Praha Di Gurun Gobi Jilid 24 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Serial Prahara Di Gurun Gobi Karya Batara

“WANITA iblis, kau Tong-si atau bukan kami tak takut. Kau telah memasuki wilayah Heng- san, tanpa ijin. Menyerahlah atau kau mampus... duk-plak!" 


Tong-si menangkis dan untuk kedua kalinya terkejut. Ia terpental sementara dua orang itu terhuyung mundur. Dan ketika lima bayangan berkelebat datang dan itulah murid-murid yang lain, dua tosu ini menerjang lagi maka Tong-si sudah dikepung dan tujuh murid Heng-san itu mencabut senjata.


"Siapa dia? Siapa siluman betina ini?"


“Entahlah, kami tak tahu, suheng. Tapi katanya Tong-si!”


“Tong-si? Tak mungkin. Iblis itu tewas bersama teman-temannya. Tujuh Siluman Langit telah binasa!"


“Tapi dia mengaku sebagai Tong-si, suheng. Dan kepandaiannya tinggi...... des-dess!" dua pertemuan tenaga kembali mengguncangkan tempat itu dan Tong-si kali ini membuat dua lawannya terpental. Wanita itu menambah tenaganya hingga lawan berteriak. Tapi karena wanita itu juga terlempar berjungkir balik, kemarahannya meledak maka lima murid yang lain itu membentaknya dan pedang serta pukulan tangan kiri mereka membuat wanita iblis ini naik darah.


“Serang dia, tangkap!”


Tong-si melengking. Setelah dia menghadapi murid-murid lebih lihai maka percayalah dia bahwa perguruan Heng-san telah semakin kuat. Anak-anak murid yang dihadapinya ini bukan tokoh-tokoh Heng-san karena tak satupun ia kenal. Maka membentak dan menyambut lima orang itu, dua yang pertama sudah turun dan menyerangnya pula maka Tong-si mencabut tusuk konde dan sambil menerjang dan menangkis murid-murid itu ia melengking dan kalap.


"Kubunuh kalian.... trik-cringg!"


Tong-si tersentak dan terpental senjatanya. Tusuk konde bertemu pedang di tangan tujuh lawannya dan bukan lawan yang terpental melainkan dirinya. Padahal mereka hanya murid-murid Heng-san, bukan tokoh! Dan ketika wanita itu melengking dan menjadi gusar, ia benar-benar membuktikan omongan Chi Koan maka tujuh murid itu sudah mendesaknya dan wanita ini hanya dapat mengelak dan berlompatan tak mampu membalas.


“Terkutuk, jahanam keparat! Bocah-bocah kurang ajar!”


Wanita itu melengking dan berkelebatan ke sana ke mari. Ia telah mengerahkan tenaganya namun benturan di antara dia dengan anak-anak murid Heng-san itu selalu membuat ia terpental. Dan ketika semua berseru mempercepat gerakan, Sin-sian-hoan-eng dipertunjukkan anak-anak murid itu maka bayangan Tong-si dikurung dan tetap berada di tengah-tengah, tak mampu keluar. Menjeritlah wanita ini oleh gentar. 


Tiba-tiba dia menjadi pucat apakah harus roboh di tangan murid-murid Heng-san. Bukankah dia yang sepatutnya menghajar dan merobohkan anak-anak murid ini. Dan ketika setiap benturan tentu membuat telapaknya pedas dan tergetar, tak ada lagi waktu untuk membalas maka wanita ini bersuit dan belasan jarum hitam tiba-tiba dilepaskan dari tangannya. Ia terkurung dan harus melepaskan diri.


“Wut-wut-wutt!”


Murid-murid Heng-san rupanya tahu bahaya. Mereka berseru satu sama lain dan pedang diputar menangkis. Jarum-jarum runtuh dan patah. Tong-si menyelinap dan lolos dengan cepat. Dan ketika lawan membentak namun saat itu sesosok bayangan hitam berkelebat, sepuluh kuku menyambar anak-anak murid ini maka Kwi-bun, sang suami muncul dan membantu isterinya. Suitan tadi ternyata seruan minta tolong.


"Tong-si, ada apa memanggilku? Bukankah yang kau hadapi hanyalah keroco-keroco..... trik-trikk!”


Kwi-bun menahan kata-katanya dan kaget sendiri. Ia mendengar panggilan sang isteri ini dan berkelebat turun, tadi sudah di atas. Dan ketika ia belum mendapat jawab namun langsung bertemu tujuh batang pedang, ia menusuk namun sepuluh kuku beracunnya itu ditangkis tepat maka ia terhuyung sementara sang isteri tertawa mengejek dan anak-anak murid terbelalak. Kaget karena seorang iblis muncul lagi.


“Dia..... dia Kwi-bun. Benar, ini orang-orang Tujuh Siluman Langit!" murid tertua, yang berbaju kuning tiba-tiba berseru dan menuding. Dia kebetulan mengenal si Pintu Setan itu dan menuding. Sekarang ia yakin bahwa yang tadi adalah Tong-si. Dan ketika Kwi-bun terbelalak tapi sudah diterjang pedang, semua bergerak dan menyerangnya maka Tong-si terkekeh namun tak dapat tinggal diam karena iapun ditusuk dan diserang.


“Tong-si, kiranya benar kau adalah wanita Tujuh Siluman Langit. Mampuslah, ada apa datang ke Heng-san?”


Suami isteri itu dikeroyok. Sekarang Kwi-bun tak dapat mengejek isterinya karena pedang dan pukulan sambar-menyambar. Anak-anak murid juga mengerahkan Sin-sian-hoan-eng. Dan ketika ilmu meringankan tubuh itu membuat si Pintu Setan terbelalak, tentu saja mengenal warisan Siang Kek Cinjin ini maka dia membentak dan mengetrikkan kuku-kuku jarinya menangkis, berkelebat dan mengelak atau menghalau serangan-serangan lawan. Namun ketika lawan mengejar dan tosu baju kuning itu paling lihai, tenaganya paling besar dan kecepatannya juga paling tinggi maka Kwi- bun tak dapat lolos karena sudah dikurung oleh lingkaran pedang lebar berikut pukulan- pukulan menderu.


“Twi-hong-hok-san (Dorong Angin Robohkan Gunung)!" si iblis pria berteriak dan kaget. Ia mengenal ilmu ini sebagai milik tokoh-tokoh Heng-san namun kini para muridnya juga mempelajari. Hebatnya juga bukan main karena dengan kibasan atau dorongan itu ujung bajunya berkibar-kibar dan seakan hendak menerbangkannya! Dan ketika murid- murid Heng-san tertawa dan masing-masing silih berganti menyerangnya, tak ada ampun untuk mengambil napas maka Tong-si di sana juga berteriak dan melepas lagi jarum-jarum beracunnya.


"Keparat, kita bunuh mereka ini, Kwi-bun. Hajar dan bunuh mereka..... wut-wut!” jarum-jarum dilepas kalap. Belasan sinar hitam itu berhamburan namun anak-anak murid ternyata lihai. Mereka menangkis dan memutar pedangnya. Dan ketiĆ­ka Tong-si terbelalak sementara dari bawah dan atas gunung berkelebatan murid-murid yang lain maka Kwi-bun tak melihat untungnya lagi. Bahaya mengancam mereka.


"Tong-si, keluar. Kita bergabung dengan teman-teman!"


"Benar, dan secepatnya kita ke atas, Kwi-bun. Temui para pimpinannya tapi bunuh atau robohkan dulu seorang dua!"


Suami isteri itu berseru berbareng. Mereka melengking dan tiba-tiba beradu punggung. Dan ketika tujuh anak murid menyerang dari tujuh penjuru maka hampir serentak mereka berdua menyalurkan tenaga dan menggabung ilmu mereka.


“Trik-des-dess!"


Kuku dan tusuk konde menghalau. Kini keduanya menggabung kekuatan dan baru dengan cara ini dua murid terlempar. Tosu baju kuning terpelanting. Ternyata dua iblis betina dan wanita itu mengeluarkan ilmu khusus mereka, yang satu menangkis sementara yang lain menyerang. Dan ketika dua dari tujuh pengeroyok roboh, mereka kalah pengalaman oleh dua iblis ini maka Kwi-bun meloncat dan terbang ke atas tak mau melayani murid-murid lagi, dari mana-mana sudah muncul anak-anak Heng-san yang lain.


"Tong-si, pergi. Kita bergabung di atas!”


Wanita itu mengangguk. Sekarang ia telah merasakan lihainya murid-murid Heng-san ini. Perguruan itu telah menjadi perguruan yang bebat di mana murid-muridnya saja telah mampu menandingi. Tokoh-tokohnya tentu lebih hebat lagi. Dan ketika ia melengking dan berjungkir balik meluncur ke atas, beberapa anak murid dilampaui dan Tong-si melepas jarum-jarum beracunnya, ada yang terkena dan menjerit maka Kwi-bun sudah terbang lebih dulu dan bersamaan itu tiba-tiba dari puncak terdengar genta dan bunyi tanda bahaya.


“Tang-tang-tang...!”


Anak murid gempar. Sekarang seisi gunung hiruk-pikuk dan bunyi genta yang berdentang-dentang menghentak semua penghuni. Kwi- bun dan isterinya susul-menyusul berkelebat ke puncak. Namun ketika di leher gunung mereka bertemu murid-murid lebih tinggi dan itu adalah murid-murid kepala para pimpinan maka Tong-si maupun suaminya terhalang lagi.


"Tong-si, Kwi-bun! Kalian pengacau-pengacau busuk. Berhenti, kalian kami tangkap atau mampus.... sing-bret!" dua pedang menyambar dari kiri kanan dengan amat cepatnya. Dua murid kepala bertemu suami isteri ini dan Kwi-bun maupun Tong-si mengelak. Namun ketika pedang mengejar dan mereka tetap menerima serangan, apa boleh buat menangkis dan membalik maka baju Kwi- bun memberebet sementara isterinya menjerit kecil karena hampir saja ujung bajunya dibabat.


"Keparat, robohkan dulu mereka ini, Kwi-bun. Bunuh mereka!”


“Hm!" Kwi-bun mendengus, diam-diam terkesiap. "Gampang omong tak gampang dilaksanakan, Tong-si. Kita ke puncak dan harus cepat-cepat bergabung dengan kawan- kawan. Dua orang ini cukup lihai dan menghambat perjalanan saja!"


"Kalau begitu biar kusambar dengan ini. Lari, kita ke atas!" jarum-jarum hitam kembali dilepas. Tong-si marah namun suaminya mengangguk.


Kwi-bun juga mengetrikkan kuku-kuku jarinya dan entah dari mana tiba- tiba menyambar pula jarum-jarum hitam. Itu meluncur dari ujung kukunya yang melengkung ke dalam, kalau dibuka atau dijentikkan keluarlah benda-benda berbahaya itu. Dan ketika dua murid itu menangkis dan mereka tidak mempergunakan pedang melainkan dorongan telapak tangan yang menghembuskan Twi-hong-hok-san maka Kwi-bun pucat karena melihat betapa lihainya murid-murid kepala ini.


"Plak-plak-plak!"


Semua jarum runtuh namun Kwi-bun sudah berkelebat naik. Tong-si sudah mendahuluinya dan setiap bertemu murid baru tentu jarum-jarum itulah yang bekerja. Mereka tak mau dihalangi. Dan ketika di atas terdengar suara bergelak dan itulah tawa See-tok, juga kekeh dan seruan genit Kwi-bo ternyata di sini laki perempuan itu telah mengamuk. Kwi-bun kebetulan datang tepat waktunya.


"Ha-ha, lihat. Ini makanan-makanan empuk kita, Kwi-bo. Mana tokoh-tokoh Heng-san kalau tak ingin murid-muridnya mampus.... wherr-plakk!" bandul tengkorak di tangan See-tok bekerja dengan amat jahatnya. 


Bandul itu menderu dan ketika luput mengenai lawan menghajar tanah sampai amblong. Tengkorak meledak namun See-tok sudah menyerang lagi. Di halaman kuil dia mengamuk. Dan ketika Kwi-bo juga terkekeh sementara Kwi-bun heran mana tiga temannya yang lain, Coa-ong maupun Jin-touw dan Jin-mo maka di sebelah kiri terdengar geraman-geraman dan Jin-mo tampak meloncat-loncat menghadapi keroyokan belasan murid Heng-san. Tongkat bambunya yang panjang itu bersiutan mengemplang dan menyodok.


"Heh, mundur. Aku mencari pimpinan Heng- san atau kalian mampus.... des-dess!" tongkat menghantam dan menghajar tanah.


Hantu Langit atau Jin-mo telah muncul dan dikerubut di sana tapi tongkat di tangannya tak pernah mendapatkan korban. Ia menggeram-geram. Dan ketika ia membentak dan seorang murid menangkis maka terhuyunglah kakek itu sementara si murid hanya tergetar dan terdorong sedikit.


"Heh-heh," Kwi-bun tak dapat menahan geli. "Jangan pandang rendah murid-murid ini, Jin-mo. Mereka hebat-hebat dan benar bahwa kita harus berhati-hati!”


"Keparat, kau membantu musuh? Eh, kita datang bukan untuk menonton, Kwi-bun. Bantu dan hajar mereka ini!"


"Aku sudah merasakan di bawah, dan kau.... singg!" pedang seorang murid membacok dari belakang. Kwi-bun terkejut dan meloncat ke kiri dan Jin-mo ganti terkekeh. Ia melihat rekannya itu kaget menghentikan kata-katanya. Dan ketika di sana Jin-touw juga berteriak dan mengayun kapaknya, ditangkis dan terpental maka Coa-ong juga mengumpat caci dikerubut lima murid yang mengurung ketat. Pedang dan tangan kiri menyambar-nyambar.


“Eh-eh, jangan banyak cakap. Kita bukan saling menonton. Bunuh dan sikat mereka ini.... krek-pletak!" tongkat di tangan


Coa-ong malah patah, membuat si Raja Ular memekik dan melompatlah dia mengelak dari hujan tusukan lawan. Lima murid itu ternyata mendesaknya. Tong-si ganti tertawa. Tapi ketika wanita perunggu itu ditusuk seseorang dan berjengit dengan kaget, berteriak dan membalikkan tubuh maka ia harus menangkis serangan berikut yang membuat Coa-ong terkekeh-kekeh.


See-tok dan lain-lain terbahak. Kwi-bun, sang suami, juga tertawa. Tapi ketika Tong-si membentak dan iblis pria itu terdiam maka Kwi-bo melengking-lengking menjeletarkan rambutnya. Beberapa bayangan dari dalam kuil mulai berkelebatan, tampaknya para pimpinan.


"Heii, tak usah saling mentertawai. Jaga diri baik-baik, kawan. Para pimpinan rupanya datang dan kita bergabung satukan tenaga... wirr-plakk!" rambut wanita ini menjeletar dan menukik ke seorang murid, kena dan murid itu terpelanting tapi bergulingan meloncat bangun. 


Tosu muda ini tak apa-apa. Dan ketika Kwi-bo terkejut karena masing-masing sudah merasakan buah pahit, apa yang diceritakan Chi Koan benar maka bayangan dari dalam kuil sudah tiba di luar dan terdengar bentakan perlahan namun yang membuat jantung semua orang tergetar dan seakan dipukul palu godam.


"Berhenti. Semua mundur dan jangan menyerang!"


Empat orang berdiri di halaman dengan wajah bengis. Mereka inilah bayangan-bayangan dari dalam dan kini ada di luar. Kwi-bo berjungkir bailk melayang turun, baru saja menghajar dan menangkis serangan lawan. Dan ketika ia melihat tosu-tosu itu amat berpengaruh bagi para murid, masing-masing berikat kepala merah dan kuning maka dia yang tidak mengenal namun kaget oleh suara bentakan tadi membelalakkan mata. Empat tosu ini memegang tongkat dan sikap mereka amat berwibawa, pandang mata setajam elang.


"Hm, Tujuh Siluman Langit kiranya. Kwi-bo dan See-tok! Bagus, kalian berkumpul dan ternyata masih hidup, Kwi-bo. Tapi ada apa mengacau Heng-san? Apakah kalian bernyawa rangkap dan kini ingin benar-benar mampus?"


“Ha-ha, kau siapa?" See-tok tertawa bergelak dan mendahului, berkelebat maju. "Mana Sin Gwan Tojin dan Tan Hoo Cinjin. Kenapa tidak keluar!"


“Benar, mana pimpinan Heng-san?" Tong-si juga melengking dan meloncat maju, tidak mengenal empat tosu ini. "Kalian siapa, tosu- tosu busuk. Dan kenapa berani berlagak serta menghina kami. Ayo sebutkan namamu!”


“Hm, ini Tong-si," tosu berikat kepala merah menjengek, dia berdiri di sebelah kiri tosu yang bicara memimpin. "Agaknya Tujuh Siluman Langit benar-benar masih hidup, suheng. Dan kesempatan bagi kita untuk membasminya sampai tuntas!"


“Diamlah," sang suheng mengebutkan lengan, tetap ingin memimpin. "Kita hadapi iblis-iblis ini, Tek-sute, dan dengarkan dulu apa katanya sebelum kita binasakan!"


“Hi-hik, kau siapa?" Kwi-bo berkelebat dan tak mau kalah. "Memangnya kau tokoh Heng-san hingga pantas bicara dengan kami? Minggir kalau belum punya kedudukan, tosu tengik. Atau kulempar kau menghadap arwah Siang Kek Cinjin!"


Kwi-bo mengibas dan rambut harumnya meledak dengan amat cepat. Ia dekat sekali dengan tosu ini dan serangannyapun jelas dan terarah. Tapi ketika tosu itu mengangkat tangan kirinya dan rambut terpental balik, melecut dan membuat Kwi-bo terpekik maka wanita itu melempar tubuh bergulingan dan sebagian rambutnya berodol.


"Plak!”


Kejadian itu mengejutkan sekali. Kwi-bo melengking bangun dan See-tok serta yang lain-lain terbelalak. Mereka tak tahu bahwa ini adalah sute-sute dari ketua Heng-san, adik dari Sin Gwan Tojin dan merupakan tokoh nomor tiga di Heng-san. Maka ketika tosu itu tertawa dingin dan pukulan tangannya tadi mementalkan rambut, bahkan nyaris menghantam Kwi-bo sendiri maka berkatalah dia dengan sikap mengejek,


“Kwi-bo, lain dulu lain sekarang. Pinto adalah Kho Hwat Tojin, sute dari Sin Gwan Tojin. Kalau kau menganggap pinto tak punya kedudukan maka kau salah. Ketahuilah, pinto berempat wakil-wakil nomor dua dan tokoh ketiga di sini. Sekarang buka matamu dan telinga baik-baik!"


Kwi-bo terbelalak dan merah padam. Ia dikibas telapak tangan yang mengandung pukulan Twi- hong-hok-san dan pukulan atau kibasan tosu ini lain daripada yang lain, amat hebat dan jauh di atas murid-murid Heng-san. Dan ketika tosu itu menyebut namanya dan otomatis dia ingat, dulu tosu ini adalah orang-orang tingkat empat sebelum mendiang To Hak Cinjin maka dia terkejut namun kemarahannya diganti tawa kekeh dibarengi goyangan pinggulnya. Thian- mo-bu atau Tarian Hantu Langit tiba-tiba siap dikeluarkan. Kwi-bo akan mempesona lawan dengan bentuk tubuhnya yang menggairahkan, tari telanjang!


"Hi-hik, begitukah? Bagus. Kiranya anak-anak kemarin sore sudah naik tingkat semua, Kho Hwat totiang, dan kau memang hebat. Aduh, tapi kau kejam membanting aku. Apakah kau tak kasihan dan iba kepadaku. Wanita harusnya disayang, Kho Hwat totiang, bukan dipukul atau dibanting. Ih, kau nakal!" lalu mengedut atau melempar pinggulnya sedemikian rupa tiba-tiba seluruh pakaian Kwi-bo lepas. Lalu, ketika semua murid terbeliak dan berseru tertahan maka Kwi-bo terkekeh dan maju dengan cepat memeluk tosu ini. Gerakannya demikian aduhai dan tidak malu- malu lagi!


Kho Hwat Tojin berdesir. Tadi ia tertawa mengejek melihat Kwi-bo dikibasnya roboh. Ia memang ingin memberi pelajaran sekaligus pemberitahuan bahwa dirinya bukan orang kelas kambing. Dulu mungkin ia gentar dan pucat menghadapi Tujuh Siluman Langit ini, termasuk Kwi-bo. Tapi karena sekarang ia telah gemblengan langsung dari mendiang sesepuhnya, hanya Tit-ci-thian-tung dan Lui-yang Sin-kang yang tak dipelajarinya maka begitu ia mengibas begitu pula Twi-hong-hok-sannya dipertunjukkan dan lawanpun terpental. 


Rambut Kwi-bo malah berodol dan kalau wanita itu tidak cepat melempar tubuh bergulingan tentu kulit kepalanya terkelupas. Kwi-bo tahu diri dan cepat bergulingan. Tapi ketika kini tiba-tiba wanita itu tertawa dan mengibas pinggul, gerakan itu demikian penuh pesona dan amat memikat, pinggul bulat si cantik ini bergoyang dengan amat indah maka belum dia hilang kagumnya tiba-tiba Kwi-bo bergerak dan seluruh pakaian itupun lepas. Tak pelak lagi tubuh sehalus patung pualam terbeber. 


Semua mata terbeliak dan siapapun mendecak. Tubuh wanita ini sungguh indah, buah dadanya juga kencang dan terpelihara. Bukan main, itu tubuh seorang dewi! Dan karena Kho Hwat Tojin juga laki-laki normal, dia pun memiliki gairah dan rasa maka ketika dipeluk dan dicium iapun kesetrom dan merasa "mak-nyut", sedetik kehilangan kesadaran tapi sedetik itu pula Kwi-bo sudah mengangkat lutut menendang selangkangannya. Daerah paling rawan bagi lelaki ini didengkul, tepat sekali lutut itu mengenai anggauta rahasia. 


Tapi karena saat itu juga Kho Seng Tojin berteriak keras, dia ini adalah adik kandung Kho Hwat maka tosu ini menarik cepat perut bawahnya ke usus besar. Gerakan itu terjadi sama cepat dengan tendangan Kwi-bo. Tepat lutut itu mengenai sasaran maka secepat itu juga anggauta rahasia tosu ini melesak ke dalam. Kwi-bo terkejut karena lututnya tak menyenggol benjolan, hanya mengenai daerah kosong semacam tulang atau daging keras. Tapi karena betapapun juga "dengkulan" itu cepat dan dekat, kosong atau tidak telah singgah di daerah amat lemah maka tosu itu menjerit dan terbanting bergulingan.


"Dukk!”


Semua orang pucat. Menurut perhitungan semestinya tosu itu tewas dengan bagian paling pribadi hancur. Yang menendang bukan sembarang orang melainkan Kwi-bo, iblis wanita yang amat kejam, kepandaiannya hebat dan siapapun tahu kelihaiannya. Tapi ketika tosu itu dapat bergulingan meloncat bangun, mendelik dan gusar bukan kepalang maka Kwi-bo terkekeh dan sebelum yang lain ingat diri mendadak ia sudah meledakkan rambutnya dan menerjang tiga tosu di sebelah dengan cepat dan bertubi-tubi. Kesempatan diisi baik- baik mumpung masih terpesona dan melotot oleh keindahan tubuhnya yang memang aduhai.


“Hi-hik, selamat bercinta, tosu-tosu gagah. Aku cinta kalian dan inilah hadiah ciumku...... wut-ngok!" Kwi-bo benar-benar mencium, mendekatkan muka tapi secepat itu pula ia menjeletarkan rambut menggubat dan melilit. Yang dicium tercekik dan mendelik. Kaki dan tangan Kwi-bo yang lain bergerak menghantam kedua tosu terakhir. Dan ketika semua terkejut dan tosu yang tercekik membentak keras, mengerahkan sinkang hingga leher menggembung dan rambut putus maka tosu itu melempar tubuh dan kakinya menendang paha Kwi-bo.


"Siluman! Wanita jahanam.... dess!"


Kwi-bo terpental dan bergulingan terkekeh. Ia tak takut karena begitu melompat bangun iapun sudah menari dan menjeletarkan rambutnya. Tangan kirinya juga bergerak menaikturunkan bukit dadanya. Gerakan itu merangsang nafsu lelaki. Tapi karena empat tosu pimpinan sudah amat marah dikecoh wanita ini, dua mendapat pengalaman pahit maka tosu-tosu itu memekik dan Kho Hwat Tojin yang ditendang kemaluannya berkelebat dan paling gusar.


“Kwi-bo, kau benar-benar curang. Tapi terimalah, ini balasan dariku dan jangan harap tarian cabulmu dapat mengganggu kami... plak-dess!" 


Kwi-bo mengelak tapi dikejar, menangkis dan terpelanting dan selanjutnya tosu itu berkelebatan mengejar dirinya. Para murid terbelalak sementara tiga sute dari Kho Hwat Tojin ini tak mau kalah. Mereka juga marah karena hampir terbius. Dan karena masing-masing mengeluarkan kepandaiannya dan Twi-hong-hok-san menderu dari segala penjuru.


Maka Kwi-bo menjerit dan terlempar ke sana ke mari tak sanggup menghadapi empat tosu pimpinan itu. Jangankan menghadapi mereka berempat, menghadapi satu di antaranya saja wanita ini tak akan menang. Kho Hwat Tojin bukan lawannya. Dan ketika ia jatuh bangun tapi para murid mendecak dan mengilar, Kwi-bo telanjang bulat bergulingan ke sana-sini maka See-tok tiba-tiba bergerak dan raksasa bersenjata bandul tengkorak ini menyerbu dan tak tahan. Kwi-bo adalah kekasihnya.


“Kwi-bo, jangan takut. Aku membantumu!"


Tapi ketika bandul tengkorak terpental oleh hawa pukulan Kho Hwat Tojin, belum apa-apa membalik oleh pukulan tosu itu maka See-tok berteriak dan Jin-touw yang mencari muka pada Kwi-bo lalu menerjang dan mengeroyok. Iblis bersenjata kapak ini tertawa tapi kapak di tangannya mendesing mencari maut. Namun ketika Kho Hwat menangkis dan tongkat di tangan tosu itu berdentang menghalau kapak maka Jin-touw berseru kaget dan berjungkir balik menyelamatkan diri.


Selanjutnya tiga orang ini bergerak tapi lawan terlalu hebat. Kwi-bo agak lega namun tetap terdesak. Beberapa kali ia menangkis namun rambutnya tambah berodol. Dan ketika empat bayangan tosu itu menekan tiga dari Tujuh Siluman ini dan jelas betapa Kwi-bo dan kawan-kawan tak mampu menghadapi, See-tok cemas dan gelisah maka raksasa tinggi besar itu berteriak pada Coa-ong dan lain-lain,


“Heii, masuk dan bantu kami, Coa-ong. Atau kujitak kepalamu dan kulaporkan murid kita!”


“Ha-ha, jangan seperti anak kecil. Kalian belum berkeringat benar-benar, See-tok. Tapi kalau sudah ketakutan baiklah aku maju. Tapi di sini banyak kecoa, biar kupanggil anak-anakku dan tenanglah disitu!” Coa-ong terkekeh dan mencabut suling, meniup dan segera murid-murid Heng-san terkejut karena dari kiri dan kanan tiba-tiba muncul barisan ular. Lalu ketika suling ditiup semakin melengking dan Coa-ong mengerahkan kepandaiannya memanggil ular maka dari segala penjuru muncul ratusan binatang melata itu.


"Ular..... ular!" para murid berteriak. 


Coa-ong terkekeh dan tiba-tiba memberi tanda. Jin-mo dan Kwi-bun serta Tong-si disuruh membantu See-tok di sana. Dan karena tiga orang itu mengerti betapa hebatnya desakan empat tosu, jelas mereka harus dibantu maka Tong-si mengelebatkan tusuk kondenya sementara sang suami mengetrikkan kuku jari ke arah lawan mereka. Jin-mo sendiri sudah meloncat dan galah atau bambu panjang di tangannya mendesir di belakang telinga Kho Hwat Tojin.


"See-tok, tak perlu berkaok-kaok. Kami semua akan membantumu!” lalu ketika Kho Hwat mengelak namun galah menyodok dan mengejar, sang tosu membalik maka Twi- hong-hok-san menampar galah itu dan.... prak, ujung galah hancur.


"Haiii...!" Hantu Langit terpekik. “Jahanam kau, Kho Hwat Tojin. Keparat kau!" dan tidak berani berdepan lagi segera iblis tinggi jangkung ini menyerampang dan menusuk lawan, berpindah ke tosu lain namun sama juga. Adik-adik dari tosu itu menangkis, kalau tidak dengan tamparan ya dengan tongkat. Dan ketika Jin-mo merasa betapa tongkat di tangan tosu-tosu itu bertenaga hebat hingga telapaknya tergetar dan pedas, galah terpental menghantam kepalanya sendiri maka kakek itu terkejut dan Kho Hwat Tojin berseru pada adik-adiknya untuk merobah gerakan.


“Mainkan Hui-tung Sin-hoat (Silat Sakti Tongkat Terbang). Awas, Coa-ong mulai memanggil ular!"


Tiga sutenya membentak. Mereka telah merobah gerakan dan Twi-hong-hok-san berpindah ke tangan kiri. Tangan kanan melepas tongkat dan tongkat di tangan empat tosu itu mendadak terbang menyambar- nyambar. Inilah Hui-tung Sin-hoat yang dulu diajarkan Siang Kek dan Siang Lam Cinjin. Dan karena yang memainkan juga tokoh-tokoh Heng-san, mereka adalah sute dari Tan Hoo Cinjin maka See-tok dan Kwi-bo tersentak kaget ketika tongkat memburu dan menyergap mereka, bagai bermata.


“Iblis! Siluman!"


Dua orang itu mengelak dan menangkis. Tapi ketika mereka memperhatikan ini maka tangan kiri para tosu menyambar dan meluncurlah Twi-hong-hok-san itu menghantam Kwi-bo. 


"Dess!” Wanita ini mencelat. Kwi-bo terbanting dan saat itu pukulan lain menyambar See-tok. Raksasa tinggi besar ini juga berteriak. Dan ketika ia terlempar dan terhempas oleh Twi-hong-hok-san, tongkat terbang benar-benar mengacau perhatian maka Jin-touw maupun Jin-mo juga menjerit dan terlempar roboh.


"Bres-bress!”


Tujuh Siluman Langit kalang-kabut. Coa-ong, yang mengendalikan ularnya tiba-tiba juga terhuyung dan melotot terbelalak. Ular-ularnya terlempar dan mencelat oleh hawa pukulan empat tosu itu. Keadaan benar-benar mengerikan. Dan ketika suling ditiup kencang-kencang namun Kho Hwat berseru melempar obor, memberi tahu anak murid agar mengambil obor maka bagai diingatkan saja anak-anak murid itu menyulut obor dan melemparkannya ke barisan ular.


"Api.... api! Serang dengan api!"


Coa-ong mendelik. Kho Hwat telah memelopori gerakan itu dan obor di tangan tosu ini diikuti oleh obor-obor yang lain. Para murid menjadi sadar dan ular-ular seketika panik. Dan ketika ratusan dari mereka membalik dan lintang- pukang, anak murid menjadi marah kepada Raja Ular itu maka mereka menerjang dan Coa-ong menghentikan tiupan sulingnya diserbu murid-murid Heng-san.


"Coa-ong tua bangka siluman. Hajar dan bunuh kakek ini!”


Coa-ong berkelit. Ia memaki namun dikejar lagi, mencabut tongkat dan menyimpan suling dan segera menangkis hujan serangan itu. Anak murid sudah tidak menghiraukan Kwi-bo lagi karena perhatian diusik oleh barisan ular. Kwi-bo gagal dengan tarian mautnya. Dan ketika puluhan anak murid menerjang Coa-ong sementara di sana See-tok dan lain-lain dihajar Kho Hwat Tojin, para iblis ini mengeluh maka See-tok jatuh bangun tak mampu menangkis. Ia dan kawan-kawannya menjadi sasaran Twi- hong-hok-san atau tongkat terbang. 


Tongkat itulah yang membuat mereka geram karena memecah perhatian. Semua kacau oleh Hui- tung Sin-hoat ini yang menyodok atau menusuk bagai benda bernyawa, pandai mencari tempat-tempat kosong dan bandul tengkorak di tangan See-tok sampai rompal- rompal, mreteli. Dan ketika Jin-mo maupun Jin-touw juga kelabakan mempertahankan diri, kapak dan galah di tangan mereka hencur oleh permainan tongkat sakti ini maka Tong-si dan Kwi-bun juga mencelat senjatanya sementara kuku jari si muka setan putus satu demi satu.


“Chi Koan, keluarlah. Tolong.....!”


Kwi-bo tak tahan dan berteriak memanggil muridnya itu. Keadaan sudah benar-benar berbahaya sementara Chi Koan tak muncul- muncul juga. Padahal pemuda itu sudah berjanji untuk menyelamatkan dan membantu mereka. Sekarang mereka benar-benar percaya bahwa anak-anak murid Heng-san telah mencapai kemajuan tinggi, ilmu silat mereka benar-benar maju dengan pesat dan tokoh tingkat tiga saja bukan tandingan mereka. Dan ketika jerit Kwi-bo itu juga disusul oleh jerit Tong-si, yang melengking dan berteriak terbanting oleh hantaman tongkat terbang maka See-tok juga menggeram dan memaki muridnya itu.


"Chi Koan, keluarlah. Kami kalang-kabut!”


"Benar, bantu kami, anak busuk. Lihat guru- gurumu dihajar orang!" Coa-ong, yang menyambung dan menjadi gelisah akhirnya memaki sengit juga. Kakek ini tahu bahwa muridnya pasti tak jauh di situ, bersembunyi dan mengintai mereka. Mungkin tertawa-tawa. Anak itu memang kurang ajar. Dan ketika Jin-mo dan Jin-touw akhirnya juga berseru memanggil, galah di tangan Jin-mo akhirnya terbabat dan kapak mencelat dari tangan Jin-touw, dua iblis ini terlempar oleh Twi-hong-hok-san maka saat itulah berkelebat bayangan biru bercelana putih.


“Ha-ha, kalian sudah puas? Kalian sudah percaya omonganku? Baik, aku datang suhu. Jangan khawatir dan lihatlah mereka kulemparkan.... bress!" 


Chi Koan muncul dan membantu guru-gurunya. Coa-ong yang dikeroyok puluhan murid tiba-tiba terlempar tinggi ke atas. Chi Koan mengangkat gurunya sementara murid-murid itu didorong dan ditiup tenaga raksasa. Mereka menjerit dan terlempar belasan tombak, kaki dan tangan patah-patah. Lalu ketika angin sambaran pukulan itu menerpa Kho Hwat Tojin dan tiga sutenya, mengangkat mereka dan melemparnya jauh ke belakang maka empat tosu itu berteriak kaget dan masing-masing menabrak pohon.


Empat tosu itu kelengar dan mengeluh. Mereka sudah mengerahkan tenaga untuk bertahan namun tetap juga tak kuat. Masing-masing kaget bukan main dan Kho Hwat Tojin mendelik. Namun ketika mereka bangkit terhuyung dan terbelalak ke depan, Chi Koan telah berdiri melindungi guru-gurunya maka tosu itu terbelalak dan berubah, tentu saja mengenal murid Beng Kong Hwesio itu dan kaget serta heran bagaimana tiba-tiba pemuda itu memanggil "suhu" kepada Tujuh Siluman Langit ini.


“Kau...... kau......”


“Ya, aku,” Chi Koan tertawa, tahu kekagetan tosu ini. "Aku, Kho Hwat Tojin, Chi Koan yang dulu kalian tangkap dan siksa di sini. Aku Chi Koan dan datang untuk menghajar kalian!"


"Keparat, tapi kau.... kau....”


Chi Koan mengibas. “Tak usah banyak cakap, tosu bau. Aku ingin bertemu ketua dan wakil ketua Heng-san. Panggil suhengmu atau nanti kau kulempar ke dalam!”


“Ah!" tosu ini bergerak, marahnya seketika timbul. "Bagus sekali, Chi Koan. Kau berguru kepada orang-orang jahat dan watakmu tetap juga jahat. Pinto tak takut kepadamu dan rupanya kau tidak kapok untuk menjadi tawanan lagi. Bagus, pinto akan menghajarmu!"


Tosu itu berkelebat dan tongkat di tangan menyambar. Ia tadi kaget dan pucat melihat betapa sekali gebrak ia didorong dan dilempar jauh. Namun karena hal itu dianggapnya sebagai hal wajar, ia tak bersiap-siap dan Chi Koan menyerangnya di saat ia menghadapi See-tok dan lain-lain maka kini menyerang pemuda itu ia mengandalkan kecepatan dan pukulannya. Twi-hong-hok-san menyambar sementara tongkat menusuk dengan jurus Hui-tung Sin-hoat. Tongkat itu siap meluncur kalau Chi Koan mengelak. Tongkat ini akan terbang dan memburu lawan. Tapi ketika Chi Koan tidak mengelak dan menerima serangannya, tertawa dan memasang dada dipukul maka Twi-hong-hok-san maupun tongkat menghantam pemuda itu.


“Duk-kraakk!”


Tongkat seketika patah. Sang tosu kaget bukan main dan ketika ia terjelungup ke depan bergeraklah Chi Koan mengangkat tangan kirinya. Tangan itu menampar pundak. Dan karena tak mungkin tosu ini mengelak karena baru saja dia menghantam, posisinya terjelungup dan satu-satunya jalan mengerahkan sinkang bertahan maka.... plak, tosu ini menjerit dan terbanting dengan pundak sengkleh.


"Suheng!"


Kejadian itu mengejutkan semua orang. Sang adik, yang berteriak dan melompat maju tahu- tahu harus menerima suhengnya yang ditendang Chi Koan. Chi Koan telah merobohkan tosu Heng-san itu dengan sekali gebrak dan kini mengangkat kaki menendang tosu itu. Dan ketika tosu ini mencelat dan diterima adiknya, terjengkang dan terlempar pula maka Kho Hwat Tojin pingsan sementara adiknya yang menerima suhengnya itu juga batuk-batuk dan muntah darah.


"Keparat, bocah iblis!" dua tosu yang lain tak dapat menahan diri. Mereka melempar tongkat menyerang dengan Hui-tung Sin-hoat dan tubuh meloncat sambil tangan kiri melepas pukulan Twi-hong-hok-san. Ini seperti yang mereka lakukan kepada See-tok dan kawan- kawannya tadi. Tapi ketika Chi Koan tertawa tenang dan membiarkan tongkat menghantam, patah dan runtuh mengenai tubuhnya maka Twi-hong-hok-san itu diterima telapak kirinya yang mengerahkan Thai-san-ap-ting.


“Dess!”


Dua tosu itu mencelat dan terlempar. Mereka terbanting dan gemparlah murid-murid lain menyaksikan pimpinannya roboh. Segebrakan saja pemuda baju biru itu telah menumbangkan tokoh-tokoh Heng-san. Tapi ketika dua tosu itu dapat bergulingan meloncat bangun dan ini mengagumkan Chi Koan, dulu dia pernah bertanding dan melayani empat tosu ini maka dia tertawa mengejek dan memuji,


“Tosu bau, dulu kalian berempat masih bukan tandinganku. Mundur dan panggillah suhengmu untuk menghadapi aku, atau kalian mampus dan tinggal nama!”


Dua tosu itu marah bukan main. Memang dulu mereka telah bertanding dengan pemuda ini dan hasilnya mereka terdesak. Hanya berkat bantuan Sin Gwan Tojin dan ketua Heng-san mereka selamat. Dan karena kini mereka berada di tempat sendiri dan mereka tak menyangka, bahwa Chi Koan telah menguasai Hok-te Sin-kun, Silat Penakluk Dunia warisan kitab sakti Bu-tek-cin-keng maka mereka berteriak dan maju lagi dengan tongkat lain yang baru. 


Mereka menyambar itu dari tangan murid yang lain dan berkelebat dengan Sin-san-hoan-eng mereka menerjang pemuda itu. Tangan kiri melepas Twi-hong-hok-san sementara tangan kanan mengemudikan tongkat. Hui-tung Sin-hoat sekaligus Twi-hong-hok-san menyambar dari kiri kanan. Dua tosu itu bergabung mengeroyok Chi Koan. Tapi ketika pemuda ini kembali tak mengelak dan tongkat terbang diterima tubuhnya, patah dan terpental maka dia menerima serangan Twi-hong-hok-san dengan Thai-san-ap-tingnya lagi. Kali ini dua tangan Chi Koan bergerak dari bawah ke atas.


"Kalian bandel, kuperingatkan sekali lagi..... dess!"


Dua tosu itu mencelat dan terbanting lagi. Kali ini mereka berteriak dan kaget bahwa untuk kedua kalinya tongkat di tangan patah. Tapi ketika Thai-san-ap-ting menyambut dan menghantam mereka, dua tosu ini mendelik merasa sesak napas maka mereka terlempar dan terbanting lagi dengan keras. Untuk yang ini mereka menggeliat dan sejenak tak mampu melompat bangun, Jin-touw tiba-tiba bersorak. 


Tapi ketika dua orang itu meloncat dan bangun lagi, terhuyung namun mampu menguasai diri maka mereka menerjang dan nekat menubruk lagi. Para murid tiba-tiba bergerak dan mengepung ketat. Suara teriakan dan rasa marah berkumandang. Dan ketika Chi Koan tertawa dingin menyambut lawan, kali ini mendengus dan maju selangkah maka dua orang tosu yang melepas Twi-hong-hok-san dengan dua telapak tangan menghadap ke depan diterima dan ditolak Chi Koan. Pemuda itu mengerahkan Thai-san-ap-ting di tangan kiri sementara tangan kanannya mengerahkan Cui-pek-po-kian (Pukulan Menggempur Tembok).


"Pergilah!”


Bentakan itu disusul jeritan tosu-tosu ini. Tosu di sebelah kiri menerima Thai-san-ap-ting yang bagai gunung menghimpit sementara di sebelah kanan menerima Cui-pek-po-kian. Pukulan Menggempur Tembok ini tak kalah dahsyat dengan Thai-san-ap-ting dan Twi-hong-hok-san membalik dan terpukul mental. Tosu itu kalah kuat dan malah seperti ditabrak, bukan ditabrak barang ringan melainkan tembok dinding yang terbang menyambar.


Tembok baja yang beratnya ribuan kati. Dan ketika ia terlempar dan mencelat ke dalam, sementara saudaranya mendelik dan muntah darah maka tosu kedua yang dihantam Cui-pek-po-kian itu hancur dadanya dan saat itu dari dalam pendopo berkelebat bayangan tinggi kurus berikat kepala putih.


"Siancai, Heng-san kedatangan pemuda iblis. Awas, sute. Lempar tubuh kalian...!”


Namun seruan atau bentakan bayangan itu terlambat. Dia muncul setelah dua tosu ini menyerang Chi Koan. Dan ketika dua tosu itu mencelat dan melayang ke dalam, cepat bagai ditiup angin kencang maka bayangan ini menangkap dua orang itu namun yang seorang sudah tewas dengan tubuh gepeng. Persis tergencet tembok baja.


“Keji, sungguh keji...!"


Para murid tiba-tiba berseru girang. Tosu tinggi kurus ini telah muncul di muka pendopo dan dia adalah Sin Gwan Tojin, wakil atau orang nomor dua di Heng-san. Tosu itu tampak menggigil, menerima dua sutenya namun yang telah tewas diletakkan, sementara yang lain berkedip-kedip namun akhirnya tak sadarkan diri. Kalau ia tidak tewas tentu cacad seumur hidup. Pukulan Thai-san-ap-ting merobah isi dadanya hingga sebuah di antara paru-parunya pecah. Dan ketika tosu itu tertegun sementara anak murid menjatuhkan diri berlutut, kini wakil ketua muncul maka See-tok tertawa bergelak dan tiba-tiba berseru,


“Ha, ini dia orang yang kau cari-cari. Chi Koan, itulah Sin Gwan Tojin. Balas sakit hatimu sekalian sakit hati guru-gurumu ini. Ha-ha...!”


Tosu itu meletakkan sutenya yang luka parah. Ia memandang See-tok dan sekali kakinya menotol tahu-tahu sudah melayang turun, menyambar See-tok dan teman-teman namun akhirnya berhenti di Chi Koan. Wajah tosu ini merah membara. Namun ketika ia tampak heran bahwa See-tok masih hidup, Tujuh Siluman Langit lengkap di situ maka kepada iblis inilah tosu itu berseru,


“See-tok, rupanya kalian belum tewas. Atau nyawa kalian yang barangkali rangkap. Siancai, apa maksud kedatangan kalian, See-tok. Dan kenapa bersama Chi Koan murid Go-bi?”


“Ha-ha, Chi Koan murid kami. Kau salah kalau mengatakan anak ini murid Go-bi, Sin Gwan Tojin. Ia adalah murid kami dan benar murid kami!”


"Anak ini murid Beng Kong Hwesio!"


“Dulu! Sekarang, ha-ha.... dia murid kami, Sin Gwan. Tapi tak usah berdebat karena hari ini ia datang untuk membalas sakit hati!”


“Hm, kau!" tosu itu menghadapi Chi Koan kembali. “Kau masih hidup, Chi Koan? Kau tidak mampus bersama supek kami? Atau nyawamu juga rangkap?”


"Ha-ha!" Chi Koan tak menghiraukan rasa kaget tosu ini bahwa dia juga masih hidup. "Aku manusia bernyawa seribu, Sin Gwan. Mati sekarang besok hidup lagi. Supekmu mampus karena pantas mampus, sudah tua bangkotan. Dan aku datang untuk meminta pertanggungjawabanmu kenapa dulu kau menyiksa aku. Katakan apakah minta mampus atau kau berlutut seribu kali dan Heng-san kalian serahkan kepadaku untuk kupimpin!"


“Hm, dulu dan sekarang sama saja. Kau masih gila. Pinto tak mau banyak cakap denganmu, bocah. Kau berani mati datang ke sini lagi. Sekarang pinto akan menyempurnakan arwahmu agar tidak gentayangan lagi. Dan See-tok, hmm... tunggu giliran!"


Selesai bicara begini tiba-tiba tosu itu bergerak dan langsung mengebut Chi Koan. Ia sudah mengenal pemuda ini dan tahu bahwa Chi Koan pemuda amat berbahaya. Dulu ketika meluruk juga membuat kaget. Anak ini sudah mewarisi ilmu-ilmu Beng Kong Hwesio dan pukulan-pukulan dahsyat Go-bi dipunyai. Tapi karena ia berada di tempat sendiri dan suhengnya juga ada di situ, ia dapat memanggil kalau dirasa berbahaya maka begitu menampar iapun langsung mengeluarkan Lui-yang Sin-kangnya, ilmu yang tak dipelajari sute-sutenya karena hanya dia dan suhengnya Tan Hoo Cinjin yang mempunyai.


"Klap!" Sinar bagai petir itu menyambar. Cahaya putih menyilaukan meluncur bersama hawa panas dan ilmu listrik ini amat berbahaya. Lawan yang tak kuat bakal tertempel dan tersedot darahnya, kering dan akan tewas seperti disambar petir. Tapi ketika Chi Koan mengelak dan tertawa mengejek, dikejar dan mengelak lagi maka pukulan itu menyambar atau menghantam tanah.


“Dar!” Bunga api berpijar dan memuncrat ke udara. Sin Gwan gagal karena Chi Koan melompat mundur, tanah seketika hangus dan berlubang. Percikan api itu membuat See-tok meleletkan lidah. Kalau dia terkena barangkali sudah gosong. Dari pukulan itu saja dia segera tahu bahwa tosu ini dua tingkat di atas sute-sutenya, empat tosu tadi. Namun ketika Chi Koan mundur dan menjauhkan diri maka tosu ini membentak dan menyerang lagi.


“Chi Koan, jangan mundur. Hadapi pinto kalau memang mencari pinto... wut!" 


Chi Koan mengelak dan kembali menghindar, membuat pukulan luput dan sang tosu menjadi marah. Dan ketika tosu ini mengejar lagi dan baru untuk ketiga kalinya Chi Koan menyambut dan tidak menghindar maka Hok-te Sin-kang dikerahkan di sini dan Tenaga Penakluk Dunia itu ditunjukkan.


"Baik, kau menghendaki aku menyambut, Sin Gwan Tojin. Dan jangan kira aku takut. Lihatlah, aku menerima.... dess!”


Ilmu listrik itu bertemu Hok-te Sin-kang, telapak si tosu bertemu jari-jari Chi Koan dan saat itu tenaga panas dari Lui-yang Sin-kang ini menyambar hebat. Biasanya, tak perlu sampai bersentuhan maka angin pukulan itu cukup merobohkan lawan, apalagi kalau jari-jari tosu ini disambut dan mencengkeram lawan, hebatnya tentu saja bukan main. Batupun dapat seketika hangus dan hancur, pecah. 


Tapi ketika dari tangan Chi Koan menyambar tenaga lembut yang menyerap atau menerima pukulan ini, begitu lembut hingga mirip air di sebuah gentong raksasa, atau telaga luas yang menenggelamkan dan menyedot pukulan itu maka Lui-yang Sin-kang tak menyentuh dasar sasaran dan ketika tosu ini terkejut karena pukulannya lenyap, amblas memasuki telaga luas itu maka dia menjadi kaget bukan main ketika mendadak dari telaga luas ini muncul dorongan dahsyat yang membuat pukulannya membalik dan keluar lagi, menghantam dirinya.


"Hok-te Sin-kang!"


Teriakan atau seruan tosu itu dibarengi dengan tarikan tangannya secepat kilat. Ia kaget bukan main karena lawan ternyata memiliki Hok-te Sin-kang, padahal ilmu itu adalah milik Beng Kong Hwesio atau Ji Leng, dedengkot Go-bi. Dan karena dia sudah merasakan kedahsyatan ilmu ini, ia cepat melempar tubuh agar tidak kena serangan membalik maka tembok pendopo menjadi sasaran pukulan membalik tadi.



“Blarr!”


Sang tosu pucat bergulingan melompat bangun. Ia sama sekali tak menyangka bahwa pemuda ini memiliki Hok-te Sin-kang. Ilmu itu adalah warisan dari kitab mujijat Bu-tek-cin-keng yang dahsyat. Siapapun tak bakal melawan! Dan ketika ia gemetar memandang pemuda baju biru itu, pucat menggigil dengan mata terbelalak maka Chi Koan tertawa dan maju melenggang langkah.


“Ha-ha, mari.... mari serang lagi. Aku sekarang menerima pukulan apapun yang kau berikan, Sin Gwan Tojin, dan jangan takut aku mundur. Ayo, majulah, serang lagi!"


"Kau.... kau....” tosu ini tak dapat bicara, menuding. "Kau telah mewarisi kitab Bu-tek-cin-keng? Kau telah menguasai itu dari Ji Leng Hwesio?"


"Ha-ha, Ji Leng Hwesio memang baik kepadaku, Sin Gwan Tojin, tapi ia tua bangka bodoh. Sudahlah, tak usah bicara yang lain dan mari pukul aku lagi. Keluarkan semua ilmumu dan aku tak akan mengelak!"


Tosu ini pucat dan ngeri. Kalau ia menghadapi Hok-te Sin-kun tentu saja semua pukulannya sia-sia. Tokoh-tokoh Heng-san sudah merasakan itu dan hanya Hok-te Sin-kun yang paling ditakuti. Ilmu ini seperti dasar telaga yang dalam. Apapun diterima dan akan ditelan. Dan karena tadi ia sudah membuktikan dan Lui-yang Sin-kangnya amblas ke dalam tubuh lawan, muncul dan mendorong lagi dengan dahsyat untuk memukul dirinya maka tosu ini jadi bingung namun tawa pemuda itu membuatnya gusar. Ia memang jerih namun sebagai tokoh tingkat tinggi tak boleh memperlihatkan rasa takutnya di hadapan banyak orang, apalagi murid-murid sendiri. Maka membentak dan menerjang lagi tiba-tiba iapun melepas tongkat mainkan Tung-hai Sin-hoat.


Silat tongkat terbang yang mendengung dan segera mengelilingi tubuh Chi Koan ini bergerak laksana ular panjang yang naik turun, berseliweran dan menyodok atau menghantam pemuda itu dari delapan penjuru. Dan karena tosu ini selalu mengarah bagian-bagian berbahaya, tongkat itu dikemudikan dengan cepat dan amat lihai maka mata dan telinga atau lubang hidung pemuda ini menjadi sasaran.


“Wut-wut-dess...!”


Chi Koan menangkis dan mengelak serangan- serangan itu. Dia kagum melihat cepatnya tongkat ini menyambar-nyambar namun tentu saja tidak takut atau gentar. Kalau senjata itu adalah tangan atau kaki si tosu tentu akan disambut dan dicengkeram. Tapi senjata ini adalah bagian lain dari tubuh Sin Gwan Tojin, setiap ditangkap tentu melejit dan menyambar naik turun lagi, menyerang bagian belakangnya dan semua mendecak melihat tongkat itu bagai benda bernyawa saja. 


Di tangan wakil ketua Heng-san ini tongkat itu jauh lebih hidup daripada di tangan Kho Hwat Tojin dan tiga saudaranya tadi. Di tangan tosu ini tongkat itu tak mampu ditangkap. Tujuh kali Chi Koan mencengkeram dan menangkap namun selalu luput, tongkat itu bagai memiliki mata dan melejit dan lolos dengan amat licin. Hebat! Dan ketika Chi Koan melindungi dirinya dari sergapan-sergapan berbahaya, sang tosu tak mau diam dan membentak berkelebatan maka di balik Sin-sian-hoan-engnya Sin Gwan Tojin melepas pukulan-pukulan dahsyat dan juga totokan-totokan satu jari.


“Tit-ci-thian-tung (Tuding Jari Langit Timur)...!” See-tok berseru kagum dan ngeri. Tudingan atau totokan-totokan satu jari itu begitu hebatnya hingga baju Chi Koan berlubang-lubang, Chi Koan telah mengerahkan sinkangnya namun baju dan pakaiannya itu yang tak tahan. Ujung jari tosu itu mencicit-cicit. setiap menyambar tentu disertai bunyi “cret” dari pakaian yang robek,


Chi Koan marah. Dan ketika ia membentak dan berkelebat dengan Lui-thian-to-jitnya (Kilat Menyambar Matahari) maka ilmu meringankan tubuh ini menandingi Sin-sian-hoan-eng dan tubuh dua orang itu lenyap berputaran dan saling belit.


See-tok dan kawan-kawan kagum bukan main dan diam-diam mereka berdebar. Chi Koan memang telah memiliki Hok-te Sin-kun namun ternyata si tosu masih dapat menyerang dan membuat kalang-kabut. Kalau bukan Chi Koan tentu roboh. Hebat sekali sute mendiang To Hak Cinjin itu! Namun ketika Chi Koan mulai berkelebatan dengan Lui-thian-to-jitnya, ilmu ini adalah ilmu meringankan tubuh ajaran Beng Kong Hwesio, cepatnya bukan main dan mampu mengimbangi kecepatan ilmu Sin-sian- hoan-eng (Dewa Memutar Bayangan) maka tampaklah bahwa akhirnya Chi Koan tidak kalang-kabut lagi dan tongkat yang menyambar naik turun akhirnya berhasil dihantam dan hancur berkeping-keping.


“Kraakkk!”


Musnahlah sudah tongkat andalan itu. Sin Gwan tampak terhuyung dan tosu itu pucat. Namun ketika ia bergerak kembali dan kini Lui-yang Sin-kang diganti dengan Twi-hong-hok- san, terpental dan diganti lagi dengan Hong-thian-lo-te (Badai Dan Kilat Kacaukan Bumi) maka ia mendesak lagi sementara tangan kanan tetap menuding atau menusuk-nusuk dengan Tit-ci-thian-tung itu.


"Bagus, kau semakin hebat Sin Gwan Tojin. Tapi sayang, kau tak berani lagi menyerangku secara langsung!" 


Chi Koan mengejek. Ia kagum tapi juga gemas kepada tosu ini, mulai mengeluarkan Cui-pek-po-kian dan Thai-san-ap-ting tapi kalau beradu secara berdepan secepat kilat ia mengisi dua pukulannya itu dengan Hok-te Sin-kang. Hanya dengan sinkang mujijat ini ia mempu menandingi lawan, yang lain-lain tak mampu karena Cui-pek-po-kian atau Thai-san-ap-ting akan mental kalau bertemu pukulan tosu ini. Twi-hong-hok-san apalagi Lui-yang Sin-kang jauh lebih hebat daripada yang dimiliki Kho Hwat Tojin berempat, tosu ini menang tenaga. 


Maka ketika hanya dengan Hok-te Sin-kang itu ia mampu mendesalk lawan, Sin Gwan selalu menarik atau melempar tubuh dengan cepat maka Chi Koan gemas karena ia seakan kucing yang menyergap tikus gesit, gesit dan cerdik! Pertandingan berjalan sengit dan pemuda itu mulai marah. Ia ingin merobohkan tosu ini. Maka ketika ia membentak dan mempercepat gerakannya, Lui-thian-to-jit dikerahkan segenap tenaga hingga Sin-sian-hoan-eng kewalahan, tosu itu juga menambah tenaga agar mampu mengimbangi maka perlahan tetapi pasti Sin Gwan Tojin mandi keringat dan memburu napasnya. Tokoh tua itu kalah dengan yang muda.


"Ha-ha, lihat, Sin Gwan Tojin. Sebentar lagi kau roboh dan Hok-te Sin-kangku akan menghantammu!"


"Pinto boleh mampus. Selembar nyawa pinto siapkan untuk membela Heng-san, bocah iblis. Tapi jangan harap kau dapat menghina pinto atau mempermainkan pinto di kala masih hidup. Kau dapat membunuh tak dapat menyuruh si tua ini menyerah!"


“Hm, kau nengagumkan. Sayang kau telah menentukan takdirmu sendiri, Sin Gwan Tojin. Dan memang kalau kau tidak mau bertekuk lutut maka ganjaranmu adalah mati!”


"Tak usah banyak cakap. Serang dan robohkan pinto!" lalu melengking mengimbangi Lui- thian-to-jit tosu itu tiba-tiba berteriak kepada anak murid, "Hei, kalian! Ada apa menonton saja. Serang dan bunuh Tujuh Siluman Langit itu. Bocah ini pinto tahan!”


Anak-anak murid tiba-tiba sadar. Mereka tiba- tiba bergerak dan terkejutlah See-tok dan kawan-kawan ketika puluhan tosu menyerang. Pedang dan tongkat menyambar mengikuti perintah. Dan ketika semua bersorak dan See- tok maupun kawan-kawannya meloncat, dikejar dan meloncat lagi akhirnya Tujuh Siluman Langit itu gusar.


“Kwi-bo, rupanya kita harus membunuh tikus-tikus busuk ini. Hajar mereka!"


“Benar, dan biar mereka menari-nari bersamaku, See-tok. Hi-hiik, aku akan bergoyang dan membawa mereka ke alam maut!”


Kwi-bo dan See-tok sudah bergerak. Raksasa itu kehilangan senjatanya tapi dengan kepalannya yang besar ia mengganti bandul tengkoraknya itu. Raksasa ini mengayun dan menderulah sepasang kepalannya itu. Dan ketika Kwi-bo juga meledakkan sisa rambut sementara Tong-si dan lain-lain berseru menyambut, mereka menyambar apa saja untuk senjata maka Jin-mo merunduk dan meraup patahan-patahan tongkat di tanah, mengikatnya menjadi satu dan berkelebat dengan joan-pian atau tongkat-potong yang aneh itu.


"Chi Koan, robohkan lawanmu secepatnya. Mereka ini bukan anak-anak murid biasa karena mampu mendesak kami!"


“Benar, dan bantu kalau kami kewalahan, Chi Koan. Jumlah mereka ini banyak!”


"Dan Tan Hoo Cinjin masih belum keluar. Aihh..., jangan-jangan kita harus lari terbirit- birit!"


Jin-touw dan Jin-mo saling berteriak kepada Chi Koan. Mereka sudah diserang dan dikeroyok puluhan tosu di mana jumlah mereka tiba-tiba bertambah. Sekejap yang lain bergerak dan ratusan orang sudah membentak. Dan ketika Coa-ong mengkhawatirkan ketua Heng-san, yang belum keluar dan merupakan ancaman lain maka tujuh orang sesat itu berkelebatan dan anak-anak murid menyerbu beringas.


Chi Koan mengerutkan kening dan sadar. Ia akan merobohkan tosu ini namun si tosu yang ulet dan cerdik mampu berbuat tepat. Anak- anak murid disuruh mengeroyok Kwi-bo sementara dirinya ditahan di situ. Dan ketika ia menjadi marah dan merubah gerakannya, kini berjongkok dan menerima bayangan tosu itu maka Sin Gwan terkejut karena Thai-san-ap-ting maupun Cui-pek-po-kian ditarik, sebagai gantinya adalah siapnya pukulan Hok-te Sin-kun yang amat dahsyat itu.


"Sin Gwan, terimalah kematianmu!”


Tosu ini terhenyak dan menghentikan gerakannya pula. Ia pucat melihat lawan merendahkan tubuh dan saat itu seluruh tubuh bergetar hebat. Chi koan mengerahkan Hok-te Sin-kunnya ke sepasang telapak tangan dan siap mendorong. Dan ketika pemuda itu benar saja melepas serangan sambil menggetarkan puncak, ia berkelit namun dari kiri kanan dan belakang tiba-tiba menyambar angin hebat yang membuatnya tak mampu meloncat maka tosu itu berteriak keras dan apa boleh buat menerima Hok-te Sin-kun. Wajahnya pucat pasi. Chi Koan telah mengurungnya dengan pukulan amat hebat itu!


"Suheng, tolong....!”


Para murid menoleh. Mereka terkejut oleh teriakan ini dan sejenak yang lain-lain menengok. Itu adalah puncak dari pertandingan dua orang ini di mana Chi Koan tak mau berlama-lama lagi. Dia mengerahkan Hok-te Sin-kunnya hingga dari delapan penjuru menyambar angin hebat itu. Lawan yang hendak meloncat sudah tak keburu. Dari belakang dan kiri kanan menghadang angin pukulan itu. Sang tosu dipaksa untuk berdepan dan menerima. Dan karena hal ini yang paling ditakuti, Sin Gwan berteriak gentar maka murid-murid sama menengok dan Tujuh Siluman Langit juga menoleh. Dan saat itu dari dalam pendopo berkelebat sesosok bayangan putih disertai kain lebar, kain hitam, pekat yang menyambar muka Chi Koan.


"Sute, pinto datang membantu!"


Chi Koan terkejut. Ia sedang hebat-hebatnya menghantam dengan Hok-te Sin-kun ketika mendadak sebuah kain lebar menyambar mukanya. Hal ini membuat pandangannya tertutup dan otomatis konsentrasi pukulan juga pecah. Dan ketika ia membentak dan kain hitam itu menyambar mukanya, pukulan menjadi kacau maka Sin Gwan terlempar dan tosu itu mencelat disambar bayangan ini.


"Dess!”


Kejadiannya hampir sama dengan ketika wakil Heng-san itu menerima dua sutenya. Kali ini tubuh Sin Gwan Tojin ditangkap seorang tosu bermuka merah yang bukan lain adalah Tan Hoo Cinjin, ketua! Dan karena Hok-te Sin-kun kacau pemusatannya dan tentu saja tidak sehebat tadi, kain hitam itu menutup pandang mata Chi Koan maka Sin Gwan Tojin selamat tapi tosu itu sesak napasnya. Sang suheng telah melepasnya sementara Chi Koan mendelik di sana. Kain itu akhirnya robek dan memberebet. Barang lemas tak dapat dipukul hancur.


"Keparat!" pemuda itu berseru. "Kau muncul juga, Tan Hoo Cinjin. Bagus, tapi kenapa baru sekarang?"


"Siancai, pinto sedang samadhi. Urusan biasanya diselesaikan sute pinto ini, Chi Koan. Baru kalau sute pinto tak mampu maka pinto sendiri turun tangan. Hebat, kau telah mewarisi Hok-te Sin-kun!"


"Hm kau tahu. Bagus! Tapi apakah kau tahu apa maksudku datang ke mari?"


“Tentu untuk membalas dendam. Pinto tak perlu bertanya lagi, anak muda. Tapi bagaimana kau masih hidup dan bagaimana Kwi-bo dan kawan-kawannya ini juga belum mampus? Pinto heran!”


"Ha-ha, kau ingin tahu? Karena akulah yang menolong mereka. Dewa Maut takut kepadaku, dan sekarang aku menggantikan Dewa Maut untuk membumihanguskan Heng-san, kecuali menyerah dan kalian tunduk kepadaku!"


"Siancai, anak seperti ini mau menghancurkan Heng-san? Kau dapat membunuh pinto atau siapapun juga, Chi Koan, tapi Heng-san muncul lagi dan akan tetap ada, di bawah pimpinan generasi lain. Kau sombong dan pongah. Pinto yag akan menghajarmu dan biarpun kau memiliki Hok-te Sin-kun pinto tak takut!”


Dan si ketua yang tiba-tiba membentak dan berkelebat ke depan sekonyong-konyong sudah menyerang dengan tongkatnya. Tongkat di tangan ketua ini adalah tongkat pusaka dan terbuat dari bahan pilihan, dilapis baja dan Tan Hoo Cinjin sudah melempar sebuah tongkat lain untuk sutenya, juga tongkat pilihan berkepala naga. Dan ketika tosu itu bergerak sementara Sin Gwan bangkit semangatnya, sang suheng tak takut meskipun lawan memiliki Hok-te Sin-kun maka iapun berseru keras dan menerjang membantu suhengnya itu. Tapi sang suheng mencegah.


“Sute, aku masih sanggup menghadapi anak muda ini. Hajar dan bunuh Tujuh Siluman Langit itu!”


Kwi-bo dan yang lain-lain kaget. Mereka tiba- tiba melihat tosu itu membalik dan berjungkir ballk menyerang mereka. Seruan ketua memang benar. Dan ketika tosu itu meluncur turun dan tongkat di tangan melesat terbang, Kwi-bo terpekik maka dialah orang pertama yang terjungkal dan menjerit.


"Aduh!”


See-tok dan lain-lain pucat. Kwi-bo bergulingan meloncat bangun tapi jatuh lagi, bangun dan jatuh lagi dan baru pada loncatan keempat mampu melompat bangun. Itupun terhuyung-huyung! Dan ketika semua terkejut karena itu bukti betapa hebatnya tongkat, senjata itu mampu mengejar dan membuat mereka jatuh bangun maka belum apa-apa See-tok dan lain-lain berlarian mundur, turun gunung!


“Kwi-bo, lari. Tosu itu mengamuk!"


“Benar, dan aku menjagamu, Kwi-bo. Marilah, Hui-tung Sin-hoat akan mencari sasaran lagi!" Jin-touw, si tukang kayu menyambar dan menarik lengan si cantik ini. See-tok yang berteriak tapi dia yang menolong Kwi-bo, merayu dan tanganpun mengusap pinggul wanita itu. Dan ketika si cantik ngeri namun Jin-touw tersenyum-senyum, jarinya nakal mengusap sana-sini lagi maka Kwi-bo membentak dan melepaskan dirinya dari si kurang ajar itu.


“Jin-touw, jangan main-main. Tak usah grathilan (gerayangan)!"


“Eh, aku menolongmu bangun, Kwi-bo. Aku mengajakmu lari, menyelamatkan diri. Ayo, See-tok dan lain-lain kabur!” bicara begini jari si iblis mencolek dada Kwi-bo. 


Kalau saja keadaan tidak seperti itu tentu Kwi-bo akan menampar dan menghajar laki-laki ini. Tapi karena tongkat terbang beterbangan mengaung-aung, Jin-touw benar maka Kwi-bo tak menghiraukan lagi dan akhirnya membiarkan saja jari-jari kurang ajar itu merayap ke mana mana. Mereka turun gunung dan lupa kepada Chi Koan! Tapi ketika mereka sudah menjauhi puncak dan Jin-touw mengajak masuk ke semak-semak maka lelaki ini mendekap Kwi-bo dan langsung tanpa banyak cingcong lagi ia mencium dan mengajak bergulingan!


"Keparat!" Kwi-bo marah dan sadar. “Kau laki- laki kurang ajar, Jin-touw, tak tahu malu. Lepaskan!"


Namun laki-laki ini mengejar dan memeluk lagi. Ia terkekeh-kekeh dan jelas terangsang birahinya. Jin-touw tak menghiraukan di mana mereka tinggal. Entah di semak atau di lautan api. Tapi ketika Kwi-bo menendang dan meronta lagi, mencakar maka barulah iblis ini melepaskan lawannya sementara pakaian Kwi-bo sudah tidak keruan.


“Heh-heh.... kau, ah... kau cantik dan molek sekali, Kwi-bo.


Jangan marah karena ingat aku yang menyelamatkanmu. Aku.....

aku cinta padamu!"


"Keparat, tua bangka keparat! Kau tak tahu malu, Jin-touw, tak tahu diri! Lihat mukamu yang buruk itu. Lihat tanganmu yang kasar dan najis. Jangan sentuh aku atau nanti kubunuh!"


"Tapi aku ingin menagih hutang..." 


"Hutang? Hutang apa?"


"Aku menolongmu, Kwi-bo. Kau kuselamatkan dari serangan Sin Gwan Tojin. Biasanya kau membayar budi dengan cinta. Kau.... dess!" Jin-touw berteriak dan terlempar. 


Sebuah tinju menghantam punggungnya dan See-tok yang ada di situ tiba-tiba menggeram. Raksasa itu membentak dan memaki rekannya ini. Dari dulu mereka berdua memang ribut memperebutkan si cantik ini. Tapi ketika dari empat penjuru muncul empat teman mereka yang lain dan Coa-ong serta Kwi-bun membentak ramai-ramai itu, Jin-touw sadar maka pertikaian dilerai dan Coa-ong memaki mereka.


“Bodoh, si otak udang! He, kalian jangan gila berebut di sini, See-tok. Kita harus ingat murid kita Chi Koan. Bagaimana dia dan apakah kita terus lari!"


Kwi-bo dan lain-lain terkejut. Mereka segera sadar bahwa mereka meninggalkan Chi Koan. Pemuda itu seorang diri menghadapi musuh. Puluhan atau ratusan murid Heng-san akan mengeroyok. Dan karena di sana masih ada Sin Gwan Tojin dan suhengnya, Tan Hoo Cinjin yang lihai maka serentak mereka melupakan pertikaian dan kembali ke puncak. Namun di belakang tiba-tiba terdengar seruan, bengis,


“See-tok, kalian masih di sini? Bagus, aku mengejar dan mencari-cari kalian. Mampuslah.... des-dess!” 


See-tok dan Jin-touw terpelanting. Sin Gwan, tosu hebat itu tahu-tahu muncul di belakang dan tongkat terbangnya menyambar lawan. Dua orang ini berteriak dan See-tok maupun Jin-touw terguling-guling. Kepala mereka benjol sebesar telur angsa. Dan ketika keduanya melompat bangun dan dari atas gunung terdengar teriakan-teriakan maka puluhan murid meluruk dan Sin Gwan sudah menghadapi lima dari Tujuh Siluman Langit yang lain.


“Dan kau, kau juga harus dihajar. Kau mengacau dan merusak rumah orang, Coa-ong. Pinto ingin membunuhmu dan terimalah ini.... des-plak!" si Raja Ular menjerit dan terjengkang.


Tongkat menyambar lagi dan kali ini menghantam Kwi-bun. Dan ketika dua kakek itu mengeluh dan ngeri maka keduanya melempar tubuh ke bawah dan.... kabur, lari lintang-pukang. Tak ingat Chi Koan lagi.


“Aduh, tobat, tosu bau.... tobaat. Kau jahanam keparat!"


“Dan kau kudoakan ketemu setan Aduh, kau membuat benjol kepalaku, Sin Gwan Tojin. Kau tosu tengik!”


Tujuh iblis itu lintang-pukang. Mereka menjerit-jerit namun si tosu mengejar dan anak-anak murid sudah muncul dari mana-mana. Kiranya tosu ini tak membiarkan lawan- lawannya itu lari dan kembali tongkat terbangnya mendahului. Dan ketika Tong-si berteriak dan terjengkang, disusul Jin-mo maka Tujuh Siluman Langit itu jatuh bangun dan pucat pasi...


Prahara Di Gurun Gobi Jilid 25

Praha Di Gurun Gobi Jilid 24

Cerita Silat Mandarin Serial Prahara Di Gurun Gobi Karya Batara

“WANITA iblis, kau Tong-si atau bukan kami tak takut. Kau telah memasuki wilayah Heng- san, tanpa ijin. Menyerahlah atau kau mampus... duk-plak!" 


Tong-si menangkis dan untuk kedua kalinya terkejut. Ia terpental sementara dua orang itu terhuyung mundur. Dan ketika lima bayangan berkelebat datang dan itulah murid-murid yang lain, dua tosu ini menerjang lagi maka Tong-si sudah dikepung dan tujuh murid Heng-san itu mencabut senjata.


"Siapa dia? Siapa siluman betina ini?"


“Entahlah, kami tak tahu, suheng. Tapi katanya Tong-si!”


“Tong-si? Tak mungkin. Iblis itu tewas bersama teman-temannya. Tujuh Siluman Langit telah binasa!"


“Tapi dia mengaku sebagai Tong-si, suheng. Dan kepandaiannya tinggi...... des-dess!" dua pertemuan tenaga kembali mengguncangkan tempat itu dan Tong-si kali ini membuat dua lawannya terpental. Wanita itu menambah tenaganya hingga lawan berteriak. Tapi karena wanita itu juga terlempar berjungkir balik, kemarahannya meledak maka lima murid yang lain itu membentaknya dan pedang serta pukulan tangan kiri mereka membuat wanita iblis ini naik darah.


“Serang dia, tangkap!”


Tong-si melengking. Setelah dia menghadapi murid-murid lebih lihai maka percayalah dia bahwa perguruan Heng-san telah semakin kuat. Anak-anak murid yang dihadapinya ini bukan tokoh-tokoh Heng-san karena tak satupun ia kenal. Maka membentak dan menyambut lima orang itu, dua yang pertama sudah turun dan menyerangnya pula maka Tong-si mencabut tusuk konde dan sambil menerjang dan menangkis murid-murid itu ia melengking dan kalap.


"Kubunuh kalian.... trik-cringg!"


Tong-si tersentak dan terpental senjatanya. Tusuk konde bertemu pedang di tangan tujuh lawannya dan bukan lawan yang terpental melainkan dirinya. Padahal mereka hanya murid-murid Heng-san, bukan tokoh! Dan ketika wanita itu melengking dan menjadi gusar, ia benar-benar membuktikan omongan Chi Koan maka tujuh murid itu sudah mendesaknya dan wanita ini hanya dapat mengelak dan berlompatan tak mampu membalas.


“Terkutuk, jahanam keparat! Bocah-bocah kurang ajar!”


Wanita itu melengking dan berkelebatan ke sana ke mari. Ia telah mengerahkan tenaganya namun benturan di antara dia dengan anak-anak murid Heng-san itu selalu membuat ia terpental. Dan ketika semua berseru mempercepat gerakan, Sin-sian-hoan-eng dipertunjukkan anak-anak murid itu maka bayangan Tong-si dikurung dan tetap berada di tengah-tengah, tak mampu keluar. Menjeritlah wanita ini oleh gentar. 


Tiba-tiba dia menjadi pucat apakah harus roboh di tangan murid-murid Heng-san. Bukankah dia yang sepatutnya menghajar dan merobohkan anak-anak murid ini. Dan ketika setiap benturan tentu membuat telapaknya pedas dan tergetar, tak ada lagi waktu untuk membalas maka wanita ini bersuit dan belasan jarum hitam tiba-tiba dilepaskan dari tangannya. Ia terkurung dan harus melepaskan diri.


“Wut-wut-wutt!”


Murid-murid Heng-san rupanya tahu bahaya. Mereka berseru satu sama lain dan pedang diputar menangkis. Jarum-jarum runtuh dan patah. Tong-si menyelinap dan lolos dengan cepat. Dan ketika lawan membentak namun saat itu sesosok bayangan hitam berkelebat, sepuluh kuku menyambar anak-anak murid ini maka Kwi-bun, sang suami muncul dan membantu isterinya. Suitan tadi ternyata seruan minta tolong.


"Tong-si, ada apa memanggilku? Bukankah yang kau hadapi hanyalah keroco-keroco..... trik-trikk!”


Kwi-bun menahan kata-katanya dan kaget sendiri. Ia mendengar panggilan sang isteri ini dan berkelebat turun, tadi sudah di atas. Dan ketika ia belum mendapat jawab namun langsung bertemu tujuh batang pedang, ia menusuk namun sepuluh kuku beracunnya itu ditangkis tepat maka ia terhuyung sementara sang isteri tertawa mengejek dan anak-anak murid terbelalak. Kaget karena seorang iblis muncul lagi.


“Dia..... dia Kwi-bun. Benar, ini orang-orang Tujuh Siluman Langit!" murid tertua, yang berbaju kuning tiba-tiba berseru dan menuding. Dia kebetulan mengenal si Pintu Setan itu dan menuding. Sekarang ia yakin bahwa yang tadi adalah Tong-si. Dan ketika Kwi-bun terbelalak tapi sudah diterjang pedang, semua bergerak dan menyerangnya maka Tong-si terkekeh namun tak dapat tinggal diam karena iapun ditusuk dan diserang.


“Tong-si, kiranya benar kau adalah wanita Tujuh Siluman Langit. Mampuslah, ada apa datang ke Heng-san?”


Suami isteri itu dikeroyok. Sekarang Kwi-bun tak dapat mengejek isterinya karena pedang dan pukulan sambar-menyambar. Anak-anak murid juga mengerahkan Sin-sian-hoan-eng. Dan ketika ilmu meringankan tubuh itu membuat si Pintu Setan terbelalak, tentu saja mengenal warisan Siang Kek Cinjin ini maka dia membentak dan mengetrikkan kuku-kuku jarinya menangkis, berkelebat dan mengelak atau menghalau serangan-serangan lawan. Namun ketika lawan mengejar dan tosu baju kuning itu paling lihai, tenaganya paling besar dan kecepatannya juga paling tinggi maka Kwi- bun tak dapat lolos karena sudah dikurung oleh lingkaran pedang lebar berikut pukulan- pukulan menderu.


“Twi-hong-hok-san (Dorong Angin Robohkan Gunung)!" si iblis pria berteriak dan kaget. Ia mengenal ilmu ini sebagai milik tokoh-tokoh Heng-san namun kini para muridnya juga mempelajari. Hebatnya juga bukan main karena dengan kibasan atau dorongan itu ujung bajunya berkibar-kibar dan seakan hendak menerbangkannya! Dan ketika murid- murid Heng-san tertawa dan masing-masing silih berganti menyerangnya, tak ada ampun untuk mengambil napas maka Tong-si di sana juga berteriak dan melepas lagi jarum-jarum beracunnya.


"Keparat, kita bunuh mereka ini, Kwi-bun. Hajar dan bunuh mereka..... wut-wut!” jarum-jarum dilepas kalap. Belasan sinar hitam itu berhamburan namun anak-anak murid ternyata lihai. Mereka menangkis dan memutar pedangnya. Dan ketiĆ­ka Tong-si terbelalak sementara dari bawah dan atas gunung berkelebatan murid-murid yang lain maka Kwi-bun tak melihat untungnya lagi. Bahaya mengancam mereka.


"Tong-si, keluar. Kita bergabung dengan teman-teman!"


"Benar, dan secepatnya kita ke atas, Kwi-bun. Temui para pimpinannya tapi bunuh atau robohkan dulu seorang dua!"


Suami isteri itu berseru berbareng. Mereka melengking dan tiba-tiba beradu punggung. Dan ketika tujuh anak murid menyerang dari tujuh penjuru maka hampir serentak mereka berdua menyalurkan tenaga dan menggabung ilmu mereka.


“Trik-des-dess!"


Kuku dan tusuk konde menghalau. Kini keduanya menggabung kekuatan dan baru dengan cara ini dua murid terlempar. Tosu baju kuning terpelanting. Ternyata dua iblis betina dan wanita itu mengeluarkan ilmu khusus mereka, yang satu menangkis sementara yang lain menyerang. Dan ketika dua dari tujuh pengeroyok roboh, mereka kalah pengalaman oleh dua iblis ini maka Kwi-bun meloncat dan terbang ke atas tak mau melayani murid-murid lagi, dari mana-mana sudah muncul anak-anak Heng-san yang lain.


"Tong-si, pergi. Kita bergabung di atas!”


Wanita itu mengangguk. Sekarang ia telah merasakan lihainya murid-murid Heng-san ini. Perguruan itu telah menjadi perguruan yang bebat di mana murid-muridnya saja telah mampu menandingi. Tokoh-tokohnya tentu lebih hebat lagi. Dan ketika ia melengking dan berjungkir balik meluncur ke atas, beberapa anak murid dilampaui dan Tong-si melepas jarum-jarum beracunnya, ada yang terkena dan menjerit maka Kwi-bun sudah terbang lebih dulu dan bersamaan itu tiba-tiba dari puncak terdengar genta dan bunyi tanda bahaya.


“Tang-tang-tang...!”


Anak murid gempar. Sekarang seisi gunung hiruk-pikuk dan bunyi genta yang berdentang-dentang menghentak semua penghuni. Kwi- bun dan isterinya susul-menyusul berkelebat ke puncak. Namun ketika di leher gunung mereka bertemu murid-murid lebih tinggi dan itu adalah murid-murid kepala para pimpinan maka Tong-si maupun suaminya terhalang lagi.


"Tong-si, Kwi-bun! Kalian pengacau-pengacau busuk. Berhenti, kalian kami tangkap atau mampus.... sing-bret!" dua pedang menyambar dari kiri kanan dengan amat cepatnya. Dua murid kepala bertemu suami isteri ini dan Kwi-bun maupun Tong-si mengelak. Namun ketika pedang mengejar dan mereka tetap menerima serangan, apa boleh buat menangkis dan membalik maka baju Kwi- bun memberebet sementara isterinya menjerit kecil karena hampir saja ujung bajunya dibabat.


"Keparat, robohkan dulu mereka ini, Kwi-bun. Bunuh mereka!”


“Hm!" Kwi-bun mendengus, diam-diam terkesiap. "Gampang omong tak gampang dilaksanakan, Tong-si. Kita ke puncak dan harus cepat-cepat bergabung dengan kawan- kawan. Dua orang ini cukup lihai dan menghambat perjalanan saja!"


"Kalau begitu biar kusambar dengan ini. Lari, kita ke atas!" jarum-jarum hitam kembali dilepas. Tong-si marah namun suaminya mengangguk.


Kwi-bun juga mengetrikkan kuku-kuku jarinya dan entah dari mana tiba- tiba menyambar pula jarum-jarum hitam. Itu meluncur dari ujung kukunya yang melengkung ke dalam, kalau dibuka atau dijentikkan keluarlah benda-benda berbahaya itu. Dan ketika dua murid itu menangkis dan mereka tidak mempergunakan pedang melainkan dorongan telapak tangan yang menghembuskan Twi-hong-hok-san maka Kwi-bun pucat karena melihat betapa lihainya murid-murid kepala ini.


"Plak-plak-plak!"


Semua jarum runtuh namun Kwi-bun sudah berkelebat naik. Tong-si sudah mendahuluinya dan setiap bertemu murid baru tentu jarum-jarum itulah yang bekerja. Mereka tak mau dihalangi. Dan ketika di atas terdengar suara bergelak dan itulah tawa See-tok, juga kekeh dan seruan genit Kwi-bo ternyata di sini laki perempuan itu telah mengamuk. Kwi-bun kebetulan datang tepat waktunya.


"Ha-ha, lihat. Ini makanan-makanan empuk kita, Kwi-bo. Mana tokoh-tokoh Heng-san kalau tak ingin murid-muridnya mampus.... wherr-plakk!" bandul tengkorak di tangan See-tok bekerja dengan amat jahatnya. 


Bandul itu menderu dan ketika luput mengenai lawan menghajar tanah sampai amblong. Tengkorak meledak namun See-tok sudah menyerang lagi. Di halaman kuil dia mengamuk. Dan ketika Kwi-bo juga terkekeh sementara Kwi-bun heran mana tiga temannya yang lain, Coa-ong maupun Jin-touw dan Jin-mo maka di sebelah kiri terdengar geraman-geraman dan Jin-mo tampak meloncat-loncat menghadapi keroyokan belasan murid Heng-san. Tongkat bambunya yang panjang itu bersiutan mengemplang dan menyodok.


"Heh, mundur. Aku mencari pimpinan Heng- san atau kalian mampus.... des-dess!" tongkat menghantam dan menghajar tanah.


Hantu Langit atau Jin-mo telah muncul dan dikerubut di sana tapi tongkat di tangannya tak pernah mendapatkan korban. Ia menggeram-geram. Dan ketika ia membentak dan seorang murid menangkis maka terhuyunglah kakek itu sementara si murid hanya tergetar dan terdorong sedikit.


"Heh-heh," Kwi-bun tak dapat menahan geli. "Jangan pandang rendah murid-murid ini, Jin-mo. Mereka hebat-hebat dan benar bahwa kita harus berhati-hati!”


"Keparat, kau membantu musuh? Eh, kita datang bukan untuk menonton, Kwi-bun. Bantu dan hajar mereka ini!"


"Aku sudah merasakan di bawah, dan kau.... singg!" pedang seorang murid membacok dari belakang. Kwi-bun terkejut dan meloncat ke kiri dan Jin-mo ganti terkekeh. Ia melihat rekannya itu kaget menghentikan kata-katanya. Dan ketika di sana Jin-touw juga berteriak dan mengayun kapaknya, ditangkis dan terpental maka Coa-ong juga mengumpat caci dikerubut lima murid yang mengurung ketat. Pedang dan tangan kiri menyambar-nyambar.


“Eh-eh, jangan banyak cakap. Kita bukan saling menonton. Bunuh dan sikat mereka ini.... krek-pletak!" tongkat di tangan


Coa-ong malah patah, membuat si Raja Ular memekik dan melompatlah dia mengelak dari hujan tusukan lawan. Lima murid itu ternyata mendesaknya. Tong-si ganti tertawa. Tapi ketika wanita perunggu itu ditusuk seseorang dan berjengit dengan kaget, berteriak dan membalikkan tubuh maka ia harus menangkis serangan berikut yang membuat Coa-ong terkekeh-kekeh.


See-tok dan lain-lain terbahak. Kwi-bun, sang suami, juga tertawa. Tapi ketika Tong-si membentak dan iblis pria itu terdiam maka Kwi-bo melengking-lengking menjeletarkan rambutnya. Beberapa bayangan dari dalam kuil mulai berkelebatan, tampaknya para pimpinan.


"Heii, tak usah saling mentertawai. Jaga diri baik-baik, kawan. Para pimpinan rupanya datang dan kita bergabung satukan tenaga... wirr-plakk!" rambut wanita ini menjeletar dan menukik ke seorang murid, kena dan murid itu terpelanting tapi bergulingan meloncat bangun. 


Tosu muda ini tak apa-apa. Dan ketika Kwi-bo terkejut karena masing-masing sudah merasakan buah pahit, apa yang diceritakan Chi Koan benar maka bayangan dari dalam kuil sudah tiba di luar dan terdengar bentakan perlahan namun yang membuat jantung semua orang tergetar dan seakan dipukul palu godam.


"Berhenti. Semua mundur dan jangan menyerang!"


Empat orang berdiri di halaman dengan wajah bengis. Mereka inilah bayangan-bayangan dari dalam dan kini ada di luar. Kwi-bo berjungkir bailk melayang turun, baru saja menghajar dan menangkis serangan lawan. Dan ketika ia melihat tosu-tosu itu amat berpengaruh bagi para murid, masing-masing berikat kepala merah dan kuning maka dia yang tidak mengenal namun kaget oleh suara bentakan tadi membelalakkan mata. Empat tosu ini memegang tongkat dan sikap mereka amat berwibawa, pandang mata setajam elang.


"Hm, Tujuh Siluman Langit kiranya. Kwi-bo dan See-tok! Bagus, kalian berkumpul dan ternyata masih hidup, Kwi-bo. Tapi ada apa mengacau Heng-san? Apakah kalian bernyawa rangkap dan kini ingin benar-benar mampus?"


“Ha-ha, kau siapa?" See-tok tertawa bergelak dan mendahului, berkelebat maju. "Mana Sin Gwan Tojin dan Tan Hoo Cinjin. Kenapa tidak keluar!"


“Benar, mana pimpinan Heng-san?" Tong-si juga melengking dan meloncat maju, tidak mengenal empat tosu ini. "Kalian siapa, tosu- tosu busuk. Dan kenapa berani berlagak serta menghina kami. Ayo sebutkan namamu!”


“Hm, ini Tong-si," tosu berikat kepala merah menjengek, dia berdiri di sebelah kiri tosu yang bicara memimpin. "Agaknya Tujuh Siluman Langit benar-benar masih hidup, suheng. Dan kesempatan bagi kita untuk membasminya sampai tuntas!"


“Diamlah," sang suheng mengebutkan lengan, tetap ingin memimpin. "Kita hadapi iblis-iblis ini, Tek-sute, dan dengarkan dulu apa katanya sebelum kita binasakan!"


“Hi-hik, kau siapa?" Kwi-bo berkelebat dan tak mau kalah. "Memangnya kau tokoh Heng-san hingga pantas bicara dengan kami? Minggir kalau belum punya kedudukan, tosu tengik. Atau kulempar kau menghadap arwah Siang Kek Cinjin!"


Kwi-bo mengibas dan rambut harumnya meledak dengan amat cepat. Ia dekat sekali dengan tosu ini dan serangannyapun jelas dan terarah. Tapi ketika tosu itu mengangkat tangan kirinya dan rambut terpental balik, melecut dan membuat Kwi-bo terpekik maka wanita itu melempar tubuh bergulingan dan sebagian rambutnya berodol.


"Plak!”


Kejadian itu mengejutkan sekali. Kwi-bo melengking bangun dan See-tok serta yang lain-lain terbelalak. Mereka tak tahu bahwa ini adalah sute-sute dari ketua Heng-san, adik dari Sin Gwan Tojin dan merupakan tokoh nomor tiga di Heng-san. Maka ketika tosu itu tertawa dingin dan pukulan tangannya tadi mementalkan rambut, bahkan nyaris menghantam Kwi-bo sendiri maka berkatalah dia dengan sikap mengejek,


“Kwi-bo, lain dulu lain sekarang. Pinto adalah Kho Hwat Tojin, sute dari Sin Gwan Tojin. Kalau kau menganggap pinto tak punya kedudukan maka kau salah. Ketahuilah, pinto berempat wakil-wakil nomor dua dan tokoh ketiga di sini. Sekarang buka matamu dan telinga baik-baik!"


Kwi-bo terbelalak dan merah padam. Ia dikibas telapak tangan yang mengandung pukulan Twi- hong-hok-san dan pukulan atau kibasan tosu ini lain daripada yang lain, amat hebat dan jauh di atas murid-murid Heng-san. Dan ketika tosu itu menyebut namanya dan otomatis dia ingat, dulu tosu ini adalah orang-orang tingkat empat sebelum mendiang To Hak Cinjin maka dia terkejut namun kemarahannya diganti tawa kekeh dibarengi goyangan pinggulnya. Thian- mo-bu atau Tarian Hantu Langit tiba-tiba siap dikeluarkan. Kwi-bo akan mempesona lawan dengan bentuk tubuhnya yang menggairahkan, tari telanjang!


"Hi-hik, begitukah? Bagus. Kiranya anak-anak kemarin sore sudah naik tingkat semua, Kho Hwat totiang, dan kau memang hebat. Aduh, tapi kau kejam membanting aku. Apakah kau tak kasihan dan iba kepadaku. Wanita harusnya disayang, Kho Hwat totiang, bukan dipukul atau dibanting. Ih, kau nakal!" lalu mengedut atau melempar pinggulnya sedemikian rupa tiba-tiba seluruh pakaian Kwi-bo lepas. Lalu, ketika semua murid terbeliak dan berseru tertahan maka Kwi-bo terkekeh dan maju dengan cepat memeluk tosu ini. Gerakannya demikian aduhai dan tidak malu- malu lagi!


Kho Hwat Tojin berdesir. Tadi ia tertawa mengejek melihat Kwi-bo dikibasnya roboh. Ia memang ingin memberi pelajaran sekaligus pemberitahuan bahwa dirinya bukan orang kelas kambing. Dulu mungkin ia gentar dan pucat menghadapi Tujuh Siluman Langit ini, termasuk Kwi-bo. Tapi karena sekarang ia telah gemblengan langsung dari mendiang sesepuhnya, hanya Tit-ci-thian-tung dan Lui-yang Sin-kang yang tak dipelajarinya maka begitu ia mengibas begitu pula Twi-hong-hok-sannya dipertunjukkan dan lawanpun terpental. 


Rambut Kwi-bo malah berodol dan kalau wanita itu tidak cepat melempar tubuh bergulingan tentu kulit kepalanya terkelupas. Kwi-bo tahu diri dan cepat bergulingan. Tapi ketika kini tiba-tiba wanita itu tertawa dan mengibas pinggul, gerakan itu demikian penuh pesona dan amat memikat, pinggul bulat si cantik ini bergoyang dengan amat indah maka belum dia hilang kagumnya tiba-tiba Kwi-bo bergerak dan seluruh pakaian itupun lepas. Tak pelak lagi tubuh sehalus patung pualam terbeber. 


Semua mata terbeliak dan siapapun mendecak. Tubuh wanita ini sungguh indah, buah dadanya juga kencang dan terpelihara. Bukan main, itu tubuh seorang dewi! Dan karena Kho Hwat Tojin juga laki-laki normal, dia pun memiliki gairah dan rasa maka ketika dipeluk dan dicium iapun kesetrom dan merasa "mak-nyut", sedetik kehilangan kesadaran tapi sedetik itu pula Kwi-bo sudah mengangkat lutut menendang selangkangannya. Daerah paling rawan bagi lelaki ini didengkul, tepat sekali lutut itu mengenai anggauta rahasia. 


Tapi karena saat itu juga Kho Seng Tojin berteriak keras, dia ini adalah adik kandung Kho Hwat maka tosu ini menarik cepat perut bawahnya ke usus besar. Gerakan itu terjadi sama cepat dengan tendangan Kwi-bo. Tepat lutut itu mengenai sasaran maka secepat itu juga anggauta rahasia tosu ini melesak ke dalam. Kwi-bo terkejut karena lututnya tak menyenggol benjolan, hanya mengenai daerah kosong semacam tulang atau daging keras. Tapi karena betapapun juga "dengkulan" itu cepat dan dekat, kosong atau tidak telah singgah di daerah amat lemah maka tosu itu menjerit dan terbanting bergulingan.


"Dukk!”


Semua orang pucat. Menurut perhitungan semestinya tosu itu tewas dengan bagian paling pribadi hancur. Yang menendang bukan sembarang orang melainkan Kwi-bo, iblis wanita yang amat kejam, kepandaiannya hebat dan siapapun tahu kelihaiannya. Tapi ketika tosu itu dapat bergulingan meloncat bangun, mendelik dan gusar bukan kepalang maka Kwi-bo terkekeh dan sebelum yang lain ingat diri mendadak ia sudah meledakkan rambutnya dan menerjang tiga tosu di sebelah dengan cepat dan bertubi-tubi. Kesempatan diisi baik- baik mumpung masih terpesona dan melotot oleh keindahan tubuhnya yang memang aduhai.


“Hi-hik, selamat bercinta, tosu-tosu gagah. Aku cinta kalian dan inilah hadiah ciumku...... wut-ngok!" Kwi-bo benar-benar mencium, mendekatkan muka tapi secepat itu pula ia menjeletarkan rambut menggubat dan melilit. Yang dicium tercekik dan mendelik. Kaki dan tangan Kwi-bo yang lain bergerak menghantam kedua tosu terakhir. Dan ketika semua terkejut dan tosu yang tercekik membentak keras, mengerahkan sinkang hingga leher menggembung dan rambut putus maka tosu itu melempar tubuh dan kakinya menendang paha Kwi-bo.


"Siluman! Wanita jahanam.... dess!"


Kwi-bo terpental dan bergulingan terkekeh. Ia tak takut karena begitu melompat bangun iapun sudah menari dan menjeletarkan rambutnya. Tangan kirinya juga bergerak menaikturunkan bukit dadanya. Gerakan itu merangsang nafsu lelaki. Tapi karena empat tosu pimpinan sudah amat marah dikecoh wanita ini, dua mendapat pengalaman pahit maka tosu-tosu itu memekik dan Kho Hwat Tojin yang ditendang kemaluannya berkelebat dan paling gusar.


“Kwi-bo, kau benar-benar curang. Tapi terimalah, ini balasan dariku dan jangan harap tarian cabulmu dapat mengganggu kami... plak-dess!" 


Kwi-bo mengelak tapi dikejar, menangkis dan terpelanting dan selanjutnya tosu itu berkelebatan mengejar dirinya. Para murid terbelalak sementara tiga sute dari Kho Hwat Tojin ini tak mau kalah. Mereka juga marah karena hampir terbius. Dan karena masing-masing mengeluarkan kepandaiannya dan Twi-hong-hok-san menderu dari segala penjuru.


Maka Kwi-bo menjerit dan terlempar ke sana ke mari tak sanggup menghadapi empat tosu pimpinan itu. Jangankan menghadapi mereka berempat, menghadapi satu di antaranya saja wanita ini tak akan menang. Kho Hwat Tojin bukan lawannya. Dan ketika ia jatuh bangun tapi para murid mendecak dan mengilar, Kwi-bo telanjang bulat bergulingan ke sana-sini maka See-tok tiba-tiba bergerak dan raksasa bersenjata bandul tengkorak ini menyerbu dan tak tahan. Kwi-bo adalah kekasihnya.


“Kwi-bo, jangan takut. Aku membantumu!"


Tapi ketika bandul tengkorak terpental oleh hawa pukulan Kho Hwat Tojin, belum apa-apa membalik oleh pukulan tosu itu maka See-tok berteriak dan Jin-touw yang mencari muka pada Kwi-bo lalu menerjang dan mengeroyok. Iblis bersenjata kapak ini tertawa tapi kapak di tangannya mendesing mencari maut. Namun ketika Kho Hwat menangkis dan tongkat di tangan tosu itu berdentang menghalau kapak maka Jin-touw berseru kaget dan berjungkir balik menyelamatkan diri.


Selanjutnya tiga orang ini bergerak tapi lawan terlalu hebat. Kwi-bo agak lega namun tetap terdesak. Beberapa kali ia menangkis namun rambutnya tambah berodol. Dan ketika empat bayangan tosu itu menekan tiga dari Tujuh Siluman ini dan jelas betapa Kwi-bo dan kawan-kawan tak mampu menghadapi, See-tok cemas dan gelisah maka raksasa tinggi besar itu berteriak pada Coa-ong dan lain-lain,


“Heii, masuk dan bantu kami, Coa-ong. Atau kujitak kepalamu dan kulaporkan murid kita!”


“Ha-ha, jangan seperti anak kecil. Kalian belum berkeringat benar-benar, See-tok. Tapi kalau sudah ketakutan baiklah aku maju. Tapi di sini banyak kecoa, biar kupanggil anak-anakku dan tenanglah disitu!” Coa-ong terkekeh dan mencabut suling, meniup dan segera murid-murid Heng-san terkejut karena dari kiri dan kanan tiba-tiba muncul barisan ular. Lalu ketika suling ditiup semakin melengking dan Coa-ong mengerahkan kepandaiannya memanggil ular maka dari segala penjuru muncul ratusan binatang melata itu.


"Ular..... ular!" para murid berteriak. 


Coa-ong terkekeh dan tiba-tiba memberi tanda. Jin-mo dan Kwi-bun serta Tong-si disuruh membantu See-tok di sana. Dan karena tiga orang itu mengerti betapa hebatnya desakan empat tosu, jelas mereka harus dibantu maka Tong-si mengelebatkan tusuk kondenya sementara sang suami mengetrikkan kuku jari ke arah lawan mereka. Jin-mo sendiri sudah meloncat dan galah atau bambu panjang di tangannya mendesir di belakang telinga Kho Hwat Tojin.


"See-tok, tak perlu berkaok-kaok. Kami semua akan membantumu!” lalu ketika Kho Hwat mengelak namun galah menyodok dan mengejar, sang tosu membalik maka Twi- hong-hok-san menampar galah itu dan.... prak, ujung galah hancur.


"Haiii...!" Hantu Langit terpekik. “Jahanam kau, Kho Hwat Tojin. Keparat kau!" dan tidak berani berdepan lagi segera iblis tinggi jangkung ini menyerampang dan menusuk lawan, berpindah ke tosu lain namun sama juga. Adik-adik dari tosu itu menangkis, kalau tidak dengan tamparan ya dengan tongkat. Dan ketika Jin-mo merasa betapa tongkat di tangan tosu-tosu itu bertenaga hebat hingga telapaknya tergetar dan pedas, galah terpental menghantam kepalanya sendiri maka kakek itu terkejut dan Kho Hwat Tojin berseru pada adik-adiknya untuk merobah gerakan.


“Mainkan Hui-tung Sin-hoat (Silat Sakti Tongkat Terbang). Awas, Coa-ong mulai memanggil ular!"


Tiga sutenya membentak. Mereka telah merobah gerakan dan Twi-hong-hok-san berpindah ke tangan kiri. Tangan kanan melepas tongkat dan tongkat di tangan empat tosu itu mendadak terbang menyambar- nyambar. Inilah Hui-tung Sin-hoat yang dulu diajarkan Siang Kek dan Siang Lam Cinjin. Dan karena yang memainkan juga tokoh-tokoh Heng-san, mereka adalah sute dari Tan Hoo Cinjin maka See-tok dan Kwi-bo tersentak kaget ketika tongkat memburu dan menyergap mereka, bagai bermata.


“Iblis! Siluman!"


Dua orang itu mengelak dan menangkis. Tapi ketika mereka memperhatikan ini maka tangan kiri para tosu menyambar dan meluncurlah Twi-hong-hok-san itu menghantam Kwi-bo. 


"Dess!” Wanita ini mencelat. Kwi-bo terbanting dan saat itu pukulan lain menyambar See-tok. Raksasa tinggi besar ini juga berteriak. Dan ketika ia terlempar dan terhempas oleh Twi-hong-hok-san, tongkat terbang benar-benar mengacau perhatian maka Jin-touw maupun Jin-mo juga menjerit dan terlempar roboh.


"Bres-bress!”


Tujuh Siluman Langit kalang-kabut. Coa-ong, yang mengendalikan ularnya tiba-tiba juga terhuyung dan melotot terbelalak. Ular-ularnya terlempar dan mencelat oleh hawa pukulan empat tosu itu. Keadaan benar-benar mengerikan. Dan ketika suling ditiup kencang-kencang namun Kho Hwat berseru melempar obor, memberi tahu anak murid agar mengambil obor maka bagai diingatkan saja anak-anak murid itu menyulut obor dan melemparkannya ke barisan ular.


"Api.... api! Serang dengan api!"


Coa-ong mendelik. Kho Hwat telah memelopori gerakan itu dan obor di tangan tosu ini diikuti oleh obor-obor yang lain. Para murid menjadi sadar dan ular-ular seketika panik. Dan ketika ratusan dari mereka membalik dan lintang- pukang, anak murid menjadi marah kepada Raja Ular itu maka mereka menerjang dan Coa-ong menghentikan tiupan sulingnya diserbu murid-murid Heng-san.


"Coa-ong tua bangka siluman. Hajar dan bunuh kakek ini!”


Coa-ong berkelit. Ia memaki namun dikejar lagi, mencabut tongkat dan menyimpan suling dan segera menangkis hujan serangan itu. Anak murid sudah tidak menghiraukan Kwi-bo lagi karena perhatian diusik oleh barisan ular. Kwi-bo gagal dengan tarian mautnya. Dan ketika puluhan anak murid menerjang Coa-ong sementara di sana See-tok dan lain-lain dihajar Kho Hwat Tojin, para iblis ini mengeluh maka See-tok jatuh bangun tak mampu menangkis. Ia dan kawan-kawannya menjadi sasaran Twi- hong-hok-san atau tongkat terbang. 


Tongkat itulah yang membuat mereka geram karena memecah perhatian. Semua kacau oleh Hui- tung Sin-hoat ini yang menyodok atau menusuk bagai benda bernyawa, pandai mencari tempat-tempat kosong dan bandul tengkorak di tangan See-tok sampai rompal- rompal, mreteli. Dan ketika Jin-mo maupun Jin-touw juga kelabakan mempertahankan diri, kapak dan galah di tangan mereka hencur oleh permainan tongkat sakti ini maka Tong-si dan Kwi-bun juga mencelat senjatanya sementara kuku jari si muka setan putus satu demi satu.


“Chi Koan, keluarlah. Tolong.....!”


Kwi-bo tak tahan dan berteriak memanggil muridnya itu. Keadaan sudah benar-benar berbahaya sementara Chi Koan tak muncul- muncul juga. Padahal pemuda itu sudah berjanji untuk menyelamatkan dan membantu mereka. Sekarang mereka benar-benar percaya bahwa anak-anak murid Heng-san telah mencapai kemajuan tinggi, ilmu silat mereka benar-benar maju dengan pesat dan tokoh tingkat tiga saja bukan tandingan mereka. Dan ketika jerit Kwi-bo itu juga disusul oleh jerit Tong-si, yang melengking dan berteriak terbanting oleh hantaman tongkat terbang maka See-tok juga menggeram dan memaki muridnya itu.


"Chi Koan, keluarlah. Kami kalang-kabut!”


"Benar, bantu kami, anak busuk. Lihat guru- gurumu dihajar orang!" Coa-ong, yang menyambung dan menjadi gelisah akhirnya memaki sengit juga. Kakek ini tahu bahwa muridnya pasti tak jauh di situ, bersembunyi dan mengintai mereka. Mungkin tertawa-tawa. Anak itu memang kurang ajar. Dan ketika Jin-mo dan Jin-touw akhirnya juga berseru memanggil, galah di tangan Jin-mo akhirnya terbabat dan kapak mencelat dari tangan Jin-touw, dua iblis ini terlempar oleh Twi-hong-hok-san maka saat itulah berkelebat bayangan biru bercelana putih.


“Ha-ha, kalian sudah puas? Kalian sudah percaya omonganku? Baik, aku datang suhu. Jangan khawatir dan lihatlah mereka kulemparkan.... bress!" 


Chi Koan muncul dan membantu guru-gurunya. Coa-ong yang dikeroyok puluhan murid tiba-tiba terlempar tinggi ke atas. Chi Koan mengangkat gurunya sementara murid-murid itu didorong dan ditiup tenaga raksasa. Mereka menjerit dan terlempar belasan tombak, kaki dan tangan patah-patah. Lalu ketika angin sambaran pukulan itu menerpa Kho Hwat Tojin dan tiga sutenya, mengangkat mereka dan melemparnya jauh ke belakang maka empat tosu itu berteriak kaget dan masing-masing menabrak pohon.


Empat tosu itu kelengar dan mengeluh. Mereka sudah mengerahkan tenaga untuk bertahan namun tetap juga tak kuat. Masing-masing kaget bukan main dan Kho Hwat Tojin mendelik. Namun ketika mereka bangkit terhuyung dan terbelalak ke depan, Chi Koan telah berdiri melindungi guru-gurunya maka tosu itu terbelalak dan berubah, tentu saja mengenal murid Beng Kong Hwesio itu dan kaget serta heran bagaimana tiba-tiba pemuda itu memanggil "suhu" kepada Tujuh Siluman Langit ini.


“Kau...... kau......”


“Ya, aku,” Chi Koan tertawa, tahu kekagetan tosu ini. "Aku, Kho Hwat Tojin, Chi Koan yang dulu kalian tangkap dan siksa di sini. Aku Chi Koan dan datang untuk menghajar kalian!"


"Keparat, tapi kau.... kau....”


Chi Koan mengibas. “Tak usah banyak cakap, tosu bau. Aku ingin bertemu ketua dan wakil ketua Heng-san. Panggil suhengmu atau nanti kau kulempar ke dalam!”


“Ah!" tosu ini bergerak, marahnya seketika timbul. "Bagus sekali, Chi Koan. Kau berguru kepada orang-orang jahat dan watakmu tetap juga jahat. Pinto tak takut kepadamu dan rupanya kau tidak kapok untuk menjadi tawanan lagi. Bagus, pinto akan menghajarmu!"


Tosu itu berkelebat dan tongkat di tangan menyambar. Ia tadi kaget dan pucat melihat betapa sekali gebrak ia didorong dan dilempar jauh. Namun karena hal itu dianggapnya sebagai hal wajar, ia tak bersiap-siap dan Chi Koan menyerangnya di saat ia menghadapi See-tok dan lain-lain maka kini menyerang pemuda itu ia mengandalkan kecepatan dan pukulannya. Twi-hong-hok-san menyambar sementara tongkat menusuk dengan jurus Hui-tung Sin-hoat. Tongkat itu siap meluncur kalau Chi Koan mengelak. Tongkat ini akan terbang dan memburu lawan. Tapi ketika Chi Koan tidak mengelak dan menerima serangannya, tertawa dan memasang dada dipukul maka Twi-hong-hok-san maupun tongkat menghantam pemuda itu.


“Duk-kraakk!”


Tongkat seketika patah. Sang tosu kaget bukan main dan ketika ia terjelungup ke depan bergeraklah Chi Koan mengangkat tangan kirinya. Tangan itu menampar pundak. Dan karena tak mungkin tosu ini mengelak karena baru saja dia menghantam, posisinya terjelungup dan satu-satunya jalan mengerahkan sinkang bertahan maka.... plak, tosu ini menjerit dan terbanting dengan pundak sengkleh.


"Suheng!"


Kejadian itu mengejutkan semua orang. Sang adik, yang berteriak dan melompat maju tahu- tahu harus menerima suhengnya yang ditendang Chi Koan. Chi Koan telah merobohkan tosu Heng-san itu dengan sekali gebrak dan kini mengangkat kaki menendang tosu itu. Dan ketika tosu ini mencelat dan diterima adiknya, terjengkang dan terlempar pula maka Kho Hwat Tojin pingsan sementara adiknya yang menerima suhengnya itu juga batuk-batuk dan muntah darah.


"Keparat, bocah iblis!" dua tosu yang lain tak dapat menahan diri. Mereka melempar tongkat menyerang dengan Hui-tung Sin-hoat dan tubuh meloncat sambil tangan kiri melepas pukulan Twi-hong-hok-san. Ini seperti yang mereka lakukan kepada See-tok dan kawan- kawannya tadi. Tapi ketika Chi Koan tertawa tenang dan membiarkan tongkat menghantam, patah dan runtuh mengenai tubuhnya maka Twi-hong-hok-san itu diterima telapak kirinya yang mengerahkan Thai-san-ap-ting.


“Dess!”


Dua tosu itu mencelat dan terlempar. Mereka terbanting dan gemparlah murid-murid lain menyaksikan pimpinannya roboh. Segebrakan saja pemuda baju biru itu telah menumbangkan tokoh-tokoh Heng-san. Tapi ketika dua tosu itu dapat bergulingan meloncat bangun dan ini mengagumkan Chi Koan, dulu dia pernah bertanding dan melayani empat tosu ini maka dia tertawa mengejek dan memuji,


“Tosu bau, dulu kalian berempat masih bukan tandinganku. Mundur dan panggillah suhengmu untuk menghadapi aku, atau kalian mampus dan tinggal nama!”


Dua tosu itu marah bukan main. Memang dulu mereka telah bertanding dengan pemuda ini dan hasilnya mereka terdesak. Hanya berkat bantuan Sin Gwan Tojin dan ketua Heng-san mereka selamat. Dan karena kini mereka berada di tempat sendiri dan mereka tak menyangka, bahwa Chi Koan telah menguasai Hok-te Sin-kun, Silat Penakluk Dunia warisan kitab sakti Bu-tek-cin-keng maka mereka berteriak dan maju lagi dengan tongkat lain yang baru. 


Mereka menyambar itu dari tangan murid yang lain dan berkelebat dengan Sin-san-hoan-eng mereka menerjang pemuda itu. Tangan kiri melepas Twi-hong-hok-san sementara tangan kanan mengemudikan tongkat. Hui-tung Sin-hoat sekaligus Twi-hong-hok-san menyambar dari kiri kanan. Dua tosu itu bergabung mengeroyok Chi Koan. Tapi ketika pemuda ini kembali tak mengelak dan tongkat terbang diterima tubuhnya, patah dan terpental maka dia menerima serangan Twi-hong-hok-san dengan Thai-san-ap-tingnya lagi. Kali ini dua tangan Chi Koan bergerak dari bawah ke atas.


"Kalian bandel, kuperingatkan sekali lagi..... dess!"


Dua tosu itu mencelat dan terbanting lagi. Kali ini mereka berteriak dan kaget bahwa untuk kedua kalinya tongkat di tangan patah. Tapi ketika Thai-san-ap-ting menyambut dan menghantam mereka, dua tosu ini mendelik merasa sesak napas maka mereka terlempar dan terbanting lagi dengan keras. Untuk yang ini mereka menggeliat dan sejenak tak mampu melompat bangun, Jin-touw tiba-tiba bersorak. 


Tapi ketika dua orang itu meloncat dan bangun lagi, terhuyung namun mampu menguasai diri maka mereka menerjang dan nekat menubruk lagi. Para murid tiba-tiba bergerak dan mengepung ketat. Suara teriakan dan rasa marah berkumandang. Dan ketika Chi Koan tertawa dingin menyambut lawan, kali ini mendengus dan maju selangkah maka dua orang tosu yang melepas Twi-hong-hok-san dengan dua telapak tangan menghadap ke depan diterima dan ditolak Chi Koan. Pemuda itu mengerahkan Thai-san-ap-ting di tangan kiri sementara tangan kanannya mengerahkan Cui-pek-po-kian (Pukulan Menggempur Tembok).


"Pergilah!”


Bentakan itu disusul jeritan tosu-tosu ini. Tosu di sebelah kiri menerima Thai-san-ap-ting yang bagai gunung menghimpit sementara di sebelah kanan menerima Cui-pek-po-kian. Pukulan Menggempur Tembok ini tak kalah dahsyat dengan Thai-san-ap-ting dan Twi-hong-hok-san membalik dan terpukul mental. Tosu itu kalah kuat dan malah seperti ditabrak, bukan ditabrak barang ringan melainkan tembok dinding yang terbang menyambar.


Tembok baja yang beratnya ribuan kati. Dan ketika ia terlempar dan mencelat ke dalam, sementara saudaranya mendelik dan muntah darah maka tosu kedua yang dihantam Cui-pek-po-kian itu hancur dadanya dan saat itu dari dalam pendopo berkelebat bayangan tinggi kurus berikat kepala putih.


"Siancai, Heng-san kedatangan pemuda iblis. Awas, sute. Lempar tubuh kalian...!”


Namun seruan atau bentakan bayangan itu terlambat. Dia muncul setelah dua tosu ini menyerang Chi Koan. Dan ketika dua tosu itu mencelat dan melayang ke dalam, cepat bagai ditiup angin kencang maka bayangan ini menangkap dua orang itu namun yang seorang sudah tewas dengan tubuh gepeng. Persis tergencet tembok baja.


“Keji, sungguh keji...!"


Para murid tiba-tiba berseru girang. Tosu tinggi kurus ini telah muncul di muka pendopo dan dia adalah Sin Gwan Tojin, wakil atau orang nomor dua di Heng-san. Tosu itu tampak menggigil, menerima dua sutenya namun yang telah tewas diletakkan, sementara yang lain berkedip-kedip namun akhirnya tak sadarkan diri. Kalau ia tidak tewas tentu cacad seumur hidup. Pukulan Thai-san-ap-ting merobah isi dadanya hingga sebuah di antara paru-parunya pecah. Dan ketika tosu itu tertegun sementara anak murid menjatuhkan diri berlutut, kini wakil ketua muncul maka See-tok tertawa bergelak dan tiba-tiba berseru,


“Ha, ini dia orang yang kau cari-cari. Chi Koan, itulah Sin Gwan Tojin. Balas sakit hatimu sekalian sakit hati guru-gurumu ini. Ha-ha...!”


Tosu itu meletakkan sutenya yang luka parah. Ia memandang See-tok dan sekali kakinya menotol tahu-tahu sudah melayang turun, menyambar See-tok dan teman-teman namun akhirnya berhenti di Chi Koan. Wajah tosu ini merah membara. Namun ketika ia tampak heran bahwa See-tok masih hidup, Tujuh Siluman Langit lengkap di situ maka kepada iblis inilah tosu itu berseru,


“See-tok, rupanya kalian belum tewas. Atau nyawa kalian yang barangkali rangkap. Siancai, apa maksud kedatangan kalian, See-tok. Dan kenapa bersama Chi Koan murid Go-bi?”


“Ha-ha, Chi Koan murid kami. Kau salah kalau mengatakan anak ini murid Go-bi, Sin Gwan Tojin. Ia adalah murid kami dan benar murid kami!”


"Anak ini murid Beng Kong Hwesio!"


“Dulu! Sekarang, ha-ha.... dia murid kami, Sin Gwan. Tapi tak usah berdebat karena hari ini ia datang untuk membalas sakit hati!”


“Hm, kau!" tosu itu menghadapi Chi Koan kembali. “Kau masih hidup, Chi Koan? Kau tidak mampus bersama supek kami? Atau nyawamu juga rangkap?”


"Ha-ha!" Chi Koan tak menghiraukan rasa kaget tosu ini bahwa dia juga masih hidup. "Aku manusia bernyawa seribu, Sin Gwan. Mati sekarang besok hidup lagi. Supekmu mampus karena pantas mampus, sudah tua bangkotan. Dan aku datang untuk meminta pertanggungjawabanmu kenapa dulu kau menyiksa aku. Katakan apakah minta mampus atau kau berlutut seribu kali dan Heng-san kalian serahkan kepadaku untuk kupimpin!"


“Hm, dulu dan sekarang sama saja. Kau masih gila. Pinto tak mau banyak cakap denganmu, bocah. Kau berani mati datang ke sini lagi. Sekarang pinto akan menyempurnakan arwahmu agar tidak gentayangan lagi. Dan See-tok, hmm... tunggu giliran!"


Selesai bicara begini tiba-tiba tosu itu bergerak dan langsung mengebut Chi Koan. Ia sudah mengenal pemuda ini dan tahu bahwa Chi Koan pemuda amat berbahaya. Dulu ketika meluruk juga membuat kaget. Anak ini sudah mewarisi ilmu-ilmu Beng Kong Hwesio dan pukulan-pukulan dahsyat Go-bi dipunyai. Tapi karena ia berada di tempat sendiri dan suhengnya juga ada di situ, ia dapat memanggil kalau dirasa berbahaya maka begitu menampar iapun langsung mengeluarkan Lui-yang Sin-kangnya, ilmu yang tak dipelajari sute-sutenya karena hanya dia dan suhengnya Tan Hoo Cinjin yang mempunyai.


"Klap!" Sinar bagai petir itu menyambar. Cahaya putih menyilaukan meluncur bersama hawa panas dan ilmu listrik ini amat berbahaya. Lawan yang tak kuat bakal tertempel dan tersedot darahnya, kering dan akan tewas seperti disambar petir. Tapi ketika Chi Koan mengelak dan tertawa mengejek, dikejar dan mengelak lagi maka pukulan itu menyambar atau menghantam tanah.


“Dar!” Bunga api berpijar dan memuncrat ke udara. Sin Gwan gagal karena Chi Koan melompat mundur, tanah seketika hangus dan berlubang. Percikan api itu membuat See-tok meleletkan lidah. Kalau dia terkena barangkali sudah gosong. Dari pukulan itu saja dia segera tahu bahwa tosu ini dua tingkat di atas sute-sutenya, empat tosu tadi. Namun ketika Chi Koan mundur dan menjauhkan diri maka tosu ini membentak dan menyerang lagi.


“Chi Koan, jangan mundur. Hadapi pinto kalau memang mencari pinto... wut!" 


Chi Koan mengelak dan kembali menghindar, membuat pukulan luput dan sang tosu menjadi marah. Dan ketika tosu ini mengejar lagi dan baru untuk ketiga kalinya Chi Koan menyambut dan tidak menghindar maka Hok-te Sin-kang dikerahkan di sini dan Tenaga Penakluk Dunia itu ditunjukkan.


"Baik, kau menghendaki aku menyambut, Sin Gwan Tojin. Dan jangan kira aku takut. Lihatlah, aku menerima.... dess!”


Ilmu listrik itu bertemu Hok-te Sin-kang, telapak si tosu bertemu jari-jari Chi Koan dan saat itu tenaga panas dari Lui-yang Sin-kang ini menyambar hebat. Biasanya, tak perlu sampai bersentuhan maka angin pukulan itu cukup merobohkan lawan, apalagi kalau jari-jari tosu ini disambut dan mencengkeram lawan, hebatnya tentu saja bukan main. Batupun dapat seketika hangus dan hancur, pecah. 


Tapi ketika dari tangan Chi Koan menyambar tenaga lembut yang menyerap atau menerima pukulan ini, begitu lembut hingga mirip air di sebuah gentong raksasa, atau telaga luas yang menenggelamkan dan menyedot pukulan itu maka Lui-yang Sin-kang tak menyentuh dasar sasaran dan ketika tosu ini terkejut karena pukulannya lenyap, amblas memasuki telaga luas itu maka dia menjadi kaget bukan main ketika mendadak dari telaga luas ini muncul dorongan dahsyat yang membuat pukulannya membalik dan keluar lagi, menghantam dirinya.


"Hok-te Sin-kang!"


Teriakan atau seruan tosu itu dibarengi dengan tarikan tangannya secepat kilat. Ia kaget bukan main karena lawan ternyata memiliki Hok-te Sin-kang, padahal ilmu itu adalah milik Beng Kong Hwesio atau Ji Leng, dedengkot Go-bi. Dan karena dia sudah merasakan kedahsyatan ilmu ini, ia cepat melempar tubuh agar tidak kena serangan membalik maka tembok pendopo menjadi sasaran pukulan membalik tadi.



“Blarr!”


Sang tosu pucat bergulingan melompat bangun. Ia sama sekali tak menyangka bahwa pemuda ini memiliki Hok-te Sin-kang. Ilmu itu adalah warisan dari kitab mujijat Bu-tek-cin-keng yang dahsyat. Siapapun tak bakal melawan! Dan ketika ia gemetar memandang pemuda baju biru itu, pucat menggigil dengan mata terbelalak maka Chi Koan tertawa dan maju melenggang langkah.


“Ha-ha, mari.... mari serang lagi. Aku sekarang menerima pukulan apapun yang kau berikan, Sin Gwan Tojin, dan jangan takut aku mundur. Ayo, majulah, serang lagi!"


"Kau.... kau....” tosu ini tak dapat bicara, menuding. "Kau telah mewarisi kitab Bu-tek-cin-keng? Kau telah menguasai itu dari Ji Leng Hwesio?"


"Ha-ha, Ji Leng Hwesio memang baik kepadaku, Sin Gwan Tojin, tapi ia tua bangka bodoh. Sudahlah, tak usah bicara yang lain dan mari pukul aku lagi. Keluarkan semua ilmumu dan aku tak akan mengelak!"


Tosu ini pucat dan ngeri. Kalau ia menghadapi Hok-te Sin-kun tentu saja semua pukulannya sia-sia. Tokoh-tokoh Heng-san sudah merasakan itu dan hanya Hok-te Sin-kun yang paling ditakuti. Ilmu ini seperti dasar telaga yang dalam. Apapun diterima dan akan ditelan. Dan karena tadi ia sudah membuktikan dan Lui-yang Sin-kangnya amblas ke dalam tubuh lawan, muncul dan mendorong lagi dengan dahsyat untuk memukul dirinya maka tosu ini jadi bingung namun tawa pemuda itu membuatnya gusar. Ia memang jerih namun sebagai tokoh tingkat tinggi tak boleh memperlihatkan rasa takutnya di hadapan banyak orang, apalagi murid-murid sendiri. Maka membentak dan menerjang lagi tiba-tiba iapun melepas tongkat mainkan Tung-hai Sin-hoat.


Silat tongkat terbang yang mendengung dan segera mengelilingi tubuh Chi Koan ini bergerak laksana ular panjang yang naik turun, berseliweran dan menyodok atau menghantam pemuda itu dari delapan penjuru. Dan karena tosu ini selalu mengarah bagian-bagian berbahaya, tongkat itu dikemudikan dengan cepat dan amat lihai maka mata dan telinga atau lubang hidung pemuda ini menjadi sasaran.


“Wut-wut-dess...!”


Chi Koan menangkis dan mengelak serangan- serangan itu. Dia kagum melihat cepatnya tongkat ini menyambar-nyambar namun tentu saja tidak takut atau gentar. Kalau senjata itu adalah tangan atau kaki si tosu tentu akan disambut dan dicengkeram. Tapi senjata ini adalah bagian lain dari tubuh Sin Gwan Tojin, setiap ditangkap tentu melejit dan menyambar naik turun lagi, menyerang bagian belakangnya dan semua mendecak melihat tongkat itu bagai benda bernyawa saja. 


Di tangan wakil ketua Heng-san ini tongkat itu jauh lebih hidup daripada di tangan Kho Hwat Tojin dan tiga saudaranya tadi. Di tangan tosu ini tongkat itu tak mampu ditangkap. Tujuh kali Chi Koan mencengkeram dan menangkap namun selalu luput, tongkat itu bagai memiliki mata dan melejit dan lolos dengan amat licin. Hebat! Dan ketika Chi Koan melindungi dirinya dari sergapan-sergapan berbahaya, sang tosu tak mau diam dan membentak berkelebatan maka di balik Sin-sian-hoan-engnya Sin Gwan Tojin melepas pukulan-pukulan dahsyat dan juga totokan-totokan satu jari.


“Tit-ci-thian-tung (Tuding Jari Langit Timur)...!” See-tok berseru kagum dan ngeri. Tudingan atau totokan-totokan satu jari itu begitu hebatnya hingga baju Chi Koan berlubang-lubang, Chi Koan telah mengerahkan sinkangnya namun baju dan pakaiannya itu yang tak tahan. Ujung jari tosu itu mencicit-cicit. setiap menyambar tentu disertai bunyi “cret” dari pakaian yang robek,


Chi Koan marah. Dan ketika ia membentak dan berkelebat dengan Lui-thian-to-jitnya (Kilat Menyambar Matahari) maka ilmu meringankan tubuh ini menandingi Sin-sian-hoan-eng dan tubuh dua orang itu lenyap berputaran dan saling belit.


See-tok dan kawan-kawan kagum bukan main dan diam-diam mereka berdebar. Chi Koan memang telah memiliki Hok-te Sin-kun namun ternyata si tosu masih dapat menyerang dan membuat kalang-kabut. Kalau bukan Chi Koan tentu roboh. Hebat sekali sute mendiang To Hak Cinjin itu! Namun ketika Chi Koan mulai berkelebatan dengan Lui-thian-to-jitnya, ilmu ini adalah ilmu meringankan tubuh ajaran Beng Kong Hwesio, cepatnya bukan main dan mampu mengimbangi kecepatan ilmu Sin-sian- hoan-eng (Dewa Memutar Bayangan) maka tampaklah bahwa akhirnya Chi Koan tidak kalang-kabut lagi dan tongkat yang menyambar naik turun akhirnya berhasil dihantam dan hancur berkeping-keping.


“Kraakkk!”


Musnahlah sudah tongkat andalan itu. Sin Gwan tampak terhuyung dan tosu itu pucat. Namun ketika ia bergerak kembali dan kini Lui-yang Sin-kang diganti dengan Twi-hong-hok- san, terpental dan diganti lagi dengan Hong-thian-lo-te (Badai Dan Kilat Kacaukan Bumi) maka ia mendesak lagi sementara tangan kanan tetap menuding atau menusuk-nusuk dengan Tit-ci-thian-tung itu.


"Bagus, kau semakin hebat Sin Gwan Tojin. Tapi sayang, kau tak berani lagi menyerangku secara langsung!" 


Chi Koan mengejek. Ia kagum tapi juga gemas kepada tosu ini, mulai mengeluarkan Cui-pek-po-kian dan Thai-san-ap-ting tapi kalau beradu secara berdepan secepat kilat ia mengisi dua pukulannya itu dengan Hok-te Sin-kang. Hanya dengan sinkang mujijat ini ia mempu menandingi lawan, yang lain-lain tak mampu karena Cui-pek-po-kian atau Thai-san-ap-ting akan mental kalau bertemu pukulan tosu ini. Twi-hong-hok-san apalagi Lui-yang Sin-kang jauh lebih hebat daripada yang dimiliki Kho Hwat Tojin berempat, tosu ini menang tenaga. 


Maka ketika hanya dengan Hok-te Sin-kang itu ia mampu mendesalk lawan, Sin Gwan selalu menarik atau melempar tubuh dengan cepat maka Chi Koan gemas karena ia seakan kucing yang menyergap tikus gesit, gesit dan cerdik! Pertandingan berjalan sengit dan pemuda itu mulai marah. Ia ingin merobohkan tosu ini. Maka ketika ia membentak dan mempercepat gerakannya, Lui-thian-to-jit dikerahkan segenap tenaga hingga Sin-sian-hoan-eng kewalahan, tosu itu juga menambah tenaga agar mampu mengimbangi maka perlahan tetapi pasti Sin Gwan Tojin mandi keringat dan memburu napasnya. Tokoh tua itu kalah dengan yang muda.


"Ha-ha, lihat, Sin Gwan Tojin. Sebentar lagi kau roboh dan Hok-te Sin-kangku akan menghantammu!"


"Pinto boleh mampus. Selembar nyawa pinto siapkan untuk membela Heng-san, bocah iblis. Tapi jangan harap kau dapat menghina pinto atau mempermainkan pinto di kala masih hidup. Kau dapat membunuh tak dapat menyuruh si tua ini menyerah!"


“Hm, kau nengagumkan. Sayang kau telah menentukan takdirmu sendiri, Sin Gwan Tojin. Dan memang kalau kau tidak mau bertekuk lutut maka ganjaranmu adalah mati!”


"Tak usah banyak cakap. Serang dan robohkan pinto!" lalu melengking mengimbangi Lui- thian-to-jit tosu itu tiba-tiba berteriak kepada anak murid, "Hei, kalian! Ada apa menonton saja. Serang dan bunuh Tujuh Siluman Langit itu. Bocah ini pinto tahan!”


Anak-anak murid tiba-tiba sadar. Mereka tiba- tiba bergerak dan terkejutlah See-tok dan kawan-kawan ketika puluhan tosu menyerang. Pedang dan tongkat menyambar mengikuti perintah. Dan ketika semua bersorak dan See- tok maupun kawan-kawannya meloncat, dikejar dan meloncat lagi akhirnya Tujuh Siluman Langit itu gusar.


“Kwi-bo, rupanya kita harus membunuh tikus-tikus busuk ini. Hajar mereka!"


“Benar, dan biar mereka menari-nari bersamaku, See-tok. Hi-hiik, aku akan bergoyang dan membawa mereka ke alam maut!”


Kwi-bo dan See-tok sudah bergerak. Raksasa itu kehilangan senjatanya tapi dengan kepalannya yang besar ia mengganti bandul tengkoraknya itu. Raksasa ini mengayun dan menderulah sepasang kepalannya itu. Dan ketika Kwi-bo juga meledakkan sisa rambut sementara Tong-si dan lain-lain berseru menyambut, mereka menyambar apa saja untuk senjata maka Jin-mo merunduk dan meraup patahan-patahan tongkat di tanah, mengikatnya menjadi satu dan berkelebat dengan joan-pian atau tongkat-potong yang aneh itu.


"Chi Koan, robohkan lawanmu secepatnya. Mereka ini bukan anak-anak murid biasa karena mampu mendesak kami!"


“Benar, dan bantu kalau kami kewalahan, Chi Koan. Jumlah mereka ini banyak!”


"Dan Tan Hoo Cinjin masih belum keluar. Aihh..., jangan-jangan kita harus lari terbirit- birit!"


Jin-touw dan Jin-mo saling berteriak kepada Chi Koan. Mereka sudah diserang dan dikeroyok puluhan tosu di mana jumlah mereka tiba-tiba bertambah. Sekejap yang lain bergerak dan ratusan orang sudah membentak. Dan ketika Coa-ong mengkhawatirkan ketua Heng-san, yang belum keluar dan merupakan ancaman lain maka tujuh orang sesat itu berkelebatan dan anak-anak murid menyerbu beringas.


Chi Koan mengerutkan kening dan sadar. Ia akan merobohkan tosu ini namun si tosu yang ulet dan cerdik mampu berbuat tepat. Anak- anak murid disuruh mengeroyok Kwi-bo sementara dirinya ditahan di situ. Dan ketika ia menjadi marah dan merubah gerakannya, kini berjongkok dan menerima bayangan tosu itu maka Sin Gwan terkejut karena Thai-san-ap-ting maupun Cui-pek-po-kian ditarik, sebagai gantinya adalah siapnya pukulan Hok-te Sin-kun yang amat dahsyat itu.


"Sin Gwan, terimalah kematianmu!”


Tosu ini terhenyak dan menghentikan gerakannya pula. Ia pucat melihat lawan merendahkan tubuh dan saat itu seluruh tubuh bergetar hebat. Chi koan mengerahkan Hok-te Sin-kunnya ke sepasang telapak tangan dan siap mendorong. Dan ketika pemuda itu benar saja melepas serangan sambil menggetarkan puncak, ia berkelit namun dari kiri kanan dan belakang tiba-tiba menyambar angin hebat yang membuatnya tak mampu meloncat maka tosu itu berteriak keras dan apa boleh buat menerima Hok-te Sin-kun. Wajahnya pucat pasi. Chi Koan telah mengurungnya dengan pukulan amat hebat itu!


"Suheng, tolong....!”


Para murid menoleh. Mereka terkejut oleh teriakan ini dan sejenak yang lain-lain menengok. Itu adalah puncak dari pertandingan dua orang ini di mana Chi Koan tak mau berlama-lama lagi. Dia mengerahkan Hok-te Sin-kunnya hingga dari delapan penjuru menyambar angin hebat itu. Lawan yang hendak meloncat sudah tak keburu. Dari belakang dan kiri kanan menghadang angin pukulan itu. Sang tosu dipaksa untuk berdepan dan menerima. Dan karena hal ini yang paling ditakuti, Sin Gwan berteriak gentar maka murid-murid sama menengok dan Tujuh Siluman Langit juga menoleh. Dan saat itu dari dalam pendopo berkelebat sesosok bayangan putih disertai kain lebar, kain hitam, pekat yang menyambar muka Chi Koan.


"Sute, pinto datang membantu!"


Chi Koan terkejut. Ia sedang hebat-hebatnya menghantam dengan Hok-te Sin-kun ketika mendadak sebuah kain lebar menyambar mukanya. Hal ini membuat pandangannya tertutup dan otomatis konsentrasi pukulan juga pecah. Dan ketika ia membentak dan kain hitam itu menyambar mukanya, pukulan menjadi kacau maka Sin Gwan terlempar dan tosu itu mencelat disambar bayangan ini.


"Dess!”


Kejadiannya hampir sama dengan ketika wakil Heng-san itu menerima dua sutenya. Kali ini tubuh Sin Gwan Tojin ditangkap seorang tosu bermuka merah yang bukan lain adalah Tan Hoo Cinjin, ketua! Dan karena Hok-te Sin-kun kacau pemusatannya dan tentu saja tidak sehebat tadi, kain hitam itu menutup pandang mata Chi Koan maka Sin Gwan Tojin selamat tapi tosu itu sesak napasnya. Sang suheng telah melepasnya sementara Chi Koan mendelik di sana. Kain itu akhirnya robek dan memberebet. Barang lemas tak dapat dipukul hancur.


"Keparat!" pemuda itu berseru. "Kau muncul juga, Tan Hoo Cinjin. Bagus, tapi kenapa baru sekarang?"


"Siancai, pinto sedang samadhi. Urusan biasanya diselesaikan sute pinto ini, Chi Koan. Baru kalau sute pinto tak mampu maka pinto sendiri turun tangan. Hebat, kau telah mewarisi Hok-te Sin-kun!"


"Hm kau tahu. Bagus! Tapi apakah kau tahu apa maksudku datang ke mari?"


“Tentu untuk membalas dendam. Pinto tak perlu bertanya lagi, anak muda. Tapi bagaimana kau masih hidup dan bagaimana Kwi-bo dan kawan-kawannya ini juga belum mampus? Pinto heran!”


"Ha-ha, kau ingin tahu? Karena akulah yang menolong mereka. Dewa Maut takut kepadaku, dan sekarang aku menggantikan Dewa Maut untuk membumihanguskan Heng-san, kecuali menyerah dan kalian tunduk kepadaku!"


"Siancai, anak seperti ini mau menghancurkan Heng-san? Kau dapat membunuh pinto atau siapapun juga, Chi Koan, tapi Heng-san muncul lagi dan akan tetap ada, di bawah pimpinan generasi lain. Kau sombong dan pongah. Pinto yag akan menghajarmu dan biarpun kau memiliki Hok-te Sin-kun pinto tak takut!”


Dan si ketua yang tiba-tiba membentak dan berkelebat ke depan sekonyong-konyong sudah menyerang dengan tongkatnya. Tongkat di tangan ketua ini adalah tongkat pusaka dan terbuat dari bahan pilihan, dilapis baja dan Tan Hoo Cinjin sudah melempar sebuah tongkat lain untuk sutenya, juga tongkat pilihan berkepala naga. Dan ketika tosu itu bergerak sementara Sin Gwan bangkit semangatnya, sang suheng tak takut meskipun lawan memiliki Hok-te Sin-kun maka iapun berseru keras dan menerjang membantu suhengnya itu. Tapi sang suheng mencegah.


“Sute, aku masih sanggup menghadapi anak muda ini. Hajar dan bunuh Tujuh Siluman Langit itu!”


Kwi-bo dan yang lain-lain kaget. Mereka tiba- tiba melihat tosu itu membalik dan berjungkir ballk menyerang mereka. Seruan ketua memang benar. Dan ketika tosu itu meluncur turun dan tongkat di tangan melesat terbang, Kwi-bo terpekik maka dialah orang pertama yang terjungkal dan menjerit.


"Aduh!”


See-tok dan lain-lain pucat. Kwi-bo bergulingan meloncat bangun tapi jatuh lagi, bangun dan jatuh lagi dan baru pada loncatan keempat mampu melompat bangun. Itupun terhuyung-huyung! Dan ketika semua terkejut karena itu bukti betapa hebatnya tongkat, senjata itu mampu mengejar dan membuat mereka jatuh bangun maka belum apa-apa See-tok dan lain-lain berlarian mundur, turun gunung!


“Kwi-bo, lari. Tosu itu mengamuk!"


“Benar, dan aku menjagamu, Kwi-bo. Marilah, Hui-tung Sin-hoat akan mencari sasaran lagi!" Jin-touw, si tukang kayu menyambar dan menarik lengan si cantik ini. See-tok yang berteriak tapi dia yang menolong Kwi-bo, merayu dan tanganpun mengusap pinggul wanita itu. Dan ketika si cantik ngeri namun Jin-touw tersenyum-senyum, jarinya nakal mengusap sana-sini lagi maka Kwi-bo membentak dan melepaskan dirinya dari si kurang ajar itu.


“Jin-touw, jangan main-main. Tak usah grathilan (gerayangan)!"


“Eh, aku menolongmu bangun, Kwi-bo. Aku mengajakmu lari, menyelamatkan diri. Ayo, See-tok dan lain-lain kabur!” bicara begini jari si iblis mencolek dada Kwi-bo. 


Kalau saja keadaan tidak seperti itu tentu Kwi-bo akan menampar dan menghajar laki-laki ini. Tapi karena tongkat terbang beterbangan mengaung-aung, Jin-touw benar maka Kwi-bo tak menghiraukan lagi dan akhirnya membiarkan saja jari-jari kurang ajar itu merayap ke mana mana. Mereka turun gunung dan lupa kepada Chi Koan! Tapi ketika mereka sudah menjauhi puncak dan Jin-touw mengajak masuk ke semak-semak maka lelaki ini mendekap Kwi-bo dan langsung tanpa banyak cingcong lagi ia mencium dan mengajak bergulingan!


"Keparat!" Kwi-bo marah dan sadar. “Kau laki- laki kurang ajar, Jin-touw, tak tahu malu. Lepaskan!"


Namun laki-laki ini mengejar dan memeluk lagi. Ia terkekeh-kekeh dan jelas terangsang birahinya. Jin-touw tak menghiraukan di mana mereka tinggal. Entah di semak atau di lautan api. Tapi ketika Kwi-bo menendang dan meronta lagi, mencakar maka barulah iblis ini melepaskan lawannya sementara pakaian Kwi-bo sudah tidak keruan.


“Heh-heh.... kau, ah... kau cantik dan molek sekali, Kwi-bo.


Jangan marah karena ingat aku yang menyelamatkanmu. Aku.....

aku cinta padamu!"


"Keparat, tua bangka keparat! Kau tak tahu malu, Jin-touw, tak tahu diri! Lihat mukamu yang buruk itu. Lihat tanganmu yang kasar dan najis. Jangan sentuh aku atau nanti kubunuh!"


"Tapi aku ingin menagih hutang..." 


"Hutang? Hutang apa?"


"Aku menolongmu, Kwi-bo. Kau kuselamatkan dari serangan Sin Gwan Tojin. Biasanya kau membayar budi dengan cinta. Kau.... dess!" Jin-touw berteriak dan terlempar. 


Sebuah tinju menghantam punggungnya dan See-tok yang ada di situ tiba-tiba menggeram. Raksasa itu membentak dan memaki rekannya ini. Dari dulu mereka berdua memang ribut memperebutkan si cantik ini. Tapi ketika dari empat penjuru muncul empat teman mereka yang lain dan Coa-ong serta Kwi-bun membentak ramai-ramai itu, Jin-touw sadar maka pertikaian dilerai dan Coa-ong memaki mereka.


“Bodoh, si otak udang! He, kalian jangan gila berebut di sini, See-tok. Kita harus ingat murid kita Chi Koan. Bagaimana dia dan apakah kita terus lari!"


Kwi-bo dan lain-lain terkejut. Mereka segera sadar bahwa mereka meninggalkan Chi Koan. Pemuda itu seorang diri menghadapi musuh. Puluhan atau ratusan murid Heng-san akan mengeroyok. Dan karena di sana masih ada Sin Gwan Tojin dan suhengnya, Tan Hoo Cinjin yang lihai maka serentak mereka melupakan pertikaian dan kembali ke puncak. Namun di belakang tiba-tiba terdengar seruan, bengis,


“See-tok, kalian masih di sini? Bagus, aku mengejar dan mencari-cari kalian. Mampuslah.... des-dess!” 


See-tok dan Jin-touw terpelanting. Sin Gwan, tosu hebat itu tahu-tahu muncul di belakang dan tongkat terbangnya menyambar lawan. Dua orang ini berteriak dan See-tok maupun Jin-touw terguling-guling. Kepala mereka benjol sebesar telur angsa. Dan ketika keduanya melompat bangun dan dari atas gunung terdengar teriakan-teriakan maka puluhan murid meluruk dan Sin Gwan sudah menghadapi lima dari Tujuh Siluman Langit yang lain.


“Dan kau, kau juga harus dihajar. Kau mengacau dan merusak rumah orang, Coa-ong. Pinto ingin membunuhmu dan terimalah ini.... des-plak!" si Raja Ular menjerit dan terjengkang.


Tongkat menyambar lagi dan kali ini menghantam Kwi-bun. Dan ketika dua kakek itu mengeluh dan ngeri maka keduanya melempar tubuh ke bawah dan.... kabur, lari lintang-pukang. Tak ingat Chi Koan lagi.


“Aduh, tobat, tosu bau.... tobaat. Kau jahanam keparat!"


“Dan kau kudoakan ketemu setan Aduh, kau membuat benjol kepalaku, Sin Gwan Tojin. Kau tosu tengik!”


Tujuh iblis itu lintang-pukang. Mereka menjerit-jerit namun si tosu mengejar dan anak-anak murid sudah muncul dari mana-mana. Kiranya tosu ini tak membiarkan lawan- lawannya itu lari dan kembali tongkat terbangnya mendahului. Dan ketika Tong-si berteriak dan terjengkang, disusul Jin-mo maka Tujuh Siluman Langit itu jatuh bangun dan pucat pasi...


Prahara Di Gurun Gobi Jilid 25