Prahara Di Gurun Gobi Jilid 17 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Serial Prahara Di Gurun Gobi Karya Batara

CHI KOAN terkejut. Si tosu sudah beterbangan dengan pukulan menyambar-nyambar dan Lui-yang Sin-kang serta Cakar Naga demikian cepat menyerangnya susul-menyusul. Antara gerak yang satu dengan gerak yang lain amatlah cepatnya karena kecepatan tosu itu memang luar biasa. Baru sekarang Chi Koan tahu bahwa inilah kiranya wakil Heng-san, sute dari Tan Hoo Cinjin dan samar-samar ia ingat siapa kiranya tosu ini, yang dulu juga pernah ke Go-bi namun tidak semenonjol Tan Hoo ataupun mendiang To Hak Cinjin, ketua Heng-san lama.

Dan ketika apa boleh buat ia harus bergerak cepat dan kembali tusukan Cakar Naga merobek bajunya, suara memberebet itu disusul oleh sorak-sorai murid-murid Heng-san maka Chi Koan merah mukanya dan membentak mengeluarkan ilmu kepandaiannya pula. Bayangan lawan yang naik turun menyambar-nyambar điiringi jejakan kakinya yang kuat ke bumi, berkelebat dan terbang pula menyambar-nyambar mengikuti lawan.

Lalu ketika pukulan demi pukulan juga menghantamnya demikian dahsyat, tosu itu mempergunakan Lui-yang Sin-kangnya dan Ngo-liong-jiauw (Cakar Lima Naga) mendadak Chi Koan sudah mainkan Lui-thian-to-jitnya dan dengan Cui-pek-po-kian dan Thai-san-ap-ting dia menangkis dan membalas.

"Des-dess-plakk!"

Murid-murid Heng-san terguncang. Sin Gwan Tojin terlempar sementara pemuda itu juga tergetar, maju terhuyung lagi dan kini membalas dan lawan berjungkir balik menangkis. Pertandingan yang sudah seru menjadi lebih seru lagi karena Chi Koan menggereng dan mengejar lawan. Dan ketika Sin Gwan terkejut namun dapat menolak pukulan Chi Koan, tergetar dan bertanding lagi maka dua orang itu sudah bergerak serang-menyerang dan pukulan atau tangkisan silih berganti.

"Duk-plak-plakk!"

Pertandingan menjadi tegang. Anak-anak murid yang semula bersorak dan menjagoi jago mereka mendadak kini diam dan tak bersuara. Kini dalam setiap tangkisan-tangkisannya selalu Sin Gwan Tojin tertolak mundur. Tosu itu tergetar dan terhuyung-huyung. Lui-yang Sin-kang, dan Cakar Naganya, tak mampu menembus kekebalan Chi Koan dan inilah yang mengejutkan si tosu. Ia kaget dan heran tapi selanjutnya ia ditekan dan didesak pukulan-pukulan lawan.

Cui-pek-po-kian melindungi pemuda itu sementara pukulan-pukulan Thai-san-ap-tingnya kian berat menindih kepala. Thai-san-ap-ting atau Gunung Thai-san Tindih Kepala ini benar-benar tepat dengan ilmunya. Dorongan atau pukulan telapak pemuda itu membawa deru angin kuat di mana si tosu merasa tertekan, tertindih.

Tapi melihat bahwa pemuda itu kiranya hanya mengeluarkan ilmu-ilmu yang ini saja, sebagai orang berpengalaman tahulah Sin Gwan Tojin bahwa Chi Koan tak memiliki ilmu lain, pemuda itu hanya mengandalkan dua ilmu ini dan tiga dengan ilmu meringankan tubuhnya, Chi Koan berkelebatan luar biasa cepat dengan Lui-thian-to-jitnya makea tosu itu membentak dan sekali tangannya bergerak ke belakang tahu-tahu ia telah mencabut tongkat panjang, tongkat beronce.

“Anak muda, ilmu silatmu tak banyak ragam. Kau hanya mengandalkan itu-itu saja. Bagus, hati-hati pinto mencabut senjata!”

“Ha-ha!” Chi Koan tertawa bergelak, sombong. "Kau boleh mengeluarkan semua senjatamu, Sin Gwan Tojin. Dan coba kalahkan aku biarpun ilmuku hanya ini-ini saja!”

“Baik, kau sombong seperti gurumu. Awas....!" tosu itu mengeluarkan pekik dahsyat, tongkat dilepas dan tiba-tiba menyambar Chi Koan dengan gaya tongkat terbang. Tongkat benar-benar terbang dan lepas dari tangan tosu ini. Dan karena itulah Hui-thian Sin-hoat atau Silat Sakti Tongkat Terbang dan yang menggerakkan kali ini adalah langsung tokoh Heng-san sendiri, bukan anak-anak muridnya maka Chi Koan terkejut juga dan menangkis.

“Plakk!”

Tongkat membalik dan menyambar kepalanya lagi! Chi Koan terkejut dan menolak tapi tongkat ganti menyambar tubuhnya yang lain. Dan ketika berturut-turut tongkat itu mematuk atau menyambar bagai ular hidup, pemuda itu berubah maka lawan tertawa bergelak dan mengejeknya, Hong-thian-lo-tee dikeluarkan pula sebagai pengiring dari Lui-yang Sin-kang dan pukulan-pukulan Cakar Naga.

“Ha-ha, bagaimana, anak muda? Kau puas?”

Chi Koan terkejut sejenak. Setelah dia mampu mendesak dan menekan lawan dengan dorongan-dorongan Thai-san-ap-ting maka dia agak sombong dan lengah. Dia menganggap lawannya tak mungkin bertahan lagi dan Chi Koan bangga. Ia lupa bahwa sebagai wakil Heng-san tentu lawannya itu bukan sembarang lawan, pasti memiliki ilmu-ilmu lain sebagai cadangan.

Dan ketika benar saja ilmu itu mulai dikeluarkan dan tongkat menyambar-nyambar mengacau perhatiannya, ditolak tapi kembali lagi dan menyerang bagian-bagian lain tubuhnya, menggigit dan tentu saja membuat Chi Koan marah maka pemuda ini berseru nyaring dan teringat tongkat empat tosu berikat kepala merah, yakni adik-adik seperguruan Sin Gwan Tojin yang merupakan tokoh ketiga. Dan begitu ia teringat ini dan melihat itulah silat tongkat terbang yang sama gayanya, ia meniup dan mengerahkan khikang maka tongkat membalik bertemu tiupan Chi Koan yang dahsyat.

“Wusshhhhh....!”

Ini tak disangka. Sin Gwan Tojin tadi belum melihat permainan mulut Chi Koan dan kini begitu menerima hembusan mendadak saja ia berteriak. Bukan saja tongkatnya tetapi iapun tertiup mundur. Bahkan, anak-anak murid yang lain terpelanting dan roboh berteriak- teriak. Semua orang kaget! Dan ketika Chi Koan tertawa bergelak dan tongkat terbang menghantam ke belakang, menghajar tujuh orang murid di sana maka mereka itulah yang menjadi korban dan roboh pingsan dengan kepala benjol sebesar bola ping-pong!

"Tak-tak-takk!”

Serangan atau jitakan tongkat ini hebat sekali. Sin Gwan Tojin yang menggerakkan tentu saja mainkan tongkat itu dengan tenaga yang besar. Tak ayal, begitu membalik maka anak-anak muridnya pun roboh. Tapi karena ini adalah hembusan pemuda itu dan Sin Gwan kaget melihat tiupan dahsyat Chi Koan, tak disangkanya pemuda itu memiliki khikang luar biasa maka ia bergulingan dan murid-murid dibentak mundur agar menjauh, begitu pula Tan Hoo Cinjin yang melihat kehebatan Chi Koan.

“Mundur.... mundur.... semua mundur!”

Chi Koan tertawa bergelak. Sekarang Ia pulih lagi dan kepercayaan dirinya bertambah besar. Benar, ia masih dapat bertahan dan tak perlu ia takut oleh macam-macam ilmu silat lawan. Dan ketika ia mengejar dan Sin Gwan Tojin bergulingan meloncat bangun, Chi Koan berkelebat dan tiba di dekatnya maka pemuda ini melepas Thai-san-ap-ting dan tangan kirinya menampar dengan Cui-pek-po-kian.

“Dess!” Sang tosu menangkis dan berseru tertahan. Kedudukannya masih buruk karena ia baru saja melompat bangun, Chi Koan demikian cerdik tak mau kehilangan kesempatan. Dan ketika tosu itu terpental dan terlempar kembali, terguling-guling maka selanjutnya Chi Koan mengejar dan menghantam lagi. Gerakan Lui-thian-to-jit nya sungguh menandingi Sin-sian-hoan-eng namun pukulannya Thai-san-ap-ting maupun Cui-pek-po-kian terasa berat bagi tosu ini. Sin Gwan mengelak tapi tetap juga kena gempur.

Dan ketika untuk ketiga kalinya ia mencelat dan tak diberi kesempatan membalas, Chi Koan benar-benar tak mau lawannya berdiri tegak maka si tosu jatuh bangun namun Chi Koan kagum juga karena Sin Gwan tak segera roboh. Tosu itu tak mampu membalas dan ia menjadi bulan-bulanan pukulan lawan. Meskipun jatuh bangun dan ah-uh-ah-uh menderita kesakitan wakil ketua Heng-san ini tangguh juga. Tapi karena lama-lama ia bakal terluka dan Tan Hoo Cinjin tentu saja tak mau membiarkan sutenya celaka maka tiba-tiba ketua Heng-san ini bergerak dan membentak Chi Koan.

"Anak muda, berhenti!"

Murid-murid Heng-san bersinar. Mereka sudah gelisah dan mau maju tapi menunggu komando sang ketua. Kini sang ketua sudah maju dan jari telunjuknya mencicit menyambar Chi Koan. Sinar putih panas menuju pundak pemudai ini dan Chi Koan terkejut. Dan ketika ia mengelak namun sinar putih itu mengejar, ia membalik dan menangkis maka Cui-pek-po-kian bertemu Tit-ci-thian-tung yang hanya dipelajari kakek ini.

"Crat!" lelatu bunga api muncrat di udara. Chi Koan terhuyung tapi lawan juga tergetar mundur, jari sakti itu bertemu pukulan sakti dan dua-duanya sama membelalakkan mata. Bunga api itu hilang dan lenyap setelah mengepulkan asap. Hebat. Dan ketika kakek ini kagum namun Chi Koan tertawa bergelak, marah, maka pemuda yang sudah membalik itu berseru, di sana Sin Gwan Tojin sudah meloncat berdiri dan gemetaran mengusap keringat, selamat dari tekanan Chi Koan.

“Ha-ha, boleh maju sekalian, Heng-san-paicu. Ayo keroyok dan tandingi aku!"

“Hm, luar biasa sekali. Hebat. Kau anak muda yang mengagumkan!" Tan Hoo Cinjin berseru dan mengibaskan lengan, masing-masing sudah berhadapan. Kau luar biasa dan hebat, Chi Koan. Tapi kau tak boleh mengganggu sute pinto. Hayo, lawanlah pinto dan tandingi Tit-ci-thian-tung!”

"Ha-ha, itu Jari Sakti Tuding Ke Timur? Bagus, aku sudah mendengar dari suhu, tapi katanya milik si tua bangka Siang Kek dan Siang Lam Cinjin. Kiranya sudah diwariskan kepadamu, bagus, maju dan mari kita bertanding!"

“Hm, pinto akan merobohkanmu. Tapi kalau kau mau menyerah baik-baik biarlah pinto tak usah menurunkan tangan kejam!"

"Tangan kejam? Ha-ha, kau tak dapat mengalahkan aku, Tan Hoo Cinjin. Kau boleh lihai tapi aku lebih lihai lagi. Justeru kalau kau mau tunduk dan berlutut di kakiku maka kau tak akan kubunuh. Atau nanti kuhajar seperti sutemu tadi!"

Tan Hoo mendelik. Omongan si pemuda malah membakar telinganya dan sebagai ketua Heng-san tentu saja ia terhina. Pemuda tu harus dihajar. Maka begitu membentak tiba-tiba ia menggerakkan jarinya lagi dan sinar putih meluncur. "Kau anak kurang ajar.... crit!"

Chi Koan mengelak. Ia telah merasakan dan tertawa bergelak diserang Tit-ci-thian-tung. Ia tak takut dan sudah waspada. Dan ketika si tosu menggerakkan tangannya lagi dan suara mencicit mengejarnya ganas, menuju matanya maka ia merunduk dan tangan kanan mendorong dengan Thai-san-ap-ting, tadi sudah mencoba dengan Cui-pek-po-kian.

“Dess!” dan hasilnya sama-sama menggembirakan. Ia terhuyung dan lawan tergetar mundur dan dari adu tenaga itu tahulah dia bahwa ia sedikit di atas lawan. Ia berada di pihak yang bertahan dan ternyata ia mampu menahan. Kalau ia terhuyung itu adalah lumrah, tenaga lawan jauh lebih kuat karena dibantu kedudukannya yang memungkinkan. Dan ketika ia terkekeh dan tiba-tiba melejit dengan Lui-thian-to-jitnya, berkelebat dan tahu-tahu di belakang ketua Heng-san ini maka Chi Koan membalas. Ia sekarang mendahului dan lawan sebagai pihak bertahan.

Dan ketika si tosu menangkis tapi terpental ke belakang, terbukti bahwa sinkangnya masih menang setingkat maka Tan Hoo berseru keras dan ketua Heng-san itu cepat menggerakkan jarinya ke kiri kanan. Chi Koan sudah menyerangnya bertubi-tubi dan pukulan atau sambaran Thai-san-ap-ting menderu dari mana-mana. Dua orang ini tiba-tiba sudah saling berkelebatan dan bayangan si tosu tampak sibuk menangkis dan menghalau.

Tapi ketika tetap saja ia terpental dan Tit-ci- thian-tung kalah seusap menghadapi Thai-san-ap-ting, perlu diingat bahwa tenaga Chi Koan sudah dikuras untuk menghadapi Sin Gwan Tojin dan lain-lainnya tadi maka ketua Heng-san ini membentak dan tangan kirinya cepat mencabut tongkat dan mainkan Hui-tung Sin- hoat, tangan kanan masih menuding ke sana ke mari dengan jari telunjuk mempergunakan Tit-ci-thian-tung.

"Plak-plak-critt....!”

Muka si tosu segera berobah. Dengan Tit-ci- thian-tung ternyata kurang dan kini dibantu tongkatnya masih juga ia tergetar. Hebat pemuda ini! Dan ketika tosu itu berseru panjang dan lengkingan atau pekikannya menyuruh waspada yang lain, dia berkelebatan dan membayangi bayangan Chi Koan yang sudah naik turun menyambar-nyambar maka dua orang itu sudah bertanding dan silih berganti mencoba kepandaiannya dengan seru.

"Duk-plak-plakk!"

Chi Koan tergetar dan teruyung mundur. Sang ketua mainkan tongkat lebih lihai daripada Sin Gwan Tojin dan si pemudapun meniupkan hembusan khikang ke tongkat itu. Tidak seperti sutenya yang tadi melepas dan menerbangkan tongkat adalah Tan Hoo Cinjin memegang dan mencengkeramnya erat-erat. Dia khawatir tongkat itu dipukul balik dan terbang mengenai murid-murid sendiri. Kejadian seperti sutenya tadi tak mau diulang. Dan ketika tongkat di tangan kiri sementara jari telunjuk menuding dan mencicit menghadapi Chi Koan, adu tenaga dan kecepatan benar-benar terjadi di sini.

Maka Chi Koan mendapat kenyataan bahwa lawan lebih lihai daripada tadi. Ketua Heng-san ini lebih tenang dan mantap dibanding sutenya, kepandaiannya juga setengah tingkat dibanding Sin Gwan. Namun karena ia menghadapi gabungan dua ilmu sakti dari Go-bi, dengan tangan kiri Chi Koan mainkan Cui-pek-po-kian sementara dengan tangan kanan ia mendorong dan melepas pukulan-pukulan Thai-san-ap-ting, Chi Koan berseri dan gembira bukan main maka sedikit tetapi pasti ia mulai dapat mendesak lawan. Tit-ci-thian-tung, tudingan jari sakti yang semula ditakutinya itu kini berani diterima dengan tubuhnya.

Chi Koan ingin menguji kekebalan Cui-pek-po-kian dan ternyata dapat. Dua kali ia tertusuk tapi dua kali itu pula ia hanya tergetar. Ia hanya tersengat rasa panas tapi setelah itu hilang. Tertawalah pemuda ini mengejek lawan. Dan ketika ia membalas dengan Thai-san-ap-ting dan lawannya selalu terhuyung mundur, tidak jauh tapi cukup memberi tahu bahwa Tan Hoo tak kuat, Chi Koan girang sekali maka pemuda ini tak mengkhawatiri tongkat di tangan si tosu karena nanti kalau beterbangan ia akan meniup dan menghembus dengan khikangnya.

“Ha-ha, ayo Tan Hoo Cinjin. Keluarkan semua kepandaianmu!"

Tosu ini merah. Ia telah mainkan Tit-ci-thian-tung dan silat tongkat Hui-tung Sin-hoat. Semua tak berguna banyak tapi ia masih mempunyai ilmu-ilmu lain. Dan ketika ia membentak dan merobah gerakannya, jari telunjuk menuding dengan Tit-ci-thian-tung tapi jari-jari lain mengerahkan Lui-yang Sin-kang, ilmu listrik itu maka Heng-san-paicu ini juga menendang dan bergerak dengan ilmu silat Hong-thian-lo-tee.

“Jangan sombong, mendesak belum berarti menang, anak muda. Pinto belum kalah dan belum roboh!"

"Ha-ha, memang benar. Tapi setelah itu pasti roboh... dess!” Chi Koan menangkis tendangan Hong-thian-lo-tee, membungkuk dan saat itu tongkat di tangan lawan bergerak menyambar kepalanya. Jari telunjuk dan jari lain juga bergerak dengan Tit-ci-thian-tung dan pukulan Lui-yang Sin-kang, hebat tosu ini, Dan ketika Chi Koan menangkis namun serangan lain menghantam dan mengenainya maka pemuda itu terhuyung dan hampir saja terpelanting.

“Ha-ha, bagaimana, anak muda. Apakah kau dapat merasakannya?"

"Hm, jangan girang dulu. Aku tidak roboh!" Chi Koan berseru, mukanya sedikit merah. “Kau boleh hebat, Tan Hoo Cinjin, tapi tak mungkin kau mengalahkan aku!" dan bergerak lagi dengan dorongan-dorongan tangannya, Thai-san-ap-ting menyambar sementara Cui-pek-po-kian juga melindungi dan bertahan maka serangan si tosu yang beruntun hanya menggetarkan sejenak tubuh pemuda ini.

Tan Hoo memang hebat dan memang hanya tosu ini saja yang mampu menggerakkan satu tangannya dengan dua pukulan sekaligus, Tit-ci-thian-tung dan Lui-yang Sin-kang. Sutenya, Sin Gwan, delum mampu melakukan itu tapi itupun sebenarnya sudah cukup hebat bagi tosu-tosu Heng-san ini. Mereka sudah merupakan orang-orang pilihan dan karena hebatnya Cui-pek-po-kian dan Thai-san-ap-ting itu saja yang membuat ketua Heng-san ini penasaran. Ia seakan membentur tembok.

Dan ketika kembali pukulan-pukulannya tak mempan merobohkan lawannya itu, Chi Koan hebat luar biasa dengan kekebalannya maka si tosu terdesak ketika Chi Koan kembali membalas. Chi Koan tak lagi mau menerima pukulan-pukulan lawan dan berkelebatan mengerahkan ginkangnya. Kilat Menyambar Matahari, ilmu meringankan tubuhnya itu dipakai untuk menghindar dan dari situ ia membalas dan melakukan tamparan-tamparan. Dan karena Thai-san-ap-ting yang dimilikinya itu sudah setingkat dengan gurunya, pemuda ini hanya dapat dikalahkan dengan Hok-te Sin-kun.

Maka Tan Hoo tiba-tiba terdesak karena pukulan atau dorongan pemuda itu selalu membuatnya terhuyung-huyung. Tongkat dipakai menangkis tapi tertolak kuat. Tit-ci-thian-tung dipakai menusuk tapi malah tertekuk. Dan ketika tosu itu kebingungan harus dengan ilmu apa ia merobohkan lawannya ini, pucat dan kecewa maka saat itulah Chi Koan berkelebat dan menghantam perutnya.

"Heng-san-paicu, terimalah pukulanku!"

Tosu ini berubah. Ia sedang dalam posisi buruk karena tadi terhuyung ke depan. Ia menghantam tapi lawan berkelit. Dan ketika ini ia menerima pukulan dan tak ada jalan menangkis kecuali dengan memalangkan tongkat dan menudingkan Tit-ci-thian-tung maka tosu itu menangkis.

“Bress!” dan ia terlempar. Tongkatnya patah dan Chi Koan terbahak mengejar, berseru lagi melepas Thai-san-ap-ting dan ketua Heng-san ini mengeluh. Ia bergulingan tapi tetap dikejar. Dan ketika ia harus melempar tubuh ke sana-sini tak sempat meloncat bangun, Chi Koan kembali mencapai posisinya seperti ketika tadi menekan Sin Gwan, sutenya, maka sebuah pukulan mengenai tubuh laki-laki ini dan sang ketua mencelat. Sebentar kemudian keadaannya sama seperti adik seperguruannya.

Murid-murid terbelalak dan bak-bik-buk pukulan menghajar ketua Heng-san ini. Namun karena ia kuat dan masih juga bergulingan, sama seperti Sin Gwan Tojin tadi maka wakil Heng-san menjadi marah dan membentak maju, empat sutenya juga bergerak menyerang, disusul puluhan anak-anak murid yang juga sudah tak dapat menahan diri ingin menyelamatkan ketuanya.

"Bocah, hentikan keganasanmu!"

Chi Koan tertawa tapi menghentikan tawanya mendengar deru angin yang dahsyat. Tiba-tiba dari mana-mana menyambar hujan serangan tapi yang paling hebat adalah Sin Gwan Tojin dan empat orang adik seperguruannya, tosu-tosu berikat kepala merah itu, tokoh-tokoh nomor tiga dari Heng-san. Dan ketika Chi Koan membalik dan menangkis semua serangan ini, yang lain-lain tak sempat dan dibiarkan mendarat maka Chi Koan terpelanting dan kaget serta marah.

"Heii.... des-des-dess!”

Lima batang tongkat menghajar disusul senjata-senjata lain. Semua marah dan menerjang tapi di sana Tan Hoo Cinjin sudah berseru agar murid-murid yang lain mundur. Ketua Heng-san ini sudah dapat meloncat bangun dan bantuan adik-adiknya tadi menyelamatkan. Ia menggigil melihat kedahsyatan anak muda ini. Tapi membentak menyuruh anak-anak mundur, ia berkelebat dan membantu lima adiknya maka Chi Koan dikeroyok dan dihujani enam serangan dari tokoh-tokoh kelas satu sampai tiga.

“Siancai, bocah ini benar-benar berbahaya. Robohkan dia, dan tangkap!"

“Tidak, biar kita bunuh dia, suheng. Kita telah đihina dan diejeknya habis-habisan!”

“Benar,” tosu bertahi lalat di sudut mulutnya berseru. “Tak ada ampun untuk bocah semacam ini, suheng. Biarlah kita bunuh dan pasang kepalanya di gerbang Go-bi!” dan Chi Koan yang dikeroyok dan menghadapi bayangan berkelebatan yang bukan main banyaknya, masing-masing orang seakan menjadi sepuluh maka Tan Hoo berseru agar pemuda itu ditangkap saja, tidak dibunuh.

"Kita masih harus melapor kepada supek. Kita tangkap dan hadapkan dia kepadanya. Biarlah supek yang menentukan!"

Dan ketika adiknya yang lain mengangguk dan sadar, omongan ketua harus diturut maka Chi Koan kewalahan mendapat serangan bertubi- tubi. Lain tadi lain sekarang. Ia sudah dikerubut enam tokoh Heng-san yang berkepandaian tinggi. Yang tertinggi tentu saja Tan Hoo Cinjin itu, baru kemudian sutenya nomor satu, Sin Gwan Tojin. Dan karena empat sutenya yang lain juga tokoh-tokoh andalan dan mereka sudah di atas kelas rata-rata, hanya karena Cui-pek-po-kian dan Thai-san-ap-ting nya itu Chi Koan mampu bertahan maka pemuda ini tak dapat membalas dan sibuk mengelak atau menangkis.

Lima tongkat terbang berseliweran naik turun dan pukulan-pukulan Twi-hong-hok-san juga menyambar-nyambar. Dan karena masing-masing tosu itu berkelebatan dengan Sin-sian-hoan-eng mereka, ilmu meringankan tubuh milik Siang Lam dan Siang Kek Cinjin sendiri, dedengkot Heng-san maka Chi Koan kewalahan karena meskipun dia memiliki Lui-thian-to-jit tapi menghadapi enam bayangan yang serempak beterbangan itu susah juga baginya mengikuti. Satu Lui-thian-to-jit dikeroyok enam Sin-sian-hoan-eng, siapa tidak puyeng.

Dan ketika benar saja Chi Koan mengumpat dan mengutuk lawannya, mencaci-maki maka lima tongkat menggebuk tubuhnya dan meskipun ia tidak roboh namun pemuda ini terhuyung-huyung dan sempoyongan. Ia mendelik dan anak-anak murid Heng-sanpun bersorak. Sekarang mereka bertepuk tangan. Dan ketika Tan Hoo mengajak sutenya menusuk dengan Tit-ci-thian-tung, di antara mereka berenam hanya mereka berdualah yang mempelajari imu itu maka Sin Gwan mengangguk dan tadi menyesal kenapa tidak cepat-cepat mengeluarkan ilmunya itu, meskipun tetap saja seorang lawan seorang ia masih bukan tandingan pemuda ini.

“Tusuk kedua matanya. Pergunakan jari sakti Tit-ci-thian-tung!"

Chi Koan terkejut. Ia mendengar bunyi mencicit dan tahu-tahu dua sinar putih menyambar dari kiri kanan. Sin Gwan, yang tadi tak mempergunakan ilmu itu kini tiba-tiba menyerang dengan Tit-ci-thian-tung. Dan ketika tongkat di tangan empat tosu yang lain disuruh menusuk telinga atau mata pemuda ini, tiba-tiba wajah Chi Koan menjadi sasaran maka pemuda ini kaget dan marah besar. "Tan Hoo, kau licik. Mana itu kegagahanmu sebagai ketua Heng-san?"

“Hm, ingat tadi sesumbarmu sendiri. Tadi kau sombong menyuruh kami mengeroyok, bocah. Dan sekarang berkaok-kaok memaki kami. Mulut apa ini!"

"Ah, tapi aku hanya menyuruh kau dan sutemu yang bau itu maju. Bukan empat tosu yang lain ini!"

"Mereka juga sute-suteku, bukan murid. Kau robohlah dan jangan banyak bicara lagi.... critt!"

Tusukan jari maut yang mengenai dahi dan hampir saja menyambar mata Chi Koan membuat pemuda ini berteriak dan melempar tubuh bergulingan. Sekarang ia dicari kelemahannya dan kelemahannya itulah yang dicecar. Tongkat dan jari semua menyambar mata, bukan main. Dan karena ia harus melindungi matanya dan bagian lain menjadi lemah, terbuka, maka enak saja kaki dan tendangan mendarat empuk. Chi Koan jatuh bangun dan diam-diam menyesal.

Memang, ia tadi sesumbar dengan mengatakan sute ketua Heng-san ini maju, tak tahu bahwa empat orang itupun adik-adik seperguruan ketua Heng-san ini. Dan ketika apa boleh buat dia harus menghadapi dan bergulingan ke sana ke mari, keadaan berbalik maka Chi Koan tak mampu berbuat banyak dan menjadi bulan-bulanan enam tokoh ini. Ia boleh hebat dan kebal tapi sepasang mata atau lubang hidungnya itu tak mungkin kebal. Ia ketanggor. Dan karena bagian inilah yang selalu diincar dan Chi Koan repot melindungi, ia menyesal maka tubuhnya sakit-sakit dihajar tongkat dan tendangan.

Namun pemuda ini tetap hebat. Ia hanya kesakitan saja tapi tak roboh. Cui-pek-po-kiannya itu melindungi dan diam-diam enam tokoh Heng-san itu kagum. Kalau bukan pemuda ini tentu sekarat paling sedikit pingsan. Namun karena hajaran itu terjadi bertubi-tubi dan lama-lama daya tahan pemuda ini menurun, Chi Koan baru menguasai dua ilmu Go-bi itu saja maka ketika daya tahannya menurun ia mandi keringat dan mengeluh. Pakaiannya robek-robek dan nyaris hancur.

Anak murid bersorak dan telinga pemuda ini mengiang-ngiang. Ia letih. Dan ketika ia benar-benar lunglai dan kehabisan tenaga, satu sabetan tongkat mengenai belakang kepalanya maka pemuda ini terguling dan roboh tak bergerak, pingsan. Chi Koan bukan pingsan oleh pukulan itu melainkan pingsan karena habisnya tenaga yang terkuras. Ia telah bertanding dan menghadapi banyak musuh berturut-turut. Semua kagum.

Tapi karena ia adalah musuh dan terlebih dari Go-bi, musuh besar mereka maka Tan Hoo Cinjin berhenti bergerak dan menotok. Dalam keadaan begitu pemuda ini sudah benar-benar tak berdaya, meskipun kekebalannya masih bekerja karena tadi seorang murid mencoba membacok namun pedangnya terpental, bacokan dari rasa gemas!

"Tak usah dibunuh, kita tangkap saja. Bawa dia kepada supek dan biarkan supek yang menentukan hukuman!"

Semua murid mengangguk. Sekarang ribut-ribut itu selesai dan Chi Koan diikat seperti babi. Bukan tali yang dililit melainkan rantai, rantai besi. Dan ketika bekas pertempuran dibersihkan dan Tan Hoo bersama kelima sutenya naik ke puncak maka tawanan ini diserahkan kepada dedengkot Heng-san yang telah buta.

“Ugh... apa ini? Siapa yang kalian bawa?” demikian Siang Kek cinjin menyambut ketika enam bayangan berkelebat dan memasuki pertapaannya. “Aku mendengar ribut-ribut di tempat kalian, Tan Hoo. Apa yang terjadi dan siapa yang membuat onar?”

“Maafkan kami,” Tan Hoo Cinjin berlutut dan lima sutenya sudah menjatuhkan diri. "Kami membawa tawanan penting, supek. Kami ingin supek yang memberikan hukuman dan keputusan!”

"Nanti dulu. Aku tadi mendengar deru pukulan Cui-pek-po-kian dan Thai-san-ap-ting. Apakah orang dari Go-bi?"

"Benar...”

"Dan dia Beng Kong si keparat?"

"Bukan,” Tan Hoo melirik adik-adiknya, sedikit cemas, tapi juga kagum. "Kau hebat sekali dapat mendengar suara pukulan itu, supek. Memang benar musuh dari Go-bi tapi bukan Beng Kong Hwesio."

"Ah-ah, siapa kalau begitu. Aku mendengar pukulannya begitu hebat dan sama dengan Beng Kong Hwesio dulu!"

“Ini muridnya, supek, anak yang masih muda. Ia Chi Koan...”

“Chi Koan?” kakek itu tertegun. “Bocah haram dari mana? Aku tak pernah mendengar namanya. Kenapa kalian bawa ke sini?"

"Maaf," Tan Hoo agak merah. "Meskipun tak terkenal tapi ia hampir mencelakai kami, supek. Aku dan Sin Gwan sute serta yang lain-lain nyaris roboh....”

“Aku tahu itu, dan kalian lalu mengeroyok. Kukira tadi Beng Kong Hwesio!”

"Bukan, ia hanya muridnya. Tapi betapapun kami mampu merobohkannya. Kalau supek mau melihat silahkan....”

Belum habis kata-kata ini tiba-tiba si renta sudah menyambar. Meskipun kedua matanya tak mampu melihat namun Siang Kek Cinjin memiliki daya dengar yang tajam. Bukti bahwa deru pukulan Cui-pek-po-kian maupun Thai-san-ap-ting yang dapat didengar menunjukkan ketajaman telinga kakek ini. Dan karena ia tahu di mana Tan Hoo Cinjin meletakkan pemuda itu, bergerak dan sudah menyambar maka Chi koan yang pingsan tiba-tiba menjerit dan sadar dicengkeram bahunya. Rasa sakit menusuk tulang justeru membuatnya siuman.

"Aughhhh...!” Kakek itu mendengus. Ia melihat rantai melibat-libat dan membuka matanya lebar-lebar. Manik putih di tengah mata itu membelalak, mengerikan. Dan ketika ia memeriksa dan meremas sana-sini, memijat dan meremukkan tulang-tulang pemuda itu maka kakek ini terkejut dan kagum. Hawa sakti melawan dan menolak remasannya.

"Hebat.... anak muda ini hebat. Ia telah memiliki kepandaian setingkat gurunya enam tahun yang lalu. Ah, celaka!”

Tan Hoo Cinjin terkejut. Supeknya itu meraung dan tiba-tiba menangis. Dan ketika Chi Koan dilempar den dibanting di sana, di sudut guha maka si kakek mengguguk dan berulang-ulang mengatakan celaka.

"Aduh, sial kita ini, Siang Lam.... sial. Heng-san sungguh sial...!”

Tan Hoo dan kelima sutenya saling pandang. Mereka jadi heran dan terkejut kenapa supek mereka itu berulang-ulang mengatakan sial, di samping celaka. Tapi karena supek mereka mengguguk dan mereka tak berani mengganggu, biarlah menangis dan nanti ditanya kalau sudah reda maka enam tosu itu mendelong saja melihat supek mereka itu mengguguk dan tersedu-sedu. Tangis memilukan dan amat sedih terdengar di sini. Berulang-ulang kakek itu meratapi dirinya. Tapi ketika ia mendongak dan mencelat mencengkeram Tan Hoo, tangis terganti bentakan maka semua terkejut melihat wajah kakek ini yang merah terbakar.

“Tan Hoo, apakah hanya seorang ini saja yang datang ke Heng-san. Apakah tak ada murid-murid Go-bi yang lain yang datang?”

“Tak ada,” sang tosu meringis dan menahan sakit, cengkeraman itu sanggup meremukkan sebongkah batu besar. "Hanya anak ini yang datang, supek. Ada apakah? Kenapa kau menangis.... begitu sedih?”

"Keparat, tolol! Kau tak mengerti? Heh, kalau seorang murid saja tak mampu kau kalahkan lalu bagaimana dengan Beng Kong Hwesio sendiri, Tan Hoo? Apakah otakmu tidak berpikir bahwa dia pasti lebih lihai lagi? Ah, serasa sia-sia kalau begini maksudku. Aku menggembleng kalian tapi musuh juga semakin maju. Aku khawatir balas dendam kita gagal!"

Tan Hoo Cinjin tersentak. Cengkeraman sekarang dilepaskan dan ia tertegun. Kelima sutenya juga tertegun dan tahulah mereka kini apa kiranya yang menjadi sebab supek mereka itu menangis menggerung-gerung. Kiranya khawatir oleh kenyataan itu. Tapi ingat bahwa di Go-bi yang hebat hanya Beng Kong dan Ji Leng Hwesio saja, si pertapa, Ji Beng sudah tiada dan tewas enam tahun lalu maka tosu ini berkata dengan wajah bersinar-sinar,

"Supek, barangkali betul wawasanmu. Tapi ada yang terlewat. Bukankah tidak semua murid Go-bi harus dan akan selihai pemuda ini? Bukankah hanya Beng Kong dan gurunya saja yang sakti? Teecu masih menaruh harapan. Bukankah sesungguhnya kemajuan kita sudah diakui oleh sahabat-sahabat dari Kun-lun maupun Hoa-san?"

"Hm!” kakek itu tertegun, kening berkerut, lalu membelalak. "Kun-lun dan Hoa-san memang mengakui kemajuan kita, Tan Hoo, tapi musuh kita adalah Go-bi. Kalau dugaanmu betul tentu saja benar, tapi untuk ini aku ragu. Bagaimana kalau mereka menggembleng pula murid-muridnya selihai bocah ini?”

"Tak mungkin. Bocah ini kesayangan Beng Kong Hwesio seorang, supek. Teecu ingat bahwa dia inilah bocah yang dulu membuat gara-gara di Go-bi. Dia inilah yang dulu mendatangkan Tujuh Siluman Langit dan awal gegernya Bu-tek Cin-keng. Bocah ini hanya murid tunggal Beng Kong, murid semata wayang!"

"Kalau begitu selamat, tapi harus dicari kebenarannya dulu. Coba kau pergi ke Go-bi dan bawa seluruh anak murid Heng-san. Beri tahu Beng Kong bahwa muridnya ada di sini dan ketika dia keluar gempurlah Go-bi. Biar aku menghadapinya di sini!”

"Apa?”

“Kau bawa seluruh murid Heng-san, Tan Hoo. Gempur seisi Go-bi dan hancurkan mereka. Tapi biarkan Beng Kong keluar dulu dan berhadapan dengan pinto!”

"Supek hendak menghadapi seorang diri?”

"Memangnya kenapa?"

"Ah, berbahaya, supek. Kau bisa terbunuh!”

"Ha-ha, itu yang kucari. Eh, tubuh tuaku ini tak mati-mati, Tan Hoo. Daripada mati digeragoti penyakit lebih baik mati di tangan Beng Kong Hwesio. Aku lebih puas mati begini daripada menunggu kematian secara sia-sia. Aku ingin mati secara gagah. Tapi meskipun mati aku merasa puas karena tentu kau di sana juga menghancurkan Go-bi, ha-ha-heh-heh!”

Tan Hoo Cinjin tertegun. Tiba-tiba dia mengerti apa yang dimaui supeknya ini. Lawan terkuat hendak dipancing sementara itu lawan-lawan yang lemah dihancurkan. Dia sendiri juga sangsi apakah mampu menghadapi Beng Kong. Muridnya saja begitu hebat dan baru dapat dirobohkan setelah dikeroyok enam. Bagaimana kalau misalnya pemuda ini dibantu murid-murid Go-bi umpamanya, atau Beng Kong yang datang bersama adik-adik seperguruannya yang lihai. Tentu mereka kerepotan dan belum tentu menang.

Dan karena kata-kata supeknya itu ada benarnya, biarlah yang terkuat dipancing sementara dia dan seluruh murid-murid Heng-san dapat mencoba diri, menggempur dan mengobrak-abrik Go-bi maka tosu ini mengangguk-angguk tapi bagaimana dengan supeknya di situ. Dia khawatir dan terus terang cemas. Dulu berdua dengan Siang Lam Cinjn saja supeknya ini hampir tak dapat merobohkan Beng Kong. Seorang lawan seorang jelas supeknya itu bukan tandingan. Tapi karena jalan keluar ini yang terbaik, supeknya ingin mati secara gagah maka Tan Hoo Cinjin lalu tak mempunyai pilihan lagi dan berkata,

"Baiklah, aku memenuhi permintaanmu, supek. Tapi apakah tak ada yang menemanimu kalau kami harus pergi semua?"

“Tidak..... tidak! Kalian semua harus berangkat, Tan Hoo, tak usah menemani aku di sini. Biarkan Beng Kong berhadapan dengan aku tapi sebaliknya kalian semua dapat mengkonsentrasikan diri menghancurkan Go-bi!”

“Baiklah, kalau begitu teecu bersiap-siap. Kapan harus berangkat...?"

"Besok! Lebih cepat lebih baik!" sang kakek memotong, wajahnya berseri-seri. “Jangan tunda-tunda lagi kepergian kalian, Tan Hoo. Sikat dan bunuh habis hwesio-hwesio itu. Keroyoklah Ji Leng kalau ia keluar!”

Tan Hoo Cinjin mengangguk sekali lagi. Ia telah mendapat perintah dan ini harus dijalankan. Tosu itu mundur dan bersama adiknya ia keluar guha. Dan ketika di luar ia menarik napas dalam-dalam sementara Sin Gwan dan empat sutenya juga menarik napas dalam-daiam maka Heng-san disiapkan dan bagai bala tentara siap perang hari itu juga ratusan murid Heng-san bersorak.

Saat itu adalah saat yang ditunggu-tunggu tapi tak ada seorang muridpun yang diberi tahu bahwa kepergian mereka ini sekaligus mengorbankan sesepuh mereka. Go-bi akan dikeluarkan seekor singa nya sementara Heng-san akan mengorban kan tokoh tuanya. Itu perhitungan yang sudah diperhitungkan pula oleh sesepuh mereka. Memang lebih baik mati sebagai seorang gagah daripada mati karena diserang penyakit, apalagi bagi seorang kakek macam Siang Kek Cinjin yang berilmu tinggi itu, yang sudah biasa malang-melintang dan mempunyai nama besar.

Alangkah memalukannya kalau mati seperti seekor tikus yang terbuntu liangnya. Jauh lebih baik dan membanggakan kalau mati dalam pertempuran. Dan karena Tan Hoo juga berpikiran begitu dan apa boleh buat dia harus membiarkan supeknya maka keesokannya sebelum berangkat ia minta diri dan menemui supeknya, kelima adiknya yang lain juga ikut.

"Kami telah siap, dan kami akan berangkat. Mohon doa restu supek dan maafkan bahwa kami harus membiarkan supek seorang diri di sini."

"Ha-ha, jangan khawatir. Kalau aku mati Beng Kong juga mati, Tan Hoo. Aku telah mempersiapkan sesuatu dan kalau guha ini tertutup jangan dibuka lagi."

"Maksud supek?"

"Tempat ini akan menjadi kuburan bagiku dan Beng kong. Aku telah memasang dinamit!”

“Ah, dan bocah ini?"

“Ha-ha, dia juga akan mengantar gurunya ke akherat, Tan Hoo. Aku akan mengajaknya serta menghadap Giam-lo-ong!" Kakek itu tertawa tergelak-gelak.

Tan Hoo terbelalak dan Chi Koan yang meringkuk di sudut juga pucat. Anak muda itu melotot tapi urat gagunya ditotok. Chi Koan tak mampu bicara. Namun ketika tosu ini menarik napas dalam dan mengangguk-angguk, kiranya supeknya itu akan meledakkan guha kalau tak mampu mengalahkan lawan, sikap yang dipujinya juga maka dia berkata, "Baiklah, supek. Kalau begitu Beng Kong benar-benar akan mengalami kematiannya di sini dan selamat tinggal. Kami akan menghancurkan Go-bi dan berangkat!"

“Ya, pergilah. Berangkatlah. Tapi awas, sembunyikan diri dan jangan sekali-kali menyerang Go-bi kalau hwesio keparat itu belum keluar, belum ke sini!”

"Ya, kami mengerti, supek. Selamat tinggal." Enam tosu itu keluar. Tan Hoo Cinjin mencucurkan air mata karena begitu ia keluar begitu juga ia maklum bahwa itulah pertemuan terakhirnya dengan sesepuhnya ini. Pikiran dan hatinya gundah namun semua tak dapat ditarik mundur. Ia harus memimpin murid-murid Heng-san dan Go-bi harus dihancurkan. Supeknya menjadi tumbal dan pengorbanan itu tak boleh sia-sia. Dan ketika lima sutenya juga mencucurkan air mata karena itulah pertemuan terakhir mereka dengan supek mereka, rencana hebat telah mulai dijalankan maka tiba di markas mereka saling cengkeram dan berbisik,

"Supek siap mengorbarkan diri. Dan kita harus siap menghancurkan Go-bi. Mari, jangan sia-siakan pengorbanan supek, sute. Kita berangkat dan pimpin anak-anak murid Heng-san!"

Lalu mengangguk dan saling cium senjata, dengan itulah mereka menyerang Go-bi maka hampir lima ratus orang anak murid Heng-san bersorak turun gunung. Baru kali inilah dalam sejarah dunia kang-ouw ada partai persilatan besar menyerang partai persilatan besar lain dengan seluruh kekuatan yang ada. Heng-san tak meninggalkan seorang anak murid pun di puncak dan mereka benar-benar menyerang secara penuh. Dapat dibayangkan hebatnya.

Dan ketika mereka melewati pegunungan Hoa-san dan di sini adik-adik seperguruan Tan Hoo Cinjin meminta agar suheng mereka menghampiri tokoh-tokoh Hoa-san, membujuk dan meminta mereka bergabung pula ternyata Ko Pek Tojin dan Tujuh Malaikat Hoa-san sebagai tokoh-tokoh di situ menerima ajakan ini. Tidak kepalang tanggung, mereka mengerahkan pula semua murid yang ada. Murid Heng-san dan murid Hoa-san bergabung dan bukan main ramainya mereka itu.

Riuh-rendah bersahut-sahutan membuat gunung bergetar seakan runtuh. Dua partai besar menjalin kekuatan menjadi satu dan ancaman bagi Go-bi bertambah lagi. Partai itu menghadapi bahaya besar. Dan ketika ini masih ditambah lagi dengan niat membujuk Kun-lun, sahabat satunya yang dulu juga disakiti Go-bi ternyata di sini dua kekuatan besar itu gagal membujuk.

Kim Cu Cinjin, yang menjadi ketua dan menggantikan mendiang suhengnya Kiam Leng Sianjin ternyata tak berani mengambil keputusan seorang diri. Di Kun-lun tinggal seorang tokoh tua yang keberadaannya masih đisegani, yakni Kun-lun Lojin yang dulu juga tak mau diajak Siang Kek maupun Siang Lam menggempur Go-bi. Dan ketika Kim Cu Cinjin tertegun dan menerima sahabat-sahabatnya, seribu anak murid dibiarkan di bawah gunung maka tosu itu mengurut-urut jenggot pendeknya berkata,

"Kami di sini tentu saja girang sekali. Tapi pinto tak berani mengambil keputusan karena di sini masih tinggal susiok kami Kun-lun Lojin. Biarlah sahabat-sahabat menunggu di sini dan pinto sendiri yang akan menghadap dan minta keputusannya.”

Tan Hoo Cinjin dan Ko Pek Tojin menunggu. Mereka sendiri titip salam untuk sesepuh Kun-lun itu dan berseri-seri penuh harap. Tapi ketika tak lama kemudian Kim Cu Cinjin muncul dengan wajah muram, pandang matanya tak gembira maka pengganti Kiam Leng Sianjin itu minta maaf.

Ternyata, Kun-lun tak diperkenankan ikut-ikut menggempur. Urusan lama dianggap sudah berlalu dan kalau Go-bi tidak mengganggu mereka maka Kun-lun juga diam. Kakek itu bahkan menegur Kim Cu kenapa hendak mengobarkan bara api yang sudah padam. Dan ketika tamu-tamu itu tertegun dan kecewa, Kun-lun dianggap pengecut maka Tan Hoo maupun kawan-kawannya kembali turun.

Kim Cu mengantar dan berulang-ulang tosu ini minta maaf. Tapi karena Heng-san maupun Hoa-san tahu bahwa itu bukan kesalahan Kim Cu, di atas ketua ini masih ada sesepuh yang lebih tingi maka Ko Pek maupun Tan Hoo hanya berkata,

"Tak apalah, kami mengerti. Hanya kami agak merasa heran bagaimana Kun-lun Lojin yang berkesaktian tinggi ternyata bernyali kecil. Kami tak menyalahkanmu, Kim Cu-toheng. Hanya kami terkejut atas watak sesepuhmu itu. Dua kali ia menolak bergabung. Dulu dengan Siang Kek dan Siang Lam locianpwe sekarang dengan kami sendiri. Orang dapat salah paham mengatakannya pengecut!"

Kim Cu Cinjin terpukul merah. Ia tak dapat menjawab karena kenyataannya begitu. Susioknya memang bisa disangka pengecut, padahal ia adalah seorang berilmu tinggi. Dan ketika ia membiarkan saja sahabat-sahabatnya berlalu, barisan besar itu tak bersama anak-anak murid Kun-lun maka bukan hanya Kun-lun Lojin yang dikutuk melainkan juga murid dan ketuanya sendiri disumpah-serapahi!

"Kun-lun memang pengecut. Dari dulu tetap pengecut! Uh, kalau Kim Cu Cinjin mau menggerakkan anak-anak muridnya bukankah tetap bisa? Atau jangan-jangan tosu itu yang pengecut, atau murid-murid Kun-lun juga pengecut. Bah, menyebalkan sekali manusia-manusia Kun-lun itu!”

Sumpah dan serapah ini menyahut dari mulut ke mulut. Murid-murid Hoa-san dan Heng-san juga saling mengumpat dan kegagalan di Kun-lun benar-benar terasa mengecewakan. Tapi begitu tamu-tamu itu pergi Kim Cu Cinjin malah dipanggil susioknya lagi, mendapat teguran lebih keras. Diserang dari muka dan belakang!

“Kau bodoh dan tak berwibawa. Kenapa harus lapor dan tanya kepadaku? Jelek-jelek kau seorang ketua, Kim Cu. Tanpa bertanya kepadakupun seharusnya kau dapat menjawab. Urusan itu sudah lewat enam tahun lebih, dan kalau dipikir-pikir kesalahan terletak pada kalian juga. Coba seandainya kalau dulu kalian tak ikut-ikutan memperebutkan kitab, bukankah tak bakal ada kejadian ini. Aku sudah memberi tahu berulang-ulang agar yang lewat biarlah lewat. Kun-lun bukannya takut melainkan menjaga diri. Kalau kita diganggu, nah, barulah kita maju. Tapi kalau kita lebih dulu nengganggu ya kita harus menarik diri dan tahu keadaan. Pinto tidak takut kepada siapapun biarpun itu Beng Kong atau Ji Leng Hwesio. Tapi jangan kita yang lebih dulu mulai karena itu berarti kita salah!”

Kim Cu mengangguk-angguk. “Teecu hanya sungkan kepada sahabat-sahabat sendiri susiok, sengaja ke sini agar kelihatan sungguh-sungguh berusaha," tangkisnya.

"Tapi mereka bisa salah paham kepadaku. Mengira pinto penakut atau pengecut. Kau melempar kesan buruk!"

“Maafkan teecu, susiok. Lain kali tak akan teecu ulangi."

Kim Cu Cinjin keluar. Ia menjadi lebih murung lagi karena kena dampratan ulang. Gara-gara para tamu tak diundang ia mengalami sial. Sungguh celaka. Dan ketika ia masuk dan kembali ke kamarnya, bersamadhi, maka diam-diam ia menyuruh dua orang muridnya memonitor keadaan. "Kalian ikuti dan lihat dari kejauhan. Laporkan kepadaku apa yang terjadi dengan serbuan besar-besaran itu. Awas, jangan tahu siapapun apalagi susiok. Hati-hati dan jalankan tugas kalian dengan baik!”

Dua murid itu mengangguk. Mereka terbelalak dan kaget juga melihat gabungan besar murid-murid Hoa-san dan Heng-san. Tapi begitu tahu bahwa mereka hendak menyerbu Go-bi, meleletkan lidah maka dua murid ini berdebar dan mereka tegang sekali, pergi dan tentu saja ingin menonton dari jauh dan tugas itu justeru menggirangkan hati.

Meskipun tegang tapi peristiwa ini menarik. Dua partai besar telah bergabung dan akan menyerang partai besar lainnya. Dan begitu mereka berangkat melaksanakan tugas maka di tempat lain Chi Koan cemas dan berdetup-detup karena Siang Kek Cinjin memasang dan memenuhi guha itu dengan tak kurang dari seratus dinamit yang sanggup menggugurkan gunung!

"Heh-heh, ajalku akan tiba. Tapi kepergianku akan diiring dua anak-anak yang baik dan termasuk pilihan dari Go-bi. Heh-heh, bagaimana pendapatmu, anak muda? Bicaralah, sekarang hanya kita berdua di tempat ini!" Siang Kek membuka dan membebaskan totokan Chi Koan, totokan urat gagunya itu karena totokan atau ikatan lain tentu saja tetap dibiarkan begitu.

Chi Koan langsung berteriak. Yang pertama kali dilakukan adalah berteriak. Pemuda ini melampiaskan kemarahannya dengan berteriak. Guha tergetar tapi kakek itu terkekeh kekeh. Senang sekali. Dan ketika gaung teriakan itu lenyap dan Chi Koan mendelik maka sekarang pemuda ini memaki-maki. "Siang Kek Cinjin, tua bangka keparat. Kenapa kau tidak membunuhku sekarang dan menyiksaku seperti ini? Aku tidak takut kematian, buta jahanam. Ayo kau bunuhlah aku dan jangan menunggu sampai guruku datang. Nanti akan kuberi tahu ia bahwa di sini banyak dinamit!”

"Heh-heh, begitu mudah? Bodoh, tolol dan goblok. Sebelum gurumu itu ke mari maka mulutmu akan kututup lagi, anak muda. Seperti ini.... tuk!" Chi Koan terkatup lagi, mulutnya terkunci namun sejenak kemudian kakek itu membukanya lagi, membebaskan urat gagunya. Dan ketika kakek itu terkekeh-kekeh karena Chi Koan terkejut, terbelalak, maka kakek itu berseru bolehlah pemuda itu menjerit-jerit lagi. "Ayolah, tempat ini sunyi. Berteriak-teriaklah. Aku ingin nyanyianmu ini mengiring sebelum kita sama-sama mampus!”

Chi Koan lemas. Ia ternyata dipermainkan dan tentu saja tak lagi mau berteriak-teriak. Teriakannya itu dianggap perwujudan rasa takut dan kakek itu senang. Padahal, dia tidak takut melainkan dicekam kecemasannya bagaimana kalau nanti guha itu diledakkan. Guha itu akan runtuh dan dia akan terkubur hidup-hidup. Sama-sama mati kok rasanya kematian yang macam ini mendirikan bulu roma. Dia tidak takut mati melainkan ngeri dan semata merasa seram oleh bayangan runtuhnya guha. Kakek ini keji sekali dengan sengaja mengubur diri hidup-hidup. Dia sih, sudah tua. Renta dan memang sudah waktunya masuk kubur.

Tapi dirinya? Ah, bukankah masih muda dan sedang nikmat-nikmatnya menikmati hidup? Dan membayangkan guha akan diruntuhkan dan gurunya tak mungkin lolos, guha itu cukup dalam dan tak ada waktu meloncat keluar, dinamit akan bekerja dan mereka semua pasti terkubur tiba-tiba Chi Koan yang biasanya tak mengenal takut dan pemberani ini kuncup juga. Chi Koan hampir menangis tapi bukan oleh ketakutannya melainkan oleh kemarahannya.

Siang Kek Cinjin dapat melakukan apa saja yang dia tak dapat menolaknya. Dan ketika kakek itu berseru agar dia menjerit atau berteriak lagi, melolong-lolong maka pemuda ini diam saja dan menutup mulut. Siang Kek tertegun tapi tertawa. Dan ketika untuk ketiga kalinya pemuda itu tak mau bersuara, ia menyambar dan mencengkeram maka Chi Koan berjengit.

"Heh-heh, kusuruh kau berteriak maka haruslah berteriak. Ayo, menyanyi yang merdu!”

Kakek itu menusuk jalan darah di leher kanan. Jalan darah ini adalah jalan darah yang menimbulkan rasa terbakar kalau ditusuk. Jangankan ditusuk, digencet perlahan saja sakitnya sudah bukan main dan Chi Koan merasakan itu. Dia menjerit dan berteriak ketika jalan darah ini ditusuk. Tapi ketika ia diam lagi setelah si kakek menarik tangannya, menusuk dan menjerit lagi maka kakek itu terkekeh-kekeh ketika pemuda ini dibuat kesakitan dan menjerit atau meraung-raung.

"Heh-heh, bagus... bagus. Ayo berteriak dan menjeritlah kuat-kuat, anak muda. Ayo perdengarkan suara merdumu!"

Chi Koan menjerit dan berteriak. Ia benar-benar melolong-lolong karena jari-jari kakek itu menusuk tajam. Dilepaskan dan ditusuk lagi dan tentu saja Chi Koan mandi keringat. Ia memaki-maki namun si kakek tertawa gembira. Siang Kek Cinjin mendapat kepuasannya karena inilah murid tunggal Beng Kong Hwesio, musuh yang paling dibencinya. Dan ketika sehari itu Chi Koan disiksa secara hebat, pingsan dan siuman tapi pingsan lagi maka tiga hari tiga malam pemuda ini merasakan penderitaannya yang amat dahsyat.

Siang Kek tidak hanya menusuk jalan darah yang membuatnya serasa terbakar dan berjengit tapi juga jalan-jalan darah lain, seperti misalnya Im-hoan-hiat yang membuat tubuh menggigil beku atau Ta-leng-hiat yang membuat tubuh serasa gatal diserbu ribuan semut merah. Chi Koan disiksa dan Siang Kek yang menjadi keji terkekeh-kekeh puas.

Dendam memang membuat orang menjadi keji dan berubah wataknya. Tapi ketika pada hari keempat kakek itu menghentikan siksaannya karena Chi Koan semalam tak sadarkan diri, ia tak diberi makan maupun minum yang tentu saja membuat tubuhnya lemas maka kakek itu melempar anak muda ini ke sudut dan tertawa dingin duduk bersila.

“Hm, baik. Istirahat dulu, besok lagi."

Chi Koan benar-benar pesakitan yang menderita. Ia benar-benar mencari penyakit dan hari itu belum sadarkan diri juga. Tapi karena ini menguntungkannya karena Siang Kek tak menyiksanya lagi, kakek itu bersamadhi dan duduk menyeringai menunggu Beng Kong Hwesio.

* * * * * * * *

Mari kita lihat keadaan di Go-bi. Sesuai rencana, seribu lebih murid-murid gabungan Hoa-san dan Heng-san disuruh bersembunyi ketika Sin Gwan Tojin menuju pintu gerbang perguruan itu. Dari jauh wakil Heng-san ini sudah melihat pintu gerbang yang terbuka, dijaga empat hwesio muda dan karena Go-bi tak ada lagi yang mengganggu maka partai persilatan ini dibuka seperti biasanya dan kegiatan sehari-hari terlihat sebagaimana biasanya.

Murid-murid di dalam melakukan tugasnya menyapu dan membersihkan halaman yang luas. Ada yang mengisi bak-bak air dan ada pula yang membersihkan undak-undakan batu. Semua bekerja. Pelataran luas itu tampak licin dan bersih dan tak ada satupun yang menyangka bahwa kelak pelataran ini akan bergenang darah. Go-bi, yang tenang dan tenteram memang tidak menduga datangnya bahaya itu.

Murid-murid Heng-san dan Hoa-san yang besar jumlah tu bersembunyi jauh di dalam hutan di luar gurun yang melingkupi partai persilatan ini. Hawa panas seperti biasa tapi kebetulan waktu itu musim hujan mulai tiba. Tiga hari ini Go-bi disiram tetes-tetes lembut dan udara sedikit hangat. Dan karena Sin Gwan tak mau menonjolkan diri, dia harus berhati-hati untuk tidak bertemu Beng Kong Hwesio maka begitu tiba di pintu gerbang ia segera menyelinap dan menyisir ke kiri.

Di sini ada umbul-umbul merah kuning biru sebagaimana biasanya tanda adanya sebuah perguruan silat. Dan karena umbul-umbul atau bendera kecil panjang itu terletak persis di tepi pagar dalam, Sin Gwan meloncat dan ringan berjungkir balik maka ia sudah hinggap di sebuah dari tiga umbul-umbul itu. Dipilihnya yang merah dan secepat itu juga ia mengeluarkan kertas putih, menancapkannya dengan pisau lalu merobek bagian atas umbul-umbul itu sampai ke tengah. Dengan begini bendera itu menggelantung panjang dan kertas putih yang ditancapkan terlihat jelas.

Beberapa hwesio terlihat jauh di sana dan tosu ini tersenyum puas, berkelebat dan turun lagi dan tak lama kemudian terdengar pekik atau seruan heran murid-murid Go-bi. Mereka melihat umbul-umbul yang robek itu dan juga kertas putih dibawahnya, menggelantung dan dihampiri dan bukan main kagetnya mereka melihat tulisan Sin Gwan. Tosu itu memberi tahu bahwa Chi Koan, murid Beng Kong, ada di Heng-san. Sedikit robekan baju Chi Koan ditancapkan di surat ditusuk pisau kecil. Dan ketika ribut-ribut itu didengar yang lain dan Pat-hwesio muncul, inilah orang termuda dari Pat-kwa-hwesio yang lihai maka murid Ji Beng Hwesio ini bertanya.

"Apa yang terjadi? Ada apa ribut-ribut?"

Murid yang menemukan lalu menunjukkan itu. Surat itu ditunjukkan dan robekan baju Chi Koan juga diperlihatkan. Dan begitu melihat begitu pula hwesio ini tertegun.

“Hm, Chi Koan tertangkap di Heng-san? Biar saja, tak usah digubris!"

Murid-murid Go-bi melengak. Mereka heran akan jawaban ini tapi yang mengerti mengangguk-angguk. Seperti diketahui, Chi Koan tak disenangi paman-paman gurunya ini dan karena itu tak usah heran mendengar jawaban itu. Pat-hwesio maupun suhengnya yang lain-lain juga tak menyenangi Chi Koan. Ini gara-gara sikap Beng Kong Hwesio yang jumawa itu. Maka menyuruh murid memperbaiki umbul-umbul itu dan merobek-robek surat, tidak menghiraukan pemberitahuan ini Pat-hwesio meninggalkan tempat itu dan Sin Gwan Tojin melotot!

“Wah, tidak digubris? Celaka, biar aku kembali dulu dan lapor kepada suheng!”

Tosu ini berkelebat. Ia telah memperhatikan gerak-gerik itu dan kecewa bahwa surat pemberitahuannya tak digubris. Ia salah sangka dengan menganggap Go-bi akan membalas. Dan ketika ia tiba di tempat kawan-kawannya dan di sana suhengnya itu serta yang lain-lain berseri, menunggu, maka mereka juga melengak mendengar laporan Sin Gwan Tojin ini.

"Celaka, pinto gagal. Pinto terpaksa kembali agar kalian tidak menunggu terlalu lama. Surat itu tidak digubris!”

"Tidak digubris? Tidak digubris bagaimana? Apakah Beng Kong Hwesio membiarkan murid kesayangannya dibunuh?"

"Bukan begitu. Yang keluar adalah orang termuda dari Pat-kwa-hwesio, suheng. Dan dia inilah yang merobek-robek surat itu dan menyuruh biarkan Chi Koan!"

Semua terbelalak. Mereka heran dan tercengang sekali mendengar ini. Sungguh tak diduga. Tapi Tujuh Malaikat Hoa-san yang tertawa mendengar itu tiba-tiba berseru, “Hm. ini sentimen pribadi. Kalau begitu mari meluruk saja dan kita serbu musuh kita itu. Atau kita berdelapan malam nanti merobek-robek bendera Go-bi dan canangkan tantangan resmi!"

"Jangan,” Tan Hoo Cinjin menggeleng. “Yang kita perlukan adalah keluarnya Beng Kong Hwesio, jit-wi-totiang (tujuh sahabat). Kalau ia masih di dalam dan kita serbu sia-sialah perjuangan kita nanti. Kita tak perlu berspekulasi dengan adanya hwesio itu di sana. Ia harus keluar dan setelah itu kita masuk!”

“Tapi surat kita tak digubris!”

"Masih ada jalan. Seorang di antara kita biarlah masuk dan menyerahkan surat tantangan langsung kepada Beng Kong. Suruh ia ke Heng-san!”

"Hm, siapa berani?" Tujuh Malaikat Hoa-san tiba-tiba keder, teringat pengalaman pahitnya enam tahun lalu. “Hwesio itu akan marah dan yang datang nanti dibunuh, Heng-san-paicu. Atau kau sendiri barangkali berani!"

“Suheng adalah seorang ketua, masa ia harus langsung berhadapan!" Sin Gwan tak setuju, menolak dan membela suhengnya dan para sutenya mengangguk. Adalah terlalu rendah kalau seorang ketua lalu harus seperti kurir pula, menantang. Dan karena omongan Hek-tosu tadi tak diterima, tosu bermuka hitam dari Tujuh Malaikat Hoa-san ini memang terlalu enak bicara maka tosu itu bertanya bagaimana kalau begitu. Dia terus terang berkata bahwa dia jera berhadapan dengan Beng Kong Hwesio.

"Tak usah malu-malu, pinto pernah kalah. Dan tentunya pinto tak mau menelan hinaan lagi kalau harus sendirian memberikan surat tantangan kita!"

"Hm, barangkali adikku Sin Gwan Tojin berani melaksanakan tugas ini, sekalian menjajal kepandaian Pat-kwa-hwesio di dalam, kalau dipaksa. Bagaimana, sute, kau berani?”

Tosu ini mengerutkan kening. “Kalau melihat kepandaian sendiri rasanya pinto tak perlu takut menghadapi Pat-kwa-hwesio itu. Bukankah pinto sudah maju pesat? Tapi karena Beng Kong belum pinto rasakan sendiri kehebatannya, hanya melalui muridnya itu pinto dapat meraba-raba apakah tidak sebaiknya pinto dikawal untuk sekedar berjaga-jaga. Bagaimana kalau dengan saudara-saudara dari Hoa-san ini?”

“Ah, jangan,” Ko Pek Tojin kali ini campur bicara. “Tujuh Malaikat Hoa-san telah dikenal Beng Kong Hwesio, Sin Gwan toheng. Sebaiknya yang lain saja yang tidak dikenal. Kau tidak dikenal meskipun duduk sebagai wakil ketua Heng-san!"

“Hm, begini saja," Tan Hoo Cinjin mengangguk mengerti, itu memang benar. "Biarlah kau bersama empat sute yang lain, sute. Kalian berlima tak begitu dikenal Go-bi meskipun dulu pernah ke mari. Serahkan saja surat tantangan dan katakan bahwa bocah itu di tangan supek. Sebut saja diri kalian sebagai murid-murid biasa di Heng-san sehingga tidak terlalu mencurigakan!"

"Baiklah.” Sin Gwan Tojin mengangguk. “Apa boleh buat aku harus masuk, suheng. Kalau tidak begitu rasanya tidak ada sambutan. Hm, bagaimana dengan empat sute ini?”

Empat tosu berikat kepala merah mengangguk. Diam-diam mereka penasaran juga melihat betapa ditakutinya Beng Kong Hwesio itu. Hanya dengan keroyokan orang-orang dari Hoa-san ini berani maju. Tapi karena supek mereka juga pernah kalah dan mereka harus menerima mandat, perintah itu harus dijalankan maka yang bertahi lalat di sudut berseru, "Kita sudah di sini, tentu saja kita harus maju. Baik, aku siap berangkat, suheng. Mari berangkat!"

Sin Gwan mengangguk. Di hadapan Tujuh Malaikat Hoa-san mereka dapat mengangkat harga diri mereka sendiri. Mereka tak perlu takut-takut karena jelek-jelek mereka adalah orang-orang berkepandaian, apalagi mereka hanyalah diutus dan sebagai utusan tentunya mereka tak boleh diganggu. Dan ketika Sin Gwan mengangguk dan berkelebat pergi, empat adiknya mengikuti maka Hek-tosu dan saudara-saudaranya agak semburat, malu.

"Paicu, harap diketahui bahwa kami bukanlah terlalu takut. Tapi tentu janggal kalau kami orang-orang dari Hoa-san tiba-tiba harus mencampuri urusan anak itu yang tidak ada sangkut-pautnya dengan Hoa-san.

"Aku mengerti," Tan Hoo Cinjin mengangguk, tidak kecewa. “Dan seharusnya memang begitu, jit-wi-totiang. Atau nanti rencana kita buyar dan musuh dapat mengetahui kehadiran kita."

Mereka lalu menunggu. Pihak Hoa-san lega setelah tidak adanya salah paham. Dan ketika mereka memandang kepergian Sin Gwan Tojin dan keempat adiknya, lenyap dan hanya merupakan titik kecil di gurun maka tosu dan empat adiknya ini sudah tiba di depan pintu gerbang. Mereka tentu saja disambut dan dipandang dengan alis berkerut oleh hwesio-hwesio Go-bi. Tapi melihat Sin Gwan Tojin membawa bendera putih, tanda utusan maka penjaga bertanya dari mana dan mau apa kedatangan mereka.

“Pinto dari Heng-san, ingin menghadap yang terhormat ketua Go-bi!"

"Ah, Heng-san? Jadi kalian....”

Pertanyaan itu dihentikan. Empat penjaga tiba-tiba saling pandang dan curiga. Baru saja bendera mereka dirobek-robek orang Heng-san, dan sekarang muncul orang Heng-san! Tapi Sin Gwan yang melihat gelagat tak menyenangkan tiba-tiba berkata sekali lagi agar mereka, para utusan, ditemukan dengan ketua Go-bi.

“Kami utusan, minta menghadap. Sampaikan saja kepada ketua kalian karena ada hal penting yang harus kami sampaikan!”

Empat hwesio itu kalah suara. Mereka memang harus menerima utusan dan masalah tadi biarlah diurus oleh para pimpinan mereka. Tapi karena mereka harus melapor dan lima orang itu tak boleh masuk, apa boleh buat Sin Gwan harus menunggu dengan mendongkol maka dua di antara empat hwesio itu masuk dan hwesio-hwesio yang lain berdatangan dan secara tidak kentara mengepung.

"Siapa sahabat-sahabat kita ini. Tampaknya utusan?"

Begitu mereka berbasa-basi. Sin Gwan langsung saja diperkenalkan tapi begitu ia diketahui segera murid-murid Go-bi itu berkerut. Ah, Heng-san rupanya. Padahal baru saja panji-panji mereka dirobek orang Heng- san! Tapi karena seperti yang lain mereka juga diam menanti, para pimpinan di dalam sedang diberi tahu maka semua berkerut tak senang dan Sin Gwan tak acuh dan diam-diam geli. Dialah yang tadi membuat gara-gara.

Kalau dia mau, para hwesio ini agaknya dapat didorong minggir, berkelebat dan masuk tapi biarlah dia menunggu sejenak. Dan ketika tak lama kemudian dua hwesio penjaga keluar kembali, di atas tangga pendopo dalam muncul Pat- hwesio dan dua saudaranya yang lain maka dengan bergegas hwesio penjaga itu berseru agar lima tosu ini datang dan menyambut tiga hwesio di atas pendopo sana.

“Kalian diterima, masuklah. Tapi ketua agaknya tak ada!"

Sin Gwan berdetak. Mendengar Beng Kong tak ada tiba-tiba dia menjadi gembira. Kalau begitu malah kebetulan! Tapi karena dia orang berpengalaman dan omongan ini siapa tahu bohong, orang-orang berkedudukan biasanya begitu maka memberi isyarat empat adiknya dia mulai memasuki gerbang perguruan Go-bi itu. Dan begitu ia masuk begitu pula hwesio di kiri kanan bergerak!

Mereka ini seperti mengiring tapi sesungguhnya mengepung. Itu tanda kewaspadaan! Tapi karena tosu ini tenang-tenang saja dan dia tersenyum mengejek, bendera putih tetap di tangan maka tak lama kemudian dia sudah berhadapan dengan tiga hwesio yang bukan lain adalah Pat-hwesio dan Jit-hwesio serta Liok-hwesio, tiga dari delapan hwesio sakti!

“Kami dari Heng-san ingin menghadap yang terhormat ketua Go-bi!”

Begitu Sin Gwan Tojin mengerahkan tenaganya agar didengar sampai jauh ke dalam. Sengaja ia berkata begitu untuk menguji omongan hwesio penjaga tadi. Kalau Beng Kong ada di dalam tentu ia keluar, tapi kalau tidak maka berarti ia benar-benar sedang tak ada di situ. Dan ketika ia membungkuk sementara Pat-hwesio dan dua suhengnya terkejut, suara tosu ini nenggetarkan dinding maka Liok-hwesio, orang tertua di situ mengebutkan ujung lengan bajunya.

"Omitohud, sahabat-sahabat dari Heng-san rupanya. Ada apa, membawa keperluan apa kalian datang?"

"Kami datang membawa surat tantangan. Sesepuh kami Siang Kek Cinjin menangkap seorang anak muda bernama Chi Koan dan katanya murid Beng Kong lo-suhu yang terhormat. Beng Kong lo-suhu diminta datang ke Heng-san kalau ingin membebaskan muridnya. Inilah surat tantangan itu...!"

Prahara Di Gurun Gobi Jilid 17

Cerita Silat Mandarin Serial Prahara Di Gurun Gobi Karya Batara

CHI KOAN terkejut. Si tosu sudah beterbangan dengan pukulan menyambar-nyambar dan Lui-yang Sin-kang serta Cakar Naga demikian cepat menyerangnya susul-menyusul. Antara gerak yang satu dengan gerak yang lain amatlah cepatnya karena kecepatan tosu itu memang luar biasa. Baru sekarang Chi Koan tahu bahwa inilah kiranya wakil Heng-san, sute dari Tan Hoo Cinjin dan samar-samar ia ingat siapa kiranya tosu ini, yang dulu juga pernah ke Go-bi namun tidak semenonjol Tan Hoo ataupun mendiang To Hak Cinjin, ketua Heng-san lama.

Dan ketika apa boleh buat ia harus bergerak cepat dan kembali tusukan Cakar Naga merobek bajunya, suara memberebet itu disusul oleh sorak-sorai murid-murid Heng-san maka Chi Koan merah mukanya dan membentak mengeluarkan ilmu kepandaiannya pula. Bayangan lawan yang naik turun menyambar-nyambar điiringi jejakan kakinya yang kuat ke bumi, berkelebat dan terbang pula menyambar-nyambar mengikuti lawan.

Lalu ketika pukulan demi pukulan juga menghantamnya demikian dahsyat, tosu itu mempergunakan Lui-yang Sin-kangnya dan Ngo-liong-jiauw (Cakar Lima Naga) mendadak Chi Koan sudah mainkan Lui-thian-to-jitnya dan dengan Cui-pek-po-kian dan Thai-san-ap-ting dia menangkis dan membalas.

"Des-dess-plakk!"

Murid-murid Heng-san terguncang. Sin Gwan Tojin terlempar sementara pemuda itu juga tergetar, maju terhuyung lagi dan kini membalas dan lawan berjungkir balik menangkis. Pertandingan yang sudah seru menjadi lebih seru lagi karena Chi Koan menggereng dan mengejar lawan. Dan ketika Sin Gwan terkejut namun dapat menolak pukulan Chi Koan, tergetar dan bertanding lagi maka dua orang itu sudah bergerak serang-menyerang dan pukulan atau tangkisan silih berganti.

"Duk-plak-plakk!"

Pertandingan menjadi tegang. Anak-anak murid yang semula bersorak dan menjagoi jago mereka mendadak kini diam dan tak bersuara. Kini dalam setiap tangkisan-tangkisannya selalu Sin Gwan Tojin tertolak mundur. Tosu itu tergetar dan terhuyung-huyung. Lui-yang Sin-kang, dan Cakar Naganya, tak mampu menembus kekebalan Chi Koan dan inilah yang mengejutkan si tosu. Ia kaget dan heran tapi selanjutnya ia ditekan dan didesak pukulan-pukulan lawan.

Cui-pek-po-kian melindungi pemuda itu sementara pukulan-pukulan Thai-san-ap-tingnya kian berat menindih kepala. Thai-san-ap-ting atau Gunung Thai-san Tindih Kepala ini benar-benar tepat dengan ilmunya. Dorongan atau pukulan telapak pemuda itu membawa deru angin kuat di mana si tosu merasa tertekan, tertindih.

Tapi melihat bahwa pemuda itu kiranya hanya mengeluarkan ilmu-ilmu yang ini saja, sebagai orang berpengalaman tahulah Sin Gwan Tojin bahwa Chi Koan tak memiliki ilmu lain, pemuda itu hanya mengandalkan dua ilmu ini dan tiga dengan ilmu meringankan tubuhnya, Chi Koan berkelebatan luar biasa cepat dengan Lui-thian-to-jitnya makea tosu itu membentak dan sekali tangannya bergerak ke belakang tahu-tahu ia telah mencabut tongkat panjang, tongkat beronce.

“Anak muda, ilmu silatmu tak banyak ragam. Kau hanya mengandalkan itu-itu saja. Bagus, hati-hati pinto mencabut senjata!”

“Ha-ha!” Chi Koan tertawa bergelak, sombong. "Kau boleh mengeluarkan semua senjatamu, Sin Gwan Tojin. Dan coba kalahkan aku biarpun ilmuku hanya ini-ini saja!”

“Baik, kau sombong seperti gurumu. Awas....!" tosu itu mengeluarkan pekik dahsyat, tongkat dilepas dan tiba-tiba menyambar Chi Koan dengan gaya tongkat terbang. Tongkat benar-benar terbang dan lepas dari tangan tosu ini. Dan karena itulah Hui-thian Sin-hoat atau Silat Sakti Tongkat Terbang dan yang menggerakkan kali ini adalah langsung tokoh Heng-san sendiri, bukan anak-anak muridnya maka Chi Koan terkejut juga dan menangkis.

“Plakk!”

Tongkat membalik dan menyambar kepalanya lagi! Chi Koan terkejut dan menolak tapi tongkat ganti menyambar tubuhnya yang lain. Dan ketika berturut-turut tongkat itu mematuk atau menyambar bagai ular hidup, pemuda itu berubah maka lawan tertawa bergelak dan mengejeknya, Hong-thian-lo-tee dikeluarkan pula sebagai pengiring dari Lui-yang Sin-kang dan pukulan-pukulan Cakar Naga.

“Ha-ha, bagaimana, anak muda? Kau puas?”

Chi Koan terkejut sejenak. Setelah dia mampu mendesak dan menekan lawan dengan dorongan-dorongan Thai-san-ap-ting maka dia agak sombong dan lengah. Dia menganggap lawannya tak mungkin bertahan lagi dan Chi Koan bangga. Ia lupa bahwa sebagai wakil Heng-san tentu lawannya itu bukan sembarang lawan, pasti memiliki ilmu-ilmu lain sebagai cadangan.

Dan ketika benar saja ilmu itu mulai dikeluarkan dan tongkat menyambar-nyambar mengacau perhatiannya, ditolak tapi kembali lagi dan menyerang bagian-bagian lain tubuhnya, menggigit dan tentu saja membuat Chi Koan marah maka pemuda ini berseru nyaring dan teringat tongkat empat tosu berikat kepala merah, yakni adik-adik seperguruan Sin Gwan Tojin yang merupakan tokoh ketiga. Dan begitu ia teringat ini dan melihat itulah silat tongkat terbang yang sama gayanya, ia meniup dan mengerahkan khikang maka tongkat membalik bertemu tiupan Chi Koan yang dahsyat.

“Wusshhhhh....!”

Ini tak disangka. Sin Gwan Tojin tadi belum melihat permainan mulut Chi Koan dan kini begitu menerima hembusan mendadak saja ia berteriak. Bukan saja tongkatnya tetapi iapun tertiup mundur. Bahkan, anak-anak murid yang lain terpelanting dan roboh berteriak- teriak. Semua orang kaget! Dan ketika Chi Koan tertawa bergelak dan tongkat terbang menghantam ke belakang, menghajar tujuh orang murid di sana maka mereka itulah yang menjadi korban dan roboh pingsan dengan kepala benjol sebesar bola ping-pong!

"Tak-tak-takk!”

Serangan atau jitakan tongkat ini hebat sekali. Sin Gwan Tojin yang menggerakkan tentu saja mainkan tongkat itu dengan tenaga yang besar. Tak ayal, begitu membalik maka anak-anak muridnya pun roboh. Tapi karena ini adalah hembusan pemuda itu dan Sin Gwan kaget melihat tiupan dahsyat Chi Koan, tak disangkanya pemuda itu memiliki khikang luar biasa maka ia bergulingan dan murid-murid dibentak mundur agar menjauh, begitu pula Tan Hoo Cinjin yang melihat kehebatan Chi Koan.

“Mundur.... mundur.... semua mundur!”

Chi Koan tertawa bergelak. Sekarang Ia pulih lagi dan kepercayaan dirinya bertambah besar. Benar, ia masih dapat bertahan dan tak perlu ia takut oleh macam-macam ilmu silat lawan. Dan ketika ia mengejar dan Sin Gwan Tojin bergulingan meloncat bangun, Chi Koan berkelebat dan tiba di dekatnya maka pemuda ini melepas Thai-san-ap-ting dan tangan kirinya menampar dengan Cui-pek-po-kian.

“Dess!” Sang tosu menangkis dan berseru tertahan. Kedudukannya masih buruk karena ia baru saja melompat bangun, Chi Koan demikian cerdik tak mau kehilangan kesempatan. Dan ketika tosu itu terpental dan terlempar kembali, terguling-guling maka selanjutnya Chi Koan mengejar dan menghantam lagi. Gerakan Lui-thian-to-jit nya sungguh menandingi Sin-sian-hoan-eng namun pukulannya Thai-san-ap-ting maupun Cui-pek-po-kian terasa berat bagi tosu ini. Sin Gwan mengelak tapi tetap juga kena gempur.

Dan ketika untuk ketiga kalinya ia mencelat dan tak diberi kesempatan membalas, Chi Koan benar-benar tak mau lawannya berdiri tegak maka si tosu jatuh bangun namun Chi Koan kagum juga karena Sin Gwan tak segera roboh. Tosu itu tak mampu membalas dan ia menjadi bulan-bulanan pukulan lawan. Meskipun jatuh bangun dan ah-uh-ah-uh menderita kesakitan wakil ketua Heng-san ini tangguh juga. Tapi karena lama-lama ia bakal terluka dan Tan Hoo Cinjin tentu saja tak mau membiarkan sutenya celaka maka tiba-tiba ketua Heng-san ini bergerak dan membentak Chi Koan.

"Anak muda, berhenti!"

Murid-murid Heng-san bersinar. Mereka sudah gelisah dan mau maju tapi menunggu komando sang ketua. Kini sang ketua sudah maju dan jari telunjuknya mencicit menyambar Chi Koan. Sinar putih panas menuju pundak pemudai ini dan Chi Koan terkejut. Dan ketika ia mengelak namun sinar putih itu mengejar, ia membalik dan menangkis maka Cui-pek-po-kian bertemu Tit-ci-thian-tung yang hanya dipelajari kakek ini.

"Crat!" lelatu bunga api muncrat di udara. Chi Koan terhuyung tapi lawan juga tergetar mundur, jari sakti itu bertemu pukulan sakti dan dua-duanya sama membelalakkan mata. Bunga api itu hilang dan lenyap setelah mengepulkan asap. Hebat. Dan ketika kakek ini kagum namun Chi Koan tertawa bergelak, marah, maka pemuda yang sudah membalik itu berseru, di sana Sin Gwan Tojin sudah meloncat berdiri dan gemetaran mengusap keringat, selamat dari tekanan Chi Koan.

“Ha-ha, boleh maju sekalian, Heng-san-paicu. Ayo keroyok dan tandingi aku!"

“Hm, luar biasa sekali. Hebat. Kau anak muda yang mengagumkan!" Tan Hoo Cinjin berseru dan mengibaskan lengan, masing-masing sudah berhadapan. Kau luar biasa dan hebat, Chi Koan. Tapi kau tak boleh mengganggu sute pinto. Hayo, lawanlah pinto dan tandingi Tit-ci-thian-tung!”

"Ha-ha, itu Jari Sakti Tuding Ke Timur? Bagus, aku sudah mendengar dari suhu, tapi katanya milik si tua bangka Siang Kek dan Siang Lam Cinjin. Kiranya sudah diwariskan kepadamu, bagus, maju dan mari kita bertanding!"

“Hm, pinto akan merobohkanmu. Tapi kalau kau mau menyerah baik-baik biarlah pinto tak usah menurunkan tangan kejam!"

"Tangan kejam? Ha-ha, kau tak dapat mengalahkan aku, Tan Hoo Cinjin. Kau boleh lihai tapi aku lebih lihai lagi. Justeru kalau kau mau tunduk dan berlutut di kakiku maka kau tak akan kubunuh. Atau nanti kuhajar seperti sutemu tadi!"

Tan Hoo mendelik. Omongan si pemuda malah membakar telinganya dan sebagai ketua Heng-san tentu saja ia terhina. Pemuda tu harus dihajar. Maka begitu membentak tiba-tiba ia menggerakkan jarinya lagi dan sinar putih meluncur. "Kau anak kurang ajar.... crit!"

Chi Koan mengelak. Ia telah merasakan dan tertawa bergelak diserang Tit-ci-thian-tung. Ia tak takut dan sudah waspada. Dan ketika si tosu menggerakkan tangannya lagi dan suara mencicit mengejarnya ganas, menuju matanya maka ia merunduk dan tangan kanan mendorong dengan Thai-san-ap-ting, tadi sudah mencoba dengan Cui-pek-po-kian.

“Dess!” dan hasilnya sama-sama menggembirakan. Ia terhuyung dan lawan tergetar mundur dan dari adu tenaga itu tahulah dia bahwa ia sedikit di atas lawan. Ia berada di pihak yang bertahan dan ternyata ia mampu menahan. Kalau ia terhuyung itu adalah lumrah, tenaga lawan jauh lebih kuat karena dibantu kedudukannya yang memungkinkan. Dan ketika ia terkekeh dan tiba-tiba melejit dengan Lui-thian-to-jitnya, berkelebat dan tahu-tahu di belakang ketua Heng-san ini maka Chi Koan membalas. Ia sekarang mendahului dan lawan sebagai pihak bertahan.

Dan ketika si tosu menangkis tapi terpental ke belakang, terbukti bahwa sinkangnya masih menang setingkat maka Tan Hoo berseru keras dan ketua Heng-san itu cepat menggerakkan jarinya ke kiri kanan. Chi Koan sudah menyerangnya bertubi-tubi dan pukulan atau sambaran Thai-san-ap-ting menderu dari mana-mana. Dua orang ini tiba-tiba sudah saling berkelebatan dan bayangan si tosu tampak sibuk menangkis dan menghalau.

Tapi ketika tetap saja ia terpental dan Tit-ci- thian-tung kalah seusap menghadapi Thai-san-ap-ting, perlu diingat bahwa tenaga Chi Koan sudah dikuras untuk menghadapi Sin Gwan Tojin dan lain-lainnya tadi maka ketua Heng-san ini membentak dan tangan kirinya cepat mencabut tongkat dan mainkan Hui-tung Sin- hoat, tangan kanan masih menuding ke sana ke mari dengan jari telunjuk mempergunakan Tit-ci-thian-tung.

"Plak-plak-critt....!”

Muka si tosu segera berobah. Dengan Tit-ci- thian-tung ternyata kurang dan kini dibantu tongkatnya masih juga ia tergetar. Hebat pemuda ini! Dan ketika tosu itu berseru panjang dan lengkingan atau pekikannya menyuruh waspada yang lain, dia berkelebatan dan membayangi bayangan Chi Koan yang sudah naik turun menyambar-nyambar maka dua orang itu sudah bertanding dan silih berganti mencoba kepandaiannya dengan seru.

"Duk-plak-plakk!"

Chi Koan tergetar dan teruyung mundur. Sang ketua mainkan tongkat lebih lihai daripada Sin Gwan Tojin dan si pemudapun meniupkan hembusan khikang ke tongkat itu. Tidak seperti sutenya yang tadi melepas dan menerbangkan tongkat adalah Tan Hoo Cinjin memegang dan mencengkeramnya erat-erat. Dia khawatir tongkat itu dipukul balik dan terbang mengenai murid-murid sendiri. Kejadian seperti sutenya tadi tak mau diulang. Dan ketika tongkat di tangan kiri sementara jari telunjuk menuding dan mencicit menghadapi Chi Koan, adu tenaga dan kecepatan benar-benar terjadi di sini.

Maka Chi Koan mendapat kenyataan bahwa lawan lebih lihai daripada tadi. Ketua Heng-san ini lebih tenang dan mantap dibanding sutenya, kepandaiannya juga setengah tingkat dibanding Sin Gwan. Namun karena ia menghadapi gabungan dua ilmu sakti dari Go-bi, dengan tangan kiri Chi Koan mainkan Cui-pek-po-kian sementara dengan tangan kanan ia mendorong dan melepas pukulan-pukulan Thai-san-ap-ting, Chi Koan berseri dan gembira bukan main maka sedikit tetapi pasti ia mulai dapat mendesak lawan. Tit-ci-thian-tung, tudingan jari sakti yang semula ditakutinya itu kini berani diterima dengan tubuhnya.

Chi Koan ingin menguji kekebalan Cui-pek-po-kian dan ternyata dapat. Dua kali ia tertusuk tapi dua kali itu pula ia hanya tergetar. Ia hanya tersengat rasa panas tapi setelah itu hilang. Tertawalah pemuda ini mengejek lawan. Dan ketika ia membalas dengan Thai-san-ap-ting dan lawannya selalu terhuyung mundur, tidak jauh tapi cukup memberi tahu bahwa Tan Hoo tak kuat, Chi Koan girang sekali maka pemuda ini tak mengkhawatiri tongkat di tangan si tosu karena nanti kalau beterbangan ia akan meniup dan menghembus dengan khikangnya.

“Ha-ha, ayo Tan Hoo Cinjin. Keluarkan semua kepandaianmu!"

Tosu ini merah. Ia telah mainkan Tit-ci-thian-tung dan silat tongkat Hui-tung Sin-hoat. Semua tak berguna banyak tapi ia masih mempunyai ilmu-ilmu lain. Dan ketika ia membentak dan merobah gerakannya, jari telunjuk menuding dengan Tit-ci-thian-tung tapi jari-jari lain mengerahkan Lui-yang Sin-kang, ilmu listrik itu maka Heng-san-paicu ini juga menendang dan bergerak dengan ilmu silat Hong-thian-lo-tee.

“Jangan sombong, mendesak belum berarti menang, anak muda. Pinto belum kalah dan belum roboh!"

"Ha-ha, memang benar. Tapi setelah itu pasti roboh... dess!” Chi Koan menangkis tendangan Hong-thian-lo-tee, membungkuk dan saat itu tongkat di tangan lawan bergerak menyambar kepalanya. Jari telunjuk dan jari lain juga bergerak dengan Tit-ci-thian-tung dan pukulan Lui-yang Sin-kang, hebat tosu ini, Dan ketika Chi Koan menangkis namun serangan lain menghantam dan mengenainya maka pemuda itu terhuyung dan hampir saja terpelanting.

“Ha-ha, bagaimana, anak muda. Apakah kau dapat merasakannya?"

"Hm, jangan girang dulu. Aku tidak roboh!" Chi Koan berseru, mukanya sedikit merah. “Kau boleh hebat, Tan Hoo Cinjin, tapi tak mungkin kau mengalahkan aku!" dan bergerak lagi dengan dorongan-dorongan tangannya, Thai-san-ap-ting menyambar sementara Cui-pek-po-kian juga melindungi dan bertahan maka serangan si tosu yang beruntun hanya menggetarkan sejenak tubuh pemuda ini.

Tan Hoo memang hebat dan memang hanya tosu ini saja yang mampu menggerakkan satu tangannya dengan dua pukulan sekaligus, Tit-ci-thian-tung dan Lui-yang Sin-kang. Sutenya, Sin Gwan, delum mampu melakukan itu tapi itupun sebenarnya sudah cukup hebat bagi tosu-tosu Heng-san ini. Mereka sudah merupakan orang-orang pilihan dan karena hebatnya Cui-pek-po-kian dan Thai-san-ap-ting itu saja yang membuat ketua Heng-san ini penasaran. Ia seakan membentur tembok.

Dan ketika kembali pukulan-pukulannya tak mempan merobohkan lawannya itu, Chi Koan hebat luar biasa dengan kekebalannya maka si tosu terdesak ketika Chi Koan kembali membalas. Chi Koan tak lagi mau menerima pukulan-pukulan lawan dan berkelebatan mengerahkan ginkangnya. Kilat Menyambar Matahari, ilmu meringankan tubuhnya itu dipakai untuk menghindar dan dari situ ia membalas dan melakukan tamparan-tamparan. Dan karena Thai-san-ap-ting yang dimilikinya itu sudah setingkat dengan gurunya, pemuda ini hanya dapat dikalahkan dengan Hok-te Sin-kun.

Maka Tan Hoo tiba-tiba terdesak karena pukulan atau dorongan pemuda itu selalu membuatnya terhuyung-huyung. Tongkat dipakai menangkis tapi tertolak kuat. Tit-ci-thian-tung dipakai menusuk tapi malah tertekuk. Dan ketika tosu itu kebingungan harus dengan ilmu apa ia merobohkan lawannya ini, pucat dan kecewa maka saat itulah Chi Koan berkelebat dan menghantam perutnya.

"Heng-san-paicu, terimalah pukulanku!"

Tosu ini berubah. Ia sedang dalam posisi buruk karena tadi terhuyung ke depan. Ia menghantam tapi lawan berkelit. Dan ketika ini ia menerima pukulan dan tak ada jalan menangkis kecuali dengan memalangkan tongkat dan menudingkan Tit-ci-thian-tung maka tosu itu menangkis.

“Bress!” dan ia terlempar. Tongkatnya patah dan Chi Koan terbahak mengejar, berseru lagi melepas Thai-san-ap-ting dan ketua Heng-san ini mengeluh. Ia bergulingan tapi tetap dikejar. Dan ketika ia harus melempar tubuh ke sana-sini tak sempat meloncat bangun, Chi Koan kembali mencapai posisinya seperti ketika tadi menekan Sin Gwan, sutenya, maka sebuah pukulan mengenai tubuh laki-laki ini dan sang ketua mencelat. Sebentar kemudian keadaannya sama seperti adik seperguruannya.

Murid-murid terbelalak dan bak-bik-buk pukulan menghajar ketua Heng-san ini. Namun karena ia kuat dan masih juga bergulingan, sama seperti Sin Gwan Tojin tadi maka wakil Heng-san menjadi marah dan membentak maju, empat sutenya juga bergerak menyerang, disusul puluhan anak-anak murid yang juga sudah tak dapat menahan diri ingin menyelamatkan ketuanya.

"Bocah, hentikan keganasanmu!"

Chi Koan tertawa tapi menghentikan tawanya mendengar deru angin yang dahsyat. Tiba-tiba dari mana-mana menyambar hujan serangan tapi yang paling hebat adalah Sin Gwan Tojin dan empat orang adik seperguruannya, tosu-tosu berikat kepala merah itu, tokoh-tokoh nomor tiga dari Heng-san. Dan ketika Chi Koan membalik dan menangkis semua serangan ini, yang lain-lain tak sempat dan dibiarkan mendarat maka Chi Koan terpelanting dan kaget serta marah.

"Heii.... des-des-dess!”

Lima batang tongkat menghajar disusul senjata-senjata lain. Semua marah dan menerjang tapi di sana Tan Hoo Cinjin sudah berseru agar murid-murid yang lain mundur. Ketua Heng-san ini sudah dapat meloncat bangun dan bantuan adik-adiknya tadi menyelamatkan. Ia menggigil melihat kedahsyatan anak muda ini. Tapi membentak menyuruh anak-anak mundur, ia berkelebat dan membantu lima adiknya maka Chi Koan dikeroyok dan dihujani enam serangan dari tokoh-tokoh kelas satu sampai tiga.

“Siancai, bocah ini benar-benar berbahaya. Robohkan dia, dan tangkap!"

“Tidak, biar kita bunuh dia, suheng. Kita telah đihina dan diejeknya habis-habisan!”

“Benar,” tosu bertahi lalat di sudut mulutnya berseru. “Tak ada ampun untuk bocah semacam ini, suheng. Biarlah kita bunuh dan pasang kepalanya di gerbang Go-bi!” dan Chi Koan yang dikeroyok dan menghadapi bayangan berkelebatan yang bukan main banyaknya, masing-masing orang seakan menjadi sepuluh maka Tan Hoo berseru agar pemuda itu ditangkap saja, tidak dibunuh.

"Kita masih harus melapor kepada supek. Kita tangkap dan hadapkan dia kepadanya. Biarlah supek yang menentukan!"

Dan ketika adiknya yang lain mengangguk dan sadar, omongan ketua harus diturut maka Chi Koan kewalahan mendapat serangan bertubi- tubi. Lain tadi lain sekarang. Ia sudah dikerubut enam tokoh Heng-san yang berkepandaian tinggi. Yang tertinggi tentu saja Tan Hoo Cinjin itu, baru kemudian sutenya nomor satu, Sin Gwan Tojin. Dan karena empat sutenya yang lain juga tokoh-tokoh andalan dan mereka sudah di atas kelas rata-rata, hanya karena Cui-pek-po-kian dan Thai-san-ap-ting nya itu Chi Koan mampu bertahan maka pemuda ini tak dapat membalas dan sibuk mengelak atau menangkis.

Lima tongkat terbang berseliweran naik turun dan pukulan-pukulan Twi-hong-hok-san juga menyambar-nyambar. Dan karena masing-masing tosu itu berkelebatan dengan Sin-sian-hoan-eng mereka, ilmu meringankan tubuh milik Siang Lam dan Siang Kek Cinjin sendiri, dedengkot Heng-san maka Chi Koan kewalahan karena meskipun dia memiliki Lui-thian-to-jit tapi menghadapi enam bayangan yang serempak beterbangan itu susah juga baginya mengikuti. Satu Lui-thian-to-jit dikeroyok enam Sin-sian-hoan-eng, siapa tidak puyeng.

Dan ketika benar saja Chi Koan mengumpat dan mengutuk lawannya, mencaci-maki maka lima tongkat menggebuk tubuhnya dan meskipun ia tidak roboh namun pemuda ini terhuyung-huyung dan sempoyongan. Ia mendelik dan anak-anak murid Heng-sanpun bersorak. Sekarang mereka bertepuk tangan. Dan ketika Tan Hoo mengajak sutenya menusuk dengan Tit-ci-thian-tung, di antara mereka berenam hanya mereka berdualah yang mempelajari imu itu maka Sin Gwan mengangguk dan tadi menyesal kenapa tidak cepat-cepat mengeluarkan ilmunya itu, meskipun tetap saja seorang lawan seorang ia masih bukan tandingan pemuda ini.

“Tusuk kedua matanya. Pergunakan jari sakti Tit-ci-thian-tung!"

Chi Koan terkejut. Ia mendengar bunyi mencicit dan tahu-tahu dua sinar putih menyambar dari kiri kanan. Sin Gwan, yang tadi tak mempergunakan ilmu itu kini tiba-tiba menyerang dengan Tit-ci-thian-tung. Dan ketika tongkat di tangan empat tosu yang lain disuruh menusuk telinga atau mata pemuda ini, tiba-tiba wajah Chi Koan menjadi sasaran maka pemuda ini kaget dan marah besar. "Tan Hoo, kau licik. Mana itu kegagahanmu sebagai ketua Heng-san?"

“Hm, ingat tadi sesumbarmu sendiri. Tadi kau sombong menyuruh kami mengeroyok, bocah. Dan sekarang berkaok-kaok memaki kami. Mulut apa ini!"

"Ah, tapi aku hanya menyuruh kau dan sutemu yang bau itu maju. Bukan empat tosu yang lain ini!"

"Mereka juga sute-suteku, bukan murid. Kau robohlah dan jangan banyak bicara lagi.... critt!"

Tusukan jari maut yang mengenai dahi dan hampir saja menyambar mata Chi Koan membuat pemuda ini berteriak dan melempar tubuh bergulingan. Sekarang ia dicari kelemahannya dan kelemahannya itulah yang dicecar. Tongkat dan jari semua menyambar mata, bukan main. Dan karena ia harus melindungi matanya dan bagian lain menjadi lemah, terbuka, maka enak saja kaki dan tendangan mendarat empuk. Chi Koan jatuh bangun dan diam-diam menyesal.

Memang, ia tadi sesumbar dengan mengatakan sute ketua Heng-san ini maju, tak tahu bahwa empat orang itupun adik-adik seperguruan ketua Heng-san ini. Dan ketika apa boleh buat dia harus menghadapi dan bergulingan ke sana ke mari, keadaan berbalik maka Chi Koan tak mampu berbuat banyak dan menjadi bulan-bulanan enam tokoh ini. Ia boleh hebat dan kebal tapi sepasang mata atau lubang hidungnya itu tak mungkin kebal. Ia ketanggor. Dan karena bagian inilah yang selalu diincar dan Chi Koan repot melindungi, ia menyesal maka tubuhnya sakit-sakit dihajar tongkat dan tendangan.

Namun pemuda ini tetap hebat. Ia hanya kesakitan saja tapi tak roboh. Cui-pek-po-kiannya itu melindungi dan diam-diam enam tokoh Heng-san itu kagum. Kalau bukan pemuda ini tentu sekarat paling sedikit pingsan. Namun karena hajaran itu terjadi bertubi-tubi dan lama-lama daya tahan pemuda ini menurun, Chi Koan baru menguasai dua ilmu Go-bi itu saja maka ketika daya tahannya menurun ia mandi keringat dan mengeluh. Pakaiannya robek-robek dan nyaris hancur.

Anak murid bersorak dan telinga pemuda ini mengiang-ngiang. Ia letih. Dan ketika ia benar-benar lunglai dan kehabisan tenaga, satu sabetan tongkat mengenai belakang kepalanya maka pemuda ini terguling dan roboh tak bergerak, pingsan. Chi Koan bukan pingsan oleh pukulan itu melainkan pingsan karena habisnya tenaga yang terkuras. Ia telah bertanding dan menghadapi banyak musuh berturut-turut. Semua kagum.

Tapi karena ia adalah musuh dan terlebih dari Go-bi, musuh besar mereka maka Tan Hoo Cinjin berhenti bergerak dan menotok. Dalam keadaan begitu pemuda ini sudah benar-benar tak berdaya, meskipun kekebalannya masih bekerja karena tadi seorang murid mencoba membacok namun pedangnya terpental, bacokan dari rasa gemas!

"Tak usah dibunuh, kita tangkap saja. Bawa dia kepada supek dan biarkan supek yang menentukan hukuman!"

Semua murid mengangguk. Sekarang ribut-ribut itu selesai dan Chi Koan diikat seperti babi. Bukan tali yang dililit melainkan rantai, rantai besi. Dan ketika bekas pertempuran dibersihkan dan Tan Hoo bersama kelima sutenya naik ke puncak maka tawanan ini diserahkan kepada dedengkot Heng-san yang telah buta.

“Ugh... apa ini? Siapa yang kalian bawa?” demikian Siang Kek cinjin menyambut ketika enam bayangan berkelebat dan memasuki pertapaannya. “Aku mendengar ribut-ribut di tempat kalian, Tan Hoo. Apa yang terjadi dan siapa yang membuat onar?”

“Maafkan kami,” Tan Hoo Cinjin berlutut dan lima sutenya sudah menjatuhkan diri. "Kami membawa tawanan penting, supek. Kami ingin supek yang memberikan hukuman dan keputusan!”

"Nanti dulu. Aku tadi mendengar deru pukulan Cui-pek-po-kian dan Thai-san-ap-ting. Apakah orang dari Go-bi?"

"Benar...”

"Dan dia Beng Kong si keparat?"

"Bukan,” Tan Hoo melirik adik-adiknya, sedikit cemas, tapi juga kagum. "Kau hebat sekali dapat mendengar suara pukulan itu, supek. Memang benar musuh dari Go-bi tapi bukan Beng Kong Hwesio."

"Ah-ah, siapa kalau begitu. Aku mendengar pukulannya begitu hebat dan sama dengan Beng Kong Hwesio dulu!"

“Ini muridnya, supek, anak yang masih muda. Ia Chi Koan...”

“Chi Koan?” kakek itu tertegun. “Bocah haram dari mana? Aku tak pernah mendengar namanya. Kenapa kalian bawa ke sini?"

"Maaf," Tan Hoo agak merah. "Meskipun tak terkenal tapi ia hampir mencelakai kami, supek. Aku dan Sin Gwan sute serta yang lain-lain nyaris roboh....”

“Aku tahu itu, dan kalian lalu mengeroyok. Kukira tadi Beng Kong Hwesio!”

"Bukan, ia hanya muridnya. Tapi betapapun kami mampu merobohkannya. Kalau supek mau melihat silahkan....”

Belum habis kata-kata ini tiba-tiba si renta sudah menyambar. Meskipun kedua matanya tak mampu melihat namun Siang Kek Cinjin memiliki daya dengar yang tajam. Bukti bahwa deru pukulan Cui-pek-po-kian maupun Thai-san-ap-ting yang dapat didengar menunjukkan ketajaman telinga kakek ini. Dan karena ia tahu di mana Tan Hoo Cinjin meletakkan pemuda itu, bergerak dan sudah menyambar maka Chi koan yang pingsan tiba-tiba menjerit dan sadar dicengkeram bahunya. Rasa sakit menusuk tulang justeru membuatnya siuman.

"Aughhhh...!” Kakek itu mendengus. Ia melihat rantai melibat-libat dan membuka matanya lebar-lebar. Manik putih di tengah mata itu membelalak, mengerikan. Dan ketika ia memeriksa dan meremas sana-sini, memijat dan meremukkan tulang-tulang pemuda itu maka kakek ini terkejut dan kagum. Hawa sakti melawan dan menolak remasannya.

"Hebat.... anak muda ini hebat. Ia telah memiliki kepandaian setingkat gurunya enam tahun yang lalu. Ah, celaka!”

Tan Hoo Cinjin terkejut. Supeknya itu meraung dan tiba-tiba menangis. Dan ketika Chi Koan dilempar den dibanting di sana, di sudut guha maka si kakek mengguguk dan berulang-ulang mengatakan celaka.

"Aduh, sial kita ini, Siang Lam.... sial. Heng-san sungguh sial...!”

Tan Hoo dan kelima sutenya saling pandang. Mereka jadi heran dan terkejut kenapa supek mereka itu berulang-ulang mengatakan sial, di samping celaka. Tapi karena supek mereka mengguguk dan mereka tak berani mengganggu, biarlah menangis dan nanti ditanya kalau sudah reda maka enam tosu itu mendelong saja melihat supek mereka itu mengguguk dan tersedu-sedu. Tangis memilukan dan amat sedih terdengar di sini. Berulang-ulang kakek itu meratapi dirinya. Tapi ketika ia mendongak dan mencelat mencengkeram Tan Hoo, tangis terganti bentakan maka semua terkejut melihat wajah kakek ini yang merah terbakar.

“Tan Hoo, apakah hanya seorang ini saja yang datang ke Heng-san. Apakah tak ada murid-murid Go-bi yang lain yang datang?”

“Tak ada,” sang tosu meringis dan menahan sakit, cengkeraman itu sanggup meremukkan sebongkah batu besar. "Hanya anak ini yang datang, supek. Ada apakah? Kenapa kau menangis.... begitu sedih?”

"Keparat, tolol! Kau tak mengerti? Heh, kalau seorang murid saja tak mampu kau kalahkan lalu bagaimana dengan Beng Kong Hwesio sendiri, Tan Hoo? Apakah otakmu tidak berpikir bahwa dia pasti lebih lihai lagi? Ah, serasa sia-sia kalau begini maksudku. Aku menggembleng kalian tapi musuh juga semakin maju. Aku khawatir balas dendam kita gagal!"

Tan Hoo Cinjin tersentak. Cengkeraman sekarang dilepaskan dan ia tertegun. Kelima sutenya juga tertegun dan tahulah mereka kini apa kiranya yang menjadi sebab supek mereka itu menangis menggerung-gerung. Kiranya khawatir oleh kenyataan itu. Tapi ingat bahwa di Go-bi yang hebat hanya Beng Kong dan Ji Leng Hwesio saja, si pertapa, Ji Beng sudah tiada dan tewas enam tahun lalu maka tosu ini berkata dengan wajah bersinar-sinar,

"Supek, barangkali betul wawasanmu. Tapi ada yang terlewat. Bukankah tidak semua murid Go-bi harus dan akan selihai pemuda ini? Bukankah hanya Beng Kong dan gurunya saja yang sakti? Teecu masih menaruh harapan. Bukankah sesungguhnya kemajuan kita sudah diakui oleh sahabat-sahabat dari Kun-lun maupun Hoa-san?"

"Hm!” kakek itu tertegun, kening berkerut, lalu membelalak. "Kun-lun dan Hoa-san memang mengakui kemajuan kita, Tan Hoo, tapi musuh kita adalah Go-bi. Kalau dugaanmu betul tentu saja benar, tapi untuk ini aku ragu. Bagaimana kalau mereka menggembleng pula murid-muridnya selihai bocah ini?”

"Tak mungkin. Bocah ini kesayangan Beng Kong Hwesio seorang, supek. Teecu ingat bahwa dia inilah bocah yang dulu membuat gara-gara di Go-bi. Dia inilah yang dulu mendatangkan Tujuh Siluman Langit dan awal gegernya Bu-tek Cin-keng. Bocah ini hanya murid tunggal Beng Kong, murid semata wayang!"

"Kalau begitu selamat, tapi harus dicari kebenarannya dulu. Coba kau pergi ke Go-bi dan bawa seluruh anak murid Heng-san. Beri tahu Beng Kong bahwa muridnya ada di sini dan ketika dia keluar gempurlah Go-bi. Biar aku menghadapinya di sini!”

"Apa?”

“Kau bawa seluruh murid Heng-san, Tan Hoo. Gempur seisi Go-bi dan hancurkan mereka. Tapi biarkan Beng Kong keluar dulu dan berhadapan dengan pinto!”

"Supek hendak menghadapi seorang diri?”

"Memangnya kenapa?"

"Ah, berbahaya, supek. Kau bisa terbunuh!”

"Ha-ha, itu yang kucari. Eh, tubuh tuaku ini tak mati-mati, Tan Hoo. Daripada mati digeragoti penyakit lebih baik mati di tangan Beng Kong Hwesio. Aku lebih puas mati begini daripada menunggu kematian secara sia-sia. Aku ingin mati secara gagah. Tapi meskipun mati aku merasa puas karena tentu kau di sana juga menghancurkan Go-bi, ha-ha-heh-heh!”

Tan Hoo Cinjin tertegun. Tiba-tiba dia mengerti apa yang dimaui supeknya ini. Lawan terkuat hendak dipancing sementara itu lawan-lawan yang lemah dihancurkan. Dia sendiri juga sangsi apakah mampu menghadapi Beng Kong. Muridnya saja begitu hebat dan baru dapat dirobohkan setelah dikeroyok enam. Bagaimana kalau misalnya pemuda ini dibantu murid-murid Go-bi umpamanya, atau Beng Kong yang datang bersama adik-adik seperguruannya yang lihai. Tentu mereka kerepotan dan belum tentu menang.

Dan karena kata-kata supeknya itu ada benarnya, biarlah yang terkuat dipancing sementara dia dan seluruh murid-murid Heng-san dapat mencoba diri, menggempur dan mengobrak-abrik Go-bi maka tosu ini mengangguk-angguk tapi bagaimana dengan supeknya di situ. Dia khawatir dan terus terang cemas. Dulu berdua dengan Siang Lam Cinjn saja supeknya ini hampir tak dapat merobohkan Beng Kong. Seorang lawan seorang jelas supeknya itu bukan tandingan. Tapi karena jalan keluar ini yang terbaik, supeknya ingin mati secara gagah maka Tan Hoo Cinjin lalu tak mempunyai pilihan lagi dan berkata,

"Baiklah, aku memenuhi permintaanmu, supek. Tapi apakah tak ada yang menemanimu kalau kami harus pergi semua?"

“Tidak..... tidak! Kalian semua harus berangkat, Tan Hoo, tak usah menemani aku di sini. Biarkan Beng Kong berhadapan dengan aku tapi sebaliknya kalian semua dapat mengkonsentrasikan diri menghancurkan Go-bi!”

“Baiklah, kalau begitu teecu bersiap-siap. Kapan harus berangkat...?"

"Besok! Lebih cepat lebih baik!" sang kakek memotong, wajahnya berseri-seri. “Jangan tunda-tunda lagi kepergian kalian, Tan Hoo. Sikat dan bunuh habis hwesio-hwesio itu. Keroyoklah Ji Leng kalau ia keluar!”

Tan Hoo Cinjin mengangguk sekali lagi. Ia telah mendapat perintah dan ini harus dijalankan. Tosu itu mundur dan bersama adiknya ia keluar guha. Dan ketika di luar ia menarik napas dalam-dalam sementara Sin Gwan dan empat sutenya juga menarik napas dalam-daiam maka Heng-san disiapkan dan bagai bala tentara siap perang hari itu juga ratusan murid Heng-san bersorak.

Saat itu adalah saat yang ditunggu-tunggu tapi tak ada seorang muridpun yang diberi tahu bahwa kepergian mereka ini sekaligus mengorbankan sesepuh mereka. Go-bi akan dikeluarkan seekor singa nya sementara Heng-san akan mengorban kan tokoh tuanya. Itu perhitungan yang sudah diperhitungkan pula oleh sesepuh mereka. Memang lebih baik mati sebagai seorang gagah daripada mati karena diserang penyakit, apalagi bagi seorang kakek macam Siang Kek Cinjin yang berilmu tinggi itu, yang sudah biasa malang-melintang dan mempunyai nama besar.

Alangkah memalukannya kalau mati seperti seekor tikus yang terbuntu liangnya. Jauh lebih baik dan membanggakan kalau mati dalam pertempuran. Dan karena Tan Hoo juga berpikiran begitu dan apa boleh buat dia harus membiarkan supeknya maka keesokannya sebelum berangkat ia minta diri dan menemui supeknya, kelima adiknya yang lain juga ikut.

"Kami telah siap, dan kami akan berangkat. Mohon doa restu supek dan maafkan bahwa kami harus membiarkan supek seorang diri di sini."

"Ha-ha, jangan khawatir. Kalau aku mati Beng Kong juga mati, Tan Hoo. Aku telah mempersiapkan sesuatu dan kalau guha ini tertutup jangan dibuka lagi."

"Maksud supek?"

"Tempat ini akan menjadi kuburan bagiku dan Beng kong. Aku telah memasang dinamit!”

“Ah, dan bocah ini?"

“Ha-ha, dia juga akan mengantar gurunya ke akherat, Tan Hoo. Aku akan mengajaknya serta menghadap Giam-lo-ong!" Kakek itu tertawa tergelak-gelak.

Tan Hoo terbelalak dan Chi Koan yang meringkuk di sudut juga pucat. Anak muda itu melotot tapi urat gagunya ditotok. Chi Koan tak mampu bicara. Namun ketika tosu ini menarik napas dalam dan mengangguk-angguk, kiranya supeknya itu akan meledakkan guha kalau tak mampu mengalahkan lawan, sikap yang dipujinya juga maka dia berkata, "Baiklah, supek. Kalau begitu Beng Kong benar-benar akan mengalami kematiannya di sini dan selamat tinggal. Kami akan menghancurkan Go-bi dan berangkat!"

“Ya, pergilah. Berangkatlah. Tapi awas, sembunyikan diri dan jangan sekali-kali menyerang Go-bi kalau hwesio keparat itu belum keluar, belum ke sini!”

"Ya, kami mengerti, supek. Selamat tinggal." Enam tosu itu keluar. Tan Hoo Cinjin mencucurkan air mata karena begitu ia keluar begitu juga ia maklum bahwa itulah pertemuan terakhirnya dengan sesepuhnya ini. Pikiran dan hatinya gundah namun semua tak dapat ditarik mundur. Ia harus memimpin murid-murid Heng-san dan Go-bi harus dihancurkan. Supeknya menjadi tumbal dan pengorbanan itu tak boleh sia-sia. Dan ketika lima sutenya juga mencucurkan air mata karena itulah pertemuan terakhir mereka dengan supek mereka, rencana hebat telah mulai dijalankan maka tiba di markas mereka saling cengkeram dan berbisik,

"Supek siap mengorbarkan diri. Dan kita harus siap menghancurkan Go-bi. Mari, jangan sia-siakan pengorbanan supek, sute. Kita berangkat dan pimpin anak-anak murid Heng-san!"

Lalu mengangguk dan saling cium senjata, dengan itulah mereka menyerang Go-bi maka hampir lima ratus orang anak murid Heng-san bersorak turun gunung. Baru kali inilah dalam sejarah dunia kang-ouw ada partai persilatan besar menyerang partai persilatan besar lain dengan seluruh kekuatan yang ada. Heng-san tak meninggalkan seorang anak murid pun di puncak dan mereka benar-benar menyerang secara penuh. Dapat dibayangkan hebatnya.

Dan ketika mereka melewati pegunungan Hoa-san dan di sini adik-adik seperguruan Tan Hoo Cinjin meminta agar suheng mereka menghampiri tokoh-tokoh Hoa-san, membujuk dan meminta mereka bergabung pula ternyata Ko Pek Tojin dan Tujuh Malaikat Hoa-san sebagai tokoh-tokoh di situ menerima ajakan ini. Tidak kepalang tanggung, mereka mengerahkan pula semua murid yang ada. Murid Heng-san dan murid Hoa-san bergabung dan bukan main ramainya mereka itu.

Riuh-rendah bersahut-sahutan membuat gunung bergetar seakan runtuh. Dua partai besar menjalin kekuatan menjadi satu dan ancaman bagi Go-bi bertambah lagi. Partai itu menghadapi bahaya besar. Dan ketika ini masih ditambah lagi dengan niat membujuk Kun-lun, sahabat satunya yang dulu juga disakiti Go-bi ternyata di sini dua kekuatan besar itu gagal membujuk.

Kim Cu Cinjin, yang menjadi ketua dan menggantikan mendiang suhengnya Kiam Leng Sianjin ternyata tak berani mengambil keputusan seorang diri. Di Kun-lun tinggal seorang tokoh tua yang keberadaannya masih đisegani, yakni Kun-lun Lojin yang dulu juga tak mau diajak Siang Kek maupun Siang Lam menggempur Go-bi. Dan ketika Kim Cu Cinjin tertegun dan menerima sahabat-sahabatnya, seribu anak murid dibiarkan di bawah gunung maka tosu itu mengurut-urut jenggot pendeknya berkata,

"Kami di sini tentu saja girang sekali. Tapi pinto tak berani mengambil keputusan karena di sini masih tinggal susiok kami Kun-lun Lojin. Biarlah sahabat-sahabat menunggu di sini dan pinto sendiri yang akan menghadap dan minta keputusannya.”

Tan Hoo Cinjin dan Ko Pek Tojin menunggu. Mereka sendiri titip salam untuk sesepuh Kun-lun itu dan berseri-seri penuh harap. Tapi ketika tak lama kemudian Kim Cu Cinjin muncul dengan wajah muram, pandang matanya tak gembira maka pengganti Kiam Leng Sianjin itu minta maaf.

Ternyata, Kun-lun tak diperkenankan ikut-ikut menggempur. Urusan lama dianggap sudah berlalu dan kalau Go-bi tidak mengganggu mereka maka Kun-lun juga diam. Kakek itu bahkan menegur Kim Cu kenapa hendak mengobarkan bara api yang sudah padam. Dan ketika tamu-tamu itu tertegun dan kecewa, Kun-lun dianggap pengecut maka Tan Hoo maupun kawan-kawannya kembali turun.

Kim Cu mengantar dan berulang-ulang tosu ini minta maaf. Tapi karena Heng-san maupun Hoa-san tahu bahwa itu bukan kesalahan Kim Cu, di atas ketua ini masih ada sesepuh yang lebih tingi maka Ko Pek maupun Tan Hoo hanya berkata,

"Tak apalah, kami mengerti. Hanya kami agak merasa heran bagaimana Kun-lun Lojin yang berkesaktian tinggi ternyata bernyali kecil. Kami tak menyalahkanmu, Kim Cu-toheng. Hanya kami terkejut atas watak sesepuhmu itu. Dua kali ia menolak bergabung. Dulu dengan Siang Kek dan Siang Lam locianpwe sekarang dengan kami sendiri. Orang dapat salah paham mengatakannya pengecut!"

Kim Cu Cinjin terpukul merah. Ia tak dapat menjawab karena kenyataannya begitu. Susioknya memang bisa disangka pengecut, padahal ia adalah seorang berilmu tinggi. Dan ketika ia membiarkan saja sahabat-sahabatnya berlalu, barisan besar itu tak bersama anak-anak murid Kun-lun maka bukan hanya Kun-lun Lojin yang dikutuk melainkan juga murid dan ketuanya sendiri disumpah-serapahi!

"Kun-lun memang pengecut. Dari dulu tetap pengecut! Uh, kalau Kim Cu Cinjin mau menggerakkan anak-anak muridnya bukankah tetap bisa? Atau jangan-jangan tosu itu yang pengecut, atau murid-murid Kun-lun juga pengecut. Bah, menyebalkan sekali manusia-manusia Kun-lun itu!”

Sumpah dan serapah ini menyahut dari mulut ke mulut. Murid-murid Hoa-san dan Heng-san juga saling mengumpat dan kegagalan di Kun-lun benar-benar terasa mengecewakan. Tapi begitu tamu-tamu itu pergi Kim Cu Cinjin malah dipanggil susioknya lagi, mendapat teguran lebih keras. Diserang dari muka dan belakang!

“Kau bodoh dan tak berwibawa. Kenapa harus lapor dan tanya kepadaku? Jelek-jelek kau seorang ketua, Kim Cu. Tanpa bertanya kepadakupun seharusnya kau dapat menjawab. Urusan itu sudah lewat enam tahun lebih, dan kalau dipikir-pikir kesalahan terletak pada kalian juga. Coba seandainya kalau dulu kalian tak ikut-ikutan memperebutkan kitab, bukankah tak bakal ada kejadian ini. Aku sudah memberi tahu berulang-ulang agar yang lewat biarlah lewat. Kun-lun bukannya takut melainkan menjaga diri. Kalau kita diganggu, nah, barulah kita maju. Tapi kalau kita lebih dulu nengganggu ya kita harus menarik diri dan tahu keadaan. Pinto tidak takut kepada siapapun biarpun itu Beng Kong atau Ji Leng Hwesio. Tapi jangan kita yang lebih dulu mulai karena itu berarti kita salah!”

Kim Cu mengangguk-angguk. “Teecu hanya sungkan kepada sahabat-sahabat sendiri susiok, sengaja ke sini agar kelihatan sungguh-sungguh berusaha," tangkisnya.

"Tapi mereka bisa salah paham kepadaku. Mengira pinto penakut atau pengecut. Kau melempar kesan buruk!"

“Maafkan teecu, susiok. Lain kali tak akan teecu ulangi."

Kim Cu Cinjin keluar. Ia menjadi lebih murung lagi karena kena dampratan ulang. Gara-gara para tamu tak diundang ia mengalami sial. Sungguh celaka. Dan ketika ia masuk dan kembali ke kamarnya, bersamadhi, maka diam-diam ia menyuruh dua orang muridnya memonitor keadaan. "Kalian ikuti dan lihat dari kejauhan. Laporkan kepadaku apa yang terjadi dengan serbuan besar-besaran itu. Awas, jangan tahu siapapun apalagi susiok. Hati-hati dan jalankan tugas kalian dengan baik!”

Dua murid itu mengangguk. Mereka terbelalak dan kaget juga melihat gabungan besar murid-murid Hoa-san dan Heng-san. Tapi begitu tahu bahwa mereka hendak menyerbu Go-bi, meleletkan lidah maka dua murid ini berdebar dan mereka tegang sekali, pergi dan tentu saja ingin menonton dari jauh dan tugas itu justeru menggirangkan hati.

Meskipun tegang tapi peristiwa ini menarik. Dua partai besar telah bergabung dan akan menyerang partai besar lainnya. Dan begitu mereka berangkat melaksanakan tugas maka di tempat lain Chi Koan cemas dan berdetup-detup karena Siang Kek Cinjin memasang dan memenuhi guha itu dengan tak kurang dari seratus dinamit yang sanggup menggugurkan gunung!

"Heh-heh, ajalku akan tiba. Tapi kepergianku akan diiring dua anak-anak yang baik dan termasuk pilihan dari Go-bi. Heh-heh, bagaimana pendapatmu, anak muda? Bicaralah, sekarang hanya kita berdua di tempat ini!" Siang Kek membuka dan membebaskan totokan Chi Koan, totokan urat gagunya itu karena totokan atau ikatan lain tentu saja tetap dibiarkan begitu.

Chi Koan langsung berteriak. Yang pertama kali dilakukan adalah berteriak. Pemuda ini melampiaskan kemarahannya dengan berteriak. Guha tergetar tapi kakek itu terkekeh kekeh. Senang sekali. Dan ketika gaung teriakan itu lenyap dan Chi Koan mendelik maka sekarang pemuda ini memaki-maki. "Siang Kek Cinjin, tua bangka keparat. Kenapa kau tidak membunuhku sekarang dan menyiksaku seperti ini? Aku tidak takut kematian, buta jahanam. Ayo kau bunuhlah aku dan jangan menunggu sampai guruku datang. Nanti akan kuberi tahu ia bahwa di sini banyak dinamit!”

"Heh-heh, begitu mudah? Bodoh, tolol dan goblok. Sebelum gurumu itu ke mari maka mulutmu akan kututup lagi, anak muda. Seperti ini.... tuk!" Chi Koan terkatup lagi, mulutnya terkunci namun sejenak kemudian kakek itu membukanya lagi, membebaskan urat gagunya. Dan ketika kakek itu terkekeh-kekeh karena Chi Koan terkejut, terbelalak, maka kakek itu berseru bolehlah pemuda itu menjerit-jerit lagi. "Ayolah, tempat ini sunyi. Berteriak-teriaklah. Aku ingin nyanyianmu ini mengiring sebelum kita sama-sama mampus!”

Chi Koan lemas. Ia ternyata dipermainkan dan tentu saja tak lagi mau berteriak-teriak. Teriakannya itu dianggap perwujudan rasa takut dan kakek itu senang. Padahal, dia tidak takut melainkan dicekam kecemasannya bagaimana kalau nanti guha itu diledakkan. Guha itu akan runtuh dan dia akan terkubur hidup-hidup. Sama-sama mati kok rasanya kematian yang macam ini mendirikan bulu roma. Dia tidak takut mati melainkan ngeri dan semata merasa seram oleh bayangan runtuhnya guha. Kakek ini keji sekali dengan sengaja mengubur diri hidup-hidup. Dia sih, sudah tua. Renta dan memang sudah waktunya masuk kubur.

Tapi dirinya? Ah, bukankah masih muda dan sedang nikmat-nikmatnya menikmati hidup? Dan membayangkan guha akan diruntuhkan dan gurunya tak mungkin lolos, guha itu cukup dalam dan tak ada waktu meloncat keluar, dinamit akan bekerja dan mereka semua pasti terkubur tiba-tiba Chi Koan yang biasanya tak mengenal takut dan pemberani ini kuncup juga. Chi Koan hampir menangis tapi bukan oleh ketakutannya melainkan oleh kemarahannya.

Siang Kek Cinjin dapat melakukan apa saja yang dia tak dapat menolaknya. Dan ketika kakek itu berseru agar dia menjerit atau berteriak lagi, melolong-lolong maka pemuda ini diam saja dan menutup mulut. Siang Kek tertegun tapi tertawa. Dan ketika untuk ketiga kalinya pemuda itu tak mau bersuara, ia menyambar dan mencengkeram maka Chi Koan berjengit.

"Heh-heh, kusuruh kau berteriak maka haruslah berteriak. Ayo, menyanyi yang merdu!”

Kakek itu menusuk jalan darah di leher kanan. Jalan darah ini adalah jalan darah yang menimbulkan rasa terbakar kalau ditusuk. Jangankan ditusuk, digencet perlahan saja sakitnya sudah bukan main dan Chi Koan merasakan itu. Dia menjerit dan berteriak ketika jalan darah ini ditusuk. Tapi ketika ia diam lagi setelah si kakek menarik tangannya, menusuk dan menjerit lagi maka kakek itu terkekeh-kekeh ketika pemuda ini dibuat kesakitan dan menjerit atau meraung-raung.

"Heh-heh, bagus... bagus. Ayo berteriak dan menjeritlah kuat-kuat, anak muda. Ayo perdengarkan suara merdumu!"

Chi Koan menjerit dan berteriak. Ia benar-benar melolong-lolong karena jari-jari kakek itu menusuk tajam. Dilepaskan dan ditusuk lagi dan tentu saja Chi Koan mandi keringat. Ia memaki-maki namun si kakek tertawa gembira. Siang Kek Cinjin mendapat kepuasannya karena inilah murid tunggal Beng Kong Hwesio, musuh yang paling dibencinya. Dan ketika sehari itu Chi Koan disiksa secara hebat, pingsan dan siuman tapi pingsan lagi maka tiga hari tiga malam pemuda ini merasakan penderitaannya yang amat dahsyat.

Siang Kek tidak hanya menusuk jalan darah yang membuatnya serasa terbakar dan berjengit tapi juga jalan-jalan darah lain, seperti misalnya Im-hoan-hiat yang membuat tubuh menggigil beku atau Ta-leng-hiat yang membuat tubuh serasa gatal diserbu ribuan semut merah. Chi Koan disiksa dan Siang Kek yang menjadi keji terkekeh-kekeh puas.

Dendam memang membuat orang menjadi keji dan berubah wataknya. Tapi ketika pada hari keempat kakek itu menghentikan siksaannya karena Chi Koan semalam tak sadarkan diri, ia tak diberi makan maupun minum yang tentu saja membuat tubuhnya lemas maka kakek itu melempar anak muda ini ke sudut dan tertawa dingin duduk bersila.

“Hm, baik. Istirahat dulu, besok lagi."

Chi Koan benar-benar pesakitan yang menderita. Ia benar-benar mencari penyakit dan hari itu belum sadarkan diri juga. Tapi karena ini menguntungkannya karena Siang Kek tak menyiksanya lagi, kakek itu bersamadhi dan duduk menyeringai menunggu Beng Kong Hwesio.

* * * * * * * *

Mari kita lihat keadaan di Go-bi. Sesuai rencana, seribu lebih murid-murid gabungan Hoa-san dan Heng-san disuruh bersembunyi ketika Sin Gwan Tojin menuju pintu gerbang perguruan itu. Dari jauh wakil Heng-san ini sudah melihat pintu gerbang yang terbuka, dijaga empat hwesio muda dan karena Go-bi tak ada lagi yang mengganggu maka partai persilatan ini dibuka seperti biasanya dan kegiatan sehari-hari terlihat sebagaimana biasanya.

Murid-murid di dalam melakukan tugasnya menyapu dan membersihkan halaman yang luas. Ada yang mengisi bak-bak air dan ada pula yang membersihkan undak-undakan batu. Semua bekerja. Pelataran luas itu tampak licin dan bersih dan tak ada satupun yang menyangka bahwa kelak pelataran ini akan bergenang darah. Go-bi, yang tenang dan tenteram memang tidak menduga datangnya bahaya itu.

Murid-murid Heng-san dan Hoa-san yang besar jumlah tu bersembunyi jauh di dalam hutan di luar gurun yang melingkupi partai persilatan ini. Hawa panas seperti biasa tapi kebetulan waktu itu musim hujan mulai tiba. Tiga hari ini Go-bi disiram tetes-tetes lembut dan udara sedikit hangat. Dan karena Sin Gwan tak mau menonjolkan diri, dia harus berhati-hati untuk tidak bertemu Beng Kong Hwesio maka begitu tiba di pintu gerbang ia segera menyelinap dan menyisir ke kiri.

Di sini ada umbul-umbul merah kuning biru sebagaimana biasanya tanda adanya sebuah perguruan silat. Dan karena umbul-umbul atau bendera kecil panjang itu terletak persis di tepi pagar dalam, Sin Gwan meloncat dan ringan berjungkir balik maka ia sudah hinggap di sebuah dari tiga umbul-umbul itu. Dipilihnya yang merah dan secepat itu juga ia mengeluarkan kertas putih, menancapkannya dengan pisau lalu merobek bagian atas umbul-umbul itu sampai ke tengah. Dengan begini bendera itu menggelantung panjang dan kertas putih yang ditancapkan terlihat jelas.

Beberapa hwesio terlihat jauh di sana dan tosu ini tersenyum puas, berkelebat dan turun lagi dan tak lama kemudian terdengar pekik atau seruan heran murid-murid Go-bi. Mereka melihat umbul-umbul yang robek itu dan juga kertas putih dibawahnya, menggelantung dan dihampiri dan bukan main kagetnya mereka melihat tulisan Sin Gwan. Tosu itu memberi tahu bahwa Chi Koan, murid Beng Kong, ada di Heng-san. Sedikit robekan baju Chi Koan ditancapkan di surat ditusuk pisau kecil. Dan ketika ribut-ribut itu didengar yang lain dan Pat-hwesio muncul, inilah orang termuda dari Pat-kwa-hwesio yang lihai maka murid Ji Beng Hwesio ini bertanya.

"Apa yang terjadi? Ada apa ribut-ribut?"

Murid yang menemukan lalu menunjukkan itu. Surat itu ditunjukkan dan robekan baju Chi Koan juga diperlihatkan. Dan begitu melihat begitu pula hwesio ini tertegun.

“Hm, Chi Koan tertangkap di Heng-san? Biar saja, tak usah digubris!"

Murid-murid Go-bi melengak. Mereka heran akan jawaban ini tapi yang mengerti mengangguk-angguk. Seperti diketahui, Chi Koan tak disenangi paman-paman gurunya ini dan karena itu tak usah heran mendengar jawaban itu. Pat-hwesio maupun suhengnya yang lain-lain juga tak menyenangi Chi Koan. Ini gara-gara sikap Beng Kong Hwesio yang jumawa itu. Maka menyuruh murid memperbaiki umbul-umbul itu dan merobek-robek surat, tidak menghiraukan pemberitahuan ini Pat-hwesio meninggalkan tempat itu dan Sin Gwan Tojin melotot!

“Wah, tidak digubris? Celaka, biar aku kembali dulu dan lapor kepada suheng!”

Tosu ini berkelebat. Ia telah memperhatikan gerak-gerik itu dan kecewa bahwa surat pemberitahuannya tak digubris. Ia salah sangka dengan menganggap Go-bi akan membalas. Dan ketika ia tiba di tempat kawan-kawannya dan di sana suhengnya itu serta yang lain-lain berseri, menunggu, maka mereka juga melengak mendengar laporan Sin Gwan Tojin ini.

"Celaka, pinto gagal. Pinto terpaksa kembali agar kalian tidak menunggu terlalu lama. Surat itu tidak digubris!”

"Tidak digubris? Tidak digubris bagaimana? Apakah Beng Kong Hwesio membiarkan murid kesayangannya dibunuh?"

"Bukan begitu. Yang keluar adalah orang termuda dari Pat-kwa-hwesio, suheng. Dan dia inilah yang merobek-robek surat itu dan menyuruh biarkan Chi Koan!"

Semua terbelalak. Mereka heran dan tercengang sekali mendengar ini. Sungguh tak diduga. Tapi Tujuh Malaikat Hoa-san yang tertawa mendengar itu tiba-tiba berseru, “Hm. ini sentimen pribadi. Kalau begitu mari meluruk saja dan kita serbu musuh kita itu. Atau kita berdelapan malam nanti merobek-robek bendera Go-bi dan canangkan tantangan resmi!"

"Jangan,” Tan Hoo Cinjin menggeleng. “Yang kita perlukan adalah keluarnya Beng Kong Hwesio, jit-wi-totiang (tujuh sahabat). Kalau ia masih di dalam dan kita serbu sia-sialah perjuangan kita nanti. Kita tak perlu berspekulasi dengan adanya hwesio itu di sana. Ia harus keluar dan setelah itu kita masuk!”

“Tapi surat kita tak digubris!”

"Masih ada jalan. Seorang di antara kita biarlah masuk dan menyerahkan surat tantangan langsung kepada Beng Kong. Suruh ia ke Heng-san!”

"Hm, siapa berani?" Tujuh Malaikat Hoa-san tiba-tiba keder, teringat pengalaman pahitnya enam tahun lalu. “Hwesio itu akan marah dan yang datang nanti dibunuh, Heng-san-paicu. Atau kau sendiri barangkali berani!"

“Suheng adalah seorang ketua, masa ia harus langsung berhadapan!" Sin Gwan tak setuju, menolak dan membela suhengnya dan para sutenya mengangguk. Adalah terlalu rendah kalau seorang ketua lalu harus seperti kurir pula, menantang. Dan karena omongan Hek-tosu tadi tak diterima, tosu bermuka hitam dari Tujuh Malaikat Hoa-san ini memang terlalu enak bicara maka tosu itu bertanya bagaimana kalau begitu. Dia terus terang berkata bahwa dia jera berhadapan dengan Beng Kong Hwesio.

"Tak usah malu-malu, pinto pernah kalah. Dan tentunya pinto tak mau menelan hinaan lagi kalau harus sendirian memberikan surat tantangan kita!"

"Hm, barangkali adikku Sin Gwan Tojin berani melaksanakan tugas ini, sekalian menjajal kepandaian Pat-kwa-hwesio di dalam, kalau dipaksa. Bagaimana, sute, kau berani?”

Tosu ini mengerutkan kening. “Kalau melihat kepandaian sendiri rasanya pinto tak perlu takut menghadapi Pat-kwa-hwesio itu. Bukankah pinto sudah maju pesat? Tapi karena Beng Kong belum pinto rasakan sendiri kehebatannya, hanya melalui muridnya itu pinto dapat meraba-raba apakah tidak sebaiknya pinto dikawal untuk sekedar berjaga-jaga. Bagaimana kalau dengan saudara-saudara dari Hoa-san ini?”

“Ah, jangan,” Ko Pek Tojin kali ini campur bicara. “Tujuh Malaikat Hoa-san telah dikenal Beng Kong Hwesio, Sin Gwan toheng. Sebaiknya yang lain saja yang tidak dikenal. Kau tidak dikenal meskipun duduk sebagai wakil ketua Heng-san!"

“Hm, begini saja," Tan Hoo Cinjin mengangguk mengerti, itu memang benar. "Biarlah kau bersama empat sute yang lain, sute. Kalian berlima tak begitu dikenal Go-bi meskipun dulu pernah ke mari. Serahkan saja surat tantangan dan katakan bahwa bocah itu di tangan supek. Sebut saja diri kalian sebagai murid-murid biasa di Heng-san sehingga tidak terlalu mencurigakan!"

"Baiklah.” Sin Gwan Tojin mengangguk. “Apa boleh buat aku harus masuk, suheng. Kalau tidak begitu rasanya tidak ada sambutan. Hm, bagaimana dengan empat sute ini?”

Empat tosu berikat kepala merah mengangguk. Diam-diam mereka penasaran juga melihat betapa ditakutinya Beng Kong Hwesio itu. Hanya dengan keroyokan orang-orang dari Hoa-san ini berani maju. Tapi karena supek mereka juga pernah kalah dan mereka harus menerima mandat, perintah itu harus dijalankan maka yang bertahi lalat di sudut berseru, "Kita sudah di sini, tentu saja kita harus maju. Baik, aku siap berangkat, suheng. Mari berangkat!"

Sin Gwan mengangguk. Di hadapan Tujuh Malaikat Hoa-san mereka dapat mengangkat harga diri mereka sendiri. Mereka tak perlu takut-takut karena jelek-jelek mereka adalah orang-orang berkepandaian, apalagi mereka hanyalah diutus dan sebagai utusan tentunya mereka tak boleh diganggu. Dan ketika Sin Gwan mengangguk dan berkelebat pergi, empat adiknya mengikuti maka Hek-tosu dan saudara-saudaranya agak semburat, malu.

"Paicu, harap diketahui bahwa kami bukanlah terlalu takut. Tapi tentu janggal kalau kami orang-orang dari Hoa-san tiba-tiba harus mencampuri urusan anak itu yang tidak ada sangkut-pautnya dengan Hoa-san.

"Aku mengerti," Tan Hoo Cinjin mengangguk, tidak kecewa. “Dan seharusnya memang begitu, jit-wi-totiang. Atau nanti rencana kita buyar dan musuh dapat mengetahui kehadiran kita."

Mereka lalu menunggu. Pihak Hoa-san lega setelah tidak adanya salah paham. Dan ketika mereka memandang kepergian Sin Gwan Tojin dan keempat adiknya, lenyap dan hanya merupakan titik kecil di gurun maka tosu dan empat adiknya ini sudah tiba di depan pintu gerbang. Mereka tentu saja disambut dan dipandang dengan alis berkerut oleh hwesio-hwesio Go-bi. Tapi melihat Sin Gwan Tojin membawa bendera putih, tanda utusan maka penjaga bertanya dari mana dan mau apa kedatangan mereka.

“Pinto dari Heng-san, ingin menghadap yang terhormat ketua Go-bi!"

"Ah, Heng-san? Jadi kalian....”

Pertanyaan itu dihentikan. Empat penjaga tiba-tiba saling pandang dan curiga. Baru saja bendera mereka dirobek-robek orang Heng-san, dan sekarang muncul orang Heng-san! Tapi Sin Gwan yang melihat gelagat tak menyenangkan tiba-tiba berkata sekali lagi agar mereka, para utusan, ditemukan dengan ketua Go-bi.

“Kami utusan, minta menghadap. Sampaikan saja kepada ketua kalian karena ada hal penting yang harus kami sampaikan!”

Empat hwesio itu kalah suara. Mereka memang harus menerima utusan dan masalah tadi biarlah diurus oleh para pimpinan mereka. Tapi karena mereka harus melapor dan lima orang itu tak boleh masuk, apa boleh buat Sin Gwan harus menunggu dengan mendongkol maka dua di antara empat hwesio itu masuk dan hwesio-hwesio yang lain berdatangan dan secara tidak kentara mengepung.

"Siapa sahabat-sahabat kita ini. Tampaknya utusan?"

Begitu mereka berbasa-basi. Sin Gwan langsung saja diperkenalkan tapi begitu ia diketahui segera murid-murid Go-bi itu berkerut. Ah, Heng-san rupanya. Padahal baru saja panji-panji mereka dirobek orang Heng- san! Tapi karena seperti yang lain mereka juga diam menanti, para pimpinan di dalam sedang diberi tahu maka semua berkerut tak senang dan Sin Gwan tak acuh dan diam-diam geli. Dialah yang tadi membuat gara-gara.

Kalau dia mau, para hwesio ini agaknya dapat didorong minggir, berkelebat dan masuk tapi biarlah dia menunggu sejenak. Dan ketika tak lama kemudian dua hwesio penjaga keluar kembali, di atas tangga pendopo dalam muncul Pat- hwesio dan dua saudaranya yang lain maka dengan bergegas hwesio penjaga itu berseru agar lima tosu ini datang dan menyambut tiga hwesio di atas pendopo sana.

“Kalian diterima, masuklah. Tapi ketua agaknya tak ada!"

Sin Gwan berdetak. Mendengar Beng Kong tak ada tiba-tiba dia menjadi gembira. Kalau begitu malah kebetulan! Tapi karena dia orang berpengalaman dan omongan ini siapa tahu bohong, orang-orang berkedudukan biasanya begitu maka memberi isyarat empat adiknya dia mulai memasuki gerbang perguruan Go-bi itu. Dan begitu ia masuk begitu pula hwesio di kiri kanan bergerak!

Mereka ini seperti mengiring tapi sesungguhnya mengepung. Itu tanda kewaspadaan! Tapi karena tosu ini tenang-tenang saja dan dia tersenyum mengejek, bendera putih tetap di tangan maka tak lama kemudian dia sudah berhadapan dengan tiga hwesio yang bukan lain adalah Pat-hwesio dan Jit-hwesio serta Liok-hwesio, tiga dari delapan hwesio sakti!

“Kami dari Heng-san ingin menghadap yang terhormat ketua Go-bi!”

Begitu Sin Gwan Tojin mengerahkan tenaganya agar didengar sampai jauh ke dalam. Sengaja ia berkata begitu untuk menguji omongan hwesio penjaga tadi. Kalau Beng Kong ada di dalam tentu ia keluar, tapi kalau tidak maka berarti ia benar-benar sedang tak ada di situ. Dan ketika ia membungkuk sementara Pat-hwesio dan dua suhengnya terkejut, suara tosu ini nenggetarkan dinding maka Liok-hwesio, orang tertua di situ mengebutkan ujung lengan bajunya.

"Omitohud, sahabat-sahabat dari Heng-san rupanya. Ada apa, membawa keperluan apa kalian datang?"

"Kami datang membawa surat tantangan. Sesepuh kami Siang Kek Cinjin menangkap seorang anak muda bernama Chi Koan dan katanya murid Beng Kong lo-suhu yang terhormat. Beng Kong lo-suhu diminta datang ke Heng-san kalau ingin membebaskan muridnya. Inilah surat tantangan itu...!"