Prahara Di Gurun Gobi Jilid 31 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Serial Prahara Di Gurun Gobi Karya Batara

"Aarrgghhh....!”

Pekik atau bentakan dahsyat ini seperti suara beruang luka. Beng Kong Hwesio tak mungkin berkelit lagi karena dari kiri kanan dan belakang enam orang itu menyerangnya. Senjata dan tangan kirinya masih ditahan Chi Koan. Maka ketika enam orang itu menggerakkan senjata masing-masing dan kapak di tangan Jin-touw menancap di punggung, tusuk konde menusuk tengkuknya sementara tongkat dan rambut yang digerakkan Coa-ong dan Kwi-bo menghantam pundak dan pipinya maka bandul tengkorak yang disabetkan See-tok pecah mengenai kepalanya dengan suara ledakan keras.

Namun hebat hwesio ini. Meskipun enam orang itu menyerangnya di saat ia sedang berkutat dengan Chi Koan akan tetapi kekebalan tubuhnya masih bekerja. Kapak dan tusuk konde itu tak dapat menancap penuh, begitu pula kuku jari Kwi-bun. Dan ketika rambut Kwi-bo meledak dan tongkat di tangan Coa-ong menghantam punggungnya, hwesio ini tergetar dan terdorong ke depan tiba-tiba ia menarik napas dan seluruh kekuatan enam orang itu disedot dan disalurkannya menghantam Chi Koan.

"Aaiihhhh...!” Chi Koan terkejut dan berseru keras. Kelicikannya disambut dengan kecerdikan luar biasa dan di saat dorong-mendorong itu tiba-tiba suhunya menyedot tenaga enam orang iblis ini, dibawa dan disalurkan.

Bukan hanya pemuda itu saja yang terkejut melainkan Coa-ong dan kawan-kawan juga begitu. Senjata dan pukulan mereka melekat. Dan ketika tiba-tiba tubuh terangkat dan terbawa naik, Beng Kong membentak menggempur Chi Koan maka secepat kilat Chi Koan menjatuhkan diri ke bawah dan dengan satu seruan keras ia melepaskan diri dan kakinya menjejak atau menendang bawah perut gurunya dan melontarkannya ke belakang.

“Bressss!"

Beng Kong dan enam Siluman Langit meluncur di atas tubuh Chi Koan. Mereka tak dapat menahan díri lagi dan hwesio itu melotot. Chi Koan ternyata tak kalah cerdik dan jahat. Pemuda itu cepat melempar tubuh dan membuang daya dorong, begitu cepat dan tiba-tiba hingga hwesio ini tak dapat berpikir banyak. Dan ketika ia dibuang kebelakang sementara Coa-ong dan kawan-kawan terbang mengikuti, mereka masih lekat di tubuh hwesio ini.

Maka Beng Kong tertindih dan See-tok si raksasa yang tinggi besar itu menimpa kepalanya, disusul oleh yang lain hingga sekejap hwesio ini lenyap di bawah, persis gula dirubung semut, atau bangkai yang dikelilingi belatung, tak tampak! Dan ketika suara gedebukan itu diiring keluh dan teriakan kesakitan, hwesio ini tergencet oleh banyak tubuh maka tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan disusul menyambarnya sinar hitam.

"Heh-heh, selamat menikmati mimpi buruk, suheng. Terimalah hadiahmu dan bawa ini ke akherat!”

Peng Houw terkejut. Seorang kakek lain, berambut riap-riapan tiba-tiba muncul dan melempar Ular Tiga Warna. Saat itu paman gurunya Beng Kong Hwesio tertindih Coa-ong dan kawan-kawan. Enam iblis itu masih kelengar dan setengah sadar. Beng Kong sendiri juga begitu karena betapapun tusukan dan bacokan senjata tajam melukainya, membuatnya nanar dan darahpun mengucur keluar. Maka ketika tiba-tiba ia diserang seekor ular dan ular itu menyusup di bawah Coa-ong dan kawan-kawan, menggigit dan mengenai pahanya tiba-tiba hwesio itu berteriak dan berjengit seraya menghantam ke bawah.

"Aduh!”

Coa-ong kawan-kawan terlempar. Mereka tersedot sinkangnya dan pucat, ular itu dipukul Beng Kong namun melejit, lari dan mengigit kakek ini untuk kemudian yang lain-lain, kaget dan marah dan sebisanya berusaha keluar dari tumpukan enam orang itu, mulutnya menyambar sana-sini hingga See-tok maupun lain-lain terpagut, Kwi-bo paling akhir. Dan ketika wanita itu mengeluh namun sempat menangkap ular itu meremas dan kepala ular pecah maka semuanya tiba-tiba hitam kebiruan terkena bisa paling jahat. Beng Kong mendelik dan menuding-nuding.

“Kau.... kau.... ah, keparat. Kau Twa-liong!”

Kakek riap-riapan itu terbahak. Ia terkekeh- kekeh sementara Beng Kong roboh. Hwesio ini pucat pasi dan wajahpun membiru hitam, cepat sekali mewarnai tubuhnya hingga sebentar kemudian menjadi gelap. Ular Tiga Warna, yang tadi menewaskan Jin-mo kini menggigit dirinya pula. Tak ada obat penawar di dunia ini kecuali maut. Dan ketika hwesio itu menuding-nuding namun roboh, menggeliat dan kejang-kejang sejenak untuk kemudian diam, nyawa melayang maka kakek riap-riapan itu terbahak dan menendang mayat Beng Kong ke tengah ribuan kepiting. Tubuh itu sudah mulai busuk!

"Ha-ha, dosamu terbayar, suheng. Sekarang kau menebus perbuatanmu dan impas sudah sakit hati ini!”

Namun bayangan biru berkelebat. Chi Koan, yang kaget dan melihat siapa ini tiba-tiba mengenal. Itulah Twa-hwesio yang menjadi susioknya tertua, orang yang sudah sekian tahun menghilang namun kini tiba-tiba muncul. Dia tertegun dan terbelalak sejenak untuk kemudian tiba-tiba sadar, bergerak dan menyambar kakek itu untuk menendangnya pula ke tengah-tengah kepiting berbisa itu.

Mereka berebut dan menerima gurunya, mencapit dan sebentar kemudian mengganas menyerang tuannya sendiri. Tubuh yang membusuk itu membuat kepiting-kepiting ini buas, mereka terangsang dan bagai harimau mencium darah segar. Maka ketika menggigit dan mengoyak tubuh itu, Chi Koan mendahului menyerang dari belakang.

Maka kakek ini, Twa-hwesio, terkejut dan membalik namun kalah cepat. Dia terlempar dan mencelat dan tentu jatuh di tengah hewan-hewan buas itu kalau saja Peng Houw tidak membentak dan melompat keluar. Pemuda itu berjungkir balik dan menyambar kakek ini, melemparnya keluar dari kepungan kepiting berbisa itu. Dan ketika kakek ini terkejut dan berseru marah, mengeluarkan cambuknya maka Chi Koan terbelalak melihat Peng Houw.

“Kau.... kau.....!” Pemuda ini memutar tubuh. Melihat Peng Houw di situ tentu saja pemuda ini gentar. Dia baru bertanding hebat dengan gurunya, mata kiripun masih mengeluarkan darah. Tapi ketika bayangan-bayangan lain berkelebat dan muncullah Ji-hwesio dan lain-lain, Chi Koan terkejut maka pemuda itu tak dapat melarikan diri. Peng Houw berkelebat di depannya dan tiba-tiba pemuda ini menangis, menjatuhkan diri berlutut.

"Ampun.... aku mengaku salah, Peng Houw. Jangan bunuh dan aku menerima semua dosa-dosaku!"

Peng Houw tertegun. Dia telah melihat semua kejadian itu dan tewasnya Beng Kong Hwesio. Tapi marah teringat Bu-tek-cin-keng dia menendang dan menyambar lawannya ini. "Kau berdosa berat kepada Go-bi. Kau membuang pula Bu-tek-cin-keng! Dosamu tak dapat diampuni, Chi Koan, terlalu berat. Aku ingin membunuhmu tapi biarlah para susiok yang mengadili!"

Chi Koan menangis. Aneh sekali pemuda ini mengguguk, menyedihkan. Tapi ketika ia mengangguk-angguk dan mendengar saja semua kata-kata Peng Houw, pemuda inilah yang paling ditakuti mendadak Twa-hwesio menyambar dan meledakkan cambuknya di punggung.

“Kalau tidak dibunuh mau tunggu apalagi. Biar aku menghajarnya dulu, Peng Houw. Hitung-hitung sebagai pembayar dosanya kepada guru!”

Chi Koan berjengit. Ia berteriak ketika dicambuk lagi, berjengit dan berteriak. Dan ketika tiba-tiba bayangan merah juga berkelebat dan menusukkan pedang maka Li Ceng, gadis itu menyerang ganas.

"Dia membunuh kong-kong. Tunggu apa lagi kalau tidak sekarang mampus!”

Peng Houw terkejut. Dia juga ingin membunuh Chi Koan tapi hadirnya orang-orang tua di situ membuat dia menahan diri. Kalau saja paman-paman gurunya tidak datang mungkin ia sudah melampiaskan marah. Maka ketika Li Ceng tiba-tiba berkelebat dan gadis itu menusukkan pedangnya, Peng Houw sudah berjanji untuk memberikan lawan maka pemuda ini menangkis dan berseru keras,

“Tidak, jangan bunuh, Li Ceng. Biar para susiokku yang mengadili!”

Pedang terpental balik. Li Ceng gusar namun Ji-hwesio dan Sam-hwesio bergerak, berseru mencegah cambuk meledak-ledak karena Chi Koan tiba-tiba roboh. Pemuda itu rupanya pingsan. Dan ketika dua orang ini menghadapi gadis baju merah itu dan terbelalak memandang Twa-hwesio, suheng yang sudah berobah jauh ini maka keduanya gemetar memandang haru. Ji-hwesio merangkapkan tangan.

“Omitohud, kau kiranya, Twa-heng? Kau tidak mencukur gundul rambutmu? Kau masih hidup?"

“Ha-ha-heh-heh, aku benci sekali kepada maut. Aku benci pembunuh guru kita. Beng Kong suheng telah mampus, sute, tapi aku masih belum puas. Aku ingin membunuh muridnya dan serahkan dia kepadaku!”

“Tidak, nanti dulu. Kami tak dapat berbuat apa-apa kalau Peng Houw tak ada di sini, Twa-heng. Kau tanyalah dia dulu apakah boleh kau bunuh!"

"Tapi dia menyerahkan kepada susioknya, dan aku orang tertua di sini. Peng Houw tentu tak keberatan dan serahkan kepadaku!”

Namun Ji-hwesio menggeleng kepala. Hwesio itu berseru bahwa membunuh Chi Koan adalah gampang, pemuda itu sudah di tangan. Tapi ketika dia berkata sebaiknya pemuda ini dibawa ke Go-bi, diadili maka hwesio itu menggigil memandang Peng Houw.

"Ada banyak hal yang ingin pinceng ketahui. Suheng tentu juga. Pinceng teringat kata-kata Chi Koan bahwa Ji Leng supek sudah tiada!"

"Hm, tak enak bicara di sini,” Peng Houw mengangguk dan melihat bayangan-bayangan lain, para ketua dan wakil ketua partai. "Urusan dalam tak perlu didengar orang luar, susiok. Kita kembali ke Go-bi saja dan di sana bicara sepuasnya.”

“Tapi aku ingin membunuh anak ini!" Twa- hwesio meledakkan cambuk, mata terbelalak. "Dia dan gurunya sama jahat, sute. Di sini atau di sana sama saja!”

“Benar!" bayangan-bayangan itu berseru, tiba. "Kami tak dapat membiarkan Chi Koan dibawa-bawa, Peng Houw. Anak itu telah mengadu domba. Serahkan kepada kami dan biar diadili di sini!"

Peng Houw terkejut. Para ketua itu, dan tokoh-tokohnya sudah muncul dan berkelebatan mengurung. Mereka susul-menyusul dan cepat sekali sudah berjumlah banyak. Bong Beng Hosiang, tokoh Bu-tong juga tampak dengan pundak dibalut. Hwesio ini berapi-api dan merah padam. Dan ketika dia menuding dan berseru bahwa Chi Koan harus diserahkan, atau Peng Houw dianggap musuh maka ketua Bu-tong yang sakit hati kepada Peng Houw ini melengking.

“Chi Koan memberi Bu-tek-cin-keng kosong, sudah berkali-kali mempermainkan kami. Berikan dan biarkan dia mati karena di sini atau di Go-bi sama saja!"

"Hm, Chi Koan adalah anak murid Go-bi, anak didik kami. Kalau kami hendak membawanya ke Go-bi dan menghukumnya di sana tentu tak salah, Bong Beng lo-suhu. Atau nanti kami serahkan kalau sudah diadili di sana!"

Ji- hwesio, yang sependapat dengan Peng Houw untuk membawa ke Go-bi menolak keinginan ini. Dia justeru heran memandang ketua Bu-tong yang tampak melotot itu. Hwesio ini marah namun bola matanya berputar liar, seakan ada sesuatu yang disembunyikan dan menjadi rahasia. Dan ketika hwesio itu membentak dan menghardik lawan, menolak kata-kata Ji-hwesio maka dia berseru,

“Chi Koan bukan anak murid Go-bi saja. Bocah itu juga anak didik Tujuh Siluman Langit. Kau tak dapat memaksakan kehendakmu, Ji-hwesio. Aku justeru menghendakinya mati di sini atau kau dan kelompokmu akan kucurigai sengaja membawa anak itu untuk keuntunganmu pribadi!”

"Keuntungan pribadi?" hwesio ini terkejut. "Apa maksudmu, Bong Beng lo-suhu? Keuntungan apa yang kau maksud?"

“Tak usah berpura-pura. Kita semua sama tahu kelicikan dan kecerdikan Chi Koan. Kami curiga bahwa kitab yang dilempar bukan Bu-tek-cin-keng yang asli. Kalian menghendaki anak itu karena ingin mendapatkan ini!"

“Benar!” para ketua lain tiba-tiba berseru. "Kami curiga bahwa Chi Koan masih membawa Bu-tek-cin-keng, Ji-lo-suhu, yang asli. Karena itu serahkan kepada kami dan biar kami bunuh agar ini tidak berkepanjangan!"

Ji-hwesio berubah. Hwesio ini mundur sementara Peng Houw yang mendengar itu tersentak. Peng Houw teringat pertandingan mati hidup antara Chi Koan dengan gurunya gara-gara dugaan itu. Siapa tahu benar. Dan ketika seorang maju melemparkan sobekan kertas, itulah Bu-tek-cin-keng yang hancur berkeping-keping maka orang itu bertanya kepada Peng Houw apakah dugaan itu keliru.

“Lihat, inilah sobekan Bu-tek-cin-keng yang kudapat. Di dunia ini sekarang hanya kau yang tahu, Baca dan lihat gambarnya, Peng Houw. Harap kejujuranmu yang kami percaya tidak kau salahgunakan!”

Peng Houw berdesir. Ia menerima dan membaca itu namun karena hanya secuwil saja maka repot, bagian yang lain tak ada. Namun ketika seseorang maju dan memberikan serpihannya, disusul yang lain dan lainnya lagi maka selembar Bu-tek-cin-keng utuh telah berada di tangan Peng Houw, seakan diatur!

"Lihat, jangan berbohong, Peng Houw. Kau satu-satunya pewaris Bu-tek-cin-keng asli. Kau murid langsung Ji Leng Hwesio yang sakti. Baca dan lihat itu dan katakan kepada kami apakah benar!”

Peng Houw berdetak. Ia terbelalak melihat gambar-gambar yang tak dimengerti dan semua orang tiba-tiba memandangnya tajam. Semua menuntut dan menunggu jawaban. Tapi ketika Ji-hwesio bergerak dan maju dengan suara lantang hwesio ini berseru,

“Peng Houw, tak mungkin rasanya hanya dengan selembar kertas kau dapat segera menentukan asli tidaknya Bu-tek-cin-keng. Pinceng tak setuju dengan cara ini karena terlalu picik. Pinceng tak menduga bahwa orang-orang ini mencurigai kita karena akan membawa kembali Chi Koan ke Go-bi. Sebaiknya mereka ikut saja ke sana dan buktikan bahwa kita bukanlah orang yang tamak akan ilmu orang lain. Siapa tidak setuju berarti mencari-cari persoalan dan terserah mereka!”

Hebat kata-kata ini. Ji-hwesio telah menyemprot orang-orang itu dengan kata-katanya terakhir, bahwa mereka adalah orang-orang yang menghendaki barang milik orang lain. Bong Beng Hosiang dan lain-lain seketika merah padam. Tapi ketika hwesio itu maju dan berseru tak kalah lantang maka ketua Bu-tong ini berteriak,

“Ji-hwesio, Bu-tek-cin-keng juga bukan milik Go-bi. Itu benda tak bertuan! Kau tak dapat mengakuinya sebagai milik Go-bi karena di ruang perpustakaanmu tak terdapat kitab itu!”

"Betul!" yang lain serentak berseru. "Kami bukan orang-orang yang menghendaki barang orang lain, Ji-lo-suhu. Kitab itu bukan milik Go-bi Kau tak dapat bicara seperti itu!”

“Tapi kitab itu berada di tangan Go-bi, mau tidak mau adalah milik ketua kami!"

"Ji Leng Hwesio berasal dari mencurinya. Itu barang curian!”

Bong Beng membakar dengan kata-kata mengejutkan, menyentak. Dan ketika Ji-hwesio terbelalak dan merah padam, Peng Houw juga terkejut maka pemuda ini maju dengan suara dingin, kemarahannya ditahan.

"Bong Beng lo-suhu, kau adalah ketua Bu-tong yang seharusnya tahu tata cara dan etika. Kau lancang sekali menghina guruku sebagai pencuri. Baik, adakah bukti untuk itu? Apakah kau dapat meyakinkan bahwa guruku benar-benar mencuri Bu-tek-cin-keng?"

“Chi Koan buktinya, Peng Houw, dan kedua adalah tidak adanya daftar Bu-tek-cin-keng di perpustakaan Go-bi!”

"Chi Koan adalah penipu, orang yang suka mempermainkan orang lain. Kalian tahu sendiri itu dan tak dapat dijadikan bukti!”

“Tapi di ruang perpustakaan Go-bi tak terdapat daftar kitab itu!”

“Baik, tapi masih belum dapat dikatakan mencuri, lo-suhu. Siapa tahu bahwa guruku mendapatkannya secara temuan, atau diberi seseorang....”

“Tak mungkin! Tak ada kitab sehebat itu diberikan kepada orang lain, Peng Houw, kecuali orang gila. Dan tentang temuan, ah, pinceng tak percaya!"

Peng Houw berkelebat. Ia marah dan gusar sekali oleh debatan ini karena jelas ketua Bu-tong itu tak mau kalah. Ia mencari-cari sengaja bersetori. Maka membentak dan menyambar baju lawan akhirnya Peng Houw berseru, "Baik, tapi betapapun mencuri juga tak mungkin, Bong Beng Hosiang. Tak ada saksi yang dapat dihadirkan di sini kecuali mulut-mulut busuk pemfitnah. Katakan sekarang apa maumu atau aku menghancurkan mulutmu. Bicaralah secara jujur bahwa kau sebenarnya iri dan ingin mengangkangi kitab itu. Ayo, katakan!"

Hwesio ini terkejut. Ia tersentak disambar Peng Houw, mengaduh. Namun ketika ia pucat dan menggigil, tak dapat berkutik maka Peng Houw mengangkat ketua Bu-tong itu berseru kepada yang lain-lain,

“Cuwi-enghiong, tak guna berdebat tentang ini kalau isinya hanya kecemburuan dan iri hati belaka. Kitab itu telah hancur, tak usah melukai perasaan Go-bi karena betapapun Go-bi juga merasa dikhianati dan dipermainkan orang-orang semacam Chi Koan dan gurunya itu. Lihat betapa kami juga menderita. Lihat betapa Go-bi jatuh bangun oleh urusan ini. Sekarang kitab telah tiada, asli atau tidak aku tak dapat mengatakannya. Kalau cuwi ingin bersikeras tentang ini aku minta agar serpihan itu dikumpulkan secara lengkap, utuh satu buku, bukan hanya satu atau dua lembar saja. Nah, kalau cuwi sanggup melaksanakan ini maka akupun sanggup memeriksa apakah kitab itu asli atau tidak!”

Kata-kata Peng Houw menggema dan bergetar hebat. Kemarahan dan sikap tegas pemuda itu tampak. Peng Houw berapi-api. Dan ketika semua tiba-tiba saling pandang dan maklum akan kejadian itu, bahwa sesungguhnya yang mengatur dan memimpin ini memang Bong Beng Hosiang itu maka mereka mengangguk dan menghela napas melunak lagi. Bu-tong-ciangbunjin (ketua Bu-tong) itu memang iri dan ingin memiliki kitab!

"Nah, bagaimana pendapat cuwi? Apakah ngotot untuk mempermasalahkan kitab atau tidak?" Peng Houw meneruskan.

“Tak mungkin kami menyatukan semua serpihan," akhirnya ketua Hoa-san berkata. "Sulit bagi kami memenuhi permintaanmu, Peng Houw. Karena banyak di antara kami yang menyimpan dan masih menyembunyikan itu. Kami tak sanggup.”

"Kalau begitu biarkan kami lewat. Chi Koan adalah tawanan kami!”

"Tidak!” Bong Beng tiba-tiba meronta. “Urusan kitab boleh dihentikan, Peng Houw. Tapi bocah itu jangan. Berikan dan biar kami bunuh di sini!”

"Hm, kau memuakkan!” Peng Houw mengangkat lagi tubuh ketua Bu-tong ini, bersinar. "Apa alasanmu, Bong Beng? Kenapa tak boleh? Apakah kau dan orang-orang ini yang merobohkan Chi Koan?"

“Tidak... tidak, tapi..."

“Tak usah khawatir. Dengan atau tiadanya Chi Koan Go-bi tetap memiliki pewaris Bu-tek-cin-keng, Bong Beng Hosiang. Dan itu adalah aku. Sebutkan kenapa ia tak boleh dibawa seolah kau khawatir kami pihak Go-bi hendak mendapatkan kitab itu!”

Hwesio ini tertegun. Tiba-tiba ia mengeluh dan sadar bahwa sesungguhnya ia terlalu mencari-cari. Dibawa atau tidak tetap saja Go-bi memiliki itu, pewaris Bu-tek-cin-keng. Dan karena alasannya melemah dan tentu saja ia tak dapat bicara lagi, satu demi satu para ketua dan wakil ketua partai surut maka hwesio itu merintih dan Peng Houw melemparnya gemas.

“Cuwi-enghiong, lihat apa yang dilakukan Bong Beng Hosiang ini. Ia hanya melepas cemburu dan dengki. Aku lebih berhak atas Chi Koan, karena akulah yang merobohkan dan menangkapnya. Dan karena aku murid Go-bi dan ia bekas murid Go-bi pula, aku hendak mengadilinya di Go-bi harap cuwi ikut kami kalau khawatir ada kecurangan tersembunyi. Silakan, cuwi boleh ikut kalau mau!”

Orang-orang itu serentak mundur. Tiba-tiba mereka memberi jalan ketika Peng Houw lewat, menyambar dan membawa biang keladi itu. Dan ketika semua tak ada yang ikut dan maklum bahwa anak muda itu memang lebih berhak, tanpa Peng Houw tak mungkin mereka merobohkan Chi Koan maka bergeraklah Peng Houw keluar dari tempat itu, diikuti atau diiring para susioknya dan Twa-hwesio tiba-tiba terkekeh. Hwesio yang tidak gundul lagi ini berkelebat, mendahului Peng Houw. Lalu ketika ia turun gunung dan tertawa di sana maka ia lenyap namun tangis dan isak seseorang menghentikan Peng Houw. Li Ceng tersedu di sana.

"Maaf," Peng Houw teringat itu. "Bagaimana kong-kongmu, Li Ceng? Apakah sekalian saja ikut ke Go-bi? Mari, kubawa....”

“Tidak... tidak, kong-kong... ah, kong-kong tak perlu dibawa jauh-jauh. Ia tewas!”

Peng Houw mengerutkan kening. Ia lupa kepada kakek ini setelah ketua-ketua partai tadi berdatangan. Ia tenggelam oleh urusannya sendiri. Tapi ketika ia melangkah dan mendekati kakek itu, Mutiara Geledek ini telentang tak bergerak maka Peng Houw masih merasakan denyut nadi yang lemah, menoleh pada paman gurunya Ji-hwesio.

"Barangkali susiok bisa bawa anak ini dulu, biar aku menolong sebentar Lui-cu-locianpwe ini.”

Ji-hwesio mengangguk. Ia menerima Chi Koan yang sudah ditotok sementara Peng Houw meletakkan tangan di dada kakek itu, menyalurkan sinkang. Dan ketika denyut itu semakin keras dan mata si kakek terbuka tiba- tiba Li Ceng menubruk dan menjerit.

"Kong-kong...!”

Kakek itu sadar. Ternyata Hok-te Sin-kang yang dimiliki Peng Houw memang hebat sekali. Tak aneh, itulah tenaga Ji Leng Hwesio. Tapi ketika kakek itu mengeluh dan membuka mulutnya, bicara tapi tak ada sesuatu yang keluar maka Peng Houw mendorong Li Ceng melepaskan pelukannya.

"Kong-kongmu ingin bicara, jangan dipeluk rapat. Dengarlah dan biar aku yang menolong...!"

Li Ceng tersedu-sedu. Peng Houw menghibur gadis itu dan si kakek memanggilnya dengan isyarat mata. Peng Houw berlutut, terharu. Dan ketika ia mendekatkan telinga dan bertanya apa yang dimaui kakek itu ternyata si kakek gemetar berbisik,

"Dia... cucuku... jagalah baik-baik, Peng Houw. Aku.... aku si tua tak mungkin berumur panjang lagi. Luka-lukaku parah, tak dapat disembuhkan. Tolong jaga cucuku dan bersediakah kau mendampinginya....?”

Peng Houw terkejut, semburat. "Maksud locianpwe?"

"Aku... aku ingin menjodohkan kalian, Peng Houw. Kalian berdua sama-sama kulihat ada benih-benih cinta. Aku.... ugh.... tak mati meram rasanya kalau belum mendapat janjimu!"

Peng Houw merah padam. Kata-kata si kakek lemah namun menghunjam dalam. Untung bahwa Li Ceng tak mendengar itu karena tersedu-sedu. Namun ketika seseorang berlutut dan mendampingi Peng Houw, berkata bahwa biarlah dia yang merawat karena Peng Houw hendak kembali ke Go-bi maka kakek itu tertegun dan Peng Houw menoleh.

“Susiok tak usah merepotkan Peng-siauwhiap. Biarlah teecu yang membawa ke Kun-lun dan di sana Peng-siauwhiap menengok, kalau urusannya selesai.”

"Kau... kau siapa?"

“Teecu Kim Cu, susiok, anak murid Kun-lun. Teecu terlambat datang tapi telah mendengar ini semua. Maaf."

Peng Houw terkejut. Dia mengangguk dan segera mengenal tosu itu karena inilah Kim Cu Cinjin. Tosu ini adalah murid tertua Kun-lun dan sekarang sedang menjadi pemimpin tertinggi. Sejak kematian Kun-lun Lojin memang tosu inilah yang mengurus partai. Kedatangannya di Hek-see-hwa tidak terlalu mengejutkan karena memang hampir semua tokoh-tokoh partai muncul, meskipun Kun-lun bukan untuk berebut dan memiliki Bu-tek-cin-keng. Maka ketika kakek itu berseri tapi tiba-tiba mengeluh lagi, Peng Houw menekan pusarnya maka kakek ini terbata.

“Ba.... baik, tapi.... tapi aku ingin mendengar dulu janji Peng Houw. Eh, anak luar biasa. Maukah kau menjaga dan mendampingi cucuku? Apakah kau mau menjadi pengganti diriku melindunginya seumur hidup?"

“Aku.... aku tak dapat menjawabnya sekarang,” Peng Houw gugup. "Bagaimana ini, locianpwe. Aku tak tahu isi hati cucumu. Li Ceng galak dan selalu tampak keras kepadaku!"

“Ah, bodoh. Itu.... anak itu, eh... dia selalu menyembunyikan perasaan hatinya dengan cara dan sikapnya seperti itu, Peng Houw. Galak dan keras tapi hanya di luar. Di dalam, ia.... ia lain...!”

“Sebaiknya susiok beristirahat dulu,” Kim Cu Cinjin tiba-tiba memotong. “Keadaanmu parah, susiok. Urusan itu dapat dibicarakan nanti. Peng Houw juga masih repot!”

"Tidak, kau anak kecil tahu apa!" kakek ini tiba-tiba marah, membentak. “Jawab pertanyaanku, Peng Houw. Berjanjikah kau?”

"Hm," Peng Houw melihat kakek itu batuk-batuk, muka semakin merah padam. "Kalau cucumu menghendaki tentu saja aku tak keberatan, locianpwe. Tapi kalau cucumu menolak aku tak dapat memenuhi janji!”

"Ha-ha, cukup. Dan kapan kau ke Kun-lun?”

“Aku....”

"Ugh! Cepat, Peng Houw.... dadaku sakit lagi. Ugh.... aku tak mau mati sebelum melihat kau datang!"

"Hm, locianpwe terlalu mendesak. Baik, seminggu setelah ini aku datang ke Kun-lun, locianpwe. Tapi aku tak berharap banyak kalau cucumu menolak. Aku.....”

Peng Houw tertegun. Kakek itu roboh dan sudah pingsan lagi, bibirnya pucat dan terkatup, tentu saja tak mendengar kata-katanya. Tapi ketika Kim Cu Cinjin bergerak dan menotok pundak dan dada kakek itu, Peng Houw menarik napas dalam-dalam maka tokoh Kun-lun ini bangkit dan menjura, tergesa-gesa.

“Siauwhiap, di Kun-lun ada semacam Sian-tan (Pil Dewa) yang mungkin dapat menolongnya. Pinto harus cepat kembali. Teruskan perjalananmu dan biarlah gadis ini bersama pinto. Selamat tinggal!"

Peng Houw mengangguk. Dia sendiri harus membawa Chi Koan ke Go-bi dan tak mungkin ke Kun-lun dulu. Justeru dia bersyukur bahwa Kim Cu Cinjin muncul di situ, pada saat yang tepat. Dan ketika dia berkata bahwa Li Ceng mengikuti saja tosu itu, itulah suheng atau kakak seperguruannya sendiri maka gadis ini disambar dan dibawa pergi Kim Cu.

"Li Ceng, tak perlu khawatir. Aku datang ke Kun-lun setelah urusan ini selesai!”

Gadis itu menutupi mukanya. Ia tak mendengar lagi kata-kata Peng Houw karena sudah dibawa pergi, meloncat dan turun gunung dan ternyata anak-anak murid yang lain bergerak di belakang. Mereka itu adalah murid-murid Kun-lun pula yang mengikuti Kim Cu Cinjin. Hek-see-hwa mulai sepi ditinggal tokoh-tokohnya. Dan ketika Peng Houw menarik napas panjang tapi disenggol susioknya, sadar dan mengangguk maka pemuda itupun berkelebat dan turun ke Go-bi.

Bekas pertempuran tampak di sana-sini dan Hek-see-hwa tak keruan lagi ujudnya. Puncaknya roboh dan tebing atau jurang menganga di sana-sini. Bongkahan batu-batu besar juga terserak, semuanya mengerikan. Tapi ketika Peng Houw meninggalkan tempat itu disusul paman gurunya, juga murid-murid Go-bi yang mendecak dan merasa kagum maka mereka ini tertinggal di belakang karena Peng Houw sudah terbang menghilang digandeng kedua susioknya.

* * * * * * * *

Go-bi telah menetapkan hukuman pasti. Hari keempat setelah melalui persidangan dan musyawarah panjang maka diperoleh keputusan tetap bahwa Chi Koan dihukum seumur hidup. Pemuda ini dinilai memiliki tiga dosa penting. Pertama adalah mencuri Bu-tek-cin-keng. Kedua adalah menghina guru dan partai sementara yang ketiga adalah kejahatan-kejahatannya di luar. Semuanya berat dan diancam hukuman mati.

Namun karena dugaan bahwa dia masih menyimpan Bu-tek-cin-keng asli, Ji-hwesio dan lain-lain jadi bimbang oleh seruan dan kata-kata Bong Beng Hosiang sewaktu masih di Hek-see-hwa maka pemuda itu dirobah hukumannya menjadi seumur hidup, kecuali kalau menyerahkan Bu-tek-cin-keng.

"Kami telah memutuskan dengan bulat bahwa kau harus menjalani hukuman seumur hidup. Kau melakukan tiga dosa berat. Akui dan nyatakan bahwa kau menerimanya, Chi Koan. Atau hukuman kami robah kalau benar kau masih menyimpan Bu-tek-cin-keng asli!"

Chi Koan, pemuda ini tertawa mengejek. Mata kirinya dibalut kain hitam karena pecah. Ia terbungkuk dan diikat di tengah ruangan sidang, menghadap tokoh dan murid-murid Go-bi namun sedikitpun tidak ada rasa gentar di situ. Pemuda ini tenang-tenang saja, matanya yang tinggal satu itu sering menyambar namun turun lagi kalau bertemu Peng Houw.

Dia masih luka dalam, letih. Pertempuran di Hek-see-hwa sungguh menghabiskan tenaga dan pikirannya. Maka ketika empat hari itu dia dikorek dan ditanya tentang kebenaran Bu-tek-cin-keng, apakah yang dilempar adalah yang palsu sementara yang asli masih disimpan maka pemuda ini menjawab pendek bahwa dia tak tahu. Jawabannya licik.

"Aku tak melihat lagi apakah itu Bu-tek-cin-keng asli atau tidak. Aku telah mempelajari isinya, tak pernah membuka-buka lagi. Kalau See-tok atau Kwi-bo barangkali pernah melihatnya dan menukar dengan yang lain aku tak tahu. Tapi kupikir itu asli, terserah kalian.”

"Tapi gurumu menuduhmu begitu, Chi Koan, dan gurumu tahu betul kelakuan dan watakmu. Kau tak pernah jujur!”

“Terserah, tapi kali ini aku jujur. Kalian percaya atau tidak aku menyerahkannya kepada kalian."

Jawaban ini membuat kebimbangan semakin besar. Gara-gara inilah maka keputusan dirobah, hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup. Dan ketika banyak anak murid kecewa dan Chi Koan sudah bersikap acuh lagi, ia tenang-tenang dan diam-diam tertawa licik maka Peng Houw, yang tertegun dan mengerutkan kening di sana tak dapat berbuat apa-apa.

Murid-murid Go-bi menghendaki tawanan dibunuh tapi adanya kebimbangan itu membuat mereka terpaksa gigit jari. Ji-hwesio, dan tokoh-tokoh lain ternyata masih mengharap Bu-tek-cin-keng asli, bukan untuk dipelajari melainkan semata agar ilmu silat yang hebat itu tak jatuh ke tangan orang lain. Mereka tak tahu apakah Chi Koan bohong atau tidak, namun kejadian ini cukup menimbulkan keragu-raguan juga.

Dan ketika mereka membujuk namun tidak berhasil, percaya dan tidak akan adanya Bu-tek-cin-keng yang masih disembunyikan pemuda ini maka Chi Koan dipenjarakan di ruang bawah tanah dengan kedua kaki dan tangan diikat rantai besar. Ujung rantai itu menancap kokoh di tembok guha, Chi Koan hanya dapat bergerak sedikit saja untuk makan atau minum.

"Kau tak akan kami ikat kalau mengaku baik-baik tentang Bu-tek-cin-keng itu. Hukumanmu dapat dirobah lagi, sepuluh tahun saja, bukan seumur hidup. Nah, katakan untuk terakhir kalinya dan rantai ini akan kami lepaskan."

"Ha-ha, kenapa memaksa? Biar dibunuh sekalipun aku tak dapat membawa kitab itu, Ji-susiok. Kitab itu telah kulempar dan kalian lihat sendiri menjadi keroyokan orang kang-ouw. Aku tak dapat bicara apa-apa lagi!"

"Kalau begitu hukumanmu perlu ditambah!" Twa-hwesio tiba-tiba berseru, berkelebat dan menusukkan jari ke depan. Dan ketika semua terkejut tak menduga ini maka mata kanan pemuda itu tahu-tahu ditusuk.

“Crot!” Chi Koan meraung dan berteriak menggetarkan guha. Dia sudah diikat dan di rantai di tembok guha itu ketika tiba-tiba twa-susioknya menyerang. Ia tak dapat berkelit atau mengelak saking cepatnya tusukan itu, juga tak menduga. Tapi ketika tiba-tiba hwesio itu tertawa bergelak dan Chi Koan menggerakkan kaki sekonyong-konyong rantai bawah putus dan menyambarlah kaki Chi Koan menghantam bawah perut kakek itu.

"Desss!” Hebat tendangan ini. Seketika hwesio itu menjerit dan terpental, anggauta rahasianya hancur. Dan ketika hwesio itu berdebuk dan menggegerkan yang lain, Chi Koan menggerakkan tangan dan kaki yang lain maka pemuda itu mematahkan rantai besi dan bebas, mengamuk!

"Keparat! Bedebah jahanam! Ayo kalian serang aku dan bunuh! Ayo... ayo bunuh dan serang aku secara licik lagi!"

Semua mundur dan berteriak. Rantai baja yang tercabut begitu saja dari dinding tembok dan kini diputar dan menderu di atas kepala sungguh mengerikan sekali. Chi Koan mengamuk dan menghajar apa saja, guha berderak dan seakan runtuh. Dan ketika Peng Houw melompat keluar membawa semua paman gurunya, terkejut karena di dalam guha tak mungkin dia menghadapi lawannya maka Chi Koan menggeram-geram dan maju dengan muka penuh darah. 

Mata kanan yang tinggal satu-satunya itu kini dihancurkan pula, Chi Koan buta. Tapi ketika pemuda itu tiba di mulut guha dan Peng Houw membentak menyesalkan tindakan twa-susioknya tadi maka dia berseru agar Chi Koan menyerah.

"Berhenti, dan masuk kembali ke dalam, Chi, Koan. Jangan menyerang siapapun!"

"Ha-ha, kau boleh maju. Keparat, maju dan bunuhlah aku, Peng Houw. Ayo, maju dan bunuhlah aku.... siut-blarr!” rantai itu menghantam tanah, dikelit Peng Houw karena dari suaranya pemuda itu dapat memantau. Chi Koan marah sekali oleh kejadian ini. Dia ditusuk secara curang. Dan ketika Peng Houw berlompatan karena dikejar dan harus menghindar sabetan rantai baja itu, Chi Koan mengamuk dan mata gelap maka Peng Houw berseru agar yang lain mundur.

Chi Koan menghantam sana-sini dan tanah serta bebatuan berlubang. Bahwa pemuda itu dapat melepaskan diri dari ikatan rantai baja sudah mengejutkan, tanda bahwa sebenarnya tawanan ini masih berbahaya. Dan ketika rantai diputar mengelilingi delapan penjuru, Chi Koan terhuyung dan memaki sana-sini.

Maka Peng Houw berkelebat di belakang pemuda ini dan dengan satu kibasan kuat ia mencengkeram dan merampas rantai, menendang belakang lutut dan Chi Koan roboh. Lalu ketika pemuda itu mengeluh dan terjerembab maka Peng Houw menotok tengkuknya hingga pemuda itu pingsan.

“Bluk!” Selesailah kejadian menegangkan ini. Peng Houw mengusap keringat dingin dan tokoh-tokoh Go-bi menggigil pucat. Kalau tak ada Peng Houw di situ entah bagaimana mereka menanggulangi peristiwa ini. Serangan Twa-hwesio disesalkan juga, tak pantas lawan yang sudah tak berdaya seperti itu masih diserang juga. Mereka menarik napas dalam-dalam. Tapi ketika semua sadar dan mayat suheng mereka dipandangi sedih, bergerak dan maju mengurus ini maka Ji-hwesio bertanya apakah Chi Koan tak sebaiknya dibunuh saja.

"Berbahaya sekali, sudah diikat seperti itupun masih juga dapat melepaskan diri. Rantai baja putus! Aih, apakah pemuda ini tak sebaiknya dihabisi saja, Peng Houw? Pinceng ngeri!"

“Tidak, keputusan sudah diambil. Ini kesalahan kita, susiok. Tak seharusnya Chi Koan diserang dan diperlakukan seperti itu. Kemarahannya membangkitkan tenaga, twa-susiok salah. Kita harus menepati janji atau orang akan mentertawakan kita. Bukankah keputusan ini sudah disetujui secara bulat?”

“Tapi pinceng ngeri...!"

“Chi Koan sudah buta, kalaupun dapat keluar tak mungkin pergi jauh. Dia akan diikat dengan rantai dobel dan lebih kuat!"

Hwesio ini mengangguk-angguk. Sutenya, juga murid-murid Go-bi angkatan tua merasa ngeri. Betapa dahsyatnya Chi Koan kalau mengamuk. Tapi ketika mereka melihat betapa Peng Houw mengambil delapan rantai besar, membelenggu dan mengikat pemuda ini di dalam guha maka ada kelegaan bahwa dengan rantai seperti itu Chi Koan tak mungkin melepaskan diri. Tiap-tiap rantai sebesar lengan orang dewasa!

"Kita harus merawat lukanya. Biar sementara ini aku di sini dulu.”

"Kau menemaninya?"

“Tak ada jalan lain, susiok, kalian tentu takut. Biarlah aku di sini dan sekarang harap kalian pergi."

Hwesio itu mengangguk maklum. Akhirnya Chi Koan ditinggalkan pergi dan mayat Twa-hwesio dibawa. Kejadian demikian cepat berlangsung dan sungguh tak diduga-duga sekali. Dan ketika Peng Houw menemani Chi Koan, merawat dan mengobati luka itu maka Peng Houw menangis. Chi Koan akhirnya sadar.

“Maafkan aku. Twa-susiok benar-benar lancang, Chi Koan. Gegabah dan tidak pantas perbuatannya. Aku tak menyangka, terlambat. Kau sudah membunuhnya dan impas sudah persoalan ini."

“Kau... kau di sini? Kenapa menolongku?”

“Aku merawatmu, Chi Koan, mengobati lukamu. Diamlah dan jangan bergerak...”

“Pergi!” Chi Koan tiba-tiba membentak, mengibas. “Tak usah berbuat baik, Peng Houw. Kau yang membuat aku begini. Aku tak butuh pertolonganmu dan jangan sentuh!"

“Tapi lukamu....”

“Luka ini tak seberapa, luka di hatiku lebih sakit lagi. Kau bedebah keparat. Kau membuat aku hidup tidak matipun bukan. Pergi, Peng Houw. Pergi dan lihat lima atau sepuluh tahun lagi seseorang akan membalaskan sakit hatiku. Ha-ha, di dunia ini akan muncul pewaris Bu-tek-cin-keng lagi yang kuciptakan!"

Peng Houw terkejut, mundur. "Kau....kau benar-benar masih menyimpan aslinya?"

“Ha-ha, tak usah pura-pura lagi, Peng Houw. Sekarang tinggal kau dan aku, bebas aku bicara. Ketahuilah bahwa kitab itu kuberikan kepada seseorang dan kelak enam atau tujuh tahun lagi dia membalas sakit hatiku. Bu-tek-cin-keng masih hidup, bocah itu akan menolongku. Ha-ha!”

"Bocah?”

Chi Koan tiba-tiba berhenti tertawa. Rupanya ia kelepasan bicara namun tiba-tiba ia mendengus, pertanyaan Peng Houw tak dijawab. Dan ketika ia merintih dan menangis, air mata bercampur darah maka pemuda itu memaki-maki Peng Houw. "Kau anjing Go-bi yang amat baik. Kau benar-benar setia sampai kentut Ji Leng Hwesio pun kau cium. Ah, pergi kau, Peng Houw. Pergi atau bunuhlah aku sekarang. Kau anjing Ji Leng Hwesio si tua bangka keparat!"

Peng Houw berkelebat keluar. Ia menjadi marah oleh kata-kata ini namun terutama masalah kitab. Ternyata Beng Kong Hwesio benar, Chi Koan masih menyimpan aslinya! Dan ketika ia terduduk dan menjatuhkan diri di luar, telinga panas terbakar sementara muka merah padam maka hampir saja ia kembali ke dalam guha menghajar pemuda itu.

Akan tetapi Peng Houw tidak melakukan ini. Ia dapat menahan diri. Betapapun pemuda itu sudah cukup menderita, lahir batin. Dan ketika ia bersila dan menulikan telinganya, caci maki dan sumpah serapah Chi Koan tak didengarnya lagi maka guha itu sunyi sementara Go-bi sudah tahu akan wafatnya sesepuh mereka, berkabung dan melakukan doa sembahyangan dan Peng Houw bersila tak bergeming. Ia gagal mendapatkan kitab. Dan ketika Chi Koan akhirnya diam dan tidak memaki-maki lagi, lelah dan rupanya kehabisan suara maka sosok bayangan putih lewat dan berkesiur di depan Peng Houw.

Waktu itu malam sudah tiba. Peng Houw tenggelam dalam samadhinya namun mendengar kesiur ini. Maka ketika ia membuka mata dan terkejut oleh sosok bayangan putih, lewat dan berhembus seperti asap kontan pemuda ini tersentak dan meloncat bangun. “Suhu....!"

Bayangan itu menoleh. Wajah tertutup halimun melambai kepadanya dan tersenyum, Peng Houw berdetak. Dan ketika ia tertegun karena itu bukan gurunya, gurunya mengenakan jubah kuning maka batuk-batuk terdengar di belakang disusul helaan napas panjang. Peng Houw membalik secepat kilat saking kagetnya.

“Suhu!” Kali ini Ji Leng Hwesio mengangguk. Dedengkot Go-bi itu, yang bergerak dan melayang ringan di atas tanah ternyata tahu- tahu ada di situ. Ia tersenyum, melambai. Dan ketika Peng Houw menjatuhkan diri berlutut dan tersedu, tiba-tiba keharuan dan rasa sedihnya tak dapat dibendung maka pemuda itu langsung mengguguk.

"Ampun.... ampunkan teecu, suhu. Kitab tak dapat teecu bawa ke mari. Chi Koan, dia.... pemuda itu.. ah, jahat dan keji, suhu. Bu-tek-cin-keng diberikan orang lain. Teecu tak mampu memaksa!"

Batuk-batuk itu berhenti. Tawa lembut terdengar dan Peng Houw tiba-tiba merasa disentuh benda dingin kedua pundaknya. Ji Leng, kakek itu ternyata sudah meletakkan tangannya di pundak pemuda ini, mengangkat bangun. Dan ketika Peng Houw berdiri namun segera ingat bahwa suhunya ini telah tewas, yang ada di depannya adalah jasad halus maka pemuda itu tersentak dan bulu tubuhnya tiba-tiba bangkit berdiri. Seram!

“Suhu...!" pemuda ini menubruk. Bayangan itu tertangkap tapi lolos, Peng Houw lebih sadar lagi. Dan ketika kakek itu menjauh dan menuding ke depan, menunjuk kakek berwajah halimun itu maka Peng Houw seakan mendengar suara dari langit, sayup-sayup sampai.

“Semua sudah takdir, roda peristiwa harus jalan. Ikuti dan bersamalah kakek itu, Peng Houw. Dialah Sian-su si manusia agung. Pinceng tak dapat menemanimu lagi!"

Kakek berjubah kuning itu hilang. Asap memanjang dan akhirnya lenyap ketika roh sesepuh Go-bi ini naik ke atas. Peng Houw seperti mimpi tapi tiba-tiba teringat kakek berwajah halimun itu, menoleh dan ternyata kakek itu masih di sana, menunggu. Dan ketika ia bergerak namun kakek itu juga bergerak, melayang dan meluncur keluar Go-bi maka tawa lembut terdengar halus.

“Mari... mari, anak muda. Janjimu belum habis. Kita ke Kun-lun dan di sana kita bicara!”

Peng Houw terbelalak. Ia telah mengerahkan kepandaiannya namun si kakek tetap di depan. Ia mempercepat larinya namun kakek itu tak tersusul. Dan ketika ia merasa seram apakah ini siluman atau manusia beneran, jangan-jangan itu adalah roh seperti gurunya tadi maka Peng Houw memanggil berseru gentar, "Sian-su, tunggu dulu. Apakah kau manusia atau bukan?”

"Ha-ha, tak perlu takut. Manusia atau bukan terserah dirimu, Peng Houw. Yang jelas aku akan membawamu ke Kun-lun. Ingat janjimu kepada seseorang.”

"Janji...?”

"Kau lupa. Dua orang menunggumu di sana, Peng Houw. Mutiara Geledek Lo Sam dan cucunya. Ayolah, waktu hampir habis. Kau sibuk mengurus Go-bi!"

Peng Houw berdesir. Ia berdetak mendengar kata-kata itu. Lo Sam! Dan karena bicara tentang kakek ini berarti juga bicara tentang Li Ceng, gadis baju merah itu maka Peng Houw semburat namun tiba-tiba lengan kanannya disentuh telapak yang hangat. Kakek berwajah halimun itu tahu-tahu berada di dekatnya dan sudah mencekal lengannya. Seperti iblis! Peng Houw terkejut. Namun belum ia mengeluarkan suara mendadak tubuhnya terangkat naik dan terbang melayang tak menginjak bumi.

“Terlalu lama. Kau bengong dan malah seperti bingung, anak muda. Tak mungkin ke Kun-lun kalau larimu seperti siput. Ayo, pegang tanganku dan pagi ini juga kita harus sampai di Kun-lun!”

Peng Houw merasa mendapat kesempatan. Dipegang dan disuruh memegang membuat ia menjadi tegang. Tak sabar lagi ia mencengkeram kakek itu, kuat, bertemu dengan sesuatu yang lunak hangat, harum. Dan ketika ia tertegun karena ini manusia sungguhan, lain dengan tubuh suhunya yang berbentuk roh maka Peng Houw melirik dan bergidik karena sepasang kaki kakek ini tak menginjak bumi, melayang!

Pemuda ini menjadi bingung apakah kakek di sebelahnya ini manusia atau bukan. Kalau bukan kenapa lengannya dapat dicengkeram, dia dibawa meluncur dan terbang cepat sekali ke barat. Kun-lun memang di barat. Tapi ketika ia melirik kaki itu, bagaimana manusia tak menyentuh bumi maka Peng Houw mengkirik dan diam-diam pucat, untung tawa lembut kakek ini menyejukkan hatinya dan gurunyapun tadi menyuruh ia mengikuti dan bersama kakek ini.

Kalau tidak mungkin ia bisa mati berdiri! Dan ketika malam itu Peng Houw serasa mimpi, bergerak dan terus meluncur ke barat maka Go-bi pun tertinggal di belakang dan ketika ayam jantan berkokok pertama kalinya iapun tahu-tahu telah tiba di Kun-lun, di pertapaan mendiang Kun-lun Lojin!

"Sampai, sekarang tidurlah dan beristirahatlah. Besok temui kakek itu dan kembalilah ke sini menemui aku!"

Peng Houw menguap. Tiba-tiba saja ia merasa ngantuk luar biasa begitu ditepuk si kakek, roboh dan mendengar tawa halus untuk kemudian tak sadarkan diri. Peng Houw, yang sudah memiliki Hok-te Sin-kang ternyata seperti anak kecil saja berhadapan dengan kakek ini. Dia mendengar tawa itu lalu tak ingat apa-apa lagi, mendengkur! Dan ketika Peng Houw benar-benar pulas dan seakan berada di dunia yang lain, asing dan aneh maka pewaris Bu-tek-cin-keng ini lelap dan memasuki mimpinya yang baru!

* * * * * * * *

“Heii... ini Peng Houw. Bangun! Eh, Peng Houw ada di sini, kong-kong. Dia mendengkur! Peng Houw datang, ia tidur!”

Peng Houw seperti mimpi lagi. Pagi itu matahari menerobos celah-celah dedaunan dan ia terbangun. Suara dan teriakan nyaring inilah yang membuatnya membuka mata. Li Ceng tahu-tahu di situ, berdiri di dekatnya. Dan ketika ia terkejut meloncat bangun, geragapan maka ia memandang kiri kanan dan langsung bertanya,

"Mana kakek itu? Mana Sian-su...?”

“Kakek? Sian-su? Eh, kau bicara apa, Peng Houw? Aku tak mengerti!”

“Aku, ah... mimpikah ini? Aku sudah di Kun-lun? Aku datang bersama kakek itu, Li Ceng. Sian-su! Aku dibawanya semalam!”

Gadis ini terbelalak. "Kau rupanya tidak waras, aku tidak mengerti akan semua yang kau bicarakan ini. Eh, bagaimana kau tiba-tiba ada di sini, Peng Houw? Dan kenapa tidur di rumput basah? Lihat, tidakkah kau merasa dingin?”

Peng Houw terkejut. Untuk kedua kalinya ia kaget dan benar saja melihat pakaiannya basah. Ia tidur di rumput yang tebal namun sama sekali tak merasa kedinginan. Embun di rumput itu bahkan membuatnya merasa segar. Ia seakan tidur di kasur empuk! Dan terkejut bahwa ia benar-benar tidak bermimpi lagi, hari sudah siang dan Li Ceng memandangnya terbelalak maka Peng Houw sadar bahwa ia telah memasuki suatu keadaan asing yang amat aneh namun mengesankan. Ia seakan memasuki alam roh yang membuat ia serasa melayang-layang indah!

"Hm, mana kakekmu. Aku tiba-tiba merasa bodoh. Maaf, waktu perjanjianku hampir terlupakan, Li Ceng, sekarang aku sudah di sini dan bagaimana keadaan kong-kongmu? Apakah ia selamat?"

Li Ceng tiba-tiba tersedu. Di luar guha itu mereka bertemu dan rasa girang melihat Peng Houw membuat gadis ini lupa keadaan kakeknya. Sesungguhnya kakeknya megap- megap, batuk dan masih sukar bernapas akibat luka-lukanya itu. Bahwa sampai saat itu masih hidup adalah hal luar biasa. Maka ketika ia ingat dan berkelebat ke dalam, tak mungkin kakeknya muncul biarpun ia berteriak maka gadis ini mengguguk dan kesedihannya kembali timbul.

"Mari.... mari masuk, Peng Houw. Aku lupa bahwa kong- kong sakit!”

Peng Houw bergerak menyusul. Ia juga sadar dan memasuki alam nyatanya lagi setelah semalam dibuai mimpi aneh. Ia masih seakan tak percaya akan kejadian itu, berjumpa dengan Sian-su. Tapi ketika ia mendengar tangis Li Ceng dan ini menyadarkannya dari alam mimpi, hatinya berdebar dan mukapun merah oleh kata-kata si tua Lo Sam maka Peng Houw melihat kakek itu tergolek di pembaringan bambu terbatuk-batuk, mukanya pucat.

"Kong-kong, ini Peng Houw...!”

Kakek itu mengangkat kepalanya. Ternyata setelah dilihat maka keadaan kakek itu tak lebih baik dari lima atau enam hari lalu. Sekali dia mengangkat kepala maka tubuh itupun roboh kembali, pembaringan bambu berderit. Dan ketika Li Ceng menjerit menahan kakeknya, tubuh itu disanggah maka gadis ini menangis lagi. Kakek itu batuk mengeluarkan darah.

"Kong-kong, jangan batuk lagi. Berhentilah, jangan batuk lagi!"

"Ugh, mana Kim Cu. Aku sesak. Obat telah habis kutelan, Li Ceng. Sekarang kepalaku berputar dan pandanganku kabur... ooh, mana Peng Houw...?”

Pemuda itu mendekat, langsung memegang lengan si kakek. “Aku di sini, locianpwe. Kau tenanglah....”

“Ugh, ha-ha.... kau datang? Kau menepati janjimu? Ha-ha, bagus, Peng Houw. Aku semalam khawatir mati, nyawaku serasa sudah ditarik perlahan-lahan....!”

"Kong-kong!" Li Ceng menjerit. "Jangan bicara seperti itu. Jangan bicara tentang kematian!"

“Heh-heh, orang hidup pasti mati. Tak ada yang bakal abadi. Eh, mana suhengmu Kim Cu, Li Ceng? Belum kau panggil?"

"Aku akan memanggil ketika tiba-tiba bertemu Peng Houw di luar. Aku tak jadi ke bawah!”

"Bodoh, panggil suhengmu, apalagi setelah Peng Houw datang. Eh, cepat pergi, anak nakal... pergi...!”

"Lalu kong-kong...?"

"Peng Houw di sini, ia merawatku!"

“Hm, atau aku saja yang ke bawah," Peng Houw menawarkan diri. “Biar kupanggil Kim Cu totiang itu, locianpwe, barangkali Li Ceng lebih cocok. Aku..."

"Tidak, kau di sini saja. Tidak boleh! Ugh, aku ingin bercakap-cakap dengan Peng Houw, Li Ceng. Kau cepat pergi...!”

Kakek itu batuk-batuk dan melontakkan darah lagi. Peng Houw terkejut dan cepat menekan punggung kakek ini untuk meredakan batuk, dia mengusap dan menotok dada kakek itu pula. Lalu ketika kakek itu terengah dan Peng Houw diam-diam kagum bahwa selama ini si kakek masih dapat bertahan, hal yang luar biasa maka Li Ceng berkelebat keluar dan menangis turun dengan tergesa-gesa. Peng Houw tak menyembunyikan kekagumannya.

"Locianpwe hebat, luar biasa sekali. Kalau orang lain tentu sudah tak tahan sampai sekarang ini!"

“Heh-heh, itu karena kau. Semangatku masih menyala-nyala. Aku tak mau mati sebelum kau datang, Peng Houw. Aku sudah meminta ijin Dewa Maut untuk melonggarkan nyawaku sejenak. Aku ingin bicara tentang perjodohan itu!"

Peng Houw semburat merah. Justeru untuk inilah dia memang datang, menepati janjinya dan bicara dengan kakek itu. Maka ketika pembicaraan mulai disinggung-singgung namun si kakek terengah dan naik turun dadanya maka Peng Houw mengerutkan alis mengurut lagi dada si tua. Namun kakek itu menepis tangannya.

"Tak usah, tak perlu lagi. Nyeri itu kambuh, aku... aku melihat kunang-kunang banyak di depan mata.Itu... he, suhengku datang!"

Peng Houw terkejut. Si kakek tertawa dan mengembangkan lengan ke atas namun tiba-tiba menggeliat. Kun-lun Lojin, sesepuh yang telah meninggal itu tiba-tiba katanya datang. Kakek itu tertawa tapi terbatuk menahan sakit. Dan ketika Peng Houw meremang dingin berdiri kuduknya, kakek itu menuding-nuding namun terkulai lagi maka kakek ini berbisik bahwa ia minta waktu sebentar.

"Nanti, tunggu dulu... aku hendak bicara dengan Peng Houw, suheng. Jangan ajak aku terlalu cepat. Aku... aku hendak menyerahkan cucuku kepadanya. Kau tunggulah sebentar...!”

Siapa tidak mengkirik mendengar orang sekarat bicara dengan orang mati. Setegar-tegarnya Peng Houw ia merinding juga. Semalam ia juga bertemu roh gurunya dan panas dingin, juga Bu-beng Sian-su kakek dewa itu yang entah manusia atau bukan, yang katanya menunggunya di luar guha itu kalau urusannya selesai. Ia seakan dikelilingi mahluk-mahluk halus saja. Peng Houw merasa seram! Tapi ketika si kakek tak menuding-nuding lagi dan suaranya agak jelas, batuk itu hilang maka dia mencengkeram lengan Peng Houw berbisik,

"Aku sudah bicara dengan Li Ceng. Perjodohan itu diterima. Tapi, ugh.... kau harus menyatakan cintamu dulu kepadanya, Peng Houw. Cucuku itu tak mau menjadi isterimu kalau kau hanya terpaksa oleh permintaanku! Nah, kau mau mengerti? Kau dapat menyatakan cintamu kepada cucuku kalau nanti aku mati?"

Peng Houw tertegun. Tak ada yang tahu betapa wajah pemuda ini merah padam seperti kepiting direbus. Tangan dan kaki tiba-tiba menggigil, Peng Houw mengeluarkan keringat dingin. Dan ketika semua itu terasakan oleh kakek ini, si kakek heran kenapa pemuda itu basah lengannya maka Peng Houw ditanya apakah dia demam.

“Kau... tanganmu basah semua. Eh, apakah kau sakit, Peng Houw? Apakah kau demam?"

“Aku, eh... tidak, locianpwe. Hanya, eh... entahlah. Aku bingung!"

"Bingung? Kau bingung oleh permintaanku? Kau terpaksa?"

“Tidak.... tidak, bukan itu. Tapi... tapi, ah.... pernyataan cinta itu. Aku bingung bagaimana mengucapkannya. Aku belum pernah!”

"Ha-ha, kukira apa. Eh, kau cinta kepada cucuku, bukan? Kau suka?"

Peng Houw diam, gugup. Dan karena ia tak menjawab kecuali dengan anggukan, ini tak dilihat kakek itu maka Mutiara Geledek ini tiba-tiba melepaskan cengkeramannya pada lengan Peng Houw, suaranya terdengar serak dan berat ketika berseru,

"Peng Houw, tak usah ragu kalau kau tidak suka. Aku orang tua barangkali keliru. Tapi katakanlah sebelum cucuku datang dan cepat pergi kalau kau menolak!”

“Tidak, aku... aku suka kepada Li Ceng. Tapi entahlah bagaimana dia sendiri!"

"Ha-ha, lega hatiku. Diapun suka kepadamu. Mata tuaku tak mungkin keliru melihat tanda-tanda cinta di hati kalian berdua ini. Ugh, puas aku sekarang, Peng Houw. Dan mana mereka itu?"

"Kami di sini!" Kim Cu Cinjin tiba-tiba berkelebat, tahu-tahu sudah di dalam guha. "Kami sudah mendengar kata-kata Peng-siauwhiap, susiok. Dan pinto saksinya!”

"Ha-ha, kau datang? Bagus, ugh... bagus, Kim Cu. Aku senang. Mana cucuku Li Ceng?"

Peng Houw berdesir. Tegang oleh perasaannya sendiri membuat ia tak tahu kedatangan Kim Cu Cinjin ini. Bayangan merah berkelebat tapi keluar lagi, Li Ceng di sana! Dan ketika Peng Houw mendengar suara isak dan merah padam, pembicaraannya sudah ditangkap maka ia diraih lagi lengannya, dicengkeram.

"Peng Houw, aku mendatangkan Kim Cu memang untuk saksi. Aku rupanya sudah tak kuat lagi, mataku semakin berkunang-kunang. Katakanlah sekali lagi bahwa kau mau melindungi dan menjaga cucuku sebagaimana kau menjaga dirimu sendiri!"

"Aku berjanji," Peng Houw bersuara lirih, gemetar, jawabannya penuh gugup.

“Dan kau mau menjadi suaminya, bukan? Tidak sekedar menjaganya seperti anak kecil?"

"Aku berjanji, locianpwe, asal... asal Li Ceng sendiri mau....!”

“Ia mau, sudah kutanya! Kalau begitu mana anak itu biar kudengar lagi!"

“Tidak!" jerit di luar tiba-tiba melengking mengejutkan. "Kau tak boleh memaksaku seperti itu, kong-kong. Tak mau aku ada orang lain mendengar ini. Kau laki-laki, bukan wanita!"

"Benar,” Kim Cu Cinjin tiba-tiba menarik napas berat. "Urusan anak-anak muda biarlah tak perlu kita campuri terlalu dalam, susiok. Sumoi tentu tersinggung, malu. Biarkan Peng-siauwhiap yang menyelesaikan ini dan aku cukup menjadi saksinya.”

“Tapi... tapi aku ingin menggenggam tangan anak itu. Aku ingin memberinya nasihat-nasihat....!"

“Kalau begitu biar kupanggil, sumoi tentu mau.” dan ketika tosu itu berkelebat dan memanggil Li Ceng, terdengar debat dan bujukan-bujukan lembut akhirnya gadis itu masuk dan Peng Houw menunduk, tak berani memandang!

Li Ceng sendiri juga menggigil dan gadis yang gemetaran ini jelas menahan malu. Ia tak mau urusan cintanya diketahui orang luar. Kalau saja suhengnya tak membujuk bahwa kakeknya sudah akan menghembuskan napas, kakeknya akan memberinya nasihat-nasihat maka barulah gadis ini masuk dan Kim Cu yang bijak dan mengerti perasaan orang-orang muda itu lalu pura-pura keluar sebentar untuk mengambil minuman. Kebetulan air dingin di situ habis, gelas kosong.

“Hm, kalian berdua..." kakek itu berseri-seri, terengah. "Ajalku hampir tiba, anak-anak. Tak perlu malu di depan orang yang mau mati. Aku ingin membuktikan kepada cucuku bahwa kau, Peng Houw, bersedia menjaga dan melindunginya seperti melindungi diri sendiri. Nah, katakan, Peng Houw. Kau tak ingkar janji. Kau laki-laki, katakanlah dulu!"

"Aku berjanji, aku sudah berjanji..."

"Dan kau...” kakek itu memandang cucunya. "Sudah kukatakan kepada Peng Houw apa yang menjadi keinginanmu, Li Ceng. Nanti kalian berdua menyelesaikannya sendiri. Sekarang berjanjilah bahwa kau akan menurut dan patuh kepada Peng Houw, setidak- tidaknya seperti kepada kakekmu ini!"

Li Ceng tersedu, tak menjawab.

“Eh, kau tak bermaksud menolak, bukan? Kau tak ingkar janji pula? Dengarlah, kalian akan dapat menjadi pasangan yang paling berbahagia, Li Ceng, apabila isteri menurut kepada suaminya dan suami berbuat baik kepada isterinya. Aku sudah sekarat, sebentar lagi dibawa Giam-lo-ong. Berjanjilah bahwa kau memenuhi pesanku!”

Gadis itu mengguguk. Ia menubruk dan menangis sejadi-jadinya memeluk kakeknya ini. Li Ceng tak mau menjawab namun ciuman di pipi yang berulang-ulang itu menjadi tanda. Si kakek terharu, terkekeh tapi tiba-tiba tersedak dan ia balas mencengkeram rambut cucunya ini, mengusap dan air matapun mengucur deras sementara jari-jari tangan yang lain meremas dan menggenggam jari-jari tangan gadis itu. 

Dan ketika Lui-cu Lo Sam terengah naik turun namun kebahagiaan jelas terpancar di wajah, wajah yang pucat itu bersemu agak kemerahan tiba-tiba kakek itu menyambar tangan Peng Houw dan meletakkannya di atas tangan Li Ceng.

“Peng Houw, bumi dan langit menjadi saksi, juga Kim Cu. Penuhilah janjimu dan biar aku menyaksikan kebahagiaan kalian dari akherat!"

Peng Houw terkejut. Bersamaan itu si kakek menggelinjang, suara ngorok terdengar di kerongkongannya dan menjeritlah Li ceng melihat si kakek mengejang tiga kali, roboh dan kaku untuk akhirnya menghembuskan napas selama-lamanya. Dan ketika Kim Cu Cinjin berkelebat melihat gadis itu menggerung-gerung, Mutiara Geledek telah meninggalkan dua anak muda itu maka tosu ini merangkapkan tangan di depan dada dan memuji.

“Siancai, selamat jalan, susiok. Tekad dan semangatmu luar biasa sekali. Tercapai keinginanmu untuk wafat setelah datangnya Peng Houw."

Li Ceng tak dapat menahan diri. Meskipun tahu bahwa kakeknya tak mungkin bertahan, luka-luka itu parah namun tetap saja gadis ini tak kuat. Ia menjerit dan roboh, pingsan. Tapi ketika Peng Houw mengangkatnya dan menjauhkannya di sudut guha maka Kim Cu Cinjin segera membawa jenasah kakek itu turun ke bawah.

Peng Houw mengikuti dan membawa Li Ceng. Keharuan dan cinta kasihnya bangkit, dielus dan dipandanginya wajah gadis yang pucat pasi itu. Dan ketika ia menunduk dan mencium kening ini, begitu tiba-tiba, tanpa sadar mendadak Li Ceng membuka mata dan siuman. Ciuman lembut itu seakan menyentakkannya dari alam bawah sadar.

"Peng Houw!"

"Li Ceng...!"

Keduanya tiba-tiba saling tubruk dan rangkul. Entah kenapa tiba-tiba Peng Houw juga bangkit keberaniannya, mungkin karena ia sudah akil baliq, dewasa. Dan ketika Peng Houw dipeluk dan menerima tangis itu, sedu-sedan itu maka aneh sekali tahu-tahu Peng Houw pandai mengelus dan mengusap-usap punggung gadis ini. Kepandaian itu seakan didapatnya begitu saja.

Li Ceng tersedu-sedu dan mengguguk karena kematian kong-kongnya tadi masih amat memukul. Ia menumpahkan kesedihannya di sini. Tapi ketika Peng Houw tiba-tiba menunduk dan mencium keningnya lagi, terkejut, maka gadis itu meronta dan melepaskan diri. Pipi itu mangar-mangar.

“Kau... kau berani mencium aku?"

Peng Houw menjublak, merah padam.

“Kau... kurang ajar! Kau lancang sekali, Peng Houw. Belum apa-apa sudah berani mencium. Cih, tak tahu malu.... plak!” dan Peng Houw yang terhuyung menerima sebuah tamparan akhirnya bengong melihat gadis itu memutar tubuh lari turun gunung.

"Li Ceng...!”

Gadis itu tak menjawab. Li Ceng juga tak menoleh dan Peng Houw tiba-tiba panik. Ia tiba-tiba serasa melakukan sebuah dosa besar. Maka ketika Peng Houw berkelebat dan lari tụrun, menyusul dan berjungkir balik melewati gadis ini maka Peng Houw memanggil lagi dengan bibir pucat. Keadaan tiba-tiba menjadi begitu serba salah....


Prahara Di Gurun Gobi Jilid 31

Cerita Silat Mandarin Serial Prahara Di Gurun Gobi Karya Batara

"Aarrgghhh....!”

Pekik atau bentakan dahsyat ini seperti suara beruang luka. Beng Kong Hwesio tak mungkin berkelit lagi karena dari kiri kanan dan belakang enam orang itu menyerangnya. Senjata dan tangan kirinya masih ditahan Chi Koan. Maka ketika enam orang itu menggerakkan senjata masing-masing dan kapak di tangan Jin-touw menancap di punggung, tusuk konde menusuk tengkuknya sementara tongkat dan rambut yang digerakkan Coa-ong dan Kwi-bo menghantam pundak dan pipinya maka bandul tengkorak yang disabetkan See-tok pecah mengenai kepalanya dengan suara ledakan keras.

Namun hebat hwesio ini. Meskipun enam orang itu menyerangnya di saat ia sedang berkutat dengan Chi Koan akan tetapi kekebalan tubuhnya masih bekerja. Kapak dan tusuk konde itu tak dapat menancap penuh, begitu pula kuku jari Kwi-bun. Dan ketika rambut Kwi-bo meledak dan tongkat di tangan Coa-ong menghantam punggungnya, hwesio ini tergetar dan terdorong ke depan tiba-tiba ia menarik napas dan seluruh kekuatan enam orang itu disedot dan disalurkannya menghantam Chi Koan.

"Aaiihhhh...!” Chi Koan terkejut dan berseru keras. Kelicikannya disambut dengan kecerdikan luar biasa dan di saat dorong-mendorong itu tiba-tiba suhunya menyedot tenaga enam orang iblis ini, dibawa dan disalurkan.

Bukan hanya pemuda itu saja yang terkejut melainkan Coa-ong dan kawan-kawan juga begitu. Senjata dan pukulan mereka melekat. Dan ketika tiba-tiba tubuh terangkat dan terbawa naik, Beng Kong membentak menggempur Chi Koan maka secepat kilat Chi Koan menjatuhkan diri ke bawah dan dengan satu seruan keras ia melepaskan diri dan kakinya menjejak atau menendang bawah perut gurunya dan melontarkannya ke belakang.

“Bressss!"

Beng Kong dan enam Siluman Langit meluncur di atas tubuh Chi Koan. Mereka tak dapat menahan díri lagi dan hwesio itu melotot. Chi Koan ternyata tak kalah cerdik dan jahat. Pemuda itu cepat melempar tubuh dan membuang daya dorong, begitu cepat dan tiba-tiba hingga hwesio ini tak dapat berpikir banyak. Dan ketika ia dibuang kebelakang sementara Coa-ong dan kawan-kawan terbang mengikuti, mereka masih lekat di tubuh hwesio ini.

Maka Beng Kong tertindih dan See-tok si raksasa yang tinggi besar itu menimpa kepalanya, disusul oleh yang lain hingga sekejap hwesio ini lenyap di bawah, persis gula dirubung semut, atau bangkai yang dikelilingi belatung, tak tampak! Dan ketika suara gedebukan itu diiring keluh dan teriakan kesakitan, hwesio ini tergencet oleh banyak tubuh maka tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan disusul menyambarnya sinar hitam.

"Heh-heh, selamat menikmati mimpi buruk, suheng. Terimalah hadiahmu dan bawa ini ke akherat!”

Peng Houw terkejut. Seorang kakek lain, berambut riap-riapan tiba-tiba muncul dan melempar Ular Tiga Warna. Saat itu paman gurunya Beng Kong Hwesio tertindih Coa-ong dan kawan-kawan. Enam iblis itu masih kelengar dan setengah sadar. Beng Kong sendiri juga begitu karena betapapun tusukan dan bacokan senjata tajam melukainya, membuatnya nanar dan darahpun mengucur keluar. Maka ketika tiba-tiba ia diserang seekor ular dan ular itu menyusup di bawah Coa-ong dan kawan-kawan, menggigit dan mengenai pahanya tiba-tiba hwesio itu berteriak dan berjengit seraya menghantam ke bawah.

"Aduh!”

Coa-ong kawan-kawan terlempar. Mereka tersedot sinkangnya dan pucat, ular itu dipukul Beng Kong namun melejit, lari dan mengigit kakek ini untuk kemudian yang lain-lain, kaget dan marah dan sebisanya berusaha keluar dari tumpukan enam orang itu, mulutnya menyambar sana-sini hingga See-tok maupun lain-lain terpagut, Kwi-bo paling akhir. Dan ketika wanita itu mengeluh namun sempat menangkap ular itu meremas dan kepala ular pecah maka semuanya tiba-tiba hitam kebiruan terkena bisa paling jahat. Beng Kong mendelik dan menuding-nuding.

“Kau.... kau.... ah, keparat. Kau Twa-liong!”

Kakek riap-riapan itu terbahak. Ia terkekeh- kekeh sementara Beng Kong roboh. Hwesio ini pucat pasi dan wajahpun membiru hitam, cepat sekali mewarnai tubuhnya hingga sebentar kemudian menjadi gelap. Ular Tiga Warna, yang tadi menewaskan Jin-mo kini menggigit dirinya pula. Tak ada obat penawar di dunia ini kecuali maut. Dan ketika hwesio itu menuding-nuding namun roboh, menggeliat dan kejang-kejang sejenak untuk kemudian diam, nyawa melayang maka kakek riap-riapan itu terbahak dan menendang mayat Beng Kong ke tengah ribuan kepiting. Tubuh itu sudah mulai busuk!

"Ha-ha, dosamu terbayar, suheng. Sekarang kau menebus perbuatanmu dan impas sudah sakit hati ini!”

Namun bayangan biru berkelebat. Chi Koan, yang kaget dan melihat siapa ini tiba-tiba mengenal. Itulah Twa-hwesio yang menjadi susioknya tertua, orang yang sudah sekian tahun menghilang namun kini tiba-tiba muncul. Dia tertegun dan terbelalak sejenak untuk kemudian tiba-tiba sadar, bergerak dan menyambar kakek itu untuk menendangnya pula ke tengah-tengah kepiting berbisa itu.

Mereka berebut dan menerima gurunya, mencapit dan sebentar kemudian mengganas menyerang tuannya sendiri. Tubuh yang membusuk itu membuat kepiting-kepiting ini buas, mereka terangsang dan bagai harimau mencium darah segar. Maka ketika menggigit dan mengoyak tubuh itu, Chi Koan mendahului menyerang dari belakang.

Maka kakek ini, Twa-hwesio, terkejut dan membalik namun kalah cepat. Dia terlempar dan mencelat dan tentu jatuh di tengah hewan-hewan buas itu kalau saja Peng Houw tidak membentak dan melompat keluar. Pemuda itu berjungkir balik dan menyambar kakek ini, melemparnya keluar dari kepungan kepiting berbisa itu. Dan ketika kakek ini terkejut dan berseru marah, mengeluarkan cambuknya maka Chi Koan terbelalak melihat Peng Houw.

“Kau.... kau.....!” Pemuda ini memutar tubuh. Melihat Peng Houw di situ tentu saja pemuda ini gentar. Dia baru bertanding hebat dengan gurunya, mata kiripun masih mengeluarkan darah. Tapi ketika bayangan-bayangan lain berkelebat dan muncullah Ji-hwesio dan lain-lain, Chi Koan terkejut maka pemuda itu tak dapat melarikan diri. Peng Houw berkelebat di depannya dan tiba-tiba pemuda ini menangis, menjatuhkan diri berlutut.

"Ampun.... aku mengaku salah, Peng Houw. Jangan bunuh dan aku menerima semua dosa-dosaku!"

Peng Houw tertegun. Dia telah melihat semua kejadian itu dan tewasnya Beng Kong Hwesio. Tapi marah teringat Bu-tek-cin-keng dia menendang dan menyambar lawannya ini. "Kau berdosa berat kepada Go-bi. Kau membuang pula Bu-tek-cin-keng! Dosamu tak dapat diampuni, Chi Koan, terlalu berat. Aku ingin membunuhmu tapi biarlah para susiok yang mengadili!"

Chi Koan menangis. Aneh sekali pemuda ini mengguguk, menyedihkan. Tapi ketika ia mengangguk-angguk dan mendengar saja semua kata-kata Peng Houw, pemuda inilah yang paling ditakuti mendadak Twa-hwesio menyambar dan meledakkan cambuknya di punggung.

“Kalau tidak dibunuh mau tunggu apalagi. Biar aku menghajarnya dulu, Peng Houw. Hitung-hitung sebagai pembayar dosanya kepada guru!”

Chi Koan berjengit. Ia berteriak ketika dicambuk lagi, berjengit dan berteriak. Dan ketika tiba-tiba bayangan merah juga berkelebat dan menusukkan pedang maka Li Ceng, gadis itu menyerang ganas.

"Dia membunuh kong-kong. Tunggu apa lagi kalau tidak sekarang mampus!”

Peng Houw terkejut. Dia juga ingin membunuh Chi Koan tapi hadirnya orang-orang tua di situ membuat dia menahan diri. Kalau saja paman-paman gurunya tidak datang mungkin ia sudah melampiaskan marah. Maka ketika Li Ceng tiba-tiba berkelebat dan gadis itu menusukkan pedangnya, Peng Houw sudah berjanji untuk memberikan lawan maka pemuda ini menangkis dan berseru keras,

“Tidak, jangan bunuh, Li Ceng. Biar para susiokku yang mengadili!”

Pedang terpental balik. Li Ceng gusar namun Ji-hwesio dan Sam-hwesio bergerak, berseru mencegah cambuk meledak-ledak karena Chi Koan tiba-tiba roboh. Pemuda itu rupanya pingsan. Dan ketika dua orang ini menghadapi gadis baju merah itu dan terbelalak memandang Twa-hwesio, suheng yang sudah berobah jauh ini maka keduanya gemetar memandang haru. Ji-hwesio merangkapkan tangan.

“Omitohud, kau kiranya, Twa-heng? Kau tidak mencukur gundul rambutmu? Kau masih hidup?"

“Ha-ha-heh-heh, aku benci sekali kepada maut. Aku benci pembunuh guru kita. Beng Kong suheng telah mampus, sute, tapi aku masih belum puas. Aku ingin membunuh muridnya dan serahkan dia kepadaku!”

“Tidak, nanti dulu. Kami tak dapat berbuat apa-apa kalau Peng Houw tak ada di sini, Twa-heng. Kau tanyalah dia dulu apakah boleh kau bunuh!"

"Tapi dia menyerahkan kepada susioknya, dan aku orang tertua di sini. Peng Houw tentu tak keberatan dan serahkan kepadaku!”

Namun Ji-hwesio menggeleng kepala. Hwesio itu berseru bahwa membunuh Chi Koan adalah gampang, pemuda itu sudah di tangan. Tapi ketika dia berkata sebaiknya pemuda ini dibawa ke Go-bi, diadili maka hwesio itu menggigil memandang Peng Houw.

"Ada banyak hal yang ingin pinceng ketahui. Suheng tentu juga. Pinceng teringat kata-kata Chi Koan bahwa Ji Leng supek sudah tiada!"

"Hm, tak enak bicara di sini,” Peng Houw mengangguk dan melihat bayangan-bayangan lain, para ketua dan wakil ketua partai. "Urusan dalam tak perlu didengar orang luar, susiok. Kita kembali ke Go-bi saja dan di sana bicara sepuasnya.”

“Tapi aku ingin membunuh anak ini!" Twa- hwesio meledakkan cambuk, mata terbelalak. "Dia dan gurunya sama jahat, sute. Di sini atau di sana sama saja!”

“Benar!" bayangan-bayangan itu berseru, tiba. "Kami tak dapat membiarkan Chi Koan dibawa-bawa, Peng Houw. Anak itu telah mengadu domba. Serahkan kepada kami dan biar diadili di sini!"

Peng Houw terkejut. Para ketua itu, dan tokoh-tokohnya sudah muncul dan berkelebatan mengurung. Mereka susul-menyusul dan cepat sekali sudah berjumlah banyak. Bong Beng Hosiang, tokoh Bu-tong juga tampak dengan pundak dibalut. Hwesio ini berapi-api dan merah padam. Dan ketika dia menuding dan berseru bahwa Chi Koan harus diserahkan, atau Peng Houw dianggap musuh maka ketua Bu-tong yang sakit hati kepada Peng Houw ini melengking.

“Chi Koan memberi Bu-tek-cin-keng kosong, sudah berkali-kali mempermainkan kami. Berikan dan biarkan dia mati karena di sini atau di Go-bi sama saja!"

"Hm, Chi Koan adalah anak murid Go-bi, anak didik kami. Kalau kami hendak membawanya ke Go-bi dan menghukumnya di sana tentu tak salah, Bong Beng lo-suhu. Atau nanti kami serahkan kalau sudah diadili di sana!"

Ji- hwesio, yang sependapat dengan Peng Houw untuk membawa ke Go-bi menolak keinginan ini. Dia justeru heran memandang ketua Bu-tong yang tampak melotot itu. Hwesio ini marah namun bola matanya berputar liar, seakan ada sesuatu yang disembunyikan dan menjadi rahasia. Dan ketika hwesio itu membentak dan menghardik lawan, menolak kata-kata Ji-hwesio maka dia berseru,

“Chi Koan bukan anak murid Go-bi saja. Bocah itu juga anak didik Tujuh Siluman Langit. Kau tak dapat memaksakan kehendakmu, Ji-hwesio. Aku justeru menghendakinya mati di sini atau kau dan kelompokmu akan kucurigai sengaja membawa anak itu untuk keuntunganmu pribadi!”

"Keuntungan pribadi?" hwesio ini terkejut. "Apa maksudmu, Bong Beng lo-suhu? Keuntungan apa yang kau maksud?"

“Tak usah berpura-pura. Kita semua sama tahu kelicikan dan kecerdikan Chi Koan. Kami curiga bahwa kitab yang dilempar bukan Bu-tek-cin-keng yang asli. Kalian menghendaki anak itu karena ingin mendapatkan ini!"

“Benar!” para ketua lain tiba-tiba berseru. "Kami curiga bahwa Chi Koan masih membawa Bu-tek-cin-keng, Ji-lo-suhu, yang asli. Karena itu serahkan kepada kami dan biar kami bunuh agar ini tidak berkepanjangan!"

Ji-hwesio berubah. Hwesio ini mundur sementara Peng Houw yang mendengar itu tersentak. Peng Houw teringat pertandingan mati hidup antara Chi Koan dengan gurunya gara-gara dugaan itu. Siapa tahu benar. Dan ketika seorang maju melemparkan sobekan kertas, itulah Bu-tek-cin-keng yang hancur berkeping-keping maka orang itu bertanya kepada Peng Houw apakah dugaan itu keliru.

“Lihat, inilah sobekan Bu-tek-cin-keng yang kudapat. Di dunia ini sekarang hanya kau yang tahu, Baca dan lihat gambarnya, Peng Houw. Harap kejujuranmu yang kami percaya tidak kau salahgunakan!”

Peng Houw berdesir. Ia menerima dan membaca itu namun karena hanya secuwil saja maka repot, bagian yang lain tak ada. Namun ketika seseorang maju dan memberikan serpihannya, disusul yang lain dan lainnya lagi maka selembar Bu-tek-cin-keng utuh telah berada di tangan Peng Houw, seakan diatur!

"Lihat, jangan berbohong, Peng Houw. Kau satu-satunya pewaris Bu-tek-cin-keng asli. Kau murid langsung Ji Leng Hwesio yang sakti. Baca dan lihat itu dan katakan kepada kami apakah benar!”

Peng Houw berdetak. Ia terbelalak melihat gambar-gambar yang tak dimengerti dan semua orang tiba-tiba memandangnya tajam. Semua menuntut dan menunggu jawaban. Tapi ketika Ji-hwesio bergerak dan maju dengan suara lantang hwesio ini berseru,

“Peng Houw, tak mungkin rasanya hanya dengan selembar kertas kau dapat segera menentukan asli tidaknya Bu-tek-cin-keng. Pinceng tak setuju dengan cara ini karena terlalu picik. Pinceng tak menduga bahwa orang-orang ini mencurigai kita karena akan membawa kembali Chi Koan ke Go-bi. Sebaiknya mereka ikut saja ke sana dan buktikan bahwa kita bukanlah orang yang tamak akan ilmu orang lain. Siapa tidak setuju berarti mencari-cari persoalan dan terserah mereka!”

Hebat kata-kata ini. Ji-hwesio telah menyemprot orang-orang itu dengan kata-katanya terakhir, bahwa mereka adalah orang-orang yang menghendaki barang milik orang lain. Bong Beng Hosiang dan lain-lain seketika merah padam. Tapi ketika hwesio itu maju dan berseru tak kalah lantang maka ketua Bu-tong ini berteriak,

“Ji-hwesio, Bu-tek-cin-keng juga bukan milik Go-bi. Itu benda tak bertuan! Kau tak dapat mengakuinya sebagai milik Go-bi karena di ruang perpustakaanmu tak terdapat kitab itu!”

"Betul!" yang lain serentak berseru. "Kami bukan orang-orang yang menghendaki barang orang lain, Ji-lo-suhu. Kitab itu bukan milik Go-bi Kau tak dapat bicara seperti itu!”

“Tapi kitab itu berada di tangan Go-bi, mau tidak mau adalah milik ketua kami!"

"Ji Leng Hwesio berasal dari mencurinya. Itu barang curian!”

Bong Beng membakar dengan kata-kata mengejutkan, menyentak. Dan ketika Ji-hwesio terbelalak dan merah padam, Peng Houw juga terkejut maka pemuda ini maju dengan suara dingin, kemarahannya ditahan.

"Bong Beng lo-suhu, kau adalah ketua Bu-tong yang seharusnya tahu tata cara dan etika. Kau lancang sekali menghina guruku sebagai pencuri. Baik, adakah bukti untuk itu? Apakah kau dapat meyakinkan bahwa guruku benar-benar mencuri Bu-tek-cin-keng?"

“Chi Koan buktinya, Peng Houw, dan kedua adalah tidak adanya daftar Bu-tek-cin-keng di perpustakaan Go-bi!”

"Chi Koan adalah penipu, orang yang suka mempermainkan orang lain. Kalian tahu sendiri itu dan tak dapat dijadikan bukti!”

“Tapi di ruang perpustakaan Go-bi tak terdapat daftar kitab itu!”

“Baik, tapi masih belum dapat dikatakan mencuri, lo-suhu. Siapa tahu bahwa guruku mendapatkannya secara temuan, atau diberi seseorang....”

“Tak mungkin! Tak ada kitab sehebat itu diberikan kepada orang lain, Peng Houw, kecuali orang gila. Dan tentang temuan, ah, pinceng tak percaya!"

Peng Houw berkelebat. Ia marah dan gusar sekali oleh debatan ini karena jelas ketua Bu-tong itu tak mau kalah. Ia mencari-cari sengaja bersetori. Maka membentak dan menyambar baju lawan akhirnya Peng Houw berseru, "Baik, tapi betapapun mencuri juga tak mungkin, Bong Beng Hosiang. Tak ada saksi yang dapat dihadirkan di sini kecuali mulut-mulut busuk pemfitnah. Katakan sekarang apa maumu atau aku menghancurkan mulutmu. Bicaralah secara jujur bahwa kau sebenarnya iri dan ingin mengangkangi kitab itu. Ayo, katakan!"

Hwesio ini terkejut. Ia tersentak disambar Peng Houw, mengaduh. Namun ketika ia pucat dan menggigil, tak dapat berkutik maka Peng Houw mengangkat ketua Bu-tong itu berseru kepada yang lain-lain,

“Cuwi-enghiong, tak guna berdebat tentang ini kalau isinya hanya kecemburuan dan iri hati belaka. Kitab itu telah hancur, tak usah melukai perasaan Go-bi karena betapapun Go-bi juga merasa dikhianati dan dipermainkan orang-orang semacam Chi Koan dan gurunya itu. Lihat betapa kami juga menderita. Lihat betapa Go-bi jatuh bangun oleh urusan ini. Sekarang kitab telah tiada, asli atau tidak aku tak dapat mengatakannya. Kalau cuwi ingin bersikeras tentang ini aku minta agar serpihan itu dikumpulkan secara lengkap, utuh satu buku, bukan hanya satu atau dua lembar saja. Nah, kalau cuwi sanggup melaksanakan ini maka akupun sanggup memeriksa apakah kitab itu asli atau tidak!”

Kata-kata Peng Houw menggema dan bergetar hebat. Kemarahan dan sikap tegas pemuda itu tampak. Peng Houw berapi-api. Dan ketika semua tiba-tiba saling pandang dan maklum akan kejadian itu, bahwa sesungguhnya yang mengatur dan memimpin ini memang Bong Beng Hosiang itu maka mereka mengangguk dan menghela napas melunak lagi. Bu-tong-ciangbunjin (ketua Bu-tong) itu memang iri dan ingin memiliki kitab!

"Nah, bagaimana pendapat cuwi? Apakah ngotot untuk mempermasalahkan kitab atau tidak?" Peng Houw meneruskan.

“Tak mungkin kami menyatukan semua serpihan," akhirnya ketua Hoa-san berkata. "Sulit bagi kami memenuhi permintaanmu, Peng Houw. Karena banyak di antara kami yang menyimpan dan masih menyembunyikan itu. Kami tak sanggup.”

"Kalau begitu biarkan kami lewat. Chi Koan adalah tawanan kami!”

"Tidak!” Bong Beng tiba-tiba meronta. “Urusan kitab boleh dihentikan, Peng Houw. Tapi bocah itu jangan. Berikan dan biar kami bunuh di sini!”

"Hm, kau memuakkan!” Peng Houw mengangkat lagi tubuh ketua Bu-tong ini, bersinar. "Apa alasanmu, Bong Beng? Kenapa tak boleh? Apakah kau dan orang-orang ini yang merobohkan Chi Koan?"

“Tidak... tidak, tapi..."

“Tak usah khawatir. Dengan atau tiadanya Chi Koan Go-bi tetap memiliki pewaris Bu-tek-cin-keng, Bong Beng Hosiang. Dan itu adalah aku. Sebutkan kenapa ia tak boleh dibawa seolah kau khawatir kami pihak Go-bi hendak mendapatkan kitab itu!”

Hwesio ini tertegun. Tiba-tiba ia mengeluh dan sadar bahwa sesungguhnya ia terlalu mencari-cari. Dibawa atau tidak tetap saja Go-bi memiliki itu, pewaris Bu-tek-cin-keng. Dan karena alasannya melemah dan tentu saja ia tak dapat bicara lagi, satu demi satu para ketua dan wakil ketua partai surut maka hwesio itu merintih dan Peng Houw melemparnya gemas.

“Cuwi-enghiong, lihat apa yang dilakukan Bong Beng Hosiang ini. Ia hanya melepas cemburu dan dengki. Aku lebih berhak atas Chi Koan, karena akulah yang merobohkan dan menangkapnya. Dan karena aku murid Go-bi dan ia bekas murid Go-bi pula, aku hendak mengadilinya di Go-bi harap cuwi ikut kami kalau khawatir ada kecurangan tersembunyi. Silakan, cuwi boleh ikut kalau mau!”

Orang-orang itu serentak mundur. Tiba-tiba mereka memberi jalan ketika Peng Houw lewat, menyambar dan membawa biang keladi itu. Dan ketika semua tak ada yang ikut dan maklum bahwa anak muda itu memang lebih berhak, tanpa Peng Houw tak mungkin mereka merobohkan Chi Koan maka bergeraklah Peng Houw keluar dari tempat itu, diikuti atau diiring para susioknya dan Twa-hwesio tiba-tiba terkekeh. Hwesio yang tidak gundul lagi ini berkelebat, mendahului Peng Houw. Lalu ketika ia turun gunung dan tertawa di sana maka ia lenyap namun tangis dan isak seseorang menghentikan Peng Houw. Li Ceng tersedu di sana.

"Maaf," Peng Houw teringat itu. "Bagaimana kong-kongmu, Li Ceng? Apakah sekalian saja ikut ke Go-bi? Mari, kubawa....”

“Tidak... tidak, kong-kong... ah, kong-kong tak perlu dibawa jauh-jauh. Ia tewas!”

Peng Houw mengerutkan kening. Ia lupa kepada kakek ini setelah ketua-ketua partai tadi berdatangan. Ia tenggelam oleh urusannya sendiri. Tapi ketika ia melangkah dan mendekati kakek itu, Mutiara Geledek ini telentang tak bergerak maka Peng Houw masih merasakan denyut nadi yang lemah, menoleh pada paman gurunya Ji-hwesio.

"Barangkali susiok bisa bawa anak ini dulu, biar aku menolong sebentar Lui-cu-locianpwe ini.”

Ji-hwesio mengangguk. Ia menerima Chi Koan yang sudah ditotok sementara Peng Houw meletakkan tangan di dada kakek itu, menyalurkan sinkang. Dan ketika denyut itu semakin keras dan mata si kakek terbuka tiba- tiba Li Ceng menubruk dan menjerit.

"Kong-kong...!”

Kakek itu sadar. Ternyata Hok-te Sin-kang yang dimiliki Peng Houw memang hebat sekali. Tak aneh, itulah tenaga Ji Leng Hwesio. Tapi ketika kakek itu mengeluh dan membuka mulutnya, bicara tapi tak ada sesuatu yang keluar maka Peng Houw mendorong Li Ceng melepaskan pelukannya.

"Kong-kongmu ingin bicara, jangan dipeluk rapat. Dengarlah dan biar aku yang menolong...!"

Li Ceng tersedu-sedu. Peng Houw menghibur gadis itu dan si kakek memanggilnya dengan isyarat mata. Peng Houw berlutut, terharu. Dan ketika ia mendekatkan telinga dan bertanya apa yang dimaui kakek itu ternyata si kakek gemetar berbisik,

"Dia... cucuku... jagalah baik-baik, Peng Houw. Aku.... aku si tua tak mungkin berumur panjang lagi. Luka-lukaku parah, tak dapat disembuhkan. Tolong jaga cucuku dan bersediakah kau mendampinginya....?”

Peng Houw terkejut, semburat. "Maksud locianpwe?"

"Aku... aku ingin menjodohkan kalian, Peng Houw. Kalian berdua sama-sama kulihat ada benih-benih cinta. Aku.... ugh.... tak mati meram rasanya kalau belum mendapat janjimu!"

Peng Houw merah padam. Kata-kata si kakek lemah namun menghunjam dalam. Untung bahwa Li Ceng tak mendengar itu karena tersedu-sedu. Namun ketika seseorang berlutut dan mendampingi Peng Houw, berkata bahwa biarlah dia yang merawat karena Peng Houw hendak kembali ke Go-bi maka kakek itu tertegun dan Peng Houw menoleh.

“Susiok tak usah merepotkan Peng-siauwhiap. Biarlah teecu yang membawa ke Kun-lun dan di sana Peng-siauwhiap menengok, kalau urusannya selesai.”

"Kau... kau siapa?"

“Teecu Kim Cu, susiok, anak murid Kun-lun. Teecu terlambat datang tapi telah mendengar ini semua. Maaf."

Peng Houw terkejut. Dia mengangguk dan segera mengenal tosu itu karena inilah Kim Cu Cinjin. Tosu ini adalah murid tertua Kun-lun dan sekarang sedang menjadi pemimpin tertinggi. Sejak kematian Kun-lun Lojin memang tosu inilah yang mengurus partai. Kedatangannya di Hek-see-hwa tidak terlalu mengejutkan karena memang hampir semua tokoh-tokoh partai muncul, meskipun Kun-lun bukan untuk berebut dan memiliki Bu-tek-cin-keng. Maka ketika kakek itu berseri tapi tiba-tiba mengeluh lagi, Peng Houw menekan pusarnya maka kakek ini terbata.

“Ba.... baik, tapi.... tapi aku ingin mendengar dulu janji Peng Houw. Eh, anak luar biasa. Maukah kau menjaga dan mendampingi cucuku? Apakah kau mau menjadi pengganti diriku melindunginya seumur hidup?"

“Aku.... aku tak dapat menjawabnya sekarang,” Peng Houw gugup. "Bagaimana ini, locianpwe. Aku tak tahu isi hati cucumu. Li Ceng galak dan selalu tampak keras kepadaku!"

“Ah, bodoh. Itu.... anak itu, eh... dia selalu menyembunyikan perasaan hatinya dengan cara dan sikapnya seperti itu, Peng Houw. Galak dan keras tapi hanya di luar. Di dalam, ia.... ia lain...!”

“Sebaiknya susiok beristirahat dulu,” Kim Cu Cinjin tiba-tiba memotong. “Keadaanmu parah, susiok. Urusan itu dapat dibicarakan nanti. Peng Houw juga masih repot!”

"Tidak, kau anak kecil tahu apa!" kakek ini tiba-tiba marah, membentak. “Jawab pertanyaanku, Peng Houw. Berjanjikah kau?”

"Hm," Peng Houw melihat kakek itu batuk-batuk, muka semakin merah padam. "Kalau cucumu menghendaki tentu saja aku tak keberatan, locianpwe. Tapi kalau cucumu menolak aku tak dapat memenuhi janji!”

"Ha-ha, cukup. Dan kapan kau ke Kun-lun?”

“Aku....”

"Ugh! Cepat, Peng Houw.... dadaku sakit lagi. Ugh.... aku tak mau mati sebelum melihat kau datang!"

"Hm, locianpwe terlalu mendesak. Baik, seminggu setelah ini aku datang ke Kun-lun, locianpwe. Tapi aku tak berharap banyak kalau cucumu menolak. Aku.....”

Peng Houw tertegun. Kakek itu roboh dan sudah pingsan lagi, bibirnya pucat dan terkatup, tentu saja tak mendengar kata-katanya. Tapi ketika Kim Cu Cinjin bergerak dan menotok pundak dan dada kakek itu, Peng Houw menarik napas dalam-dalam maka tokoh Kun-lun ini bangkit dan menjura, tergesa-gesa.

“Siauwhiap, di Kun-lun ada semacam Sian-tan (Pil Dewa) yang mungkin dapat menolongnya. Pinto harus cepat kembali. Teruskan perjalananmu dan biarlah gadis ini bersama pinto. Selamat tinggal!"

Peng Houw mengangguk. Dia sendiri harus membawa Chi Koan ke Go-bi dan tak mungkin ke Kun-lun dulu. Justeru dia bersyukur bahwa Kim Cu Cinjin muncul di situ, pada saat yang tepat. Dan ketika dia berkata bahwa Li Ceng mengikuti saja tosu itu, itulah suheng atau kakak seperguruannya sendiri maka gadis ini disambar dan dibawa pergi Kim Cu.

"Li Ceng, tak perlu khawatir. Aku datang ke Kun-lun setelah urusan ini selesai!”

Gadis itu menutupi mukanya. Ia tak mendengar lagi kata-kata Peng Houw karena sudah dibawa pergi, meloncat dan turun gunung dan ternyata anak-anak murid yang lain bergerak di belakang. Mereka itu adalah murid-murid Kun-lun pula yang mengikuti Kim Cu Cinjin. Hek-see-hwa mulai sepi ditinggal tokoh-tokohnya. Dan ketika Peng Houw menarik napas panjang tapi disenggol susioknya, sadar dan mengangguk maka pemuda itupun berkelebat dan turun ke Go-bi.

Bekas pertempuran tampak di sana-sini dan Hek-see-hwa tak keruan lagi ujudnya. Puncaknya roboh dan tebing atau jurang menganga di sana-sini. Bongkahan batu-batu besar juga terserak, semuanya mengerikan. Tapi ketika Peng Houw meninggalkan tempat itu disusul paman gurunya, juga murid-murid Go-bi yang mendecak dan merasa kagum maka mereka ini tertinggal di belakang karena Peng Houw sudah terbang menghilang digandeng kedua susioknya.

* * * * * * * *

Go-bi telah menetapkan hukuman pasti. Hari keempat setelah melalui persidangan dan musyawarah panjang maka diperoleh keputusan tetap bahwa Chi Koan dihukum seumur hidup. Pemuda ini dinilai memiliki tiga dosa penting. Pertama adalah mencuri Bu-tek-cin-keng. Kedua adalah menghina guru dan partai sementara yang ketiga adalah kejahatan-kejahatannya di luar. Semuanya berat dan diancam hukuman mati.

Namun karena dugaan bahwa dia masih menyimpan Bu-tek-cin-keng asli, Ji-hwesio dan lain-lain jadi bimbang oleh seruan dan kata-kata Bong Beng Hosiang sewaktu masih di Hek-see-hwa maka pemuda itu dirobah hukumannya menjadi seumur hidup, kecuali kalau menyerahkan Bu-tek-cin-keng.

"Kami telah memutuskan dengan bulat bahwa kau harus menjalani hukuman seumur hidup. Kau melakukan tiga dosa berat. Akui dan nyatakan bahwa kau menerimanya, Chi Koan. Atau hukuman kami robah kalau benar kau masih menyimpan Bu-tek-cin-keng asli!"

Chi Koan, pemuda ini tertawa mengejek. Mata kirinya dibalut kain hitam karena pecah. Ia terbungkuk dan diikat di tengah ruangan sidang, menghadap tokoh dan murid-murid Go-bi namun sedikitpun tidak ada rasa gentar di situ. Pemuda ini tenang-tenang saja, matanya yang tinggal satu itu sering menyambar namun turun lagi kalau bertemu Peng Houw.

Dia masih luka dalam, letih. Pertempuran di Hek-see-hwa sungguh menghabiskan tenaga dan pikirannya. Maka ketika empat hari itu dia dikorek dan ditanya tentang kebenaran Bu-tek-cin-keng, apakah yang dilempar adalah yang palsu sementara yang asli masih disimpan maka pemuda ini menjawab pendek bahwa dia tak tahu. Jawabannya licik.

"Aku tak melihat lagi apakah itu Bu-tek-cin-keng asli atau tidak. Aku telah mempelajari isinya, tak pernah membuka-buka lagi. Kalau See-tok atau Kwi-bo barangkali pernah melihatnya dan menukar dengan yang lain aku tak tahu. Tapi kupikir itu asli, terserah kalian.”

"Tapi gurumu menuduhmu begitu, Chi Koan, dan gurumu tahu betul kelakuan dan watakmu. Kau tak pernah jujur!”

“Terserah, tapi kali ini aku jujur. Kalian percaya atau tidak aku menyerahkannya kepada kalian."

Jawaban ini membuat kebimbangan semakin besar. Gara-gara inilah maka keputusan dirobah, hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup. Dan ketika banyak anak murid kecewa dan Chi Koan sudah bersikap acuh lagi, ia tenang-tenang dan diam-diam tertawa licik maka Peng Houw, yang tertegun dan mengerutkan kening di sana tak dapat berbuat apa-apa.

Murid-murid Go-bi menghendaki tawanan dibunuh tapi adanya kebimbangan itu membuat mereka terpaksa gigit jari. Ji-hwesio, dan tokoh-tokoh lain ternyata masih mengharap Bu-tek-cin-keng asli, bukan untuk dipelajari melainkan semata agar ilmu silat yang hebat itu tak jatuh ke tangan orang lain. Mereka tak tahu apakah Chi Koan bohong atau tidak, namun kejadian ini cukup menimbulkan keragu-raguan juga.

Dan ketika mereka membujuk namun tidak berhasil, percaya dan tidak akan adanya Bu-tek-cin-keng yang masih disembunyikan pemuda ini maka Chi Koan dipenjarakan di ruang bawah tanah dengan kedua kaki dan tangan diikat rantai besar. Ujung rantai itu menancap kokoh di tembok guha, Chi Koan hanya dapat bergerak sedikit saja untuk makan atau minum.

"Kau tak akan kami ikat kalau mengaku baik-baik tentang Bu-tek-cin-keng itu. Hukumanmu dapat dirobah lagi, sepuluh tahun saja, bukan seumur hidup. Nah, katakan untuk terakhir kalinya dan rantai ini akan kami lepaskan."

"Ha-ha, kenapa memaksa? Biar dibunuh sekalipun aku tak dapat membawa kitab itu, Ji-susiok. Kitab itu telah kulempar dan kalian lihat sendiri menjadi keroyokan orang kang-ouw. Aku tak dapat bicara apa-apa lagi!"

"Kalau begitu hukumanmu perlu ditambah!" Twa-hwesio tiba-tiba berseru, berkelebat dan menusukkan jari ke depan. Dan ketika semua terkejut tak menduga ini maka mata kanan pemuda itu tahu-tahu ditusuk.

“Crot!” Chi Koan meraung dan berteriak menggetarkan guha. Dia sudah diikat dan di rantai di tembok guha itu ketika tiba-tiba twa-susioknya menyerang. Ia tak dapat berkelit atau mengelak saking cepatnya tusukan itu, juga tak menduga. Tapi ketika tiba-tiba hwesio itu tertawa bergelak dan Chi Koan menggerakkan kaki sekonyong-konyong rantai bawah putus dan menyambarlah kaki Chi Koan menghantam bawah perut kakek itu.

"Desss!” Hebat tendangan ini. Seketika hwesio itu menjerit dan terpental, anggauta rahasianya hancur. Dan ketika hwesio itu berdebuk dan menggegerkan yang lain, Chi Koan menggerakkan tangan dan kaki yang lain maka pemuda itu mematahkan rantai besi dan bebas, mengamuk!

"Keparat! Bedebah jahanam! Ayo kalian serang aku dan bunuh! Ayo... ayo bunuh dan serang aku secara licik lagi!"

Semua mundur dan berteriak. Rantai baja yang tercabut begitu saja dari dinding tembok dan kini diputar dan menderu di atas kepala sungguh mengerikan sekali. Chi Koan mengamuk dan menghajar apa saja, guha berderak dan seakan runtuh. Dan ketika Peng Houw melompat keluar membawa semua paman gurunya, terkejut karena di dalam guha tak mungkin dia menghadapi lawannya maka Chi Koan menggeram-geram dan maju dengan muka penuh darah. 

Mata kanan yang tinggal satu-satunya itu kini dihancurkan pula, Chi Koan buta. Tapi ketika pemuda itu tiba di mulut guha dan Peng Houw membentak menyesalkan tindakan twa-susioknya tadi maka dia berseru agar Chi Koan menyerah.

"Berhenti, dan masuk kembali ke dalam, Chi, Koan. Jangan menyerang siapapun!"

"Ha-ha, kau boleh maju. Keparat, maju dan bunuhlah aku, Peng Houw. Ayo, maju dan bunuhlah aku.... siut-blarr!” rantai itu menghantam tanah, dikelit Peng Houw karena dari suaranya pemuda itu dapat memantau. Chi Koan marah sekali oleh kejadian ini. Dia ditusuk secara curang. Dan ketika Peng Houw berlompatan karena dikejar dan harus menghindar sabetan rantai baja itu, Chi Koan mengamuk dan mata gelap maka Peng Houw berseru agar yang lain mundur.

Chi Koan menghantam sana-sini dan tanah serta bebatuan berlubang. Bahwa pemuda itu dapat melepaskan diri dari ikatan rantai baja sudah mengejutkan, tanda bahwa sebenarnya tawanan ini masih berbahaya. Dan ketika rantai diputar mengelilingi delapan penjuru, Chi Koan terhuyung dan memaki sana-sini.

Maka Peng Houw berkelebat di belakang pemuda ini dan dengan satu kibasan kuat ia mencengkeram dan merampas rantai, menendang belakang lutut dan Chi Koan roboh. Lalu ketika pemuda itu mengeluh dan terjerembab maka Peng Houw menotok tengkuknya hingga pemuda itu pingsan.

“Bluk!” Selesailah kejadian menegangkan ini. Peng Houw mengusap keringat dingin dan tokoh-tokoh Go-bi menggigil pucat. Kalau tak ada Peng Houw di situ entah bagaimana mereka menanggulangi peristiwa ini. Serangan Twa-hwesio disesalkan juga, tak pantas lawan yang sudah tak berdaya seperti itu masih diserang juga. Mereka menarik napas dalam-dalam. Tapi ketika semua sadar dan mayat suheng mereka dipandangi sedih, bergerak dan maju mengurus ini maka Ji-hwesio bertanya apakah Chi Koan tak sebaiknya dibunuh saja.

"Berbahaya sekali, sudah diikat seperti itupun masih juga dapat melepaskan diri. Rantai baja putus! Aih, apakah pemuda ini tak sebaiknya dihabisi saja, Peng Houw? Pinceng ngeri!"

“Tidak, keputusan sudah diambil. Ini kesalahan kita, susiok. Tak seharusnya Chi Koan diserang dan diperlakukan seperti itu. Kemarahannya membangkitkan tenaga, twa-susiok salah. Kita harus menepati janji atau orang akan mentertawakan kita. Bukankah keputusan ini sudah disetujui secara bulat?”

“Tapi pinceng ngeri...!"

“Chi Koan sudah buta, kalaupun dapat keluar tak mungkin pergi jauh. Dia akan diikat dengan rantai dobel dan lebih kuat!"

Hwesio ini mengangguk-angguk. Sutenya, juga murid-murid Go-bi angkatan tua merasa ngeri. Betapa dahsyatnya Chi Koan kalau mengamuk. Tapi ketika mereka melihat betapa Peng Houw mengambil delapan rantai besar, membelenggu dan mengikat pemuda ini di dalam guha maka ada kelegaan bahwa dengan rantai seperti itu Chi Koan tak mungkin melepaskan diri. Tiap-tiap rantai sebesar lengan orang dewasa!

"Kita harus merawat lukanya. Biar sementara ini aku di sini dulu.”

"Kau menemaninya?"

“Tak ada jalan lain, susiok, kalian tentu takut. Biarlah aku di sini dan sekarang harap kalian pergi."

Hwesio itu mengangguk maklum. Akhirnya Chi Koan ditinggalkan pergi dan mayat Twa-hwesio dibawa. Kejadian demikian cepat berlangsung dan sungguh tak diduga-duga sekali. Dan ketika Peng Houw menemani Chi Koan, merawat dan mengobati luka itu maka Peng Houw menangis. Chi Koan akhirnya sadar.

“Maafkan aku. Twa-susiok benar-benar lancang, Chi Koan. Gegabah dan tidak pantas perbuatannya. Aku tak menyangka, terlambat. Kau sudah membunuhnya dan impas sudah persoalan ini."

“Kau... kau di sini? Kenapa menolongku?”

“Aku merawatmu, Chi Koan, mengobati lukamu. Diamlah dan jangan bergerak...”

“Pergi!” Chi Koan tiba-tiba membentak, mengibas. “Tak usah berbuat baik, Peng Houw. Kau yang membuat aku begini. Aku tak butuh pertolonganmu dan jangan sentuh!"

“Tapi lukamu....”

“Luka ini tak seberapa, luka di hatiku lebih sakit lagi. Kau bedebah keparat. Kau membuat aku hidup tidak matipun bukan. Pergi, Peng Houw. Pergi dan lihat lima atau sepuluh tahun lagi seseorang akan membalaskan sakit hatiku. Ha-ha, di dunia ini akan muncul pewaris Bu-tek-cin-keng lagi yang kuciptakan!"

Peng Houw terkejut, mundur. "Kau....kau benar-benar masih menyimpan aslinya?"

“Ha-ha, tak usah pura-pura lagi, Peng Houw. Sekarang tinggal kau dan aku, bebas aku bicara. Ketahuilah bahwa kitab itu kuberikan kepada seseorang dan kelak enam atau tujuh tahun lagi dia membalas sakit hatiku. Bu-tek-cin-keng masih hidup, bocah itu akan menolongku. Ha-ha!”

"Bocah?”

Chi Koan tiba-tiba berhenti tertawa. Rupanya ia kelepasan bicara namun tiba-tiba ia mendengus, pertanyaan Peng Houw tak dijawab. Dan ketika ia merintih dan menangis, air mata bercampur darah maka pemuda itu memaki-maki Peng Houw. "Kau anjing Go-bi yang amat baik. Kau benar-benar setia sampai kentut Ji Leng Hwesio pun kau cium. Ah, pergi kau, Peng Houw. Pergi atau bunuhlah aku sekarang. Kau anjing Ji Leng Hwesio si tua bangka keparat!"

Peng Houw berkelebat keluar. Ia menjadi marah oleh kata-kata ini namun terutama masalah kitab. Ternyata Beng Kong Hwesio benar, Chi Koan masih menyimpan aslinya! Dan ketika ia terduduk dan menjatuhkan diri di luar, telinga panas terbakar sementara muka merah padam maka hampir saja ia kembali ke dalam guha menghajar pemuda itu.

Akan tetapi Peng Houw tidak melakukan ini. Ia dapat menahan diri. Betapapun pemuda itu sudah cukup menderita, lahir batin. Dan ketika ia bersila dan menulikan telinganya, caci maki dan sumpah serapah Chi Koan tak didengarnya lagi maka guha itu sunyi sementara Go-bi sudah tahu akan wafatnya sesepuh mereka, berkabung dan melakukan doa sembahyangan dan Peng Houw bersila tak bergeming. Ia gagal mendapatkan kitab. Dan ketika Chi Koan akhirnya diam dan tidak memaki-maki lagi, lelah dan rupanya kehabisan suara maka sosok bayangan putih lewat dan berkesiur di depan Peng Houw.

Waktu itu malam sudah tiba. Peng Houw tenggelam dalam samadhinya namun mendengar kesiur ini. Maka ketika ia membuka mata dan terkejut oleh sosok bayangan putih, lewat dan berhembus seperti asap kontan pemuda ini tersentak dan meloncat bangun. “Suhu....!"

Bayangan itu menoleh. Wajah tertutup halimun melambai kepadanya dan tersenyum, Peng Houw berdetak. Dan ketika ia tertegun karena itu bukan gurunya, gurunya mengenakan jubah kuning maka batuk-batuk terdengar di belakang disusul helaan napas panjang. Peng Houw membalik secepat kilat saking kagetnya.

“Suhu!” Kali ini Ji Leng Hwesio mengangguk. Dedengkot Go-bi itu, yang bergerak dan melayang ringan di atas tanah ternyata tahu- tahu ada di situ. Ia tersenyum, melambai. Dan ketika Peng Houw menjatuhkan diri berlutut dan tersedu, tiba-tiba keharuan dan rasa sedihnya tak dapat dibendung maka pemuda itu langsung mengguguk.

"Ampun.... ampunkan teecu, suhu. Kitab tak dapat teecu bawa ke mari. Chi Koan, dia.... pemuda itu.. ah, jahat dan keji, suhu. Bu-tek-cin-keng diberikan orang lain. Teecu tak mampu memaksa!"

Batuk-batuk itu berhenti. Tawa lembut terdengar dan Peng Houw tiba-tiba merasa disentuh benda dingin kedua pundaknya. Ji Leng, kakek itu ternyata sudah meletakkan tangannya di pundak pemuda ini, mengangkat bangun. Dan ketika Peng Houw berdiri namun segera ingat bahwa suhunya ini telah tewas, yang ada di depannya adalah jasad halus maka pemuda itu tersentak dan bulu tubuhnya tiba-tiba bangkit berdiri. Seram!

“Suhu...!" pemuda ini menubruk. Bayangan itu tertangkap tapi lolos, Peng Houw lebih sadar lagi. Dan ketika kakek itu menjauh dan menuding ke depan, menunjuk kakek berwajah halimun itu maka Peng Houw seakan mendengar suara dari langit, sayup-sayup sampai.

“Semua sudah takdir, roda peristiwa harus jalan. Ikuti dan bersamalah kakek itu, Peng Houw. Dialah Sian-su si manusia agung. Pinceng tak dapat menemanimu lagi!"

Kakek berjubah kuning itu hilang. Asap memanjang dan akhirnya lenyap ketika roh sesepuh Go-bi ini naik ke atas. Peng Houw seperti mimpi tapi tiba-tiba teringat kakek berwajah halimun itu, menoleh dan ternyata kakek itu masih di sana, menunggu. Dan ketika ia bergerak namun kakek itu juga bergerak, melayang dan meluncur keluar Go-bi maka tawa lembut terdengar halus.

“Mari... mari, anak muda. Janjimu belum habis. Kita ke Kun-lun dan di sana kita bicara!”

Peng Houw terbelalak. Ia telah mengerahkan kepandaiannya namun si kakek tetap di depan. Ia mempercepat larinya namun kakek itu tak tersusul. Dan ketika ia merasa seram apakah ini siluman atau manusia beneran, jangan-jangan itu adalah roh seperti gurunya tadi maka Peng Houw memanggil berseru gentar, "Sian-su, tunggu dulu. Apakah kau manusia atau bukan?”

"Ha-ha, tak perlu takut. Manusia atau bukan terserah dirimu, Peng Houw. Yang jelas aku akan membawamu ke Kun-lun. Ingat janjimu kepada seseorang.”

"Janji...?”

"Kau lupa. Dua orang menunggumu di sana, Peng Houw. Mutiara Geledek Lo Sam dan cucunya. Ayolah, waktu hampir habis. Kau sibuk mengurus Go-bi!"

Peng Houw berdesir. Ia berdetak mendengar kata-kata itu. Lo Sam! Dan karena bicara tentang kakek ini berarti juga bicara tentang Li Ceng, gadis baju merah itu maka Peng Houw semburat namun tiba-tiba lengan kanannya disentuh telapak yang hangat. Kakek berwajah halimun itu tahu-tahu berada di dekatnya dan sudah mencekal lengannya. Seperti iblis! Peng Houw terkejut. Namun belum ia mengeluarkan suara mendadak tubuhnya terangkat naik dan terbang melayang tak menginjak bumi.

“Terlalu lama. Kau bengong dan malah seperti bingung, anak muda. Tak mungkin ke Kun-lun kalau larimu seperti siput. Ayo, pegang tanganku dan pagi ini juga kita harus sampai di Kun-lun!”

Peng Houw merasa mendapat kesempatan. Dipegang dan disuruh memegang membuat ia menjadi tegang. Tak sabar lagi ia mencengkeram kakek itu, kuat, bertemu dengan sesuatu yang lunak hangat, harum. Dan ketika ia tertegun karena ini manusia sungguhan, lain dengan tubuh suhunya yang berbentuk roh maka Peng Houw melirik dan bergidik karena sepasang kaki kakek ini tak menginjak bumi, melayang!

Pemuda ini menjadi bingung apakah kakek di sebelahnya ini manusia atau bukan. Kalau bukan kenapa lengannya dapat dicengkeram, dia dibawa meluncur dan terbang cepat sekali ke barat. Kun-lun memang di barat. Tapi ketika ia melirik kaki itu, bagaimana manusia tak menyentuh bumi maka Peng Houw mengkirik dan diam-diam pucat, untung tawa lembut kakek ini menyejukkan hatinya dan gurunyapun tadi menyuruh ia mengikuti dan bersama kakek ini.

Kalau tidak mungkin ia bisa mati berdiri! Dan ketika malam itu Peng Houw serasa mimpi, bergerak dan terus meluncur ke barat maka Go-bi pun tertinggal di belakang dan ketika ayam jantan berkokok pertama kalinya iapun tahu-tahu telah tiba di Kun-lun, di pertapaan mendiang Kun-lun Lojin!

"Sampai, sekarang tidurlah dan beristirahatlah. Besok temui kakek itu dan kembalilah ke sini menemui aku!"

Peng Houw menguap. Tiba-tiba saja ia merasa ngantuk luar biasa begitu ditepuk si kakek, roboh dan mendengar tawa halus untuk kemudian tak sadarkan diri. Peng Houw, yang sudah memiliki Hok-te Sin-kang ternyata seperti anak kecil saja berhadapan dengan kakek ini. Dia mendengar tawa itu lalu tak ingat apa-apa lagi, mendengkur! Dan ketika Peng Houw benar-benar pulas dan seakan berada di dunia yang lain, asing dan aneh maka pewaris Bu-tek-cin-keng ini lelap dan memasuki mimpinya yang baru!

* * * * * * * *

“Heii... ini Peng Houw. Bangun! Eh, Peng Houw ada di sini, kong-kong. Dia mendengkur! Peng Houw datang, ia tidur!”

Peng Houw seperti mimpi lagi. Pagi itu matahari menerobos celah-celah dedaunan dan ia terbangun. Suara dan teriakan nyaring inilah yang membuatnya membuka mata. Li Ceng tahu-tahu di situ, berdiri di dekatnya. Dan ketika ia terkejut meloncat bangun, geragapan maka ia memandang kiri kanan dan langsung bertanya,

"Mana kakek itu? Mana Sian-su...?”

“Kakek? Sian-su? Eh, kau bicara apa, Peng Houw? Aku tak mengerti!”

“Aku, ah... mimpikah ini? Aku sudah di Kun-lun? Aku datang bersama kakek itu, Li Ceng. Sian-su! Aku dibawanya semalam!”

Gadis ini terbelalak. "Kau rupanya tidak waras, aku tidak mengerti akan semua yang kau bicarakan ini. Eh, bagaimana kau tiba-tiba ada di sini, Peng Houw? Dan kenapa tidur di rumput basah? Lihat, tidakkah kau merasa dingin?”

Peng Houw terkejut. Untuk kedua kalinya ia kaget dan benar saja melihat pakaiannya basah. Ia tidur di rumput yang tebal namun sama sekali tak merasa kedinginan. Embun di rumput itu bahkan membuatnya merasa segar. Ia seakan tidur di kasur empuk! Dan terkejut bahwa ia benar-benar tidak bermimpi lagi, hari sudah siang dan Li Ceng memandangnya terbelalak maka Peng Houw sadar bahwa ia telah memasuki suatu keadaan asing yang amat aneh namun mengesankan. Ia seakan memasuki alam roh yang membuat ia serasa melayang-layang indah!

"Hm, mana kakekmu. Aku tiba-tiba merasa bodoh. Maaf, waktu perjanjianku hampir terlupakan, Li Ceng, sekarang aku sudah di sini dan bagaimana keadaan kong-kongmu? Apakah ia selamat?"

Li Ceng tiba-tiba tersedu. Di luar guha itu mereka bertemu dan rasa girang melihat Peng Houw membuat gadis ini lupa keadaan kakeknya. Sesungguhnya kakeknya megap- megap, batuk dan masih sukar bernapas akibat luka-lukanya itu. Bahwa sampai saat itu masih hidup adalah hal luar biasa. Maka ketika ia ingat dan berkelebat ke dalam, tak mungkin kakeknya muncul biarpun ia berteriak maka gadis ini mengguguk dan kesedihannya kembali timbul.

"Mari.... mari masuk, Peng Houw. Aku lupa bahwa kong- kong sakit!”

Peng Houw bergerak menyusul. Ia juga sadar dan memasuki alam nyatanya lagi setelah semalam dibuai mimpi aneh. Ia masih seakan tak percaya akan kejadian itu, berjumpa dengan Sian-su. Tapi ketika ia mendengar tangis Li Ceng dan ini menyadarkannya dari alam mimpi, hatinya berdebar dan mukapun merah oleh kata-kata si tua Lo Sam maka Peng Houw melihat kakek itu tergolek di pembaringan bambu terbatuk-batuk, mukanya pucat.

"Kong-kong, ini Peng Houw...!”

Kakek itu mengangkat kepalanya. Ternyata setelah dilihat maka keadaan kakek itu tak lebih baik dari lima atau enam hari lalu. Sekali dia mengangkat kepala maka tubuh itupun roboh kembali, pembaringan bambu berderit. Dan ketika Li Ceng menjerit menahan kakeknya, tubuh itu disanggah maka gadis ini menangis lagi. Kakek itu batuk mengeluarkan darah.

"Kong-kong, jangan batuk lagi. Berhentilah, jangan batuk lagi!"

"Ugh, mana Kim Cu. Aku sesak. Obat telah habis kutelan, Li Ceng. Sekarang kepalaku berputar dan pandanganku kabur... ooh, mana Peng Houw...?”

Pemuda itu mendekat, langsung memegang lengan si kakek. “Aku di sini, locianpwe. Kau tenanglah....”

“Ugh, ha-ha.... kau datang? Kau menepati janjimu? Ha-ha, bagus, Peng Houw. Aku semalam khawatir mati, nyawaku serasa sudah ditarik perlahan-lahan....!”

"Kong-kong!" Li Ceng menjerit. "Jangan bicara seperti itu. Jangan bicara tentang kematian!"

“Heh-heh, orang hidup pasti mati. Tak ada yang bakal abadi. Eh, mana suhengmu Kim Cu, Li Ceng? Belum kau panggil?"

"Aku akan memanggil ketika tiba-tiba bertemu Peng Houw di luar. Aku tak jadi ke bawah!”

"Bodoh, panggil suhengmu, apalagi setelah Peng Houw datang. Eh, cepat pergi, anak nakal... pergi...!”

"Lalu kong-kong...?"

"Peng Houw di sini, ia merawatku!"

“Hm, atau aku saja yang ke bawah," Peng Houw menawarkan diri. “Biar kupanggil Kim Cu totiang itu, locianpwe, barangkali Li Ceng lebih cocok. Aku..."

"Tidak, kau di sini saja. Tidak boleh! Ugh, aku ingin bercakap-cakap dengan Peng Houw, Li Ceng. Kau cepat pergi...!”

Kakek itu batuk-batuk dan melontakkan darah lagi. Peng Houw terkejut dan cepat menekan punggung kakek ini untuk meredakan batuk, dia mengusap dan menotok dada kakek itu pula. Lalu ketika kakek itu terengah dan Peng Houw diam-diam kagum bahwa selama ini si kakek masih dapat bertahan, hal yang luar biasa maka Li Ceng berkelebat keluar dan menangis turun dengan tergesa-gesa. Peng Houw tak menyembunyikan kekagumannya.

"Locianpwe hebat, luar biasa sekali. Kalau orang lain tentu sudah tak tahan sampai sekarang ini!"

“Heh-heh, itu karena kau. Semangatku masih menyala-nyala. Aku tak mau mati sebelum kau datang, Peng Houw. Aku sudah meminta ijin Dewa Maut untuk melonggarkan nyawaku sejenak. Aku ingin bicara tentang perjodohan itu!"

Peng Houw semburat merah. Justeru untuk inilah dia memang datang, menepati janjinya dan bicara dengan kakek itu. Maka ketika pembicaraan mulai disinggung-singgung namun si kakek terengah dan naik turun dadanya maka Peng Houw mengerutkan alis mengurut lagi dada si tua. Namun kakek itu menepis tangannya.

"Tak usah, tak perlu lagi. Nyeri itu kambuh, aku... aku melihat kunang-kunang banyak di depan mata.Itu... he, suhengku datang!"

Peng Houw terkejut. Si kakek tertawa dan mengembangkan lengan ke atas namun tiba-tiba menggeliat. Kun-lun Lojin, sesepuh yang telah meninggal itu tiba-tiba katanya datang. Kakek itu tertawa tapi terbatuk menahan sakit. Dan ketika Peng Houw meremang dingin berdiri kuduknya, kakek itu menuding-nuding namun terkulai lagi maka kakek ini berbisik bahwa ia minta waktu sebentar.

"Nanti, tunggu dulu... aku hendak bicara dengan Peng Houw, suheng. Jangan ajak aku terlalu cepat. Aku... aku hendak menyerahkan cucuku kepadanya. Kau tunggulah sebentar...!”

Siapa tidak mengkirik mendengar orang sekarat bicara dengan orang mati. Setegar-tegarnya Peng Houw ia merinding juga. Semalam ia juga bertemu roh gurunya dan panas dingin, juga Bu-beng Sian-su kakek dewa itu yang entah manusia atau bukan, yang katanya menunggunya di luar guha itu kalau urusannya selesai. Ia seakan dikelilingi mahluk-mahluk halus saja. Peng Houw merasa seram! Tapi ketika si kakek tak menuding-nuding lagi dan suaranya agak jelas, batuk itu hilang maka dia mencengkeram lengan Peng Houw berbisik,

"Aku sudah bicara dengan Li Ceng. Perjodohan itu diterima. Tapi, ugh.... kau harus menyatakan cintamu dulu kepadanya, Peng Houw. Cucuku itu tak mau menjadi isterimu kalau kau hanya terpaksa oleh permintaanku! Nah, kau mau mengerti? Kau dapat menyatakan cintamu kepada cucuku kalau nanti aku mati?"

Peng Houw tertegun. Tak ada yang tahu betapa wajah pemuda ini merah padam seperti kepiting direbus. Tangan dan kaki tiba-tiba menggigil, Peng Houw mengeluarkan keringat dingin. Dan ketika semua itu terasakan oleh kakek ini, si kakek heran kenapa pemuda itu basah lengannya maka Peng Houw ditanya apakah dia demam.

“Kau... tanganmu basah semua. Eh, apakah kau sakit, Peng Houw? Apakah kau demam?"

“Aku, eh... tidak, locianpwe. Hanya, eh... entahlah. Aku bingung!"

"Bingung? Kau bingung oleh permintaanku? Kau terpaksa?"

“Tidak.... tidak, bukan itu. Tapi... tapi, ah.... pernyataan cinta itu. Aku bingung bagaimana mengucapkannya. Aku belum pernah!”

"Ha-ha, kukira apa. Eh, kau cinta kepada cucuku, bukan? Kau suka?"

Peng Houw diam, gugup. Dan karena ia tak menjawab kecuali dengan anggukan, ini tak dilihat kakek itu maka Mutiara Geledek ini tiba-tiba melepaskan cengkeramannya pada lengan Peng Houw, suaranya terdengar serak dan berat ketika berseru,

"Peng Houw, tak usah ragu kalau kau tidak suka. Aku orang tua barangkali keliru. Tapi katakanlah sebelum cucuku datang dan cepat pergi kalau kau menolak!”

“Tidak, aku... aku suka kepada Li Ceng. Tapi entahlah bagaimana dia sendiri!"

"Ha-ha, lega hatiku. Diapun suka kepadamu. Mata tuaku tak mungkin keliru melihat tanda-tanda cinta di hati kalian berdua ini. Ugh, puas aku sekarang, Peng Houw. Dan mana mereka itu?"

"Kami di sini!" Kim Cu Cinjin tiba-tiba berkelebat, tahu-tahu sudah di dalam guha. "Kami sudah mendengar kata-kata Peng-siauwhiap, susiok. Dan pinto saksinya!”

"Ha-ha, kau datang? Bagus, ugh... bagus, Kim Cu. Aku senang. Mana cucuku Li Ceng?"

Peng Houw berdesir. Tegang oleh perasaannya sendiri membuat ia tak tahu kedatangan Kim Cu Cinjin ini. Bayangan merah berkelebat tapi keluar lagi, Li Ceng di sana! Dan ketika Peng Houw mendengar suara isak dan merah padam, pembicaraannya sudah ditangkap maka ia diraih lagi lengannya, dicengkeram.

"Peng Houw, aku mendatangkan Kim Cu memang untuk saksi. Aku rupanya sudah tak kuat lagi, mataku semakin berkunang-kunang. Katakanlah sekali lagi bahwa kau mau melindungi dan menjaga cucuku sebagaimana kau menjaga dirimu sendiri!"

"Aku berjanji," Peng Houw bersuara lirih, gemetar, jawabannya penuh gugup.

“Dan kau mau menjadi suaminya, bukan? Tidak sekedar menjaganya seperti anak kecil?"

"Aku berjanji, locianpwe, asal... asal Li Ceng sendiri mau....!”

“Ia mau, sudah kutanya! Kalau begitu mana anak itu biar kudengar lagi!"

“Tidak!" jerit di luar tiba-tiba melengking mengejutkan. "Kau tak boleh memaksaku seperti itu, kong-kong. Tak mau aku ada orang lain mendengar ini. Kau laki-laki, bukan wanita!"

"Benar,” Kim Cu Cinjin tiba-tiba menarik napas berat. "Urusan anak-anak muda biarlah tak perlu kita campuri terlalu dalam, susiok. Sumoi tentu tersinggung, malu. Biarkan Peng-siauwhiap yang menyelesaikan ini dan aku cukup menjadi saksinya.”

“Tapi... tapi aku ingin menggenggam tangan anak itu. Aku ingin memberinya nasihat-nasihat....!"

“Kalau begitu biar kupanggil, sumoi tentu mau.” dan ketika tosu itu berkelebat dan memanggil Li Ceng, terdengar debat dan bujukan-bujukan lembut akhirnya gadis itu masuk dan Peng Houw menunduk, tak berani memandang!

Li Ceng sendiri juga menggigil dan gadis yang gemetaran ini jelas menahan malu. Ia tak mau urusan cintanya diketahui orang luar. Kalau saja suhengnya tak membujuk bahwa kakeknya sudah akan menghembuskan napas, kakeknya akan memberinya nasihat-nasihat maka barulah gadis ini masuk dan Kim Cu yang bijak dan mengerti perasaan orang-orang muda itu lalu pura-pura keluar sebentar untuk mengambil minuman. Kebetulan air dingin di situ habis, gelas kosong.

“Hm, kalian berdua..." kakek itu berseri-seri, terengah. "Ajalku hampir tiba, anak-anak. Tak perlu malu di depan orang yang mau mati. Aku ingin membuktikan kepada cucuku bahwa kau, Peng Houw, bersedia menjaga dan melindunginya seperti melindungi diri sendiri. Nah, katakan, Peng Houw. Kau tak ingkar janji. Kau laki-laki, katakanlah dulu!"

"Aku berjanji, aku sudah berjanji..."

"Dan kau...” kakek itu memandang cucunya. "Sudah kukatakan kepada Peng Houw apa yang menjadi keinginanmu, Li Ceng. Nanti kalian berdua menyelesaikannya sendiri. Sekarang berjanjilah bahwa kau akan menurut dan patuh kepada Peng Houw, setidak- tidaknya seperti kepada kakekmu ini!"

Li Ceng tersedu, tak menjawab.

“Eh, kau tak bermaksud menolak, bukan? Kau tak ingkar janji pula? Dengarlah, kalian akan dapat menjadi pasangan yang paling berbahagia, Li Ceng, apabila isteri menurut kepada suaminya dan suami berbuat baik kepada isterinya. Aku sudah sekarat, sebentar lagi dibawa Giam-lo-ong. Berjanjilah bahwa kau memenuhi pesanku!”

Gadis itu mengguguk. Ia menubruk dan menangis sejadi-jadinya memeluk kakeknya ini. Li Ceng tak mau menjawab namun ciuman di pipi yang berulang-ulang itu menjadi tanda. Si kakek terharu, terkekeh tapi tiba-tiba tersedak dan ia balas mencengkeram rambut cucunya ini, mengusap dan air matapun mengucur deras sementara jari-jari tangan yang lain meremas dan menggenggam jari-jari tangan gadis itu. 

Dan ketika Lui-cu Lo Sam terengah naik turun namun kebahagiaan jelas terpancar di wajah, wajah yang pucat itu bersemu agak kemerahan tiba-tiba kakek itu menyambar tangan Peng Houw dan meletakkannya di atas tangan Li Ceng.

“Peng Houw, bumi dan langit menjadi saksi, juga Kim Cu. Penuhilah janjimu dan biar aku menyaksikan kebahagiaan kalian dari akherat!"

Peng Houw terkejut. Bersamaan itu si kakek menggelinjang, suara ngorok terdengar di kerongkongannya dan menjeritlah Li ceng melihat si kakek mengejang tiga kali, roboh dan kaku untuk akhirnya menghembuskan napas selama-lamanya. Dan ketika Kim Cu Cinjin berkelebat melihat gadis itu menggerung-gerung, Mutiara Geledek telah meninggalkan dua anak muda itu maka tosu ini merangkapkan tangan di depan dada dan memuji.

“Siancai, selamat jalan, susiok. Tekad dan semangatmu luar biasa sekali. Tercapai keinginanmu untuk wafat setelah datangnya Peng Houw."

Li Ceng tak dapat menahan diri. Meskipun tahu bahwa kakeknya tak mungkin bertahan, luka-luka itu parah namun tetap saja gadis ini tak kuat. Ia menjerit dan roboh, pingsan. Tapi ketika Peng Houw mengangkatnya dan menjauhkannya di sudut guha maka Kim Cu Cinjin segera membawa jenasah kakek itu turun ke bawah.

Peng Houw mengikuti dan membawa Li Ceng. Keharuan dan cinta kasihnya bangkit, dielus dan dipandanginya wajah gadis yang pucat pasi itu. Dan ketika ia menunduk dan mencium kening ini, begitu tiba-tiba, tanpa sadar mendadak Li Ceng membuka mata dan siuman. Ciuman lembut itu seakan menyentakkannya dari alam bawah sadar.

"Peng Houw!"

"Li Ceng...!"

Keduanya tiba-tiba saling tubruk dan rangkul. Entah kenapa tiba-tiba Peng Houw juga bangkit keberaniannya, mungkin karena ia sudah akil baliq, dewasa. Dan ketika Peng Houw dipeluk dan menerima tangis itu, sedu-sedan itu maka aneh sekali tahu-tahu Peng Houw pandai mengelus dan mengusap-usap punggung gadis ini. Kepandaian itu seakan didapatnya begitu saja.

Li Ceng tersedu-sedu dan mengguguk karena kematian kong-kongnya tadi masih amat memukul. Ia menumpahkan kesedihannya di sini. Tapi ketika Peng Houw tiba-tiba menunduk dan mencium keningnya lagi, terkejut, maka gadis itu meronta dan melepaskan diri. Pipi itu mangar-mangar.

“Kau... kau berani mencium aku?"

Peng Houw menjublak, merah padam.

“Kau... kurang ajar! Kau lancang sekali, Peng Houw. Belum apa-apa sudah berani mencium. Cih, tak tahu malu.... plak!” dan Peng Houw yang terhuyung menerima sebuah tamparan akhirnya bengong melihat gadis itu memutar tubuh lari turun gunung.

"Li Ceng...!”

Gadis itu tak menjawab. Li Ceng juga tak menoleh dan Peng Houw tiba-tiba panik. Ia tiba-tiba serasa melakukan sebuah dosa besar. Maka ketika Peng Houw berkelebat dan lari tụrun, menyusul dan berjungkir balik melewati gadis ini maka Peng Houw memanggil lagi dengan bibir pucat. Keadaan tiba-tiba menjadi begitu serba salah....