Prahara Di Gurun Gobi Jilid 19 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Serial Prahara Di Gurun Gobi Karya Batara

KAMI tak bicara tentang agama, melainkan sakit hati dan dendam. Kau tak perlu berkhotbah tentang Kebenaran atau ketidakbenaran, Ji Leng Hwesio, karena kami datang untuk menagih hutang. Nah, kau sudah muncul dan siaplah menebus dosa!”

"Omitohud, kau mau melakukan apa?”

"Membunuhmu!" dan begitu kata-kata itu selesai tiba-tiba Tan Hoo Cinjin bergerak dengan amat cepatnya menyerang hwesio ini. Ji Leng sudah muncul dan itulah kesempatan terakhir. Kalau hwesio ini masih hidup sukarlah bagi Heng-san maupun Hoa-san membalas sakit hati. Dan karena maklum bahwa yang dihadapi adalah dedengkot Go-bi, Tan Hoo tak ragu-ragu melepas pukulan maka yang dilancarkan adalah Lui-yang Sin-kang.

“Klap!” sinar pukulan itu mendahului Tan Hoo Cinjin sendiri. Ketua Heng-san yang kini maju sendiri itu melepas semua pukulannya dengan hebat. Ji Leng tampak terbelalak melebarkan mata namun hwesio sakti ini tak mengelak. Sinar pukulan itu menyambarnya bagai petir yang dahsyat, apinya saja sudah membakar orang-orang di sekitar hingga minggir tanpa disuruh lagi. Hawa panas itu tak tahan mereka hadapi. Tapi ketika Ji Leng mengangkat tangannya dan hwesio ini mengucap puja-puji, tangannya dirangkap seperti memberi sembah maka pukulan itu disentuhnya dan terdengarlah ledakan dahsyat ketika Lui-yang Sin-kang menghantam tubuh hwesio sakti itu.

“Omitohud, semoga Buddha mengampuni.... blarr!”

Dan tampaklah Tan Hoo Cinjin terbanting dengan pekik kaget. Tosu ketua Heng-san itu terkejut karena pukulan listriknya seolah bertemu benda lunak seperti kapas, tenggelam dan terbawa ke situ tapi kemudian menolak dengan hebatnya, persis bola yang mental atau karet digebukkan ke dinding baja. Dan karena daya tolak itu demikian besar hingga dua kali lebih hebat daripada pukulannya sendiri, Tan Hoo melempar dan membanting tubuh bergulingan maka tosu ini pucat dan melotot dengan muka berubah-ubah.

Tapi Tan Hoo Cinjin adalah tokoh Heng-san setelah Siang Kek Cinjin. Dia digembleng supeknya itu dan kini setingkat, atau kalaupun selisih paling-paling seusap. Maka begitu meloncat bangun dan kaget tak boleh memukul langsung, Tan Hoo terbelalak karena itulah Hok-tee Sin-kang yang dimiliki dedengkot Go-bi ini maka tosu itu bergerak lagi dan menyerang.

Pukulannya berubah-ubah dan Sin-sian-hoan-eng pun dipergunakan. Ilmu meringankan tubuh Dewa Tanpa Bayangan itu membuat tubuh ketua Heng-san ini sukar diikuti pandangan mata lagi. Ia berkelebatan begitu cepatnya mengelilingi tubuh lawan. Tapi ketika dengan tenang Ji Leng mengebut dan berpuja-puji, matanya meram sementara jubah atau lengan bajunya mengikuti ke mana lawannya beterbangan maka aneh dan ajaib hwesio ini telah menangkis semua serangan lawannya tanpa berpindah tempat.

“Plak-plak-plak!" dan ketua Heng-san itupun tentu berseru tertahan. Tan Hoo telah menghujani lawan dengan pukulan dari muka dan belakang namun Ji Leng dapat menghalau semuanya itu. Kian keras dia melepas pukulan kian keras pula dia tertolak. Dan ketika Tan Hoo marah sementara adiknya terbelalak pucat maka Sin Gwan tiba-tiba berkelebat dan majulah suheng dan sute itu mengeroyok dedengkot Go-bi.

"Curang! Pengecut! Tak tahu malu!" Giok Kee memaki-maki dan menjadi marah. Ia telah melihat kehebatan Sin Gwan namun kini takjub melihat kesaktian hwesio Go-bi ini. Namun karena dua orang maju berbareng dan dia mengkhawatirkan sesepuh Go-bi itu, Ji Leng dikeroyok maka hwesio itu membuka matanya dan mendesah,

"Giok Kee totiang, terima kasih atas pembelaanmu. Tapi biarlah pinceng layani mereka untuk main-main!" dan sang hwesio yang tiba-tiba bergerak dan mengangkat kakinya, melayang-layang tiba-tiba sudah menerima pukulan-pukulan itu dengan tubuhnya. Tadi dia menangkis dan Tan Hoo Cinjin sudah berteriak kaget. Dan ketika kini ia menerima pukulan-pukulan lawan dan bak-bik-buk suara pukulan terdengar begitu menggetarkan, ledakan dan kilatan petir dari Lui-yang Sin-kang juga menyengat dan menyambar jubahnya maka kaget dan terkesiapnya dua orang ini bukan main-main lagi.

Dari tubuh sang hwesio keluar getar-getar dingin yang meredam pukulan mereka. Jubah dan bajunya yang tersambar pukulan tiba-tiba juga menjadi lembek dan basah sehingga memadamkan lelatu api dari pukulan-pukulan petir itu. Dan ketika setiap pukulan membuat dua orang itu tersentak karena membalik sendiri, Lui-yang Sin-kang bertemu tenaga aneh yang amat mujijat di mana tersedot dan terbawa ke dalam tubuh hwesio ini.

Maka seperti balon saja Tan Hoo maupun sutenya seakan dilempar keluar oleh daya pukulan mereka sendiri. Dua orang itu mula-mula tak percaya bahwa dari tubuh hwesio itu keluar semacam daya tolak yang besar. Mereka tadinya menganggap bahwa itu adalah kebetulan saja, mungkin pukulan teman yang dipinjam dan dikeluarkan lagi. Orang-orang yang sudah memiliki kepandaian tinggi biasanya memang dapat melakukan ini.

Tapi ketika pukulan mereka disedot lalu dilontarkan lagi, ditambah tenaga hwesio itu sendiri maka Sin Gwan maupun suhengnya kaget bukan main ketika tiba-tiba tubuh hwesio itu melembung dan dua pukulan mereka yang bersamaan mendarat dan tiba-tiba dipindahkan untuk saling gempur, yakni pukulan Sin Gwan diterima dan diteruskan kepada Tan Hoo Cinjin sementara pukulan ketua Heng-san itu diterima dan diteruskan kepada sutenya!

"Haiii....!”

“Awas!”

Dua-duanya mengenal pukulan teman. Tentu saja Sin Gwan maupun suhengnya terkejut karena secepat pukulan diterima secepat itu pula sudah dipindahkan oleh hwesio ini. Ji Leng hanya bersifat sebagai perantara saja dan kini pukulan masing-masing dilontarkan kepada yang lain. Sin Gwan menerima pukulan suhengnya sementara suhengnya menerima pukulannya. Dan ketika dua orang itu berteriak dan saling memperingatkan, melempar dan membanting tubuh bergulingan maka dua tokoh Heng-san ini pucat oleh rasa ngeri yang sangat.

"Ji Leng, kau hwesio siluman!"

"Go-bi-paicu, kau hwesio keparat!"

Dua-duanya tertegun. Mereka jadi gentar dan bertanya-tanyalah orang di luar pertandingan akan peristiwa ini. Sebagai penonton tentu saja mereka tak tahu atau merasakan apa yang dirasakan tokoh-tokoh Heng-san ini. Mereka tak tahu bahwa dengan kesaktiannya yang luar biasa Ji Leng Hwesio telah memindah dan melontarkan pukulan lawannya. Masing-masing diadu dan harus menerima itu. Dan ketika Tan Hoo maupun sutenya menjublak pucat, berdiri dan ragu menyerang maka Tujuh Malaikat Hoa-san tiba-tiba berseru nyaring dan mengira ketua dan wakil ketua Heng-san itu kurang kuat, minta bantuan.

"Heng-san-paicu, jangan khawatir. Kami membantu!"

Hek-tosu dan enam adiknya berkelebat. Mereka menyangka bahwa Tan Hoo Cinjin dan sutenya kalah tenaga dibanding hwesio Go-bi itu, bergerak dan langsung melepas pukulan mereka. Tapi ketika Ji Leng Hwesio batuk- batuk dan menerima pukulan tujuh orang itu, tidak mengelak, maka kagetlah Hek-tosu dan adik-adiknya karena apa yang dialami Tan Hoo Cinjin kini dialami mereka pula.

“Des-des-dess!”

Tubuh hwesio itu hanya bergoyang ke kiri kanan. Kakinya tetap menapak bumi dan hanya pinggang ke atas yang terpengaruh pukulan lawan-lawannya ini. Tapi karena dia mempergunakan ilmu memindah dan melontar tenaga itu, Hek-tosu dan adik-adiknya diterima tapi sekaligus dipukul balik, oleh pukulan mereka masing-masing maka berteriak dan terlemparlah dua orang ini oleh akibat pukulan mereka sendiri.

"Heiiii....!”

“Celaka!”

Pekik dan teriakan kaget terdengar di situ. Hek-tosu yang melempar dan membanting tubuh bergulingan segera menyelamatkan diri dari pukulan saudara-saudaranya ini. Dia menerima pukulan Pek-tosu sementara adiknya itu menerima pukulan Ui-tosu, saudara yang lain. Dan karena mereka juga menerima pukulan Hek-tosu yang dipindah dan dilontarkan Ji Leng Hwesio, inilah kesaktian yang hebat sekali.

Maka Tujuh Malaikat Hoa-san itu jungkir balik dan melempar tubuh menjauhi dedengkot Go-bi itu. Baru sekarang mereka tahu apa yang kiranya terjadi dengan Tan Hoo Cinjin dan sutenya tadi, Sin Gwan yang masih terbelalak dan berdiri di ujung. Dan ketika tujuh orang itu meloncat bangun dan kaget membelakakan mata, tertegun dan berdiri di sana maka Tan Hoo yang memimpin semua teman-temannya ini melangkah maju, tahu diri.

"Hek-totiang, berhenti. Ji Leng lo-suhu bukan lawan kita. Pinto mengaku bahwa kepandaian pinto masih kalah olehnya!"

"Benar," Sin Gwan berkelebat dan tahu diri pula, seperti suhengnya. “Kita bukan tandingan Ji Leng lo-suhu, Hek-totiang. Pinto mengaku kalah dan kita pergi!"

"Omitohud!" sang hwesio mengangguk-angguk dan mengebutkan lengan. "Pinceng gembira kalau kalian tak melanjutkan permusuhan ini, Tan Hoo Cinjin. Dan pinceng mengharap kalian pergi. Tapi katakan apa yang dilakukan Siang Kek Cinjin dengan murid pinceng Beng Kong."

"Supek kami mengundangnya ke Heng-san. Supek ingin membalas dendam. Beng Kong muridmu akan diajak mati sampyuh!"

"Omitohud! Caranya...?”

Supek kami meledakkan guha begitu ia masuk, Ji Leng Hwesio. Dan ia sekarang tentu mampus. Begitu pula cucu muridmu Chi Koan itu. Nah, kami sudah memberi keterangan dan terserah apakah kau hendak menahan kami atau membiarkan kami pergi!”

Ji Leng terbelalak. Ia tampak berubah tapi hanya sekejap saja. Dan ketika lawan membalikkan tubuh dan ia mengucap puja-puji berulang-ulang, Tan Hoo dan kawan-kawannya dibiarkan pergi maka Ji Kak, murid keponakannya, membentak nyaring,

“Supek, orang-orang ini telah membunuh- bunuhi murid kita. Bahkan empat saudara kami tewas. Apakah enak saja dibiarkan pergi dan tidak dihukum?”

"Omitohud, tak perlu mengikat permusuhan lagi. Go-bi dan Heng-san sudah sama-sama menumpahkan banyak korban, Ji Kak. Biarkan mereka pergi dan Sang Buddha akan mengampuni mereka.”

"Tapi empat saudara kami.....”

“Tak perlu dendam. Kemarahan dan benci harus dilepas. Kita kehilangan saudara mereka juga kehilangan keluarga. Omitohud, pinceng harus mencuci diri lagi....!" tapi sebelum hwesio itu membalik tiba-tiba Giok Kee Cinjin, tosu yang sudah diselamatkan dedengkot Go-bi ini berkelebat. "Lo-suhu, tunggu dulu. Pinto mau bicara denganmu!” "Hmm, Giok Kee totiang...., ada apa lagi, totiang? Bukankah semua sudah selesai?”

“Tidak,” tosu ini terbelalak, menggeleng kepala. "Urusan pertikaian memang selesai, Ji Leng lo-suhu, tapi sifatnya masih seperti api dalam sekam. Bagaimana dengan murid-muridmu ini dan begitu pula Beng Kong yang terjebak di Heng-san. Apakah kau tidak berniat menengoknya?”

“Hm, pinceng akan memasuki pertapaan lagi. Urusan duniawi telah pinceng lepaskan. Masalah Beng Kong tak mungkin selamat, terlambat. Pinceng menyesalkan tindakannya.....”

"Omonganmu tak dapat dipercaya!" seruan ini mengejutkan yang lain-lain. "Bukti dan kenyataannya lain, Ji Leng lo-suhu. Kau bilang tidak mencampuri urusan duniawi namun nyatanya kau datang dan mengusir orang- orang Heng-san dan Hoa-san tadi. Pinto tidak puas. Kau tak bertanggung jawab!"

“Omitohud....!” Ji Leng berseru tertahan, terkejut. "Tak bertanggung jawab bagaimana, Giok Kee Cinjin. Pinceng tidak paham.”

"Akui dulu bahwa omonganmu salah. Kau tetap tak dapat terlepas dari urusan duniawi,” tosu ini ngotot, matanya juga melotot. "Hidup di dunia tak mungkin terlepas dari tetek bengek dunia, Ji Leng lo-suhu. Kalau kau mengakui ini baru pinto akan bicara tentang rasa tidak bertanggung jawabmu. Maaf, pinto berhutang budi tapi pinto juga tak dapat diam kalau melihat kau melakukan kekeliruan!"

“Omitohud,” sang hwesio merah mukanya. "Omonganmu tajam, Cinjin. Tapi baiklah pinceng akui bahwa pinceng keliru. Maksud pinceng adalah tidak mencampuri murid pinceng Beng Kong karena ia teledor dan membuat salahnya sendiri. Sekarang katakan bahwa tanggung jawab apa yang tidak pinceng lakukan."

“Jelas, kau hidup dan tinggal di Go-bi, bahkan kau dedengkot Go-bi. Tapi setelah ada kejadian begini enak saja kau pergi dan membuat murid-muridmu bakal kebingungan. Eh, pikirlah! Apa jadinya dengan Ji-hwesio dan dua adiknya ini kalau Beng Kong tidak kembali, lo-suhu. Apakah kau tidak memberinya petunjuk agar dapat memimpin Go-bi sepeninggal suhengnya. Dan yang penting, apakah begini saja kau biarkan mereka hingga kelak dapat dikalahkan musuh lagi. Apakah hanya Beng Kong satu-satunya murid yang kau agul-agulkan sehingga tidak memperdulikan yang lain lagi?”

Semua orang pucat. Hebat kata-kata ini karena Giok Kee Cinjin dapat dikata mencela habis-habisan tokoh Go-bi ini. Dan ketika Ji Leng juga berubah mukanya dan kelihatan berdesir, matanya berkilat dan terbelalak maka Giok Kee menambahi lagi, tidak takut.

"Lihat apa yang dilakukan murid-murid Heng-san. Boleh tanya semua orang di sini bagaimana dengan orang-orang Heng-san itu, lo-suhu. Bukankah sekarang mereka meningkat pesat dan Tan Hoo Cinjin sendiri sudah setaraf dengan supeknya. Jangan dikata lagi murid-murid rendahan yang lain. Mereka rata-rata sudah di atas murid-murid Go-bi dan kalau kelak kau meninggal dunia maka Go-bi bakal hancur dan sia-sia cikal-bakal Go-bi mendirikan partai ini!”

"Omitohud...!” Sang hwesio pucat dan berubah, seketika mengerti apa yang dikehendaki Giok Kee Cinjin ini. "Kau lancang tapi jujur, Giok Kee Cinjin. Tapi jelaskan kepada pinceng apa sesungguhnya yang kau kehendaki?”

"Jelas, tidak banyak. Latihlah murid-murid Go- bi seperti kau melatih Beng Kong Hwesio atau Go-bi bakal hancur kalau tetap begini!"

"Giok Kee Cinjin...!” bentakan atau seruan itu terdengar bukan dari Ji Leng Hwesio sendiri melainkan dari mulut Ji-hwesio. Hwesio ini sudah merasa bahwa Giok Kee mencampuri urusan partai kelewat dalam. Dia menjadi pucat dan juga khawatir bahwa jangan-jangan supeknya nanti menduga yang tidak-tidak, mengira ia bersekongkol dengan tosu itu agar supeknya mau menurunkan ilmu-ilmu dari Bu-tek-cin-keng kepadanya, padahal selama ini hanya suheng Beng Kong Hwesio itu saja yang mewarisi, sebagai murid tersayang dan murid tunggal. Tapi ketika supeknya bergoyang-goyang dan batuk-batuk, terpukul tapi melihat benarnya kata-kata itu maka melompatlah Peng Houw berlutut di depan guru besar Go-bi ini, sekaligus menengahi agar Ji-hwesio tidak menyerang gurunya.

"Locianpwe," begitu dia berkata hormat. "Harap ampunkan guruku yang mungkin dirasa terlalu mencampuri urusan dalam partai. Suhu hanya hendak menyayangkan kalau Go-bi yang begini gagah dan tegar harus binasa karena murid-muridnya tidak mendapat tambahan ilmu. Apa yang dikata suhuku benar, tapi cara dan sikapnya ini mungkin salah, terlalu mencampuri urusan Go-bi. Biarlah locianpwe renungkan itu tapi sebagai orang bodoh yang pernah menjadi murid di sini teecu juga merasa sayang kalau sepeninggal Beng Kong lo-suhu maka tokoh-tokoh Go-bi tak semaju seperti orang-orang Heng-san. Biarlah kami pergi dan maafkan kalau teecu dan guru teecu ini mengganggu perasaan locianpwe!"

Tapi sebelum Peng Houw bangkit berdiri mendadak sebuah tangan yang kuat menekannya. “Nanti dulu, kau... kau mengaku pernah menjadi murid di sini? Siapa namamu?"

Peng Houw terkejut. Yang memegang pundaknya ini adalah guru besar Go-bi itu. Tapi mengangguk dan merasa jari-jari itu meremas pundak dan tulang-tulang lain dia mengangguk. "Benar, teecu bekas murid di sini, locianpwe. Tapi teecu telah diusir. Teecu adalah Peng Houw."

"Peng Houw? Kau murid siapa?"

"Dulu guru teecu adalah suhu Lu Kong Hwesio....”

“Ah, kau bersama Chi Koan....”

"Benar, teecu berdua yang dulu menjadi sebab kekacauan itu, locianpwe. Dan Ji Beng lo-suhu dulu mengusir teecu. Kini teecu diambil murid oleh Giok Kee totiang dan....”

“Hm-hmm!" suara dan anggukan ini disusul oleh cengkeraman yang kuat dan yang membuat Peng Houw meringis. Ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena hwesio itu mencengkeram tulangnya begitu kuat. Dan ketika ia ditepuk dan tiba-tiba menjerit, Giok Kee terkejut dan membentak ke depan maka tosu ini sudah berkelebat dan berseru,

"Lo-suhu, apa yang kau lakukan kepada muridku?”

Namun Ji Leng Hwesio sudah melepaskan cengkeramannya. Ia bersinar-sinar memandang pemuda ini dan pandangan aneh terpancar di situ. Lalu ketika dia mengangguk-angguk dan tersenyum, mengebutkan lengan bajunya kepada Giok Kee Cinjin maka kakek sakti itu berkata, “Giok Kee totiang, maukah kau dan muridmu tinggal di sini sehari dua? Pinceng akan ke Heng-san. Pinceng akan mencari tahu nasib murid pinceng!"

Perobahan ini membuat orang tercengang. Ji-hwesio, dan dua saudaranya, yang tertegun dan heran mendengar itu lalu memandang tak berkedip. Baru kini supek mereka itu mau bicara banyak, dan yang mengherankan, pergi dan mau meninggalkan partai. Padahal sudah bertahun-tahun mendekam dan bertapa! Tapi Giok Kee yang tertegun mengamati pundak muridnya, pundak yang mengkilap dan bersih seperti digosok batu pualam tiba-tiba tertawa bergelak dan berseru,

"Ji Leng lo-suhu, kau sudah pulih dan kembali watakmu? Ha-ha, pinto senang, Go-bi-kauwcu (pemimpin agama Go-bi). Tapi jangan serobot muridku begitu saja. Ha-ha, pinto susah payah menggemblengnya. Terima kasih atas usapan Sian-ji-kang mu (Usapan Jari Dewa)!" dan berseru kepada Peng Houw agar berlutut mengucapkan terima kasih, pemuda itu tak tahu betapa tulang-belulangnya sudah dibuat lain, tahan bacokan dan tahan pukul maka tosu itu berteriak, "Peng Houw, ucapkan terima kasih kepada Go-bi-kauwcu. Kau telah diberinya kekebalan Sian-ji-kang!”

Peng Houw heran membelalakkan mata. Ia tak mengerti tapi menjatuhkan diri berlutut juga. Namun belum ia mengeluarkan suara mendadak hwesio itu menggerakkan kaki dan lenyap.

“Giok Kee Cinjin, pinceng hanya memenuhi apa yang dulu diminta murid pinceng Lu Kong untuk memberikan sesuatu kepada muridnya itu. Sekarang ia telah menjadi muridmu, tapi aku tetap membayar janjiku juga. Tinggallah sehari dua di sini dan tunggu pinceng kembali dari Heng-san!”

Peng Houw melongo lagi. Ia tak sempat mengucap terima kasih karena tahu-tahu hwesio itu lenyap. Orang tak tahu kemana dia tapi ketika semua memandang ke gurun ternyata hwesio itu telah merupakan titik kecil di sana, lenyap dan tidak kelihatan lagi dan Giok Kee Cinjin tertawa bergelak-gelak. Dan ketika Peng Houw bangkit berdiri dan gurunya berseru menyambar toya, menghantam dan menyerang pundaknya dengan kuat maka toya itu patah dan Peng Houw sama sekali tidak merasa sakit atau apa kecuali terkejut dan berseru keras, tak sempat meng hindar.

Cinjin tertawa lagi dan tiba-tiba tanpa banyak bicara lagi tosu ini menyambar golok di tanah. Golok itu adalah milik orang-orang yang bertempur tapi yang tadi tak diambil, berkelebat dan membacok muridnya ini. Dan ketika tujuh bacokan mengenai bahu dan pinggang muridnya, Peng Houw mengelak namun diserang dan tak mungkin menghindar maka otomatis dia menggerakkan lengannya menangkis dan golok itupun patah-patah.

"Ha-ha, lihat, Peng Houw. Lihat usapan Jari Dewa itu. Kau kebal dan tahan segala bacokan... tak-tak-takk!"

Golok yang menjadi tiga keping patah bertemu tangkisan Peng Houw membuat pemuda ini tertegun dan bengong, tidak tahu apa yang terjadi karena sesungguhnya ia tadi menangkis tanpa sinkang. Menghadapi gurunya yang tak mungkin membunuhnya membuat ia menangkis seadanya saja, dengan tenaga biasa-biasa. Tapi begitu dengan tenaga biasa ini ia mampu membuat golok patah-patah, Ji-hwesio dan lain-lain ikut terkejut maka hwesio itu membelalakkan mata dan berseru,

“Omitohud, rupanya hubunganmu dengan mendiang Lu Kong suheng membawa keberuntungan, Peng Houw. Puji syukur bahwa supek memberikan Sian-ji-kangnya kepadamu tidak kepada Chi Koan!"

“Chi Koan?"

“Benar,” Sam-hwesio kini menyambung bicara. "Chi Koan yang menjadi gara-gara dari semuanya ini, Peng Houw. Dialah yang membuat onar di Heng-san hingga Tan Hoo Cinjin dan lain-lain meluruk!"

"Apa yang sebenarnya terjadi?" Giok Kee nimbrung, memang belum tahu secara lengkap. "Ada apa dengan anak itu, Ji-lo-suhu. Dan bagaimana dia bisa membuat onar lagi?"

"Anak itu memang duri dalam daging,” Sam-hwesio mengepal tinju. "Suheng Beng Kong Hwesio mengambilnya sebagai murid dan dia lalu melabrak ke Heng-san, menantang Siang Kek Cinjin!"

"Astaga, bocah itu menantang Siang Kek? Memangnya kepandaiannya sudah setinggi Thai-san?”

"Chi Koan telah memiliki semua ilmu-ilmu andalan, Giok Kee totiang. Dan kami bertujuh kalah olehnya. Dia digembleng oleh Beng Kong-suheng lagi, tapi yang amat menyakitkan adalah watak sombong dan tinggi hatinya itu. Dia pongah!"

"Seperti gurunya!" Giok Kee berseru, teringat akan hwesio itu, yang sombong tapi hebat. “Kalau guru sombong menurunkan murid yang sombong adalah biasa, Ji-lo-suhu. Tapi bagaimana selanjutnya setelah itu?”

"Hm, bocah itu tertangkap di sana. Dan suheng lalu ditantang untuk mengambilnya. Dan karena suheng amat menyayang muridnya secara berlebih dan tak tahu akan jebakan lain maka Tan Hoo Cinjin dan kawan-kawannya itu lalu datang ke sini dan hampir saja menghancurkan Go-bi!" Sam-hwesio lalu menceritakan lengkap, didengar dan Giok Kee tampak mengangguk dan mengerutkan alisnya berkali-kali.

Dan ketika semua jelas dan Peng Houw juga mendengar, Giok Kee mendesah maka tosu itu menarik napas panjang dan teringat murid-murid Go-bi yang tewas dan menggeletak di sana-sini. “Siancai, licik dan cerdik. Tapi harus pinto akui bahwa suheng kalian Beng Kong Hwesio memang telah menggegerkan dunia kang-ouw. Hm, biar supek kalian yang melihat. Mari sekarang kita urus mayat-mayat itu dan biar pinto menunggu kembalinya Ji Leng lo-suhu barang sehari dua. Dan kau...." dia menunjuk Peng Houw. "Bantu bekas paman-paman gurumu membersihkan tempat ini, Peng Houw. Mari kita bekerja dan urus semua itu.”

Peng Houw mengangguk. Dia sedih melihat mayat-mayat yang bergelimpangan itu, tapi bergerak dan membantu gurunya diapun sudah mengangkat dan memindahkan mayat-mayat ini dikumpulkan di pelataran luas. Tiga ratus murid luka-luka sementara hampir dua ratus tewas terbunuh. Pembantaian kali ini lebih dahsyat daripada dulu, terasa lebih keji. Maklum, seribu orang menyerang mereka dan itupun secara tiba-tiba. Entah bagaimana jadinya kalau Ji Leng Hwesio tak segera muncul, Go-bi tentu habis dan bersih murid-muridnya. Perguruan ini hanya bisa tinggal nama.

Tapi ketika semua selesai dan semua sibuk menumpuk mayat-mayat itu dalam satu lubang besar, tiga hwesio pimpinan bekerja dengan air mata mengucur maka malam harinya semua beristirahat dan Giok Kee Cinjin maupun Peng Houw mendapat kamar bersebelahan. Kebetulan Peng Houw menempati kamarnya yang dulu, ketika masih sebagai murid atau kacung di Go-bi.

"Teecu rupanya tak dapat tidur. Biar kau beristirahat, suhu. Teecu mungkin akan berjalan-jalan sejenak melihat tempat-tempat yang dulu teecu kenal.”

"Hm, kau mau kelayapan?"

"Sekedar menyongsong kantuk, suhu. Nanti kalau sudah tentu teecu kembali lagi.”

"Baik, tapi jangan terlalu larut. Besok kita harus membantu bekas paman-paman gurumu itu dan jangan sampai bangun kesiangan.”

Peng Houw mengangguk. Enam tahun meninggalkan Go-bi terasa seperti melewatkan waktu yang pendek. Seolah baru kemarin saja dia meninggalkan tempat ini namun ternyata sudah banyak perobahan terjadi. Satu yang paling menyolok adalah berkurangnya murid- murid di sini, berarti para suhengnya atau hwesio-hwesio muda yang pernah menjadi kacung atau tukang sapu di situ tak ada lagi.

Yang muda-muda, nyaris terbantai di dalam pertempuran sengit itu. Mereka adalah hwesio- hwesio pembantu yang tentu saja belum memiliki kepandaian tinggi, penyapu jalan atau tukang masak yang terpaksa menyambut musuh dan mempertahankan Go-bi. Dan karena kepandaian mereka memang rendah tapi harus membela perguruan maka mereka-mereka inilah yang roboh lebih dulu dan menjadi "rabuk" bagi gurun Go-bi.

Peng Houw menarik napas dalam-dalam karena hampir semua kakak-kakak seangkatannya tewas. Akhirnya ia berhenti dan duduk di sebuah undak-undakan batu di mana sebuah patung menyembunyikan tubuhnya dari luar tembok. Di sini, enam tahun yang lalu dia sering bermain petak umpet dengan sesama kacung Go-bi, hwesio-hwesio muda yang menjadi sahabatnya. Bahkan Chi Koan pun sering ikut. Dan karena di bawah undak-undakan itu terdapat banyak patung-patung lain sebagai penghias pelataran maka di sini Peng Houw dapat melihat ke sekelilingnya dengan baik.

Dulu, enam tahun yang lalu di mana bulan purnama naik dengan indahnya maka selesai bekerja dia dan para sahabatnya saling kejar dan sembunyi. Pelataran ini luas dan banyaknya patung-patung di situ enak sekali dipakai berlindung. Siapa yang kalah harus mencari lawan-lawannya dan yang tertangkap mendapat hadiah tepukan kejut di punggung. Mereka akan tertawa-tawa riang dan selanjutnya yang kena tepukan harus mencari dan mengejar yang lain, begitu seterusnya. Dan ketika Peng Houw teringat masa-masa itu maka tanpa terasa ia memandang jauh ke depan di mana sebuah bukit berdiri kokoh macam tempurung raksasa, tidur atau tengkurap di situ berabad-abad.

Itulah tempat pertapaan guru besar Go-bi. Pagar kawat berduri yang mengelilingi bukit itu merupakan tanda dilarang masuk bagi siapapun yang tak mendapat izin. Pelataran di mana Peng Houw sering bermain petak umpet adalah pelataran di belakang perguruan ini, tak akan mengganggu para hwesio lain yang sedang berliamkeng umpamanya, atau hwesio- hwesio tua yang bersamadhi melakukan latihan pernapasan. Dan ketika Peng Houw membentur bukit hitam itu maka diapun bertanya-tanya.

Konon di situlah pertapaan Ji Leng Hwesio yang sakti. Kabar tentang dimilikinya Bu-tek- cin-keng oleh hwesio ini telah tersebar luas dan Peng Houw tentu saja tahu itu. Dia sendiri tak tertarik dengan kitab hebat itu melainkan justeru tertarik kepada apa yang dilakukan guru besar Go-bi itu. Entahlah, apa yang dilakukan Ji Leng Hwesio sehingga betah bertahun-tahun bertapa di bukit hitam itu. Mempelajari Bu-tek-cin-keng? Mungkin saja, karena tingkat kepandaian dedengkot Go-bi itu memang maju pesat. Dan membayangkan sesepuh Go-bi ini mengingatkan Peng Houw akan Beng Kong Hwesio dan juga Chi Koan.

Hm, Chi Koan kembali ke sini? Dan kembali belajar pada bekas gurunya itu? Dan Chi Koan dikabarkan memiliki kepandaian amat tinggi karena mampu mengalahkan Pat-kwa-hwesio yang menjadi tokoh-tokoh di situ. Padahal, mungkin dia sendiri harus bekerja keras merobohkan tujuh tokoh Go-bi ini. Berarti, Chi Koan sudah di atasnya!

Peng Houw merinding. Chi Koan dikenalnya sebagai bocah nakal yang cerdik dan berwatak kurang baik. Berapa kali dia bertengkar dengan anak itu karena kenakalan dan watak kurang baiknya itu. Lihat saja peristiwa di Go-bi ini, bukankah karena fitnah dan kenakalan anak itu hingga ia harus hengkang dari Go-bi? Gara- gara ang-sio-bak maka mendiang gurunya Lu Kong Hwesio sampai bertempur hebat dengan guru Chi Koan, Beng Kong Hwesio itu. Dan selanjutnya gurunya harus tewas oleh kelicikan si Raja Ular dan Kwi-bo.

Sampai di sini Peng Houw menarik napas dalam-dalam. Teringat kematian gurunya yang lama itu tiba-tiba darahnya mendidih. Ia harus menetralisir diri kalau tak mau hanyut oleh dendam. Dan ketika dia memejamkan mata dan teringat masa-masa kecilnya di sini mendadak Peng Houw teringat akan ayat-ayat suci ketika dulu belajar agama dari mendiang gurunya Lu Kong Hwesio, yakni tentang kemarahan dan mengendalikan kemarahan.

"Kemarahan itu seperti kuda liar yang menarik tanpa kendali sebuah kereta bernumpang. Kemarahan itu dapat membahayakan kalau berlarut-larut, Peng Houw. Karena itu belajarlah sabar dan biarkan sepak terjang Chi Koan kalau ia sering mengganggumu. Menyingkirlah kalau kau tak senang, jangan dilayani."

Begitu dulu kata-kata gurunya Lu Kong kalau ia mendapat gangguan kelewat batas dari Chi Koan. Nasihat ini sering diberikan kalau dia berkelahi dengan anak itu. Chi Koan sering mempraktekkan pelajaran silatnya kalau mereka kebetulan berdua, memukul dan mengajak berkelahi Peng Houw dalam usaha menyombongkan diri. Dan dia, yang waktu itu belum mendapat pelajaran silat karena tiap hari hanya dijejali ayat-ayat kitab suci lalu sering diejek lawannya yang terpingkal-pingkal mengatakan Peng Houw pengecut.

"Huh, gurumu Lu Kong supek itu mendidikmu menjadi perempuan, Peng Houw. Mana ilmu silatmu dan kenapa tiap hari hanya berliam-keng (membaca ayat-ayat suci) saja. Hayo, minta pelajaran kepadanya dan kita adu ilmu!”

“Kau tak perlu pongah," Peng Houw menjawab. "Ilmu di dunia bukan hanya silat, Chi Koan. Silat tanpa watak yang baik seperti pisau tajam yang kelak akan melukai diri sendiri. Aku memang baru diajari ayat-ayat kitab suci, tapi kelak kalau tiba saatnya suhu tentu akan menurunkan kepandaiannya juga."

“Ha-ha, kapan itu. Suhumu takut menurunkan itu karena ia kalah dengan guruku. Boleh sampai mati kau menunggu pelajaran silat darinya!”

“Chi Koan!” Peng Houw membentak. "Tutup mulutmu dan jangan lancang!”

"Aha, sudah mulai berani? Bagus, mari Peng Houw, kita main-main!” dan Chi Koan yang kemudian memukul dan mempraktekkan silatnya sudah mendahului Peng Houw memberi bogem mentah atau tendangan.

Peng Houw berkelit tapi kalah cepat dan selanjutnya ia menjadi bulan-bulanan lawan. Kalau sudah begini maka ia pun menubruk dan menggigit. Sekali Chi Koan tertangkap dan digigitnya telinga anak itu kuat-kuat. Chi Koan berteriak dan menangis. Dan ketika mereka berdua bergulingan dan perkelahian itu diketahui guru mereka maka selanjutnya mereka dipisah tapi Lu Kong Hwesio tetap saja belum memberikan ilmu silatnya kepada anak ini.

"Biarlah, biar Chi Koan bicara begitu. Semakin kau diganggu semakin belajarlah tabah dan sabar. Orang hidup harus banyak tabah dan sabar Peng Houw, tanpa begitu tak akan mengalami kemajuan batin. Kemajuan batin jauh lebih berguna daripada kemajuan lahir. Ayo, kita ke ruang doa dan praktekkan ayat kedua dari bab ketujuh belas!"

Kalau sudah begini Peng Houw disuruh berliamkeng. Dengan berliamkeng maka diapun lupa. Ayat itu dibacanya berulang-ulang. Dan karena setiap gangguan Chi Koan yang membangkitkan kemarahannya selalu "diantisipasi" dengan ayat-ayat ini maka Peng Houw pun kini hapal dan memang diapun menjadi anak laki-laki yang tidak gampang marah dan penyabar, hal yang amat disukai para hwesio Go-bi.

Maka ketika tiba-tiba diapun teringat mendiang gurunya itu dan kematian gurunya di tangan si Raja Ular membangkitkan kemarahannya mendadak Peng Houw mengetrukkan ujung jarinya ke patung batu itu, sekarang pikirannya kembali kepada mendiang gurunya itu, bersenandung lirih, tak sadar betapa kuku jarinya mampu mencoblos tubuh patung seperti orang mencoblos agar-agar!

Orang yang dapat menahan kemarahannya yang sedang timbul, seperti menghentikan kereta yang sedang tergelincir, ialah yang kusebut seorang deruki. Yang lainnya hanya merupakan pemegang tali kuda saja. Peng Houw menghentak sambil menganggukkan kepalanya mengikuti irama bunyi ayat-ayat suci ini. Ia merasa betapa benarnya kata-kata itu karena menahan kemarahan tiada ubahnya menahan larinya kuda liar yang berlari kencang. Dan hanya seorang deruki-lah (kusir kereta perang) yang mampu melakukan itu, seorang kusir kereta perang yang telah berpengalaman. Dan ketika ia mengangguk dan tersenyum-senyum mengulangi ayat-ayat suci ini, dengan begitu ia dapat melupakan kemarahan dan sakit hatinya mendadak terdengar kekeh dan tawa seseorang.

"Hi-hik, calon pendeta, tapi tidak berpotongan pendeta. Hei, suaramu empuk, anak muda. Aku jadi tertarik kepadąmu dan mari ikut sebentar denganku!”

Bau harum dan pakaian wanita meyambar. Peng Houw sedang enak-enaknya menghapal kitab suci ketika mendadak tubuhnya dicengkeram dan ditarik seseorang. Dan ketika ia tersentak dan otomatis bergerak, menghentikan berliam-kengnya maka seorang wanita cantik sudah menyambar dan membawanya terbang ke tempat pertapaan Ji Leng Hwesio.

"Hi-hik, tampan dan gagah, bukan hwesio muda. Aihh, aku suka kepadamu, anak muda. Tapi daripada sendirian di situ antarlah aku ke bukit itu dan nanti kuberi sesuatu yang tak bakal kau lupakan seumur hidup!"

Peng Houw tertegun. Dia sudah mau meronta dan melepaskan diri ketika tiba-tiba ia melihat siapa penyambarnya ini, seorang wanita cantik berusia empat puluhan tahun tapi mata dan bibirnya membayangkan kecabulan hebat, tertawa-tawa dan membawanya terbang ke bukit sementara harum wanita itupun semakin menyengat. Di malam dingin dan di kesunyian itu sungguh dapat menggerakkan gairah seorang pria berdekatan dengan wanita secantik ini, apalagi rambut wanita itu berkibar-kibar melempar bau memabokkan menyabet muka.

Tapi Peng Houw yang tentu saja bukan bangsa laki-laki hidung belang di mana dia membentak dan akhirnya melepaskan diri maka cengkeraman wanita itu yang disentak dan lolos bagai belut membuat wanita ini berseru tertahan dan menghentikan larinya, Peng Houw sudah berdiri tegak dan bersinar-sinar. Tidak tertarik oleh kecantikan atau gaya genit wanita ini.

"Kwi-bo, kau wanita liar. Ada apa datang di Go-bi dan bagaimana kau tiba-tiba muncul. Mana Coa-ong atau teman-temanmu yang lain?”

“Eh!" wanita itu terbelalak, rasa herannya menindas rasa marah. "Kau tahu siapa aku? Kau dapat mengenali aku?"

"Seribu tahunpun tak mungkin lupa!" Peng Houw membentak, tentu saja tahu wanita ini, sekarang sudah hilang kaget dan rasa tertegunnya. “Kau adalah siluman wanita yang dulu memberi ang-sio-bak itu, Kwi-bo. Dan sekarang kau muncul lagi di sini. Keparat, apa yang hendak kau lakukan?"

Kwi-bo, si cantik ini bengong. Ia tentu saja lupa kepada Peng Houw yang sudah enam tahun tak dijumpai. Dulu, pemuda ini masih merupakan seorang anak laki-laki yang kebocah-bocahan dan tak dipandang sebelah mata. Kini Peng Houw telah dewasa dan perobahan anak itupun tak diketahuinya. Maka mendengar Peng Houw bicara tentang ang-sio- bak dan ia terkejut serta heran, siapa pemuda ini maka ia terkekeh dan mengamat-amati dengan tajam, ia mulai dapat mengingat sepasang mata Peng Houw namun lupa kapan dan di mana.

"Eh, kau ini siapa. Aku serasa mengenal matamu yang tajam dan pemberani ini. Tapi aku lupa. Siapa kau dan bagaimana mengenal aku?"

"Aku adalah Peng Houw!" Peng Houw membentak, matanya bersinar-sinar. “Dulu kau mempermainkan Chi Koan dan aku, Kwi-bo. Kau memberikan ang-sio-bak laknat itu hingga Go-bi geger. Nah, apa maksudmu datang ke sini dan mau apa hendak ke tempat pertapaan Ji Leng lo-suhu?"

“Hi-hik, heh-heh..... kau... kau Peng Houw? Astaga, segagah dan setampan ini kau sekarang, Peng Houw? Aduh, pangling aku. Aiihh, kau ganteng dan menakjubkan!" Kwi-bo teringat dan sekarang tertawa berseri-seri, maju dan langsung memegang tangan Peng Houw.

Tapi tentu saja Peng Houw mundur dan menolak. Bersentuhan dengan wanita ini seolah bersentuhan dengan seekor ular. Peng Houw jijik! Dan ketika ia berkelit dan lawanpun terkejut, membelalakkan mata maka Peng Houw berkata dingin dengan suara ditekan, "Kwi-bo, kau adalah iblis wanita yang selalu membuat rusuh. Kabarnya kau telah mampus dan tewas di jurang, tapi tiba-tiba kini kau hidup dan muncul lagi. Hm, menyerahlah dan baik-baik turuti nasihatku, Kwi-bo. Kau berhutang banyak dosa kepada Go-bi. Mari, kuantar menghadap pimpinan Go-bi dan berikan tanganmu!"

Kwi-bo tiba-tiba terpingkal-pingkal. Peng Houw, yang dulu dilihatnya sebagai bocah laki-laki biasa itu mendadak kini sudah berangkat dewasa dan mau menangkapnya pula. Keberanian dan kegagahan pemuda ini masih tampak, jelas. Tapi tentu saja tak memandang sebelah mata dan geli oleh permintaan pemuda itu maka wanita ini mengangguk dan menjulurkan tangannya, berkata, "Boleh, kau boleh tangkap dan ikat tanganku, Peng Houw. Mari, bawalah aku ke pimpinan Go-bi itu!"

Peng Houw terheran. Tak disangkanya begitu mudah wanita ini dibentaknya. Tapi bergerak dan menyambar tangan itu tentu saja ia langsung hendak menangkap dan menelikung, tidak tahunya lawan terkekeh dan tangan yang hendak ditangkap itu sudah memutar dan bergerak ke atas. Dan ketika Peng Houw terkejut dan berseru keras maka totokan ujung jari menyambar bawah rahangnya.

"Peng Houw, kaulah yang harus kurobohkan dan kutangkap!"

Peng Houw berkelit. Ia tak mengira ditipu karen kesederhanaan pikirannya tak membayangkan yang lain-lain. Jari tangannya yang hendak menangkap malah sekarang ditangkap. Tapi Peng Houw yang tentu saja marah dan mengelak sudah membentak dan menangkis tangan wanita itu.

“Duk!”

Kwi-bo tergetar. Peng Houw, bocah yang dulu ditangkap dan dipermainkannya itu tiba-tiba dapat mengelak dan menangkis serangannya. Bahkan, ia tergetar! Tapi terkekeh dan menyambar lagi mendadak wanita ini berkelebat dan mainkan kedua tangannya dengan cepat dan bertubi-tubi. Gelang di tangannya berkerincing nyaring. Dan Peng Houw sibuk. 

Namun dengan Soan-hoan-ciang yang dimiliki, Kibasan Angin Taufan ia pun mundur dan bergerak ke sana ke mari mengikuti gerakan wanita itu. Peng Houw menangkis dan Kwi-bo selalu terpental. Inilah mengejutkan. Dan ketika wanita itu melengking dan menjeletarkan rambutnya, melecut dan meledak-ledak maka Kwi-bo sudah mengelilingi Peng Houw dengan serangan-serangan cepat yang amat berbahaya.

"Bagus, kiranya kau berkepandaian, bocah. Tapi tak mungkin kau mengalahkan aku dan lihat aku akan merobohkanmu..... tar-tar!”

Peng Houw kalah cepat. Ia kalah pengalaman dan lawanpun beragam ilmunya. Kwi-bo berkelebatan naik turun sementara rambutnya pecah menjadi puluhan di mana semuanya itu menyambar Peng Houw dari segala penjuru. Dan karena dua tangan wanita itu cukup berbahaya dan Peng Houw sibuk melayani ini, tak mungkin memperhatikan semua rambut itu maka dua atau tiga kali ia terkena lecutan juga.

Lecutan ini bukan sembarang lecutan melainkan semacam totokan bahkan tusukan. Biasanya, dengan ujung rambutnya itu Kwi-bo berhasil merobohkan lawan, menotok sekaligus melukai. Tapi ketika rambutnya mental dan dari pundak atau leher pemuda itu muncul tenaga tolak yang kuat sehingga rambut bahkan membalik dan melecut mukanya sendiri maka Kwi-bo kaget dan membelalakkan mata.

“Eh-eh, kau punya ilmu kebal? Tulang dan dagingmu atos?”

“Hm,” Peng Houw tak menyadari usapan Sian- ji-kang, terus bergerak ke sana ke mari mengelak dan menangkis. "Ilmu kebal aku tak punya, Kwi-bo. Tapi ilmu silat tentu saja membuat kulit dan tubuhku kuat. Kau banyak bicara dan cerewet!"

Kwi-bo melengking-lengking. Peng Houw, bocah yang enam tahu lalu tak bisa apa-apa dan mudah dipermainkannya itu kini terlihat cekatan dan lincah. Tenaganya kuat dan ujung rambut yang menotok juga terpental. Aneh, dia mengira kurang kuat dan karena itu membentak dan mempercepat gerakan serta ledakan rambutnya pula. Dan ketika Peng Houw tampak kewalahan dan sibuk menghalau hujan rambut, kini Kwi-bo menekankan serangannya pada rambutnya itu mendadak tangan kanannya mencengkeram dan Peng Houw yang lebih memusatkan perhatian pada rambut wanita itu tiba-tiba dicengkeram pundaknya.

“Kretek!” dan.... jari-jari wanita itu sendiri yang serasa patah. Kwi-bo mengerahkan sinkangnya dan ingin secara langsung meremukkan pemuda itu ia tak mengandalkan rambutnya lagi. Dipikirnya rambutnya kurang kuat dan biarlah tangannya yang kini mencoba. Tapi begitu tulang pundak itu menggetar seperti papan baja, liat dan mengeluarkan tenaga dahsyat maka wanita ini melepaskan diri dan menjerit.

“Aiihhhh....!” Kwi-bo melempar tubuh bergulingan. Wanita itu pucat karena sekarang ia membuktikan sendiri tenaga tolak yang amat hebat itu. Dari tulang dan daging pemuda itu keluar semacam sinkang mujijat yang akan membuat jari-jarinya patah kalau tidak cepat dilepaskan. Ia kaget bukan main. Dan ketika Kwi-bo meloncat bangun dan Peng Houw juga bernapas lega tak didesak lagi, wanita itu menggigil maka Kwi-bo menuding dan mendesis, “Bocah setan, kau... kau memiliki ilmu apa? Ilmu siluman apa yang kau keluarkan tadi?”

Peng Houw mengerutkan kening. Melihat dan mendengar kata-kata wanita ini segera ia teringat kejadian siang tadi, betapa ia dibacok dan tak mempan. Bahwa ia mendapat usapan Sian-ji-kang dan inilah agaknya yang membuat lawan jerih. Tadi ketika dicengkeram otomatis tenaga Sian-ji-kang itu bekerja, mendahului sinkangnya sendiri dan Kwi-bo tentu saja terkejut. Tenaga itu adalah warisan Ji Leng Hwesio yang sakti, tentu saja hebat! Dan ketika ia tertawa dan teringat ini, maju berkelebat maka Peng Houw tak menjawab melainkan menyerang dengan Soan-hoan- ciangnya itu.

"Sekarang tak perlu bengong melulu. Kau sudah melihat kehebatanku, Kwi-bo, menyerah dan jangan banyak bicara lagi!”

Wanita ini mengelak. Ia melengking dan marah namun Peng Houw mengejar. Kwi-bo jerih karena dihajar sekuat apapun tetap saja lawan tak bergeming. Maka ketika ia dikejar dan Peng Houw mendesaknya tentu saja wanita itu menangkis dan membentak. Tapi ia terpelanting. Dari lengan Peng Houw keluar tenaga yang aneh itu, menderu dan mengejarnya lagi dan pucatlah wanita ini oleh pukulan Peng Houw. Dan ketika ia menjerit dan melempar tubuh bergulingan maka Kwi-bo memekik dan meloncat bangun melarikan diri.

"Bocah siluman, ilmu kepandaianmu biasa- biasa. Tapi tenagamu seperti iblis. Keparat, lain kali saja kita ketemu!”

“Hm,” Peng Houw mendengus. “Kau sudah di sini, Kwi-bo. Jangan lari. Serahkan dirimu dulu!”

Namun wanita itu bergerak cepat. Ia memutar dan menyelinap di balik patung-patung batu dan berusaha keluar meninggalkan Peng Houw. Namun karena pekikan dan ribut-ribut itu mengundang hwesio-hwesio Go-bi, Ji-hwesio dan sutenya berkelebatan keluar maka wanita ini terkejut dan dihadang. Dan dua hwesio itupun tertegun.

“Eh, Kwi-bo...!”

Wanita itu terkekeh. Sama seperti Peng Houw maka mula-mula dua hwesio itu terbelalak dan terkejut melihatnya. Ia dikabarkan tewas namun tiba-tiba muncul di Go-bi, malam-malam pula. Dan karena mereka tertegun dan saat itu digunakan iblis wanita ini untuk menerjang maka rambutnya menjeletar sementara kedua tangannyapun melepas pukulan.

"Minggir.... des-dess!”

Ji-hwesio dan Sam-hwesio terhuyung. Mereka menangkis tapi kalah kuat, terdorong namun wanita itu meneruskan larinya namun hwesio- hwesio lain muncul. Dan ketika di sana Giok Kee Cinjin juga keluar dan Peng Houw berteriak-teriak pada gurunya maka wanita itu mengumpat dan tiba-tiba merobek bajunya, berlari sambil telanjang, satu demi satu pakaiannya dilepas, terkekeh.

"Hi-hik, bagus. Ayo kalian kejar dan main-main dengan aku, hwesio-hwesio busuk. Lihatlah lekuk-lengkung tubuhku dan mari sama-sama menari!”

Hwesio-hwesio Go-bi terkejut. Wanita itu sudah melepas semua pakaiannya dan sebentar kemudian berlarian sambil melenggang-lenggok. Ia tidak sekedar melenggang-lenggok melainkan menggerakkan rambut atau tangannya menampar. Setiap tamparan berarti maut. Dan ketika dua hwesio terperangkap dan melotot oleh tubuhnya, tak sadar bahwa Kwi-bo sedang mainkan Tarian Hantu Langitnya maka sambil berlari dan berlenggang-lenggok rambut dan tangan wanita itu mengenai pelipis lawan.

"Plak!”

Dua hwesio itu menjerit. Mereka terlempar dan bayangan tubuh indah terganti bayangan bola hitam. Bola itu pecah dan mereka tak ingat apa-apa lagi, tewas, pelipis mereka retak! Dan ketika hwesio yang lain terkejut dan wanita itu sudah bergerak dan melewati mereka, lari dan berjungkir balik keluar dari tembok Go-bi maka Giok Kee Cinjin yang tertegun dan berhenti tak mengejar terkejut dan merah mukanya.

“Dia.... dia Kwi-bo?"

“Benar,” Peng Houw berseru, sudah sampai di situ pula. "Kejar dan tangkap dia, suhu. Ia membunuh murid Go-bi!”

"Tapi wanita itu telanjang bulat. Pinto lelaki baik-baik. Eh, jangan sembrono, Peng Houw. Awas tarian Thian-mo-bunya dan hati-hati!”

"Boleh Peng Houw mengejar aku!" wanita itu terkekeh, tawanya di luar tembok tinggi. "Anak-anak muda seperti dia bersemangat melihat tubuh seorang wanita cantik, Giok Kee Cinjin. Biarkan dia dan jangan dihalangi!"

"Keparat!" Peng Houw jadi tertegun, merandek. "Kau iblis tak tahu malu, Kwi-bo. Siapa ingin melihat tubuh telanjangmu!”

"Hi-hik, siapa tahu. Pemuda macam kau suka malu-malu, Peng Houw. Ayo, jangan pura-pura dan kejarlah aku!”

Peng Houw mengutuk. Ia bingung dan marah tapi juga malu bercampur-aduk. Dua murid Go-bi tewas di situ gara-gara wanita itu. Tapi karena Kwi-bo telanjang bulat dan ini membuat lelaki baik-baik rikuh, gurunyapun rikuh dan tak mengejar maka Peng Houw membiarkan saja lawannya lenyap dan apa boleh buat hanya membanting kaki melepas jengkel. Malam itu gangguan kembali datang dan orang yang hendak beristirahat tak dapat tidur.

Murid yang menjadi korban diurus mayatnya dan Ji-hwesio maupun yang lain-lain marah, berjaga sampai pagi dan kedatangan Kwi-bo benar- benar mengejutkan. Siapa tahu enam dari Tujuh Siluman Langit yang lain muncul. Dan ketika Ji-hwesio bertanya bagaimana mula- mula Peng Houw bertemu wanita itu, diceritakan dan pimpinan Go-bi berdetak jantungnya maka Ji-hwesio memandang bukit di belakang bangunan luas itu, mendesah.

"Supek bertahun-tahun di sana, dan sekarang ketidakhadirannya rupanya sudah diketahui orang jahat. Aih, Bu-tek-cin-keng benar-benar membawa masalah, Sam-sute. Kita harus berjaga-jaga karena siapa tahu besok atau lusa Go-bi akan mulai lagi diserbu musuh, setelah enam tahun tenang!”

"Benar, dan aku heran bagaimana Kwi-bo dapat tahu-tahu muncul di sini, dan ia pun langsung ke sana. Ah, kata-katamu benar, suheng. Aku ingin agar supek segera datang. Tanpa dia tak mungkin kita bertahan. Mudah-mudahan dua tiga hari sudah benar-benar datang!"

"Tapi pinto ada di sini," Giok Kee ber sinar-sinar, menenangkan. "Biarpun pinto tak dapat menandingi orang semacam Tan Hoo Cinjin namun kalau hanya Kwi-bo atau teman- temannya tentu kita mampu, Ji-lo-suhu. Asal kita semua bergerak dan bersatu-padu tentu masalah dapat diatasi. Tenanglah, supek kalian tentu cepat datang!”

Namun Peng Houw berdebar tak enak. Ia tak merasakan ketenangan setelah kehadiran Kwi- bo tadi. Ada sesuatu yang memukul-mukulnya. Tapi karena ia tak berani mencampuri percakapan orang-orang tua, gurunya mengusulkan agar bukit tempat pertapaan itu dijaga lebih ketat maka dua hari kemudian timbul guncangan baru. Hadirnya Chi Koan!

* * * * * * * * *

Siang itu, di saat matahari tertutup mendung tebal dan Go-bi mulai mendapat kiriman hujan, kemarin sudah mulai diguyur dan langit tampak muram maka seorang pemuda melangkah masuk dengan wajah berseri-seri. Ia langsung melangkahi pintu gerbang dan murid-murid yang berjaga tertegun. Chi Koan, pemuda ini, datang dengan wajah gembira. Dan begitu ia masuk begitu pula kakinya menuju tempat pertapaan Ji Leng Hwesio.

Tentu saja para murid terkejut dan terbelalak. Seharusnya, paling tidak pemuda ini harus menemui paman-paman gurunya dahulu untuk memberi laporan. Bagaimana suhunya tak ikut dan kenapa sendirian pula. Mana sesepuh mereka Ji Leng Hwesio yang pergi menolong pemuda itu ke Heng-san. Apakah pemuda ini memang Chi Koan atau bukan. Dan ketika semua mata terbelalak karena sikap dan wajah pemuda itu mengherankan benar, seorang murid berseru dan mengejar maka Chi Koan dihadang. Ia menyebut suheng kepada pemuda ini, karena meskipun jauh lebih muda tetapi Chi Koan adalah murid ketua Go-bi, Beng Kong Hwesio yang amat lihai.

“Chi Koan-suheng, berhenti dulu. Kenapa tidak menghadap para susiok dulu dan hendak ke bukit. Mana gurumu dan sukong Ji Leng Hwesio?"

“Hm, kau?” pemuda ini berhenti, tertawa dan tajam memandang hwesio itu, hwesio-hwesio yang lain segera berdatangan. “Aku hendak ke pertapaan kakek guruku, Sie Cek. Minggir dan jangan menghalang jalan!”

"Tapi kami baru mendapat musibah. Kedatanganmu ditunggu, begitu juga gurumu dan Ji Leng sukong!"

“Hm, ia tewas. Begitu pula suhu. Aku mendapat perintah untuk mengambil Bu-tek- cin-keng. Jangan kurang ajar berdíri di depanku!" "Ah, gurumu tewas? Dan sukong.... sukong...”

"Dia juga binasa!" Chi Koan mengibaskan lengan bajunya, hwesio itu mencelat dan berdebuk. "Minggir, tikus-tikus busuk. Nanti aku menghadap susiok tapi sekarang harus ke pertapaan itu dulu!"

Gegerlah murid-murid Go-bi. Lagak dan sikap Chi Koan yang sombong dan sering menyakitkan memang sudah lama mereka tahu. Tapi bahwa pemuda itu bersikap tak perduli dan acuh terhadap kematian gurunya, juga sesepuh Go-bi yang dua hari lalu mencari tau nasib pemuda ini di Heng-san membuat para murid tersentak dan kaget. Mereka dikibas dan roboh berpelantingan. Sie Cek, murid pertama tadi, bahkan menjerit dan patah tulang pundaknya menghantam kepala sebuah patung. Chi Koan sungguh sewenang- wenang.

Dan ketika mereka marah tapi juga gentar menghadapi pemuda ini, Chi Koan tertawa maka pemuda itu menjejakkan kakinya dan tiba-tiba meluncur ke depan, lewat samping perguruan. Pemuda itu sudah terbang dan cepat sekali menuju bukit di belakang bangunan. Namun karena bukit itu dijaga lebin ketat daripada biasanya dan bermunculan anak-anak murid Go-bi yang lain maka Chi Koan terkejut juga melihat hwesio-hwesio ini. Dan merekapun berteriak.

“Chi Koan, berhenti!"

“Chi Koan, jangan memasuki daerah larangan!”

Pemuda itu terbelalak. Tiba-tiba matanya memancar keji dan bergeraklah dia melepas Cui-pek-po-kian. Ilmu Menggempur Tembok itu didorongkannya ke para hwesio yang menghadang dan kontan saja mereka roboh terlempar. Jerit dan pekik kaget terdengar di sini. Dan ketika Chi Koan terbahak dan berkelebat dengan Lui-thian-to-jitnya, Kilat Menyambar Matahari maka sebentar saja ia sudah melewati pagar kawat dan tanpa ba-bi- bu lagi masuk ke dalam guha pertapaan.

Saat itu tak ada yang menduga kedatangan pemuda ini. Siapa sangka bahwa Chi Koan tiba-tiba muncul dan membuat onar di tempat sendiri. Tapi karena tempat itu memang tempat keramat dan para hwesio berlarian mengejar, jatuh dan bangkit lagi maka genta tanda bahaya dipukul dan seringnya bahaya mengancam Go-bi membuat murid-murid bersigap diri begitu ada kegaduhan. Dan demikian pula dengan kedatangan Chi Koan ini. Meskipun ia ditakuti dan merupakan murid tunggal Beng Kong Hwesio namun kali itu yang dimasukinya adalah pertapaan sesepuh Go-bi.

Pemuda itu boleh kurang ajar tapi jangan sampai melakukan yang begini. Dan ketika genta dan tanda bahaya dipukul bertalu-talu dan semua menuding bukit itu, Chi Koan sudah memasuki guha dan lenyap di dalam maka Ji- hwesio dan adik-adiknya yang terkejut dan melompat keluar segera terbang ke tempat itu. Dan wajah mereka berubah pucat dan merah mendengar tindak-tanduk Chi Koan, begitu pula kabar kematian Beng Kong Hwesio atau sesepuh mereka.

"Bohong! Siapa bilang supek tewas? Beng Kong-suheng boleh mampus, Siauw-hong. Tapi tak mungkin sesepuh kita binasa. Mana Chi Koan si biang keributan itu?”

"Ia menuju bukit keramat. Kami dikibas dan dipukul roboh. Dia.... dia....”

Hwesio muda itu jatuh terjengkang. Ji-hwesio dan Sam-hwesio terkejut mendengar ini dan sudah terbang ke tempat itu. Mereka kaget sekali bahwa begitu lancangnya anak itu ke tempat pertapaan keramat, padahal siapapun tahu tak boleh ada yang masuk kecuali dengan ijin. Dan karena sesepuh mereka sedang pergi dan tempat itu kosong, merekalah yang bertanggung jawab maka Ji-hwesio dan sutenya pucat melihat jejak tapak kaki membekas di tanah berlempung. Kemarin hujan turun membuat daerah itu becek.

“Dia... dia sudah masuk ke dalam. Chi Koan telah memasuki guha!”

Dua hwesio ini terpaku. Mereka sudah di luar pagar kawat dan membentak memberi aba-aba mendadak mereka berjungkir balik melewati pagar kawat itu. Para murid disuruh menyusul dan berhamburanlah hwesio-hwesio Go-bi menuju guha. Yang merasa tak sabar segera memotong kawat berduri itu dan berlarian masuk. Dan ketika semua mendaki bukit dan Ji-hwesio serta adiknya berkelebatan di depan maka muncullah Su-hwesio dan Giok Kee Cinjin serta Peng Houw.

Waktu itu, guru dan murid ini berada di pendopo tengah. Giok Kee mengerutkan alis mendengar ribut-ribut itu. Tapi ketika Su- hwesio berkelebat di samping mereka dan berseru bahwą Chi Koan datang, membawa kabar buruk maka Giok Kee bergerak dan Peng Houw pun meloncat dan berkelebat mengikuti gurunya.

"Beng Kong suheng dan supek katanya tewas. Tapi anak itu sekarang menuju ke bukit keramat. Tolong, bantu kami, Giok Kee totiang. Kami semua tak mungkin dapat menang tanpa menimbulkan banyak korban jiwa!”

“Chi Koan? Bocah kurang ajar itu?"

“Benar, tapi mari kita kejar. Pinceng mendengar dia sudah ke atas bukit dan Ji-suheng serta Sam-suheng tentu sudah mendahului!"

Giok Kee dan Peng Houw mengerahkan ilmu lari cepat mereka. Peng Houw, yang berdetak mendengar datangnya Chi Koan tiba-tiba berdegup jantungnya. Sudah lama ia tak bertemu lawan mainnya itu dan kini tiba-tiba dikabarkan Chi Koan menuju bukit. Siapapun tahu bahwa bukit itu adalah tempat keramat. Enam tujuh tahun yang lalupun dia dan Chi Koan juga sama-sama tahu bahwa bukit itu tak boleh didatangi manusia. Biarpun murid-murid Go-bi sendiri kalau tidak ada ijin tak boleh masuk, atau mereka mendapat hukuman keras dan jangan harap mendapat ampun.

Maka ketika di sepanjang jalan ia mendengar betapa Chi Koan masuk dan melanggar daerah larangan, keberanian pemuda itu memang sudah dikenal tapi kali ini agaknya kelewatan, Chi Koan menginjak-injak peraturan partai maka Peng Houw sudah melihat tiga ratus anak murid Go-bi berlarian ke puncak. Mereka sudah mendapat ijin dari pimpinan dan Ji- hwesio yang rupanya perlu mengerahkan anak murid untuk menghadapi Chi Koan tak mau berpikir panjang lagi. Dia sendiri tak mungkin kuat dan hanya dengan bantuan sebanyak-banyaknya sajalah dia dapat mengancam pemuda itu.

Dan ketika Peng Houw juga sudah tiba di sini dan bersama gurunya naik ke atas, berkelebat dan melewati murid-murid Go-bi maka di sana Ji-hwesio sudah berdiri di luar guha membentak dengan suaranya yang mengguntur, kewibawaannya sebagai paman guru dipergunakan.

“Chi Koan, kau murid durhaka. Keluarlah dan kenapa kau memasuki daerah larangan. Tidak tahukah kau bahwa tempat ini tak boleh dimasuki siapapun?"

“Ha-ha," terdengar jawaban. "Tak usah berkaok-kaok, ji-susiok. Aku ke sini atas perintah sukong. Siapa takut kepadamu dan kenapa kau mengancam aku!”

Dua hwesio pimpinan itu merah padam. Chi Koan berkelebat dari dalam dan sebuah bungkusan kain kuning berada di tangannya. Melihat bentuknya seperti sebuah kitab, atau sejenis itu karena Chi Koan juga memperlakukannya hati-hati. Dan karena semua tahu ada Bu-tek-cin-keng yang menjadi berita santer sedunia, tentu kitab itulah yang dibawa Chi Koan maka Ji-hwesio berkelebat dan saat itu semua murid sudah tiba di atas, mengepung, jumlahnya tiga ratus lebih sedikit ditambah Giok Kee Cinjin dan Peng Houw, juga Su-hwesio atau hwesio keempat dari Pat-kwa- hwesio yang masih tinggal.

“Kau... kau mencuri kitab?” Ji-hwesio menggigil, langsung memandang bungkusan kuning itu. “Keparat, kau berdalih yang tidak- tidak, Chi Koan. Kau mencuri milik sesepuh Go-bi. Kembalikan dan mana guru atau supek kami!"

“Ha-ha,” Chi Koan belum melihat bayangan Peng Houw. "Suhu dan sukong tewas terkubur guha, susiok. Tapi aku mendapat perintah untuk menyelamatkan kitab ini. Aku tidak mencuri!"

"Itu Bu-tek-cin-keng!"

“Benar, dan kau melotot melihat benda ini. Hm," Chi Koan tertawa mengejek, sama sekali tak takut. “Aku hendak membawa kitab ini turun ke bawah, susiok. Minggir dan beri aku jalan."

“Keparat, pinceng sendiri tak pernah memasuki tempat ini tanpa ijin. Tapi kau begitu enak dan sewenang-wenang. Heh, apa buktinya kau mendapat perintah, Chi Koan. Katakan kepada pinceng dan semua murid-murid Go-bi agar percaya. Atau kau kuanggap bohong dan berita yang kau bawa tak dapat kami terima!”

"Heh-heh, buktinya adalah ini. Bahwa aku murid Beng Kong guruku dan cucu langsung dari sesepuh Go-bi. Ji Leng sukong tak sempat menuliskan surat atau apapun tentang perintah ini, susiok, karena ia tewas dan terkubur hidup-hidup di Heng-san. Kalau tidak percaya sebaiknya kau ke Heng-san dan selidiki itu!"

"Dan kau mau pergi?"

"Aku hanya mau menyelamatkan kitab ini. Di sini sudah tidak aman. Sukong memerintahkan agar memindahkannya dari sini!”

“Tidak mungkin!" Ji-hwesio membentak, suaranya menggelegar. "Kalau benar begitu maka ada wasiat yang harus kau bawa, Chi Koan. Atau kau letakkan kitab itu dan tunggu sampai kami menyelidiki ini. Kami akan ke Heng-san!"

"Eh, kau tidak percaya kepadaku? Baik, terimalah ini, ji-susiok. Tapi hati-hati kalau terlalu berat.... wuuttt!"

Kitab kuning menyambar dadanya, membuat hwesio ini terkejut dan cepat mengelak dan kitab menghantam seorang murid di belakang. Terdengar teriakan ngeri ketika murid itu roboh. Dadanya melesak dan kitabpun tertinggal di situ. Dan ketika semua terkejut dan Chi Koan tertawa bergelak maka pemuda itu meloncat dan dengan Lui-thian-to-jitnya yang luar biasa ia telah lewat di sisi dua susioknya dan menyambar kembali kitab itu, terbang ke bawah bukit.

“Ha-ha, kau tak mau diberi, ji-susiok. Baiklah, aku pergi, kusimpan dulu kitab ini!”

Namun dua bentakan terdengar di kiri kanan. Giok Kee Cinjin, dan Peng Houw, yang bergerak dan tak dapat menahan diri akhirnya melepas Soan-hoan-ciang dan Chi Koan terkejut melihat pukulan yang bukan berasal dari Go-bi ini. Ia mengelak tapi pukulan itu mengikutinya. Dan ketika ia menangkis dan Giok Kee maupun muridnya terpental, Chi Koan terhuyung dan berhenti sejenak maka murid-murid Go-bi ber-hamburan dan Ji-hwesio berseru keras agar semua mengepung dan menangkap pemuda itu. Kini gangguan datang dari seorang murid sendiri, murid Go-bi yang murtad!

"Chi Koan, kau terlalu. Sikapmu tergesa-gesa seolah maling takut dikejar pemiliknya!"

Chi Koan terkejut. Ia sudah diserang dan dihujani tusukan atau kemplangan toya. Peng Houw, yang berjungkir balik dan terpental oleh tangkisan Chi Koan berseru marah. Dialah yang memaki dan membentak pemuda itu. Peng Houw kagum tapi juga penasaran akan sikap Chi Koan ini. Chi Koan semakin gagah dan tampan tapi juga kurang ajar. Kenakalannya kali ini keterlaluan. Dan ketika ia berseru keras sementara Ji-hwesio dan sutenya juga menerjang ke depan, Chi Koan telah membunuh seorang murid meskipun tanpa sengaja maka Giok Kee juga membentak dan melepas Soan-hoan-ciangnya lagi. Pemuda itu sudah dikepung.

"Bocah, kau tak tahu budi. Beginikah balasmu terhadap Go-bi?”

Chi Koan sibuk. Ia marah dan memutar satu tangannya untuk melepas Cui-pek-po-kian. Tapi karena musuh terlalu banyak dan bungkusan kuning itupun harus diselamatkannya baik-baik, ia memandang Peng Houw dan terheran serta kaget, seakan ingat tapi pangling maka pukulan bertubi-tubi diterimanya tapi tak satupun yang membuat pemuda itu roboh....

Prahara Di Gurun Gobi Jilid 19

Cerita Silat Mandarin Serial Prahara Di Gurun Gobi Karya Batara

KAMI tak bicara tentang agama, melainkan sakit hati dan dendam. Kau tak perlu berkhotbah tentang Kebenaran atau ketidakbenaran, Ji Leng Hwesio, karena kami datang untuk menagih hutang. Nah, kau sudah muncul dan siaplah menebus dosa!”

"Omitohud, kau mau melakukan apa?”

"Membunuhmu!" dan begitu kata-kata itu selesai tiba-tiba Tan Hoo Cinjin bergerak dengan amat cepatnya menyerang hwesio ini. Ji Leng sudah muncul dan itulah kesempatan terakhir. Kalau hwesio ini masih hidup sukarlah bagi Heng-san maupun Hoa-san membalas sakit hati. Dan karena maklum bahwa yang dihadapi adalah dedengkot Go-bi, Tan Hoo tak ragu-ragu melepas pukulan maka yang dilancarkan adalah Lui-yang Sin-kang.

“Klap!” sinar pukulan itu mendahului Tan Hoo Cinjin sendiri. Ketua Heng-san yang kini maju sendiri itu melepas semua pukulannya dengan hebat. Ji Leng tampak terbelalak melebarkan mata namun hwesio sakti ini tak mengelak. Sinar pukulan itu menyambarnya bagai petir yang dahsyat, apinya saja sudah membakar orang-orang di sekitar hingga minggir tanpa disuruh lagi. Hawa panas itu tak tahan mereka hadapi. Tapi ketika Ji Leng mengangkat tangannya dan hwesio ini mengucap puja-puji, tangannya dirangkap seperti memberi sembah maka pukulan itu disentuhnya dan terdengarlah ledakan dahsyat ketika Lui-yang Sin-kang menghantam tubuh hwesio sakti itu.

“Omitohud, semoga Buddha mengampuni.... blarr!”

Dan tampaklah Tan Hoo Cinjin terbanting dengan pekik kaget. Tosu ketua Heng-san itu terkejut karena pukulan listriknya seolah bertemu benda lunak seperti kapas, tenggelam dan terbawa ke situ tapi kemudian menolak dengan hebatnya, persis bola yang mental atau karet digebukkan ke dinding baja. Dan karena daya tolak itu demikian besar hingga dua kali lebih hebat daripada pukulannya sendiri, Tan Hoo melempar dan membanting tubuh bergulingan maka tosu ini pucat dan melotot dengan muka berubah-ubah.

Tapi Tan Hoo Cinjin adalah tokoh Heng-san setelah Siang Kek Cinjin. Dia digembleng supeknya itu dan kini setingkat, atau kalaupun selisih paling-paling seusap. Maka begitu meloncat bangun dan kaget tak boleh memukul langsung, Tan Hoo terbelalak karena itulah Hok-tee Sin-kang yang dimiliki dedengkot Go-bi ini maka tosu itu bergerak lagi dan menyerang.

Pukulannya berubah-ubah dan Sin-sian-hoan-eng pun dipergunakan. Ilmu meringankan tubuh Dewa Tanpa Bayangan itu membuat tubuh ketua Heng-san ini sukar diikuti pandangan mata lagi. Ia berkelebatan begitu cepatnya mengelilingi tubuh lawan. Tapi ketika dengan tenang Ji Leng mengebut dan berpuja-puji, matanya meram sementara jubah atau lengan bajunya mengikuti ke mana lawannya beterbangan maka aneh dan ajaib hwesio ini telah menangkis semua serangan lawannya tanpa berpindah tempat.

“Plak-plak-plak!" dan ketua Heng-san itupun tentu berseru tertahan. Tan Hoo telah menghujani lawan dengan pukulan dari muka dan belakang namun Ji Leng dapat menghalau semuanya itu. Kian keras dia melepas pukulan kian keras pula dia tertolak. Dan ketika Tan Hoo marah sementara adiknya terbelalak pucat maka Sin Gwan tiba-tiba berkelebat dan majulah suheng dan sute itu mengeroyok dedengkot Go-bi.

"Curang! Pengecut! Tak tahu malu!" Giok Kee memaki-maki dan menjadi marah. Ia telah melihat kehebatan Sin Gwan namun kini takjub melihat kesaktian hwesio Go-bi ini. Namun karena dua orang maju berbareng dan dia mengkhawatirkan sesepuh Go-bi itu, Ji Leng dikeroyok maka hwesio itu membuka matanya dan mendesah,

"Giok Kee totiang, terima kasih atas pembelaanmu. Tapi biarlah pinceng layani mereka untuk main-main!" dan sang hwesio yang tiba-tiba bergerak dan mengangkat kakinya, melayang-layang tiba-tiba sudah menerima pukulan-pukulan itu dengan tubuhnya. Tadi dia menangkis dan Tan Hoo Cinjin sudah berteriak kaget. Dan ketika kini ia menerima pukulan-pukulan lawan dan bak-bik-buk suara pukulan terdengar begitu menggetarkan, ledakan dan kilatan petir dari Lui-yang Sin-kang juga menyengat dan menyambar jubahnya maka kaget dan terkesiapnya dua orang ini bukan main-main lagi.

Dari tubuh sang hwesio keluar getar-getar dingin yang meredam pukulan mereka. Jubah dan bajunya yang tersambar pukulan tiba-tiba juga menjadi lembek dan basah sehingga memadamkan lelatu api dari pukulan-pukulan petir itu. Dan ketika setiap pukulan membuat dua orang itu tersentak karena membalik sendiri, Lui-yang Sin-kang bertemu tenaga aneh yang amat mujijat di mana tersedot dan terbawa ke dalam tubuh hwesio ini.

Maka seperti balon saja Tan Hoo maupun sutenya seakan dilempar keluar oleh daya pukulan mereka sendiri. Dua orang itu mula-mula tak percaya bahwa dari tubuh hwesio itu keluar semacam daya tolak yang besar. Mereka tadinya menganggap bahwa itu adalah kebetulan saja, mungkin pukulan teman yang dipinjam dan dikeluarkan lagi. Orang-orang yang sudah memiliki kepandaian tinggi biasanya memang dapat melakukan ini.

Tapi ketika pukulan mereka disedot lalu dilontarkan lagi, ditambah tenaga hwesio itu sendiri maka Sin Gwan maupun suhengnya kaget bukan main ketika tiba-tiba tubuh hwesio itu melembung dan dua pukulan mereka yang bersamaan mendarat dan tiba-tiba dipindahkan untuk saling gempur, yakni pukulan Sin Gwan diterima dan diteruskan kepada Tan Hoo Cinjin sementara pukulan ketua Heng-san itu diterima dan diteruskan kepada sutenya!

"Haiii....!”

“Awas!”

Dua-duanya mengenal pukulan teman. Tentu saja Sin Gwan maupun suhengnya terkejut karena secepat pukulan diterima secepat itu pula sudah dipindahkan oleh hwesio ini. Ji Leng hanya bersifat sebagai perantara saja dan kini pukulan masing-masing dilontarkan kepada yang lain. Sin Gwan menerima pukulan suhengnya sementara suhengnya menerima pukulannya. Dan ketika dua orang itu berteriak dan saling memperingatkan, melempar dan membanting tubuh bergulingan maka dua tokoh Heng-san ini pucat oleh rasa ngeri yang sangat.

"Ji Leng, kau hwesio siluman!"

"Go-bi-paicu, kau hwesio keparat!"

Dua-duanya tertegun. Mereka jadi gentar dan bertanya-tanyalah orang di luar pertandingan akan peristiwa ini. Sebagai penonton tentu saja mereka tak tahu atau merasakan apa yang dirasakan tokoh-tokoh Heng-san ini. Mereka tak tahu bahwa dengan kesaktiannya yang luar biasa Ji Leng Hwesio telah memindah dan melontarkan pukulan lawannya. Masing-masing diadu dan harus menerima itu. Dan ketika Tan Hoo maupun sutenya menjublak pucat, berdiri dan ragu menyerang maka Tujuh Malaikat Hoa-san tiba-tiba berseru nyaring dan mengira ketua dan wakil ketua Heng-san itu kurang kuat, minta bantuan.

"Heng-san-paicu, jangan khawatir. Kami membantu!"

Hek-tosu dan enam adiknya berkelebat. Mereka menyangka bahwa Tan Hoo Cinjin dan sutenya kalah tenaga dibanding hwesio Go-bi itu, bergerak dan langsung melepas pukulan mereka. Tapi ketika Ji Leng Hwesio batuk- batuk dan menerima pukulan tujuh orang itu, tidak mengelak, maka kagetlah Hek-tosu dan adik-adiknya karena apa yang dialami Tan Hoo Cinjin kini dialami mereka pula.

“Des-des-dess!”

Tubuh hwesio itu hanya bergoyang ke kiri kanan. Kakinya tetap menapak bumi dan hanya pinggang ke atas yang terpengaruh pukulan lawan-lawannya ini. Tapi karena dia mempergunakan ilmu memindah dan melontar tenaga itu, Hek-tosu dan adik-adiknya diterima tapi sekaligus dipukul balik, oleh pukulan mereka masing-masing maka berteriak dan terlemparlah dua orang ini oleh akibat pukulan mereka sendiri.

"Heiiii....!”

“Celaka!”

Pekik dan teriakan kaget terdengar di situ. Hek-tosu yang melempar dan membanting tubuh bergulingan segera menyelamatkan diri dari pukulan saudara-saudaranya ini. Dia menerima pukulan Pek-tosu sementara adiknya itu menerima pukulan Ui-tosu, saudara yang lain. Dan karena mereka juga menerima pukulan Hek-tosu yang dipindah dan dilontarkan Ji Leng Hwesio, inilah kesaktian yang hebat sekali.

Maka Tujuh Malaikat Hoa-san itu jungkir balik dan melempar tubuh menjauhi dedengkot Go-bi itu. Baru sekarang mereka tahu apa yang kiranya terjadi dengan Tan Hoo Cinjin dan sutenya tadi, Sin Gwan yang masih terbelalak dan berdiri di ujung. Dan ketika tujuh orang itu meloncat bangun dan kaget membelakakan mata, tertegun dan berdiri di sana maka Tan Hoo yang memimpin semua teman-temannya ini melangkah maju, tahu diri.

"Hek-totiang, berhenti. Ji Leng lo-suhu bukan lawan kita. Pinto mengaku bahwa kepandaian pinto masih kalah olehnya!"

"Benar," Sin Gwan berkelebat dan tahu diri pula, seperti suhengnya. “Kita bukan tandingan Ji Leng lo-suhu, Hek-totiang. Pinto mengaku kalah dan kita pergi!"

"Omitohud!" sang hwesio mengangguk-angguk dan mengebutkan lengan. "Pinceng gembira kalau kalian tak melanjutkan permusuhan ini, Tan Hoo Cinjin. Dan pinceng mengharap kalian pergi. Tapi katakan apa yang dilakukan Siang Kek Cinjin dengan murid pinceng Beng Kong."

"Supek kami mengundangnya ke Heng-san. Supek ingin membalas dendam. Beng Kong muridmu akan diajak mati sampyuh!"

"Omitohud! Caranya...?”

Supek kami meledakkan guha begitu ia masuk, Ji Leng Hwesio. Dan ia sekarang tentu mampus. Begitu pula cucu muridmu Chi Koan itu. Nah, kami sudah memberi keterangan dan terserah apakah kau hendak menahan kami atau membiarkan kami pergi!”

Ji Leng terbelalak. Ia tampak berubah tapi hanya sekejap saja. Dan ketika lawan membalikkan tubuh dan ia mengucap puja-puji berulang-ulang, Tan Hoo dan kawan-kawannya dibiarkan pergi maka Ji Kak, murid keponakannya, membentak nyaring,

“Supek, orang-orang ini telah membunuh- bunuhi murid kita. Bahkan empat saudara kami tewas. Apakah enak saja dibiarkan pergi dan tidak dihukum?”

"Omitohud, tak perlu mengikat permusuhan lagi. Go-bi dan Heng-san sudah sama-sama menumpahkan banyak korban, Ji Kak. Biarkan mereka pergi dan Sang Buddha akan mengampuni mereka.”

"Tapi empat saudara kami.....”

“Tak perlu dendam. Kemarahan dan benci harus dilepas. Kita kehilangan saudara mereka juga kehilangan keluarga. Omitohud, pinceng harus mencuci diri lagi....!" tapi sebelum hwesio itu membalik tiba-tiba Giok Kee Cinjin, tosu yang sudah diselamatkan dedengkot Go-bi ini berkelebat. "Lo-suhu, tunggu dulu. Pinto mau bicara denganmu!” "Hmm, Giok Kee totiang...., ada apa lagi, totiang? Bukankah semua sudah selesai?”

“Tidak,” tosu ini terbelalak, menggeleng kepala. "Urusan pertikaian memang selesai, Ji Leng lo-suhu, tapi sifatnya masih seperti api dalam sekam. Bagaimana dengan murid-muridmu ini dan begitu pula Beng Kong yang terjebak di Heng-san. Apakah kau tidak berniat menengoknya?”

“Hm, pinceng akan memasuki pertapaan lagi. Urusan duniawi telah pinceng lepaskan. Masalah Beng Kong tak mungkin selamat, terlambat. Pinceng menyesalkan tindakannya.....”

"Omonganmu tak dapat dipercaya!" seruan ini mengejutkan yang lain-lain. "Bukti dan kenyataannya lain, Ji Leng lo-suhu. Kau bilang tidak mencampuri urusan duniawi namun nyatanya kau datang dan mengusir orang- orang Heng-san dan Hoa-san tadi. Pinto tidak puas. Kau tak bertanggung jawab!"

“Omitohud....!” Ji Leng berseru tertahan, terkejut. "Tak bertanggung jawab bagaimana, Giok Kee Cinjin. Pinceng tidak paham.”

"Akui dulu bahwa omonganmu salah. Kau tetap tak dapat terlepas dari urusan duniawi,” tosu ini ngotot, matanya juga melotot. "Hidup di dunia tak mungkin terlepas dari tetek bengek dunia, Ji Leng lo-suhu. Kalau kau mengakui ini baru pinto akan bicara tentang rasa tidak bertanggung jawabmu. Maaf, pinto berhutang budi tapi pinto juga tak dapat diam kalau melihat kau melakukan kekeliruan!"

“Omitohud,” sang hwesio merah mukanya. "Omonganmu tajam, Cinjin. Tapi baiklah pinceng akui bahwa pinceng keliru. Maksud pinceng adalah tidak mencampuri murid pinceng Beng Kong karena ia teledor dan membuat salahnya sendiri. Sekarang katakan bahwa tanggung jawab apa yang tidak pinceng lakukan."

“Jelas, kau hidup dan tinggal di Go-bi, bahkan kau dedengkot Go-bi. Tapi setelah ada kejadian begini enak saja kau pergi dan membuat murid-muridmu bakal kebingungan. Eh, pikirlah! Apa jadinya dengan Ji-hwesio dan dua adiknya ini kalau Beng Kong tidak kembali, lo-suhu. Apakah kau tidak memberinya petunjuk agar dapat memimpin Go-bi sepeninggal suhengnya. Dan yang penting, apakah begini saja kau biarkan mereka hingga kelak dapat dikalahkan musuh lagi. Apakah hanya Beng Kong satu-satunya murid yang kau agul-agulkan sehingga tidak memperdulikan yang lain lagi?”

Semua orang pucat. Hebat kata-kata ini karena Giok Kee Cinjin dapat dikata mencela habis-habisan tokoh Go-bi ini. Dan ketika Ji Leng juga berubah mukanya dan kelihatan berdesir, matanya berkilat dan terbelalak maka Giok Kee menambahi lagi, tidak takut.

"Lihat apa yang dilakukan murid-murid Heng-san. Boleh tanya semua orang di sini bagaimana dengan orang-orang Heng-san itu, lo-suhu. Bukankah sekarang mereka meningkat pesat dan Tan Hoo Cinjin sendiri sudah setaraf dengan supeknya. Jangan dikata lagi murid-murid rendahan yang lain. Mereka rata-rata sudah di atas murid-murid Go-bi dan kalau kelak kau meninggal dunia maka Go-bi bakal hancur dan sia-sia cikal-bakal Go-bi mendirikan partai ini!”

"Omitohud...!” Sang hwesio pucat dan berubah, seketika mengerti apa yang dikehendaki Giok Kee Cinjin ini. "Kau lancang tapi jujur, Giok Kee Cinjin. Tapi jelaskan kepada pinceng apa sesungguhnya yang kau kehendaki?”

"Jelas, tidak banyak. Latihlah murid-murid Go- bi seperti kau melatih Beng Kong Hwesio atau Go-bi bakal hancur kalau tetap begini!"

"Giok Kee Cinjin...!” bentakan atau seruan itu terdengar bukan dari Ji Leng Hwesio sendiri melainkan dari mulut Ji-hwesio. Hwesio ini sudah merasa bahwa Giok Kee mencampuri urusan partai kelewat dalam. Dia menjadi pucat dan juga khawatir bahwa jangan-jangan supeknya nanti menduga yang tidak-tidak, mengira ia bersekongkol dengan tosu itu agar supeknya mau menurunkan ilmu-ilmu dari Bu-tek-cin-keng kepadanya, padahal selama ini hanya suheng Beng Kong Hwesio itu saja yang mewarisi, sebagai murid tersayang dan murid tunggal. Tapi ketika supeknya bergoyang-goyang dan batuk-batuk, terpukul tapi melihat benarnya kata-kata itu maka melompatlah Peng Houw berlutut di depan guru besar Go-bi ini, sekaligus menengahi agar Ji-hwesio tidak menyerang gurunya.

"Locianpwe," begitu dia berkata hormat. "Harap ampunkan guruku yang mungkin dirasa terlalu mencampuri urusan dalam partai. Suhu hanya hendak menyayangkan kalau Go-bi yang begini gagah dan tegar harus binasa karena murid-muridnya tidak mendapat tambahan ilmu. Apa yang dikata suhuku benar, tapi cara dan sikapnya ini mungkin salah, terlalu mencampuri urusan Go-bi. Biarlah locianpwe renungkan itu tapi sebagai orang bodoh yang pernah menjadi murid di sini teecu juga merasa sayang kalau sepeninggal Beng Kong lo-suhu maka tokoh-tokoh Go-bi tak semaju seperti orang-orang Heng-san. Biarlah kami pergi dan maafkan kalau teecu dan guru teecu ini mengganggu perasaan locianpwe!"

Tapi sebelum Peng Houw bangkit berdiri mendadak sebuah tangan yang kuat menekannya. “Nanti dulu, kau... kau mengaku pernah menjadi murid di sini? Siapa namamu?"

Peng Houw terkejut. Yang memegang pundaknya ini adalah guru besar Go-bi itu. Tapi mengangguk dan merasa jari-jari itu meremas pundak dan tulang-tulang lain dia mengangguk. "Benar, teecu bekas murid di sini, locianpwe. Tapi teecu telah diusir. Teecu adalah Peng Houw."

"Peng Houw? Kau murid siapa?"

"Dulu guru teecu adalah suhu Lu Kong Hwesio....”

“Ah, kau bersama Chi Koan....”

"Benar, teecu berdua yang dulu menjadi sebab kekacauan itu, locianpwe. Dan Ji Beng lo-suhu dulu mengusir teecu. Kini teecu diambil murid oleh Giok Kee totiang dan....”

“Hm-hmm!" suara dan anggukan ini disusul oleh cengkeraman yang kuat dan yang membuat Peng Houw meringis. Ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena hwesio itu mencengkeram tulangnya begitu kuat. Dan ketika ia ditepuk dan tiba-tiba menjerit, Giok Kee terkejut dan membentak ke depan maka tosu ini sudah berkelebat dan berseru,

"Lo-suhu, apa yang kau lakukan kepada muridku?”

Namun Ji Leng Hwesio sudah melepaskan cengkeramannya. Ia bersinar-sinar memandang pemuda ini dan pandangan aneh terpancar di situ. Lalu ketika dia mengangguk-angguk dan tersenyum, mengebutkan lengan bajunya kepada Giok Kee Cinjin maka kakek sakti itu berkata, “Giok Kee totiang, maukah kau dan muridmu tinggal di sini sehari dua? Pinceng akan ke Heng-san. Pinceng akan mencari tahu nasib murid pinceng!"

Perobahan ini membuat orang tercengang. Ji-hwesio, dan dua saudaranya, yang tertegun dan heran mendengar itu lalu memandang tak berkedip. Baru kini supek mereka itu mau bicara banyak, dan yang mengherankan, pergi dan mau meninggalkan partai. Padahal sudah bertahun-tahun mendekam dan bertapa! Tapi Giok Kee yang tertegun mengamati pundak muridnya, pundak yang mengkilap dan bersih seperti digosok batu pualam tiba-tiba tertawa bergelak dan berseru,

"Ji Leng lo-suhu, kau sudah pulih dan kembali watakmu? Ha-ha, pinto senang, Go-bi-kauwcu (pemimpin agama Go-bi). Tapi jangan serobot muridku begitu saja. Ha-ha, pinto susah payah menggemblengnya. Terima kasih atas usapan Sian-ji-kang mu (Usapan Jari Dewa)!" dan berseru kepada Peng Houw agar berlutut mengucapkan terima kasih, pemuda itu tak tahu betapa tulang-belulangnya sudah dibuat lain, tahan bacokan dan tahan pukul maka tosu itu berteriak, "Peng Houw, ucapkan terima kasih kepada Go-bi-kauwcu. Kau telah diberinya kekebalan Sian-ji-kang!”

Peng Houw heran membelalakkan mata. Ia tak mengerti tapi menjatuhkan diri berlutut juga. Namun belum ia mengeluarkan suara mendadak hwesio itu menggerakkan kaki dan lenyap.

“Giok Kee Cinjin, pinceng hanya memenuhi apa yang dulu diminta murid pinceng Lu Kong untuk memberikan sesuatu kepada muridnya itu. Sekarang ia telah menjadi muridmu, tapi aku tetap membayar janjiku juga. Tinggallah sehari dua di sini dan tunggu pinceng kembali dari Heng-san!”

Peng Houw melongo lagi. Ia tak sempat mengucap terima kasih karena tahu-tahu hwesio itu lenyap. Orang tak tahu kemana dia tapi ketika semua memandang ke gurun ternyata hwesio itu telah merupakan titik kecil di sana, lenyap dan tidak kelihatan lagi dan Giok Kee Cinjin tertawa bergelak-gelak. Dan ketika Peng Houw bangkit berdiri dan gurunya berseru menyambar toya, menghantam dan menyerang pundaknya dengan kuat maka toya itu patah dan Peng Houw sama sekali tidak merasa sakit atau apa kecuali terkejut dan berseru keras, tak sempat meng hindar.

Cinjin tertawa lagi dan tiba-tiba tanpa banyak bicara lagi tosu ini menyambar golok di tanah. Golok itu adalah milik orang-orang yang bertempur tapi yang tadi tak diambil, berkelebat dan membacok muridnya ini. Dan ketika tujuh bacokan mengenai bahu dan pinggang muridnya, Peng Houw mengelak namun diserang dan tak mungkin menghindar maka otomatis dia menggerakkan lengannya menangkis dan golok itupun patah-patah.

"Ha-ha, lihat, Peng Houw. Lihat usapan Jari Dewa itu. Kau kebal dan tahan segala bacokan... tak-tak-takk!"

Golok yang menjadi tiga keping patah bertemu tangkisan Peng Houw membuat pemuda ini tertegun dan bengong, tidak tahu apa yang terjadi karena sesungguhnya ia tadi menangkis tanpa sinkang. Menghadapi gurunya yang tak mungkin membunuhnya membuat ia menangkis seadanya saja, dengan tenaga biasa-biasa. Tapi begitu dengan tenaga biasa ini ia mampu membuat golok patah-patah, Ji-hwesio dan lain-lain ikut terkejut maka hwesio itu membelalakkan mata dan berseru,

“Omitohud, rupanya hubunganmu dengan mendiang Lu Kong suheng membawa keberuntungan, Peng Houw. Puji syukur bahwa supek memberikan Sian-ji-kangnya kepadamu tidak kepada Chi Koan!"

“Chi Koan?"

“Benar,” Sam-hwesio kini menyambung bicara. "Chi Koan yang menjadi gara-gara dari semuanya ini, Peng Houw. Dialah yang membuat onar di Heng-san hingga Tan Hoo Cinjin dan lain-lain meluruk!"

"Apa yang sebenarnya terjadi?" Giok Kee nimbrung, memang belum tahu secara lengkap. "Ada apa dengan anak itu, Ji-lo-suhu. Dan bagaimana dia bisa membuat onar lagi?"

"Anak itu memang duri dalam daging,” Sam-hwesio mengepal tinju. "Suheng Beng Kong Hwesio mengambilnya sebagai murid dan dia lalu melabrak ke Heng-san, menantang Siang Kek Cinjin!"

"Astaga, bocah itu menantang Siang Kek? Memangnya kepandaiannya sudah setinggi Thai-san?”

"Chi Koan telah memiliki semua ilmu-ilmu andalan, Giok Kee totiang. Dan kami bertujuh kalah olehnya. Dia digembleng oleh Beng Kong-suheng lagi, tapi yang amat menyakitkan adalah watak sombong dan tinggi hatinya itu. Dia pongah!"

"Seperti gurunya!" Giok Kee berseru, teringat akan hwesio itu, yang sombong tapi hebat. “Kalau guru sombong menurunkan murid yang sombong adalah biasa, Ji-lo-suhu. Tapi bagaimana selanjutnya setelah itu?”

"Hm, bocah itu tertangkap di sana. Dan suheng lalu ditantang untuk mengambilnya. Dan karena suheng amat menyayang muridnya secara berlebih dan tak tahu akan jebakan lain maka Tan Hoo Cinjin dan kawan-kawannya itu lalu datang ke sini dan hampir saja menghancurkan Go-bi!" Sam-hwesio lalu menceritakan lengkap, didengar dan Giok Kee tampak mengangguk dan mengerutkan alisnya berkali-kali.

Dan ketika semua jelas dan Peng Houw juga mendengar, Giok Kee mendesah maka tosu itu menarik napas panjang dan teringat murid-murid Go-bi yang tewas dan menggeletak di sana-sini. “Siancai, licik dan cerdik. Tapi harus pinto akui bahwa suheng kalian Beng Kong Hwesio memang telah menggegerkan dunia kang-ouw. Hm, biar supek kalian yang melihat. Mari sekarang kita urus mayat-mayat itu dan biar pinto menunggu kembalinya Ji Leng lo-suhu barang sehari dua. Dan kau...." dia menunjuk Peng Houw. "Bantu bekas paman-paman gurumu membersihkan tempat ini, Peng Houw. Mari kita bekerja dan urus semua itu.”

Peng Houw mengangguk. Dia sedih melihat mayat-mayat yang bergelimpangan itu, tapi bergerak dan membantu gurunya diapun sudah mengangkat dan memindahkan mayat-mayat ini dikumpulkan di pelataran luas. Tiga ratus murid luka-luka sementara hampir dua ratus tewas terbunuh. Pembantaian kali ini lebih dahsyat daripada dulu, terasa lebih keji. Maklum, seribu orang menyerang mereka dan itupun secara tiba-tiba. Entah bagaimana jadinya kalau Ji Leng Hwesio tak segera muncul, Go-bi tentu habis dan bersih murid-muridnya. Perguruan ini hanya bisa tinggal nama.

Tapi ketika semua selesai dan semua sibuk menumpuk mayat-mayat itu dalam satu lubang besar, tiga hwesio pimpinan bekerja dengan air mata mengucur maka malam harinya semua beristirahat dan Giok Kee Cinjin maupun Peng Houw mendapat kamar bersebelahan. Kebetulan Peng Houw menempati kamarnya yang dulu, ketika masih sebagai murid atau kacung di Go-bi.

"Teecu rupanya tak dapat tidur. Biar kau beristirahat, suhu. Teecu mungkin akan berjalan-jalan sejenak melihat tempat-tempat yang dulu teecu kenal.”

"Hm, kau mau kelayapan?"

"Sekedar menyongsong kantuk, suhu. Nanti kalau sudah tentu teecu kembali lagi.”

"Baik, tapi jangan terlalu larut. Besok kita harus membantu bekas paman-paman gurumu itu dan jangan sampai bangun kesiangan.”

Peng Houw mengangguk. Enam tahun meninggalkan Go-bi terasa seperti melewatkan waktu yang pendek. Seolah baru kemarin saja dia meninggalkan tempat ini namun ternyata sudah banyak perobahan terjadi. Satu yang paling menyolok adalah berkurangnya murid- murid di sini, berarti para suhengnya atau hwesio-hwesio muda yang pernah menjadi kacung atau tukang sapu di situ tak ada lagi.

Yang muda-muda, nyaris terbantai di dalam pertempuran sengit itu. Mereka adalah hwesio- hwesio pembantu yang tentu saja belum memiliki kepandaian tinggi, penyapu jalan atau tukang masak yang terpaksa menyambut musuh dan mempertahankan Go-bi. Dan karena kepandaian mereka memang rendah tapi harus membela perguruan maka mereka-mereka inilah yang roboh lebih dulu dan menjadi "rabuk" bagi gurun Go-bi.

Peng Houw menarik napas dalam-dalam karena hampir semua kakak-kakak seangkatannya tewas. Akhirnya ia berhenti dan duduk di sebuah undak-undakan batu di mana sebuah patung menyembunyikan tubuhnya dari luar tembok. Di sini, enam tahun yang lalu dia sering bermain petak umpet dengan sesama kacung Go-bi, hwesio-hwesio muda yang menjadi sahabatnya. Bahkan Chi Koan pun sering ikut. Dan karena di bawah undak-undakan itu terdapat banyak patung-patung lain sebagai penghias pelataran maka di sini Peng Houw dapat melihat ke sekelilingnya dengan baik.

Dulu, enam tahun yang lalu di mana bulan purnama naik dengan indahnya maka selesai bekerja dia dan para sahabatnya saling kejar dan sembunyi. Pelataran ini luas dan banyaknya patung-patung di situ enak sekali dipakai berlindung. Siapa yang kalah harus mencari lawan-lawannya dan yang tertangkap mendapat hadiah tepukan kejut di punggung. Mereka akan tertawa-tawa riang dan selanjutnya yang kena tepukan harus mencari dan mengejar yang lain, begitu seterusnya. Dan ketika Peng Houw teringat masa-masa itu maka tanpa terasa ia memandang jauh ke depan di mana sebuah bukit berdiri kokoh macam tempurung raksasa, tidur atau tengkurap di situ berabad-abad.

Itulah tempat pertapaan guru besar Go-bi. Pagar kawat berduri yang mengelilingi bukit itu merupakan tanda dilarang masuk bagi siapapun yang tak mendapat izin. Pelataran di mana Peng Houw sering bermain petak umpet adalah pelataran di belakang perguruan ini, tak akan mengganggu para hwesio lain yang sedang berliamkeng umpamanya, atau hwesio- hwesio tua yang bersamadhi melakukan latihan pernapasan. Dan ketika Peng Houw membentur bukit hitam itu maka diapun bertanya-tanya.

Konon di situlah pertapaan Ji Leng Hwesio yang sakti. Kabar tentang dimilikinya Bu-tek- cin-keng oleh hwesio ini telah tersebar luas dan Peng Houw tentu saja tahu itu. Dia sendiri tak tertarik dengan kitab hebat itu melainkan justeru tertarik kepada apa yang dilakukan guru besar Go-bi itu. Entahlah, apa yang dilakukan Ji Leng Hwesio sehingga betah bertahun-tahun bertapa di bukit hitam itu. Mempelajari Bu-tek-cin-keng? Mungkin saja, karena tingkat kepandaian dedengkot Go-bi itu memang maju pesat. Dan membayangkan sesepuh Go-bi ini mengingatkan Peng Houw akan Beng Kong Hwesio dan juga Chi Koan.

Hm, Chi Koan kembali ke sini? Dan kembali belajar pada bekas gurunya itu? Dan Chi Koan dikabarkan memiliki kepandaian amat tinggi karena mampu mengalahkan Pat-kwa-hwesio yang menjadi tokoh-tokoh di situ. Padahal, mungkin dia sendiri harus bekerja keras merobohkan tujuh tokoh Go-bi ini. Berarti, Chi Koan sudah di atasnya!

Peng Houw merinding. Chi Koan dikenalnya sebagai bocah nakal yang cerdik dan berwatak kurang baik. Berapa kali dia bertengkar dengan anak itu karena kenakalan dan watak kurang baiknya itu. Lihat saja peristiwa di Go-bi ini, bukankah karena fitnah dan kenakalan anak itu hingga ia harus hengkang dari Go-bi? Gara- gara ang-sio-bak maka mendiang gurunya Lu Kong Hwesio sampai bertempur hebat dengan guru Chi Koan, Beng Kong Hwesio itu. Dan selanjutnya gurunya harus tewas oleh kelicikan si Raja Ular dan Kwi-bo.

Sampai di sini Peng Houw menarik napas dalam-dalam. Teringat kematian gurunya yang lama itu tiba-tiba darahnya mendidih. Ia harus menetralisir diri kalau tak mau hanyut oleh dendam. Dan ketika dia memejamkan mata dan teringat masa-masa kecilnya di sini mendadak Peng Houw teringat akan ayat-ayat suci ketika dulu belajar agama dari mendiang gurunya Lu Kong Hwesio, yakni tentang kemarahan dan mengendalikan kemarahan.

"Kemarahan itu seperti kuda liar yang menarik tanpa kendali sebuah kereta bernumpang. Kemarahan itu dapat membahayakan kalau berlarut-larut, Peng Houw. Karena itu belajarlah sabar dan biarkan sepak terjang Chi Koan kalau ia sering mengganggumu. Menyingkirlah kalau kau tak senang, jangan dilayani."

Begitu dulu kata-kata gurunya Lu Kong kalau ia mendapat gangguan kelewat batas dari Chi Koan. Nasihat ini sering diberikan kalau dia berkelahi dengan anak itu. Chi Koan sering mempraktekkan pelajaran silatnya kalau mereka kebetulan berdua, memukul dan mengajak berkelahi Peng Houw dalam usaha menyombongkan diri. Dan dia, yang waktu itu belum mendapat pelajaran silat karena tiap hari hanya dijejali ayat-ayat kitab suci lalu sering diejek lawannya yang terpingkal-pingkal mengatakan Peng Houw pengecut.

"Huh, gurumu Lu Kong supek itu mendidikmu menjadi perempuan, Peng Houw. Mana ilmu silatmu dan kenapa tiap hari hanya berliam-keng (membaca ayat-ayat suci) saja. Hayo, minta pelajaran kepadanya dan kita adu ilmu!”

“Kau tak perlu pongah," Peng Houw menjawab. "Ilmu di dunia bukan hanya silat, Chi Koan. Silat tanpa watak yang baik seperti pisau tajam yang kelak akan melukai diri sendiri. Aku memang baru diajari ayat-ayat kitab suci, tapi kelak kalau tiba saatnya suhu tentu akan menurunkan kepandaiannya juga."

“Ha-ha, kapan itu. Suhumu takut menurunkan itu karena ia kalah dengan guruku. Boleh sampai mati kau menunggu pelajaran silat darinya!”

“Chi Koan!” Peng Houw membentak. "Tutup mulutmu dan jangan lancang!”

"Aha, sudah mulai berani? Bagus, mari Peng Houw, kita main-main!” dan Chi Koan yang kemudian memukul dan mempraktekkan silatnya sudah mendahului Peng Houw memberi bogem mentah atau tendangan.

Peng Houw berkelit tapi kalah cepat dan selanjutnya ia menjadi bulan-bulanan lawan. Kalau sudah begini maka ia pun menubruk dan menggigit. Sekali Chi Koan tertangkap dan digigitnya telinga anak itu kuat-kuat. Chi Koan berteriak dan menangis. Dan ketika mereka berdua bergulingan dan perkelahian itu diketahui guru mereka maka selanjutnya mereka dipisah tapi Lu Kong Hwesio tetap saja belum memberikan ilmu silatnya kepada anak ini.

"Biarlah, biar Chi Koan bicara begitu. Semakin kau diganggu semakin belajarlah tabah dan sabar. Orang hidup harus banyak tabah dan sabar Peng Houw, tanpa begitu tak akan mengalami kemajuan batin. Kemajuan batin jauh lebih berguna daripada kemajuan lahir. Ayo, kita ke ruang doa dan praktekkan ayat kedua dari bab ketujuh belas!"

Kalau sudah begini Peng Houw disuruh berliamkeng. Dengan berliamkeng maka diapun lupa. Ayat itu dibacanya berulang-ulang. Dan karena setiap gangguan Chi Koan yang membangkitkan kemarahannya selalu "diantisipasi" dengan ayat-ayat ini maka Peng Houw pun kini hapal dan memang diapun menjadi anak laki-laki yang tidak gampang marah dan penyabar, hal yang amat disukai para hwesio Go-bi.

Maka ketika tiba-tiba diapun teringat mendiang gurunya itu dan kematian gurunya di tangan si Raja Ular membangkitkan kemarahannya mendadak Peng Houw mengetrukkan ujung jarinya ke patung batu itu, sekarang pikirannya kembali kepada mendiang gurunya itu, bersenandung lirih, tak sadar betapa kuku jarinya mampu mencoblos tubuh patung seperti orang mencoblos agar-agar!

Orang yang dapat menahan kemarahannya yang sedang timbul, seperti menghentikan kereta yang sedang tergelincir, ialah yang kusebut seorang deruki. Yang lainnya hanya merupakan pemegang tali kuda saja. Peng Houw menghentak sambil menganggukkan kepalanya mengikuti irama bunyi ayat-ayat suci ini. Ia merasa betapa benarnya kata-kata itu karena menahan kemarahan tiada ubahnya menahan larinya kuda liar yang berlari kencang. Dan hanya seorang deruki-lah (kusir kereta perang) yang mampu melakukan itu, seorang kusir kereta perang yang telah berpengalaman. Dan ketika ia mengangguk dan tersenyum-senyum mengulangi ayat-ayat suci ini, dengan begitu ia dapat melupakan kemarahan dan sakit hatinya mendadak terdengar kekeh dan tawa seseorang.

"Hi-hik, calon pendeta, tapi tidak berpotongan pendeta. Hei, suaramu empuk, anak muda. Aku jadi tertarik kepadąmu dan mari ikut sebentar denganku!”

Bau harum dan pakaian wanita meyambar. Peng Houw sedang enak-enaknya menghapal kitab suci ketika mendadak tubuhnya dicengkeram dan ditarik seseorang. Dan ketika ia tersentak dan otomatis bergerak, menghentikan berliam-kengnya maka seorang wanita cantik sudah menyambar dan membawanya terbang ke tempat pertapaan Ji Leng Hwesio.

"Hi-hik, tampan dan gagah, bukan hwesio muda. Aihh, aku suka kepadamu, anak muda. Tapi daripada sendirian di situ antarlah aku ke bukit itu dan nanti kuberi sesuatu yang tak bakal kau lupakan seumur hidup!"

Peng Houw tertegun. Dia sudah mau meronta dan melepaskan diri ketika tiba-tiba ia melihat siapa penyambarnya ini, seorang wanita cantik berusia empat puluhan tahun tapi mata dan bibirnya membayangkan kecabulan hebat, tertawa-tawa dan membawanya terbang ke bukit sementara harum wanita itupun semakin menyengat. Di malam dingin dan di kesunyian itu sungguh dapat menggerakkan gairah seorang pria berdekatan dengan wanita secantik ini, apalagi rambut wanita itu berkibar-kibar melempar bau memabokkan menyabet muka.

Tapi Peng Houw yang tentu saja bukan bangsa laki-laki hidung belang di mana dia membentak dan akhirnya melepaskan diri maka cengkeraman wanita itu yang disentak dan lolos bagai belut membuat wanita ini berseru tertahan dan menghentikan larinya, Peng Houw sudah berdiri tegak dan bersinar-sinar. Tidak tertarik oleh kecantikan atau gaya genit wanita ini.

"Kwi-bo, kau wanita liar. Ada apa datang di Go-bi dan bagaimana kau tiba-tiba muncul. Mana Coa-ong atau teman-temanmu yang lain?”

“Eh!" wanita itu terbelalak, rasa herannya menindas rasa marah. "Kau tahu siapa aku? Kau dapat mengenali aku?"

"Seribu tahunpun tak mungkin lupa!" Peng Houw membentak, tentu saja tahu wanita ini, sekarang sudah hilang kaget dan rasa tertegunnya. “Kau adalah siluman wanita yang dulu memberi ang-sio-bak itu, Kwi-bo. Dan sekarang kau muncul lagi di sini. Keparat, apa yang hendak kau lakukan?"

Kwi-bo, si cantik ini bengong. Ia tentu saja lupa kepada Peng Houw yang sudah enam tahun tak dijumpai. Dulu, pemuda ini masih merupakan seorang anak laki-laki yang kebocah-bocahan dan tak dipandang sebelah mata. Kini Peng Houw telah dewasa dan perobahan anak itupun tak diketahuinya. Maka mendengar Peng Houw bicara tentang ang-sio- bak dan ia terkejut serta heran, siapa pemuda ini maka ia terkekeh dan mengamat-amati dengan tajam, ia mulai dapat mengingat sepasang mata Peng Houw namun lupa kapan dan di mana.

"Eh, kau ini siapa. Aku serasa mengenal matamu yang tajam dan pemberani ini. Tapi aku lupa. Siapa kau dan bagaimana mengenal aku?"

"Aku adalah Peng Houw!" Peng Houw membentak, matanya bersinar-sinar. “Dulu kau mempermainkan Chi Koan dan aku, Kwi-bo. Kau memberikan ang-sio-bak laknat itu hingga Go-bi geger. Nah, apa maksudmu datang ke sini dan mau apa hendak ke tempat pertapaan Ji Leng lo-suhu?"

“Hi-hik, heh-heh..... kau... kau Peng Houw? Astaga, segagah dan setampan ini kau sekarang, Peng Houw? Aduh, pangling aku. Aiihh, kau ganteng dan menakjubkan!" Kwi-bo teringat dan sekarang tertawa berseri-seri, maju dan langsung memegang tangan Peng Houw.

Tapi tentu saja Peng Houw mundur dan menolak. Bersentuhan dengan wanita ini seolah bersentuhan dengan seekor ular. Peng Houw jijik! Dan ketika ia berkelit dan lawanpun terkejut, membelalakkan mata maka Peng Houw berkata dingin dengan suara ditekan, "Kwi-bo, kau adalah iblis wanita yang selalu membuat rusuh. Kabarnya kau telah mampus dan tewas di jurang, tapi tiba-tiba kini kau hidup dan muncul lagi. Hm, menyerahlah dan baik-baik turuti nasihatku, Kwi-bo. Kau berhutang banyak dosa kepada Go-bi. Mari, kuantar menghadap pimpinan Go-bi dan berikan tanganmu!"

Kwi-bo tiba-tiba terpingkal-pingkal. Peng Houw, yang dulu dilihatnya sebagai bocah laki-laki biasa itu mendadak kini sudah berangkat dewasa dan mau menangkapnya pula. Keberanian dan kegagahan pemuda ini masih tampak, jelas. Tapi tentu saja tak memandang sebelah mata dan geli oleh permintaan pemuda itu maka wanita ini mengangguk dan menjulurkan tangannya, berkata, "Boleh, kau boleh tangkap dan ikat tanganku, Peng Houw. Mari, bawalah aku ke pimpinan Go-bi itu!"

Peng Houw terheran. Tak disangkanya begitu mudah wanita ini dibentaknya. Tapi bergerak dan menyambar tangan itu tentu saja ia langsung hendak menangkap dan menelikung, tidak tahunya lawan terkekeh dan tangan yang hendak ditangkap itu sudah memutar dan bergerak ke atas. Dan ketika Peng Houw terkejut dan berseru keras maka totokan ujung jari menyambar bawah rahangnya.

"Peng Houw, kaulah yang harus kurobohkan dan kutangkap!"

Peng Houw berkelit. Ia tak mengira ditipu karen kesederhanaan pikirannya tak membayangkan yang lain-lain. Jari tangannya yang hendak menangkap malah sekarang ditangkap. Tapi Peng Houw yang tentu saja marah dan mengelak sudah membentak dan menangkis tangan wanita itu.

“Duk!”

Kwi-bo tergetar. Peng Houw, bocah yang dulu ditangkap dan dipermainkannya itu tiba-tiba dapat mengelak dan menangkis serangannya. Bahkan, ia tergetar! Tapi terkekeh dan menyambar lagi mendadak wanita ini berkelebat dan mainkan kedua tangannya dengan cepat dan bertubi-tubi. Gelang di tangannya berkerincing nyaring. Dan Peng Houw sibuk. 

Namun dengan Soan-hoan-ciang yang dimiliki, Kibasan Angin Taufan ia pun mundur dan bergerak ke sana ke mari mengikuti gerakan wanita itu. Peng Houw menangkis dan Kwi-bo selalu terpental. Inilah mengejutkan. Dan ketika wanita itu melengking dan menjeletarkan rambutnya, melecut dan meledak-ledak maka Kwi-bo sudah mengelilingi Peng Houw dengan serangan-serangan cepat yang amat berbahaya.

"Bagus, kiranya kau berkepandaian, bocah. Tapi tak mungkin kau mengalahkan aku dan lihat aku akan merobohkanmu..... tar-tar!”

Peng Houw kalah cepat. Ia kalah pengalaman dan lawanpun beragam ilmunya. Kwi-bo berkelebatan naik turun sementara rambutnya pecah menjadi puluhan di mana semuanya itu menyambar Peng Houw dari segala penjuru. Dan karena dua tangan wanita itu cukup berbahaya dan Peng Houw sibuk melayani ini, tak mungkin memperhatikan semua rambut itu maka dua atau tiga kali ia terkena lecutan juga.

Lecutan ini bukan sembarang lecutan melainkan semacam totokan bahkan tusukan. Biasanya, dengan ujung rambutnya itu Kwi-bo berhasil merobohkan lawan, menotok sekaligus melukai. Tapi ketika rambutnya mental dan dari pundak atau leher pemuda itu muncul tenaga tolak yang kuat sehingga rambut bahkan membalik dan melecut mukanya sendiri maka Kwi-bo kaget dan membelalakkan mata.

“Eh-eh, kau punya ilmu kebal? Tulang dan dagingmu atos?”

“Hm,” Peng Houw tak menyadari usapan Sian- ji-kang, terus bergerak ke sana ke mari mengelak dan menangkis. "Ilmu kebal aku tak punya, Kwi-bo. Tapi ilmu silat tentu saja membuat kulit dan tubuhku kuat. Kau banyak bicara dan cerewet!"

Kwi-bo melengking-lengking. Peng Houw, bocah yang enam tahu lalu tak bisa apa-apa dan mudah dipermainkannya itu kini terlihat cekatan dan lincah. Tenaganya kuat dan ujung rambut yang menotok juga terpental. Aneh, dia mengira kurang kuat dan karena itu membentak dan mempercepat gerakan serta ledakan rambutnya pula. Dan ketika Peng Houw tampak kewalahan dan sibuk menghalau hujan rambut, kini Kwi-bo menekankan serangannya pada rambutnya itu mendadak tangan kanannya mencengkeram dan Peng Houw yang lebih memusatkan perhatian pada rambut wanita itu tiba-tiba dicengkeram pundaknya.

“Kretek!” dan.... jari-jari wanita itu sendiri yang serasa patah. Kwi-bo mengerahkan sinkangnya dan ingin secara langsung meremukkan pemuda itu ia tak mengandalkan rambutnya lagi. Dipikirnya rambutnya kurang kuat dan biarlah tangannya yang kini mencoba. Tapi begitu tulang pundak itu menggetar seperti papan baja, liat dan mengeluarkan tenaga dahsyat maka wanita ini melepaskan diri dan menjerit.

“Aiihhhh....!” Kwi-bo melempar tubuh bergulingan. Wanita itu pucat karena sekarang ia membuktikan sendiri tenaga tolak yang amat hebat itu. Dari tulang dan daging pemuda itu keluar semacam sinkang mujijat yang akan membuat jari-jarinya patah kalau tidak cepat dilepaskan. Ia kaget bukan main. Dan ketika Kwi-bo meloncat bangun dan Peng Houw juga bernapas lega tak didesak lagi, wanita itu menggigil maka Kwi-bo menuding dan mendesis, “Bocah setan, kau... kau memiliki ilmu apa? Ilmu siluman apa yang kau keluarkan tadi?”

Peng Houw mengerutkan kening. Melihat dan mendengar kata-kata wanita ini segera ia teringat kejadian siang tadi, betapa ia dibacok dan tak mempan. Bahwa ia mendapat usapan Sian-ji-kang dan inilah agaknya yang membuat lawan jerih. Tadi ketika dicengkeram otomatis tenaga Sian-ji-kang itu bekerja, mendahului sinkangnya sendiri dan Kwi-bo tentu saja terkejut. Tenaga itu adalah warisan Ji Leng Hwesio yang sakti, tentu saja hebat! Dan ketika ia tertawa dan teringat ini, maju berkelebat maka Peng Houw tak menjawab melainkan menyerang dengan Soan-hoan- ciangnya itu.

"Sekarang tak perlu bengong melulu. Kau sudah melihat kehebatanku, Kwi-bo, menyerah dan jangan banyak bicara lagi!”

Wanita ini mengelak. Ia melengking dan marah namun Peng Houw mengejar. Kwi-bo jerih karena dihajar sekuat apapun tetap saja lawan tak bergeming. Maka ketika ia dikejar dan Peng Houw mendesaknya tentu saja wanita itu menangkis dan membentak. Tapi ia terpelanting. Dari lengan Peng Houw keluar tenaga yang aneh itu, menderu dan mengejarnya lagi dan pucatlah wanita ini oleh pukulan Peng Houw. Dan ketika ia menjerit dan melempar tubuh bergulingan maka Kwi-bo memekik dan meloncat bangun melarikan diri.

"Bocah siluman, ilmu kepandaianmu biasa- biasa. Tapi tenagamu seperti iblis. Keparat, lain kali saja kita ketemu!”

“Hm,” Peng Houw mendengus. “Kau sudah di sini, Kwi-bo. Jangan lari. Serahkan dirimu dulu!”

Namun wanita itu bergerak cepat. Ia memutar dan menyelinap di balik patung-patung batu dan berusaha keluar meninggalkan Peng Houw. Namun karena pekikan dan ribut-ribut itu mengundang hwesio-hwesio Go-bi, Ji-hwesio dan sutenya berkelebatan keluar maka wanita ini terkejut dan dihadang. Dan dua hwesio itupun tertegun.

“Eh, Kwi-bo...!”

Wanita itu terkekeh. Sama seperti Peng Houw maka mula-mula dua hwesio itu terbelalak dan terkejut melihatnya. Ia dikabarkan tewas namun tiba-tiba muncul di Go-bi, malam-malam pula. Dan karena mereka tertegun dan saat itu digunakan iblis wanita ini untuk menerjang maka rambutnya menjeletar sementara kedua tangannyapun melepas pukulan.

"Minggir.... des-dess!”

Ji-hwesio dan Sam-hwesio terhuyung. Mereka menangkis tapi kalah kuat, terdorong namun wanita itu meneruskan larinya namun hwesio- hwesio lain muncul. Dan ketika di sana Giok Kee Cinjin juga keluar dan Peng Houw berteriak-teriak pada gurunya maka wanita itu mengumpat dan tiba-tiba merobek bajunya, berlari sambil telanjang, satu demi satu pakaiannya dilepas, terkekeh.

"Hi-hik, bagus. Ayo kalian kejar dan main-main dengan aku, hwesio-hwesio busuk. Lihatlah lekuk-lengkung tubuhku dan mari sama-sama menari!”

Hwesio-hwesio Go-bi terkejut. Wanita itu sudah melepas semua pakaiannya dan sebentar kemudian berlarian sambil melenggang-lenggok. Ia tidak sekedar melenggang-lenggok melainkan menggerakkan rambut atau tangannya menampar. Setiap tamparan berarti maut. Dan ketika dua hwesio terperangkap dan melotot oleh tubuhnya, tak sadar bahwa Kwi-bo sedang mainkan Tarian Hantu Langitnya maka sambil berlari dan berlenggang-lenggok rambut dan tangan wanita itu mengenai pelipis lawan.

"Plak!”

Dua hwesio itu menjerit. Mereka terlempar dan bayangan tubuh indah terganti bayangan bola hitam. Bola itu pecah dan mereka tak ingat apa-apa lagi, tewas, pelipis mereka retak! Dan ketika hwesio yang lain terkejut dan wanita itu sudah bergerak dan melewati mereka, lari dan berjungkir balik keluar dari tembok Go-bi maka Giok Kee Cinjin yang tertegun dan berhenti tak mengejar terkejut dan merah mukanya.

“Dia.... dia Kwi-bo?"

“Benar,” Peng Houw berseru, sudah sampai di situ pula. "Kejar dan tangkap dia, suhu. Ia membunuh murid Go-bi!”

"Tapi wanita itu telanjang bulat. Pinto lelaki baik-baik. Eh, jangan sembrono, Peng Houw. Awas tarian Thian-mo-bunya dan hati-hati!”

"Boleh Peng Houw mengejar aku!" wanita itu terkekeh, tawanya di luar tembok tinggi. "Anak-anak muda seperti dia bersemangat melihat tubuh seorang wanita cantik, Giok Kee Cinjin. Biarkan dia dan jangan dihalangi!"

"Keparat!" Peng Houw jadi tertegun, merandek. "Kau iblis tak tahu malu, Kwi-bo. Siapa ingin melihat tubuh telanjangmu!”

"Hi-hik, siapa tahu. Pemuda macam kau suka malu-malu, Peng Houw. Ayo, jangan pura-pura dan kejarlah aku!”

Peng Houw mengutuk. Ia bingung dan marah tapi juga malu bercampur-aduk. Dua murid Go-bi tewas di situ gara-gara wanita itu. Tapi karena Kwi-bo telanjang bulat dan ini membuat lelaki baik-baik rikuh, gurunyapun rikuh dan tak mengejar maka Peng Houw membiarkan saja lawannya lenyap dan apa boleh buat hanya membanting kaki melepas jengkel. Malam itu gangguan kembali datang dan orang yang hendak beristirahat tak dapat tidur.

Murid yang menjadi korban diurus mayatnya dan Ji-hwesio maupun yang lain-lain marah, berjaga sampai pagi dan kedatangan Kwi-bo benar- benar mengejutkan. Siapa tahu enam dari Tujuh Siluman Langit yang lain muncul. Dan ketika Ji-hwesio bertanya bagaimana mula- mula Peng Houw bertemu wanita itu, diceritakan dan pimpinan Go-bi berdetak jantungnya maka Ji-hwesio memandang bukit di belakang bangunan luas itu, mendesah.

"Supek bertahun-tahun di sana, dan sekarang ketidakhadirannya rupanya sudah diketahui orang jahat. Aih, Bu-tek-cin-keng benar-benar membawa masalah, Sam-sute. Kita harus berjaga-jaga karena siapa tahu besok atau lusa Go-bi akan mulai lagi diserbu musuh, setelah enam tahun tenang!”

"Benar, dan aku heran bagaimana Kwi-bo dapat tahu-tahu muncul di sini, dan ia pun langsung ke sana. Ah, kata-katamu benar, suheng. Aku ingin agar supek segera datang. Tanpa dia tak mungkin kita bertahan. Mudah-mudahan dua tiga hari sudah benar-benar datang!"

"Tapi pinto ada di sini," Giok Kee ber sinar-sinar, menenangkan. "Biarpun pinto tak dapat menandingi orang semacam Tan Hoo Cinjin namun kalau hanya Kwi-bo atau teman- temannya tentu kita mampu, Ji-lo-suhu. Asal kita semua bergerak dan bersatu-padu tentu masalah dapat diatasi. Tenanglah, supek kalian tentu cepat datang!”

Namun Peng Houw berdebar tak enak. Ia tak merasakan ketenangan setelah kehadiran Kwi- bo tadi. Ada sesuatu yang memukul-mukulnya. Tapi karena ia tak berani mencampuri percakapan orang-orang tua, gurunya mengusulkan agar bukit tempat pertapaan itu dijaga lebih ketat maka dua hari kemudian timbul guncangan baru. Hadirnya Chi Koan!

* * * * * * * * *

Siang itu, di saat matahari tertutup mendung tebal dan Go-bi mulai mendapat kiriman hujan, kemarin sudah mulai diguyur dan langit tampak muram maka seorang pemuda melangkah masuk dengan wajah berseri-seri. Ia langsung melangkahi pintu gerbang dan murid-murid yang berjaga tertegun. Chi Koan, pemuda ini, datang dengan wajah gembira. Dan begitu ia masuk begitu pula kakinya menuju tempat pertapaan Ji Leng Hwesio.

Tentu saja para murid terkejut dan terbelalak. Seharusnya, paling tidak pemuda ini harus menemui paman-paman gurunya dahulu untuk memberi laporan. Bagaimana suhunya tak ikut dan kenapa sendirian pula. Mana sesepuh mereka Ji Leng Hwesio yang pergi menolong pemuda itu ke Heng-san. Apakah pemuda ini memang Chi Koan atau bukan. Dan ketika semua mata terbelalak karena sikap dan wajah pemuda itu mengherankan benar, seorang murid berseru dan mengejar maka Chi Koan dihadang. Ia menyebut suheng kepada pemuda ini, karena meskipun jauh lebih muda tetapi Chi Koan adalah murid ketua Go-bi, Beng Kong Hwesio yang amat lihai.

“Chi Koan-suheng, berhenti dulu. Kenapa tidak menghadap para susiok dulu dan hendak ke bukit. Mana gurumu dan sukong Ji Leng Hwesio?"

“Hm, kau?” pemuda ini berhenti, tertawa dan tajam memandang hwesio itu, hwesio-hwesio yang lain segera berdatangan. “Aku hendak ke pertapaan kakek guruku, Sie Cek. Minggir dan jangan menghalang jalan!”

"Tapi kami baru mendapat musibah. Kedatanganmu ditunggu, begitu juga gurumu dan Ji Leng sukong!"

“Hm, ia tewas. Begitu pula suhu. Aku mendapat perintah untuk mengambil Bu-tek- cin-keng. Jangan kurang ajar berdíri di depanku!" "Ah, gurumu tewas? Dan sukong.... sukong...”

"Dia juga binasa!" Chi Koan mengibaskan lengan bajunya, hwesio itu mencelat dan berdebuk. "Minggir, tikus-tikus busuk. Nanti aku menghadap susiok tapi sekarang harus ke pertapaan itu dulu!"

Gegerlah murid-murid Go-bi. Lagak dan sikap Chi Koan yang sombong dan sering menyakitkan memang sudah lama mereka tahu. Tapi bahwa pemuda itu bersikap tak perduli dan acuh terhadap kematian gurunya, juga sesepuh Go-bi yang dua hari lalu mencari tau nasib pemuda ini di Heng-san membuat para murid tersentak dan kaget. Mereka dikibas dan roboh berpelantingan. Sie Cek, murid pertama tadi, bahkan menjerit dan patah tulang pundaknya menghantam kepala sebuah patung. Chi Koan sungguh sewenang- wenang.

Dan ketika mereka marah tapi juga gentar menghadapi pemuda ini, Chi Koan tertawa maka pemuda itu menjejakkan kakinya dan tiba-tiba meluncur ke depan, lewat samping perguruan. Pemuda itu sudah terbang dan cepat sekali menuju bukit di belakang bangunan. Namun karena bukit itu dijaga lebin ketat daripada biasanya dan bermunculan anak-anak murid Go-bi yang lain maka Chi Koan terkejut juga melihat hwesio-hwesio ini. Dan merekapun berteriak.

“Chi Koan, berhenti!"

“Chi Koan, jangan memasuki daerah larangan!”

Pemuda itu terbelalak. Tiba-tiba matanya memancar keji dan bergeraklah dia melepas Cui-pek-po-kian. Ilmu Menggempur Tembok itu didorongkannya ke para hwesio yang menghadang dan kontan saja mereka roboh terlempar. Jerit dan pekik kaget terdengar di sini. Dan ketika Chi Koan terbahak dan berkelebat dengan Lui-thian-to-jitnya, Kilat Menyambar Matahari maka sebentar saja ia sudah melewati pagar kawat dan tanpa ba-bi- bu lagi masuk ke dalam guha pertapaan.

Saat itu tak ada yang menduga kedatangan pemuda ini. Siapa sangka bahwa Chi Koan tiba-tiba muncul dan membuat onar di tempat sendiri. Tapi karena tempat itu memang tempat keramat dan para hwesio berlarian mengejar, jatuh dan bangkit lagi maka genta tanda bahaya dipukul dan seringnya bahaya mengancam Go-bi membuat murid-murid bersigap diri begitu ada kegaduhan. Dan demikian pula dengan kedatangan Chi Koan ini. Meskipun ia ditakuti dan merupakan murid tunggal Beng Kong Hwesio namun kali itu yang dimasukinya adalah pertapaan sesepuh Go-bi.

Pemuda itu boleh kurang ajar tapi jangan sampai melakukan yang begini. Dan ketika genta dan tanda bahaya dipukul bertalu-talu dan semua menuding bukit itu, Chi Koan sudah memasuki guha dan lenyap di dalam maka Ji- hwesio dan adik-adiknya yang terkejut dan melompat keluar segera terbang ke tempat itu. Dan wajah mereka berubah pucat dan merah mendengar tindak-tanduk Chi Koan, begitu pula kabar kematian Beng Kong Hwesio atau sesepuh mereka.

"Bohong! Siapa bilang supek tewas? Beng Kong-suheng boleh mampus, Siauw-hong. Tapi tak mungkin sesepuh kita binasa. Mana Chi Koan si biang keributan itu?”

"Ia menuju bukit keramat. Kami dikibas dan dipukul roboh. Dia.... dia....”

Hwesio muda itu jatuh terjengkang. Ji-hwesio dan Sam-hwesio terkejut mendengar ini dan sudah terbang ke tempat itu. Mereka kaget sekali bahwa begitu lancangnya anak itu ke tempat pertapaan keramat, padahal siapapun tahu tak boleh ada yang masuk kecuali dengan ijin. Dan karena sesepuh mereka sedang pergi dan tempat itu kosong, merekalah yang bertanggung jawab maka Ji-hwesio dan sutenya pucat melihat jejak tapak kaki membekas di tanah berlempung. Kemarin hujan turun membuat daerah itu becek.

“Dia... dia sudah masuk ke dalam. Chi Koan telah memasuki guha!”

Dua hwesio ini terpaku. Mereka sudah di luar pagar kawat dan membentak memberi aba-aba mendadak mereka berjungkir balik melewati pagar kawat itu. Para murid disuruh menyusul dan berhamburanlah hwesio-hwesio Go-bi menuju guha. Yang merasa tak sabar segera memotong kawat berduri itu dan berlarian masuk. Dan ketika semua mendaki bukit dan Ji-hwesio serta adiknya berkelebatan di depan maka muncullah Su-hwesio dan Giok Kee Cinjin serta Peng Houw.

Waktu itu, guru dan murid ini berada di pendopo tengah. Giok Kee mengerutkan alis mendengar ribut-ribut itu. Tapi ketika Su- hwesio berkelebat di samping mereka dan berseru bahwą Chi Koan datang, membawa kabar buruk maka Giok Kee bergerak dan Peng Houw pun meloncat dan berkelebat mengikuti gurunya.

"Beng Kong suheng dan supek katanya tewas. Tapi anak itu sekarang menuju ke bukit keramat. Tolong, bantu kami, Giok Kee totiang. Kami semua tak mungkin dapat menang tanpa menimbulkan banyak korban jiwa!”

“Chi Koan? Bocah kurang ajar itu?"

“Benar, tapi mari kita kejar. Pinceng mendengar dia sudah ke atas bukit dan Ji-suheng serta Sam-suheng tentu sudah mendahului!"

Giok Kee dan Peng Houw mengerahkan ilmu lari cepat mereka. Peng Houw, yang berdetak mendengar datangnya Chi Koan tiba-tiba berdegup jantungnya. Sudah lama ia tak bertemu lawan mainnya itu dan kini tiba-tiba dikabarkan Chi Koan menuju bukit. Siapapun tahu bahwa bukit itu adalah tempat keramat. Enam tujuh tahun yang lalupun dia dan Chi Koan juga sama-sama tahu bahwa bukit itu tak boleh didatangi manusia. Biarpun murid-murid Go-bi sendiri kalau tidak ada ijin tak boleh masuk, atau mereka mendapat hukuman keras dan jangan harap mendapat ampun.

Maka ketika di sepanjang jalan ia mendengar betapa Chi Koan masuk dan melanggar daerah larangan, keberanian pemuda itu memang sudah dikenal tapi kali ini agaknya kelewatan, Chi Koan menginjak-injak peraturan partai maka Peng Houw sudah melihat tiga ratus anak murid Go-bi berlarian ke puncak. Mereka sudah mendapat ijin dari pimpinan dan Ji- hwesio yang rupanya perlu mengerahkan anak murid untuk menghadapi Chi Koan tak mau berpikir panjang lagi. Dia sendiri tak mungkin kuat dan hanya dengan bantuan sebanyak-banyaknya sajalah dia dapat mengancam pemuda itu.

Dan ketika Peng Houw juga sudah tiba di sini dan bersama gurunya naik ke atas, berkelebat dan melewati murid-murid Go-bi maka di sana Ji-hwesio sudah berdiri di luar guha membentak dengan suaranya yang mengguntur, kewibawaannya sebagai paman guru dipergunakan.

“Chi Koan, kau murid durhaka. Keluarlah dan kenapa kau memasuki daerah larangan. Tidak tahukah kau bahwa tempat ini tak boleh dimasuki siapapun?"

“Ha-ha," terdengar jawaban. "Tak usah berkaok-kaok, ji-susiok. Aku ke sini atas perintah sukong. Siapa takut kepadamu dan kenapa kau mengancam aku!”

Dua hwesio pimpinan itu merah padam. Chi Koan berkelebat dari dalam dan sebuah bungkusan kain kuning berada di tangannya. Melihat bentuknya seperti sebuah kitab, atau sejenis itu karena Chi Koan juga memperlakukannya hati-hati. Dan karena semua tahu ada Bu-tek-cin-keng yang menjadi berita santer sedunia, tentu kitab itulah yang dibawa Chi Koan maka Ji-hwesio berkelebat dan saat itu semua murid sudah tiba di atas, mengepung, jumlahnya tiga ratus lebih sedikit ditambah Giok Kee Cinjin dan Peng Houw, juga Su-hwesio atau hwesio keempat dari Pat-kwa- hwesio yang masih tinggal.

“Kau... kau mencuri kitab?” Ji-hwesio menggigil, langsung memandang bungkusan kuning itu. “Keparat, kau berdalih yang tidak- tidak, Chi Koan. Kau mencuri milik sesepuh Go-bi. Kembalikan dan mana guru atau supek kami!"

“Ha-ha,” Chi Koan belum melihat bayangan Peng Houw. "Suhu dan sukong tewas terkubur guha, susiok. Tapi aku mendapat perintah untuk menyelamatkan kitab ini. Aku tidak mencuri!"

"Itu Bu-tek-cin-keng!"

“Benar, dan kau melotot melihat benda ini. Hm," Chi Koan tertawa mengejek, sama sekali tak takut. “Aku hendak membawa kitab ini turun ke bawah, susiok. Minggir dan beri aku jalan."

“Keparat, pinceng sendiri tak pernah memasuki tempat ini tanpa ijin. Tapi kau begitu enak dan sewenang-wenang. Heh, apa buktinya kau mendapat perintah, Chi Koan. Katakan kepada pinceng dan semua murid-murid Go-bi agar percaya. Atau kau kuanggap bohong dan berita yang kau bawa tak dapat kami terima!”

"Heh-heh, buktinya adalah ini. Bahwa aku murid Beng Kong guruku dan cucu langsung dari sesepuh Go-bi. Ji Leng sukong tak sempat menuliskan surat atau apapun tentang perintah ini, susiok, karena ia tewas dan terkubur hidup-hidup di Heng-san. Kalau tidak percaya sebaiknya kau ke Heng-san dan selidiki itu!"

"Dan kau mau pergi?"

"Aku hanya mau menyelamatkan kitab ini. Di sini sudah tidak aman. Sukong memerintahkan agar memindahkannya dari sini!”

“Tidak mungkin!" Ji-hwesio membentak, suaranya menggelegar. "Kalau benar begitu maka ada wasiat yang harus kau bawa, Chi Koan. Atau kau letakkan kitab itu dan tunggu sampai kami menyelidiki ini. Kami akan ke Heng-san!"

"Eh, kau tidak percaya kepadaku? Baik, terimalah ini, ji-susiok. Tapi hati-hati kalau terlalu berat.... wuuttt!"

Kitab kuning menyambar dadanya, membuat hwesio ini terkejut dan cepat mengelak dan kitab menghantam seorang murid di belakang. Terdengar teriakan ngeri ketika murid itu roboh. Dadanya melesak dan kitabpun tertinggal di situ. Dan ketika semua terkejut dan Chi Koan tertawa bergelak maka pemuda itu meloncat dan dengan Lui-thian-to-jitnya yang luar biasa ia telah lewat di sisi dua susioknya dan menyambar kembali kitab itu, terbang ke bawah bukit.

“Ha-ha, kau tak mau diberi, ji-susiok. Baiklah, aku pergi, kusimpan dulu kitab ini!”

Namun dua bentakan terdengar di kiri kanan. Giok Kee Cinjin, dan Peng Houw, yang bergerak dan tak dapat menahan diri akhirnya melepas Soan-hoan-ciang dan Chi Koan terkejut melihat pukulan yang bukan berasal dari Go-bi ini. Ia mengelak tapi pukulan itu mengikutinya. Dan ketika ia menangkis dan Giok Kee maupun muridnya terpental, Chi Koan terhuyung dan berhenti sejenak maka murid-murid Go-bi ber-hamburan dan Ji-hwesio berseru keras agar semua mengepung dan menangkap pemuda itu. Kini gangguan datang dari seorang murid sendiri, murid Go-bi yang murtad!

"Chi Koan, kau terlalu. Sikapmu tergesa-gesa seolah maling takut dikejar pemiliknya!"

Chi Koan terkejut. Ia sudah diserang dan dihujani tusukan atau kemplangan toya. Peng Houw, yang berjungkir balik dan terpental oleh tangkisan Chi Koan berseru marah. Dialah yang memaki dan membentak pemuda itu. Peng Houw kagum tapi juga penasaran akan sikap Chi Koan ini. Chi Koan semakin gagah dan tampan tapi juga kurang ajar. Kenakalannya kali ini keterlaluan. Dan ketika ia berseru keras sementara Ji-hwesio dan sutenya juga menerjang ke depan, Chi Koan telah membunuh seorang murid meskipun tanpa sengaja maka Giok Kee juga membentak dan melepas Soan-hoan-ciangnya lagi. Pemuda itu sudah dikepung.

"Bocah, kau tak tahu budi. Beginikah balasmu terhadap Go-bi?”

Chi Koan sibuk. Ia marah dan memutar satu tangannya untuk melepas Cui-pek-po-kian. Tapi karena musuh terlalu banyak dan bungkusan kuning itupun harus diselamatkannya baik-baik, ia memandang Peng Houw dan terheran serta kaget, seakan ingat tapi pangling maka pukulan bertubi-tubi diterimanya tapi tak satupun yang membuat pemuda itu roboh....