Prahara Di Gurun Gobi Jilid 28 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Serial Prahara Di Gurun Gobi Karya Batara

“HM, rupanya aku memang tolol,” Peng Houw tersenyum. “Tapi aku akan mencobanya sekali lagi, nona. Orang tolol akhirnya pandai juga kalau sudah berkali-kali belajar!" dan mengerahkan tenaga melawan gerak di sebelah kanan tiba-tiba pemuda ini menepis permukaan air yang muncrat ke atas, mendayung dan menampar ombak di sebelah kiri ketika tiba-tiba di bagian itu perahu berat sebelah.

Peng Houw cepat merobah dan memindah-mindah dayung di kedua tangan ketika gadis itu menampar dan memukul-mukul permukaan air berganti-ganti. Sebentar di kiri dan sebentar di kanan. Dan karena setiap gerakan itu tentu merobah tekanan perahu, kini Peng Houw mengimbangi dan perahu meluncur tanpa miring kiri kanan lagi maka gadis itu terbelalak karena ia tak dapat mencelakakan pemuda itu.

Peng Houw sudah membuat perahu meluncur lurus tanpa oleng lagi, meskipun gadis itu berusaha menggulingkannya ke kiri atau kanan. Dan karena tenaga pemuda ini jauh lebih kuat daripada gadis itu, sang kakek terkekeh dan melihat semuanya ini maka gadis itu melotot dan tiba-tiba menampar permukaan sungai di bagian depan agar perahu terjungkal.

“Pratt!” Peng Houw terkejut. Sejenak dia kaget karena dayung menghantam bagian depan, bukan kiri atau kanan lagi. Tapi begitu ia menampar dan memukul sebelah belakang maka perahu yang terangkat dan hendak terjungkal naik sudah kembali ke asalnya lagi dan perahu meluncur lagi dengan cepat, rata.

"Ha-ha,” kakek itu tertawa bergelak. "Kau bukan tandingan pemuda ini, Li Ceng. Kau kalah tenaga dan kalah pandai. Ia sekarang mampu mengimbangi semua gerakanmu!"

"Hm,” Peng Houw tersenyum. “Cucumu hebat, kek. Aku kagum bahwa sebagai wanita muda begini ia mahir mengemudikan perahu. Tenaganya besar, dan cukup untuk menghadapi arus Huang-ho hingga tak usah khawatir perahu tenggelam atau terbalik.”

“Tapi, kau lebih besar lagi, tenagamu lebih kuat. Ha-ha, tanpa perlawananmu tak mungkin perahu ini meluncur demikian laju, anak muda. Cucuku sudah tujuh kali hendak menggulingkan perahu!”

Peng Houw tertawa. Memang akhirnya ia tahu bahwa tujuh kali perahu itu hendak digulingkan. Gerakan kuat di sebelah kiri atau kanan perahu menunjukkan itu. Setiap menampar atau memukulkan dayung tentu perahu bergerak miring, gadis itu sengaja mengujinya. Maka ketika gadis itu gagal sementara si kakek terkekeh-kekeh, Peng Houw tersenyum dan tertawa kecil akhirnya perahu melewati bagian paling berbahaya dari arus Huang-ho yang kuat.

Barisan batu hitam telah lewat dan perahu berkelak-kelok lihai, lolos dengan lincah. Dan ketika perahu berada di permukaan tenang dan sebuah lembah hijau subur mereka masuki maka gadis itu memberi aba-aba menepi dan Peng Houw tak lagi merasakan gerak dayung yang hendak menggulingkan. Dua anak muda ini merapatkan perahu namun belum sampai menepi betul gadis itu sudah mengayun tubuh berjungkir balik.

Peng Houw kagum. Sebuah ilmu meringankan tubuh dipertontonkan dan gadis itu telah menginjakkan kakinya di daratan. Tanah dan pasir lembut menyambut mereka. Dan ketika kakek itu bergerak menambatkan perahu, ada sebuah tonggak atau patok bambu di situ maka kakek ini turun dan Peng Houw melihat sebuah gubuk kecil terlindung di balik tanaman kelapa, mungil dan sejuk serta membayangkan ketenangan alami.

“Turunlah, kita sudah sampai. Itu rumah kami dan boleh kau singgah kalau mau.”

Mau? Ah, tentu saja Peng Houw mau! Siapa tidak tertarik dan kesengsem dngan gadis baju merah itu. Sejak pertama kali memandang sebenarnya jantung Peng Houw sudah berdebaran tak keruan. Ia terpesona dan kagum sekali akan gadis ini, gadis yang hebat yang mampu mengemudikan perahu di balik ganasnya arus Huang-ho dan yaang tadi telah menunjukkan ilmu meringankan tubuh yang lihai. Bahkan, yang telah beruji tenaga ketika sama-sama di perahu.

Peng Houw melihat bahwa gadis ini bukan sembarangan. Dan karena ia ingin tahu juga siapa sebenarnya kakek itu, kakek yang pandang matanya lembut namun sorotnya tajam dan cukup berwibawa maka sekali lihat Peng Houw tahu bahwa ia berhadapan dengan seorang “cianpwe” (golongan atas tokoh persilatan).

Peng Houw mengangguk dan mengikuti kakek itu memasuki gubuk itu. Kakek ini sama sekali tak menunjukkan kesombongan seorang ahli silat namun langkah kakinya yang ringan dan kuat itu jelas tak dapat disembunyikan. Langkah ini mantap dan cepat, namun ringan. Dan ketika mereka memasuki gubuk itu dan meja kursi sederhana menyambut di depan, sehelai tikar juga digelar di tengah ruangan maka Peng Houw dipersilakan masuk dan kagum bahwa tempat itu demikian bersih dan sejuk, tanda pemiliknya amat menjaga kerapian dan kebersihan, meskipun gubuk itu bukan terbuat dari bangunan yang bagus.

“Silakan masuk, silakan duduk. Aku ke belakang sebentar berganti pakaian."

Peng Houw teringat. Ia tiba-tiba tertegun karena pakaiannyapun basah semua. Kakek dan cucunya itu juga basah meskipun tidak sekuyup dirinya. Dan ketika ia bingung akan duduk di mana, ruangan sebersih itu rasanya enggan untuk dikotori maka gadis itu muncul dan memberikan seperangkat pakaian lelaki.

"Ini milik kakek, barangkali sedikit kekecilan. Kau boleh ganti kalau kau suka."

Peng Houw semburat. Gadis itu ternyata sudah berganti pakaian kering dan rambutnya yang basah juga sudah disisir rapi. Sekarang malah kelihatan lebih cantik dan segar lagi. Heran! Dan ketika ia menerima namun bingung di mana harus berganti pakaian, bekalnya terbawa hanyut arus sungai yang deras maka gadis itu tersenyum menuding.

“Di situ ada bilik kecil, silakan kalau ingin berganti."

Peng Houw lega. Gadis itu memutar tubuh dan ia dibiarkan sendiri, melihat bilik di belakang ruangan depan ini dan tentu saja cepat ke sana. Bicara dengan pakaian basah begitu rasanya tak enak, apalagi kalau tuan rumah sudah bersih dan berpakaian kering semua. Dan ketika ia masuk dan keluar lagi dengan pakaian kering, pakaian kakek itu sedikit sesak membungkus tubuhnya maka tuan rumah muncul dan justeru tertawa melihat keadaannya.

"Ha-ha, sesak, tapi justeru mencetak bentuk tubuhmu. Aih, kau tampak tegap dan semakin gagah, Peng Houw. Juga semakin tampan!”

“Hm, bisa saja kakek ini," Peng Houw tersenyum kecut. “Ini pakaianmu, kek, kupinjam. Aku tak punya pakaian karena hanyut di sungai."

"Pakailah, tak apa. Kau tak usah pinjam melainkan kuberikan padamu. Kau butuh itu. Ha-ha, mari duduk!” dan duduk mempersilakan tamunya kakek ini mengeluarkan pipa tembakau dan menyulut apinya, mengisap dua tiga kali dan tampak betapa kakek itu menikmati kesukaannya benar. Mata itu meram melek. Tapi ketika kemudian perut Peng Houw berkeruyuk, Peng Houw kaget sendiri maka kakek itu tertawa dan berseru, dari belakang ruangan menguar bau sedap ikan bakar.

“Heii, cepat, Li Ceng. Tamu kita tak sabar menahan lapar!”

"Ah,” Peng Houw gugup. “Tidak, kek, tidak! Aku tidak lapar, Aku....”

"Ha-ha, tidak lapar bagaimana? Perutmu berkeruyuk, anak muda. Semalam kau rupanya terbenam air. Hebat juga bahwa kau segar-bugar. Orang lain tentu sudah mati kedinginan. Heii, bawa ke sini ikannya karena akupun tiba-tiba lapar!”

Kata-kata terakhir itu ditujukan kepada cucunya daripada kepada Peng Houw. Anak muda ini merah padam namun tiba-tiba geli. Kakek itu juga berkeruyuk! Dan ketika gadis baju merah keluar membawa nampan, tiga ekor ikan bakar terdapat bersama sebungkus besar nasi putih maka gadis itu tersenyum meskipun mulut mengomel.

"Ih, kong-kong ini seperti orang tidak tahu repot saja. Aku menyiapkan ini secara terburu-buru, kong-kong. Nasinya dingin tapi tidak basi. Aku juga lapar dan jangan kira kalian sendiri!" dan tertawa meletakkan itu dengan mengibaskan rambut, gerakan ini membuat Peng Houw terpesona maka kakek itu terkekeh dan menepuk pundak si anak muda.

"Heii, ini nasi dingin. Ikannya panas tapi nasinya dingin. Maukah kau menikmatinya maklum kehidupan desa!"

"Ah-hmm!" Peng Houw gelagapan, tersipu. “Tentu saja aku mau, kek. Tapi cepat benar menyajikannya. Aku, ah... kikuk sekali mendapat suguhan ini!"

“Ha-ha, makanlah. Setelah itu kita omong-omong...!" dan menyambar seekor ikan bakar kakek ini menggigit dan mengunyah. Peng Houw melihat gadis baju merah juga tertawa dan tanpa sungkan-sungkan lagi menyambar seekor yang lain, menggigit dan mengunyah. Dan ketika air liurnya hampir meluncur namun untung si kakek cepat menyodorkan ikan terakhir maka Peng Houw tertawa geli menggigit ikannya itu. Dua orang ini bersikap bebas dan tidak canggung-canggung.

“Wah, enak. Ini ikan kerpu. Hanya membakarnya agak gosong, Li Ceng. Kau rupanya tidak hati-hati dan terburu-buru!”

“Ih, kakek yang buru-buru tadi. Siapa minta begitu. Jangan salahkan aku karena kau tidak sabar!"

“Ha-ha, aku memanggil karena tamu kita ini berkeruyuk. Bau ikanmu keras sekali, sialan. Dan perutku tiba-tiba juga terasa lapar, ha-ha..!"

“Hm, pemuda ini tak dapat menahan lapar? Memangnya sudah seminggu tidak makan?”

“Ha-ha, bukan begitu, Li Ceng, melainkan karena ikan bakarmu itu. Baunya merangsang, sedap sekali. Dan akupun tak tahan sampai berkeruyuk pula. Ha-ha, kau selalu membuat kelaparan orang-orang yang mencium bau masakanmu. Eh, lihat tamu kita ini keseretan!”

Peng Houw terbatuk. Ikan itu terlalu gurih dan enak, bakarannya juga kering hingga tanpa sengaja durinya yang kecil termakan, nyangkut dan celaka sekali tinggal di tenggorokan. Dan karena kebetulan di situ belum ada minum maka pemuda ini keseretan dan mukanya menjadi merah padam karena segera terbatuk-batuk.

“Uh, air... ambil air!”

Pipa tembakau itu diletakkan di atas tikar. Peng Houw terbatuk dan tambah gugup karena mata bening si gadis tertawa. Ia merasa ditertawakan. Tapi ketika gadis itu mengambil air dan sekendi jernih berkericik di dalam gelas maka Peng Houw menyambar itu dan duri ikan segera lenyap, masuk ke dalam perutnya. Wajah merah padam.

"Hi-hik, tamu kita ini rupanya tak biasa ikan bakar. Mungkin sayur-sayuran melulu. Eh, maaf, Peng Houw. Tahu begitu tak kusuguhkan ini!"

“Tidak, terima kasih.... aku, ah... tenggorokanku tiba-tiba gatal...!”

“Hm, karena ikannya tak enak?"

“Bukan, tidak begitu... bukan! Hanya, ah... aku gugup. Barangkali boleh kudorong dengan nasi putih ini!" dan mengambil sekepal lalu mendorongnya bersama ikan bakar. Peng Houw merasa lebih enak dan tidak batuk-batuk lagi. Tadi dia beradu pandang dengan mata gadis itu dan perasaannya terguncang. Mata jeli indah itu mengejek! Ia tak marah dan justeru gugup. Dan karena kebetulan tak ada air minum pula, ia tersedak maka nasi itu menolongnya dan si kakek di sebelah tertawa terkekeh-kekeh.

“Ha-ha, ini baru lucu. Entah bagaimana kalau hwesio-hwesio Go-bi melihat ini. Untung kami tidak suka ang-sio-bak!"

Peng Houw terkejut. Disebutnya nama Go-bi seketika membuat dia tertegun. Kakek itu tertawa dengan muka geli. Tapi karena wajah itu tidak mencurigakan dan apa yang keluar adalah sesuatu yang wajar, biasa-biasa saja maka pemuda ini batuk-batuk dan bertanya, si kakek menyambar pipa cangklongnya lagi.

"Maaf, kek, kau menyebut-nyebut nama Go-bi. Apakah kau ada hubungan dengan para hwesio di sana? Dan, maaf.... siapakah kalian berdua ini sebenarnya?”

“Hm, makan dulu, habiskan. Aku akan makan sambil mengisap tembakau ku!” dan menyedot serta mengeluarkan asapnya tiga empat kali akhirnya kakek ini menggigit dan mengunyah lagi ikannya. Makanan itu memang belum habis dan Peng Houw berdebar.

Gadis baju merah itu sekali lagi meliriknya dengan pandang mengejek. Ia gelisah. Namun karena orang tampaknya baik-baik dan bukan orang jahat, ia tenang kembali maka iapun menikmati ikan bakar dengan nasi dingin. Ikan itu masih panas dan nikmat juga dibungkus nasi dingin. Si kakek juga menikmati sementara cucunya mulai acuh. Pandang keluar mulai sering dilemparkan. Namun ketika akhirnya ikan itu selesai dimakan dan kakek ini mengetukkan sisa apinya maka pipa itu disimpan dan gadis itu disuruh membawa sisa nasi ke belakang.

"Hm, kau berikan ini pada ternak kita di belakang. Biar aku bicara sebentar dengan Peng-siauwhiap ini."

Peng Houw berdesir. Sekarang orang menyebutnya Peng-siauwhiap (pendekar muda Peng), sebutan yang amat tinggi dan amat menghormat, apalagi diucapkan oleh seorang tua yang jelas bukan sembarangan ini. Dan ketika gadis itu menyingkir dan si kakek menarik napas dua kali maka kakek itu berkata, tidak tedeng aling-aling lagi.

"Peng-siauwhiap, aku tahu bahwa kau adalah anak murid Go-bi. Siapa di dunia ini yang bernama Peng Houw dan memiliki keberanian dan tenaga sebesar itu kalau bukan kau. Hm, tak perlu pura-pura lagi, anak muda. Aku Lui-cu Lo San adik seperguruan Kun-lun Lojin. Aku orang Kun-lun, tapi bukan dari golongan pertapa. Dan karena aku bebas merantau, tak terikat oleh perguruan maka aku jarang dikenal orang ramai karena sepak terjangku memang sering sembunyi-sembunyi. Sudah lama aku hidup di sini, sejak cucuku Li Ceng masih orok merah. Tapi karena suhengku tewas oleh pukulan Chi Koan maka aku keluar dan terpaksa mencari anak itu!”

Peng Houw terkejut, membelalakkan mata. "Locianpwe... locianpwe sute dari Kun-lun Lojin? Locianpwe adalah Mutiara Geledek yang menghilang tiga puluh tahun itu?”

“Hm, aku orang tua menghilang karena tak suka keributan dunia kang-ouw, Peng-siauwhiap, apalagi karena aku juga ada ketidak-cocokan dengan beberapa tokoh-tokoh Kun-lun!”

"Ah, locianpwe jangan memanggil aku Peng-siauwhiap," Peng Houw rikuh. "Panggil saja namaku seperti biasa dan baru aku tahu bahwa locianpwe lah kiranya yang dibicarakan Kun-lun Lojin. Locianpwe disangka sudah tewas!”

"Hm," kekek itu tersenyum, Peng Houw merobah sebutannya pula. "Aku memang tak pernah ke Kun-lun lagi, Peng Houw. Tapi kebetulan setelah kau pergi aku datang. Dan kulihat bahwa suheng menderita oleh pukulan Chi Koan!"

"Locianpwe datang ke sana?”

"Ya, setelah kau pergi. Tapi itupun tak ada murid Kun-lun yang tahu. Hanya suheng!"

“Hm, Chi Koan memang keji. Dan aku sudah menduga bahwa Kun-lun Lojin tak kuat menerima pukulannya.”

“Ya, benar, tapi tak seketika itu ia tewas. Suhengku orang kuat tapi ia melarang aku memberi tahu para murid bahwa tewasnya oleh pukulan Chi Koan. Ia tak mau murid-murid Kun-lun menaruh dendam!"

Peng Houw mengangguk-angguk. Ia sudah tahu akan watak dan jiwa besar sesepuh Kun-lun itu. Sejak Bu-tek-cin-keng diperebutkan dan orang ramai menyerbu Go-bi disusul oleh peristiwa-peristiwa menggegerkan mendiang Kun-lun Lojin tak pernah mau ikut campur. Bahkan ketika dulu mendiang Siang Kek dan Siang Lam Cinjin mengajaknya menyerbu Go-bi kakek itu juga menolak.

Ia tak mau berurusan dengan persoalan-persoalan itu dan mandah saja dianggap penakut oleh dedengkot Heng-san yang berangasan itu. Kakek ini memang penyabar, jauh dari nafsu dendam. Maka kalau ia merahasiakan penyebab kematiannya dan itu tidak aneh maka Peng Houw mengangguk-angguk dan menarik napas dalam.

“Tapi locianpwe sendiri hendak membalas dendam. Apa kata kakek itu kalau tahu?” katanya.

"Hm, aku tak mencari pembunuh suhengku semata keinginan balas dendam, Peng Houw. Aku mencari karena dua sebab. Pertama karena Chi Koan berbahaya dan kedua karena suhengku adalah orang yang pernah memberikan banyak kebaikan kepadaku. Aku tidak mendendam, tapi anak seperti itu harus ditentang dan dicari, seperti kau pula!"

“Hm, locianpwe benar, memang benar. Dan justeru karena mencari anak itulah aku sampai terdampar ke sini. Maaf bagaimana locianpwe secara kebetulan dapat menolong aku?"

"Kami berdua sudah tahu akan bahayanya banjir ini. Kami pergi ke hulu, menolong dan menyelamatkan anak-anak dan wanita serta orang-orang lain yang hanyut. Dan ketika kami selesai dan hendak kembali maka kami lihat dirimu di batu hitam itu dan tentu saja menolong.”

“Terima kasih, locianpwe telah menyelamatkan diriku.”

“Ah, bantuan kami tak ada harganya, Peng Houw. Tanpa kamipun kau pasti selamat. Kau hanya tinggal menunggu air surut dan menyeberang!"

“Tapi aku bisa mati kedinginan. Dua belas jam aku timbul tenggelam!"

“Hm, tak perlu merendah. Dengan sinkangmu Hok-te Sin-kang kau dapat melawan semuanya itu. Sudahlah, bantuan kami jangan disebut-sebut karena tak ada harganya!"

Peng Houw tersenyum. "Dan locianpwe dapat mengenal aku. Dari mana?"

Kakek itu tertawa. "Dari mana lagi kalau bukan namamu itu, Peng Houw. Empat bulan ini namamu menonjol dan disebut-sebut banyak orang. Dan mendiang suhengku juga penuh kagum memuji-mujimu. Siapa lagi Peng Houw di dunia ini yang mampu menahan tenaga cucuku sewaktu hendak menggulingkan perahu. Tanpa sinkang dan kepandaian tinggi tak mungkin kau dapat mengimbangi perahu, karena kau tak pernah mendayung!”

Peng Houw tersenyum. Bicara tentang ini membuat ia teringat akan Li Ceng. Gadis baju merah itu memang hebat dan tanpa sinkang dan kepandaiannya yang tinggi memang tak mungkin baginya mempertahankan perahu. Gadis itu mengujinya. Perahu dapat terbalik dan tenggelam kalau ia tak hati-hati. Dan karena gadis itu orang perahu dan tak takut akan air, lain dengan dirinya yang tak pandai berenang dan karena itu hanyut dibawa arus sungai yang mengamuk maka dia mengangguk-angguk dan menarik napas geli.

“Locianpwe benar, tapi betapapun aku tetap berterima kasih. Dan sekarang, apa yang hendak loeianpwe lakukan? Apakah locianpwe akan meninggalkan tempat ini dan mencari Chi Koan?”

"Tiga bulan ini aku sudah mencarinya, Peng Houw. Dan aku sudah menemukan jejaknya. Dan hari ini rencanaku memang berangkat setelah sebelumnya pulang dan membawa perbekalan!"

“Hm, di mana pemuda itu?" Peng Houw bersinar-sinar. “Sudah empat bulan ini aku mencari tapi tak menemukannya!"

“Dia bersembunyi di pesanggrahan Hek-see-hwa. Anak itu menekan We-taijin yang dulu kenalan Kwi-bo!”

“Hek-see-hwa? Pesanggrahan apa ini?"

“Hm, pesanggrahan kotor, Peng Houw. Milik pembesar kota yang dipakai untuk tempat begituan!"

"Begituan? Begitu bagaimana?" Peng Houw tak mengerti, mengerutkan kening. Tapi ketika si kakek batuk-batuk dan menoleh kiri kanan maka Peng Houw menjadi merah padam ketika kakek itu menerangkan, cucunya tak ada.

"Pesanggrahan itu tempat pelacuran terselubung, tempat berkumpulnya para pelacur tingkat tinggi. Dan karena pemiliknya seorang pejabat berpengaruh maka tak ada yang berani cuap-cuap!"

"Hm-hm, begitu kiranya. Chi Koan memang kotor! Maaf, aku sekarang mengerti, locianpwe. Tapi di mana pesanggrahan Hek-see-hwa itu?”

"Kau ikut aku saja, bagaimana?”

"Hm, kenapa mesti begitu? Tapi, ah baiklah. Kau penemunya, locianpwe. Biarlah kau di depan dan aku pengikutnya.”

Kakek itu mengangguk. Pembicaraan sudah selesai dan Peng Houw berdebar girang. Sekaranglah dia akan bertemu Chi Koan! Dan ketika kakek itu masuk ke dalam mempersiapkan buntalannya, perjalanan rupanya cukup jauh maka Li Ceng, gadis baju merah itu muncul. Pedang di punggung tampak gagah mencuat, roncenya merah dan ikat pinggangnya hitam.

"Hm, cantik sekali, Peng Houw memuji, terlepas begitu saja. "Kau cantik dan gagah, Li Ceng. Dan pantas sebagai cucu Lui-cu-locianpwe!”

“Cih, kapan kau belajar merayu? Apakah kau juga seperti Chi Koan?"

Peng Houw semburat. Ia tiba-tiba sadar bahwa tak biasanya ia memuji wanita. Entah kenapa tiba-tiba sekarang ia terlepas begitu saja, memuji dan kagum kepada cucu si Mutiara Geledek ini. Dan ketika kakek itu keluar dan tersenyum padanya, entah dengar atau tidak maka Peng Houw melihat gadis itu berkelebat keluar berseru,

"Kong-kong, ayo kita mulai. Sudah gatal tanganku untuk menemukan jahanam busuk itu!"

Kakek ini mengangguk. Sang cucu sudah lenyap di luar dan tiba-tiba Mutiara Geledek inipun bergerak. Sekali berkelebat iapun menghilang di luar, gerakannya jauh lebih cepat dibanding Li Ceng. Dan ketika Peng Houw kagum karena baru kali itu kakek itu memperlihatkan ilmunya, sekarang tak perlu mereka berpura-pura lagi maka iapun berkelebat dan mengejar, melihat si kakek sudah lenyap memasuki perahu sementara Li Ceng melepas tambatannya.

“Hm, rupanya melewati jalan air,” Peng Houw berpikir. “Entah di mana Hek-see-hwa itu tapi biarlah kuturuti kakek ini." Dan Peng Houw yang sudah berkelebat dan memasuki perahu pula melihat kakek itu duduk di dalam karena perahu sekarang sudah beratap, tidak terbuka seperti tadi.

“Ha-ha, gerakanmu sepersekian detik mengejar gerakanku, Peng Houw. Lihai sekali dan cocok kau sebagai murid Ji Leng lo-suhu!"

"Ah, locianpwe pun mengagumkan. Baru saja meninggalkan rumah tahu-tahu sudah ada di sini.”

"Ha-ha, duduklah. Li Ceng akan mengemudikan perahu dan kali ini kau tak perlu membantu!”

Peng Houw duduk, berhadapan dengan kakek itu. Dan ketika benar saja perahu bergerak dan berputar, Li Ceng sudah memukulkan dayungnya maka perahu itu meluncur dan membelah permukaan sungai. Kakek itu berseri-seri dan secawan arak di atas meja disambar. Peng Houw mengira kakek itu akan menggelogok isinya, tersenyum. Tapi ketika kakek itu melemparkannya kepadanya dan berseru agar ia menangkap arak, tentu saja terkejut maka ia menangkap tapi cawan mendorong tubuhnya hampir terjengkang. Kiranya kakek ini menguji tenaga saktinya!

“Ha-ha, awas, Peng Houw. Kita perlu melakukan pemanasan. Terimalah dan tangkap arak ini!"

Peng Houw menangkap dan tentu saja mengerahkan sinkangnya. Secepat kilat ia sadar dan berseru keras, cawan tergetar dan hampir saja tumpah isinya. Untung, berkat kesigapannya ia membuat arak membeku lagi, tak sampai muncrat dan kakek itu tertawa bergelak minta agar arak dilempar kembali. Dan ketika Peng Houw memberikan arak itu dan tentu saja melontar dengan sinkang, maklum bahwa kakek ini kiranya hendak mengukur kepandaian.

Maka Mutiara Geledek sute dari Kun-lun Lojin ini terdorong sedikit, tertawa bergelak dan melempar lagi cawan arak kepada Peng Houw. Tiga empat kali ia melakukan itu. Tapi ketika Peng Houw sudah mulai dapat menahan lemparannya sementara dia selalu tergetar dan arak memuncrat maka kagumlah kakek itu bahwa sinkang yang dimiliki Peng Houw jauh lebih kuat.

"Ha-ha, luar biasa. Baru pertama ini kujumpai dalam hidup. Wah, sinkangmu setingkat di atasku, Peng Houw. Benar kata suhengku bahwa tenaga saktimu hebat sekali. Ini seperti Ji Leng Hwesio sendiri!”

"Hm, locianpwe terlalu memuji. Sinkangmu pun kuat sekali, locianpwe. Aku merasa telapak tanganku pedas!”

“Tapi aku tergetar dan malah terdorong. Ha-ha, kau tak perlu merendah, Peng Houw. Sekarang aku benar-benar percaya bahwa kau memiliki kesaktian tinggi. Agaknya kau sudah setingkat gurumu. Hok-te Sin-kang yang kau miliki itu luar biasa sekali!”

Peng Houw tersenyum. Akhirnya si kakek tertawa-tawa dan lempar-melempar itu berhenti. Cawan itu retak dan pecah. Bagaimana tak akan pecah kalau digencet dua tenaga sakti yang ganti-berganti mendesak. Dan ketika kakek itu menggelogok isinya dan arak benar-benar diminum, kali ini kakek itu menenggak sampai habis maka di luar saja Li Ceng merasa kagum karena diam-diam iapun menonton adu kepandaian itu. Tapi begitu kerling matanya beradu dengan Peng Houw cepat-cepat ia melengos!

Perahu meluncur dan mengikuti aliran sungai ke timur. Peng Houw tak tahu di mana itu pesanggrahan Hek-see-hwa. Tapi ketika perjalanan memakan waktu sehari dan mereka tiba di sebuah pegunungan sunyi maka perahu menepi dan gadis baju merah meloncat turun. Si kakek meloncat dan keluar pula dari perahunya. Alam pegunungan segar menyambut mereka. Peng Houw tak tahu di mana ia berada. Tapi begitu si kakek memberi tanda dan ia berkelebat maka kakek itu menuding.

“Di sana Hek-see-hwa itu. Ini pegunungan Cheng-san. Di sini kita berpisah dan kau naiklah dari arah barat!"

"Ah, dan locianpwe?"

"Aku dan Li Ceng mendaki arah timur, Peng Houw. Di puncak kita nanti bertemu. Hati-hati, jangan gegabah mencium bunga See-hwa karena ia beracun!"

Peng Houw tak dapat bertanya lagi karena si kakek menghilang. Perahu disembunyikan di gerumbul dan sekilas Li Ceng melempar pandang. Sudut matanya memberi tahu Peng Houw agar hati-hati. Perasaan Peng Houw tiba-tiba berdebar. Namun karena ia sudah di tempat tujuan dan di sinilah katanya Chi Koan berada, ia harus menangkap pemuda itu maka ia berkelebat dan mengikuti saja petunjuk kakek itu.

Ia bergerak ke arah barat sementara si kakek dari arah timur. Masing-masing akan mendaki puncak dan mereka bakal bertemu lagi. Dan begitu ia bergerak dan melepas senyum pada Li Ceng, gadis itu semburat dan membuang muka maka Peng Houw menghilang di jalanan berbatu dan tiga orang itu telah menyiapkan rencana.

Hek-see-hwa (Kembang Pasir Hitam) adalah julukan bagi sebuah pesanggrahan di puncak gunung Cheng-san ini. Gunung yang hijau subur itu memang patut mendapat nama Cheng (Hijau). Alamnya hijau segar dan dari bawah ke atas orang akan banyak menemukan kembang-kembang harum yang sedang mekar. Ada botan dan seruni. Ada anggrek dan beratus ragam kembang-kembang segar warna-warni.

Semuanya harum tapi yang paling harum adalah sekuntum kembang hitam yang mangkok daunnya bulat seperti piring. Di bawah mangkok daun ini terdapat serbuk hitam kecoklatan yang mengundang selera untuk dicium. Begitu elok dan indah bunga serta mangkok daun ini. Orang tak akan menyangka bahwa mencium bunga itu berarti maut. Serbuk hitamnya yang berbahaya itu seperti bius. Sekali sedot cukup membuat orang kehilangan akal sehatnya dan pingsan.

Kalau ia terjatuh di bawah mangkok daun itu maka selanjutnya petaka. Serbuk itu akan berjatuhan dan mautlah imbalannya. Kembang ini memang membius dan tak ada hewan atau serangga yang berani mendekat. Tawon-tawon madu, yang biasanya suka sekali menghisap bau-bau harum seolah tahu bunga yang satu ini. Harumnya yang memikat tak sedikitpun membuat kumbang-kumbang jantan berdatangan.

Naluri mereka telah tahu bahwa kembang atau bunga Hek-see-hwa amatlah berbahaya. Serbuk hitam coklat seperti pasir itulah intinya. Maka ketika Peng Houw mencium bau bunga luar biasa ini dan rangsang otaknya menjadi tajam, bau harum itu bercampur seperti bau arak yang lezat, keras dan memabokkan maka ia teringat pesan Lui-cu kakek tua itu.

Sebenarnya, ia belum tahu rupa dan bentuk bunga Hek-see-hwa ini. Namun karena sudah mendapat peringatan dan bunga itu juga mudah dikenal, serbuk hitamnya yang seperti pasir itu mengkilat kecoklat-coklatan maka ia waspada dan seekor ular tiba-tiba mematuk kakinya, pada saat ia lengah dan mengamati bunga itu.

Namun Peng Houw mengangkat kakinya. Ia terkejut tapi gerak refleks seorang ahli silat bekerja. Ular dikelit dan otomatis ditendang. Dan ketika ular itu menggeliat jatuh di atas bunga Hek-see-hwa, mendesis dan rupanya ketakutan mendadak ular itu melingkar dan roboh. Pingsan! Peng Houw segera melihat serbuk-serbuk pasir berjatuhan menimpa ular itu dan bau harum pun semakin menyengat.

Demikian tajam hingga tiba-tiba kepalanya terasa pusing! Namun ketika Peng Houw cepat menahan napas dan mundur menjauh maka ia melihat ular itu tak bergerak-gerak lagi alias mati. Sekujur tubuhnya kebiru-biruan seperti kebanyakan bius!

"Hm, berbahaya... benar-benar berbahaya!" Peng Houw memutar tubuh dan tidak di situ lagi. Ia tadi berhenti karena melihat sekuntum bunga yang aneh. Lalu karena ia diserang ular dan ular itu ditendangnya menimpa Hek-see- hwa, roboh dan akhirnya mati tahulah dia bahwa bunga itu benar-benar beracun. Entah racun apa!

Peng Houw waspada dan melanjutkan perjalanannya lagi. Dari bawah tak tampak tanda-tanda adanya sebuah pesanggrahan. Tak ada rumah atau tembok putih terlihat, mungkin karena terhalang lebatnya dedaunan dan pohon-pohon besar. Tapi ketika ia bergerak dan terus naik ke atas, sebuah bangunan hitam tampak samar-samar maka jeritan seseorang menahan langkahnya.

"Tidak..., jangan! Ooh, jangan, Bhe-twako... jangan! Jangan lempar aku ke sana...!”

"Ha-ha, kau mencoreng muka We-taijin. Kau membuat malu pesanggrahan. Kau harus menerima hukuman, Tu-lin. Tak ada ampun bagimu. Aku hanya menjalankan perintah!”

“Tapi jangan buang aku ke sana. Aku takut, aku... aduh!”

Peng Houw berkelebat dan melihat apa yang terjadi. Ternyata seorang laki-laki tinggi besar berkulit hitam mendorong-dorong seorang wanita cantik yang pakaiannya tak keruan. Wanita ini matang biru dan pipinya bengkak-bengkak. Tangisnya yang menyayat itu mengharukan benar. Dan ketika Peng Houw tiba di sana wanita itu terjatuh kesandung batu hitam. Di depannya segerombol bunga See-hwa siap menerkam!

“Tidak... jangan... jangan lempar aku ke situ! Oh, jangan, Bhe-twako... jangan...!”

“Ha-ha, tak ada ampun bagimu. Kau pembangkang. Ayo, masuk!”

Peng Houw tak dapat menahan diri. Ternyata di tempat ini akhirnya didapat juga manusia. Tapi karena yang ditemukan adalah kekejaman dan jerit tangis wanita, Peng Houw tak dapat menahan diri lagi maka ia bergerak dan wanita yang sudah siap didorong dan ditendang ke serumpun bunga See-hwa itu disambar dan laki-laki tinggi besar berseru kaget melihat betapa sebuah bayangan putih berkelebat dan tahu-tahu wanita korbannya lenyap.

“Heii...!”

Peng Houw membawa wanita itu di belakang si tinggi besar. Wanita ini terkejut dan seketika menghentikan tangis tapi tiba-tiba berseri dan gembira melihat tuan penolongnya. Seorang pemuda gagah tampan berada di situ, membebaskannya dari terkaman bunga beracun. Dan ketika ia mengeluh dan Bhe-twako membalik, tahu ada orang di situ maka ia melotot melihat Peng Houw memegang pundak si cantik.

“Cici tak usah takut. Apa yang terjadi? Ceritakan padaku dan siapa orang she Bhe ini?”

“Dia... dia tukang pukul We-taijin. Aku... aku ditangkap untuk disuruh melayani para hidung belang. Ooh, tolonglah aku, kongcu. Aku... aku dipaksa melayani seorang kakek tua bangka hartawan Ciok!”

Peng Houw mengerutkan alisnya. Tak dia sangka bahwa wanita cantik ini adalah seorang penghibur. Tadi dia mengira wanita itu sebagai gadis baik-baik dan dia merasa iba. Tapi karena wanita itu katanya dipaksa dan iapun ingat cerita si Mutiara Geledek maka ia membalik ketika mendengar bentakan si tukang pukul. Orang she Bhe itu rupanya marah dan tiba-tiba mencabut golok.

"Bocah tengik, siapa kau?"

Peng Houw menerima bacokan. Untuk ini tak perlu dia mengelak dan rasa gemas membuat dia menggerakkan dua jari. Golok diterima dan dijepit. Dan ketika Bhe-twako terpekik goloknya tak mampu dicabut, golok itu sudah terjepit di antara dua jari Peng Houw maka pemuda itu membentak dan kakipun bergerak menendang si tukang pukul. Melihat bahwa orang ini rendah sekali kepandaiannya.

"Pergilah kau!"

Bhe-twako menjerit. Ia terlempar dan terbanting di sekumpulan bunga Pasir Hitam itu. Peng Houw terkejut karena ia tak bermaksud mencelakakan laki-laki itu di situ. Tapi ketika berkelebat bayangan-bayangan orang dan jeritan atau teriakan Bhe-twako itu didengar para tukang pukul lain, jerit dí tempat sepi itu memang mudah terdengar di tempat jauh maka Peng Houw menyambar wanita cantik itu dan wanita inipun menggigil menubruk dirinya.

"Kongcu, ada orang...! Lari, cepat lari!”

Peng Houw berkelebat dan lenyap. Ia sudah melihat tujuh orang bergerak menuju tempat itu. Mereka berada di tengah taman indah dengan bunga warna-warni, itu rupanya halaman belakang pesanggrahan Hek-see-hwa. Dan ketika ia lenyap dan tujuh orang di sana berteriak melihat Bhe-twako, orang itu pingsan di bawah kembang Hek-see-hwa maka Peng Houw mencari tempat sembunyi dan apa boleh buat menunda urusannya di puncak. Ia harus menyelamatkan wanita ini.

"Belok ke kanan, jangan lewat tikungan itu. Eh, lompati pagar kawat itu, kongcu. Aihhhh... kau dapat terbang!”

Tu-lin, wanita ini berteriak ngeri melihat Peng Houw melayang tinggi di atas pagar kawat berduri itu. Peng Houw mengikuti petunjuk wanita ini untuk belok atau lurus, begitu pula ketika melewati pagar kawat berduri itu. Dan ketika ia turun dan selanjutnya wanita ini menuding sana-sini, rupanya wanita itu kenal baik keadaan di situ maka Peng Houw diminta berhenti setelah berada di hutan cemara. Daun cemara yang hijau dan gugur menguarkan keharuman khas yang sedap di hidung.

"Sudah, kita sampai. Selamat! Ah, terima kasih, kongcu. Kau telah menyelamatkan jiwaku. Kau.... hu-huuk!” wanita itu melorot dan langsung memeluk kaki Peng Houw. Si cantik ini tersedu-sedu.

Peng Houw tertegun. Ia diminta berhenti di situ padahal kaki gunung masih jauh. Seharusnya ia membawa wanita ini turun gunung dan menyuruhnya pergi. Atau mungkin mengantarnya sampai menemui sebuah dusun dan barulah ia akan kembali lagi ke situ, sendiri. Tapi karena ia gugup dan bingung berduaan seperti itu, si cantik mengguguk dan merangkul kakinya demikian erat maka Peng Houw tak tahu harus berbuat apa kecuali bengong seperti patung, menunduk tapi tiba-tiba membuang muka karena baju di bagian dada wanita itu terkuak memperlihatkan sepasang bukit indah membusung dan padat. Putih halus!

"Kongcu, aku ingin kau menolong teman-temanku yang lain juga, saudara-saudaraku. Ada tujuh di antara mereka yang juga dipaksa dan berontak. Kau tolonglah mereka dan jangan biarkan mereka dianiaya tukang-tukang pukul We-taijin!"

“Hm, berdirilah, bangkitlah! Sebenarnya aku tak sengaja menolongmu, cici. Aku.... aku datang secara kebetulan saja. Aku ada urusan pribadi!”

"Ah, kongcu tak mau menolong kami wanita-wanita malang ini? Kongcu tega membiarkan kawan-kawanku dipermainkan dan dihina kakek-kakek buruk rupa? Ah, tolonglah, kongcu. Bebaskan teman-temanku seperti kau membebaskan aku sekarang ini. Aku rela membalas semuanya ini dengan jiwa ragaku!"

Peng Houw tergetar. Si cantik itu tiba-tiba bersikap demikian gagah dan berani, tegak menantang hingga baju depannya terkuak lebih lebar lagi. Tentu saja sepasang bolanya itu kian padat dan membusung! Tapi ketika Peng Houw berdesir dan melengos membuang muka, si cantik rupanya sadar maka buru-buru wanita ini menutupi itu dengan kedua tangan. Mukanya merah padam, bibir yang mungil basah itu mendesah.

"Ooh, keparat. Bhe-twako itu... ah, ia merobek bajuku. Ia laki-laki kurang ajar tak tahu malu. Maaf... maaf, kongcu. Aku... aku tak punya baju lagi. Semuanya tertinggal di sana!”

"Kau pakai saja bajuku ini,” Peng Houw melepas baju luarnya, tinggal baju dalam. "Kau tak bersalah, cici. Hanya.... hanya bagaimana dengan permintaanmu tadi. Aku... aku ditunggu teman yang lain!”

"Ah, kongcu tak sendirian di sini?"

"Benar, tapi sudahlah. Tunjukkan padaku di mana teman-temanmu itu dan biar kutolong mereka sekalian!"

“Aduh, terima kasih!” dan si cantik yang menubruk dan menangis di dada Peng Houw lagi-lagi membuat jantung pemuda ini berdesir karena begitu saja ia ditubruk dan dipeluk.

Wanita ini seolah begitu spontan menyatakan kegembiraan hati. Peng Houw mau mendorong tapi tak tega. Dibiarkannya sejenak si cantik itu melepas sedu-sedan. Ia terguncang ketika merasa betapa dada yang lembut kenyal menekan dadanya sendiri. Kalau bukan karena menolong tak mungkin ia mau begitu. Baru kali itu ia didekap dan ditangisi wanita! Tapi ketika dirasanya cukup dan Peng Houw tak merasa betapa mukanya merah padam maka ia mendorong halus dan berkata,

"Sudahlah, jangan kau menangis lagi. Cukup. Sekarang tunjukkan padaku di mana teman-temanmu itu dan biar kuselamatkan mereka!"

"Kongcu... kongcu mau sendiri?"

"Hm," Peng Houw tergetar oleh mata bening basah itu, mata yang berkejap-kejap. Mata yang indah namun mulai berani dan menantang! “Maksudmu aku tak boleh sendiri? Kau mau ikut?”

“Tentu saja. Di sana berbahaya, kongcu. Ada banyak jebakan! Teman-temanku tak dapat keluar karena takut jebakan ini. Aku dapat menunjuk jalan. Tapi, eh... siapa namamu dulu. Masa aku tak tahu nama tuan penolongku!"

“Hm, aku Peng Houw. Tapi nama tak jadi soal."

"Peng Houw?” mata itu terbelalak. “Jadi, eh.... jadi kau ini yang ditakuti Chi-siauwhiap? Kau.... kau murid Go-bi itu?”

Peng Houw balik terkejut. Si cantik membelalakkan mata lebar-lebar dan tiba-tiba mengeluarkan seruan gembira. Dan belum ia hilang kagetnya mendadak wanita itu menubruknya lagi dan menciumi mukanya!

“Aduh, cocok kalau begitu! Kaulah dewa penolong kami. Aduh, sudah lama kami tunggu-tunggu kedatanganmu, Peng-siauwhiap. Kalau begitu kaulah orangnya yang bakal membebaskan kami dari tekanan pemuda itu. Chi Koan menindas dan sewenang-wenang kepada kami. Ia memakai kami seperti anjing saja dan kau balaslah sakit hati kami!"

Peng Houw terkejut. Si cantik berjingkrak dan meluapkan kegembiraan dengan menari-nari. Mukanyapun diciumi. Dan karena ia tertegun dan heran serta kaget mendengar Chi Koan disebut-sebut, agaknya si cantik ini mengenal baik pemuda itu maka baru ia mendorong dan melepaskan diri setelah tiga kecupan mendarat di pipinya. Bibir basah dan bergincu itu melekat di pipinya bagai lukisan gendewa dipentang!

“Stop, mundur. Lepaskan aku! Eh, apa kau bilang, cici? Apa yang kau lakukan ini? Bagaimana kau tahu tentang Chi Koan?”

"Maaf," wajah itu menunduk namun kerling matanya menyambar berani, merah tersipu. "Aku... aku gembira meluapkan perasaan, siauwhiap. Kalau begitu kaulah orangnya yang ditakuti lawanmu itu. Bukankah kau mencari-cari Chi Koan seperti dia dulu mencari-cari musuhnya?"

"Benar, kau... dari mana kau tahu? Seberapa banyak kau tahu?”

“Ih, siauwhiap mau dengar ceritaku?”

Peng Houw tertegun. Ia melihat wanita itu tersenyum dan tak sadar bahwa bekas kecupan masih ada di pipinya. Kalau Li Ceng melihat ini tentu gadis itu meludah! Dan ketika sepasang mata itu kembali membuatnya tergetar dan Peng Houw bingung, ia berdebar tapi juga tertarik bahwa Chi Koan ada di situ maka ia tersentak ketika tiba-tiba tangan yang lembut itu memegang lengannya.

“Mari kita bicara sebentar kalau siauhiap ingin mendengar. Aku... aku dapat bercerita banyak kalau siauw-hiap mau."

"Hm,” Peng Houw melepaskan tangannya, jari-jari lembut itu bahkan membuat tubuhnya panas dingin. Waktuku tak banyak, cici. Tapi boleh juga kau bicara tentang Chi Koan. Memang kedatanganku hendak menangkap pemuda itu!"

“Aku tahu, dan semua orang di Hek-see-hwa ini juga tahu. Maaf, jangan sebut aku cici, Peng-siauwhiap. Usiaku barangkali sama denganmu. Panggil saja namaku, Tu-lin....”

Peng Houw semburat. Ia melihat wanita ini mulai berani dan nakal, memegang lengannya lagi tapi ia mengelak. Dan ketika ia duduk dan minta wanita itu bercerita, Tu-lin terisak maka sejenak wanita ini bahkan membisu! “Hm, berceritalah, Tu-lin. Ceritakan tentang pemuda itu dan biar aku dengar!”

“Siauw-hiap... siauw-hiap tak kasihan padaku... siauw-hiap bersikap kasar!"

“Hm, maaf. Aku sedang terburu-buru. Aku ditunggu temanku. Berceritalah dan langsung saja tentang Chi Koan, Tu-lin. Aku tak dapat berlama-lama apalagi kalau harus menolong teman-temanmu!"

Wanita itu mengangkat muka. Air matanya basah mengalir namun tiba-tiba ia mengeraskan dagu. Mata yang indah bening itu berapi, bukan kepada yang lain melainkan justeru kepada Peng Houw! Namun karena Peng Houw mengira ini ditujukan kepada tukang pukul We-taijin, ia mengerutkan kening dan bibir basah itu mendesis maka Peng Houw tak tahu bahwa sebenarnya ia sedang ditipu.

"Aku... aku dan kawan-kawanku sebenarnya dibawah cengkeraman Chi Koan. We-taijin hanyalah orang kedua setelah pemuda itu. Dan karena ialah yang berkuasa di tempat ini, siapapun harus tunduk dan taat kepadanya maka kami para wanita malang harus menjadi permainan dan nafsunya....”

"Ceritakan kepadaku di mana pemuda itu sekarang. Maksudku ada di bagian mana dia!" Peng Houw memotong, tak ingin mendengar yang lain.

“Dia... dia di pusat pesanggrahan, siauw-hiap. Tapi sering berada di kebun dan Ruang Anggrek. Tujuh gurunya juga ada di situ!"

Peng Houw tak terkejut. Dia sudah menduga bahwa di mana ada Chi Koan di situ pasti ada pula Tujuh Siluman Langit. Dia mulai menaruh kepercayaan kepada wanita ini karena Tu-lin dapat berbicara lancar. Bahwa wanita itu dapat menyebut tujuh guru Chi Koan sudah dapat dipercaya bahwa keterangannya betul. Maka ketika dia mendesak tapi wanita itu terisak, berhenti lagi maka dia tertegun.

“Hm, ceritakan kepadaku lagi, Tu-lin. Aku tak ada banyak waktu karena temanku menunggu di lain tempat!"

“Siauw-hiap tak bertanya bagaimana asal mulanya aku di sini? Siauw-hiap tak menaruh minat kepada nasibku yang buruk?”

Peng Houw terkejut.

“Oohh..!" wanita itu menangis, tersedu-sedu. "Kau selalu bertanya tentang Chi Koan dan urusanmu sendiri, Siauw-hiap. Kau agaknya jijik dan memandang rendah aku. Aku... aku memang pelacur. Tapi aku melacur karena dipaksa! Aku.... aku ada di sini karena dibawa dan dipaksa tukang-tukang pukul We-taijin itu. Aku mula-mula diberikan pemuda itu untuk akhirnya dibuang kepada kakek-kakek jahat itu. Aku, ooh.... aku sebenarnya gadis baik-baik!” dan wanita ini yang mengguguk dan rupanya terpukul tak diperhatikan Peng Houw akhirnya membuat pemuda itu sadar dan menindas ketidaksabarannya sendiri.

Wanita itu rupanya minta diperhatikan dan ditanya bagaimana bisa begitu. Dia dianggap terlalu banyak mengurusi keperluannya sendiri. Dan karena Peng Houw menganggap wanita itu dapat memberikan banyak keterangan, ia adalah penghuni Hek- see-hwa maka Peng Houw menekan ketergesaannya dengan pertanyaan lembut, menarik napas dalam-dalam. “Baiklah, kalau begitu kudengar nasibmu dahulu, Tu-lin. Ceritakan kepadaku bagaimana kau sampai ada di sini."

Aneh, wanita itu tersenyum. Senyumnya yang manis mengembang di bibir dan muka itupun diangkat naik. Peng Houw harus mengakui bahwa wanita ini memang cantik. Wajahnya halus kemerahan dan bibir serta bola mata itupun indah dipandang. Sepasang matanya bening berseri meskipun di balik itu diam-diam ada perasaan tidak suka di hati Peng Houw. Entahlah, dia menangkap semacam kegenitan dan keberanian liar di situ. Perasaannya yang murni memberitahukan itu.

Namun karena wanita ini baru saja mendapat perlakuan sewenang-wenang dan Peng Houw yang lugu juga tak banyak pengalaman akan tipu daya, hanya perasaannya memberitahukan kurang suka kepada wanita ini, mungkin karena menubruk dan menciumi mukanya tadi maka Peng Houw sering memandang ke arah lain kalau wanita itu bercerita sambil tersenyum dengan sesekali pura-pura sedih menceritakan keadaannya.

"Aku dari kota Ci-yang, berasal dari keluarga kaya. Tapi ketika orang tuaku terlibat hutang dengan We-taijin dan tak bisa membayar maka aku diberikan sebagai pelunas hutang. Selanjutnya.... ada pemuda bernama Chi Koan itu di sana. We-taijin tampak takut. Dan entah bagaimana tiba-tiba tujuh temanku yang lain juga ada di sana dan berikutnya kami harus melayani kakek-kakek hartawan dan pejabat-pejabat dari luar kota."

“Hm. nasibmu sungguh buruk. Tapi aku akan menolongmu, Tu-lin, dan juga tujuh temanmu itu."

"Aku percaya! Dan namamu sering disebut-sebut pemuda itu, siauw-hiap. Tapi coba kau bebaskanlah dahulu tujuh temanku itu. Aku dapat membawamu ke sana karena mereka disekap di kamar belakang, tak jauh dari Ruang Anggrek itu!"

"Hm," Peng Houw berpikir, “Apakah tak terlalu berbahaya? Kalau kau dapat memberikan petanya kupikir aku dapat ke sana sendiri, Tu- lin, tak perlu bersamamu....”

“Tidak, jangan. Kau tak tahu jebakan-jebakan di situ. Ada lubang dan sumur dalam, juga ranjau yang penuh bunga-bunga Hek-see- hwa!”

Peng Houw menarik napas dalam. Kalau saja gadis ini kelihatannya tidak begitu mengenal medan agaknya enggan dia mengajak. Tapi wanita ini rupanya mengenal medan, seluk- beluk dan segalanya rupanya diketahui. Maka mengangguk dan merasa cukup diapun bangkit berdiri dan berkata, “Baiklah, sekarang juga kita berangkat, Tu-lin. Mari kupondong biar cepat!"

Wanita itu berseri. Peng Houw agak semburat namun tanpa sungkan-sungkan wanita itu bangkit, mengangguk. Peng Houw sudah menyambarnya dan duduklah wanita itu di pundak. Dan ketika Tu-lin terkekeh dan Peng Houw merasa agak ganjil, tawa wanita itu aneh sekali maka si cantik berseru ingin merasakan nikmatnya “terbang" lagi.

“Peng-siauwhiap, kau bergeraklah seperti tadi. Ih, pingin aku merasa dibawa terbang. Nikmat benar!"

“Hm, tunjukkan padaku di mana teman-temanmu berada itu. Kita harus bergerak cepat atau nanti temanku di sana marah!”

“Baik, di sebelah kiri taman belakang. Kita kembali ke tempat tadi tapi hati-hati dan dengar aba-abaku.... wut!"

Peng Houw sudah berkelebat, tak menunggu lagi wanita itu berkata karena tempat yang ditunjuk sudah diingat. Tempat itu adalah tempat di mana ia menolong wanita ini dari kekejaman Bhe-twako. Dan begitu Peng Houw melayang dan terbang memasuki kawat berduri lagi maka wanita itu terkekeh dan aneh sekali bersorak-sorak.

“Ihh, luar biasa. Nikmat benar. Hi-hik, enak sekali, Peng-siauwhiap. Nikmat sekali. Aduh, mau rasanya aku terbang sekali lagi!"

"Diam, jangan ribut!” Peng Houw membentak, agak merah. “Tempat ini tempat musuh, Tu-lin. Jangan mengeluarkan suara atau nanti semua keluar!"

Wanita itu meleletkan lidah. Peng Houw tak tahu betapa sesuatu dicabut dari saku baju dalam, tak jadi dan dimasukkan lagi dan itulah sekantung serbuk bunga beracun! Peng Houw menaruh kepercayaan begitu besar dan menganggap wanita ini adalah gadis lemah tak berdaya, sama sekali tak tahu bahwa itulah satu di antara belasan wanita cantik pembantu Chi Koan. Tempat itu memang rumah iburan namun sejak Chi Koan di sini maka semua wanita penghibur diajari silat. Dalam waktu beberapa bulan ini pemuda itu telah merobah keadaan.

Hek-see-hwa sesungguhnya tempat gemblengan bagi pelacur-pelacur tingkat tinggi untuk melindungi Chi Koan. Tempat itu semacam perguruan terselubung dengan Kwi- bo sebagai tangan kanannya. Tu-lin adalah satu di antara pelacur tingkat tinggi yang dipersiapkan Chi Koan untuk menghadapi Peng Houw! Maka ketika Peng Houw memondong wanita itu dan betapa mudahnya wanita ini merobohkan Peng Houw, sekantung serbuk Hek-see-hwa siap ditaburkan maka Peng Houw tak tahu betapa bahaya besar hampir mencelakakannya.

Tu-lin hampir saja mengebutkan sekantung serbuk beracun itu namun wanita ini maju mundur. Peringatan Chi Koan bahwa Peng Houw adalah pemuda berbahaya yang berkepandaian tinggi membuat wanita itu maju mundur. Dia begitu girang didudukkan di atas pundak. Sekali dia mengebut tentu pemuda ini roboh. Namun karena dia juga tertarik kepada Peng Houw dan betapa pemuda itu rupanya benar-benar jejaka murni, tak tahu atau masih malu-malu berhadapan dengan wanita maka si cantik yang sebenarnya ular berbahaya ini merencanakan sesuatu yang juga berbahaya bagi pemuda itu, di samping pesan atau wewanti dari Chi Koan.

“Kalau aku dapat merobohkan dengan bantuan Si-yen dan kawan-kawan tentu tak perlu aku ragu melaksanakan tugas. Biarlah kutunggu sampai kami berdelapan menghadapi pemuda ini. Kalau aku gagal masih ada tujuh yang lain yang merobohkan pemuda ini.”

Kiranya Peng Houw telah diketahui kedatangannya. Pihak Hek-see-hwa sesungguhnya telah melihat bayangan tiga orang di bawah gunung dan Lui-cu serta cucunya dilaporkan ke atas. Peng Houw dan kakek Kun-lun itu tak tahu bahwa di atas gunung banyak dipasang mata-mata. Tak kurang dari dua ratus orang dipersiapkan di sini, menjaga atau mengawasi setiap sudut hingga sesungguhnya kedatangan Peng Houw dan dua temannya ini diketahui.

Namun karena semua dilaporkan ke atas dan tak ada gerakan menyambut, Chi Koan demikian berhati-hati menghadapi Peng Houw maka diatur siasat di mana Tu-lin pura-pura diseret dan dihajar Bhe-twako, matang biru dan jeritan wanita itu mengundang Peng Houw. Di tempat lain juga terjadi hal yang sama dan ketika Peng Houw menolong si cantik itu Li Ceng pun tak dapat menahan diri.

Gadis yang diajak kakeknya mendaki arah timur ini juga mendengar jerit dan tangis wanita. Sang kakek terlambat ketika mencegah cucunya keluar. Gadis itu berkelebat melihat seorang wanita diseret-seret. Pelakunya seorang laki-laki tinggi besar berhidung merah, kasar dan bengis dan dua kali pukulan mendera wanita itu. Dan ketika wanita ini mengeluh dan roboh terbanting, sebuah tendangan membuat dia mencelat maka Li Ceng muncul seperti iblis dan gadis yang marah melihat kaumnya dihajar ini langsung saja berkelebat dan tendangan kakinya membuat laki-laki itu terjengkang dan ganti berteriak.

“Aduh...!”

Gadis itu sudah bertolak pinggang dengan muka kemerahan. Matanya yang berapi menyambar ganas, si hidung merah terkejut dan melompat bangun, terhuyung dan jatuh lagi namun bangun berdiri lagi. Dan ketika ia melihat betapa seorang kakek menyertai gadis itu, kakek bermata tajam yang penuh wibawa maka tanpa berkata apa-apa lagi lelaki ini memutar tubuh dan lari pergi!

“Hm!" Mutiara Geledek Lo Sam tak membiarkan ini. Sebagai orang tua yang selalu berhati-hati tentu saja dia tak membiarkan orang pergi. Mereka memasuki tempat musuh dan membiarkan orang ini lari hanya akan melapor saja. Tak boleh hal itu dibiarkan terjadi. Maka ketika kakinya bergerak dan orang itu menjerit melihat kakek ini tahu-tahu di depan, menabrak namun sebuah telunjuk menotoknya roboh maka laki-laki itu terguling dan tak bergerak lagi. Pingsan.

“Kau sembrono, memperlihatkan diri! Kau tak bertanya dulu kepadaku, Li Ceng. Kalau begini kita bisa diketahui musuh!”

“Ah, siapa kuat melihat kejadian ini. Cici ini diseret dan dihajar lelaki, kong-kong. Siapa tahan dan mana dapat membiarkan ini. Tikus busuk itu harus dibunuh atau diberikan santapan harimau!"

“Maafkan aku, hu-huuk...” wanita itu berlutut dan mengiba diri. "Barangkali aku yang salah, orang tua, bukan cucumu ini. Aku... aku hendak melarikan diri ketika tertangkap dan kemudian disiksa. Aku tak tahan di tempat ini!"

"Siapa kau?” Lui-cu Lo Sam mengerutkan kening, tak suka melihat pupur dan gincu yang tebal. Matanya yang awas memberi tahu bahwa yang dihadapi bukan wanita baik-baik. Ini tentu satu di antara penghuni Hek-see-hwa. Seorang pelacur! Tapi karena cucunya tak banyak pengalaman dan enggan dia berdebat maka wanita itu ditegur dan si baju hijau yang berbedak dan bergincu ini meratap.

"Aku.... aku Si-yen. Barangkali lo-enghiong (orang tua gagah) mendengar namaku.”

"Hm, kau penghuni Hek-see-hwa? Kau anak buah We-taijin?"

"Ak... aku orang baru, lo-enghiong. Memang benar dibawa We-taijin ke sini tapi aku berontak. Dua kali gagal untuk pulang dan kali ini tertangkap serta disiksa!”

Kakek itu memandang cucunya. Li Ceng tampak beriba hati sementara dia tak senang. Kakek ini tak tahu betapa si cantik itu lega. Kalau namanya dikenal berarti dia harus hati-hati. Orang tua ini belum dia kenal. Maka ketika kakek itu memandang cucunya dan dia terisak maka gadis baju merah itu membela dirinya.

"Cici ini harus kita lindungi. Aku pikir dia benar bahwa dia harus menyelamatkan dirinya. Biar kuantar sampai ke bawah gunung dulu, kong- kong. Kau tunggu di sini aku pergi sebentar!”

"Eh, kau melupakan tugas? Kita harus naik ke atas, Li Ceng. Atau nanti kita terlambat!”

"Peng Houw bisa menunggu sebentar, aku mengantar cici ini dulu dan baru setelah itu urusan kita!”

Sang kakek terkejut dan membelalakkan mata. Li Ceng, cucunya sudah bergerak dan menyambar wanita itu. Dia hendak mencegah namun cucunya sudah meluncur di bawah gunung. Dan karena tak enak membuat ribut, bukan maksudnya untuk memancing pertengkaran maka dengan mendongkol kakek ini membiarkan sang cucu pergi ke bawah.

Si-yen, wanita itu berseri girang. Ia sudah disambar dan dibawa pergi. Dan ketika Li Ceng sudah meluncur turun dan berkelebat dari batu yang satu ke batu yang lain, turun dengan cepat maka wanita itu terkekeh dan tiba-tiba jari tangannya menotok pundak si nona.

“Hi-hik, terima kasih. adik manis. Tapi cukup sampai di sini... tuk!”

Li Ceng terguling dan kaget bukan main. Ia sudah hampir di kaki gunung ketika tiba-tiba orang yang hendak diselamatkan itu menyerang. Ia tak menduga dan karena itu tak berjaga-jaga, maklum, disangkanya wanita ini orang lemah. Maka begitu menjerit namun ia roboh terpelanting, lawan sudah berjungkir balik dan melepaskan dirinya maka Si-yen, si cantik itu ganti menyambar tubuhnya, dipanggul.

"Kau... kau siapa? Keparat, kau siapa?”

"Hi-hik, aku Si-yen, adik manis. Kau sudah dengar itu. Dan kong-kongmu, hmm.... tentu orang yang datang bersama pemuda baju putih itu. Kalian bertiga sudah diketahui dan kini terjebak!"

Li Ceng memberontak namun sudah dilumpuhkan. Ia memaki-maki namun urat gagupun ditotok. Dan ketika ia mendelik dan marah bukan main, lawan terkekeh dan terbang ke atas maka kakeknya, Lui-cu Lo Sam juga mendapat gangguan di saat menunggu cucunya dengan hati tidak enak.

Kakek ini melepas dongkol dengan mengeluarkan pipa cangklongnya. Tembakaupun disulut dan bergeraklah pipinya mengisap dan menghembuskan asap putih. Namun ketika ia mondar-mandir dan tak sabar menunggu sang cucu maka tiga bayangan berkelebat dan seorang wanita cantik serta dua kakek tinggi kurus berkelebat di depannya. Yang wanita tertawa, merdu namun tawanya mendirikan bulu roma.

“Hi-hik, berhasil sudah. Masing-masing sudah cerai-berai dan tinggal si tua bangka ini sendiri. Heh, siapa kau, kakek bau. Apa maumu datang ke sini dan siapa teman-temanmu itu!"

Kakek ini terkejut. Tiga bayangan di depannya yang muncul dan langsung membentaknya membuat dia bergerak. Pipa cangklong seketika digigit kuat-kuat, asap mengebul dan menyambar namun ditangkis tiga orang itu. Dua kakek di kiri kanan mengebut. Dan ketika mereka berhadapan dan Mutiara Geledek sadar bahwa tiga lawan lihai berada di depannya maka dia tak pura-pura lagi dan mencabut pipa tembakaunya dicekal erat-erat.

“Hm, siapa kalian? Apa maksud pertanyaan itu. Aku tak mengerti!"

“Heh-heh, kambing tua ini rupanya main-main. Hayoh, pukul dia, Kwi-bo. Ledakkan rambutmu dan biar ularku mematuk lehernya.... wut!” seekor ular tiba-tiba meluncur dari tangan kiri kakek di sebelah kanan, langsung menyambar dan menggigit kakek ini.

Si Mutiara Geledek tentu saja terkejut. Dia mengelak dan seketika tahu bahwa lawan adalah Kwi-bo, si pelempar ular tentu Coa-ong adanya dan cepat dia mengangkat huncwenya. Ular membalik dan mengejar dan karena itu dia menjadi marah. Dan ketika terdengar suara "tak" dan ular roboh mati, kepalanya pecah maka kakek itu mendelik sementara Kwi-bo terkekeh meledakkan rambut.

“Hi-hik, kita tak tahu siapa kambing tua ini, tapi rupanya lihai. Bagus, awas dan hati-hati, Coa-ong. Ularmu mati seekor dan jangan sampai majikannya menyusul!"

Coa-ong, kakek itu marah sekali. Ia melepas ularnya tapi tak disangka begitu mudah lawan mengelak dan membalas. Tentu saja ia tak mengira bahwa lawannya ini adalah sute dari Kun-lun Lojin, dedengkot Kun-lun. Dan karena masing-masing belum pernah bertemu dan itu adalah pertama kali perjumpaan mereka maka Coa-ong yang membentak dan menerjang marah akhirnya mencabut tongkatnya dan dengan tongkat ular dia menerjang. Sin-coa-kun atau Silat Ular Sakti dimainkan.

“Jahanam kau.... plak-plak-dess!" tongkat bertemu huncwe dan si Raja Ular terpental. Kwi-bo dan teman satunya belum bergerak karena menganggap Coa-ong dapat melayani. Tapi begitu segebrakan itu disusul oleh teriakan kaget teman mereka, Jin-mo si Hantu Bambu melotot dan berseru keras tiba-tiba iblis inipun mencelat dan galah bambunya yang panjang itu menderu.

"Jangan khawatir, aku datang membantu Coa-ong. Kita hajar kambing tua ini!"

Namun Lui-cu si kakek sakti berkelit. Tiga kali ia diserang tapi tiga kali ia mengelak, semua serangan itu luput. Dan ketika bambu kembali menyambar dan kali ini si kakek bermaksud menangkis maka tangan kirinya bergerak dan.... krakk, galah bambu itu hancur!

"Keparat!" Jin-mo kaget dan marah. "Lawan kita lihai sekali, Kwi-bo. Maju dan robohkan dia!”

“Hi-hik, kau belum apa-apa. Belum sepuluh jurus! Eh, keluarkan silat galahmu, Jin-mo. Coba serang lagi dan kita lihat ilmunya!"

Jin-mo membentak dan penasaran. Sekali lagi ia menyerang namun galah bambu kembali hancur. Senjata yang mula-mula panjangnya tiga meter itu sekarang tinggal dua meter saja, kakek itu memekik. Dan ketika ia memutar dan menerjang lagi, Coa-ong membentak dan mengayun tongkat ularnya pula maka dikeroyoklah kakek itu namun segera tampak oleh mereka bahwa tongkat maupun galah terpental ke belakang. Huncwe maupun tangan kiri kakek itu mengeluarkan tenaga kuat sekali bagai terisi halilintar.

“Dia memiliki semacam tenaga Lui-kong-ciang (Tenaga Petir). Tenaganya kuat dan panas sekali!"

“Benar, dan telapakku pedas dan sakit, Jin-mo. Entah siapa tua bangka ini karena kita belum pernah kenal!"

“Bunuh dia, atau panggil murid kita Chi Koan.... des-dess!" dan dua orang itu yang kembali menjerit dan berteriak akhirnya melempar tubuh bergulingan bertemu tangkisan si kakek.

Mutiara Geledek mulai mengeluarkan tenaga Lui-kangnya dan memang benar bahwa tenaga ini seperti halilintar. Huncwe maupun tangan kirinya menunjukkan itu. Terakhir tongkat Coa- ong juga patah! Dan ketika Raja Ular terkejut dan bergulingan meloncat bangun maka Kwi-bo meledakkan rambutnya dan menerjang. Tawanya merdu nyaring namun sikap dan sepak terjangnya ganas.

“Hi-hik, berani benar orang ini. Mari kita robohkan sebelum memanggil Chi Koan!”

Lui-cu si kakek lihai dikeroyok. Sekarang ia menghadapi tiga orang namun gerak dan tangkisan-tangkisannya tetap mengejutkan. Ia mulai membalas dan berkelebatanlah kakek itu mengimbangi lawan. Dan ketika Kwi-bo juga berteriak karena rambutnya terpental maka muncul empat bayangan lain dan kakek ini gelisah....


Prahara Di Gurun Gobi Jilid 28

Cerita Silat Mandarin Serial Prahara Di Gurun Gobi Karya Batara

“HM, rupanya aku memang tolol,” Peng Houw tersenyum. “Tapi aku akan mencobanya sekali lagi, nona. Orang tolol akhirnya pandai juga kalau sudah berkali-kali belajar!" dan mengerahkan tenaga melawan gerak di sebelah kanan tiba-tiba pemuda ini menepis permukaan air yang muncrat ke atas, mendayung dan menampar ombak di sebelah kiri ketika tiba-tiba di bagian itu perahu berat sebelah.

Peng Houw cepat merobah dan memindah-mindah dayung di kedua tangan ketika gadis itu menampar dan memukul-mukul permukaan air berganti-ganti. Sebentar di kiri dan sebentar di kanan. Dan karena setiap gerakan itu tentu merobah tekanan perahu, kini Peng Houw mengimbangi dan perahu meluncur tanpa miring kiri kanan lagi maka gadis itu terbelalak karena ia tak dapat mencelakakan pemuda itu.

Peng Houw sudah membuat perahu meluncur lurus tanpa oleng lagi, meskipun gadis itu berusaha menggulingkannya ke kiri atau kanan. Dan karena tenaga pemuda ini jauh lebih kuat daripada gadis itu, sang kakek terkekeh dan melihat semuanya ini maka gadis itu melotot dan tiba-tiba menampar permukaan sungai di bagian depan agar perahu terjungkal.

“Pratt!” Peng Houw terkejut. Sejenak dia kaget karena dayung menghantam bagian depan, bukan kiri atau kanan lagi. Tapi begitu ia menampar dan memukul sebelah belakang maka perahu yang terangkat dan hendak terjungkal naik sudah kembali ke asalnya lagi dan perahu meluncur lagi dengan cepat, rata.

"Ha-ha,” kakek itu tertawa bergelak. "Kau bukan tandingan pemuda ini, Li Ceng. Kau kalah tenaga dan kalah pandai. Ia sekarang mampu mengimbangi semua gerakanmu!"

"Hm,” Peng Houw tersenyum. “Cucumu hebat, kek. Aku kagum bahwa sebagai wanita muda begini ia mahir mengemudikan perahu. Tenaganya besar, dan cukup untuk menghadapi arus Huang-ho hingga tak usah khawatir perahu tenggelam atau terbalik.”

“Tapi, kau lebih besar lagi, tenagamu lebih kuat. Ha-ha, tanpa perlawananmu tak mungkin perahu ini meluncur demikian laju, anak muda. Cucuku sudah tujuh kali hendak menggulingkan perahu!”

Peng Houw tertawa. Memang akhirnya ia tahu bahwa tujuh kali perahu itu hendak digulingkan. Gerakan kuat di sebelah kiri atau kanan perahu menunjukkan itu. Setiap menampar atau memukulkan dayung tentu perahu bergerak miring, gadis itu sengaja mengujinya. Maka ketika gadis itu gagal sementara si kakek terkekeh-kekeh, Peng Houw tersenyum dan tertawa kecil akhirnya perahu melewati bagian paling berbahaya dari arus Huang-ho yang kuat.

Barisan batu hitam telah lewat dan perahu berkelak-kelok lihai, lolos dengan lincah. Dan ketika perahu berada di permukaan tenang dan sebuah lembah hijau subur mereka masuki maka gadis itu memberi aba-aba menepi dan Peng Houw tak lagi merasakan gerak dayung yang hendak menggulingkan. Dua anak muda ini merapatkan perahu namun belum sampai menepi betul gadis itu sudah mengayun tubuh berjungkir balik.

Peng Houw kagum. Sebuah ilmu meringankan tubuh dipertontonkan dan gadis itu telah menginjakkan kakinya di daratan. Tanah dan pasir lembut menyambut mereka. Dan ketika kakek itu bergerak menambatkan perahu, ada sebuah tonggak atau patok bambu di situ maka kakek ini turun dan Peng Houw melihat sebuah gubuk kecil terlindung di balik tanaman kelapa, mungil dan sejuk serta membayangkan ketenangan alami.

“Turunlah, kita sudah sampai. Itu rumah kami dan boleh kau singgah kalau mau.”

Mau? Ah, tentu saja Peng Houw mau! Siapa tidak tertarik dan kesengsem dngan gadis baju merah itu. Sejak pertama kali memandang sebenarnya jantung Peng Houw sudah berdebaran tak keruan. Ia terpesona dan kagum sekali akan gadis ini, gadis yang hebat yang mampu mengemudikan perahu di balik ganasnya arus Huang-ho dan yaang tadi telah menunjukkan ilmu meringankan tubuh yang lihai. Bahkan, yang telah beruji tenaga ketika sama-sama di perahu.

Peng Houw melihat bahwa gadis ini bukan sembarangan. Dan karena ia ingin tahu juga siapa sebenarnya kakek itu, kakek yang pandang matanya lembut namun sorotnya tajam dan cukup berwibawa maka sekali lihat Peng Houw tahu bahwa ia berhadapan dengan seorang “cianpwe” (golongan atas tokoh persilatan).

Peng Houw mengangguk dan mengikuti kakek itu memasuki gubuk itu. Kakek ini sama sekali tak menunjukkan kesombongan seorang ahli silat namun langkah kakinya yang ringan dan kuat itu jelas tak dapat disembunyikan. Langkah ini mantap dan cepat, namun ringan. Dan ketika mereka memasuki gubuk itu dan meja kursi sederhana menyambut di depan, sehelai tikar juga digelar di tengah ruangan maka Peng Houw dipersilakan masuk dan kagum bahwa tempat itu demikian bersih dan sejuk, tanda pemiliknya amat menjaga kerapian dan kebersihan, meskipun gubuk itu bukan terbuat dari bangunan yang bagus.

“Silakan masuk, silakan duduk. Aku ke belakang sebentar berganti pakaian."

Peng Houw teringat. Ia tiba-tiba tertegun karena pakaiannyapun basah semua. Kakek dan cucunya itu juga basah meskipun tidak sekuyup dirinya. Dan ketika ia bingung akan duduk di mana, ruangan sebersih itu rasanya enggan untuk dikotori maka gadis itu muncul dan memberikan seperangkat pakaian lelaki.

"Ini milik kakek, barangkali sedikit kekecilan. Kau boleh ganti kalau kau suka."

Peng Houw semburat. Gadis itu ternyata sudah berganti pakaian kering dan rambutnya yang basah juga sudah disisir rapi. Sekarang malah kelihatan lebih cantik dan segar lagi. Heran! Dan ketika ia menerima namun bingung di mana harus berganti pakaian, bekalnya terbawa hanyut arus sungai yang deras maka gadis itu tersenyum menuding.

“Di situ ada bilik kecil, silakan kalau ingin berganti."

Peng Houw lega. Gadis itu memutar tubuh dan ia dibiarkan sendiri, melihat bilik di belakang ruangan depan ini dan tentu saja cepat ke sana. Bicara dengan pakaian basah begitu rasanya tak enak, apalagi kalau tuan rumah sudah bersih dan berpakaian kering semua. Dan ketika ia masuk dan keluar lagi dengan pakaian kering, pakaian kakek itu sedikit sesak membungkus tubuhnya maka tuan rumah muncul dan justeru tertawa melihat keadaannya.

"Ha-ha, sesak, tapi justeru mencetak bentuk tubuhmu. Aih, kau tampak tegap dan semakin gagah, Peng Houw. Juga semakin tampan!”

“Hm, bisa saja kakek ini," Peng Houw tersenyum kecut. “Ini pakaianmu, kek, kupinjam. Aku tak punya pakaian karena hanyut di sungai."

"Pakailah, tak apa. Kau tak usah pinjam melainkan kuberikan padamu. Kau butuh itu. Ha-ha, mari duduk!” dan duduk mempersilakan tamunya kakek ini mengeluarkan pipa tembakau dan menyulut apinya, mengisap dua tiga kali dan tampak betapa kakek itu menikmati kesukaannya benar. Mata itu meram melek. Tapi ketika kemudian perut Peng Houw berkeruyuk, Peng Houw kaget sendiri maka kakek itu tertawa dan berseru, dari belakang ruangan menguar bau sedap ikan bakar.

“Heii, cepat, Li Ceng. Tamu kita tak sabar menahan lapar!”

"Ah,” Peng Houw gugup. “Tidak, kek, tidak! Aku tidak lapar, Aku....”

"Ha-ha, tidak lapar bagaimana? Perutmu berkeruyuk, anak muda. Semalam kau rupanya terbenam air. Hebat juga bahwa kau segar-bugar. Orang lain tentu sudah mati kedinginan. Heii, bawa ke sini ikannya karena akupun tiba-tiba lapar!”

Kata-kata terakhir itu ditujukan kepada cucunya daripada kepada Peng Houw. Anak muda ini merah padam namun tiba-tiba geli. Kakek itu juga berkeruyuk! Dan ketika gadis baju merah keluar membawa nampan, tiga ekor ikan bakar terdapat bersama sebungkus besar nasi putih maka gadis itu tersenyum meskipun mulut mengomel.

"Ih, kong-kong ini seperti orang tidak tahu repot saja. Aku menyiapkan ini secara terburu-buru, kong-kong. Nasinya dingin tapi tidak basi. Aku juga lapar dan jangan kira kalian sendiri!" dan tertawa meletakkan itu dengan mengibaskan rambut, gerakan ini membuat Peng Houw terpesona maka kakek itu terkekeh dan menepuk pundak si anak muda.

"Heii, ini nasi dingin. Ikannya panas tapi nasinya dingin. Maukah kau menikmatinya maklum kehidupan desa!"

"Ah-hmm!" Peng Houw gelagapan, tersipu. “Tentu saja aku mau, kek. Tapi cepat benar menyajikannya. Aku, ah... kikuk sekali mendapat suguhan ini!"

“Ha-ha, makanlah. Setelah itu kita omong-omong...!" dan menyambar seekor ikan bakar kakek ini menggigit dan mengunyah. Peng Houw melihat gadis baju merah juga tertawa dan tanpa sungkan-sungkan lagi menyambar seekor yang lain, menggigit dan mengunyah. Dan ketika air liurnya hampir meluncur namun untung si kakek cepat menyodorkan ikan terakhir maka Peng Houw tertawa geli menggigit ikannya itu. Dua orang ini bersikap bebas dan tidak canggung-canggung.

“Wah, enak. Ini ikan kerpu. Hanya membakarnya agak gosong, Li Ceng. Kau rupanya tidak hati-hati dan terburu-buru!”

“Ih, kakek yang buru-buru tadi. Siapa minta begitu. Jangan salahkan aku karena kau tidak sabar!"

“Ha-ha, aku memanggil karena tamu kita ini berkeruyuk. Bau ikanmu keras sekali, sialan. Dan perutku tiba-tiba juga terasa lapar, ha-ha..!"

“Hm, pemuda ini tak dapat menahan lapar? Memangnya sudah seminggu tidak makan?”

“Ha-ha, bukan begitu, Li Ceng, melainkan karena ikan bakarmu itu. Baunya merangsang, sedap sekali. Dan akupun tak tahan sampai berkeruyuk pula. Ha-ha, kau selalu membuat kelaparan orang-orang yang mencium bau masakanmu. Eh, lihat tamu kita ini keseretan!”

Peng Houw terbatuk. Ikan itu terlalu gurih dan enak, bakarannya juga kering hingga tanpa sengaja durinya yang kecil termakan, nyangkut dan celaka sekali tinggal di tenggorokan. Dan karena kebetulan di situ belum ada minum maka pemuda ini keseretan dan mukanya menjadi merah padam karena segera terbatuk-batuk.

“Uh, air... ambil air!”

Pipa tembakau itu diletakkan di atas tikar. Peng Houw terbatuk dan tambah gugup karena mata bening si gadis tertawa. Ia merasa ditertawakan. Tapi ketika gadis itu mengambil air dan sekendi jernih berkericik di dalam gelas maka Peng Houw menyambar itu dan duri ikan segera lenyap, masuk ke dalam perutnya. Wajah merah padam.

"Hi-hik, tamu kita ini rupanya tak biasa ikan bakar. Mungkin sayur-sayuran melulu. Eh, maaf, Peng Houw. Tahu begitu tak kusuguhkan ini!"

“Tidak, terima kasih.... aku, ah... tenggorokanku tiba-tiba gatal...!”

“Hm, karena ikannya tak enak?"

“Bukan, tidak begitu... bukan! Hanya, ah... aku gugup. Barangkali boleh kudorong dengan nasi putih ini!" dan mengambil sekepal lalu mendorongnya bersama ikan bakar. Peng Houw merasa lebih enak dan tidak batuk-batuk lagi. Tadi dia beradu pandang dengan mata gadis itu dan perasaannya terguncang. Mata jeli indah itu mengejek! Ia tak marah dan justeru gugup. Dan karena kebetulan tak ada air minum pula, ia tersedak maka nasi itu menolongnya dan si kakek di sebelah tertawa terkekeh-kekeh.

“Ha-ha, ini baru lucu. Entah bagaimana kalau hwesio-hwesio Go-bi melihat ini. Untung kami tidak suka ang-sio-bak!"

Peng Houw terkejut. Disebutnya nama Go-bi seketika membuat dia tertegun. Kakek itu tertawa dengan muka geli. Tapi karena wajah itu tidak mencurigakan dan apa yang keluar adalah sesuatu yang wajar, biasa-biasa saja maka pemuda ini batuk-batuk dan bertanya, si kakek menyambar pipa cangklongnya lagi.

"Maaf, kek, kau menyebut-nyebut nama Go-bi. Apakah kau ada hubungan dengan para hwesio di sana? Dan, maaf.... siapakah kalian berdua ini sebenarnya?”

“Hm, makan dulu, habiskan. Aku akan makan sambil mengisap tembakau ku!” dan menyedot serta mengeluarkan asapnya tiga empat kali akhirnya kakek ini menggigit dan mengunyah lagi ikannya. Makanan itu memang belum habis dan Peng Houw berdebar.

Gadis baju merah itu sekali lagi meliriknya dengan pandang mengejek. Ia gelisah. Namun karena orang tampaknya baik-baik dan bukan orang jahat, ia tenang kembali maka iapun menikmati ikan bakar dengan nasi dingin. Ikan itu masih panas dan nikmat juga dibungkus nasi dingin. Si kakek juga menikmati sementara cucunya mulai acuh. Pandang keluar mulai sering dilemparkan. Namun ketika akhirnya ikan itu selesai dimakan dan kakek ini mengetukkan sisa apinya maka pipa itu disimpan dan gadis itu disuruh membawa sisa nasi ke belakang.

"Hm, kau berikan ini pada ternak kita di belakang. Biar aku bicara sebentar dengan Peng-siauwhiap ini."

Peng Houw berdesir. Sekarang orang menyebutnya Peng-siauwhiap (pendekar muda Peng), sebutan yang amat tinggi dan amat menghormat, apalagi diucapkan oleh seorang tua yang jelas bukan sembarangan ini. Dan ketika gadis itu menyingkir dan si kakek menarik napas dua kali maka kakek itu berkata, tidak tedeng aling-aling lagi.

"Peng-siauwhiap, aku tahu bahwa kau adalah anak murid Go-bi. Siapa di dunia ini yang bernama Peng Houw dan memiliki keberanian dan tenaga sebesar itu kalau bukan kau. Hm, tak perlu pura-pura lagi, anak muda. Aku Lui-cu Lo San adik seperguruan Kun-lun Lojin. Aku orang Kun-lun, tapi bukan dari golongan pertapa. Dan karena aku bebas merantau, tak terikat oleh perguruan maka aku jarang dikenal orang ramai karena sepak terjangku memang sering sembunyi-sembunyi. Sudah lama aku hidup di sini, sejak cucuku Li Ceng masih orok merah. Tapi karena suhengku tewas oleh pukulan Chi Koan maka aku keluar dan terpaksa mencari anak itu!”

Peng Houw terkejut, membelalakkan mata. "Locianpwe... locianpwe sute dari Kun-lun Lojin? Locianpwe adalah Mutiara Geledek yang menghilang tiga puluh tahun itu?”

“Hm, aku orang tua menghilang karena tak suka keributan dunia kang-ouw, Peng-siauwhiap, apalagi karena aku juga ada ketidak-cocokan dengan beberapa tokoh-tokoh Kun-lun!”

"Ah, locianpwe jangan memanggil aku Peng-siauwhiap," Peng Houw rikuh. "Panggil saja namaku seperti biasa dan baru aku tahu bahwa locianpwe lah kiranya yang dibicarakan Kun-lun Lojin. Locianpwe disangka sudah tewas!”

"Hm," kekek itu tersenyum, Peng Houw merobah sebutannya pula. "Aku memang tak pernah ke Kun-lun lagi, Peng Houw. Tapi kebetulan setelah kau pergi aku datang. Dan kulihat bahwa suheng menderita oleh pukulan Chi Koan!"

"Locianpwe datang ke sana?”

"Ya, setelah kau pergi. Tapi itupun tak ada murid Kun-lun yang tahu. Hanya suheng!"

“Hm, Chi Koan memang keji. Dan aku sudah menduga bahwa Kun-lun Lojin tak kuat menerima pukulannya.”

“Ya, benar, tapi tak seketika itu ia tewas. Suhengku orang kuat tapi ia melarang aku memberi tahu para murid bahwa tewasnya oleh pukulan Chi Koan. Ia tak mau murid-murid Kun-lun menaruh dendam!"

Peng Houw mengangguk-angguk. Ia sudah tahu akan watak dan jiwa besar sesepuh Kun-lun itu. Sejak Bu-tek-cin-keng diperebutkan dan orang ramai menyerbu Go-bi disusul oleh peristiwa-peristiwa menggegerkan mendiang Kun-lun Lojin tak pernah mau ikut campur. Bahkan ketika dulu mendiang Siang Kek dan Siang Lam Cinjin mengajaknya menyerbu Go-bi kakek itu juga menolak.

Ia tak mau berurusan dengan persoalan-persoalan itu dan mandah saja dianggap penakut oleh dedengkot Heng-san yang berangasan itu. Kakek ini memang penyabar, jauh dari nafsu dendam. Maka kalau ia merahasiakan penyebab kematiannya dan itu tidak aneh maka Peng Houw mengangguk-angguk dan menarik napas dalam.

“Tapi locianpwe sendiri hendak membalas dendam. Apa kata kakek itu kalau tahu?” katanya.

"Hm, aku tak mencari pembunuh suhengku semata keinginan balas dendam, Peng Houw. Aku mencari karena dua sebab. Pertama karena Chi Koan berbahaya dan kedua karena suhengku adalah orang yang pernah memberikan banyak kebaikan kepadaku. Aku tidak mendendam, tapi anak seperti itu harus ditentang dan dicari, seperti kau pula!"

“Hm, locianpwe benar, memang benar. Dan justeru karena mencari anak itulah aku sampai terdampar ke sini. Maaf bagaimana locianpwe secara kebetulan dapat menolong aku?"

"Kami berdua sudah tahu akan bahayanya banjir ini. Kami pergi ke hulu, menolong dan menyelamatkan anak-anak dan wanita serta orang-orang lain yang hanyut. Dan ketika kami selesai dan hendak kembali maka kami lihat dirimu di batu hitam itu dan tentu saja menolong.”

“Terima kasih, locianpwe telah menyelamatkan diriku.”

“Ah, bantuan kami tak ada harganya, Peng Houw. Tanpa kamipun kau pasti selamat. Kau hanya tinggal menunggu air surut dan menyeberang!"

“Tapi aku bisa mati kedinginan. Dua belas jam aku timbul tenggelam!"

“Hm, tak perlu merendah. Dengan sinkangmu Hok-te Sin-kang kau dapat melawan semuanya itu. Sudahlah, bantuan kami jangan disebut-sebut karena tak ada harganya!"

Peng Houw tersenyum. "Dan locianpwe dapat mengenal aku. Dari mana?"

Kakek itu tertawa. "Dari mana lagi kalau bukan namamu itu, Peng Houw. Empat bulan ini namamu menonjol dan disebut-sebut banyak orang. Dan mendiang suhengku juga penuh kagum memuji-mujimu. Siapa lagi Peng Houw di dunia ini yang mampu menahan tenaga cucuku sewaktu hendak menggulingkan perahu. Tanpa sinkang dan kepandaian tinggi tak mungkin kau dapat mengimbangi perahu, karena kau tak pernah mendayung!”

Peng Houw tersenyum. Bicara tentang ini membuat ia teringat akan Li Ceng. Gadis baju merah itu memang hebat dan tanpa sinkang dan kepandaiannya yang tinggi memang tak mungkin baginya mempertahankan perahu. Gadis itu mengujinya. Perahu dapat terbalik dan tenggelam kalau ia tak hati-hati. Dan karena gadis itu orang perahu dan tak takut akan air, lain dengan dirinya yang tak pandai berenang dan karena itu hanyut dibawa arus sungai yang mengamuk maka dia mengangguk-angguk dan menarik napas geli.

“Locianpwe benar, tapi betapapun aku tetap berterima kasih. Dan sekarang, apa yang hendak loeianpwe lakukan? Apakah locianpwe akan meninggalkan tempat ini dan mencari Chi Koan?”

"Tiga bulan ini aku sudah mencarinya, Peng Houw. Dan aku sudah menemukan jejaknya. Dan hari ini rencanaku memang berangkat setelah sebelumnya pulang dan membawa perbekalan!"

“Hm, di mana pemuda itu?" Peng Houw bersinar-sinar. “Sudah empat bulan ini aku mencari tapi tak menemukannya!"

“Dia bersembunyi di pesanggrahan Hek-see-hwa. Anak itu menekan We-taijin yang dulu kenalan Kwi-bo!”

“Hek-see-hwa? Pesanggrahan apa ini?"

“Hm, pesanggrahan kotor, Peng Houw. Milik pembesar kota yang dipakai untuk tempat begituan!"

"Begituan? Begitu bagaimana?" Peng Houw tak mengerti, mengerutkan kening. Tapi ketika si kakek batuk-batuk dan menoleh kiri kanan maka Peng Houw menjadi merah padam ketika kakek itu menerangkan, cucunya tak ada.

"Pesanggrahan itu tempat pelacuran terselubung, tempat berkumpulnya para pelacur tingkat tinggi. Dan karena pemiliknya seorang pejabat berpengaruh maka tak ada yang berani cuap-cuap!"

"Hm-hm, begitu kiranya. Chi Koan memang kotor! Maaf, aku sekarang mengerti, locianpwe. Tapi di mana pesanggrahan Hek-see-hwa itu?”

"Kau ikut aku saja, bagaimana?”

"Hm, kenapa mesti begitu? Tapi, ah baiklah. Kau penemunya, locianpwe. Biarlah kau di depan dan aku pengikutnya.”

Kakek itu mengangguk. Pembicaraan sudah selesai dan Peng Houw berdebar girang. Sekaranglah dia akan bertemu Chi Koan! Dan ketika kakek itu masuk ke dalam mempersiapkan buntalannya, perjalanan rupanya cukup jauh maka Li Ceng, gadis baju merah itu muncul. Pedang di punggung tampak gagah mencuat, roncenya merah dan ikat pinggangnya hitam.

"Hm, cantik sekali, Peng Houw memuji, terlepas begitu saja. "Kau cantik dan gagah, Li Ceng. Dan pantas sebagai cucu Lui-cu-locianpwe!”

“Cih, kapan kau belajar merayu? Apakah kau juga seperti Chi Koan?"

Peng Houw semburat. Ia tiba-tiba sadar bahwa tak biasanya ia memuji wanita. Entah kenapa tiba-tiba sekarang ia terlepas begitu saja, memuji dan kagum kepada cucu si Mutiara Geledek ini. Dan ketika kakek itu keluar dan tersenyum padanya, entah dengar atau tidak maka Peng Houw melihat gadis itu berkelebat keluar berseru,

"Kong-kong, ayo kita mulai. Sudah gatal tanganku untuk menemukan jahanam busuk itu!"

Kakek ini mengangguk. Sang cucu sudah lenyap di luar dan tiba-tiba Mutiara Geledek inipun bergerak. Sekali berkelebat iapun menghilang di luar, gerakannya jauh lebih cepat dibanding Li Ceng. Dan ketika Peng Houw kagum karena baru kali itu kakek itu memperlihatkan ilmunya, sekarang tak perlu mereka berpura-pura lagi maka iapun berkelebat dan mengejar, melihat si kakek sudah lenyap memasuki perahu sementara Li Ceng melepas tambatannya.

“Hm, rupanya melewati jalan air,” Peng Houw berpikir. “Entah di mana Hek-see-hwa itu tapi biarlah kuturuti kakek ini." Dan Peng Houw yang sudah berkelebat dan memasuki perahu pula melihat kakek itu duduk di dalam karena perahu sekarang sudah beratap, tidak terbuka seperti tadi.

“Ha-ha, gerakanmu sepersekian detik mengejar gerakanku, Peng Houw. Lihai sekali dan cocok kau sebagai murid Ji Leng lo-suhu!"

"Ah, locianpwe pun mengagumkan. Baru saja meninggalkan rumah tahu-tahu sudah ada di sini.”

"Ha-ha, duduklah. Li Ceng akan mengemudikan perahu dan kali ini kau tak perlu membantu!”

Peng Houw duduk, berhadapan dengan kakek itu. Dan ketika benar saja perahu bergerak dan berputar, Li Ceng sudah memukulkan dayungnya maka perahu itu meluncur dan membelah permukaan sungai. Kakek itu berseri-seri dan secawan arak di atas meja disambar. Peng Houw mengira kakek itu akan menggelogok isinya, tersenyum. Tapi ketika kakek itu melemparkannya kepadanya dan berseru agar ia menangkap arak, tentu saja terkejut maka ia menangkap tapi cawan mendorong tubuhnya hampir terjengkang. Kiranya kakek ini menguji tenaga saktinya!

“Ha-ha, awas, Peng Houw. Kita perlu melakukan pemanasan. Terimalah dan tangkap arak ini!"

Peng Houw menangkap dan tentu saja mengerahkan sinkangnya. Secepat kilat ia sadar dan berseru keras, cawan tergetar dan hampir saja tumpah isinya. Untung, berkat kesigapannya ia membuat arak membeku lagi, tak sampai muncrat dan kakek itu tertawa bergelak minta agar arak dilempar kembali. Dan ketika Peng Houw memberikan arak itu dan tentu saja melontar dengan sinkang, maklum bahwa kakek ini kiranya hendak mengukur kepandaian.

Maka Mutiara Geledek sute dari Kun-lun Lojin ini terdorong sedikit, tertawa bergelak dan melempar lagi cawan arak kepada Peng Houw. Tiga empat kali ia melakukan itu. Tapi ketika Peng Houw sudah mulai dapat menahan lemparannya sementara dia selalu tergetar dan arak memuncrat maka kagumlah kakek itu bahwa sinkang yang dimiliki Peng Houw jauh lebih kuat.

"Ha-ha, luar biasa. Baru pertama ini kujumpai dalam hidup. Wah, sinkangmu setingkat di atasku, Peng Houw. Benar kata suhengku bahwa tenaga saktimu hebat sekali. Ini seperti Ji Leng Hwesio sendiri!”

"Hm, locianpwe terlalu memuji. Sinkangmu pun kuat sekali, locianpwe. Aku merasa telapak tanganku pedas!”

“Tapi aku tergetar dan malah terdorong. Ha-ha, kau tak perlu merendah, Peng Houw. Sekarang aku benar-benar percaya bahwa kau memiliki kesaktian tinggi. Agaknya kau sudah setingkat gurumu. Hok-te Sin-kang yang kau miliki itu luar biasa sekali!”

Peng Houw tersenyum. Akhirnya si kakek tertawa-tawa dan lempar-melempar itu berhenti. Cawan itu retak dan pecah. Bagaimana tak akan pecah kalau digencet dua tenaga sakti yang ganti-berganti mendesak. Dan ketika kakek itu menggelogok isinya dan arak benar-benar diminum, kali ini kakek itu menenggak sampai habis maka di luar saja Li Ceng merasa kagum karena diam-diam iapun menonton adu kepandaian itu. Tapi begitu kerling matanya beradu dengan Peng Houw cepat-cepat ia melengos!

Perahu meluncur dan mengikuti aliran sungai ke timur. Peng Houw tak tahu di mana itu pesanggrahan Hek-see-hwa. Tapi ketika perjalanan memakan waktu sehari dan mereka tiba di sebuah pegunungan sunyi maka perahu menepi dan gadis baju merah meloncat turun. Si kakek meloncat dan keluar pula dari perahunya. Alam pegunungan segar menyambut mereka. Peng Houw tak tahu di mana ia berada. Tapi begitu si kakek memberi tanda dan ia berkelebat maka kakek itu menuding.

“Di sana Hek-see-hwa itu. Ini pegunungan Cheng-san. Di sini kita berpisah dan kau naiklah dari arah barat!"

"Ah, dan locianpwe?"

"Aku dan Li Ceng mendaki arah timur, Peng Houw. Di puncak kita nanti bertemu. Hati-hati, jangan gegabah mencium bunga See-hwa karena ia beracun!"

Peng Houw tak dapat bertanya lagi karena si kakek menghilang. Perahu disembunyikan di gerumbul dan sekilas Li Ceng melempar pandang. Sudut matanya memberi tahu Peng Houw agar hati-hati. Perasaan Peng Houw tiba-tiba berdebar. Namun karena ia sudah di tempat tujuan dan di sinilah katanya Chi Koan berada, ia harus menangkap pemuda itu maka ia berkelebat dan mengikuti saja petunjuk kakek itu.

Ia bergerak ke arah barat sementara si kakek dari arah timur. Masing-masing akan mendaki puncak dan mereka bakal bertemu lagi. Dan begitu ia bergerak dan melepas senyum pada Li Ceng, gadis itu semburat dan membuang muka maka Peng Houw menghilang di jalanan berbatu dan tiga orang itu telah menyiapkan rencana.

Hek-see-hwa (Kembang Pasir Hitam) adalah julukan bagi sebuah pesanggrahan di puncak gunung Cheng-san ini. Gunung yang hijau subur itu memang patut mendapat nama Cheng (Hijau). Alamnya hijau segar dan dari bawah ke atas orang akan banyak menemukan kembang-kembang harum yang sedang mekar. Ada botan dan seruni. Ada anggrek dan beratus ragam kembang-kembang segar warna-warni.

Semuanya harum tapi yang paling harum adalah sekuntum kembang hitam yang mangkok daunnya bulat seperti piring. Di bawah mangkok daun ini terdapat serbuk hitam kecoklatan yang mengundang selera untuk dicium. Begitu elok dan indah bunga serta mangkok daun ini. Orang tak akan menyangka bahwa mencium bunga itu berarti maut. Serbuk hitamnya yang berbahaya itu seperti bius. Sekali sedot cukup membuat orang kehilangan akal sehatnya dan pingsan.

Kalau ia terjatuh di bawah mangkok daun itu maka selanjutnya petaka. Serbuk itu akan berjatuhan dan mautlah imbalannya. Kembang ini memang membius dan tak ada hewan atau serangga yang berani mendekat. Tawon-tawon madu, yang biasanya suka sekali menghisap bau-bau harum seolah tahu bunga yang satu ini. Harumnya yang memikat tak sedikitpun membuat kumbang-kumbang jantan berdatangan.

Naluri mereka telah tahu bahwa kembang atau bunga Hek-see-hwa amatlah berbahaya. Serbuk hitam coklat seperti pasir itulah intinya. Maka ketika Peng Houw mencium bau bunga luar biasa ini dan rangsang otaknya menjadi tajam, bau harum itu bercampur seperti bau arak yang lezat, keras dan memabokkan maka ia teringat pesan Lui-cu kakek tua itu.

Sebenarnya, ia belum tahu rupa dan bentuk bunga Hek-see-hwa ini. Namun karena sudah mendapat peringatan dan bunga itu juga mudah dikenal, serbuk hitamnya yang seperti pasir itu mengkilat kecoklat-coklatan maka ia waspada dan seekor ular tiba-tiba mematuk kakinya, pada saat ia lengah dan mengamati bunga itu.

Namun Peng Houw mengangkat kakinya. Ia terkejut tapi gerak refleks seorang ahli silat bekerja. Ular dikelit dan otomatis ditendang. Dan ketika ular itu menggeliat jatuh di atas bunga Hek-see-hwa, mendesis dan rupanya ketakutan mendadak ular itu melingkar dan roboh. Pingsan! Peng Houw segera melihat serbuk-serbuk pasir berjatuhan menimpa ular itu dan bau harum pun semakin menyengat.

Demikian tajam hingga tiba-tiba kepalanya terasa pusing! Namun ketika Peng Houw cepat menahan napas dan mundur menjauh maka ia melihat ular itu tak bergerak-gerak lagi alias mati. Sekujur tubuhnya kebiru-biruan seperti kebanyakan bius!

"Hm, berbahaya... benar-benar berbahaya!" Peng Houw memutar tubuh dan tidak di situ lagi. Ia tadi berhenti karena melihat sekuntum bunga yang aneh. Lalu karena ia diserang ular dan ular itu ditendangnya menimpa Hek-see- hwa, roboh dan akhirnya mati tahulah dia bahwa bunga itu benar-benar beracun. Entah racun apa!

Peng Houw waspada dan melanjutkan perjalanannya lagi. Dari bawah tak tampak tanda-tanda adanya sebuah pesanggrahan. Tak ada rumah atau tembok putih terlihat, mungkin karena terhalang lebatnya dedaunan dan pohon-pohon besar. Tapi ketika ia bergerak dan terus naik ke atas, sebuah bangunan hitam tampak samar-samar maka jeritan seseorang menahan langkahnya.

"Tidak..., jangan! Ooh, jangan, Bhe-twako... jangan! Jangan lempar aku ke sana...!”

"Ha-ha, kau mencoreng muka We-taijin. Kau membuat malu pesanggrahan. Kau harus menerima hukuman, Tu-lin. Tak ada ampun bagimu. Aku hanya menjalankan perintah!”

“Tapi jangan buang aku ke sana. Aku takut, aku... aduh!”

Peng Houw berkelebat dan melihat apa yang terjadi. Ternyata seorang laki-laki tinggi besar berkulit hitam mendorong-dorong seorang wanita cantik yang pakaiannya tak keruan. Wanita ini matang biru dan pipinya bengkak-bengkak. Tangisnya yang menyayat itu mengharukan benar. Dan ketika Peng Houw tiba di sana wanita itu terjatuh kesandung batu hitam. Di depannya segerombol bunga See-hwa siap menerkam!

“Tidak... jangan... jangan lempar aku ke situ! Oh, jangan, Bhe-twako... jangan...!”

“Ha-ha, tak ada ampun bagimu. Kau pembangkang. Ayo, masuk!”

Peng Houw tak dapat menahan diri. Ternyata di tempat ini akhirnya didapat juga manusia. Tapi karena yang ditemukan adalah kekejaman dan jerit tangis wanita, Peng Houw tak dapat menahan diri lagi maka ia bergerak dan wanita yang sudah siap didorong dan ditendang ke serumpun bunga See-hwa itu disambar dan laki-laki tinggi besar berseru kaget melihat betapa sebuah bayangan putih berkelebat dan tahu-tahu wanita korbannya lenyap.

“Heii...!”

Peng Houw membawa wanita itu di belakang si tinggi besar. Wanita ini terkejut dan seketika menghentikan tangis tapi tiba-tiba berseri dan gembira melihat tuan penolongnya. Seorang pemuda gagah tampan berada di situ, membebaskannya dari terkaman bunga beracun. Dan ketika ia mengeluh dan Bhe-twako membalik, tahu ada orang di situ maka ia melotot melihat Peng Houw memegang pundak si cantik.

“Cici tak usah takut. Apa yang terjadi? Ceritakan padaku dan siapa orang she Bhe ini?”

“Dia... dia tukang pukul We-taijin. Aku... aku ditangkap untuk disuruh melayani para hidung belang. Ooh, tolonglah aku, kongcu. Aku... aku dipaksa melayani seorang kakek tua bangka hartawan Ciok!”

Peng Houw mengerutkan alisnya. Tak dia sangka bahwa wanita cantik ini adalah seorang penghibur. Tadi dia mengira wanita itu sebagai gadis baik-baik dan dia merasa iba. Tapi karena wanita itu katanya dipaksa dan iapun ingat cerita si Mutiara Geledek maka ia membalik ketika mendengar bentakan si tukang pukul. Orang she Bhe itu rupanya marah dan tiba-tiba mencabut golok.

"Bocah tengik, siapa kau?"

Peng Houw menerima bacokan. Untuk ini tak perlu dia mengelak dan rasa gemas membuat dia menggerakkan dua jari. Golok diterima dan dijepit. Dan ketika Bhe-twako terpekik goloknya tak mampu dicabut, golok itu sudah terjepit di antara dua jari Peng Houw maka pemuda itu membentak dan kakipun bergerak menendang si tukang pukul. Melihat bahwa orang ini rendah sekali kepandaiannya.

"Pergilah kau!"

Bhe-twako menjerit. Ia terlempar dan terbanting di sekumpulan bunga Pasir Hitam itu. Peng Houw terkejut karena ia tak bermaksud mencelakakan laki-laki itu di situ. Tapi ketika berkelebat bayangan-bayangan orang dan jeritan atau teriakan Bhe-twako itu didengar para tukang pukul lain, jerit dí tempat sepi itu memang mudah terdengar di tempat jauh maka Peng Houw menyambar wanita cantik itu dan wanita inipun menggigil menubruk dirinya.

"Kongcu, ada orang...! Lari, cepat lari!”

Peng Houw berkelebat dan lenyap. Ia sudah melihat tujuh orang bergerak menuju tempat itu. Mereka berada di tengah taman indah dengan bunga warna-warni, itu rupanya halaman belakang pesanggrahan Hek-see-hwa. Dan ketika ia lenyap dan tujuh orang di sana berteriak melihat Bhe-twako, orang itu pingsan di bawah kembang Hek-see-hwa maka Peng Houw mencari tempat sembunyi dan apa boleh buat menunda urusannya di puncak. Ia harus menyelamatkan wanita ini.

"Belok ke kanan, jangan lewat tikungan itu. Eh, lompati pagar kawat itu, kongcu. Aihhhh... kau dapat terbang!”

Tu-lin, wanita ini berteriak ngeri melihat Peng Houw melayang tinggi di atas pagar kawat berduri itu. Peng Houw mengikuti petunjuk wanita ini untuk belok atau lurus, begitu pula ketika melewati pagar kawat berduri itu. Dan ketika ia turun dan selanjutnya wanita ini menuding sana-sini, rupanya wanita itu kenal baik keadaan di situ maka Peng Houw diminta berhenti setelah berada di hutan cemara. Daun cemara yang hijau dan gugur menguarkan keharuman khas yang sedap di hidung.

"Sudah, kita sampai. Selamat! Ah, terima kasih, kongcu. Kau telah menyelamatkan jiwaku. Kau.... hu-huuk!” wanita itu melorot dan langsung memeluk kaki Peng Houw. Si cantik ini tersedu-sedu.

Peng Houw tertegun. Ia diminta berhenti di situ padahal kaki gunung masih jauh. Seharusnya ia membawa wanita ini turun gunung dan menyuruhnya pergi. Atau mungkin mengantarnya sampai menemui sebuah dusun dan barulah ia akan kembali lagi ke situ, sendiri. Tapi karena ia gugup dan bingung berduaan seperti itu, si cantik mengguguk dan merangkul kakinya demikian erat maka Peng Houw tak tahu harus berbuat apa kecuali bengong seperti patung, menunduk tapi tiba-tiba membuang muka karena baju di bagian dada wanita itu terkuak memperlihatkan sepasang bukit indah membusung dan padat. Putih halus!

"Kongcu, aku ingin kau menolong teman-temanku yang lain juga, saudara-saudaraku. Ada tujuh di antara mereka yang juga dipaksa dan berontak. Kau tolonglah mereka dan jangan biarkan mereka dianiaya tukang-tukang pukul We-taijin!"

“Hm, berdirilah, bangkitlah! Sebenarnya aku tak sengaja menolongmu, cici. Aku.... aku datang secara kebetulan saja. Aku ada urusan pribadi!”

"Ah, kongcu tak mau menolong kami wanita-wanita malang ini? Kongcu tega membiarkan kawan-kawanku dipermainkan dan dihina kakek-kakek buruk rupa? Ah, tolonglah, kongcu. Bebaskan teman-temanku seperti kau membebaskan aku sekarang ini. Aku rela membalas semuanya ini dengan jiwa ragaku!"

Peng Houw tergetar. Si cantik itu tiba-tiba bersikap demikian gagah dan berani, tegak menantang hingga baju depannya terkuak lebih lebar lagi. Tentu saja sepasang bolanya itu kian padat dan membusung! Tapi ketika Peng Houw berdesir dan melengos membuang muka, si cantik rupanya sadar maka buru-buru wanita ini menutupi itu dengan kedua tangan. Mukanya merah padam, bibir yang mungil basah itu mendesah.

"Ooh, keparat. Bhe-twako itu... ah, ia merobek bajuku. Ia laki-laki kurang ajar tak tahu malu. Maaf... maaf, kongcu. Aku... aku tak punya baju lagi. Semuanya tertinggal di sana!”

"Kau pakai saja bajuku ini,” Peng Houw melepas baju luarnya, tinggal baju dalam. "Kau tak bersalah, cici. Hanya.... hanya bagaimana dengan permintaanmu tadi. Aku... aku ditunggu teman yang lain!”

"Ah, kongcu tak sendirian di sini?"

"Benar, tapi sudahlah. Tunjukkan padaku di mana teman-temanmu itu dan biar kutolong mereka sekalian!"

“Aduh, terima kasih!” dan si cantik yang menubruk dan menangis di dada Peng Houw lagi-lagi membuat jantung pemuda ini berdesir karena begitu saja ia ditubruk dan dipeluk.

Wanita ini seolah begitu spontan menyatakan kegembiraan hati. Peng Houw mau mendorong tapi tak tega. Dibiarkannya sejenak si cantik itu melepas sedu-sedan. Ia terguncang ketika merasa betapa dada yang lembut kenyal menekan dadanya sendiri. Kalau bukan karena menolong tak mungkin ia mau begitu. Baru kali itu ia didekap dan ditangisi wanita! Tapi ketika dirasanya cukup dan Peng Houw tak merasa betapa mukanya merah padam maka ia mendorong halus dan berkata,

"Sudahlah, jangan kau menangis lagi. Cukup. Sekarang tunjukkan padaku di mana teman-temanmu itu dan biar kuselamatkan mereka!"

"Kongcu... kongcu mau sendiri?"

"Hm," Peng Houw tergetar oleh mata bening basah itu, mata yang berkejap-kejap. Mata yang indah namun mulai berani dan menantang! “Maksudmu aku tak boleh sendiri? Kau mau ikut?”

“Tentu saja. Di sana berbahaya, kongcu. Ada banyak jebakan! Teman-temanku tak dapat keluar karena takut jebakan ini. Aku dapat menunjuk jalan. Tapi, eh... siapa namamu dulu. Masa aku tak tahu nama tuan penolongku!"

“Hm, aku Peng Houw. Tapi nama tak jadi soal."

"Peng Houw?” mata itu terbelalak. “Jadi, eh.... jadi kau ini yang ditakuti Chi-siauwhiap? Kau.... kau murid Go-bi itu?”

Peng Houw balik terkejut. Si cantik membelalakkan mata lebar-lebar dan tiba-tiba mengeluarkan seruan gembira. Dan belum ia hilang kagetnya mendadak wanita itu menubruknya lagi dan menciumi mukanya!

“Aduh, cocok kalau begitu! Kaulah dewa penolong kami. Aduh, sudah lama kami tunggu-tunggu kedatanganmu, Peng-siauwhiap. Kalau begitu kaulah orangnya yang bakal membebaskan kami dari tekanan pemuda itu. Chi Koan menindas dan sewenang-wenang kepada kami. Ia memakai kami seperti anjing saja dan kau balaslah sakit hati kami!"

Peng Houw terkejut. Si cantik berjingkrak dan meluapkan kegembiraan dengan menari-nari. Mukanyapun diciumi. Dan karena ia tertegun dan heran serta kaget mendengar Chi Koan disebut-sebut, agaknya si cantik ini mengenal baik pemuda itu maka baru ia mendorong dan melepaskan diri setelah tiga kecupan mendarat di pipinya. Bibir basah dan bergincu itu melekat di pipinya bagai lukisan gendewa dipentang!

“Stop, mundur. Lepaskan aku! Eh, apa kau bilang, cici? Apa yang kau lakukan ini? Bagaimana kau tahu tentang Chi Koan?”

"Maaf," wajah itu menunduk namun kerling matanya menyambar berani, merah tersipu. "Aku... aku gembira meluapkan perasaan, siauwhiap. Kalau begitu kaulah orangnya yang ditakuti lawanmu itu. Bukankah kau mencari-cari Chi Koan seperti dia dulu mencari-cari musuhnya?"

"Benar, kau... dari mana kau tahu? Seberapa banyak kau tahu?”

“Ih, siauwhiap mau dengar ceritaku?”

Peng Houw tertegun. Ia melihat wanita itu tersenyum dan tak sadar bahwa bekas kecupan masih ada di pipinya. Kalau Li Ceng melihat ini tentu gadis itu meludah! Dan ketika sepasang mata itu kembali membuatnya tergetar dan Peng Houw bingung, ia berdebar tapi juga tertarik bahwa Chi Koan ada di situ maka ia tersentak ketika tiba-tiba tangan yang lembut itu memegang lengannya.

“Mari kita bicara sebentar kalau siauhiap ingin mendengar. Aku... aku dapat bercerita banyak kalau siauw-hiap mau."

"Hm,” Peng Houw melepaskan tangannya, jari-jari lembut itu bahkan membuat tubuhnya panas dingin. Waktuku tak banyak, cici. Tapi boleh juga kau bicara tentang Chi Koan. Memang kedatanganku hendak menangkap pemuda itu!"

“Aku tahu, dan semua orang di Hek-see-hwa ini juga tahu. Maaf, jangan sebut aku cici, Peng-siauwhiap. Usiaku barangkali sama denganmu. Panggil saja namaku, Tu-lin....”

Peng Houw semburat. Ia melihat wanita ini mulai berani dan nakal, memegang lengannya lagi tapi ia mengelak. Dan ketika ia duduk dan minta wanita itu bercerita, Tu-lin terisak maka sejenak wanita ini bahkan membisu! “Hm, berceritalah, Tu-lin. Ceritakan tentang pemuda itu dan biar aku dengar!”

“Siauw-hiap... siauw-hiap tak kasihan padaku... siauw-hiap bersikap kasar!"

“Hm, maaf. Aku sedang terburu-buru. Aku ditunggu temanku. Berceritalah dan langsung saja tentang Chi Koan, Tu-lin. Aku tak dapat berlama-lama apalagi kalau harus menolong teman-temanmu!"

Wanita itu mengangkat muka. Air matanya basah mengalir namun tiba-tiba ia mengeraskan dagu. Mata yang indah bening itu berapi, bukan kepada yang lain melainkan justeru kepada Peng Houw! Namun karena Peng Houw mengira ini ditujukan kepada tukang pukul We-taijin, ia mengerutkan kening dan bibir basah itu mendesis maka Peng Houw tak tahu bahwa sebenarnya ia sedang ditipu.

"Aku... aku dan kawan-kawanku sebenarnya dibawah cengkeraman Chi Koan. We-taijin hanyalah orang kedua setelah pemuda itu. Dan karena ialah yang berkuasa di tempat ini, siapapun harus tunduk dan taat kepadanya maka kami para wanita malang harus menjadi permainan dan nafsunya....”

"Ceritakan kepadaku di mana pemuda itu sekarang. Maksudku ada di bagian mana dia!" Peng Houw memotong, tak ingin mendengar yang lain.

“Dia... dia di pusat pesanggrahan, siauw-hiap. Tapi sering berada di kebun dan Ruang Anggrek. Tujuh gurunya juga ada di situ!"

Peng Houw tak terkejut. Dia sudah menduga bahwa di mana ada Chi Koan di situ pasti ada pula Tujuh Siluman Langit. Dia mulai menaruh kepercayaan kepada wanita ini karena Tu-lin dapat berbicara lancar. Bahwa wanita itu dapat menyebut tujuh guru Chi Koan sudah dapat dipercaya bahwa keterangannya betul. Maka ketika dia mendesak tapi wanita itu terisak, berhenti lagi maka dia tertegun.

“Hm, ceritakan kepadaku lagi, Tu-lin. Aku tak ada banyak waktu karena temanku menunggu di lain tempat!"

“Siauw-hiap tak bertanya bagaimana asal mulanya aku di sini? Siauw-hiap tak menaruh minat kepada nasibku yang buruk?”

Peng Houw terkejut.

“Oohh..!" wanita itu menangis, tersedu-sedu. "Kau selalu bertanya tentang Chi Koan dan urusanmu sendiri, Siauw-hiap. Kau agaknya jijik dan memandang rendah aku. Aku... aku memang pelacur. Tapi aku melacur karena dipaksa! Aku.... aku ada di sini karena dibawa dan dipaksa tukang-tukang pukul We-taijin itu. Aku mula-mula diberikan pemuda itu untuk akhirnya dibuang kepada kakek-kakek jahat itu. Aku, ooh.... aku sebenarnya gadis baik-baik!” dan wanita ini yang mengguguk dan rupanya terpukul tak diperhatikan Peng Houw akhirnya membuat pemuda itu sadar dan menindas ketidaksabarannya sendiri.

Wanita itu rupanya minta diperhatikan dan ditanya bagaimana bisa begitu. Dia dianggap terlalu banyak mengurusi keperluannya sendiri. Dan karena Peng Houw menganggap wanita itu dapat memberikan banyak keterangan, ia adalah penghuni Hek- see-hwa maka Peng Houw menekan ketergesaannya dengan pertanyaan lembut, menarik napas dalam-dalam. “Baiklah, kalau begitu kudengar nasibmu dahulu, Tu-lin. Ceritakan kepadaku bagaimana kau sampai ada di sini."

Aneh, wanita itu tersenyum. Senyumnya yang manis mengembang di bibir dan muka itupun diangkat naik. Peng Houw harus mengakui bahwa wanita ini memang cantik. Wajahnya halus kemerahan dan bibir serta bola mata itupun indah dipandang. Sepasang matanya bening berseri meskipun di balik itu diam-diam ada perasaan tidak suka di hati Peng Houw. Entahlah, dia menangkap semacam kegenitan dan keberanian liar di situ. Perasaannya yang murni memberitahukan itu.

Namun karena wanita ini baru saja mendapat perlakuan sewenang-wenang dan Peng Houw yang lugu juga tak banyak pengalaman akan tipu daya, hanya perasaannya memberitahukan kurang suka kepada wanita ini, mungkin karena menubruk dan menciumi mukanya tadi maka Peng Houw sering memandang ke arah lain kalau wanita itu bercerita sambil tersenyum dengan sesekali pura-pura sedih menceritakan keadaannya.

"Aku dari kota Ci-yang, berasal dari keluarga kaya. Tapi ketika orang tuaku terlibat hutang dengan We-taijin dan tak bisa membayar maka aku diberikan sebagai pelunas hutang. Selanjutnya.... ada pemuda bernama Chi Koan itu di sana. We-taijin tampak takut. Dan entah bagaimana tiba-tiba tujuh temanku yang lain juga ada di sana dan berikutnya kami harus melayani kakek-kakek hartawan dan pejabat-pejabat dari luar kota."

“Hm. nasibmu sungguh buruk. Tapi aku akan menolongmu, Tu-lin, dan juga tujuh temanmu itu."

"Aku percaya! Dan namamu sering disebut-sebut pemuda itu, siauw-hiap. Tapi coba kau bebaskanlah dahulu tujuh temanku itu. Aku dapat membawamu ke sana karena mereka disekap di kamar belakang, tak jauh dari Ruang Anggrek itu!"

"Hm," Peng Houw berpikir, “Apakah tak terlalu berbahaya? Kalau kau dapat memberikan petanya kupikir aku dapat ke sana sendiri, Tu- lin, tak perlu bersamamu....”

“Tidak, jangan. Kau tak tahu jebakan-jebakan di situ. Ada lubang dan sumur dalam, juga ranjau yang penuh bunga-bunga Hek-see- hwa!”

Peng Houw menarik napas dalam. Kalau saja gadis ini kelihatannya tidak begitu mengenal medan agaknya enggan dia mengajak. Tapi wanita ini rupanya mengenal medan, seluk- beluk dan segalanya rupanya diketahui. Maka mengangguk dan merasa cukup diapun bangkit berdiri dan berkata, “Baiklah, sekarang juga kita berangkat, Tu-lin. Mari kupondong biar cepat!"

Wanita itu berseri. Peng Houw agak semburat namun tanpa sungkan-sungkan wanita itu bangkit, mengangguk. Peng Houw sudah menyambarnya dan duduklah wanita itu di pundak. Dan ketika Tu-lin terkekeh dan Peng Houw merasa agak ganjil, tawa wanita itu aneh sekali maka si cantik berseru ingin merasakan nikmatnya “terbang" lagi.

“Peng-siauwhiap, kau bergeraklah seperti tadi. Ih, pingin aku merasa dibawa terbang. Nikmat benar!"

“Hm, tunjukkan padaku di mana teman-temanmu berada itu. Kita harus bergerak cepat atau nanti temanku di sana marah!”

“Baik, di sebelah kiri taman belakang. Kita kembali ke tempat tadi tapi hati-hati dan dengar aba-abaku.... wut!"

Peng Houw sudah berkelebat, tak menunggu lagi wanita itu berkata karena tempat yang ditunjuk sudah diingat. Tempat itu adalah tempat di mana ia menolong wanita ini dari kekejaman Bhe-twako. Dan begitu Peng Houw melayang dan terbang memasuki kawat berduri lagi maka wanita itu terkekeh dan aneh sekali bersorak-sorak.

“Ihh, luar biasa. Nikmat benar. Hi-hik, enak sekali, Peng-siauwhiap. Nikmat sekali. Aduh, mau rasanya aku terbang sekali lagi!"

"Diam, jangan ribut!” Peng Houw membentak, agak merah. “Tempat ini tempat musuh, Tu-lin. Jangan mengeluarkan suara atau nanti semua keluar!"

Wanita itu meleletkan lidah. Peng Houw tak tahu betapa sesuatu dicabut dari saku baju dalam, tak jadi dan dimasukkan lagi dan itulah sekantung serbuk bunga beracun! Peng Houw menaruh kepercayaan begitu besar dan menganggap wanita ini adalah gadis lemah tak berdaya, sama sekali tak tahu bahwa itulah satu di antara belasan wanita cantik pembantu Chi Koan. Tempat itu memang rumah iburan namun sejak Chi Koan di sini maka semua wanita penghibur diajari silat. Dalam waktu beberapa bulan ini pemuda itu telah merobah keadaan.

Hek-see-hwa sesungguhnya tempat gemblengan bagi pelacur-pelacur tingkat tinggi untuk melindungi Chi Koan. Tempat itu semacam perguruan terselubung dengan Kwi- bo sebagai tangan kanannya. Tu-lin adalah satu di antara pelacur tingkat tinggi yang dipersiapkan Chi Koan untuk menghadapi Peng Houw! Maka ketika Peng Houw memondong wanita itu dan betapa mudahnya wanita ini merobohkan Peng Houw, sekantung serbuk Hek-see-hwa siap ditaburkan maka Peng Houw tak tahu betapa bahaya besar hampir mencelakakannya.

Tu-lin hampir saja mengebutkan sekantung serbuk beracun itu namun wanita ini maju mundur. Peringatan Chi Koan bahwa Peng Houw adalah pemuda berbahaya yang berkepandaian tinggi membuat wanita itu maju mundur. Dia begitu girang didudukkan di atas pundak. Sekali dia mengebut tentu pemuda ini roboh. Namun karena dia juga tertarik kepada Peng Houw dan betapa pemuda itu rupanya benar-benar jejaka murni, tak tahu atau masih malu-malu berhadapan dengan wanita maka si cantik yang sebenarnya ular berbahaya ini merencanakan sesuatu yang juga berbahaya bagi pemuda itu, di samping pesan atau wewanti dari Chi Koan.

“Kalau aku dapat merobohkan dengan bantuan Si-yen dan kawan-kawan tentu tak perlu aku ragu melaksanakan tugas. Biarlah kutunggu sampai kami berdelapan menghadapi pemuda ini. Kalau aku gagal masih ada tujuh yang lain yang merobohkan pemuda ini.”

Kiranya Peng Houw telah diketahui kedatangannya. Pihak Hek-see-hwa sesungguhnya telah melihat bayangan tiga orang di bawah gunung dan Lui-cu serta cucunya dilaporkan ke atas. Peng Houw dan kakek Kun-lun itu tak tahu bahwa di atas gunung banyak dipasang mata-mata. Tak kurang dari dua ratus orang dipersiapkan di sini, menjaga atau mengawasi setiap sudut hingga sesungguhnya kedatangan Peng Houw dan dua temannya ini diketahui.

Namun karena semua dilaporkan ke atas dan tak ada gerakan menyambut, Chi Koan demikian berhati-hati menghadapi Peng Houw maka diatur siasat di mana Tu-lin pura-pura diseret dan dihajar Bhe-twako, matang biru dan jeritan wanita itu mengundang Peng Houw. Di tempat lain juga terjadi hal yang sama dan ketika Peng Houw menolong si cantik itu Li Ceng pun tak dapat menahan diri.

Gadis yang diajak kakeknya mendaki arah timur ini juga mendengar jerit dan tangis wanita. Sang kakek terlambat ketika mencegah cucunya keluar. Gadis itu berkelebat melihat seorang wanita diseret-seret. Pelakunya seorang laki-laki tinggi besar berhidung merah, kasar dan bengis dan dua kali pukulan mendera wanita itu. Dan ketika wanita ini mengeluh dan roboh terbanting, sebuah tendangan membuat dia mencelat maka Li Ceng muncul seperti iblis dan gadis yang marah melihat kaumnya dihajar ini langsung saja berkelebat dan tendangan kakinya membuat laki-laki itu terjengkang dan ganti berteriak.

“Aduh...!”

Gadis itu sudah bertolak pinggang dengan muka kemerahan. Matanya yang berapi menyambar ganas, si hidung merah terkejut dan melompat bangun, terhuyung dan jatuh lagi namun bangun berdiri lagi. Dan ketika ia melihat betapa seorang kakek menyertai gadis itu, kakek bermata tajam yang penuh wibawa maka tanpa berkata apa-apa lagi lelaki ini memutar tubuh dan lari pergi!

“Hm!" Mutiara Geledek Lo Sam tak membiarkan ini. Sebagai orang tua yang selalu berhati-hati tentu saja dia tak membiarkan orang pergi. Mereka memasuki tempat musuh dan membiarkan orang ini lari hanya akan melapor saja. Tak boleh hal itu dibiarkan terjadi. Maka ketika kakinya bergerak dan orang itu menjerit melihat kakek ini tahu-tahu di depan, menabrak namun sebuah telunjuk menotoknya roboh maka laki-laki itu terguling dan tak bergerak lagi. Pingsan.

“Kau sembrono, memperlihatkan diri! Kau tak bertanya dulu kepadaku, Li Ceng. Kalau begini kita bisa diketahui musuh!”

“Ah, siapa kuat melihat kejadian ini. Cici ini diseret dan dihajar lelaki, kong-kong. Siapa tahan dan mana dapat membiarkan ini. Tikus busuk itu harus dibunuh atau diberikan santapan harimau!"

“Maafkan aku, hu-huuk...” wanita itu berlutut dan mengiba diri. "Barangkali aku yang salah, orang tua, bukan cucumu ini. Aku... aku hendak melarikan diri ketika tertangkap dan kemudian disiksa. Aku tak tahan di tempat ini!"

"Siapa kau?” Lui-cu Lo Sam mengerutkan kening, tak suka melihat pupur dan gincu yang tebal. Matanya yang awas memberi tahu bahwa yang dihadapi bukan wanita baik-baik. Ini tentu satu di antara penghuni Hek-see-hwa. Seorang pelacur! Tapi karena cucunya tak banyak pengalaman dan enggan dia berdebat maka wanita itu ditegur dan si baju hijau yang berbedak dan bergincu ini meratap.

"Aku.... aku Si-yen. Barangkali lo-enghiong (orang tua gagah) mendengar namaku.”

"Hm, kau penghuni Hek-see-hwa? Kau anak buah We-taijin?"

"Ak... aku orang baru, lo-enghiong. Memang benar dibawa We-taijin ke sini tapi aku berontak. Dua kali gagal untuk pulang dan kali ini tertangkap serta disiksa!”

Kakek itu memandang cucunya. Li Ceng tampak beriba hati sementara dia tak senang. Kakek ini tak tahu betapa si cantik itu lega. Kalau namanya dikenal berarti dia harus hati-hati. Orang tua ini belum dia kenal. Maka ketika kakek itu memandang cucunya dan dia terisak maka gadis baju merah itu membela dirinya.

"Cici ini harus kita lindungi. Aku pikir dia benar bahwa dia harus menyelamatkan dirinya. Biar kuantar sampai ke bawah gunung dulu, kong- kong. Kau tunggu di sini aku pergi sebentar!”

"Eh, kau melupakan tugas? Kita harus naik ke atas, Li Ceng. Atau nanti kita terlambat!”

"Peng Houw bisa menunggu sebentar, aku mengantar cici ini dulu dan baru setelah itu urusan kita!”

Sang kakek terkejut dan membelalakkan mata. Li Ceng, cucunya sudah bergerak dan menyambar wanita itu. Dia hendak mencegah namun cucunya sudah meluncur di bawah gunung. Dan karena tak enak membuat ribut, bukan maksudnya untuk memancing pertengkaran maka dengan mendongkol kakek ini membiarkan sang cucu pergi ke bawah.

Si-yen, wanita itu berseri girang. Ia sudah disambar dan dibawa pergi. Dan ketika Li Ceng sudah meluncur turun dan berkelebat dari batu yang satu ke batu yang lain, turun dengan cepat maka wanita itu terkekeh dan tiba-tiba jari tangannya menotok pundak si nona.

“Hi-hik, terima kasih. adik manis. Tapi cukup sampai di sini... tuk!”

Li Ceng terguling dan kaget bukan main. Ia sudah hampir di kaki gunung ketika tiba-tiba orang yang hendak diselamatkan itu menyerang. Ia tak menduga dan karena itu tak berjaga-jaga, maklum, disangkanya wanita ini orang lemah. Maka begitu menjerit namun ia roboh terpelanting, lawan sudah berjungkir balik dan melepaskan dirinya maka Si-yen, si cantik itu ganti menyambar tubuhnya, dipanggul.

"Kau... kau siapa? Keparat, kau siapa?”

"Hi-hik, aku Si-yen, adik manis. Kau sudah dengar itu. Dan kong-kongmu, hmm.... tentu orang yang datang bersama pemuda baju putih itu. Kalian bertiga sudah diketahui dan kini terjebak!"

Li Ceng memberontak namun sudah dilumpuhkan. Ia memaki-maki namun urat gagupun ditotok. Dan ketika ia mendelik dan marah bukan main, lawan terkekeh dan terbang ke atas maka kakeknya, Lui-cu Lo Sam juga mendapat gangguan di saat menunggu cucunya dengan hati tidak enak.

Kakek ini melepas dongkol dengan mengeluarkan pipa cangklongnya. Tembakaupun disulut dan bergeraklah pipinya mengisap dan menghembuskan asap putih. Namun ketika ia mondar-mandir dan tak sabar menunggu sang cucu maka tiga bayangan berkelebat dan seorang wanita cantik serta dua kakek tinggi kurus berkelebat di depannya. Yang wanita tertawa, merdu namun tawanya mendirikan bulu roma.

“Hi-hik, berhasil sudah. Masing-masing sudah cerai-berai dan tinggal si tua bangka ini sendiri. Heh, siapa kau, kakek bau. Apa maumu datang ke sini dan siapa teman-temanmu itu!"

Kakek ini terkejut. Tiga bayangan di depannya yang muncul dan langsung membentaknya membuat dia bergerak. Pipa cangklong seketika digigit kuat-kuat, asap mengebul dan menyambar namun ditangkis tiga orang itu. Dua kakek di kiri kanan mengebut. Dan ketika mereka berhadapan dan Mutiara Geledek sadar bahwa tiga lawan lihai berada di depannya maka dia tak pura-pura lagi dan mencabut pipa tembakaunya dicekal erat-erat.

“Hm, siapa kalian? Apa maksud pertanyaan itu. Aku tak mengerti!"

“Heh-heh, kambing tua ini rupanya main-main. Hayoh, pukul dia, Kwi-bo. Ledakkan rambutmu dan biar ularku mematuk lehernya.... wut!” seekor ular tiba-tiba meluncur dari tangan kiri kakek di sebelah kanan, langsung menyambar dan menggigit kakek ini.

Si Mutiara Geledek tentu saja terkejut. Dia mengelak dan seketika tahu bahwa lawan adalah Kwi-bo, si pelempar ular tentu Coa-ong adanya dan cepat dia mengangkat huncwenya. Ular membalik dan mengejar dan karena itu dia menjadi marah. Dan ketika terdengar suara "tak" dan ular roboh mati, kepalanya pecah maka kakek itu mendelik sementara Kwi-bo terkekeh meledakkan rambut.

“Hi-hik, kita tak tahu siapa kambing tua ini, tapi rupanya lihai. Bagus, awas dan hati-hati, Coa-ong. Ularmu mati seekor dan jangan sampai majikannya menyusul!"

Coa-ong, kakek itu marah sekali. Ia melepas ularnya tapi tak disangka begitu mudah lawan mengelak dan membalas. Tentu saja ia tak mengira bahwa lawannya ini adalah sute dari Kun-lun Lojin, dedengkot Kun-lun. Dan karena masing-masing belum pernah bertemu dan itu adalah pertama kali perjumpaan mereka maka Coa-ong yang membentak dan menerjang marah akhirnya mencabut tongkatnya dan dengan tongkat ular dia menerjang. Sin-coa-kun atau Silat Ular Sakti dimainkan.

“Jahanam kau.... plak-plak-dess!" tongkat bertemu huncwe dan si Raja Ular terpental. Kwi-bo dan teman satunya belum bergerak karena menganggap Coa-ong dapat melayani. Tapi begitu segebrakan itu disusul oleh teriakan kaget teman mereka, Jin-mo si Hantu Bambu melotot dan berseru keras tiba-tiba iblis inipun mencelat dan galah bambunya yang panjang itu menderu.

"Jangan khawatir, aku datang membantu Coa-ong. Kita hajar kambing tua ini!"

Namun Lui-cu si kakek sakti berkelit. Tiga kali ia diserang tapi tiga kali ia mengelak, semua serangan itu luput. Dan ketika bambu kembali menyambar dan kali ini si kakek bermaksud menangkis maka tangan kirinya bergerak dan.... krakk, galah bambu itu hancur!

"Keparat!" Jin-mo kaget dan marah. "Lawan kita lihai sekali, Kwi-bo. Maju dan robohkan dia!”

“Hi-hik, kau belum apa-apa. Belum sepuluh jurus! Eh, keluarkan silat galahmu, Jin-mo. Coba serang lagi dan kita lihat ilmunya!"

Jin-mo membentak dan penasaran. Sekali lagi ia menyerang namun galah bambu kembali hancur. Senjata yang mula-mula panjangnya tiga meter itu sekarang tinggal dua meter saja, kakek itu memekik. Dan ketika ia memutar dan menerjang lagi, Coa-ong membentak dan mengayun tongkat ularnya pula maka dikeroyoklah kakek itu namun segera tampak oleh mereka bahwa tongkat maupun galah terpental ke belakang. Huncwe maupun tangan kiri kakek itu mengeluarkan tenaga kuat sekali bagai terisi halilintar.

“Dia memiliki semacam tenaga Lui-kong-ciang (Tenaga Petir). Tenaganya kuat dan panas sekali!"

“Benar, dan telapakku pedas dan sakit, Jin-mo. Entah siapa tua bangka ini karena kita belum pernah kenal!"

“Bunuh dia, atau panggil murid kita Chi Koan.... des-dess!" dan dua orang itu yang kembali menjerit dan berteriak akhirnya melempar tubuh bergulingan bertemu tangkisan si kakek.

Mutiara Geledek mulai mengeluarkan tenaga Lui-kangnya dan memang benar bahwa tenaga ini seperti halilintar. Huncwe maupun tangan kirinya menunjukkan itu. Terakhir tongkat Coa- ong juga patah! Dan ketika Raja Ular terkejut dan bergulingan meloncat bangun maka Kwi-bo meledakkan rambutnya dan menerjang. Tawanya merdu nyaring namun sikap dan sepak terjangnya ganas.

“Hi-hik, berani benar orang ini. Mari kita robohkan sebelum memanggil Chi Koan!”

Lui-cu si kakek lihai dikeroyok. Sekarang ia menghadapi tiga orang namun gerak dan tangkisan-tangkisannya tetap mengejutkan. Ia mulai membalas dan berkelebatanlah kakek itu mengimbangi lawan. Dan ketika Kwi-bo juga berteriak karena rambutnya terpental maka muncul empat bayangan lain dan kakek ini gelisah....