Prahara Di Gurun Gobi Jilid 18 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Serial Prahara Di Gurun Gobi Karya Batara

SIN GWAN TOJIN menyerahkan surat panjang beramplop tebal. Dia tak perduli wajah berubah dari tiga hwesio di atas pendopo ini, juga hwesio-hwesio lain.

Pat-hwesio yang hendak menyimpan masalah itu tiba-tiba ditelanjangi. Suara tosu itu bergetar dan masuk sampai jauh ke dalam, tembus. Suaranya penuh getaran khikang dahsyat dan inilah pameran tenaga sakti. Dan ketika ia terbelalak sementara dua saudaranya di kiri kanan terkejut, tosu itu menyerahkan surat maka berkelebatlah bayangan dan seorang hwesio tinggi besar muncul, matanya melotot lebar dan tahu-tahu sudah di depan Sin Gwan Tojin dan sute-sutenya ini.

"Siapa yang mencari pinceng. Ada apa dengan murid pinceng Chi Koan?"

Sin Gwan Tojin dan empat sutenya terkejut. Meskipun Sin Gwan telah pernah bertemu hwesio ini dan tahu siapa Beng Kong Hwesio namun mau tak mau ia tergetar dan mundur setindak. Empat sutenya, yang baru kali ini bertemu dan melihat Beng Kong Hwesio tiba- tiba tersentak dan mundur dua tindak. Perbawa atau pengaruh hwesio itu besar sekali. 

Baru sekarang inilah mereka berhadapan dengan orang yang dicari-cari, Beng Kong yang telah mengalahkan supek mereka Siang Kek maupun Siang Lam Cinjin. Dan karena hwesio itu juga mengerahkan tenaga saktinya ketika muncul, menandingi dan bahkan menindih suara suheng mereka Sin Gwan Tojin maka empat tosu Heng-san terkejut dan berubah wajah mereka. Pucat!

Wajah dan bentuk tubuh Beng Kong Hwesio memang luar biasa. Hwesio ini seperti raksasa di antara sekalian hwesio-hwesio Go-bi, tubuhnya bak gunung dengan leher beton yang kuat, tanda seorang ahli silat gwakang maupun lweekang dan tentu saja empat orang itu berubah. Tapi ketika suheng mereka batuk-batuk dan menenangkan keadaan, kehadiran Beng Kong Hwesio memang menggetarkan maka tosu itu coba menenangkan saudara-saudaranya dengan membungkuk dan menjawab pertanyaan hwesio ini.

“Siancai, pinto yang mencari dan ingin bertemu denganmu, Beng Kong lo-suhu. Pinto datang sebagai utusan Heng-san untuk memberi tahu sesuatu kepadamu. Muridmu berada di sana, mengacau dan ditangkap supek kami Siang Kek Cinjin. Kalau kau mau datang dan membebaskannya maka silahkan datang dan bebaskanlah muridmu."

“Hm, kau siapa?"

"Pinto Sin Gwan Tojin...”

"Yang bersuara nyaring tadi?" pertanyaan itu cepat, memotong jawaban.

"Benar, pinto yang bersuara nyaring tadi. Sengaja bersuara sedikit keras agar didengar lo-suhu karena seorang murid berkata bahwa ketuanya tak ada di tempat.”

"Hm!" suara atau pandang mata hwesio ini tajam berkilat-kilat, mencorong. "Dan kau mengantar surat? Berikan, biar kubaca!"

Bentakan terakhir itu ditujukan kepada Pat-hwesio yang menerima surat. Sebenarnya hwesio ini hendak menyimpan surat itu tapi sang ketua terlanjur muncul. Beng Kong marah memandangnya karena surat tak cepat-cepat diberikan. Dan karena memandang rendah utusan ini, tak tahu bahwa sang utusan adalah wakil ketua Heng-san sendiri, kepandaiannya sudah tinggi maka Beng Kong merobek dan langsung membaca surat itu. Dan begitu membaca iapun mendelik.

"Keparat, kurang ajar jahanam. Berani benar Siang Kek Cinjin menawan murid pinceng dan kini menantang menyuruh datang. Eh, siapa takut? Baik, katakan kepada sesepuhmu bahwa aku akan datang, tosu busuk. Dan kau tak perlu lagi lama-lama di sini. Pergilah!"

Beng Kong mengebutkan lengan dan serangkum angin menyambar dahsyat ke arah Sin Gwan Tojin dan empat sutenya itu. Surat tantangan telah diberikan dan Beng Kong yang berwatak pemarah menjadi gusar. Ia memaki dan melayangkan pukulannya. Dan karena Sin Gwan berada paling depan dan tentu saja tosu ini tak mau celaka, kebetulan iapun ingin menjajal kehebatan hwesio ini maka Sin Gwan menangkis dan di belakangnya empat sutenya juga berseru keras menghalau angin kebutan itu.

"Bress!”

Mereka semua terlempar. Empat tosu di belakang Sin Gwan malah menjerit dan mereka terbanting muntah darah. Mereka tak tahu bahwa Beng Kong Hwesio mengerahkan ilmunya Hok-te Sin-kun, tadi sekedar mengebut tapi begitu ditangkis tiba-tiba ia menjadi marah, menambah tenaganya dan Sin Gwan yang kaget merasa betapa angin pukulannya membalik tiba-tiba melempar tubuh dan bergulingan. Sute-sutenya terlalu sembrono dengan menghalau dan menolak sambaran hwesio itu dengan pengerahan tenaga sekuatnya. Maksud mereka hendak mementalkan hwesio itu paling tidak membuatnya terhuyung.

Tapi begitu mereka terlempar karena yang dihadapi adalah Hok-te Sin-kun, pukulan Penakluk Dunia maka mereka menjerit dan terbanting muntah darah. Mereka belum pernah menyaksikan kehebatan hwesio ini, lain dengan Sin Gwan yang pernah dan tahu kelihaian hwesio itu. Maka begitu merasa tak kuat dan terus melempar tubuh bergulingan, tidak seperti keempat sutenya yang mencoba bertahan dan nekat menambah tenaga maka Hok-te Sin-kun menghantam mereka dan pukulan atau tangkisan mereka yang membalik membuat empat tosu itu luka dalam. Dan mereka seketika kaget dan pucat serta merintih-rintih.

“Huakk!” Darah segar kembali terlontak. Mereka berempat tumpang-tindih tapi Sin Gwan Tojin sudah berseru keras mengebutkan bendera putihnya. Ia berteriak bahwa mereka hanyalah utusan dan tak pantaslah seorang ketua menyerang mereka, apalagi ketua Go-bi yang dimalui dan ternama. Dan ketika Beng Kong tertawa bergelak dan membiarkan tosu itu menotok keempat saudaranya, cepat mengeluarkan obat penawar dan menolong saudaranya maka Beng Kong berseru agar mereka minggat.

“Salah kalian sendiri, kenapa melawan. Hayo, pergi dan enyahlah dari Go-bi. Pinceng akan melayani surat tantangan ini!”

Sin Gwan dan adik-adiknya pucat. Kalau saja tak melihat kepandaian hwesio itu barangkali tosu ini akan bergerak dan melakukan perlawanan. Tapi dia telah merasakan kehebatan Beng Kong Hwesio. Dengan sekali kebutannya saja masih juga dia terlempar, padahal dia telah menambah ilmu kepandaiannya enam tahun ini. Dan karena bukan pula tugasnya menghadapi hwesio itu, hwesio ini dipersiapkan untuk supeknya di sana maka selesai menolong keempat sutenya tosu inipun bangkit berdiri dan menjura, diam-diam ngeri juga melihat kesaktian lawan. Beng Kong Hwesio benar-benar kosen!

"Lo-suhu, tugas kami telah selesai dan biarlah kami mohon diri. Kami akan pulang dan melapor kepada ketua dan supek kami.”

"Ha-ha, pulanglah, pergilah. Lebih cepat lebih baik. Siapa tahu nanti tak keburu dan kalian pulang tinggal nama. Enyahlah!”

Sin Gwan Tojin menahan kemendongkolannya. Tidak dulu tidak sekarang masih juga hwesio ini menunjukkan kesombongannya yang besar, congkak! Tapi karena dia tahu diri dan sekali bukan tugasnya untuk menghadapi hwesio ini, dia hanya utusan dan harus pulang sebagai utusan maka dia mengangguk dan pergi meninggalkan tempat itu. Dan begitu ia pergi begitu pula Beng Kong Hwesio menghadapi tiga adik seperguruannya ini.

“Sute, kenapa kalian menyembunyikan ini. Kenapa tidak segera memberi tahu pinceng dan keluar sendiri. Apakah kalian sanggup menolong Chi Koan kalau sampai terjadi apa-apa?"

"Maaf," Liok-hwesio yang kali ini bicara, mewakili dua adiknya. "Bukan maksud kami untuk meninggalkan dirimu, suheng. Melainkan semata karena kami pikir tak pantaslah kalau suheng turun tangan langsung. Apalah gunanya kami kalau semua urusan harus kau tangani, apalagi hanya menyambut utusan. Maafkan kalau kami telah membuat kekeliruan."

"Hm!" hwesio itu mereda kemarahannya, tak tahu bahwa Liok-hwesio melindungi saudara- saudaranya. "Begitukah? Baik, kalau begitu benar, sute. Tapi sekarang kalian harus menjaga tempat ini karena pinceng akan ke Heng-san!"

"Suheng akan ke sana?"

“Kenapa tidak? Kalian tak mampu menolong Chi Koan, Siang Kek Cinjin keparat menangkapnya. Pinceng akan menghajar kakek itu!"

“Kalau begitu kami tahu diri, harap suheng berhati-hati namun sebaiknya kalau kepergian ini diberitahukan pula kepada empat suheng yang lain."

"Mereka datang!" hwesio itu berseru. "Itu mereka, sute. Lihat!”

Benar saja, empat dari Pat-kwa-hwesio yang lain muncul. Mereka adalah Ji-hwesio dan adik- adiknya sampai saudara kelima, keenam dan ketujuh sampai delapan sudah ada di situ. Dan ketika mereka berkelebat dan berdiri di situ maka mereka bertanya apa yang terjadi. Getaran suara dari Sin Gwan Tojin tadi sebenarnya memasuki telinga mereka pula.

"Utusan Heng-san datang, menyampaikan pesan dan tantangan kepada Beng Kong suheng. Chi Koan ditangkap di sana." Begitu Liok-hwesio memberi keterangan, mendahului adik-adiknya. Dan begitu mereka tertegun maka Ji-hwesio batuk-batuk.

"Begitukah?"

“Ya, dan sekarang Beng Kong suheng hendak ke sana, suheng. Kita diminta menjaga partai dan agaknya suheng mau berangkat.”

“Betul," hwesio tinggi besar ini langsung mengangguk. "Pinceng akan mengambil dan membebaskan murid pinceng, sute. Sekalian menghajar kakek tua bangka itu dan kalian hati-hatilah menjaga partai!"

"Suheng mau berangkat sekarang?" Ji-hwesio bertanya, alis semakin tebal berkerut. "Kalau begitu hati-hati, suheng. Dan maaf bahwa agaknya muridmu itu telah mulai membikin ulah. Omitohud, semoga tak berkepanjangan!"

Beng Kong Hwesio tertawa mengejek. Ia tentu saja tak menghiraukan kata-kata sutenya ini karena tahu sutenya tak ada yang cocok dengan muridnya. Kalaupun baik maka itupun hanya luarnya. Tapi karena ia tak perduli dan Chi Koan dapat menghadapi paman-paman gurunya ini, ia harus membebaskan dan cepat menolong muridnya maka hwesio itu berkata bahwa ia pergi. Dan begitu selesai bicara begitu pula ia lenyap dari depan adik-adik seperguruannya ini.

"Sute. pinceng tak mau berlama-lama. Jaga baik-baik tempat kita dan mungkin empat lima hari pinceng sudah pulang!"

Ji-hwesio mengangguk. Enam saudaranya yang lain diam saja dan satu sama lain berkerut alis. Mereka menahan marah karena lagi-lagi Chi Koan membuat ulah. Dan yang membuat hati panas, suheng mereka Beng Kong Hwesio itu begitu memperhatikan. Anak yang terlalu dimanja begini bakal besar kepala. Bakal sombong dan tinggi hati saja. 

Tapi karena itu urusan suheng mereka dan bukan mereka, lagi pula memang hanya suheng mereka itu saja yang dapat menyelesaikan, Siang Kek amatlah hebat dan dedengkot Heng-san itu tak ada tandingan maka begitu merangkapkan tangan merekapun lalu membalik dan bersenandung doa dengan suara lirih.

Tujuh hwesio ini tak bisa berbuat apa-apa namun Ji-hwesio, orang tertua, tiba-tiba merandek. Hwesio itu seakan mendengar keliningan dan tertegunlah dia. Tapi ketika suara itu hilang dan enam saudaranya yang lain heran, sejenak mereka juga mendengar keliningan itu namun lenyap maka hwesio ini berubah memandang enam adiknya.

"Kalian mendengar sesuatu?"

“Ya, keliningan....”

"Ada apakah?"

“Entahlah, tapi sudah tak ada lagi, suheng. Agaknya kebetulan tertiup angin.”

“Omitohud, mudah-mudahan betul begitu. Tapi pinceng tiba-tiba tak enak! Eh, kalian merasa sesuatu, sute?"

“Tidak.”

“Tapi aku berdebar," Sam-hwesio tiba-tiba tak nyaman. "Pinceng seakan menerima firasat tak baik tapi entahlah apa itu.”

"Benar," sang kakak berseru. "Pinceng juga begitu, sute. Omitohud, mari kita ke ruang sembahyang dan semua berdoa!"

Lima yang lain ikut-ikut tak enak. Mereka tertegun mendengar kata-kata dua suheng mereka ini. Maka bergegas dan berliam-keng (membaca doa) lirih mereka pun lalu masuk dan menuju ke ruang sembahyang. Dan begitu mereka bersila maka mendung di atas Go-bi memang tiba-tiba muncul!

* * * * * * * *

Ribuan pasang mata melihat berkelebatnya bayangan hwesio tinggi besar itu di atas gurun. Sin Gwan Tojin, dan empat sutenya yang sudah kembali di tempat rombongannya dan lewat jalan lain membuat Beng Kong Hwesio sedikit heran. Ia terbang di atas gurun namun lima utusan itu tak nampak. Sama sekali ia tak mengira bahwa para utusan itu sesungguhnya masih di sekitar Go-bi, bahkan bersembunyi dan siap bergerak dengan seribu anak-anak murid dua partai perkumpulan besar, menyerang dan menghancurkan Go-bi. Dan ketika ia mengerahkan ilmu lari cepatnya dan Lui-thian-to-jit membuat sepasang kaki hwesio ini tak menginjak tanah, semua kagum dan mendecak maka Tan Hoo Cinjin sendiri bersinar-sinar memuji hwesio itu, lawan berat yang bukan tandingannya.

"Hebat, ia benar-benar terbang di atas gurun. Lihat, dan kecepatannya luar biasa sekali. Aih, Beng Kong memang benar-benar manusia sakti, sute. Dan supek bakal menghadapi orang sehebat ini. Ah, pinto ngeri membayangkan akibatnya. Kita seolah memberi tumbal!"

“Hm,” Ko Pek Tojin dari Hoa-san mengangguk "Pinto juga mengagumi kepandaiannya, Cinjin. Dan sayang bahwa orang sehebat itu amatlah kejam dan berwatak sombong. Aneh bahwa Ji Leng Hwesio mempunyai murid seperti itu!"

"Dan Beng Kong sekarang mempunyai murid seperti pemuda bernama Chi Koan itu. Dan guru serta murid sama-sama sombong pula. Siancai, semoga pengorbanan Siang Kek locianpwe berguna bagi ketenteraman dunia!"

Pek-tosu, satu dari Tujuh Malaikat Hoa-san menggeleng dan menarik napas dalam-dalam. Dia memuji tapi juga menyayangkan. Dan ketika dia merangkapkan tangan menghargai pengorbanan sesepuh Heng-san, Sin Gwan dan suhengnya menitikkan air mata tiba-tiba dua orang itu mengepal tinju dan mendesis.

“Kami dari Heng-san memang siap mengorbankan apapun asal hwesio keparat itu dapat kami bunuh. Semoga pengorbanan supek tak sia-sia!"

"Dan sekarang," Ko Pek Tojin bertanya, "apakah langsung kita menyerbu, Cinjin? Atau menunggu sampai hwesio itu benar-benar menghilang?”

"Pinto rasa biar menunggu dulu sehari. Tak lari gunung dikejar," kali ini Pek-tosu berkata, mengemukakan pendapatnya. "Pinto khawatir siapa tahu hwesio itu belum jauh benar dan kembali ke Go-bi.”

“Benar," Tan Hoo mengangguk. "Pinto juga berpikir begitu, totiang. Lebih baik sabar sehari dan biarkan hwesio itu jauh dulu.”

"Tapi anak murid tak sabar!" Hek-tosu kali ini berseru, dialah tokoh yang paling berangasan di antara Tujuh Malaikat Hoa-san. "Pinto sendiripun sudah ingin menggebuk dan menghajar hwesio-hwesio sombong dari Go-bi, Cinjin. Apakah tak menunggu dua tiga jam saja lalu bergerak dan menyerang. Pinto ingin melihat kehancuran Go-bi!”

"Tidak," Tan Hoo Cinjin ternyata menggeleng. Pinto menetapkan biarlah besok pagi-pagi kita menyerbu, totiang. Beri kesempatan dulu kepada anak-anak murid kita mengaso sementara Beng Kong Hwesio sudah benar- benar jauh."

"Kalau begitu pinto harus menahan sabar," tosu ini menggedrukkan kakinya. "Baiklah, pinto bersabar dan biar besok menyerbu!"

Begitulah, mereka lalu menunggu dan melihat lenyapnya bayangan Beng Kong Hwesio di luar gurun. Beng Kong yang heran dan merasa ganjil tak menemukan lima orang utusan itu menganggap kemungkinan besar bersembunyi. Sebenarnya dia ingin melihat mereka lagi dan memberi pelajaran, paling tidak memotong telinga mereka sebagai pelampias marah.

Di Go-bi tak mungkin dia lakukan tapi di luar tentu hal ini dapat dikerjakannya. Ini karena mereka sudah bukan sebagai utusan dan orang yang menerima utusan lagi, melainkan sebagai orang biasa di mana masing-masing dapat melampiaskan permusuhan mereka. Kalau Beng Kong Hwesio menemukan Sin Gwan Tojin dan keempat sutenya ini, di hutan umpamanya, tentu hwesio itu akan memotong sebelah telinga masing-masing.

Tadi Beng Kong sempat terkejut oleh kelihaian Sin Gwan namun karena lawan terlempar dan bergulingan, sementara empat yang lain terluka maka hwesio ini memandang rendah dan tetap tak memandang sebelah mata. Dia sama sekali tak menduga bahwa Sin Gwan adalah justeru wakil ketua Heng-san. Kabar atau perubahan-perubahan di Heng-san memang tak didengar lagi oleh Go-bi. Go-bi, dengan Beng Kong sebagai pimpinannya menganggap rendah semua partai-partai lain. Dan karena memang selama ini sudah tak ada lagi musuh yang mengganggu, Tujuh Siluman Langit dikabarkan tewas sementara orang-orang dari partai lain tak mengutik-utik lagi masalah Bu-tek-cin-keng.

Maka Beng Kong tak waspada akan bahaya yang mengancam partainya. Dia juga tak waspada akan bahaya terhadap dirinya sendiri, maut yang mengintai berupa ledakan granat di gua sesepuh Heng-san. Bahwa kakek yang amat benci kepadanya itu siap mati bareng dengan meledakkan guha yang akan menjadi ajang pertandingan mereka. Dan ketika hwesio congkak itu meluncur dengan kesaktiannya yang luar biasa, Lui- thian-to-jit yang benar-benar membuat tubuhnya seakan kilat menyambar matahari maka keesokannya pintu gerbang Go-bi digetarkan oleh sorak-sorai seribu lebih murid- murid Hoa-san dan Heng-san.

Pagi itu, setelah membiarkan anak-anak muridnya beristirahat dan melepaskan lelah maka Tan Hoo Cinjin memberi aba-aba untuk berangkat. Mereka sudah yakin bahwa Beng Kong Hwesio tak mungkin kembali. Hal itu benar karena hwesio itu memang telah menuju Heng-san dan meneruskan perjalanannya. Kekhawatiran Beng Kong akan keselamatan murid tunggalnya membuat hwesio itu ingin cepat-cepat bertemu dedengkot Heng-san. Dia tak takut atau gentar karena kini dia telah memiliki Hok-te Sin-kun.

Tanpa ilmu ini pun dia dulu mampu menandingi Siang Kek Cinjin maupun Siang Lam Cinjin, apalagi sekarang. Dikeroyok duapun dia tak takut. Kalau perlu, semua murid dan tokoh-tokoh Heng-san juga akan dihadapinya. Boleh, dia tak gentar dan tak perlu gentar! Namun ketika hwesio itu tersenyum-senyum dan mendengus penuh ejekan, meluncur dan menuju Heng-san maka justeru partainya sendiri diserbu oleh seluruh kekuatan Heng-san dan Hoa-san. Gabungan dua partai persilatan besar!

Tan Hoo, diiringi sutenya Sin Gwan dan empat sutenya yang masih sering-sering memegangi dadanya, bekas pukulan Beng Kong masih belum pulih benar pagi itu sudah bergerak dan menuju pintu gerbang. Tujuh Malaikat Hoa-san ada di sampingnya dan Ko Pek Tojin sebagai ketua Hoa-san juga di belakang Tan Hoo Cinjin ini. Mereka berangkat begitu terang tanah. Dan begitu seribu orang bersorak-sorai maka Go-bi tergetar dan seolah dipukul palu godam di mana pagi itu pintu gerbang yang masih tertutup digedor-gedor.

"Heiiii... mana keledai-keledai gundul dari Go-bi. Ayo, bangun dan terimalah kematian!"

Para hwesio penjaga tersentak. Mereka yang tadinya lenggut-lenggut di dalam pintu gerbang tiba-tiba saja seakan dilontarkan dari mimpi indah. Pintu yang terbuat dari kayu tebal berlapis baja, keempat siku-siku pintu itu memang diperkuat dengan plat-plat baja tebal digedor-gedor dengan ramainya. Hiruk-pikuk dan sorak-sorai di luar sungguh mengejutkan. Dan ketika mereka berlompatan bangun namun empatbelas orang tahu-tahu telah melayang dan melewati pintu gerbang, turun dan berdiri di hadapan mereka maka penjaga itu tersentak karena lima dari orang-orang ini adalah utusan Heng-san yang kemarin datang dan sekarang sudah kembali lagi. Itulah Tan Hoo Cinjin dan lima sutenya serta Ko Pek Tojin dan Tujuh Malaikat Hoa-san.

"Buka pintu, dan kalian pergilah!"

Sin Gwan, yang ada di samping ketuanya tiba- tiba membentak dan mengebutkan lengan. Sekarang dia tak perlu bersungkan-sungkan lagi karena kedatangannya memang untuk bermusuhan. Dia dan lain-lain memang datang untuk membunuh. Tapi karena yang dihadapi hanya hwesio-hwesio penjaga, yang tentu saja bukan lawannya maka dia mengebut dan membuat empat hwesio itu terlempar. Mereka menjerit dan berteriak keras sementara hwesio-hwesio lain yang sedang menyapu dan membersihkan halaman tertegun. Empat belas tosu yang datang melewati pintu gerbang dan turun dengan amat cepatnya jelaslah bukan tosu-tosu biasa.

Dan ketika mereka terbelalak melihat Sin Gwan Tojin, orang yang kemarin menjadi utusan maka mereka semakin menjadi kaget lagi karena tosu itu membentak dan melempar empat saudara mereka. Hwesio penjaga yang berteriak dan menumbuk dinding mengaduh. Mereka dapat bangun berdiri lagi. Tapi ketika Hek-tosu membentak dan orang dari Tujuh Malaikat Hoa-san ini mencabut pedangnya, menusuk dan berkelebat empat kali berturut-turut maka empat hwesio itu roboh dan menjerit oleh tikaman maut.

"Crep-crep-crep!"

Pintu gerbang bersimbah darah. Empat hwesio itu roboh dan darah mereka muncrat membasahi pintu gerbang ini. Semalam mereka menjaganya tapi kini tiba-tiba maut datang menjemput. Begitu cepatnya! Tapi ketika Hek-tosu tertawa bergelak dan menendang gembok di tengah-tengah, gembok itu hancur dan pintu itu terbuka maka bagai air bah saja seribu orang menyerbu ke dalam. Sin Gwan Tojin dan suhengnya mengerutkan kening tapi empat penjaga sudah terlanjur binasa.

"Hek-totiang, biarkan anak-anak murid dengan anak-anak murid. Kita mencari tokoh- tokohnya!"

"Ha-ha!" tosu itu tertawa bergelak. "Ini untuk pembakar semangat, Cinjin. Masa anak buah kita tak perlu dibakar dan diberi pertunjukan menarik. Percayalah, pinto selanjutnya mencari tokoh-tokohnya dan anak-anak dengan anak- anak...wut-cring-cringg!" tosu itu berkelebat dan menangkis toya dan senjata gelap yang menyambar.

Anak-anak murid Go-bi, yang terkejut dan kaget melihat semuanya itu tiba- tiba sudah berlarian mencari senjata masing- masing. Mereka kaget oleh serbuan ini dan pembunuhan yang terjadi di pintu gerbang amatlah mengejutkan. Bagai setan-setan haus darah saja tiba-tiba mereka diserbu, semua kaget tapi juga marah. Dan ketika genta dipukul gencar dan tanda bahaya milik perguruan ini menggetarkan seisi gurun, yang tidur berlompatan dan yang masak berhamburan, semua terpekik dan mencari senjata masing-masing.

Maka serbuan besar-besaran ini sungguh mengejutkan Gobi dan Pat-kwa-hwesio yang menjadi pimpinan pengganti segera mendapat laporan. Mereka semalam suntuk tak tidur karena terus berdoa di ruang sembahyang. Keliningan yang kemarin mereka dengar sungguh mengecutkan perasaan. Dan pagi itu seorang anak murid sudah tergopoh di pintu ruang sembahyang, menggigil, pucat.

"Suhu, kita diserbu besar-besaran oleh anak murid Heng-san dan Hoa-san. Kita dihantam. Mohon petunjuk dan harap suhu menolong!”

Ji-hwesio dan enam saudaranya kaget. "Heng- san? Hoa-san?”

"Beb... benar...!" anak murid itu gugup. “Heng- san dan Hoa-san, suhu. Utusan yang kemarin ke sini kini datang lagi!"

“Omitohud...!” Ji-hwesio mencelat bangun, tiba-tiba berkelebat dan keluar. “Mari kita tengok, sute. Ada apa sesungguhnya gerangan!"

Enam hwesio yang lain membelalakkan mata. Mereka tak kalah terkejut mendengar ini dan bagai disambar petir saja mereka sudah berkelebatan keluar. Sorak dan riuh gaduh di luar kini terdengar, pekik dan jerit kematian juga melengking. Dan ketika tujuh hwesio pimpinan ini terbang keluar, pendopo sudah diserbu dan crang-cring-crang-cring suara pertempuran mengingatkan mereka akan peristiwa enam tahun yang lalu maka Ji-hwesio dan enam sutenya terbeliak melihat betapa seribu lebih anak-anak murid Heng-san dan Hoa-san menyerbu tempat mereka. Bendera atau panji-panji dari dua partai persilatan besar itu berkibar dan diayun ke sana-sini untuk menyerang pula, menusuk atau menyodok tiada ubahnya toya panjang.

“Omitohud... Thian Yang Maha Agung!” Ji-hwesio mengeluarkan puja-puji. "Ah, mana tokoh-tokohnya, sute. Mana ketua Heng-san dan Hoa-san?”

"Kami di sini." sebuah seruan tiba-tiba menyambut. "Selamat pagi, jit-wi lo-suhu. Dan maaf bahwa kalian terlambat datang!"

"Ah!” Ji-hwesio dan adik-adiknya membalik, empat belas bayangan berkelebatan dan tahu- tahu berdiri di pendopo luas itu, pendopo agung. Lalu begitu mereka berhadapan dan Hek-tosu tertawa bergelak maka tosu inilah yang lebih dulu berseru,

"Pat-kwa-hwesio, kami datang untuk menuntut balas. Nah, terang-terangan saja kami ingin membunuh kalian!"

“Omitohud," Ji-hwesio terbelalak tapi sudah dapat menguasai rasa kagetnya. "Kalian, totiang. Bagus sekali. Elok benar bahwa pagi-pagi sudah melakukan serbuan tanpa pemberitahuan lebih dulu. Dan kau, hmm...!" hwesio itu berkilat memandang Sin Gwan Tojin. "Siapa sebenarnya kau ini, totiang. Kau memperkenalkan diri sebagai Sin Gwan Tojin tapi sepak terjangmu tidak seperti layaknya orang beragama. Omitohud!"

“Pinto tak memalsu nama," tosu ini bergerak dan sudah berhadapan dengan lawannya. Pinto benar Sin Gwan adanya, Ji-hwesio. Dan tentang siapa sebenarnya pinto maka baiklah pinto katakan terus terang bahwa pinto adalah wakil ketua Heng-san. Tan Hoo Cinjin adalah suheng pinto!”

"Omitohud, Tan Hoo Cinjin telah pinceng kenal, tapi kau... ah, ingat sekarang. Kau dulu pernah datang ke sini tapi masih bukan sebagai seorang tokoh. Dan kau bersama seluruh kekuatan rupanya datang ingin menghancurkan Go-bi, padahal kemarin....”

“Ha-ha!” Hek-tosu kali ini bicara kembali, memotong. "Suhengmu Beng Kong Hwesio memang kami singkirkan agar kita dapat berhadapan, Ji-hwesio. Nah, jelas agaknya kenapa pagi ini kami semua menyerang Go-bi!"

“Omitohud! Jadi kalian....?”

"Benar, tak usah tedeng aling-aling. Suhengmu adalah tokoh terkuat di sini, dan kami tak ingin berhadapan. Biarlah dia menghadapi Siang Kek Cinjin dan Heng-san siap mengorbankan puteranya yang terbaik untuk api dendamnya yang membara!”

“Maksudmu?”

“Maaf," Tan Hoo kini bicara, matanya tajam bersinar-sinar. "Supek kami Siang Kek Cinjin ingin bertempur mati hidup dengan suhengmu, lo-suhu. Dan kami diperintahkan ke sini untuk membayar hutang lama. Bersiaplah, kau boleh memilih di antara kami dan ingin kulihat apakah tanpa Beng Kong Hwesio Go-bi dapat bertahan!”

Ji-hwesio marah bukan main. Sekarang sadarlah dia apa kiranya arti dari semuanya itu. Suhengnya bagai singa dikeluarkan kandang sementara anak-anak singanya siap dibunuh dan digebuk mampus. Go-bi benar-benar menghadapi ancaman bahaya. Tapi karena dia bukanlah hwesio penakut dan mati hidup bukanlah soal, dia harus berani membela perguruannya maka begitu membentak iapun langsung mengayunkan lengannya ke arah Tan Hoo Cinjin ini, biang dari segala biang yang dianggap paling bertanggung jawab.

“Tan Hoo Cinjin, pinceng siap membela Go-bi. Marilah.... mari main-main dan coba kau bunuh pinceng!"

Tan Hoo Cinjin berseri-seri. Inilah kesempatan baginya menjajal ilmu. Enam tahun dia digembleng dan segala macam hwesio tak perlu ditakutinya lagi, kecuali Beng Kong Hwesio itu. Maka begitu diserang dan serangkum angin dahsyat menyambarnya dari tangan lawan, Ji-hwesio jelas melepas pukulan berat maka dengan cepat iapun menangkis dan langsung mengeluarkan Lui-yang Sin-kangnya, ilmu listrik.

"Clap!”

Ji-hwesio berteriak dan membanting tubuh dengan kaget. Percikan kilat listrik menyambar dari lengan ketua Heng-san-pai itu dan pukulannya yang tersedot dan hendak dihisap tiba-tiba menyadarkan hwesio Go-bi ini akan bahaya yang lebih besar. Dia terkejut dan karena itu cepat membuang dan melempar tubuh ke kiri. Dan ketika hwesio itu bergulingan meloncat bangun sementara pukulan lawan meluncur terus, menghantam dinding pendopo maka terdengar ledakan keras di mana dinding itu terbakar, hangus. Persis bagai dijilat halilintar!

"Ha-ha!" ketua Heng-san tertawa dan girang bukan main. Ji-hwesio ini ternyata "kecil" baginya. "Lihat dan rasakan kepandaianku, Ji-lo-suhu. Mari maju dan marilah kita main-main lagi!”

Enam saudara Ji-hwesio yang lain terkejut. Mereka tiba-tiba melihat betapa hebat dan lihainya sute dari mendiang To Hak Cinjin ini. Dulu, To Hak Cinjin sendiri imbang dengan mereka, dengan selisih tipis untuk mendiang ketua Heng-san-pai itu. Maka begitu melihat suheng mereka melempar tubuh bergulingan dan Tan Hoo Cinjin ini demikian hebatnya, ilmu listrik yang dulu dimiliki To Hak Cinjin itu kini rupanya diperdalam dan sudah mencapai tingkat mengagumkan, tak tahu bahwa ini berkat didikan Siang Kek Cinjin sendiri, dedengkot yang langsung menggembleng ketua Heng-san itu maka baik Ji-hwesio maupun adik-adiknya kaget sekali.

"Ha-ha, bagaimana!" Hek-tosu terbahak dan kagum melihat kelihaian sahabatnya ini. “Kalau takut menghadapi Heng-san-paicu boleh kau maju dan hadapi aku, Ji-lo-suhu. Aku juga gatal dan ingin membalas sakit hatiku dulu!"

“Srat!” sebagai jawaban Ji-hwesio tiba-tiba mencabut toyanya, senjata andalan. Enam saudaranya juga bergerak dan tahu-tahu membentuk lingkaran. "Siapapun lawan kami bukan soal, Hek-totiang. Tapi kalian tentu tahu bahwa Pat-kwa-hwesio biasanya maju berbareng, baik menghadapi seorang lawan atau seratus lawan. Nah, majulah dan pinceng bertujuh biar merasakan kembali kehebatan kalian semua!"

Hek-tosu terbelalak. Ia tiba-tiba memandang enam saudaranya dan tiba-tiba mereka sama mengangguk. Di situ ada tujuh hwesio sementara mereka tujuh orang tosu. Sebelum Heng-san-paicu menunjukkan kebolehannya biarlah mereka lebih dulu maju. Dan karena di Gobi masih ada "dedengkotnya" yang belum keluar, yakni Ji Leng Hwesio si pertapa sakti maka Hek-tosu tertawa bergelak dan sebelum Tan Hoo Cinjin menghadapi lawannya iapun sudah mencabut pedang dan enam saudaranya berkelebatan maju.

"Ha-ha, bagus tantanganmu, Ji-lo-suhu. Dan biar kami Tujuh Malaikat Hoa-san main-main dengan kalian. Mari, kita bergebrak dan ini tentu adil!”

Tujuh hwesio itu menggetarkan toya. Melihat bahwa lawan yang maju adalah tujuh tosu dari Hoa-san, bukan Heng-san maka masing- masing sudah memberi isyarat dan kerlingan mata. Di luar jerit pekik kesakitan masih terdengar silih berganti. Pendopo tergetar oleh teriakan atau raungan mereka itu. Dan ketika masing-masing sudah siap dan Pat-kwa-hwesio tentu saja membentuk barisan pat-kwa-tin (segi delapan) yang sayangnya hanya bisa diisi oleh mereka bertujuh, karena saudara mereka tertua lenyap entah ke mana maka Tujuh Malaikat Hoa-san juga bersiap-siap dan Sin Gwan Tojin serta suheng atau sutenya mundur.

Hek-tosu bersikap cerdik dengan cepat-cepat menghadapi tujuh orang hwesio ini. Di samping tentu saja sungkan kalau segala sesuatu harus diselesaikan pihak Heng-san maka sebenarnya tosu ini secara cerdik "memasang" Sin Gwan Tojin untuk menghadapi pertapa sakti Ji Leng Hwesio. Dan di situ ada pula ketua serta pembantu- pembantu ketua Heng-san. Dengan adanya Tan Hoo Cinjin dan keempat sutenya berikat kepala merah, meskipun mereka belum sembuh benar dari bekas luka pukulan Beng Kong.

Namun diharapkan tokoh-tokoh dari Heng-san itu mampu menghadapi Ji Leng Hwesio. Kalaupun kurang, tentu anak-anak murid mereka dapat mengeroyok. Semua sudah dipersiapkan demi menghancurkan Go-bi. Maka begitu Hek-tosu berhadapan dan mengejek lawannya ini, dulu Pat-kwa-hwesio pernah terdesak dan hampir kalah di tangan mereka, kalau saja Beng Kong tidak membantu maka tosu muka hitam ini tiba-tiba berseru keras dan pedangnya bergerak menusuk Ji- hwesio, orang pertama dari Pat-kwa-hwesio.

"Keledai gundul, awas dan waspadalah akan serangan pinto. Sekarang kita mulai dan mari bergebrak!"

Hek-tosu menyerang. Orang pertama dari Tujuh Malaikat Hoa-san ini langsung mengeluarkan ilmunya Hoa-san Kiam-sut (Silat Pedang Hoa-san), pedang menusuk kemudian menyontek dari bawah ke atas. Serangannya cepat dan kuat, juga berbahaya. Tapi ketika Ji-hwesio mengelak dan menggeser kedudukannya, saudaranya nomor dua menangkis dan yang nomor tiga serta empat menggantikan posisi menyerang tosu itu, mereka sudah bergeser dan saling menjaga serta menyerang dari arah berlainan tiba-tiba saja Hek-tosu bukan lagi berhadapan dengan Ji-hwesio melainkan dengan saudara- saudaranya yang lain. Dan begitu mereka itu bergerak dan menangkis serta menyerang tosu ini maka Ji-hwesio tahu-tahu sudah berada di belakang dan toyanya menyambar belakang kepala Hek-tosu.

"Crang-crangg!"

Hek-tosu terkejut dan mengelak serta menangkis. Dia yang tadi dalam posisi menyerang tiba-tiba sudah berbalik dan ganti menghadapi serangan, tidak tanggung- tanggung melainkan sekaligus tujuh hwesio lihai. Tapi karena enam saudaranya yang lain juga sudah bersiap dan mereka itu tentu saja tidak membiarkan Hek-tosu celaka, mereka inilah yang membantu dan menangkis atau menghalau toya-toya di tangan tujuh hwesio, membentak dan berkelebat maju maka tujuh hwesio Go-bi tiba-tiba sudah berhadapan dan saling serang dengan tujuh tosu Hoa-san!

“Cring-cring-cranggg.....!”

Selanjutnya bentakan dan makian terdengar di situ. Masing-masing hwesio, juga masing- masing tosu tiba-tiba sudah berkelebatan dengan cepat. Mereka silih berganti menyerang atau menangkis yang lain dan pertempuran di atas pendopo ini menjadi seru dan tegang. Empat sute Sin Gwan yang menonton menjadi berdebar tapi Sin Gwan dan suhengnya tenang-tenang saja. Sebagai orang-orang yang memiliki kepandaian lebih tinggi maka Sin Gwan maupun suhengnya melihat bahwa dalam gebrak-gebrak pertama ini pertempuran berjalan imbang.

Tujuh hwesio dari Go-bi bermain tangkas dan kuat. Namun karena tujuh tosu dari Hoa-san bergerak cepat dan cekatan, pedang di tangan mereka naik turun mainkan Hoa-san Kiam-sut maka tujuh toya kuning di tangan para hwesio tertolak dan tergetar. Masing-masing sama pandai tapi kemudian Hek-tosu mengeluarkan bentakan nyaring merobah gaya permainannya. Hoa-san Kiam-sut, yang tadi dimainkan, mendadak menjadi gerakan silang-menyilang mirip sudut lima bintang yang menyambar-nyambar.

Tan Hoo Cinjin mengangguk-angguk dan ketua Heng-san ini tersenyum. Itulah Jit-seng-kiam atau Pedang Tujuh Bintang yang dikeluarkan barisan tujuh Hoa-san ini. Dan ketika bentakan atau seruan nyaring tadi dikuti geseran- geseran kaki dari keenam adiknya yang lain, Hek-tosu memberi aba-aba untuk mengeluarkan Jit-seng-tin (Barisan Tujuh Bintang) maka berkelebatanlah tujuh orang tosu itu dengan gerak cepat luar biasa menindih dan menekan toya.

“Awas!” Ji-hwesio berseru dan berubah. “Hati-hati, sute. Lawan mengeluarkan Jit-seng- kiam!"

Enam hwesio yang lain mengangguk. Barisan pat-kwa-tin tiba-tiba dihadapi jit-seng-tin. Mereka dirangsek dan didesak sedemikian rupa di mana mula-mula mereka masih mampu bertahan. Tapi karena ada satu barisan kosong yang tak terjaga mereka, yakni yang seharusnya ditempati suheng mereka yang pergi entah ke mana maka barisan atau tempat inilah yang sekarang diterobos Tujuh Malaikat Hoa-san. Mereka dulu sudah pernah bertanding dan gara-gara kosongnya satu barisan inilah maka Pat-kwa-hwesio terdesak hebat.

Segi delapan yang hanya diisi tujuh orang itu saja tentu berat untuk dicarikan penggantinya. Masing-masing harus melakukan pekerjaan ekstra untuk menutup yang lowong ini. Tapi karena tak mungkin mereka harus terus-menerus menutup lubang ini, lawan yang dihadapi adalah lawan yang mengenal kelemahan mereka maka begitu Silat Tujuh Bintang dikeluarkan dan Hek-tosu serta sute-sutenya mencecar bagian yang ini maka tujuh hwesio benar-benar repot membendung dan menghalangi terobosan lawan.

Satu lubang dari delapan lubang yang kosong ini benar-benar tak disia-siakan oleh Hek-tosu dan adik-adiknya. Mereka telah mengenal kelemahan ini dan pengalaman dulu membuat mereka lebih pintar lagi. Tak heran, begitu mereka merobah ilmu pedang maka lubang atau kekosongan inilah yang dicecar. Mereka hendak masuk dan harus masuk kalau ingin merobohkan lawan. Dan ketika Ji-hwesio pucat karena bertubi-tubi tujuh orang tosu itu hendak memasuki lubang ini, ganti-berganti mereka mempertahankan diri maka Hek-tosu yang gembira melihat sibuknya tujuh hwesio itu berseru agar yang lemah dulu dirobohkan.

"Putar posisi, banting melingkar. Pinto di depan dan kalian melindungi!”

Seruan atau aba-aba itu tak dimengerti Ji-hwesio. Tapi enam tosu yang mengangguk dan berseri mendengar itu tiba-tiba berbalik. Mereka sekonyong-konyong merobah arah dan mendadak Hek-tosu kini di belakang. Dengan begini ia tak lagi menghadapi Ji-hwesio melainkan Pat-hwesio, hwesio termuda. Dan karena hwesio ini adalah yang terlemah dan dialah yang hendak dirobohkan dulu, hwesio itu kaget dan berseru keras maka Hek-tosu tertawa bergelak menusukkan pedangnya ke dada hwesio ini.

"Mampuslah!"

Enam hwesio yang lain terkejut. Hek-tosu tiba- tiba berada di belakang dan kini menyerang saudara mereka termuda itu. Keadaan berubah demikian cepat dan sadarlah mereka kini apa artinya seruan atau aba-aba tadi. Kiranya mereka yang lemah akan ditikam lebih dulu. Kalau begini maka berbahayalah keadaan. Mereka secara berturut-turut bisa dirobohkan dari yang terlemah dulu. 

Maka mengetahui bahaya dan maksud lawan, Ji-hwesio membentak dan berseru keras iapun tiba-tiba menggerakkan toyanya dan lima saudaranya yang lain juga bergerak tapi enam tosu yang lain sudah melindungi suheng mereka itu. Hek- tosu diserang oleh enam batang toya tapi adik-adiknya sudah menjaga dan memperhitungkan ini.

"Cret.... cring-crang-dess!"

Akal atau gerak cepat Hek-tosu berhasil. Ia telah dilindungi saudara-saudaranya dan hwesio termuda dari Pat-kwa-hwesio itu mengaduh. Pundaknya tertusuk dan bobollah kini sebuah lubang lagi. Pat-hwesio terhuyung- huyung. Dan ketika Hek-tosu tertawa bergelak dan menyerang lagi, hwesio itulah yang diteter maka Pat-hwesio mengelak namun ujung pedang kembali mengenai bahunya, terhuyung dan diserang lagi dan hwesio ini terpelanting mempertahankan diri.

Ji-hwesio dan adik-adiknya terbelalak tapi mereka itu dihadang enam tosu adik-adik Hek-tosu, menggeram dan Pat-kwa-tin hancur berantakan. Dan ketika akhirnya Pat-hwesio roboh dan menjerit, toya terlepas dari tangannya maka satu tusukan maut menghunjam di dada hwesio termuda itu.

"Crep!”

Habislah riwayat hwesio ini. Pat-hwesio mendelik namun roboh dengan luka di dada, terguling dan tewaslah satu dari delapan hwesio Go-bi ini. Dan ketika di sana Ji-hwesio membentak dan mengayun toyanya dari kiri ke kanan, adik-adiknya juga mata gelap dan marah sekali maka tosu termuda dari Tujuh Malaikat Hoa-san ini ganti menerima kemplangan.

“Omitohud, kalian telah membunuh sute pinceng. Rasakan!”

Jit-tosu atau orang termuda dari Tujuh Malaikat Hoa-san menghadapi kemarahan orang pertama Pat-kwa-hwesio ini. Dia menangkis tapi kalah kuat dan toya menyambar dadanya. Saudara-saudaranya yang lain menghadapi hwesio-hwesio yang lain pula dan benturan tenaga di antara dua senjata tadi membuat pedangnya terpental. Sekarang barisan pat-kwa-tin pecah-belah seperti halnya jit-seng-tin pula, meskipun keunggulan di pihak tosu-tosu Hoa-san ini karena satu di antara tujuh hwesio telah roboh. Dan ketika toya menyambar sementara tosu ini tak sempat mengelak, langsung menerima gebukan maka tosu itu menjerit dan terlempar bergulingan.

"Dess!”

Daya tahan atau sinkang di tubuh Jit-tosu ini masih mengagumkan. Ia masih dapat bergulingan meskipun terhantam telak. Amukan dan tenaga Ji-hwesio tadi memang dahsyat, seharusnya Hek-tosulah yang menerima itu. Tapi ketika Ji-hwesio mengejar dan hendak menghabisi lawannya, dia pun ingin membunuh orang termuda sebagaimana saudara mudanya dibunuh, ternyata Hek-tosu berkelebat dan menolong adiknya itu.

“Ji-hwesio, masih ada aku di sini!”

Pedang di tangan Hek-tosu menangkis toya di tangan lawan. Pedang dan toya sama-sama terpental dan tosu termuda itu meloncat bangun. Ia terhuyung dan merasakan sesaknya napas tapi dapat berlega hati. Suhengnya telah menolong. Dan ketika enam saudaranya yang lain telah maju kembali, melawan enam hwesio di sana maka iapun meloncat lagi dan membantu saudara-saudaranya. Payahlah keadaan enam hwesio ini. Tadi di kala mereka masih sama-sama bertujuh saja keunggulan berada pada pihak lawan.

Kini setelah satu di antara mereka roboh dan harus menghadapi musuh yang masih lengkap, Jit- tosu diminta mengeroyok hwesio nomor tujuh maka hwesio nomor tujuh itu menghadapi tekanan berat, dikeroyok tosu nomor enam dan tujuh berbareng, meskipun tosu yang nomor tujuh ini masih seringkali harus menyeringai dan menahan sesaknya napas. Tapi karena mereka adalah tosu-tosu tangguh dan pat-kwa-tin cerai-berai, padahal di situlah kekuatan hwesio-hwesio Go-bi ini maka tiga puluh jurus kemudian hwesio nomor tujuh ini juga roboh. Ia tewas tertusuk lehernya dan Ji-hwesio semakin membelalakkan mata.

Dulu, ketika mereka juga terdesak dan hampir dikalahkan Tujuh Malaikat Hoa-san ini masih ada suheng mereka Beng Kong Hwesio yang menolong. Kini suheng mereka itu tak ada sementara di sana masih ada Tan Hoo Cinjin dan sute-sutenya. Kebinasaan bakal menjemput mereka dan bayang-bayang dewa maut sungguh tampak di depan mata. Ji- hwesio melengking dan memutar toyanya dengan dahsyat. Dan ketika mereka tinggal berlima sementara anak-anak murid juga berjatuhan, murid-murid Go-bi rata-rata dikeroyok dua atau tiga maka hwesio ini putus asa dan beberapa detik kemudian terdengar jeritan saudaranya yang lain.

Apa yang terjadi? Kiranya robohnya hwesio keenam. Benar seperti dugaan hwesio ini bahwa Hek-tosu dan adik-adiknya akan membantai dari bawah. Mereka akan membunuh mulai dari yang lemah dulu, dari bawah ke atas. Dan ketika tiga saudaranya sudah roboh sementara murid- murid Go-bi juga berjatuhan dan semakin banyak korban, halaman di pintu gerbang bergelimang darah penuh oleh mayat-mayat yang tumpang tindih maka hwesio keempat juga berteriak dan roboh terjengkang.

"Augh!”

Jerit pendek itu cukup bagi Ji-hwesio dan dua adiknya yang tinggal. Sekarang mereka tinggal bertiga dan inilah malapetaka paling buruk bagi Pat-kwa-hwesio. Ji-hwesio mendelik dan gemetar dan sekarang mereka menghadapi keroyokan. Sam-hwesio, hwesio nomor tiga, menghadapi keroyokan tiga orang. Suheng dan sutenya masing-masing menghadapi dua. Jelas, mereka akan dibantai dan seisi Go-bi bakal habis. Ji-hwesio melotot dan mulai tergurat atau terbacok pedang. Toya di tangannya masih gagah menyambut dan mengelak serangan dan diam-diam hwesio ini kecewa dan heran kenapa supeknya tidak muncul.

Ji Leng, supeknya, berada di belakang di balik bukit berpagar kawat. Dentang dan ramainya suara pertempuran tak mungkin terlewat oleh telinga supeknya yang sakti itu. Heran kenapa tidak muncul! Dan ketika ia hendak melengking dan memanggil supeknye, Go-bi benar-benar terancam kehancuran mendadak dari luar pintu gerbang berkelebat dua bayangan orang dan seruan-seruan kaget.

“Siancai, apa ini. Ah, pembunuhan...! Siancai, kejam dan tak berperasaan... plak-plak-plak!”

Jerit dan teriakan kaget terdengar di halaman itu. Anak-anak murid Go-bi, yang dikeroyok dan roboh berjatuhan tiba-tiba mendapat bantuan dua orang yang baru datang ini. Orang pertama berseru kaget sementara orang kedua berseru marah. Yang pertama mendorong dan mengebut-ngebutkan ujung lengannya sementara yang kedua membentak dan berkelebatan di antara pertempuran, menendang atau melempar-lempar murid-murid Hoa-san dan Heng-san. Mudah baginya membedakan mana murid Go-bi mana yang bukan, karena murid Go-bi tentu berkepala gundul dan rata-rata berjubah longgar, sementara lawan berpakaian ringkas dan rambutnya digelung ke atas, tanda murid-murid agama To dan para tosu.

Dan ketika bayangan kedua itu melengking dan berkelebatan menyambar-nyambar, orang pertama mengebut dan mendorong roboh puluhan orang di depan maka orang ini melihat pertandingan di pendopo dan tiba-tiba kakinya menjejak kuat, meluncur dan melayang melewati deretan anak tangga yang begitu panjang.

"Peng Houw, pinto akan melihat ke atas. Jangan bunuh lawanmu kecuali robohkan dan lumpuhkan mereka!"

Bayangan kedua itu, yang berkelebatan dan menyambar di antara murid-murid Hoa-san dan Heng-san berseru menjawab. Dia ternyata adalah seorang pemuda gagah berwajah tampan, sinar matanya lembut namun kali itu kelihatan marah sekali. Ia membentak dan menendang atau mengangkat lawan di mana terutama murid-murid Hoa-san dilempar atau dibantingnya ke sana ke mari. Dan ketika bayangan pertama sudah meluncur dan berjungkir balik di dalam pendopo, dia ternyata adalah seorang tosu berwajah terang maka terkejutlah Sin Gwan Tojin dan lain-lain melihat siapa kiranya tosu ini.

"Giok Kee Cinjin!"

Seruan itu disambut anggukan tapi juga wajah berubah dari Hek-tosu dan adik-adiknya. Giok Kee Cinjin, tosu ini, adalah tosu “liar" yang tak diakui sebagai teman sealiran oleh tokoh-tokoh Hoa-san maupun Heng-san. Bahkan Kun-lun sendiri, yang juga merupakan para tosu menolak Giok Kee Cinjin sebagai teman sealiran. Hal ini disebabkan oleh sepak terjang aneh tosu yang baru datang ini. 

Giok Kee Cinjin sering membuat ulah yang aneh-aneh di mana sikap atau ulahnya itu bertentangan dengan para tosu pada umumnya, misalnya tentang pandangan mereka akan agama yang mereka pegang. Atau juga sepak terjangnya yang suka sendiri dan tak mau berkumpul dengan tosu-tosu lain, baik itu ketua Hoa-san atau Kun-lun sendiri dan Heng-san.

Dalam tindak-tanduknya sehari-hari tosu ini memang suka bergerak sendiri dan jarang berkumpul dengan teman-teman sealiran. Maka ketika tiba-tiba ia muncul di situ dan terbelalak melihat pertandingan ini, empat hwesio menggeletak di sana maka tosu ini mengeluarkan seruan perlahan dan tepat Sam-hwesio terhuyung oleh serangan dua pedang di kiri kanan maka tosu ini mendorongkan lengannya menampar pedang ketiga yang dilancarkan Ui-tosu, orang keempat dari Tujuh Malaikat Hoa-san.

"Siancai, pembunuhan telah terjadi. Ah, hentikan ini dan jangan tumpahkan darah lagi.... plak!" pukulan jarak jauh tosu itu menghantam pedang Ui-tosu, terpental dan membalik dan Ui-tosu ini kaget berteriak keras. Giok Kee Cinjin sudah mencampuri urusan dan ketika di sana Hek-tosu dan saudara-saudaranya yang lain juga menusuk dan merepotkan dua lawan mereka maka Giok Kee Cinjin ini mendorongkan lagi lengannya dan... Hek-tosu maupun saudara-saudaranya terpental.

"Stop, berhenti... stop!”

Bukan main marahnya Hek-tosu dan enam adiknya yang lain itu. Mereka telah berhasil mendesak sedemikian rupa Ji-hwesio dan sutenya itu ketika tiba-tiba saja Giok Kee Cinjin menangkis. Dari dorongan atau kebutan tangan tosu ini meluncur pukulan dahsyat penuh tenaga sakti. Itulah Soan-hoan-ciang atau Kibasan Angin Taufan di mana dulu Beng Kong Hwesio sendiri pernah roboh, sebelum memiliki ilmu-ilmu dari Bu-tek-cin-keng dan selihai sekarang. 

Dan ketika Tujuh Malaikat Hoa-san itu terpental dan hanya Hek-tosu serta Pek-tosu saja yang terhuyung, pedang mereka nyaris terlepas maka Ji-hwesio dan adik-adiknya bergabung kembali dan tampak betapa masing-masing gemetaran hebat. Baju mereka mulai basah oleh keringat dan juga darah.

“Giok Kee totiang, terima kasih atas bantuanmu. Tapi biarlah kami mati secara gagah menghadapi keroyokan Tujuh Malaikat Hoa-san yang tidak tahu malu ini!”

"Benar," Sam-hwesio juga terhuyung mengusap lengannya, ia tadi tergurat dan terbacok tipis. “Terima kasih atas bantuanmu, totiang. Tapi biarlah kami hadapi lawan-lawan kami yang hebat dan jantan ini!”

"Hm, tidak bisa... tidak adil!” tosu itu terbelalak, menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ini pertempuran curang, Ji-lo-suhu. Dan heran bahwa Hoa-san Sin-jit sampai melakukan keroyokan. Apakah Hoa-san sekarang sudah sedemikian picik dan dangkal cara berpikirnya!" lalu menoleh dan marah memandang tosu-tosu Hoa-san tosu ini bertanya, suaranya melengking, “Hek-totiang, apa artinya ini. Kenapa kalian mengeroyok dan menyerbu Go-bi. Dan juga murid-murid kalian itu. Eh, masih juga ada Tan Hoo totiang di sini. Siancai, apa yang kalian lakukan ini dan kenapa kalian tokoh-tokoh Hoa-san dan Heng- san bisa sepengecut ini. Kenapa membunuh- bunuhi dan mengeroyok orang begitu enaknya. Pinto minta penjelasan!"

"Tosu liar!" Hek-tosu membentak dan marah menerjang maju, dia tadi gusar oleh tangkisan Giok Kee Cinjin. "Pergi dan uruslah pekerjaanmu sendiri, Giok Kee Cinjin. Ini urusan balas dendam kami pada Go-bi. Enyahlah, atau pinto membunuhmu!”

Namun pedang meleset mengenai angin. Giok Kee Cinjin mengelak dan Hek-tosu menyerang lagi, dikelit tapi mengejar dan akhirnya Giok Kee Cinjin menangkis dengan pukulan Soan-hoan-ciangnya itu. Dan ketika Hek-tosu terpental dan pedang terlepas dari tangan, berjungkir balik dan disambar lagi maka pucatlah tosu muka hitam itu ketika turun lagi ke tanah. Namun sebelum dia menyerang atau mengumpulkan sute-sutenya mendadak Sin Gwan Tojin sudah melangkah maju dan berdiri di tengah-tengah dua orang itu. Suhengnya, Tan Hoo Cinjin telah memberi tanda.

“Giok Kee Cinjin, kau takabur dan rupanya bertambah sombong saja sekarang. Hm, mengingat kau sahabat Go-bi tak aneh rasanya tindak-tandukmu ini. Tapi apakah kau tidak tahu bahwa kami dari Hoa-san maupun Heng- san telah menerima hinaan dan jatuh korban. Kenapa sikapmu tidak adil sementara dulu enam tahun yang lalu kau tak mengecam kesewenang-wenangan Go-bi!"

“Aha, ini Sin Gwan Tojin? Bagus, pinto telah mendengar kedudukanmu sebagai wakil ketua Heng-san. Tapi justeru pinto heran bagaimana wakil ketua partai bisa melakukan kelicikan dan kecurangan seperti ini. Mana watak ksatria kalian?”

“Ksatria apalagi? Kami telah menemui dan mencari tokoh-tokoh Go-bi, Giok Kee. Dan kami juga tidak mencampuri pertandingan Tujuh Malaikat Hoa-san. Apakah ini salah?"

“Tapi kalian menyuruh keluar suheng kami Beng Kong, menjebaknya di Heng-san. Kalian pengecut memancingnya keluar karena takut berhadapan dengan suheng kami!" Sam-hwesio, yang tak dapat menahan diri dan marah memaki tosu itu membuat Giok Kee Cinjin membelalakkan matanya lebar-lebar.

Di luar pendopo masih terdengar jerit atau pekik kesakitan dan tosu inipun menjentik-jentikkan kuku jarinya melepas kelereng-kelereng kecil dari batu hitam. Ia merobohkan murid-murid Heng-san maupun Hoa-san dengan lontaran senjata rahasianya itu. Dan ketika Tan Hoo mengerutkan kening karena anak-anak muridnya roboh, mereka terkena kelereng hitam ini maka Giok Kee memandang dan bertanya kepada hwesio itu,

"Suheng kalian Beng Kong lo-suhu dipancing keluar? Sin Gwan Tojin ini menjebaknya di Heng-san?"

"Benar,” Sam-hwesio meletupkan marahnya. "Orang-orang Heng-san ini licik dan pengecut, totiang. Tak berani menghadapi suhengku lalu memancingnya keluar dan melakukan serbuan ini. Dan mereka menyerbu pula dengan orang- orang dari Hoa-san. Seumur hidup pinceng tak bakal melupakan kelicikan ini!"

"Wah-wah, dan pinto semakin banyak melihat perobahan di dunia. Heii, kalian orang-orang Heng-san dan Hoa-san kotor sekali, Sin Gwan Tojin. Meskipun kita sama-sama seorang tosu tapi pinto tak dapat menerima tingkahmu seperti ini. Hayo, kembali dan minta maaf kepada Go-bi!”

Sin Gwan Tojin tertawa mengejek. Ia tahu bahwa Giok Kee ini lihai. Dulu, enam tahun yang lalu mendiang suhengnya To Hak Cinjin sendiri belum tentu menang menghadapi tosu liar ini, apalagi dia. Tapi karena enam tahun ini ia sudah digembleng supeknya dan dia bersama suhengnya Tan Hoo Cinjin sudah dipersiapkan untuk membalas dendam, justeru ia ingin tahu apakah ia mampu menandingi tosu ini maka Sin Gwan berkata sekaligus mengebutkan lengannya,

“Giok Kee, kau amat ditakuti dengan pukulan Soan-hoan-ciang mu itu. Tapi entahlah kalau kau sudah bermain-main sebentar dengan pinto. Marilah, biarkan Hoa-san Sin-jit beristirahat dan pinto ingin berkenalan denganmu... wutt!" lengan baju tosu itu menyambar ke depan.

Giok Kee tak tahu kemajuan tokoh-tokoh Heng-san ini dan tosu itu terbelalak. Dulu, enam tahun yang lalu mendiang To Hak Cinjin sendiri tak berani gegabah menyerangnya, apalagi para adik-adik seperguruannya. Maka melihat serangan itu dan hampir tertawa tapi terkejut dan menutup mulutnya melihat deru angin menyambar, lengan baju Sin Gwan Tojin tiba-tiba mengeras dan membentuk lempengan baja tiba-tiba tosu ini berkelit dan dari samping ia menangkis.

“Plak!” Dan tosu ini terhuyung mundur. Giok Kee yang tadi demikian mudah mementalkan Hek-tosu dan saudara-saudaranya ternyata tidak demikian dengan Sin Gwan Tojin ini. Dari lempengan kaku kuat yang merubah lengan baju menjadi semacam papan baja membuat Giok Kee Cinjin terkejut akan adanya sinkang yang amat hebat. Dia dengan cepat mundur dan mengerahkan sinkangnya sendiri untuk menangkis atau memukul lengan baju itu. Dan ketika dia terhuyung sementara lawan hanya tergetar saja, tosu ini terbelalak maka Sin Gwan tertawa mengejek.

"Bagaimana, Giok Kee Cinjin? Apakah aku tak pantas untuk main-main denganmu?”

“Siancai..., itu tadi seperti Lui-yang Sin-kang. Tapi lebih hebat daripada yang dimiliki mendiang suhengmu To Hak Cinjin. Ah, kau telah memperdalam kepandaianmu, Sin Gwan Tojin. Tapi jangan kira pinto takut!"

“Ha-ha, aku tahu kau memang pemberani. Dan terimalah sekarang pukulan pinto yang nomor dua.... klap!" ujung lengan baju itu bergerak kembali, menyambar ke depan dan kali ini mengeluarkan kilat api, hal yang membuat Giok Kee Cinjin semakin terkejut. Tapi ketika tosu itu menangkis dan menambah tenaganya, pukulan itu menyambar cepat maka Giok Kee terpekik karena tahu-tahu ia tersedot dan tertarik tenaga raksasa.

“Aihhhhh....!” Bukan main kagetnya tosu ini. Ia meronta dan secepat kilat menendang selangkangan lawan. Dan ketika lawan mengelak dan itu kesempatan menarik diri, ia lepas dari pukulan nomor dua maka Giok Kee Cinjin tertegun dan berubah mukanya, pucat. “Kau.... kau hampir menyamai Siang Kek Cinjin!"

“Ha-ha, dialah yang menggemblengku. Mari... mari main-main lagi, Giok Kee Cinjin. Dan lihat berapa jurus kau dapat menandingi pinto!" Sin Gwan tiba-tiba berkelebat, mengerahkan Sin-sian-hoan-eng nya dan bukan hanya tosu ini saja yang terkejut melainkan juga Ji-hwesio dan sute-sutenya. Sin Gwan bergerak secepat iblis menyambar dan secepat itu pula tahu-tahu tangannya sudah di depan hidung Giok Kee.

Dan ketika Giok Kee berteriak dan membanting tubuh bergulingan, dikejar dan susul-menyusul menerima serangan tosu ini maka Giok Kee Cinjin yang lihai dan tinggi kepandaiannya itu tiba-tiba tak dapat melompat bangun karena bertubi-tubi harus menangkis atau menyelamatkan diri.

"Plak-plak-plakk!"

Ji-hwesio dan dua sutenya terbelalak. Mereka tiba-tiba pucat karena apa yang terlihat di depan mata ini adalah hal yang benar-benar tak diduga. Sin Gwan, wakil ketua Heng-san mendadak menjadi begitu hebat jauh melampaui mendiang suhengnya dulu, To Hak Cinjin ketua Heng-san. Dan karena di situ masih ada Tan Hoo Cinjin yang kini menonton tersenyum-senyum, ketua Heng-san ini tenang-tenang berdiri mengamati maka Ji-hwesio berubah dan sadarlah dia bahwa perubahan hebat telah terjadi di partai persilatan ini. Seketika dia maklum bahwa dirinya bukanlah tandingan tosu itu. Hanya suhengnya Beng Kong Hwesio saja yang rupanya sanggup. Dan kalau hwesio ini gentar menyadari diri sendiri apalagi Giok Kee Cinjin yang berhadapan langsung dengan Sin Gwan Tojin itu.

Tosu ini tak menyangka dan kaget bukan main ketika Sin Gwan Tojin mengejar dan melepas pukulan bertubi-tubi. Setiap ia menangkis tentu menjerit kesakitan karena Lui-yang Sin-kang yang dikerahkan lawannya itu menyengat bagai api neraka. Tangannya terbakar dan tak lama kemudian sudah hangus kehitaman. Dan karena Lui-yang Sin-kang bagai api listrik yang di samping panas juga mengeluarkan tenaga sedot, inilah keistimewaan orang Heng-san maka Giok Kee menjadi pucat ketika dalam sepuluh jurus saja ia jatuh bangun menghadapi wakil ketua Heng-san ini. Menghadapi wakilnya saja sudah seperti itu apalagi kalau menghadapi ketuanya sendiri, tentu celakalah dia!

Dan sadar bahwa lawan bagai raksasa bertaring singa, ia sungguh tak mengira bahwa sute dari mendiang To Hak Cijin ini begini hebat maka satu cengkeraman kuat akhirnya tak dapat dielak. Ia menangkis tapi menjerit karena kulit tangannya terkelupas. Pekik atau teriakan tosu ini amatlah kuatnya, dinding pendopo sampai tergetar. Dan ketika lawan tertawa bergelak dan tiba-tiba menudingkan telunjuk, bunyi “crit” keluar dari situ karena tosu ini mengeluarkan Tit-ci-thian-tungnya, jari sakti mencoblos gunung maka Giok Kee Cinjin terbelalak dan sadar bahwa kematian berada di depan matanya, tak dapat menangkis apalagi mengelak.

"Peng Houw, pinto ke akherat!"

Namun berkelebat sesosok bayangan kuning. Tepat tusukan jari sakti itu diarahkan ke dahi Giok Kee Cinjin tiba-tiba di luar pendopo terdengar jerit dan tubuh orang yang terbanting berdebukan. Ratusan orang yang sedang bertempur mendadak terlempar oleh sebuah angin dahsyat yang menyambar mereka, angin yang datang dari bertiupnya sesosok bayangan kuning yang berkelebat ke pendopo. Dan ketika semua yang dilewati terlempar ke kiri kanan, bayangan ini membawa angin dahsyat di kiri kanan tubuhnya maka bersamaan itu semua orang mencelat sementara gerakan tubuhnya masih membawa angin dahsyat ketika memapak atau menerima tusukan Tit-ci-thian-tung. Bayangan ini tahu-tahu sudah di antara Sin Gwan Tojin dan Giok Kee Cinjin.

“Dess!” Dan Sin Gwan Tojin terpelanting! Wakil ketua Heng-san itu kaget bukan main dan ia berteriak keras melempar tubuh bergulingan. Seorang kakek renta, dengan jubah yang longgar tahu-tahu berdiri di situ. Wajahnya tertutup sedikit halimun namun pancaran matanya mencorong bagai mata seekor naga sakti, menembus kabut itu dan siapapun yang dipandang tentu berseru kaget.

Tan Hoo Cinjin sendiri sampai mundur dan terkesiap. Pandang mata itu sudah mampu memukulnya! Dan ketika kakek itu mengucap puja-puji sementara ujung lengan jubahnya dikebutkan perlahan, mengusap dan mengangkat bangun Giok Kee Cinjin maka segala penderitaan yang dialami tosu ini lenyap. Kulit tangannya yang hangus terbakar oleh Lui-yang Sin-kang tiba- tiba saja pulih, bersih!

"Omitohud, apa yang terjadi, Ji-kak. Kenapa banjir darah terjadi di Go-bi dan mana suhengmu Beng Kong?"

Ji-hwesio, dan dua adiknya yang melihat kakek ini tiba-tiba girang menjatuhkan diri berlutut. Itulah supek mereka Ji Leng Hwesio, tokoh sakti yang akhirnya keluar juga dari pertapaan! Dan ketika mereka berlutut sementara Giok Kee terbengong disembuhkan begitu cepat, hwesio sakti ini tak memperdulikannya lagi maka ia melihat tiga hwesio Go-bi itu susul- menyusul berseru nyaring, melapor.

"Heng-san dan Hoa-san menyerbu kami, supek. Kami baru tahu setelah serbuan datang secara tiba-tiba!"

"Dan suheng Beng Kong Hwesio dipancing ke Heng-san. Katanya ditantang Siang Kek Cinjin!"

“Tapi mereka licik berbuat curang. Kami hendak dihancurkan luar dalam, supek. Mohon ampun bahwa kami tak mampu menghadapi musuh!"

“Omitohud, begini kiranya. Dan Beng Kong tidak memberi tahu pinceng. Hm, atas nama Buddha hentikan semua pertikaian ini, anak- anak. Go-bi tak boleh digenangi darah!”

“Kami tak dapat melakukannya, itu terserah pihak lawan. Dan kami telah kehilangan banyak jiwa, supek. Di antaranya empat saudara kami sendiri!”

"Omitohud, yang lewat sudahlah lewat. Permusuhan tak membuahkan kedamaian dan pinceng minta agar diselesaikan sekarang juga."

"Tak bisa!" Sin Gwan Tojin tiba-tiba membentak. Ia tadi terlempar dan marah oleh kesaktian hwesio ini, masih penasaran. "Kami datang untuk menghancurkan Go-bi, Ji Leng Hwesio. Kematian dan korban di pihak kami juga besar. Kami akan berhenti kalau dendam kami terbalas, impas!”

"Benar," Tan Hoo Cinjin tiba-tiba juga berseru marah dan bersinar-sinar memandang hwesio ini. Sekarang kesempatan baginya untuk maju. Dia sudah berhadapan dengan dedengkot Go- bi. Pinto baru menyelesaikan masalah ini kalau hutang-hutang lama sudah dibayar impas, Ji Leng Hwesio. Dan kami mengemban tugas supek kami yang menderita bertahun-tahun. Kami tak akan pergi!"

"Omitohud, beginikah ajaran orang-orang beragama. Buddha dan To sama-sama memiliki ajaran Kebenaran, Tan Hoo Cinjin, dan pinceng tak melihat adanya ajaran tentang bunuh-membunuh. Heran kalau kau tak tahu ini....”

Prahara Di Gurun Gobi Jilid 18

Cerita Silat Mandarin Serial Prahara Di Gurun Gobi Karya Batara

SIN GWAN TOJIN menyerahkan surat panjang beramplop tebal. Dia tak perduli wajah berubah dari tiga hwesio di atas pendopo ini, juga hwesio-hwesio lain.

Pat-hwesio yang hendak menyimpan masalah itu tiba-tiba ditelanjangi. Suara tosu itu bergetar dan masuk sampai jauh ke dalam, tembus. Suaranya penuh getaran khikang dahsyat dan inilah pameran tenaga sakti. Dan ketika ia terbelalak sementara dua saudaranya di kiri kanan terkejut, tosu itu menyerahkan surat maka berkelebatlah bayangan dan seorang hwesio tinggi besar muncul, matanya melotot lebar dan tahu-tahu sudah di depan Sin Gwan Tojin dan sute-sutenya ini.

"Siapa yang mencari pinceng. Ada apa dengan murid pinceng Chi Koan?"

Sin Gwan Tojin dan empat sutenya terkejut. Meskipun Sin Gwan telah pernah bertemu hwesio ini dan tahu siapa Beng Kong Hwesio namun mau tak mau ia tergetar dan mundur setindak. Empat sutenya, yang baru kali ini bertemu dan melihat Beng Kong Hwesio tiba- tiba tersentak dan mundur dua tindak. Perbawa atau pengaruh hwesio itu besar sekali. 

Baru sekarang inilah mereka berhadapan dengan orang yang dicari-cari, Beng Kong yang telah mengalahkan supek mereka Siang Kek maupun Siang Lam Cinjin. Dan karena hwesio itu juga mengerahkan tenaga saktinya ketika muncul, menandingi dan bahkan menindih suara suheng mereka Sin Gwan Tojin maka empat tosu Heng-san terkejut dan berubah wajah mereka. Pucat!

Wajah dan bentuk tubuh Beng Kong Hwesio memang luar biasa. Hwesio ini seperti raksasa di antara sekalian hwesio-hwesio Go-bi, tubuhnya bak gunung dengan leher beton yang kuat, tanda seorang ahli silat gwakang maupun lweekang dan tentu saja empat orang itu berubah. Tapi ketika suheng mereka batuk-batuk dan menenangkan keadaan, kehadiran Beng Kong Hwesio memang menggetarkan maka tosu itu coba menenangkan saudara-saudaranya dengan membungkuk dan menjawab pertanyaan hwesio ini.

“Siancai, pinto yang mencari dan ingin bertemu denganmu, Beng Kong lo-suhu. Pinto datang sebagai utusan Heng-san untuk memberi tahu sesuatu kepadamu. Muridmu berada di sana, mengacau dan ditangkap supek kami Siang Kek Cinjin. Kalau kau mau datang dan membebaskannya maka silahkan datang dan bebaskanlah muridmu."

“Hm, kau siapa?"

"Pinto Sin Gwan Tojin...”

"Yang bersuara nyaring tadi?" pertanyaan itu cepat, memotong jawaban.

"Benar, pinto yang bersuara nyaring tadi. Sengaja bersuara sedikit keras agar didengar lo-suhu karena seorang murid berkata bahwa ketuanya tak ada di tempat.”

"Hm!" suara atau pandang mata hwesio ini tajam berkilat-kilat, mencorong. "Dan kau mengantar surat? Berikan, biar kubaca!"

Bentakan terakhir itu ditujukan kepada Pat-hwesio yang menerima surat. Sebenarnya hwesio ini hendak menyimpan surat itu tapi sang ketua terlanjur muncul. Beng Kong marah memandangnya karena surat tak cepat-cepat diberikan. Dan karena memandang rendah utusan ini, tak tahu bahwa sang utusan adalah wakil ketua Heng-san sendiri, kepandaiannya sudah tinggi maka Beng Kong merobek dan langsung membaca surat itu. Dan begitu membaca iapun mendelik.

"Keparat, kurang ajar jahanam. Berani benar Siang Kek Cinjin menawan murid pinceng dan kini menantang menyuruh datang. Eh, siapa takut? Baik, katakan kepada sesepuhmu bahwa aku akan datang, tosu busuk. Dan kau tak perlu lagi lama-lama di sini. Pergilah!"

Beng Kong mengebutkan lengan dan serangkum angin menyambar dahsyat ke arah Sin Gwan Tojin dan empat sutenya itu. Surat tantangan telah diberikan dan Beng Kong yang berwatak pemarah menjadi gusar. Ia memaki dan melayangkan pukulannya. Dan karena Sin Gwan berada paling depan dan tentu saja tosu ini tak mau celaka, kebetulan iapun ingin menjajal kehebatan hwesio ini maka Sin Gwan menangkis dan di belakangnya empat sutenya juga berseru keras menghalau angin kebutan itu.

"Bress!”

Mereka semua terlempar. Empat tosu di belakang Sin Gwan malah menjerit dan mereka terbanting muntah darah. Mereka tak tahu bahwa Beng Kong Hwesio mengerahkan ilmunya Hok-te Sin-kun, tadi sekedar mengebut tapi begitu ditangkis tiba-tiba ia menjadi marah, menambah tenaganya dan Sin Gwan yang kaget merasa betapa angin pukulannya membalik tiba-tiba melempar tubuh dan bergulingan. Sute-sutenya terlalu sembrono dengan menghalau dan menolak sambaran hwesio itu dengan pengerahan tenaga sekuatnya. Maksud mereka hendak mementalkan hwesio itu paling tidak membuatnya terhuyung.

Tapi begitu mereka terlempar karena yang dihadapi adalah Hok-te Sin-kun, pukulan Penakluk Dunia maka mereka menjerit dan terbanting muntah darah. Mereka belum pernah menyaksikan kehebatan hwesio ini, lain dengan Sin Gwan yang pernah dan tahu kelihaian hwesio itu. Maka begitu merasa tak kuat dan terus melempar tubuh bergulingan, tidak seperti keempat sutenya yang mencoba bertahan dan nekat menambah tenaga maka Hok-te Sin-kun menghantam mereka dan pukulan atau tangkisan mereka yang membalik membuat empat tosu itu luka dalam. Dan mereka seketika kaget dan pucat serta merintih-rintih.

“Huakk!” Darah segar kembali terlontak. Mereka berempat tumpang-tindih tapi Sin Gwan Tojin sudah berseru keras mengebutkan bendera putihnya. Ia berteriak bahwa mereka hanyalah utusan dan tak pantaslah seorang ketua menyerang mereka, apalagi ketua Go-bi yang dimalui dan ternama. Dan ketika Beng Kong tertawa bergelak dan membiarkan tosu itu menotok keempat saudaranya, cepat mengeluarkan obat penawar dan menolong saudaranya maka Beng Kong berseru agar mereka minggat.

“Salah kalian sendiri, kenapa melawan. Hayo, pergi dan enyahlah dari Go-bi. Pinceng akan melayani surat tantangan ini!”

Sin Gwan dan adik-adiknya pucat. Kalau saja tak melihat kepandaian hwesio itu barangkali tosu ini akan bergerak dan melakukan perlawanan. Tapi dia telah merasakan kehebatan Beng Kong Hwesio. Dengan sekali kebutannya saja masih juga dia terlempar, padahal dia telah menambah ilmu kepandaiannya enam tahun ini. Dan karena bukan pula tugasnya menghadapi hwesio itu, hwesio ini dipersiapkan untuk supeknya di sana maka selesai menolong keempat sutenya tosu inipun bangkit berdiri dan menjura, diam-diam ngeri juga melihat kesaktian lawan. Beng Kong Hwesio benar-benar kosen!

"Lo-suhu, tugas kami telah selesai dan biarlah kami mohon diri. Kami akan pulang dan melapor kepada ketua dan supek kami.”

"Ha-ha, pulanglah, pergilah. Lebih cepat lebih baik. Siapa tahu nanti tak keburu dan kalian pulang tinggal nama. Enyahlah!”

Sin Gwan Tojin menahan kemendongkolannya. Tidak dulu tidak sekarang masih juga hwesio ini menunjukkan kesombongannya yang besar, congkak! Tapi karena dia tahu diri dan sekali bukan tugasnya untuk menghadapi hwesio ini, dia hanya utusan dan harus pulang sebagai utusan maka dia mengangguk dan pergi meninggalkan tempat itu. Dan begitu ia pergi begitu pula Beng Kong Hwesio menghadapi tiga adik seperguruannya ini.

“Sute, kenapa kalian menyembunyikan ini. Kenapa tidak segera memberi tahu pinceng dan keluar sendiri. Apakah kalian sanggup menolong Chi Koan kalau sampai terjadi apa-apa?"

"Maaf," Liok-hwesio yang kali ini bicara, mewakili dua adiknya. "Bukan maksud kami untuk meninggalkan dirimu, suheng. Melainkan semata karena kami pikir tak pantaslah kalau suheng turun tangan langsung. Apalah gunanya kami kalau semua urusan harus kau tangani, apalagi hanya menyambut utusan. Maafkan kalau kami telah membuat kekeliruan."

"Hm!" hwesio itu mereda kemarahannya, tak tahu bahwa Liok-hwesio melindungi saudara- saudaranya. "Begitukah? Baik, kalau begitu benar, sute. Tapi sekarang kalian harus menjaga tempat ini karena pinceng akan ke Heng-san!"

"Suheng akan ke sana?"

“Kenapa tidak? Kalian tak mampu menolong Chi Koan, Siang Kek Cinjin keparat menangkapnya. Pinceng akan menghajar kakek itu!"

“Kalau begitu kami tahu diri, harap suheng berhati-hati namun sebaiknya kalau kepergian ini diberitahukan pula kepada empat suheng yang lain."

"Mereka datang!" hwesio itu berseru. "Itu mereka, sute. Lihat!”

Benar saja, empat dari Pat-kwa-hwesio yang lain muncul. Mereka adalah Ji-hwesio dan adik- adiknya sampai saudara kelima, keenam dan ketujuh sampai delapan sudah ada di situ. Dan ketika mereka berkelebat dan berdiri di situ maka mereka bertanya apa yang terjadi. Getaran suara dari Sin Gwan Tojin tadi sebenarnya memasuki telinga mereka pula.

"Utusan Heng-san datang, menyampaikan pesan dan tantangan kepada Beng Kong suheng. Chi Koan ditangkap di sana." Begitu Liok-hwesio memberi keterangan, mendahului adik-adiknya. Dan begitu mereka tertegun maka Ji-hwesio batuk-batuk.

"Begitukah?"

“Ya, dan sekarang Beng Kong suheng hendak ke sana, suheng. Kita diminta menjaga partai dan agaknya suheng mau berangkat.”

“Betul," hwesio tinggi besar ini langsung mengangguk. "Pinceng akan mengambil dan membebaskan murid pinceng, sute. Sekalian menghajar kakek tua bangka itu dan kalian hati-hatilah menjaga partai!"

"Suheng mau berangkat sekarang?" Ji-hwesio bertanya, alis semakin tebal berkerut. "Kalau begitu hati-hati, suheng. Dan maaf bahwa agaknya muridmu itu telah mulai membikin ulah. Omitohud, semoga tak berkepanjangan!"

Beng Kong Hwesio tertawa mengejek. Ia tentu saja tak menghiraukan kata-kata sutenya ini karena tahu sutenya tak ada yang cocok dengan muridnya. Kalaupun baik maka itupun hanya luarnya. Tapi karena ia tak perduli dan Chi Koan dapat menghadapi paman-paman gurunya ini, ia harus membebaskan dan cepat menolong muridnya maka hwesio itu berkata bahwa ia pergi. Dan begitu selesai bicara begitu pula ia lenyap dari depan adik-adik seperguruannya ini.

"Sute. pinceng tak mau berlama-lama. Jaga baik-baik tempat kita dan mungkin empat lima hari pinceng sudah pulang!"

Ji-hwesio mengangguk. Enam saudaranya yang lain diam saja dan satu sama lain berkerut alis. Mereka menahan marah karena lagi-lagi Chi Koan membuat ulah. Dan yang membuat hati panas, suheng mereka Beng Kong Hwesio itu begitu memperhatikan. Anak yang terlalu dimanja begini bakal besar kepala. Bakal sombong dan tinggi hati saja. 

Tapi karena itu urusan suheng mereka dan bukan mereka, lagi pula memang hanya suheng mereka itu saja yang dapat menyelesaikan, Siang Kek amatlah hebat dan dedengkot Heng-san itu tak ada tandingan maka begitu merangkapkan tangan merekapun lalu membalik dan bersenandung doa dengan suara lirih.

Tujuh hwesio ini tak bisa berbuat apa-apa namun Ji-hwesio, orang tertua, tiba-tiba merandek. Hwesio itu seakan mendengar keliningan dan tertegunlah dia. Tapi ketika suara itu hilang dan enam saudaranya yang lain heran, sejenak mereka juga mendengar keliningan itu namun lenyap maka hwesio ini berubah memandang enam adiknya.

"Kalian mendengar sesuatu?"

“Ya, keliningan....”

"Ada apakah?"

“Entahlah, tapi sudah tak ada lagi, suheng. Agaknya kebetulan tertiup angin.”

“Omitohud, mudah-mudahan betul begitu. Tapi pinceng tiba-tiba tak enak! Eh, kalian merasa sesuatu, sute?"

“Tidak.”

“Tapi aku berdebar," Sam-hwesio tiba-tiba tak nyaman. "Pinceng seakan menerima firasat tak baik tapi entahlah apa itu.”

"Benar," sang kakak berseru. "Pinceng juga begitu, sute. Omitohud, mari kita ke ruang sembahyang dan semua berdoa!"

Lima yang lain ikut-ikut tak enak. Mereka tertegun mendengar kata-kata dua suheng mereka ini. Maka bergegas dan berliam-keng (membaca doa) lirih mereka pun lalu masuk dan menuju ke ruang sembahyang. Dan begitu mereka bersila maka mendung di atas Go-bi memang tiba-tiba muncul!

* * * * * * * *

Ribuan pasang mata melihat berkelebatnya bayangan hwesio tinggi besar itu di atas gurun. Sin Gwan Tojin, dan empat sutenya yang sudah kembali di tempat rombongannya dan lewat jalan lain membuat Beng Kong Hwesio sedikit heran. Ia terbang di atas gurun namun lima utusan itu tak nampak. Sama sekali ia tak mengira bahwa para utusan itu sesungguhnya masih di sekitar Go-bi, bahkan bersembunyi dan siap bergerak dengan seribu anak-anak murid dua partai perkumpulan besar, menyerang dan menghancurkan Go-bi. Dan ketika ia mengerahkan ilmu lari cepatnya dan Lui-thian-to-jit membuat sepasang kaki hwesio ini tak menginjak tanah, semua kagum dan mendecak maka Tan Hoo Cinjin sendiri bersinar-sinar memuji hwesio itu, lawan berat yang bukan tandingannya.

"Hebat, ia benar-benar terbang di atas gurun. Lihat, dan kecepatannya luar biasa sekali. Aih, Beng Kong memang benar-benar manusia sakti, sute. Dan supek bakal menghadapi orang sehebat ini. Ah, pinto ngeri membayangkan akibatnya. Kita seolah memberi tumbal!"

“Hm,” Ko Pek Tojin dari Hoa-san mengangguk "Pinto juga mengagumi kepandaiannya, Cinjin. Dan sayang bahwa orang sehebat itu amatlah kejam dan berwatak sombong. Aneh bahwa Ji Leng Hwesio mempunyai murid seperti itu!"

"Dan Beng Kong sekarang mempunyai murid seperti pemuda bernama Chi Koan itu. Dan guru serta murid sama-sama sombong pula. Siancai, semoga pengorbanan Siang Kek locianpwe berguna bagi ketenteraman dunia!"

Pek-tosu, satu dari Tujuh Malaikat Hoa-san menggeleng dan menarik napas dalam-dalam. Dia memuji tapi juga menyayangkan. Dan ketika dia merangkapkan tangan menghargai pengorbanan sesepuh Heng-san, Sin Gwan dan suhengnya menitikkan air mata tiba-tiba dua orang itu mengepal tinju dan mendesis.

“Kami dari Heng-san memang siap mengorbankan apapun asal hwesio keparat itu dapat kami bunuh. Semoga pengorbanan supek tak sia-sia!"

"Dan sekarang," Ko Pek Tojin bertanya, "apakah langsung kita menyerbu, Cinjin? Atau menunggu sampai hwesio itu benar-benar menghilang?”

"Pinto rasa biar menunggu dulu sehari. Tak lari gunung dikejar," kali ini Pek-tosu berkata, mengemukakan pendapatnya. "Pinto khawatir siapa tahu hwesio itu belum jauh benar dan kembali ke Go-bi.”

“Benar," Tan Hoo mengangguk. "Pinto juga berpikir begitu, totiang. Lebih baik sabar sehari dan biarkan hwesio itu jauh dulu.”

"Tapi anak murid tak sabar!" Hek-tosu kali ini berseru, dialah tokoh yang paling berangasan di antara Tujuh Malaikat Hoa-san. "Pinto sendiripun sudah ingin menggebuk dan menghajar hwesio-hwesio sombong dari Go-bi, Cinjin. Apakah tak menunggu dua tiga jam saja lalu bergerak dan menyerang. Pinto ingin melihat kehancuran Go-bi!”

"Tidak," Tan Hoo Cinjin ternyata menggeleng. Pinto menetapkan biarlah besok pagi-pagi kita menyerbu, totiang. Beri kesempatan dulu kepada anak-anak murid kita mengaso sementara Beng Kong Hwesio sudah benar- benar jauh."

"Kalau begitu pinto harus menahan sabar," tosu ini menggedrukkan kakinya. "Baiklah, pinto bersabar dan biar besok menyerbu!"

Begitulah, mereka lalu menunggu dan melihat lenyapnya bayangan Beng Kong Hwesio di luar gurun. Beng Kong yang heran dan merasa ganjil tak menemukan lima orang utusan itu menganggap kemungkinan besar bersembunyi. Sebenarnya dia ingin melihat mereka lagi dan memberi pelajaran, paling tidak memotong telinga mereka sebagai pelampias marah.

Di Go-bi tak mungkin dia lakukan tapi di luar tentu hal ini dapat dikerjakannya. Ini karena mereka sudah bukan sebagai utusan dan orang yang menerima utusan lagi, melainkan sebagai orang biasa di mana masing-masing dapat melampiaskan permusuhan mereka. Kalau Beng Kong Hwesio menemukan Sin Gwan Tojin dan keempat sutenya ini, di hutan umpamanya, tentu hwesio itu akan memotong sebelah telinga masing-masing.

Tadi Beng Kong sempat terkejut oleh kelihaian Sin Gwan namun karena lawan terlempar dan bergulingan, sementara empat yang lain terluka maka hwesio ini memandang rendah dan tetap tak memandang sebelah mata. Dia sama sekali tak menduga bahwa Sin Gwan adalah justeru wakil ketua Heng-san. Kabar atau perubahan-perubahan di Heng-san memang tak didengar lagi oleh Go-bi. Go-bi, dengan Beng Kong sebagai pimpinannya menganggap rendah semua partai-partai lain. Dan karena memang selama ini sudah tak ada lagi musuh yang mengganggu, Tujuh Siluman Langit dikabarkan tewas sementara orang-orang dari partai lain tak mengutik-utik lagi masalah Bu-tek-cin-keng.

Maka Beng Kong tak waspada akan bahaya yang mengancam partainya. Dia juga tak waspada akan bahaya terhadap dirinya sendiri, maut yang mengintai berupa ledakan granat di gua sesepuh Heng-san. Bahwa kakek yang amat benci kepadanya itu siap mati bareng dengan meledakkan guha yang akan menjadi ajang pertandingan mereka. Dan ketika hwesio congkak itu meluncur dengan kesaktiannya yang luar biasa, Lui- thian-to-jit yang benar-benar membuat tubuhnya seakan kilat menyambar matahari maka keesokannya pintu gerbang Go-bi digetarkan oleh sorak-sorai seribu lebih murid- murid Hoa-san dan Heng-san.

Pagi itu, setelah membiarkan anak-anak muridnya beristirahat dan melepaskan lelah maka Tan Hoo Cinjin memberi aba-aba untuk berangkat. Mereka sudah yakin bahwa Beng Kong Hwesio tak mungkin kembali. Hal itu benar karena hwesio itu memang telah menuju Heng-san dan meneruskan perjalanannya. Kekhawatiran Beng Kong akan keselamatan murid tunggalnya membuat hwesio itu ingin cepat-cepat bertemu dedengkot Heng-san. Dia tak takut atau gentar karena kini dia telah memiliki Hok-te Sin-kun.

Tanpa ilmu ini pun dia dulu mampu menandingi Siang Kek Cinjin maupun Siang Lam Cinjin, apalagi sekarang. Dikeroyok duapun dia tak takut. Kalau perlu, semua murid dan tokoh-tokoh Heng-san juga akan dihadapinya. Boleh, dia tak gentar dan tak perlu gentar! Namun ketika hwesio itu tersenyum-senyum dan mendengus penuh ejekan, meluncur dan menuju Heng-san maka justeru partainya sendiri diserbu oleh seluruh kekuatan Heng-san dan Hoa-san. Gabungan dua partai persilatan besar!

Tan Hoo, diiringi sutenya Sin Gwan dan empat sutenya yang masih sering-sering memegangi dadanya, bekas pukulan Beng Kong masih belum pulih benar pagi itu sudah bergerak dan menuju pintu gerbang. Tujuh Malaikat Hoa-san ada di sampingnya dan Ko Pek Tojin sebagai ketua Hoa-san juga di belakang Tan Hoo Cinjin ini. Mereka berangkat begitu terang tanah. Dan begitu seribu orang bersorak-sorai maka Go-bi tergetar dan seolah dipukul palu godam di mana pagi itu pintu gerbang yang masih tertutup digedor-gedor.

"Heiiii... mana keledai-keledai gundul dari Go-bi. Ayo, bangun dan terimalah kematian!"

Para hwesio penjaga tersentak. Mereka yang tadinya lenggut-lenggut di dalam pintu gerbang tiba-tiba saja seakan dilontarkan dari mimpi indah. Pintu yang terbuat dari kayu tebal berlapis baja, keempat siku-siku pintu itu memang diperkuat dengan plat-plat baja tebal digedor-gedor dengan ramainya. Hiruk-pikuk dan sorak-sorai di luar sungguh mengejutkan. Dan ketika mereka berlompatan bangun namun empatbelas orang tahu-tahu telah melayang dan melewati pintu gerbang, turun dan berdiri di hadapan mereka maka penjaga itu tersentak karena lima dari orang-orang ini adalah utusan Heng-san yang kemarin datang dan sekarang sudah kembali lagi. Itulah Tan Hoo Cinjin dan lima sutenya serta Ko Pek Tojin dan Tujuh Malaikat Hoa-san.

"Buka pintu, dan kalian pergilah!"

Sin Gwan, yang ada di samping ketuanya tiba- tiba membentak dan mengebutkan lengan. Sekarang dia tak perlu bersungkan-sungkan lagi karena kedatangannya memang untuk bermusuhan. Dia dan lain-lain memang datang untuk membunuh. Tapi karena yang dihadapi hanya hwesio-hwesio penjaga, yang tentu saja bukan lawannya maka dia mengebut dan membuat empat hwesio itu terlempar. Mereka menjerit dan berteriak keras sementara hwesio-hwesio lain yang sedang menyapu dan membersihkan halaman tertegun. Empat belas tosu yang datang melewati pintu gerbang dan turun dengan amat cepatnya jelaslah bukan tosu-tosu biasa.

Dan ketika mereka terbelalak melihat Sin Gwan Tojin, orang yang kemarin menjadi utusan maka mereka semakin menjadi kaget lagi karena tosu itu membentak dan melempar empat saudara mereka. Hwesio penjaga yang berteriak dan menumbuk dinding mengaduh. Mereka dapat bangun berdiri lagi. Tapi ketika Hek-tosu membentak dan orang dari Tujuh Malaikat Hoa-san ini mencabut pedangnya, menusuk dan berkelebat empat kali berturut-turut maka empat hwesio itu roboh dan menjerit oleh tikaman maut.

"Crep-crep-crep!"

Pintu gerbang bersimbah darah. Empat hwesio itu roboh dan darah mereka muncrat membasahi pintu gerbang ini. Semalam mereka menjaganya tapi kini tiba-tiba maut datang menjemput. Begitu cepatnya! Tapi ketika Hek-tosu tertawa bergelak dan menendang gembok di tengah-tengah, gembok itu hancur dan pintu itu terbuka maka bagai air bah saja seribu orang menyerbu ke dalam. Sin Gwan Tojin dan suhengnya mengerutkan kening tapi empat penjaga sudah terlanjur binasa.

"Hek-totiang, biarkan anak-anak murid dengan anak-anak murid. Kita mencari tokoh- tokohnya!"

"Ha-ha!" tosu itu tertawa bergelak. "Ini untuk pembakar semangat, Cinjin. Masa anak buah kita tak perlu dibakar dan diberi pertunjukan menarik. Percayalah, pinto selanjutnya mencari tokoh-tokohnya dan anak-anak dengan anak- anak...wut-cring-cringg!" tosu itu berkelebat dan menangkis toya dan senjata gelap yang menyambar.

Anak-anak murid Go-bi, yang terkejut dan kaget melihat semuanya itu tiba- tiba sudah berlarian mencari senjata masing- masing. Mereka kaget oleh serbuan ini dan pembunuhan yang terjadi di pintu gerbang amatlah mengejutkan. Bagai setan-setan haus darah saja tiba-tiba mereka diserbu, semua kaget tapi juga marah. Dan ketika genta dipukul gencar dan tanda bahaya milik perguruan ini menggetarkan seisi gurun, yang tidur berlompatan dan yang masak berhamburan, semua terpekik dan mencari senjata masing-masing.

Maka serbuan besar-besaran ini sungguh mengejutkan Gobi dan Pat-kwa-hwesio yang menjadi pimpinan pengganti segera mendapat laporan. Mereka semalam suntuk tak tidur karena terus berdoa di ruang sembahyang. Keliningan yang kemarin mereka dengar sungguh mengecutkan perasaan. Dan pagi itu seorang anak murid sudah tergopoh di pintu ruang sembahyang, menggigil, pucat.

"Suhu, kita diserbu besar-besaran oleh anak murid Heng-san dan Hoa-san. Kita dihantam. Mohon petunjuk dan harap suhu menolong!”

Ji-hwesio dan enam saudaranya kaget. "Heng- san? Hoa-san?”

"Beb... benar...!" anak murid itu gugup. “Heng- san dan Hoa-san, suhu. Utusan yang kemarin ke sini kini datang lagi!"

“Omitohud...!” Ji-hwesio mencelat bangun, tiba-tiba berkelebat dan keluar. “Mari kita tengok, sute. Ada apa sesungguhnya gerangan!"

Enam hwesio yang lain membelalakkan mata. Mereka tak kalah terkejut mendengar ini dan bagai disambar petir saja mereka sudah berkelebatan keluar. Sorak dan riuh gaduh di luar kini terdengar, pekik dan jerit kematian juga melengking. Dan ketika tujuh hwesio pimpinan ini terbang keluar, pendopo sudah diserbu dan crang-cring-crang-cring suara pertempuran mengingatkan mereka akan peristiwa enam tahun yang lalu maka Ji-hwesio dan enam sutenya terbeliak melihat betapa seribu lebih anak-anak murid Heng-san dan Hoa-san menyerbu tempat mereka. Bendera atau panji-panji dari dua partai persilatan besar itu berkibar dan diayun ke sana-sini untuk menyerang pula, menusuk atau menyodok tiada ubahnya toya panjang.

“Omitohud... Thian Yang Maha Agung!” Ji-hwesio mengeluarkan puja-puji. "Ah, mana tokoh-tokohnya, sute. Mana ketua Heng-san dan Hoa-san?”

"Kami di sini." sebuah seruan tiba-tiba menyambut. "Selamat pagi, jit-wi lo-suhu. Dan maaf bahwa kalian terlambat datang!"

"Ah!” Ji-hwesio dan adik-adiknya membalik, empat belas bayangan berkelebatan dan tahu- tahu berdiri di pendopo luas itu, pendopo agung. Lalu begitu mereka berhadapan dan Hek-tosu tertawa bergelak maka tosu inilah yang lebih dulu berseru,

"Pat-kwa-hwesio, kami datang untuk menuntut balas. Nah, terang-terangan saja kami ingin membunuh kalian!"

“Omitohud," Ji-hwesio terbelalak tapi sudah dapat menguasai rasa kagetnya. "Kalian, totiang. Bagus sekali. Elok benar bahwa pagi-pagi sudah melakukan serbuan tanpa pemberitahuan lebih dulu. Dan kau, hmm...!" hwesio itu berkilat memandang Sin Gwan Tojin. "Siapa sebenarnya kau ini, totiang. Kau memperkenalkan diri sebagai Sin Gwan Tojin tapi sepak terjangmu tidak seperti layaknya orang beragama. Omitohud!"

“Pinto tak memalsu nama," tosu ini bergerak dan sudah berhadapan dengan lawannya. Pinto benar Sin Gwan adanya, Ji-hwesio. Dan tentang siapa sebenarnya pinto maka baiklah pinto katakan terus terang bahwa pinto adalah wakil ketua Heng-san. Tan Hoo Cinjin adalah suheng pinto!”

"Omitohud, Tan Hoo Cinjin telah pinceng kenal, tapi kau... ah, ingat sekarang. Kau dulu pernah datang ke sini tapi masih bukan sebagai seorang tokoh. Dan kau bersama seluruh kekuatan rupanya datang ingin menghancurkan Go-bi, padahal kemarin....”

“Ha-ha!” Hek-tosu kali ini bicara kembali, memotong. "Suhengmu Beng Kong Hwesio memang kami singkirkan agar kita dapat berhadapan, Ji-hwesio. Nah, jelas agaknya kenapa pagi ini kami semua menyerang Go-bi!"

“Omitohud! Jadi kalian....?”

"Benar, tak usah tedeng aling-aling. Suhengmu adalah tokoh terkuat di sini, dan kami tak ingin berhadapan. Biarlah dia menghadapi Siang Kek Cinjin dan Heng-san siap mengorbankan puteranya yang terbaik untuk api dendamnya yang membara!”

“Maksudmu?”

“Maaf," Tan Hoo kini bicara, matanya tajam bersinar-sinar. "Supek kami Siang Kek Cinjin ingin bertempur mati hidup dengan suhengmu, lo-suhu. Dan kami diperintahkan ke sini untuk membayar hutang lama. Bersiaplah, kau boleh memilih di antara kami dan ingin kulihat apakah tanpa Beng Kong Hwesio Go-bi dapat bertahan!”

Ji-hwesio marah bukan main. Sekarang sadarlah dia apa kiranya arti dari semuanya itu. Suhengnya bagai singa dikeluarkan kandang sementara anak-anak singanya siap dibunuh dan digebuk mampus. Go-bi benar-benar menghadapi ancaman bahaya. Tapi karena dia bukanlah hwesio penakut dan mati hidup bukanlah soal, dia harus berani membela perguruannya maka begitu membentak iapun langsung mengayunkan lengannya ke arah Tan Hoo Cinjin ini, biang dari segala biang yang dianggap paling bertanggung jawab.

“Tan Hoo Cinjin, pinceng siap membela Go-bi. Marilah.... mari main-main dan coba kau bunuh pinceng!"

Tan Hoo Cinjin berseri-seri. Inilah kesempatan baginya menjajal ilmu. Enam tahun dia digembleng dan segala macam hwesio tak perlu ditakutinya lagi, kecuali Beng Kong Hwesio itu. Maka begitu diserang dan serangkum angin dahsyat menyambarnya dari tangan lawan, Ji-hwesio jelas melepas pukulan berat maka dengan cepat iapun menangkis dan langsung mengeluarkan Lui-yang Sin-kangnya, ilmu listrik.

"Clap!”

Ji-hwesio berteriak dan membanting tubuh dengan kaget. Percikan kilat listrik menyambar dari lengan ketua Heng-san-pai itu dan pukulannya yang tersedot dan hendak dihisap tiba-tiba menyadarkan hwesio Go-bi ini akan bahaya yang lebih besar. Dia terkejut dan karena itu cepat membuang dan melempar tubuh ke kiri. Dan ketika hwesio itu bergulingan meloncat bangun sementara pukulan lawan meluncur terus, menghantam dinding pendopo maka terdengar ledakan keras di mana dinding itu terbakar, hangus. Persis bagai dijilat halilintar!

"Ha-ha!" ketua Heng-san tertawa dan girang bukan main. Ji-hwesio ini ternyata "kecil" baginya. "Lihat dan rasakan kepandaianku, Ji-lo-suhu. Mari maju dan marilah kita main-main lagi!”

Enam saudara Ji-hwesio yang lain terkejut. Mereka tiba-tiba melihat betapa hebat dan lihainya sute dari mendiang To Hak Cinjin ini. Dulu, To Hak Cinjin sendiri imbang dengan mereka, dengan selisih tipis untuk mendiang ketua Heng-san-pai itu. Maka begitu melihat suheng mereka melempar tubuh bergulingan dan Tan Hoo Cinjin ini demikian hebatnya, ilmu listrik yang dulu dimiliki To Hak Cinjin itu kini rupanya diperdalam dan sudah mencapai tingkat mengagumkan, tak tahu bahwa ini berkat didikan Siang Kek Cinjin sendiri, dedengkot yang langsung menggembleng ketua Heng-san itu maka baik Ji-hwesio maupun adik-adiknya kaget sekali.

"Ha-ha, bagaimana!" Hek-tosu terbahak dan kagum melihat kelihaian sahabatnya ini. “Kalau takut menghadapi Heng-san-paicu boleh kau maju dan hadapi aku, Ji-lo-suhu. Aku juga gatal dan ingin membalas sakit hatiku dulu!"

“Srat!” sebagai jawaban Ji-hwesio tiba-tiba mencabut toyanya, senjata andalan. Enam saudaranya juga bergerak dan tahu-tahu membentuk lingkaran. "Siapapun lawan kami bukan soal, Hek-totiang. Tapi kalian tentu tahu bahwa Pat-kwa-hwesio biasanya maju berbareng, baik menghadapi seorang lawan atau seratus lawan. Nah, majulah dan pinceng bertujuh biar merasakan kembali kehebatan kalian semua!"

Hek-tosu terbelalak. Ia tiba-tiba memandang enam saudaranya dan tiba-tiba mereka sama mengangguk. Di situ ada tujuh hwesio sementara mereka tujuh orang tosu. Sebelum Heng-san-paicu menunjukkan kebolehannya biarlah mereka lebih dulu maju. Dan karena di Gobi masih ada "dedengkotnya" yang belum keluar, yakni Ji Leng Hwesio si pertapa sakti maka Hek-tosu tertawa bergelak dan sebelum Tan Hoo Cinjin menghadapi lawannya iapun sudah mencabut pedang dan enam saudaranya berkelebatan maju.

"Ha-ha, bagus tantanganmu, Ji-lo-suhu. Dan biar kami Tujuh Malaikat Hoa-san main-main dengan kalian. Mari, kita bergebrak dan ini tentu adil!”

Tujuh hwesio itu menggetarkan toya. Melihat bahwa lawan yang maju adalah tujuh tosu dari Hoa-san, bukan Heng-san maka masing- masing sudah memberi isyarat dan kerlingan mata. Di luar jerit pekik kesakitan masih terdengar silih berganti. Pendopo tergetar oleh teriakan atau raungan mereka itu. Dan ketika masing-masing sudah siap dan Pat-kwa-hwesio tentu saja membentuk barisan pat-kwa-tin (segi delapan) yang sayangnya hanya bisa diisi oleh mereka bertujuh, karena saudara mereka tertua lenyap entah ke mana maka Tujuh Malaikat Hoa-san juga bersiap-siap dan Sin Gwan Tojin serta suheng atau sutenya mundur.

Hek-tosu bersikap cerdik dengan cepat-cepat menghadapi tujuh orang hwesio ini. Di samping tentu saja sungkan kalau segala sesuatu harus diselesaikan pihak Heng-san maka sebenarnya tosu ini secara cerdik "memasang" Sin Gwan Tojin untuk menghadapi pertapa sakti Ji Leng Hwesio. Dan di situ ada pula ketua serta pembantu- pembantu ketua Heng-san. Dengan adanya Tan Hoo Cinjin dan keempat sutenya berikat kepala merah, meskipun mereka belum sembuh benar dari bekas luka pukulan Beng Kong.

Namun diharapkan tokoh-tokoh dari Heng-san itu mampu menghadapi Ji Leng Hwesio. Kalaupun kurang, tentu anak-anak murid mereka dapat mengeroyok. Semua sudah dipersiapkan demi menghancurkan Go-bi. Maka begitu Hek-tosu berhadapan dan mengejek lawannya ini, dulu Pat-kwa-hwesio pernah terdesak dan hampir kalah di tangan mereka, kalau saja Beng Kong tidak membantu maka tosu muka hitam ini tiba-tiba berseru keras dan pedangnya bergerak menusuk Ji- hwesio, orang pertama dari Pat-kwa-hwesio.

"Keledai gundul, awas dan waspadalah akan serangan pinto. Sekarang kita mulai dan mari bergebrak!"

Hek-tosu menyerang. Orang pertama dari Tujuh Malaikat Hoa-san ini langsung mengeluarkan ilmunya Hoa-san Kiam-sut (Silat Pedang Hoa-san), pedang menusuk kemudian menyontek dari bawah ke atas. Serangannya cepat dan kuat, juga berbahaya. Tapi ketika Ji-hwesio mengelak dan menggeser kedudukannya, saudaranya nomor dua menangkis dan yang nomor tiga serta empat menggantikan posisi menyerang tosu itu, mereka sudah bergeser dan saling menjaga serta menyerang dari arah berlainan tiba-tiba saja Hek-tosu bukan lagi berhadapan dengan Ji-hwesio melainkan dengan saudara- saudaranya yang lain. Dan begitu mereka itu bergerak dan menangkis serta menyerang tosu ini maka Ji-hwesio tahu-tahu sudah berada di belakang dan toyanya menyambar belakang kepala Hek-tosu.

"Crang-crangg!"

Hek-tosu terkejut dan mengelak serta menangkis. Dia yang tadi dalam posisi menyerang tiba-tiba sudah berbalik dan ganti menghadapi serangan, tidak tanggung- tanggung melainkan sekaligus tujuh hwesio lihai. Tapi karena enam saudaranya yang lain juga sudah bersiap dan mereka itu tentu saja tidak membiarkan Hek-tosu celaka, mereka inilah yang membantu dan menangkis atau menghalau toya-toya di tangan tujuh hwesio, membentak dan berkelebat maju maka tujuh hwesio Go-bi tiba-tiba sudah berhadapan dan saling serang dengan tujuh tosu Hoa-san!

“Cring-cring-cranggg.....!”

Selanjutnya bentakan dan makian terdengar di situ. Masing-masing hwesio, juga masing- masing tosu tiba-tiba sudah berkelebatan dengan cepat. Mereka silih berganti menyerang atau menangkis yang lain dan pertempuran di atas pendopo ini menjadi seru dan tegang. Empat sute Sin Gwan yang menonton menjadi berdebar tapi Sin Gwan dan suhengnya tenang-tenang saja. Sebagai orang-orang yang memiliki kepandaian lebih tinggi maka Sin Gwan maupun suhengnya melihat bahwa dalam gebrak-gebrak pertama ini pertempuran berjalan imbang.

Tujuh hwesio dari Go-bi bermain tangkas dan kuat. Namun karena tujuh tosu dari Hoa-san bergerak cepat dan cekatan, pedang di tangan mereka naik turun mainkan Hoa-san Kiam-sut maka tujuh toya kuning di tangan para hwesio tertolak dan tergetar. Masing-masing sama pandai tapi kemudian Hek-tosu mengeluarkan bentakan nyaring merobah gaya permainannya. Hoa-san Kiam-sut, yang tadi dimainkan, mendadak menjadi gerakan silang-menyilang mirip sudut lima bintang yang menyambar-nyambar.

Tan Hoo Cinjin mengangguk-angguk dan ketua Heng-san ini tersenyum. Itulah Jit-seng-kiam atau Pedang Tujuh Bintang yang dikeluarkan barisan tujuh Hoa-san ini. Dan ketika bentakan atau seruan nyaring tadi dikuti geseran- geseran kaki dari keenam adiknya yang lain, Hek-tosu memberi aba-aba untuk mengeluarkan Jit-seng-tin (Barisan Tujuh Bintang) maka berkelebatanlah tujuh orang tosu itu dengan gerak cepat luar biasa menindih dan menekan toya.

“Awas!” Ji-hwesio berseru dan berubah. “Hati-hati, sute. Lawan mengeluarkan Jit-seng- kiam!"

Enam hwesio yang lain mengangguk. Barisan pat-kwa-tin tiba-tiba dihadapi jit-seng-tin. Mereka dirangsek dan didesak sedemikian rupa di mana mula-mula mereka masih mampu bertahan. Tapi karena ada satu barisan kosong yang tak terjaga mereka, yakni yang seharusnya ditempati suheng mereka yang pergi entah ke mana maka barisan atau tempat inilah yang sekarang diterobos Tujuh Malaikat Hoa-san. Mereka dulu sudah pernah bertanding dan gara-gara kosongnya satu barisan inilah maka Pat-kwa-hwesio terdesak hebat.

Segi delapan yang hanya diisi tujuh orang itu saja tentu berat untuk dicarikan penggantinya. Masing-masing harus melakukan pekerjaan ekstra untuk menutup yang lowong ini. Tapi karena tak mungkin mereka harus terus-menerus menutup lubang ini, lawan yang dihadapi adalah lawan yang mengenal kelemahan mereka maka begitu Silat Tujuh Bintang dikeluarkan dan Hek-tosu serta sute-sutenya mencecar bagian yang ini maka tujuh hwesio benar-benar repot membendung dan menghalangi terobosan lawan.

Satu lubang dari delapan lubang yang kosong ini benar-benar tak disia-siakan oleh Hek-tosu dan adik-adiknya. Mereka telah mengenal kelemahan ini dan pengalaman dulu membuat mereka lebih pintar lagi. Tak heran, begitu mereka merobah ilmu pedang maka lubang atau kekosongan inilah yang dicecar. Mereka hendak masuk dan harus masuk kalau ingin merobohkan lawan. Dan ketika Ji-hwesio pucat karena bertubi-tubi tujuh orang tosu itu hendak memasuki lubang ini, ganti-berganti mereka mempertahankan diri maka Hek-tosu yang gembira melihat sibuknya tujuh hwesio itu berseru agar yang lemah dulu dirobohkan.

"Putar posisi, banting melingkar. Pinto di depan dan kalian melindungi!”

Seruan atau aba-aba itu tak dimengerti Ji-hwesio. Tapi enam tosu yang mengangguk dan berseri mendengar itu tiba-tiba berbalik. Mereka sekonyong-konyong merobah arah dan mendadak Hek-tosu kini di belakang. Dengan begini ia tak lagi menghadapi Ji-hwesio melainkan Pat-hwesio, hwesio termuda. Dan karena hwesio ini adalah yang terlemah dan dialah yang hendak dirobohkan dulu, hwesio itu kaget dan berseru keras maka Hek-tosu tertawa bergelak menusukkan pedangnya ke dada hwesio ini.

"Mampuslah!"

Enam hwesio yang lain terkejut. Hek-tosu tiba- tiba berada di belakang dan kini menyerang saudara mereka termuda itu. Keadaan berubah demikian cepat dan sadarlah mereka kini apa artinya seruan atau aba-aba tadi. Kiranya mereka yang lemah akan ditikam lebih dulu. Kalau begini maka berbahayalah keadaan. Mereka secara berturut-turut bisa dirobohkan dari yang terlemah dulu. 

Maka mengetahui bahaya dan maksud lawan, Ji-hwesio membentak dan berseru keras iapun tiba-tiba menggerakkan toyanya dan lima saudaranya yang lain juga bergerak tapi enam tosu yang lain sudah melindungi suheng mereka itu. Hek- tosu diserang oleh enam batang toya tapi adik-adiknya sudah menjaga dan memperhitungkan ini.

"Cret.... cring-crang-dess!"

Akal atau gerak cepat Hek-tosu berhasil. Ia telah dilindungi saudara-saudaranya dan hwesio termuda dari Pat-kwa-hwesio itu mengaduh. Pundaknya tertusuk dan bobollah kini sebuah lubang lagi. Pat-hwesio terhuyung- huyung. Dan ketika Hek-tosu tertawa bergelak dan menyerang lagi, hwesio itulah yang diteter maka Pat-hwesio mengelak namun ujung pedang kembali mengenai bahunya, terhuyung dan diserang lagi dan hwesio ini terpelanting mempertahankan diri.

Ji-hwesio dan adik-adiknya terbelalak tapi mereka itu dihadang enam tosu adik-adik Hek-tosu, menggeram dan Pat-kwa-tin hancur berantakan. Dan ketika akhirnya Pat-hwesio roboh dan menjerit, toya terlepas dari tangannya maka satu tusukan maut menghunjam di dada hwesio termuda itu.

"Crep!”

Habislah riwayat hwesio ini. Pat-hwesio mendelik namun roboh dengan luka di dada, terguling dan tewaslah satu dari delapan hwesio Go-bi ini. Dan ketika di sana Ji-hwesio membentak dan mengayun toyanya dari kiri ke kanan, adik-adiknya juga mata gelap dan marah sekali maka tosu termuda dari Tujuh Malaikat Hoa-san ini ganti menerima kemplangan.

“Omitohud, kalian telah membunuh sute pinceng. Rasakan!”

Jit-tosu atau orang termuda dari Tujuh Malaikat Hoa-san menghadapi kemarahan orang pertama Pat-kwa-hwesio ini. Dia menangkis tapi kalah kuat dan toya menyambar dadanya. Saudara-saudaranya yang lain menghadapi hwesio-hwesio yang lain pula dan benturan tenaga di antara dua senjata tadi membuat pedangnya terpental. Sekarang barisan pat-kwa-tin pecah-belah seperti halnya jit-seng-tin pula, meskipun keunggulan di pihak tosu-tosu Hoa-san ini karena satu di antara tujuh hwesio telah roboh. Dan ketika toya menyambar sementara tosu ini tak sempat mengelak, langsung menerima gebukan maka tosu itu menjerit dan terlempar bergulingan.

"Dess!”

Daya tahan atau sinkang di tubuh Jit-tosu ini masih mengagumkan. Ia masih dapat bergulingan meskipun terhantam telak. Amukan dan tenaga Ji-hwesio tadi memang dahsyat, seharusnya Hek-tosulah yang menerima itu. Tapi ketika Ji-hwesio mengejar dan hendak menghabisi lawannya, dia pun ingin membunuh orang termuda sebagaimana saudara mudanya dibunuh, ternyata Hek-tosu berkelebat dan menolong adiknya itu.

“Ji-hwesio, masih ada aku di sini!”

Pedang di tangan Hek-tosu menangkis toya di tangan lawan. Pedang dan toya sama-sama terpental dan tosu termuda itu meloncat bangun. Ia terhuyung dan merasakan sesaknya napas tapi dapat berlega hati. Suhengnya telah menolong. Dan ketika enam saudaranya yang lain telah maju kembali, melawan enam hwesio di sana maka iapun meloncat lagi dan membantu saudara-saudaranya. Payahlah keadaan enam hwesio ini. Tadi di kala mereka masih sama-sama bertujuh saja keunggulan berada pada pihak lawan.

Kini setelah satu di antara mereka roboh dan harus menghadapi musuh yang masih lengkap, Jit- tosu diminta mengeroyok hwesio nomor tujuh maka hwesio nomor tujuh itu menghadapi tekanan berat, dikeroyok tosu nomor enam dan tujuh berbareng, meskipun tosu yang nomor tujuh ini masih seringkali harus menyeringai dan menahan sesaknya napas. Tapi karena mereka adalah tosu-tosu tangguh dan pat-kwa-tin cerai-berai, padahal di situlah kekuatan hwesio-hwesio Go-bi ini maka tiga puluh jurus kemudian hwesio nomor tujuh ini juga roboh. Ia tewas tertusuk lehernya dan Ji-hwesio semakin membelalakkan mata.

Dulu, ketika mereka juga terdesak dan hampir dikalahkan Tujuh Malaikat Hoa-san ini masih ada suheng mereka Beng Kong Hwesio yang menolong. Kini suheng mereka itu tak ada sementara di sana masih ada Tan Hoo Cinjin dan sute-sutenya. Kebinasaan bakal menjemput mereka dan bayang-bayang dewa maut sungguh tampak di depan mata. Ji- hwesio melengking dan memutar toyanya dengan dahsyat. Dan ketika mereka tinggal berlima sementara anak-anak murid juga berjatuhan, murid-murid Go-bi rata-rata dikeroyok dua atau tiga maka hwesio ini putus asa dan beberapa detik kemudian terdengar jeritan saudaranya yang lain.

Apa yang terjadi? Kiranya robohnya hwesio keenam. Benar seperti dugaan hwesio ini bahwa Hek-tosu dan adik-adiknya akan membantai dari bawah. Mereka akan membunuh mulai dari yang lemah dulu, dari bawah ke atas. Dan ketika tiga saudaranya sudah roboh sementara murid- murid Go-bi juga berjatuhan dan semakin banyak korban, halaman di pintu gerbang bergelimang darah penuh oleh mayat-mayat yang tumpang tindih maka hwesio keempat juga berteriak dan roboh terjengkang.

"Augh!”

Jerit pendek itu cukup bagi Ji-hwesio dan dua adiknya yang tinggal. Sekarang mereka tinggal bertiga dan inilah malapetaka paling buruk bagi Pat-kwa-hwesio. Ji-hwesio mendelik dan gemetar dan sekarang mereka menghadapi keroyokan. Sam-hwesio, hwesio nomor tiga, menghadapi keroyokan tiga orang. Suheng dan sutenya masing-masing menghadapi dua. Jelas, mereka akan dibantai dan seisi Go-bi bakal habis. Ji-hwesio melotot dan mulai tergurat atau terbacok pedang. Toya di tangannya masih gagah menyambut dan mengelak serangan dan diam-diam hwesio ini kecewa dan heran kenapa supeknya tidak muncul.

Ji Leng, supeknya, berada di belakang di balik bukit berpagar kawat. Dentang dan ramainya suara pertempuran tak mungkin terlewat oleh telinga supeknya yang sakti itu. Heran kenapa tidak muncul! Dan ketika ia hendak melengking dan memanggil supeknye, Go-bi benar-benar terancam kehancuran mendadak dari luar pintu gerbang berkelebat dua bayangan orang dan seruan-seruan kaget.

“Siancai, apa ini. Ah, pembunuhan...! Siancai, kejam dan tak berperasaan... plak-plak-plak!”

Jerit dan teriakan kaget terdengar di halaman itu. Anak-anak murid Go-bi, yang dikeroyok dan roboh berjatuhan tiba-tiba mendapat bantuan dua orang yang baru datang ini. Orang pertama berseru kaget sementara orang kedua berseru marah. Yang pertama mendorong dan mengebut-ngebutkan ujung lengannya sementara yang kedua membentak dan berkelebatan di antara pertempuran, menendang atau melempar-lempar murid-murid Hoa-san dan Heng-san. Mudah baginya membedakan mana murid Go-bi mana yang bukan, karena murid Go-bi tentu berkepala gundul dan rata-rata berjubah longgar, sementara lawan berpakaian ringkas dan rambutnya digelung ke atas, tanda murid-murid agama To dan para tosu.

Dan ketika bayangan kedua itu melengking dan berkelebatan menyambar-nyambar, orang pertama mengebut dan mendorong roboh puluhan orang di depan maka orang ini melihat pertandingan di pendopo dan tiba-tiba kakinya menjejak kuat, meluncur dan melayang melewati deretan anak tangga yang begitu panjang.

"Peng Houw, pinto akan melihat ke atas. Jangan bunuh lawanmu kecuali robohkan dan lumpuhkan mereka!"

Bayangan kedua itu, yang berkelebatan dan menyambar di antara murid-murid Hoa-san dan Heng-san berseru menjawab. Dia ternyata adalah seorang pemuda gagah berwajah tampan, sinar matanya lembut namun kali itu kelihatan marah sekali. Ia membentak dan menendang atau mengangkat lawan di mana terutama murid-murid Hoa-san dilempar atau dibantingnya ke sana ke mari. Dan ketika bayangan pertama sudah meluncur dan berjungkir balik di dalam pendopo, dia ternyata adalah seorang tosu berwajah terang maka terkejutlah Sin Gwan Tojin dan lain-lain melihat siapa kiranya tosu ini.

"Giok Kee Cinjin!"

Seruan itu disambut anggukan tapi juga wajah berubah dari Hek-tosu dan adik-adiknya. Giok Kee Cinjin, tosu ini, adalah tosu “liar" yang tak diakui sebagai teman sealiran oleh tokoh-tokoh Hoa-san maupun Heng-san. Bahkan Kun-lun sendiri, yang juga merupakan para tosu menolak Giok Kee Cinjin sebagai teman sealiran. Hal ini disebabkan oleh sepak terjang aneh tosu yang baru datang ini. 

Giok Kee Cinjin sering membuat ulah yang aneh-aneh di mana sikap atau ulahnya itu bertentangan dengan para tosu pada umumnya, misalnya tentang pandangan mereka akan agama yang mereka pegang. Atau juga sepak terjangnya yang suka sendiri dan tak mau berkumpul dengan tosu-tosu lain, baik itu ketua Hoa-san atau Kun-lun sendiri dan Heng-san.

Dalam tindak-tanduknya sehari-hari tosu ini memang suka bergerak sendiri dan jarang berkumpul dengan teman-teman sealiran. Maka ketika tiba-tiba ia muncul di situ dan terbelalak melihat pertandingan ini, empat hwesio menggeletak di sana maka tosu ini mengeluarkan seruan perlahan dan tepat Sam-hwesio terhuyung oleh serangan dua pedang di kiri kanan maka tosu ini mendorongkan lengannya menampar pedang ketiga yang dilancarkan Ui-tosu, orang keempat dari Tujuh Malaikat Hoa-san.

"Siancai, pembunuhan telah terjadi. Ah, hentikan ini dan jangan tumpahkan darah lagi.... plak!" pukulan jarak jauh tosu itu menghantam pedang Ui-tosu, terpental dan membalik dan Ui-tosu ini kaget berteriak keras. Giok Kee Cinjin sudah mencampuri urusan dan ketika di sana Hek-tosu dan saudara-saudaranya yang lain juga menusuk dan merepotkan dua lawan mereka maka Giok Kee Cinjin ini mendorongkan lagi lengannya dan... Hek-tosu maupun saudara-saudaranya terpental.

"Stop, berhenti... stop!”

Bukan main marahnya Hek-tosu dan enam adiknya yang lain itu. Mereka telah berhasil mendesak sedemikian rupa Ji-hwesio dan sutenya itu ketika tiba-tiba saja Giok Kee Cinjin menangkis. Dari dorongan atau kebutan tangan tosu ini meluncur pukulan dahsyat penuh tenaga sakti. Itulah Soan-hoan-ciang atau Kibasan Angin Taufan di mana dulu Beng Kong Hwesio sendiri pernah roboh, sebelum memiliki ilmu-ilmu dari Bu-tek-cin-keng dan selihai sekarang. 

Dan ketika Tujuh Malaikat Hoa-san itu terpental dan hanya Hek-tosu serta Pek-tosu saja yang terhuyung, pedang mereka nyaris terlepas maka Ji-hwesio dan adik-adiknya bergabung kembali dan tampak betapa masing-masing gemetaran hebat. Baju mereka mulai basah oleh keringat dan juga darah.

“Giok Kee totiang, terima kasih atas bantuanmu. Tapi biarlah kami mati secara gagah menghadapi keroyokan Tujuh Malaikat Hoa-san yang tidak tahu malu ini!”

"Benar," Sam-hwesio juga terhuyung mengusap lengannya, ia tadi tergurat dan terbacok tipis. “Terima kasih atas bantuanmu, totiang. Tapi biarlah kami hadapi lawan-lawan kami yang hebat dan jantan ini!”

"Hm, tidak bisa... tidak adil!” tosu itu terbelalak, menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ini pertempuran curang, Ji-lo-suhu. Dan heran bahwa Hoa-san Sin-jit sampai melakukan keroyokan. Apakah Hoa-san sekarang sudah sedemikian picik dan dangkal cara berpikirnya!" lalu menoleh dan marah memandang tosu-tosu Hoa-san tosu ini bertanya, suaranya melengking, “Hek-totiang, apa artinya ini. Kenapa kalian mengeroyok dan menyerbu Go-bi. Dan juga murid-murid kalian itu. Eh, masih juga ada Tan Hoo totiang di sini. Siancai, apa yang kalian lakukan ini dan kenapa kalian tokoh-tokoh Hoa-san dan Heng- san bisa sepengecut ini. Kenapa membunuh- bunuhi dan mengeroyok orang begitu enaknya. Pinto minta penjelasan!"

"Tosu liar!" Hek-tosu membentak dan marah menerjang maju, dia tadi gusar oleh tangkisan Giok Kee Cinjin. "Pergi dan uruslah pekerjaanmu sendiri, Giok Kee Cinjin. Ini urusan balas dendam kami pada Go-bi. Enyahlah, atau pinto membunuhmu!”

Namun pedang meleset mengenai angin. Giok Kee Cinjin mengelak dan Hek-tosu menyerang lagi, dikelit tapi mengejar dan akhirnya Giok Kee Cinjin menangkis dengan pukulan Soan-hoan-ciangnya itu. Dan ketika Hek-tosu terpental dan pedang terlepas dari tangan, berjungkir balik dan disambar lagi maka pucatlah tosu muka hitam itu ketika turun lagi ke tanah. Namun sebelum dia menyerang atau mengumpulkan sute-sutenya mendadak Sin Gwan Tojin sudah melangkah maju dan berdiri di tengah-tengah dua orang itu. Suhengnya, Tan Hoo Cinjin telah memberi tanda.

“Giok Kee Cinjin, kau takabur dan rupanya bertambah sombong saja sekarang. Hm, mengingat kau sahabat Go-bi tak aneh rasanya tindak-tandukmu ini. Tapi apakah kau tidak tahu bahwa kami dari Hoa-san maupun Heng- san telah menerima hinaan dan jatuh korban. Kenapa sikapmu tidak adil sementara dulu enam tahun yang lalu kau tak mengecam kesewenang-wenangan Go-bi!"

“Aha, ini Sin Gwan Tojin? Bagus, pinto telah mendengar kedudukanmu sebagai wakil ketua Heng-san. Tapi justeru pinto heran bagaimana wakil ketua partai bisa melakukan kelicikan dan kecurangan seperti ini. Mana watak ksatria kalian?”

“Ksatria apalagi? Kami telah menemui dan mencari tokoh-tokoh Go-bi, Giok Kee. Dan kami juga tidak mencampuri pertandingan Tujuh Malaikat Hoa-san. Apakah ini salah?"

“Tapi kalian menyuruh keluar suheng kami Beng Kong, menjebaknya di Heng-san. Kalian pengecut memancingnya keluar karena takut berhadapan dengan suheng kami!" Sam-hwesio, yang tak dapat menahan diri dan marah memaki tosu itu membuat Giok Kee Cinjin membelalakkan matanya lebar-lebar.

Di luar pendopo masih terdengar jerit atau pekik kesakitan dan tosu inipun menjentik-jentikkan kuku jarinya melepas kelereng-kelereng kecil dari batu hitam. Ia merobohkan murid-murid Heng-san maupun Hoa-san dengan lontaran senjata rahasianya itu. Dan ketika Tan Hoo mengerutkan kening karena anak-anak muridnya roboh, mereka terkena kelereng hitam ini maka Giok Kee memandang dan bertanya kepada hwesio itu,

"Suheng kalian Beng Kong lo-suhu dipancing keluar? Sin Gwan Tojin ini menjebaknya di Heng-san?"

"Benar,” Sam-hwesio meletupkan marahnya. "Orang-orang Heng-san ini licik dan pengecut, totiang. Tak berani menghadapi suhengku lalu memancingnya keluar dan melakukan serbuan ini. Dan mereka menyerbu pula dengan orang- orang dari Hoa-san. Seumur hidup pinceng tak bakal melupakan kelicikan ini!"

"Wah-wah, dan pinto semakin banyak melihat perobahan di dunia. Heii, kalian orang-orang Heng-san dan Hoa-san kotor sekali, Sin Gwan Tojin. Meskipun kita sama-sama seorang tosu tapi pinto tak dapat menerima tingkahmu seperti ini. Hayo, kembali dan minta maaf kepada Go-bi!”

Sin Gwan Tojin tertawa mengejek. Ia tahu bahwa Giok Kee ini lihai. Dulu, enam tahun yang lalu mendiang suhengnya To Hak Cinjin sendiri belum tentu menang menghadapi tosu liar ini, apalagi dia. Tapi karena enam tahun ini ia sudah digembleng supeknya dan dia bersama suhengnya Tan Hoo Cinjin sudah dipersiapkan untuk membalas dendam, justeru ia ingin tahu apakah ia mampu menandingi tosu ini maka Sin Gwan berkata sekaligus mengebutkan lengannya,

“Giok Kee, kau amat ditakuti dengan pukulan Soan-hoan-ciang mu itu. Tapi entahlah kalau kau sudah bermain-main sebentar dengan pinto. Marilah, biarkan Hoa-san Sin-jit beristirahat dan pinto ingin berkenalan denganmu... wutt!" lengan baju tosu itu menyambar ke depan.

Giok Kee tak tahu kemajuan tokoh-tokoh Heng-san ini dan tosu itu terbelalak. Dulu, enam tahun yang lalu mendiang To Hak Cinjin sendiri tak berani gegabah menyerangnya, apalagi para adik-adik seperguruannya. Maka melihat serangan itu dan hampir tertawa tapi terkejut dan menutup mulutnya melihat deru angin menyambar, lengan baju Sin Gwan Tojin tiba-tiba mengeras dan membentuk lempengan baja tiba-tiba tosu ini berkelit dan dari samping ia menangkis.

“Plak!” Dan tosu ini terhuyung mundur. Giok Kee yang tadi demikian mudah mementalkan Hek-tosu dan saudara-saudaranya ternyata tidak demikian dengan Sin Gwan Tojin ini. Dari lempengan kaku kuat yang merubah lengan baju menjadi semacam papan baja membuat Giok Kee Cinjin terkejut akan adanya sinkang yang amat hebat. Dia dengan cepat mundur dan mengerahkan sinkangnya sendiri untuk menangkis atau memukul lengan baju itu. Dan ketika dia terhuyung sementara lawan hanya tergetar saja, tosu ini terbelalak maka Sin Gwan tertawa mengejek.

"Bagaimana, Giok Kee Cinjin? Apakah aku tak pantas untuk main-main denganmu?”

“Siancai..., itu tadi seperti Lui-yang Sin-kang. Tapi lebih hebat daripada yang dimiliki mendiang suhengmu To Hak Cinjin. Ah, kau telah memperdalam kepandaianmu, Sin Gwan Tojin. Tapi jangan kira pinto takut!"

“Ha-ha, aku tahu kau memang pemberani. Dan terimalah sekarang pukulan pinto yang nomor dua.... klap!" ujung lengan baju itu bergerak kembali, menyambar ke depan dan kali ini mengeluarkan kilat api, hal yang membuat Giok Kee Cinjin semakin terkejut. Tapi ketika tosu itu menangkis dan menambah tenaganya, pukulan itu menyambar cepat maka Giok Kee terpekik karena tahu-tahu ia tersedot dan tertarik tenaga raksasa.

“Aihhhhh....!” Bukan main kagetnya tosu ini. Ia meronta dan secepat kilat menendang selangkangan lawan. Dan ketika lawan mengelak dan itu kesempatan menarik diri, ia lepas dari pukulan nomor dua maka Giok Kee Cinjin tertegun dan berubah mukanya, pucat. “Kau.... kau hampir menyamai Siang Kek Cinjin!"

“Ha-ha, dialah yang menggemblengku. Mari... mari main-main lagi, Giok Kee Cinjin. Dan lihat berapa jurus kau dapat menandingi pinto!" Sin Gwan tiba-tiba berkelebat, mengerahkan Sin-sian-hoan-eng nya dan bukan hanya tosu ini saja yang terkejut melainkan juga Ji-hwesio dan sute-sutenya. Sin Gwan bergerak secepat iblis menyambar dan secepat itu pula tahu-tahu tangannya sudah di depan hidung Giok Kee.

Dan ketika Giok Kee berteriak dan membanting tubuh bergulingan, dikejar dan susul-menyusul menerima serangan tosu ini maka Giok Kee Cinjin yang lihai dan tinggi kepandaiannya itu tiba-tiba tak dapat melompat bangun karena bertubi-tubi harus menangkis atau menyelamatkan diri.

"Plak-plak-plakk!"

Ji-hwesio dan dua sutenya terbelalak. Mereka tiba-tiba pucat karena apa yang terlihat di depan mata ini adalah hal yang benar-benar tak diduga. Sin Gwan, wakil ketua Heng-san mendadak menjadi begitu hebat jauh melampaui mendiang suhengnya dulu, To Hak Cinjin ketua Heng-san. Dan karena di situ masih ada Tan Hoo Cinjin yang kini menonton tersenyum-senyum, ketua Heng-san ini tenang-tenang berdiri mengamati maka Ji-hwesio berubah dan sadarlah dia bahwa perubahan hebat telah terjadi di partai persilatan ini. Seketika dia maklum bahwa dirinya bukanlah tandingan tosu itu. Hanya suhengnya Beng Kong Hwesio saja yang rupanya sanggup. Dan kalau hwesio ini gentar menyadari diri sendiri apalagi Giok Kee Cinjin yang berhadapan langsung dengan Sin Gwan Tojin itu.

Tosu ini tak menyangka dan kaget bukan main ketika Sin Gwan Tojin mengejar dan melepas pukulan bertubi-tubi. Setiap ia menangkis tentu menjerit kesakitan karena Lui-yang Sin-kang yang dikerahkan lawannya itu menyengat bagai api neraka. Tangannya terbakar dan tak lama kemudian sudah hangus kehitaman. Dan karena Lui-yang Sin-kang bagai api listrik yang di samping panas juga mengeluarkan tenaga sedot, inilah keistimewaan orang Heng-san maka Giok Kee menjadi pucat ketika dalam sepuluh jurus saja ia jatuh bangun menghadapi wakil ketua Heng-san ini. Menghadapi wakilnya saja sudah seperti itu apalagi kalau menghadapi ketuanya sendiri, tentu celakalah dia!

Dan sadar bahwa lawan bagai raksasa bertaring singa, ia sungguh tak mengira bahwa sute dari mendiang To Hak Cijin ini begini hebat maka satu cengkeraman kuat akhirnya tak dapat dielak. Ia menangkis tapi menjerit karena kulit tangannya terkelupas. Pekik atau teriakan tosu ini amatlah kuatnya, dinding pendopo sampai tergetar. Dan ketika lawan tertawa bergelak dan tiba-tiba menudingkan telunjuk, bunyi “crit” keluar dari situ karena tosu ini mengeluarkan Tit-ci-thian-tungnya, jari sakti mencoblos gunung maka Giok Kee Cinjin terbelalak dan sadar bahwa kematian berada di depan matanya, tak dapat menangkis apalagi mengelak.

"Peng Houw, pinto ke akherat!"

Namun berkelebat sesosok bayangan kuning. Tepat tusukan jari sakti itu diarahkan ke dahi Giok Kee Cinjin tiba-tiba di luar pendopo terdengar jerit dan tubuh orang yang terbanting berdebukan. Ratusan orang yang sedang bertempur mendadak terlempar oleh sebuah angin dahsyat yang menyambar mereka, angin yang datang dari bertiupnya sesosok bayangan kuning yang berkelebat ke pendopo. Dan ketika semua yang dilewati terlempar ke kiri kanan, bayangan ini membawa angin dahsyat di kiri kanan tubuhnya maka bersamaan itu semua orang mencelat sementara gerakan tubuhnya masih membawa angin dahsyat ketika memapak atau menerima tusukan Tit-ci-thian-tung. Bayangan ini tahu-tahu sudah di antara Sin Gwan Tojin dan Giok Kee Cinjin.

“Dess!” Dan Sin Gwan Tojin terpelanting! Wakil ketua Heng-san itu kaget bukan main dan ia berteriak keras melempar tubuh bergulingan. Seorang kakek renta, dengan jubah yang longgar tahu-tahu berdiri di situ. Wajahnya tertutup sedikit halimun namun pancaran matanya mencorong bagai mata seekor naga sakti, menembus kabut itu dan siapapun yang dipandang tentu berseru kaget.

Tan Hoo Cinjin sendiri sampai mundur dan terkesiap. Pandang mata itu sudah mampu memukulnya! Dan ketika kakek itu mengucap puja-puji sementara ujung lengan jubahnya dikebutkan perlahan, mengusap dan mengangkat bangun Giok Kee Cinjin maka segala penderitaan yang dialami tosu ini lenyap. Kulit tangannya yang hangus terbakar oleh Lui-yang Sin-kang tiba- tiba saja pulih, bersih!

"Omitohud, apa yang terjadi, Ji-kak. Kenapa banjir darah terjadi di Go-bi dan mana suhengmu Beng Kong?"

Ji-hwesio, dan dua adiknya yang melihat kakek ini tiba-tiba girang menjatuhkan diri berlutut. Itulah supek mereka Ji Leng Hwesio, tokoh sakti yang akhirnya keluar juga dari pertapaan! Dan ketika mereka berlutut sementara Giok Kee terbengong disembuhkan begitu cepat, hwesio sakti ini tak memperdulikannya lagi maka ia melihat tiga hwesio Go-bi itu susul- menyusul berseru nyaring, melapor.

"Heng-san dan Hoa-san menyerbu kami, supek. Kami baru tahu setelah serbuan datang secara tiba-tiba!"

"Dan suheng Beng Kong Hwesio dipancing ke Heng-san. Katanya ditantang Siang Kek Cinjin!"

“Tapi mereka licik berbuat curang. Kami hendak dihancurkan luar dalam, supek. Mohon ampun bahwa kami tak mampu menghadapi musuh!"

“Omitohud, begini kiranya. Dan Beng Kong tidak memberi tahu pinceng. Hm, atas nama Buddha hentikan semua pertikaian ini, anak- anak. Go-bi tak boleh digenangi darah!”

“Kami tak dapat melakukannya, itu terserah pihak lawan. Dan kami telah kehilangan banyak jiwa, supek. Di antaranya empat saudara kami sendiri!”

"Omitohud, yang lewat sudahlah lewat. Permusuhan tak membuahkan kedamaian dan pinceng minta agar diselesaikan sekarang juga."

"Tak bisa!" Sin Gwan Tojin tiba-tiba membentak. Ia tadi terlempar dan marah oleh kesaktian hwesio ini, masih penasaran. "Kami datang untuk menghancurkan Go-bi, Ji Leng Hwesio. Kematian dan korban di pihak kami juga besar. Kami akan berhenti kalau dendam kami terbalas, impas!”

"Benar," Tan Hoo Cinjin tiba-tiba juga berseru marah dan bersinar-sinar memandang hwesio ini. Sekarang kesempatan baginya untuk maju. Dia sudah berhadapan dengan dedengkot Go- bi. Pinto baru menyelesaikan masalah ini kalau hutang-hutang lama sudah dibayar impas, Ji Leng Hwesio. Dan kami mengemban tugas supek kami yang menderita bertahun-tahun. Kami tak akan pergi!"

"Omitohud, beginikah ajaran orang-orang beragama. Buddha dan To sama-sama memiliki ajaran Kebenaran, Tan Hoo Cinjin, dan pinceng tak melihat adanya ajaran tentang bunuh-membunuh. Heran kalau kau tak tahu ini....”