orang itu terkejut juga dan gentar. Wanita ini ternyata seekor singa betina.

"Siapa berani maju dia akan mampus. Pergilah dan jangan ganggu aku!"

Akan tetapi perampok-perampok ini adalah orang-orang kasar yang tak tahu tingginya langit dalamnya lautan. Mereka tak tahu dengan siapa mereka berhadapan. Dan justeru marah melihat teman terbunuh, merekapun mencabut senjata dan pemimpinnya yang bertubuh paling kekar dan berkumis lebat mencabut golok dan berseru,

"Kawan-kawan, rupanya bukan sasaran empuk wanita ini. Ia membunuh A-pek dan Kui-sam. Hayo, serbu dan tangkap dia. Kalau perlu bunuh!"

Li Ceng meledak. Kalau saja ia tak sedang dihimpit duka barangkali ia akan mengalah pergi dan meninggalkan orang-orang itu. Akan tetapi kali ini lain. Ia mudah beringas. Maka ketika empat belas orang itu maju dan serentak menyerangnya tanpa malu-malu mendadak iapun berkelebat dan kedua tangannya menampar kiri kanan muka depan.

"Plak-duk-dukk!"

Lima orang terlempar. Mereka menjerit dan terbanting, jari-jari si nyonya mengenai kepala dan retak sampai ke belakang. Dan ketika yang lain terkejut dan berseru keras, senjata saling berbenturan sendiri maka Li Ceng tak mengampuni lawan- lawannya lagi dan iapun meneruskan gerakannya meneruskan serangan.

Tiga orang lagi-lagi roboh dan golok yang tertangkis malah terpental. Sisa perampok berteriak. Dan ketika pemimpinnya terkejut dan menjadi kaget maka iapun memutar tubuh dan lari meninggalkan kawan-kawannya.

"Iblis, dia iblis betina. Mundur, kawan kawan mundur!!"

Akan tetapi tiga belas orang telah roboh. Empat sisanya memutar tubuh dan meniru pimpinan, lari lintang-pukang. Dan ketika Li Ceng tak mengejar dan memandang dingin ia pun menendang mayat-mayat itu dan duduk menangis lagi. Sehari itu Li Ceng tak meninggalkan hutan. Ia mengguguk dan meratapi nasibnya. Sekali-sekali ia memanggil-manggil puteranya Boen Siong.

Tapi ketika malam menjelang tiba dan ia tak sadar puluhan mata mengintainya bengis, itulah kepala rampok yang mengundang kawan-kawannya yang lain maka Li Ceng baru terkejut ketika belasan panah menyambar dan menyerang dirinya.

"Plak-plak-plak!"

Untunglah wanita ini bergerak cepat dan refleks. Meskipun sehari itu ia menangis terus akan tetapi kewaspadaannya sebagai ahli silat tak pernah ketinggalan. Ujung syaraf-syaraf itulah yang bergetar memberi tahu. Dan ketika terdengar pekik dan sorak- sorai, bayangan hitam keluar dari mana-mana.

Maka wanita ini baru tersentak karena dirinya dikepung tak kurang dari seratus perampok baru. Satu di antaranya adalah si kekar berkumis lebat itu. Dan begitu laki-laki ini meloncat dan menerjang maju maka yang lainpun berteriak dan menubruk.

"Tangkap dia hidup-hidup, jangan bunuh. Kita jadikan tumbal sebagai penebusan arwah teman-teman kita!"

Li Ceng meloncat bangun dan terbelalak. Anak-anak panah menyambar lagi lebih berbahaya, ia mengelak dan menangkis. Dan karena orang-orang itu sudah dekat dan hujan panah dihentikan, bergeraklah wanita ini maka ia pun mencabut pedangnya dan membabat kepala rampok itu.

"Kau rupanya masih tak mengenal puas. Marilah kuberi hukuman dan lihat pedangku!" Sinar hitam berkilat dan itulah pedang pendek yang dimiliki nyonya ini. Li Ceng marah sekali oleh keroyokan demikian banyak orang, ia menusuk dan menyerang kepala rampok ini.

Dan ketika yang lain terpelanting dan si kepala rampok menjerit, mengelak dan membanting tubuh maka pedang hitam masih menyerempet pundaknya dan terpangkaslah sebagian kulit daging.

"Crat!" Li Ceng mengamuk dan memburu perampok ini. Laki-laki itu ngeri dan berteriak panjang dan sekali lagi pedang meluncur cepat. Golok dan senjata lain dari anak buah rampok terpental bertemu pedang hitam, bahkan ada yang patah dan mengenai pemiliknya sendiri. Tapi ketika menjeletar sebuah cambuk bergerigi yang menangkis serangan ini, Li Ceng terkejut maka muncullah seorang laki-laki kate menyeruak kerumunan. Dialah pemegang cambuk itu.

"Jangan bersikap telengas. Berhenti dan hadapilah aku!"

Para perampok mundur bersorak. Tadinya mereka bernafsu menyerang Li Ceng tapi begitu dibalas dan melihat kelihaian wanita ini merekapun buyar berantakan. Yang senjatanya patah-patah cepat menyelinap dan bersernbunyi di balik semak belukar, itulah tempat aman bagi mereka.

Tapi ketika si kate ini muncul sementara si kepala rampok meloncat bangun dengan pundak berdarah maka Li Ceng tertegun berhadapan dengan orang kate ini, apalagi ketika berturut-turut muncul empat kate lain dengan senjata serupa, cambuk yang ujungnya diberi bandulan bergerigi dan tampak ganas dan mengerikan.

"Heh-heh, ini kiranya wanita yang kau sebutkan itu. Eh, boleh juga wanita ini, Lai Su, sekarang mundurlah dan Iihat kami menangkapnya!"

Li Ceng berhadapan dengan lima laki-laki pendek yang hanya sebatas dada-nya saja. Mereka itu mengurung dan terkekeh-kekeh sementara wanita ini terbelalak marah. Dari tangkisan tadi ia maklum bahwa orang-orang kate ini bukan orang sembarangan, pedangnya digubat dan hampir terlepas. Tapi karena ia dibokong dan menjadi marah, betapapun ia tak takut maka ia membentak siapa lawan- lawannya ini.

"Bagus, kalian rupanya juga perampok-perampok. Sebutkan nama kalian sebelum mampus di ujung pedangku!"

"Heh-heh, kami Ngo-kee Hong-san (Lima Jago Dari Gunung Hong-san). Kau siapa, nona, masih gadis atau bukan!"

"Kalian tak perlu tahu namaku, kalau ingin maju majulah, aku tidak takut!"

"Bagus, tapi kami tak ingin menangkap korban kami tanpa diketahui namanya."

"Benar, dan kami paling malu kalau mengeroyok. He, tangkap dan robohkan dia, sam-heng, jangan biarkan pentang bacot membuat telinga merah!"

Li Ceng terkejut. Belum habis suara itu tiba-tiba yang ada di belakangnya menyambar. Loncatannya seperti katak dan tahu-tahu cepat sekali pundaknya dicengkeram. Orang ini bergerak tanpa suara dan rupanya adalah sam-suheng (kakak nomor tiga). Tapi karena dia memasang kewaspadaannya dan memutar tubuh maka pedang di tanganpun terayun dan membabat. Tapi begitu ia membalik tiba-tiba empat yang lain bergerak dan menyerang!

"Curang, pengecut! Mana bukti kalian tak ingin mengeroyok, kate-kate busuk. Kalian benar-benar manusia tak tahu malu yang hina dan rendah.... cring-crangg!"

Li Ceng menangkis dan berkelebatan mengelak serangan lawan. Mereka terkekeh dan menubruk namun cambuk belum bekerja, Li Ceng menangkis dan membuat mereka terpental. Tapi ketika lima orang ini maju lagi dan cambuk menjeletar maka Li Ceng dibuat sibuk berkelebatan ke sana-sini. Dan oborpun mulai di pasang orang untuk menonton.

"Bagus, robohkan dia. Aih, cambuk pinggulnya, susiok. Wah, luput!"

Lai Su, kepala rampok berteriak-teriak. Ternyata Ngo-kee Hong-san ini adalah paman- paman gurunya yang amat lihai. Dia meminta bantuan sementara teman-teman rampok lainnya dikumpulkan. Laki-laki ini penasaran dan menaruh dendam atas kematian kawan- kawannya. Dia tak jera dan mencari lima paman gurunya ini.

Dan ketika lima orang itu bergerak dan mengelilingi Li Ceng, wanita itu dibuat sibuk oleh lima cambuk panjang yang meliuk, dan naik turun bagai ular hitam maka akhirnya Li Ceng menjerit juga terkena lecutan. Pundaknya pedas terkupas. Benda tajam di ujung bandul bergerigi menyengat tajam.

Namun karena ia membalas dan bukan wanita sembarangan, Li Ceng adalah murid sekaligus cucu seorang tokoh Kun-lun maka tiba-tiba tangan kirinya mengibas dan keluarlah Lui-kong-ciang atau pukulan Geledek yang menghantam satu dari lima orang kate itu.

"Aduh!" Orang ini bergulingan. Setelah Li Ceng menggerakkan tangan kirinya membantu pedang hitam maka lawanpun terkejut. Ngo-te atau orang kelima menjerit, meloncat bangun dan terhuyung serta terbelalak di sana.

Namun ketika ia maju lagi dan mengeroyok, Li Ceng menggigit bibir maka wanita ini mendapat kenyataan bahwa lawan yang dihadapi adalah orang-orang tangguh. Mereka itu pandai memainkan cambuk hingga meledak-ledak. Sesekali lima cambuk itu menyatu dan saling belit bagai rantai, terayun dan siap meringkus tubuhnya bagai gelang.

Kalau ia tertangkap tentu sukar melepaskan diri, cambuk itu menciut dan akan mengecil, menjerat. Dan karena berkali-kall Ia tak dapat Memutuskan cambuk, senjata itu lentur melepaskan diri maka Li Ceng kewalahan juga akan gerak lima orang yang dapat saling isi-mengisi ini.

Akan tetapi lima orang itupun kagum. Mereka harus bekerja keras kalau ingin menangkap wanita ini hidup-hidup. Tubuh Li Ceng berkelebatan di antara lima cambuk bagai kecapung menari-nari, sesekali kecapung ini berubah menjadi elang betina, mematuk dan menyergap mereka dengan ujung pedang mengancam kepala.

Tak jarang mereka harus melempur tubuh menghindarkan serangan pedang yang amat cepat ini. Dan karena dari tangan kiri wanita itu juga menyambar hawa pukulan panas Lui-kong-ciang, inilah warisan Lui-cu si Mutiara Geledek maka dengan ini wanita itu dapat bertahan meskipun akhirnya Li Ceng mandi keringat. Wanita ini memaki-maki.

Para rampok bersorak dan Li Ceng benar-benar marah. Ia seakan tontonan menarik bagi kaum hidung belang di situ, apalagi ketika cambuk mulai mematuk dan menghajar pakaiannya. Dengan sinkangnya ia dapat bertahan namun baju yang tipis mulai pecah-pecah. Li Ceng merah padam setiap kali para perampok itu bersorak melihat pakaiannya robek. Ia risi dan marah bukan main.

Tapi karena lima orang kate itu hebat bukan main dan mengurung serta mengelak pukulan tangan kirinya, terkekeh dan maju lagi maka sadarlah wanita ini bahwa lawan hendak menghabiskan tenaganya. Mereka akan menangkapnya hidup-hidup.

"Ha-ha, bagus, biarkan mengamuk. Jangan bunuh si cantik ini, ji-heng. Kita tangkap hidup-hidup. Ilmu silatnya hebat, pantas untuk menjadi isteri kita!"

"Hmm, bagaimana dengan permintaan Lai Su. la hendak membalas kematian kawan-kawannya, sam-te. Gadis ini hendak dijadikan tumbal!"

"Wah, sayang, lebih baik kita peristeri saja. Setelah melihat dan merasakan sendiri aku merobah pikiranku. Sebaiknya ia untuk kita berlima!"

Benar," yang botak berseru. "la untuk kita, ji-te. Lihat betapa susah payah kita robohkannya. Awas, pergunakan Ngo-heng-tin dan biarkan ia kehabisan napas!"

"Cring-crangg!" bandul bertemu pedang dan Li Ceng terhuyung. Dua serangan menyambarnya dari kiri kanan dan ia mengelak, dikejar dan menangkis namun pedangnya terpental. Pucatlah wanita ini karena tenaganya mulai merosot, ia hampir menangis.

Dan ketika si botak terkekeh dan rupanya merupakan orang tertua, yang lain menurut dan mengikuti perintahnya maka lima orang itu mulai menyerang dari-jauh dan cambuk mereka berputar-putar di udara menyambar dan menyengat kalau diperlukan.

Tersedulah Li Ceng. Ia tiba-tiba merasa begitu hancur dan sakit hatinya oleh pertandingan ini. Ia merasa betapa dirinya dijadikan bahan sorakan laki-laki rendah dari para perampok itu. Lima orang kate ini tak mau bertempur dengan jarak dekat setelah mengambil kesepakatan.

Pedangnya tentu saja tak dapat dipakai menyerang karena selalu menangkis dan menghalau lima cambuk yang meledak-ledak di udara. Dan karena ia mulai terdorong dan terhuyung-huyung, lima kate itu terkekeh-kekeh maka habislah harapan wanita ini untuk memperoleh kemenangan. Li Ceng malah bersiap untuk bunuh diri kalau ia roboh!

Akan tetapi di saat perampok bersorak-sorai dan Li Ceng mendapat hajaran cambuk maka datanglah bintang penolong dari luar kepungan. Seorang nenek baju kembang berkelebat masuk, ia membentak dan langsung menghajar perampok-perampok ini. Dan ketika perampok berteriak dan roboh terpelanting, sebatang pedang menyambar-nyambar maka merekapun menjerit dan roboh. Nenek itu terus merangsak ke depan membuat perampok jatuh bangun menyingkir, pedangnya amat hebat dan cepat sekali diputar.

"Siapa ini tak tahu malu mengeroyok seorang wanita muda. He, minggir kecoa-kecoa busuk. Ada apa kalian bersorak riuh seakan mendapat tontonan menarik!"

Kagetlah Lai Su dan anak buahnya. Mereka tahu-tahu. diserang dari belakang dan roboh. Nenek itu dengan bengis menusuk dan menikam mereka, pedang dicabut dan darah segarpun muncrat. Dan ketika kepungan menjadi buyar dan otomatis menyibak, terbelalaklah nenek ini melihat pengeroyok Li Ceng maka diapun berseru dan sudah masuk ke arena pertandingan.

"Kiranya iblis kate dari Hong-san. He,,tak tahu malu benar kalian mengeroyok seorang wanita muda, Ngo-kee Hong-san, tak pantas kalian menyebut sebagai jago-jago ternama. Lihat pedangku dan inilah lawanmu!"

Lima orang itu tentu saja terkejut. Mereka sudah merasa girang bahwa sebentar lagi lawan mereka ini akan roboh. Li Ceng sudah terhuyung-huyung dan kehabisan tenaga. Hanya berkat kekerasan hatinya saja pedang itu masih tercekal erat-erat padahal pergelangan tengannya sudah terluka. Maka begitu nenek ini masuk dan memaki mereka, pedang menyambar dan menusuk punggung maka Ngo- te atau orang kelima berteriak paling dulu.

"Heii, kau Hwa-i Sin-ni!"

Nenek ini tertawa dingin. Enak saja ia menusuk dan menyerang lawannya, muncul dari belakang. Dan ketika lawan mengelak dan menangkis gugup tangan kirinyapun melayang menampar pipi si kate itu.

"Plak!"

Si kate terbanting dan bengap. Ia bergulingan namun Hwa-i Sin-ni tak mengejar, pedangnya justeru menusuk dan menikam yang lain. Dan ketika berturut-turut empat orang itu dibuat terkejut, menangkis dan mengelak serangannya maka Li Ceng terlepas dari kepungan dan bernapas lega. Kini nenek itu berkelebatan dan menyerang sana-sini.

"Heh-heh, tua sama tua. Ayo, aku juga masih segar!"

Ngo-kee Hong-san berubah. Mereka telah bertanding memeras tenaga melawan Li Ceng yang lihai, kini tahu-tahu nenek itu muncul dan menyerang mereka. Dan ketika Li Ceng juga membentak dan tak mau sudah, menerjang mereka maka lima orang kate ini pucat dan bingung. Pedang Hwa-i Sin-ni menyambar naik turun bagai kilatan cahaya yang menuju tenggorokan atau dada mereka.

"Keparat!" si botak membentak. "Kau mencampuri urusan kami, Hwa-i Sin-ni. Sejak kapan kami mengganggumu mencampuri urusanmu!"

"Hm, ini juga urusanku. Kau mengganggu sesama wanita seperti aku, It-kee. Enyahlah! Siapa bilang tidak mengganggu kalian. Pergi atau roboh di ujung pedangku. plak- brett!" pedang menghantam cambuk dan diputar membelit, ditarik dan si botak terbawa ke depan dan melayanglah tangan kiri nenek itu. Tamparannya menuju ke kepala. Dan ketika si botak menjerit dan menggerakkan tangan kirinya pula maka bertemulah dua tangan mereka dan kakek ini terjengkang.

"Aduh!" Kiranya si nenek lebih kuat. Satu lawan satu memang bukan tandingan Hwa-i Sin-ni, dulu mereka pernah bertemu dan hanya berkat keroyokan saja wanita itu berimbang. Kalau kini mereka dapat mendesak Li Ceng hal itu tidak lain karena wanita ini sedang mengalami pukulan batin, juga karena beberapa hari ini wanita itu tak mengurus makan minumnya. la lemah.

Maka ketika Hwa-i Sin-ni tiba-tiba muncul dan kebetulan lewat di situ, mengenal pula Ngo-kee Hong-san ini sebagai musuh lamanya maka tak ayal ia menimbrung dan membantu Li Ceng, marah karena lima kakek itu menyerang dan mengeroyok seorang wanita muda.

Kini pecahlah Ngo-heng-tin dari lima kakek kate ini. Mereka memang lihai dan berbahaya kalau maju berbareng, ilmu cambuk mereka hebat dan mampu bekerja sama. Tapi begitu diobrak-abrik Hwa-i Sin-ni dan Li Ceng bangkit semangatnya, ia merasa seakan mendapat tambahan tenaga maka wanita itupun menyerang dan ganas membalas lawan.

Tak ampun lagi Ngo-kee terkena babat pedang Hwa-i Sin-ni dan berteriak roboh. Orang termuda dari lima kate ini tewas, lehernya hampir putus. Dan ketika su-te atau orang nomor empat juga berteriak oleh tusukan Li Ceng, roboh dan menggeliat maka dua dari kakek-kakek ini tergelimpang mandi darah.

Paniklah tiga kate sisanya. la berteriak menyuruh Lai Su dan anak buahnya maju. Kakek itu memaki-maki dan marah sekali karena para perampok tak ada yang maju, mereka ketakutan oleh pedang di tangan dua orang itu. Dan ketika Lai Su memberanikan diri dan membentak teman-temannya maka iapun maju dan Li Ceng beringas melihatnya, berkelebat.

"Bagus, kau yang menjadi gara-gara. Serahkan jiwamu, tikus busuk. Melayanglah ke akherat!"

Laki-laki ini sebenarnya sudah terluka. la terbabat pundaknya dan menyerang berlindung di balik punggung temannya. Tapi karena pedang hitam bukan lawan anak buah rampok dan mereka itupun sudah gentar oleh tandang wanita ini, juga nenek baju kembang itu maka yang di depan menjerit dan terlepas goloknya, dan pedang Li Ceng masih terus menuju dada kepala rampok ini.

"Tidak, jangan... aughh!"

Pedang menancap dan dicabut keluar. Li.Ceng demikian benci kepada kepala rampok ini hingga pedangnya menembus punggung. Laki- laki itu tak sempat mengelak dan ia tak mungkin mengelak. Ia menjerit menerima kematiannya. Dan ketika laki-laki itu roboh dan yang lain menjadi pucat maka anak buah rampok memutar tubuh dan lari berserabutan. Tiga dari kakek kate ternyata sudah lebih dulu lenyap menyambar mayat dua adiknya.

"Jangan lari!" Li Ceng mengejar dan masih marah. Kalian tadi bersorak-sorak mengejek aku, tikus-tikus busuk. Terimalah kematian kalian dan susul kawan-kawan kalian di akherat!" pedang masih membabat lagi tiga perampok yang berteriak roboh, tertelungkup dan hendak menyusul lagi namun Hwa-i Sin-ni berkelebat menahan.

Nenek itu berseru agar sisa yang lain dibiarkan saja, mereka itu hanya orang-orang rendahan. Dan ketika Li Ceng tertegun mengusap pedangnya,banyak darah di situ maka wanita inipun menangis dan melempar pedangnya, mengguguk menubruk nenek ini.

"Locianpwe siapa, terima kasih atas bantuanmu. Tapi aku lebih baik mati, locianpwe... lebih baik mati!"

Nenek itu tersenyum dan menarik napas lega. Ia terharu mendengar tangis dan kata-kata ini dan maklumlah dia bahwa sesuatu yang berat sedang menghimpit batin yang ditolongnya ini. Ia kagum akan kepandaian Li Ceng dan sesungguhnya tertarik. Maka ketika ia memeluk dan mengusap rambut hitam halus itu, teringat muridnya sendiri maka nenek ini berkata menyimpan pedangnya.

"Aku Hwa-i Sin-ni, mereka tadi sudah menyebutku. Siapa kau, anak baik. Ilmu pedangmu sebenarnya bagus dan pukulan tangan kirimu tadi luar biasa. Kau pasti murid seorang pandai!"

"Aku. .. aku wanita malang. Aku sedang mengalami nasib buruk, locianpwe. Suamiku... suamiku tak mau tahu aku. la mengusirku!"

"Hm-hm, urusan rumah tangga. Sebaiknya kita bicara yang enak, anak baik, keluar saja dari tempat ini. Aku tak mau bicara di tempat yang banyak mayatnya begini. Kau telengas oleh sakit hati!"

Li Ceng tersedu-sedu. Dipeluk dan diusap nenek itu mengingatkannya akan orang tuanya sendiri, mendiang kongkongnya yang lembut dan penuh sayang itu. Maka ketika ia diajak pergi keluar hutan, nenek itu memungut dan mengembalikan pedangnya maka di tempat sepi mengeluarkan bungkusannya nenek ini menawarkan makanan penangsal perut. Api unggunpun dibuat.

"Kau mengingatkan akan muridku, cantik dan pemberani. Ada persamaan di antara kalian berdua, Li Ceng. Kiranya kau murid Kun-lun. Hm, pantas lihai!"

Li Ceng telah memperkenalkan dirinya dan percakapanpun dimulai. Ia menyebut sebagai murid Kun-lun tapi tak menyebut kakeknya, si Mutiara Geledek. Tapi karena murid Kun-lun rata-rata lihai dan nenek itu mengangguk maka Li Ceng Ďitanya tentang suaminya itu.

"Aku tak bermaksud mencampuri urusan pribadi, tapi kalau kau ingin melepaskan himpitan batin itu tentu saja aku siap mendengar. Nah, ceritakanlah permasalahanmu itu, anak baik, mungkin aku dapat menolong. Apakah paman atau saudara-saudara seperguruanmu tak ada yang membantu. Siapa suamimu yang kurang ajar itu!"

Li Ceng menutupi muka. Air matanya masih juga mengalir dan nenek itu kasihan. Dari sini ia tahu bahwa permasalahan betul-betul berat. Maka ketika ia membiarkan wanita muda itu melepas tangisnya, tak akan bertanya kalau belum dijawab akhirnya Li Ceng mereda juga dan tinggal isak-isak kecil. Nenek itu memberinya sepotong roti kering, juga minum.

"Sebaiknya kau isI dulu perutmu, pulihkan tenaga. Aku tak akan memaksa kalau kau tak suka."

"Tidak, tidak... kau telah menyelamatkan nyawaku, locianpwe, telah menolongku. Aku tak akan menyembunyikan permasalahanku kepadamu. Aku percaya. Semua kejadian ini sebenarnya bersumber pada jahanam Chi Koan!"

"Chi Koan? Siapa yang kau maksud?"

"Bekas murid Go-bi itu, si terkutuk!"

"Astaga, maksudmu pemuda yang mendapatkan Bu-tek Cin-keng itu? Dia?"

"Betul, locianpwe, dan inilah sumber penyakit utama. Ia mendatangi rumahku di saat suamiku tak ada!"

Nenek itu tergetar. Sebagai orang kang-ouw dan dulu pernah juga beramai-ramai mencari Bu-tek Cin-keng namun gagal tentu saja nenek ini tahu siapa itu Chi Koan. Dia terkejut dan memandang Li Ceng lekat-lekat. Siapa wanita muda di depannya ini sebenarnya, kenapa Chi Koan sampai mendatanginya. Dan ketika ia batuk-batuk dan menaruh curiga maka nenek itupun tak dapat menyembunyikan perasaannya.

"Maaf, pemuda itu kabarnya sudah ditangkap dan dihukum di Go-bi, Li Ceng, bagaimana kau mengatakan bahwa ia mendatangi rumahmu. Apa keperluannya dan siapa pula suamimu itu."

"Ia hendak membalas dendam, ia telah lolos dari Go-bi. Maksud kedatangannya memang hendak mengganggu aku, locianpwe, tahu bahwa suamiku tidak di rumah."

"Aneh, pemuda itu amat lihai. Kenapa ia justeru datang di saat suamimu tak ada di rumah. Agaknya ia takut kepada suamimu itu!"

"Benar, ia takut sekali. Suamiku itulah yang menangkap dan menjebloskannya di Go-bi, locianpwe. la tak mungkin datang kalau suamiku ada di sana!"

"Astaga, kalau begitu suamimu itu adalah si Naga Gurun Gobi Peng Houw? Jadi... jadi kau ini isterinya?"

Hwa-Sin-ni terkejut bukan main, tak menyangka bahwa yang ditolongnya itu adalah isteri Naga Gurun Gobi. Ia sampai terbelalak dan kaget namun Li Ceng menangis. Tak ada kebanggaan disebut sebagai isteri seorang tokoh terkenal, ia bahkan tersedu lagi. Namun ketika nenek itu mengguncang pundaknya dan maklum siapa wanita ini, tentu saja hormatnya, semakin tinggi maka Li Ceng berhenti menangis. tinggal isak-isak kecil saja.

"Kalau begitu kau adalah cucu si Mutiara Geledek Lo Sam. Kakekmu itu orang amat lihai di Kun-lun. Hm-hm, mengerti aku. Pantas kalau tak ada tokoh-tokoh Kun-lun berani menolongmu, Li Ceng, tak tahunya yang dihadapi adalah suamimu yang hebat itu. Siapa berani memutar kumis si Naga Gurun Gobi!"

"Tapi ia suami yang buruk, aku benci. la tak mengenal perasaan perempuan. dan ia menyakiti aku begitu hebat locianpwe. Dan.. la.. Ia...!"

"Sudahlah," nenek ini menangkap Li Ceng yang hendak roboh. "Kalau sudah begini laki-laki memang tak mau tahu perasaan perempuan, Li Ceng, aku juga pernah muda dan mengalami patah hati. Aku mengerti perasaanmu. Jangan ceritakan lagi karena aku maklum."

Li Ceng memejamkan mata. Ia hampir tak kuat teringat Peng Houw menyamakannya dengan mendiang ibunya dulu. la dianggap keturunan isteri penyeleweng! Tapi ketika nenek itu menghiburnya dan ia tabah, nenek itu dipeluknya maka sekarang gilirannya menceritakan puteranya Boen Siong.

"Semua ini masih ditambah kemalangan baru. Aku benar-benar terhimpit. Puteraku Boen Siong lenyap tak diketahui di mana, locianpwe. Aku serasa ingin bunuh diri teringat semuanya ini!"

"Hm, ceritakan itu, ini lebih penting. Aku juga tak suka mendengar kekejaman laki-laki dan bagaimana puteramu bisa hilang. Akan kucari dia!"

Li Ceng menangis. Ia menceritakan asal mula kejadian rumah tangganya lagi, betapa Chi Koan mendatanginya dan membuat ia menyembunyikan anaknya, berkat pembantunya yang cerdik dan setia. Tapi ketika ia tak mendapatkan puteranya lagi dan panik serta cemas maka selanjutnya ia bertemu suaminya itu.

"Cukup, untuk ini aku tak mau dengar. Yang ingin kutahu adalah puteramu itu, Li Ceng. Bagaimana pembantumu tak tahu siapa penculiknya."

"Ia. hanya melihat semacam mahluk berbulu, besar. Selanjutnya ia tak tahu apa-apa karena pingsan. Waktu itu semua dari kami memang panik!"

"Hm, tak tahu apa-apa kecuali itu? Mahluk besar berbulu? Repot, terlalu minim. Susah juga melacak jejak. Tapi aku akan membantumu, kucari anakmu itu dan akan kuantar kepadamu. Baiklah, aku juga harus menyusul muridku, Li Ceng. Apa sekarang yang hendak kau lakukan dan maukah kau bersamaku."

Wanita ini menggeleng. "Aku tak mau merepotkan orang lain, locianpwe, terima kasih atas bantuanmu. Aku... aku hendak mencari puteraku sendiri. Aku juga akan menemukannya sampai dapat. Kalau kau menemukannya biarlah aku yang datang dan di mana kau biasanya tinggal."

"Aku tinggal di Tung-hai, sewaktu-waktu dapat kau temukan. Aku terharu dan prihatin atas nasibmu, Li Ceng, mudah-mudahan puteramu selamat dan dapat kita temukan. Biarlah malam ini kutemani kau dan besok kita berpisah."

Li Ceng terharu. "Locianpwe hendak mencari murid locianpwe?"

"Ya, namanya Nan Bi. Anak itu ke markas Hek-i Kai-pang dan aku khawatir. Aku hendak menyusulnya dan menjaganya. Katanya ia akan datang di saat perkumpulan itu berulang tahun."

"Ada urusan apa?"

"Membela bibinya yang katanya diperas Hek-i Kai-pang. Ah, anak-anak sekarang terkadang terlampau berani dan ia menantang tanpa melihat diri sendiri. Aku harus datang dan akan melihatnya."

Malam itu Hwa-i Sin-ni menemani Li Ceng. Mereka bereakap-cakap dengan lebih banyak, wanita ini menangis, nenek itu berkali-kali menghibur. Tapi ketika malam semakin larut dan Li Ceng disuruh tidur maka nenek inipun mengecilkan api unggun menepuk punggungnya.

"Sudahlah, semua kepahitan ini akan mendewasakan seseorang. Sekarang mari beristirahat, Li Ceng, besok aku harus meninggalkan dirimu."

Malam itu mereka tidur. Tak ada apa-apa yang mengganggu sampai akhirnya ayam hutan berkokok. Hampír berbareng dua orang ini meloncat bangun. Dan ketika nenek itu tersenyum dan mencuci mukanya maka iapun berkata bahwa masing-masing pihak harus menjaga diri baik-baik.

"Kau tak mau ikut denganku, baiklah. Jaga Ďirimu baik-baik, Li Ceng. Terimalah sedikit bungkusan ini untuk teman di perjalanan. Kau tak boleh kelaparan atau kehausan. Ingatlah puteramu menantíkan ibunya."

Li Ceng mengangguk haru. "Locianpwe akan ke Hek-i Kai-pang?"

"Ya, menjaga muridku, Li Ceng. Selamat berpisah!"

Nenek itu berkelebat. Setelah ia berpesan dan menyuruh wanita itu sabar maka ia meninggalkan Li Ceng. Li Ceng memandang kepergian nenek ini sampai akhirnya iapun meninggalkan tempat itu. Dan ketika masing-masing berpisah dan wanita ini melanjutkan perjalanan maka Li Ceng berpikir ke mana ia mau pergi...

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.