Prahara Di Gurun Gobi Jilid 23

Cerita Silat Mandarin Serial Bu-beng Sian-su episode Prahara Di Gurun Gobi Jilid 23 karya Batara
Sonny Ogawa
Cerita Silat Mandarin Serial Prahara Di Gurun Gobi Karya Batara

“KAU mau ke mana?”

Laki-laki ini membalik. Bagai disengat lebah saja ia melihat wanita iblis itu berada di belakangnya, entah kapan bergeraknya karena tahu-tahu sudah mendengus di dekat tengkuknya. Dan ketika ia membalik dan otomatis mencabut golok, membabat dan membacok maka ia berseru keras namun lawan mendahului dan sebuah totokan di pundak membuat ia roboh. Golok Pembelah Gunung ini menjerit.

"Aduh!”

Tong-si, wanita itu tertawa dingin dan golokpun mencelat. Ia menyambar golok ini dengan tangannya dan sekali ayun ia hendak membunuh laki-laki itu. Tadi laki-laki ini membabat dirinya dan sekarang ia hendak membalas. Tapi ketika golok mendesing dan terdengar kekeh serta jeletaran rambut mendadak golok tertangkis dan Kwi-bo, rekannya, berjungkir balik menyelamatkan laki-laki gagah itu, hal yang membuat wanita ini mendelik.

"Hi-hik, jangan bunuh. Ia bagianku, Tong-si, sudah diserahkan Chi Koan kepadaku. Eitt... jangan kalap, plak!" Kwi-bo merendahkan tubuh dan melecutkan rambut menangkis tusuk konde. Tong-si, lawannya marah sekali dan tiba-tiba melepas tusuk konde menyerang dirinya. Tusuk konde itu menyambar dan kalau ia mengelak akan ganti mengenai si Golok Pembelah Gunung, hal yang tentu saja tak diingini wanita ini dan Kwi-bopun menangkis, kini untuk kedua kali menggagalkan serangan Tong-si. Dan ketika wanita itu melengking dan berkelebat ke depan, jarinya menggigil dan berkerotok di depan Kwi-bo maka Kwi-bo terkejut tapi terkekeh, melompat mundur.

“Kwi-bo, kau bohong. Serahkan korbanku atau kau mampus!"

"Hi-hik, tidak percaya? Tanya murid kita Chi Koan, Tong-si, dan jangan main ancam karena kau tak mungkin mampu membunuhku, hi- hiik... tar-tarr!"

Tong-si dan Kwi-bo sama-sama menunjukkan kegarangan. Mereka berdiri berhadapan namun Kwi-bo tentu saja tidak takut. Biarpun ada Kwi- bun di situ dan laki-laki ini siap membantu isterinya namun teman-temannya yang lain ada banyak juga di situ. Ada See-tok dan Jin-mo, juga Jin-touw yang pasti maju membantunya kalau ia dikeroyok. Tapi ketika dua wanita itu berdiri berhadap-hadapan dan masing-masing tampak siap bertempur, tak ada takut satu sama lain maka Chi Koan, pemuda baju biru itu tertawa, mengulapkan lengan.

"Sudahlah, sudah. Kalian ini selalu ingin ribut dan tak mau akur. Kwi-bo benar, Tong-si, laki- laki itu bagiannya. Aku telah berjanji. Lepaskanlah dia dan kalian semua duduk di sini.”

Tong-si mengerutkan kening namun ia membanting kaki, kesal. Chi Koan, pemuda itu, melerainya. Kalau tidak tentu ia melabrak dan sudah menerjang si Kwi-bo ini. Kwi-bo dibencinya karena suka mengganggu laki-laki. Suaminyapun tak luput dari gangguan si cabul ini, hal yang sering membuatnya gusar. Tapi karena ada Chi Koan di situ dan siapapun tahu bahwa pemuda itu amat lihai, dia tak mungkin dapat menandingi maka wanita itu membalik dan sambil menyimpan tusuk kondenya ia mendengus.

"Huh, untung kau!”

Kwi-bo terkekeh dan mengusap punggung si Golok Pembelah Gunung ini. Tanpa malu-malu ia mencium pula wajah laki-laki itu, hal yang membuat pria gagah itu semburat dan merah jengah. Dan ketika Kwi-bo bergerak dan duduk di dekat Chi Koan, bersebelahan mendampingi bangga maka Chi Koan menyuruh Coa-ong membawa dekat tiga dara dari Khong-tong itu, meminta agar semua berkumpul di mejanya.

"Kalian hampir membuat aku tak sabar. Ke mana saja! Eh, makanan juga hampir menjadi dingin, Coa-ong, tapi untung ka lian cepat datang. Nah, tutup pintu restoran dan katakan kepada pemiliknya agar tak menerima tamu!"

Coa-ong tertawa dan menyambar gadis-gadis cantik itu. Mereka mengeluh dan seorang di antaranya pingsan, tendangan Kwi-bo ke dagu tadi amatlah kuatnya, untung tidak membuat retak. Dan ketika Coa-ong melempar-lempar tubuh itu kepada muridnya sementara ia berkelebat menutup pintu restoran, mencari pemilik dan ternyata pemiliknya terkencing-kencing maka kakek ini menakut-nakuti dengan ularnya.

"Heh, kau. Dengar apa kata muridku tadi. Jangan biarkan seorang pun masuk dan tambah masakan-masakan baru buat kami. Mengerti?"

Sang pemilik gemetaran. Coa-ong mendekatkan ularnya yang mendesis-desis dengan sikap buas. Kalau kakek itu tidak memencet leher ularnya tentu pemilik restoran itu dipagut mampus. Laki-laki gendut ini hampir pingsan. Tapi ketika Coa-ong menjauh dan tentu saja ia mengangguk-angguk, para pelayannya mengumpet di sudut maka Coa-ong kembali ke tempatnya tapi Cian-jiu-jin-touw, laki-laki berpotongan tukang kayu itu berkelebat dan mencubit tengkuk pemilik dan pelayan rumah makan ini.

“Heii, kalian! Dengar dulu. Kalau ada yang coba-coba melarikan diri dari tempat ini maka tak ada di antara kalian yang selamat. Gigitan tungau beracunku ini akan membuat kalian gatal-gatal sejenak. Lebih dari satu jam kalian akan panas dingin tak keruan dan obatnya hanya ada padaku. Nah, bekerja baik-baik dan layani kami sampai selesai, atau nanti mampus tak mendapat obat penawar!"

Pemilik dan pelayannya menjerit kecil. Mereka tiba-tiba saja memang merasakan gatal dan panas di tengkuk. Semacam gigitan semut api terasa oleh mereka. Dan ketika tubuh juga terasa kejang namun setelah itu pulih kembali, pemilik dan pelayannya pucat maka mereka menggigil minta ampun dan tentu saja tak seorangpun berani melarikan diri kalau sudah begitu. Mereka maklum bahwa sebuah racun jahat rupanya dimasukkan tengkuk mereka, obatnya hanya ada pada laki-laki pendek itu. Dan karena semua sudah mendengar siapa adanya orang-orang ini, Tujuh Siluman Langit yang berbahaya maka pemilik restoran dan pelayannya tak berani melarikan diri.

Mereka diminta melayani tamu mereka itu dan delapan orang yang sudah mengelilingi meja besar ini tampak bercakap-cakap. Mereka gembira. Lalu ketika makanan dan minuman kembali mengalir, para pelayan hilir-mudik maka tiga dara dari Khong-tong memaki-maki karena yang seorang akhirnya siuman juga. Rasa gentar terganti rasa marah biarpun mereka tahu berada di tangan orang-orang lihai, terutama Kwi-bo dan Coa-ong yang menawan mereka. 

Chi Koan sendiri tak masuk hitungan karena kepandaian pemuda itu belum mereka lihat, belum mereka rasakan. Maka mendelik melihat diri mereka telentang di lantai, orang-orang itu makan maka gadis baju hijau yang merupakan orang tertua dari Khong-tong Sam-lihiap ini berseru,

"Kwi-bo, wanita iblis. Bunuhlah kami! Kau sudah merobohkan kami dan tak perlu membuat malu. Kami sudah kalah dan bunuhlah kami!”

“Benar,” wanita baju ungu, saudara kedua berteriak tak kalah nyaring. "Kami sudah kalah dan tak takut mati, wanita siluman. Bunuhlah dan jangan hina kami!"

“Hi-hik, kalian melengking seperti kuda-kuda betina yang tak sabar lagi menunggu datangnya kuda jantan. Eh, diam mulut kalian, Khong-tong Sam-lihiap. Kalian bukan milikku karena sudah menjadi milik Chi Koan, muridku ini. Kalau tidak karena dia tentu kalian sudah kubunuh!"

“Bunuhlah, kami tak takut mampus! Bunuhlah atau nanti kami melapor suheng kami Khong- tong Lojin dan kalian tahu rasa!”

"Eh, mengancam? Hi-hiik, boleh lapor kalau mau lapor, tikus-tikus betina. Tapi jangan harap nama Khong-tong Lojin dapat menakut- nakuti kami, apalagi Chi Koan. Heh, diam dan tutup mulut kalian atau nanti kuinjak!"

Tiga wanita itu marah-marah. Mereka masih terus memaki-maki dan apa boleh buat Kwi-bo menotok bawah rahang mereka. Chi Koan memberi tanda dan mengangguk. Dan ketika tiga wanita itu tak dapat bersuara dan Jin-touw menyeringai maka laki-laki itu memandang Chi Koan dengan mulut mendecak,

“Chi Koan, kau akan menikmati mereka ini semuanya? Kau tak memberikannya kepadaku barang seorang?”

“Ha-ha, kau juga ingin? Eh, boleh kau menikmatinya, ngo-suhu (guru kelima), tapi nanti kalau sudah sisaku. Mereka ini bagianku dan akuah orang pertama yang harus memilikinya. Kau orang tua, harus mengalah pada yang muda!"

“Ha-ha, begitu? Baiklah, kau benar, Chi Koan. Tapi jangan tipu gurumu. Jelek-jelek aku ini orang yang berjasa juga padamu. Kalau tidak karena aku tak mungkin kau dapat memperoleh Bu-tek-cin-keng!”

“Heh, besar mulut, congkak! Bukan hanya kau yang berjasa, Jin-touw. Aku juga tak kurang berjasa kepada murid kita Chi Koan ini. Kalau aku tidak melindungi dan menjaganya selama di Go-bi belum tentu ia akan seperti sekarang ini. Kau jangan menonjolkan diri!”

"Hi-hik, sudahlah. Kenapa kalian ini selalu ribut dan ingin menampakkan jasa? Kalau dihitung- hitung akulah yang paling berjasa. Aku yang mengeluarkan semua ide ini, kalian hanya mendukung. Tapi aku tak pernah menonjolkan diri dan mengingat-ingatkan Chi Koan!"

“Heh-heh, Kwi-bo dan See-tok atau Jin-touw sama-sama busuk. Kalian sebenarnya sama saja, setali tiga uang. Kenapa ribut masalah ini? Chi Koan hendak bicara tentang gerak langkah kita, Jin-touw, jangan mengoceh dan duduk serta dengarkan saja. Kita bertujuh sama-sama berjasa, tak usah ditonjolkan karena murid kita sama-sama tahu. Nah, duduk dan diam seperti anak-anak yang baik!"

Tiga orang pertama melotot dan menoleh. Mereka itu adalah Jin-touw dan See-tok yang mula-mula saling menonjolkan diri, lalu disusul oleh Kwi-bo yang katanya tak ingin bicara tentang jasa tapi justeru menonjolkan diri sebagai yang paling berjasa. Wanita ini licik! Maka ketika Jin-mo, kakek setinggi galah itu menegur dan menyerang dengan kata-kata maka Chi Koan tertawa dan mengetuk meja. Tong-si dan Kwi-bun diam saja dengan sikap acuh, mereka tak perduli.

“Ha-ha, sudahlah, Kwi-bo. Sudahlah suhu sekalian, aku tahu kalian semua berjasa dan karena itu semua sama-sama mendapat perhatianku. Jin-mo sam-suhu benar, aku mengundang bukan untuk mendengarkan kata-kata kalian melainkan kalianlah yang harus mendengar kata-kataku. Nah, jangan ribut dan ingatkah kalian apa yang hendak kita lakukan?”

"Ke Heng-san?"

"Ke Kun-lun?”

“Ha-ha, Semua benar, suhu. Tapi kemana kita pertama kali pergi. Orang-orang Heng-san telah menyiksaku, mereka mempunyai hutang. Tapi karena Kun-lun dan Hoa-san juga sahabat-sahabat mereka maka katakanlah ke mana kita pertama kali pergi!"

"Heng-san dulu!" See-tok menggebrak meja dan raksasa berkalung tengkorak ini berapi-api. "Tundukkan jahanam Sin Gwan Tojin dan suhengnya itu, Chi Koan. Buka mata mereka bahwa kau sekarang sudah bukan kau dulu lagi. Kau telah menguasai Bu-tek-cin-keng, ilmu paling dahsyat di dunia!”

“Dan kami membonceng dirimu menghajar keledai-keledai gundul itu. Hi-hiik, akan kubuat jungkir balik orang-orang Heng-san itu, Chi Koan. Akan kupelorotkan celana Sin Gwan dan suhengnya agar menderita malu di hadapan murid-muridnya. Aih, aku dapat bersenang- senang di sana!”

“Dan aku juga ingin menguji kepandaian tokoh-tokoh Heng-san itu sekarang. Apakah benar mereka selihai mendiang Siang Kek dan Siang Lam Cinjin!"

"Hm, kalian harus berhati-hati, suhu, apa yang kukatakan adalah benar. Sin Gwan Tojin dan suhengnya itu orang-orang tingkat atas. Dulu ketika aku masih memiliki Cui-pek-po-kian dan Thai-san-ap-ting aku belum mampu menandingi mereka, terutama keroyokannya. Tapi sekarang setelah aku mempelajari Bu-tek-cin-keng dan ilmu dahsyat ini ingin kuuji maka orang-orang seperti Sin Gwan Tojin dan suhengnya itu agaknya tak perlu membuat aku takut lagi. Tapi hati-hati dan kewaspadaan tetap perlu kita perhatikan. Orang-orang Heng-san itu maju pesat melebihi murid-murid Go-bi. Kalian tentu harus bekerja keras kalau tak ingin celaka. Karena itu dekat-dekatlah denganku dan jangan memisahkan diri terlalu jauh!”

"Hm, aku jadi gatal-gatal. Kapakku ini ingin memenggal kepala setiap orang Heng-san, Chi Koan. Dan kapan kita berangkat?”

“Benar, aku juga tak sabar, Chi Koan. Kapan kita berangkat dan kita uji orang-orang itu. Heh-heh, ular-ularku inipun agaknya sudah kelaparan!” Coa-ong, si Raja Ular tak mau ketinggalan. Ia mengelus-elus ularnya sementara mata melirik tiga gadis di atas lantai itu.

Kalau Jin-touw sudah bicara tentang tawanan ini maka dia pun sebenarnya tak mau ketinggalan. Coa-ong jelek-jelek juga suka daun-daun muda, apalagi gadis-gadis secantik dan segagah Khong-tong Sam-lihiap itu, siapa tidak mengilar! Tapi ketika Chi Koan tertawa dan tahu pandang mata gurunya ini, sesungguhnya secara diam-diam ia telah diangkat murid sejak kejadian di Go-bi dulu maka ia berkata dan mengangkat telunjuk.

“Suhu, tak usah khawatir. Kita cepat berangkat begitu urusan selesai, Kau ingin menikmati seorang di antara tawanan ini juga, bukan? Nah, tunda itu. Selesaikan pembicaraan dulu dan nanti semua mendapat bagian!"

"Heh-heh, kau tahu maksud gurumu? Pintar, kau murid yang pintar, Chi Koan. Karena Kwi-bo akan bersenang-senang dengan pilihannya tentu saja aku tak mau ketinggalan. Bagus, terima kasih!"

Semua tersenyum. Ternyata diam-diam kakek ular inipun terbangkit gairahnya. Biasanya Kwi-bo melayani mereka kalau hati sedang senang, kalau seorang di antara mereka mampu memberikan sesuatu yang istimewa. Tapi karena wanita itu sudah menjatuhkan pilihannya dan tak mungkin diganggu, masing-masing harus mencari sendiri maka adanya tiga tawanan di situ membuat semua mengilar tapi harus minta ijin dulu kepada Chi Koan, karena pemuda itulah pemiliknya.

“Baik, sekarang bagaimana? Setujukah semua untuk ke Heng-san dulu?"

"Setuju!"

"Akur! Aku setuju ke Heng-san dulu Chi Koan, dan baru setelah itu menggempur Hoa-san atau Kun-lun!”

"Juga orang-orang lain, musuh murid kita ini!”

"Bagus, kalau begitu kita sudah tetapkan keputusan. Nah, carikan kamar untukku dan kalian boleh teruskan makan minum!" Chi Koan tiba-tiba bangkit berdiri, pembicaraan sudah selesai dan Kwi-bo di sampingnya terkekeh.

Wanita inilah yang berkelebat dan masuk ke ruang dalam, mencari kamar dan langsung pemilik restoran ditendang keluar dari kamarnya itu, karena waktu itu sang pemilik bersembunyi dan ngumpet memperhatikan para tamunya itu, tamu-tamu aneh dan keji dan betapa dia tiba-tiba merasa tengkuknya kembali gatal. Dia teringat cubitan si tukang kayu Jin-touw dan tepat Kwi-bo memasuki kamarnya iapun ingin keluar, meminta obat penawar. Maka begitu ditendang dan mencelat keluar iapun menjerit dan mengaduh, para pelayannya yang |ain juga lari cerai-berai takut dihajar wanita iblis ini.

“Chi Koan, ada sebuah kamar bagus. Masuklah!"

Chi Koan bangkit tertawa. Ia berkelebat dan menyambar dua di antara tiga gadis tawanan, berseru pada Coa-ong agar membawa gadis yang ketiga pada kamar di mana Kwi-bo berteriak. Dan ketika ia masuk dan wanita itu terkekeh binal, matanya jalang menyapu tawanan maka iapun berseru,

“Lihat, kamar ini luas, Chi Koan. Cukupkah untukmu dan untukku sekaligus. Kita dapat bermain bersama!"

“Hm, kau mau mengajak aku?”

“Tidak, aku dengan kekasihku baru ini, Chi Koan, kau dengan kekasih-kekasihmu itu. Aku hanya numpang kamar!"

"Heh-heh, kalian mau saling tonton? Eh, aku si tua bangka masih bersemangat, Kwi-bo. Kalau hanya mengumpulkan penonton aku ada di sini!” Coa-ong, yang terkekeh dan gembira melihat itu lalu menimpali dengan suara parau. Ia tahu kebiasaan si Kwi-bo ini namun Chi Koan menggeleng. Ia tak ingin diganggu, ia ingin sendiri. Maka ketika ia berkata bahwa biarlah gurunya mencari kamar lain ia tak mau bersama maka Kwi-bo terkekeh dan berkelebat keluar mencari kamar lain. Tidak seperti Coa-ong yang kecewa melempar tawanan ketiga.

“Heh, tidak jadi? Sial, tak menikmati tontonan menarik. Baik, kau terima tawanan ini, Chi Koan, dan ingat jangan lupa kepada gurumu!"

Kakek itu pergi dan Chi Koan menutup pintu kamar. Khong-tong Sam-lihiap melotot dan muka mereka merah padam. Mendengar pembicaraan itu mereka menjadi ngeri sekaligus marah, juga takut. Mereka akan dipaksa pemuda ini? Lalu diberikan kepada kakek-kakek iblis dari Tujuh Siluman Langit itu? Mengerikan, lebih baik mati! Maka ketika Chi Koan membebaskan totokan seorang di antaranya dan kebetulan yang dibebaskan adalah si gadis baju kembang, gadis termuda maka gadis itu melompat dan langsung menerjang Chi Koan. Bentakan dan kemarahannya melewati ubun-ubun.

“Bocah she Chi, kau mau mempermainkan kami? Kau mau menghina Khong-tong Sam- lihiap? Kami boleh mati tak boleh dihina, bocah jahanam. Kau rupanya sudah secabul Kwi-bo....wut-dess!" pukulan itu diterima dan tidak dielakkan Chi Koan.

Pemuda ini tersenyum saja ketika gadis termuda dari Khong-tong Sam-lihiap itu marah-marah, melompat dan menerjangnya dan merasa mendapat kesempatan karena dia seorang diri, Kwi-bo atau guru-gurunya yang lain tak ada di situ. Tapi ketika gadis itu menjerit dan terpelanting roboh, tangannya bengkak maka Chi Koan membungkuk dan menyentuh pundak wanita ini, tertawa.

"Cici, jangan marah-marah. Aku mencintai kalian bertiga. Kalau kau memukulku maka kau yang akan terluka sendiri. Bangunlah, kusembuhkan!”

Benar saja Chi Koan mengusap dan menyembuhkan bengkak ini. Dengan sinkangnya yang tinggi mudah saja Chi Koan menghilangkan bengkak itu. Tadi dia melindungi diri dengan sinkang dan pukulan gadis itu membalik, uratnya terkilir dan bengkak itulah yang diterima. Tapi begitu sembuh dan kaget Chi Koan mengusap pundaknya mendadak wanita ini melompat dan menerjang lagi. 

Chi Koan mengelak dan hebatnya kedua kaki tak pernah berpindah, pinggang ke atas bergerak sana-sini dengan cepat hingga semua pukulan-pukulan itu luput, menyambar angin! Dan ketika wanita itu berteriak dan menyambar kursi, menghantamkannya kepada pemuda itu barulah Chi Koan mendahuluinya dan menotok roboh.

"Bluk!" wanita itu mengeluh dan dua saudaranya yang lain terguncang. Mereka melihat betapa hebatnya pemuda ini dan saat itu pintu kamar dibuka. Jin-touw dan lain-lain muncul. Lalu melihat pemuda itu membersihkan bajunya dan bertanya apa yang terjadi, Chi Koan tertawa maka dia mengusir gurunya agar tidak masuk ke situ.

"Tak apa-apa, biasa. Gadis ini menyerang tapi roboh sendiri. Kalian keluarlah, suhu, jangan ganggu aku. Semua dapat kuatasi dan tutup pintu kamar!”

Jin-touw dan lain-lain menyeringai. Mereka mendengar ribut-ribut di situ dan hancurnya kursi, datang dan melihat dan ingin tahu. Maka diusir dan minta disuruh keluar lagi, mereka menyeringai dan berkelebat keluar Chi Koanpun sudah sendiri lagi menghadapi tiga tawanan.

"Kalian tak mungkin mengalahkan aku. Jangankan kalian, guruku Tujuh Siluman Langit juga tak dapat mengalahkan aku. Nah, kalian dengar dan turut kata-kataku, para cici yang manis. Aku tak mengganggu kalian dan justeru ingin menyenangkan kalian. Apakah kalian ingin jatuh ke tangan guru-guruku yang buruk itu? Kalian lebih memilih tua bangka-tua bangka daripada aku yang muda? Aku memang jatuh cinta kepada kalian, tapi tidak hendak memaksa dan bertindak kasar. Kalian tak akan menyerangku lagi, bukan? Kalau benar aku akan membebaskan kalian, tapi kalian harus berjanji untuk bersikap manis dan menurut semua kata-kataku. Aku tidak memaksa!”

“Bedebah, jahanam terkutuk!" gadis baju kembang itu memaki dan membentak, menangis. "Kau boleh bunuh kami, Chi Koan, tapi jangan harap kami bersikap manis dan turut semua kata-katamu. Kau boleh bunuh kami!”

“Hm, kau terlalu pemberang, tak dapat diajak bicara. Baik, kau diam dulu di situ dan biar kutanya dua encimu yang lain ini,” Chi Koan tertawa dan menggerakkan jarinya. Gadis baju kembang seketika tertotok dan bersamaan itu dua gadis yang lain bebas. Mereka dapat bicara dan juga melompat bangun! Dan ketika mereka bergerak tapi gadis baju ungu membentak dan langsung menyerang, merasa mendapat kesempatan maka Chi Koan mengelak dan tetap di kursinya ia menegur,

“Eh-eh, kaupun, jangan seperti adikmu. Duduklah berhadapan dan kita bicara baik- baik.... wutt-wuuttt...!" pukulan luput dan menyambar angin kosong, membuat marah gadis baju ungu tapi ketika dia membabi-buta menyerang lagi Chi Koan menggerakkan ujung kakinya. Totokan lihai tepat mengenai lutut lawannya itu. Dan ketika wanita itu menjerit dan mengaduh, gadis yang satu tertegun dan tak jadi menyerang, ia hendak membantu namun kalah cepat maka Chi Koan berputar menghadapi orang tertua dari Khong-tong Sam-lihiap ini.

“Nah, bagaimana. Apakah masih perlu dibuktikan lagi bahwa kalian tak mungkin mengalahkan aku. Duduklah, cici yang baik. Atau aku melumpuhkanmu dan kau nanti bicara di lantai!"

Gadis baju hijau terkejut. Ia telah melihat dua kali berturut-turut bahwa adik-adiknya tak mampu menghadapi pemuda baju biru ini. Chi Koan murid Tujuh Siluman Langit ini benar- benar lihai. Ia harus cerdik. Maka menarik napas menahan kemarahan, juga rasa gentar maka gadis itu membentak tapi tidak sekasar adik-adiknya,

“Kau mau bicara apa lagi. Kau telah menawan dan merobohkan kami tapi jangan harap Khong-tong Sam-lihiap sudi melakukan perbuatan-perbuatan kotor. Nah, bunuh atau keluarkan kami dari sini anak muda. Agaknya kau tahu sikap kami dan pantang bagi kami bersahabat dengan orang-orang sesat!"

"Ah, cici terlalu emosi. Duduk dan jangan berdiri begitu, cici yang baik. Aku, hmm.... aku kagum kepada kalian. Kalian benar-benar wanita gagah. Aku ingin bicara baik-baik. Duduklah!” Chi Koan tertawa dan pandang matanya yang berseri membuat wanita baju hijau itu semburat, bukan oleh malu melainkan oleh marah, juga khawatir. Tapi karena pemuda ini mempersilahkan dan rupanya memang ia harus bersikap baik, siapa tahu dapat lolos dan merobohkan pemuda ini maka ia duduk dan kursi yang disodorkan Chi Koan disambarnya kasar.

"Apa yang mau kau bicarakan? Aku tak mau berlama-lama dan harap cepat bicara!”

“Ha-ha, tak enak bersikap kaku begini, cici. Marilah minum arak dulu dan perkenalkan namamu."

"Aku tak sudi memperkenalkan diri. Kau tahu kami adalah Khong-tong Sam-li-hiap!”

“Ah," Chi Koan menghentikan tarikan botol araknya, yang diambil dari saku. Tapi tersenyum dan mengangguk-angguk ia tertawa. "Baik, baik... kupanggil kau toa-cici saja seperti adikmu tadi menyebut. Hm, kalian keras tapi gagah, cici, dan aku ingin menjamu kalian dengan seteguk arak. Mari minum....”

“Aku tak sudi minum. Aku tak mau!”

Bentakan itu membuat Chi Koan kembali menahan botol araknya, tertegun dan mengerutkan kening dan tiba-tiba di kamar sebelah terdengar suara gedobrakan dan kekeh genit. Wajah Chi Koan berseri sementara wajah wanita baju hijau itu semburat. Itulah suara Kwi-bo dan Pi-san-tohiap! Tapi ketika suara gedobrakan lenyap terganti keluhan atau erang tertahan, lalu kecup dan cium keras maka wanita baju hijau ini terbakar dan rasa marahnya yang hebat membuat ia bangkit berdiri. Cuping dan pipi wanita itu merah terbakar!

"Orang she Chi, aku tak mau minum arak dan tak sudi berlama-lama tinggal disini. Nah, kau mau bicara apa atau apa yang akan kau lakukan kepada kami?"

“Ah-ah, cici tak usah marah-marah. Aku hanya ingin menjamu kalian, cici yang baik. Minum seteguk arak dan setelah itu kalian pergi. Masa tawaran ini tak kalian terima dan ingin ngotot? Aku kagum kepada kalian, dan ingin menyatakan suka atau kagum dengan caraku, seteguk arak!"

Wanita itu terbelalak, ganti tertegun. Dan ketika Chi Koan mengeluarkan botol araknya dan menuangkannya di cawan, bau harum menyambar maka wanita ini menjadi ragu dan memandang Chi Koan dengan perasaan tidak percaya. Pemuda ini mau membebaskannya setelah minum arak seteguk? Bohong ataukah sungguh-sungguh? Dan ketika ia menghirup bau arak yang harum dan bau itu membuatnya mabok maka ia tertarik dan tanpa terasa bertanya, dua adiknya roboh tertotok dan tak mampu mengeluarkan suara.

“Kau... kau mau mengeluarkan kami setelah minum arak seteguk? Kau tidak bohong?”

"Ha-ha, kalau bohong boleh kutuk, dan sumpahi aku, cici. Aku tidak bohong, aku bersungguh-sungguh!"

"Hm," wanita itu mulai tergoda. Bau arak kian harum dan bau ini merangsang indra kecapnya. Alangkah nikmat arak itu rupanya. Tapi terkejut bahwa jangan-jangan arak itu beracun, ia sebenarnya tak suka arak tapi kalau seteguk biarlah dipertimbangkan maka Chi Koan yang tahu isi hati orang tiba-tiba mendahului meneguk.

“Toa-cici, ini bukan arak beracun. Untuk apa memberi racun. Kalau aku ingin membunuh kalian tentu tak perlu mempergunakan racun segala. Lihat, aku minum!”

Wanita itu jengah. Chi Koan menenggak habis araknya dengan sekali teguk saja. Pikirannya terbaca. Dan karena pemuda itu benar dan tak perlu kiranya memberi racun segala, lawan jauh lebih kuat maka ia mengertakkan gigi dan berseru, “Baik, aku mau minum tapi bagaimana aku percaya janjimu? Apa jaminanmu?"

“Ah, jaminanku adalah diriku ini, cici. Kalau aku bohong kalian boleh serang aku dan membunuhku!”

"Baik, berikan arakmu tapi mana pedang- pedang kami?"

"Ah, pedang? Senjata kalian di luar, cici, tapi sebagai penggantinya ada ini, cundrik dan pisau. Kalian boleh pergunakan ini kalau aku bohong!" Chi Koan mengeluarkan benda-benda itu, tertawa melempar ini di atas meja tapi ia berseru ketika hendak disambar. Ia berkata bahwa yang minum bukan hanya gadis itu seorang, melainkan juga dua saudaranya yang lain. Dan ketika wanita itu tertegun dan mengerutkan alis, mengira Chi Koan main-main maka Chi Koan bangkit tertawa.

"Yang ingin bebas adalah kalian bertiga, maka kalian semua harus menerima seteguk arak kehormatan dari aku. Kalau hanya kau yang minum maka kau pula yang bebas, dua yang lain tetap di sini. Bagaimana?”

Wanita itu gemas, melotot. "Tapi kau menotok adik-adikku! Mana mungkin minum? Menggerakkan rahang saja tak dapat, orang she Chi, kecuali kau membuka totokanmu!"

"Ha-ha, tentu. Aku akan membebaskan totokanku kalau persetujuan ini diterima, cici. Tapi agar dua adikmu tak membuat ulah maka hanya totokan rahang itulah yang kubuka. Nanti kalau sudah minum seteguk baru kubebaskan sepenuhnya!”

Wanita ini meliar. Ia melihat cundrik dan pisau di atas meja itu dan diam-diam ingin merebut. Betapapun ia ingin lolos. Tapi karena sekali lagi harus berhati-hati dan ia harus sabar, kemarahan dan kebenciannya harus ditekan maka iapun menerima, pura-pura tunduk.

"Baik, kau bebaskan adik-adikku dan biar mereka minum!"

“Kalau mereka tidak mau?”

Wanita ini tertegun.

“Ha-ha, kau dan adik-adikmu orang-orang yang keras hati, toa-cici. Aku tak ingin berdebat panjang masalah ini. Begini saja, kau minum seteguk dan setelah itu berikan seteguk kepada adikmu masing-masing seorang. Setelah itu kalian boleh pergi dan cundrik atau pisau ini boleh kalian ambil... Wut!”

Chi Koan melempar benda-benda itu kepada orang tertua dari Khong-tong Sam-lihiap ini. Hal ini diterima girang dan lengahlah kewaspadaan wanita baju hijau itu. Dan ketika Chi Koan juga bergerak membebaskan totokan urat gagu adik-adiknya, benar saja dua adiknya tak mau minum dan memaki-maki Chi Koan maka wanita itu sudah minum seteguk dan iapun memaksa adik-adiknya minum pula arak seteguk. 

Terjadi perang mulut antara saudara tua dengan muda. Tapi ketika dengan bengis sang cici membentak dan memarahi adik-adiknya, berbisik sambil menggenggamkan senjata di tangan mereka maka gadis baju kembang dan baju ungu akhirnya mau dipaksa. Mereka melihat isyarat toa-ci mereka untuk bertempur habis-habisan kalau benar mereka dibebaskan.

Chi Koan sudah memberi senjata dan pemuda itupun membebaskan totokan urat gagu mereka, berarti sudah menepati janji, meskipun sebagian. Dan ketika arak habis diteguk dan masing-masing hanya mencecap sedikit, arak yang keras menyengat tapi membuat lidah mereka terasa nikmat maka Chi Koan membebaskan totokan sepenuhnya tapi berbareng dua gadis itu melompat bangun mendadak merekapun terhuyung dan merasa kepalanya pening. Rasa arak membuat mereka ketagihan dan ingin lagi!

“Cici, awas pemuda itu bohong...!”

"Sam-moi, arak itu nikmat sekali!”

Dua gadis itu berkata berlainan tujuan. Mereka sama-sama melompat bangun tapi seruan yang keluar berbeda-beda. Dan ketika gadis baju hijau juga terkejut karena merasa pening dan limbung, pisau di tangannya bergetar mau lepas maka Chi Koan tiba-tiba mendekatinya dan memeluk!

“Cici, kau cantik dan menggairahkan sekali!”

Gadis ini kaget bukan main. Chi Koan memeluk dan langsung mencium. Dan begitu dicium iapun tiba-tiba roboh. Kepala berat, rasanya bumipun ikut berputar! Dan ketika ia kaget dan sadar karena hawa birahi tiba-tiba naik, sentuhan dan ciuman Chi Koan tadi membuat tubuhnya panas terbakar maka pemuda itupun melepasnya dan ganti memeluk atau mencium adik-adiknya.

"Ji-cici, kaupun cantik! Dan kau, ah... kaupun tak kalah menariknya, Sam-cici. Kau dan Ji-cici serta toa-ci sama-sama cantik. Ha-ha, kalian tentu mau menerima cintaku!”

Gadis baju hijau kaget dan berteriak. Tiba-tiba ia sadar bahwa bukan racun yang ada di arak melainkan bubuk perangsang. Ia minum arak birahi. Tapi karena arak itu bekerja cepat dan sebentar kemudian ia merasa melayang-layang, kepala berat dan ia tak tahu apalagi yang terjadi maka ketika Chi Koan memeluk dan menyambar tubuhnya iapun membiarkan saja dan, bahkan merasa nikmat berada di pelukan pemuda, itu, menerima ciuman dan membalas dan tubuh yang terbakar hebat rasanya ingin didinginkan. Ia merasa begitu gerah hingga tanpa sadar membuka kancing-kancing bajunya sendiri.

Lalu ketika Chi Koan membantu dan ia diam saja, roboh dan tak ingat apa-apa lagi kecuali desah dan dengus napas mereka berdua maka gadis baju kembang maupun baju ungu juga mengalami hal serupa. Mereka itu mabok dan roboh, tubuh terasa panas terbakar sementara kepala begitu berat dan pening. Mereka tak tahu apa yang terjadi kecuali serasa melayang-layang dalam mimpi yang indah, mengeluh dan mendesah dan tak sadar betapa Chi Koan ganti-berganti memeluk dan mencium mereka. Khong-tong Sam-lihiap yang tadi galak sekarang sudah seperti tiga ekor kucing jinak yang membiarkan saja apa yang dilakukan pemuda itu.

Mereka bergulingan di atas lantai bersama pemuda itu ganti-berganti, tak sadar dan tak tahu karena masing-masing sudah masuk dalam pengaruh arak jahat yang hebat. Chi Koan melolohi mereka. Tapi ketika dua jam kemudian pengaruh arak habis dan berangsur-angsur mereka mendapatkan kesadaran mereka, sang cici terpekik melihat mereka memeluk Chi Koan maka saat itu pintu dibuka dan Pi-san-to-hiap terlempar ke dalam bersama Kwi-bo yang terkekeh-kekeh telanjang bulat!

“Hi-hik, layani aku lagi, anak manis.... layani aku lagi dan mari kita tetap bercinta!"

Tiga gadis itu berteriak kaget. Mereka melihat dan mendengar suara mengaduh dan Pi-san- to-hiap ternyata merintih di dekat mereka. Tubuh laki-laki itupun juga telanjang bulat namun dia tampak ketakutan dan pucat, Kwi-bo muncul sambil membawa secawan arak. Dan ketika laki-laki itu menggeleng sementara gadis baju hijau dan lain-lain berseru tertahan, jengah dan merah padam melihat merekapun telanjang bulat maka Chi Koan yang kelelahan dan menggeletak di lantai terbangkit duduk dan membuka mata. Ia pun terkuras tenaganya melayani tiga gadis beringas yang dijadikan korbannya.

“Heh-heh, kau sudah puas, Chi Koan? Kau masih meram melek? Eh, bantu aku Tangkap laki-laki itu. Ia lolos dan melarikan diri!"

Chi Koan terkejut dan membelalakkan mata. Ia bangun setelah tadi tangannya tergeletak di perut sam-cici, gadis baju kembang. Dan begitu Kwi-bo masuk dan membuat kegaduhan, Pi-san-to-hiap tampak ngeri melihat dirinya dikejar-kejar maka gadis baju kembang yang sadar dan terbelalak melihat Chi Koan tak berpakaian tiba-tiba menjerit dan melompat bangun, menerjang. Lupa bahwa iapun tak berpakaian dan telanjang bulat!

"Orang she Chi, kau jahanam terkutuk!”

Dua encinya terkejut dan sadar. Mereka juga terkejut melihat keadaan diri mereka yang seperti itu, melihat adik mereka menyerang sementara merekapun cepat menyambar pakaian sendiri, meloncat bangun dan merah padam betapa seisi kamar tak ada yang genah! Mereka seperti orang-orang gila yang lepas sangkar! Dan ketika mereka juga menerjang sementara Chi Koan mengelak dan menangkis adik mereka, yang terjengkang dan bergulingan maka mereka berseru melempar pakaian adik mereka itu.

“Sam-moi, kau telanjang. Pakai dulu pakaianmu ini!”

Gadis itu menjerit dan bergulingan meloncat bangun. Chi Koan tertawa dan akhirnya geli, dua gadis berikut menerjang dan marah-marah kepadanya. Tapi karena kepandaiannya jauh lebih tinggi dan mudah saja baginya untuk berkelit atau mengelak, tak satupun pukulan datang menyambar maka suara ribut-ribut di kamar itu membuat Jin-touw dan lain-lain berkelebat datang. Kwi-bo mengejar dan terkekeh-kekeh hendak menangkap Pi-san-to-hiap. Laki-laki itu akhirnya sadar dan ngeri oleh sepak terjang wanita iblis ini yang tak tahu malu, cabul dan tak kenal puas dalam mengumbar berahi.

"Kwi-bo, apa-apaan ini. Kenapa kau membuat ribut di kamar Chi Koan?”

"Heh-heh, hi-hikk...! Korbanku lepas, Jin-touw. Tolong kau tangkap dia dan bawa ke mari!”

“Heh, tawananmu lepas? Heh-heh, tak usah repot, Kwi-bo. Biarkan ia pergi ada aku di sini... ngookk!" Jin-touw tiba-tiba melayang dan mencium pipi Kwi-bo, terkejut dan gembira melihat Kwi-bo telanjang dan langsung saja ia mendekap dan mencium.

Kwi-bo tentu saja marah dan meronta, rambut menjeletar tapi si tukang kayu sudah berkelit dan mengelak. Dan ketika wanita itu memaki-maki sementara bayangan See-tok dan lain-lain muncul, kamar yang luas tiba-tiba menjadi sempit maka raksasa itu juga terbeliak dan menyambar Kwi-bo, meremas.

"Kwi-bo, kau masih menggairahkan. Hah, nafsu laki-lakiku jadi bangkit!”

Tapi Kwi-bo membentak dan mengelak. Ia membuat rekan-rekannya blingsatan tapi yang dituju adalah Pi-san-to-hiap. Ia telah memilih laki-laki itu untuk teman bercinta, bukan See-tok atau lain-lainnya ini. Dan ketika kamar menjadi gaduh namun Coa-ong dan Jin-mo juga main colek, Kwi-bo marah-marah maka Chi Koan yang berlompatan dan mengelak dari serangan-serangan Khong-tong Sam-lihiap berseru,

“Ji-suhu, sam-suhu... jangan mengganggu Kwi-bo. Ambil gadis-gadis ini dan robohkan mereka. Aku selesai!"

Bagai anjing-anjing kelaparan mendadak Jin-touw dan See-tok atau Jin-mo membalik. Mereka mendengar seruan itu dan kebetulan di sana Kwi-bo berhasil menotok dan merobohkan tawanan. Pi-san-to-hiap mengeluh dan akhirnya disambar wanita itu, yang terkekeh meloncat keluar. Dan karena masing-masing sudah terbakar oleh tubuh Kwi-bo, kini mendapat yang baru dan gadis-gadis Khong-tong itu menjadi bagian mereka maka ketiganya tertawa dan meloncat dahulu-mendahului.

"Heh-heh, ini untuk kami, Chi Koan? Kau sudah selesai? Bagus, terima kasih!"

Tiga gadis itu berteriak. Mereka disambar tiga bayangan dan Jin-touw maupun See-tok berkelebat menotok mereka, Jin-mo juga tak mau kalah dan tiga gadis ini tentu saja kaget. Chi Koan melompat mundur dan memberikan guru-gurunya kesempatan. Dan ketika mereka membalik dan menangkis, serangan tiga datuk sesat itu amatlah cepatnya maka mereka yang baru saja dilumpuhkan arak berahi tak kuat menahan tiga serangan ini. 

Masing-masing mengeluh dan roboh tertotok, tiga kakek menyambar tubuh mereka. Tapi ketika See-tok menangkap gadis baju hijau mendadak Coa-ong berkelebat dari belakang mendahuluinya, ular di tangan kanannya, menyambar raksasa itu sementara tangan kiri bergerak dan menyerobot tawanan.

"Heh-heh, ini bagianku, See-tok. Murid kita Chi Koan telah memberikannya lebih dulu kepadaku!"

Si raksasa terkejut dan berteriak. Ia kaget oleh serangan ular dan lebih kaget lagi melihat gadis korbannya disambar Coa-ong. Kakek itu telah menyambar dan berkelebat keluar pintu, lolos dan lenyap melarikan diri. Dan karena Jin-touw paling dekat dengannya, kebetulan menyambar gadis baju kembang maka ketika ia membentak dan mengelak serangan Coa-ong iapun menotok Jin-touw dan ganti merampas tawanan si tukang kayu itu, deru tengkoraknya menghantam rekan.

“Jin-touw, Coa-ong menyambar makananku. Biar kupinjam makananmu, dan nanti kukembalikan!"

Jin-touw berteriak. Ia kaget dan marah oleh serangan See-tok dan apa boleh buat harus menghindar dulu. Tapi ketika ia mengelak dan tengkorak lewat di atas kepala ternyata See- tok sudah berkelebat dan membawa lari gadis tawanannya, tertawa dan lenyap di luar pintu dan laki-laki ini tentu saja marah bukan main, Jin-mo sudah menyambar korbannya juga dan lari terkekeh-kekeh, dia tak dapat ganti mengganggu rekannya itu.

Dan ketika ia melengking dan berkelebat keluar, memaki dan mengejar See-tok maka dua orang itu memperebutkan tawanan dan gadis baju kembang tentu saja roboh pingsan. Jatuh di tangan Jin-touw atau See-tok sama saja, keduanya sama-sama mengerikan. Dan karena tak mungkin ia selamat dan rasa marah serta ngerinya menjadi satu, ia roboh tak kuat maka gadis itu pingsan dan Chi Koan tertawa-tawa melihat sepak terjang guru-gurunya ini.

"Suhu, ngo-suhu tak usah berebut. Bergantianlah menikmati gadis Khong-tong itu. Jangan bertengkar masalah wanita!"

Coa-ong dan Jin-mo tertawa bergelak di lain tempat. Mereka telah mendapatkan korbannya masing-masing dan Kwi-bun, rekan mereka terakhir menonton saja semua itu dengan liur berdecak. Kwi-bun atau si Pintu Setan ini tak berani ikut-ikutan karena Tong-si, isterinya, ada di situ. Maka ketika rekan-rekannya mendapat bagian dan hanya iblis ini yang gigit jari, Tong-si berkelebat dan berdiri di belakangnya dengan sikap garang maka kakek muka pucat itu ha-ha-he-he tak berani main-main. Dia melirik isterinya dan berkelebat keluar setelah teman-temannya lenyap, Tong-si mendengus dan membayangi suaminya ini.

Dan ketika semua pergi sementara Kwi-bo sudah terkekeh membawa si Golok Pembelah Gunung, laki-laki itu dipermainkan dan dipaksa di dalam kamarnya maka Khong-tong Sam-lihiap atau tiga gadis Khong-tong yang gagah tapi bernasib sial itu harus menahan sakit dan kemarahan di tangan lawan-lawannya ini. Coa-ong dan Jin-mo masih berada di rumah makan itu. Mencari kamar di belakang, mempermainkan tawanan mereka sementara gadis baju kembang akhirnya "dibagi" antara See-tok dan Jin-touw, dipermainkan dan malanglah nasib gadis ini dan agaknya di antara mereka bertiga dialah yang paling menderita.

See-tok si raksasa tak kenal ampun melepas nafsu binatangnya, kasar dan buas sementara Jin-touw sedikit lembut namun tak kenal puas. Gadis korban itu dikeroyok dan empat kali pingsan, jatuh dan roboh setiap melihat wajah See-tok atau Jin-touw. Dan ketika semua selesai sementara See-tok tertawa-tawa, Jin-touw terkekeh dan mengusap mulutnya maka gadis itu tewas tak tahan menerima sakit.

Dua manusia biadab itu mempermainkannya tiada ubahnya binatang, sumoi termuda dari Khong-tong Lojin ini akhirnya mati dengan mata melotot. See-tok menendang dan mencekiknya berulang-ulang. Dan ketika di kamar lain terdengar rintih dan keluh panjang, dua gadis terlempar ditendang melalui jendela maka Jin-mo dan Coa-ong juga terkekeh-kekeh dan kedodoran membetulkan celana mereka.

“Puas, ha-ha... puas, Jin-mo. Gadis pilihanku ini belum banyak disentuh orang. Ia masih kinyis-kinyis!”

"Dan akupun juga mendapatkan perawan murni. Heh-heh, iapun belum pernah berkenalan lelaki, Coa-ong, dan baru murid kita itulah yang menjadi lelaki pertama!”

"Dan kita kedua, he-heh...! Kita masing- masing mendapatkan barang yang masih baru, Jin-mo. Sungguh beruntung dan mampu memperkuat tenaga sinkangku!”

Dua kakek itu berkelebat dan tertawa-tawa dengan keji. Mereka telah mempermainkan gadis baju hijau dan ungu dan kini membicarakannya dengan tak tahu malu. Mereka memang iblis-iblis tak berjantung. Dan ketika mereka memandang korban mereka yang mengeluh dan terbanting di luar jendela, dua kakek itu mengusap sudut bibir maka terdengar suara berdebuk dan Kwi-bo juga menendang Pi-san-to-hiap setelah dipakai tak kurang dari empat jam. Laki-laki itu tampak loyo dan pucat, kehabisan tenaga.

“Hi-hik, akupun dapat barang istimewa, Coa-ong. Laki-laki ini jejaka tua yang belum banyak berkenalan dengan wanita. Aih, susah aku membimbingnya!"

"Ha, kau selesai juga?" Coa-ong tertawa, menjilat bibir. "Kalau belum ada aku, Kwi-bo. Ditambah sedikit lagi aku masih kuat!”

"Cih, kau tua bangka sialan. Omong besar tak ada bukti! Heh, tak usah berlagak, Coa-ong. Tua bangka macam kau tetap juga gampang loyo. Kalau tidak minum arakku mana kuat? Heii, bunuh saja mereka ini habis perkara!"

Gadis baju hijau dan gadis baju ungu mengerang. Mereka benar-benar terhina sekali dan kini tak perduli pakaian mereka yang robek-robek. Punggung dan kulit pundak mereka yang putih halus tampak bergurat- gurat, hasil cakaran Coa-ong ataupun Jin-mo. Tapi ketika mereka terhuyung bangun dan Pi-san-to-hiap juga mengeluh lirih, bangkit tapi jatuh lagi maka See-tok dan Jin-touw berkelebat membawa mayat gadis baju kembang.

"Huh, menyebalkan. Gadis ini mati dan See-tok bermain dengan mayat! He, kau boleh terima aku kalau kurang, Kwi-bo. Mendapatkan yang begini akhirnya tidak menarik. Kau masih lebih menggairahkan!”

“Ha-ha, Jin-touwlah yang kebagian mayat. Aku masih sempat menciuminya ketika hidup, Coa-ong. Aku jelas mendapatkan yang hangat sementara Jin-touw memeluk mayat dingin. Ha-ha, tukang kayu ini memutar balik kenyataan!”

See-tok, yang terbahak dan menyusul di belakang Jin-touw mentertawakan temannya. Mereka tadi berebut namun dialah yang menikmati dulu, Jin-touw belakangan dan kini melempar mayat gadis itu dengan gemas. Dan ketika Kwi-bo terkekeh sementara gadis baju hijau dan ungu terbelalak, sumoi mereka tewas dengan tubuh tidak berpakaian maka tubuh yang sudah letih dan seolah tanpa daya mendadak bergetar dan penuh terisi tenaga. Keduanya meloncat bangun dan terhuyung menubruk mayat sumoi mereka itu.

“Sumoi...!”

Keduanya mengguguk dan bertangisan. Hinaan dan cobaan ini terlalu berat, gadis baju hijau tiba-tiba melengking dan meloncat, menghantam Jin-touw yang berada paling dekat dengannya. Tapi ketika Jin-touw mengelak dan See-tok yang berada di belakangnya ganti menerima serangan, raksasa itu tertawa bergelak maka hantaman itu diterima dan sekali sambut ia menangkap dan mendorong gadis itu, mengerahkan Hek-tok-kangnya.

“Dess!" Gadis itu muntah darah dan terbanting. Keadaan sesungguhnya tak menguntungkan dan kontan sambutan See-tok membuat ia jatuh terduduk. Hek-tok-kang menyambut pukulannya dan karena gadis itu habis luar dalam, musuh amat keji maka begitu ditangkis iapun tertolak dan jatuh terduduk, muntah darah dan tiba-tiba mendelik. Lalu ketika ia roboh dan terkulai, sang adik tertegun maka gadis itu tewas dan gadis baju ungu sadar.

“Cici....!”

Selanjutnya orang-orang sesat itu terkekeh. Mereka geli melihat gadis baju ungu menubruk encinya yang tewas dan ketika gadis itu menjerit mereka malah tertawa lantang, See-tok terbahak-bahak. Tapi ketika gadis itu membalik dan meloncat bangun, mereka tertegun maka gadis itu menyambar dua mayat di situ dan menuding, muka dan matanya merah terbakar.

“See-tok, Coa-ong! Kalian manusia-manusia keji tak berjantung. Kalian membunuh dan menghina Khong-tong Sam-lihiap. Baik, aku akan pulang dan tunggu pembalasan dendamku!”

“Ha-hah-he-heh!" Coa-ong tiba-tiba tertawa bergelak dan terkekeh. "Kau mau lapor si tua bangka Khong-tong Lojin? Bagus, boleh. Lapor dan suruh suhengmu kemari nona. Aku tak takut dan kami Tujuh Siluman Langit tentu siap menerima tanggung jawab!"

“Ha, atau kubunuh dia sekalian!" See-tok bergerak dan tidak seperti Coa-ong. "Daripada membiarkan penyakit lebih baik kusingkirkan gadis ini, Coa-ong. Dan Khong-tong Lojin boleh datang menuntut tanggung jawab.... wut!" tangan itu bergerak, siap menghantam.

Tapi Jin-touw tertawa menahan. Tukang kayu ini berseru biarlah gadis itu pulang, Khong-tong boleh mencari mereka, Tujuh siluman Langit tak takut. Dan ketika raksasa itu menggeram dan tak jadi menurunkan tangan maut, Chi Koan berkelebat dan muncul mengangguk maka pemuda itu juga berkata biarlah gadis itu dilepas.

“Benar, tak usah dibunuh. Kita telah memberinya kenang-kenangan, suhu. Kalau Khong-tong Lojin tidak datang kitalah yang justeru datang. Lepaskan dan kita sekarang pergi!"

See-tok mundur dan tertawa meledakkan rantai tengkoraknya. Gadis itu berapi dan melihat Chi Koan kebenciannya semakin memuncak, ia menggigit bibir sampai pecah- pecah. Dan ketika gadis itu meloncat membawa mayat enci dan adiknya, jatuh tapi bangun lagi maka Chi Koan memandang Pi-san-to-hiap dan senyum bibirnya menjadi dingin.

"Laki-laki ini.... kau sudah puas bukan, Kwi-bo? Kenapa ia dibiarkan merangkak dan melototi kita? Aku ingin ke Heng-san. Singkirkan dia dan lihat di luar ramai orang!"

Kwi-bo meledakkan rambut dan terkekeh. Dialah yang mendapat tugas dan benar saja di luar terdengar keributan. Mereka masih di rumah makan dan pemilik serta pelayan yang ketakutan di dalam rupanya dipanggil orang berkali-kali, tak menjawab dan kini orang-orang di luar itu bersuara gaduh. Namun ketika Tujuh Siluman Langit tak perduli dan Kwi-bo kini melangkah mendekati Pi-san-to-hiap, laki-laki itu tampak pucat maka wanita ini meraih dan menyambar laki-laki itu, sebuah ciuman diberikan di pipi.

“Pi-san-to-hiap, kau telah membahagiakan aku. Sayang, muridku tak menghendaki kau lagi. Nah, selamat berpisah, kekasih manis, pergilah ke neraka dan kelak tunggu aku di sana.... tar!" ciuman selesai disusul ledakan rambut.

Laki-laki itu terkejut tapi tak mungkin mengelak. Dia habis luar dalam. Maka ketika Kwi-bo menciumnya tapi berbareng dengan itu rambut menyambar pelipisnya, meledak dan laki-laki itu menjerit maka Pi-san-to-hiap pria gagah ini terjengkang dengan kepala pecah!

“Bagus, kita pergi!" Chi Koan memberi tanda dan acuh melihat kematian pria itu. Dia membalik dan berkelebat keluar sementara guru-gurunya juga mengikuti. Tapi ketika mereka membuka pintu rumah makan ternyata pemilik dan pelayannya berhamburan.

“Taihiap, obat penawarnya...!”

Chi Koan menoleh. Dia tertegun tapi segera mengerti. Itulah perbuatan Jin-touw gurunya nomor lima. Tapi berbareng pemilik dan pelayannya berteriak kepada mereka terdengar bentakan-bentakan di depan dan puluhan pasukan keamanan menyerbu masuk. Kiranya rumah makan itu telah dikepung pasukan garang yang mendengar ribut-ribut dan pembunuhan di situ.

“Manusia-manusia iblis, menyerah dan kalian kami tangkap!"

Chi Koan tertawa. Tujuh orang menyerbu ke dalam disusul puluhan teman-temannya yang lain. Pasukan itu ternyata hendak menolong pemilik rumah makan ini pula. Tapi begitu mereka menyerbu masuk tiba-tiba Chi Koan berkelebat dan lenyap di luar, pemilik gendut dan pelayannya roboh menjerit-jerit, memegangi perut mereka yang tiba-tiba melilit-lilit.

"Aduh, tolong... jangan lari dulu!"

"Berikan obat penawar, aduh...!”

Gaduh dan hiruk-pikuk di dalam disusul pekikan dan jerit-jerit kesakitan. Pasukan keamanan yang tiba-tiba masuk mendadak terkejut melihat pemuda di depan mereka menghilang. Gerakan pemuda itu amat cepatnya hingga mereka tak dapat mengikuti dengan mata. Dan ketika tujuh orang tertawa berkelebat dan bagaikan iblis-iblis saja rambut dan tongkat menghajar mereka, meledak dan bak-bik-buk.

Maka tujuh pengawal di depan roboh terpelanting sementara teman-teman mereka yang menyerbu masuk juga disambar dan didorong angin dahsyat hingga terlempar dan berjengkangan. Kwi-bo dan Coa-ong menyambut pasukan keamanan itu dengan kekeh dan pukulan mereka sementara Jin-touw tertawa bergelak melihat pemilik dan pelayan rumah makan roboh satu per satu. Mereka menjerit dan mendekap perut sendiri sambil bergulingan.

Racun yang memasuki tubuh sudah bekerja. Dan ketika sebentar kemudian pemilik dan pelayan itu mengaduh-aduh, menabrak meja kursi dan meremas-remas perut sendiri akhirnya mereka kejang-kejang dan muntah dua kali, mendelik dan mengeluarkan cairan hitam untuk kemudian tewas. Racun telah membinasakan mereka pada waktunya. Dan ketika Jin-touw tertawa dan menyusul teman-temannya maka tangannya mendorong dan para pengawal terlempar dan terbanting dengan kaki atau tangan patah-patah.

"Ha-ha, jangan kalian tinggalkan aku. Heii, tunggu aku sebentar, Kwi-bo. Aku takut tikus-tikus galak ini.... bres-bress!”

Pengawal berpelantingan dan terlempar menjerit keras. Jin-touw berkata takut padahal pasukan keamanan itulah yang dibuatnya gentar. Mereka pucat dan ngeri melihat tujuh bayangan berkelebat dan tahu-tahu mereka terlempar dan terbanting ke kiri kanan. Ledakan atau sambaran tongkat hanya merupakan segunduk sinar panjang sementara rambut Kwi-bo disangka ular terbang. Benda ini telah meretakkan kepala beberapa orang. Dan ketika semua jungkir balik tak keruan sementara tujuh orang itu berkelebat di luar rumah makan, meloncat dan terbang dengan amat cepatnya maka tinggal kengerian dan warna pucat yang ada di situ.

Pasukan keamanan kalang-kabut dan komandannya yang ada di belakang juga cepat melempar tubuh menyelamatkan diri. Komandan ini tahu adanya orang-orang lihai dan karena itu menyuruh anak buahnya maju menyerbu, dia sendiri mengawasi di belakang. Tapi ketika angin pukulan juga menyambarnya kuat dan dia melempar tubuh bergulingan maka tujuh anak buahnya tewas sementara dua puluh yang lain luka-luka. Tujuh Siluman Langit menghilang.

Namun mereka tak tahu bahwa yang datang adalah kakek dan wanita-wanita iblis itu. Yang tahu tentang orang-orang ini adalah Khong-tong Sam-lihiap dan Pi-san-to-hiap. Tapi karena mereka semua itu tewas kecuali wanita baju ungu yang dibiarkan selamat maka kota An-tien menjadi geger dan ketika pengawal mencoba mengejar ternyata kakek dan wanita-wanita iblis itu telah pergi meninggalkan kota.

Pemuda baju biru yang mereka lihat juga tak ada di situ. Mereka tak tahu bahwa inilah Chi Koan, pemuda yang jauh lebih berbahaya daripada guru-gurunya itu, Tujuh Siluman Langit. Dan ketika semua mengejar namun sia-sia, pemuda dan guru-gurunya itu telah pergi maka Chi Koan sendiri telah meluncur dan tertawa menuju Heng-san. Dia akan membuat geger di dunia dan kota An-tien adalah kota pertama yang mengumpulkan guru-gurunya. Bersama guru-gurunya ini dia akan membuat perhitungan. Dan ketika dia tertawa dan meluncur meninggalkan An-tien maka Heng- san adalah perguruan pertama yang bakal dibuatnya terkejut.

* * * * * * * *

Sore itu rombongan ini tiba di Heng-san. Sepanjang jalan, tertawa-tawa teringat perbuatan mereka di An-tien maka Jin-touw dan kawan-kawannya membicarakan kehebatan mereka sendiri yang dinilai paling kejam. Semakin kejam dialah yang semakin menonjol. Tapi ketika mereka tiba di Heng-san ternyata Chi Koan menyuruh mereka berpencar.

“Gunung ini dijaga, terlalu menyolok kalau kita berombongan begini. Kalian naik sendiri-sendiri, suhu. Dan kita bertemu di markas pusat. Jangan bergerak dan tunggu aku dulu!"

Kwi-bo den lain-lain mengangguk dan mereka menganggap benar. Tapi ketika Chi Koan hendak berkelebat mendahului mereka mendadak Coa-ong terkekeh dan menggoyang tongkat ularnya.

"Nanti dulu. Apakah kau tak memberi kesempatan sama sekali kepada guru-gurumu ini, Chi Koan? Apakah kami tak boleh bertanding dan membuktikan kemajuan serta kelihaian orang-orang Heng-san ini?”

"Benar," Jin-touw juga tiba-tiba teringat. Kalau kau maju dan langsung mengalahkan mereka maka kami tak kebagian apa-apa, Chi Koan. Biarkan kami main-main dulu dan membuat kejutan bahwa Tujuh Siluman Langit masih hidup. Justeru kaulah yang jangan menampakkan diri dulu dan biarkan kami membuat onar!"

Chi Koan mengerutkan kening, tertegun. Tapi belum dia menjawab maka See-tok, kakek raksasa itu mengayun bandul tengkoraknya, menghajar sebuah pohon besar, tertawa bergelak.

“Chi Koan, sekali ini kau harus memenuhi permintaan guru-gurumu. Tak boleh menolak. Kalau kami tak mampu menandingi tosu-tosu hidung kerbau itu barulah kau muncul dan menampakkan diri. Bukankah kami juga ingin mendapat nama?"

"Hm, baiklah.” pemuda ini akhirnya mengangguk. "Kalau begitu kalian tandingi tosu-tosu bau itu, suhu. Tapi sekali lagi kuperingatkan bahwa mereka benar-benar lihai. Menurut perhitunganku, kalian bertujuh bukan tandingan Sin Gwan Tojin apalagi Tan Hoo Cinjin!"

"Wah, membuat malu kami!” Tong-si tiba-tiba melengking, baru kali ini bicara. "Sebelum bertanding tak usah menciutkan nyali dulu, Chi Koan. Kalau kami kalah biarlah kalah setelah mencoba, bukan belum bertanding sudah kalah dulu!"

“Benar,” Kwi-bun si muka pucat menyetujui isterinya. "Tak usah mengecilkan nyali dulu, Chi Koan. Kami malah penasaran akan kata-katamu ini. Seberapa hebat orang-orang Heng-san itu!”

“Hm, aku tak mengecilkan nyali kalian,” Chi Koan tersenyum, menjawab tenang. "Yang kumaksud adalah jangan kalian merendahkan orang-orang Heng-san, suhu. Dari murid sampai ketuanya sudah maju pesat melebihi murid-murid perguruan lain. Murid terendah saja sudah merupakan jago-jago kelas satu. Aku hanya hendak memperingatkan jangan memandang rendah mereka. Semua sudah mewarisi ilmu-ilmu dahsyat dari mendiang Siang Kek dan Siang Lam Cinjin. Ini kubuktikan beberapa bulan yang lalu!"

“Baik, baik, kami akan berhati-hati. Pergi tapi biarlah kami yang bertemu dulu. Kalau nanti kalah baru kau muncul!"

Chi Koan mengangguk dan memandang gurunya nomor enam itu dengan mata berseri- seri. Ia melihat bahwa guru-gurunya ini tak mau direndahkan. Mereka adalah orang-orang bernama besar tapi bagaimanapun belum tahu perobahan Heng-san. Enam tahun lebih dianggap tewas membuat mereka masih berpikiran lama, bahwa hanya orang-orang seperti mendiang Ji Beng atau Ji Leng Hwesio saja yang boleh ditakuti. Maka tak ingin membuat guru-gurunya tersinggung atau sakit hati Chi koan mengangguk dan memutar tubuhnya.

Dia percaya kepada guru-gurunya itu namun tetap menganjurkan waspada. Betapapun dia telah membuktikan sendiri bahwa murid dan tokoh-tokoh Heng-san lihai. Kalau sekarang tidak memiliki Hok-te-sin-kun dari warisan Bu-tek-cin-keng yang dahsyat belum tentu dia berani datang. Maka berkelebat dan naik ke atas pemuda inipun mendahului guru-gurunya. Dan Tujuh Siluman Langit itupun akhirnya berpencar.

Tong-si yang paling penasaran menyuruh suaminya duluan. Ia hendak melihat dan membuktikan omongan Chi Koan. Dan ketika ia berkelebat dan sengaja naik melalui jalan umum, jalan setapak yang biasanya dipakai anak-anak murid Heng-san maka benar saja ia dihadang dan dibentak anak-anak murid itu. Belasan dari mereka berkelebat dari kiri kanan merncegat.

"Siapa ini, berhenti!"

Tong-si tak menghiraukan. Ia mengibas dan anak-anak murid itu menangkis. Dan ketika mereka terhuyung namun tidak roboh, hal yang mengejutkan wanita itu juga maka Tong-si melanjutkan perjalanannya dan anak-anak murid terkejut melihat kehebatan wanita iblis ini. Mereka tidak mengenal lawannya karena bukan tokoh-tokoh Heng-san.

"Heii, ia naik ke atas. Cegah!” "Pukulan tangannya hebat. Awas!"

Mereka mengejar dan Tong-si tersenyum mengejek. Dulu, mendiang ketua Heng-san yang lama, To Hak Cinjin bukanlah lawannya. Hanya terhadap Siang Kek dan Siang Lam Cinjin ia mengaku kalah. Dedengkot Heng-san itu memang amat hebat. Tapi karena Siang Kek dan Siang Lam telah meninggal, yang ada hanyalah murid-muridnya dan Tong-si tak percaya kepada omongan Chi Koan maka sekarang justeru ia ingin membuktikan dan sedikit bukti tadi mengejutkannya juga.

Tapi ia belum puas. Anak-anak murid yang tidak roboh melainkan hanya terhuyung dan kini dapat mengejar lagi membuat ia penasaran. Kurang kuatkah kibasannya tadi? Kurang ampuh? Maka ketika dikejar dan beberapa murid menyusul di belakang, loncatan mereka ringan dan panjang maka untuk kedua kalinya lagi wanita ini tercengang. Tiga murid telah berada di belakangnya tak lebih dari empat meter!

“Heii, berhenti Siapa kau dan mau apa?"

Tong-si membalik. Ia terkejut karena Sin-sian-hoan-eng (Dewa Sakti Balikkan Tubuh) yang merupakan kepandaian ginkang dari Siang Kek dan Siang Lam dilihatnya di situ. Tiga anak murid ini mempergunakan Sin-sian-hoan-eng dan kecepatan mereka bergerak cukup mengagumkan. Meskipun belum tinggi namun hebat juga, terbukti mampu menyusulnya dan kini membentak di belakang. Dan marah bahwa kata-kata Chi Koan agaknya betul, murid rendahan saja sudah cukup hebat maka wanita ini membalik dan begitu dibentak iapun mengibas dan mengerahkan delapan dari sepuluh bagian tenaganya.

"Kalian pergilah!"

Bentakan itu disusul angin pukulannya yang menyambar. Tiga anạk murid terbelalak namun waspada, tidak takut dan menangkis. Dan ketika mereka terpental dan roboh terbanting, berteriak maka Tong-si tertawa mengejek dan meloncat naik lagi tapi tiga murid itu dapat bergulingan meloncat bangun dan mengejarnya lagi, sesak napas tapi tidak apa-apa!

"Eh!” wanita itu melotot juga. "Kalian masih hidup? Minta mati? Baik, ke sinilah tikus-tikus busuk. Boleh kalian berkenalan dengan Tong-si dan ini pukulanku yang terakhir!” wanita itu jengkel dan marah juga. Ia berhenti dan membalik.

Dan tiga murid itu terkejut. Tong-si? Satu dari Tujuh Siluman Langit? Tapi karena teman-teman di bawah juga menyusul ke atas dan mereka ini membentak serta bersuit nyaring, memberi tanda bagi murid-murid di atas maka tiga murid itu berani lagi dan pukulan Tong-si disambut dan dibalas bentakan juga. Mereka dan teman-teman lain sudah menerjang sementara bayangan-bayangan di atas gunung berkelebatan turun.

Tong-si memang ingin menguji. Tapi karena wanita ini mengerahkan segenap tenaganya dan tiga murid itu langsung menyambut pukulannya, tak takut atau gentar maka tiga murid itu berteriak dan sekarang roboh pingsan.

“Des-dess!"

Tong-si kagum. Tiga murid itu mencelat tapi tidak tewas. Padahal, kalau murid-murid perguruan lain pasti roboh dan muntah darah, nyawa melayang. Tapi karena di atas gunung berkelebatan bayang-bayang lain dan ia tak mau terhenti, See-tok dan lain-lain tentu sudah ke atas maka Tong-si yang mulai berhati-hati dan percaya akan kehebatan murid-murid Heng-san ini tak mau meladeni murid-murid lain kawan-kawan dari tiga murid Heng-san pertama. Ia meloncat dan naik lagi ke atas sementara dari atas meluncur dan turun beberapa bayangan. Dan karena tak mau dicegat dan wanita ini membelok maka jalanan belukar ditempuh dan meninggalkan jalanan umum. Murid-murid di bawah berteriak dan menyebut namanya.

"Dia Tong-si, mengaku sebagai Tong-si. Awas, dia iblis dari Tujuh Siluman Langit!”

Heng-san menjadi ribut. Murid-murid di atas segera bersuit dan memberi tahu saudara- saudara yang lain di kiri kanan gunung. Wanita itu menyelinap dan memasuki jalanan liar. Dan karena mereka pemilik gunung sementara wanita itu pendatang, tentu saja tak sebaik mereka mengenal medan maka Tong-si tiba-tiba kepergok bayangan beberapa murid lagi yang dari gerakannya jelas lebih tinggi daripada kepandaian anak murid di bawah.

"Siapa kau, berhenti!"

Wanita ini mendengus. Dari kiri dan kanan muncul dua bayangan tosu tiga puluhan yang cekatan dan tangkas. Mereka meloncat memotong perjalanannya. Dan karena tak mungkin ia menghindar dan Tong-si membentak maka wanita ini melepas pukulannya dan tak tanggung-tanggung untuk mengerahkan segenap tenaganya. "Aku Tong-si, kalian mampuslah!"

Dua murid itu terkejut. Mereka sudah mendengar suitan dan seruan-seruan dari bawah namun kurang percaya bahwa satu dari Tujuh Siluman Langit hidup. Bukankah tokoh- tokoh sesat itu tewas dikeroyok ratusan orang kang-ouw? Mana mungkin hidup lagi? Tapi melihat serangan dan wajah Tong-si, yang kuning kebiru-biruan maka dua murid ini tak berani berayal dan menangkis, tahu bahwa pukulan lawan mereka berbahaya dan dikerahkan sepenuh tenaga.

"Duk-dukk!"

Tong-si dan dua anak murid itu tergetar. Mereka terhuyung dan sama-sama melotot dan wanita ini kaget sekali. Murid tingkat berapakah yang dihadapi ini? Sute dari ketua Heng-san? Tapi ketika ia tertegun dan membelalakkan mata maka dua orang itu menerjang dan membentaknya kembali, bayangan-bayangan lain kembali berkelebat....

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.