"KAU..!" kakek itu tiba-tiba memandang tajam. "Katakan terus terang bagaimana dengan guruku, Peng Houw. Ceritakan lebih dulu sebelum pinceng bercerita tentang diri pinceng!”
"Maksud susiok?”
"Kau mendapatkan warisan Bu-tek-cin-keng itu. Kau menguasai Hok-te Sin-kun. Ini berarti pelanggaran dan sinkangmu hebat sekali melebihi pinceng!"
"Hm, agaknya tak perlu bohong lagi," Peng Houw menarik napas dalam. “Kau benar, susiok. Dan tentu kau dapat menduga bagaimana akhirnya.”
“Maksudmu?"
“Ji Leng lo-suhu telah tiada. Ia mengorbankan dirinya untukku.”
"Astaga!" kakek ini terbelalak. “Jadi.... jadi benar...?”
“Benar, susiok. Ji Leng lo-suhu telah tiada...”
“Oohhh...!” kakek itu tiba-tiba tersedu-sedu. "Suhu wafat, Peng Houw? Dan ini karena ulah pinceng juga? Ohh, pinceng semakin berdosa. Pinceng memang penuh dosa, dan itu karena Chi Koan! Keparat, bocah itu akan kubunuh!"
Peng Houw mengerutkan kening dan ngeri. Hwesio ini mencabik-cabik pakaiannya sendiri dan dada yang tegap dan bidang itu dipukul- pukul. Suara “duk-duk” menggetarkan hati. Namun ketika ia meraih dan menangkap tangan itu, sang hwesio melotot maka pemuda ini menenangkan dengan napas ditarik dalam-dalam.
"Susiok tak perlu semarah itu. Susiok telah mengakui bahwa diri susiok salah. Chi Koan memang jahat dan harus dihukum, susiok. Tapi tenanglah dan jangan menanam kebencian.”
"Jangan menanam kebencian? Jangan marah dan menyuruhku tenang? Keparat, lihat apa yang dilakukan bocah itu, Peng Houw. Lihat bagaimana pinceng menderita. Enak saja kau bicara sementara tidak merasakan!”
“Hm, ini karena ulah susiok juga. Susiok sudah menerima hukuman, dan ini tepat seperti apa yang dikata kitab suci ayat lima bab dua belas.”
“Kau..." hwesio itu tertegun, matanya masih membelalak. “Kau masih hapal Dhammapada? Kau masih ingat semua ayat-ayat kitab suci itu?"
“Aku dibesarkan dan dididik di Go-bi, susiok. Setiap hari makananku adalah isi kitab suci, tentu saja hapal.”
"Kalau begitu katakan itu, pinceng lupa-lupa ingat!"
Peng Houw tersenyum. "Susiok menguji diriku?"
“Tidak menguji, Peng Houw, melainkan juga ingin mendengar suara empukmu membaca kitab suci. Pinceng sudah lama tidak mendengar kau menyanyi membaca kitab. Cobalah, pinceng ingin dengar!"
Peng Houw menarik napas lagi. Dulu memang sering bersama Chi Koan di hadapan guru-guru mereka ini masing-masing sama menghapal dan membaca isi kitab. Tapi karena dia lebih serius dan Chi Koan sering main-main, suaranya menjadi lebih empuk dan enak didengar maka sering dia dipuji susioknya ini. Dan sekarang susioknya meminta dia mengulang itu. Peng Houw tersenyum. Maka ketika dia mengangguk dan mengatur napasnya baik-baik maka keluarlah ayat-ayat itu melalui mulutnya yang bergetar lembut, sejuk menyegarkan:
Kejahatan dibuat oleh diri sendiri lahir dari dalam diri sendiri diakibatkan oleh diri sendiri
Kejahatan menggilas orang yang bodoh seperti intan memecah batu permata yang keras
"Ha-ha, cocok, betul! Kau masih ingat dan hapal isi kitab itu, Peng Houw. Tapi adakah yang lain yang bisa kau sebut? Coba, pinceng ingin menguji dan sebutkan yang lain!"
"Susiok minta ayat yang mana?"
"Mana saja, pilih yang kau suka!"
"Hm, kalau begitu tidak teruji. Aku dapat menyebut mana yang kau pilih, susiok, jangan aku yang memilih. Biar susiok yang mencari dan aku menemukan.”
"Baiklah, kalau begitu ayat kelima dari bab kelima belas!”
Peng Houw tertegun. "Itu? Baik, aku hapal, susiok. Dan inilah mereka:
Kemenangan dapat memupuk kebencian orang yang kalah hidup dalam kesakitan
Sungguh berbahagia orang yang hidup sejahtera yang telah membuang kemenangan dan kekalahan
"Ha-ha, bagus sekali. Cocok! Kau benar-benar hapal. Eh, bagaimana tanggapanmu tentang ayat ini, Peng Houw? Tidakkah cocok dengan pinceng. Pinceng telah disakiti dan dihina Chi Koan. Dan si sombong itu telah memupuk kebencian dihati pinceng!"
"Hm, benar. Tapi susiok lupa. Dulu susiok juga melakukan seperti Chi Koan dan banyak orang membenci susiok."
“Eh, maksudmu?"
"Jelas, dulu kau pemenang, susiok, dan sekarang kau yang kalah. Kalah dan menang sama-sama pernah kau alami dan sekarang hanya gantian saja."
Hwesio itu tertegun. Kalau bukan Peng Houw yang bicara tentu dia akan menggeram dan melontarkan pukulan. Tinju itupun sudah terkepal. Tapi ketika dia melihat betapa tenangnya anak muda itu, pandang mata Peng Houw jernih dan tidak menusuk iapun tiba-tiba menghela napas dan menurunkan tinju itu. Mata itu tiba-tiba basah,
"Maksud susiok?”
"Kau mendapatkan warisan Bu-tek-cin-keng itu. Kau menguasai Hok-te Sin-kun. Ini berarti pelanggaran dan sinkangmu hebat sekali melebihi pinceng!"
"Hm, agaknya tak perlu bohong lagi," Peng Houw menarik napas dalam. “Kau benar, susiok. Dan tentu kau dapat menduga bagaimana akhirnya.”
“Maksudmu?"
“Ji Leng lo-suhu telah tiada. Ia mengorbankan dirinya untukku.”
"Astaga!" kakek ini terbelalak. “Jadi.... jadi benar...?”
“Benar, susiok. Ji Leng lo-suhu telah tiada...”
“Oohhh...!” kakek itu tiba-tiba tersedu-sedu. "Suhu wafat, Peng Houw? Dan ini karena ulah pinceng juga? Ohh, pinceng semakin berdosa. Pinceng memang penuh dosa, dan itu karena Chi Koan! Keparat, bocah itu akan kubunuh!"
Peng Houw mengerutkan kening dan ngeri. Hwesio ini mencabik-cabik pakaiannya sendiri dan dada yang tegap dan bidang itu dipukul- pukul. Suara “duk-duk” menggetarkan hati. Namun ketika ia meraih dan menangkap tangan itu, sang hwesio melotot maka pemuda ini menenangkan dengan napas ditarik dalam-dalam.
"Susiok tak perlu semarah itu. Susiok telah mengakui bahwa diri susiok salah. Chi Koan memang jahat dan harus dihukum, susiok. Tapi tenanglah dan jangan menanam kebencian.”
"Jangan menanam kebencian? Jangan marah dan menyuruhku tenang? Keparat, lihat apa yang dilakukan bocah itu, Peng Houw. Lihat bagaimana pinceng menderita. Enak saja kau bicara sementara tidak merasakan!”
“Hm, ini karena ulah susiok juga. Susiok sudah menerima hukuman, dan ini tepat seperti apa yang dikata kitab suci ayat lima bab dua belas.”
“Kau..." hwesio itu tertegun, matanya masih membelalak. “Kau masih hapal Dhammapada? Kau masih ingat semua ayat-ayat kitab suci itu?"
“Aku dibesarkan dan dididik di Go-bi, susiok. Setiap hari makananku adalah isi kitab suci, tentu saja hapal.”
"Kalau begitu katakan itu, pinceng lupa-lupa ingat!"
Peng Houw tersenyum. "Susiok menguji diriku?"
“Tidak menguji, Peng Houw, melainkan juga ingin mendengar suara empukmu membaca kitab suci. Pinceng sudah lama tidak mendengar kau menyanyi membaca kitab. Cobalah, pinceng ingin dengar!"
Peng Houw menarik napas lagi. Dulu memang sering bersama Chi Koan di hadapan guru-guru mereka ini masing-masing sama menghapal dan membaca isi kitab. Tapi karena dia lebih serius dan Chi Koan sering main-main, suaranya menjadi lebih empuk dan enak didengar maka sering dia dipuji susioknya ini. Dan sekarang susioknya meminta dia mengulang itu. Peng Houw tersenyum. Maka ketika dia mengangguk dan mengatur napasnya baik-baik maka keluarlah ayat-ayat itu melalui mulutnya yang bergetar lembut, sejuk menyegarkan:
Kejahatan dibuat oleh diri sendiri lahir dari dalam diri sendiri diakibatkan oleh diri sendiri
Kejahatan menggilas orang yang bodoh seperti intan memecah batu permata yang keras
"Ha-ha, cocok, betul! Kau masih ingat dan hapal isi kitab itu, Peng Houw. Tapi adakah yang lain yang bisa kau sebut? Coba, pinceng ingin menguji dan sebutkan yang lain!"
"Susiok minta ayat yang mana?"
"Mana saja, pilih yang kau suka!"
"Hm, kalau begitu tidak teruji. Aku dapat menyebut mana yang kau pilih, susiok, jangan aku yang memilih. Biar susiok yang mencari dan aku menemukan.”
"Baiklah, kalau begitu ayat kelima dari bab kelima belas!”
Peng Houw tertegun. "Itu? Baik, aku hapal, susiok. Dan inilah mereka:
Kemenangan dapat memupuk kebencian orang yang kalah hidup dalam kesakitan
Sungguh berbahagia orang yang hidup sejahtera yang telah membuang kemenangan dan kekalahan
"Ha-ha, bagus sekali. Cocok! Kau benar-benar hapal. Eh, bagaimana tanggapanmu tentang ayat ini, Peng Houw? Tidakkah cocok dengan pinceng. Pinceng telah disakiti dan dihina Chi Koan. Dan si sombong itu telah memupuk kebencian dihati pinceng!"
"Hm, benar. Tapi susiok lupa. Dulu susiok juga melakukan seperti Chi Koan dan banyak orang membenci susiok."
“Eh, maksudmu?"
"Jelas, dulu kau pemenang, susiok, dan sekarang kau yang kalah. Kalah dan menang sama-sama pernah kau alami dan sekarang hanya gantian saja."
Hwesio itu tertegun. Kalau bukan Peng Houw yang bicara tentu dia akan menggeram dan melontarkan pukulan. Tinju itupun sudah terkepal. Tapi ketika dia melihat betapa tenangnya anak muda itu, pandang mata Peng Houw jernih dan tidak menusuk iapun tiba-tiba menghela napas dan menurunkan tinju itu. Mata itu tiba-tiba basah,
"Peng Houw, kau sekarang berani menyalahkan susiokmu. Padahal dulu, hmm.... tentu kuketok kepalamu. Kau jujur, kau blak- blakan. Tapi ada akibat tentu ada sebab. Dulu sepak terjang pinceng adalah demi Go-bi. Sedang Chi Koan, apa yang mendorong pemuda itu? Semata demi kepentingan pribadinya, Peng Houw, rasa aku-nya itu. Pinceng dan dia tidak sama!”
"Benar, tapi akibatnya sama. Susiok dan Chi Koan sama-sama memupuk kebencian di hati orang lain dengan kesombongan susiok sendiri."
"Tapi aku tidak merasa sombong. Pinceng bertindak demi nama Go-bi!"
"Nama dapat diambil dan dijadikan alasan, susiok. Seseorang dapat berlindung dan mencari selamat di balik sebuah nama. Susiok juga besar rasa aku-nya. Susiok juga berkepentingan dengan diri pribadi susiok."
"Kau menegur?”
"Tidak menegur, susiok, melainkan sekedar memberitahukan apa yang sebenarnya kulihat. Susiok dan Chi Koan sebenarnya sama saja. Kalian sama-sama mengagulkan kepandaian hingga tak mengingat perasaan orang lain."
"Keparat, kau berani mencaci susiokmu. Kau...!" hwesio ini meloncat, tangan bergetar dan siap menghantam namun tiba-tiba diturunkan lagi.
Peng Houw tetap tenang sementara mata pemuda itu menyorot penuh wibawa dengan kilatan tajam. Kilat atau pandang mata itu menusuk seperti seorang sesepuh memandang anak buahnya. Sorot dan pandang mata itu seperti pandang mata Ji Leng Hwesio, lembut, namun tajam! Dan ketika hwesio ini tertegun dan menjublak, ketenangan dan keberanin Peng Houw benar-benar membuat hwesio itu terkejut maka mengguguklah hwesio ini menutupi mukanya, duduk menyembunyikan muka.
“Ohh... hu-huu... kau... kau seperti suhu, Peng Houw. Kau seperti orang tua itu. Kau tak segan melancarkan kritik. Kau berani! Tapi pinceng tak mau disalahkan karena pinceng dan Chi Koan tetap beda. Pinceng tidak mengkhianati guru. Pinceng bergerak dan melindungi Go-bi. Sedang anak itu... ah, kau tahu, Peng Houw. Chi Koan bocah keparat yang mencelakai gurunya sendiri. Anak itu tidak melindungi atau membela siapa-siapa kecuali dirinya sendiri. Pinceng dan Chi Koan tetap beda!"
"Baik, dan sekarang ceritakan tentang itu, susiok. Kau belum memberi tahu aku bagaimana kau selamat dan bisa begini."
"Nanti dulu, aku bertanya satu hal dulu. Bagaimana kau memiliki sinkang sekuat ini hingga pinceng yang telah berlatih puluhan tahun kalah!"
“Aku mendapatkannya dari Ji Leng lo-suhu pula," Peng Houw menarik napas. "Kakek itu memberikan segala-galanya kepadaku, susiok. Ia memberikan tenaga dan nyawanya untukku.”
"Kau menerima warisan langsung?"
"Benar.”
"Ia memberikan semua sinkangnya itu ke tubuhmu?”
"Benar, susiok, tapi mula-mula aku tidak tahu. Aku tahu setelah semuanya itu terjadi.”
"Oh, hebat sekali. Kau beruntung!” hwesio ini mendecak, suaranya iri. "Kau seakan mendapat warisan sorga, Peng Houw. Kau sudah seperti guruku sendiri kalau begitu. Pantas, aku tak mampu menghadapi sinkangmu yang demikian luar biasa!”
“Hm, aku justeru sedih. Ji Leng lo-suhu berarti meninggalkan Go-bi, susiok, dan ini satu pembayaran yang mahal. Betapapun aku tak mau kalau sebelumnya kuketahui begitu!"
Beng Kong Hwesio kagum. Peng Houw, anak muda ini demikian sungguh-sungguh ketika bicara. Wajah itu muram dan tampak kedukaan membayangkan itu. Peng Houw lebih memilih menjadi pemuda biasa daripada hebat dan sakti seperti itu kalau gurunya berkorban.
Anak muda ini demikian jujur dan penuh perasaan. Sungguh jauh dibandingkan Chi Koan! Dan ketika ia menjadi iri bahwa mendiang suhengnya mendapatkan murid seperti ini, jauh dibanding dirinya maka hwesio itu menarik napas dalam-dalam dan kembali ia terisak. Nasib terasa demikian kejam dan buruk kepadanya.
"Peng Houw, kau benar-benar anak mulia. Sungguh beruntung mendiang suheng mengambilmu sebegai murid. Pinceng.... hm, pinceng tak seberuntung gurumu mendapatkan murid. Kau emas sementara Chi Koan tembaga!"
"Susiok tak perlu mengingat-ingat itu. Kalau seandainya Chi Koan tak terlalu kau manja dan mendapatkan kasih berlebihan barangkali anak itu juga tak begini, susiok. Kau kelewat memperhatikan anak itu di luar batas. Sudahlah, ceritakan tentang nasibmu dan bagaimana kau masih hidup."
Hwesio itu menarik napas panjang. Sebelum dia menjawab sekali lagi dia memandang anak muda di depannya ini. Anak ini sungguh bukan Peng Houw kecil dulu. Yang dia hadapi adalah seorang pemuda matang yang tutur katanya bijak. Peng Houw sungguh seperti sesepuh yang sareh. Kata-katanya lembut meskipun mata itu mencorong berwibawa. Siapapun bakal segan berhadapan dengan anak muda seperti ini. Dan karena ia kagum bahwa ia kalah, Chi Koan pun katanya roboh di tangan anak muda ini maka hwesio itu tiba-tiba menjadi sendu dan muram disuruh menceritakan nasibnya.
"Pinceng memang sial, tapi pinceng masih beruntung. Hm, nasib pinceng dimulai dari Heng-san, Peng Houw. Karena dari sanalah segala-galanya terjadi."
“Ya, aku tahu. Coba susiok ceritakan itu.”
"Waktu itu Chi Koan ditangkap Siang Kek Cinjin. Tua bangka itu siap membunuh Chi Koan dan menunggu kedatangan pinceng!"
“Lalu?”
“Lalu aku datang, Peng Houw, dan bertempur hebat. Di dalam guha itu si tua bangka ternyata telah memasang seratus dinamit untuk mengajak mati bareng. Tapi berhasil kubunuh lebih dulu, meskipun akhirnya sebuah ledakan membuat kakiku putus dan sebelah mataku buta oleh jarum si tua bangka itu!”
“Hm, pertandingan yang menyeramkan,” Peng Houw bergidik. “Tentu seru dan dahsyat, susiok. Tapi bagaimana dengan Chi Koan?"
“Ia berhasil kurampas. Dan guha bagian depan hancur teruruk oleh ledakan-ledakan. Dan ketika aku melarikan diri dan Chi Koan membawaku maka di ujung guha sana ia mengkhianati aku dan menutupi sebuah granat peledak sementara ia hendak lari menyelamatkan diri!"
“Hm. bagaimana itu? Apa yang terjadi?”
“Waktu itu kami sudah sampai di luar terowongan. Tapi jahanam itu, ah... Ia menutupi sebuah granat dengan daun kering yang untung pinceng ketahui lebih dulu. Kalau tidak tentu pinceng sudah mampus ketika duduk dan menimpa benda terkutuk itu!”
"Tapi Chi Koan di mana?”
"Ia naik tebing, Peng Houw. Katanya akan mencari tali atau akar panjang untuk menarik pinceng. Tapi semuanya itu bohong. Ia hendak melarikan diri dan mengharap pinceng menduduki granat itu. Dan ketika ia pinceng panggil dengan suara curiga tiba-tiba ia melemper sebuah granat dan saat itu juga pinceng balas hingga kami berdua seakan di tengah neraka. Tebing itu runtuh dan guha di tengah jurang juga hancur. Kami terlempar ke bawah dan bocah itu rupanya tidak mampus!"
"Ia ditolong Ji Leng lo-suhu,” Peng Houw berkerut ngeri. "Ji Leng lo-suhu datang ke Go-bi setelah susiok tak ada kabar beritanya, muncul dan menemukan Chi Koan tapi celakanya malah menipu kakek ini dan mencuri Bu-tek-cin-keng.”
“Ya-ya, bocah itu memang busuk, jahat, banyak akalnya. Ia utusan iblis yang mencelakakan orang lain. Bocah seperti itu tak layak diberi hidup lagi!"
“Hm, semua perbuatan bakal membalik ke diri sendiri, susiok. Chi Koan bakal menerima akibat dari hasil perbuatannya ini. Dan susiok sendiri, setelah itu, lalu tidak kembali ke Go-bi?"
"Wajah dan tubuh pinceng rusak, Peng Houw. Pinceng malu, terutama kepada suhu. Pinceng tidak tahu bahwa guruku telah meninggal. Kalau tahu, hmm... entahlah!”
"Oh-ya," Peng Houw teringat. "Kematian Ji Leng lo-suhu jangan diberitahukan siapapun juga, susiok. Bisa gempar Go-bi kalau tahu. Musuh bisa datang meluruk dan tak ada yang dapat melindunginya nanti!"
Mata hwesio ini bersinar. "Begitukah? Jadi murid-murid tak ada yang tahu dan kematian ini dirahasiakan?"'
"Benar, susiok, karena itu jangan beritahu siapapun sampai akhirnya semua tenang kembali."
Hwesio itu menyeringai. Peng Houw tak melihat tawa aneh tersembunyi dalam seringai ini. Ia terlalu jujur. Dan ketika hwesio itu bangkit dan mengebutkan lengannya maka hwesio ini berkata, “Baiklah, jelas bagiku, Peng Houw. Suhu telah tiada dan kau sebagai penggantinya. Hm, betapa beruntung dirimu hingga mendapatkan segala-galanya dari suhu. Coba katakan apa yang harus pinceng lakukan setelah ini?”
“Susiok kembali saja ke Go-bi. Susiok dapat berbuat banyak dengan kehadiran susiok di sana.”
"Eh, kembali ke Go-bi? Memperlihatkan wajah dan tubuh pinceng yang rusak?”
"Tak ada orang sempurna di dunia ini, susiok. Cacad tubuh bukanlah halangan. Cacad jiwa lebih besar dan susiok masih baik!"
"Hm-hm, kau pandai menghibur,” hwesio ini terkekeh. "Kau dan suhumu Leng Kong Hwesio sama baik, Peng Houw, terima kasih. Tapi pinceng tak mau kembali kalau belum mengunyah bocah jahanam itu!”
Peng Houw mengerutkan kening. "Susiok hendak membalas sakit hati?”
“Eh, sangkamu bagaimana? Aku harus diam saja dan membiarkan segala penderitaanku ini tanpa balas?"
"Chi Koan memang jahat, susiok, tapi dendam tak boleh tinggal di hatimu. Ia memang harus dihukum, tapi bukan dengan kemarahan dan kebencian."
"Ha-ha, kau berkhotbah! Kau boleh lihai dan lebih hebat daripada pinceng, Peng Houw, tapi kau kalah umur dan kalah pengetahuan. Kau tak perlu mengajari aku bagaimana melepas semua himpitan batin ini. Marah atau benci tergantung pinceng. Kau tak merasakan bagaimana hebatnya penderitaan pinceng, enak saja bicara. Sudahlah, cukup semua ini dan kupikir kita cari pemuda itu sendiri-sendiri!”
“Susiok...!”
Sang hwesio sudah berkelebat. Beng Kong rupanya cukup berbincang-bincang dan kini mempunyai urusan sendiri. Dia tak mau lagi diganggu. Maka ketika dia berkelebat dan memasuki hutan, tempat itu gelap maka Peng Houw meloncat bangun dan menghela napas melihat kepergian susioknya itu. Dia tak dapat mencegah kalau paman gurunya sudah menghendaki begitu. Iapun merasa cukup dan puas akan pembicaraan tadi. Susioknya memang masih hidup. Mendiang gurunya benar.
Maka ketika dia menarik napas sekali lagi dan bergidik akan kekejaman Chi Koan, juga ancaman paman gurunya tadi yang tak mau sudah terhadap muridnya tiba-tiba pemuda inipun melangkah pergi dan mencari tempat enak untuk beristirahat. Peng Houw sudah menemukan paman gurunya itu dan ia akan melanjutkan perjalanannya mencari Chi Koan lagi. Bu-tek-cin-keng itu harus dirampas. Dan ketika Peng Houw berkelebat dan keluar dari hutan pemuda itupun meninggalkan tempat pertemuan itu dan lenyap di tempat lain.
Sore itu Peng Houw buru-buru melangkah. Mendung tebal di atas kepalanya memberitahukan bahwa sebentar lagi hujan lebat turun. Dia berada di tengah perjalanan sunyi di mana tepian sungai Huang-ho berada di sebelah kanannya. Sungai itu berbahaya kalau meluap. Air bah bisa tercipta kalau hujan dan angin turun menyerang. Maka ketika kilat menyambar disusul gelegar di angkasa hitam, sepercik bola api memecah di sana maka dua orang tiba-tiba berlarian pula dari belakang.
Peng Houw mengira mereka itu akan mencari tempat perlindungan. Air mulai turun dan iapun rupanya tak sempat mencari rumah penduduk. Dan ketika ia berlari namun suara teriakan membuat ia menahan lari, bentakan dan makian disusul oleh ledakan cambuk maka suara menjeletar menyaingi petir di angkasa yang meledak mengejutkan.
“Heii, berhenti. Beri tahu dulu di mana jahanam keparat itu!"
"Tolong...!" suara itu terdengar lagi.
"Tolong, anak muda. Tolong... ada orang gila mengejar-ngejar aku.... tar-tarr!" cambuk di belakang menyambar dan mengejar lagi.
Peng Houw melihat orang itu roboh dan menjerit ditarik cambuk yang melilit cepat. Orang di belakang, yang membentak dan marah itu terkekeh dan menyerang orang di depan itu. Peng Houw terkejut karena di tengah keadaan begini muncul peristiwa ini. Seseorang menyerang dan menyakiti orang lain. Dan ketika orang itu berteriak terbetot ke belakang, cambuk panjang membelit dan sudah membawa tubuhnya bergulingan ke arah lawan.
Maka orang itu yang rambutnya riap-riapan dan terbahak-bahak mengangkat naik cambuknya dan sekali sentak membuat orang itu melayang dan diterima tangannya, langsung ditotok roboh. Dan begitu orang itu mengeluh maka pembawa cambuk inipun terkekeh dan memutar tubuhnya lari ke arah tadi darimana dia datang.
"Ha-ha, urusan belum selesai. Kau belum memberi tahu aku dan kita masih dalam pembicaraan yang menarik. Hayo, hangatkan tubuh di guha sana, tikus busuk. Kita buat api unggun dan minum arak, ha-ha!”
Peng Houw terbelalak dan seketika menghentikan langkah. Hujan telah mulai turun dan air sebesar kelereng jatuh dengan deras. Orang yang tertangkap itu tak mampu bersuara lagi dan si rambut riap-riapan bercambuk menjeletar-njeletarkan cambuknya. Suara itu menyaingi halilintar di awan hitam yang meledak-ledak marah. Dan karena ia tertarik sekaligus terkejut oleh kejadian itu, di tempat sunyi ini ada orang diserang orang lain maka Peng Houw yang tentu saja tak mungkin berdiam diri dan menganggap orang itu jahat tiba-tiba berkelebat dan membentak,
"Hei, siapa kau, orang tua. Kenapa menangkap orang. Lepaskan, jangan bersikap kejam!"
Orang itu terkejut. Peng Houw mengerahkan khikangnya hingga suara bentakannya itu mengatasi gelegar dan guruh di atas. Suara hujan yang dahsyat dan petir di angkasa tertembus oleh suaranya itu. Dan ketika orang itu menengok dan lebih terkejut lagi melihat Peng Houw melayang di atas tanah, kakinya seolah tak menginjak bumi maka pemuda itu tahu-tahu berada di dekatnya dan sudah menyambar tawanannya.
"Lepaskan orang itu!"
Orang ini kaget bukan main. Mereka telah sama-sama tidak menghiraukan hujan dan masing-masing sebentar kemudian sama-sama basah kuyup. Hujan bagai dicurahkan saja dari langit. Namun ketika ia berteriak dan berkelit, kaki menendang dari bawah maka Peng Houw luput dan sebagai gantinya malah menerima sebuah tendangan kuat yang menyambar dagunya.
“Plak!”
Peng Houw menangkis dan orang itu terjengkang. Orang ini berteriak dan jelas kaget sekali oleh tangkisan Peng Houw. Namun ketika ia bergulingan meloncat bangun dan tawanan masih kuat di cengkeramannya, baju seketika kotor oleh tanah coklat maka Peng Houw juga tertegun karena merasa tenaga yang kuat dari tendangan lawan, yang memakinya.
"Bangsat keparat, kau anak muda suka mencampuri urusan orang lain!" dan cambuk yang menjeletar dan menyambar udara tiba-tiba mematuk pemuda ini dan Peng Houw berkelit cepat, kagum, disusul oleh patukan cambuk berikut dan apa boleh buat Peng Houw menangkis dan menghalau. Dan ketika orang itu berteriak kaget karena tangkisan Peng Houw benar-benar kuat, cambuk terpental maka Peng Houw mendesak dan maju siap merampas tawanan.
“Kau kejam, hujan-hujan menangkap orang. Lepaskan tawanan itu, orang tua. Atau nanti aku merobohkanmu!"
"Keparat, iblis terkutuk. Kau bocah tak tahu adat, anak muda. Tawanan ini tangkapan penting bagiku. Kau tak boleh merampasnya atau aku terpaksa membunuhmu... siuttt-tar!" dan ujung cambuk yang menyelinap secara lihai tiba-tiba telah mematuk pundak Peng Houw dan membuat baju pemuda itu robek.
Peng Houw merasa panas tapi untung sudah mengerahkan sinkang. Patukan itu kalau bagi orang lain tentu sudah mengerikan. Tulang bisa tertembus dan bolong! Maka ketika dia mengerutkan kening sementara lawan menyerang lagi, memindahkan tawanan ke belakang punggung dan cambuk meledak menyerang bahunya maka Peng Houw tak mau berlama-lama di bawah hujan deras begini.
Dia mengerahkan tenaga Hok-te Sin-kangnya dan orang itu berteriak kaget melihat cambuknya terpental menyerang hidung sendiri, melempar tubuh ke kiri dan Peng Houw sudah maju membalas. Namun ketika orang itu mampu berkelit dan tangan kiri bergerak melepas pukulan maka Thai-san-ap-ting, pukulan khas Go-bi itu menderu.
"Heii...!" Peng Houw terkejut. “Siapa kau, orang tua? Ini Thai-san-ap-ting.... blarr!" pukulan meledak dielak Peng Houw, jatuh ke tanah di mana saat itu suara petir juga menggelegar di angkasa.
Orang ini terkejut melihat Peng Houw luput dari serangannya, lebih terkejut lagi bahwa pemuda itu mengenal pukulannya. Tapi ketika ia tertawa bergelak dan menyerang lagi, kini dengan cambuk dan pukulan di tangan kiri ia mencecar Peng Houw maka di bawah hujan lebat itu Peng Houw terbelalak dan heran serta kaget bahwa ada orang asing dapat memainkan ilmu Go-bi.
Pemuda ini terkejut dan pukulan atau tamparan-tamparan lawan dikelit. Cambuk yang menjeletar ditangkis dan lawan selalu berteriak keras kalau cambuk terpental. Orang itu juga kaget bahwa pemuda ini memiliki sinkang luar biasa, telapaknya terasa pedas! Tapi ketika ia menyerang lagi dan Peng Houw kini mulai marah mengerahkan Hok-te Sin-kangnya, menambah kekuatan untuk menangkis maka cambuk terhempas ketika membalik dan menyambar wajah laki-laki itu.
“Aduh...!” orang itu menjerit. "Kurang ajar kau, anak muda. Keparat!"
"Hm, siapa kau?” Peng Houw tak mau bersabar lagi, "Kau memiliki Thai-san-ap-ting, orang tua, ilmu cambukmu yang aneh ini juga luar biasa meskipun bukan warisan Go-bi!"
'Kau bocah lancang urusan. Kau mengganggu kepentinganku. Tak perlu kujawab dan lihat pukulan ini.... klap!" sinar putih berkelebat dan tiba-tiba menyambar dada Peng Houw.
Peng Houw terkejut karena itulah Cui-pek-po-kian, satu di antara dua ilmu Go-bi yang dahsyat. Dan ketika ia menangkis dan membuat lawan terjengkang, betapapun Hok-te Sin-kangnya masih lebih kuat maka orang tua itu terguling-guling sementara Peng Houw semakin terheran-heran lagi bahwa orang ini memiliki pula Cui-pek-po-kian.
"Kau memiliki Cui-pek-po-kian. Kau rupanya pencuri. Eh, menyerah atau kau roboh, orang tua. Kau tak dapat mengalahkan aku karena kebenaran tak dapat dikalahkan kejahatan!”
"Keparat, jahanam terkutuk!” orang itu memaki-maki. "Kau hebat tapi belum merobohkan aku, anak muda. Kau tahu ilmu-ilmu Go-bi apakah kau bocah Go-bi. Jahanam, aku masih tak akan menyerah!” orang itu bergulingan meloncat bangun dan menjeletarkan cambuknya lagi. Tadi kalau tidak memainkan cambuk dia mengeluarkan Thai-san-ap-ting, tangan kiri melepas Cui-pek-po-kian.
Peng Houw tentu saja penasaran untuk mengetahui siapakah lawannya ini. Kakek itu bukan seorang hwesio karena rambutnya riap-riapan. Ia menduga bahwa kakek ini mencuri. Dan karena ia marah dan ingin tahu siapa kakek ini, Hok-te Sin-kang dikerahkan lebih berat maka kakek itu terbanting ketika ditangkis dan didorong, mengeluh namun hebatnya masih dapat bergulingan meloncat bangun.
Umpatan dan makian terdengar dari mulutnya. Dan ketika ia lebih hati-hati tak mau beradu tenaga, hujan semakin dicurahkan saja dari langit maka sungai di sebelah mereka meluap dan tawanan yang digendong di punggung kakek ini terbelalak. Kakek yang bertempur itu seolah tak melihat kiri kanan lagi. Pakaiannya basah dan kotor penuh lumpur.
Peng Houw penasaran. Ia tak berani menurunkan tangan besi karena ia tertarik dan heran siapa kakek ini. Dua kali ia telah membuat kakek itu terbanting namun lawan bertubuh kuat. Lumpur dan bercak-bercak tanah telah menutupi seluruh pakaiannya dan wajah kakek inipun terasa lucu. Wajah itu penuh lumpur coklat. Tapi karena Peng Houw ingin merobohkan kakek ini dan urusan tawanan terlupakan, ia menjadi gemas maka ketika cambuk meledak iapun menangkap dan menarik kuat.
Tubuh kakek itu terbawa ke depan tapi hebatnya kakinya diputar menendang perut Peng Houw. Namun karena Peng Houw ingin menyelesaikan pertandingan dan kakek itu harus dirobohkan, menerima dan membiarkan saja tendangan itu maka Peng Houw tetap menarik dan wajah kakek itu pucat melihat betapa perut yang ditendang tak apa-apa. Dia sudah dekat sekali dengan pemuda itu dan sekali lawan menotoknya iapun roboh. Tapi ketika kakek itu berseru keras dan melepaskan cambuknya, terpelanting ke belakang dan saat itu kilat menyambar di depan mereka maka Peng Houw maupun kakek itu sama-sama terkejut oleh bunyi yang dahsyat.
“Dar!”
Tawanan terlepas. Kakek itu bergulingan dan Peng Houw segera teringat laki-laki ini. Petir hampir saja mengenai tubuh tawanan itu yang berteriak ngeri. Dibawa melompat dan bergulingan ke sana-sini akhirnya totokan si kakek terbuka. Laki-laki itu selamat tapi hampir disambar petir. Dan ketika Peng Houw terkejut melihat kilat menyambar lagi, tawanan harus ditolong maka apa boleh buat ia harus menyambar dulu laki-laki ini sebelum tubuhnya hangus disambar dewa kilat lagi.
Peng Houw berkelebat dan cambuk rampasan digunakan melilit, tubuh orang itu ditarik dan meledaklah halilintar untuk kedua kalinya, tepat di tempat di mana orang itu berada. Dan ketika suara menggelegar memekakkan telinga, Peng Houw berhasil menyelamatkan orang ini maka laki- laki itu jatuh menggigil dengan muka pucat pasi.
“Tolong.... tolong selamatkan aku. Kakek gila itu mengejar-ngejar aku....!”
"Tak perlu takut," Peng Houw menghibur namun menekan debaran jantungnya sendiri. Petir kedua kali tadi begitu dekat dengan orang ini. Nyaris kena! "Kau ada bersamaku, saudara. Tentang kakek gila itu ia akan kuhajar... eh, mana dia!"
Peng Houw kebingungan tak melihat kakek itu. Lawan ternyata telah melarikan diri dan saat itu sungai Huang-ho bergemuruh. Sungai akan meluap. Dan ketika ia terbelalak dan berubah wajah, kejadian alam dahsyat akan dijumpai maka orang itu sudah bangkit dengan ngeri menuding.
"Huang-ho akan mengamuk. Air bah akan datang. Ooh, kita harus lari, anak muda. Kita harus mencari perlindungan. Celaka, kita berada di tengah-tengah Tanah Kuning!"
"Maksudmu?"
"Tanah ini akan licin dan cepat sekali berubah rasa. Ia akan seperti minyak, kita mudah tergelincir.... aduh!" dan benar saja ketika orang itu terguling dan menjerit maka Peng Houw sendiri merasa betapa tanah yang diinjak sudah melicin dan bagai minyak pelumas. Ia tak tahu bahwa daerah itu daerah berbahaya di waktu hujan.
Artinya tanah di tempat itu bisa berubah terkena air hujan. Tanah ini telah ribuan tahun berakrab dengan Huang-ho dan begitu hujan lebat datang iapun menjadi licin den berbahaya. Orang akan jatuh tergelincir berjalan di atasnya. Dan karena hujan demikian deras sementara tebing di kejauhan sana runtuh dan menggelegar, longsor disapu air hujan maka, orang itu berteriak dan rupanya tak mampu menahan takutnya lagi, lari menjauhkan diri.
“Tolong.... celaka, anak muda. Huang-ho sudah mengamuk!"
Peng Houw terkejut. Saat itu bunyi gemuruh benar-benar memekakkan telinga. Sungai meluap dan tanah di delapan penjuru bergerak-gerak. Mereka seakan tangan-tangan raksasa yang akan menerkam siapa saja. Air coklat gelap terdapat di mana-mana, bukan hanya di permukaan sungai melainkan juga di daratan. Dan ketika semua daratan bergerak dan mendidih, lumpur dan air dahsyat menerjang ke depan maka Peng Houw yang baru kali itu melihat dahsyatnya alam sudah menyaksikan bagaimana Huang-ho mengamuk.
Sungai yang lebar itu mendidih. Tebing-tebing di kiri kanannya gugur. Dan karena delapan penjuru pandangan hanya air dan warna coklat melulu, lumpur dan tanah pekat bergolak bagai hantu menyeramkan maka Peng Houw terlambat untuk menghindarkan diri. Ia diterjang dan jeritan orang di depan tak terdengar. Suara gemuruh dan riuhnya hujan badai membuat telinga serasa pekak. Namun ketika air menerjang dan ia bingung meloncat sana-sini, delapan penjuru sudah dikurung warna coklat maka seseorang terdengar berseru dari atas. Ajaib!
"Heii, ke sini, anak muda. Lari dan naik ke sini!”
Suara itu penuh getaran tenaga khikang. Peng Houw terkejut dan ketika otomatis ia melihat ke asal suara maka kakek itu, yang tadi menghilang dan dikiranya melarikan diri ternyata sudah berada di atas sebuah pohon raksasa yang memang tak jauh dari situ. Dahannya yang sebesar tubuh orang dipakai menongkrong. Dan ketika Peng Houw girang dan bergerak ke sini, jatuh dan bangun lagi maka kakek itu terkekeh tak dapat menahan geli.
"Heii, cepat. Pergunakan cambukmu sebagai pembantu. Jangan bodoh, tanah itu sudah selicin minyak pelumas!"
Peng Houw pucat. Ia jatuh bangun di atas tanah licin yang amat berbahaya ini. Ke manapun menginjak tentu terpeleset. Berbahaya, bukan main berbahaya. Namun ketika ia mempergunakan cambuknya untulk membelit atau menangkap apa saja, dengan begini ia dapat menyentak dan membawa tubuhnya meluncur ke depan maka bagai tarzan si raja rimba ia melayang dan berayun-ayun dari satu pohon ke pohon lain.
Pohon yang paling besar adalah pohon yang diduduki kakek itu. Yang lain termasuk kecil dibanding itu, biarpun sebenarnya besar karena batangnyapun sepelukan orang dewasa. Tapi karena di sana ada kakek itu dan ia tertarik untuk mengetahui siapakah lawannya ini, kakek yang memiliki Thai-san-ap-ting dan Cui-pek-po-kian maka Peng Houw meluncur menuju tempat itu sementara arus air di bawah kakinya sudah semakin dahsyat dan menderu menerjang apa saja.
Dia akhirnya berhasil mendekati pohon itu dan sekali meledakkan cambuk berjungkir balik iapun melayang dan tiba di dekat kakek itu, di dahan yang sama, terbelalak dan memandang kakek itu namun kakek itu justeru bersinar-sinar memandang ke bawah. Ia sudah tidak memperdulikan Peng Houw lagi karena seluruh perhatian tertuju ke bawah.
Kalau Peng Houw mau tentu dengan sekali serang ia mampu merobohkan kakek ini. Namun karena Peng Houw bukan berwatak seperti itu dan turut memandang ke bawah pula maka terdengar jeritan dan tawanan itu, laki-laki yang tadi dilupakan Peng Houw ternyata sudah disambar dan digulung ombak Huang-ho.
"Toloongg.....!”
Peng Houw terkejut dan baru sadar. Ia kembali melupakan orang itu karena saat itu iapun harus menyelamatkan diri dari gempuran hantu coklat. Air bah telah menyerang tempat itu dan di mana-mana gemuruh dan suara air melulu. Ia lupa. Tapi ketika sebuah tangan mencengkeram pergelangannya dan itulah kakek ini, Peng Houw hendak melompat ke bawah maka kakek itu berseru janganlah berbuat apa-apa.
"Jangan berbuat konyol. Kita di sinipun belum tentu selamat. Lihat pohon dan segalanya di bawah, anak muda. Mereka akan lenyap dan disapu bersih!"
Peng Houw terbelalak. Benar saja gemuruh air Huang-ho semakin dahsyat. Sungai itu telah meluap dan tak ada apapun yang dapat menahan. Tepian sungai telah menjadi satu dengan daratan dan ini mengerikan sekali. Orang tak akan tahu mana tanah daratan mana air dalam. Semuanya menyatu dan membuat bulu tengkuk meremang. Dan ketika pohon-pohon di bawah diserbu air bah, roboh dan hanyut maka pohon raksasa di mana mereka berdua bernaung diri juga mulai bergoyang dan bergetar dahsyat.
"Awas, hati-hati. Kalau pohon inipun roboh maka kita harus mencari dahannya sebagai pelampung!"
Peng Houw benar-benar pucat. Seumur hidup baru kali itulah dia mengalami hal ini. Mengamuknya Huang-ho yang dulu hanya didengarnya sebagai dongeng ternyata kini dialaminya sendiri. Sungai itu bergolak dan mendidih. Buihnya coklat kental dan menerjang apa saja tanpa dapat dihalangi atau ditahan. Entah berapa juta ton kubik lumpur terbawa. Dan ketika bukit di kejauhan juga berderak dan gugur, satu persatu tebing-tebingnya runtuh dan anjlog menimpa ke bawah maka batu-batu besar juga terguling dan tercebur.
Peng Houw ngeri. Dia memejamkan mata dan kalau sudah begini maka benar kata orang-orang tua. Gemuruh dan gejolaknya air itu dapat didengar sampai belasan kilometer. Dahsyat menggetarkan. Dan ketika pohon yang ditumpanginya bergerak dan miring maka orang tua di sebelahnya itu berteriak, mengerahkan khikang.
“Heii, hati-hati. Kita bertahan!"
Peng Houw membuka mata. Dia melihat orang tua itu gugup namun sepasang matanya berseri-seri. Aneh orang ini, barangkali gila. Dan ketika kakek itu kemudian tertawa bergelak dan suaranya bergemuruh menandingi gemuruhnya air bah maka dia memandang Peng Houw dan menantang terbahak-bahak.
“Heii, anak muda! Mana yang kau pilih. Membiarkan pohon ini roboh atau kita mempertahankannya!"
“Hm, apa maksudmu?" Peng Houw juga mengerahkan khikang, jarak sedekat itu harus berteriak pula. “Aku tak mengerti maksudmu, orang tua. Kau aneh dan rupanya sinting!"
“Ha-ha, kalau ingin mempertahankan maka cobalah kerahkan Ban-kin-kang (Tenaga Selaksa Kati). Aku juga akan mengerahkan Ban-kin-kang tapi kalau ingin mampus biarlah raksasa ini roboh dan hanyut!”
"Kau sendiri mana yang kau pilih?"
"Aku? Ha-ha, tentu saja enak di sini, bocah. Aku tak mau digulung-gulung ombak di sana dan basah kuyup!”
"Hm, kalau begitu akupun begitu. Awas, pohon ini rupanya mau diangkat naik!”
Kakek itu terkejut. Suara berderak membuatnya terbelalak dan posisi pohon tiba-tiba semakin miring. Air dahsyat di bawah mereka rupanya hendak menjebol pohon raksasa ini. Tanah digerus dan kalau berlama-lama banjir menyerang tentu roboh juga. Maka ketika dia terbelalak dan tiba-tiba memandang Peng Houw, berteriak apa yang akan dilakukan pemuda itu maka Peng Houw mengerahkan sinkangnya dan sekonyong-konyong menjejak.
"Mulai! Kita kerahkan tenaga kita dan jangan sampai pohon ini roboh!”
Kakek itu tertawa bergelak. Jejakan Peng Houw amatlah dahsyat dan pohon yang miring tiba-tiba tegak kembali. Bukan main kagumnya kakek itu. Dan ketiia mengempos semangat dan berseru keras, mengerahkan Ban-kin-kangnya maka pohon itu tak bergeming lagi dan tegak lurus. Kokoh diinjak Ban-kin-kang, Tenaga Sepuluh Ribu Kati.
"Ha-ha, dua tenaga bergabung seperti ini tak bakal dikhawatirkan lagi, anak muda. Pohon ini telah tegak seperti asalnya tapi entah berapa lama kita kuat bertahan. Hayo, bertanding. Siapa lebih lama menmpertahankan pohon ini dia yang menang!"
Peng Houw tak dapat tersenyum. Dia dalam keadaan serius dan terus mengerahkan tenaganya. Ucapan kakek itu tak ditanggapi dan kakek itu juga akhirnya berhenti bicara dengan otot-otot menggelembung. Dua orang ini mati-matian mempertahankan pohon itu agar tidak roboh. Hebat mereka ini. Deru air di bawah akhirnya menyerah dan lewat begitu saja. Pohon itu menancap bagai dipantek paku bumi. Bahkan, tanpa disadari pohon ini melesak ke bawah. Bukan main dahsyatnya tenaga dua orang ini terutama Peng Houw.
Pemuda itulah yang membuat akar pohon melesak. Ujungnya yang runcing menembus tanah ditekan begitu kuatnya dari atas. Dan ketika mereka berlomba mengerahkan Ban-kin-kang, empat jam lewat tanpa terasa akhirnya malam menjadi gelap gulita dan mereka tak mampu melihat lagi air bah di bawah kecuali percik kilaunya oleh pantulan bintang dan bulan yang mulai muncul.
Hujan telah reda dan kakek itu terengah-engah. Bertanding siapa yang kuat akhirnya membuat kakek ini menyerah. Ia roboh terduduk. Namun ketika ia tertawa bergelak melihat bulan dan bintang, sementera Peng Houw masih tegak menginjak kuat maka kakek itu berseru,
"Hei, badai telah selesai, anak muda. Kita selamat. Hentikan Ban-kin-kangmu dan lihat bulan dan bintang di atas!"
“Hm!" Peng Houw sadar, mendongak. "Kau benar, orang tua. Tapi kau mengajakku bertanding siapa kuat. Aku masih bertahan.”
“Ha-ha, tak usah. Aku kalah. Badai telah lewat meskipun banjir di bawah masih ada. Hentikan Ban-kin-kangmu dan aku si tua menyerah!”
"Hm, tak ada api di sini. Semua gelap. Apakah kita akan tetap di sini, orang tua? Atau kau akan meloncat turun?”
"Ha-ha, aku tak mau berbasah-basah. Banjir dahsyat ini barangkali akan habis selama tiga hari tiga malam. Biar saja kita di sini dan untung aku membawa makanan. Heii, apakah kau tidak lapar?"
Perut Peng Houw tiba-tiba berkeruyuk. Aneh, begitu orang tua itu membuka bungkusan di belakang punggungnya tiba-tiba bau ikan asin menyambar. Nasi yang sudah dingin namun harum juga teruar ke dalam hidung. Peng Houw terbatuk. Dan ketika orang tua itu menjentikkan batu api dan duduk menyulut lilin maka Peng Houw terheran melihat betapa wajah si tua itu berseri-seri. Sikap garang atau ganasnya lenyap.
"Mari, hanya ikan asin dan nasi saja. Kalau mau boleh berbagi denganku. Tangkaplah!"
Peng Houw menangkap bungkusan nasi itu. Si tua tak sungkan-sungkan lagi lalu melahap, makannya demikian gembira. Dan ketika Peng Houw tertegun namun membuka bungkusan itu, makan dengan perlahan maka dia merasa seret tenggorokan tak dibasahi air. Ikan asin itu kering.
“Ha-ha, ambil saja air di pucuk-pucuk daun itu. Segar, masih alami. Aku juga seret dan tidak membawa minuman!"
Peng Houw tersenyum. Kakek ini sudah memetik dedaunan di kiri kanannya dan langsung menghisap-hisap. Iapun tak dapat menahan tawa dan mengikuti pula jejak kakek itu. Dan ketika dia memetik dedaunan di atasnya dan menangkal haus dengan cara seperti kakek itu, menghisap-hisap airnya yang segar di pucuk-pucuk daun maka kakek itu ganti tertawa bergelak melihat betapa anak muda ini mula-mula canggung melakukan itu, malu-malu.
"Ha-ha, tak perlu canggung. Ini air hujan alami. Segar, cocok untuk membasahi tenggorokan. Eh, kalau kurang boleh hisap batang pohonnya, anak muda. Di situ tentu lebih banyak airnya, ha-ha...!”
Peng Houw tertawa geli. Setelah berdekatan dan mengenal kakek ini lebih lama maka dia mendapat kenyataan bahwa kakek ini tidaklah jahat seperti yang dikiranya. Bahkan, kakek itu ramah dan baik. Maka ketika mereka berdua menikmati nasi dingin dan ikan asin, sesekali meneguk air di pucuk-pucuk daun untuk pembasah kerongkongan maka malam itu dilewatkan mereka dengan gembira. Peng Houw melihat betapa air di bawah masih deras dan cukup kuat, meskipun tak seganas seperti ketika masih hujan badai tadi.
"Kau orang tua berwatak periang, agaknya tidak jahat. Aneh bahwa tadi kau menangkap dan menyiksa orang, locianpwe. Entah apa yang menyebabkan kau bertindak seperti itu dan sekilas rasanya kejam,” Peng Houw membuka percakapan, mengganti sebutan dengan “locianpwe” yang berarti orang tua gagah.
Kakek itu tersenyum tapi tiba-tiba berkerut. Dan ketika dia mendesis dan mengepal tinju maka dia menujukan kemarahannya kepada orang yang disambar gelombang Huang-ho itu. “Hm, kau usil, lancang sekali. Kalau tidak karena kau tentu jejak yang kucari sudah kudapatkan. Dia tikus busuk yang sepatutnya mendapat pelajaran, anak muda. Tapi sekarang sudah mampus ditelan Huang-ho. Kau kurang ajar, tapi tak ada jeleknya juga karena begitulah seharusnya sikap pendekar melihat yang lemah ditindas. Hanya kau ceroboh tak mau melihat dulu duduk persoalannya!"
'Maaf," Peng Houw mengusap kuku jarinya. "Akupun tak sengaja, locianpwe. Tapi barangkali kau dapat menceritakan duduk persoalannya.”
"Kau..., hm, siapa kau, anak muda? Kau memiliki kepandaian tinggi. Dan sinkang yang kau miliki sungguh luar biasa pula. Kau menginjak kuat pohon raksasa ini hingga tertekan melesak!”
“Kau tak menjawab pertanyaanku,” Peng Houw tersenyum. "Kau bertanya sebelum menjawab, locianpwe. Dan aku enggan bicara sebelum kau bercerita.”
"Bocah tengik!" kakek itu memaki. “Kalau bukan kau tentu sudah kuhajar, anak muda. Ha-ha, baru kali ini aku ketanggor seperti ini. Baiklah, kuceritakan padamu tentang tikus busuk itu. Ia pawang ular paling jahat di muka bumi ini!”
"Pawang ular? Ia pemelihara ular?”
"Benar, ia pemelihara ular. Kepandaiannya tidak tinggi namun pengetahuannya tentang ular hebat sekali. Ia menjadi orang yang memasok binatang-binatang itu untuk orang- orang tertentu!"
“Aneh, seingatku ada Coa-ong di sini. Kakek itu juga hebat dan ahli ular!"
"Pengetahuan Coa-ong masih kalah dengan orang ini. Justeru Raja Ular itu sering minta ular-ular paling berbisa dengan laki-laki itu. Ia dewanya ular!”
"Hm, baik. Lalu apa perlu dengan laki-laki itu? Kau juga ingin mendapatkan beberapa ekor ular paling berbisa seperti halnya Coa-ong atau yang lain?"
“Tidak, justeru aku ingin mengorek keterangan tentang siapa yang pernah diberinya ular paling jahat di muka bumi ini, Sam-hwa-coa (Ular Tiga Kembang)!"
"Sam-hwa-coa? Ular macam apa itu?"
"Ini ular paling berbisa yang dewapun tak dapat menolong dirinya. Ia ular paling ganas di muka bumi. Dan hanya tikus busuk itu yang punya!"
"Hm-hm, lalu perlumu?"
"Eh, kau banyak bertanya. Cukup sampai di sini saja dulu karena aku juga ingin tahu siapa kau ini!"
Peng Houw tersenyum, berahasia. Setelah orang tak mau bicara terus terang iapun tentu saja akan mengimbangi. Ia tak akan memberitahukan namanya. Maka tertawa dan coba berkelit iapun berkilah, "Nama? Apa gunanya nama? Kau boleh panggil aku apa saja, locianpwe. Bocah tengik atau bocah tak tahu adat. Itu juga nama."
"Jangan main-main. Kau bukan pemuda berandal. Sikapmu cukup halus, sopan. Masa aku harus menyebutmu bocah tengik atau tak tahu adat? Eh, aku serius, anak muda. Siapa namamu atau nanti aku tak mau bercerita lagi!"
"Hm, aku Houw Peng," Peng Houw membalik namanya. "Itulah namaku dan kau boleh panggil aku seperti itu.”
"Houw Peng? Baik, akhirnya ketahuan juga. Ha-ha, sekarang gurumu atau orang tuamu. Dari mana kau berasal dan siapa guru atau orang tuamu itu?"
"Eh, apakah perlu? Kau sendiri belum memberi tahu namamu, locianpwe. Aku juga ingin tahu dan heran bahwa kau memiliki Cui-pek-po-kian dan Thai-san-ap-ting!”
“Hm, sialan. Kau selalu ingin tahu orang lain! Apakah kerjamu cuma begini? Eh, aku, hmm... sebut saja si tua sial, Houw Peng. Aku orang sial yang berkali-kali gagal ditipu orang!"
Peng Houw terkejut. Kakek itu memuram dan wajahnya tiba-tiba sedih. Ada kedukaan dan penasaran di situ. Tapi ketika kakek ini mengangkat mukanya dan Peng Houw tercekat melihat sinar mata beringas maka kakek itu mendesis dan mengepal tinju.
“Aku sedang mencari pembunuh guruku. Aku penasaran akan orang ini. Hm, barangkali kau dapat membantuku, Houw Peng. Kau pemuda baik dan yang tentu membela kebenaran. Baiklah aku bercerita lebih banyak bahwa guruku tewas oleh Sam-hwa-coa ini!"
"Locianpwe membalas dendam? Siapa guru locianpwe itu?"
"Kau tak usah tahu siapa guruku. Yang jelas ia orang Go-bi. Aku murid Go-bi tapi sekarang ini sedang murtad!"
Peng Houw berdesir. Sekarang orang sudah mengaku dan tentu saja ia terkejut dan berdetak. Ia juga murid Go-bi, meskipun bukan dari kalangan hwesio! Namun ketika ia menekan debaran jantungnya dan tentu saja bertanya-tanya, ia tertarik sekaligus tegang maka kakek itu melanjutkan bicaranya dengan mata berapi-api.
"Aku korban dari kesewenang-wenangan. Aku korban dari sikap tamak seseorang yang berlebihan. Tapi aku tak menggubris ini kecuali kematian guruku, Houw Peng. Aku sakit hati sekali oleh tewasnya guruku yang termasuk mati melek. Rohnya seakan mengusikku agar mencari pembunuh itu. Dan sudah bertahun-tahun ini aku berusaha namun tetap gagal sampai akhirnya hampir berhasil ketika tiba-tiba kau menyerang dan membela pawang ular itu!”
"Hm, apakah dari sini kau yakin akan dapat menemukan jejak pembunuh itu?”
"Aku yakin, seyakin-yakinnya! Tapi si busuk itu sudah mampus ditelan Huang-ho. Dan ini karena kelancanganmu!”
“Maafkan aku," Peng Houw menyesal juga. "Aku tak sengaja dan bukan bermaksud melancangi, locianpwe, melainkan semata digerakkan oleh hati nurani melihat kekejaman berlangsung di depan mata. Tapi aku akan mengganti ini, aku akan menebus dosa. Aku akan menbantumu mencari dan menemukan pembunuh itu. Tapi dapatkah kau terangkan siapa gurumu yang tewas itu, atau kira-kira berapa lama kejadian itu sudah berlangsung.”
“Hm, kurang lebih dua belas tahun yang lalu. Tapi, eh... kenapa kau?"
Kakek itu terkejut. Peng Houw tiba-tiba pucat dan bergerak kaget mendengar itu. Anak muda ini terbelalak. Dan ketika kakek itu memandangnya dan Peng Houw menggigil maka pemuda in bertanya, setengah berseru,
"Locianpwe, dua belas tahun yang lalu itu di Go-bi sedang terjadi ribut besar tentang masalah Bu-tek-cin-keng. Kalau kau bilang gurumu tewas di waktu itu apakah yang kau maksud adalah Ji Beng lo-suhu yang terhormat?"
"Kau tahu?" kakek ini juga melompat bangun, sekarang ganti dia yang kaget. "Dari mana kau tahu ini? Eh, siapa sebenarnya kau ini, Houw Peng?"
Tapi Peng Houw tiba-tiba bergerak dan menyambar kakek ini. Lawan sampai terkejut dan berseru mengelak namun gagal. Peng Houw sudah menangkap lehernya. Dan ketika anak muda itu berseru meminta maaf namun kakek itu marah bukan main, Peng Houw menyibak rambut di belakang kening maka Peng Houw melihat bahwa kakek ini hanya mempunyai sebuah telinga.
"Twa-susiok!"
Namun Peng Houw terbanting oleh sebuah cengkeraman dan tendangan. Peng Houw yang hanya ingin melihat telinga di balik rambut lawan tidak melumpuhkan atau merobohkan kakek ini. Dia tidak berbuat lebih kecuali hanya ingin melihat telinga kakek itu. Maka ketika lawan membentak dan mencengkeram serta menendangnya, mereka berada di atas pohon tinggi tak ampun lagi Peng Houw terjungkal namun teriakannya tadi membuat kakek ini tertegun.
"Byurrr...!”
Peng Houw terjatuh ke bawah. Ada dua hal yang menyebabkan pemuda itu tak dapat menguasai diri. Padahal, dengan berjungkir balik atau menyambar dahan di kiri kanannya tentu dia tak akan sampai terpelanting. Tapi karena Peng Houw benar-benar terkejut dan kenyataan bahwa orang itu adalah twa-susioknya, paman guru pertama dari Pat-kwa-hwesio di Go-bi maka Peng Houw tak dapat menahan keseimbangannya ketika dijegal atau ditendang tadi. Dia sudah mendengar tentang paman gurunya yang satu ini.
Betapa sejak dikutungi telinganya oleh Beng Kong Hwesio maka paman gurunya itu menghilang. Bertahun-tahun Ji-hwesio dan lain-lain mencari. Namun karena mereka gagal dan waktu itu Go-bi benar-benar kacau oleh serbuan lawan-lawan beringas, masalah Bu-tek-cin-keng maka hilangnya sang paman guru ini dibiarkan berlanjut dan peristiwa demi peristiwa yang mengguncangkan Go-bi membuat orang melupakan hwesio yang satu ini.
Pengacauan yang dilakukan oleh Coa-ong dan kawan-kawan sungguh berbuntut panjang. Mereka itulah yang membawa orang-orang lain hingga partai-partai besar seperti Kun-lun, dan Hoa-san ikut campur. Begitu pula Heng-san dan lain-lain yang entah bergerak sendiri-sendiri atau berombongan.
Dan karena Go-bi benar-benar kalut dan dipaksa memasang kewaspadaan setiap saat, musuh dapat sewaktu-waktu menyerbu maka perginya orang tertua dari Pat-kwa-hwesio ini dibiarkan orang meskipun tentu saja tak dilupakan, terutama oleh tujuh adiknya di mana kini dari delapan hwesio murid Ji Beng ini tinggal tiga orang saja, lainnya tewas oleh serbuan dan kekacauan di Go-bi.
Maka begitu Peng Houw mendengar cerita kakek ini, betapa kakek itu adalah murid Go-bi dan yang tewas adalah Ji Beng Hwesio, gurunya, seketika Peng Houw dapat menebak bahwa inilah twa-susioknya yang hilang itu, suheng dari Ji-hwesio yang kini memimpin Go-bi. Tapi karena masih harus ada satu bukti lagi dengan kutungnya telinga itu, Peng Houw bergerak dan ingin membuktikan.
Maka benar saja bahwa kakek di hadapannya ini hanya memiliki sebuah telinga. Lainnya buntung tapi saat itu cengkeraman dan tendangan mengenai dirinya. Ia ditarik sementara lututnya didupak. Maka ketika tanpa ampun ia terpelanting, jatuh dan tercebur ke bawah maka Peng Houw gelagapan dan berteriak memanggil-manggil paman gurunya itu.
“Twa-susiok.. twa-susiok...”
Namun Peng Houw tak pandai berenang. Badai memang sudah reda namun banjir di pohon raksasa itu masih kuat. Arus masih deras dan celaka sekali saat itupun malam gelap. Bintang atau bulan di atas tidak sepenuhnya menyinari bumi kecuali hanya remang-remang saja. Maka ketika Peng Houw gelagapan dan berenang sebisanya mendekati pohon itu, gagal dan mencoba lagi sementara kakek di atas tertegun dan membelalakkan matanya maka kakek itu tiba-tiba berseru keras,
"Houw Peng, kau ini sebenarnya siapa? Bagaimana kau dapat menyebutku susiok (paman guru)?"
“Oh, aku Peng Houw, twa-susiok, bukan Houw Peng. Aku juga murid Go-bi. Aku.... haepp!" Peng Houw kelabakan dan bingung. Ia dapat mengerahkan sinkang nanun arus deras di bawah kakinya itu membuat ia panik. Kalau saja air tak begitu dalam dan ia mengerahkan Ban-kin-kang mungkin ia mampu bertahan. Tapi karena air lebih dari dua meter dan itu melebihi tinggi tubuhnya, Peng Houw panik maka ia tenggelam dan terseret arus deras. Apalagi karena tanah yang diinjak masih berbahaya dan licin seperti minyak pelumas. Peng Houw tak ampun lagi terguling.
Kakek di atas pohon itu terkejut. Ia mengingat-ingat siapa pemuda ini. Namun begitu ingat siapa Peng Houw mendadak ia pun meloncat terjun dan...byurrr, kakek inipun terbawa arus deras. "Heii, di mana kau, Peng Houw. Jawab, pinceng memang betul Twa-hwesio!"
Namun Peng Houw terguling dan sedang berjuang melawan bahaya. Ia anak Go-bi yang tak pernah belajar berenang. Di Go-bi hanya gurun pasir melulu. Maka ketika ia tenggelam dan terkejut menyentuh dasar tanah yang licin, ia kaget bahwa itu adalah daratan Tanah Kuning maka Peng Houw mengosongkan isi tubuhnya dan begitu Ban-kin-kang ditarik iapun muncul lagi namun hanyut dan terbawa aliran deras!
Peng Houw sudah berada seratus meter dari hwesio itu. Arus yang kencang dan deras tak mampu dilawannya. Dan karena ia tak pandai berenang dan apa boleh buat membiarkan diri dibawa ke mana saja, membentur batu dan dinding-dinding terjal akhirnya Peng Houw bagai seorang bayi yang demikian lemah didorong tangan raksasa.
"Benar, tapi akibatnya sama. Susiok dan Chi Koan sama-sama memupuk kebencian di hati orang lain dengan kesombongan susiok sendiri."
"Tapi aku tidak merasa sombong. Pinceng bertindak demi nama Go-bi!"
"Nama dapat diambil dan dijadikan alasan, susiok. Seseorang dapat berlindung dan mencari selamat di balik sebuah nama. Susiok juga besar rasa aku-nya. Susiok juga berkepentingan dengan diri pribadi susiok."
"Kau menegur?”
"Tidak menegur, susiok, melainkan sekedar memberitahukan apa yang sebenarnya kulihat. Susiok dan Chi Koan sebenarnya sama saja. Kalian sama-sama mengagulkan kepandaian hingga tak mengingat perasaan orang lain."
"Keparat, kau berani mencaci susiokmu. Kau...!" hwesio ini meloncat, tangan bergetar dan siap menghantam namun tiba-tiba diturunkan lagi.
Peng Houw tetap tenang sementara mata pemuda itu menyorot penuh wibawa dengan kilatan tajam. Kilat atau pandang mata itu menusuk seperti seorang sesepuh memandang anak buahnya. Sorot dan pandang mata itu seperti pandang mata Ji Leng Hwesio, lembut, namun tajam! Dan ketika hwesio ini tertegun dan menjublak, ketenangan dan keberanin Peng Houw benar-benar membuat hwesio itu terkejut maka mengguguklah hwesio ini menutupi mukanya, duduk menyembunyikan muka.
“Ohh... hu-huu... kau... kau seperti suhu, Peng Houw. Kau seperti orang tua itu. Kau tak segan melancarkan kritik. Kau berani! Tapi pinceng tak mau disalahkan karena pinceng dan Chi Koan tetap beda. Pinceng tidak mengkhianati guru. Pinceng bergerak dan melindungi Go-bi. Sedang anak itu... ah, kau tahu, Peng Houw. Chi Koan bocah keparat yang mencelakai gurunya sendiri. Anak itu tidak melindungi atau membela siapa-siapa kecuali dirinya sendiri. Pinceng dan Chi Koan tetap beda!"
"Baik, dan sekarang ceritakan tentang itu, susiok. Kau belum memberi tahu aku bagaimana kau selamat dan bisa begini."
"Nanti dulu, aku bertanya satu hal dulu. Bagaimana kau memiliki sinkang sekuat ini hingga pinceng yang telah berlatih puluhan tahun kalah!"
“Aku mendapatkannya dari Ji Leng lo-suhu pula," Peng Houw menarik napas. "Kakek itu memberikan segala-galanya kepadaku, susiok. Ia memberikan tenaga dan nyawanya untukku.”
"Kau menerima warisan langsung?"
"Benar.”
"Ia memberikan semua sinkangnya itu ke tubuhmu?”
"Benar, susiok, tapi mula-mula aku tidak tahu. Aku tahu setelah semuanya itu terjadi.”
"Oh, hebat sekali. Kau beruntung!” hwesio ini mendecak, suaranya iri. "Kau seakan mendapat warisan sorga, Peng Houw. Kau sudah seperti guruku sendiri kalau begitu. Pantas, aku tak mampu menghadapi sinkangmu yang demikian luar biasa!”
“Hm, aku justeru sedih. Ji Leng lo-suhu berarti meninggalkan Go-bi, susiok, dan ini satu pembayaran yang mahal. Betapapun aku tak mau kalau sebelumnya kuketahui begitu!"
Beng Kong Hwesio kagum. Peng Houw, anak muda ini demikian sungguh-sungguh ketika bicara. Wajah itu muram dan tampak kedukaan membayangkan itu. Peng Houw lebih memilih menjadi pemuda biasa daripada hebat dan sakti seperti itu kalau gurunya berkorban.
Anak muda ini demikian jujur dan penuh perasaan. Sungguh jauh dibandingkan Chi Koan! Dan ketika ia menjadi iri bahwa mendiang suhengnya mendapatkan murid seperti ini, jauh dibanding dirinya maka hwesio itu menarik napas dalam-dalam dan kembali ia terisak. Nasib terasa demikian kejam dan buruk kepadanya.
"Peng Houw, kau benar-benar anak mulia. Sungguh beruntung mendiang suheng mengambilmu sebegai murid. Pinceng.... hm, pinceng tak seberuntung gurumu mendapatkan murid. Kau emas sementara Chi Koan tembaga!"
"Susiok tak perlu mengingat-ingat itu. Kalau seandainya Chi Koan tak terlalu kau manja dan mendapatkan kasih berlebihan barangkali anak itu juga tak begini, susiok. Kau kelewat memperhatikan anak itu di luar batas. Sudahlah, ceritakan tentang nasibmu dan bagaimana kau masih hidup."
Hwesio itu menarik napas panjang. Sebelum dia menjawab sekali lagi dia memandang anak muda di depannya ini. Anak ini sungguh bukan Peng Houw kecil dulu. Yang dia hadapi adalah seorang pemuda matang yang tutur katanya bijak. Peng Houw sungguh seperti sesepuh yang sareh. Kata-katanya lembut meskipun mata itu mencorong berwibawa. Siapapun bakal segan berhadapan dengan anak muda seperti ini. Dan karena ia kagum bahwa ia kalah, Chi Koan pun katanya roboh di tangan anak muda ini maka hwesio itu tiba-tiba menjadi sendu dan muram disuruh menceritakan nasibnya.
"Pinceng memang sial, tapi pinceng masih beruntung. Hm, nasib pinceng dimulai dari Heng-san, Peng Houw. Karena dari sanalah segala-galanya terjadi."
“Ya, aku tahu. Coba susiok ceritakan itu.”
"Waktu itu Chi Koan ditangkap Siang Kek Cinjin. Tua bangka itu siap membunuh Chi Koan dan menunggu kedatangan pinceng!"
“Lalu?”
“Lalu aku datang, Peng Houw, dan bertempur hebat. Di dalam guha itu si tua bangka ternyata telah memasang seratus dinamit untuk mengajak mati bareng. Tapi berhasil kubunuh lebih dulu, meskipun akhirnya sebuah ledakan membuat kakiku putus dan sebelah mataku buta oleh jarum si tua bangka itu!”
“Hm, pertandingan yang menyeramkan,” Peng Houw bergidik. “Tentu seru dan dahsyat, susiok. Tapi bagaimana dengan Chi Koan?"
“Ia berhasil kurampas. Dan guha bagian depan hancur teruruk oleh ledakan-ledakan. Dan ketika aku melarikan diri dan Chi Koan membawaku maka di ujung guha sana ia mengkhianati aku dan menutupi sebuah granat peledak sementara ia hendak lari menyelamatkan diri!"
“Hm. bagaimana itu? Apa yang terjadi?”
“Waktu itu kami sudah sampai di luar terowongan. Tapi jahanam itu, ah... Ia menutupi sebuah granat dengan daun kering yang untung pinceng ketahui lebih dulu. Kalau tidak tentu pinceng sudah mampus ketika duduk dan menimpa benda terkutuk itu!”
"Tapi Chi Koan di mana?”
"Ia naik tebing, Peng Houw. Katanya akan mencari tali atau akar panjang untuk menarik pinceng. Tapi semuanya itu bohong. Ia hendak melarikan diri dan mengharap pinceng menduduki granat itu. Dan ketika ia pinceng panggil dengan suara curiga tiba-tiba ia melemper sebuah granat dan saat itu juga pinceng balas hingga kami berdua seakan di tengah neraka. Tebing itu runtuh dan guha di tengah jurang juga hancur. Kami terlempar ke bawah dan bocah itu rupanya tidak mampus!"
"Ia ditolong Ji Leng lo-suhu,” Peng Houw berkerut ngeri. "Ji Leng lo-suhu datang ke Go-bi setelah susiok tak ada kabar beritanya, muncul dan menemukan Chi Koan tapi celakanya malah menipu kakek ini dan mencuri Bu-tek-cin-keng.”
“Ya-ya, bocah itu memang busuk, jahat, banyak akalnya. Ia utusan iblis yang mencelakakan orang lain. Bocah seperti itu tak layak diberi hidup lagi!"
“Hm, semua perbuatan bakal membalik ke diri sendiri, susiok. Chi Koan bakal menerima akibat dari hasil perbuatannya ini. Dan susiok sendiri, setelah itu, lalu tidak kembali ke Go-bi?"
"Wajah dan tubuh pinceng rusak, Peng Houw. Pinceng malu, terutama kepada suhu. Pinceng tidak tahu bahwa guruku telah meninggal. Kalau tahu, hmm... entahlah!”
"Oh-ya," Peng Houw teringat. "Kematian Ji Leng lo-suhu jangan diberitahukan siapapun juga, susiok. Bisa gempar Go-bi kalau tahu. Musuh bisa datang meluruk dan tak ada yang dapat melindunginya nanti!"
Mata hwesio ini bersinar. "Begitukah? Jadi murid-murid tak ada yang tahu dan kematian ini dirahasiakan?"'
"Benar, susiok, karena itu jangan beritahu siapapun sampai akhirnya semua tenang kembali."
Hwesio itu menyeringai. Peng Houw tak melihat tawa aneh tersembunyi dalam seringai ini. Ia terlalu jujur. Dan ketika hwesio itu bangkit dan mengebutkan lengannya maka hwesio ini berkata, “Baiklah, jelas bagiku, Peng Houw. Suhu telah tiada dan kau sebagai penggantinya. Hm, betapa beruntung dirimu hingga mendapatkan segala-galanya dari suhu. Coba katakan apa yang harus pinceng lakukan setelah ini?”
“Susiok kembali saja ke Go-bi. Susiok dapat berbuat banyak dengan kehadiran susiok di sana.”
"Eh, kembali ke Go-bi? Memperlihatkan wajah dan tubuh pinceng yang rusak?”
"Tak ada orang sempurna di dunia ini, susiok. Cacad tubuh bukanlah halangan. Cacad jiwa lebih besar dan susiok masih baik!"
"Hm-hm, kau pandai menghibur,” hwesio ini terkekeh. "Kau dan suhumu Leng Kong Hwesio sama baik, Peng Houw, terima kasih. Tapi pinceng tak mau kembali kalau belum mengunyah bocah jahanam itu!”
Peng Houw mengerutkan kening. "Susiok hendak membalas sakit hati?”
“Eh, sangkamu bagaimana? Aku harus diam saja dan membiarkan segala penderitaanku ini tanpa balas?"
"Chi Koan memang jahat, susiok, tapi dendam tak boleh tinggal di hatimu. Ia memang harus dihukum, tapi bukan dengan kemarahan dan kebencian."
"Ha-ha, kau berkhotbah! Kau boleh lihai dan lebih hebat daripada pinceng, Peng Houw, tapi kau kalah umur dan kalah pengetahuan. Kau tak perlu mengajari aku bagaimana melepas semua himpitan batin ini. Marah atau benci tergantung pinceng. Kau tak merasakan bagaimana hebatnya penderitaan pinceng, enak saja bicara. Sudahlah, cukup semua ini dan kupikir kita cari pemuda itu sendiri-sendiri!”
“Susiok...!”
Sang hwesio sudah berkelebat. Beng Kong rupanya cukup berbincang-bincang dan kini mempunyai urusan sendiri. Dia tak mau lagi diganggu. Maka ketika dia berkelebat dan memasuki hutan, tempat itu gelap maka Peng Houw meloncat bangun dan menghela napas melihat kepergian susioknya itu. Dia tak dapat mencegah kalau paman gurunya sudah menghendaki begitu. Iapun merasa cukup dan puas akan pembicaraan tadi. Susioknya memang masih hidup. Mendiang gurunya benar.
Maka ketika dia menarik napas sekali lagi dan bergidik akan kekejaman Chi Koan, juga ancaman paman gurunya tadi yang tak mau sudah terhadap muridnya tiba-tiba pemuda inipun melangkah pergi dan mencari tempat enak untuk beristirahat. Peng Houw sudah menemukan paman gurunya itu dan ia akan melanjutkan perjalanannya mencari Chi Koan lagi. Bu-tek-cin-keng itu harus dirampas. Dan ketika Peng Houw berkelebat dan keluar dari hutan pemuda itupun meninggalkan tempat pertemuan itu dan lenyap di tempat lain.
Sore itu Peng Houw buru-buru melangkah. Mendung tebal di atas kepalanya memberitahukan bahwa sebentar lagi hujan lebat turun. Dia berada di tengah perjalanan sunyi di mana tepian sungai Huang-ho berada di sebelah kanannya. Sungai itu berbahaya kalau meluap. Air bah bisa tercipta kalau hujan dan angin turun menyerang. Maka ketika kilat menyambar disusul gelegar di angkasa hitam, sepercik bola api memecah di sana maka dua orang tiba-tiba berlarian pula dari belakang.
Peng Houw mengira mereka itu akan mencari tempat perlindungan. Air mulai turun dan iapun rupanya tak sempat mencari rumah penduduk. Dan ketika ia berlari namun suara teriakan membuat ia menahan lari, bentakan dan makian disusul oleh ledakan cambuk maka suara menjeletar menyaingi petir di angkasa yang meledak mengejutkan.
“Heii, berhenti. Beri tahu dulu di mana jahanam keparat itu!"
"Tolong...!" suara itu terdengar lagi.
"Tolong, anak muda. Tolong... ada orang gila mengejar-ngejar aku.... tar-tarr!" cambuk di belakang menyambar dan mengejar lagi.
Peng Houw melihat orang itu roboh dan menjerit ditarik cambuk yang melilit cepat. Orang di belakang, yang membentak dan marah itu terkekeh dan menyerang orang di depan itu. Peng Houw terkejut karena di tengah keadaan begini muncul peristiwa ini. Seseorang menyerang dan menyakiti orang lain. Dan ketika orang itu berteriak terbetot ke belakang, cambuk panjang membelit dan sudah membawa tubuhnya bergulingan ke arah lawan.
Maka orang itu yang rambutnya riap-riapan dan terbahak-bahak mengangkat naik cambuknya dan sekali sentak membuat orang itu melayang dan diterima tangannya, langsung ditotok roboh. Dan begitu orang itu mengeluh maka pembawa cambuk inipun terkekeh dan memutar tubuhnya lari ke arah tadi darimana dia datang.
"Ha-ha, urusan belum selesai. Kau belum memberi tahu aku dan kita masih dalam pembicaraan yang menarik. Hayo, hangatkan tubuh di guha sana, tikus busuk. Kita buat api unggun dan minum arak, ha-ha!”
Peng Houw terbelalak dan seketika menghentikan langkah. Hujan telah mulai turun dan air sebesar kelereng jatuh dengan deras. Orang yang tertangkap itu tak mampu bersuara lagi dan si rambut riap-riapan bercambuk menjeletar-njeletarkan cambuknya. Suara itu menyaingi halilintar di awan hitam yang meledak-ledak marah. Dan karena ia tertarik sekaligus terkejut oleh kejadian itu, di tempat sunyi ini ada orang diserang orang lain maka Peng Houw yang tentu saja tak mungkin berdiam diri dan menganggap orang itu jahat tiba-tiba berkelebat dan membentak,
"Hei, siapa kau, orang tua. Kenapa menangkap orang. Lepaskan, jangan bersikap kejam!"
Orang itu terkejut. Peng Houw mengerahkan khikangnya hingga suara bentakannya itu mengatasi gelegar dan guruh di atas. Suara hujan yang dahsyat dan petir di angkasa tertembus oleh suaranya itu. Dan ketika orang itu menengok dan lebih terkejut lagi melihat Peng Houw melayang di atas tanah, kakinya seolah tak menginjak bumi maka pemuda itu tahu-tahu berada di dekatnya dan sudah menyambar tawanannya.
"Lepaskan orang itu!"
Orang ini kaget bukan main. Mereka telah sama-sama tidak menghiraukan hujan dan masing-masing sebentar kemudian sama-sama basah kuyup. Hujan bagai dicurahkan saja dari langit. Namun ketika ia berteriak dan berkelit, kaki menendang dari bawah maka Peng Houw luput dan sebagai gantinya malah menerima sebuah tendangan kuat yang menyambar dagunya.
“Plak!”
Peng Houw menangkis dan orang itu terjengkang. Orang ini berteriak dan jelas kaget sekali oleh tangkisan Peng Houw. Namun ketika ia bergulingan meloncat bangun dan tawanan masih kuat di cengkeramannya, baju seketika kotor oleh tanah coklat maka Peng Houw juga tertegun karena merasa tenaga yang kuat dari tendangan lawan, yang memakinya.
"Bangsat keparat, kau anak muda suka mencampuri urusan orang lain!" dan cambuk yang menjeletar dan menyambar udara tiba-tiba mematuk pemuda ini dan Peng Houw berkelit cepat, kagum, disusul oleh patukan cambuk berikut dan apa boleh buat Peng Houw menangkis dan menghalau. Dan ketika orang itu berteriak kaget karena tangkisan Peng Houw benar-benar kuat, cambuk terpental maka Peng Houw mendesak dan maju siap merampas tawanan.
“Kau kejam, hujan-hujan menangkap orang. Lepaskan tawanan itu, orang tua. Atau nanti aku merobohkanmu!"
"Keparat, iblis terkutuk. Kau bocah tak tahu adat, anak muda. Tawanan ini tangkapan penting bagiku. Kau tak boleh merampasnya atau aku terpaksa membunuhmu... siuttt-tar!" dan ujung cambuk yang menyelinap secara lihai tiba-tiba telah mematuk pundak Peng Houw dan membuat baju pemuda itu robek.
Peng Houw merasa panas tapi untung sudah mengerahkan sinkang. Patukan itu kalau bagi orang lain tentu sudah mengerikan. Tulang bisa tertembus dan bolong! Maka ketika dia mengerutkan kening sementara lawan menyerang lagi, memindahkan tawanan ke belakang punggung dan cambuk meledak menyerang bahunya maka Peng Houw tak mau berlama-lama di bawah hujan deras begini.
Dia mengerahkan tenaga Hok-te Sin-kangnya dan orang itu berteriak kaget melihat cambuknya terpental menyerang hidung sendiri, melempar tubuh ke kiri dan Peng Houw sudah maju membalas. Namun ketika orang itu mampu berkelit dan tangan kiri bergerak melepas pukulan maka Thai-san-ap-ting, pukulan khas Go-bi itu menderu.
"Heii...!" Peng Houw terkejut. “Siapa kau, orang tua? Ini Thai-san-ap-ting.... blarr!" pukulan meledak dielak Peng Houw, jatuh ke tanah di mana saat itu suara petir juga menggelegar di angkasa.
Orang ini terkejut melihat Peng Houw luput dari serangannya, lebih terkejut lagi bahwa pemuda itu mengenal pukulannya. Tapi ketika ia tertawa bergelak dan menyerang lagi, kini dengan cambuk dan pukulan di tangan kiri ia mencecar Peng Houw maka di bawah hujan lebat itu Peng Houw terbelalak dan heran serta kaget bahwa ada orang asing dapat memainkan ilmu Go-bi.
Pemuda ini terkejut dan pukulan atau tamparan-tamparan lawan dikelit. Cambuk yang menjeletar ditangkis dan lawan selalu berteriak keras kalau cambuk terpental. Orang itu juga kaget bahwa pemuda ini memiliki sinkang luar biasa, telapaknya terasa pedas! Tapi ketika ia menyerang lagi dan Peng Houw kini mulai marah mengerahkan Hok-te Sin-kangnya, menambah kekuatan untuk menangkis maka cambuk terhempas ketika membalik dan menyambar wajah laki-laki itu.
“Aduh...!” orang itu menjerit. "Kurang ajar kau, anak muda. Keparat!"
"Hm, siapa kau?” Peng Houw tak mau bersabar lagi, "Kau memiliki Thai-san-ap-ting, orang tua, ilmu cambukmu yang aneh ini juga luar biasa meskipun bukan warisan Go-bi!"
'Kau bocah lancang urusan. Kau mengganggu kepentinganku. Tak perlu kujawab dan lihat pukulan ini.... klap!" sinar putih berkelebat dan tiba-tiba menyambar dada Peng Houw.
Peng Houw terkejut karena itulah Cui-pek-po-kian, satu di antara dua ilmu Go-bi yang dahsyat. Dan ketika ia menangkis dan membuat lawan terjengkang, betapapun Hok-te Sin-kangnya masih lebih kuat maka orang tua itu terguling-guling sementara Peng Houw semakin terheran-heran lagi bahwa orang ini memiliki pula Cui-pek-po-kian.
"Kau memiliki Cui-pek-po-kian. Kau rupanya pencuri. Eh, menyerah atau kau roboh, orang tua. Kau tak dapat mengalahkan aku karena kebenaran tak dapat dikalahkan kejahatan!”
"Keparat, jahanam terkutuk!” orang itu memaki-maki. "Kau hebat tapi belum merobohkan aku, anak muda. Kau tahu ilmu-ilmu Go-bi apakah kau bocah Go-bi. Jahanam, aku masih tak akan menyerah!” orang itu bergulingan meloncat bangun dan menjeletarkan cambuknya lagi. Tadi kalau tidak memainkan cambuk dia mengeluarkan Thai-san-ap-ting, tangan kiri melepas Cui-pek-po-kian.
Peng Houw tentu saja penasaran untuk mengetahui siapakah lawannya ini. Kakek itu bukan seorang hwesio karena rambutnya riap-riapan. Ia menduga bahwa kakek ini mencuri. Dan karena ia marah dan ingin tahu siapa kakek ini, Hok-te Sin-kang dikerahkan lebih berat maka kakek itu terbanting ketika ditangkis dan didorong, mengeluh namun hebatnya masih dapat bergulingan meloncat bangun.
Umpatan dan makian terdengar dari mulutnya. Dan ketika ia lebih hati-hati tak mau beradu tenaga, hujan semakin dicurahkan saja dari langit maka sungai di sebelah mereka meluap dan tawanan yang digendong di punggung kakek ini terbelalak. Kakek yang bertempur itu seolah tak melihat kiri kanan lagi. Pakaiannya basah dan kotor penuh lumpur.
Peng Houw penasaran. Ia tak berani menurunkan tangan besi karena ia tertarik dan heran siapa kakek ini. Dua kali ia telah membuat kakek itu terbanting namun lawan bertubuh kuat. Lumpur dan bercak-bercak tanah telah menutupi seluruh pakaiannya dan wajah kakek inipun terasa lucu. Wajah itu penuh lumpur coklat. Tapi karena Peng Houw ingin merobohkan kakek ini dan urusan tawanan terlupakan, ia menjadi gemas maka ketika cambuk meledak iapun menangkap dan menarik kuat.
Tubuh kakek itu terbawa ke depan tapi hebatnya kakinya diputar menendang perut Peng Houw. Namun karena Peng Houw ingin menyelesaikan pertandingan dan kakek itu harus dirobohkan, menerima dan membiarkan saja tendangan itu maka Peng Houw tetap menarik dan wajah kakek itu pucat melihat betapa perut yang ditendang tak apa-apa. Dia sudah dekat sekali dengan pemuda itu dan sekali lawan menotoknya iapun roboh. Tapi ketika kakek itu berseru keras dan melepaskan cambuknya, terpelanting ke belakang dan saat itu kilat menyambar di depan mereka maka Peng Houw maupun kakek itu sama-sama terkejut oleh bunyi yang dahsyat.
“Dar!”
Tawanan terlepas. Kakek itu bergulingan dan Peng Houw segera teringat laki-laki ini. Petir hampir saja mengenai tubuh tawanan itu yang berteriak ngeri. Dibawa melompat dan bergulingan ke sana-sini akhirnya totokan si kakek terbuka. Laki-laki itu selamat tapi hampir disambar petir. Dan ketika Peng Houw terkejut melihat kilat menyambar lagi, tawanan harus ditolong maka apa boleh buat ia harus menyambar dulu laki-laki ini sebelum tubuhnya hangus disambar dewa kilat lagi.
Peng Houw berkelebat dan cambuk rampasan digunakan melilit, tubuh orang itu ditarik dan meledaklah halilintar untuk kedua kalinya, tepat di tempat di mana orang itu berada. Dan ketika suara menggelegar memekakkan telinga, Peng Houw berhasil menyelamatkan orang ini maka laki- laki itu jatuh menggigil dengan muka pucat pasi.
“Tolong.... tolong selamatkan aku. Kakek gila itu mengejar-ngejar aku....!”
"Tak perlu takut," Peng Houw menghibur namun menekan debaran jantungnya sendiri. Petir kedua kali tadi begitu dekat dengan orang ini. Nyaris kena! "Kau ada bersamaku, saudara. Tentang kakek gila itu ia akan kuhajar... eh, mana dia!"
Peng Houw kebingungan tak melihat kakek itu. Lawan ternyata telah melarikan diri dan saat itu sungai Huang-ho bergemuruh. Sungai akan meluap. Dan ketika ia terbelalak dan berubah wajah, kejadian alam dahsyat akan dijumpai maka orang itu sudah bangkit dengan ngeri menuding.
"Huang-ho akan mengamuk. Air bah akan datang. Ooh, kita harus lari, anak muda. Kita harus mencari perlindungan. Celaka, kita berada di tengah-tengah Tanah Kuning!"
"Maksudmu?"
"Tanah ini akan licin dan cepat sekali berubah rasa. Ia akan seperti minyak, kita mudah tergelincir.... aduh!" dan benar saja ketika orang itu terguling dan menjerit maka Peng Houw sendiri merasa betapa tanah yang diinjak sudah melicin dan bagai minyak pelumas. Ia tak tahu bahwa daerah itu daerah berbahaya di waktu hujan.
Artinya tanah di tempat itu bisa berubah terkena air hujan. Tanah ini telah ribuan tahun berakrab dengan Huang-ho dan begitu hujan lebat datang iapun menjadi licin den berbahaya. Orang akan jatuh tergelincir berjalan di atasnya. Dan karena hujan demikian deras sementara tebing di kejauhan sana runtuh dan menggelegar, longsor disapu air hujan maka, orang itu berteriak dan rupanya tak mampu menahan takutnya lagi, lari menjauhkan diri.
“Tolong.... celaka, anak muda. Huang-ho sudah mengamuk!"
Peng Houw terkejut. Saat itu bunyi gemuruh benar-benar memekakkan telinga. Sungai meluap dan tanah di delapan penjuru bergerak-gerak. Mereka seakan tangan-tangan raksasa yang akan menerkam siapa saja. Air coklat gelap terdapat di mana-mana, bukan hanya di permukaan sungai melainkan juga di daratan. Dan ketika semua daratan bergerak dan mendidih, lumpur dan air dahsyat menerjang ke depan maka Peng Houw yang baru kali itu melihat dahsyatnya alam sudah menyaksikan bagaimana Huang-ho mengamuk.
Sungai yang lebar itu mendidih. Tebing-tebing di kiri kanannya gugur. Dan karena delapan penjuru pandangan hanya air dan warna coklat melulu, lumpur dan tanah pekat bergolak bagai hantu menyeramkan maka Peng Houw terlambat untuk menghindarkan diri. Ia diterjang dan jeritan orang di depan tak terdengar. Suara gemuruh dan riuhnya hujan badai membuat telinga serasa pekak. Namun ketika air menerjang dan ia bingung meloncat sana-sini, delapan penjuru sudah dikurung warna coklat maka seseorang terdengar berseru dari atas. Ajaib!
"Heii, ke sini, anak muda. Lari dan naik ke sini!”
Suara itu penuh getaran tenaga khikang. Peng Houw terkejut dan ketika otomatis ia melihat ke asal suara maka kakek itu, yang tadi menghilang dan dikiranya melarikan diri ternyata sudah berada di atas sebuah pohon raksasa yang memang tak jauh dari situ. Dahannya yang sebesar tubuh orang dipakai menongkrong. Dan ketika Peng Houw girang dan bergerak ke sini, jatuh dan bangun lagi maka kakek itu terkekeh tak dapat menahan geli.
"Heii, cepat. Pergunakan cambukmu sebagai pembantu. Jangan bodoh, tanah itu sudah selicin minyak pelumas!"
Peng Houw pucat. Ia jatuh bangun di atas tanah licin yang amat berbahaya ini. Ke manapun menginjak tentu terpeleset. Berbahaya, bukan main berbahaya. Namun ketika ia mempergunakan cambuknya untulk membelit atau menangkap apa saja, dengan begini ia dapat menyentak dan membawa tubuhnya meluncur ke depan maka bagai tarzan si raja rimba ia melayang dan berayun-ayun dari satu pohon ke pohon lain.
Pohon yang paling besar adalah pohon yang diduduki kakek itu. Yang lain termasuk kecil dibanding itu, biarpun sebenarnya besar karena batangnyapun sepelukan orang dewasa. Tapi karena di sana ada kakek itu dan ia tertarik untuk mengetahui siapakah lawannya ini, kakek yang memiliki Thai-san-ap-ting dan Cui-pek-po-kian maka Peng Houw meluncur menuju tempat itu sementara arus air di bawah kakinya sudah semakin dahsyat dan menderu menerjang apa saja.
Dia akhirnya berhasil mendekati pohon itu dan sekali meledakkan cambuk berjungkir balik iapun melayang dan tiba di dekat kakek itu, di dahan yang sama, terbelalak dan memandang kakek itu namun kakek itu justeru bersinar-sinar memandang ke bawah. Ia sudah tidak memperdulikan Peng Houw lagi karena seluruh perhatian tertuju ke bawah.
Kalau Peng Houw mau tentu dengan sekali serang ia mampu merobohkan kakek ini. Namun karena Peng Houw bukan berwatak seperti itu dan turut memandang ke bawah pula maka terdengar jeritan dan tawanan itu, laki-laki yang tadi dilupakan Peng Houw ternyata sudah disambar dan digulung ombak Huang-ho.
"Toloongg.....!”
Peng Houw terkejut dan baru sadar. Ia kembali melupakan orang itu karena saat itu iapun harus menyelamatkan diri dari gempuran hantu coklat. Air bah telah menyerang tempat itu dan di mana-mana gemuruh dan suara air melulu. Ia lupa. Tapi ketika sebuah tangan mencengkeram pergelangannya dan itulah kakek ini, Peng Houw hendak melompat ke bawah maka kakek itu berseru janganlah berbuat apa-apa.
"Jangan berbuat konyol. Kita di sinipun belum tentu selamat. Lihat pohon dan segalanya di bawah, anak muda. Mereka akan lenyap dan disapu bersih!"
Peng Houw terbelalak. Benar saja gemuruh air Huang-ho semakin dahsyat. Sungai itu telah meluap dan tak ada apapun yang dapat menahan. Tepian sungai telah menjadi satu dengan daratan dan ini mengerikan sekali. Orang tak akan tahu mana tanah daratan mana air dalam. Semuanya menyatu dan membuat bulu tengkuk meremang. Dan ketika pohon-pohon di bawah diserbu air bah, roboh dan hanyut maka pohon raksasa di mana mereka berdua bernaung diri juga mulai bergoyang dan bergetar dahsyat.
"Awas, hati-hati. Kalau pohon inipun roboh maka kita harus mencari dahannya sebagai pelampung!"
Peng Houw benar-benar pucat. Seumur hidup baru kali itulah dia mengalami hal ini. Mengamuknya Huang-ho yang dulu hanya didengarnya sebagai dongeng ternyata kini dialaminya sendiri. Sungai itu bergolak dan mendidih. Buihnya coklat kental dan menerjang apa saja tanpa dapat dihalangi atau ditahan. Entah berapa juta ton kubik lumpur terbawa. Dan ketika bukit di kejauhan juga berderak dan gugur, satu persatu tebing-tebingnya runtuh dan anjlog menimpa ke bawah maka batu-batu besar juga terguling dan tercebur.
Peng Houw ngeri. Dia memejamkan mata dan kalau sudah begini maka benar kata orang-orang tua. Gemuruh dan gejolaknya air itu dapat didengar sampai belasan kilometer. Dahsyat menggetarkan. Dan ketika pohon yang ditumpanginya bergerak dan miring maka orang tua di sebelahnya itu berteriak, mengerahkan khikang.
“Heii, hati-hati. Kita bertahan!"
Peng Houw membuka mata. Dia melihat orang tua itu gugup namun sepasang matanya berseri-seri. Aneh orang ini, barangkali gila. Dan ketika kakek itu kemudian tertawa bergelak dan suaranya bergemuruh menandingi gemuruhnya air bah maka dia memandang Peng Houw dan menantang terbahak-bahak.
“Heii, anak muda! Mana yang kau pilih. Membiarkan pohon ini roboh atau kita mempertahankannya!"
“Hm, apa maksudmu?" Peng Houw juga mengerahkan khikang, jarak sedekat itu harus berteriak pula. “Aku tak mengerti maksudmu, orang tua. Kau aneh dan rupanya sinting!"
“Ha-ha, kalau ingin mempertahankan maka cobalah kerahkan Ban-kin-kang (Tenaga Selaksa Kati). Aku juga akan mengerahkan Ban-kin-kang tapi kalau ingin mampus biarlah raksasa ini roboh dan hanyut!”
"Kau sendiri mana yang kau pilih?"
"Aku? Ha-ha, tentu saja enak di sini, bocah. Aku tak mau digulung-gulung ombak di sana dan basah kuyup!”
"Hm, kalau begitu akupun begitu. Awas, pohon ini rupanya mau diangkat naik!”
Kakek itu terkejut. Suara berderak membuatnya terbelalak dan posisi pohon tiba-tiba semakin miring. Air dahsyat di bawah mereka rupanya hendak menjebol pohon raksasa ini. Tanah digerus dan kalau berlama-lama banjir menyerang tentu roboh juga. Maka ketika dia terbelalak dan tiba-tiba memandang Peng Houw, berteriak apa yang akan dilakukan pemuda itu maka Peng Houw mengerahkan sinkangnya dan sekonyong-konyong menjejak.
"Mulai! Kita kerahkan tenaga kita dan jangan sampai pohon ini roboh!”
Kakek itu tertawa bergelak. Jejakan Peng Houw amatlah dahsyat dan pohon yang miring tiba-tiba tegak kembali. Bukan main kagumnya kakek itu. Dan ketiia mengempos semangat dan berseru keras, mengerahkan Ban-kin-kangnya maka pohon itu tak bergeming lagi dan tegak lurus. Kokoh diinjak Ban-kin-kang, Tenaga Sepuluh Ribu Kati.
"Ha-ha, dua tenaga bergabung seperti ini tak bakal dikhawatirkan lagi, anak muda. Pohon ini telah tegak seperti asalnya tapi entah berapa lama kita kuat bertahan. Hayo, bertanding. Siapa lebih lama menmpertahankan pohon ini dia yang menang!"
Peng Houw tak dapat tersenyum. Dia dalam keadaan serius dan terus mengerahkan tenaganya. Ucapan kakek itu tak ditanggapi dan kakek itu juga akhirnya berhenti bicara dengan otot-otot menggelembung. Dua orang ini mati-matian mempertahankan pohon itu agar tidak roboh. Hebat mereka ini. Deru air di bawah akhirnya menyerah dan lewat begitu saja. Pohon itu menancap bagai dipantek paku bumi. Bahkan, tanpa disadari pohon ini melesak ke bawah. Bukan main dahsyatnya tenaga dua orang ini terutama Peng Houw.
Pemuda itulah yang membuat akar pohon melesak. Ujungnya yang runcing menembus tanah ditekan begitu kuatnya dari atas. Dan ketika mereka berlomba mengerahkan Ban-kin-kang, empat jam lewat tanpa terasa akhirnya malam menjadi gelap gulita dan mereka tak mampu melihat lagi air bah di bawah kecuali percik kilaunya oleh pantulan bintang dan bulan yang mulai muncul.
Hujan telah reda dan kakek itu terengah-engah. Bertanding siapa yang kuat akhirnya membuat kakek ini menyerah. Ia roboh terduduk. Namun ketika ia tertawa bergelak melihat bulan dan bintang, sementera Peng Houw masih tegak menginjak kuat maka kakek itu berseru,
"Hei, badai telah selesai, anak muda. Kita selamat. Hentikan Ban-kin-kangmu dan lihat bulan dan bintang di atas!"
“Hm!" Peng Houw sadar, mendongak. "Kau benar, orang tua. Tapi kau mengajakku bertanding siapa kuat. Aku masih bertahan.”
“Ha-ha, tak usah. Aku kalah. Badai telah lewat meskipun banjir di bawah masih ada. Hentikan Ban-kin-kangmu dan aku si tua menyerah!”
"Hm, tak ada api di sini. Semua gelap. Apakah kita akan tetap di sini, orang tua? Atau kau akan meloncat turun?”
"Ha-ha, aku tak mau berbasah-basah. Banjir dahsyat ini barangkali akan habis selama tiga hari tiga malam. Biar saja kita di sini dan untung aku membawa makanan. Heii, apakah kau tidak lapar?"
Perut Peng Houw tiba-tiba berkeruyuk. Aneh, begitu orang tua itu membuka bungkusan di belakang punggungnya tiba-tiba bau ikan asin menyambar. Nasi yang sudah dingin namun harum juga teruar ke dalam hidung. Peng Houw terbatuk. Dan ketika orang tua itu menjentikkan batu api dan duduk menyulut lilin maka Peng Houw terheran melihat betapa wajah si tua itu berseri-seri. Sikap garang atau ganasnya lenyap.
"Mari, hanya ikan asin dan nasi saja. Kalau mau boleh berbagi denganku. Tangkaplah!"
Peng Houw menangkap bungkusan nasi itu. Si tua tak sungkan-sungkan lagi lalu melahap, makannya demikian gembira. Dan ketika Peng Houw tertegun namun membuka bungkusan itu, makan dengan perlahan maka dia merasa seret tenggorokan tak dibasahi air. Ikan asin itu kering.
“Ha-ha, ambil saja air di pucuk-pucuk daun itu. Segar, masih alami. Aku juga seret dan tidak membawa minuman!"
Peng Houw tersenyum. Kakek ini sudah memetik dedaunan di kiri kanannya dan langsung menghisap-hisap. Iapun tak dapat menahan tawa dan mengikuti pula jejak kakek itu. Dan ketika dia memetik dedaunan di atasnya dan menangkal haus dengan cara seperti kakek itu, menghisap-hisap airnya yang segar di pucuk-pucuk daun maka kakek itu ganti tertawa bergelak melihat betapa anak muda ini mula-mula canggung melakukan itu, malu-malu.
"Ha-ha, tak perlu canggung. Ini air hujan alami. Segar, cocok untuk membasahi tenggorokan. Eh, kalau kurang boleh hisap batang pohonnya, anak muda. Di situ tentu lebih banyak airnya, ha-ha...!”
Peng Houw tertawa geli. Setelah berdekatan dan mengenal kakek ini lebih lama maka dia mendapat kenyataan bahwa kakek ini tidaklah jahat seperti yang dikiranya. Bahkan, kakek itu ramah dan baik. Maka ketika mereka berdua menikmati nasi dingin dan ikan asin, sesekali meneguk air di pucuk-pucuk daun untuk pembasah kerongkongan maka malam itu dilewatkan mereka dengan gembira. Peng Houw melihat betapa air di bawah masih deras dan cukup kuat, meskipun tak seganas seperti ketika masih hujan badai tadi.
"Kau orang tua berwatak periang, agaknya tidak jahat. Aneh bahwa tadi kau menangkap dan menyiksa orang, locianpwe. Entah apa yang menyebabkan kau bertindak seperti itu dan sekilas rasanya kejam,” Peng Houw membuka percakapan, mengganti sebutan dengan “locianpwe” yang berarti orang tua gagah.
Kakek itu tersenyum tapi tiba-tiba berkerut. Dan ketika dia mendesis dan mengepal tinju maka dia menujukan kemarahannya kepada orang yang disambar gelombang Huang-ho itu. “Hm, kau usil, lancang sekali. Kalau tidak karena kau tentu jejak yang kucari sudah kudapatkan. Dia tikus busuk yang sepatutnya mendapat pelajaran, anak muda. Tapi sekarang sudah mampus ditelan Huang-ho. Kau kurang ajar, tapi tak ada jeleknya juga karena begitulah seharusnya sikap pendekar melihat yang lemah ditindas. Hanya kau ceroboh tak mau melihat dulu duduk persoalannya!"
'Maaf," Peng Houw mengusap kuku jarinya. "Akupun tak sengaja, locianpwe. Tapi barangkali kau dapat menceritakan duduk persoalannya.”
"Kau..., hm, siapa kau, anak muda? Kau memiliki kepandaian tinggi. Dan sinkang yang kau miliki sungguh luar biasa pula. Kau menginjak kuat pohon raksasa ini hingga tertekan melesak!”
“Kau tak menjawab pertanyaanku,” Peng Houw tersenyum. "Kau bertanya sebelum menjawab, locianpwe. Dan aku enggan bicara sebelum kau bercerita.”
"Bocah tengik!" kakek itu memaki. “Kalau bukan kau tentu sudah kuhajar, anak muda. Ha-ha, baru kali ini aku ketanggor seperti ini. Baiklah, kuceritakan padamu tentang tikus busuk itu. Ia pawang ular paling jahat di muka bumi ini!”
"Pawang ular? Ia pemelihara ular?”
"Benar, ia pemelihara ular. Kepandaiannya tidak tinggi namun pengetahuannya tentang ular hebat sekali. Ia menjadi orang yang memasok binatang-binatang itu untuk orang- orang tertentu!"
“Aneh, seingatku ada Coa-ong di sini. Kakek itu juga hebat dan ahli ular!"
"Pengetahuan Coa-ong masih kalah dengan orang ini. Justeru Raja Ular itu sering minta ular-ular paling berbisa dengan laki-laki itu. Ia dewanya ular!”
"Hm, baik. Lalu apa perlu dengan laki-laki itu? Kau juga ingin mendapatkan beberapa ekor ular paling berbisa seperti halnya Coa-ong atau yang lain?"
“Tidak, justeru aku ingin mengorek keterangan tentang siapa yang pernah diberinya ular paling jahat di muka bumi ini, Sam-hwa-coa (Ular Tiga Kembang)!"
"Sam-hwa-coa? Ular macam apa itu?"
"Ini ular paling berbisa yang dewapun tak dapat menolong dirinya. Ia ular paling ganas di muka bumi. Dan hanya tikus busuk itu yang punya!"
"Hm-hm, lalu perlumu?"
"Eh, kau banyak bertanya. Cukup sampai di sini saja dulu karena aku juga ingin tahu siapa kau ini!"
Peng Houw tersenyum, berahasia. Setelah orang tak mau bicara terus terang iapun tentu saja akan mengimbangi. Ia tak akan memberitahukan namanya. Maka tertawa dan coba berkelit iapun berkilah, "Nama? Apa gunanya nama? Kau boleh panggil aku apa saja, locianpwe. Bocah tengik atau bocah tak tahu adat. Itu juga nama."
"Jangan main-main. Kau bukan pemuda berandal. Sikapmu cukup halus, sopan. Masa aku harus menyebutmu bocah tengik atau tak tahu adat? Eh, aku serius, anak muda. Siapa namamu atau nanti aku tak mau bercerita lagi!"
"Hm, aku Houw Peng," Peng Houw membalik namanya. "Itulah namaku dan kau boleh panggil aku seperti itu.”
"Houw Peng? Baik, akhirnya ketahuan juga. Ha-ha, sekarang gurumu atau orang tuamu. Dari mana kau berasal dan siapa guru atau orang tuamu itu?"
"Eh, apakah perlu? Kau sendiri belum memberi tahu namamu, locianpwe. Aku juga ingin tahu dan heran bahwa kau memiliki Cui-pek-po-kian dan Thai-san-ap-ting!”
“Hm, sialan. Kau selalu ingin tahu orang lain! Apakah kerjamu cuma begini? Eh, aku, hmm... sebut saja si tua sial, Houw Peng. Aku orang sial yang berkali-kali gagal ditipu orang!"
Peng Houw terkejut. Kakek itu memuram dan wajahnya tiba-tiba sedih. Ada kedukaan dan penasaran di situ. Tapi ketika kakek ini mengangkat mukanya dan Peng Houw tercekat melihat sinar mata beringas maka kakek itu mendesis dan mengepal tinju.
“Aku sedang mencari pembunuh guruku. Aku penasaran akan orang ini. Hm, barangkali kau dapat membantuku, Houw Peng. Kau pemuda baik dan yang tentu membela kebenaran. Baiklah aku bercerita lebih banyak bahwa guruku tewas oleh Sam-hwa-coa ini!"
"Locianpwe membalas dendam? Siapa guru locianpwe itu?"
"Kau tak usah tahu siapa guruku. Yang jelas ia orang Go-bi. Aku murid Go-bi tapi sekarang ini sedang murtad!"
Peng Houw berdesir. Sekarang orang sudah mengaku dan tentu saja ia terkejut dan berdetak. Ia juga murid Go-bi, meskipun bukan dari kalangan hwesio! Namun ketika ia menekan debaran jantungnya dan tentu saja bertanya-tanya, ia tertarik sekaligus tegang maka kakek itu melanjutkan bicaranya dengan mata berapi-api.
"Aku korban dari kesewenang-wenangan. Aku korban dari sikap tamak seseorang yang berlebihan. Tapi aku tak menggubris ini kecuali kematian guruku, Houw Peng. Aku sakit hati sekali oleh tewasnya guruku yang termasuk mati melek. Rohnya seakan mengusikku agar mencari pembunuh itu. Dan sudah bertahun-tahun ini aku berusaha namun tetap gagal sampai akhirnya hampir berhasil ketika tiba-tiba kau menyerang dan membela pawang ular itu!”
"Hm, apakah dari sini kau yakin akan dapat menemukan jejak pembunuh itu?”
"Aku yakin, seyakin-yakinnya! Tapi si busuk itu sudah mampus ditelan Huang-ho. Dan ini karena kelancanganmu!”
“Maafkan aku," Peng Houw menyesal juga. "Aku tak sengaja dan bukan bermaksud melancangi, locianpwe, melainkan semata digerakkan oleh hati nurani melihat kekejaman berlangsung di depan mata. Tapi aku akan mengganti ini, aku akan menebus dosa. Aku akan menbantumu mencari dan menemukan pembunuh itu. Tapi dapatkah kau terangkan siapa gurumu yang tewas itu, atau kira-kira berapa lama kejadian itu sudah berlangsung.”
“Hm, kurang lebih dua belas tahun yang lalu. Tapi, eh... kenapa kau?"
Kakek itu terkejut. Peng Houw tiba-tiba pucat dan bergerak kaget mendengar itu. Anak muda ini terbelalak. Dan ketika kakek itu memandangnya dan Peng Houw menggigil maka pemuda in bertanya, setengah berseru,
"Locianpwe, dua belas tahun yang lalu itu di Go-bi sedang terjadi ribut besar tentang masalah Bu-tek-cin-keng. Kalau kau bilang gurumu tewas di waktu itu apakah yang kau maksud adalah Ji Beng lo-suhu yang terhormat?"
"Kau tahu?" kakek ini juga melompat bangun, sekarang ganti dia yang kaget. "Dari mana kau tahu ini? Eh, siapa sebenarnya kau ini, Houw Peng?"
Tapi Peng Houw tiba-tiba bergerak dan menyambar kakek ini. Lawan sampai terkejut dan berseru mengelak namun gagal. Peng Houw sudah menangkap lehernya. Dan ketika anak muda itu berseru meminta maaf namun kakek itu marah bukan main, Peng Houw menyibak rambut di belakang kening maka Peng Houw melihat bahwa kakek ini hanya mempunyai sebuah telinga.
"Twa-susiok!"
Namun Peng Houw terbanting oleh sebuah cengkeraman dan tendangan. Peng Houw yang hanya ingin melihat telinga di balik rambut lawan tidak melumpuhkan atau merobohkan kakek ini. Dia tidak berbuat lebih kecuali hanya ingin melihat telinga kakek itu. Maka ketika lawan membentak dan mencengkeram serta menendangnya, mereka berada di atas pohon tinggi tak ampun lagi Peng Houw terjungkal namun teriakannya tadi membuat kakek ini tertegun.
"Byurrr...!”
Peng Houw terjatuh ke bawah. Ada dua hal yang menyebabkan pemuda itu tak dapat menguasai diri. Padahal, dengan berjungkir balik atau menyambar dahan di kiri kanannya tentu dia tak akan sampai terpelanting. Tapi karena Peng Houw benar-benar terkejut dan kenyataan bahwa orang itu adalah twa-susioknya, paman guru pertama dari Pat-kwa-hwesio di Go-bi maka Peng Houw tak dapat menahan keseimbangannya ketika dijegal atau ditendang tadi. Dia sudah mendengar tentang paman gurunya yang satu ini.
Betapa sejak dikutungi telinganya oleh Beng Kong Hwesio maka paman gurunya itu menghilang. Bertahun-tahun Ji-hwesio dan lain-lain mencari. Namun karena mereka gagal dan waktu itu Go-bi benar-benar kacau oleh serbuan lawan-lawan beringas, masalah Bu-tek-cin-keng maka hilangnya sang paman guru ini dibiarkan berlanjut dan peristiwa demi peristiwa yang mengguncangkan Go-bi membuat orang melupakan hwesio yang satu ini.
Pengacauan yang dilakukan oleh Coa-ong dan kawan-kawan sungguh berbuntut panjang. Mereka itulah yang membawa orang-orang lain hingga partai-partai besar seperti Kun-lun, dan Hoa-san ikut campur. Begitu pula Heng-san dan lain-lain yang entah bergerak sendiri-sendiri atau berombongan.
Dan karena Go-bi benar-benar kalut dan dipaksa memasang kewaspadaan setiap saat, musuh dapat sewaktu-waktu menyerbu maka perginya orang tertua dari Pat-kwa-hwesio ini dibiarkan orang meskipun tentu saja tak dilupakan, terutama oleh tujuh adiknya di mana kini dari delapan hwesio murid Ji Beng ini tinggal tiga orang saja, lainnya tewas oleh serbuan dan kekacauan di Go-bi.
Maka begitu Peng Houw mendengar cerita kakek ini, betapa kakek itu adalah murid Go-bi dan yang tewas adalah Ji Beng Hwesio, gurunya, seketika Peng Houw dapat menebak bahwa inilah twa-susioknya yang hilang itu, suheng dari Ji-hwesio yang kini memimpin Go-bi. Tapi karena masih harus ada satu bukti lagi dengan kutungnya telinga itu, Peng Houw bergerak dan ingin membuktikan.
Maka benar saja bahwa kakek di hadapannya ini hanya memiliki sebuah telinga. Lainnya buntung tapi saat itu cengkeraman dan tendangan mengenai dirinya. Ia ditarik sementara lututnya didupak. Maka ketika tanpa ampun ia terpelanting, jatuh dan tercebur ke bawah maka Peng Houw gelagapan dan berteriak memanggil-manggil paman gurunya itu.
“Twa-susiok.. twa-susiok...”
Namun Peng Houw tak pandai berenang. Badai memang sudah reda namun banjir di pohon raksasa itu masih kuat. Arus masih deras dan celaka sekali saat itupun malam gelap. Bintang atau bulan di atas tidak sepenuhnya menyinari bumi kecuali hanya remang-remang saja. Maka ketika Peng Houw gelagapan dan berenang sebisanya mendekati pohon itu, gagal dan mencoba lagi sementara kakek di atas tertegun dan membelalakkan matanya maka kakek itu tiba-tiba berseru keras,
"Houw Peng, kau ini sebenarnya siapa? Bagaimana kau dapat menyebutku susiok (paman guru)?"
“Oh, aku Peng Houw, twa-susiok, bukan Houw Peng. Aku juga murid Go-bi. Aku.... haepp!" Peng Houw kelabakan dan bingung. Ia dapat mengerahkan sinkang nanun arus deras di bawah kakinya itu membuat ia panik. Kalau saja air tak begitu dalam dan ia mengerahkan Ban-kin-kang mungkin ia mampu bertahan. Tapi karena air lebih dari dua meter dan itu melebihi tinggi tubuhnya, Peng Houw panik maka ia tenggelam dan terseret arus deras. Apalagi karena tanah yang diinjak masih berbahaya dan licin seperti minyak pelumas. Peng Houw tak ampun lagi terguling.
Kakek di atas pohon itu terkejut. Ia mengingat-ingat siapa pemuda ini. Namun begitu ingat siapa Peng Houw mendadak ia pun meloncat terjun dan...byurrr, kakek inipun terbawa arus deras. "Heii, di mana kau, Peng Houw. Jawab, pinceng memang betul Twa-hwesio!"
Namun Peng Houw terguling dan sedang berjuang melawan bahaya. Ia anak Go-bi yang tak pernah belajar berenang. Di Go-bi hanya gurun pasir melulu. Maka ketika ia tenggelam dan terkejut menyentuh dasar tanah yang licin, ia kaget bahwa itu adalah daratan Tanah Kuning maka Peng Houw mengosongkan isi tubuhnya dan begitu Ban-kin-kang ditarik iapun muncul lagi namun hanyut dan terbawa aliran deras!
Peng Houw sudah berada seratus meter dari hwesio itu. Arus yang kencang dan deras tak mampu dilawannya. Dan karena ia tak pandai berenang dan apa boleh buat membiarkan diri dibawa ke mana saja, membentur batu dan dinding-dinding terjal akhirnya Peng Houw bagai seorang bayi yang demikian lemah didorong tangan raksasa.
Pemuda ini mendengar teriakan susioknya tapi percuma menjawab. Ia hanyut, kencang sekali. Dan ketika ia harus mengerahkan sinkang melindungi tubuhnya dari benturan benda-benda tajam maka malam itu pemuda ini dibawa memasuki aliran Huang-ho ke hilir dengan cepat sekali.
Arus sungai memang masih deras. Banjir seperti itu tak akan sudah dalam beberapa hari. Lumpur dan tanah coklat tampak di mana-mana. Dan ketika semalam Peng Houw membiarkan dirinya hanyut, ia mengosongkan tubuh sehingga tetap di permukaan maka keesokannya ketika matahari mulai muncul Peng Houw melihat dirinya berada di tempat di mana banyak batu-batuan hitam menonjol di permukaan sungai. Air di sini sudah agak jernih karena tepian sungai lebih lebar. Ia dapat melihat jelas.
Dan ketika sekali lagi tubuhnya terbentur batu hitam, terpental dan jatuh di atasnya maka Peng Houw berjungkir balik dan ngeri melihat bahwa ia berada di tengah-tengah kepungan air. Tubuh basah kuyup sementara muka pucat pasi. Maklum, belum pernah ia merasai seperti ini. Semalam dibawa hanyut sungai Huang-ho dan dibanting-banting di antara bebatuan kasar!
“Heii, ada orang!"
Peng Houw terkejut. Dia mendengar teriakan melengking dan seorang kakek dan seorang gadis baju merah menumpang perahu menghilir dengan cepat sekali di depannya. Gadis itu menuding kepadanya sementara kakek baju putih itu tertegun. Perahu sudah hampir lewat dan Peng Houw mengira bahwa mereka itu terseret arus, seperti dirinya. Tapi ketika gadis itu menghentakkan dayung dan pukulan air yang kuat sekali memuncrat ke udara, perahu berhenti dan terputar maka Peng Houw kagum karena gadis itu ternyata dapat melawan arus dahsyat yang mampu menghanyutkan seekor gajah itu.
“Kau ke sini!" gadis itu berseru. "Cepat, orang muda. Aku tak dapat berlama-lama menahan perahu ini. Ayo, melompat!"
Peng Houw terbelalak. Tiba-tiba ia bukan kagum kepada kepandaian gadis itu melainkan kepada bibir yang bergerak-gerak indah itu. Setelah dekat dan melihat betapa bentuk bibir itu demikian mungil dan manis tiba-tiba Peng Houw malah terpesona. Ia tak mendengar seruan itu, hati dan perasaannya terbetot. Tapi ketika gadis itu membentak dan memukulkan dayungnya, air menyambar Peng Houw maka baru pemuda ini tersentak dan gelagapan.
Eh-ah... ap.... apa! Apa kau bilang..?"
"Bodoh, tolol goblok! Huang-ho sedang banjir, orang gila. Bagaimana kau di situ dan sendirian di atas batu hitam. Ayo, melompat. Atau nanti kutinggal dan biar kau tak dapat menepi!"
Peng Houw sadar. Tiba-tiba ia sadar bahwa ia di tengah sungai yang masih deras airnya. Huang-ho belum reda dan sekarang ada penolong. Tapi karena ia gugup dan masih berdetak oleh bibir mungil itu, entah kenapa perasaannya tiba-tiba menjadi tidak keruan maka ia melompat namun celaka terlalu panjang dan menabrak bibir perahu.
"Brukkk!”
Gadis itu terkekeh-kekeh. Peng Houw, murid dedengkot Go-bi yang sakti tiba-tiba saja seakan pemuda bodoh yang tak mampu menguasai diri. Ia terguling dan merah padam mendengar kekeh itu. Ia malu bukan main. Tapi ketika kakek baju putih membentak dara remaja itu, bergerak dan mengambil dayungnya sendiri tiba-tiba perahu sudah berputar dan meluncur mengikuti arus sungai lagi.
"Jangan mentertawakan orang, tak baik. Ayo kayuh dan kemudikan perahu, Li Ceng. Awas hati-hati karena di tempat kita ada orang yang rupanya belum terbiasa dengan gelombang sungai!”
Li Ceng, gadis baju merah itu cemberut. Ia rupanya tak senang namun tak berani kepada kakek itu. Wibawa kakek ini cukup besar. Dan ketika perahu bergerak dan kakek itu menyuruh Peng Houw duduk diam, berpegangan pinggir perahu erat-erat maka Peng Houw bagai orang tolol yang terpesona oleh sikap dan bibir gadis ini.
Dua orang di atas perahu itu ternyata lihai mengendalikan kendaraan ini. Li Ceng, gadis itu berkali-kali berseru memukul dayung ke kiri kanan kalau perahu hendak terguling. Peng Houw kagum. Dan ketika kakek itu bertanya bagaimana Peng Houw ada di batu sendirian, basah kuyup maka Peng Houw sadar dan baru sekarang ingat untuk berterima kasih.
“Eh, aku... eh aku hanyut, kek. Aku terdampar dan terlempar di batu itu, baru saja. Aku berterima kasih bahwa kalian datang menolong."
"Hm, siapa namamu?"
"Peng Houw!"
"Di mana tempat tinggalmu?"
Peng Houw bingung. Ia tiba-tiba bingung apakah harus menjawab atau tidak. Dan ketika ia tak segera menjawab maka gadis baju merah itu, Li Ceng membentaknya galak.
"Hei, kong-kongku bertanya padamu. Jangan diam saja!"
“Aku, eh... aku tak punya tempat tinggal tetap. Rumahku bumi atapku langit!"
“Hi-hik, memangnya monyet? Hanya monyet atau binatang hutan yang rumahnya seperti itu, orang gila. Kau ini rupanya tidak waras atau barangkali gelandangan!”
"Li Ceng!" kakek itu kembali membentak. "Jangan menghina dan menyakiti orang lain. Tahan mulutmu atau nanti kau menerima hukuman!"
“Hm, hm, kakek selalu mengomel. Apa salahku, kek? Bukankah benar kata-kataku tadi? Kalau bukan orang gelandangan ya orang gila yang tidak punya tempat tinggal. Orang ini aneh, ia bohong atau barangkali memang tidak waras!"
Peng Houw mendongkol. Beberapa kali ia dimaki namun karena mengakui bahwa kata-kata itu benar, memang hanya orang gila atau gelandangan yeng tidak punya tempat tinggal maka ia menarik napas dalam-dalam namun tentu saja tidak memperlihatkan kemendongkolannya. Orang telah berbuat baik dan menolongnya membawa pergi dari tengah sungai. Kalau tidak ada gadis dan kakek ini barang kali ia masih harus menggigil di batu hitam itu. Biarlah, gadis itu toh benar juga. Maka ketika ia menyeringai dan melihat kakek dan cucunya mendayung perahu tiba-tiba ia menjadi tak enak sendiri dan menawarkan jasa baik.
"Maaf, barangkali kau orang tua dapat memberikan dayungmu kepadaku. Biarlah kuganti."
"Kau dapat mendayung? Pernah punya perahu?"
“Tidak, kek, tapi barangkali dengan tenagaku ini aku dapat belajar sedikit-sedikit.”
"Jangan sembrono. Aliran Huang-ho sedang kuat. Kalau tidak pernah mendayung biarkan aku saja dan kau duduk tenang di situ!”
"Tapi aku orang muda, masa harus melihat kau orang tua bekerja keras?"
"Heh-heh, kau anak baik rupanya, orang muda. Baiklah dan coba kau lakukan!”
Dayung diberikan dan ditangkap Peng Houw. Tapi begitu coba mendayung tiba-tiba perahu miring dan mau tercebur ke kiri!
“Heii, tolol goblok! Aku di kiri masa kau di kiri juga, orang gila. Dayung di sebelah kanan dan jaga keseimbangan!"
Peng Houw merah padam. Lagi-lagi ia mendapat makian namun itu memang karena kesalahannya. Ia mendayung di kiri sementara gadis itu di kiri juga, padahal arus sungai amat deras dan mereka harus menjaga keseimbangan. Maka ketika ia beralih ke kanan sementara kakek itu berseri-seri, mulutnya tersenyum maka Peng Houw menjaga di sebelah kanan.
Namun tiba-tiba ia merasa betapa tekanan di sebelah kiri menguat dan perahu seakan melesak. Tentu saja ia terkejut dan menekan sebelah kanan untuk menjaga keseimbangan. Namun ketika bagian sebelah kanan menjadi berat dan tanpa ampun perahu miring maka air memuncrat dan gadis itu memaki-maki lagi.
“Goblok, tolol dan bodoh! Kalau tidak bisa mendayung biarkan saja kakekku bekerja. Heii, jangan bengong seperti orang gila, bocah she Peng. Atau perahu tenggelam dan kau mampus!"
Peng Houw berkerut kening. Ia tiba-tiba curiga karena jelas dirasanya gadis itu melakukan gerak mencelakakan. Gadis itu memaki-maki tapi mulut dan matanya tertawa. Ya, tertawa! Dan ketika ia maklum bahwa ini rupanya dibuat-buat, ia gemas akhirnya Peng Houw sadar bahwa dirinya memang dipermainkan...
Arus sungai memang masih deras. Banjir seperti itu tak akan sudah dalam beberapa hari. Lumpur dan tanah coklat tampak di mana-mana. Dan ketika semalam Peng Houw membiarkan dirinya hanyut, ia mengosongkan tubuh sehingga tetap di permukaan maka keesokannya ketika matahari mulai muncul Peng Houw melihat dirinya berada di tempat di mana banyak batu-batuan hitam menonjol di permukaan sungai. Air di sini sudah agak jernih karena tepian sungai lebih lebar. Ia dapat melihat jelas.
Dan ketika sekali lagi tubuhnya terbentur batu hitam, terpental dan jatuh di atasnya maka Peng Houw berjungkir balik dan ngeri melihat bahwa ia berada di tengah-tengah kepungan air. Tubuh basah kuyup sementara muka pucat pasi. Maklum, belum pernah ia merasai seperti ini. Semalam dibawa hanyut sungai Huang-ho dan dibanting-banting di antara bebatuan kasar!
“Heii, ada orang!"
Peng Houw terkejut. Dia mendengar teriakan melengking dan seorang kakek dan seorang gadis baju merah menumpang perahu menghilir dengan cepat sekali di depannya. Gadis itu menuding kepadanya sementara kakek baju putih itu tertegun. Perahu sudah hampir lewat dan Peng Houw mengira bahwa mereka itu terseret arus, seperti dirinya. Tapi ketika gadis itu menghentakkan dayung dan pukulan air yang kuat sekali memuncrat ke udara, perahu berhenti dan terputar maka Peng Houw kagum karena gadis itu ternyata dapat melawan arus dahsyat yang mampu menghanyutkan seekor gajah itu.
“Kau ke sini!" gadis itu berseru. "Cepat, orang muda. Aku tak dapat berlama-lama menahan perahu ini. Ayo, melompat!"
Peng Houw terbelalak. Tiba-tiba ia bukan kagum kepada kepandaian gadis itu melainkan kepada bibir yang bergerak-gerak indah itu. Setelah dekat dan melihat betapa bentuk bibir itu demikian mungil dan manis tiba-tiba Peng Houw malah terpesona. Ia tak mendengar seruan itu, hati dan perasaannya terbetot. Tapi ketika gadis itu membentak dan memukulkan dayungnya, air menyambar Peng Houw maka baru pemuda ini tersentak dan gelagapan.
Eh-ah... ap.... apa! Apa kau bilang..?"
"Bodoh, tolol goblok! Huang-ho sedang banjir, orang gila. Bagaimana kau di situ dan sendirian di atas batu hitam. Ayo, melompat. Atau nanti kutinggal dan biar kau tak dapat menepi!"
Peng Houw sadar. Tiba-tiba ia sadar bahwa ia di tengah sungai yang masih deras airnya. Huang-ho belum reda dan sekarang ada penolong. Tapi karena ia gugup dan masih berdetak oleh bibir mungil itu, entah kenapa perasaannya tiba-tiba menjadi tidak keruan maka ia melompat namun celaka terlalu panjang dan menabrak bibir perahu.
"Brukkk!”
Gadis itu terkekeh-kekeh. Peng Houw, murid dedengkot Go-bi yang sakti tiba-tiba saja seakan pemuda bodoh yang tak mampu menguasai diri. Ia terguling dan merah padam mendengar kekeh itu. Ia malu bukan main. Tapi ketika kakek baju putih membentak dara remaja itu, bergerak dan mengambil dayungnya sendiri tiba-tiba perahu sudah berputar dan meluncur mengikuti arus sungai lagi.
"Jangan mentertawakan orang, tak baik. Ayo kayuh dan kemudikan perahu, Li Ceng. Awas hati-hati karena di tempat kita ada orang yang rupanya belum terbiasa dengan gelombang sungai!”
Li Ceng, gadis baju merah itu cemberut. Ia rupanya tak senang namun tak berani kepada kakek itu. Wibawa kakek ini cukup besar. Dan ketika perahu bergerak dan kakek itu menyuruh Peng Houw duduk diam, berpegangan pinggir perahu erat-erat maka Peng Houw bagai orang tolol yang terpesona oleh sikap dan bibir gadis ini.
Dua orang di atas perahu itu ternyata lihai mengendalikan kendaraan ini. Li Ceng, gadis itu berkali-kali berseru memukul dayung ke kiri kanan kalau perahu hendak terguling. Peng Houw kagum. Dan ketika kakek itu bertanya bagaimana Peng Houw ada di batu sendirian, basah kuyup maka Peng Houw sadar dan baru sekarang ingat untuk berterima kasih.
“Eh, aku... eh aku hanyut, kek. Aku terdampar dan terlempar di batu itu, baru saja. Aku berterima kasih bahwa kalian datang menolong."
"Hm, siapa namamu?"
"Peng Houw!"
"Di mana tempat tinggalmu?"
Peng Houw bingung. Ia tiba-tiba bingung apakah harus menjawab atau tidak. Dan ketika ia tak segera menjawab maka gadis baju merah itu, Li Ceng membentaknya galak.
"Hei, kong-kongku bertanya padamu. Jangan diam saja!"
“Aku, eh... aku tak punya tempat tinggal tetap. Rumahku bumi atapku langit!"
“Hi-hik, memangnya monyet? Hanya monyet atau binatang hutan yang rumahnya seperti itu, orang gila. Kau ini rupanya tidak waras atau barangkali gelandangan!”
"Li Ceng!" kakek itu kembali membentak. "Jangan menghina dan menyakiti orang lain. Tahan mulutmu atau nanti kau menerima hukuman!"
“Hm, hm, kakek selalu mengomel. Apa salahku, kek? Bukankah benar kata-kataku tadi? Kalau bukan orang gelandangan ya orang gila yang tidak punya tempat tinggal. Orang ini aneh, ia bohong atau barangkali memang tidak waras!"
Peng Houw mendongkol. Beberapa kali ia dimaki namun karena mengakui bahwa kata-kata itu benar, memang hanya orang gila atau gelandangan yeng tidak punya tempat tinggal maka ia menarik napas dalam-dalam namun tentu saja tidak memperlihatkan kemendongkolannya. Orang telah berbuat baik dan menolongnya membawa pergi dari tengah sungai. Kalau tidak ada gadis dan kakek ini barang kali ia masih harus menggigil di batu hitam itu. Biarlah, gadis itu toh benar juga. Maka ketika ia menyeringai dan melihat kakek dan cucunya mendayung perahu tiba-tiba ia menjadi tak enak sendiri dan menawarkan jasa baik.
"Maaf, barangkali kau orang tua dapat memberikan dayungmu kepadaku. Biarlah kuganti."
"Kau dapat mendayung? Pernah punya perahu?"
“Tidak, kek, tapi barangkali dengan tenagaku ini aku dapat belajar sedikit-sedikit.”
"Jangan sembrono. Aliran Huang-ho sedang kuat. Kalau tidak pernah mendayung biarkan aku saja dan kau duduk tenang di situ!”
"Tapi aku orang muda, masa harus melihat kau orang tua bekerja keras?"
"Heh-heh, kau anak baik rupanya, orang muda. Baiklah dan coba kau lakukan!”
Dayung diberikan dan ditangkap Peng Houw. Tapi begitu coba mendayung tiba-tiba perahu miring dan mau tercebur ke kiri!
“Heii, tolol goblok! Aku di kiri masa kau di kiri juga, orang gila. Dayung di sebelah kanan dan jaga keseimbangan!"
Peng Houw merah padam. Lagi-lagi ia mendapat makian namun itu memang karena kesalahannya. Ia mendayung di kiri sementara gadis itu di kiri juga, padahal arus sungai amat deras dan mereka harus menjaga keseimbangan. Maka ketika ia beralih ke kanan sementara kakek itu berseri-seri, mulutnya tersenyum maka Peng Houw menjaga di sebelah kanan.
Namun tiba-tiba ia merasa betapa tekanan di sebelah kiri menguat dan perahu seakan melesak. Tentu saja ia terkejut dan menekan sebelah kanan untuk menjaga keseimbangan. Namun ketika bagian sebelah kanan menjadi berat dan tanpa ampun perahu miring maka air memuncrat dan gadis itu memaki-maki lagi.
“Goblok, tolol dan bodoh! Kalau tidak bisa mendayung biarkan saja kakekku bekerja. Heii, jangan bengong seperti orang gila, bocah she Peng. Atau perahu tenggelam dan kau mampus!"
Peng Houw berkerut kening. Ia tiba-tiba curiga karena jelas dirasanya gadis itu melakukan gerak mencelakakan. Gadis itu memaki-maki tapi mulut dan matanya tertawa. Ya, tertawa! Dan ketika ia maklum bahwa ini rupanya dibuat-buat, ia gemas akhirnya Peng Houw sadar bahwa dirinya memang dipermainkan...