Putri Es Jilid 36 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Karya Batara

Beng An tak berani mengurangi tenaga. Sejenak ada perlawanan dan mata kakek itu seakan hangus membakarnya. Tiba-tiba dalam keadaan seperti ini kakek itu berkemak-kemik, dari sepasang mata kakek ini keluar cahaya aneh dan sekonyong-konyong tubuh kakek itu meledak. Beng An terkejut karena Pek-kwi berubah menjadi seekor beruang hitam tinggi besar, mulutnya dibuka dan tiba-tiba gigi besar-besar menggigit kepalanya.

Dan ketika mengelak namun tetap dikejar, suara aneh keluar seperti tawa iblis maka teringatlah pemuda itu bahwa lawan memiliki hoat-sut atau sihir ilmu hitam, membentak dan tiba-tiba merendahkan tubuhnya menyontek pedang ke atas. Saat itu gigi binatang buas itu dekat sekali dengan kepalanya, sekali caplok ia bakal tertelan. Tapi ketika ia sadar dan menyontekkan pedangnya itu, dada lawan juga dekat dengan dadanya sendiri maka secepat kilat ia menggerakkan kaki menendang selangkangan lawan.

"Dess-crep....!"

Raung aneh terdengar menggetarkan. Biruang lenyap berganti ujud dan tampaklah kakek itu sebagaimana aslinya. Beng An tepat sekali menendang selangkangannya sementara pedang menancap di ulu hati kakek itu. Pek-kwi mendelik dan menuding akan tetapi ia roboh. Beng An telah melepaskan tangannya dari tangan kakek itu. Dan ketika kakek ini melotot dan berusaha mencabut pedang namun gagal, Pek-swat-kiam bersimbah darah maka kakek itu terguling dan akhirnya tewas dengan pedang masih menancap di dadanya. Beng An demikian kuat menyontekkan pedangnya hingga Pek-sweat-kiam terjepit di tulang punggung!

Tewaslah dedengkot Pulau Api ini dengan cara mengerikan. Beng An mengusap peluh dan mencabut pedangnya dan sejenak ia termangu memandang kakek tinggi kurus ini. Terasa penyesalan bahwa ia membunuh orang, apalagi seorang kakek renta. Namun ketika ia termangu dan memandangi mayat itu, belum membersihkan pedangnya dari darah Pek-kwi tiba-tiba terdengar lengking dan jerit tinggi, disusul terbantingnya tubuh roboh.

"Supek-bo...!"

"Thai Liong...!"

Beng An terkejut dan menoleh. Rajawali Merah, kakaknya ternyata terguling dan roboh di sana. Mukanya pucat sementara We We Moli terkekeh dan kemerah-merahan di sana. Uap Sin-tiauw-kang, tenaga sakti itu memancar di tubuhnya berkilau-kilauan. Siang Le dan Puteri Es menjerit menubruk pemuda ini, menangkis sekaligus membentak pukulan We We Moli yang menyambar dahi pemuda itu. Namun karena mereka bukan tandingan nenek sakti itu dan terbanting bergulingan, pukulan terus meluncur maka Beng An terkesiap dan dengan kecepatan serta kekuatan seluruh tenaganya tiba-tiba ia menimpukkan pedang di tangannya menabas jari nenek itu yang menuju dahi kakaknya.

"Plak!" pedang berhenti di tengah jalan dan bagai iblis atau siluman saja tahu-tahu munculah sosok kabut yang mendorong Pek-swat-kiam sementara dua jari We We Moli yang sudah begitu dekat dengan dahi Rajawali Merah mendadak menusuk kabut ini dan si nenek terpekik ketika tiba-tiba dua jarinya mental, tertolak oleh hawa yang amat kuat dan kalau nenek ini tidak menarik dua jarinya tentu telunjuk dan jari tengahnya patah.

Nenek ini terkejut bukan main dan terhuyung mundur dan tiba-tiba sosok kabut di depannya ini mengeluarkan seruan lembut, bergerak dan tampaklah sekarang siapa sebenarnya karena Seorang kakek berwajah halimun menatap nenek itu dengan lembut akan tetapi sepasang mata mencorong yang keluar dari balik kabut itu tak tahan diterima nenek ini. We We Moli menjerit. Dan ketika nenek itu menuding dan terbelalak ke depan, kagetlah dia melihat siapa yang datang maka seruannya jelas bernada gentar.

"Bu-beng Sian-su!"

Kakek itu, yang matanya lembut namun mencorong mengangguk. Bagai siluman saja tahu-tahu ia muncul, begitu tiba-tiba dan tepat hingga mengagetkan si nenek. We We Moli tak dapat berkata-kata lagi setelah seruannya tadi, menggigil dan membalas pandang mata itu namun ia kalah kuat. Kesejukan yang luar biasa memadamkan semua kemarahannya. Sesepuh Lembah Es itu bagai diguyur air dingin. Dan sementara ia mengeluh dan terhuyung mundur, pucat merah berganti-ganti maka Beng An menubruk dan girang luar biasa.

"Sian-su...!"

Bukan hanya pemuda ini saja yang girang. Siang Le yang mengenal dan tahu betul siapa kakek dewa itu tiba-tiba berseru menjatuhkan diri berlutut. Puteri Es juga gembira dan menjatuhkan diri berlutut. Dan ketika Thio Leng dan Sui Keng juga berlutut di belakang majikan mereka, San Tek termangu dan gentar melihat kakek dewa itu maka si gila ini menyelinap di balik sebuah batu besar dan mengintai kejadian di depan itu. Roboh dan terbantingnya Thai Liong telah menghentikan semua pertandingan.

"Thian Yang Maha Agung! Ah, kemarahan dan kebencian telah menghanguskan kejernihan pikiranmu, We We Moli. Tak selayaknya kau membunuh pemuda ini setelah ia memberikan Sin-tiauw-kangnya kepadamu. Puja-puji kepada Yang Maha Kuasa, semoga kau sadar dan tidak melanjutkan niatmu. Lihat sepasang anak muda itu yang menunggu restumu."

We We Moli terbelalak, bergoyang-goyang. Setelah kakek ini bicara dan ia hilang kagetnya tiba-tiba nenek itu terkekeh. Sepasang matanya yang putih kebiru-biruan lagi, sinar Bu-kek-kang memancar ganas. Dan ketika ia menepuk kedua tangannya demikian nyaring, meledak bagai petir menyambar maka nenek itu membentak membuat Puteri Es dan lain-lain terpelanting. Demikian dahsyat tepukan tangannya itu melebihi letusan Himalaya.

"Heh, kakek lancang bermulut lembut. Kata-katamu enak tapi bernada menggurui Bu-beng Sian-su, sedap di telinga tapi menyakitkan di hati. Apa perdulimu kalau aku membunuhnya. Ia telah meninggalkan bekas luka dan sakit hati yang dalam. Tahukah kau seberapa dendamku kepadanya. Minggir dan biarkan aku membunuhnya atau aku menerjangmu!"

"Hm, sadhu-sadhu...! Sayang bahwa kau mengumbar adatmu, We We Moli, ingatlah siapa kau dan kedudukanmu. Kau sesepuh Lembah Es, kau telah mendapatkan apa yang kau minta. Rajawali Merah telah memberikan Sin-tiauw-kangnya, dan sebagai gantinya kau berjanji untuk memberikan restumu kepada Puteri Es. Tapi apa yang kau lakukan, kau hendak membunuh pemuda ini dan rupanya tak menepati janjimu sendiri. Ah, sadar dan ingatlah, We We Moli... Ingat bahwa tindak-tandukmu akan menjadi contoh bagi yang muda. Ingat bahwa kau seorang tokoh dan tak pantas menjilat ludah sendiri. Lawanmu telah menyerahkan ilmunya."

"Keparat, jangan banyak cakap. Minggir atau aku membunuhmu, Bu-beng Sian Su. Urusanku tak perlu kau campuri. Minggir dan aku akan membunuhnya!"

Bu-beng Sian-su menggeleng-geleng kepala. Kakek ini tetap berdiri di depan Thai Liong dan jelas ia tak akan membiarkan pemuda itu diserang, apalagi dibunuh. Dan ketika We We Moli melengking sekali lagi namun kakek itu tetap di situ tiba-tiba nenek ini menerjang dang gerakan tubuhnya yang bagai kilat menyambar lenyap ketika menghantam Bu-beng Sian-su.

"Kau mencari mati, terimalah!"

Dahsyat dan mengerikan sekali nenek ini menerjang. Sepasang matanya mendahului dengan serangan sinar biru sementara kedua tangannya dibuka menghadap ke depan, menghembus dan keluarlah angin dahsyat disertai kilatan cahaya api. Nenek itu telah memiliki Sin-tiauw-kang dan tenaga sakti ini akan luar biasa jadinya kalau ia marah. Dalam pertandingan tadi Thai Liong telah menyerahkan ilmunya kepada si nenek, tentu saja dengan perjanjian bahwa nenek itu merestui perjodohan Puteri Es.

Rajawali Merah ini tak memikirkan dirinya lagi asal gadis itu dengan adiknya diterima dalam sebuah perjodohan, resmi dalam tata-adat Lembah Es. Akan tetapi ketika si nenek hendak membunuhnya dan muncullah Bu-beng Sian-su, Thai Liong terguling dan roboh maka sesepuh Lembah Es ini rupanya hendak ingkar janji, paling tidak tetap membunuh pemuda itu untuk menumpahkan bencinya atas kekalahannya dulu di Lembah Es. 

Maka ketika nenek ini menerjang dan pukulannya bukan main dahsyatnya, Bu-kek-kang dan Sin-tiauw-kang berbareng dikeluarkan. Maka Beng An dan Puteri Es menjerit melihat betapa kakek itu tak mengelak atau menangkis. Angin serangan nenek itu sudah membuat tubuh kakek itu bergoyang-goyang.

"Sian-su!"

"Supek-bo..!"

Akan tetapi yang terjadi sungguh luar biasa. Bu-kek-kang, yang menghantam lewat sepasang mata menyambar wajah dibalik kabut itu ternyata terpental bertemu uap halimun di wajah kakek ini. Bagai uap gaib yang memiliki kekuatan tak terlawan sinar biru nenek itu membalik. Terdengar bunyi seperti ledakan. Dan ketika Sin-tiauw-kang mengenai lambung kakek ini, dahsyat dari kedua telapak terbuka ternyata kakek itu terdorong sedikit akan tetapi We We Moli berseru keras melihat betapa pukulannya seakan amblas di telaga tak berdasar.

"Plak-desss!" nenek itu berjungkir balik menghindari sisa tenaganya. la cepat menarik Sin-tiauw-kang kalau tak ingin tersedot ke depan, lambung kakek itu seakan benda lunak yang menghisap serta menyedotnya kuat. Kalau ia tak cepat-cepat menarik tentu akan terjelungup, Salah-salah tenaganya masuk pula dan ia melekat di situ, Maka ketika nenek ini terbeliak namun tentu saja penasaran bukan main, meluncur turun dan melengking lagi maka iapun berkelebat dan kali ini bagai seberkas cahaya menyambar ia sudah menghantam kakek itu lagi.

"Hyeehhhhhhh!" Pekik atau lengking nenek ini amat dahsyat.

Thio Leng dan Sui Keng yang ada di situ terbanting, mereka seketika mengeluh. Akan tetapi ketika pukulan nenek itu kembali gagal dan kakek itu hanya terhuyung maka selanjutnya nenek ini berkelebatan menyambar-nyambar dan tubuhnya sudah menjadi bayang-bayang hitam yang bergerak luar biasa cepatnya, menampar dan memukul sementara lengking atau pekiknya kian dahsyat. Beng An dan Puteri Es tak mampu mendengarkan lagi dan mereka jatuh terduduk, bersila dan cepat menutup pendengaran sementara konsentrasi diarahkan ke dalam.

Getaran atau guncangan yang diterima dari lengking nenek itu terlampau dahsyat, tinggi rendah menusuk-nusuk dan gendang telinga bisa pecah. Dan ketika mereka tak mampu menyaksikan pertandingan itu lagi dan di sana kakek dewa itu tak membalas atau menangkis maka We We Moli kian marah karena pukulan-pukulannya bertemu gumpalan hawa lunak yang amat kuatnya, lentur seperti karet dan amblas kalau dipukul.

Seribu kali dia menyerang seribu kali itu pula tak akan berhasil. Pukulannya lenyap dan tenggelam ke telaga tak berdasar. Dan ketika nenek itu kian melengking-lengking hingga pohon dan batu-batu berguguran maka kemarahan membuat tubuhnya membesar dan itulah Sin-tiauw-kang yang kini berpindah ke tubuhnya.

"Heh, balas dan jangan hanya menerima pukulan orang. Tunjukkan bahwa kau seorang laki-laki gagah, Bu-beng Sian-su, bukan perempuan atau pengecut yang tak memiliki kepandaian!"

"Sadhu, kau kian sesat. Sin-tiauw-kang kau pergunakan untuk sewenang-wenang, Moli, sayang sekali. Aku tak akan membalas dan menyakitimu, karena aku tak menganggapmu musuh. Berhentilah, kemarahanmu hanya akan menghabiskan tenaga sendiri."

"Kakek keparat, jahanam pengecut. Kalau kau tak membalas maka aku akan mencekikmu, Bu-beng Sian-su. Lihat aku membunuhmu dan mudah bagiku menangkapmu... whheerrrr!" si nenek sudah setinggi tiga meter, sepasang lengannya juga sepanjang itu akan tetapi ketika ia hendak menangkap lawannya ternyata kakek itu terdorong.

Bu-beng Sian-su seringan kapas dan angin pukulan nenek ini membuatnya menjauh. Dan ketika nenek itu memekik namun lawan terdorong dan selalu terdorong, semakin kuat ia memukul semakin jauh kakek itu terhembus maka kemarahan nenek ini membuat tubuhnya menggelembung semakin dahsyat lagi. Empat meter... lima meter... Tujuh meter akan tetapi Bu-beng Sian-su tetap tak terjangkau. 

Kakek itu benar-benar seringan daun kering dan akhirnya menangislah nenek ini sejadi-jadinya. la tobat dan tak tahu apa yang harus dilakukan. Dan ketika ia memaki bahwa kakek itu pengecut, ia tak akan sudah biarpun tenaga habis akhirnya Bu-beng Sian-su menarik napas dalam.

"Baiklah, kau wanita berhati keras. Kalau begitu bagaimana perjanjiannya, We We Moli. Apa yang kau lakukan bila aku mengalahkanmu."

"Kau boleh bunuh aku!"

"Sadhu, mati hidup urusan Tuhan. Aku tak akan melakukan itu, Moli, berjanjilah saja bahwa kau tak akan memusuhi Rajawali Merah dan memberikan restumu kepada Puteri Es dan Beng An."

"Keparat, kau belum mengalahkan aku. Kalau kau dapat merobohkan aku satu jurus aku memenuhi permintaanmu, Sian-su. Atau aku tak sudi mendengarkan kata-katamu dan biar aku atau kau mampus di sini!"

"Satu jurus?"

"Ya!"

"Kau terlalu, masa minta seperti itu."

"Cerewet, bisa atau tidak, tua bangka. Aku tak mau banyak omong lagi dan terimalah ini... blaarrrr!" api dan sinar biru menyambar berbareng, si nenek sudah setinggi bukit dan dua serangan berbahaya itu menyambar kakek ini dari kiri dan kanan. We We Moli memutar lengannya sehingga dua sinar itu mencegat Bu-beng Sian-su dari belakang. Yang dapat dilakukan kakek itu hanya maju, kiri kanan atau belakang tertutup.

Dan ketika Bu-beng Sian-su mengerutkan keningnya tapi berseru perlahan, benar saja maju ke depan maka nenek itu menggerai rambutnya menyongsong ke depan. Melecut dan menyambar begai sapu baja. "Kau yang memaksaku begitu. Baiklah Moli, kucoba merobohkanmu satu jurus."

Nenek ini sudah girang bukan main. la telah memaksa lawan untuk maju dan menerima rambutnya, di belakang masih mengejar sinar biru dan merah itu, sambaran Bu-kek-kang. Tapi ketika Bu-beng Sian-su mendekati tubuhnya dan tiba-tiba begitu besar, semakin dekat semakin besar mendadak nenek ini berteriak karena dirinya seakan berhadapan dengan lawan setinggi Mahameru, diri sendiri hanya sebesar bukit.

"Aiihhhhhhh...!" Nenek ini terkejut dan melupakan segala-galanya. Begitu kakek itu dekat maka iapun tak mampu melihat lawannya lagi. Begitu cepatnya terjadi perubahan ini, lambung kakek itu seperti tembok gunung dan We We Moli tak melihat lagi mana tangan mana kaki. Wajah kakek itupun juga lenyap karena yang datang di depannya adalah sebongkah lambung gunung, menabrak atau ditabrak dirinya dan We We Moli tentu saja kaget bukan main. 

Tak ada kesempatan baginya untuk menghindar, lambung sebesar gunung itu menghantamnya. Dan ketika nenek ini menjerit dan terbanting serta bergulingan maka benda yang menabrak atau ditabraknya itu berhenti, tegak setinggi Mahameru dan nenek ini pucat sekali.

Ia meloncat bangun ketika bersamaan itu terdengar jerit Puteri Es dan murid-muridnya, alangkah heran dan kagetnya nenek ini melihat Puteri Es dan orang-Orang lain serba besar. Batu dan pohon-pohon di sekelilingnya juga serba besar dan nenek ini berdetak. Bu-beng Sian-su, lawan yang dianggapnya raksasa itu harus dilihatnya secara mendongak. Begitu tinggi dan dahsyat kakek itu, rasanya menjulang langit. Akan tetapi ketika yang lain-lain juga begitu tinggi dan besar sekali, nenek ini merasa sesuatu yang tidak wajar mendadak ia menjerit karena sesungguhnya dialah yang berubah kecil dan hanya sejari telunjuk.

"Aiiihhhhh....!" nenek ini gentar dan menangis tersedu-sedu. "Kembalikan aku ke ujudku semula, Sian-su. Ampun... aku meminta ampun....!"

Kiranya nenek itu yang mengecil dan berobah begitu drastis. Bu-beng Sian-su dan lain-lain sebenarnya masih seperti biasa akan tetapi nenek itulah yang terpukul balik oleh Tet-jin-sut. Kakek dewa ini mengeluarkan kesaktiannya dengan amat terpaksa mengingat desakan nenek itu sendiri. Tet-jin-sut (Ilmu Mengerdilkan Orang) adalah pemunah Sin-tiauw-kang, hanya kakek itulah yang punya.

Dan ketika We We Moli merasa sewenang-wenang dan terbawa kesombongannya hingga lupa diri, tak tahu bahwa Sin-tiauw-kang sebenarnya berasal dari kakek ini pula maka Bu-beng Sian-su menghancurkan nenek itu dengan penangkalnya. Kesombongan betapapun akan hancur bila bertemu batunya. Dan ketika nenek itu sadar setelah terlambat, tersedu dan mengguguk-guguk maka Puteri Es dan lain-lain baru tahu bahwa sesepuh mereka berada di bawah, kecil dan tiada ubahnya boneka saja.

"Supek-bo!" Puteri Es dan dua sumoinya berlutut. Kepala mereka begitu besar bagi nenek ini dan We We Moli menubruk serta membentur-benturkan dahinya di dahi gadis itu. Gadis inipun menangis. Dan ketika Thio Leng serta Sui Keng ikut menangis pula, terjadilah kejadian mengharukan maka gadis itu tiba-tiba bangkit berdiri dan memegang supek-bo nya menghadap Bu-beng Sian-su. Kakek ini berdiri tegak dengan sikap begitu berwibawa.

"Ampunkan kami, ampunkan supek-bo. Harap kau kembalikan supek-bo ke asalnya semula, Sian-su. Ampunilah kesalahannya dan semua dosa-dosanya. Kami memohon dengan sangat agar kau mengembalikan sesepuh kami seperti ujudnya semula."

"Letakkanlah dia...!" Bu-beng Sian-su mengangguk dan menarik napas dalam. "Manusia bertobat setelah menerima hukumannya, anak baik. Demi kebajikan dan kebenaran kupulihkan dia, asal tak melanggar janji dan menepati omongannya sendiri."

"Aku berjanji, aku merestui anak-anak" We We Moli berseru. "Aku menyerah kalah, Sian-su, Aku bertobat!"

"Hm, pulihlah," kakek itu mengebut. "Akupun tak akan mengganggumu kalau kau tak mengganggu anak-anak ini, Moli, maaf dan selamat tinggal!"

Nenek itu mengembang cepat. Begitu Sian-su mengebutkan lengan bajunya maka bagai ditiup saja menggelembunglah tubuhnya, sekejap kemudian nenek inipun sudah seperti semula dan besar tubuhnya seperti orang-orang biasa lagi. Bukan main girangnya nenek itu. Akan tetapi ketika Bu-beng Sian-su lenyap dan kakek itu tak ada lagi maka Beng An tertegun dan sia-sia berseru,

"Sian-su...!"

Puteri Es menoleh. Gadis itu melihat Beng An terpaku bingung dan bergerak menyambar lengannya. Restu sang sesepuh telah didapat. Dan ketika We We Moli meredup melihat kemesraan itu, mengangguk dan berkelebat lenyap maka ia berkata kepada Thio Leng dan Sui Keng bahwa sang Puteri boleh melangsungkan pernikahan di Lembah Es.

"Aku tak dapat datang, restuku saja dari sini. Kembali dan pulanglah ke tempat kalian dan jangan cari lagi aku di sini!"

Dua gadis itu mengangguk. Memang We We Moli sedang menerima hukuman Kim Kong Sengjin dan sesepuh itu harus menghabiskan sisa hidupnya di Himalaya. Maka lega restu telah didapat segera dua orang itu menghampiri Puteri. Gadis ini memegang lengan Beng An erat-erat, gemetar dan mesra.

"Aku... kita, urusan telah selesai, Beng An. Mari pulang dan tinggalkan tempat ini."

Akan tetapi pemuda itu tiba-tiba membalik. Sinar matanya yang mencorong tajam mengejutkan Puteri Es, sepasang mata Beng An merah membakar. Lalu ketika gadis ini tersentak dan mundur Beng An mengibaskan lengannya menarik diri. "Jangan sentuh aku, lepaskan. Kalian orang-orang Lembah Es sungguh keji dan tidak berperikemanusiaan. Restu boleh saja telah didapat, Wei Ling, akan tetapi lihat kakakku di sana. Aku tak butuh restu nenek iblis itu dan kalian pergilah. Hari ini tak ada hubungan apa-apa lagi di antara kita!"

"Beng An!"

"Kim-kongcu....!"

Beng An tak memperdulikan itu. la telah bergerak dan sekali sambar memanggul kakaknya yang entah pingsan atau tewas. Thai Liong, kakaknya telah berkorban segala-galanya untuknya. Kakaknya itu telah menyerahkan Sin-tiauw-kang kepada si nenek iblis We We Moli. Dan karena tak mungkin ia merengkuh kebahagiaan di atas derita kakaknya, itulah yang menjadi dasar kemarahan Beng An maka pemuda ini berkelebat dan telah meninggalkan gunung.

"Beng An!"

Pemuda itu tak menoleh. Ia tak menggubris seruan Puteri Es dan semakin mempercepat langkahnya. Bagai seekor harimau muda ia meloncat di antara tebing-tebing tinggi, melewati jurang-jurang dalam dan ia tak menggubris pula seruan atau pekik Thio Leng. Betapa Puteri Es tiba-tiba roboh dan pingsan! Tapi ketika sesosok bayangan berkelebat di depannya dan itulah Siang Le, kakak iparnya maka pemuda ini berhenti.

"Beng An, berhenti dan tunggu. Kau menyia-nyiakan pengorbanan kami!"

"Hm, apa maksudmu. Kalau kau hendak menyuruh aku menikah dengan gadis itu di atas penderitaan dan pengorbanan kakakku maka tegas kujawab tak bisa, Le-ko. Minggir dan biarkan aku lewat atau mari sama-sama pulang!"

"Tidak, tunggu. Gadis, itu pingsan!"

"Aku tak perduli, minggir dan mari pulang atau aku mendahului!" namun sebelum Beng An mendorong kakaknya ini maka muncullah Hwa Seng, tersedu-sedu, langsung menjatuhkan diri berlutut.

"Kim-kongcu... Puteri... ah, ampunkan hamba. Tunggu dan jangan tinggalkan dia, kongcu. Penderitaannya sudah berat!"

"Bagus, kau mengingatkan sesuatu. Sekarang kita di persimpangan jałan, Hwa Seng, semua sudah berubah. Kau tetap ikut aku atau Puteri Es!"

"Hamba. hamba, ah... hamba ingin ikut kalian berdua, kongcu. Bukankah kebahagiaan sudah di ambang mata. Jangan tinggalkan Puteri dan biarkan hamba bersamamu!"

"Jangan bicara yang tidak-tidak. Lihat apa yang terjadi pada kakakku Thai Liong dan Siang Le ini, Hwa Seng. Mungkínkah aku berbahagia di atas penderitaan orang lain. Aku tak dapat menerima puterimu karena Lembah Es telah meninggalkan luka cukup dalam di hatiku!"

"Akan tetapi aku rela berkorban!" si buntung berseru membelalakkan matanya mencengkeram lengan pemuda ini. "Penderitaanku dan penderitaan Thai Liong bakal sia-sia kalau kau menolaknya, Beng An. Terimalah gadis itu dan Hwa Seng benar."

"Kalau begitu kau saja yang menerima. Aku tetap menolak dan tak bergeming dari pendirianku.. plak-plak!"

Siang Le tiba-tiba menampar adiknya itu dan Beng An terhuyung, terkejut mengerutkan kening dan berdirilah si buntung itu dengan mata berapi-api, tangan berkacak pinggang. Lalu ketika si buntung ini menuding dan telunjuk itu hampir menyentuh ujung hidung Beng An maka pemuda itu berdesir bukan oleh telunjuk atau kata-kata kakaknya melainkan oleh ibu jari yang tanggal.

"Kau bocah omong sembarangan saja. Aku laki-laki sudah berkelurga, Beng An, anakku tiga. Mana mungkin menerima orang lain sebagai isteriku. Kalau kau tak menuruti nasihat kakakmu maka penyesalan dan penderitaanku justeru semakin berlipat ganda. Kau tak layak membenci Puteri Es karena semua bencana ini datangnya dari We We Moli. Nah, matamu buta atau melek, otakmu jernih atau keruh. Sekarang lihat semunya ini dengan pikiran terang dan kembalilah ke sana. Ambil kekasihnu dan pengorbanan kami bakal tak sia-sia. Atau.. atau aku memusuhimu dan membela gadis itu habis-habisan!"

"Benar," Sui Keng tiba-tiba berkelebat dan tersedu-sedu. "Puteri kejang-kejang, kongcu. Kesalahan bukan di atas pundak kami melainkan supek-bo. Tolonglah perhatikan dia dan bantu kami. Menyadarkan Puteri!"

Akan tetapi Beng An tak bergeming. Benar-benar keras dan memegang teguh prinsip pemuda ini menggeleng. Beng An masih tersayat oleh bu jari kakak iparnya ini, juga kakaknya yang pucat dan seakan tak bergerak di atas bahunya. Dan ketika ia tertawa dingin dan meloncat mundur, justeru tiba-tiba mencabut Pek-swat-kiam dari belakang punggung ia sudah menghadapi gadis Lembah Es itu dengan kata-kata tegas.

"Sui Keng, aku tak dapat membiarkan diriku bersenang-senang di atas penderitaan kakakku. Lihat kakakku Thai Liong inl, entah hidup atau mati. Karena semua ini perbuatan Lembah Es maka aku tak dapat menerimanya dan terimalah Pek-swat-kiam untuk kau kembalikan kepada puterimu. Sekarang jangan ganggu aku dan persetan dengan orang lain!"

"Beng An!"

"Kim-kongcu...!"

Pemuda itu melesat dan mendorong minggir orang-orang itu. Pedang Salju ditimpukkan dan menancap di depan kaki Sui Keng sementara Beng An telah berkelebat dan meluncur turun gunung. la benar-benar tak menghiraukan bentakan atau seruan kakak iparnya. Dan ketika Beng An terus meluncur sementara Siang Le begitu geram dan marah menyambar Pek-swat-kiam, menimpukkannya di punggung Beng An maka Hwa Seng menjerit akan tetapi dengan mudah pemuda itu menepis runtuh.

"Kau... kau anak muda keparat. Ah, sia-sia semua perjuangan dan pengorbanan kami, Beng An. Terkutuk kau di neraka sana!"

Beng An tak mendengar dan sudah lenyap di bawah. Diam-diam pemuda ini menggigit bibir mengepal tinju. Tak ada yang tahu betapa dengan mati-matian bekas Thian-te It-hiap yang menggegerkan dunia kang-ouw ini menahan runtuhnya dua titik air mata. Dan ketika ia terbang meninggalkan tempat itu memanggul kakaknya, Rajawali Merah luka berat.

Maka Beng An meninggalkan Himalaya dengan segala kegaduhan dan kekacauannya. Entah ke mana pemuda itu pergi namun yang jelas menuju ke timur. Di persimpangan jalan ia membelok dan meluncur ke selatan. Dan ketika pemuda itu meninggalkan semuanya yang ada di puncak, menyeringailah seorang pemuda dari balik batu besar maka San Tek, si gila itu terkekeh-kekeh, berkelebat menyusul.

"Heh-heh, suteku Beng An patah hati. Hah, salah sendiri, bocah goblok. Lebih baik seperti aku yang bebas dan merdeka ini. Ke mana kau pergi dan biar kuikuti, siapa tahu ada sebuah keberuntungan. Ih, Bu-beng Sian-su itu seperti siluman saja. Kakek iblis!" lalu ketika pemuda ini mengejar dan menyusul Beng An, tentu saja secara diam-diam dan tersembunyi maka dipuncak, dua laki-laki termangu sementara tiga wanita menangis tersedu menolong Puteri Es.

Gadis ini shock berat. Puteri Es tak sadar selama dua jam dan keiika ia siuman maka sepasang matanya kosong melompong. Wajahnya pucat sementara tubuhnya dingin. Tak ada gairah atau tanda-tanda kehidupan di situ, gadis ini tiada ubahnya mayat hidup. Dan ketika ia dipanggil-panggll namun diam saja, mematung dan diam seribu bahasa maka Hwa Seng menjerit menubruk kaki junjungannya ini.

"Puteri...!"

Gadis itu juga tak bergeming. Puteri Es benar-benar seperti arca hidup dan ia kosong memandang segala-galanya. Bibirnya terkatup rapat sementara kakinya gontai. Kalau saja Sui Keng maupun Thio Leng tak menahan di belakang tentu gadis ini roboh. Dan ketika benar saja gadis itu tak kuat berjalan, menjeritlah Hwa Seng maka Siang Le, si buntung itu basah kedua matanya.

"Kita pulang saja sekarang, bawa ke gak-hu (ayah mertua) yang di utara. Biar dia yang menolong."

"Tidak," Thio Leng tiba-tiba ketus menjawab. "Tak perlu ke mana-nana selain ke tempat kami sendiri, Siang-kongcu. Terima kasih banyak atas semua usahamu namun kami akan menolong puteri kami sendiri.'

"Tapi ia calon menantu Kim-mou-eng!"

"Kami tak akan merengek-rengek mendapatkan cinta dan kau pergilah, Puteri Es urusan kami!"

Siang Le tertegun. la dapat menerima kemarahan gadis ini akan tetapi Sui Keng menyentuh lengan sucinya. Dengan kata-kata lebih halus ia meminta si buntung itu pulang saja, Puteri Es urusan mereka. Dan ketika apa boleh pemuda Ini mengangkat bahu, ia jadi serba salah maka Siang Le memutar tubuh dan bertemu dengan pemuda gagah di sebelahnya.

"Kau...." dia terkejut dan heran. "Ada apa masih di sini, Tan Bong. Bukankah sebaiknya kau kembali ke Pulau Api!"

"Aku menunggu Hoa Siu," pemuda itu menunduk sedikit memerah. "Aku meninggalkan tempat ini kalau dia menyuruh, Siang-siauwhiap. Pergilah dan selamat jalan."

"Hm!" si buntung mengangguk-angguk, terharu. "Mudah-mudahan nasibmu tak seburuk adikku, Tan Bong. Cinta adalah segala-galanya. Selamat tinggal, dolanlah ke Sam-liong-to kalau kau mau."

Pemuda itu mengangguk. Dia ternyata adalah Tan Bong putera Tan-pangcu itu, tak membersitkan dendam atau sakit hati atas tewasnya sang ayah, bahkan juga paman dan dedengkotnya, orang-orang yang seharusnya dekat dengan đia. Dan ketika Siang Le menuruni jalanan berbatu dan meninggalkan tempat itu, Hwa Seng menengok dan sadar tiba- tiba gadis ini meloncat menubruk pemuda Pulau Api itu.

"Kaupun sebaiknya pergi. Aku tak mau menikah kalau Puteri belum menemukan kebahagiaannya, Tan Bong. Apa gunanya hidup senang kalau junjunganku menderita. Ikutlah Siang-kongcu itu!"

"Kau... kau tak berarti menjauhi aku, bukan?"

"Tidak, aku menerima cintamu. Tapi keadaan tak memungkinkan sekarang, Tan Bong, pergilah dan susul Siang-kongcu."

"Baiklah, dan kapan-kapan aku menemuimu di luar Lembah Es, Hoa Siu. Aku... aku cinta padamu!"

Dua orang itu saling sambar. Entah siapa lebih dulu namun dua bibir tiba-tiba saling bertaut, Sui Keng dan Thio Leng melengos melihat adegan itu. Mereka yang lagi kasmaran kiranya tak malu-malu lagi, sungguh membuat diri sendiri jengah. Namun ketika isak dan tangis Hwa Seng ditutup kecup lembut di tengah kening, kiranyá mereka telah saling menerima dan memberi dalam cinta maka gadis itu melepaskan diri sementara si pemuda gemetar dan merasa berat melepaskan kekasihnya.

"Baikiah, aku... aku menunggumu, Hoa Siu. Mintalah ijin kepada pimpinanmu agar perjodohan kita terlaksana."

"Urusan itu dibicarakan belakangan Tan Bong, tunggulah sekitar enam bulan. Sekarang pergilah dan.... dan jaga dirimu baik-baik. Aku Hwa Seng, bukan Hoa Siu!"

"Bagiku kau adalah cucu Thian-te It hiap. Aku lebih senang memanggilmu begitu, Siu-moi, dan... selamat tinggal."

Pemuda ini tersenyum, mengangguk dan akhirnya menjura kepada Thio Leng dan Sui Keng dan dua gadis Lembah Es itu kikuk juga menerima salam ini. Betapapun tak mudah merobah musuh menjadi kawan. Akan tetapi ketika mereka mengangguk kaku dan pemuda Pulau Api itu turun gunung maka Siang Le tertegun menemukan sesuatu. Secarik kertas berlipat. Sementara di belakangnya terdengarlah seruan pemuda Pulau Api itu memanggilnya.

"Siang-siauwhiap....!"

Si buntung ini cepat menyambar dan menyimpan surat itu. Untunglah ia tidak berjalan terlalu cepat hingga dapat disusul, Tan Bong meloncat dan telah berada di belakangnya. Dan ketika ia tertegun kenapa pemuda itu berada di situ, tidak bersama Hwa Seng maka buru-buru pemuda ini menerangkan.

"Hoa Siu tak ingin diganggu melihat Puteri Es sakit. Aku dimintanya pergi, siauw-hiap, menyusulmu di sini. Tampaknya kau menemukan sesuatu."

"Hmh, sebaiknya hilangkan dulu sebutan siauw-hiap itu. Kikuk dan canggung bagiku, Tan Bong, jelek-jelek kepandaianmu tak di bawah kepandaianku. Sebut saja twako (kakak). Kau selalu menyebut gadis itu Hoa Siu padahal ia Hwa Seng, bagaimana ini"

"Bagiku ia Hoa Siu, cucu Thian-te It-hiap. Aku lebih senang menyebutnya begitu daripada nama laln." pemuda ini tersenyum.

"Baiklah, aku mengerti," Siang Le mengangguk. "Pulau Api dan Lembah Es adalah musuh bebuyutan, Tan Bong, mengingat gadis itu sebagai murid Lembah Es mungkin itu tak enak bagimu. Tapi menganggap cucu Thian-te It-hiap berarti kau calon menantu adikku Beng An, berarti harus menyebutku kakek!"

"Sudahlah, harap Siang-twako tidak main-main lagi. Aku melihatmu mendapatkan sesuatu dan apakah itu. Atau, maaf aku tak akan mendesak kalau itu rahasia.”

"Hm, aku menemukan surat adikku Beng An. Secara kebetulan saja surat itu jatuh. lsinya, hmm..., aku belum tahu. Tapi omong-omong kau sendiri hendak kemanakah, apakah pulang ke Pulau Api."

Wajah pemuda ini sedih, muram. "Rasanya tak mau aku ke sana, twako, untuk apa. Aku ingin jalan-jalan saja atau..." pemuda itu berhenti sejenak, menyambung lagi, "bolehkah kiranya bertamu di tempatmu Sam-liong-to."

"Hmh, kenapa tidak. Tapi aku hendak ke utara dulu, Tan Bong, menemui ayah mertuaku. Aku harus melaporkan ini kepadanya. dan Kalau boleh aku ikut...!"

"Ya tentu, aku tak keberatan. Malah kita bisa sama-sama mengisi sepi dan berjalan berdua. Mari!" lalu ketika si buntung tak keberatan dan mengajak temannya itu. Tan Bong gembira dan mengikuti Siang Le akhirnya dua orang muda ini benar benar meninggalkan Himalaya menuju utara. Dan begitu dua pemuda itu lenyap di bawah gunung maka Thio leng dan Sui Keng juga berkelebat menuju Lembah Es, membawa serta majikan mereka dan Hwa Seng.

* * * * * * * *

Pendekar Rambut Emas menarik napas dalam-dalam menerima datangnya dua pemuda. Tentu saja mula-mula ia terkejut melihat adanya pemuda Pulau Api itu. Tapi ketika Siang Le menceritakan panjang lebar betapa tokoh-tokoh Pulau Api tewas, pertandingan besar di puncak Himalaya itu berakhir dengan hal-hal yang amat tragis maka dia menjamin tentang pemuda sahabatnya ini.

"Tan Bong bukan seperti pemuda-pemuda lain. Sebenarnya sudah lama ia tak menyetujui sepak terjang ayahnya, gak-Hu, juga tokoh-tokoh lain termasuk paman-paman gurunya. Akan tetapi ia tak berdaya, dan baru setelah ia bebas merdeka maka ia bisa melepaskan belenggu itu setelah dinmulai dengan jatuh cintanya terhadap cucu Thian-te It-hiap!"

"Hm, aku telah mendengar itu, sebagian. Hanya tak kusangka kalau ia ikut bersamamu, Siang Le, tempat ini mungkin sempit baginya, dan aku tak dapat melakukan penyambutan yang pantas. Tentang peristiwa besar itu, hmm... aku telah mendengernya dari Beng An."

"Apa? si buntung terkejut. "Dia datang ke Sini, gak-hu? Membawa Thai Liong?"

"Benar, akan tetapi ia pergi lagi. Aku menunggumu dan sesungguhnya ingi mengajakmu ke Sam-liong-to."

"Astaga, kalau begitu tak perlu aku bercerita lagi. Gak-hu sudah tahu!"

"Barangkali belum semuanya, terutuma tentang Puteri Es. Coba kau ceritakan lagi dan mungkin ada yang perlu kuketahui. Dan pemuda ini... maaf, tempat ini seadanya, anak muda. Gubukku miskin dan kosong."

"Ah, harap Kim-taihiap tak merendah. Dibanding Pulau Api justeru tempat ini lebih hijau dan subur, aku merasa senang. Tapi kalau boleh aku permisi dulu melihat-lihat keadaan. Silakan ji-wi (kalian berdua) bicara."

Tan Bong ternyata tahu diri dan tak enak menemani pertemuan pendekar itu dengan menantunya, bangkit dan mohon ijin dan Pendekar Rambut Emas menarik napas. Teryata pemuda Pulau Api ini lain dari yang lain, tahu sopan-santun dan dapat membawa diri pula. Maka ketika ia semakin percaya bahwa pemuda itu bukan seorang tokoh sesat, benar-denar pemuda baik dan tidak seperti lazimnya keturunan orang jahat maka pendekar ini mengangguk sementara Slang Le tersenyum, melirik pula.

"Baiklah, terima kasih. Tapi jangan kemana-mana, Tan Bong. Sebentar kami tentu selesai."

Pemuda itu mengangguk dan keluar. Diam-diam hati Tan Bong terpukul dan terharu. Betapa tidak, Kim-hujin, isteri Pendekar Rambut Emas adalah orang yang tewas di tangan tokoh-tokoh Pulau Api. Mendatangi dan bertemu dengan pendekar ini saja rasanya sudah merupakan beban, ia khawatir dimusuhi dan tak dikehendaki kehadirannya. 

Akan tetapi karena Siang Le berkali-kali meyakinkan bahwa gak-hunya bukanlah orang seperti itu, tak pernah dendam dan semata membela kebenaran maka ia lega dan semakin percaya lagi ketika berhadapan dan bicara dengan pendekar itu, seorang pria yang masih gagah dengan tubuh sedikit kurus akan tetapi wajahnya masih bercahaya dan menunjukkan wajah seorang bijaksana.

"Hm, alangkah sesatnya ayah dan para susiok," pemuda itu bergummam. "Sungguh mataku semakin terbuka lebar lagi melihat orang-orang macam Pendekar Rambut Emas itu dan para keluarganya. Dan aku, ah.... Pulau Api hanya menjadi gudang orang-orang terkutuk!"

Tan Bong melamun dan meneruskan langkahnya sampai akhirnya Ia jauh meninggalkan rumah kecil itu. Siang Le dan Kim-mou-eng tentu saja tak mendengar gumam ini karena mereka sendiri terlibat pembicaraan serius. Dan ketika di rumah itu Siang Le diminta gak-hunya untuk menceritakan semua yang terjadi maka berkali-kali Pendekar Rambut Emas mengeluarkan desah panjang dan akhirnya mengangguk-angguk setelah menantunya itu menutup tentang penderitaan Puteri Es.

"Kami berdua gagal. Beng An terlampau keras hati menurutkan adatnya sendiri, gak-hu, terus terang aku menyesal. Puteri Es seperti arca hidup dan dibawa kembali oleh dua sumoinya dalam keadaaan kosong. Maksudku ia tak memiliki tanda-tanda kehidupan biarpun kedua matanya melek. Menyedihkan!"

"Hm, dan We We Moli... nenek itu telah mendapatkan Sin-tiauw-kang dari tubuh Thai Liong?"

"Benar, gak-hu, tapi betapapun akhirnya nenek itu memberikan restu. Beng An itu macam-macam dan membuat orang lain gemas saja!"

"Hm...!" pendekar ini tiba-tiba memandang tajam. "Ke mana ibu jarimu, Siang Le. Apa jawabmu kalau isterimu tahu ini?"

Dan pemuda itu gugup, tak menyangka dan kaget sejenak. "Aku eh... hilang di jalan, gak-hu, disambar golok penjahat!"

"Hm... tak perlu menodai kejujuranmu dengan cerita bohong. Beng An telah menceritakannya kepadaku, Siang Le, dan kau benar-benar luar biasa. Kau sedia mengorbankan segalanya untuk orang lain."

"Maaf," pemuda ini menunduk. "Kalau kau tahu harap jangan diberitahukan Eng Moi gak-hu. Betapapun urusan ini kecil dan tak usah dibesar-besarkan."

Kim-mou-eng menarik napas kagum. Sesungguhnya ia telah ditemui Beng An dan puteranya itu bercerita tentang kakak iparnya ini. Beng An menyatakan pula ketidaksediaannya berjodoh dengan Puteri Es, bukan karena tak cinta melainkan semata tak dapat membahagiakan diri sendiri di atas penderitaan orang-orang lain. 

Thai Liong dan Siang Le telah berkorban, si buntung itu menyerahkan pula ibu jarinya sebagai mas kawin. Dan karena puteranya itu tak mau berlama-lama membawa kakaknya yang luka, di sinilah Pendekar Rambut Emas tertegun maka ia tak dapat mencegah puteranya ketika pergi lagi.

"Aku tak habis pikir kepada Sian-su. Tahu bahwa Liong-ko terluka enak saja ia pergi, ayah. Aku akan ke Lembah Malaikat dan memprotes sikapnya. Liong-ko harus sembuh!"

Hanya itu saja kata-kata puteranya. Beng An berkelebat dan membawa kesedihan dan mencegah pemuda itu hanya akan sia-sia saja. Diam-diam Pendekar Rambut Emas terkejut melihat kilatan sinar mata mencorong pada puteranya itu, tertegun dan terharu akan rambutnya yang memutih dan betapa putranya mengalami penderitaan hebat. 

Tekanan batin itu jelas sekali terlihat. Namun karena puteranya hendak menuju Lembah Malaikat dan itulah tempat tinggal si kakek dewa yang sakti maka ia membiarkan saja puteranya pergi karena yakin bahwa memang hanya kakek itulah yang bisa menolong. Dan kini menantunya datang, menceritakan semua itu sampai habis.

"Hmm...?" Pendekar Rambut Emas mengangguk-angguk. "Hidup selalu penuh kekerasan dan kegetiran, Siang Le, akan tetapi di balik semua itu sikapmu masih saja seperti dulu, mendahulukan kepentingan orang lain dan menínggalkan kepentingan diri sendiri!"

"Hm, gak-hu bicara apa. Pengorbananku bukan untuk orang lain, gak-hu, untuk Beng An adikku sendiri. Itu tak ada artinya."

"Baik, kau selalu merendah. Sekarang apa yang kau pikir dan akan kau lakukan?"

"Gak-hu menceritakan tentang Beng An, apa katanya dan ke mana pula ia pergi?"

"la ke Lembah Malaikat, melepas penasarannya kepada Sian-su."

"Penasarannya?"

"Ya. Ia penasaran kenapa Sian-su meninggalkan kakaknya, Siang Le, kenapa begitu saja pergi. Bukankah seharusnya ditolong!"

"Benar, aneh sekali!" pemuda itu menepuk dahinya. "Aku jadi penasaran juga, lalu, kenapa kakek dewa itu membiarkan Thai Liong!"

"Aku tak tahu, tapi mungkin ada maksudnya. Hanya setelah Beng An pergi maka Sian-su menemuiku."

"Ah, apa yang ia katakan!"

"Menyuruhku menunggumu, Siang Le, lalu ke Sam-liong-to."

Si buntung tertegun. Siang Le terheran-heran dan membelalakkan matanya akan tetapi tiba-tiba ia teringat surat itu. Surat Beng An yang jatuh. Maka ketika Ia bergegas dan mengeluarkan surat itu segera Sang gak-hu tertegun karena mengenal itulah surat isterinya untuk Beng An.

"He, itu surat untuk Beng An!"

"Benar, kudapatkan ketika jatuh. An-te rupanya tak tahu kalau suratnya jatuh gak-hu, dan sekarang justeru ingin kubicarakan denganmu. Tahukah gak-hu apa isinya!"

Pendekar Rambut Emas menggeleng. Tentu saja ia tertegun dan merasa berdebar dan balik bertanya apakah pemuda itu tahu. Akan tetapi ketika Siang Le menggeleng dan menjawab tidak maka ayah dan menantu sama-sama menjadi kagum. Kagum bahwa surat untuk orang lain tak pernah dibaca tanpa seijin empunya, biarpun itu anak sendiri.

"Maaf aku juga tak tahu. Aku hanya membaca sampulnya, gak-hu, dan tak berani membukanya. Aku khawatir jangan-jangan ada rahasia yang tak boleh diketahui orang lain. Kukira gak-hu sudah tahu, bukankah surat ini gak-hu pula yang memberikannya!"

"Benar, akan tetapi aku juga tak membacanya, Siang Le, aku merasa tak berhak. Bukankah itu wasiat ibunya untuk Beng An!"

"Hm, kalau begitu sama. Kalau begitu biarlah kuserahkan gak-hu kembali dan terserah mau diapakan. Áku tak berani membukanya karena akupun juga tak berhak!"

Kim-mou-eng mengangguk-angguk. Surat bersampul biru itu, yang bertuliskan tangan isterinya membuat ia berdebar. merasakan firasat menegangkan. Ada sesuatu yang membuat ia gemetar. Akan tetapi ketika ia cepat menindih perasaan itu dan menerima kembali surat itu, menarik napas dalam-dalam maka pendekar ini berkata sebaiknya diputuskan di Sam-liong-to saja.

"Aku merasa kunci persoalannya di surat ini. Biarlah kita buka di Sam-liong-to Saja setelah Beng An kembali. pasti ke sana."

"Baiklah, aku juga heran. Aku maju mundur ingin mengetahui isi surat itu, gak-hu, tapi menghormati hak orang lain, aku menahan keinginanku. Sekarang telah gak-hu terima kembali, aku bebas dari perasaan ingin tahu!"

"Dan sebaiknya cepat saja kita ke Sam-liong-to. Panggil anak muda itu, Siang Le, kita ajak kalau mau."

Siang Le mengangguk. ia berkelebat dan tak lama kemudian sudah membawa Tan Bong kembali. Wajah pemuda itu berseri-seri. Dan ketika Tan Bong membungkuk hormat apakah dirinya tak mengganggu keluarga itu, sebuah kehormatan baginya diajak ke Sam-liong-to maka Pendekar Rambut Emas menghela napas tersenyum berkata,

"Kau sahabat Siang Le, berarti sahabat keluarga ini pula. Kalau kau tak keberatan bersiap-siaplah, anak muda. Sekarang juga kita berangkat."

"Siauw-te (aku yang muda) sudah siap, terima kasih atas perkenan Kim-taihiap. Tapi kalau sekiranya di sana aku mengganggu harap taihiap ijinkan siauw-te pergi."

"Ah-ah, bicara apa ini. Kau tamuku, Tan Bong, sahabatku. Tak ada yang merasa terganggu dan akan kujelaskan kepada mereka siapa kau sebenarnya!"

"Terima kasih, Siang-twako membuat repot!" lalu tetika kim-mou-eng berkelebat ke dalam mengambil pakaian, keluar dan sudah merapatkan surat Beng An di baju dalamnya maka hari itu juga rombongan ini pergi.

Pendekar Rambut Emas mengajak dua anak muda ini melalui jalan memutar. Ia tak ingin bangsa Tar-tar mengetahui kepergiannya, berpesan kepada seorang pembantu dan selanjutnya cukup. Lalu ketika tiga orang itu berkelebat dan memasuki padang ilalang, bergerak dan meluncur diantara rumput-Tumput setinggi manusia maka tak lama kemudian Pendekar Rambut Emas tiba di Tembok Besar.

Di sini pendekar ini menggerakkan kakinya dengan ringan dan Tan Bong kagum. Bagai seekor burung besar saja pendekar itu hinggap dan meluncur ke bawah. Lalu ketika ia mengerahkan ginkangnya dan berkelebetan di antara pohon-pohon lebat, masuk keluar hutan maka pemuda Pulau Api ini harus mengakui bahwa ia harus mengerahkan segenap kepandaiannya untuk mengejar atau menyamai pendekar itu. Biarpun hampir enam puluh tahun akan tetapi Pendekar Rambut Emas masih gagah dan gesit.

"Gak-hu, jangan cepat-cepat. Kakiku habis terbeset!"

Pendekar Rambut Emas melirik menantunya ini. la tersenyum melihat Siang Le mengerdip ke kiri dan pemuda Pulau Api itu tampak bermandi keringat. Maklumlah Pendekar Rambut Emas bahwa menantunya berpura-pura saja, ia minta sedikit perlahan karena putera mendiang Tan-pangcu itu terengah kencang. Dan ketika ia memperlambat larinya dan Siang Le tertawa, mengusap keringatnya maka si buntung ini memberi muka temannya.

"Aku tak mungkin menandingimu habis napasku nanti. Biarlah sedikit perlahan asal selamat di tujuan."

"Benar!" Tan Bong merasa lega. "lo-enghiong benar-benar hebat sekali, twako. Seharian berlari cepat rasanya napaskupun habis. Ah, kita tak mampu menandinginya."

"Hm, aku terbawa keterburuanku. Maafkan, anak-anak, aku lupa bahwa kalian baru datang. Baru datang sudah kuajak pergi lagi, An, kalian tentu capai sementara aku masih segar."

"Tak apa, asal gak-hu perlahan kami dapat mengikuti. Ayolah, kami tak perlu malu-malu mengakui keunggulanmu!"

Kim-mou-eng tertawa. Dengan cerdik menantunya ini tak melukai hati Tan Bong, maklum dalam hal kepandaian gin-kang pemuda Pulau Api itu masih kalah. Mereka keluarga Kim-mou-eng memiliki Cui-sian Gin-kang dan Jing-sian-eng (Bayangan Seribu Dewa), ilmu-ilmu meringankan tubuh yang menjadi andalan sementara pemuda itu biarpun putera ketua Pulau Api akan tetapi hanya merupakan tokoh nomor tiga di antara para pemudanya. Pertama dan kedua adalah Yang Tek dan Siauw Lok itu, yang tewas dan telah mendahului tokoh-tokoh Pulau Api.

Maka ketika Pendekar Rambut Emas memperlambat larinya dan perjalanan dilakukan agak santai namun serius maka tak lama kemudian mereka sudah berada di tepi laut Tung-hai, berhenti dan di sinl mencari perahu dan untunglah si buntung itu mengenal beberapa di antaranya, dihampiri dan satu di antara pemilik perahu sudah disewa si buntung ini. Dan ketika Siang Le melompat ke dalam perahunya diikuti Pendekar Rambut Emas dan pemuda Pulau Api itu maka berlayarlah perahu kepulau Sam-liong-to.

Tan Bong agak berdebar. Kembali untuk kedua kalinya ia merasa tegang. Entah bagaimana nanti sikap keluarga yang lain menyambutnya. Bagaimana dengan puteri Pendekar Rambut Emas ini, juga bagaimana dengan isteri Rajawali Merah Thai Liong. Siang Le telah menceritakan kepadanya bahwa semua orang-orang itu ada di sana. Soat Eng maupun anak-anak menunggu di sana. Namun ketika ia melihat betapa si buntung itu maupun Pendekar Rambut Emas tenang-tenang saja, iapun menenangkan hatinya maka perahu terus meluncur dan membuang kesepiannya pemuda ini ikut mendayung.

* * * * * * * *

Tidak salah yang dirasakan Tan Bong. Kim Soat Eng, puteri Pendekar Rambut Emas itu berseru perlahan melihat dirinya meloncat ke daratan. Tiga anak-anak lelaki dan perempuan bersorak melihat Kim-mou-eng dan Siang Le turun dari perahu, kedatangan mereka sudah dilihat. Tapi begitu melihat pemuda Pulau Api ini, Siang-hujin berkelebat dan mencabut pedangnya maka wanita itu membentak dan berseru marah.

"Tawanan Pulau Api kiranya, bagus, selamat datang Tan Bong. Apa maksudmu membawanya ke mari, ayah. Apakah ingin kami membunuhnya menebus kematian ibu...srat-singgg" pedang sudah berkelebat di tangan nyonya muda ini.

Siang Le buru-buru melompat dan menahan lengan isterinya itu. Sang gak-hu, Pendekar Rambut Emas tersenyum-senyum dan menggeleng, berkata biarlah wanita itu menyimpan pedangnya dan Soat Eng tentu saja tertegun. Dan ketika ia masih marah dan membelalakkan matanya maka berkelebat bayangan lain dan itulah Shintala.

"Bagus, orang Pulau Api. Sikat dan bunuh saja, Eng-moi. Rupanya gak-hu memberi kesempatan kepada kita!"

"Tenang, tenang sabar. Sabar Shintala, ini bukan musuh melainkan sahabat. Tan Bong datang sebagai kawan bukan lawan. Masukkan pedang kalian dan dengarkan cerita kami."

"Apa, kawan? Mereka orang-orang Pulau Api bukan musuh? Ah, yang benar, ayah. Arwah ibu menjadi penasaran kalau kau bicara seperti itu. Pemuda ini harus dibunuh!"

"Hm, ia tamuku, keselamatannya di tanganku. Simpan pedang dan jangan membuat aku malu, Soat Eng. Semua orang Pulau Api telah tewas kecuali pemuda ini. Dengar kata-kataku dan jangan membawa adat sendiri. Persilakan kami masuk dan masa disambut seperti ini!" kata-kata Pendekar Rambut Emas penuh wibawa dan dua wanita itu meragu dan akhirnya menyimpan pedang.

Anak-anak, yang bersorak memanggil ayah dan kakek mereka ikut terheran-heran. Tan Bong pucat dan gemetar. Akan tetapi ketika pemuda ini menjura dan meminta maaf, baiklah dia pergi kalau mengganggu maka Siang Le menyambar tangannya menenteramkan pemuda ini.

"Aku yang mengajakmu, tak boleh pergi. Mereka salah paham karena belum tahu duduk perkaranya. Marilah ke dalam dan kita masuk."

Tiga anak kecil semakin terheran-heran. Siang Hwa yang menyenggol lengan Bun Tiong berbisik-bisik, disusul Siang Lan yang mengangguk-angguk. Tapi ketika semua ke dalam dan memasuki Istana Hantu, di situlah keluarga ini tinggal maka Kim-mou-eng menyuruh anak-anak itu pergi sebentar. Tan Bong kikuk dan serba salah. Lalu ketika mereka masuk dan muncullah seorang wanita setengah baya, membawa seorang anak laki-laki kecil maka Siang Le melompat dan mencium anak di gendongan wanita ini.

"Ah, selamat bertemu. Bagaimana anakku Hok Gie, ibu, sehat-sehat sajakah. Dan ibu tampak kurus!"

"Aku mengkhawatirkan dirimu. Lama tidak kembali, Siang Le, dan kau serta gak-humu tampak serius. Mana Thai Liong dan adikmu Beng An."

"Ibu harap menemani anak-anak saja. Maafkan kami hendak bicara serius, ibu, masuklah dan syukur semua sehat-sehat."

"Dan selamat datang untuk Kim-tahiap," wanita itu mengangguk pada Kim-mou-eng. "Kusiapkan minuman untuk kalian."

Pendekar itu mengangguk. Inilah Cao Cun yang sendirian itu, hidup bersama keluarga Sam-liong-to dan wanita ini rupanya begitu gembira melihat kedatangan Pendekar Rambut Emas. Senyum dan sinar matanya menunjukkan itu. Namun ketika ia masuk ke dalam dan Siang Le menjadi tuan rumah di situ maka di balik dinding dingin sebuah istana kuno mereka sudah duduk mengitari sebuah meja.

"Harap kalian tidak menyimpan permusuhan lagi kepada pemuda ini," demikian mula-mula si buntung itu mengawali pembicaraan. "Sesuatu yang hebat terjadi di Pulau Api, Eng-moi, dan berakhir di Himalaya."

"Hm, tunggu dulu. Mana suamiku Thai Liong!" Shintala memotong dan langsung bertanya.

"Dan mana pula Beng An te?" Soat Eng tak kalah menyusul.

"Tenanglah, dengarkan kata-kataku dulu. Harap kalian sabar karena sebuah cerita dahsyat terjadi di sini."

"Aku hanya ingin tahu tentang suamiku. Katakan singkat di mana dia!" Shintala masih penasaran dan mendesak lagi.

"Baiklah," Siang Le menarik napas, tanpa sengaja menggoyang tangannya di depan iparnya ini. "Semua baik-baik saja, enci Shintala. Thai Liong dibawa adik kita Beng An."

"Eh!" seruan terkejut diluncurkan Soat Eng. "Ke mana ibu jarimu, le-ko. Kenapa tak ada!"

Siang Le terkejut. la baru sadar setelah sang isteri melihat ia menggoyang-goyang tangannya tadi. Maksudnya agar iparnya tenang namun sebalikny malah. ibu jarinya diketahui hilang, tentu saja ia terkejut dan pucat. Dan ketika sedetik ia tak mampu menjawab dan gelagapan. Wanita ini mencabut pedang tiba-tiba ia telah menyerang Tan Bong karena disangkanya orang-orang Pulau Api itulah yang menjadi gara-garanya.

"Tentu gerombolan pemuda ini yang, membuat kau kehilangan jarimu. Keparat, biar kubunuh pemuda ini, Le-ko. Orang-orang Pulau Api memang selalu menjadi biang penyakit!"

Siang Le terkejut akan tetapi Pendekar Rambut Emas sudah mendahului dan membentak. Untunglah dia duduk di sebelah Tan Bong dan pedang ditangkis terpental, pemuda itu sendiri berubah-ubah dan pucat. Dan ketika Kim-mou-eng bangkit dan menegur puterinya maka Tan Bong merasa bahwa ayah dan anak memang berbeda. Lain Pendekar Rambut Emas lain pula wanita ini!

"Hmn, jangan membuat aku malu sekali lagi. Pemuda ini adalah tamuku, Soat Eng, tamu suamimu pula. Sebelum kau mendengar semuanya harap jangan berbuat macam-macam. Simpan pedangmu dan dengar kata-kataku!"

Bentakan itu penuh wibawa dan amat kuat. Betapapun Soat Eng tak berani melawan ayahnya, maka ketika ia memasukan pedang namun pandang matanya masih penuh kebencilan kepada pemuda Pulau Api ini maka Tan Bong bangkit dan menjura, mukanya merah dan pucat berganti-ganti.

"Kim-taihiap, rasanya kehadiranku hanya mengganggu saja. Biarlah aku pergi dan silakan kalian bicara."

"Hm, baiklah, pendekar itu melihat ada benarnya juga. "Tapi jangan keluar dari sini, Tan Bong, berkelilinglah dan hirup udara segar saja. Betapapun kami yang membawamu ke sini dan kami pula yang akan mengantarmu kełuar."

"Benar!" Siang Le merasa mengganti suasana, sang isteri masih beringas. "Biarlah kau main-main dengan anak-anak di luar, Tan Bong. Mari kupanggil mereka."

Cepat si buntung ini membawa Tan Bong memanggil anak-anaknya. Tentu saja Siang Hwa dan Siang Lan terheran-heran akan tetapi karena sang ayah yang menyuruh mereka maka merekapun patuh saja. Bun Tiong mengawal diam-diam. Dan karena ketiga anak ini bukan anak-anak sembarangan dan Soat Eng tak mengkhawatirkan mereka maka ketika suaminya duduk lagi wanita ini mendengus melepas geram.

"Ceritakan siapa yang menghilangkan jarimu itu. Jangan bohong, akan kubunuh dia. Tentu orang-orang Pulau Api siapa lagi!"

"Hm, jari ini tidak hilang dicelakai orang. Yang menghilangkan adalah aku sendiri, Eng-moi, karena itu tak ada yang bersalah dan jangan marah-marah seperti ini."

"Apa, kau sendiri?"

"Ya, aku sendiri. Dan ceritanya cukup panjang, barangkali ayahmu saja yang bicara, nanti aku menyambung."

Soat Eng terhenyak dan melototkan matanya dengan heran. la melihat suaminya bicara sungguh-sungguh sementara sang ayahpun mengangguk-angguk. Dan ketika ia berseru aneh namun Pendekar Rambut Emas cepat tanggap maka pendekar inilah yang memasuki pembicaraan.

"Ceritanya panjang, amat panjang. Tapi sebelum mendengarkan semuanya berjanjilah bahwa kalian tak boleh marah kepada siapapun, tidak juga kepada orang-orang Lembah Es."

"Hm, mereka adalah sahabat, bukan musuh. Yang jahat adalah orang-orang Pulau Api, ayah, karena itu aku heran kenapa kau membawa pemuda itu ke sini!"

"Cukup, sekarang siapkah kalian mendengar cerita panjang ini, berjanji bahwa tak boleh marah kepada siapapun!"

Soat Eng mengerutkan alisnya, Ia memandang ayahnya. Tapi karena sikap ayahnya tenang-tenang saja dan tak membewa sesuatu yang mengkhawatirkan, lagi pula semua selamat di situ maka ia mengangguk dan berjanji. Akan tetapi Shintala menggeleng.

"Gak-hu, Eng-moi boleh berjanji, tapi aku tidak. Sebelum aku tahu keselamatan suamiku terus terang aku tak dapat memenuhi kehendakmu!"

"Hm, Thai Liong bersama Beng An. Mereka ke Lembah Malaikat, Shintala, Cukupkah keterangan ini."

"Jadi suamiku tak apa-apa?"

Kim-mou-eng mengerutkan kening, repot menjawab. Namun karena ia seorang jujur dan bukan pembohong maka akhirnya ia berkata apa adanya juga. "Suamimu adalah puteraku pula, anak kandungku. Kalau kau bertanya tak apa-apa maka tak benar juga, Shintala. Thai Liong terluka dan terus terang saja dibawa Beng An mencari Sian-su!"

"Aahh!" wanita itu bangkit, tiba-tiba berubah. "Kalau begitu ia... ia berbahaya, gak-hu? Siapa yang melukainya? Jahanam keparat orang-orang Pulau Api?"

"Duduklah, dan tenanglah. Cerita ini panjang dan tak akan habis kalau dipotong-potong!"

Mendadak wanita itu menangis. Tanpa dapat dicegah lagi Shintala mengguguk, melengking dan tiba-tiba melompat keluar, Akan tetapi ketika dengan cepat Kim mou-eng menyambar dan menangkap menantunya ini maka wanita itu meronta dan berteriak-teriak. "Lepaskan... lepaskan aku. Biar kubunuh pemuda Pulau Api itu, gak-hu. Siapa lagi manusia curang itu kalau bukan orang-orang Pulau Api!"

"Hm, duduklah, kau salah Thai Liong terluka oleh We We Moli, Shintala, sesepuh Lembah Es. Kau mau mendengarkan cerita ini atau tidak."

"Apa, We We Moli... nenek siluman itu? Ah, bukankah Thai Liong mengalahkannya, gak-hu, bagaimana bisa terjadi itu. Aku tak percaya!"

"Kau mau mendengarkan atau tidak, yang jelas bukan orang-orang Pulau Api."

Wanita cantik ini tertegun, mengusap air matanya. Tentu saja ia tak menyangka jawaban itu dan tadinya sudah menduga orang Pulau Api. Orang-orang itu terkenal curang dan licik, dan dia teringat Tan Bong di luar. Akan dihajar dan dibunuhnya pemuda itu. Tapi ketika ia terhenyak dan benar-benar heran, juga bingung akhirnya Siang Le memberi tanda isterinya agar Soat Eng membujuk dan membawa encinya itu duduk.

"Ayah rupanya membawa cerita yang panjang. Baiklah kita dengarkan mereka dan mari duduk, cici. Betapapun kita harus siap. Agaknya ada perobahan yang tidak kita duga."

"Benar, dan kalian tenang serta dengarkan baik-baik. Kalau selalu dipotong dan dipenggal seperti ini bagaimana aku bercerita. Yang jelas pemuda di luar itu bukan musuh karena ayahnya dan seluruh pimpinan Pulau Api tewas di tangan tokoh-tokoh Lembah Es. Pek-kwi dibunuh Beng An."

Shintala menggigil dan gemetar. Soat Eng sudah membawanya duduk dan tiba-tiba wanita ini merasakan firasat tak enak. Lalu ketika ia memejamkan mata dan menahan sedu-sedan maka Kim-mou-eng menarik napas dalam melihat kecemasan mantunya itu.

"Bagaimana, siap atau belum. Aku boleh bercerita atau tidak!"

"Sebaiknya ayah bercerita," Soat Eng agaknya lebih tabah. "Kami mendengarkan, ayah, tapi mulailah lebih dulu dengan ibu jari Le-ko itu."

"la membuntunginya untuk dipersembahkan kepada Puteri Es...!"

"Apa?" Soat Eng mencelat, ternyata tak kuasa menahan kaget juga. "Puteri Es? Gadis itu, dia... dia meminta ibu jari Le-ko?"

"Kau duduklah dan tenang. Semua ini untuk adikmu Beng An. Saat suamimu berkorban demi perjodohan itu. Dan Thai Liong, kakakmu... hmm, ia pun tak mau kalah dan rela berkorban pula. Ini untuk adikmu yang luar biasa itu!"

Wanita ini pucat dan merah berganti-ganti mendengar itu. Entah apa yang dirasakannya tapi jelas antara marah dan bingung. Sungguh tak disangkanya bahwa semua ini bersumber dari Lembah Es, bukan Pulau Api. Dan ketika Shintala juga terkejut dan mengangkat mukanya, lupa kepada kesedihan diri sendiri akhirnya Soat Eng menggigil meminta ayahnya menceritakan itu, dari awal sampai akhir. Dan berceritalah Pendekar Rambut Emas sesuai permintaan. Memang kedatangannya inipun untuk tujuan itu, di samping tujuan yang lain.

Dan ketika peristiwa di mulai dari Ce-bu dengan munculnya Thian-te It-hiap sampai berlanjut di Pulau Api dan berakhir di Himalaya maka tak tahanlah nyonya itu mengguguk dan tersedu-sedu, mencengkeram dan memeluk suaminya ini.

Sementara Shintala bengong dengan mata terbelalak. Tapi ketika tiba gilirannya dengan cerita Thai Liong yang bertanding begitu hebatnya dengan We We Moli dan akhirnya memberikan Sin-tiauw-kangnya kepada nenek berpakaian hitam-hitam itu akhirnya wanita ini menjerit histeris dan roboh pingsan....

Putri Es Jilid 36

Cerita Silat Mandarin Karya Batara

Beng An tak berani mengurangi tenaga. Sejenak ada perlawanan dan mata kakek itu seakan hangus membakarnya. Tiba-tiba dalam keadaan seperti ini kakek itu berkemak-kemik, dari sepasang mata kakek ini keluar cahaya aneh dan sekonyong-konyong tubuh kakek itu meledak. Beng An terkejut karena Pek-kwi berubah menjadi seekor beruang hitam tinggi besar, mulutnya dibuka dan tiba-tiba gigi besar-besar menggigit kepalanya.

Dan ketika mengelak namun tetap dikejar, suara aneh keluar seperti tawa iblis maka teringatlah pemuda itu bahwa lawan memiliki hoat-sut atau sihir ilmu hitam, membentak dan tiba-tiba merendahkan tubuhnya menyontek pedang ke atas. Saat itu gigi binatang buas itu dekat sekali dengan kepalanya, sekali caplok ia bakal tertelan. Tapi ketika ia sadar dan menyontekkan pedangnya itu, dada lawan juga dekat dengan dadanya sendiri maka secepat kilat ia menggerakkan kaki menendang selangkangan lawan.

"Dess-crep....!"

Raung aneh terdengar menggetarkan. Biruang lenyap berganti ujud dan tampaklah kakek itu sebagaimana aslinya. Beng An tepat sekali menendang selangkangannya sementara pedang menancap di ulu hati kakek itu. Pek-kwi mendelik dan menuding akan tetapi ia roboh. Beng An telah melepaskan tangannya dari tangan kakek itu. Dan ketika kakek ini melotot dan berusaha mencabut pedang namun gagal, Pek-swat-kiam bersimbah darah maka kakek itu terguling dan akhirnya tewas dengan pedang masih menancap di dadanya. Beng An demikian kuat menyontekkan pedangnya hingga Pek-sweat-kiam terjepit di tulang punggung!

Tewaslah dedengkot Pulau Api ini dengan cara mengerikan. Beng An mengusap peluh dan mencabut pedangnya dan sejenak ia termangu memandang kakek tinggi kurus ini. Terasa penyesalan bahwa ia membunuh orang, apalagi seorang kakek renta. Namun ketika ia termangu dan memandangi mayat itu, belum membersihkan pedangnya dari darah Pek-kwi tiba-tiba terdengar lengking dan jerit tinggi, disusul terbantingnya tubuh roboh.

"Supek-bo...!"

"Thai Liong...!"

Beng An terkejut dan menoleh. Rajawali Merah, kakaknya ternyata terguling dan roboh di sana. Mukanya pucat sementara We We Moli terkekeh dan kemerah-merahan di sana. Uap Sin-tiauw-kang, tenaga sakti itu memancar di tubuhnya berkilau-kilauan. Siang Le dan Puteri Es menjerit menubruk pemuda ini, menangkis sekaligus membentak pukulan We We Moli yang menyambar dahi pemuda itu. Namun karena mereka bukan tandingan nenek sakti itu dan terbanting bergulingan, pukulan terus meluncur maka Beng An terkesiap dan dengan kecepatan serta kekuatan seluruh tenaganya tiba-tiba ia menimpukkan pedang di tangannya menabas jari nenek itu yang menuju dahi kakaknya.

"Plak!" pedang berhenti di tengah jalan dan bagai iblis atau siluman saja tahu-tahu munculah sosok kabut yang mendorong Pek-swat-kiam sementara dua jari We We Moli yang sudah begitu dekat dengan dahi Rajawali Merah mendadak menusuk kabut ini dan si nenek terpekik ketika tiba-tiba dua jarinya mental, tertolak oleh hawa yang amat kuat dan kalau nenek ini tidak menarik dua jarinya tentu telunjuk dan jari tengahnya patah.

Nenek ini terkejut bukan main dan terhuyung mundur dan tiba-tiba sosok kabut di depannya ini mengeluarkan seruan lembut, bergerak dan tampaklah sekarang siapa sebenarnya karena Seorang kakek berwajah halimun menatap nenek itu dengan lembut akan tetapi sepasang mata mencorong yang keluar dari balik kabut itu tak tahan diterima nenek ini. We We Moli menjerit. Dan ketika nenek itu menuding dan terbelalak ke depan, kagetlah dia melihat siapa yang datang maka seruannya jelas bernada gentar.

"Bu-beng Sian-su!"

Kakek itu, yang matanya lembut namun mencorong mengangguk. Bagai siluman saja tahu-tahu ia muncul, begitu tiba-tiba dan tepat hingga mengagetkan si nenek. We We Moli tak dapat berkata-kata lagi setelah seruannya tadi, menggigil dan membalas pandang mata itu namun ia kalah kuat. Kesejukan yang luar biasa memadamkan semua kemarahannya. Sesepuh Lembah Es itu bagai diguyur air dingin. Dan sementara ia mengeluh dan terhuyung mundur, pucat merah berganti-ganti maka Beng An menubruk dan girang luar biasa.

"Sian-su...!"

Bukan hanya pemuda ini saja yang girang. Siang Le yang mengenal dan tahu betul siapa kakek dewa itu tiba-tiba berseru menjatuhkan diri berlutut. Puteri Es juga gembira dan menjatuhkan diri berlutut. Dan ketika Thio Leng dan Sui Keng juga berlutut di belakang majikan mereka, San Tek termangu dan gentar melihat kakek dewa itu maka si gila ini menyelinap di balik sebuah batu besar dan mengintai kejadian di depan itu. Roboh dan terbantingnya Thai Liong telah menghentikan semua pertandingan.

"Thian Yang Maha Agung! Ah, kemarahan dan kebencian telah menghanguskan kejernihan pikiranmu, We We Moli. Tak selayaknya kau membunuh pemuda ini setelah ia memberikan Sin-tiauw-kangnya kepadamu. Puja-puji kepada Yang Maha Kuasa, semoga kau sadar dan tidak melanjutkan niatmu. Lihat sepasang anak muda itu yang menunggu restumu."

We We Moli terbelalak, bergoyang-goyang. Setelah kakek ini bicara dan ia hilang kagetnya tiba-tiba nenek itu terkekeh. Sepasang matanya yang putih kebiru-biruan lagi, sinar Bu-kek-kang memancar ganas. Dan ketika ia menepuk kedua tangannya demikian nyaring, meledak bagai petir menyambar maka nenek itu membentak membuat Puteri Es dan lain-lain terpelanting. Demikian dahsyat tepukan tangannya itu melebihi letusan Himalaya.

"Heh, kakek lancang bermulut lembut. Kata-katamu enak tapi bernada menggurui Bu-beng Sian-su, sedap di telinga tapi menyakitkan di hati. Apa perdulimu kalau aku membunuhnya. Ia telah meninggalkan bekas luka dan sakit hati yang dalam. Tahukah kau seberapa dendamku kepadanya. Minggir dan biarkan aku membunuhnya atau aku menerjangmu!"

"Hm, sadhu-sadhu...! Sayang bahwa kau mengumbar adatmu, We We Moli, ingatlah siapa kau dan kedudukanmu. Kau sesepuh Lembah Es, kau telah mendapatkan apa yang kau minta. Rajawali Merah telah memberikan Sin-tiauw-kangnya, dan sebagai gantinya kau berjanji untuk memberikan restumu kepada Puteri Es. Tapi apa yang kau lakukan, kau hendak membunuh pemuda ini dan rupanya tak menepati janjimu sendiri. Ah, sadar dan ingatlah, We We Moli... Ingat bahwa tindak-tandukmu akan menjadi contoh bagi yang muda. Ingat bahwa kau seorang tokoh dan tak pantas menjilat ludah sendiri. Lawanmu telah menyerahkan ilmunya."

"Keparat, jangan banyak cakap. Minggir atau aku membunuhmu, Bu-beng Sian Su. Urusanku tak perlu kau campuri. Minggir dan aku akan membunuhnya!"

Bu-beng Sian-su menggeleng-geleng kepala. Kakek ini tetap berdiri di depan Thai Liong dan jelas ia tak akan membiarkan pemuda itu diserang, apalagi dibunuh. Dan ketika We We Moli melengking sekali lagi namun kakek itu tetap di situ tiba-tiba nenek ini menerjang dang gerakan tubuhnya yang bagai kilat menyambar lenyap ketika menghantam Bu-beng Sian-su.

"Kau mencari mati, terimalah!"

Dahsyat dan mengerikan sekali nenek ini menerjang. Sepasang matanya mendahului dengan serangan sinar biru sementara kedua tangannya dibuka menghadap ke depan, menghembus dan keluarlah angin dahsyat disertai kilatan cahaya api. Nenek itu telah memiliki Sin-tiauw-kang dan tenaga sakti ini akan luar biasa jadinya kalau ia marah. Dalam pertandingan tadi Thai Liong telah menyerahkan ilmunya kepada si nenek, tentu saja dengan perjanjian bahwa nenek itu merestui perjodohan Puteri Es.

Rajawali Merah ini tak memikirkan dirinya lagi asal gadis itu dengan adiknya diterima dalam sebuah perjodohan, resmi dalam tata-adat Lembah Es. Akan tetapi ketika si nenek hendak membunuhnya dan muncullah Bu-beng Sian-su, Thai Liong terguling dan roboh maka sesepuh Lembah Es ini rupanya hendak ingkar janji, paling tidak tetap membunuh pemuda itu untuk menumpahkan bencinya atas kekalahannya dulu di Lembah Es. 

Maka ketika nenek ini menerjang dan pukulannya bukan main dahsyatnya, Bu-kek-kang dan Sin-tiauw-kang berbareng dikeluarkan. Maka Beng An dan Puteri Es menjerit melihat betapa kakek itu tak mengelak atau menangkis. Angin serangan nenek itu sudah membuat tubuh kakek itu bergoyang-goyang.

"Sian-su!"

"Supek-bo..!"

Akan tetapi yang terjadi sungguh luar biasa. Bu-kek-kang, yang menghantam lewat sepasang mata menyambar wajah dibalik kabut itu ternyata terpental bertemu uap halimun di wajah kakek ini. Bagai uap gaib yang memiliki kekuatan tak terlawan sinar biru nenek itu membalik. Terdengar bunyi seperti ledakan. Dan ketika Sin-tiauw-kang mengenai lambung kakek ini, dahsyat dari kedua telapak terbuka ternyata kakek itu terdorong sedikit akan tetapi We We Moli berseru keras melihat betapa pukulannya seakan amblas di telaga tak berdasar.

"Plak-desss!" nenek itu berjungkir balik menghindari sisa tenaganya. la cepat menarik Sin-tiauw-kang kalau tak ingin tersedot ke depan, lambung kakek itu seakan benda lunak yang menghisap serta menyedotnya kuat. Kalau ia tak cepat-cepat menarik tentu akan terjelungup, Salah-salah tenaganya masuk pula dan ia melekat di situ, Maka ketika nenek ini terbeliak namun tentu saja penasaran bukan main, meluncur turun dan melengking lagi maka iapun berkelebat dan kali ini bagai seberkas cahaya menyambar ia sudah menghantam kakek itu lagi.

"Hyeehhhhhhh!" Pekik atau lengking nenek ini amat dahsyat.

Thio Leng dan Sui Keng yang ada di situ terbanting, mereka seketika mengeluh. Akan tetapi ketika pukulan nenek itu kembali gagal dan kakek itu hanya terhuyung maka selanjutnya nenek ini berkelebatan menyambar-nyambar dan tubuhnya sudah menjadi bayang-bayang hitam yang bergerak luar biasa cepatnya, menampar dan memukul sementara lengking atau pekiknya kian dahsyat. Beng An dan Puteri Es tak mampu mendengarkan lagi dan mereka jatuh terduduk, bersila dan cepat menutup pendengaran sementara konsentrasi diarahkan ke dalam.

Getaran atau guncangan yang diterima dari lengking nenek itu terlampau dahsyat, tinggi rendah menusuk-nusuk dan gendang telinga bisa pecah. Dan ketika mereka tak mampu menyaksikan pertandingan itu lagi dan di sana kakek dewa itu tak membalas atau menangkis maka We We Moli kian marah karena pukulan-pukulannya bertemu gumpalan hawa lunak yang amat kuatnya, lentur seperti karet dan amblas kalau dipukul.

Seribu kali dia menyerang seribu kali itu pula tak akan berhasil. Pukulannya lenyap dan tenggelam ke telaga tak berdasar. Dan ketika nenek itu kian melengking-lengking hingga pohon dan batu-batu berguguran maka kemarahan membuat tubuhnya membesar dan itulah Sin-tiauw-kang yang kini berpindah ke tubuhnya.

"Heh, balas dan jangan hanya menerima pukulan orang. Tunjukkan bahwa kau seorang laki-laki gagah, Bu-beng Sian-su, bukan perempuan atau pengecut yang tak memiliki kepandaian!"

"Sadhu, kau kian sesat. Sin-tiauw-kang kau pergunakan untuk sewenang-wenang, Moli, sayang sekali. Aku tak akan membalas dan menyakitimu, karena aku tak menganggapmu musuh. Berhentilah, kemarahanmu hanya akan menghabiskan tenaga sendiri."

"Kakek keparat, jahanam pengecut. Kalau kau tak membalas maka aku akan mencekikmu, Bu-beng Sian-su. Lihat aku membunuhmu dan mudah bagiku menangkapmu... whheerrrr!" si nenek sudah setinggi tiga meter, sepasang lengannya juga sepanjang itu akan tetapi ketika ia hendak menangkap lawannya ternyata kakek itu terdorong.

Bu-beng Sian-su seringan kapas dan angin pukulan nenek ini membuatnya menjauh. Dan ketika nenek itu memekik namun lawan terdorong dan selalu terdorong, semakin kuat ia memukul semakin jauh kakek itu terhembus maka kemarahan nenek ini membuat tubuhnya menggelembung semakin dahsyat lagi. Empat meter... lima meter... Tujuh meter akan tetapi Bu-beng Sian-su tetap tak terjangkau. 

Kakek itu benar-benar seringan daun kering dan akhirnya menangislah nenek ini sejadi-jadinya. la tobat dan tak tahu apa yang harus dilakukan. Dan ketika ia memaki bahwa kakek itu pengecut, ia tak akan sudah biarpun tenaga habis akhirnya Bu-beng Sian-su menarik napas dalam.

"Baiklah, kau wanita berhati keras. Kalau begitu bagaimana perjanjiannya, We We Moli. Apa yang kau lakukan bila aku mengalahkanmu."

"Kau boleh bunuh aku!"

"Sadhu, mati hidup urusan Tuhan. Aku tak akan melakukan itu, Moli, berjanjilah saja bahwa kau tak akan memusuhi Rajawali Merah dan memberikan restumu kepada Puteri Es dan Beng An."

"Keparat, kau belum mengalahkan aku. Kalau kau dapat merobohkan aku satu jurus aku memenuhi permintaanmu, Sian-su. Atau aku tak sudi mendengarkan kata-katamu dan biar aku atau kau mampus di sini!"

"Satu jurus?"

"Ya!"

"Kau terlalu, masa minta seperti itu."

"Cerewet, bisa atau tidak, tua bangka. Aku tak mau banyak omong lagi dan terimalah ini... blaarrrr!" api dan sinar biru menyambar berbareng, si nenek sudah setinggi bukit dan dua serangan berbahaya itu menyambar kakek ini dari kiri dan kanan. We We Moli memutar lengannya sehingga dua sinar itu mencegat Bu-beng Sian-su dari belakang. Yang dapat dilakukan kakek itu hanya maju, kiri kanan atau belakang tertutup.

Dan ketika Bu-beng Sian-su mengerutkan keningnya tapi berseru perlahan, benar saja maju ke depan maka nenek itu menggerai rambutnya menyongsong ke depan. Melecut dan menyambar begai sapu baja. "Kau yang memaksaku begitu. Baiklah Moli, kucoba merobohkanmu satu jurus."

Nenek ini sudah girang bukan main. la telah memaksa lawan untuk maju dan menerima rambutnya, di belakang masih mengejar sinar biru dan merah itu, sambaran Bu-kek-kang. Tapi ketika Bu-beng Sian-su mendekati tubuhnya dan tiba-tiba begitu besar, semakin dekat semakin besar mendadak nenek ini berteriak karena dirinya seakan berhadapan dengan lawan setinggi Mahameru, diri sendiri hanya sebesar bukit.

"Aiihhhhhhh...!" Nenek ini terkejut dan melupakan segala-galanya. Begitu kakek itu dekat maka iapun tak mampu melihat lawannya lagi. Begitu cepatnya terjadi perubahan ini, lambung kakek itu seperti tembok gunung dan We We Moli tak melihat lagi mana tangan mana kaki. Wajah kakek itupun juga lenyap karena yang datang di depannya adalah sebongkah lambung gunung, menabrak atau ditabrak dirinya dan We We Moli tentu saja kaget bukan main. 

Tak ada kesempatan baginya untuk menghindar, lambung sebesar gunung itu menghantamnya. Dan ketika nenek ini menjerit dan terbanting serta bergulingan maka benda yang menabrak atau ditabraknya itu berhenti, tegak setinggi Mahameru dan nenek ini pucat sekali.

Ia meloncat bangun ketika bersamaan itu terdengar jerit Puteri Es dan murid-muridnya, alangkah heran dan kagetnya nenek ini melihat Puteri Es dan orang-Orang lain serba besar. Batu dan pohon-pohon di sekelilingnya juga serba besar dan nenek ini berdetak. Bu-beng Sian-su, lawan yang dianggapnya raksasa itu harus dilihatnya secara mendongak. Begitu tinggi dan dahsyat kakek itu, rasanya menjulang langit. Akan tetapi ketika yang lain-lain juga begitu tinggi dan besar sekali, nenek ini merasa sesuatu yang tidak wajar mendadak ia menjerit karena sesungguhnya dialah yang berubah kecil dan hanya sejari telunjuk.

"Aiiihhhhh....!" nenek ini gentar dan menangis tersedu-sedu. "Kembalikan aku ke ujudku semula, Sian-su. Ampun... aku meminta ampun....!"

Kiranya nenek itu yang mengecil dan berobah begitu drastis. Bu-beng Sian-su dan lain-lain sebenarnya masih seperti biasa akan tetapi nenek itulah yang terpukul balik oleh Tet-jin-sut. Kakek dewa ini mengeluarkan kesaktiannya dengan amat terpaksa mengingat desakan nenek itu sendiri. Tet-jin-sut (Ilmu Mengerdilkan Orang) adalah pemunah Sin-tiauw-kang, hanya kakek itulah yang punya.

Dan ketika We We Moli merasa sewenang-wenang dan terbawa kesombongannya hingga lupa diri, tak tahu bahwa Sin-tiauw-kang sebenarnya berasal dari kakek ini pula maka Bu-beng Sian-su menghancurkan nenek itu dengan penangkalnya. Kesombongan betapapun akan hancur bila bertemu batunya. Dan ketika nenek itu sadar setelah terlambat, tersedu dan mengguguk-guguk maka Puteri Es dan lain-lain baru tahu bahwa sesepuh mereka berada di bawah, kecil dan tiada ubahnya boneka saja.

"Supek-bo!" Puteri Es dan dua sumoinya berlutut. Kepala mereka begitu besar bagi nenek ini dan We We Moli menubruk serta membentur-benturkan dahinya di dahi gadis itu. Gadis inipun menangis. Dan ketika Thio Leng serta Sui Keng ikut menangis pula, terjadilah kejadian mengharukan maka gadis itu tiba-tiba bangkit berdiri dan memegang supek-bo nya menghadap Bu-beng Sian-su. Kakek ini berdiri tegak dengan sikap begitu berwibawa.

"Ampunkan kami, ampunkan supek-bo. Harap kau kembalikan supek-bo ke asalnya semula, Sian-su. Ampunilah kesalahannya dan semua dosa-dosanya. Kami memohon dengan sangat agar kau mengembalikan sesepuh kami seperti ujudnya semula."

"Letakkanlah dia...!" Bu-beng Sian-su mengangguk dan menarik napas dalam. "Manusia bertobat setelah menerima hukumannya, anak baik. Demi kebajikan dan kebenaran kupulihkan dia, asal tak melanggar janji dan menepati omongannya sendiri."

"Aku berjanji, aku merestui anak-anak" We We Moli berseru. "Aku menyerah kalah, Sian-su, Aku bertobat!"

"Hm, pulihlah," kakek itu mengebut. "Akupun tak akan mengganggumu kalau kau tak mengganggu anak-anak ini, Moli, maaf dan selamat tinggal!"

Nenek itu mengembang cepat. Begitu Sian-su mengebutkan lengan bajunya maka bagai ditiup saja menggelembunglah tubuhnya, sekejap kemudian nenek inipun sudah seperti semula dan besar tubuhnya seperti orang-orang biasa lagi. Bukan main girangnya nenek itu. Akan tetapi ketika Bu-beng Sian-su lenyap dan kakek itu tak ada lagi maka Beng An tertegun dan sia-sia berseru,

"Sian-su...!"

Puteri Es menoleh. Gadis itu melihat Beng An terpaku bingung dan bergerak menyambar lengannya. Restu sang sesepuh telah didapat. Dan ketika We We Moli meredup melihat kemesraan itu, mengangguk dan berkelebat lenyap maka ia berkata kepada Thio Leng dan Sui Keng bahwa sang Puteri boleh melangsungkan pernikahan di Lembah Es.

"Aku tak dapat datang, restuku saja dari sini. Kembali dan pulanglah ke tempat kalian dan jangan cari lagi aku di sini!"

Dua gadis itu mengangguk. Memang We We Moli sedang menerima hukuman Kim Kong Sengjin dan sesepuh itu harus menghabiskan sisa hidupnya di Himalaya. Maka lega restu telah didapat segera dua orang itu menghampiri Puteri. Gadis ini memegang lengan Beng An erat-erat, gemetar dan mesra.

"Aku... kita, urusan telah selesai, Beng An. Mari pulang dan tinggalkan tempat ini."

Akan tetapi pemuda itu tiba-tiba membalik. Sinar matanya yang mencorong tajam mengejutkan Puteri Es, sepasang mata Beng An merah membakar. Lalu ketika gadis ini tersentak dan mundur Beng An mengibaskan lengannya menarik diri. "Jangan sentuh aku, lepaskan. Kalian orang-orang Lembah Es sungguh keji dan tidak berperikemanusiaan. Restu boleh saja telah didapat, Wei Ling, akan tetapi lihat kakakku di sana. Aku tak butuh restu nenek iblis itu dan kalian pergilah. Hari ini tak ada hubungan apa-apa lagi di antara kita!"

"Beng An!"

"Kim-kongcu....!"

Beng An tak memperdulikan itu. la telah bergerak dan sekali sambar memanggul kakaknya yang entah pingsan atau tewas. Thai Liong, kakaknya telah berkorban segala-galanya untuknya. Kakaknya itu telah menyerahkan Sin-tiauw-kang kepada si nenek iblis We We Moli. Dan karena tak mungkin ia merengkuh kebahagiaan di atas derita kakaknya, itulah yang menjadi dasar kemarahan Beng An maka pemuda ini berkelebat dan telah meninggalkan gunung.

"Beng An!"

Pemuda itu tak menoleh. Ia tak menggubris seruan Puteri Es dan semakin mempercepat langkahnya. Bagai seekor harimau muda ia meloncat di antara tebing-tebing tinggi, melewati jurang-jurang dalam dan ia tak menggubris pula seruan atau pekik Thio Leng. Betapa Puteri Es tiba-tiba roboh dan pingsan! Tapi ketika sesosok bayangan berkelebat di depannya dan itulah Siang Le, kakak iparnya maka pemuda ini berhenti.

"Beng An, berhenti dan tunggu. Kau menyia-nyiakan pengorbanan kami!"

"Hm, apa maksudmu. Kalau kau hendak menyuruh aku menikah dengan gadis itu di atas penderitaan dan pengorbanan kakakku maka tegas kujawab tak bisa, Le-ko. Minggir dan biarkan aku lewat atau mari sama-sama pulang!"

"Tidak, tunggu. Gadis, itu pingsan!"

"Aku tak perduli, minggir dan mari pulang atau aku mendahului!" namun sebelum Beng An mendorong kakaknya ini maka muncullah Hwa Seng, tersedu-sedu, langsung menjatuhkan diri berlutut.

"Kim-kongcu... Puteri... ah, ampunkan hamba. Tunggu dan jangan tinggalkan dia, kongcu. Penderitaannya sudah berat!"

"Bagus, kau mengingatkan sesuatu. Sekarang kita di persimpangan jałan, Hwa Seng, semua sudah berubah. Kau tetap ikut aku atau Puteri Es!"

"Hamba. hamba, ah... hamba ingin ikut kalian berdua, kongcu. Bukankah kebahagiaan sudah di ambang mata. Jangan tinggalkan Puteri dan biarkan hamba bersamamu!"

"Jangan bicara yang tidak-tidak. Lihat apa yang terjadi pada kakakku Thai Liong dan Siang Le ini, Hwa Seng. Mungkínkah aku berbahagia di atas penderitaan orang lain. Aku tak dapat menerima puterimu karena Lembah Es telah meninggalkan luka cukup dalam di hatiku!"

"Akan tetapi aku rela berkorban!" si buntung berseru membelalakkan matanya mencengkeram lengan pemuda ini. "Penderitaanku dan penderitaan Thai Liong bakal sia-sia kalau kau menolaknya, Beng An. Terimalah gadis itu dan Hwa Seng benar."

"Kalau begitu kau saja yang menerima. Aku tetap menolak dan tak bergeming dari pendirianku.. plak-plak!"

Siang Le tiba-tiba menampar adiknya itu dan Beng An terhuyung, terkejut mengerutkan kening dan berdirilah si buntung itu dengan mata berapi-api, tangan berkacak pinggang. Lalu ketika si buntung ini menuding dan telunjuk itu hampir menyentuh ujung hidung Beng An maka pemuda itu berdesir bukan oleh telunjuk atau kata-kata kakaknya melainkan oleh ibu jari yang tanggal.

"Kau bocah omong sembarangan saja. Aku laki-laki sudah berkelurga, Beng An, anakku tiga. Mana mungkin menerima orang lain sebagai isteriku. Kalau kau tak menuruti nasihat kakakmu maka penyesalan dan penderitaanku justeru semakin berlipat ganda. Kau tak layak membenci Puteri Es karena semua bencana ini datangnya dari We We Moli. Nah, matamu buta atau melek, otakmu jernih atau keruh. Sekarang lihat semunya ini dengan pikiran terang dan kembalilah ke sana. Ambil kekasihnu dan pengorbanan kami bakal tak sia-sia. Atau.. atau aku memusuhimu dan membela gadis itu habis-habisan!"

"Benar," Sui Keng tiba-tiba berkelebat dan tersedu-sedu. "Puteri kejang-kejang, kongcu. Kesalahan bukan di atas pundak kami melainkan supek-bo. Tolonglah perhatikan dia dan bantu kami. Menyadarkan Puteri!"

Akan tetapi Beng An tak bergeming. Benar-benar keras dan memegang teguh prinsip pemuda ini menggeleng. Beng An masih tersayat oleh bu jari kakak iparnya ini, juga kakaknya yang pucat dan seakan tak bergerak di atas bahunya. Dan ketika ia tertawa dingin dan meloncat mundur, justeru tiba-tiba mencabut Pek-swat-kiam dari belakang punggung ia sudah menghadapi gadis Lembah Es itu dengan kata-kata tegas.

"Sui Keng, aku tak dapat membiarkan diriku bersenang-senang di atas penderitaan kakakku. Lihat kakakku Thai Liong inl, entah hidup atau mati. Karena semua ini perbuatan Lembah Es maka aku tak dapat menerimanya dan terimalah Pek-swat-kiam untuk kau kembalikan kepada puterimu. Sekarang jangan ganggu aku dan persetan dengan orang lain!"

"Beng An!"

"Kim-kongcu...!"

Pemuda itu melesat dan mendorong minggir orang-orang itu. Pedang Salju ditimpukkan dan menancap di depan kaki Sui Keng sementara Beng An telah berkelebat dan meluncur turun gunung. la benar-benar tak menghiraukan bentakan atau seruan kakak iparnya. Dan ketika Beng An terus meluncur sementara Siang Le begitu geram dan marah menyambar Pek-swat-kiam, menimpukkannya di punggung Beng An maka Hwa Seng menjerit akan tetapi dengan mudah pemuda itu menepis runtuh.

"Kau... kau anak muda keparat. Ah, sia-sia semua perjuangan dan pengorbanan kami, Beng An. Terkutuk kau di neraka sana!"

Beng An tak mendengar dan sudah lenyap di bawah. Diam-diam pemuda ini menggigit bibir mengepal tinju. Tak ada yang tahu betapa dengan mati-matian bekas Thian-te It-hiap yang menggegerkan dunia kang-ouw ini menahan runtuhnya dua titik air mata. Dan ketika ia terbang meninggalkan tempat itu memanggul kakaknya, Rajawali Merah luka berat.

Maka Beng An meninggalkan Himalaya dengan segala kegaduhan dan kekacauannya. Entah ke mana pemuda itu pergi namun yang jelas menuju ke timur. Di persimpangan jalan ia membelok dan meluncur ke selatan. Dan ketika pemuda itu meninggalkan semuanya yang ada di puncak, menyeringailah seorang pemuda dari balik batu besar maka San Tek, si gila itu terkekeh-kekeh, berkelebat menyusul.

"Heh-heh, suteku Beng An patah hati. Hah, salah sendiri, bocah goblok. Lebih baik seperti aku yang bebas dan merdeka ini. Ke mana kau pergi dan biar kuikuti, siapa tahu ada sebuah keberuntungan. Ih, Bu-beng Sian-su itu seperti siluman saja. Kakek iblis!" lalu ketika pemuda ini mengejar dan menyusul Beng An, tentu saja secara diam-diam dan tersembunyi maka dipuncak, dua laki-laki termangu sementara tiga wanita menangis tersedu menolong Puteri Es.

Gadis ini shock berat. Puteri Es tak sadar selama dua jam dan keiika ia siuman maka sepasang matanya kosong melompong. Wajahnya pucat sementara tubuhnya dingin. Tak ada gairah atau tanda-tanda kehidupan di situ, gadis ini tiada ubahnya mayat hidup. Dan ketika ia dipanggil-panggll namun diam saja, mematung dan diam seribu bahasa maka Hwa Seng menjerit menubruk kaki junjungannya ini.

"Puteri...!"

Gadis itu juga tak bergeming. Puteri Es benar-benar seperti arca hidup dan ia kosong memandang segala-galanya. Bibirnya terkatup rapat sementara kakinya gontai. Kalau saja Sui Keng maupun Thio Leng tak menahan di belakang tentu gadis ini roboh. Dan ketika benar saja gadis itu tak kuat berjalan, menjeritlah Hwa Seng maka Siang Le, si buntung itu basah kedua matanya.

"Kita pulang saja sekarang, bawa ke gak-hu (ayah mertua) yang di utara. Biar dia yang menolong."

"Tidak," Thio Leng tiba-tiba ketus menjawab. "Tak perlu ke mana-nana selain ke tempat kami sendiri, Siang-kongcu. Terima kasih banyak atas semua usahamu namun kami akan menolong puteri kami sendiri.'

"Tapi ia calon menantu Kim-mou-eng!"

"Kami tak akan merengek-rengek mendapatkan cinta dan kau pergilah, Puteri Es urusan kami!"

Siang Le tertegun. la dapat menerima kemarahan gadis ini akan tetapi Sui Keng menyentuh lengan sucinya. Dengan kata-kata lebih halus ia meminta si buntung itu pulang saja, Puteri Es urusan mereka. Dan ketika apa boleh pemuda Ini mengangkat bahu, ia jadi serba salah maka Siang Le memutar tubuh dan bertemu dengan pemuda gagah di sebelahnya.

"Kau...." dia terkejut dan heran. "Ada apa masih di sini, Tan Bong. Bukankah sebaiknya kau kembali ke Pulau Api!"

"Aku menunggu Hoa Siu," pemuda itu menunduk sedikit memerah. "Aku meninggalkan tempat ini kalau dia menyuruh, Siang-siauwhiap. Pergilah dan selamat jalan."

"Hm!" si buntung mengangguk-angguk, terharu. "Mudah-mudahan nasibmu tak seburuk adikku, Tan Bong. Cinta adalah segala-galanya. Selamat tinggal, dolanlah ke Sam-liong-to kalau kau mau."

Pemuda itu mengangguk. Dia ternyata adalah Tan Bong putera Tan-pangcu itu, tak membersitkan dendam atau sakit hati atas tewasnya sang ayah, bahkan juga paman dan dedengkotnya, orang-orang yang seharusnya dekat dengan đia. Dan ketika Siang Le menuruni jalanan berbatu dan meninggalkan tempat itu, Hwa Seng menengok dan sadar tiba- tiba gadis ini meloncat menubruk pemuda Pulau Api itu.

"Kaupun sebaiknya pergi. Aku tak mau menikah kalau Puteri belum menemukan kebahagiaannya, Tan Bong. Apa gunanya hidup senang kalau junjunganku menderita. Ikutlah Siang-kongcu itu!"

"Kau... kau tak berarti menjauhi aku, bukan?"

"Tidak, aku menerima cintamu. Tapi keadaan tak memungkinkan sekarang, Tan Bong, pergilah dan susul Siang-kongcu."

"Baiklah, dan kapan-kapan aku menemuimu di luar Lembah Es, Hoa Siu. Aku... aku cinta padamu!"

Dua orang itu saling sambar. Entah siapa lebih dulu namun dua bibir tiba-tiba saling bertaut, Sui Keng dan Thio Leng melengos melihat adegan itu. Mereka yang lagi kasmaran kiranya tak malu-malu lagi, sungguh membuat diri sendiri jengah. Namun ketika isak dan tangis Hwa Seng ditutup kecup lembut di tengah kening, kiranyá mereka telah saling menerima dan memberi dalam cinta maka gadis itu melepaskan diri sementara si pemuda gemetar dan merasa berat melepaskan kekasihnya.

"Baikiah, aku... aku menunggumu, Hoa Siu. Mintalah ijin kepada pimpinanmu agar perjodohan kita terlaksana."

"Urusan itu dibicarakan belakangan Tan Bong, tunggulah sekitar enam bulan. Sekarang pergilah dan.... dan jaga dirimu baik-baik. Aku Hwa Seng, bukan Hoa Siu!"

"Bagiku kau adalah cucu Thian-te It hiap. Aku lebih senang memanggilmu begitu, Siu-moi, dan... selamat tinggal."

Pemuda ini tersenyum, mengangguk dan akhirnya menjura kepada Thio Leng dan Sui Keng dan dua gadis Lembah Es itu kikuk juga menerima salam ini. Betapapun tak mudah merobah musuh menjadi kawan. Akan tetapi ketika mereka mengangguk kaku dan pemuda Pulau Api itu turun gunung maka Siang Le tertegun menemukan sesuatu. Secarik kertas berlipat. Sementara di belakangnya terdengarlah seruan pemuda Pulau Api itu memanggilnya.

"Siang-siauwhiap....!"

Si buntung ini cepat menyambar dan menyimpan surat itu. Untunglah ia tidak berjalan terlalu cepat hingga dapat disusul, Tan Bong meloncat dan telah berada di belakangnya. Dan ketika ia tertegun kenapa pemuda itu berada di situ, tidak bersama Hwa Seng maka buru-buru pemuda ini menerangkan.

"Hoa Siu tak ingin diganggu melihat Puteri Es sakit. Aku dimintanya pergi, siauw-hiap, menyusulmu di sini. Tampaknya kau menemukan sesuatu."

"Hmh, sebaiknya hilangkan dulu sebutan siauw-hiap itu. Kikuk dan canggung bagiku, Tan Bong, jelek-jelek kepandaianmu tak di bawah kepandaianku. Sebut saja twako (kakak). Kau selalu menyebut gadis itu Hoa Siu padahal ia Hwa Seng, bagaimana ini"

"Bagiku ia Hoa Siu, cucu Thian-te It-hiap. Aku lebih senang menyebutnya begitu daripada nama laln." pemuda ini tersenyum.

"Baiklah, aku mengerti," Siang Le mengangguk. "Pulau Api dan Lembah Es adalah musuh bebuyutan, Tan Bong, mengingat gadis itu sebagai murid Lembah Es mungkin itu tak enak bagimu. Tapi menganggap cucu Thian-te It-hiap berarti kau calon menantu adikku Beng An, berarti harus menyebutku kakek!"

"Sudahlah, harap Siang-twako tidak main-main lagi. Aku melihatmu mendapatkan sesuatu dan apakah itu. Atau, maaf aku tak akan mendesak kalau itu rahasia.”

"Hm, aku menemukan surat adikku Beng An. Secara kebetulan saja surat itu jatuh. lsinya, hmm..., aku belum tahu. Tapi omong-omong kau sendiri hendak kemanakah, apakah pulang ke Pulau Api."

Wajah pemuda ini sedih, muram. "Rasanya tak mau aku ke sana, twako, untuk apa. Aku ingin jalan-jalan saja atau..." pemuda itu berhenti sejenak, menyambung lagi, "bolehkah kiranya bertamu di tempatmu Sam-liong-to."

"Hmh, kenapa tidak. Tapi aku hendak ke utara dulu, Tan Bong, menemui ayah mertuaku. Aku harus melaporkan ini kepadanya. dan Kalau boleh aku ikut...!"

"Ya tentu, aku tak keberatan. Malah kita bisa sama-sama mengisi sepi dan berjalan berdua. Mari!" lalu ketika si buntung tak keberatan dan mengajak temannya itu. Tan Bong gembira dan mengikuti Siang Le akhirnya dua orang muda ini benar benar meninggalkan Himalaya menuju utara. Dan begitu dua pemuda itu lenyap di bawah gunung maka Thio leng dan Sui Keng juga berkelebat menuju Lembah Es, membawa serta majikan mereka dan Hwa Seng.

* * * * * * * *

Pendekar Rambut Emas menarik napas dalam-dalam menerima datangnya dua pemuda. Tentu saja mula-mula ia terkejut melihat adanya pemuda Pulau Api itu. Tapi ketika Siang Le menceritakan panjang lebar betapa tokoh-tokoh Pulau Api tewas, pertandingan besar di puncak Himalaya itu berakhir dengan hal-hal yang amat tragis maka dia menjamin tentang pemuda sahabatnya ini.

"Tan Bong bukan seperti pemuda-pemuda lain. Sebenarnya sudah lama ia tak menyetujui sepak terjang ayahnya, gak-Hu, juga tokoh-tokoh lain termasuk paman-paman gurunya. Akan tetapi ia tak berdaya, dan baru setelah ia bebas merdeka maka ia bisa melepaskan belenggu itu setelah dinmulai dengan jatuh cintanya terhadap cucu Thian-te It-hiap!"

"Hm, aku telah mendengar itu, sebagian. Hanya tak kusangka kalau ia ikut bersamamu, Siang Le, tempat ini mungkin sempit baginya, dan aku tak dapat melakukan penyambutan yang pantas. Tentang peristiwa besar itu, hmm... aku telah mendengernya dari Beng An."

"Apa? si buntung terkejut. "Dia datang ke Sini, gak-hu? Membawa Thai Liong?"

"Benar, akan tetapi ia pergi lagi. Aku menunggumu dan sesungguhnya ingi mengajakmu ke Sam-liong-to."

"Astaga, kalau begitu tak perlu aku bercerita lagi. Gak-hu sudah tahu!"

"Barangkali belum semuanya, terutuma tentang Puteri Es. Coba kau ceritakan lagi dan mungkin ada yang perlu kuketahui. Dan pemuda ini... maaf, tempat ini seadanya, anak muda. Gubukku miskin dan kosong."

"Ah, harap Kim-taihiap tak merendah. Dibanding Pulau Api justeru tempat ini lebih hijau dan subur, aku merasa senang. Tapi kalau boleh aku permisi dulu melihat-lihat keadaan. Silakan ji-wi (kalian berdua) bicara."

Tan Bong ternyata tahu diri dan tak enak menemani pertemuan pendekar itu dengan menantunya, bangkit dan mohon ijin dan Pendekar Rambut Emas menarik napas. Teryata pemuda Pulau Api ini lain dari yang lain, tahu sopan-santun dan dapat membawa diri pula. Maka ketika ia semakin percaya bahwa pemuda itu bukan seorang tokoh sesat, benar-denar pemuda baik dan tidak seperti lazimnya keturunan orang jahat maka pendekar ini mengangguk sementara Slang Le tersenyum, melirik pula.

"Baiklah, terima kasih. Tapi jangan kemana-mana, Tan Bong. Sebentar kami tentu selesai."

Pemuda itu mengangguk dan keluar. Diam-diam hati Tan Bong terpukul dan terharu. Betapa tidak, Kim-hujin, isteri Pendekar Rambut Emas adalah orang yang tewas di tangan tokoh-tokoh Pulau Api. Mendatangi dan bertemu dengan pendekar ini saja rasanya sudah merupakan beban, ia khawatir dimusuhi dan tak dikehendaki kehadirannya. 

Akan tetapi karena Siang Le berkali-kali meyakinkan bahwa gak-hunya bukanlah orang seperti itu, tak pernah dendam dan semata membela kebenaran maka ia lega dan semakin percaya lagi ketika berhadapan dan bicara dengan pendekar itu, seorang pria yang masih gagah dengan tubuh sedikit kurus akan tetapi wajahnya masih bercahaya dan menunjukkan wajah seorang bijaksana.

"Hm, alangkah sesatnya ayah dan para susiok," pemuda itu bergummam. "Sungguh mataku semakin terbuka lebar lagi melihat orang-orang macam Pendekar Rambut Emas itu dan para keluarganya. Dan aku, ah.... Pulau Api hanya menjadi gudang orang-orang terkutuk!"

Tan Bong melamun dan meneruskan langkahnya sampai akhirnya Ia jauh meninggalkan rumah kecil itu. Siang Le dan Kim-mou-eng tentu saja tak mendengar gumam ini karena mereka sendiri terlibat pembicaraan serius. Dan ketika di rumah itu Siang Le diminta gak-hunya untuk menceritakan semua yang terjadi maka berkali-kali Pendekar Rambut Emas mengeluarkan desah panjang dan akhirnya mengangguk-angguk setelah menantunya itu menutup tentang penderitaan Puteri Es.

"Kami berdua gagal. Beng An terlampau keras hati menurutkan adatnya sendiri, gak-hu, terus terang aku menyesal. Puteri Es seperti arca hidup dan dibawa kembali oleh dua sumoinya dalam keadaaan kosong. Maksudku ia tak memiliki tanda-tanda kehidupan biarpun kedua matanya melek. Menyedihkan!"

"Hm, dan We We Moli... nenek itu telah mendapatkan Sin-tiauw-kang dari tubuh Thai Liong?"

"Benar, gak-hu, tapi betapapun akhirnya nenek itu memberikan restu. Beng An itu macam-macam dan membuat orang lain gemas saja!"

"Hm...!" pendekar ini tiba-tiba memandang tajam. "Ke mana ibu jarimu, Siang Le. Apa jawabmu kalau isterimu tahu ini?"

Dan pemuda itu gugup, tak menyangka dan kaget sejenak. "Aku eh... hilang di jalan, gak-hu, disambar golok penjahat!"

"Hm... tak perlu menodai kejujuranmu dengan cerita bohong. Beng An telah menceritakannya kepadaku, Siang Le, dan kau benar-benar luar biasa. Kau sedia mengorbankan segalanya untuk orang lain."

"Maaf," pemuda ini menunduk. "Kalau kau tahu harap jangan diberitahukan Eng Moi gak-hu. Betapapun urusan ini kecil dan tak usah dibesar-besarkan."

Kim-mou-eng menarik napas kagum. Sesungguhnya ia telah ditemui Beng An dan puteranya itu bercerita tentang kakak iparnya ini. Beng An menyatakan pula ketidaksediaannya berjodoh dengan Puteri Es, bukan karena tak cinta melainkan semata tak dapat membahagiakan diri sendiri di atas penderitaan orang-orang lain. 

Thai Liong dan Siang Le telah berkorban, si buntung itu menyerahkan pula ibu jarinya sebagai mas kawin. Dan karena puteranya itu tak mau berlama-lama membawa kakaknya yang luka, di sinilah Pendekar Rambut Emas tertegun maka ia tak dapat mencegah puteranya ketika pergi lagi.

"Aku tak habis pikir kepada Sian-su. Tahu bahwa Liong-ko terluka enak saja ia pergi, ayah. Aku akan ke Lembah Malaikat dan memprotes sikapnya. Liong-ko harus sembuh!"

Hanya itu saja kata-kata puteranya. Beng An berkelebat dan membawa kesedihan dan mencegah pemuda itu hanya akan sia-sia saja. Diam-diam Pendekar Rambut Emas terkejut melihat kilatan sinar mata mencorong pada puteranya itu, tertegun dan terharu akan rambutnya yang memutih dan betapa putranya mengalami penderitaan hebat. 

Tekanan batin itu jelas sekali terlihat. Namun karena puteranya hendak menuju Lembah Malaikat dan itulah tempat tinggal si kakek dewa yang sakti maka ia membiarkan saja puteranya pergi karena yakin bahwa memang hanya kakek itulah yang bisa menolong. Dan kini menantunya datang, menceritakan semua itu sampai habis.

"Hmm...?" Pendekar Rambut Emas mengangguk-angguk. "Hidup selalu penuh kekerasan dan kegetiran, Siang Le, akan tetapi di balik semua itu sikapmu masih saja seperti dulu, mendahulukan kepentingan orang lain dan menínggalkan kepentingan diri sendiri!"

"Hm, gak-hu bicara apa. Pengorbananku bukan untuk orang lain, gak-hu, untuk Beng An adikku sendiri. Itu tak ada artinya."

"Baik, kau selalu merendah. Sekarang apa yang kau pikir dan akan kau lakukan?"

"Gak-hu menceritakan tentang Beng An, apa katanya dan ke mana pula ia pergi?"

"la ke Lembah Malaikat, melepas penasarannya kepada Sian-su."

"Penasarannya?"

"Ya. Ia penasaran kenapa Sian-su meninggalkan kakaknya, Siang Le, kenapa begitu saja pergi. Bukankah seharusnya ditolong!"

"Benar, aneh sekali!" pemuda itu menepuk dahinya. "Aku jadi penasaran juga, lalu, kenapa kakek dewa itu membiarkan Thai Liong!"

"Aku tak tahu, tapi mungkin ada maksudnya. Hanya setelah Beng An pergi maka Sian-su menemuiku."

"Ah, apa yang ia katakan!"

"Menyuruhku menunggumu, Siang Le, lalu ke Sam-liong-to."

Si buntung tertegun. Siang Le terheran-heran dan membelalakkan matanya akan tetapi tiba-tiba ia teringat surat itu. Surat Beng An yang jatuh. Maka ketika Ia bergegas dan mengeluarkan surat itu segera Sang gak-hu tertegun karena mengenal itulah surat isterinya untuk Beng An.

"He, itu surat untuk Beng An!"

"Benar, kudapatkan ketika jatuh. An-te rupanya tak tahu kalau suratnya jatuh gak-hu, dan sekarang justeru ingin kubicarakan denganmu. Tahukah gak-hu apa isinya!"

Pendekar Rambut Emas menggeleng. Tentu saja ia tertegun dan merasa berdebar dan balik bertanya apakah pemuda itu tahu. Akan tetapi ketika Siang Le menggeleng dan menjawab tidak maka ayah dan menantu sama-sama menjadi kagum. Kagum bahwa surat untuk orang lain tak pernah dibaca tanpa seijin empunya, biarpun itu anak sendiri.

"Maaf aku juga tak tahu. Aku hanya membaca sampulnya, gak-hu, dan tak berani membukanya. Aku khawatir jangan-jangan ada rahasia yang tak boleh diketahui orang lain. Kukira gak-hu sudah tahu, bukankah surat ini gak-hu pula yang memberikannya!"

"Benar, akan tetapi aku juga tak membacanya, Siang Le, aku merasa tak berhak. Bukankah itu wasiat ibunya untuk Beng An!"

"Hm, kalau begitu sama. Kalau begitu biarlah kuserahkan gak-hu kembali dan terserah mau diapakan. Áku tak berani membukanya karena akupun juga tak berhak!"

Kim-mou-eng mengangguk-angguk. Surat bersampul biru itu, yang bertuliskan tangan isterinya membuat ia berdebar. merasakan firasat menegangkan. Ada sesuatu yang membuat ia gemetar. Akan tetapi ketika ia cepat menindih perasaan itu dan menerima kembali surat itu, menarik napas dalam-dalam maka pendekar ini berkata sebaiknya diputuskan di Sam-liong-to saja.

"Aku merasa kunci persoalannya di surat ini. Biarlah kita buka di Sam-liong-to Saja setelah Beng An kembali. pasti ke sana."

"Baiklah, aku juga heran. Aku maju mundur ingin mengetahui isi surat itu, gak-hu, tapi menghormati hak orang lain, aku menahan keinginanku. Sekarang telah gak-hu terima kembali, aku bebas dari perasaan ingin tahu!"

"Dan sebaiknya cepat saja kita ke Sam-liong-to. Panggil anak muda itu, Siang Le, kita ajak kalau mau."

Siang Le mengangguk. ia berkelebat dan tak lama kemudian sudah membawa Tan Bong kembali. Wajah pemuda itu berseri-seri. Dan ketika Tan Bong membungkuk hormat apakah dirinya tak mengganggu keluarga itu, sebuah kehormatan baginya diajak ke Sam-liong-to maka Pendekar Rambut Emas menghela napas tersenyum berkata,

"Kau sahabat Siang Le, berarti sahabat keluarga ini pula. Kalau kau tak keberatan bersiap-siaplah, anak muda. Sekarang juga kita berangkat."

"Siauw-te (aku yang muda) sudah siap, terima kasih atas perkenan Kim-taihiap. Tapi kalau sekiranya di sana aku mengganggu harap taihiap ijinkan siauw-te pergi."

"Ah-ah, bicara apa ini. Kau tamuku, Tan Bong, sahabatku. Tak ada yang merasa terganggu dan akan kujelaskan kepada mereka siapa kau sebenarnya!"

"Terima kasih, Siang-twako membuat repot!" lalu tetika kim-mou-eng berkelebat ke dalam mengambil pakaian, keluar dan sudah merapatkan surat Beng An di baju dalamnya maka hari itu juga rombongan ini pergi.

Pendekar Rambut Emas mengajak dua anak muda ini melalui jalan memutar. Ia tak ingin bangsa Tar-tar mengetahui kepergiannya, berpesan kepada seorang pembantu dan selanjutnya cukup. Lalu ketika tiga orang itu berkelebat dan memasuki padang ilalang, bergerak dan meluncur diantara rumput-Tumput setinggi manusia maka tak lama kemudian Pendekar Rambut Emas tiba di Tembok Besar.

Di sini pendekar ini menggerakkan kakinya dengan ringan dan Tan Bong kagum. Bagai seekor burung besar saja pendekar itu hinggap dan meluncur ke bawah. Lalu ketika ia mengerahkan ginkangnya dan berkelebetan di antara pohon-pohon lebat, masuk keluar hutan maka pemuda Pulau Api ini harus mengakui bahwa ia harus mengerahkan segenap kepandaiannya untuk mengejar atau menyamai pendekar itu. Biarpun hampir enam puluh tahun akan tetapi Pendekar Rambut Emas masih gagah dan gesit.

"Gak-hu, jangan cepat-cepat. Kakiku habis terbeset!"

Pendekar Rambut Emas melirik menantunya ini. la tersenyum melihat Siang Le mengerdip ke kiri dan pemuda Pulau Api itu tampak bermandi keringat. Maklumlah Pendekar Rambut Emas bahwa menantunya berpura-pura saja, ia minta sedikit perlahan karena putera mendiang Tan-pangcu itu terengah kencang. Dan ketika ia memperlambat larinya dan Siang Le tertawa, mengusap keringatnya maka si buntung ini memberi muka temannya.

"Aku tak mungkin menandingimu habis napasku nanti. Biarlah sedikit perlahan asal selamat di tujuan."

"Benar!" Tan Bong merasa lega. "lo-enghiong benar-benar hebat sekali, twako. Seharian berlari cepat rasanya napaskupun habis. Ah, kita tak mampu menandinginya."

"Hm, aku terbawa keterburuanku. Maafkan, anak-anak, aku lupa bahwa kalian baru datang. Baru datang sudah kuajak pergi lagi, An, kalian tentu capai sementara aku masih segar."

"Tak apa, asal gak-hu perlahan kami dapat mengikuti. Ayolah, kami tak perlu malu-malu mengakui keunggulanmu!"

Kim-mou-eng tertawa. Dengan cerdik menantunya ini tak melukai hati Tan Bong, maklum dalam hal kepandaian gin-kang pemuda Pulau Api itu masih kalah. Mereka keluarga Kim-mou-eng memiliki Cui-sian Gin-kang dan Jing-sian-eng (Bayangan Seribu Dewa), ilmu-ilmu meringankan tubuh yang menjadi andalan sementara pemuda itu biarpun putera ketua Pulau Api akan tetapi hanya merupakan tokoh nomor tiga di antara para pemudanya. Pertama dan kedua adalah Yang Tek dan Siauw Lok itu, yang tewas dan telah mendahului tokoh-tokoh Pulau Api.

Maka ketika Pendekar Rambut Emas memperlambat larinya dan perjalanan dilakukan agak santai namun serius maka tak lama kemudian mereka sudah berada di tepi laut Tung-hai, berhenti dan di sinl mencari perahu dan untunglah si buntung itu mengenal beberapa di antaranya, dihampiri dan satu di antara pemilik perahu sudah disewa si buntung ini. Dan ketika Siang Le melompat ke dalam perahunya diikuti Pendekar Rambut Emas dan pemuda Pulau Api itu maka berlayarlah perahu kepulau Sam-liong-to.

Tan Bong agak berdebar. Kembali untuk kedua kalinya ia merasa tegang. Entah bagaimana nanti sikap keluarga yang lain menyambutnya. Bagaimana dengan puteri Pendekar Rambut Emas ini, juga bagaimana dengan isteri Rajawali Merah Thai Liong. Siang Le telah menceritakan kepadanya bahwa semua orang-orang itu ada di sana. Soat Eng maupun anak-anak menunggu di sana. Namun ketika ia melihat betapa si buntung itu maupun Pendekar Rambut Emas tenang-tenang saja, iapun menenangkan hatinya maka perahu terus meluncur dan membuang kesepiannya pemuda ini ikut mendayung.

* * * * * * * *

Tidak salah yang dirasakan Tan Bong. Kim Soat Eng, puteri Pendekar Rambut Emas itu berseru perlahan melihat dirinya meloncat ke daratan. Tiga anak-anak lelaki dan perempuan bersorak melihat Kim-mou-eng dan Siang Le turun dari perahu, kedatangan mereka sudah dilihat. Tapi begitu melihat pemuda Pulau Api ini, Siang-hujin berkelebat dan mencabut pedangnya maka wanita itu membentak dan berseru marah.

"Tawanan Pulau Api kiranya, bagus, selamat datang Tan Bong. Apa maksudmu membawanya ke mari, ayah. Apakah ingin kami membunuhnya menebus kematian ibu...srat-singgg" pedang sudah berkelebat di tangan nyonya muda ini.

Siang Le buru-buru melompat dan menahan lengan isterinya itu. Sang gak-hu, Pendekar Rambut Emas tersenyum-senyum dan menggeleng, berkata biarlah wanita itu menyimpan pedangnya dan Soat Eng tentu saja tertegun. Dan ketika ia masih marah dan membelalakkan matanya maka berkelebat bayangan lain dan itulah Shintala.

"Bagus, orang Pulau Api. Sikat dan bunuh saja, Eng-moi. Rupanya gak-hu memberi kesempatan kepada kita!"

"Tenang, tenang sabar. Sabar Shintala, ini bukan musuh melainkan sahabat. Tan Bong datang sebagai kawan bukan lawan. Masukkan pedang kalian dan dengarkan cerita kami."

"Apa, kawan? Mereka orang-orang Pulau Api bukan musuh? Ah, yang benar, ayah. Arwah ibu menjadi penasaran kalau kau bicara seperti itu. Pemuda ini harus dibunuh!"

"Hm, ia tamuku, keselamatannya di tanganku. Simpan pedang dan jangan membuat aku malu, Soat Eng. Semua orang Pulau Api telah tewas kecuali pemuda ini. Dengar kata-kataku dan jangan membawa adat sendiri. Persilakan kami masuk dan masa disambut seperti ini!" kata-kata Pendekar Rambut Emas penuh wibawa dan dua wanita itu meragu dan akhirnya menyimpan pedang.

Anak-anak, yang bersorak memanggil ayah dan kakek mereka ikut terheran-heran. Tan Bong pucat dan gemetar. Akan tetapi ketika pemuda ini menjura dan meminta maaf, baiklah dia pergi kalau mengganggu maka Siang Le menyambar tangannya menenteramkan pemuda ini.

"Aku yang mengajakmu, tak boleh pergi. Mereka salah paham karena belum tahu duduk perkaranya. Marilah ke dalam dan kita masuk."

Tiga anak kecil semakin terheran-heran. Siang Hwa yang menyenggol lengan Bun Tiong berbisik-bisik, disusul Siang Lan yang mengangguk-angguk. Tapi ketika semua ke dalam dan memasuki Istana Hantu, di situlah keluarga ini tinggal maka Kim-mou-eng menyuruh anak-anak itu pergi sebentar. Tan Bong kikuk dan serba salah. Lalu ketika mereka masuk dan muncullah seorang wanita setengah baya, membawa seorang anak laki-laki kecil maka Siang Le melompat dan mencium anak di gendongan wanita ini.

"Ah, selamat bertemu. Bagaimana anakku Hok Gie, ibu, sehat-sehat sajakah. Dan ibu tampak kurus!"

"Aku mengkhawatirkan dirimu. Lama tidak kembali, Siang Le, dan kau serta gak-humu tampak serius. Mana Thai Liong dan adikmu Beng An."

"Ibu harap menemani anak-anak saja. Maafkan kami hendak bicara serius, ibu, masuklah dan syukur semua sehat-sehat."

"Dan selamat datang untuk Kim-tahiap," wanita itu mengangguk pada Kim-mou-eng. "Kusiapkan minuman untuk kalian."

Pendekar itu mengangguk. Inilah Cao Cun yang sendirian itu, hidup bersama keluarga Sam-liong-to dan wanita ini rupanya begitu gembira melihat kedatangan Pendekar Rambut Emas. Senyum dan sinar matanya menunjukkan itu. Namun ketika ia masuk ke dalam dan Siang Le menjadi tuan rumah di situ maka di balik dinding dingin sebuah istana kuno mereka sudah duduk mengitari sebuah meja.

"Harap kalian tidak menyimpan permusuhan lagi kepada pemuda ini," demikian mula-mula si buntung itu mengawali pembicaraan. "Sesuatu yang hebat terjadi di Pulau Api, Eng-moi, dan berakhir di Himalaya."

"Hm, tunggu dulu. Mana suamiku Thai Liong!" Shintala memotong dan langsung bertanya.

"Dan mana pula Beng An te?" Soat Eng tak kalah menyusul.

"Tenanglah, dengarkan kata-kataku dulu. Harap kalian sabar karena sebuah cerita dahsyat terjadi di sini."

"Aku hanya ingin tahu tentang suamiku. Katakan singkat di mana dia!" Shintala masih penasaran dan mendesak lagi.

"Baiklah," Siang Le menarik napas, tanpa sengaja menggoyang tangannya di depan iparnya ini. "Semua baik-baik saja, enci Shintala. Thai Liong dibawa adik kita Beng An."

"Eh!" seruan terkejut diluncurkan Soat Eng. "Ke mana ibu jarimu, le-ko. Kenapa tak ada!"

Siang Le terkejut. la baru sadar setelah sang isteri melihat ia menggoyang-goyang tangannya tadi. Maksudnya agar iparnya tenang namun sebalikny malah. ibu jarinya diketahui hilang, tentu saja ia terkejut dan pucat. Dan ketika sedetik ia tak mampu menjawab dan gelagapan. Wanita ini mencabut pedang tiba-tiba ia telah menyerang Tan Bong karena disangkanya orang-orang Pulau Api itulah yang menjadi gara-garanya.

"Tentu gerombolan pemuda ini yang, membuat kau kehilangan jarimu. Keparat, biar kubunuh pemuda ini, Le-ko. Orang-orang Pulau Api memang selalu menjadi biang penyakit!"

Siang Le terkejut akan tetapi Pendekar Rambut Emas sudah mendahului dan membentak. Untunglah dia duduk di sebelah Tan Bong dan pedang ditangkis terpental, pemuda itu sendiri berubah-ubah dan pucat. Dan ketika Kim-mou-eng bangkit dan menegur puterinya maka Tan Bong merasa bahwa ayah dan anak memang berbeda. Lain Pendekar Rambut Emas lain pula wanita ini!

"Hmn, jangan membuat aku malu sekali lagi. Pemuda ini adalah tamuku, Soat Eng, tamu suamimu pula. Sebelum kau mendengar semuanya harap jangan berbuat macam-macam. Simpan pedangmu dan dengar kata-kataku!"

Bentakan itu penuh wibawa dan amat kuat. Betapapun Soat Eng tak berani melawan ayahnya, maka ketika ia memasukan pedang namun pandang matanya masih penuh kebencilan kepada pemuda Pulau Api ini maka Tan Bong bangkit dan menjura, mukanya merah dan pucat berganti-ganti.

"Kim-taihiap, rasanya kehadiranku hanya mengganggu saja. Biarlah aku pergi dan silakan kalian bicara."

"Hm, baiklah, pendekar itu melihat ada benarnya juga. "Tapi jangan keluar dari sini, Tan Bong, berkelilinglah dan hirup udara segar saja. Betapapun kami yang membawamu ke sini dan kami pula yang akan mengantarmu kełuar."

"Benar!" Siang Le merasa mengganti suasana, sang isteri masih beringas. "Biarlah kau main-main dengan anak-anak di luar, Tan Bong. Mari kupanggil mereka."

Cepat si buntung ini membawa Tan Bong memanggil anak-anaknya. Tentu saja Siang Hwa dan Siang Lan terheran-heran akan tetapi karena sang ayah yang menyuruh mereka maka merekapun patuh saja. Bun Tiong mengawal diam-diam. Dan karena ketiga anak ini bukan anak-anak sembarangan dan Soat Eng tak mengkhawatirkan mereka maka ketika suaminya duduk lagi wanita ini mendengus melepas geram.

"Ceritakan siapa yang menghilangkan jarimu itu. Jangan bohong, akan kubunuh dia. Tentu orang-orang Pulau Api siapa lagi!"

"Hm, jari ini tidak hilang dicelakai orang. Yang menghilangkan adalah aku sendiri, Eng-moi, karena itu tak ada yang bersalah dan jangan marah-marah seperti ini."

"Apa, kau sendiri?"

"Ya, aku sendiri. Dan ceritanya cukup panjang, barangkali ayahmu saja yang bicara, nanti aku menyambung."

Soat Eng terhenyak dan melototkan matanya dengan heran. la melihat suaminya bicara sungguh-sungguh sementara sang ayahpun mengangguk-angguk. Dan ketika ia berseru aneh namun Pendekar Rambut Emas cepat tanggap maka pendekar inilah yang memasuki pembicaraan.

"Ceritanya panjang, amat panjang. Tapi sebelum mendengarkan semuanya berjanjilah bahwa kalian tak boleh marah kepada siapapun, tidak juga kepada orang-orang Lembah Es."

"Hm, mereka adalah sahabat, bukan musuh. Yang jahat adalah orang-orang Pulau Api, ayah, karena itu aku heran kenapa kau membawa pemuda itu ke sini!"

"Cukup, sekarang siapkah kalian mendengar cerita panjang ini, berjanji bahwa tak boleh marah kepada siapapun!"

Soat Eng mengerutkan alisnya, Ia memandang ayahnya. Tapi karena sikap ayahnya tenang-tenang saja dan tak membewa sesuatu yang mengkhawatirkan, lagi pula semua selamat di situ maka ia mengangguk dan berjanji. Akan tetapi Shintala menggeleng.

"Gak-hu, Eng-moi boleh berjanji, tapi aku tidak. Sebelum aku tahu keselamatan suamiku terus terang aku tak dapat memenuhi kehendakmu!"

"Hm, Thai Liong bersama Beng An. Mereka ke Lembah Malaikat, Shintala, Cukupkah keterangan ini."

"Jadi suamiku tak apa-apa?"

Kim-mou-eng mengerutkan kening, repot menjawab. Namun karena ia seorang jujur dan bukan pembohong maka akhirnya ia berkata apa adanya juga. "Suamimu adalah puteraku pula, anak kandungku. Kalau kau bertanya tak apa-apa maka tak benar juga, Shintala. Thai Liong terluka dan terus terang saja dibawa Beng An mencari Sian-su!"

"Aahh!" wanita itu bangkit, tiba-tiba berubah. "Kalau begitu ia... ia berbahaya, gak-hu? Siapa yang melukainya? Jahanam keparat orang-orang Pulau Api?"

"Duduklah, dan tenanglah. Cerita ini panjang dan tak akan habis kalau dipotong-potong!"

Mendadak wanita itu menangis. Tanpa dapat dicegah lagi Shintala mengguguk, melengking dan tiba-tiba melompat keluar, Akan tetapi ketika dengan cepat Kim mou-eng menyambar dan menangkap menantunya ini maka wanita itu meronta dan berteriak-teriak. "Lepaskan... lepaskan aku. Biar kubunuh pemuda Pulau Api itu, gak-hu. Siapa lagi manusia curang itu kalau bukan orang-orang Pulau Api!"

"Hm, duduklah, kau salah Thai Liong terluka oleh We We Moli, Shintala, sesepuh Lembah Es. Kau mau mendengarkan cerita ini atau tidak."

"Apa, We We Moli... nenek siluman itu? Ah, bukankah Thai Liong mengalahkannya, gak-hu, bagaimana bisa terjadi itu. Aku tak percaya!"

"Kau mau mendengarkan atau tidak, yang jelas bukan orang-orang Pulau Api."

Wanita cantik ini tertegun, mengusap air matanya. Tentu saja ia tak menyangka jawaban itu dan tadinya sudah menduga orang Pulau Api. Orang-orang itu terkenal curang dan licik, dan dia teringat Tan Bong di luar. Akan dihajar dan dibunuhnya pemuda itu. Tapi ketika ia terhenyak dan benar-benar heran, juga bingung akhirnya Siang Le memberi tanda isterinya agar Soat Eng membujuk dan membawa encinya itu duduk.

"Ayah rupanya membawa cerita yang panjang. Baiklah kita dengarkan mereka dan mari duduk, cici. Betapapun kita harus siap. Agaknya ada perobahan yang tidak kita duga."

"Benar, dan kalian tenang serta dengarkan baik-baik. Kalau selalu dipotong dan dipenggal seperti ini bagaimana aku bercerita. Yang jelas pemuda di luar itu bukan musuh karena ayahnya dan seluruh pimpinan Pulau Api tewas di tangan tokoh-tokoh Lembah Es. Pek-kwi dibunuh Beng An."

Shintala menggigil dan gemetar. Soat Eng sudah membawanya duduk dan tiba-tiba wanita ini merasakan firasat tak enak. Lalu ketika ia memejamkan mata dan menahan sedu-sedan maka Kim-mou-eng menarik napas dalam melihat kecemasan mantunya itu.

"Bagaimana, siap atau belum. Aku boleh bercerita atau tidak!"

"Sebaiknya ayah bercerita," Soat Eng agaknya lebih tabah. "Kami mendengarkan, ayah, tapi mulailah lebih dulu dengan ibu jari Le-ko itu."

"la membuntunginya untuk dipersembahkan kepada Puteri Es...!"

"Apa?" Soat Eng mencelat, ternyata tak kuasa menahan kaget juga. "Puteri Es? Gadis itu, dia... dia meminta ibu jari Le-ko?"

"Kau duduklah dan tenang. Semua ini untuk adikmu Beng An. Saat suamimu berkorban demi perjodohan itu. Dan Thai Liong, kakakmu... hmm, ia pun tak mau kalah dan rela berkorban pula. Ini untuk adikmu yang luar biasa itu!"

Wanita ini pucat dan merah berganti-ganti mendengar itu. Entah apa yang dirasakannya tapi jelas antara marah dan bingung. Sungguh tak disangkanya bahwa semua ini bersumber dari Lembah Es, bukan Pulau Api. Dan ketika Shintala juga terkejut dan mengangkat mukanya, lupa kepada kesedihan diri sendiri akhirnya Soat Eng menggigil meminta ayahnya menceritakan itu, dari awal sampai akhir. Dan berceritalah Pendekar Rambut Emas sesuai permintaan. Memang kedatangannya inipun untuk tujuan itu, di samping tujuan yang lain.

Dan ketika peristiwa di mulai dari Ce-bu dengan munculnya Thian-te It-hiap sampai berlanjut di Pulau Api dan berakhir di Himalaya maka tak tahanlah nyonya itu mengguguk dan tersedu-sedu, mencengkeram dan memeluk suaminya ini.

Sementara Shintala bengong dengan mata terbelalak. Tapi ketika tiba gilirannya dengan cerita Thai Liong yang bertanding begitu hebatnya dengan We We Moli dan akhirnya memberikan Sin-tiauw-kangnya kepada nenek berpakaian hitam-hitam itu akhirnya wanita ini menjerit histeris dan roboh pingsan....