Putri Es Jilid 32 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Karya Batara

SUASANA menjadi gaduh. Mereka yang berpihak pada jago masing-masing tiba-tiba bersorak dan saling memberi aba-aba. Bhong Tek Hosiang dan kawan-kawan tegang, mereka berdiri dan mengepal tinju dengan mata terbelalak. Urat di wajah menonjol besar. Namun ketika Thian-te It-hiap membentak menarik tongkat tiba-tiba dua ketua Pulau Api itu terbawa.

"Heii...!"

"Awas...!"

Dua ketua terkejut. Dalam saat girang merasakan kemenangan mendadak mereka tertarik tenaga dahsyat ke arah kakek itu. Bukan hanya sekedar tenaga dahsyat melainkan juga hawa dingin menerjang tongkat. Benda yang semula merah marong terbakar tenaga panas mendadak redup diserang hawa dingin. Itulah tenaga yang keluar dari telunjuk dan jari tengah Thian-te It-hiap, uap beku yang menghancurkan hawa panas di mana tongkat tiba-tiba menjadi dingin. Begitu dingin hingga telapak mereka menjadi kaku.

Dan ketika mereka terkejut melihat ini maka saat itulah lawan menarik dan mereka terbawa ke depan! Dua ketua Pulau Api ini sudah mencoba mempertahankan diri akan tetapi gagal. Telapak mereka yang dingin mencengkeram tongkat bisa mati syarafnya kalau diteruskan, apa boleh buat keduanya berseru keras melepaskan tongkat. Dan ketika keduanya terhuyung dan pucat membelalakkan mata maka Bhong Tek Hosiang dan kawan-kawan bertepıuk riuh. Thian-te It-hiap menang!

"Ji-pangcu kalah, Thian-te lt-hiap unggul!"

"Benar, Thian-te It-hiap unggul. Pangcu kalah!"

Tertegunlah orang-orang yang menjagokan Pulau Api. Mereka kecewa kenapa dua ketua itu melepaskan tongkat. Mereka tak tahu betapa urat dan syaraf dua ketua itu mati kedinginan beberapa detik. Kalau ini masih diteruskan bukan tidak mungkin kedua lengan dua tokoh itu beku, salah-salah mereka menjadi manusia es dan jantung berhenti berdetik! Maka ketika itulah cara menyelamatkan diri namun pihak suporter tak mau tahu, mereka kecewa terhadap jagoan mereka dan ada beberapa di antaranya mengumpat dan mencaci-maki!

Merahlah wajah dua orang ini. Dalam adu tenaga tadi maklumlah mereka bahwa lawan benar-benar hebat. Thian-te lt hiap bukan nama kosong. Tapi karena mereka masih penasaran dan pertandingan tadi bersifat uji-coba, sekarangiah harus bertanding sungguh-sungguh maka ji-pang cu meloloskan rantai di lehernya dan benda itu menegang ketika ji-pangcu membentak dan meluruskan benda bagai tombak pendek.

"Thian-te lt-hiap, kami belum kalah. Sekarang kami maju berdua dan keluarkan ilmu silatmu!"

"Benar, dan aku juga akan mencoba-coba ilmumu, Thian-te It-hiap. Keluarkan ilmu pedangmu Giam-lo Kiam-sut dan hadapilah ilmu silat kami dari Pulau Api!" Sam pangcu bergerak dan dengan cerdik laki-laki ini minta agar tuan rumah mengeluarkan warisan Hu Beng Kui. Dengan sinkang yang amat dingin dan mampu menghancurkan Giam-lui-kang tokoh Pulau Api ini menjadi ngeri dan gentar. ltulah sebabnya dia minta agar lawan mengeluarkan silat pedangnya, mainkan warisan Hu Beng Kui dan mungkin dengan ini mereka mencapai kemenangan.

Dan ketika kakek itu menghindar dan maju mundur dengan cepat maka mereka sudah menyerang dengan amat hebatnya dan sekaligus dua ketua Pulau Api mainkan silat sakti dari Jit-cap-ji-poh-kun itu, ilmu langkah ciptaan Hwe-sin (Malaikat Api). Bertepuk-riuhlah pendukung Pulau Api. Begitu dua ketua maju dengan cepat mendesak Thian-te lt-hiap, membuat kakek itu sibuk mengelak sana-sini maka mereka bersorak. Timbullah harapan kali ini jagoan menang. Dan karena Thian-te It-hiap tampak sibuk mengelak sana-sini dan tongkatnya digempur dari segala penjuru maka kakek itu tampaknya kewalahan dan Bhong Tek Hosiang serta kawan-kawan menjadi khawatir.

"Thian-te It-hiap, pergunakan pedangmu!"

"Benar, mainkan Giam-lo Kiam-sut warisan Hu-taihiap!"

Kakek ini mengangguk. Dikejar dan di cecar pukulan bertubi kakek itu masih mampu mengelak. Orang menjadi kagum menyaksikan langkah kaki dua ketua yang begitu cepat dan hebatnya. Kemanapun lawan mundur di situlah mereka tahu-tahu mengejar, dekat dan melepas pukulan akan tetapi kakek ini selalu menghindar. Entah kenapa dia tak menangkis, mungkin karena belum mendapatkan pedangnya itu. senjata yang tadi diberikan gadis Lembah Es dan kini kakek itu maju mundur menghindari sergapan lawan. Seperti bayangan saja kakek inipun mampu menghindar semua langkah-langkah sakti itu.

Namun ketika terdengar teriakan agar dia mempergunakan pedang, atau lebih tepat melayani lawan dengan ilmu ciptaan Hu Beng Kui maka kakek ini mengangguk dan rupanya untuk menyenangkan penonton iapun tiba-tiba melempar tongkat kepada gadis baju putih itu. "Nona, berikan pedangku, simpanlah tongkat ini!"

Gadis Lembah Es menangkap. la masih bersama Hoa-siocia dan saudaranya itu, menonton pertandingan dari pinggir dan anehnya berseri-seri. Wajahnya tak menunjukkan kecemasan seperti Bhong Tek Hosiang dan kawan-kawan, bahkan ia tertawa ketika melontarkan pedang kepada kakek itu. Dan ketika ia berseru agar kakek itu tak perlu membuang-buang waktu, cepat saja lawan-lawannya dirobohkan maka Thian-te It-hiap tersenyum dan mengangguk.

"Orang-orang sombong itu tak perlu diberi hati. Sikat saja dan robohkan mereka!"

"Tenanglah, bertanding dengan cepat merobohkan musuh tak enak bagi penonton, nona, tak ada hiburan kalau begitu. Biarkanlah aku main-main sejenak setelah itu merobohkan mereka!"

Membentaklah dua tokoh Pulau Api itu. Lawan telah mendapatkan pedangnya dan merekapun gencar melancarkan pukulan-pukulan cepat. Kaki yang bergeser maju mundur diiringi pukulan panas menyambar, kian lama kian dahsyat hingga lengan tokoh-tokoh itu merah seperti bara. Namun ketika si kakek mengibaskan pedangnya dan hawa dingin menyambar maka dua ketua itu terhuyung dan hawa panas buyar.

"Keluarkan Giam-lo Kiam-sutmu, robohkan kami!"

"Hm... tak usah bercuap-cuap. Kalian berdua tahan dulu kibasan pedangku, ji-pangcu, baru setelah itu kalian merasakan kelihaian Giam-lo Kiam-sut!"

Dua orang itu bergerak silih berganti. Ji-pangcu rupanya gentar berhadapan dengan kesiur dingin dan minta agar adiknya menyerang dari samping. la sendiri bergerak dari kanan akan tetapi karena Thian-te It-hiap selalu memutar tubuh maka pukulannyapun dipapak, membuat ia mundur dan di sana adiknya maju menampar. Namun karena kakek ini kembali memutar dan berdepan menghadapi musuhnya maka kibasan pedang membuat lawan menjauh dan begitulah dalam jurus-jurus permulaan ini Thian-te It-hiap bersifat menghalau. Dua ketua gemas.

Akhirnya sang suheng memberi aba-aba dan muncullah Hwe-ci (Jari Api) itu. Telunjuk menuding dan apipun menyambar. Thian-te It-hiap mengelak dan jari api menyambar belakang, meledak dan membuat tamu terkejut karena percikan lidah api mengenai mereka pula. Namun ketika kakek itu berseru dan menyilangkan pedangnya dua kali di atas perut maka Hwe-ci terpental dan apinya membalik menyambar dua laki-laki itu sendiri.

"Crit-plak!" Sang ketua terhuyung dan menangkis dengan marah. Mereka menerjang lagi dan tangan kiri melepas Giam-lui-ciang,tangan kanan tetap dengan Hwe-ci namun gerakan pedang menghalau semua itu. Dan ketika keduanya menjadi marah dan kaget serta penasaran maka dua ketua ini menyimpan Hwe-ci mereka untuk sepenuhnya melakukan pukulan-pukulan Petir Neraka.

"Bunuh kakek ini, robohkan dia...!"

Thian-te It-hiap tertawa pendek. Lawan yang menjadi kalap sudah melancarkan pukulan nekat. Dua pasang tangan menyambar dari muka dan belakang melepas pukulan api. Ledakan disusul kepulan uap merah, panggung berderak dan satu di antara empat tiangnya roboh. Akan tetapi ketika kakek itu berseru keras berkelebat ke depan tiba-tiba tubuhnya lenyap ditelan gulungan sinar pedang yang maju ke depan, dahsyat bagai pusaran air bah.

"Sing-bret-plak!" Sam-pangcu berteriak dan terpelanting jatuh. la yang menerjang ke depan tiba-tiba bertemu gundukan cahaya putih, kuat berbahaya dan menerjang pukulannya hingga membuat ia terkejut. Dan ketika dari gundukan itu mencuat sinar panjang membelah kepalanya, ia kaget bukan main maka ia melempar tubuh bergulingan akan tetapi kalah cepat dan baju pundakpun robek, dikejar dan menampar tapi lengan bajunya malah terbabat.

Dan ketika ia keluar panggung saking gugup dan pucatnya maka sang suheng pun tak jauh berbeda karena tokoh nomor dua dari Pulau Api itu menjerit, rantai hitamnya bertemu gundukan pedang dan putus menjadi dua, tidak berhenti di sini karena sinar panjang menuju kepalanya. Itulah giam-lo Kiam-sut yang amat ganas dan kini dikeluarkan Thian-te It-hiap untuk memenuhi keinginan lawan. Dan ketika ji-pangcu terpaksa melempar tubuh bergulingan menjauhkan diri maka ia terlempar ke tempat kosong dan jatuh di luar panggung lui-tai.

Riuhlah tepuk tangan Bhong Tek Ho-siang dan kawan-kawan. Kiam Kit Cinjin dan Kiam Ceng Cinjin yang sama-sama ahli pedang dari Khong-tong dan Hoa-san-pai membelalakkan mata lebar-lebar. Sekaranglah mereka melihat Thian-te It-hiap benar-benar mengeluarkan segenap kepandaian bermain pedangnya. Sekali pedang itu lenyap membungkus tubuh maka selanjutnya pedang berobah menjadi gundukan sinar maut. Hal ini mengingatkan kepada Hu Beng Kui namun Thian-te lt-hiap ini terasa lebih hebat lagi.

Tokoh itu lenyap di balik gulungan sinar pedangnya menerjang dengan cara berpusing dan memutar, maju bagai gulungan air bah saja sehingga siapa pun tak mampu menahan. Mereka sendiri sebagai ahli-ahli pedang merasa ngeri dan pucat. Siapa pun tak bakal mampu menahan majunya gulungan sinar pedang itu, bahkan tidak juga tokoh-tokoh Pulau Api itu. Maka ketika mereka menjadi kagum dan tak sadar bertepuk tangan maka pekik gegap-gempita mengiringi pujian serta seruan di sana-sini.

Dua tokoh Pulau Api itu meloncat bangun. Di sana JI-pangcu terbelalak dengan muka pucat, rantai hitamnya yang tinggal separoh dipandang seakan tak percaya. Sementara sutenya, sam-pangcu Pulau Api lebih lagi. Lengan baju dan baju pundak yang terbabat membuat semangatnya terbang melayang. 

Kalau ia tidak cepat melempar tubuh bukan tidak mungkin nyawanya yang terbang. Demikian ganas dan dahsyatnya gulungan sinar pedang itu. Namun karena ada sesuatu yang jauh lebih mengerikan daripada itu, yakni sesuatu yang tidak dilihat dan dirasa orang lain ketika di balik gulungan sinar pedang menyambar hawa dingin membekukan tulang maka mereka teringat sesuatu dan ji-pangcu berbisik kepada sutenya.

"Ping-im-kang (Pukulan Inti Es)!"

Sang sute mengangguk. Memang inilah yang dirasa mereka dan inilah yang membuat gentar. Mereka teringat seseorang dan memandang kakek di atas panggung itu dengan mata melotot. Thian-te It-hiap sudah berdiri lagi di panggung lui-tai sementara pedangnya lenyap entah ke mana. Kakek ini tersenyum-senyum memandang mereka, dingin. Dan ketika tiba-tiba dua orang itu membalik dan ji-pangcu berteriak kecewa sekonyong-konyong ia menimpukkan sisa senjatanya dan berkelebat meninggalkan pertempuran.

"Thian-te It-hiap, kau mengingatkan kami akan seseorang!"

Rantai hitam menyambar dengan amat kuatnya. Sang ji-pangcu mengerahkan tenaganya hingga rantai itu berkobar, tidak lagi hitam melainkan merah. Di tangan ketua Pulau Api ini benda itu telah berobah menjadi bara besi, menyambar dengan kecepatan luar biasa dan ketika melayang di depan hidung Kiam Kit Cinjin. Ujung hidung mengeluarkan suara 'ces' ketua Khong-tong ini terbakar. Dan ketika tosu ini menjerit membuang kepala maka benda ini terus meluncur dan menyambar Thian-te It-hiap.

Akan tetapi kakek di atas panggung itu tak mengelak. la juga tak mencabut pedangnya ataupun menangkis, justeru benda ini ditangkap dan diterima tangan kanannya. Dan ketika orang terbelalak melihat benda itu masih menyala di tangan tuan rumah, digerakkan dan tiba-tiba membalik menyambar pemiliknya maka terdengar suara orang jatuh dan jeritan ketika tengkuk ji-pangcu tersambit telak. Leher belakang tokoh Pulau Api itu luka terbakar, sejenak rantai membelit dan membuat ia mendelik. Besi panas itu melepuhkan kulitnya. Namun ketika ia menarik dan membuang benda itu maka meloncatlah ia dan lari menghilang di kegelapan.

Gemparlah semua tamu undangan. sekarang mereka melihat kelihaian Thian-te It-hiap ini, siapapun tak perlu ragu. Dan ketika Bhong Tek Hosiang dan Kiam Kit Cinjin serta Kiam Ceng dan ketua-ketua Kun-lun dan Bu-tong serta Siau-hun naik ke atas panggung, menjura dan memberi hormat maka serentak mereka berseru bahwa Thian-te It-hiap mereka akui sebagai bengcu.

"Kami menyerah tanpa bertanding. Kami mengakui diri kami yang bukan apa-apa. Kami setuju kau menjadi bengcu, Thian-te It-hiap. Kami sedia menjadi pembantumu dan biarlah hari ini kau resmi memimpin dunia persilatan!"

Bersoraklah tamu yang lain sementara pendukung Pulau Api menghilang satu persatu. Begitu melihat Bhong Tek Hosiang dan ketua-ketua lain mengangkat Thian-te It-hiap habislah harapan mereka memenuhi keinginan. Mana mungkin mendapatkan gadis-gadis Lembah Es kalau tokoh-tokoh Pulau Api dikalahkan Thian-te It-hiap. Maka ketika mereka ini menghilang meninggalkan tempat itu maka Bhong Tek Hosiang dan kawan-kawan tak habis kagumnya memuji tuan rumah.

Malam itu Thian-te It-hiap dikenal siapapun. la benar-benar menjadi tokoh yang dikagumi tapi kakek ini biasa-biasa saja. Tak ada kesan-kesan sombong atau tinggi hati, hal yang membuat para ketua partai semakin hormat dan menunduk. Dan ketika kakek itu berkata bahwa kedudukannya hanya tiga bulan saja, atau mungkin kurang maka melengaklah Bhong Tek Hosiang dan kawan-kawan mendengar kesungguhan kakek ini.

"Terima kasih kalau cuwi-enghiong mau mengangkatku sebagai bengcu. Tapi ingat, kedudukan ini hanya kupegang paling lama tiga bulan saja, setelah itu aku mengundurkan diri. Baiklah kukatakan di sini secara terus terang bahwa kedudukanku hanyalah kugunakan untuk meminjam kalian ke Pulau Api. Tak perlu kusangkal bahwa cuwi kukumpulkan untuk serbuan ke sana, dan karena cuwi sudah melihat betapa busuk dan curangnya orang-orang itu maka aku ingin menggerakkan cuwi menghancurkan mereka, sebelum mereka mendahului dan menjajah cuwi."

Mengangguk-angguklah semua orang. Kini mereka mengerti bahwa sesungguhnya Thian-te It-hiap adalah sosok seorang pendekar. Kalau ia hendak mengangkat diri sebagai bengcu bukanlah karena kesombongannya melainkan semata melihat bahaya di depan. Sekarang mereka tahu betapa hebatnya orang-orang Pulau Api itu. Kalau tak ada kakek ini terus terang saja mereka tak mungkin menandingi. Tak ada yang tahan menghadapi Giam-lui ciang itu. Betapa dahsyatnya mereka.

Dan karena semua sudah melihat keganasan orang-orang itu, juga kelicikan dan kecurangan mereka maka sadarlah mereka bahwa kalau tadi Thian-te It-hiap tak mengalahkan musuh tentu mereka sudah dibawah kekuasaan orang-orang Pulau Api dan betapa ngerinya kalau digerakkan dan dipergunakan untuk menyerang orang lain, Lembah Es misalnya!

"Hm, pinceng ingin bertanya," Bhong Tek Hosiang maju dan tiba-tiba berkata. "Siapa mereka dan Lembah Es itu, bengcu. Bolehkah kami mendengar barang sedikit."

Thian-te It-hiap tersenyum. Ia telah disebut bengcu (pemimpin) dan yang lain mengangguk. Kebetulan pula dua gadis cantik jelita ada di situ, mendampingi atau berdiri bersebelahan dengan cucu kakek ini, Hoa-siocia. Maka ketika kakek itu mengangguk dan memandang dua gadis ini segera dia menjawab singkat,

"Lembah Es adalah keturunan Dinasti Han, semuanya merupakan gadis-gadis gagah perkasa seperti yang cuwi lihat di situ. Sedang orang-orang Pulau Api adalah bekas keturunan pangeran pemberontak dari dinasti itu yang terbuang dan tinggal di Pulau Api. Mereka musuh bebuyutan, tapi orang-orang Pulau Api lebih banyak melakukan serbuan ke Lembah Es dibanding pihak Lembah Es sendiri."

"Hm, begitukah?" hwesio ini mengangguk-angguk. "Pantas jiwi siocia (nona berdua) ini begitu agung dan anggun, Thian-te lt-hiap, tak tahunya puteri keraton!"

"Kami hanya hamba sahaya," satu di antara dua gadis itu merendah. "Puteri kami barulah yang tepat, Bhong Tek-losuhu, kami bukan apa-apa."

"Ah..., tapi jiwi sudah mampu menandingi dua orang itu!"

"Tapi sumoiku terluka...!"

"Ia terluka karena kecurangan lawannya. Kalau sam-pangcu dari Pulau Api itu mau bertanding jujur maka tak mungkin sumoimu terluka, nona. Kalian tetap orang-orang yang hebat!"

"Terima kasih, tapi tetap lebih hebat Thian-te It-hiap...!"

"Ha-ha, kalau yang ini memang lain. Tapi betapapun kami mengakui di sini bahwa agaknya menghadapi jiwipun kami masih bukan tandingan!" lalu ketika Bhong Tek Hosiang tertawa disusul yang lain.

Maka Thian-te It-hiap diam-diam tersenyum dikerling dua gadis Lembah Es itu, pura-pura tak mendengar pujian dan akhirnya selesailah pibu di antara orang-orang gagah. Mereka yang merasa kecil tentu saja tak berani banyak tingkah. Thian-te It-hiap dan dua gadis Lembah Es ini sudah teramat lihai. Dan ketika malam itu Thian-te It-hiap mengadakan jamuan untuk para tamunya ini, secara khusus maka ditetapkanlah hari yang tepat untuk melakukan serbuan ke Pulau Api.

Bulan depan tanggal sepuluh ditetapkan sebagai hari penyerangan. Sekarang semua orang sudah mengetahui siapa Thian-te It-hiap ini, pendekar yang sebenarnya hendak menyelamatkan mereka dari ancaman bahaya Pulau Api. Tokoh-tokohnya sudah datang dan kebetulan mereka lihat.

Dan ketika malam itu semua ketua partai dijamu dengan penuh hormat, yang berniat jahat segera menyingkir dan menjauhkan diri maka hari yang ditetapkan untuk serbuan itu sudah menjadi kian dekat di mana para ketua itu hendak menyertakan murid-murid pilihan dan yang kurang berkepandaian tinggi agar tinggal saja di rumah.

Thian-te It-hiap masih bersikap tenang ketika keesokannya para tamu berpamitan. Bahkan balas menjura dan membungkuk dalam-dalam ketika Bhong Tek Hosiang dan kawan-kawan meninggalkan Ce-bu, sikap yang membuat tamu-tamunya tertegun dan heran. Seorang pemimpin tak perlu begitu hormat kepada orang yang di bawah. Hal ini malah membuat para ketua partai itu sungkan saja. Namun ketika sikap ini justeru menjadikan mereka menaruh hormat dan kagum tiada habis-habisnya maka pulangnya para tokoh-tokoh itu memberikan kenangan tersendiri yang selama hidup belum pernah mereka rasakan.

Dan begitu rumah Hu-taihiap ini sepi kembali maka tempat itu menjadi seperti sedia kala hanya sekarang bertambah dengan dua gadis Lembah Es itu yang tiba-tiba ingin menemani Thian-te It-hiap, hal yang membuat orang lain merasa heran dan tercengang, apalagi ketika Hoa-siocia juga membungkuk-bungkuk dan keliliatan sungkan menghadapi gadis-gadis lihai ini. Tamu yang dihormat lebih dari semestinya!

* * * * * * * *

Hari itu tanggal yang ditentukan tiba. Bulan sembilan tanggal sepuluh adalahharir mendebarkan bagi orang-orang kang-ouw di bawah pimpinan Thian-te It-hiap. Semakin mengenal kakek ini semakin kagum dan hormatlah semua orang. Tak ada kesombongan atau sikap tinggi hati sebagai pemimpin. Bahkan ketika semua bergerak dan meninggalkan Ce-bu kakek ini minta agar ketua-ketua partai mengawasi anak muridnya sendiri. Mereka bukanlah orang-orang jajahan, kakek itu hanya bengcu setelah penyerangan selesai di Pulau Api.

Di tempat itulah nanti kakek ini mengatur perintah, di sini masing-masing masih bebas dan boleh bergerak sendíri-sendiri. Dan ketika semua kata-kata itu semakin mengesankan para ketua persilatan maka Bhong Tek Hosiang dan kawan kawan mengatur anak buahnya sendiri sesuai keinginan. Ada seratus lima puluh lebih annak murid beserta ketuanya.

"Para Cuwi tak perlu menunggu aku, silakan saja atur sendiri. Nanti setelah di Pulau Api barulah aku memimpin secara resmi karena di sana tempat itu benar benar berbahaya bagi kita. Di sini kalian tak perlu sungkan dan berjalanlah seperti biasa, kita bukan pasukan."

Tokoh-tokoh persilatan mengangguk. Tadinya mereka bingung harus berbaris seperti apakah, berjalan di depan atau di belakang kakek itu. Tapi ketika Thian-te it-hiap memberi kebebasan dan mereka lega maka Bhong Tek Hosiang tersenyum, berbisik pada rekannya Kiam Kit Cinjin.

"Bengcu kita ini aneh, tak selayaknya pemimpin sebagaimana umumnya. la benar-benar rendah hati dan halus tutur katanya, Kiam Kit totiang, jarang kutemukan orang seperti ini yang begitu menghargai orang lain."

"Ya, dan pinto sendiri tak habis kagum. la benar-benar luar biasa, tapi siapakah sebenarnya dia ini dan apa hubungannya dengan mendiang Hu-taihiap!"

"Hm, mana kita tahu. Orang seperti ini misterius gerak-geriknya, totiang, tapi untunglah ia bukan orang jahat. Kalau ia jahat entah bagaimana dengan kita, kepandaiannya begitu tinggi."

Kiam Kit Cinjin mengangguk-angguk. Mereka berbicara bisik-bisik tapi Thian-te It-hiap di belakang mereka tersenyum simpul. Tak ada yang tahu bahwa pembicaraan ditangkap. Kakek itu beriringan dengan murid dan cucunya jauh di belakang, tak kurang dari sepuluh tombak. 

Dan ketika dua ketua ini terus berbisik-bisik sementara yang lain juga menyatakan kekagumannya maka dua gadis Lembah Es berkelebat di depan tak mau bersama rombongan yang sebagia besar lelaki itu. Mereka menunggu di pantai, sekalian melihat kalau ada sesuatu yang mencurigakan.

"Harap bengcu mengawasi mereka dan mudah-mudahan semua lancar sampai di Pulau Api!"

Thian-te It-hiap mengangguk. Kembali kebebasan ia perlihatkan di sini, hampir sebulan ini dua gadis itu juga memanggilnya bengcu. Hanya ketika beberapa diantara rombongan menjadi kecewa, adanya gadis-gadis itu merupakan hiburan tersendiri maka mereka yang muda-muda berbisik satu sama lain menyatakan kekecewaannya.

"Sayang, perjalanan kurang sedap kalau gadis-gedis Lembah Es itu tak di tengah kita. Ah, kenapa mereka tak mau bersama rombongan, Kwa-suheng. Bukankah dapat menyegarkan kita agar tak cepat lelah."

"Hm, aku juga kecewa, tapi jangan macam-macam. Kiam Ceng suhu sendiri menyatakan tak mampu menandingi dua gadis itu, jangan seperti punguk merindukan rembulan!"

"Aku tak sejauh itu. Tapi hadirnya mereka membawa kesegaran, suheng, entah kenapa rasanya lain. Betapapun mereka menonjol di sini!"

"Ada wanita-wanita pula di rombongan bengcu, bukankah merekapun menyegarkan. Sudahlah jangan kecewa berlarut-larut, Lauw-te, lihat Kiam Ceng suhu memandang kita!"

Dua anak murid Hoa-san itu menjauhkan diri begitu sang suhu melihat mereka bisik-bisik. Dalam perjalanan ini kasak-kusuk tentang wanita memang bisa saja terjadi, apalagi kalau yang dibicarakan adalah gadis-gadis secantik Lembah Es itu. Siapa tak merasa jatuh hati. Akan tetapi karena mereka murid-murid dari sebuah partai yang baik yang tentu saja harus menjaga tindak-tanduk dan pembicaraan mereka maka sampai di sini dua murid Hoa-san itu tak berani meneruskan.

Sebenarnya bukan hanya mereka saja yang bisik-bisik, murid-murid Khong-tong dan bahkan Bu-tong serta Sho-tong berbicara tentang mereka. Mereka para hwesio muda itu juga kecewa kenapa dua gadis Lembah Es itu tak menemani mereka, bukan apa-apa tapi paling tidak bisa untuk penyegaran batin. Wanita cantik di mana-mana selalu memberi keindahan dan keharuman.

Maka ketika mereka juga bisik-bisik akan tetapi segera diam begitu dipandang sang guru maka rombongan ini berjalan terus untuk akhirnya berhenti di pantai timur di mana Thian-te It-hiap ternyata sudah menyiapkan beberapa perahu lewat gadis-gadis Lembah Es itu. Semua rombongan tertegun, gadis yang dibicarakan sudah berada di satu di antara belasan perahu dengan amat gagah dan cantiknya.

"Cuwi dapat memilih sendiri perahu mana yang dikehendaki, semua hampir sama. Hanya hati-hati kalau sudah mendekati Pulau Api karena di sana lautnya panas, mendidih!"

Semua berlompatan. Tentu saja yang muda-muda memilih perahu di dekat perahu dua gadis ini. Mata mereka bersinar dan berseri-seri mendampingi si cantik. Meskipun tidak di satu perahu akan tetapi cukuplah puas asal dekat si cantik, ini pembawaan lelaki. Dan ketika berturut-turut ketua-ketua persilatan juga berlompatan di perahu mereka, dayung dan persediaan air minum sudah berada di sini maka Thian-te It-hiap dan rombongannya berada di depan. Entah kapan bergeraknya kakek itu tahu-tahu ia telah di atas perahunya tanpa sedikitpun perahu itu bergoyang.

"Sekali lagi cuwi enghiong harap berhati-hati. Kalau kita melakukan perjalanan çepat maka tiga hari akan sampai. Tapi kalau ada yang tidak kuat dan capai maka kita dapat beristirahnt di pulau kosong di tengah samudera."

"Kami tak akan lelah. Kami dapat bergantian mendayung, bengcu. Silakan berangkat dan kami di belakang."

"Benar, tak perlu beristirahat. Kalau capai duduk saja di perahu, bengcu, kami orang-orang terlatih yang sudah biasa melakukan perjalanan jauh!"

"Baiklah," kakek itu tersenyum. "Kau sudah di sini dulu, nona. Silakan di depan kami nomor dua. Berangkat!"

Bagai dihentak sepasang tangan raksasa tiba-tiba dua gadis Lembah Es di atas perahu itu menggerakkan dayung mereka. Hanya mereka inilah satu-satunya perahu berisi dua orang, yang lain belasan dan ada yang hampir dua puluh. Dan ketika tiba-tiba perahu melejit dan terbang keatas, terkejutlah mereka yang muda-muda maka Thio-siocia dan Wan-siocia tertawa. Tawa mereka merdu dan empuk.

"Baiklah, kau menghendaki kami duluan. Maaf, bengcu, siapa yang ingin menempel boleh mendekat!"

Mereka yang muda-muda menahan napas. Cepat seperti siluman saja dua gadis di atas perahu itu menuju ke tengah samudera, menerjang ombak dan lenyap dan sedetik mereka merasa berdesir. Namun ketika ombak melandai membebaskan pandang segera tampaklah dua gadis itu jauh di depan. Sebentar saja sudah di tengah laut!

"Cuwi-enghiong, mari berangkat. Jangan mendelong saja!"

Semua orang sadar. Bhong Tek Hosiang dan ketua-ketua lain memukulkan dayung. Bagai dihentak pula perahu mereka meloncat ke depan, melewati rombongan yang muda-muda dan sebentar kemudian sudah membelah lautan. Lalu ketika yang muda-muda tersentak dan merasa ketinggalan tiba-tiba merekapun berseru keras memukulkan dayung.

"Kejar, jangan kalah dengan wanita. Dekati mereka!"

Susul-menyusul terjadi dengan cepat. Kekaguman dan kegembiraan tiba-tiba pecah apa yang ditunjukkan gadis-gadis Lembah Es tadi menggatalkan hati. Masa mereka harus kalah. Namun ketika perahu di depan itu tetap meluncur bagai siluman, menghilang dan muncul lagi di antara gulungan ombak maka Bhong Tek Hosiang dan rekan-rekannya tak mampu mengejar, dan saat itulah perahu Thian-te It-hiap lewat, didayung dengan perlahan saja, tidak ngotot. Cuwi-enghiong, mari kubantu kalau terlalu lamban. Hati-hati!"

Bhong Tek dan kawan-kawannya terkejut. Thian-te It-hiap memukulkan dayung akan tetapi sebuah tenaga raksasa melesat. Dari bawah, terdoronglah pantat perahu begitu kuatnya, meloncat dan terbang menyusul dua gadis itu. Lalu ketika berturut-turut perahu yang lain dipukul dan meloncat ke depan maka kakek ini telah mendorong belasan perahu mengejar gadis-gadis Lembah Es itu.

"Haii, awas. Perahu kita meloncat!"

"Benar, eh... inipun terbang. Heii, hati-hati, Lauw-sute, berpegangan yang erat!" Ributlah suasana oleh kaget dan kagum.

Semula mereka ngeri dan pucat ketika perahu meloncat seperti ikan lumba-lumba. Kadang-kadang bahkan meluncur tanpa kendali dan jatuh dengan keras. Kalau tidak berpegangan tentu terpelanting. Namun ketika mereka tertawa-tawa dan tampaklah gadis-gadis di depan itu, Thian te It-hiap sengaja membangkitkan Semangat dan kegembiraan rombongannya.

Maka Thio-siocia dan sumoinya terbelalak heran. Tapi mereka segera berseru keras. Maklum bahwa Thian-te It-hiap membantu orang-orang itu gadis-gadis inipun tak mau kalah. Mereka memukulkan dayungnya lagi lebih cepat, air memuncrat dan perahupun melesat ke depan. Dan karena Thian-te It-hiap harus mendorong belasan perahu akhirnya kakek ini berseru keras berada di bagian paling belakang.

"Harap kalian berjajar, berpegangan erat-erat. Awas kupukul berbareng dan hati-hati!"

Hebat bukan main apa yang dilakukan kakek ini, Ia memukul begitu kuatnya hingga serentak belasan perahu meloncat ke atas. Penumpangnya terpekik tapi gembira ketika perahu jatuh dan meluncur cepat. Dan ketika dengan cara begini kakek itu menggiring rombongannya, persis seorang penggembala menggiring dombanya maka Bhong Tek Hosiang tertawa bergelak.

"Thian-te It-hiap, kau benar-benar luar biasa. Aih, baru kali ini pinceng menyaksikan kepandaian demikian mentakjubkan. Biarlah pinceng dan kawan-kawan tak perlu dibantu lagi!"

"Atau suruh mereka jangan terlalu jauh meninggalkan kami. Kasihan tenagamu bengcu, kami akan mendayung sendiri!"

Kakek ini tersenyum, tak menjawab. la tetap memukul-mukulkan dayungnya dan semua bergerak bagai terbang. Siapapun kagum oleh kehebatan kakek ini. Dan ketika dua gadis di depan tampaknya lelah beradu cepat akhirnya mereka mengurangi tenaga dan di sinilah kakek itu menghentikan bantuannya.

"Bengcu curang, membantu yang lain. Kami tak akan beradu denganmu karena mana mungkin menang!"

"Ha-ha, dan kami tak mungkin menandingimu pula. Ah, ilmu kepandaian kalian luar biasa sekali, jiwi-siocia, tanpa bengcu kami tak mampu mengejar!"

"Karena itu jangan cepat-cepat, kami takut kehilangan!"

Semua tertawa. Sekejap saja mereka sudah berada di tengah samudera luas, daratan hanya tampak seleret kecil hitam. Dan ketika di sini rombongan bergerak dengan wajar, gadis Lembah Es itu tetap di depan maka Thian-te It-hiap berada di belakang menjaga atau melindungi perahu-perahu lain. Sikapnya seperti seorang bapak terhadap anak, hal yang lagi-lagi membuat ketua persilatan merasa hormat.

Tanpa kenal lelah, juga terbakar oleh sikap gadis Lembah Es yang mendayung tanpa henti semangat orang-orang ini begitu hebatnya. Dua kali mereka ditanya apakah hendak beristirahat, ada pulau kosong yang mereka lewati. Namun ketika semua menggeleng dan dua gadis itu tersenyum maka perjalanan dilanjutkan bahkan juga malam hari. Lampu kapal mereka hidupkan dan untuk ini semua perahu meluncur berhimpitan. Hal ini untuk mencegah supaya satu sama lain tak berpencar. 

Lalu ketika matahari terbit di ufuk timur dan cahaya fajar membangkitkan semangat baru akhirnya pada hari ketiga menjelang matahari terbenam tibalah mereka di Kepulauan. Pulau Api. Di sini rombongan berdebar tegang. Thian-te It-hiap mengajak mereka ke pulau kosong dan beristirahat. Belasan perahu saling merapat dan penumpangnya berlompatan. Tapi ketika kaki menyentuh laut hangat maka mereka heran.

"Ih, airnya tidak dingin!"

"Betul, suam-suam kuku!"

"Hm, cuwi sudah berada di pinggiran Pulau Api. Nanti kalau di sana kalian akan merasakan panasnya air laut, cuwi-enghiong. Kaki bisa terbakar oleh air yang mendidih!"

Thian-te It-hiap memberi tahu. Kakek ini sudah berada di atas pulau dan mengajak semua naik. Gembira rasanya setelah berhari-hari di lautan. Dan ketika masing-masing membuka makanan dan menyiapkan api unggun mendadak mereka tertegun karena bersamaan tenggelamnya matahari maka muncullah ribuan cahaya obor di pusat kepulauan itu. Pohon-pohon api yang sesungguhnya mulai "hidup" begitu kegelapan datang.

"Eh, mereka memasang obor!"

"Rupanya sudah tahu kedatangan kita!"

"Bukan, kakek ini menjawab. "Itu adalah pohon-pohon Api yang hidup ketika malam tiba, cuwi-enghiong. Ribuan pohon itu memang ada di sana dan itulah sebabnya dinamakan Pulau Api. Itu bukan obor, hanya pohon Api"

Semua takjub. Baru sekarang rasanya semua orang menyaksikan keindahan seperti itu. Obor yang mereka sangka ternyata adalah barisan pohon Api, pantas menjulang begitu tinggi dan seakan obor raksasa. Maka ketika semua menjadi kagum dan mendecak penuh pujian sejenak mereka lupa bahwa di pulau itulah musuh-musuh mereka yang amat lihai berada.

Malam itu Thian-te It-hiap mengumpulkan semua rombongannya. di samping melepas lelah juga mengatur bahwa besok rombongan dipecah. Thian-te It-hiap dan anak muridnya berada di inti depan, termasuk dua gadis perkasa Lembah Es itu. Dan karena orang-orang Pulau Api adalah manusia-manusia licik dan curang yang harus diwaspadai maka kakek ini berkata bahwa rombongan yang lain mengepung Pulau Api dari samping dan belakang.

"Jumlah mereka sekitar tiga ratusan, kita hanya seratus lima puluh lebih sedikit. Akan tetapi karena yang paling berbahaya adalah tiga tokohnya dan murid-murid utama, inilah yang hendak kuhadapi bersama jiwi-siocia dari Lembah Es ini maka tugas cuwi adalah menghadapi murid-murid Pulau Api yang tidak terlalu tinggi kepandaiannya. Tangkap dan robohkan mereka, jangan dibunuh, kecuali kalau melawan dan melakukan kecurangan. Aku pribadi hendak menghancurkan sumber kekuatan mereka dan mengenyahkan tokoh-tokohnya, yang lain hanya anak murid dan karena itu tak perlu kita bersikap kejam. Kalau mereka melarikan diri dan inilah tugas cuwi menangkap mereka maka biarkan mereka hidup kalau tidak melawan. Selebihnya terserah cuwi dan inilah peta pulau itu yang harap cuwi perhatikan baik-baik."

Kakek itu mencorat-coret tanah menggambar peta Pulau Api dan sambil menunjuk sana-sini ia memberi penerangan kepada ketua-ketua Bu-tong dan Hoa-San, juga Kun-lun dan lainnya. Dan ketika mereka diminta untuk pagi-pagi sekali meluncur lebih dulu, mengepung kiri kanan dan belakang pulau maka kakek ini mengakhiri bahwa ia datang setelah matahari terbit.

"Sebaiknya sewaktu gelap cuwi sekalian sudah mendarat di kiri kanan dan belakang pulau itu. Ada banyak batu-batu karang di situ, namun hati-hati, semuanya amat panas. Bagi mereka yang tak tahan ini sebaiknya mempergunakan sarung tangan untuk melindungi diri, dan jangan sentuh apapun dengan kulit telanjang."

Semua mengangguk-angguk. Terbayang wajah ngeri bagi yang merasa tak mampu menghadapi itu. Namun karena semua dipimpin ketuanya dan inilah tugas Bhong Tek Hosiang dan rekan-rekannya, Kiam Kit Cinjin mengangguk-angguk maka tosu Khong-tong ini menarik napas dalam.

"Sungguh mentakjubkan Pulau Api ini, bukan hanya penghuninya saja yang melatih Yang-kang tetapi buminya sendiri sudah memiliki tenaga dahsyat itu. Aih,... pinto baru kali ini mendengar dan melihat ini!"

"Benar, pinceng juga kagum. Alangkah hebatnya kalau semua itu dipergunakan untuk kebaikan, Kiam Kit totiang. Tentu tenaga sehebat itu bakal banyak berguna bagi manusia lain. Akan tetapi mereka justeru jahat, keras dan sewenang-wenang serta curang!"

"Inilah, ini sudah pembawaan orang-orang Pulau Api. Sejek mula mereka keturunan orang-orang jahat, Bhong Tek losuhu, keturunan pemberontak yang tamak dan ganas. Mereka memang jahat sejak nenek moyangnya!" satu di antara dua gadis Lembah Es berkata penuh gemas.

Ini membuat Bhong Tek Hosiang dan kawan mengangguk-angguk dan kejadian di Ce-bu cukup membuktikan itu. Untunglah mereka tak sampai jatuh ke tangan orang-orang itu, kalau tidak entahlah apa yang terjadi. Dan karena ini adalah sumber penyakit yang amat berbahaya maka Bhong Tek dan kawan-kawannya mengangguk maklum.

"Maafkan...!" ketua Kun-lun tiba-tiba bicara sejak tadi hanya diam mendengarkan saja. "Kalau kami sudah mengetahui tempat tinggal orang-orang Pulau Api bolehkah suatu saat kami melihat tempat tinggal nona- nona ini. Di manakah Lembah Es itu dan bolehkah kami bertandang."

"Benar,..." yang lain seakan diingatkan. "Kalau kami berhasil membasmi orang-orang ini bolehkah kami bertamu ke tempatmu, nona. Bukankah sedikit banyak kami membantumu mengenyahkan orang-orang yang menjadi musuh bebuyutan ini!"

"Hm, dua gadis itu terkejut, tiba-tiba melirik Thian-te It-hiap. "Kami tak dapat menjawabnya sekarang, totiang. Ini harus disetujui majikan kami. Terus terang saja seribu tahun ini Lembah Es tak boleh didatangi orang luar!"

"Tapi orang-orang Pulau Api itu menyerbu tempatmu!"

"Benar, hanya mereka. Tapi itupun harus dibayar mahal karena mayat mereka harus ditinggalkan di sana!"

Bhong Tek dan kawan-kawan bergidik. Dari nada suara itu mereka tahu betapa seramnya ini. Secara tidak langsung gadis itu memberitahukan ancaman bagi orang luar yang ingin ke sana. Mati! Maka tak menyinggung lagi tentang ini mereka menumpukan pandangan pada Thian-te It-hiap lagi.

"Apakah bengcu ingin memesan sesuatu lagi, kami siap mendengarkan."

"Untuk sementara cukup, lo-suhu, sebelum matahari terbit kalian sudah harus berada di tempat masing-masing. Aku datang setelah terang tanah."

Akhirnya mereka beristirahat. Setelah berada di tempat itu dan dapat tidur bertilamkan tanah tiba-tiba penat tubuhpun terasa. satu persatu rombongan orang-orang kang-ouw ini melemaskan tubuh mereka. Lalu ketika semua mengendorkan urat untuk bersiap di pagi harinya maka menjelang matahari terbit semua orang-orang kang-ouw itu telah meluncurkan perahu mereka menuju pulau yang penuh obor itu. Obor buatan karena sesungnya adalah ribuan pohon Api yang menyala sepanjang tahun!

Dan orang-orang kang-ouw ini benar-benar takjub, juga ngeri. Setelah mereka mendekati pulau maka air di sekeliling mereka mendidih. Suara membelebub membuat seorang anak murid mencoba mencelupkan jarinya ke dalam air. Tapi begitu ia berteriak dan menjerit kesakitan maka ujung jarinya itu sudah melepuh bagai direbus air mendidih!

Ini membuat rombongan berhati-hati. Perahu menjadi panas terbakar dan mereka cemas. Kalau saja bukan air mungkin lambung perahu sudah hangus berasap. Untunglah jarak ke pulau tujuan tidak jauh lagi, mereka meluncur dan mendayung cepat untuk akhirnya berlompatan di atas tanah merah. Di mana-mana terdapat semacam bara dan Bhong Tek serta kawan-kawannya ngeri. Pulau ini benar-benar pulau api, pohon dan bebatuan terbakar kemerah-merahan.

Namun karena mereka mempergunakan sepatu tebal dan kaki hangat terpanggang maka dengan sinkangnya orang-orang ini melindungi diri dari alam. Bayangan mereka merunduk dan lenyap menghilang di posisi masing-masing. Bhong Tek dan para ketua partai sudah berada di posnya sendir-sendiri, tidak berjauhan karena masing-masing siap saling bantu. 

Dan ketika matahari naik tinggi dan sinarnya yang kemerah-merahan membuat tepi langit terbakar, indah menawan maka saat itulah dari tengah laut meluncur sebuah perahu besar menuju pulau dengan sikap tenang namun penuh kewaspadaan.

Mula-mula perahu ini hanya merupakan titik kecil dilihat dari kejauhan, semakin lama semakin besar untuk akhirnya murid-murid Pulau Api melihatnya. Dan ketika mereka berloncatan dan meniup terompet kerang, nyaring melengking maka dari tengah pulau berkelebatan banyak bayangan dan terlihatlah dua di antara pemimpínnya yang dulu datang ke Ce-bu.

"Thian-te lt-hiap!"

Sam-pangcu dan ji-pangcu dikenal pula oleh penumpang perahu besar ini. Mereka, para anak murid melihat dua tokoh Pulau Api itu terbelalak di depan. Jarak dengan perahu masih dua ratus meter, pelayan atau murid-murid Thian-te It-hiap ini ngeri melihat air yang mendidih. Dan ketika mereka berdebar disambut orang-orang itu maka dari kiri kanan tiba-tiba menyebar belasan perahu meluncur ke laut, mengepung perahu mereka.

"Thian-te It-hiap, berani mati benar kau mengunjungi kami. Bagus, menyerahlah baik-baik atau anak murid kami menjungkalkan perahu kalian!"

Teriakan ji-pangcu disusul gerakan cepat belasan perahu orang-orang Pulau Api itu. Inilah ahli-ahli selam yang tiba-tiba membuang tubuhnya ke laut, tak perduli air mendidih dan para murid wanita tentu saja terpekik. Dan ketika perahu tiba-tiba berguncang dan serasa diangkat dari bawah maka tersentaklah mereka karena dengan amat kuat dan hebatnya limabelas orang telah menyundul perahu mereka.

"Ha-ha, lemparkan semua penumpangnya!"

Akan tetapi dua di antara sekian penumpang bergerak. Inilah Thio-siocia dan sumoinya yang tentu saja tak sudi dijungkir. Begitu melihat kepala bersundulan tiba-tiba keduanya menyambar dayung, menghantam atau memukul kepala dan tangan-tangan itu dan terdengarlah jerit susul bak-bik-buk. 

Lima belas orang roboh, perahu kembali jatuh ke bawah dan legalah murid-murid lain bahwa mereka selamat. Mereka ngeri kalau jatuh ke air yang mendidih itu, bagaimana nanti. Tapi ketika baru saja menarik napas lega tiba-tiba perahu terangkat lagi dan kali ini dua puluh lebih penyelam paling pandai mengangkat perahu mereka,

"Biarkan aku yang bekerja," Thian-te It-hiap berseru dan tiba-tiba kakek ini melompat ke tengah. Perahu sudah terangkat tinggi dan penumpangnya berteriak-teriak. Para murid wanita terpelanting sana-sini dengan pekik ketakutan, perahu benar-benar bisa terbalik. Tapi ketika kakek ini bergerak ke tengah terdengar teriakan kaget maka bagai diinjak seekor gajah perahu turun lagi menindih orang-orang itu.

"Heii...!"

"Awas...!"

Semua terbanting. Perahu demikian berat tak sanggup mereka angkat lagi. Kakek ini mengerahkan Jing-kin-kangnya (Tenaga Seribu Kati) hingga tak satupun kuat menyangga. Semua kepala bagai dibenamkan lagi dan lenyaplah orang-orang itu. Dan ketika kakek ini tersenyum memberi aba-aba maka Thio-siocia dan Wan-siocia menggerakkan dayung memukul perahu ke depan. Gerakan dua gadis ini amat kuatnya hingga perahu melejit ke depan. Tiga empat kali dayung sudah sampai di tepian.

Tapi ketika dua gadis itu gemas mendayung sekuatnya, perahu terangkat dan terbang ke daratan maka di sini perahu itu pecah dan penumpangnya berjungir balik menyelamatkan diri. Thian-te It-hiap tertawa.

"Braakkkk!" Pecahlah papan perahu berkeping-keping. Dua gadis itu sudah melayang turun sementara murid-murid wanita dan laki-laki pucat berjungkir balik. Diam-diam mereka ini nengumpat gadis-gadis Lembah Es itu. Bukan main garangnya, perahu langsung saja dijatuhkan di atas pulau. Namun ketika majikan mereka tertawa geli sementara Hoa-siocia berjungkir balik mencabut pedang maka dua pimpinan Pulau Api itu gentar, mundur. Dan saat itu berkelebatlah bayangan seorang tinggi besar membawa tongkat baja, menderu bagai angin topan.

"Sute, kiranya ini orang yang kalian sebutkan itu. Mundurlah dan biar ia berhadapan dengan aku!"

Laki-laki itu menyambar bagai elang perkasa dan tongkat di tangannya menghantam kepala Thian-te It-hiap. Menurut laporan kakek inilah yang amat ditakuti itu, mereka telah menunggu-nunggu namun baru sekarang rupanya datang. Maka ketika pria gagah itu menyambar tiba sementara tongkatnya menderu pula, langsung menghantam kepala kakek itu maka Thian-te It-hiap mengeluarkan dengus pendek dan iapun menangkis mengebutkan ujung lengan bajunya.

"Ini tentu Tan-pangcu yang tersohor itu. Bagus, selamat jumpa kembali, pang-cu, dan terima kasih untuk sambutanmu yang luar biasa... plak!" Tongkat bertemu lengan baju namun seketika tergubat, ditarik dan sang pangcu terbawa namun saat itulah tangan kiri ketua ini bergerak. Ia bukan lain ketua utama Pulau Api, suheng dari dua laki-laki di dekatnya itu, orang yang telah kalah menandingi kakek ini. Namun ketika tangan kiri itu menyambar dan kakek ini menggerakkan tangannya yang lain, meluncurlah uap putih menerima Giam-lui-ciang maka terdengar ledakan dan pangcu dari Pulau Api itu terhuyung.

"Desss!" Kaget dan pucatlah ketua Pulau Api ini. Tongkatnya rusak sebagian sementara tangán kirinya terbungkus hawa dingin luar biasa. Tubuhnya yang merah marong seketika juga padam. Namun ketika ia membelalakkan mata dan mengibas tubuh dua kali maka Yang-kang atau tenaga sakti di tubuhnya hidup lagi dan berdirilah laki-laki itu dengan tubuh bagai obor.

"Hm, Ping-im-kang... benar, Ping-im-kang. Kau siapa, kakek tua. Kau mengingatkan kami akan seseorang!"

"Aku Thian-te It-hiap," kakek ini tersenyum, sepasang matanya berkilat. "Aku datang untuk menundukkan kalian, Tan-pangcu, menghancurkan Pulau Api dan membasmi kejahatan di sini. Bertekuk lututlah dan menyerah baik-baik atau aku mempergunakan kekerasan membunuh kalian."

"Ha-ha-heh-heh-heh! Kau sombong dan jumawa sekali, Thian-te It-hiap. Rupanya kemenanganmu mengalahkan dua suteku membuatmu tekebur. Tapi kau ada disini , di tempat kediamanku. Dan jangan berlagak sombong karena aku tuan rumah. Lihat, siapa itu dan masihkah kau berlagak di depanku!"

Laki-laki ni bertepuk tangan dan tiba-tiba dari empat penjuru muncullah orang-orang yang membuat Thian-te It-hiap kaget. Bukan hanya kakek ini melainkan semua murid dan cucunya, bahkan dua gadis Lembah Es berseru tertahan dan mundur karena saat itu tampaklah terhuyung Bhong Tek Ho-siang dan ketua-ketua persilatan. Mereka ini ditelikung didorong seorang pemuda berambut riap-riapan, wajahnya kehijauan dan tertawa ha-ha-he-he. Sikapnya tidak waras dan itulah San Tek, si gila yang amat diandalkan orang-orang Pulau Api.

Pemuda ini dan dulu pernah diminta datang ke Lembah Es, melakukan serbuan bersama orang-orang Pulau Api ini di mana hanya karena munculnya Si Rajawali Merah Thai Liong pemuda ini diusir pergi. Ia memang paling ketakutan terhadap lawannya yang satu itu. Maka ketika dua gadis Lembah Es mengenal siapa si gila itu dan mereka terkejut berseru mundur, Wajah seketika berubah maka Tan-pangcu dari Pulau Api terkekeh-kekeh, juga sam-pangcu dan ji-pangcu. Di belakang ketua-ketua partai ini menunduk beriringan anak-anak murid mereka di bawah ancaman orang-orang Pulau Api.

"Heh-heh-ha-ha-ha! Bagaimana sekarang sikapmu, Thian-te lt-hiap, masihkah kau bersombong dan menyuruh kami menyerah. Tidakkah kau yang berlutut di depan kami dan cepat minta ampun!"

Kakek ini tergetar. Tak disangkanya secepat itu kawan-kawannya tertangkap. Tapi ketika ia menahan marah menarik napas dalam, si gila itulah biang keladinya maka pemuda ini menggerak-gerakkan cambuk di tangannya melecut punggung ketua-ketua persilatan itu.

"Ha-ha, kerbau-kerbau dungu. He, tegak dan angkat wajah kalian, babi gemuk, dan kau juga sapi kurus ini... tar-tar!”

Bhong Tek Hosiang dan Kiam Kit Cinjin berjengit dicambuk punggungnya. Mereka tadi bersembunyi di guha-guha ketika tiba-tiba saja asap pedas memasuki persembunyian, batuk-batuk dan mengira asap dari tanaman yang terbakar, atau batu-batuan di dinding guha yang rata-rata kemerahan itu. Maka ketika sesosok bayangan berkelebat dengan amat cepatnya menotok mereka, tak begitu jelas di balik bayang-bayang asap ini.

Maka Kiam Kit Cinjin dan kawan-kawannya terkejut ketika tahu-tahu roboh terguling, belum sadar apa yang terjadi namun tiba-tiba masuklah bayangan orang-orang Pulau Api. Mereka ini merobohkan yang lain dan mengikat ketua-ketua partai itu. Lalu ketika mereka melihat bayangan pemuda itu, si gila yang berambut riap-riapan maka Bhong Tek Hosiang dan kawan-kawan tiba-tiba saja telah ditangkap dan dítawan orang-orang Pulau Api ini, lewat si gila yang begitu lihainya!

Semua ni berjalan dengan amat cepatnya ketika menjelang matahari terbit. Satu demi satu mereka itu roboh. Dan karena urat gagu mereka juga ditotok tak mampu bicara, inilah di luar hitungan maka Thian-te It-hiap juga tak menyangka bahwa kedatangan mereka sudah diketahui dan disambut. Terutama adanya si gila yang he-ha-heh-heh itu.

"Dia San Tek!"

"Itu si gila yang diperalat Tan-pangcu!" Thian-te It-hiap berguncang. Sedetik dia kelihatan marah namun tiba-tiba tokoh ini batuk-batuk. Matanya berkilat lebih tajam memandang orang-orang Pulau Api itu. Akan tetapi ketika dia tersenyum dan mengangguk-angguk maka ia berkata kepada ketua Pulau Api itu dengan suara dingin, "Pulau Api rupanya mengajak orang lain menyelamatkan diri. Hm, kalian rupanya ketakutan. Baiklah kuakui kelihaianmu berbuat curang, Tan-pangcu, sekali lagi benar-benar di luar perhitunganku. Tak apa, aku ingin kita bertempur secara gagah dan taruhannya adalah mereka itu."

"Enak saja kau bicara. Di Ce-bu kau menghina dan mempermainkan suteku, Thian-te It-hiap, di sini akulah yang berkuasa dan menentukan. Tak ada pertaruhan, berlutut dan menyerahlah dan buang senjata kalian baik-baik!"

"Hmm, sekarang tanganku menjadi gatal-gntal. Kalau diajak bicara baik-baik tak dapat juga baiklah kita lihat sekarang ini Tan-pangcu. Siapa lebih penting dan lebih kuat!"

Thian-te It-hiap berkelebat lenyap dan tahu-tahu sebelum orang tahu apa yang terjadi terdengarlah teriakan ji-pangcu dan sam-pangcu. Begitu cepatnya kakek itu bergerak hingga ia supah di dekat dua orang ini , menotok dan robohlah dua pimpinan Pulau Api itu. Dan ketika ia berkelebat kembali dan berdiri di tempatnya semula maka dua Orang itu telah di bawah cengkeramannya di mana sepuluh jari kakek ini mencengkeram batok kepala dua wakil pimpinan itu.

Gemparlah orang-orang Pulau Api. Mereka tak tahu bagaimana kakek ini bergerak karena tahu-tahu ia telah merobohkan dua wakil pimpinan. Ji-pangcu dan sam-pangcu yang lengah merasa kegirangan terkejut setengah mati. Mereka melihat bayangan putih menyambar dan pundakpun tersentak berjengit. Hawa dingin menusuk tulang. Ping-im-kang menembus sumsum mereka. Dan ketika sebentar kemudian dua orang ini menjadi pucat dan putih menggigil, beku seperti es maka kakek itu tertawa memandang sang ketua.

"Bagaimana, siapa lebih penting dari orang-orang ini . Mereka atau dua sutemu Tan-pangcu. Haruskah kubekukan jantung mereka agar dapat menjadi mayat segar."

Tepuk tangan tiba-tiba pecah di rombongan kakek ini. Hoa Siu dan murid-murid begitu gembira, dua gadis Lembah Es juga berteriak dan memuji kehebatan kakek ini. Dan ketika mereka berkelebat dan berendeng di kiri kanan Thian-te It-hiap maka Wan-siocia terkekeh.

"Bagus, setali tiga uang. Sekarang dua sutemu tertangkap pula, Tan-pangcu, siapa yang lebih kau beratkan. Ayolah, teruskan sombongmu dan bicaralah jumawa!"

Ketua Pulau Api ini tertegun. la tak menyangka begitu lihainya kakek itu hingga sekali bergerak menangkap sutenya, dua sekaligus. Tapi ketika ia menoleh memandang si gila yang masih terus meledak-ledakkan cambuknya laki-laki ini membentak,

"San-kongcu, jangan main-main di situ. Lihat dua suteku tertangkap dan apa yang kau lakukan. Apakah minta kupanggilkan roh gurumu agar menghukummu dan mengerat kulitmu."

"Ah, jangan, heh-heh... aku geli lihat domba-dombaku pangcu. Babi gemuk dan sapi kurus ini lucu. Mereka meringis-ringis... lihat, gigi mereka kekuningan!"

"Jangan hiraukan mereka dan cepat ke sini. Ambil dua suteku itu dan hajar Thian-te It-hiap!"

"Thian-te It-hiap? Siapa jagoan ini?"

"Itu, tua bangka itu. Rampas kembali suteku dan tinggalkan mereka!"

Si gila terkekeh menjeletarkan cambuknya. Tanpa ba-bi-bu lagi ia meloncat ke arah kakek ini, gerakannya luar biasa bagai elang menyambar. Dan ketika Thian te It-hiap membentak dan membuang dua tawanan kepada gadis-gadis Lembah Es itu maka cepat sekali ia menangkis cambuk dan mengkeraman tangan kiri yang menyambar.

"San Tek, kau dicari Rajawali Merah Thai Liong. Pergi dan jangan bantu orang-orang ini atau kau dipotong telingamu...dess!"

Cambuk tertolak sementara cengkeraman si gila bertemu tangan dingin Thian-te It-hiap, tergetar dan si gila berjungkir balik berteriak keras. la menyerang sepenuh tenaga ketika tiba-tiba lawan menyebut Rajawali Merah, buyar konsentrasinya dan saat itulah tenaga Thian-te It-hiap menghantamnya. Namun karena ia lihai dan berjungkir balik membuang serangan maka ia selamat dan begitu turun di tanah iapun lari terbirit-birit meninggalkan lawan.

"Heii... jangan, aduh, selamatkan telingaku!"

Orang menjadi geli. Si gila lenyap memegangi telinganya seakan benar-benar takut dipotong. Hoa-siocia dan murid-murid wanita tersenyum geli. Namun ketika tiba-tiba Tan-pangcu bergerak dan menyambar Bhong Tek Hosiang maka laki-laki ini membentak,

"San Tek, tak ada Rajawali Merah disini. Kau tertipu. Kembalilah dan hajar Thian-te It-hiap itu!" lalu mendorong si hwesio mendelik memandang lawan ketua Pulau Api ini berkata, dingin dan bengis,

"Aku tak menghendaki kau membunuh suteku, tapi kalau kau memaksa aku nekat maka hwesio inipun kusembelih. Nah, satu lawan satu, Thian-te It-hiap, kita menukar tawanan!"

"Hm," Thian-te It-hiap tertawa dingin "Tawananku lebih berharga daripada tawananmu, pangcu, kecuali kalau kau tak menghargai sutemu ini. Aku bersedia tukar-menukar namun bebaskan mereka semua!"

"Tidak bisa, tidak adil. Mereka berjumlah banyak, Thian-te It-hiap, kau hanya menangkap dua orang. Mana keadilanmu!"

"Kalau begitu begini saja, dua yang ini ditukar dengan enam di antara mereka, para ketua partai itu."

"Tidak, dua ditukar dua, atau biarlah anak-anak murid ditukar dua suteku!"

"Kau curang, mereka pemimpinnya, pangcu, masa ditukar anak-anak murid."

"Kaulah yang curang, atau biar semua ini kubebaskan tapi berjanjilah kau tak mengganggu lagi kami di sini!"

"Hm," kakek itu berkerut, matanya bersinar-sinar. "Kedatanganku justeru menghancurkan kalian, Tan-pangcu, bebas begitu saja berarti membiarkan benih penyakit berkeliaran di muka bumi. Aku menghendaki dua ditukar enam atau kubunuh sutemu!"

"Bunuhlah!" ketua ini menjadi nekat. "Dan mereka semua akan kubantai, Thian te It-hiap, tidak percaya boleh lihat!" lalu ketika ia mencabut pisau menggores tenggorokan hwesio ini segera ketua Pulau Api itu menunjukkan kesungguhannya, bukan hanya dia seorang melainkan murid-murid Pulau Api yang lain menggores pula leher para tawanan. Sebentar saja darah segar mengucur. Dan ketika seratus limapuluh orang itu mengeluh dengan muka pucat maka Thio-siocia yang tak tahan lagi mendedak membentak dan berkelebat menghantam ketua Pulau Api itu.

"Kau keji dan tak berjantung, lepaskan Bhong Tek Hosiang!"

Thian-te It-hiap berseru mencegah. Perbuatan gadis ini tak diduga sama sekali akan tetapi ia telah menerjang ke depan. Tan-pangcu terkejut tapi secepat itu pisaunya berkelebat, leher Bhong Tek Hosiang digorok mentah-mentah. Dan ketika hwesio itu menjerit dan roboh dengan kepala putus maka hampir berbareng seratus limapuluh yang lain mendapat aba-aba dan... srat-srat, pisau atau golok di tangan mereka merobek leher para tawanan. Keji!

Akan tetapi Thian-te It-hiap tiba-tiba mengeluarkan pekik dahsyat. Pekik ini begitu menggetarkan mengguncang Kepulauan Pulau Api. Khikang atau tenaga sakti yang menyertai pekik itu dahsyat bukan main. Tan-pangcu dan anak muridnya terjengkang sementara Thio-siocia sendiri terpeleset oleh getaran suara itu. Lalu ketika kakek itu berkelebat dan menyambar ke depan maka tangannya menghantam ketua Pulau Api itu.

"Desss!" Sesosok bayangan meloncat dan tertawa-tawa. Pukulan ini diterima bayangan itu dan Thian-te It-hiap terdorong. San Tek, si gila itu tahu-tahu muncul menyelamatkan ketua Pulau Api. Hampir dapat dipastikan laki-laki itu pasti roboh disambar kelima jari Thian-te It-hiap, jari yang telah terisi tenaga sakti sekuat gunung, dingin membeku dan hanya si gila itu yang mampu menandingi. Pemuda itu terhuyung pula. Lalu ketika Tan-pangcu bergulingan meloncat bangun dan pucat serta ngeri si gila menerjang Thian-te hiap terkekeh-kekeh.

"Heh-heh, kau menipu aku. Mana Rajawali Merah itu, kakek busuk. Kau membuatku terbirit-birit tapi sekarang aku datang lagi. Ayo kita bertanding dan pekik suaramu tadi membuat aku kaget!"

Thian-te It-hiap terbelalak. la mengelak dan meloncat maju mundur diterjang si gila ini. Bukan maksudnya bertempur dengan orang lain, yang dikehendaki adalah ketua Pulau Api itu. Namun karena pengaruh suaranya tadi memang amat dahsyat dan totokan para tawanan terbuka otomatis, tergetar dan kaget oleh khikangnya yang mengguncangkan pulau maka Kiam Kit Cinjin dan Kiam Ceng Cinjin yang merupakan orang pertama yang sadar dan meloncat bangun sudah disusul oleh yang lain-lain dan anak murid atau pembantu mereka.

Bukan hanya disini akan tetapi dua wakil ketua sam-pangcu dan ji-pangcu juga bebas. Mereka tadi diserahkan kepada dua gadis Lembah Es itu namun ketika Thio-siocia menyambar ke depan maka ji-pangcu terlepas. Laki-laki ini menyerang Wan-siocia yang membawa adiknya. Dan ketika gadis itu mengelak dan sang adik disambar maka bebaslah keduanya menerjang gadis itu.

"Dess!!" Wan-siocia menangkis dan bergulingan. Di sana encinya menyerang Tan pangcu akan tetapi ketua Pulau Api itu masih pucat oleh pekik suara Thian-te It-hiap. Pekik itu seperti suara seribu gajah. Pohon di sekeliling mereka tumbang dan siapapun ngeri oleh kedahsyatan suara khikang ini. Baru kali itu tampak kemarahan Thian-te It-hiap yang luar biasa. 

Akan tetapi ketika ia meloncat bangun dan cepat menyambar pedangnya, mengelak dan menangkis dua pimpinan ini maka Kiam Kit Cinjin dan ketua-ketua persilatan sudah menerjang orang-orang Pulau Api itu terbakar oleh kekejaman Tan-pangcu menggorok leher Bhong Tek Hosiang. Siapapun marah besar oleh kekejian ini. Tubuh hwesio itu terpotong menjadi dua, kepalanya menggelinding tak jauh dari lehernya bersimbah darah. 

Matanya melotot. Dan karena untuk kesekian kalinya orang-orang kang-ouw ini melihat keganasan penghuni Pulau Api maka semangat mereka terbakar oleh kobaran darah yang mendidih, apalagi tiga puluh murid-murid atau wakil mereka juga mengalami nasib yang sama digorok orang-orang Pulau Api itu, tewas dengan luka mengerikan sementar mereka selamat oleh pekik dahsyat Thian-te It-hiap tadi. Entahlah bagaimana nasib mereka kalau Thian-te it-hiap tak melakukan itu.

Maka ketika mereka menerjang dan kemarahan serta kebencian menjadi satu, nafsu membunuh begitu gila maka murid-murid Pulau Api menjadi gentar meskipun jumlahnya dua kali lipat. Mereka terdesak dan roboh oleh babatan pedang ataupun golok di tangan orang-orang yang marah ini, terutama ketua Kun-lun dan Hoa-san serta Khong-tong yang sudah memandikan pedangnya dengan darah segar. 

Tak ada ampun bagi tiga ketua yang gusar ini. Dan ketika di sana ketua Bu-tong menggerakkan toyanya menghantam murid-murid Pulau Api maka siapa yang tertimpa kontan pecah kepalanya, disusul oleh ketua Siau-hun-pai yang bersenjatakan hud-tim (kebutan bulu).

Tak kalah ganas dengan rekan-rekannya ketua Siau-hun-pai inipun menerjang kalap. la berkelebatan dan setiap ujung hud-tim mengebut atau menotok maka robohlah seorang murid Pulau Api. Ujung kebutan itu dapat menjadi lemas atau keras sesuai kehendaknya. Dan ketika amukan ini bena-benar menggetarkan penghuni Pulau Api maka Tan-pangcu akhirnya pulih dan membentak Thio-siocia itu. Thian-te It-hiap bertanding amat cepat dengan si gila San Tek....

Putri Es Jilid 32

Cerita Silat Mandarin Karya Batara

SUASANA menjadi gaduh. Mereka yang berpihak pada jago masing-masing tiba-tiba bersorak dan saling memberi aba-aba. Bhong Tek Hosiang dan kawan-kawan tegang, mereka berdiri dan mengepal tinju dengan mata terbelalak. Urat di wajah menonjol besar. Namun ketika Thian-te It-hiap membentak menarik tongkat tiba-tiba dua ketua Pulau Api itu terbawa.

"Heii...!"

"Awas...!"

Dua ketua terkejut. Dalam saat girang merasakan kemenangan mendadak mereka tertarik tenaga dahsyat ke arah kakek itu. Bukan hanya sekedar tenaga dahsyat melainkan juga hawa dingin menerjang tongkat. Benda yang semula merah marong terbakar tenaga panas mendadak redup diserang hawa dingin. Itulah tenaga yang keluar dari telunjuk dan jari tengah Thian-te It-hiap, uap beku yang menghancurkan hawa panas di mana tongkat tiba-tiba menjadi dingin. Begitu dingin hingga telapak mereka menjadi kaku.

Dan ketika mereka terkejut melihat ini maka saat itulah lawan menarik dan mereka terbawa ke depan! Dua ketua Pulau Api ini sudah mencoba mempertahankan diri akan tetapi gagal. Telapak mereka yang dingin mencengkeram tongkat bisa mati syarafnya kalau diteruskan, apa boleh buat keduanya berseru keras melepaskan tongkat. Dan ketika keduanya terhuyung dan pucat membelalakkan mata maka Bhong Tek Hosiang dan kawan-kawan bertepıuk riuh. Thian-te It-hiap menang!

"Ji-pangcu kalah, Thian-te lt-hiap unggul!"

"Benar, Thian-te It-hiap unggul. Pangcu kalah!"

Tertegunlah orang-orang yang menjagokan Pulau Api. Mereka kecewa kenapa dua ketua itu melepaskan tongkat. Mereka tak tahu betapa urat dan syaraf dua ketua itu mati kedinginan beberapa detik. Kalau ini masih diteruskan bukan tidak mungkin kedua lengan dua tokoh itu beku, salah-salah mereka menjadi manusia es dan jantung berhenti berdetik! Maka ketika itulah cara menyelamatkan diri namun pihak suporter tak mau tahu, mereka kecewa terhadap jagoan mereka dan ada beberapa di antaranya mengumpat dan mencaci-maki!

Merahlah wajah dua orang ini. Dalam adu tenaga tadi maklumlah mereka bahwa lawan benar-benar hebat. Thian-te lt hiap bukan nama kosong. Tapi karena mereka masih penasaran dan pertandingan tadi bersifat uji-coba, sekarangiah harus bertanding sungguh-sungguh maka ji-pang cu meloloskan rantai di lehernya dan benda itu menegang ketika ji-pangcu membentak dan meluruskan benda bagai tombak pendek.

"Thian-te lt-hiap, kami belum kalah. Sekarang kami maju berdua dan keluarkan ilmu silatmu!"

"Benar, dan aku juga akan mencoba-coba ilmumu, Thian-te It-hiap. Keluarkan ilmu pedangmu Giam-lo Kiam-sut dan hadapilah ilmu silat kami dari Pulau Api!" Sam pangcu bergerak dan dengan cerdik laki-laki ini minta agar tuan rumah mengeluarkan warisan Hu Beng Kui. Dengan sinkang yang amat dingin dan mampu menghancurkan Giam-lui-kang tokoh Pulau Api ini menjadi ngeri dan gentar. ltulah sebabnya dia minta agar lawan mengeluarkan silat pedangnya, mainkan warisan Hu Beng Kui dan mungkin dengan ini mereka mencapai kemenangan.

Dan ketika kakek itu menghindar dan maju mundur dengan cepat maka mereka sudah menyerang dengan amat hebatnya dan sekaligus dua ketua Pulau Api mainkan silat sakti dari Jit-cap-ji-poh-kun itu, ilmu langkah ciptaan Hwe-sin (Malaikat Api). Bertepuk-riuhlah pendukung Pulau Api. Begitu dua ketua maju dengan cepat mendesak Thian-te lt-hiap, membuat kakek itu sibuk mengelak sana-sini maka mereka bersorak. Timbullah harapan kali ini jagoan menang. Dan karena Thian-te It-hiap tampak sibuk mengelak sana-sini dan tongkatnya digempur dari segala penjuru maka kakek itu tampaknya kewalahan dan Bhong Tek Hosiang serta kawan-kawan menjadi khawatir.

"Thian-te It-hiap, pergunakan pedangmu!"

"Benar, mainkan Giam-lo Kiam-sut warisan Hu-taihiap!"

Kakek ini mengangguk. Dikejar dan di cecar pukulan bertubi kakek itu masih mampu mengelak. Orang menjadi kagum menyaksikan langkah kaki dua ketua yang begitu cepat dan hebatnya. Kemanapun lawan mundur di situlah mereka tahu-tahu mengejar, dekat dan melepas pukulan akan tetapi kakek ini selalu menghindar. Entah kenapa dia tak menangkis, mungkin karena belum mendapatkan pedangnya itu. senjata yang tadi diberikan gadis Lembah Es dan kini kakek itu maju mundur menghindari sergapan lawan. Seperti bayangan saja kakek inipun mampu menghindar semua langkah-langkah sakti itu.

Namun ketika terdengar teriakan agar dia mempergunakan pedang, atau lebih tepat melayani lawan dengan ilmu ciptaan Hu Beng Kui maka kakek ini mengangguk dan rupanya untuk menyenangkan penonton iapun tiba-tiba melempar tongkat kepada gadis baju putih itu. "Nona, berikan pedangku, simpanlah tongkat ini!"

Gadis Lembah Es menangkap. la masih bersama Hoa-siocia dan saudaranya itu, menonton pertandingan dari pinggir dan anehnya berseri-seri. Wajahnya tak menunjukkan kecemasan seperti Bhong Tek Hosiang dan kawan-kawan, bahkan ia tertawa ketika melontarkan pedang kepada kakek itu. Dan ketika ia berseru agar kakek itu tak perlu membuang-buang waktu, cepat saja lawan-lawannya dirobohkan maka Thian-te It-hiap tersenyum dan mengangguk.

"Orang-orang sombong itu tak perlu diberi hati. Sikat saja dan robohkan mereka!"

"Tenanglah, bertanding dengan cepat merobohkan musuh tak enak bagi penonton, nona, tak ada hiburan kalau begitu. Biarkanlah aku main-main sejenak setelah itu merobohkan mereka!"

Membentaklah dua tokoh Pulau Api itu. Lawan telah mendapatkan pedangnya dan merekapun gencar melancarkan pukulan-pukulan cepat. Kaki yang bergeser maju mundur diiringi pukulan panas menyambar, kian lama kian dahsyat hingga lengan tokoh-tokoh itu merah seperti bara. Namun ketika si kakek mengibaskan pedangnya dan hawa dingin menyambar maka dua ketua itu terhuyung dan hawa panas buyar.

"Keluarkan Giam-lo Kiam-sutmu, robohkan kami!"

"Hm... tak usah bercuap-cuap. Kalian berdua tahan dulu kibasan pedangku, ji-pangcu, baru setelah itu kalian merasakan kelihaian Giam-lo Kiam-sut!"

Dua orang itu bergerak silih berganti. Ji-pangcu rupanya gentar berhadapan dengan kesiur dingin dan minta agar adiknya menyerang dari samping. la sendiri bergerak dari kanan akan tetapi karena Thian-te It-hiap selalu memutar tubuh maka pukulannyapun dipapak, membuat ia mundur dan di sana adiknya maju menampar. Namun karena kakek ini kembali memutar dan berdepan menghadapi musuhnya maka kibasan pedang membuat lawan menjauh dan begitulah dalam jurus-jurus permulaan ini Thian-te It-hiap bersifat menghalau. Dua ketua gemas.

Akhirnya sang suheng memberi aba-aba dan muncullah Hwe-ci (Jari Api) itu. Telunjuk menuding dan apipun menyambar. Thian-te It-hiap mengelak dan jari api menyambar belakang, meledak dan membuat tamu terkejut karena percikan lidah api mengenai mereka pula. Namun ketika kakek itu berseru dan menyilangkan pedangnya dua kali di atas perut maka Hwe-ci terpental dan apinya membalik menyambar dua laki-laki itu sendiri.

"Crit-plak!" Sang ketua terhuyung dan menangkis dengan marah. Mereka menerjang lagi dan tangan kiri melepas Giam-lui-ciang,tangan kanan tetap dengan Hwe-ci namun gerakan pedang menghalau semua itu. Dan ketika keduanya menjadi marah dan kaget serta penasaran maka dua ketua ini menyimpan Hwe-ci mereka untuk sepenuhnya melakukan pukulan-pukulan Petir Neraka.

"Bunuh kakek ini, robohkan dia...!"

Thian-te It-hiap tertawa pendek. Lawan yang menjadi kalap sudah melancarkan pukulan nekat. Dua pasang tangan menyambar dari muka dan belakang melepas pukulan api. Ledakan disusul kepulan uap merah, panggung berderak dan satu di antara empat tiangnya roboh. Akan tetapi ketika kakek itu berseru keras berkelebat ke depan tiba-tiba tubuhnya lenyap ditelan gulungan sinar pedang yang maju ke depan, dahsyat bagai pusaran air bah.

"Sing-bret-plak!" Sam-pangcu berteriak dan terpelanting jatuh. la yang menerjang ke depan tiba-tiba bertemu gundukan cahaya putih, kuat berbahaya dan menerjang pukulannya hingga membuat ia terkejut. Dan ketika dari gundukan itu mencuat sinar panjang membelah kepalanya, ia kaget bukan main maka ia melempar tubuh bergulingan akan tetapi kalah cepat dan baju pundakpun robek, dikejar dan menampar tapi lengan bajunya malah terbabat.

Dan ketika ia keluar panggung saking gugup dan pucatnya maka sang suheng pun tak jauh berbeda karena tokoh nomor dua dari Pulau Api itu menjerit, rantai hitamnya bertemu gundukan pedang dan putus menjadi dua, tidak berhenti di sini karena sinar panjang menuju kepalanya. Itulah giam-lo Kiam-sut yang amat ganas dan kini dikeluarkan Thian-te It-hiap untuk memenuhi keinginan lawan. Dan ketika ji-pangcu terpaksa melempar tubuh bergulingan menjauhkan diri maka ia terlempar ke tempat kosong dan jatuh di luar panggung lui-tai.

Riuhlah tepuk tangan Bhong Tek Ho-siang dan kawan-kawan. Kiam Kit Cinjin dan Kiam Ceng Cinjin yang sama-sama ahli pedang dari Khong-tong dan Hoa-san-pai membelalakkan mata lebar-lebar. Sekaranglah mereka melihat Thian-te It-hiap benar-benar mengeluarkan segenap kepandaian bermain pedangnya. Sekali pedang itu lenyap membungkus tubuh maka selanjutnya pedang berobah menjadi gundukan sinar maut. Hal ini mengingatkan kepada Hu Beng Kui namun Thian-te lt-hiap ini terasa lebih hebat lagi.

Tokoh itu lenyap di balik gulungan sinar pedangnya menerjang dengan cara berpusing dan memutar, maju bagai gulungan air bah saja sehingga siapa pun tak mampu menahan. Mereka sendiri sebagai ahli-ahli pedang merasa ngeri dan pucat. Siapa pun tak bakal mampu menahan majunya gulungan sinar pedang itu, bahkan tidak juga tokoh-tokoh Pulau Api itu. Maka ketika mereka menjadi kagum dan tak sadar bertepuk tangan maka pekik gegap-gempita mengiringi pujian serta seruan di sana-sini.

Dua tokoh Pulau Api itu meloncat bangun. Di sana JI-pangcu terbelalak dengan muka pucat, rantai hitamnya yang tinggal separoh dipandang seakan tak percaya. Sementara sutenya, sam-pangcu Pulau Api lebih lagi. Lengan baju dan baju pundak yang terbabat membuat semangatnya terbang melayang. 

Kalau ia tidak cepat melempar tubuh bukan tidak mungkin nyawanya yang terbang. Demikian ganas dan dahsyatnya gulungan sinar pedang itu. Namun karena ada sesuatu yang jauh lebih mengerikan daripada itu, yakni sesuatu yang tidak dilihat dan dirasa orang lain ketika di balik gulungan sinar pedang menyambar hawa dingin membekukan tulang maka mereka teringat sesuatu dan ji-pangcu berbisik kepada sutenya.

"Ping-im-kang (Pukulan Inti Es)!"

Sang sute mengangguk. Memang inilah yang dirasa mereka dan inilah yang membuat gentar. Mereka teringat seseorang dan memandang kakek di atas panggung itu dengan mata melotot. Thian-te It-hiap sudah berdiri lagi di panggung lui-tai sementara pedangnya lenyap entah ke mana. Kakek ini tersenyum-senyum memandang mereka, dingin. Dan ketika tiba-tiba dua orang itu membalik dan ji-pangcu berteriak kecewa sekonyong-konyong ia menimpukkan sisa senjatanya dan berkelebat meninggalkan pertempuran.

"Thian-te It-hiap, kau mengingatkan kami akan seseorang!"

Rantai hitam menyambar dengan amat kuatnya. Sang ji-pangcu mengerahkan tenaganya hingga rantai itu berkobar, tidak lagi hitam melainkan merah. Di tangan ketua Pulau Api ini benda itu telah berobah menjadi bara besi, menyambar dengan kecepatan luar biasa dan ketika melayang di depan hidung Kiam Kit Cinjin. Ujung hidung mengeluarkan suara 'ces' ketua Khong-tong ini terbakar. Dan ketika tosu ini menjerit membuang kepala maka benda ini terus meluncur dan menyambar Thian-te It-hiap.

Akan tetapi kakek di atas panggung itu tak mengelak. la juga tak mencabut pedangnya ataupun menangkis, justeru benda ini ditangkap dan diterima tangan kanannya. Dan ketika orang terbelalak melihat benda itu masih menyala di tangan tuan rumah, digerakkan dan tiba-tiba membalik menyambar pemiliknya maka terdengar suara orang jatuh dan jeritan ketika tengkuk ji-pangcu tersambit telak. Leher belakang tokoh Pulau Api itu luka terbakar, sejenak rantai membelit dan membuat ia mendelik. Besi panas itu melepuhkan kulitnya. Namun ketika ia menarik dan membuang benda itu maka meloncatlah ia dan lari menghilang di kegelapan.

Gemparlah semua tamu undangan. sekarang mereka melihat kelihaian Thian-te It-hiap ini, siapapun tak perlu ragu. Dan ketika Bhong Tek Hosiang dan Kiam Kit Cinjin serta Kiam Ceng dan ketua-ketua Kun-lun dan Bu-tong serta Siau-hun naik ke atas panggung, menjura dan memberi hormat maka serentak mereka berseru bahwa Thian-te It-hiap mereka akui sebagai bengcu.

"Kami menyerah tanpa bertanding. Kami mengakui diri kami yang bukan apa-apa. Kami setuju kau menjadi bengcu, Thian-te It-hiap. Kami sedia menjadi pembantumu dan biarlah hari ini kau resmi memimpin dunia persilatan!"

Bersoraklah tamu yang lain sementara pendukung Pulau Api menghilang satu persatu. Begitu melihat Bhong Tek Hosiang dan ketua-ketua lain mengangkat Thian-te It-hiap habislah harapan mereka memenuhi keinginan. Mana mungkin mendapatkan gadis-gadis Lembah Es kalau tokoh-tokoh Pulau Api dikalahkan Thian-te It-hiap. Maka ketika mereka ini menghilang meninggalkan tempat itu maka Bhong Tek Hosiang dan kawan-kawan tak habis kagumnya memuji tuan rumah.

Malam itu Thian-te It-hiap dikenal siapapun. la benar-benar menjadi tokoh yang dikagumi tapi kakek ini biasa-biasa saja. Tak ada kesan-kesan sombong atau tinggi hati, hal yang membuat para ketua partai semakin hormat dan menunduk. Dan ketika kakek itu berkata bahwa kedudukannya hanya tiga bulan saja, atau mungkin kurang maka melengaklah Bhong Tek Hosiang dan kawan-kawan mendengar kesungguhan kakek ini.

"Terima kasih kalau cuwi-enghiong mau mengangkatku sebagai bengcu. Tapi ingat, kedudukan ini hanya kupegang paling lama tiga bulan saja, setelah itu aku mengundurkan diri. Baiklah kukatakan di sini secara terus terang bahwa kedudukanku hanyalah kugunakan untuk meminjam kalian ke Pulau Api. Tak perlu kusangkal bahwa cuwi kukumpulkan untuk serbuan ke sana, dan karena cuwi sudah melihat betapa busuk dan curangnya orang-orang itu maka aku ingin menggerakkan cuwi menghancurkan mereka, sebelum mereka mendahului dan menjajah cuwi."

Mengangguk-angguklah semua orang. Kini mereka mengerti bahwa sesungguhnya Thian-te It-hiap adalah sosok seorang pendekar. Kalau ia hendak mengangkat diri sebagai bengcu bukanlah karena kesombongannya melainkan semata melihat bahaya di depan. Sekarang mereka tahu betapa hebatnya orang-orang Pulau Api itu. Kalau tak ada kakek ini terus terang saja mereka tak mungkin menandingi. Tak ada yang tahan menghadapi Giam-lui ciang itu. Betapa dahsyatnya mereka.

Dan karena semua sudah melihat keganasan orang-orang itu, juga kelicikan dan kecurangan mereka maka sadarlah mereka bahwa kalau tadi Thian-te It-hiap tak mengalahkan musuh tentu mereka sudah dibawah kekuasaan orang-orang Pulau Api dan betapa ngerinya kalau digerakkan dan dipergunakan untuk menyerang orang lain, Lembah Es misalnya!

"Hm, pinceng ingin bertanya," Bhong Tek Hosiang maju dan tiba-tiba berkata. "Siapa mereka dan Lembah Es itu, bengcu. Bolehkah kami mendengar barang sedikit."

Thian-te It-hiap tersenyum. Ia telah disebut bengcu (pemimpin) dan yang lain mengangguk. Kebetulan pula dua gadis cantik jelita ada di situ, mendampingi atau berdiri bersebelahan dengan cucu kakek ini, Hoa-siocia. Maka ketika kakek itu mengangguk dan memandang dua gadis ini segera dia menjawab singkat,

"Lembah Es adalah keturunan Dinasti Han, semuanya merupakan gadis-gadis gagah perkasa seperti yang cuwi lihat di situ. Sedang orang-orang Pulau Api adalah bekas keturunan pangeran pemberontak dari dinasti itu yang terbuang dan tinggal di Pulau Api. Mereka musuh bebuyutan, tapi orang-orang Pulau Api lebih banyak melakukan serbuan ke Lembah Es dibanding pihak Lembah Es sendiri."

"Hm, begitukah?" hwesio ini mengangguk-angguk. "Pantas jiwi siocia (nona berdua) ini begitu agung dan anggun, Thian-te lt-hiap, tak tahunya puteri keraton!"

"Kami hanya hamba sahaya," satu di antara dua gadis itu merendah. "Puteri kami barulah yang tepat, Bhong Tek-losuhu, kami bukan apa-apa."

"Ah..., tapi jiwi sudah mampu menandingi dua orang itu!"

"Tapi sumoiku terluka...!"

"Ia terluka karena kecurangan lawannya. Kalau sam-pangcu dari Pulau Api itu mau bertanding jujur maka tak mungkin sumoimu terluka, nona. Kalian tetap orang-orang yang hebat!"

"Terima kasih, tapi tetap lebih hebat Thian-te It-hiap...!"

"Ha-ha, kalau yang ini memang lain. Tapi betapapun kami mengakui di sini bahwa agaknya menghadapi jiwipun kami masih bukan tandingan!" lalu ketika Bhong Tek Hosiang tertawa disusul yang lain.

Maka Thian-te It-hiap diam-diam tersenyum dikerling dua gadis Lembah Es itu, pura-pura tak mendengar pujian dan akhirnya selesailah pibu di antara orang-orang gagah. Mereka yang merasa kecil tentu saja tak berani banyak tingkah. Thian-te It-hiap dan dua gadis Lembah Es ini sudah teramat lihai. Dan ketika malam itu Thian-te It-hiap mengadakan jamuan untuk para tamunya ini, secara khusus maka ditetapkanlah hari yang tepat untuk melakukan serbuan ke Pulau Api.

Bulan depan tanggal sepuluh ditetapkan sebagai hari penyerangan. Sekarang semua orang sudah mengetahui siapa Thian-te It-hiap ini, pendekar yang sebenarnya hendak menyelamatkan mereka dari ancaman bahaya Pulau Api. Tokoh-tokohnya sudah datang dan kebetulan mereka lihat.

Dan ketika malam itu semua ketua partai dijamu dengan penuh hormat, yang berniat jahat segera menyingkir dan menjauhkan diri maka hari yang ditetapkan untuk serbuan itu sudah menjadi kian dekat di mana para ketua itu hendak menyertakan murid-murid pilihan dan yang kurang berkepandaian tinggi agar tinggal saja di rumah.

Thian-te It-hiap masih bersikap tenang ketika keesokannya para tamu berpamitan. Bahkan balas menjura dan membungkuk dalam-dalam ketika Bhong Tek Hosiang dan kawan-kawan meninggalkan Ce-bu, sikap yang membuat tamu-tamunya tertegun dan heran. Seorang pemimpin tak perlu begitu hormat kepada orang yang di bawah. Hal ini malah membuat para ketua partai itu sungkan saja. Namun ketika sikap ini justeru menjadikan mereka menaruh hormat dan kagum tiada habis-habisnya maka pulangnya para tokoh-tokoh itu memberikan kenangan tersendiri yang selama hidup belum pernah mereka rasakan.

Dan begitu rumah Hu-taihiap ini sepi kembali maka tempat itu menjadi seperti sedia kala hanya sekarang bertambah dengan dua gadis Lembah Es itu yang tiba-tiba ingin menemani Thian-te It-hiap, hal yang membuat orang lain merasa heran dan tercengang, apalagi ketika Hoa-siocia juga membungkuk-bungkuk dan keliliatan sungkan menghadapi gadis-gadis lihai ini. Tamu yang dihormat lebih dari semestinya!

* * * * * * * *

Hari itu tanggal yang ditentukan tiba. Bulan sembilan tanggal sepuluh adalahharir mendebarkan bagi orang-orang kang-ouw di bawah pimpinan Thian-te It-hiap. Semakin mengenal kakek ini semakin kagum dan hormatlah semua orang. Tak ada kesombongan atau sikap tinggi hati sebagai pemimpin. Bahkan ketika semua bergerak dan meninggalkan Ce-bu kakek ini minta agar ketua-ketua partai mengawasi anak muridnya sendiri. Mereka bukanlah orang-orang jajahan, kakek itu hanya bengcu setelah penyerangan selesai di Pulau Api.

Di tempat itulah nanti kakek ini mengatur perintah, di sini masing-masing masih bebas dan boleh bergerak sendíri-sendiri. Dan ketika semua kata-kata itu semakin mengesankan para ketua persilatan maka Bhong Tek Hosiang dan kawan kawan mengatur anak buahnya sendiri sesuai keinginan. Ada seratus lima puluh lebih annak murid beserta ketuanya.

"Para Cuwi tak perlu menunggu aku, silakan saja atur sendiri. Nanti setelah di Pulau Api barulah aku memimpin secara resmi karena di sana tempat itu benar benar berbahaya bagi kita. Di sini kalian tak perlu sungkan dan berjalanlah seperti biasa, kita bukan pasukan."

Tokoh-tokoh persilatan mengangguk. Tadinya mereka bingung harus berbaris seperti apakah, berjalan di depan atau di belakang kakek itu. Tapi ketika Thian-te it-hiap memberi kebebasan dan mereka lega maka Bhong Tek Hosiang tersenyum, berbisik pada rekannya Kiam Kit Cinjin.

"Bengcu kita ini aneh, tak selayaknya pemimpin sebagaimana umumnya. la benar-benar rendah hati dan halus tutur katanya, Kiam Kit totiang, jarang kutemukan orang seperti ini yang begitu menghargai orang lain."

"Ya, dan pinto sendiri tak habis kagum. la benar-benar luar biasa, tapi siapakah sebenarnya dia ini dan apa hubungannya dengan mendiang Hu-taihiap!"

"Hm, mana kita tahu. Orang seperti ini misterius gerak-geriknya, totiang, tapi untunglah ia bukan orang jahat. Kalau ia jahat entah bagaimana dengan kita, kepandaiannya begitu tinggi."

Kiam Kit Cinjin mengangguk-angguk. Mereka berbicara bisik-bisik tapi Thian-te It-hiap di belakang mereka tersenyum simpul. Tak ada yang tahu bahwa pembicaraan ditangkap. Kakek itu beriringan dengan murid dan cucunya jauh di belakang, tak kurang dari sepuluh tombak. 

Dan ketika dua ketua ini terus berbisik-bisik sementara yang lain juga menyatakan kekagumannya maka dua gadis Lembah Es berkelebat di depan tak mau bersama rombongan yang sebagia besar lelaki itu. Mereka menunggu di pantai, sekalian melihat kalau ada sesuatu yang mencurigakan.

"Harap bengcu mengawasi mereka dan mudah-mudahan semua lancar sampai di Pulau Api!"

Thian-te It-hiap mengangguk. Kembali kebebasan ia perlihatkan di sini, hampir sebulan ini dua gadis itu juga memanggilnya bengcu. Hanya ketika beberapa diantara rombongan menjadi kecewa, adanya gadis-gadis itu merupakan hiburan tersendiri maka mereka yang muda-muda berbisik satu sama lain menyatakan kekecewaannya.

"Sayang, perjalanan kurang sedap kalau gadis-gedis Lembah Es itu tak di tengah kita. Ah, kenapa mereka tak mau bersama rombongan, Kwa-suheng. Bukankah dapat menyegarkan kita agar tak cepat lelah."

"Hm, aku juga kecewa, tapi jangan macam-macam. Kiam Ceng suhu sendiri menyatakan tak mampu menandingi dua gadis itu, jangan seperti punguk merindukan rembulan!"

"Aku tak sejauh itu. Tapi hadirnya mereka membawa kesegaran, suheng, entah kenapa rasanya lain. Betapapun mereka menonjol di sini!"

"Ada wanita-wanita pula di rombongan bengcu, bukankah merekapun menyegarkan. Sudahlah jangan kecewa berlarut-larut, Lauw-te, lihat Kiam Ceng suhu memandang kita!"

Dua anak murid Hoa-san itu menjauhkan diri begitu sang suhu melihat mereka bisik-bisik. Dalam perjalanan ini kasak-kusuk tentang wanita memang bisa saja terjadi, apalagi kalau yang dibicarakan adalah gadis-gadis secantik Lembah Es itu. Siapa tak merasa jatuh hati. Akan tetapi karena mereka murid-murid dari sebuah partai yang baik yang tentu saja harus menjaga tindak-tanduk dan pembicaraan mereka maka sampai di sini dua murid Hoa-san itu tak berani meneruskan.

Sebenarnya bukan hanya mereka saja yang bisik-bisik, murid-murid Khong-tong dan bahkan Bu-tong serta Sho-tong berbicara tentang mereka. Mereka para hwesio muda itu juga kecewa kenapa dua gadis Lembah Es itu tak menemani mereka, bukan apa-apa tapi paling tidak bisa untuk penyegaran batin. Wanita cantik di mana-mana selalu memberi keindahan dan keharuman.

Maka ketika mereka juga bisik-bisik akan tetapi segera diam begitu dipandang sang guru maka rombongan ini berjalan terus untuk akhirnya berhenti di pantai timur di mana Thian-te It-hiap ternyata sudah menyiapkan beberapa perahu lewat gadis-gadis Lembah Es itu. Semua rombongan tertegun, gadis yang dibicarakan sudah berada di satu di antara belasan perahu dengan amat gagah dan cantiknya.

"Cuwi dapat memilih sendiri perahu mana yang dikehendaki, semua hampir sama. Hanya hati-hati kalau sudah mendekati Pulau Api karena di sana lautnya panas, mendidih!"

Semua berlompatan. Tentu saja yang muda-muda memilih perahu di dekat perahu dua gadis ini. Mata mereka bersinar dan berseri-seri mendampingi si cantik. Meskipun tidak di satu perahu akan tetapi cukuplah puas asal dekat si cantik, ini pembawaan lelaki. Dan ketika berturut-turut ketua-ketua persilatan juga berlompatan di perahu mereka, dayung dan persediaan air minum sudah berada di sini maka Thian-te It-hiap dan rombongannya berada di depan. Entah kapan bergeraknya kakek itu tahu-tahu ia telah di atas perahunya tanpa sedikitpun perahu itu bergoyang.

"Sekali lagi cuwi enghiong harap berhati-hati. Kalau kita melakukan perjalanan çepat maka tiga hari akan sampai. Tapi kalau ada yang tidak kuat dan capai maka kita dapat beristirahnt di pulau kosong di tengah samudera."

"Kami tak akan lelah. Kami dapat bergantian mendayung, bengcu. Silakan berangkat dan kami di belakang."

"Benar, tak perlu beristirahat. Kalau capai duduk saja di perahu, bengcu, kami orang-orang terlatih yang sudah biasa melakukan perjalanan jauh!"

"Baiklah," kakek itu tersenyum. "Kau sudah di sini dulu, nona. Silakan di depan kami nomor dua. Berangkat!"

Bagai dihentak sepasang tangan raksasa tiba-tiba dua gadis Lembah Es di atas perahu itu menggerakkan dayung mereka. Hanya mereka inilah satu-satunya perahu berisi dua orang, yang lain belasan dan ada yang hampir dua puluh. Dan ketika tiba-tiba perahu melejit dan terbang keatas, terkejutlah mereka yang muda-muda maka Thio-siocia dan Wan-siocia tertawa. Tawa mereka merdu dan empuk.

"Baiklah, kau menghendaki kami duluan. Maaf, bengcu, siapa yang ingin menempel boleh mendekat!"

Mereka yang muda-muda menahan napas. Cepat seperti siluman saja dua gadis di atas perahu itu menuju ke tengah samudera, menerjang ombak dan lenyap dan sedetik mereka merasa berdesir. Namun ketika ombak melandai membebaskan pandang segera tampaklah dua gadis itu jauh di depan. Sebentar saja sudah di tengah laut!

"Cuwi-enghiong, mari berangkat. Jangan mendelong saja!"

Semua orang sadar. Bhong Tek Hosiang dan ketua-ketua lain memukulkan dayung. Bagai dihentak pula perahu mereka meloncat ke depan, melewati rombongan yang muda-muda dan sebentar kemudian sudah membelah lautan. Lalu ketika yang muda-muda tersentak dan merasa ketinggalan tiba-tiba merekapun berseru keras memukulkan dayung.

"Kejar, jangan kalah dengan wanita. Dekati mereka!"

Susul-menyusul terjadi dengan cepat. Kekaguman dan kegembiraan tiba-tiba pecah apa yang ditunjukkan gadis-gadis Lembah Es tadi menggatalkan hati. Masa mereka harus kalah. Namun ketika perahu di depan itu tetap meluncur bagai siluman, menghilang dan muncul lagi di antara gulungan ombak maka Bhong Tek Hosiang dan rekan-rekannya tak mampu mengejar, dan saat itulah perahu Thian-te It-hiap lewat, didayung dengan perlahan saja, tidak ngotot. Cuwi-enghiong, mari kubantu kalau terlalu lamban. Hati-hati!"

Bhong Tek dan kawan-kawannya terkejut. Thian-te It-hiap memukulkan dayung akan tetapi sebuah tenaga raksasa melesat. Dari bawah, terdoronglah pantat perahu begitu kuatnya, meloncat dan terbang menyusul dua gadis itu. Lalu ketika berturut-turut perahu yang lain dipukul dan meloncat ke depan maka kakek ini telah mendorong belasan perahu mengejar gadis-gadis Lembah Es itu.

"Haii, awas. Perahu kita meloncat!"

"Benar, eh... inipun terbang. Heii, hati-hati, Lauw-sute, berpegangan yang erat!" Ributlah suasana oleh kaget dan kagum.

Semula mereka ngeri dan pucat ketika perahu meloncat seperti ikan lumba-lumba. Kadang-kadang bahkan meluncur tanpa kendali dan jatuh dengan keras. Kalau tidak berpegangan tentu terpelanting. Namun ketika mereka tertawa-tawa dan tampaklah gadis-gadis di depan itu, Thian te It-hiap sengaja membangkitkan Semangat dan kegembiraan rombongannya.

Maka Thio-siocia dan sumoinya terbelalak heran. Tapi mereka segera berseru keras. Maklum bahwa Thian-te It-hiap membantu orang-orang itu gadis-gadis inipun tak mau kalah. Mereka memukulkan dayungnya lagi lebih cepat, air memuncrat dan perahupun melesat ke depan. Dan karena Thian-te It-hiap harus mendorong belasan perahu akhirnya kakek ini berseru keras berada di bagian paling belakang.

"Harap kalian berjajar, berpegangan erat-erat. Awas kupukul berbareng dan hati-hati!"

Hebat bukan main apa yang dilakukan kakek ini, Ia memukul begitu kuatnya hingga serentak belasan perahu meloncat ke atas. Penumpangnya terpekik tapi gembira ketika perahu jatuh dan meluncur cepat. Dan ketika dengan cara begini kakek itu menggiring rombongannya, persis seorang penggembala menggiring dombanya maka Bhong Tek Hosiang tertawa bergelak.

"Thian-te It-hiap, kau benar-benar luar biasa. Aih, baru kali ini pinceng menyaksikan kepandaian demikian mentakjubkan. Biarlah pinceng dan kawan-kawan tak perlu dibantu lagi!"

"Atau suruh mereka jangan terlalu jauh meninggalkan kami. Kasihan tenagamu bengcu, kami akan mendayung sendiri!"

Kakek ini tersenyum, tak menjawab. la tetap memukul-mukulkan dayungnya dan semua bergerak bagai terbang. Siapapun kagum oleh kehebatan kakek ini. Dan ketika dua gadis di depan tampaknya lelah beradu cepat akhirnya mereka mengurangi tenaga dan di sinilah kakek itu menghentikan bantuannya.

"Bengcu curang, membantu yang lain. Kami tak akan beradu denganmu karena mana mungkin menang!"

"Ha-ha, dan kami tak mungkin menandingimu pula. Ah, ilmu kepandaian kalian luar biasa sekali, jiwi-siocia, tanpa bengcu kami tak mampu mengejar!"

"Karena itu jangan cepat-cepat, kami takut kehilangan!"

Semua tertawa. Sekejap saja mereka sudah berada di tengah samudera luas, daratan hanya tampak seleret kecil hitam. Dan ketika di sini rombongan bergerak dengan wajar, gadis Lembah Es itu tetap di depan maka Thian-te It-hiap berada di belakang menjaga atau melindungi perahu-perahu lain. Sikapnya seperti seorang bapak terhadap anak, hal yang lagi-lagi membuat ketua persilatan merasa hormat.

Tanpa kenal lelah, juga terbakar oleh sikap gadis Lembah Es yang mendayung tanpa henti semangat orang-orang ini begitu hebatnya. Dua kali mereka ditanya apakah hendak beristirahat, ada pulau kosong yang mereka lewati. Namun ketika semua menggeleng dan dua gadis itu tersenyum maka perjalanan dilanjutkan bahkan juga malam hari. Lampu kapal mereka hidupkan dan untuk ini semua perahu meluncur berhimpitan. Hal ini untuk mencegah supaya satu sama lain tak berpencar. 

Lalu ketika matahari terbit di ufuk timur dan cahaya fajar membangkitkan semangat baru akhirnya pada hari ketiga menjelang matahari terbenam tibalah mereka di Kepulauan. Pulau Api. Di sini rombongan berdebar tegang. Thian-te It-hiap mengajak mereka ke pulau kosong dan beristirahat. Belasan perahu saling merapat dan penumpangnya berlompatan. Tapi ketika kaki menyentuh laut hangat maka mereka heran.

"Ih, airnya tidak dingin!"

"Betul, suam-suam kuku!"

"Hm, cuwi sudah berada di pinggiran Pulau Api. Nanti kalau di sana kalian akan merasakan panasnya air laut, cuwi-enghiong. Kaki bisa terbakar oleh air yang mendidih!"

Thian-te It-hiap memberi tahu. Kakek ini sudah berada di atas pulau dan mengajak semua naik. Gembira rasanya setelah berhari-hari di lautan. Dan ketika masing-masing membuka makanan dan menyiapkan api unggun mendadak mereka tertegun karena bersamaan tenggelamnya matahari maka muncullah ribuan cahaya obor di pusat kepulauan itu. Pohon-pohon api yang sesungguhnya mulai "hidup" begitu kegelapan datang.

"Eh, mereka memasang obor!"

"Rupanya sudah tahu kedatangan kita!"

"Bukan, kakek ini menjawab. "Itu adalah pohon-pohon Api yang hidup ketika malam tiba, cuwi-enghiong. Ribuan pohon itu memang ada di sana dan itulah sebabnya dinamakan Pulau Api. Itu bukan obor, hanya pohon Api"

Semua takjub. Baru sekarang rasanya semua orang menyaksikan keindahan seperti itu. Obor yang mereka sangka ternyata adalah barisan pohon Api, pantas menjulang begitu tinggi dan seakan obor raksasa. Maka ketika semua menjadi kagum dan mendecak penuh pujian sejenak mereka lupa bahwa di pulau itulah musuh-musuh mereka yang amat lihai berada.

Malam itu Thian-te It-hiap mengumpulkan semua rombongannya. di samping melepas lelah juga mengatur bahwa besok rombongan dipecah. Thian-te It-hiap dan anak muridnya berada di inti depan, termasuk dua gadis perkasa Lembah Es itu. Dan karena orang-orang Pulau Api adalah manusia-manusia licik dan curang yang harus diwaspadai maka kakek ini berkata bahwa rombongan yang lain mengepung Pulau Api dari samping dan belakang.

"Jumlah mereka sekitar tiga ratusan, kita hanya seratus lima puluh lebih sedikit. Akan tetapi karena yang paling berbahaya adalah tiga tokohnya dan murid-murid utama, inilah yang hendak kuhadapi bersama jiwi-siocia dari Lembah Es ini maka tugas cuwi adalah menghadapi murid-murid Pulau Api yang tidak terlalu tinggi kepandaiannya. Tangkap dan robohkan mereka, jangan dibunuh, kecuali kalau melawan dan melakukan kecurangan. Aku pribadi hendak menghancurkan sumber kekuatan mereka dan mengenyahkan tokoh-tokohnya, yang lain hanya anak murid dan karena itu tak perlu kita bersikap kejam. Kalau mereka melarikan diri dan inilah tugas cuwi menangkap mereka maka biarkan mereka hidup kalau tidak melawan. Selebihnya terserah cuwi dan inilah peta pulau itu yang harap cuwi perhatikan baik-baik."

Kakek itu mencorat-coret tanah menggambar peta Pulau Api dan sambil menunjuk sana-sini ia memberi penerangan kepada ketua-ketua Bu-tong dan Hoa-San, juga Kun-lun dan lainnya. Dan ketika mereka diminta untuk pagi-pagi sekali meluncur lebih dulu, mengepung kiri kanan dan belakang pulau maka kakek ini mengakhiri bahwa ia datang setelah matahari terbit.

"Sebaiknya sewaktu gelap cuwi sekalian sudah mendarat di kiri kanan dan belakang pulau itu. Ada banyak batu-batu karang di situ, namun hati-hati, semuanya amat panas. Bagi mereka yang tak tahan ini sebaiknya mempergunakan sarung tangan untuk melindungi diri, dan jangan sentuh apapun dengan kulit telanjang."

Semua mengangguk-angguk. Terbayang wajah ngeri bagi yang merasa tak mampu menghadapi itu. Namun karena semua dipimpin ketuanya dan inilah tugas Bhong Tek Hosiang dan rekan-rekannya, Kiam Kit Cinjin mengangguk-angguk maka tosu Khong-tong ini menarik napas dalam.

"Sungguh mentakjubkan Pulau Api ini, bukan hanya penghuninya saja yang melatih Yang-kang tetapi buminya sendiri sudah memiliki tenaga dahsyat itu. Aih,... pinto baru kali ini mendengar dan melihat ini!"

"Benar, pinceng juga kagum. Alangkah hebatnya kalau semua itu dipergunakan untuk kebaikan, Kiam Kit totiang. Tentu tenaga sehebat itu bakal banyak berguna bagi manusia lain. Akan tetapi mereka justeru jahat, keras dan sewenang-wenang serta curang!"

"Inilah, ini sudah pembawaan orang-orang Pulau Api. Sejek mula mereka keturunan orang-orang jahat, Bhong Tek losuhu, keturunan pemberontak yang tamak dan ganas. Mereka memang jahat sejak nenek moyangnya!" satu di antara dua gadis Lembah Es berkata penuh gemas.

Ini membuat Bhong Tek Hosiang dan kawan mengangguk-angguk dan kejadian di Ce-bu cukup membuktikan itu. Untunglah mereka tak sampai jatuh ke tangan orang-orang itu, kalau tidak entahlah apa yang terjadi. Dan karena ini adalah sumber penyakit yang amat berbahaya maka Bhong Tek dan kawan-kawannya mengangguk maklum.

"Maafkan...!" ketua Kun-lun tiba-tiba bicara sejak tadi hanya diam mendengarkan saja. "Kalau kami sudah mengetahui tempat tinggal orang-orang Pulau Api bolehkah suatu saat kami melihat tempat tinggal nona- nona ini. Di manakah Lembah Es itu dan bolehkah kami bertandang."

"Benar,..." yang lain seakan diingatkan. "Kalau kami berhasil membasmi orang-orang ini bolehkah kami bertamu ke tempatmu, nona. Bukankah sedikit banyak kami membantumu mengenyahkan orang-orang yang menjadi musuh bebuyutan ini!"

"Hm, dua gadis itu terkejut, tiba-tiba melirik Thian-te It-hiap. "Kami tak dapat menjawabnya sekarang, totiang. Ini harus disetujui majikan kami. Terus terang saja seribu tahun ini Lembah Es tak boleh didatangi orang luar!"

"Tapi orang-orang Pulau Api itu menyerbu tempatmu!"

"Benar, hanya mereka. Tapi itupun harus dibayar mahal karena mayat mereka harus ditinggalkan di sana!"

Bhong Tek dan kawan-kawan bergidik. Dari nada suara itu mereka tahu betapa seramnya ini. Secara tidak langsung gadis itu memberitahukan ancaman bagi orang luar yang ingin ke sana. Mati! Maka tak menyinggung lagi tentang ini mereka menumpukan pandangan pada Thian-te It-hiap lagi.

"Apakah bengcu ingin memesan sesuatu lagi, kami siap mendengarkan."

"Untuk sementara cukup, lo-suhu, sebelum matahari terbit kalian sudah harus berada di tempat masing-masing. Aku datang setelah terang tanah."

Akhirnya mereka beristirahat. Setelah berada di tempat itu dan dapat tidur bertilamkan tanah tiba-tiba penat tubuhpun terasa. satu persatu rombongan orang-orang kang-ouw ini melemaskan tubuh mereka. Lalu ketika semua mengendorkan urat untuk bersiap di pagi harinya maka menjelang matahari terbit semua orang-orang kang-ouw itu telah meluncurkan perahu mereka menuju pulau yang penuh obor itu. Obor buatan karena sesungnya adalah ribuan pohon Api yang menyala sepanjang tahun!

Dan orang-orang kang-ouw ini benar-benar takjub, juga ngeri. Setelah mereka mendekati pulau maka air di sekeliling mereka mendidih. Suara membelebub membuat seorang anak murid mencoba mencelupkan jarinya ke dalam air. Tapi begitu ia berteriak dan menjerit kesakitan maka ujung jarinya itu sudah melepuh bagai direbus air mendidih!

Ini membuat rombongan berhati-hati. Perahu menjadi panas terbakar dan mereka cemas. Kalau saja bukan air mungkin lambung perahu sudah hangus berasap. Untunglah jarak ke pulau tujuan tidak jauh lagi, mereka meluncur dan mendayung cepat untuk akhirnya berlompatan di atas tanah merah. Di mana-mana terdapat semacam bara dan Bhong Tek serta kawan-kawannya ngeri. Pulau ini benar-benar pulau api, pohon dan bebatuan terbakar kemerah-merahan.

Namun karena mereka mempergunakan sepatu tebal dan kaki hangat terpanggang maka dengan sinkangnya orang-orang ini melindungi diri dari alam. Bayangan mereka merunduk dan lenyap menghilang di posisi masing-masing. Bhong Tek dan para ketua partai sudah berada di posnya sendir-sendiri, tidak berjauhan karena masing-masing siap saling bantu. 

Dan ketika matahari naik tinggi dan sinarnya yang kemerah-merahan membuat tepi langit terbakar, indah menawan maka saat itulah dari tengah laut meluncur sebuah perahu besar menuju pulau dengan sikap tenang namun penuh kewaspadaan.

Mula-mula perahu ini hanya merupakan titik kecil dilihat dari kejauhan, semakin lama semakin besar untuk akhirnya murid-murid Pulau Api melihatnya. Dan ketika mereka berloncatan dan meniup terompet kerang, nyaring melengking maka dari tengah pulau berkelebatan banyak bayangan dan terlihatlah dua di antara pemimpínnya yang dulu datang ke Ce-bu.

"Thian-te lt-hiap!"

Sam-pangcu dan ji-pangcu dikenal pula oleh penumpang perahu besar ini. Mereka, para anak murid melihat dua tokoh Pulau Api itu terbelalak di depan. Jarak dengan perahu masih dua ratus meter, pelayan atau murid-murid Thian-te It-hiap ini ngeri melihat air yang mendidih. Dan ketika mereka berdebar disambut orang-orang itu maka dari kiri kanan tiba-tiba menyebar belasan perahu meluncur ke laut, mengepung perahu mereka.

"Thian-te It-hiap, berani mati benar kau mengunjungi kami. Bagus, menyerahlah baik-baik atau anak murid kami menjungkalkan perahu kalian!"

Teriakan ji-pangcu disusul gerakan cepat belasan perahu orang-orang Pulau Api itu. Inilah ahli-ahli selam yang tiba-tiba membuang tubuhnya ke laut, tak perduli air mendidih dan para murid wanita tentu saja terpekik. Dan ketika perahu tiba-tiba berguncang dan serasa diangkat dari bawah maka tersentaklah mereka karena dengan amat kuat dan hebatnya limabelas orang telah menyundul perahu mereka.

"Ha-ha, lemparkan semua penumpangnya!"

Akan tetapi dua di antara sekian penumpang bergerak. Inilah Thio-siocia dan sumoinya yang tentu saja tak sudi dijungkir. Begitu melihat kepala bersundulan tiba-tiba keduanya menyambar dayung, menghantam atau memukul kepala dan tangan-tangan itu dan terdengarlah jerit susul bak-bik-buk. 

Lima belas orang roboh, perahu kembali jatuh ke bawah dan legalah murid-murid lain bahwa mereka selamat. Mereka ngeri kalau jatuh ke air yang mendidih itu, bagaimana nanti. Tapi ketika baru saja menarik napas lega tiba-tiba perahu terangkat lagi dan kali ini dua puluh lebih penyelam paling pandai mengangkat perahu mereka,

"Biarkan aku yang bekerja," Thian-te It-hiap berseru dan tiba-tiba kakek ini melompat ke tengah. Perahu sudah terangkat tinggi dan penumpangnya berteriak-teriak. Para murid wanita terpelanting sana-sini dengan pekik ketakutan, perahu benar-benar bisa terbalik. Tapi ketika kakek ini bergerak ke tengah terdengar teriakan kaget maka bagai diinjak seekor gajah perahu turun lagi menindih orang-orang itu.

"Heii...!"

"Awas...!"

Semua terbanting. Perahu demikian berat tak sanggup mereka angkat lagi. Kakek ini mengerahkan Jing-kin-kangnya (Tenaga Seribu Kati) hingga tak satupun kuat menyangga. Semua kepala bagai dibenamkan lagi dan lenyaplah orang-orang itu. Dan ketika kakek ini tersenyum memberi aba-aba maka Thio-siocia dan Wan-siocia menggerakkan dayung memukul perahu ke depan. Gerakan dua gadis ini amat kuatnya hingga perahu melejit ke depan. Tiga empat kali dayung sudah sampai di tepian.

Tapi ketika dua gadis itu gemas mendayung sekuatnya, perahu terangkat dan terbang ke daratan maka di sini perahu itu pecah dan penumpangnya berjungir balik menyelamatkan diri. Thian-te It-hiap tertawa.

"Braakkkk!" Pecahlah papan perahu berkeping-keping. Dua gadis itu sudah melayang turun sementara murid-murid wanita dan laki-laki pucat berjungkir balik. Diam-diam mereka ini nengumpat gadis-gadis Lembah Es itu. Bukan main garangnya, perahu langsung saja dijatuhkan di atas pulau. Namun ketika majikan mereka tertawa geli sementara Hoa-siocia berjungkir balik mencabut pedang maka dua pimpinan Pulau Api itu gentar, mundur. Dan saat itu berkelebatlah bayangan seorang tinggi besar membawa tongkat baja, menderu bagai angin topan.

"Sute, kiranya ini orang yang kalian sebutkan itu. Mundurlah dan biar ia berhadapan dengan aku!"

Laki-laki itu menyambar bagai elang perkasa dan tongkat di tangannya menghantam kepala Thian-te It-hiap. Menurut laporan kakek inilah yang amat ditakuti itu, mereka telah menunggu-nunggu namun baru sekarang rupanya datang. Maka ketika pria gagah itu menyambar tiba sementara tongkatnya menderu pula, langsung menghantam kepala kakek itu maka Thian-te It-hiap mengeluarkan dengus pendek dan iapun menangkis mengebutkan ujung lengan bajunya.

"Ini tentu Tan-pangcu yang tersohor itu. Bagus, selamat jumpa kembali, pang-cu, dan terima kasih untuk sambutanmu yang luar biasa... plak!" Tongkat bertemu lengan baju namun seketika tergubat, ditarik dan sang pangcu terbawa namun saat itulah tangan kiri ketua ini bergerak. Ia bukan lain ketua utama Pulau Api, suheng dari dua laki-laki di dekatnya itu, orang yang telah kalah menandingi kakek ini. Namun ketika tangan kiri itu menyambar dan kakek ini menggerakkan tangannya yang lain, meluncurlah uap putih menerima Giam-lui-ciang maka terdengar ledakan dan pangcu dari Pulau Api itu terhuyung.

"Desss!" Kaget dan pucatlah ketua Pulau Api ini. Tongkatnya rusak sebagian sementara tangán kirinya terbungkus hawa dingin luar biasa. Tubuhnya yang merah marong seketika juga padam. Namun ketika ia membelalakkan mata dan mengibas tubuh dua kali maka Yang-kang atau tenaga sakti di tubuhnya hidup lagi dan berdirilah laki-laki itu dengan tubuh bagai obor.

"Hm, Ping-im-kang... benar, Ping-im-kang. Kau siapa, kakek tua. Kau mengingatkan kami akan seseorang!"

"Aku Thian-te It-hiap," kakek ini tersenyum, sepasang matanya berkilat. "Aku datang untuk menundukkan kalian, Tan-pangcu, menghancurkan Pulau Api dan membasmi kejahatan di sini. Bertekuk lututlah dan menyerah baik-baik atau aku mempergunakan kekerasan membunuh kalian."

"Ha-ha-heh-heh-heh! Kau sombong dan jumawa sekali, Thian-te It-hiap. Rupanya kemenanganmu mengalahkan dua suteku membuatmu tekebur. Tapi kau ada disini , di tempat kediamanku. Dan jangan berlagak sombong karena aku tuan rumah. Lihat, siapa itu dan masihkah kau berlagak di depanku!"

Laki-laki ni bertepuk tangan dan tiba-tiba dari empat penjuru muncullah orang-orang yang membuat Thian-te It-hiap kaget. Bukan hanya kakek ini melainkan semua murid dan cucunya, bahkan dua gadis Lembah Es berseru tertahan dan mundur karena saat itu tampaklah terhuyung Bhong Tek Ho-siang dan ketua-ketua persilatan. Mereka ini ditelikung didorong seorang pemuda berambut riap-riapan, wajahnya kehijauan dan tertawa ha-ha-he-he. Sikapnya tidak waras dan itulah San Tek, si gila yang amat diandalkan orang-orang Pulau Api.

Pemuda ini dan dulu pernah diminta datang ke Lembah Es, melakukan serbuan bersama orang-orang Pulau Api ini di mana hanya karena munculnya Si Rajawali Merah Thai Liong pemuda ini diusir pergi. Ia memang paling ketakutan terhadap lawannya yang satu itu. Maka ketika dua gadis Lembah Es mengenal siapa si gila itu dan mereka terkejut berseru mundur, Wajah seketika berubah maka Tan-pangcu dari Pulau Api terkekeh-kekeh, juga sam-pangcu dan ji-pangcu. Di belakang ketua-ketua partai ini menunduk beriringan anak-anak murid mereka di bawah ancaman orang-orang Pulau Api.

"Heh-heh-ha-ha-ha! Bagaimana sekarang sikapmu, Thian-te lt-hiap, masihkah kau bersombong dan menyuruh kami menyerah. Tidakkah kau yang berlutut di depan kami dan cepat minta ampun!"

Kakek ini tergetar. Tak disangkanya secepat itu kawan-kawannya tertangkap. Tapi ketika ia menahan marah menarik napas dalam, si gila itulah biang keladinya maka pemuda ini menggerak-gerakkan cambuk di tangannya melecut punggung ketua-ketua persilatan itu.

"Ha-ha, kerbau-kerbau dungu. He, tegak dan angkat wajah kalian, babi gemuk, dan kau juga sapi kurus ini... tar-tar!”

Bhong Tek Hosiang dan Kiam Kit Cinjin berjengit dicambuk punggungnya. Mereka tadi bersembunyi di guha-guha ketika tiba-tiba saja asap pedas memasuki persembunyian, batuk-batuk dan mengira asap dari tanaman yang terbakar, atau batu-batuan di dinding guha yang rata-rata kemerahan itu. Maka ketika sesosok bayangan berkelebat dengan amat cepatnya menotok mereka, tak begitu jelas di balik bayang-bayang asap ini.

Maka Kiam Kit Cinjin dan kawan-kawannya terkejut ketika tahu-tahu roboh terguling, belum sadar apa yang terjadi namun tiba-tiba masuklah bayangan orang-orang Pulau Api. Mereka ini merobohkan yang lain dan mengikat ketua-ketua partai itu. Lalu ketika mereka melihat bayangan pemuda itu, si gila yang berambut riap-riapan maka Bhong Tek Hosiang dan kawan-kawan tiba-tiba saja telah ditangkap dan dítawan orang-orang Pulau Api ini, lewat si gila yang begitu lihainya!

Semua ni berjalan dengan amat cepatnya ketika menjelang matahari terbit. Satu demi satu mereka itu roboh. Dan karena urat gagu mereka juga ditotok tak mampu bicara, inilah di luar hitungan maka Thian-te It-hiap juga tak menyangka bahwa kedatangan mereka sudah diketahui dan disambut. Terutama adanya si gila yang he-ha-heh-heh itu.

"Dia San Tek!"

"Itu si gila yang diperalat Tan-pangcu!" Thian-te It-hiap berguncang. Sedetik dia kelihatan marah namun tiba-tiba tokoh ini batuk-batuk. Matanya berkilat lebih tajam memandang orang-orang Pulau Api itu. Akan tetapi ketika dia tersenyum dan mengangguk-angguk maka ia berkata kepada ketua Pulau Api itu dengan suara dingin, "Pulau Api rupanya mengajak orang lain menyelamatkan diri. Hm, kalian rupanya ketakutan. Baiklah kuakui kelihaianmu berbuat curang, Tan-pangcu, sekali lagi benar-benar di luar perhitunganku. Tak apa, aku ingin kita bertempur secara gagah dan taruhannya adalah mereka itu."

"Enak saja kau bicara. Di Ce-bu kau menghina dan mempermainkan suteku, Thian-te It-hiap, di sini akulah yang berkuasa dan menentukan. Tak ada pertaruhan, berlutut dan menyerahlah dan buang senjata kalian baik-baik!"

"Hmm, sekarang tanganku menjadi gatal-gntal. Kalau diajak bicara baik-baik tak dapat juga baiklah kita lihat sekarang ini Tan-pangcu. Siapa lebih penting dan lebih kuat!"

Thian-te It-hiap berkelebat lenyap dan tahu-tahu sebelum orang tahu apa yang terjadi terdengarlah teriakan ji-pangcu dan sam-pangcu. Begitu cepatnya kakek itu bergerak hingga ia supah di dekat dua orang ini , menotok dan robohlah dua pimpinan Pulau Api itu. Dan ketika ia berkelebat kembali dan berdiri di tempatnya semula maka dua Orang itu telah di bawah cengkeramannya di mana sepuluh jari kakek ini mencengkeram batok kepala dua wakil pimpinan itu.

Gemparlah orang-orang Pulau Api. Mereka tak tahu bagaimana kakek ini bergerak karena tahu-tahu ia telah merobohkan dua wakil pimpinan. Ji-pangcu dan sam-pangcu yang lengah merasa kegirangan terkejut setengah mati. Mereka melihat bayangan putih menyambar dan pundakpun tersentak berjengit. Hawa dingin menusuk tulang. Ping-im-kang menembus sumsum mereka. Dan ketika sebentar kemudian dua orang ini menjadi pucat dan putih menggigil, beku seperti es maka kakek itu tertawa memandang sang ketua.

"Bagaimana, siapa lebih penting dari orang-orang ini . Mereka atau dua sutemu Tan-pangcu. Haruskah kubekukan jantung mereka agar dapat menjadi mayat segar."

Tepuk tangan tiba-tiba pecah di rombongan kakek ini. Hoa Siu dan murid-murid begitu gembira, dua gadis Lembah Es juga berteriak dan memuji kehebatan kakek ini. Dan ketika mereka berkelebat dan berendeng di kiri kanan Thian-te It-hiap maka Wan-siocia terkekeh.

"Bagus, setali tiga uang. Sekarang dua sutemu tertangkap pula, Tan-pangcu, siapa yang lebih kau beratkan. Ayolah, teruskan sombongmu dan bicaralah jumawa!"

Ketua Pulau Api ini tertegun. la tak menyangka begitu lihainya kakek itu hingga sekali bergerak menangkap sutenya, dua sekaligus. Tapi ketika ia menoleh memandang si gila yang masih terus meledak-ledakkan cambuknya laki-laki ini membentak,

"San-kongcu, jangan main-main di situ. Lihat dua suteku tertangkap dan apa yang kau lakukan. Apakah minta kupanggilkan roh gurumu agar menghukummu dan mengerat kulitmu."

"Ah, jangan, heh-heh... aku geli lihat domba-dombaku pangcu. Babi gemuk dan sapi kurus ini lucu. Mereka meringis-ringis... lihat, gigi mereka kekuningan!"

"Jangan hiraukan mereka dan cepat ke sini. Ambil dua suteku itu dan hajar Thian-te It-hiap!"

"Thian-te It-hiap? Siapa jagoan ini?"

"Itu, tua bangka itu. Rampas kembali suteku dan tinggalkan mereka!"

Si gila terkekeh menjeletarkan cambuknya. Tanpa ba-bi-bu lagi ia meloncat ke arah kakek ini, gerakannya luar biasa bagai elang menyambar. Dan ketika Thian te It-hiap membentak dan membuang dua tawanan kepada gadis-gadis Lembah Es itu maka cepat sekali ia menangkis cambuk dan mengkeraman tangan kiri yang menyambar.

"San Tek, kau dicari Rajawali Merah Thai Liong. Pergi dan jangan bantu orang-orang ini atau kau dipotong telingamu...dess!"

Cambuk tertolak sementara cengkeraman si gila bertemu tangan dingin Thian-te It-hiap, tergetar dan si gila berjungkir balik berteriak keras. la menyerang sepenuh tenaga ketika tiba-tiba lawan menyebut Rajawali Merah, buyar konsentrasinya dan saat itulah tenaga Thian-te It-hiap menghantamnya. Namun karena ia lihai dan berjungkir balik membuang serangan maka ia selamat dan begitu turun di tanah iapun lari terbirit-birit meninggalkan lawan.

"Heii... jangan, aduh, selamatkan telingaku!"

Orang menjadi geli. Si gila lenyap memegangi telinganya seakan benar-benar takut dipotong. Hoa-siocia dan murid-murid wanita tersenyum geli. Namun ketika tiba-tiba Tan-pangcu bergerak dan menyambar Bhong Tek Hosiang maka laki-laki ini membentak,

"San Tek, tak ada Rajawali Merah disini. Kau tertipu. Kembalilah dan hajar Thian-te It-hiap itu!" lalu mendorong si hwesio mendelik memandang lawan ketua Pulau Api ini berkata, dingin dan bengis,

"Aku tak menghendaki kau membunuh suteku, tapi kalau kau memaksa aku nekat maka hwesio inipun kusembelih. Nah, satu lawan satu, Thian-te It-hiap, kita menukar tawanan!"

"Hm," Thian-te It-hiap tertawa dingin "Tawananku lebih berharga daripada tawananmu, pangcu, kecuali kalau kau tak menghargai sutemu ini. Aku bersedia tukar-menukar namun bebaskan mereka semua!"

"Tidak bisa, tidak adil. Mereka berjumlah banyak, Thian-te It-hiap, kau hanya menangkap dua orang. Mana keadilanmu!"

"Kalau begitu begini saja, dua yang ini ditukar dengan enam di antara mereka, para ketua partai itu."

"Tidak, dua ditukar dua, atau biarlah anak-anak murid ditukar dua suteku!"

"Kau curang, mereka pemimpinnya, pangcu, masa ditukar anak-anak murid."

"Kaulah yang curang, atau biar semua ini kubebaskan tapi berjanjilah kau tak mengganggu lagi kami di sini!"

"Hm," kakek itu berkerut, matanya bersinar-sinar. "Kedatanganku justeru menghancurkan kalian, Tan-pangcu, bebas begitu saja berarti membiarkan benih penyakit berkeliaran di muka bumi. Aku menghendaki dua ditukar enam atau kubunuh sutemu!"

"Bunuhlah!" ketua ini menjadi nekat. "Dan mereka semua akan kubantai, Thian te It-hiap, tidak percaya boleh lihat!" lalu ketika ia mencabut pisau menggores tenggorokan hwesio ini segera ketua Pulau Api itu menunjukkan kesungguhannya, bukan hanya dia seorang melainkan murid-murid Pulau Api yang lain menggores pula leher para tawanan. Sebentar saja darah segar mengucur. Dan ketika seratus limapuluh orang itu mengeluh dengan muka pucat maka Thio-siocia yang tak tahan lagi mendedak membentak dan berkelebat menghantam ketua Pulau Api itu.

"Kau keji dan tak berjantung, lepaskan Bhong Tek Hosiang!"

Thian-te It-hiap berseru mencegah. Perbuatan gadis ini tak diduga sama sekali akan tetapi ia telah menerjang ke depan. Tan-pangcu terkejut tapi secepat itu pisaunya berkelebat, leher Bhong Tek Hosiang digorok mentah-mentah. Dan ketika hwesio itu menjerit dan roboh dengan kepala putus maka hampir berbareng seratus limapuluh yang lain mendapat aba-aba dan... srat-srat, pisau atau golok di tangan mereka merobek leher para tawanan. Keji!

Akan tetapi Thian-te It-hiap tiba-tiba mengeluarkan pekik dahsyat. Pekik ini begitu menggetarkan mengguncang Kepulauan Pulau Api. Khikang atau tenaga sakti yang menyertai pekik itu dahsyat bukan main. Tan-pangcu dan anak muridnya terjengkang sementara Thio-siocia sendiri terpeleset oleh getaran suara itu. Lalu ketika kakek itu berkelebat dan menyambar ke depan maka tangannya menghantam ketua Pulau Api itu.

"Desss!" Sesosok bayangan meloncat dan tertawa-tawa. Pukulan ini diterima bayangan itu dan Thian-te It-hiap terdorong. San Tek, si gila itu tahu-tahu muncul menyelamatkan ketua Pulau Api. Hampir dapat dipastikan laki-laki itu pasti roboh disambar kelima jari Thian-te It-hiap, jari yang telah terisi tenaga sakti sekuat gunung, dingin membeku dan hanya si gila itu yang mampu menandingi. Pemuda itu terhuyung pula. Lalu ketika Tan-pangcu bergulingan meloncat bangun dan pucat serta ngeri si gila menerjang Thian-te hiap terkekeh-kekeh.

"Heh-heh, kau menipu aku. Mana Rajawali Merah itu, kakek busuk. Kau membuatku terbirit-birit tapi sekarang aku datang lagi. Ayo kita bertanding dan pekik suaramu tadi membuat aku kaget!"

Thian-te It-hiap terbelalak. la mengelak dan meloncat maju mundur diterjang si gila ini. Bukan maksudnya bertempur dengan orang lain, yang dikehendaki adalah ketua Pulau Api itu. Namun karena pengaruh suaranya tadi memang amat dahsyat dan totokan para tawanan terbuka otomatis, tergetar dan kaget oleh khikangnya yang mengguncangkan pulau maka Kiam Kit Cinjin dan Kiam Ceng Cinjin yang merupakan orang pertama yang sadar dan meloncat bangun sudah disusul oleh yang lain-lain dan anak murid atau pembantu mereka.

Bukan hanya disini akan tetapi dua wakil ketua sam-pangcu dan ji-pangcu juga bebas. Mereka tadi diserahkan kepada dua gadis Lembah Es itu namun ketika Thio-siocia menyambar ke depan maka ji-pangcu terlepas. Laki-laki ini menyerang Wan-siocia yang membawa adiknya. Dan ketika gadis itu mengelak dan sang adik disambar maka bebaslah keduanya menerjang gadis itu.

"Dess!!" Wan-siocia menangkis dan bergulingan. Di sana encinya menyerang Tan pangcu akan tetapi ketua Pulau Api itu masih pucat oleh pekik suara Thian-te It-hiap. Pekik itu seperti suara seribu gajah. Pohon di sekeliling mereka tumbang dan siapapun ngeri oleh kedahsyatan suara khikang ini. Baru kali itu tampak kemarahan Thian-te It-hiap yang luar biasa. 

Akan tetapi ketika ia meloncat bangun dan cepat menyambar pedangnya, mengelak dan menangkis dua pimpinan ini maka Kiam Kit Cinjin dan ketua-ketua persilatan sudah menerjang orang-orang Pulau Api itu terbakar oleh kekejaman Tan-pangcu menggorok leher Bhong Tek Hosiang. Siapapun marah besar oleh kekejian ini. Tubuh hwesio itu terpotong menjadi dua, kepalanya menggelinding tak jauh dari lehernya bersimbah darah. 

Matanya melotot. Dan karena untuk kesekian kalinya orang-orang kang-ouw ini melihat keganasan penghuni Pulau Api maka semangat mereka terbakar oleh kobaran darah yang mendidih, apalagi tiga puluh murid-murid atau wakil mereka juga mengalami nasib yang sama digorok orang-orang Pulau Api itu, tewas dengan luka mengerikan sementar mereka selamat oleh pekik dahsyat Thian-te It-hiap tadi. Entahlah bagaimana nasib mereka kalau Thian-te it-hiap tak melakukan itu.

Maka ketika mereka menerjang dan kemarahan serta kebencian menjadi satu, nafsu membunuh begitu gila maka murid-murid Pulau Api menjadi gentar meskipun jumlahnya dua kali lipat. Mereka terdesak dan roboh oleh babatan pedang ataupun golok di tangan orang-orang yang marah ini, terutama ketua Kun-lun dan Hoa-san serta Khong-tong yang sudah memandikan pedangnya dengan darah segar. 

Tak ada ampun bagi tiga ketua yang gusar ini. Dan ketika di sana ketua Bu-tong menggerakkan toyanya menghantam murid-murid Pulau Api maka siapa yang tertimpa kontan pecah kepalanya, disusul oleh ketua Siau-hun-pai yang bersenjatakan hud-tim (kebutan bulu).

Tak kalah ganas dengan rekan-rekannya ketua Siau-hun-pai inipun menerjang kalap. la berkelebatan dan setiap ujung hud-tim mengebut atau menotok maka robohlah seorang murid Pulau Api. Ujung kebutan itu dapat menjadi lemas atau keras sesuai kehendaknya. Dan ketika amukan ini bena-benar menggetarkan penghuni Pulau Api maka Tan-pangcu akhirnya pulih dan membentak Thio-siocia itu. Thian-te It-hiap bertanding amat cepat dengan si gila San Tek....