Prahara Di Gurun Gobi Jilid 32 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Serial Prahara Di Gurun Gobi Karya Batara

Prahara Di Gurun Gobi Jilid 32


“LI CENG, tunggu. Aku… aku tidak sengaja!”

Gadis itu berhenti, berdiri tegak. Sinar matanya yang berapi dan pandangannya yang bak harimau betina diganggu anaknya membuat Peng Houw tak dapat meneruskan kata-katanya lagi.

Pemuda itu ngeri, gentar. Lalu ketika telunjuk yang mungil namun penuh kemarahan itu menuding hidungnya, hampir menyentuh maka Peng Houw surut selangkah mendengar bentakan geram.

“Kau… kau tak sengaja? Ciuman dan usapan itu kau sebut tak sengaja? Ah, sungguh pemuda tak tahu malu kau ini, Peng Houw. Belaian dan usapan yang membuat bulu romaku itu berdiri kau sebut tak sengaja. Cih, kau pandai berkilah. Sejak bergaul dengan gadis-gadis Hek-see-hwa tiba-tiba saja kau rupanya menjadi pintar berpura-pura. Kau bohong, kau penipu. Mundur atau kau kubunuh…. wut!” gadis itu menerjang.

Peng Houw mengelak, luput melepas tamparan dan Peng Houw bingung. Ia tak tahu harus berkata apalagi setelah gadis itu marah-marah. Li Ceng memekik dan turun gunung, melanjutkan larinya lagi. Tapi tersinggung oleh kata-kata terakhir, ia dikatakan pintar berkilah setelah bergaul dengan gadis-gadis Hek-see- hwa mendadak Peng Houw berseru keras dan mengejar lagi, kali ini menyambar pundak gadis itu.

“Li Ceng, tunggu. Aku tak pernah bergaul dengan gadis-gadis Hek-see-hwa. Aku hendak minta maaf atas perbuatanku tadi. Sumpah, aku tak sengaja!” dan ketika gadis itu membalik dan melepas pukulan lagi, dikelit dan ditangkap maka Peng Houw gemetar bersungguh-sungguh bicara.

“Tahan, tunggu dulu. Kau boleh bunuh aku kalau benar aku bohong!” dan memandang dengan wajah merah namun panas, ia tak mau disebut bergaul dengan pelacur-pelacur rendahan itu Peng Houw meneruskan kata- katanya lagi, terbakar, hilang gugup dan pucatnya. “Aku ke Hek-see-hwa bersama kau dan kakekmu. Kita sama-sama penyerbu, bukan sahabat. Kenapa kau bilang aku bergaul dengan gadis-gadis rendahan itu? Sumpah bumi dan langit tak pernah aku bergaul, Li Ceng. Bahkan Chi Koan pun kumusuhi habis-habisan. Aku salah menciummu, baik. Aku salah membelai dan mengusap-usap punggungmu, baik. Tapi semua itu bukan karena pergaulanku dengan gadis-gadis hina itu, Li Ceng. Seumur hidup aku belum pernah berkenalan dengan wanita kecuali kau. Aku hidup dan dibesarkan di Go-bi. Sahabatku adalah para hwesio dan kakek atau paman guruku. Aku belum mengenal perempuan. Jangan katakan aku seperti itu karena ciuman dan usapanku tadi tulus, keluar begitu saja, tanpa sengaja!”

Gadis itu terbelalak. Peng Houw yang merah padam dan tersinggung berat rupanya menyadarkan gadis ini dari segala perasaan yang tak keruan. Sesungguhnya ia malu dan jengah oleh kejadian itu, seumur hidup belum pernah dicium lelaki.

Dan karena ada perasaan nikmat-nikmat indah yang membuat ia bingung dan memaki diri sendiri, kenapa begitu mudahnya ia membiarkan Peng Houw mencium keningnya maka meluncurlah semua caci maki tadi sebagai pelindung dari jengah dan malunya itu.

Kini Peng Houw bicara begitu berapi-api, pemuda itu menjadi marah sekali dikatakan bergaul dengan gadis-gadis hina di Hek-see-hwa. Dan ketika ia sadar bahwa itu betul, Peng Houw adalah murid Go-bi yang kenalannya hanya hwesio atau para pendeta maka gadis ini terkejut dan aneh sekali tiba-tiba ia terkekeh melihat betapa Peng Houw begitu marah.

“Hi-hik, lucu. Kau seperti kambing kebakaran jenggot! Kalau benar tak pernah bergaul ya tak perlu marah-marah, Peng Houw. Ada apa naik pitam seperti ini. Aku tadi marah karena kau membuatku tak keruan. Sekarang aku sadar, kau betul. Sudahlah tak perlu dipikir karena siapa yang bersungguh-sungguh bicara seperti itu. Kau minggirlah dan lihat para suheng dan saudara-saudaraku yang lain muncul!”

Peng Houw tertegun. Gadis itu begitu cepatnya berubah seperti awan mendung tersapu angin puyuh. Begitu enaknya! Dan ketika ia terbelalak karena di bawah terlihat bayangan-bayangan para tosu, mereka melihat dan mendengar ribut-ribut ini maka Peng Houw menjublak dan bengong karena Li Ceng sudah berkelebat kembali menyusul Kim Cu Cinjin.

Gadis itu tertawa melihat kemarahan Peng Houw namun tiba-tiba menangis lagi. Jenasah kakeknya menunggu di sana. Dan ketika Peng Houw berkelebat dan menyusul, bukan untuk berdebat lagi maka Li Ceng tersedu-sedu dan meratapi kematian kakeknya yang sudah ditutup di peti mati.

Hari itu Peng Houw bengong. Ia benar-benar bingung dan penasaran akan sikap gadis ini. Tadi marah-marah dan begitu sengit sekarang tiba-tiba terkekeh dan geli melihatnya marah-marah. Apa-apaan ini. Gilakah gadis itu, atau dia sendiri yang gila?

Namun karena saat itu bukan waktunya bersilat lidah, Kun-lun berkabung dengan kematian kakek ini maka Peng Houw menunggu sampai semuanya tenang. Jenasah itu segera dimakamkan dan Kim Cu Cinjin selalu mendampingi sumoinya ini.

Li Ceng adalah cucu paman gurunya dan boleh disebut sumoi (adik seperguruan). Maka ketika Peng Houw mengikuti semua acara itu dan Li Ceng akhirnya dapat menerima kematian kakeknya, betapapun kakek itu memang tak mungkin berumur panjang maka malamnya, di saat gadis ini hanya tinggal isak-isak kecil Peng Houw mendekati dan duduk di bangku panjang, berdegup.

“Ceng-moi, aku turut berduka atas kematian kong-kongmu. Tapi sedikit banyak sakit hatimu terbalas. Chi Koan, dia… dia sekarang buta. Go-bi telah menjatuhkan hukuman seumur hidup dan tak mungkin dia membuat onar lagi. Tenang dan terimalah semuanya ini secara wajar. Kitapun kelak akan seperti itu dan kembali kepada Pencipta!”

“Kau… apa kau bilang?”

“Aku bilang aku turut berduka cita…”

“Bukan, bukan itu. Sebutanmu tadi!”

Peng Houw terkejut. Mendadak ia merah padam oleh pertanyaan ini, kaget sendiri namun dapat menindas perasaan itu. Entahlah, kenapa ia tiba-tiba menyebut Ceng-moi, sebutan yang terasa begitu mesra meluncur dari mulutnya dan itu dapat diartikan sebutan dinda Ceng! Siapa tidak jengah! Tapi karena Peng Houw tak ragu lagi karena sebutan itu dapat juga berarti adik, ia menekan debaran jantungnya yang tak keruan maka ia menjawab,

“Kau lebih muda setahun dua daripada aku, salahkah menyebutmu Ceng-moi? Aku lebih tua, Li Ceng, tak ada yang aneh.”

“Tapi suaramu, eh… lain sekali. Ini seperti ketika kau mencium aku tadi. Aku merinding!”

“Ceng-moi,” Peng Houw akhirnya menyambar lengan itu. “Jangan main-main, jangan goda aku lagi. Tadi aku sudah minta maaf, apakah kau masih penasaran lagi? Justeru aku yang ingin melepas penasaran hatiku, ingin bertanya sesuatu!”

“Kau penasaran? Kepadaku? Aneh, tentang apa, Peng Houw. Aku tak merasa membuat sesuatu yang harus membuatmu penasaran!”

“Hm,” Peng Houw mempererat cekalannya. “Ini membuatku semakin penasaran lagi. Masa kau tidak tahu!”

“Lepaskan tanganku, nanti dilihat para suheng!”

“Tidak, kalau kau belum menjawab. Nah, aku ingin bertanya dan maukah kau menjawabnya dengan jujur. Aku sungguh-sungguh penasaran!”

Gadis itu membelalakkan mata. Mereka duduk di taman dan sewaktu-waktu dapat saja lewat seorang tosu atau murid Kun-lun di situ. Tempat di mana mereka duduk memang tidak terlalu terang namun juga bukan gelap. Gadis ini memandang Peng Houw dengan jantung berdebar. Pandang mata pemuda itu penuh penasaran namun juga mesra, tiba-tiba bulu kuduknya merinding.

Dan ketika ia menunduk tak kuat menerima pandang mata itu, cekalan Peng Houw terasa menggigil akhirnya gadis ini bertanya apa yang hendak ditanyakan pemuda itu, pertanyaannya dilakukan dengan muka menunduk.

“Bicaralah kalau ingin bicara, aku akan mendengar.”

“Hm, tidak begini. Tatap mataku, Ceng-moi. Lihat dan pandang agar aku menemukan jawabannya!”

“Aku malu….”

“Kau gadis gagah, tak mungkin malu. Ayo, angkat dan tatap mataku!”

Li Ceng mengangkat juga. Berdekatan dengan Peng Houw dan digenggam lengannya seperti itu membuat gadis ini panas dingin tak keruan. Sesungguhnya bukan baru sehari dua dia mengenal Peng Houw. Mereka sudah cukup lama. Tapi karena saat itu suasananya lain dan Peng Houw begitu serius, juga genggaman dan mata pemuda itu mengeluarkan getaran yang membuat ia panas dingin, entahlah kenapa ia tak kuat tiba-tiba gadis ini menunduk lagi dan terisak.

“Peng Houw, bicaralah kalau ingin bicara. Aku begini saja!”

“Hm, kau menjawabnya dengan jujur?”

“Kau mau bertanya tentang apa?”

“Peristiwa siang tadi!”

“Sudah selesai…”

“Tidak, tamparanmu memang sudah selesai, tapi sikapmu yang aneh belum!”

Gadis itu mendadak mengangkat mukanya. Sekarang Li Ceng terkejut dan heran, mengangkat muka itu dengan berani dan beradu pandanglah mereka satu sama lain. Li Ceng penuh tanda tanya dan heran sementara Peng Houw penasaran tapi mesra. Pemuda ini gemas melihat tingkah cucu Mutiara Geledek ini. Begitu aneh, tapi begitu menarik. Seakan tak tahu apa-apa dan benar-benar belum mengerti.

Dan ketika ia begitu terpesona akan sepasang mata bundar yang terbelalak lebar itu, yang memandangnya tak berkedip sementara bibir tipis merah basah itu terbuka sedikit, Peng Houw tak tahan lagi maka ia mengguncang lengan itu melepas penasarannya.

“Kau tadi marah-marah lalu tertawa. Kau seakan begitu geli. Nah, ini yang hendak kutanyakan karena apakah ada sesuatu yang ganjil padaku. Apakah ada yang salah?”

Bibir yang terbuka sedikit itu tiba-tiba merekah, lebar. Lalu ketika gadis ini terkekeh dan melepaskan tangannya, Peng Houw terkejut maka Li Ceng tak tahan untuk melepas gelinya lagi, terpingkal-pingkal. “Kau… kau bertanya tentang ini? Kau penasaran akan ini? Hi-hik, lucu. Aku jadi semakin geli lagi. Ah, penasaranmu membuat aku jadi penasaran juga, Peng Houw. Kenapa untuk ini kau malah bertanya?”

Peng Houw terbelalak. Li Ceng terkekeh-kekeh dan menutupi mulutnya sampai terpingkal. Peng Houw dipandanginya seperti orang memandang wayang po-te-hi yang lucu, seperti badut atau sejenis itu. Dan ketika Peng Houw tertegun dan melebarkan mata, Li Ceng bangkit berdiri mendadak gadis yang tak kuat menahan tawa itu meloncat pergi.

“Peng Houw, kau lucu. Hi-hiik…. kau lucu sekali. Ah, tak kuat aku berdekatan denganmu dan biar menjauh dulu. Aku ingin tertawa di tempat lain, hi-hikk….!”

Peng Houw melotot. Ia ditinggal dan Li Ceng tertawa-tawa naik ke atas, gadis itu demikian geli. Dan ketika ia semakin penasaran dan tentu saja berkelebat mengejar, berseru memanggil maka gadis itu tertangkap lagi. Li Ceng sampai bercucuran air mata saking gelinya!

“Aduh, lepaskan dulu. Biar aku tertawa, hi-hik… kau, hi-hiik…. kau lucu sekali, Peng Houw. Masa untuk ini saja kau bertanya. Aduh, biar aku tertawa dulu, hi-hikk…..!”

Peng Houw ikut tertawa. Ia juga geli melihat betapa gadis ini tertawa tapi matanya bercucuran. Masa orang tertawa kok menangis! Dan ketika ia tertawa dan gadis itu semakin terpingkal, sampai terbungkuk dan memegangi perutnya akhirnya Li Ceng batuk-batuk dan Peng Houw memegangi punggungnya. Tanpa terasa, eh…. mengurut dan mengusap-usap punggung itu.

“Sudahlah, sudah,,.. jangan tertawa lagi. Kau bisa disangka gila kalau terus-terusan tertawa, Ayo, berhenti dan lihat sampai kau terbatuk- batuk!”

Akhirnya gadis ini memang berhenti juga. Tawa itu habis. Li Ceng terengah-engah dan matanya redup memandang Peng Houw, geli, nemun mesra. Dan ketika gadis itu menarik napas dalam-dalam dan tersenyum lebar, merasa urutan dan usapan itu, terkejut maka Peng Houw tiba-tiba sadar dan cepat melepaskan tangannya.

“Maaf, aku…. aku tak sengaja lagi!”

“Hm!” gadis itu tertawa manis. “Agaknya kau selalu tak sengaja, Peng Houw. Hidupmu selalu dipenuhi dengan tak sengaja. Aih, sudahlah. Berhenti dan jangan membuat aku geli lagi!”

“Hm, itu tadi belum kau jawab?”

“Untuk apa? Justeru sekarang aku mau bertanya karena balik aku yang penasaran. Kau membuat aku penasaran kenapa untuk itu saja kau sampai harus penasaran!”

Peng Houw tiba-tiba geli. Berhadapan dengan gadis yang sebenarnya lincah dan pandai bicara ini sungguh membuat ia betah. Sejak pertemuannya dulu memang ia sudah dibuat kagum. Ada sesuatu yang menarik pada cucu Mutiara Geledek ini, sesuatu yang memikat dan penuh pesona. Mungkin pada sikap dan tutur katanya yang selalu blak-blakan, atau mungkin juga pada sepasang mata bundar yang selalu menggoda orang itu.

Mata itu dapat tertawa dan mempermainkan orang kalau sudah kumat. Ia dulu juga dipermainkan habis-habisan ketika terlanda banjir. Maka mendengar betapa gadis itu penasaran karena ia merasa penasaran oleh sikap dan tingkah laku yang aneh ini, yang dapat tertawa lalu menangis tiba-tiba atau juga sebaliknya maka Peng Houw tiba-tiba geli dan tertawa.

“Kau lucu, kau seperti kuda tanpa ekor. Ha-ha, aku yang penasaran malah balik membuat kau penasaran. Eh, aku penasaran kenapa waktu itu sedemikian cepatnya kau berubah, Li Ceng. Dari memaki-maki dan marah-marah tiba-tiba terkekeh dan geli setelah aku marah-marah. Kau yang gila atau aku yang tidak waras?”

“Hi-hik, barangkali kedua-duanya. Tapi kau yang lebih berat!”

“Apa?”

“Benar, kau lebih berat gilanya, Peng Houw. Aku boleh tidak waras tapi tidak seberat dirimu. Hi-hik, kau lebih gila!”

Peng Houw menampar dan memaki gadis ini. Tanpa terasa mereka tertawa lagi namun Peng Houw tiba-tiba menghentikan tawanya. Ia berkerut, suasana duka sesungguhnya masih melanda. Tak boleh mereka tertawa lepas dan bagaimana nanti kata para tosu melihat gadis itu dan dirinya tertawa-tawa. Kematian kakek Lo Sam belum dingin. Maka tak mau gadis itu tertawa-tawa Peng Houw lalu menarik lengannya duduk.

“Sudahlah, kita jangan bergurau lagi. Aku sungguh-sungguh. Kalau kau merasa penasaran kenapa aku bertanya itu biarlah kucabut dan aku teringat akan seseorang yang harus kutemui. Hm, kau aneh dan luar biasa, Li Ceng, aku tak mengerti benar watakmu yang bisa cepat berubah ini. Kau mengagumkan, rupanya sudah dapat dengan cepat menerima kematian kakekmu. Aku akan berbicara yang lain.”

“Kau akan bicara apa?” gadis itu menarik napas, “kematian kong-kong memang sudah dapat kuterima dan tak perlu ditangisi lagi. Percuma, air mata darahpun tak mungkin ia bangkit!”

“Hm!” Peng Houw menggenggam lengan gadis ini. “Kau benar, Li Ceng, dan aku semakin kagum. Aku hendak bicara tentang sesuatu yang seakan membuatku mimpi!”

“Nanti dulu, aku ingin bertanya tentang Chi Koan. Hukuman apa yang diterima jahanam itu!”

“Ia dipenjara seumur hidup, dan… dan ia buta.” “Dulu sudah buta sebelah matanya!”

“Benar, tapi sekarang kedua-duanya, Li Ceng, dan ini karena perbuatan Twa-susiok. Tapi Twa-susiokpun tewas dihajar Chi Koan!”

Peng Houw bicara sebentar tentang ini. Ia menunda pembicaraannya sendiri dan Li Ceng tampak mengangguk-angguk. Tapi mendengar kematian hwesio itu ia mengepal tinju juga. “Hm, kenapa tidak dibunuh? Buat apa manusia seperti itu dibiarkan hidup?”

“Ada berbagai pertimbangan, dan satu yang penting adalah masalah Bu-tek-cin-keng itu!”

“Ia benar-benar masih menyimpannya?”

“Di depan susiok dan tokoh-tokoh Go-bi ia tak mengaku, Li Ceng, tapi di dalam guha ia mengaku, kepadaku!”

“Hm, lalu bagaimana?” gadis itu terkejut juga. “Betapa licik dan jahatnya iblis itu!”

“Aku tak dapat memaksa. Ia mengatakan bahwa kitab itu jatuh ke tangan seorang bocah.”

“Bocah?” Li Ceng mengerutkan kening. “Siapa yang dimaksud?”

“Aku tak tahu, ia tak memberi tahu. Tapi hendak kuselidiki hal itu secara diam-diam saja. Aku akan mengawasinya.”

Li Ceng bersinar-sinar. Ia termenung dan gemas oleh kelicikan Chi Koan. Pemuda itu sungguh jahat. Kalau saja kepandaiannya setinggi Peng Houw tentu ia membunuh. Tapi ketika Peng Houw menyentuh lengannya dan ia sadar, pemuda itu memandangnya lebih serius maka Peng Houw menariknya ke pembicaraan semula.

“Aku hendak berbicara tentang sesuatu, mimpiku itu.” “Hm, mimpi apa?”

“Bertemu manusia roh!”

“Ih, arwah orang mati? Jangan membuatku merinding. Kau membuat tengkukku berdiri, Peng Houw. Menyeramkan saja!”

“Tidak, ini benar. Baru-baru ini aku bertemu dengan arwah guruku dan seseorang lagi…”

“Ah, jangan bicara itu, yang lain saja!” gadis itu memotong. Peng Houw tersenyum. “Kau takut?”

“Bukan takut, tapi…. hm, bagaimana ya? Aku mengkirik, Peng Houw, seram. Bicaralah yang lain saja jangan tentang kematian!”

“Aku tidak bicara tentang kematian, justeru orang-orang yang amat luar biasa ini, guruku dan seseorang lagi.”

“Gurumu sudah wafat!”

“Benar, tapi yang lain ini belum, Li Ceng, dan sampai sekarang aku tak tahu apakah dia ini manusia atau bukan!”

Gadis itu terbelalak. Sesungguhnya Li Ceng tak suka bicara akan inĂ­, tapi mendengar Peng Houw berkata seaneh itu, apakah manusia atau bukan maka gadis ini berdebar ingin tahu juga, bertanya, “Maksudmu bahwa dengan kepandaianmu seperti ini kau tak tahu apakah dia manusia atau bukan? Kau tak dapat menangkapnya?”

“Bukan menangkap lagi, Li Ceng, melainkan disuruh mencekal lengannya. Dan aku dibawa terbang, benar-benar terbang!”

Gadis itu terkejut.

“Kau tahu berapa jarak Go-bi sampai Kun-lun? Kau tahu berapa lama seoorang berkepandaian tinggi harus lari cepat kesini?”

“Paling tidak dua hari tiga malam, Peng Houw, kalau tidak beristirahat dan berhenti di tengah jalan!”

“Benar, tapi aku dibawa setengah malam saja, bahkan tidak penuh. Aku tahu-tahu sudah di sini dan tertidur di luar guha kong-kongmu!”

“Jadi kau di situ seperti dibawa siluman?”

“Sst, bukan siluman, Li Ceng, melainkan seorang dewa berkesaktian mengagumkan. Aku benar-benar seperti mimpi!”

“Siapa dia itu, dan bagaimana kau dapat bertemu?”

“Aku bertemu di luar penjara Chi Koan, setelah arwah suhuku muncul.”

“Ih, jangan bicara tentang itu, Peng Houw. Yang ini saja, dewa yang kau sebut itu!”

“Hm, semuanya memang akan kuceritakan. Tapi jangan cengkeram tanganku sekuat ini, eh….!” Peng Houw terkejut, dicengkeram atau diremas kuat dan tiba-tiba dia heran melihat Li Ceng terbelalak memandang belakangnya.

Gadis itu mengeluarkan seruan pendek dan wajah tiba-tiba pucat sekali. Dan ketika ia terkejut dan mau bertanya mendadak gadis itu menuding telunjuknya berseru gemetar. “Peng Houw, itu…. itu apa! Ada manusia seperti hantu. Lihat, tubuhnya bersinar memancar terang. Dia di guha pertapaan kong-kong!”

Peng Houw menoleh, terkejut. “Itu kakek dewa itu!” serunya. “Ah, itu orang yang kuceritakan itu, Ceng-moi. Dia Sian-su!”

“Sian-su?”

“Benar, kakek dewa itu. Bu-beng Sian-su! Ah, ia menunggu dan sudah berada di situ. Mari, kita ke sana dan kukenalkan padamu!”

Namun dua anak muda ini tahu-tahu terangkat naik. Kakek itu, yang bersila dan memancar terang tiba-tiba tertawa mengangkat sebelah lengannya. Tawa lembut menyusup hati dan Li Ceng tiba-tiba berseru tertahan. Angin kuat namun amat halus menyambar bawah tubuhnya, membuat mereka terpental dan tahu-tahu terbang ke guha pertapaan.

Ya, terbang karena tempat itu tak kurang dari lima ratus meter jauhnya. Mereka meluncur dan menunggang seberkas sinar menuju kakek ini, sinar lembut berwarna putih kekuningan. Lalu ketika mereka tiba dan jatuh terbanting, sinar lenyap maka cucu Mutiara Geledek ini tertegun dan terbelalak lebar-lebar, mulutnya ternganga.

“Sian-su…!” Peng Houw sudah menjatuhkan diri berlutut dan menyadarkan gadis ini.

Li Ceng cepat berlutut dan ia takjub akan apa yang ia lihat. Seorang kakek berwajah lembut, namun tertutup halimun tampak di situ. Kakek ini bersila namun sepasang kakinya mengambang, tidak menyentuh bumi. Dan ketika dari seluruh tubuh kakek itu menyebar hawa hangat menembus kedinginan gunung, sinar terang namun tidak menyilaukan membuat mereka enak memandang maka gadis ini kagum. Karena baru sekaranglah dia tahu apa yang dimaksud Peng Houw. Mereka datang ke situpun seperti mimpi, menunggang seberkas cahaya!

“Hm, kau sudah menyebut-nyebut namaku,” tawa halus itu mulai bicara. “Tak ada jeleknya bertiga kita bicara, Peng Houw. Dan aku girang bahwa sahabatmu ini sudah dapat menerima kematian kakeknya. Bagus, kalian orang-orang muda memang harus mengisi hidup dengan semangat baru, jiwa baru. Jangan tenggelam dan berlarut dalam duka!”

Li Ceng berseri gembira. Ia, seperti orang-orang lain tentu saja sudah mendengar perihal kakek yang seperti dalam dongeng ini. Siapa tidak kenal atau mendengar nama Sian-su, Bu-beng Sian-su si kakek dewa yang amat hebat. Bukan hanya kepandaiannya yang setinggi langit melainkan juga kearif-bijaksanaannya.

Konon kakeknya pun mengaku bahwa kakek dewa ini memiliki pandang mata awas jauh ke depan, tahu akan hal-hal yang belum tahu dan waspada akan hal-hal yang bakal terjadi. Kakek sakti berkemampuan luar biasa yang entah berapa umurnya. Tak mampu diikuti tapi tahu-tahu dapat bersama siapapun kalau dia menghendaki.

Maka ketika malam itu tiba-tiba dia dapat berjumpa kakek ini, takjub dan kagum akan tubuh yang memancarkan sinar itu, juga wajah yang selalu tertutup dan hidup seperti dalam dongeng ini tiba-tiba saja gadis itu menjadi girang luar biasa di samping ngeri dan gentar seperti berhadapan dengan mahluk aneh yang datang dari lain bumi.

Li Ceng menatap wajah itu dengan pancaran tak terperi dan tiba-tiba ia terkejut ketika si kakek menoleh. Sorot bagai cahaya lampu senter keluar dari wajah halimun itu, membuat ia tersentak dan seketika menunduk.

Ia tak mampu berhadapan dengan sorot lembut itu, lembut namun tajam dan yang memaksanya untuk tunduk. Jantung seakan dipukul tambur hingga berdetak amat gencar. Tapi ketika tiba-tiba tawa lembut itu juga terdengar, kakek itu mengulapkan lengannya maka Li Ceng terbelalak mendengar seruan halus, kakek itu menggapai ke arah belakangnya. Jadi sorot itu sebenarnya ditujukan kepada belakang tubuhnya.

“Majulah, mendekatlah. Aku memang hendak minta ijin kepadamu, Kim Cu Cinjin. Tempatmu kupakai untuk berbincang-bincang sejenak!”

Li Ceng memutar kepala. Dari balik gerumbul, di bawah sebatang pohon muncullah suhengnya Kim Cu Cinjin. Tosu ini terbelalak lebar melihat ke depan, takjub namun tiba-tiba mengeluh dan maju berlutut. Dan ketika ia terpekik memanggil Sian-su, gemetar dan menggigil maka pimpinan Kun-lun ini terangkat bangun oleh sebuah tarikan kuat, kebutan lengan baju kakek dewa itu.

“Bangkitlah, duduklah. Aku berterima kasih kalau kau tak keberatan aku di sini Cinjin. Sekali lagi aku minta ijin untuk mempergunakan tempat ini sejenak.”

“Ah, silakan…. pakailah. Aku… aku bersyukur kalau kau berkenan hadir, Sian-su. Satu kehormatan besar bagi pinto bahwa kau datang ke Kun-lun!”

Kakek itu tertawa, lalu tiba-tiba berdehem. “Baiklah, terima kasih, Cinjin. Dan sekarang Peng Houw!”

Anak muda itu terkejut. Seperti Li Ceng iapun terbelalak dan takjub memandang wajah halimun itu. Ini untuk kedua kalinya bagi Peng Houw bertemu kakek luar biasa ini. Ia kagum, sudah berusaha mengerahkan sinkangnya untuk menembus kabut halimun itu namun tetap saja wajah si kakek tak dapat ditangkap. Ia hanya samar-samar saja.

Maka ketika tiba-tiba kakek itu menoleh dan sorot cahaya itu keluar menembus halimun, tajam dan amat kuatnya namun lembut dan penuh wibawa maka ia tak tahan dan menunduk, gentar!

“Maaf, Sian-su. Titah apa yang hendak kau berikan?”

“Hm, bukan aku, melainkan kau. Adakah sesuatu yang perlu kuberitahukan.”

Peng Houw menahan napas. Tiba-tiba ia ingat pesan gurunya bahwa ia harus mengikuti kakek dewa ini. Tapi lupa bahwa ia membawa sesuatu, Peng Houw berkerut kening maka pemuda itu bertanya apakah yang hendak diberikan.

“Aku… aku disuruh guruku mencarimu, menyertaimu. Bukankah Sian-su pernah bertemu mendiang suhu dan bercakap-cakap?”

“Hm, betul. Lalu apa katanya, anak muda. Apakah hanya itu saja?”

“Teecu… teecu, eh… ada!” Peng Houw tiba-tiba teringat. “Ada sesuatu yang hendak kutanya, Sian-su. Benar, tentang ini!” Peng Houw langsung merogoh dan mengambil sesuatu dari kantung bajunya, mencabut dan memberikan itu tapi kakek dewa itu tersenyum. Pemberian Peng Houw ditahan. Lalu ketika kakek dewa ini tertawa dan menunjuk Peng Houw maka kakek itu berseru,

“Ada orang lain di sini, bukan aku saja. Cobalah kau berikan kepada teman-temanmu dan perlihatkan dulu itu!”

Peng Houw tertegun, mengejap-ngejapkan matanya. Tapi ketika Kim Cu Cinjin bergerak dan maju, bertanya apakah yang dibawa itu maka tosu ini berseri dan bersinar-sinar, sudah mendengar kebiasaan aneh kakek dewa ini akan syair-syair luar biasa. Wejangan tentang kehidupan.

“Peng-siauwhiap, apakah yang kau bawa itu? Salahkah pinto kalau menebaknya sebagai syair!”

“Benar,” Peng Houw menoleh. “Kau tahu, Cinjin?”

“Ah, berikan pinto, siauwhiap. Barangkali tahu!”

Peng Houw memberikan dan si tosu menangkap. Kim Cu Cinjin adalah orang yang sudah lebih dulu mendengar daripada Peng Houw. Meskipun seperti dalam dongeng namun sesepuh-sesepuh Kun-lun bercerita itu. Mendiang Kun-lun Lojin pun ada menyebut-nyebut ini, bahkan pernah bicara bertemu kakek itu, sekali dalam hidup.

Dan teringat bahwa mendiang uwanya itu pernah menyinggung-nyinggung bekas pertemuannya dengan kakek ini di Go-bi, bersama mendiang Ji Leng Hwesio maka tosu itu tertarik akan cerita supeknya betapa kakek itu mengkritik dedengkot Go-bi!

“Mentakjubkan sekali, Ji Leng Hwesio tak mampu menjawab. Sian-su benar-benar manusia dewa luar biasa yang pinto sendiripun tak mampu menandingi kebijaksanaannya!”

“Peristiwa apa, supek. Tentang apa?”

“Hm, kritik tentang hidup, sepak terjang atau perilaku yang diambil sesepuh Go-bi itu.”

“Coba supek cerita kepadaku. Bolehkah aku tahu?”

“Hm, tak boleh karena ini bukan tugasku, Kim Cu, Menyangkut perasaan orang lain yang kita harus berhati-hati menceritakannya. Sebaiknya kau tak perlu tahu sampai kelak mendengar sendiri. Mudah-mudahan kau beruntung!”

Maka penasaran dan rasa ingin tahu itupun padam. Kim Cu hanya tahu bahwa saat itu Ji Leng Hwesio berdebat tentang sebuah syair, dedengkot Go-bi itu akhirnya terpojok. Dan ketika supeknya tak bicara lagi dan ia tak berani mendesak, urusan orang-orang tua memang tak sepatutnya dicampuri oleh yang lebih muda maka tosu ini menyimpan perasaannya dan malam itu tanpa disangka tiba-tiba penasarannya dihidupkan lagi, bangkit!

Kim Cu Cinjin sedang duduk bersila ketika dari luar jendela tiba-tiba ia melihat sesuatu yang luar biasa di balik puncak, yakni adanya sesosok manusia yang memancarkan sinarnya ke delapan penjuru. Mula-mula ia bengong, takjub, mengira mimpi tapi tiba-tiba ia tersentak ketika sebuah suara lembut berulang-ulang menyusup di telinganya.

Ia diminta keluar, ada sesuatu yang hendak dibicarakan. Dan ketika tosu ini melihat betapa seberkas sinar membawa sumoinya dan Peng Houw ke atas, dua orang itu seakan menunggang sinar gaib maka tosu ini melompat bangun dan secepat kilat ia menuju puncak.

Kim Cun Cinjin bengong. Ia tertegun di balik gerumbul sampai ternganga, melihat kakek itu dan teringat cerita mendiang supeknya. Itulah ciri-ciri si manusia dewa. Kun-lun kedatangan tamu agung! Dan ketika ia dipanggil dan kakek itu rupanya sudah tahu, menggapai dan menyuruh ia keluar maka tosu ini sudah duduk bersama Peng Houw, gentar dan ngeri namun juga senang sampai akhirnya Peng Houw mengeluarkan segulung kertas.

Tak ayal lagi ia teringat kisah supeknya dan menduga itulah syair yang dipergunjingkan. Peng Houw adalah murid mendiang Ji Leng Hwesio dan apalagi yang dibicarakan kalau bukan itu. Maka ketika ia menangkap dan menerima dari Peng Houw, membuka dan melihat isinya maka sumoinya, Li Ceng juga mendekat dan menggeser duduknya di dekat suhengnya ini.

“Apa itu suheng? Apa yang dibawa Peng Houw?”

“Syair,” tosu ini tak berkejap. “Ini kiranya yang dulu dikatakan supek, sumoi. Ah, tentu betul ini. Lihat, sama dengan punyaku!” tosu itu mengeluarkan segulung kertas lain.

Li Ceng maupun Peng Houw terbelalak. Tosu itu sudah membuka dan betul saja kertas itu adalah syair, isinya persis dengan yang dipunyai Peng Houw dan tertawalah tosu itu berseri-seri. Dan ketika Peng Houw terbelalak karena tosu ini juga mempunyai seperti yang dia punyai, dua bait syair terhampar di depan mereka maka tosu itu berseru,

“Ini adalah pemberian supek Kun-lun Lojin. Sebelum meninggal memberikannya kepadaku. Tapi aku tak mengerti sama sekali apa maksudnya, siauwhiap, dan sekarang kau juga memilikinya. Ah, Sian-su ada di sini, tentu beliau dapat memberitahukannya kepada kita!”

“Hm, benar, dan aku juga bertanya-tanya. Tak kusangka bahwa kau mempunyainya, totiang. Kalau begitu tentu ada hubungan. Aku juga tak mengerti dan selama ini bertanya-tanya!”

Kakek itu tertawa lembut. Li Ceng yang melihat dan membaca itu segera mengerutkan keningnya, ia tak mengerti. Dan karena Peng Houw maupun suhengnya sama-sama menyatakan tak mengerti, ia tentu lebih tak mengerti lagi maka kakek itu berseru,

“Coba kalian lihat dan amati baik-baik. Dan kau, apa yang pernah kau dengar dari mendiang supekmu, Cinjin. Barangkali sedikit banyak dapat membuka pengertian kalian.”

“Pinto tak mengerti apa-apa, Sian-su, hanya mendiang supek pernah berkata bahwa kau berdebat seru dengan Ji Leng lo-suhu. Ji Leng lo-suhu terpojok, marah dan tidak senang. Tapi syair yang kau berikan ini diambil dan satunya dibawa supek!”

“Kun-lun Lojin tak bicara lain?”

“Hanya itu saja, tak bicara lain karena katanya menyangkut sepak terjang atau perasaan ketua Go-bi itu!”

“Bagus, Kun-lun Lojin benar-benar bijaksana. Hm, agaknya harus kumulai dari awal, Cinjin. Tapi biarlah kutanya Peng Houw bagaimana pesan terakhir gurunya.”

Peng Houw berdebar. Ia terkejut juga bahwa pernah terjadi debat seru antara kakek ini dengan gurunya. Tiba-tiba teringatlah dia akan cerita gurunya bahwa betapa beberapa tahun yang lalu gurunya pernah mengagumi seseorang, bahkan dikatakan orang itu masih lebih tinggi daripada gurunya, kesaktiannya hebat dan gurunya mengaku kalah.

Dan ketika ia sekarang sadar bahwa kakek inilah kiranya yang dimaksud gurunya, betapa gurunya memang pantas mengakui dan mengagumi kakek ini maka Peng Houw memandang takjub dan bersinar-sinar. Tapi ia terkejut oleh pertanyaan kakek itu.

“Anak muda, ceritakan kepadaku apa pesan terakhir gurumu. Maksudku, yang ada hubungannya denganku.”

“Teecu… teecu hanya disuruh mencari dan menemukan Sian-su, menunjukkan dan bertanya tentang syair ini.”

“Gurumu tak bicara apa-apa?”

“Tidak, ada apakah, Sian-su. Suhu menyuruh teecu mendengarkan petuah Sian-su!”

“Kalau begitu gurumu menyerahkan ini kepadaku. Bagus, aku dapat berbicara bebas!” dan mengebutkan lengannya membersihkan tempat duduk kakek itu menarik napas dalam-dalam melanjutkan, “Peristiwanya lama, jauh sebelum anak muda ini dan Chi Koan berada di Go-bi. Pembicaraan berkisar pada dua murid utama Ji Leng Hwesio….”

“Ah, maksud Sian-su adalah Lu Kong dan Beng Kong-susiok?” Peng Houw memotong.

“Benar, mereka itu, anak muda, guru dan paman gurumu.”

“Ada apa dengan mereka, apa yang dibicarakan?”

“Bersabarlah, kita akan ke sana. Waktu itu, ketika guru dan paman gurumu masih sama-sama muda aku bertemu dengan kakek gurumu itu, yang akhirnya menjadi gurumu juga. Kukatakan bahwa di antara dua muridnya ini satu berwatak buruk, bakal membawa petaka bagi Go-bi. Tapi karena pendapatku meluncur begitu saja dan waktu itu Ji Leng lo-suhu lagi sayang-sayangnya kepada murid maka kata-kataku membuat ia marah dan menegur aku.”

“Siapa yang Sian-su maksud, apakah Beng Kong-susiok?”

“Kau tak sabaran,” kakek itu tertawa. “Dengar dan lihat saja apa yang terjadi, Peng Houw. Tapi kau benar, yang kumaksud adalah paman gurumu itu, Beng Kong. Waktu itu ia amat disayang kakek gurumu sementara gurumu sendiri kurang. Murid nomor dua ini dinilai lebih cakap dan pandai mengambil hati. Dan ketika kata-kataku dirasa menyinggung hatinya, Go-bi-paicu marah-marah maka ia menantangku untuk bertaruh!”

“Ah, dan Sian-su menanggapi?” Kim Cu kali ini memotong.

“Tidak, aku hanya tersenyum saja, Cinjin, dan kebetulan waktu itu supekmu ada di sana. Go-bi dan Kun-lun memang saling berkunjung.”

“Hm, kemudian bagaimana?” Peng Houw tertarik, terbawa cerita ini. “Apa yang kau katakan, Sian-su, dan bagaimana kemudian kata-kata guruku.”

“Ia memaki-maki aku, menantang. Aku tidak melayaninya kemudian aku pergi….”

“Ah, supek bercerita bahwa Sian-su diserang. Ji Leng lo-suhu terbanting dan roboh!”

“Hm, mungkin saja. Aku tak tahu. Yang jelas aku tak menyambuti namun beberapa hari kemudian kami bertemu lagi, supekmu juga ada di sana.”

Peng Houw kagum. Gurunya, dedengkot Go-bi ternyata roboh sendiri menghantam kakek ini. Dan melihat betapa kakek itu tak menanggapi kata-kata Kim Cu, bersikap merendah dan pura-pura tak tahu maka ia semakin kagum saja kepada kakek dewa ini. Pantas kalau gurunya menaruh kagum dan hormat yang tinggi!

“Lalu bagaimana?” dia bertanya. “Apa kata suhu, Sian-su. Apakah ia menyerangmu lagi?”

“Aku diserang dengan kata-kata, tetap diajak bertaruh. Tapi aku mengelak dan tidak meladeni. Hm, waktu itu Ji Leng lo-suhu mabok dan lagi senang-senangnya terbawa kesombongan.”

Kakek ini menarik napas dalam dan tersenyum penuh maklum, terkenang dan teringat peristiwa itu dan Peng Houw serta dua temannya seolah menyaksikan. Mereka membayangkan betapa waktu itu Ji Leng Hwesio memang masih belum tua benar, barangkali baru empat puluhan dan itu usia relatif muda bagi seorang pemimpin partai, apalagi sebesar Go-bi. Dan ketika mereka mengangguk-angguk dan menyatakan tahu, bertanya lagi maka kakek itu melanjutkan,

“Go-bi-paicu (ketua Go-bi) marah berat oleh kata-kataku dulu. Ia benar-benar tersinggung. Dan ketika pada perjumpaan kedua kalinya ia menantang untuk membuktikan benar tidaknya kata-kata itu maka ia bersumpah tak mau melihat dunia lagi kalau muridnya yang disayang, Beng Kong, benar-benar membawa petaka dan berwatak buruk!”

“Hm, dan itu yang membuat Ji Leng lo-suhu lalu mengasingkan diri, bertapa!” Kim Cu Cinjin mengangguk-angguk.

“Benar, Cinjin, tapi aku tak mau membuatnya marah lagi. Sebenarnya bukan maksudku untuk membuat marah siapapun, karena kebetulan waktu itu Ji Leng lo-suhu sedang mencari sebutir mutiara hidup!”

“Ah, apa maksudnya, Sian-su?” Peng Houw tak tahan.

“Artinya waktu itu dua sahabat itu sedang mencari sebuah kebenaran. Mereka bicara tentang kehidupan, membuka isi kitab-kitab suci dan masing-masing belajar menemukan sesuatu. Kalau saja tidak karena ini tentu aku juga tak muncul.”

“Hm, menarik sekali. Pinto jadi teringat bahwa mula-mula kejadian itu memang berasal dari sini. Mendiang supek pernah berkata bahwa waktu itu Ji Leng lo-suhu dan ketua kami membuka-buka isi kitab, mencari makna tentang sebuah kejujuran!”

“Bagus, betul itu. Dan apa kata supekmu, Cinjin. Coba katakan!”

“Mereka berdua menemukan bahwa kejujuran adalah segala-galanya. Kejujuran adalah kunci keberhasilan hidup. Karena sekali orang tidak jujur maka jalan menuju kesucian mulai dihancurkan!”

“Hm, anak muda ini barangkali dapat bicara sedikit tentang isi kitab yang pernah dihapalnya. Hayo, baca sebuah ayat tentang ini Peng Houw. Coba kami dengar!”

Peng Houw terkejut. Waktu itu ia sedang asyik menikmati pembicaraan Kim Cu Cinjin dengan kakek dewa ini, terkejut ketika tahu-tahu dituding. Tapi mengangguk dan teringat sebuah ayat dari kitab suci Dhammapada, tentu saja yang ada hubungannya dengan ini maka dia mengangkat muka berseru lantang,

“Teecu teringat mendiang suhu mencorat-coret sebuah ayat dari ayat 9 bab 19. Barangkali ini yang suhu maksud. Biarkan aku membacanya, Sian-su dan maaaf kalau keliru!” lalu mengerahkan ingatan melihat kakek itu mengangguk pemuda inipun membaca, nyaring:

Bukanlah dengan menggundul kepalanya orang yang suka menyeleweng tak berdisiplin, suka berbohong akan menjadi seorang bhiku. Bagaimana mungkin seseorang yang penuh keinginan dan kelobaan akan dapat menjadi seorang bhiku?

“Bagus, ha-ha.. memang betul!” kakek itu tertawa. “Betul apa yang kau baca, Peng Houw. Memang dari sinilah mula-mula kejadian ini berawal. Gurumu mendiang Ji Leng lo-suhu memang membaca itu. Tepat. Tapi bagaimana pendapatmu apakah itu salah atau tidak?”

“Tidak!”

“Dan kau, Kim Cu totiang?”

“Juga tidak, Sian-su, ayat itu tidak salah!”

“Artinya?”

“Seseorang yang penuh kelobaan dan keinginan memang tak mungkin membersihkan hatinya. Ia tak mungkin dapat menuju kesucian!”

“Bagus, dan kau, Peng Houw?”

“Sama dan sependapat, Sian-su. Orang yang penuh keinginan dan loba tak mungkin jujur. Ia tak dapat memiliki sorga!”

“Bagus, dan kalian sependapat kalau masing-masing ketua kalian sama-sama menghargai dan mengagungkan kejujuran? Salahkah bila dikatakan bahwa kejujuran itu mutlak diperlukan?”

“Tentu saja, Sian-su. Tanpa kejujuran tak mungkin orang lain percaya!” Peng Houw dan Kim Cu Cinjin hampir serentak bicara.

“Tapi kenyataannya,” kakek itu tertawa. “Tidak semua kejujuran disukai orang Kim Cu Cinjin. Dan gara-gara inilah Go-bi-paicu marah besar kepadaku Ha-ha!”

Dua orang itu terkejut. Peng Houw dan Kim Cu Cinjin terbelalak dan mereka melihat betapa kakek itu tiba-tiba tertawa besar, senang dan rupanya begitu gembira hingga dua orang ini tertegun. Mereka tercengang, juga kaget. Tapi ketika kakek itu berhenti tertawa dan tiba-tiba mengusap dua titik air matanya, Peng Houw bengong maka Kim Cu Cinjin berseru,

“Sian-su, tak mungkin kejujuran ditolak orang. Tak mungkin sebuah kejujuran membuat orang marah. Pinto tak mengerti bagaimana ini dan dapatkah kau jelaskan?”

“Hm, tentu akan kujelaskan, dan kalian dengarlah. Dua orang ketua kalian itu sedang asyik bicara tentang sebuah kejujuran, dan itu benar. Tapi ketika aku masuk dan nimbrung bicara tiba-tiba saja patokan yang mereka buat dilanggar sendiri oleh Go-bi-paicu, dihancurkan. Aku tahu akan hal ini tapi sengaja kulakukan, demi menyadarkan ketua Go-bi itu.”

“Hm, apa maksud Sian-su?” Peng Houw kini bertanya, “Aku jadi bingung akan arah kata-katamu, Sian-su. Bolehkah aku tahu?”

“Baik, dengarkan. Di dalam kitab apa pun, di jaman apapun semua orang tentu setuju bahwa kejujuran haruslah dimiliki seseorang apabila dia ingin hidup bersih dan agung. Kejujuran adalah kunci hidup, begitu katanya. Tapi harap dimaklumi saja bahwa tidak semua kejujuran harus dimiliki atau dilepas begitu saja!”

Peng Houw mengerutkan kening, tak setuju. “Jadi maksud Sian-su bahwa seseorang boleh sewaktu-waktu tidak jujur?”

“Tergantung keadaannya, anak muda. Apakah saat itu kejujuran itu diperlukan atau tidak. Sebab kenyataannya tidak semua orang bisa dan pasti dapat menerima kejujuran ini.”

“Ah, tak mungkin, membingungkan! Aku tak percaya bahwa ada orang yang tidak suka akan kejujuran!” “Tapi gurumu telah membuktikan itu. Dan aku kena semprot habis-habisan!” kakek itu tersenyum.

“Kena semprot? Mendiang guruku tak menerima sebuah kejujuran?”

“Hm,” kakek itu menoleh, tertawa lembut. “Coba kau yang lebih tua merenungkan ini, Kim Cu Cinjin, barangkali kau dapat menangkap lebih baik daripada anak muda itu. Cobalah!”

Kim Cu Cinjin bingung. Ia terkejut dan merah padam mendengarkan ini. Ia juga merasa ganjil bahwa kejujuran harus “disesuaikan keadaan”. Apa artinya ini, apa maunya! Tapi karena kakek itu adalah seorang manusia bijak dan ia adalah kakek dewa yang tentu tidak main-main, janggal juga mendengar kejujuran tak dapat diterima ketua Go-bi maka tosu itu mengingat-ingat dan memeras otaknya, mencari dan merenung apakah kira-kira yang hendak dimaksudkan kakek itu. 

Masa orang diharuskan tidak jujur, boleh bohong dan sebangsanya itu padahal kitab-kitab sucipun tidak menganjurkan! Dan ketika ia mengingat-ingat namun bingung tidak menemukan, di sana Peng Houw juga penasaran maka tosu ini menggeleng, menarik napas dalam, merasa gagal.

“Pinto tak menemukan apa yang seharusnya pinto temukan. Pinto tetap berpendapat bahwa kejujuran disuka orang!”

“Bagus, dan kau, Peng Houw?”

“Sama, Sian-su. Di mana-mana orang suka kejujuran!”

“Ha-ha, dan kau, nona?”

“Aku, eh…..” Li Ceng terkejut. “Sama dengan mereka, Sian-su. Tak mungkin ada orang tak suka orang lain jujur!”

“Ha-ha-ha, kalian terjebak, tertipu! Kenyataannya tidak seperti yang kalian bayangkan, anak-anak. Ada kejujuran yang tidak dapat diterima orang, dan itu adalah fakta! Aku sengaja menemui Go-bi-paicu itu agar ia tak terbius oleh pendapat dan ketentuan umum ini. Bahwa ada ketentuan „khusus‟ yang harus disadari dan dimengerti. Atau kalian bakal mengalami sesuatu yang tidak enak yang membuat kalian tak enak tidur tak enak makan!”

Tiga orang itu terkejut. Tawa dan kata-kata nyaring kakek ini membuat mereka semakin penasaran saja, Peng Houw bahkan bangkit berdiri dan mengepal tinju. Ia berpikir kakek ini hendak menyesatkan. Tak mungkin ada kejujuran yang tak disuka orang lain. Bohong! Tapi ketika sebuah tangan mencekal lengannya dan Kim Cu Cinjin mengedip, memberi tanda maka pemuda itu disuruh duduk lagi sementara Bu-beng Sian-su seakan tak perduli.

“Duduklah, tenanglah. Tentu kakek ini akan memberitahukan kita apa maksudnya. Tenanglah, Peng Houw, pinto juga penasaran tapi pinto percaya kakek ini bicara serius sungguh-sungguh. Kita dengarkan saja dan apa kata akhirnya nanti. Itu yang penting!”

Peng Houw sadar. Ia cepat duduk kembali dan matanya yang bersinar-sinar menembus kabut halimun di wajah kakek itu, gagal. Ia penasaran sekali tapi kagum bahwa cahaya yang memancar di tubuh kakek itu semakin kuat saja, mencorong dan semakin berkilauan, bagai dibungkus cahaya gaib.

Kakek ini rupanya berasal dari Langit, bukan bumi! Dan ketika ia mendecak sementara dua temannya juga takjub, getaran kuat mulai terasa dan kepala mereka tiba-tiba seakan disusupi hawa aneh, hangat dan lebih terang tiba-tiba kakek itu berseru,

“He, kau, nona. Baca dan suarakanlah dengan lantang syair di depan Peng Houw!”

Li Ceng terkejut. Ia juga tegang dan tertarik sekali mengikuti pembicaraan ini, diam-diam juga tak sependapat bahwa kejujuran ada yang tak disukai orang. Barangkali hanya orang gila yang bersikap seperti itu! Tapi ketika ia ditunjuk sementara syair di depan Peng Houw dan suhengnya masih terbentang, ia menunduk maka bagai dikendalikan pengaruh gaib cucu Lo Sam ini membaca syair itu, lantang, penuh kekuatan:

Merajut benang berwarna-warni
pilih yang putih hitam pun jadi
asal senang diri sendiri
jujur dan budi apalah arti.

Gampang ditelan tak gampang hancur
ada peristiwa di gurun Go-bi
kalau nasib lagi tak mujur
sudah amat bersakit hati!


“Ha-ha, bagus, cocok. Sekarang coba renungkan sekali lagi barangkali kalian dapat menemuken sesuatu yang penting dalam syair ini!” kakek itu berseru.

“Hm!” Kim Cu Cinjin memeras otaknya lagi, dipaksa. Sudah berkali-kali kubaca, Sian-su, tapi biarlah kucoba.”

“Aku juga,” Peng Houw mengangguk, “juga sudah kubaca berulang-ulang, totiang. Tapi rasanya tetap bodoh aku ini!”

“Sementara aku tak mengerti, masih bingung,” Li Ceng membelalakkan mata, baru kali itu membaca dan gadis yang selesai bersuara lantang ini bersinar-sinar. Ia tertarik tapi tak mengerti arah tujuan itu, juga karena belum matang benar pengalaman batinnya.

Maka ketika ia terbelalak sementara dua temannya berpikir keras, Kim Cu Cinjin adalah orang tertua di situ maka tosu yang mulai mendapat petunjuk dan mendengar kata-kata Sian-su tadi mendadak menepuk dahinya.

“Ah, ketemu. Barangkali ketemu!”

“Apa itu?” kakek ini berseri tertawa. “Katakan kepada kami, Cinjin, barangkali kau benar.”

“Pinto tak yakin, tapi barangkali saja cocok. Maksud pinto, eh….. Go-bi-paicu kurang tahu budi. Diberi tahu yang baik malah marah-marah. Ia sombong dan terbawa rasa benarnya sendiri. Syair itu menekankan pada ketidakjujuran, tak mau jujur terhadap diri sendiri!”

“Ah, melenceng, separoh benar. Justeru kebalikannya, Cinjin. Syair ini bicara tentang kejujuran, ha-ha!”

Muka tosu itu merah. “Kalau begitu… kalau begitu pinto tak sanggup!”

“Ha-ha, coba kau, anak muda. Sudah kuberi petunjuk yang jelas. Syair ini bicara tentang kejujuran, bukan ketidakjujuran. Cobalah kauamati dan-tangkap itu!”

Peng Houw semburat. Agak merah mukanya mendengar kata-kata Kim Cu Cinjin tadi. Gurunya dinyatakan sombong dan kurang tahu budi! Tapi karena pembicaraan berkisar pada syair dan siapapun dapat saja menyimpulkan, tadi kakek itu sudah sedikit bercerita maka ia memeras otak namun masih juga merasa gagal, berat.

“Teecu tak sanggup, dan teecu tak berani menjelek-jelekkan guru sendiri, biarpun itu telah lewat!”

“Ha-ha, kalau begitu macet. Kau tak akan pernah dapat belajar. Baik, kau saja, Cinjin. Coba kuberi petunjuk lagi akan ini. Dengar, maaf aku hendak mengungkit sedikit masalah pribadimu, masa mudamu. Bolehkeh kulanjutkan?”

Tosu ini tergetar, berubah. “Maksud Sian-su, kau… kau hendak bicara apa?”

“Masa silammu yang hitam, Cinjin, bolehkah kuteruskan?”

Tosu ini pucat. Tiba-tiba ia berubah hebat dan tampak betapa sejenak ia menegang. Tosu itu merah hitam, lalu pucat lagi. Namun ketika ia menggigil dan mengepal tinjunya, mengangkat dada maka ia mengangguk. “Silakan, Sian-su!”

Kakek itu tersenyum. Ia menggeleng dan menarik napas dalam, tidak jadi. Dan ketika ia menoleh pada Li Ceng dan ganti bertanya bolehkah ia sedikit bicara tentang kehidupan pribadi gadis itu maka Li Ceng terkejut, berdesir.

“Sian-su hendak bicara apakah? Rasanya aku tak mempunyai sesuatu yang kelam, penting.”

“Betul, kau tidak, nona. Tapi ibumu…”

Li Ceng menjerit. Tiba-tiba ia tersentak dan meloncat bangun, otomatis menghentikan kata-kata kakek itu. Dan ketika kakek itu tersenyum dan tidak jadi melanjutkan kata-katanya lagi, ia memang mencoba maka gadis ini menggigil dan menolak. “Tidak… tidak, aku tidak bersedia!”

Dan gadis itupun menangis. Peng Houw tertegun namun Kim Cu Cinjin mendekati sumoinya ini, mengelus dan menyuruhnya duduk. Dan ketika tosu itu juga menggigil dan gemetar tak keruan, wajahnya pucat dan merah berganti-ganti mendadak tosu ini menganguk-angguk.

“Sian-su, aku sudah mengerti. Pinto mengerti!”

Peng Houw dibuat tertegun lagi. Belum hilang rasa herannya kepada Li Ceng mendadak ia bengong memandang tosu ini. Begitu cepatnya Kim Cu Cinjin menyatakan mengerti setelah dua kali berturut-turut kakek dewa itu bertanya kepada temannya. Dan ketika ia terbelalak dan heran, bagaimanakah sebenarnya jawaban itu maka kakek ini berdiri dan tertawa.

“Kalau begitu tak perlu lagi aku di sini. Kau dapat menjelaskan kepada kawan-kawanmu.”

“Tidak, nanti dulu!” tosu itu berseru. “Betapapun kehadiranmu kuperlukan, Sian-su, untuk memperjelas dan mempermatang masalahnya. Anak-anak ini penting!”

“Hm, kalau begitu baiklah. Tapi katakan sampai di mana pengertianmu tadi. Bicaralah.”

“Pinto… pinto seperti mendiang Go-bi-paicu. Ternyata tanpa sadar juga bersikap seperti itu. Ah, pinto nyaris khilaf, Sian-su, tapi beribu terima kasih bahwa kau menyadarkannya!”

Luar biasa, tosu ini tiba-tiba berlutut dan mengangguk-anggukkan kepalanya. Peng Houw yang merasa belum mendapat jawaban menjadi semakin menjublak saja oleh semuanya ini. Ia benar-benar heran, terkejut. Namun ketika kakek itu menggerakkan tangan dan tosu itu terangkat naik maka kakek ini berkata,

“Sudahlah, mendapatkan kesadaran berarti sedang menuju kepada kehidupan yang lebih baik, Cinjin, bangkit dan duduklah dan kita lanjutkan pembicaraan ini.” Lalu memandang Li Ceng kakek itu berkata, “Dan kau, tak perlu khawatir, nona. Aku hanya mencobamu saja. Aku tak akan bicara tentang itu seperti juga aku tak akan bicara tentang kisah lama suhengmu.”

Li Ceng masih menangis. Ia terpukul dan begitu terkejut oleh kata-kata Bu-beng Sian-su tadi dan Peng Houw semakin melebarkan mata saja. Ia penasaran melihat semuanya ini. Ada apa dengan Kim Cu Cinjin dan ibu gadis itu. Ada apa dengan mereka. Tapi Li Ceng yang rupanya tak kuat tiba-tiba bergerak dan memutar tubuhnya, lari pergi.

“Sian-su, aku tak dapat mengikuti ini. Maaf, aku pergi!”

Kakek itu mengangguk-angguk. Senyum iba membayang dan rasa ingin tahu Peng Houw menjadi lebih besar lagi. Kalau Li Ceng sampai tak tahan tentu ada sesuatu yang menarik, amat menarik! Tapi ketika ia terbelalak dan memandang kepergian gadis itu maka Kim Cun Cinjin menarik napas dalam dan bicara lirih,

“Ah, semakin mengokohkan pengertianku saja. Semakin mendalamkan pelajaran batin. Tak heran kalau Go-bi-paicu juga bersikap seperti itu, Sian-su. Kejujuran macam ini sungguh berat diterima!”

“Hm, apa yang totiang dapat? Bagaimanakah semuanya ini? Aku jadi bingung dan semakin tak mengerti, totiang. Bolehkah aku tahu dan dapatkah kau menjelaskannya?” Peng Houw tak tahan.

“Pinto memang akan bicara, dan sebaiknya mulai dari diri pinto dulu. Hm, inti syair itu telah kudapat, Peng-siauwhiap. Dan Sian-su memang betul. Pinto menyerah!”

“Apa yang kau dapat?”

“Kenyataan hidup yang pahit, sebuah kejujuran yang tak dapat diterima….”

“Eh!” Peng Houw terkejut. “Kau juga tak menerima sebuah kejujuran totiang? Maksudmu kau menolak kejujuran ini? Kau gila?”

“Hm, tidak gila, tapi semua dari kita kebanyakan akan bersikap seperti ini. Dalam hal ini, kejujuran seperti itu memang amat kumusuhi, kubenci!”

Peng Houw mencelat. Ia sampai berseru keras mendengar dan melihat betapa tosu itu menolak kejujuran. Sikap dan kata-katanya tegas, wajah itupun merah dan keras. Padahal baru saja ia dan tosu ini sama-sama mengagungkan dan menghargai kejujuran. Maka ketika ia terduduk lagi dan membelalakkan mata lebar-lebar, jangan-jangan kakek dewa itu memberikan pengaruh sesat maka Peng Houw menuding dan menggigil,

“Totiang, kau… kau dan aku baru saja sama-sama mengagungkan sebuah kejujuran. Kenapa tiba-tiba sekarang kau berbalik sikap. Tidak waraskah kau?”

“Hm, tenanglah. Untuk kejujuran yang ini memang kutolak keras, siauwhiap, kubenci. Dan kaupun tentu sependapat karena hampir semua dari kita bersikap seperti itu.”

“Tak mungkin! Aku tak percaya!”

“Baik, tapi kau akan membuktikan,” dan ketika pemuda itu gemetar dan terbelalak memandangnya, Peng Houw seakan disengat listrik maka tosu ini batuk-batuk dan membungkuk di depan kakek dewa itu, bertanya, “Bolehkah pinto teruskan….?”

“Ha-ha, teruskanlah,” kakek itu tertawa, “jangan buat pemuda ini penasaran, Cinjin. Agaknya kartu memang sudah harus dibuka!”

Peng Houw melotot. Tawa kakek itu seakan membuatnya panas, Kim Cu Cinjin rupanya sudah masuk perangkap. Tapi ketika kakek itu tenang-tenang saja dan tidak perduli kepadanya, bersikap biasa dan wajar adalah Kim Cu Cinjin ini membalik dan menghadapinya lagi.

“Peng-siauwhiap, tahukah kau masa silamku?”

Peng Houw tertegun. Sama sekali tak disangkanya bahwa pertanyaan kakek itu adalah awal mula percakapan. Dia ditanya tentang masa lalu kakek ini. Tapi karena dia tak tahu dan juga tak ingin tahu, itu adalah pribadi tosu itu maka Peng Houw menggeleng, menjawab,

“Kupikir tak perlu aku tahu. Urusan itu adalah pribadimu, totiang, aku tak tahu, dan tak ingin tahu!”

“Salah, kalau begitu jawaban ini tak akan muncul. Inti syair tak akan keluar.”

“Maksudmu?”

“Kau harus tahu tentang pinto, siauwhiap, masa lalu pinto.”

“Apakah ada hubungannya dengan ini?”

“Jelas, bahkan berhubungan erat. Dan ibu Li Ceng tadi juga tersangkut.”

“Ah!” Peng Houw membelalakkan mata. “Kau serius, totiang? Kau bersungguh-sungguh?”

“Orang setua pinto tak perlu main-main, siauwhiap. Untuk apa?”

“Hm, baiklah!” Peng Houw penasaran juga. “Baiklah kukatakan aku tak tahu masa lalumu, totiang. Kalau kau hendak bercerita silakan. Yang jelas aku tak memaksamu!”

“Pinto tahu, dan harap diketahui saja bahwa dulunya pinto bukan orang baik-baik. Di masa muda pinto telah tiga kali pinto melarlkan isteri orang!”

“Apa?”

“Dengarlah, pinto serius, siauwhiap. Pinto bersungguh-sungguh kalau pinto katakan bahwa dulunya pinto bukanlah orang baik-baik. Di masa muda pinto telah melarikan tiga kali isteri orang, pinto perusak rumah tangga!”

“Tapi kau seorang tosu, pendeta!”

“Dulunya belum, tapi setelah bertemu mendiang supek dan dibawa ke sini maka pinto berubah. Itu masa lalu pinto yang hitam!”

Peng Houw terbelalak. Sama sekali tak disangkanya bahwa orang yang sekarang memimpin Kun-lun ini dulunya seorang jahat. Hampir tak dapat ia percaya. Tapi karena tosu itu sudah menjadi baik dan selama inipun ia tak melihat sesuatu yang buruk maka Peng Houw berkata, tak perduli,

“Baik, tapi masa lalumu sudah habis, totiang, Kau sudah berubah. Lalu apa hubungannya ini dengan itu?”

“Erat, ah, erat, siauwhiap. Erat sekali. Tapi tidak ingin tahukah kau akan ibu Li Ceng itu?”

“Hm,” Peng Houw merah padam. “Bukan watakku untuk mengetahui dan membicarakan pribadi orang lain, totiang. Untuk apa lagi ini?”

“Kau harus tahu, agar kau mengerti. Atau kau tak akan mengerti sama sekali akan maksud Sian-su yang utama!”

Peng Houw membelalakkan mata. Untuk kesekian kalinya lagi ia melotot memandang tosu ini, tapi karena dikatakan ada hubungannya dengan itu maka ia mengangguk juga, meskipun diam-diam tak senang, merasa kurang puas. “Baiklah, katakan sekali lagi, totiang. Tapi setelah itu cukup dan jangan bicara tentang pribadi orang lain!”

“Pinto tidak bermaksud membicarakannya untuk tujuan yang buruk. Pinto justeru hendak membuka matamu agar sadar, melek!”

“Baik, totiang, katakan!”

“Hm, ibu Li Ceng juga bukanlah wanita baik-baik seperti pinto dulu. Kalau pinto suka melarikan isteri orang dan merusak rumah tangga adalah ibu gadis itu suka meninggalkan suami dan mencari pemuda-pemuda tampan, rumput-rumput segar!”

“Apa?”

“Maaf, duduklah kembali, Peng-siauwhiap. Inilah kenyataan hidup yang pahit bagi kami. Ada hal-hal tak menyenangkan yang kalau dibicarakan memang menimbulkan sakit dan penolakan!”

“Hm!” Peng Houw gemetar, tak menyangka. “Ceritamu mengejutkan, totiang. Tapi apa hubungannya ini. Untuk apa semua itu kau bicarakan?”

“Kau tak mengerti juga? Bodoh! Kepalamu terlampau panas, siauwhiap. Kau terbawa emosi mu sendiri. Dengar dan cam-kan ini bahwa sesungguhnya KEJUJURAN YANG MENYAKITKAN tak dapat diterima. Nah, jelas atau tidak!”

Peng Houw terhenyak. Ia sampai terkejut kepalanya membentur pohon di belakang, berdenyut dan sejenak berkunang namun pulih. Ia begitu kaget dan tersentak oleh geraman tosu itu. Ia terbelalak. Lalu ketika ia merasa melayang-layang betapa ibu kekaslhnya adalah seorang wanita yang suka memburu rumput-rumput segar, ibu Li Ceng suka meninggalkan suami dan tidak setia maka tosu itu melanjutkan, juga penuh geram.

“Lihat dan dengar bagaimana perasaanmu kalau seseorang bicara jujur tapi menyakitkan, Peng-siauwhiap. Apakah kaupun dapat menerima kejujuran ini meskipun itu fakta. Lihat dan rasakan bagaimana kalau seandainya Sian-su tadi menelanjangi aku habis-habisan. Lihat dan dengar bagaimana perasaan Li Ceng kalau Sian-su tadi jadi menceritakan itu. Apakah tidak tercabik-cabik?”

Peng Houw mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja ia sadar bahwa memang tidak semua kejujuran dapat diterima orang. Kalau itu menyakitkan, merobek, jelas akan ditolak. Ah, siapa dapat menerima kejujuran macam ini, meskipun itu jujur! Dan ketika ia mengangguk-angguk dan mengerti, perih dan luka bahwa ibu dari kekasihnya ternyata bukan wanita baik-baik maka Peng Houw membuktikan bahwa iapun merasa sakit, pedih!

Ada semacam perasaan luka tertusuk mendengar itu, padahal itu tidak menyangkut dirinya langsung. Peng Houw sekararg dapat merasakan bagaimana seandainya kenyataan itu langsung dialami. Tentu pedih dan sakit, luka! Maka mengangguk dan buram memandang ke depan, air mata tiba-tiba meleleh maka Peng Houw mendengar lagi tosu Kun-lun itu bicara, melanjutkan.

“Begitu juga dengan mendiang suhumu. Boleh jadi ia amat menyayangi murid, Peng-siauwhiap. Boleh jadi ia lebih mencintai Beng Kong daripada Lu Kong. Tapi begitu seseorang meramal dan membuktikan muridnya durhaka maka hwesio itupun tak kuat. Ia tak dapat menerima kejujuran ini, karena kejujuran itu menyakitkan. Dan karena itu menyakitkan maka sebagian besar dari kita tentu menolak. Jadi tidak salah kalau Sian-su mengatakan bahwa ada sebuah kejujuran yang tak dapat diterima manusia, dan itu adalah kejujuran yang menyakitkan!”

Peng Houw merasa melayang-layang. Ia masih terbawa oleh cerita tentang ibu Li Ceng tadi. Ia masih tertusuk dan pedih. Pantas kalau gadis itu tak kuat dan pergi. Dan ketika ia meleleh dan semakin buram, air mata itu lebih deras mengalir maka Peng Houw tak mendengar lagi kata-kata dan seruan tosu itu.

Betapa Kim Cu Cinjin menelanjangi diri sendiri, betapa tosu itu menelanjangi ibu Li Ceng dan Ji Leng Hwesio. Dan ketika tosu itu juga menelanjangi orang-orang lain, sebagian besar dari mereka maka Peng Houw berkedip-kedip dan duduk bagaikan patung melihat tosu itu berhadapan dengan Bu-beng Sian-su.

Kakek dewa itu tersenyum-senyum dan sesekali mengangguk, menceritakan bahwa manusia sering “merajut” benang hidup yang berwarna-warni. Kalau tidak mendapatkan yang putih hitampun jadi. Kalau yang baik tidak ada jelekpun boleh! Dan ketika semua itu berlanjut dengan tingkah laku manusia yang cenderung mementingkan diri sendiri, tak perduli jujur dan budi maka pembicaraan ditutup dengen pesan sederhana.

“Kejujuran tentu disuka semua orang, kejujuran adalah mutiara hidup yang tentu disenangi siapa saja. Tapi kalau kejujuran sudah bersifat menyakitkan, betapapun jujurnya maka kejujuran macam begini ternyata gampang ditelan tapi tak gampang dihancurkan. Orang boleh bicara gembar-gembor tentang kejujuran, tapi begitu diserang oleh kejujuran macam ini maka ternyata tak semua orang bisa menerima dan itu sudah tidak jujur lagi. Munafik!”

“Jadi apa yang harus dilakukan, Sian-su?”

“Melihat dan mengawasi diri sendiri, mengontrol ketidakjujuran kita. Kalau dulu Ji Leng Hwesio mau jujur dan bersikap apa adanya tentu tak mungkin timbul peristiwa semacam ini yang bakal berlarut-larut, menyeret orang lain dan merugikan orang lain pula.”

“Pinto melihat, pinto mengerti…” tosu itu mengangguk-angguk. “Kalau sudah begini tentu tak akan ada apa-apa lagi, Sian-su. Kita benar-benar jujur lahir batin. Pinto amat berterima kasih!”

“Hm, sekarang kita lihat anak muda itu, apakah ia jujur atau tidak!”

Peng Houw tak mendengar ini. Ia masih terbawa oleh lamunannya sendiri dan mendelong, mata kosong ke depan sementara pikiran melayang-layang tak keruan. Ia benar-benar terkejut dan terguncang oleh berita Li Ceng tadi, ibunya. Hampir tak percaya namun cerita itu sudah didengar.

Dan ketika ia juga tak tahu betapa dua orang itu sudah tak berada di depannya lagi, Sian-su lenyap sementara Kim Cu Cinjin bergerak turun gunung, terhuyung namun berseri-seri dalam kelelahannya maka Peng Houw tiba-tiba sadar ketika ayam jantan berkokok.

Pagi menjelang tiba dan semalaman ia di puncak. Berbagai perasaan mengaduk hatinya, ia bingung. Namun ketika seseorang memanggil-manggilnya dari bawah dan berlarian mendaki puncak, matahari mulai terbit di ufuk timur maka Peng Houw terkejut melihat seorang tosu berlutut di depannya.

“Siauwhiap, tolong…. cepat tolong. Ceng-sumoi hendak pergi dan meninggalkan Kun-lun!”

“Li Ceng…?”

“Benar, siauwhiap, semalaman ia menangis, tiada henti. Kami mencari-cari Kim Cu-suheng namun baru tadi ia muncul. Ia mencegah sumoi namun tak berhasil. Sumoi hendak pergi, tak akan kembali!”

Peng Houw terkejut. Bagai disentak tiba-tiba ia sadar apa sebabnya. Tentu karena ibunya itu, kisah yang buruk! Dan ketika tosu itu berulang-ulang membenturkan dahinya mengiba-iba, menyuruh Peng Houw cepat turun maka pemuda ini berkelebat dan lenyap meninggalkan tosu itu, murid Kun-lun.

“Siauw-heng, biar kulihat ia!”

Tosu itu girang. Ia adalah sute termuda dari Kim Cu Cinjin dan segera mendengar segalanya. Li Ceng yang menangis semalaman dilaporkan. Dan ketika Kim Cu tertegun dan menarik napas dalam, maklum bahwa sumoinya malu dan berduka berat maka tosu ini cepat menyuruh sutenya ke atas memanggil Peng Houw. Li Ceng berkelebat dan keluar di kaki gunung, dicegat. Ujian bagi Peng Houw untuk menentukan sikap!

“Tak usah malu dan justeru tabahlah. Ada pinto di sini, sumoi. Tak ada manusia yang luput dari kesalahan. Bersabarlah, lihat bagaimana reaksi Peng Houw karena betapapun ia calon jodohmu, calon suamimu!”

“Tidak… tidak! Biarkan aku pergi, suheng, biarkan aku meninggalkan Kun-lun. Aku tak kuat oleh cerita ibu. Apa kata Peng Houw nanti, jangan-jangan ia menganggapku seperti ibuku pula!”

“Hm, lain orang lain pula hatinya. Lain kulit lain pula jiwanya. Kau dan ibumu berbeda, sumoi. Kau dibesarkan dan hidup di samping ayah dan kakekmu laki-laki. Meskipun ayahmu meninggal namun didikan kau terima dari kakekmu, Lo-susiok. Biarkan Peng Houw datang dan apa katanya nanti!”

“Tidak, aku tak mau. Aku malu, berat sekali. Biarkan aku pergi dan jangan dicegah lagi!” gadis itu meronta dan terbang ke bawah, lepas dari cekalan suhengnya dan saat itu bayangan putih menyambar.

Peng Houw datang dan berkelebat meluncur. Dan ketika Kim Cu cepat menyelinap dan mendengar panggilan pemuda itu, Li Ceng tancap gas dan malah mempercepat larinya maka di bawah gunung, di mulut hutan Peng Houw tiba-tiba berjungkir balik dan menangkap gadis ini, menyambar pundaknya.”

“Ceng-moi, berhenti. Tunggu dulu!”

Li Ceng terkejut. Ia marah kenapa suhengnya menahan hingga Peng Houw menyusul, kalau tidak tentu ia sudah pergi. Maka membentak dan memutar tubuhnya, menendang dan melepaskan diri dari cengkeraman itu gadis ini menampar Peng Houw.

“Lepaskan aku, jangan ditahan. Pergi!”

Namun Peng Houw berkelit dan menarik tubuh ini. Ia tidak melepaskan hingga si gadis terbawa, tendangan luput dan otomatis tertarik ke depan. Dan ketika Peng Houw mendekap tubuh itu dan meringkus kaki tangannya, Li Ceng tak dapat bergerak maka pemuda ini menggigil berseru,

“Ceng-moi, aku telah menetapkan keputusan hati. Kau tak boleh pergi, kecuali kau menolak cintaku!”

“Apa?”

“Benar, kau tak boleh pergi, Ceng-moi, kau harus bersamaku. Atau aku tak akan melamarmu kalau kau memang tidak mencintaiku!”

Gadis itu menggigil. “Tapi… tapi ibuku…”

“Yang kucinta adalah kau, Ceng-moi, bukan ibumu, bukan siapapun! Aku tak perduli ibumu dan persetan kata orang lain akan ibumu!”

Gadis itu mengguguk. Peng Houw bicara begitu sungguh-sungguh karena menjelang pagi memang ia telah menemukan jawabannya itu. Ia mencinta Li Ceng, bukan ibunya. Dan karena gadis itu bukanlah orang lain dan ia tetap Li Ceng adanya, gadis yang selama ini dikenal baik dan tak pernah cacad maka Peng Houw sadar bahwa semua yang bukan gadis itu harus disingkirkan.

Justeru ia harus beriba hati kepada kekasihnya ini. Justeru cintanya harus kian mendalam. Maka ketika ia memeluk dan ketat mendekap gadis itu, tak mau kehilangan maka Li Ceng tersedu-sedu dan tak ayal lagi merobohkan tubuhnya di dada pemuda ini, mengeluh dan merasa bahagia dan Peng Houw secara gemetar menyatakan cintanya, menyatakan kesungguhannya.

Bahwa yang dicinta adalah gadis itu, bukan ibunya, bukan pula orang lain. Dan ketika Peng Houw mengusap dan gemetar meraba punggung ini, mengecup keningnya maka Li Ceng tersentak dan seketika mengangkat mukanya.

“Kau…. kau tak sengaja…?”

“Tidak, kali ini kusengaja, moi-moi, kusengaja. Marahlah dan biar kubuktikan cintaku yang lain lagi!” dan ketika Peng Houw menunduk dan mencium bibir itu, tak tahan dan bersikap berani maka pemuda itu menunggu tamparan atau caci maki lagi, nekat namun Li Ceng malah roboh.

Gadis itu menyambutnya dengan keluh dan isak girang, setengah tertawa setengah menangis dan Peng Houw yang tidak ditampar lagi tentu saja semakin berani. Seluruh cintanya ditumpahkan di sini, dicium dan dilumatnya bibir merah itu habis-habisan, Li Ceng tersedak. Namun ketika gadis ini terbelalak melihat bayangan suhengnya, Kim Cu Cinjin keluar dan melengos ke puncak tiba-tiba gadis ini meronta kaget dan menampar pipi Peng Houw.

“Jangan gila, ada orang…. plak-plak!”

Peng Houw terkejut. Kekasih meronta dan melepaskan diri, berkelebat dan memutar tubuh sambil memaki-maki. Dan ketika Peng Houw membalik namun bayangan tosu itu lenyap ke puncak, tersenyum-senyum maka Peng Houw merah padam karena lupa diri dan tak tahu keadaan. Ia tertegun namun tentu saja mengejar kekasih, Li Ceng diteriaki. Dan karena gadis itu memasuki hutan dan dikhawatirkan meninggalkan Kun-lun, Peng Houw cemas maka ia meloncat dan dilihatnya sang kekasih menyeberang keluar.

“Ceng-moi, tunggu. Jangan pergi….!”

Li Ceng mempercepat larinya. Ia malu bukan main oleh kehadiran suhengnya tadi dan diam-diam memaki Peng Houw. Tak dapat disangkal bahwa ia merasakan kebahagiaan besar ketika dicium Peng Houw, bukan di kening melainkan di bibir. Ah, nikmatnya itu! Ia mabok, ia merasa betapa semua bulu romanya berdiri namun nikmatnya bukan main.

Baru kali itu Peng Houw menciumnya, mesra, penuh kesungguhan dan kasih sayang. Dan karena getaran kasih pemuda itu membuat seluruh bulunya merinding, ia seakan terbang ke sorga maka alangkah kagetnya ia ketika tiba-tiba sang suheng tersenyum-senyum dan melengos ke puncak. Li Ceng merah padam dan malu bukan main. Peng Houw sembrono sekali, di luar hutan ia mencium.

Maka menampar dan memutar tubuh, berkelebat meninggalkan pemuda itu Li Ceng memasuki hutan namun berbelok dan menuju pinggang gunung. Ia sengaja berkelak-kelok dan Peng Houw tak segera menangkapnya, pohon-pohon besar menghalang. Namun ketika ia naik ke pinggang gunung di balik Kun-lun, Peng Houw tak terdengar teriakannya lagi tiba-tiba gadis ini kecewa dan berhenti.

Aneh, cucu Mutiara Geledek ini tiba-tiba sedih. Ia tak senang kenapa Peng Houw tak memanggil-manggilnya lagi, kemana pemuda itu. Apakah sudah tak cinta! Dan ketika ia terisak celingukan ke sana ke marĂ­, memanggil Peng Houw secara lirih tiba-tiba Peng Houw menyambarnya dari atas dari sebuah batu hitam.

“Aku di sini, moi-moi. Kau ternyata menungguku juga, ha-ha!”

Gadis itu terkejut. Ia merah padam dan berkelit namun tertangkap juga, marah namun pandang mata Peng Houw penuh geli. Sesungguhnya pemuda ini sudah ada di situ sejak tadi, pura-pura menghilang dan melihat bagaimana reaksi gadis itu. Maka melihat cucu Mutiara Geledek ini celingukan dan berhenti mencari-cari, tak tahu bahwa orang yang dicari ada di atasnya.

Maka Peng Houw tak kuat lagi dan menyambar ke bawah. Peng Houw akhirnya tahu bahwa kekasihnya ini pura-pura marah saja, ia girang dan tentu saja berani turun. Dan ketika ia memeluk dan mendaratkan ciuman lagi, tak ada orang di situ maka Li Ceng meronta dan pura-pura menjerit.

“Jangan gila, ada orang…!”

“Ha-ha, orang siapa. Hayo di tempat ini sunyi dan siapa yang melihat!”

Gadis itu mengeluh. Peng Houw menciumnya lagi dengan mesra hingga lagi-lagi bulu tubuhnya merinding semua. Heran, ia mengalah saja. Mungkin karena rasa nikmat itu. Dan ketika ia menggelinjang dan Peng Houw mengusap dan mengelus punggungnya lagi, untuk kesekian kali gadis ini terkejut maka Peng Houw berbisik bahwa ia minta tampar.

“Aku sengaja, aku senang sekali mengusap dan mengelus-elus punggungmu. Hayo, tamparlah aku, moi-moi. Aku sengaja…..!”

Gadis itu geli. Dia melihat Peng Houw berbisik- bisik namun mata itu terpejam. Lucu! Maka ketika ia terkekeh dan Peng Houw terkejut membuka matanya, Li Ceng terpingkal maka gadis itu menuding.

“Kau…., kenapa seperti monyet mencium terasi? Ada apa bulu matamu bergetar-getar? Ihh, lucu melihatmu, Peng Houw. Bulu matamu kiyer-kiyer (bergetar-getar) seperti dirubung lalat, hi-hik!”

“Dan kau…” Peng Houw tak dapat menahan geli, “…cuping hidungmu kembang-kempis, moi-moi. Hidungmu seperti diraba-raba buntut tikus. Ha-ha, kaupun lucu. Lebih lucu daripada aku!”

“Tidak, napasmu mendengus-dengus seperti diburu kereta!”

“Napasmu juga!”

“Tidak, tidak mungkin!”

“Mungkin!”

“Tidak mungkin!”

“Ha-ha…! dan ketika Peng Houw menyambar dan memeluk kekasihnya ini, gemas maka pemuda itu sudah melarikannya ke atas.

Li Ceng menjerit-jerit namun tak diperdulikan, Peng Houw terus saja menuju atas. Dan ketika ia terkejut Peng Houw membawanya ke tempat para pimpinan maka Peng Houw berhenti ketika bertemu Kim Cu Cinjin, tosu itu terkejut dan heran. Li Ceng terbelalak dan merah padam, meronta namun Peng Houw menjepitnya kuat.

“Totiang, anak nakal ini hendak kuserahkan padamu. Kurung dia baik-baik, jangan sampai lari. Aku akan datang bersama para susiok melamarnya!”

Tosu itu tertawa, “Siauwhiap berhasil menangkapnya?”

“Benar, totiang, dan hampir saja luput. Eh, ikat dia dan jangan sampai lari. Susah aku menangkapnya nanti!”

Semua tosu tertawa lebar. Tentu saja mereka tahu ikatan perjodohan ini dan Kim Cu Cinjin pun tertawa bergelak. Apa yang dikata Peng Houw benar, pemuda itu harus kembali dan membawa paman-paman gurunya untuk melamar. Mereka di Kun-lun akan menunggu. Dan ketika Li Ceng sadar dan semburat mukanya, sudah dilepas maka gadis itu memaki Peng Houw berkelebat keluar, malu.

Hari itu Peng Houw benar-benar bahagia. Kim Cu Cinjin pun juga bahagia. Dan ketika pemuda itu pamit untuk pulang, datang dan kembali dengan lamaran maka tosu ini menjura dan memberi selamat jalan, menyinggung sedikit tentang wejangan Bu-beng Sian-su.

“Siauwhiap tak lupa akan kenangan di atas puncak, bukan? Siauwhiap benar-benar dapat menerima sumoiku lahir batin?”

“Ah, tentu, totiang. Hidup jujur memang harus menerima segala-galanya, termasuk yang pahit itu. Bukankah tidak jujur lagi kalau kita menolak itu. Kejujuran yang menyakitkan harus belajar kita terima, meskipun sakit. Tapi bukankah itu bukan dilakukan Li Ceng?”

“Benar, hanya ibunya. Tapi sewaktu-waktu kita pribadi dapat menerimanya langsung, siuwhiap, entah sekarang atau kapan.”

“Aku sudah siap. Kalau itu datang akan kuawasi dan kuterima. Asal jujur, biarpun kejujuran itu menyakitkan aku akan menerima. Sudahlah, totiang, selamat tinggal dulu. Sampai jumpa lagi!”

Tosu itu mengangguk. Ia berseri dan kagum bahwa secepat itu Peng Houw mampu mematangkan batinnya. Tak heran pemuda itu adalah murid Ji Leng Hwesio yang sakti! Tapi ketika Peng Houw berkelebat turun gunung dan siap ke Go-bi tiba-tiba gadis baju merah itu muncul. Li Ceng mengusap air matanya.

“Peng Houw, kau… kau tak lama, bukan?”

Peng Houw tertegun, menyambar lengan yang gemetar ini. “Kau… kau tidak sembunyi di kamar? Kau di sini?”

“Aku menunggumu, Houw-ko, berpesan agar tidak lama-lama di Go-bi.”

“Apa?”

“Aku tidak ingin lama-lama kau di Go-bi….”

“Tidak, bukan itu. Sebutanmu tadi! Ah bagaimana kau memanggilku, moi-moi? Houw- ko (kanda Houw)? Ha-ha, ini baru sorga! Aduh, kau membuatku mabok, Ceng-moi. Coba sebut sekali lagi dan biar aku mendengarnya!”

Li Ceng tersipu. Memang ia telah merobah panggian dan suaranya yang begitu mesra dan lembut membuat Peng Houw mabok. Pemuda itu tertawa bergelak. Dan ketika ia meraih dan memeluk tubuh ini, Li Ceng terisak maka gadis itu mengangkat muka berseru gemetar, air mata bercucuran, penuh bahagia,

“Houw-ko, jangan lama-lama. Aku menunggumu…..!!”

Peng Houw berbuncah kebahagiaan. Entah siapa yang lebih dulu mencium karena masing-masing tiba-tiba saling menunduk. Bibir itu bertaut dan saling tangkap, bergetar dan lekat penuh madu-madu cinta. Lalu ketika keduanya merasa mabok dan melayang-layang, Peng Houw mempererat pelukan dan sadar lebih dulu maka pemuda itu melepaskan kekasihnya dengan wajah berseri-seri, melompat dan pulang ke Go-bi sementara Li Ceng melambaikan tangannya.

Gadis itu bercucuran air mata, bahagia, berkali-kali menyebut nama Peng Houw dengan suara gemetar dan mesra. Namun ketika bayangan pemuda itu lenyap di bawah gunung, gadis ini membalik dan melompat ke kamarnya maka asyik-masyuk dua muda-mudi ini sampai di sini saja.

Pembaca akan menemui mereka lagi dalam kisah berikut: Kabut Di Telaga See-ouw. Dan karena kisah ini sudah berakhir penulis mohon diri. Salam bahagia!

(Selanjutnya seri ke 2)
Kabut Di Telaga See Ouw

Prahara Di Gurun Gobi Jilid 32

Cerita Silat Mandarin Serial Prahara Di Gurun Gobi Karya Batara

Prahara Di Gurun Gobi Jilid 32


“LI CENG, tunggu. Aku… aku tidak sengaja!”

Gadis itu berhenti, berdiri tegak. Sinar matanya yang berapi dan pandangannya yang bak harimau betina diganggu anaknya membuat Peng Houw tak dapat meneruskan kata-katanya lagi.

Pemuda itu ngeri, gentar. Lalu ketika telunjuk yang mungil namun penuh kemarahan itu menuding hidungnya, hampir menyentuh maka Peng Houw surut selangkah mendengar bentakan geram.

“Kau… kau tak sengaja? Ciuman dan usapan itu kau sebut tak sengaja? Ah, sungguh pemuda tak tahu malu kau ini, Peng Houw. Belaian dan usapan yang membuat bulu romaku itu berdiri kau sebut tak sengaja. Cih, kau pandai berkilah. Sejak bergaul dengan gadis-gadis Hek-see-hwa tiba-tiba saja kau rupanya menjadi pintar berpura-pura. Kau bohong, kau penipu. Mundur atau kau kubunuh…. wut!” gadis itu menerjang.

Peng Houw mengelak, luput melepas tamparan dan Peng Houw bingung. Ia tak tahu harus berkata apalagi setelah gadis itu marah-marah. Li Ceng memekik dan turun gunung, melanjutkan larinya lagi. Tapi tersinggung oleh kata-kata terakhir, ia dikatakan pintar berkilah setelah bergaul dengan gadis-gadis Hek-see- hwa mendadak Peng Houw berseru keras dan mengejar lagi, kali ini menyambar pundak gadis itu.

“Li Ceng, tunggu. Aku tak pernah bergaul dengan gadis-gadis Hek-see-hwa. Aku hendak minta maaf atas perbuatanku tadi. Sumpah, aku tak sengaja!” dan ketika gadis itu membalik dan melepas pukulan lagi, dikelit dan ditangkap maka Peng Houw gemetar bersungguh-sungguh bicara.

“Tahan, tunggu dulu. Kau boleh bunuh aku kalau benar aku bohong!” dan memandang dengan wajah merah namun panas, ia tak mau disebut bergaul dengan pelacur-pelacur rendahan itu Peng Houw meneruskan kata- katanya lagi, terbakar, hilang gugup dan pucatnya. “Aku ke Hek-see-hwa bersama kau dan kakekmu. Kita sama-sama penyerbu, bukan sahabat. Kenapa kau bilang aku bergaul dengan gadis-gadis rendahan itu? Sumpah bumi dan langit tak pernah aku bergaul, Li Ceng. Bahkan Chi Koan pun kumusuhi habis-habisan. Aku salah menciummu, baik. Aku salah membelai dan mengusap-usap punggungmu, baik. Tapi semua itu bukan karena pergaulanku dengan gadis-gadis hina itu, Li Ceng. Seumur hidup aku belum pernah berkenalan dengan wanita kecuali kau. Aku hidup dan dibesarkan di Go-bi. Sahabatku adalah para hwesio dan kakek atau paman guruku. Aku belum mengenal perempuan. Jangan katakan aku seperti itu karena ciuman dan usapanku tadi tulus, keluar begitu saja, tanpa sengaja!”

Gadis itu terbelalak. Peng Houw yang merah padam dan tersinggung berat rupanya menyadarkan gadis ini dari segala perasaan yang tak keruan. Sesungguhnya ia malu dan jengah oleh kejadian itu, seumur hidup belum pernah dicium lelaki.

Dan karena ada perasaan nikmat-nikmat indah yang membuat ia bingung dan memaki diri sendiri, kenapa begitu mudahnya ia membiarkan Peng Houw mencium keningnya maka meluncurlah semua caci maki tadi sebagai pelindung dari jengah dan malunya itu.

Kini Peng Houw bicara begitu berapi-api, pemuda itu menjadi marah sekali dikatakan bergaul dengan gadis-gadis hina di Hek-see-hwa. Dan ketika ia sadar bahwa itu betul, Peng Houw adalah murid Go-bi yang kenalannya hanya hwesio atau para pendeta maka gadis ini terkejut dan aneh sekali tiba-tiba ia terkekeh melihat betapa Peng Houw begitu marah.

“Hi-hik, lucu. Kau seperti kambing kebakaran jenggot! Kalau benar tak pernah bergaul ya tak perlu marah-marah, Peng Houw. Ada apa naik pitam seperti ini. Aku tadi marah karena kau membuatku tak keruan. Sekarang aku sadar, kau betul. Sudahlah tak perlu dipikir karena siapa yang bersungguh-sungguh bicara seperti itu. Kau minggirlah dan lihat para suheng dan saudara-saudaraku yang lain muncul!”

Peng Houw tertegun. Gadis itu begitu cepatnya berubah seperti awan mendung tersapu angin puyuh. Begitu enaknya! Dan ketika ia terbelalak karena di bawah terlihat bayangan-bayangan para tosu, mereka melihat dan mendengar ribut-ribut ini maka Peng Houw menjublak dan bengong karena Li Ceng sudah berkelebat kembali menyusul Kim Cu Cinjin.

Gadis itu tertawa melihat kemarahan Peng Houw namun tiba-tiba menangis lagi. Jenasah kakeknya menunggu di sana. Dan ketika Peng Houw berkelebat dan menyusul, bukan untuk berdebat lagi maka Li Ceng tersedu-sedu dan meratapi kematian kakeknya yang sudah ditutup di peti mati.

Hari itu Peng Houw bengong. Ia benar-benar bingung dan penasaran akan sikap gadis ini. Tadi marah-marah dan begitu sengit sekarang tiba-tiba terkekeh dan geli melihatnya marah-marah. Apa-apaan ini. Gilakah gadis itu, atau dia sendiri yang gila?

Namun karena saat itu bukan waktunya bersilat lidah, Kun-lun berkabung dengan kematian kakek ini maka Peng Houw menunggu sampai semuanya tenang. Jenasah itu segera dimakamkan dan Kim Cu Cinjin selalu mendampingi sumoinya ini.

Li Ceng adalah cucu paman gurunya dan boleh disebut sumoi (adik seperguruan). Maka ketika Peng Houw mengikuti semua acara itu dan Li Ceng akhirnya dapat menerima kematian kakeknya, betapapun kakek itu memang tak mungkin berumur panjang maka malamnya, di saat gadis ini hanya tinggal isak-isak kecil Peng Houw mendekati dan duduk di bangku panjang, berdegup.

“Ceng-moi, aku turut berduka atas kematian kong-kongmu. Tapi sedikit banyak sakit hatimu terbalas. Chi Koan, dia… dia sekarang buta. Go-bi telah menjatuhkan hukuman seumur hidup dan tak mungkin dia membuat onar lagi. Tenang dan terimalah semuanya ini secara wajar. Kitapun kelak akan seperti itu dan kembali kepada Pencipta!”

“Kau… apa kau bilang?”

“Aku bilang aku turut berduka cita…”

“Bukan, bukan itu. Sebutanmu tadi!”

Peng Houw terkejut. Mendadak ia merah padam oleh pertanyaan ini, kaget sendiri namun dapat menindas perasaan itu. Entahlah, kenapa ia tiba-tiba menyebut Ceng-moi, sebutan yang terasa begitu mesra meluncur dari mulutnya dan itu dapat diartikan sebutan dinda Ceng! Siapa tidak jengah! Tapi karena Peng Houw tak ragu lagi karena sebutan itu dapat juga berarti adik, ia menekan debaran jantungnya yang tak keruan maka ia menjawab,

“Kau lebih muda setahun dua daripada aku, salahkah menyebutmu Ceng-moi? Aku lebih tua, Li Ceng, tak ada yang aneh.”

“Tapi suaramu, eh… lain sekali. Ini seperti ketika kau mencium aku tadi. Aku merinding!”

“Ceng-moi,” Peng Houw akhirnya menyambar lengan itu. “Jangan main-main, jangan goda aku lagi. Tadi aku sudah minta maaf, apakah kau masih penasaran lagi? Justeru aku yang ingin melepas penasaran hatiku, ingin bertanya sesuatu!”

“Kau penasaran? Kepadaku? Aneh, tentang apa, Peng Houw. Aku tak merasa membuat sesuatu yang harus membuatmu penasaran!”

“Hm,” Peng Houw mempererat cekalannya. “Ini membuatku semakin penasaran lagi. Masa kau tidak tahu!”

“Lepaskan tanganku, nanti dilihat para suheng!”

“Tidak, kalau kau belum menjawab. Nah, aku ingin bertanya dan maukah kau menjawabnya dengan jujur. Aku sungguh-sungguh penasaran!”

Gadis itu membelalakkan mata. Mereka duduk di taman dan sewaktu-waktu dapat saja lewat seorang tosu atau murid Kun-lun di situ. Tempat di mana mereka duduk memang tidak terlalu terang namun juga bukan gelap. Gadis ini memandang Peng Houw dengan jantung berdebar. Pandang mata pemuda itu penuh penasaran namun juga mesra, tiba-tiba bulu kuduknya merinding.

Dan ketika ia menunduk tak kuat menerima pandang mata itu, cekalan Peng Houw terasa menggigil akhirnya gadis ini bertanya apa yang hendak ditanyakan pemuda itu, pertanyaannya dilakukan dengan muka menunduk.

“Bicaralah kalau ingin bicara, aku akan mendengar.”

“Hm, tidak begini. Tatap mataku, Ceng-moi. Lihat dan pandang agar aku menemukan jawabannya!”

“Aku malu….”

“Kau gadis gagah, tak mungkin malu. Ayo, angkat dan tatap mataku!”

Li Ceng mengangkat juga. Berdekatan dengan Peng Houw dan digenggam lengannya seperti itu membuat gadis ini panas dingin tak keruan. Sesungguhnya bukan baru sehari dua dia mengenal Peng Houw. Mereka sudah cukup lama. Tapi karena saat itu suasananya lain dan Peng Houw begitu serius, juga genggaman dan mata pemuda itu mengeluarkan getaran yang membuat ia panas dingin, entahlah kenapa ia tak kuat tiba-tiba gadis ini menunduk lagi dan terisak.

“Peng Houw, bicaralah kalau ingin bicara. Aku begini saja!”

“Hm, kau menjawabnya dengan jujur?”

“Kau mau bertanya tentang apa?”

“Peristiwa siang tadi!”

“Sudah selesai…”

“Tidak, tamparanmu memang sudah selesai, tapi sikapmu yang aneh belum!”

Gadis itu mendadak mengangkat mukanya. Sekarang Li Ceng terkejut dan heran, mengangkat muka itu dengan berani dan beradu pandanglah mereka satu sama lain. Li Ceng penuh tanda tanya dan heran sementara Peng Houw penasaran tapi mesra. Pemuda ini gemas melihat tingkah cucu Mutiara Geledek ini. Begitu aneh, tapi begitu menarik. Seakan tak tahu apa-apa dan benar-benar belum mengerti.

Dan ketika ia begitu terpesona akan sepasang mata bundar yang terbelalak lebar itu, yang memandangnya tak berkedip sementara bibir tipis merah basah itu terbuka sedikit, Peng Houw tak tahan lagi maka ia mengguncang lengan itu melepas penasarannya.

“Kau tadi marah-marah lalu tertawa. Kau seakan begitu geli. Nah, ini yang hendak kutanyakan karena apakah ada sesuatu yang ganjil padaku. Apakah ada yang salah?”

Bibir yang terbuka sedikit itu tiba-tiba merekah, lebar. Lalu ketika gadis ini terkekeh dan melepaskan tangannya, Peng Houw terkejut maka Li Ceng tak tahan untuk melepas gelinya lagi, terpingkal-pingkal. “Kau… kau bertanya tentang ini? Kau penasaran akan ini? Hi-hik, lucu. Aku jadi semakin geli lagi. Ah, penasaranmu membuat aku jadi penasaran juga, Peng Houw. Kenapa untuk ini kau malah bertanya?”

Peng Houw terbelalak. Li Ceng terkekeh-kekeh dan menutupi mulutnya sampai terpingkal. Peng Houw dipandanginya seperti orang memandang wayang po-te-hi yang lucu, seperti badut atau sejenis itu. Dan ketika Peng Houw tertegun dan melebarkan mata, Li Ceng bangkit berdiri mendadak gadis yang tak kuat menahan tawa itu meloncat pergi.

“Peng Houw, kau lucu. Hi-hiik…. kau lucu sekali. Ah, tak kuat aku berdekatan denganmu dan biar menjauh dulu. Aku ingin tertawa di tempat lain, hi-hikk….!”

Peng Houw melotot. Ia ditinggal dan Li Ceng tertawa-tawa naik ke atas, gadis itu demikian geli. Dan ketika ia semakin penasaran dan tentu saja berkelebat mengejar, berseru memanggil maka gadis itu tertangkap lagi. Li Ceng sampai bercucuran air mata saking gelinya!

“Aduh, lepaskan dulu. Biar aku tertawa, hi-hik… kau, hi-hiik…. kau lucu sekali, Peng Houw. Masa untuk ini saja kau bertanya. Aduh, biar aku tertawa dulu, hi-hikk…..!”

Peng Houw ikut tertawa. Ia juga geli melihat betapa gadis ini tertawa tapi matanya bercucuran. Masa orang tertawa kok menangis! Dan ketika ia tertawa dan gadis itu semakin terpingkal, sampai terbungkuk dan memegangi perutnya akhirnya Li Ceng batuk-batuk dan Peng Houw memegangi punggungnya. Tanpa terasa, eh…. mengurut dan mengusap-usap punggung itu.

“Sudahlah, sudah,,.. jangan tertawa lagi. Kau bisa disangka gila kalau terus-terusan tertawa, Ayo, berhenti dan lihat sampai kau terbatuk- batuk!”

Akhirnya gadis ini memang berhenti juga. Tawa itu habis. Li Ceng terengah-engah dan matanya redup memandang Peng Houw, geli, nemun mesra. Dan ketika gadis itu menarik napas dalam-dalam dan tersenyum lebar, merasa urutan dan usapan itu, terkejut maka Peng Houw tiba-tiba sadar dan cepat melepaskan tangannya.

“Maaf, aku…. aku tak sengaja lagi!”

“Hm!” gadis itu tertawa manis. “Agaknya kau selalu tak sengaja, Peng Houw. Hidupmu selalu dipenuhi dengan tak sengaja. Aih, sudahlah. Berhenti dan jangan membuat aku geli lagi!”

“Hm, itu tadi belum kau jawab?”

“Untuk apa? Justeru sekarang aku mau bertanya karena balik aku yang penasaran. Kau membuat aku penasaran kenapa untuk itu saja kau sampai harus penasaran!”

Peng Houw tiba-tiba geli. Berhadapan dengan gadis yang sebenarnya lincah dan pandai bicara ini sungguh membuat ia betah. Sejak pertemuannya dulu memang ia sudah dibuat kagum. Ada sesuatu yang menarik pada cucu Mutiara Geledek ini, sesuatu yang memikat dan penuh pesona. Mungkin pada sikap dan tutur katanya yang selalu blak-blakan, atau mungkin juga pada sepasang mata bundar yang selalu menggoda orang itu.

Mata itu dapat tertawa dan mempermainkan orang kalau sudah kumat. Ia dulu juga dipermainkan habis-habisan ketika terlanda banjir. Maka mendengar betapa gadis itu penasaran karena ia merasa penasaran oleh sikap dan tingkah laku yang aneh ini, yang dapat tertawa lalu menangis tiba-tiba atau juga sebaliknya maka Peng Houw tiba-tiba geli dan tertawa.

“Kau lucu, kau seperti kuda tanpa ekor. Ha-ha, aku yang penasaran malah balik membuat kau penasaran. Eh, aku penasaran kenapa waktu itu sedemikian cepatnya kau berubah, Li Ceng. Dari memaki-maki dan marah-marah tiba-tiba terkekeh dan geli setelah aku marah-marah. Kau yang gila atau aku yang tidak waras?”

“Hi-hik, barangkali kedua-duanya. Tapi kau yang lebih berat!”

“Apa?”

“Benar, kau lebih berat gilanya, Peng Houw. Aku boleh tidak waras tapi tidak seberat dirimu. Hi-hik, kau lebih gila!”

Peng Houw menampar dan memaki gadis ini. Tanpa terasa mereka tertawa lagi namun Peng Houw tiba-tiba menghentikan tawanya. Ia berkerut, suasana duka sesungguhnya masih melanda. Tak boleh mereka tertawa lepas dan bagaimana nanti kata para tosu melihat gadis itu dan dirinya tertawa-tawa. Kematian kakek Lo Sam belum dingin. Maka tak mau gadis itu tertawa-tawa Peng Houw lalu menarik lengannya duduk.

“Sudahlah, kita jangan bergurau lagi. Aku sungguh-sungguh. Kalau kau merasa penasaran kenapa aku bertanya itu biarlah kucabut dan aku teringat akan seseorang yang harus kutemui. Hm, kau aneh dan luar biasa, Li Ceng, aku tak mengerti benar watakmu yang bisa cepat berubah ini. Kau mengagumkan, rupanya sudah dapat dengan cepat menerima kematian kakekmu. Aku akan berbicara yang lain.”

“Kau akan bicara apa?” gadis itu menarik napas, “kematian kong-kong memang sudah dapat kuterima dan tak perlu ditangisi lagi. Percuma, air mata darahpun tak mungkin ia bangkit!”

“Hm!” Peng Houw menggenggam lengan gadis ini. “Kau benar, Li Ceng, dan aku semakin kagum. Aku hendak bicara tentang sesuatu yang seakan membuatku mimpi!”

“Nanti dulu, aku ingin bertanya tentang Chi Koan. Hukuman apa yang diterima jahanam itu!”

“Ia dipenjara seumur hidup, dan… dan ia buta.” “Dulu sudah buta sebelah matanya!”

“Benar, tapi sekarang kedua-duanya, Li Ceng, dan ini karena perbuatan Twa-susiok. Tapi Twa-susiokpun tewas dihajar Chi Koan!”

Peng Houw bicara sebentar tentang ini. Ia menunda pembicaraannya sendiri dan Li Ceng tampak mengangguk-angguk. Tapi mendengar kematian hwesio itu ia mengepal tinju juga. “Hm, kenapa tidak dibunuh? Buat apa manusia seperti itu dibiarkan hidup?”

“Ada berbagai pertimbangan, dan satu yang penting adalah masalah Bu-tek-cin-keng itu!”

“Ia benar-benar masih menyimpannya?”

“Di depan susiok dan tokoh-tokoh Go-bi ia tak mengaku, Li Ceng, tapi di dalam guha ia mengaku, kepadaku!”

“Hm, lalu bagaimana?” gadis itu terkejut juga. “Betapa licik dan jahatnya iblis itu!”

“Aku tak dapat memaksa. Ia mengatakan bahwa kitab itu jatuh ke tangan seorang bocah.”

“Bocah?” Li Ceng mengerutkan kening. “Siapa yang dimaksud?”

“Aku tak tahu, ia tak memberi tahu. Tapi hendak kuselidiki hal itu secara diam-diam saja. Aku akan mengawasinya.”

Li Ceng bersinar-sinar. Ia termenung dan gemas oleh kelicikan Chi Koan. Pemuda itu sungguh jahat. Kalau saja kepandaiannya setinggi Peng Houw tentu ia membunuh. Tapi ketika Peng Houw menyentuh lengannya dan ia sadar, pemuda itu memandangnya lebih serius maka Peng Houw menariknya ke pembicaraan semula.

“Aku hendak berbicara tentang sesuatu, mimpiku itu.” “Hm, mimpi apa?”

“Bertemu manusia roh!”

“Ih, arwah orang mati? Jangan membuatku merinding. Kau membuat tengkukku berdiri, Peng Houw. Menyeramkan saja!”

“Tidak, ini benar. Baru-baru ini aku bertemu dengan arwah guruku dan seseorang lagi…”

“Ah, jangan bicara itu, yang lain saja!” gadis itu memotong. Peng Houw tersenyum. “Kau takut?”

“Bukan takut, tapi…. hm, bagaimana ya? Aku mengkirik, Peng Houw, seram. Bicaralah yang lain saja jangan tentang kematian!”

“Aku tidak bicara tentang kematian, justeru orang-orang yang amat luar biasa ini, guruku dan seseorang lagi.”

“Gurumu sudah wafat!”

“Benar, tapi yang lain ini belum, Li Ceng, dan sampai sekarang aku tak tahu apakah dia ini manusia atau bukan!”

Gadis itu terbelalak. Sesungguhnya Li Ceng tak suka bicara akan inĂ­, tapi mendengar Peng Houw berkata seaneh itu, apakah manusia atau bukan maka gadis ini berdebar ingin tahu juga, bertanya, “Maksudmu bahwa dengan kepandaianmu seperti ini kau tak tahu apakah dia manusia atau bukan? Kau tak dapat menangkapnya?”

“Bukan menangkap lagi, Li Ceng, melainkan disuruh mencekal lengannya. Dan aku dibawa terbang, benar-benar terbang!”

Gadis itu terkejut.

“Kau tahu berapa jarak Go-bi sampai Kun-lun? Kau tahu berapa lama seoorang berkepandaian tinggi harus lari cepat kesini?”

“Paling tidak dua hari tiga malam, Peng Houw, kalau tidak beristirahat dan berhenti di tengah jalan!”

“Benar, tapi aku dibawa setengah malam saja, bahkan tidak penuh. Aku tahu-tahu sudah di sini dan tertidur di luar guha kong-kongmu!”

“Jadi kau di situ seperti dibawa siluman?”

“Sst, bukan siluman, Li Ceng, melainkan seorang dewa berkesaktian mengagumkan. Aku benar-benar seperti mimpi!”

“Siapa dia itu, dan bagaimana kau dapat bertemu?”

“Aku bertemu di luar penjara Chi Koan, setelah arwah suhuku muncul.”

“Ih, jangan bicara tentang itu, Peng Houw. Yang ini saja, dewa yang kau sebut itu!”

“Hm, semuanya memang akan kuceritakan. Tapi jangan cengkeram tanganku sekuat ini, eh….!” Peng Houw terkejut, dicengkeram atau diremas kuat dan tiba-tiba dia heran melihat Li Ceng terbelalak memandang belakangnya.

Gadis itu mengeluarkan seruan pendek dan wajah tiba-tiba pucat sekali. Dan ketika ia terkejut dan mau bertanya mendadak gadis itu menuding telunjuknya berseru gemetar. “Peng Houw, itu…. itu apa! Ada manusia seperti hantu. Lihat, tubuhnya bersinar memancar terang. Dia di guha pertapaan kong-kong!”

Peng Houw menoleh, terkejut. “Itu kakek dewa itu!” serunya. “Ah, itu orang yang kuceritakan itu, Ceng-moi. Dia Sian-su!”

“Sian-su?”

“Benar, kakek dewa itu. Bu-beng Sian-su! Ah, ia menunggu dan sudah berada di situ. Mari, kita ke sana dan kukenalkan padamu!”

Namun dua anak muda ini tahu-tahu terangkat naik. Kakek itu, yang bersila dan memancar terang tiba-tiba tertawa mengangkat sebelah lengannya. Tawa lembut menyusup hati dan Li Ceng tiba-tiba berseru tertahan. Angin kuat namun amat halus menyambar bawah tubuhnya, membuat mereka terpental dan tahu-tahu terbang ke guha pertapaan.

Ya, terbang karena tempat itu tak kurang dari lima ratus meter jauhnya. Mereka meluncur dan menunggang seberkas sinar menuju kakek ini, sinar lembut berwarna putih kekuningan. Lalu ketika mereka tiba dan jatuh terbanting, sinar lenyap maka cucu Mutiara Geledek ini tertegun dan terbelalak lebar-lebar, mulutnya ternganga.

“Sian-su…!” Peng Houw sudah menjatuhkan diri berlutut dan menyadarkan gadis ini.

Li Ceng cepat berlutut dan ia takjub akan apa yang ia lihat. Seorang kakek berwajah lembut, namun tertutup halimun tampak di situ. Kakek ini bersila namun sepasang kakinya mengambang, tidak menyentuh bumi. Dan ketika dari seluruh tubuh kakek itu menyebar hawa hangat menembus kedinginan gunung, sinar terang namun tidak menyilaukan membuat mereka enak memandang maka gadis ini kagum. Karena baru sekaranglah dia tahu apa yang dimaksud Peng Houw. Mereka datang ke situpun seperti mimpi, menunggang seberkas cahaya!

“Hm, kau sudah menyebut-nyebut namaku,” tawa halus itu mulai bicara. “Tak ada jeleknya bertiga kita bicara, Peng Houw. Dan aku girang bahwa sahabatmu ini sudah dapat menerima kematian kakeknya. Bagus, kalian orang-orang muda memang harus mengisi hidup dengan semangat baru, jiwa baru. Jangan tenggelam dan berlarut dalam duka!”

Li Ceng berseri gembira. Ia, seperti orang-orang lain tentu saja sudah mendengar perihal kakek yang seperti dalam dongeng ini. Siapa tidak kenal atau mendengar nama Sian-su, Bu-beng Sian-su si kakek dewa yang amat hebat. Bukan hanya kepandaiannya yang setinggi langit melainkan juga kearif-bijaksanaannya.

Konon kakeknya pun mengaku bahwa kakek dewa ini memiliki pandang mata awas jauh ke depan, tahu akan hal-hal yang belum tahu dan waspada akan hal-hal yang bakal terjadi. Kakek sakti berkemampuan luar biasa yang entah berapa umurnya. Tak mampu diikuti tapi tahu-tahu dapat bersama siapapun kalau dia menghendaki.

Maka ketika malam itu tiba-tiba dia dapat berjumpa kakek ini, takjub dan kagum akan tubuh yang memancarkan sinar itu, juga wajah yang selalu tertutup dan hidup seperti dalam dongeng ini tiba-tiba saja gadis itu menjadi girang luar biasa di samping ngeri dan gentar seperti berhadapan dengan mahluk aneh yang datang dari lain bumi.

Li Ceng menatap wajah itu dengan pancaran tak terperi dan tiba-tiba ia terkejut ketika si kakek menoleh. Sorot bagai cahaya lampu senter keluar dari wajah halimun itu, membuat ia tersentak dan seketika menunduk.

Ia tak mampu berhadapan dengan sorot lembut itu, lembut namun tajam dan yang memaksanya untuk tunduk. Jantung seakan dipukul tambur hingga berdetak amat gencar. Tapi ketika tiba-tiba tawa lembut itu juga terdengar, kakek itu mengulapkan lengannya maka Li Ceng terbelalak mendengar seruan halus, kakek itu menggapai ke arah belakangnya. Jadi sorot itu sebenarnya ditujukan kepada belakang tubuhnya.

“Majulah, mendekatlah. Aku memang hendak minta ijin kepadamu, Kim Cu Cinjin. Tempatmu kupakai untuk berbincang-bincang sejenak!”

Li Ceng memutar kepala. Dari balik gerumbul, di bawah sebatang pohon muncullah suhengnya Kim Cu Cinjin. Tosu ini terbelalak lebar melihat ke depan, takjub namun tiba-tiba mengeluh dan maju berlutut. Dan ketika ia terpekik memanggil Sian-su, gemetar dan menggigil maka pimpinan Kun-lun ini terangkat bangun oleh sebuah tarikan kuat, kebutan lengan baju kakek dewa itu.

“Bangkitlah, duduklah. Aku berterima kasih kalau kau tak keberatan aku di sini Cinjin. Sekali lagi aku minta ijin untuk mempergunakan tempat ini sejenak.”

“Ah, silakan…. pakailah. Aku… aku bersyukur kalau kau berkenan hadir, Sian-su. Satu kehormatan besar bagi pinto bahwa kau datang ke Kun-lun!”

Kakek itu tertawa, lalu tiba-tiba berdehem. “Baiklah, terima kasih, Cinjin. Dan sekarang Peng Houw!”

Anak muda itu terkejut. Seperti Li Ceng iapun terbelalak dan takjub memandang wajah halimun itu. Ini untuk kedua kalinya bagi Peng Houw bertemu kakek luar biasa ini. Ia kagum, sudah berusaha mengerahkan sinkangnya untuk menembus kabut halimun itu namun tetap saja wajah si kakek tak dapat ditangkap. Ia hanya samar-samar saja.

Maka ketika tiba-tiba kakek itu menoleh dan sorot cahaya itu keluar menembus halimun, tajam dan amat kuatnya namun lembut dan penuh wibawa maka ia tak tahan dan menunduk, gentar!

“Maaf, Sian-su. Titah apa yang hendak kau berikan?”

“Hm, bukan aku, melainkan kau. Adakah sesuatu yang perlu kuberitahukan.”

Peng Houw menahan napas. Tiba-tiba ia ingat pesan gurunya bahwa ia harus mengikuti kakek dewa ini. Tapi lupa bahwa ia membawa sesuatu, Peng Houw berkerut kening maka pemuda itu bertanya apakah yang hendak diberikan.

“Aku… aku disuruh guruku mencarimu, menyertaimu. Bukankah Sian-su pernah bertemu mendiang suhu dan bercakap-cakap?”

“Hm, betul. Lalu apa katanya, anak muda. Apakah hanya itu saja?”

“Teecu… teecu, eh… ada!” Peng Houw tiba-tiba teringat. “Ada sesuatu yang hendak kutanya, Sian-su. Benar, tentang ini!” Peng Houw langsung merogoh dan mengambil sesuatu dari kantung bajunya, mencabut dan memberikan itu tapi kakek dewa itu tersenyum. Pemberian Peng Houw ditahan. Lalu ketika kakek dewa ini tertawa dan menunjuk Peng Houw maka kakek itu berseru,

“Ada orang lain di sini, bukan aku saja. Cobalah kau berikan kepada teman-temanmu dan perlihatkan dulu itu!”

Peng Houw tertegun, mengejap-ngejapkan matanya. Tapi ketika Kim Cu Cinjin bergerak dan maju, bertanya apakah yang dibawa itu maka tosu ini berseri dan bersinar-sinar, sudah mendengar kebiasaan aneh kakek dewa ini akan syair-syair luar biasa. Wejangan tentang kehidupan.

“Peng-siauwhiap, apakah yang kau bawa itu? Salahkah pinto kalau menebaknya sebagai syair!”

“Benar,” Peng Houw menoleh. “Kau tahu, Cinjin?”

“Ah, berikan pinto, siauwhiap. Barangkali tahu!”

Peng Houw memberikan dan si tosu menangkap. Kim Cu Cinjin adalah orang yang sudah lebih dulu mendengar daripada Peng Houw. Meskipun seperti dalam dongeng namun sesepuh-sesepuh Kun-lun bercerita itu. Mendiang Kun-lun Lojin pun ada menyebut-nyebut ini, bahkan pernah bicara bertemu kakek itu, sekali dalam hidup.

Dan teringat bahwa mendiang uwanya itu pernah menyinggung-nyinggung bekas pertemuannya dengan kakek ini di Go-bi, bersama mendiang Ji Leng Hwesio maka tosu itu tertarik akan cerita supeknya betapa kakek itu mengkritik dedengkot Go-bi!

“Mentakjubkan sekali, Ji Leng Hwesio tak mampu menjawab. Sian-su benar-benar manusia dewa luar biasa yang pinto sendiripun tak mampu menandingi kebijaksanaannya!”

“Peristiwa apa, supek. Tentang apa?”

“Hm, kritik tentang hidup, sepak terjang atau perilaku yang diambil sesepuh Go-bi itu.”

“Coba supek cerita kepadaku. Bolehkah aku tahu?”

“Hm, tak boleh karena ini bukan tugasku, Kim Cu, Menyangkut perasaan orang lain yang kita harus berhati-hati menceritakannya. Sebaiknya kau tak perlu tahu sampai kelak mendengar sendiri. Mudah-mudahan kau beruntung!”

Maka penasaran dan rasa ingin tahu itupun padam. Kim Cu hanya tahu bahwa saat itu Ji Leng Hwesio berdebat tentang sebuah syair, dedengkot Go-bi itu akhirnya terpojok. Dan ketika supeknya tak bicara lagi dan ia tak berani mendesak, urusan orang-orang tua memang tak sepatutnya dicampuri oleh yang lebih muda maka tosu ini menyimpan perasaannya dan malam itu tanpa disangka tiba-tiba penasarannya dihidupkan lagi, bangkit!

Kim Cu Cinjin sedang duduk bersila ketika dari luar jendela tiba-tiba ia melihat sesuatu yang luar biasa di balik puncak, yakni adanya sesosok manusia yang memancarkan sinarnya ke delapan penjuru. Mula-mula ia bengong, takjub, mengira mimpi tapi tiba-tiba ia tersentak ketika sebuah suara lembut berulang-ulang menyusup di telinganya.

Ia diminta keluar, ada sesuatu yang hendak dibicarakan. Dan ketika tosu ini melihat betapa seberkas sinar membawa sumoinya dan Peng Houw ke atas, dua orang itu seakan menunggang sinar gaib maka tosu ini melompat bangun dan secepat kilat ia menuju puncak.

Kim Cun Cinjin bengong. Ia tertegun di balik gerumbul sampai ternganga, melihat kakek itu dan teringat cerita mendiang supeknya. Itulah ciri-ciri si manusia dewa. Kun-lun kedatangan tamu agung! Dan ketika ia dipanggil dan kakek itu rupanya sudah tahu, menggapai dan menyuruh ia keluar maka tosu ini sudah duduk bersama Peng Houw, gentar dan ngeri namun juga senang sampai akhirnya Peng Houw mengeluarkan segulung kertas.

Tak ayal lagi ia teringat kisah supeknya dan menduga itulah syair yang dipergunjingkan. Peng Houw adalah murid mendiang Ji Leng Hwesio dan apalagi yang dibicarakan kalau bukan itu. Maka ketika ia menangkap dan menerima dari Peng Houw, membuka dan melihat isinya maka sumoinya, Li Ceng juga mendekat dan menggeser duduknya di dekat suhengnya ini.

“Apa itu suheng? Apa yang dibawa Peng Houw?”

“Syair,” tosu ini tak berkejap. “Ini kiranya yang dulu dikatakan supek, sumoi. Ah, tentu betul ini. Lihat, sama dengan punyaku!” tosu itu mengeluarkan segulung kertas lain.

Li Ceng maupun Peng Houw terbelalak. Tosu itu sudah membuka dan betul saja kertas itu adalah syair, isinya persis dengan yang dipunyai Peng Houw dan tertawalah tosu itu berseri-seri. Dan ketika Peng Houw terbelalak karena tosu ini juga mempunyai seperti yang dia punyai, dua bait syair terhampar di depan mereka maka tosu itu berseru,

“Ini adalah pemberian supek Kun-lun Lojin. Sebelum meninggal memberikannya kepadaku. Tapi aku tak mengerti sama sekali apa maksudnya, siauwhiap, dan sekarang kau juga memilikinya. Ah, Sian-su ada di sini, tentu beliau dapat memberitahukannya kepada kita!”

“Hm, benar, dan aku juga bertanya-tanya. Tak kusangka bahwa kau mempunyainya, totiang. Kalau begitu tentu ada hubungan. Aku juga tak mengerti dan selama ini bertanya-tanya!”

Kakek itu tertawa lembut. Li Ceng yang melihat dan membaca itu segera mengerutkan keningnya, ia tak mengerti. Dan karena Peng Houw maupun suhengnya sama-sama menyatakan tak mengerti, ia tentu lebih tak mengerti lagi maka kakek itu berseru,

“Coba kalian lihat dan amati baik-baik. Dan kau, apa yang pernah kau dengar dari mendiang supekmu, Cinjin. Barangkali sedikit banyak dapat membuka pengertian kalian.”

“Pinto tak mengerti apa-apa, Sian-su, hanya mendiang supek pernah berkata bahwa kau berdebat seru dengan Ji Leng lo-suhu. Ji Leng lo-suhu terpojok, marah dan tidak senang. Tapi syair yang kau berikan ini diambil dan satunya dibawa supek!”

“Kun-lun Lojin tak bicara lain?”

“Hanya itu saja, tak bicara lain karena katanya menyangkut sepak terjang atau perasaan ketua Go-bi itu!”

“Bagus, Kun-lun Lojin benar-benar bijaksana. Hm, agaknya harus kumulai dari awal, Cinjin. Tapi biarlah kutanya Peng Houw bagaimana pesan terakhir gurunya.”

Peng Houw berdebar. Ia terkejut juga bahwa pernah terjadi debat seru antara kakek ini dengan gurunya. Tiba-tiba teringatlah dia akan cerita gurunya bahwa betapa beberapa tahun yang lalu gurunya pernah mengagumi seseorang, bahkan dikatakan orang itu masih lebih tinggi daripada gurunya, kesaktiannya hebat dan gurunya mengaku kalah.

Dan ketika ia sekarang sadar bahwa kakek inilah kiranya yang dimaksud gurunya, betapa gurunya memang pantas mengakui dan mengagumi kakek ini maka Peng Houw memandang takjub dan bersinar-sinar. Tapi ia terkejut oleh pertanyaan kakek itu.

“Anak muda, ceritakan kepadaku apa pesan terakhir gurumu. Maksudku, yang ada hubungannya denganku.”

“Teecu… teecu hanya disuruh mencari dan menemukan Sian-su, menunjukkan dan bertanya tentang syair ini.”

“Gurumu tak bicara apa-apa?”

“Tidak, ada apakah, Sian-su. Suhu menyuruh teecu mendengarkan petuah Sian-su!”

“Kalau begitu gurumu menyerahkan ini kepadaku. Bagus, aku dapat berbicara bebas!” dan mengebutkan lengannya membersihkan tempat duduk kakek itu menarik napas dalam-dalam melanjutkan, “Peristiwanya lama, jauh sebelum anak muda ini dan Chi Koan berada di Go-bi. Pembicaraan berkisar pada dua murid utama Ji Leng Hwesio….”

“Ah, maksud Sian-su adalah Lu Kong dan Beng Kong-susiok?” Peng Houw memotong.

“Benar, mereka itu, anak muda, guru dan paman gurumu.”

“Ada apa dengan mereka, apa yang dibicarakan?”

“Bersabarlah, kita akan ke sana. Waktu itu, ketika guru dan paman gurumu masih sama-sama muda aku bertemu dengan kakek gurumu itu, yang akhirnya menjadi gurumu juga. Kukatakan bahwa di antara dua muridnya ini satu berwatak buruk, bakal membawa petaka bagi Go-bi. Tapi karena pendapatku meluncur begitu saja dan waktu itu Ji Leng lo-suhu lagi sayang-sayangnya kepada murid maka kata-kataku membuat ia marah dan menegur aku.”

“Siapa yang Sian-su maksud, apakah Beng Kong-susiok?”

“Kau tak sabaran,” kakek itu tertawa. “Dengar dan lihat saja apa yang terjadi, Peng Houw. Tapi kau benar, yang kumaksud adalah paman gurumu itu, Beng Kong. Waktu itu ia amat disayang kakek gurumu sementara gurumu sendiri kurang. Murid nomor dua ini dinilai lebih cakap dan pandai mengambil hati. Dan ketika kata-kataku dirasa menyinggung hatinya, Go-bi-paicu marah-marah maka ia menantangku untuk bertaruh!”

“Ah, dan Sian-su menanggapi?” Kim Cu kali ini memotong.

“Tidak, aku hanya tersenyum saja, Cinjin, dan kebetulan waktu itu supekmu ada di sana. Go-bi dan Kun-lun memang saling berkunjung.”

“Hm, kemudian bagaimana?” Peng Houw tertarik, terbawa cerita ini. “Apa yang kau katakan, Sian-su, dan bagaimana kemudian kata-kata guruku.”

“Ia memaki-maki aku, menantang. Aku tidak melayaninya kemudian aku pergi….”

“Ah, supek bercerita bahwa Sian-su diserang. Ji Leng lo-suhu terbanting dan roboh!”

“Hm, mungkin saja. Aku tak tahu. Yang jelas aku tak menyambuti namun beberapa hari kemudian kami bertemu lagi, supekmu juga ada di sana.”

Peng Houw kagum. Gurunya, dedengkot Go-bi ternyata roboh sendiri menghantam kakek ini. Dan melihat betapa kakek itu tak menanggapi kata-kata Kim Cu, bersikap merendah dan pura-pura tak tahu maka ia semakin kagum saja kepada kakek dewa ini. Pantas kalau gurunya menaruh kagum dan hormat yang tinggi!

“Lalu bagaimana?” dia bertanya. “Apa kata suhu, Sian-su. Apakah ia menyerangmu lagi?”

“Aku diserang dengan kata-kata, tetap diajak bertaruh. Tapi aku mengelak dan tidak meladeni. Hm, waktu itu Ji Leng lo-suhu mabok dan lagi senang-senangnya terbawa kesombongan.”

Kakek ini menarik napas dalam dan tersenyum penuh maklum, terkenang dan teringat peristiwa itu dan Peng Houw serta dua temannya seolah menyaksikan. Mereka membayangkan betapa waktu itu Ji Leng Hwesio memang masih belum tua benar, barangkali baru empat puluhan dan itu usia relatif muda bagi seorang pemimpin partai, apalagi sebesar Go-bi. Dan ketika mereka mengangguk-angguk dan menyatakan tahu, bertanya lagi maka kakek itu melanjutkan,

“Go-bi-paicu (ketua Go-bi) marah berat oleh kata-kataku dulu. Ia benar-benar tersinggung. Dan ketika pada perjumpaan kedua kalinya ia menantang untuk membuktikan benar tidaknya kata-kata itu maka ia bersumpah tak mau melihat dunia lagi kalau muridnya yang disayang, Beng Kong, benar-benar membawa petaka dan berwatak buruk!”

“Hm, dan itu yang membuat Ji Leng lo-suhu lalu mengasingkan diri, bertapa!” Kim Cu Cinjin mengangguk-angguk.

“Benar, Cinjin, tapi aku tak mau membuatnya marah lagi. Sebenarnya bukan maksudku untuk membuat marah siapapun, karena kebetulan waktu itu Ji Leng lo-suhu sedang mencari sebutir mutiara hidup!”

“Ah, apa maksudnya, Sian-su?” Peng Houw tak tahan.

“Artinya waktu itu dua sahabat itu sedang mencari sebuah kebenaran. Mereka bicara tentang kehidupan, membuka isi kitab-kitab suci dan masing-masing belajar menemukan sesuatu. Kalau saja tidak karena ini tentu aku juga tak muncul.”

“Hm, menarik sekali. Pinto jadi teringat bahwa mula-mula kejadian itu memang berasal dari sini. Mendiang supek pernah berkata bahwa waktu itu Ji Leng lo-suhu dan ketua kami membuka-buka isi kitab, mencari makna tentang sebuah kejujuran!”

“Bagus, betul itu. Dan apa kata supekmu, Cinjin. Coba katakan!”

“Mereka berdua menemukan bahwa kejujuran adalah segala-galanya. Kejujuran adalah kunci keberhasilan hidup. Karena sekali orang tidak jujur maka jalan menuju kesucian mulai dihancurkan!”

“Hm, anak muda ini barangkali dapat bicara sedikit tentang isi kitab yang pernah dihapalnya. Hayo, baca sebuah ayat tentang ini Peng Houw. Coba kami dengar!”

Peng Houw terkejut. Waktu itu ia sedang asyik menikmati pembicaraan Kim Cu Cinjin dengan kakek dewa ini, terkejut ketika tahu-tahu dituding. Tapi mengangguk dan teringat sebuah ayat dari kitab suci Dhammapada, tentu saja yang ada hubungannya dengan ini maka dia mengangkat muka berseru lantang,

“Teecu teringat mendiang suhu mencorat-coret sebuah ayat dari ayat 9 bab 19. Barangkali ini yang suhu maksud. Biarkan aku membacanya, Sian-su dan maaaf kalau keliru!” lalu mengerahkan ingatan melihat kakek itu mengangguk pemuda inipun membaca, nyaring:

Bukanlah dengan menggundul kepalanya orang yang suka menyeleweng tak berdisiplin, suka berbohong akan menjadi seorang bhiku. Bagaimana mungkin seseorang yang penuh keinginan dan kelobaan akan dapat menjadi seorang bhiku?

“Bagus, ha-ha.. memang betul!” kakek itu tertawa. “Betul apa yang kau baca, Peng Houw. Memang dari sinilah mula-mula kejadian ini berawal. Gurumu mendiang Ji Leng lo-suhu memang membaca itu. Tepat. Tapi bagaimana pendapatmu apakah itu salah atau tidak?”

“Tidak!”

“Dan kau, Kim Cu totiang?”

“Juga tidak, Sian-su, ayat itu tidak salah!”

“Artinya?”

“Seseorang yang penuh kelobaan dan keinginan memang tak mungkin membersihkan hatinya. Ia tak mungkin dapat menuju kesucian!”

“Bagus, dan kau, Peng Houw?”

“Sama dan sependapat, Sian-su. Orang yang penuh keinginan dan loba tak mungkin jujur. Ia tak dapat memiliki sorga!”

“Bagus, dan kalian sependapat kalau masing-masing ketua kalian sama-sama menghargai dan mengagungkan kejujuran? Salahkah bila dikatakan bahwa kejujuran itu mutlak diperlukan?”

“Tentu saja, Sian-su. Tanpa kejujuran tak mungkin orang lain percaya!” Peng Houw dan Kim Cu Cinjin hampir serentak bicara.

“Tapi kenyataannya,” kakek itu tertawa. “Tidak semua kejujuran disukai orang Kim Cu Cinjin. Dan gara-gara inilah Go-bi-paicu marah besar kepadaku Ha-ha!”

Dua orang itu terkejut. Peng Houw dan Kim Cu Cinjin terbelalak dan mereka melihat betapa kakek itu tiba-tiba tertawa besar, senang dan rupanya begitu gembira hingga dua orang ini tertegun. Mereka tercengang, juga kaget. Tapi ketika kakek itu berhenti tertawa dan tiba-tiba mengusap dua titik air matanya, Peng Houw bengong maka Kim Cu Cinjin berseru,

“Sian-su, tak mungkin kejujuran ditolak orang. Tak mungkin sebuah kejujuran membuat orang marah. Pinto tak mengerti bagaimana ini dan dapatkah kau jelaskan?”

“Hm, tentu akan kujelaskan, dan kalian dengarlah. Dua orang ketua kalian itu sedang asyik bicara tentang sebuah kejujuran, dan itu benar. Tapi ketika aku masuk dan nimbrung bicara tiba-tiba saja patokan yang mereka buat dilanggar sendiri oleh Go-bi-paicu, dihancurkan. Aku tahu akan hal ini tapi sengaja kulakukan, demi menyadarkan ketua Go-bi itu.”

“Hm, apa maksud Sian-su?” Peng Houw kini bertanya, “Aku jadi bingung akan arah kata-katamu, Sian-su. Bolehkah aku tahu?”

“Baik, dengarkan. Di dalam kitab apa pun, di jaman apapun semua orang tentu setuju bahwa kejujuran haruslah dimiliki seseorang apabila dia ingin hidup bersih dan agung. Kejujuran adalah kunci hidup, begitu katanya. Tapi harap dimaklumi saja bahwa tidak semua kejujuran harus dimiliki atau dilepas begitu saja!”

Peng Houw mengerutkan kening, tak setuju. “Jadi maksud Sian-su bahwa seseorang boleh sewaktu-waktu tidak jujur?”

“Tergantung keadaannya, anak muda. Apakah saat itu kejujuran itu diperlukan atau tidak. Sebab kenyataannya tidak semua orang bisa dan pasti dapat menerima kejujuran ini.”

“Ah, tak mungkin, membingungkan! Aku tak percaya bahwa ada orang yang tidak suka akan kejujuran!” “Tapi gurumu telah membuktikan itu. Dan aku kena semprot habis-habisan!” kakek itu tersenyum.

“Kena semprot? Mendiang guruku tak menerima sebuah kejujuran?”

“Hm,” kakek itu menoleh, tertawa lembut. “Coba kau yang lebih tua merenungkan ini, Kim Cu Cinjin, barangkali kau dapat menangkap lebih baik daripada anak muda itu. Cobalah!”

Kim Cu Cinjin bingung. Ia terkejut dan merah padam mendengarkan ini. Ia juga merasa ganjil bahwa kejujuran harus “disesuaikan keadaan”. Apa artinya ini, apa maunya! Tapi karena kakek itu adalah seorang manusia bijak dan ia adalah kakek dewa yang tentu tidak main-main, janggal juga mendengar kejujuran tak dapat diterima ketua Go-bi maka tosu itu mengingat-ingat dan memeras otaknya, mencari dan merenung apakah kira-kira yang hendak dimaksudkan kakek itu. 

Masa orang diharuskan tidak jujur, boleh bohong dan sebangsanya itu padahal kitab-kitab sucipun tidak menganjurkan! Dan ketika ia mengingat-ingat namun bingung tidak menemukan, di sana Peng Houw juga penasaran maka tosu ini menggeleng, menarik napas dalam, merasa gagal.

“Pinto tak menemukan apa yang seharusnya pinto temukan. Pinto tetap berpendapat bahwa kejujuran disuka orang!”

“Bagus, dan kau, Peng Houw?”

“Sama, Sian-su. Di mana-mana orang suka kejujuran!”

“Ha-ha, dan kau, nona?”

“Aku, eh…..” Li Ceng terkejut. “Sama dengan mereka, Sian-su. Tak mungkin ada orang tak suka orang lain jujur!”

“Ha-ha-ha, kalian terjebak, tertipu! Kenyataannya tidak seperti yang kalian bayangkan, anak-anak. Ada kejujuran yang tidak dapat diterima orang, dan itu adalah fakta! Aku sengaja menemui Go-bi-paicu itu agar ia tak terbius oleh pendapat dan ketentuan umum ini. Bahwa ada ketentuan „khusus‟ yang harus disadari dan dimengerti. Atau kalian bakal mengalami sesuatu yang tidak enak yang membuat kalian tak enak tidur tak enak makan!”

Tiga orang itu terkejut. Tawa dan kata-kata nyaring kakek ini membuat mereka semakin penasaran saja, Peng Houw bahkan bangkit berdiri dan mengepal tinju. Ia berpikir kakek ini hendak menyesatkan. Tak mungkin ada kejujuran yang tak disuka orang lain. Bohong! Tapi ketika sebuah tangan mencekal lengannya dan Kim Cu Cinjin mengedip, memberi tanda maka pemuda itu disuruh duduk lagi sementara Bu-beng Sian-su seakan tak perduli.

“Duduklah, tenanglah. Tentu kakek ini akan memberitahukan kita apa maksudnya. Tenanglah, Peng Houw, pinto juga penasaran tapi pinto percaya kakek ini bicara serius sungguh-sungguh. Kita dengarkan saja dan apa kata akhirnya nanti. Itu yang penting!”

Peng Houw sadar. Ia cepat duduk kembali dan matanya yang bersinar-sinar menembus kabut halimun di wajah kakek itu, gagal. Ia penasaran sekali tapi kagum bahwa cahaya yang memancar di tubuh kakek itu semakin kuat saja, mencorong dan semakin berkilauan, bagai dibungkus cahaya gaib.

Kakek ini rupanya berasal dari Langit, bukan bumi! Dan ketika ia mendecak sementara dua temannya juga takjub, getaran kuat mulai terasa dan kepala mereka tiba-tiba seakan disusupi hawa aneh, hangat dan lebih terang tiba-tiba kakek itu berseru,

“He, kau, nona. Baca dan suarakanlah dengan lantang syair di depan Peng Houw!”

Li Ceng terkejut. Ia juga tegang dan tertarik sekali mengikuti pembicaraan ini, diam-diam juga tak sependapat bahwa kejujuran ada yang tak disukai orang. Barangkali hanya orang gila yang bersikap seperti itu! Tapi ketika ia ditunjuk sementara syair di depan Peng Houw dan suhengnya masih terbentang, ia menunduk maka bagai dikendalikan pengaruh gaib cucu Lo Sam ini membaca syair itu, lantang, penuh kekuatan:

Merajut benang berwarna-warni
pilih yang putih hitam pun jadi
asal senang diri sendiri
jujur dan budi apalah arti.

Gampang ditelan tak gampang hancur
ada peristiwa di gurun Go-bi
kalau nasib lagi tak mujur
sudah amat bersakit hati!


“Ha-ha, bagus, cocok. Sekarang coba renungkan sekali lagi barangkali kalian dapat menemuken sesuatu yang penting dalam syair ini!” kakek itu berseru.

“Hm!” Kim Cu Cinjin memeras otaknya lagi, dipaksa. Sudah berkali-kali kubaca, Sian-su, tapi biarlah kucoba.”

“Aku juga,” Peng Houw mengangguk, “juga sudah kubaca berulang-ulang, totiang. Tapi rasanya tetap bodoh aku ini!”

“Sementara aku tak mengerti, masih bingung,” Li Ceng membelalakkan mata, baru kali itu membaca dan gadis yang selesai bersuara lantang ini bersinar-sinar. Ia tertarik tapi tak mengerti arah tujuan itu, juga karena belum matang benar pengalaman batinnya.

Maka ketika ia terbelalak sementara dua temannya berpikir keras, Kim Cu Cinjin adalah orang tertua di situ maka tosu yang mulai mendapat petunjuk dan mendengar kata-kata Sian-su tadi mendadak menepuk dahinya.

“Ah, ketemu. Barangkali ketemu!”

“Apa itu?” kakek ini berseri tertawa. “Katakan kepada kami, Cinjin, barangkali kau benar.”

“Pinto tak yakin, tapi barangkali saja cocok. Maksud pinto, eh….. Go-bi-paicu kurang tahu budi. Diberi tahu yang baik malah marah-marah. Ia sombong dan terbawa rasa benarnya sendiri. Syair itu menekankan pada ketidakjujuran, tak mau jujur terhadap diri sendiri!”

“Ah, melenceng, separoh benar. Justeru kebalikannya, Cinjin. Syair ini bicara tentang kejujuran, ha-ha!”

Muka tosu itu merah. “Kalau begitu… kalau begitu pinto tak sanggup!”

“Ha-ha, coba kau, anak muda. Sudah kuberi petunjuk yang jelas. Syair ini bicara tentang kejujuran, bukan ketidakjujuran. Cobalah kauamati dan-tangkap itu!”

Peng Houw semburat. Agak merah mukanya mendengar kata-kata Kim Cu Cinjin tadi. Gurunya dinyatakan sombong dan kurang tahu budi! Tapi karena pembicaraan berkisar pada syair dan siapapun dapat saja menyimpulkan, tadi kakek itu sudah sedikit bercerita maka ia memeras otak namun masih juga merasa gagal, berat.

“Teecu tak sanggup, dan teecu tak berani menjelek-jelekkan guru sendiri, biarpun itu telah lewat!”

“Ha-ha, kalau begitu macet. Kau tak akan pernah dapat belajar. Baik, kau saja, Cinjin. Coba kuberi petunjuk lagi akan ini. Dengar, maaf aku hendak mengungkit sedikit masalah pribadimu, masa mudamu. Bolehkeh kulanjutkan?”

Tosu ini tergetar, berubah. “Maksud Sian-su, kau… kau hendak bicara apa?”

“Masa silammu yang hitam, Cinjin, bolehkah kuteruskan?”

Tosu ini pucat. Tiba-tiba ia berubah hebat dan tampak betapa sejenak ia menegang. Tosu itu merah hitam, lalu pucat lagi. Namun ketika ia menggigil dan mengepal tinjunya, mengangkat dada maka ia mengangguk. “Silakan, Sian-su!”

Kakek itu tersenyum. Ia menggeleng dan menarik napas dalam, tidak jadi. Dan ketika ia menoleh pada Li Ceng dan ganti bertanya bolehkah ia sedikit bicara tentang kehidupan pribadi gadis itu maka Li Ceng terkejut, berdesir.

“Sian-su hendak bicara apakah? Rasanya aku tak mempunyai sesuatu yang kelam, penting.”

“Betul, kau tidak, nona. Tapi ibumu…”

Li Ceng menjerit. Tiba-tiba ia tersentak dan meloncat bangun, otomatis menghentikan kata-kata kakek itu. Dan ketika kakek itu tersenyum dan tidak jadi melanjutkan kata-katanya lagi, ia memang mencoba maka gadis ini menggigil dan menolak. “Tidak… tidak, aku tidak bersedia!”

Dan gadis itupun menangis. Peng Houw tertegun namun Kim Cu Cinjin mendekati sumoinya ini, mengelus dan menyuruhnya duduk. Dan ketika tosu itu juga menggigil dan gemetar tak keruan, wajahnya pucat dan merah berganti-ganti mendadak tosu ini menganguk-angguk.

“Sian-su, aku sudah mengerti. Pinto mengerti!”

Peng Houw dibuat tertegun lagi. Belum hilang rasa herannya kepada Li Ceng mendadak ia bengong memandang tosu ini. Begitu cepatnya Kim Cu Cinjin menyatakan mengerti setelah dua kali berturut-turut kakek dewa itu bertanya kepada temannya. Dan ketika ia terbelalak dan heran, bagaimanakah sebenarnya jawaban itu maka kakek ini berdiri dan tertawa.

“Kalau begitu tak perlu lagi aku di sini. Kau dapat menjelaskan kepada kawan-kawanmu.”

“Tidak, nanti dulu!” tosu itu berseru. “Betapapun kehadiranmu kuperlukan, Sian-su, untuk memperjelas dan mempermatang masalahnya. Anak-anak ini penting!”

“Hm, kalau begitu baiklah. Tapi katakan sampai di mana pengertianmu tadi. Bicaralah.”

“Pinto… pinto seperti mendiang Go-bi-paicu. Ternyata tanpa sadar juga bersikap seperti itu. Ah, pinto nyaris khilaf, Sian-su, tapi beribu terima kasih bahwa kau menyadarkannya!”

Luar biasa, tosu ini tiba-tiba berlutut dan mengangguk-anggukkan kepalanya. Peng Houw yang merasa belum mendapat jawaban menjadi semakin menjublak saja oleh semuanya ini. Ia benar-benar heran, terkejut. Namun ketika kakek itu menggerakkan tangan dan tosu itu terangkat naik maka kakek ini berkata,

“Sudahlah, mendapatkan kesadaran berarti sedang menuju kepada kehidupan yang lebih baik, Cinjin, bangkit dan duduklah dan kita lanjutkan pembicaraan ini.” Lalu memandang Li Ceng kakek itu berkata, “Dan kau, tak perlu khawatir, nona. Aku hanya mencobamu saja. Aku tak akan bicara tentang itu seperti juga aku tak akan bicara tentang kisah lama suhengmu.”

Li Ceng masih menangis. Ia terpukul dan begitu terkejut oleh kata-kata Bu-beng Sian-su tadi dan Peng Houw semakin melebarkan mata saja. Ia penasaran melihat semuanya ini. Ada apa dengan Kim Cu Cinjin dan ibu gadis itu. Ada apa dengan mereka. Tapi Li Ceng yang rupanya tak kuat tiba-tiba bergerak dan memutar tubuhnya, lari pergi.

“Sian-su, aku tak dapat mengikuti ini. Maaf, aku pergi!”

Kakek itu mengangguk-angguk. Senyum iba membayang dan rasa ingin tahu Peng Houw menjadi lebih besar lagi. Kalau Li Ceng sampai tak tahan tentu ada sesuatu yang menarik, amat menarik! Tapi ketika ia terbelalak dan memandang kepergian gadis itu maka Kim Cun Cinjin menarik napas dalam dan bicara lirih,

“Ah, semakin mengokohkan pengertianku saja. Semakin mendalamkan pelajaran batin. Tak heran kalau Go-bi-paicu juga bersikap seperti itu, Sian-su. Kejujuran macam ini sungguh berat diterima!”

“Hm, apa yang totiang dapat? Bagaimanakah semuanya ini? Aku jadi bingung dan semakin tak mengerti, totiang. Bolehkah aku tahu dan dapatkah kau menjelaskannya?” Peng Houw tak tahan.

“Pinto memang akan bicara, dan sebaiknya mulai dari diri pinto dulu. Hm, inti syair itu telah kudapat, Peng-siauwhiap. Dan Sian-su memang betul. Pinto menyerah!”

“Apa yang kau dapat?”

“Kenyataan hidup yang pahit, sebuah kejujuran yang tak dapat diterima….”

“Eh!” Peng Houw terkejut. “Kau juga tak menerima sebuah kejujuran totiang? Maksudmu kau menolak kejujuran ini? Kau gila?”

“Hm, tidak gila, tapi semua dari kita kebanyakan akan bersikap seperti ini. Dalam hal ini, kejujuran seperti itu memang amat kumusuhi, kubenci!”

Peng Houw mencelat. Ia sampai berseru keras mendengar dan melihat betapa tosu itu menolak kejujuran. Sikap dan kata-katanya tegas, wajah itupun merah dan keras. Padahal baru saja ia dan tosu ini sama-sama mengagungkan dan menghargai kejujuran. Maka ketika ia terduduk lagi dan membelalakkan mata lebar-lebar, jangan-jangan kakek dewa itu memberikan pengaruh sesat maka Peng Houw menuding dan menggigil,

“Totiang, kau… kau dan aku baru saja sama-sama mengagungkan sebuah kejujuran. Kenapa tiba-tiba sekarang kau berbalik sikap. Tidak waraskah kau?”

“Hm, tenanglah. Untuk kejujuran yang ini memang kutolak keras, siauwhiap, kubenci. Dan kaupun tentu sependapat karena hampir semua dari kita bersikap seperti itu.”

“Tak mungkin! Aku tak percaya!”

“Baik, tapi kau akan membuktikan,” dan ketika pemuda itu gemetar dan terbelalak memandangnya, Peng Houw seakan disengat listrik maka tosu ini batuk-batuk dan membungkuk di depan kakek dewa itu, bertanya, “Bolehkah pinto teruskan….?”

“Ha-ha, teruskanlah,” kakek itu tertawa, “jangan buat pemuda ini penasaran, Cinjin. Agaknya kartu memang sudah harus dibuka!”

Peng Houw melotot. Tawa kakek itu seakan membuatnya panas, Kim Cu Cinjin rupanya sudah masuk perangkap. Tapi ketika kakek itu tenang-tenang saja dan tidak perduli kepadanya, bersikap biasa dan wajar adalah Kim Cu Cinjin ini membalik dan menghadapinya lagi.

“Peng-siauwhiap, tahukah kau masa silamku?”

Peng Houw tertegun. Sama sekali tak disangkanya bahwa pertanyaan kakek itu adalah awal mula percakapan. Dia ditanya tentang masa lalu kakek ini. Tapi karena dia tak tahu dan juga tak ingin tahu, itu adalah pribadi tosu itu maka Peng Houw menggeleng, menjawab,

“Kupikir tak perlu aku tahu. Urusan itu adalah pribadimu, totiang, aku tak tahu, dan tak ingin tahu!”

“Salah, kalau begitu jawaban ini tak akan muncul. Inti syair tak akan keluar.”

“Maksudmu?”

“Kau harus tahu tentang pinto, siauwhiap, masa lalu pinto.”

“Apakah ada hubungannya dengan ini?”

“Jelas, bahkan berhubungan erat. Dan ibu Li Ceng tadi juga tersangkut.”

“Ah!” Peng Houw membelalakkan mata. “Kau serius, totiang? Kau bersungguh-sungguh?”

“Orang setua pinto tak perlu main-main, siauwhiap. Untuk apa?”

“Hm, baiklah!” Peng Houw penasaran juga. “Baiklah kukatakan aku tak tahu masa lalumu, totiang. Kalau kau hendak bercerita silakan. Yang jelas aku tak memaksamu!”

“Pinto tahu, dan harap diketahui saja bahwa dulunya pinto bukan orang baik-baik. Di masa muda pinto telah tiga kali pinto melarlkan isteri orang!”

“Apa?”

“Dengarlah, pinto serius, siauwhiap. Pinto bersungguh-sungguh kalau pinto katakan bahwa dulunya pinto bukanlah orang baik-baik. Di masa muda pinto telah melarikan tiga kali isteri orang, pinto perusak rumah tangga!”

“Tapi kau seorang tosu, pendeta!”

“Dulunya belum, tapi setelah bertemu mendiang supek dan dibawa ke sini maka pinto berubah. Itu masa lalu pinto yang hitam!”

Peng Houw terbelalak. Sama sekali tak disangkanya bahwa orang yang sekarang memimpin Kun-lun ini dulunya seorang jahat. Hampir tak dapat ia percaya. Tapi karena tosu itu sudah menjadi baik dan selama inipun ia tak melihat sesuatu yang buruk maka Peng Houw berkata, tak perduli,

“Baik, tapi masa lalumu sudah habis, totiang, Kau sudah berubah. Lalu apa hubungannya ini dengan itu?”

“Erat, ah, erat, siauwhiap. Erat sekali. Tapi tidak ingin tahukah kau akan ibu Li Ceng itu?”

“Hm,” Peng Houw merah padam. “Bukan watakku untuk mengetahui dan membicarakan pribadi orang lain, totiang. Untuk apa lagi ini?”

“Kau harus tahu, agar kau mengerti. Atau kau tak akan mengerti sama sekali akan maksud Sian-su yang utama!”

Peng Houw membelalakkan mata. Untuk kesekian kalinya lagi ia melotot memandang tosu ini, tapi karena dikatakan ada hubungannya dengan itu maka ia mengangguk juga, meskipun diam-diam tak senang, merasa kurang puas. “Baiklah, katakan sekali lagi, totiang. Tapi setelah itu cukup dan jangan bicara tentang pribadi orang lain!”

“Pinto tidak bermaksud membicarakannya untuk tujuan yang buruk. Pinto justeru hendak membuka matamu agar sadar, melek!”

“Baik, totiang, katakan!”

“Hm, ibu Li Ceng juga bukanlah wanita baik-baik seperti pinto dulu. Kalau pinto suka melarikan isteri orang dan merusak rumah tangga adalah ibu gadis itu suka meninggalkan suami dan mencari pemuda-pemuda tampan, rumput-rumput segar!”

“Apa?”

“Maaf, duduklah kembali, Peng-siauwhiap. Inilah kenyataan hidup yang pahit bagi kami. Ada hal-hal tak menyenangkan yang kalau dibicarakan memang menimbulkan sakit dan penolakan!”

“Hm!” Peng Houw gemetar, tak menyangka. “Ceritamu mengejutkan, totiang. Tapi apa hubungannya ini. Untuk apa semua itu kau bicarakan?”

“Kau tak mengerti juga? Bodoh! Kepalamu terlampau panas, siauwhiap. Kau terbawa emosi mu sendiri. Dengar dan cam-kan ini bahwa sesungguhnya KEJUJURAN YANG MENYAKITKAN tak dapat diterima. Nah, jelas atau tidak!”

Peng Houw terhenyak. Ia sampai terkejut kepalanya membentur pohon di belakang, berdenyut dan sejenak berkunang namun pulih. Ia begitu kaget dan tersentak oleh geraman tosu itu. Ia terbelalak. Lalu ketika ia merasa melayang-layang betapa ibu kekaslhnya adalah seorang wanita yang suka memburu rumput-rumput segar, ibu Li Ceng suka meninggalkan suami dan tidak setia maka tosu itu melanjutkan, juga penuh geram.

“Lihat dan dengar bagaimana perasaanmu kalau seseorang bicara jujur tapi menyakitkan, Peng-siauwhiap. Apakah kaupun dapat menerima kejujuran ini meskipun itu fakta. Lihat dan rasakan bagaimana kalau seandainya Sian-su tadi menelanjangi aku habis-habisan. Lihat dan dengar bagaimana perasaan Li Ceng kalau Sian-su tadi jadi menceritakan itu. Apakah tidak tercabik-cabik?”

Peng Houw mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja ia sadar bahwa memang tidak semua kejujuran dapat diterima orang. Kalau itu menyakitkan, merobek, jelas akan ditolak. Ah, siapa dapat menerima kejujuran macam ini, meskipun itu jujur! Dan ketika ia mengangguk-angguk dan mengerti, perih dan luka bahwa ibu dari kekasihnya ternyata bukan wanita baik-baik maka Peng Houw membuktikan bahwa iapun merasa sakit, pedih!

Ada semacam perasaan luka tertusuk mendengar itu, padahal itu tidak menyangkut dirinya langsung. Peng Houw sekararg dapat merasakan bagaimana seandainya kenyataan itu langsung dialami. Tentu pedih dan sakit, luka! Maka mengangguk dan buram memandang ke depan, air mata tiba-tiba meleleh maka Peng Houw mendengar lagi tosu Kun-lun itu bicara, melanjutkan.

“Begitu juga dengan mendiang suhumu. Boleh jadi ia amat menyayangi murid, Peng-siauwhiap. Boleh jadi ia lebih mencintai Beng Kong daripada Lu Kong. Tapi begitu seseorang meramal dan membuktikan muridnya durhaka maka hwesio itupun tak kuat. Ia tak dapat menerima kejujuran ini, karena kejujuran itu menyakitkan. Dan karena itu menyakitkan maka sebagian besar dari kita tentu menolak. Jadi tidak salah kalau Sian-su mengatakan bahwa ada sebuah kejujuran yang tak dapat diterima manusia, dan itu adalah kejujuran yang menyakitkan!”

Peng Houw merasa melayang-layang. Ia masih terbawa oleh cerita tentang ibu Li Ceng tadi. Ia masih tertusuk dan pedih. Pantas kalau gadis itu tak kuat dan pergi. Dan ketika ia meleleh dan semakin buram, air mata itu lebih deras mengalir maka Peng Houw tak mendengar lagi kata-kata dan seruan tosu itu.

Betapa Kim Cu Cinjin menelanjangi diri sendiri, betapa tosu itu menelanjangi ibu Li Ceng dan Ji Leng Hwesio. Dan ketika tosu itu juga menelanjangi orang-orang lain, sebagian besar dari mereka maka Peng Houw berkedip-kedip dan duduk bagaikan patung melihat tosu itu berhadapan dengan Bu-beng Sian-su.

Kakek dewa itu tersenyum-senyum dan sesekali mengangguk, menceritakan bahwa manusia sering “merajut” benang hidup yang berwarna-warni. Kalau tidak mendapatkan yang putih hitampun jadi. Kalau yang baik tidak ada jelekpun boleh! Dan ketika semua itu berlanjut dengan tingkah laku manusia yang cenderung mementingkan diri sendiri, tak perduli jujur dan budi maka pembicaraan ditutup dengen pesan sederhana.

“Kejujuran tentu disuka semua orang, kejujuran adalah mutiara hidup yang tentu disenangi siapa saja. Tapi kalau kejujuran sudah bersifat menyakitkan, betapapun jujurnya maka kejujuran macam begini ternyata gampang ditelan tapi tak gampang dihancurkan. Orang boleh bicara gembar-gembor tentang kejujuran, tapi begitu diserang oleh kejujuran macam ini maka ternyata tak semua orang bisa menerima dan itu sudah tidak jujur lagi. Munafik!”

“Jadi apa yang harus dilakukan, Sian-su?”

“Melihat dan mengawasi diri sendiri, mengontrol ketidakjujuran kita. Kalau dulu Ji Leng Hwesio mau jujur dan bersikap apa adanya tentu tak mungkin timbul peristiwa semacam ini yang bakal berlarut-larut, menyeret orang lain dan merugikan orang lain pula.”

“Pinto melihat, pinto mengerti…” tosu itu mengangguk-angguk. “Kalau sudah begini tentu tak akan ada apa-apa lagi, Sian-su. Kita benar-benar jujur lahir batin. Pinto amat berterima kasih!”

“Hm, sekarang kita lihat anak muda itu, apakah ia jujur atau tidak!”

Peng Houw tak mendengar ini. Ia masih terbawa oleh lamunannya sendiri dan mendelong, mata kosong ke depan sementara pikiran melayang-layang tak keruan. Ia benar-benar terkejut dan terguncang oleh berita Li Ceng tadi, ibunya. Hampir tak percaya namun cerita itu sudah didengar.

Dan ketika ia juga tak tahu betapa dua orang itu sudah tak berada di depannya lagi, Sian-su lenyap sementara Kim Cu Cinjin bergerak turun gunung, terhuyung namun berseri-seri dalam kelelahannya maka Peng Houw tiba-tiba sadar ketika ayam jantan berkokok.

Pagi menjelang tiba dan semalaman ia di puncak. Berbagai perasaan mengaduk hatinya, ia bingung. Namun ketika seseorang memanggil-manggilnya dari bawah dan berlarian mendaki puncak, matahari mulai terbit di ufuk timur maka Peng Houw terkejut melihat seorang tosu berlutut di depannya.

“Siauwhiap, tolong…. cepat tolong. Ceng-sumoi hendak pergi dan meninggalkan Kun-lun!”

“Li Ceng…?”

“Benar, siauwhiap, semalaman ia menangis, tiada henti. Kami mencari-cari Kim Cu-suheng namun baru tadi ia muncul. Ia mencegah sumoi namun tak berhasil. Sumoi hendak pergi, tak akan kembali!”

Peng Houw terkejut. Bagai disentak tiba-tiba ia sadar apa sebabnya. Tentu karena ibunya itu, kisah yang buruk! Dan ketika tosu itu berulang-ulang membenturkan dahinya mengiba-iba, menyuruh Peng Houw cepat turun maka pemuda ini berkelebat dan lenyap meninggalkan tosu itu, murid Kun-lun.

“Siauw-heng, biar kulihat ia!”

Tosu itu girang. Ia adalah sute termuda dari Kim Cu Cinjin dan segera mendengar segalanya. Li Ceng yang menangis semalaman dilaporkan. Dan ketika Kim Cu tertegun dan menarik napas dalam, maklum bahwa sumoinya malu dan berduka berat maka tosu ini cepat menyuruh sutenya ke atas memanggil Peng Houw. Li Ceng berkelebat dan keluar di kaki gunung, dicegat. Ujian bagi Peng Houw untuk menentukan sikap!

“Tak usah malu dan justeru tabahlah. Ada pinto di sini, sumoi. Tak ada manusia yang luput dari kesalahan. Bersabarlah, lihat bagaimana reaksi Peng Houw karena betapapun ia calon jodohmu, calon suamimu!”

“Tidak… tidak! Biarkan aku pergi, suheng, biarkan aku meninggalkan Kun-lun. Aku tak kuat oleh cerita ibu. Apa kata Peng Houw nanti, jangan-jangan ia menganggapku seperti ibuku pula!”

“Hm, lain orang lain pula hatinya. Lain kulit lain pula jiwanya. Kau dan ibumu berbeda, sumoi. Kau dibesarkan dan hidup di samping ayah dan kakekmu laki-laki. Meskipun ayahmu meninggal namun didikan kau terima dari kakekmu, Lo-susiok. Biarkan Peng Houw datang dan apa katanya nanti!”

“Tidak, aku tak mau. Aku malu, berat sekali. Biarkan aku pergi dan jangan dicegah lagi!” gadis itu meronta dan terbang ke bawah, lepas dari cekalan suhengnya dan saat itu bayangan putih menyambar.

Peng Houw datang dan berkelebat meluncur. Dan ketika Kim Cu cepat menyelinap dan mendengar panggilan pemuda itu, Li Ceng tancap gas dan malah mempercepat larinya maka di bawah gunung, di mulut hutan Peng Houw tiba-tiba berjungkir balik dan menangkap gadis ini, menyambar pundaknya.”

“Ceng-moi, berhenti. Tunggu dulu!”

Li Ceng terkejut. Ia marah kenapa suhengnya menahan hingga Peng Houw menyusul, kalau tidak tentu ia sudah pergi. Maka membentak dan memutar tubuhnya, menendang dan melepaskan diri dari cengkeraman itu gadis ini menampar Peng Houw.

“Lepaskan aku, jangan ditahan. Pergi!”

Namun Peng Houw berkelit dan menarik tubuh ini. Ia tidak melepaskan hingga si gadis terbawa, tendangan luput dan otomatis tertarik ke depan. Dan ketika Peng Houw mendekap tubuh itu dan meringkus kaki tangannya, Li Ceng tak dapat bergerak maka pemuda ini menggigil berseru,

“Ceng-moi, aku telah menetapkan keputusan hati. Kau tak boleh pergi, kecuali kau menolak cintaku!”

“Apa?”

“Benar, kau tak boleh pergi, Ceng-moi, kau harus bersamaku. Atau aku tak akan melamarmu kalau kau memang tidak mencintaiku!”

Gadis itu menggigil. “Tapi… tapi ibuku…”

“Yang kucinta adalah kau, Ceng-moi, bukan ibumu, bukan siapapun! Aku tak perduli ibumu dan persetan kata orang lain akan ibumu!”

Gadis itu mengguguk. Peng Houw bicara begitu sungguh-sungguh karena menjelang pagi memang ia telah menemukan jawabannya itu. Ia mencinta Li Ceng, bukan ibunya. Dan karena gadis itu bukanlah orang lain dan ia tetap Li Ceng adanya, gadis yang selama ini dikenal baik dan tak pernah cacad maka Peng Houw sadar bahwa semua yang bukan gadis itu harus disingkirkan.

Justeru ia harus beriba hati kepada kekasihnya ini. Justeru cintanya harus kian mendalam. Maka ketika ia memeluk dan ketat mendekap gadis itu, tak mau kehilangan maka Li Ceng tersedu-sedu dan tak ayal lagi merobohkan tubuhnya di dada pemuda ini, mengeluh dan merasa bahagia dan Peng Houw secara gemetar menyatakan cintanya, menyatakan kesungguhannya.

Bahwa yang dicinta adalah gadis itu, bukan ibunya, bukan pula orang lain. Dan ketika Peng Houw mengusap dan gemetar meraba punggung ini, mengecup keningnya maka Li Ceng tersentak dan seketika mengangkat mukanya.

“Kau…. kau tak sengaja…?”

“Tidak, kali ini kusengaja, moi-moi, kusengaja. Marahlah dan biar kubuktikan cintaku yang lain lagi!” dan ketika Peng Houw menunduk dan mencium bibir itu, tak tahan dan bersikap berani maka pemuda itu menunggu tamparan atau caci maki lagi, nekat namun Li Ceng malah roboh.

Gadis itu menyambutnya dengan keluh dan isak girang, setengah tertawa setengah menangis dan Peng Houw yang tidak ditampar lagi tentu saja semakin berani. Seluruh cintanya ditumpahkan di sini, dicium dan dilumatnya bibir merah itu habis-habisan, Li Ceng tersedak. Namun ketika gadis ini terbelalak melihat bayangan suhengnya, Kim Cu Cinjin keluar dan melengos ke puncak tiba-tiba gadis ini meronta kaget dan menampar pipi Peng Houw.

“Jangan gila, ada orang…. plak-plak!”

Peng Houw terkejut. Kekasih meronta dan melepaskan diri, berkelebat dan memutar tubuh sambil memaki-maki. Dan ketika Peng Houw membalik namun bayangan tosu itu lenyap ke puncak, tersenyum-senyum maka Peng Houw merah padam karena lupa diri dan tak tahu keadaan. Ia tertegun namun tentu saja mengejar kekasih, Li Ceng diteriaki. Dan karena gadis itu memasuki hutan dan dikhawatirkan meninggalkan Kun-lun, Peng Houw cemas maka ia meloncat dan dilihatnya sang kekasih menyeberang keluar.

“Ceng-moi, tunggu. Jangan pergi….!”

Li Ceng mempercepat larinya. Ia malu bukan main oleh kehadiran suhengnya tadi dan diam-diam memaki Peng Houw. Tak dapat disangkal bahwa ia merasakan kebahagiaan besar ketika dicium Peng Houw, bukan di kening melainkan di bibir. Ah, nikmatnya itu! Ia mabok, ia merasa betapa semua bulu romanya berdiri namun nikmatnya bukan main.

Baru kali itu Peng Houw menciumnya, mesra, penuh kesungguhan dan kasih sayang. Dan karena getaran kasih pemuda itu membuat seluruh bulunya merinding, ia seakan terbang ke sorga maka alangkah kagetnya ia ketika tiba-tiba sang suheng tersenyum-senyum dan melengos ke puncak. Li Ceng merah padam dan malu bukan main. Peng Houw sembrono sekali, di luar hutan ia mencium.

Maka menampar dan memutar tubuh, berkelebat meninggalkan pemuda itu Li Ceng memasuki hutan namun berbelok dan menuju pinggang gunung. Ia sengaja berkelak-kelok dan Peng Houw tak segera menangkapnya, pohon-pohon besar menghalang. Namun ketika ia naik ke pinggang gunung di balik Kun-lun, Peng Houw tak terdengar teriakannya lagi tiba-tiba gadis ini kecewa dan berhenti.

Aneh, cucu Mutiara Geledek ini tiba-tiba sedih. Ia tak senang kenapa Peng Houw tak memanggil-manggilnya lagi, kemana pemuda itu. Apakah sudah tak cinta! Dan ketika ia terisak celingukan ke sana ke marĂ­, memanggil Peng Houw secara lirih tiba-tiba Peng Houw menyambarnya dari atas dari sebuah batu hitam.

“Aku di sini, moi-moi. Kau ternyata menungguku juga, ha-ha!”

Gadis itu terkejut. Ia merah padam dan berkelit namun tertangkap juga, marah namun pandang mata Peng Houw penuh geli. Sesungguhnya pemuda ini sudah ada di situ sejak tadi, pura-pura menghilang dan melihat bagaimana reaksi gadis itu. Maka melihat cucu Mutiara Geledek ini celingukan dan berhenti mencari-cari, tak tahu bahwa orang yang dicari ada di atasnya.

Maka Peng Houw tak kuat lagi dan menyambar ke bawah. Peng Houw akhirnya tahu bahwa kekasihnya ini pura-pura marah saja, ia girang dan tentu saja berani turun. Dan ketika ia memeluk dan mendaratkan ciuman lagi, tak ada orang di situ maka Li Ceng meronta dan pura-pura menjerit.

“Jangan gila, ada orang…!”

“Ha-ha, orang siapa. Hayo di tempat ini sunyi dan siapa yang melihat!”

Gadis itu mengeluh. Peng Houw menciumnya lagi dengan mesra hingga lagi-lagi bulu tubuhnya merinding semua. Heran, ia mengalah saja. Mungkin karena rasa nikmat itu. Dan ketika ia menggelinjang dan Peng Houw mengusap dan mengelus punggungnya lagi, untuk kesekian kali gadis ini terkejut maka Peng Houw berbisik bahwa ia minta tampar.

“Aku sengaja, aku senang sekali mengusap dan mengelus-elus punggungmu. Hayo, tamparlah aku, moi-moi. Aku sengaja…..!”

Gadis itu geli. Dia melihat Peng Houw berbisik- bisik namun mata itu terpejam. Lucu! Maka ketika ia terkekeh dan Peng Houw terkejut membuka matanya, Li Ceng terpingkal maka gadis itu menuding.

“Kau…., kenapa seperti monyet mencium terasi? Ada apa bulu matamu bergetar-getar? Ihh, lucu melihatmu, Peng Houw. Bulu matamu kiyer-kiyer (bergetar-getar) seperti dirubung lalat, hi-hik!”

“Dan kau…” Peng Houw tak dapat menahan geli, “…cuping hidungmu kembang-kempis, moi-moi. Hidungmu seperti diraba-raba buntut tikus. Ha-ha, kaupun lucu. Lebih lucu daripada aku!”

“Tidak, napasmu mendengus-dengus seperti diburu kereta!”

“Napasmu juga!”

“Tidak, tidak mungkin!”

“Mungkin!”

“Tidak mungkin!”

“Ha-ha…! dan ketika Peng Houw menyambar dan memeluk kekasihnya ini, gemas maka pemuda itu sudah melarikannya ke atas.

Li Ceng menjerit-jerit namun tak diperdulikan, Peng Houw terus saja menuju atas. Dan ketika ia terkejut Peng Houw membawanya ke tempat para pimpinan maka Peng Houw berhenti ketika bertemu Kim Cu Cinjin, tosu itu terkejut dan heran. Li Ceng terbelalak dan merah padam, meronta namun Peng Houw menjepitnya kuat.

“Totiang, anak nakal ini hendak kuserahkan padamu. Kurung dia baik-baik, jangan sampai lari. Aku akan datang bersama para susiok melamarnya!”

Tosu itu tertawa, “Siauwhiap berhasil menangkapnya?”

“Benar, totiang, dan hampir saja luput. Eh, ikat dia dan jangan sampai lari. Susah aku menangkapnya nanti!”

Semua tosu tertawa lebar. Tentu saja mereka tahu ikatan perjodohan ini dan Kim Cu Cinjin pun tertawa bergelak. Apa yang dikata Peng Houw benar, pemuda itu harus kembali dan membawa paman-paman gurunya untuk melamar. Mereka di Kun-lun akan menunggu. Dan ketika Li Ceng sadar dan semburat mukanya, sudah dilepas maka gadis itu memaki Peng Houw berkelebat keluar, malu.

Hari itu Peng Houw benar-benar bahagia. Kim Cu Cinjin pun juga bahagia. Dan ketika pemuda itu pamit untuk pulang, datang dan kembali dengan lamaran maka tosu ini menjura dan memberi selamat jalan, menyinggung sedikit tentang wejangan Bu-beng Sian-su.

“Siauwhiap tak lupa akan kenangan di atas puncak, bukan? Siauwhiap benar-benar dapat menerima sumoiku lahir batin?”

“Ah, tentu, totiang. Hidup jujur memang harus menerima segala-galanya, termasuk yang pahit itu. Bukankah tidak jujur lagi kalau kita menolak itu. Kejujuran yang menyakitkan harus belajar kita terima, meskipun sakit. Tapi bukankah itu bukan dilakukan Li Ceng?”

“Benar, hanya ibunya. Tapi sewaktu-waktu kita pribadi dapat menerimanya langsung, siuwhiap, entah sekarang atau kapan.”

“Aku sudah siap. Kalau itu datang akan kuawasi dan kuterima. Asal jujur, biarpun kejujuran itu menyakitkan aku akan menerima. Sudahlah, totiang, selamat tinggal dulu. Sampai jumpa lagi!”

Tosu itu mengangguk. Ia berseri dan kagum bahwa secepat itu Peng Houw mampu mematangkan batinnya. Tak heran pemuda itu adalah murid Ji Leng Hwesio yang sakti! Tapi ketika Peng Houw berkelebat turun gunung dan siap ke Go-bi tiba-tiba gadis baju merah itu muncul. Li Ceng mengusap air matanya.

“Peng Houw, kau… kau tak lama, bukan?”

Peng Houw tertegun, menyambar lengan yang gemetar ini. “Kau… kau tidak sembunyi di kamar? Kau di sini?”

“Aku menunggumu, Houw-ko, berpesan agar tidak lama-lama di Go-bi.”

“Apa?”

“Aku tidak ingin lama-lama kau di Go-bi….”

“Tidak, bukan itu. Sebutanmu tadi! Ah bagaimana kau memanggilku, moi-moi? Houw- ko (kanda Houw)? Ha-ha, ini baru sorga! Aduh, kau membuatku mabok, Ceng-moi. Coba sebut sekali lagi dan biar aku mendengarnya!”

Li Ceng tersipu. Memang ia telah merobah panggian dan suaranya yang begitu mesra dan lembut membuat Peng Houw mabok. Pemuda itu tertawa bergelak. Dan ketika ia meraih dan memeluk tubuh ini, Li Ceng terisak maka gadis itu mengangkat muka berseru gemetar, air mata bercucuran, penuh bahagia,

“Houw-ko, jangan lama-lama. Aku menunggumu…..!!”

Peng Houw berbuncah kebahagiaan. Entah siapa yang lebih dulu mencium karena masing-masing tiba-tiba saling menunduk. Bibir itu bertaut dan saling tangkap, bergetar dan lekat penuh madu-madu cinta. Lalu ketika keduanya merasa mabok dan melayang-layang, Peng Houw mempererat pelukan dan sadar lebih dulu maka pemuda itu melepaskan kekasihnya dengan wajah berseri-seri, melompat dan pulang ke Go-bi sementara Li Ceng melambaikan tangannya.

Gadis itu bercucuran air mata, bahagia, berkali-kali menyebut nama Peng Houw dengan suara gemetar dan mesra. Namun ketika bayangan pemuda itu lenyap di bawah gunung, gadis ini membalik dan melompat ke kamarnya maka asyik-masyuk dua muda-mudi ini sampai di sini saja.

Pembaca akan menemui mereka lagi dalam kisah berikut: Kabut Di Telaga See-ouw. Dan karena kisah ini sudah berakhir penulis mohon diri. Salam bahagia!

(Selanjutnya seri ke 2)
Kabut Di Telaga See Ouw