Putri Es Jilid 31 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Karya Batara

"BRESSS!" Bergulinganlah kakek ini dengan muka pucat. Tak disangkanya sama sekali bahwa segebrakan itu saja senjatanya putus terbabat, pedang terus menyambar kalau ia tidak membuang tubuh tentu tubuhnya terpotong menjadi dua. Bukan main hebat dan ganasnya ilmu pedang gadis itu. Dan ketika ia meloncat bangun dan termangu dengan muka berubah-ubah, hitam dan merah serta pucat maka Hoa-siocia di atas panggung itu menyimpan pedangnya dan memandangnya dengan tawa mengejek.

"Kau boleh maju lagi kalau penasaran. Ambil senjatamu yang baru dan mari naik lagi kalau belum puas."

Tepuk riuh tiba-tiba terdengar. meledak. Tamu undangan tiba-tiba bersorak-sorai dengan penuh kagum. Merekapun takjub bukan main oleh kehebatan gadis ini. Para ahli pedang mendecak tak habis-habisnya. Dan ketika kakek tinggi besar itu masih terguncang dan terbelalak di bawah panggung maka melesatlah seosok tubuh bongkok disusul kekeh serak.

"Heh heh, hebat sekali, luar biasa. Menurut aturan berarti pihak tuan rumah menang. Eh, bagaimana kalau sekarang hi-cit-le dan aku maju berbareng, nona. Beranikah kau melayani kami dan tidakkah kami disebut curang."

Berhentilah semua tepuk riuh. Semua orang memandang dan bisik-bisik terdengar di sana-sini. Seorang pengemis bongkok, matanya menyipit namun tajam bersinar-sinar memandang gadis di depannya itu dengan nafsu terpendam dan agak benci. Hoa-siocia mengerutkan kening dan bertanya siapa lawan. Dan ketika kakek itu terkekeh dan menyebutkan dirinya ternyata ia adalah ketua Hwa-i Kai-pang. Aku si tua adalah Hwa-tung Lo-kai (Pengemis Tongkat Kembang), dari Hwa-i Kai-pang. Kebetulan aku diangkat sebagai ketua dan empat suteku yang pernah kemari telah menyampaikan kepadaku hadiah dari rumah ini. Terima kasih, telinga mereka telah kusambung lagi."

Hoa-siocia terkejut. Ia memandang pengemis ini dan saat itu bergeraklah bayangan-bayangan di luar tamu undangan menuju panggung. Cepat sekali delapan orang berada di depan, pengemis berpakaian tambal-tambalan, empat di antaranya adalah si buntung telinga itu, orang yang telah dihajar cing Cing dan pulang membawa malu. Dan ketika ia sadar dan tertawa mengejek maka murid-murid Thian-te It-hiap pun mencegat dan cepat sekali delapan orang itu dihadang lebih jauh.

"Hm, kiranya yang terhormat ketua Hwa-Kai-pang. Meskipun aku mengundangmu namun baru kali ini kita berhadapan muka, orang tua. Tak apa, usulmu kuterima. Boleh saja kau ditemani Thi-cit-le. Silakan berdua maju!"

Si Besi Berduri terbelalak. Setelah kakek ini terlempar keluar panggung dan kalah begitu mudahnya sebenarnya kakek ini penasaran dan belum puas. Bagaimana puas kalau tadi ia membuang diri ke tempat kosong. la lupa bahwa belakang tubuhnya tak ada tempat, jadi kalah secara penasaran dan belum sebenarnya. Maka ketika Hwa-tung Lo-kai berkata seperti itu dan gadis itupun tak menolak permintaan orang mendadak ia menggeram dan meloncat lagi, tubuhnya melayang naik.

"Aku memang belum puas, kekalahanku belum bisa dibilang mutlak!"

Gadis itu tersenyum mengejek. la memandang kakek ini dengan sikap merendahkan dan tamu undangan bertepuk riuh. Masuknya Si Besi Berduri itu disambut pro dan kontra. Yang setuju tentu saja mereka yang tergolong orang-orang tak punya aturan, kaum sesat yang biasanya memang bersikap tak perduli. Sementara para ketua partai, mereka orang-orang terhormat tentu saja mengerutkan kening dan tak menyukai sikap Si Besi Berduri ini.

Penasaran atau tidak, puas atau tidak kakek itu telah keluar panggung. Ini sudah menunjukkan ia tak layak maju lagi dan seharusnya mundur. Namun karena orang-orang seperti kakek itu adalah orang-orang sesat tak tahu malu, mereka memang belum kapok kalau belum mendapat hajaran keras maka ketua-ketua partai ini tersenyum mencibir dan mereka justeru merendahkan Si Besi Berduri ini, menganggap orang tak tahu diri dan mencari penyakit.

Dua orang itu sudah berhadapan dengan nona rumah. Hwa-tung Lo-kai mencabut senjatanya terkekeh menahan benci, diam-diam sepasang matanya berkilat dan ingin membalas dendam. Pulangnya empat pembantunya dibabat sebelah telinganya tentu saja membuat ia sakit hati. Kini saatnya membalas kekalahan dan melampiaskan dendam. Ia sengaja menantang keroyokan kalau gadis itu berani, tidak takut untuk sendirian akan tetapi lebih baik kalau bisa maju berdua. la ingin cepat-cepat membayar hutang!

Maka ketika ia mencabut tongkatnya sementara kawannya sudah mengeluarkan senjatanya yang berbesi berbandul di balik ikat pinggang maka tongkat kembang terbuat dari kayu tua digerak-gerakkan ketua Hwa-i Kai-pang ini di mana dari gerakan itu terdengar suara "nguk-nguk" tanda pengerahan tenaga yang menyembunyikan kedahsyatan.

"Kami jangan dianggap curang. Kalau sekiranya takut aku sendiri juga dapat menghadapimu. Heh-heh, tak ada yang ingin kupaksakan di sini, nona. Kalau kau merasa berat biarlah Thi-cit-le mundur, atau aku yang mundur dan nanti maju lagi sendiri."

"Tak perlu banyak mulut. Aku telah menerima tantanganmu, Hwa-tung Lo-kai, majulah, aku telah siap!"

Semua orang kagum. Gadis baju putih di atas panggung itu benar-benar gagah dan sikapnya berani sekali. lapun telah mencabut pedang. Dan ketika kakek itu mengangguk dan terkekeh berseru perlahan tiba-tiba ia telah mengajak temannya untuk maju menyerang.

"Tuan rumah sudah menantang kita, mari maju!" si Besi Berduri tak menunggu waktu. Begitu Hwa-tung Lo-kai menyambar ia pun berkelebat menggerakkan bandul berdurinya, menderu dan bersama tongkat menghantam gadis di depan mereka. Tongkat menyambar kepala sementara senjata si kakek tinggi besar menghantam dada. Sekali kena tentu remuk. Tapi ketika gadis itu berkelit dan Hwa-tung Lo-kai mengejar dengan tusukan dan sodokan maka Thi-cit-le juga tak mau membuang-buang kesempatan mengayun besi berdurinya itu.

"Wher-wherrr..." Gadis ini tiba-tiba berkelebat lenyap. Gerakan tubuhnya menghilang entah kemana dan tiba-tiba dua senjata dua orang itu berdentang nyaring. Tongkat bertemu besi berduri. Dan ketika dua orang itu terkejut menarik senjata mnasing-masing maka dari atas meluncur bayangan putih itu dan bunyi desing mengerikan telinga.

"Aiihhhhh..." dua orang itu berteriak dan mereka cepat melempar tubuh ke kiri kanan. Tepat sekali bunyi pedang membabat dan masih juga ujung baju dua orang itu robek, nyaris kalah cepat. Dan ketika gadis itu turun lagi di panggung dan bersilat serta memutar pedangnya naik turun bergulung-gulung tiba-tiba saja dua orang ini terbungkus tubuhnya dan lenyap di bawah gundukan sinar pedang yang melebar dan sudah membungkus lawan-lawannya tak dapat keluar lagi, hanya dalam waktu begitu singkat.

"Hebat, luar biasa. Aih, benar-benar Giam-lo Kiam-sut yang amat mentakjubkan!"

Kiam Ceng Cinjin dan Kiam Kit Cinjin dari Hoa-san dan Khong-tong sama-sama berseru keras. Mereka kagum bukan main karena sekejap kemudian sinar pedang bergulung-gulung bagai awan menyergap dua ekor elang, membungkus dan menggulung hingga dua ekor elang itu tak dapat ke mana-mana. Tongkat maupun bandul berduri macet di tengah jalan, setiap bergerak sudah dipotong dan disambar pedang di tangan gadis itu. Dan karena masing-masing sudah tahu betapa hebatnya pedang di tangan gadis itu, tajam mengerikan hingga bandul berduri di tangan si kakek tinggi besar putus terbabat.

Maka baik Hwa-tung Lo-kai maupun Thi-cit-le sama-sama tak berani beradu senjata takut senjata di tangan mereka putus. Akibatnya dua orang ini selalu menarik tongkat maupun bandul kalau sinar putih menyambar cepat, tak mau kalah hanya dalam beberapa gebrakan saja. akan tetapi karena hal ini berarti menyulitkan diri sendiri, permainan mereka tak bisa berkembang baik maka yang terjadi adalah kedudukan mereka yang dikendalikan lawan, terbungkus dan digulung-gulung cahaya pedang yang kian melebar.

Siapapun takjub dan membelalakkan mata melihat ini. Kehebatan mendiang Hu Beng Kui terlihat lagi, tontonan ini benar-benar menarik. Dan ketika tongkat maupun bandul berduri di bawah kekuasaan sinar pedang yang begitu hebat akhirnya ruang gerak mereka menjadi kecil dan "tas-tas" putus juga dua senjata itu terbabat pedang. Penonton bersorak dan menjadi riuh dan Hwa-tung Lo-kai maupun Thi-cit-le menjadi pucat. Ternyata mengeroyok dua mereka juga tak mampu menang. Maka ketika tiba-tiba kakek tinggi besar itu membentak dan mengayun tangannya maka lima paku beracun menyambar gadis itu, disusul pula oleh Hwa-tung Lo-kai yang menyemburkan jarum dari mulut.

Akan tetapi gadis baju putih itu tertawa mengejek. la telah menguasai lawannya luar dalam dan apapun yang dilakukan tak akan berbahaya lagi. Begitu pula lima paku beracun dan jarum-jarum halus itu. Maka ketika ia berseru keras memutar pedang membungkus diri sendiri maka semua senjata rahasia itu terpukul balik dan menancap di tubuh tuannya sendiri.

"Tring-tring-trang!"

Terhuyunglah dua orang itu. Senjata terlepas dan tangan mendekap bagian tubuh yang terluka. Empat di antara lima paku beracun mengenai pundak dan leher Thi-cit-le, kakek itu mengeluh. Dan ketika di sana Hwa-tung Lo-kai mendekap pipinya yang berlumuran darah, tujuh jarum menancap di sini maka ketua Hwa-i Kai-pang itu roboh dan melesatlah delapan anak muridnya menyambar tubuh sang ketua, turun dan dibawa lari! Thi-cit-le tak ada muka lagi. la telah dua kali dikalahkan dan sadar akan kepandaian diri sendiri. Kakek ini meloncat turun panggung dan lari pula, menelan obat penawar dan menghilang keluar rumah.

Lalu ketika penonton bersorak riuh dan keadaan menjadi begitu ribut maka Hoa-siocia di atas panggung telah menyimpan kembali pedangnya dan hanya mengusap sedikit keringat. Pipinya kemerahan tapi sama sekali tidak nampak kelelahan. Kagumlah tamu undangan akan kelihaian gadis ini. Baru gadis itu saja tuan rumah sudah menunjukkan kebolehannya, apalagi kakek berjuluk Thian-te It-hiap itu. Dan ketika semua orang bertepuk riuh dan agaknya tak ada lagi yang berani ke atas panggung mendadak berkelebatlah seorang pemuda dan tepuk riuh tiba-tiba lenyap dan berhenti.

"Aku mengagumi ilmu pedang Giam-lo Kiam-sut, sungguh luar biasa. Tapi aku juga ingin coba-coba dan bolehkah menandingi tuan rumah."

"Dan aku juga ingin menjadi bengcu. Kalau aku dapat merobohkan Thian-te it-hiap akupun ingin menguasai dunia!"

Muncullah seorang lain yang membuat tamu undangan terbelalak karena baik pemuda itu maupun orang kedua ini sama sama memiliki tubuh kemerah-merahan. Berdiri di tempat terang-benderang saja keduanya seakan bara api yang menyala-nyala, apalagi kalau di tempat gelap, tentu seperti obor! Dan ketika semua orang terkejut dan gadis di atas panggung berseru tertahan maka Hoa-si cia yang tadi tampak gagah perkasa dan penuh keberanian itu tiba-tiba seakan kuncup dan kelihatan gentar. Mukanya pucat.

"Kalian orang-orang Pulau Api!"

"Ha-ha, sudah dikenal, bagus. Kami memang orang-orang Pulau Api, nona, bagaimana kau mengenal kami. Ah, aku adalah orang she See, namaku Kiat Lam, dan ini muridku Siauw Lok!"

Orang-orang tertegun. Mereka baru kali itu mendengar nama Pulau Api dan tentu saja heran. Akan tetapi melihat betapa kulit tubuh pemuda dan gurunya itu bergetar-getar penuh hawa panas bahkan ketua Hoa-san dan Kun-lun serta yang lain yang duduk di depan merasakan hawa panas dari tubuh dua orang itu maka para ketua partai terkejut karena maklumlah mereka bahwa orang-orang yang memiliki hawa sakti Yang-kang (Panas) berada di depan mereka. Orang yang belum mereka kenal tapi yakin menyimpan kekuatan dahsyat!

Hoa-siocia mengeluarkan keringat dingin dan mengeluh. Aneh sekali gadis ini tiba-tiba terhuyung, mundur dan saat itulah sebuah tangan mencengkeram pundaknya. Thian-te It-hiap, kakek yang tadi duduk di atas kursinya itu mendadak, berkelebat dan menekan pundak cucunya ini. Majunya kakek ini membuat semua orang berdebar, semakin kuat lagi bahwa dua lawan di atas panggung itu memang betul-betul tak boleh dibuat main-main. Majunya kakek ini menunjukkan bobot lawan yang tentu berat! Dan ketika semua orang terbelalak dan menjadi tegang maka kakek itu batuk-batuk dan berdehem.

"Kalian orang-orang dari Pulau Api memang telah kami kenal. Dan kau, hm... kau adalah sam-pangcu (ketua nomor tiga) yang gagah tapi licik, orang she See. Kalau kau tiba-tiba muncul disini dan ingin menjadi bengcu tentu niat baikmu tak ada. Pibu telah kami buka, siapapun boleh maju. Tapi kalau ingin mengeroyok dan menunjukkan kepandaian maka akulah lawanmu."

"Ha-ha-heh-heh-heh! Thian-te It-hiap maju sendiri menyambut aku. Ah, kehormatan besar bagiku, orang tua, tapi mengejutkan bahwa kau mengenal aku begitu baik. Benar, aku adalah sam-pangcu Pulau Api, luas benar pengetahuanmu hingga mengetahui siapa aku. Ha-ha, tak usah sembunyi-sembunyi. Aku memang masih mempunyai dua orang suheng lagi di sana. Kalau mengeroyok, hmm.... aku tak ingin mengeroyok. Justeru aku hendak menunjukkan kepada semua orang gagah di sini bahwa apa yang dapat kau lakukan dapat kulakukan pula. Aku juga sanggup dikeroyok orang-orang macam ketua Hwa-i Kai-pang itu atau Thi-cit-le!"

"Mereka telah pergi, tak usah mencari-cari. Kalau kau ingin maju maka akulah lawanmu."

"Ha-ha-heh-heh-heh, tak perlu buru-buru. Kalau kau maju maka muridku inilah yang menjajal lebih dulu, Thian-te It-hiap Kalau kau menang baru aku yang melawanmu!"

"Kalau begitu biar cucuku ini, kita belakangan. Muda sama muda dan kita tua sama tua."

Lalu menepuk cucunya berbisik perlahan kakek ini bicara, "Tak perlu takut, aku menjagamu. Kalau orang she See itu macam-macam maka aku tandingannya."

Aneh, gadis baju putih memperoleh keberaniannya kembali. la yang semula takut dan kelihatan pucat tiba-tiba mengangguk dan bersinar-sinar lagi. Tak ada orang tahu betapa dalam tepukan tadi Thian-te It-hiap memasukkan tenaga saktinya, menggetarkan tubuh gadis ini dan bersamaan itu bergeraklah semacam tenaga dahsyat mengaliri semua aliran darah. Tepukan tadi bukan sembarang tepukan melainkan semacam kesaktian yang disebut Bu-khi-hiat-keng (Buka Jalan Darah Masukkan Tenaga Sakti).

Dengan ini keberanian dan semangat gadis itu timbul, muka yang semula pucat menjadi kemerahan kembali. Dan ketika gadis itu merasa betapa seluruh syaraf di tubuhnya bergetar oleh hawa hangat yang menyusup sampai jauh ke ujung kaki, juga rambut dan bulu-bulu matanya maka saat itulah sam-pangcu dari Pulau Api tertegun melihat sepasang mata mencorong dari gadis baju putih ini. Kilatan cahaya yang jauh lebih tajam daripada biasanya!

Akan tetapi tokoh Pulau Api ini tak menduga apa yang terjadi. Dia tertawa dan mengebutkan pakaiannya dengan sombong, apipun memuncrat dan tokoh-tokoh partai terkejut melihat ini. Kebutan itu tampaknya biasa saja akan tetapi semua logam yang ada di baju itu bergemerincing. Kancing bajunya meletikkan api. Lalu ketika dia berkelebat dan turun ke bawah tahu-tahu di sekeliling tamu undangan telah muncul belasan orang lain yang tubuhnya juga bersinar kemerahan. Mereka muncul bagai iblis saja!

Hoa-siocia atau gadis baju putih terkejut. Anak-anak murid Thian-te It-hiap juga terkejut namun tamu-tamu aneh itu telah bermunculan di situ. Tak dapat dicegah lagi mereka telah berada di antara para tamu undangan. Itulah orang-orang Pulau Api atau anak murid Sam-pangcu ini. Akan tetapi ketika Thian-te It-hiap nampak tenang-tenang saja dan di atas panggung pemuda bertubuh tegap itu senyum mengejek maka ia mengerotokkan buku-buku jarinya dan tiba-tiba dari sepuluh jari-jarinya itu mengepullah asap merah.

"Aku Siauw Lok murid rendahan dari Pulau Api, mohon pelajaran dari nona dan siapkah nona sebelum kita bertanding."

Gadis ini akhirnya sadar. la telah memandang kembali pemuda di depannya ini dengan sinar mata berapi. Tepukan Bu khi-hiat-keng benar-benar membangkitkan keberaniannya. la merasa getar-getar hawa sakti memenuhi seluruh ujung syarafnya. Maka ketika ia membentak dan mencabut pedangnya iapun berseru agar pemuda itu mencabut senjatanya pula.

"Aku akan mempergunakan pedangku mainkan Giam-lo Kiam-sut, keluarkan senjatamu dan cepat kita mulai. Atau jangan salahkan aku kalau kau bertangan kosong!"

"Ha-ha , kaki tangan adalah senjataku yang utama. Kami orang-orang Pulau Api tak pernah bersenjata, kecuali kalau kami terdesak. Majulah dan jangan sungkan-sungkan!"

Belum habis kata-kata ini tiba-tiba pedang di tangan gadis itu bergerak. Tidak seperti tadi yang menunggu diserang adalah kali ini gadis itu mendahului menyerang. Rupanya ia tahu baik siapa pemuda dari Pulau Api ini. Maka ketika ia membentak dan tidak bicara panjang lebar lagi iapun bergerak dan pedang sudah mencuat ke atas untuk menusuk leher lawan.Tidak berhenti disini kaki gadis itupun mengikuti, bergerak setengah lingkaran untuk mengejar kalau lawan menghindar. Dan ketika benar saja pemuda tu mengelak dan mundur selangkah maka pedang sudah mencuat lagi dengan ganas dan tetap menuju leher.

"Plak-plak!" si pemuda menangkis dan terkejut juga. Gadis itu tetap mengikutinya dan kalau ia tidak menangkis maka kejaran demi kejaran akan memberondongnya. Kedudukannya bakal terdesak dan keganasan pedang itu benar-benar luar biasa sekali. Tapi ketika ia menangkis dan telapaknya mengeluarkan uap merah ternyata ia terhuyung dan pedang terus menyambarnya juga.

"Keparat!" pemuda ini membentak dan kaget serta heran. Dari tangkisan tadi ia merasakan getaran kuat dari hawa dingin yang membuyarkan tenaga Yang-kangnya. Angin pedang mendesak tenaga panasnya itu. Dan ketika ia terkejut dan mundur lagi maka gadis itu mengejarnya dan kini pedang membalik serta membacok kepalanya!

Pemuda ini menjadi marah. Dari gebrakan yang cepat dan bertubi-tubi ini segera tampak bahwa lawan benar-benar hebat dan menguasai ilmu pedangnya dengan baik. Tusukan dan bacokan yang begitu cepat berobah menyesuaikan gerakan lawan benar-benar berbahaya sekali. Kalau ia tak hati-hati tentu tubuhnya menjadi sasaran pedang, putus dan bisa terbabat menjadi dua! Maka ketika ia menjadi marah dan berseru keras mendadak kedua kakinya melenggok dan meliuklah pemuda ini bagai ular maju mundur menghindarkan semua tusukan dan bacokan pedang hingga semua serangan gadis itu luput.

"Sing-singg!" Terkejutlah para tamu. Mula-mula mereka merasa khawatir ketika pedang secara ganas dan bertubi-tubi mengejar dan mengikuti pemuda ini. Ke manapun pemuda itu bergerak ke situlah ujung pedang membayangi, bahkan pedang tampaknya menempel dan melekat tak mungkin dielakkan. Satu-satunya jalan mungkin pemuda itu harus melempar tubuhnya keluar panggung, seperti apa yang telah dilakukan si kakek tinggi besar Thi-cit-le.

Tapi ketika pemuda itu meliuk naik turun dan kakinya bergeser cepat dengan pinggang yang mematah-matah maka kagum dan terkejutlah semua tamu undangan karena dengan cara seperti itu semua hujan serangan Hoa-siocia kandas di tengah jalan, tak mengenai sasaran karena sebelum pedang menyambar pemuda itupun sudah menghindar dan jauh menyelamatkan diri!

Bertepuk riuhlah para tamu. Bhong Tek Hosiang ketua Sho-tong dan Kiam it Cinjin ketua Khong-tong membelalakkan matanya lebar-lebar. Mereka kagum bukan main oleh gerak aneh dari langkah-langkah sakti pemuda Pulau Api itu. Mereka tak tahu bahwa itulah Jit-cap-ji-poh kun ciptaan Hwe-sini yang amat ampuh. Dengan ilmu ini siapapun tak mampu mendekati, jangankan mendekati, menyambar ujung bajunya saja tak dapat! Maka ketika pemuda itu tertawa-tawa dan gadis baju putih ini pucat maka tusukan dan bacokan pedangnya tak ada yang dapat menyentuh lawan.

"Ha-ha, kau akan segera roboh. Tanpa kuserang pun kau akan kehabisan tenaga, nona. Buang pedangmu dan nyatakan kalah!" pemuda itu mengejek dan tertawa-tawa dan gadis di atas panggung itu merah pucat berganti-ganti. la telah menusuk belasan kali akan tetapi lawan bagai bayang-bayang layaknya. Tubuhnya tak dapat disentuh karena selalu mundur dengan langkah-langkah anehnya itu. Dan karena benar ia dapat kehabisan tenaga, sungguh sukar mengalahkan lawan seperti ini maka baru saat itu rupanya pihak tuan rumah akan mendapat malu.

Akan tetapi Thian-te It-hiap tentu saja tidak berdiam diri. Kakek yang tenang menonton dengan alis kadang-kadang berkerut ini tiba-tiba berkemak-kemik, Ia mengerahkan Coan-im-jip-bit bicara pada cucunya itu. Dan ketika ia berbisik dan menyuruh gadis itu gerakkan tangan kirinya, menyerang membantu pedang tiba-tiba gadis baju putih itu membentak dan melakukan perobahan. Menyambarlah tangan kirinya itu.

Pedang masih terus mengejar dengan tikaman atau bacokan, bahkan kadang-kadang dengan sontekan seperti gerak lele meloncat. Dan ketika tangan kirinya bergerak melepas pukulan jarak jauh tiba-tiba hawa dingin meluncur dan terkejutlah pemuda itu ketika mendadak gerak langkahnya tertahan. Gerakan tangan kiri itulah yang menjadi sebab!

Pemuda ini membelalakkan mata. Tangan kiri gadis itu mencegat semua langkah-langkah saktinya dan ia tertahan, akibatnya pedang menyambar dan ia harus mengelak atau menangkis. Dan ketika selanjutnya pedang menusuk atau menikam tanpa ia mampu mengelak lagi maka pemuda Pulau Api ini tersentak karena setiap ia menangkis tentu dirinya terpental.

"Aah!" bukan hanya pemuda ini saja yang terkejut. Gurunya, yang tadi berseri dan tertawa-tawa mendadak diam tertegun. Matanya terbelalak dan wajah itu berkerut, ada sesuatu yang membuatnya heran, sesuatu yang tak dimengerti. Dan ketika pedang kembali menyambar dan sang murid menangkis ternyata untuk kesekian kalinya muridnya itu tergetar dan terhuyung.

"Pergunakan Giam-lui-ciang (Pukulan Petir Neraka)!" tokoh ini akhirnya berseru. "Jangan selalu mundur dan terdesak musuhmu, Siauw Lok. Pergunakan ilmu andalan kita dan juga Hwe-ci!"

Pemuda itu sadar. Rupanya gugup oleh sambaran pedang yang menyongsong ke manapun ia pergi membuat pemuda ini gentar dan ngeri. Langkah-langkah saktinya itu tak dapat dipergunakan lagi. Tapi ketika sang guru tiba-tiba berseru dan ia mengangguk maka pemuda itupun membentak dan tangan kanannya bergerak menyambar dari luar. "Aku belum kalah, terimalah ini!"

Angin panas menyambar dan uap merah meluncur dari telapak pemuda itu. Hoa-san-paicu (ketua Hoa-san) dan Kun-lun-paicu merasakan ini dan terkejut, mengerahkan sinkang melawan hawa panas itu. Tapi ketika gadis itu membentak dan menggerakkan tangan kirinya maka hawa dingin menyambut hawa panas dan Giam-lui-ciang yang dilancarkan pemuda itu sirna dan lenyap.

"Plak!" Tamparan itu membuat dua ketua disisi depan kedinginan. Sekarang mereka disambar hawa dingin dan tubuh keduanya menggigil, lagi-lagi dua tokoh partai persilatan ini terkejut. Tapi kalau mereka hanya terkejut dan kagum bahwa anak-anak muda itu memiliki pukulan ampuh yang membuat mereka terbelalak adalah pemuda di atas panggung itu terkejut dan penasaran, juga gusar. Hawa panas Giam-lui-ciang padam disambar hawa dingin dan ia tentu saja melotot. Maka ketika ia membentak dan menyerang lagi maka dua tangannya kali ini mendorong dan bersamaan itu dua telunjuknya bekerja dan tampaklah dua lidah api menyambar gadis itu.

"Crit-Crit!" Inilah Hwe-ci atau Jari Api yang dulu menjadi andalan Hwe-sin (Malaikat Api). Dua lidah api itu menyambar dan ini masih ditambah dorongan sepasang lengan yang mengeluarkan cahaya merah. Pemuda itu mengerahkan sinkangnya hingga sepasang lengannya seperti bara, hawa panas tentu saja lebih dahsyat dan ini dibuktikan teriakan ketua-ketua partai yang duduk di kursi depan. Mereka merasa hangus. Akan tetapi ketika gadis baju itu melengking nyaring dan menyambut bentakan dengan putaran ujung pedangnya, bergulung dan tangan kiri juga berputar menyambar ke depan maka dua Sinar putih menghantam atau menangkis sinar merah dan Jari Api itu.

"Ces-blarr!" Pemuda lawannya berteriak kaget. Hawa panas disambut hawa dingin dan kalau ia mengerahkan sinkangnya adalah gadis itu juga menambah tenaganya. Angin membekukan tulang menyambut dorongan Petir Neraka, menahan dan kemudian menembus pertahanan lawan dan pucatlah pemuda itu merasa kedinginan. la tak mampu menguasai diri dan masuklah hawa dingin membelah hawa panas.

Kekuatan atau pengaruh Giam-lui-ciang hancur, hawa panas padam menjadi hawa dingin. Jari Api menjadi beku dan lenyap pula. Dan ketika ia tersentak dan saat itulah gadis itu membentak nyaring maka pedang meluncur ke depan sementara tangan kiri juga terus bergerak dan menghantam pemuda ini.

Akan tetapi sesosok bayangan merah berkelebat. Sam-pangcu yang tak dapat berdiam diri melihat muridnya terancam bahaya tiba-tíba melayang ke atas panggung. Gerakannya cepat dan luar biasa, tangan kanannya bergerak menghantam dari samping ke arah pedang dan tangan kiri gadis itu. Dan ketika gadis itu menjerit dan terpelanting bergulingan maka ia sudah menangkap muridnya dan sambil menghalau sisa pukulan ia berjungkir balik dan turun dengan muka seperti bara.

"Bresss!" Di pihak sana Thian-te It-hiap juga tak tinggal diam. Begitu tokoh Pulau Api itu menghantam cucunya iapun berkelebat dan masuk mengibaskan ujung baju. Serangan yang seharusnya membuat cucunya terancam balik dipukul melenceng, pukulan itu menghantam sam-pangcu dari Pulau Api namun laki-laki itu telah meloncat berjungkir balik menghindarkan diri. Selamatlah masing-masing menolong murid. Dan ketika laki-laki itu mendelik memandang tuan rumah maka Thian te It-hiap melepaskan cucunya yang sudah ia sambar pula, tak sampai keluar panggung.

"Cukup bagimu membela namaku. Beristirahat dan duduklah di ana, Hoa siu, lawanmu telah kalah dan tua sama tua."

Lalu ketika kakek ini menghadapi lawannya dan tak perduli wajah yang merah membara maka kakek itu mengetukkan ujung tongkatnya yang entah kapan sudah dipegang, suaranya datar namun dingin, memandang ketua Pulau Api itu dengan mata bersinar-sinar,

"Kau telah masuk di panggung lui-tai, berarti siap bertanding. Dan karena cucuku sudah lelah melayani banyak lawan sekarang marilah kita main-main berdua. Tak usah membuang-buang banyak tenaga, kalau kau dapat menarik dan merampas tongkatku biarlah aku menyatakan kalah."

Berkata begini kakek itu sudah mengangkat batang tongkatnya, bukan dipegang dengan kelima jari tangan melainkan hanya dijepit dengan dua jari telunjuk dan jari tengah, disodorkan dan meminta lawan menarik dan tentu saja wajah ketua Pulau Api itu semakin menyala-nyala. la direndahkan di depan begitu banyak orang, wajahnya seketika membesi. Namun belum ia bergerak dan merenggut tongkat itu mendadak berkelebat sebuah bayangan putih dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang gadis cantik jelita bersanggul tinggi. Sambaran tubuhnya diikuti bau harum menusuk hidung, lembut dan mempesona.

"Tunggu dulu, aku juga tiba-tiba ingin mengganggu sedikit, Thian-te It-hiap. Bolehkah kuhadapi sam-pangcu dari Pulau Api ini mewakili dirimu!"

Orang-orang mendecak. Kalau tadi mereka dibuat kagum oleh hadirnya Thian-can Kwee Bi yang cantik genit adalah sekarang mereka terpesona dan takjub melihat kehadiran gadis pendatang itu. Tubuhnya tinggi semampai dengan pinggang dililit rantai perak, rambutnya disanggul tinggi dan wajahnya yang cantik kemerah-merahan itu memiliki sepasang pipi yang halus lembut. Bibirnya tanpa gincu akan tetapi selalu basah kemerah-merahan segar dan sekilas saja orang dapat menduga bahwa gadis ini seperti puteri keraton. Sikapnya anggun dan sedikit angkuh, cocok benar dengan pembawaan gadis istana.

Dan ketika Thian-te It-hiap tampak tertegun namun ketua Pulau Api terkejut berseru tertahan, mundur dan membelalakkan mata maka gadis bersanggul tinggi yang cantik jelita itu tersenyum mengejek dipanggil namanya. "Wan-siocia (nona Wan)!"

Gadis itu tak menjawab. Bibirnya berjebi dan terpesonalah semua laki-laki yang ada di tempat itu. Bahkan ketua partai seperti Kun-lun dan Hoa-san juga berdetak, bukan apa-apa melainkan semata oleh keindahan bibir berjebi itu. Manis dan menantang, menggemaskan. Lalu ketika ia mengangguk dan ketua Pulau Api menjadi marah tiba-tiba laki-laki itu membentak, menudingkan telunjuknya,

"Wan-siocia, apa maksudmu datang ke sini. Bukankah selama ini penghuni Lembah Es dan Pulau Api tak pernah bermusuhan di muka umum. Pergilah dan jangan ganggu aku atau kau tahu rasa!"

Hm... Pulau Api dan Lembah Es selamanya bermusuhan. Di muka umum atau tidak sama saja. Kau sendiri apa maksudmu merambah daratan Tionggoan, Sam- pangcu. Bukankah Pulau Api tak pernah memperkenalkan diri di dunia kang-ouw."

"Urusanku tak perlu kau ketahui,.Cepatlah enyah atau aku membunuhmu!"

"Hi, hi-hik, gampang benar membunuh orang. Aku bukan semut yang mudah kau injak, orang she See. Kalau tuan rumah memperkenankan sesungguhnya kuingin membunuhmu. Siapa takut dan majulah!"

Gemparlah semua orang. Dari tanya jawab ini segeralah mereka tahu akan nama-nama Lembah Es dan Pulau Api. Sengguhnya mereka masih asing mendengar ini, kehadiran tokoh Pulau Api membuat mereka terkejut dan terheran-heran. Akan tetapi ketika muncul gadis dari Lembah Es ini dan mereka semakin terkejut lagi, dua orang itu rupanya sudah bermusuhan lama maka teriakan dan sorak para tamu membuat ribut.

Mereka tiba-tiba ingin dua orang itu segera bértempur dan melihat kepandaian masing-masing, betapapun mereka yakin bahwa gadis yang cantik jelita itu tentu lihai. Kalau tidak tak mungkin berani menantang. Akan tetapi ketika sam-pangcu dari Pulau Api siap menggerakkan tubuhnya dan menyerang gadis ini maka Thian-te It-hiap tiba-tiba berseru.

"Kalian berdua jangan bertempur dulu, tunggu. Apakah sam-pangcu masih ingin berhadapan dengan aku atau gadis ini melayanimu!"

"Kau duduklah dan biarkanlah aku merobohkan tikus busuk ini, Ketahuilah diam-diam manusia ini ingin mengumpulkan dan menggerakkan orang-orang kang-ouw menyerbu Lembah Es, Thian-te It-hiap. Karena kau dimusuhi manusia macam ini dan aku sepihak denganmu biarlah kau wakilkan kepadaku menghajar tikus busuk ini. la tak membawa maksud baik, ia ingin menghasut. Daripada terlanjur biarlah kututup mulutnya dan harap kau duduk!"

Wan-siocia mendahului dan berseru nyaring. la tak segan-segan membuka rahasia ketua Pulau Api ini dan marahlah laki-laki itu. Tak dapat disangkal sesungguhnya ia datang untuk menguasai dan mengumpulkan orang-orang kang-ouw ini. Mereka akan digerakkan ke Lembah Es, menyerbu dan mengalahkan musuh bebuyutan mereka itu. Maka ketika tiba-tiba rahasia sudah dibuka dan orang-orang kang-ouw terkejut membelalakkan mata, ketua Pulau Api itu menjadi gusar mendadak ia memekik dan menerjang gadis ini.

"Kau kiranya menjual omongan busuk kepada tamu-tamu terhormat. Kalau benar aku hendak mengumpulkan mereka menyerbu Lembah Es adalah semata kesombongan kalian, Wan-siocia. Jangan memutar balik karena kaulah yang tampaknya hendak menghasut dan membujuk 0rang-orang kang-ouw menyerang Pulau Api!"

Sambaran angin panas disusul ledakan api dari telapak ketua Pulau Api itu. Dalam kemarahan dan kegeramannya langsung saja sam-pangcu ini mengeluarkan Giam-lui-ciang, dahsyat menyambar dan ketua-ketua partai persilatan terkejut disambar hangus. Ujung lengan baju mereka terbakar. Dan ketika ketua Sho-tong dan Bu-tong mengebut padam ujung baju mereka dengan Seruan kaget, meloncat dari kursi mereka maka Wan-siocia yang cantik jelita itu berkelebat dan mengangkat tangannya menyambut atau menangkis pukulan lawan yang ganas berhawa panas itu, membentak.

"Desss!" Dua orang itu tampak bergoyang-goyang akan tetapi gadis Lembah Es itu akhírnya terhuyung selangkah. Dari adu tenaga ini tampak betapa ketua Pulau Api itu benar-benar hebat. Akan tetapi karena lawan mampu menahan dan matapun terbelalak memandang gadis jelita ini, tadi serangkum hawa dingin menyembut maka tokoh Pulau Api itu bergerak dan menerjang kembali. Dua ledakan terdengar disuşul asap merah. Api yang menjilat!

"Cuwi-enghiong (para orang gagah) harap mundur menjauh. Pertandingan ini amat berbahaya!" Thian-te It-hiap yang tak mau para tamu celaka tiba-tiba berseru mengerahkan suaranya. Sampai di luar halaman suaranya mampu menembus ribut-ribut para tamu.

Ketua Bu-tong dan ho-tong maupun yang lain memang sudah meninggalkan kursinya. Mereka terkejut bukan main ketika Giam-lui-ciang yang menyambar dahsyat itu mengeluarkar jilatan api, membakar namun untung padam dikebut hawa dingin dari telapak gadis Lembah Es itu. Dan ketika masing-masing sudah menyelamatkan diri dan mereka yang di atas panggung berkelebatan saling serang maka api dan embun dingin silih berganti desak-mendesak membuat tempat itu hingar-bingar.

Mereka terbelalak melihat betapa gadis Lembah Es itu mampu menghadapi lawannya. Kini gadis itu berkelebatan bagai walet menyambar-nyambar dan benturan secara langsung dihindari. Ini karena adu tenaga keras lawan keras dimenangkan ketua Pulau Api itu. Meskipun selisih mereka sedikit namun sinkang ketua Pulau Api di atas lawannya. Gadis itu mengandalkan ginkangnya dan menyambar bagai burung srikatan ia menyergap dan membalas. Dari kiri dan kanan serta muka belakang ia menampar bagian-bagian tubuh lawannya dengan cepat. Hawa dingin menyambar dari telapaknya yang halus lunak itu.

Akan tetapi ketika hawa dingin ini berubah menjadi uap beku yang menahan gempuran-gempuran hawa panas terdengar suara cas-ces-cas-ces seperti api bertemu air maka para tamu membelalakkan mata dengan penuh kagum karena dari tempat sejauh itu mereka merasakan pula hawa dingin pukulan gadis itu dan enggigil seperti kena demam. Padahal jarak mereka dengan gadis itu ada belasan meter!

Akan tetapi yang tak kalah mengagumkan adalah pukulan-pukulan ketua Pulau Api itu. Setelah ia sendiri bergerak dan melepas pukulannya maka Giam-lui-ciang menyambar-nyambar dengan amat mengerikan. Apa saja yang berada di dekat situ hangus. Kertas warna-warni dan selendang sutera terbakar. Hiasan lantai panggung luluh lantak dan kalau saja tak ada pukulan hawa dingin itu mungkin saja panggung lui-tai terjilat api yang meledak-ledak. Sepasang lengan tokoh ini sudah seperti obor dan apa saja yang tersentuh menjadi terbakar.

Jangankan benda di dekat ketua Pulau Api ini, sedangkan ujung baju ketua-ketua partai saja hangus kalau tidak dikebut. Bhong Tek Hosiang bahkan berseru tertahan ketika rumbai di ujung toyanya terjilat, cepat menepuk sementara ikat rambut Kiam Kit Cinjin terkena percikanapi. Kalau tosu ini tidak cepat mengebut tentu rambutnya terbakar, salah-salah kepala menjadi hangus.

Maka ketika para ketua partai itu menjauhkan diri dan menonton dengan hati tegang, baru kali inilah mereka menyaksikan pertandingan yang begitudahsyat maka yang muda-muda tak kalah tercekamnya karena betapapun mereka takut kalau gadis secantik itu harus roboh dan dijilat api. Betapa sayang tubuh yang ramping padat itu. Betapa menyesalnya mereka nanti.

Namun yang dibayangkan tamu-tamu muda ini tak akan menjadi kenyataan. Mereka tak tahu bahwa Giam-lui-ciang mendapat tandingannya yang setimpal, yakni Bu-kek-kang (Pukulan Tak Berkutub). Pukulan ini tak kalah dahsyat karena mampu menghadapi Giam-lui-ciang yang panas berkobar-kobear. Hawa dingin yang keluar dari pukulan ini benar-benar meredam hawa panas, terjadi saling ganti antara dingin dan panas menguasai panggung lui-tai. Tapi ketika lama-lama hawa panas menindih hawa dingin, ketua Pulau Api membentak menambah tenaganya maka gadis itu terdesak dan dua kali ia terhuyung ketika menangkis. Akan tetapi inipun bukan berarti kekalahan yang cepat dari Wan-siocia itu.

Seperti sudah dikatakan di atas ia sedikit kalah tenaga dibanding lawannya. Karena itu berkelebatan mengerahkan ginkangnya ia pun menampar dan menangkis dari samping, menghindar dan mengelak adu keras tapi yang celaka adalah penonton. Mereka yang berada di belakang gadis ini menjadi sasaran, tiga orang menjerit dan bergulingan. Pakaian mereka terbakar. Dan ketika yang lain menjadi terkejut dan semakin pucat maka pertandingan di atas itu semakin mendebarkan dan menegangkan, apalagi ketika ketua Pulau Api membentak dan merobah gerakannya, maju mundur dengan langkah-langkah aneh yang tadi ditunjukkan muridnya.

Namun gadis bersanggul tinggi itu tak mau kalah. Melihat lawan mengeluarkan langkah saktinya iapun menggeser-geser kaki dengan cepat. Langkah ajaib dibalas langkah ajaib. Dan ketika para tamu terbelalak mendecak kagum, dua orang itu sama-sama mempergunakan langkah kaki yang sama maka mereka yang tak tahu asal-usul dua orang ini menjadi bingung siapakah sebenarnya pemilik langkah sakti itu.

Hal ini membuat ketua Pulau Api gusar. la tiba-tiba berseru keras melangkah cepat, tangan kiri dan kanan bergantian didorong ke depan. Lalu ketíka ia memutar dan mencegat segala langkah gadis itu maka tiba-tiba lawan terkejut dipapak dari delapan penjuru, tak mungkin mengelak kecuali menangkis.

"Des-dess!" Gadis ini terhuyung mundur. Lawan merangsek dan maju lagi dan empat kali ia memutar lengan. Hawa panas mendorong hawa dingin. Dan ketika gadis itu menangkis dan ia mengeluh tertahan maka untuk kedua kali gadis ini terhuyung. Selanjutnya ketua Pulau Api melakukan cara yang sama. la mencegat dengan dorongan-dorongan pukulannya tak memberi kesempatan gadis itu mengelak. Hal ini mengakibatkan gadis itu menjadi pucat, adu tenaga bakal membuat ia terdesak. Dan ketika ia menjadi marah dan berusaha lolos keluar tiba-tiba lawan tertawa bergelak melepaskan tujuh sinar hitam ke bagian depan tubuhnya.

"Plak-plak-plak!" gadis ini menangkis dan tentu saja marah. Tujuh pelor besi dihantam pecah, meledak dan berhamburanlah isinya berupa jarum dan paku-paku beracun. Itulah senjata rahasia yang dipunyai lawan dan agaknya kesal tak mampu merobohkan cepat, bertindaklah ketua Pulau Api ini secara curang. Ia mempergunakan kesempatan ketika gadis itu terkejut dan mundur menghalau puluhan senjata rahasia untuk menyelinap ke depan. Tangan kanannya tahu-tahu menghantam pundak lawan.

Dan karena gadis itu sedang sibuk menangkis jarum dan paku-paku yang berhamburan maka ia tak mampu mengelak dan tubuhnya terpelanting ke belakang, menjerit dan dikejar dan sebuah pukulan lagi mengenainya. Bajunya robek hangus. Namun ketika gadis itu membentak dan mencabut rantai perak yang melilit pinggangnya maka pipi ketua Pulau Api kena sabet.

"Plak!" Bersoraklah penonton yang berpihak kepada gadis Lembah Es in. Mereka semula khawatir dan menjadi pucat melihat betapa gadis itu didesak dan dicurangi. Beberapa di antara meraka memaki. Namun ketíka gadis itu mampu meloncat bangun dan menyabet dengan rantai peraknya maka penonton bersorak riuh memuji gadis ini.

Akan tetapi tokoh Pulau Api itu hanya sebentar terkejut. Pipinya panas dan perih tergores luka. la marah namun sadar akan kekeliruannya. Ia terlampau bernafsu mendesak tanpa ingat perlindungan diri sendiri. Maka ketika ia maju lagi dan tertawa beringas, ia telah memukul pundak lawan yang tampak kesakitan maka di sini ketua Pulau Api itu maju lagi dan Giam-lui-ciang di tangannya tetap berbahaya dan mencegat atau memotong jalan keluar gadis itu untuk selalu menangkis serangannya.

Gadis itu terhuyung dengan rantai perak gemetar di tangan dan pukulan di pundak benar-benar mengganggu. Tanpa diketahui seorangpun kulit pundaknya terbakar. la sudah mengerahkan sinkang namun bekas pukulan tetap terasa. Inilah yang membuat gerakannya mulai lamban dan saat itu lawan kembali melepas tujuh pelor hitam. Gadis ini tak berani menangkis dan benda itu meledak di belakang, jarum dan segala isinya mengenai penonton. Dan ketika orang mulai memaki dan mengumpat caci ketua Pulau Api itu maka lemahnya pertahanan gadis ini mulai diterobos.

Sedikit tetapi pasti gadis itu terdesak. Dua kali rantai ikat pinggangnya terpental. Sekarang orang melihat betapa gadis ini meringis menahan sakit, berkali-kali mendesis menekan pundak dan sadarlah tamu-tamu undangan akan derita gadis ini. Mereka yang bersimpati mulai bangkit berdiri. ketua Bu-tong dan Hoa-san mencabut pedang. Dan ketika Giam-lui-ciang menyambar dan gadis itu menangkis tiba-tiba ia mencelat dan terpental ke arah Thian-te It-hiap.

"Desss!" gadis itu mengeluh dan senjata di tangan terlepas. Terlalu lama menahan sakit membuat ia tak tahan juga, kulit pundaknya melepuh dan mencair. Maka ketika ia terlempar dan mencelat ke arah Thian-te It-hiap maka Bhong Tek Hosiang dan Kiam Ceng Cinjin meloncat naik.

"Curang, kau curang!"

Akan tetapi dua orang ini terkejut. Udara di atas panggung ternyata panas luar biasa hingga mereka seperti terbakar. Hanya karena simpati dan tak menyukai kecurangan laki-laki ini mereka melompat maju, melihat laki-laki itu hendak mengejar dan membunuh lawan. Maka ketika mereka terpekik oleh udara panas yang menyengat tubuh, saat itu ketua Pulau Api membalik dan mendorongkan lengannya ke arah mereka maka dua orang ini tak mampu berkelit disambar Giam-lui-ciang.

"Kalianpun curang, berani membokong orang. Pergilah!"

Dan ketua ini mengelak. Toya di tangan Blong Tek Hosiang menangkis sementara pedang di tangan Kiam Ceng Cinjin juga bergerak. Maksudnya hendak menangkis pukulan yang terasa amat dahsyat. Tapi ketika mereka terangkat dan terlempar ke belakang, bukan main dahsyatnya Giam-lui-ciang di tangan lawan mereka itu maka dua ketua ini berdebuk dan terguling-guling dengan toya dan pedang patah-patah, bibir mereka pecah kena kursi sementara tamu yang tertimpa menjerit dan roboh bergulingan pula. Bukan main kagetnya ketua Bu-tong dan Hoa-san ini. Setelah mereka berhadapan langsung dan mengetahui kehebatan lawan maka keduanya menjadi pucat dan melotot.

Mereka sudah meloncat bangun dengan muka merah padam, sebenarnya tak bermaksud menyerang sungguh-sungguh karena sekedar mencegah lawan mengejar gadis Lembah Es itu. Bukan maksud mereka untuk menyerang secara gelap. Maka ketika keduanya menjadi marah dan menggigil di situ, kini bangkitlah niat mereka untuk bertanding sungguh-sungguh maka mereka mencabut senjata baru namun tiba-tiba berkesiur angin dingin dan menyambarlah seorang gadis lain di atas panggung, cantik jelita dan gagah dan di sepasang tangannya memegang sepasang roda terbuat dari es beku!

Semua orang terkejut ketika tanpa banyak cakap lagi gadis ini menerjang tokoh Pulau Api. Tangannya bergerak dan roda aneh di tangannya itu melayang menyambar lawan. Lalu ketika lawan mengelak dan dikejar terus, sepasang roda itu bagai sepasang ular hidup maka bentakan nyaring merdu terdengar di sini.

"Sam-pangcu, kau licik melukai sumoiku. Sekarang hadapilah aku dan lihat berapa lama kau roboh!"

Benda bulat mendesing-desing itu sudah mengelilingi lawannya tak mungkin dielak lagi. Tokoh Pulau Api ini terkejut dan menangkis namun sepasang lengannya terpental. Itulah gadis berwajah dingin yang senyumnya mengerikan. Senyum itu sedingin es sementara matanya jarang berkedip. Inilah Thio-siocia atau Thio Leng sumoi dari Puteri Es, suci atau kakak seperguruan Wan-siocia dan datang setelah sumoinya dirobohkan. Kemarahan gadis ini tampak dari sepasang rodanya yang menyambar-nyambar. Itulah Siang-lun-jong-san atau permainan roda menembus Bukit, ke manapun lawan bergerak ke situ pula senjata ini mengejar. Lawan boleh melindungi diri akan tetapi roda es ini tetap meluncur.

Dan ketika tokoh Pulau Api itu memutar sepasang lengannya bagai payung melindungi diri, rapat membungkus dan hujanpun tak akan dapat menyerang masuk maka roda yang berputar dan kini mengaung-ngaung itu menghantam dan memuncratkan lelatu api, menerobos dan membuat kewalahan hingga akhirnya sebuah celah terbuka. Cepat sekali senjata itu menyambar masuk, meledak mengenai kepala sam-pangcu ini. Dan ketika laki-laki itu terbanting dan bergulingan maka ia sudah dikejar dan didesak lagi.

"Di sini kau mampus, kau mencelakai sumoiku!"

Pucatlah ketua Pulau Api ini. la bergulingan dan mengelak serta menangkis sepasang roda es itu akan tetapi lengannya selalu terpental tak kuat menahan serangan lawan. Menghadapi gadis ini sesungguhnya ia kalah setingkat. Thio Leng adalah tokoh nomor dua di Lembah Es sementara ia orang nomor tiga di Pulau Api. Maka ketika ia keteter dan datang-datang gadis itu menyerangnya tanpa banyak cakap lagi maka di awal pertandingan ia sudah terdesak hebat dan sepasang lengannya yang tadinya kemerah-merahan itu sekarang mulai putih terkena sambaran hawa dingin yang keluar dari serangan gadis itu.

Akan tetapi sebuah bentakan tiba-tiba terdenger. Sesosok bayangan menyambar ke atas dan seorang laki-laki bertubuh sedang namun tegap memasuki arena pertandingan. Lehernya dililit rantai hitam seperti akar bahar, menghantam gadis ini tanpa banyak cakap seperti tadi gadis itu menyerang lawannya. Dan ketika sinar merah menyambar gadis itu disusul hawa panas membakar panggung, mendorong hawa dingin maka gadis ini terkejut dan membalik dan secepat kilat roda es di tangannya itu menangkis.

"Prat-prat!" Satu di antara dua roda terpental dan gadis ini melempar tubuh ketika laki-laki itu masih menyambar meneruskan gerakannya. Ia terpaksa membanting tubuh menyendal sepasang rodanya ketika sepasang cahaya api mengejarnya, berjungkir balik dan turun dengan wajah berapi-api melihat pendatang baru ini. Dan ketika di sana Sam-pangcu dari Pulau Api itu meloncat bangun tertawa girang, laki-laki kedua itu berdiri dengan mata mencorong maka orangpun melihat betapa lengan laki-laki ini merah marong bagai obor terbakar.

"Suheng!"

Tamu undangan terbelalak. Kiranya yang datang adalah tokoh Pulau Api pula, Sam-pangcu itu berkelebat di dekat suhengnya dan memandang gadis bermata dingin itu. Inilah Bu Kok atau tokoh kedua Pulau Api, tandingan atau lawan setimpal gadis Lembah Es itu. Dan ketika Sam-pangcu berseri-seri sementara gadis itu merah padam berapi-api, alisnya dinaikkan tanda kemarahan yang sangat maka gadis ini membentak apakah orang hendak mengeroyoknya.

"Kau datang di sini, bagus. Sudah kuduga kalian orang-orang Pulau Api hendak mengail di air keruh, ji-pangcu. Kalau kau hendak mengeroyokku majulah, aku tidak takut!"

"Hm, kaupun meninggalkan sarangmu. Kau tiba-tiba di sini dan aneh sekali tertarik kepada segala urusan dunia luar, Thio-siocia. Apa maksudmu dan untuk apa pula kau ke sini."

"Aku memantau gerakan kalian yang keluar sarang. Aku melihat kalian orang-orang Pulau Api hendak menguasai dan menggerakkan orang-orang kang-ouw menyerbu Lembah Es!"

"Ha-heh-heh, kau tahu segala gerak-gerik kami. Hm, tak perlu kami sangkal bahwa kami ingin menggerakkan orang-orang kang-ouw menyerbu Lembah Es. Kau dan majikanmu terlalu sombong, Thio-siocia, merasa menang sendiri. Kami ingin menghancurkan kalian dan menghadiahkan kalian kepada orang-orang kang-ouw yang membantu kami!"

Bertepuk-riuhlah sebagian tamu undangan mendengar ini. Setelah mereka tahu bahwa penghuni Lembah Es kiranya adalah gadis-gedis cantik sedemikian rupa maka tentu saja merekapun tertarik dan bergairah. Para tamu muda yang merupakan kelompok hidung belang dan doyan paras cantik tiba-tiba tentu saja menyambut baik kata-kata ketua Pulau Api itu. Mereka bersorak. Akan tetapi ketika gadis itu membentak dan menudingkan telunjuknya maka Bhong Tek Hosiang dan ketua-ketua partai lain yang tentu saju bukan tergolong anak-anak muda haus berahi mengangguk-angguk.

"Kalian orang-orang Pulau Api memang kasar-kasar dan bernaluri rendah. Kami orang-orang Lembah Es bukan wanita yang gampang kau robohkan, ji-pang-Cu. Kalau kami kalah maka kalian hanya akan mendapatkan mayat kami. Lembah Es tak boleh dihina, kami bukan boneka!"

"Heh-heh, tak apa. Biarlah sekarang kutanya para tamu undangan apakah mereka tak mau mendapat hadiah gadis-gadis cantik Lembah Es. Hei....!" ji-pangcu itu berseru, memandang ke bawah. "Apakah kalian tak mau membantu kami kalau hadiahnya gadis-gadis seperti ini, cuwi-enghiong. Lembah Es terdiri dari Wanita-wanita sombong dan kita sebagai laki-laki harus menundukkannya. Jawab apakah kalian tak ingin menikmati wanita semacam ini kalau kuajak menyerbu Lembah Es!"

Akan tetapi gadis di atas panggung itu tiba-tiba berkelebat. Ia begitu marah dihina seperti itu, tanpa banyak cakap lagi menerjang dan memotong omongan orang. Namun ketika ji-pangcu dari Pulau Api itu mengelak dan menangkis maka dua sinar putih dan merah meledak menggetarkan lantai panggung. "Dukk!" Dua-duanya terdorong. Dari sini dapat dilihat betapa mereka miliki kekuatan berimbang namun sam-pangcu tiba-tiba membentak. Tanpa banyak cakap ia menyerang gadis itu. Lalu ketika suhengnya tertawa dan menyambar gadis ini pula maka gadis itu memutar tubuh menangkis ke kiri kanan.

"Duk-dukk!" Bersoraklah tamu undangan muda. Mereka yang hidung belang sudah terbakar kata-kata ji-pangcu dari Pulau Api itu untuk mendapatkan hadiahnya. Bayangan mereka sudah dipenuhi nafsu cabul. Maka ketika gadis itu terhuyung dan marah serta melotot tiba-tiba ia menggerakkan lagi sepasang roda esnya namun tiba-tiba roda es itu tertahan di udara dan Thian-te It-hiap muncul di situ, menangkap atau menahan benda inl.

"Hm!” suaranya terdengar penuh wibawa dan menggetarkan semua orang. "Tempat ini adalah tempatku, sam-wi-enghiong. Kalau kalian hendak bertempur maka minta ijin dulu kepadaku. Kalian tak tahu hormat, akulah tuan rumah dan kalian tamu liar. Kau...!" kakek itu menuding ji-pangcu. "Sekali lihat orang akan tahu bagaimana sepak terjangmu, ji-pangcu. Kalian orang-orang Pulau Api memang tidak punya aturan. Kau dan sutemu ini sama saja, sama-sama curang. Aku membela gadis ini dan sekaranglah saatnya aku menunjukkan kepandaian. Kalian majulah dan keroyok aku, atau kalian berlutut dan cepat minta ampun atau justeru aku dan para cuwi-enghiong di sini meluruk ke tempat kalian dan menghancurkan Pulau Api!"

Ji-pangcu Pulau Api itu terkejut. Ia berhadapan dengan seorang kakek yang matanya berkilat meneorong bagai mata seekor naga sakti. Ia telah mengerahkan sinkang untuk melawan pandang mata ini namun tetap saja tak kuat. la merasa pedih, sepasang matanya terbakar. Dan ketika ia menunduk dan menggeleng membuang pengaruh tatapan mata itu maka ji-pangcu ini kaget sekali karena dari pandang mata itu saja ia maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang yang memiliki kesaktian tinggi, tenaga batin yang amat kuat juga sinkang (tenaga sakti) yang amat luar biasa!

"Hm, kau tua bangka banyak mencari perkara. Kalau kau membela gadis ini tentu karena rasa tertarik kepada kecantikannya, Thian-te lt-hiap. Heran bahwa kau seorang kakek-kakek masih juga tergiur seperti anak muda. Kami dari Pulau Api tidak takut, memang datang secara diam-diam untuk merebut kedudukan bengcu. Nah, kau majulah dan jangan bicara macam-macam. Gadis seperti ini tak mungkin sudi kau dekati!"

Para tamu tertawa, akan tetapi orang-orang seperti Bhong Tek Hosiang dan kawan-kawan tentu saja menunjukkan sikap serius. Mereka tak tertawa mendengar ejekan tokoh Pulau Api itu bahkan merasa muak. Dari sepak terjang dan tindak-tanduk orang-orang ini maklumlah mereka bahwa orang-orang Pulau Api memang kasar dan berwatak curang. Sekali lihat segera mereka tahu mana baik mana buruk, mana yang perlu dibela dan mana yang harus dilawan.

Tapi melihat betapa lihainya orang-orang Pulau Api itu dan betapa dua di antara mereka terpental keluar panggung, dahsyatnya Giam-lui-ciang telah dirasakan Bhong Tek Hosiang dan Kiam Ceng Cinjin maka para ketua partai yang lain maklum bahwa berhadapan dengan tokoh-tokoh Pulau Api ini memang berbahaya. Akan tetapi majunya Thian-te It-hiap membawa harapan. Kakek itu telah melepaskan roda es milik gedis itu dan maju ke depan, melindungi gadis ini atau mungkin agar gadis itu mundur dahulu.

Thio Leng atau sumoi Puteri Es ini memang masih terbakar, mukanya merah padam. Namun karena kakek itu membela dan kata-katanya lebih banyak ditujukan kepada tokoh-tokoh Pulau Api itu, ji-pangcu dan Sam-pangcu maka ia pun diam tak bergerak akan tetapi sepasang matanya tetap bersinar-sinar menahan marah memandang dua lawannya itu. Dan kakek inipun tiba-tiba mendorongnya.

"Mundurlah," gadis itu mencoba bertahan namun gagal, tetap terdorong. "Mereka telah memutuskan nasibnya sendiri, nona . Aku akan memberi pelajaran dan bawa pedangku ini."

Kakek itu menyerahkan pedang dan sebagai gantinya ia memegang tongkat di tangan. Tongkat inilah yang tadi disodorkan sam-pangcu dari Pulau Api namun keburu dicegah Wan-siocia dari Lembah Es itu. Gadis inipun tiba-tiba berkelebat dan muncul di atas panggung, ia telah sehat dan pulih kembali. Dan ketika sang enci heran dan terkejut dijawil lengannya, diajak mundur maka dua gadis ini meloncat turun dan di bawah panggung Wan-siocia itu berbisik-bisik.

Sang cici terbelalak dan melebarkan mata. Hoa Siu, cucu Thian-te It-hiap tiba-tiba maju dan memberi hormat, sikapnya merunduk dan tampak ketakutan, atau segan. Dan ketika tiga gadis itu saling berbisik-bisik namun tak ada yang memperhatikan mereka maka di atas panggung, menyodorkan tongkatnya kakek itu berkata lagi,

"Keras atau ringan aku melayani kehendak kalian. Nah, sebelum mulai marilah kita kencangkan otot main-main dengan tongkat ini. Aku akan memegangnya dan kalian menarik. Kalau tongkat ini terampas biarlah aku mengaku kalah, pertandingan tak usah dilanjutkan."

Dua ketua itu menjadi merah. Sam-pangcu memandang suhengnya sementara sang suheng memandang kakek ini. Lagi-lagi mereka beradu pandang akan tetapi lagi-lagi ji-pangcu Pulau Api ini merasa panas. la merasa matanya pedih. Sepasang mata kakek itu demikian tajamnya hingga ia pun tak kuat menentang, makin ditentang semakin pedih, air matanya keluar! Dan ketika laki-laki itu menjadi kaget dan gusar serta penasaran akhirnya memandang tongkat itu mendadak ia pun menyambar dan membentak.

"Baik, aku akan merampas dan lihat seberapa lama kau tahan!"

Kelima jari ji-pangcu itu sudah mencengkeram dan tongkatpun ditarik, bukan sembarang ditarik melainkan tentu saja dengan pengerahan sinkang. Lengan ketua Pulau Api ini merah marong, cepat sekali ia mengerahkan Giam-lui-kangnya dan ingin sekali renggut tongkat terampas. Tapi ketika dengan tenangnya kakek itu menjepit tanpa banyak bergerak, betotan atau tarikan lawannya terasa kurang, maka laki-laki itupun menyalurkan Giam-lui-kangnya hingga tongkat seketika terbakar dan merah bagai bara!

"Lepaskan!"

Akan tetapi sia-sia. Tongkat itu terbakar namun di tengah jalan tiba-tibe meredup. Bagian gagang yang dijepit kakek ini mengeluarkan uap dingin, uap ini melawan hawa panas dan tiba-tiba sekejap kemudian tongkat itu pulih kembali. Tongkat yang menjadi bara lenyap panasnya, menjadi tongkat biasa lagi. Dan ketika tokoh Pulau Api itu terkejut dan membentak lagi maka ia menambah tenaganya dan tongkat kali ini menjadi api! Akan tetapi kakek itu meniup. Seperti orang meniup kayu bakar maka apipun padam.

Hal ini membuat penasaran ji-pangcu itu dan kembali laki-laki ini membentak. Ia marah sekali. Dan ketika tongkat kembali menyala dan berkobar menjilat-jilat maka lagi-lagi kakek itu meniup dan apipun padam. Hal ini terjadi tiga kali berturut-turut dan ji-pangcu Pulau Api itu terkejut. la telah mengerahkan Giam-lui-kangnya sepenuh bagian. Dan ketika ia terbelalak dan menggerakkan tangannya yang lain maka kini ia mencengkeram tongkat dengan kesepuluh jari dan sambil berseru keras ia menarik mengerahkan sinkangnya.

"Lepaskan!" Namun kakek itu tak bergeming disentak dan ditarik sekuat apapun tongkat tetap dijepit tenang. Kini hawa panas tak mempengaruhi lagi, uap dingin membekukan tongkat hingga sekarang ketua Pulau Api tak mampu membakarnya lagi. Dan ketika ketua itu menarik dan tetap gagal tiba-tiba badan tongkat yang dipegang begitu dingin menembus hawa panas yang disalurkan lewat kesepuluh jarinya, menyengat dan membuat laki-laki itu menjerit.

"Aughhh!" Sang pangcu melepaskan tongkatnya. la terbelalak memandang kakek itu dan nampak pucat. Hawa dingin menembus telapaknya menusuk tulang sumsum. Kalau ia tak cepat-cepat melepaskan tongkat itu tentu jarinya akan menjadi kaku, bahkan mungkin sekujur tubuhnya menjadi Es. Maka ketika ia terbelalak dan ngeri memandang kakek ini, bukan Bu-kek-kang yang dirasa melainkan sinkang dingin yang seakan pernah dikenalnya maka ia terbelalak dan gentar memandang kakek itu, mengingat-ingat.

"Kau..., kau siapa?"

"Aku Thian-te It-hiap. Maju dan coba kembali kalau bisa, ji-pangcu, bersama saudaramu kalau masih penasaran."

Laki-laki ini marah. Dalam adu tenaga tadi tiba-tiba ia seakan mengenal siapa kakek ini. Akan tetapi karena wajah ini pertama kali ini dilihat dan iapun bingung maka tiba-tiba ia membentak sutenya agar maju membantu. "Tua bangka ini sombong, bantu aku dan kita rampas tongkatnya!"

Sam-pangcu dari Pulau Api mengangguk. Sejak ia melihat suhengnya berkutat diam-diam pria ini heran juga. Giam-lui-kang yang dikerahkan suhengnya tidak main-main. Warna terbakar yang ada di lengan suhengnya itu menjadi bukti. Akan tetapi ketika suhengnya berteriak dan malah melepaskan tongkat, kedinginan maka ia menjadi penasara dan ingin mencoba pula. Dan dua tokoh Pulau Api ini bergerak dan tiba-tiba mencengkeram dan menarik tongkat.

"Satukan tenaga, hup!"

Lucu melihat ini. Dua orang-orang lihai menggabungkan kekuatan merampas tongkat dari seorang kakek tua, padahal kakek itu henya menjepit dengan jari telunjuk dan jari tengahnya. Dan ketika keduanya mengerahkan Giam-lui-kang dan tongkat terbakar mengeluarkan api maka kakek itu tampak sedikit tegang dan tongkat tiba-tiba tertarik, sang kakek terbawa maju.

"Ayo... ayo tarik!"

Para undangan terbelalak. Mereka melihat kejadian mendebarkan dari adu tenaga ini. Kalau kakek itu sampai melepaskan tongkatnya maka kalahlah dia. Selanjutnya mungkin pibu dipimpin orang orang Pulau Api. Tiba-tiba ada rasa tak rela kalau kakek itu kalah. Thian-te It-hiap harus menang! Maka ketika Bhong Tek Hosiang dan kawan-kawan bangkit berdiri berseru dan bertepuk tangan maka dipihak lainpun para tamu yang berpihak orang-orang Pulau Api itu berdiri pula, menandingi dan ikut berteriak-teriak.

"Tarik... tarik. Robohkan tua bangka itu, ji-pangcu. Rebut tongkatnya dan kalahkan dia!"

"Tidak, pertahankan, Thian-te It-hiap. Tarik dan pertahankan tongkat....!"

Putri Es Jilid 31

Cerita Silat Mandarin Karya Batara

"BRESSS!" Bergulinganlah kakek ini dengan muka pucat. Tak disangkanya sama sekali bahwa segebrakan itu saja senjatanya putus terbabat, pedang terus menyambar kalau ia tidak membuang tubuh tentu tubuhnya terpotong menjadi dua. Bukan main hebat dan ganasnya ilmu pedang gadis itu. Dan ketika ia meloncat bangun dan termangu dengan muka berubah-ubah, hitam dan merah serta pucat maka Hoa-siocia di atas panggung itu menyimpan pedangnya dan memandangnya dengan tawa mengejek.

"Kau boleh maju lagi kalau penasaran. Ambil senjatamu yang baru dan mari naik lagi kalau belum puas."

Tepuk riuh tiba-tiba terdengar. meledak. Tamu undangan tiba-tiba bersorak-sorai dengan penuh kagum. Merekapun takjub bukan main oleh kehebatan gadis ini. Para ahli pedang mendecak tak habis-habisnya. Dan ketika kakek tinggi besar itu masih terguncang dan terbelalak di bawah panggung maka melesatlah seosok tubuh bongkok disusul kekeh serak.

"Heh heh, hebat sekali, luar biasa. Menurut aturan berarti pihak tuan rumah menang. Eh, bagaimana kalau sekarang hi-cit-le dan aku maju berbareng, nona. Beranikah kau melayani kami dan tidakkah kami disebut curang."

Berhentilah semua tepuk riuh. Semua orang memandang dan bisik-bisik terdengar di sana-sini. Seorang pengemis bongkok, matanya menyipit namun tajam bersinar-sinar memandang gadis di depannya itu dengan nafsu terpendam dan agak benci. Hoa-siocia mengerutkan kening dan bertanya siapa lawan. Dan ketika kakek itu terkekeh dan menyebutkan dirinya ternyata ia adalah ketua Hwa-i Kai-pang. Aku si tua adalah Hwa-tung Lo-kai (Pengemis Tongkat Kembang), dari Hwa-i Kai-pang. Kebetulan aku diangkat sebagai ketua dan empat suteku yang pernah kemari telah menyampaikan kepadaku hadiah dari rumah ini. Terima kasih, telinga mereka telah kusambung lagi."

Hoa-siocia terkejut. Ia memandang pengemis ini dan saat itu bergeraklah bayangan-bayangan di luar tamu undangan menuju panggung. Cepat sekali delapan orang berada di depan, pengemis berpakaian tambal-tambalan, empat di antaranya adalah si buntung telinga itu, orang yang telah dihajar cing Cing dan pulang membawa malu. Dan ketika ia sadar dan tertawa mengejek maka murid-murid Thian-te It-hiap pun mencegat dan cepat sekali delapan orang itu dihadang lebih jauh.

"Hm, kiranya yang terhormat ketua Hwa-Kai-pang. Meskipun aku mengundangmu namun baru kali ini kita berhadapan muka, orang tua. Tak apa, usulmu kuterima. Boleh saja kau ditemani Thi-cit-le. Silakan berdua maju!"

Si Besi Berduri terbelalak. Setelah kakek ini terlempar keluar panggung dan kalah begitu mudahnya sebenarnya kakek ini penasaran dan belum puas. Bagaimana puas kalau tadi ia membuang diri ke tempat kosong. la lupa bahwa belakang tubuhnya tak ada tempat, jadi kalah secara penasaran dan belum sebenarnya. Maka ketika Hwa-tung Lo-kai berkata seperti itu dan gadis itupun tak menolak permintaan orang mendadak ia menggeram dan meloncat lagi, tubuhnya melayang naik.

"Aku memang belum puas, kekalahanku belum bisa dibilang mutlak!"

Gadis itu tersenyum mengejek. la memandang kakek ini dengan sikap merendahkan dan tamu undangan bertepuk riuh. Masuknya Si Besi Berduri itu disambut pro dan kontra. Yang setuju tentu saja mereka yang tergolong orang-orang tak punya aturan, kaum sesat yang biasanya memang bersikap tak perduli. Sementara para ketua partai, mereka orang-orang terhormat tentu saja mengerutkan kening dan tak menyukai sikap Si Besi Berduri ini.

Penasaran atau tidak, puas atau tidak kakek itu telah keluar panggung. Ini sudah menunjukkan ia tak layak maju lagi dan seharusnya mundur. Namun karena orang-orang seperti kakek itu adalah orang-orang sesat tak tahu malu, mereka memang belum kapok kalau belum mendapat hajaran keras maka ketua-ketua partai ini tersenyum mencibir dan mereka justeru merendahkan Si Besi Berduri ini, menganggap orang tak tahu diri dan mencari penyakit.

Dua orang itu sudah berhadapan dengan nona rumah. Hwa-tung Lo-kai mencabut senjatanya terkekeh menahan benci, diam-diam sepasang matanya berkilat dan ingin membalas dendam. Pulangnya empat pembantunya dibabat sebelah telinganya tentu saja membuat ia sakit hati. Kini saatnya membalas kekalahan dan melampiaskan dendam. Ia sengaja menantang keroyokan kalau gadis itu berani, tidak takut untuk sendirian akan tetapi lebih baik kalau bisa maju berdua. la ingin cepat-cepat membayar hutang!

Maka ketika ia mencabut tongkatnya sementara kawannya sudah mengeluarkan senjatanya yang berbesi berbandul di balik ikat pinggang maka tongkat kembang terbuat dari kayu tua digerak-gerakkan ketua Hwa-i Kai-pang ini di mana dari gerakan itu terdengar suara "nguk-nguk" tanda pengerahan tenaga yang menyembunyikan kedahsyatan.

"Kami jangan dianggap curang. Kalau sekiranya takut aku sendiri juga dapat menghadapimu. Heh-heh, tak ada yang ingin kupaksakan di sini, nona. Kalau kau merasa berat biarlah Thi-cit-le mundur, atau aku yang mundur dan nanti maju lagi sendiri."

"Tak perlu banyak mulut. Aku telah menerima tantanganmu, Hwa-tung Lo-kai, majulah, aku telah siap!"

Semua orang kagum. Gadis baju putih di atas panggung itu benar-benar gagah dan sikapnya berani sekali. lapun telah mencabut pedang. Dan ketika kakek itu mengangguk dan terkekeh berseru perlahan tiba-tiba ia telah mengajak temannya untuk maju menyerang.

"Tuan rumah sudah menantang kita, mari maju!" si Besi Berduri tak menunggu waktu. Begitu Hwa-tung Lo-kai menyambar ia pun berkelebat menggerakkan bandul berdurinya, menderu dan bersama tongkat menghantam gadis di depan mereka. Tongkat menyambar kepala sementara senjata si kakek tinggi besar menghantam dada. Sekali kena tentu remuk. Tapi ketika gadis itu berkelit dan Hwa-tung Lo-kai mengejar dengan tusukan dan sodokan maka Thi-cit-le juga tak mau membuang-buang kesempatan mengayun besi berdurinya itu.

"Wher-wherrr..." Gadis ini tiba-tiba berkelebat lenyap. Gerakan tubuhnya menghilang entah kemana dan tiba-tiba dua senjata dua orang itu berdentang nyaring. Tongkat bertemu besi berduri. Dan ketika dua orang itu terkejut menarik senjata mnasing-masing maka dari atas meluncur bayangan putih itu dan bunyi desing mengerikan telinga.

"Aiihhhhh..." dua orang itu berteriak dan mereka cepat melempar tubuh ke kiri kanan. Tepat sekali bunyi pedang membabat dan masih juga ujung baju dua orang itu robek, nyaris kalah cepat. Dan ketika gadis itu turun lagi di panggung dan bersilat serta memutar pedangnya naik turun bergulung-gulung tiba-tiba saja dua orang ini terbungkus tubuhnya dan lenyap di bawah gundukan sinar pedang yang melebar dan sudah membungkus lawan-lawannya tak dapat keluar lagi, hanya dalam waktu begitu singkat.

"Hebat, luar biasa. Aih, benar-benar Giam-lo Kiam-sut yang amat mentakjubkan!"

Kiam Ceng Cinjin dan Kiam Kit Cinjin dari Hoa-san dan Khong-tong sama-sama berseru keras. Mereka kagum bukan main karena sekejap kemudian sinar pedang bergulung-gulung bagai awan menyergap dua ekor elang, membungkus dan menggulung hingga dua ekor elang itu tak dapat ke mana-mana. Tongkat maupun bandul berduri macet di tengah jalan, setiap bergerak sudah dipotong dan disambar pedang di tangan gadis itu. Dan karena masing-masing sudah tahu betapa hebatnya pedang di tangan gadis itu, tajam mengerikan hingga bandul berduri di tangan si kakek tinggi besar putus terbabat.

Maka baik Hwa-tung Lo-kai maupun Thi-cit-le sama-sama tak berani beradu senjata takut senjata di tangan mereka putus. Akibatnya dua orang ini selalu menarik tongkat maupun bandul kalau sinar putih menyambar cepat, tak mau kalah hanya dalam beberapa gebrakan saja. akan tetapi karena hal ini berarti menyulitkan diri sendiri, permainan mereka tak bisa berkembang baik maka yang terjadi adalah kedudukan mereka yang dikendalikan lawan, terbungkus dan digulung-gulung cahaya pedang yang kian melebar.

Siapapun takjub dan membelalakkan mata melihat ini. Kehebatan mendiang Hu Beng Kui terlihat lagi, tontonan ini benar-benar menarik. Dan ketika tongkat maupun bandul berduri di bawah kekuasaan sinar pedang yang begitu hebat akhirnya ruang gerak mereka menjadi kecil dan "tas-tas" putus juga dua senjata itu terbabat pedang. Penonton bersorak dan menjadi riuh dan Hwa-tung Lo-kai maupun Thi-cit-le menjadi pucat. Ternyata mengeroyok dua mereka juga tak mampu menang. Maka ketika tiba-tiba kakek tinggi besar itu membentak dan mengayun tangannya maka lima paku beracun menyambar gadis itu, disusul pula oleh Hwa-tung Lo-kai yang menyemburkan jarum dari mulut.

Akan tetapi gadis baju putih itu tertawa mengejek. la telah menguasai lawannya luar dalam dan apapun yang dilakukan tak akan berbahaya lagi. Begitu pula lima paku beracun dan jarum-jarum halus itu. Maka ketika ia berseru keras memutar pedang membungkus diri sendiri maka semua senjata rahasia itu terpukul balik dan menancap di tubuh tuannya sendiri.

"Tring-tring-trang!"

Terhuyunglah dua orang itu. Senjata terlepas dan tangan mendekap bagian tubuh yang terluka. Empat di antara lima paku beracun mengenai pundak dan leher Thi-cit-le, kakek itu mengeluh. Dan ketika di sana Hwa-tung Lo-kai mendekap pipinya yang berlumuran darah, tujuh jarum menancap di sini maka ketua Hwa-i Kai-pang itu roboh dan melesatlah delapan anak muridnya menyambar tubuh sang ketua, turun dan dibawa lari! Thi-cit-le tak ada muka lagi. la telah dua kali dikalahkan dan sadar akan kepandaian diri sendiri. Kakek ini meloncat turun panggung dan lari pula, menelan obat penawar dan menghilang keluar rumah.

Lalu ketika penonton bersorak riuh dan keadaan menjadi begitu ribut maka Hoa-siocia di atas panggung telah menyimpan kembali pedangnya dan hanya mengusap sedikit keringat. Pipinya kemerahan tapi sama sekali tidak nampak kelelahan. Kagumlah tamu undangan akan kelihaian gadis ini. Baru gadis itu saja tuan rumah sudah menunjukkan kebolehannya, apalagi kakek berjuluk Thian-te It-hiap itu. Dan ketika semua orang bertepuk riuh dan agaknya tak ada lagi yang berani ke atas panggung mendadak berkelebatlah seorang pemuda dan tepuk riuh tiba-tiba lenyap dan berhenti.

"Aku mengagumi ilmu pedang Giam-lo Kiam-sut, sungguh luar biasa. Tapi aku juga ingin coba-coba dan bolehkah menandingi tuan rumah."

"Dan aku juga ingin menjadi bengcu. Kalau aku dapat merobohkan Thian-te it-hiap akupun ingin menguasai dunia!"

Muncullah seorang lain yang membuat tamu undangan terbelalak karena baik pemuda itu maupun orang kedua ini sama sama memiliki tubuh kemerah-merahan. Berdiri di tempat terang-benderang saja keduanya seakan bara api yang menyala-nyala, apalagi kalau di tempat gelap, tentu seperti obor! Dan ketika semua orang terkejut dan gadis di atas panggung berseru tertahan maka Hoa-si cia yang tadi tampak gagah perkasa dan penuh keberanian itu tiba-tiba seakan kuncup dan kelihatan gentar. Mukanya pucat.

"Kalian orang-orang Pulau Api!"

"Ha-ha, sudah dikenal, bagus. Kami memang orang-orang Pulau Api, nona, bagaimana kau mengenal kami. Ah, aku adalah orang she See, namaku Kiat Lam, dan ini muridku Siauw Lok!"

Orang-orang tertegun. Mereka baru kali itu mendengar nama Pulau Api dan tentu saja heran. Akan tetapi melihat betapa kulit tubuh pemuda dan gurunya itu bergetar-getar penuh hawa panas bahkan ketua Hoa-san dan Kun-lun serta yang lain yang duduk di depan merasakan hawa panas dari tubuh dua orang itu maka para ketua partai terkejut karena maklumlah mereka bahwa orang-orang yang memiliki hawa sakti Yang-kang (Panas) berada di depan mereka. Orang yang belum mereka kenal tapi yakin menyimpan kekuatan dahsyat!

Hoa-siocia mengeluarkan keringat dingin dan mengeluh. Aneh sekali gadis ini tiba-tiba terhuyung, mundur dan saat itulah sebuah tangan mencengkeram pundaknya. Thian-te It-hiap, kakek yang tadi duduk di atas kursinya itu mendadak, berkelebat dan menekan pundak cucunya ini. Majunya kakek ini membuat semua orang berdebar, semakin kuat lagi bahwa dua lawan di atas panggung itu memang betul-betul tak boleh dibuat main-main. Majunya kakek ini menunjukkan bobot lawan yang tentu berat! Dan ketika semua orang terbelalak dan menjadi tegang maka kakek itu batuk-batuk dan berdehem.

"Kalian orang-orang dari Pulau Api memang telah kami kenal. Dan kau, hm... kau adalah sam-pangcu (ketua nomor tiga) yang gagah tapi licik, orang she See. Kalau kau tiba-tiba muncul disini dan ingin menjadi bengcu tentu niat baikmu tak ada. Pibu telah kami buka, siapapun boleh maju. Tapi kalau ingin mengeroyok dan menunjukkan kepandaian maka akulah lawanmu."

"Ha-ha-heh-heh-heh! Thian-te It-hiap maju sendiri menyambut aku. Ah, kehormatan besar bagiku, orang tua, tapi mengejutkan bahwa kau mengenal aku begitu baik. Benar, aku adalah sam-pangcu Pulau Api, luas benar pengetahuanmu hingga mengetahui siapa aku. Ha-ha, tak usah sembunyi-sembunyi. Aku memang masih mempunyai dua orang suheng lagi di sana. Kalau mengeroyok, hmm.... aku tak ingin mengeroyok. Justeru aku hendak menunjukkan kepada semua orang gagah di sini bahwa apa yang dapat kau lakukan dapat kulakukan pula. Aku juga sanggup dikeroyok orang-orang macam ketua Hwa-i Kai-pang itu atau Thi-cit-le!"

"Mereka telah pergi, tak usah mencari-cari. Kalau kau ingin maju maka akulah lawanmu."

"Ha-ha-heh-heh-heh, tak perlu buru-buru. Kalau kau maju maka muridku inilah yang menjajal lebih dulu, Thian-te It-hiap Kalau kau menang baru aku yang melawanmu!"

"Kalau begitu biar cucuku ini, kita belakangan. Muda sama muda dan kita tua sama tua."

Lalu menepuk cucunya berbisik perlahan kakek ini bicara, "Tak perlu takut, aku menjagamu. Kalau orang she See itu macam-macam maka aku tandingannya."

Aneh, gadis baju putih memperoleh keberaniannya kembali. la yang semula takut dan kelihatan pucat tiba-tiba mengangguk dan bersinar-sinar lagi. Tak ada orang tahu betapa dalam tepukan tadi Thian-te It-hiap memasukkan tenaga saktinya, menggetarkan tubuh gadis ini dan bersamaan itu bergeraklah semacam tenaga dahsyat mengaliri semua aliran darah. Tepukan tadi bukan sembarang tepukan melainkan semacam kesaktian yang disebut Bu-khi-hiat-keng (Buka Jalan Darah Masukkan Tenaga Sakti).

Dengan ini keberanian dan semangat gadis itu timbul, muka yang semula pucat menjadi kemerahan kembali. Dan ketika gadis itu merasa betapa seluruh syaraf di tubuhnya bergetar oleh hawa hangat yang menyusup sampai jauh ke ujung kaki, juga rambut dan bulu-bulu matanya maka saat itulah sam-pangcu dari Pulau Api tertegun melihat sepasang mata mencorong dari gadis baju putih ini. Kilatan cahaya yang jauh lebih tajam daripada biasanya!

Akan tetapi tokoh Pulau Api ini tak menduga apa yang terjadi. Dia tertawa dan mengebutkan pakaiannya dengan sombong, apipun memuncrat dan tokoh-tokoh partai terkejut melihat ini. Kebutan itu tampaknya biasa saja akan tetapi semua logam yang ada di baju itu bergemerincing. Kancing bajunya meletikkan api. Lalu ketika dia berkelebat dan turun ke bawah tahu-tahu di sekeliling tamu undangan telah muncul belasan orang lain yang tubuhnya juga bersinar kemerahan. Mereka muncul bagai iblis saja!

Hoa-siocia atau gadis baju putih terkejut. Anak-anak murid Thian-te It-hiap juga terkejut namun tamu-tamu aneh itu telah bermunculan di situ. Tak dapat dicegah lagi mereka telah berada di antara para tamu undangan. Itulah orang-orang Pulau Api atau anak murid Sam-pangcu ini. Akan tetapi ketika Thian-te It-hiap nampak tenang-tenang saja dan di atas panggung pemuda bertubuh tegap itu senyum mengejek maka ia mengerotokkan buku-buku jarinya dan tiba-tiba dari sepuluh jari-jarinya itu mengepullah asap merah.

"Aku Siauw Lok murid rendahan dari Pulau Api, mohon pelajaran dari nona dan siapkah nona sebelum kita bertanding."

Gadis ini akhirnya sadar. la telah memandang kembali pemuda di depannya ini dengan sinar mata berapi. Tepukan Bu khi-hiat-keng benar-benar membangkitkan keberaniannya. la merasa getar-getar hawa sakti memenuhi seluruh ujung syarafnya. Maka ketika ia membentak dan mencabut pedangnya iapun berseru agar pemuda itu mencabut senjatanya pula.

"Aku akan mempergunakan pedangku mainkan Giam-lo Kiam-sut, keluarkan senjatamu dan cepat kita mulai. Atau jangan salahkan aku kalau kau bertangan kosong!"

"Ha-ha , kaki tangan adalah senjataku yang utama. Kami orang-orang Pulau Api tak pernah bersenjata, kecuali kalau kami terdesak. Majulah dan jangan sungkan-sungkan!"

Belum habis kata-kata ini tiba-tiba pedang di tangan gadis itu bergerak. Tidak seperti tadi yang menunggu diserang adalah kali ini gadis itu mendahului menyerang. Rupanya ia tahu baik siapa pemuda dari Pulau Api ini. Maka ketika ia membentak dan tidak bicara panjang lebar lagi iapun bergerak dan pedang sudah mencuat ke atas untuk menusuk leher lawan.Tidak berhenti disini kaki gadis itupun mengikuti, bergerak setengah lingkaran untuk mengejar kalau lawan menghindar. Dan ketika benar saja pemuda tu mengelak dan mundur selangkah maka pedang sudah mencuat lagi dengan ganas dan tetap menuju leher.

"Plak-plak!" si pemuda menangkis dan terkejut juga. Gadis itu tetap mengikutinya dan kalau ia tidak menangkis maka kejaran demi kejaran akan memberondongnya. Kedudukannya bakal terdesak dan keganasan pedang itu benar-benar luar biasa sekali. Tapi ketika ia menangkis dan telapaknya mengeluarkan uap merah ternyata ia terhuyung dan pedang terus menyambarnya juga.

"Keparat!" pemuda ini membentak dan kaget serta heran. Dari tangkisan tadi ia merasakan getaran kuat dari hawa dingin yang membuyarkan tenaga Yang-kangnya. Angin pedang mendesak tenaga panasnya itu. Dan ketika ia terkejut dan mundur lagi maka gadis itu mengejarnya dan kini pedang membalik serta membacok kepalanya!

Pemuda ini menjadi marah. Dari gebrakan yang cepat dan bertubi-tubi ini segera tampak bahwa lawan benar-benar hebat dan menguasai ilmu pedangnya dengan baik. Tusukan dan bacokan yang begitu cepat berobah menyesuaikan gerakan lawan benar-benar berbahaya sekali. Kalau ia tak hati-hati tentu tubuhnya menjadi sasaran pedang, putus dan bisa terbabat menjadi dua! Maka ketika ia menjadi marah dan berseru keras mendadak kedua kakinya melenggok dan meliuklah pemuda ini bagai ular maju mundur menghindarkan semua tusukan dan bacokan pedang hingga semua serangan gadis itu luput.

"Sing-singg!" Terkejutlah para tamu. Mula-mula mereka merasa khawatir ketika pedang secara ganas dan bertubi-tubi mengejar dan mengikuti pemuda ini. Ke manapun pemuda itu bergerak ke situlah ujung pedang membayangi, bahkan pedang tampaknya menempel dan melekat tak mungkin dielakkan. Satu-satunya jalan mungkin pemuda itu harus melempar tubuhnya keluar panggung, seperti apa yang telah dilakukan si kakek tinggi besar Thi-cit-le.

Tapi ketika pemuda itu meliuk naik turun dan kakinya bergeser cepat dengan pinggang yang mematah-matah maka kagum dan terkejutlah semua tamu undangan karena dengan cara seperti itu semua hujan serangan Hoa-siocia kandas di tengah jalan, tak mengenai sasaran karena sebelum pedang menyambar pemuda itupun sudah menghindar dan jauh menyelamatkan diri!

Bertepuk riuhlah para tamu. Bhong Tek Hosiang ketua Sho-tong dan Kiam it Cinjin ketua Khong-tong membelalakkan matanya lebar-lebar. Mereka kagum bukan main oleh gerak aneh dari langkah-langkah sakti pemuda Pulau Api itu. Mereka tak tahu bahwa itulah Jit-cap-ji-poh kun ciptaan Hwe-sini yang amat ampuh. Dengan ilmu ini siapapun tak mampu mendekati, jangankan mendekati, menyambar ujung bajunya saja tak dapat! Maka ketika pemuda itu tertawa-tawa dan gadis baju putih ini pucat maka tusukan dan bacokan pedangnya tak ada yang dapat menyentuh lawan.

"Ha-ha, kau akan segera roboh. Tanpa kuserang pun kau akan kehabisan tenaga, nona. Buang pedangmu dan nyatakan kalah!" pemuda itu mengejek dan tertawa-tawa dan gadis di atas panggung itu merah pucat berganti-ganti. la telah menusuk belasan kali akan tetapi lawan bagai bayang-bayang layaknya. Tubuhnya tak dapat disentuh karena selalu mundur dengan langkah-langkah anehnya itu. Dan karena benar ia dapat kehabisan tenaga, sungguh sukar mengalahkan lawan seperti ini maka baru saat itu rupanya pihak tuan rumah akan mendapat malu.

Akan tetapi Thian-te It-hiap tentu saja tidak berdiam diri. Kakek yang tenang menonton dengan alis kadang-kadang berkerut ini tiba-tiba berkemak-kemik, Ia mengerahkan Coan-im-jip-bit bicara pada cucunya itu. Dan ketika ia berbisik dan menyuruh gadis itu gerakkan tangan kirinya, menyerang membantu pedang tiba-tiba gadis baju putih itu membentak dan melakukan perobahan. Menyambarlah tangan kirinya itu.

Pedang masih terus mengejar dengan tikaman atau bacokan, bahkan kadang-kadang dengan sontekan seperti gerak lele meloncat. Dan ketika tangan kirinya bergerak melepas pukulan jarak jauh tiba-tiba hawa dingin meluncur dan terkejutlah pemuda itu ketika mendadak gerak langkahnya tertahan. Gerakan tangan kiri itulah yang menjadi sebab!

Pemuda ini membelalakkan mata. Tangan kiri gadis itu mencegat semua langkah-langkah saktinya dan ia tertahan, akibatnya pedang menyambar dan ia harus mengelak atau menangkis. Dan ketika selanjutnya pedang menusuk atau menikam tanpa ia mampu mengelak lagi maka pemuda Pulau Api ini tersentak karena setiap ia menangkis tentu dirinya terpental.

"Aah!" bukan hanya pemuda ini saja yang terkejut. Gurunya, yang tadi berseri dan tertawa-tawa mendadak diam tertegun. Matanya terbelalak dan wajah itu berkerut, ada sesuatu yang membuatnya heran, sesuatu yang tak dimengerti. Dan ketika pedang kembali menyambar dan sang murid menangkis ternyata untuk kesekian kalinya muridnya itu tergetar dan terhuyung.

"Pergunakan Giam-lui-ciang (Pukulan Petir Neraka)!" tokoh ini akhirnya berseru. "Jangan selalu mundur dan terdesak musuhmu, Siauw Lok. Pergunakan ilmu andalan kita dan juga Hwe-ci!"

Pemuda itu sadar. Rupanya gugup oleh sambaran pedang yang menyongsong ke manapun ia pergi membuat pemuda ini gentar dan ngeri. Langkah-langkah saktinya itu tak dapat dipergunakan lagi. Tapi ketika sang guru tiba-tiba berseru dan ia mengangguk maka pemuda itupun membentak dan tangan kanannya bergerak menyambar dari luar. "Aku belum kalah, terimalah ini!"

Angin panas menyambar dan uap merah meluncur dari telapak pemuda itu. Hoa-san-paicu (ketua Hoa-san) dan Kun-lun-paicu merasakan ini dan terkejut, mengerahkan sinkang melawan hawa panas itu. Tapi ketika gadis itu membentak dan menggerakkan tangan kirinya maka hawa dingin menyambut hawa panas dan Giam-lui-ciang yang dilancarkan pemuda itu sirna dan lenyap.

"Plak!" Tamparan itu membuat dua ketua disisi depan kedinginan. Sekarang mereka disambar hawa dingin dan tubuh keduanya menggigil, lagi-lagi dua tokoh partai persilatan ini terkejut. Tapi kalau mereka hanya terkejut dan kagum bahwa anak-anak muda itu memiliki pukulan ampuh yang membuat mereka terbelalak adalah pemuda di atas panggung itu terkejut dan penasaran, juga gusar. Hawa panas Giam-lui-ciang padam disambar hawa dingin dan ia tentu saja melotot. Maka ketika ia membentak dan menyerang lagi maka dua tangannya kali ini mendorong dan bersamaan itu dua telunjuknya bekerja dan tampaklah dua lidah api menyambar gadis itu.

"Crit-Crit!" Inilah Hwe-ci atau Jari Api yang dulu menjadi andalan Hwe-sin (Malaikat Api). Dua lidah api itu menyambar dan ini masih ditambah dorongan sepasang lengan yang mengeluarkan cahaya merah. Pemuda itu mengerahkan sinkangnya hingga sepasang lengannya seperti bara, hawa panas tentu saja lebih dahsyat dan ini dibuktikan teriakan ketua-ketua partai yang duduk di kursi depan. Mereka merasa hangus. Akan tetapi ketika gadis baju itu melengking nyaring dan menyambut bentakan dengan putaran ujung pedangnya, bergulung dan tangan kiri juga berputar menyambar ke depan maka dua Sinar putih menghantam atau menangkis sinar merah dan Jari Api itu.

"Ces-blarr!" Pemuda lawannya berteriak kaget. Hawa panas disambut hawa dingin dan kalau ia mengerahkan sinkangnya adalah gadis itu juga menambah tenaganya. Angin membekukan tulang menyambut dorongan Petir Neraka, menahan dan kemudian menembus pertahanan lawan dan pucatlah pemuda itu merasa kedinginan. la tak mampu menguasai diri dan masuklah hawa dingin membelah hawa panas.

Kekuatan atau pengaruh Giam-lui-ciang hancur, hawa panas padam menjadi hawa dingin. Jari Api menjadi beku dan lenyap pula. Dan ketika ia tersentak dan saat itulah gadis itu membentak nyaring maka pedang meluncur ke depan sementara tangan kiri juga terus bergerak dan menghantam pemuda ini.

Akan tetapi sesosok bayangan merah berkelebat. Sam-pangcu yang tak dapat berdiam diri melihat muridnya terancam bahaya tiba-tíba melayang ke atas panggung. Gerakannya cepat dan luar biasa, tangan kanannya bergerak menghantam dari samping ke arah pedang dan tangan kiri gadis itu. Dan ketika gadis itu menjerit dan terpelanting bergulingan maka ia sudah menangkap muridnya dan sambil menghalau sisa pukulan ia berjungkir balik dan turun dengan muka seperti bara.

"Bresss!" Di pihak sana Thian-te It-hiap juga tak tinggal diam. Begitu tokoh Pulau Api itu menghantam cucunya iapun berkelebat dan masuk mengibaskan ujung baju. Serangan yang seharusnya membuat cucunya terancam balik dipukul melenceng, pukulan itu menghantam sam-pangcu dari Pulau Api namun laki-laki itu telah meloncat berjungkir balik menghindarkan diri. Selamatlah masing-masing menolong murid. Dan ketika laki-laki itu mendelik memandang tuan rumah maka Thian te It-hiap melepaskan cucunya yang sudah ia sambar pula, tak sampai keluar panggung.

"Cukup bagimu membela namaku. Beristirahat dan duduklah di ana, Hoa siu, lawanmu telah kalah dan tua sama tua."

Lalu ketika kakek ini menghadapi lawannya dan tak perduli wajah yang merah membara maka kakek itu mengetukkan ujung tongkatnya yang entah kapan sudah dipegang, suaranya datar namun dingin, memandang ketua Pulau Api itu dengan mata bersinar-sinar,

"Kau telah masuk di panggung lui-tai, berarti siap bertanding. Dan karena cucuku sudah lelah melayani banyak lawan sekarang marilah kita main-main berdua. Tak usah membuang-buang banyak tenaga, kalau kau dapat menarik dan merampas tongkatku biarlah aku menyatakan kalah."

Berkata begini kakek itu sudah mengangkat batang tongkatnya, bukan dipegang dengan kelima jari tangan melainkan hanya dijepit dengan dua jari telunjuk dan jari tengah, disodorkan dan meminta lawan menarik dan tentu saja wajah ketua Pulau Api itu semakin menyala-nyala. la direndahkan di depan begitu banyak orang, wajahnya seketika membesi. Namun belum ia bergerak dan merenggut tongkat itu mendadak berkelebat sebuah bayangan putih dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang gadis cantik jelita bersanggul tinggi. Sambaran tubuhnya diikuti bau harum menusuk hidung, lembut dan mempesona.

"Tunggu dulu, aku juga tiba-tiba ingin mengganggu sedikit, Thian-te It-hiap. Bolehkah kuhadapi sam-pangcu dari Pulau Api ini mewakili dirimu!"

Orang-orang mendecak. Kalau tadi mereka dibuat kagum oleh hadirnya Thian-can Kwee Bi yang cantik genit adalah sekarang mereka terpesona dan takjub melihat kehadiran gadis pendatang itu. Tubuhnya tinggi semampai dengan pinggang dililit rantai perak, rambutnya disanggul tinggi dan wajahnya yang cantik kemerah-merahan itu memiliki sepasang pipi yang halus lembut. Bibirnya tanpa gincu akan tetapi selalu basah kemerah-merahan segar dan sekilas saja orang dapat menduga bahwa gadis ini seperti puteri keraton. Sikapnya anggun dan sedikit angkuh, cocok benar dengan pembawaan gadis istana.

Dan ketika Thian-te It-hiap tampak tertegun namun ketua Pulau Api terkejut berseru tertahan, mundur dan membelalakkan mata maka gadis bersanggul tinggi yang cantik jelita itu tersenyum mengejek dipanggil namanya. "Wan-siocia (nona Wan)!"

Gadis itu tak menjawab. Bibirnya berjebi dan terpesonalah semua laki-laki yang ada di tempat itu. Bahkan ketua partai seperti Kun-lun dan Hoa-san juga berdetak, bukan apa-apa melainkan semata oleh keindahan bibir berjebi itu. Manis dan menantang, menggemaskan. Lalu ketika ia mengangguk dan ketua Pulau Api menjadi marah tiba-tiba laki-laki itu membentak, menudingkan telunjuknya,

"Wan-siocia, apa maksudmu datang ke sini. Bukankah selama ini penghuni Lembah Es dan Pulau Api tak pernah bermusuhan di muka umum. Pergilah dan jangan ganggu aku atau kau tahu rasa!"

Hm... Pulau Api dan Lembah Es selamanya bermusuhan. Di muka umum atau tidak sama saja. Kau sendiri apa maksudmu merambah daratan Tionggoan, Sam- pangcu. Bukankah Pulau Api tak pernah memperkenalkan diri di dunia kang-ouw."

"Urusanku tak perlu kau ketahui,.Cepatlah enyah atau aku membunuhmu!"

"Hi, hi-hik, gampang benar membunuh orang. Aku bukan semut yang mudah kau injak, orang she See. Kalau tuan rumah memperkenankan sesungguhnya kuingin membunuhmu. Siapa takut dan majulah!"

Gemparlah semua orang. Dari tanya jawab ini segeralah mereka tahu akan nama-nama Lembah Es dan Pulau Api. Sengguhnya mereka masih asing mendengar ini, kehadiran tokoh Pulau Api membuat mereka terkejut dan terheran-heran. Akan tetapi ketika muncul gadis dari Lembah Es ini dan mereka semakin terkejut lagi, dua orang itu rupanya sudah bermusuhan lama maka teriakan dan sorak para tamu membuat ribut.

Mereka tiba-tiba ingin dua orang itu segera bértempur dan melihat kepandaian masing-masing, betapapun mereka yakin bahwa gadis yang cantik jelita itu tentu lihai. Kalau tidak tak mungkin berani menantang. Akan tetapi ketika sam-pangcu dari Pulau Api siap menggerakkan tubuhnya dan menyerang gadis ini maka Thian-te It-hiap tiba-tiba berseru.

"Kalian berdua jangan bertempur dulu, tunggu. Apakah sam-pangcu masih ingin berhadapan dengan aku atau gadis ini melayanimu!"

"Kau duduklah dan biarkanlah aku merobohkan tikus busuk ini, Ketahuilah diam-diam manusia ini ingin mengumpulkan dan menggerakkan orang-orang kang-ouw menyerbu Lembah Es, Thian-te It-hiap. Karena kau dimusuhi manusia macam ini dan aku sepihak denganmu biarlah kau wakilkan kepadaku menghajar tikus busuk ini. la tak membawa maksud baik, ia ingin menghasut. Daripada terlanjur biarlah kututup mulutnya dan harap kau duduk!"

Wan-siocia mendahului dan berseru nyaring. la tak segan-segan membuka rahasia ketua Pulau Api ini dan marahlah laki-laki itu. Tak dapat disangkal sesungguhnya ia datang untuk menguasai dan mengumpulkan orang-orang kang-ouw ini. Mereka akan digerakkan ke Lembah Es, menyerbu dan mengalahkan musuh bebuyutan mereka itu. Maka ketika tiba-tiba rahasia sudah dibuka dan orang-orang kang-ouw terkejut membelalakkan mata, ketua Pulau Api itu menjadi gusar mendadak ia memekik dan menerjang gadis ini.

"Kau kiranya menjual omongan busuk kepada tamu-tamu terhormat. Kalau benar aku hendak mengumpulkan mereka menyerbu Lembah Es adalah semata kesombongan kalian, Wan-siocia. Jangan memutar balik karena kaulah yang tampaknya hendak menghasut dan membujuk 0rang-orang kang-ouw menyerang Pulau Api!"

Sambaran angin panas disusul ledakan api dari telapak ketua Pulau Api itu. Dalam kemarahan dan kegeramannya langsung saja sam-pangcu ini mengeluarkan Giam-lui-ciang, dahsyat menyambar dan ketua-ketua partai persilatan terkejut disambar hangus. Ujung lengan baju mereka terbakar. Dan ketika ketua Sho-tong dan Bu-tong mengebut padam ujung baju mereka dengan Seruan kaget, meloncat dari kursi mereka maka Wan-siocia yang cantik jelita itu berkelebat dan mengangkat tangannya menyambut atau menangkis pukulan lawan yang ganas berhawa panas itu, membentak.

"Desss!" Dua orang itu tampak bergoyang-goyang akan tetapi gadis Lembah Es itu akhírnya terhuyung selangkah. Dari adu tenaga ini tampak betapa ketua Pulau Api itu benar-benar hebat. Akan tetapi karena lawan mampu menahan dan matapun terbelalak memandang gadis jelita ini, tadi serangkum hawa dingin menyembut maka tokoh Pulau Api itu bergerak dan menerjang kembali. Dua ledakan terdengar disuşul asap merah. Api yang menjilat!

"Cuwi-enghiong (para orang gagah) harap mundur menjauh. Pertandingan ini amat berbahaya!" Thian-te It-hiap yang tak mau para tamu celaka tiba-tiba berseru mengerahkan suaranya. Sampai di luar halaman suaranya mampu menembus ribut-ribut para tamu.

Ketua Bu-tong dan ho-tong maupun yang lain memang sudah meninggalkan kursinya. Mereka terkejut bukan main ketika Giam-lui-ciang yang menyambar dahsyat itu mengeluarkar jilatan api, membakar namun untung padam dikebut hawa dingin dari telapak gadis Lembah Es itu. Dan ketika masing-masing sudah menyelamatkan diri dan mereka yang di atas panggung berkelebatan saling serang maka api dan embun dingin silih berganti desak-mendesak membuat tempat itu hingar-bingar.

Mereka terbelalak melihat betapa gadis Lembah Es itu mampu menghadapi lawannya. Kini gadis itu berkelebatan bagai walet menyambar-nyambar dan benturan secara langsung dihindari. Ini karena adu tenaga keras lawan keras dimenangkan ketua Pulau Api itu. Meskipun selisih mereka sedikit namun sinkang ketua Pulau Api di atas lawannya. Gadis itu mengandalkan ginkangnya dan menyambar bagai burung srikatan ia menyergap dan membalas. Dari kiri dan kanan serta muka belakang ia menampar bagian-bagian tubuh lawannya dengan cepat. Hawa dingin menyambar dari telapaknya yang halus lunak itu.

Akan tetapi ketika hawa dingin ini berubah menjadi uap beku yang menahan gempuran-gempuran hawa panas terdengar suara cas-ces-cas-ces seperti api bertemu air maka para tamu membelalakkan mata dengan penuh kagum karena dari tempat sejauh itu mereka merasakan pula hawa dingin pukulan gadis itu dan enggigil seperti kena demam. Padahal jarak mereka dengan gadis itu ada belasan meter!

Akan tetapi yang tak kalah mengagumkan adalah pukulan-pukulan ketua Pulau Api itu. Setelah ia sendiri bergerak dan melepas pukulannya maka Giam-lui-ciang menyambar-nyambar dengan amat mengerikan. Apa saja yang berada di dekat situ hangus. Kertas warna-warni dan selendang sutera terbakar. Hiasan lantai panggung luluh lantak dan kalau saja tak ada pukulan hawa dingin itu mungkin saja panggung lui-tai terjilat api yang meledak-ledak. Sepasang lengan tokoh ini sudah seperti obor dan apa saja yang tersentuh menjadi terbakar.

Jangankan benda di dekat ketua Pulau Api ini, sedangkan ujung baju ketua-ketua partai saja hangus kalau tidak dikebut. Bhong Tek Hosiang bahkan berseru tertahan ketika rumbai di ujung toyanya terjilat, cepat menepuk sementara ikat rambut Kiam Kit Cinjin terkena percikanapi. Kalau tosu ini tidak cepat mengebut tentu rambutnya terbakar, salah-salah kepala menjadi hangus.

Maka ketika para ketua partai itu menjauhkan diri dan menonton dengan hati tegang, baru kali inilah mereka menyaksikan pertandingan yang begitudahsyat maka yang muda-muda tak kalah tercekamnya karena betapapun mereka takut kalau gadis secantik itu harus roboh dan dijilat api. Betapa sayang tubuh yang ramping padat itu. Betapa menyesalnya mereka nanti.

Namun yang dibayangkan tamu-tamu muda ini tak akan menjadi kenyataan. Mereka tak tahu bahwa Giam-lui-ciang mendapat tandingannya yang setimpal, yakni Bu-kek-kang (Pukulan Tak Berkutub). Pukulan ini tak kalah dahsyat karena mampu menghadapi Giam-lui-ciang yang panas berkobar-kobear. Hawa dingin yang keluar dari pukulan ini benar-benar meredam hawa panas, terjadi saling ganti antara dingin dan panas menguasai panggung lui-tai. Tapi ketika lama-lama hawa panas menindih hawa dingin, ketua Pulau Api membentak menambah tenaganya maka gadis itu terdesak dan dua kali ia terhuyung ketika menangkis. Akan tetapi inipun bukan berarti kekalahan yang cepat dari Wan-siocia itu.

Seperti sudah dikatakan di atas ia sedikit kalah tenaga dibanding lawannya. Karena itu berkelebatan mengerahkan ginkangnya ia pun menampar dan menangkis dari samping, menghindar dan mengelak adu keras tapi yang celaka adalah penonton. Mereka yang berada di belakang gadis ini menjadi sasaran, tiga orang menjerit dan bergulingan. Pakaian mereka terbakar. Dan ketika yang lain menjadi terkejut dan semakin pucat maka pertandingan di atas itu semakin mendebarkan dan menegangkan, apalagi ketika ketua Pulau Api membentak dan merobah gerakannya, maju mundur dengan langkah-langkah aneh yang tadi ditunjukkan muridnya.

Namun gadis bersanggul tinggi itu tak mau kalah. Melihat lawan mengeluarkan langkah saktinya iapun menggeser-geser kaki dengan cepat. Langkah ajaib dibalas langkah ajaib. Dan ketika para tamu terbelalak mendecak kagum, dua orang itu sama-sama mempergunakan langkah kaki yang sama maka mereka yang tak tahu asal-usul dua orang ini menjadi bingung siapakah sebenarnya pemilik langkah sakti itu.

Hal ini membuat ketua Pulau Api gusar. la tiba-tiba berseru keras melangkah cepat, tangan kiri dan kanan bergantian didorong ke depan. Lalu ketíka ia memutar dan mencegat segala langkah gadis itu maka tiba-tiba lawan terkejut dipapak dari delapan penjuru, tak mungkin mengelak kecuali menangkis.

"Des-dess!" Gadis ini terhuyung mundur. Lawan merangsek dan maju lagi dan empat kali ia memutar lengan. Hawa panas mendorong hawa dingin. Dan ketika gadis itu menangkis dan ia mengeluh tertahan maka untuk kedua kali gadis ini terhuyung. Selanjutnya ketua Pulau Api melakukan cara yang sama. la mencegat dengan dorongan-dorongan pukulannya tak memberi kesempatan gadis itu mengelak. Hal ini mengakibatkan gadis itu menjadi pucat, adu tenaga bakal membuat ia terdesak. Dan ketika ia menjadi marah dan berusaha lolos keluar tiba-tiba lawan tertawa bergelak melepaskan tujuh sinar hitam ke bagian depan tubuhnya.

"Plak-plak-plak!" gadis ini menangkis dan tentu saja marah. Tujuh pelor besi dihantam pecah, meledak dan berhamburanlah isinya berupa jarum dan paku-paku beracun. Itulah senjata rahasia yang dipunyai lawan dan agaknya kesal tak mampu merobohkan cepat, bertindaklah ketua Pulau Api ini secara curang. Ia mempergunakan kesempatan ketika gadis itu terkejut dan mundur menghalau puluhan senjata rahasia untuk menyelinap ke depan. Tangan kanannya tahu-tahu menghantam pundak lawan.

Dan karena gadis itu sedang sibuk menangkis jarum dan paku-paku yang berhamburan maka ia tak mampu mengelak dan tubuhnya terpelanting ke belakang, menjerit dan dikejar dan sebuah pukulan lagi mengenainya. Bajunya robek hangus. Namun ketika gadis itu membentak dan mencabut rantai perak yang melilit pinggangnya maka pipi ketua Pulau Api kena sabet.

"Plak!" Bersoraklah penonton yang berpihak kepada gadis Lembah Es in. Mereka semula khawatir dan menjadi pucat melihat betapa gadis itu didesak dan dicurangi. Beberapa di antara meraka memaki. Namun ketíka gadis itu mampu meloncat bangun dan menyabet dengan rantai peraknya maka penonton bersorak riuh memuji gadis ini.

Akan tetapi tokoh Pulau Api itu hanya sebentar terkejut. Pipinya panas dan perih tergores luka. la marah namun sadar akan kekeliruannya. Ia terlampau bernafsu mendesak tanpa ingat perlindungan diri sendiri. Maka ketika ia maju lagi dan tertawa beringas, ia telah memukul pundak lawan yang tampak kesakitan maka di sini ketua Pulau Api itu maju lagi dan Giam-lui-ciang di tangannya tetap berbahaya dan mencegat atau memotong jalan keluar gadis itu untuk selalu menangkis serangannya.

Gadis itu terhuyung dengan rantai perak gemetar di tangan dan pukulan di pundak benar-benar mengganggu. Tanpa diketahui seorangpun kulit pundaknya terbakar. la sudah mengerahkan sinkang namun bekas pukulan tetap terasa. Inilah yang membuat gerakannya mulai lamban dan saat itu lawan kembali melepas tujuh pelor hitam. Gadis ini tak berani menangkis dan benda itu meledak di belakang, jarum dan segala isinya mengenai penonton. Dan ketika orang mulai memaki dan mengumpat caci ketua Pulau Api itu maka lemahnya pertahanan gadis ini mulai diterobos.

Sedikit tetapi pasti gadis itu terdesak. Dua kali rantai ikat pinggangnya terpental. Sekarang orang melihat betapa gadis ini meringis menahan sakit, berkali-kali mendesis menekan pundak dan sadarlah tamu-tamu undangan akan derita gadis ini. Mereka yang bersimpati mulai bangkit berdiri. ketua Bu-tong dan Hoa-san mencabut pedang. Dan ketika Giam-lui-ciang menyambar dan gadis itu menangkis tiba-tiba ia mencelat dan terpental ke arah Thian-te It-hiap.

"Desss!" gadis itu mengeluh dan senjata di tangan terlepas. Terlalu lama menahan sakit membuat ia tak tahan juga, kulit pundaknya melepuh dan mencair. Maka ketika ia terlempar dan mencelat ke arah Thian-te It-hiap maka Bhong Tek Hosiang dan Kiam Ceng Cinjin meloncat naik.

"Curang, kau curang!"

Akan tetapi dua orang ini terkejut. Udara di atas panggung ternyata panas luar biasa hingga mereka seperti terbakar. Hanya karena simpati dan tak menyukai kecurangan laki-laki ini mereka melompat maju, melihat laki-laki itu hendak mengejar dan membunuh lawan. Maka ketika mereka terpekik oleh udara panas yang menyengat tubuh, saat itu ketua Pulau Api membalik dan mendorongkan lengannya ke arah mereka maka dua orang ini tak mampu berkelit disambar Giam-lui-ciang.

"Kalianpun curang, berani membokong orang. Pergilah!"

Dan ketua ini mengelak. Toya di tangan Blong Tek Hosiang menangkis sementara pedang di tangan Kiam Ceng Cinjin juga bergerak. Maksudnya hendak menangkis pukulan yang terasa amat dahsyat. Tapi ketika mereka terangkat dan terlempar ke belakang, bukan main dahsyatnya Giam-lui-ciang di tangan lawan mereka itu maka dua ketua ini berdebuk dan terguling-guling dengan toya dan pedang patah-patah, bibir mereka pecah kena kursi sementara tamu yang tertimpa menjerit dan roboh bergulingan pula. Bukan main kagetnya ketua Bu-tong dan Hoa-san ini. Setelah mereka berhadapan langsung dan mengetahui kehebatan lawan maka keduanya menjadi pucat dan melotot.

Mereka sudah meloncat bangun dengan muka merah padam, sebenarnya tak bermaksud menyerang sungguh-sungguh karena sekedar mencegah lawan mengejar gadis Lembah Es itu. Bukan maksud mereka untuk menyerang secara gelap. Maka ketika keduanya menjadi marah dan menggigil di situ, kini bangkitlah niat mereka untuk bertanding sungguh-sungguh maka mereka mencabut senjata baru namun tiba-tiba berkesiur angin dingin dan menyambarlah seorang gadis lain di atas panggung, cantik jelita dan gagah dan di sepasang tangannya memegang sepasang roda terbuat dari es beku!

Semua orang terkejut ketika tanpa banyak cakap lagi gadis ini menerjang tokoh Pulau Api. Tangannya bergerak dan roda aneh di tangannya itu melayang menyambar lawan. Lalu ketika lawan mengelak dan dikejar terus, sepasang roda itu bagai sepasang ular hidup maka bentakan nyaring merdu terdengar di sini.

"Sam-pangcu, kau licik melukai sumoiku. Sekarang hadapilah aku dan lihat berapa lama kau roboh!"

Benda bulat mendesing-desing itu sudah mengelilingi lawannya tak mungkin dielak lagi. Tokoh Pulau Api ini terkejut dan menangkis namun sepasang lengannya terpental. Itulah gadis berwajah dingin yang senyumnya mengerikan. Senyum itu sedingin es sementara matanya jarang berkedip. Inilah Thio-siocia atau Thio Leng sumoi dari Puteri Es, suci atau kakak seperguruan Wan-siocia dan datang setelah sumoinya dirobohkan. Kemarahan gadis ini tampak dari sepasang rodanya yang menyambar-nyambar. Itulah Siang-lun-jong-san atau permainan roda menembus Bukit, ke manapun lawan bergerak ke situ pula senjata ini mengejar. Lawan boleh melindungi diri akan tetapi roda es ini tetap meluncur.

Dan ketika tokoh Pulau Api itu memutar sepasang lengannya bagai payung melindungi diri, rapat membungkus dan hujanpun tak akan dapat menyerang masuk maka roda yang berputar dan kini mengaung-ngaung itu menghantam dan memuncratkan lelatu api, menerobos dan membuat kewalahan hingga akhirnya sebuah celah terbuka. Cepat sekali senjata itu menyambar masuk, meledak mengenai kepala sam-pangcu ini. Dan ketika laki-laki itu terbanting dan bergulingan maka ia sudah dikejar dan didesak lagi.

"Di sini kau mampus, kau mencelakai sumoiku!"

Pucatlah ketua Pulau Api ini. la bergulingan dan mengelak serta menangkis sepasang roda es itu akan tetapi lengannya selalu terpental tak kuat menahan serangan lawan. Menghadapi gadis ini sesungguhnya ia kalah setingkat. Thio Leng adalah tokoh nomor dua di Lembah Es sementara ia orang nomor tiga di Pulau Api. Maka ketika ia keteter dan datang-datang gadis itu menyerangnya tanpa banyak cakap lagi maka di awal pertandingan ia sudah terdesak hebat dan sepasang lengannya yang tadinya kemerah-merahan itu sekarang mulai putih terkena sambaran hawa dingin yang keluar dari serangan gadis itu.

Akan tetapi sebuah bentakan tiba-tiba terdenger. Sesosok bayangan menyambar ke atas dan seorang laki-laki bertubuh sedang namun tegap memasuki arena pertandingan. Lehernya dililit rantai hitam seperti akar bahar, menghantam gadis ini tanpa banyak cakap seperti tadi gadis itu menyerang lawannya. Dan ketika sinar merah menyambar gadis itu disusul hawa panas membakar panggung, mendorong hawa dingin maka gadis ini terkejut dan membalik dan secepat kilat roda es di tangannya itu menangkis.

"Prat-prat!" Satu di antara dua roda terpental dan gadis ini melempar tubuh ketika laki-laki itu masih menyambar meneruskan gerakannya. Ia terpaksa membanting tubuh menyendal sepasang rodanya ketika sepasang cahaya api mengejarnya, berjungkir balik dan turun dengan wajah berapi-api melihat pendatang baru ini. Dan ketika di sana Sam-pangcu dari Pulau Api itu meloncat bangun tertawa girang, laki-laki kedua itu berdiri dengan mata mencorong maka orangpun melihat betapa lengan laki-laki ini merah marong bagai obor terbakar.

"Suheng!"

Tamu undangan terbelalak. Kiranya yang datang adalah tokoh Pulau Api pula, Sam-pangcu itu berkelebat di dekat suhengnya dan memandang gadis bermata dingin itu. Inilah Bu Kok atau tokoh kedua Pulau Api, tandingan atau lawan setimpal gadis Lembah Es itu. Dan ketika Sam-pangcu berseri-seri sementara gadis itu merah padam berapi-api, alisnya dinaikkan tanda kemarahan yang sangat maka gadis ini membentak apakah orang hendak mengeroyoknya.

"Kau datang di sini, bagus. Sudah kuduga kalian orang-orang Pulau Api hendak mengail di air keruh, ji-pangcu. Kalau kau hendak mengeroyokku majulah, aku tidak takut!"

"Hm, kaupun meninggalkan sarangmu. Kau tiba-tiba di sini dan aneh sekali tertarik kepada segala urusan dunia luar, Thio-siocia. Apa maksudmu dan untuk apa pula kau ke sini."

"Aku memantau gerakan kalian yang keluar sarang. Aku melihat kalian orang-orang Pulau Api hendak menguasai dan menggerakkan orang-orang kang-ouw menyerbu Lembah Es!"

"Ha-heh-heh, kau tahu segala gerak-gerik kami. Hm, tak perlu kami sangkal bahwa kami ingin menggerakkan orang-orang kang-ouw menyerbu Lembah Es. Kau dan majikanmu terlalu sombong, Thio-siocia, merasa menang sendiri. Kami ingin menghancurkan kalian dan menghadiahkan kalian kepada orang-orang kang-ouw yang membantu kami!"

Bertepuk-riuhlah sebagian tamu undangan mendengar ini. Setelah mereka tahu bahwa penghuni Lembah Es kiranya adalah gadis-gedis cantik sedemikian rupa maka tentu saja merekapun tertarik dan bergairah. Para tamu muda yang merupakan kelompok hidung belang dan doyan paras cantik tiba-tiba tentu saja menyambut baik kata-kata ketua Pulau Api itu. Mereka bersorak. Akan tetapi ketika gadis itu membentak dan menudingkan telunjuknya maka Bhong Tek Hosiang dan ketua-ketua partai lain yang tentu saju bukan tergolong anak-anak muda haus berahi mengangguk-angguk.

"Kalian orang-orang Pulau Api memang kasar-kasar dan bernaluri rendah. Kami orang-orang Lembah Es bukan wanita yang gampang kau robohkan, ji-pang-Cu. Kalau kami kalah maka kalian hanya akan mendapatkan mayat kami. Lembah Es tak boleh dihina, kami bukan boneka!"

"Heh-heh, tak apa. Biarlah sekarang kutanya para tamu undangan apakah mereka tak mau mendapat hadiah gadis-gadis cantik Lembah Es. Hei....!" ji-pangcu itu berseru, memandang ke bawah. "Apakah kalian tak mau membantu kami kalau hadiahnya gadis-gadis seperti ini, cuwi-enghiong. Lembah Es terdiri dari Wanita-wanita sombong dan kita sebagai laki-laki harus menundukkannya. Jawab apakah kalian tak ingin menikmati wanita semacam ini kalau kuajak menyerbu Lembah Es!"

Akan tetapi gadis di atas panggung itu tiba-tiba berkelebat. Ia begitu marah dihina seperti itu, tanpa banyak cakap lagi menerjang dan memotong omongan orang. Namun ketika ji-pangcu dari Pulau Api itu mengelak dan menangkis maka dua sinar putih dan merah meledak menggetarkan lantai panggung. "Dukk!" Dua-duanya terdorong. Dari sini dapat dilihat betapa mereka miliki kekuatan berimbang namun sam-pangcu tiba-tiba membentak. Tanpa banyak cakap ia menyerang gadis itu. Lalu ketika suhengnya tertawa dan menyambar gadis ini pula maka gadis itu memutar tubuh menangkis ke kiri kanan.

"Duk-dukk!" Bersoraklah tamu undangan muda. Mereka yang hidung belang sudah terbakar kata-kata ji-pangcu dari Pulau Api itu untuk mendapatkan hadiahnya. Bayangan mereka sudah dipenuhi nafsu cabul. Maka ketika gadis itu terhuyung dan marah serta melotot tiba-tiba ia menggerakkan lagi sepasang roda esnya namun tiba-tiba roda es itu tertahan di udara dan Thian-te It-hiap muncul di situ, menangkap atau menahan benda inl.

"Hm!” suaranya terdengar penuh wibawa dan menggetarkan semua orang. "Tempat ini adalah tempatku, sam-wi-enghiong. Kalau kalian hendak bertempur maka minta ijin dulu kepadaku. Kalian tak tahu hormat, akulah tuan rumah dan kalian tamu liar. Kau...!" kakek itu menuding ji-pangcu. "Sekali lihat orang akan tahu bagaimana sepak terjangmu, ji-pangcu. Kalian orang-orang Pulau Api memang tidak punya aturan. Kau dan sutemu ini sama saja, sama-sama curang. Aku membela gadis ini dan sekaranglah saatnya aku menunjukkan kepandaian. Kalian majulah dan keroyok aku, atau kalian berlutut dan cepat minta ampun atau justeru aku dan para cuwi-enghiong di sini meluruk ke tempat kalian dan menghancurkan Pulau Api!"

Ji-pangcu Pulau Api itu terkejut. Ia berhadapan dengan seorang kakek yang matanya berkilat meneorong bagai mata seekor naga sakti. Ia telah mengerahkan sinkang untuk melawan pandang mata ini namun tetap saja tak kuat. la merasa pedih, sepasang matanya terbakar. Dan ketika ia menunduk dan menggeleng membuang pengaruh tatapan mata itu maka ji-pangcu ini kaget sekali karena dari pandang mata itu saja ia maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang yang memiliki kesaktian tinggi, tenaga batin yang amat kuat juga sinkang (tenaga sakti) yang amat luar biasa!

"Hm, kau tua bangka banyak mencari perkara. Kalau kau membela gadis ini tentu karena rasa tertarik kepada kecantikannya, Thian-te lt-hiap. Heran bahwa kau seorang kakek-kakek masih juga tergiur seperti anak muda. Kami dari Pulau Api tidak takut, memang datang secara diam-diam untuk merebut kedudukan bengcu. Nah, kau majulah dan jangan bicara macam-macam. Gadis seperti ini tak mungkin sudi kau dekati!"

Para tamu tertawa, akan tetapi orang-orang seperti Bhong Tek Hosiang dan kawan-kawan tentu saja menunjukkan sikap serius. Mereka tak tertawa mendengar ejekan tokoh Pulau Api itu bahkan merasa muak. Dari sepak terjang dan tindak-tanduk orang-orang ini maklumlah mereka bahwa orang-orang Pulau Api memang kasar dan berwatak curang. Sekali lihat segera mereka tahu mana baik mana buruk, mana yang perlu dibela dan mana yang harus dilawan.

Tapi melihat betapa lihainya orang-orang Pulau Api itu dan betapa dua di antara mereka terpental keluar panggung, dahsyatnya Giam-lui-ciang telah dirasakan Bhong Tek Hosiang dan Kiam Ceng Cinjin maka para ketua partai yang lain maklum bahwa berhadapan dengan tokoh-tokoh Pulau Api ini memang berbahaya. Akan tetapi majunya Thian-te It-hiap membawa harapan. Kakek itu telah melepaskan roda es milik gedis itu dan maju ke depan, melindungi gadis ini atau mungkin agar gadis itu mundur dahulu.

Thio Leng atau sumoi Puteri Es ini memang masih terbakar, mukanya merah padam. Namun karena kakek itu membela dan kata-katanya lebih banyak ditujukan kepada tokoh-tokoh Pulau Api itu, ji-pangcu dan Sam-pangcu maka ia pun diam tak bergerak akan tetapi sepasang matanya tetap bersinar-sinar menahan marah memandang dua lawannya itu. Dan kakek inipun tiba-tiba mendorongnya.

"Mundurlah," gadis itu mencoba bertahan namun gagal, tetap terdorong. "Mereka telah memutuskan nasibnya sendiri, nona . Aku akan memberi pelajaran dan bawa pedangku ini."

Kakek itu menyerahkan pedang dan sebagai gantinya ia memegang tongkat di tangan. Tongkat inilah yang tadi disodorkan sam-pangcu dari Pulau Api namun keburu dicegah Wan-siocia dari Lembah Es itu. Gadis inipun tiba-tiba berkelebat dan muncul di atas panggung, ia telah sehat dan pulih kembali. Dan ketika sang enci heran dan terkejut dijawil lengannya, diajak mundur maka dua gadis ini meloncat turun dan di bawah panggung Wan-siocia itu berbisik-bisik.

Sang cici terbelalak dan melebarkan mata. Hoa Siu, cucu Thian-te It-hiap tiba-tiba maju dan memberi hormat, sikapnya merunduk dan tampak ketakutan, atau segan. Dan ketika tiga gadis itu saling berbisik-bisik namun tak ada yang memperhatikan mereka maka di atas panggung, menyodorkan tongkatnya kakek itu berkata lagi,

"Keras atau ringan aku melayani kehendak kalian. Nah, sebelum mulai marilah kita kencangkan otot main-main dengan tongkat ini. Aku akan memegangnya dan kalian menarik. Kalau tongkat ini terampas biarlah aku mengaku kalah, pertandingan tak usah dilanjutkan."

Dua ketua itu menjadi merah. Sam-pangcu memandang suhengnya sementara sang suheng memandang kakek ini. Lagi-lagi mereka beradu pandang akan tetapi lagi-lagi ji-pangcu Pulau Api ini merasa panas. la merasa matanya pedih. Sepasang mata kakek itu demikian tajamnya hingga ia pun tak kuat menentang, makin ditentang semakin pedih, air matanya keluar! Dan ketika laki-laki itu menjadi kaget dan gusar serta penasaran akhirnya memandang tongkat itu mendadak ia pun menyambar dan membentak.

"Baik, aku akan merampas dan lihat seberapa lama kau tahan!"

Kelima jari ji-pangcu itu sudah mencengkeram dan tongkatpun ditarik, bukan sembarang ditarik melainkan tentu saja dengan pengerahan sinkang. Lengan ketua Pulau Api ini merah marong, cepat sekali ia mengerahkan Giam-lui-kangnya dan ingin sekali renggut tongkat terampas. Tapi ketika dengan tenangnya kakek itu menjepit tanpa banyak bergerak, betotan atau tarikan lawannya terasa kurang, maka laki-laki itupun menyalurkan Giam-lui-kangnya hingga tongkat seketika terbakar dan merah bagai bara!

"Lepaskan!"

Akan tetapi sia-sia. Tongkat itu terbakar namun di tengah jalan tiba-tibe meredup. Bagian gagang yang dijepit kakek ini mengeluarkan uap dingin, uap ini melawan hawa panas dan tiba-tiba sekejap kemudian tongkat itu pulih kembali. Tongkat yang menjadi bara lenyap panasnya, menjadi tongkat biasa lagi. Dan ketika tokoh Pulau Api itu terkejut dan membentak lagi maka ia menambah tenaganya dan tongkat kali ini menjadi api! Akan tetapi kakek itu meniup. Seperti orang meniup kayu bakar maka apipun padam.

Hal ini membuat penasaran ji-pangcu itu dan kembali laki-laki ini membentak. Ia marah sekali. Dan ketika tongkat kembali menyala dan berkobar menjilat-jilat maka lagi-lagi kakek itu meniup dan apipun padam. Hal ini terjadi tiga kali berturut-turut dan ji-pangcu Pulau Api itu terkejut. la telah mengerahkan Giam-lui-kangnya sepenuh bagian. Dan ketika ia terbelalak dan menggerakkan tangannya yang lain maka kini ia mencengkeram tongkat dengan kesepuluh jari dan sambil berseru keras ia menarik mengerahkan sinkangnya.

"Lepaskan!" Namun kakek itu tak bergeming disentak dan ditarik sekuat apapun tongkat tetap dijepit tenang. Kini hawa panas tak mempengaruhi lagi, uap dingin membekukan tongkat hingga sekarang ketua Pulau Api tak mampu membakarnya lagi. Dan ketika ketua itu menarik dan tetap gagal tiba-tiba badan tongkat yang dipegang begitu dingin menembus hawa panas yang disalurkan lewat kesepuluh jarinya, menyengat dan membuat laki-laki itu menjerit.

"Aughhh!" Sang pangcu melepaskan tongkatnya. la terbelalak memandang kakek itu dan nampak pucat. Hawa dingin menembus telapaknya menusuk tulang sumsum. Kalau ia tak cepat-cepat melepaskan tongkat itu tentu jarinya akan menjadi kaku, bahkan mungkin sekujur tubuhnya menjadi Es. Maka ketika ia terbelalak dan ngeri memandang kakek ini, bukan Bu-kek-kang yang dirasa melainkan sinkang dingin yang seakan pernah dikenalnya maka ia terbelalak dan gentar memandang kakek itu, mengingat-ingat.

"Kau..., kau siapa?"

"Aku Thian-te It-hiap. Maju dan coba kembali kalau bisa, ji-pangcu, bersama saudaramu kalau masih penasaran."

Laki-laki ini marah. Dalam adu tenaga tadi tiba-tiba ia seakan mengenal siapa kakek ini. Akan tetapi karena wajah ini pertama kali ini dilihat dan iapun bingung maka tiba-tiba ia membentak sutenya agar maju membantu. "Tua bangka ini sombong, bantu aku dan kita rampas tongkatnya!"

Sam-pangcu dari Pulau Api mengangguk. Sejak ia melihat suhengnya berkutat diam-diam pria ini heran juga. Giam-lui-kang yang dikerahkan suhengnya tidak main-main. Warna terbakar yang ada di lengan suhengnya itu menjadi bukti. Akan tetapi ketika suhengnya berteriak dan malah melepaskan tongkat, kedinginan maka ia menjadi penasara dan ingin mencoba pula. Dan dua tokoh Pulau Api ini bergerak dan tiba-tiba mencengkeram dan menarik tongkat.

"Satukan tenaga, hup!"

Lucu melihat ini. Dua orang-orang lihai menggabungkan kekuatan merampas tongkat dari seorang kakek tua, padahal kakek itu henya menjepit dengan jari telunjuk dan jari tengahnya. Dan ketika keduanya mengerahkan Giam-lui-kang dan tongkat terbakar mengeluarkan api maka kakek itu tampak sedikit tegang dan tongkat tiba-tiba tertarik, sang kakek terbawa maju.

"Ayo... ayo tarik!"

Para undangan terbelalak. Mereka melihat kejadian mendebarkan dari adu tenaga ini. Kalau kakek itu sampai melepaskan tongkatnya maka kalahlah dia. Selanjutnya mungkin pibu dipimpin orang orang Pulau Api. Tiba-tiba ada rasa tak rela kalau kakek itu kalah. Thian-te It-hiap harus menang! Maka ketika Bhong Tek Hosiang dan kawan-kawan bangkit berdiri berseru dan bertepuk tangan maka dipihak lainpun para tamu yang berpihak orang-orang Pulau Api itu berdiri pula, menandingi dan ikut berteriak-teriak.

"Tarik... tarik. Robohkan tua bangka itu, ji-pangcu. Rebut tongkatnya dan kalahkan dia!"

"Tidak, pertahankan, Thian-te It-hiap. Tarik dan pertahankan tongkat....!"