“HA-HA, siapa dua orang asing ini. Kapan Go-bi mendatangkan bala bantuan orang-orang luar?"
“Tutup mulutmú. Kami bukan orang asing, Chi Koan. Lupakah kau kepadaku. Aku adalah Peng Houw!" Peng Houw membentak.
"Ah, kau Peng Houw? Ha-ha, ingat aku sekarang. Benar, kau Peng Houw. Ah, ha-ha... dan siapa kalau begitu tosu bau ini?”
“Dia guruku Giok Kee Cinjin. Jangan kau kurang ajar karena bertahun-tahun guruku ini sudah bersahabat dengan Go-bi, bukan orang asing.... plak-dess!" dan Peng Houw yang melepas pukulan tapi terpental ditangkis Chi Koan, berjungkir balik dan melayang turun segera membuat Chi Koan tertawa bergelak dan ingat siapa lawan-lawannya ini.
Kiranya adalah Peng Houw dan Giok Kee Cinjin, sobat atau kawan-kawan lamanya. Dan gembira bahwa Peng Houw tiba-tiba muncul di situ, dia ingin menghajar dan memberi pelajaran lagi maka Chi Koan menangkis keras tapi dia heran bahwa Peng Houw hanya terpental saja, berjungkir balik dan sudah melayang turun dan kini Peng Houw bersama yang lain-lain menyerangnya bertubi-tubi. Dia gemas dan marah dan Cui-pek-po-kian kembali menyambar.
Puluhan orang terlempar tapi Peng Houw terhuyung saja. Heran, padahal Giok Kee Cinjin terpelanting dan mengeluh di sana, susah bangun tapi pemuda ini sudah mendahului gurunya dan menerjang lagi dengan amat berani. Ji-hwesio, susioknya, juga terbanting dan roboh bergulingan. Dan ketika dia heran dan marah melihat serangan Peng Houw maka Chi Koan mengibaskan Cui-pek- po-kiannya dan menambah tenaga hampir sepenuhnya dia menyambut Soan-hoan-ciang yang dilakukan lawannya itu.
“Bresss...!” dan Peng Houw bangkit lagi seperti tidak merasa apa-apa, menerjang dan menubruk lagi sementara hwesio-hwesio lain membentak dan menyerang lagi. Chi Koan tak tahu akan kehebatan fisik Peng Houw setelah mendapat usapan Sian-ji-kang, usapan jari sakti dari sesepuh Go-bi yang membuat Peng Houw kebal terhadap bacokan senjata tajam dan juga tak akan patah tulang atau remuk, biar dibanting ataupun diinjak gajah.
Dan ketika berkali-kali hal itu terjadi sementara susioknya maupun Giok Kee tetap menyerang, mereka mengelak atau melempar tubuh kalau pukulannya terlalu berbahaya maka Chi Koan terbelalak karena rupa-rupanya dia hendak dibuat mati lelah dan dikurung serta tak dibiarkan pergi kalau kitab di tangannya itu tak diberikan.
"Keparat!" pemuda ini gusar. "Kau dan lain-lainnya keras kepala, Ji-susiok. Kalau kau tidak membiarkan aku pergi dan tetap bandel jangan salahkan kalau aku membunuh!”
"Omitohud...!" sang susiok berseru, keras. "Lebih baik begitu, Chi Koan. Kau bunuhlah kami dan habisilah penghuni Go-bi agar dosamu semakin sempurna!"
"Dan kami akan mengutukmu di akherat!" Sam-hwesio melepas gemas. "Kau bocah tak tahu budi dan perusak, Chi Koan. Awas kalau gurumu dan sukongmu masih hidup. Kau tentu akan mendapat hajaran dan seumur hidup kau tak bakalan tenang!"
"Hm!" pemuda ini berdebar, perasaannya rupanya tergetar. "Kalian paman-paman guru yang selalu iri kepadaku, Ji-susiok. Baiklah kalau begitu aku tak membunuh kalian tapi memberi pelajaran cukup berat. Awas...!” Chi Koan berkelebat memasukkan kitab kuning, tangan menderu dengan Cui-pek-po-kian sementara kakinya menendang dengan Thai- san-ap-ting. Hebat dua buah serangan ini karena baik Cui-pek-po-kian maupun Thai-san-ap-ting mengeluarkan tenaga yang dahsyat.
Para murid yang ada di belakang saja terlempar dan berteriak dan Ji-hwesio maupun dua adiknya berseru keras melempar tubuh. Toya mereka diputar menangkis serangan itu namun mereka tetap saja berteriak. Toya patah disambar tendangan Chi Koan sementara dorongan Cui-pek-po-kian itu membuat tiga hwesio ini sesak napas. Mereka melempar tubuh namun tetap saja terkena, mengeluh dan Su-hwesio terjengkang muntah darah. Dua suhengnya, Sam-hwesio dan Ji-hwesio, mencelat dan terbanting dengan muka pucat. Sepuluh detik mereka tak dapat bangun!
Dan ketika kesempatan itu dipergunakan Chi Koan untuk melompat dan melewati paman-paman gurunya, tak mungkin Ji-hwesio maupun sutenya dapat menahan maka pemuda ini lolos dan anak-anak murid yang lain bengong karena jatuh terduduk oleh dua pukulan pemuda ini yang amat dahsyat.
Tapi Peng Houw dan Giok Kee Cinjin masih ada di situ. Dua orang ini terbelalak dan terdorong pula oleh dua pukulan Chi Koan. Namun karena pukulan itu lebih ditujukan kepada Ji-hwesio bertiga dan Giok Kee maupun Peng Houw tak begitu merasakan, kini pemuda itu kabur dan mereka tentu saja marah maka Peng Houw maupun gurunya mengejar dengan satu bentakan tinggi.
"Chi Koan, kembalikan dulu kitab itu!"
"Bocah, pinto masih ada di sini!"
Chi Koan menoleh. Dia mendengar desir dua bayangan itu dan Peng Houw maupun gurunya sama-sama melepas Soan-hoan-ciang. Sebenarnya, melihat kepandaian dua orang ini Chi Koan tertawa mengejek. Kalau tak ada hwesio-hwesio Go-bi di situ tentu dia sudah merobohkan lawannya ini. Peng Houw terutama Giok Kee itu sudah berkali-kali jatuh bangun dan susah bangkit berdiri. Hanya Peng Houw yang lebih cepat dan selalu menerjang lagi.
Kali inipun Peng Houw ada di depan dan mendahului gurunya. Dan heran tapi juga gemas akan daya Peng Houw yang luar biasa, kini Chi Koan hendak merobohkan lawannya ini dan membuat Peng Houw muntah darah maka dia membalik dan dengan mata keji tangan kiri bergerak melepas Cui-pek-po-kian sementara tangan kanan menghantam dengan Thai-san-ap-ting.
"Peng Houw, awas!”
Sang guru sampai kaget. Giok Kee berteriak memperingatkan tetapi Peng Houw tak mungkin mengelak. Dia justeru melakukan serangan, Chi Koan membalik dan menangkis. Dan ketika Soan-hoan-ciang bertemu dua pukulan itu dan tentu saja Peng Houw terlempar, terangkat dan terbanting dengan amat kerasnya maka pukulan Giok Kee menyambar dan menghantam punggung Chi Koan dari belakang.
“Dess!” Chi Koan tergetar dan mendelik memandang tosu ini. Peng Houw, yang dihantamnya sekuat tenaga ternyata tidak apa-apa dan kembali melompat bangun. Menghadapi pemuda ini seperti menghadapi manusia karet yang tak dapat remuk. Dipukul akan bangkit lagi dan dihajar sekuat apapun pasti bangun dan berdiri lagi. Chi Koan jadi merinding! Dan ketika pukulan Giok Kee diterimanya tapi sinkang di tubuhnya melindungi dan menolak pukulan itu maka sang tosu terbanting dan muntah darah.
"Huakk!”
Di sini Chi Koan tak habis pikir. Tosu itu roboh tapi muridnya tak apa-apa. Peng Houw bahkan terbelalak dan marah kepadanya melihat gurunya muntah darah. Dan ketika pemuda itu berteriak menerjang kembali tapi Chi Koan melihat lawan-lawan lain bergerak dan siap mengepungnya lagi maka dia melompat dan tak mau melayani Peng Houw, berkelebat dengan Lui-thian-to-jitnya yang luar biasa itu.
"Peng How, kau bocah siluman. Biarlah lain kali kita bertemu lagi dan kutitipkan dulu nyawamu!"
“Berhenti! Tunggu dan kembalikan dulu kitab yang kau curi, Chi Koan. Serahkan kepada Go- bi dan kau aman!"
"Ha-ha, ini milikku, warisan guruku. Aku tak mencuri, Peng Houw. Kau boleh kejar aku kalau bisa!"
Peng Houw melotot. Dia mengejar dan menyerang lawannya itu tapi Chi Koan melesat turun gunung. Bukit itu sebentar saja dilewati dan serangannyapun dikelit. Dan karena Lui- thian-to-jit benar-benar luar biasa dan tak mungkin Peng Houw mampu mengejar, dia kalah jauh maka Chi Koan lenyap dan keluhan gurunya di sana membuat Peng Houw sadar dan kembali, keadaan tumpang-tindih dengan murid-murid yang luka atau pingsan.
Ternyata bukan hanya Giok Kee Cinjin yang muntah darah. Sam-hwesio, dan juga Ji-hwesio, harus menerima akibat dari pukulan Chi Koan tadi. Pemuda yang tak mau dihalangi larinya itu melepas pukulan berat di mana Su-hwesio sampai pingsan. Tulang dada hwesio ini retak dan dua suhengnya luka dalam.
Semua bernasib buruk, kecuali Peng Houw yang merupakan satu-satunya pemuda yang tahan jatuh bangun dihajar Chi Koan, juga beberapa murid lain yang tak berarti dan tadi berada jauh-jauh dari keganasan pemuda itu. Dan ketika semua ditolong dan guha pertapaan porak-poranda, sepak terjang Chi Koan membuat orang marah dan gigit jari maka malam hari kemudian datanglah sesepuh Go-bi Ji Leng Hwesio.
Semua terkejut tapi girang dan Ji-hwesio serta Sam-hwesio berseru memanggil supek mereka ini, berlutut tapi roboh karena luka-luka mereka yang diderita. Su-hwesio, adik termuda, masih tak sadar dan menggeletak dengan wajah pucat. Tulang dadanya retak. Dan ketika hwesio tua itu tertegun dan mata yang biasanya setengah terpejam itu membuka dan tampak terbelalak, wajah yang biasa sabar itu kelihatan keras dan marah maka Ji-hwesio yang merintih dan menahan sakit ini menceritakan dengan mata basah akan apa yang dialami. Dan sesepuh Go-bi itu tergetar, terutama ketika diceritakannya dibawanya Bu- tek-cin-keng oleh Chi Koan.
"Kami... kami tak dapat berbuat apa-apa. Chi Koan menginjak dan menghina kami habis-habisan, supek. Bu-tek-cin-keng dibawanya dan banyak di antara kami yang terluka, bahkan Giok Kee Cinjin sendiri. Dan satu di antara kami, seorang murid, tewas!”
"Omitohud.... Thian Maha Bijak! Ah, pinceng benar-benar dipermainkan anak itu, Ji Kak. Dan pinceng masuk perangkap. Omitohud, baru kali ini pinceng menghadapi seorang bocah yang cerdik tapi culas. Hm, di mana Giok Kee totiang dan apakah lukanya parah?"
“Giok Kee ada di ruang belakang, ditemani Peng Houw. Mari kami antar dan...”
“Tak usah. Pinceng ke sana sendiri, Ji Kak. Minumlah ini dan istirahatlah!" sang sesepuh menepuk punggung muridnya, menyalurkan sinkang dengan cara luar biasa dan sesak napas tiba-tiba hilang. Tujuh butir pil hijau diberikan dan Sam-hwesio maupun Su-hwesio juga mendapat perhatian. Dan ketika semua sudah dilihat dan Ji Leng ke belakang maka dilihatnya Peng Houw berlutut di tepi pembaringan. Giok Kee tampak lemah dan pucat di sana, batuk-batuk.
"Hm, pinceng membuatmu menderita, totiang. Omitohud, maafkan pinceng...!”
Peng Houw terkejut dan menoleh. Dia tak tahu kapan sesepuh Go-bi ini muncul tapi tentu saja dia girang dan gembira bukan main. Ternyata, Chi Koan bohong. Hwesio ini masih hidup! Dan ketika dia berlutut dan memberi hormat, betapapun hwesio itu adalah bekas pimpinannya juga maka Ji Leng sudah meraba dan mengusap dada Giok Kee Cinjin, yang merasa dingin dan segar seperti nikmat.
“Ha-ha, kau datang, lo-suhu? Masih hidup? Siancai, bocah itu memang bohong. Pinto.... uh, pinto tak dapat menyelamatkan Go-bi dari kehancuran!"
“Terima kasih, bantuanmu sudah cukup totiang. Dan pinceng tahu. Hm, lukamu tiga hari baru sembuh. Minumlah ini dan biar pinceng bantu dengan sedikit tenaga sakti,” sang hwesio mengusap dan menepuk Giok Kee Cinjin, berkerut dan menarik napas berkali-kali dan Peng Houw melihat semua itu dengan mata kagum. Wajah gurunya yang pucat sudah merah kembali dan batuk yang mengganjal sudah tidak bercampur darah lagi. Dan ketika hwesio itu menarik lengannya dan Giok Kee merasa sehat maka tosu ini bangkit duduk dan wajahnya tampak berseri-seri.
"Lo-suhu, kau benar-benar hebat. Aih, lukaku rasanya sembuh!”
"Hm, belum sembuh benar. Berbaring dan beristirahat dulu, totiang. Tiga hari kau baru pulih. Maaf, pinceng akan ke bukit.”
Giok Kee terbelalak. Dia hendak banyak bicara ketika tiba-tiba hwesio itu berkelebat lenyap. Dan ketika Peng Houw juga terbelalak karena hwesio ini lenyap seperti iblis maka terdengar sayup-sayup suara agar Giok Kee maupun Peng Houw ke guha pertapaan.
“Pinceng ditipu anak itu. Harap Cinjin maupun muridmu datang tiga hari lagi di tempat pinceng.”
Giok Kee girang. Dia mengangguk dan tertawa tapi Peng Houw merenung. Pemuda ini tak tahu apa yang terjadi. Tapi ketika tiga hari kemudian dia datang dan menjenguk hwesio itu ternyata kisah di balik semua ini didengar. Dan Chi Koan ternyata manusia cerdik yang licik dan amat keji. Apa yang dituturkan? Mari kita ikuti.
Dua hari lalu, setelah meninggalkan Go-bi dengan mengusir mundur orang-orang Heng-san dan Hoa-san maka hwesio sakti ini menuju ke Gunung Heng-san. Perjalanan dilakukan dengan cepat dan gerakan kaki yang tidak tampak melangkah melainkan melayang membuat hwesio ini seperti meluncur terbang saja. Kecepatannya luar biasa karena jarak yang bagi orang biasa bakal ditempuh berhari- hari itu ternyata bagi hwesio ini hanya dicapai dalam waktu empat lima jam saja. Tapi karena matahari sudah doyong ke barat dan hwesio ini tiba menjelang malam maka di tengah gunung dia berhenti dan mencari-cari.
Menurut kabar, Beng Kong, muridnya sudah datang ke tempat ini untuk membebaskan Chi Koan. Dia tak melihat satu orangpun di atas gunung itu dan suasana amat sunyi. Benar kalau seluruh kekuatan Heng-san dibawa untuk menggempur Go-bi, hwesio ini menarik napas. Tapi karena dia pernah ke sini dan sedikit banyak hapal akan beberapa tempat maka dihampirinya markas Heng-san dengan bangunan-bangunannya yang kokoh kuat itu.
Tapi tak ada tanda-tanda kehidupan. Ji Leng menengok ke atas dan dia teringat adanya guha di belakang gunung di balik puncak itu. Dia bergerak dan cepat ke sini. Dan ketika dia melihat guha itu sudah roboh, ambruk dan rata dengan tanah maka hwesio ini berubah karena bekas pertempuran hebat terjadi di sini. Sepotong tulang terlihat mencuat dan hwesio itu tergetar. Tulang siapakah itu? Milik muridnya atau Siang Kek Cinjin? Atau Chi Koan?
Hwesio ini membungkuk dan memungut tulang itu. Mata tuanya masih tajam dan akhirnya dia tahu bahwa tulang ini adalah tulang lengan milik Siang Kek Cinjin. Kesimpulan ini didapat karena tulang itu menunjukkan tulang seorang tua, penuh zat kapur dan tipis. Kalau tulang muridnya atau Chi Koan tentu lebih besar dan tebal, tidak pipih begitu. Dan ketika hwesio ini menarik napas dalam menyimpan tulang itu maka malam itu dia tak dapat bekerja banyak karena gelap dan tiadanya cahaya.
Tapi keesokannya didengarnya suara rintihan. Suara ini lemah sekali dan hampir tidak terdengar, bukan di atas tanah melainkan di bawah tanah. Kalau bukan hwesio ini tentu tak mungkin tertangkap! Dan ketika Ji Leng bergerak dan menuju asal suara itu maka dia tertegun karena di sebuah timbunan batu terdapatlah sebuah jari yang meraba-raba dan merayap lemah, mencari pertolongan.
“Siapa kau?" hwesio ini menarik dan mengibas. Timbunan batu itu berguguran dan tampaklah kini seorang pemuda mendongak dengan wajah pucat, girang tapi pucat dan melihat keadaannya rupanya sudah berhari-hari menderita. Siapa lagi pemuda ini kalau bukan Chi Koan! Dan ketika dia ditarik dan disendal kakek gurunya, berdiri tapi roboh maka Ji Leng berkerut dan menyambar pundaknya.
"Kau siapa?"
Pertanyaan ini wajar. Ji Leng, sesepuh Go-bi itu tak mengenal Chi Koan. Meskipun sama- sama di Go-bi namun cucu dan kakek guru itu tak pernah bertemu. Sesepuh Go-bi ini berada di pertapaannya sementara Chi Koan selalu berdekatan dengan gurunya saja, Beng Kong Hwesio yang lihai itu. Maka begitu bertemu dan baru kali itu juga Chi Koan berhadapan dengan sukongnya, girang tapi terkejut melihat sinar mata tajam mencorong dari seorang hwesio sakti maka dia berlutut dan menangis. Taktik dalam mencari iba!
“Teecu.... teecu Chi Koan. Apakah lo-suhu adalah Ji Leng-sukong dari Go-bi?”
“Hm, benar. Kau Chi Koan?" hwesio ini mengangguk. "Omitohud, mana gurumu, Chi Koan. Dan benarkah kau mengacau di Heng-san?"
"Ampunkan teecu," Chi Koan segera tersedu-sedu. "Teecu tak mengacau atau membuat onar di manapun, sukong. Adalah orang-orang ini yang menyiksa dan membuat teecu menderita. Tujuh hari teecu tak makan minum. Tujuh hari teecu disiksa dan dihina orang- orang Heng-san. Teecu....”
“Di mana gurumu?" Ji Leng memotong. "Dan tak usah menangis, bocah. Pinceng tak senang melihat air mata!"
Chi Koan kaget. Mata sukongnya mencorong dan baru sekarang dia melihat bahwa hwesio ini tak menginjak tanah. Astaga! Dan ketika dia terbelalak karena kaki hwesio itu melayang-layang seperti benda ringan, wajah itu tertutup kabut tipis maka dia tergetar dan berdetak. Dan tiba-tiba dia tak kuat memandang, menunduk. Lalu ketika hatinya berdebur keras dan kaki menggigil, lemah dan gentar mendadak dia roboh dan pingsan.
Ji Leng terkejut tapi segera sadar. Pemuda itu lemah, kurang makan minum. Maka menotok dan pergi sebentar diapun sudah menyadarkan cucu muridnya ini dan setandan pisang telah berada di tangannya. Chi Koan membuka mata. "Kau lemah, makan dan isi perutmu dulu. Lalu minum!"
Chi Koan terbelalak. Pisang dan semangkok air di daun talas telah dibawakan kakek gurunya ini. Bukan main senangnya. Dan karena dia lapar dan memang haus, duduk dan menyambar itu maka tak sungkan-sungkan lagi dia mengisi perutnya dan membasahi tenggorokan. Dia girang bahwa kakek gurunya ini muncul. Dua hari dia terpendam! Dan ketika hwesio itu bertanya apa yang terjadi maka berceritalah Chi Koan dengan mimik gentar.
Ternyata gurunya telah datang di situ. Beng Kong, yang marah dan penasaran muridnya ditangkap tak berpikir panjang lagi melabrak Siang Kek Cinjin. Darah hwesio ini bergolak karena terang-terangan dia ditantang. Dan karena seperti juga gurunya yang disambut kesunyian dan sepi di Heng-san maka ketika dia datang dan mendaki puncak tak ada murid-murid Heng-san yang menyambut.
Hal ini mengherankan sekaligus mencurigakan hwesio itu. Dia tak tahu bahwa seluruh anak murid Heng-san telah meluruk ke Go-bi, bersembunyi ketika dia keluar dan menyerbu begitu dia jauh. Maka ketika dia tiba di puncak dan melihat markas kosong, tak ada siapa-siapa dan pintu serta jendela-jendela ditutup maka dia membentak dan melengking mencari Siang Kek Cinjin, sesepuh Heng-san.
"Tua bangka, aku sudah datang. Mana muridku Chi Koan dan di mana kau bersembunyi?"
Suara dahsyat hwesio Go-bi ini menggetarkan gunung. Beng Kong tak perlu takut-takut karena dia tahu kepandaian orang-orang Heng-san. Yang harus diwaspadai hanyalah Siang Kek Cinjin itu, Siang Lam telah meninggal. Dan ketika dia menunggu jawaban namun tak ada, hwesio ini marah dan berkelebat ke puncak paling tinggi maka dia memandang sekeliling dan suaranya yang dahsyat kembali menggelegar.
“Siang Kek Cinjin, pinceng sudah datang. Mana murid pinceng dan di mana kau bersembunyi?"
“Ha-ha...!” akhirnya terdengar tawa dan suara tinggi melengking, itulah suara Siang Kek Cinjin. "Pinto di sini, Beng Kong Hwesio. Di belakang tubuhmu di bawah guha. Kau turunlah dan muridmu di sini!”
Sang hwesio berkelebat. Tak menunggu ucapan itu selesai dia sudah turun dan meluncur ke bawah. Sekarang dia tahu dimana lawannya itu, kiranya di balik punggung gunung di bawah puncak, sekitar tujuh puluh langkah di bawah kakinya, di balik kerimbunan pohon-pohon pek dan siong yang tua. Dan ketika suara itu habis dan dia sudah di sini, di depan sebuah guha yang mulutnya menganga gelap maka dia berhenti dan mendengar tantangan jumawa.
"Masuklah, pinto di sini, Beng Kong. Selamat datang dan selamat bergembira ria. Mari, Dewa Maut akan menemuimu!”
Beng Kong melotot. Sebagai orang gagah tentu saja dia tak takut akan segala macam ancaman. Dewa Maut atau Dewa Siluman boleh saja datang, dia tak perlu gentar. Maka melompat dan tak curiga adanya jebakan, seratus granat yang dipasang dalam tempat-tempat rahasia maka hwesio itu masuk dan di dalam, masuk agak menjorok tampaklah Siang Kek Cinjin mencengkeram muridnya.
“Suhu...!”
Hanya itu seruan yang dapat dilontarkan Chi Koan. Pemuda ini tertotok dan Siang Kek mengetuk urat gagunya. Tadi totokan dibuka sedikit dan kemudian ditutup lagi. Siang Kek memang menghendaki agar pemuda ini memanggil gurunya, tanda masih hidup dan Beng Kong dibuat naik darah. Kepala muridnya dipakai tempat duduk. Bukan main menghinanya! Dan ketika hwesio itu terbakar dan melompat lagi, mendekat, maka barulah hwesio ini tahu bahwa lawan kiranya buta.
"Ha-ha, bagus sekali, Beng Kong Hwesio. Kau gagah dan jantan benar. Hmm, tak sia-sia aku menunggu kedatanganmu. Bagus!”
Beng Kong terkejut dan menoleh. Suara berdebum terdengar di belakangnya dan pintu guha tahu-tahu menutup. Tempat itu gelap namun si kakek tiba-tiba menjentikkan kuku jarinya, menyalakan sebatang lilin. Dan ketika tempat itu kembali terang oleh cahaya sebatang lilin, cukup terang untuk memandang sekitar maka kakek itu tertawa sementara jantung si hwesio berdesir dan tersentak.
“Siang Kek, perbuatan licik apa yang sedang kaulakukan ini. Kenapa pintu guha kau tutup?"
“Ha-ha, itu agar kau tak dapat keluar. Aku ingin bicara sebelum kau mati, Beng Kong Hwesio. Atau kita mati bersama dan kau mengantar rohku ke sorga!"
"Sombong....!”
"Nanti dulu. Aku tua bangka yang sudah tak ingin hidup lebih lama lagi di dunia. Aku ingin mati. Tapi karena rohku tak mau pergi begitu saja, minta diantar dan kaulah yang paling tepat mengantarku ke sorga maka mari dengarkan kata-kataku dan biarlah kuanggap kau sebagai tamuku yang baik... crep!"
Kakek itu menggerakkan lilin di tangannya, melempar dan lilin itu menancap di dinding guha dan kini api bergoyang-goyang dan miring ke kanan kiri dihembus angin guha, membentuk bayang-bayang aneh dan Beng Kong Hwesio marah sekali karena si kakek mempermainkannya. Tapi ketika dia bergerak dan hendak menghantam, si kakek menyetop dan mencengkeram ubun-ubun muridnya maka dia bertahan dan kakek itu tertawa. Bukti bahwa lilin tak padam dilempar menunjukkan bahwa si tua yang buta ini masih hebat, apalagi melihat lilin itu menancap dan amblas di dinding guha yang keras.
"Beng Kong, tak usah terburu-buru, jangan menyerang. Kita pasti bertanding atau muridmu mati sebelum kita bergebrak!"
“Hm, apa maumu?" si hwesio berkerot dan membanting kaki. “Kau tua bangka licik, Siang Kek Cinjin. Meskipun pintu guha kau tutup aku dapat mendobraknya!"
"Ha-ha, aku percaya. Tapi tidak kalau guha ini runtuh. Eh, tidakkah kau bertanya dulu bagaimana Heng-san begitu sepi, Beng Kong. Kenapa kita hanya sendiri dan yang lain-lain tak ada?"
Beng Kong terkejut. "Aku tak perduli, tapi boleh juga kau jawab!" dia sadar, tapi pura-pura tak acuh.
"Ha-ha, tak ingin tahu? Baiklah, aku juga tak memberi tahu. Tapi ada satu hal yang harus kau ketahui, yakni hancurnya Go-bi!”
"Hm, hancurnya Go-bi? Apa maksudmu?" hwesio ini tertawa mengejek, diam-diam mencari kesempatan bagaimana dapat mengambil muridnya itu. Chi Koan tampak menyedihkan kepalanya diinjak pantat si kakek, merintih. "Kau tua bangka yang rupanya ingin membual, Siang Kek Cinjin. Sungguh menggelikan dan menyedihkan. Tapi kau boleh bicara sesukamu!”
"Hm, Heng-san ingin membalaskan sakit hatinya kepadamu, kepada Go-bi. Coba ingat baik-baik bagaimana kau sampai bisa datang ke sini."
"Anak muridmu Sin Gwan datang mengundang, dan kini aku datang!"
"Ha-ha, hanya dia sendiri?" Beng Kong mengerutkan kening, sebal. “Tua bangka, pinceng tak bermaksud banyak bicara denganmu, tak mau ingat dengan siapa muridmu datang. Kalau kau ingin bertanding mari bertanding, pinceng tak ada banyak waktu!”
“Ha-ha, inilah sombongmu, Beng Kong Hwesio. Kau mudah terpancing dan menuruti kemarahanmu. Bagus, tapi ketahuilah bahwa kini Go-bi sedang diserbu besar-besaran oleh seluruh anak murid Heng-san!”
"Begitukah?" Beng Kong terkejut, tapi tertawa lebar. “Boleh-boleh saja, Siang Kek Cinjin. Tapi mereka pasti mampus!”
“Tidak,” si kakek terkekeh. Kau salah, Beng Kong. Justeru anak buahmulah yang bakal mampus. Kalau kau sudah bertanding dengan Sin Gwan Tojin tentu kau tahu adanya perobahan pada murid-murid Heng-san. Nah, semua ilmuku sudah kuturunkan kepada mereka dan tokoh-tokoh Heng-san melabrak bersama Hoa-san. Seribu murid menyerbu ke sana dan Go-bi bakal hancur. Tanya muridmu!”
Beng Kong berubah. Si kakek menekan urat gagu muridnya dan Chi Koan dapat bicara. Pemuda itu berteriak bahwa apa yang dikata si kakek adalah betul. Murid-murid Heng-san sudah berkepandaian tinggi jauh melampaui murid-murid Go-bi. Pemuda itu sendiri telah merasakannya. Tapi ketika Chi Koan hendak bicara tentang granat yang akan meledakkan guha maka Siang Kek Cinjin menutup urat gagunya lagi dan pemuda itu tercekik!
"Nah, dengar. Apa kata muridmu, Beng Kong Hwesio. Murid-murid Heng-san telah kugembleng dan kini mereka menyerbu partaimu. Tanpa kau di sana tak mungkin mereka bertahan. Go-bi bakal hancur dan Heng-san serta Hoa-san telah bersatu-padu!”
"Keparat!" Beng Kong terbeliak dan merah padam. "Kau culas, tua bangka. Kau licik. Jadi kau menjebakku ke sini agar tempatku kosong. Kalau begitu.... wut!” hwesio ini berkelebat dan tak dapat menahan marah, menerjang dan melepas pukulan sinkangnya dan si kakek terkejut. Dia berhasil mengejutkan lawannya tapi lawan yang marah tak perduli lagi kepada ancamannya, Chi Koan yang ditawan itu. Dan ketika dia mengelak tapi pukulan mengejar, apa boleh buat dia menangkis maka kekek ini mencelat sementara Beng Kong Hwesio terdorong mundur.
“Dess!” Angin berhembus dan menghantam dinding guha dengan amat kuatnya. Lilin yang tadi menyala bergoyang-goyang mendadak padam. Guha menjadi gelap gulita! Dan ketika kakek itu terbahak dan berjungkir balik menyelamatkan diri, dia lebih hapal daripada lawan maka kakek ini telah berada di sudut sementara Beng Kong ada di tengah ruangan. Guha yang gelap pekat.
"Bagus, kau sekarang kaget, Beng Kong Hwesio. Tapi barangkali akan lebih kaget lagi jika kau tahu bahwa kau dan aku akan mampus bersama-sama. Ketahuilah, aku telah memasang seratus bahan peledak untuk menghancurkan guha ini, dan kau atau aku akan tertimbun. Ha-ha, buktikan, keledai gundul. Aku akan meledakkan mulut guha.... blarr!”
Beng Kong terkejut dan kaget bukan main. Di belakangnya terdengar ledakan dahsyat dan batu penutup guha hancur berkeping-keping. Dia terpental oleh getaran suara dahsyat itu dan tawa si kakek lenyap oleh gemuruhnya mulut guha yang runtuh. Guha menjadi pendek dan pengap. Debu dan segala batu besar kecil mencelat, berhamburan. Dan ketika secercah cahaya sempat dilihat dan ini dipergunakan hwesio itu untuk melompat ke depan. Siang Kek Cinjin terlihat di sudut maka dia sudah di dekat kakek itu dan tangan pun siap menghantam!
Beng Kong Hwesio menggigil. Dia sekarang mulai membuktikan bahwa apa yang dikata kakek ini adalah benar. Pertama dia dibuat kaget oleh berita serbuan ke Go-bi. Bukan hanya Heng-san melainkan juga Hoa-san. Dan karena dia sudah bertemu Sin Gwan Tojin dan memang tosu itu sudah jauh dibanding enam tahun yang lalu, meskipun baginya masih bukan tandingan maka dia dibuat kaget dan pucat oleh berita kedua, yakni bahwa seratus granat telah disiapkan di situ untuk menghancurkan guha. Berarti, dia akan terkubur hidup-hidup dan sebelum dia sempat keluar batu besar di mulut guha itu sudah diledakkan, hancur dan mulut guhapun roboh!
Dan ketika dia mendelik namun girang melihat Siang Kek Cinjin, tadi percikan api menyambar dan dia melihat kakek ini maka Cui-pek-po-kian siap menghantam dan menewaskan kakek itu. Dia dan Siang Kek Cinjin kini hanya berjarak dua meter saja. Tapi karena si kakek memiliki daya dengar yang tajam, matanya boleh buta tapi telinganya luar biasa tajamnya maka begitu Beng Kong mendekat kakek inipun menyingkir, dan itupun bertepatan dengan hilangnya cercah api yang menyambar, sehingga Beng Kong tidak tahu. Maka ketika suara bergemuruh lenyap dan Beng Kong bergerak mendekati kakek ini, Cui-pek-po-kian menyambar dan menghantam amat kuat maka dia membentak dan yakin bahwa si kakek akan mampus.
"Siang Kek, kau tua bangka jahanam. Matilah!"
Namun si kakek berada di tempat lain. Pukulan Beng Kong menghantam tempat kosong dan sebaliknya tiba-tiba menyambar pukulan lain menghantam punggung hwesio ini. Beng Kong terkejut dan tentu saja tak menyangka. Dan ketika dinding guha tergetar dan punggungnya menerima serangan si kakek, yang tertawa bergelak maka hwesio itu terlempar dan mencelat menabrak tembok.
“Dess!"
Lawan berbalik dan malah memukulnya. Pukulan Cui-pek-po-kian mengenai tempat kosong sementara pukulan lawan telak mengenai dirinya sendiri. Untung berkat kekuatan sinkangnya hwesio ini mampu bertahan. Kalau tidak tentu dia muntah darah. Dan ketika hwesio itu bergulingan meloncat bangun sementara Siang Kek menghilang dan tak terdengar tawanya lagi maka hwesio ini merah padam merasa terjebak. Sadar bahwa Siang Kek Cinjin mengandalkan pendengarannya.
“Tua bangka, beginikah caramu mengadu ilmu? Gelap-gelapan. Hayo, mana kegagahanmu sebagai seorang sesepuh? Kita bertanding dan mengadu ilmu secara ksatria!”
Namun seruan itu disambut pukulan dahsyat yang kembali menyambar. Siang Kek Cinjin benar-benar mengandalkan telinganya dan begitu lawan berteriak iapun menghantam. Twi-hong-hok-san (Dorong Angin Robohkan Gunung), satu dari pukulan-pukulan ampuh kakek itu yang amat dahsyat menyambar dari kiri. Siang Kek menyerang lawan dalam keadaan gelap-gulita. Tapi karena Beng Kong kali ini waspada dan dia menangkis, telinganya mendengar sambaran angin pukulan itu maka Cui-pek-po-kian menyambut dan kakek itu kali ini terlempar.
“Dess!” Siang Kek mengeluh dan kali ini Beng Kong tertawa bergelak. Beberapa detik setelah membiasakan diri maka, hwesio itupun sudah dapat mengetahui di dalam gelap, menerjang dan kakek itu menangkis dan Siang Kek terkejut karena kembali ia terlempar. Dan ketika selanjutnya hwesio itu berkelebatan dan guha yang gelap tak menjadi halangan, hwesio inipun dapat mendengar dan melihat-bayang-bayang lawan.
Maka pukulan demi pukulan menghantam kakek itu, ganas menderu-deru dan Siang Kek terbelalak karena sinkang hwesio itu lebih hebat daripada dulu, dia selalu terlempar atau terpental kalau menangkis. Dan ketika selanjutnya ia sibuk dan terbanting atau mencelat menabrak tembok, guha tergetar dan sebentar kemudian ia terdesak maka Hok-te Sin-kun, Silat Penakluk Dunia dikeluarkan hwesio ini, hebatnya bukan alang-kepalang.
“Ha-ha, kau boleh menantangku, Siang Kek Cinjin, tapi tak mungkin kau menang. Ha-ha, enam tahun yang lalu kaupun tak dapat menghadapi aku, apalagi sekarang. Biarpun saudaramu masih hidup tak mungkin kau menang.... blarr!" dan dinding guha yang ditabrak dan tergetar oleh pukulan Hok-te Sin- kun akhirnya membuat si kakek pucat dan ia gemetar membelalakkan matanya yang buta, berkedip-kedip, tapi hanya kelopak mata itu saja yang bergerak naik turun.
“Kau.... kau telah mewarisi Silat Penakluk Dunia. Gurumu telah menurunkan warisan Bu- tek-cin-keng!"
"Ha-ha, benar. Dan kau segera mampus, tua bangka. Lihat sebentar lagi kau roboh.... bress!" kakek itu mencelat dan menabrak dinding lagi, roboh dan bergulingan menyelamatkan diri dan kakek itu ngeri melihat dahsyatnya pukulan-pukulan Hok-te Sin-kun.
Beng Kong tidak lagi mengeluarkan Cui-pek-po-kiannya melainkan langsung Silat Penakluk Dunia ini. Dan karena tenaganya juga tenaga Hok-te Sin-kang (Tenaga Sakti Penakluk Dunia) maka dahsyatnya bukan main dan kakek itu jatuh bangun menerima ini. Dulu sedikit dari kehebatan Hok-te Sin-kun telah dirasainya dari Ji Leng si hwesio sakti. Dan karena itulah ia dan adiknya kalah. Maka begitu Beng Kong mempergunakan ilmu ini dan ia jatuh bangun, ilmu itu dahsyat luar biasa maka si kakek menggereng dan menjadi marah.
"Beng Kong, kau boleh bunuh aku. Tapi kaupun akan mampus menyertai aku!” dan si kakek yang membentak menusukkan jarinya tiba-tiba mengeluarkan tudingan jari sakti Tit- ci-thian-tung, satu dari sekian ilmunya yang amat berbahaya. Jari itu berobah menjadi telunjuk baja dan ketika menyambarpun mengeluarkan sinar berkeredep yang gunungpun akan tembus dicoblos jari sakti ini. Tapi ketika Beng Kong tertawa bergelak dan membusungkan dadanya, dia tegak menerima tusukan jari itu maka.... krek, jari kakek itu patah tertolak oleh Hok-te Sin-kang yang amat kuatnya.
“Ha-ha, bagaimana, Siang Kek. Masihkah kau akan mencobanya?"
Si kakek mengeluh. Ia menahan sakit dan membanting tubuh ke belakang. Tapi ketika melompat bangun dan mencoba lagi iapun tak mau sudah dan menusuk dengan jari tengahnya, membentak, "Beng Kong, jangan sombong. Aku mati kaupun akan mampus.... krek!” jari itu lagi-lagi patah, sang kakek menjerit.
Dan kali ini Beng Kong berkelebat ke depan. Ia menampar dan Hok-te Sin-kang menyambar. Ia khawatir juga oleh ancaman lawan. Tapi ketika si kakek masih dapat melempar tubuh ke kiri dan pukulan itu menghantam dinding guha maka guha ambruk dan Beng Kong terkejut sendiri karena pukulannya membawa bencana. Dan saat itu kakek itu memasuki sebuah lubang sambil memijat sesuatu.
“Buummm....!"
Suara dahsyat ini membuat Beng Kong terpental. Si kakek yang rupanya tak tahan untuk membela diri akhirnya mulai memijat tombol-tombol peledak, masuk ke lubang di bawah tanah dan mulut guha ambruk lagi. Siang Kek berlindung sementara Chi Koan pucat pasi. Ia masih dikempit kakek ini dan setiap Siang Kek terlempar atau terbanting oleh pukulan gurunya iapun semakin menderita. Tiga kali kepalanya terbentur tembok! Dan ketika kini si kakek tak tahan menghadapi gurunya, awal petaka itu datang maka Siang Kek tertawa bergelak dan amblas meluncur di lubang semacam sumur itu.
“Ha-ha, selamat tinggal, Beng Kong Hwesio. Rasakan dan nikmatilah ledakan-ledakan ini... buumm-buummmm!”
Empat lima ledakan terdengar lagi, Beng Kong terlempar dan terbanting berjungkir balik dengan amat marahnya. Dia tak tahu bahwa ditempat itu ada sumur bawah tanah. Si kakek tentu saja hapal karena itu tempat tinggalnya. Dan ketika ia terlempar dan menabrak sana-sini, ledakan demi ledakan menggetarkan guha itu maka barulah hwesio ini melihat lubang di bawah tanah itu. Ledakan atau pecahan dinamit selalu memercikkan api, dan cahaya atau bunga api inilah yang membuat dia melihat lubang itu.
Kiranya Siang Kek berguling dan masuk ke sini, kakek itu licik! Dan ketika sebuah batu datang menimpa kepalanya, hwesio ini berkelit dan menjejak dinding kuat-kuat maka dia melempar tubuh ke situ dan batu itu berdebum dengan amat dahsyatnya, disusul oleh hamburan pasir dan debu-debu tebal.
"Buummm!"
Beng Kong Hwesio telah berguling memasuki lubang ini. Ia jatuh dan terus meluncur ke bawah sementara ledakan demi ledakan terus terjadi. Suaranya memekakkan telinga dan amat dahsyat. Guha benar-benar diguncang den seolah menghadapi malam kiamat. Dan ketika tubuh hwesio itu terus meluncur dan jatuh ke bawah, lantai sumur itu rupanya gerowong dan berlubang di sebelah kanannya maka tahulah hwesio ini bahwa itu kiranya jalan bawah tanah atau terowongan rahasia.
Dia terbelalak dan marah sekali dan sempat dilihatnya bayangan kakek itu meluncur di depan, agak terbongkok dan terhuyung dan lenyap di depan. Dia tak tahu ke mana terowongan ini membawanya tapi tentu saja dia melompat bangun dan mengejar. Ledakan dan dentuman di atas amat dahsyat. Ini kesempatan baginya untuk menyerang kakek itu.
Siang Kek tak mungkin dapat mendengarnya karena tertutup oleh gemuruh dan ledakan di atas sana. Dan ketika ia melesat dan mengejar kakek itu, benar saja si kakek tak mendengar langkahnya maka tiba- tiba menerkam dan mencengkeram punggung kakek ini. Akhirnya ia berhasil mengejar.
"Krek-augh!"
Si kakek terkejut dan roboh. Ia tak menyangka hwesio itu ada di belakangnya, mencengkeram dan gerakan atau serangan ini tak didengar. Pendengarannya menjadi tuli oleh ledakan atau dentuman-dentuman di atas. Dan karena ia juga tak dapat melihat, ia mencabut tongkat dan berkali-kali harus mengetuk atau menghentikan langkahnya maka kejaran Beng Kong Hwesio menyusulnya dan dalam gemas serta marahnya hwesio ini mengerahkan sinkangnya mencengkeram punggung kakek itu, yang seketika berkeratak.
Tapi karena Siang Kek juga bukan laki-laki biasa dan dedengkot Heng-san ini memiliki kepandaian tinggi, ilmunya sudah mendarah daging maka begitu dicengkeram otomatis sinkangnyapun melindungi, meskipun kalah oleh sinkang di tangan hwesio itu dan tulang punggungnya retak. Siang Kek mengaduh dan saat itulah Chi Koan terlepas. Kelumpuhan di punggung merupakan segala-galanya, kakek itu menangis.
Tapi ketika Beng Kong berkelebat dan menghantamnya lagi, kali ini kelima jarinya menampar kepala kakek itu tiba-tiba si kakek meniup tongkatnya dan tujuh sinar hitam menyambar mata hwesio ini. Beng Kong tak menduga dan hwesio yang sedang menubruk ke depan itu tentu saja berteriak. Ia sedang melancarkan serangan tapi sekonyong-konyong lawanpun menyerangnya. Bukan sembarang serangan melainkan serangan gelap. Dan ketika ia mengelak namun dua jarum mengenai mata kirinya, amblas dan menimbulkan rasa sakit yang hebat maka hwesio itu berteriak tapi pukulannyapun mengenai kepala itu.
“Crep-plak!"
Si hwesio terhuyung sementara si kakek roboh. Siang Kek tak dapat menahan pukulan ini dan langsung tewas. Kepalanya pecah! Dan ketika di sana Chi Koan terbelalak dan ngeri tapi girang, kakek itu tewas tetapi gurunya buta sebelah maka Beng Kong menggeram dan melompat menginjak perut kakek ini. Kemarahan dan kebenciannya menumpuk. Perut itu hancur dan disusul lagi oleh injak di dada dan kaki, juga lengan dan pundak. Dan ketika suara krak-krek terdengar berulang- ulang dan Siang Kek Cinjin hancur remuk.
Maka Chi Koan yang ada di situ menyadarkan hwesio ini, muridnya ah-uh-ah-uh tak dapat bicara. Dia mendekap sebelah matanya yang bercucuran darah dan Chi Koan ditendangnya bebas. Dan ketika pemuda itu dapat bangun berdiri tapi terhuyung roboh, ia tak makan atau minum maka suhunya membentak agar dia mencabut jarum di mata kiri itu.
“Tutup mulutmú. Kami bukan orang asing, Chi Koan. Lupakah kau kepadaku. Aku adalah Peng Houw!" Peng Houw membentak.
"Ah, kau Peng Houw? Ha-ha, ingat aku sekarang. Benar, kau Peng Houw. Ah, ha-ha... dan siapa kalau begitu tosu bau ini?”
“Dia guruku Giok Kee Cinjin. Jangan kau kurang ajar karena bertahun-tahun guruku ini sudah bersahabat dengan Go-bi, bukan orang asing.... plak-dess!" dan Peng Houw yang melepas pukulan tapi terpental ditangkis Chi Koan, berjungkir balik dan melayang turun segera membuat Chi Koan tertawa bergelak dan ingat siapa lawan-lawannya ini.
Kiranya adalah Peng Houw dan Giok Kee Cinjin, sobat atau kawan-kawan lamanya. Dan gembira bahwa Peng Houw tiba-tiba muncul di situ, dia ingin menghajar dan memberi pelajaran lagi maka Chi Koan menangkis keras tapi dia heran bahwa Peng Houw hanya terpental saja, berjungkir balik dan sudah melayang turun dan kini Peng Houw bersama yang lain-lain menyerangnya bertubi-tubi. Dia gemas dan marah dan Cui-pek-po-kian kembali menyambar.
Puluhan orang terlempar tapi Peng Houw terhuyung saja. Heran, padahal Giok Kee Cinjin terpelanting dan mengeluh di sana, susah bangun tapi pemuda ini sudah mendahului gurunya dan menerjang lagi dengan amat berani. Ji-hwesio, susioknya, juga terbanting dan roboh bergulingan. Dan ketika dia heran dan marah melihat serangan Peng Houw maka Chi Koan mengibaskan Cui-pek- po-kiannya dan menambah tenaga hampir sepenuhnya dia menyambut Soan-hoan-ciang yang dilakukan lawannya itu.
“Bresss...!” dan Peng Houw bangkit lagi seperti tidak merasa apa-apa, menerjang dan menubruk lagi sementara hwesio-hwesio lain membentak dan menyerang lagi. Chi Koan tak tahu akan kehebatan fisik Peng Houw setelah mendapat usapan Sian-ji-kang, usapan jari sakti dari sesepuh Go-bi yang membuat Peng Houw kebal terhadap bacokan senjata tajam dan juga tak akan patah tulang atau remuk, biar dibanting ataupun diinjak gajah.
Dan ketika berkali-kali hal itu terjadi sementara susioknya maupun Giok Kee tetap menyerang, mereka mengelak atau melempar tubuh kalau pukulannya terlalu berbahaya maka Chi Koan terbelalak karena rupa-rupanya dia hendak dibuat mati lelah dan dikurung serta tak dibiarkan pergi kalau kitab di tangannya itu tak diberikan.
"Keparat!" pemuda ini gusar. "Kau dan lain-lainnya keras kepala, Ji-susiok. Kalau kau tidak membiarkan aku pergi dan tetap bandel jangan salahkan kalau aku membunuh!”
"Omitohud...!" sang susiok berseru, keras. "Lebih baik begitu, Chi Koan. Kau bunuhlah kami dan habisilah penghuni Go-bi agar dosamu semakin sempurna!"
"Dan kami akan mengutukmu di akherat!" Sam-hwesio melepas gemas. "Kau bocah tak tahu budi dan perusak, Chi Koan. Awas kalau gurumu dan sukongmu masih hidup. Kau tentu akan mendapat hajaran dan seumur hidup kau tak bakalan tenang!"
"Hm!" pemuda ini berdebar, perasaannya rupanya tergetar. "Kalian paman-paman guru yang selalu iri kepadaku, Ji-susiok. Baiklah kalau begitu aku tak membunuh kalian tapi memberi pelajaran cukup berat. Awas...!” Chi Koan berkelebat memasukkan kitab kuning, tangan menderu dengan Cui-pek-po-kian sementara kakinya menendang dengan Thai- san-ap-ting. Hebat dua buah serangan ini karena baik Cui-pek-po-kian maupun Thai-san-ap-ting mengeluarkan tenaga yang dahsyat.
Para murid yang ada di belakang saja terlempar dan berteriak dan Ji-hwesio maupun dua adiknya berseru keras melempar tubuh. Toya mereka diputar menangkis serangan itu namun mereka tetap saja berteriak. Toya patah disambar tendangan Chi Koan sementara dorongan Cui-pek-po-kian itu membuat tiga hwesio ini sesak napas. Mereka melempar tubuh namun tetap saja terkena, mengeluh dan Su-hwesio terjengkang muntah darah. Dua suhengnya, Sam-hwesio dan Ji-hwesio, mencelat dan terbanting dengan muka pucat. Sepuluh detik mereka tak dapat bangun!
Dan ketika kesempatan itu dipergunakan Chi Koan untuk melompat dan melewati paman-paman gurunya, tak mungkin Ji-hwesio maupun sutenya dapat menahan maka pemuda ini lolos dan anak-anak murid yang lain bengong karena jatuh terduduk oleh dua pukulan pemuda ini yang amat dahsyat.
Tapi Peng Houw dan Giok Kee Cinjin masih ada di situ. Dua orang ini terbelalak dan terdorong pula oleh dua pukulan Chi Koan. Namun karena pukulan itu lebih ditujukan kepada Ji-hwesio bertiga dan Giok Kee maupun Peng Houw tak begitu merasakan, kini pemuda itu kabur dan mereka tentu saja marah maka Peng Houw maupun gurunya mengejar dengan satu bentakan tinggi.
"Chi Koan, kembalikan dulu kitab itu!"
"Bocah, pinto masih ada di sini!"
Chi Koan menoleh. Dia mendengar desir dua bayangan itu dan Peng Houw maupun gurunya sama-sama melepas Soan-hoan-ciang. Sebenarnya, melihat kepandaian dua orang ini Chi Koan tertawa mengejek. Kalau tak ada hwesio-hwesio Go-bi di situ tentu dia sudah merobohkan lawannya ini. Peng Houw terutama Giok Kee itu sudah berkali-kali jatuh bangun dan susah bangkit berdiri. Hanya Peng Houw yang lebih cepat dan selalu menerjang lagi.
Kali inipun Peng Houw ada di depan dan mendahului gurunya. Dan heran tapi juga gemas akan daya Peng Houw yang luar biasa, kini Chi Koan hendak merobohkan lawannya ini dan membuat Peng Houw muntah darah maka dia membalik dan dengan mata keji tangan kiri bergerak melepas Cui-pek-po-kian sementara tangan kanan menghantam dengan Thai-san-ap-ting.
"Peng Houw, awas!”
Sang guru sampai kaget. Giok Kee berteriak memperingatkan tetapi Peng Houw tak mungkin mengelak. Dia justeru melakukan serangan, Chi Koan membalik dan menangkis. Dan ketika Soan-hoan-ciang bertemu dua pukulan itu dan tentu saja Peng Houw terlempar, terangkat dan terbanting dengan amat kerasnya maka pukulan Giok Kee menyambar dan menghantam punggung Chi Koan dari belakang.
“Dess!” Chi Koan tergetar dan mendelik memandang tosu ini. Peng Houw, yang dihantamnya sekuat tenaga ternyata tidak apa-apa dan kembali melompat bangun. Menghadapi pemuda ini seperti menghadapi manusia karet yang tak dapat remuk. Dipukul akan bangkit lagi dan dihajar sekuat apapun pasti bangun dan berdiri lagi. Chi Koan jadi merinding! Dan ketika pukulan Giok Kee diterimanya tapi sinkang di tubuhnya melindungi dan menolak pukulan itu maka sang tosu terbanting dan muntah darah.
"Huakk!”
Di sini Chi Koan tak habis pikir. Tosu itu roboh tapi muridnya tak apa-apa. Peng Houw bahkan terbelalak dan marah kepadanya melihat gurunya muntah darah. Dan ketika pemuda itu berteriak menerjang kembali tapi Chi Koan melihat lawan-lawan lain bergerak dan siap mengepungnya lagi maka dia melompat dan tak mau melayani Peng Houw, berkelebat dengan Lui-thian-to-jitnya yang luar biasa itu.
"Peng How, kau bocah siluman. Biarlah lain kali kita bertemu lagi dan kutitipkan dulu nyawamu!"
“Berhenti! Tunggu dan kembalikan dulu kitab yang kau curi, Chi Koan. Serahkan kepada Go- bi dan kau aman!"
"Ha-ha, ini milikku, warisan guruku. Aku tak mencuri, Peng Houw. Kau boleh kejar aku kalau bisa!"
Peng Houw melotot. Dia mengejar dan menyerang lawannya itu tapi Chi Koan melesat turun gunung. Bukit itu sebentar saja dilewati dan serangannyapun dikelit. Dan karena Lui- thian-to-jit benar-benar luar biasa dan tak mungkin Peng Houw mampu mengejar, dia kalah jauh maka Chi Koan lenyap dan keluhan gurunya di sana membuat Peng Houw sadar dan kembali, keadaan tumpang-tindih dengan murid-murid yang luka atau pingsan.
Ternyata bukan hanya Giok Kee Cinjin yang muntah darah. Sam-hwesio, dan juga Ji-hwesio, harus menerima akibat dari pukulan Chi Koan tadi. Pemuda yang tak mau dihalangi larinya itu melepas pukulan berat di mana Su-hwesio sampai pingsan. Tulang dada hwesio ini retak dan dua suhengnya luka dalam.
Semua bernasib buruk, kecuali Peng Houw yang merupakan satu-satunya pemuda yang tahan jatuh bangun dihajar Chi Koan, juga beberapa murid lain yang tak berarti dan tadi berada jauh-jauh dari keganasan pemuda itu. Dan ketika semua ditolong dan guha pertapaan porak-poranda, sepak terjang Chi Koan membuat orang marah dan gigit jari maka malam hari kemudian datanglah sesepuh Go-bi Ji Leng Hwesio.
Semua terkejut tapi girang dan Ji-hwesio serta Sam-hwesio berseru memanggil supek mereka ini, berlutut tapi roboh karena luka-luka mereka yang diderita. Su-hwesio, adik termuda, masih tak sadar dan menggeletak dengan wajah pucat. Tulang dadanya retak. Dan ketika hwesio tua itu tertegun dan mata yang biasanya setengah terpejam itu membuka dan tampak terbelalak, wajah yang biasa sabar itu kelihatan keras dan marah maka Ji-hwesio yang merintih dan menahan sakit ini menceritakan dengan mata basah akan apa yang dialami. Dan sesepuh Go-bi itu tergetar, terutama ketika diceritakannya dibawanya Bu- tek-cin-keng oleh Chi Koan.
"Kami... kami tak dapat berbuat apa-apa. Chi Koan menginjak dan menghina kami habis-habisan, supek. Bu-tek-cin-keng dibawanya dan banyak di antara kami yang terluka, bahkan Giok Kee Cinjin sendiri. Dan satu di antara kami, seorang murid, tewas!”
"Omitohud.... Thian Maha Bijak! Ah, pinceng benar-benar dipermainkan anak itu, Ji Kak. Dan pinceng masuk perangkap. Omitohud, baru kali ini pinceng menghadapi seorang bocah yang cerdik tapi culas. Hm, di mana Giok Kee totiang dan apakah lukanya parah?"
“Giok Kee ada di ruang belakang, ditemani Peng Houw. Mari kami antar dan...”
“Tak usah. Pinceng ke sana sendiri, Ji Kak. Minumlah ini dan istirahatlah!" sang sesepuh menepuk punggung muridnya, menyalurkan sinkang dengan cara luar biasa dan sesak napas tiba-tiba hilang. Tujuh butir pil hijau diberikan dan Sam-hwesio maupun Su-hwesio juga mendapat perhatian. Dan ketika semua sudah dilihat dan Ji Leng ke belakang maka dilihatnya Peng Houw berlutut di tepi pembaringan. Giok Kee tampak lemah dan pucat di sana, batuk-batuk.
"Hm, pinceng membuatmu menderita, totiang. Omitohud, maafkan pinceng...!”
Peng Houw terkejut dan menoleh. Dia tak tahu kapan sesepuh Go-bi ini muncul tapi tentu saja dia girang dan gembira bukan main. Ternyata, Chi Koan bohong. Hwesio ini masih hidup! Dan ketika dia berlutut dan memberi hormat, betapapun hwesio itu adalah bekas pimpinannya juga maka Ji Leng sudah meraba dan mengusap dada Giok Kee Cinjin, yang merasa dingin dan segar seperti nikmat.
“Ha-ha, kau datang, lo-suhu? Masih hidup? Siancai, bocah itu memang bohong. Pinto.... uh, pinto tak dapat menyelamatkan Go-bi dari kehancuran!"
“Terima kasih, bantuanmu sudah cukup totiang. Dan pinceng tahu. Hm, lukamu tiga hari baru sembuh. Minumlah ini dan biar pinceng bantu dengan sedikit tenaga sakti,” sang hwesio mengusap dan menepuk Giok Kee Cinjin, berkerut dan menarik napas berkali-kali dan Peng Houw melihat semua itu dengan mata kagum. Wajah gurunya yang pucat sudah merah kembali dan batuk yang mengganjal sudah tidak bercampur darah lagi. Dan ketika hwesio itu menarik lengannya dan Giok Kee merasa sehat maka tosu ini bangkit duduk dan wajahnya tampak berseri-seri.
"Lo-suhu, kau benar-benar hebat. Aih, lukaku rasanya sembuh!”
"Hm, belum sembuh benar. Berbaring dan beristirahat dulu, totiang. Tiga hari kau baru pulih. Maaf, pinceng akan ke bukit.”
Giok Kee terbelalak. Dia hendak banyak bicara ketika tiba-tiba hwesio itu berkelebat lenyap. Dan ketika Peng Houw juga terbelalak karena hwesio ini lenyap seperti iblis maka terdengar sayup-sayup suara agar Giok Kee maupun Peng Houw ke guha pertapaan.
“Pinceng ditipu anak itu. Harap Cinjin maupun muridmu datang tiga hari lagi di tempat pinceng.”
Giok Kee girang. Dia mengangguk dan tertawa tapi Peng Houw merenung. Pemuda ini tak tahu apa yang terjadi. Tapi ketika tiga hari kemudian dia datang dan menjenguk hwesio itu ternyata kisah di balik semua ini didengar. Dan Chi Koan ternyata manusia cerdik yang licik dan amat keji. Apa yang dituturkan? Mari kita ikuti.
* * * * * * * *
Dua hari lalu, setelah meninggalkan Go-bi dengan mengusir mundur orang-orang Heng-san dan Hoa-san maka hwesio sakti ini menuju ke Gunung Heng-san. Perjalanan dilakukan dengan cepat dan gerakan kaki yang tidak tampak melangkah melainkan melayang membuat hwesio ini seperti meluncur terbang saja. Kecepatannya luar biasa karena jarak yang bagi orang biasa bakal ditempuh berhari- hari itu ternyata bagi hwesio ini hanya dicapai dalam waktu empat lima jam saja. Tapi karena matahari sudah doyong ke barat dan hwesio ini tiba menjelang malam maka di tengah gunung dia berhenti dan mencari-cari.
Menurut kabar, Beng Kong, muridnya sudah datang ke tempat ini untuk membebaskan Chi Koan. Dia tak melihat satu orangpun di atas gunung itu dan suasana amat sunyi. Benar kalau seluruh kekuatan Heng-san dibawa untuk menggempur Go-bi, hwesio ini menarik napas. Tapi karena dia pernah ke sini dan sedikit banyak hapal akan beberapa tempat maka dihampirinya markas Heng-san dengan bangunan-bangunannya yang kokoh kuat itu.
Tapi tak ada tanda-tanda kehidupan. Ji Leng menengok ke atas dan dia teringat adanya guha di belakang gunung di balik puncak itu. Dia bergerak dan cepat ke sini. Dan ketika dia melihat guha itu sudah roboh, ambruk dan rata dengan tanah maka hwesio ini berubah karena bekas pertempuran hebat terjadi di sini. Sepotong tulang terlihat mencuat dan hwesio itu tergetar. Tulang siapakah itu? Milik muridnya atau Siang Kek Cinjin? Atau Chi Koan?
Hwesio ini membungkuk dan memungut tulang itu. Mata tuanya masih tajam dan akhirnya dia tahu bahwa tulang ini adalah tulang lengan milik Siang Kek Cinjin. Kesimpulan ini didapat karena tulang itu menunjukkan tulang seorang tua, penuh zat kapur dan tipis. Kalau tulang muridnya atau Chi Koan tentu lebih besar dan tebal, tidak pipih begitu. Dan ketika hwesio ini menarik napas dalam menyimpan tulang itu maka malam itu dia tak dapat bekerja banyak karena gelap dan tiadanya cahaya.
Tapi keesokannya didengarnya suara rintihan. Suara ini lemah sekali dan hampir tidak terdengar, bukan di atas tanah melainkan di bawah tanah. Kalau bukan hwesio ini tentu tak mungkin tertangkap! Dan ketika Ji Leng bergerak dan menuju asal suara itu maka dia tertegun karena di sebuah timbunan batu terdapatlah sebuah jari yang meraba-raba dan merayap lemah, mencari pertolongan.
“Siapa kau?" hwesio ini menarik dan mengibas. Timbunan batu itu berguguran dan tampaklah kini seorang pemuda mendongak dengan wajah pucat, girang tapi pucat dan melihat keadaannya rupanya sudah berhari-hari menderita. Siapa lagi pemuda ini kalau bukan Chi Koan! Dan ketika dia ditarik dan disendal kakek gurunya, berdiri tapi roboh maka Ji Leng berkerut dan menyambar pundaknya.
"Kau siapa?"
Pertanyaan ini wajar. Ji Leng, sesepuh Go-bi itu tak mengenal Chi Koan. Meskipun sama- sama di Go-bi namun cucu dan kakek guru itu tak pernah bertemu. Sesepuh Go-bi ini berada di pertapaannya sementara Chi Koan selalu berdekatan dengan gurunya saja, Beng Kong Hwesio yang lihai itu. Maka begitu bertemu dan baru kali itu juga Chi Koan berhadapan dengan sukongnya, girang tapi terkejut melihat sinar mata tajam mencorong dari seorang hwesio sakti maka dia berlutut dan menangis. Taktik dalam mencari iba!
“Teecu.... teecu Chi Koan. Apakah lo-suhu adalah Ji Leng-sukong dari Go-bi?”
“Hm, benar. Kau Chi Koan?" hwesio ini mengangguk. "Omitohud, mana gurumu, Chi Koan. Dan benarkah kau mengacau di Heng-san?"
"Ampunkan teecu," Chi Koan segera tersedu-sedu. "Teecu tak mengacau atau membuat onar di manapun, sukong. Adalah orang-orang ini yang menyiksa dan membuat teecu menderita. Tujuh hari teecu tak makan minum. Tujuh hari teecu disiksa dan dihina orang- orang Heng-san. Teecu....”
“Di mana gurumu?" Ji Leng memotong. "Dan tak usah menangis, bocah. Pinceng tak senang melihat air mata!"
Chi Koan kaget. Mata sukongnya mencorong dan baru sekarang dia melihat bahwa hwesio ini tak menginjak tanah. Astaga! Dan ketika dia terbelalak karena kaki hwesio itu melayang-layang seperti benda ringan, wajah itu tertutup kabut tipis maka dia tergetar dan berdetak. Dan tiba-tiba dia tak kuat memandang, menunduk. Lalu ketika hatinya berdebur keras dan kaki menggigil, lemah dan gentar mendadak dia roboh dan pingsan.
Ji Leng terkejut tapi segera sadar. Pemuda itu lemah, kurang makan minum. Maka menotok dan pergi sebentar diapun sudah menyadarkan cucu muridnya ini dan setandan pisang telah berada di tangannya. Chi Koan membuka mata. "Kau lemah, makan dan isi perutmu dulu. Lalu minum!"
Chi Koan terbelalak. Pisang dan semangkok air di daun talas telah dibawakan kakek gurunya ini. Bukan main senangnya. Dan karena dia lapar dan memang haus, duduk dan menyambar itu maka tak sungkan-sungkan lagi dia mengisi perutnya dan membasahi tenggorokan. Dia girang bahwa kakek gurunya ini muncul. Dua hari dia terpendam! Dan ketika hwesio itu bertanya apa yang terjadi maka berceritalah Chi Koan dengan mimik gentar.
Ternyata gurunya telah datang di situ. Beng Kong, yang marah dan penasaran muridnya ditangkap tak berpikir panjang lagi melabrak Siang Kek Cinjin. Darah hwesio ini bergolak karena terang-terangan dia ditantang. Dan karena seperti juga gurunya yang disambut kesunyian dan sepi di Heng-san maka ketika dia datang dan mendaki puncak tak ada murid-murid Heng-san yang menyambut.
Hal ini mengherankan sekaligus mencurigakan hwesio itu. Dia tak tahu bahwa seluruh anak murid Heng-san telah meluruk ke Go-bi, bersembunyi ketika dia keluar dan menyerbu begitu dia jauh. Maka ketika dia tiba di puncak dan melihat markas kosong, tak ada siapa-siapa dan pintu serta jendela-jendela ditutup maka dia membentak dan melengking mencari Siang Kek Cinjin, sesepuh Heng-san.
"Tua bangka, aku sudah datang. Mana muridku Chi Koan dan di mana kau bersembunyi?"
Suara dahsyat hwesio Go-bi ini menggetarkan gunung. Beng Kong tak perlu takut-takut karena dia tahu kepandaian orang-orang Heng-san. Yang harus diwaspadai hanyalah Siang Kek Cinjin itu, Siang Lam telah meninggal. Dan ketika dia menunggu jawaban namun tak ada, hwesio ini marah dan berkelebat ke puncak paling tinggi maka dia memandang sekeliling dan suaranya yang dahsyat kembali menggelegar.
“Siang Kek Cinjin, pinceng sudah datang. Mana murid pinceng dan di mana kau bersembunyi?"
“Ha-ha...!” akhirnya terdengar tawa dan suara tinggi melengking, itulah suara Siang Kek Cinjin. "Pinto di sini, Beng Kong Hwesio. Di belakang tubuhmu di bawah guha. Kau turunlah dan muridmu di sini!”
Sang hwesio berkelebat. Tak menunggu ucapan itu selesai dia sudah turun dan meluncur ke bawah. Sekarang dia tahu dimana lawannya itu, kiranya di balik punggung gunung di bawah puncak, sekitar tujuh puluh langkah di bawah kakinya, di balik kerimbunan pohon-pohon pek dan siong yang tua. Dan ketika suara itu habis dan dia sudah di sini, di depan sebuah guha yang mulutnya menganga gelap maka dia berhenti dan mendengar tantangan jumawa.
"Masuklah, pinto di sini, Beng Kong. Selamat datang dan selamat bergembira ria. Mari, Dewa Maut akan menemuimu!”
Beng Kong melotot. Sebagai orang gagah tentu saja dia tak takut akan segala macam ancaman. Dewa Maut atau Dewa Siluman boleh saja datang, dia tak perlu gentar. Maka melompat dan tak curiga adanya jebakan, seratus granat yang dipasang dalam tempat-tempat rahasia maka hwesio itu masuk dan di dalam, masuk agak menjorok tampaklah Siang Kek Cinjin mencengkeram muridnya.
“Suhu...!”
Hanya itu seruan yang dapat dilontarkan Chi Koan. Pemuda ini tertotok dan Siang Kek mengetuk urat gagunya. Tadi totokan dibuka sedikit dan kemudian ditutup lagi. Siang Kek memang menghendaki agar pemuda ini memanggil gurunya, tanda masih hidup dan Beng Kong dibuat naik darah. Kepala muridnya dipakai tempat duduk. Bukan main menghinanya! Dan ketika hwesio itu terbakar dan melompat lagi, mendekat, maka barulah hwesio ini tahu bahwa lawan kiranya buta.
"Ha-ha, bagus sekali, Beng Kong Hwesio. Kau gagah dan jantan benar. Hmm, tak sia-sia aku menunggu kedatanganmu. Bagus!”
Beng Kong terkejut dan menoleh. Suara berdebum terdengar di belakangnya dan pintu guha tahu-tahu menutup. Tempat itu gelap namun si kakek tiba-tiba menjentikkan kuku jarinya, menyalakan sebatang lilin. Dan ketika tempat itu kembali terang oleh cahaya sebatang lilin, cukup terang untuk memandang sekitar maka kakek itu tertawa sementara jantung si hwesio berdesir dan tersentak.
“Siang Kek, perbuatan licik apa yang sedang kaulakukan ini. Kenapa pintu guha kau tutup?"
“Ha-ha, itu agar kau tak dapat keluar. Aku ingin bicara sebelum kau mati, Beng Kong Hwesio. Atau kita mati bersama dan kau mengantar rohku ke sorga!"
"Sombong....!”
"Nanti dulu. Aku tua bangka yang sudah tak ingin hidup lebih lama lagi di dunia. Aku ingin mati. Tapi karena rohku tak mau pergi begitu saja, minta diantar dan kaulah yang paling tepat mengantarku ke sorga maka mari dengarkan kata-kataku dan biarlah kuanggap kau sebagai tamuku yang baik... crep!"
Kakek itu menggerakkan lilin di tangannya, melempar dan lilin itu menancap di dinding guha dan kini api bergoyang-goyang dan miring ke kanan kiri dihembus angin guha, membentuk bayang-bayang aneh dan Beng Kong Hwesio marah sekali karena si kakek mempermainkannya. Tapi ketika dia bergerak dan hendak menghantam, si kakek menyetop dan mencengkeram ubun-ubun muridnya maka dia bertahan dan kakek itu tertawa. Bukti bahwa lilin tak padam dilempar menunjukkan bahwa si tua yang buta ini masih hebat, apalagi melihat lilin itu menancap dan amblas di dinding guha yang keras.
"Beng Kong, tak usah terburu-buru, jangan menyerang. Kita pasti bertanding atau muridmu mati sebelum kita bergebrak!"
“Hm, apa maumu?" si hwesio berkerot dan membanting kaki. “Kau tua bangka licik, Siang Kek Cinjin. Meskipun pintu guha kau tutup aku dapat mendobraknya!"
"Ha-ha, aku percaya. Tapi tidak kalau guha ini runtuh. Eh, tidakkah kau bertanya dulu bagaimana Heng-san begitu sepi, Beng Kong. Kenapa kita hanya sendiri dan yang lain-lain tak ada?"
Beng Kong terkejut. "Aku tak perduli, tapi boleh juga kau jawab!" dia sadar, tapi pura-pura tak acuh.
"Ha-ha, tak ingin tahu? Baiklah, aku juga tak memberi tahu. Tapi ada satu hal yang harus kau ketahui, yakni hancurnya Go-bi!”
"Hm, hancurnya Go-bi? Apa maksudmu?" hwesio ini tertawa mengejek, diam-diam mencari kesempatan bagaimana dapat mengambil muridnya itu. Chi Koan tampak menyedihkan kepalanya diinjak pantat si kakek, merintih. "Kau tua bangka yang rupanya ingin membual, Siang Kek Cinjin. Sungguh menggelikan dan menyedihkan. Tapi kau boleh bicara sesukamu!”
"Hm, Heng-san ingin membalaskan sakit hatinya kepadamu, kepada Go-bi. Coba ingat baik-baik bagaimana kau sampai bisa datang ke sini."
"Anak muridmu Sin Gwan datang mengundang, dan kini aku datang!"
"Ha-ha, hanya dia sendiri?" Beng Kong mengerutkan kening, sebal. “Tua bangka, pinceng tak bermaksud banyak bicara denganmu, tak mau ingat dengan siapa muridmu datang. Kalau kau ingin bertanding mari bertanding, pinceng tak ada banyak waktu!”
“Ha-ha, inilah sombongmu, Beng Kong Hwesio. Kau mudah terpancing dan menuruti kemarahanmu. Bagus, tapi ketahuilah bahwa kini Go-bi sedang diserbu besar-besaran oleh seluruh anak murid Heng-san!”
"Begitukah?" Beng Kong terkejut, tapi tertawa lebar. “Boleh-boleh saja, Siang Kek Cinjin. Tapi mereka pasti mampus!”
“Tidak,” si kakek terkekeh. Kau salah, Beng Kong. Justeru anak buahmulah yang bakal mampus. Kalau kau sudah bertanding dengan Sin Gwan Tojin tentu kau tahu adanya perobahan pada murid-murid Heng-san. Nah, semua ilmuku sudah kuturunkan kepada mereka dan tokoh-tokoh Heng-san melabrak bersama Hoa-san. Seribu murid menyerbu ke sana dan Go-bi bakal hancur. Tanya muridmu!”
Beng Kong berubah. Si kakek menekan urat gagu muridnya dan Chi Koan dapat bicara. Pemuda itu berteriak bahwa apa yang dikata si kakek adalah betul. Murid-murid Heng-san sudah berkepandaian tinggi jauh melampaui murid-murid Go-bi. Pemuda itu sendiri telah merasakannya. Tapi ketika Chi Koan hendak bicara tentang granat yang akan meledakkan guha maka Siang Kek Cinjin menutup urat gagunya lagi dan pemuda itu tercekik!
"Nah, dengar. Apa kata muridmu, Beng Kong Hwesio. Murid-murid Heng-san telah kugembleng dan kini mereka menyerbu partaimu. Tanpa kau di sana tak mungkin mereka bertahan. Go-bi bakal hancur dan Heng-san serta Hoa-san telah bersatu-padu!”
"Keparat!" Beng Kong terbeliak dan merah padam. "Kau culas, tua bangka. Kau licik. Jadi kau menjebakku ke sini agar tempatku kosong. Kalau begitu.... wut!” hwesio ini berkelebat dan tak dapat menahan marah, menerjang dan melepas pukulan sinkangnya dan si kakek terkejut. Dia berhasil mengejutkan lawannya tapi lawan yang marah tak perduli lagi kepada ancamannya, Chi Koan yang ditawan itu. Dan ketika dia mengelak tapi pukulan mengejar, apa boleh buat dia menangkis maka kekek ini mencelat sementara Beng Kong Hwesio terdorong mundur.
“Dess!” Angin berhembus dan menghantam dinding guha dengan amat kuatnya. Lilin yang tadi menyala bergoyang-goyang mendadak padam. Guha menjadi gelap gulita! Dan ketika kakek itu terbahak dan berjungkir balik menyelamatkan diri, dia lebih hapal daripada lawan maka kakek ini telah berada di sudut sementara Beng Kong ada di tengah ruangan. Guha yang gelap pekat.
"Bagus, kau sekarang kaget, Beng Kong Hwesio. Tapi barangkali akan lebih kaget lagi jika kau tahu bahwa kau dan aku akan mampus bersama-sama. Ketahuilah, aku telah memasang seratus bahan peledak untuk menghancurkan guha ini, dan kau atau aku akan tertimbun. Ha-ha, buktikan, keledai gundul. Aku akan meledakkan mulut guha.... blarr!”
Beng Kong terkejut dan kaget bukan main. Di belakangnya terdengar ledakan dahsyat dan batu penutup guha hancur berkeping-keping. Dia terpental oleh getaran suara dahsyat itu dan tawa si kakek lenyap oleh gemuruhnya mulut guha yang runtuh. Guha menjadi pendek dan pengap. Debu dan segala batu besar kecil mencelat, berhamburan. Dan ketika secercah cahaya sempat dilihat dan ini dipergunakan hwesio itu untuk melompat ke depan. Siang Kek Cinjin terlihat di sudut maka dia sudah di dekat kakek itu dan tangan pun siap menghantam!
Beng Kong Hwesio menggigil. Dia sekarang mulai membuktikan bahwa apa yang dikata kakek ini adalah benar. Pertama dia dibuat kaget oleh berita serbuan ke Go-bi. Bukan hanya Heng-san melainkan juga Hoa-san. Dan karena dia sudah bertemu Sin Gwan Tojin dan memang tosu itu sudah jauh dibanding enam tahun yang lalu, meskipun baginya masih bukan tandingan maka dia dibuat kaget dan pucat oleh berita kedua, yakni bahwa seratus granat telah disiapkan di situ untuk menghancurkan guha. Berarti, dia akan terkubur hidup-hidup dan sebelum dia sempat keluar batu besar di mulut guha itu sudah diledakkan, hancur dan mulut guhapun roboh!
Dan ketika dia mendelik namun girang melihat Siang Kek Cinjin, tadi percikan api menyambar dan dia melihat kakek ini maka Cui-pek-po-kian siap menghantam dan menewaskan kakek itu. Dia dan Siang Kek Cinjin kini hanya berjarak dua meter saja. Tapi karena si kakek memiliki daya dengar yang tajam, matanya boleh buta tapi telinganya luar biasa tajamnya maka begitu Beng Kong mendekat kakek inipun menyingkir, dan itupun bertepatan dengan hilangnya cercah api yang menyambar, sehingga Beng Kong tidak tahu. Maka ketika suara bergemuruh lenyap dan Beng Kong bergerak mendekati kakek ini, Cui-pek-po-kian menyambar dan menghantam amat kuat maka dia membentak dan yakin bahwa si kakek akan mampus.
"Siang Kek, kau tua bangka jahanam. Matilah!"
Namun si kakek berada di tempat lain. Pukulan Beng Kong menghantam tempat kosong dan sebaliknya tiba-tiba menyambar pukulan lain menghantam punggung hwesio ini. Beng Kong terkejut dan tentu saja tak menyangka. Dan ketika dinding guha tergetar dan punggungnya menerima serangan si kakek, yang tertawa bergelak maka hwesio itu terlempar dan mencelat menabrak tembok.
“Dess!"
Lawan berbalik dan malah memukulnya. Pukulan Cui-pek-po-kian mengenai tempat kosong sementara pukulan lawan telak mengenai dirinya sendiri. Untung berkat kekuatan sinkangnya hwesio ini mampu bertahan. Kalau tidak tentu dia muntah darah. Dan ketika hwesio itu bergulingan meloncat bangun sementara Siang Kek menghilang dan tak terdengar tawanya lagi maka hwesio ini merah padam merasa terjebak. Sadar bahwa Siang Kek Cinjin mengandalkan pendengarannya.
“Tua bangka, beginikah caramu mengadu ilmu? Gelap-gelapan. Hayo, mana kegagahanmu sebagai seorang sesepuh? Kita bertanding dan mengadu ilmu secara ksatria!”
Namun seruan itu disambut pukulan dahsyat yang kembali menyambar. Siang Kek Cinjin benar-benar mengandalkan telinganya dan begitu lawan berteriak iapun menghantam. Twi-hong-hok-san (Dorong Angin Robohkan Gunung), satu dari pukulan-pukulan ampuh kakek itu yang amat dahsyat menyambar dari kiri. Siang Kek menyerang lawan dalam keadaan gelap-gulita. Tapi karena Beng Kong kali ini waspada dan dia menangkis, telinganya mendengar sambaran angin pukulan itu maka Cui-pek-po-kian menyambut dan kakek itu kali ini terlempar.
“Dess!” Siang Kek mengeluh dan kali ini Beng Kong tertawa bergelak. Beberapa detik setelah membiasakan diri maka, hwesio itupun sudah dapat mengetahui di dalam gelap, menerjang dan kakek itu menangkis dan Siang Kek terkejut karena kembali ia terlempar. Dan ketika selanjutnya hwesio itu berkelebatan dan guha yang gelap tak menjadi halangan, hwesio inipun dapat mendengar dan melihat-bayang-bayang lawan.
Maka pukulan demi pukulan menghantam kakek itu, ganas menderu-deru dan Siang Kek terbelalak karena sinkang hwesio itu lebih hebat daripada dulu, dia selalu terlempar atau terpental kalau menangkis. Dan ketika selanjutnya ia sibuk dan terbanting atau mencelat menabrak tembok, guha tergetar dan sebentar kemudian ia terdesak maka Hok-te Sin-kun, Silat Penakluk Dunia dikeluarkan hwesio ini, hebatnya bukan alang-kepalang.
“Ha-ha, kau boleh menantangku, Siang Kek Cinjin, tapi tak mungkin kau menang. Ha-ha, enam tahun yang lalu kaupun tak dapat menghadapi aku, apalagi sekarang. Biarpun saudaramu masih hidup tak mungkin kau menang.... blarr!" dan dinding guha yang ditabrak dan tergetar oleh pukulan Hok-te Sin- kun akhirnya membuat si kakek pucat dan ia gemetar membelalakkan matanya yang buta, berkedip-kedip, tapi hanya kelopak mata itu saja yang bergerak naik turun.
“Kau.... kau telah mewarisi Silat Penakluk Dunia. Gurumu telah menurunkan warisan Bu- tek-cin-keng!"
"Ha-ha, benar. Dan kau segera mampus, tua bangka. Lihat sebentar lagi kau roboh.... bress!" kakek itu mencelat dan menabrak dinding lagi, roboh dan bergulingan menyelamatkan diri dan kakek itu ngeri melihat dahsyatnya pukulan-pukulan Hok-te Sin-kun.
Beng Kong tidak lagi mengeluarkan Cui-pek-po-kiannya melainkan langsung Silat Penakluk Dunia ini. Dan karena tenaganya juga tenaga Hok-te Sin-kang (Tenaga Sakti Penakluk Dunia) maka dahsyatnya bukan main dan kakek itu jatuh bangun menerima ini. Dulu sedikit dari kehebatan Hok-te Sin-kun telah dirasainya dari Ji Leng si hwesio sakti. Dan karena itulah ia dan adiknya kalah. Maka begitu Beng Kong mempergunakan ilmu ini dan ia jatuh bangun, ilmu itu dahsyat luar biasa maka si kakek menggereng dan menjadi marah.
"Beng Kong, kau boleh bunuh aku. Tapi kaupun akan mampus menyertai aku!” dan si kakek yang membentak menusukkan jarinya tiba-tiba mengeluarkan tudingan jari sakti Tit- ci-thian-tung, satu dari sekian ilmunya yang amat berbahaya. Jari itu berobah menjadi telunjuk baja dan ketika menyambarpun mengeluarkan sinar berkeredep yang gunungpun akan tembus dicoblos jari sakti ini. Tapi ketika Beng Kong tertawa bergelak dan membusungkan dadanya, dia tegak menerima tusukan jari itu maka.... krek, jari kakek itu patah tertolak oleh Hok-te Sin-kang yang amat kuatnya.
“Ha-ha, bagaimana, Siang Kek. Masihkah kau akan mencobanya?"
Si kakek mengeluh. Ia menahan sakit dan membanting tubuh ke belakang. Tapi ketika melompat bangun dan mencoba lagi iapun tak mau sudah dan menusuk dengan jari tengahnya, membentak, "Beng Kong, jangan sombong. Aku mati kaupun akan mampus.... krek!” jari itu lagi-lagi patah, sang kakek menjerit.
Dan kali ini Beng Kong berkelebat ke depan. Ia menampar dan Hok-te Sin-kang menyambar. Ia khawatir juga oleh ancaman lawan. Tapi ketika si kakek masih dapat melempar tubuh ke kiri dan pukulan itu menghantam dinding guha maka guha ambruk dan Beng Kong terkejut sendiri karena pukulannya membawa bencana. Dan saat itu kakek itu memasuki sebuah lubang sambil memijat sesuatu.
“Buummm....!"
Suara dahsyat ini membuat Beng Kong terpental. Si kakek yang rupanya tak tahan untuk membela diri akhirnya mulai memijat tombol-tombol peledak, masuk ke lubang di bawah tanah dan mulut guha ambruk lagi. Siang Kek berlindung sementara Chi Koan pucat pasi. Ia masih dikempit kakek ini dan setiap Siang Kek terlempar atau terbanting oleh pukulan gurunya iapun semakin menderita. Tiga kali kepalanya terbentur tembok! Dan ketika kini si kakek tak tahan menghadapi gurunya, awal petaka itu datang maka Siang Kek tertawa bergelak dan amblas meluncur di lubang semacam sumur itu.
“Ha-ha, selamat tinggal, Beng Kong Hwesio. Rasakan dan nikmatilah ledakan-ledakan ini... buumm-buummmm!”
Empat lima ledakan terdengar lagi, Beng Kong terlempar dan terbanting berjungkir balik dengan amat marahnya. Dia tak tahu bahwa ditempat itu ada sumur bawah tanah. Si kakek tentu saja hapal karena itu tempat tinggalnya. Dan ketika ia terlempar dan menabrak sana-sini, ledakan demi ledakan menggetarkan guha itu maka barulah hwesio ini melihat lubang di bawah tanah itu. Ledakan atau pecahan dinamit selalu memercikkan api, dan cahaya atau bunga api inilah yang membuat dia melihat lubang itu.
Kiranya Siang Kek berguling dan masuk ke sini, kakek itu licik! Dan ketika sebuah batu datang menimpa kepalanya, hwesio ini berkelit dan menjejak dinding kuat-kuat maka dia melempar tubuh ke situ dan batu itu berdebum dengan amat dahsyatnya, disusul oleh hamburan pasir dan debu-debu tebal.
"Buummm!"
Beng Kong Hwesio telah berguling memasuki lubang ini. Ia jatuh dan terus meluncur ke bawah sementara ledakan demi ledakan terus terjadi. Suaranya memekakkan telinga dan amat dahsyat. Guha benar-benar diguncang den seolah menghadapi malam kiamat. Dan ketika tubuh hwesio itu terus meluncur dan jatuh ke bawah, lantai sumur itu rupanya gerowong dan berlubang di sebelah kanannya maka tahulah hwesio ini bahwa itu kiranya jalan bawah tanah atau terowongan rahasia.
Dia terbelalak dan marah sekali dan sempat dilihatnya bayangan kakek itu meluncur di depan, agak terbongkok dan terhuyung dan lenyap di depan. Dia tak tahu ke mana terowongan ini membawanya tapi tentu saja dia melompat bangun dan mengejar. Ledakan dan dentuman di atas amat dahsyat. Ini kesempatan baginya untuk menyerang kakek itu.
Siang Kek tak mungkin dapat mendengarnya karena tertutup oleh gemuruh dan ledakan di atas sana. Dan ketika ia melesat dan mengejar kakek itu, benar saja si kakek tak mendengar langkahnya maka tiba- tiba menerkam dan mencengkeram punggung kakek ini. Akhirnya ia berhasil mengejar.
"Krek-augh!"
Si kakek terkejut dan roboh. Ia tak menyangka hwesio itu ada di belakangnya, mencengkeram dan gerakan atau serangan ini tak didengar. Pendengarannya menjadi tuli oleh ledakan atau dentuman-dentuman di atas. Dan karena ia juga tak dapat melihat, ia mencabut tongkat dan berkali-kali harus mengetuk atau menghentikan langkahnya maka kejaran Beng Kong Hwesio menyusulnya dan dalam gemas serta marahnya hwesio ini mengerahkan sinkangnya mencengkeram punggung kakek itu, yang seketika berkeratak.
Tapi karena Siang Kek juga bukan laki-laki biasa dan dedengkot Heng-san ini memiliki kepandaian tinggi, ilmunya sudah mendarah daging maka begitu dicengkeram otomatis sinkangnyapun melindungi, meskipun kalah oleh sinkang di tangan hwesio itu dan tulang punggungnya retak. Siang Kek mengaduh dan saat itulah Chi Koan terlepas. Kelumpuhan di punggung merupakan segala-galanya, kakek itu menangis.
Tapi ketika Beng Kong berkelebat dan menghantamnya lagi, kali ini kelima jarinya menampar kepala kakek itu tiba-tiba si kakek meniup tongkatnya dan tujuh sinar hitam menyambar mata hwesio ini. Beng Kong tak menduga dan hwesio yang sedang menubruk ke depan itu tentu saja berteriak. Ia sedang melancarkan serangan tapi sekonyong-konyong lawanpun menyerangnya. Bukan sembarang serangan melainkan serangan gelap. Dan ketika ia mengelak namun dua jarum mengenai mata kirinya, amblas dan menimbulkan rasa sakit yang hebat maka hwesio itu berteriak tapi pukulannyapun mengenai kepala itu.
“Crep-plak!"
Si hwesio terhuyung sementara si kakek roboh. Siang Kek tak dapat menahan pukulan ini dan langsung tewas. Kepalanya pecah! Dan ketika di sana Chi Koan terbelalak dan ngeri tapi girang, kakek itu tewas tetapi gurunya buta sebelah maka Beng Kong menggeram dan melompat menginjak perut kakek ini. Kemarahan dan kebenciannya menumpuk. Perut itu hancur dan disusul lagi oleh injak di dada dan kaki, juga lengan dan pundak. Dan ketika suara krak-krek terdengar berulang- ulang dan Siang Kek Cinjin hancur remuk.
Maka Chi Koan yang ada di situ menyadarkan hwesio ini, muridnya ah-uh-ah-uh tak dapat bicara. Dia mendekap sebelah matanya yang bercucuran darah dan Chi Koan ditendangnya bebas. Dan ketika pemuda itu dapat bangun berdiri tapi terhuyung roboh, ia tak makan atau minum maka suhunya membentak agar dia mencabut jarum di mata kiri itu.
“Tua bangka keparat. Bedebah jahanam. Binatang! Heh, cabut jarum di mata kiriku ini, Chi Koan. Cabut dan cepat ambil. Aku tak dapat melihat!"
Chi Koan ngeri dan terbelalak. Ia melihat darah membasahi muka gurunya itu, dua jarum menancap di manik mata dan dapat dibayangkannya betapa sakitnya itu. Gurunya buta. Dan ketika ia menggigil dan mencabut jarum itu, darah menyemprot lagi maka suhunya terhuyung dan menggeram menahan sakit tak tertahankan.
"Kubunuh orang-orang Heng-san semua.... kubunuh mereka!”
"Kita terjebak,” Chi Koan lemah bicara, tubuh dan kepalanya matang biru, tersiksa dan tidak bisa tidur atau istirahat. "Tempat ini entah ke mana, suhu. Teecu juga belum pernah tahu. Dan di atas, ah.... ledakan-ledakan itu masih terdengar....”
“Ini gara-gara kau!" sang suhu membentak dan mencengkeram, tangannya bergerak menggigil siap menghantam kepala pemuda itu. "Kalau kau tidak datang ke sini tak akan ada segala macam kejadian begini, Chi Koan. Kaupun binatang keparat. Jahanam!”
"Ampunkan teecu..." Chi Koan terkejut, tahu gurunya marah besar. Bukan apa-apa melainkan justeru oleh sakit hebat di mata kiri itu. Suhunya picak! Dan maklum bahwa dia harus pasrah, tak boleh membantah atau berbuat lain-lain lagi maka dia berlutut dan mencucurkan air mata di bawah kaki gurunya itu. “Suhu, teecu mengaku bersalah. Tapi semua ini sebenarnya untuk mengangkat nama suhu lebih tinggi lagi. Kalau teecu tak terampunkan silakan bunuh, suhu. Teecu menurut.”
Lumer hati sang hwesio. Chi Koan adalah muridnya satu-satunya dan kalau tidak emosi tak mungkin dia marah-marah begini. Memang rasa sakit di mata kiri itulah yang membuat ia mudah meluap. Tapi begitu sang murid berlutut dan ia sadar, percuma marah-marah lagi maka ia minta agar muridnya membawa mayat Siang Kek Cinjin. “Baik, kau menyadari kesalahanmu. Bawa mayat itu dan kita keluar!”
“Siang Kek Cinjin? Untuk apa, suhu? Bukankah sudah mampus?”
“Heh, aku ingin menggantung mayatnya di markas perkumpulan ini, Chi Koan, menyuruh murid-murid Heng-san menontonnya sebelum mereka itu kubunuh satu per satu!”
"Suhu akan membantai mereka?"
“Sebuah biji mataku hilang, dan ini tak mungkin diganti lagi. Cerewet, jangan banyak mulut lagi, Chi Koan. Bawa mayat itu dan kita keluar!"
Beng Kong sudah berkelebat dan marah-marah. Biji matanya rusak dan hanya dengan sebelah mata yang lain ia bergerak dan mengikuti terowongan itu. Tapi ketika terowongan ini naik turun dan ia tak tahu ke mana mendadak kakinya menginjak sesuatu dan granat hitam meledak.
"Blarr...!”
Hwesio itu berteriak dan terpekik. Ia tak menduga ini dan kakinya putus. Chi Koan kaget dan pucat sekali melihat gurunya terlempar dan terbanting kembali. Kaki itu hancur! Dan ketika Beng Kong terbeliak dan merintih, sinkangnya tak bekerja saat itu maka ia mengerang dan Chi Koan yang terlempar oleh suara ledakan tadi ngeri melihat keadaan gurunya.
“Suhu..!”
Chi Koan digapai. Beng Kong putus kaki kanannya dan hwesio ini benar-benar sial. Ia tak tahu bahwa di lorong itupun terpasang granat-granat berbahaya yang siap meledak. Siang Kek menanamnya di banyak tempat. Ada yang di bawah tanah dan ada pula yang di dinding. Kakek itu benar-benar menghendaki nyawa lawannya. Dan ketika Beng Kong terbanting dan jatuh ke tanah, Chi Koan melempar mayat Siang Kek dan menubruk gurunya maka pemuda itu menangis dan tak tahu harus berbuat apa. Diam-diam merasa beruntung bahwa bukan dia yang menginjak!
"Suhu, bagaimana ini. Apa... apa yang harus teecu lakukan...!”
"Augh... jahanam keparat. Kakiku hancur, Chi Koan. Aku menginjak ranjau. Binatang terkutuk, tua bangka Siang Kek Cinjin benar-benar bedebah. Robek bajumu dan balut lukaku. Bebat kuat-kuat!”
Chi Koan menggigil mengerjakan perintah gurunya itu. Ia merobek bajunya dan membebat. Luka di kaki kanan gurunya ini lebih mengerikan lagi karena tulang dan dagingnya sobek. Kalau bukan gurunya barangkali sudah mampus. Dan ketika ia membebat dan mengikat erat-erat luka itu, menghentikan darah agar tidak mengucur maka Beng Kong menekan pundak muridnya untuk berdiri. Bibir digigit kuat-kuat menahan sakit. Mata belum sembuh sudah ada luka lagi!
"Ini gara-gara kau...!” ia mengutuk. “Kau murid pembawa celaka, Chi Koan. Ah, ingin rasanya aku membunuhmu. Hm, kau pantas dibunuh dengan membuat gurumu seperti ini!"
"Ampunkan teecu," sang murid sesambat. "Teecu pun tak akan melawan, suhu. Mati sekarangpun akan teecu jalani. Tapi bagaimana kalau suhu sendirian di tempat ini. Dapatkah keluar....?”
"Hm, aku harus keluar mencari murid-murid Heng-san itu. Mereka harus kubunuh! Kau sekarang di depan, Chi Koan.Dan pergunakan sisa bajumu sebagai obor!”
“Maksud suhu?”
"Lepas bajumu!"
Bentakan ini tak dapat dibantah. Chi Koan tak berani banyak omong lagi dan sisa bajunya itu dilepas. Dan begitu disambar gurunya maka Beng Kong menggulungnya dan melecutkannya ke đinding.
“Tar!” Api menyala. Chi Koan kagum karena bajunya tadi sudah diisi dengan Hok-te Sin-kang, mengeras bagai baja dan memuncratkan bunga api ketika diledakkan ke dinding. Dan ketika api menyambar sementara baju itu sudah lemas kembali, Hok-te Sin-kang ditarik maka sebuah obor atau semacam obor terdapat di sini.
"Pegang, dan melangkahlah hati-hati. Lihat ke bawah dan periksa kalau masih ada ranjau-ranjau lain!”
Chi Koan baru mengerti. Tadi dia panik disuruh mendahului gurunya. Tempat itu gelap dan siapa tahu dia gantian menginjak ranjau. Kalau kakinya buntung tentu celaka! Tapi begitu mengerti dan paham ini diapun tak takut lagi untuk mulai melangkah maju, di depan dan gurunya terpincang mendesis-desis. Hwesio ini hebat sekalí dapat berjalan sambil menahan sakit, padahal kalau orang lain tentu pingsan dan roboh tak mungkin bangun. Luka itu hanya dibebat saja, belum diobati.
Dan ketika sang murid berada di depan dan terowongan itu diikuti maka tampaklah benda hitam-hitam mencuat atau nongol di permukaan, bukan hanya di tanah melainkan juga di dinding. Chi Koan menahan ngeri dengan jantung berdetak. Tanpa obor tak mungkin dia melihat! Dan ketika benda-benda itu dihitung dan mereka melewati tak kurang dari dua puluh tujuh granat, terpasang dan menancap rapi maka Chi Koan menarik napas dalam dan mengutuk dalam hati.
Pantas Siang Kek Cinjin mengetuk-ngetuk dan menghitung langkahnya. Kiranya kakek itu mencari tahu di mana alat-alat peledak itu dan menghindar. Orang lain tentu saja tak tahu. Dan ketika terowongan mulai naik tapi Chi Koan tersengal sementara gurunya juga merintih, ia iba akhirnya ia berhenti dan meletakkan mayat Siang Kek Cinjin.
“Suhu, rupanya kita perlu beristirahat. Aku juga capai, bagaimana kalau berhenti sebentar?”
"Baik, aku juga tak tahan, Chi Koan. Bedebah jahanam kakek tua bangka itu. Kalau ia masih hidup tentu kubuntungi kedua kakinya agar merasakan bagaimana hebatnya kaki putus!"
Chi Koan membantu gurunya duduk. Ia kagum melihat gurunya ini mampu naik turun melalui terowongan dengan keadaan seperti itu, kaki buntung dan mata picak. Dan ketika sang guru duduk dan memeriksa lukanya maka mereka bercakap-cakap dan agaknya barisan ranjau sudah lewat. Tidak ada lagi granat-granat tangan di sekeliling situ.
"Aku tak tahu di mana kita kini. Tapi ada cahaya di depan, barangkali sudah dekat dengan mulut terowongan."
"Benar, aku juga begitu, suhu. Kita sudah hampir selamat. Terima kasih atas pertolongan suhu dan nanti akan kucari orang-orang Heng- san itu dan kubasmi. Biar mereka tahu rasa!”
“Hm,” sang guru bersinar-sinar, memandang muridnya ini tak senang. “Kau menjadikan gurumu seperti ini, Chi Koan. Kau bocah keparat. Kalau tidak gara-gara kau tak mungkin aku begini. Beng Kong Hwesio sekarang menjadi manusia cacad!"
"Ampunkan teecu..." Chi Koan menunduk. “Teecu bersalah, suhu. Tapi betapapun suhu masih lihai. Dengan Hok-te Sin-kang tadi suhu membuat musuh suhu jatuh bangun. Suhu tak akan direndahkan orang."
"Tapi pinceng cacad! Maukah kau menjadi manusia cacad?"
Bentakan ini membuat Chi Koan semakin menunduk. Dia mendengar geram dan kemarahan di situ, juga malu bahwa gurunya sekarang cacad. Memang, siapa mau cacad dan menjadi manusia invalid? Gurunya yang gagah sekarang tak sempurna lagi, ini gara- gara dia. Maka ketika dia menangis dan berlutut mencium kaki gurunya Chi Koan berkata,
"Suhu, kau boleh ambil nyawa teecu kalau begitu. Kau boleh buntungi juga teecu untuk pelampias kemarahanmu. Aku tak dapat membalasmu dengan segala kebaikanku, suhu. Kalau kau tetap marah-marah begini biarlah suhu bunuh teecu!”
"Hm, kau muridku satu-satunya," sang hwesio sadar dan meredakan kemarahannya. "Aku marah karena cacadku ini, Chi Koan. Kalau tidak tentu tidak. Siang Kek benar-benar tua bangka terkutuk dan kalau tidak ingin anak muridnya mengetahui mayatnya ini tentu ia sudah kupotong-potong!”
"Sudahlah, suhu. Kakek itu sudah mati. Bagaimana kalau kita lanjutkan perjalanan lagi dan keluar?”
"Hm, kau periksa dulu cahaya di depan itu. Aku tidak khawatir. Kita rupanya sudah siap keluar tapi aku ingin beristirahat barang lima menit lagi. Coba kau lihat itu dan periksa!”
Chi Koan mengangguk. Ia merasa pulih meskipun belum semua, bangkit dan terhuyung ke depan. Betapapun ia kelaparan dan kehausan. Hanya karena ia murid Beng Kong Hwesio sajalah yang membuat badannya kuat, tahan meskipun dibanting dan disiksa. Sama seperti hwesio itu sendiri yang hebat dan mampu menahan sakit. Beng Kong dan Chi Koan sesungguhnya memang orang-orang luar biasa. Mereka itu kuat luar dalam. Tapi ketika Chi Koan melangkah dan mengingat-ingat semua itu, kegagahan dan kepandaian gurunya menguasai Hok-te Sin-kun tiba-tiba pikirannya mulai berubah.
Cahaya di depan semakin terang dan dia tiba-tiba menjadi girang melihat bahwa mulut terowongan kiranya berakhir. Dia mempercepat langkah dan akhirnya berdiri di mulut terowongan itu, tertegun karena bawahnya adalah jurang. Kiranya mulut terowongan itu berada di tengah sebuah jurang dalam dan dinding jurang terjal yang terdiri dari batu-batu hitam kokoh menunjukkan kuatnya tebing itu. Mereka bakal keluar tapi terhenti di tengah jurang menganga ini, tergantung di situ dan di atas tampak langit membiru dan awan putih bersih.
Melihat ketinggiannya tak kurang dari dua ratus meter. Tapi karena dia dapat memanjat dan tinggal gurunya yang mungkin mengalami kesukaran, gurunya sedang terluka dan tak mungkin kaki yang masih buntung itu dipergunakan maka Chi Koan membalik dan tiba-tiba jantungnya berdesir melihat dua benda hitam berada di bawah kakinya. Peledak!
Chi Koan hampir berteriak dan ngeri melihat ini. Sepanjang jalan tak dilihatnya lagi benda-benda terkutuk itu dan ini membuat kewaspadaannya berkurang. Ditambah kegembiraannya melihat jalan keluar di situ benar-denar melengkapi kelengahannya. Gurunyapun pasti akan bersikap sama, menganggap tempat itu aman dan lubang atau mulut terowongan membuat perasaan girang. Dan bersyukur bahwa ia tak menginjak benda hitam itu, yang tentu akan menghancurkan tubuhnya tiba-tiba Chi Koan yang sudah mulai berubah pikiran ini menjadi semakin mantap untuk melakukan sesuatu yang keji.
Hok-te Sin-kun, yang hebat dan amat mengagumkan itu sekali lagi dilihatnya di dalam guha. Dengan Hok-te Sin-kun ini gurunya membuat Siang Kek Cinjin jatuh bangun. Hok-te Sin-kun benar-benar hebat dan luar biasa. Kalau saja ia memiliki ilmu itu tak mungkin ia sampai tertangkap dan ditawan dedengkot Heng-san. Gurunya tak boleh terus-terusan marah kepadanya. Itu kesalahan gurunya sendiri, kenapa tidak mewariskan! Dan teringat bahwa Hok-te Sin-kun tak boleh dimiliki oleh lebih dua orang, inilah kesempatan baginya untuk mewarisi Hok-te Sin-kun maka tiba-tiba timbul pikiran keji Chi Koan untuk membunuh gurunya.
Dia adalah cucu murid Ji Leng Hwesio dan karena gurunya ini telah diberi Hok-te Sin-kun maka Ji Leng tak dapat menurunkan ilmu itu kepada orang lain. Untuk mewarisi Hok-te Sin-kun tinggal gurunya atau kakek gurunya itu saja yang harus lenyap. Hok-te Sin-kun tak boleh dimiliki oleh lebih dua orang. Dan karena sekarang kesempatan untuk melenyapkan pemilik Hok-te Sin-kun nomor dua, berarti Hok-te Sin-kun kembali dimiliki secara tunggal oleh Ji Leng Hwesio dan dia berharap kakek itu memberikan kepadanya, dia adalah penerus gurunya.
Maka Chi Koan tersenyum dan pikiran licik atau akal keji ini segera berjalan. Dia akan membawa gurunya ke situ tapi sebelumnya dia akan berpura-pura memanjat tebing dulu, mencari tali atau apa saja yang akan dipergunakan menarik gurunya. Tentu gurunya tak akan menyangka perbuatannya yang kejam. Dia akan mengubur hidup-hidup gurunya di situ, dan nanti ia dapat bercerita kepada kakek gurunya bahwa gurunya tewas, terkubur bersama Siang Kek Cinjin. Dan karena dia adalah murid satu-satunya dari gurunya itu, berarti dia berhak mempelajari Hok-te Sin-kun.
Maka Chi Koan gembira bukan main membayangkan kekejamannya ini. Dia sudah kembali dan dengan hati-hati mengambil daun kering menutupi benda hitam itu. Nanti, kalau dia di atas biarlah dia berteriak agar gurunya duduk di atas daun kering itu, menunggu. Dia akan menolong gurunya mencari tali panjang atau akar-akaran, inilah pikiran bagus. Maka ketika Chi Koan membalik dan melangkah lebar-lebar, bergegas dan berseri menghadap gurunya maka dia berkata bahwa jalan keluar sudah didapat, mulut terowongan itu berakhir.
"Suhu dapat teecu gendong kalau mau. Kita sudah sampai. Tapi di luar sana terdapat sebuah jurang dan kita harus memanjat naik!”
“Hm, begitu? Bagus, sudah kuduga. Tapi apa katamu, Chi Koan? Jurang? Kita berada di tengah jurang?"
“Benar, suhu. Mulut terowongan ini berakhir di tengah jurang. Kita harus memanjat atau merayap naik kalau ingin keluar. Tapi suhu harap tunggu dulu di situ teecu mencari tali atau akar-akaran panjang di atas!"
"Bagus, kalau begitu mari pergi. Hm, akupun sudah ingin keluar dan tak betah di tempat ini. Baik, aku dapat berjalan sendiri, Chi Koan, kau bawa mayat itu dan kita berangkat!”
"Suhu tak mau kugendong?"
“Ha-ha, pinceng masih dapat berjalan. Terima kasih, kau murid baik tapi biar mayat itu saja yang kau bawa!"
Chi Koan girang. Dia malah mendapat pujian gurunya dan Beng Kong memang senang mendengar kata-kata muridnya tadi. Dia tak tahu bahwa sesungguhnya Chi Koan lebih baik menggendong gurunya itu daripada membawa mayat! Juga agar gurunya tidak terburu-buru menginjak peledak di mulut guha yang berbahaya itu. Kalau ini dilanggar tentu celaka. Mereka semua bisa terkubur hidup-hidup di situ! Maka waspada dan tentu saja tak menghendaki ini Chi Koan menyambar mayat Siang Kek Cinjin dan buru-buru mendahului sudah mengatur sedemikian rupa agar gurunya tidak menginjak dinamit itu.
Dia berkata agar gurunya menginjak tempat yang sudah diinjak, Beng Kong berseri dan senang memuji muridnya lagi. Chi Koan seolah siap menjadi ujung tombak baginya. Guru itu bangga. Sang murid ini demikian berbakti! Dan ketika langkah demi langkah dilewati mereka, Beng Kong mengangguk dan menginjak tempat-tempat yang sudah diinjak muridnya maka mereka tiba di mulut terowongan itu dan Chi Koan berdebur keras oleh ketegangan yang mulai memuncak. Sekarang mereka di daerah berbahaya!
"Suhu lihat itu," katanya. "Ini jurang yang kumaksud dan tentu dengan keadaan suhu yang begini tak dapat suhu memanjat naik. Bagaimana kalau teecu keluar dulu dan mencari akar atau tali panjang?”
"Bagus, kau murid berbakti, Chi Koan. Pinceng memang tak mungkin dapat naik kalau keadaan masih begini. Pergilah, cari tali atau akar panjang.”
Chi Koan meletakkan mayat Siang Kek Cinjin. Dia girang bahwa sekarang dia dapat lolos. Ini kesempatan baginya, kesempatan terakhir. Dan melompat serta berayun di sebatang pohon, di luar mulut terowongan terdapat pohon menjulur maka Chi koan berseri dan sudah bergerak mencari tempat-tempat pijakan, berpindah dan naik ke atas dan ajaib sekali dia seakan mendapat tambahan tenaga mujijat. Letih dan lelahnya hilang.
Dia merayap dan melompat ke tempat-tempat lebih tinggi dan sebentar kemudian sudah meninggalkan gurunya di bawah. Bagi murid Beng Kong Hwesio ini bukanlah soal untuk mendaki tebing setinggi dua ratus meter, biarpun tebing itu tegak lurus. Dan ketika sepuluh menit kemudian dia berada di tengah, Chi Koan ingin cepat-cepat sampai ke atas dan di sana dia akan berseru agar suhunya duduk, di daun kering yang menutupi ranjau itu mendadak gurunya berteriak dari bawah dan menahan larinya.
“Chi Koan, ada peledak di sini!"
Chi Koan tertegun, menengok ke bawah. Dia otomatis berhenti karena bagaimana gurunya bisa tiba-tiba tahu. Dia tak tahu bahwa tadi ketika dia merayap dan melompat-lompat naik maka Beng Kong ingin duduk dan beristirahat menunggu. Hwesio itu menoleh dan kebetulan melihat daun kering di situ, memungutnya dan ingin memindahnya di mulut terowongan agar dia dapat melihat muridnya naik. Duduk di atas daun kering itu kurang leluasa melihat sang murid, dia ingin lebih ke depan dan di situ dapat melihat jelas.
Maka ketika dia menyambar tapi benda hitam terlihat, Beng Kong tidak menekan atau menginjak peledak ini maka terkejut dan kagetlah hwesio itu melihat dinamit ini. Dia tertegun dan masih tak menyangka buruk muridnya. Tapi begitu daun yang lain dilihat dan tumpukan rapi dedaunan ini membangkitkan kecurigaannya, menyambar dan benda hitam kembali terlihat maka jantung si hwesio berdetak dan tiba-tiba dia menjadi curiga kepada muridnya.
Betapapun, hwesio ini bukanlah orang biasa. Otaknya bekerja cepat namun dia masih belum dapat merangkai maksud Chi Koan. Hanya dia tiba-tiba curiga kenapa muridnya tidak memberitahukan itu. Melihat susunan daun kering itu jelas baru saja dibuat, bukan peninggalan Siang Kek Cinjin. Jadi muridnya sudah tahu tapi sengaja tidak memberitahukannya kepadanya. Dan ingin menguji maksud baik muridnya, sang hwesio berdetak maka dua dinamit itu dibongkar hati-hati dan dengan kemarahan tapi juga kekagetannya dia mengangkat dan mengambil satu di antara dua ranjau itu, meletakkannya di telapak tangan dan kini dengan suaranya yang keras dia memanggil sang murid.
Chi Koan belum begitu jauh namun juga tidak terlalu dekat. Jarak mereka ada tujuh puluh lima meter, Beng Kong masih dapat melihat wajah muridnya dengan jelas. Dan ketika dia menunjukkan itu dan Chi Koan tampak berubah, pemuda itu pucat maka Beng Kong menjadi heran sekali ketika tiba-tiba muridnya malah melompat dan lari naik lagi. Kesannya hendak meninggalkannya!
"Heii..!" sang hwesio membentak. "Apa artinya ini, Chi Koan. Kenapa malah lari?"
"Ah," Chi Koan berseru, tergesa-gesa. "Kau memegang benda berbahaya, suhu, aku khawatir meledak. Buang itu, teecu takut!”
"Kau tahu ini?”
Chi Koan tak menjawab, lari dan naik semakin cepat.
“Heii, kau tahu ini, Chi Koan? Kau ingin aku melemparkannya kepadamu?”
Chi Koan pucat. "Suhu, teecu takut itu. Teecu tak berani berhenti. Kau lemparlah ke bawah atau nanti kita sama-sama celaka!”
"Tapi kau tadi berani berjalan duluan, kau siap mempertaruhkan nyawamu bagi suhumu ini!”
"Itu tadi, tapi sekarang tidak... wut!” dan Chi Koan yang menyambar dan menjentik batu sebesar kepalan tiba-tiba menyerang suhunya dengan batu itu, bukan ke tubuh suhunya melainkan ke telapak tangan gurunya itu. Batu menyambar dengan kecepatan kilat.
Beng Kong Hwesio kaget bukan main. Dia masih tak mengerti perihal Hok-te Sin-kun tapi melihat betapa muridnya menghantam dinamit itu kemarahannya tiba-tiba menggelegak. Muridnya hendak membunuhnya! Maka membentak dan berseru keras, berkelit dan melontarkan benda itu tiba-tiba sang guru menyambit dan Chi Koan kaget bukan maín karena dinamit itu meluncur ke arahnya, menyambar dan tak mungkin dia mengelak atau menangkis.
"Kubunuh orang-orang Heng-san semua.... kubunuh mereka!”
"Kita terjebak,” Chi Koan lemah bicara, tubuh dan kepalanya matang biru, tersiksa dan tidak bisa tidur atau istirahat. "Tempat ini entah ke mana, suhu. Teecu juga belum pernah tahu. Dan di atas, ah.... ledakan-ledakan itu masih terdengar....”
“Ini gara-gara kau!" sang suhu membentak dan mencengkeram, tangannya bergerak menggigil siap menghantam kepala pemuda itu. "Kalau kau tidak datang ke sini tak akan ada segala macam kejadian begini, Chi Koan. Kaupun binatang keparat. Jahanam!”
"Ampunkan teecu..." Chi Koan terkejut, tahu gurunya marah besar. Bukan apa-apa melainkan justeru oleh sakit hebat di mata kiri itu. Suhunya picak! Dan maklum bahwa dia harus pasrah, tak boleh membantah atau berbuat lain-lain lagi maka dia berlutut dan mencucurkan air mata di bawah kaki gurunya itu. “Suhu, teecu mengaku bersalah. Tapi semua ini sebenarnya untuk mengangkat nama suhu lebih tinggi lagi. Kalau teecu tak terampunkan silakan bunuh, suhu. Teecu menurut.”
Lumer hati sang hwesio. Chi Koan adalah muridnya satu-satunya dan kalau tidak emosi tak mungkin dia marah-marah begini. Memang rasa sakit di mata kiri itulah yang membuat ia mudah meluap. Tapi begitu sang murid berlutut dan ia sadar, percuma marah-marah lagi maka ia minta agar muridnya membawa mayat Siang Kek Cinjin. “Baik, kau menyadari kesalahanmu. Bawa mayat itu dan kita keluar!”
“Siang Kek Cinjin? Untuk apa, suhu? Bukankah sudah mampus?”
“Heh, aku ingin menggantung mayatnya di markas perkumpulan ini, Chi Koan, menyuruh murid-murid Heng-san menontonnya sebelum mereka itu kubunuh satu per satu!”
"Suhu akan membantai mereka?"
“Sebuah biji mataku hilang, dan ini tak mungkin diganti lagi. Cerewet, jangan banyak mulut lagi, Chi Koan. Bawa mayat itu dan kita keluar!"
Beng Kong sudah berkelebat dan marah-marah. Biji matanya rusak dan hanya dengan sebelah mata yang lain ia bergerak dan mengikuti terowongan itu. Tapi ketika terowongan ini naik turun dan ia tak tahu ke mana mendadak kakinya menginjak sesuatu dan granat hitam meledak.
"Blarr...!”
Hwesio itu berteriak dan terpekik. Ia tak menduga ini dan kakinya putus. Chi Koan kaget dan pucat sekali melihat gurunya terlempar dan terbanting kembali. Kaki itu hancur! Dan ketika Beng Kong terbeliak dan merintih, sinkangnya tak bekerja saat itu maka ia mengerang dan Chi Koan yang terlempar oleh suara ledakan tadi ngeri melihat keadaan gurunya.
“Suhu..!”
Chi Koan digapai. Beng Kong putus kaki kanannya dan hwesio ini benar-benar sial. Ia tak tahu bahwa di lorong itupun terpasang granat-granat berbahaya yang siap meledak. Siang Kek menanamnya di banyak tempat. Ada yang di bawah tanah dan ada pula yang di dinding. Kakek itu benar-benar menghendaki nyawa lawannya. Dan ketika Beng Kong terbanting dan jatuh ke tanah, Chi Koan melempar mayat Siang Kek dan menubruk gurunya maka pemuda itu menangis dan tak tahu harus berbuat apa. Diam-diam merasa beruntung bahwa bukan dia yang menginjak!
"Suhu, bagaimana ini. Apa... apa yang harus teecu lakukan...!”
"Augh... jahanam keparat. Kakiku hancur, Chi Koan. Aku menginjak ranjau. Binatang terkutuk, tua bangka Siang Kek Cinjin benar-benar bedebah. Robek bajumu dan balut lukaku. Bebat kuat-kuat!”
Chi Koan menggigil mengerjakan perintah gurunya itu. Ia merobek bajunya dan membebat. Luka di kaki kanan gurunya ini lebih mengerikan lagi karena tulang dan dagingnya sobek. Kalau bukan gurunya barangkali sudah mampus. Dan ketika ia membebat dan mengikat erat-erat luka itu, menghentikan darah agar tidak mengucur maka Beng Kong menekan pundak muridnya untuk berdiri. Bibir digigit kuat-kuat menahan sakit. Mata belum sembuh sudah ada luka lagi!
"Ini gara-gara kau...!” ia mengutuk. “Kau murid pembawa celaka, Chi Koan. Ah, ingin rasanya aku membunuhmu. Hm, kau pantas dibunuh dengan membuat gurumu seperti ini!"
"Ampunkan teecu," sang murid sesambat. "Teecu pun tak akan melawan, suhu. Mati sekarangpun akan teecu jalani. Tapi bagaimana kalau suhu sendirian di tempat ini. Dapatkah keluar....?”
"Hm, aku harus keluar mencari murid-murid Heng-san itu. Mereka harus kubunuh! Kau sekarang di depan, Chi Koan.Dan pergunakan sisa bajumu sebagai obor!”
“Maksud suhu?”
"Lepas bajumu!"
Bentakan ini tak dapat dibantah. Chi Koan tak berani banyak omong lagi dan sisa bajunya itu dilepas. Dan begitu disambar gurunya maka Beng Kong menggulungnya dan melecutkannya ke đinding.
“Tar!” Api menyala. Chi Koan kagum karena bajunya tadi sudah diisi dengan Hok-te Sin-kang, mengeras bagai baja dan memuncratkan bunga api ketika diledakkan ke dinding. Dan ketika api menyambar sementara baju itu sudah lemas kembali, Hok-te Sin-kang ditarik maka sebuah obor atau semacam obor terdapat di sini.
"Pegang, dan melangkahlah hati-hati. Lihat ke bawah dan periksa kalau masih ada ranjau-ranjau lain!”
Chi Koan baru mengerti. Tadi dia panik disuruh mendahului gurunya. Tempat itu gelap dan siapa tahu dia gantian menginjak ranjau. Kalau kakinya buntung tentu celaka! Tapi begitu mengerti dan paham ini diapun tak takut lagi untuk mulai melangkah maju, di depan dan gurunya terpincang mendesis-desis. Hwesio ini hebat sekalí dapat berjalan sambil menahan sakit, padahal kalau orang lain tentu pingsan dan roboh tak mungkin bangun. Luka itu hanya dibebat saja, belum diobati.
Dan ketika sang murid berada di depan dan terowongan itu diikuti maka tampaklah benda hitam-hitam mencuat atau nongol di permukaan, bukan hanya di tanah melainkan juga di dinding. Chi Koan menahan ngeri dengan jantung berdetak. Tanpa obor tak mungkin dia melihat! Dan ketika benda-benda itu dihitung dan mereka melewati tak kurang dari dua puluh tujuh granat, terpasang dan menancap rapi maka Chi Koan menarik napas dalam dan mengutuk dalam hati.
Pantas Siang Kek Cinjin mengetuk-ngetuk dan menghitung langkahnya. Kiranya kakek itu mencari tahu di mana alat-alat peledak itu dan menghindar. Orang lain tentu saja tak tahu. Dan ketika terowongan mulai naik tapi Chi Koan tersengal sementara gurunya juga merintih, ia iba akhirnya ia berhenti dan meletakkan mayat Siang Kek Cinjin.
“Suhu, rupanya kita perlu beristirahat. Aku juga capai, bagaimana kalau berhenti sebentar?”
"Baik, aku juga tak tahan, Chi Koan. Bedebah jahanam kakek tua bangka itu. Kalau ia masih hidup tentu kubuntungi kedua kakinya agar merasakan bagaimana hebatnya kaki putus!"
Chi Koan membantu gurunya duduk. Ia kagum melihat gurunya ini mampu naik turun melalui terowongan dengan keadaan seperti itu, kaki buntung dan mata picak. Dan ketika sang guru duduk dan memeriksa lukanya maka mereka bercakap-cakap dan agaknya barisan ranjau sudah lewat. Tidak ada lagi granat-granat tangan di sekeliling situ.
"Aku tak tahu di mana kita kini. Tapi ada cahaya di depan, barangkali sudah dekat dengan mulut terowongan."
"Benar, aku juga begitu, suhu. Kita sudah hampir selamat. Terima kasih atas pertolongan suhu dan nanti akan kucari orang-orang Heng- san itu dan kubasmi. Biar mereka tahu rasa!”
“Hm,” sang guru bersinar-sinar, memandang muridnya ini tak senang. “Kau menjadikan gurumu seperti ini, Chi Koan. Kau bocah keparat. Kalau tidak gara-gara kau tak mungkin aku begini. Beng Kong Hwesio sekarang menjadi manusia cacad!"
"Ampunkan teecu..." Chi Koan menunduk. “Teecu bersalah, suhu. Tapi betapapun suhu masih lihai. Dengan Hok-te Sin-kang tadi suhu membuat musuh suhu jatuh bangun. Suhu tak akan direndahkan orang."
"Tapi pinceng cacad! Maukah kau menjadi manusia cacad?"
Bentakan ini membuat Chi Koan semakin menunduk. Dia mendengar geram dan kemarahan di situ, juga malu bahwa gurunya sekarang cacad. Memang, siapa mau cacad dan menjadi manusia invalid? Gurunya yang gagah sekarang tak sempurna lagi, ini gara- gara dia. Maka ketika dia menangis dan berlutut mencium kaki gurunya Chi Koan berkata,
"Suhu, kau boleh ambil nyawa teecu kalau begitu. Kau boleh buntungi juga teecu untuk pelampias kemarahanmu. Aku tak dapat membalasmu dengan segala kebaikanku, suhu. Kalau kau tetap marah-marah begini biarlah suhu bunuh teecu!”
"Hm, kau muridku satu-satunya," sang hwesio sadar dan meredakan kemarahannya. "Aku marah karena cacadku ini, Chi Koan. Kalau tidak tentu tidak. Siang Kek benar-benar tua bangka terkutuk dan kalau tidak ingin anak muridnya mengetahui mayatnya ini tentu ia sudah kupotong-potong!”
"Sudahlah, suhu. Kakek itu sudah mati. Bagaimana kalau kita lanjutkan perjalanan lagi dan keluar?”
"Hm, kau periksa dulu cahaya di depan itu. Aku tidak khawatir. Kita rupanya sudah siap keluar tapi aku ingin beristirahat barang lima menit lagi. Coba kau lihat itu dan periksa!”
Chi Koan mengangguk. Ia merasa pulih meskipun belum semua, bangkit dan terhuyung ke depan. Betapapun ia kelaparan dan kehausan. Hanya karena ia murid Beng Kong Hwesio sajalah yang membuat badannya kuat, tahan meskipun dibanting dan disiksa. Sama seperti hwesio itu sendiri yang hebat dan mampu menahan sakit. Beng Kong dan Chi Koan sesungguhnya memang orang-orang luar biasa. Mereka itu kuat luar dalam. Tapi ketika Chi Koan melangkah dan mengingat-ingat semua itu, kegagahan dan kepandaian gurunya menguasai Hok-te Sin-kun tiba-tiba pikirannya mulai berubah.
Cahaya di depan semakin terang dan dia tiba-tiba menjadi girang melihat bahwa mulut terowongan kiranya berakhir. Dia mempercepat langkah dan akhirnya berdiri di mulut terowongan itu, tertegun karena bawahnya adalah jurang. Kiranya mulut terowongan itu berada di tengah sebuah jurang dalam dan dinding jurang terjal yang terdiri dari batu-batu hitam kokoh menunjukkan kuatnya tebing itu. Mereka bakal keluar tapi terhenti di tengah jurang menganga ini, tergantung di situ dan di atas tampak langit membiru dan awan putih bersih.
Melihat ketinggiannya tak kurang dari dua ratus meter. Tapi karena dia dapat memanjat dan tinggal gurunya yang mungkin mengalami kesukaran, gurunya sedang terluka dan tak mungkin kaki yang masih buntung itu dipergunakan maka Chi Koan membalik dan tiba-tiba jantungnya berdesir melihat dua benda hitam berada di bawah kakinya. Peledak!
Chi Koan hampir berteriak dan ngeri melihat ini. Sepanjang jalan tak dilihatnya lagi benda-benda terkutuk itu dan ini membuat kewaspadaannya berkurang. Ditambah kegembiraannya melihat jalan keluar di situ benar-denar melengkapi kelengahannya. Gurunyapun pasti akan bersikap sama, menganggap tempat itu aman dan lubang atau mulut terowongan membuat perasaan girang. Dan bersyukur bahwa ia tak menginjak benda hitam itu, yang tentu akan menghancurkan tubuhnya tiba-tiba Chi Koan yang sudah mulai berubah pikiran ini menjadi semakin mantap untuk melakukan sesuatu yang keji.
Hok-te Sin-kun, yang hebat dan amat mengagumkan itu sekali lagi dilihatnya di dalam guha. Dengan Hok-te Sin-kun ini gurunya membuat Siang Kek Cinjin jatuh bangun. Hok-te Sin-kun benar-benar hebat dan luar biasa. Kalau saja ia memiliki ilmu itu tak mungkin ia sampai tertangkap dan ditawan dedengkot Heng-san. Gurunya tak boleh terus-terusan marah kepadanya. Itu kesalahan gurunya sendiri, kenapa tidak mewariskan! Dan teringat bahwa Hok-te Sin-kun tak boleh dimiliki oleh lebih dua orang, inilah kesempatan baginya untuk mewarisi Hok-te Sin-kun maka tiba-tiba timbul pikiran keji Chi Koan untuk membunuh gurunya.
Dia adalah cucu murid Ji Leng Hwesio dan karena gurunya ini telah diberi Hok-te Sin-kun maka Ji Leng tak dapat menurunkan ilmu itu kepada orang lain. Untuk mewarisi Hok-te Sin-kun tinggal gurunya atau kakek gurunya itu saja yang harus lenyap. Hok-te Sin-kun tak boleh dimiliki oleh lebih dua orang. Dan karena sekarang kesempatan untuk melenyapkan pemilik Hok-te Sin-kun nomor dua, berarti Hok-te Sin-kun kembali dimiliki secara tunggal oleh Ji Leng Hwesio dan dia berharap kakek itu memberikan kepadanya, dia adalah penerus gurunya.
Maka Chi Koan tersenyum dan pikiran licik atau akal keji ini segera berjalan. Dia akan membawa gurunya ke situ tapi sebelumnya dia akan berpura-pura memanjat tebing dulu, mencari tali atau apa saja yang akan dipergunakan menarik gurunya. Tentu gurunya tak akan menyangka perbuatannya yang kejam. Dia akan mengubur hidup-hidup gurunya di situ, dan nanti ia dapat bercerita kepada kakek gurunya bahwa gurunya tewas, terkubur bersama Siang Kek Cinjin. Dan karena dia adalah murid satu-satunya dari gurunya itu, berarti dia berhak mempelajari Hok-te Sin-kun.
Maka Chi Koan gembira bukan main membayangkan kekejamannya ini. Dia sudah kembali dan dengan hati-hati mengambil daun kering menutupi benda hitam itu. Nanti, kalau dia di atas biarlah dia berteriak agar gurunya duduk di atas daun kering itu, menunggu. Dia akan menolong gurunya mencari tali panjang atau akar-akaran, inilah pikiran bagus. Maka ketika Chi Koan membalik dan melangkah lebar-lebar, bergegas dan berseri menghadap gurunya maka dia berkata bahwa jalan keluar sudah didapat, mulut terowongan itu berakhir.
"Suhu dapat teecu gendong kalau mau. Kita sudah sampai. Tapi di luar sana terdapat sebuah jurang dan kita harus memanjat naik!”
“Hm, begitu? Bagus, sudah kuduga. Tapi apa katamu, Chi Koan? Jurang? Kita berada di tengah jurang?"
“Benar, suhu. Mulut terowongan ini berakhir di tengah jurang. Kita harus memanjat atau merayap naik kalau ingin keluar. Tapi suhu harap tunggu dulu di situ teecu mencari tali atau akar-akaran panjang di atas!"
"Bagus, kalau begitu mari pergi. Hm, akupun sudah ingin keluar dan tak betah di tempat ini. Baik, aku dapat berjalan sendiri, Chi Koan, kau bawa mayat itu dan kita berangkat!”
"Suhu tak mau kugendong?"
“Ha-ha, pinceng masih dapat berjalan. Terima kasih, kau murid baik tapi biar mayat itu saja yang kau bawa!"
Chi Koan girang. Dia malah mendapat pujian gurunya dan Beng Kong memang senang mendengar kata-kata muridnya tadi. Dia tak tahu bahwa sesungguhnya Chi Koan lebih baik menggendong gurunya itu daripada membawa mayat! Juga agar gurunya tidak terburu-buru menginjak peledak di mulut guha yang berbahaya itu. Kalau ini dilanggar tentu celaka. Mereka semua bisa terkubur hidup-hidup di situ! Maka waspada dan tentu saja tak menghendaki ini Chi Koan menyambar mayat Siang Kek Cinjin dan buru-buru mendahului sudah mengatur sedemikian rupa agar gurunya tidak menginjak dinamit itu.
Dia berkata agar gurunya menginjak tempat yang sudah diinjak, Beng Kong berseri dan senang memuji muridnya lagi. Chi Koan seolah siap menjadi ujung tombak baginya. Guru itu bangga. Sang murid ini demikian berbakti! Dan ketika langkah demi langkah dilewati mereka, Beng Kong mengangguk dan menginjak tempat-tempat yang sudah diinjak muridnya maka mereka tiba di mulut terowongan itu dan Chi Koan berdebur keras oleh ketegangan yang mulai memuncak. Sekarang mereka di daerah berbahaya!
"Suhu lihat itu," katanya. "Ini jurang yang kumaksud dan tentu dengan keadaan suhu yang begini tak dapat suhu memanjat naik. Bagaimana kalau teecu keluar dulu dan mencari akar atau tali panjang?”
"Bagus, kau murid berbakti, Chi Koan. Pinceng memang tak mungkin dapat naik kalau keadaan masih begini. Pergilah, cari tali atau akar panjang.”
Chi Koan meletakkan mayat Siang Kek Cinjin. Dia girang bahwa sekarang dia dapat lolos. Ini kesempatan baginya, kesempatan terakhir. Dan melompat serta berayun di sebatang pohon, di luar mulut terowongan terdapat pohon menjulur maka Chi koan berseri dan sudah bergerak mencari tempat-tempat pijakan, berpindah dan naik ke atas dan ajaib sekali dia seakan mendapat tambahan tenaga mujijat. Letih dan lelahnya hilang.
Dia merayap dan melompat ke tempat-tempat lebih tinggi dan sebentar kemudian sudah meninggalkan gurunya di bawah. Bagi murid Beng Kong Hwesio ini bukanlah soal untuk mendaki tebing setinggi dua ratus meter, biarpun tebing itu tegak lurus. Dan ketika sepuluh menit kemudian dia berada di tengah, Chi Koan ingin cepat-cepat sampai ke atas dan di sana dia akan berseru agar suhunya duduk, di daun kering yang menutupi ranjau itu mendadak gurunya berteriak dari bawah dan menahan larinya.
“Chi Koan, ada peledak di sini!"
Chi Koan tertegun, menengok ke bawah. Dia otomatis berhenti karena bagaimana gurunya bisa tiba-tiba tahu. Dia tak tahu bahwa tadi ketika dia merayap dan melompat-lompat naik maka Beng Kong ingin duduk dan beristirahat menunggu. Hwesio itu menoleh dan kebetulan melihat daun kering di situ, memungutnya dan ingin memindahnya di mulut terowongan agar dia dapat melihat muridnya naik. Duduk di atas daun kering itu kurang leluasa melihat sang murid, dia ingin lebih ke depan dan di situ dapat melihat jelas.
Maka ketika dia menyambar tapi benda hitam terlihat, Beng Kong tidak menekan atau menginjak peledak ini maka terkejut dan kagetlah hwesio itu melihat dinamit ini. Dia tertegun dan masih tak menyangka buruk muridnya. Tapi begitu daun yang lain dilihat dan tumpukan rapi dedaunan ini membangkitkan kecurigaannya, menyambar dan benda hitam kembali terlihat maka jantung si hwesio berdetak dan tiba-tiba dia menjadi curiga kepada muridnya.
Betapapun, hwesio ini bukanlah orang biasa. Otaknya bekerja cepat namun dia masih belum dapat merangkai maksud Chi Koan. Hanya dia tiba-tiba curiga kenapa muridnya tidak memberitahukan itu. Melihat susunan daun kering itu jelas baru saja dibuat, bukan peninggalan Siang Kek Cinjin. Jadi muridnya sudah tahu tapi sengaja tidak memberitahukannya kepadanya. Dan ingin menguji maksud baik muridnya, sang hwesio berdetak maka dua dinamit itu dibongkar hati-hati dan dengan kemarahan tapi juga kekagetannya dia mengangkat dan mengambil satu di antara dua ranjau itu, meletakkannya di telapak tangan dan kini dengan suaranya yang keras dia memanggil sang murid.
Chi Koan belum begitu jauh namun juga tidak terlalu dekat. Jarak mereka ada tujuh puluh lima meter, Beng Kong masih dapat melihat wajah muridnya dengan jelas. Dan ketika dia menunjukkan itu dan Chi Koan tampak berubah, pemuda itu pucat maka Beng Kong menjadi heran sekali ketika tiba-tiba muridnya malah melompat dan lari naik lagi. Kesannya hendak meninggalkannya!
"Heii..!" sang hwesio membentak. "Apa artinya ini, Chi Koan. Kenapa malah lari?"
"Ah," Chi Koan berseru, tergesa-gesa. "Kau memegang benda berbahaya, suhu, aku khawatir meledak. Buang itu, teecu takut!”
"Kau tahu ini?”
Chi Koan tak menjawab, lari dan naik semakin cepat.
“Heii, kau tahu ini, Chi Koan? Kau ingin aku melemparkannya kepadamu?”
Chi Koan pucat. "Suhu, teecu takut itu. Teecu tak berani berhenti. Kau lemparlah ke bawah atau nanti kita sama-sama celaka!”
"Tapi kau tadi berani berjalan duluan, kau siap mempertaruhkan nyawamu bagi suhumu ini!”
"Itu tadi, tapi sekarang tidak... wut!” dan Chi Koan yang menyambar dan menjentik batu sebesar kepalan tiba-tiba menyerang suhunya dengan batu itu, bukan ke tubuh suhunya melainkan ke telapak tangan gurunya itu. Batu menyambar dengan kecepatan kilat.
Beng Kong Hwesio kaget bukan main. Dia masih tak mengerti perihal Hok-te Sin-kun tapi melihat betapa muridnya menghantam dinamit itu kemarahannya tiba-tiba menggelegak. Muridnya hendak membunuhnya! Maka membentak dan berseru keras, berkelit dan melontarkan benda itu tiba-tiba sang guru menyambit dan Chi Koan kaget bukan maín karena dinamit itu meluncur ke arahnya, menyambar dan tak mungkin dia mengelak atau menangkis.
Satu-satunya jalan ialah menjatuhkan diri. Dia harus melepaskan dinding yang dicengkeram dan jatuh ke bawah. Ada pohon di bawah sana dan dia menerjunkan diri ke tempat ini. Dan begitu Chi Koan melepaskan tebing itu maka dinamit itu meledak tapi bertepatan dengan itu, beberapa detik lebih dulu terdengar pula suara menggelegar di mulut terowongan.
Batu yang dijentikkan Chi Koan tadi luput mengenai telapak gurunya tapi menyambar dinamit yang lain. Beng Kong juga tak menduga ini dan terkejut setengah mati, menggelegar dan robohlah terowongan itu dan tubuh sang hwesio terlempar keluar. Beng Kong meluncur ke bawah jurang dan hwesio yang tak dapat menguasai diri ini terlempar bagai dihempas angin dahsyat. Dia berada di bibir lubang dan inilah yang membuatnya mudah terlontar, jatuh dan selanjutnya hwesio itu tak sadarkan diri sementara Chi Koan di atas juga jatuh ke bawah.
Tapi karena pemuda itu menuju pohon besar di tengah-tengah jurang, terpelanting dan jatuh ke sini maka dentuman dahsyat di atas tebing membuat jurang itu seakan kiamat. Bawah dan atas sama-sama menggelegar. Chi Koan tak sadarkan diri dan dahan yang tertimpa tubuhnya patah, jatuh dan selanjutnya menimpa dahan di bawahnya lagi, enam kali berturut-turut. Dan ketika pemuda itu tergelantung dan tak ingat diri lagi, tebing atau dinding jurang berguguran dihantam suara ledakan maka batu dan segala macam tanaman menimpa ke bawah, terus dan akhirnya pohon di mana Chi Koan mengandalkan nyawanya terbenam.
Pemuda itu babak belur namun untunglah tenaga sakti di dalam tubuhnya melindungi. Dia teruruk sebatas leher, untung batu-batu yang berguguran berhenti, kalau tidak tentu dia terbenam dan tewas terkubur hidup-hidup. Dan ketika dia siuman dan mengeluh, perlahan-lahan membuka mata dan bergerak membebaskan diri ternyata dinding jurang tinggal separoh dan yang separoh ini selalu berguguran kalau didaki...!
Batu yang dijentikkan Chi Koan tadi luput mengenai telapak gurunya tapi menyambar dinamit yang lain. Beng Kong juga tak menduga ini dan terkejut setengah mati, menggelegar dan robohlah terowongan itu dan tubuh sang hwesio terlempar keluar. Beng Kong meluncur ke bawah jurang dan hwesio yang tak dapat menguasai diri ini terlempar bagai dihempas angin dahsyat. Dia berada di bibir lubang dan inilah yang membuatnya mudah terlontar, jatuh dan selanjutnya hwesio itu tak sadarkan diri sementara Chi Koan di atas juga jatuh ke bawah.
Tapi karena pemuda itu menuju pohon besar di tengah-tengah jurang, terpelanting dan jatuh ke sini maka dentuman dahsyat di atas tebing membuat jurang itu seakan kiamat. Bawah dan atas sama-sama menggelegar. Chi Koan tak sadarkan diri dan dahan yang tertimpa tubuhnya patah, jatuh dan selanjutnya menimpa dahan di bawahnya lagi, enam kali berturut-turut. Dan ketika pemuda itu tergelantung dan tak ingat diri lagi, tebing atau dinding jurang berguguran dihantam suara ledakan maka batu dan segala macam tanaman menimpa ke bawah, terus dan akhirnya pohon di mana Chi Koan mengandalkan nyawanya terbenam.
Pemuda itu babak belur namun untunglah tenaga sakti di dalam tubuhnya melindungi. Dia teruruk sebatas leher, untung batu-batu yang berguguran berhenti, kalau tidak tentu dia terbenam dan tewas terkubur hidup-hidup. Dan ketika dia siuman dan mengeluh, perlahan-lahan membuka mata dan bergerak membebaskan diri ternyata dinding jurang tinggal separoh dan yang separoh ini selalu berguguran kalau didaki...!