Prahara Di Gurun Gobi Jilid 22

Cerita Silat Mandarin Serial Bu-beng Sian-su episode Prahara Di Gurun Gobi Jilid 22 karya Batara
Sonny Ogawa
Cerita Silat Mandarin Serial Prahara Di Gurun Gobi Karya Batara
“DENGARLAH,” kakek itu bicara, suaranya lirih. "Ada beberapa hal yang harus kau perhatikan, Peng Houw. Dan sebelum kau mencari Chi Koan maka dengarkan baik-baik apa yang hendak pinceng katakan ini.”

"Teecu menunggu perintah," Peng Houw berlutut.

"Pertama, kau harus merebut dan mengambil kembali kitab Bu-tek-cin-keng itu. Musnahkan setelah isinya kau pelajari enam bulan. Kedua, cari pula susiokmu Beng Kong Hwesio yang masih ada di bumi.....!”

"Eh, nanti dulu!" Peng Houw memotong. "Susiok Beng Kong Hwesio, locianpwe? Bukankah ia tewas di Heng-san? Bukankah ia....”

"Pinceng tahu,” sang hwesio mengulapkan tangannya, ganti memotong. "Susiokmu dikabarkan memang tewas di sana, Peng Houw. Tapi di alam halus ini pinceng sama sekali tak melihat rohnya. Ia masih hidup, ia masih ada di bumi!"

Peng Houw terkejut dan meremang. Bicara tentang roh dan mahluk-mahluk halus begini membuat dia mengkirik dan merasa seram. Kalau bukan hwesio ini yang bicara tentu ia ngeri. Sesungguhnya iapun juga bicara dengan seorang yang sudah meninggal dunia. Sesepuh Go-bi itu tinggal jasad halusnya saja. Ia bicara dengan orang mati! Namun karena ia tahu hwesio ini bukan orang jahat dan sepenuhnya ia orang baik-baik, Peng Houw merasa tenang maka hwesio itu melanjutkan lagi.

“Kau cari susiokmu ini dan lihat apa yang terjadi. Chi Koan rupanya telah menipu pinceng, masalah gurunya ini dan ia benar-benar anak siluman. Kau waspadalah terhadap guru dan murid ini karena pinceng harus mengakui bahwa murid pinceng yang nomor dua ini sesat. Pinceng kalah terhadap seseorang."

"Seseorang? Ah, benar!” Peng Houw tiba-tiba teringat. "Kau dulu pernah bicara tentang musuhmu yang amat hebat, locianpwe. Siapakah dia dan apakah orang ini yang kau maksud?"

"Benar, tapi dia bukan musuh. Kami, hmm.... sebenarnya lebih tepat berdebat. Aku dan dia bukan musuh, Peng Houw, namun sungguh pinceng harus mengakui bahwa dia betul-betul hebat, manusia bijaksana. Dan justeru karena ini pinceng mau bicara juga denganmu!”

Peng Houw berdebar, matanya terbelalak.

"Kau mau dengar?"

"Kalau locianpwe mau menceritakan!"

“Hm, baik. Pinceng ada menyimpan sesuatu di bawah tempat duduk pinceng itu, batu hitam itu. Coba kau cari bekasnya dan gali sedalam setengah meter. Ambil sesuatu di situ, bawa ke sini.”

Peng Houw terkejut. Ia disuruh mencari sesuatu di bawah batu hitam dan itu berarti di dalam guha. Ia heran namun cepat bangun berdiri, mengangguk dan sudah berkelebat di dalam guha. Dan ketika ia menggali dan mencari sesuatu itu, di tempat yang sudah ditemukannya itu maka Peng Houw terbelalak mendapatkan sebuah peti kecil berlapis emas. "Locianpwe, inikah?" serunya.

"Bawa ke mari. Keluarlah dan tunjukkan pinceng di sini, Peng Houw. Kita bicara di sini dan kau benar.”

Peng Houw berkelebat dan keluar lagi. Ia sudah membawa peti kecil berukuran sepuluh sentimeter itu, ditaruh di telapak tangannya dan cahaya emas di sekeliling kotak atau peti kecil ini terpantul cahaya, menyilaukan mata namun hwesio itu mengangguk sambil tersenyum. Dan ketika Peng Houw menyerahkan namun hwesio itu menyuruh membukanya maka pemuda ini tertegun dan berdebar.

"Bukalah, itu untukmu.”

Peng Houw tertarik. Ia berlutut dan hati-hati sekali membuka kotak kecil ini, kagum dan melihat bahwa bagian dalam peti ini dilapis kain beludru berwarna merah, lembut dan halus sekali. Namun ketika ia melihat segulung kertas di dalam kotak kecil ini, diikat dengan benang emas maka ia tak dapat menahan rasa tercengangnya. “Locianpwe, segulung surat. Rupanya surat!”

“Bukalah, dan baca isinya," kakek itu tersenyum, mengangguk. "Itu untukmu, Peng Houw. Dan kalau kelak kau bertemu dengan pemberi surat ini maka mintalah petunjuk-petunjuk berharga tentang hidup!"

“Teecu.... teecu boleh membukanya?"

"Aku memang ingin memberikannya kepadamu, itu untukmu, boleh kau ambil. Buka dan lihat isinya.”

Peng Houw gemetar membuka gulungan surat ini. Ia seakan menyentuh sebuah jimat saja karena melihat betapa sebuah surat ditaruh dalam sebuah kotak berlapis emas tentu surat itu amat berharga sekali. Mungkin surat wasiat! Dan ketika ia melepas ikatan benang emas itu dan gulungan kertas ini dibuka, dilihat, maka ia terbelalak karena surat itu bukan surat wasiat, hanya sebuah syair terdiri dari dua bait. Aneh!

"Locianpwe, ini.... ini bukan surat. Tidak ditujukan kepada siapa-siapa. Ini hanya syair!"

"Benar, tapi isinya lebih besar daripada sekantong harta karun, Peng Houw, apalagi bagi pinceng. Dan pinceng harus mengaku kalah dengan pembuat syair ini!"

"Ah, apa yang terjadi? Locianpwe kalah hanya oleh sebuah syair?"

"Boleh dibilang begitu, tapi juga boleh dibilang tidak. Hm, coba kau baca isinya. Suaramu kuat dan lantang kalau membaca ayat-ayat kitab suci. Pinceng ingin dengar!"

Peng Houw menelan ludah. Ia agak malu dipuji namun mengangguk. Dan ketika ia heran namun bersinar-sinar membaca syair itu maka terdengarlah suaranya yang lantang dan nyaring kuat:

Merajut benang berwarna-warni
pilih yang putih hitam pun jadi
asal senang diri sendiri
jujur dan budi apalah arti

Gampang ditelan tak gampang hancur
Ada peristiwa di gurun Go-bi
kalau nasib lagi tak mujur
mudah amat bersakit hati!


"Ah," Peng Houw tercengang. "Syair ini bagus, locianpwe, tapi aku tak mengerti isinya. Dan tampaknya seperti ramalan terhadap Go-bi!”

"Hm, Go-bi hanya sebagai perantara saja, sekedar diambil namanya. Inti dari syair itu dapat terjadi kepada setiap orang, Peng Houw, dan pinceng telah merasakan ini. Mungkin kau kelak akan merasakannya juga, seperti pinceng!”

Peng Houw kagum dan heran. Ia tak mengerti maksud dan inti syair itu. Sepintas, ada sesuatu yang indah, tersembunyi. Tapi karena Go-bi dibawa-bawa dan memang benar telah ada kejadian di gurun ini, prahara yang tiada henti-hentinya maka ia mengerutkan kening dan tak senang juga. Go-bi seakan diramal harus bernasib buruk!

“Locianpwe, siapakah pembuat syair ini? Orang macam apakah dia?”

"Dia orang yang hebat, kepandaiannya luar biasa. Pinceng harus mengaku kalah kepadanya baik lahir maupun batin. Dia manusia dewa!”

"Ah, locianpwe memujinya setinggi langit? Locianpwe yang sudah demikian hebat masih juga memuji orang lain ada yang lebih hebat?"

“Ha-ha,” hwesio itu tiba-tiba tertawa, Peng Houw terkejut. Belum pernah ia melihat hwesio ini tertawa. "Kau anak kecil yang tak tahu tingginya langit dalamnya lautan, Peng Houw. Gunung yang tinggi masih ada yang lebih tinggi lagi. Laut yang dalam masih ada yang lebih dalam. Ah, kau seperti katak dalam tempurung. Kau polos! Hm, kelak kau akan membuktikan kata-kata pinceng ini tapi sesungguhnya orang ini memang hebat. Dan ia amat bijaksana!"

"Siapakah dia?" Peng Houw tak tahan. "Teecu jadi tertarik sekali, locianpwe. Dan adakah kesempatan bagi teecu untuk berkenalan dengan orang itu?"

"Hm, bisa dapat bisa juga tidak. Orang ini aneh, dia kadang-kadang muncul kalau tidak kita undang tapi justeru tak pernah mau datang kalau diundang mati-matian. Pinceng tak tahu apakah kau ada jodoh bertemu orang ini."

"Siapakah dia?"

“Bu-beng Sian-su...”

“Bu-beng Sian-su (Dewa Tak Bernama)? Aneh, ini bukan nama, locianpwe. Itu tentu samaran!"

"Entahlah, yang jelas namanya memang begitu, Peng Houw. Dan orang yang sudah seperti ini memang tak pernah mau memperkenalkan diri. Dia misterius, serba misterius. Pinceng sendiri tak tahu siapa dia dan dari mana asalnya!"

Peng Houw terbelalak. Kalau sesepuh Go-bi ini sudah bilang seperti itu maka dapat dibayangkan betapa aneh dan hebatnya Bu-beng Sian-su ini. Ia tak diketahui siapa dan dari mana pula asalnya. Adakah yang lebih aneh dari ini? Maka takjub dan kagum membayangkan manusia dewa itu. Peng Houw berseru, “Aneh, luar biasa sekali. Kalau begitu Bu-beng Sian-su ini benar-benar bukan manusia!”

"Benar, dan ia juga tahu kejadian-kejadian masa silam, Peng Houw. Peristiwa ratusan atau ribuan tahun yang lalu."

“Apa? Memangnya ia hidup di jaman itu?”

“Pinceng tak tahu, pinceng juga tak mengerti.”

"Ah, kalau begitu dia benar-benar dewa. Ini bukan lagi manusia!"

"Pinceng juga menganggapnya begitu. Sudahlah, kalau ada jodoh tentu kau akan bertemu kakek ini, Peng Houw, karena itu simpan dan jaga baik-baik syair itu. Pinceng menyimpannya di kotak emas karena barang itu benar-benar berharga!"

Peng Houw mengangguk-angguk. Kalau dedengkot Go-bi ini sendiri menyatakan begitu tentu barang itu benar-benar berharga. Syair yang tampaknya biasa dan bagus kata-katanya ini rupanya mengandung semacam "jimat". Kelak mungkin dia dapat mengetahui jimat itu. Dan ketika ia menyimpan dan memasukkan ke kantong bajunya, syair dan kotak itu diberikan kepadanya maka Peng Houw berlutut dan teringat harus mencari Chi Koan, menjalankan tugasnya.

"Locianpwe, apakah masih ada lagi pesan-pesan yang harus teecu ingat? Dan apakah kepandaian teecu ini sudah cukup kuat dipakai menghadapi Chi Koan?"

"Hm, cukup, sudah cukup. Yang belum cukup adalah pengalamanmu menghadapi kelicikan dan kecurangannya, Peng Houw. Kau terlalu jujur dan polos dan ini yang harus kau perhatikan. Chi Koan lebih pandai darimu, dalam arti yang jelek. Kalau kau tidak hati-hati dan waspada menghadapi kelicikannya maka kau bisa celaka dan bahaya menghadapi anak itu. Pinceng hanya hendak memberi tahu bahwa timbalah pengalaman sebanyak-banyaknya tapi untuk ini biasanya harus ada korban!"

“Teecu akan berhati-hati," Peng Houw mengangguk, merasa mantap, tak takut atau khawatir akan kata-kata terakhir itu. “Kalau teecu dipercaya mampu menghadapinya maka teecu akan waspada, locianpwe. Dan tentang susiok Beng Kong Hwesio, hmm..... teecu akan mencarinya juga."

“Kau memang harus mencarinya. Getaran-getaran jahat muncul di tubuh susiokmu itu, Peng Houw, sama seperti Chi Koan yang cerdik dan amat berbahaya itu. Karena itu kalau sampai menghadapi mereka berdua harap hati-hati dan waspadalah!”

“Teecu akan waspada," Peng Houw sekali lagi mengangguk dan tak khawatir. “Doa dan restumu teecu harapkan, locianpwe. Dan terima kasih untuk kepercayaan dan budi locianpwe yang amat besar ini!"

“Hm, pinceng memberimu ilmu karena kau menghadapi tugas berat. Di tanganmulah nasib Go-bi terletak. Baik, sekarang cukup, Peng Houw. Kuberi batas waktu setahun dan setelah itu kita tidak akan dapat berjumpa lagi. Waktu pinceng habis!"

Peng Houw terkejut. Tiba-tiba dia teringat bahwa dia berhadapan dengan sebuah arwah. Tadi hwesio itu berkata telah minta “ijin" untuk berada dulu di dunia, berarti belum sepenuhnya rohnya pergi meninggalkan bumi ini. Dan kalau setahun itu dia belum berhasil, hwesio ini tentu kecewa maka dia menjatuhkan diri berlutut membenturkan jidatnya. Masih ingin bertemu lagi sebelum gurunya ini betul- betul pergi.

"Locianpwe, teecu tak akan mengecewakan dirimu. Mudah-mudahan sebelum waktunya habis teecu berhasil melaksanakan tugas. Di manakah teecu boleh menemuimu sebelum waktu locianpwe habis?"

"Pinceng masih di sini, Peng Houw, menunggumu di sini. Kau laksanakanlah tugasmu dan doa pinceng menyertaimu. Pergilah, kau murid yang baik!"

Peng Houw menarik napas dalam-dalam. Ia terharu dan tiba-tiba menitikkan air mata memandang hwesio ini. Kebaikan hwesio ini sudah tak ada bandingannya lagi, ia menerima budi yang terlampau besar. Maka mendekat dan mencium kakek itu, menyentuh jari-jari kakinya mendadak Peng Houw mendengar tawa aneh dan kaki itupun lenyap. Sang hwesio menghilang!

"Peng Houw, pinceng sudah tak berjasad lagi. Pergilah, laksanakan tugasmu!"

Peng Houw sadar. Ia terkejut dan mengangkat mukanya dan gurunya itu benar-benar lenyap tanpa bekas. Yang ada hanyalah tawa dan kata-kata itu yang segera hilang dan tak kedengaran lagi. Dan ketika Peng Houw berdiri dan mengusap pipinya, air matanya tadi jatuh di situ maka ia membalik dan melangkah meninggalkan tempat itu, matanya tiba-tiba sembab!

“Locianpwe, aku akan mencari dan menemukan Chi Koan. Akan kurampas kembali kitab Bu-tek-cin-keng itu. Selamat tinggal, locianpwe, dan semoga aku sempat menemuimu lagi!"

Peng Houw turun bukit dengan kaki gemetar. Ia masih tak dapat menahan keharuan hatinya bahwa hwesio itu telah meninggal. Ji Leng Hwesio telah meninggalkan ilmu yang amat dahsyat untuknya, Hok-te Sin-kun. Dan bahwa hwesio itu juga telah memberikan sinkangnya lewat batu hitam, sinkang yang meresap dan akhirnya disedot tubuhnya maka Peng Houw menangis dan bercucuran air mata ketika meninggalkan guha pertapaan itu.

Setahun berada di sana sudah membuat dirinya berbeda. Ia adalah titisan Ji Leng Hwesio yang sakti. Ia tak akan kalah dengan Chi Koan maupun Beng Kong Hwesio sendiri, susioknya! Dan ketika ia menuruni bukit dan memasuki perguruan Go-bi, daerah di mana anak-anak murid berjaga ternyata Ji-hwesio dan sute-sutenya berada di situ, menunggu!

"Peng Houw, bagaimana kabarnya. Kau tampaknya mendapat pesan dari supek!"

"Dan kau menangis! Eh, ada apa, Peng Houw. Apakah supek marah kepadamu?" Sam-hwesio, sute dari Ji-hwesio berseru pula. Dua hwesio ini berada paling depan dan merekalah yang tentu saja lebih dulu menyambut. Peng Houw terkejut dan sadar. Dan ketika ia menghapus air matanya dan ingat bahwa rahasia gurunya tak boleh diketahui anak murid maka dia menarik napas dan menjura di depan dua orang hwesio itu. Peng Houw selalu bersikap hormat yang membuat hwesio-hwesio ini suka.

“Susiok, aku menangis karena harus meninggalkan tempat ini. Aku... aku diminta mencari Chi Koan dan harus berpisah dengan Ji Leng locianpwe. Inilah yang membuatku sedih.”

"Ah," hwesio-hwesio itu tersenyum, tak tahu bahwa Peng Houw berbohong. “Kau perasa dan lembut sekali, Peng Houw. Kalau supek menyuruhmu pergi justeru tandanya kau sudah hebat. Mencari Chi Koan adalah hal berbahaya!"

"Benar Sam-hwesio lagi-lagi berseru, menepuk pundak anak muda ini. “Kalau itu yang diperintahkan supek berarti kebahagiaan besar bagimu, Peng Houw. Kau sudah mendapat kepercayaan dan bekal yang cukup!"

"Tapi aku harus meninggalkan tempat ini, berarti meninggalkan susiok pula yang harus berjaga seorang diri...”

"Ah, itu tak perlu dipikir, Peng Houw. Ada supek di sini. Kalau kami tak sanggup menghadapi musuh tentu supek membantu!"

"Dan kau, hmm!" Ji-hwesio berseri dan kagum memandang anak muda ini. Kau semakin gagah dan tampan, Peng Houw. Kau tampaknya lebih berotot. Matamu juga seperti mata supek, mencorong dan seperti mata seekor naga sakti!"

"Ha-ha, benar. Pinceng juga melihat itu namun meskipun mencorong tapi lembut sekali, tidak seperti Chi Koan!”

“Ah,” Peng Houw tersipu. “Kalian ada-ada saja, jiwi-susiok. Aku bersedih sedang kalian gembira. Aku... aku mau pamit."

“Nanti dulu. Kami menghadangmu karena ada perlu. Kami terkejut dan selama ini bertanya-tanya bagaimana sekarang keadaanmu ini, Peng Houw, dan pinceng kebetulan ingin menguji. Bentakan dan latihanmu yang dahsyat di guha pertapaan membuat kamni semua tercengang, kaget. Sekarang kami ingin menguji dan kau rupanya mendapat warisan sejurus dua ilmu silat tinggi dari supek!"

“Benar,” anak-anak murid lain tiba-tiba bersorak. "Kau sekarang tentu lihai sekali, Peng Houw. Tunjukkanlah kepada kami dan biar kami lihat!”

“Hm," Peng Houw terkejut. "Lihai? Lihai apanya? Aku seperti dulu, para suheng. Bodoh dan tidak bisa apa-apa. Kalau Ji Leng locianpwe memberiku sejurus dua memang benar, tapi tak berani aku mengatakan diriku hebat. Aku masih seperti dulu."

"Tapi kau mampu membuat kami mencelat dari tidur, Pagi tadi semua dari kami terlempar!"

"Benar, Peng Houw. Dan angin pukulanmu yang menderu membuat genteng dan segala apa terbang berjatuhan. Kau sudah menjadi pemuda luar biasa!"

Peng Houw semburat. Anak-anak murid memujinya sementara susioknya nomor tiga, Sam-hwesio, sudah menggosok dan memukul-mukul telapak tangannya untuk maju bertanding. Dia akan diuji! Dan ketika dia mundur dan menggeleng berulang-ulang, tak tahu bahwa selama berbulan-bulan ini para anak murid dan susioknya menyimpan kekaguman, tadi pagi mereka tersentak dan kaget oleh bentakannya yang dahsyat maka Sam-hwesio sudah bergerak dan melepas pukulan, menerjangnya.

"Peng Houw, aku dan semua orang ingin tahu. Kau layanilah aku sebentar dan perlihatkan kepandaianmu!”

Peng Houw mengelak dan terbelalak. Ia dikejar namun mengelak lagi, berkelit namun Sam-hwesio berseru keras mencabut toya. Dan ketika dengan senjata itu ia sudah diserang dengan amat cepat dan bertubi-tubi, toya menderu dan bergerak menyambar-nyambar maka ia sudah menghadapi silat toya yang kuat dari susioknya ini, apa boleh buat menangkis dan Peng Houw yang belum dapat mengira-ngira tenaganya tiba-tiba membuat kejutan besar. Toya di tangan susioknya itu patah dikibas, hanya dengan sekali tangkisan saja. Dan ketika hwesio itu juga terbanting bergulingan, kaget berteriak keras maka Peng Houw juga tertegun dan pertandingan segebrakan ini otomatis berhenti. Peng Houw baru bertempur sejurus!

“Omitohud..!” Sam-hwesio berteriak dan meloncat bangun. “Kau.... ah, sinkangmu hebat sekali, Peng Houw. Toya pinceng patah. Tenagamu besar dan kuat sekali. Agaknya kau harus dikeroyok!”

“Eh, nanti dulu!" Peng Houw berseru dan melihat susioknya yang lain bergerak maju, sudah mendapat isyarat dari Sam-hwesio ini. “Aku... aku tak mau bertempur, susiok. Aku... aku mau pergi!"

"Jaga ini dulu!” Ji-hwesio berkelebat dan menyambar dari kanan, telapaknya menderu mengeluarkan pukulan jarak jauh. “Dugaan kami rupanya benar, Peng Houw. Biarkan kami buktikan dan awas serangan berikut!”

Peng Houw mengelak dan kembali diserang. Ia tadi menangkis sekenanya saja tapi cukup membuat toya dan pemiliknya terlempar. Kalau Sam-hwesio tidak membanting tubuh bergulingan barangkali susioknya itu patah tulang. Tangkisannya tadi ternyata terlalu kuat, padahal ia tidak terlalu mengerahkan tenaga. Maka sadar bahwa ia harus berhati-hati, serangan atau pukulan Ji-hwesio tak berani ditangkis pemuda inipun lalu berlompatan dan mengelak sana-sini saja.

Ia berseru agar paman gurunya itu tidak mendesak dan cukuplah di situ saja. Tapi ketika sang paman justeru penasaran dan gemas tak mampu memukul, Peng Houw berkelit dan memberikan tempat kosong maka hwesio ini mencabut toyanya pula dan saat itu Sam-hwesio dan Su-hwesio menerjang pula, dari muka dan belakang.

"Peng Houw, kalau perlu kami ingin merasakan sendiri. Kau terimalah pukulan ini dan tangkislah seperti tadi... wut-wut!" tiga toya menyambar dari tiga penjuru, naik turun dengan amat cepat dan Peng Houwpun dikurung di tengah-tengah. Apa boleh buat, pemuda ini harus menangkis. Dan ketika ia menggerakkan tangannya namun tangkisan dilakukan lebih perlahan, tidak lagi seperti tadi maka tiga orang itu terdorong dan toya mereka melengkung, bengkok!

“Krek!” Hampir tiga hwesio itu terjengkang roboh. Meskipun tangkisan dilakukan perlahan dan toya bengkok melengkung tetap saja mereka tak dapat menahan tubuh, terhuyung dan hampir terjengkang dan cepat mereka menggeliat membuang sisa pukulan itu. Ji- hwesio dan sutenya berseru kaget dan mereka terbelalak melihat toya di tangan. Toya itu melengkung! Namun karena belum roboh dan ini justeru menambah kagum, Ji-hwesio membentak dan menyerang lagi maka Peng Houw dipaksa untuk membalas dan bergerak pula.

"Omitohud, kau luar biasa, Peng Houw. Sinkangmu seperti supek. Aih, robohkan kami dan biar kami melepas kagum!"

Peng Houw bingung. Ia disuruh membalas dan tidak mungkin berlompatan saja, para murid mulai bersorak dan keroyokan itu rupanya membuat gembira. Dan ketika ia benar-benar dikepung dan toya sambar-menyambar mau tak mau ia harus menerobos keluar maka Peng Houw berseru keras dan mengibas sambil menambah tenaganya.

“Susiok, aku tak ingin main-main. Maaf dan biarkanlah aku pergi... plak-plak-plak!”

Peng Houw membuat tiga orang itu terlempar dan patah-patah toyanya. Kali ini tidak hanya bengkok melainkan patah menjadi dua. Tiga susioknya menjerit dan terlempar bergulingan. Mereka tak dapat lagi menahan toya di tangan. Telapak mereka terkelupas! Dan ketika tiga orang itu terkejut dan bergulingan meloncat bangun, anak murid tertegun maka Peng Houw berkelebat dan lari keluar, menuju pintu gerbang.

"Susiok, maafkan aku. Kukira cukup. Lain kali kita bertemu lagi dan biarkan aku pergi!"

Tiga hwesio terkejut dan terbelalak. Mereka kagum oleh sinkang pemuda ini dan Su-hwesio malah merintih karena perih. Telapaknya lecet, berdarah. Namun ketika Ji-hwesio bergerak dan berseru mengejar, Sam-hwesio juga menyusul dan anak-anak murid bersorak maka Peng Houw diminta berhenti namun pemua itu sudah berada di pintu gerbang siap membuka gelang baja. Sekali sentak saja pengganjal pintu ini akan terbuka. Tapi ketika Peng Houw siap menarik dan paman-paman gurunya tak digubris, ia ingin segera keluar mendadak terdengar suara "bluk" dan ja tuhlah seseorang dari luar sana.

Peng Houw terkejut. Serentak ia menoleh dan gelang baja dilepas. Ji-hwesio dan lain-lain juga terkejut dan melihat orang itu. Dan ketika mereka sampai dan Peng Houw tertegun maka hampir berbareng anak muda ini berteriak bersama paman gurunya. "Suhu....!”

“Giok Kee Cinjin!”

Peng Houw membalik dan meloncat ke tubuh yang berdebuk ini. Kiranya itu adalah Giok Kee Cinjin dan tosu itu berlumuran darah. Baju dan pakaiannya basah berwarna merah. Dan ketika Peng Houw berseru tertahan sementara Ji- hwesio dan lain-lain tiba di situ maka tosu ini mengerang sementara Peng Houw sudah mengangkat bangun tubuhnya.

“Suhu, apa... apa artinya ini? Ada apa dengan kau?”

“Aku... oh, ahh.... pinto, uh-uhh... pinto bertemu Chi Koan dan Tujuh Siluman Langit, Peng Houw... pinto... pinto dilukai anak itu... uh-uhh!” Giok Kee Cinjin batuk-batuk dan sukar bicara. Tosu ini luka berat dan tadi ia meloncat naik ke pintu gerbang, terjun dan terbanting di situ karena pintu tertutup. Ia luka-luka dan ingin masuk.

Dan ketika Peng Houw terkejut namun cepat menotok dan memberikan pertolongan, Ji-hwesio juga menjejalkan obat maka tosu ini megap-megap dan menuding-nuding.

"Dia... mereka.... muncul lagi. Ah, anak siluman itu hebat bukan main, Peng Houw. Dia... dia sekarang semakin lihai. Pinto.... pinto....”

"Suhu tak perlu bicara," Peng Houw menekan dan mengusap dada kakek ini, khawatir. "Kau luka dalam, suhu, lukamu berat. Mari masuk dan biar kutolong di dalam.”

"Benar,” Ji-hwesio berseru dan juga mengangguk. "Kakek ini luka berat, Peng Houw. Ia kehabisan darah dan tenaga. Kita, ah... kita harus cepat menolongnya!"

Keadaan menjadi berubah. Para hwesio yang tadi gembira dan ramai mengagumi Peng Houw kini menjadi tertegun dan kaget melihat keadaan Giok Kee Cinjin. Tadi tosu itu meloncat naik dan terjun dari tembok yang tinggi. Kalau saja tidak luka tentu mampu turun dengan baik. Tapi karena dia luka dan darah demikian banyak membasahi tubuhnya, hal ini jelas berbahaya maka ketika berdebuk dan terbanting di tanah keras tosu itupun kontan semakin parah. Tulang iganya patah dan ketika megap-megap bicara iapun pingsan. Tosu ini tak kuat lagi. Dan ketika Peng Houw membawanya masuk sementara Ji-hwesio dan lain-lain tak jadi mengganggu Peng Houw maka pemuda itu sudah menolong gurunya dan Ji-hwesio serta yang lain-lain sibuk membantu.

Tapi keadaan benar-benar gawat. Peng Houw telah memberikan sinkangnya kepada tubuh gurunya itu namun si tosu tak siuman juga. Peng Houw khawatir sekali. Dan ketika delapan jam tosu itu tak sadarkan diri juga, bahkan batuk dan muntah darah maka Giok Kee Cinjin berkelojotan dan akhirnya tewas.

“Suhu...!”

Hanya ini seruan Peng Houw. Giok Kee Cinjin telah menghembuskan napasnya yang penghabisan dan Peng Houw tersentak. Gurunya benar-benar tewas dan naiklah sedu-sedan di dada pemuda ini. Baru setahun tidak berjumpa tiba-tiba gurunya itu kini tewas. Siapa tidak berduka. Dan ketika Peng Houw mengguguk namun Ji-hwesio menepuk-nepuk pundaknya, berdehem dan menghibur maka Peng Houw sadar bahwa tak perlu segala air mata itu.

"Tenanglah, hidup memang begini. Mati dan hidup silih berganti, Peng Houw. Pinceng turut berduka atas kematian suhumu ini. Tapi tangis melulu tak akan merobah keadaan. Kita makamkan dia besok dan carilah musuhmu itu!”

Go-bi berkabung, Meskipun Giok Kee bukan tokoh Go-bi-pai namun tosu ini adalah sahabat G0-bi yang siap membela mati-matian partai itu. Teringat jelas di benak setiap orang betapa tosu ini berkali-kali membela Go-bi, bahkan, hampir terbunuh oleh musuh-musuh Go-bi yang lihai. Maka ketika dia tewas dan kematiannya justeru di Go-bi, sahabat yang tak mungkin membiarkannya begitu saja maka Go-bi menyembahyangi arwahnya dan untuk kesekian kalinya lagi Go-bi memakamkan seorang gagah di tempat mereka.

Peng Houw tak dapat banyak bicara dan ia benar-benar terpukul. Dulu gurunya Lu Kong Hwesio tewas, lalu dia diambil dan dibawa tosu ini. Dan ketika kini tosu itu tewas dan ia tak dapat banyak berkata-kata, sekelumit pembicaraan yang diperoleh tak memuaskan hatinya maka ia menjadi marah dan sakit hati kepada Chi Koan. Dulu, gurunya Lu Kong Hwesio juga tewas gara-gara anak muda ini, bekas temannya bermain. Dan sekarang, setelah mereka sama-sama dewasa lagi-lagi Chi Koan membuat ulah dengan menewaskan tosu ini. Ada bekas pukulan lima jari di dada gurunya itu, pukulan Hok-te Sin-kun! Dan menggeram menahan dendam, Peng Houw berlutut di makam gurunya itu maka dia berbisik gemetar didengar anak-anak murid Go-bi.

“Suhu, aku tak tahu banyak tentang kematianmu. Tapi kau menyebut-nyebut Chi Koan dan Tujuh Siluman Langit. Baik, akan kucari mereka, suhu. Dan kebetulan Ji Leng locianpwe juga memberi tugas kepada teecu. Tenangkanlah arwahmu di alam sana dan biar kucari mereka!"

Lalu berlutut dan mencium makam gurunya Peng Houw bangkit dan tampak betapa cahaya lembut dari sepasang matanya yang kemarin tampak sekarang sudah lenyap, terganti dengan hawa berkobar yang membuat mukanya kemerah-merahan. Terbakar!

"Susiok, terima kasih atas budi kebaikan kalian menyemayamkan tubuh Giok Kee suhu di sini. Aku tak dapat tinggal lebih lama lagi di sini dan sekarang aku harus benar-benar pergi. Tolong kalian jaga baik-baik tempat ini dan paling lambat setahun aku kembali!”

Peng Houw memberi hormat dan berkelebat lenyap. Ia tahu-tahu sudah melesat di atas kepala orang banyak dan kemudian melayang ke tembok pintu gerbang. Tidak seperti kemarin ketika Peng Houw berusaha mematahkan gelang baja adalah sekarang pemuda ini lewat dan terbang di atas tembok yang tinggi, turun dan kemudian meluncur di luar sana dengan amat cepatnya. Sebentar saja ia sudah merupakan titik kecil di padang gurun, lenyap dan akhirnya tak kelihatan lagi karena Peng Houw sudah memasuki hutan di depan. Dan ketika anak murid mengejar namun tak melihat bayangan anak muda ini, Ji-hwesio dan sutenya kagum bukan main maka mereka mendecak dan merangkapkan tangan.

“Omitohud, semoga kau berhasil, Peng Houw. Pinceng mendoakanmu dari jauh!"

"Benar, pinceng juga, Peng Houw. Semoga kau berhasil melaksanakan tugas dan kembalilah ke sini!"

Tiga hwesio pimpinan ini meloncat turun. Mereka tadi mengejar dan juga melayang naik ke atas tembok tinggi akan tetapi sudah melihat anak muda itu lenyap di kejauhan sana. Padahal, baru beberapa kejap pemuda itu masih ada di depan mata. Dan ketika anak murid ramai membuka pintu namun tak melihat lagi bayangan anak muda itu maka semua mendecak dan kagum.

Peng Houw memasuki hutan dan akhirnya keluar di seberang sana. Cepat sekali gerakannya bagai siluman menyambar. Siapapun tentu terkejut dan kaget melihat bayangannya, karena begitu menyambar ia pun sudah melesat dan jauh di depan sana seperti iblis. Dan ketika Peng Houw meluncur dan meninggalkan hutan, sinkang di tubuhnya telah memberinya tenaga sedemikian besar hingga mampu bergerak puluhan meter sekali loncatan, jauh di atas kecepatan seekor garuda menyambar maka pemuda ini tak sadar bahwa ia telah benar-benar menjadi seorang pemuda sakti.

Peng Houw tiada ubahnya Ji Leng Hwesio sendiri karena sinkang atau tenaga sakti hwesio itu telah diserapnya. Dedengkot Go-bi ini telah rela mengorbankan diri demi anak muda ini, memberikan seluruh sinkangnya lewat batu hitam yang sekian tahun dipakainya bertapa. Siapapun tak menyangka bahwa Peng Houw benar-benar berubah. 

Hanya dalam waktu setahun saja pemuda ini sudah setarap Ji Leng, siapa tidak kagum! Dan ketika pemuda itu berkelebat dan terus meluncur ke depan, seekor burungpun tak akan mampu menang beradu cepat dengannya maka naga sakti Go- bi ini, yang siap mencari dan bertarung dengan naga sakti lain telah bertekad untuk mencari dan menemukan musuhnya itu.

Chi Koan harus dirobohkan dan Bu-tek-cin-keng dirampas. Ia hanya ada waktu setahun untuk bertemu lagi dengan gurunya yang paling dahsyat, Ji Leng dedengkot Go-bi. Dan karena kematian Giok Kee membuat Peng Houw panas terbakar, ia marah kepada pemuda itu maka kemarahan ini merupakan tenaga tambahan baginya. Dusun dan kota dilewati begitu cepat. Peng Houw menyambar dan lenyap di antara sekelompok orang yang terkejut, mengucek mata dan melihat namun tak ada siapa-siapa di depan.

Tadi mereka merasa sambaran angin namun setelah itu lenyap. Bayangan yang mereka lihat seolah hantu saja. Beberapa wanita menjerit! Dan ketika semua itu juga tak dihiraukan Peng Houw karena ia ingin mencari dan menemukan musuhnya, Chi Koan harus dihajar maka pertemuan dua anak muda ini tentu bakal menegangkan karena mereka sama-sama seekor naga yang penuh tenaga dan berkepandaian tinggi!

Peng Houw boleh kurang dalam keragaman ilmu namun dia memiliki kelebihan dengan Sin-liong-kangnya itu. Sinkang Naga Sakti ini, kalau lepas kontrol akan kembali terlihat bila Peng Houw mendengus-dengus. Dua asap putih bergulung masuk keluar lewat lubang hidungnya. Dan karena dedengkot Go-bi sendiri sudah menyatakan bahwa Sin-liong-kang seusap di atas Hok-te-kang, yang dimiliki Chi Koan itu maka pertandingan di antara dua anak muda ini bakal ramai.

Tapi dapatkah Peng Houw mengalahkan Chi Koan? Mampukah ia merobohkan pemuda cerdik itu dan merampas kitab? Agaknya masih harus dibuktikan. Chi Koan sekarang juga bukan Chi Koan yang dulu karena di balik pemuda ini muncul Tujuh Siluman Langit yang dulu dikabarkan tewas itu. Coa-ong dan lain- lain muncul kembali sebagai pembantu- pembantu utama pemuda ini. Dan ketika Peng Houw mencari pemuda itu maka Chi Koan juga mencari musuh-musuhnya dan dunia kang-ouw kembali dibuat gempar oleh ulahnya!

* * * * * * * *

Siapapun tak menyangka bahwa pemuda tampan yang bergandengan tangan dengan seorang wanita cantik itu adalah pemuda yang berkepandaian tinggi. Dan siapapun juga tak menyangka bahwa wanita cantik itu adalah Kwi-bo, iblis wanita yang genit dan cabul itu. Maka ketika Chi Koan berada di kota An-tien dan memasuki sebuah restoran penuh tamu, beberapa di antaranya orang-orang kang-ouw dan bahkan ada wanita cantiknya maka pasangan ini menjadi perhatian dan segera menarik mata pengunjung yang pagi itu menikmati sarapan mereka.

Chi Koan tampan sekali dengan baju birunya yang disulam benang emas di pinggirnya. Celana putihnya agak longgar dan kalau dia berjalan maka debu dan apa saja bakal berhamburan, termasuk ketika dia memasuki rumah makan Toh-pe-koan dan berjalan menuju ke tengah ruangan, membuat para tamu yang sedang makan di bagian depan terbelalak dan marah karena entah beagaimana tahu-tahu kertas dan kulit pisang mencelat dan memasuki piring mereka, yang sedang disantap! Dan ketika Kwi-bo terkekeh-kekeh dan juga tak menghiraukan itu, lengannya erat menggandeng lengan pemuda ini maka seorang tamu berteriak dan bangkit dari kursinya.

"He, anak muda. Butakah matamu! Berjalanlah yang baik dan jangan biarkan ujung celanamu menghambur-hamburkan debu!”

"Benar," tamu yang lain berseru dan bangkit berdiri pula. "Manusia busuk dari mana ini yang berani kurang ajar memasuki makananku dengan kulit pisang. He, perhatikan langkahmu itu, anak muda. Debu dan segalanya berhamburan kau sepak!”

"Ha-ha," Chi Koan tertawa-tawa dan sudah mendapatkan kursinya, di tengah, tak perduli. "Kita makan di sini, Kwi-ci. Enak bebas memandang sekeliling tapi kudengar ada dua ekor anjing menggonggong. Aih, siapa itu. Apakah kau tidak dengar?"

“Hi-hik, biarkan saja. Kita sudah lapar, Chi Koan. Aku tak perduli dan biar lalat atau kecoa-kecoa busuk memasuki mulut mereka!”

"Ha-ha, begitukah? Kau senang melihat lalat memasuki mulut anjing? Ih, ada ada sepasang, biar kukebut!" Chi Koan menggerakkan lengan baju dan sepasang lalat hijau terkibas. Lalat itu mendengung lalu tahu-tahu menyambar ke kiri kanan yang satu ke arah laki-laki tinggi besar berwajah merah sedangkan yang lain ke mulut orang kedua yang tadi memaki-maki Chi Koan. Sepintas, kebutan ini seperti mengusir lalat benar-benar. Tapi ketika lalat itu menyambar dan memasuki mulut dua orang itu, yang tentu saja berteriak dan melompat-lompat maka suasana rumah makan yang tadi tenang dan sejuk sekonyong-konyong menjadi gaduh dan hingar.

"Heiii... auph!"

"Uff... auph!"

Dua laki-laki itu tersentak. Mereka sungguh tak menyangka dan tadi ketika melihat dua lalat hijau mereka sudah mengelak. Tapi karena lalat itu menyambar cepat dan mereka tak sempat mengatupkan mulut, Chi Koan memang kurang ajar maka dua laki-laki itu tercekik tenggorokannya karena lalat meronta dan lekat di anak lidah! Akibatnya mereka mendelik dan hampir berbareng keduanya muntah-muntah. Kotoran dan lalat itu keluar, mati. Tapi karena ini membuat jijik pengunjung lain, yang sedang makan maka tiga wanita muntah-muntah dan ikut-ikutan mengeluarkan sisa makanan mereka. Rumah makan itu ribut!

"Ha-ha, selera makan jadi terganggu. Ah, ada orang makan lalat. Hei, kita pindah ke pojok, Kwi-cici, di situ kita bebas dan mari memesan makanan!”

Chi Koan bangkit dan geli juga melihat dua laki-laki itu hoak-hoek. Ia telah mengebut dua ekor lalat tadi hingga langsung menyambar batang tenggorok, menancap dan tak akan keluar kalau dua laki-laki itu tidak memuntahkannya. Dan ketika benar saja mereka batuk-batuk dan muntah-muntah, pengunjung lain menjadi jijik dan terganggu maka cepat-cepat mereka memalingkan muka dan bagi yang sudah selesai lalu buru-buru membayar dan pergi.

Chi Koan tertawa dan melihat pemilik dan pelayan restoran menjadi kalang-kabut. Tiga pelayan bergegas mengambil sapu dan pasir membersihkan muntahan itu, yang lain menggosok dan berseru berulang-ulang agar dua tamu mereka itu jangan muntah lagi. Air putih diberikan untuk penawar. Dan ketika akhirnya mereka menggigil dan mengusap mulut, melotot memandang Chi Koan yang sudah berpindah tempat maka yang muka merah, dengan pedang di punggung langsung melompat dan mencabut pedangnya. Tahu bahwa anak muda itu memang sengaja berkurang ajar!

“Bocah siluman, kau tak tahu adat. Biarpun cicimu cantik tapi aku bukan laki-laki murahan yang akan dapat kau suap dengan encimu. Mampuslah, terima pedangku!”

Chi Koan tertawa lebar. Ia sedang memilih masakan dari buku di atas meja, tak tahu atau barangkali tak perduli tusukan itu, yang menuju pangkal lengan kirinya. Dan ketika laki-laki itu tertegun karena lawan tak berkelit, duduk tenang membaca buku masakan maka ia hendak menahan namun terlanjur marah dan justeru menambah tenaganya.

“Krek!” Pedang itu yang patah. Chi Koan sekarang menoleh dan kagetlah laki-laki ini melihat pandang mencorong dari lawannya. Chi Koan mendengus. Dan ketika ia terhuyung mundur namun Chi Koan memberi tanda, Kwi-bo bergerak dan melecutkan rambutnya maka robohlah laki-laki itu dengan kepala pecah!

Gemparlah rumah makan ini. Sekarang semua tahu bahwa pemuda dan wanita cantik itu kiranya adalah orang-orang ganas. Sekali gebrakan saja mereka telah membunuh orang. Dan ketika Kwi-bo terkekeh dan menyepak bagai kuda, mayat itu terlempar maka laki-laki kedua yang juga maju dan hendak menyerang tiba-tiba memutar tubuhnya dan lari.

"Iblis! Siluman! Ada orang-orang kejam!”

"Hi-hik, kau mau ke mana?" Kwi-bo berseru dan mengambil sumpit di atas meja. "Kaupun memaki-maki temanku, tikus busuk. Terimalah dan mampuslah!”

Sumpit menyambar dengan kecepatan kilat. Laki-laki itu baru saja melangkah keluar pintu ketika tiba-tiba tersentak dan kaget, tubuhnya berhenti mendadak dan sekonyong-konyong iapun roboh, berteriak setelah sadar. Sumpit menancap di punggungnya sampai tembus! Tapi ketika ia terjerembab dan teriakan itu mengguncangkan para tamu, semua kaget maka laki-laki itu tewas menyusul orang pertama.

Berlarianlah semua orang keluar. Setelah dua jiwa melayang di situ maka orang-orangpun panik. Mereka mendorong kursi dan berserabutan mencari selamat, pemilik rumah makan bahkan ngumpet disusul pelayan- pelayannya. Ruangan tiba-tiba kosong, kecuali terisi oleh Chi Koan dan Kwi-bo serta tiga orang wanita dan seorang laki-laki gagah lain, yang duduk di sudut dan mereka inilah yang terbelalak dan merah mukanya, bukan takut melainkan marah! Dan ketika semua berlarian, namun mereka bangkit berdiri, satu di antara tiga wanita itu membentak dan berkelebat ke depan maka pedang di tangannya menusuk leher Kwi-bo.

"Siluman betina, kau kejam dan telengas. Terimalah, kaupun harus mampusl"

Kwi-bo terkejut namun terkekeh. Dia melihat memang empat orang inilah yang sama sekali tidak bergerak keluar rumah makan. Bau harum menyambar disusul kilatan sinar pedang yang menusuk leher. Tapi karena wanita ini bukan wanita biasa dan Kwi-bo miringkan tubuh sambil menggerakkan rambut maka senjata hitam panjang itu menjeletar dan tak kalah menguarkan bau harumnya.

"Plak!" Wanita itu terhuyung dan mundur setindak. Tenaga lecutan menangkis pedangnya dan iapun tergetar, marah membelalakkan mata dan sama sekali tidak menunjukkan rasa takut. Tapi ketika ia hendak menyerang lagi dan maju dengan pedang diangkat tiba-tiba kedua temannya sudah mencekal lengannya dan berseru,

"Sam-moi, sabar. Kita rupanya berhadapan bukan saja seorang iblis kejam melainkan lawan yang berkepandaian tinggi. Mundurlah, kita tanya mereka dan nanti dihajar bersama-sama!"

"Benar," laki-laki di belakang berseru, iapun sudah berkelebat dan berada di belakang wanita-wanita ini, yang cantik dan rata-rata berusia tiga puluhan tahun. "Mereka lihai dan berkepandaian, Khong-tong Sam-lihiap (Tiga Pendekar Wanita Dari Khong-tong). Hati-hati dan jangan gegabah!”

“Hm, kalau tidak salah ini adalah sahabat Pi- san-to-hiap (Golok Pembelah Gunung). Terima kasih atas perhatianmu, taihiap, tapi jangan khawatir, kami dapat menjaga diri!" satu di antara wanita itu berkata, melirik dan mengangguk dan laki-laki itu berseri dan gembira. Kerling itu manis dan bersahabat, dan iapun rupanya sudah dikenal. Maka bangga dan maju melangkah lagi iapun menjura dan tampaklah gagang golok di belakang punggungnya yang tegap.

"Lihiap sungguh bermata tajam. Benar, aku adalah Pi-san-to si Golok Pembelah Gunung. Kalau lihiap berani menghadapi iblis betina ini tentu tak kuragukan. Tapi hati-hati, kawan satunya ini rupanya lebih lihai!”

"Hm, kami tahu, tak usah kau takut!" dan menghadapi lagi Chi Koan dan Kwi-bo segera wanita ini membentak, suaranya sekarang lantang galak, "Wanita keji, kenapa kau main bunuh kepada orang-orang tak berdosa. Salahkah mereka kalau menegur temanmu yang tak tahu aturan. Kami Khong-tong Sam- lihiap tak dapat menerima ini dan paling benci melihat orang sembarang main bunuh!"

“Hi-hik, kalian, eh... Khong-tong Sam-lihiap? Murid tingkat berapa kalian ini dengan Khong- tong Lojin?"

"Kami adalah para sumoinya, murid-murid utama Khong-tong!"

“Ah, sumoi dari tua bangka Khong-tong Lojin? Bagus, tentu kalian lihai, bocah-bocah, tapi jangan kalian kira aku undur menghadapi kalian. Biarpun ketua Khong-tong sendiri aku tak takut. Hayo, majulah, kita main-main sebentar!"

Kwi-bo meledakkan rambutnya dua kali, nyaring menjeletar sementara Chi Koan tersenyum dan berseri-seri. Sejak tadi ia memandang tiga wanita cantik ini dengan mata bergairah. Ia sama sekali tak memandang mata Pi-san-to-hiap si Golok Pembelah Gunung karena ia justeru kagum dan bersinar memandang wanita-wanita ini. Ia mendengar percakapan itu dan kiranya mereka adalah murid-murid Khong-tong-pai.

Ketuanya Khong-tong Lojin adalah seorang tokoh tua yang dikenal banyak orang tapi karena kakek ini tak mau keluar dan murid-muridnya pun jarang yang membuat berita di luar, mereka tidak seperti murid-murid Kun-lun atau Hoa-san yang agresip, apalagi anak murid Heng-san-pai maka diam-diam ia menaksir tiga wanita itu dan ingin menjadikan mereka sebagai kekasih-kekasihnya.

Kwi-bo yang ada di sampingnya dirasa mulai membosankan meskipun kadang-kadang ia butuh juga, maklum, Kwi-bo adalah wanita jago bermain cinta yang pandai memabokkan laki-laki. Tapi karena cinta wanita itu adalah cinta berahi, yang ini Chi Koan bosan maka ia mengharapkan yang lain dan kini melihat wanita-wanita itu iapun tertarik dan kagum. Wanita yang bicara ini dinilai amat berhati-hati namun gagah dan berani.

"Kwi-bo, jangan bunuh mereka. Aku tertarik kepadanya dan jangan kau bersikap kasar kepada bidadari-bidadari ini!"

“Eh,” Kwi-bo menoleh, matanya melotot. “Kau menaksir mereka? Kau jatuh hati kepada murid-murid Khong-tong ini?"

“Ha-ha, apa salahnya, Kwi-bo. Mereka memang cantik dan gagah sekali, terutama yang baju hijau ini. Hm, persilakan mereka duduk dan biar makan minum bersama kita.”

"Apa?”

"Sudahlah, kau ajak mereka duduk, Kwi-bo, atau main-mainlah bersama si jantan yang baru saja berkokok nyaring itu. Aku ingin menjadi sahabatnya dan kau boleh cari meja yang lain bersahabat dengan Golok Pembelah Tahu itu!”

“Heh-heh, hi-hik!” Kwi-bo tak dapat menahan geli dan tawa riangnya. Rasa cemburunya mendadak lenyap. “Kau benar, Chi Koan. Ada pria lain di sini. Aih, ia baru saja berkokok nyaring. Barangkali, hi-hik.... barangkali saja ia benar-benar jantan sebagaimana layaknya seekor jago!” dan berkedip memandang Pi-san-to-hiap, menoleh dan memandang wanita-wanita cantik itu tiba-tiba sikap wanita ini berubah, manis dan bersahabat. "Adik-adik, kemarilah. Tuanmu Chi Koan ingin berkenalan. Dan kau, hmm.... kau boleh duduk dengan aku di meja sebelah, Pi-san-to-hiap. Kita ngobrol dan bercakap ngalor-ngidul!"

Kwi-bo terkekeh dan senang sekali. Tadinya ia merasa cemburu dan marah bahwa Chi Koan tiba-tiba menaksir Khong-tong Sam-lihiap itu. Mereka memang cantik-cantik dan tergolong muda juga, dibanding dirinya. Tapi begitu Chi Koan menawarkan Pi-san-to-hiap dan Golok Pembelah Gunung itu adalah laki-laki tegap yang kelihatan jantan juga, gagah dan pernah didengar namanya pula maka ia mendapat pengganti dan mempersilakan tiga wanita itu duduk di meja Chi Koan sementara ia sendiri melenggang dan pindah tempat duduk baru di meja sebelah!

"Hi-hik, mari, Pi-san-to-hiap.... mari bercakap-cakap di sini. Biarkan teman-temanmu bersama temanku dan kita berdua di sini!”

Laki-laki dan tiga wanita itu terkejut. Chi Koan tidak lagi menyebut cici melainkan Kwi-bo sebagai julukan langsung. Julukan ini tentu saja dikenal mereka tapi sekaligus heran. Kwi-bo? Bukankah ini satu di antara Tujuh Siluman Langit? Tapi Kwi-bo dikabarkan tewas, apakah wanita ini Kwi-bo lain yang baru muncul? Atau wanita yang coba-coba memakai gelarnya meniru mendiang Kwi-bo dari Tujuh Siluman Langit itu? Maka heran dan terkejut memandang Chi Koan, juga wanita itu maka Khong-tong Sam-lihiap ini tertegun dan Golok Pembelah Gunung juga tampak berobah dan sedetik pucat.

Tapi mereka adalah orang-orang gagah yang benar-benar termasuk golongan pendekar. Golok Pembelah Gunung, pria dari daerah Ho-nan akhir-akhir ini dikenal dalam sepak terjangnya menghajar perampok-perampok dan para begal. Untuk kota An-tien dan sekitarnya dia cukup dikenal, meskipun orang hanya mendengar namanya tak tahu orangnya. Laki-laki ini memang tidak suka bersombong diri dan kalau ia tiba di suatu tempat biasanya jarang orang mengenalnya, kecuali yang sudah pernah dihajar dan mengenal goloknya.

Maka ketika tadi Khong-tong Sam-lihiap mengenalnya dan laki-laki ini kagum, pendekar-pendekar wanita dari Khong-tong itu ternyata bermata tajam maka ketika iapun mengenal wanita-wanita itu dan mereka juga kagum, laki-laki ini sama tajam maka diam-diam wanita baju hijau mulai tertarik dengan pendekar gagah ini tapi mereka terkejut mendengar julukan yang disebut Chi Koan kepada lawan mereka itu. Kalau ini betul Kwi-bo satu di antara Tujuh Siluman Langit maka hal itu jelas tak disangka. Kwi-bo dikenal sebagai wanita kejam di samping cabul, dan tadi mereka juga sudah melihat kekejaman wanita ini ketika membunuh dua laki-laki.

Tapi karena mereka ragu apakah Kwi-bo yang ini betul Kwi-bo dari Tujuh Siluman Langit, mereka juga belum pernah berhadapan dengan wanita itu maka Khong-tong Sam-lihiap menjadi marah kembali ketika diajak duduk dan dipersilakan berkenalan dengan pemuda di depan meja itu, sementara Go-lok Pembelah Gunung terkejut dan marah hendak diajak duduk bersama wanita itu, yang genit melenggang dan gaya serta kerling matanya juga cabul!

"Eh!" pria itu dan Khong-tong Sam-lihiap hampir serentak berseru bareng. "Kau kira apa kami ini, iblis betina? Wanita murahan? Keparat, kau tak perlu menyingkir dan lari dengan memasang temanmu. Kesinilah, kau belum mempertanggungjawabkan perbuatanmu membunuh orang!" wanita baju kembang, yang tadi sudah bergebrak dan ditangkis Kwi-bo mendadak berkelebat dan menggerakkan pedangnya. Yang baju hijau, sang toa-cí (kakak pertama), tak dapat mencegah lagi karena mukanya pun sudah merah dan marah mendengar semua kata-kata itu.

Setelah tadi ia terkejut dan ragu-ragu akan julukan lawan sekarang ia marah direndahkan begitu rupa. Wanita iblis ini tak memandang mata, biarpun tahu ia sumoi dari Khong-tong Lojin, ketua Khong-tong. Maka begitu adiknya menyerang dan ia diam saja, Golok Pembelah Gunung melotot memandang wanita itu maka Kwi-bo sendiri terkekeh dan menggerakkan rambut untuk menangkis, pedang dan rambut untuk kedua kalinya kembali bertemu.

"Eh, kau bicara apa, bocah. Baik-baik kau dipersilakan duduk dengan temanku di sana masih juga kau memburuku di sini. Baik, pergilah dan biarkan Pi-san-to-hiap itu di sini.. plak!" Kwi-bo kali ini mengerahkan tenaganya, lebih kuat dari tadi dan wanita lawannya ini terpental. Wanita itu memekik karena kalau ia tidak melempar tubuh berjungkir balik tentu ia bakal terbanting. Kali ini Kwi-bo memberi pelajaran! Dan ketika ia terkejut sementara dua encinya berubah kaget, wanita itu berjungkir balik melayang turun maka Kwi-bo menggapai dan tertawa kepada Pi-san-to-hiap.

"Kau, ke sinilah, taihiap.... kita bicara dan bercakap-cakap berdua. Kalau temanku tidak melarang tentu wanita itu kubunuh!”

Pria ini terkejut. Dari gebrakan ini segera dia tahu bahwa, iblis wanita itu hebat sekali. Gerakan rambutnya benar-benar mengingatkannya pada Kwi-bo tokoh Tujuh Siuman Langit dan iapun tergetar. Tapi karena Kwi-bo dikabarkan tewas dan wanita ini bisa jadi Kwi-bo yang lain, orang yang muncul belakangan dan menjiplak nama itu maka dia menjadi marah namun sebelum ia maju tiba-tiba Khong-tong Sam-lihiap itu menerjang lagi dan menyerang dengan pedangnya.

Dua kali gebrakan ini membuat wanita itu marah besar dan sekali membentak panjang ia sudah maju menyerang lagi. Pedang di tangan diputar hebat dan dua encinya meloncat dan berjaga- jaga. Agaknya, kalau adik mereka ini tak kuat melawan musuh merekapun akan maju mengeroyok. Mereka sama sekali tak menghiraukan Chi Koan dan pemuda itu menjadi mendongkol. Namun karena temannya sudah diserang dan ia juga ingin melihat permainan pedang wanita Khong-tong ini, Chi Koan tersenyum dan mengetuk-ngetuk permukaan meja maka di sana Kwi-bo meloncat bangun dan berkelebatan melayani lawan.

Wanita ini terkekeh-kekeh dan kursipun disambar, dipakai untuk menangkis dan bunyi crak-crak disusul mencelatnya potongan- potongan kayu. Kursi itu patah-patah, putus dibacok pedang, Tapi ketika Kwi-bo melempar kursi yang hancur ini dan bergerak naik turun, rambut menjeletar dan tangan kiri atau kanan melepas pukulan-pukulan sinkang maka lawannya terhuyung dan pedang tertolak oleh pukulan atau rambut wanita ini.

"Hi-hik, bagaimana, Chi Koan. Apakah tak boleh aku membunuh wanita ini? Ia menggangguku, patut dihajar!"

“Ha-ha, jangan. Kau main-main saja melepas keringat, Kwi-bo. Dorong dan suruh dia mundur sampai tahu kelihaianmu. Aku tertarik kepada mereka dan biar mereka tahu siapa kita!"

“Ah, begitukah? Baik, tapi kalau kulit lecet sedikit jangan menyalahkan aku karena akupun harus membalas... tar!" dan rambut yang meledak di tengah antara pukulan tiba-tiba mengenai pangkal lengan wanita itu hingga lawan terhuyung, memekik dan kesakitan dan pangkal lengan murid Khong-tong ini berdarah. Ia kena disabet!

Dan ketika dua encinya terkejut karena sebentar kemudian adik mereka itu sudah terdesak dan menggigil pedangnya, dua kali hampir terlepas menerima tangkisan Kwi-bo maka yang baju ungu tiba-tiba berseru keras dan menerjang membantu adiknya itu, sang kakak yang berbaju hijau mulai ragu bahwa jangan-jangan wanita ini adalah benar-benar Kwi-bo tokoh Tujuh Siluman Langit.

"Sam-moi, jangan takut. Aku datang membantu!”

Kwi-bo segera dikeroyok. Wanita itu terkekeh dan mengelak sana-sini sambil meledakkan rambut. Ia terus menambah tenaganya hingga si baju kembang terkejut, dua kali hampir melepaskan pedang karena telapak tangan terasa perih dan lecet. Kalau yang baju ungu tak datang membantu mungkin ia benar-benar bakal melepaskan senjata, pedang itu hampir tak kuat ditahan. Maka ketika encinya nomor dua ini membentak sementara encinya baju hijau menonton dengan muka khawatir, cemas bahwa itu benar-benar Kwi-bo yang amat jahat maka dua wanita itu sudah mengeroyok lawan dan adiknya bangkit semangatnya dibantu sang enci.

Kwi-bo tertawa dan mempercepat gerakan tubuhnya. Setelah dia tahu bahwa lawan- lawannya ini adalah para sumoi dari Khong- tong Lojin tentu saja ia harus berhati-hati. Kekeh dan tawanya sebenarnya pulasan saja, karena iapun tak berani memandang enteng kecuali satu lawan satu. Tapi karena yakin bahwa ia tentu dikeroyok, kalau begini ia harus bekerja keras maka rambutnya menjeletar- jeletar sementara pukulan tangannya silih berganti menghalau lawan.

"Chi Koan, bagaimana ini. Apakah aku tak boleh bersikap keras?"

"Hm, jangan. Mereka akan roboh di tanganmu, Kwi-bo. Biarkan semua maju dan lihat kepandaianmu. Jangan bersikap keras, lecutan rambutmu sudah terlalu kuat dan tak perlu kau khawatir!" Chi Koan tertawa, berseru sambil terus mengagumi wanita-wanita itu dengan mulut mendecak-decak.

Pemuda ini kagum bukan kepada permainan pedang melainkan lekuk liku wanita-wanita itu. Setelah mereka bergerak dan menyerang tampaklah segala tonjolan-tonjolan. Pinggul dan buah dada mereka bergerak-gerak, apalagi setelah mereka mulai berkeringat dan basah. Pakaian itu mencetak tubuh dan lekuk liku ini tak dapat disembunyikan. Kwi-bo juga berkeringat namun bagi Chi Koan murid-murid Khong-tong itu lebih menarik. Mereka adalah "barang" baru dan yang baru selalu lebih segar, ini bagi laki-laki bermata keranjang.

Maka ketika mereka mengeroyok namun Kwi-bo dapat menghalau dan meledak-ledakkan rambutnya, lawan penasaran dan memperhebat serangan namun justeru terpental dan terpekik bertemu tenaga Kwi-bo maka dua murid Khong-tong itu pucat dan mereka mulai sadar bahwa dikeroyok dua masih belum cukup.

“Toa-ci, bantu kami. Kami ingin cepat-cepat merobohkan wanita siluman ini!”

"Hm, kalian tak tahan?” sang toa-ci meraba gagang pedang dan siap meloncat, melihat bahwa dua saudaranya sering terpental. "Baik, kita hajar siluman betina ini, ji-moi (adik kedua). Dan tak perlu malu karena sesungguhnya kita juga sering maju berbareng.. singgg!" pedang berkilau mengeluarkan sinarnya yang panjang, melesat dari sarung pedang dan wanita itu sudah bergerak menyambar bagai seekor burung walet, cepat dan lebih kuat daripada dua adiknya.

Kwi-bo terkejut melihat ini. Ia sedang diserang dari kiri kanan dan tiba-tiba ia melengking marah. Serangan itu ditangkis dan rambut melibat pedang, menarik si baju kembang dan ketika sang toa-ci membentak dan menyerangnya iapun memberikan si baju kembang ini kepada toa-ci. Lawan terkejut karena adiknya dijadikan sasaran, menendang dan terlemparlah adik paling muda itu dengan tubuh berdebuk. Sang kakak merobah arah serangan dan Kwi-bo kagum. Wanita baju hijau ini ternyata paling lihai, mampu mengantisipasi keadaan dengan tepat. Dan ketika di sana adiknya bergulingan meloncat bangun dengan muka merah padam, menabrak meja kursi yang jungkir balik tak keruan maka wanita itu maju lagi dan Kwi-bo dikeroyok bertiga.

"Ha-ha, sekarang dirimu benar-benar berkeringat, Kwi-bo. Hayo tunjukkan kelihaianmu dan mainkan tarianmu yang maut!" Chi Koan berseru dan bertepuk-tepuk tangan. Dia tahu bahwa semuanya ragu apakah Kwi-bo ini Kwi-bo tokoh Tujuh Siluman Langit. Kwi-bo telah dikabarkan tewas dan satu-satunya jalan meyakinkan mereka adalah mempertunjukkan kepandaian asli wanita ini, yakni Thian-mo-bu atau Tarian Hantu Langit.

Dan ketika Kwi-bo terkekeh dan maklum akan maksud temannya, Chi Koan menyuruh dia mengeluarkan kepandaian utama maka begitu membentak iapun sudah meliuk dan mengelak sana-sini dengan gerakan tari, baju dan pakaianpun mulai dicopoti. Si Golok Pembelah Gunung mulai melotot!

"Hi-hik, baik, Chi Koan. Kalau bukan karena kau tak mau aku bersabar-sabar. Nah, inilah kepandaianku dan siapa ingin menonton boleh menonton... wut-wut!"

Kwi-bo melempar dan membuang pakaiannya seperti penari telanjang. Ia mulai mainkan Thian-mo-bu dan ilmu ini memang mengharuskan begitu. Pemlliknya harus berbugil ria dan pakaianpun harus dilepas semua. Ilmu ini terutama dipakai untuk menghadapi lawan jenis karena kaum lelaki pasti terbeliak matanya. Tubuh seorang wanita memang besar pengaruhnya, apalagi kalau seperti Kwi-bo itu, yang memiliki tubuh sintal dengan lekuk-lengkung sempurna.

Chi Koan sendiri tergerak dan tergetar birahinya, padahal sudah berkali-kali ia menyaksikan tubuh itu. Dan ketika di sana Golok Pembelah Gunung berhenti detak jantungnya karena Kwi-bo sudah meliuk dan melolosi pakaiannya, bugil dan mengelak serta menjeletarkan rambut dengan gaya aduhai maka laki-laki itu menelan ludah sementara tiga wanita Khong- tong menjerit dan merah padam. Jengah!

"Kwi-bo, kiranya benar kau adalah iblis wanita itu, Aih, kau benar-benar tak tahu malu. Kau wanita cabul. Kau.... kau menghancurkan harkat dan nama baik wanita!" si baju hijau, yang tak tahan dan berseru melengking disusul adik-adiknya yang merah padam menusuk dan membacok wanita ini. Sekarang mereka sadar bahwa ini betul-betul Kwi-bo dari Tujuh Siluman Langit itu. Kepandaian khas dari wanita itu sudah diperlihatkan, yakni tariannya yang tak tahu malu tapi hebat itu.

Dan ketika di sana Golok Pembelah Gunung menelan ludah berkali-kali, kagum dan tergetar oleh tubuh wanita ini maka si baju hijau melirik dan perasaannya panas terbakar! Entah bagaimana melihat Kwi-bo sudah mainkan Thian-mo-bu dan pria gagah itu tampak terpesona tiba-tiba saja wanita ini gusar. Ada semacam perasaan cemburu atau benci. Ia marah kepada laki-laki itu, juga Kwi-bo si biang keladi. Maka ketika ia membentak dan berkelebat menusuk, sebagai sesama wanita tentu saja ia tak tergetar dan terpengaruh oleh ilmu pemikat itu, Thian-mo-bu hanya efektif dipergunakan untuk laki-laki maka Kwi-bo menangkis dan rambutnya menjeletar melibat pedang wanita baju hijau ini.

"Plak!" Pedang tertarik dan terlibat. Ini adalah kali yang kesekian dari kejadian yang sama. Wanita itu biasanya akan mampu menarik pedangnya lagi karena dari kiri dan kanan adik-adiknya bakal melepas serangan, mengganggu dan memaksa Kwi-bo melepaskan pedangnya. Dan ketika benar saja dua wanita lain menyerang Kwi-bo namun wanita baju hijau ini tidak menarik melainkan meneruskan gerakannya menusuk, Kwi-bo terkejut maka wanita itu mengelak ke belakang dan otomatis belitan rambutnya pun tertarik dan ia menjadi marah karena lawan terus maju dan merangsek.

"Keparat!" wanita itu membentak dan menendang. Ia menampar dengan tangan kirinya hingga pedang terpukul, balik mengejutkan lawan namun tiba-tiba wanita itu menggerakkan tangan kirinya pula menghantam wajah Kwi-bo, jarak begitu dekat. Dan ketika Kwi-bo menggerakkan tangan kanannya menyambut pukulan itu, kaki mengenai gagang pedang maka pedang mencelat tapi tangan kiri wanita itu mencengkeram dan membetot tangan kanan Kwi-bo, kuat sekali.

"Krek!" Kwi-bo terbelalak. Ia tertangkap dan mereka saling cengkeram, saat itu wanita baju hijau berteriak pada adik-adiknya untuk menyerang Kwi-bo, hal yang membuat wanita ini marah. Dan ketika benar saja dua wanita itu menusuk dan ia tak mungkin mengelak, tubuhnya ditahan oleh jari-jari wanita ini maka Kwi-bo menggerakkan rambutnya dan pedang kedua diterima dengan pengerahan sinkangnya, dan saat itu masuklah enam bayangan lain berturut-turut.

“Plak-rrt-dess!"

Wanita baju kembang mengeluh dan terbanting. Ia didahului rambut yang tepat menyambar pundaknya, roboh terlempar sementara encinya nomor dua terkejut membacok tubuh Kwi-bo yang alot, yang melindungi dirinya dengan sinkang dan saat itu toa-cinya membentak dan mendorong lawan. Kwi-bo terdorong namun saat itu kakinya mencuat menyambar kakaknya, tepat mengenai dagu dan terjengkanglah encinya yang tak menyangka tendangan ini. Dan ketika dua orang roboh sementara dia tertegun, Kwi-bo terhuyung melotot padanya maka seorang kakek berkalung ular terkekeh dan tahu-tahu menotok punggungnya.

“Heh-heh, main-main apa ini, Kwi-bo. Kenapa ayal-ayalan dan membiarkan diri dipukul anak-anak ingusan.. plak!" wanita itupun roboh menyusul saudara-saudaranya, berteriak tertahan dan kakek berkalung ular itu bergerak dan hendak menginjak tubuhnya. Tapi ketika Chi Koan berseru dan mengangkat tangannya, mencegah, maka kakek itu membatalkan injakannya dan lima orang lain sudah berada di dalam restoran itu, bagai iblis-iblis gentayangan.

"Coa-ong, jangan bekoar seenak perutmu. Kalau Chi Koan tidak melarangku tentu pukulanku yang keras akan membunuh murid- murid Khong-tong inil!"

"Ah, murid-murid Khong-tong? Bagus, tapi mereka berhasil merepotkanmu juga!"

“Mereka sumoi-sumoi dari Khong-tong Lojin. Tutup mulutmu kalau mengira aku lemah menghadapi mereka!"

“Ha-ha, Kwi-bo sudah naik darahnya. Sudahlah, aku tak bermaksud merendahkanmu, Kwi-bo, hanya tadi heran mengapa kau bersikap lunak dan tidak seperti biasanya. Tak tahunya bahwa murid kita Chi Koan ini yang menyuruh!" dan membalik menghadapi kawan-kawannya yang lain kakek berkalung ular itu berseru, "Kawan-kawan, kita sudah berkumpul dan lengkap di sini. Mari duduk dan dengarkan apa kata murid kita Chi Koan ini!”

Golok Pembelah Gunung terkejut dan pucat. Ia sudah melihat tujuh orang berkumpul di situ dan pemuda yang masih tenang dengan wajahnya yang berseri-seri itu kelihatan mengangguk dan gembira. Tiba-tiba ia pucat karena Tujuh Siluman hidup lagi, muncul di situ. Dan ketika ia hendak bergerak dan menyembunyikan diri, rasa gentarnya muncul mendadak wanita berkulit perunggu mendengus dan berada di belakangnya....

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.