Prahara Di Gurun Gobi Jilid 25 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Serial Prahara Di Gurun Gobi Karya Batara

“BERHENTI, menyerahlah. Atau nanti kalian mampus dan pinto mengantar kalian ke neraka!”

Tong-si dan lain-lain pucat. Mereka sudah merasakan tongkat terbang si tosu lihai dan jatuh bangun tak keruan. Tapi karena mereka bukan orang-orang yang mudah menyerah dan kemarahan bangkit berkobar tiba-tiba mereka berteriak dan Tong-si mengajak teman- temannya ke atas.

“See-tok, kembali ke puncak. Gabung dengan Chi Koan. Ingat bahwa dialah satu-satunya yang dapat menolong kita!"

“Benar,” Coa-ong juga tiba-tiba berseru. "Kita ke puncak, Tong-si. Kita bergabung dengan Chi Koan dan minta dia menolong kita!”

Semua bagai diingatkan. Mereka tadi lupa saking dibuat gentar oleh Hui-tung Sin-hoat milik si tosu lihai. Mereka lintang-pukang karena jatuh bangun dihajar tongkat itu, tongkat yang mampu menyambar-nyambar bagai benda hidup, tongkat yang dimainkan dengan ilmu silat tinggi di mana sekali lepas tongkat itu mampu dikendalikan dari jauh.

Tosu itu sekarang memiliki kepandaian mengagumkan. Kesaktiannya benar-benar di atas mereka. Tapi begitu ingat Chi Koan dan hanya pemuda itulah andalan mereka, Chi Koan telah mengalahkan tosu ini maka semuanya membalik dan lari lagi naik ke puncak, tak perduli didera tongkat.

“Heii, kalian ke mana?" Sin Gwan Tojin terkejut, tercengang. "Kembali ke puncak? Bagus, semakin mudah pekerjaan pinto, See-tok. Dan kalian akan menerima hukuman setimpal!"

Coa-ong meniup sulingnya dan memanggil ular-ularnya. Suling melengking-lengking dan ular-ular pun muncul. Di sini mereka tak diancam bahaya api dan karena itu mendesis- desis, keluar dan menyerang lagi semua tosu yang dijumpai. Suling si Raja Ular ditiup penuh kekuatan, juga penuh kemarahan. Maka ketika mereka juga menjadi marah dan muncul dari mana-mana, menyerang dan menggigit para tosu maka Coa-ong dan kawan-kawan sedikit tertolong. Lawan disibukkan serangan ular dan ini cukup membuat Coa-ong mendaki puncak.

Sin Gwan juga tak luput diserang ular-ular berbisa yang membuat tosu itu marah meskipun dengan gampang menghancurkan mereka. Dan ketika Tujuh Siluman Langit memburu napasnya, masing-masing tiba di atas maka di sana ternyata terjadi pertarungan menegangkan antara Chi Koan dengan Tan Hoo Cinjin, tosu yang berkelebatan naik turun tapi terpental dan jatuh bangun menghadapi Hok-te Sin-kun.

Chi Koan menyambut dan menerima semua pukulan-pukulan tosu itu namun tak satupun pukulan mampu menggetarkan Chi Koan. Dan ketika Chi Koan membalas dan Hok-te Sin-kunnya menyambar ketua Heng-san maka ketua itu terlempar dan terbanting dengan keras.

Anak murid yang menonton terkejut dan akibatnya mereka menyerbu. Ketua mereka bergulingan ketika dikejar dan siap menerima pukulan Chi Koan. Dan karena tak ada satupun yang rela melihat ketua mereka celaka, Chi Koan menjadi ganas maka dua puluh di antaranya membentak dan meloncat maju. Pedang dan tongkat menyambar bagai hujan.

“Chi Koan, kau pemuda iblis!”

Namun mengejutkan. Dinding hawa sakti Hok-te Sin-kun ternyata telah melindungi pemuda itu dan ketika Chi koan tertawa bergelak mendadak dua puluhan orang itu terbanting. Mereka seakan menabrak dinding baja tak tampak dan jatuhlah mereka seperti laron menyerbu api. Pemuda itu tak dapat didekati. Dan ketika Chi Koan mengibas dan tosu-tosu itu menjerit maka mereka terangkat dan berdebuk dengan kaki atau tangan patah-patah.

“Ha-ha, boleh mampus kalau ingin maju. Ayo, tolong dan bantu ketua kalian, tosu-tosu bau. Dan aku akan menghabiskan kalian seperti membabat rumput kering!"

Benar saja, tosu-tosu itu seperti alang-alang atau rumput kering ditiup angin. Mereka terlempar dan roboh tak bangkit lagi. Hok-te Sin-kun langsung membuat mereka binasa. Alangkah kejamnya Chi Koan. Dan ketika Tan Hoo Cinjin terbelalak dan gusar bukan main, para murid maju lagi tapi dicegah maka tosu ini menyambar tongkatnya lagi dan dengan Hui-tung Sin-hoat ia menyerang Chi Koan dengan dahsyat. Tangan kiri bergerak dengan tudingan jari maut dan Tit-ci-thian-tung yang menyambar-nyambar dari telunjuk tosu ini amat berbahaya.

Tapi karena ia menghadapi Hok-te Sin kun dan Silat Penakluk Dunia itu sungguh hebat, Chi Koan dilindungi hawa sakti di mana tusukan jari maut itu mental maka Tan Hoo Cinjin pucat karena kalau ia meneruskan tusukannya pasti jari telunjuknya patah! Tosu ini merobah gerakan dan Lui-yang Sin-kang dikeluarkan. Pukulan Petir ini meledak di angkasa dan api menyembur dari telapak tangan. 

Tapi ketika pukulan itu tertolak dan mental juga oleh hawa sakti yang melindungi si pemuda maka tosu ini putus asa dan berkelebatan saja mengelilingi lawan, memukul dan megelak kalau pukulannya membalik. Dan saat itulah Coa-ong dan kawan-kawan muncul.

“Ha-ha, kalian kembali? Kalian tidak meninggalkan aku? Bagus, kalian menyelamatkan diri sendiri, suhu. Aku sudah akan menghajar kalian kalau tidak mampus oleh Sin Gwan Tojin!"

"Maaf,” Coa-ong terkekeh dan membelalakkan mata kagum, tidak malu atau jengah. Kami lari karena gentar dan bingung oleh tongkat terbang, Chi Koan, dan sekarang kembali karena kami rasa hanya kaulah yang dapat menolong. Nah, guru-gurumu sudah di sini. Apakah mau dibiarkan dibantai tosu bau itu atau kami bergabung denganmu mencari selamat!"

Dan saat itu Sin Gwan Tojin berkelebat datang, marah mengejar. Dia telah membunuh ular- ular bawaan Coa-ong dan mendelik melihat para iblis itu di puncak. Betapa beraninya mereka kembali! Namun melihat betapa suhengnya kebingungan menyerang Chi Koan, terpental dan terlempar balik kalau serangannya bertemu Hok-te Sin-kang maka tosu yang sudah merasakan hebatnya anak muda itu membentak.

“Suheng, biar aku membantumu!" dan menghardik agar para murid menyerang Coa-ong maka tosu itu tak jadi menghajar si Raja Ular karena kini maju membantu suhengnya.

Tan Hoo Cinjin membelalakkan mata dan tosu itu diam saja. Bantuan ini lain dengan bantuan para murid. Mereka terlalu rendah bagi Chi Koan dan masuknya Sin Gwan Tojin ini menggirangkannya juga. Maka ketika ia berseru keras sementara sutenya sudah maju mengeroyok, pemuda seperti Chi Koan harus dihadapi berdua maka para murid yang mendengar bentakan paman gurunya meloncat dan menghantam Coa-ong, juga enam rekannya yang lain.

"Susiok, kau benar. Biar kami menghajar iblis-iblis ini dan kau membantu paicu (ketua)!”

Coa-ong dan rekan-rekannya terkejut. Mereka boleh bebas dari desakan Sin Gwan Tojin namun serbuan para murid Heng-san bukanlah main-main. Jumlah mereka tidak sedikit dan dia maupun yang lain telah sama-sama merasakan bahwa para murid ini bukan seperti murid perguruan-perguruan lain. Anak-anak murid Heng-san ini telah mempelajari warisan Siang Kek Cinjin. Mereka memiliki pula Sin-sian-hoan-eng sebagai ilmu meringankan tubuh yang hebat itu.

Dan karena jumlah mereka juga banyak tak kurang dari dua ratus orang, yang maju baru separoh namun itu melebihi bahayanya menghadapi Sin Gwan Tojin maka Coa-ong dan kawan-kawan berteriak dan mengelak atau menangkis. Si Raja Ular pucat dan ularnya dipangil lagi, suling di tangan ditiup melengking-iengking. Namun karena di puncak masih ada sisa-sisa obor, para tosu menyalakan itu maka barisan ular tak berani datang dan si kakek ini kelabakan menghalau dan menghindar serangan.

Tong-si dan Kwi-bun juga berteriak sama dan mereka tak mungkin menghadapi lawan demikian banyak. See-tok dan Kwi-bo juga tak jauh berbeda. Tapi ketika mereka melengking-lengking dan berkelebatan ke sana-sini, Kwi-bo terpeleset den jatuh oleh kibasan sebatang pedang maka Chi Koan tiba- tiba berseru agar semua masuk ke dalam lingkaran hawa saktinya. Angin berhembus kencang ketika pemuda itu mendorong dan mengebut.

“Suhu, datang dan mendekatlah. Berlindung di balik Hok-te Sin-kangku!"

Sang kakek meloncat dan masuk dengan cepat. Ia tak perlu diulang dua kali lagi ketika tiba- tiba Hok-te Sin-kang melebar dan mendorong anak-anak murid Heng-san. Musuh di luar garis terpelanting dan menjerit. Chi Koan menghembuskan pukulannya hingga Hok-te Sin-kun itu menerjang kuat, melebar dan membuka jalan bagi tujuh gurunya masuk. Dan ketika semua berlompatan ke dalam dan Coa-ong terkekeh, angin menderu melindungi mereka maka benar saja hawa sakti Hok-te Sin-kang bak benteng tebal yang kokoh kuat.

“Heh-heh, terima kasih, Chi Koan. Kiranya kau masih menyayang guru-gurumu!”

Chi Koan tertawa nakal. "Tergantung kalian, suhu. Kalau coba-coba membelot tentu kulempar keluar. Hayo, siapa berani meninggalkan aku lagi tanpa ijin!"

"Heh-heh, jangan begitu. Kami bukan sengaja meninggalkanmu, Chi Koan. Tadi kami ketakutan oleh Sin Gwan Tojin itu. Tapi sekarang tidak. Bukankah kami dapat membalas dan melepas serangan dari sini? Ha, jenggot tosu itu datang mendekat. Tolong kau lindungi aku dan biar kubetot!” Coa-ong terkekeh dan maju menyambar.

Saat itu ia dan kawan-kawannya sudah di dalam gulungan hawa sakti Hok-te Sin-kang dan tak ada yang mampu menyerang. Tanpa kehendak Chi Koan tak mungkin ada yang masuk. Dan ketika saat itu Sin Gwan Tojin menusuk punggung Chi Koan dan jenggot tosu itu berkibar, kebetulan dia berada dekat maka dengan cepat dan berani ia meloncat dan menarik jenggot tosu itu. Sin Gwan sedang menyerang Chi Koan dan sambaran tangan jahil Raja Ular ini mengejutkannya. Maka ketika ia membentak dan coba mengelak, tusukan terpaksa ditahan setengah jalan ternyata ujung jenggotnya masih kena sambar juga.

“Brett!” Sang tosu mendelik dan kakek itu tertawa- tawa. Di genggamannya terdapat seonggok rambut putih dan Coa-ong geli. Ia dapat membalas. Dan ketika yang lain juga meniru karena dilindungi Chi Koan, menarik atau menyerang Tan Hoo Cinjin maka ketua Heng-san itu juga memekik karena ujung bajunya robek terkait. Tong-si mempergunakan tusuk kondenya mencongkel.

“Hi-hik, enak, Chi Koan. Kami sekarang dapat membalas. Hai, sekarang kami akan menghajar murid-murid bau itu!" dan ketika Tong-si melepas jarum-jarum hitamnya, disusul oleh Coa-ong yang mengebutkan rambut di tangan maka jenggot Sin Gwan Tojin itu membuat para murid menjerit karena menancap dan mengenai tubuh tak kalah dengan jarum-jarum Tong-si.

"Ha-ha! He-heh....! Ini baru puas. Ah, kita basmi orang-orang Heng-san ini, Chi Koan. Bunuh mereka agar tahu diri. Biar di akherat mereka bertemu Siang Kek Cinjin!"

Coa-ong berjingkrak melempar onggokan rambut jenggot itu. Ia tak berhenti menyerang karena sasaran demikian empuk. Ia dapat menyerang sementara lawan tidak. Benteng dari hawa sakti Hok-te Sin-kang benar-benar luar biasa. Mereka bertujuh dapat berlindung di situ. Dan ketika yang lain tertawa sementara Tan Hoo dan Sin Gwan Tojin melotot, murid- murid mereka menjerit dan roboh satu persatu maka Heng-san mulai menjadi tempat pembantaian karena satu demi satu para murid itu tewas.

Halamah depan kuil berobah menjadi ladang pembunuhan dan darah mengalir. Tan Hoo dan sutenya membentak hebat. Tapi ketika tetap saja mereka tak mampu membobol hawa sakti itu, pukulan membalik dan membuat mereka terpelanting bergulingan akhirnya dua tosu pimpinan ini menjadi pucat dan ngeri.

Mereka teringat mendiang sesepuh mereka ketika bertanding di Go-bi. Waktu itu mendiang Siang Kek Cinjin dan Siang Lam Cinjin menghadapi dedengkot Go-bi, Ji Leng Hwesio yang lihai. Dan ketika sesepuh mereka tak mampu menandingi hwesio sakti itu, Hok-te Sin-kang yang dimiliki Ji Leng memang luar biasa maka kejadian kali ini mirip dengan peristiwa itu tapi bedanya lawan yang dihadapi adalah Chi Koan, pemuda ganas tak kenal ampun yang bagai bumi dan langit dengan Ji Leng Hwesio.

Hwesio dari Go-bi itu tak pernah membunuh lawan meskipun marah. Paling-paling hwesio itu hanya membanting dan membuat kecut sesepuh mereka, yang akhirnya tahu diri dan mundur. Dan karena yang sekarang dihadapi bukanlah Ji Leng Hwesio melainkan Chi Koan yang ganas, yang tadi sudah menewaskan dua puluh murid Heng-san maka Tan Hoo akhirnya menjadi nekat dan ketika berkali-kali ia tak mampu membobol hawa sakti akhirnya tosu ini memekik mengucap mantra.

“Chi Koan, kau atau pinto yang mampus!”

Sin Gwan Tojin terkejut. Sang suheng berteriak dan berjungkir balik tínggi. Di udara tosu itu meluncur turun dan menghantam Chi Koan dengan dahsyat. Tongkat dilepas dan menyambar ubun-ubun Chi Koan dengan amat cepatnya. Kecepatan ini masih ditambah kekuatan tenaga si tosu yang mendorong dengan sinkang. Dan ketika semua itu masih ditambah dengan Tit-ci-thian-tung di tangan kiri dan Lui-yang Sin-kang di tangan kanan, gerakan itu adalah gerakan maut maka Chi Koan yang terkejut dan berubah oleh datangnya serangan ini sedetik menjadi tertegun.

Hok-te Sin-kang adalah tenaga sakti yang memang luar biasa. Dari depan dan belakang, juga kiri dan kanan dia mampu melepas pukulan sakti itu membentuk dinding sinkang. Siapapun tak mungkin mampu masuk kalau tidak atas kehendaknya. Tapi ketika sekarang ketua Heng-san itu menyerangnya dari atas, menukik seperti garuda haus darah maka Chi Koan terkejut juga karena memang bagian atas inilah yang "bocor”.

Tan Hoo Cinjin rupanya tosu banyak pengalaman. Tosu ini juga cerdik hingga mengetahui kelemahan Hok-te Sin-kang. Tapi karena ilmu itu adalah warisan Bu-tek-cin-keng dan sedikit kelemahan itu bukanlah segala- galanya, Chi Koan juga pemuda yang cepat sadar dan membalik serta menghadapi tosu itu maka pemuda ini membentak dan pukulan Hok-te Sin-kang yang ditujukan ke delapan penjuru sekarang diangkat naik menyambut serangan maut ketua Heng-san itu.

"Blaarrr....!”

Hebat akibatnya. Sambaran hawa merah dari Lui-yang Sin-kang bertemu Hok-te Sin-kang. Api menyembur ke atas bagai gunung meletus, begitu dahsyat hingga membubung belasan meter. Dan ketika tongkat yang dilontar tosu itu juga tertahan sejenak, tak kuat bertemu Hok-te Sin-kang untuk akhirnya meledak dan hancur berkeping-keping maka Tit-ci-thian-tung, serangan yang dilakukan dengan telunjuk itu patah dan jari sang tosu terbabat putus.

Tan Hoo Cinjin berteriak tinggi dan tosu ini serasa menghantam gunung. Dia tak menyangka secepat itu Chi Koan merobah pukulannya. Dan ketika tosu itu gelap pandangan dan mengeluh, api dari pukulannya Lui-yang Sin-kang membalik dan menjilat tubuhnya sendiri maka tosu itu terlempar tinggi belasan meter dan hancur dimakan ilmu pukulannya sendiri, terbanting menjadi seonggok daging hangus, merah terbakar.

"Brukk!” Tubuh itu sudah tidak seperti manusia lagi. Kepala tosu ini pecah sementara lutut dan dadanya lengket. Tan Hoo Cinjin yang gagah itu ternyata sekarang berubah menjadi segumpal daging besar seperti bola. Kulit dan tubuhnya matang. Dan ketika terdengar teriakan ngeri di sana-sini, teriakan para murid yang histeris oleh kematian ketuanya itu maka Sin Gwan Tojin terhenyak melotot seakan tak percaya.

Tubuh suhengnya lumat secara mengerikan. Tubuh itu terbakar. Ya, terbakar karena api yang menyala di pakaian suhengnya tiba-tiba berkobar. Api dari bekas pukulan Lui-yang Sin- kang itu tertiup angin dan menjadi besar. Dan ketika sekejap kemudian mayat yang meringkuk itu dilalap jago merah, berkobar dan menimbulkan bau sangit maka tosu itu berteriak dan sadar.

"Suheng...!" Apa yang dilakukan tosu ini mengerikan. Sin Gwan menubruk dan bergulingan menyambar onggokan daging bakar itu. Dia mengebutkan berulang-ulang lengan bajunya memadamkan api. Dan ketika api itu padam namun ganti menyala di tubuh tosu ini, mengenai pakaiannya hingga berkobar maka Sin Gwan Tojin seperti gila melengking dan memekik. Apa boleh buat ia melepaskan jenasah suhengnya memadamkan api ditubuh sendiri. Tapi ketika api itu padam ternyata mayat suhengnya sudah habis. Menyeramkan!

“Ooohhhhh....!" geram atau seruan tercekik itu mendirikan bulu roma. Sang tosu terhuyung memandang sisa jenasah suhengnya lalu tiba-tiba menangis. Suaranya aneh menyayat-nyayat menggetarkan jantung. Siapapun pasti merinding melihat tosu ini. Sin Gwan menelungkup dan menciumi itu. Percikan darah dan potongan daging menempel di wajahnya, tak terasa. Tapi ketika tiba-tiba ia bangkit dan tertawa bergelak, wajah tosu itu sudah seperti setan dan bukan manusia lagi maka ia melengking dan menyambar lagi senjatanya. “Chi Koan, kau jahanam keparat!"

Chi Koan terbelalak. Ia menghentikan serangannya setelah kejadian besar ini. Ia telah membunuh ketua Heng-san yang hendak mengadu jiwa. Dan karena semua orang otomatis berhenti dan tak ada yang bergerak, peristiwa itu sungguh menggetarkan maka ketika tiba-tiba sang tosu bergerak dan menyambar dirinya pemuda ini tak terkejut karena waspada.

"Hm!" Chi Koan mengelak dan mengejek. "Jangan antar nyawa sia-sia, Sin Gwan Tojin. Atau kau mati seperti suhengmu!”

"Ha-ha, mati boleh mati. Dibunuh atau membunuh anjing sepertimu adalah kebanggaan, Chi Koan. Ayo bunuh atau aku membunuhmu..... siutttt-blarr!” tongkat menghantam tanah hingga memuncratkan bunga api.

Chi Koan mengelak dan tidak membalas itu. Dan ketika sang tosu mengejarnya dan melepas serangan lagi, membabat dan menyapu maka Chi Koan mendengus merasa marah. Ia kagum akan keberanian tokoh Heng-san ini. “Sin Gwan, berhenti kataku. Menyerahlah dan kau tunduk baik-baik kepadaku. Heng-san berada di bawah kekuasaanku!"

“Ha-ha, Sin Gwan boleh mampus. Kau boleh membunuh semua orang-orang Heng-san, Chi Koan. Tapi generasi berikutnya akan tumbuh dan muncul lagi. Hayo, kau atau aku yang terbunuh..... dess!" tongkat menyemburkan api ke atas. Sang tosu sudah gila dan kini menerjang semakin kalap lagi.

Coa-ong dan lain-lain mundur dengan ngeri. Kalau tak ada Chi Koan di situ tentu mereka menjadi tumbalnya. Tosu ini sudah seperti orang tidak waras lagi. Dan ketika ia melengking dan tertawa serta menangis, pukulan-pukulannya luput dihindari Chi Koan maka laki-laki itu membentak melepas tongkatnya, mainkan Hui-tung Sin-hoat yang membuat tongkat terbang menyambar-nyambar.

"Ha-ha, bunuh! Ayo bunuh si tosu ini!"

Chi Koan menjadi marah. Akhirnya ia mengeluarkan bentakan dan ketika tongkat menyambar iapun memapak. Ia tidak mengelak melainkan sengaja menerima tongkat. Hok-te Sin-kang menderu. Dan ketika tongkat meledak dan hancur berkeping-keping, sang tosu terhenyak tapi tertawa bergelak tiba-tiba tosu itu berkelebatan melepas Lui-yang Sin-kang dan Tit-ci-thian-tung. Ia nekat dan tidak perduli. Dan ketika terdengar bunyi "krak” dari telunjuk yang patah, Tit-ci-thian-tungnya mental bertemu dorongan Hok-te Sin-kang maka tosu itu berjungkir balik ke atas dan melakukan seperti apa yang dilakukan suhengnya tadi. Menembus benteng ilmu sakti itu dari udara.

“Ha-ha, sekarang kau atau pinto yang mampus, Chi Koan. Terimalah ini dan kita mengadu jiwa!”

Anak murid menjerit. Sekarang mereka berteriak karena yang dilakukan tosu itu adalah mengulang suhengnya. Perbuatan itu betul-betul nekat tapi inilah kegagahan Sin Gwan Tojin. Tosu ini tak mau menyerah lebih baik mati. Ia rela menjadi seonggok daging bakar. Dan ketika Lui-yang Sin-kang menghantam dahsyat dari telapak kanannya, Tit-ci-thian-tung tak dapat digunakan karena telunjuk kirinya patah maka tosu itupun melayangkan telapak kirinya dengan Lui-yang Sin-kang.

“Blaarrrr!"

Dan akibatnya memang sudah diduga. Chi Koan, yang marah dan melotot melihat tosu itu tak mau bermurah hati lagi. Ia telah membujuk namun si tosu bandel. Kegagahan dan keberanian tosu itu sesungguhnya memikat hatinya. Ia ingin menarik tosu ini sebagai pembantu. Bukan apa-apa melainkan semata berjaga kalau Ji Leng Hwesio mencarinya. Ia tak tahu bahwa sesepuh Go-bi itu telah meninggal namun mewariskan ilmunya kepada Peng Houw, lawan yang kelak akan merupakan bakal tanding paling seru dan dahsyat baginya.

Maka ketika ia mengangkat tangannya ke atas dan Hok-te Sin-kang menyambut tosu itu, ia mengeraskan hati dan marah maka tosu itu terlempar tinggi ke atas bersama ledakan Lui-yang Sin-kang yang menyemburkan api bagai gunung meletus. Pukulan tosu itu membalik bertemu ilmu sakti ini, betapapun ia memang kalah kuat. Maka ketika ia terlempar dan tewas seketika, roboh dihantam ilmunya sendiri maka api dari Lui-yang Sin-kang itu menjilat tubuhnya berkobar besar, jatuh bersama tubuh tosu itu seperti bola api raksasa. Dan ketika sekejap kemudian tosu itu menjadi bongkahan warna merah yang menjilat dan membakar sana-sini maka para murid berteriak dan lari tunggang-langgang. Kacau meninggalkan gunung.

"Eh!" Kwi-bo berseru dan teringat ini. "Bagaimana mereka, Chi Koan? Apakah dibiarkan saja?"

"Hm," Chi Koan acuh, kekecewaannya menghimpit. "Buat apa mereka, Kwi-bo? Pimpinannya tewas. Biarkan saja."

"Tapi mereka penerus dan generasi Heng-san. Ingat kata-kata Sin Gwan Tojin, Chi Koan. Mereka bisa menjadi musuh berbahaya yang kelak membalas kematian ketuanya!"

“Benar, dan itu ancaman di kelak kemudian hari, Chi Koan. Mereka dapat menjadi bumerang bagi kita!" See-tok, yang ngeri dan gentar melihat kelihaian anak-anak murid Heng-san berseru. Raksasa ini telah merasakan hebatnya tosu-tosu itu seperti halnya rekan-rekan yang lain. Tanpa bantuan Chi Koan tak mungkin mereka dapat menghadapi. Maka ketika Kwi-bo berseru dan ia menyambung, yang lain mengangguk maka Chi Koan berkilat dan tergetar.

“Baik,” pemuda itu akhirnya berkata. “Kalian benar, Kwi-bo. Mereka dapat menjadi ancaman di kelak kemudian hari. Kejarlah, bunuh mereka!"

“Eh!" si cantik melengak. "Bunuh mereka? Gila, kau harus menjadi pemimpin kami, Chi Koan. Tanpa kau kami bakal dikeroyok. Basmilah, dan kami mengikuti!"

Sekali lagi Chi Koan mengerjap. Ia merasa bahwa kata-kata ini betul karena terbukti Kwi-bo dan guru-gurunya ini tak mampu menghadapi keroyokan murid-murid Heng-san. Tosu-tosu itu bukan seperti murid-murid perguruan lain karena mereka mewarisi langsung gemblengan, Siang Kek Cinjin dan Siang Lam Cinjin, dedengkot Heng-san yang akhirnya tewas itu. Maka bergerak dan mengangguk geram ia pun berkelebat mengejar anak-anak murid ini. Dan begitu Chi Koan bergerak yang lainpun serentak mengikuti. Di belakang Chi Koan mereka merasa besar.

"Ha-ha, jangan lari, tikus-tikus busuk. Robohlah... bluk!"

See-tok menghajar dan merobohkan seorang tosu. Chi Koan sudah mendahului di sana dan belasan tosu menjerit ngeri. Mereka disambar Hok-te Sin-kang dan sekali pemuda itu mendorong tangan maka murid-murid tak berdosa ini terlempar. Lalu ketika Kwi-bo dan Coa-ong juga terkekeh menggerakkan tangan mereka maka rambut si cantik ini menjeletar dan menggubat leher seorang murid.

"Dan kau, hi-hiik.... tunggu dulu, tosu bau. Kontrak hidupmu telah habis. Menghadaplah raja akherat dan katakan aku yang membantumu melepaskan rohmu.... rrtt!” rambut itu melilit dan menyentak, keras bagai kawat baja dan tahu-tahu leher itu putus.

Dan ketika di sana Jin-touw Pembunuh Tangan Seribu juga menggerakkan kapaknya dan membabat maka kepala seorang tosu terbelah dan otaknya muncrat. Mengerikan. “Ha-ha, dan kau.... eh, bilang kepada Raja Maut bahwa aku menolongmu dari dunia sengsara ini, tosu tengik. Kontrakmu juga habis dan berterima kasihlah kepadaku.... crat!"

Tubuh menggelinding disertai jeritan ngeri. Jin-mo dan Kwi-bun juga tak mau kalah begitu pula Tong-si. Mereka mengejar dan meroboh-robohkan musuh di belakang Chi Koan. Hadirnya pemuda itulah yang membuat semangat para tosu seakan terbang. Dan ketika mereka dibantai dan seratus tubuh bergelimpangan, Chi Koan benar-benar hendak membasmi habis para tosu Heng-san maka sepak terjang pemuda ini sungguh mengerikan dan membuat bulu roma bergidik. Pembantaian besar-besaran dilakukan di sini. Dua ratus murid akhirnya roboh lagi, menggelepar.

Tapi karena tak mungkin pemuda itu membunuh semuanya karena tosu-tosu itu berlarian ke sana-sini, berpencar dan menyelinap di balik pohon-pohon pegunungan maka akhirnya tiga puluh orang di antara mereka selamat. Darah berceceran dan Heng-san berubah wajah. Tempat yang sejuk dan segar kehijauan itu kini bersimbah darah di mana-mana. Dan ketika mereka yang selamat ini keluar dari Heng-san, dua di antaranya adalah Kho Hwat Tojin dan Kho Seng Tojin, kakak beradik yang luka sewaktu pertandingan awal maka Chi Koan menghentikan amukannya setelah tubuh malang-melintang di jalanan Heng-san.

Keadaan sungguh mencekam dengan melihat mayat-mayat itu. Dalam pembantaiannya pemuda ini benar-benar tak kepalang tanggung. Keji. Dan ketika semua puas sementara Coa-ong dan lain-lain terkekeh, kekejaman Chi Koan dapat melampaui kekejaman mereka maka Coa-ong menyimpan sulingnya den bertanya ke mana mereka sekarang.

“Heng-san sudah habis, tokoh-tokohnya sudah mampus. Heh-heh, ke mana kita melanjutkan petualangan kita, Chi Koan? Apakah ke Hoa- san?”

"Hm, boleh. Pekerjaan kita memang harus tuntas, suhu, Kalau mau ke Hoa-san mari.”

“Tapi Kun-lun lebih penting!" Jin-mo tiba-tiba berseru. “Di sana ada tokoh saktinya, Chi Koan, si tua bangka Kun-lun Lojin. Apakah kita tidak ke sana dulu?"

“Tidak," Kwi-bo melengking dan mendahului. "Pertarungan di sini sudah berat, Jin-mo. Kita cari dulu lawan yang ringan sambil memulihkan tenaga. Kalau berhadapan dengan Kun-lun Lojin jangan-jangan tenaga Chi Koan habis!"

"Hm,” yang lain mengangguk. "Kau benar, Kwi-bo. Kun-lun lebih hebat daripada Hoa-san. Kalau kita ke Kun-lun tentu berat, sebaiknya ke Hoa-san dulu dan taklukkan partai itu. Kun- lun belakangan!"

Chi Koan mengangguk. Ia merasa letih setelah bertarung dengan tokoh-tokoh Heng-san. Kalau kini ke Kun-lun dan harus menghadapi Kun-lun Lojin, tokoh yang hebat namun belum pernah dijumpai maka tenaganya bakal terkuras. Lebih baik menghajar yang lemah dulu untuk kemudian yang kuat. Dia harus mengembalikan tenaganya dulu.

Maka ketika usul diterima dan Chi Koan mengangguk berangkatlah rombongan itu ke Hoa-san. Mereka tidak memperdulikan mayat-mayat di sepanjang jalan bahkan menendang dan meludahi mayat-mayat itu. Lenggang murid dan guru ini seperti harimau tak berperasaan. Dan ketika di Hoa-san mereka membuat gempar, Tujuh Malaikat Hoa-san bertanding dan menghadapi Tujuh Siluman Langit maka atas bantuan Chi Koan, Coa-ong dan kawan- kawannya itu merobohkan lawan-lawan mereka.

Di Hoa-san tidak seperti Heng-san. Di sini hanya para tokoh yang pantas bertanding dengan Kwi-bo. Wanita itu dan rekan-rekannya mengejutkan partai ini. Maklumlah, Tujuh Siluman Langit telah dinyatakan tewas terbunuh. Maka ketika kehadiran mereka benar-benar mengejutkan semua orang, Kwi-bo dan kawan-kawan membalas dendam karena dulu orang-orang Hoa-san ini juga mengejar-ngejar mereka.

Maka sambil terkekeh mereka melayani Tujuh Malaikat Hoa-san yang galak-galak itu. Kwi-bo berimbang namun bantuan Chi Koan merobah segala-galanya. Dan ketika tujuh tosu itu roboh dan tewas, giliran Chi Koan menghadapi ketua Hoa-san maka Ko Pek Tojin yang menjadi pimpinan akhirnya menyerah!

Tosu ini menerima malu yang besar. Dia menerima hinaan hebat dengan dipermainkan Chi Koan. Tapi karena dia ingin menyelamatkan murid-murid agar tidak dibantai, akhirnya kabar di Heng-san didengar juga maka pimpinan Hoa-san ini bertekuk lutut. Chi Koan tidak membunuhnya karena lawan menyerah baik-baik. Seluruh pimpinan dan murid Hoa-san harus tunduk sejak hari itu.

Dan ketika berturut-turut Chi Koan mendatangi partai-partai lain seperti Khong-tong dan Hwa-tong, juga Bu-tong dan Seng-tong-pai akhirnya seluruh partai-partai persilatan berhasil ditundukkan, kecuali Kun-lun. Dan karena tinggal partai terakhir ini yang harus digarap, di situ tinggal kakek sakti Kun-lun Lojin maka pada hari terakhir Chi Koan mendatangi partai persilatan ini.

Sepak terjangnya tentu saja menggemparkan dunia dan membuat heboh. Hok-te Sin-kang itulah yang ditakuti. Dan karena belasan partai besar telah ditundukkan dan tinggal Kun-lun atau Go-bi, terakhir ini Chi Koan belum ada niat menyerbu maka kemenangan demi kemenangan yang diraihnya membuat pemuda itu sombong dan takabur.

Chi Koan benar-benar menjadi pemuda tinggi hati yang sewenang-wenang. Gadis-gadis cantik yang ada di partai taklukannya dibawa begitu saja, dipermainkan. Dan ketika ratap tangis benar-benar terjadi di mana-mana, pimpinan partai gentar sementara murid-murid perempuannya dilanda takut maka empat bulan kemudian sejak peristiwa Heng-san pemuda ini mendatangi Kun-lun. Dan ternyata begitu ia datang partai persilatan itu rupanya sudah siap!

* * * * * * * *

Pagi itu Chi Koan datang bersama rombongannya. Ia benar-benar telah merasa siap. Kedatangannya tak perlu sembunyi-sembunyi seperti layaknya di Heng-san dulu. Langsung saja ia mendaki gunung dan para murid tentu saja mencegat. Mereka telah mendengar sepak terjang pemuda ini di dunia persilatan. Maka ketika tiba-tiba mereka berkelebatan dan anak-anak murid Kun-lun mencegat delapan orang ini, Chi Koan dan Tujuh Siluman Langit memang melewati jalan umum maka See-tok tertawa bergelak sementara Kwi-bo terkekeh mengejek.

"Hi-hik, tikus-tikus bau menghadang perjalanan kita. Apakah minta diantar ke akherat?"

"Benar, dan mari terima seranganku, tosu tengik. Atau mundur dan beri tahu Kim Cu Cinjin bahwa kami datang... wherrr!" See-tok melepas bandul tengkoraknya dan langsung menghajar, tidak tanggung-tanggung karena menyerbu lima murid paling depan. Tapi ketika mereka mengelak dan tengkorak meledak menghantam tanah, See-tok siap bergerak lagi maka tosu terdepan tiba-tiba berseru mengangkat tangan.

“Tahan, kami disuruh menyambut oleh ketua. Harap jangan menyerang dan silakan cuwi mengikuti kami!"

"Ha-ha, mengikuti kalian? Minggir, kami sudah tahu jalan, tosu busuk. Bukan anak kecil yang harus dituntun dan mengikuti orang lain. Hordah, menyibak atau mampus!" See-tok mengibaskan lagi bandul tengkoraknya itu hingga si tosu mundur. Raksasa ini melompat tertawa-tawa dan berkelebat. Jalan terbuka lagi. Dan ketika Coa-ong dan Kwi-bo juga terkekeh-kekeh, mereka tak perlu diantar maka semuanya bergerak sementara Chi Koan sendiri tahu-tahu menghilang dan sudah di pinggang gunung.

"Suhu, cepat ke atas. Jangan gentar di kiri kanan kalian terdapat musuh!"

Coa-ong dan semua tertawa bergelak. Mereka sudah berkelebatan dan benar saja di lereng- lereng gunung bergerak anak-anak murid Kun- lun menjaga. Mereka minggir ketika rombongan ini lewat, tidak menyerang tapi segera berlarian menyusul begitu Coa-ong dan lain-lain naik. Dan ketika Chi Koan menghilang dan tahu-tahu sudah berada di puncak maka Jin-touw tertawa bergelak membabatkan kapaknya ke kiri kanan dengan sombong.

"Ha-ha, siap mampus kalau berani maju, anak-anak. Kami datang untuk menaklukkan kalian bukan bersahabat. Kami adalah raja!”

Murid-murid Kun-lun melotot. Mereka rata-rata berwajah gelap dan menahan marah namun dicegah pimpinan untuk tidak menyerang. Tamu memang disambut dan rombongan itu dibiarkan lewat. Ratusan anak murid menyusul ke puncak. Kun-lun menunjukkan diri sebagai tempat yang telah bersiap siaga. Dan ketika Coa-ong tiba di atas dan melihat Chi Koan sudah berhadapan dengan tokoh-tokoh Kun-lun maka Kim Cu Cinjin, sang ketua yang sabar dan berwajah lembut itu menjura. Di kiri kanannya berdiri para pembantu dan herannya semua di situ tampak tenang dan santai, tidak gelisah!

"Chi-kongcu, selamat datang di Kun-lun. Sudah pinto tunggu kedatanganmu dengan penuh harap. Kami mengucapkan selamat datang dan sesepuh kami menunggumu di pertapaan. Bukankah kongcu hendak menjumpai sesepuh kami Kun-lun Lojin?"

Chi Koan tercengang, juga tertegun. Dia melihat sesuatu yang begitu tenang dari orang-orang Kun-lun ini dan itu membuatnya curiga. Tak biasanya lawan bersikap seperti itu. Ini mencurigakan! Tapi tertawa dan tak gentar atau takut tiba-tiba dia berseru, memandang ke dalam, "Cinjin, tak perlu basa-basi. Aku datang memang hendak menemui sesepuhmu Kun-lun Lojin, datang untuk mengalahkan dan menaklukkan kalian. Nah, mana itu dedengkot kalian, Kim Cu Cinjin. Dan aku menantang untuk bertanding dan merobohkan siapa penentangku!”

"Siancai, Kun-lun sedang menerima tamu. Kami tak mau ribut atau bertengkar, Chi-kongcu. Silakan naik ke pertapaan dan di sana kedatanganmu ditunggu supek kami. Marilah, hanya kami yang dapat mengantarmu!"

"Heh!" See-tok tiba-tiba berseru dan memutar- mutar bandul tengkoraknya, tak sabar. "Kenapa bukan si tua bangka yang keluar dan menyambut kami. Chi Koan memang ingin menantangnya bertanding!"

"Sabar, sang tosu tersenyum dan tidak tampak takut. Supek kami tak dapat turun karena sedang menerima tamu, See-tok. Marilah naik saja ke atas dan di sana Chi-kongcu akan disambut sendiri."

“Hm, main-main apa ini?” Kwi-bun membentak dan curiga. "Kami lebih berharga daripada tamu siapapun, Kim Cu Cinjin. Kami adalah calon sang penakluk dan kalian calon jajahan!"

"Silakan naik saja ke atas," sang tosu masih tenang dan tersenyum. "Urusan dapat diselesaikan di sana, Kwi-bun. Pinto hanya mengajak kalian dan silakan bicara sendiri dengan sesepuh kami. Urusan di sini tergantung di sana. Mari naik dan pinto antar!"

Bersamaan itu tiba-tiba terdengar suara lembut, jauh di balik gunung, “Kim Cu, silakan bawa Chi-kongcu dan teman-temannya ke mari. Aku si tua sudah siap dan akan menerima. Naiklah ke sini!"

“Nah,” Kim Cu Cinjin berseri dan memandang. "Dengar itu, Kwi-bun. Kalian sudah ditunggu dan mari naik ke sana. Kalian tak tahu pertapaan sesepuh kami dan mari kami antar. Hanya pinto (aku) dan tiga sute ini yang mengiring. Mari, jangan takut!"

See-tok membentak dan memaki marah. Ia merasa marah disangka takut tapi si tosu tiba-tiba bergerak ke belakang gunung. Dan ketika tiga orang di kiri kanan tosu itu juga bergerak dan mempersilakan, Chi Koan malah tak enak maka pemuda itupun bergerak dan Coa-ong serta kawan-kawannya mengikuti. Kalau saja tak ada Kun-lun Lojin di situ tentu Kim Cu Cinjin ini akan diserang dan dilumpuhkan. Orang-orang seperti Kim Cu dan murid-muridnya ini tak membuat takut Chi Koan. Heng-san masih jauh lebih kuat daripada Kun-lun, itupun dapat dikalahkan!

Tapi karena Kun-lun Lojin ada di situ dan betapapun sesepuh itu orang sakti, Chi Koan tak tahu apakah kakek itu sama hebat atau lebih hebat daripada mendiang Siang Kek dan Siang Lam Cinjin maka Chi Koan memasang kewaspadaannya dan melirik agar suhu atau teman-temannya berhati-hati. Sikap tenang ketua Kun-lun ini semakin membuatnya curiga.

“Suhu, Kwi-bo..., jangan gegabah. Ikuti saja Kim Cu Cinjin ini dan kita robohkan dia kalau main curang!"

Tapi ketua Kun-lun itu tak curang. Ia benar-benar mengantar rombongan Chi Koan ke pertapaan, karena ketika mereka membelok dan naik turun enam kali, menguak gerumbul di muka hutan cemara kecil maka tampaklah sebuah tempat yang bersih di mana sebuah guha tampak agung dan suci berdiri di situ. Dan seorang kakek dan seorang lainnya lagi yang memberikan punggung tampak bercakap-cakap tenang, tenang tapi serius.

"Nah, inilah pertapaan supek kami. Dan itulah supek kami. Mari mendekat, kongcu. Kita sudah sampai!"

Kim Cu Cinjin berkelebat dan berlutut. Dia berseru menyatakan kedatangannya dan Kun-lun Lojin, kakek renta yang duduk-duduk itu tiba-tiba menoleh. Wajah yang lembut namun memiliki mata mencorong seperti naga menyambar Chi Koan dan rombongan, tidak kepada tosu itu dan Chi Koan tergetar melihat mata mencorong ini. Jelas tampak bahwa kakek tua ini orang sakti. Dan ketika kakek itu tersenyum dan mengebutkan lengan, tamu yang memberikan punggung itu juga menoleh maka Chi Koan tertegun karena orang yang sedang bercakap-cakap dengan dedengkot Kun-lun itu ternyata adalah seorang pemuda yang mukanya seperti badut, coreng-moreng hitam putih.

"Chi-kongcu, selamat datang. Maaf aku si tua bangka tak dapat berdiri menyambut kalian. Silakan duduk di tempat seadanya. Aku Kun-lun Lojin gembira melihat kedatangan kalian!"

"Hm!" Chi Koan sadar, tak memandang lagi pemuda badut itu, marah. “Kau tua bangka tak perlu beramah-tamah, Kun-lun Lojin. Aku datang untuk menaklukkan Kun-lun dan karena kau satu-satunya yang kupandang maka aku menantangmu bertanding atau menyerahkan Kun-lun secara baik-baik!”

“Ha-ha-heh-heh, kau anak muda terlampau bersemangat. Duduklah.... duduklah, anak muda. Dan kita omong-omong dulu sebelum mengadu ilmu. Aku si tua bangka sebenarnya malas bertanding. Lagi pula aku lumpuh.....”

“Hm, supek tak dapat menggerakkan kakinya sejak belasan tahun yang lalu, Chi-kongcu. Harap maaf kalau disangka tidak menghormat. Duduklah, beliau tak dapat berdiri!" Kim Cu Cinjin, yang kini duduk dan tenang-tenang di atas tanah juga bicara. Ketua Kun-lun itu telah mengambil posisi dan berada di belakang uwak gurunya, tersenyum dan mempersilakan dan baru sekarang Chi Koan tahu bahwa dedengkot Kun-lun itu kiranya lumpuh. Ternyata dia menantang orang cacad! Dan agak merah bahwa dia tak tahu ini, yang ditantang ternyata lumpuh maka kakek itu tertawa dan mengulapkan lengannya kembali.

“Anak muda, duduklah. Bertanding dengan dudukpun aku dapat melayani. Tapi perkenalkan dulu tamu agungku ini yang mungkin kau kenal. Dia....”

“Aku Houw Peng, heh-heh....” badut muda itu berdiri, tertawa, mendahului tuan rumah. “Kalau ingin main-main dan bertanding boleh dengan aku, Chi-kongcu. Aku tidak cacad dan malu dong, menantang orang lumpuh. Aku tamu tapi mungkin boleh mewakili tuan rumah main-main denganmu."

"Siapa kau?” See-tok berkelebat dan tiba-tiba membentak, marah dan mendahului Chi Koan. "Kalau badut seperti kau tak pantas menghadapi Chi Koan, bocah. Meskipun Kun-lun Lojin lumpuh namun dia punya nama, tidak seperti kau. Minggir....bress!"

See-tok melayangkan pukulan tapi tiba-tiba malah menjerit sendiri. Iblis tinggi besar itu mencengkeram lawannya dan mau membanting ketika tiba-tiba dia berteriak. Pundak yang dicengkeram seolah besi panas, membakar telapaknya dan saat itulah lawan tersenyum dan mendorong. Tampaknya perlahan saja tapi dia terjengkang. Dan ketika iblis itu bergulingan dan Chi Koan serta yang lain kaget, See-tok meloncat bangun namun terhuyung dan mau jatuh maka Jin-touw menahan temannya dan berseru, kaget,

"See-tok, apa yang terjadi. Kenapa dibalas dorongan sedikit saja kau terguling-guling!"

“Ah, dia... dia itu...!" See-tok menggigil, melihat tapak tangannya sendiri. "Aku serasa mencengkeram bara api, Jin-touw. Bocah itu siluman. Dia hebat, dorongannya luar biasa!"

"Hm, minggirlah,” Chi Koan mengibas dan menyuruh raksasa ini mundur. "Aku masih ingin bicara dengan tua bangka itu, suhu. Jangan takut karena aku mampu melindungi kalian. He, kau....!” pemuda itu membentak. "Mundur, badut sialan. Atau kau kubuang seperti anjing dan jangan macam-macam!”

Chi Koan kini berhadapan dan mendorong tangannya. Dia melakukan pukulan sinkang dan angin pukulan itu menderu. Sekaligus dia ingin menjajal kepandaian badut muda ini. Suara si badut seolah dikenal, hanya tawa nyleneh itulah yang membuatnya bingung. Maka ketika ia mendorong dan bermaksud melempar lawan, atau mengadu tenaga untuk melihat sampai di mana hebatnya si badut ini mendadak Kun-lun Lojin berseru dan menarik tangan anak muda itu.

“Peng-kongcu, jangan mendahului pinto. Ini urusan Kun-lun. Terima kasih atas pembelaanmu tapi duduklah dan biar pinto yang bicara!"

Karena kakek ini menarik dan menyendal tangan anak muda itu maka pukulan Chi Koan otomatis mengenai tempat kosong. Pemuda itu terjengkang dan terbawa jatuh di samping kakek ini, tak mungkin menerima pukulan itu. Dan ketika pukulan itu meledak dan merobohkan sebatang pohon, ambruk di belakang para tosu itu maka Kun-lun Lojin menyambar tongkat dan berdiri dengan kedua kaki terkatung-katung di antara dua tongkatnya. Wajah berseri namun mata itu berkilat semakin mencorong.

“Ha-ha, hebat. Itu rupanya Hok-te Sin-kang yang kau miliki, Chi-kongcu. Hm tak aneh kalau mendiang Siang Kek dan Siang Lam Cinjin tak mampu menghadapi yang terhormat ketua Go-bi. Siancai, pinto jadi ingin menikmati. Karena kau tak mau duduk dan rupanya ingin benar mengadu ilmu biarlah pinto si tua bangka ini main-main sebentar. Kalau kalah, yach... nasib. Kalau menang, ha-ha..... berarti pinto mampu mengalahkan Ji Leng Hwesio yang sakti mandraguna itu. Ayo, majulah, anak muda. Pinto akan melayanimu dan sayang kau tak mau duduk-duduk dulu!”

Chi Koan tergetar dan melihat kaki yang terkatung-katung di sepasang tongkat itu. Kaki itu lemah dan kurus, tak bertenaga. Jelas kakek ini benar-benar lumpuh dan tak bicara bohong. Namun karena enggan berhadapan dengan orang cacad, meskipun kakek itu bernama besar maka keragu-raguannya ini rupanya dapat dibaca dan dimengerti Kwi-bo, wanita yang selalu dekat dengannya.

“Hi-hik, malu berhadapan dengan tua bangka macam ini, Chi Koan. Daripada kau merendahkan diri biar aku yang merobohkannya. Kalau kakek ini roboh berarti tak perlu kau membuang tenaga sia-sia. Rupanya Kun-lun bernasib buruk cukup dirobohkan Kwi-bo, hi-hiik..... tar-tar!” rambut meledak menakut-nakuti kakek ini, garang dilepas untuk menunjukkan kelihaian.

Namun Kun-lun Lojin senyum-senyum saja. Kakek itu bahkan tertawa. Dan ketika Chi Koan mundur namun Kim Cu Cinjin meloncat bangun, hendak menghadapi iblis wanita itu ternyata si kakek menggoyang dan menggerak-gerakkan tangannya.

“Biar... biar kulayani. Kau duduk dan tenang-tenang saja disitu, Kim Cu. Biar aku menghadapi Kwi-bo. Ha-ha, bagaimana Tujuh Siluman Langit hidup kembali? Apakah kalian bercadang nyawa?"

"Hm, tak usah banyak cakap. Kau sudah menyatakan siap, Kun-lun Lojin, kalau begitu tak usah tanya macam-macam. Terimalah, dan mampus!"

Kwi-bo bergerak dan menyerang kakek ini. Wanita itu tak sungkan-sungkan lagi dan orang selumpuh ini tak perlu ditakuti. Dia bahkan ingin membuat malu. Maka ketika dia berkelebat dan menjeletarkan rambut, bukan ke atas melainkan ke bawah membelit tongkat maka Kwi-bo ingin menarik dan menjatuhkan kakek itu. Kalau Kun-lun Lojin kehilangan tongkat tentu kakek itu bakal "krengkangan” dan jatuh seperti anak kecil, lucu mentertawakan.

Tapi ketika rambut membelit namun tongkat tak bergeming, tongkat itu menancap kokoh bagai terpaku di bumi maka wanita ini kaget juga dan ketika dia memaksa menarik mendadak rambutnya putus dan dia sendirilah yang terjengkang krengkangan.

“Aiiihhhhhh..... bresss!” Kwi-bo terguling-guling dan pucat melengking panjang. Lawan tak mengelak dan membiarkan saja tongkatnya dibelit. Secara nalar tentunya Kwi-bo dapat menarik dan merobohkan kakek itu, karena si kakek tak tampak bertahan dan biasa-biasa saja. Tapi ketika kejadiannya lain dan justeru wanita itu yang terguling-guling, rambutnya putus maka Kwi-bo meloncat bangun dan dengan muka merah dan gelap ia menerjang dan membentak lagi. Peristiwa itu membuatnya malu.

“Keparat, kau tua bangka jahanam, Kun-lun Lojin. Tapi jangan kira dapat mempermainkan aku karena akulah yang akan menghajarmu!” wanita itu melengking dan meledak-ledakkan rambut. Kwi-bo menyerang ke atas dan ke bawah dan bukan hanya tongkat yang diserang melainkan juga tubuh kakek itu. Bahkan wajah Kun-lun Lojin juga disabet dan disambar rambut. Kalau kena mungkin sobek, rambut itu berobah seperti kawat-kawat baja saja.

Tapi ketika kakek itu mengelak dan tersenyum-senyum, tongkat diangkat dan menotol-notol maka semua serangan luput dan Kwi-bo marah bukan main sementara penonton menjadi kagum dan berdecak. Coa-ong memuji dan tak terasa bersiul nyaring.

"Heii, hebat. Kau tua bangka lumayan Kun-lun Lojin. Tapi mana ilmu silatmu apakah pandai hanya mengelak saja!"

"Hm, pinto tak ingin membuat malu. Kalau lawan sudah tahu diri dan mundur pinto tak perlu mengeluarkan ilmu silat, Coa-ong. Cukup dengan ini saja dan harap Kwi-bo tak mendesak... tak-takk!"

Tongkat kini bergerak dan menyambut lecutan rambut, bersuara lembut namun akibatnya Kwi-bo terbanting. Ia serasa ditolak tenaga besar. Dan ketika ia bergulingan dan meloncat bangun, wajah pucat dan merah berganti-ganti maka Coa-ong bertepuk tangan dan tiba-tiba dengan isyarat Chi Koan kakek itu menerjang, suling dan tongkat dicabut keluar, bergerak bersama Jin-mo yang juga mendapat isyarat muridnya.

“Ha-ha, hebat, Kun-lun Lojin. Kau tua bangka benar-benar luar biasa. Tapi coba hadapi keroyokan kami dan apakah kau tidak takut!”

Kakek itu tertawa. Sekarang ia menghadapi keroyokan namun hebatnya ia dapat mengelak dan menyelamatkan diri. Sambaran bambu panjang di tangan Jin-mo dapat dihindarkannya dengan totolan tongkat dengan cara istimewa. Tongkat itu baru menotol kalau bambu sudah menderu dekat, jadi tak membuang-buang tenaga. Dan ketika suling atau tongkat di tangan Coa-ong juga dielak atau ditangkis, tangkisan ini kian lama kian kuat hingga Coa-ong berteriak maka enam jurus saja suling dan tongkat di tangan Raja Ular itu mencelat, bersamaan juga dengan patahnya bambu panjang yang hancur di tangan Jin-mo.

“Ha-ha, cukup. Tak perlu menguras tenaga si tua, Coa-ong. Mundur dan biar Chi-kongcu berhadapan sendiri dengan pinto!”

Dua kakek itu terlempar. Baik Jin-mo maupun Coa-ong roboh dalam enam gebrakan saja melawan sesepuh Kun-lun ini, padahal kakek itu lumpuh! Tapi ketika mereka bergulingan meloncat bangun dan mengeluh tertahan, telapak keduanya lecet mendadak Kwi-bun dan Tong-si menjerit, disusul Jin-touw yang terbahak dengan kapak menyambar, begitu juga See-tok, yang bergerak dengan bandul tengkoraknya yang menderu.

"Haiihhh.... kau sombong dan besar kepala, Kun-lun Lojin. Kalau belum merobohkan kami bertujuh tak pantas kau berhadapan dengan Chi Koan. Sambutlah, atau kau tinggal nama.... tik-wherr-plakk!" semua senjata menyambar dan menuju tubuh kakek itu.

Kun-lun Lojin tak mengelak karena kini kakek itu menangkis. Sepasang tongkatnya menghalau di kiri kanan dan membuat lawan-lawan terpental. Dan ketika semua berteriak karena tenaga tangkisan itu amat kuat, telapak tergetar dan nyaris melepaskan senjata maka Jin-touw menyerang lagi sementara tiga temannya mengikuti. Dan belum kakek itu bergerak tiba- tiba Coa-ong dan Jin-mo serta Kwi-bo juga melengking dan berkelebat mengeroyok. Tujuh melawan satu, itupun lumpuh!

"Heh-heh, kau boleh, Kun-lun Lojin. Kau hebat. Tapi coba terima kami bertujuh dan mampukah kau bertahan.... trik-trakk! "

Tongkat penyangga bertemu tujuh serangan dengan cepat dan berturut-turut. Kakek itu tersenyum dan tidak marah. Namun ketika matanya semakin mencorong dan kedua lengan bergetar mencengkeram tongkat, dari lengan kakek ini mengalir tenaga ke dalam tongkatnya maka sepasang tongkat penyangga itu berubah menjadi barang kuat yang tak putus dibacok kapak ataupun senjata tajam. Jin-touw bahkan berteriak ketika mata kapaknya rompal.

Dan ketika tujuh kali dia menghantam namun tujuh luka merusak kapaknya, iblis itupun terpelanting dan kaget bergulingan maka yang lain-lain sama saja dan See-tok serta teman-temannya terhuyung-huyung. Bandul tengkorak di tangan raksasa itu putus satu demi satu, merotoli seperti tasbeh putus benangnya. Dan ketika kakek itu berseru keras dan tangan kiri bergerak mendorong, serangkum angin dahsyat menyambar dan menghantam Tujuh Siluman ini maka See-tok dan teman-temannya terlempar. Pertandingan berjalan tak lebih dari dua puluh jurus.

"Cukup, pinto ingin istirahat, See-tok. Kembalilah ke tempat kalian dan hentikan main-main ini!"

Tujuh orang itu terlempar bagai layang-layang putus talinya. Mereka menjerit dan terbanting dan kini Coa-ong maupun Kwi-bo tak dapat segera bangun. Mereka kesakitan. Tapi ketika Chi Koan berkelebat dan menolong gurunya, satu demi satu ditepuk punggungnya maka semua berlompatan bangun dan See-tok maupun teman-temannya terbelalak gentar. Kakek lumpuh itu ternyata sakti!

"Hm, kau luar biasa. Kepandaian dan ilmu silatmu cukup mengagumkan, Kun-lun Lojin. Tapi jangan kira bahwa dengan pamer sedikit kepandaian ini maka niatku mundur. Kau pantas menandingiku, tapi aku tak akan mengeluarkan Hok-te Sin-kun ku kalau dengan yang lain-lain aku mampu merobohkanmu!"

“Ha-ha, anak muda penuh semangat. Siancai, kau gagah, anak muda, tak kenal takut. Hm, tapi pinto jadi merasa prihatin melihat sepak terjangmu ini. Kau meroboh-robohkan pemimpin persilatan. Kau membunuh-bunuhi pula mereka yang menentangmu. Dan kau membasmi habis perguruan Heng-san. Siancai, hatimu jahat sekali, Chi Koan, dan sudah menjadi tugas pinto untuk menghentikan sepak terjangmu ini. Kun-lun sudah lama menunggu kedatanganmu. Kun-lun siap menangkap dan membekukmu. Dan pinto seoranglah yang rupanya mampu melaksanakan tugas ini. Majulah, anak muda. Pinto siap dan tak perlu berbasa-basi lagi!"

Kakek itu berkilat dan tiba-tiba sikapnya menjadi berwibawa. Tongkat dipegang erat-erat sementara mata tak pernah lepas memandang pemuda itu. Dagu kakek ini mengeras, kemarahan jelas mulai tampak. Tapi karena dia adalah seorang pertapa dan betapapun kakek ini berhati lembut, dia tak seberingas atau segalak mendiang Siang Kek dan Siang Lam Cinjin maka kakek ini tampak sabar meskipun keras dan tegas kata-katanya.

Tapi ketika Chi Koan tertawa mengejek dan menggerak-gerakkan lengannya, siap menyerang mendadak badut bernama Houw Peng itu meloncat.

“Locianpwe, nanti dulu. Apakah tidak sebaiknya aku yang maju dan kau beristirahat dulu. Kau telah bertempur dengan Coa-ong dan kawan-keiwannya tadi. Kau lelah!"

“Tidak, terima kasih," kakek ini tersenyum, menoleh. "Biar aku yang maju dulu, kongcu. Kalau tak dapat menandingi biarlah kau sebagai tamu boleh membela tuan rumah. Mundurlah, pinto masih kuat!”

Chi Koan melotot. Ia jadi memperhatikan lagi badut muda itu tapi Kun-lun Lojin menarik dan membawanya kembali ke persoalan pokok. Ia memandang lagi kakek ini. Dan ketika si kakek mengibaskan lengan dan badut itu duduk lagi, si pertapa menggoyang lengan maka Chi Koan diminta untuk mulai menyerang. Sekarang Chi Koan tahu bahwa kakek ini memang benar-benar sakti.

"Anak muda, majulah. Pinto sudah siap. Kau tamu dan boleh menyerang dulu.”

"Tapi kau lumpuh, sebaiknya kau maju dulu dan aku melayani. Aku juga siap, Kun-lun Lojin. Dan tak usah sungkan meskipun aku pantas menjadi cucumu!"

“Ha-ha, kalau begitu pinto diam di sini, anak muda. Kalau kau tidak menyerang pinto juga tidak bergerak. Silakan, atau kau menyerah dan nyatakan kalah!"

Chi Koan membentak. Tiba-tiba ia marah karena tawa kakek ini memandangnya rendah. Kun-lun Lojin tak tampak takut entah karena sikapnya yang matang ataukah karena belum tahu kepandaiannya. Kakek itu menyebalkan! Maka ketika ia membentak dan sudah ditantang, ia harus unjuk gigi maka Chi Koan berkelebat dan Lui-thian-to-jit dikeluarkan sementara tangan kirinya melepas pukulan Cui-pek-po-kian. Dia memang tak pernah mengeluarkan ilmunya terdahsyat Hok-te Sin-kun kalau menghadapi lawan di awal pertandingan, kecuali untuk menggertak dan membuat takut.

Maka ketika dia juga tak mengeluarkan Hok-te Sin-kunnya itu karena ingin melihat sampai di mana kepandaian sesepuh Kun-lun ini, baru akan mengeluarkan warisan Bu-tek-cin-keng itu kalau dirasa tak kuat maka dengan Cui-pek-po-kian Chi Koan sudah menghantam dan menampar pelipis kakek ini. Lui-thian-to-jit atau Kilat Menyambar Matahari itu adalah ilmu meringankan tubuh yang luar biasa. Layaknya seperti kilat menyambar saja tubuhnya tahu-tahu menghilang dan sudah lenyap di depan kakek itu.

Sedikit kakek ini terlambat mengelak tentu kena. Cui-pek-po-kian adalah ilmu Menggempur Tembok warisan Beng Kong Hwesio, dengan ilmu ini saja dulu mendiang Ji Beng sang wakil ketua Go-bi mampu memporakporandakan orang-orang kang-ouw. Tapi karena kali ini yang dihadapi adalah dedengkot Kun-lun, tokoh andalan yang membuat partai persilatan itu masih dihormat dan dihargai orang maka Kun-lun Lojin yang terkejut tapi tidak mengelak serangan itu justeru menangkis dan menerimanya. Secepat kilat tangan kanan mengebut dan deru angin sinkangpun menyambar.

“Plak!”

Chi Koan dan kakek itu sama-sama tergetar setindak. Chi Koan kagum tapi Kun-lun Lojin lebih kagum. Harus diingat bahwa sinkang yang dimiliki kakek ini adalah berkat latihan puluhan tahun. Tenaga yang dihimpun sudah amat kuat dan tadi dengan sedikit pukulan saja Coa-ong dan kawan-kawan terlempar. Hanya orang seperti Siang Kek Cinjin atau Ji Leng Hwesio yang mampu menerima. Maka ketika Chi Koan hanya tergetar saja dan pemuda itu tak apa-apa, sang kakek kagum.

Maka Chi Koan yang marah dan menjadi panas berseru menyerang lagi. Pemuda itu berkelebat dan Cui-pek-po-kian kembali menggempur. Tui-thian-to-jitnya tak mampu membuat silau dan kakek itu dapat mengikuti. Alangkah tajamnya. Dan ketika dua kali kakek itu menangkis dan dua kali itu pula mereka sama terpental, kali ini tidak hanya terdorong seperti tadi maka Chi Koan membentak dan berkelebatan dengan pukulan-pukulannya yang hebat. Kini dia mengeluarkan pula Thai-san-ap-ting dan Pukulan Menghantam Gunung Thai-san ini dapat pula dihadapi.

Bahkan, Kun-lun Lojin agaknya hapal dengan pukulan inl, tertawa dan mengelak serta menangkis. Dan ketika keduanya kemudian bertanding seru dan nyata bahwa lumpuhnya kaki itu tak membuat gerakan si kakek canggung, kaki itu boleh terkatung-katung di antara sepasang tongkat namun gerakan si kakek cepat sebat dan luar biasa maka Kun-lun Lojin juga mengebut-ngebutkan ujung lengan bajunya dan dari sini muncul tenaga dorong yang menghalau atau menumbuk Thai-san-ap-ting dan Cui-pek-po-kian itu.

“Ha-ha, ini pukulan-pukulan lama. Bagus, kau menguasai dua ilmu ini dengan baik, anak muda. Tak heran kalau Go-bi menjadi harimau garang yang mampu bertahan dan mengangkat nama besar. Sayang, kau murid murtad..... des-plak!”

Dua pukulan kembali bertemu dan masing-masing sama terlempar. Dengan cara berjungkir balik indah kakek itu mampu membuang sisa tenaga untuk melayang dan turun dengan tegak, kedua tongkatnya kembali menancap tanah, kokoh. Dan ketika Chi Koan melotot dan menjadi kagum, mau tak mau dia memuji juga maka kembali dia menerjang dan kini pukulan- pukulannya diarahkan ke sepasang tongkat itu, menggempur dari bawah.

“Kun-lun Lojin, kau hebat. Tapi jaga seranganku berikut dan jangan sombong!"

Kakek itu melompat dan mengelak lagi. Ketika dikejar baru dia menangkis. Dan ketika keduanya kembali bertanding dan kakek ini membentak berseru keras, melayang dan berkelebatan dengan ilmunya yang luar biasa maka bagai burung menyambar-nyambar kakek inipun lenyap menandingi Chi Koan. Lima puluh jurus mereka bertempur dan belum ada yang terdesak atau mendesak. Masing-masing silih berganti menyerang dan membalas.

Chi Koan kagum bahwa kakek ini selalu dapat menyelamatkan tongkatnya. Kalaupun digempur tentu mampu bertahan dan tak bergeming, tanda bahwa sinkang sesepuh Kun-lun ini memang hebat. Tapi ketika pertandingan berjalan seratus jurus dan tubuh kakek itu mulai berkeringat, napasnya memburu maka Chi Koan gembira dan kakek itu juga kagum bahwa anak semuda ini mampu menandinginya seratus jurus. Barang yang langka!

“Kun-lun Lojin, kau mulai tak kuat. Kau mulai lelah. Menyerahlah sebelum aku mengeluarkan Hok-te Sin-kun!"

“Hm, orang setua aku pantas kehabisan napas. Kau selihai Ji Beng Hwesio, anak muda. Tapi pinto tak akan menyerah. Keluarkanlah Hok-te Sin-kun mu untuk pinto lihat. Aku juga sudah pernah merasakan!”

“Kau tak tahu diri? Nekat benar. Baik, kau yang minta, Kun-lun Lojin, dan jangan salahkan aku kalau kau roboh!”

Chi Koan berseru dan merobah gerakannya. Dia marah dan kagum akan kehebatan lawan. Kakek lumpuh itu masih dapat bertahan. Tapi ketika ia berseru dan mendorong dengan telapak terbuka, pukulan Hok-te Sin-kang dikeluarkan maka kakek itu berteriak karena sepasang bambu penyangganya ditiup angin dahsyat. Chi Koan memang masih menujukan serangan-serangannya ke tongkat atau bambu penyangga ini.

“Aiihhhhh..... bresss!” Kakek itu tak kuat dan roboh. Kun-lun Lojin coba mengelak namun Hok-te Sin-kang mengurungnya dari delapan penjuru, bertahan dan akibatnya tertekuk, tak mau bambunya hancur dan karena itu mengikuti hawa dorongan membiarkan tubuh terlempar. Dan ketika ia bergulingan dan menotolkan tongkat untuk berdiri lagi, bergoyang-goyang maka kakek itu pucat membelalakkan mata. Untuk pukulan ini memang ia tak tahan!

Tapi Chi Koan terlanjur gemas. Untuk kedua kalinya lagi pemuda itu kagum bahwa si kakek masih dapat bertahan di tongkat bambunya. Kalau orang lain tentu tak dapat bangun lagi, minimal hancur tongkatnya. Maka begitu si kakek bergulingan meloncat bangun dan tongkat telah berdiri tegak lagi, agak bergoyang namun cukup kuat maka dia berkelebat dan maju menghantam dengan Hok-te Sin-kangnya itu.

Si kakek mengelak dan dikejar, mengelak dan dikejar lagi. Dan ketika Kun-lun Lojin harus menangkis tapi terlempar tinggi, jatuh dan bergulingan maka selanjutnya kakek itu mengeluh dan berkelebatan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya, bergerak naik turun namun Chi Koan memiliki Lui-thian-to-jit. Ginkang dari Go-bi ini mampu mengimbangi si kakek dan ke manapun kakek itu menghindar tetap juga dia dikejar. Kun-lun Lojin selalu dibayang-bayangi. Dan ketika kakek itu menjadi pucat dan marah berseru menggetarkan mendadak dari ujung tongkatnya menyambar dua batang pedang pendek yang menyambar dan meluncur ke leher Chi Koan.

"Plak-plak!"

Chi Koan terkejut dan menangkis ini. Dia tak menyangka bahwa di ujung tongkat bambu tersimpan pedang rahasia. Itulah perlindungan darurat kakek ini dalam menghadapi bahaya. Dan ketika dia menghentikan gerakannya dan si kakek pucat menggigil di sana, terpaksa dia melepas pedang rahasia maka kakek itu gemetar dan berketruk menahan malu. Pedang terlempar dan jatuh di rerumputan. Dengus dan tawa mengejek tiba-tiba membuatnya merah.

"Kun-lun Lojin, bagus sekali tindakanmu. Kau tak malu berbuat curang. Ah, tokoh macam apa ini!"

“Ha-ha, benar!" See-tok berseru dan tiba-tiba bersorak. "Tua bangka itu menyimpan am-gi (senjata gelap), Chi Koan. Kalau kau tak waspada tentu celaka. Wah, tokoh besar macam apa ini?”

“Hm, tak perlu besar mulut!” sesosok bayangan berkelebat dan maju mendorong kakek ini. “Cukup kau bermain-main, locianpwe. Caramu tadi hanyalah sekedar menyelamatkan diri. Chi Koan terlalu mendesakmu, diapun tak bakal malu-malu berbuat curang kalau ingin menyelamatkan diri, bahkan lebih busuk lagi. Chi Koan, kaupun curang dengan mencuri Bu-tek-cin-keng. Tak perlu gagah dengan menghina orang lain. Hok-te Sin-kang bukan milikmu melainkan hasil curian. Nah, serahkan kitab itu karena aku datang atas nama Go-bi!”

Prahara Di Gurun Gobi Jilid 25

Cerita Silat Mandarin Serial Prahara Di Gurun Gobi Karya Batara

“BERHENTI, menyerahlah. Atau nanti kalian mampus dan pinto mengantar kalian ke neraka!”

Tong-si dan lain-lain pucat. Mereka sudah merasakan tongkat terbang si tosu lihai dan jatuh bangun tak keruan. Tapi karena mereka bukan orang-orang yang mudah menyerah dan kemarahan bangkit berkobar tiba-tiba mereka berteriak dan Tong-si mengajak teman- temannya ke atas.

“See-tok, kembali ke puncak. Gabung dengan Chi Koan. Ingat bahwa dialah satu-satunya yang dapat menolong kita!"

“Benar,” Coa-ong juga tiba-tiba berseru. "Kita ke puncak, Tong-si. Kita bergabung dengan Chi Koan dan minta dia menolong kita!”

Semua bagai diingatkan. Mereka tadi lupa saking dibuat gentar oleh Hui-tung Sin-hoat milik si tosu lihai. Mereka lintang-pukang karena jatuh bangun dihajar tongkat itu, tongkat yang mampu menyambar-nyambar bagai benda hidup, tongkat yang dimainkan dengan ilmu silat tinggi di mana sekali lepas tongkat itu mampu dikendalikan dari jauh.

Tosu itu sekarang memiliki kepandaian mengagumkan. Kesaktiannya benar-benar di atas mereka. Tapi begitu ingat Chi Koan dan hanya pemuda itulah andalan mereka, Chi Koan telah mengalahkan tosu ini maka semuanya membalik dan lari lagi naik ke puncak, tak perduli didera tongkat.

“Heii, kalian ke mana?" Sin Gwan Tojin terkejut, tercengang. "Kembali ke puncak? Bagus, semakin mudah pekerjaan pinto, See-tok. Dan kalian akan menerima hukuman setimpal!"

Coa-ong meniup sulingnya dan memanggil ular-ularnya. Suling melengking-lengking dan ular-ular pun muncul. Di sini mereka tak diancam bahaya api dan karena itu mendesis- desis, keluar dan menyerang lagi semua tosu yang dijumpai. Suling si Raja Ular ditiup penuh kekuatan, juga penuh kemarahan. Maka ketika mereka juga menjadi marah dan muncul dari mana-mana, menyerang dan menggigit para tosu maka Coa-ong dan kawan-kawan sedikit tertolong. Lawan disibukkan serangan ular dan ini cukup membuat Coa-ong mendaki puncak.

Sin Gwan juga tak luput diserang ular-ular berbisa yang membuat tosu itu marah meskipun dengan gampang menghancurkan mereka. Dan ketika Tujuh Siluman Langit memburu napasnya, masing-masing tiba di atas maka di sana ternyata terjadi pertarungan menegangkan antara Chi Koan dengan Tan Hoo Cinjin, tosu yang berkelebatan naik turun tapi terpental dan jatuh bangun menghadapi Hok-te Sin-kun.

Chi Koan menyambut dan menerima semua pukulan-pukulan tosu itu namun tak satupun pukulan mampu menggetarkan Chi Koan. Dan ketika Chi Koan membalas dan Hok-te Sin-kunnya menyambar ketua Heng-san maka ketua itu terlempar dan terbanting dengan keras.

Anak murid yang menonton terkejut dan akibatnya mereka menyerbu. Ketua mereka bergulingan ketika dikejar dan siap menerima pukulan Chi Koan. Dan karena tak ada satupun yang rela melihat ketua mereka celaka, Chi Koan menjadi ganas maka dua puluh di antaranya membentak dan meloncat maju. Pedang dan tongkat menyambar bagai hujan.

“Chi Koan, kau pemuda iblis!”

Namun mengejutkan. Dinding hawa sakti Hok-te Sin-kun ternyata telah melindungi pemuda itu dan ketika Chi koan tertawa bergelak mendadak dua puluhan orang itu terbanting. Mereka seakan menabrak dinding baja tak tampak dan jatuhlah mereka seperti laron menyerbu api. Pemuda itu tak dapat didekati. Dan ketika Chi Koan mengibas dan tosu-tosu itu menjerit maka mereka terangkat dan berdebuk dengan kaki atau tangan patah-patah.

“Ha-ha, boleh mampus kalau ingin maju. Ayo, tolong dan bantu ketua kalian, tosu-tosu bau. Dan aku akan menghabiskan kalian seperti membabat rumput kering!"

Benar saja, tosu-tosu itu seperti alang-alang atau rumput kering ditiup angin. Mereka terlempar dan roboh tak bangkit lagi. Hok-te Sin-kun langsung membuat mereka binasa. Alangkah kejamnya Chi Koan. Dan ketika Tan Hoo Cinjin terbelalak dan gusar bukan main, para murid maju lagi tapi dicegah maka tosu ini menyambar tongkatnya lagi dan dengan Hui-tung Sin-hoat ia menyerang Chi Koan dengan dahsyat. Tangan kiri bergerak dengan tudingan jari maut dan Tit-ci-thian-tung yang menyambar-nyambar dari telunjuk tosu ini amat berbahaya.

Tapi karena ia menghadapi Hok-te Sin kun dan Silat Penakluk Dunia itu sungguh hebat, Chi Koan dilindungi hawa sakti di mana tusukan jari maut itu mental maka Tan Hoo Cinjin pucat karena kalau ia meneruskan tusukannya pasti jari telunjuknya patah! Tosu ini merobah gerakan dan Lui-yang Sin-kang dikeluarkan. Pukulan Petir ini meledak di angkasa dan api menyembur dari telapak tangan. 

Tapi ketika pukulan itu tertolak dan mental juga oleh hawa sakti yang melindungi si pemuda maka tosu ini putus asa dan berkelebatan saja mengelilingi lawan, memukul dan megelak kalau pukulannya membalik. Dan saat itulah Coa-ong dan kawan-kawan muncul.

“Ha-ha, kalian kembali? Kalian tidak meninggalkan aku? Bagus, kalian menyelamatkan diri sendiri, suhu. Aku sudah akan menghajar kalian kalau tidak mampus oleh Sin Gwan Tojin!"

"Maaf,” Coa-ong terkekeh dan membelalakkan mata kagum, tidak malu atau jengah. Kami lari karena gentar dan bingung oleh tongkat terbang, Chi Koan, dan sekarang kembali karena kami rasa hanya kaulah yang dapat menolong. Nah, guru-gurumu sudah di sini. Apakah mau dibiarkan dibantai tosu bau itu atau kami bergabung denganmu mencari selamat!"

Dan saat itu Sin Gwan Tojin berkelebat datang, marah mengejar. Dia telah membunuh ular- ular bawaan Coa-ong dan mendelik melihat para iblis itu di puncak. Betapa beraninya mereka kembali! Namun melihat betapa suhengnya kebingungan menyerang Chi Koan, terpental dan terlempar balik kalau serangannya bertemu Hok-te Sin-kang maka tosu yang sudah merasakan hebatnya anak muda itu membentak.

“Suheng, biar aku membantumu!" dan menghardik agar para murid menyerang Coa-ong maka tosu itu tak jadi menghajar si Raja Ular karena kini maju membantu suhengnya.

Tan Hoo Cinjin membelalakkan mata dan tosu itu diam saja. Bantuan ini lain dengan bantuan para murid. Mereka terlalu rendah bagi Chi Koan dan masuknya Sin Gwan Tojin ini menggirangkannya juga. Maka ketika ia berseru keras sementara sutenya sudah maju mengeroyok, pemuda seperti Chi Koan harus dihadapi berdua maka para murid yang mendengar bentakan paman gurunya meloncat dan menghantam Coa-ong, juga enam rekannya yang lain.

"Susiok, kau benar. Biar kami menghajar iblis-iblis ini dan kau membantu paicu (ketua)!”

Coa-ong dan rekan-rekannya terkejut. Mereka boleh bebas dari desakan Sin Gwan Tojin namun serbuan para murid Heng-san bukanlah main-main. Jumlah mereka tidak sedikit dan dia maupun yang lain telah sama-sama merasakan bahwa para murid ini bukan seperti murid perguruan-perguruan lain. Anak-anak murid Heng-san ini telah mempelajari warisan Siang Kek Cinjin. Mereka memiliki pula Sin-sian-hoan-eng sebagai ilmu meringankan tubuh yang hebat itu.

Dan karena jumlah mereka juga banyak tak kurang dari dua ratus orang, yang maju baru separoh namun itu melebihi bahayanya menghadapi Sin Gwan Tojin maka Coa-ong dan kawan-kawan berteriak dan mengelak atau menangkis. Si Raja Ular pucat dan ularnya dipangil lagi, suling di tangan ditiup melengking-iengking. Namun karena di puncak masih ada sisa-sisa obor, para tosu menyalakan itu maka barisan ular tak berani datang dan si kakek ini kelabakan menghalau dan menghindar serangan.

Tong-si dan Kwi-bun juga berteriak sama dan mereka tak mungkin menghadapi lawan demikian banyak. See-tok dan Kwi-bo juga tak jauh berbeda. Tapi ketika mereka melengking-lengking dan berkelebatan ke sana-sini, Kwi-bo terpeleset den jatuh oleh kibasan sebatang pedang maka Chi Koan tiba- tiba berseru agar semua masuk ke dalam lingkaran hawa saktinya. Angin berhembus kencang ketika pemuda itu mendorong dan mengebut.

“Suhu, datang dan mendekatlah. Berlindung di balik Hok-te Sin-kangku!"

Sang kakek meloncat dan masuk dengan cepat. Ia tak perlu diulang dua kali lagi ketika tiba- tiba Hok-te Sin-kang melebar dan mendorong anak-anak murid Heng-san. Musuh di luar garis terpelanting dan menjerit. Chi Koan menghembuskan pukulannya hingga Hok-te Sin-kun itu menerjang kuat, melebar dan membuka jalan bagi tujuh gurunya masuk. Dan ketika semua berlompatan ke dalam dan Coa-ong terkekeh, angin menderu melindungi mereka maka benar saja hawa sakti Hok-te Sin-kang bak benteng tebal yang kokoh kuat.

“Heh-heh, terima kasih, Chi Koan. Kiranya kau masih menyayang guru-gurumu!”

Chi Koan tertawa nakal. "Tergantung kalian, suhu. Kalau coba-coba membelot tentu kulempar keluar. Hayo, siapa berani meninggalkan aku lagi tanpa ijin!"

"Heh-heh, jangan begitu. Kami bukan sengaja meninggalkanmu, Chi Koan. Tadi kami ketakutan oleh Sin Gwan Tojin itu. Tapi sekarang tidak. Bukankah kami dapat membalas dan melepas serangan dari sini? Ha, jenggot tosu itu datang mendekat. Tolong kau lindungi aku dan biar kubetot!” Coa-ong terkekeh dan maju menyambar.

Saat itu ia dan kawan-kawannya sudah di dalam gulungan hawa sakti Hok-te Sin-kang dan tak ada yang mampu menyerang. Tanpa kehendak Chi Koan tak mungkin ada yang masuk. Dan ketika saat itu Sin Gwan Tojin menusuk punggung Chi Koan dan jenggot tosu itu berkibar, kebetulan dia berada dekat maka dengan cepat dan berani ia meloncat dan menarik jenggot tosu itu. Sin Gwan sedang menyerang Chi Koan dan sambaran tangan jahil Raja Ular ini mengejutkannya. Maka ketika ia membentak dan coba mengelak, tusukan terpaksa ditahan setengah jalan ternyata ujung jenggotnya masih kena sambar juga.

“Brett!” Sang tosu mendelik dan kakek itu tertawa- tawa. Di genggamannya terdapat seonggok rambut putih dan Coa-ong geli. Ia dapat membalas. Dan ketika yang lain juga meniru karena dilindungi Chi Koan, menarik atau menyerang Tan Hoo Cinjin maka ketua Heng-san itu juga memekik karena ujung bajunya robek terkait. Tong-si mempergunakan tusuk kondenya mencongkel.

“Hi-hik, enak, Chi Koan. Kami sekarang dapat membalas. Hai, sekarang kami akan menghajar murid-murid bau itu!" dan ketika Tong-si melepas jarum-jarum hitamnya, disusul oleh Coa-ong yang mengebutkan rambut di tangan maka jenggot Sin Gwan Tojin itu membuat para murid menjerit karena menancap dan mengenai tubuh tak kalah dengan jarum-jarum Tong-si.

"Ha-ha! He-heh....! Ini baru puas. Ah, kita basmi orang-orang Heng-san ini, Chi Koan. Bunuh mereka agar tahu diri. Biar di akherat mereka bertemu Siang Kek Cinjin!"

Coa-ong berjingkrak melempar onggokan rambut jenggot itu. Ia tak berhenti menyerang karena sasaran demikian empuk. Ia dapat menyerang sementara lawan tidak. Benteng dari hawa sakti Hok-te Sin-kang benar-benar luar biasa. Mereka bertujuh dapat berlindung di situ. Dan ketika yang lain tertawa sementara Tan Hoo dan Sin Gwan Tojin melotot, murid- murid mereka menjerit dan roboh satu persatu maka Heng-san mulai menjadi tempat pembantaian karena satu demi satu para murid itu tewas.

Halamah depan kuil berobah menjadi ladang pembunuhan dan darah mengalir. Tan Hoo dan sutenya membentak hebat. Tapi ketika tetap saja mereka tak mampu membobol hawa sakti itu, pukulan membalik dan membuat mereka terpelanting bergulingan akhirnya dua tosu pimpinan ini menjadi pucat dan ngeri.

Mereka teringat mendiang sesepuh mereka ketika bertanding di Go-bi. Waktu itu mendiang Siang Kek Cinjin dan Siang Lam Cinjin menghadapi dedengkot Go-bi, Ji Leng Hwesio yang lihai. Dan ketika sesepuh mereka tak mampu menandingi hwesio sakti itu, Hok-te Sin-kang yang dimiliki Ji Leng memang luar biasa maka kejadian kali ini mirip dengan peristiwa itu tapi bedanya lawan yang dihadapi adalah Chi Koan, pemuda ganas tak kenal ampun yang bagai bumi dan langit dengan Ji Leng Hwesio.

Hwesio dari Go-bi itu tak pernah membunuh lawan meskipun marah. Paling-paling hwesio itu hanya membanting dan membuat kecut sesepuh mereka, yang akhirnya tahu diri dan mundur. Dan karena yang sekarang dihadapi bukanlah Ji Leng Hwesio melainkan Chi Koan yang ganas, yang tadi sudah menewaskan dua puluh murid Heng-san maka Tan Hoo akhirnya menjadi nekat dan ketika berkali-kali ia tak mampu membobol hawa sakti akhirnya tosu ini memekik mengucap mantra.

“Chi Koan, kau atau pinto yang mampus!”

Sin Gwan Tojin terkejut. Sang suheng berteriak dan berjungkir balik tínggi. Di udara tosu itu meluncur turun dan menghantam Chi Koan dengan dahsyat. Tongkat dilepas dan menyambar ubun-ubun Chi Koan dengan amat cepatnya. Kecepatan ini masih ditambah kekuatan tenaga si tosu yang mendorong dengan sinkang. Dan ketika semua itu masih ditambah dengan Tit-ci-thian-tung di tangan kiri dan Lui-yang Sin-kang di tangan kanan, gerakan itu adalah gerakan maut maka Chi Koan yang terkejut dan berubah oleh datangnya serangan ini sedetik menjadi tertegun.

Hok-te Sin-kang adalah tenaga sakti yang memang luar biasa. Dari depan dan belakang, juga kiri dan kanan dia mampu melepas pukulan sakti itu membentuk dinding sinkang. Siapapun tak mungkin mampu masuk kalau tidak atas kehendaknya. Tapi ketika sekarang ketua Heng-san itu menyerangnya dari atas, menukik seperti garuda haus darah maka Chi Koan terkejut juga karena memang bagian atas inilah yang "bocor”.

Tan Hoo Cinjin rupanya tosu banyak pengalaman. Tosu ini juga cerdik hingga mengetahui kelemahan Hok-te Sin-kang. Tapi karena ilmu itu adalah warisan Bu-tek-cin-keng dan sedikit kelemahan itu bukanlah segala- galanya, Chi Koan juga pemuda yang cepat sadar dan membalik serta menghadapi tosu itu maka pemuda ini membentak dan pukulan Hok-te Sin-kang yang ditujukan ke delapan penjuru sekarang diangkat naik menyambut serangan maut ketua Heng-san itu.

"Blaarrr....!”

Hebat akibatnya. Sambaran hawa merah dari Lui-yang Sin-kang bertemu Hok-te Sin-kang. Api menyembur ke atas bagai gunung meletus, begitu dahsyat hingga membubung belasan meter. Dan ketika tongkat yang dilontar tosu itu juga tertahan sejenak, tak kuat bertemu Hok-te Sin-kang untuk akhirnya meledak dan hancur berkeping-keping maka Tit-ci-thian-tung, serangan yang dilakukan dengan telunjuk itu patah dan jari sang tosu terbabat putus.

Tan Hoo Cinjin berteriak tinggi dan tosu ini serasa menghantam gunung. Dia tak menyangka secepat itu Chi Koan merobah pukulannya. Dan ketika tosu itu gelap pandangan dan mengeluh, api dari pukulannya Lui-yang Sin-kang membalik dan menjilat tubuhnya sendiri maka tosu itu terlempar tinggi belasan meter dan hancur dimakan ilmu pukulannya sendiri, terbanting menjadi seonggok daging hangus, merah terbakar.

"Brukk!” Tubuh itu sudah tidak seperti manusia lagi. Kepala tosu ini pecah sementara lutut dan dadanya lengket. Tan Hoo Cinjin yang gagah itu ternyata sekarang berubah menjadi segumpal daging besar seperti bola. Kulit dan tubuhnya matang. Dan ketika terdengar teriakan ngeri di sana-sini, teriakan para murid yang histeris oleh kematian ketuanya itu maka Sin Gwan Tojin terhenyak melotot seakan tak percaya.

Tubuh suhengnya lumat secara mengerikan. Tubuh itu terbakar. Ya, terbakar karena api yang menyala di pakaian suhengnya tiba-tiba berkobar. Api dari bekas pukulan Lui-yang Sin- kang itu tertiup angin dan menjadi besar. Dan ketika sekejap kemudian mayat yang meringkuk itu dilalap jago merah, berkobar dan menimbulkan bau sangit maka tosu itu berteriak dan sadar.

"Suheng...!" Apa yang dilakukan tosu ini mengerikan. Sin Gwan menubruk dan bergulingan menyambar onggokan daging bakar itu. Dia mengebutkan berulang-ulang lengan bajunya memadamkan api. Dan ketika api itu padam namun ganti menyala di tubuh tosu ini, mengenai pakaiannya hingga berkobar maka Sin Gwan Tojin seperti gila melengking dan memekik. Apa boleh buat ia melepaskan jenasah suhengnya memadamkan api ditubuh sendiri. Tapi ketika api itu padam ternyata mayat suhengnya sudah habis. Menyeramkan!

“Ooohhhhh....!" geram atau seruan tercekik itu mendirikan bulu roma. Sang tosu terhuyung memandang sisa jenasah suhengnya lalu tiba-tiba menangis. Suaranya aneh menyayat-nyayat menggetarkan jantung. Siapapun pasti merinding melihat tosu ini. Sin Gwan menelungkup dan menciumi itu. Percikan darah dan potongan daging menempel di wajahnya, tak terasa. Tapi ketika tiba-tiba ia bangkit dan tertawa bergelak, wajah tosu itu sudah seperti setan dan bukan manusia lagi maka ia melengking dan menyambar lagi senjatanya. “Chi Koan, kau jahanam keparat!"

Chi Koan terbelalak. Ia menghentikan serangannya setelah kejadian besar ini. Ia telah membunuh ketua Heng-san yang hendak mengadu jiwa. Dan karena semua orang otomatis berhenti dan tak ada yang bergerak, peristiwa itu sungguh menggetarkan maka ketika tiba-tiba sang tosu bergerak dan menyambar dirinya pemuda ini tak terkejut karena waspada.

"Hm!" Chi Koan mengelak dan mengejek. "Jangan antar nyawa sia-sia, Sin Gwan Tojin. Atau kau mati seperti suhengmu!”

"Ha-ha, mati boleh mati. Dibunuh atau membunuh anjing sepertimu adalah kebanggaan, Chi Koan. Ayo bunuh atau aku membunuhmu..... siutttt-blarr!” tongkat menghantam tanah hingga memuncratkan bunga api.

Chi Koan mengelak dan tidak membalas itu. Dan ketika sang tosu mengejarnya dan melepas serangan lagi, membabat dan menyapu maka Chi Koan mendengus merasa marah. Ia kagum akan keberanian tokoh Heng-san ini. “Sin Gwan, berhenti kataku. Menyerahlah dan kau tunduk baik-baik kepadaku. Heng-san berada di bawah kekuasaanku!"

“Ha-ha, Sin Gwan boleh mampus. Kau boleh membunuh semua orang-orang Heng-san, Chi Koan. Tapi generasi berikutnya akan tumbuh dan muncul lagi. Hayo, kau atau aku yang terbunuh..... dess!" tongkat menyemburkan api ke atas. Sang tosu sudah gila dan kini menerjang semakin kalap lagi.

Coa-ong dan lain-lain mundur dengan ngeri. Kalau tak ada Chi Koan di situ tentu mereka menjadi tumbalnya. Tosu ini sudah seperti orang tidak waras lagi. Dan ketika ia melengking dan tertawa serta menangis, pukulan-pukulannya luput dihindari Chi Koan maka laki-laki itu membentak melepas tongkatnya, mainkan Hui-tung Sin-hoat yang membuat tongkat terbang menyambar-nyambar.

"Ha-ha, bunuh! Ayo bunuh si tosu ini!"

Chi Koan menjadi marah. Akhirnya ia mengeluarkan bentakan dan ketika tongkat menyambar iapun memapak. Ia tidak mengelak melainkan sengaja menerima tongkat. Hok-te Sin-kang menderu. Dan ketika tongkat meledak dan hancur berkeping-keping, sang tosu terhenyak tapi tertawa bergelak tiba-tiba tosu itu berkelebatan melepas Lui-yang Sin-kang dan Tit-ci-thian-tung. Ia nekat dan tidak perduli. Dan ketika terdengar bunyi "krak” dari telunjuk yang patah, Tit-ci-thian-tungnya mental bertemu dorongan Hok-te Sin-kang maka tosu itu berjungkir balik ke atas dan melakukan seperti apa yang dilakukan suhengnya tadi. Menembus benteng ilmu sakti itu dari udara.

“Ha-ha, sekarang kau atau pinto yang mampus, Chi Koan. Terimalah ini dan kita mengadu jiwa!”

Anak murid menjerit. Sekarang mereka berteriak karena yang dilakukan tosu itu adalah mengulang suhengnya. Perbuatan itu betul-betul nekat tapi inilah kegagahan Sin Gwan Tojin. Tosu ini tak mau menyerah lebih baik mati. Ia rela menjadi seonggok daging bakar. Dan ketika Lui-yang Sin-kang menghantam dahsyat dari telapak kanannya, Tit-ci-thian-tung tak dapat digunakan karena telunjuk kirinya patah maka tosu itupun melayangkan telapak kirinya dengan Lui-yang Sin-kang.

“Blaarrrr!"

Dan akibatnya memang sudah diduga. Chi Koan, yang marah dan melotot melihat tosu itu tak mau bermurah hati lagi. Ia telah membujuk namun si tosu bandel. Kegagahan dan keberanian tosu itu sesungguhnya memikat hatinya. Ia ingin menarik tosu ini sebagai pembantu. Bukan apa-apa melainkan semata berjaga kalau Ji Leng Hwesio mencarinya. Ia tak tahu bahwa sesepuh Go-bi itu telah meninggal namun mewariskan ilmunya kepada Peng Houw, lawan yang kelak akan merupakan bakal tanding paling seru dan dahsyat baginya.

Maka ketika ia mengangkat tangannya ke atas dan Hok-te Sin-kang menyambut tosu itu, ia mengeraskan hati dan marah maka tosu itu terlempar tinggi ke atas bersama ledakan Lui-yang Sin-kang yang menyemburkan api bagai gunung meletus. Pukulan tosu itu membalik bertemu ilmu sakti ini, betapapun ia memang kalah kuat. Maka ketika ia terlempar dan tewas seketika, roboh dihantam ilmunya sendiri maka api dari Lui-yang Sin-kang itu menjilat tubuhnya berkobar besar, jatuh bersama tubuh tosu itu seperti bola api raksasa. Dan ketika sekejap kemudian tosu itu menjadi bongkahan warna merah yang menjilat dan membakar sana-sini maka para murid berteriak dan lari tunggang-langgang. Kacau meninggalkan gunung.

"Eh!" Kwi-bo berseru dan teringat ini. "Bagaimana mereka, Chi Koan? Apakah dibiarkan saja?"

"Hm," Chi Koan acuh, kekecewaannya menghimpit. "Buat apa mereka, Kwi-bo? Pimpinannya tewas. Biarkan saja."

"Tapi mereka penerus dan generasi Heng-san. Ingat kata-kata Sin Gwan Tojin, Chi Koan. Mereka bisa menjadi musuh berbahaya yang kelak membalas kematian ketuanya!"

“Benar, dan itu ancaman di kelak kemudian hari, Chi Koan. Mereka dapat menjadi bumerang bagi kita!" See-tok, yang ngeri dan gentar melihat kelihaian anak-anak murid Heng-san berseru. Raksasa ini telah merasakan hebatnya tosu-tosu itu seperti halnya rekan-rekan yang lain. Tanpa bantuan Chi Koan tak mungkin mereka dapat menghadapi. Maka ketika Kwi-bo berseru dan ia menyambung, yang lain mengangguk maka Chi Koan berkilat dan tergetar.

“Baik,” pemuda itu akhirnya berkata. “Kalian benar, Kwi-bo. Mereka dapat menjadi ancaman di kelak kemudian hari. Kejarlah, bunuh mereka!"

“Eh!" si cantik melengak. "Bunuh mereka? Gila, kau harus menjadi pemimpin kami, Chi Koan. Tanpa kau kami bakal dikeroyok. Basmilah, dan kami mengikuti!"

Sekali lagi Chi Koan mengerjap. Ia merasa bahwa kata-kata ini betul karena terbukti Kwi-bo dan guru-gurunya ini tak mampu menghadapi keroyokan murid-murid Heng-san. Tosu-tosu itu bukan seperti murid-murid perguruan lain karena mereka mewarisi langsung gemblengan, Siang Kek Cinjin dan Siang Lam Cinjin, dedengkot Heng-san yang akhirnya tewas itu. Maka bergerak dan mengangguk geram ia pun berkelebat mengejar anak-anak murid ini. Dan begitu Chi Koan bergerak yang lainpun serentak mengikuti. Di belakang Chi Koan mereka merasa besar.

"Ha-ha, jangan lari, tikus-tikus busuk. Robohlah... bluk!"

See-tok menghajar dan merobohkan seorang tosu. Chi Koan sudah mendahului di sana dan belasan tosu menjerit ngeri. Mereka disambar Hok-te Sin-kang dan sekali pemuda itu mendorong tangan maka murid-murid tak berdosa ini terlempar. Lalu ketika Kwi-bo dan Coa-ong juga terkekeh menggerakkan tangan mereka maka rambut si cantik ini menjeletar dan menggubat leher seorang murid.

"Dan kau, hi-hiik.... tunggu dulu, tosu bau. Kontrak hidupmu telah habis. Menghadaplah raja akherat dan katakan aku yang membantumu melepaskan rohmu.... rrtt!” rambut itu melilit dan menyentak, keras bagai kawat baja dan tahu-tahu leher itu putus.

Dan ketika di sana Jin-touw Pembunuh Tangan Seribu juga menggerakkan kapaknya dan membabat maka kepala seorang tosu terbelah dan otaknya muncrat. Mengerikan. “Ha-ha, dan kau.... eh, bilang kepada Raja Maut bahwa aku menolongmu dari dunia sengsara ini, tosu tengik. Kontrakmu juga habis dan berterima kasihlah kepadaku.... crat!"

Tubuh menggelinding disertai jeritan ngeri. Jin-mo dan Kwi-bun juga tak mau kalah begitu pula Tong-si. Mereka mengejar dan meroboh-robohkan musuh di belakang Chi Koan. Hadirnya pemuda itulah yang membuat semangat para tosu seakan terbang. Dan ketika mereka dibantai dan seratus tubuh bergelimpangan, Chi Koan benar-benar hendak membasmi habis para tosu Heng-san maka sepak terjang pemuda ini sungguh mengerikan dan membuat bulu roma bergidik. Pembantaian besar-besaran dilakukan di sini. Dua ratus murid akhirnya roboh lagi, menggelepar.

Tapi karena tak mungkin pemuda itu membunuh semuanya karena tosu-tosu itu berlarian ke sana-sini, berpencar dan menyelinap di balik pohon-pohon pegunungan maka akhirnya tiga puluh orang di antara mereka selamat. Darah berceceran dan Heng-san berubah wajah. Tempat yang sejuk dan segar kehijauan itu kini bersimbah darah di mana-mana. Dan ketika mereka yang selamat ini keluar dari Heng-san, dua di antaranya adalah Kho Hwat Tojin dan Kho Seng Tojin, kakak beradik yang luka sewaktu pertandingan awal maka Chi Koan menghentikan amukannya setelah tubuh malang-melintang di jalanan Heng-san.

Keadaan sungguh mencekam dengan melihat mayat-mayat itu. Dalam pembantaiannya pemuda ini benar-benar tak kepalang tanggung. Keji. Dan ketika semua puas sementara Coa-ong dan lain-lain terkekeh, kekejaman Chi Koan dapat melampaui kekejaman mereka maka Coa-ong menyimpan sulingnya den bertanya ke mana mereka sekarang.

“Heng-san sudah habis, tokoh-tokohnya sudah mampus. Heh-heh, ke mana kita melanjutkan petualangan kita, Chi Koan? Apakah ke Hoa- san?”

"Hm, boleh. Pekerjaan kita memang harus tuntas, suhu, Kalau mau ke Hoa-san mari.”

“Tapi Kun-lun lebih penting!" Jin-mo tiba-tiba berseru. “Di sana ada tokoh saktinya, Chi Koan, si tua bangka Kun-lun Lojin. Apakah kita tidak ke sana dulu?"

“Tidak," Kwi-bo melengking dan mendahului. "Pertarungan di sini sudah berat, Jin-mo. Kita cari dulu lawan yang ringan sambil memulihkan tenaga. Kalau berhadapan dengan Kun-lun Lojin jangan-jangan tenaga Chi Koan habis!"

"Hm,” yang lain mengangguk. "Kau benar, Kwi-bo. Kun-lun lebih hebat daripada Hoa-san. Kalau kita ke Kun-lun tentu berat, sebaiknya ke Hoa-san dulu dan taklukkan partai itu. Kun- lun belakangan!"

Chi Koan mengangguk. Ia merasa letih setelah bertarung dengan tokoh-tokoh Heng-san. Kalau kini ke Kun-lun dan harus menghadapi Kun-lun Lojin, tokoh yang hebat namun belum pernah dijumpai maka tenaganya bakal terkuras. Lebih baik menghajar yang lemah dulu untuk kemudian yang kuat. Dia harus mengembalikan tenaganya dulu.

Maka ketika usul diterima dan Chi Koan mengangguk berangkatlah rombongan itu ke Hoa-san. Mereka tidak memperdulikan mayat-mayat di sepanjang jalan bahkan menendang dan meludahi mayat-mayat itu. Lenggang murid dan guru ini seperti harimau tak berperasaan. Dan ketika di Hoa-san mereka membuat gempar, Tujuh Malaikat Hoa-san bertanding dan menghadapi Tujuh Siluman Langit maka atas bantuan Chi Koan, Coa-ong dan kawan- kawannya itu merobohkan lawan-lawan mereka.

Di Hoa-san tidak seperti Heng-san. Di sini hanya para tokoh yang pantas bertanding dengan Kwi-bo. Wanita itu dan rekan-rekannya mengejutkan partai ini. Maklumlah, Tujuh Siluman Langit telah dinyatakan tewas terbunuh. Maka ketika kehadiran mereka benar-benar mengejutkan semua orang, Kwi-bo dan kawan-kawan membalas dendam karena dulu orang-orang Hoa-san ini juga mengejar-ngejar mereka.

Maka sambil terkekeh mereka melayani Tujuh Malaikat Hoa-san yang galak-galak itu. Kwi-bo berimbang namun bantuan Chi Koan merobah segala-galanya. Dan ketika tujuh tosu itu roboh dan tewas, giliran Chi Koan menghadapi ketua Hoa-san maka Ko Pek Tojin yang menjadi pimpinan akhirnya menyerah!

Tosu ini menerima malu yang besar. Dia menerima hinaan hebat dengan dipermainkan Chi Koan. Tapi karena dia ingin menyelamatkan murid-murid agar tidak dibantai, akhirnya kabar di Heng-san didengar juga maka pimpinan Hoa-san ini bertekuk lutut. Chi Koan tidak membunuhnya karena lawan menyerah baik-baik. Seluruh pimpinan dan murid Hoa-san harus tunduk sejak hari itu.

Dan ketika berturut-turut Chi Koan mendatangi partai-partai lain seperti Khong-tong dan Hwa-tong, juga Bu-tong dan Seng-tong-pai akhirnya seluruh partai-partai persilatan berhasil ditundukkan, kecuali Kun-lun. Dan karena tinggal partai terakhir ini yang harus digarap, di situ tinggal kakek sakti Kun-lun Lojin maka pada hari terakhir Chi Koan mendatangi partai persilatan ini.

Sepak terjangnya tentu saja menggemparkan dunia dan membuat heboh. Hok-te Sin-kang itulah yang ditakuti. Dan karena belasan partai besar telah ditundukkan dan tinggal Kun-lun atau Go-bi, terakhir ini Chi Koan belum ada niat menyerbu maka kemenangan demi kemenangan yang diraihnya membuat pemuda itu sombong dan takabur.

Chi Koan benar-benar menjadi pemuda tinggi hati yang sewenang-wenang. Gadis-gadis cantik yang ada di partai taklukannya dibawa begitu saja, dipermainkan. Dan ketika ratap tangis benar-benar terjadi di mana-mana, pimpinan partai gentar sementara murid-murid perempuannya dilanda takut maka empat bulan kemudian sejak peristiwa Heng-san pemuda ini mendatangi Kun-lun. Dan ternyata begitu ia datang partai persilatan itu rupanya sudah siap!

* * * * * * * *

Pagi itu Chi Koan datang bersama rombongannya. Ia benar-benar telah merasa siap. Kedatangannya tak perlu sembunyi-sembunyi seperti layaknya di Heng-san dulu. Langsung saja ia mendaki gunung dan para murid tentu saja mencegat. Mereka telah mendengar sepak terjang pemuda ini di dunia persilatan. Maka ketika tiba-tiba mereka berkelebatan dan anak-anak murid Kun-lun mencegat delapan orang ini, Chi Koan dan Tujuh Siluman Langit memang melewati jalan umum maka See-tok tertawa bergelak sementara Kwi-bo terkekeh mengejek.

"Hi-hik, tikus-tikus bau menghadang perjalanan kita. Apakah minta diantar ke akherat?"

"Benar, dan mari terima seranganku, tosu tengik. Atau mundur dan beri tahu Kim Cu Cinjin bahwa kami datang... wherrr!" See-tok melepas bandul tengkoraknya dan langsung menghajar, tidak tanggung-tanggung karena menyerbu lima murid paling depan. Tapi ketika mereka mengelak dan tengkorak meledak menghantam tanah, See-tok siap bergerak lagi maka tosu terdepan tiba-tiba berseru mengangkat tangan.

“Tahan, kami disuruh menyambut oleh ketua. Harap jangan menyerang dan silakan cuwi mengikuti kami!"

"Ha-ha, mengikuti kalian? Minggir, kami sudah tahu jalan, tosu busuk. Bukan anak kecil yang harus dituntun dan mengikuti orang lain. Hordah, menyibak atau mampus!" See-tok mengibaskan lagi bandul tengkoraknya itu hingga si tosu mundur. Raksasa ini melompat tertawa-tawa dan berkelebat. Jalan terbuka lagi. Dan ketika Coa-ong dan Kwi-bo juga terkekeh-kekeh, mereka tak perlu diantar maka semuanya bergerak sementara Chi Koan sendiri tahu-tahu menghilang dan sudah di pinggang gunung.

"Suhu, cepat ke atas. Jangan gentar di kiri kanan kalian terdapat musuh!"

Coa-ong dan semua tertawa bergelak. Mereka sudah berkelebatan dan benar saja di lereng- lereng gunung bergerak anak-anak murid Kun- lun menjaga. Mereka minggir ketika rombongan ini lewat, tidak menyerang tapi segera berlarian menyusul begitu Coa-ong dan lain-lain naik. Dan ketika Chi Koan menghilang dan tahu-tahu sudah berada di puncak maka Jin-touw tertawa bergelak membabatkan kapaknya ke kiri kanan dengan sombong.

"Ha-ha, siap mampus kalau berani maju, anak-anak. Kami datang untuk menaklukkan kalian bukan bersahabat. Kami adalah raja!”

Murid-murid Kun-lun melotot. Mereka rata-rata berwajah gelap dan menahan marah namun dicegah pimpinan untuk tidak menyerang. Tamu memang disambut dan rombongan itu dibiarkan lewat. Ratusan anak murid menyusul ke puncak. Kun-lun menunjukkan diri sebagai tempat yang telah bersiap siaga. Dan ketika Coa-ong tiba di atas dan melihat Chi Koan sudah berhadapan dengan tokoh-tokoh Kun-lun maka Kim Cu Cinjin, sang ketua yang sabar dan berwajah lembut itu menjura. Di kiri kanannya berdiri para pembantu dan herannya semua di situ tampak tenang dan santai, tidak gelisah!

"Chi-kongcu, selamat datang di Kun-lun. Sudah pinto tunggu kedatanganmu dengan penuh harap. Kami mengucapkan selamat datang dan sesepuh kami menunggumu di pertapaan. Bukankah kongcu hendak menjumpai sesepuh kami Kun-lun Lojin?"

Chi Koan tercengang, juga tertegun. Dia melihat sesuatu yang begitu tenang dari orang-orang Kun-lun ini dan itu membuatnya curiga. Tak biasanya lawan bersikap seperti itu. Ini mencurigakan! Tapi tertawa dan tak gentar atau takut tiba-tiba dia berseru, memandang ke dalam, "Cinjin, tak perlu basa-basi. Aku datang memang hendak menemui sesepuhmu Kun-lun Lojin, datang untuk mengalahkan dan menaklukkan kalian. Nah, mana itu dedengkot kalian, Kim Cu Cinjin. Dan aku menantang untuk bertanding dan merobohkan siapa penentangku!”

"Siancai, Kun-lun sedang menerima tamu. Kami tak mau ribut atau bertengkar, Chi-kongcu. Silakan naik ke pertapaan dan di sana kedatanganmu ditunggu supek kami. Marilah, hanya kami yang dapat mengantarmu!"

"Heh!" See-tok tiba-tiba berseru dan memutar- mutar bandul tengkoraknya, tak sabar. "Kenapa bukan si tua bangka yang keluar dan menyambut kami. Chi Koan memang ingin menantangnya bertanding!"

"Sabar, sang tosu tersenyum dan tidak tampak takut. Supek kami tak dapat turun karena sedang menerima tamu, See-tok. Marilah naik saja ke atas dan di sana Chi-kongcu akan disambut sendiri."

“Hm, main-main apa ini?” Kwi-bun membentak dan curiga. "Kami lebih berharga daripada tamu siapapun, Kim Cu Cinjin. Kami adalah calon sang penakluk dan kalian calon jajahan!"

"Silakan naik saja ke atas," sang tosu masih tenang dan tersenyum. "Urusan dapat diselesaikan di sana, Kwi-bun. Pinto hanya mengajak kalian dan silakan bicara sendiri dengan sesepuh kami. Urusan di sini tergantung di sana. Mari naik dan pinto antar!"

Bersamaan itu tiba-tiba terdengar suara lembut, jauh di balik gunung, “Kim Cu, silakan bawa Chi-kongcu dan teman-temannya ke mari. Aku si tua sudah siap dan akan menerima. Naiklah ke sini!"

“Nah,” Kim Cu Cinjin berseri dan memandang. "Dengar itu, Kwi-bun. Kalian sudah ditunggu dan mari naik ke sana. Kalian tak tahu pertapaan sesepuh kami dan mari kami antar. Hanya pinto (aku) dan tiga sute ini yang mengiring. Mari, jangan takut!"

See-tok membentak dan memaki marah. Ia merasa marah disangka takut tapi si tosu tiba-tiba bergerak ke belakang gunung. Dan ketika tiga orang di kiri kanan tosu itu juga bergerak dan mempersilakan, Chi Koan malah tak enak maka pemuda itupun bergerak dan Coa-ong serta kawan-kawannya mengikuti. Kalau saja tak ada Kun-lun Lojin di situ tentu Kim Cu Cinjin ini akan diserang dan dilumpuhkan. Orang-orang seperti Kim Cu dan murid-muridnya ini tak membuat takut Chi Koan. Heng-san masih jauh lebih kuat daripada Kun-lun, itupun dapat dikalahkan!

Tapi karena Kun-lun Lojin ada di situ dan betapapun sesepuh itu orang sakti, Chi Koan tak tahu apakah kakek itu sama hebat atau lebih hebat daripada mendiang Siang Kek dan Siang Lam Cinjin maka Chi Koan memasang kewaspadaannya dan melirik agar suhu atau teman-temannya berhati-hati. Sikap tenang ketua Kun-lun ini semakin membuatnya curiga.

“Suhu, Kwi-bo..., jangan gegabah. Ikuti saja Kim Cu Cinjin ini dan kita robohkan dia kalau main curang!"

Tapi ketua Kun-lun itu tak curang. Ia benar-benar mengantar rombongan Chi Koan ke pertapaan, karena ketika mereka membelok dan naik turun enam kali, menguak gerumbul di muka hutan cemara kecil maka tampaklah sebuah tempat yang bersih di mana sebuah guha tampak agung dan suci berdiri di situ. Dan seorang kakek dan seorang lainnya lagi yang memberikan punggung tampak bercakap-cakap tenang, tenang tapi serius.

"Nah, inilah pertapaan supek kami. Dan itulah supek kami. Mari mendekat, kongcu. Kita sudah sampai!"

Kim Cu Cinjin berkelebat dan berlutut. Dia berseru menyatakan kedatangannya dan Kun-lun Lojin, kakek renta yang duduk-duduk itu tiba-tiba menoleh. Wajah yang lembut namun memiliki mata mencorong seperti naga menyambar Chi Koan dan rombongan, tidak kepada tosu itu dan Chi Koan tergetar melihat mata mencorong ini. Jelas tampak bahwa kakek tua ini orang sakti. Dan ketika kakek itu tersenyum dan mengebutkan lengan, tamu yang memberikan punggung itu juga menoleh maka Chi Koan tertegun karena orang yang sedang bercakap-cakap dengan dedengkot Kun-lun itu ternyata adalah seorang pemuda yang mukanya seperti badut, coreng-moreng hitam putih.

"Chi-kongcu, selamat datang. Maaf aku si tua bangka tak dapat berdiri menyambut kalian. Silakan duduk di tempat seadanya. Aku Kun-lun Lojin gembira melihat kedatangan kalian!"

"Hm!" Chi Koan sadar, tak memandang lagi pemuda badut itu, marah. “Kau tua bangka tak perlu beramah-tamah, Kun-lun Lojin. Aku datang untuk menaklukkan Kun-lun dan karena kau satu-satunya yang kupandang maka aku menantangmu bertanding atau menyerahkan Kun-lun secara baik-baik!”

“Ha-ha-heh-heh, kau anak muda terlampau bersemangat. Duduklah.... duduklah, anak muda. Dan kita omong-omong dulu sebelum mengadu ilmu. Aku si tua bangka sebenarnya malas bertanding. Lagi pula aku lumpuh.....”

“Hm, supek tak dapat menggerakkan kakinya sejak belasan tahun yang lalu, Chi-kongcu. Harap maaf kalau disangka tidak menghormat. Duduklah, beliau tak dapat berdiri!" Kim Cu Cinjin, yang kini duduk dan tenang-tenang di atas tanah juga bicara. Ketua Kun-lun itu telah mengambil posisi dan berada di belakang uwak gurunya, tersenyum dan mempersilakan dan baru sekarang Chi Koan tahu bahwa dedengkot Kun-lun itu kiranya lumpuh. Ternyata dia menantang orang cacad! Dan agak merah bahwa dia tak tahu ini, yang ditantang ternyata lumpuh maka kakek itu tertawa dan mengulapkan lengannya kembali.

“Anak muda, duduklah. Bertanding dengan dudukpun aku dapat melayani. Tapi perkenalkan dulu tamu agungku ini yang mungkin kau kenal. Dia....”

“Aku Houw Peng, heh-heh....” badut muda itu berdiri, tertawa, mendahului tuan rumah. “Kalau ingin main-main dan bertanding boleh dengan aku, Chi-kongcu. Aku tidak cacad dan malu dong, menantang orang lumpuh. Aku tamu tapi mungkin boleh mewakili tuan rumah main-main denganmu."

"Siapa kau?” See-tok berkelebat dan tiba-tiba membentak, marah dan mendahului Chi Koan. "Kalau badut seperti kau tak pantas menghadapi Chi Koan, bocah. Meskipun Kun-lun Lojin lumpuh namun dia punya nama, tidak seperti kau. Minggir....bress!"

See-tok melayangkan pukulan tapi tiba-tiba malah menjerit sendiri. Iblis tinggi besar itu mencengkeram lawannya dan mau membanting ketika tiba-tiba dia berteriak. Pundak yang dicengkeram seolah besi panas, membakar telapaknya dan saat itulah lawan tersenyum dan mendorong. Tampaknya perlahan saja tapi dia terjengkang. Dan ketika iblis itu bergulingan dan Chi Koan serta yang lain kaget, See-tok meloncat bangun namun terhuyung dan mau jatuh maka Jin-touw menahan temannya dan berseru, kaget,

"See-tok, apa yang terjadi. Kenapa dibalas dorongan sedikit saja kau terguling-guling!"

“Ah, dia... dia itu...!" See-tok menggigil, melihat tapak tangannya sendiri. "Aku serasa mencengkeram bara api, Jin-touw. Bocah itu siluman. Dia hebat, dorongannya luar biasa!"

"Hm, minggirlah,” Chi Koan mengibas dan menyuruh raksasa ini mundur. "Aku masih ingin bicara dengan tua bangka itu, suhu. Jangan takut karena aku mampu melindungi kalian. He, kau....!” pemuda itu membentak. "Mundur, badut sialan. Atau kau kubuang seperti anjing dan jangan macam-macam!”

Chi Koan kini berhadapan dan mendorong tangannya. Dia melakukan pukulan sinkang dan angin pukulan itu menderu. Sekaligus dia ingin menjajal kepandaian badut muda ini. Suara si badut seolah dikenal, hanya tawa nyleneh itulah yang membuatnya bingung. Maka ketika ia mendorong dan bermaksud melempar lawan, atau mengadu tenaga untuk melihat sampai di mana hebatnya si badut ini mendadak Kun-lun Lojin berseru dan menarik tangan anak muda itu.

“Peng-kongcu, jangan mendahului pinto. Ini urusan Kun-lun. Terima kasih atas pembelaanmu tapi duduklah dan biar pinto yang bicara!"

Karena kakek ini menarik dan menyendal tangan anak muda itu maka pukulan Chi Koan otomatis mengenai tempat kosong. Pemuda itu terjengkang dan terbawa jatuh di samping kakek ini, tak mungkin menerima pukulan itu. Dan ketika pukulan itu meledak dan merobohkan sebatang pohon, ambruk di belakang para tosu itu maka Kun-lun Lojin menyambar tongkat dan berdiri dengan kedua kaki terkatung-katung di antara dua tongkatnya. Wajah berseri namun mata itu berkilat semakin mencorong.

“Ha-ha, hebat. Itu rupanya Hok-te Sin-kang yang kau miliki, Chi-kongcu. Hm tak aneh kalau mendiang Siang Kek dan Siang Lam Cinjin tak mampu menghadapi yang terhormat ketua Go-bi. Siancai, pinto jadi ingin menikmati. Karena kau tak mau duduk dan rupanya ingin benar mengadu ilmu biarlah pinto si tua bangka ini main-main sebentar. Kalau kalah, yach... nasib. Kalau menang, ha-ha..... berarti pinto mampu mengalahkan Ji Leng Hwesio yang sakti mandraguna itu. Ayo, majulah, anak muda. Pinto akan melayanimu dan sayang kau tak mau duduk-duduk dulu!”

Chi Koan tergetar dan melihat kaki yang terkatung-katung di sepasang tongkat itu. Kaki itu lemah dan kurus, tak bertenaga. Jelas kakek ini benar-benar lumpuh dan tak bicara bohong. Namun karena enggan berhadapan dengan orang cacad, meskipun kakek itu bernama besar maka keragu-raguannya ini rupanya dapat dibaca dan dimengerti Kwi-bo, wanita yang selalu dekat dengannya.

“Hi-hik, malu berhadapan dengan tua bangka macam ini, Chi Koan. Daripada kau merendahkan diri biar aku yang merobohkannya. Kalau kakek ini roboh berarti tak perlu kau membuang tenaga sia-sia. Rupanya Kun-lun bernasib buruk cukup dirobohkan Kwi-bo, hi-hiik..... tar-tar!” rambut meledak menakut-nakuti kakek ini, garang dilepas untuk menunjukkan kelihaian.

Namun Kun-lun Lojin senyum-senyum saja. Kakek itu bahkan tertawa. Dan ketika Chi Koan mundur namun Kim Cu Cinjin meloncat bangun, hendak menghadapi iblis wanita itu ternyata si kakek menggoyang dan menggerak-gerakkan tangannya.

“Biar... biar kulayani. Kau duduk dan tenang-tenang saja disitu, Kim Cu. Biar aku menghadapi Kwi-bo. Ha-ha, bagaimana Tujuh Siluman Langit hidup kembali? Apakah kalian bercadang nyawa?"

"Hm, tak usah banyak cakap. Kau sudah menyatakan siap, Kun-lun Lojin, kalau begitu tak usah tanya macam-macam. Terimalah, dan mampus!"

Kwi-bo bergerak dan menyerang kakek ini. Wanita itu tak sungkan-sungkan lagi dan orang selumpuh ini tak perlu ditakuti. Dia bahkan ingin membuat malu. Maka ketika dia berkelebat dan menjeletarkan rambut, bukan ke atas melainkan ke bawah membelit tongkat maka Kwi-bo ingin menarik dan menjatuhkan kakek itu. Kalau Kun-lun Lojin kehilangan tongkat tentu kakek itu bakal "krengkangan” dan jatuh seperti anak kecil, lucu mentertawakan.

Tapi ketika rambut membelit namun tongkat tak bergeming, tongkat itu menancap kokoh bagai terpaku di bumi maka wanita ini kaget juga dan ketika dia memaksa menarik mendadak rambutnya putus dan dia sendirilah yang terjengkang krengkangan.

“Aiiihhhhhh..... bresss!” Kwi-bo terguling-guling dan pucat melengking panjang. Lawan tak mengelak dan membiarkan saja tongkatnya dibelit. Secara nalar tentunya Kwi-bo dapat menarik dan merobohkan kakek itu, karena si kakek tak tampak bertahan dan biasa-biasa saja. Tapi ketika kejadiannya lain dan justeru wanita itu yang terguling-guling, rambutnya putus maka Kwi-bo meloncat bangun dan dengan muka merah dan gelap ia menerjang dan membentak lagi. Peristiwa itu membuatnya malu.

“Keparat, kau tua bangka jahanam, Kun-lun Lojin. Tapi jangan kira dapat mempermainkan aku karena akulah yang akan menghajarmu!” wanita itu melengking dan meledak-ledakkan rambut. Kwi-bo menyerang ke atas dan ke bawah dan bukan hanya tongkat yang diserang melainkan juga tubuh kakek itu. Bahkan wajah Kun-lun Lojin juga disabet dan disambar rambut. Kalau kena mungkin sobek, rambut itu berobah seperti kawat-kawat baja saja.

Tapi ketika kakek itu mengelak dan tersenyum-senyum, tongkat diangkat dan menotol-notol maka semua serangan luput dan Kwi-bo marah bukan main sementara penonton menjadi kagum dan berdecak. Coa-ong memuji dan tak terasa bersiul nyaring.

"Heii, hebat. Kau tua bangka lumayan Kun-lun Lojin. Tapi mana ilmu silatmu apakah pandai hanya mengelak saja!"

"Hm, pinto tak ingin membuat malu. Kalau lawan sudah tahu diri dan mundur pinto tak perlu mengeluarkan ilmu silat, Coa-ong. Cukup dengan ini saja dan harap Kwi-bo tak mendesak... tak-takk!"

Tongkat kini bergerak dan menyambut lecutan rambut, bersuara lembut namun akibatnya Kwi-bo terbanting. Ia serasa ditolak tenaga besar. Dan ketika ia bergulingan dan meloncat bangun, wajah pucat dan merah berganti-ganti maka Coa-ong bertepuk tangan dan tiba-tiba dengan isyarat Chi Koan kakek itu menerjang, suling dan tongkat dicabut keluar, bergerak bersama Jin-mo yang juga mendapat isyarat muridnya.

“Ha-ha, hebat, Kun-lun Lojin. Kau tua bangka benar-benar luar biasa. Tapi coba hadapi keroyokan kami dan apakah kau tidak takut!”

Kakek itu tertawa. Sekarang ia menghadapi keroyokan namun hebatnya ia dapat mengelak dan menyelamatkan diri. Sambaran bambu panjang di tangan Jin-mo dapat dihindarkannya dengan totolan tongkat dengan cara istimewa. Tongkat itu baru menotol kalau bambu sudah menderu dekat, jadi tak membuang-buang tenaga. Dan ketika suling atau tongkat di tangan Coa-ong juga dielak atau ditangkis, tangkisan ini kian lama kian kuat hingga Coa-ong berteriak maka enam jurus saja suling dan tongkat di tangan Raja Ular itu mencelat, bersamaan juga dengan patahnya bambu panjang yang hancur di tangan Jin-mo.

“Ha-ha, cukup. Tak perlu menguras tenaga si tua, Coa-ong. Mundur dan biar Chi-kongcu berhadapan sendiri dengan pinto!”

Dua kakek itu terlempar. Baik Jin-mo maupun Coa-ong roboh dalam enam gebrakan saja melawan sesepuh Kun-lun ini, padahal kakek itu lumpuh! Tapi ketika mereka bergulingan meloncat bangun dan mengeluh tertahan, telapak keduanya lecet mendadak Kwi-bun dan Tong-si menjerit, disusul Jin-touw yang terbahak dengan kapak menyambar, begitu juga See-tok, yang bergerak dengan bandul tengkoraknya yang menderu.

"Haiihhh.... kau sombong dan besar kepala, Kun-lun Lojin. Kalau belum merobohkan kami bertujuh tak pantas kau berhadapan dengan Chi Koan. Sambutlah, atau kau tinggal nama.... tik-wherr-plakk!" semua senjata menyambar dan menuju tubuh kakek itu.

Kun-lun Lojin tak mengelak karena kini kakek itu menangkis. Sepasang tongkatnya menghalau di kiri kanan dan membuat lawan-lawan terpental. Dan ketika semua berteriak karena tenaga tangkisan itu amat kuat, telapak tergetar dan nyaris melepaskan senjata maka Jin-touw menyerang lagi sementara tiga temannya mengikuti. Dan belum kakek itu bergerak tiba- tiba Coa-ong dan Jin-mo serta Kwi-bo juga melengking dan berkelebat mengeroyok. Tujuh melawan satu, itupun lumpuh!

"Heh-heh, kau boleh, Kun-lun Lojin. Kau hebat. Tapi coba terima kami bertujuh dan mampukah kau bertahan.... trik-trakk! "

Tongkat penyangga bertemu tujuh serangan dengan cepat dan berturut-turut. Kakek itu tersenyum dan tidak marah. Namun ketika matanya semakin mencorong dan kedua lengan bergetar mencengkeram tongkat, dari lengan kakek ini mengalir tenaga ke dalam tongkatnya maka sepasang tongkat penyangga itu berubah menjadi barang kuat yang tak putus dibacok kapak ataupun senjata tajam. Jin-touw bahkan berteriak ketika mata kapaknya rompal.

Dan ketika tujuh kali dia menghantam namun tujuh luka merusak kapaknya, iblis itupun terpelanting dan kaget bergulingan maka yang lain-lain sama saja dan See-tok serta teman-temannya terhuyung-huyung. Bandul tengkorak di tangan raksasa itu putus satu demi satu, merotoli seperti tasbeh putus benangnya. Dan ketika kakek itu berseru keras dan tangan kiri bergerak mendorong, serangkum angin dahsyat menyambar dan menghantam Tujuh Siluman ini maka See-tok dan teman-temannya terlempar. Pertandingan berjalan tak lebih dari dua puluh jurus.

"Cukup, pinto ingin istirahat, See-tok. Kembalilah ke tempat kalian dan hentikan main-main ini!"

Tujuh orang itu terlempar bagai layang-layang putus talinya. Mereka menjerit dan terbanting dan kini Coa-ong maupun Kwi-bo tak dapat segera bangun. Mereka kesakitan. Tapi ketika Chi Koan berkelebat dan menolong gurunya, satu demi satu ditepuk punggungnya maka semua berlompatan bangun dan See-tok maupun teman-temannya terbelalak gentar. Kakek lumpuh itu ternyata sakti!

"Hm, kau luar biasa. Kepandaian dan ilmu silatmu cukup mengagumkan, Kun-lun Lojin. Tapi jangan kira bahwa dengan pamer sedikit kepandaian ini maka niatku mundur. Kau pantas menandingiku, tapi aku tak akan mengeluarkan Hok-te Sin-kun ku kalau dengan yang lain-lain aku mampu merobohkanmu!"

“Ha-ha, anak muda penuh semangat. Siancai, kau gagah, anak muda, tak kenal takut. Hm, tapi pinto jadi merasa prihatin melihat sepak terjangmu ini. Kau meroboh-robohkan pemimpin persilatan. Kau membunuh-bunuhi pula mereka yang menentangmu. Dan kau membasmi habis perguruan Heng-san. Siancai, hatimu jahat sekali, Chi Koan, dan sudah menjadi tugas pinto untuk menghentikan sepak terjangmu ini. Kun-lun sudah lama menunggu kedatanganmu. Kun-lun siap menangkap dan membekukmu. Dan pinto seoranglah yang rupanya mampu melaksanakan tugas ini. Majulah, anak muda. Pinto siap dan tak perlu berbasa-basi lagi!"

Kakek itu berkilat dan tiba-tiba sikapnya menjadi berwibawa. Tongkat dipegang erat-erat sementara mata tak pernah lepas memandang pemuda itu. Dagu kakek ini mengeras, kemarahan jelas mulai tampak. Tapi karena dia adalah seorang pertapa dan betapapun kakek ini berhati lembut, dia tak seberingas atau segalak mendiang Siang Kek dan Siang Lam Cinjin maka kakek ini tampak sabar meskipun keras dan tegas kata-katanya.

Tapi ketika Chi Koan tertawa mengejek dan menggerak-gerakkan lengannya, siap menyerang mendadak badut bernama Houw Peng itu meloncat.

“Locianpwe, nanti dulu. Apakah tidak sebaiknya aku yang maju dan kau beristirahat dulu. Kau telah bertempur dengan Coa-ong dan kawan-keiwannya tadi. Kau lelah!"

“Tidak, terima kasih," kakek ini tersenyum, menoleh. "Biar aku yang maju dulu, kongcu. Kalau tak dapat menandingi biarlah kau sebagai tamu boleh membela tuan rumah. Mundurlah, pinto masih kuat!”

Chi Koan melotot. Ia jadi memperhatikan lagi badut muda itu tapi Kun-lun Lojin menarik dan membawanya kembali ke persoalan pokok. Ia memandang lagi kakek ini. Dan ketika si kakek mengibaskan lengan dan badut itu duduk lagi, si pertapa menggoyang lengan maka Chi Koan diminta untuk mulai menyerang. Sekarang Chi Koan tahu bahwa kakek ini memang benar-benar sakti.

"Anak muda, majulah. Pinto sudah siap. Kau tamu dan boleh menyerang dulu.”

"Tapi kau lumpuh, sebaiknya kau maju dulu dan aku melayani. Aku juga siap, Kun-lun Lojin. Dan tak usah sungkan meskipun aku pantas menjadi cucumu!"

“Ha-ha, kalau begitu pinto diam di sini, anak muda. Kalau kau tidak menyerang pinto juga tidak bergerak. Silakan, atau kau menyerah dan nyatakan kalah!"

Chi Koan membentak. Tiba-tiba ia marah karena tawa kakek ini memandangnya rendah. Kun-lun Lojin tak tampak takut entah karena sikapnya yang matang ataukah karena belum tahu kepandaiannya. Kakek itu menyebalkan! Maka ketika ia membentak dan sudah ditantang, ia harus unjuk gigi maka Chi Koan berkelebat dan Lui-thian-to-jit dikeluarkan sementara tangan kirinya melepas pukulan Cui-pek-po-kian. Dia memang tak pernah mengeluarkan ilmunya terdahsyat Hok-te Sin-kun kalau menghadapi lawan di awal pertandingan, kecuali untuk menggertak dan membuat takut.

Maka ketika dia juga tak mengeluarkan Hok-te Sin-kunnya itu karena ingin melihat sampai di mana kepandaian sesepuh Kun-lun ini, baru akan mengeluarkan warisan Bu-tek-cin-keng itu kalau dirasa tak kuat maka dengan Cui-pek-po-kian Chi Koan sudah menghantam dan menampar pelipis kakek ini. Lui-thian-to-jit atau Kilat Menyambar Matahari itu adalah ilmu meringankan tubuh yang luar biasa. Layaknya seperti kilat menyambar saja tubuhnya tahu-tahu menghilang dan sudah lenyap di depan kakek itu.

Sedikit kakek ini terlambat mengelak tentu kena. Cui-pek-po-kian adalah ilmu Menggempur Tembok warisan Beng Kong Hwesio, dengan ilmu ini saja dulu mendiang Ji Beng sang wakil ketua Go-bi mampu memporakporandakan orang-orang kang-ouw. Tapi karena kali ini yang dihadapi adalah dedengkot Kun-lun, tokoh andalan yang membuat partai persilatan itu masih dihormat dan dihargai orang maka Kun-lun Lojin yang terkejut tapi tidak mengelak serangan itu justeru menangkis dan menerimanya. Secepat kilat tangan kanan mengebut dan deru angin sinkangpun menyambar.

“Plak!”

Chi Koan dan kakek itu sama-sama tergetar setindak. Chi Koan kagum tapi Kun-lun Lojin lebih kagum. Harus diingat bahwa sinkang yang dimiliki kakek ini adalah berkat latihan puluhan tahun. Tenaga yang dihimpun sudah amat kuat dan tadi dengan sedikit pukulan saja Coa-ong dan kawan-kawan terlempar. Hanya orang seperti Siang Kek Cinjin atau Ji Leng Hwesio yang mampu menerima. Maka ketika Chi Koan hanya tergetar saja dan pemuda itu tak apa-apa, sang kakek kagum.

Maka Chi Koan yang marah dan menjadi panas berseru menyerang lagi. Pemuda itu berkelebat dan Cui-pek-po-kian kembali menggempur. Tui-thian-to-jitnya tak mampu membuat silau dan kakek itu dapat mengikuti. Alangkah tajamnya. Dan ketika dua kali kakek itu menangkis dan dua kali itu pula mereka sama terpental, kali ini tidak hanya terdorong seperti tadi maka Chi Koan membentak dan berkelebatan dengan pukulan-pukulannya yang hebat. Kini dia mengeluarkan pula Thai-san-ap-ting dan Pukulan Menghantam Gunung Thai-san ini dapat pula dihadapi.

Bahkan, Kun-lun Lojin agaknya hapal dengan pukulan inl, tertawa dan mengelak serta menangkis. Dan ketika keduanya kemudian bertanding seru dan nyata bahwa lumpuhnya kaki itu tak membuat gerakan si kakek canggung, kaki itu boleh terkatung-katung di antara sepasang tongkat namun gerakan si kakek cepat sebat dan luar biasa maka Kun-lun Lojin juga mengebut-ngebutkan ujung lengan bajunya dan dari sini muncul tenaga dorong yang menghalau atau menumbuk Thai-san-ap-ting dan Cui-pek-po-kian itu.

“Ha-ha, ini pukulan-pukulan lama. Bagus, kau menguasai dua ilmu ini dengan baik, anak muda. Tak heran kalau Go-bi menjadi harimau garang yang mampu bertahan dan mengangkat nama besar. Sayang, kau murid murtad..... des-plak!”

Dua pukulan kembali bertemu dan masing-masing sama terlempar. Dengan cara berjungkir balik indah kakek itu mampu membuang sisa tenaga untuk melayang dan turun dengan tegak, kedua tongkatnya kembali menancap tanah, kokoh. Dan ketika Chi Koan melotot dan menjadi kagum, mau tak mau dia memuji juga maka kembali dia menerjang dan kini pukulan- pukulannya diarahkan ke sepasang tongkat itu, menggempur dari bawah.

“Kun-lun Lojin, kau hebat. Tapi jaga seranganku berikut dan jangan sombong!"

Kakek itu melompat dan mengelak lagi. Ketika dikejar baru dia menangkis. Dan ketika keduanya kembali bertanding dan kakek ini membentak berseru keras, melayang dan berkelebatan dengan ilmunya yang luar biasa maka bagai burung menyambar-nyambar kakek inipun lenyap menandingi Chi Koan. Lima puluh jurus mereka bertempur dan belum ada yang terdesak atau mendesak. Masing-masing silih berganti menyerang dan membalas.

Chi Koan kagum bahwa kakek ini selalu dapat menyelamatkan tongkatnya. Kalaupun digempur tentu mampu bertahan dan tak bergeming, tanda bahwa sinkang sesepuh Kun-lun ini memang hebat. Tapi ketika pertandingan berjalan seratus jurus dan tubuh kakek itu mulai berkeringat, napasnya memburu maka Chi Koan gembira dan kakek itu juga kagum bahwa anak semuda ini mampu menandinginya seratus jurus. Barang yang langka!

“Kun-lun Lojin, kau mulai tak kuat. Kau mulai lelah. Menyerahlah sebelum aku mengeluarkan Hok-te Sin-kun!"

“Hm, orang setua aku pantas kehabisan napas. Kau selihai Ji Beng Hwesio, anak muda. Tapi pinto tak akan menyerah. Keluarkanlah Hok-te Sin-kun mu untuk pinto lihat. Aku juga sudah pernah merasakan!”

“Kau tak tahu diri? Nekat benar. Baik, kau yang minta, Kun-lun Lojin, dan jangan salahkan aku kalau kau roboh!”

Chi Koan berseru dan merobah gerakannya. Dia marah dan kagum akan kehebatan lawan. Kakek lumpuh itu masih dapat bertahan. Tapi ketika ia berseru dan mendorong dengan telapak terbuka, pukulan Hok-te Sin-kang dikeluarkan maka kakek itu berteriak karena sepasang bambu penyangganya ditiup angin dahsyat. Chi Koan memang masih menujukan serangan-serangannya ke tongkat atau bambu penyangga ini.

“Aiihhhhh..... bresss!” Kakek itu tak kuat dan roboh. Kun-lun Lojin coba mengelak namun Hok-te Sin-kang mengurungnya dari delapan penjuru, bertahan dan akibatnya tertekuk, tak mau bambunya hancur dan karena itu mengikuti hawa dorongan membiarkan tubuh terlempar. Dan ketika ia bergulingan dan menotolkan tongkat untuk berdiri lagi, bergoyang-goyang maka kakek itu pucat membelalakkan mata. Untuk pukulan ini memang ia tak tahan!

Tapi Chi Koan terlanjur gemas. Untuk kedua kalinya lagi pemuda itu kagum bahwa si kakek masih dapat bertahan di tongkat bambunya. Kalau orang lain tentu tak dapat bangun lagi, minimal hancur tongkatnya. Maka begitu si kakek bergulingan meloncat bangun dan tongkat telah berdiri tegak lagi, agak bergoyang namun cukup kuat maka dia berkelebat dan maju menghantam dengan Hok-te Sin-kangnya itu.

Si kakek mengelak dan dikejar, mengelak dan dikejar lagi. Dan ketika Kun-lun Lojin harus menangkis tapi terlempar tinggi, jatuh dan bergulingan maka selanjutnya kakek itu mengeluh dan berkelebatan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya, bergerak naik turun namun Chi Koan memiliki Lui-thian-to-jit. Ginkang dari Go-bi ini mampu mengimbangi si kakek dan ke manapun kakek itu menghindar tetap juga dia dikejar. Kun-lun Lojin selalu dibayang-bayangi. Dan ketika kakek itu menjadi pucat dan marah berseru menggetarkan mendadak dari ujung tongkatnya menyambar dua batang pedang pendek yang menyambar dan meluncur ke leher Chi Koan.

"Plak-plak!"

Chi Koan terkejut dan menangkis ini. Dia tak menyangka bahwa di ujung tongkat bambu tersimpan pedang rahasia. Itulah perlindungan darurat kakek ini dalam menghadapi bahaya. Dan ketika dia menghentikan gerakannya dan si kakek pucat menggigil di sana, terpaksa dia melepas pedang rahasia maka kakek itu gemetar dan berketruk menahan malu. Pedang terlempar dan jatuh di rerumputan. Dengus dan tawa mengejek tiba-tiba membuatnya merah.

"Kun-lun Lojin, bagus sekali tindakanmu. Kau tak malu berbuat curang. Ah, tokoh macam apa ini!"

“Ha-ha, benar!" See-tok berseru dan tiba-tiba bersorak. "Tua bangka itu menyimpan am-gi (senjata gelap), Chi Koan. Kalau kau tak waspada tentu celaka. Wah, tokoh besar macam apa ini?”

“Hm, tak perlu besar mulut!” sesosok bayangan berkelebat dan maju mendorong kakek ini. “Cukup kau bermain-main, locianpwe. Caramu tadi hanyalah sekedar menyelamatkan diri. Chi Koan terlalu mendesakmu, diapun tak bakal malu-malu berbuat curang kalau ingin menyelamatkan diri, bahkan lebih busuk lagi. Chi Koan, kaupun curang dengan mencuri Bu-tek-cin-keng. Tak perlu gagah dengan menghina orang lain. Hok-te Sin-kang bukan milikmu melainkan hasil curian. Nah, serahkan kitab itu karena aku datang atas nama Go-bi!”