Putri Es Jilid 34 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Rambut Emas Karya Batara

"SAMBAR tanganku dan naik ke pundak!"

Bhek Wi Hosiang tersentak. Rajawali Merah bayangan itu mendekati dirinya mengulur lengan. Otomatis ia menyambar dan terangkat ke atas, terlempar di pundak pemuda itu. Lalu ketika ketua Siau-hun-pai juga disendal dan naik bertumpuk tiba-tiba saja seperti seorang akrobat pemuda ini menolong mereka dan bergerak di antara buih dan gulungan ombak, maju mundur dengan amat cepatnya dan tahu-tahu ketua Kun-lun dan Hoa-san sudah berpindah tempat.

Mereka sudah susun-menyusun di atas tubuh pemuda ini, bagai manusia bertingkat. Dan ketika Thian Te It-hiap terbelalak namun melengking melakukan hal yang sama maka kakek itupun berkelebat dan di antara gulungan ombak dan buih ia menolong orang-orang kang-ouw dan para muridnya sendiri, menumpuk atau menyusun orang-orang itu di atas kedua pundaknya.

"Ada pulau kosong tak jauh dari Sini, lempar mereka ke sana!"

Bhek Wi Hosiang ngeri. Untuk mengurangi beban berlebih dan menolong yang masih timbul tenggelam maka dengan dahsyatnya ia dilempar Rajawali Merah itu. Bagai layang-layang putus atau daun kering dihembus taufan dahsyat ia terlempar melewati gulungan ombak dan buih ganas. Ketua Hoa-san dan Kun-lun juga mengalami nasib sama dan dilempar Rajawali Merah ini, begitu saktinya pemuda itu.

Dan ketika dengan cara ini mereka tertolong dengan selamat, jatuh dan terbanting lunak di pulau kosong maka Bhek Wi Hosiang dan kawan-kawan termangu penuh kekaguman, kagum namun juga ngeri karena dari tempat itu tampaklah pemandangan menggetarkan di Pulau Karang. Pulau ini meletus dan kiranya merupakan sebuah gunung berapi, untung bawah laut yang entah bagaimana saat itu.memuntahkan kemarahannya. Hal ini dimulai dari peristiwa di Guha Hitam itu.

Maka ketika dari tempat itu muncratlah semburan api dan lahar panas, laut kian mendidih maka mereka yang kelelahan dan tak kuat melihat ini jatuh pingsan. Orang-orang kang-ouw itu tak tahu berapa lama mereka dicekam ketakutan dan kengerian seperti itu. Untunglah pulau kosong yang mereka duduki adalah pulau yang cukup tinggi di atas permukaan laut, berseberangan dengan batas kepulauan Pulau Api dan sudah termasuk wilayah daratan besar.

Mereka ngeri dan takut bukan oleh penghuni Pulau Api melainkan justeru oleh kedahsyatan alam ini betapa laut bergulung-gulung dan lahar serta api panas menyembur begitu tinggi. Bersyukurlah mereka bahwa letusan gunung berapi itu tidak sampai berhari-hari. Hanya sekitar duapuluh jam gunung itu melepas kemarahannya. Abu dan asap hitam membubung ke mana-mana, jatuh dan membuat mereka terbatuk-batuk.

Dan ketika Bhek Wi Hosiang dan kawan-kawan mmencari perlindungan, menyusup dan berlindung di balik pohon-pohon besar maka mereka itu menanti datangnya Rajawali Merah atau Thian-te It-hiap. Namun , mereka yang ditunggu ini tak pernah muncul. Dan ketika laut sudah mereda dan letusan gunung berapi juga sudah tak terdengar suaranya lagi maka mereka tak menemukan pula Hoa-siocia dan dua gadis Lembah Es itu, juga murid-murid Thian-te It-hiap.

"Aneh, di mana mereka. Apakah pingsan dan berada di tempat lain."

"Ya, dan Rajawali Merah itu juga tak muncul lagi. He, Thian-te It-hiap juga tak tampak begitu saja, Kun-lun paicu. Apakah mereka ini celaka di tengah laut?"

"Tak mungkin, mereka orang-orang luar biasa. Thian-te It-hiap dan Rajawali Merah adalah orang-orang sakti, Bhek Wi lo-suhu, tak mungkin celaka di tengah laut. Pinto menduga jangan-jangan mereka mengejar perahu orang-orang Pulau Api itu.

"Benar, pinto juga ingat. Tan-pangcu dan sute serta puteranya itu meninggalkan Pulau Karang!"

"Kalau begitu kira-kira begitu. Tapi manakah Hoa-siocia dan gadis-gadis Lembah Es itu. Bukankah mereka tadi sini"

"Ya, tadi di sini. Eh, mari kita cari sambil menunggu Thian-te It-hiap dan Rajawali Merah!"

Orang-orang itu bergerak. Langit sudah bersih dan laut bersikap tenang pula. Mereka terheran dan bertanya-tanya. akan tetapi ketika tak ada yang ditemukan dan Bhek Wi Hosiang justeru menemukan sepucuk surat maka ketua Bu-tong ini tertegun. Surat itu tertancap di batang sebatang pohon.

"Harap cuwi-enghiong kembali saja kalau sudah pulih tenaganya. Pulau Api sudah hancur, tak ada yang perlu dicari. Kami masih akan mengejar tokohnya sampai ia tertangkap."

Hwesio ini tertegun. Ternyata Thian-te lt-hiap dan Rajawali Merah telah meninggalkan mereka dan hanya memberitahukan pemberitahuan itu. Kalau bukan Thian-te It-hiap tentu Rajawali Merah itu yang menulis surat , Maka ketika ia berseru kecewa kenapa mereka ditinggal pergi, bukankah mereka juga ingin membantu dan mengejar ketua Pulau Api itu maka hwesio ini mengetukkan buku jarinya ke batang pohon itu.

"Omitohud, pekerjaan kita setengah jalan. Kita sudah ditinggalkan dua orang ini, kawan-kewan. Penasaran sekali kenapa tak sampai tuntas!"

"Mungkin karena tenaga kita tak dapat diandalkan pula. Kita hanya mengganggu Thian-te It-hiap dan Rajawali Merah itu,suhu. Ingat bahwa gara-gara kita dua orang ini tak dapat mencegah perginya ketua Pulau Api. Pemuda itu benar, kita disuruh pulang saja."

"Hm..pinto juga berpikiran begitu. Agaknya kita harus tahu diri, Kun-lun-paicu, kau benar. Kalau tidak mengurusi kita yang hampir tewas di Pulau Karang mungkin Thian-te It-hiap telah mengejar dan menangkap ketua Pulau Api itu."

"Tapi Rajawali Merah aneh sekali, ia melindungi orang-orang Pulau Api!'

"Namun ia menghajar si gila San Tek, pada mulanya tidak."

"Mungkin karena ketua Pulau Api itumenangkap Puteri Es. Ah, pinto ingin sekali mengetahui wajah gadis itu dan sampai di mana rahasia Lembah Es ini. Pinto penasaran."

"Pinceng juga. Bagaimana kalau kita cari dan kejar mereka itu. Misteri Lembah Es sungguh menarik!"

"Benar, marilah. Pinto juga tertarik dan ingin mengetahui kelanjutan ini, Bhek wi lo-suhu. Sungguh kecewa kalau tak tahu siapa dan di mana Puteri Es itu. Marilah, mari kita pergi!"

Orang-orang itu berlompatan. Mereka bergerak meninggalkan hutan akan. Tetapi di tepi laut mereka tertegun. Dengan apa mereka hendak pergi. Perahu tiada dan tak mungkin melakukan seperti yang dilakukan Rajawali Merah. Mereka bukan pemuda sakti itu. Maka ketika beramai-ramai mereka kembali dan membuat perahu, menebang pohon maka sehari kemudian rombongan ini meninggalkan pulau Perahu mereka perahu darurat akan tetapi cukup kuat. Kesan dan kenangan di Pulau Api sungguh hebat.

Mereka tak mau melewatkan kejadian lain dengan tertawannya Puteri Es. Justeru Lembah Es ini tak kalah menariknya dengan Pulau Api, bahkan jauh lebih menarik karena penghuninva semua wanita lihai. Dan karena Thio-siocia dan Wan-siocia jelas gadis-gadis Lembah Es pembela kebenaran maka orang-orang kang-ouw ini tak perduli tubuh yang lelah mencari dan menelusuri jejak Rajawali Merah, meskipun untuk itu mereka hanya ngawur saja dan main untung-untungan!

* * * * * * * *

Ke manakah Thian-te It-hiap dan Rajawali Merah itu? Ke mana pula gadis-gadis Lembah Es dan Hoa-siocia? Tak ada yang tahu karena ketika semua sibuk dilempar ke pulau kosong maka khusus gadis-gadis ini Thian-te It-hiap maupun Rajawali Merah membawanya pergi. Di saat awan hitam penuh abu hitam maka di saat itulah dua orang sakti ini bergerak dengan caranya masing-masing. Rajawali Merah "mengantongi" Thio-siocia dan Wan-siocia di balik jubah saktinya melalui ilmunya Beng-tau-Sin-Jin (Manusia Menembus Roh).

Dengan ilmu ini dua gadis itu bersemayam aman dan tenang. Mereka sama sekali tidak kelihatan karena menghilang di balik ilmu sakti itu. Dan ketika di sana Thian-te It-hiap menyelamatkan cucunya dan murid-murid lain maka khusus murid-muridnya ini dia suruh pulang ke Ce-bu. Kakek ini menggandeng Hoa-siocia dan dengan kedua pundak penuh orang ia menyuruh gadis itu membantu.

"Kita antar mereka ke daratan besar, setelah itu kita pergi berdua."

Para murid mula-mula tak mengerti. Mereka ketakutan oleh asap dan awan tebal, hampir tak dapat melihat apa-apa dan hanya merasa dibawa melayang cepet sekali. Dan ketika mereka tahu-tahu diturunkan di atas tanah, jauh meninggalkan pulau kosong di perbatasan Pulau Api maka kakek itu berkata bahwa mereka diminta pulang ke Ce-bu.

"Sekarang aku hendak mengejar musuhku yang utama, Pulau Api sudah hancur. Kalian pulang dan jaga rumah sambil tunggu aku di sána."

"Bengcu..."

Para murid berlutut, yang wanita maupun pria menangis. "Apakah kami tak boleh mengikutimu lagi? Apakah kami tak dapat membantu sedikitpun?"

"Kali ini tidak. Kalian pulang dan jangan membantah perintahku, Yan Kim. Jaga rumah baik-baik dan tunggu kami diCe-bu!"

"Baiklah, kami setia menunggu. Harap bengcu lekas kembali dan jangan buat kami cemas."

Kakek itu mengibas. Ia berkelebat dan lenyap meninggalkan anak muridnya dan Hoa-siocia dibawa kakeknya ini. Pengejaran terpaksa tertunda karena Thian-te It-hiap harus menolong murid-muridnya ini, juga orang-orang lain. Dan karena ketua Pulau Api sempat melarikan diri menuju ke barat maka ke sinilah kakek itu bergerak akan tetapi ia terbelalak karena empat hari melakukan perjalanan jejaknya tercium menuju Himalaya.

Hoa-siocia atau gadis baju putih itu menggigil. Selama dalam perjalanan ia tak boleh banyak bicara dan hanya menjawab kalau đitanya, selebihnya ia harus diam atau sang kakek menamparnya. Thian te It-hiap tiba-tiba begitu keras dan galak, sungguh tak seperti kalau ia sedang di Ce-bu, mengalah dan banyak berdiam diri. Dan ketika mereka tiba di kaki pegunungan itu dan salju terbenam diinjak, percakapan atau suara orang terdengar maka tawa dan kekeh si gila gampang sekali dikenali. Dengan telinganya yang tajam inilah Thian-te It-hiap menemukan jejak musuh.

"Ha-ha, ke mana kalian ini? He, ini tempat apa, pangcu, mau ke mana. Aku kedinginan!" "Hm, jangan cerewet. Tutup mulutmu dan jangan banyak bertanya, San Tek, kita datang untuk menghancurkan musuh. Diam dan terus jalan atau nanti kami meninggalkanmu."

"Wah, kau tua bangka sudah tak ramah lagi. Kalau kalian meninggalkan aku tak perlu aku takut, Hantu Putih. Di sinipun boleh kita berpisah. Serahkan gadis itu dan kita jalan sendiri-sendiri!"

"Jangan bertengkar," Suara Tan-pang-cu terdengar. "Puteri Es adalah tawanan berharga, San Tek. Kami akan menukarnya dengan bantuan We We Moli. Thian-te It-hiap dan Rajawali Merah itu orang-orang berbahaya, kau tak mungkin melawannya kalau belum dibunuh. Nah, tujuan sudah dekat dan kalian harap sabar. Supek harap menahan diri."

Thian-te It-hiap dan cucunya tertegun. Tiba-tiba tak dapat menahan diri mendadak gadis itu menjerit, Ia membentak dan berkelebat menampakkan diri. Dan ketika musuh terkejut dan menoleh maka gadis ini menerjang Tan-pangcu. Ketua Pulau Api itu ada di situ bersama empat temannya yang lain. "Serahkan Puteri Es atau aku mengadu jiwa!"

Tan-pangcu mengelak. Ia terkejut akan tetapi tiba-tiba tertawa. Di kaki Himalaya itu Thian-te It-hiap mengejar, kebetulan sekali. Dan karena ia bersama supeknya yang sakti dan Hantu Putih tampak tertegun memandang ke depan, bukan gadis itu melainkan Thian-te It-hiap maka kakek ini menggerakkan tubuhnya dan mencengkeram atau menyambar ketua Pulau Api itu, melindungi sekaligus menjaga cucunya dari marabahaya.

"Benar, serahkan Puteri Es atau kau mampus!"

Sang pangcu tentu saja terkejut akan tetapi San Tek dan supeknya berseru keras. Melihat Hoa-siocia mereka tidak memandang sebelah mata akan tetapi melihat Thian-te It-hiap si gila menjadi kaget. Ia dibawa rombongan ini sampai ke pegunungan Himalaya itu, tidak sendiri melainkan bersama seorang kakek tinggi kurus yang kakinya cacad.

Kakek ini tak dapat berjalan baik kalau tidak meloncat-loncat, itulah Hantu Putih dedengkot Pulau Api, suheng dari Hantu Hitam yang tewas di tangan Thai Liong. Dan karena kakek ini dilempar ke tempatnya lagi dengan luka parah, berbulan-bulan tak mampu bangun dan akhirnya bersembunyi di Pulau Karang itu maka ketua Pulau Api inilah yang merawat dan menjaganya sampai ia sembuh. Pulau Karang ternyata merupakan persembunyian dedengkot Pulau Api itu, yang masih tak berani keluar ketika Rajawali Merah dan Thian-te It-hiap muncul.

Kini melihat kakek itu sendirian dan murid keponakannya diserang tentu saja Hantu Putih marah. Ia telah mendengar dan menyaksikan kelihaian Thian-te It-hiap, yakni ketika di Pulau Karang kakek itu datang disusul Rajawali Merah. Biarpun ada si gila San Tek akan tetapi Hantu Putih masih merasa bimbang. Kesaktian dan kehebatan Rajawali Merah itu masih menggiriskan hatinya.

Maka ketika ia memanggil murid keponakannya agar lari ke Guha Hitam, di sini telah dipasang bahan-bahan peledak untuk menghancurkan pulau maka ulah kakek inilah yang membuat Pulau Karang tenggelam dan lenyap disambar gelombang laut. Ledakan bawah tanah membuat gunung berapi terbakar dan terjadilah letusan itu.

"Dukk!" Thian-te It-hiap bertemu lengan kakek ini dan Hantu Putih terpekik. Dedengkot Pulau Api itu terkejut karena hawa dingi menembus tulang-belulangnya, tangannya yang kurus kering seakan menjadi beku. Dan ketika San Tek si gila terbahak namun Thian-te It-hiap mengelak pukulan pemuda ini maka Tan-pangcu meloncat mundur sementara Hoa-siocia sudah ditendang kakeknya menjauhi tempat itu.

"Biarkan aku menghadapi jahanam-jahanam ini, kau mundurlah!"

"Ha-ha!...!" Tan-pangcu tergelak. "Bagus sekali kau menyerahkan diri, Thian-te It-hiap. Jangan harap kau mampu karena sekarang supekku dan San Tek mengeroyokmu"

"Dan kami akan menangkap cucumu ini. Kami akan mempermainkannya. Ha-ha, gadis belia ini masih cantik dan Segar sekali!"

"Jahanam tak tahu malu!" Gadis itu memekik bergulingan meloncat bangun. Aku akan mengadu jiwa dengan kalian, Tan-pangcu, dan kau hanya akan dapat mempermainkan mayatku... singgg!" pedang telah dicabut dan gadis ini tak menghiraukan seruan kakeknya.

Tan-pangcu, yang membawa seorang gadis yang tertotok pingsan sudah melempar gadis itu kepada puteranya. Itulah yang mereka sebut Puteri Es. Dan ketika laki-laki itu tertawa sementara sutenya,juga terbahak gembira, kilatan mata mereka menunjukkan ancaman bahaya maka Thian-te It-hiap terkejut karena dengan kemarahan meluap cucunya itu menerjang ketua Pulau Api ini.

"Hoa Siu, sebaiknya kau minggir dan jangan layani orang-orang itu. Aku dapat menghadapi mereka!"

"Tidak, mereka membawa Puteri Es, kong-kong. Aku akan merebut tawanan dan mengadu jiwa di sini. Mati hidup sama saja!"

Kakek ini mengerutkan kening. Sesungguhnya ia terkejut ketika tiba-tiba cucunya tadi melengking dan menampakkan diri. Tak disangkanya di situ ada Hantu Putih segala. Dedengkot Pulau Api ini amat berbahaya biarpun tampaknya renta dan lemah. Mungkin lukanya belum sembuh semua akan tetapi orang seperti ini tetap berbahaya dihadapi dengan sembrono.

Namun karena cucunya sudah menerjang dan tak ada lain cara kecuali menghadapi dan membalas serangan lawan maka Thian-te It-hiap membentak dan ketika dua orang lawannya menyambar di kanan kiri mendadak ia mencabut sebatang pedang dan bersamaan dengan ini maka mencuatlah cahaya dingin menyambut dua orang itu, memotong atau menggunting dimana dedengkot Pulau Api berteriak kaget mengenal pedang itu.

"Pek-swat-kiam (Pedang Salju)!"

San Tek terbelalak dan ikut kaget. Si gila ini menyambar dari kiri dan melepas Im-kan-thai-lek-kangnya. Sudah berkali-kali ia menghadapi lawannya ini akan tetapi baru kali itu Thian-te It-hiap mengeluarkan pedang. Pedang bukan sembarang pedang melainkan Pedang Salju. Pedang ini amat dingin sekali mengiris kulit, cahayanya juga menyilaukan mata dan digerakkan Thian-te It-hiap yang mengaku keluarga Si Pedang Maut Hu Beng Kui amatlah hebatnya.

Baru keluar dari sarungnya saja sudah menabas putus pohon cemara di depan. Dan ketika pedang itu berkelebat menyambut Si Hantu Putih, memotong dan menggunting pukulan San Tek maka kesiur dingin dan cahaya menyilaukan itu membuat si gila terpekik dan melempar tubuh ke belakang. Dedengkot Pulau Api juga berteriak dan tak ingin matanya silau.

"Cres-cress!"

Batu besar di belakang dua orang ini terbelah dua. Mereka bergulingan meloncat bangun dan Thian-te It-hiap berkelebat lagi, bukan ke arah dua orang ini melainkan ke arah Tan-pangcu dan sutenya. Mereka itu telah mengeroyok dan mendesak Hoa-siocia, betapapun kepandaian gadis itu di bawah tokoh-tokoh Pulau Api ini. Dan ketika pedang berdesing tapi untunglah Hantu Putih berteriak memperingatkan, dua orang ini melempar tubuh maka mereka pucat karena sedetik saja mereka terlambat maka leher mereka terbabat. Pedang itu mengenai rambut dan ikat kepala mereka putus.

"Tas!" Thian-te It-hiap tak berhenti di sini karena ia menyambar pula Tan Bong. Pemuda itu membawa Puteri Es dan menjeritlah pemuda Pulau Api ini membanting tubuh. Begitu cepat dan ganas gerakan Thian-te It-hiap itu. Dan ketika ia melepaskan tawanannya dan bergulingan menyelamatkan diri maka gadis tawanan itu berpindah tangan akan tetapi kakek ini dan cucunya tertegun.

"Bukan Puteri Es!"

"Ha-ha, memang bukan!" Hantu Putih terkekeh dan sudah hilang kagetnya, menyambar dan menarik cucu muridnya Tan Bong. "Gadis itu untuk memancing kalian , Thian-te It-hiap, dan juga Rajawali Merah. Kalian telah datang di Himalaya dan kami akan minta bantuan We We Mo li. Heh-heh, ayo maju dan kita main-main lagi!"

Kakek ini mengedutkan kedua kakinya dan mendadak ia mencelat ke depan. Rasa kaget akan kehebatan pedang sudah teratasi dan ia mengerotokkan sepuluh buku-buku jarinya. Aneh, jari-jari ini mendadak memanjang. Dan ketika ia menerjang dan sepuluh lengannya sudah terulur seperti lengan gurita maka si gila San Tek juga berseru marah melepas Im-kan-thai-Thai-lek-kangnya.

"Keparat, kau membuat aku kaget. Tapi aku tak takut akan ilmu silat pedangmu!"

Thian-te It-hiap menangkis akan tetapi si gila ini merobah pukulannya. la merunduk dan memutar dari samping sementara Hantu Putih menggerakkan sepuluh jarinya itu. Dan ketika pedang bertemu kuku panjang dan berketrik melentur kakek itu terkekeh maka Pek-swat-kiam mampu ditahannya meskipun sedetik ia merasa seluruh tubuhnya menggigil. Dingin!

"Ha-ha. akupun tak takut. Ayo bunuh dan hajar lawan kita ini!"

Thian-te It-hiap berkilat marah. membalik dan menghadapi dua lawannya yang tangguh ini sementara Tan-pangcu dan sute serta puteranya menubruk cucunya lagi. Tampak bahwa si gila San Tek dan Hantu Putih menghalangi kakek itu menyerang Tan-pangcu Akan tetapi karena kakek ini meluap marah dan betapapun tak mau undur maka ia melengking dan gulungan sinar pedangnya yang naik turun bergerak ke arahTan-pangcug dan sute serta puteranya itu. Angin sambaran pedang menyerang dari jauh.

"Cit-citt!"

Tan-pangcu dan dua temannya berteriak kesakitan. Ternyata dengan angin sambaran pedang Thian-te It-hiap mampu menusuk dan menikam. Sinar putih mencuat dari ujung pedangnya itu. Dan karena Pek-swat-kiam mengandung hawa dingin dan hawa ini cukup menusuk kulit maka Tan Bong tergores dan pemuda yang paling lemah dibandingkan lainnya itu mengaduh dan terguling. Pundaknya luka berdarah.

"Keparat!" Hantu Putih memekik. "Tahan dia jangan sampai lolos, San Tek, serang dan jangan beri kesempatan!"

"Bocah itu yang bodoh. Masa kulitnya begitu lunak, Hantu Putih, suruh saja ia mundur!"

"Heh, kita harus melindunginya. Jangan biarkan ia menyerang dan Im-thai-lek-kangmu perlu kau tambah!"

"Dan kaupun percuma mengeluarkan silat guritamu itu. Lepaskan Giam-lui-ciang dan kita gencet dia dari muka belakang, tua bangka. Mana We We Moli yang katanya mau kau minta bantuannya itu. Hei awas... plak-cringg!"

Si gila mengelak tetapi pedang meluncur menabas kuku jari Hantu Putih. Di dalam gebrak cepat ini Thian-te It-hiap menggerakkan tangan kirinya, hawa pukulan dingin meluncur menyertai gerakan pedang itu. Dan ketika si kakek terkesiap dan menangkis namun tergetar maka satu di antara kuku panjangnya putus,

"Bedebah!"

San Tek tertawa-tawa.

"Jangan menghina aku, bocah. Jangan mentertawaí aku. Kukuku putus sebuah!"

"Salahmu!" si gila melonjak geli. "Sudah kubilang tak ada gunanya cakar ayam guritamu, tua bangka. Lepaskan Giam-lui-ciang dan gabung dengan Im-kan thai-lek-kangku iní.. . desss!" si gila memapak dan dorongan tangan kiri Thian te It-hiap bertemu telapaknya. Im-kan-thai-lek-kang mengeluarkan hawa panas sementara tangan kiri kakek itu berhawa dingin. Akan tetapi karena pedang di tangan kanan tetap bergerak dan menyambar leher itu maka San Tek melepaskan dirinya dan secepat kilat membanting tubuh.

"Gila, kakek ini bagai harimau tumbuh sayap. la semakin hebat!"

"Haha, karena itu jangan mengejek. Aku juga kewalahan kalau pedangnya, dan tangan kirinya sama-sama bergerak. Hayo, gabung Im-kan-thai-lek-kang dengan Giam-lui-ciang!"

Hantu Putih ganti gembira dan mentertawai San Tek. Temannya ini terkejut dan harus mengakui keunggulan Thian-te It-hiap setelah kakek itu mengeluarkan pedang. Silat peninggalan Hu-taihiap benar-benar ganas dan maut sekali pedang menyambar untuk menyabet nyawa dan tikaman atau tusukannya berbahaya sekali. Di tangan seperti Thian te It-hiap maka Giam-lo Kiam-sut (Ilmu Pedang Maut) benar-benar maut, jauh lebih berbahaya dibanding siapapun, bahkan mungkin mendiang Hu Beng Kui sendiri, sang pencipta ilmu pedang.

Dan ketika kakek itu bergerak-gerak sementara lawan berkelebatan mengelilingi dirinya, Thian-te It-hiap mengelak dan menangkis maka dua orang ini harus mengakui bahwa mengalahkan atau mendesak lawan amatlah sulit. Pedang dan pukulan dingin di tangan kakek itu bekerja sama baiknya dan tolong-menolong. Akan tetapi tidak demikian dengan kejadian di lain tempat. Hoa Siu yang berhadapan kembali dengan tokoh-tokoh Pulau Api tak mendapat perlindungan kakeknya lagi.

Kakeknya itu dihalang-halangi hingga sukar mendekat, betapapun Hantu Putih dan San Tek menjadi penasaran, mereka memukul dan mendorong agar Thian-te It-hiap tetap di tempat. Dan karena dua orang itu menggabung pukulan mereka yang sama-sama berhawap panas, menyambar dan memaksa kakek itu mundur kembali maka Thian-te It-hiap benar-benar tak mampu mendekati cucunya yang kini didesak ketua Pulau Api itu. Tan-pungcu leluasa dan tertawa-tawa menekan gadis ini.

"Ha-ha, kakekmu tak dapat maju lagi. Sekarang menyerah dan robohlah, Hoa Siu, kami akan baik-baik menperlakukanmu, atau kau kami permainkan dan kami buat malu!"

"Benar, telanjangi sedikit demi Sedikit. Lihat ia merintih dan menangis minta ampun!"

"Lalu kita bawa ke guha, siksa di sana Ha-ha, menyerahlah, nona, atau kami merobohkanmu."

Gadis itu memaki-maki dan memutar pedangnya serapat mungkin. Setelah dikeroyok dan dua ketua Pulau Api menyuruh mundur Tan Bong maka pemuda itu termangu pucat di luar pertandingan. Pemuda ini masih ngeri oleh pedang di tangan Thian-te It-hiap, angin sambarannya saja cukup membuat luka. Dan ketika ia menonton pertandingan sementara hatinya diam-diam bergolak, ada rasa tak setuju melihat ayah dan susioknya mempermainkan gadis itu maka pemuda itu menggigit bibir dan sesungguhnya diam-diam selama ini ia kurang suka terhadap sepak terjang pimpinan Pulau Api, baik ayah atau susioknya.

Akan tetapi ia adalah murid Pulau Api. Mau tak mau ia harus berpihak kepada ayahnya dan apapun harus ditelan, begitu juga ejekan dan sikap ayahnya terhadap cucu Thiah-te It-hiap itu. Bukan rahasia lagi. kalau orang-orang Pulau Api menculik dan suka mempermainkan wanita, dia sendiripun juga begitu, meskipun hanya sekali dua sebagai dorongan berahinya. Berkumpul dan bergaul dengan orang-orang panas seperti penghuni Pulau Api memang mudah terseret untuk melakukan kekejaman, termasuk mencari dan mempermainkan wanita.

Tapi sejak ia bertemu dan melihat gadis ini entah kenapa hati pemuda ini terguncang. Ia kagum oleh kelihaian dan kehebatan gadis itu bermain pedang. Gadis seperti itu sudah mampu menghadapi ayah atau susioknya, bahkan di Cebu kabarnya gadis ini telah mengalahkan sutenya Siauw Lok, berarti kepandaiannya memang tinggi dan ia sendiri mengaku imbang bertanding dengan gadis ini. Dan ketika kagum itu berkembang menjadi perasaan, perasaan tak rela kalau ayah atau susioknya mempermainkan gadis ini maka pemuda itu gemetar dan diam-diam akan menyelamatkan gadis itu bila saatnya tiba. la siap meloncat dan menerima pukulan ayah atau susioknya agar gadis itu tidak celaka!

Namun sang kakek tentu saja lebih memikirkan keselamatan cucunya daripada pemuda ini apalagi karena Thian-te It-hiap juga tidak tahu pikiran pemuda itu. Hal ini terlihat dari perobahan yang terjadi di pertempuran ini, di mana Hantu Putih maupun San Tek bekerja keras menekan dan mengurung lawan mereka. Thian-te It-hiap dipaksa tetap di tempat biarpun gulungan sinar pedangnya menyambar naik turun. Berkali-kali pukulan tangan kiri kakek itu bertemu Im-kan-thai-lek-kang maupun Giam-lui-ciang.

Thian te It-hiap baru terhuyung mundur apabila gabungan pukulan itu menyerangnya berbareng, selebihnya dia sanggup bertahan dan paling tergetar saja, apalagi karena pedang di tangan kanan benar-benar berbahaya dan ditakuti dua orang lawannya. Tak jarang pedang itu tahu-tahu mencuat dan menyambar bagai kilat cepatnya, Menusuk atau menikam bagian tubuh berbahaya dari si gila San Tek maupun Hantu Putih, mata atau hidung umpámanya. Dan karena setiap cahaya pedang tentu menyilaukan lawan, inilah yang membuat mereka berhati-hati maka San Tek maupun temannya tak dapat mendesak kecuali menahan kakek itu tetap di tempat.

Hantu Putih diam-diam heran. Pek-swat-kiam adalah pusaka Lembah Es. Seingatnya pernah digunakan We We Moli ketika dulu nenek itu masih muda. Pedang ini turun-menurun dari tokoh-tokoh Lembah Es kepada muridnya, maka aneh sekali kalau tiba-tiba berada di tangan kakek ini. Dan karena Thian-te It-hiap jelas bukan penghuni Lembah Es, ilmu sílatnya bukan ilmu silat Kim Kong Sengjin maka kakek ini heran dan terkejut bagaimana pedang pusaka itu bisa jatuh di tangan Thian-te It-hiap, dan yang lebih mengherankan lagi adalah pukulan tangan kirinya itu. Ping-im-kang!

Kakek ini benar-benar heran. Seingatnya Ping-im-kang (Pukulan Inti Es) adalah milik Beng An putera Pendekar Rambut Emas. Pemuda itu pernah bertemu dengannya dan bertèmpur. Harus diakui bahwa lawannya yang muda itu lihai sekali, hanya setelah dikeroyok bersama mendiang adiknya Hantu Hitam maka pemuda itu tertangkap dan dapat dirobohkan.

Apakah Thian-te It-hiap ini guru pemuda itu? Apakah kakek ini pencipta asal Ping-im-kang? Dia ragu. Dia sudah bertanya dan membentak kakek itu apakah hubungannya dengan Beng An, akan tetapi kakek itu tutup mulut. Dan ketika ia menjadi marah dan memaki-maki maka jawabannya adalah pukulan tangan kiri yang lebih hebat dan Sinar pedang yang lebih bergulung-gulung.

Kini tubuh Thian-te It-hiap telah lenyap dan benar-benar terbungkus cahaya pedangnya itu. Dan di saat ini terjadi perobahan. Mula-mula Hantu Putih tak mengetahuinya Ia terus berkelebatan menyerang lawan dan mencoba menerobos gulungan Pek-swat-kiam itu. Sekujur tubuh lawan dingin membeku dan Giam-lui-ciang maupun Im-kan-thai-lek-kang tak mampu menembus. Demikian kuat hawa dingin itu hingga pukulan mereka tertolak buyar. Bukan semata Ping-im-kang yang dimiliki Thian-te lt-hiap melainkan juga disebabkan adanya Pedang Salju itu.

Semakin di putar pedang ini semakin luar biasa. Badan pedang sampai ke gagangnya berubah putih menyilaukan, tiada ubahnya sebongkah es beku atau Salju tanpa noda. Dan karena Giam-lui-ciang maupun Im-kan thai-lek-kang adalah pukulan berhawa panas, masing-masing mengeluarken api yang berpijar setiap menyambar maka pantulan cahaya ini membuat gundukan pedang di tangan Thian-te It-hiap menjadi semakin menyilaukan yang membuat San Tek maupun kawannya berteriak tak tahan.

Hal ini mengakibatkan serangan mengendur, mata tak mampu melihat baik dan lenyapnya kakek itu sempurna sekali. Thian te It-hiap benar-benar tersembunyi dibalik gulungan sinar pedangnya. Akan tetapi ketika San Tek maupun Hantu Putih berkejap menormalkan mata, sungguh cahaya itu menyilaukan mereka maka saat inilah Thian-te It-hiap berkelebat menghilang dan terdengar teriakan di pertandingan sebelah.

"Aduh!"

Tan-pangcu dan ji-pangcu membanting tubuh bergulingan. Saat itu mereka tertawa-tawa mendesak dan menekan Cucu Thian-te It-hiap ini. Mereka tak menyangka sama sekali bahwa Thian-te lt-hiap keluar meloloskan diri, lewat dalam waktu sekejap di saat Hantu Putih maupun San Tek mengejapkan mata. Kejadian ini hanya sedetik saja akan tetapi Thian-hiap telah mempergunakannya secara baik sekali.

Berkelebat dan lolos dan saat itulah pedangnya menyambar Tan-pangcu dan ji-pangcu. Mereka mendesak dan menekan Hoa-siocia dan gadis itu terhuyung-huyung. Maka ketika tiba-tiba pedang berkelebat menyambar dan dua orang ini kaget sekali, hawa dingin membuat kullt teriris maka dua orang itu melempar tubuh bergulingan akan tetapi pundak dan leher mereka berdarah.

"Keparat!" Hantu Putih melengking melihat keadaan muridnya. “Kau licik, Thian-te lt-hiap, tua sama tua. Ayo maju dan hadapi aku, jangan lari!"

"Betul, kurang ajar sekali. Lawanmu adalah aku, Thian-te It-hiap, bukan anak-anak kecil itu. Hayo, ke sini dan jangan lari!"

Si gila San Tek berkelebat memaki dan dua pimpinan Pulau Api itu menyelamatkan diri. Kalau supek dan temannya itu tidak mengejar dan melepas pukulan kembali tentu mereka celaka dan tak mungkin meloncat bangun. Pedang sudah menyambar akan tetapi didorong Im-kan thai-lek-kang dan Giam-lui-ciang, Hantu Putih dan San Tek sudah mengurung kakek ini lagi. Dan ketika Thian-te It-hiap dikeroyok dan tak lagi mendapat kesempatan lolos maka Hoa-siocia sudah berada di balik gulungan sinar pedangnya mendapat perlindungan.

"Di sini saja, jangan ke mana-mana. Pegang dan putar pedangmu, Hoa Siu, aku akan merobohkan dua orang musuhku ini!"

"Ha-ha, si mulut besar. Kau sudah kami kurung dan tak dapat keluar, Thian-te lt-hiap, bagaimana kau merobohkan kami. Jangan sombong!"

Akan tetapi Thian-te t-hiap berkemak-kemik. Sekarang ia telah melindungi cucunya ini dan dua tokoh Pulau Api itu tak berani maju mendekat. Tan Bong diam-diam girang bahwa gadis itu telah di selamatkán kakeknya. Dan ketika ayah maupun susioknya tinggal menonton, mereka mengusap darah dengan muka pucat maka supeknya dan San Tek mengurung ketat kakek itu. Thian-te It-hiap mengeluarkan sesuatu.

Di balik gulungan pedangnya yang melebar dan menyambar-nyambar maka tak ada yang melihat ketika telapak kirinya diremas-remas. Asap putih tipis mengepul di sini, tiba-tiba meledak dan berteriaklah Hantu Putih maupun SanTek ketika lawan berkelebat menghilang. Gulungan pedang tak nampak lagi dan Hoa-siocia pun lenyap. Dan ketika dua orang itu terpekik tak tahu lawan di mana maka Sinar putih mencuat dan tahu-tahu menyambur leher dedengkot Pulau Api itu.

"Supek...!"

Hantu Putih kaget. Meskipun tak melihat akan tetapi. Sambaran hawa dingin tentu saja dirasakannya. Cepat kakek itu membalik dan sembilan kukunya yang panjang menengkis. Dalam gugup dan kagetnya ia mempergunalkan jari-jari guritanya itu. Akan tetapi ketika semua kukunya putus dan kakek ini membanting tubuh maka Hantu Putih memekik dan menyelamatkan dirinya bergulingan menjauh.

"Aihhhhhh... crik-crik-crakk!"

Selamatlah kakek ini ia meloncat bungun. Mukanya benar-benar dibuat pucat akan tetapi saat itu si gila San Tek ganti menjadi sasaran. Pemuda ini masih tertegun ketika lawan tiba-tiba menghilang. la teringat sesuatu yang membuat bulu tengkuknya merinding. Dan ketika ia mencari-cari akan tetapi Sinar pedang tahu-tahu menyambarnya dari samping membabat setelah mematahkan kuku jari Hantu Putih maka si gila ini berteriak dan menangkis mendorongkan kedua lengannya.

"Cret!" tetap saja ia terhuyung. Lawan tak kelihatan sementara pedang seakan benda bernyawa yang pandai mencari sasarannya. Telinga kiri si gila tergores. Dan ketika pemuda itu terhuyung dan terbeliak pucat maka ia memutar tubuhnya terbirit-birit. "Pek-sian-sut, Thian-te It-hiap mempergunakan Pek-sian-sut...!"

Semua orang terkejut. Mereka tak melihat lagi kakek itu sementara yang ada ialah sinar pedang menyambar-nyambar. Tan-pangcu gentar dan otomatis melarikan diri, sutenya juga menyusul dan hanya Tan Bong yang termangu-mangu. Pemuda ini kaget dan gentar akan tetapi juga kagum. Pek-sian-sut adalah ilmu putih yang dimiliki keluarga Kim-mou-eng, dulu muncul untuk menandingi Hek-kwi-sut (Lebur Bersama Iblis), ilmu yang dimiliki mendiang See-ong (Datuk Barat) dan menjadikan Kim-mou-eng terkenal. Ilmu itu sesungguhnya pemberian kakek dewa Bu-beng Sian-su.

Maka ketika Thian-te lt hiap tiba-tiba mempergunakan ilmu itu dan kakek ini memiliki ilmu yang dimiliki keluarga Pendekar Rambut Emas maka Tan Bong termangu-mangu dan heran serta bertanya-tanya siapakah sebenarnya Thian-te li-hiap ini. la telah mengetahui bahwa Ping-im-kang adalah milik Beng An. Akan tetapi karena selama ini Beng An tak pernah mempergunakan pedang dan Giam-Kiam-sut atau llmu Pedang Maut tak pernah pula dipertunjukkan pemuda ini maka putera ketua Pulau Api itu bingung selain memiliki dugaan kuat bahwa kakeki ini pasti ada hubungannya dengan putera Pendekar Rambut Emas itu.

Hal ini juga telah dinyatakan susiok atau ayahnya. Bahkan supek-kongnya (paman kakek guru) Hantu Putih juga mangatakan itu. Akan tetapi karena Thian-te It-hiap ini benar-benar merupakan manusia misterius dan lebih misterius lagi bagaimana ia memegeng pusaka Lembah Es maka semua itu menambah bingung tokoh-tokoh Pulau Api. Dan kini kakek itu memilik pula Pek-sian-sut!

Hantu Putih menjadi kaget dan marah akan tetapi kakek ini melengking nyaring. Ia menggosok-gosok tangannya dengan cepat dan mengepulah asap hitam. Lalu ketika membentak dan berseru keras mendadak lenyaplah Kakek itu karena ia telah mengeluarkan Ngo-thian-hoat-sutnya untuk menandingi Pek-sian-sut.

"Jangan lari, aku telah melihatnya. He, kembali dan bantu aku, San Tek, kita panggil We We Moli.. . bresss!" benturan suara itu membuat si gila menoleh dan berhenti. Asap hitam dan putih bertemu akan tetapi yang hitam terpental. Sinar putih kembali mencuat dan dedengkot Pulau Api mengelak. Dan ketika dua asap hitam putih itu bertempur seru maka si gila terbelalak dan muncul keberaniannya.

"Ke sini, bantu aku. Pegang tanganku dan kau akan melihat tua bangka ini di sini!"

"He-he, benar. Kaupun rupanya pandai segala macam sihir, kakek siluman. Aku tidak takut kalau dapat melihat lawanku, tapi kalau ia tak kelihatan tentu mudah menyerangku!"

Si gila kembali dan Hantu Putih menampakkan diri. lapun telah lenyap mempergunakan Ngo-thian-hoat-sutnya dan kini menyambar lengan si gila itu. Dan ketika si gila melihat lawannya kembali dan masuk dalam kabut hitam, Ngo-thian-hoat-sut adalah sihir milik tokoh-tokoh Pulau Api maka kakek itu terlihat lagi dan Thian-te It-hiap membawa pula cucunya situ, , masih melindungi dan menjaga dengan baik.

"Ha ha, kau tua bangka siluman, bikin kaget orang. Hayo kau terima pukulanku, Thian-te It-hiap, dan sekarang aku tak takut lagi!"

Si gila melancarkan Im-kan-thai-lek-kangnya dan pertempuran menjadi aneh. Orang biasa tak melihat lagi tiga orang ini karena yang tampak hanya gerakan kabut atau asap hitam putih. Yang putih adalah Pek-sian-sut sementara yang hitam Ngo-thian-hoat-sut, sambar-menyambar dan melayang dengan amat cepatnya seperti mega saling terjang. Di tengah asap hitam putih ini menyambar kilatan Pedang Salju, mencuat dan membelah bagai kilat halilintar dan berapa kali si gila maupun Hantu Putih berteriak keras.

Ternyata di sinipun mereka tak mampu mendesak lawan, keuntungan Thian-te It-hiap paling-paling cucunya tak dapat dibokong ketua Pulau Api. Dan ketika pertandingan berjalan seru namun Thian-te It-hiap benar-benar luar biasa, ia tak terdesak namun juga tak mampu mendesak lawan akhirnya Tan-pangcu muncul kembali dan bersama sutenya ia terbelalak ngeri.

"Kakek itu benar-benar luar biasa, di daratan besar ternyata banyak orang-orang Sakti"

"Ya, dan kami Pulau Api maupun Lembah Es tak bisa mengatakan bahwa diri sendiri paling hebat, suheng. Thian-te It-hiap dan San Tek adalah contohnya."

"Dan masih ada lagi Rajawali Merah"

"Juga Kim-mou-eng! Ah, daratan besar menyimpan orang-orang hebat dan kita bertemu tanding. Kalau supek tak dapat mengalahkan kakek itu maka pudarlah nama kita. Mana We We Moli yang katanya sudah dihubungi supek!"

"Mungkin ia tak datang, atau...."

Dua orang ini berseru kaget. Dari puncak Himalaya tibe-tiba berhembus angin kencang. Belum habis mereka bicara tiba-tiba terdengar lengking atau suara dahsyat. Mereka berteriak dan terpelanting dan saat itu menyambarlah sesosok bayangan hitam menuju pertempuran di depan. 

Angin kuat ini terus menyambar menghantam gulungan asap hitam dan putih, yakni pertarungan sihir antara Pek kwi (Hantu Putih) melawan Thian-te It-hiap. Dan ketika terdengar ledakan dan asap itu buyar, baik yang putih maupun hitam berantakan diterjang angin ini maka We We Moli, nenek berpakaian serba hitam itu muncul mendorong yang bertempur.

"Berhenti, kalian mengganggu samadhiku. Siapa mengacau ini dan berani benar menginjakkan kaki di wilayah pertapaanku!"

Hantu Putih dan yang lain terkejut. Sesungguhnya kakek ini telah mengontak nenek itu akan tetapi tiada jawaban. Panggilan batinnya tertolak. Namun karena dia terus memanggil dan nenek itu kini datang, giranglah hatinya maka kakek ini terkekeh dan buru-buru mengangkat lengannya.

"Maaf, tunggu dulu. Aku membawa musuh tangguh, Mo-li, keluarga Pendekar Rambut Emas. la ada hubungan dengan Beng An dan Rajawali Merah. Aku memancingnya ke sini agar kau membantuku."

"Hm!" nenek itu mengedikkan kepala, sepasang matanya yang putih terbelalak mengerikan sekali, tanpa manik-manik. "Aku sebenarnya tak mau diganggu, Pek-kwi, tapi menyebut nama itu membuat darahku mendidih. Siapa dia?"

"Thian-te It-hiap, orang sombong nomor satu!"

"Bagus, telah kulihat pertandingan kalian tapi siapapun enyahlah dari sini. Aku akan melanjutkan samadhiku!" dan ketika nenek itu mengibas dan dari lengannya menyambar angin dahsyat maka tiga orang itu baik Thian-te It-hiap maupun Hantu Putih dan San Tek diserang kuat. 

Akan tetapi Thian-te It-hiap berseru keras. Pek-swat-kiam di tangannya berkelebat, sang nenek tertegun dan aneh sekali angin pukulannya berhenti. Namun ketika San Tek dan Pek-kwi berseru kaget, untuk mereka pukulan terus menyambar maka dua orang ini mengelak akan tetapi San Tek menangkis dan membentak marah.

"Plak!" Moli memang aneh. Hantu Putih mengelak berjungkir balik akan tetapi tangkisan San Tek membuat ia melotot. Si gila terhuyung dan berteriak, nenek itu masih tak bergeming. Dan ketika hal itu membuat nenek ini marah dan maju dengan tangannya yang lain maka Pek-kwi berseru agar temannya itu menyingkir saja, menarik dan membetot menjauhkan diri.

"Jangan layani, kita bukan musuh...bress!" pukulan itu jatuh menimpa di belakang dan San Tek menggigil sekujur tubuhnya. Tanah di mana terpukul menjadi beku dan salju yang memuncrat terasa dingin. Rasanya jauh lebih dingin daripada Ping-im-kang. Dan ketika nenek itu tertawa dingin dan menggerakkan kepalanya tiba-tiba ia melecutkan rambut dan karena ia menghadapi San Tek maka Thian-te It hiap terlambat kaget karena gerakan rambut menyambar dan merampas pedangnya.

"Srat!" Pedang telah berpindah tangan. Begitu cepat kejadian itu hingga Thian-te It-hiap tertegun. Kakek ini sadar setelah nenek itu menimang dan memeriksa pedangnya, membentak akan tetapi ia mundur ketika sepasang bola putih itu mengeluarkan cahaya kebiru-biruan. We We Moli bertanya dari manakah kakek itu mendapatkan pedang. Dan ketika Thian-te It-hiap tertegun tak menjawab maka nenek itu tertawa dingin.

"Bagus, ini benar-benar Pek-swat-kiam. Ini pusaka Lembah Es. Sekarang kau harus mempertanggungjawabkan persoalan ini Thian-te It-hiap, dan untuk itu mari kita ke puncák!"

Pek-kwi girang. Hantu Putih ini menyangka We We Moli telah menjadi sahabat. Sesepuh. Lembah Es itu siap menghajar lawan yang amat tangguh ini. Akan tetapi ketika ia hendak bicara dan ditutup sebuah kibasan mendadak wanita itu membentaknya agar pergi. "Enyah kataku, siapapun tak boleh disini!”

Kakek itu kaget. Bersamaan itu keluar angin pukulan amat kuat menyambar dirinya dan San Tek, bukan hanya pemuda itu saja melainkan juga Tan-pangcu dan sutenya, juga Tan Bong. Dan ketika tiga orang itu berteriak dan terangkat tinggi, terbang dan terlempar amat jauh maka Pek-kwi mencoba bertahan dengan seruan keras.

"Kami ingin membantumu, jangan diusir!”

Akan tetapi kakek ini terbawa naik juga. Pek-kwi mendorongkan Giam-lui ciangnya namun hawa dingin mendahuluinya. Pukulannya padam. Dan ketika San Tek juga mengeluarkan Im-kan-thai-lek-kang akan tetapi terangkat dan terbawa naik maka tanpa dapat dicegah lagi dua orang itu melayang-layang keluar dari wilayah Himalaya. Hanya Thian-te It-hiap berdiri terbelalak.

"Moli, kau wanita jahanam. Awas kalau Rajawali Merah datang menghajarmu!"

Namun wanita ini tak perduli. Ia sudah membersihkan tempat itu dari tokoh-tokoh Pulau Api dan tiba-tiba memandang Thian-te It-hiap. Pandangannya terasa menyeramkan dan sinar kebiruan di sepasang matanya itu mendadak bekerja. Bagai sinar laser saja menusuk dan menyambar leher Thian-te It-hiap. Dan ketika kakek itu terkejut dan mengelak namun gagal, sinar itu menotok lehernya maka ia mengeluh dan roboh disambar wanita ini. We We Moli melesat dan sudah menuju puncak Himalaya dengan sekali gerakan cepat. Lenyap!

"Supek-bo...!"

Bagai hilangnya tadi tahu-tahu wanita itu muncul kembali. Hoa-siocia, yang berseru dan memanggil tiba-tiba berlari mengejar. Gadis ini jatuh bangun menuju puncak, hawa dingin tak dirasa. Namun ketika wanita itu datang lagi dan berdiri di depannya maka jari sekuat baja mencengkeram pundak gadis ini. "Kau memanggil siapa!"

"Aduh, lepaskan. Ampun, supek-bo...ampun. Aku... aku..."

Terdengar lengkingan dan suara di bawah gunung. We We Moli yang sedang mencengkeram gadis ini mendadak melepaskannya. Dari bawah gunung berkelebat tiga bayangan susul-menyusul. Paling depan jelas Pek-kwi si Hantu Putih, lalu San Tek si gila itu. Dan ketika di belakang dua orang ini melayang bayangan merah bagai rajeweli mengembangkan sayap maka seruan atau teriakan kakek itu membuat nenek ini berubah.

"Moli, tolong. Rajawali Merah ada disini!"

"Benar, Thai Liong keparat mengejer-ngejar aku, locianpwe, ia tak menepati janji. Tolong, ia menyerang aku.... aduh" pemuda itu terpelanting namun bergulingan meloncat bangun lagi. Pek-kwi juga terlempar terkena sebuah pukulan.

Thai Liong Si Rajwall Merah datang. Dan ketika pemuda itu membentak menanyakan di mana Thian-te It-hiap, Pek-kwi maupun Sen Tek memanggil-manggil wanita Lembah Es itu maka wajah nenek ini berubah dan ia tampak pucat. Akan tetapi We We Moli tib-tiba mendengus. la mencengkeram Thian-te lt hiap dan mendadak menyambar pula Hoa-siocia. Gadis dan kakek ini dilempar keatas pundaknya. Lalu ketika ia berkelebat meninggalkan tempat itu maka wanita ini sudah menghilang di balik kabut tebal di puncak himalaya yang dingin.

"Moli..."

"Locianpwe!"

Akan tetapi wanita itu lenyap. Hantu Putih dan San Tek yang berteriak memanggil melihat sekilas bayangan wanita ini. Secara kebetulan mereka bertemu Rajawali Mereh di kaki pegunungen salju itu kaget dan menyerang akan tetapi san tek gentar menghadapi pemuda sakti itu. Hantu Putih masih ingat ketika pemuda itu dengan Sin-tiauw-kangnya menjadi menggelembung setiap dipukul dan sinkang yang masuk itulah yang membuat pemuda itu bertambah kuat.

Memang inilah yang menakutkan lawan, bahkan We Moli sendiri gentar menghadapi ilmu aneh itu, ilmu sakti yang belum ada tandingannya. Dan karena kakek serta pemuda itu paling kuat dibanding Tan-pangcu dan kawan-kawan, mereka terlempar Sampai di kaki gunung saja maka Hantu Putih bermaksud meninggalkan Himalaya tak mampu membujuk nenek itu bersahabat dengannya. Akan tetapi Rajawali Merah muncul.

Bagai iblis saja pemuda ini berkelebat di belakang mereka menanyakan di mana Thian-te It-hiap. Pek-kwi terkejut dan menyerang lalu melarikan diri, San Tek mengikutinya pula dan dua orang ini jatuh bangun. Dan ketika We We Moli melihat namun tak menolong mereka, pucatláh kakek itu melawan membalik dan menghantam lawan di atas sebuah pendakian curam.

"Aku tak tahu di mana Thian-te It-hiap, tapi jangan kejar-kejar aku dan pergilah!"

"Benar, akupun tak tahu di mana kakek itu Rajawali Merah. Tapi Ia tadi bersama nenek itu.., dess!"

Semua pukulan diterima namun Sin-tiauw-kang melindungi pemuda ini. Thai Liong tak bergeming dan menangkap serta membentak dua orang itu. Dan ketika ia memuntir dan melempar mereka maka kakek dan pemuda itu melayang jauh di depan jatuh menumbuk hancur sebuah batu besar.

"Baik, kalian jangan bohong. Tapi ikut aku dan kita cari nenek itu. Kalian rupanya hendak bersekutu dan mencelakai Thian-te It-hiap!"

Dua orang itu mengeluh dan terguling-guling. Bagi Rajawali Merah ini tentu saja bukan persoalan menghadapi dedengkot Pulau Api itu. Ia telah tahu dan mengetahui kelemahan lawan, kakek itu belum sembuh total sementara San Tek pemuda yang miring otaknya. Justeru terhadap dialah si gila ini paling takut, itu tak lain karena hajarannya di Sam-liong-to dulu. Maka ketika mereka bergulingan namun ditendang lagi, mencelat dan terlempar semakin ke atas maka tak terasa mereka memasuki daerah berkabut di mana Pek-kwi dan San Tek tiba-tiba menghilang.

"Tobat, keparat jahanam. Kau tak tahu diajak bersahabat, We We Moli. Sekarang hadapilah pemuda itu dan kau tahu rasa!"

"Benar, dan aku akan menyembunyikan diri. He, perutku mulas, Rajewali Merah. Aku ingin berak!"

Suara prot-prot jelas kentut si gila itu. Thai Liong telah memasuki daerah kabut tebal yang menghelangi pandangan. Puncak terasa dingin sementara suara 0rang memantul-mantul, gemanya terlempar ke delapan penjuru dan di kiri kanan mereka adalah jurang-jurang dalam. Tempat ini merupakan tempat berbahaya karena jalanpun lícin seperti kaca. Salju yang membeku di tempat itu berubah menjadi es berlapis-lapis.

Dan karena tempat itu benar-benar berbahaya dan tak ada ilmu lain kecuali mereka yang berilmu tinggi maka dengan Ang-tiauw gin-kangnya (Ginkang Rajawali Merah) pemuda ini bergerak seringan kapas. la tak pernah terpeleset dan jatuh oleh jalanan yang licin. Telapak kakinya bergerak begitu ringannya di atas permukaan salju, bahkan mengambang. Dan ketika Thai Liong mendorong dan menggerak gerakkan kedua lengan mengusir kabut tebal maka pandangan sejauh belasan tombak terlihat. Akan tetapi nenek itu tak ada.

"We We Moli!" gema suara pemuda ini memantul. "Mana Thian-te It-hiap dan serahkan ia padaku!"

'Hm!" suara melingkar tiba-tiba terdengar. "Kau memasuki wilyahku, Rajawali Merah. Kau kembali menggangguku. Enyahlah atau aku menyerangmu!"

"Aku tak bermaksud memusuhimu, aku mencari Thian-te It-hiap. Di mana dia dan beritahukan padaku!"

"la menjadi tawananku. la membawa Pek-swat-kiam dan harus bertanggung jawab bagaimana mendapatkan pusaka Lembah Es... wut!" sebutir salju menghantam pemuda ini dan pecah berhamburan.

Rajawali Merah miringkan kepala mendengarkan asal suara akan tetapi tiba-tiba diganggu serangan salju itu. Suara lawan kembali hilang. Dan ketika mendaki dan memanggil-manggil lagi ternyata ne-nek itu tak menjawabnya karena di sana We We Moli tersenyum dingin dan siap menikam dada Thian-te It-hiap dengan pedang pusaka itu!

"Katakan kepadaku siapa kau sebenarnya. Dari mana pula kau dapatkan pedang ini atau siapa yang memberimu!"

Thian-te lt-hiap tertotok. Kakek gagah perkasa ini ternyata masih tak mampu menendingi sesepuh Lembah Es itu. Tak aneh karena We We Moli memang seorang wanita sakti yang masih setingkat di atas dedengkot Pulau Api sendiri, Hantu Putih atau Hitam. Dan ketika saat itu ia berada di sebuah guha dingin berpenerangan remang-remang, Hoa Siu mengguguk dan berlutut di bawah kaki nenek ini maka kakek itu melarang cucunya bicara banyak-banyak.

"Aku adalah Thian-te It-hiap, dan itu cucuku Hoa Siu. Kau merampas senjataku secara curang, We We Moli, coba lepaskan aku dan kita bertanding seribu jurus!"

'Hm, manusia sombong. Cucumu memanggilku supek-bo, orang dungu, aneh sekali ini. Melihat gerak-geriknya seakan penghuni Lembah Es atau setidaknya seorang murid Lembah Es. Aku tak dapat membebaskanmu karena Rajawali Merah datang kesini. Jawab pertanyaanku atau kau mampus!"

"Jangan, tidak! Jangan ia dibunuh, supek-bo... aku... aku saja penggantinya!"

"Hm, kau gadis miring. Lagi-lagi kau memanggilku supek-bo, bocah, hanya murid penghuni Lembah Es boleh menyebutku seperti itu. Siapa dirimu dan siapa kakekmu ini!"

"Jangan beritahukan!" Thian-te It-hiap membentak. "Sekali kau buka mulut aku tak akan mengempunimu, Hoa Siu. Aku adalah Thian-te It-hiap dan kau cucuku!"

"Kau...kau..."

"Tak apa, aku ditotok secara curang dan ia tak boleh tahu rahasia ini. Biarkan ia penasaran dan aku siap mati!"

We We Moli bersinar-sinar. Siapapun yang melihat wajahnya akan ngeri. Bola mata putih itu berkejap-kejap, seperti orang buta saja akan tetapi anehnya dapat melihat jelas. Wajahnya membesi Sementara kulitnya kehitam-hitaman, jari berkerotok dan Pedang Salju bergerak-gerak. Wanita ini memainkan pedangnya di atas dada Thian-te lt-hiap, sekali lepas tentu menancap. Akan tetapi ketika ia benar-benar penasaran dan dibuat marah oleh sikap lawannya maka tiba-tiba ia bergerak dan dua jarinya menyambar gadis baju putih itu.

"Tangkis seranganku!"

Hoa-siocia terkejut. la sedang berlutut ketika tiba-tiba nenek itu menyerang, tidak terlalu dahsyat akan tetapi sebagai ahli silat tentu saja otomatis ia menangkis. Tusukan jari itu adalah tusukan Dua Naga Melepas Ekor, satu dari sekian jurus Lembah Es. Dan ketika ia mengelak dan menepis dengan jurus otomatis Rembulan Membentuk Bayangan maka nenek itu tertegun namun gadis ini terpelanting, kalah kuat.

"Plak!" Hoa-siocia tersedu-sedu. Nenek itu membalik dan tersenyum. Dari tepisan itu terkandung tenaga Bu-kek-kang. Dan ketika ia tertawa sementara gadis itu melompat bangun maka nenek ini berkelebat dan meremas pundaknya.

"Kau murid Lembah Es, katakan siapa dan nomor berapa?"

"Ia cucuku. Hoa Siu! Kau tuk usah menanyainya kecuali aku, we We Moli. Lepaskan dia dan jangan menakut-nakuti anak kecil!"

"Tutup mulutmu, ia anak múridku.diam dan jangan cerewet, Thian-te It-hiap, atau aku menyiksanya nanti!" lalu ketika nenek ini menghadapi gadis itu dan bersikap lebih bengis maka ia menyentuh jalan darah di bawah telinga, sekali totokan membuat gadis itu bergulingan dan menjerit-jerit bagai digigit ribuan semut api.

"Nah, tak usah mengelak dan terus terang sajalah. Sebutanmu tak salah, kau penghuni atau bekas murid Lembah Es. Siapa kau dan murid nomor berapa, bekerja di mana!"

"Teecu... teecu..."

"Diam, Hoa Siu, atau aku tak akan mengampunimu!"

Gadis itu mengguguk ketika Thian-te It-hiap membentaknya lagi. We We Moli menjadi marah dan tiba-tiba nenek itu menotok urat gagu. Thian-te It-hiap melotot bisu! Dan ketika kakek ini mendelik sementara nenek itu tersenyum maka ia bertanya lagi dan kali ini ujung kukunya menggurat sedikit.

"Katakan atau siksaan ini akan membuatmu mati belum hiduppun tidak. Nah,jangan takut kakekmu itu atau ia kusiksa di depanmu pula."

Hoa Siu menjerit. Sedikit guratan saja membuat tubuhnya tersengat hebat. Ujung kuku itu seakan gigitan ular berbisa. Dan ketika ia menangis den tersedu-sedu maka ia bingung dan takut serta gelisah, belum menjawab dan We We Moli kembali menggurat perlahan. Untuk kedua kalinya gadis itu berjengit. Tapi ketika ia belum juga bicara dan takut serta bingung akhirnya nenek ini menotok bawah telinganya dan terjadilah pemandangan mengerikan ketika gadis ini memekik dan bergulingen seakan digigit ribuan semut apí.

"Bagus, aku atau kakekmu yang lebih berkuasa. Bergulinganlah, anak baik, berteriak-teriaklah sampai kau bertobat."

Hoa Siu tersiksa dan menjerit-jerit. Seluruh tubuh gadis iní seakan digigiti semut api dan ia mencakar serta menggaruk-garuk. Tak ayal lagi pakaiannya robek-robek namun We We Moli tertawa dingin. Nenek itu betul-betul tidak mempunyai perasaan. Tapi ketika gadis ini melolong dan meraung-raung mendudak berkelebat dua bayangan dan muncullah gadis bersanggul tinggi menjutuhkan diri berlutut.

"Supek-tbo, maafkan dia. Dia adalah Hwa Seng!"

Nenek itu terkejut. Pendengarannya tertutup oleh lolong dan raung kesakitan itu. Entah bagaimana dua gadis ini tiba-tiba muncul. Akan tetapi ketika ia mengenal bahwa itulah Thio Leng dan Sui Keng, wakil atau pimpinan Lembah Es mendadak nenek ini berseri akan tetapi sekejep kemudian wajuhnya sudah membesi lagi. Tanpa senyum.

"Hm, kalian. Bagus benar datang kemari. Apa yang hendak kalian perbuat dengan kedatangan ini, Thio Leng. Bukankah kalian sudah meninggalkan Lembah Es. Kalian pergi tanpa ijin!"

"Kami menyusul Puteri, tak tega membiarkannya sendiri. Sekarang bebaskan Hwa Seng dan kami yang akan menjawab siapa Thian te It-hiap itu, supek-bo. Lepaskan dia dan ampunilah."

Nenek ini bersinar . la menggerakkan jarinya dan bebaslah Hoa-siocia dari siksaan hebat dan Gadis ini menutupi tubuhnya. Pakaiannya koyak-koyak akan tetapi ia cepat berlutut pula. Tak ada keberanian melawan. Dan ketika dua gadis itu berdebar dan menghadapi supek-bo mereka dengan hati-hati maka Thio Leng berkata bahwa Thian-te It-hiap adalah sahabat Lembah Es.

"la adalah keturunan Hu Beng Kui, jago pedang nomor satu. Dan karena ia telah menolong teecu dari ancaman orang-orang Pulau Api maka kakek ini adalah sahabat kami."

"Hm, bukan sahabat Lembah Es! Bicaramu berputar-putar, Thio Leng, sahabatmu belum tentu sahabat Lembah Es. Sekarang katakan bagaimana ia memiliki Pek-swat-kiam!"

"Kami... kami tak tahu. Untuk ini kami tak dapat menjawab!"

"Kalau begitu keterangan kalian tak memuaskan. Kau menyimpan kebohongan pula dan terimalah hukumanmu!"

Si nenek tiba-tiba menotok dan ganti gadis ini berteriak kesakitan. Sama seperti Hoa Siu tadi ia bergulingan dan berjengit, ribuan semut api seakan menggigiti tubuhnya. Dan ketika gadis ini mengaduh-aduh sementara sang nenek tersenyum dingin maka Sui Keng meloncat dan menotok sucinya itu, maksudhya membebuskan siksaan tapi totokannyu tak berhasil. Sang Suci bahkan menjerit-jerit. Dan ketika gadis itu bingung sementara Thian-te It-hiap melotot di sana, tak dapat berbuat apa-apa maka gadis ini melompat dan berlutut di depan supek-bonya yang ganas itu.

"Harap supek-bo ampunkan suci. Teecu yang akan memberi jawaban lebih memuaskan!"

"Hm, apa jawabanmu biar kupertimbangkan dulu. Aku tak mau ditipu kalian anak-anak ingusan ini, Sui Keng. Beri tahu dulu nanti bebas belakangan!"

"Thian-te It-hiap, ia... ia keluarga Kim-mou-eng. Maksud teecu saudara Rajawali Merah Thai Liong!"

"Hm, masih kurang puas. Bagainmana Pek-swat-kiam di tangannya dan siapa yang memberikan itu!"

"Puteri... Puteri yang memberinya!"

"Bagaimana kau tahu."

"Teecu. teecu melihatnya sendiri, supek-bo. Sekarang bebaskan suci dan jangan biarkan ia menjerit-jerit!"

"Hm, dan gadis ini. Siapa dia dan murid nomor berapa."

"Ah, bebaskan dulu Thio-suci, supek-bo. Hwa Seng adalah pelayan Puteri Es dan dayang istana. Dia... dia...!" gadis itu menjerit.

Mendengar kata-kata terakhir ini mendadak We We Moli menjadi beringas. Teringatlah dia siapa kiranya gadis itu. Dan ketika ia melihat betapa sebelah telinga gadis ini putus, itulah pelayan atau murid yang pernah mendapat hukuman mendadak ia menotok dan sekali bergerak gadis itu maupun Sui Keng berteriak. Bukannya memberi kebebasan malah nenek itu menambah hukuman. Dua gadis terakhir itu ditotoknya sama.

Dan karena Hwa Seng mendapat hukuman untuk kedua kalinya, berjengit dan menerima sakit yang sama maka gadis itu mengaduh dan selanjutnya bergulingan meminta-minta ampun. Sui Keng dan encinye serta Ho-siocia menjerit-jerit. Mereka mencakar dan menggaruk dan tertawalah nenek itu dengan keji. la sama sekali tak merasa kasihan maupun iba melihat penderitaan murid-murid ini, bahkan ia merasa senang melepaskan kemarahannya kepada Thio Leng dan Sui Keng.

Dua gadis itulah yang pergi tanpa pamit, Lembah Es menjadi kacau dan ia menahan gusar. Dan ketika kini ia memberi hukuman sementara Thian-te It-hiap bergerak-gerak, coba melepaskan diri namun gegal maka sebuah bayangan berkelebat dan bentakan atau seruan marah menggetarkan guha itu.

"Supek-bo keji, biar aku membebaskan mereka dan jangan menghukum yang tidak bersalah!'"

Seorang gadis cantik jelita telah muncul di situ dengan kerudung atau cadar tipis. Gadis ini berkelebat dan langsung membebaskan siksaan itu. Dan ketika totokannya berhasil dan nenek itu terkejut, menoleh dan bangkit berdiri maka Puteri Es, gadis jelita itu berdiri di situ dengan kepala tegak namun air mata bercucuran.

"Wei Ling!"

Dua wanita itu telah saling berhadap-hadapan dengan mata berpandangan. Puteri Es, gadis itu mengangguk dan menahan derasnya air mata. Ia telah melihat siksaan itu, derita yang dialami sumoi dan pelayannya. Akan tetapi ketika pandang mata supek-bonya begitu kuat dan penuh wibawa mendadak gadis ini berlutut dan menangis tersedu-sedu. Thian-te It-hiap terkejut dan ah-uh-ah-uh....

Putri Es Jilid 34

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Rambut Emas Karya Batara

"SAMBAR tanganku dan naik ke pundak!"

Bhek Wi Hosiang tersentak. Rajawali Merah bayangan itu mendekati dirinya mengulur lengan. Otomatis ia menyambar dan terangkat ke atas, terlempar di pundak pemuda itu. Lalu ketika ketua Siau-hun-pai juga disendal dan naik bertumpuk tiba-tiba saja seperti seorang akrobat pemuda ini menolong mereka dan bergerak di antara buih dan gulungan ombak, maju mundur dengan amat cepatnya dan tahu-tahu ketua Kun-lun dan Hoa-san sudah berpindah tempat.

Mereka sudah susun-menyusun di atas tubuh pemuda ini, bagai manusia bertingkat. Dan ketika Thian Te It-hiap terbelalak namun melengking melakukan hal yang sama maka kakek itupun berkelebat dan di antara gulungan ombak dan buih ia menolong orang-orang kang-ouw dan para muridnya sendiri, menumpuk atau menyusun orang-orang itu di atas kedua pundaknya.

"Ada pulau kosong tak jauh dari Sini, lempar mereka ke sana!"

Bhek Wi Hosiang ngeri. Untuk mengurangi beban berlebih dan menolong yang masih timbul tenggelam maka dengan dahsyatnya ia dilempar Rajawali Merah itu. Bagai layang-layang putus atau daun kering dihembus taufan dahsyat ia terlempar melewati gulungan ombak dan buih ganas. Ketua Hoa-san dan Kun-lun juga mengalami nasib sama dan dilempar Rajawali Merah ini, begitu saktinya pemuda itu.

Dan ketika dengan cara ini mereka tertolong dengan selamat, jatuh dan terbanting lunak di pulau kosong maka Bhek Wi Hosiang dan kawan-kawan termangu penuh kekaguman, kagum namun juga ngeri karena dari tempat itu tampaklah pemandangan menggetarkan di Pulau Karang. Pulau ini meletus dan kiranya merupakan sebuah gunung berapi, untung bawah laut yang entah bagaimana saat itu.memuntahkan kemarahannya. Hal ini dimulai dari peristiwa di Guha Hitam itu.

Maka ketika dari tempat itu muncratlah semburan api dan lahar panas, laut kian mendidih maka mereka yang kelelahan dan tak kuat melihat ini jatuh pingsan. Orang-orang kang-ouw itu tak tahu berapa lama mereka dicekam ketakutan dan kengerian seperti itu. Untunglah pulau kosong yang mereka duduki adalah pulau yang cukup tinggi di atas permukaan laut, berseberangan dengan batas kepulauan Pulau Api dan sudah termasuk wilayah daratan besar.

Mereka ngeri dan takut bukan oleh penghuni Pulau Api melainkan justeru oleh kedahsyatan alam ini betapa laut bergulung-gulung dan lahar serta api panas menyembur begitu tinggi. Bersyukurlah mereka bahwa letusan gunung berapi itu tidak sampai berhari-hari. Hanya sekitar duapuluh jam gunung itu melepas kemarahannya. Abu dan asap hitam membubung ke mana-mana, jatuh dan membuat mereka terbatuk-batuk.

Dan ketika Bhek Wi Hosiang dan kawan-kawan mmencari perlindungan, menyusup dan berlindung di balik pohon-pohon besar maka mereka itu menanti datangnya Rajawali Merah atau Thian-te It-hiap. Namun , mereka yang ditunggu ini tak pernah muncul. Dan ketika laut sudah mereda dan letusan gunung berapi juga sudah tak terdengar suaranya lagi maka mereka tak menemukan pula Hoa-siocia dan dua gadis Lembah Es itu, juga murid-murid Thian-te It-hiap.

"Aneh, di mana mereka. Apakah pingsan dan berada di tempat lain."

"Ya, dan Rajawali Merah itu juga tak muncul lagi. He, Thian-te It-hiap juga tak tampak begitu saja, Kun-lun paicu. Apakah mereka ini celaka di tengah laut?"

"Tak mungkin, mereka orang-orang luar biasa. Thian-te It-hiap dan Rajawali Merah adalah orang-orang sakti, Bhek Wi lo-suhu, tak mungkin celaka di tengah laut. Pinto menduga jangan-jangan mereka mengejar perahu orang-orang Pulau Api itu.

"Benar, pinto juga ingat. Tan-pangcu dan sute serta puteranya itu meninggalkan Pulau Karang!"

"Kalau begitu kira-kira begitu. Tapi manakah Hoa-siocia dan gadis-gadis Lembah Es itu. Bukankah mereka tadi sini"

"Ya, tadi di sini. Eh, mari kita cari sambil menunggu Thian-te It-hiap dan Rajawali Merah!"

Orang-orang itu bergerak. Langit sudah bersih dan laut bersikap tenang pula. Mereka terheran dan bertanya-tanya. akan tetapi ketika tak ada yang ditemukan dan Bhek Wi Hosiang justeru menemukan sepucuk surat maka ketua Bu-tong ini tertegun. Surat itu tertancap di batang sebatang pohon.

"Harap cuwi-enghiong kembali saja kalau sudah pulih tenaganya. Pulau Api sudah hancur, tak ada yang perlu dicari. Kami masih akan mengejar tokohnya sampai ia tertangkap."

Hwesio ini tertegun. Ternyata Thian-te lt-hiap dan Rajawali Merah telah meninggalkan mereka dan hanya memberitahukan pemberitahuan itu. Kalau bukan Thian-te It-hiap tentu Rajawali Merah itu yang menulis surat , Maka ketika ia berseru kecewa kenapa mereka ditinggal pergi, bukankah mereka juga ingin membantu dan mengejar ketua Pulau Api itu maka hwesio ini mengetukkan buku jarinya ke batang pohon itu.

"Omitohud, pekerjaan kita setengah jalan. Kita sudah ditinggalkan dua orang ini, kawan-kewan. Penasaran sekali kenapa tak sampai tuntas!"

"Mungkin karena tenaga kita tak dapat diandalkan pula. Kita hanya mengganggu Thian-te It-hiap dan Rajawali Merah itu,suhu. Ingat bahwa gara-gara kita dua orang ini tak dapat mencegah perginya ketua Pulau Api. Pemuda itu benar, kita disuruh pulang saja."

"Hm..pinto juga berpikiran begitu. Agaknya kita harus tahu diri, Kun-lun-paicu, kau benar. Kalau tidak mengurusi kita yang hampir tewas di Pulau Karang mungkin Thian-te It-hiap telah mengejar dan menangkap ketua Pulau Api itu."

"Tapi Rajawali Merah aneh sekali, ia melindungi orang-orang Pulau Api!'

"Namun ia menghajar si gila San Tek, pada mulanya tidak."

"Mungkin karena ketua Pulau Api itumenangkap Puteri Es. Ah, pinto ingin sekali mengetahui wajah gadis itu dan sampai di mana rahasia Lembah Es ini. Pinto penasaran."

"Pinceng juga. Bagaimana kalau kita cari dan kejar mereka itu. Misteri Lembah Es sungguh menarik!"

"Benar, marilah. Pinto juga tertarik dan ingin mengetahui kelanjutan ini, Bhek wi lo-suhu. Sungguh kecewa kalau tak tahu siapa dan di mana Puteri Es itu. Marilah, mari kita pergi!"

Orang-orang itu berlompatan. Mereka bergerak meninggalkan hutan akan. Tetapi di tepi laut mereka tertegun. Dengan apa mereka hendak pergi. Perahu tiada dan tak mungkin melakukan seperti yang dilakukan Rajawali Merah. Mereka bukan pemuda sakti itu. Maka ketika beramai-ramai mereka kembali dan membuat perahu, menebang pohon maka sehari kemudian rombongan ini meninggalkan pulau Perahu mereka perahu darurat akan tetapi cukup kuat. Kesan dan kenangan di Pulau Api sungguh hebat.

Mereka tak mau melewatkan kejadian lain dengan tertawannya Puteri Es. Justeru Lembah Es ini tak kalah menariknya dengan Pulau Api, bahkan jauh lebih menarik karena penghuninva semua wanita lihai. Dan karena Thio-siocia dan Wan-siocia jelas gadis-gadis Lembah Es pembela kebenaran maka orang-orang kang-ouw ini tak perduli tubuh yang lelah mencari dan menelusuri jejak Rajawali Merah, meskipun untuk itu mereka hanya ngawur saja dan main untung-untungan!

* * * * * * * *

Ke manakah Thian-te It-hiap dan Rajawali Merah itu? Ke mana pula gadis-gadis Lembah Es dan Hoa-siocia? Tak ada yang tahu karena ketika semua sibuk dilempar ke pulau kosong maka khusus gadis-gadis ini Thian-te It-hiap maupun Rajawali Merah membawanya pergi. Di saat awan hitam penuh abu hitam maka di saat itulah dua orang sakti ini bergerak dengan caranya masing-masing. Rajawali Merah "mengantongi" Thio-siocia dan Wan-siocia di balik jubah saktinya melalui ilmunya Beng-tau-Sin-Jin (Manusia Menembus Roh).

Dengan ilmu ini dua gadis itu bersemayam aman dan tenang. Mereka sama sekali tidak kelihatan karena menghilang di balik ilmu sakti itu. Dan ketika di sana Thian-te It-hiap menyelamatkan cucunya dan murid-murid lain maka khusus murid-muridnya ini dia suruh pulang ke Ce-bu. Kakek ini menggandeng Hoa-siocia dan dengan kedua pundak penuh orang ia menyuruh gadis itu membantu.

"Kita antar mereka ke daratan besar, setelah itu kita pergi berdua."

Para murid mula-mula tak mengerti. Mereka ketakutan oleh asap dan awan tebal, hampir tak dapat melihat apa-apa dan hanya merasa dibawa melayang cepet sekali. Dan ketika mereka tahu-tahu diturunkan di atas tanah, jauh meninggalkan pulau kosong di perbatasan Pulau Api maka kakek itu berkata bahwa mereka diminta pulang ke Ce-bu.

"Sekarang aku hendak mengejar musuhku yang utama, Pulau Api sudah hancur. Kalian pulang dan jaga rumah sambil tunggu aku di sána."

"Bengcu..."

Para murid berlutut, yang wanita maupun pria menangis. "Apakah kami tak boleh mengikutimu lagi? Apakah kami tak dapat membantu sedikitpun?"

"Kali ini tidak. Kalian pulang dan jangan membantah perintahku, Yan Kim. Jaga rumah baik-baik dan tunggu kami diCe-bu!"

"Baiklah, kami setia menunggu. Harap bengcu lekas kembali dan jangan buat kami cemas."

Kakek itu mengibas. Ia berkelebat dan lenyap meninggalkan anak muridnya dan Hoa-siocia dibawa kakeknya ini. Pengejaran terpaksa tertunda karena Thian-te It-hiap harus menolong murid-muridnya ini, juga orang-orang lain. Dan karena ketua Pulau Api sempat melarikan diri menuju ke barat maka ke sinilah kakek itu bergerak akan tetapi ia terbelalak karena empat hari melakukan perjalanan jejaknya tercium menuju Himalaya.

Hoa-siocia atau gadis baju putih itu menggigil. Selama dalam perjalanan ia tak boleh banyak bicara dan hanya menjawab kalau đitanya, selebihnya ia harus diam atau sang kakek menamparnya. Thian te It-hiap tiba-tiba begitu keras dan galak, sungguh tak seperti kalau ia sedang di Ce-bu, mengalah dan banyak berdiam diri. Dan ketika mereka tiba di kaki pegunungan itu dan salju terbenam diinjak, percakapan atau suara orang terdengar maka tawa dan kekeh si gila gampang sekali dikenali. Dengan telinganya yang tajam inilah Thian-te It-hiap menemukan jejak musuh.

"Ha-ha, ke mana kalian ini? He, ini tempat apa, pangcu, mau ke mana. Aku kedinginan!" "Hm, jangan cerewet. Tutup mulutmu dan jangan banyak bertanya, San Tek, kita datang untuk menghancurkan musuh. Diam dan terus jalan atau nanti kami meninggalkanmu."

"Wah, kau tua bangka sudah tak ramah lagi. Kalau kalian meninggalkan aku tak perlu aku takut, Hantu Putih. Di sinipun boleh kita berpisah. Serahkan gadis itu dan kita jalan sendiri-sendiri!"

"Jangan bertengkar," Suara Tan-pang-cu terdengar. "Puteri Es adalah tawanan berharga, San Tek. Kami akan menukarnya dengan bantuan We We Moli. Thian-te It-hiap dan Rajawali Merah itu orang-orang berbahaya, kau tak mungkin melawannya kalau belum dibunuh. Nah, tujuan sudah dekat dan kalian harap sabar. Supek harap menahan diri."

Thian-te It-hiap dan cucunya tertegun. Tiba-tiba tak dapat menahan diri mendadak gadis itu menjerit, Ia membentak dan berkelebat menampakkan diri. Dan ketika musuh terkejut dan menoleh maka gadis ini menerjang Tan-pangcu. Ketua Pulau Api itu ada di situ bersama empat temannya yang lain. "Serahkan Puteri Es atau aku mengadu jiwa!"

Tan-pangcu mengelak. Ia terkejut akan tetapi tiba-tiba tertawa. Di kaki Himalaya itu Thian-te It-hiap mengejar, kebetulan sekali. Dan karena ia bersama supeknya yang sakti dan Hantu Putih tampak tertegun memandang ke depan, bukan gadis itu melainkan Thian-te It-hiap maka kakek ini menggerakkan tubuhnya dan mencengkeram atau menyambar ketua Pulau Api itu, melindungi sekaligus menjaga cucunya dari marabahaya.

"Benar, serahkan Puteri Es atau kau mampus!"

Sang pangcu tentu saja terkejut akan tetapi San Tek dan supeknya berseru keras. Melihat Hoa-siocia mereka tidak memandang sebelah mata akan tetapi melihat Thian-te It-hiap si gila menjadi kaget. Ia dibawa rombongan ini sampai ke pegunungan Himalaya itu, tidak sendiri melainkan bersama seorang kakek tinggi kurus yang kakinya cacad.

Kakek ini tak dapat berjalan baik kalau tidak meloncat-loncat, itulah Hantu Putih dedengkot Pulau Api, suheng dari Hantu Hitam yang tewas di tangan Thai Liong. Dan karena kakek ini dilempar ke tempatnya lagi dengan luka parah, berbulan-bulan tak mampu bangun dan akhirnya bersembunyi di Pulau Karang itu maka ketua Pulau Api inilah yang merawat dan menjaganya sampai ia sembuh. Pulau Karang ternyata merupakan persembunyian dedengkot Pulau Api itu, yang masih tak berani keluar ketika Rajawali Merah dan Thian-te It-hiap muncul.

Kini melihat kakek itu sendirian dan murid keponakannya diserang tentu saja Hantu Putih marah. Ia telah mendengar dan menyaksikan kelihaian Thian-te It-hiap, yakni ketika di Pulau Karang kakek itu datang disusul Rajawali Merah. Biarpun ada si gila San Tek akan tetapi Hantu Putih masih merasa bimbang. Kesaktian dan kehebatan Rajawali Merah itu masih menggiriskan hatinya.

Maka ketika ia memanggil murid keponakannya agar lari ke Guha Hitam, di sini telah dipasang bahan-bahan peledak untuk menghancurkan pulau maka ulah kakek inilah yang membuat Pulau Karang tenggelam dan lenyap disambar gelombang laut. Ledakan bawah tanah membuat gunung berapi terbakar dan terjadilah letusan itu.

"Dukk!" Thian-te It-hiap bertemu lengan kakek ini dan Hantu Putih terpekik. Dedengkot Pulau Api itu terkejut karena hawa dingi menembus tulang-belulangnya, tangannya yang kurus kering seakan menjadi beku. Dan ketika San Tek si gila terbahak namun Thian-te It-hiap mengelak pukulan pemuda ini maka Tan-pangcu meloncat mundur sementara Hoa-siocia sudah ditendang kakeknya menjauhi tempat itu.

"Biarkan aku menghadapi jahanam-jahanam ini, kau mundurlah!"

"Ha-ha!...!" Tan-pangcu tergelak. "Bagus sekali kau menyerahkan diri, Thian-te It-hiap. Jangan harap kau mampu karena sekarang supekku dan San Tek mengeroyokmu"

"Dan kami akan menangkap cucumu ini. Kami akan mempermainkannya. Ha-ha, gadis belia ini masih cantik dan Segar sekali!"

"Jahanam tak tahu malu!" Gadis itu memekik bergulingan meloncat bangun. Aku akan mengadu jiwa dengan kalian, Tan-pangcu, dan kau hanya akan dapat mempermainkan mayatku... singgg!" pedang telah dicabut dan gadis ini tak menghiraukan seruan kakeknya.

Tan-pangcu, yang membawa seorang gadis yang tertotok pingsan sudah melempar gadis itu kepada puteranya. Itulah yang mereka sebut Puteri Es. Dan ketika laki-laki itu tertawa sementara sutenya,juga terbahak gembira, kilatan mata mereka menunjukkan ancaman bahaya maka Thian-te It-hiap terkejut karena dengan kemarahan meluap cucunya itu menerjang ketua Pulau Api ini.

"Hoa Siu, sebaiknya kau minggir dan jangan layani orang-orang itu. Aku dapat menghadapi mereka!"

"Tidak, mereka membawa Puteri Es, kong-kong. Aku akan merebut tawanan dan mengadu jiwa di sini. Mati hidup sama saja!"

Kakek ini mengerutkan kening. Sesungguhnya ia terkejut ketika tiba-tiba cucunya tadi melengking dan menampakkan diri. Tak disangkanya di situ ada Hantu Putih segala. Dedengkot Pulau Api ini amat berbahaya biarpun tampaknya renta dan lemah. Mungkin lukanya belum sembuh semua akan tetapi orang seperti ini tetap berbahaya dihadapi dengan sembrono.

Namun karena cucunya sudah menerjang dan tak ada lain cara kecuali menghadapi dan membalas serangan lawan maka Thian-te It-hiap membentak dan ketika dua orang lawannya menyambar di kanan kiri mendadak ia mencabut sebatang pedang dan bersamaan dengan ini maka mencuatlah cahaya dingin menyambut dua orang itu, memotong atau menggunting dimana dedengkot Pulau Api berteriak kaget mengenal pedang itu.

"Pek-swat-kiam (Pedang Salju)!"

San Tek terbelalak dan ikut kaget. Si gila ini menyambar dari kiri dan melepas Im-kan-thai-lek-kangnya. Sudah berkali-kali ia menghadapi lawannya ini akan tetapi baru kali itu Thian-te It-hiap mengeluarkan pedang. Pedang bukan sembarang pedang melainkan Pedang Salju. Pedang ini amat dingin sekali mengiris kulit, cahayanya juga menyilaukan mata dan digerakkan Thian-te It-hiap yang mengaku keluarga Si Pedang Maut Hu Beng Kui amatlah hebatnya.

Baru keluar dari sarungnya saja sudah menabas putus pohon cemara di depan. Dan ketika pedang itu berkelebat menyambut Si Hantu Putih, memotong dan menggunting pukulan San Tek maka kesiur dingin dan cahaya menyilaukan itu membuat si gila terpekik dan melempar tubuh ke belakang. Dedengkot Pulau Api juga berteriak dan tak ingin matanya silau.

"Cres-cress!"

Batu besar di belakang dua orang ini terbelah dua. Mereka bergulingan meloncat bangun dan Thian-te It-hiap berkelebat lagi, bukan ke arah dua orang ini melainkan ke arah Tan-pangcu dan sutenya. Mereka itu telah mengeroyok dan mendesak Hoa-siocia, betapapun kepandaian gadis itu di bawah tokoh-tokoh Pulau Api ini. Dan ketika pedang berdesing tapi untunglah Hantu Putih berteriak memperingatkan, dua orang ini melempar tubuh maka mereka pucat karena sedetik saja mereka terlambat maka leher mereka terbabat. Pedang itu mengenai rambut dan ikat kepala mereka putus.

"Tas!" Thian-te It-hiap tak berhenti di sini karena ia menyambar pula Tan Bong. Pemuda itu membawa Puteri Es dan menjeritlah pemuda Pulau Api ini membanting tubuh. Begitu cepat dan ganas gerakan Thian-te It-hiap itu. Dan ketika ia melepaskan tawanannya dan bergulingan menyelamatkan diri maka gadis tawanan itu berpindah tangan akan tetapi kakek ini dan cucunya tertegun.

"Bukan Puteri Es!"

"Ha-ha, memang bukan!" Hantu Putih terkekeh dan sudah hilang kagetnya, menyambar dan menarik cucu muridnya Tan Bong. "Gadis itu untuk memancing kalian , Thian-te It-hiap, dan juga Rajawali Merah. Kalian telah datang di Himalaya dan kami akan minta bantuan We We Mo li. Heh-heh, ayo maju dan kita main-main lagi!"

Kakek ini mengedutkan kedua kakinya dan mendadak ia mencelat ke depan. Rasa kaget akan kehebatan pedang sudah teratasi dan ia mengerotokkan sepuluh buku-buku jarinya. Aneh, jari-jari ini mendadak memanjang. Dan ketika ia menerjang dan sepuluh lengannya sudah terulur seperti lengan gurita maka si gila San Tek juga berseru marah melepas Im-kan-thai-Thai-lek-kangnya.

"Keparat, kau membuat aku kaget. Tapi aku tak takut akan ilmu silat pedangmu!"

Thian-te It-hiap menangkis akan tetapi si gila ini merobah pukulannya. la merunduk dan memutar dari samping sementara Hantu Putih menggerakkan sepuluh jarinya itu. Dan ketika pedang bertemu kuku panjang dan berketrik melentur kakek itu terkekeh maka Pek-swat-kiam mampu ditahannya meskipun sedetik ia merasa seluruh tubuhnya menggigil. Dingin!

"Ha-ha. akupun tak takut. Ayo bunuh dan hajar lawan kita ini!"

Thian-te It-hiap berkilat marah. membalik dan menghadapi dua lawannya yang tangguh ini sementara Tan-pangcu dan sute serta puteranya menubruk cucunya lagi. Tampak bahwa si gila San Tek dan Hantu Putih menghalangi kakek itu menyerang Tan-pangcu Akan tetapi karena kakek ini meluap marah dan betapapun tak mau undur maka ia melengking dan gulungan sinar pedangnya yang naik turun bergerak ke arahTan-pangcug dan sute serta puteranya itu. Angin sambaran pedang menyerang dari jauh.

"Cit-citt!"

Tan-pangcu dan dua temannya berteriak kesakitan. Ternyata dengan angin sambaran pedang Thian-te It-hiap mampu menusuk dan menikam. Sinar putih mencuat dari ujung pedangnya itu. Dan karena Pek-swat-kiam mengandung hawa dingin dan hawa ini cukup menusuk kulit maka Tan Bong tergores dan pemuda yang paling lemah dibandingkan lainnya itu mengaduh dan terguling. Pundaknya luka berdarah.

"Keparat!" Hantu Putih memekik. "Tahan dia jangan sampai lolos, San Tek, serang dan jangan beri kesempatan!"

"Bocah itu yang bodoh. Masa kulitnya begitu lunak, Hantu Putih, suruh saja ia mundur!"

"Heh, kita harus melindunginya. Jangan biarkan ia menyerang dan Im-thai-lek-kangmu perlu kau tambah!"

"Dan kaupun percuma mengeluarkan silat guritamu itu. Lepaskan Giam-lui-ciang dan kita gencet dia dari muka belakang, tua bangka. Mana We We Moli yang katanya mau kau minta bantuannya itu. Hei awas... plak-cringg!"

Si gila mengelak tetapi pedang meluncur menabas kuku jari Hantu Putih. Di dalam gebrak cepat ini Thian-te It-hiap menggerakkan tangan kirinya, hawa pukulan dingin meluncur menyertai gerakan pedang itu. Dan ketika si kakek terkesiap dan menangkis namun tergetar maka satu di antara kuku panjangnya putus,

"Bedebah!"

San Tek tertawa-tawa.

"Jangan menghina aku, bocah. Jangan mentertawaí aku. Kukuku putus sebuah!"

"Salahmu!" si gila melonjak geli. "Sudah kubilang tak ada gunanya cakar ayam guritamu, tua bangka. Lepaskan Giam-lui-ciang dan gabung dengan Im-kan thai-lek-kangku iní.. . desss!" si gila memapak dan dorongan tangan kiri Thian te It-hiap bertemu telapaknya. Im-kan-thai-lek-kang mengeluarkan hawa panas sementara tangan kiri kakek itu berhawa dingin. Akan tetapi karena pedang di tangan kanan tetap bergerak dan menyambar leher itu maka San Tek melepaskan dirinya dan secepat kilat membanting tubuh.

"Gila, kakek ini bagai harimau tumbuh sayap. la semakin hebat!"

"Haha, karena itu jangan mengejek. Aku juga kewalahan kalau pedangnya, dan tangan kirinya sama-sama bergerak. Hayo, gabung Im-kan-thai-lek-kang dengan Giam-lui-ciang!"

Hantu Putih ganti gembira dan mentertawai San Tek. Temannya ini terkejut dan harus mengakui keunggulan Thian-te It-hiap setelah kakek itu mengeluarkan pedang. Silat peninggalan Hu-taihiap benar-benar ganas dan maut sekali pedang menyambar untuk menyabet nyawa dan tikaman atau tusukannya berbahaya sekali. Di tangan seperti Thian te It-hiap maka Giam-lo Kiam-sut (Ilmu Pedang Maut) benar-benar maut, jauh lebih berbahaya dibanding siapapun, bahkan mungkin mendiang Hu Beng Kui sendiri, sang pencipta ilmu pedang.

Dan ketika kakek itu bergerak-gerak sementara lawan berkelebatan mengelilingi dirinya, Thian-te It-hiap mengelak dan menangkis maka dua orang ini harus mengakui bahwa mengalahkan atau mendesak lawan amatlah sulit. Pedang dan pukulan dingin di tangan kakek itu bekerja sama baiknya dan tolong-menolong. Akan tetapi tidak demikian dengan kejadian di lain tempat. Hoa Siu yang berhadapan kembali dengan tokoh-tokoh Pulau Api tak mendapat perlindungan kakeknya lagi.

Kakeknya itu dihalang-halangi hingga sukar mendekat, betapapun Hantu Putih dan San Tek menjadi penasaran, mereka memukul dan mendorong agar Thian-te It-hiap tetap di tempat. Dan karena dua orang itu menggabung pukulan mereka yang sama-sama berhawap panas, menyambar dan memaksa kakek itu mundur kembali maka Thian-te It-hiap benar-benar tak mampu mendekati cucunya yang kini didesak ketua Pulau Api itu. Tan-pungcu leluasa dan tertawa-tawa menekan gadis ini.

"Ha-ha, kakekmu tak dapat maju lagi. Sekarang menyerah dan robohlah, Hoa Siu, kami akan baik-baik menperlakukanmu, atau kau kami permainkan dan kami buat malu!"

"Benar, telanjangi sedikit demi Sedikit. Lihat ia merintih dan menangis minta ampun!"

"Lalu kita bawa ke guha, siksa di sana Ha-ha, menyerahlah, nona, atau kami merobohkanmu."

Gadis itu memaki-maki dan memutar pedangnya serapat mungkin. Setelah dikeroyok dan dua ketua Pulau Api menyuruh mundur Tan Bong maka pemuda itu termangu pucat di luar pertandingan. Pemuda ini masih ngeri oleh pedang di tangan Thian-te It-hiap, angin sambarannya saja cukup membuat luka. Dan ketika ia menonton pertandingan sementara hatinya diam-diam bergolak, ada rasa tak setuju melihat ayah dan susioknya mempermainkan gadis itu maka pemuda itu menggigit bibir dan sesungguhnya diam-diam selama ini ia kurang suka terhadap sepak terjang pimpinan Pulau Api, baik ayah atau susioknya.

Akan tetapi ia adalah murid Pulau Api. Mau tak mau ia harus berpihak kepada ayahnya dan apapun harus ditelan, begitu juga ejekan dan sikap ayahnya terhadap cucu Thiah-te It-hiap itu. Bukan rahasia lagi. kalau orang-orang Pulau Api menculik dan suka mempermainkan wanita, dia sendiripun juga begitu, meskipun hanya sekali dua sebagai dorongan berahinya. Berkumpul dan bergaul dengan orang-orang panas seperti penghuni Pulau Api memang mudah terseret untuk melakukan kekejaman, termasuk mencari dan mempermainkan wanita.

Tapi sejak ia bertemu dan melihat gadis ini entah kenapa hati pemuda ini terguncang. Ia kagum oleh kelihaian dan kehebatan gadis itu bermain pedang. Gadis seperti itu sudah mampu menghadapi ayah atau susioknya, bahkan di Cebu kabarnya gadis ini telah mengalahkan sutenya Siauw Lok, berarti kepandaiannya memang tinggi dan ia sendiri mengaku imbang bertanding dengan gadis ini. Dan ketika kagum itu berkembang menjadi perasaan, perasaan tak rela kalau ayah atau susioknya mempermainkan gadis ini maka pemuda itu gemetar dan diam-diam akan menyelamatkan gadis itu bila saatnya tiba. la siap meloncat dan menerima pukulan ayah atau susioknya agar gadis itu tidak celaka!

Namun sang kakek tentu saja lebih memikirkan keselamatan cucunya daripada pemuda ini apalagi karena Thian-te It-hiap juga tidak tahu pikiran pemuda itu. Hal ini terlihat dari perobahan yang terjadi di pertempuran ini, di mana Hantu Putih maupun San Tek bekerja keras menekan dan mengurung lawan mereka. Thian-te It-hiap dipaksa tetap di tempat biarpun gulungan sinar pedangnya menyambar naik turun. Berkali-kali pukulan tangan kiri kakek itu bertemu Im-kan-thai-lek-kang maupun Giam-lui-ciang.

Thian te It-hiap baru terhuyung mundur apabila gabungan pukulan itu menyerangnya berbareng, selebihnya dia sanggup bertahan dan paling tergetar saja, apalagi karena pedang di tangan kanan benar-benar berbahaya dan ditakuti dua orang lawannya. Tak jarang pedang itu tahu-tahu mencuat dan menyambar bagai kilat cepatnya, Menusuk atau menikam bagian tubuh berbahaya dari si gila San Tek maupun Hantu Putih, mata atau hidung umpámanya. Dan karena setiap cahaya pedang tentu menyilaukan lawan, inilah yang membuat mereka berhati-hati maka San Tek maupun temannya tak dapat mendesak kecuali menahan kakek itu tetap di tempat.

Hantu Putih diam-diam heran. Pek-swat-kiam adalah pusaka Lembah Es. Seingatnya pernah digunakan We We Moli ketika dulu nenek itu masih muda. Pedang ini turun-menurun dari tokoh-tokoh Lembah Es kepada muridnya, maka aneh sekali kalau tiba-tiba berada di tangan kakek ini. Dan karena Thian-te It-hiap jelas bukan penghuni Lembah Es, ilmu sílatnya bukan ilmu silat Kim Kong Sengjin maka kakek ini heran dan terkejut bagaimana pedang pusaka itu bisa jatuh di tangan Thian-te It-hiap, dan yang lebih mengherankan lagi adalah pukulan tangan kirinya itu. Ping-im-kang!

Kakek ini benar-benar heran. Seingatnya Ping-im-kang (Pukulan Inti Es) adalah milik Beng An putera Pendekar Rambut Emas. Pemuda itu pernah bertemu dengannya dan bertèmpur. Harus diakui bahwa lawannya yang muda itu lihai sekali, hanya setelah dikeroyok bersama mendiang adiknya Hantu Hitam maka pemuda itu tertangkap dan dapat dirobohkan.

Apakah Thian-te It-hiap ini guru pemuda itu? Apakah kakek ini pencipta asal Ping-im-kang? Dia ragu. Dia sudah bertanya dan membentak kakek itu apakah hubungannya dengan Beng An, akan tetapi kakek itu tutup mulut. Dan ketika ia menjadi marah dan memaki-maki maka jawabannya adalah pukulan tangan kiri yang lebih hebat dan Sinar pedang yang lebih bergulung-gulung.

Kini tubuh Thian-te It-hiap telah lenyap dan benar-benar terbungkus cahaya pedangnya itu. Dan di saat ini terjadi perobahan. Mula-mula Hantu Putih tak mengetahuinya Ia terus berkelebatan menyerang lawan dan mencoba menerobos gulungan Pek-swat-kiam itu. Sekujur tubuh lawan dingin membeku dan Giam-lui-ciang maupun Im-kan-thai-lek-kang tak mampu menembus. Demikian kuat hawa dingin itu hingga pukulan mereka tertolak buyar. Bukan semata Ping-im-kang yang dimiliki Thian-te lt-hiap melainkan juga disebabkan adanya Pedang Salju itu.

Semakin di putar pedang ini semakin luar biasa. Badan pedang sampai ke gagangnya berubah putih menyilaukan, tiada ubahnya sebongkah es beku atau Salju tanpa noda. Dan karena Giam-lui-ciang maupun Im-kan thai-lek-kang adalah pukulan berhawa panas, masing-masing mengeluarken api yang berpijar setiap menyambar maka pantulan cahaya ini membuat gundukan pedang di tangan Thian-te It-hiap menjadi semakin menyilaukan yang membuat San Tek maupun kawannya berteriak tak tahan.

Hal ini mengakibatkan serangan mengendur, mata tak mampu melihat baik dan lenyapnya kakek itu sempurna sekali. Thian te It-hiap benar-benar tersembunyi dibalik gulungan sinar pedangnya. Akan tetapi ketika San Tek maupun Hantu Putih berkejap menormalkan mata, sungguh cahaya itu menyilaukan mereka maka saat inilah Thian-te It-hiap berkelebat menghilang dan terdengar teriakan di pertandingan sebelah.

"Aduh!"

Tan-pangcu dan ji-pangcu membanting tubuh bergulingan. Saat itu mereka tertawa-tawa mendesak dan menekan Cucu Thian-te It-hiap ini. Mereka tak menyangka sama sekali bahwa Thian-te lt-hiap keluar meloloskan diri, lewat dalam waktu sekejap di saat Hantu Putih maupun San Tek mengejapkan mata. Kejadian ini hanya sedetik saja akan tetapi Thian-hiap telah mempergunakannya secara baik sekali.

Berkelebat dan lolos dan saat itulah pedangnya menyambar Tan-pangcu dan ji-pangcu. Mereka mendesak dan menekan Hoa-siocia dan gadis itu terhuyung-huyung. Maka ketika tiba-tiba pedang berkelebat menyambar dan dua orang ini kaget sekali, hawa dingin membuat kullt teriris maka dua orang itu melempar tubuh bergulingan akan tetapi pundak dan leher mereka berdarah.

"Keparat!" Hantu Putih melengking melihat keadaan muridnya. “Kau licik, Thian-te lt-hiap, tua sama tua. Ayo maju dan hadapi aku, jangan lari!"

"Betul, kurang ajar sekali. Lawanmu adalah aku, Thian-te It-hiap, bukan anak-anak kecil itu. Hayo, ke sini dan jangan lari!"

Si gila San Tek berkelebat memaki dan dua pimpinan Pulau Api itu menyelamatkan diri. Kalau supek dan temannya itu tidak mengejar dan melepas pukulan kembali tentu mereka celaka dan tak mungkin meloncat bangun. Pedang sudah menyambar akan tetapi didorong Im-kan thai-lek-kang dan Giam-lui-ciang, Hantu Putih dan San Tek sudah mengurung kakek ini lagi. Dan ketika Thian-te It-hiap dikeroyok dan tak lagi mendapat kesempatan lolos maka Hoa-siocia sudah berada di balik gulungan sinar pedangnya mendapat perlindungan.

"Di sini saja, jangan ke mana-mana. Pegang dan putar pedangmu, Hoa Siu, aku akan merobohkan dua orang musuhku ini!"

"Ha-ha, si mulut besar. Kau sudah kami kurung dan tak dapat keluar, Thian-te lt-hiap, bagaimana kau merobohkan kami. Jangan sombong!"

Akan tetapi Thian-te t-hiap berkemak-kemik. Sekarang ia telah melindungi cucunya ini dan dua tokoh Pulau Api itu tak berani maju mendekat. Tan Bong diam-diam girang bahwa gadis itu telah di selamatkán kakeknya. Dan ketika ayah maupun susioknya tinggal menonton, mereka mengusap darah dengan muka pucat maka supeknya dan San Tek mengurung ketat kakek itu. Thian-te It-hiap mengeluarkan sesuatu.

Di balik gulungan pedangnya yang melebar dan menyambar-nyambar maka tak ada yang melihat ketika telapak kirinya diremas-remas. Asap putih tipis mengepul di sini, tiba-tiba meledak dan berteriaklah Hantu Putih maupun SanTek ketika lawan berkelebat menghilang. Gulungan pedang tak nampak lagi dan Hoa-siocia pun lenyap. Dan ketika dua orang itu terpekik tak tahu lawan di mana maka Sinar putih mencuat dan tahu-tahu menyambur leher dedengkot Pulau Api itu.

"Supek...!"

Hantu Putih kaget. Meskipun tak melihat akan tetapi. Sambaran hawa dingin tentu saja dirasakannya. Cepat kakek itu membalik dan sembilan kukunya yang panjang menengkis. Dalam gugup dan kagetnya ia mempergunalkan jari-jari guritanya itu. Akan tetapi ketika semua kukunya putus dan kakek ini membanting tubuh maka Hantu Putih memekik dan menyelamatkan dirinya bergulingan menjauh.

"Aihhhhhh... crik-crik-crakk!"

Selamatlah kakek ini ia meloncat bungun. Mukanya benar-benar dibuat pucat akan tetapi saat itu si gila San Tek ganti menjadi sasaran. Pemuda ini masih tertegun ketika lawan tiba-tiba menghilang. la teringat sesuatu yang membuat bulu tengkuknya merinding. Dan ketika ia mencari-cari akan tetapi Sinar pedang tahu-tahu menyambarnya dari samping membabat setelah mematahkan kuku jari Hantu Putih maka si gila ini berteriak dan menangkis mendorongkan kedua lengannya.

"Cret!" tetap saja ia terhuyung. Lawan tak kelihatan sementara pedang seakan benda bernyawa yang pandai mencari sasarannya. Telinga kiri si gila tergores. Dan ketika pemuda itu terhuyung dan terbeliak pucat maka ia memutar tubuhnya terbirit-birit. "Pek-sian-sut, Thian-te It-hiap mempergunakan Pek-sian-sut...!"

Semua orang terkejut. Mereka tak melihat lagi kakek itu sementara yang ada ialah sinar pedang menyambar-nyambar. Tan-pangcu gentar dan otomatis melarikan diri, sutenya juga menyusul dan hanya Tan Bong yang termangu-mangu. Pemuda ini kaget dan gentar akan tetapi juga kagum. Pek-sian-sut adalah ilmu putih yang dimiliki keluarga Kim-mou-eng, dulu muncul untuk menandingi Hek-kwi-sut (Lebur Bersama Iblis), ilmu yang dimiliki mendiang See-ong (Datuk Barat) dan menjadikan Kim-mou-eng terkenal. Ilmu itu sesungguhnya pemberian kakek dewa Bu-beng Sian-su.

Maka ketika Thian-te lt hiap tiba-tiba mempergunakan ilmu itu dan kakek ini memiliki ilmu yang dimiliki keluarga Pendekar Rambut Emas maka Tan Bong termangu-mangu dan heran serta bertanya-tanya siapakah sebenarnya Thian-te li-hiap ini. la telah mengetahui bahwa Ping-im-kang adalah milik Beng An. Akan tetapi karena selama ini Beng An tak pernah mempergunakan pedang dan Giam-Kiam-sut atau llmu Pedang Maut tak pernah pula dipertunjukkan pemuda ini maka putera ketua Pulau Api itu bingung selain memiliki dugaan kuat bahwa kakeki ini pasti ada hubungannya dengan putera Pendekar Rambut Emas itu.

Hal ini juga telah dinyatakan susiok atau ayahnya. Bahkan supek-kongnya (paman kakek guru) Hantu Putih juga mangatakan itu. Akan tetapi karena Thian-te It-hiap ini benar-benar merupakan manusia misterius dan lebih misterius lagi bagaimana ia memegeng pusaka Lembah Es maka semua itu menambah bingung tokoh-tokoh Pulau Api. Dan kini kakek itu memilik pula Pek-sian-sut!

Hantu Putih menjadi kaget dan marah akan tetapi kakek ini melengking nyaring. Ia menggosok-gosok tangannya dengan cepat dan mengepulah asap hitam. Lalu ketika membentak dan berseru keras mendadak lenyaplah Kakek itu karena ia telah mengeluarkan Ngo-thian-hoat-sutnya untuk menandingi Pek-sian-sut.

"Jangan lari, aku telah melihatnya. He, kembali dan bantu aku, San Tek, kita panggil We We Moli.. . bresss!" benturan suara itu membuat si gila menoleh dan berhenti. Asap hitam dan putih bertemu akan tetapi yang hitam terpental. Sinar putih kembali mencuat dan dedengkot Pulau Api mengelak. Dan ketika dua asap hitam putih itu bertempur seru maka si gila terbelalak dan muncul keberaniannya.

"Ke sini, bantu aku. Pegang tanganku dan kau akan melihat tua bangka ini di sini!"

"He-he, benar. Kaupun rupanya pandai segala macam sihir, kakek siluman. Aku tidak takut kalau dapat melihat lawanku, tapi kalau ia tak kelihatan tentu mudah menyerangku!"

Si gila kembali dan Hantu Putih menampakkan diri. lapun telah lenyap mempergunakan Ngo-thian-hoat-sutnya dan kini menyambar lengan si gila itu. Dan ketika si gila melihat lawannya kembali dan masuk dalam kabut hitam, Ngo-thian-hoat-sut adalah sihir milik tokoh-tokoh Pulau Api maka kakek itu terlihat lagi dan Thian-te It-hiap membawa pula cucunya situ, , masih melindungi dan menjaga dengan baik.

"Ha ha, kau tua bangka siluman, bikin kaget orang. Hayo kau terima pukulanku, Thian-te It-hiap, dan sekarang aku tak takut lagi!"

Si gila melancarkan Im-kan-thai-lek-kangnya dan pertempuran menjadi aneh. Orang biasa tak melihat lagi tiga orang ini karena yang tampak hanya gerakan kabut atau asap hitam putih. Yang putih adalah Pek-sian-sut sementara yang hitam Ngo-thian-hoat-sut, sambar-menyambar dan melayang dengan amat cepatnya seperti mega saling terjang. Di tengah asap hitam putih ini menyambar kilatan Pedang Salju, mencuat dan membelah bagai kilat halilintar dan berapa kali si gila maupun Hantu Putih berteriak keras.

Ternyata di sinipun mereka tak mampu mendesak lawan, keuntungan Thian-te It-hiap paling-paling cucunya tak dapat dibokong ketua Pulau Api. Dan ketika pertandingan berjalan seru namun Thian-te It-hiap benar-benar luar biasa, ia tak terdesak namun juga tak mampu mendesak lawan akhirnya Tan-pangcu muncul kembali dan bersama sutenya ia terbelalak ngeri.

"Kakek itu benar-benar luar biasa, di daratan besar ternyata banyak orang-orang Sakti"

"Ya, dan kami Pulau Api maupun Lembah Es tak bisa mengatakan bahwa diri sendiri paling hebat, suheng. Thian-te It-hiap dan San Tek adalah contohnya."

"Dan masih ada lagi Rajawali Merah"

"Juga Kim-mou-eng! Ah, daratan besar menyimpan orang-orang hebat dan kita bertemu tanding. Kalau supek tak dapat mengalahkan kakek itu maka pudarlah nama kita. Mana We We Moli yang katanya sudah dihubungi supek!"

"Mungkin ia tak datang, atau...."

Dua orang ini berseru kaget. Dari puncak Himalaya tibe-tiba berhembus angin kencang. Belum habis mereka bicara tiba-tiba terdengar lengking atau suara dahsyat. Mereka berteriak dan terpelanting dan saat itu menyambarlah sesosok bayangan hitam menuju pertempuran di depan. 

Angin kuat ini terus menyambar menghantam gulungan asap hitam dan putih, yakni pertarungan sihir antara Pek kwi (Hantu Putih) melawan Thian-te It-hiap. Dan ketika terdengar ledakan dan asap itu buyar, baik yang putih maupun hitam berantakan diterjang angin ini maka We We Moli, nenek berpakaian serba hitam itu muncul mendorong yang bertempur.

"Berhenti, kalian mengganggu samadhiku. Siapa mengacau ini dan berani benar menginjakkan kaki di wilayah pertapaanku!"

Hantu Putih dan yang lain terkejut. Sesungguhnya kakek ini telah mengontak nenek itu akan tetapi tiada jawaban. Panggilan batinnya tertolak. Namun karena dia terus memanggil dan nenek itu kini datang, giranglah hatinya maka kakek ini terkekeh dan buru-buru mengangkat lengannya.

"Maaf, tunggu dulu. Aku membawa musuh tangguh, Mo-li, keluarga Pendekar Rambut Emas. la ada hubungan dengan Beng An dan Rajawali Merah. Aku memancingnya ke sini agar kau membantuku."

"Hm!" nenek itu mengedikkan kepala, sepasang matanya yang putih terbelalak mengerikan sekali, tanpa manik-manik. "Aku sebenarnya tak mau diganggu, Pek-kwi, tapi menyebut nama itu membuat darahku mendidih. Siapa dia?"

"Thian-te It-hiap, orang sombong nomor satu!"

"Bagus, telah kulihat pertandingan kalian tapi siapapun enyahlah dari sini. Aku akan melanjutkan samadhiku!" dan ketika nenek itu mengibas dan dari lengannya menyambar angin dahsyat maka tiga orang itu baik Thian-te It-hiap maupun Hantu Putih dan San Tek diserang kuat. 

Akan tetapi Thian-te It-hiap berseru keras. Pek-swat-kiam di tangannya berkelebat, sang nenek tertegun dan aneh sekali angin pukulannya berhenti. Namun ketika San Tek dan Pek-kwi berseru kaget, untuk mereka pukulan terus menyambar maka dua orang ini mengelak akan tetapi San Tek menangkis dan membentak marah.

"Plak!" Moli memang aneh. Hantu Putih mengelak berjungkir balik akan tetapi tangkisan San Tek membuat ia melotot. Si gila terhuyung dan berteriak, nenek itu masih tak bergeming. Dan ketika hal itu membuat nenek ini marah dan maju dengan tangannya yang lain maka Pek-kwi berseru agar temannya itu menyingkir saja, menarik dan membetot menjauhkan diri.

"Jangan layani, kita bukan musuh...bress!" pukulan itu jatuh menimpa di belakang dan San Tek menggigil sekujur tubuhnya. Tanah di mana terpukul menjadi beku dan salju yang memuncrat terasa dingin. Rasanya jauh lebih dingin daripada Ping-im-kang. Dan ketika nenek itu tertawa dingin dan menggerakkan kepalanya tiba-tiba ia melecutkan rambut dan karena ia menghadapi San Tek maka Thian-te It hiap terlambat kaget karena gerakan rambut menyambar dan merampas pedangnya.

"Srat!" Pedang telah berpindah tangan. Begitu cepat kejadian itu hingga Thian-te It-hiap tertegun. Kakek ini sadar setelah nenek itu menimang dan memeriksa pedangnya, membentak akan tetapi ia mundur ketika sepasang bola putih itu mengeluarkan cahaya kebiru-biruan. We We Moli bertanya dari manakah kakek itu mendapatkan pedang. Dan ketika Thian-te It-hiap tertegun tak menjawab maka nenek itu tertawa dingin.

"Bagus, ini benar-benar Pek-swat-kiam. Ini pusaka Lembah Es. Sekarang kau harus mempertanggungjawabkan persoalan ini Thian-te It-hiap, dan untuk itu mari kita ke puncák!"

Pek-kwi girang. Hantu Putih ini menyangka We We Moli telah menjadi sahabat. Sesepuh. Lembah Es itu siap menghajar lawan yang amat tangguh ini. Akan tetapi ketika ia hendak bicara dan ditutup sebuah kibasan mendadak wanita itu membentaknya agar pergi. "Enyah kataku, siapapun tak boleh disini!”

Kakek itu kaget. Bersamaan itu keluar angin pukulan amat kuat menyambar dirinya dan San Tek, bukan hanya pemuda itu saja melainkan juga Tan-pangcu dan sutenya, juga Tan Bong. Dan ketika tiga orang itu berteriak dan terangkat tinggi, terbang dan terlempar amat jauh maka Pek-kwi mencoba bertahan dengan seruan keras.

"Kami ingin membantumu, jangan diusir!”

Akan tetapi kakek ini terbawa naik juga. Pek-kwi mendorongkan Giam-lui ciangnya namun hawa dingin mendahuluinya. Pukulannya padam. Dan ketika San Tek juga mengeluarkan Im-kan-thai-lek-kang akan tetapi terangkat dan terbawa naik maka tanpa dapat dicegah lagi dua orang itu melayang-layang keluar dari wilayah Himalaya. Hanya Thian-te It-hiap berdiri terbelalak.

"Moli, kau wanita jahanam. Awas kalau Rajawali Merah datang menghajarmu!"

Namun wanita ini tak perduli. Ia sudah membersihkan tempat itu dari tokoh-tokoh Pulau Api dan tiba-tiba memandang Thian-te It-hiap. Pandangannya terasa menyeramkan dan sinar kebiruan di sepasang matanya itu mendadak bekerja. Bagai sinar laser saja menusuk dan menyambar leher Thian-te It-hiap. Dan ketika kakek itu terkejut dan mengelak namun gagal, sinar itu menotok lehernya maka ia mengeluh dan roboh disambar wanita ini. We We Moli melesat dan sudah menuju puncak Himalaya dengan sekali gerakan cepat. Lenyap!

"Supek-bo...!"

Bagai hilangnya tadi tahu-tahu wanita itu muncul kembali. Hoa-siocia, yang berseru dan memanggil tiba-tiba berlari mengejar. Gadis ini jatuh bangun menuju puncak, hawa dingin tak dirasa. Namun ketika wanita itu datang lagi dan berdiri di depannya maka jari sekuat baja mencengkeram pundak gadis ini. "Kau memanggil siapa!"

"Aduh, lepaskan. Ampun, supek-bo...ampun. Aku... aku..."

Terdengar lengkingan dan suara di bawah gunung. We We Moli yang sedang mencengkeram gadis ini mendadak melepaskannya. Dari bawah gunung berkelebat tiga bayangan susul-menyusul. Paling depan jelas Pek-kwi si Hantu Putih, lalu San Tek si gila itu. Dan ketika di belakang dua orang ini melayang bayangan merah bagai rajeweli mengembangkan sayap maka seruan atau teriakan kakek itu membuat nenek ini berubah.

"Moli, tolong. Rajawali Merah ada disini!"

"Benar, Thai Liong keparat mengejer-ngejar aku, locianpwe, ia tak menepati janji. Tolong, ia menyerang aku.... aduh" pemuda itu terpelanting namun bergulingan meloncat bangun lagi. Pek-kwi juga terlempar terkena sebuah pukulan.

Thai Liong Si Rajwall Merah datang. Dan ketika pemuda itu membentak menanyakan di mana Thian-te It-hiap, Pek-kwi maupun Sen Tek memanggil-manggil wanita Lembah Es itu maka wajah nenek ini berubah dan ia tampak pucat. Akan tetapi We We Moli tib-tiba mendengus. la mencengkeram Thian-te lt hiap dan mendadak menyambar pula Hoa-siocia. Gadis dan kakek ini dilempar keatas pundaknya. Lalu ketika ia berkelebat meninggalkan tempat itu maka wanita ini sudah menghilang di balik kabut tebal di puncak himalaya yang dingin.

"Moli..."

"Locianpwe!"

Akan tetapi wanita itu lenyap. Hantu Putih dan San Tek yang berteriak memanggil melihat sekilas bayangan wanita ini. Secara kebetulan mereka bertemu Rajawali Mereh di kaki pegunungen salju itu kaget dan menyerang akan tetapi san tek gentar menghadapi pemuda sakti itu. Hantu Putih masih ingat ketika pemuda itu dengan Sin-tiauw-kangnya menjadi menggelembung setiap dipukul dan sinkang yang masuk itulah yang membuat pemuda itu bertambah kuat.

Memang inilah yang menakutkan lawan, bahkan We Moli sendiri gentar menghadapi ilmu aneh itu, ilmu sakti yang belum ada tandingannya. Dan karena kakek serta pemuda itu paling kuat dibanding Tan-pangcu dan kawan-kawan, mereka terlempar Sampai di kaki gunung saja maka Hantu Putih bermaksud meninggalkan Himalaya tak mampu membujuk nenek itu bersahabat dengannya. Akan tetapi Rajawali Merah muncul.

Bagai iblis saja pemuda ini berkelebat di belakang mereka menanyakan di mana Thian-te It-hiap. Pek-kwi terkejut dan menyerang lalu melarikan diri, San Tek mengikutinya pula dan dua orang ini jatuh bangun. Dan ketika We We Moli melihat namun tak menolong mereka, pucatláh kakek itu melawan membalik dan menghantam lawan di atas sebuah pendakian curam.

"Aku tak tahu di mana Thian-te It-hiap, tapi jangan kejar-kejar aku dan pergilah!"

"Benar, akupun tak tahu di mana kakek itu Rajawali Merah. Tapi Ia tadi bersama nenek itu.., dess!"

Semua pukulan diterima namun Sin-tiauw-kang melindungi pemuda ini. Thai Liong tak bergeming dan menangkap serta membentak dua orang itu. Dan ketika ia memuntir dan melempar mereka maka kakek dan pemuda itu melayang jauh di depan jatuh menumbuk hancur sebuah batu besar.

"Baik, kalian jangan bohong. Tapi ikut aku dan kita cari nenek itu. Kalian rupanya hendak bersekutu dan mencelakai Thian-te It-hiap!"

Dua orang itu mengeluh dan terguling-guling. Bagi Rajawali Merah ini tentu saja bukan persoalan menghadapi dedengkot Pulau Api itu. Ia telah tahu dan mengetahui kelemahan lawan, kakek itu belum sembuh total sementara San Tek pemuda yang miring otaknya. Justeru terhadap dialah si gila ini paling takut, itu tak lain karena hajarannya di Sam-liong-to dulu. Maka ketika mereka bergulingan namun ditendang lagi, mencelat dan terlempar semakin ke atas maka tak terasa mereka memasuki daerah berkabut di mana Pek-kwi dan San Tek tiba-tiba menghilang.

"Tobat, keparat jahanam. Kau tak tahu diajak bersahabat, We We Moli. Sekarang hadapilah pemuda itu dan kau tahu rasa!"

"Benar, dan aku akan menyembunyikan diri. He, perutku mulas, Rajewali Merah. Aku ingin berak!"

Suara prot-prot jelas kentut si gila itu. Thai Liong telah memasuki daerah kabut tebal yang menghelangi pandangan. Puncak terasa dingin sementara suara 0rang memantul-mantul, gemanya terlempar ke delapan penjuru dan di kiri kanan mereka adalah jurang-jurang dalam. Tempat ini merupakan tempat berbahaya karena jalanpun lícin seperti kaca. Salju yang membeku di tempat itu berubah menjadi es berlapis-lapis.

Dan karena tempat itu benar-benar berbahaya dan tak ada ilmu lain kecuali mereka yang berilmu tinggi maka dengan Ang-tiauw gin-kangnya (Ginkang Rajawali Merah) pemuda ini bergerak seringan kapas. la tak pernah terpeleset dan jatuh oleh jalanan yang licin. Telapak kakinya bergerak begitu ringannya di atas permukaan salju, bahkan mengambang. Dan ketika Thai Liong mendorong dan menggerak gerakkan kedua lengan mengusir kabut tebal maka pandangan sejauh belasan tombak terlihat. Akan tetapi nenek itu tak ada.

"We We Moli!" gema suara pemuda ini memantul. "Mana Thian-te It-hiap dan serahkan ia padaku!"

'Hm!" suara melingkar tiba-tiba terdengar. "Kau memasuki wilyahku, Rajawali Merah. Kau kembali menggangguku. Enyahlah atau aku menyerangmu!"

"Aku tak bermaksud memusuhimu, aku mencari Thian-te It-hiap. Di mana dia dan beritahukan padaku!"

"la menjadi tawananku. la membawa Pek-swat-kiam dan harus bertanggung jawab bagaimana mendapatkan pusaka Lembah Es... wut!" sebutir salju menghantam pemuda ini dan pecah berhamburan.

Rajawali Merah miringkan kepala mendengarkan asal suara akan tetapi tiba-tiba diganggu serangan salju itu. Suara lawan kembali hilang. Dan ketika mendaki dan memanggil-manggil lagi ternyata ne-nek itu tak menjawabnya karena di sana We We Moli tersenyum dingin dan siap menikam dada Thian-te It-hiap dengan pedang pusaka itu!

"Katakan kepadaku siapa kau sebenarnya. Dari mana pula kau dapatkan pedang ini atau siapa yang memberimu!"

Thian-te lt-hiap tertotok. Kakek gagah perkasa ini ternyata masih tak mampu menendingi sesepuh Lembah Es itu. Tak aneh karena We We Moli memang seorang wanita sakti yang masih setingkat di atas dedengkot Pulau Api sendiri, Hantu Putih atau Hitam. Dan ketika saat itu ia berada di sebuah guha dingin berpenerangan remang-remang, Hoa Siu mengguguk dan berlutut di bawah kaki nenek ini maka kakek itu melarang cucunya bicara banyak-banyak.

"Aku adalah Thian-te It-hiap, dan itu cucuku Hoa Siu. Kau merampas senjataku secara curang, We We Moli, coba lepaskan aku dan kita bertanding seribu jurus!"

'Hm, manusia sombong. Cucumu memanggilku supek-bo, orang dungu, aneh sekali ini. Melihat gerak-geriknya seakan penghuni Lembah Es atau setidaknya seorang murid Lembah Es. Aku tak dapat membebaskanmu karena Rajawali Merah datang kesini. Jawab pertanyaanku atau kau mampus!"

"Jangan, tidak! Jangan ia dibunuh, supek-bo... aku... aku saja penggantinya!"

"Hm, kau gadis miring. Lagi-lagi kau memanggilku supek-bo, bocah, hanya murid penghuni Lembah Es boleh menyebutku seperti itu. Siapa dirimu dan siapa kakekmu ini!"

"Jangan beritahukan!" Thian-te It-hiap membentak. "Sekali kau buka mulut aku tak akan mengempunimu, Hoa Siu. Aku adalah Thian-te It-hiap dan kau cucuku!"

"Kau...kau..."

"Tak apa, aku ditotok secara curang dan ia tak boleh tahu rahasia ini. Biarkan ia penasaran dan aku siap mati!"

We We Moli bersinar-sinar. Siapapun yang melihat wajahnya akan ngeri. Bola mata putih itu berkejap-kejap, seperti orang buta saja akan tetapi anehnya dapat melihat jelas. Wajahnya membesi Sementara kulitnya kehitam-hitaman, jari berkerotok dan Pedang Salju bergerak-gerak. Wanita ini memainkan pedangnya di atas dada Thian-te lt-hiap, sekali lepas tentu menancap. Akan tetapi ketika ia benar-benar penasaran dan dibuat marah oleh sikap lawannya maka tiba-tiba ia bergerak dan dua jarinya menyambar gadis baju putih itu.

"Tangkis seranganku!"

Hoa-siocia terkejut. la sedang berlutut ketika tiba-tiba nenek itu menyerang, tidak terlalu dahsyat akan tetapi sebagai ahli silat tentu saja otomatis ia menangkis. Tusukan jari itu adalah tusukan Dua Naga Melepas Ekor, satu dari sekian jurus Lembah Es. Dan ketika ia mengelak dan menepis dengan jurus otomatis Rembulan Membentuk Bayangan maka nenek itu tertegun namun gadis ini terpelanting, kalah kuat.

"Plak!" Hoa-siocia tersedu-sedu. Nenek itu membalik dan tersenyum. Dari tepisan itu terkandung tenaga Bu-kek-kang. Dan ketika ia tertawa sementara gadis itu melompat bangun maka nenek ini berkelebat dan meremas pundaknya.

"Kau murid Lembah Es, katakan siapa dan nomor berapa?"

"Ia cucuku. Hoa Siu! Kau tuk usah menanyainya kecuali aku, we We Moli. Lepaskan dia dan jangan menakut-nakuti anak kecil!"

"Tutup mulutmu, ia anak múridku.diam dan jangan cerewet, Thian-te It-hiap, atau aku menyiksanya nanti!" lalu ketika nenek ini menghadapi gadis itu dan bersikap lebih bengis maka ia menyentuh jalan darah di bawah telinga, sekali totokan membuat gadis itu bergulingan dan menjerit-jerit bagai digigit ribuan semut api.

"Nah, tak usah mengelak dan terus terang sajalah. Sebutanmu tak salah, kau penghuni atau bekas murid Lembah Es. Siapa kau dan murid nomor berapa, bekerja di mana!"

"Teecu... teecu..."

"Diam, Hoa Siu, atau aku tak akan mengampunimu!"

Gadis itu mengguguk ketika Thian-te It-hiap membentaknya lagi. We We Moli menjadi marah dan tiba-tiba nenek itu menotok urat gagu. Thian-te It-hiap melotot bisu! Dan ketika kakek ini mendelik sementara nenek itu tersenyum maka ia bertanya lagi dan kali ini ujung kukunya menggurat sedikit.

"Katakan atau siksaan ini akan membuatmu mati belum hiduppun tidak. Nah,jangan takut kakekmu itu atau ia kusiksa di depanmu pula."

Hoa Siu menjerit. Sedikit guratan saja membuat tubuhnya tersengat hebat. Ujung kuku itu seakan gigitan ular berbisa. Dan ketika ia menangis den tersedu-sedu maka ia bingung dan takut serta gelisah, belum menjawab dan We We Moli kembali menggurat perlahan. Untuk kedua kalinya gadis itu berjengit. Tapi ketika ia belum juga bicara dan takut serta bingung akhirnya nenek ini menotok bawah telinganya dan terjadilah pemandangan mengerikan ketika gadis ini memekik dan bergulingen seakan digigit ribuan semut apí.

"Bagus, aku atau kakekmu yang lebih berkuasa. Bergulinganlah, anak baik, berteriak-teriaklah sampai kau bertobat."

Hoa Siu tersiksa dan menjerit-jerit. Seluruh tubuh gadis iní seakan digigiti semut api dan ia mencakar serta menggaruk-garuk. Tak ayal lagi pakaiannya robek-robek namun We We Moli tertawa dingin. Nenek itu betul-betul tidak mempunyai perasaan. Tapi ketika gadis ini melolong dan meraung-raung mendudak berkelebat dua bayangan dan muncullah gadis bersanggul tinggi menjutuhkan diri berlutut.

"Supek-tbo, maafkan dia. Dia adalah Hwa Seng!"

Nenek itu terkejut. Pendengarannya tertutup oleh lolong dan raung kesakitan itu. Entah bagaimana dua gadis ini tiba-tiba muncul. Akan tetapi ketika ia mengenal bahwa itulah Thio Leng dan Sui Keng, wakil atau pimpinan Lembah Es mendadak nenek ini berseri akan tetapi sekejep kemudian wajuhnya sudah membesi lagi. Tanpa senyum.

"Hm, kalian. Bagus benar datang kemari. Apa yang hendak kalian perbuat dengan kedatangan ini, Thio Leng. Bukankah kalian sudah meninggalkan Lembah Es. Kalian pergi tanpa ijin!"

"Kami menyusul Puteri, tak tega membiarkannya sendiri. Sekarang bebaskan Hwa Seng dan kami yang akan menjawab siapa Thian te It-hiap itu, supek-bo. Lepaskan dia dan ampunilah."

Nenek ini bersinar . la menggerakkan jarinya dan bebaslah Hoa-siocia dari siksaan hebat dan Gadis ini menutupi tubuhnya. Pakaiannya koyak-koyak akan tetapi ia cepat berlutut pula. Tak ada keberanian melawan. Dan ketika dua gadis itu berdebar dan menghadapi supek-bo mereka dengan hati-hati maka Thio Leng berkata bahwa Thian-te It-hiap adalah sahabat Lembah Es.

"la adalah keturunan Hu Beng Kui, jago pedang nomor satu. Dan karena ia telah menolong teecu dari ancaman orang-orang Pulau Api maka kakek ini adalah sahabat kami."

"Hm, bukan sahabat Lembah Es! Bicaramu berputar-putar, Thio Leng, sahabatmu belum tentu sahabat Lembah Es. Sekarang katakan bagaimana ia memiliki Pek-swat-kiam!"

"Kami... kami tak tahu. Untuk ini kami tak dapat menjawab!"

"Kalau begitu keterangan kalian tak memuaskan. Kau menyimpan kebohongan pula dan terimalah hukumanmu!"

Si nenek tiba-tiba menotok dan ganti gadis ini berteriak kesakitan. Sama seperti Hoa Siu tadi ia bergulingan dan berjengit, ribuan semut api seakan menggigiti tubuhnya. Dan ketika gadis ini mengaduh-aduh sementara sang nenek tersenyum dingin maka Sui Keng meloncat dan menotok sucinya itu, maksudhya membebuskan siksaan tapi totokannyu tak berhasil. Sang Suci bahkan menjerit-jerit. Dan ketika gadis itu bingung sementara Thian-te It-hiap melotot di sana, tak dapat berbuat apa-apa maka gadis ini melompat dan berlutut di depan supek-bonya yang ganas itu.

"Harap supek-bo ampunkan suci. Teecu yang akan memberi jawaban lebih memuaskan!"

"Hm, apa jawabanmu biar kupertimbangkan dulu. Aku tak mau ditipu kalian anak-anak ingusan ini, Sui Keng. Beri tahu dulu nanti bebas belakangan!"

"Thian-te It-hiap, ia... ia keluarga Kim-mou-eng. Maksud teecu saudara Rajawali Merah Thai Liong!"

"Hm, masih kurang puas. Bagainmana Pek-swat-kiam di tangannya dan siapa yang memberikan itu!"

"Puteri... Puteri yang memberinya!"

"Bagaimana kau tahu."

"Teecu. teecu melihatnya sendiri, supek-bo. Sekarang bebaskan suci dan jangan biarkan ia menjerit-jerit!"

"Hm, dan gadis ini. Siapa dia dan murid nomor berapa."

"Ah, bebaskan dulu Thio-suci, supek-bo. Hwa Seng adalah pelayan Puteri Es dan dayang istana. Dia... dia...!" gadis itu menjerit.

Mendengar kata-kata terakhir ini mendadak We We Moli menjadi beringas. Teringatlah dia siapa kiranya gadis itu. Dan ketika ia melihat betapa sebelah telinga gadis ini putus, itulah pelayan atau murid yang pernah mendapat hukuman mendadak ia menotok dan sekali bergerak gadis itu maupun Sui Keng berteriak. Bukannya memberi kebebasan malah nenek itu menambah hukuman. Dua gadis terakhir itu ditotoknya sama.

Dan karena Hwa Seng mendapat hukuman untuk kedua kalinya, berjengit dan menerima sakit yang sama maka gadis itu mengaduh dan selanjutnya bergulingan meminta-minta ampun. Sui Keng dan encinye serta Ho-siocia menjerit-jerit. Mereka mencakar dan menggaruk dan tertawalah nenek itu dengan keji. la sama sekali tak merasa kasihan maupun iba melihat penderitaan murid-murid ini, bahkan ia merasa senang melepaskan kemarahannya kepada Thio Leng dan Sui Keng.

Dua gadis itulah yang pergi tanpa pamit, Lembah Es menjadi kacau dan ia menahan gusar. Dan ketika kini ia memberi hukuman sementara Thian-te It-hiap bergerak-gerak, coba melepaskan diri namun gegal maka sebuah bayangan berkelebat dan bentakan atau seruan marah menggetarkan guha itu.

"Supek-bo keji, biar aku membebaskan mereka dan jangan menghukum yang tidak bersalah!'"

Seorang gadis cantik jelita telah muncul di situ dengan kerudung atau cadar tipis. Gadis ini berkelebat dan langsung membebaskan siksaan itu. Dan ketika totokannya berhasil dan nenek itu terkejut, menoleh dan bangkit berdiri maka Puteri Es, gadis jelita itu berdiri di situ dengan kepala tegak namun air mata bercucuran.

"Wei Ling!"

Dua wanita itu telah saling berhadap-hadapan dengan mata berpandangan. Puteri Es, gadis itu mengangguk dan menahan derasnya air mata. Ia telah melihat siksaan itu, derita yang dialami sumoi dan pelayannya. Akan tetapi ketika pandang mata supek-bonya begitu kuat dan penuh wibawa mendadak gadis ini berlutut dan menangis tersedu-sedu. Thian-te It-hiap terkejut dan ah-uh-ah-uh....