Putri Es Jilid 37 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Serial Bu-beng Sian-su Karya Batara

"THAI Liong-ko!"

Bergemerataklah dinding ketenangan Istana Hantu. Jerit histeris itu disusul roboh pingsannya wanita ini. Pendekar Rambut Emas menarik napas dalam sementara puterinya sudah menyambar iparnya itu. Kedukaan Soat Eng masih lebih ringan dibanding kedukaan wanita cantik ini, Shintala benar-benar terpukul hebat. Dan ketika cerita itu selesai ditutup dengan robohnya wanita ini maka Siang Le dan Pendekar Rambut Emas berkejap menahan runtuhnya air mata.

Ternyata pukulan yang diterima wanita ini hebat sekali. Ketika sadar Shintala mengguguk dan menangis lagi, menubruk dan pingsan untuk kedua kali, di pelukan Soat Eng. Lalu ketika ia siuman untuk ketiga kalinya maka ia terlongong-longong dan duduk diam seperti patung, bibir berkemak-kemik memanggil Thai Liong.

"Liong-ko... Liong-ko..!"

Siapapun merasa hancur melihat keadaan Wanita ini. Diam-diam Pendekar Rambut Emas menyesal, akhirnya menyerahkan semua itu kepada puterinya dan secara perlahan mereka akan membujuk dan memulihkan keadaan wanita itu. Dan ketika pertemuan itu selesai sementara Bun Tiong muncul tiba-tiba maka anak ini menggigil menemui kakeknya, Pendekar Rambut Emas terkejut.

"Kong-kong, ibu kenapa? Mana ayah?"

Repot pendekar ini menjawab. Akan tetapi menepuk-nepuk pundak cucunya ia berkata juga, "Tak ada apa-apa, tak ada yang serius. Kau anak kecil kenapa tiba-tiba ada disini, Bun Tiong, hayo main-main di luar dan jangan ke mari."

"Aku mendengar ibu menangis, menjerit, dan sekarang ibu seperti patung. Tidak, kau jangan bohong kepadaku, kong-kong, ada apa dengan ibu dan mana ayah. Aku tak mau pergi kalau kau belum memberi penjelasan!"

Pendekar Rambut Emas mengerutkan kening. Bun Tiong adalah anak yang keras hati dan keras kemauan, juga keberaniannya tak perlu diragukan lagi. Anak ini adalah putera Rajawali Merah, kakeknya pun akan dilawan kalau rasanya tidak benar. Dan karena anak ini berhak tahu pula akhirnya pendekar itu menjawab juga, hati-hati, "Baiklah, ibumu menangis karena ayahmu terluka. Tapi pamanmu Beng An membawanya pergi. Nah, cukup dan keluar sana, Bun Tiong, kami orang-orang tua tak mau diganggu."

"Ayah... ayah terluka? Siapa yang melukai?"

"Cukup jangan bertanya banyak-banyak. Selanjutnya adalah urusan orang-orang tua dan kau pergilah!"

"Kalau begitu pasti orang Pulau Api. Baik, kutuntut perhitungan dengan pemuda itu, kong-kong, biar aku atau dia yang mampus!" Bun Tiong tak perduli bentakan kakeknya dan justeru pendapatnya sama dengan pendapat sang ibu. Orang Pulau Apilah yang mencelakai ayahnya. Dan karena di situ ada pemuda Pulau Api itu dan ia melompat serta keluar maka anak ini sudah siap menyerang dan mengadu jiwa dengan Tan Bong!

"Heii. Pendekar Rambut Emas membentak dan berkelebat. "Ke mana kau, Bun Tiong. Tunggu!"

"Aku akan mengadu jiwa dengan jahanam di luar itu. Orang Pulau Api telah melukai ayahku, kong-kong, dan aku harus membalas!"

"Bukan, kau salah. Tunggu dan dengar kata-kataku, Bun Tiong. Yang mencelakai ayahmu adalah We We Moli dan bukan orang Pulau Api. Tahan!" Pendekar Rambut Emas yang sudah menangkap dan mencengkeram cucunya ini tak jadi dilawan dan diberontak ketika Bun Tiong mendengar itu, tadinya siap melepaskan diri dan menendang sang kakek karena betapapun ia tak mau mengalah. Maka ketika anak itu tertegun dan tampak kaget, sang kakek sudah meremas bahunya maka anak ini mengeluh dan jatuh terduduk.

"We We Moli, nenek Lembah Es itu?" ia seakan tak percaya.

"Ya, nenek itu, Bun Tiong. Karena itu jangan serang pemuda itu karena bukan orang Pulau Api yang mencelakai ayahmu melainkan nenek itu."

"Akan tetapi ayah mengalahkannya!"

"itu dulu, sekarang lain. Ayahmu berkorban demi pamanmu Beng An. Sudahlah jangan banyak tanya karena kau anak kecil tak perlu ikut campur!" Kim-mou-eng membebaskan cucunya lagi dan Bun Tiong terhuyung-huyung.

Anak ini terbelalak, mengeluh dan tiba-tiba berteriak keras. Lalu ketika ia melompat dan berlari ke dalam maka Bun Tiong menubruk ibunya, pecahlah tangisnya. "lbu... ibu....!"

Tugas Soat Eng bertambah. Bun Tiong mengguguk dan mengguncang-guncang ibunya dan tiba-tiba Shintala sadar. Wanita yang semula mematung ini mendadak sepasang matanya bergerak hidup. Seruan dan guncangan puteranya itu rupanya menyadarkan dinding batinnya. Dan ketika ia menarik napas dalam dan balas memeluk puteranya, ibu dan anak bercucuran air mata akhirnya wanita Ini bangkit berdiri menuju kamarnya sendiri. Soat Eng membawa encinya ini ke kamar pribadi.

"Aku tak mau diganggu, biarkan kami sendiri. Terima kasih, Eng-moi. Katakan kepada gak-hu bahwa kami tak mau diganggu!"

Soat Eng menangis pula mengantar encinya itu ke kamar belakang. Berkali-kali ia tersedak dan diremas-remas kalau ibu dan anak berdekap-dekapan, Bun Tiong menangis sejadl-jadinya di pelukan ibunya Ini. Tapi ketika pintu kamar ditutup dan Ia kembali ke tempat semula maka di ruangan itu ayahnya dan suaminya sama-sama muram, duduk tak mengeluarkan kata-kata.

"Le-ko... ayah.... Sudahlah, Semua yang terjadi tak mungkin ditarik kembali. Satu-satunya jalan hanyalah menghadapinya dengan tenang!"

"Eng-ji. Betapapun penderitaanmu lebih ringan dibanding Shintala. Biarkan ia di kamarnya tak usah diganggu, aku terpaksa menceritakan kepada Bun Tiong karena ia memaksa."

Wanita itu mengangguk-angguk. Siang Le memeluk isterinya dan Siang Hwa serta Siang Lan muncul. bergegas mereka memberi tahu bahwa pemuda Pulau Api itu pergi, secarik surat disampaikan kepada Pendekar Rambut Emas. Dan ketika pendekar itu tertegun membaca ini maka Kim-mou-eng termangu menahan napas, tiba-tiba teringat surat Beng An.

"la pergi karena tak enak melihat suasana di sini. Ah, semuanya jadi keruh, Siang Le, tapi mau apalagi. Bacalah."

Si buntung menerima dan membaca. Ternyata Tan Bong meninggalkan tempat itu setelah mendengar jeritan Shintala, tahulah dia bahwa pemuda Pulau Api itu tak enak hatinya. Dan ketika ia menghela napas dan mengembalikan itu kepada gak-hunya maka ia bertanya apa yang harus dilakukan.

"Semua semakin tak enak. Tapi kalau kita tidak menceritakan ini tentu lebih tak enak lagi, gak-hu, sekarang apa yang hendak kau kerjakan dan bagaimana dengan Shintala."

"Biarkan dulu, perlahan-lahan kita menghiburnya. Aku sendiri hendak menenangkan pikiranku dengan bersamadhi. Kau temanilah anak isterimu, Siang Le, Sudah saatnya kalian sekeluarga berkumpul. Pergilah dan aku akan ke pantai."

"Gak-hu akan bersamadhi di Ceruk Hitam?"

"Ya, di situ. Kalau ada apa-apa susullah aku!" lalu ketika pendekar ini bangkit dan berkelebat akhirnya Kim-mou-eng meninggalkan ruangan itu, menuju Ceruk Hitam di mana ia dapat menenangkan pikiran dengan samadhi atau siulian. Di ceruk tepi pantai ini desir dan angin lembut akan meninabobokkannya dalam keheningan manunggal, itulah tempat yang baik untuk bersepi diri. Namun ketika malam lewat dan kokok ayam jantan menyambut datangnya pagi ternyata samadhi pendekar ini diganggu datangnya menantu dan anak perempuannya. Siang Le dan Soat Eng sama-sama berkelebat muncul, wajah berubah.

"Ayah, enci Shintala minggat...!"

"Gak-hu, Bun Tiong dibawa ibunya!"

Terbukalah sepasang mata pendekar ini. Kim-mou-eng, yang semalam mulai hanyut dan tenggelam dalam alam samadhi tiba-tiba tersentak di pagi itu. Di belakang dua orang ini muncul Siang Hwa dan Siang Lan menangis tersedu-sedu, dibelakang merek tersuruk jatuh bangun, tampaklah Cao Cun menggendong Hok Gie. Semua menangis dan berseru menyebut ibu dan anak itu. Dan ketika pendekar ini bangkit dan membelalakkan matanya, semalam ada tanda-tanda rahasia yang diterima getar batinnya maka puterinya dan menantunya tersedu-sedu, terutama Soat Eng.

"Mereka... mereka telah pergi. Enci Shintala membawa Bun Tiong. Ah, tentu mereka ke Himalaya, ayah, mencari dan membalas dendam kepada We We Mo li. Apa yang harus kita lakukan dan bolehkah kukejar dia. Kita harus mencegahnya, nenek itu sakti!"

"Tidak, jangan. Belum tentu Shintala mencari nenek itu, Eng-moi, siapa tahu ke Lembah Malaikat menyusul Beng An. Berkali-kali kukatakan jangan pergi dan dengar dulu apa kata ayahmu!"

Siang Le mencekal isterinya erat-erat dan Pendekar Rambut Emas mengangguk-angguk. Apa yang dikata si buntung tepat, bisa jadi Shintala menyusul suaminya ke sana, Lembah Malaikat. Maka ketika ia menarik napas dalam dan menenangkan guncangan batinnya maka sekali lagi pendekar ini menahan sesuatu yang perih, batuk-batuk.

"Suamimu benar, jangan gegabah. Mencari nenek itu adalah perbuatan bunuh diri, Eng-ji, lagi pula tidak tepat. Thai Liong memang terluka tapi belum tewas, Sian-su dapat menyembuhkannya."

"Tapi kalau Beng An gagal...!"

"Hm, berandai-andai hanya mencemaskan diri sendiri. Soat Eng, tapi semalam aku telah mendapatkan isyarat batin. Shintala sudah pergi, percuma dikejar. Marilah kalian temani aku di sini dan harap anak-anak disuruh pulang kembali."

"Ayah... ayah hendak menyuruh kami berpangku tangan?"

"Bukan berpangku tangan, Soat Eng, justeru mengajak kalian mencari hikmah dari semua peristiwa yang terjadi ini. Marilah, temani bersamadhi dan suruh anak-anak pulang. Semalam aku melihat sesuatu dan apakah kalian akan melihat itu pula."

Wanita muda ini tertegun, ragu dan mengerutkan kening tapi Siang Le sudah mengibaskan lengannya kepada anak-anak itu, juga Cao Cun. Lalu ketika si buntung ini minta agar mereka kembali maka Siang Le menangkap getaran seperti apa yang ditangkap ayah-mertuanya itu.

"Kalian dengar, kong-kong minta semuanya pergi. Kembali dan jaga rumah baik-baik, Siang Lan, tunggu kami di sana. Kami hendak menemani kong-kong bersamadhi dan jangan ganggu kami bertiga. Dan ibu, bawa anak-anak pulang dan jangan menangis lagi."

Cao Cun terisak dan mengangguk-angguk. Sebagai anggauta keluarga pendekar ini tentu saja ia mengerti dan maklum apa yang dikehendaki. Siang Hwa dan Siang Lan menghentikan tangisnya ketika disambar nenek mereka itu. Lalu ketika mereka kembali dan meninggalkan tempat itu maka Siang le melompat dan duduk di sebelah gak-hunya, bersila.

"Eng-moi, mari cepat. Ayah minta kita menemani di sini!"

Wanita itu mengangguk dan meloncat pula ke situ. Batu besar yang diduduki Pendekar Rambut Emas kebetulan cukup luas dan enak dipakai, empat orangpun bisa bersila di sini. Dan ketika pendekar itu tersenyum dan mengangguk mengembalikan perasaannya maka dia berkata bahwa sebaiknya semua sama-sama diam.

"Semalam ibu dan kakekmu muncul di sini. Aku tak tahu maksud mereka, Eng-Ji tapi pasti ada sesuatu yang penting. Marilah bersamadhi dan tutup mata kalian!"

"Ibu? Kakek Hu Beng Kui?"

"Ya, mereka. Semula mereka melayang-layang di atas permukaan laut, mendekati tempat ini. Namun ketika tangis dan suara kalian membuyarkan samadhiku maka merekapun menghilang."

"Ah apakah artinya itu, ayah. Apakah...apakah...?"

"Tak usah berandai-andai lagi. Akupun tak tahu maksud mereka, Eng-ji, mari bersila dan tutup mata."

"Tunggu..." Siang Le berseru teringat sesuatu. "Bagaimana dengan surat itu, Gak Hu, surat untuk Beng An. Apakah dibuka dan dilihat bertiga!"

"Surat?" Soat Eng tertegun, alisnya terangkat naik.

"Ya, surat yang belum dibuka gak-hu, Eng-moi, kutemukan ketika jatuh. Aku tak berani membukanya dan gak-hu juga tidak semata menjaga perasaan An-te. Kami belum membuka itu."

"Hm, Surat itu adalah surat ibumu untuk adikmu dulu. Satu untukmu itu, Soat Eng, satu untuk adikmu Beng An."

"Coba kulihat!, nyonya ini bernafsu. "Kenapa Beng An membuangnya!"

"Bukan dibuang, melainkan jatuh. Surat itu kudapatkan di Himalaya ketika an-te membawa Thai Liong. Dalam keadaan buru-buru surat itu jatuh tanpa disadari. Jangan katakan bahwa itu dibuang."

"Baik, tunjukkan padaku, Ayah, atau mari sama-sama kita baca. Aku penasaran!"

"Hm, bagaimana surat ibumu untukmu itu?"

"Tak ada yang istimewa, hanya minta agar aku dapat memberinya cucu laki-laki, sedikit memaki Le-ko. Tapi setelah Hok Gie lahir ternyata ibu tak melihat cucunya itu."

Soat Eng terisak dan mengeluarkan surat ini dan sang ayah membaca dengan kepala mengangguk-angguk. Memang tak ada yang istimewa di situ, kecuali mengharap cucu dan sedikit menyindir Siang Le. Namun karena Kim-hujin tewas ketika Hok Gie lahir, sang. cucu tak sempat dilihat neneknya akhirnya Pendekar Rambut Emas mencabut surat itu, gemetar.

"Aku pribadi tak pernah membaca surat-surat anakku, khawatir menyinggung perasaan mereka. Kini kalian berdua ingin tahu surat itu, Soat Eng, biarlah kita lihat dan kita ketahui isinya. Kalau langkah ini keliru biarlah Beng An memaafkan kita. Semoga adik kalian itu tak memarahi kita." lalu ketika dengan hati-hati dan jari menggigil pendekar ini membuka surat itu maka terbelalaklah matanya membaca sesuatu, Soat Eng dan suaminya juga turut membaca:

Beng An, puteraku,
Surat ini kubuat setelah semalam ibu bermimpi ditemui kakekmu, Hu Beng Kui. Roh kakekmu mendatangi ibu, mengancam. Dulu sebelum kau lahir kakekmu ingin bersemayam di tubuhmu, tapi kutolak. Kebesaran dan jaman keemasannya ingin dinikmatinya lagi. Kakekmu ingin kau menjadi pendekar tanpa tanding, anakku, mengulang jaman kejayaannya dulu. Aku takut.

lbu dipaksa membuat surat ini agar kau tahu. Kau diminta bertapa, tiga hari. Roh kakekmu ingin masuk ke tubuhmu dan mengulang sepak terjangnya dulu. Nama Hu-taihiap ingin diangkat. Kejayaan dan masa keemasannya ingin dibangkitkan lagi. Kalau kau tak mau melakukan ini maka kakekmu akan menjemput ibumu. Aku takut.

Kau diminta menjadi jago nomor satu, puteraku, mengalahkan ayahmu dan juga kakakmu Thai Liong. Pendeknya kakekmu penasaran ia masih tak mau terima kalah dengan keluarga Kim. Keluarga Hu ingin unggul, dan untuk itu ia ingin berkiprah lagi di dunia kang-ouw dengan memasuki tubuhmu. Ibu sudah bercerita, selanjutnya terserah kau. Aku takut dan bingung menghadapi kakekmu yang keras hati ini. Semoga kau selamat!
Ibumu


Soat Eng menjerit kecil dan tiba-tiba mengguguk selesai membaca surat ini. Wanita itu menangis dan menutupi muka membanting-banting kaki. Sementara Siang Le, suaminya tertegun dan meremas-remas tinju teringat mendiang kakek gagah bernama Hu Beng Kui itu, kakek yang akhirnya tewas di tangan seorang pemuda licik dan curang bernama Togur, yang juga akhirnya tewas di Sam-liong-to ini. Dan ketika ia berkerut-kerut antara gemas dan marah, juga tak habis pikir.

Pendekar Rambut Emas sendiri menghela nepas panjang pendek teringat bekas mertua yang keras hati dan keras kepala itu, termenung teringat kisah beberapa puluh tahun yang lalu dimana ia mengalahkan jago tua itu. Hu Beng Kui marah-marah dan hampir saja puterinya sendiri dikorbankan, setelah puteranya bernama Beng An, kini nama itu dipakai puteranya pula tewas gara-gara sang ayah yang keras hati dan, keras kepala itu. Hu Beng Kui memiliki dua anak laki-laki dan perempuan bernama Hu Swat Lian dan Hu Beng An, jadi Beng An yang sekarang memakai nama pamannya, kakak dari mendiang ibunya itu. Dan ketika surat itu terkulai di tangannya yang gemetar dan menggigil mendadak Siang Le menuding dan berseru,

"Hei, itu ada tulisan lagi, gak-hu. Masih ada surat lain!"

Kim-mou-eng terkejut. Di balik lipatan kertas ini ternyata ada "surat lain" pula yang membuat ia tertegun. Tadi surat itu tak terlihat karena tertutup lipatan kertas, secara kebetulan menghadap si buntung dan Siang Le itulah yang melihat. Maka ketika ia membalík dan membaca itu tiba-tiba ia tersentak karena isinya dua bait syair yang gaya serta penampilannya dikenal sebagai milik Bu-beng Sian-su. Berarti isterinya telah bertemu dengan kakek dewa itu sebelumnya!

"Ah, ini syair Bu-beng Sian-su!"

"Benar dua bait syair. Berarti ibu telah bertemu kakek itu, ayah. Heran bahwa kita tak mengetahuinya!"

Soat Eng, yang menghentikan tangis dan sedu-sedannya tiba-tiba saja langsung berseru dan terkejut serta heran. Siang Le berdecak dan mengeluarkan rasa kagetnya pula. Dan ketika kembali mereka membaca surat itu maka masing-masing melihat syair yang membicarakan tentang riuh burung dan ikan serta isi bumi.

Biarkan riuh burung berkicau
Lihatlah ikan di sungai Yang-Ce
Riak kecipak berwarna-warni
Penuh pesona membuat takjub

Elok amat seisi bumi
Sudah berjalan berabad-abad
Apakah kita melihat ini
Indah nian sepanjang jagad!


"Hm, peninggalan Bu-beng Sien-su. Apa artinya semua ini Eng-ji, ibumu ternyata tak pernah bicara apa-apa kepadaku. Heran, suratnya bercampur dengan surat Bu-beng Sian-su!"

"Benar, dan aku juga bingung. Hanya kakek itu yang bisa menerangkan, ayah. lbu juga tak pernah bicara apa-apa kepadaku. Ini Semua bersumber dari kong-kong!"

Tak usah menyalahkan kakekmu. Yang/meninggal sudah meninggal, Eng-ji, jangan disakiti lagi. Biarlah kita renungkan semua ini dengan bersamadhi."

"Benar, aku mulai menangkap sesuatu. Ada getaran yang kuterima, gak-hu, yang berhubungan dengan ini. Marilah kita bersamadhi dan jelaslah sudah kenapa Beng An menjadi Thian-te It-hiap. la telah kemasukan roh kakeknya, Hu-taihiap. Malang-melintang sejenak, tapi terseret urusan Lembah Es dan orang-orang Pulau Api!"

Siang Le, yang berubah dan terbelalak pucat teringat kejadian-kejadian mengerikan sejak di Cebu sampai Mahameru, gentar dan merinding bulu tengkuknya tapi Pendekar Rambut Emas sudah menyimpan kembali surat itu. Jawaban lengkap hanya di tangan Bu-beng Sian-su. Maka ketika pendekar itu memejamkan mata dan menyuruh yang lain diam, duduk bersamadhi maka Pendekar Rambut Emas sudah mulai ini.

"Tak ada lagi yang perlu dikerjakan. Satu-satunya hanyalah menunggu dan menerima sinar gaib, Eng-ji, diam dan bersila menangkap petunjuk-petunjuk. Marilah bersila dan kita tunggu datangnya Kebenaran."

Soat Eng berdebar dan masih membelalakan matanya. Ia sudah tidak menangis lagi dan justeru merasa tegang. Ada tali kait-mengait dalam urusan ini. Surat ibunya bercampur dengan surat Bu-beng Sian-Su pula. Menarik! Dan ketika ia melihat Suaminya mengangguk dan memejamkan mata, menyuruh ia duduk diam maka wanita inipun bersila dan sudah mengheningkan cipta, menarik semua pusat pikiran ke titik samadhi dan tenggelamlah dia mengikuti suaminya.

Siang Le sudah menyusul Pendekar Rambut Emas. Dan ketika tiga orang itu berubah menjadi patung-patung hidup yang tak bergeming bagaikan arca maka masuklah ketiganya kedalam alam keheningan di mana segala sesuatu tak dirasa lagi oleh indera kasar melainkan oleh syaraf batin yang amat halus dan peka sekali, bergetar dan memancar keluar dan tampaklah cahaya kesucian bersinar perlahan-lahan, kian lama kian terang untuk akhirnya naik ke atas.

Dalam keadaan seperti ini seseorang sudah siap menerima denyut Kebenaran. Getar dan simpul batin bekerja secara otomatis. Dan ketika ketiganya benar-benar tak sadar akan alam sekelilinga yang bersifat lahiriah, tak mendengar lagi debur dan desir angin laut karena yang akan didengar hanyalah bisik keagungan ilahi maka Pendekar Rambut Emas dan puteri serta menantunya tak tahu lagi berapa lama mereka duduk diatas batu hitam itu.

Tak tahu betapa matahari telah bergeser dan muncul lagi melaksanakan tugasnya, tak tahu antara siang dan malam. Dan karena sinar di tubuh mereka kian memancar dan naik ke atas maka sesuatu yang amat gaib dialami tiga orang ini secara bersamaan, yakni pertemuan mereka dengan roh Hu Beng Kui dan Kim-hujin, juga Bu-beng Sian-su!. Dan begitu ketiganya memasuki alam gaib maka terkupaslah apa yang selama ini merupakan rahasia!

* * * * * * * *

Mula-mula Pendekar Rambut Emas merasa melayang-layang di tempat hampa udara. la seakan telah meninggalkan raganya di batu hitam itu, tubuh begitu ringan dan tipis di permukaan bumi. Siang Le, menantunya melayang-layang pula disebelahnya, bergandengan tangan dengan Soat Eng yang tersenyum dan berseri-seri. Alam yang mereka masuki terasa sejuk dingin, tak terlihat matahari akan tetapi suasananya cukup terang. Bumi yang mereka lihat tampaknya berwarna jingga, sementara langit di atas mereka bukan berwarna biru melainkan abu-abu, sedikit putih keperakan dengan keempat sudutnya hijau lumut.

Pemandangan yang mereka saksikan indah sulit dilukiskan dengan kata-kata dan masing-masing tenggelam dalam kebahagiaannya sendiri. Pendekar Rambut Emas melayang-layang ringan dengan mata penuh takjub sementara menantu dan puterinya bergandengan mengitari sebuah pohon yang-liu. Pohon ini rindang dengan daun-daunnya yang hijau segar, puncaknya menjulang tinggi dan beberapa pucuk daunnya meneteskan embun dingin.

Berada di tempat ini ibarat berada di surga dan tiba-tiba tampaklah mahluk lain beterbangan kian ke mari, mulai dari kupu-kupu dan serangga berwarna-warni sampai akhirnya mahluk-mahluk lembut seperti mereka. Manusia! Akan tetapi ketika mereka menghilang dan timbul lagi, menghilang dan berganti yang lain maka Kim-mou-eng dan puteri serta menantunya terkejut ketika muncul dua orang yang mereka kenal. Hu Beng Kui dan Kim-hujin!

"Ibu...!"

"Niocu...!"

Bagai sembrani bertemu sembrani tahu-tahu mereka berlima telah bertaut. Kim-mou-eng telah bertemu isteri dan mertuanya ini sementara Soat Eng mengguguk menubruk ibunya. Ibu dan anak berangkulan. Dan ketika Kim-mou-eng tertegun memandang kakek gagah itu, Hu-taihiap maka jago pedang ini berseru, tertawa bergelak.

"Kim-mou-eng, kami keluarga Hu tak mau kalah denganmu. Hayo, kita bertanding dan lihat kesaktiaaku sekarang."

Kakek itu mencabut pedangnya dan tahu-tahu ia menyerang dan telah menusuk dada pendekar ini. Kim-mou-eng berkelit dan menangkis akan tetapi lawan terus mengejar dan tak kenal puas, tusukan dan tikaman tak pernah berhenti. Baru setelah Kim-hujin membentek dan berkelebat di depan ayahnya maka jago pedang itu menghentikan serangan.

"Tahan, ayah tak boleh menyerang suamiku. Berhenti dan dengar kata-kataku atau aku menyerangmu!"

"Ha-ha, masih juga membela suami. Aku ingin mengalahkannya, Swat Lian, ilmu pedangku sudah maju pesat. Kalau ia roboh dan mengaku kalah baru aku berhenti. Minggir, aku masih penasaran!"

"Tidak, sekali lagi tidak. Kalau ayah berani menyerangnya maka kau akan berhadapan dengan aku. Pergi, aku tak ingin kau di sini!"

"Ho-ho, kau anak durhaka. Dulu kau masih menyimpan surat untuk anakmu Beng An, Swat Lian, dan kau menerima akibatnya. Sekarang kau masih menghalangi aku pula dan awas akibatnya nanti. Aku masih penasaran tak mau dikalahkan siapapun juga!"

"Cukup, ayah sebaiknya pergi atau aku memusuhimu nanti. Atau....!" tiba-tiba terdengar bunyi kelenengan, Kim-hujin menghentikan kata-katanya dan Hu Beng Kui tampak berobah.

Dari arah barat muncullah seekor keledai dengan penunggangnya yang aneh. Penunggang ini tak tampak wajahnya karena tertutup oleh halimun atau kabut tebal, bunyi kelenengan terdengar dari leher keledai yeng diganduli sebuah bandul kuningan, seperti lonceng atau mainan anak-anak di mana keledai itu kini berlari congklang. Dan ketika kakek ini berubah dan menghilang cepat, keledai dan penunggangnya berhenti di situ maka terkejutlah Kim-mou Eng karena ia mengenal siapa penunggang aneh ini.

"Sian-su!"

"Bu-beng Sian-su (Kakek Dewa Tak Bernama)!"

Kim-mou-eng dan Siang Le sudah menjatuhkan diri berlutut. Soat Eng, yang tertegun tapi melepaskan diri dari ibunya juga berseru menyebut kakek itu. Inilah Bu-beng Sian-su yang terkenal itu, kakek dewa amat sakti. Dan ketika ibunya juga berlutut dan menahan isak tangis maka keluarga Pendekar Rambut Emas menyambut kakek ini dengan bermacam perasaan, Kim-hujin takut dan gentar sementaa Kim-mou-eng dengan wajah berseri dan gembira bukan main.

"Hm, bangkitlah, jangan berlutut. Mana kakekmu Hu-taihiap, siauw-hujin (nyonya muda). Kulihat ia tadi di sini. Mana orang tua gagah itu?"

"Ia... ia pergi. Ia takut kepadamu, Sian-su, gentar. Ayah merasa bersalah akan tetapi tak mau mengakui kesalahannya apabila di depan anak-anak atau orang lain. Ia seorang keras kepala!"

Kim-hujin yang mendahului dan mewakili puterinya berkata menahan isak tangis. Soat Eng membelalakkan mata dan merasa heran akan tetapi kakek itu mengangguk-angguk, terdengar gumam dan kekeh lembut. Lalu ketika ia turun dari keledainya dan menyuruh keledai itu merumput di bawah pohon yang-liu maka kakek ini menarik napas dalam memandang Kim-hujin dan lain-lain, berhenti pada Kim-mou-eng. Sorot matanya menjadi tajam dan menembus kabut halimun itu, mencorong bagai mata seekor naga sakti, membuat Soat Eng dan lainnya menunduk dengan jantung berdegup kencang. Kakek ini bagai seorang hakim di depan pesakitan!

"Kau...!" kata-katanya tertuju kepada Pendekar Rambut Emas. "Apa yang kau cari hingga melepaskan ragamu di bumi, Kim-mou-eng. Keperluan apakah yang membuatmu begitu keras keinginan hingga mengajak anak-anak muda ini ke sini. Tahukah kau apa resikonya."

"Ampunkan aku yang bodoh," Kim-mou-eng membungkuk dan menjura dalam-dalam. Samadhiku membawaku ke sini tiada lain untuk mencari Kebenaran, Sian-su. Bahwa ada hal-hal yang membuatku penasaran dan ingin tahu. Kami datang untuk mendapatkan penerangan, semoga di bawah petunjuk Sian-su, kami bertiga mendapatkan kebahagiaan!"

"Benar... teecu sependapat dan sejalan dengan Gak Hu, Sian-su. Kami datang untuk ndapatkan penerangan batin. Semoga Sian-su memberi petunjuk dan membuka pintu hati kami!" Siang Le, yang kini berdebar dan berusaha menguasai dirinya ikut menyambung kata-kata sang ayah. Dia mengangkat kepala akan tetapi cepat menunduk ketika tak tahan menatap sepasang mata mencorong itu.

Mata kakek ini bagai senter gaib, menembus dan menusuk jantungnya amat kuat. Dia seakan diteropong dan dijenguk segenap sudut hatinya, bagian terkecilpun tak terlewat. Dan ketika ia tergetar tak jadi tersenyum, menunduk dan gemetar maka tawa kakek itu menenangkannya kembaii, begitu lembut dan renyah, jauh sekali dengan sepasang mata bak seekor naga sakti itu.

"Kau anak muda enak saja bicara. Apa lagi yang kalian cari kalau kebahagiaan itu sudah di batin kalian, Siang Le. Apalagi yang dicari kalau semua sudah di punyai. Hm, kau!" kakek ini kembali kepada Kim-mou-eng. "Kebenaran apa yang ingin kau ketahui, Kim-mou-eng. Petunjuk apa yang kau minta!"

"Ampun..." pendekar ini berdebar. "Isteriku ada di sini, Sian-su, agaknya langsung saja. Aku hendak mengetahui tentang syair yang kau berikan kepadanya. Kalian berdua rupanya sudah saling bertemu!"

"Benar," Soat Eng menimbrung dan memandang ibunya. "Suratmu kepada Beng An aneh, ibu, menyangkut-pautkan kong-kong. Sekarang kami di sini dan minta jawabanmu pula!"

"Aku. aku, ahh....!" Kim-hujin tiba-tiba tersedu. "Semuanya salahku, Eng-Ji. Aku terlambat memberikan surat itu kepada Beng An. Dan Sian-su... nasihatnya, ahh... tak kuikuti jauh-jauh hari!"

"Apa maksud ibu!" Soat Eng melompat dan mencekal léngan ibunya itu, terasa dingin. "Apa yang kau maksud terlambat, ibu, nasihat apa pula yang kau dapat dari Sian-su!"

"Aku... aku penuh keragu-raguan. Aku salah. Ah, semua bakal kau dapatkan dari Sian-su, Eng-ji, tanyalah kakek itu. Kong-kongmu memanggil"

Soat Eng terkejut dan berseru keras ketika ibunya tiba-tiba melompat dan lari terbang. Dari jauh terlihat kakeknya Hu Beng Kui melambai, suaranya serak parau memanggil ibunya. Dan ketika ia berteriak dan mengejar, anehnya sang ibu lenyap memasuki sebuah kabut maka ia tertegun berdiri bengong. Di depannya muncul sebuah dinding awan yang tak mampu ditembus.

"Ibuu...!"

Jeritan ini menyadarkan Siang Le. Si buntung tibe-tiba bergerak dan menyambar lengannya, Soat Eng terhuyung roboh. Namun karena pemuda itu sudah menahannya dan Soat Eng tersedu maka Si buntung termangu berbisik gemetar, "Ibumu tiada, ia telah pergi. Duduk dan lihat ayahmu di sini, Eng-moi, lihat Sian-su memandangmu pula. Sudahlah, jangan menangis."

Kim-mou-eng batuk-batuk, menyambar lengan puterinya pula. "Suamimu benar ibumu telah pergi. Kita masih menungg petunjuk Sian-su, Eng-ji, duduk dan sadarlah. Kong-kongmu membawa ibumu."

Soat Eng menghentikan tangis mengusap air matanya. Ia masih terisak-isak akan tetapi senyum lembut kakek itu menahannya. Ada perasaan malu Juga. Maka ketika ia melepaskan diri dan menunduk maka sang ayah menyuruhnya duduk menghadap kakek itu, bertiga di depan kakek dewa ini.

"Kim-hujin tak akan kembali, ia telah pergi. Suatu saat kalian akan bertemu lagi anak baik. Hentikan tangismu dan bersikaplah gagah. Bukankah kakekmu Hu Beng Kui adalah seórang gagah. Air mata hanya untuk mereka yang cengeng!"

Wanita ini semburat. Kata-kata itu cukup tajam dan ia mengeraskan hati. Betul, alr mata hanya untuk mereka yang cengeng. Dia adalah cucu Hu-taihiap terlebih lagi adalah puteri Pendekar Rambut Emas, tokoh yang gagah! Maka ketika ia mengepalkan tinju dan menggigit bibir maka ayahnya berdehem memandang kakek dewa itu.

"Maafkan kami," Kim-mou-eng menunduk memberikan kepalanya. "Kami orang-orang yang masih lemah dan mudah terbawa perasaan sendiri, Sian-su. Mohon berilah petunjuk dan kekuatan batin."

"Tak apa, wanita lebih perasa. Sekarang apa yang kau kehendaki, Kim-mou-eng. Apa yang dapat kuberikan." Kakek itu tersenyum.

"Kami tak ingin berputar-putar lagi terus terang ingin mengetahui rahasia suratmu di balik surat isteriku. Mohon Sian su memberi petunjuk dan jawaban!"

"Baik, yang mana itu dan keluarkanlah. Terlalu banyak surat-suratku untuk mereka yang berkepentingan."

"Ini..." Pendekar Rambut Emas merogoh dan langsung mengeluarkan surat. "Rasanya ada ganjalan yang membuat kami ingin tahu, Sian-su. Apa artinya ini dan kapan isteriku bercakap-cakap denganmu."

"Bacalah," kakek itu tersenyum. "Aku mendengarnya dari sini, Kim-mou-eng. puterimu telah memberi ijin pula."

Mulailah Kim-mou-eng bergegas. Segera ia membaca dan lantang menyuarakan kalimat demi kalimat akan tetapi kakek itu buru-buru mengebut. la tak mau mendengar surat untuk Beng An, yang diminta adalah syair itu, suratnya sendiri. Dan ketika Kim-mou-eng tertegun sementara Siang Le tersenyum maka Soat Eng tiba-tiba berbisik pada ayahnya agar suaminya saja yang membaca.

"Belum apa-apa sudah salah, biarkan saja Le-ko yang membaca ayah, serahkan surat itu kepadanya!"

Kim-mou-eng tersipu merah. la menoleh akan tetapi menantunya tersenyum. Apa boleh buat memberikan surat itu kepada pemuda ini. Dan ketika Siang Le minta maaf berdehem dua kali, timbulah semangatnya maka si buntung ini membaca penuh tenaga, wajah dan otot lehernya menegang, serius.

Biarkan riuh burung berkicau
Lihatlah ikan di sungai Yang-ce
riak kecipak berwarna-warni
penuh pesona membuat takjub

Elok amat seisi bumi
sudah berjalan berabad-abad
apakah kita melihat ini
indah nian sepanjang jagad!


"Ha-ha!" kakek itu tertawa, bergelak. "Bagus sekali, Kim-mou-eng. Menantumu begitu lantang dan penuh semangat. Bagus, aku bicara tentang burung dan ikan di sungai Yang-ce. Aku bicara tentang isi bumi. Aah, betul itu. Tidak salah!"

"Apanya yang tidak salah," Kim-mou-eng berseru dan menegur heran. "Kami belum mengerti apa-apa, Sian-su. Kami tak tahu apa yang kau maksudkan. Kami tak mengerti itu!"

"Ha-ha, pengakuan itu sebuah kejujuran. Yang jujur akan mengerti, Kim-mou-eng, yang sombong tak akan tahu. Bagus, kau akan mengerti!"

Kim-mou-eng membelalakkan mata. Kakek ini mengebut-ngebut pakaiannya sementara menantu dan puterinya mengernyitkan kening. Mana mungkin mereka tahu kalau kakek ini tak memberi tahu. Tapi ketika mereka diam saja dan maklum keanehan kakek ini, Bu-beng Sian-su akan segera meluncur dengan jawabannya maka benar saja kakek itu bicara lagi, kini nada bicaranya serius.

"Aku tak mau mendengarkan surat isterimu karena itu bukan urusanku. Kaupun tak akan datang kalau hanya untuk itu. Nah, pembicaraan berkisar pada syairku, Kim-mou-eng, bertitik tolak dari sana. Ketahuilah bahwa sebelum syair itu kubuat memang isterimu menemuiku untuk meminta nasihat. Dan kuberilah keterangan dan jawaban singkat. Akan tetapi karena isterimu ragu dan bertindak lambat maka kemarahan ayahnya tak dapat dicegah lagi. Semuanya datang dan terjadilah itu."

"Tunggu, kejadian apa yang Sian-su maksudkan?"

"Tewasnya isterimu, datangnya roh Hu Beng Kui."

"Hm!" Pendekar Rambut Emas menggigil, memejamkan mata. "Baik lanjutkanlah, Sian-su, aku sadar."

"Hu Beng Kui seorang yang keras hati, Ia kakek yang tak mau kalah. Sejak ia pecundang di tanganmu maka rohnya pun masih penasaran ingin mengulang masa kejayaannya dulu. Padahal mana mungkin masa lalu dihadirkan pada masa sekarang? Mungkin kau masih ingat ketika pertama dulu isterimu mengandung Beng An, Kim mou-eng, betapa roh mertuamu mengunjungi isterimu...!"

"Ya-ya, aku ingat," Pendekar Rambut Emas mengangguk dan teringat masa lalu itu, ketika pagi-pagi isterinya ketakutan dan bercerita. "Waktu itu isteriku bercerita, Sian-su, bahwa roh ayahnya ingin memasuki jabang bayi."

"Benar, akan tetapi tidak jadi, isterimu menolak. Namun setelah anak itu dewasa maka Hu Beng Kui datang mengganggu lagi. la ingin cucunya seperti dirinya. la ingin Beng An adalah Hu-taihiap." Pendekar Rambut Emas menahan perih, sesuatu terasa menusuk.

"Tahukah kau betapa isterimu berperang batin?"

"Tidak!"

"Tentu, isterimu tak pernah bercerita. Ia memendam semua ini sampai napasnya sesak, Kim-mou-eng, dan sebagai pelampiasannya akhirnya ia meluapkan kemarahan kepada menantunya Siang Le."

"Eh!" Kim-mou-eng terkejut. "Maksudmu apa, Sian-su?"

"Masalah cucu laki-laki itu, betapa Kim-hujin ingin memiliki cucu laki-laki dari garis keturunannya. la tak puas hanya mendapatkan Bun Tiong."

Soat Eng terpekik lirih. Wanita ini bangkit akan tetapi Siang Le menahan isterinya, pembicaraan belum selesai. Dan ketika kakek itu menoleh dan mengangguk maka wanita inipun tersedu dan menangis.

"Semuanya berawal dari ganguan Hu-taihiap ini" kakek itu melanjutkan. Angan-angan atau cita-citanya dibawa sampai mati, Kim-mou-eng, penasaran tak dapat membuat arwahnya tenang. Isterimu dipengaruhi, dibujuk-bujuk, dan terakhir malah diancam. Dalam kebingungan dan ketakutannya akhirnya isterimu terjebak, diam-diam ia mulai tak suka kepada Thai Liong. Dan ketika akhirnya ia didatangi roh ayahnya lagi maka surat itu dibuat, hanya saja tidak segera disampaikan kepada puteramu Beng An."

"Beng An merantau ke Pulau Api dan Lembah Es!"

"Betul, isterimu cemas. Dan ketika Hu Beng Kui mulai menteror maka datanglah malapetaka itu, datangnya Tan-pangcu dan tokoh-tokoh Pulau Api."

Kim-mou-eng menggigit bibir. Sampai di sini ia merasa marah dan merasa bahwa mendiang mertuanya itu terlalu. Soat Eng dan Siang Le membelalakkan mata dan tiba-tiba timbul kebencian wanita itu kepada kakeknya.

"Kong-kong jahat!" tiba-tiba ia berseru.

Akan tetapi ketika kakek itu memandangnya dan menghela napas dalam maka Siang Le memeluk isterinya ini di mana sang isteri tersedu-sedu kembali.

"Jahat atau tidak adalah pandangan orang lain. Kalau ibumu sebelumnya tak memiliki bibit kebencian atau ketidaksenangan maka unsur jahat dari luar tak mudah masuk, siauw-hujin. Tapi karena ibumu segaris dengan ayahnya maka ia pun terjebak dan kemasukan unsur tidak baik itu, inilah pokok masalahnya."

"Maksud Sian-su?"

"Ibumu diam-diam tak senang bahwa anak tirinya Thai Liong lebih lihai daripada anak kandungnya Beng An."

Soat Eng memejamkan mata, mengeluh.

"Dan karena iapun menginginkan puteranya lebih lihai daripada kakakmu maka pengaruh atau unsur jahat dari Hu Beng Kui masuk. Kalau ia memiliki kebersihan hati dan batin, maka seribu kotoran tak akan menembusnya, ia tetap cemerlang. Akan tetapi karena sebelumnya sudah ada bibit-bibit seperti itu maka pengaruh jahatpun mudah memasukinya, jangan salahkan kong-kongmu."

Soat Eng tersedu, menyembunyikan muka di dada suami.

"Diri sendiri adalah benteng utama, siauw-hujin. Kalau benteng ini lemah dan amat rapuh maka gangguan dan kotoran mudah sekali menembusnya. Karena itu ibumu juga salah, ingat ketika ia memaki-maki suamimu hanya karena tak dapat memberikan cucu laki-laki."

"Cukup... cukup, aku tahu, Sian-su, lbu memang tak senang kepada Liong-ko. la merasa anak sendiri kalah. lbu memang diam-diam menginginkan Beng An lebih lihai daripada kakaknya karena Liong-ko hanya anak tiri bagi ibu. Kalau ibu tak menunjukkan ketidaksenangannya karena semata ada ayah. Ibu, ah... Ia memang masih selalu membeda-bedakan. Padahal berkali-kali kukatakan bahwa jalan pikirannya itu tidak sehat. Thai Liong-ko sebenarnya tiada ubahnya kakak kandungku sendiri. Dan dia... ah, dia telah mengorbankan keselamatannya sendiri terhadap An-te. Aduh, kau memang terlalu ibu. Sekarang lihat apa yang kau tinggalkan kepada kami selain kepedihan dan kedukaan belaka. Dan kong-kong... ah, ia pun jahat. Aku tak mau mendengar lagi dan biar aku pergi!"

Soat Eng membalik dan meloncat pergi dan tahu-tahu wanita itupun melesat terbang. Siang Le meneriaki isterinya akan tetapi Pendekar Rambut Emas mencekal lengannya. Pemuda ini sudah bangkit dan hendak mengejar akan tetapi cekalan gak-hunya kuat. Lalu ketika Pendekar Rambut Emas mengangguk dan menyuruh ia duduk akhirnya si buntung sadar dan menarik napas dalam, "kami sudah mulai jelas. Akan tetapi inti dari semuanya ini belum kami tangkap, Sian-su. Mohon kau memberi petunjuk dan biarlah kami berdua menikmati wejanganmu."

Kakek ini tersenyum, tertawa lembut. "Kau cerdas, Kim-mou-eng. Kau tahu bahwa inti pembicaraan belum dimulai."

"Ceritamu baru kulit luar. Aku belum menangkap apa-apa. Biarlah kami dengarkan lebih lanjut dan mohon Sian-su maafkan sikap puteriku tadi...!"

"Heh-heh, ia kembali ke Ceruk Hitam. Tak apa, Kim-mou-eng... tak apa, pembicaraan justeru bisa menjadi lebih serius."

Kim-mou-eng mengangguk-angguk, menantunya juga turut mengangguk-angguk. Lalu ketika kakek itu menarik napas dalam dan membetulkan letak duduknya maka ia bertanya apa yang ingin diketahui pendekar ini.

"Tak lain kembali pada persoalan syair itu. Harap Sian-su memberikan penjelasan apa hubungannya itu dengan cerita isteriku."

"Hm, kisah istermu sudah kuceritakan secara singkat, garis besarnya sudah kau ketahui. Kalau kau bertanya hubungannya dengan syair ini tentu saja ada, Kim-mou-eng, lihat dan renungkan bait pertama itu. Apa yang kau tangkap."

"Kami belum menangkap apa-apa," pendekar ini menjawab jujur. "Siang Le pun agaknya tidak, Sian-su. Harap kau terangkan dan di mana inti pelajarannya."

"Baik, dan kaupun belum mengerti, anak muda?"

"Siauw-te (aku yang muda) merasa bodoh dan tumpul," Siang Le menjawab.

"Ha-ha, baiklah, mari kutuntun. Dan karena ini berhubungan dengan surat isterimu itu maka sedikit atau banyak akan saling kait-mengait pula. Lihatlah!" kakek ini menuding dan menunjuk. "Bait pertama bicara tentang burung dan ikan di sungai Yang-ce, Kim-mou-eng. Cobalah katakan kepadaku adakah yang sama dan kembar segala-galanya!"

Kim-mou-eng tertegun, mengerutkan kening. Ia membaca bait pertama itu sementara pemuda di sebelahnya juga mengernyitkan kening. Hampir berbareng mereka membaca lagi akan tetapi Kim-mou-eng menggeleng, ia tak melihat apa-apa. Dan ketika Siang Le Juga menggeleng tak melihat seperti apa yang dimaksudkan kakek itu maka hampir berbareng keduanya menjawab,

"Tak ada yang kembar atau sama disini. Burung dan ikan jelas berbeda, Sian-su. Bait ini tak bicara tentang yang kembar."

"Bagus, kalau begitu aku minta yang kembar, yang sama persis. Carikan apa saja. yang kembar atau sama persis di sini!"

"Maksud Sian-su?"

"Kau boleh cari apa saja yang kiranya sama. Daun, akar, atau apa saja yang kiranya sama. Kau boleh menyelam di sungai itu mencari yang sama persis, ikan yang sama. Atau kau boleh mencari sepasang batu kembar yang sama persis. Kau boleh mencari apa saja yang sama persis, apa saja!"

Kim-mou-eng tergetar, jantungnya berdegup kencang. Dan ketika ia saling pandang dengan Siang Le tiba-tiba pemuda itu menuding. "Itu, ada daun yang sama, gak-hu. Biar kuambil!"

Siang Le berkelebat dan sudah mengambil daun ini. Pohon yang-liu di dekat mereka memiliki daun yang hampir mirip satu sama lain, si buntung memotes dan sudah mengambil ini. Lalu ketika ia menyerahkannya kepada sang gak-hu dan Kim-mou-eng menyerahkannya kepada kakek itu ternyata Bu-beng Sian-su terkekeh-kekeh.

"Kurang, masih kurang. Ambil dan cari apa saja yang banyak, Kim-mou-eng. Apa saja. Ambil dan letakkan di sini!"

Pendekar Rambut Emas bergairah. Tiba-tiba ia merasa ada sesuatu yang menarik dan mendebarkan. Ia sudah menaruh sepasang daun kembar itu lalu berkelebat ke bawah pohon yang-liu. Ada sepasang batu hitam yang mirip, nyaris sama. Dan ketika ia sudah membawa ini sementara Siang Le tak mau kalah, mencebur dan mencari ikan yang sama akhirnya tak lama kemudian sekumpulan benda-benda mirip terkumpul di situ. Daun, ikan, batu dan apa saja. Jumlahnya tak kurang dari seratus buah.

Dan ketika kebetulan sepasang pipit terbang di atas kepala maka Pendekar Rambut Emas menyambit dan robohlah sepasang burung yang sama besar dan warna bulunya ini. Bu-beng Sian-su tergelak-gelak akan tetapi sedikitpun kakek itu tak memberi pujian, bahkan sorot matanya menyatakan sia-sia. Kim mou-eng dan menantunya mandi keringat. Lalu merasa cukup dan yakin berhasil merekapun sudah duduk lagi di hadapan kakek itu, meskipun diam-diam merasa berdebar dan bingung juga aneh akan segala perintah ganjil ini.

"Kalian sudah?" kakek itu berseru. "Sudah mendapatkan apa yang kalian yakini sebagai kembar dan sama persis? Kalian puas dan berhenti sampai di sini saja?"

"Kami merasa cukup mendapatkan yang kau minta. Kami sudah mengumpulkan benda-benda yang menurut kami sama persis, Sian-su, daun dan batu serta apa saja. Kami merasa yakin!"

"Benar, daun itu sama persis. Lihat bentuk den warnanya, Sian-su, aku sudah mencocokkannya."

"Dan batu ini kuukur pula, hitampun sama. Burung ini juga sama persis dan silakan dicek!"

"Ha-ha, bodoh semua. Perbuatan kalian sia-sia, Kim-mou-eng, tak ada gunanya. Di dunia ini tak ada segala-galanya yang persis. Daun itu misalnya, meskipun hijau segar dan sama bentuknya akan tetapi tidak semuanya sama. Warna dan bentuk boleh jadi persis, akan tetapi letak dan kehadiran mereka tak mungkin sama. Coba saja, mungkinkah mereka berada di pangkal batang yang sama, atau kalaupun sama mungkinkah tumbuhnya serentak, pada detik yang sama. Dan burung itu, ha-ha, tak mungkin segalanya sama, Kim-mou-eng, yang satu betina sedang yang lain jantan. Ah, kalian sungguh bodoh dan kurang akal. Mungkinkah di dunia ini ada sesuatu yang benar-benar sama. Mungkinkah benda hídup atau mati begitu sama segala-galanya hingga tak memiliki perbedaan sedikitpun. He, lihat dan amati baik-baik, Kim-mou-eng. Segala yang kalian bawa di sini sesungguhnya tidak ada yang sama persis. Masing-masing memiliki perbedaan. Dan karena mereka sesungguhnya tidak sama maka omong kosonglah kalau kau bilang bahwa ini sama atau itu sama. Di dunia ini tak ada yang sama, semua berbeda!"

Kim-mou-eng terkejut, bagai diguyur air dingin. Akan tetapi Sing Le yeng masih belum jelas dan merasa penasaran bangkit berdiri. "Tunggu, daun ini sama persis, Sian-su, Lihatlah!"

"Kau ngotot. Baiklah kembalikan mereka ke tempat semula, anak muda. Ganti kau yang melihatnya, samakah!"

Siang Le ragu, akan tetapi karena belum mengerti dan ingin tahu iapun mengangguk dan melompat memasang daun itu di tempatnya semula. Kim-mou-eng mulai tersenyum-senyum sedangkan pemuda ini masih penasaran. Pendekar Rambut Emas mulai mengangguk-angguk. Dan ketika anak muda itu melekatkan daun ditempatnya semula maka berserulah kakek dewa itu.

"Nah, lihat, amati baik-baik. Daun itu boleh jadi bentuk dan warnanya sama, anak muda. Akan tetapi samakah kedudukan mereka. Yang satu di atas yang lain di bawah. Samakah?"

"Ini... ini...!"

“Tak ada ini. Kau tadi menyatakannya sama, anak muda. Sekarang katakan bahwa itu tetap sama!"

"Tidak!" Siang Le mengeluarkan keringat dingin. "Kalau begitu tentu saja tidak sama, Slan-su, akan tetapi di luar itu sama!"

"Ha ha, anak muda suka membantah. Tadi sudah kukatakan bahwa carilah yang segala-galanya sama, Siang Le, bentuk atau apa saja sama. Kau tak boleh memisah-misahkannya. Aku hanya minta yang sama persis, nah jawab ada atau tidak!"

Pemuda ini terdiam, pucat. Tentu saja ia menggeleng dan kakek itu tertawa berderai. Lalu ketika anak muda itu disuruhnya duduk segera ia mengingatkan bahwa sejak mula sudah diakui tak ada yang sama.

"Bumi dan isinya selalu berbeda. Semuanya baru dan lain dari kemarin. Bahkan hidup kita inipun tak perna sama, anak muda, denyut nadi kita selalu baru dan baru. Denyut kehidupan juga begitu, sebab kalau semuanya tetap sama maka kehidupan berarti kematian. Lihat burung,batu dan daun itu tak ada yang sama. Satu dengan yang lain selalu berbeda. Dan karena mereka berbeda maka mempertahankan yang sama hanya sebuah kesia-siaan belaka. Tahukah kau apa hubungannya ini dengan Hu-taihiap?"

Siang Le menggeleng.

"Erat sekali, anak muda, amat erat. Coba gak-hu mu yang menjawab barangkali tahu!"

Kim-mou-eng terkejut, berdehem. Akan tetapi karena ia belum siap maka terus terang ia berkata, "Belum semuanya yang kutangkap. Baru sebagian kecil yang kumengerti, Sian-su. Aku khawatir keliru dan salah menjawab."

"Ha-ha takut hanya mengerdilkan diri sendiri. Jawab sebisamu seperti yang kau mengerti, Kim-mou-eng. Kita bicarakan ini untuk mencari sebuah kebenaran. Bukankah kau datang untuk mencari kebenaran kebenaran?”

"Ya, tapi, hmm. agaknya maksudmu adalah menyalahkan Hu-taihiap yang terbelenggu masa lalunya, Sian-su. Bahwa mendiang mertuaku itu berpikiran pendek dan dangkal."

"Ha-ha, manusia hidup selalu salah. Kalau kesalahan itu diulang maka, adalah manusia bodoh, Kim-mou-eng. Aku sebenarnya tak bermaksud menyalahkan Hu Beng Kui melainkan lebih mengajak kalian untuk tidak mengulang atau meniru kebodohan orang lain. Hu Beng Kui terbawa kesenangan dirinya sendiri. Masa jayanya dan masa indahnya dulu hendak terus dipertahankan. Dan karena ia tak mau melihat bahwa di dunia ini tak ada yang sama maka ia terjebak dan terbelenggu oleh keinginan dirinya sendiri. Keinginan itu tak pernah padam. Masa keemasan dan masa jaya seseorang selalu menimbulkan rasa mabok. Dan karena ia mabok dan tak sadar akan apa yang seharusnya dilihat maka ia tenggelam dan hanyut di situ. Sekarang bagaimana seorang yang hanyut mampu menguasai dirinya sendiri. Bagaimana seorang yang hanyut dapat berpikiran jernih dan terang. Nah, itulah yang telah terjadi pada bekas jago pedang itu. la ingin memiliki masa lalunya yang sama!"

"Tunggu, perlahan sedikit. Aku jadi bingung oleh kata-katamu ini, Sian-su, kemana arah tujuanmu. Mohon kau ulang dan jelaskan sekali lagi!" Siang Le, yang merasa kakek itu terlalu cepat lalu mengangkat tangannya berseru. la ingin mengikuti ini lebih perlahan sementara Pendekar Rambut Emas mengangguk-angguk.

Apa yang ditangkap pendekar itu jauh lebih cepat dibanding pemuda ini, tak aneh karena Kim-mou-eng seorang berusia lima puluh tujuh tahun yang tentu saja lebih matang dan penuh pengalaman. Maka ketika pendekar itu mengangguk-angguk sementara menantunya kelihatan gugup dan tertinggal maka Bu-beng Sian-su tertawa.

"Kim-mou-eng, agaknya kau sekarang dapat menjelaskan kepada anak muda ini. Cobalah dan ulangi kata-kataku."

"Begini," pendekar itu bicara. "Yang hendak Sian-su maksudkan adalah di dunia ini masa lalu tak akan kembali, Sian Le, semua selalu baru dan berbeda, Gak-hu ku bukanlah puteraku, dan Beng An juga bukan kakeknya karena ia adalah sosok pribadi yang berbeda. Kalau kakeknya hendak menjadikan cucu seperti dia, mana mungkin! Bumi selalu bergerak Siang Le, roda kehidupan selalu berputar dan serba baru. Di dunia ini tak ada yang Sama persis karena satu dan lain memang beda."

"Jadi?"

"Jadi biarkan riuh burung berkicau. Biarlah ikan berkecipak berwarna-warni. Di bumi ini tak ada yang selalu sama anak muda. Masing-masing memiliki perbedaan dan jamannya. Dan kalau Hu Beng Kui ngotot untuk itu maka ia selalu gagal, ha-ha!" kakek ini tertawa dan Siang Le terkejut, mengerutkan kening tapi perlahan-lahan ia menahgkap sesuatu. Hanya karena makanan itu rasanya berat dan sukar ditelan, ia harus mengunyahnya perlahan-lahan maka kakek itu berseru pada ayah-mertuanya.

"Nah , sekarang kau tahu. Perbedaan dan yang tidak sama selalu ada Kim mou-eng. Kalau ini berhenti dan tetap pada piringnya maka perbedaan dan yang tidak sama di píring lain tak akan bentrok. Akan tetapi manusia suka menggerakkan piring ini. Mereka sering melontar melemparkannya kepada orang lain. Dan kalau itu yang terjadi maka perbedaan Ini sudah menjadi sumber nafsu untuk mencapai kemenangan dan kesenangan diri sendiri!"

Siang Le berdenyut, sementara gak-hunya mengangguk-angguk. Dan ketika kakek itu bicara lagi tentang ini, bahwa perbedaan dan ketidaksamaan sesungguhnya merupakan bunga-bunga kehidupan maka pemuda itu melayang-layang dan semakin bingung tapi juga kagum. Bingung karena ia tak begitu cepat menangkap, sementara kagum karena ayah mertuanya mengangguk-angguk dan selalu membenarkan. Dan ketika pembicaraan berakhir pada bait kedua maka kakek itu menuding.

"Sekarang lihatlah betapa eloknya seisi bumi. Perbedaan yang satu dengan yang lain selalu memiliki keunggulan dan kekurangannya sendiri. Kalau masing-masing mau mengontrol dan mengakui diri, tak terbawa keakuannya maka bumi adalah tempat yang indah bagi manusia. Akan tetapi manusia tak melihat ini, Kim-mou-eng, mereka tertutup nafsu dan egonya sendiri. Dan karena itu jauh lebih kuat menutupi hati nurani sendiri, menyingkirkan kejujuran dan kebersihan batin maka menusia terjebak dalam nafsunya dan tergelincir dalam permusuhan dengan yang lain. Riuh burung menjadi berbeda, kecipak ikan juga berubah!"

Kim-mou-eng mengangguk-angguk. Gerakan dan gelengan kepalanya menunjukkan pendekar ini telah mendapatkan sari patinya. Siang Le pening dan masih belum jelas juga. Dan ketika kakek itu bangkit menuju keledainya, melompat dan pergi perlahan-lahan maka Pendekar Rambut Emas bangkit dan membungkukkan tubuhnya dalam-dalam.

"Sian-su, terima kasih, beribu terima kasih. Wejanganmu telah merasuk di hatiku dan kau benar. Selamat jalan, Sian-su, sampai jumpa lagi!"

Kakek itu tersenyum, menendang perut keledainya. Lalu ketika bunyi kelenengan terdengar kembali maka penunggang dan hewan tunggangannya lenyap, hilang di balik kabut.

"Ah, gak-hu terlalu cepat membiarkan orang tua itu pergi. Aku masih ingin bercakap-cakap dan mengulang semuanya, gak-hu. Kapan lagi aku jumpa!"

"Tenanglah, sabar. Di bawah akan kujelaskan semuanya, Siang Le. Sekarang kita kembali dan mari pulang!"

"Tapi..."

"Ayolah, aku sudah cukup. Mari kembali dan kita pulang!" lalu ketika pendekar itu menyendal dan membawa mantunya maka Kim-mou-eng meninggalkan alam gaib menuju alam kasar, dan menuju raga sendiri dan seketika itu masuklah dua cahaya ke tubuh yang tak bergeming di batu hitam.

Kim-mou-eng dan menantunya memasuki alam kesadaran kembali. Dan ketika mereka membuka mata dan tersenyum-senyum ternyata di bawah batu hitam telah menanti belasan orang-orang kang-ouw yang bukan lain para ketua partai Bu-tong dan Hoa-san, juga Kun-lun dan Siau-hun-pai serta anak murid mereka!

"Omitohud, maafkan bila mengganggu. Kami meunggu dan hendak menemui Thian-te It-hiap, Kim-mou-eng. Maksud pinceng, eh... puteramu yang gagah perkasa Beng An!"

"Benar kami dari kun-lun juga hendak menyampaikan terima kasih. Kami sia-sia mengejar di Himalaya, Kim-taihiap, pertempuran selesai dan kami datang ke sini. Kami hendak menyampaikan selamat dan ucapan terima kasih. Mohon bertemu puteramu yang gagah perkasa itu!"

Bhek wi Hosiang, ketua Bu-tong dan kun-lun berturut-turut menjura di depan Kim-mou-eng. Soat Eng yang sadar dari samadhinya lebih dulu terisak-isak di batu hitam. Nyonya muda ini masih terpukul batinnya oleh cerita kong-kong dan ibunya, tak kuat dan tentu saja tak mengikuti pembicaraan ayahnya dengan Bu-beng Sian-su. Mereka kini sama-sama keluar dari alam gaib menuju alam senyatanya.

Soat Eng lebih dulu melihat orang-orang itu akan tetapi ia menyuruh tunggu. Ayah dan suaminya tak boleh diganggu dalam alam samadhi. Dan ketika dua orang itu sudah membuka mata dan Bhek Wi Hosiang maupun Kun-lun-paicu memberi hormat, disusul yang lain-lain, maka Pendekar Rambut Emas tentu saja tertegun.

"Ah, ji-wi dari Kun-lun dan Bu-tong. Dan ah.... yang ini terhormat ketua Hoa-san dan Siau-hun-pai. Aduh, selamat datang, cuwi-enghiong. Akan tetapi puteraku Beng An tak ada di sini. Ia masih belum pulang!"

Orang-orang itu saling pandang. Tentu saja mereka tak tahu akan kemelut di keluarga Kim-mou-engi ini, betapa Thai Liong menjadi korban setelah menyerahkan Sin-tiauw-kangnya kepada nenek We We Moli. Soat Eng sendiri tak banyak cakap menyambut orang-orang itu, ia lebih banyak diam dan menangis sendirian. Maka ketika Pendekar Rambut Emas menjawab dan mereka tertegun, Thian-te It-hiap alias Kim Beng An tak ada di situ maka Bhek Wi Hosiang berseru merangkapkan kedua tangannya.

"Omitohud, kiranya kami kecelik. Kalau begitu biarlah kami menenui Rajawali Merah puteramu yang lain, Kim-taihiap. Kami datang untuk menyampaikan terima kasih!"

"Benar," ketua Siau-hun-pai mengebutkan hud-tim (bulu kebutan). "Tak ada adiknya biarlah kakaknya, Kim-taihiap. Kami ingin menyampaikan terima kasih. Dua hari kami menunggu di sini!"

"Maaf..." Kim-mou-eng berkelebat melayang turun. "Thai Liong pun tak ada disini, cuwi-enghiong. Dia..... dia pergi bersama Beng An."

"Kakakku luka parah!" Soat Eng tiba-tiba melengking dan tersedu-sedu. "Jahanam We We Moli itu menyedot kesaktiannya, Siau-hun-paicu. Kami sedang berduka dan sebaiknya kalian tak mengganggu!"

"Ah!" semua terkejut dan tentu saja membelalakkan mata, mundur, Soat Eng berkelebat dan memasuki pulau. "Benarkah yang dikata puterimu, taihiap? Rajawali Merah terluka? Kalian, eh... kami hanya mengganggu saja?"

"Maaf..." Kim-mou-eng mengebut dan menganggukkan kepalanya. "Puteriku benar, Siau-hun-paicu. Kami sedang berduka oleh urusan keluarga. Tapi kalau kalian hendak menyampaíkan terima kasih tentu saja kuterima. Maafkan sikap puteriku Soat Eng."

"Tak apa," para ketua partai tentu saja tak enak dan menyesal. "Sungguh kedatangan kami tak tepat waktunya, Kim-taihiap. Baiklah kami kembali kalau begitu dan sampaikan salam serta hormat kami."

"Atau kami akan menbantu sekuat tenaga bila dapat menolong Rajawali Merah. Katakan apa yang harus kami lakukan, taihiap. Jelek-jelek semua ini karena kami!"

"Benar, apa saja akan kami usahakan. Obat apa yang diperlukan puteramu, Kim taihiap. Biarlah kami cari sampai ke puncak Himalaya!"

"Terima kasih, kami akan mengatasi sendiri. Beng An dan kakaknya belum pulang, cuwi-enghiong, kamipun tak tahu bagaimana cuwi dapat menolongnya. Biarlah lain kali saja dan kami akan menemui cuwi."

Para ketua mengengguk-angguk. Adanya Siang Le membuat mereka maklum bahwa Pendekar Rambut Emas tentu mendapat cerita menantunya ini. Siang Le bersinar-sinar akan tetapi keningnya berkerut, jelas pemuda itupun terganggu oleh kedatangan mereka. Maka ketika Bhek Wi Hosiang mewakili teman-temannya berpamit diri, undur maka Kim-mou-eng mengangguk dan menyatakan penyesalannya pula.

"Tak apa, kami yang mengganggu. Kami tak tahu kalian sedang berduka, taihiap. Tahu begitu pasti kami tak datang. Sudahlah, kami tetap memantau keselamatan puteramu dan lain kali kami datang lagi. Maaf, kami permisi."

Baru saja Kim-mou-eng menarik napas dalam, baru saja memasuki alam kesadaran sudah menerima kepahitan lagi. Dian-diam ia terkejut kenapa lupa menanyakan Thai Liong kepada kakek dewa itu. Bukankah Bu-beng Sian-su pasti tahu. Nanun karena semua sudah pergi dan ia memandng orang-orang itu maka Siang Le bertanya lagi tentang persoalan semula, pertemuan mereka dengan Bu-beng Sian su.

"Aku terlalu bodoh, masih juga sukar menerima inti wejangan itu. Kau sudah tahu dan mengerti baik, gak-hu, sekarang ulangilah dan beritahulah aku!"

"Baik, begini. Mendiang mertuaku ingin menikmati masa kejayaannya dulu, Siang Le, menikmati masa silam dengan memakai tubuh Beng An. Isteriku tak setuju, menolak. Hubungan mereka selalu dengan mimpi atau lewat media gaib. Dan karena berkali-kali ditolak dan sang ayah marah maka isteriku diancam. Diam-diam isteriku goyah. Sesungguhnya ia pun tak senang bahwa Thai Liong lebih lihai daripada Beng An. Semata takut atau segan kepadaku ia pun tak menunjukkan itu secara terang-terangan. Namun ketika ayahnya mendesak dan ia terpengaruh maka dibuatlah surat untuk Beng An seperti yang kita baca itu. Beng An terkejut, bimbang. Namun di saat ia labil putus cintanya maka permintaan sang ibu diturut. la bertapa, dan sebagaimana kita lihat tiba-tiba wajahnya seperti kakeknya itu. Sukma kong-kongnya masuk, lalu ia ke Ce-bu. Namun karena Beng An tetap Beng An maka kakeknya tak dapat sekehendak hati. Anak itu menderita, kekeknya benar-benar kejam. Dan ketika hubungannya dengan Lembah Es terbuka lagi, dengan masuknya Thio-siocia dan Wan-siocia itu maka pribadi Beng An pun goyah. Di satu pihak sukma kakeknya akan tetapi di lain pihak hati nurani atau batinnya memberontak. Semua itu pecah setelah kakaknya mengorbankan diri kepada We We Moli. Di sinilah Beng An hidup lagi, pribadinya bukan pribadi kakeknya namun diri sendiri. la terpukul. Sang kakek menyerah dan keluar meninggalkan Beng An. Aku melihat bukan ini yang penting melainkan lebih hakiki lagi, Siang Le. Bahwa tak ada daun yang sama di dunia ini. Semua berbeda."

"Hn-hm, perlahan sedikit. Sampai di sini aku bingung, gak-hu. Apa maksudmu dengan daun yang tak sama itu?"

"Mendiang mertuaku membangun cita-cita. Ia ingin agar Beng An seperti dirinya itu. Dan karena ini ia ingin reinknrnesi di tubuh cucunya maka Hu Beng Kui siap mencipta diri kembarnya. Ia masih penasaran oleh kekalahannya dulu kepadaku, kini ia semakin tak senang lagi melihat Thai Liong lebih hebat. Akan tetapi karena ia lupa bahwa tak ada yang sama di dunia ini, semua berbeda dan memiliki keunggulannya maka mendiang mertuaku itu gagal. Masa silam atau masa lalu tak pernah kembali. Roda kehidupan selalu berputar. Dan karena gerakan ini selalu memberi yang baru dan baru maka siapapun akan gagal mencipta masa lalu. Jelas?"

Pemuda ini pusing, menggeleng. Dan ketika ia menarik napas tak mampu mengunyah tiba-tiba Pendekar Rambut Emas mengajaknya pulang.

"Baik, begini saja. Malam ini kau beristirahat. Besok aku akan memberimu sesuatu dan buktikanlah itu. Wejangan Sian-su akan ada ekornya. Nah, ekor itulah yang kau tangkap dan kelak akan kau mengerti. Cukup?"

"Cukup," pemuda ini mengangguk. "Otakku pening, gak-hu. Biarlah kukunyah perlahan-lahan. Kalau belum mengerti juga memang aku tolol!"

"Ha-ha, tidak begitu. Wejangan ini memang berat, Siang Le, akan tetapi pasti kau mengerti juga. Sudahlah, kita pulang dan kau beristirahat!"

Si buntung menyerah dan membiarkan diri diseret. Mereka memasuki Istana Hantu meninggalkan batu hitam itu. Dan ketika semalam itu pemuda ini mengencerkan otaknya ternyata sulit juga mencerna akhirnya ia tertidur oleh capai dan pusing. Dia baru bangun ketika pintunya diketuk. Siang Hwa, puterinya berdiri di situ membawa sesuatu. Surat! Dan ketika Siang Lan muncul dengan isak tengis maka Hok Gie puteranya digendong isterinya yang bermata sembab.

"Ayah pulang, bibi Cao Cun juga. Ini untukmu dari ayah, lee-ko, tak boleh dibuka kecuali olehmu. Terimalah!"

Siang Le terkejut, melempar selimut. "Gak-hu pulang? la kembali ke utara?"

"Ya, dan bibi Cao Cun mengiringinya. Katanya untuk merawat dan mengurus keperluan ayah sehari-hari."

"Ah, aku tak sempat mengantar. Mantu laki-laki macam apa aku ini. He, berikan surat itu!" lalu ketika ia menyambar surat di tangan Siang hwa maka pemuda ini tertegun berubah-ubah, sebentar merah sebentar pucat dan akhirnya mengeluh. Lalu ketika ia membanting tubuh di atas pembaringan maka Siang Lee pun mengusir anak isterinya.

Soat Eng tertegun namun memberi isyarat anak-anak. Semalam suaminya gelisah dan sukar tidur. Dan karena ia menyangka urusan Thai Liong, nyonya ini terisak kecil akhirnya ia meninggalkan kamar itu setelah meletakkan secangkir minuman untuk suaminya.

Apakah yang diterima Siang Le dari Kim-mou-eng? Rahasia apakah yang membuat ia berubah-ubah? Bukan lain sepenggal surat yang berisi pemberitahuan. Pertama ia tak boleh berkunjung ke utara dulu kalau Beng An belum datang. Pendekar Rambut Emas yang akan berkunjung selama puteranya belum kembali. Jadi masing-masing biar di tempat menyambut kedatangan pemuda itu. Dan karena pemuda ini sudah cukup lelah, berkali-kali mninggalkan keluarga atau anak isteri maka Kim-mou-eng melarang si buntung ini bepergian lagi, cukup di Sam-liong-to saja.

"Aku tak melarangmu pergi, hanya beristirahiatlah setahun dua. Kau harus menemani anak isterimu di rumah, Siang Le. Thai Liong dan Beng An serta Shintala aku yang mengurus. Aku sendiri tak terikat anak isteri. Kalau ibumu Cao Cun mengikutiku semata ia akan tinggal di utara. Setahun aku akan berkunjung dua kali, jejak Beng An kutangkap. Kalau ia ke Sam-liong-to suruh saja istirahat, jangan ke mana-mana, ini perintahku. Nah, baca suratku yang kedua dan kau tak akan pusing lagi mendapatkan buktinya nanti. Ayahmu!"

Siang Le termangu-mangu. la membuka surat kecil pendek di bawah surat pertama ini. Isinya melanjutkan pelajaran kakek dewa Bu-beng Sian-su.. Ada sebuah kalimat yang membuat jantung pemuda ini berdesir, tentang hubungan Beng An dengan Puteri Es! Dan ketika ia terhenyak den termangu-mangu, disuruh merahasiakan ini sampai bukti tiba maka gak-hunya itu berkata:

"Tak ada daun yang sama, tidak juga segala sesuatu di atas bumi ini. Buktikanlah kata-kata Sian-su, Siang Le, aku sudah menangkap lebih dulu. Bahagia!"

Si buntung mendelong kosong. Sungguh ia masih merasa suka menemukan itu. Akan tetapi karena bukti akan datang, dan itu ditandai dengan munculnya Puteri Es dan Beng An maka pemuda ini berdebar melipat surat itu, bertanya-tanya dan heran serta kecewa bahwa perjuangannya gagal. Hubungan Beng An dan Puteri Es putus, akan tetapi sang gak-hu malah percaya bahwa suatu saat mereka akan bersatu kembali, ia disuruh membuktikan! Dan ketika ia menggigit bibir antara percaya dan tidak, antara harap dan cemas maka matahari semakin doyong meninggalkan Sum-liong-to.

Sehari si buntung tak meninggalkan kamarnya. Dan ketika ia nienyimpan surat itu baik-baik dan ahirnya bersila di dalam kamar, melepas kecewa dan pepat batin aka bersamaan dengan datangnyu gelap Suara jengkerik dan serangga malam menyanyikan lagu kesukaan mereka. Bulan terlihat sepotong dan tampak sedih. Malam semakin larut. Dan ketika semuanya menuju ke alam keheningan maka debur ombak Sam-liong-to pun berdesir lemah, sama lemahnya dengan lambaian nyiur di tepi pantai. Sama lemahnya dengan penghuni yang sedang berduka.

Akan tetapi ketika keesokannya debur ombak menjadi ganas, segala sesuatu bangkit dan menunjukkan kegarangannya maka di puncak Istana Hantu berkelebatan dua sosok bayangan bermain pedang, menusuk dan menikam mainkan Giam-lo Kiam-sut. Itulah si buntung dan isterinya, membuang jenuh dengan berlatih silat. Dan ketika keduanya berkelebatan kian cepat bermanndi keringat.

Maka diam-diam di luar pulau sepasang mata mengamati dengan tajam dan penuh dengki, berindap dan akhirnya menyambar perahu untuk kemudian meluncur meninggalkan Sam-liong-to. Yo-siocia gadis Lembah Es! Akan tetapi karena suami istri ini sibuk sendiri, tak melihat itu maka bayangan gadis baju merah itu lenyap meninggalkan pulau.

Habiskah kisah ini? Tentu saja tidak. Karena sudah cukup panjang penulis terpaksa menghentikannya di sini. Masih ada yang belum tuntas, masih ada yang harus dilengkapi. Dan untuk itu Anda akan berjumpa lagi dengan tokoh-tokoh di dalam cerita ini dalam kisah DEWI PENJARING CINTA. Pembaca akan bertemu lagi dengan Puteri Es. Pembaca akan bertemu pula dengan Beng An. Bagaimanakah tali perjodohan mereka? Putus atau disambung? 

Tapi sayang sekali,  kisah ini harus terhenti sampai disini, dikarenakan buku DEWI PENJARING CINTA belum didapatkan!

TAMAT

Kisah selanjutnya,
Prahara Di Gurun Gobi

Putri Es Jilid 37

Cerita Silat Mandarin Serial Bu-beng Sian-su Karya Batara

"THAI Liong-ko!"

Bergemerataklah dinding ketenangan Istana Hantu. Jerit histeris itu disusul roboh pingsannya wanita ini. Pendekar Rambut Emas menarik napas dalam sementara puterinya sudah menyambar iparnya itu. Kedukaan Soat Eng masih lebih ringan dibanding kedukaan wanita cantik ini, Shintala benar-benar terpukul hebat. Dan ketika cerita itu selesai ditutup dengan robohnya wanita ini maka Siang Le dan Pendekar Rambut Emas berkejap menahan runtuhnya air mata.

Ternyata pukulan yang diterima wanita ini hebat sekali. Ketika sadar Shintala mengguguk dan menangis lagi, menubruk dan pingsan untuk kedua kali, di pelukan Soat Eng. Lalu ketika ia siuman untuk ketiga kalinya maka ia terlongong-longong dan duduk diam seperti patung, bibir berkemak-kemik memanggil Thai Liong.

"Liong-ko... Liong-ko..!"

Siapapun merasa hancur melihat keadaan Wanita ini. Diam-diam Pendekar Rambut Emas menyesal, akhirnya menyerahkan semua itu kepada puterinya dan secara perlahan mereka akan membujuk dan memulihkan keadaan wanita itu. Dan ketika pertemuan itu selesai sementara Bun Tiong muncul tiba-tiba maka anak ini menggigil menemui kakeknya, Pendekar Rambut Emas terkejut.

"Kong-kong, ibu kenapa? Mana ayah?"

Repot pendekar ini menjawab. Akan tetapi menepuk-nepuk pundak cucunya ia berkata juga, "Tak ada apa-apa, tak ada yang serius. Kau anak kecil kenapa tiba-tiba ada disini, Bun Tiong, hayo main-main di luar dan jangan ke mari."

"Aku mendengar ibu menangis, menjerit, dan sekarang ibu seperti patung. Tidak, kau jangan bohong kepadaku, kong-kong, ada apa dengan ibu dan mana ayah. Aku tak mau pergi kalau kau belum memberi penjelasan!"

Pendekar Rambut Emas mengerutkan kening. Bun Tiong adalah anak yang keras hati dan keras kemauan, juga keberaniannya tak perlu diragukan lagi. Anak ini adalah putera Rajawali Merah, kakeknya pun akan dilawan kalau rasanya tidak benar. Dan karena anak ini berhak tahu pula akhirnya pendekar itu menjawab juga, hati-hati, "Baiklah, ibumu menangis karena ayahmu terluka. Tapi pamanmu Beng An membawanya pergi. Nah, cukup dan keluar sana, Bun Tiong, kami orang-orang tua tak mau diganggu."

"Ayah... ayah terluka? Siapa yang melukai?"

"Cukup jangan bertanya banyak-banyak. Selanjutnya adalah urusan orang-orang tua dan kau pergilah!"

"Kalau begitu pasti orang Pulau Api. Baik, kutuntut perhitungan dengan pemuda itu, kong-kong, biar aku atau dia yang mampus!" Bun Tiong tak perduli bentakan kakeknya dan justeru pendapatnya sama dengan pendapat sang ibu. Orang Pulau Apilah yang mencelakai ayahnya. Dan karena di situ ada pemuda Pulau Api itu dan ia melompat serta keluar maka anak ini sudah siap menyerang dan mengadu jiwa dengan Tan Bong!

"Heii. Pendekar Rambut Emas membentak dan berkelebat. "Ke mana kau, Bun Tiong. Tunggu!"

"Aku akan mengadu jiwa dengan jahanam di luar itu. Orang Pulau Api telah melukai ayahku, kong-kong, dan aku harus membalas!"

"Bukan, kau salah. Tunggu dan dengar kata-kataku, Bun Tiong. Yang mencelakai ayahmu adalah We We Moli dan bukan orang Pulau Api. Tahan!" Pendekar Rambut Emas yang sudah menangkap dan mencengkeram cucunya ini tak jadi dilawan dan diberontak ketika Bun Tiong mendengar itu, tadinya siap melepaskan diri dan menendang sang kakek karena betapapun ia tak mau mengalah. Maka ketika anak itu tertegun dan tampak kaget, sang kakek sudah meremas bahunya maka anak ini mengeluh dan jatuh terduduk.

"We We Moli, nenek Lembah Es itu?" ia seakan tak percaya.

"Ya, nenek itu, Bun Tiong. Karena itu jangan serang pemuda itu karena bukan orang Pulau Api yang mencelakai ayahmu melainkan nenek itu."

"Akan tetapi ayah mengalahkannya!"

"itu dulu, sekarang lain. Ayahmu berkorban demi pamanmu Beng An. Sudahlah jangan banyak tanya karena kau anak kecil tak perlu ikut campur!" Kim-mou-eng membebaskan cucunya lagi dan Bun Tiong terhuyung-huyung.

Anak ini terbelalak, mengeluh dan tiba-tiba berteriak keras. Lalu ketika ia melompat dan berlari ke dalam maka Bun Tiong menubruk ibunya, pecahlah tangisnya. "lbu... ibu....!"

Tugas Soat Eng bertambah. Bun Tiong mengguguk dan mengguncang-guncang ibunya dan tiba-tiba Shintala sadar. Wanita yang semula mematung ini mendadak sepasang matanya bergerak hidup. Seruan dan guncangan puteranya itu rupanya menyadarkan dinding batinnya. Dan ketika ia menarik napas dalam dan balas memeluk puteranya, ibu dan anak bercucuran air mata akhirnya wanita Ini bangkit berdiri menuju kamarnya sendiri. Soat Eng membawa encinya ini ke kamar pribadi.

"Aku tak mau diganggu, biarkan kami sendiri. Terima kasih, Eng-moi. Katakan kepada gak-hu bahwa kami tak mau diganggu!"

Soat Eng menangis pula mengantar encinya itu ke kamar belakang. Berkali-kali ia tersedak dan diremas-remas kalau ibu dan anak berdekap-dekapan, Bun Tiong menangis sejadl-jadinya di pelukan ibunya Ini. Tapi ketika pintu kamar ditutup dan Ia kembali ke tempat semula maka di ruangan itu ayahnya dan suaminya sama-sama muram, duduk tak mengeluarkan kata-kata.

"Le-ko... ayah.... Sudahlah, Semua yang terjadi tak mungkin ditarik kembali. Satu-satunya jalan hanyalah menghadapinya dengan tenang!"

"Eng-ji. Betapapun penderitaanmu lebih ringan dibanding Shintala. Biarkan ia di kamarnya tak usah diganggu, aku terpaksa menceritakan kepada Bun Tiong karena ia memaksa."

Wanita itu mengangguk-angguk. Siang Le memeluk isterinya dan Siang Hwa serta Siang Lan muncul. bergegas mereka memberi tahu bahwa pemuda Pulau Api itu pergi, secarik surat disampaikan kepada Pendekar Rambut Emas. Dan ketika pendekar itu tertegun membaca ini maka Kim-mou-eng termangu menahan napas, tiba-tiba teringat surat Beng An.

"la pergi karena tak enak melihat suasana di sini. Ah, semuanya jadi keruh, Siang Le, tapi mau apalagi. Bacalah."

Si buntung menerima dan membaca. Ternyata Tan Bong meninggalkan tempat itu setelah mendengar jeritan Shintala, tahulah dia bahwa pemuda Pulau Api itu tak enak hatinya. Dan ketika ia menghela napas dan mengembalikan itu kepada gak-hunya maka ia bertanya apa yang harus dilakukan.

"Semua semakin tak enak. Tapi kalau kita tidak menceritakan ini tentu lebih tak enak lagi, gak-hu, sekarang apa yang hendak kau kerjakan dan bagaimana dengan Shintala."

"Biarkan dulu, perlahan-lahan kita menghiburnya. Aku sendiri hendak menenangkan pikiranku dengan bersamadhi. Kau temanilah anak isterimu, Siang Le, Sudah saatnya kalian sekeluarga berkumpul. Pergilah dan aku akan ke pantai."

"Gak-hu akan bersamadhi di Ceruk Hitam?"

"Ya, di situ. Kalau ada apa-apa susullah aku!" lalu ketika pendekar ini bangkit dan berkelebat akhirnya Kim-mou-eng meninggalkan ruangan itu, menuju Ceruk Hitam di mana ia dapat menenangkan pikiran dengan samadhi atau siulian. Di ceruk tepi pantai ini desir dan angin lembut akan meninabobokkannya dalam keheningan manunggal, itulah tempat yang baik untuk bersepi diri. Namun ketika malam lewat dan kokok ayam jantan menyambut datangnya pagi ternyata samadhi pendekar ini diganggu datangnya menantu dan anak perempuannya. Siang Le dan Soat Eng sama-sama berkelebat muncul, wajah berubah.

"Ayah, enci Shintala minggat...!"

"Gak-hu, Bun Tiong dibawa ibunya!"

Terbukalah sepasang mata pendekar ini. Kim-mou-eng, yang semalam mulai hanyut dan tenggelam dalam alam samadhi tiba-tiba tersentak di pagi itu. Di belakang dua orang ini muncul Siang Hwa dan Siang Lan menangis tersedu-sedu, dibelakang merek tersuruk jatuh bangun, tampaklah Cao Cun menggendong Hok Gie. Semua menangis dan berseru menyebut ibu dan anak itu. Dan ketika pendekar ini bangkit dan membelalakkan matanya, semalam ada tanda-tanda rahasia yang diterima getar batinnya maka puterinya dan menantunya tersedu-sedu, terutama Soat Eng.

"Mereka... mereka telah pergi. Enci Shintala membawa Bun Tiong. Ah, tentu mereka ke Himalaya, ayah, mencari dan membalas dendam kepada We We Mo li. Apa yang harus kita lakukan dan bolehkah kukejar dia. Kita harus mencegahnya, nenek itu sakti!"

"Tidak, jangan. Belum tentu Shintala mencari nenek itu, Eng-moi, siapa tahu ke Lembah Malaikat menyusul Beng An. Berkali-kali kukatakan jangan pergi dan dengar dulu apa kata ayahmu!"

Siang Le mencekal isterinya erat-erat dan Pendekar Rambut Emas mengangguk-angguk. Apa yang dikata si buntung tepat, bisa jadi Shintala menyusul suaminya ke sana, Lembah Malaikat. Maka ketika ia menarik napas dalam dan menenangkan guncangan batinnya maka sekali lagi pendekar ini menahan sesuatu yang perih, batuk-batuk.

"Suamimu benar, jangan gegabah. Mencari nenek itu adalah perbuatan bunuh diri, Eng-ji, lagi pula tidak tepat. Thai Liong memang terluka tapi belum tewas, Sian-su dapat menyembuhkannya."

"Tapi kalau Beng An gagal...!"

"Hm, berandai-andai hanya mencemaskan diri sendiri. Soat Eng, tapi semalam aku telah mendapatkan isyarat batin. Shintala sudah pergi, percuma dikejar. Marilah kalian temani aku di sini dan harap anak-anak disuruh pulang kembali."

"Ayah... ayah hendak menyuruh kami berpangku tangan?"

"Bukan berpangku tangan, Soat Eng, justeru mengajak kalian mencari hikmah dari semua peristiwa yang terjadi ini. Marilah, temani bersamadhi dan suruh anak-anak pulang. Semalam aku melihat sesuatu dan apakah kalian akan melihat itu pula."

Wanita muda ini tertegun, ragu dan mengerutkan kening tapi Siang Le sudah mengibaskan lengannya kepada anak-anak itu, juga Cao Cun. Lalu ketika si buntung ini minta agar mereka kembali maka Siang Le menangkap getaran seperti apa yang ditangkap ayah-mertuanya itu.

"Kalian dengar, kong-kong minta semuanya pergi. Kembali dan jaga rumah baik-baik, Siang Lan, tunggu kami di sana. Kami hendak menemani kong-kong bersamadhi dan jangan ganggu kami bertiga. Dan ibu, bawa anak-anak pulang dan jangan menangis lagi."

Cao Cun terisak dan mengangguk-angguk. Sebagai anggauta keluarga pendekar ini tentu saja ia mengerti dan maklum apa yang dikehendaki. Siang Hwa dan Siang Lan menghentikan tangisnya ketika disambar nenek mereka itu. Lalu ketika mereka kembali dan meninggalkan tempat itu maka Siang le melompat dan duduk di sebelah gak-hunya, bersila.

"Eng-moi, mari cepat. Ayah minta kita menemani di sini!"

Wanita itu mengangguk dan meloncat pula ke situ. Batu besar yang diduduki Pendekar Rambut Emas kebetulan cukup luas dan enak dipakai, empat orangpun bisa bersila di sini. Dan ketika pendekar itu tersenyum dan mengangguk mengembalikan perasaannya maka dia berkata bahwa sebaiknya semua sama-sama diam.

"Semalam ibu dan kakekmu muncul di sini. Aku tak tahu maksud mereka, Eng-Ji tapi pasti ada sesuatu yang penting. Marilah bersamadhi dan tutup mata kalian!"

"Ibu? Kakek Hu Beng Kui?"

"Ya, mereka. Semula mereka melayang-layang di atas permukaan laut, mendekati tempat ini. Namun ketika tangis dan suara kalian membuyarkan samadhiku maka merekapun menghilang."

"Ah apakah artinya itu, ayah. Apakah...apakah...?"

"Tak usah berandai-andai lagi. Akupun tak tahu maksud mereka, Eng-ji, mari bersila dan tutup mata."

"Tunggu..." Siang Le berseru teringat sesuatu. "Bagaimana dengan surat itu, Gak Hu, surat untuk Beng An. Apakah dibuka dan dilihat bertiga!"

"Surat?" Soat Eng tertegun, alisnya terangkat naik.

"Ya, surat yang belum dibuka gak-hu, Eng-moi, kutemukan ketika jatuh. Aku tak berani membukanya dan gak-hu juga tidak semata menjaga perasaan An-te. Kami belum membuka itu."

"Hm, Surat itu adalah surat ibumu untuk adikmu dulu. Satu untukmu itu, Soat Eng, satu untuk adikmu Beng An."

"Coba kulihat!, nyonya ini bernafsu. "Kenapa Beng An membuangnya!"

"Bukan dibuang, melainkan jatuh. Surat itu kudapatkan di Himalaya ketika an-te membawa Thai Liong. Dalam keadaan buru-buru surat itu jatuh tanpa disadari. Jangan katakan bahwa itu dibuang."

"Baik, tunjukkan padaku, Ayah, atau mari sama-sama kita baca. Aku penasaran!"

"Hm, bagaimana surat ibumu untukmu itu?"

"Tak ada yang istimewa, hanya minta agar aku dapat memberinya cucu laki-laki, sedikit memaki Le-ko. Tapi setelah Hok Gie lahir ternyata ibu tak melihat cucunya itu."

Soat Eng terisak dan mengeluarkan surat ini dan sang ayah membaca dengan kepala mengangguk-angguk. Memang tak ada yang istimewa di situ, kecuali mengharap cucu dan sedikit menyindir Siang Le. Namun karena Kim-hujin tewas ketika Hok Gie lahir, sang. cucu tak sempat dilihat neneknya akhirnya Pendekar Rambut Emas mencabut surat itu, gemetar.

"Aku pribadi tak pernah membaca surat-surat anakku, khawatir menyinggung perasaan mereka. Kini kalian berdua ingin tahu surat itu, Soat Eng, biarlah kita lihat dan kita ketahui isinya. Kalau langkah ini keliru biarlah Beng An memaafkan kita. Semoga adik kalian itu tak memarahi kita." lalu ketika dengan hati-hati dan jari menggigil pendekar ini membuka surat itu maka terbelalaklah matanya membaca sesuatu, Soat Eng dan suaminya juga turut membaca:

Beng An, puteraku,
Surat ini kubuat setelah semalam ibu bermimpi ditemui kakekmu, Hu Beng Kui. Roh kakekmu mendatangi ibu, mengancam. Dulu sebelum kau lahir kakekmu ingin bersemayam di tubuhmu, tapi kutolak. Kebesaran dan jaman keemasannya ingin dinikmatinya lagi. Kakekmu ingin kau menjadi pendekar tanpa tanding, anakku, mengulang jaman kejayaannya dulu. Aku takut.

lbu dipaksa membuat surat ini agar kau tahu. Kau diminta bertapa, tiga hari. Roh kakekmu ingin masuk ke tubuhmu dan mengulang sepak terjangnya dulu. Nama Hu-taihiap ingin diangkat. Kejayaan dan masa keemasannya ingin dibangkitkan lagi. Kalau kau tak mau melakukan ini maka kakekmu akan menjemput ibumu. Aku takut.

Kau diminta menjadi jago nomor satu, puteraku, mengalahkan ayahmu dan juga kakakmu Thai Liong. Pendeknya kakekmu penasaran ia masih tak mau terima kalah dengan keluarga Kim. Keluarga Hu ingin unggul, dan untuk itu ia ingin berkiprah lagi di dunia kang-ouw dengan memasuki tubuhmu. Ibu sudah bercerita, selanjutnya terserah kau. Aku takut dan bingung menghadapi kakekmu yang keras hati ini. Semoga kau selamat!
Ibumu


Soat Eng menjerit kecil dan tiba-tiba mengguguk selesai membaca surat ini. Wanita itu menangis dan menutupi muka membanting-banting kaki. Sementara Siang Le, suaminya tertegun dan meremas-remas tinju teringat mendiang kakek gagah bernama Hu Beng Kui itu, kakek yang akhirnya tewas di tangan seorang pemuda licik dan curang bernama Togur, yang juga akhirnya tewas di Sam-liong-to ini. Dan ketika ia berkerut-kerut antara gemas dan marah, juga tak habis pikir.

Pendekar Rambut Emas sendiri menghela nepas panjang pendek teringat bekas mertua yang keras hati dan keras kepala itu, termenung teringat kisah beberapa puluh tahun yang lalu dimana ia mengalahkan jago tua itu. Hu Beng Kui marah-marah dan hampir saja puterinya sendiri dikorbankan, setelah puteranya bernama Beng An, kini nama itu dipakai puteranya pula tewas gara-gara sang ayah yang keras hati dan, keras kepala itu. Hu Beng Kui memiliki dua anak laki-laki dan perempuan bernama Hu Swat Lian dan Hu Beng An, jadi Beng An yang sekarang memakai nama pamannya, kakak dari mendiang ibunya itu. Dan ketika surat itu terkulai di tangannya yang gemetar dan menggigil mendadak Siang Le menuding dan berseru,

"Hei, itu ada tulisan lagi, gak-hu. Masih ada surat lain!"

Kim-mou-eng terkejut. Di balik lipatan kertas ini ternyata ada "surat lain" pula yang membuat ia tertegun. Tadi surat itu tak terlihat karena tertutup lipatan kertas, secara kebetulan menghadap si buntung dan Siang Le itulah yang melihat. Maka ketika ia membalík dan membaca itu tiba-tiba ia tersentak karena isinya dua bait syair yang gaya serta penampilannya dikenal sebagai milik Bu-beng Sian-su. Berarti isterinya telah bertemu dengan kakek dewa itu sebelumnya!

"Ah, ini syair Bu-beng Sian-su!"

"Benar dua bait syair. Berarti ibu telah bertemu kakek itu, ayah. Heran bahwa kita tak mengetahuinya!"

Soat Eng, yang menghentikan tangis dan sedu-sedannya tiba-tiba saja langsung berseru dan terkejut serta heran. Siang Le berdecak dan mengeluarkan rasa kagetnya pula. Dan ketika kembali mereka membaca surat itu maka masing-masing melihat syair yang membicarakan tentang riuh burung dan ikan serta isi bumi.

Biarkan riuh burung berkicau
Lihatlah ikan di sungai Yang-Ce
Riak kecipak berwarna-warni
Penuh pesona membuat takjub

Elok amat seisi bumi
Sudah berjalan berabad-abad
Apakah kita melihat ini
Indah nian sepanjang jagad!


"Hm, peninggalan Bu-beng Sien-su. Apa artinya semua ini Eng-ji, ibumu ternyata tak pernah bicara apa-apa kepadaku. Heran, suratnya bercampur dengan surat Bu-beng Sian-su!"

"Benar, dan aku juga bingung. Hanya kakek itu yang bisa menerangkan, ayah. lbu juga tak pernah bicara apa-apa kepadaku. Ini Semua bersumber dari kong-kong!"

Tak usah menyalahkan kakekmu. Yang/meninggal sudah meninggal, Eng-ji, jangan disakiti lagi. Biarlah kita renungkan semua ini dengan bersamadhi."

"Benar, aku mulai menangkap sesuatu. Ada getaran yang kuterima, gak-hu, yang berhubungan dengan ini. Marilah kita bersamadhi dan jelaslah sudah kenapa Beng An menjadi Thian-te It-hiap. la telah kemasukan roh kakeknya, Hu-taihiap. Malang-melintang sejenak, tapi terseret urusan Lembah Es dan orang-orang Pulau Api!"

Siang Le, yang berubah dan terbelalak pucat teringat kejadian-kejadian mengerikan sejak di Cebu sampai Mahameru, gentar dan merinding bulu tengkuknya tapi Pendekar Rambut Emas sudah menyimpan kembali surat itu. Jawaban lengkap hanya di tangan Bu-beng Sian-su. Maka ketika pendekar itu memejamkan mata dan menyuruh yang lain diam, duduk bersamadhi maka Pendekar Rambut Emas sudah mulai ini.

"Tak ada lagi yang perlu dikerjakan. Satu-satunya hanyalah menunggu dan menerima sinar gaib, Eng-ji, diam dan bersila menangkap petunjuk-petunjuk. Marilah bersila dan kita tunggu datangnya Kebenaran."

Soat Eng berdebar dan masih membelalakan matanya. Ia sudah tidak menangis lagi dan justeru merasa tegang. Ada tali kait-mengait dalam urusan ini. Surat ibunya bercampur dengan surat Bu-beng Sian-Su pula. Menarik! Dan ketika ia melihat Suaminya mengangguk dan memejamkan mata, menyuruh ia duduk diam maka wanita inipun bersila dan sudah mengheningkan cipta, menarik semua pusat pikiran ke titik samadhi dan tenggelamlah dia mengikuti suaminya.

Siang Le sudah menyusul Pendekar Rambut Emas. Dan ketika tiga orang itu berubah menjadi patung-patung hidup yang tak bergeming bagaikan arca maka masuklah ketiganya kedalam alam keheningan di mana segala sesuatu tak dirasa lagi oleh indera kasar melainkan oleh syaraf batin yang amat halus dan peka sekali, bergetar dan memancar keluar dan tampaklah cahaya kesucian bersinar perlahan-lahan, kian lama kian terang untuk akhirnya naik ke atas.

Dalam keadaan seperti ini seseorang sudah siap menerima denyut Kebenaran. Getar dan simpul batin bekerja secara otomatis. Dan ketika ketiganya benar-benar tak sadar akan alam sekelilinga yang bersifat lahiriah, tak mendengar lagi debur dan desir angin laut karena yang akan didengar hanyalah bisik keagungan ilahi maka Pendekar Rambut Emas dan puteri serta menantunya tak tahu lagi berapa lama mereka duduk diatas batu hitam itu.

Tak tahu betapa matahari telah bergeser dan muncul lagi melaksanakan tugasnya, tak tahu antara siang dan malam. Dan karena sinar di tubuh mereka kian memancar dan naik ke atas maka sesuatu yang amat gaib dialami tiga orang ini secara bersamaan, yakni pertemuan mereka dengan roh Hu Beng Kui dan Kim-hujin, juga Bu-beng Sian-su!. Dan begitu ketiganya memasuki alam gaib maka terkupaslah apa yang selama ini merupakan rahasia!

* * * * * * * *

Mula-mula Pendekar Rambut Emas merasa melayang-layang di tempat hampa udara. la seakan telah meninggalkan raganya di batu hitam itu, tubuh begitu ringan dan tipis di permukaan bumi. Siang Le, menantunya melayang-layang pula disebelahnya, bergandengan tangan dengan Soat Eng yang tersenyum dan berseri-seri. Alam yang mereka masuki terasa sejuk dingin, tak terlihat matahari akan tetapi suasananya cukup terang. Bumi yang mereka lihat tampaknya berwarna jingga, sementara langit di atas mereka bukan berwarna biru melainkan abu-abu, sedikit putih keperakan dengan keempat sudutnya hijau lumut.

Pemandangan yang mereka saksikan indah sulit dilukiskan dengan kata-kata dan masing-masing tenggelam dalam kebahagiaannya sendiri. Pendekar Rambut Emas melayang-layang ringan dengan mata penuh takjub sementara menantu dan puterinya bergandengan mengitari sebuah pohon yang-liu. Pohon ini rindang dengan daun-daunnya yang hijau segar, puncaknya menjulang tinggi dan beberapa pucuk daunnya meneteskan embun dingin.

Berada di tempat ini ibarat berada di surga dan tiba-tiba tampaklah mahluk lain beterbangan kian ke mari, mulai dari kupu-kupu dan serangga berwarna-warni sampai akhirnya mahluk-mahluk lembut seperti mereka. Manusia! Akan tetapi ketika mereka menghilang dan timbul lagi, menghilang dan berganti yang lain maka Kim-mou-eng dan puteri serta menantunya terkejut ketika muncul dua orang yang mereka kenal. Hu Beng Kui dan Kim-hujin!

"Ibu...!"

"Niocu...!"

Bagai sembrani bertemu sembrani tahu-tahu mereka berlima telah bertaut. Kim-mou-eng telah bertemu isteri dan mertuanya ini sementara Soat Eng mengguguk menubruk ibunya. Ibu dan anak berangkulan. Dan ketika Kim-mou-eng tertegun memandang kakek gagah itu, Hu-taihiap maka jago pedang ini berseru, tertawa bergelak.

"Kim-mou-eng, kami keluarga Hu tak mau kalah denganmu. Hayo, kita bertanding dan lihat kesaktiaaku sekarang."

Kakek itu mencabut pedangnya dan tahu-tahu ia menyerang dan telah menusuk dada pendekar ini. Kim-mou-eng berkelit dan menangkis akan tetapi lawan terus mengejar dan tak kenal puas, tusukan dan tikaman tak pernah berhenti. Baru setelah Kim-hujin membentek dan berkelebat di depan ayahnya maka jago pedang itu menghentikan serangan.

"Tahan, ayah tak boleh menyerang suamiku. Berhenti dan dengar kata-kataku atau aku menyerangmu!"

"Ha-ha, masih juga membela suami. Aku ingin mengalahkannya, Swat Lian, ilmu pedangku sudah maju pesat. Kalau ia roboh dan mengaku kalah baru aku berhenti. Minggir, aku masih penasaran!"

"Tidak, sekali lagi tidak. Kalau ayah berani menyerangnya maka kau akan berhadapan dengan aku. Pergi, aku tak ingin kau di sini!"

"Ho-ho, kau anak durhaka. Dulu kau masih menyimpan surat untuk anakmu Beng An, Swat Lian, dan kau menerima akibatnya. Sekarang kau masih menghalangi aku pula dan awas akibatnya nanti. Aku masih penasaran tak mau dikalahkan siapapun juga!"

"Cukup, ayah sebaiknya pergi atau aku memusuhimu nanti. Atau....!" tiba-tiba terdengar bunyi kelenengan, Kim-hujin menghentikan kata-katanya dan Hu Beng Kui tampak berobah.

Dari arah barat muncullah seekor keledai dengan penunggangnya yang aneh. Penunggang ini tak tampak wajahnya karena tertutup oleh halimun atau kabut tebal, bunyi kelenengan terdengar dari leher keledai yeng diganduli sebuah bandul kuningan, seperti lonceng atau mainan anak-anak di mana keledai itu kini berlari congklang. Dan ketika kakek ini berubah dan menghilang cepat, keledai dan penunggangnya berhenti di situ maka terkejutlah Kim-mou Eng karena ia mengenal siapa penunggang aneh ini.

"Sian-su!"

"Bu-beng Sian-su (Kakek Dewa Tak Bernama)!"

Kim-mou-eng dan Siang Le sudah menjatuhkan diri berlutut. Soat Eng, yang tertegun tapi melepaskan diri dari ibunya juga berseru menyebut kakek itu. Inilah Bu-beng Sian-su yang terkenal itu, kakek dewa amat sakti. Dan ketika ibunya juga berlutut dan menahan isak tangis maka keluarga Pendekar Rambut Emas menyambut kakek ini dengan bermacam perasaan, Kim-hujin takut dan gentar sementaa Kim-mou-eng dengan wajah berseri dan gembira bukan main.

"Hm, bangkitlah, jangan berlutut. Mana kakekmu Hu-taihiap, siauw-hujin (nyonya muda). Kulihat ia tadi di sini. Mana orang tua gagah itu?"

"Ia... ia pergi. Ia takut kepadamu, Sian-su, gentar. Ayah merasa bersalah akan tetapi tak mau mengakui kesalahannya apabila di depan anak-anak atau orang lain. Ia seorang keras kepala!"

Kim-hujin yang mendahului dan mewakili puterinya berkata menahan isak tangis. Soat Eng membelalakkan mata dan merasa heran akan tetapi kakek itu mengangguk-angguk, terdengar gumam dan kekeh lembut. Lalu ketika ia turun dari keledainya dan menyuruh keledai itu merumput di bawah pohon yang-liu maka kakek ini menarik napas dalam memandang Kim-hujin dan lain-lain, berhenti pada Kim-mou-eng. Sorot matanya menjadi tajam dan menembus kabut halimun itu, mencorong bagai mata seekor naga sakti, membuat Soat Eng dan lainnya menunduk dengan jantung berdegup kencang. Kakek ini bagai seorang hakim di depan pesakitan!

"Kau...!" kata-katanya tertuju kepada Pendekar Rambut Emas. "Apa yang kau cari hingga melepaskan ragamu di bumi, Kim-mou-eng. Keperluan apakah yang membuatmu begitu keras keinginan hingga mengajak anak-anak muda ini ke sini. Tahukah kau apa resikonya."

"Ampunkan aku yang bodoh," Kim-mou-eng membungkuk dan menjura dalam-dalam. Samadhiku membawaku ke sini tiada lain untuk mencari Kebenaran, Sian-su. Bahwa ada hal-hal yang membuatku penasaran dan ingin tahu. Kami datang untuk mendapatkan penerangan, semoga di bawah petunjuk Sian-su, kami bertiga mendapatkan kebahagiaan!"

"Benar... teecu sependapat dan sejalan dengan Gak Hu, Sian-su. Kami datang untuk ndapatkan penerangan batin. Semoga Sian-su memberi petunjuk dan membuka pintu hati kami!" Siang Le, yang kini berdebar dan berusaha menguasai dirinya ikut menyambung kata-kata sang ayah. Dia mengangkat kepala akan tetapi cepat menunduk ketika tak tahan menatap sepasang mata mencorong itu.

Mata kakek ini bagai senter gaib, menembus dan menusuk jantungnya amat kuat. Dia seakan diteropong dan dijenguk segenap sudut hatinya, bagian terkecilpun tak terlewat. Dan ketika ia tergetar tak jadi tersenyum, menunduk dan gemetar maka tawa kakek itu menenangkannya kembaii, begitu lembut dan renyah, jauh sekali dengan sepasang mata bak seekor naga sakti itu.

"Kau anak muda enak saja bicara. Apa lagi yang kalian cari kalau kebahagiaan itu sudah di batin kalian, Siang Le. Apalagi yang dicari kalau semua sudah di punyai. Hm, kau!" kakek ini kembali kepada Kim-mou-eng. "Kebenaran apa yang ingin kau ketahui, Kim-mou-eng. Petunjuk apa yang kau minta!"

"Ampun..." pendekar ini berdebar. "Isteriku ada di sini, Sian-su, agaknya langsung saja. Aku hendak mengetahui tentang syair yang kau berikan kepadanya. Kalian berdua rupanya sudah saling bertemu!"

"Benar," Soat Eng menimbrung dan memandang ibunya. "Suratmu kepada Beng An aneh, ibu, menyangkut-pautkan kong-kong. Sekarang kami di sini dan minta jawabanmu pula!"

"Aku. aku, ahh....!" Kim-hujin tiba-tiba tersedu. "Semuanya salahku, Eng-Ji. Aku terlambat memberikan surat itu kepada Beng An. Dan Sian-su... nasihatnya, ahh... tak kuikuti jauh-jauh hari!"

"Apa maksud ibu!" Soat Eng melompat dan mencekal léngan ibunya itu, terasa dingin. "Apa yang kau maksud terlambat, ibu, nasihat apa pula yang kau dapat dari Sian-su!"

"Aku... aku penuh keragu-raguan. Aku salah. Ah, semua bakal kau dapatkan dari Sian-su, Eng-ji, tanyalah kakek itu. Kong-kongmu memanggil"

Soat Eng terkejut dan berseru keras ketika ibunya tiba-tiba melompat dan lari terbang. Dari jauh terlihat kakeknya Hu Beng Kui melambai, suaranya serak parau memanggil ibunya. Dan ketika ia berteriak dan mengejar, anehnya sang ibu lenyap memasuki sebuah kabut maka ia tertegun berdiri bengong. Di depannya muncul sebuah dinding awan yang tak mampu ditembus.

"Ibuu...!"

Jeritan ini menyadarkan Siang Le. Si buntung tibe-tiba bergerak dan menyambar lengannya, Soat Eng terhuyung roboh. Namun karena pemuda itu sudah menahannya dan Soat Eng tersedu maka Si buntung termangu berbisik gemetar, "Ibumu tiada, ia telah pergi. Duduk dan lihat ayahmu di sini, Eng-moi, lihat Sian-su memandangmu pula. Sudahlah, jangan menangis."

Kim-mou-eng batuk-batuk, menyambar lengan puterinya pula. "Suamimu benar ibumu telah pergi. Kita masih menungg petunjuk Sian-su, Eng-ji, duduk dan sadarlah. Kong-kongmu membawa ibumu."

Soat Eng menghentikan tangis mengusap air matanya. Ia masih terisak-isak akan tetapi senyum lembut kakek itu menahannya. Ada perasaan malu Juga. Maka ketika ia melepaskan diri dan menunduk maka sang ayah menyuruhnya duduk menghadap kakek itu, bertiga di depan kakek dewa ini.

"Kim-hujin tak akan kembali, ia telah pergi. Suatu saat kalian akan bertemu lagi anak baik. Hentikan tangismu dan bersikaplah gagah. Bukankah kakekmu Hu Beng Kui adalah seórang gagah. Air mata hanya untuk mereka yang cengeng!"

Wanita ini semburat. Kata-kata itu cukup tajam dan ia mengeraskan hati. Betul, alr mata hanya untuk mereka yang cengeng. Dia adalah cucu Hu-taihiap terlebih lagi adalah puteri Pendekar Rambut Emas, tokoh yang gagah! Maka ketika ia mengepalkan tinju dan menggigit bibir maka ayahnya berdehem memandang kakek dewa itu.

"Maafkan kami," Kim-mou-eng menunduk memberikan kepalanya. "Kami orang-orang yang masih lemah dan mudah terbawa perasaan sendiri, Sian-su. Mohon berilah petunjuk dan kekuatan batin."

"Tak apa, wanita lebih perasa. Sekarang apa yang kau kehendaki, Kim-mou-eng. Apa yang dapat kuberikan." Kakek itu tersenyum.

"Kami tak ingin berputar-putar lagi terus terang ingin mengetahui rahasia suratmu di balik surat isteriku. Mohon Sian su memberi petunjuk dan jawaban!"

"Baik, yang mana itu dan keluarkanlah. Terlalu banyak surat-suratku untuk mereka yang berkepentingan."

"Ini..." Pendekar Rambut Emas merogoh dan langsung mengeluarkan surat. "Rasanya ada ganjalan yang membuat kami ingin tahu, Sian-su. Apa artinya ini dan kapan isteriku bercakap-cakap denganmu."

"Bacalah," kakek itu tersenyum. "Aku mendengarnya dari sini, Kim-mou-eng. puterimu telah memberi ijin pula."

Mulailah Kim-mou-eng bergegas. Segera ia membaca dan lantang menyuarakan kalimat demi kalimat akan tetapi kakek itu buru-buru mengebut. la tak mau mendengar surat untuk Beng An, yang diminta adalah syair itu, suratnya sendiri. Dan ketika Kim-mou-eng tertegun sementara Siang Le tersenyum maka Soat Eng tiba-tiba berbisik pada ayahnya agar suaminya saja yang membaca.

"Belum apa-apa sudah salah, biarkan saja Le-ko yang membaca ayah, serahkan surat itu kepadanya!"

Kim-mou-eng tersipu merah. la menoleh akan tetapi menantunya tersenyum. Apa boleh buat memberikan surat itu kepada pemuda ini. Dan ketika Siang Le minta maaf berdehem dua kali, timbulah semangatnya maka si buntung ini membaca penuh tenaga, wajah dan otot lehernya menegang, serius.

Biarkan riuh burung berkicau
Lihatlah ikan di sungai Yang-ce
riak kecipak berwarna-warni
penuh pesona membuat takjub

Elok amat seisi bumi
sudah berjalan berabad-abad
apakah kita melihat ini
indah nian sepanjang jagad!


"Ha-ha!" kakek itu tertawa, bergelak. "Bagus sekali, Kim-mou-eng. Menantumu begitu lantang dan penuh semangat. Bagus, aku bicara tentang burung dan ikan di sungai Yang-ce. Aku bicara tentang isi bumi. Aah, betul itu. Tidak salah!"

"Apanya yang tidak salah," Kim-mou-eng berseru dan menegur heran. "Kami belum mengerti apa-apa, Sian-su. Kami tak tahu apa yang kau maksudkan. Kami tak mengerti itu!"

"Ha-ha, pengakuan itu sebuah kejujuran. Yang jujur akan mengerti, Kim-mou-eng, yang sombong tak akan tahu. Bagus, kau akan mengerti!"

Kim-mou-eng membelalakkan mata. Kakek ini mengebut-ngebut pakaiannya sementara menantu dan puterinya mengernyitkan kening. Mana mungkin mereka tahu kalau kakek ini tak memberi tahu. Tapi ketika mereka diam saja dan maklum keanehan kakek ini, Bu-beng Sian-su akan segera meluncur dengan jawabannya maka benar saja kakek itu bicara lagi, kini nada bicaranya serius.

"Aku tak mau mendengarkan surat isterimu karena itu bukan urusanku. Kaupun tak akan datang kalau hanya untuk itu. Nah, pembicaraan berkisar pada syairku, Kim-mou-eng, bertitik tolak dari sana. Ketahuilah bahwa sebelum syair itu kubuat memang isterimu menemuiku untuk meminta nasihat. Dan kuberilah keterangan dan jawaban singkat. Akan tetapi karena isterimu ragu dan bertindak lambat maka kemarahan ayahnya tak dapat dicegah lagi. Semuanya datang dan terjadilah itu."

"Tunggu, kejadian apa yang Sian-su maksudkan?"

"Tewasnya isterimu, datangnya roh Hu Beng Kui."

"Hm!" Pendekar Rambut Emas menggigil, memejamkan mata. "Baik lanjutkanlah, Sian-su, aku sadar."

"Hu Beng Kui seorang yang keras hati, Ia kakek yang tak mau kalah. Sejak ia pecundang di tanganmu maka rohnya pun masih penasaran ingin mengulang masa kejayaannya dulu. Padahal mana mungkin masa lalu dihadirkan pada masa sekarang? Mungkin kau masih ingat ketika pertama dulu isterimu mengandung Beng An, Kim mou-eng, betapa roh mertuamu mengunjungi isterimu...!"

"Ya-ya, aku ingat," Pendekar Rambut Emas mengangguk dan teringat masa lalu itu, ketika pagi-pagi isterinya ketakutan dan bercerita. "Waktu itu isteriku bercerita, Sian-su, bahwa roh ayahnya ingin memasuki jabang bayi."

"Benar, akan tetapi tidak jadi, isterimu menolak. Namun setelah anak itu dewasa maka Hu Beng Kui datang mengganggu lagi. la ingin cucunya seperti dirinya. la ingin Beng An adalah Hu-taihiap." Pendekar Rambut Emas menahan perih, sesuatu terasa menusuk.

"Tahukah kau betapa isterimu berperang batin?"

"Tidak!"

"Tentu, isterimu tak pernah bercerita. Ia memendam semua ini sampai napasnya sesak, Kim-mou-eng, dan sebagai pelampiasannya akhirnya ia meluapkan kemarahan kepada menantunya Siang Le."

"Eh!" Kim-mou-eng terkejut. "Maksudmu apa, Sian-su?"

"Masalah cucu laki-laki itu, betapa Kim-hujin ingin memiliki cucu laki-laki dari garis keturunannya. la tak puas hanya mendapatkan Bun Tiong."

Soat Eng terpekik lirih. Wanita ini bangkit akan tetapi Siang Le menahan isterinya, pembicaraan belum selesai. Dan ketika kakek itu menoleh dan mengangguk maka wanita inipun tersedu dan menangis.

"Semuanya berawal dari ganguan Hu-taihiap ini" kakek itu melanjutkan. Angan-angan atau cita-citanya dibawa sampai mati, Kim-mou-eng, penasaran tak dapat membuat arwahnya tenang. Isterimu dipengaruhi, dibujuk-bujuk, dan terakhir malah diancam. Dalam kebingungan dan ketakutannya akhirnya isterimu terjebak, diam-diam ia mulai tak suka kepada Thai Liong. Dan ketika akhirnya ia didatangi roh ayahnya lagi maka surat itu dibuat, hanya saja tidak segera disampaikan kepada puteramu Beng An."

"Beng An merantau ke Pulau Api dan Lembah Es!"

"Betul, isterimu cemas. Dan ketika Hu Beng Kui mulai menteror maka datanglah malapetaka itu, datangnya Tan-pangcu dan tokoh-tokoh Pulau Api."

Kim-mou-eng menggigit bibir. Sampai di sini ia merasa marah dan merasa bahwa mendiang mertuanya itu terlalu. Soat Eng dan Siang Le membelalakkan mata dan tiba-tiba timbul kebencian wanita itu kepada kakeknya.

"Kong-kong jahat!" tiba-tiba ia berseru.

Akan tetapi ketika kakek itu memandangnya dan menghela napas dalam maka Siang Le memeluk isterinya ini di mana sang isteri tersedu-sedu kembali.

"Jahat atau tidak adalah pandangan orang lain. Kalau ibumu sebelumnya tak memiliki bibit kebencian atau ketidaksenangan maka unsur jahat dari luar tak mudah masuk, siauw-hujin. Tapi karena ibumu segaris dengan ayahnya maka ia pun terjebak dan kemasukan unsur tidak baik itu, inilah pokok masalahnya."

"Maksud Sian-su?"

"Ibumu diam-diam tak senang bahwa anak tirinya Thai Liong lebih lihai daripada anak kandungnya Beng An."

Soat Eng memejamkan mata, mengeluh.

"Dan karena iapun menginginkan puteranya lebih lihai daripada kakakmu maka pengaruh atau unsur jahat dari Hu Beng Kui masuk. Kalau ia memiliki kebersihan hati dan batin, maka seribu kotoran tak akan menembusnya, ia tetap cemerlang. Akan tetapi karena sebelumnya sudah ada bibit-bibit seperti itu maka pengaruh jahatpun mudah memasukinya, jangan salahkan kong-kongmu."

Soat Eng tersedu, menyembunyikan muka di dada suami.

"Diri sendiri adalah benteng utama, siauw-hujin. Kalau benteng ini lemah dan amat rapuh maka gangguan dan kotoran mudah sekali menembusnya. Karena itu ibumu juga salah, ingat ketika ia memaki-maki suamimu hanya karena tak dapat memberikan cucu laki-laki."

"Cukup... cukup, aku tahu, Sian-su, lbu memang tak senang kepada Liong-ko. la merasa anak sendiri kalah. lbu memang diam-diam menginginkan Beng An lebih lihai daripada kakaknya karena Liong-ko hanya anak tiri bagi ibu. Kalau ibu tak menunjukkan ketidaksenangannya karena semata ada ayah. Ibu, ah... Ia memang masih selalu membeda-bedakan. Padahal berkali-kali kukatakan bahwa jalan pikirannya itu tidak sehat. Thai Liong-ko sebenarnya tiada ubahnya kakak kandungku sendiri. Dan dia... ah, dia telah mengorbankan keselamatannya sendiri terhadap An-te. Aduh, kau memang terlalu ibu. Sekarang lihat apa yang kau tinggalkan kepada kami selain kepedihan dan kedukaan belaka. Dan kong-kong... ah, ia pun jahat. Aku tak mau mendengar lagi dan biar aku pergi!"

Soat Eng membalik dan meloncat pergi dan tahu-tahu wanita itupun melesat terbang. Siang Le meneriaki isterinya akan tetapi Pendekar Rambut Emas mencekal lengannya. Pemuda ini sudah bangkit dan hendak mengejar akan tetapi cekalan gak-hunya kuat. Lalu ketika Pendekar Rambut Emas mengangguk dan menyuruh ia duduk akhirnya si buntung sadar dan menarik napas dalam, "kami sudah mulai jelas. Akan tetapi inti dari semuanya ini belum kami tangkap, Sian-su. Mohon kau memberi petunjuk dan biarlah kami berdua menikmati wejanganmu."

Kakek ini tersenyum, tertawa lembut. "Kau cerdas, Kim-mou-eng. Kau tahu bahwa inti pembicaraan belum dimulai."

"Ceritamu baru kulit luar. Aku belum menangkap apa-apa. Biarlah kami dengarkan lebih lanjut dan mohon Sian-su maafkan sikap puteriku tadi...!"

"Heh-heh, ia kembali ke Ceruk Hitam. Tak apa, Kim-mou-eng... tak apa, pembicaraan justeru bisa menjadi lebih serius."

Kim-mou-eng mengangguk-angguk, menantunya juga turut mengangguk-angguk. Lalu ketika kakek itu menarik napas dalam dan membetulkan letak duduknya maka ia bertanya apa yang ingin diketahui pendekar ini.

"Tak lain kembali pada persoalan syair itu. Harap Sian-su memberikan penjelasan apa hubungannya itu dengan cerita isteriku."

"Hm, kisah istermu sudah kuceritakan secara singkat, garis besarnya sudah kau ketahui. Kalau kau bertanya hubungannya dengan syair ini tentu saja ada, Kim-mou-eng, lihat dan renungkan bait pertama itu. Apa yang kau tangkap."

"Kami belum menangkap apa-apa," pendekar ini menjawab jujur. "Siang Le pun agaknya tidak, Sian-su. Harap kau terangkan dan di mana inti pelajarannya."

"Baik, dan kaupun belum mengerti, anak muda?"

"Siauw-te (aku yang muda) merasa bodoh dan tumpul," Siang Le menjawab.

"Ha-ha, baiklah, mari kutuntun. Dan karena ini berhubungan dengan surat isterimu itu maka sedikit atau banyak akan saling kait-mengait pula. Lihatlah!" kakek ini menuding dan menunjuk. "Bait pertama bicara tentang burung dan ikan di sungai Yang-ce, Kim-mou-eng. Cobalah katakan kepadaku adakah yang sama dan kembar segala-galanya!"

Kim-mou-eng tertegun, mengerutkan kening. Ia membaca bait pertama itu sementara pemuda di sebelahnya juga mengernyitkan kening. Hampir berbareng mereka membaca lagi akan tetapi Kim-mou-eng menggeleng, ia tak melihat apa-apa. Dan ketika Siang Le Juga menggeleng tak melihat seperti apa yang dimaksudkan kakek itu maka hampir berbareng keduanya menjawab,

"Tak ada yang kembar atau sama disini. Burung dan ikan jelas berbeda, Sian-su. Bait ini tak bicara tentang yang kembar."

"Bagus, kalau begitu aku minta yang kembar, yang sama persis. Carikan apa saja. yang kembar atau sama persis di sini!"

"Maksud Sian-su?"

"Kau boleh cari apa saja yang kiranya sama. Daun, akar, atau apa saja yang kiranya sama. Kau boleh menyelam di sungai itu mencari yang sama persis, ikan yang sama. Atau kau boleh mencari sepasang batu kembar yang sama persis. Kau boleh mencari apa saja yang sama persis, apa saja!"

Kim-mou-eng tergetar, jantungnya berdegup kencang. Dan ketika ia saling pandang dengan Siang Le tiba-tiba pemuda itu menuding. "Itu, ada daun yang sama, gak-hu. Biar kuambil!"

Siang Le berkelebat dan sudah mengambil daun ini. Pohon yang-liu di dekat mereka memiliki daun yang hampir mirip satu sama lain, si buntung memotes dan sudah mengambil ini. Lalu ketika ia menyerahkannya kepada sang gak-hu dan Kim-mou-eng menyerahkannya kepada kakek itu ternyata Bu-beng Sian-su terkekeh-kekeh.

"Kurang, masih kurang. Ambil dan cari apa saja yang banyak, Kim-mou-eng. Apa saja. Ambil dan letakkan di sini!"

Pendekar Rambut Emas bergairah. Tiba-tiba ia merasa ada sesuatu yang menarik dan mendebarkan. Ia sudah menaruh sepasang daun kembar itu lalu berkelebat ke bawah pohon yang-liu. Ada sepasang batu hitam yang mirip, nyaris sama. Dan ketika ia sudah membawa ini sementara Siang Le tak mau kalah, mencebur dan mencari ikan yang sama akhirnya tak lama kemudian sekumpulan benda-benda mirip terkumpul di situ. Daun, ikan, batu dan apa saja. Jumlahnya tak kurang dari seratus buah.

Dan ketika kebetulan sepasang pipit terbang di atas kepala maka Pendekar Rambut Emas menyambit dan robohlah sepasang burung yang sama besar dan warna bulunya ini. Bu-beng Sian-su tergelak-gelak akan tetapi sedikitpun kakek itu tak memberi pujian, bahkan sorot matanya menyatakan sia-sia. Kim mou-eng dan menantunya mandi keringat. Lalu merasa cukup dan yakin berhasil merekapun sudah duduk lagi di hadapan kakek itu, meskipun diam-diam merasa berdebar dan bingung juga aneh akan segala perintah ganjil ini.

"Kalian sudah?" kakek itu berseru. "Sudah mendapatkan apa yang kalian yakini sebagai kembar dan sama persis? Kalian puas dan berhenti sampai di sini saja?"

"Kami merasa cukup mendapatkan yang kau minta. Kami sudah mengumpulkan benda-benda yang menurut kami sama persis, Sian-su, daun dan batu serta apa saja. Kami merasa yakin!"

"Benar, daun itu sama persis. Lihat bentuk den warnanya, Sian-su, aku sudah mencocokkannya."

"Dan batu ini kuukur pula, hitampun sama. Burung ini juga sama persis dan silakan dicek!"

"Ha-ha, bodoh semua. Perbuatan kalian sia-sia, Kim-mou-eng, tak ada gunanya. Di dunia ini tak ada segala-galanya yang persis. Daun itu misalnya, meskipun hijau segar dan sama bentuknya akan tetapi tidak semuanya sama. Warna dan bentuk boleh jadi persis, akan tetapi letak dan kehadiran mereka tak mungkin sama. Coba saja, mungkinkah mereka berada di pangkal batang yang sama, atau kalaupun sama mungkinkah tumbuhnya serentak, pada detik yang sama. Dan burung itu, ha-ha, tak mungkin segalanya sama, Kim-mou-eng, yang satu betina sedang yang lain jantan. Ah, kalian sungguh bodoh dan kurang akal. Mungkinkah di dunia ini ada sesuatu yang benar-benar sama. Mungkinkah benda hídup atau mati begitu sama segala-galanya hingga tak memiliki perbedaan sedikitpun. He, lihat dan amati baik-baik, Kim-mou-eng. Segala yang kalian bawa di sini sesungguhnya tidak ada yang sama persis. Masing-masing memiliki perbedaan. Dan karena mereka sesungguhnya tidak sama maka omong kosonglah kalau kau bilang bahwa ini sama atau itu sama. Di dunia ini tak ada yang sama, semua berbeda!"

Kim-mou-eng terkejut, bagai diguyur air dingin. Akan tetapi Sing Le yeng masih belum jelas dan merasa penasaran bangkit berdiri. "Tunggu, daun ini sama persis, Sian-su, Lihatlah!"

"Kau ngotot. Baiklah kembalikan mereka ke tempat semula, anak muda. Ganti kau yang melihatnya, samakah!"

Siang Le ragu, akan tetapi karena belum mengerti dan ingin tahu iapun mengangguk dan melompat memasang daun itu di tempatnya semula. Kim-mou-eng mulai tersenyum-senyum sedangkan pemuda ini masih penasaran. Pendekar Rambut Emas mulai mengangguk-angguk. Dan ketika anak muda itu melekatkan daun ditempatnya semula maka berserulah kakek dewa itu.

"Nah, lihat, amati baik-baik. Daun itu boleh jadi bentuk dan warnanya sama, anak muda. Akan tetapi samakah kedudukan mereka. Yang satu di atas yang lain di bawah. Samakah?"

"Ini... ini...!"

“Tak ada ini. Kau tadi menyatakannya sama, anak muda. Sekarang katakan bahwa itu tetap sama!"

"Tidak!" Siang Le mengeluarkan keringat dingin. "Kalau begitu tentu saja tidak sama, Slan-su, akan tetapi di luar itu sama!"

"Ha ha, anak muda suka membantah. Tadi sudah kukatakan bahwa carilah yang segala-galanya sama, Siang Le, bentuk atau apa saja sama. Kau tak boleh memisah-misahkannya. Aku hanya minta yang sama persis, nah jawab ada atau tidak!"

Pemuda ini terdiam, pucat. Tentu saja ia menggeleng dan kakek itu tertawa berderai. Lalu ketika anak muda itu disuruhnya duduk segera ia mengingatkan bahwa sejak mula sudah diakui tak ada yang sama.

"Bumi dan isinya selalu berbeda. Semuanya baru dan lain dari kemarin. Bahkan hidup kita inipun tak perna sama, anak muda, denyut nadi kita selalu baru dan baru. Denyut kehidupan juga begitu, sebab kalau semuanya tetap sama maka kehidupan berarti kematian. Lihat burung,batu dan daun itu tak ada yang sama. Satu dengan yang lain selalu berbeda. Dan karena mereka berbeda maka mempertahankan yang sama hanya sebuah kesia-siaan belaka. Tahukah kau apa hubungannya ini dengan Hu-taihiap?"

Siang Le menggeleng.

"Erat sekali, anak muda, amat erat. Coba gak-hu mu yang menjawab barangkali tahu!"

Kim-mou-eng terkejut, berdehem. Akan tetapi karena ia belum siap maka terus terang ia berkata, "Belum semuanya yang kutangkap. Baru sebagian kecil yang kumengerti, Sian-su. Aku khawatir keliru dan salah menjawab."

"Ha-ha takut hanya mengerdilkan diri sendiri. Jawab sebisamu seperti yang kau mengerti, Kim-mou-eng. Kita bicarakan ini untuk mencari sebuah kebenaran. Bukankah kau datang untuk mencari kebenaran kebenaran?”

"Ya, tapi, hmm. agaknya maksudmu adalah menyalahkan Hu-taihiap yang terbelenggu masa lalunya, Sian-su. Bahwa mendiang mertuaku itu berpikiran pendek dan dangkal."

"Ha-ha, manusia hidup selalu salah. Kalau kesalahan itu diulang maka, adalah manusia bodoh, Kim-mou-eng. Aku sebenarnya tak bermaksud menyalahkan Hu Beng Kui melainkan lebih mengajak kalian untuk tidak mengulang atau meniru kebodohan orang lain. Hu Beng Kui terbawa kesenangan dirinya sendiri. Masa jayanya dan masa indahnya dulu hendak terus dipertahankan. Dan karena ia tak mau melihat bahwa di dunia ini tak ada yang sama maka ia terjebak dan terbelenggu oleh keinginan dirinya sendiri. Keinginan itu tak pernah padam. Masa keemasan dan masa jaya seseorang selalu menimbulkan rasa mabok. Dan karena ia mabok dan tak sadar akan apa yang seharusnya dilihat maka ia tenggelam dan hanyut di situ. Sekarang bagaimana seorang yang hanyut mampu menguasai dirinya sendiri. Bagaimana seorang yang hanyut dapat berpikiran jernih dan terang. Nah, itulah yang telah terjadi pada bekas jago pedang itu. la ingin memiliki masa lalunya yang sama!"

"Tunggu, perlahan sedikit. Aku jadi bingung oleh kata-katamu ini, Sian-su, kemana arah tujuanmu. Mohon kau ulang dan jelaskan sekali lagi!" Siang Le, yang merasa kakek itu terlalu cepat lalu mengangkat tangannya berseru. la ingin mengikuti ini lebih perlahan sementara Pendekar Rambut Emas mengangguk-angguk.

Apa yang ditangkap pendekar itu jauh lebih cepat dibanding pemuda ini, tak aneh karena Kim-mou-eng seorang berusia lima puluh tujuh tahun yang tentu saja lebih matang dan penuh pengalaman. Maka ketika pendekar itu mengangguk-angguk sementara menantunya kelihatan gugup dan tertinggal maka Bu-beng Sian-su tertawa.

"Kim-mou-eng, agaknya kau sekarang dapat menjelaskan kepada anak muda ini. Cobalah dan ulangi kata-kataku."

"Begini," pendekar itu bicara. "Yang hendak Sian-su maksudkan adalah di dunia ini masa lalu tak akan kembali, Sian Le, semua selalu baru dan berbeda, Gak-hu ku bukanlah puteraku, dan Beng An juga bukan kakeknya karena ia adalah sosok pribadi yang berbeda. Kalau kakeknya hendak menjadikan cucu seperti dia, mana mungkin! Bumi selalu bergerak Siang Le, roda kehidupan selalu berputar dan serba baru. Di dunia ini tak ada yang Sama persis karena satu dan lain memang beda."

"Jadi?"

"Jadi biarkan riuh burung berkicau. Biarlah ikan berkecipak berwarna-warni. Di bumi ini tak ada yang selalu sama anak muda. Masing-masing memiliki perbedaan dan jamannya. Dan kalau Hu Beng Kui ngotot untuk itu maka ia selalu gagal, ha-ha!" kakek ini tertawa dan Siang Le terkejut, mengerutkan kening tapi perlahan-lahan ia menahgkap sesuatu. Hanya karena makanan itu rasanya berat dan sukar ditelan, ia harus mengunyahnya perlahan-lahan maka kakek itu berseru pada ayah-mertuanya.

"Nah , sekarang kau tahu. Perbedaan dan yang tidak sama selalu ada Kim mou-eng. Kalau ini berhenti dan tetap pada piringnya maka perbedaan dan yang tidak sama di píring lain tak akan bentrok. Akan tetapi manusia suka menggerakkan piring ini. Mereka sering melontar melemparkannya kepada orang lain. Dan kalau itu yang terjadi maka perbedaan Ini sudah menjadi sumber nafsu untuk mencapai kemenangan dan kesenangan diri sendiri!"

Siang Le berdenyut, sementara gak-hunya mengangguk-angguk. Dan ketika kakek itu bicara lagi tentang ini, bahwa perbedaan dan ketidaksamaan sesungguhnya merupakan bunga-bunga kehidupan maka pemuda itu melayang-layang dan semakin bingung tapi juga kagum. Bingung karena ia tak begitu cepat menangkap, sementara kagum karena ayah mertuanya mengangguk-angguk dan selalu membenarkan. Dan ketika pembicaraan berakhir pada bait kedua maka kakek itu menuding.

"Sekarang lihatlah betapa eloknya seisi bumi. Perbedaan yang satu dengan yang lain selalu memiliki keunggulan dan kekurangannya sendiri. Kalau masing-masing mau mengontrol dan mengakui diri, tak terbawa keakuannya maka bumi adalah tempat yang indah bagi manusia. Akan tetapi manusia tak melihat ini, Kim-mou-eng, mereka tertutup nafsu dan egonya sendiri. Dan karena itu jauh lebih kuat menutupi hati nurani sendiri, menyingkirkan kejujuran dan kebersihan batin maka menusia terjebak dalam nafsunya dan tergelincir dalam permusuhan dengan yang lain. Riuh burung menjadi berbeda, kecipak ikan juga berubah!"

Kim-mou-eng mengangguk-angguk. Gerakan dan gelengan kepalanya menunjukkan pendekar ini telah mendapatkan sari patinya. Siang Le pening dan masih belum jelas juga. Dan ketika kakek itu bangkit menuju keledainya, melompat dan pergi perlahan-lahan maka Pendekar Rambut Emas bangkit dan membungkukkan tubuhnya dalam-dalam.

"Sian-su, terima kasih, beribu terima kasih. Wejanganmu telah merasuk di hatiku dan kau benar. Selamat jalan, Sian-su, sampai jumpa lagi!"

Kakek itu tersenyum, menendang perut keledainya. Lalu ketika bunyi kelenengan terdengar kembali maka penunggang dan hewan tunggangannya lenyap, hilang di balik kabut.

"Ah, gak-hu terlalu cepat membiarkan orang tua itu pergi. Aku masih ingin bercakap-cakap dan mengulang semuanya, gak-hu. Kapan lagi aku jumpa!"

"Tenanglah, sabar. Di bawah akan kujelaskan semuanya, Siang Le. Sekarang kita kembali dan mari pulang!"

"Tapi..."

"Ayolah, aku sudah cukup. Mari kembali dan kita pulang!" lalu ketika pendekar itu menyendal dan membawa mantunya maka Kim-mou-eng meninggalkan alam gaib menuju alam kasar, dan menuju raga sendiri dan seketika itu masuklah dua cahaya ke tubuh yang tak bergeming di batu hitam.

Kim-mou-eng dan menantunya memasuki alam kesadaran kembali. Dan ketika mereka membuka mata dan tersenyum-senyum ternyata di bawah batu hitam telah menanti belasan orang-orang kang-ouw yang bukan lain para ketua partai Bu-tong dan Hoa-san, juga Kun-lun dan Siau-hun-pai serta anak murid mereka!

"Omitohud, maafkan bila mengganggu. Kami meunggu dan hendak menemui Thian-te It-hiap, Kim-mou-eng. Maksud pinceng, eh... puteramu yang gagah perkasa Beng An!"

"Benar kami dari kun-lun juga hendak menyampaikan terima kasih. Kami sia-sia mengejar di Himalaya, Kim-taihiap, pertempuran selesai dan kami datang ke sini. Kami hendak menyampaikan selamat dan ucapan terima kasih. Mohon bertemu puteramu yang gagah perkasa itu!"

Bhek wi Hosiang, ketua Bu-tong dan kun-lun berturut-turut menjura di depan Kim-mou-eng. Soat Eng yang sadar dari samadhinya lebih dulu terisak-isak di batu hitam. Nyonya muda ini masih terpukul batinnya oleh cerita kong-kong dan ibunya, tak kuat dan tentu saja tak mengikuti pembicaraan ayahnya dengan Bu-beng Sian-su. Mereka kini sama-sama keluar dari alam gaib menuju alam senyatanya.

Soat Eng lebih dulu melihat orang-orang itu akan tetapi ia menyuruh tunggu. Ayah dan suaminya tak boleh diganggu dalam alam samadhi. Dan ketika dua orang itu sudah membuka mata dan Bhek Wi Hosiang maupun Kun-lun-paicu memberi hormat, disusul yang lain-lain, maka Pendekar Rambut Emas tentu saja tertegun.

"Ah, ji-wi dari Kun-lun dan Bu-tong. Dan ah.... yang ini terhormat ketua Hoa-san dan Siau-hun-pai. Aduh, selamat datang, cuwi-enghiong. Akan tetapi puteraku Beng An tak ada di sini. Ia masih belum pulang!"

Orang-orang itu saling pandang. Tentu saja mereka tak tahu akan kemelut di keluarga Kim-mou-engi ini, betapa Thai Liong menjadi korban setelah menyerahkan Sin-tiauw-kangnya kepada nenek We We Moli. Soat Eng sendiri tak banyak cakap menyambut orang-orang itu, ia lebih banyak diam dan menangis sendirian. Maka ketika Pendekar Rambut Emas menjawab dan mereka tertegun, Thian-te It-hiap alias Kim Beng An tak ada di situ maka Bhek Wi Hosiang berseru merangkapkan kedua tangannya.

"Omitohud, kiranya kami kecelik. Kalau begitu biarlah kami menenui Rajawali Merah puteramu yang lain, Kim-taihiap. Kami datang untuk menyampaikan terima kasih!"

"Benar," ketua Siau-hun-pai mengebutkan hud-tim (bulu kebutan). "Tak ada adiknya biarlah kakaknya, Kim-taihiap. Kami ingin menyampaikan terima kasih. Dua hari kami menunggu di sini!"

"Maaf..." Kim-mou-eng berkelebat melayang turun. "Thai Liong pun tak ada disini, cuwi-enghiong. Dia..... dia pergi bersama Beng An."

"Kakakku luka parah!" Soat Eng tiba-tiba melengking dan tersedu-sedu. "Jahanam We We Moli itu menyedot kesaktiannya, Siau-hun-paicu. Kami sedang berduka dan sebaiknya kalian tak mengganggu!"

"Ah!" semua terkejut dan tentu saja membelalakkan mata, mundur, Soat Eng berkelebat dan memasuki pulau. "Benarkah yang dikata puterimu, taihiap? Rajawali Merah terluka? Kalian, eh... kami hanya mengganggu saja?"

"Maaf..." Kim-mou-eng mengebut dan menganggukkan kepalanya. "Puteriku benar, Siau-hun-paicu. Kami sedang berduka oleh urusan keluarga. Tapi kalau kalian hendak menyampaíkan terima kasih tentu saja kuterima. Maafkan sikap puteriku Soat Eng."

"Tak apa," para ketua partai tentu saja tak enak dan menyesal. "Sungguh kedatangan kami tak tepat waktunya, Kim-taihiap. Baiklah kami kembali kalau begitu dan sampaikan salam serta hormat kami."

"Atau kami akan menbantu sekuat tenaga bila dapat menolong Rajawali Merah. Katakan apa yang harus kami lakukan, taihiap. Jelek-jelek semua ini karena kami!"

"Benar, apa saja akan kami usahakan. Obat apa yang diperlukan puteramu, Kim taihiap. Biarlah kami cari sampai ke puncak Himalaya!"

"Terima kasih, kami akan mengatasi sendiri. Beng An dan kakaknya belum pulang, cuwi-enghiong, kamipun tak tahu bagaimana cuwi dapat menolongnya. Biarlah lain kali saja dan kami akan menemui cuwi."

Para ketua mengengguk-angguk. Adanya Siang Le membuat mereka maklum bahwa Pendekar Rambut Emas tentu mendapat cerita menantunya ini. Siang Le bersinar-sinar akan tetapi keningnya berkerut, jelas pemuda itupun terganggu oleh kedatangan mereka. Maka ketika Bhek Wi Hosiang mewakili teman-temannya berpamit diri, undur maka Kim-mou-eng mengangguk dan menyatakan penyesalannya pula.

"Tak apa, kami yang mengganggu. Kami tak tahu kalian sedang berduka, taihiap. Tahu begitu pasti kami tak datang. Sudahlah, kami tetap memantau keselamatan puteramu dan lain kali kami datang lagi. Maaf, kami permisi."

Baru saja Kim-mou-eng menarik napas dalam, baru saja memasuki alam kesadaran sudah menerima kepahitan lagi. Dian-diam ia terkejut kenapa lupa menanyakan Thai Liong kepada kakek dewa itu. Bukankah Bu-beng Sian-su pasti tahu. Nanun karena semua sudah pergi dan ia memandng orang-orang itu maka Siang Le bertanya lagi tentang persoalan semula, pertemuan mereka dengan Bu-beng Sian su.

"Aku terlalu bodoh, masih juga sukar menerima inti wejangan itu. Kau sudah tahu dan mengerti baik, gak-hu, sekarang ulangilah dan beritahulah aku!"

"Baik, begini. Mendiang mertuaku ingin menikmati masa kejayaannya dulu, Siang Le, menikmati masa silam dengan memakai tubuh Beng An. Isteriku tak setuju, menolak. Hubungan mereka selalu dengan mimpi atau lewat media gaib. Dan karena berkali-kali ditolak dan sang ayah marah maka isteriku diancam. Diam-diam isteriku goyah. Sesungguhnya ia pun tak senang bahwa Thai Liong lebih lihai daripada Beng An. Semata takut atau segan kepadaku ia pun tak menunjukkan itu secara terang-terangan. Namun ketika ayahnya mendesak dan ia terpengaruh maka dibuatlah surat untuk Beng An seperti yang kita baca itu. Beng An terkejut, bimbang. Namun di saat ia labil putus cintanya maka permintaan sang ibu diturut. la bertapa, dan sebagaimana kita lihat tiba-tiba wajahnya seperti kakeknya itu. Sukma kong-kongnya masuk, lalu ia ke Ce-bu. Namun karena Beng An tetap Beng An maka kakeknya tak dapat sekehendak hati. Anak itu menderita, kekeknya benar-benar kejam. Dan ketika hubungannya dengan Lembah Es terbuka lagi, dengan masuknya Thio-siocia dan Wan-siocia itu maka pribadi Beng An pun goyah. Di satu pihak sukma kakeknya akan tetapi di lain pihak hati nurani atau batinnya memberontak. Semua itu pecah setelah kakaknya mengorbankan diri kepada We We Moli. Di sinilah Beng An hidup lagi, pribadinya bukan pribadi kakeknya namun diri sendiri. la terpukul. Sang kakek menyerah dan keluar meninggalkan Beng An. Aku melihat bukan ini yang penting melainkan lebih hakiki lagi, Siang Le. Bahwa tak ada daun yang sama di dunia ini. Semua berbeda."

"Hn-hm, perlahan sedikit. Sampai di sini aku bingung, gak-hu. Apa maksudmu dengan daun yang tak sama itu?"

"Mendiang mertuaku membangun cita-cita. Ia ingin agar Beng An seperti dirinya itu. Dan karena ini ia ingin reinknrnesi di tubuh cucunya maka Hu Beng Kui siap mencipta diri kembarnya. Ia masih penasaran oleh kekalahannya dulu kepadaku, kini ia semakin tak senang lagi melihat Thai Liong lebih hebat. Akan tetapi karena ia lupa bahwa tak ada yang sama di dunia ini, semua berbeda dan memiliki keunggulannya maka mendiang mertuaku itu gagal. Masa silam atau masa lalu tak pernah kembali. Roda kehidupan selalu berputar. Dan karena gerakan ini selalu memberi yang baru dan baru maka siapapun akan gagal mencipta masa lalu. Jelas?"

Pemuda ini pusing, menggeleng. Dan ketika ia menarik napas tak mampu mengunyah tiba-tiba Pendekar Rambut Emas mengajaknya pulang.

"Baik, begini saja. Malam ini kau beristirahat. Besok aku akan memberimu sesuatu dan buktikanlah itu. Wejangan Sian-su akan ada ekornya. Nah, ekor itulah yang kau tangkap dan kelak akan kau mengerti. Cukup?"

"Cukup," pemuda ini mengangguk. "Otakku pening, gak-hu. Biarlah kukunyah perlahan-lahan. Kalau belum mengerti juga memang aku tolol!"

"Ha-ha, tidak begitu. Wejangan ini memang berat, Siang Le, akan tetapi pasti kau mengerti juga. Sudahlah, kita pulang dan kau beristirahat!"

Si buntung menyerah dan membiarkan diri diseret. Mereka memasuki Istana Hantu meninggalkan batu hitam itu. Dan ketika semalam itu pemuda ini mengencerkan otaknya ternyata sulit juga mencerna akhirnya ia tertidur oleh capai dan pusing. Dia baru bangun ketika pintunya diketuk. Siang Hwa, puterinya berdiri di situ membawa sesuatu. Surat! Dan ketika Siang Lan muncul dengan isak tengis maka Hok Gie puteranya digendong isterinya yang bermata sembab.

"Ayah pulang, bibi Cao Cun juga. Ini untukmu dari ayah, lee-ko, tak boleh dibuka kecuali olehmu. Terimalah!"

Siang Le terkejut, melempar selimut. "Gak-hu pulang? la kembali ke utara?"

"Ya, dan bibi Cao Cun mengiringinya. Katanya untuk merawat dan mengurus keperluan ayah sehari-hari."

"Ah, aku tak sempat mengantar. Mantu laki-laki macam apa aku ini. He, berikan surat itu!" lalu ketika ia menyambar surat di tangan Siang hwa maka pemuda ini tertegun berubah-ubah, sebentar merah sebentar pucat dan akhirnya mengeluh. Lalu ketika ia membanting tubuh di atas pembaringan maka Siang Lee pun mengusir anak isterinya.

Soat Eng tertegun namun memberi isyarat anak-anak. Semalam suaminya gelisah dan sukar tidur. Dan karena ia menyangka urusan Thai Liong, nyonya ini terisak kecil akhirnya ia meninggalkan kamar itu setelah meletakkan secangkir minuman untuk suaminya.

Apakah yang diterima Siang Le dari Kim-mou-eng? Rahasia apakah yang membuat ia berubah-ubah? Bukan lain sepenggal surat yang berisi pemberitahuan. Pertama ia tak boleh berkunjung ke utara dulu kalau Beng An belum datang. Pendekar Rambut Emas yang akan berkunjung selama puteranya belum kembali. Jadi masing-masing biar di tempat menyambut kedatangan pemuda itu. Dan karena pemuda ini sudah cukup lelah, berkali-kali mninggalkan keluarga atau anak isteri maka Kim-mou-eng melarang si buntung ini bepergian lagi, cukup di Sam-liong-to saja.

"Aku tak melarangmu pergi, hanya beristirahiatlah setahun dua. Kau harus menemani anak isterimu di rumah, Siang Le. Thai Liong dan Beng An serta Shintala aku yang mengurus. Aku sendiri tak terikat anak isteri. Kalau ibumu Cao Cun mengikutiku semata ia akan tinggal di utara. Setahun aku akan berkunjung dua kali, jejak Beng An kutangkap. Kalau ia ke Sam-liong-to suruh saja istirahat, jangan ke mana-mana, ini perintahku. Nah, baca suratku yang kedua dan kau tak akan pusing lagi mendapatkan buktinya nanti. Ayahmu!"

Siang Le termangu-mangu. la membuka surat kecil pendek di bawah surat pertama ini. Isinya melanjutkan pelajaran kakek dewa Bu-beng Sian-su.. Ada sebuah kalimat yang membuat jantung pemuda ini berdesir, tentang hubungan Beng An dengan Puteri Es! Dan ketika ia terhenyak den termangu-mangu, disuruh merahasiakan ini sampai bukti tiba maka gak-hunya itu berkata:

"Tak ada daun yang sama, tidak juga segala sesuatu di atas bumi ini. Buktikanlah kata-kata Sian-su, Siang Le, aku sudah menangkap lebih dulu. Bahagia!"

Si buntung mendelong kosong. Sungguh ia masih merasa suka menemukan itu. Akan tetapi karena bukti akan datang, dan itu ditandai dengan munculnya Puteri Es dan Beng An maka pemuda ini berdebar melipat surat itu, bertanya-tanya dan heran serta kecewa bahwa perjuangannya gagal. Hubungan Beng An dan Puteri Es putus, akan tetapi sang gak-hu malah percaya bahwa suatu saat mereka akan bersatu kembali, ia disuruh membuktikan! Dan ketika ia menggigit bibir antara percaya dan tidak, antara harap dan cemas maka matahari semakin doyong meninggalkan Sum-liong-to.

Sehari si buntung tak meninggalkan kamarnya. Dan ketika ia nienyimpan surat itu baik-baik dan ahirnya bersila di dalam kamar, melepas kecewa dan pepat batin aka bersamaan dengan datangnyu gelap Suara jengkerik dan serangga malam menyanyikan lagu kesukaan mereka. Bulan terlihat sepotong dan tampak sedih. Malam semakin larut. Dan ketika semuanya menuju ke alam keheningan maka debur ombak Sam-liong-to pun berdesir lemah, sama lemahnya dengan lambaian nyiur di tepi pantai. Sama lemahnya dengan penghuni yang sedang berduka.

Akan tetapi ketika keesokannya debur ombak menjadi ganas, segala sesuatu bangkit dan menunjukkan kegarangannya maka di puncak Istana Hantu berkelebatan dua sosok bayangan bermain pedang, menusuk dan menikam mainkan Giam-lo Kiam-sut. Itulah si buntung dan isterinya, membuang jenuh dengan berlatih silat. Dan ketika keduanya berkelebatan kian cepat bermanndi keringat.

Maka diam-diam di luar pulau sepasang mata mengamati dengan tajam dan penuh dengki, berindap dan akhirnya menyambar perahu untuk kemudian meluncur meninggalkan Sam-liong-to. Yo-siocia gadis Lembah Es! Akan tetapi karena suami istri ini sibuk sendiri, tak melihat itu maka bayangan gadis baju merah itu lenyap meninggalkan pulau.

Habiskah kisah ini? Tentu saja tidak. Karena sudah cukup panjang penulis terpaksa menghentikannya di sini. Masih ada yang belum tuntas, masih ada yang harus dilengkapi. Dan untuk itu Anda akan berjumpa lagi dengan tokoh-tokoh di dalam cerita ini dalam kisah DEWI PENJARING CINTA. Pembaca akan bertemu lagi dengan Puteri Es. Pembaca akan bertemu pula dengan Beng An. Bagaimanakah tali perjodohan mereka? Putus atau disambung? 

Tapi sayang sekali,  kisah ini harus terhenti sampai disini, dikarenakan buku DEWI PENJARING CINTA belum didapatkan!

TAMAT

Kisah selanjutnya,
Prahara Di Gurun Gobi