Kabut Di Telaga See Ouw Jilid 08 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Serial Bu-beng Sian-su Karya Batara

Kabut Di Telaga See Ouw Jilid 08


TAPI di balik itu menteri ini melakukan sesuatu yang culas, licik. Hek-i Kai-pang disuruhnya mencari dana, mendatangi orang-orang kaya dan rakyat untuk berderma. Dengan dalih kemanusiaan dan keamanan anggauta-anggauta Hek-i Kai pang ini memeras siapa saja. Mereka tak segan mendatangi restoran atau losmen-losmen penginapan, meminta sedekah dan dengan itu katanya menjaga keamanan.

Dan karena selama ini Hek-i Kai-pang juga menjaga langganan-langganannya, rumah-rumah makan dan penginapan memang bebas dari kejahatan maka pemilik atau penyandang dananya tak keberatan. Namun akhir-akhir ini Hek-i Kai-pang mulai kelewatan. Mereka sudah berani menetapkan berapa iuran yang harus dibayarkan orang-orang kaya atau pemilik restoran itu.

Mereka tak segan-segan memaksa dan mengambil sikap. Seorang hartawan pernah dihajar sampai sebulan tak mampu bangun. Dan karena tindakan itu mulai bengis dan tidak manusiawi maka diam-diam Hek-i Kai- pang dimusuhi dan tak disukai orang, apalagi oleh penduduk Kwang-sin sendiri.

"Kami menjaga keamanan dan ketertiban di sini, siapa banyak bacot. Kalau kami tak melindungi dan menjaga kalian apakah usaha kalian bisa maju. Heh, lihat ketertiban dan keamanan kota ini, tuan-tuan. Kalau Hek-i Kai-pang tak menjaga ini apakah rumah makan dan penginapan kalian maju. Lihat pula perdagangan kaum nelayan, siapa menjaga mereka. Itu adalah hasil kerja keras kami. Dan ingat, kami dilindungi Gak-taijin!"

Para penyumbang dana berkerut surut. Kalau Hek-i Kai-pang sudah membawa-bawa nama Menteri Gak memang tak akan ada yang berani melawan. Jangankan mereka, pemilik rumah makan atau pedagang. Walikota setempat juga takut dan jerih berhadapan dengan pengemis baju hitam ini.

Lo-ciangkun (perwira Lo) yang membawahi keamanan dengan tiga ratus pasukannya juga tak berani banyak berkutik, semua bukan lain karena bayang-bayang Gak-taijin di punggung orang-orang Hek-i Kai-pang itu. Tapi ketika suatu hari perkumpulan pengemis ini menaikkan dana lima kali lipat kepada para penyumbangnya maka terjadilah ribut dan geger. Rumah makan "Le-h hi-pa" menjadi korban pertama.

"Kami menetapkan seribu tail untuk bulan ini, tak boleh kurang. Pangcu (ketua perkumpulan) telah membagi-bagi tugas agar kalian berpartisipasi memeriahkan ulang tahun kami. Gak-taijin akan datang!"

"Ah, mana kami dapat menyediakan itu. Seribu tail terlalu banyak, ,siauw-kai, kami tak sanggup. Pagi ini saja belum terkumpul seratus tail, kami baru Buka!" pemiliknya, seorang taoke gendut menolak dengan marah.

Pagi itu dua pengemis muda mendatanginya dan menyodorkan surat sumbangan suka rela, ditandatangani oleh Hek-sai Lo-kai namun tentu saja pemilik rumah makan ini terkejut. Sumbangan itu bukan suka rela lagi, melainkan paksaan, apalagi sejumlah seribu tail! Maka ketika ia menolak tapi pengemis itu tertawa dingin, sekali lagi memintanya tapi taoke ini menggeleng kepala maka pemilik rumah makan itu buru-buru membuka lacinya memperlihatkan isinya.

"Lihat, baru ada delapan puluh lima tail, belum seratus. Ini saja yang kuberikan kalian dan sampaikan maaf pada pangcu.”

"Kau tak menghargai kami yang setahun sekali merayakan ulang tahun? Kau tak menghargai Gak-taijin yang akan datang dan menghormati kota ini? Baik, sekali lagi seribu tail atau tidak sama sekali, babi gendut. Kau bayar atau kami pulang melapor!"

"Aku belum punya sebanyak itu...."

"Kemarin Rumah makanmu laris, kau baru diborong pesta!"

"Ah, tidak banyak keuntungannya, siau kai, hanya pesta pertunangan!"

"Cukup, kalau begitu kami kembali" dan dua pengemis yang menggebrak meja dan melempar uang itu akhirnya dipandang dengan geram tapi juga takut oleh pemilik rumah makan ini. Dia melihat ancaman di situ, buru-buru menghubungi Lo-ciangkun agar mengerahkan pasukannya menjaga rumah makannya.

Tapi ketika Lo-ciangkun hanya angkat bahu dan pergi meninggalkan kursinya maka perwira itu berkata bahwa pasukan di kota itu hanya sekedar formalitas belaka. Yang benar-benar menjaga dan melindungi keamanan adalah orang-orang Hek-i Kai-pang itu.

"Bodoh, kau masih mending. Aku sendiri dimintai sumbangan sebanyak tiga ribu tail, taoke, apa artinya dibanding seribu tail. Kau cepat saja ke markas Hek-i Kai-pang atau rumah makanmu nanti celaka!"

Benar saja, belum habis kata-kata ini datanglah berlari-lari seorang pelayannya. Taoke itu terkejut mendengar betapa restorannya dihancurkan pengemis-pengemis Hek-i Kai-pang. Tak kurang dari lima puluh orang datang ke tempatnya, mengobrak-abrik dan menghancurkan meja kursi. Lalu ketika taoke ini berlari dan menangis sepanjang jalan benar saja dilihatnya rumah makannya itu sudah hancur, bahkan dibakar! Berteriak-teriaklah taoke gendut ini.

Semua orang tak ada yang berani menolongnya sampai restorannya benar-benar ludes terbakar. Orang di sekeliling hanya menonton dari kejauhan. Dan ketika taoke itu pingsan sementara anak isterinya juga menangis bergulingan, tak dihiraukan siapapun akhirnya datanglah pasukan Lo-ciangkun memadamkan api.

Ternyata di sini pemilik rumah makan itu mendengar gerundelan. Seorang di antara pasukan bercerita bahwa gajinya dipotong sepuluh tail per bulan, tiga ratus pasukan berarti tiga ribu tail. Lalu ketika dia tertegun teringat omongan ciangkun maka berdirilah dia mengepal tinju.

"Keparat, orang seperti Lo-ciangkun begitu enak mencari duit. Diperas Hek-i-Kai- pang ganti memeras anak buahnya. Apakah aku harus memeras para pelayanku untuk dana Hek-i Kai-pang? Tak adil, biar kulapor kepada walikota!"

Namun Sok-taijin, sang walikota menghindar dari kedatangan warganya ini. la pura-pura disibukkan urusan pekerjaan dan tak ada waktu menemui, pemilik restoran terbelalak. Lalu ketika dia ditemui bawahan Sok-taijin dan ditanya mau apa maka bawahan itu tertawa padanya dengan sikap dingin.

"Mencari keadilan? Mengadu perbuatan Hek-i Kai-pang? Ah, sia-sia, tak akan berhasil. Ketahuilah bahwa taijin pun dikenai sumbangan suka rela, Wangwe lebih besar daripada kau. Dan kamilah yang dikenai potongan pengumpul daná. Pulang dan jangan pikirkan lagi itu atau malah nyawamu terancam!"

Lelaki gendut ini tertegun. Kiranya walikotapun tak berkutik, Hek-i Kai-pang benar- benar hebat. Lalu ketika ia kembali dengen lesu tahulah dia bahwa perkumpulan pengemis itu tak boleh dibuat main-main. Pejabat pemerintahpun tak berkutik di bawah bayang-bayang Hek-i Kai-pang, atau lebih tepat, bayang-bayang Gak-taijin itu!

Memang ada cerita panjang di sini, cerita yang tak diketahui orang luar. Yakni bahwa dengan meminjam namanya tentu saja menteri itu minta imbalan. Upeti, begitulah. Dan karena tidak semua sumbangan dinikmati Hek-i Kai-pang sendiri maka orang-orang atau anggauta perkumpulan itu akhirnya bersikap bengis kepada orang lain, tak perduli rakyat atau kaum pemerintahan, tentu saja di daerah.

"Kami menghidupi Gak-taijin, dari dialah semuanya ini kita dapat. Maka pertahankan sebesar-besar mungkin dana dari penyumbang, anak-anak. Katakan pada mereka bahwa imbalannya adalah ketenteraman dan ketenangan bekerja!"

Hek-sai Lo-kai berkata pada muridnya ketiká itu. Ia hendak memberi tahu bahwa sebagian dari hasil harus diserahkan menteri she Gak itu, bukan untuk mereka semua. Dan karena pengaruh Gak-taijin benar-benar membuat mereka ditakuti, hal ini menimbulkan bangga sekaligus kesombongan akan sepak terjang orang-orang Hek-i Kai-pang itu semakin kurang ajar, berani. Dan puncaknya adalah pada saat perkumpulan pengemis itu hendak merayakan ulang tahun.

"Pinto dicegat dan dimintai sumbangan, apa-apaan itu. Masa setiap orang lewat dimintai uang!"

Begitu Giok Yang Cinjin berkata pada Peng Houw. Waktu itu Peng Houw bertanya apa sebabnya mula-mula tosu itu dimusuhi, apakah sebelumnya ada persoalan lain yang membuat orang-orang Hek-i-Kai-pang marah. Tapi ketika Peng Houw bersinar dan berkerut mendengar ini maka pemuda itu mengangguk-angguk kemudian menyelidiki sendiri.

Dan benar, setelah dia terjun dan pura-pura berpakaian pengemis seperti anggauta Hek-i Kai-pang maka banyak yang dilihatnya. Penjual sayur dan tukang loak pun didatangi, semua dimintai sumbangan. Dan ketika Peng Houw menjadi marah namun ditekan pergelangannya oleh supeknya itu maka Giok Yang Cinjin memperingatkan bahwa belum waktunya bertindak.

"Kita masih mempunyai urusan pribadi, kalau belum apa-apa mengamuk dan marah-marah di sini jangan-jangan urusan sendiri kacau. Tidak, tahan semua kemarahanmu itu, Peng Houw. Lihat dan dengar saja tanpa ikut campur. Kita masih menunggu puncak keramaian itu untuk mencari jejak anak isterimu!"

"Tapi mereka benar-benar terlalu. Ah tukang sayur dan loakpun diminta sumbangannya, supek, apa-apaan itu. Bukankah menyakiti rakyat kecil. Apakah walikota atau pasukan keamanan tak ada yang dapat mencegah ini!"

Namun Peng Houw segera mendengar itu, ular-ular ompong macam Lo-ciangkun dan Sok-taijin.

"Walikota? Ah, sama seperti kami. Dia dan siapapun tak ada yang berani menggugat Hek-i Kai-pang, anak muda. Perkumpulan itu dilindungi Gak-taijin, kau siapakah bukankah orang Hek-i Kai-pang!"

Peng Houw lenyap. Teman yang diajak bicara adalah seorang kakek penambal sepatu, nyerocos bicara dan tiba-tiba sadar bahwa yang diajak bicara adalah seorang pengemis juga, Hek-i Kai-pang. Maka ketika dia berhenti namun secepat itu Peng Houw berkelebat lenyap, membuat kakek ini terkejut namun juga ketakutan akhirnya kakek itu malah terbirit-birit dan meninggalkan emperan toko itu. Untung hari sudah mulai gelap!

"Celaka, aku kelepasan bicara. Wah, apa yang akan dilakukan anak itu kepadaku, cucu-cucu. Mati aku kalau dicari dan ditangkap Hek-i Kai-pang!"

Peng Houw bertemu lagi dengan supeknya. la memencar di ujung jalan ketika sang supek menunjuk kakek itu tadi, melihat dari jauh. Dan ketika ia bercerita dan Giok Yang Cinjin menghela napas maka tosu ini geleng-geleng kepala melihat kebobrokan itu.

"Siancai, sungguh sial. Kalangan bawah selalu terjepit. Ah, begitulah hidup sehari-hari, Peng Houw, yang kuat menindas yang lemah dan pinto tak terlalu heran. Hanya bagaimana Gak-taijin itu dapat dirangkul Hek i Kai-pang. Ini tentu ada rahasianya!"

"Rahasia atau tidak tak boleh seorang menteri berbuat seperti itu. Rakyat ditindas dan selalu dicelakai, supek, mana namanya keadilan!"

"Eh, yang mencelakai adalah Hek-i Kai- pang, bukan Gak-taijin!"

Peng Houw. tertegun. Entah kenapa tiba-tiba dia sudah menuduh begitu. Dia memang mendengar bahwa menteri itu adalah Ketua Kehormatan Hek-i Kai-pang. Tapi karena sang menteri jauh di pusat kota raja sedangkan orang-orang Hek-i-Kai-pang ini di Kwang-sin maka dia berdiam diri dan tidak menyebut-nyebut menteri itu lagi. Giok Yang Cinjin menghibur.

"Yang harus kita salahkan adalah orang-orang dari perkumpulan pengemis ini , terutama Hek-sai Lo-kai, ketuanya. Biarlah di puncak acara nanti kita menegur dia."

"Tapi rakyat terlanjur sengsara, uangnya sudah diambil!"

"Untuk itu gampang, Peng Houw, malam nanti kita dapat berbuat sesuatu."

"Maksud supek?"

"Mengambil kembali uang derma itu, itu paksaan!”

Peng Houw berseri. Tiba-tiba ia girang dan mengangguk dan saat itu lewatlah empat pengemis Hek-i Kai-pang didepan mereka. Melihat dua orang ini tak bekerja apa-apa kecuali kasak-kusuk bicara sesuatu tak ayal lagi empat orang itu mendatangi. Mereka berteriak dan menanyakan kenapa dua "rekan" ini tak bekerja, bukankah semuanya sedang bertugas. Dan karena mereka sudah di depan dan tak mungkin menghindar maka Peng Hou buru-buru pergi menarik tangan supeknya itu.

"Kami baru mengaso, sekarang mencari derma. Maaf dan kalian pergilah..duk!" Peng Houw menyikut dua yang terdekat dan secepat itu merampas kantung hitam di sebelah pinggang. Itulah kantung uang hasil meminta sumbangan. Dan ketika dua yang lain terkejut tapi Giok Yang Cinjin tertawa mengibaskan lengan bajunya maka iapun menotok dua yang lain itu dan robohlah mereka berempat.

"Heiii...!"

"Keparat!"

Peng Houw lenyap bersama Giok Yang Cinjin. Mereka ini tak menghiraukan lagi seruan dan bentakan lawan-lawan mereka itu. Empat pengemis itu terkapar. Lalu ketika mereka meloncat dan bergerak ke timur maka Giok Yang Cinjin sudah mendengar di mana markas pengemis itu berada.

"Kita dapat ke sana, sekarang. Tapi hati-hati dan jangan sampai ketahuan!"

"Tunggu," Peng Houw berseru. "Uang ini harus kubagi-bagikan dulu, supek. Ini milik rakyat kecil!"

"Benar, dan cari penambal sepatu itu. Ah, pinto juga teringat dan mari datangi mereka itu!"

Akan tetapi Peng Houw tak menemukan kakek ini. Emperan toko di mana tadi dia bercakap-cakap sudah sepi, kakek itu tak kelihatan. Dan ketika Giok Yang Cinjin mengajaknya ke pasar dan bertemu penjual sayur atau buah-buahan maka sambil membuka kantung hitam itu pemuda ini melempar-lemparkan uangnya, logam dan kertas.

"Nih, untuk kalian. Pergi dan cepat menyingkir!"

Perbuatannya tentu saja menggemparkan isi pasar. Mereka yang tertegun tapi girang meraup uangnya segera terkekeh dan berseri-seri. Mereka hendak melihat siapa penolong mereka itu akan tetapi Peng Houw dan Giok Yang Cinjin sudah lenyap berkelebat, dua orang ini tak mau diketahui dengan jelas, bergerak dan sebentar kemudian sudah meninggalkan tempat itu. Lalu ketika Semua terbelalak. dan ada yang memanggil namun tentu saja tak dihiraukan maka Peng Houw dan tosu ini sudah melesat ke timur kota tertawa-tawa.

"Heh-heh, nenek itu terkejut dan tercengang. Ah, puas pinto melihat mereka gembira, Peng Houw. Nenek tua penjual sayur itu bengong!"

"Dan penjual buah itu seakan masih tak percaya. "Aku juga puas, supek, sekarang kita rampas yang lain dan kembalikan semua uang rakyat!"

Giok Yang Cinjin mengangguk. Mereka sudah meluncur menuju markas Hek-i Kai-pang dan di tengah jalan mereka bertemu pengemis-pengemis lain yang setugas dengan empat pengemis tadi, yakni mereka yang membawa kantung-keantung uang hasil penarikan derma.

Lalu merasa gemas oleh tingkah orang-orang ini tak ayal lagi Peng Houw menyambar dan membuat mereka kaget, berteriak dan mengejar namun Giok Yang Cinjin mengibas. Sekali dorong atau tamparan para pengemis itu terjengkang. Dan ketika mereka melanjutkan perjalanan tak perduli teriakan lawan, sebentar kemudian sepuluh kantung hitam berada di tangan maka Giok Yang Cinjin berseru agar menyimpan dulu uang itu.

"Masih banyak yang akan kita dapat. Simpan dan cari dulu tempat yang baik, Peng Houw. Kita cari sebuah kuil!"

"Kita tak menuju Hek-i Kai-pang?"

“Terlalu penuh tangan kita, nanti berceceran. Baiklah membelok dulu dan pinto ingat sebuah kuil rusak di luar sana!"

Peng Houw mengangguk. Mereka juga tak mungkin membagi-bagikan uang itu sekarang juga, rakyat kecil tentu sudah pulang ke rumah masing-masing. Maka ketika ia setuju dan membelok menuju luar hutan ternyata benar saja di sini terdapat sebuah kuil rusak.

"Nah, kita simpan dan taruh di sini, Ha ha, ada dua belas kantung, penuh semua!"

"Benar, kita cari tempat yang baik, supek, barangkali di dalam gentong itu!" Peng Houw melihat sebuah gentong dan mereka sudah melompat di belakang kuil ini.

Giok Yang Cinjin mengangguk dan menendang gentong itu. Lalu ketika ia membalik gentong itu menaruh isinya di dalam maka Peng Houw mengangguk puas melihat dua belas kantung hitam itu aman di tempatnya.

"Kalau tak ada yang membalik gentong ini tak akan ada orang tahu. Baiklah, mari kita kembali, supek. Sekarang langsung ke markas."

Akan tetapi di markas Hek-i Kai-pang terjadi perobahan. Banyaknya pengemis yang "dibegal" Peng Houw dirampas uangnya telah menimbulkan gaduh. Mereka melapor pimpinan dan tentu saja tokoh tokoh Hek-i Kai-pang mencak-mencak. Mereka bertanya siapa pembuat onar itu namun anggauta menggeleng kepala, yang mereka lihat hanya dua bayangan pengemis baju hitam, jadi orang-orang seperti mereka.

Akan tetapi karena Giok Yang Cinjin adalah seorang tua yahg jenggotnya kelihatan maka mereka berkata bahwa satu di antara pembuat onar itu seorang kakek.

"Kami tak dapat melihat jelas karena bayangan mereka cepat sekali. Yang tua itu mengibas dan membuat kami terpelanting. Kami tak tahu siapa mereka kecuali seorang kakek dan seorang pemuda, pangcu. Mereka juga mengenakan pakaian hitam-hitam seperti kami, tapi jelas bukan anggauta Hek-i Kai-pang!"

"Bagaimana kau yakin?"

"Pukulan mereka, pangcu, bukan seperti kita. Pukulannya amat dahsyat dan di sini tak ada yang memiliki pukulan seperti itu. Kami dirobohkan begitu mudah!"

"Bodoh, kalian memang bodoh! Tarik semua murid dan suruh mereka pulang. Sumbangan sudah cukup dan biarkan yang hilang itu. Jaga tempat kita dan awas jangan sampai diserbu, keramaian tak boleh gagal, Gak-tatjin akan datang!"

Hek-sai Lo-kai, pimpinan Hek-i Kai-pang yang membawa tongkat mengetrukkan tongkatnya kuat-kuat. Lantai marmer di ruangan itu hancur, murid yang melapor malah ditendang. Maka ketika Peng Houw dan Giok Yang Cinjin tiba di sini maka yang mereka lihat adalah penjagaan amat ketat di setiap sudut. Peng Hou kagum dan terheran-heran oleh markas yang amat megah dan luas itu, markas pengemis yang lantainya marmer!

"Bukan main, bener-benar mewah, tidak pantas untuk perkumpulan sebuah pengemis!"

"Hm, Hek-i Kai-pang ini benar-benar menyimpan kekayaan dari pemerasan supek. Pantas kalau mereka ditakuti dan disegani. Para pengemis ini sesungguhnya pemalas yang mengandalkan kepandaian saja!"

"Benar pinto juga melihatnya begitu, Peng Houw. Awas ada yang melihat kita dan cepat menyingkir!"

Giok Yang Cinjin menarik pemuda ini karena dari samping terlihat dua pengemis memandangi mereka. Murid Hek-i Kai-pang ini terheran ada teman yang mengintip, Peng Houw dan Giok Yang Cinjin berada di semek-semak gerumbul. Tapi ketika ia curiga dan hendak mendatangi ternyata tosu ini sudah menarik Peng Houw dan berkelebat lenyap.

Hal ini tentu saja juga dilaporkan ketua Hek-i Kai-pang. Hek-sai Lo-kai mendelik, betapa beraninya dua orang itu mendatangi markasnya. Tapi karena orang sudah dilaporkan kabur dan keramaian pesta juga semakin dekat akhirnya pengemis kulit hitam yang brewokan seperti singa itu menyerukan agar para murid menjaga sampai di luar markas, seratus meter dari gedung itu.

"Kumpulkan semua tenaga, jaga rapat-rapat. Tangkap jahanam itu atau kalian panggil aku!" Hek-i Kai-pang benar-benar terkejut.

Mereka juga kaget dan marah selain kagum akan keberanian lawan. Betapa nekatnya dua orang itu. Maka ketika penjagaan diperketat dan atas gedungpun dijaga banyak mata, tak mungkin menerobos tanpa ketahuan akhirnya Giok Yang Cin-jin tersenyum membatalkan niatnya.

"Biarlah, agaknya cukup dengan dua belas kantung hitam itu. Hm, Hek-i Kai-pang telah siap menerima kita, Peng Houw, tak ada gunanya menyerbu hanya untuk uang rampasan. Nanti tak ubahnya kita perampok!"

"Benar, kita tunda sampai di sini dulu. Lihat lampu-lampu juga ditambah, supek, menyerbu tanpa ketahuan adalah sulit. Hek-i Kai-pang telah mendengar sepak terjang kita."

Dua orang itu akhirnya membatalkan memasuki markas. Bukan maksud mereka untuk menyerang, membuat ribut di situ. Maka ketika mereka mundur dan menunggu hari keramaian itu, Giok Yang Cinjin akhirnya menyembunyikan jenggotnya di balik saputangan hitam maka dua orang ini berkesempatan masuk secara terang-terangan mengunjungi hari jadi perkumpulan pengemis itu.

Ada keuntungan yang didapat dari pesta keramaian ini, yakni bebasnya para tamu mengunjungi ulang tahun Hek-i Kai pang, terutama orang-orang kang-ouw yang mendengar lalu singgah di situ, duduk dan menikmati suasana keramaian tanpa kartu undangan. Maka ketika Peng Houw dan Giok Yang Cinjin juga memasuki keramaian itu, tentu saja dengan melumuri wajah agar tak dapat dikenal.

Maka Peng Houw seperti seorang kongcu yang mempertampan diri dengan kopiah biru di atas kepala, memegang kipas. Sementara Giok Yang Cinjin, yang tak mau duduk bersebelahan agar tak cepat dikenal menggelung rambutnya bercabang tiga hingga kelihatan lucu dan menggelikan, persis kakek pengembara yang konyol.

"Kita tak boleh berduaan lagi, berpisah tempat duduk saja. Kau di belakang dan pinto di tengah. Nah, sekarang masing-masing sudah bukan seperti aslinya lagi, Peng Houw, kau seperti kongcu pelajar yang berdarma-wisata. Sementara pinto, ha-ha... persis kakek konyol tidak waras. Gelung rambut pinto ini. Seperti orang edan!"

Peng Houw tersenyum. Memang supeknya ini seperti orang tidak waras, gelung saja dicabang tiga. Tapi karena banyak orang-orang kang-ouw seperti itu, aneh dan bersikap konyol maka tak ada kecurigaan ketika mereka memasuki halaman Hek-i Kai-pang dan duduk di kursi yang disediakan.

Hek i kai-pang membagi dua untuk tamu-tamu undangannya ini. Yang tidak dikenal, seperti Peng Houw dan Giok Yang Cinjin diletakkan di luar, sementara mereka yang dikenal dan merupakan sahabat perkumpulan pengemis itu ditaruh di dalam dan duduk bersama pimpinan.

Tamu sudah banyak berdatangan dan Peng Houw lagi-lagi memaki. Bagaimana tidak, lantai dan ruang dalam perkumpulan pengemis ini seperti lantai dan ruangan istana saja. Karpet biru dan merah menghampar di situ, sementara di dinding, menempel rapi berderet-deret tampak lukisan mahal yang bingkainya dilapis emas. Hek-i Kai-pang sungguh bukan pengemis!

Dan ketika Peng Houw mengepal tinju teringat dari mana semuanya ini, hasil pemerasan berkedok sumbangan suka rela maka teman duduknya, seorang lelaki bertubuh kurus tertawa ha-ha-he-he menendangkan sepatu ke kaki kursi.

"Wah-wah, bukan seperti perkumpulan pengemis lagi. Ha-ha, Hek-i Kai-pang ini kaya raya, tapi minuman hanya air putih saja. Ah, mereka tak adil dengan hidangan yang di dalam. Di sana ada arak dan roti, di sini air dan kompia beku. Wah, pelit!"

Peng Houw tersenyum dan menoleh. Laki-laki, teman sebelahnya mengetuk kursi hingga bengkok. Suaranya tak didengar para pengemis karena suasana mulai bising, juga tak begitu keras seolah berhati-hati! Dan karena ia juga melihat itu sebagai pelayanan berat sebelah, ada perbedaan antara luar dan dalam iapun mengangguk dan berkata,

"Benar, Hek-i Kai-pang tidak adil, luar dan dalam tidak sama. Tapi kita bukanlah tamu undangan. Siapakah saudara dan apakah datang hanya untuk menikmati santapan pesta?"

"Ha-ha aku ingin menonton keramaian, bukan hidangan ini. Tapi kalau seperti ini Hek-i Kai-pang menyuguh tamu maka perlu juga diprotes. Eh, aku Pemabok dari Kwang-cit, saudara, Lai Pak namaku. Siapakah kau dan apakah kau juga tamu tak resmi!"

"Hm, aku Boan-su, pengelana. Aku memang tak resmi dan sekedar mampir ke sini, menonton pesta. Apakah Hek-i Kai-pang tak mengenalmu karena bukankah Kwang-cit tak jauh dari sini."

"Ha-ha, benar, tapi aku tak kecewa. Kalau Hek-sai Lo-kai sendiri melihatku pasti dia buru-buru menyambut. Ah, aku Pemabok yang suka arak, tak tahan rasanya melihat arak-arak di situ. Mari, kita ke dalam saja dan minta terangan-terangan minuman yang baik!"

Peng Houw terkejut. Lai Pak si Pemabok ini sudah bangkit dan menarik tangannya, sekali cengkeram membuat ia hampir mengaduh. Maklum, ia tak menyangka apa-apa dan tidak mengerahkan sinkangnya. Tapi ketika ia mengerahkan sinkangnya dan lawan justeru kaget jarinya serasa terbakar, Peng Houw marah kepadanya maka ia berteriak dan melepaskan tangannya.

"Heii, kau orang hebat!"

Peng Houw buru-buru duduk dan tak mau menjadi perhatian. Ia sudah membuat lawan terkejut dan itu cukup. Tadi ia tak menyangka dan disangka orang lemah, kini Pemabok dari Kwang-cit itu tertegun, tahu rasa. Tapi ketika ia mengharap orang itu pergi dan tak usah mengganggunya tiba-tiba orang ini tertawa dan duduk lagi di sebelahnya. Mata berseri-seri.

"Boan-kongcu, kau memiliki sinkang yang amat luar biasa sekali. Ah, tak kusangka dan kukira dirimu pelajar biasa. Ha-ha, Mari... mari ikut aku dan kita duduk di dalam. Hek-sai Lo-kai akan kutemui!"

"Tidak," Peng Houw menolak. "Aku disini saja, saudara Lai. Kau jangan mengganggu aku seperti aku juga tak mengganggumu. Pergilah ke dalam kalau kau ingin masuk."

"Tapi kau tak pantas di sini, ini tempat duduk orang biasa. Mari bersamaku dan kita duduk di tempat duduk kehormatan!"

"Tidak...!" sekali lagi Peng Houw menolak. "Aku bukan tamu resmi, saudara, silakan masuk kalau kau ingin ke dalam. Jangan menggangguku seperti aku juga tak mengganggumu!"

Pemabok itu tertawa. la melihat sorot tajam dari Peng Houw, sorot dingin dan tak suka. Dan karena pemuda itu jelas tak mau dan ia sudah merasakan kelihaian lawan maka iapun bangkit dan berkata lagi, "Baiklah, mungkin kau tak percaya bahwa orang seperti Hek-sai Lo-kai akan menyambutku. Aku akan masuk ke dalam dan araknya sudah membuat aku ngilar!"

Peng Houw mengerutkan kening tapi lega melihat lelaki itu meninggalkan kursinya. Ia sudah merasa tak senang dan siap-siap setelah lawan mencengkeram tangannya. Begitu saja lelaki itu hendak mencelakainya. Dan ketika ia bersikap acuh dan malah lega maka menyeruaklah seorang lain terkekeh serak.

"Pemabok itu memang mahluk yang suka memaksa orang. Bagus, kau sudah terlepas dari tangannya, kongcu, aku gembira. Hati- hatilah kalau berdekatan dengannya karena ia sesungguhnya sahabat Hek-i Kai-pang!"

Peng Houw tertegun. Kakek di belakangnya ini, seorang berusia limapuluhan tahun tahu-tahu telah berpindah tempat duduk di tempat yang tadi dipakai si Pemabok. Kakek ini menawarkan keramahan meskipun ada sesuatu yang tidak menyenangkan Peng Houw, yakni sorot matanya yang berminyak seolah kakek-kakek yang doyan paras cantik.

Akan tetapi karena kakek itu sudah duduk dan kata- katanya bersifat melindungi, benar saja di dalam itu, si Pemabok tiba-tiba disambut dua pengemis di kursi kehormatan, membungkuk dan memberinya kursi bagus maka sekilas Pemabok itu memandangnya lalu duduk tertawa-tawa. Arak di meja sudah disambar dan diminum isinya.

"Lihat," kakek itu berkata lagi. "Lai Pak si Pemabok itu orang sombong, anak muda. Mentang-mentang ditakuti di daerahnya ia sewenang-wenang dan suka memaksa orang. Syukur kau bebas darinya tapi tadi kulihat ia kesakitan. Rupanya jarinya tersengat olehmu!"

Peng Houw menarik napas. "Ia memaksaku tapi kutolak. Entah kenapa dia berteriak mungkin karena ujung kakinya kuinjak. Lo-enghiong siapakah dan berasal dari mana."

Kakek itu tertawa. Peng Houw menyebutnya lo-enghiong (kakek gagah) yang membuat wajahnya berseri. Hal ini dilakukan pemuda itu karena si kakek berkesan sahabat, melindungi. Maka ketika ia tertawa dan menepuk paha sendiri kakek itu berkata bahwa dia adalah Hong Ta si pengelana.

"Aku si tua Hong, perantau. Barangkali kau pernah mendengar namaku. Eh, kongcu bernama Boan-su, bukan? Tadi kudengar percakapan kalian."

"Benar, aku orang she Boan." Peng Houw berbohong. "Dan lo-enghiong adalah pengelana juga? Sayang, wawasanku kurang luas, aku baru kali ini mendengar nama lo-enghiong. Tapi melihat golok di pinggang lo-enghiong itu tentu lo-enghiong seorang lihai yang ditakuti lawan!"

Kakek itu kaget. Ia terbelalak memandang Peng Houw tapi Peng Houw tersenyum mengangguk. Biarpun si kakek menyembunyikan goloknya di pinggang namun matanya yang tajam tahu. Kakek itu melilitkan sebuah golok tipis di pinggang. Maka ketika ia tersenyum sementara si kakek hilang kagetnya maka kakek ini menepuk-nepuk pundaknya terkekeh-kekeh.

"Aduh, lihai sekali, bermata tajam! Ha-ha. Aku si tua. kagum kepadamu, kongcu. Kau benar-benar awas dan lihai sekali. Kau tentu bukan orang sembarangan!"

Peng Houw tak menjawab. la menerima tepukan itu dan sebagaimana si Pemabok iapun merasakan dirinya diserang. kakek ini mengujinya! Tapi karena ia sudah waspada dan mengisi pundaknya dengan sinkang, jari si kakek bertemu kulit keras yang membuat telapaknya pedas maka kekek itu tertawa-tawa menghentikan tepukannya.

"Hah, benar. Kau bukan anak muda sembarangan. Kau orang berisi. Ah, mari minum untuk persahabatan kita!"

Peng Houw tersenyum menerima gelasnya. Kakek itu mengangkat gelas dan minum air putih, mengajak mengikat persahabatan. Dan ketika ia akhirnya menerima teman bicaranya ini segera kakek itu memberitahukan bahwa Gak-taijin bakal menjadi tamu agung di situ.

"Konon menteri ini hendak membagi-bagi hadiah buat rakyat kecil. Lihat kelompok mereka itu yang sudah berharap sejak tadi!"

Peng Houw memandang. Baru ia sadar bahwa di samping gedung, hampir seratus orang tampaklah tamu-tamu kusut berpakaian sederhana. Ada pria dan wanita di situ, rata-rata cukup umur dan menilik wajah mereka agaknya mereka pedagang kecil atau kaum lemah. Peng Houw melihat bahwa mereka adalah rakyat jelata. Lalu ketika ia mengangguk melihat itu kakek ini bicara lagi,

"Hek-i Kai-pang perkumpulan yang beruntung, yang, hebat sekali dapat berhubungan dengan Gak-taijin. Eh, kau orang muda apakah sudah mengenal Gak-taijin, kongcu. Beruntung kalau kau bisa bekerja padanya, aku juga ingin!"

"Aku tak pernah ke kota raja, tak mengenal para pembesar atau menteri. Aku enggan berhubungan dengan mereka-mereka itu, lo-enghiong, aku orang kecil yang tentu tak ada artinya bagi mereka."

“Ha-ha , salah. Berhubungan dengan orang besar penting, bisa menunjang kesuksesan kita. Eh, lihat itu laki-laki gemuk di sudut sana, kongcu la Kwat-wangwe hartawan maju. Saudaranya Kwat taijin adalah bawahan menteri Gak. Beruntung dia, usahanya berkembang dengan cepat dan tambah kaya raya!"

"Aku tak tertarik," Peng Houw menggeleng. "Aku bukan pedagang atau sebangsanya, lo-enghiong, aku orang biasa saja. Aku tak berhasrat seperti mereka."

"Ha-ha, lihat itu. Wah, si raja catur datang. Bakal ramai! la petaruh yang tak pernah kalah!" Si kakek menunjuk ke kiri ketika seseorang datang. Seorang pria bermuka bulat buru-buru disambut pengemis Hek-i Kai-pang di halaman paling depan, laki-laki berpakaian perlente dan membawa sebuah papan tioki (catur).

Laki-laki itu mengangguk sedikit saja lalu masuk dengan langkah lebar, tak begitu menghiraukan sambutan para pengemis dan tiba-tiba bangkitlah si Pemabok Lai Pak di sana, berseru dan menggapai. Lalu ketika laki-laki itu melihat dan meloncat cepat tahu-tahu ia telah berada di ruang dalam menepuk-nepuk Pemabok ini.

"Ha-ha, kau datang? Bagus, di mana ada arak di situ pasti kau hadir, saudara Lai. Hari ini aku mendapat undangan Hek-i Kai-pang tapi mana pimpinannya!"

"Pangcu sedang bebenah di dalam," Seorang tokoh pengemis menjura dan memberi hormat. "Selamat datang dan silakan duduk, Ki-ong. Nanti pangcu pasti keluar menyambut cuwi semua."

"Wah, jual mahal. Tentu menunggu Gak-taijin baru muncul. Ha-ha, bagaimana kau, Pemabok. Apakah Hek-i Kai-pangcu juga belum menyambutmu!"

“Aku duduk di sana”, lelaki itu menuding. "Baru saja pindah ke sini setelah tak tahan bau arak. Ha-ha, kau sendiri bagaimana, Ki-ong. Apakah rejekimu semakin besar. Kapan terakhir kau menang dan berapa kau menang!"

"Ha-ha tak ada lawan lagi. Eh, bukankah itu kwa-kut-to (Golok Pengerik Tulang)!”

Peng Houw terkejut. Sambil bicara dua orang itu memandang ke tempat duduk mereka, si Pemabok memberi tahu tempatnya tadi. Tapi ketika Raja Catur itu melihat mereka terutama kakek di sebelahnya maka meluncurlah seruan kaget itu dan Peng Houw baru tahu bahwa kakek di sebelahnya ini berjuluk Golok Pengerik Tulang.

Akan tetapi kakek itu tertawa-tawa pula menyambar gelas lagi dan pura-pura tak tahu, atau tak mendengar. Lalu ketika (Ki-ong tertegun tapi sudah ditarik untuk duduk maka Peng Houw mendengar bisikan yang tertangkap telinganya.

"Sst, jangan perhatikan tua bangka itu. Justeru anak muda di sebelahnya itu amat hebat. Tahukah kau bahwa jariku Hoa-ciok-sinkang tak mampu meremas tubuhnya!"

Peng Houw menjadi tak enak. Sekilas ia merasa tatapan si Raja Catur itu, melengos dan mengambil gelas untuk pura-pura minum. Lalu ketika dua orang itu kasak-kusuk dan terlibat pembicaraan sendiri maka tamu sudah mulai memenuhi halaman depan dan ruang dalam.

la terkejut mendengar Hoa-ciok-sin-kang (Tenaga Peremas Batu) tadi, jelas bahwa si Pemabok bukan orang sembarangan. Dan ketika Hong Ta kek di sebelahnya ini juga terus minum sambil menyambar makanan kecil, kacang dan lain-lain akhirnya dua jam kemudian pimpinan Hek-i Kai- pang muncul.

Peng Houw belum mengenal ketua pengemis ini. Akan tetapi ketika tamu di dalam tiba-tiba bangkit dan memandang ke satu arah, muncullah kakek brewokan berkulit hitam maka Golok Pengerik Tulang berseru menuding, tamu di luar juga menengok.

"Ha, itu pimpinan Hek-i Kai-pang. Gagah dia, bukan main perlentenya!"

Peng Houw tertegun. Di pintu dalam, di balik segala kembang kertas dan balon Warna-warni muncullah ketua Hek-i Kai-pang yang gagah dan berwibawa itu. Pakaiannya serba hitam tapi terbuat dari Sutera mahal, tidak bertambal-tambal sementara pinggirannya dihias benang emas, kuning gemerlap-gemerlap.

Dan ketika ia datang sementara para murid sudah membungkuk penuh hormat, yang di luar bahkan berlutut maka tongkat di tangan ketua diangkatnya tinggi-tinggi membalas salam para tamu, kesannya sombong dan tinggi hati, mendorong empat pengiring di belakangnya yang juga berpakaian serba hitam tapi tak bertambal-tambal.

"Cuwi-enghiong (tuan-tuan sekalian), selamat datang semuanya, selamat datang. Terima kasih atas perhatian kalian tapi maaf aku harus keluar dahulu!"

Peng Houw mengerutkan kening. Kakek tinggi besar yang diiring murid-murid Hek-Kai-pang itu ternyata tak duduk menemanl para tamu, ia melangkah keluar dengan langkahnya yang panjang sementara tongkat digerak- gerakkan ke kiri kanan di atas kepalanya. Anggukan para tamu hanya disambut gerakan tongkatnya itu, sombong. Lalu ketika Peng Houw tak mengerti kenapa ketua Hek-i Kai-pang itu keluar tiba-tiba terdengar derap kereta disusul teriakan parau,

"Yang mulia Gak-taijin datang. Harap minggir dan beri jalan!" Tahulah Peng Houw sekarang. Kiranya ketua Hek-i Kai-pang itu menyambut tamu agungnya lebih dulu, pantas tak menghiraukan yang lain dan meninggalkan ruang dalam. Lalu ketika derap kereta disusul oleh suara kuda, berturut-turut munul tiga kereta dikawal puluhan kuda maka Hek-i Kai-pangcu membungkukkan tubuhnya dalam-dalam di depan kereta yang berhenti. Semua otomatis minggir dan menyibak.

"Selamat datang untuk Gak-taijin dan tamu-tamu yang terhormat. Sudah lama kami menunggu dan mohon berkah!"

Terbukalah pintu kereta. Seorang berpakaian serba mewah, gemuk dan berambut tipis keluar dari kereta pertama. Mukanya tembem dengan pipi tebal, mata berseri-seri menyipit sementara murid-murid Hek-i Kai- pang cepat menggelar permadani hijau untuk menyambut tamu agung ini. Tepat menginjakkan kakinya yang pertama pria gemuk itu tertawa, melambaikan tangan.

Lalu ketika Hek-i kai-pangcu membungkuk dan sekali lagi memberi hormat maka musik dibunyikan perlahan-lahank ketika dua kereta yang lain terbuka dan berturut-turut muncullah walikota Kwang-cit dan pembesar setempat, pria-pria gendut berpakaian serba bagus.

"Ha-ha, selamat untuk ulang tahun Hek-i Kai-pang. Aku tak membawa apa-apa untuk hadiah bingkisannya, pangcu, tapi sekedar bungkusan ini biarlah untukmu buat mereka yang pantas menerima. Silakan terima dan mudah-mudahan tak kecewa!"

Hek-i Kai-pangcu tersenyum lebar. Ia menerima bungkusan itu ketika dua orang di belakang menteri Gak ini menyodorkan sumbangan, hanya dua bungkusan kecil berpita merah, tampaknya bersahaja tapi berat juga, terbukti ketika dengan kedua tangan pimpinan pengemis itu menerima dan hati-hati memberikannya kepada dua muridnya yang sudah menyambut.

Lalu ketika ia mengucap terima kasih dan Gak-taijin dipersilakan masuk, berjalan di hamparan permadani itu maka tampaklah hanya kepada Gak-taijin ini ketua Hek-i Kai-pang itu memberi hormat. Walikota dan lainnya tak dipandang mata, cuek!

"Terima kasih, mari taijin memasuki ruangan dan sudah kami siapkan segalanya sebaik mungkin. Tapi pesta kami hanya begini- begini saja, harap taijin tak kecewa."

Menteri itu tertawa. Semua orang bangkit berdiri ketika pembesar itu melangkah pendek-pendek, musik mengalun lembut dan masuklah semua rombongen itu ke ruang dalam. Lalu ketika tempat duduk kehormatan juga sudah dipersiapkan dan Hek-i Kai-pangcu mempersilakan tamunya, permadani di luar sudah digulung maka semaraklah pesta di tempat ini. Tetabuhan mulai dipukul keras.

Peng Houw memperhatikan segalanya dengan cermat. la sampai tak tahu betapa supeknya Giok Yang Cinjin tiba-tiba tak ada di kursinya lagi. Dua orang tiba-tiba menarik tosu itu dan membawanya pergi. Lalu ketika Peng Houw juga tak sadar betapa belasan murid Hek-i Kai-pang tiba-tiba telah mengepung tempat duduknya secara tidak kentara maka Hong Ta, kakek di sebelahnya itu tertawa-tawa mengedip pada belasan murid Hek-i Kai-pang yang memandang penuh curiga kepada Peng Houw!

Baru Peng Houw sadar ketika tangannya ditangkap seseorang. Si Pemabok Lai Pak tahu-tahu berbisik padanya apakah ia sendirian di situ, tak ada teman. Dan ketika Peng Houw terkejut melihat tempat duduk supeknya yang kosong maka si Pemabok itu berkata bahwa di belakang ada seorang kakek yang dikeroyok murid-murid Hek-i Kai-pang.

"Kulihat ada seorang tosu di sana, apakah itu temanmu. Sst, tenang dan jangan menarik perhatian orang, Boan-kongcu Kalau tosu itu bukan temanmu biar saja ia ditangkap!" Peng Houw kaget. Otomatis ia menoleh dan melihat Pemabok ini. Kalau saja ia diserang tentu membalas. Tapi ketika orang bersikap ramah dan justeru memberi tahu maka ia berdiri dan bertanya,

"Betul, ia temanku. Kapan ia pergi dan kenapa dikeroyok orang-orang Hek-i Kai-pang!"

"Sst, jangan berisik. Kalau kau ingin melihat mari ikuti aku, kongcu. Ada kejadian di belakang yang membuat aku heran!"

"He, ke mana!" Hong Ta kakek di sebelah Peng Houw berseru, pemuda itu sudah dibawa Lai Pak, bergegas menyeruak tamu lain. "Ada apa, kongcu. Kenapa meninggalkan tempat duduk. Kita belum melihat hadiah Gak-taijin!"

Peng Houw tak menggubris. Ia sudah cepat mengikuti Pemabok ini dan tahu-tahu kakek itupun menyusul. Langkah kakinya cepat dan untung para tamu tak tertarik, maklum mereka melewati samping gedung seperti orang mau berhajat kecil, kencing misalnya. Dan ketika Pemabok itu buru-buru membawa Peng Hou melalui jalan gelap mendadak belasan bayangan hitam meloncat dari kiri kanan menyerang pemuda itu, disusul oleh Lai Pak sendiri yang membalik dan mencengkeram pemuda ini.

"Robohlah, kau calon pengacau!"

Peng Houw terkejut. la kehilangan kewaspadaan kerena gelisah memikirkan supeknya itu, cengkeraman atau serangan lawan mengenai tubuhnya. Akan tetapi karena seluruh syarafnya sudah bergetar kencang dan Hok-te Sin-kang melindungi tubuhnya maka untuk kedua kalinya lagi cengkeraman lelaki itu mengenai kulit atos pedas.

"Aiihhhh!" Untuk kedua kalinya lagi si Pemabok itu berseru. Jarinya terasa sakit mencengkeram pemuda ini. la tak tahu siapa lawannya itu. Tapi ketika ia mundur dan murid-murid Hek-i Kai-pang sudah menubruk, mereka membentak dan menyerang Peng Houw maka pedang dan golok menyambar bagai hujan.

"Keparat!" Peng Houw merasa tertipu dan marah. "Kau menjebakku, orang she Lai, bagus sekali tapi jangan kira aku takut...bak- bik-bukk!"

Peng Houw menangkis dan membiarkan beberapa senjata mengenainya, mental dan pemiliknya berseru kaget betapa senjata mereka tertolak. Lalu ketika Peng Houw membentak dan membalas mereka kontan saja belasan murid-murid Hek-i Kai-pang itu roboh. Pemuda ini mengibas dan membuat mereka berjengkangan.

Akan tetapi she Lai Pemabok itu sudah menyerang lagi. Hoa-ciok-sinkangnya, Peremas Batu dipergunakan lagi lebih hebat. Ternyata ia mahir dengan ilmu mencengkeram, agaknya itulah keahliannya. Namun ketika dua kali Peng Houw mengelak dan mendorong gemas maka orang itupun terpelanting dan roboh.

"Heiii." Pemabok itu benar-benar terkejut. Ia tak tahu siapa lawannya dan bergulingan meloncat bangun. Belasan murid Hek-i Kai-pang juga terbelalak dan siap menyerang lagi. Tapi ketika Golok Pengerik Tulang datang maka kakek itupun menyambar Peng Houw.

"Jangen berdekatan dengan laki-laki itu, ia sahabat. Hek-i Kai-pang. Mari kita keluar, Boan-kongcu, rupanya tempat ini tidak aman!"

Akan tetapi Peng Houw hendak meronta. Ia membalas kemarahannya pada Pemabok itu namun dari tempat-tempat gelap muncul bayangan-bayangan hitam yang lain, anggauta Hek-i Kai-pang yang rupanya mendengar itu. Maka ketika ia terpaksa menahan diri dan bukan maksudnya untuk menghajar murid-murid Hek-i Kai-pang ia pun membiarkan saja dibawa tapi pemuda ini teringat supeknya.

"Nanti dulu, mau ke mana. Aku harus mencari temanku yang katanya dikeroyok orang-orang Hek-i Kai-pang!"

"Ah, bodoh. Orang she Lai itu membohongimu, anak muda, keroyokan apa. Kalau benar temanmu tak ada di sana mungkin dia di tempat lain, mencari sesuatu. Jangan percaya omongannya dan ikuti aku!"

Peng Houw sadar. la tiba-tiba menepuk kepalanya sendiri kenapa begitu mudah diperdaya orang. Benar saja kenapa ia begitu percaya. Maka ketika ia menganggap supeknya sedang mencari-cari sesuatu, mungkin peti uang milik Hek-i Kai-pang maka iapun berseru bahwa kemungkinan itu ada.

"Betul, kau betul. Aku bodoh dan amat terburu-buru, lo-enghiong. Terima kasih atas bantuanmu ini dan sekarang di mana aku mencari temanku itu!"

"Kita tengok di ruang belakang itu. Ada kulihat seseorang di sana, kongcu, mungkin dia. Kenapa kau tak memberi tahu bahwa kau tidak sendiri," kakek itu tertawa.

"Temanku tak mau menimbulkan curigaan, ingin duduk di tempat lain. He, kemana kita mengapa memasuki ruang belakang!"

Peng Houw terkejut, dibawa ketempat terang dan tentu saja melepaskan diri. Hong Ta Golok Pengerik Tulang ini membawanya ke bagian belakang gedung Hek-i Kai-pang, gesit dan seolah sudah tahu semua bagian-bagian di situ tapi kakek ini tertawa. Lalu ketika ia melompat ke sebuah meja dan lenyap di situ Peng Houw pun dipanggilnya.

"Anak muda, lihat ini. Apa itu!"

Peng Houw berkelebat. Tadinya ia ragu-ragu mencium sesuatu yang tidak enak, perasaannya mengatakan bahaya. Tapi karena temannya memanggil dan kakek itu jelas membantunya, melindunginya dari orang- orang Hek-i Kai-pang iapun melompat dan sudah di belakang kakek itu. Tapi begitu ia menginjakkan kaki tiba-tiba iapun terpeleset, dan sebuah lubang menerimanya di bawah, begitu kakek itu menarik sebuah rantai di pinggir meja. masuklah, anak muda.

"Ha-ha.. Kau dan temanmu kiranya perampas kantung uang itu!"

Peng Houw kaget bukan main. la tak menyangka kakek yang dianggapnya sahabat ini berbuat curang. la terlempar kesebuah sumur dan bergemalah tawa itu jauh ke bawah. Dan ketika ia terpaksa menyambar ini-itu untuk pegangan tetapi gagal, dinding sumur ternyata licin maka ia terbanting namun seseorang menangkapnya.

"Kau, Peng Houw?"

Pemuda ini tertegun. Giok Yang Cin-jin, supeknya ternyata berada di situ terjebak di sumur dalam. Tahulah dia bahwa Hong Ta si Pengerik tulang itu adalah musuh! Dan ketika ia mengangguk namun lubang menutup kembali, gelap gulita maka Giok Yang Cinjin menyalakan sebuah lilin yang sinarnya bergoyang-goyang kekurangan udara segar. Tempat itu pengap dan pesing.

"Kurang ajar, kita ditipu. Bagaimana supek berada di sini dan benarkah dikeroyok orang-orang Hek-i Kai-pang?"

"Hm, pinto terkecoh. Hek-i Kai-pang benar-benar cerdik. Sialan, setua ini masih juga kurang pintar, Peng Houw. Pinto tak waspada akan orang-orang di sekeliling pinto!"

"Apa yang terjadi, apa maksud supek."

"Hek-i Kai-pang memasang mata-mata. Para sahabatnya diminta berbaur ditempat kursi-kursi biasa mengawasi tamu tak dikenal. Dan kau serta pinto tak terlepas oleh mata mereka yang tajam!"

"Supek dibawa Pemabok Lai Pak itu?"

"Benar, dan Ki-ong si Raja Catur. Dua orang itu ternyata telah mencurigai kita. Akhirnya mereka tahu bahwa kitalah perampas uang dari tangan murid-murid Hek-i Kai-pang!"

"Dan mereka mengenal supek sebagai Giok Yang Cinjin?"

"Belum, Peng Houw, untung. Kalau tidak tentu mengenalmu sebagai si Naga Gurun Gobi pula!"

Giok Yang Cinjin akhirnya bercerita. Ia menceritakan betapa ketika Gak-taijin- muncul mendadak Ki-ong dan Pemabok itu mendekatinya. Mereka tahu-tahu telah berada di kiri kanannya di saat semua orang tertuju pada penyambutan Gak-tai Jin. Dan karena mereka mencengkeramnya dan hendak menotoknya roboh maka tosu itu mengelak dan akhirnya keluar dari kursinya.

"Mereka menyuruhku ke dalam, di sana menunggu sahabat-sahabat Hek-i Kai-pang yang lain. Mana pinto sudi? Maka ketika mereka memeksa dan sudah menaruh curiga apa boleh buat pinto membalas dan melawan mereka itu,sampai akhirnya lari ke sini diserang murid-murid Hek-Kai-pang yang lain. Pinto tak dapat memberitahumu karena kejadian begitu cepat. Dan ketika pinto tiba di sini dan membuka lubang itu pinto pun terjeblos lalu kau menyusul. Apa yang terjadi denganmu dan kurang ajar benar orang-orang Hek-i Kai-pang itu!"

"Hm, akupun ditipu si Pemabok. mengatakan bahwa kau dikeroyok orang-orang Hek-i Kai-pang, membawaku ke belakang. Tapi begitu aku di sana tiba-tiba aku diserangnya bersamaan dengan murid-murid Hek-i kai-pang yang lain. Tapi yang paling konyol adalah Kwa-kut-to Hong Ta itu. la menjebakku ke sini dan menjebloskan aku!"

Giok Yang Cinjin mengangguk-angguk. Akhirnya ia tahu bahwa Hek-i Kai-pang ternyata dijaga amat ketat. Para sahabatnya dikumpulkan dan mereka itu dipasang di antara tamu-tamu undangan. Untuk mereka yang tergolong baru dan tidak dikenal tentu saja mendapat perhatian kuat, termasuk Peng Houw dan Giok Yang Cinjin itu.

Dan karena di situ ada menteri Gak yang harus dilindungi pula, penjagaan tentu saja amat keras maka jatuhlah kecurigaan mereka kepada dua orang ini. Peng Houw menjadi perhatian utama sejak si Pemabok terkejut oleh sinkangnya tadi, sementara Giok Yang Cinjin karena tosu itu sering menengok ke belakang memandang Peng Houw.

"Baiklah, sekarang kita sudah di sini. Apa yang hendak supek lakukan dan bagaimana cara kita keluar. Lubang ini dalam sekali, licin!"

"Benar , pinto juga sudah mencobanya, Peng Houw, dan agaknya tanpa senjata tajam tak mungkin kita keluar. Pinto hanya mempunyai tongkat ini!"

Peng Houw mendesis. la telah meraba seluruh dinding sumur dan mendapat kenyataan bahwa dinding itu dilumuri minyak. Agaknya tempat ini memang khusus mengurung orang-orang tertentu hingga tak dapat keluar. Tapi ketika ia mengeraskan jarinya dan menegang seperti baja iapun menusuk dinding itu dan berlubanglah sedalam tujuh senti.

"Hm. rasanya dapat keluar. Kubuat lubang di dinding ini, supek, dan kita menaruh ujung kaki kita untuk merayap!"

Giok Yang Cinjin kagum. la sendiri tak mempunyai pikiran itu dan melihat perbuatan Peng Houw. Maka ketika ia mencoba namun berteriak tertahan, dinding itu luar biasa kerasnya iapun menjadi terkejut dan kagum.

"Kau dapat melubangi dinding sumur ini?Jarimu tak sakit?"

"Tidak, apakah supek tak mampu?"

"Keparat, pinto tak mampu, Peng Houw. Dinding ini campuran antara batu dan baja!"

"Tapi aku dapat melubanginya. Marilah supek bantu aku dan kita sama-sama naik ke atas."

Peng Houw ternyata tak merasa seperti supeknya itu. Sebenarnya dinding sumur itu benar-benar keras dan orang seperti Giok Yang Cinjin tak mampu menusuk tembus. Hal ini karena dinding itu dibuat khusus dari batu dan logam kuat. Namun karena Peng Houw memiliki Hok-te Sin-kang dan tenaga saktinya itu memang luar biasa maka enak saja ia melubangi dinding itu dan dibantu supeknya ia terus merayap naik.

Giok Yang Cinjin terkagum-kagum dan untuk kesekian kalinya lagi tosu itu menarik napas panjang, merasa diri bodoh dan alangkah hebatnya pemuda itu. Tinggi sumur ada sepuluh meter dan untung lebarnya cukup. Setiap tusukan dipakai tempat berpijak, tiga kali jari Peng Houw malah mengeluarkan api. Yang ditusuk adalah lempengan baja!

Tapi karena jari pemuda itu benar benar kuat dan Hok-te Sin-kang yang diwarisi adalah milik sesepuh Go-bi yang ampuh akhirnya setengah jam kemudian mereka berdua sudah sampai di tutup lubang yang terbuat dari papan batu setebal sepuluh senti!

"Hm, berhenti dulu, pinto lelah. Pindahkan kakimu di pundak pinto yang lain, Peng Houw. Pegal rasanya pundak ini. Istirahat sebentar!"

Peng Houw meminta maaf. Dalam mendaki dinding yang licin ini ia mempergunakan pundak supeknya untuk naik ke atas. Dinding amat licin dan ia tak mau mengambil resiko. Maka ketika ia girang mereka sudah tiba di atas, tinggal mengangkat tutup lubang itu tiba-tiba supeknya minta berhenti dan beristirahat.

"Baiklah, maafkan kakiku. Silakan turun sedikit ke bawah, supek. Aku akan melempar tutup ini ke atas!"

"Kau sanggup?"

"Rasanya sanggup."

Giok Yang Cinjin lagi-lagi kagum. Tutup lubang ada empat meter persegi dan beratnya tak kurang dari tiga ribu kati. Mengangkat benda seberat itu di atas tanah tidaklah sulit, tapi di dalam lubang yang sempit dan tidak begini luas ini? Ia menarik napas tegang. Kalau Peng Houw gagal salah-salah pemuda itu jatuh ke bawah, belum kalau di luar sana ada orang menjaga! Maka ketika ia menyuruh pemuda itu berhati-hati sementara ia sendiri lalu turun ke bawah, Peng Houw memindahkan kakinya di sepasang lubang yang kecil namun kokoh tosu itupun berdesis khawatir.

"Hati-hati, Peng Houw. Kau harus dapat mengangkatnya sekali dorong"

"Tentu, pasti kucoba. Begitu terangkat melompatlah keluar, supek. Siapa tahu jatuh menimpa lagi."

"Siap." Tosu itu berseru. "Akan pinto bantu begitu terbuka, Peng Houw, dan hati-hati kalau ada penjaga di luar!"

Peng Houw sudah memperhitungkan itu. Ia telah meraba papan batu itu dan menaksir bobotnya, mengerahkan tenaga dan batu itu sedikit terangkat. Lalu ketika ia membentak dan mengerahkan sinkangnya tiba-tiba tutup lubang itu mencelat dan terbang ke atas.

"Braakkkk!"

Dahsyat sekali lontaran yang dilakukan Peng Houw. Benda selebar dua meter itu melesat ke atas, menghantam wuwungan dan hancur serta bergemuruhlah suaranya. Begitu keras hingga ruangan bergetar. Lalu ketika Giok Yang Cinjin melompat keluar dan Peng Houw sendiri berjungkir balik meloloskan diri adalah tiga murid Hek-i kai-pang berteriak dan kaget berlarian.

"He, tawanan lolos. Awas!"

Suara itu tertutup oleh kerasnya tutup lubang jatuh ke lantai. Benda yang beratnya tiga ribu kati ini berdebum, begitu hebatnya hingga lantai di mana para tamu duduk tergetar. Persis bagai seekor gajah terbanting saja. Dan ketika ruangan itu roboh sementara Giok Yang Cinjin dan Peng Houw sudah menyelamatkan diri di luar, gegerlah seisi gedung maka murid-murid Hek-i kai-pang berkelebatan dan Hek-sai Lo-kai sendiri kaget oleh suara amat dahsyat itu, debum bagai gunung ambruk.

"Apa itu, suara apa!"

"Robohnya ruangan belakang. Sumur batu mencelat tutupnya, pangcu, dilempar seorang pemuda. Kami tadi menangkap dua orang tawanan tapi sekarang mereka lolos!"'

Hek-i Kai-pangeu terbelalak. Dia telah menyambut Gak-taijin dan mulai bersuka-ria. Rombongan pembesar ini diterima dan keselamatan atau penjagaan diserahkan pembantunya. Hek-tung Lo-kai, seorang sutenya sekaligus penanggung jawab penjagaan menjadi pucat. Ia telah diberi tahu akan adanya dua tawanan tapi tak akan melihat dulu.

Nanti setelah semua usai baru dilihatnya para tangkapan dan sementara ini dia melempar tugas kepada murid-muridnya, terutama murid-murid kepala yang jumlahnya ada tujuh orang. Murid-murid inilah yang bergabung dengan para sahabat Hek-i Kai-pang mengawasi tamu-tamu tak dikenal, mereka yang mencurigakan segera diamankan dan nanti setelah semuanya berakhir baru ditanya. Sumur di belakang adalah penyekapan sementara.

Maka ketika terdengar laporan bahwa tutup sumur yang berat itu didorong ke atas, jatuh dan menimpa lantai hingga suaranya menggetarkan tempat itu tiba-tiba orang nomor dua dari Hek-i Kai- pang ini berkelebat keluar. Disitu masih ada seorang sutenya lagi Hek-Coa Lo-kai (Pengemis Ular Hitam) yang berjaga di luar.

"Siapa keparat jahanam itu. Berani benar mengganggu jalannya pesta!"

Pengemis ini lenyap di ruang belakang dengan muka merah padam. Gak-taijin baru saja menyatakan sambutan dan kata-kata pujiannya, betapa Hek-i Kai-pang telah maju dan menjadi sebuah perkumpulan yang kuat. Maka ketika tiba-tiba ada pengacau di situ dan Gak-taijin memandangnya terkejut, heran dan aneh maka pandang mata suhengnya jauh lebih tajam dan penuh teguran.

Akan tetapi di ruang pesta tiba-tiba terjadi keributan baru. Seorang pemuda, yang tadi duduk dan berada di bagian tamu-tamu biasa mendadak mencabut pedang berseru keras. la melompat dan tahu-tahu berada di ruang dalam, menuju ke tempat Gak-taijin dan Hek-i Kai-pangcu itu. Lalu ketika ia berteriak minta perhatian, menuding sang ketua dan bicara gemetar maka pemuda itu berkata bahwa ia menuntut tanggung jawab Hek-i kai- pang yang telah membuat ayahnya tewas.

"Aku Gu San minta perhatian dan tanggung jawab Hek-i Kai-pang. Ayahku tewas teraniaya. Ia menolak sumbangan kalian dan kalian membunuhnya. Nah. Aku datang menuntut keadilan, pangcu. Pembunuhnya adalah muridmu Li Pang dan serahkan ia kepadaku. Atau Hek-i kai-pang kuanggap perkumpulan pemeras yang menginjak-injak rakyat kecil!"

Empat pengemis Hek-i Kai-pang berkelebat. Mereka kaget melihat pemuda ini yang tahu-tahu menuntut dan menuding ketua mereka, padahal di situ sedang ada tamu agung. Maka membentak dan menyerang pemuda itu segera mereka hendak merobohkan lawan yang tidak tahu diri ini.

"Trang-trang-tranggg!"

Ternyata ilmu pedang pemuda ini cukup hebat. la memutar pedangnya menyambut empat murid itu, membentak dan menghalau mereka dan terkejutlah semua tamu. Dan ketika ia membalas dan mendesak akan tetapi Hek-i Kai-pangcu tiba-tiba mengangkat tangannya maka ketua Hek-i Kai-pang itu menghentikan pertempuran.

"Berhenti, siapa kau. Tidakkah kau lihat betapa sedang ada Gak-taijin di sini. Heh, ingin mengadu kepandaian ada tempatnya, anak muda. Kami sudah menyiapkan panggung luitai dan lihat itu. Apakah matamu buta!”

"Bagus, Hek-i Kai-pangcu sendiri ada di hadapanku. Heh, kutuntut keadilan dan tanggung jawabmu, pangcu. Serahkan muridmu bernama Li Pang dan biar aku membawanya pulang. Mayat ayahku masih belum dingin!"

"Kau siapa," Hek-i Kai-pangcu menahan marah. "Di hari bahagia Hek-i Kai-pang tak ada pertumpahan darah, anak muda, kecuali terpaksa.. Ada yang akan berurusan denganmu masalah ini, Mana Hek-coa-sute!"

Seorang pengemis pendek hitam berkelebat. Inilah Pengemis Ular Hitam yang menjadi sute nomor dua dari Hek-i Kai-pangcu. Ia tokoh nomor tiga dan Li Pang adalah muridnya. Maka ketika pengemis itu berkelebat dan berdiri di situ, tertawa dingin maka ia menjura di depan Gak-taijin terlebih dahulu sebelum menghadapi pemuda itu, berkata kepada ketuanya.

"Suheng, bocah ini rupanya anak laki-laki Gu-lopeh. Kalau ia mencari Li Pang biarlah aku yang menyelesaikannya. He,kau. !" pengemis itu menuding si pemuda "Li Pang adalah muridku, anak muda. Kalau kau ingin berurusan dengannya mari kuantar. Kita keluar dan kubawa kau kepada muridku!"

Pemuda itu terbelalak. la ragu memandang pengemis ini namun wajahnya yang terbakar jelas menandakan kemarahannya yang sangat. Sesungguhnya sejak tadi ia mencari-cari musuhnya itu akan tetapi orang yang dicari tak muncul. Ia tak tahu bahwa beberapa murid yang terpaksa ribut di luar "diamankan", artinya tak ditunjukkan di luar biar suasana pesta tidak gaduh.

Bukan hanya dia melainkan seorang gadis dan dua pemuda lain juga mencari-cari anak murid Hek-i Kai-pang yang dirasa telah mencelakai keluarganya. Maka ketika ia terbelalak memandang pengemis pendek itu sementara Hek-coa Lo-kai sudah tak sabar menggapaikan lengannya mendadak berkelebatlah tiga bayangan lagi dari seorang gadis dan dua pemuda gagah.

"Benar, kami juga menuntut penyelesaian dan tanggug jawab. Bibiku mati ngenas. gara-gara tak memberikan sumbangannya kepada kalian, Hek-i Kai-pang cu. Aku mencari manusia bernama Son Tek dan serahkan ia padaku!"

"Dan kami mewakili paman kami dari rumah makan Le-hi pa. Mohon tanya kenapa Hek-i Kai-pang membiarkan murid-muridnya membakar rumah makan paman kami!"

Terkejutlah semua orang. Hek-i Kai-pangcu sampai menghitam mukanya melihat anak-anak muda ini. Empat orang muda telah berturut-turut muncul di depannya, di hadapan Gak-taijin! Tapi karena ia harus menjaga gengsi dan menyerahkan itu kepada sutenya maka Ia mendengus dan berkata singkat,

"Sute, agaknya tugasmu masih berceceran, bagaimana ini. Selesaikan mereka dan jangan buat aku malu di depan Gak-taijin!" 

Hek-coa Lo-kai juga terkejut. Belum selesai dengan pemuda she Gui mendadak muncul orang-orang lain yang menuntut Hek-i Kai-pang. Bagaimana mereka ini boleh dibiarkan begitu saja. Maka menghadapi gadis dan orang-orang muda itu akhirnya pengemis ini berseru.

"Anak-anak, semua yang kalian cari ada padaku. Marilah ke belakang dan kita selesaikan ini!"

"Tidak! " dua pemuda itu tiba-tiba berseru. "Kami justeru ingin di sini, Hek-Coa Lo-kai, menyelesaikan urusan disaksikan para tamu. Kami tak ingin Hek-I Kai-pang berbuat curang lagi dan Gak-taijin sebagai saksinya...!"

Kabut Di Telaga See Ouw Jilid 08

Cerita Silat Mandarin Serial Bu-beng Sian-su Karya Batara

Kabut Di Telaga See Ouw Jilid 08


TAPI di balik itu menteri ini melakukan sesuatu yang culas, licik. Hek-i Kai-pang disuruhnya mencari dana, mendatangi orang-orang kaya dan rakyat untuk berderma. Dengan dalih kemanusiaan dan keamanan anggauta-anggauta Hek-i Kai pang ini memeras siapa saja. Mereka tak segan mendatangi restoran atau losmen-losmen penginapan, meminta sedekah dan dengan itu katanya menjaga keamanan.

Dan karena selama ini Hek-i Kai-pang juga menjaga langganan-langganannya, rumah-rumah makan dan penginapan memang bebas dari kejahatan maka pemilik atau penyandang dananya tak keberatan. Namun akhir-akhir ini Hek-i Kai-pang mulai kelewatan. Mereka sudah berani menetapkan berapa iuran yang harus dibayarkan orang-orang kaya atau pemilik restoran itu.

Mereka tak segan-segan memaksa dan mengambil sikap. Seorang hartawan pernah dihajar sampai sebulan tak mampu bangun. Dan karena tindakan itu mulai bengis dan tidak manusiawi maka diam-diam Hek-i Kai- pang dimusuhi dan tak disukai orang, apalagi oleh penduduk Kwang-sin sendiri.

"Kami menjaga keamanan dan ketertiban di sini, siapa banyak bacot. Kalau kami tak melindungi dan menjaga kalian apakah usaha kalian bisa maju. Heh, lihat ketertiban dan keamanan kota ini, tuan-tuan. Kalau Hek-i Kai-pang tak menjaga ini apakah rumah makan dan penginapan kalian maju. Lihat pula perdagangan kaum nelayan, siapa menjaga mereka. Itu adalah hasil kerja keras kami. Dan ingat, kami dilindungi Gak-taijin!"

Para penyumbang dana berkerut surut. Kalau Hek-i Kai-pang sudah membawa-bawa nama Menteri Gak memang tak akan ada yang berani melawan. Jangankan mereka, pemilik rumah makan atau pedagang. Walikota setempat juga takut dan jerih berhadapan dengan pengemis baju hitam ini.

Lo-ciangkun (perwira Lo) yang membawahi keamanan dengan tiga ratus pasukannya juga tak berani banyak berkutik, semua bukan lain karena bayang-bayang Gak-taijin di punggung orang-orang Hek-i Kai-pang itu. Tapi ketika suatu hari perkumpulan pengemis ini menaikkan dana lima kali lipat kepada para penyumbangnya maka terjadilah ribut dan geger. Rumah makan "Le-h hi-pa" menjadi korban pertama.

"Kami menetapkan seribu tail untuk bulan ini, tak boleh kurang. Pangcu (ketua perkumpulan) telah membagi-bagi tugas agar kalian berpartisipasi memeriahkan ulang tahun kami. Gak-taijin akan datang!"

"Ah, mana kami dapat menyediakan itu. Seribu tail terlalu banyak, ,siauw-kai, kami tak sanggup. Pagi ini saja belum terkumpul seratus tail, kami baru Buka!" pemiliknya, seorang taoke gendut menolak dengan marah.

Pagi itu dua pengemis muda mendatanginya dan menyodorkan surat sumbangan suka rela, ditandatangani oleh Hek-sai Lo-kai namun tentu saja pemilik rumah makan ini terkejut. Sumbangan itu bukan suka rela lagi, melainkan paksaan, apalagi sejumlah seribu tail! Maka ketika ia menolak tapi pengemis itu tertawa dingin, sekali lagi memintanya tapi taoke ini menggeleng kepala maka pemilik rumah makan itu buru-buru membuka lacinya memperlihatkan isinya.

"Lihat, baru ada delapan puluh lima tail, belum seratus. Ini saja yang kuberikan kalian dan sampaikan maaf pada pangcu.”

"Kau tak menghargai kami yang setahun sekali merayakan ulang tahun? Kau tak menghargai Gak-taijin yang akan datang dan menghormati kota ini? Baik, sekali lagi seribu tail atau tidak sama sekali, babi gendut. Kau bayar atau kami pulang melapor!"

"Aku belum punya sebanyak itu...."

"Kemarin Rumah makanmu laris, kau baru diborong pesta!"

"Ah, tidak banyak keuntungannya, siau kai, hanya pesta pertunangan!"

"Cukup, kalau begitu kami kembali" dan dua pengemis yang menggebrak meja dan melempar uang itu akhirnya dipandang dengan geram tapi juga takut oleh pemilik rumah makan ini. Dia melihat ancaman di situ, buru-buru menghubungi Lo-ciangkun agar mengerahkan pasukannya menjaga rumah makannya.

Tapi ketika Lo-ciangkun hanya angkat bahu dan pergi meninggalkan kursinya maka perwira itu berkata bahwa pasukan di kota itu hanya sekedar formalitas belaka. Yang benar-benar menjaga dan melindungi keamanan adalah orang-orang Hek-i Kai-pang itu.

"Bodoh, kau masih mending. Aku sendiri dimintai sumbangan sebanyak tiga ribu tail, taoke, apa artinya dibanding seribu tail. Kau cepat saja ke markas Hek-i Kai-pang atau rumah makanmu nanti celaka!"

Benar saja, belum habis kata-kata ini datanglah berlari-lari seorang pelayannya. Taoke itu terkejut mendengar betapa restorannya dihancurkan pengemis-pengemis Hek-i Kai-pang. Tak kurang dari lima puluh orang datang ke tempatnya, mengobrak-abrik dan menghancurkan meja kursi. Lalu ketika taoke ini berlari dan menangis sepanjang jalan benar saja dilihatnya rumah makannya itu sudah hancur, bahkan dibakar! Berteriak-teriaklah taoke gendut ini.

Semua orang tak ada yang berani menolongnya sampai restorannya benar-benar ludes terbakar. Orang di sekeliling hanya menonton dari kejauhan. Dan ketika taoke itu pingsan sementara anak isterinya juga menangis bergulingan, tak dihiraukan siapapun akhirnya datanglah pasukan Lo-ciangkun memadamkan api.

Ternyata di sini pemilik rumah makan itu mendengar gerundelan. Seorang di antara pasukan bercerita bahwa gajinya dipotong sepuluh tail per bulan, tiga ratus pasukan berarti tiga ribu tail. Lalu ketika dia tertegun teringat omongan ciangkun maka berdirilah dia mengepal tinju.

"Keparat, orang seperti Lo-ciangkun begitu enak mencari duit. Diperas Hek-i-Kai- pang ganti memeras anak buahnya. Apakah aku harus memeras para pelayanku untuk dana Hek-i Kai-pang? Tak adil, biar kulapor kepada walikota!"

Namun Sok-taijin, sang walikota menghindar dari kedatangan warganya ini. la pura-pura disibukkan urusan pekerjaan dan tak ada waktu menemui, pemilik restoran terbelalak. Lalu ketika dia ditemui bawahan Sok-taijin dan ditanya mau apa maka bawahan itu tertawa padanya dengan sikap dingin.

"Mencari keadilan? Mengadu perbuatan Hek-i Kai-pang? Ah, sia-sia, tak akan berhasil. Ketahuilah bahwa taijin pun dikenai sumbangan suka rela, Wangwe lebih besar daripada kau. Dan kamilah yang dikenai potongan pengumpul daná. Pulang dan jangan pikirkan lagi itu atau malah nyawamu terancam!"

Lelaki gendut ini tertegun. Kiranya walikotapun tak berkutik, Hek-i Kai-pang benar- benar hebat. Lalu ketika ia kembali dengen lesu tahulah dia bahwa perkumpulan pengemis itu tak boleh dibuat main-main. Pejabat pemerintahpun tak berkutik di bawah bayang-bayang Hek-i Kai-pang, atau lebih tepat, bayang-bayang Gak-taijin itu!

Memang ada cerita panjang di sini, cerita yang tak diketahui orang luar. Yakni bahwa dengan meminjam namanya tentu saja menteri itu minta imbalan. Upeti, begitulah. Dan karena tidak semua sumbangan dinikmati Hek-i Kai-pang sendiri maka orang-orang atau anggauta perkumpulan itu akhirnya bersikap bengis kepada orang lain, tak perduli rakyat atau kaum pemerintahan, tentu saja di daerah.

"Kami menghidupi Gak-taijin, dari dialah semuanya ini kita dapat. Maka pertahankan sebesar-besar mungkin dana dari penyumbang, anak-anak. Katakan pada mereka bahwa imbalannya adalah ketenteraman dan ketenangan bekerja!"

Hek-sai Lo-kai berkata pada muridnya ketiká itu. Ia hendak memberi tahu bahwa sebagian dari hasil harus diserahkan menteri she Gak itu, bukan untuk mereka semua. Dan karena pengaruh Gak-taijin benar-benar membuat mereka ditakuti, hal ini menimbulkan bangga sekaligus kesombongan akan sepak terjang orang-orang Hek-i Kai-pang itu semakin kurang ajar, berani. Dan puncaknya adalah pada saat perkumpulan pengemis itu hendak merayakan ulang tahun.

"Pinto dicegat dan dimintai sumbangan, apa-apaan itu. Masa setiap orang lewat dimintai uang!"

Begitu Giok Yang Cinjin berkata pada Peng Houw. Waktu itu Peng Houw bertanya apa sebabnya mula-mula tosu itu dimusuhi, apakah sebelumnya ada persoalan lain yang membuat orang-orang Hek-i-Kai-pang marah. Tapi ketika Peng Houw bersinar dan berkerut mendengar ini maka pemuda itu mengangguk-angguk kemudian menyelidiki sendiri.

Dan benar, setelah dia terjun dan pura-pura berpakaian pengemis seperti anggauta Hek-i Kai-pang maka banyak yang dilihatnya. Penjual sayur dan tukang loak pun didatangi, semua dimintai sumbangan. Dan ketika Peng Houw menjadi marah namun ditekan pergelangannya oleh supeknya itu maka Giok Yang Cinjin memperingatkan bahwa belum waktunya bertindak.

"Kita masih mempunyai urusan pribadi, kalau belum apa-apa mengamuk dan marah-marah di sini jangan-jangan urusan sendiri kacau. Tidak, tahan semua kemarahanmu itu, Peng Houw. Lihat dan dengar saja tanpa ikut campur. Kita masih menunggu puncak keramaian itu untuk mencari jejak anak isterimu!"

"Tapi mereka benar-benar terlalu. Ah tukang sayur dan loakpun diminta sumbangannya, supek, apa-apaan itu. Bukankah menyakiti rakyat kecil. Apakah walikota atau pasukan keamanan tak ada yang dapat mencegah ini!"

Namun Peng Houw segera mendengar itu, ular-ular ompong macam Lo-ciangkun dan Sok-taijin.

"Walikota? Ah, sama seperti kami. Dia dan siapapun tak ada yang berani menggugat Hek-i Kai-pang, anak muda. Perkumpulan itu dilindungi Gak-taijin, kau siapakah bukankah orang Hek-i Kai-pang!"

Peng Houw lenyap. Teman yang diajak bicara adalah seorang kakek penambal sepatu, nyerocos bicara dan tiba-tiba sadar bahwa yang diajak bicara adalah seorang pengemis juga, Hek-i Kai-pang. Maka ketika dia berhenti namun secepat itu Peng Houw berkelebat lenyap, membuat kakek ini terkejut namun juga ketakutan akhirnya kakek itu malah terbirit-birit dan meninggalkan emperan toko itu. Untung hari sudah mulai gelap!

"Celaka, aku kelepasan bicara. Wah, apa yang akan dilakukan anak itu kepadaku, cucu-cucu. Mati aku kalau dicari dan ditangkap Hek-i Kai-pang!"

Peng Houw bertemu lagi dengan supeknya. la memencar di ujung jalan ketika sang supek menunjuk kakek itu tadi, melihat dari jauh. Dan ketika ia bercerita dan Giok Yang Cinjin menghela napas maka tosu ini geleng-geleng kepala melihat kebobrokan itu.

"Siancai, sungguh sial. Kalangan bawah selalu terjepit. Ah, begitulah hidup sehari-hari, Peng Houw, yang kuat menindas yang lemah dan pinto tak terlalu heran. Hanya bagaimana Gak-taijin itu dapat dirangkul Hek i Kai-pang. Ini tentu ada rahasianya!"

"Rahasia atau tidak tak boleh seorang menteri berbuat seperti itu. Rakyat ditindas dan selalu dicelakai, supek, mana namanya keadilan!"

"Eh, yang mencelakai adalah Hek-i Kai- pang, bukan Gak-taijin!"

Peng Houw. tertegun. Entah kenapa tiba-tiba dia sudah menuduh begitu. Dia memang mendengar bahwa menteri itu adalah Ketua Kehormatan Hek-i Kai-pang. Tapi karena sang menteri jauh di pusat kota raja sedangkan orang-orang Hek-i-Kai-pang ini di Kwang-sin maka dia berdiam diri dan tidak menyebut-nyebut menteri itu lagi. Giok Yang Cinjin menghibur.

"Yang harus kita salahkan adalah orang-orang dari perkumpulan pengemis ini , terutama Hek-sai Lo-kai, ketuanya. Biarlah di puncak acara nanti kita menegur dia."

"Tapi rakyat terlanjur sengsara, uangnya sudah diambil!"

"Untuk itu gampang, Peng Houw, malam nanti kita dapat berbuat sesuatu."

"Maksud supek?"

"Mengambil kembali uang derma itu, itu paksaan!”

Peng Houw berseri. Tiba-tiba ia girang dan mengangguk dan saat itu lewatlah empat pengemis Hek-i Kai-pang didepan mereka. Melihat dua orang ini tak bekerja apa-apa kecuali kasak-kusuk bicara sesuatu tak ayal lagi empat orang itu mendatangi. Mereka berteriak dan menanyakan kenapa dua "rekan" ini tak bekerja, bukankah semuanya sedang bertugas. Dan karena mereka sudah di depan dan tak mungkin menghindar maka Peng Hou buru-buru pergi menarik tangan supeknya itu.

"Kami baru mengaso, sekarang mencari derma. Maaf dan kalian pergilah..duk!" Peng Houw menyikut dua yang terdekat dan secepat itu merampas kantung hitam di sebelah pinggang. Itulah kantung uang hasil meminta sumbangan. Dan ketika dua yang lain terkejut tapi Giok Yang Cinjin tertawa mengibaskan lengan bajunya maka iapun menotok dua yang lain itu dan robohlah mereka berempat.

"Heiii...!"

"Keparat!"

Peng Houw lenyap bersama Giok Yang Cinjin. Mereka ini tak menghiraukan lagi seruan dan bentakan lawan-lawan mereka itu. Empat pengemis itu terkapar. Lalu ketika mereka meloncat dan bergerak ke timur maka Giok Yang Cinjin sudah mendengar di mana markas pengemis itu berada.

"Kita dapat ke sana, sekarang. Tapi hati-hati dan jangan sampai ketahuan!"

"Tunggu," Peng Houw berseru. "Uang ini harus kubagi-bagikan dulu, supek. Ini milik rakyat kecil!"

"Benar, dan cari penambal sepatu itu. Ah, pinto juga teringat dan mari datangi mereka itu!"

Akan tetapi Peng Houw tak menemukan kakek ini. Emperan toko di mana tadi dia bercakap-cakap sudah sepi, kakek itu tak kelihatan. Dan ketika Giok Yang Cinjin mengajaknya ke pasar dan bertemu penjual sayur atau buah-buahan maka sambil membuka kantung hitam itu pemuda ini melempar-lemparkan uangnya, logam dan kertas.

"Nih, untuk kalian. Pergi dan cepat menyingkir!"

Perbuatannya tentu saja menggemparkan isi pasar. Mereka yang tertegun tapi girang meraup uangnya segera terkekeh dan berseri-seri. Mereka hendak melihat siapa penolong mereka itu akan tetapi Peng Houw dan Giok Yang Cinjin sudah lenyap berkelebat, dua orang ini tak mau diketahui dengan jelas, bergerak dan sebentar kemudian sudah meninggalkan tempat itu. Lalu ketika Semua terbelalak. dan ada yang memanggil namun tentu saja tak dihiraukan maka Peng Houw dan tosu ini sudah melesat ke timur kota tertawa-tawa.

"Heh-heh, nenek itu terkejut dan tercengang. Ah, puas pinto melihat mereka gembira, Peng Houw. Nenek tua penjual sayur itu bengong!"

"Dan penjual buah itu seakan masih tak percaya. "Aku juga puas, supek, sekarang kita rampas yang lain dan kembalikan semua uang rakyat!"

Giok Yang Cinjin mengangguk. Mereka sudah meluncur menuju markas Hek-i Kai-pang dan di tengah jalan mereka bertemu pengemis-pengemis lain yang setugas dengan empat pengemis tadi, yakni mereka yang membawa kantung-keantung uang hasil penarikan derma.

Lalu merasa gemas oleh tingkah orang-orang ini tak ayal lagi Peng Houw menyambar dan membuat mereka kaget, berteriak dan mengejar namun Giok Yang Cinjin mengibas. Sekali dorong atau tamparan para pengemis itu terjengkang. Dan ketika mereka melanjutkan perjalanan tak perduli teriakan lawan, sebentar kemudian sepuluh kantung hitam berada di tangan maka Giok Yang Cinjin berseru agar menyimpan dulu uang itu.

"Masih banyak yang akan kita dapat. Simpan dan cari dulu tempat yang baik, Peng Houw. Kita cari sebuah kuil!"

"Kita tak menuju Hek-i Kai-pang?"

“Terlalu penuh tangan kita, nanti berceceran. Baiklah membelok dulu dan pinto ingat sebuah kuil rusak di luar sana!"

Peng Houw mengangguk. Mereka juga tak mungkin membagi-bagikan uang itu sekarang juga, rakyat kecil tentu sudah pulang ke rumah masing-masing. Maka ketika ia setuju dan membelok menuju luar hutan ternyata benar saja di sini terdapat sebuah kuil rusak.

"Nah, kita simpan dan taruh di sini, Ha ha, ada dua belas kantung, penuh semua!"

"Benar, kita cari tempat yang baik, supek, barangkali di dalam gentong itu!" Peng Houw melihat sebuah gentong dan mereka sudah melompat di belakang kuil ini.

Giok Yang Cinjin mengangguk dan menendang gentong itu. Lalu ketika ia membalik gentong itu menaruh isinya di dalam maka Peng Houw mengangguk puas melihat dua belas kantung hitam itu aman di tempatnya.

"Kalau tak ada yang membalik gentong ini tak akan ada orang tahu. Baiklah, mari kita kembali, supek. Sekarang langsung ke markas."

Akan tetapi di markas Hek-i Kai-pang terjadi perobahan. Banyaknya pengemis yang "dibegal" Peng Houw dirampas uangnya telah menimbulkan gaduh. Mereka melapor pimpinan dan tentu saja tokoh tokoh Hek-i Kai-pang mencak-mencak. Mereka bertanya siapa pembuat onar itu namun anggauta menggeleng kepala, yang mereka lihat hanya dua bayangan pengemis baju hitam, jadi orang-orang seperti mereka.

Akan tetapi karena Giok Yang Cinjin adalah seorang tua yahg jenggotnya kelihatan maka mereka berkata bahwa satu di antara pembuat onar itu seorang kakek.

"Kami tak dapat melihat jelas karena bayangan mereka cepat sekali. Yang tua itu mengibas dan membuat kami terpelanting. Kami tak tahu siapa mereka kecuali seorang kakek dan seorang pemuda, pangcu. Mereka juga mengenakan pakaian hitam-hitam seperti kami, tapi jelas bukan anggauta Hek-i Kai-pang!"

"Bagaimana kau yakin?"

"Pukulan mereka, pangcu, bukan seperti kita. Pukulannya amat dahsyat dan di sini tak ada yang memiliki pukulan seperti itu. Kami dirobohkan begitu mudah!"

"Bodoh, kalian memang bodoh! Tarik semua murid dan suruh mereka pulang. Sumbangan sudah cukup dan biarkan yang hilang itu. Jaga tempat kita dan awas jangan sampai diserbu, keramaian tak boleh gagal, Gak-tatjin akan datang!"

Hek-sai Lo-kai, pimpinan Hek-i Kai-pang yang membawa tongkat mengetrukkan tongkatnya kuat-kuat. Lantai marmer di ruangan itu hancur, murid yang melapor malah ditendang. Maka ketika Peng Houw dan Giok Yang Cinjin tiba di sini maka yang mereka lihat adalah penjagaan amat ketat di setiap sudut. Peng Hou kagum dan terheran-heran oleh markas yang amat megah dan luas itu, markas pengemis yang lantainya marmer!

"Bukan main, bener-benar mewah, tidak pantas untuk perkumpulan sebuah pengemis!"

"Hm, Hek-i Kai-pang ini benar-benar menyimpan kekayaan dari pemerasan supek. Pantas kalau mereka ditakuti dan disegani. Para pengemis ini sesungguhnya pemalas yang mengandalkan kepandaian saja!"

"Benar pinto juga melihatnya begitu, Peng Houw. Awas ada yang melihat kita dan cepat menyingkir!"

Giok Yang Cinjin menarik pemuda ini karena dari samping terlihat dua pengemis memandangi mereka. Murid Hek-i Kai-pang ini terheran ada teman yang mengintip, Peng Houw dan Giok Yang Cinjin berada di semek-semak gerumbul. Tapi ketika ia curiga dan hendak mendatangi ternyata tosu ini sudah menarik Peng Houw dan berkelebat lenyap.

Hal ini tentu saja juga dilaporkan ketua Hek-i Kai-pang. Hek-sai Lo-kai mendelik, betapa beraninya dua orang itu mendatangi markasnya. Tapi karena orang sudah dilaporkan kabur dan keramaian pesta juga semakin dekat akhirnya pengemis kulit hitam yang brewokan seperti singa itu menyerukan agar para murid menjaga sampai di luar markas, seratus meter dari gedung itu.

"Kumpulkan semua tenaga, jaga rapat-rapat. Tangkap jahanam itu atau kalian panggil aku!" Hek-i Kai-pang benar-benar terkejut.

Mereka juga kaget dan marah selain kagum akan keberanian lawan. Betapa nekatnya dua orang itu. Maka ketika penjagaan diperketat dan atas gedungpun dijaga banyak mata, tak mungkin menerobos tanpa ketahuan akhirnya Giok Yang Cin-jin tersenyum membatalkan niatnya.

"Biarlah, agaknya cukup dengan dua belas kantung hitam itu. Hm, Hek-i Kai-pang telah siap menerima kita, Peng Houw, tak ada gunanya menyerbu hanya untuk uang rampasan. Nanti tak ubahnya kita perampok!"

"Benar, kita tunda sampai di sini dulu. Lihat lampu-lampu juga ditambah, supek, menyerbu tanpa ketahuan adalah sulit. Hek-i Kai-pang telah mendengar sepak terjang kita."

Dua orang itu akhirnya membatalkan memasuki markas. Bukan maksud mereka untuk menyerang, membuat ribut di situ. Maka ketika mereka mundur dan menunggu hari keramaian itu, Giok Yang Cinjin akhirnya menyembunyikan jenggotnya di balik saputangan hitam maka dua orang ini berkesempatan masuk secara terang-terangan mengunjungi hari jadi perkumpulan pengemis itu.

Ada keuntungan yang didapat dari pesta keramaian ini, yakni bebasnya para tamu mengunjungi ulang tahun Hek-i Kai pang, terutama orang-orang kang-ouw yang mendengar lalu singgah di situ, duduk dan menikmati suasana keramaian tanpa kartu undangan. Maka ketika Peng Houw dan Giok Yang Cinjin juga memasuki keramaian itu, tentu saja dengan melumuri wajah agar tak dapat dikenal.

Maka Peng Houw seperti seorang kongcu yang mempertampan diri dengan kopiah biru di atas kepala, memegang kipas. Sementara Giok Yang Cinjin, yang tak mau duduk bersebelahan agar tak cepat dikenal menggelung rambutnya bercabang tiga hingga kelihatan lucu dan menggelikan, persis kakek pengembara yang konyol.

"Kita tak boleh berduaan lagi, berpisah tempat duduk saja. Kau di belakang dan pinto di tengah. Nah, sekarang masing-masing sudah bukan seperti aslinya lagi, Peng Houw, kau seperti kongcu pelajar yang berdarma-wisata. Sementara pinto, ha-ha... persis kakek konyol tidak waras. Gelung rambut pinto ini. Seperti orang edan!"

Peng Houw tersenyum. Memang supeknya ini seperti orang tidak waras, gelung saja dicabang tiga. Tapi karena banyak orang-orang kang-ouw seperti itu, aneh dan bersikap konyol maka tak ada kecurigaan ketika mereka memasuki halaman Hek-i Kai-pang dan duduk di kursi yang disediakan.

Hek i kai-pang membagi dua untuk tamu-tamu undangannya ini. Yang tidak dikenal, seperti Peng Houw dan Giok Yang Cinjin diletakkan di luar, sementara mereka yang dikenal dan merupakan sahabat perkumpulan pengemis itu ditaruh di dalam dan duduk bersama pimpinan.

Tamu sudah banyak berdatangan dan Peng Houw lagi-lagi memaki. Bagaimana tidak, lantai dan ruang dalam perkumpulan pengemis ini seperti lantai dan ruangan istana saja. Karpet biru dan merah menghampar di situ, sementara di dinding, menempel rapi berderet-deret tampak lukisan mahal yang bingkainya dilapis emas. Hek-i Kai-pang sungguh bukan pengemis!

Dan ketika Peng Houw mengepal tinju teringat dari mana semuanya ini, hasil pemerasan berkedok sumbangan suka rela maka teman duduknya, seorang lelaki bertubuh kurus tertawa ha-ha-he-he menendangkan sepatu ke kaki kursi.

"Wah-wah, bukan seperti perkumpulan pengemis lagi. Ha-ha, Hek-i Kai-pang ini kaya raya, tapi minuman hanya air putih saja. Ah, mereka tak adil dengan hidangan yang di dalam. Di sana ada arak dan roti, di sini air dan kompia beku. Wah, pelit!"

Peng Houw tersenyum dan menoleh. Laki-laki, teman sebelahnya mengetuk kursi hingga bengkok. Suaranya tak didengar para pengemis karena suasana mulai bising, juga tak begitu keras seolah berhati-hati! Dan karena ia juga melihat itu sebagai pelayanan berat sebelah, ada perbedaan antara luar dan dalam iapun mengangguk dan berkata,

"Benar, Hek-i Kai-pang tidak adil, luar dan dalam tidak sama. Tapi kita bukanlah tamu undangan. Siapakah saudara dan apakah datang hanya untuk menikmati santapan pesta?"

"Ha-ha aku ingin menonton keramaian, bukan hidangan ini. Tapi kalau seperti ini Hek-i Kai-pang menyuguh tamu maka perlu juga diprotes. Eh, aku Pemabok dari Kwang-cit, saudara, Lai Pak namaku. Siapakah kau dan apakah kau juga tamu tak resmi!"

"Hm, aku Boan-su, pengelana. Aku memang tak resmi dan sekedar mampir ke sini, menonton pesta. Apakah Hek-i Kai-pang tak mengenalmu karena bukankah Kwang-cit tak jauh dari sini."

"Ha-ha, benar, tapi aku tak kecewa. Kalau Hek-sai Lo-kai sendiri melihatku pasti dia buru-buru menyambut. Ah, aku Pemabok yang suka arak, tak tahan rasanya melihat arak-arak di situ. Mari, kita ke dalam saja dan minta terangan-terangan minuman yang baik!"

Peng Houw terkejut. Lai Pak si Pemabok ini sudah bangkit dan menarik tangannya, sekali cengkeram membuat ia hampir mengaduh. Maklum, ia tak menyangka apa-apa dan tidak mengerahkan sinkangnya. Tapi ketika ia mengerahkan sinkangnya dan lawan justeru kaget jarinya serasa terbakar, Peng Houw marah kepadanya maka ia berteriak dan melepaskan tangannya.

"Heii, kau orang hebat!"

Peng Houw buru-buru duduk dan tak mau menjadi perhatian. Ia sudah membuat lawan terkejut dan itu cukup. Tadi ia tak menyangka dan disangka orang lemah, kini Pemabok dari Kwang-cit itu tertegun, tahu rasa. Tapi ketika ia mengharap orang itu pergi dan tak usah mengganggunya tiba-tiba orang ini tertawa dan duduk lagi di sebelahnya. Mata berseri-seri.

"Boan-kongcu, kau memiliki sinkang yang amat luar biasa sekali. Ah, tak kusangka dan kukira dirimu pelajar biasa. Ha-ha, Mari... mari ikut aku dan kita duduk di dalam. Hek-sai Lo-kai akan kutemui!"

"Tidak," Peng Houw menolak. "Aku disini saja, saudara Lai. Kau jangan mengganggu aku seperti aku juga tak mengganggumu. Pergilah ke dalam kalau kau ingin masuk."

"Tapi kau tak pantas di sini, ini tempat duduk orang biasa. Mari bersamaku dan kita duduk di tempat duduk kehormatan!"

"Tidak...!" sekali lagi Peng Houw menolak. "Aku bukan tamu resmi, saudara, silakan masuk kalau kau ingin ke dalam. Jangan menggangguku seperti aku juga tak mengganggumu!"

Pemabok itu tertawa. la melihat sorot tajam dari Peng Houw, sorot dingin dan tak suka. Dan karena pemuda itu jelas tak mau dan ia sudah merasakan kelihaian lawan maka iapun bangkit dan berkata lagi, "Baiklah, mungkin kau tak percaya bahwa orang seperti Hek-sai Lo-kai akan menyambutku. Aku akan masuk ke dalam dan araknya sudah membuat aku ngilar!"

Peng Houw mengerutkan kening tapi lega melihat lelaki itu meninggalkan kursinya. Ia sudah merasa tak senang dan siap-siap setelah lawan mencengkeram tangannya. Begitu saja lelaki itu hendak mencelakainya. Dan ketika ia bersikap acuh dan malah lega maka menyeruaklah seorang lain terkekeh serak.

"Pemabok itu memang mahluk yang suka memaksa orang. Bagus, kau sudah terlepas dari tangannya, kongcu, aku gembira. Hati- hatilah kalau berdekatan dengannya karena ia sesungguhnya sahabat Hek-i Kai-pang!"

Peng Houw tertegun. Kakek di belakangnya ini, seorang berusia limapuluhan tahun tahu-tahu telah berpindah tempat duduk di tempat yang tadi dipakai si Pemabok. Kakek ini menawarkan keramahan meskipun ada sesuatu yang tidak menyenangkan Peng Houw, yakni sorot matanya yang berminyak seolah kakek-kakek yang doyan paras cantik.

Akan tetapi karena kakek itu sudah duduk dan kata- katanya bersifat melindungi, benar saja di dalam itu, si Pemabok tiba-tiba disambut dua pengemis di kursi kehormatan, membungkuk dan memberinya kursi bagus maka sekilas Pemabok itu memandangnya lalu duduk tertawa-tawa. Arak di meja sudah disambar dan diminum isinya.

"Lihat," kakek itu berkata lagi. "Lai Pak si Pemabok itu orang sombong, anak muda. Mentang-mentang ditakuti di daerahnya ia sewenang-wenang dan suka memaksa orang. Syukur kau bebas darinya tapi tadi kulihat ia kesakitan. Rupanya jarinya tersengat olehmu!"

Peng Houw menarik napas. "Ia memaksaku tapi kutolak. Entah kenapa dia berteriak mungkin karena ujung kakinya kuinjak. Lo-enghiong siapakah dan berasal dari mana."

Kakek itu tertawa. Peng Houw menyebutnya lo-enghiong (kakek gagah) yang membuat wajahnya berseri. Hal ini dilakukan pemuda itu karena si kakek berkesan sahabat, melindungi. Maka ketika ia tertawa dan menepuk paha sendiri kakek itu berkata bahwa dia adalah Hong Ta si pengelana.

"Aku si tua Hong, perantau. Barangkali kau pernah mendengar namaku. Eh, kongcu bernama Boan-su, bukan? Tadi kudengar percakapan kalian."

"Benar, aku orang she Boan." Peng Houw berbohong. "Dan lo-enghiong adalah pengelana juga? Sayang, wawasanku kurang luas, aku baru kali ini mendengar nama lo-enghiong. Tapi melihat golok di pinggang lo-enghiong itu tentu lo-enghiong seorang lihai yang ditakuti lawan!"

Kakek itu kaget. Ia terbelalak memandang Peng Houw tapi Peng Houw tersenyum mengangguk. Biarpun si kakek menyembunyikan goloknya di pinggang namun matanya yang tajam tahu. Kakek itu melilitkan sebuah golok tipis di pinggang. Maka ketika ia tersenyum sementara si kakek hilang kagetnya maka kakek ini menepuk-nepuk pundaknya terkekeh-kekeh.

"Aduh, lihai sekali, bermata tajam! Ha-ha. Aku si tua. kagum kepadamu, kongcu. Kau benar-benar awas dan lihai sekali. Kau tentu bukan orang sembarangan!"

Peng Houw tak menjawab. la menerima tepukan itu dan sebagaimana si Pemabok iapun merasakan dirinya diserang. kakek ini mengujinya! Tapi karena ia sudah waspada dan mengisi pundaknya dengan sinkang, jari si kakek bertemu kulit keras yang membuat telapaknya pedas maka kekek itu tertawa-tawa menghentikan tepukannya.

"Hah, benar. Kau bukan anak muda sembarangan. Kau orang berisi. Ah, mari minum untuk persahabatan kita!"

Peng Houw tersenyum menerima gelasnya. Kakek itu mengangkat gelas dan minum air putih, mengajak mengikat persahabatan. Dan ketika ia akhirnya menerima teman bicaranya ini segera kakek itu memberitahukan bahwa Gak-taijin bakal menjadi tamu agung di situ.

"Konon menteri ini hendak membagi-bagi hadiah buat rakyat kecil. Lihat kelompok mereka itu yang sudah berharap sejak tadi!"

Peng Houw memandang. Baru ia sadar bahwa di samping gedung, hampir seratus orang tampaklah tamu-tamu kusut berpakaian sederhana. Ada pria dan wanita di situ, rata-rata cukup umur dan menilik wajah mereka agaknya mereka pedagang kecil atau kaum lemah. Peng Houw melihat bahwa mereka adalah rakyat jelata. Lalu ketika ia mengangguk melihat itu kakek ini bicara lagi,

"Hek-i Kai-pang perkumpulan yang beruntung, yang, hebat sekali dapat berhubungan dengan Gak-taijin. Eh, kau orang muda apakah sudah mengenal Gak-taijin, kongcu. Beruntung kalau kau bisa bekerja padanya, aku juga ingin!"

"Aku tak pernah ke kota raja, tak mengenal para pembesar atau menteri. Aku enggan berhubungan dengan mereka-mereka itu, lo-enghiong, aku orang kecil yang tentu tak ada artinya bagi mereka."

“Ha-ha , salah. Berhubungan dengan orang besar penting, bisa menunjang kesuksesan kita. Eh, lihat itu laki-laki gemuk di sudut sana, kongcu la Kwat-wangwe hartawan maju. Saudaranya Kwat taijin adalah bawahan menteri Gak. Beruntung dia, usahanya berkembang dengan cepat dan tambah kaya raya!"

"Aku tak tertarik," Peng Houw menggeleng. "Aku bukan pedagang atau sebangsanya, lo-enghiong, aku orang biasa saja. Aku tak berhasrat seperti mereka."

"Ha-ha, lihat itu. Wah, si raja catur datang. Bakal ramai! la petaruh yang tak pernah kalah!" Si kakek menunjuk ke kiri ketika seseorang datang. Seorang pria bermuka bulat buru-buru disambut pengemis Hek-i Kai-pang di halaman paling depan, laki-laki berpakaian perlente dan membawa sebuah papan tioki (catur).

Laki-laki itu mengangguk sedikit saja lalu masuk dengan langkah lebar, tak begitu menghiraukan sambutan para pengemis dan tiba-tiba bangkitlah si Pemabok Lai Pak di sana, berseru dan menggapai. Lalu ketika laki-laki itu melihat dan meloncat cepat tahu-tahu ia telah berada di ruang dalam menepuk-nepuk Pemabok ini.

"Ha-ha, kau datang? Bagus, di mana ada arak di situ pasti kau hadir, saudara Lai. Hari ini aku mendapat undangan Hek-i Kai-pang tapi mana pimpinannya!"

"Pangcu sedang bebenah di dalam," Seorang tokoh pengemis menjura dan memberi hormat. "Selamat datang dan silakan duduk, Ki-ong. Nanti pangcu pasti keluar menyambut cuwi semua."

"Wah, jual mahal. Tentu menunggu Gak-taijin baru muncul. Ha-ha, bagaimana kau, Pemabok. Apakah Hek-i Kai-pangcu juga belum menyambutmu!"

“Aku duduk di sana”, lelaki itu menuding. "Baru saja pindah ke sini setelah tak tahan bau arak. Ha-ha, kau sendiri bagaimana, Ki-ong. Apakah rejekimu semakin besar. Kapan terakhir kau menang dan berapa kau menang!"

"Ha-ha tak ada lawan lagi. Eh, bukankah itu kwa-kut-to (Golok Pengerik Tulang)!”

Peng Houw terkejut. Sambil bicara dua orang itu memandang ke tempat duduk mereka, si Pemabok memberi tahu tempatnya tadi. Tapi ketika Raja Catur itu melihat mereka terutama kakek di sebelahnya maka meluncurlah seruan kaget itu dan Peng Houw baru tahu bahwa kakek di sebelahnya ini berjuluk Golok Pengerik Tulang.

Akan tetapi kakek itu tertawa-tawa pula menyambar gelas lagi dan pura-pura tak tahu, atau tak mendengar. Lalu ketika (Ki-ong tertegun tapi sudah ditarik untuk duduk maka Peng Houw mendengar bisikan yang tertangkap telinganya.

"Sst, jangan perhatikan tua bangka itu. Justeru anak muda di sebelahnya itu amat hebat. Tahukah kau bahwa jariku Hoa-ciok-sinkang tak mampu meremas tubuhnya!"

Peng Houw menjadi tak enak. Sekilas ia merasa tatapan si Raja Catur itu, melengos dan mengambil gelas untuk pura-pura minum. Lalu ketika dua orang itu kasak-kusuk dan terlibat pembicaraan sendiri maka tamu sudah mulai memenuhi halaman depan dan ruang dalam.

la terkejut mendengar Hoa-ciok-sin-kang (Tenaga Peremas Batu) tadi, jelas bahwa si Pemabok bukan orang sembarangan. Dan ketika Hong Ta kek di sebelahnya ini juga terus minum sambil menyambar makanan kecil, kacang dan lain-lain akhirnya dua jam kemudian pimpinan Hek-i Kai- pang muncul.

Peng Houw belum mengenal ketua pengemis ini. Akan tetapi ketika tamu di dalam tiba-tiba bangkit dan memandang ke satu arah, muncullah kakek brewokan berkulit hitam maka Golok Pengerik Tulang berseru menuding, tamu di luar juga menengok.

"Ha, itu pimpinan Hek-i Kai-pang. Gagah dia, bukan main perlentenya!"

Peng Houw tertegun. Di pintu dalam, di balik segala kembang kertas dan balon Warna-warni muncullah ketua Hek-i Kai-pang yang gagah dan berwibawa itu. Pakaiannya serba hitam tapi terbuat dari Sutera mahal, tidak bertambal-tambal sementara pinggirannya dihias benang emas, kuning gemerlap-gemerlap.

Dan ketika ia datang sementara para murid sudah membungkuk penuh hormat, yang di luar bahkan berlutut maka tongkat di tangan ketua diangkatnya tinggi-tinggi membalas salam para tamu, kesannya sombong dan tinggi hati, mendorong empat pengiring di belakangnya yang juga berpakaian serba hitam tapi tak bertambal-tambal.

"Cuwi-enghiong (tuan-tuan sekalian), selamat datang semuanya, selamat datang. Terima kasih atas perhatian kalian tapi maaf aku harus keluar dahulu!"

Peng Houw mengerutkan kening. Kakek tinggi besar yang diiring murid-murid Hek-Kai-pang itu ternyata tak duduk menemanl para tamu, ia melangkah keluar dengan langkahnya yang panjang sementara tongkat digerak- gerakkan ke kiri kanan di atas kepalanya. Anggukan para tamu hanya disambut gerakan tongkatnya itu, sombong. Lalu ketika Peng Houw tak mengerti kenapa ketua Hek-i Kai-pang itu keluar tiba-tiba terdengar derap kereta disusul teriakan parau,

"Yang mulia Gak-taijin datang. Harap minggir dan beri jalan!" Tahulah Peng Houw sekarang. Kiranya ketua Hek-i Kai-pang itu menyambut tamu agungnya lebih dulu, pantas tak menghiraukan yang lain dan meninggalkan ruang dalam. Lalu ketika derap kereta disusul oleh suara kuda, berturut-turut munul tiga kereta dikawal puluhan kuda maka Hek-i Kai-pangcu membungkukkan tubuhnya dalam-dalam di depan kereta yang berhenti. Semua otomatis minggir dan menyibak.

"Selamat datang untuk Gak-taijin dan tamu-tamu yang terhormat. Sudah lama kami menunggu dan mohon berkah!"

Terbukalah pintu kereta. Seorang berpakaian serba mewah, gemuk dan berambut tipis keluar dari kereta pertama. Mukanya tembem dengan pipi tebal, mata berseri-seri menyipit sementara murid-murid Hek-i Kai- pang cepat menggelar permadani hijau untuk menyambut tamu agung ini. Tepat menginjakkan kakinya yang pertama pria gemuk itu tertawa, melambaikan tangan.

Lalu ketika Hek-i kai-pangcu membungkuk dan sekali lagi memberi hormat maka musik dibunyikan perlahan-lahank ketika dua kereta yang lain terbuka dan berturut-turut muncullah walikota Kwang-cit dan pembesar setempat, pria-pria gendut berpakaian serba bagus.

"Ha-ha, selamat untuk ulang tahun Hek-i Kai-pang. Aku tak membawa apa-apa untuk hadiah bingkisannya, pangcu, tapi sekedar bungkusan ini biarlah untukmu buat mereka yang pantas menerima. Silakan terima dan mudah-mudahan tak kecewa!"

Hek-i Kai-pangcu tersenyum lebar. Ia menerima bungkusan itu ketika dua orang di belakang menteri Gak ini menyodorkan sumbangan, hanya dua bungkusan kecil berpita merah, tampaknya bersahaja tapi berat juga, terbukti ketika dengan kedua tangan pimpinan pengemis itu menerima dan hati-hati memberikannya kepada dua muridnya yang sudah menyambut.

Lalu ketika ia mengucap terima kasih dan Gak-taijin dipersilakan masuk, berjalan di hamparan permadani itu maka tampaklah hanya kepada Gak-taijin ini ketua Hek-i Kai-pang itu memberi hormat. Walikota dan lainnya tak dipandang mata, cuek!

"Terima kasih, mari taijin memasuki ruangan dan sudah kami siapkan segalanya sebaik mungkin. Tapi pesta kami hanya begini- begini saja, harap taijin tak kecewa."

Menteri itu tertawa. Semua orang bangkit berdiri ketika pembesar itu melangkah pendek-pendek, musik mengalun lembut dan masuklah semua rombongen itu ke ruang dalam. Lalu ketika tempat duduk kehormatan juga sudah dipersiapkan dan Hek-i Kai-pangcu mempersilakan tamunya, permadani di luar sudah digulung maka semaraklah pesta di tempat ini. Tetabuhan mulai dipukul keras.

Peng Houw memperhatikan segalanya dengan cermat. la sampai tak tahu betapa supeknya Giok Yang Cinjin tiba-tiba tak ada di kursinya lagi. Dua orang tiba-tiba menarik tosu itu dan membawanya pergi. Lalu ketika Peng Houw juga tak sadar betapa belasan murid Hek-i Kai-pang tiba-tiba telah mengepung tempat duduknya secara tidak kentara maka Hong Ta, kakek di sebelahnya itu tertawa-tawa mengedip pada belasan murid Hek-i Kai-pang yang memandang penuh curiga kepada Peng Houw!

Baru Peng Houw sadar ketika tangannya ditangkap seseorang. Si Pemabok Lai Pak tahu-tahu berbisik padanya apakah ia sendirian di situ, tak ada teman. Dan ketika Peng Houw terkejut melihat tempat duduk supeknya yang kosong maka si Pemabok itu berkata bahwa di belakang ada seorang kakek yang dikeroyok murid-murid Hek-i Kai-pang.

"Kulihat ada seorang tosu di sana, apakah itu temanmu. Sst, tenang dan jangan menarik perhatian orang, Boan-kongcu Kalau tosu itu bukan temanmu biar saja ia ditangkap!" Peng Houw kaget. Otomatis ia menoleh dan melihat Pemabok ini. Kalau saja ia diserang tentu membalas. Tapi ketika orang bersikap ramah dan justeru memberi tahu maka ia berdiri dan bertanya,

"Betul, ia temanku. Kapan ia pergi dan kenapa dikeroyok orang-orang Hek-i Kai-pang!"

"Sst, jangan berisik. Kalau kau ingin melihat mari ikuti aku, kongcu. Ada kejadian di belakang yang membuat aku heran!"

"He, ke mana!" Hong Ta kakek di sebelah Peng Houw berseru, pemuda itu sudah dibawa Lai Pak, bergegas menyeruak tamu lain. "Ada apa, kongcu. Kenapa meninggalkan tempat duduk. Kita belum melihat hadiah Gak-taijin!"

Peng Houw tak menggubris. Ia sudah cepat mengikuti Pemabok ini dan tahu-tahu kakek itupun menyusul. Langkah kakinya cepat dan untung para tamu tak tertarik, maklum mereka melewati samping gedung seperti orang mau berhajat kecil, kencing misalnya. Dan ketika Pemabok itu buru-buru membawa Peng Hou melalui jalan gelap mendadak belasan bayangan hitam meloncat dari kiri kanan menyerang pemuda itu, disusul oleh Lai Pak sendiri yang membalik dan mencengkeram pemuda ini.

"Robohlah, kau calon pengacau!"

Peng Houw terkejut. la kehilangan kewaspadaan kerena gelisah memikirkan supeknya itu, cengkeraman atau serangan lawan mengenai tubuhnya. Akan tetapi karena seluruh syarafnya sudah bergetar kencang dan Hok-te Sin-kang melindungi tubuhnya maka untuk kedua kalinya lagi cengkeraman lelaki itu mengenai kulit atos pedas.

"Aiihhhh!" Untuk kedua kalinya lagi si Pemabok itu berseru. Jarinya terasa sakit mencengkeram pemuda ini. la tak tahu siapa lawannya itu. Tapi ketika ia mundur dan murid-murid Hek-i Kai-pang sudah menubruk, mereka membentak dan menyerang Peng Houw maka pedang dan golok menyambar bagai hujan.

"Keparat!" Peng Houw merasa tertipu dan marah. "Kau menjebakku, orang she Lai, bagus sekali tapi jangan kira aku takut...bak- bik-bukk!"

Peng Houw menangkis dan membiarkan beberapa senjata mengenainya, mental dan pemiliknya berseru kaget betapa senjata mereka tertolak. Lalu ketika Peng Houw membentak dan membalas mereka kontan saja belasan murid-murid Hek-i Kai-pang itu roboh. Pemuda ini mengibas dan membuat mereka berjengkangan.

Akan tetapi she Lai Pemabok itu sudah menyerang lagi. Hoa-ciok-sinkangnya, Peremas Batu dipergunakan lagi lebih hebat. Ternyata ia mahir dengan ilmu mencengkeram, agaknya itulah keahliannya. Namun ketika dua kali Peng Houw mengelak dan mendorong gemas maka orang itupun terpelanting dan roboh.

"Heiii." Pemabok itu benar-benar terkejut. Ia tak tahu siapa lawannya dan bergulingan meloncat bangun. Belasan murid Hek-i Kai-pang juga terbelalak dan siap menyerang lagi. Tapi ketika Golok Pengerik Tulang datang maka kakek itupun menyambar Peng Houw.

"Jangen berdekatan dengan laki-laki itu, ia sahabat. Hek-i Kai-pang. Mari kita keluar, Boan-kongcu, rupanya tempat ini tidak aman!"

Akan tetapi Peng Houw hendak meronta. Ia membalas kemarahannya pada Pemabok itu namun dari tempat-tempat gelap muncul bayangan-bayangan hitam yang lain, anggauta Hek-i Kai-pang yang rupanya mendengar itu. Maka ketika ia terpaksa menahan diri dan bukan maksudnya untuk menghajar murid-murid Hek-i Kai-pang ia pun membiarkan saja dibawa tapi pemuda ini teringat supeknya.

"Nanti dulu, mau ke mana. Aku harus mencari temanku yang katanya dikeroyok orang-orang Hek-i Kai-pang!"

"Ah, bodoh. Orang she Lai itu membohongimu, anak muda, keroyokan apa. Kalau benar temanmu tak ada di sana mungkin dia di tempat lain, mencari sesuatu. Jangan percaya omongannya dan ikuti aku!"

Peng Houw sadar. la tiba-tiba menepuk kepalanya sendiri kenapa begitu mudah diperdaya orang. Benar saja kenapa ia begitu percaya. Maka ketika ia menganggap supeknya sedang mencari-cari sesuatu, mungkin peti uang milik Hek-i Kai-pang maka iapun berseru bahwa kemungkinan itu ada.

"Betul, kau betul. Aku bodoh dan amat terburu-buru, lo-enghiong. Terima kasih atas bantuanmu ini dan sekarang di mana aku mencari temanku itu!"

"Kita tengok di ruang belakang itu. Ada kulihat seseorang di sana, kongcu, mungkin dia. Kenapa kau tak memberi tahu bahwa kau tidak sendiri," kakek itu tertawa.

"Temanku tak mau menimbulkan curigaan, ingin duduk di tempat lain. He, kemana kita mengapa memasuki ruang belakang!"

Peng Houw terkejut, dibawa ketempat terang dan tentu saja melepaskan diri. Hong Ta Golok Pengerik Tulang ini membawanya ke bagian belakang gedung Hek-i Kai-pang, gesit dan seolah sudah tahu semua bagian-bagian di situ tapi kakek ini tertawa. Lalu ketika ia melompat ke sebuah meja dan lenyap di situ Peng Houw pun dipanggilnya.

"Anak muda, lihat ini. Apa itu!"

Peng Houw berkelebat. Tadinya ia ragu-ragu mencium sesuatu yang tidak enak, perasaannya mengatakan bahaya. Tapi karena temannya memanggil dan kakek itu jelas membantunya, melindunginya dari orang- orang Hek-i Kai-pang iapun melompat dan sudah di belakang kakek itu. Tapi begitu ia menginjakkan kaki tiba-tiba iapun terpeleset, dan sebuah lubang menerimanya di bawah, begitu kakek itu menarik sebuah rantai di pinggir meja. masuklah, anak muda.

"Ha-ha.. Kau dan temanmu kiranya perampas kantung uang itu!"

Peng Houw kaget bukan main. la tak menyangka kakek yang dianggapnya sahabat ini berbuat curang. la terlempar kesebuah sumur dan bergemalah tawa itu jauh ke bawah. Dan ketika ia terpaksa menyambar ini-itu untuk pegangan tetapi gagal, dinding sumur ternyata licin maka ia terbanting namun seseorang menangkapnya.

"Kau, Peng Houw?"

Pemuda ini tertegun. Giok Yang Cin-jin, supeknya ternyata berada di situ terjebak di sumur dalam. Tahulah dia bahwa Hong Ta si Pengerik tulang itu adalah musuh! Dan ketika ia mengangguk namun lubang menutup kembali, gelap gulita maka Giok Yang Cinjin menyalakan sebuah lilin yang sinarnya bergoyang-goyang kekurangan udara segar. Tempat itu pengap dan pesing.

"Kurang ajar, kita ditipu. Bagaimana supek berada di sini dan benarkah dikeroyok orang-orang Hek-i Kai-pang?"

"Hm, pinto terkecoh. Hek-i Kai-pang benar-benar cerdik. Sialan, setua ini masih juga kurang pintar, Peng Houw. Pinto tak waspada akan orang-orang di sekeliling pinto!"

"Apa yang terjadi, apa maksud supek."

"Hek-i Kai-pang memasang mata-mata. Para sahabatnya diminta berbaur ditempat kursi-kursi biasa mengawasi tamu tak dikenal. Dan kau serta pinto tak terlepas oleh mata mereka yang tajam!"

"Supek dibawa Pemabok Lai Pak itu?"

"Benar, dan Ki-ong si Raja Catur. Dua orang itu ternyata telah mencurigai kita. Akhirnya mereka tahu bahwa kitalah perampas uang dari tangan murid-murid Hek-i Kai-pang!"

"Dan mereka mengenal supek sebagai Giok Yang Cinjin?"

"Belum, Peng Houw, untung. Kalau tidak tentu mengenalmu sebagai si Naga Gurun Gobi pula!"

Giok Yang Cinjin akhirnya bercerita. Ia menceritakan betapa ketika Gak-taijin- muncul mendadak Ki-ong dan Pemabok itu mendekatinya. Mereka tahu-tahu telah berada di kiri kanannya di saat semua orang tertuju pada penyambutan Gak-tai Jin. Dan karena mereka mencengkeramnya dan hendak menotoknya roboh maka tosu itu mengelak dan akhirnya keluar dari kursinya.

"Mereka menyuruhku ke dalam, di sana menunggu sahabat-sahabat Hek-i Kai-pang yang lain. Mana pinto sudi? Maka ketika mereka memeksa dan sudah menaruh curiga apa boleh buat pinto membalas dan melawan mereka itu,sampai akhirnya lari ke sini diserang murid-murid Hek-Kai-pang yang lain. Pinto tak dapat memberitahumu karena kejadian begitu cepat. Dan ketika pinto tiba di sini dan membuka lubang itu pinto pun terjeblos lalu kau menyusul. Apa yang terjadi denganmu dan kurang ajar benar orang-orang Hek-i Kai-pang itu!"

"Hm, akupun ditipu si Pemabok. mengatakan bahwa kau dikeroyok orang-orang Hek-i Kai-pang, membawaku ke belakang. Tapi begitu aku di sana tiba-tiba aku diserangnya bersamaan dengan murid-murid Hek-i kai-pang yang lain. Tapi yang paling konyol adalah Kwa-kut-to Hong Ta itu. la menjebakku ke sini dan menjebloskan aku!"

Giok Yang Cinjin mengangguk-angguk. Akhirnya ia tahu bahwa Hek-i Kai-pang ternyata dijaga amat ketat. Para sahabatnya dikumpulkan dan mereka itu dipasang di antara tamu-tamu undangan. Untuk mereka yang tergolong baru dan tidak dikenal tentu saja mendapat perhatian kuat, termasuk Peng Houw dan Giok Yang Cinjin itu.

Dan karena di situ ada menteri Gak yang harus dilindungi pula, penjagaan tentu saja amat keras maka jatuhlah kecurigaan mereka kepada dua orang ini. Peng Houw menjadi perhatian utama sejak si Pemabok terkejut oleh sinkangnya tadi, sementara Giok Yang Cinjin karena tosu itu sering menengok ke belakang memandang Peng Houw.

"Baiklah, sekarang kita sudah di sini. Apa yang hendak supek lakukan dan bagaimana cara kita keluar. Lubang ini dalam sekali, licin!"

"Benar , pinto juga sudah mencobanya, Peng Houw, dan agaknya tanpa senjata tajam tak mungkin kita keluar. Pinto hanya mempunyai tongkat ini!"

Peng Houw mendesis. la telah meraba seluruh dinding sumur dan mendapat kenyataan bahwa dinding itu dilumuri minyak. Agaknya tempat ini memang khusus mengurung orang-orang tertentu hingga tak dapat keluar. Tapi ketika ia mengeraskan jarinya dan menegang seperti baja iapun menusuk dinding itu dan berlubanglah sedalam tujuh senti.

"Hm. rasanya dapat keluar. Kubuat lubang di dinding ini, supek, dan kita menaruh ujung kaki kita untuk merayap!"

Giok Yang Cinjin kagum. la sendiri tak mempunyai pikiran itu dan melihat perbuatan Peng Houw. Maka ketika ia mencoba namun berteriak tertahan, dinding itu luar biasa kerasnya iapun menjadi terkejut dan kagum.

"Kau dapat melubangi dinding sumur ini?Jarimu tak sakit?"

"Tidak, apakah supek tak mampu?"

"Keparat, pinto tak mampu, Peng Houw. Dinding ini campuran antara batu dan baja!"

"Tapi aku dapat melubanginya. Marilah supek bantu aku dan kita sama-sama naik ke atas."

Peng Houw ternyata tak merasa seperti supeknya itu. Sebenarnya dinding sumur itu benar-benar keras dan orang seperti Giok Yang Cinjin tak mampu menusuk tembus. Hal ini karena dinding itu dibuat khusus dari batu dan logam kuat. Namun karena Peng Houw memiliki Hok-te Sin-kang dan tenaga saktinya itu memang luar biasa maka enak saja ia melubangi dinding itu dan dibantu supeknya ia terus merayap naik.

Giok Yang Cinjin terkagum-kagum dan untuk kesekian kalinya lagi tosu itu menarik napas panjang, merasa diri bodoh dan alangkah hebatnya pemuda itu. Tinggi sumur ada sepuluh meter dan untung lebarnya cukup. Setiap tusukan dipakai tempat berpijak, tiga kali jari Peng Houw malah mengeluarkan api. Yang ditusuk adalah lempengan baja!

Tapi karena jari pemuda itu benar benar kuat dan Hok-te Sin-kang yang diwarisi adalah milik sesepuh Go-bi yang ampuh akhirnya setengah jam kemudian mereka berdua sudah sampai di tutup lubang yang terbuat dari papan batu setebal sepuluh senti!

"Hm, berhenti dulu, pinto lelah. Pindahkan kakimu di pundak pinto yang lain, Peng Houw. Pegal rasanya pundak ini. Istirahat sebentar!"

Peng Houw meminta maaf. Dalam mendaki dinding yang licin ini ia mempergunakan pundak supeknya untuk naik ke atas. Dinding amat licin dan ia tak mau mengambil resiko. Maka ketika ia girang mereka sudah tiba di atas, tinggal mengangkat tutup lubang itu tiba-tiba supeknya minta berhenti dan beristirahat.

"Baiklah, maafkan kakiku. Silakan turun sedikit ke bawah, supek. Aku akan melempar tutup ini ke atas!"

"Kau sanggup?"

"Rasanya sanggup."

Giok Yang Cinjin lagi-lagi kagum. Tutup lubang ada empat meter persegi dan beratnya tak kurang dari tiga ribu kati. Mengangkat benda seberat itu di atas tanah tidaklah sulit, tapi di dalam lubang yang sempit dan tidak begini luas ini? Ia menarik napas tegang. Kalau Peng Houw gagal salah-salah pemuda itu jatuh ke bawah, belum kalau di luar sana ada orang menjaga! Maka ketika ia menyuruh pemuda itu berhati-hati sementara ia sendiri lalu turun ke bawah, Peng Houw memindahkan kakinya di sepasang lubang yang kecil namun kokoh tosu itupun berdesis khawatir.

"Hati-hati, Peng Houw. Kau harus dapat mengangkatnya sekali dorong"

"Tentu, pasti kucoba. Begitu terangkat melompatlah keluar, supek. Siapa tahu jatuh menimpa lagi."

"Siap." Tosu itu berseru. "Akan pinto bantu begitu terbuka, Peng Houw, dan hati-hati kalau ada penjaga di luar!"

Peng Houw sudah memperhitungkan itu. Ia telah meraba papan batu itu dan menaksir bobotnya, mengerahkan tenaga dan batu itu sedikit terangkat. Lalu ketika ia membentak dan mengerahkan sinkangnya tiba-tiba tutup lubang itu mencelat dan terbang ke atas.

"Braakkkk!"

Dahsyat sekali lontaran yang dilakukan Peng Houw. Benda selebar dua meter itu melesat ke atas, menghantam wuwungan dan hancur serta bergemuruhlah suaranya. Begitu keras hingga ruangan bergetar. Lalu ketika Giok Yang Cinjin melompat keluar dan Peng Houw sendiri berjungkir balik meloloskan diri adalah tiga murid Hek-i kai-pang berteriak dan kaget berlarian.

"He, tawanan lolos. Awas!"

Suara itu tertutup oleh kerasnya tutup lubang jatuh ke lantai. Benda yang beratnya tiga ribu kati ini berdebum, begitu hebatnya hingga lantai di mana para tamu duduk tergetar. Persis bagai seekor gajah terbanting saja. Dan ketika ruangan itu roboh sementara Giok Yang Cinjin dan Peng Houw sudah menyelamatkan diri di luar, gegerlah seisi gedung maka murid-murid Hek-i kai-pang berkelebatan dan Hek-sai Lo-kai sendiri kaget oleh suara amat dahsyat itu, debum bagai gunung ambruk.

"Apa itu, suara apa!"

"Robohnya ruangan belakang. Sumur batu mencelat tutupnya, pangcu, dilempar seorang pemuda. Kami tadi menangkap dua orang tawanan tapi sekarang mereka lolos!"'

Hek-i Kai-pangeu terbelalak. Dia telah menyambut Gak-taijin dan mulai bersuka-ria. Rombongan pembesar ini diterima dan keselamatan atau penjagaan diserahkan pembantunya. Hek-tung Lo-kai, seorang sutenya sekaligus penanggung jawab penjagaan menjadi pucat. Ia telah diberi tahu akan adanya dua tawanan tapi tak akan melihat dulu.

Nanti setelah semua usai baru dilihatnya para tangkapan dan sementara ini dia melempar tugas kepada murid-muridnya, terutama murid-murid kepala yang jumlahnya ada tujuh orang. Murid-murid inilah yang bergabung dengan para sahabat Hek-i Kai-pang mengawasi tamu-tamu tak dikenal, mereka yang mencurigakan segera diamankan dan nanti setelah semuanya berakhir baru ditanya. Sumur di belakang adalah penyekapan sementara.

Maka ketika terdengar laporan bahwa tutup sumur yang berat itu didorong ke atas, jatuh dan menimpa lantai hingga suaranya menggetarkan tempat itu tiba-tiba orang nomor dua dari Hek-i Kai- pang ini berkelebat keluar. Disitu masih ada seorang sutenya lagi Hek-Coa Lo-kai (Pengemis Ular Hitam) yang berjaga di luar.

"Siapa keparat jahanam itu. Berani benar mengganggu jalannya pesta!"

Pengemis ini lenyap di ruang belakang dengan muka merah padam. Gak-taijin baru saja menyatakan sambutan dan kata-kata pujiannya, betapa Hek-i Kai-pang telah maju dan menjadi sebuah perkumpulan yang kuat. Maka ketika tiba-tiba ada pengacau di situ dan Gak-taijin memandangnya terkejut, heran dan aneh maka pandang mata suhengnya jauh lebih tajam dan penuh teguran.

Akan tetapi di ruang pesta tiba-tiba terjadi keributan baru. Seorang pemuda, yang tadi duduk dan berada di bagian tamu-tamu biasa mendadak mencabut pedang berseru keras. la melompat dan tahu-tahu berada di ruang dalam, menuju ke tempat Gak-taijin dan Hek-i Kai-pangcu itu. Lalu ketika ia berteriak minta perhatian, menuding sang ketua dan bicara gemetar maka pemuda itu berkata bahwa ia menuntut tanggung jawab Hek-i kai- pang yang telah membuat ayahnya tewas.

"Aku Gu San minta perhatian dan tanggung jawab Hek-i Kai-pang. Ayahku tewas teraniaya. Ia menolak sumbangan kalian dan kalian membunuhnya. Nah. Aku datang menuntut keadilan, pangcu. Pembunuhnya adalah muridmu Li Pang dan serahkan ia kepadaku. Atau Hek-i kai-pang kuanggap perkumpulan pemeras yang menginjak-injak rakyat kecil!"

Empat pengemis Hek-i Kai-pang berkelebat. Mereka kaget melihat pemuda ini yang tahu-tahu menuntut dan menuding ketua mereka, padahal di situ sedang ada tamu agung. Maka membentak dan menyerang pemuda itu segera mereka hendak merobohkan lawan yang tidak tahu diri ini.

"Trang-trang-tranggg!"

Ternyata ilmu pedang pemuda ini cukup hebat. la memutar pedangnya menyambut empat murid itu, membentak dan menghalau mereka dan terkejutlah semua tamu. Dan ketika ia membalas dan mendesak akan tetapi Hek-i Kai-pangcu tiba-tiba mengangkat tangannya maka ketua Hek-i Kai-pang itu menghentikan pertempuran.

"Berhenti, siapa kau. Tidakkah kau lihat betapa sedang ada Gak-taijin di sini. Heh, ingin mengadu kepandaian ada tempatnya, anak muda. Kami sudah menyiapkan panggung luitai dan lihat itu. Apakah matamu buta!”

"Bagus, Hek-i Kai-pangcu sendiri ada di hadapanku. Heh, kutuntut keadilan dan tanggung jawabmu, pangcu. Serahkan muridmu bernama Li Pang dan biar aku membawanya pulang. Mayat ayahku masih belum dingin!"

"Kau siapa," Hek-i Kai-pangcu menahan marah. "Di hari bahagia Hek-i Kai-pang tak ada pertumpahan darah, anak muda, kecuali terpaksa.. Ada yang akan berurusan denganmu masalah ini, Mana Hek-coa-sute!"

Seorang pengemis pendek hitam berkelebat. Inilah Pengemis Ular Hitam yang menjadi sute nomor dua dari Hek-i Kai-pangcu. Ia tokoh nomor tiga dan Li Pang adalah muridnya. Maka ketika pengemis itu berkelebat dan berdiri di situ, tertawa dingin maka ia menjura di depan Gak-taijin terlebih dahulu sebelum menghadapi pemuda itu, berkata kepada ketuanya.

"Suheng, bocah ini rupanya anak laki-laki Gu-lopeh. Kalau ia mencari Li Pang biarlah aku yang menyelesaikannya. He,kau. !" pengemis itu menuding si pemuda "Li Pang adalah muridku, anak muda. Kalau kau ingin berurusan dengannya mari kuantar. Kita keluar dan kubawa kau kepada muridku!"

Pemuda itu terbelalak. la ragu memandang pengemis ini namun wajahnya yang terbakar jelas menandakan kemarahannya yang sangat. Sesungguhnya sejak tadi ia mencari-cari musuhnya itu akan tetapi orang yang dicari tak muncul. Ia tak tahu bahwa beberapa murid yang terpaksa ribut di luar "diamankan", artinya tak ditunjukkan di luar biar suasana pesta tidak gaduh.

Bukan hanya dia melainkan seorang gadis dan dua pemuda lain juga mencari-cari anak murid Hek-i Kai-pang yang dirasa telah mencelakai keluarganya. Maka ketika ia terbelalak memandang pengemis pendek itu sementara Hek-coa Lo-kai sudah tak sabar menggapaikan lengannya mendadak berkelebatlah tiga bayangan lagi dari seorang gadis dan dua pemuda gagah.

"Benar, kami juga menuntut penyelesaian dan tanggug jawab. Bibiku mati ngenas. gara-gara tak memberikan sumbangannya kepada kalian, Hek-i Kai-pang cu. Aku mencari manusia bernama Son Tek dan serahkan ia padaku!"

"Dan kami mewakili paman kami dari rumah makan Le-hi pa. Mohon tanya kenapa Hek-i Kai-pang membiarkan murid-muridnya membakar rumah makan paman kami!"

Terkejutlah semua orang. Hek-i Kai-pangcu sampai menghitam mukanya melihat anak-anak muda ini. Empat orang muda telah berturut-turut muncul di depannya, di hadapan Gak-taijin! Tapi karena ia harus menjaga gengsi dan menyerahkan itu kepada sutenya maka Ia mendengus dan berkata singkat,

"Sute, agaknya tugasmu masih berceceran, bagaimana ini. Selesaikan mereka dan jangan buat aku malu di depan Gak-taijin!" 

Hek-coa Lo-kai juga terkejut. Belum selesai dengan pemuda she Gui mendadak muncul orang-orang lain yang menuntut Hek-i Kai-pang. Bagaimana mereka ini boleh dibiarkan begitu saja. Maka menghadapi gadis dan orang-orang muda itu akhirnya pengemis ini berseru.

"Anak-anak, semua yang kalian cari ada padaku. Marilah ke belakang dan kita selesaikan ini!"

"Tidak! " dua pemuda itu tiba-tiba berseru. "Kami justeru ingin di sini, Hek-Coa Lo-kai, menyelesaikan urusan disaksikan para tamu. Kami tak ingin Hek-I Kai-pang berbuat curang lagi dan Gak-taijin sebagai saksinya...!"