Putri Es Jilid 30 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Karya Batara

"BAIKLAH, satu jam saja. Setelah itu kembali dan hati-hati di jalan!" Gadis ini girang. Ia mendapat ijin dan pergilah mereka ke Wui-san. Song Giam menemani gadis ini dan tak lama kemudian sudah berada di tempat. Wui-san adalah sebuah bukit kecil yang puncaknya berpohon jarang, tak jauh dari Ce-bu.

Dan ketika mereka berkelebat ke atas dan melihat bayangan orang, juga suara tangis maka benar saja Hok Pang ada di situ, membelenggu atau menawan seorang wanita tua yang bukan lain ibu dari gadis ini. Dan di samping pemuda ini berdiri dengan mata mengejek tampak seorang laki-laki setengah tua berjenggot pendek yang sikapnya sombong.

"Hok Pang manusia keparat, berani benar kau menculik ibuku. Lepaskan dia!"

Cing Cing membentak dan langsung saja menyerang pemuda ini. la tak perduli kepada laki-laki tua di sebelah pemuda itu dan menampar lawannya, berkelebat dan gerakannya cepat bukan main. Tapi ketika Hok Pang mengelak dan menangkis gentar, betapapun ia tahu lihainya gadis ini maka ia berteriak dan terjengkang kebelakang, dikejar tapi kakek itu tiba-tiba bergerak.

Inilah Hek-lui-kong guru pemuda itu. Dan ketika gadis itu hendak menghantam kepala muridnya maka kakek ini menangkis dan berseru dari samping, "Nanti dulu, ibumu adalah urusanku...dukk!"

Cing Cing yang tergetar dan terdorong mundur akhirnya berhadapan dengan laki-laki ini yang dipandangnya dengan mata terbelalak, mata berapi-api. "Siapa kau, ada apa mencampuri urusanku!"

"Hm... aku adalah Hek-lui-kong, guru muridku Hok Pang. Kalau aku mencampuri adalah wajar karena ia muridku...!"

"Bagus, kau kiranya membela muridmu itu. Majulah dan aku tak gentar!"

Cing Cing yang tak dapat menahan marah lalu membentak dan menerjang lagi, kali ini bukan pemuda itu melainkan kakek di depannya ini. la berkelebat dan menampar dan gerakannya yang cepat membuat si kakek terkejut, betapapun ia kagum oleh gaya serangan yang kuat serta cepat. Tapi ketika ia mengelak dan mundur dua kali maka serangan gadis itu luput dan Cing Cing melengking mempercepat gerakannya, mengejar dan membuat kakek ini sibuk dan terbelalaklah kakek itu oleh serangan bertubi-tubi yang amat cepat dan ganas dan Ia menangkis dan akhirnya tergetar serta terdorong. Dan ketika kakek itu menjadi marah oleh serangan lawannya maka Cing Cing juga menjadi gusar dan mencabut pedangnya.

"Sekarang kau mampus atau roboh!"

Kakek ini memerah. la mula-mula bersikap sombong karena yang datang ternyata seorang gadis muda, bekas pelayan lagi. Tapi ketika serangan pedang itu demikian cepat dan amat ganasnya maka kakek ini tak dapat menahan kemarahannya lagi dan iapun mencabut pedangnya, apa lagi ketika ujung bajunya dua kali robek terbabat.

"Bret-bret!" Membentaklah kakek itu. Ternyata gadis di depannya ini benar-benar lihai dan ia menjadi gusar. Tak mungkin di depan murid ia harus kalah. Maka ketika ia memekik dan berseru keras tiba-tiba kakek itupun menggerakkan pedangnya dan tangan kiri melepas pukulan yang bersiutan panas.

"Des-plak!" Lagi-lagi ujung bajunya terpental. Kalau tadi ujung baju itu robek maka sekarang ujung bajunya itu terbakar hangus. Hek-lui-ciang, Pukulan Petir Hitamnya ternyata membalik dan membakar bajunya sendiri. Dan ketika kakek itu terkejut dan juga marah maka ia melengking dan berkelebatan menangkis dan membalas lawannya itu. Akan tetapi alangkah kagetnya kakek ini. Pedang di tangan gadis itu mengeluarkan hawa dingin dan tiba-tiba semua hawa panas dari pukulan tangan kirinya tertembus. la menggigil dan terbelalak tapi lawan tertawa mengejek.

Cing Cing terus menyerang kakek itu dengan cepat. Dan ketika kakek itu terdesak dan terus mundur-mundur akhirnya satu lengkingan nyaring disusul gerakan tubuh gadis itu yang menyambar bagai seekor harimau betina diganggu anaknya. "Roboh dan mampuslah!"

Kakek itu mengangkat pedangnya.menangkis dan dentang nyaring disusul bunga api ke udara. Lelatu dua logam muncrat. Tapi ketika kakek itu terhuyung dan terdorong pucat maka pedang menusuk lagi dengan amat cepatnya. Cing Cing tampak begitu marah dan ingin segera menghabisi kakek itu. Tapi ketika gadis itu begitu berapi-api hendak membunuh dan merobohken lawannya maka Song Giam, temannya tiba-tiba berseru dan memperingatkan bahwa Hoa-Siocia memerlukan orang-orang pandai.

"Tak perlu membunuh lawanmu, cukup robohkan dan kalahkan dia. Ingat pesan majikan!”

Gadis ini sadar. Dari gerak pedangnya yang tertahan maka babatan ke leher berubah menjadi tusukan kecil. Kakek itu mengeluh ketika ujung pedang melukainya. Dan ketika sedetik kemudian pedangnya terlepas dan runtuh ke tanah, lawan telah menodongkan ujung senjatanya ke dada. "Lihat, mudah bagiku kalau ingin membunuhmu. Kau menyerah atau tidak!"

Habislah kesombongan kakek ini. Hok Peng muridnya tiba-tiba ngacir dan menyelinap melarikan diri. Pemuda itu gentar sekali melihat suhunya pecundang. Tapi ketika Song Giam berkelebat dan meraih baju punggungnya maka pemuda itu telah dilempar berdebuk.

"Tak boleh lari kalau belum ada perintah. Kembalilah!"

Cing Cing menoleh. Mukanya beringas, melihat pemuda ini, pedang bergetar siap membalik dan menyambar. Namun ketika temannya berseru agar pemuda itu dimaafkan, pemuda itu harus meminta ampun maka pemuda ini menangis dan mendahului gurunya menjatuhkn diri berlutut.

"Ampunkan aku, aku tak akan mengulangi kesalahan lagi. Aku bertobat dan mengaku salah, Cing Cing. Ampunkan aku dan aku bersumpuh tak akan mengulanginya lagi."

Sang guru semburat merah. Wajah dan sikap sang murid yang begitu memelas membuat kakek ini terpukul. Begitu mengiba muridnya itu, sama sekali tidak jantan. Namun karena ia sendiri sudah dikalahkan dan jelas gadis itu amat lihai, padahal masih merupakan pelayan maka kakek ini tak dapat berbuat dan Cing Cing rupanya masih menaruh kasihan. Ibunya di sana sudah dibebaskan dan memaki-maki pemuda ini.

"Hok Pang pemuda tak tahu malu. Kau pantas dibunuh. Kalau sekali lagi ia mengganggu dan menculik aku biarlah kau potong lehernya, Cing Cing, masa urusan cinta harus bersikap seperti ini. Pemuda macam apa itu!"

"Biarlah sekali ini kuampuni" Cing Cing berkata dengan muka memerah sepasang matanya berapi. "Kalau sekali lagi ia mengganggumu atau menggangguku tentu kupotong ibu. Mengingat nasihat Song-twako baiklah sekali ini aku menahan diri. Dan kau!" gadis itu menuding lawannya. "Orang tua seperti kau tak seharusnya membela murid membabi buta, Hek-lui-kong. Kalau tidak ingat pesan majikan kubunuh kau. Sekarang nyatakan bahwa kau tunduk di belakangku dan siap membantu majikanku bilamana perlu."

"Aku berjanji," kakek itu tak berdaya. "Aku sudah kalah nona. Kalau kau atau majikanmu membutuhkan tenagaku tentu aku membantu. Aku menyesal membela muridku yang salah."

"Baiklah, janjimu sudah kuikat. Sekarang kalian boleh pergi tapi di saat para undangan datang kau harus di sana membantu kami!"

Kakek itu mengangguk. Akhirnya dengan muka lesu dan wajah menunduk ia meninggakan puncak bukit itu. Sang murid disambarnya dan ditendang. Lau ketika mereka berdua lenyap di kaki bukit maka Cing Cing membawa ibunya kembali pulang dan peristiwa ini semakin menggentarkan orang, betapa lihainya penghuni di rumah bekas Hu Beng Kui itu. Cerita dari mulut ke mulut tersebar merata dan akhirnya mereka yang termasuk golongan menengah tak ada yang berani coba-coba main gila lagi. Hanya mereka setingkat ketua partai atau ketua perkumpulan yang berani datang.

Dan ketika semua menunggu hari undangan tiba maka Ce-bu menjadi ramai ketika para tokoh-tokoh utama mulai berdatangan,apalagi mereka yang membawa murid. Tak lama Ce-bu seperti pasar malam. Tempat atau gedung di mana Thian-te It-hiap tinggal dikepung dari jarak jauh. Mereka masih menunggu datangnya hari itu. Dan ketika hari yang ditetapkan tiba dan gedung itu juga dihias meriah maka tanggal dua belas bulan delapan jatuh!

* * * * * * * *

Gedung ini seperti gedung pengantin saja. Kertas warna-warni menghias seluruh ruangan merah hijau biru dan kuning. Tak ada yang diam di perhelatan besar ini. Seluruh pelayan dan tukang kebun sibuk. Cing Cing, yang membawahi para sumoinya (adik seperguruan wanita) membenahi ini-itu tampak paling sibuk di rumah ini. Dialah yang bertanggung jawab pekerjaan wanita. Sementara Song Giam, tukang kebun yang paling lihai juga membawahi para sutenya (adik seperguruan laki-laki) mengurus pekerjaan pria, memasang tenda dan meja kursi serta lampu-lampu hias.

Tak ada di antara mereka yang duduk diam karena semuanya benar-benar bekerja. Dan ketika semua kesibukan itu mencapai puncaknya dengan hadirnya para tamu, di saat matahari mulai terbenam di barat maka berdatanganlah tokoh-tokoh partai memasuki gerbang utama rumah besar ini. Bagai memasuki istana saja maka tamu undangan diterima lebih dahulu oleh para pengawal Wong-ciangkun. Di pintu gerbang berjajar pengawal berpakaian besi, serba lengkap dengan senjata mereka.

Sementara Wong-ciangkun sendiri menjadi komandan utama. Dialah yang mengenal orang-orang itu, karena dialah yang mengirim undangan atas nama Thian-te It-hiap. Dan karena perwira ini hanya sebagai perantara, saja, orang yang tunduk dibawah kekuasaan Thian-te It-hiap maka tokoh-tokoh undangan bicara baik-baik dengan komandan Ce-bu ini, tidak begitu ketika memandang dan berhadapan dengan penghuni rumah besar itu. Rata-rata tokoh undangan memandang marah. Mereka sebenarnya tak senang oleh bunyi tantangan di surat undangan itu.

Akan tetapi karena kabar tentang kelihaian Thian-te It-hiap sudah didengar dan para murid atau pelayannya ini telah merobohkan beberapa di antara mereka maka para tamu bersikap menahan diri dan hanya ketika menjura memberi hormat diam-diam mereka itu mengerahkan lweekang (tenaga dalam) untuk menyerang dan coba membuat malu. Akan tetapi mereka ketanggor. Seorang gadis cantik dan seorang laki-laki pendek gagah menyambut semuanya itu dengan muka tersenyum-senyum. Semua pukulan atau serangan diam-diam dipentalkan balik.

Dan ketika beberapa di antara mereka terhuyung dan hampir jatuh, terkejutlah para tokoh undangan maka mereka menjadi semakin hati-hati dan akhirnya menarik serangan mereka dan duduk di kursi dengan muka berkeringat. Maksud membuat malu hampir menjadi bumerang bagi diri sendiri! Ternyata dari para undangan memang datang nama-nama yang cukup berbobot. Ada Bhong Tek Hosiang dari Sho-tong-pai, atau Kiam Kit Cinjin dari Khong-tong-pai. Dan karena mereka dua orang ini adalah ketua-ketua partai yang cukup terkenal maka dapatlah diduga bahwa dua ketua ini menaruh penasaran dan gemas yang hebat kepada Thian-te It-hiap.

Ada lagi dari golongan lain yang merupakan pengembara seperti nama-nama Thi-cit-le (Si Besi Berduri) yang membawa bandul berat di bahu kanannya, seorang muka merah dengan tubuh tinggi besar dan bertampang menyeramkan. Lalu juga Thian-Can (si Ulat Langit) Kwee Bi. Yang ini merupakan wanita cantik sekitar tiga puluh delapan tahun, manis senyumnya tapi jahat sinar matanya. Kerlingnya menyambar-nyambar dan bagi mereka yang telah bertemu dengan wanita cantik itu pasti bergidik dan cepat menyembunyikan diri. Wanita ini dikenal keji dengan jentikan kuku jarinya.

Dijuluki Si Ulat Langit karena memiliki ilmu silat menggeliat-geliat yang amat indah namun berbahaya bukan main. Senjata andalannya adalah kuku jari itu, kuku yang mengandung bisa dan hanya wanita inilah yang memiliki penawarnya. Maka ketika ia datang dan Wong-ciangkun cepat membungkuk-bungkuk, sengaja perwira ini mendatangkan wanita itu untuk menghajar penghuni rumah maka dengan kekeh dan sikapnya yang genit cepat saja para tamu tertarik dan menoleh padanya.

"Hi-hik, selamat malam. Kudengar dan kuterima undanganmu, ciangkun. Semoga keramaian pesta bakal memuaskan hatiku dan mana Thian-te It-hiap. Ingin kutahu ia orang macam apa!"

"Silakan Sin-ni (Dewi) masuk saja ke dalam. Kami hanya penyambut di luar. Masuklah dan Sin-ni akan tahu."

"Hi-hik, ia ada di dalam? Baik, akan kutemui dia!" dan melenggang dengan sikapnya yang genit dan kerling menyambar-nyambar segera wanita ini masuk dengan langkah bebas dan para tamu termasuk pengawal menelan liur melihat bentuk tubuh dan pinggul wanita ini yang besar dan padat berisi. Bulat bak pot bunga yang segar dan amat menggairahkan!

Yang pertama dilihat adalah Cing Cing dan Song Giam. Gadis dan pria itulah yang berada balik pintu gerbang, menyambut dan bertugas menerima para tamu setelah melewati barisan pengawal. Mereka inilah yang mewakili Hoa-siocia dan kakeknya. Dan ketika wanita itu melihat pasangan muda-mudi ini, Song Giam tak lebih dari duapuluh lima tahun usianya maka mendadak wanita ini berbelok dan Cing Cing yang seharusnya menerima tamu wanita tak digubris!

"Eh, kau yang menamakan diri Thian-te It-hiap? Hi-hik, masih muda, dan tampan. Aku adalah Si Ulat Langit Kwee Bi dan senang berkenalan denganmu yang begini gagah dan tampan hingga berani mengundang demikian banyak orang gagah!"

Song Giam terkejut. la melihat wanita itu sudah mendekatinya dan tertawa-tawa. Seharusnya bagiannya adalah tamu laki-laki, bukan tamu wanita. Maka ketika ia melihat Cing Cing memerah mukanya dan gadis itu panas dan cemburu,.Sesungguhnya di antara mereka memang terdapat jalinan cinta maka buru-buru ia mengangkat tangan dan berseru menuding,

"Hujin (nyonya) salah, aku bukan Thian te lt-hiap. Silakan ke bagian wanita dan sumoiku itulah yang menyambut!"

Akan tetapi wanita ini telah begitu dekat. Kwee Bi tentu saja tahu bahwa tak mungkin orang sepongah Thian-te It-hiap nmenyambut tamu di depan. Paling-paling yang di depannya ini adalah anak buah. Akan tetapi karena ia tergetar dan tertarik oleh wajah tampan itu, Song Giam seorang pemuda dengan kumis tipisnya yang manis maka langsung saja ia menuju dan tiba di depan pemuda ini. "Kau tak usah merendah hati, kau pasti Thian-te It-hiap!"

Pemuda ini kaget sekali. Tangan wanita itu tahu-tahu terjulur maju dan menangkap bahunya, gerakannya cepat dan sebat bukan main. Akan tetapi ketika dia mengelak dan terkaman luput, lawan terbelalak maka berkelebatlah bayangan Cing Cing membentak wanita itu.

"Tamu yang sopan tak usah main gila di sini. Bagian wanita bukan di situ, kemarilah!"

Thian-can Kwee Bi terkejut. Dari kesiur angin dingin segera ia maklum bahayanya serangan itu. Cing Cing menampar punggung wanita ini dengan pukulan kuat. Maka ketika ia membalik dan menangkis serta menggerakkan lengan, terdengarlah benturan nyaring maka wanita itu terhuyung sementara Cing Cing tergetar dan terdorong sedikit.

"Dukk! Para tamu terbelalak dan sebagian ada yang bersorak. Cing Cing, gadis pelayan itu sanggup mementalkan lawan. Bagi yang tak menyukai Kwee Bi tentu sa-ja bersorak, mereka girang. Tapi ketika wanita itu berkilat dan hendak menyerang lagi maka Song Giam buru-buru melompat dan berseru bahwa pertandingan bukan di situ letaknya, nanti di panggung lui-tai.

"Maafkan sumoiku kalau menghendaki hujin duduk di tempat yang benar. Ia tidak keliru, hujin, bagian wanita memang di sana. Duduklah, nanti hujin akan bertemu majikan!"

"Hm, kau bukan Thian-te It-hiap?"

"Aku hanya pelayannya saja, tukang kebun."

"Wah, tapi kau gagah dan tampan. Kalau kau ikut aku langsung kuangkat sebagai suami!"

Terdengarlah ledakan tawa di kiri kanan tamu undangan. Kata-kata Kwee Bi yang ceplas-ceplos membuat pemuda itu semburat. Wajah sumoinya di sana terbakar. Tapi karena tugas mereka hanya menyambut tamu dan Cing Cing diingatkan itu, Kwee Bi terkekeh dan mengangguk-angguk akhirnya ia melenggang dan menuju deretan tempat duduk wanita. "Anak muda, aku masih seorang nona. Jangan kau sebut aku hujin. Kalau nanti Thian-te It-hiap muncul biarlah kuminta kau menjadi sahabatku yang paling intim!"

Tawa dan gelak kembali terdengar. Song Giam semakin merah padam namun semua itu dilakukan Si Ulat Langit dengan sengaja. Diam-diam wanita ini melihat kecemburuan Cing Cing kepada pemuda gagah itu, tentu saja ia ingin membalas sebagai rasa malunya dibuat terhuyung tadi. Maka ketika ia menggoda dan melepas gurauannya, tak perduli gadis itu wanita ini sudah duduk dan bersinar-sinar memandang Song Giam. Pemuda ini melengos dan memandang arah lain. Kalau saja yang dihadapi adalah pukulan atau serangan diam-diam seperti para tamu lain tentu ia siap dan tak usah merah padam.

Tapi Si Ulat Langit itu genit, terang-terangan ia digoda dan membuat sumoinya cemburu. Dan ketika datang tamu lain dan ia menyambut maka tingkah atau olok-olok wanita itu terhenti dan suasana kembali serius setelah yang lain berdatangan dan harus disambut. Menyusul Thian Can Kwee Bi adalah seorang kakek tinggi kurus berpipa cangklong. Inilah Si Asap Sakti Hung Ci. Ia sempat melihat tingkah Si Ulat Sakti tadi, terkekeh dan masuk dan langsung menemui Song Giam. Inilah pemuda yang menerima tamu lelaki. Maka ketika ia membungkuk dan merangkapkan tangan di depan dada, tertawa berkata maka ia memperkenalkan diri namun diam-diam sepasang lengannya itu menghantam dengan pukulan jarak jauh.

"Aku si tua disebut orang Sin-cwe-kai-hong-ma, tapi aku lebih suka disebut Sin-cwe saja, tidak terlalu panjang. Aku orang she Hung dan namaku Ci. Terima kasih untuk undangan Thian-te It-hiap dan selamat malam!"

Song Giam baru saja menghilangkan getaran hatinya oleh tingkah Kwee Bi, masih agak gugup. Tapi begitu menyambar angin kuat dan menyesakkan dadanya, maklumlah dia bahwa lagi-lagi seorang tamu menguji maka iapun bersiap dan membungkuk merangkapkan tangan di depan dada iapun cepat menahan dan mendorong.

"Locianpwe Sin-cwe-kai-hong-ma sudah ditunggu majikanku, selamat datang dan silakan duduk!"

Kakek itu tertegun. Dari arah, depan berkesiur angin kuat menahan pukulannya, ditambah namun ditahan semakin kuat lagi. Dan ketika ia cepat menarik serangannya dan lawan terbawa ke depan maka Song Giam terkejut terjelungup kedepan, terbawa oleh pukulannya sendiri.

"Eh-eh, aku si tua tak berani terlalu menerima hormat. Kau anak muda tak usah menyembah!"

Song Giam kaget sekali. Tak disangkanya kakek itu menarik serangan dengan tiba-tiba. Hal ini mengakibatkan ia terbawa ke depan dan jatuh terjelungup. Akan tetapi karena Ia menerima gemblengan cukup dan tak mungkin malu begitu saja maka ia menyambar kancing baju kakek itu. dan sambil berseru keras ia mengetuk punggung kaki kakek itu.

"Locianpwe keliru, kancing baju locianpwe jatuh!" Kakek itu kaget. Ia ganti tak menyangka bahwa terjelungup seperti itu dipergunakan sekalian untuk mengetuk punggung kakinya. Itu bukan ketukan biasa melainkan sebuah totokan. Dan karena saat itu kancing bajunya juga disambar dan jatuh di tangan pemuda ini, seolah memungut dan hendak menyerahkannya kembali kepadanya maka kakek itu berseru keras dan mengangkat kakinya yang lain kakek itu menendang dagu lawan.

"Dukk!" Kakek ini terpelanting dan berteriak keras. Song Giam tak membiarkan dagunya kena tendang dan mengganti ketukan dengan tangkisan. Kakek itu telah menarik kakinya agar tidak tertotok, cepat namun lawan tak mau kalah. Pemuda itu juga bergerak sama cepat. Dan ketika pemuda itu meloncat bangun sementara si kakek berjungkir balik melayang turun maka tampaklah kancing baju di tangan pemuda itu yang cepat dilemparkan ke arah tamunya.

"Maaf, locianpwe kehilangan benda ini?"

Kakek itu menangkap merah padam. Maksud membuat malu hampir berbalik mencelakai dirinya sendiri, terbelalaklah kakek ini. Tapi ketika ia terkekeh dan menyimpan kancing bajunya maka sambil memuji kakek ini berkata bahwa tuan rumah sungguh lihai. "Ha-ha, aku sudah mendapat pelajaran. Bagus, tak rugi diundang Thian-te It-hiap!"

Para tamu duduk kembali. Tadi mereka bangkit dan ada yang meninggalkan kursinya. Hal itu tiada lain karena ingin melihat lebih dekat, serang-menyerang itu berlangsung cepat dan bagi mereka yang keranjingan ilmu silat tentu saja tak bakal melewatkan hal-hal seperti ini. Tapi ketika kakek itu duduk lagi dan memilih tempat, kebetulan di samping ketua Sho-tong dan Khong-tong maka sambil menyeringai Sin-cwe-kai-hong-ma ini mengebut-ngebut ujung bajunya.

Song Giam lega dan menyambut tamu-tamu lain. Berturut-turut muncul orang-orang gagah seperti ketua Bu-tong dan Hoa-san, juga Kun-lun serta Siau-hun pai. Dan karena undangan bersifat pemilihan bengcu tentu saja harus dihadiri tokoh-tokoh penting maka tak lama kemudian halaman luas di rumah Hu Beng Kui itu telah penuh orang, bahkan Cing Cing dan kawan-kawan terpaksa membuka ruangan dalam untuk para tamu yang masih terus mengalir.

"Mana Thian-te It-hiap, kami ingin segera berkenalan!" Seruan itu disambut anggukan berulang-ulang para pembantu atau murid-murid Hoa-siocia ini. Mereka terus menyambut tamu undangan sampai akhirnya penuh tak ada lagi ruang tersisa untuk mereka Dan ketika gadis itu meloncat ke panggung lui-tai menarik perhatian para tamu maka Song Giam cepat mengiringi sumoinya ini berseru ke delapan penjuru.

"Harap cuwi enghiong (tuan-tuan gagah) bersabar sejenak, kami akan melapor ke dalam dan kembali lagi. Maaf kalau majikan terlalu lama!"

Dua orang itu berkelebat menghilang. Setelah para tamu berdatangan dan tempat itu penuh maka tiada lain kalau melapor dan memberi tahu majikan. Majikan memang muncul kalau tempat itu sudah penuh orang. Dan ketika tak lama kemudian pasangan ini muncul lagi, tiga belas pelayan atau murid-murid lain berkelebatan di atas panggung maak Song Gim berseru bahwa majikan sudah keluar.

"Cuwi-enghiong diminta bangkit berdiri, atau majikan tak mau menemui kalian!"

Terpaksa dengan mendongkol orang-orang ini bangkit berdiri. Mereka menggerundel dan mengomel panjang pendek dan keluarlah dari dalam ruangan besar sesosok tubuh ramping berpakaian serba putih. Wajahnya yang cantik dingin membuat orang tertegun, langkahnya biasa-biasa saja tapi tahu-tahu sudah melewati rombongan pelayan dan murid-murid itu, Song Giam dan para sumoi atau sutenya. Dan ketika sosok ramping ini menjura sedikit. orang menyangka dia adalah Thian te It-hiap maka gadis ini, yang bukan lain Hoa-siocia adanya berseru nyaring, suaranya merdu namun jelas dan kuat.

"Maaf bahwa Cuwi-enghiong dibuat tak sabar oleh penantian ini. Tapi berterima kasih atas kunjungan cuwi memenuhi undangan maka aku Hoa Siu sebelumnya mengucapkan selamat datang dan selamat bertemu. Than-te It-hiap akan menjumpai cuwi dan inilah orangnya... blarr!"

Para tamu terkejut, ledakan terdengar di panggung lui-tai dan tahu-tehu seperti iblis muncullah seorang kakek berambut putih yang matanya mencorong memandang mereka semua. Entah dari mana datangnya kakek ini tak ada para tamu yang tahu. Inilah kakek misterius yang ditakuti Wong-ciangkun dan Siangkek-taijin itu. Sekarang tahu-tahu muncul seperti siluman! Dan ketika semua ketua dan tokoh-tokoh kang-ouw terkejut, tak kuat oleh pandang mata mencorong itu maka tiba-tiba mereka menunduk dan siapa yang beradu pandang dengan sepasang mata ini tiba-tiba membuang muka atau memandang ke arah lain. Gentar!

Akan tetapi terdengar pekik keras. Si Ulat Langit Kwee Bi yang kaget dan tergetar oleh pendang mata itu tiba-tiba menjadi marah. la melengking dan berjungkir balik ke panggung lui-tai. Lalu ketika semua orang terkejut oleh tindakannya maka wanita ini, yang gusar dan penasaran oleh pandang mata itu membentak,

"Thian-te It-hiap, kau kiranya yang menunjuk diri sebagai jago tak terkalahkan. Aku Thian-can Kwee Bi sungguh penasaran dan malu kenapa semua orang di sini tiba-tiba menunduk bertemu denganmu. Kau bukan raja, kalaupun kaisar belum disahkan. Coba terima ini dan biar kutahu sampai di mana kehebatanmu..crit!!"

Wanita itu menjentikkan kuku jarinya tapi Hoa Siu atau Hoa-siocia membentak menangkis tusukan dua kuku berbahaya ini. Wanita itu tahu-tahu menyerang sementara Thian-te It-hiap berdiri tenang, hanya sepasang matanya semakin mencorong dan orang yang melihat keder. Lalu ketika kuku itu disambut tamparan Hoa-siocia maka Kwee Bi terpelanting dan terpental kembali ke kursinya.

"Kami belum bicara apa-apa, tak perlu bersikap kurang ajar. kembali dan duduklah di tempatmu sampai Thian-te It-hiap bicara!"

Kagetlah wanita ini. la yang ingin menarik perhatian sekaligus menyadarkan Orang-orang kang-ouw itu kenapa menunduk beradu pandang dibuat terlempar dan berjungkir balik tinggi oleh tamparan Hoa-siocia. Tanpa dapat dicegah lagi ia terlempar ke kursinya. Dan ketika wanita itu pucat namun melotot marah, tangkisan itu membuat kukunya seakan pecah maka yang lain tertegun dan membelalakan mata karena begitu mudahnya Si Ulat Langit ini dipukul mundur.

"Sambutan kami belum selesai, harap cuwi-enghiong duduk tenang. Kalau ada yang gatal tangan maka lui-tai ini dipersiapkan untuk itu. Jangan khawatir!" lalu menghadapi kembali para ketua partai gadis baju putih itu mengangkat tangannya. "Undangan ini bukan untuk bermaksud ribut, kami keluarga besar Thian-te It-hiap tak mempunyai keinginan untuk mencari musuh. Kalau cuwi mau mendengarkan apa yang hendak dikatakan kakekku harap kalian bersabar dan jangan buru-buru naik panggung."

Berdesahlah semua orang. Setelah gadis baju putih itu mengeluarkan kepandaiannya dan sikap serta kata-katanya begitu berwibawa maka orangpun tak menganggapnya enteng lagi. Dari hasil pukulan tadi mereka tahu betapa lihainya Hoa-Siocia itu, apalagi kakeknya yang tahu-tahu muncul seperti iblis itu, datang di tengah panggung dengan caranya yang luar biasa. Dan ketika gadis ini mundur dan mempersilakan kakeknya, berdebarlah semua orang maka suara atau batuk-batuk perlahan diperdengarkan dulu Thian-te It-hiap. Matanya masih mencorong namun senyum di sudut bibirnya sedikit menyejukkan hati.

"Maafkan kalau cuwi menganggapku sombong dan sebagainya," suara tua itu mulai bicara. "Undangan ini kutujukan untuk sebuah maksud, cuwi-enghiong, menenteramkan dunia kang-ouw dan mengajak cuwi sekalian untuk menjaga dan mengamankannya. Tahukah Cuwi bahwa sebuah perkumpulan jahat tengah mengancam ketenangan kita, dan untuk ini kita harus bersatu-padu mengalahkannya...!"

"Nanti dulu!" seseorang tiba-tiba berseru. "Apakah sikap dan perbuatanmu ini termasuk baik-baik, Thian-te It-hiap. Apakah dengan mengumpulkan dan meresmikan dirimu sebagai jago tak terkalahkan bukan kejahatan terselubung yang mengancam kami semua!"

Para tamu menoleh. Ternyata yang bicara adalah Sin-cwe-kai-hong-ma itu. Kakek ini mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan membuat sebagian besar para tamu mengangguk. Harap dimaklumi saja karena sesungguhnya mereka itu tak senang oleh undangan dan tantangan Thian-te It-hiap ini, jago yang hendak menjadi bengcu, orang yang kelak memimpin dan membawahi mereka. Maka ketika mereka mengangguk-angguk namun kakek itu tersenyum lebar, sama sekali tidak marah maka jawaban dari mulutnya terdengar sareh dan enak,

"Perbuatan yang merugikan orang lain memang termasuk jahat dan tidak benar. Tapi kalau perbuatan itu untuk menguntungkan dan membela kebenaran maka tidak ada salahnya, Sin-cwe-kai-hong-ma. Apalagi aku yang hendak memimpin kalian membasmi sebuah kejahatan."

"Kau telah melakukan sebuah kejahatan. Kau merampas rumah tinggal Hu Beng Kui!"

"Hm ini urusanku pribadi, tempat tinggal sementara. Kalau ahli warisnya datang kepadaku maka semuanya akan kuserahkan baik-baik, yang terhormat Sin-cwe kai-hong-ma tak usah turut campur."

Tertegunlah kakek itu dan semua orang. Mula-mula para tamu mengangguk dan setuju dampratan kakek itu. Tapi ketika Thian-te It-hiap menjawab begitu ringan dan enak maka mau tak mau mereka kagum akan ketenangan dan sikap penuh wibawa Thian-te It-hiap. Tapi Sin-cwe-kai-hong-ma masih tidak mau kalah. Begitu ditangkis dan merasa terdesak ia pun berkata lantang,

"Baiklah, urusan ini urusanmu pribadi dengan keluarga Hu-taihiap. Tapi kalau kami tak mengenal siapa dirimu dan kau hendak menjadi bengcu di sini kukira tak ada orang yang mau mengangkatmu.asal-usulmu tak jelas!"

"Benar!" Thian-can Kwee Bi tiba-tiba berseru. "Bengcu yang hendak membawahi kami tentunya bukan seorang bengcu turunan siluman, Thian-te It-hiap.Bagaimana kami orang-orang gagah dipimpin seorang bengcu yang asal-usulnya tak diketahui. Kau mirip siluman!"

"Hm," kakek di atas panggung tak menghiraukan suara gaduh đi bawah, ketua dan tamu undangan termakan. "Asal-usul seseorang bukan sesuatu yang penting untuk syarat menjadi bengcu, Kwee Bi. Yang utama dan pokok adalah kepandaiannya. Bengcu harus paling pandai di antara semuahya, dan aku hendak membuktikan disini untuk menjadi bengcu."

"Kalau begitu kau calon bengcu liar. Kupikir tak ada yáng mau tunduk kepadamu sebagai bengcu siluman!"

"Baiklah...!" kakek itu tersenyum tenang. "Kalau begitu kuterangkan di sini bahwa aku masih mempunyai hubungan dekat dengan Hu Beng Kui. Aku kerabat jago pedang itu dan aku mampu membuktikannya dengan mainkan llmu Pedang Maut yang menjadi andalannya... singgg!" bagai sulapan saja tahu-tahu sebatang pedang telah berada di depan kakek ini, digerakkan dan sekonyong-konyong lenyaplah kakek itu dalam gulungan sinar putih bergulung-gulung.

Para tamu terdekat merasa kesiur angin dingin dan terkejut membelalakkan mata. Mereka yang merupakan tokoh-tokoh tua memperhatikan itu, silat pedang yang amat luar biasa dimana angin serangannya terasa tajam mengiris kulit. Lalu ketika kakek itu melakukan bentakan, mengakhiri gerakannya maka pedang itupun lenyap dan sebagai gantinya ketua Hoa-san dan Kun-lun yang ada di barisan depan terbabat lengan bajunya sampai putus!

"Maaf," kakek itu menjura dan tersenyum di depan dua ketua ini., Kalian orang-orang yang mengenal ilmu pedang Hu-taihiap, jiwi-paicu. Bagaimana keterangan jiwi tentang ilmu pedang yang baru kumainkan ini."

Dua ketua itu pucat. Mereka tak merasa bahwa ujung lengan baju tahu-tahu terbabat putus. Mereka hanya merasa angin serangan pedang yang tajam, mereka memperhatikan dan melihat bahwa itu betul-betul Giam-lo Kiam-sut, ilmu pedang yang dulu dimiliki mendiang Hu Beng Kui. Maka ketika mereka mengangguk dan kaget berseru keras, mengebutkan ujung lengan baju yang tinggal separoh maka Kiam Ceng Cinjin ketua Hoa-san bangkit dari kursinya.

"Siancai, itu betul Ilmu Pedang Maut ciptaan mendiang Hu-taihiap. Pinto harus mengakui bahwa kau tak berbohong!"

"Dan pinto mengakui juga. Itu betul Giam-lo Kiam-sut!"

Gemparlah semua orang. Ternyata kakek itu tidak membual dan Thian-te It-hiap telah menunjukkan asal-usulnya, terbelalaklah semua orang. Dan ketika dua ketua Hoa-san dan Kun-lun duduk lagi di kursi masing-masing maka kakek itu tertawa memandang semua orang.

"Nah, dua ketua Hoa-san dan Kun-lun telah mengakui ilmu pedangku. Asal-usulku jelas. Sekarang siapa yang masih meragukan lagi dan ingin bicara."

Tergetarlah para tamu undangan termasuk sin-cwe-kai-hong-ma dan Thian-can Kwee Bi. Mereka tak menyangka sama sekali bahwa kakek di atas panggung itu kerabat Hu Beng Kui. Pengakuan dua ketua sudah cukup, apalagi Hoa-san dan Kun-łun adalah dua partai persilatan yang khusus melatih silat pedang. Tapi kwee Bi yang masih penasaran mendahului temannya.

"Nanti dulu, jangan bersombong. Seingatku Hu Beng Kui tak mempunyai suheng atau sute, Thian-te It-hiap. Ia jago pedang yang malang-melintang sendiri. Sekarang bagaimana kau orang tua muncul, dan mengaku sebagai kerabatnya. Apakah kau suheng atau sutenya!"

Semua orang mengangguk-angguk. Memang Hu Beng Kui tak mempunyai kakak atau adik seperguruan, pendekar itu sendiri. Tapi ketika kakek di atas panggung itu bersikap keren maka ia menjawab dengan mata mencorong, "Pertanyaanmu tak layak dijawab di muka umum. Yang penting aku telah menunjukkan asal-usulku. Kalau kau mendesak dan memaksa maka sikapmu tidak sopan!"

Terpukulah wanita ini. Memang tidak sopan mendesak dan memaksa seseorang merinci riwayat hidupnya di depan umum, apalagi yañg bersifat rahasia, yang setiap orang tentu punya. Maka ketika Thian-can Kwee Bi duduk kembali dengan wajah mera padam sekarang orang mulai berhati-hati dengan penghuni rumah yang amat berwibawa ini, yang ilmu pedangnya telah dikeluarkan sedikit dan dua ketua Hoa-san dan Kun-un sampai tak tahu lengan baju mereka putus terbabat!

"Omitohud!" sekarang Bhong Tek Ho-siang merangkapkan tangan, bangkit berdiri. "Pinceng dari Sho-tong-pai mohon maaf menyela waktu, Thian-te It-hiap. Tak perlu diragukan lagi bahwa kau kerabat mendiang Hu Beng Kui. Baiklah, sekarang apa maksudmu dan orang jahat mana yang menurutmu bakal mengancam dunia kang-ouw, padahal pinceng dan kawan-kawan tampaknya tak merasakan sesuatu yang luar biasa dan serius mengancam dunia persilatan."

"Benar!" Kiam Kit Cinjin tiba-tiba juga berseru, bangkit dari kursinya. "Pinto dari Khong-tong-pai tak merasa ada gangguan serius di dunia persilatan,Thian-te it-hiap. Bagaimana kau tiba-tiba mengatakan kami semua terancam bahaya. Orang dari manakah itu dan benarkah sedemikian serius!"

"Hm, ini belum kukatakan tadi. Omonganku diputus Sin-cwe-kai-hong-ma dan Thian-can Kwee Bi. Kalau totiang maksudkan bahaya di daerah Tiong-goan memang benar, tak ada yang serius. Paling-paling orang macam Kwee Bi atau Thi-it-le yang ada di sini mengganggu anak-anak muda atau perorangan saja. Tapi di luar Tiong-goan sedang disusun suatu kekuatan dahsyat untuk mencelakai kalian, dan inilah sebabnya kalian semua kukumpulkan dan hendak kupimpin melawan kekuatan jahat itu."

"Sombong!" seorang kakek tinggi besar bermuka merah mencelat ke panggung, gerakannya diiring suara besi menderu. “Kalau kau menganggap aku mengganggu anak-anak maka kau salah, Thian-te. Orang sepertimu pun aku tak takut...wherrr!"

Besi atau bandul berduri di bahu kakek itu menyambar, langsung menuju kepala lawannya dan inilah Thi-cit-le Si Besi Berduri. Senjatanya yang menyeramkan itu sebesar kepala orang, jangankan manusia, kepala seekor gajahpun bakal remuk tertimpa benda mengerikan ini, besi atau logam berduri yang bertaburan benda-benda runcing bak sebutir durian. Tapi ketika berkelebat bayangan putih dan itulah Hoa-siocia, membentak dan menangkis kakek ini maka senjata itu terpental dan membalik menghantam pilar yang remuk berkeping-keping.

"Jangan sombong di tempat ini, pibu belum mulai. Pergilah.... brakkk!"

Panggung bergetar seakan roboh dan kakek itu berteriak keras mempertahankan senjatanya yang terputar. Kalau ia tak memiliki tenaga raksasa mungkin bandul itu akan menghantam kepalanya sendiri. Untunglah ia masih mampu mengendalikan senjatanya, menderu dan menghancurkan pilar kokoh dan lantai panggung bergoyang-goyang. Semua ngeri memandang senjata itu. Dan ketika kakek ini terhuyung memandang lawannya, terbelalak maka Thian-te It-hiap mengangguk dan mengebutkan lengannya.

"Apa yang dikata cucuku benar, pibu (adu silat) belum dimulai. Pergi dan kembalilah ke tempat dudukmu."

Untuk kedua kali kakek tinggi besar ini terkejut. Dari kebutan Thian-te It-hiap keluar hawa dorong yang membuat si raksasa berseru tertahan. la terpukul dan terdorong mundur, bertahan dan coba melawan akan tetapi kedua kakinya tahu-tahu terangkat naik. Bagai layang-layang atau benda ringan kakek ini terlempar ke kursinya, jatuh tepat dengan seruan keras dan pucatlah semua orang memandang itu. Tadi Hoa-siocia melempar Thian-can Kwee Bi hingga meneelat ke tempat duduknya, sekarang kakek berjuluk Thian-te It-hiap itu.

Dan ketika Si Besi Berduri terjerembab dan jatuh seperti anak kecil, merah padam maka kakek tinggi besar itu menjublak bagai patung hidup sementara mukanya kehitam-hitaman oleh malu dan marah yang hebat. Akan tetapi Thian-te It-hiap benar. Pibu atau adu pertandingan silat belum dimulai, siapapun dapat maju kalau nanti acara itu sudah digelar. Maka ketika raksasa ini menahan marahnya dan terduduk dengan muka berubah-ubah maka kakek di atas panggung itu berkata lagi, suaranya berat namun penuh wibawa, matanya mencorong dan tetap berkilat-kilat.

"Cuwi-enghiong kudatangkan memang untuk menyaksikan adanya pemilihan seorang bengcu. Sekarang asal-usulku sudah jelas. Dan karena maksud hatiku juga sudah kukatakan maka baiklah kukatakan syarat berikutnya dari aturan yang akan kubuat ini. Pertama, ada tingkatan di acara ini, yakni sebelum cuwi menghadapi aku maka cuwi harus menghadapi cucuku terlebih dahulu. Tapi sebelum cuwi berhadapan dengan cucuku maka cuwi akan di coba dulu oleh dua murid kami Song Giam dan Cing Cing!"

Bertepuk tanganlah gadis-gadis cantik dan pelayan rumah ini. Mereka yang terdiri dari wanita-wanita muda itu tiba-tiba memberi sambutan atas kata-kata majikan mereka, para tamu tiba-tiba bersorak pula menyoraki para pelayan itu, yang rata-rata cantik-cantik. Tapi ketika kakek di atas memberi tanda dan minta mereka berhenti maka suaranya terdengar lagi,

"Kedua, pibu ini diadakan bukan untuk bunuh-membunuh, masing-masing hanya saling merobohkan atau melepaskan senjata lawan. Kalau hal itu terjadi maka ini dianggap sebagai kemenangan."

Gadis-gadis pelayan kembali bertepuk gembira.Tepuk mereka diikuti kembali oleh para tamu terutama yang muda-muda sementara ketua dan tokoh-tokoh partai mengangguk-angguk. Mereka setuju dan meiihat sikap baik dari Thian-te It-hiap ini, meskipun tampaknya sombong namun masih berpijak pada kebenaran. Dan ketika kakek itu mengangkat tangannya lagi dan berseru menutup maka ia menyatakan bahwa bengcu yang terpilih hanya berusia tiga bulan saja, hal yang membuat orang tercengang!

"Bengcu di sini hanya bersifat sementara, yakni sebatas membasmi kelompok orang jahat itu. Kalau pekerjaan ini selesai maka ia harus meletakkan jabatan dan mengundurkan diri."

"Omitohud..." Bhong Tek Hosiang berseru heran. Kau aneh dan luar biasa menentukan caramu, Thian-te It-hiap, tapi baiklah pinceng setuju. Kalau benar ada kelompok seperti itu pinceng tentu saja segera menyingsingkan lengan baju. Sekarang katakanlah siapa kelompok jahat itu!"

"Benar!" ketua Kun-lun dan lain-lain tiba-tiba mengangguk. "Kau belum mengatakan siapa musuh yang hendak dibasmi itu, Thian-te It-hiap. Kau beritahukanlah kepada kami biar kami puas!"

"Kalian belum mengenalnya, tapi tak apalah kusebut. Mereka adalah orang-orang Pulau Api...!"

"Pulau Api?" semua orang tertegun dan heran. "Kami belum pernah mendengar itu!"

"Benar, dan ini tidak aneh. Mereka berada di luar daratan Tiong-goan seperti yang tadi kukatakan."

"Ah, siapa mereka itu!"

"Dan macam apa mereka itu!"

Ribut-ribut dan gaduh tiba-tiba memenuhi semua tamu undangan. Mereka benar-benar belum mendengar itu dan tentu saja tertarik. Orang dari mana Pulau Api itu. Dan ketika semua orang saling bertanya dan berisik sendiri maka Thian-te It-hiap mengangkat lengan menyuruh masing-masing diam. Orang sudah mulai tertarik dan bersinar mendengar itu.

"Cuwi tak akan tahu kecuali aku dan cucuku ini. Mereka orang-orang yang hebat, terutama tokoh-tokohnya. Dan karena tak mungkin aku sendiri menghadapi itu maka kuminta cuwi bergabung di sini dan sama-sema membasmi mereka."

Mengangguklah para ketua partai dan tokoh-tokoh persilatan. Mereka yang menjadi golongan pendekar segera saja bersimpati. Ada dua hal yang membuat mereka suka kepada Thian-te It-hiap itu. Pertama adalah ilmu kepandaiannya yang tinggi dan kedua tentang usia jabatan bengcu. Segera mereka menangkap sesuatu yang baik dan bersahabat. Seorang bengcu biasanya akan menduduki kursinya bertahun-tahun, bahkan kalau tak ada yang mengalahkannya maka bengcu bisa seumur hidup. Maka ketika dinyatakan bahwa bengcu hanya berusia tiga bulan saja, sebatas urusan itu maka mereka kagum dan dari sini tersirat bahwa orang yang berjuluk Thian-te It-hiap ini sesungguhnya bukan orang yang sombong, apalagi haus kedudukan!

Tapi tidak demikian dengan orang-orang dari golongan sesat, seperti Kwee Bi dan kakek raksasa Si Besi Berduri itu. Mereka tentu saja khawatir melihat kelihaian Thian-te It-hiap ini. Bahwa dengan begitu mudah mereka didorong dan terlempar kembali diam-diam membuat mereka terkejut dan gentar bukan main. Hanya kearena di situ terdapat banyak tamu dan merekapun belum mengeluarkan kepandaian sepenuhnya maka mereka masih menaruh harap dan pembalasan. Mereka sakit hati atas kekalahan segebrak tadi, ingin menguji dan mencoba dan kalau bisa membunuh kakek ini. Thian-te It-hiap merupakan duri yang mengganggu kalau tidak segera dilenyapkan.

Diam-diam maka si kakek dan Ulat Langit saling lirik, mengedip dan memberi tanda dan mereka sudah bersatu untuk menghadapi kakek itu, kalau perlu mengeroyok dan membunuhnya. Dan ketika di belakang serta kiri kanan mereka juga mengedip teman-teman sealiran, termasuk seorang pengemis bongkok yang menyelinap diam-diam maka si Besi Berduri maupun Kwee Bi girang dan sudah merencanakan sesuatu untuk melenyapkan lawan. Thian-te It-hiap selesai bicara. la telah mengungkapkan maksudnya dan mundur. Dua murid yang dimaksud berkelebat datang, berlutut dan memberi hormat di depan majikan. Dan karena semua sudah jelas dan pibu resmi dibuka maka yang melompat pertama kali adalah raksasa itu.

"Bagus, kami sudah dengar. Tapi seorang bengcu tentunya harus siap menghadapi segalanya. Heh, bagaimana kalau seandainya kau menang kami mengeroyokmu, Thian-te It-hiap. Beranikah kau menghadapi kami agar mata kami benar-benar terbuka dan tunduk lahir batin!"

"Pibu adalah seorang lawan seorang," ketua Hoa-san tiba-tiba berseru. "Kalau keroyokan bukan pibu lagi namanya, Thi-cit-Le, mana mungkin itu!"

"Usulnya kuterima," Thian-te It-hiap tak disangka mengangguk. "Calon bengcu memang harus dapat melayani segala kehendak, Hoa-san-paicu, biarlah kakek ini memuaskan hatinya dan tidak kutolak."

Terkekehlah Ulat Langit Kwee Bi. Tiba-tiba ia berkelebat dan naik pula ke panggung. Sikapnya yang genit dan dibuat-buat membuat para tamu terbelalak, mereka yang muda merasa gemas dan gairah timbul. Wanita itu menjentik-jentikkan kuku jarinya sambil melenggang-lenggokkan pinggul. Dadanya yang padat berisi digoyang-goyangkan pula. Dan ketika ia mendampingi kakek raksasa itu menghadapi Song Giam dan Ceng Ceng maka ia menuding bahwa ia ingin cepat-cepat menjajal kepandaian murid-murid Thian-te It-hiap ini, menunjuk si pemuda.

"Aku ingin maju pula mencoba kelihaian tuan rumah. Bagaimana kalau kami maju berbareng!"

"Hmm, mereka dipersiapkan untuk kalian pilih. Kalau begitu kemauanmu kami tak menolak, Kwee Bi, silakan saja dan murid-murid kami tahu."

Jawaban ini lagi-lagi membuat para tamu berdecak, Kalau panggung terisi dua pertandingan sekaligus tentu menarik dan amat menyenangkan. Jarang terjadi kejadian seperti ini. Dan ketika kakek tinggi besar itu tertawa bergelak menuding Cing Cing maka ia berseru bahwa tangannya sudah gatal-gatal untuk segera mulai. Kwee Bi sudah memilih lawan,

"Baik, aku memilihmu. Kalau kau takut boleh tukar lawan main, nona. Katakan sebelum senjataku bergerak!"

Cing Cing mengerutkan kening dengan muka merah. Sesungguhnya ia telah dipersiapkan majikannya untuk menghadapi orang-orang macam apapun. Keberhasilannya merobohkan orang-orang Hwa-i Kai-pang dan Hek-lui-kong membuat kepercayaannya besar. Meskipun kakek ini menyeramkan dengan senjatanya yang dahsyat namun sedikitpun tak terlihat rasa takut atau gentar, hal yang membuat para ketua Bu-tong dan lainnya kagum. Maka ketika ia mencabut pedangnya. dan menjengek memandang kakek itu gadis inipun lintangkan pedang berseru nyaring,

"Dengan siapapun aku tak perlu takut. Kalau kau lebih berani menghadapi aku daripada yang lain silakan maju, Thi-cit-le. Murid Thian-te It-hiap sudah dipersiapkan untuk menghadapi siapapun!"

Merahlah wajah kakek itu. Gadis ini menyebutnya "lebih berani", seakan keberaniannya hanya terhadap wanita. Maka membentak dan mengayun senjatanya tiba-tiba iapun sudah menerjang maju. "Aku berani kepada siapapun, juga majikanmu. Karena Kwee Bi telah memilih lawannya maka di sini hanya tinggal kau. Awas dan berhati-hatilah!"

Senjata itu menderu dan menyambar kepala gadis ini. Keganasan dan sepak terjang kakek ini memang mengerikan sekali. Serangannya berkesan ingin cepat menang dan menghadapi Thian-te It-hiap. Tapi ketika gadis itu mengelak dan membiarkan bandul berduri meluncur di samping kepalanya, menderu dan membalik menyambar lagi maka gadis ini melompat mundur dan cepat pedangnya menangkis.

"Tranggg...!" Pedang terpental dan tampak betapa dahsyatnya tenaga kakek tinggi besar itu. Thi-cit-le memang raksasa bertenaga penuh dan tak heran kalau ia penasaran dan marah dipentalkan Hoa-siocia. Kini gadis di depannya itu terhuyung dan kedahsyatannya dilihat semua orang, raksasa itu tertawa bergelak dan bangga. Maka ketika ia menerjang lagi dan menyambar gadis itu segera bandul berdurinya naik turun dengan amat mengerikan.

"Lepaskan pedangmu kalau tak kuat, atau senjataku merobohkanmu dan jangan menyesal di belakang!"

Cing Cing mengelak dan berkelebatan cepat. Setelah ia menangkis dan merasakan tenaga lawan maka ia maklum bahwa tenaganya bukan tandingan kakek itu. Lawan bertenaga berat dan penuh, pedang di tangannya hampir terlepas dan membuat ia terkejut. Telapaknya pedas. Namun karena ia murid terpandai dan dipasang untuk menghadapi semua lawan maka iapun membentak nyaring dan sekali kakinya menjejak panggung tiba-tiba ia sudah berkelebatan mengelilingi kakek itu.

"Crang-crangg!" Tangkisan dari samping membuat Cing cing melencengkan senjata lawan. Ini adalah kecerdikannya dan si raksasa berteriak, gadis itu membalas dan menusuk atau menikam membuat kakek itu mengelak. Dan ketika Si Besi Berduri ini membentak dan tak mau kalah akhirnya kakek itupun memutar senjatanya lebih cepat lagi untuk mengejar burung lincah yang sudah lenyap beterbangan ini.

"Brak-braakkk...!" Lantai panggung bergetar dan berlubang oleh hantaman bandul berduri. Tiga kali senjata itu menimpa dahsyat dan tiga kali para tamu berseru tertahan. Mereka khawatir gadis itu remuk, Tapi ketika secepat itu Cing Cing lenyap menghindar dan sudah berada di belakang kakek ini maka tepuk riuhpun tak dapat dicegah lagi, tepuk kagum. Berjalanlah pertandingan ini dengan seru dan menarik. Cing Cing tak mau beradu pedang dan menangkis atau melencengkan senjata lawan dari samping. Dengan begitu tenaganya tak perlu kuat sementara si kakek memaki-maki.

Namun karena Thi-cit-le juga bukan orang sembarangan dan pengalaman tempurnya banyak maka sebentar kemudian ia sudah berhasil memperbaiki diri dengan tidak mengobral tenaga, satu dua kali menghantam dahsyat dan ini penghematan besar. Cing Cing menusuk dan menikam namun kakek itu melindungi diri dengan baik. Dan ketika keduanya terlihat adu kecerdikan untuk menyerang dan mencari kelemahan masing-masing maka Kwee Bi, Si Ulat Langit mendadak bergerak cepat dan kuku jarinya tahu-tahu menjentik telinga Song Giam.

"Bret!" Song Giam waspada dan membentak wanita ini. Kwee Bi tak memberi tahu dan menyerang dengan licik, jentikannya tadi dapat membuat orang roboh, telinga yang tergurat bakal seperti diiris, beracun. Dan ketika pemuda itupun maju mundur menghadapi lawan maka wanita ini kecewa namun terkekeh. Serangannya yang gagal menunjukkan kepandaian lawan yang tak boleh dipandang enteng.

"Hi-hik, mari main-main. Kau keluarkan pedangmu, anak muda, atau menyerah saja dan biar kuhadapi majikanmu Hoa-siocia itu!"

"Aku belum roboh, apalagi kalah. Kalau kau dapat mengalahkan aku maka aku mundur, kouwnio, jangan sombong dan mari kulayani permintaanmu!"

"Bagus, kalau begitu secepatnya aku akan merobohkanmu!" dan si cantik yang berkelebat dan menyerang lagi akhirnya terkekeh dan membuat lawan mundur-mundur, tak mengeluarkan senjata karena pemuda ini sungkan melihat lawan bertangan kosong. Song Giam tak mau tahu bahwa kuku jari wanita itu adalah senjatanya yang ampuh, Thian-te It-hiap dan Hoa-siocia memandang dengan kening berkerut. Dan ketika benar saja Song Giam terdesak dan kewalahan menghadapi lawan maka Hoa-siocia tak mau diam lagi.

"Song Giam, cabut pedangmu dan keluarkan Giam-lo Kiam-sut. Kuku lawanmu adalah senjata!"

Pemuda ini maklum. Cepat ia sadar bahwa kelambatannye tadi bakal membuat posisinya bertambah buruk. la bakal dirobohkan lawan kalau tak mencabut pedang, tak usah malu-malu karena peraturan pibu memang begitu. Maka ketika ia mengeluarkan senjatanya dan cahaya putih menyilaukan mata, mendesing dan menangkis kuku itu maka lawan menarik cépat dan desakan seketika lenyap terganti jerit kecil tertahan.

"Ih. Singgg...!" Kwee Bi selamat. Pedang menyambar demikian cepat dan langsung menyontek ke atas, bukan semata menyambut kukunya namun langsung membalas dan menusuk tenggorokan, bukan main hebatnya. Dan ketika wanita itu terkejut dan berubah mukanya, marah maka ia lalu melengking dan selanjutnya Ulat Langit ini menjejakkan kaki dan tubuhnya naik turun mengelilingi pemuda itu.

"Bagus,. pedangmu lihai. Namun aku tak akan takut!"

Song Giam lega. Pemuda ini telah memperbaiki posisinya dan membuat lawan mundur. Menghadapi tubuh yang berkelebatan itu iapun mengeluarkan ginkang atau ilmu meringankan tubuh, membentak dan mengikuti pula dan akhirnya dua bayangan saling menutup dan membungkus, satu sama lain saling desak dan menekan yang lain namun untuk beberapa saat kelebatan pedang terlalu berbahaya. Bacokan atau tikaman maut membelah si Ulat Langit, wanita itu harus berhati-hati dan sering melompat jauh menghadapi pedang panjang. Namun ketika ia terkekeh dan menjentikkan bubuk harum di bawah kuku, tersedot dan terhisap pemuda itu tiba-tiba murid Thian-te It-hiap ini terbatuk dan limbung. Bau harum itu memabokkan!

"Heh-heh, kau tak akan mampu mengalahkan aku. Daripada roboh sebaiknya menyerah baik-baik, anak muda. Sayang kalau kulitmu yang tegap tergores kukuku!"

Song Giam tak menjawab, la limbung dan mengelak sana-sini dan segera para tamu khawatir. Bagi orang-orang seperti Bhong Tek Hosiang dan Kiam kit Cinjin yang mulai bersimpati kepada tuan rumah tentu saja keadaan pemuda ini mencemaskan mereka. Sebentar saja pemuda itu tampak lemah dan mengendor, gerakan pedangnya tak lagi ganas sementara lawan terhuyung-huyung. Thian-te It-hiap mengerutkan kening sementara Hoa-siocia gelisah. Dan ketika satu kibasan kuku ditangkis pedang dan senjata di tangan pemuda itu mencelat maka Song Giam tiba-tiba roboh oleh sebuah tendangan si Ulat Langit.

"Dess...!" Selesailah pertandingan ini. Pibu antara Kwee Bi dengan lawannya jauh lebih cepat dibanding si raksasa melawan Cing Cing. Para tamu tertegun dan menjublak, kejadian itu mengherankan. Tapi ketika berkelebat bayangan putih dan Hoa-siocia muncul di situ maka gadis ini berseru bahwa Kwee Bi mengalahkan pihaknya.

"Kau menang, sekarang beristirahatlah, nanti menghadapi aku!"

"Hi-hik, tak usah saja. Sekarangpun aku kuat, maju dan mari kurobohkan pula!"

Kuku menyambar dan tahu-tahu menggurat wajah yang halus itu. Hoa-siocia terkejut tapi membentak marah, menangkis dan membuat lawan berteriak kaget, terpelanting. Dan ketika Kwee Bi meloncat bangun dengan muka merah padam maka wanita itu membentak dan menerjang lagi. Untuk kedua kalinya dalam segebrakan saja ia roboh!

"Keparat, jangan sombong. Aku belum siap dan mari bertanding lagi!"

Hoa-siocia mengelak dan melayani lawannya. Dengan cepat si Ulat Langit menyambar-nyambar dan cepat saja wanita ini menjentikkan bubuk harumnya. Itu adalah pelumpuh tenaga perampas semangat, siapa yang mencium tentu lemah. Dan ketika gadis inipun terbatuk dan tidak sadar, terhuyung maju mundur maka Thian-te It-hiap berkilat matanya melihat sesuatu yang tidak beres, mengendus dan akhirnya mencium bau itu pula.

"Hm, bubuk beracun. Lawanmu curang Hoa Siu, hati-hati dan tahan napas. Ada yang tidak beres pada kuku lawanmu itu!"

Bisikan ini tak terdengar oleh siapapun. Coan-im-jip-bit atau ilmu mengirim Suara dari jauh dilancarkan kakek itu kepada cucunya, Hoa Siu terkejut dan sadar. Dan ketika ia terbelalak melihat bubuk halus menyebar di arena pertandingan, kiranya itulah penyebab ia batuk maka tiba-tiba ia melengking dan menahan napasnya gadis ini mencabut pedang dan membalas ganas. "Kau curang, mempergunakan bubuk beracun!"

Thian-can Kwee Bi terkejut. Ia sudah merasa girang ketika gadis itupun terhuyung dan maju mundur, gerakannya lemah dan limbung ke Sana ke mari. Maka ketika lawan tiba-tiba membentak dan tahu kecurangannya pedang yang baru dicabut itu meluncur deras menyambar leher, cepat bagai kilat menyambar.

"Jangan membunuh!"

Kwee Bi menjerit dan membanting tubuh bergulingan. Rasa marah Hoa-siocia yang melihat kecurangan lawan membuat gadis baju putih itu ganas, tanpa ampun lagi ia membabat leher lawan. Sekali kena tentu putus! Tapi ketika seruan itu menyadarkannya dan pedang bergerak ke samping, menuju leher baju lawan maka kancing atas bagian ini terbabat dan kancingnya nenggelinding jatuh, berkerincing.

Pucatlah Kwee Bi meloncat bangun. la benar-benar menghadapi ilmu pedang hebat yang berbahaya sekali. Itulah ilmu khas mendiang Hu Beng Kui,serangan pedangnya cepat dan ganas, tanpa ampun. Dan ketika ia nenggigil dan gemetar di Sana, di sudut panggung tiba-tiba wanita ini memekik melemparkan jarum-jarum hitam ke arah lawannya.

"Tring-tring-tring!" Semua jarum runtuh dan terbabat. Wanita itu terbelalak lalu nangis, memutar tubuh dan meloncat turun. Lalu ketika ia berkelebat dan melarikan diri maka terdengar makiannya disertai sedu sedan. "Gadis siluman, kau mempermalukan aku. Baiklah jaga perhitunganku di kelak kemudian hari!"

Lenyaplah si cantik bahenol dengan tubuhnya yang padat berisi itu. Para tamu usia muda merasa seyang kehilangan obyek cuci mata. Betapapun hadirnya wanita itu mampu menghangatkan perasaan, setidak-tidaknya memberi kenikmatan sendiri untuk berkhayal birahí. Tapi ketika mereka termangu-mangu oleh lenyapnya si cantik itu mendadak terdengar jeritan dan robohnya Cing Cing, pelayan atau murid Thian-te It-hiap.

"Aihhh-breess!" Gadis itu mencelat dan terbanting terguling-guling. Tak ada yang tahu apa yang terjadi namun Hoa-siocia berkelebat. Murid-murid yang lain melompat dan menyusul pula. Dan ketika mereka melihat gadis itu terkapar dengan muka pucat, bahu kanannya remuk oleh hantaman bandul besi maka Thi-cit-le tertawa bergelak memperoleh kemenangannya.

"Ha-ha, akupun menang. Thian-te It-hiap kalah satu dan aku berhak ke babak semi-final!"

Semua tamu tertegun. Mereka terbawa oleh kejadian si Ulat Langit dan tak tahu apa yang terjadi. Robohnya gadis cantik itu terasa terlalu cepat dan mengejutkan, padahal tadi bertanding imbang dan seru. Tapi ketika Hoa-siocia melompat bangun dan menjepit tiga paku beracun berapi-api memandang kakek itu maka sadarlah para tamu bahwa seperti si Ulat Langit ternyata kakek inipun berbuat curang.

“Di dalam pibu tak ada aturan melepas senjata gelap. Pibu adalah pertandingan para ksatria yang bertempur secara bersih. Kau mempergunakan dan melepas paku beracunmu, Thi-cit-le, kemenanganmu curang sekali. Kau licik!"

"Ha ha, syarat pertandingan ini adalah robohnya salah satu pihak. Senjata gelap atau senjata terang bukanlah persoalan, nona. Kalau pihakmu lihai tak perlu mengalami kekalahan seperti itu. Bukankah calon bengcu sudah menyatakan siap menghadapi segala apapun!!"

"Tapi ini adalah seorang murid, bukan kakekku sendiri!"

"Aku tak mempersoalkannya. Bagiku adalah secepatnya menghadapi kau atau kakekmu itu. Hayo maju dan aku masih mampu merobohkanmu."

Berapilah sepasang mata indah itu. Gadis ini bergerak ke depan dan Cing Cing sudah dibawa ke dalam. Para tamupun berisik oleh perbuatan itu, betapapun kejadian ini memang dinilai tidak bersih. Namun karena orang seperti kakek itu bukan orang baik-baik dan pada dasarnya Thi-cit-le adalah golongan sesat maka kakek itu tak perduli dan tertawa bergelak, maju melangkah pula.

"Orang yang siap pibu adalah orang yang siap segalanya. Okol dan akal harus dipergunakan. Kalau kau penasaran boleh maju, memang kutunggu!"

Gadis itu mengangkat pedang. Tiba-tiba ia menyilangkannya di kedua kening, berkemik dan Thian-te It-hiap tiba-tiba berseru membentak. Kakek yang masih diam di tempatnya itu melihat pedang bergetar dalam jurus ampuh, Bianglala Menyambar Iblis. Dan ketika gadis itu meloncat dan tak memperdulikan bentakan kakeknya maka raksasa ini sudah đisambar dan Thi-cit-le tersentak karena angin pedang yang amat dingin tahu-tahu mengiris kulit. Dingin dan menyeramkan.

"Sekarang kau roboh!"

kakek ini menggerakkan bandul berdurinya. Ia tentu saja tak mau mati konyol dan meraung dahsyat, suaranya menggetarkan panggung dan jantung para tamu undạngan. Tapi ketika bandul bertemu pedang dan putus terbelah, pedang terus menyambar dan menuju dahi raksasa ini maka Thi-cit-le benar-benar kaget dan tak ada lain jalan kecuali melempar tubuh ke belakang, tak tahu bahwa tempat itu kosong....!

Putri Es Jilid 30

Cerita Silat Mandarin Karya Batara

"BAIKLAH, satu jam saja. Setelah itu kembali dan hati-hati di jalan!" Gadis ini girang. Ia mendapat ijin dan pergilah mereka ke Wui-san. Song Giam menemani gadis ini dan tak lama kemudian sudah berada di tempat. Wui-san adalah sebuah bukit kecil yang puncaknya berpohon jarang, tak jauh dari Ce-bu.

Dan ketika mereka berkelebat ke atas dan melihat bayangan orang, juga suara tangis maka benar saja Hok Pang ada di situ, membelenggu atau menawan seorang wanita tua yang bukan lain ibu dari gadis ini. Dan di samping pemuda ini berdiri dengan mata mengejek tampak seorang laki-laki setengah tua berjenggot pendek yang sikapnya sombong.

"Hok Pang manusia keparat, berani benar kau menculik ibuku. Lepaskan dia!"

Cing Cing membentak dan langsung saja menyerang pemuda ini. la tak perduli kepada laki-laki tua di sebelah pemuda itu dan menampar lawannya, berkelebat dan gerakannya cepat bukan main. Tapi ketika Hok Pang mengelak dan menangkis gentar, betapapun ia tahu lihainya gadis ini maka ia berteriak dan terjengkang kebelakang, dikejar tapi kakek itu tiba-tiba bergerak.

Inilah Hek-lui-kong guru pemuda itu. Dan ketika gadis itu hendak menghantam kepala muridnya maka kakek ini menangkis dan berseru dari samping, "Nanti dulu, ibumu adalah urusanku...dukk!"

Cing Cing yang tergetar dan terdorong mundur akhirnya berhadapan dengan laki-laki ini yang dipandangnya dengan mata terbelalak, mata berapi-api. "Siapa kau, ada apa mencampuri urusanku!"

"Hm... aku adalah Hek-lui-kong, guru muridku Hok Pang. Kalau aku mencampuri adalah wajar karena ia muridku...!"

"Bagus, kau kiranya membela muridmu itu. Majulah dan aku tak gentar!"

Cing Cing yang tak dapat menahan marah lalu membentak dan menerjang lagi, kali ini bukan pemuda itu melainkan kakek di depannya ini. la berkelebat dan menampar dan gerakannya yang cepat membuat si kakek terkejut, betapapun ia kagum oleh gaya serangan yang kuat serta cepat. Tapi ketika ia mengelak dan mundur dua kali maka serangan gadis itu luput dan Cing Cing melengking mempercepat gerakannya, mengejar dan membuat kakek ini sibuk dan terbelalaklah kakek itu oleh serangan bertubi-tubi yang amat cepat dan ganas dan Ia menangkis dan akhirnya tergetar serta terdorong. Dan ketika kakek itu menjadi marah oleh serangan lawannya maka Cing Cing juga menjadi gusar dan mencabut pedangnya.

"Sekarang kau mampus atau roboh!"

Kakek ini memerah. la mula-mula bersikap sombong karena yang datang ternyata seorang gadis muda, bekas pelayan lagi. Tapi ketika serangan pedang itu demikian cepat dan amat ganasnya maka kakek ini tak dapat menahan kemarahannya lagi dan iapun mencabut pedangnya, apa lagi ketika ujung bajunya dua kali robek terbabat.

"Bret-bret!" Membentaklah kakek itu. Ternyata gadis di depannya ini benar-benar lihai dan ia menjadi gusar. Tak mungkin di depan murid ia harus kalah. Maka ketika ia memekik dan berseru keras tiba-tiba kakek itupun menggerakkan pedangnya dan tangan kiri melepas pukulan yang bersiutan panas.

"Des-plak!" Lagi-lagi ujung bajunya terpental. Kalau tadi ujung baju itu robek maka sekarang ujung bajunya itu terbakar hangus. Hek-lui-ciang, Pukulan Petir Hitamnya ternyata membalik dan membakar bajunya sendiri. Dan ketika kakek itu terkejut dan juga marah maka ia melengking dan berkelebatan menangkis dan membalas lawannya itu. Akan tetapi alangkah kagetnya kakek ini. Pedang di tangan gadis itu mengeluarkan hawa dingin dan tiba-tiba semua hawa panas dari pukulan tangan kirinya tertembus. la menggigil dan terbelalak tapi lawan tertawa mengejek.

Cing Cing terus menyerang kakek itu dengan cepat. Dan ketika kakek itu terdesak dan terus mundur-mundur akhirnya satu lengkingan nyaring disusul gerakan tubuh gadis itu yang menyambar bagai seekor harimau betina diganggu anaknya. "Roboh dan mampuslah!"

Kakek itu mengangkat pedangnya.menangkis dan dentang nyaring disusul bunga api ke udara. Lelatu dua logam muncrat. Tapi ketika kakek itu terhuyung dan terdorong pucat maka pedang menusuk lagi dengan amat cepatnya. Cing Cing tampak begitu marah dan ingin segera menghabisi kakek itu. Tapi ketika gadis itu begitu berapi-api hendak membunuh dan merobohken lawannya maka Song Giam, temannya tiba-tiba berseru dan memperingatkan bahwa Hoa-Siocia memerlukan orang-orang pandai.

"Tak perlu membunuh lawanmu, cukup robohkan dan kalahkan dia. Ingat pesan majikan!”

Gadis ini sadar. Dari gerak pedangnya yang tertahan maka babatan ke leher berubah menjadi tusukan kecil. Kakek itu mengeluh ketika ujung pedang melukainya. Dan ketika sedetik kemudian pedangnya terlepas dan runtuh ke tanah, lawan telah menodongkan ujung senjatanya ke dada. "Lihat, mudah bagiku kalau ingin membunuhmu. Kau menyerah atau tidak!"

Habislah kesombongan kakek ini. Hok Peng muridnya tiba-tiba ngacir dan menyelinap melarikan diri. Pemuda itu gentar sekali melihat suhunya pecundang. Tapi ketika Song Giam berkelebat dan meraih baju punggungnya maka pemuda itu telah dilempar berdebuk.

"Tak boleh lari kalau belum ada perintah. Kembalilah!"

Cing Cing menoleh. Mukanya beringas, melihat pemuda ini, pedang bergetar siap membalik dan menyambar. Namun ketika temannya berseru agar pemuda itu dimaafkan, pemuda itu harus meminta ampun maka pemuda ini menangis dan mendahului gurunya menjatuhkn diri berlutut.

"Ampunkan aku, aku tak akan mengulangi kesalahan lagi. Aku bertobat dan mengaku salah, Cing Cing. Ampunkan aku dan aku bersumpuh tak akan mengulanginya lagi."

Sang guru semburat merah. Wajah dan sikap sang murid yang begitu memelas membuat kakek ini terpukul. Begitu mengiba muridnya itu, sama sekali tidak jantan. Namun karena ia sendiri sudah dikalahkan dan jelas gadis itu amat lihai, padahal masih merupakan pelayan maka kakek ini tak dapat berbuat dan Cing Cing rupanya masih menaruh kasihan. Ibunya di sana sudah dibebaskan dan memaki-maki pemuda ini.

"Hok Pang pemuda tak tahu malu. Kau pantas dibunuh. Kalau sekali lagi ia mengganggu dan menculik aku biarlah kau potong lehernya, Cing Cing, masa urusan cinta harus bersikap seperti ini. Pemuda macam apa itu!"

"Biarlah sekali ini kuampuni" Cing Cing berkata dengan muka memerah sepasang matanya berapi. "Kalau sekali lagi ia mengganggumu atau menggangguku tentu kupotong ibu. Mengingat nasihat Song-twako baiklah sekali ini aku menahan diri. Dan kau!" gadis itu menuding lawannya. "Orang tua seperti kau tak seharusnya membela murid membabi buta, Hek-lui-kong. Kalau tidak ingat pesan majikan kubunuh kau. Sekarang nyatakan bahwa kau tunduk di belakangku dan siap membantu majikanku bilamana perlu."

"Aku berjanji," kakek itu tak berdaya. "Aku sudah kalah nona. Kalau kau atau majikanmu membutuhkan tenagaku tentu aku membantu. Aku menyesal membela muridku yang salah."

"Baiklah, janjimu sudah kuikat. Sekarang kalian boleh pergi tapi di saat para undangan datang kau harus di sana membantu kami!"

Kakek itu mengangguk. Akhirnya dengan muka lesu dan wajah menunduk ia meninggakan puncak bukit itu. Sang murid disambarnya dan ditendang. Lau ketika mereka berdua lenyap di kaki bukit maka Cing Cing membawa ibunya kembali pulang dan peristiwa ini semakin menggentarkan orang, betapa lihainya penghuni di rumah bekas Hu Beng Kui itu. Cerita dari mulut ke mulut tersebar merata dan akhirnya mereka yang termasuk golongan menengah tak ada yang berani coba-coba main gila lagi. Hanya mereka setingkat ketua partai atau ketua perkumpulan yang berani datang.

Dan ketika semua menunggu hari undangan tiba maka Ce-bu menjadi ramai ketika para tokoh-tokoh utama mulai berdatangan,apalagi mereka yang membawa murid. Tak lama Ce-bu seperti pasar malam. Tempat atau gedung di mana Thian-te It-hiap tinggal dikepung dari jarak jauh. Mereka masih menunggu datangnya hari itu. Dan ketika hari yang ditetapkan tiba dan gedung itu juga dihias meriah maka tanggal dua belas bulan delapan jatuh!

* * * * * * * *

Gedung ini seperti gedung pengantin saja. Kertas warna-warni menghias seluruh ruangan merah hijau biru dan kuning. Tak ada yang diam di perhelatan besar ini. Seluruh pelayan dan tukang kebun sibuk. Cing Cing, yang membawahi para sumoinya (adik seperguruan wanita) membenahi ini-itu tampak paling sibuk di rumah ini. Dialah yang bertanggung jawab pekerjaan wanita. Sementara Song Giam, tukang kebun yang paling lihai juga membawahi para sutenya (adik seperguruan laki-laki) mengurus pekerjaan pria, memasang tenda dan meja kursi serta lampu-lampu hias.

Tak ada di antara mereka yang duduk diam karena semuanya benar-benar bekerja. Dan ketika semua kesibukan itu mencapai puncaknya dengan hadirnya para tamu, di saat matahari mulai terbenam di barat maka berdatanganlah tokoh-tokoh partai memasuki gerbang utama rumah besar ini. Bagai memasuki istana saja maka tamu undangan diterima lebih dahulu oleh para pengawal Wong-ciangkun. Di pintu gerbang berjajar pengawal berpakaian besi, serba lengkap dengan senjata mereka.

Sementara Wong-ciangkun sendiri menjadi komandan utama. Dialah yang mengenal orang-orang itu, karena dialah yang mengirim undangan atas nama Thian-te It-hiap. Dan karena perwira ini hanya sebagai perantara, saja, orang yang tunduk dibawah kekuasaan Thian-te It-hiap maka tokoh-tokoh undangan bicara baik-baik dengan komandan Ce-bu ini, tidak begitu ketika memandang dan berhadapan dengan penghuni rumah besar itu. Rata-rata tokoh undangan memandang marah. Mereka sebenarnya tak senang oleh bunyi tantangan di surat undangan itu.

Akan tetapi karena kabar tentang kelihaian Thian-te It-hiap sudah didengar dan para murid atau pelayannya ini telah merobohkan beberapa di antara mereka maka para tamu bersikap menahan diri dan hanya ketika menjura memberi hormat diam-diam mereka itu mengerahkan lweekang (tenaga dalam) untuk menyerang dan coba membuat malu. Akan tetapi mereka ketanggor. Seorang gadis cantik dan seorang laki-laki pendek gagah menyambut semuanya itu dengan muka tersenyum-senyum. Semua pukulan atau serangan diam-diam dipentalkan balik.

Dan ketika beberapa di antara mereka terhuyung dan hampir jatuh, terkejutlah para tokoh undangan maka mereka menjadi semakin hati-hati dan akhirnya menarik serangan mereka dan duduk di kursi dengan muka berkeringat. Maksud membuat malu hampir menjadi bumerang bagi diri sendiri! Ternyata dari para undangan memang datang nama-nama yang cukup berbobot. Ada Bhong Tek Hosiang dari Sho-tong-pai, atau Kiam Kit Cinjin dari Khong-tong-pai. Dan karena mereka dua orang ini adalah ketua-ketua partai yang cukup terkenal maka dapatlah diduga bahwa dua ketua ini menaruh penasaran dan gemas yang hebat kepada Thian-te It-hiap.

Ada lagi dari golongan lain yang merupakan pengembara seperti nama-nama Thi-cit-le (Si Besi Berduri) yang membawa bandul berat di bahu kanannya, seorang muka merah dengan tubuh tinggi besar dan bertampang menyeramkan. Lalu juga Thian-Can (si Ulat Langit) Kwee Bi. Yang ini merupakan wanita cantik sekitar tiga puluh delapan tahun, manis senyumnya tapi jahat sinar matanya. Kerlingnya menyambar-nyambar dan bagi mereka yang telah bertemu dengan wanita cantik itu pasti bergidik dan cepat menyembunyikan diri. Wanita ini dikenal keji dengan jentikan kuku jarinya.

Dijuluki Si Ulat Langit karena memiliki ilmu silat menggeliat-geliat yang amat indah namun berbahaya bukan main. Senjata andalannya adalah kuku jari itu, kuku yang mengandung bisa dan hanya wanita inilah yang memiliki penawarnya. Maka ketika ia datang dan Wong-ciangkun cepat membungkuk-bungkuk, sengaja perwira ini mendatangkan wanita itu untuk menghajar penghuni rumah maka dengan kekeh dan sikapnya yang genit cepat saja para tamu tertarik dan menoleh padanya.

"Hi-hik, selamat malam. Kudengar dan kuterima undanganmu, ciangkun. Semoga keramaian pesta bakal memuaskan hatiku dan mana Thian-te It-hiap. Ingin kutahu ia orang macam apa!"

"Silakan Sin-ni (Dewi) masuk saja ke dalam. Kami hanya penyambut di luar. Masuklah dan Sin-ni akan tahu."

"Hi-hik, ia ada di dalam? Baik, akan kutemui dia!" dan melenggang dengan sikapnya yang genit dan kerling menyambar-nyambar segera wanita ini masuk dengan langkah bebas dan para tamu termasuk pengawal menelan liur melihat bentuk tubuh dan pinggul wanita ini yang besar dan padat berisi. Bulat bak pot bunga yang segar dan amat menggairahkan!

Yang pertama dilihat adalah Cing Cing dan Song Giam. Gadis dan pria itulah yang berada balik pintu gerbang, menyambut dan bertugas menerima para tamu setelah melewati barisan pengawal. Mereka inilah yang mewakili Hoa-siocia dan kakeknya. Dan ketika wanita itu melihat pasangan muda-mudi ini, Song Giam tak lebih dari duapuluh lima tahun usianya maka mendadak wanita ini berbelok dan Cing Cing yang seharusnya menerima tamu wanita tak digubris!

"Eh, kau yang menamakan diri Thian-te It-hiap? Hi-hik, masih muda, dan tampan. Aku adalah Si Ulat Langit Kwee Bi dan senang berkenalan denganmu yang begini gagah dan tampan hingga berani mengundang demikian banyak orang gagah!"

Song Giam terkejut. la melihat wanita itu sudah mendekatinya dan tertawa-tawa. Seharusnya bagiannya adalah tamu laki-laki, bukan tamu wanita. Maka ketika ia melihat Cing Cing memerah mukanya dan gadis itu panas dan cemburu,.Sesungguhnya di antara mereka memang terdapat jalinan cinta maka buru-buru ia mengangkat tangan dan berseru menuding,

"Hujin (nyonya) salah, aku bukan Thian te lt-hiap. Silakan ke bagian wanita dan sumoiku itulah yang menyambut!"

Akan tetapi wanita ini telah begitu dekat. Kwee Bi tentu saja tahu bahwa tak mungkin orang sepongah Thian-te It-hiap nmenyambut tamu di depan. Paling-paling yang di depannya ini adalah anak buah. Akan tetapi karena ia tergetar dan tertarik oleh wajah tampan itu, Song Giam seorang pemuda dengan kumis tipisnya yang manis maka langsung saja ia menuju dan tiba di depan pemuda ini. "Kau tak usah merendah hati, kau pasti Thian-te It-hiap!"

Pemuda ini kaget sekali. Tangan wanita itu tahu-tahu terjulur maju dan menangkap bahunya, gerakannya cepat dan sebat bukan main. Akan tetapi ketika dia mengelak dan terkaman luput, lawan terbelalak maka berkelebatlah bayangan Cing Cing membentak wanita itu.

"Tamu yang sopan tak usah main gila di sini. Bagian wanita bukan di situ, kemarilah!"

Thian-can Kwee Bi terkejut. Dari kesiur angin dingin segera ia maklum bahayanya serangan itu. Cing Cing menampar punggung wanita ini dengan pukulan kuat. Maka ketika ia membalik dan menangkis serta menggerakkan lengan, terdengarlah benturan nyaring maka wanita itu terhuyung sementara Cing Cing tergetar dan terdorong sedikit.

"Dukk! Para tamu terbelalak dan sebagian ada yang bersorak. Cing Cing, gadis pelayan itu sanggup mementalkan lawan. Bagi yang tak menyukai Kwee Bi tentu sa-ja bersorak, mereka girang. Tapi ketika wanita itu berkilat dan hendak menyerang lagi maka Song Giam buru-buru melompat dan berseru bahwa pertandingan bukan di situ letaknya, nanti di panggung lui-tai.

"Maafkan sumoiku kalau menghendaki hujin duduk di tempat yang benar. Ia tidak keliru, hujin, bagian wanita memang di sana. Duduklah, nanti hujin akan bertemu majikan!"

"Hm, kau bukan Thian-te It-hiap?"

"Aku hanya pelayannya saja, tukang kebun."

"Wah, tapi kau gagah dan tampan. Kalau kau ikut aku langsung kuangkat sebagai suami!"

Terdengarlah ledakan tawa di kiri kanan tamu undangan. Kata-kata Kwee Bi yang ceplas-ceplos membuat pemuda itu semburat. Wajah sumoinya di sana terbakar. Tapi karena tugas mereka hanya menyambut tamu dan Cing Cing diingatkan itu, Kwee Bi terkekeh dan mengangguk-angguk akhirnya ia melenggang dan menuju deretan tempat duduk wanita. "Anak muda, aku masih seorang nona. Jangan kau sebut aku hujin. Kalau nanti Thian-te It-hiap muncul biarlah kuminta kau menjadi sahabatku yang paling intim!"

Tawa dan gelak kembali terdengar. Song Giam semakin merah padam namun semua itu dilakukan Si Ulat Langit dengan sengaja. Diam-diam wanita ini melihat kecemburuan Cing Cing kepada pemuda gagah itu, tentu saja ia ingin membalas sebagai rasa malunya dibuat terhuyung tadi. Maka ketika ia menggoda dan melepas gurauannya, tak perduli gadis itu wanita ini sudah duduk dan bersinar-sinar memandang Song Giam. Pemuda ini melengos dan memandang arah lain. Kalau saja yang dihadapi adalah pukulan atau serangan diam-diam seperti para tamu lain tentu ia siap dan tak usah merah padam.

Tapi Si Ulat Langit itu genit, terang-terangan ia digoda dan membuat sumoinya cemburu. Dan ketika datang tamu lain dan ia menyambut maka tingkah atau olok-olok wanita itu terhenti dan suasana kembali serius setelah yang lain berdatangan dan harus disambut. Menyusul Thian Can Kwee Bi adalah seorang kakek tinggi kurus berpipa cangklong. Inilah Si Asap Sakti Hung Ci. Ia sempat melihat tingkah Si Ulat Sakti tadi, terkekeh dan masuk dan langsung menemui Song Giam. Inilah pemuda yang menerima tamu lelaki. Maka ketika ia membungkuk dan merangkapkan tangan di depan dada, tertawa berkata maka ia memperkenalkan diri namun diam-diam sepasang lengannya itu menghantam dengan pukulan jarak jauh.

"Aku si tua disebut orang Sin-cwe-kai-hong-ma, tapi aku lebih suka disebut Sin-cwe saja, tidak terlalu panjang. Aku orang she Hung dan namaku Ci. Terima kasih untuk undangan Thian-te It-hiap dan selamat malam!"

Song Giam baru saja menghilangkan getaran hatinya oleh tingkah Kwee Bi, masih agak gugup. Tapi begitu menyambar angin kuat dan menyesakkan dadanya, maklumlah dia bahwa lagi-lagi seorang tamu menguji maka iapun bersiap dan membungkuk merangkapkan tangan di depan dada iapun cepat menahan dan mendorong.

"Locianpwe Sin-cwe-kai-hong-ma sudah ditunggu majikanku, selamat datang dan silakan duduk!"

Kakek itu tertegun. Dari arah, depan berkesiur angin kuat menahan pukulannya, ditambah namun ditahan semakin kuat lagi. Dan ketika ia cepat menarik serangannya dan lawan terbawa ke depan maka Song Giam terkejut terjelungup kedepan, terbawa oleh pukulannya sendiri.

"Eh-eh, aku si tua tak berani terlalu menerima hormat. Kau anak muda tak usah menyembah!"

Song Giam kaget sekali. Tak disangkanya kakek itu menarik serangan dengan tiba-tiba. Hal ini mengakibatkan ia terbawa ke depan dan jatuh terjelungup. Akan tetapi karena Ia menerima gemblengan cukup dan tak mungkin malu begitu saja maka ia menyambar kancing baju kakek itu. dan sambil berseru keras ia mengetuk punggung kaki kakek itu.

"Locianpwe keliru, kancing baju locianpwe jatuh!" Kakek itu kaget. Ia ganti tak menyangka bahwa terjelungup seperti itu dipergunakan sekalian untuk mengetuk punggung kakinya. Itu bukan ketukan biasa melainkan sebuah totokan. Dan karena saat itu kancing bajunya juga disambar dan jatuh di tangan pemuda ini, seolah memungut dan hendak menyerahkannya kembali kepadanya maka kakek itu berseru keras dan mengangkat kakinya yang lain kakek itu menendang dagu lawan.

"Dukk!" Kakek ini terpelanting dan berteriak keras. Song Giam tak membiarkan dagunya kena tendang dan mengganti ketukan dengan tangkisan. Kakek itu telah menarik kakinya agar tidak tertotok, cepat namun lawan tak mau kalah. Pemuda itu juga bergerak sama cepat. Dan ketika pemuda itu meloncat bangun sementara si kakek berjungkir balik melayang turun maka tampaklah kancing baju di tangan pemuda itu yang cepat dilemparkan ke arah tamunya.

"Maaf, locianpwe kehilangan benda ini?"

Kakek itu menangkap merah padam. Maksud membuat malu hampir berbalik mencelakai dirinya sendiri, terbelalaklah kakek ini. Tapi ketika ia terkekeh dan menyimpan kancing bajunya maka sambil memuji kakek ini berkata bahwa tuan rumah sungguh lihai. "Ha-ha, aku sudah mendapat pelajaran. Bagus, tak rugi diundang Thian-te It-hiap!"

Para tamu duduk kembali. Tadi mereka bangkit dan ada yang meninggalkan kursinya. Hal itu tiada lain karena ingin melihat lebih dekat, serang-menyerang itu berlangsung cepat dan bagi mereka yang keranjingan ilmu silat tentu saja tak bakal melewatkan hal-hal seperti ini. Tapi ketika kakek itu duduk lagi dan memilih tempat, kebetulan di samping ketua Sho-tong dan Khong-tong maka sambil menyeringai Sin-cwe-kai-hong-ma ini mengebut-ngebut ujung bajunya.

Song Giam lega dan menyambut tamu-tamu lain. Berturut-turut muncul orang-orang gagah seperti ketua Bu-tong dan Hoa-san, juga Kun-lun serta Siau-hun pai. Dan karena undangan bersifat pemilihan bengcu tentu saja harus dihadiri tokoh-tokoh penting maka tak lama kemudian halaman luas di rumah Hu Beng Kui itu telah penuh orang, bahkan Cing Cing dan kawan-kawan terpaksa membuka ruangan dalam untuk para tamu yang masih terus mengalir.

"Mana Thian-te It-hiap, kami ingin segera berkenalan!" Seruan itu disambut anggukan berulang-ulang para pembantu atau murid-murid Hoa-siocia ini. Mereka terus menyambut tamu undangan sampai akhirnya penuh tak ada lagi ruang tersisa untuk mereka Dan ketika gadis itu meloncat ke panggung lui-tai menarik perhatian para tamu maka Song Giam cepat mengiringi sumoinya ini berseru ke delapan penjuru.

"Harap cuwi enghiong (tuan-tuan gagah) bersabar sejenak, kami akan melapor ke dalam dan kembali lagi. Maaf kalau majikan terlalu lama!"

Dua orang itu berkelebat menghilang. Setelah para tamu berdatangan dan tempat itu penuh maka tiada lain kalau melapor dan memberi tahu majikan. Majikan memang muncul kalau tempat itu sudah penuh orang. Dan ketika tak lama kemudian pasangan ini muncul lagi, tiga belas pelayan atau murid-murid lain berkelebatan di atas panggung maak Song Gim berseru bahwa majikan sudah keluar.

"Cuwi-enghiong diminta bangkit berdiri, atau majikan tak mau menemui kalian!"

Terpaksa dengan mendongkol orang-orang ini bangkit berdiri. Mereka menggerundel dan mengomel panjang pendek dan keluarlah dari dalam ruangan besar sesosok tubuh ramping berpakaian serba putih. Wajahnya yang cantik dingin membuat orang tertegun, langkahnya biasa-biasa saja tapi tahu-tahu sudah melewati rombongan pelayan dan murid-murid itu, Song Giam dan para sumoi atau sutenya. Dan ketika sosok ramping ini menjura sedikit. orang menyangka dia adalah Thian te It-hiap maka gadis ini, yang bukan lain Hoa-siocia adanya berseru nyaring, suaranya merdu namun jelas dan kuat.

"Maaf bahwa Cuwi-enghiong dibuat tak sabar oleh penantian ini. Tapi berterima kasih atas kunjungan cuwi memenuhi undangan maka aku Hoa Siu sebelumnya mengucapkan selamat datang dan selamat bertemu. Than-te It-hiap akan menjumpai cuwi dan inilah orangnya... blarr!"

Para tamu terkejut, ledakan terdengar di panggung lui-tai dan tahu-tehu seperti iblis muncullah seorang kakek berambut putih yang matanya mencorong memandang mereka semua. Entah dari mana datangnya kakek ini tak ada para tamu yang tahu. Inilah kakek misterius yang ditakuti Wong-ciangkun dan Siangkek-taijin itu. Sekarang tahu-tahu muncul seperti siluman! Dan ketika semua ketua dan tokoh-tokoh kang-ouw terkejut, tak kuat oleh pandang mata mencorong itu maka tiba-tiba mereka menunduk dan siapa yang beradu pandang dengan sepasang mata ini tiba-tiba membuang muka atau memandang ke arah lain. Gentar!

Akan tetapi terdengar pekik keras. Si Ulat Langit Kwee Bi yang kaget dan tergetar oleh pendang mata itu tiba-tiba menjadi marah. la melengking dan berjungkir balik ke panggung lui-tai. Lalu ketika semua orang terkejut oleh tindakannya maka wanita ini, yang gusar dan penasaran oleh pandang mata itu membentak,

"Thian-te It-hiap, kau kiranya yang menunjuk diri sebagai jago tak terkalahkan. Aku Thian-can Kwee Bi sungguh penasaran dan malu kenapa semua orang di sini tiba-tiba menunduk bertemu denganmu. Kau bukan raja, kalaupun kaisar belum disahkan. Coba terima ini dan biar kutahu sampai di mana kehebatanmu..crit!!"

Wanita itu menjentikkan kuku jarinya tapi Hoa Siu atau Hoa-siocia membentak menangkis tusukan dua kuku berbahaya ini. Wanita itu tahu-tahu menyerang sementara Thian-te It-hiap berdiri tenang, hanya sepasang matanya semakin mencorong dan orang yang melihat keder. Lalu ketika kuku itu disambut tamparan Hoa-siocia maka Kwee Bi terpelanting dan terpental kembali ke kursinya.

"Kami belum bicara apa-apa, tak perlu bersikap kurang ajar. kembali dan duduklah di tempatmu sampai Thian-te It-hiap bicara!"

Kagetlah wanita ini. la yang ingin menarik perhatian sekaligus menyadarkan Orang-orang kang-ouw itu kenapa menunduk beradu pandang dibuat terlempar dan berjungkir balik tinggi oleh tamparan Hoa-siocia. Tanpa dapat dicegah lagi ia terlempar ke kursinya. Dan ketika wanita itu pucat namun melotot marah, tangkisan itu membuat kukunya seakan pecah maka yang lain tertegun dan membelalakan mata karena begitu mudahnya Si Ulat Langit ini dipukul mundur.

"Sambutan kami belum selesai, harap cuwi-enghiong duduk tenang. Kalau ada yang gatal tangan maka lui-tai ini dipersiapkan untuk itu. Jangan khawatir!" lalu menghadapi kembali para ketua partai gadis baju putih itu mengangkat tangannya. "Undangan ini bukan untuk bermaksud ribut, kami keluarga besar Thian-te It-hiap tak mempunyai keinginan untuk mencari musuh. Kalau cuwi mau mendengarkan apa yang hendak dikatakan kakekku harap kalian bersabar dan jangan buru-buru naik panggung."

Berdesahlah semua orang. Setelah gadis baju putih itu mengeluarkan kepandaiannya dan sikap serta kata-katanya begitu berwibawa maka orangpun tak menganggapnya enteng lagi. Dari hasil pukulan tadi mereka tahu betapa lihainya Hoa-Siocia itu, apalagi kakeknya yang tahu-tahu muncul seperti iblis itu, datang di tengah panggung dengan caranya yang luar biasa. Dan ketika gadis ini mundur dan mempersilakan kakeknya, berdebarlah semua orang maka suara atau batuk-batuk perlahan diperdengarkan dulu Thian-te It-hiap. Matanya masih mencorong namun senyum di sudut bibirnya sedikit menyejukkan hati.

"Maafkan kalau cuwi menganggapku sombong dan sebagainya," suara tua itu mulai bicara. "Undangan ini kutujukan untuk sebuah maksud, cuwi-enghiong, menenteramkan dunia kang-ouw dan mengajak cuwi sekalian untuk menjaga dan mengamankannya. Tahukah Cuwi bahwa sebuah perkumpulan jahat tengah mengancam ketenangan kita, dan untuk ini kita harus bersatu-padu mengalahkannya...!"

"Nanti dulu!" seseorang tiba-tiba berseru. "Apakah sikap dan perbuatanmu ini termasuk baik-baik, Thian-te It-hiap. Apakah dengan mengumpulkan dan meresmikan dirimu sebagai jago tak terkalahkan bukan kejahatan terselubung yang mengancam kami semua!"

Para tamu menoleh. Ternyata yang bicara adalah Sin-cwe-kai-hong-ma itu. Kakek ini mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan membuat sebagian besar para tamu mengangguk. Harap dimaklumi saja karena sesungguhnya mereka itu tak senang oleh undangan dan tantangan Thian-te It-hiap ini, jago yang hendak menjadi bengcu, orang yang kelak memimpin dan membawahi mereka. Maka ketika mereka mengangguk-angguk namun kakek itu tersenyum lebar, sama sekali tidak marah maka jawaban dari mulutnya terdengar sareh dan enak,

"Perbuatan yang merugikan orang lain memang termasuk jahat dan tidak benar. Tapi kalau perbuatan itu untuk menguntungkan dan membela kebenaran maka tidak ada salahnya, Sin-cwe-kai-hong-ma. Apalagi aku yang hendak memimpin kalian membasmi sebuah kejahatan."

"Kau telah melakukan sebuah kejahatan. Kau merampas rumah tinggal Hu Beng Kui!"

"Hm ini urusanku pribadi, tempat tinggal sementara. Kalau ahli warisnya datang kepadaku maka semuanya akan kuserahkan baik-baik, yang terhormat Sin-cwe kai-hong-ma tak usah turut campur."

Tertegunlah kakek itu dan semua orang. Mula-mula para tamu mengangguk dan setuju dampratan kakek itu. Tapi ketika Thian-te It-hiap menjawab begitu ringan dan enak maka mau tak mau mereka kagum akan ketenangan dan sikap penuh wibawa Thian-te It-hiap. Tapi Sin-cwe-kai-hong-ma masih tidak mau kalah. Begitu ditangkis dan merasa terdesak ia pun berkata lantang,

"Baiklah, urusan ini urusanmu pribadi dengan keluarga Hu-taihiap. Tapi kalau kami tak mengenal siapa dirimu dan kau hendak menjadi bengcu di sini kukira tak ada orang yang mau mengangkatmu.asal-usulmu tak jelas!"

"Benar!" Thian-can Kwee Bi tiba-tiba berseru. "Bengcu yang hendak membawahi kami tentunya bukan seorang bengcu turunan siluman, Thian-te It-hiap.Bagaimana kami orang-orang gagah dipimpin seorang bengcu yang asal-usulnya tak diketahui. Kau mirip siluman!"

"Hm," kakek di atas panggung tak menghiraukan suara gaduh đi bawah, ketua dan tamu undangan termakan. "Asal-usul seseorang bukan sesuatu yang penting untuk syarat menjadi bengcu, Kwee Bi. Yang utama dan pokok adalah kepandaiannya. Bengcu harus paling pandai di antara semuahya, dan aku hendak membuktikan disini untuk menjadi bengcu."

"Kalau begitu kau calon bengcu liar. Kupikir tak ada yáng mau tunduk kepadamu sebagai bengcu siluman!"

"Baiklah...!" kakek itu tersenyum tenang. "Kalau begitu kuterangkan di sini bahwa aku masih mempunyai hubungan dekat dengan Hu Beng Kui. Aku kerabat jago pedang itu dan aku mampu membuktikannya dengan mainkan llmu Pedang Maut yang menjadi andalannya... singgg!" bagai sulapan saja tahu-tahu sebatang pedang telah berada di depan kakek ini, digerakkan dan sekonyong-konyong lenyaplah kakek itu dalam gulungan sinar putih bergulung-gulung.

Para tamu terdekat merasa kesiur angin dingin dan terkejut membelalakkan mata. Mereka yang merupakan tokoh-tokoh tua memperhatikan itu, silat pedang yang amat luar biasa dimana angin serangannya terasa tajam mengiris kulit. Lalu ketika kakek itu melakukan bentakan, mengakhiri gerakannya maka pedang itupun lenyap dan sebagai gantinya ketua Hoa-san dan Kun-lun yang ada di barisan depan terbabat lengan bajunya sampai putus!

"Maaf," kakek itu menjura dan tersenyum di depan dua ketua ini., Kalian orang-orang yang mengenal ilmu pedang Hu-taihiap, jiwi-paicu. Bagaimana keterangan jiwi tentang ilmu pedang yang baru kumainkan ini."

Dua ketua itu pucat. Mereka tak merasa bahwa ujung lengan baju tahu-tahu terbabat putus. Mereka hanya merasa angin serangan pedang yang tajam, mereka memperhatikan dan melihat bahwa itu betul-betul Giam-lo Kiam-sut, ilmu pedang yang dulu dimiliki mendiang Hu Beng Kui. Maka ketika mereka mengangguk dan kaget berseru keras, mengebutkan ujung lengan baju yang tinggal separoh maka Kiam Ceng Cinjin ketua Hoa-san bangkit dari kursinya.

"Siancai, itu betul Ilmu Pedang Maut ciptaan mendiang Hu-taihiap. Pinto harus mengakui bahwa kau tak berbohong!"

"Dan pinto mengakui juga. Itu betul Giam-lo Kiam-sut!"

Gemparlah semua orang. Ternyata kakek itu tidak membual dan Thian-te It-hiap telah menunjukkan asal-usulnya, terbelalaklah semua orang. Dan ketika dua ketua Hoa-san dan Kun-lun duduk lagi di kursi masing-masing maka kakek itu tertawa memandang semua orang.

"Nah, dua ketua Hoa-san dan Kun-lun telah mengakui ilmu pedangku. Asal-usulku jelas. Sekarang siapa yang masih meragukan lagi dan ingin bicara."

Tergetarlah para tamu undangan termasuk sin-cwe-kai-hong-ma dan Thian-can Kwee Bi. Mereka tak menyangka sama sekali bahwa kakek di atas panggung itu kerabat Hu Beng Kui. Pengakuan dua ketua sudah cukup, apalagi Hoa-san dan Kun-łun adalah dua partai persilatan yang khusus melatih silat pedang. Tapi kwee Bi yang masih penasaran mendahului temannya.

"Nanti dulu, jangan bersombong. Seingatku Hu Beng Kui tak mempunyai suheng atau sute, Thian-te It-hiap. Ia jago pedang yang malang-melintang sendiri. Sekarang bagaimana kau orang tua muncul, dan mengaku sebagai kerabatnya. Apakah kau suheng atau sutenya!"

Semua orang mengangguk-angguk. Memang Hu Beng Kui tak mempunyai kakak atau adik seperguruan, pendekar itu sendiri. Tapi ketika kakek di atas panggung itu bersikap keren maka ia menjawab dengan mata mencorong, "Pertanyaanmu tak layak dijawab di muka umum. Yang penting aku telah menunjukkan asal-usulku. Kalau kau mendesak dan memaksa maka sikapmu tidak sopan!"

Terpukulah wanita ini. Memang tidak sopan mendesak dan memaksa seseorang merinci riwayat hidupnya di depan umum, apalagi yañg bersifat rahasia, yang setiap orang tentu punya. Maka ketika Thian-can Kwee Bi duduk kembali dengan wajah mera padam sekarang orang mulai berhati-hati dengan penghuni rumah yang amat berwibawa ini, yang ilmu pedangnya telah dikeluarkan sedikit dan dua ketua Hoa-san dan Kun-un sampai tak tahu lengan baju mereka putus terbabat!

"Omitohud!" sekarang Bhong Tek Ho-siang merangkapkan tangan, bangkit berdiri. "Pinceng dari Sho-tong-pai mohon maaf menyela waktu, Thian-te It-hiap. Tak perlu diragukan lagi bahwa kau kerabat mendiang Hu Beng Kui. Baiklah, sekarang apa maksudmu dan orang jahat mana yang menurutmu bakal mengancam dunia kang-ouw, padahal pinceng dan kawan-kawan tampaknya tak merasakan sesuatu yang luar biasa dan serius mengancam dunia persilatan."

"Benar!" Kiam Kit Cinjin tiba-tiba juga berseru, bangkit dari kursinya. "Pinto dari Khong-tong-pai tak merasa ada gangguan serius di dunia persilatan,Thian-te it-hiap. Bagaimana kau tiba-tiba mengatakan kami semua terancam bahaya. Orang dari manakah itu dan benarkah sedemikian serius!"

"Hm, ini belum kukatakan tadi. Omonganku diputus Sin-cwe-kai-hong-ma dan Thian-can Kwee Bi. Kalau totiang maksudkan bahaya di daerah Tiong-goan memang benar, tak ada yang serius. Paling-paling orang macam Kwee Bi atau Thi-it-le yang ada di sini mengganggu anak-anak muda atau perorangan saja. Tapi di luar Tiong-goan sedang disusun suatu kekuatan dahsyat untuk mencelakai kalian, dan inilah sebabnya kalian semua kukumpulkan dan hendak kupimpin melawan kekuatan jahat itu."

"Sombong!" seorang kakek tinggi besar bermuka merah mencelat ke panggung, gerakannya diiring suara besi menderu. “Kalau kau menganggap aku mengganggu anak-anak maka kau salah, Thian-te. Orang sepertimu pun aku tak takut...wherrr!"

Besi atau bandul berduri di bahu kakek itu menyambar, langsung menuju kepala lawannya dan inilah Thi-cit-le Si Besi Berduri. Senjatanya yang menyeramkan itu sebesar kepala orang, jangankan manusia, kepala seekor gajahpun bakal remuk tertimpa benda mengerikan ini, besi atau logam berduri yang bertaburan benda-benda runcing bak sebutir durian. Tapi ketika berkelebat bayangan putih dan itulah Hoa-siocia, membentak dan menangkis kakek ini maka senjata itu terpental dan membalik menghantam pilar yang remuk berkeping-keping.

"Jangan sombong di tempat ini, pibu belum mulai. Pergilah.... brakkk!"

Panggung bergetar seakan roboh dan kakek itu berteriak keras mempertahankan senjatanya yang terputar. Kalau ia tak memiliki tenaga raksasa mungkin bandul itu akan menghantam kepalanya sendiri. Untunglah ia masih mampu mengendalikan senjatanya, menderu dan menghancurkan pilar kokoh dan lantai panggung bergoyang-goyang. Semua ngeri memandang senjata itu. Dan ketika kakek ini terhuyung memandang lawannya, terbelalak maka Thian-te It-hiap mengangguk dan mengebutkan lengannya.

"Apa yang dikata cucuku benar, pibu (adu silat) belum dimulai. Pergi dan kembalilah ke tempat dudukmu."

Untuk kedua kali kakek tinggi besar ini terkejut. Dari kebutan Thian-te It-hiap keluar hawa dorong yang membuat si raksasa berseru tertahan. la terpukul dan terdorong mundur, bertahan dan coba melawan akan tetapi kedua kakinya tahu-tahu terangkat naik. Bagai layang-layang atau benda ringan kakek ini terlempar ke kursinya, jatuh tepat dengan seruan keras dan pucatlah semua orang memandang itu. Tadi Hoa-siocia melempar Thian-can Kwee Bi hingga meneelat ke tempat duduknya, sekarang kakek berjuluk Thian-te It-hiap itu.

Dan ketika Si Besi Berduri terjerembab dan jatuh seperti anak kecil, merah padam maka kakek tinggi besar itu menjublak bagai patung hidup sementara mukanya kehitam-hitaman oleh malu dan marah yang hebat. Akan tetapi Thian-te It-hiap benar. Pibu atau adu pertandingan silat belum dimulai, siapapun dapat maju kalau nanti acara itu sudah digelar. Maka ketika raksasa ini menahan marahnya dan terduduk dengan muka berubah-ubah maka kakek di atas panggung itu berkata lagi, suaranya berat namun penuh wibawa, matanya mencorong dan tetap berkilat-kilat.

"Cuwi-enghiong kudatangkan memang untuk menyaksikan adanya pemilihan seorang bengcu. Sekarang asal-usulku sudah jelas. Dan karena maksud hatiku juga sudah kukatakan maka baiklah kukatakan syarat berikutnya dari aturan yang akan kubuat ini. Pertama, ada tingkatan di acara ini, yakni sebelum cuwi menghadapi aku maka cuwi harus menghadapi cucuku terlebih dahulu. Tapi sebelum cuwi berhadapan dengan cucuku maka cuwi akan di coba dulu oleh dua murid kami Song Giam dan Cing Cing!"

Bertepuk tanganlah gadis-gadis cantik dan pelayan rumah ini. Mereka yang terdiri dari wanita-wanita muda itu tiba-tiba memberi sambutan atas kata-kata majikan mereka, para tamu tiba-tiba bersorak pula menyoraki para pelayan itu, yang rata-rata cantik-cantik. Tapi ketika kakek di atas memberi tanda dan minta mereka berhenti maka suaranya terdengar lagi,

"Kedua, pibu ini diadakan bukan untuk bunuh-membunuh, masing-masing hanya saling merobohkan atau melepaskan senjata lawan. Kalau hal itu terjadi maka ini dianggap sebagai kemenangan."

Gadis-gadis pelayan kembali bertepuk gembira.Tepuk mereka diikuti kembali oleh para tamu terutama yang muda-muda sementara ketua dan tokoh-tokoh partai mengangguk-angguk. Mereka setuju dan meiihat sikap baik dari Thian-te It-hiap ini, meskipun tampaknya sombong namun masih berpijak pada kebenaran. Dan ketika kakek itu mengangkat tangannya lagi dan berseru menutup maka ia menyatakan bahwa bengcu yang terpilih hanya berusia tiga bulan saja, hal yang membuat orang tercengang!

"Bengcu di sini hanya bersifat sementara, yakni sebatas membasmi kelompok orang jahat itu. Kalau pekerjaan ini selesai maka ia harus meletakkan jabatan dan mengundurkan diri."

"Omitohud..." Bhong Tek Hosiang berseru heran. Kau aneh dan luar biasa menentukan caramu, Thian-te It-hiap, tapi baiklah pinceng setuju. Kalau benar ada kelompok seperti itu pinceng tentu saja segera menyingsingkan lengan baju. Sekarang katakanlah siapa kelompok jahat itu!"

"Benar!" ketua Kun-lun dan lain-lain tiba-tiba mengangguk. "Kau belum mengatakan siapa musuh yang hendak dibasmi itu, Thian-te It-hiap. Kau beritahukanlah kepada kami biar kami puas!"

"Kalian belum mengenalnya, tapi tak apalah kusebut. Mereka adalah orang-orang Pulau Api...!"

"Pulau Api?" semua orang tertegun dan heran. "Kami belum pernah mendengar itu!"

"Benar, dan ini tidak aneh. Mereka berada di luar daratan Tiong-goan seperti yang tadi kukatakan."

"Ah, siapa mereka itu!"

"Dan macam apa mereka itu!"

Ribut-ribut dan gaduh tiba-tiba memenuhi semua tamu undangan. Mereka benar-benar belum mendengar itu dan tentu saja tertarik. Orang dari mana Pulau Api itu. Dan ketika semua orang saling bertanya dan berisik sendiri maka Thian-te It-hiap mengangkat lengan menyuruh masing-masing diam. Orang sudah mulai tertarik dan bersinar mendengar itu.

"Cuwi tak akan tahu kecuali aku dan cucuku ini. Mereka orang-orang yang hebat, terutama tokoh-tokohnya. Dan karena tak mungkin aku sendiri menghadapi itu maka kuminta cuwi bergabung di sini dan sama-sema membasmi mereka."

Mengangguklah para ketua partai dan tokoh-tokoh persilatan. Mereka yang menjadi golongan pendekar segera saja bersimpati. Ada dua hal yang membuat mereka suka kepada Thian-te It-hiap itu. Pertama adalah ilmu kepandaiannya yang tinggi dan kedua tentang usia jabatan bengcu. Segera mereka menangkap sesuatu yang baik dan bersahabat. Seorang bengcu biasanya akan menduduki kursinya bertahun-tahun, bahkan kalau tak ada yang mengalahkannya maka bengcu bisa seumur hidup. Maka ketika dinyatakan bahwa bengcu hanya berusia tiga bulan saja, sebatas urusan itu maka mereka kagum dan dari sini tersirat bahwa orang yang berjuluk Thian-te It-hiap ini sesungguhnya bukan orang yang sombong, apalagi haus kedudukan!

Tapi tidak demikian dengan orang-orang dari golongan sesat, seperti Kwee Bi dan kakek raksasa Si Besi Berduri itu. Mereka tentu saja khawatir melihat kelihaian Thian-te It-hiap ini. Bahwa dengan begitu mudah mereka didorong dan terlempar kembali diam-diam membuat mereka terkejut dan gentar bukan main. Hanya kearena di situ terdapat banyak tamu dan merekapun belum mengeluarkan kepandaian sepenuhnya maka mereka masih menaruh harap dan pembalasan. Mereka sakit hati atas kekalahan segebrak tadi, ingin menguji dan mencoba dan kalau bisa membunuh kakek ini. Thian-te It-hiap merupakan duri yang mengganggu kalau tidak segera dilenyapkan.

Diam-diam maka si kakek dan Ulat Langit saling lirik, mengedip dan memberi tanda dan mereka sudah bersatu untuk menghadapi kakek itu, kalau perlu mengeroyok dan membunuhnya. Dan ketika di belakang serta kiri kanan mereka juga mengedip teman-teman sealiran, termasuk seorang pengemis bongkok yang menyelinap diam-diam maka si Besi Berduri maupun Kwee Bi girang dan sudah merencanakan sesuatu untuk melenyapkan lawan. Thian-te It-hiap selesai bicara. la telah mengungkapkan maksudnya dan mundur. Dua murid yang dimaksud berkelebat datang, berlutut dan memberi hormat di depan majikan. Dan karena semua sudah jelas dan pibu resmi dibuka maka yang melompat pertama kali adalah raksasa itu.

"Bagus, kami sudah dengar. Tapi seorang bengcu tentunya harus siap menghadapi segalanya. Heh, bagaimana kalau seandainya kau menang kami mengeroyokmu, Thian-te It-hiap. Beranikah kau menghadapi kami agar mata kami benar-benar terbuka dan tunduk lahir batin!"

"Pibu adalah seorang lawan seorang," ketua Hoa-san tiba-tiba berseru. "Kalau keroyokan bukan pibu lagi namanya, Thi-cit-Le, mana mungkin itu!"

"Usulnya kuterima," Thian-te It-hiap tak disangka mengangguk. "Calon bengcu memang harus dapat melayani segala kehendak, Hoa-san-paicu, biarlah kakek ini memuaskan hatinya dan tidak kutolak."

Terkekehlah Ulat Langit Kwee Bi. Tiba-tiba ia berkelebat dan naik pula ke panggung. Sikapnya yang genit dan dibuat-buat membuat para tamu terbelalak, mereka yang muda merasa gemas dan gairah timbul. Wanita itu menjentik-jentikkan kuku jarinya sambil melenggang-lenggokkan pinggul. Dadanya yang padat berisi digoyang-goyangkan pula. Dan ketika ia mendampingi kakek raksasa itu menghadapi Song Giam dan Ceng Ceng maka ia menuding bahwa ia ingin cepat-cepat menjajal kepandaian murid-murid Thian-te It-hiap ini, menunjuk si pemuda.

"Aku ingin maju pula mencoba kelihaian tuan rumah. Bagaimana kalau kami maju berbareng!"

"Hmm, mereka dipersiapkan untuk kalian pilih. Kalau begitu kemauanmu kami tak menolak, Kwee Bi, silakan saja dan murid-murid kami tahu."

Jawaban ini lagi-lagi membuat para tamu berdecak, Kalau panggung terisi dua pertandingan sekaligus tentu menarik dan amat menyenangkan. Jarang terjadi kejadian seperti ini. Dan ketika kakek tinggi besar itu tertawa bergelak menuding Cing Cing maka ia berseru bahwa tangannya sudah gatal-gatal untuk segera mulai. Kwee Bi sudah memilih lawan,

"Baik, aku memilihmu. Kalau kau takut boleh tukar lawan main, nona. Katakan sebelum senjataku bergerak!"

Cing Cing mengerutkan kening dengan muka merah. Sesungguhnya ia telah dipersiapkan majikannya untuk menghadapi orang-orang macam apapun. Keberhasilannya merobohkan orang-orang Hwa-i Kai-pang dan Hek-lui-kong membuat kepercayaannya besar. Meskipun kakek ini menyeramkan dengan senjatanya yang dahsyat namun sedikitpun tak terlihat rasa takut atau gentar, hal yang membuat para ketua Bu-tong dan lainnya kagum. Maka ketika ia mencabut pedangnya. dan menjengek memandang kakek itu gadis inipun lintangkan pedang berseru nyaring,

"Dengan siapapun aku tak perlu takut. Kalau kau lebih berani menghadapi aku daripada yang lain silakan maju, Thi-cit-le. Murid Thian-te It-hiap sudah dipersiapkan untuk menghadapi siapapun!"

Merahlah wajah kakek itu. Gadis ini menyebutnya "lebih berani", seakan keberaniannya hanya terhadap wanita. Maka membentak dan mengayun senjatanya tiba-tiba iapun sudah menerjang maju. "Aku berani kepada siapapun, juga majikanmu. Karena Kwee Bi telah memilih lawannya maka di sini hanya tinggal kau. Awas dan berhati-hatilah!"

Senjata itu menderu dan menyambar kepala gadis ini. Keganasan dan sepak terjang kakek ini memang mengerikan sekali. Serangannya berkesan ingin cepat menang dan menghadapi Thian-te It-hiap. Tapi ketika gadis itu mengelak dan membiarkan bandul berduri meluncur di samping kepalanya, menderu dan membalik menyambar lagi maka gadis ini melompat mundur dan cepat pedangnya menangkis.

"Tranggg...!" Pedang terpental dan tampak betapa dahsyatnya tenaga kakek tinggi besar itu. Thi-cit-le memang raksasa bertenaga penuh dan tak heran kalau ia penasaran dan marah dipentalkan Hoa-siocia. Kini gadis di depannya itu terhuyung dan kedahsyatannya dilihat semua orang, raksasa itu tertawa bergelak dan bangga. Maka ketika ia menerjang lagi dan menyambar gadis itu segera bandul berdurinya naik turun dengan amat mengerikan.

"Lepaskan pedangmu kalau tak kuat, atau senjataku merobohkanmu dan jangan menyesal di belakang!"

Cing Cing mengelak dan berkelebatan cepat. Setelah ia menangkis dan merasakan tenaga lawan maka ia maklum bahwa tenaganya bukan tandingan kakek itu. Lawan bertenaga berat dan penuh, pedang di tangannya hampir terlepas dan membuat ia terkejut. Telapaknya pedas. Namun karena ia murid terpandai dan dipasang untuk menghadapi semua lawan maka iapun membentak nyaring dan sekali kakinya menjejak panggung tiba-tiba ia sudah berkelebatan mengelilingi kakek itu.

"Crang-crangg!" Tangkisan dari samping membuat Cing cing melencengkan senjata lawan. Ini adalah kecerdikannya dan si raksasa berteriak, gadis itu membalas dan menusuk atau menikam membuat kakek itu mengelak. Dan ketika Si Besi Berduri ini membentak dan tak mau kalah akhirnya kakek itupun memutar senjatanya lebih cepat lagi untuk mengejar burung lincah yang sudah lenyap beterbangan ini.

"Brak-braakkk...!" Lantai panggung bergetar dan berlubang oleh hantaman bandul berduri. Tiga kali senjata itu menimpa dahsyat dan tiga kali para tamu berseru tertahan. Mereka khawatir gadis itu remuk, Tapi ketika secepat itu Cing Cing lenyap menghindar dan sudah berada di belakang kakek ini maka tepuk riuhpun tak dapat dicegah lagi, tepuk kagum. Berjalanlah pertandingan ini dengan seru dan menarik. Cing Cing tak mau beradu pedang dan menangkis atau melencengkan senjata lawan dari samping. Dengan begitu tenaganya tak perlu kuat sementara si kakek memaki-maki.

Namun karena Thi-cit-le juga bukan orang sembarangan dan pengalaman tempurnya banyak maka sebentar kemudian ia sudah berhasil memperbaiki diri dengan tidak mengobral tenaga, satu dua kali menghantam dahsyat dan ini penghematan besar. Cing Cing menusuk dan menikam namun kakek itu melindungi diri dengan baik. Dan ketika keduanya terlihat adu kecerdikan untuk menyerang dan mencari kelemahan masing-masing maka Kwee Bi, Si Ulat Langit mendadak bergerak cepat dan kuku jarinya tahu-tahu menjentik telinga Song Giam.

"Bret!" Song Giam waspada dan membentak wanita ini. Kwee Bi tak memberi tahu dan menyerang dengan licik, jentikannya tadi dapat membuat orang roboh, telinga yang tergurat bakal seperti diiris, beracun. Dan ketika pemuda itupun maju mundur menghadapi lawan maka wanita ini kecewa namun terkekeh. Serangannya yang gagal menunjukkan kepandaian lawan yang tak boleh dipandang enteng.

"Hi-hik, mari main-main. Kau keluarkan pedangmu, anak muda, atau menyerah saja dan biar kuhadapi majikanmu Hoa-siocia itu!"

"Aku belum roboh, apalagi kalah. Kalau kau dapat mengalahkan aku maka aku mundur, kouwnio, jangan sombong dan mari kulayani permintaanmu!"

"Bagus, kalau begitu secepatnya aku akan merobohkanmu!" dan si cantik yang berkelebat dan menyerang lagi akhirnya terkekeh dan membuat lawan mundur-mundur, tak mengeluarkan senjata karena pemuda ini sungkan melihat lawan bertangan kosong. Song Giam tak mau tahu bahwa kuku jari wanita itu adalah senjatanya yang ampuh, Thian-te It-hiap dan Hoa-siocia memandang dengan kening berkerut. Dan ketika benar saja Song Giam terdesak dan kewalahan menghadapi lawan maka Hoa-siocia tak mau diam lagi.

"Song Giam, cabut pedangmu dan keluarkan Giam-lo Kiam-sut. Kuku lawanmu adalah senjata!"

Pemuda ini maklum. Cepat ia sadar bahwa kelambatannye tadi bakal membuat posisinya bertambah buruk. la bakal dirobohkan lawan kalau tak mencabut pedang, tak usah malu-malu karena peraturan pibu memang begitu. Maka ketika ia mengeluarkan senjatanya dan cahaya putih menyilaukan mata, mendesing dan menangkis kuku itu maka lawan menarik cépat dan desakan seketika lenyap terganti jerit kecil tertahan.

"Ih. Singgg...!" Kwee Bi selamat. Pedang menyambar demikian cepat dan langsung menyontek ke atas, bukan semata menyambut kukunya namun langsung membalas dan menusuk tenggorokan, bukan main hebatnya. Dan ketika wanita itu terkejut dan berubah mukanya, marah maka ia lalu melengking dan selanjutnya Ulat Langit ini menjejakkan kaki dan tubuhnya naik turun mengelilingi pemuda itu.

"Bagus,. pedangmu lihai. Namun aku tak akan takut!"

Song Giam lega. Pemuda ini telah memperbaiki posisinya dan membuat lawan mundur. Menghadapi tubuh yang berkelebatan itu iapun mengeluarkan ginkang atau ilmu meringankan tubuh, membentak dan mengikuti pula dan akhirnya dua bayangan saling menutup dan membungkus, satu sama lain saling desak dan menekan yang lain namun untuk beberapa saat kelebatan pedang terlalu berbahaya. Bacokan atau tikaman maut membelah si Ulat Langit, wanita itu harus berhati-hati dan sering melompat jauh menghadapi pedang panjang. Namun ketika ia terkekeh dan menjentikkan bubuk harum di bawah kuku, tersedot dan terhisap pemuda itu tiba-tiba murid Thian-te It-hiap ini terbatuk dan limbung. Bau harum itu memabokkan!

"Heh-heh, kau tak akan mampu mengalahkan aku. Daripada roboh sebaiknya menyerah baik-baik, anak muda. Sayang kalau kulitmu yang tegap tergores kukuku!"

Song Giam tak menjawab, la limbung dan mengelak sana-sini dan segera para tamu khawatir. Bagi orang-orang seperti Bhong Tek Hosiang dan Kiam kit Cinjin yang mulai bersimpati kepada tuan rumah tentu saja keadaan pemuda ini mencemaskan mereka. Sebentar saja pemuda itu tampak lemah dan mengendor, gerakan pedangnya tak lagi ganas sementara lawan terhuyung-huyung. Thian-te It-hiap mengerutkan kening sementara Hoa-siocia gelisah. Dan ketika satu kibasan kuku ditangkis pedang dan senjata di tangan pemuda itu mencelat maka Song Giam tiba-tiba roboh oleh sebuah tendangan si Ulat Langit.

"Dess...!" Selesailah pertandingan ini. Pibu antara Kwee Bi dengan lawannya jauh lebih cepat dibanding si raksasa melawan Cing Cing. Para tamu tertegun dan menjublak, kejadian itu mengherankan. Tapi ketika berkelebat bayangan putih dan Hoa-siocia muncul di situ maka gadis ini berseru bahwa Kwee Bi mengalahkan pihaknya.

"Kau menang, sekarang beristirahatlah, nanti menghadapi aku!"

"Hi-hik, tak usah saja. Sekarangpun aku kuat, maju dan mari kurobohkan pula!"

Kuku menyambar dan tahu-tahu menggurat wajah yang halus itu. Hoa-siocia terkejut tapi membentak marah, menangkis dan membuat lawan berteriak kaget, terpelanting. Dan ketika Kwee Bi meloncat bangun dengan muka merah padam maka wanita itu membentak dan menerjang lagi. Untuk kedua kalinya dalam segebrakan saja ia roboh!

"Keparat, jangan sombong. Aku belum siap dan mari bertanding lagi!"

Hoa-siocia mengelak dan melayani lawannya. Dengan cepat si Ulat Langit menyambar-nyambar dan cepat saja wanita ini menjentikkan bubuk harumnya. Itu adalah pelumpuh tenaga perampas semangat, siapa yang mencium tentu lemah. Dan ketika gadis inipun terbatuk dan tidak sadar, terhuyung maju mundur maka Thian-te It-hiap berkilat matanya melihat sesuatu yang tidak beres, mengendus dan akhirnya mencium bau itu pula.

"Hm, bubuk beracun. Lawanmu curang Hoa Siu, hati-hati dan tahan napas. Ada yang tidak beres pada kuku lawanmu itu!"

Bisikan ini tak terdengar oleh siapapun. Coan-im-jip-bit atau ilmu mengirim Suara dari jauh dilancarkan kakek itu kepada cucunya, Hoa Siu terkejut dan sadar. Dan ketika ia terbelalak melihat bubuk halus menyebar di arena pertandingan, kiranya itulah penyebab ia batuk maka tiba-tiba ia melengking dan menahan napasnya gadis ini mencabut pedang dan membalas ganas. "Kau curang, mempergunakan bubuk beracun!"

Thian-can Kwee Bi terkejut. Ia sudah merasa girang ketika gadis itupun terhuyung dan maju mundur, gerakannya lemah dan limbung ke Sana ke mari. Maka ketika lawan tiba-tiba membentak dan tahu kecurangannya pedang yang baru dicabut itu meluncur deras menyambar leher, cepat bagai kilat menyambar.

"Jangan membunuh!"

Kwee Bi menjerit dan membanting tubuh bergulingan. Rasa marah Hoa-siocia yang melihat kecurangan lawan membuat gadis baju putih itu ganas, tanpa ampun lagi ia membabat leher lawan. Sekali kena tentu putus! Tapi ketika seruan itu menyadarkannya dan pedang bergerak ke samping, menuju leher baju lawan maka kancing atas bagian ini terbabat dan kancingnya nenggelinding jatuh, berkerincing.

Pucatlah Kwee Bi meloncat bangun. la benar-benar menghadapi ilmu pedang hebat yang berbahaya sekali. Itulah ilmu khas mendiang Hu Beng Kui,serangan pedangnya cepat dan ganas, tanpa ampun. Dan ketika ia nenggigil dan gemetar di Sana, di sudut panggung tiba-tiba wanita ini memekik melemparkan jarum-jarum hitam ke arah lawannya.

"Tring-tring-tring!" Semua jarum runtuh dan terbabat. Wanita itu terbelalak lalu nangis, memutar tubuh dan meloncat turun. Lalu ketika ia berkelebat dan melarikan diri maka terdengar makiannya disertai sedu sedan. "Gadis siluman, kau mempermalukan aku. Baiklah jaga perhitunganku di kelak kemudian hari!"

Lenyaplah si cantik bahenol dengan tubuhnya yang padat berisi itu. Para tamu usia muda merasa seyang kehilangan obyek cuci mata. Betapapun hadirnya wanita itu mampu menghangatkan perasaan, setidak-tidaknya memberi kenikmatan sendiri untuk berkhayal birahí. Tapi ketika mereka termangu-mangu oleh lenyapnya si cantik itu mendadak terdengar jeritan dan robohnya Cing Cing, pelayan atau murid Thian-te It-hiap.

"Aihhh-breess!" Gadis itu mencelat dan terbanting terguling-guling. Tak ada yang tahu apa yang terjadi namun Hoa-siocia berkelebat. Murid-murid yang lain melompat dan menyusul pula. Dan ketika mereka melihat gadis itu terkapar dengan muka pucat, bahu kanannya remuk oleh hantaman bandul besi maka Thi-cit-le tertawa bergelak memperoleh kemenangannya.

"Ha-ha, akupun menang. Thian-te It-hiap kalah satu dan aku berhak ke babak semi-final!"

Semua tamu tertegun. Mereka terbawa oleh kejadian si Ulat Langit dan tak tahu apa yang terjadi. Robohnya gadis cantik itu terasa terlalu cepat dan mengejutkan, padahal tadi bertanding imbang dan seru. Tapi ketika Hoa-siocia melompat bangun dan menjepit tiga paku beracun berapi-api memandang kakek itu maka sadarlah para tamu bahwa seperti si Ulat Langit ternyata kakek inipun berbuat curang.

“Di dalam pibu tak ada aturan melepas senjata gelap. Pibu adalah pertandingan para ksatria yang bertempur secara bersih. Kau mempergunakan dan melepas paku beracunmu, Thi-cit-le, kemenanganmu curang sekali. Kau licik!"

"Ha ha, syarat pertandingan ini adalah robohnya salah satu pihak. Senjata gelap atau senjata terang bukanlah persoalan, nona. Kalau pihakmu lihai tak perlu mengalami kekalahan seperti itu. Bukankah calon bengcu sudah menyatakan siap menghadapi segala apapun!!"

"Tapi ini adalah seorang murid, bukan kakekku sendiri!"

"Aku tak mempersoalkannya. Bagiku adalah secepatnya menghadapi kau atau kakekmu itu. Hayo maju dan aku masih mampu merobohkanmu."

Berapilah sepasang mata indah itu. Gadis ini bergerak ke depan dan Cing Cing sudah dibawa ke dalam. Para tamupun berisik oleh perbuatan itu, betapapun kejadian ini memang dinilai tidak bersih. Namun karena orang seperti kakek itu bukan orang baik-baik dan pada dasarnya Thi-cit-le adalah golongan sesat maka kakek itu tak perduli dan tertawa bergelak, maju melangkah pula.

"Orang yang siap pibu adalah orang yang siap segalanya. Okol dan akal harus dipergunakan. Kalau kau penasaran boleh maju, memang kutunggu!"

Gadis itu mengangkat pedang. Tiba-tiba ia menyilangkannya di kedua kening, berkemik dan Thian-te It-hiap tiba-tiba berseru membentak. Kakek yang masih diam di tempatnya itu melihat pedang bergetar dalam jurus ampuh, Bianglala Menyambar Iblis. Dan ketika gadis itu meloncat dan tak memperdulikan bentakan kakeknya maka raksasa ini sudah đisambar dan Thi-cit-le tersentak karena angin pedang yang amat dingin tahu-tahu mengiris kulit. Dingin dan menyeramkan.

"Sekarang kau roboh!"

kakek ini menggerakkan bandul berdurinya. Ia tentu saja tak mau mati konyol dan meraung dahsyat, suaranya menggetarkan panggung dan jantung para tamu undạngan. Tapi ketika bandul bertemu pedang dan putus terbelah, pedang terus menyambar dan menuju dahi raksasa ini maka Thi-cit-le benar-benar kaget dan tak ada lain jalan kecuali melempar tubuh ke belakang, tak tahu bahwa tempat itu kosong....!