Prahara Di Gurun Gobi Jilid 30 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Serial Bu-beng Sian-su Karya Batara

“HA-HA, kita bunuh pemuda ini. Ayo, lenyapkan dia!"

Chi Koan terkejut. “Apa itu, suhu? Kau peternak kepiting?”

"Ha-ha, benar, Chi Koan, tapi bukan sembarang kepiting. Itu adalah kepiting Laut Selatan yang beracun. Capitnya berbahaya, dapat dikendalikan seperti pasukan bila cambukku memberi aba-aba..... tar!" dan cambuk yang kembali meledak dan bersuara nyaring akhirnya diikuti gerakan kepiting yang jumlahnya ribuan itu merayap turun.

Mereka tahu-tahu sudah ada di dinding jurang dan rupanya bersembunyi di situ, menunggu perintah, bak pasukan perang yang siap tempur. Maka begitu cambuk menjeletar dan itulah tanda untuk maju maka ribuan binatang aneh ini menyerang dan karena cambuk meledak-ledak di atas kepala Peng Houw maka pemuda itulah yang menjadi sasaran!

“Aiihhhhh...!" Peng Houw melengking mengeluarkan bentakan dahsyat. Dulu dia sudah melihat pasukan kepiting ini ketika digiring di atas bukit. Itulah pertemuan pertamanya dengan susioknya ini. Maka ketika binatang itu menyerang dan dia yang dituju, bukan Chi Koan atau yang lain maka Peng Houw marah mengibas mereka.

"Bresss!" ratusan kepiting terlempar dan porak-poranda. Mereka terbawa oleh angin pukulan Peng Houw ini dan berhamburan. Namun karena di situ banyak yang lain dan Chi Koan maupun suhunya juga tak tinggal diam, hwesio dan muridnya ini membentak melepas pukulan maka Peng Houw menangkis dan harus memperhatikan guru dan murid ini.

"Des-dess!”

Peng Houw terhuyung. Lawan sudah menerjang lagi dan hwesio itu tertawa bergelak. Beng Kong berseru bahwa tenaga yang dimiliki Peng Houw adalah sinkang Ji Leng Hwesio, Chi Koan terbelalak dan terkejut mendengar itu. Dan ketika pemuda itu bertanya begaimana bisa begitu maka hwesio ini meledakkan cambuknya, mata berkilat penuh benci.

"Kakek gurumu tak punya cinta kasih, Chi Koan. Dia berat sebelah. Dia memberikan sinkangnya sebelum mampus!"

“Mati? Sukong sudah wafat?"

“Benar, Chi Koan, dan itu sejak Peng Houw menerima sinkangnya. Tenaga sakti kakek gurumu itulah yang kini ada di tubuh Peng Houw. Anak ini harus kita bunuh karena dia membuat guruku berat sebelah..... bress- plakk!"

Peng Houw mengelak dan menahan pukulan, terdorong dan lawan terpental namun dari belakang Chi Koan menghantam cepat. Anak ini licik dan memang curang. Pukulannya mengenai punggung Peng Houw. Dan ketika Peng Houw terhuyung dan melotot marah maka ribuan kepiting menerkam dan menggigit pemuda ini dari bawah.

Peng Houw menendang dan membuat kepiting- kepiting itu mencelat. Pemuda ini gusar bukan main karena pengakuan itu membongkar rahasia. Kematian Ji Leng harus dirahasiakan tapi kini Beng Kong Hwesio membukanya, tentu saja Peng Houw marah bukan main. Tapi karena ia menghadapi banyak lawan dan Beng Kong sudah menyerangnya lagi, Chi Koan juga menyusul dan beberapa kepiting mulai merayap dan menggigit kaki pemuda ini maka Peng Houw terdesak dan bingung. Dan Chi Koan berseri-seri.

Pemuda ini, seperti yang kita tahu adalah terheran-heran dan kaget sekali bagaimana Peng Houw mampu memiliki Hok-te Sin-kang secepat itu. Diam-diam dia merasa iri dan cemas. Dia sendiri yang sudah mencuri Bu-tek-cin-keng dan mempelajari ilmu itu baru setelah sekian tahun memiliki kepandaian tinggi. Tapi begitu bertemu Peng Houw dia kalah!

Chi Koan penasaran dan heran sekali. Tapi setelah gurunya memberi tahu dan sinkang yang dimiliki Peng Houw kiranya adalah sinkang Ji Leng Hwesio, kakek gurunya maka tentu saja keheranannya lenyap dan sebagai gantinya adalah rasa iri dan marah yang besar.

Pantas saja Peng Houw demikian lihai, tak tahunya kakek gurunya itu pilih kasih. Keparat! Dan ketika Chi Koan melengking dan melepas satu pukulan Hok-te Sin-kang, di sana gurunya juga membentak dan mendorong Thai-san-ap-ting dengan tenaga Hok-te Sin-kang maka dari bawah dan kiri kanan Peng Houw menghadapi ribuan kepiting yang mulai merayap dan menggigiti tubuhnya.

"Dess-plakk!"

Peng Houw bergoyang dan digencet dua tenaga sakti dari muka belakang ini. Untuk sejenak dia tak menghiraukan kepiting-kepiting itu dan membiarkan saja mereka menyapit dan menggigit. Tapi ketika dua orang itu terbelalak karena kepiting tiba-tiba berjatuhan, Beng Kong berseru heran maka hwesio itu meledakkan cambuknya lagi dan menyuruh yang lain maju, diri sendiri menerjang lagi dan Chi Koan juga terheran.

“Dia tak apa-apa. Kepitingmu berjatuhan!”

“Benar, dan mereka mati sendiri, Chi Koan. Peng Houw kebal racun. Dia... ah, ini bukan kekebalan dari Hok-te Sin-kang. Anak itu memiliki sesuatu.... siut!” dan sebatang golok yang menyambar dan tiba-tiba disambitkan hwesio itu mendadak tepat mengenai tengkuk Peng Houw, patah dan runtuh dan hwesio itu terbelalak. Peng Houw kebal racun di samping kebal pula terhadap senjata. Dan ketika hwesio itu kaget karena ini bukan karena Hok-te Sin-kang, melainkan sesuatu yang lain.

Maka Peng Houw sendiri tertegun dan tiba-tiba teringat. Yakni ketika dulu dia diusap Sian-ji-kang oleh kakek gurunya, Usapan Jari Dewa yang membuat dia kebal dan kuat terhadap bacokan senjata tajam. Dan begitu dia ingat dan tak perlu takut lagi terhadap gigitan kepiting-kepiting beracun itu maka guru dan murid semakin membelalakkan mata lebar-lebar. Beng Kong Hwesio teringat kesaktian gurunya yang lain.

"Anak ini... dia, ah.... dia mendapat usapan Sian-ji-kang. Tak salah. Itu kekebalan dari Sian-ji-kang. Keparat!" dan Beng Kong yang menerjang dengan amat marah akhirnya menjadi semakin benci dan sakit hati kepada Peng Houw, merasa gurunya semakin tak adil dan kemarahan serta kebenciannya ini menular pada Chi Koan.

Pemuda itu terkejut dan membelalakkan mata mendengar kata-kata gurunya. Banyak amat Peng Houw mendapat warisan! Dan ketika Chi Koan juga menjadi marah dan menerjang Peng Houw maka guru dan murid semakin beringas.

Namun Peng Houw sekarang lebih tenang. Pemuda ini sudah tak takut lagi kepada kepiting-kepiting itu. Namun karena mereka mengganggu dan menghalang gerakannya, juga capitan itu membuat pakaiannya robek-robek maka Peng Houw yang sibuk menangkis sana-sini akhirnya membentak dan mendorongkan kedua lengan ke delapan penjuru.

“Des-dess!”

Beng Kong dan Chi Koan terhuyung. Peng Houw mendapat kepercayaannya lagi namun cambuk menyambar. Kini ledakan bukan semata mengatur ribuan kepiting akan tetapi juga menyerang pemuda itu. Dan karena Peng Houw hanya memiliki ilmu yang itu-itu saja, Soan-hoan-ciang atau Hok-te Sin-kang maka lawan yang berkelebatan dengan Lui-thian-to-jit dan sambaran Thai-san-ap-ting atau Cui-pek-po-kian membuat pemuda ini tak banyak berdaya untuk membalas.

Pertandingan sudah berjalan dua ratus jurus dan Peng Houw mandi keringat. Chi Koan juga mandi keringat namun dapat bergantian dengan gurunya. Diam-diam pemuda itu kagum karena Peng Houw yang menguasai benar Hok-te Sin-kang ternyata begitu luar biasa mempertahankan diri. Itu berkat tenaga sakti kakek gurunya itu! 

Dan karena ini membuat pemuda itu marah sementara kepiting mulai terinjak-injak, Beng Kong merasa sia-sia dengan pasukannya yang langka itu maka pertandingan berjalan terus dengan kedudukan tetap sama. Tak ada yang terdesak atau mendesak, kepiting mulai disuruh mundur.

"Keparat, bagaimana cara membunuh pemuda ini, Chi Koan. Dia kuat benar!”

“Hm,” Chi Koan mengingat-ingat. "Agaknya bertempur sampai kehabisan tenaga, suhu. Kita serang dia ganti-berganti."

“Tapi aku mulai lelah....”

“Aku juga, diapun begitu. Sama! Terus saja serang sampai kita atau dia roboh!”

Namun terdengar bentakan. Dua sosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu Li Ceng dan kakeknya muncul. Mereka itu telah menghajar anak buah Chi Koan dan kini mencari-cari pemuda itu. Di dasar jurang mereka mendengar pertempuran ini. Maka ketika mereka masuk dan kehadiran ini membuat Beng Kong dan muridnya terkejut, Si Mutiara Geledek Lo Sam menghembuskan asap tembakaunya maka barisan kepiting buyar dan porak-poranda, cucunya juga menendang dan membacok binatang-binatang itu.

"Peng Houw, jangan takut. Ada aku di sini. Kalau aku dan kakekku tak dapat membunuh orang-orang ini biarlah aku dan kita semua mampus!"

Peng Houw terbelalak. Sesungguhnya dia gemas dan marah akan hasil pertandingan ini. Kalau saja lawan tidak memiliki Hok-te Sin-kang dan mengisi ilmu silat mereka itu dengan tenaga mujijat ini belum tentu pertandingan itu berlangsung sengit. Tentu sejak tadi dia sudah merobohkan mereka. 

Namun karena Chi Koan dan gurunya sama-sama memiliki Hok-te Sin-kang dan justeru pukulan itulah yang amat hebat, kalau bukan karena warisan tenaga sakti Ji Leng Hwesio tak mungkin dia kuat bertahan maka Peng Houw diam-diam marah besar dan menahan-nahan kemarahannya itu. Dan kini Lui-cu Si Mutiara Geledek muncul, bersama cucunya.

"Bagus, tapi lindungi aku saja dari serangan-serangan mereka yang curang, Li Ceng. Jangan sambut pukulan mereka ataupun menangkis!"

"Benar,” Mutiara Geledek berseru. “Kami tahu, Peng Houw, dan kami hanya akan melindungimu dari serangan curang saja.... wusshhhh...!" dan asap yang tebal menghembus ke depan tiba-tiba membuat Beng Kong dan muridnya batuk-batuk. Hwesio itu melotot dan marah sekali. Dan ketika dia membentak siapa orang ini maka Chi Koan menjawab.

"Dia sute dari Kun-lun Lojin, Mutiara Geledek Lo Sam."

“Mutiara Geledek? Orang yang sudah menghilang tiga puluh tahun itu?"

“Benar, suhu, karena itu hati-hati. Tidak terlalu berbahaya namun dapat mengganggu kita merobohkan Peng Houw.”

“Keparat!" dan si hwesio yang membentak dan menambah pukulannya akhirnya menyambar kakek itu dengan serangan langsung, dikelit tapi dikejar dan kakek ini terkejut. Dia di belakang Peng Houw, tapi saat itu Peng Houw menangkis pukulan Chi Koan. Dan karena dinding jurang sempit dan apa boleh buat harus menangkis maka kakek ini terjengkang dan untung bahwa hwesio yang sudah mandi keringat itu tidak seberat pada pukulannya pertama.

“Bresss!" Kakek itu terguling-guling. Li Ceng berteriak tapi sang kakek sudah meloncat bangun, wajahnya pucat. Tapi karena pukulan tak seberat biasanya dan kakek itu bernapas lega maka dia cepat berlindung di punggung Peng Houw ketika lawan mengejar dan membentaknya lagi, tak menghiraukan Chi Koan dan pemuda ini terkejut. Peng Houw jadi garang dan menghempaskannya dengan satu tangkisan kuat. Dan ketika pemuda itu terlempar dan bergulingan menjerit, memanggil suhunya maka Beng Kong melihat berkelebatnya bayangan-bayangan lain. Tiba- tiba saja akal liciknya timbul.

“Chi Koan, agaknya kita harus keluar saja dari sini. Jurang ini sempit!"

Chi Koan terkejut. Dia tak melihat bayangan-bayangan itu karena mereka kebetulan di belakangnya. Maka ketika gurunya melompat dan berjungkir balik, menjejakkan tongkat beberapa kali ke atas maka hwesio itu mendaki dan cepat sekali sudah tiba di bibir jurang.

"Suhu....!”

Tawa mengejek terdengar. Beng Kong menoleh dan bayangan di belakang pemuda itu sudah sampai. Mereka adaleh hwesio-hwesio Go-bi yang bukan lain adalah Ji-hwesio dan sutenya. Entah kenapa Beng Kong tiba-tiba tak mau bertemu dengan mereka ini. Dan ketika hwesio itu tertawa aneh dan Chi Koan terkejut mendengar bentakan, tengkuknya tahu-tahu disambar seseorang maka pemuda itu kaget melihat ji-susioknya ada di situ.

"Sekarang kau tak mungkin mengelak. Hayo pulang dan pertanggungjawabkan perbuatanmu!”

Chi Koan kaget sekali. Dalam tangkisan Peng Houw yang terakhir ini dia merasa kiut-miut. Tulangnya seakan retak-retak dan dia menahan sakit, terbelalak melihat suhunya pergi sementara dia ditinggal seorang diri. Dan karena dia heran dan tak mengerti kenapa suhunya tiba-tiba melarikan diri, bukankah Peng Houw dapat mereka hadapi berdua maka datangnya hwesio-hwesio Go-bi itu mengejutkannya tapi sekaligus menyadarkan dia bahwa suhunya takut perihal pembunuhan Ji Beng Hwesio itu. Chi Koan marah sekali dan mendelik.

Tiba-tiba dia ingat kejadian lama. Dulu dia yang meninggalkan gurunya di jurang sementara sekarang gurunya yang meninggalkannya di jurang. Memang dia diajak tapi mana mungkin itu. Dia sedang terhempas oleh pukulan Peng Houw, kesakitan. Tapi karena dia bukan pemuda lemah dan perbuatan gurunya itu membuat dia marah sekali, kemarahan ini menimbulkan tenaga maka begitu tengkuknya disambar tiba-tiba dia dapat membalik dan..... dess, paman gurunya itu terhuyung, kena lambung.

“Omitohud, kau menambah dosa, Chi Koan. Bagus sekali!"

Namun pemuda ini bangkit dan berteriak keras. Dia merogoh sesuatu dari saku bajunya dan dua granat dilempar kuat. Peng Houw terkejut dan berseru keras, satu di antara dua granat itu disambar dan ditangkap. Dan karena granat yang lain meledak dan menggetarkan dinding jurang, semua tiarap oleh seruan Peng Houw maka Chi Koan melarikan diri dan mendaki jurang dengan cepat sekali, wajahnya pucat.

“Suhu, tunggu. Kita harus berdua menghadapi lawan!”

Peng Houw terbelalak dan mengebutkan kedua lengan bajunya. Tadi dia tak bergerak setelah Chi Koan terbanting, tangkisannya tadi amatlah kuat, juga karena dia melihat bayangan-bayangan hwesio Go-bi itu, para susioknya. Maka ketika Chi Koan melarikan diri dan granat yang ditangkap dibuang menjauh, dia mengebut membuyarkan asap hitam maka dilihatnya pemuda itu mendaki jurang, cepat sekali.

“Chi Koan, berhenti! Serahkan dulu Bu-tek-cin-keng!" Peng Houw tak mau berlama-lama lagi. Dia berkelebat dan berjungkir balik ke atas, bergerak dan menotol batu-batu di pinggiran jurang untuk kemudian berjungkir balik lagi ke atas, begitu seterusnya, cepat dan tentu saja mendahului Chi Koan yang payah gemetaran di sana. Dan ketika Peng Houw melompat dan berdiri di sini, menghadang maka Peng Houw tertegun karena di atas jurang Beng Kong Hwesio bertanding hebat dengan seorang kakek gimbal-gimbal yang bukan lain susioknya pertama, Twa-hwesio!

"Ah!" Peng Houw menjublak dan bengong di sini. Dia tak memperhatikan susioknya Beng Kong Hwesio lagi setelah Chi Koan melarikan diri. Bu-tek-cin-keng itu lebih penting daripada yang lain. Beng Kong Hwesio biarlah diurus nanti. Maka ketika dia mengejar tapi di atas terjadi pertandingan seru, twa-susioknya yang gimbal-gimbal itu meledakkan cambuk dan mainkan cambuk dengan ilmu silat aneh, meliuk dan menyambar-nyambar suhengnya agar tidak pergi melarikan diri maka Peng Houw yang tertegun di sini sejenak melupakan Chi Koan.

Twa-hwesio, kakek gimbal-gimbal itu terkekeh-kekeh. Dia menghadapi Beng Kong Hwesio dengan seru dan ganas sekali. Permainan cambuknya begitu luar biasa dan lawan dibuat sibuk. Beng Kong memiliki Hok-te Sin-kang namun hwesio ini sudah kelelahan. Mengeroyok dan berhadapan dengan Peng Houw tadi membuat tenaganya habis. Maka ketika di bibir jurang ia disambut oleh tawa dan kekeh ini, mengenal sutenya yang hanya memiliki sebelah telinga maka hwesio ini pucat dan matanya melotot karena ilmu cambuk yang aneh itu naik turun bagai ular memagut-magut.

“Ha-ha, mengaku sudah. Ketemu juga orangnya! Bagus, sudah kuduga kau yang membunuh guruku, suheng. Dan lihat aku membawa para suteku ke mari. Sudah kudengar omonganmu dengan Chi Koan tadi. Sudah kami ketahui siapa pembunuh keji itu. Bagus, kau pengkhianat dan manusia busuk. Kau tak segan membunuh paman gurumu sendiri agar mendapat warisan Hok-te Sin-kang. Keparat, kau akan kubunuh dan lihat permainan cambuk dari guruku Ji Beng Hwesio ini..... tar-tar!”

Cambuk meledak dan menyambar muka lawan, ditampar namun melejit ke atas, turun dan tahu-tahu menggigit punggung. Dan ketika Beng Kong berteriak karena sutenya ini demikian lihai, menangkis dan membentak mengeluarkan Hok-te Sin-kangnya maka Twa-hwesio menyambut tapi kakek ini terpelanting. Nyata bahwa sang suheng masih hebat, meskipun tenaganya terkuras habis.

Namun kakek itu tidak berhenti di situ. Ia tertawa dan bergulingan meloncat bangun, menjeletarkan cambuk dan Beng Kong beringas mengeluarkan cambuknya pula. Dan ketika ia meledakkan cambuk itu dan dua senjata ini bertemu di udara maka tenaga Beng Kong ternyata lebih kuat dan cambuk di tangan lawan membalik, nyaris menghajar mukanya sendiri tapi dengan lihai kakek ini melempar kepala ke belakang. 

Selanjutnya ia tertawa-tawa lagi menyerang suhengnya itu, dari dalam jurang berlompatan bayangan-bayangan lain, mengepung. Dan ketika Lui-cu dan cucunya serta dua hwesio Go-bi berdiri di situ, Peng Houw menoleh maka dia kaget tak melihat Chi Koan, terlalu terpaku oleh pertandingan ini, terutama oleh kehadiran twa-susioknya itu.

“Ah, mana dia!" Peng Houw berkelebat. “Heii, mana Chi Koan, Li Ceng? Adakah kau lihat pemuda itu?"

"Dia... dia tak ada di sini!" gadis itu terbelalak. "Justeru aku heran kenapa kau bengong saja, Peng Houw. Siapa kakek gimbal-gimbal yang lihai itu?"

“Dia twa-susiokku (paman pertama), orang tertua dari Pat-kwa Hwesio murid Ji Beng susiok-kong yang terbunuh. Ah, bagaimana Chi Koan menghilang dalam waktu sekejap ini!" dan Peng Houw yang bergerak dan turun gunung tiba-tiba mendengar seruan ji-susioknya (paman guru kedua) yang menuding,

"Heiii..... itu dia, Peng Houw. Chi Koan di sana!"

Ternyata pemuda itu berkelebat menuju semak di balik jurang. Tadi pemuda ini beringsut dan akan mundur ketika Peng Houw di atasnya. Gerakan Peng Houw lebih cepat dan lebih bebas. Maka ketika pemuda itu tertegun karena Peng Houw sudah menghadang di depan, menyerang dan merobohkan lawannya itu tak mungkin maka Chi Koan mengeluh dan siap turun lagi.

Tapi saat itu Peng Houw terbelalak oleh pertempuran di atas jurang. Chi Koan sendiri juga terkejut dan heran akan lawan gurunya itu, diam-diam senang karena gurunya ternyata tak dapat pergi jauh. Rasakan, pikirnya. Berani benar kau meninggalkan aku! Tapi karena saat itu dia harus melarikan diri dan hadirnya orang-orang di bawah jurang membuat dia kecut, terutama Lui-cu si Mutiara Geledek itu maka Chi Koan beringsut dan dengan berani namun amat hati-hati dia merayap kembali ke bawah!

Namun Chi Koan tidak sampai ke dasar jurang. Di tengah, di sebuah batu terjal ada jalanan setapak yang gersang. Jalanan ini terbuat dari air hujan dan lama-lama mengikis bagian dalam jurang. Ada sebuah lubang kecil pula di situ. Maka ketika Chi Koan tiba di sini dan aman dari pandangan orang maka pemuda itu tertegun mengamati lubang ini. Lubang itu hanya sebesar kepalanya, tak mungkin masuk.

Tapi karena keadaan memaksa dan Chi Koan mengertakkan gigi maka pemuda ini mengerahkan sinkangnya dan...... krek-krek, semua tulang-belulangnya tiba-tiba menjadi lembek. Dengan berani pemuda itu masuk, maksudnya hendak bersembunyi. Dan ketika ia lewat seperti ular, pundak dan pangkal lengan tiba-tiba menjadi seakan tak bertulang maka loloslah pemuda itu memasuki lubang kecil ini.

Chi Koan girang. Lubang itu ternyata terowongan kecil panjang. Dia masuk dan tak perduli apa-apa lagi. Dan karena pemuda ini memang memiliki beragam ilmu, mulai dari yang biasa sampai ke yang aneh-aneh maka ilmu melemaskan tulang yang membuat tubuhnya seakan tinggal otot dan daging itu membuatnya berhasil melewati terowongan. Orang tentu akan terbelalak dan takjub melihat perbuatan pemuda ini.

Bayangkan, lubang sebesar kepala dapat dimasukinya. Dan ketika ia lolos dan sudah berada di balik jurang, keluar seperti cara ular menggeliat maka cepat saja pemuda ini menuju semak belukar tapi sial sekali Ji-hwesio melihat bayangannya.

Bukan main kagetnya Peng Houw. Dia marah dan membentak dan sekali Peng Houw membuang tubuh ia pun sudah terjun di balik jurang itu. Chi Koan akan lenyap kalau tidak dipotong jalannya. Dan ketika pemuda ini meluncur bagai dibuang dari langit, Chi Koan terkejut maka pemuda itu memaki namun cepat ia menuju semak belukar melarikan diri.

Akan tetapi sebuah bayangan lain muncul. Tepat dia berada di mulut belukar itu tiba-tiba sebatang huncwe menyodok hidungnya. Lui-cu, kakek itu tahu-tahu juga melakukan hal yang sama seperti Peng Houw, yakni membuang tubuh dari atas jurang untuk memotong jalan lari pemuda itu. Dan karena kakek ini tak dilihat Chi Koan karena memang bergerak dari belakang, hanya Peng Houw yang dilihat pemuda itu maka Chi Koan kaget sekali dan marah bukan main.

“Jahanam kau..... plakk!”

Huncwe ditangkis dan dicengkeram. Kakek itu tergetar namun Chi Koan tidak berhenti di sini. Ia masih mempunyai tenaga, biarpun telah bertanding habis-habisan dengan Peng Houw. Maka ketika kakek itu tertegun melihat huncwenya rusak, hancur dicengkeram Chi Koan maka pemuda ini menggerakkan tangan kirinya dan Hok-te Sin-kang menyambar pelipis kanan kakek itu.

“Awas!” Yang berseru adalah Peng Houw. Pemuda ini baru saja terjun dan tiba di situ dengan muka khawatir. Dia takut kehilangan lawan. Maka ketika tiba-tiba kakek itu menyerang Chi Koan tapi kini dibalas dan dihantam Hok-te Sin-kang, betapapun pukulan itu amatlah berbahaya maka si kakek terkejut dan berusaha mengelak namun tak keburu, terpaksa menangkis.

“Dess!” Kakek ini terjengkang. Lui-kang (Tenaga Geledek) telah dikerahkan namun tetap saja bukan lawan Hok-te Sin-kang itu. Pukulan Penakluk Dunia ini benar-benar hebat dan bukan lawannya. Maka ketika kakek itu terjengkang dan terlempar bergulingan, Chi Koan tetap masih berbahaya baginya maka kakek itu melontakkan darah tapi untung Peng Houw sudah di situ, menyambar dan memaki Chi Koan.

"Keparat kau!”

Chi Koan marah dan menggigit bibir. Sekarang ia dipotong lawan dan tak dapat lagi menuju semak belukar itu. Ini gara-gara kakek itu. Maka membalik dan menangkis pukulan Peng Houw ia pun membentak. "Kaulah yang keparat... dess!" dan Chi Koan yang terlempar dan ganti terjengkang bergulingan akhirnya mengeluh karena tak kuat menghadapi Peng Houw. Tenaga yang dimiliki Peng Houw adalah sinkang Ji Leng Hwesio, tentu saja kuatnya bukan main. Dan ketika ia meloncat bangun namun Peng Houw mengejarnya, apa boleh buat ia bergulingan lagi dan melawan sebisanya maka Chi Koan menangis dan Peng Houw tertegun.

“Kau... kau tak tahu persahabatan. Kau pemuda busuk. Bunuh dan biarkan yang lebih berdosa menyelamatkan dirinya, Peng Houw. Kau tak adil dan selalu mendesak-desakku!”

"Apa maksudmu?" Peng Houw tertegun. "Kau bicara tentang apa, Chi Koan? Tak tahukah bahwa dosamu sudah terlalu menumpuk?”

"Bagus, memangnya aku saja. Butakah mata dan hatimu. Suhuku lebih jahat, Peng Houw. Tapi kau mendesak dan selalu mengejar-ngejar aku. Kau malah membebaskannya!"

"Hm, ia di atas dihadapi para susiok yang akan membekuknya. Gurumu sudah kehabisan, tenaga. Kau tak pernah mau menyerahkan Bu-tek-cin-keng, Chi Koan. Kau mengangkangi dan mencuri kitab itu. Kau mempelajari dan lalu menyebar kejahatan!"

"Guruku lebih jahat. Ia membunuh susiok-kong dan mengkhianati Go-bi. Aku hanya mencuri kitab!"

“Urusan itu dapat diadili nanti. Sekarang serahkan kitab dan menyerahlah baik-baik, atau kau roboh dan luka oleh pukulanku..... dess!" Chi Koan terlempar dan bergulingan lagi, mengeluh tapi diam-diam otaknya yang licik mendekati Lui-cu Lo Sam.

Kakek Kun-lun itu terbatuk-batuk di sana dan bersila, memejamkan mata. Mutiara Geledek ini terluka oleh pukulannya Hok-te Sin-kang tadi. Maka ketika ia terlempar dan secara cerdik bergulingan ke sini, mengeluh maka Chi Koan yang berwatak curang itu tiba-tiba membentak dan meloncat bangun sudah menyambar tengkuk kakek itu, yang sedang memulihkan diri.

"Berhenti, atau kakek ini kubunuh!”

Peng Houw terkejut. Ia tak menyangka bahwa Chi Koan selicik itu. Orang yang sedang bersilapun disambar! Dan ketika ia tertegun dan berhenti menyerang, otomatis membelalakkan mata maka Chi Koan sudah mencengkeram ubun-ubun kakek itu dengan tawa bergelak.

"Ha-ha, ada dua pilihan untukmu, Peng Houw. Membebaskan aku masalah kitab atau membiarkan aku pergi dari sini!"

"Jahanam kau!" Peng Houw membentak, melompat maju. "Lepaskan kakek itu, Chi Koan. Dan hadapi aku secara jantan!”

"Ha-ha, tak usah berlagak ksatria. Ada dua pilihan untukmu, Peng Houw. Membebaskan aku masalah kitab atau membiarkan aku pergi!"

"Bu-tek-cin-keng tak boleh kau bawa. Kaupun tak boleh pergi!”

"Kalau begitu kakek ini mampus... krek!” cengkeraman dipererat.

Peng Houw terkejut dan saat itu terdengar jeritan Li Ceng. Gadis ini berteriak melihat kakeknya disandera. Dan ketika ia meloncat dan terjun dari atas, menyerang Chi Koan maka pemuda itu berkelit dan tubuh si kakek diangkat menerima tendangan itu.

“Dess!”

Li Ceng menjerit dan terpelanting. Dengan keji Chi Koan menyodorkan kakek itu menerima tendangan, telak sekali tendangan ini mengenai dada Lui-cu. Dan ketika kakek itu terbatuk dan melontakkan darah, luka yang satu belum sembuh ditambah oleh luka bekas tendangan itu maka kakek ini membuka mata dan cucunya bergulingan meloncat bangun.

“Kau.... kau keji. Kau jahanam keparat!”

"Ha-ha, majulah. Tendanglah lagi. Biar si tua bangka ini merasakan nikmatnya dibunuh cucu sendiri. Ha-ha!"

Li Ceng mendelik. Ia marah dan kaget sekali oleh kelicikan lawannya ini. Tapi ketika ia hendak maju namun Peng Houw menyambar lengannya maka dari atas meluncur lagi sesosok bayangan besar, bayangan yang rupanya melempar tubuh dan membuang diri dari situ.

"Bagus, kita tukar nyawa itu, Chi Koan. Kita minta kebebasan dengan nyawa si tua bangka Lui-cu itu!"

Kiranya Beng Kong Hwesio membuang tubuh menuju tempat Chi Koan. Dia berhasil mendorong sutenya sampai terlempar bergulingan namun saat itu dari bawah gunung terdengar suara gemuruh. Ribuan orang, para tosu dan hwesio berdatangan ke atas. Beng Kong terkejut dan membelalakkan mata dan tampaklah bayangan-bayangan berkelebat. Satu demi satu tokoh-tokoh yang dikenal muncul, mereka orang-orang Hoa-san dan Heng-san, juga Bu-tong dan Kun-lun di mana mereka ini menjadi jajahan Chi Koan.

Dan karena hwesio itu juga pernah menyakiti orang-orang ini dan dari bawah berteriak tujuh bayangan, Kwi-bo dan teman-temannya berturut-turut muncul maka mereka itupun berkelebat ke arah Chi Koan dengan muka pucat. Di bawah gunung mereka dicegat dan dihadang ribuan orang-orang yang marah itu.

“Chi Koan, celaka. Kita dikepung. Orang-orang Heng-san dan Hoa-san muncul. Mereka menagih jiwa!"

"Juga orang-orang Kun-lun dan Bu-tong, termasuk dari Go-bi. Celaka, kita tak dapat melarikan diri, Chi Koan. Hek-see-hwa terkepung!"

Chi Koan berubah. Pada mulanya dia merasa girang dapat menangkap kakek lihai itu. Dia dapat memaksa Peng Houw untuk mundur. Tapi ketika berturut-turut gurunya dan Tujuh Siluman Langit itu muncul, mereka berdatangan setelah tadi meninggalkannya sendirian maka Chi Koan tiba-tiba menjadi marah namun pemuda yang cerdik ini tidak menunjukkan kemarahan itu kepada gurunya ataupun Tujuh Siluman Langit. Chi Koan terbelalak dan memandang ke bawah dan suara gemuruh itu kini terdengar.

Bagai semut ribuan orang mendaki puncak. Mereka bersorak-sorak den berteriak riuh, namanya disebut-sebut. Dan ketika berturut-turut bayangan tokoh-tokoh muncul, yakni mereka dari Hoa-san dan Heng-san serta Kun-lun dan lain-lain maka Chi Koan tiba-tiba tertawa bergelak dan ketika semua heran mendadak ia merampas cambuk Beng Kong Hwesio dan sekali berseru keras ia menyabet ke arah Peng Houw yang berdiri di sebelah Li Ceng.

"Mampus kau!" Peng Houw terkejut. Ia mengelak dan otomatis mundur, penjagaan terhadap Li Ceng kosong. Dan ketika cambuk meledak dan berputar arah maka saat itulah Li Ceng disambar karena sesungguhnya gadis inilah yang dituju Chi Koan.

“Aiiihhhhh....!”

Terlambat bagi semuanya menolong gadis itu. Peng Houw yang tidak menyangka dan menjauhkan diri terkejut sekali. Tadinya dia heran dan bersiap-siap menerima serangan, dipikirnya Chi Koan berlaku nekat dan akan mengadu jiwa. Tapi begitu Li Ceng disambar dan gadis itu kini melayang dibelit cambuk, Chi Koan sudah melempar si kakek Lui-cu kepada gurunya maka Beng Kong yang semula terkejut dan marah dirampas cambuknya tiba-tiba tertawa bergelak. Gadis baju merah itu sudah di tangan muridnya.

“Ha-ha, dua tawanan di tangan kami, Peng Houw, semakin kuat! Siapa menyerang gadis ini kubunuh!"

Peng Houw kaget bukan main. Saat itu bayangan tokoh-tokoh sudah tiba. Tepat sekali perbuatan pemuda itu. Dan ketika Peng Houw mendelik saking marahnya, Kwi-bo dan lain-lain terkekeh maka mereka itu berlompatan mengelilingi Chi Koan. Kwi-bo meledakkan rambut.

"Bagus, hi-hik. Bagus sekali, Chi Koan. Orang paling menentukan di sini adalah Peng Houw. Suruh dia membebaskan kita atau dua orang ini mampus!"

“Hm,” Chi Koa tersenyum, keji. “Kau benar Kwi-bo. Yang menentukan di sini adalah Peng Houw. Kalau dia mau membantu kita tentu bisa, tapi kalau tidak maka kekasihnya ini kubunuh, ha-ha!" dan menghadapi pemuda itu tak menghiraukan sorak-sorai yang kian mendekat Chi Koan berkata, "Peng Houw, tak ada pilihan lain. Permintaanku sekarang bertambah. Suruh semuanya minggir dan biarkan kami bebas!”

Peng Houw merah padam. Betapa keji dan liciknya Chi Koan semakin bertambah saja. Dia marah bukan main. Tapi ketika dia belum menjawab maka bayangan para tokoh itu berkelebatan, membentak.

"Chi Koan, kekejaman dan kesewenang-wenanganmu sudah cukup. Kami dari Bu-tong dan Khong-tong ingin membebaskan diri dan bersatu-padu menangkapmu. Menyerahlah dan biarkan kami adili atau kau mampus di bawah ribuan orang!”

"Ha-ha, kau Bong Beng Hosiang jangan banyak mulut. Kalau tidak karena Peng Houw tak mungkin kalian dapat datang ke sini. Enyahlah, aku tak bicara denganmu!”

"Omitohud!" hwesio pendek gendut itu menyodokkan toya. “Kau selamanya sombong dan pongah, Chi Koan. Kalau hari ini kau tak mampus biarlah pinceng yang mati.... wherrr!" toya menyambar namun dikelit Chi Koan, membalik namun pemuda itu sudah menggerakkan kaki. Dan ketika toya mencelat dan hwesio itu terhuyung maka Chi Koan mengejek.

“Lihat, kepandaianmu masih jauh di bawahku. Kalau kau macam-macam kau bakal ke akherat, Bong Beng Hosiang. Minggir dan jangan petingkah!"

Hwesio itu pucat. Segebrakan saja dibuat terhuyung sudah menunjukkan tingkatnya di bawah Chi Koan. Namun karena di situ ada teman-temannya dan dua belas hwesio dan tosu maju serentak, masing-masing menggetarkan senjata maka hwesio itu maju lagi dan Chi Koan mengerutkan kening, melirik pada Tujuh Siluman Langit dan gurunya.

"Kalian jaga diriku, aku masih ingin bicara dengan Peng Houw. Kalau ada yang maju bunuh saja!”

Kwi-bo terkekeh. Ribuan orang akhirnya sudah mendaki dan puncak Hek-see-hwa penuh orang. Cercaan dan bentakan menggetarkan bukit. Diam-diam Chi Koan gentar. Tapi menekan tengkuk Li Ceng dan gurunya di sana mencengkeram ubun-ubun Lui-cu Si Mutiara Geledek maka Peng Houw tiba-tiba maju ke depan menyuruh para tokoh itu mundur.

“Cuwi-locianpwe, harap mundur. Biarkan pemuda ini bicara denganku!"

"Bagus," Chi Koan tertawa. "Kau benar, Peng Houw. Tak ada banyak waktu lagi bagiku. Kuulangi permintaanku kalau ingin kakek dan kekasihmu ini selamat. Biarkan kami pergi dan semuanya selesai sampai di sini!”

Peng Houw menggigil, menuding. "Kau.... kau licik, Chi Koan. Kau curang! Urusan ini tak ada sangkut-pautnya dengan mereka karena aku hanya minta kau mengembalikan Bu-tek-cin-keng. Kau tak selayaknya membawa-bawa orang lain!"

“Ha-ha, kitab inikah?" Chi Koan tiba-tiba mengangkat sebuah kitab merah, tebal. “Ini adalah Bu-tek-cin-keng curian pula, Peng Houw. Ji Leng Hwesio mendapatkannya dari orang lain. Kalau kini kau mengejar-ngejar kitab ini dan mempermasalahkan Bu-tek-cin-keng maka sesungguhnya kau keliru. Kitab ini tak bertuan, bukan milik Go-bi. Kalau kau berkeras meminta kitab ini maka sesungguhnya yang lain berhak pula. Heiii....!”

Chi Koan tiba-tiba berseru dan memandang bawah bukit, ribuan orang sudah muncul di situ. "Apa yang kalian kehendaki, tikus-tikus busuk. Apakah kalianpun ingin mempelajari Bu-tek-cin-keng. Kalau kalian mau membiarkan aku pergi dan kitab ini kuserahkan kalian maka Peng Houw tak usah mengejar-ngejar aku lagi masalah kitab, ha-ha!"

Semua geger. Para tosu dan hwesio serta orang-orang lain yang tadi bersorak dan berteriak-teriak mengancam Chi Koan mendadak sirap. Sedetik mereka terbelalak memandang kitab merah tebal itu. Itulah Bu- tek-cin-keng. Itulah kitab yang membuat pemuda itu hebat. Dan karena siapapun pasti terguncang dan berubah pikiran melihat ini, siapa tak akan tergiur oleh kitab luar biasa itu maka mendadak ribuan orang itu mengangkat tangan mereka.

"Serahkan padaku...!”

“Serahkan padaku!" Peng Houw pucat. Ia melihat betapa Chi Koan mempengaruhi orang-orang itu dengan kitab Bu-tek-cin-keng. Imbalannya hanya satu: bebas! Dan ketika mereka juga mulai bersorak dan menyibak memberi jalan, tokoh-tokoh Bu-tong dan Khong-tong serta yang lain juga menyibak tapi memandang lekat-lekat kitab di tangan pemuda itu maka Peng Houw tak dapat menahan diri dan membentak.

“Tidak, tidak boleh! Kitab ini milik suhuku Ji Leng Hwesio, milik Go-bi! Siapapun tak boleh memiliki karena itu bukan milik kalian. Chi Koan bohong dengan mengatakan yang tidak-tidak. Harap kalian jangan terpengaruh dan ingat bahwa kalian dan partai kalian telah dinjak-injak pemuda ini!"

Hebat kata-kata Peng Houw. Semua yang tadi bersinar dan penuh gairah memandang kitab itu mendadak mengerutkan keningnya kembali. Mereka teringat betapa Chi Koan menginjak-injak mereka, betapa ketua dan tokoh-tokoh mereka banyak yang dibunuh mereka ini. Tapi ketika mereka tertegun dan berubah pikiran sekonyong-konyong Chi Koan tertawa bergelak menggetarkan bukit, suaranya kuat berpengaruh ketika menangkis pula.

“Heii, semua itu tipu muslihat Peng Houw, saudara-saudara. Jangan kena pengaruh. Kitab ini akan kuberikan kepada kalian sebagai penebus dosaku. Go-bi tak berhak karena Bu- tek-cin-keng sesungguhnya kitab tak bertuan. Tanyalah guruku Beng Kong Hwesio ini. Tanya apakah benar mendiang Ji Leng Hwesio bukan pencuri!”

Hebat kata-kata itu. Peng Houw sampai tersentak dan mundur dengan muka berubah- ubah. Terang-terangan Chi Koan memaki kakek gurunya sendiri sebagai pencuri. Dan ketika Beng Kong mengangguk dan tertawa dingin, apa yang dikatahwesio ini bagai halilintar di siang bolong maka tenang saja hwesio itu bicara.

“Benar, apa yang dikata muridku benar, saudara-saudara. Guruku Ji Leng Hwesio itu pencuri. Aku tak tahu dari mana dia mendapatkan karena sesungguhnya di gedung perpustakaan Go-bi tak terdapat kitab ini. Tanya saja kepada tiga suteku itu, atau murid-murid Go-bi yang lain!”

Geraman dan bentakan terdengar. Ji-hwesio, yang melihat betapa bekas suheng ini dapat berlaku sedemikian keji tiba-tiba tak dapat menahan diri. Dia juga sudah di situ dan mengepung. Anak-anak murid Go-bi di bawah terkejut dan bersuara mendengung. Mereka juga tiba-tiba bingung karena sesungguhnya di ruang perpustakaan tak terdapat kitab itu. Aneh juga kalau sesepuh mereka mendapatkan Bu-tek-cin-keng. Namun ketika mereka saling pandang dan ragu satu sama lain, Ji-hwesio melompat dan menusukkan senjatanya maka toya kuningan itu bergetar menyambar Beng Kong.

“Hm!" Beng Kong tertawa dan tidak berkelit. Dia justeru menggerakkan tangan kiri menampar senjata itu. Dan ketika terdengar suara pletak dan toya menjadi dua, patahannya membalik dan menyambar hwesio itu sendiri maka Ji-hwesio berteriak tapi secepat kilat Peng Houw menendang batu menghantam patahan toya ini.

“Tak!" Batu dan toya sama-sama hancur. Ji-hwesio pucat dan Beng Kong tertegun. Peng Houw benar-benar pemuda sakti, bekas murid keponakan itu hebat sekali. Dan ketika Ji- hwesio mundur dan berapi-api memandang bekas sang suheng, Kwi-bo terkekeh dan berjebi mengejek maka dia berseru agar siapa yang ingin maju boleh menyambut Giam-lo-ong. Tapi Peng Houw membentak bekas susiok itu.

"Susiok, kau keji. Kau tak berperasaan. Kau menghina dan menjelek-jelekkan guru sendiri. Kau manusia tak tahu budi!”

"Ha-ha, kau marah, tak aneh. Kau sudah mendapatkan segala-galanya dari guruku, Peng Houw. Hok-te Sin-kang dan Sian-ji-kang. Tak usah banyak mulut kalau tak puas. Maju dan kami akan melawanmu mati-matian atau kau bebaskan kami dan Bu-tek-cin-keng kembali!”

“Tidak!" suara gemuruh tiba-tiba meledak. "Bu-tek-cin-keng bukan milik siapa-siapa, Beng Kong Hwesio. Kitab itu tak bertuan. Kalian pergilah dan jangan hiraukan Peng Houw asal serahkan kitab itu kepada kami!”

"Ha-ha, bagus!" Chi Koan tiba-tiba tertawa girang, berseru nyaring. "Kalian berani menghadapi pemuda itu kalau dia bersikeras? Baik, aku berjanji kepada kalian untuk memberikan kitab ini, saudara-saudara. Aku sudah menikmati kitab ini dan boleh kalian pelajari. Aku sudah bosan. Hadapi pemuda itu dan lindungi aku agar pergi dengan bebas!”

Semua bergerak. Para tokoh persilatan, yang tadi mengepung dan memusuhi Chi Koan mendadak berbalik dan mengepung Peng Houw. Mereka tiba-tiba sudah berkelebatan dan tidak membiarkan pemuda itu menyerang Chi Koan! Dan ketika Peng Houw terbelalak sementara Chi Koan tertawa bergelak, itulah kesempatan baginya untuk kabur maka pemuda itu berseru dan melempar Bu-tek-cin-keng, jauh tinggi ke udara dan ribuan orang berteriak ketika melihat kitab itu melayang turun, jatuh.

"Itu punyaku!"

“Tidak, punyaku....!”

Dan ketika para tokoh bergerak dan Chi Koan sendiri sudah melompat dan lari turun gunung, semua menyibak memberi jalan maka Peng Houw marah besar karena terkepung di tengah-tengah. Ribuan orang itu berlompatan dan berebut menangkap kitab.

"Chi Koan, kau jahanam keparat!"

Ada dua kebingungan yang melanda Peng Houw. Pertama adalah mengejar pemuda itu atau kedua menyambar kitab dulu. Semuanya sama penting. Tapi karena kitab dirasa penting dan titah mendiang Ji Leng Hwesio adalah segala-galanya maka Peng Houw bergerak dan berkelebat menyambar kitab itu, mendorong dan mengibas semua penghalang yang juga berlompatan ke atas.

"Minggir....!”

Para ketua dan wakil partai terpental. Mereka juga berebut kitab di saat Peng Houw melompat. Dan karena begitu banyak tangan yang berebut sementara Peng Houw tadi di tengah-tengah, pemuda ini dihalang demikian banyak orang maka kitab robek oleh tangan yang lain ketika Peng Houw ikut menyambar.

"Bret-brett!”

Peng Houw marah sekali. Kitab pusaka itu, yang seru diperebutkan orang tiba-tiba robek tak keruan. Dia mendapatkan separohnya sementara yang separoh lagi digenggam tokoh Hoa-san dan Khong tong, juga Bu-tong dan Heng-san. Dan karena mereka itu berebut dan dorong-mendorong terjadi dengan sengit maka kitab di tangan empat orang ketua itu robek dan berhamburan menjadi serpihan-serpihan panjang kecil.

"Keparat, pemuda ini mendapat lebih banyak. Serang dia!"

Peng Houw terbelalak. Para ketua dan wakil ketua tiba-tiba mengangkat senjata. Mereka membalik dan menghantamnya dari segala penjuru. Bu-tek-cin-keng robek-robek, kecuali yang separoh di tangan pemuda itu. Dan ketika golok dan tombak serta pedang mendesing dari atas bawah, juga kiri kanan maka Peng Houw mengeluarkan bentakan dahsyat dimana suaranya itu tiba-tiba menahan semua senjata seperti serangkum angin puyuh menghantam tembok baja.

"Aiiihhhhh....!”

Semua terlempar dan terpelanting. Mereka tersentak oleh suara dahsyat ini dan tangan yang terangkat tiba-tiba tak dapat turun. Tangan itu serentak kaku, pekikan Peng Houw bagai setrum dahsyat yang menyengat sekejap. Dan begitu pemuda itu bergerak dan semua terjengkang ke kiri kanan, berteriak, maka Peng Houw menyambar serpihan Bu-tek-cin-keng itu namun para tokoh dan wakilnya yang sudah sadar kembali membentak dan menyerang lagi.

"Jangan biarkan ia memungut kitab. Serang! Robohkan anak muda ini...!”

Peng Houw marah bukan main. Ia baru sebagian saja menyambar serpihan itu ketika semua bergerak dan menyerangnya. Hujan senjata menyambar dari kiri kanan. Dan ketika Peng Houw membalik dan mengibaskan kedua tangannya, berjongkok dan melepas Hok-te Sin-kang maka semua menjerit karena terlempar dan terbanting bagai diseruduk gajah.

"Bressss!”

Namun orang-orang itu adalah orang-orang yang sudah kesurupan. Kehebatan Bu-tek-cin-keng membuat mereka mata gelap. Mereka bangkit dan menyerang lagi. Dan karena yang di belakang amatlah banyak dan tak mungkin Peng Houw menghadapi ribuan orang, sementara Chi Koan lolos dan lari turun gunung maka pemuda ini menyimpan kitab yang separoh dan apa boleh buat serpihan yang lain dibiarkan lepas lagi untuk menyambut serangan demikian banyak orang itu.

Peng Houw marah dan kecewa bahwa para tokoh persilatan ini tak malu-malu lagi menunjukkan wataknya yang buruk. Mereka seperti anjing-anjing liar berebut tulang. Dan ketika pemuda itu mendorong dan melepas Hok-te Sin-kang, kembali sekian tubuh mencelat dan terlempar bagai layang-layang putus maka Bong Beng Hosiang, tokoh Bu-tong tiba-tiba menubruknya dari belakang den mencengkeram kitab di dalam saku bajunya itu.

“Anak muda, serahkan kitab itu, Go-bi tak berhak!”

Peng Houw terkejut. Ia dicengkeram dan kitab direbut. Kejadian berlangsung demikian cepat. Dan ketika yang lain bersorak dan maju lagi, yang terbanting tentu saja mengeluh dan bergulingan di sana maka hwesio itu sudah mencabut sisa kitab dan hendak melepaskan diri. Namun Peng Houw menampar pundak hwesio ini. Dia marah sekali dan hampir menampar kepala tapi tak jadi. Kalau itu dilakukan tentu maut bagian tokoh Bu-tong ini. Dan ketika hwesio itu terjengkang namun kitab tetap di tangan, direbut namun robek lagi maka hwesio itu melempar sisa kitab ke tengah bentakan dan serbuan orang lain.

“Bret-brett!”

Peng Houw gusar bukan kepalang. Sekarang Bu-tek-cin-keng sudah tak berujud namun hebatnya orang-orang itu masih tetap berebut. Bagi mereka, selembar saja sudah cukup berharga. Maka ketika mereka bersorak dan riuh menyambar, ada yang dapat satu atau dua cabikan maka hwesio Bu-tong itu bergulingan menjauhkan diri dengan tawa puas.

Bu-tong dan Go-bi memang sama-sama penganut Buddha. Mereka adalah para hwesio sealiran. Tapi karena sejak Go-bi mendapatkan Bu-tek-cin-keng pamor Bu-tong menjadi kalah, diam-diam rasa iri dan dengki melanda tokoh-tokohnya maka Bong Beng Hosiang itu, yang puas merebut dan mencabik kitab akhirnya tertawa menjauhkan diri namun tiba-tiba dia mengeluh merasa pundaknya sakit, memandang dan ternyata pundaknya sengkleh.

Tamparan Peng Houw tadi kiranya membuat patah, tak disadari dan baru sekarang dia sadar. Dan ketika Peng Houw gusar karena Bu-tek-cin-keng tak mampu diselamatkannya lagi, kitab itu robek menjadi puluhan atau ratusan kertas kecil maka Peng Houw melompat dan sekali dia memekik menggetarkan gunung maka pikirannya teringat Chi Koan. Ribuan orang itu bergerak dan serang-menyerang sendiri untuk mendapatkan sisa-sisa tak berarti.

“Chi Koan, kau jahanam keparat!"

Peng Houw terbang turun gunung. Ia sudah tak memperdulikan lagi keadaan kitab karena gagal. Kitab itu sudah hancur dan rusak di tangan sekian banyak orang. Biang keladinyalah yang harus ditangkap. Chi Koan itulah yang harus bertanggung jawab. Dan karena dia sudah lolos dari kepungan karena orang-orang itu hanya mengincar Bu-tek-cin-keng, tipu daya Chi Koan benar-benar keji maka Peng Houw berkeretukan giginya untuk membunuh!

Pemuda ini tak ingat lagi segala petuah dan nasihat. Ia begitu marahnya kepada Chi Koan yang berani mempermainkannya. Tapi ketika ia tiba di bawah dan khawatir kehilangan lawan, Chi Koan telah lebih dulu pergi ternyata ada bentakan dan pertempuran di situ. Chi Koan bertanding hebat melawan gurunya. Apa yang terjadi?

Peng Houw tertegun. Chi Koan, pemuda yang membuat kemarahannya terbakar hebat itu kini membentak dan memaki gurunya dengan amat berang. Beng Kong, yang berkaki buntung dan memanggul tawanan itu sekarang sudah melempar Lui-cu dan menghadapi pukulan Chi Koan yang bertubi-tubi. Sebuah dari mata pemuda itu pecah! Dan ketika Peng Houw terkejut dan bersembunyi di balik pohon, ia khawatir dikeroyok dan dicurangi lagi mendengar geraman dan bentakan Chi Koan.

"Keparat, tua bangka tak tahu malu. Berani kau menyerang aku secara curang, suhu. Kubunuh kau dan jangan kira aku bohong!"

Beng Kong hwesio yang terkekeh itu mengelak. Dia maju mundur dengan kakinya yang lincah dan menangkis serta membalas. Coa-ong dan kawan-kawan merintih. Tujuh Siluman Langit itu tampak menggeliat dan masing-masing mendekap dada, mendelik pada hwesio itu. Dan ketika si hwesio terkekeh dan tertawa bergelak maka hwesio itu berseru,

"Kau atau aku memang harus mati di sini. Kau boleh mengelabuhi orang lain tapi bukan pinceng, Chi Koan. Serahkan Bu-tek-cin-keng yang asli atau kau mampus..... wherrr-plakk!"

pukulan Chi Koan ditangkis dan dua orang itu sama terpental. Peng Houw tertegun dan membelalakkan mata karena pembicaraan ini menyangkut kitab. Kiranya Chi Koan melempar yang palsu! Dan ketika Peng Houw bersinar dan bangkit semangatnya untuk mendengar pembicaraan itu, siapa tahu usahanya masih ada harapan maka Chi Koan membentak dan memaki gurunya itu.

“Kau tua bangka keparat. Kau selamanya mengukur orang lain seperti dirimu sendiri. Bedebah, kitab yang kubuang adalah yang asli, suhu. Aku tak memiliki yang lain lagi kecuali itu. Kau boleh tidak percaya!”

“Ha-ha, pinceng bukan orang bodoh. Mulut dan hatimu bicara lain, Chi Koan. Serahkan kitab atau Peng Houw datang merobohkanmu.... des-plakk!" dan pukulan serta tangkisan yang bertemu untuk kesekian kalinya lagi membuat mereka sama-sama terpental dan Peng Houw melihat betapa Chi Koan terdesak. Li Ceng, gadis baju merah itu masih dipondongnya. Chi Koan sama sekali belum melepas gadis ini.

Dan ketika Peng Houw menjadi khawatir sekaligus bingung dan kaget oleh pembicaraan itu, guru dan murid ini bertanding lagi maka Chi Koan memaki-maki gurunya dan tiba-tiba merogoh granat hitam untuk disambitkan kepada gurunya. Dalam keadaan seperti itu Chi Koan marah sekali. Ia memaki dan mengutuk gurunya ini panjang lebar sambil terus menyerang. Mata kirinya buta, sama seperti gurunya.

Entah bagaimana terjadinya hal itu Peng Houw tak tahu, yang dilihat adalah guru dan murid yang sudah bertempur hebat ini. Dan ketika Chi Koan mengambil granat namun sang guru tahu, terbahak dan mengambil sesuatu pula mendadak hwesio itu mendahului dan sudah melempar sebuah benda hitam kecil panjang menyambar tangan pemuda itu.

“Wuuttt...!”

Chi Koan terkejut. Ia berteriak dan melempar tubuh ke kiri, begitu kaget hingga Li Ceng terlepas. Namun karena ia juga melontar granat itu sambil bergulingan di bawah maka Beng Kong ganti melempar tubuh dan memaki serta mengutuk.

“Dar!”

Benda itu meledak tapi terdengar jerit di sana. Bukan Chi Koan atau Beng Kong melainkan Jin-mo, Hantu Bambu itu. Karena begitu benda hitam kecil itu menyambar dan luput mengenai Chi Koan, sebaliknya granat tak mengenai Beng Kong pula maka Jin-mo yang meringkuk dan menggeliat sambil merintih-rintih digigit benda kecil panjang itu.

Ular Tiga Warna, hitam kuning dan merah ternyata jatuh di tubuh kakek iblis ini. Ular itu sedianya dilempar untuk menggigit Chi Koan namun Chi Koan waspada, melihat lebih dulu dan terkejut bukan main melihat gurunya mengeluarkan ular itu. Itulah ular yang dulu membunuh Ji Beng Hwesio, paman kakek gurunya! Maka begitu dia membanting tubuh menghindar dan ular menyambar Jin-mo, menggigit dan langsung membuat kakek itu menjerit.

Maka Jin-mo meronta dan mendelik dengan mata sebesar kelereng. Kakek itu kaget bukan main dan tahu ancaman bahaya. Tak ada obat penawar. Dan ketika ia melotot dan hendak mencengkeram, ular melejit dan lari ke semak-semak maka kakek itu roboh dan sebelum kepalanya terantuk tanah nyawanya sudah melayang lebih dulu. Tubuh dan wajah itu hitam gosong!

"Kau manusia keji!" Chi Koan membentak, menggigil meloncat bangun. “Kau masih menyimpan juga ular itu, suhu. Untung tidak kena dan sekarang apa yang kau andalkan?”

"Ha-ha, cambukku...!" kakek itu terbahak, meloncat bangun pula dan mencabut pecutnya, cambuk cadangan. "Masih ada ini di tanganku, Chi Koan. Aku akan membunuhmu dan kau atau aku mampus!"

Chi Koan mengelak dan membentak marah. Ia tak menyangka gurunya menyimpan ular berbisa itu dan diam-diam keringat dingin mengucur keluar. Untung ia cepat mengelak, kalau tidak.... ah! Dan Chi Koan yang marah menerjang lagi akhirnya merasa lebih bebas setelah Li Ceng dilempar. Ia tak ingat lagi gadis itu karena seluruh kemarahan ditumpahkan di sini. Mereka segera bertanding lagi dengan sengit.

Tapi ketika Beng Kong meledak-ledakkan cambuknya dan berlompatan serta menjauh, bayangan mereka segera berkelebatan keliling-mengelilingi maka tak terasa tempat pertandingan sudah berada di tanah lapang dan di situ bunyi mendesis atau keritikan aneh terdengar. Ribuan kepiting muncul.

"Hm!” Chi Koan teringat kepandaian gurunya yang aneh ini, mengejek. “Kau boleh suruh kepiting-kepiting busuk itu menyerangku, suhu. Tapi jangan harap kau mampu!"

"Ha-ha, pinceng akan mencoba. Kalau tidak mampu kau sungguh beruntung.... tar!” dan cambuk yang meledak memberi aba-aba akhirnya melakukan gerak aneh dari atas ke bawah, meliuk dan menyambar kepala Chi Koan tapi ketika dikelit melejit ke kiri, cepat luar biasa dan tahu-tahu pangkal lengan pemuda itu terbelit. Dan ketika hwesio ini menarik dan tertawa bergelak maka Chi Koan terlempar ke arah ribuan kepiting itu.

"Ha-ha!”

Namun Chi Koan melepas ikat pinggangnya. Dengan seruan keras dan gerakan luar biasa sabuk tiba-tiba menjadi kaku bagaikan baja, menahan pemuda itu ketika turun ke tanah dan Chi Koan berjungkir balik melempar tubuh kembali ke atas menjauhi ribuan kepiting itu, "tongkat" aneh itulah yang menolongnya. Dan ketika ia sudah kembali berhadapan dan gurunya terbelalak, kini pemuda itu memiliki senjata yang aneh pula maka ikat pinggang itu mendesing dan menyambar gurunya bagai toya baja yang amat dahsyat.

"Bagus!" sang guru mengelak dan bertanding lagi. Betapapun hwesio ini kagum dan Chi Koan membalas, kepiting mulai berdatangan namun dengan senjata di tangan itu ia menghalau. Tangan kiri Chi koan juga mengibas dan ratusan kepiting terlempar. Mata pemuda yang tinggal sebelah ini berapi-api. Dia merasa kiut-miut pada mata kirinya yang pecah namun sebisanya ditahan.

Kemarahan membuat tenaga berlebih. Dan ketika Chi Koan membentak dan mengeluarkan Lui-thian-to-jit, sang hwesio menggeram karena dari dialah ilmu meringankan tubuh itu didapat si pemuda maka hwesio inipun membentak dan mengeluarkan Lui-thian-to-jit pula. Untuk sejenak mereka saling desak-mendesak sementara ribuan kepiting mengepung. Mereka berjaga-jaga dan berkali-kali Beng Kong berusaha melempar muridnya ke tengah- tengah namun Chi Koan selalu waspada.

Dengan ikat pinggang yang lurus kaku terisi sinkang itulah dia melempar tubuh berjungkir balik, cambuk di tangan Beng Kong akhirnya meledak dan menjadi lurus kaku pula. Dan ketika hwesio itu memekik dan kini cambuk berobah menjadi semacam toya panjang, jauh lebih panjang daripada ikat pinggang di tangan Chi Koan maka hwesio ini bergerak semakin cepat dan senjata panjang itu ternyata menjadi lebih berbahaya.

"Cring-craangg....!”

Luar biasa sekali. Ikat pinggang dan cambuk yang kini sudah sama-sama keras itu mengeluarkan bunyi seperti benda logam beradu. Bahkan bunga apipun berpijar. Dan ketika mereka sama-sama terhuyung karena sama-sąma kuat, sebenarnya Chi Koan lebih kuat namun dia sudah terkuras lebih dulu ketika bertanding dengan Peng Houw maka hwesio itu tertawa mengejek dan tangan kanannya mendorong.

"Desss!” Dua Hok-te Sin-kang bertemu. Chi Koan tak mau kalah dan menangkis pukulan gurunya dengan pukulan yang sama pula. Masing-masing tergetar dan terdorong dua tindak. Dan ketika hwesio itu melotot dan Chi Koan juga mendelik, mereka sama-sama memiliki pukulan dari sumber yang sama pula.

Maka Peng Houw yang menonton menjadi tidak sabar. Dia ingin keluar tapi peristiwa di dalam jurang menghentikannya. Dia bimbang. Kalau dia keluar jangan-jangan guru dan murid itu bersatu lagi, dia dikeroyok. Dan ragu serta menahan marah teringat semua itu tiba-tiba Peng Houw melihat enam bayangan terhuyung maju di belakang si hwesio. Waktu itu mereka masih bertanding seru dan cambuk di tangan Beng Kong Hwesio tidak meledak-ledak lagi.

Hwesio ini percuma menggerakkan ribuan kepitingnya kalau Chi Koan belum roboh. Dia ingin melempar dan menyiksa muridnya itu kalau Chi Koan roboh, melihat pemuda itu menggeliat dan menjerit dikeroyok kepiting buasnya. Daging dan kulit pemuda itu bakal habis. Tapi karena Chi Koan berkali-kali mempergunakan ikat pinggangnya untuk berjungkir balik menyelamatkan diri, lolos dan keluar lagi dari ribuan kepitingnya.

Maka merobah gaya serangan menyuruh kepitingnya menonton hwesio ini menjadikan cambuk seperti besi panjang mirip toya di tangan Chi Koan menderu dan membabat dan Chi Koan menangkis. Dua senjata menjadi seperti logam baja ketika beradu dan memercikkan bunga api. Dan ketika hwesio itu terus menyerang sementara Chi Koan juga membalas dan menangkis, melihat pula enam bayangan ini maka wajah pemuda itu tiba-tiba berubah, girang.

Mula-mula yang muncul adalah Coa-ong. Kakek ini, seperti yang lain dihantam pukulan hwesio itu ketika sama-sama turun gunung. Mereka berhasil lolos dari ribuan orang kang- ouw ketika mendadak saja hwesio itu melakukan kecurangan. Beng Kong, yang tidak percaya Chi Koan melempar kitab yang asli tahu-tahu menyerang dan menghantam Tujuh Siluman Langit ini dengan cepat. Mereka waktu itu turun gunung tergesa-gesa dan pukulan atau serangan hwesio ini tentu saja tak diduga Coa-ong dan lain-lain. Begitu licik dan cepatnya hwesio itu menyerang.

Tapi karena dia juga kelelahan dan pertempuran dengan Peng Houw di bawah jurang cukup menghabiskan tenaga, itulah yang membuat Coa-ong dan kawan-kawan tidak tewas seketika maka Raja Ular dan teman-temannya ini marah bukan main. Mereka roboh dan terluka. Bukan tanpa maksud kalau hwesio ini merobohkan Coa-ong dan kawan-kawan. Mereka itu adalah pembantu Chi Koan dan selama mereka itu masih di situ maka hwesio ini bakal terganggu.

Dia yakin benar bahwa yang dilempar Chi Koan bukanlah Bu-tek-cin- keng yang asli. Pemuda itu melempar kitab tiruan. Maka ketika dia merobohkan tujuh orang ini dan Chi Koan tentu saja kaget bukan main, meloncat dan berjungkir balik menjauhkan diri maka saat itulah hwesio itu berkata bahwa dia ingin kitab yang asli.

Chi Koan mendelik dan tertegun. Dan ketika gurunya bergerak dan mengeluarkan tiga kelereng kaca, berkilat dan memantulkan cahaya maka di saat itulah gurunya berkelebat dan menyerangnya, dielak dan mengejar dan tahu-tahu dua sinar menyilaukan menyambar mukanya. Chi Koan baru kali itu melihat gurunya memiliki senjata rahasia aneh ini, dia terkejut. Dan ketika dia mengelak namun sinar ketiga meluncur, saat itu dia membuang muka ke belakang dan tentu saja tak sempat mengelak lagi maka mata kirinya tiba-tiba meledak dan pecah dihantam pelor gelas ini.

"Aduh!”

Selanjutnya Chi Koan bergulingan dan marah bukan main kepada gurunya ini. Dia terluka karena benar-benar tak menyangka. Serangan gurunya itu cepat dan tak terduga-duga. Dan ketika di bawah gunung mereka akhirnya bertempur dan Peng Houw datang, bersembunyi dan menonton di balik pohon maka selanjutnya guru dan murid itu sama- sama membalas dan memukul dan akhirnya enam bayangan yang terhuyung-huyung ini datang, di belakang Beng Kong Hwesio.

Mula-mula yang muncul adalah Coa-ong. Kakek inilah yang pertama kali dicurangi Beng Kong. Tongkat ularnya, yang menggigil dan gemetar di tangan tampak dicekal erat-erat dengan mata berapi. Tongkat itu dipakai untuk menahan tubuh yang tertatih-tatih. Lalu ketika muncul Kwi-bun dan Tong-si, juga See-tok dan Jin-touw maka Kwi-bo paling belakang dengan pakaian compang-camping. Jin-mo telah tewas disambar Ular Tiga Warna.

Chi Koan berseri-seri. Kehadiran enam gurunya yang masih dapat bergerak dan siap menyerang membuat dia bangkit semangat. Tadinya dia sudah bingung menghadapi gurunya yang kosen ini. Betapapun gurunya itu memiliki Hok-te Sin-kang yang ampuh. Maka ketika Coa-ong dan lain-lain memberi isyarat, Chi Koan membentak dan memutuskan sesuatu untuk mengakhiri pertandingan maka senjata gurunya tiba-tiba disambut ikat pinggang di tangan kanannya yang berubah lemas.

Sabuk atau ikat pinggang itu tidak lurus kaku lagi, senjata ini menjadi lemas biasa untuk menangkap dan membelit, namun sinkang tentu saja sewaktu-waktu siap bekerja. Maka begitu toya menyodok dan menusuk lambungnya, cambuk di tangan Beng Kong sudah berobah menjadi senjata keras maka secepat kilat Chi Koan merobah gerakan dan sabuknya yang sudah lemas dan lentur memapak dan membelit.

“Rrtttt!”

Beng Kong terkejut. Ujung senjatanya ditangkap dan tahu-tahu dibelit sabuk, ditarik. Dan ketika dia tentu saja juga mengerahkan tenaga dan menarik, membentak maka Chi Koan menggerakkan tangan kirinya menghantam muka gurunya itu dengan Hok-te Sin-kang. Tak ada kesempatan lagi bagi hwesio ini kecuali menangkis. Dia sudah ditahan muridnya dengan betotan sabuk itu, mengelak tak mungkin. Maka ketika dia menggeram dan menggerakkan tangan kirinya pula, menangkis maka dua Hok-te Sin-kang bertemu.

“Plakk!” Dua telapak tangan beradu. Chi Koan mencengkeram dan sang hwesio terbelalak. Sang murid rupanya hendak mengadu jiwa. Dan ketika ia tertawa dan mencengkeram pula, lima jari sudah saling bertaut untuk mendorong dan merobohkan maka saat itulah Chi Koan berseru pada keenam gurunya.

“Sekarang!"

Sang hwesio kaget. Coa-ong dan kawan-kawan berada di belakangnya tanpa diketahui. Pertandingan yang demikian seru membuat hwesio ini tak mendengar. Dan ketika Coa-ong terkekeh dan melompat dengan tongkat ularnya, Kwi-bun juga membentak dan menusukkan sepuluh kuku beracunnya, See-tok menggerakkan bandul tengkorak sementara Jin-touw dan Tong-si mengayun kapak dan tusuk konde, Kwi-bo dengan rambutnya maka hwesio ini berteriak dan tak mungkin mengelak hujan serangan itu. Senjata dan tangannya dicengkeram Chi Koan...!


Prahara Di Gurun Gobi Jilid 30

Cerita Silat Mandarin Serial Bu-beng Sian-su Karya Batara

“HA-HA, kita bunuh pemuda ini. Ayo, lenyapkan dia!"

Chi Koan terkejut. “Apa itu, suhu? Kau peternak kepiting?”

"Ha-ha, benar, Chi Koan, tapi bukan sembarang kepiting. Itu adalah kepiting Laut Selatan yang beracun. Capitnya berbahaya, dapat dikendalikan seperti pasukan bila cambukku memberi aba-aba..... tar!" dan cambuk yang kembali meledak dan bersuara nyaring akhirnya diikuti gerakan kepiting yang jumlahnya ribuan itu merayap turun.

Mereka tahu-tahu sudah ada di dinding jurang dan rupanya bersembunyi di situ, menunggu perintah, bak pasukan perang yang siap tempur. Maka begitu cambuk menjeletar dan itulah tanda untuk maju maka ribuan binatang aneh ini menyerang dan karena cambuk meledak-ledak di atas kepala Peng Houw maka pemuda itulah yang menjadi sasaran!

“Aiihhhhh...!" Peng Houw melengking mengeluarkan bentakan dahsyat. Dulu dia sudah melihat pasukan kepiting ini ketika digiring di atas bukit. Itulah pertemuan pertamanya dengan susioknya ini. Maka ketika binatang itu menyerang dan dia yang dituju, bukan Chi Koan atau yang lain maka Peng Houw marah mengibas mereka.

"Bresss!" ratusan kepiting terlempar dan porak-poranda. Mereka terbawa oleh angin pukulan Peng Houw ini dan berhamburan. Namun karena di situ banyak yang lain dan Chi Koan maupun suhunya juga tak tinggal diam, hwesio dan muridnya ini membentak melepas pukulan maka Peng Houw menangkis dan harus memperhatikan guru dan murid ini.

"Des-dess!”

Peng Houw terhuyung. Lawan sudah menerjang lagi dan hwesio itu tertawa bergelak. Beng Kong berseru bahwa tenaga yang dimiliki Peng Houw adalah sinkang Ji Leng Hwesio, Chi Koan terbelalak dan terkejut mendengar itu. Dan ketika pemuda itu bertanya begaimana bisa begitu maka hwesio ini meledakkan cambuknya, mata berkilat penuh benci.

"Kakek gurumu tak punya cinta kasih, Chi Koan. Dia berat sebelah. Dia memberikan sinkangnya sebelum mampus!"

“Mati? Sukong sudah wafat?"

“Benar, Chi Koan, dan itu sejak Peng Houw menerima sinkangnya. Tenaga sakti kakek gurumu itulah yang kini ada di tubuh Peng Houw. Anak ini harus kita bunuh karena dia membuat guruku berat sebelah..... bress- plakk!"

Peng Houw mengelak dan menahan pukulan, terdorong dan lawan terpental namun dari belakang Chi Koan menghantam cepat. Anak ini licik dan memang curang. Pukulannya mengenai punggung Peng Houw. Dan ketika Peng Houw terhuyung dan melotot marah maka ribuan kepiting menerkam dan menggigit pemuda ini dari bawah.

Peng Houw menendang dan membuat kepiting- kepiting itu mencelat. Pemuda ini gusar bukan main karena pengakuan itu membongkar rahasia. Kematian Ji Leng harus dirahasiakan tapi kini Beng Kong Hwesio membukanya, tentu saja Peng Houw marah bukan main. Tapi karena ia menghadapi banyak lawan dan Beng Kong sudah menyerangnya lagi, Chi Koan juga menyusul dan beberapa kepiting mulai merayap dan menggigit kaki pemuda ini maka Peng Houw terdesak dan bingung. Dan Chi Koan berseri-seri.

Pemuda ini, seperti yang kita tahu adalah terheran-heran dan kaget sekali bagaimana Peng Houw mampu memiliki Hok-te Sin-kang secepat itu. Diam-diam dia merasa iri dan cemas. Dia sendiri yang sudah mencuri Bu-tek-cin-keng dan mempelajari ilmu itu baru setelah sekian tahun memiliki kepandaian tinggi. Tapi begitu bertemu Peng Houw dia kalah!

Chi Koan penasaran dan heran sekali. Tapi setelah gurunya memberi tahu dan sinkang yang dimiliki Peng Houw kiranya adalah sinkang Ji Leng Hwesio, kakek gurunya maka tentu saja keheranannya lenyap dan sebagai gantinya adalah rasa iri dan marah yang besar.

Pantas saja Peng Houw demikian lihai, tak tahunya kakek gurunya itu pilih kasih. Keparat! Dan ketika Chi Koan melengking dan melepas satu pukulan Hok-te Sin-kang, di sana gurunya juga membentak dan mendorong Thai-san-ap-ting dengan tenaga Hok-te Sin-kang maka dari bawah dan kiri kanan Peng Houw menghadapi ribuan kepiting yang mulai merayap dan menggigiti tubuhnya.

"Dess-plakk!"

Peng Houw bergoyang dan digencet dua tenaga sakti dari muka belakang ini. Untuk sejenak dia tak menghiraukan kepiting-kepiting itu dan membiarkan saja mereka menyapit dan menggigit. Tapi ketika dua orang itu terbelalak karena kepiting tiba-tiba berjatuhan, Beng Kong berseru heran maka hwesio itu meledakkan cambuknya lagi dan menyuruh yang lain maju, diri sendiri menerjang lagi dan Chi Koan juga terheran.

“Dia tak apa-apa. Kepitingmu berjatuhan!”

“Benar, dan mereka mati sendiri, Chi Koan. Peng Houw kebal racun. Dia... ah, ini bukan kekebalan dari Hok-te Sin-kang. Anak itu memiliki sesuatu.... siut!” dan sebatang golok yang menyambar dan tiba-tiba disambitkan hwesio itu mendadak tepat mengenai tengkuk Peng Houw, patah dan runtuh dan hwesio itu terbelalak. Peng Houw kebal racun di samping kebal pula terhadap senjata. Dan ketika hwesio itu kaget karena ini bukan karena Hok-te Sin-kang, melainkan sesuatu yang lain.

Maka Peng Houw sendiri tertegun dan tiba-tiba teringat. Yakni ketika dulu dia diusap Sian-ji-kang oleh kakek gurunya, Usapan Jari Dewa yang membuat dia kebal dan kuat terhadap bacokan senjata tajam. Dan begitu dia ingat dan tak perlu takut lagi terhadap gigitan kepiting-kepiting beracun itu maka guru dan murid semakin membelalakkan mata lebar-lebar. Beng Kong Hwesio teringat kesaktian gurunya yang lain.

"Anak ini... dia, ah.... dia mendapat usapan Sian-ji-kang. Tak salah. Itu kekebalan dari Sian-ji-kang. Keparat!" dan Beng Kong yang menerjang dengan amat marah akhirnya menjadi semakin benci dan sakit hati kepada Peng Houw, merasa gurunya semakin tak adil dan kemarahan serta kebenciannya ini menular pada Chi Koan.

Pemuda itu terkejut dan membelalakkan mata mendengar kata-kata gurunya. Banyak amat Peng Houw mendapat warisan! Dan ketika Chi Koan juga menjadi marah dan menerjang Peng Houw maka guru dan murid semakin beringas.

Namun Peng Houw sekarang lebih tenang. Pemuda ini sudah tak takut lagi kepada kepiting-kepiting itu. Namun karena mereka mengganggu dan menghalang gerakannya, juga capitan itu membuat pakaiannya robek-robek maka Peng Houw yang sibuk menangkis sana-sini akhirnya membentak dan mendorongkan kedua lengan ke delapan penjuru.

“Des-dess!”

Beng Kong dan Chi Koan terhuyung. Peng Houw mendapat kepercayaannya lagi namun cambuk menyambar. Kini ledakan bukan semata mengatur ribuan kepiting akan tetapi juga menyerang pemuda itu. Dan karena Peng Houw hanya memiliki ilmu yang itu-itu saja, Soan-hoan-ciang atau Hok-te Sin-kang maka lawan yang berkelebatan dengan Lui-thian-to-jit dan sambaran Thai-san-ap-ting atau Cui-pek-po-kian membuat pemuda ini tak banyak berdaya untuk membalas.

Pertandingan sudah berjalan dua ratus jurus dan Peng Houw mandi keringat. Chi Koan juga mandi keringat namun dapat bergantian dengan gurunya. Diam-diam pemuda itu kagum karena Peng Houw yang menguasai benar Hok-te Sin-kang ternyata begitu luar biasa mempertahankan diri. Itu berkat tenaga sakti kakek gurunya itu! 

Dan karena ini membuat pemuda itu marah sementara kepiting mulai terinjak-injak, Beng Kong merasa sia-sia dengan pasukannya yang langka itu maka pertandingan berjalan terus dengan kedudukan tetap sama. Tak ada yang terdesak atau mendesak, kepiting mulai disuruh mundur.

"Keparat, bagaimana cara membunuh pemuda ini, Chi Koan. Dia kuat benar!”

“Hm,” Chi Koan mengingat-ingat. "Agaknya bertempur sampai kehabisan tenaga, suhu. Kita serang dia ganti-berganti."

“Tapi aku mulai lelah....”

“Aku juga, diapun begitu. Sama! Terus saja serang sampai kita atau dia roboh!”

Namun terdengar bentakan. Dua sosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu Li Ceng dan kakeknya muncul. Mereka itu telah menghajar anak buah Chi Koan dan kini mencari-cari pemuda itu. Di dasar jurang mereka mendengar pertempuran ini. Maka ketika mereka masuk dan kehadiran ini membuat Beng Kong dan muridnya terkejut, Si Mutiara Geledek Lo Sam menghembuskan asap tembakaunya maka barisan kepiting buyar dan porak-poranda, cucunya juga menendang dan membacok binatang-binatang itu.

"Peng Houw, jangan takut. Ada aku di sini. Kalau aku dan kakekku tak dapat membunuh orang-orang ini biarlah aku dan kita semua mampus!"

Peng Houw terbelalak. Sesungguhnya dia gemas dan marah akan hasil pertandingan ini. Kalau saja lawan tidak memiliki Hok-te Sin-kang dan mengisi ilmu silat mereka itu dengan tenaga mujijat ini belum tentu pertandingan itu berlangsung sengit. Tentu sejak tadi dia sudah merobohkan mereka. 

Namun karena Chi Koan dan gurunya sama-sama memiliki Hok-te Sin-kang dan justeru pukulan itulah yang amat hebat, kalau bukan karena warisan tenaga sakti Ji Leng Hwesio tak mungkin dia kuat bertahan maka Peng Houw diam-diam marah besar dan menahan-nahan kemarahannya itu. Dan kini Lui-cu Si Mutiara Geledek muncul, bersama cucunya.

"Bagus, tapi lindungi aku saja dari serangan-serangan mereka yang curang, Li Ceng. Jangan sambut pukulan mereka ataupun menangkis!"

"Benar,” Mutiara Geledek berseru. “Kami tahu, Peng Houw, dan kami hanya akan melindungimu dari serangan curang saja.... wusshhhh...!" dan asap yang tebal menghembus ke depan tiba-tiba membuat Beng Kong dan muridnya batuk-batuk. Hwesio itu melotot dan marah sekali. Dan ketika dia membentak siapa orang ini maka Chi Koan menjawab.

"Dia sute dari Kun-lun Lojin, Mutiara Geledek Lo Sam."

“Mutiara Geledek? Orang yang sudah menghilang tiga puluh tahun itu?"

“Benar, suhu, karena itu hati-hati. Tidak terlalu berbahaya namun dapat mengganggu kita merobohkan Peng Houw.”

“Keparat!" dan si hwesio yang membentak dan menambah pukulannya akhirnya menyambar kakek itu dengan serangan langsung, dikelit tapi dikejar dan kakek ini terkejut. Dia di belakang Peng Houw, tapi saat itu Peng Houw menangkis pukulan Chi Koan. Dan karena dinding jurang sempit dan apa boleh buat harus menangkis maka kakek ini terjengkang dan untung bahwa hwesio yang sudah mandi keringat itu tidak seberat pada pukulannya pertama.

“Bresss!" Kakek itu terguling-guling. Li Ceng berteriak tapi sang kakek sudah meloncat bangun, wajahnya pucat. Tapi karena pukulan tak seberat biasanya dan kakek itu bernapas lega maka dia cepat berlindung di punggung Peng Houw ketika lawan mengejar dan membentaknya lagi, tak menghiraukan Chi Koan dan pemuda ini terkejut. Peng Houw jadi garang dan menghempaskannya dengan satu tangkisan kuat. Dan ketika pemuda itu terlempar dan bergulingan menjerit, memanggil suhunya maka Beng Kong melihat berkelebatnya bayangan-bayangan lain. Tiba- tiba saja akal liciknya timbul.

“Chi Koan, agaknya kita harus keluar saja dari sini. Jurang ini sempit!"

Chi Koan terkejut. Dia tak melihat bayangan-bayangan itu karena mereka kebetulan di belakangnya. Maka ketika gurunya melompat dan berjungkir balik, menjejakkan tongkat beberapa kali ke atas maka hwesio itu mendaki dan cepat sekali sudah tiba di bibir jurang.

"Suhu....!”

Tawa mengejek terdengar. Beng Kong menoleh dan bayangan di belakang pemuda itu sudah sampai. Mereka adaleh hwesio-hwesio Go-bi yang bukan lain adalah Ji-hwesio dan sutenya. Entah kenapa Beng Kong tiba-tiba tak mau bertemu dengan mereka ini. Dan ketika hwesio itu tertawa aneh dan Chi Koan terkejut mendengar bentakan, tengkuknya tahu-tahu disambar seseorang maka pemuda itu kaget melihat ji-susioknya ada di situ.

"Sekarang kau tak mungkin mengelak. Hayo pulang dan pertanggungjawabkan perbuatanmu!”

Chi Koan kaget sekali. Dalam tangkisan Peng Houw yang terakhir ini dia merasa kiut-miut. Tulangnya seakan retak-retak dan dia menahan sakit, terbelalak melihat suhunya pergi sementara dia ditinggal seorang diri. Dan karena dia heran dan tak mengerti kenapa suhunya tiba-tiba melarikan diri, bukankah Peng Houw dapat mereka hadapi berdua maka datangnya hwesio-hwesio Go-bi itu mengejutkannya tapi sekaligus menyadarkan dia bahwa suhunya takut perihal pembunuhan Ji Beng Hwesio itu. Chi Koan marah sekali dan mendelik.

Tiba-tiba dia ingat kejadian lama. Dulu dia yang meninggalkan gurunya di jurang sementara sekarang gurunya yang meninggalkannya di jurang. Memang dia diajak tapi mana mungkin itu. Dia sedang terhempas oleh pukulan Peng Houw, kesakitan. Tapi karena dia bukan pemuda lemah dan perbuatan gurunya itu membuat dia marah sekali, kemarahan ini menimbulkan tenaga maka begitu tengkuknya disambar tiba-tiba dia dapat membalik dan..... dess, paman gurunya itu terhuyung, kena lambung.

“Omitohud, kau menambah dosa, Chi Koan. Bagus sekali!"

Namun pemuda ini bangkit dan berteriak keras. Dia merogoh sesuatu dari saku bajunya dan dua granat dilempar kuat. Peng Houw terkejut dan berseru keras, satu di antara dua granat itu disambar dan ditangkap. Dan karena granat yang lain meledak dan menggetarkan dinding jurang, semua tiarap oleh seruan Peng Houw maka Chi Koan melarikan diri dan mendaki jurang dengan cepat sekali, wajahnya pucat.

“Suhu, tunggu. Kita harus berdua menghadapi lawan!”

Peng Houw terbelalak dan mengebutkan kedua lengan bajunya. Tadi dia tak bergerak setelah Chi Koan terbanting, tangkisannya tadi amatlah kuat, juga karena dia melihat bayangan-bayangan hwesio Go-bi itu, para susioknya. Maka ketika Chi Koan melarikan diri dan granat yang ditangkap dibuang menjauh, dia mengebut membuyarkan asap hitam maka dilihatnya pemuda itu mendaki jurang, cepat sekali.

“Chi Koan, berhenti! Serahkan dulu Bu-tek-cin-keng!" Peng Houw tak mau berlama-lama lagi. Dia berkelebat dan berjungkir balik ke atas, bergerak dan menotol batu-batu di pinggiran jurang untuk kemudian berjungkir balik lagi ke atas, begitu seterusnya, cepat dan tentu saja mendahului Chi Koan yang payah gemetaran di sana. Dan ketika Peng Houw melompat dan berdiri di sini, menghadang maka Peng Houw tertegun karena di atas jurang Beng Kong Hwesio bertanding hebat dengan seorang kakek gimbal-gimbal yang bukan lain susioknya pertama, Twa-hwesio!

"Ah!" Peng Houw menjublak dan bengong di sini. Dia tak memperhatikan susioknya Beng Kong Hwesio lagi setelah Chi Koan melarikan diri. Bu-tek-cin-keng itu lebih penting daripada yang lain. Beng Kong Hwesio biarlah diurus nanti. Maka ketika dia mengejar tapi di atas terjadi pertandingan seru, twa-susioknya yang gimbal-gimbal itu meledakkan cambuk dan mainkan cambuk dengan ilmu silat aneh, meliuk dan menyambar-nyambar suhengnya agar tidak pergi melarikan diri maka Peng Houw yang tertegun di sini sejenak melupakan Chi Koan.

Twa-hwesio, kakek gimbal-gimbal itu terkekeh-kekeh. Dia menghadapi Beng Kong Hwesio dengan seru dan ganas sekali. Permainan cambuknya begitu luar biasa dan lawan dibuat sibuk. Beng Kong memiliki Hok-te Sin-kang namun hwesio ini sudah kelelahan. Mengeroyok dan berhadapan dengan Peng Houw tadi membuat tenaganya habis. Maka ketika di bibir jurang ia disambut oleh tawa dan kekeh ini, mengenal sutenya yang hanya memiliki sebelah telinga maka hwesio ini pucat dan matanya melotot karena ilmu cambuk yang aneh itu naik turun bagai ular memagut-magut.

“Ha-ha, mengaku sudah. Ketemu juga orangnya! Bagus, sudah kuduga kau yang membunuh guruku, suheng. Dan lihat aku membawa para suteku ke mari. Sudah kudengar omonganmu dengan Chi Koan tadi. Sudah kami ketahui siapa pembunuh keji itu. Bagus, kau pengkhianat dan manusia busuk. Kau tak segan membunuh paman gurumu sendiri agar mendapat warisan Hok-te Sin-kang. Keparat, kau akan kubunuh dan lihat permainan cambuk dari guruku Ji Beng Hwesio ini..... tar-tar!”

Cambuk meledak dan menyambar muka lawan, ditampar namun melejit ke atas, turun dan tahu-tahu menggigit punggung. Dan ketika Beng Kong berteriak karena sutenya ini demikian lihai, menangkis dan membentak mengeluarkan Hok-te Sin-kangnya maka Twa-hwesio menyambut tapi kakek ini terpelanting. Nyata bahwa sang suheng masih hebat, meskipun tenaganya terkuras habis.

Namun kakek itu tidak berhenti di situ. Ia tertawa dan bergulingan meloncat bangun, menjeletarkan cambuk dan Beng Kong beringas mengeluarkan cambuknya pula. Dan ketika ia meledakkan cambuk itu dan dua senjata ini bertemu di udara maka tenaga Beng Kong ternyata lebih kuat dan cambuk di tangan lawan membalik, nyaris menghajar mukanya sendiri tapi dengan lihai kakek ini melempar kepala ke belakang. 

Selanjutnya ia tertawa-tawa lagi menyerang suhengnya itu, dari dalam jurang berlompatan bayangan-bayangan lain, mengepung. Dan ketika Lui-cu dan cucunya serta dua hwesio Go-bi berdiri di situ, Peng Houw menoleh maka dia kaget tak melihat Chi Koan, terlalu terpaku oleh pertandingan ini, terutama oleh kehadiran twa-susioknya itu.

“Ah, mana dia!" Peng Houw berkelebat. “Heii, mana Chi Koan, Li Ceng? Adakah kau lihat pemuda itu?"

"Dia... dia tak ada di sini!" gadis itu terbelalak. "Justeru aku heran kenapa kau bengong saja, Peng Houw. Siapa kakek gimbal-gimbal yang lihai itu?"

“Dia twa-susiokku (paman pertama), orang tertua dari Pat-kwa Hwesio murid Ji Beng susiok-kong yang terbunuh. Ah, bagaimana Chi Koan menghilang dalam waktu sekejap ini!" dan Peng Houw yang bergerak dan turun gunung tiba-tiba mendengar seruan ji-susioknya (paman guru kedua) yang menuding,

"Heiii..... itu dia, Peng Houw. Chi Koan di sana!"

Ternyata pemuda itu berkelebat menuju semak di balik jurang. Tadi pemuda ini beringsut dan akan mundur ketika Peng Houw di atasnya. Gerakan Peng Houw lebih cepat dan lebih bebas. Maka ketika pemuda itu tertegun karena Peng Houw sudah menghadang di depan, menyerang dan merobohkan lawannya itu tak mungkin maka Chi Koan mengeluh dan siap turun lagi.

Tapi saat itu Peng Houw terbelalak oleh pertempuran di atas jurang. Chi Koan sendiri juga terkejut dan heran akan lawan gurunya itu, diam-diam senang karena gurunya ternyata tak dapat pergi jauh. Rasakan, pikirnya. Berani benar kau meninggalkan aku! Tapi karena saat itu dia harus melarikan diri dan hadirnya orang-orang di bawah jurang membuat dia kecut, terutama Lui-cu si Mutiara Geledek itu maka Chi Koan beringsut dan dengan berani namun amat hati-hati dia merayap kembali ke bawah!

Namun Chi Koan tidak sampai ke dasar jurang. Di tengah, di sebuah batu terjal ada jalanan setapak yang gersang. Jalanan ini terbuat dari air hujan dan lama-lama mengikis bagian dalam jurang. Ada sebuah lubang kecil pula di situ. Maka ketika Chi Koan tiba di sini dan aman dari pandangan orang maka pemuda itu tertegun mengamati lubang ini. Lubang itu hanya sebesar kepalanya, tak mungkin masuk.

Tapi karena keadaan memaksa dan Chi Koan mengertakkan gigi maka pemuda ini mengerahkan sinkangnya dan...... krek-krek, semua tulang-belulangnya tiba-tiba menjadi lembek. Dengan berani pemuda itu masuk, maksudnya hendak bersembunyi. Dan ketika ia lewat seperti ular, pundak dan pangkal lengan tiba-tiba menjadi seakan tak bertulang maka loloslah pemuda itu memasuki lubang kecil ini.

Chi Koan girang. Lubang itu ternyata terowongan kecil panjang. Dia masuk dan tak perduli apa-apa lagi. Dan karena pemuda ini memang memiliki beragam ilmu, mulai dari yang biasa sampai ke yang aneh-aneh maka ilmu melemaskan tulang yang membuat tubuhnya seakan tinggal otot dan daging itu membuatnya berhasil melewati terowongan. Orang tentu akan terbelalak dan takjub melihat perbuatan pemuda ini.

Bayangkan, lubang sebesar kepala dapat dimasukinya. Dan ketika ia lolos dan sudah berada di balik jurang, keluar seperti cara ular menggeliat maka cepat saja pemuda ini menuju semak belukar tapi sial sekali Ji-hwesio melihat bayangannya.

Bukan main kagetnya Peng Houw. Dia marah dan membentak dan sekali Peng Houw membuang tubuh ia pun sudah terjun di balik jurang itu. Chi Koan akan lenyap kalau tidak dipotong jalannya. Dan ketika pemuda ini meluncur bagai dibuang dari langit, Chi Koan terkejut maka pemuda itu memaki namun cepat ia menuju semak belukar melarikan diri.

Akan tetapi sebuah bayangan lain muncul. Tepat dia berada di mulut belukar itu tiba-tiba sebatang huncwe menyodok hidungnya. Lui-cu, kakek itu tahu-tahu juga melakukan hal yang sama seperti Peng Houw, yakni membuang tubuh dari atas jurang untuk memotong jalan lari pemuda itu. Dan karena kakek ini tak dilihat Chi Koan karena memang bergerak dari belakang, hanya Peng Houw yang dilihat pemuda itu maka Chi Koan kaget sekali dan marah bukan main.

“Jahanam kau..... plakk!”

Huncwe ditangkis dan dicengkeram. Kakek itu tergetar namun Chi Koan tidak berhenti di sini. Ia masih mempunyai tenaga, biarpun telah bertanding habis-habisan dengan Peng Houw. Maka ketika kakek itu tertegun melihat huncwenya rusak, hancur dicengkeram Chi Koan maka pemuda ini menggerakkan tangan kirinya dan Hok-te Sin-kang menyambar pelipis kanan kakek itu.

“Awas!” Yang berseru adalah Peng Houw. Pemuda ini baru saja terjun dan tiba di situ dengan muka khawatir. Dia takut kehilangan lawan. Maka ketika tiba-tiba kakek itu menyerang Chi Koan tapi kini dibalas dan dihantam Hok-te Sin-kang, betapapun pukulan itu amatlah berbahaya maka si kakek terkejut dan berusaha mengelak namun tak keburu, terpaksa menangkis.

“Dess!” Kakek ini terjengkang. Lui-kang (Tenaga Geledek) telah dikerahkan namun tetap saja bukan lawan Hok-te Sin-kang itu. Pukulan Penakluk Dunia ini benar-benar hebat dan bukan lawannya. Maka ketika kakek itu terjengkang dan terlempar bergulingan, Chi Koan tetap masih berbahaya baginya maka kakek itu melontakkan darah tapi untung Peng Houw sudah di situ, menyambar dan memaki Chi Koan.

"Keparat kau!”

Chi Koan marah dan menggigit bibir. Sekarang ia dipotong lawan dan tak dapat lagi menuju semak belukar itu. Ini gara-gara kakek itu. Maka membalik dan menangkis pukulan Peng Houw ia pun membentak. "Kaulah yang keparat... dess!" dan Chi Koan yang terlempar dan ganti terjengkang bergulingan akhirnya mengeluh karena tak kuat menghadapi Peng Houw. Tenaga yang dimiliki Peng Houw adalah sinkang Ji Leng Hwesio, tentu saja kuatnya bukan main. Dan ketika ia meloncat bangun namun Peng Houw mengejarnya, apa boleh buat ia bergulingan lagi dan melawan sebisanya maka Chi Koan menangis dan Peng Houw tertegun.

“Kau... kau tak tahu persahabatan. Kau pemuda busuk. Bunuh dan biarkan yang lebih berdosa menyelamatkan dirinya, Peng Houw. Kau tak adil dan selalu mendesak-desakku!”

"Apa maksudmu?" Peng Houw tertegun. "Kau bicara tentang apa, Chi Koan? Tak tahukah bahwa dosamu sudah terlalu menumpuk?”

"Bagus, memangnya aku saja. Butakah mata dan hatimu. Suhuku lebih jahat, Peng Houw. Tapi kau mendesak dan selalu mengejar-ngejar aku. Kau malah membebaskannya!"

"Hm, ia di atas dihadapi para susiok yang akan membekuknya. Gurumu sudah kehabisan, tenaga. Kau tak pernah mau menyerahkan Bu-tek-cin-keng, Chi Koan. Kau mengangkangi dan mencuri kitab itu. Kau mempelajari dan lalu menyebar kejahatan!"

"Guruku lebih jahat. Ia membunuh susiok-kong dan mengkhianati Go-bi. Aku hanya mencuri kitab!"

“Urusan itu dapat diadili nanti. Sekarang serahkan kitab dan menyerahlah baik-baik, atau kau roboh dan luka oleh pukulanku..... dess!" Chi Koan terlempar dan bergulingan lagi, mengeluh tapi diam-diam otaknya yang licik mendekati Lui-cu Lo Sam.

Kakek Kun-lun itu terbatuk-batuk di sana dan bersila, memejamkan mata. Mutiara Geledek ini terluka oleh pukulannya Hok-te Sin-kang tadi. Maka ketika ia terlempar dan secara cerdik bergulingan ke sini, mengeluh maka Chi Koan yang berwatak curang itu tiba-tiba membentak dan meloncat bangun sudah menyambar tengkuk kakek itu, yang sedang memulihkan diri.

"Berhenti, atau kakek ini kubunuh!”

Peng Houw terkejut. Ia tak menyangka bahwa Chi Koan selicik itu. Orang yang sedang bersilapun disambar! Dan ketika ia tertegun dan berhenti menyerang, otomatis membelalakkan mata maka Chi Koan sudah mencengkeram ubun-ubun kakek itu dengan tawa bergelak.

"Ha-ha, ada dua pilihan untukmu, Peng Houw. Membebaskan aku masalah kitab atau membiarkan aku pergi dari sini!"

"Jahanam kau!" Peng Houw membentak, melompat maju. "Lepaskan kakek itu, Chi Koan. Dan hadapi aku secara jantan!”

"Ha-ha, tak usah berlagak ksatria. Ada dua pilihan untukmu, Peng Houw. Membebaskan aku masalah kitab atau membiarkan aku pergi!"

"Bu-tek-cin-keng tak boleh kau bawa. Kaupun tak boleh pergi!”

"Kalau begitu kakek ini mampus... krek!” cengkeraman dipererat.

Peng Houw terkejut dan saat itu terdengar jeritan Li Ceng. Gadis ini berteriak melihat kakeknya disandera. Dan ketika ia meloncat dan terjun dari atas, menyerang Chi Koan maka pemuda itu berkelit dan tubuh si kakek diangkat menerima tendangan itu.

“Dess!”

Li Ceng menjerit dan terpelanting. Dengan keji Chi Koan menyodorkan kakek itu menerima tendangan, telak sekali tendangan ini mengenai dada Lui-cu. Dan ketika kakek itu terbatuk dan melontakkan darah, luka yang satu belum sembuh ditambah oleh luka bekas tendangan itu maka kakek ini membuka mata dan cucunya bergulingan meloncat bangun.

“Kau.... kau keji. Kau jahanam keparat!”

"Ha-ha, majulah. Tendanglah lagi. Biar si tua bangka ini merasakan nikmatnya dibunuh cucu sendiri. Ha-ha!"

Li Ceng mendelik. Ia marah dan kaget sekali oleh kelicikan lawannya ini. Tapi ketika ia hendak maju namun Peng Houw menyambar lengannya maka dari atas meluncur lagi sesosok bayangan besar, bayangan yang rupanya melempar tubuh dan membuang diri dari situ.

"Bagus, kita tukar nyawa itu, Chi Koan. Kita minta kebebasan dengan nyawa si tua bangka Lui-cu itu!"

Kiranya Beng Kong Hwesio membuang tubuh menuju tempat Chi Koan. Dia berhasil mendorong sutenya sampai terlempar bergulingan namun saat itu dari bawah gunung terdengar suara gemuruh. Ribuan orang, para tosu dan hwesio berdatangan ke atas. Beng Kong terkejut dan membelalakkan mata dan tampaklah bayangan-bayangan berkelebat. Satu demi satu tokoh-tokoh yang dikenal muncul, mereka orang-orang Hoa-san dan Heng-san, juga Bu-tong dan Kun-lun di mana mereka ini menjadi jajahan Chi Koan.

Dan karena hwesio itu juga pernah menyakiti orang-orang ini dan dari bawah berteriak tujuh bayangan, Kwi-bo dan teman-temannya berturut-turut muncul maka mereka itupun berkelebat ke arah Chi Koan dengan muka pucat. Di bawah gunung mereka dicegat dan dihadang ribuan orang-orang yang marah itu.

“Chi Koan, celaka. Kita dikepung. Orang-orang Heng-san dan Hoa-san muncul. Mereka menagih jiwa!"

"Juga orang-orang Kun-lun dan Bu-tong, termasuk dari Go-bi. Celaka, kita tak dapat melarikan diri, Chi Koan. Hek-see-hwa terkepung!"

Chi Koan berubah. Pada mulanya dia merasa girang dapat menangkap kakek lihai itu. Dia dapat memaksa Peng Houw untuk mundur. Tapi ketika berturut-turut gurunya dan Tujuh Siluman Langit itu muncul, mereka berdatangan setelah tadi meninggalkannya sendirian maka Chi Koan tiba-tiba menjadi marah namun pemuda yang cerdik ini tidak menunjukkan kemarahan itu kepada gurunya ataupun Tujuh Siluman Langit. Chi Koan terbelalak dan memandang ke bawah dan suara gemuruh itu kini terdengar.

Bagai semut ribuan orang mendaki puncak. Mereka bersorak-sorak den berteriak riuh, namanya disebut-sebut. Dan ketika berturut-turut bayangan tokoh-tokoh muncul, yakni mereka dari Hoa-san dan Heng-san serta Kun-lun dan lain-lain maka Chi Koan tiba-tiba tertawa bergelak dan ketika semua heran mendadak ia merampas cambuk Beng Kong Hwesio dan sekali berseru keras ia menyabet ke arah Peng Houw yang berdiri di sebelah Li Ceng.

"Mampus kau!" Peng Houw terkejut. Ia mengelak dan otomatis mundur, penjagaan terhadap Li Ceng kosong. Dan ketika cambuk meledak dan berputar arah maka saat itulah Li Ceng disambar karena sesungguhnya gadis inilah yang dituju Chi Koan.

“Aiiihhhhh....!”

Terlambat bagi semuanya menolong gadis itu. Peng Houw yang tidak menyangka dan menjauhkan diri terkejut sekali. Tadinya dia heran dan bersiap-siap menerima serangan, dipikirnya Chi Koan berlaku nekat dan akan mengadu jiwa. Tapi begitu Li Ceng disambar dan gadis itu kini melayang dibelit cambuk, Chi Koan sudah melempar si kakek Lui-cu kepada gurunya maka Beng Kong yang semula terkejut dan marah dirampas cambuknya tiba-tiba tertawa bergelak. Gadis baju merah itu sudah di tangan muridnya.

“Ha-ha, dua tawanan di tangan kami, Peng Houw, semakin kuat! Siapa menyerang gadis ini kubunuh!"

Peng Houw kaget bukan main. Saat itu bayangan tokoh-tokoh sudah tiba. Tepat sekali perbuatan pemuda itu. Dan ketika Peng Houw mendelik saking marahnya, Kwi-bo dan lain-lain terkekeh maka mereka itu berlompatan mengelilingi Chi Koan. Kwi-bo meledakkan rambut.

"Bagus, hi-hik. Bagus sekali, Chi Koan. Orang paling menentukan di sini adalah Peng Houw. Suruh dia membebaskan kita atau dua orang ini mampus!"

“Hm,” Chi Koa tersenyum, keji. “Kau benar Kwi-bo. Yang menentukan di sini adalah Peng Houw. Kalau dia mau membantu kita tentu bisa, tapi kalau tidak maka kekasihnya ini kubunuh, ha-ha!" dan menghadapi pemuda itu tak menghiraukan sorak-sorai yang kian mendekat Chi Koan berkata, "Peng Houw, tak ada pilihan lain. Permintaanku sekarang bertambah. Suruh semuanya minggir dan biarkan kami bebas!”

Peng Houw merah padam. Betapa keji dan liciknya Chi Koan semakin bertambah saja. Dia marah bukan main. Tapi ketika dia belum menjawab maka bayangan para tokoh itu berkelebatan, membentak.

"Chi Koan, kekejaman dan kesewenang-wenanganmu sudah cukup. Kami dari Bu-tong dan Khong-tong ingin membebaskan diri dan bersatu-padu menangkapmu. Menyerahlah dan biarkan kami adili atau kau mampus di bawah ribuan orang!”

"Ha-ha, kau Bong Beng Hosiang jangan banyak mulut. Kalau tidak karena Peng Houw tak mungkin kalian dapat datang ke sini. Enyahlah, aku tak bicara denganmu!”

"Omitohud!" hwesio pendek gendut itu menyodokkan toya. “Kau selamanya sombong dan pongah, Chi Koan. Kalau hari ini kau tak mampus biarlah pinceng yang mati.... wherrr!" toya menyambar namun dikelit Chi Koan, membalik namun pemuda itu sudah menggerakkan kaki. Dan ketika toya mencelat dan hwesio itu terhuyung maka Chi Koan mengejek.

“Lihat, kepandaianmu masih jauh di bawahku. Kalau kau macam-macam kau bakal ke akherat, Bong Beng Hosiang. Minggir dan jangan petingkah!"

Hwesio itu pucat. Segebrakan saja dibuat terhuyung sudah menunjukkan tingkatnya di bawah Chi Koan. Namun karena di situ ada teman-temannya dan dua belas hwesio dan tosu maju serentak, masing-masing menggetarkan senjata maka hwesio itu maju lagi dan Chi Koan mengerutkan kening, melirik pada Tujuh Siluman Langit dan gurunya.

"Kalian jaga diriku, aku masih ingin bicara dengan Peng Houw. Kalau ada yang maju bunuh saja!”

Kwi-bo terkekeh. Ribuan orang akhirnya sudah mendaki dan puncak Hek-see-hwa penuh orang. Cercaan dan bentakan menggetarkan bukit. Diam-diam Chi Koan gentar. Tapi menekan tengkuk Li Ceng dan gurunya di sana mencengkeram ubun-ubun Lui-cu Si Mutiara Geledek maka Peng Houw tiba-tiba maju ke depan menyuruh para tokoh itu mundur.

“Cuwi-locianpwe, harap mundur. Biarkan pemuda ini bicara denganku!"

"Bagus," Chi Koan tertawa. "Kau benar, Peng Houw. Tak ada banyak waktu lagi bagiku. Kuulangi permintaanku kalau ingin kakek dan kekasihmu ini selamat. Biarkan kami pergi dan semuanya selesai sampai di sini!”

Peng Houw menggigil, menuding. "Kau.... kau licik, Chi Koan. Kau curang! Urusan ini tak ada sangkut-pautnya dengan mereka karena aku hanya minta kau mengembalikan Bu-tek-cin-keng. Kau tak selayaknya membawa-bawa orang lain!"

“Ha-ha, kitab inikah?" Chi Koan tiba-tiba mengangkat sebuah kitab merah, tebal. “Ini adalah Bu-tek-cin-keng curian pula, Peng Houw. Ji Leng Hwesio mendapatkannya dari orang lain. Kalau kini kau mengejar-ngejar kitab ini dan mempermasalahkan Bu-tek-cin-keng maka sesungguhnya kau keliru. Kitab ini tak bertuan, bukan milik Go-bi. Kalau kau berkeras meminta kitab ini maka sesungguhnya yang lain berhak pula. Heiii....!”

Chi Koan tiba-tiba berseru dan memandang bawah bukit, ribuan orang sudah muncul di situ. "Apa yang kalian kehendaki, tikus-tikus busuk. Apakah kalianpun ingin mempelajari Bu-tek-cin-keng. Kalau kalian mau membiarkan aku pergi dan kitab ini kuserahkan kalian maka Peng Houw tak usah mengejar-ngejar aku lagi masalah kitab, ha-ha!"

Semua geger. Para tosu dan hwesio serta orang-orang lain yang tadi bersorak dan berteriak-teriak mengancam Chi Koan mendadak sirap. Sedetik mereka terbelalak memandang kitab merah tebal itu. Itulah Bu- tek-cin-keng. Itulah kitab yang membuat pemuda itu hebat. Dan karena siapapun pasti terguncang dan berubah pikiran melihat ini, siapa tak akan tergiur oleh kitab luar biasa itu maka mendadak ribuan orang itu mengangkat tangan mereka.

"Serahkan padaku...!”

“Serahkan padaku!" Peng Houw pucat. Ia melihat betapa Chi Koan mempengaruhi orang-orang itu dengan kitab Bu-tek-cin-keng. Imbalannya hanya satu: bebas! Dan ketika mereka juga mulai bersorak dan menyibak memberi jalan, tokoh-tokoh Bu-tong dan Khong-tong serta yang lain juga menyibak tapi memandang lekat-lekat kitab di tangan pemuda itu maka Peng Houw tak dapat menahan diri dan membentak.

“Tidak, tidak boleh! Kitab ini milik suhuku Ji Leng Hwesio, milik Go-bi! Siapapun tak boleh memiliki karena itu bukan milik kalian. Chi Koan bohong dengan mengatakan yang tidak-tidak. Harap kalian jangan terpengaruh dan ingat bahwa kalian dan partai kalian telah dinjak-injak pemuda ini!"

Hebat kata-kata Peng Houw. Semua yang tadi bersinar dan penuh gairah memandang kitab itu mendadak mengerutkan keningnya kembali. Mereka teringat betapa Chi Koan menginjak-injak mereka, betapa ketua dan tokoh-tokoh mereka banyak yang dibunuh mereka ini. Tapi ketika mereka tertegun dan berubah pikiran sekonyong-konyong Chi Koan tertawa bergelak menggetarkan bukit, suaranya kuat berpengaruh ketika menangkis pula.

“Heii, semua itu tipu muslihat Peng Houw, saudara-saudara. Jangan kena pengaruh. Kitab ini akan kuberikan kepada kalian sebagai penebus dosaku. Go-bi tak berhak karena Bu- tek-cin-keng sesungguhnya kitab tak bertuan. Tanyalah guruku Beng Kong Hwesio ini. Tanya apakah benar mendiang Ji Leng Hwesio bukan pencuri!”

Hebat kata-kata itu. Peng Houw sampai tersentak dan mundur dengan muka berubah- ubah. Terang-terangan Chi Koan memaki kakek gurunya sendiri sebagai pencuri. Dan ketika Beng Kong mengangguk dan tertawa dingin, apa yang dikatahwesio ini bagai halilintar di siang bolong maka tenang saja hwesio itu bicara.

“Benar, apa yang dikata muridku benar, saudara-saudara. Guruku Ji Leng Hwesio itu pencuri. Aku tak tahu dari mana dia mendapatkan karena sesungguhnya di gedung perpustakaan Go-bi tak terdapat kitab ini. Tanya saja kepada tiga suteku itu, atau murid-murid Go-bi yang lain!”

Geraman dan bentakan terdengar. Ji-hwesio, yang melihat betapa bekas suheng ini dapat berlaku sedemikian keji tiba-tiba tak dapat menahan diri. Dia juga sudah di situ dan mengepung. Anak-anak murid Go-bi di bawah terkejut dan bersuara mendengung. Mereka juga tiba-tiba bingung karena sesungguhnya di ruang perpustakaan tak terdapat kitab itu. Aneh juga kalau sesepuh mereka mendapatkan Bu-tek-cin-keng. Namun ketika mereka saling pandang dan ragu satu sama lain, Ji-hwesio melompat dan menusukkan senjatanya maka toya kuningan itu bergetar menyambar Beng Kong.

“Hm!" Beng Kong tertawa dan tidak berkelit. Dia justeru menggerakkan tangan kiri menampar senjata itu. Dan ketika terdengar suara pletak dan toya menjadi dua, patahannya membalik dan menyambar hwesio itu sendiri maka Ji-hwesio berteriak tapi secepat kilat Peng Houw menendang batu menghantam patahan toya ini.

“Tak!" Batu dan toya sama-sama hancur. Ji-hwesio pucat dan Beng Kong tertegun. Peng Houw benar-benar pemuda sakti, bekas murid keponakan itu hebat sekali. Dan ketika Ji- hwesio mundur dan berapi-api memandang bekas sang suheng, Kwi-bo terkekeh dan berjebi mengejek maka dia berseru agar siapa yang ingin maju boleh menyambut Giam-lo-ong. Tapi Peng Houw membentak bekas susiok itu.

"Susiok, kau keji. Kau tak berperasaan. Kau menghina dan menjelek-jelekkan guru sendiri. Kau manusia tak tahu budi!”

"Ha-ha, kau marah, tak aneh. Kau sudah mendapatkan segala-galanya dari guruku, Peng Houw. Hok-te Sin-kang dan Sian-ji-kang. Tak usah banyak mulut kalau tak puas. Maju dan kami akan melawanmu mati-matian atau kau bebaskan kami dan Bu-tek-cin-keng kembali!”

“Tidak!" suara gemuruh tiba-tiba meledak. "Bu-tek-cin-keng bukan milik siapa-siapa, Beng Kong Hwesio. Kitab itu tak bertuan. Kalian pergilah dan jangan hiraukan Peng Houw asal serahkan kitab itu kepada kami!”

"Ha-ha, bagus!" Chi Koan tiba-tiba tertawa girang, berseru nyaring. "Kalian berani menghadapi pemuda itu kalau dia bersikeras? Baik, aku berjanji kepada kalian untuk memberikan kitab ini, saudara-saudara. Aku sudah menikmati kitab ini dan boleh kalian pelajari. Aku sudah bosan. Hadapi pemuda itu dan lindungi aku agar pergi dengan bebas!”

Semua bergerak. Para tokoh persilatan, yang tadi mengepung dan memusuhi Chi Koan mendadak berbalik dan mengepung Peng Houw. Mereka tiba-tiba sudah berkelebatan dan tidak membiarkan pemuda itu menyerang Chi Koan! Dan ketika Peng Houw terbelalak sementara Chi Koan tertawa bergelak, itulah kesempatan baginya untuk kabur maka pemuda itu berseru dan melempar Bu-tek-cin-keng, jauh tinggi ke udara dan ribuan orang berteriak ketika melihat kitab itu melayang turun, jatuh.

"Itu punyaku!"

“Tidak, punyaku....!”

Dan ketika para tokoh bergerak dan Chi Koan sendiri sudah melompat dan lari turun gunung, semua menyibak memberi jalan maka Peng Houw marah besar karena terkepung di tengah-tengah. Ribuan orang itu berlompatan dan berebut menangkap kitab.

"Chi Koan, kau jahanam keparat!"

Ada dua kebingungan yang melanda Peng Houw. Pertama adalah mengejar pemuda itu atau kedua menyambar kitab dulu. Semuanya sama penting. Tapi karena kitab dirasa penting dan titah mendiang Ji Leng Hwesio adalah segala-galanya maka Peng Houw bergerak dan berkelebat menyambar kitab itu, mendorong dan mengibas semua penghalang yang juga berlompatan ke atas.

"Minggir....!”

Para ketua dan wakil partai terpental. Mereka juga berebut kitab di saat Peng Houw melompat. Dan karena begitu banyak tangan yang berebut sementara Peng Houw tadi di tengah-tengah, pemuda ini dihalang demikian banyak orang maka kitab robek oleh tangan yang lain ketika Peng Houw ikut menyambar.

"Bret-brett!”

Peng Houw marah sekali. Kitab pusaka itu, yang seru diperebutkan orang tiba-tiba robek tak keruan. Dia mendapatkan separohnya sementara yang separoh lagi digenggam tokoh Hoa-san dan Khong tong, juga Bu-tong dan Heng-san. Dan karena mereka itu berebut dan dorong-mendorong terjadi dengan sengit maka kitab di tangan empat orang ketua itu robek dan berhamburan menjadi serpihan-serpihan panjang kecil.

"Keparat, pemuda ini mendapat lebih banyak. Serang dia!"

Peng Houw terbelalak. Para ketua dan wakil ketua tiba-tiba mengangkat senjata. Mereka membalik dan menghantamnya dari segala penjuru. Bu-tek-cin-keng robek-robek, kecuali yang separoh di tangan pemuda itu. Dan ketika golok dan tombak serta pedang mendesing dari atas bawah, juga kiri kanan maka Peng Houw mengeluarkan bentakan dahsyat dimana suaranya itu tiba-tiba menahan semua senjata seperti serangkum angin puyuh menghantam tembok baja.

"Aiiihhhhh....!”

Semua terlempar dan terpelanting. Mereka tersentak oleh suara dahsyat ini dan tangan yang terangkat tiba-tiba tak dapat turun. Tangan itu serentak kaku, pekikan Peng Houw bagai setrum dahsyat yang menyengat sekejap. Dan begitu pemuda itu bergerak dan semua terjengkang ke kiri kanan, berteriak, maka Peng Houw menyambar serpihan Bu-tek-cin-keng itu namun para tokoh dan wakilnya yang sudah sadar kembali membentak dan menyerang lagi.

"Jangan biarkan ia memungut kitab. Serang! Robohkan anak muda ini...!”

Peng Houw marah bukan main. Ia baru sebagian saja menyambar serpihan itu ketika semua bergerak dan menyerangnya. Hujan senjata menyambar dari kiri kanan. Dan ketika Peng Houw membalik dan mengibaskan kedua tangannya, berjongkok dan melepas Hok-te Sin-kang maka semua menjerit karena terlempar dan terbanting bagai diseruduk gajah.

"Bressss!”

Namun orang-orang itu adalah orang-orang yang sudah kesurupan. Kehebatan Bu-tek-cin-keng membuat mereka mata gelap. Mereka bangkit dan menyerang lagi. Dan karena yang di belakang amatlah banyak dan tak mungkin Peng Houw menghadapi ribuan orang, sementara Chi Koan lolos dan lari turun gunung maka pemuda ini menyimpan kitab yang separoh dan apa boleh buat serpihan yang lain dibiarkan lepas lagi untuk menyambut serangan demikian banyak orang itu.

Peng Houw marah dan kecewa bahwa para tokoh persilatan ini tak malu-malu lagi menunjukkan wataknya yang buruk. Mereka seperti anjing-anjing liar berebut tulang. Dan ketika pemuda itu mendorong dan melepas Hok-te Sin-kang, kembali sekian tubuh mencelat dan terlempar bagai layang-layang putus maka Bong Beng Hosiang, tokoh Bu-tong tiba-tiba menubruknya dari belakang den mencengkeram kitab di dalam saku bajunya itu.

“Anak muda, serahkan kitab itu, Go-bi tak berhak!”

Peng Houw terkejut. Ia dicengkeram dan kitab direbut. Kejadian berlangsung demikian cepat. Dan ketika yang lain bersorak dan maju lagi, yang terbanting tentu saja mengeluh dan bergulingan di sana maka hwesio itu sudah mencabut sisa kitab dan hendak melepaskan diri. Namun Peng Houw menampar pundak hwesio ini. Dia marah sekali dan hampir menampar kepala tapi tak jadi. Kalau itu dilakukan tentu maut bagian tokoh Bu-tong ini. Dan ketika hwesio itu terjengkang namun kitab tetap di tangan, direbut namun robek lagi maka hwesio itu melempar sisa kitab ke tengah bentakan dan serbuan orang lain.

“Bret-brett!”

Peng Houw gusar bukan kepalang. Sekarang Bu-tek-cin-keng sudah tak berujud namun hebatnya orang-orang itu masih tetap berebut. Bagi mereka, selembar saja sudah cukup berharga. Maka ketika mereka bersorak dan riuh menyambar, ada yang dapat satu atau dua cabikan maka hwesio Bu-tong itu bergulingan menjauhkan diri dengan tawa puas.

Bu-tong dan Go-bi memang sama-sama penganut Buddha. Mereka adalah para hwesio sealiran. Tapi karena sejak Go-bi mendapatkan Bu-tek-cin-keng pamor Bu-tong menjadi kalah, diam-diam rasa iri dan dengki melanda tokoh-tokohnya maka Bong Beng Hosiang itu, yang puas merebut dan mencabik kitab akhirnya tertawa menjauhkan diri namun tiba-tiba dia mengeluh merasa pundaknya sakit, memandang dan ternyata pundaknya sengkleh.

Tamparan Peng Houw tadi kiranya membuat patah, tak disadari dan baru sekarang dia sadar. Dan ketika Peng Houw gusar karena Bu-tek-cin-keng tak mampu diselamatkannya lagi, kitab itu robek menjadi puluhan atau ratusan kertas kecil maka Peng Houw melompat dan sekali dia memekik menggetarkan gunung maka pikirannya teringat Chi Koan. Ribuan orang itu bergerak dan serang-menyerang sendiri untuk mendapatkan sisa-sisa tak berarti.

“Chi Koan, kau jahanam keparat!"

Peng Houw terbang turun gunung. Ia sudah tak memperdulikan lagi keadaan kitab karena gagal. Kitab itu sudah hancur dan rusak di tangan sekian banyak orang. Biang keladinyalah yang harus ditangkap. Chi Koan itulah yang harus bertanggung jawab. Dan karena dia sudah lolos dari kepungan karena orang-orang itu hanya mengincar Bu-tek-cin-keng, tipu daya Chi Koan benar-benar keji maka Peng Houw berkeretukan giginya untuk membunuh!

Pemuda ini tak ingat lagi segala petuah dan nasihat. Ia begitu marahnya kepada Chi Koan yang berani mempermainkannya. Tapi ketika ia tiba di bawah dan khawatir kehilangan lawan, Chi Koan telah lebih dulu pergi ternyata ada bentakan dan pertempuran di situ. Chi Koan bertanding hebat melawan gurunya. Apa yang terjadi?

Peng Houw tertegun. Chi Koan, pemuda yang membuat kemarahannya terbakar hebat itu kini membentak dan memaki gurunya dengan amat berang. Beng Kong, yang berkaki buntung dan memanggul tawanan itu sekarang sudah melempar Lui-cu dan menghadapi pukulan Chi Koan yang bertubi-tubi. Sebuah dari mata pemuda itu pecah! Dan ketika Peng Houw terkejut dan bersembunyi di balik pohon, ia khawatir dikeroyok dan dicurangi lagi mendengar geraman dan bentakan Chi Koan.

"Keparat, tua bangka tak tahu malu. Berani kau menyerang aku secara curang, suhu. Kubunuh kau dan jangan kira aku bohong!"

Beng Kong hwesio yang terkekeh itu mengelak. Dia maju mundur dengan kakinya yang lincah dan menangkis serta membalas. Coa-ong dan kawan-kawan merintih. Tujuh Siluman Langit itu tampak menggeliat dan masing-masing mendekap dada, mendelik pada hwesio itu. Dan ketika si hwesio terkekeh dan tertawa bergelak maka hwesio itu berseru,

"Kau atau aku memang harus mati di sini. Kau boleh mengelabuhi orang lain tapi bukan pinceng, Chi Koan. Serahkan Bu-tek-cin-keng yang asli atau kau mampus..... wherrr-plakk!"

pukulan Chi Koan ditangkis dan dua orang itu sama terpental. Peng Houw tertegun dan membelalakkan mata karena pembicaraan ini menyangkut kitab. Kiranya Chi Koan melempar yang palsu! Dan ketika Peng Houw bersinar dan bangkit semangatnya untuk mendengar pembicaraan itu, siapa tahu usahanya masih ada harapan maka Chi Koan membentak dan memaki gurunya itu.

“Kau tua bangka keparat. Kau selamanya mengukur orang lain seperti dirimu sendiri. Bedebah, kitab yang kubuang adalah yang asli, suhu. Aku tak memiliki yang lain lagi kecuali itu. Kau boleh tidak percaya!”

“Ha-ha, pinceng bukan orang bodoh. Mulut dan hatimu bicara lain, Chi Koan. Serahkan kitab atau Peng Houw datang merobohkanmu.... des-plakk!" dan pukulan serta tangkisan yang bertemu untuk kesekian kalinya lagi membuat mereka sama-sama terpental dan Peng Houw melihat betapa Chi Koan terdesak. Li Ceng, gadis baju merah itu masih dipondongnya. Chi Koan sama sekali belum melepas gadis ini.

Dan ketika Peng Houw menjadi khawatir sekaligus bingung dan kaget oleh pembicaraan itu, guru dan murid ini bertanding lagi maka Chi Koan memaki-maki gurunya dan tiba-tiba merogoh granat hitam untuk disambitkan kepada gurunya. Dalam keadaan seperti itu Chi Koan marah sekali. Ia memaki dan mengutuk gurunya ini panjang lebar sambil terus menyerang. Mata kirinya buta, sama seperti gurunya.

Entah bagaimana terjadinya hal itu Peng Houw tak tahu, yang dilihat adalah guru dan murid yang sudah bertempur hebat ini. Dan ketika Chi Koan mengambil granat namun sang guru tahu, terbahak dan mengambil sesuatu pula mendadak hwesio itu mendahului dan sudah melempar sebuah benda hitam kecil panjang menyambar tangan pemuda itu.

“Wuuttt...!”

Chi Koan terkejut. Ia berteriak dan melempar tubuh ke kiri, begitu kaget hingga Li Ceng terlepas. Namun karena ia juga melontar granat itu sambil bergulingan di bawah maka Beng Kong ganti melempar tubuh dan memaki serta mengutuk.

“Dar!”

Benda itu meledak tapi terdengar jerit di sana. Bukan Chi Koan atau Beng Kong melainkan Jin-mo, Hantu Bambu itu. Karena begitu benda hitam kecil itu menyambar dan luput mengenai Chi Koan, sebaliknya granat tak mengenai Beng Kong pula maka Jin-mo yang meringkuk dan menggeliat sambil merintih-rintih digigit benda kecil panjang itu.

Ular Tiga Warna, hitam kuning dan merah ternyata jatuh di tubuh kakek iblis ini. Ular itu sedianya dilempar untuk menggigit Chi Koan namun Chi Koan waspada, melihat lebih dulu dan terkejut bukan main melihat gurunya mengeluarkan ular itu. Itulah ular yang dulu membunuh Ji Beng Hwesio, paman kakek gurunya! Maka begitu dia membanting tubuh menghindar dan ular menyambar Jin-mo, menggigit dan langsung membuat kakek itu menjerit.

Maka Jin-mo meronta dan mendelik dengan mata sebesar kelereng. Kakek itu kaget bukan main dan tahu ancaman bahaya. Tak ada obat penawar. Dan ketika ia melotot dan hendak mencengkeram, ular melejit dan lari ke semak-semak maka kakek itu roboh dan sebelum kepalanya terantuk tanah nyawanya sudah melayang lebih dulu. Tubuh dan wajah itu hitam gosong!

"Kau manusia keji!" Chi Koan membentak, menggigil meloncat bangun. “Kau masih menyimpan juga ular itu, suhu. Untung tidak kena dan sekarang apa yang kau andalkan?”

"Ha-ha, cambukku...!" kakek itu terbahak, meloncat bangun pula dan mencabut pecutnya, cambuk cadangan. "Masih ada ini di tanganku, Chi Koan. Aku akan membunuhmu dan kau atau aku mampus!"

Chi Koan mengelak dan membentak marah. Ia tak menyangka gurunya menyimpan ular berbisa itu dan diam-diam keringat dingin mengucur keluar. Untung ia cepat mengelak, kalau tidak.... ah! Dan Chi Koan yang marah menerjang lagi akhirnya merasa lebih bebas setelah Li Ceng dilempar. Ia tak ingat lagi gadis itu karena seluruh kemarahan ditumpahkan di sini. Mereka segera bertanding lagi dengan sengit.

Tapi ketika Beng Kong meledak-ledakkan cambuknya dan berlompatan serta menjauh, bayangan mereka segera berkelebatan keliling-mengelilingi maka tak terasa tempat pertandingan sudah berada di tanah lapang dan di situ bunyi mendesis atau keritikan aneh terdengar. Ribuan kepiting muncul.

"Hm!” Chi Koan teringat kepandaian gurunya yang aneh ini, mengejek. “Kau boleh suruh kepiting-kepiting busuk itu menyerangku, suhu. Tapi jangan harap kau mampu!"

"Ha-ha, pinceng akan mencoba. Kalau tidak mampu kau sungguh beruntung.... tar!” dan cambuk yang meledak memberi aba-aba akhirnya melakukan gerak aneh dari atas ke bawah, meliuk dan menyambar kepala Chi Koan tapi ketika dikelit melejit ke kiri, cepat luar biasa dan tahu-tahu pangkal lengan pemuda itu terbelit. Dan ketika hwesio ini menarik dan tertawa bergelak maka Chi Koan terlempar ke arah ribuan kepiting itu.

"Ha-ha!”

Namun Chi Koan melepas ikat pinggangnya. Dengan seruan keras dan gerakan luar biasa sabuk tiba-tiba menjadi kaku bagaikan baja, menahan pemuda itu ketika turun ke tanah dan Chi Koan berjungkir balik melempar tubuh kembali ke atas menjauhi ribuan kepiting itu, "tongkat" aneh itulah yang menolongnya. Dan ketika ia sudah kembali berhadapan dan gurunya terbelalak, kini pemuda itu memiliki senjata yang aneh pula maka ikat pinggang itu mendesing dan menyambar gurunya bagai toya baja yang amat dahsyat.

"Bagus!" sang guru mengelak dan bertanding lagi. Betapapun hwesio ini kagum dan Chi Koan membalas, kepiting mulai berdatangan namun dengan senjata di tangan itu ia menghalau. Tangan kiri Chi koan juga mengibas dan ratusan kepiting terlempar. Mata pemuda yang tinggal sebelah ini berapi-api. Dia merasa kiut-miut pada mata kirinya yang pecah namun sebisanya ditahan.

Kemarahan membuat tenaga berlebih. Dan ketika Chi Koan membentak dan mengeluarkan Lui-thian-to-jit, sang hwesio menggeram karena dari dialah ilmu meringankan tubuh itu didapat si pemuda maka hwesio inipun membentak dan mengeluarkan Lui-thian-to-jit pula. Untuk sejenak mereka saling desak-mendesak sementara ribuan kepiting mengepung. Mereka berjaga-jaga dan berkali-kali Beng Kong berusaha melempar muridnya ke tengah- tengah namun Chi Koan selalu waspada.

Dengan ikat pinggang yang lurus kaku terisi sinkang itulah dia melempar tubuh berjungkir balik, cambuk di tangan Beng Kong akhirnya meledak dan menjadi lurus kaku pula. Dan ketika hwesio itu memekik dan kini cambuk berobah menjadi semacam toya panjang, jauh lebih panjang daripada ikat pinggang di tangan Chi Koan maka hwesio ini bergerak semakin cepat dan senjata panjang itu ternyata menjadi lebih berbahaya.

"Cring-craangg....!”

Luar biasa sekali. Ikat pinggang dan cambuk yang kini sudah sama-sama keras itu mengeluarkan bunyi seperti benda logam beradu. Bahkan bunga apipun berpijar. Dan ketika mereka sama-sama terhuyung karena sama-sąma kuat, sebenarnya Chi Koan lebih kuat namun dia sudah terkuras lebih dulu ketika bertanding dengan Peng Houw maka hwesio itu tertawa mengejek dan tangan kanannya mendorong.

"Desss!” Dua Hok-te Sin-kang bertemu. Chi Koan tak mau kalah dan menangkis pukulan gurunya dengan pukulan yang sama pula. Masing-masing tergetar dan terdorong dua tindak. Dan ketika hwesio itu melotot dan Chi Koan juga mendelik, mereka sama-sama memiliki pukulan dari sumber yang sama pula.

Maka Peng Houw yang menonton menjadi tidak sabar. Dia ingin keluar tapi peristiwa di dalam jurang menghentikannya. Dia bimbang. Kalau dia keluar jangan-jangan guru dan murid itu bersatu lagi, dia dikeroyok. Dan ragu serta menahan marah teringat semua itu tiba-tiba Peng Houw melihat enam bayangan terhuyung maju di belakang si hwesio. Waktu itu mereka masih bertanding seru dan cambuk di tangan Beng Kong Hwesio tidak meledak-ledak lagi.

Hwesio ini percuma menggerakkan ribuan kepitingnya kalau Chi Koan belum roboh. Dia ingin melempar dan menyiksa muridnya itu kalau Chi Koan roboh, melihat pemuda itu menggeliat dan menjerit dikeroyok kepiting buasnya. Daging dan kulit pemuda itu bakal habis. Tapi karena Chi Koan berkali-kali mempergunakan ikat pinggangnya untuk berjungkir balik menyelamatkan diri, lolos dan keluar lagi dari ribuan kepitingnya.

Maka merobah gaya serangan menyuruh kepitingnya menonton hwesio ini menjadikan cambuk seperti besi panjang mirip toya di tangan Chi Koan menderu dan membabat dan Chi Koan menangkis. Dua senjata menjadi seperti logam baja ketika beradu dan memercikkan bunga api. Dan ketika hwesio itu terus menyerang sementara Chi Koan juga membalas dan menangkis, melihat pula enam bayangan ini maka wajah pemuda itu tiba-tiba berubah, girang.

Mula-mula yang muncul adalah Coa-ong. Kakek ini, seperti yang lain dihantam pukulan hwesio itu ketika sama-sama turun gunung. Mereka berhasil lolos dari ribuan orang kang- ouw ketika mendadak saja hwesio itu melakukan kecurangan. Beng Kong, yang tidak percaya Chi Koan melempar kitab yang asli tahu-tahu menyerang dan menghantam Tujuh Siluman Langit ini dengan cepat. Mereka waktu itu turun gunung tergesa-gesa dan pukulan atau serangan hwesio ini tentu saja tak diduga Coa-ong dan lain-lain. Begitu licik dan cepatnya hwesio itu menyerang.

Tapi karena dia juga kelelahan dan pertempuran dengan Peng Houw di bawah jurang cukup menghabiskan tenaga, itulah yang membuat Coa-ong dan kawan-kawan tidak tewas seketika maka Raja Ular dan teman-temannya ini marah bukan main. Mereka roboh dan terluka. Bukan tanpa maksud kalau hwesio ini merobohkan Coa-ong dan kawan-kawan. Mereka itu adalah pembantu Chi Koan dan selama mereka itu masih di situ maka hwesio ini bakal terganggu.

Dia yakin benar bahwa yang dilempar Chi Koan bukanlah Bu-tek-cin- keng yang asli. Pemuda itu melempar kitab tiruan. Maka ketika dia merobohkan tujuh orang ini dan Chi Koan tentu saja kaget bukan main, meloncat dan berjungkir balik menjauhkan diri maka saat itulah hwesio itu berkata bahwa dia ingin kitab yang asli.

Chi Koan mendelik dan tertegun. Dan ketika gurunya bergerak dan mengeluarkan tiga kelereng kaca, berkilat dan memantulkan cahaya maka di saat itulah gurunya berkelebat dan menyerangnya, dielak dan mengejar dan tahu-tahu dua sinar menyilaukan menyambar mukanya. Chi Koan baru kali itu melihat gurunya memiliki senjata rahasia aneh ini, dia terkejut. Dan ketika dia mengelak namun sinar ketiga meluncur, saat itu dia membuang muka ke belakang dan tentu saja tak sempat mengelak lagi maka mata kirinya tiba-tiba meledak dan pecah dihantam pelor gelas ini.

"Aduh!”

Selanjutnya Chi Koan bergulingan dan marah bukan main kepada gurunya ini. Dia terluka karena benar-benar tak menyangka. Serangan gurunya itu cepat dan tak terduga-duga. Dan ketika di bawah gunung mereka akhirnya bertempur dan Peng Houw datang, bersembunyi dan menonton di balik pohon maka selanjutnya guru dan murid itu sama- sama membalas dan memukul dan akhirnya enam bayangan yang terhuyung-huyung ini datang, di belakang Beng Kong Hwesio.

Mula-mula yang muncul adalah Coa-ong. Kakek inilah yang pertama kali dicurangi Beng Kong. Tongkat ularnya, yang menggigil dan gemetar di tangan tampak dicekal erat-erat dengan mata berapi. Tongkat itu dipakai untuk menahan tubuh yang tertatih-tatih. Lalu ketika muncul Kwi-bun dan Tong-si, juga See-tok dan Jin-touw maka Kwi-bo paling belakang dengan pakaian compang-camping. Jin-mo telah tewas disambar Ular Tiga Warna.

Chi Koan berseri-seri. Kehadiran enam gurunya yang masih dapat bergerak dan siap menyerang membuat dia bangkit semangat. Tadinya dia sudah bingung menghadapi gurunya yang kosen ini. Betapapun gurunya itu memiliki Hok-te Sin-kang yang ampuh. Maka ketika Coa-ong dan lain-lain memberi isyarat, Chi Koan membentak dan memutuskan sesuatu untuk mengakhiri pertandingan maka senjata gurunya tiba-tiba disambut ikat pinggang di tangan kanannya yang berubah lemas.

Sabuk atau ikat pinggang itu tidak lurus kaku lagi, senjata ini menjadi lemas biasa untuk menangkap dan membelit, namun sinkang tentu saja sewaktu-waktu siap bekerja. Maka begitu toya menyodok dan menusuk lambungnya, cambuk di tangan Beng Kong sudah berobah menjadi senjata keras maka secepat kilat Chi Koan merobah gerakan dan sabuknya yang sudah lemas dan lentur memapak dan membelit.

“Rrtttt!”

Beng Kong terkejut. Ujung senjatanya ditangkap dan tahu-tahu dibelit sabuk, ditarik. Dan ketika dia tentu saja juga mengerahkan tenaga dan menarik, membentak maka Chi Koan menggerakkan tangan kirinya menghantam muka gurunya itu dengan Hok-te Sin-kang. Tak ada kesempatan lagi bagi hwesio ini kecuali menangkis. Dia sudah ditahan muridnya dengan betotan sabuk itu, mengelak tak mungkin. Maka ketika dia menggeram dan menggerakkan tangan kirinya pula, menangkis maka dua Hok-te Sin-kang bertemu.

“Plakk!” Dua telapak tangan beradu. Chi Koan mencengkeram dan sang hwesio terbelalak. Sang murid rupanya hendak mengadu jiwa. Dan ketika ia tertawa dan mencengkeram pula, lima jari sudah saling bertaut untuk mendorong dan merobohkan maka saat itulah Chi Koan berseru pada keenam gurunya.

“Sekarang!"

Sang hwesio kaget. Coa-ong dan kawan-kawan berada di belakangnya tanpa diketahui. Pertandingan yang demikian seru membuat hwesio ini tak mendengar. Dan ketika Coa-ong terkekeh dan melompat dengan tongkat ularnya, Kwi-bun juga membentak dan menusukkan sepuluh kuku beracunnya, See-tok menggerakkan bandul tengkorak sementara Jin-touw dan Tong-si mengayun kapak dan tusuk konde, Kwi-bo dengan rambutnya maka hwesio ini berteriak dan tak mungkin mengelak hujan serangan itu. Senjata dan tangannya dicengkeram Chi Koan...!