Prahara Di Gurun Gobi Jilid 15 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Serial Prahara Di Gurun Gobi Karya Batara

MEREKA dikabarkan tewas dan untuk enam tahun lamanya itu dunia kang-ouw tak diguncang lagi masalah Bu-tek-cin-keng. Agaknya, urusan ini bakal berhenti sampai di sini dan Go-bi maupun lain-lain akan tenang. Tapi ketika seorang pemuda tampan datang ke tempat para hwesio itu dan inilah "biang penyakit" baru maka heboh tentang Bu-tek- cin-keng muncul lagi, setelah mengendap atau beku enam tahun lamanya!

Pagi itu, di kala semua hwesio asyik dalam pekerjaan masing-masing maka seorang pemuda berjalan tenang memasuki Go-bi. Langkahnya pasti dan mantap, cara berjalannya seperti hendak memasuki rumah sendiri. Dan ketika betul saja ia tak menghiraukan para hwesio yang sedang menyapu atau membersihkan halaman, pelataran luar amatlah luasnya maka seorang hwesio tiba-tiba menegur dan menghadang.

“Eh, anak muda. Berhenti dulu. Mau ke mana dan siapa kau. Tidak tahukah bahwa ini bukan tempat yang boleh sembarangan dimasuki orang, apalagi orang asing!"

"Hm," pemuda itu berhenti, matanya bersinar-sinar, sama sekali tidak takut ataupun gentar, malah tertawa. "Apakah aku dianggap orang asing oleh Go-bi? Apakah Gun Hai-loheng juga menganggap aku orang asing?”

"Eh, kau mengenal pinceng?” hwesio ini melengak.

"Ha-ha, bukan hanya kau, suheng. Itupun aku kenal. Hm, mereka ke sini dan tentu inilah Sun Nai-suheng dan Yu Cai-suheng. Aha, itu suheng-suheng Giok Biao dan Ci Hap. Mereka tentu lupa tapi aku tidak!"

Pemuda ini menunjuk empat orang hwesio yang mendekat datang, mendengar ribut-ribut itu dan mereka serentak tertegun. Nama yang disebut-sebut melengak, mereka memang benar bernama seperti itu. Dan ketika pemuda itu tertawa dan mengangkat tangannya, membungkuk dan memberi hormat maka dia berseru,

"Selamat berjumpa, para suheng. Masih ingatkah kalian kepadaku?"

Para hwesio menjublak. Mereka benar-benar terkejut karena betapapun tak mengenal pemuda ini. Mereka berhadapan dengan seorang pemuda tampan yang matanya bersinar-sinar cerdik, nakal tapi penuh keberanian dan sejenak mereka bengong. Tapi ketika pemuda itu mengibas-ngibaskan lengannya dan mendadak berlutut seperti gaya seekor kucing, mengeluarkan suara meong yang lucu maka serentak semuanya ingat dan berseru kaget. Wajah itu sekarang dikenal.

“Chi Koan!"

“Ha-ha, benar," pemuda ini tertawa bergelak, gembira. "Aku Chi Koan, suheng. Sekarang kalian ingat. Bagus, aku hendak menghadap dan mencari suhu. Silahkan kalian minggir dan inilah aku!"

Semua hwesio terbelalak. Sekarang mereka minggir dan otomatis memberi jalan. Pemuda itu tertawa menoleh ke kiri kanan dan para hwesio-hwesio yang lain dibuat bengong. Chi Koan, pemuda ini, datang memberi salamnya dengan gembira. Setiap hwesio mendapat anggukan kepalanya. Dan karena dia memang murid Beng Kong Hwesio, yang sekarang menjadi ketua maka otomatis semua tak mengganggu namun kedatangan pemuda ini mendebarkan semua orang.

Dulu gara-gara anak laki-laki inilah Go-bi geger dan disatroni banyak orang. Gara-gara Chi Koan menerima ang-sio-bak si iblis betina Kwi-bo maka Go-bi didatangi banyak orang. Dan ketika pemuda itu melenggang santai dan sikapnya demikian riang gembira, langkah kakinya benar-benar seperti hendak memasuki rumah sendiri maka semua hwesio tertegun tapi dua di antaranya tiba-tiba melapor ke dalam. Mereka memberi tahu Pat-kwa-hwesio yang tinggal tujuh orang itu dan begitu menaiki anak tangga ruang pertama muncullah Pat-kwa-hwesio ini.

Mereka adik-adik seperguruan ketua sekarang dan otomatis adalah para susiok dari pemuda ini, paman-paman gurunya. Dan ketika Chi Koan tertegun karena tujuh hwesio berdiri angker di tangga atas, sikapnya penuh wibawa maka pemuda yang tadi berseri dan riang itu mendadak merobah sikap, tahu dengan siapa berhadapan.

"Maafkan teecu," pemuda ini sudah menjatuhkan diri berlutut. “Teecu datang ingin menemui suhu, susiok. Ingin memberi hormat dan melepas kangen. Selamat bertemu dan semoga susiok sehat-sehat saja!”

“Hm, kau Chi Koan? Bagaimana berani mengaku murid di sini?" Ji-hwesio, orang tertua menegur, sikapnya dingin, beku. "Pinceng tak melihat daftar anak murid seperti namamu, anak muda. Karena enam tahun yang lalu bocah bernama Chi Koan telah dikeluarkan dari Go-bi!”

Chi Koan tersenyum. Dia sama sekali tidak merasa terkejut atau gentar mendengar kata-kata dingin ini, sambutan yang beku. Tapi mengangguk dan memberi hormat sekali lagi iapun berkata, bangkit berdiri. “Baiklah, teecu akan bersikap sebagai orang luar, ji-susiok. Dan karena teecu ada kepentingan dengan yang terhormat ketua Go-bi mohon teecu diijinkan bertemu.”

“Hm, ketua Go-bi sedang keluar!"

"Teecu akan menunggu.."

"Go-bi sedang tidak menerima tamu!"

"Kalau begitu kenapa pintu gerbang tetap dibuka? Bohong atau dusta dilarang oleh agama, susiok. Maaf kalau teecu tak percaya.”

“Hm!” Ji-hwesio semburat merah. Akhirnya ia kalah bicara dan tertegun. Bocah ini sungguh pandai berdebat, persis seperti dulu! Dan karena ia was-was menerima pemuda ini, ingat kejadian dulu di mana gara-gara anak inilah maka Go-bi menerima banyak keruwetan maka Ji-hwesio akhirnya membentak penasaran. “Chi Koan, kau seharusnya tahu bahwa Go-bi tak suka menerima kedatanganmu. Enyahlah, pinceng tak ingin kau di sini!"

“Ah, atas dasar apa susiok memusuhi teecu? Dan apakah begini ajaran Buddha bahwa seorang manusia harus memusuhi manusia lainnya? Maaf, teecu datang di gudangnya orang-orang beragama, susiok. Dan teecu justeru penasaran kalau susiok yang merupakan tokoh Go-bi memusuhi teecu tanpa alasan!"

"Eh, kau tak ingat dosa-dosamu enam tahun yang lalu? Kau tak merasa telah membuat kekacauan di sini?”

“Tidak! Teecu tak merasa melakukan kesalahan apapun, susiok. Teecu waktu itu masih kecil dan tídak berbuat apa-apa kepada Go-bi!"

"Kau mendatangkan Kwi-bo dan kawan-kawannya di sini. Kau mendatangkan onar!”

"Siapa bilang? Kwi-bo datang atas kehendaknya sendiri, susiok. Bukan atas undangan teecu. Masuk akalkah seorang bocah kecil mengundang seorang tokoh kang-ouw? Mohon susiok bicara jujur dan tidak menyimpang!"

Ji-hwesio terkejut. Tiba-tiba untuk kedua kali ia merasa tertampar dan mendapat pukulan. Benar juga, Kwi-bo datang memang bukan atas undangan pemuda ini, yang dahulu masih kecil dan kanak-kanak. Dan ketika ia merasa di-"kick" balik oleh omongan pemuda ini, yang tajam dan tangkas bicara maka Ji-hwesio merah padam dan tiba-tiba Sam-hwesio berbisik agar tak usah banyak bicara.

“Suruh saja pemuda itu menunggu di luar. Suheng tak usah diberi tahu. Biarkan ia menunggu dan gigit jari."

"Hm,” hwesio ini mengangguk, mukanya bagai dibakar. "Kau pandai berdebat, Chi Koan. Mulutmu masih tajam dan menyakitkan. Baiklah, sebagai tamu kau boleh tunggu di luar. Ketua Go-bi sedang tak ada di sini. Kalau kau mau menunggu silakan di luar gerbang sana. Go-bi tak mempunyai kursi untuk tempat dudukmu!”

"Tak apa, " pemuda ini tersenyum. "Dan kuharap kau tak bohong, susiok. Sebab sekali kau bohong tentu kau dikutuk Buddha. Aku akan menunggu, dan aku akan sabar menemui guruku.”

Ji-hwesio mendengus. Ia mengebutkan lengannya menyuruh pemuda itu pergi, Chi Koan menurut dan membalikkan tubuh. Dan ketika dengan berseri pemuda itu keluar halaman seperti keluar rumahnya sendiri pula, mengangguk dan melambaikan tangan kepada semua hwesio yang ditemui maka para hwesio pun kagum sementara Ji-hwesio dan adik-adiknya berang. Mereka menyuruh tutup pintu gerbang dan Chi Koan dibiarkan di luar. Pemuda itu tertawa dan tidak merasa tersinggung, apalagi marah.

Dan ketika sehari itu ia dibiarkan di situ dan duduk bersiul-siul, aneh sekali maka pada hari-hari berikut pintu gerbang juga tetap ditutup dan tak pernah dibuka. Chi Koan dibiarkan panas atau kedinginan oleh matahari dan malam yang gelap. Pemuda itu memang sengaja “disiksa" agar pulang saja, membatalkan maksudnya. Tapi karena Chi Koan ternyata gigih dan tak mau pergi, kalau ingin minum ia mencari sumber air tak jauh di situ dan makan cukup dengan buah-buahan di hutan, datang dan duduk lagi di pintu gerbang maka pada hari ketiga pemuda ini mulai berliam-keng (membaca ayat-ayat suci).

Suaranya nyaring melengking dan sengaja diperdengarkan di dalam. Semuanya berisi sajak-sajak indah yang penuh makna. Dan ketika satu demi satu ia membaca semua ayat-ayat kitab suci itu, bergetar dan penuh perasaan maka hwesio penjaga terharu dan banyak yang mulai menitikkan air mata. Chi Koan membaca tentang ayat-ayat perjuangan dan kasih, juga nafsu balas dendam yang tak boleh dimiliki manusia. Dan ketika pada hari keempat dan kelima suaranya kian lantang dan melengking nyaring, jelek-jelek dia adalah bekas murid Go-bi yang dididik membaca ayat-ayat suci maka pintu gerbang terbuka dan seorang hwesio memperkenankannya masuk!

"Ketua memanggilmu. Kau dipersilahkan datang dan masuk!”

Chi Koan melonjak. "Suhu di dalam?"

"Aku hanya mendapat perintah saja, Chi Koan. Silahkan masuk dan suaramu telah didengar!"

Chi Koan tertawa. Usahanya berhasil dan ia menang. Tujuh susioknya tentu tak berani menampakkan diri dan bakal merah padam bertemu dengannya. Ia tahu bahwa ia dibohongi dan karena itu dalam membaca ayat-ayat kitab sucipun ia banyak menyinggung tentang ini, bahwa kebohongan tak layak dilakukan murid Buddha, apalagi hwesio-hwesio seperti susioknya itu, yang sudah mengenakan jubah!

Dan ketika Chi Koan memasuki pintu gerbang dan langkahnya yang gembira disambut mata haru oleh hwesio-hwesio lain, yang telah mendengarkan dan melihat anak muda ini rupanya telah jauh berbeda dengan di masa kanak-kanaknya maka di undak-undakan anak tangga itu Chi Koan telah disambut seorang hwesio tinggi besar yang bukan lain ketua Go-bi. Beng Kong Hwesio sendiri!

“Suhu...!”

Beng Kong Hwesio bersinar. Ia telah mendengar syair-syair yang dibaca anak muda ini, suaranya nyaring melengking dan karena itu mengganggu ketenangan. Tapi karena yang dibaca adalah ayat-ayat kitab suci dan Chi Koan membacanya dengan lantang dan penuh semangat, juga indah maka hwesio itu tak tahan dan akhirnya bertanya siapakah murid Go-bi yang kelewat semangat itu. Dan para hwesiopun lalu menjawab apa adanya, tak berani bobong karena telah disentil ayat-ayat kitab suci oleh Chi Koan. Cerdik pemuda itu! Dan ketika Beng Kong Hwesio terkejut mendengar bahwa itulah muridnya Chi Koan, bocah yang dulu itu meninggalkan Go-bi maka hwesio ini bertanya kenapa tak dibawa menghadap padanya. Apa maksud muridnya itu.

"Ji-susiok mencegah dan melarangnya masuk. Selebihnya kami tak tahu sebab-sebabnya.”

"Begitukah? Panggil susiokmu itu. Suruh menghadap ke mari!"

Ji-hwesio akhirnya muncul. Sang suheng bertanya dan langsung saja muka hwesio ini merah. Maklum, ia berkali-kali juga disentil ayat-ayat kitab suci yang dibaca Chi Koan itu. Dan karena ia tak dapat mengusir pemuda itu karena sebelumnya juga sudah menyuruh tunggu di luar, pemuda itu menepati janji dan tinggal di sana maka hwesio ini salah tingkah antara gusar dan malu, juga bingung. Dan sekarang ia dipanggil ketua!

“Hm, kenapa Chi Koan tak kau ijinkan bertemu aku?” Beng Kong langsung menegur. "Dan kenapa kau bohong mengatakan aku pergi, sute? Padahal bukankah aku di sini?”

“Maaf,” Ji-hwesio langsung menjawab. “Aku sengaja tak memperkenankannya masuk karena ingat peristiwa dulu, suheng. Bukankah gara-gara anak ini maka Go-bi mengalami kekacauan. Pinceng tak mau menerimanya karena takut dia membuat onar lagi!"

“Hm, tapi ia muridku, pernah menjadi muridku. Sebenarmya putusan tentang ini di tanganku, bukan di tanganmu. Lagi pula aku juga ingin bertemu dengannya. Ia bocah pemberani dan mengagumkan!"

"Suheng hendak menerimanya?"'

“Kenapa tidak? Go-bi tak perlu takut kepada siapapun, sute. Ada aku di sini. Panggil dan suruh ia masuk!"

Ji-hwesio sudah menduga Ia berkerut kening tapi mengangguk, menyatakan bahwa kalau ada apa-apa itulah tanggung jawab sang ketua. Dan ketika Beng Kong tertawa dan berseru tak usah takut, kenapa sutenya itu bernyali kecil maka Ji-hwesio dengan wajah mendongkol dan suram menyuruh orang lain membuka pintu gerbang. Dan itulah yang terjadi, pemuda ini sekarang sudah berhadapan dengan gurunya, ketua Go-bi sendiri!

“Suhu!”

Chi Koan memanggil untuk kedua kali. Ia girang dan gembira bukan main melihat gurunya sendiri menyambutnya di situ, di anak tangga teratas di mana beberapa hari yang lalu tujuh susioknya menolak. Dan ketika pemuda itu menjatuhkan diri berlutut dan Beng Kong kagum melihat muridnya yang sekarang, gagah dan tampan serta tegap maka hwesio ini serak suaranya ketika memanggil, keharuan tiba-tiba juga mengusiknya. Maklumlah, pemuda ini pernah dekat dengannya.

"Chi Koan, kau... kau ini? Kau sekarang sudah dewasa dan besar begini? Hm, naiklah, Chi Koan. Coba lompati sebelas anak tangga ini apakah kau sanggup!"

Chi Koan berseru keras. Akhirnya ia mengangguk dan melompati sebelas anak tangga itu, tahu bahwa gurunya sedang mengujinya. Ilmu-ilmu yang dulu didapat sekarang diperlihatkan. Tapi ketika hanya sepuluh anak tangga saja yang dilampaui dan untuk anak tangga kesebelas ia terbentur, roboh, maka sang guru menyambar dan Beng Kong Hwesio tertawa bergelak.

"Ha-ha, kurang tenaga, Chi Koan. Kepandaianmu masih rendah!"

"Maaf," pemuda ini merah dan berlutut di kaki gurunya. “Teecu hanya melatih ilmu-ilmu yang dulu kau berikan, suhu. Selanjutnya hanya itu-itu saja yang teecu hapal, termasuk ayat-ayat suci. Suhu gagah benar menjadi ketua Go-bi. Mana susiok-kong Ji Beng Hwesio?"

“Hm, ia telah tewas. Tak usah bicara tentang itu. Mari masuk dan lihat anak-anak murid lain menonton!"

Chi Koan mengangguk. Sambutan gurunya ternyata menggembirakan dan inilah yang dimaui. Tujuh susioknya boleh memusuhi tapi gurunya jangan. Dan ketika ia kagum bahwa suhunya benar-benar telah menjadi pemimpin Go-bi, ia diangkat dan disambar ke dalam maka di ruang tertutup guru dan murid sudah saling duduk berhadapan. Chi Koan bersimpuh dengan amat hormatnya.

"Teecu mendengar kesaktian suhu yang luar biasa, mengagumkan. Orang-orang kang-ouw memuji suhu dan teecu turut mengucap selamat bahwa suhu telah menjadi tokoh paling ditakuti. Selamat, suhu. Teecu mengucapkan selamat dan ikut gembira sekali!"

“Ha-ha, apa kata orang?"

"Suhu menjadi manusia super, tokoh amat sakti. Dan teecu telah mendengar bahwa dedengkot Heng-san telah dikalahkan suhu!"

“Ha-ha, Siang Kek dan Siang Lam memang bukan tandingan gurumu sekarang. Tapi apalagi yang kau dengar?"

"Uwah, banyak suhu, banyak sekali. Terutama kesaktian suhu ketika menghadapi dedengkot Heng-san itu. Tapi apakah benar bałwa ketika dikeroyok suhu katanya terdesak. Sukong (kakek guru) muncul dan akhirnya mengusir mereka itu?"

"Hm, memang betul. Tapi itu dulu. Sekarang enam tahun telah lewat, Chi Koan. Dan aku yakin mampu merobohkan dua kakek itu, biarpun mengeroyok. Apa maksudmu datang ke sini dan ke mana saja kau gentayangan selama ini?"

“Teecu merasa sial,” Chi Koan tiba-tiba berlinang air mata, menangis. “Enam tahun teecu terlunta-lunta, suhu. Dan enam tahun itu pula teecu mengalami hinaan dan sakit hati. Teecu tak tahu bahwa suhu sekarang menduduki pimpinan Go-bi. Kalau tahu begitu tentu waktu-waktu itu juga teecu kembali ke sini. Ah, dan kepandaian teecu direndahkan orang, suhu. Karena itu teecu ke sini dan minta perlindungan suhu!"

Chi Koan tiba-tiba mengguguk. Ia berkata bahwa selama ini ia pergi tak tentu arah, bertemu perampok atau begal-begal kasar dan ia menjadi bulan-bulanan. Tadinya ia mengancam bahwa ia adalah murid Go-bi, terlebih lagi adalah murid Beng Kong Hwesio yang dimalui orang. Tapi karena ia tak sempat lagi mengenyam gemblengan gurunya, waktu itu gara-gara Peng Houw ia keluar dari Go-bi maka pemuda ini menutup bahwa seminggu yang lalu ia menjadi cemoohan Lutung Hitam, menjadi bulan-bulanan pukulan.

“Lihat, memar dan biru-biru ini akibat tendangannya. Teecu dipermainkan sesuka hati. Apakah suhu mau membiarkan saja teecu begini dan yang lebih menyakitkan lagi adalah si Lutung Hitam itu terbahak-bahak mengejek nama suhu!”

"Apa yang dia katakan? Siapa orang ini?”

"Dia pemimpin rampok yang membawahi seratus orang, suhu. Teecu kebetulan lewat di sana tapi dihajarnya. Dia menghendaki teecu menjadi kekasihnya dan menggebuki teecu yang menolaknya. Dan dia berkata bahwa dia tak percaya kalau teecu adalah murid suhu. Lagi pula, ini yang menyakitkan, diapun menantang suhu dan tak takut meskipun suhu ada di depannya!”

“Hah, berani dia bicara begitu? Perampok di mana dia itu? Jauhkah dari sini?”

“Cukup jauh, suhu, karena di sekitar Go-bi tentu tak ada perampok. Lutung Hitam itu tinggal di hutan di luar kota Lok-yang. Tiga hari perjalanan dari sini!”

"Hah, aku menempuhnya satu jam saja. Siapa yang menempuh tiga hari?"

“Teecu yang menempuhnya. Tapi masa suhu hanya satu jam saja!"

"Ha-ha, tak ada perjalanan jauh yang harus kutempuh berhari-hari, Chi Koan. Aku memiliki Ilmu Kilat Menyambar Matahari. Dengan kepandaianku Lui-thian-to-jit (Kilat Menyambar Matahari) ini aku dapat menempuh Lok-yang hanya satu jam saja. Hm, lalu bagaimana dengan Lutung Hitam itu. Apakah kau minta aku menghajarnya?”

"Suhu mau merendahkan diri seperti itu? Ah, tidak. Teecu tak rela, suhu. Daripada suhu yang maju lebih baik suruh seorang murid Go-bi saja. Tapi teecu ingin agar teecu sendiri yang membalas sakit hati ini. Bagaimana kalau suhu mengajari teecu sejurus dua ilmu silat yang lebih tinggi. Jelek-jelek kan teecu murid suhu. Apa kata orang kalau murid Beng Kong Hwesio sedemikian lemahnya. Apalagi suhu sekarang telah menjadi pemimpin Go-bi dan nama besar suhu sungguh menggetarkan dunia kang-ouw!"

“Hm, betul... betul..." hwesio ini mengangguk-angguk, rasa sayang dan congkaknya tiba-tiba timbul. "Kau tak boleh membuat malu aku, Chi Koan. Tapi karena enam tahun kau meninggalkan aku maka tentu banyak pelajaran yang tertinggal. Tak mungkin dalam satu dua hari kau jadi pandai!"

"Ah, teecu akan giat berlatih. Teecu tak mau bermalas-malasan. Dan yang lebih penting, teecu tak mau kalah dengan Peng Houw!"

"Apa?”

"Benar, apakah suhu tak ingat bahwa Peng Houw mengikuti Giok Kee Cinjin? Dan tosu ini jelas lebih lihai daripada Tujuh Siluman Langit, suhu. Kalau menghadapi Lutung Hitam saja teecu kalah apalagi menghadapi Peng Houw. Hancur nanti nama suhu. Dan sia-sia pembelaan suhu selama ini ketika suhu harus bermusuhan dengan mendiang supek Lu Kong Hwesio!"

Sang guru tertegun. Muka yang tadi biasa mendadak berubah, ada rasa kaget dan terkesiap di situ. Chi Koan benar. Dan ketika hwesio ini teringat permusuhannya dulu-dulu, dengan mendiang suhengnya gara-gara murid maka Beng Kong tepekur dan Chi Koan tiba-tiba membenturkan dahinya ke lantai, tak menyia-nyiakan kesempatan baik.

"Suhu, teecu datang semata sebenarnya untuk menjaga nama baik suhu, bukan merusaknya. Suhu tentu akan malu dan marah kalau teecu yang menjadi murid suhu harus berkali-kali mengalami hinaan dan lecehan orang. Teecu menyadari kepandaian teecu yang amat rendah begini, dan karena itulah kemudian datang dan ingin mendapat gemblengan suhu lagi. Kalau suhu tak menurunkan lagi ilmu-ilmu suhu tentu teecu akan tetap menjadi bahan tertawaan orang, padahal suhu sekarang sudah menjadi ketua dan tokoh Go-bi yang sakti. Apakah teecu harus membuat malu suhu? Apakah teecu harus mandah saja diinjak dan dipermainkan orang? Dan teecu tentu tak mau kalah dengan Peng Houw, suhu. Kalau ia menjadi murid Giok Kee Cinjin tentu teecu sudah bukan tandingannya lagi. Dan arwah supek Lu Kong Hwesio tentu tergelak-gelak di sana. Sekarang terserah suhu dan silahkan suhu pikir baik-baik!"

“Hm-hm!" hwesio ini mengurut-urut dagunya, mata bersinar-sinar. "Tadi sudah kau perlihatkan kepandaianmu yang rendah itu, Chi Koan. Dan aku tahu. Tapi kau harus berlatih luar biasa rajinnya untuk mengejar ketinggalanmu enam tahun. Apakah kau sanggup kugembleng non-stop? Beranikah kau menjalani latihan berat yang akan kuberikan kepadamu?"

“Ah, kenapa takut, suhu? Dibanting sampai mati pun teecu tak takut, apalagi pekerjaan berat yang harus teecu jalani. Teecu sanggup, dan detik ini juga suhu boleh suruh teecu lakukan apa saja!”

"Ha-ha, inilah yang mengagumkan hatiku. Kau tetap pemberani dan penuh semangat, Chi Koan. Kau pantas menjadi satu-satunya murid pinceng. Ha-ha, coba lakukan push-up seribu kali!”

“Menaik-turunkan tubuh? Baik, teecu akan melaksanakannya, suhu. Tapi mungkin baru keseratus teecu akan roboh.Tak apa, teecu akan mengulangi dan mengulangi lagi!" dan ketika dengan berani dan tidak tawar-menawar pemuda ini melakukan push-up, seperti perintah gurunya.

Maka Beng Kong berseri melihat tekad dan semangat muridnya ini, Chi Koan memang keras hati dan keras kemauan, pemuda ini memang luar biasa. Dan ketika ia mulai menaik-turunkan tubuhnya namun pada hitungan keseratus ia gemetar dan mulai menggigil, tak kuat, maka benar saja iapun tiba-tiba roboh. Namun pemuda ini bangun lagi, meneruskan hitungannya namun belum sepuluh roboh lagi. Dan ketika empat kali ia melakukan itu dan tangan tak dapat dipakai menekan, seluruh sendi dan otot-otot terasa kejang maka pemuda ini pingsan dan ambruk di depan suhunya.

“Ha-ha, hebat, Chi Koan. Luar biasa. Kau tetap keras kemauan dan penuh semangat. Tapi bangunlah, minum obat penyegar ini dan sekarang turuti perintah-perintah pinceng!"

Beng Kong Hwesio menyadarkan muridnya, menotok dan memberikan sebutir pil hijau dan Chi Koan mula-mula merintih. Ia membuka mata dan pening, kepala rasanya berputar-putar tapi begitu dijejali obat ia pun merasa segar Chi Koan berdiri dan tertawa. Hebat pemuda ini, ia tak merasakan sakitnya lagi, mau meneruskan push-upnya namun sang guru mencegah. Beng Kong mengangkat dan menyuruhnya berdiri. Dan ketika pemuda itu berdiri dan menyeringai, tekad atau semangatnya sungguh besar maka Beng Kong menepuk-nepuk pundak muridnya.

"Cukup... cukup. Aku telah tahu kekuatanmu. Hm, tak aneh. Pantas seorang rampok bisa merobohkanmu. Eh, mulai hari ini kau belajar Lui-thian-to-jit ku, Chi Koan. Seminggu saja gerakanmu akan secepat kilat menyambar. Dan dengan itu kau pasti dapat mendahului lawan dan dengan sekali gaplok kau dapat merobohkannya!”

"Ilmu meringankan tubuh? Bukan ilmu silat?"

"Ha-ha, kau ingin cepat-cepat menghadapi si Lutung Hitam itu atau tidak?"

"Tentu saja. Tapi aku butuh ilmu silat, suhu, bukan ilmu meringankan tubuh!"

"Bodoh, ilmu meringankan tubuh amat penting. Dengan itu kau melatih kecepatan. Untuk ilmu silat tentu saja kau tak mungkin dapat menerimanya kalau hanya seminggu saja. Buat menggaplok seorang perampok tenagamu cukup. Tapi kalau tak diimbangi ginkang tetap saja kau kalah. Hayo, mulai ini saja dan lakukan lima ratus kali!" sang guru melempar sebuah tali, menyuruh muridnya lompat tali tapi Chi Koan tak membantah.

Hanya sejenak saja ia tertegun tapi tali itupun segera disambarnya, melompat dan menghitung-hitung sebagaimana layaknya orang bermain tali. Sepintas Beng Kong Hwesio rasanya memberi ilmu murahan. Tapi ketika limaratus kali mulai didapat dan sang guru menyuruhnya seribu, dilaksanakan dan berhasil maka berturut-turut Chi Koan disuruh lompat tali sebanyak tiga ribu kali! Pemuda ini mandi keringat namun hebatnya ia tak mengeluh. Paling-paling ia roboh, kalau tak kuat. Dan ketika sang guru mengawasi dan tertawa-tawa, murid yang satu ini memang tahan uji maka sebuah beban tiba-tiba dilemparkan ke atas pundak pemuda itu.

“Baik, ini besi lima belas kilo. Teruskan dan tambah lompatan sampai lima ribu!"

Chi Koan melotot. Besi terlempar di pundaknya dan tentu saja ia bertambah beban. Sang guru tak perduli dan tetap saja menyuruh meneruskan latihan. Chi Koan menggigit bibir. Dan ketika ia meneruskan lompat talinya dan hitungan ke empat ribu sudah membuat ia gemetar tak keruan, lutut ke bawah seakan hendak copot-copot maka sang guru terbahak dan memacu sang murid agar terus dan terus.

"Lima ribu kali, itu perintahku. Tidak boleh lebih atau kurang. Kalau kurang harus diulang!"

“Bab... baik!" pemuda ini basah kuyup, pusing mulai kembali mengganggu. "Tee... teecu tak akan berhenti, suhu. Kalau berhenti biarlah roboh!"

"Ha-ha, betul. Lebih baik roboh daripada menyerah kepada hitungan!"

Si pemuda mandi keringat. Ia pucat namun terus memaksakan diri. Kalau saja tak ada besi di atas pundaknya itu tentu ia berhasil. Tapi karena suhunya menambahi beban dan beban ini di tengah-tengah hitungan, ketika tenaga sudah benyak terkuras maka Chi Koan mendelik ketika hitungan menginjak empat ribu lima ratus. Ia terus melompat dan melompat tapi seratus hitungan lagi tiba-tiba ia terjungkal. Keadaan sungguh payah.

Namun karena ia pemuda keras hati dan keras kemauan, Beng Kong lagi-lagi kagum akan semangat muridnya ini maka Chi Koan bangkit lagi dan coba meloncat tali. Tapi hitungan ke lima puluh lagi-lagi ia terguling. Dicoba lagi namun hitungan ke dua puluh lima roboh. Dan ketika Chi Koan mencoba bangkit namun besi di atas pundaknya itu menimpa kepala, pemuda ini mengeluh maka iapun pingsan!

"Ha-ha, bagus sekali, Chi Koan. Luar biasa. Ah, pinceng kagum kepadamu dan kau pantas menjadi murid pinceng. Ha-ha, sekarang beristirahatlah!" kali ini Beng Kong menyambar muridnya, menotok dan mengurut dan sebotol arak digosok-gosokkan ke seluruh tubuh pemuda itu, terutama kedua kakinya. Dan ketika tak lama kemudian pemuda itu membuka mata namun merintih kejang, Beng Kong mengurut dan menotok lagi maka sang guru menepuk aliran darah di belakang punggung.

“Tak usah takut, tak usah khawatir. Pinceng ada di sini tapi besok latihan harus dilanjutkan lagi. Ingat, kau sudah harus menguasai dasar-dasar Lui-thian-to-jit kalau ingin mengalahkan si Lutung Hitam. Tanpa ilmu silat apapun kau pasti menang, asal menguasai ilmu meringankan tubuh ini!”

“Dasar? Ini... ini baru dasar melatih Lui-thian- to-jit itu, suhu?"

"Ya, kau kira apa? Menguasai ilmu ini paling tidak setahun dua, tergantung kecerdasan otakmu. Tapi kalau seminggu saja dasar-dasar ilmu meringankan tubuh ini kau kuasai maka Tujuh Siluman Langit pun tak perlu membuatmu gentar!”

“Maksud suhu aku dapat mengalahkannya?"

"Ha-ha, bukan begitu. Maksudku adalah kau tak akan tertangkap kalau dikejar. Mana bisa kau mengalahkan mereka hanya dengan menguasai dasar-dasar ilmu meringankan tubuh ini. Yang kumaksud adalah kalau kau ingin lari untuk menyelamatkan diri!”

"Oohhh!” dan Chi Koan yang mengangguk-angguk tapi segera berseri mukanya lalu mengiyakan dan mendengarkan semuanya kata-kata guru. Tujuh Siluman Langit bukanlah orang-orang sembaragan. Kalau seminggu saja ia telah menang untuk "balapan lari", ilmu paling ampuh untuk menyelamatkan diri maka dapatlah dibayangkan betapa hebatnya ilmu ginkang yang dipunyai gurunya itu.

Belajar satu minggu saja sudah berani diadu dengan orang-orang kang-ouw kelas satu menunjukkan ilmu ginkang itu bukanlah ilmu sembarangan. Ia tak boleh melecehkan! Dan ketika hari itu Chi Koan istirahat untuk memulihkan tenaga, keesokannya disuruh mengulang dan berhasil maka pemuda ini girang bukan main karena beban lima belas kilo di atas pundaknya dengan gampang dilalui. Lima ribu hitungan!

“Ha-ha, aku berhasil, suhu. Lihat lima ribu lompatan kujalani. Beban ini tak menggangguku!"

"Bagus, tapi jangan ketawa dulu. Lihat kutambah!" sang hwesio melempar sepotong besi lain, menimpa dan jatuh di pundak yang lain dan Chi Koan terkejut. Ia disuruh meneruskan lompat talinya lagi dengan dua beban. Ada tigapuluh kilo yang harus dibawa. Dan ketika ia bergerak lagi dan terkejut, beban itu mengganggunya maka sang guru tertawa dan berseru bahwa boleh dia melakukan lima ribu lompatan lagi.

“Gila, aku... aku tak mungkin kuat! Paling-paling seribu lagi sudah roboh!"

"Kalau begitu harus kau ulang dan ulang lagi, Chi Koan. Masih ada empat besi yang menunggu gilirannya!"

“Empat besi? Jadi semua sembilan puluh kilo? Astaga, mati aku, suhu. Tapi tak apalah. Lebih baik mampus daripada gagal....wut-wut!” dan Chi Koan yang kembali lompat tali dengan dua beban di pundak akhirnya gemetar dan pucat menghitung-hitung hitungannya. Mula-mula ia bertahan tapi akhirnya gemetaran, roboh dan mencoba lagi tapi ternyata pada hitungan ke seribu ia ambruk.

Pemuda ini benar-benar tak kuat. Dan ketika sang guru berkelebat dan melempar arak obatnya, tertawa dan berkata bahwa sang murid harus mengulang dan mengulang maka hari kedua Chi Koan berkutat dengan dua beban di pundak kiri kanannya ini. Ia tak kenal lelah dan semangatnya sungguh besar. Pemuda ini betul-betul mengagumkan. Dan ketika baru pada hari ketiga ia berhasil, arak obat dipakai untuk mengatasi kejang-kejang.

Maka pada hari keempat dan kelima Beng Kong Hwesio menambah dua kepingan besi lagi, masing-masing di kiri kanan pundak hingga kini beban sembilan puluh kilo menekan pemuda itu. Hebat bukan main. Chi Koan sampai jatuh bangun dan pingsan dua kali. Latihan gurunya sungguh-sungguh berat. Tapi ketika pada hari ketujuh ia mampu membawa semua beban itu, tiga besi terletak di masing- masing pundaknya maka Beng Kong Hwesio tiba-tiba tertawa bergelak dan... melompat di atas pundak muridnya ini.

"Bagus, sekarang coba bergerak dengan membawa gurumu, Chi Koan. Coba mampukah kau atau tidak!"

Sang pemuda terkejut. Ia tak menyangka bahwa gurunya kini menggantikan piring-piring besi itu. Bobot gurunya juga tak kurang dari seratus kilo! Tapi karena ia telah digembleng dengan beban sembilan puluh kilo dan kelebihan sepuluh kilo tak jadi soal, pemuda ini tertawa maka ia bergerak dan sudah mulai lompat-tali.

“Baik, mari coba-coba, suhu. Tapi awas tersangkut taliku!"

Sang guru tertawa bergelak. Beng Kong telah menekan pundak muridnya ini dan tentu saja meloncat ketika tali menyambar. Ia naik turun ketika sang murid bergerak naik turun pula. Dan ketika sang Hwesio menambah bebannya dengan jejakan kuat, setiap hinggap tentu berat tubuhnya bertambah maka Chi Koan terkejut juga karena bobot yang seratus kilo itu menjadi hampir dua kali lipat. Setiap gurunya meloncat dan hinggap lagi di kedua pundaknya maka tekanan telapak kaki ini serasa menindih. Ia bertahan dan untung mulai terlatih. Dan ketika ia menghitung satu demi satu lompat-talinya, sang guru naik turun di atas pundak maka hitungan limaribu juga dilewati dengan enteng.

Akibatnya sang hwesio gembira bukan main sementara sang murid berseri-seri. Chi Koan tak merasa berat lagi. Aneh. Bahkan ia meneruskan hitungannya pada lompatan keenamribu. Dan ketika ia terus bergerak dan bergerak sementara sang guru kagum bukan main, hanya seminggu saja pemuda ini telah mampu menguasai dasar- dasar Lui-thian-to-jit maka Beng Kong terbahak dan meloncat turun.

"Cukup, sekarang kita ke Lok-yang, Chi Koan. Cari musuhmu itu dan lihat betapa dengan amat mudah kau akan mengalahkan si Lutung Hitam itu!"

"Sekarang juga?"

"Ya, bukankah cukup? Tujuh hari sudah kau berlatih, dan sekarang praktekkan ilmumu itu!”

Chi Koan tersenyum. Ia mengangguk dan sang suhupun berkelebat keluar, diikuti dan para murid tiba-tiba terbelalak ketika dua bayangan melesat bagai iblis. Guru dan murid meluncur begitu cepatnya di depan anak-anak murid Go-bi. Dan ketika Beng Kong menghilang di luar pintu gerbang, sementara Chi Koan juga melayang dan berjungkir balik melewati pintu gerbang, para murid ternganga maka mereka takjub melihat gerakan anak muda ini.

"Omitohud, itu Chi Koan-sute. Bukan main, tubuhnya secepat kilat!”

“Dan, ia menyambar tanpa kuketahui siapa. Omitohud... lihat ia sudah terbang di sana!”

Semua hwesio takjub. Chi Koan, yang baru saja melewati pintu gerbang tahu-tahu sudah jauh di ujung gurun. Pemuda itu tampak merupakan titik biru sementara Beng Kong Hwesio dengan jubahnya yang kuning menyala itu, kecil dan lenyap untuk akhirnya membuat para murid bengong. Seminggu saja digembleng sang ketua mendadak Chi Koan sudah berubah. Begitu hebatnya! Dan ketika Chi Koan sendiri berjajar dan sudah berlari di samping gurunya, tertawa, maka ia coba mendahului namun gagal.

“Ha-ha, jangan coba-coba. Kalau aku mau tentu kau yang tertinggal di belakang. Kepandaianmu masih taraf di sini, tapi sudah cukup mengagumkan!"

"Masa? Aku tak dapat mendahuluimu, suhu? Ah, biar kucoba dulu... haiittt!" dan Chi Koan yang bergerak dan melengking nyaring, coba mendahului sang guru tiba-tiba bergerak mengerahkan segenap kekuatannya untuk terbang. Setelah tujuh hari digembleng dengan beban puluhan kilo maka Chi Koan sekarang merasa betapa enteng dan ringannya tubuhnya itu. Tanpa beban sedikitpun ia serasa punya sayap. Tapi ketika ia terbang dengan kecepatan penuh, sang guru dilirik dan masih saja ada di sampingnya maka pemuda ini mandi keringat karena gagal.

“Hebat, aku tak mampu mendahuluimu, suhu. Tapi coba buktikan bahwa kau sebenarnya mampu mendahului aku!"

"Eh, tidak percaya? Omitohud, pinceng akan membuktikan, ha-ha...!” dan sang hwesio yang berkelebat mengebutkan ujung bajunya tiba- tiba mendesir dan mendahului sang murid, cepat dan luar biasa hingga tahu-tahu sudah ratusan meter di depan. Chi Koan terkejut dan tancap gas namun masih tak mampu mengejar. Dan ketika sang guru menoleh dan tertawa bergelak, kembali mengebutkan jubah maka Beng Kong Hwesio lenyap dan menghilang di dalam hutan.

“Ha-ha, coba berapa lama kau memasuki hutan iní, Chi Koan. Tapi pinceng sudah akan di luar!”

Chi Koan terbelalak. Ia benar-benar kagum tapi tak mau menyerah, membentak dan mengerahkan segenap tenaga untuk menuju hutan. Ia coba berpacu. Tapi ketika ia memasuki hutan ternyata gurunya sudah di luar, ia basah kuyup maka pemuda ini mengakui bahwa gurunya memang hebat luar biasa.

“Suhu, aku menyerah. Kau benar-benar hebat. Sekarang jangan tinggal aku lagi dan biar kau tetap di sampingku!"

"Ha-ha, sudah menyerah?"

"Ya, menyerah. Kau hebat dan aku kalah!”

"Ha-ha, tapi kaupun mengagumkan. Seminggu saja sudah mampu seperti ini. Wah, tujuh susiokmu sendiri tak akan mampu mengejarmu!"

“Benarkah?”

"Tentu saja benar. Aku tak usah bohong dan mari teruskan perjalanan!"

Chi Koan berseri. Ia telah dapat mengalahkan tujuh susioknya dan itu dirasa membanggakan, meskipun hanya untuk “balap lari”. Dan ketika ia tertawa dan kembali sudah berendeng dengan gurunya, hutan dan gunung dilalui dengan cepat maka orang-orang kampung atau dusun yang melihat kelebatan tubuh mereka tersentak mengira ada hantu berseliweran.

“Eh, apa itu. Bayangan apa yang baru saja lewat di sisi tubuhku ini!"

“Benar, dan itu mereka. Eh, lenyap dan hilang lagi!"

“Setan... siluman. Jangan-jangan hantu yang kesiangan!"

“Hiihhh, tubuhku mengkirik. Tolong.... tolong!" dan empat orang yang berteriak melempar pikulannya, jatuh dan lari lagi akhirnya membuat dusun atau kampung yang dilalui dua orang ini gempar. Mereka berteriak-teriak tentang hantu sementara Chi Koan dan gurunya tertawa-tawa di sana. 

Beng Kong bahkan mengeluarkan tawa yang menggetarkan bukit, berderak dan memantul dan orang-orang dusun tunggang-langgang. Mereka mengira gempa bumi, Chi Koan terpingkal-pingkal. Dan ketika dusun demi dusun dilewati cepat, juga beberapa kota kecil yang semua terbeliak dan ngeri oleh kelebatan bayangan dua orang ini, Chi Koan yakin akan kepandaiannya maka empat jam kemudian mereka tiba di hutan di mana kepala rampok itu berada.

"Nah, ini dia. Kita berhenti di sini suhu, dan harap kau menyembunyikan diri."

“Ha-ha, kau sudah mantap?"

“Sudah, aku yakin dan akan kuhajar lutung keparat itu!"

“Baik, dan setelah itu tingkatkan ilmu meringankan tubuhmu ini. Kita masih terlalu lama tiba di sini. Seharusnya satu jam saja sudah cukup. Baik, hadapi musuhmu itu dan biar pinceng bersembunyi... slap!" sang hwesio lenyap, untuk kesekian kalinya lagi sang murid menjadi kagum namun Chi Koan tak mau membuang-buang tempo. Ia tak perduli kepada tubuhnya yang mandi keringat padahal gurunya biasa-biasa saja. Setetes pun keringat tak ada di wajah gurunya itu! Dan ketika Chi Koan memasuki hutan dan benar saja beberapa rampok muncul keluar, mereka menghadang dan membentak maka semuanya terkejut melihat pemuda tampan ini.

"He, kau ini. Ada apa dan kenapa datang lagi ke mari. Apakah ingin bertemu Hek-twako dan minta dihajar?"

“Ha-ha, benar. Barangkali minta dicambuk pantatnya dan dijungkir!"

“Hm,” Chi Koan tersenyum dan tenang-tenang saja. “Kalian tak usah cecowetan seperti monyet. Mana Hek-twako itu dan suruh dia keluar. Cepat, aku ingin menggebuk dan menampar pantatnya!”

"Apa? Kau berani...?”

“Tak usah banyak mulut. Kalau kalian cerewet biar kalian dulu yang kuhajar. Nah, lihat... plak-plak-plak!" dan Chi Koan yang berkelebat dan mengerahkan ilmu ginkangnya tiba-tiba dengan mudah menampar enam perampok, menendang dan merekapun menjerit tunggang-langgang. Apa yang terjadi di sini sungguh berbeda dengan apa yang terjadi beberapa hari yang lalu. Beberapa hari yang lalu pemuda itu malah menjadi bulan-bulanan mereka, dihajar dan dipukul dan akhirnya babak-belur disoraki orang banyak.

Kini keadaan tiba-tiba berbalik dan merekalah yang dihajar pemuda itu. Gerakan Chi Koan terlampau cepat dan tahu-tahu semua roboh terpelanting. Pemuda itu seperti kilat menyambar. Dan ketika mereka roboh dan berteriak-teriak, kecepatan pemuda itu tak dapat diikuti mata maka Chi Koan sudah berhenti dan berdiri di depan mereka, bertolak pinggang.

“Nah, apa kataku. Siapa yang ingin dihajar dan menerima tamparanku lagi?"

Enam perampok terkejut. Mereka melompat bangun dan terkejut membelalakkan mata. Pemuda ini seperti siluman! Namun karena beberapa hari yang lalu pemuda itu tak sehebat sekarang dan para perampok ini masih tak percaya, mereka penasaran dan marah membentak nyaring maka masing-masing sudah mencabut senjata dan Chi Koan tertawa melihat ini. Tubuhnya tadi benar-benar ringan dan enteng seolah beterbangan!

"Ha-ha, minta tambah? Baik, majulah, tikus-tikus busuk. Dan lihat tuanmu menghajar kalian!"

Enam perampok berteriak marah. Mereka menerjang dan golok membacok dengan amat ganas. Geraknya cepat, kalap. Tapi karena Chi Koan sudah berlatih Kilat Menyambar Matahari dan gerakan enam orang itu dinilai lamban, pemuda ini mendahului dan membentak tanpa banyak cakap maka enam orang itu dihajarnya dan mereka berteriak melihat pemuda ini tahu- tahu menghilang. Gerakan Chi Koan amatlah cepatnya dan lagi-lagi mereka tak dapat mengikuti.

Senjata berdentingan sendiri dan saat itulah tamparan atau tendangan pemuda ini mengenai wajah atau perut mereka. Semua menjerit dan terlempar roboh. Dan ketika masing-masing mengaduh dan Chi Koan tertawa bergelak, dengan mudah ia merobohkan enam perampok itu maka perampok-perampok lain berdatangan dan muncul. Mereka itu mendengar teriakan atau jerit temannya, bayangan-bayangan berkelebatan dan tahu-tahu lima puluh orang sudah mengepung. Dan ketika Chi Koan mengerutkan kening namun tidak gentar, ia tersenyum dan tertawa lagi maka perampok-perampok itupun tertegun menudingnya.

“Ini bocah dulu itu. Heii, ia datang dan mengacau lagi. Tangkap, serahkan kepada Hek-twako!"

"Benar, ini si tampan yang lembut itu. Tangkap dia, serahkan kepada Hek-twako!”

“Ha-ha!” Chi Koan bersikap jumawa, hasilnya tadi membesarkan hati. “Aku datang justeru untuk menghajar orang she Hek, tikus-tikus busuk. Mana dia itu dan suruh keluar. Ayo, ini Chi Koan yang akan mencabut bulu-bulunya!"

“Eh!" semua melengak. "Bocah ini berani benar. Ia sombong. Tapi ia telah merobohkan enam kawan kita!"

"Dan aneh bahwa ia mampu melakukan itu, padahal beberapa hari yang lalu dikeroyok dua saja jatuh bangun!"

"Panggil saja Hek-twako. Biar dia dibentak roboh!”

“Ha-ha, panggillah dia,” Chi Koan menjawab, tak kecil hati. "Aku yang akan membentaknya roboh, tikus-tikus busuk. Dan akan kutiup ia menghadap Giam-lo-ong!”

“Tangkap dia, serang!" namun orang-orang itu yang marah mendengar kata-katanya lalu membentak dan menerjang. Lima orang bergerak namun Chi Koan mengelak, dikejar dan mengelak lagi dan lima orang itu terkejut karena tubuh pemuda ini licin bagaikan belut. Setiap jari akan menerkam tiba-tiba saja luput, si pemuda lolos dan heranlah mereka juga yang lain-lain. Dan ketika Chi Koan semakin melihat bahwa gerakan orang-orang itu amatlah lambannya, ia dapat bergerak jauh lebih cepat maka ia membalas dan kaki tangannya bereaksi melepas tendangan atau tamparan.

"Ha-ha, ini untuk kalian. Bagus, mari kuberi satu-satu...des-dess!" lima orang itu terjungkal, roboh dan menjerit tapi Chi Koan tidak berhenti di situ saja. Ia ingin membuat orang-orang itu ketakutan dan berkelebatlah tubuhnya ke kelompok yang lain, yang menonton. Dan ketika dengan Lui-thian-to-jitnya itu ia beterbangan dan menyambar-nyambar, membagi pukulan atau tendangan mendadak hutan itu ribut oleh pekik dan jerit kesakitan.

“Aduh, siluman!"

“Mati aku.... des-dess!"

Lima puluh perampok kalang-kabut. Mereka tiba-tiba berteriak dan menjerit satu sama lain begitu Chi Koan berkelebatan di antara mereka. Tak ada satu pun yang dapat mengikuti karena Chi Koan sudah berubah menjadi bayangan biru yang menyambar-nyambar dengan amat cepatnya. Ginkang warisan Beng Kong Hwesio bukan tandingan anak buah rampok. Dan ketika sebentar saja lima puluh tubuh bergelimpangan merintih-rintih, Chi Koan tertawa bergelak maka terdengar geram dan seorang tinggi besar muncul diikuti empat puluh anak buah baru. Itulah si Lutung Hitam!

"Hargh, apa yang kau lakukan ini? Siapa kau.... eh, kau rupanya!" Lutung Hitam, yang bermuka hitam dan bertelanjang dada menghentikan pertanyaannya. Ia kaget melihat anak buahnya bergelimpangan tapi kekagetannya berobah menjadi heran besar melihat Chi Koan. Tentu saja ia mengenal pemuda ini, bocah yang dulu hendak dipaksanya menjadi kekasihnya itu. Lutung Hitam adalah seorang homo. Dan ketika ia menjublak dan heran serta takjub, pemuda ini sudah menjadi demikian luar biasanya mendadak ia tertawa bergelak dan menerkam Chi Koan, hendak dipeluk.

"Ha-ha, hebat, bocah. Tapi kau semakin pantas menjadi kekasihku. Kemarilah, aku jatuh cinta lagi kepadamu!”

Namun Chi Koan mengelak. Tentu saja ia tak membiarkan diri diterkam laki-laki itu karena sekali kena tentu sukar baginya melepaskan diri. Ia belum diajari ilmu silat tangguh, yang diperoleh barulah ilmu meringankan tubuh. Dan ketika ia mengelak dan lawan berseru kaget, gerakan pemuda itu amatlah cepatnya maka Chi Koan sudah di belakang dan menepuk pundak lawannya itu. “Hei, aku di sini, Lutung Hitam. Ke mana kau mencari aku?"

Laki-laki itu membalik. Ia kaget dan heran namun menerkam lagi, kali ini lebih cepat disertai umpatan. Ia kaget, juga marah. Tapi ketika untuk kedua kalinya lagi pemuda itu menghilang dengan cepat, ia tak tahu di mana maka tiba-tiba telinganya dijewer dan Chi Koan menampar kepalanya. Mulai belas dendam.

“Lutung buruk, aku di sini. Ke mana kau mencari? He, lihat... plak-plak!"

Si Lutung berteriak. Ia kaget karena ditampar dan dijewer membalik dan menerkam lagi namun pemuda itu seperti siluman. Ditubruk atau diterkam berapa kalipun luput. Selalu mendahului gerakannya. Dan ketika Lutung Hitam menjadi marah karena Chi Koan menendang dan mulai mempermainkan dirinya, menampar atau mencabuti kumisnya maka laki-laki ini berteriak dan mencabut golok lebar, golok seperti gergaji!

“Hei, jangan mendelong saja. Serang dan bunuh pemuda ini. Bantu aku!”

Empat puluh laki-laki bergerak. Mereka tadi dibuat bengong dan takjub akan gerakan-gerakan pemuda ini, semakin cepat diserang semakin cepat pula mengelak. Tapi begitu sang pimpinan membentak dan mereka kaget, sadar, maka empat puluh perampok itu menerjang dan berteriak-teriak mencabut senjata. Namun Chi Koan justeru semakin gembira. Ia mempraktekkan ginkang gurunya dan benar saja gerakannya amatlah cepat. Seratus kali diterkam seratus kali itu pula luput. Ia melihat bahwa gerakan orang-orang ini amatlah lambat, itu soalnya.

Dan ketika ia dikeroyok dan Lutung Hitam dicabuti kumisnya, mencak-mencak dan marah bukan main maka Chi Koan tertawa dan ia mendahului orang-orang itu. Tubuhnya beterbangan den menyelinap di bawah hujan golok, menyodok atau menyikut dan orang-orang itupun berteriak. Paling tidak mereka terpelanting. Dan ketika Chi Koan terbahak dan mulai mengayunkan tamparan atau tendangan maka empat puluh orang yang semula melompat bangun dan menyerang lagi tiba-tiba mengaduh dan terlempar menjerit keras.

Mereka dipukul dan pingsan, Chi Koan merebut sebatang golok dan dengan gagang dibalik ia menghantami orang-orang itu, kontan mengaduh! Dan ketika sebentar kemudian puluhan tubuh bergelimpangan merintih-rintih, sama dengan yang pertama maka tinggallah si Lutung Hitam sendiri, tanpa kawan.

"Ha-ha, bagaimana sekarang? Maukah kumismu kau cabuti sendiri atau aku yang mencabut?”

Si pemimpin terbeliak. Seperempat dari kumisnya sudah dicabuti dan bawah hidungnya berdarah. Waktu dicabut sakitnya bukan main tapi waktu diejek menjadi lebih sakit lagi. Lutung Hitam mendelik! Dan ketika ia meraung dan goloknya menerjang ganas, Chi Koan mengelak dan dibacok lagi maka pemuda yang sekarang memiliki ilmu meringankan tubuh mengagumkan ini berseru, cukup menggoda.

"Lutung Hitam, sekarang kaupun robohlah. Lihat ini pukulan dariku dan menyerah atau tidak?”

Lutung Hitam membelalak. Ia telah belasan kali membacok dan menusuk namun luput semua. Tubuh pemuda itu selalu mendahului sebelum angin sambaran goloknya tiba. Dan ketika kini pun ia luput dan terhuyung ke depan, hampir saja terjelungup maka pemuda yang dibencinya itu muncul di samping kirinya dan sekali Chi Koan merenggut maka sisa kumis laki-laki tinggi besar ini tertarik semua, berteriak dan kaki pemuda itupun tak tinggal diam. Chi Koan menendang dan telak mengenai lambung. Dan ketika laki-laki itu menjerit dan terlempar roboh, serangan Chi Koan kali ini amatlah kerasnya maka laki-laki itu mengeluh dan melipat perutnya, mengaduh dan merintih tak keruan.

“Aduh... bluk-dess!”

Chi Koan menyelesaikan pertandingan. Sekarang pemuda ini muncul lagi dan berdiri tegak bertolak pinggang. Wajahnya berseri-seri, lawan melipat punggung dan setengah pingsan oleh tendangannya tadi. Meskipun tak mematikan namun membuat Lutung Hitam kelenger, ia benar-benar jera. Dan ketika Chi Koan bertanya apakah dia bertobat, yang dijawab minta ampun maka Chi Koan menyuruh agar mencium kakinya seratus kali.

"Nah, lakukan seperti dulu kau memerintah aku. Cepat atau nanti kuinjak-injak!”

“Ampun... ampun, Chi-siauwhiap. Aku benar-benar bertobat. Tapí... tapi aku tak dapat menggerakkan tubuhku. Disuruh merangkak saja tak kuat!"

“Aku tak perduli. Kau harus berjalan ke sini dan tunduk mencium kakiku. Cepat, atau nanti hukuman bertambah!”

“Perutku sakit... ususku melilit-lilit!"

“Kau masih banyak cakap? Hm, kalau begitu kupenggal kepalamu, biar tahu rasa!"

Chi Koan menakut-nakuti orang, menendang dan menyambar golok lawan dan Lutung Hitam ngeri. Ia pucat dan gentar, tentu saja tak mau dibunuh. Dan ketika apa boleh buat ia harus berjalan tapi roboh merintih-rintih, merangkak dan mendekati pemuda itu maka dengan susah payah ia mencium kaki Chi Koan seratus kali. Chi Koan tertawa dan tergelak-gelak, kakinya diangkat naik menginjak kepala lawan. Dan ketika begitulah dulu lawannya mempermainkan dirinya, menendang dan memukul.

Maka Lutung Hitam yang malu disaksikan anak buahnya ini hampir mati oleh hinaan. Ia tak sanggup menaik turunkan tubuhnya seratus kali, baru tujuh puluh kali saja ia sudah roboh, pingsan. Dan ketika Chi Koan tertawa dan menendang lawannya itu, anak buah rampok terbelalak gentar maka Chi Koan meninggalkan tempat itu seraya mengancam bahwa siapa yang coba-coba membalas dendam akan dihajarnya lebih berat. Ia berada di Go-bi dan siapapun boleh datang kalau ingin dapat pelajaran.

Sesosok bayangan kuning berkelebat dan muncullah Beng Kong Hwesio yang tinggi besar. Dan ketika hwesio itu terbahak menyambung kata-kata muridnya, berseru bahwa para perampok akan dibunuh kalau macam-macam lagi maka hwesio ini mengibaskan lengan bajunya dan seratus orang itu terlempar dan terangkat naik beterbangan ke atas dahan-dahan pohon, tersangkut dan nyangsang jungkir balik.

“Ha-ha, betul. Siapa main-main dengan muridku akan dibunuh. Pergilah kalian... bres- bress!"

Puluhan tubuh tersapu bagai disambar angin puyuh, berteriak dan nyungsang tak keruan di atas pohon sementara Lutung Hitam sendiri berkeratak tulang lehernya disambar pukulan jarak jauh hwesio sakti ini. Chi Koan terkejut tapi tertawa-tawa. Lutung Hitam ternyata tewas! Dan ketika hwesio itu pergi sementara muridnya juga lenyap, para perampok saling tolong menurunkan tubuh maka barulah mereka tahu kalau pimpinan mereka itu tewas, tulang lehernya patah! Guru dan murid tiba-tíba menjadi momok dan semua ketakutan. Go-bi ternyata benar-benar berada di belakang pemuda itu. Sial ketemu musuh tangguh!

Dan ketika mereka pucat dan gentar dihajar pemuda ini, nama Chi Koan menjadi bisik-bisik di antara perampok maka Chi Koan sendiri pulang bersama gurunya dengan kepercayaan besar yang melipatkan keberanian. Sekarang ia benar-benar yakin bahwa kesaktian gurunya benar benar amat luar biasa. Baru berlatih ilmu meringankan tubuhnya saja sudah dapat dipakai menghajar seratus orang, padahal kepandaian itupun baru dipelajarinya hanya seminggu.

Dan ketika kepercayaan ini menjadikan keberanian Chi Koan berlipat-lipat, ia cerdik dan pandai mengambil hati gurunya maka beberapa bulan kemudian pemuda ini telah memperdalam Lui- thian-to-jitnya itu. Bersama itu diturunkan pula ilmu-ilmu silat penyambung enam tahun yang lalu. Hubungan guru dan murid kembali berjalan.

Pada dasarnya Beng Kong Hwesio ini memang nenyukai muridnya. Sejak dulu pemuda ini amat disayang, karena Chi Koan terkenal pemberani dan nakal, kenakalan yang disuka hwesio itu karena dianggapnya sebagai lambang kejantanan. Begitulah seharusnya seorang anak laki-laki tulen, nakal dan agresif!

Dan ketika enam bulan kemudian Chi Koan telah menguasai penuh ilmu meringankan tubuh Kilat Menyambar Matahari ini, Beng Kong terbelalak karena seharusnya ilmu itu dipelajari dalam waktu setahun atau dua tahun maka sang hwesio kagum dan geleng-geleng kepala. Menganggap muridnya ini luar biasa cerdas!

“Ha-ha, setan dangkalan. Kau ini luar biasa sekali, Chi Koan. Enam bulan saja Lui-thian-to-jit sudah kau lalap habis. Wah kau murid luar biasa. Heran benar bahwa Go-bi mempunyai murid seperti ini. Kalau sukongmu tahu tentu beliau akan mendecak kagum!"

“Hm, teecu ada kesempatan bertemu sukong? Hal yang langka, suhu, tak mungkin. Tapi alangkah girangnya kalau sukong mau menemui teecu!"

“Wah, tak usah berpikiran macam-macam. Sukongmu bertapa, akupun sekarang tak berani mengganggunya. Sudahlah, kau pelajari ilmu-ilmu dariku dan mungkin Cui-pek-po-kian ini dapat kau andalkan!”

“Ilmu Meggempur Tembok?"

“Ya, yang dulu diandalkan susiok-kong-mu Ji Beng Hwesio."

"Dan Thai-san-ap-ting, suhu. Kapan aku dilatih ilmu silat ini?”

"Hm, silat Gunung Thai-san Tindih Kepala? Kau akan mempelajarinya juga, Chi Koan. Tapi tergantung semangatmu berapa lama kau mewarisi Cui-pek-po-kian. Kau harus melatihnya satu per satu dulu."

"Teecu pasti akan melatihnya, dan teecu akan tekun belajar. Teecu kira tiga bulan saja sudah sanggup!"

“Tiga bulan? Ha-ha, aku sendiri bertahun-tahun menguasai Cui-pek-po-kian ini, Chi Koan. Jangan bersombong dengan mengatakan tiga bulan berhasil. Eh, buktikan omonganmu itu dan biar kulihat!”

“Suhu boleh buktikan. Tapi bagaimana kalau tiga bulan benar-benar berhasil? Ilmu apalagi yang hendak diberikan kepada teecu?”

"Weh, kau seperti kuda kelaparan? Kenapa begini antusias? Ha-ha, masih banyak ilmu-ilmuku, Chi Koan. Go-bi tak kekurangan ilmu. Kau boleh pilih apa saja kalau kata-katamu benar!”

"Bagaimana kalau Hok-tee-sin-kun Silat Penakluk Dunia)?" "Apa?”

“Maaf, suhu,” Chi Koan tiba-tiba menunduk, menjatuhkan diri berlutut. "Konon katanya dari segala ilmu-ilmu Go-bi yang paling hebat adalah Hok-tee-sin-kun itu. Suhu telah mempelajarinya, dan suhu ternyata menjadi hebat bukan main. Kalau teecu boleh mempelajari itu tentu teecu akan girang bukan main. Tapi terserah suhu...”

“Hm," sang suhu terkejut, muka sedikit berubah. “Dari mana kau tahu ilmu ini, Chi Koan. Siapa yang bilang?"

"Yang bilang adalah anak-anak murid Go-bi. Dulu mereka melihat kesaktian ini diperlihatkan sukong."

“Hm, benar, tapi itu adalah ilmu rahasia. Kau tak boleh melatihnya karena amat berbahaya. Ilmu itu tak boleh dimiliki oleh lebih dari dua orang!"

“Maksud suhu bahwa sekarang yang memilikinya ini adalah suhu dan sukong? Karena sukong masih hidup?"

“Benar, Chi Koan, dan aku tak berani melanggarnya. Sudahlah, tak usah bicara tentang ini karena menguasai Cui-pek-po-kian dan Thai-san-ap-ting saja kau sudah akan menjadi hebat bukan main. Tak akan ada tokoh-tokoh kelas satu mampu menandingimu!"

“Tapi suhu masih tak mampu menghadapi keroyokan Siang Kek Cinjin dan Siang Lam Cinjin!"

"Ah, mereka dedengkot Heng-san. Umurnya hampir seratus tahun!"

"Itulah, dan aku pasti kalah menghadapi mereka, suhu. Biarpun menguasai Cui-pek-po- kian maupun Thai-san-ap-ting!"

"Tidak, kalau kau berhadapan satu lawan satu."

"Tapi dulu nyatanya mereka mengeroyok suhu!"

"Hm, dulu mereka penasaran kepadaku, Chi Koan. Dan aku juga menantang mereka agar maju berdua!”

“Dan teecu juga ingin melakukan itu!”

“Apa? Ha-ha, jangan gila, Chi Koan. Kau baru saja belajar silat. Kau baru menyambung kembali ilmu-ilmu yang dulu putus!”

“Teecu ingin menjunjung tinggi nama Go-bi, suhu. Kalau setengah-setengah menimba ilmu percuma saja. Teecu ingin seperti suhu, terkenal dan ditakuti orang!"

Beng Kong Hwesio tertawa bergelak. Tiba-tiba saja dia geli karena semangat muridnya ini dinilai berlebihan. Baru belajar ilmu beberapa bulan saja sudah ingin mengalahkan Siang Kek dan Siang Lam Cinjin, dedengkot Heng-san. Dan ketika dia terbahak dan menampar muridnya, geli, maka hwesio itu berkelebat dan menyuruh muridnya berlatih.

"Gila, congkak tapi mengagumkan. Ha-ha, latih saja Cui-pek-po-kian itu, Chi Koan. Dan buktikan kepadaku bahwa tiga bulan saja kau mampu menguasainya. Hayo, tak usah besar mulut dan nanti kita bicara lagi!"

Pemuda itu terhuyung. Ia ditampar pundaknya dan terdorong, membelalakkan mata namun gurunya lenyap. Rasa gemas dan penasaran melanda hatinya. Ia ingin ilmu hebat itu, Hok-tee-sin-kun! Tapi karena gurunya tak mau mengajari dan sedikit rahasia terdapat di situ, bahwa Hok-tee-sin-kun tak boleh dimiliki oleh lebih dua orang, hanya gurunya dan sukongnya itu yang memiliki Hok-tee-sin-kun maka Chi Koan mengepal tinju dan seberkas cahaya licik menyambar di matanya. Ia akan melakukan sesuatu untuk memiliki ilmu itu. Ia akan berusaha supaya Hok-tee-sin-kun jatuh ke tangannya.

Dan satu di antara segala cara adalah dengan membujuk dan menyenangkan gurunya, ia harus pandai mengambil hati maka Chi Koan bergerak dan janji kepada gurunya akan dibuktikan. Ia telah diajari tentang Cui-pek-po-kian dan itu akan dilatihnya tiga bulan saja. Selanjutnya ia akan meminta Thai-san-ap-ting dan setelah itu mengerjakan sesuatu. Sebuah akal muncul di benaknya. Akal licik juga culas dan keji. Dan ketika pemuda itu tersenyum dan Go-bi tak tahu apa yang akan dilakukan maka Chi Koan memasuki kamarnya dan di situ ia tak keluar-keluar.

Tiga bulan pemuda ini mengunci kamar dan Beng Kong terheran-heran menyaksikan sikap muridnya. Desir angin menyambar-nyambar di dalam kamar itu dan hwesio ini takjub ketika dilihatnya sang murid berlatih Cui-pek-po-kian, siang malam tak kenal henti dan akhirnya tiga bulan tepat dinding tergetar dan robohlah kamar itu oleh sebuah pukulan angin dahsyat. Hiruk-pikuk membuat murid-murid Go-bi terkejut dan semua berkelebatan.

Kamar pemuda itu ambruk dan Chi Koan tertimpa puing-puing, tertindih namun keluar dengan wajah berseri-seri, mengibas dan semua murid-murid Go-bi terpental. Mereka yang hendak menolong malah terlempar! Dan ketika teriakan kaget dan seruan mengguncang sana-sini, Pat-kwa-hwesio berkelebat dan muncul maka Beng Kong juga tertegun dan sudah berdiri di situ.

"Ha-ha, berhasil, suhu. Lihat dinding kamarku roboh!”

"Apa yang kau lakukan?" Ji-hwesio tiba-tiba membentak, marah. Selama ini mengkhawatirkan gerak-gerik Chi Koan dan keakraban bersama suhengnya. Dia cemas dan khawatir karena beberapa kali ia melihat sinar licik di mata pemuda ini. Ada sesuatu yang disembunyikan pemuda itu namun ia tak tahu apa. Dan ketika hiruk-pikuk di kamar pemuda itu mengundang semua orang, ia kaget dan marah maka dibentaknya pemuda itu.

Namun Chi Koan memandang susioknya ini dengan senyum mengejek, dingin dan tak acuh, cepat menghampiri suhunya dan berlutut di situ. "Suhu, aku telah membuktikan kepadamu. Lihat, Cui-pek-po-kian kulatih hanya dalam waktu tiga bulan saja. Mana sekarang Thai-san-ap-ting seperti yang kau janjikan. Aku ingin membawa tinggi nama Go-bi!"

“Ha-ha!” lain Beng Kong Hwesio lain pula sute-sutenye. "Kau hebat dan mengagumkan, Chi Koan. Tapi bukti ini belum cukup. Yang kau serang adalah benda mati, bukan barang hidup. Kau tak dapat menagih kalau betul-betul belum meyakinkan!”

“Suhu menyuruh teecu apalagi? Lihat, para suheng di sana itu, suhu. Mereka kukibas roboh. Aku benar-benar telah menguasai Cui- pek-po-kian!"

"Ha-ha, mereka murid-murid lemah. Coba kau terima pukulanku dan seberapa kuat Cui-pek-po-kianmu. Awas!"

Sang hwesio bergerak, menyambar dan tahu-tahu lengan jubahnya menghantam sang murid. Pukulan Cui-pek-po-kian juga dilepaskan dan Pat-kwa-hwesio serta anak-anak murid Go-bi terbelalak. Mereka kaget karena Chi Koan ternyata melatih Cui-pek-po-kian, dan hebatnya hanya tiga bulan saja sudah menguasai. Padahal murid-murid tingkat utama harus bertahun-tahun tak ada yang mampu. Dan ketika Chi Koan diserang dan pemuda itu menangkis, Chi Koan mengerahkan tenaganya maka Cui-pek-po-kian beradu dengan Cui-pek-po-kian pula.

"Dess!”

Anak-anak murid terpelanting. Adu tenaga yang amat hebat itu benar-benar membuktikan kelihaian Chi Koan. Anak muda ini mampu menahan pukulan gurunya, tergetar dan sedikit terdorong dan bukan main bangganya sang guru. Beng Kong Hwesio tertawa bergelak memperlihatkan kepada sute-sutenya bahwa muridnya ini benar-benar orang pilihan. Lihat saja ia mampu menahan pukulannya. Dan ketika hwesio itu berseri sementara Ji-hwesio dan enam adiknya mengerutkan kening, bermuka gelap maka Chi Koan yang tahu ketidak senangan tujuh susioknya ini berseru, berani dan menantang.

"Suhu, agaknya ada orang lain yang rupanya masih meragukan Cui-pek-po-kian ku. Mungkin dianggapnya suhu tadi tak sepenuh tenaga mencoba aku. Bagaimana kalau aku membuktikan ini kepada para suheng atau orang-orang itu....?"

Prahara Di Gurun Gobi Jilid 15

Cerita Silat Mandarin Serial Prahara Di Gurun Gobi Karya Batara

MEREKA dikabarkan tewas dan untuk enam tahun lamanya itu dunia kang-ouw tak diguncang lagi masalah Bu-tek-cin-keng. Agaknya, urusan ini bakal berhenti sampai di sini dan Go-bi maupun lain-lain akan tenang. Tapi ketika seorang pemuda tampan datang ke tempat para hwesio itu dan inilah "biang penyakit" baru maka heboh tentang Bu-tek- cin-keng muncul lagi, setelah mengendap atau beku enam tahun lamanya!

Pagi itu, di kala semua hwesio asyik dalam pekerjaan masing-masing maka seorang pemuda berjalan tenang memasuki Go-bi. Langkahnya pasti dan mantap, cara berjalannya seperti hendak memasuki rumah sendiri. Dan ketika betul saja ia tak menghiraukan para hwesio yang sedang menyapu atau membersihkan halaman, pelataran luar amatlah luasnya maka seorang hwesio tiba-tiba menegur dan menghadang.

“Eh, anak muda. Berhenti dulu. Mau ke mana dan siapa kau. Tidak tahukah bahwa ini bukan tempat yang boleh sembarangan dimasuki orang, apalagi orang asing!"

"Hm," pemuda itu berhenti, matanya bersinar-sinar, sama sekali tidak takut ataupun gentar, malah tertawa. "Apakah aku dianggap orang asing oleh Go-bi? Apakah Gun Hai-loheng juga menganggap aku orang asing?”

"Eh, kau mengenal pinceng?” hwesio ini melengak.

"Ha-ha, bukan hanya kau, suheng. Itupun aku kenal. Hm, mereka ke sini dan tentu inilah Sun Nai-suheng dan Yu Cai-suheng. Aha, itu suheng-suheng Giok Biao dan Ci Hap. Mereka tentu lupa tapi aku tidak!"

Pemuda ini menunjuk empat orang hwesio yang mendekat datang, mendengar ribut-ribut itu dan mereka serentak tertegun. Nama yang disebut-sebut melengak, mereka memang benar bernama seperti itu. Dan ketika pemuda itu tertawa dan mengangkat tangannya, membungkuk dan memberi hormat maka dia berseru,

"Selamat berjumpa, para suheng. Masih ingatkah kalian kepadaku?"

Para hwesio menjublak. Mereka benar-benar terkejut karena betapapun tak mengenal pemuda ini. Mereka berhadapan dengan seorang pemuda tampan yang matanya bersinar-sinar cerdik, nakal tapi penuh keberanian dan sejenak mereka bengong. Tapi ketika pemuda itu mengibas-ngibaskan lengannya dan mendadak berlutut seperti gaya seekor kucing, mengeluarkan suara meong yang lucu maka serentak semuanya ingat dan berseru kaget. Wajah itu sekarang dikenal.

“Chi Koan!"

“Ha-ha, benar," pemuda ini tertawa bergelak, gembira. "Aku Chi Koan, suheng. Sekarang kalian ingat. Bagus, aku hendak menghadap dan mencari suhu. Silahkan kalian minggir dan inilah aku!"

Semua hwesio terbelalak. Sekarang mereka minggir dan otomatis memberi jalan. Pemuda itu tertawa menoleh ke kiri kanan dan para hwesio-hwesio yang lain dibuat bengong. Chi Koan, pemuda ini, datang memberi salamnya dengan gembira. Setiap hwesio mendapat anggukan kepalanya. Dan karena dia memang murid Beng Kong Hwesio, yang sekarang menjadi ketua maka otomatis semua tak mengganggu namun kedatangan pemuda ini mendebarkan semua orang.

Dulu gara-gara anak laki-laki inilah Go-bi geger dan disatroni banyak orang. Gara-gara Chi Koan menerima ang-sio-bak si iblis betina Kwi-bo maka Go-bi didatangi banyak orang. Dan ketika pemuda itu melenggang santai dan sikapnya demikian riang gembira, langkah kakinya benar-benar seperti hendak memasuki rumah sendiri maka semua hwesio tertegun tapi dua di antaranya tiba-tiba melapor ke dalam. Mereka memberi tahu Pat-kwa-hwesio yang tinggal tujuh orang itu dan begitu menaiki anak tangga ruang pertama muncullah Pat-kwa-hwesio ini.

Mereka adik-adik seperguruan ketua sekarang dan otomatis adalah para susiok dari pemuda ini, paman-paman gurunya. Dan ketika Chi Koan tertegun karena tujuh hwesio berdiri angker di tangga atas, sikapnya penuh wibawa maka pemuda yang tadi berseri dan riang itu mendadak merobah sikap, tahu dengan siapa berhadapan.

"Maafkan teecu," pemuda ini sudah menjatuhkan diri berlutut. “Teecu datang ingin menemui suhu, susiok. Ingin memberi hormat dan melepas kangen. Selamat bertemu dan semoga susiok sehat-sehat saja!”

“Hm, kau Chi Koan? Bagaimana berani mengaku murid di sini?" Ji-hwesio, orang tertua menegur, sikapnya dingin, beku. "Pinceng tak melihat daftar anak murid seperti namamu, anak muda. Karena enam tahun yang lalu bocah bernama Chi Koan telah dikeluarkan dari Go-bi!”

Chi Koan tersenyum. Dia sama sekali tidak merasa terkejut atau gentar mendengar kata-kata dingin ini, sambutan yang beku. Tapi mengangguk dan memberi hormat sekali lagi iapun berkata, bangkit berdiri. “Baiklah, teecu akan bersikap sebagai orang luar, ji-susiok. Dan karena teecu ada kepentingan dengan yang terhormat ketua Go-bi mohon teecu diijinkan bertemu.”

“Hm, ketua Go-bi sedang keluar!"

"Teecu akan menunggu.."

"Go-bi sedang tidak menerima tamu!"

"Kalau begitu kenapa pintu gerbang tetap dibuka? Bohong atau dusta dilarang oleh agama, susiok. Maaf kalau teecu tak percaya.”

“Hm!” Ji-hwesio semburat merah. Akhirnya ia kalah bicara dan tertegun. Bocah ini sungguh pandai berdebat, persis seperti dulu! Dan karena ia was-was menerima pemuda ini, ingat kejadian dulu di mana gara-gara anak inilah maka Go-bi menerima banyak keruwetan maka Ji-hwesio akhirnya membentak penasaran. “Chi Koan, kau seharusnya tahu bahwa Go-bi tak suka menerima kedatanganmu. Enyahlah, pinceng tak ingin kau di sini!"

“Ah, atas dasar apa susiok memusuhi teecu? Dan apakah begini ajaran Buddha bahwa seorang manusia harus memusuhi manusia lainnya? Maaf, teecu datang di gudangnya orang-orang beragama, susiok. Dan teecu justeru penasaran kalau susiok yang merupakan tokoh Go-bi memusuhi teecu tanpa alasan!"

"Eh, kau tak ingat dosa-dosamu enam tahun yang lalu? Kau tak merasa telah membuat kekacauan di sini?”

“Tidak! Teecu tak merasa melakukan kesalahan apapun, susiok. Teecu waktu itu masih kecil dan tídak berbuat apa-apa kepada Go-bi!"

"Kau mendatangkan Kwi-bo dan kawan-kawannya di sini. Kau mendatangkan onar!”

"Siapa bilang? Kwi-bo datang atas kehendaknya sendiri, susiok. Bukan atas undangan teecu. Masuk akalkah seorang bocah kecil mengundang seorang tokoh kang-ouw? Mohon susiok bicara jujur dan tidak menyimpang!"

Ji-hwesio terkejut. Tiba-tiba untuk kedua kali ia merasa tertampar dan mendapat pukulan. Benar juga, Kwi-bo datang memang bukan atas undangan pemuda ini, yang dahulu masih kecil dan kanak-kanak. Dan ketika ia merasa di-"kick" balik oleh omongan pemuda ini, yang tajam dan tangkas bicara maka Ji-hwesio merah padam dan tiba-tiba Sam-hwesio berbisik agar tak usah banyak bicara.

“Suruh saja pemuda itu menunggu di luar. Suheng tak usah diberi tahu. Biarkan ia menunggu dan gigit jari."

"Hm,” hwesio ini mengangguk, mukanya bagai dibakar. "Kau pandai berdebat, Chi Koan. Mulutmu masih tajam dan menyakitkan. Baiklah, sebagai tamu kau boleh tunggu di luar. Ketua Go-bi sedang tak ada di sini. Kalau kau mau menunggu silakan di luar gerbang sana. Go-bi tak mempunyai kursi untuk tempat dudukmu!”

"Tak apa, " pemuda ini tersenyum. "Dan kuharap kau tak bohong, susiok. Sebab sekali kau bohong tentu kau dikutuk Buddha. Aku akan menunggu, dan aku akan sabar menemui guruku.”

Ji-hwesio mendengus. Ia mengebutkan lengannya menyuruh pemuda itu pergi, Chi Koan menurut dan membalikkan tubuh. Dan ketika dengan berseri pemuda itu keluar halaman seperti keluar rumahnya sendiri pula, mengangguk dan melambaikan tangan kepada semua hwesio yang ditemui maka para hwesio pun kagum sementara Ji-hwesio dan adik-adiknya berang. Mereka menyuruh tutup pintu gerbang dan Chi Koan dibiarkan di luar. Pemuda itu tertawa dan tidak merasa tersinggung, apalagi marah.

Dan ketika sehari itu ia dibiarkan di situ dan duduk bersiul-siul, aneh sekali maka pada hari-hari berikut pintu gerbang juga tetap ditutup dan tak pernah dibuka. Chi Koan dibiarkan panas atau kedinginan oleh matahari dan malam yang gelap. Pemuda itu memang sengaja “disiksa" agar pulang saja, membatalkan maksudnya. Tapi karena Chi Koan ternyata gigih dan tak mau pergi, kalau ingin minum ia mencari sumber air tak jauh di situ dan makan cukup dengan buah-buahan di hutan, datang dan duduk lagi di pintu gerbang maka pada hari ketiga pemuda ini mulai berliam-keng (membaca ayat-ayat suci).

Suaranya nyaring melengking dan sengaja diperdengarkan di dalam. Semuanya berisi sajak-sajak indah yang penuh makna. Dan ketika satu demi satu ia membaca semua ayat-ayat kitab suci itu, bergetar dan penuh perasaan maka hwesio penjaga terharu dan banyak yang mulai menitikkan air mata. Chi Koan membaca tentang ayat-ayat perjuangan dan kasih, juga nafsu balas dendam yang tak boleh dimiliki manusia. Dan ketika pada hari keempat dan kelima suaranya kian lantang dan melengking nyaring, jelek-jelek dia adalah bekas murid Go-bi yang dididik membaca ayat-ayat suci maka pintu gerbang terbuka dan seorang hwesio memperkenankannya masuk!

"Ketua memanggilmu. Kau dipersilahkan datang dan masuk!”

Chi Koan melonjak. "Suhu di dalam?"

"Aku hanya mendapat perintah saja, Chi Koan. Silahkan masuk dan suaramu telah didengar!"

Chi Koan tertawa. Usahanya berhasil dan ia menang. Tujuh susioknya tentu tak berani menampakkan diri dan bakal merah padam bertemu dengannya. Ia tahu bahwa ia dibohongi dan karena itu dalam membaca ayat-ayat kitab sucipun ia banyak menyinggung tentang ini, bahwa kebohongan tak layak dilakukan murid Buddha, apalagi hwesio-hwesio seperti susioknya itu, yang sudah mengenakan jubah!

Dan ketika Chi Koan memasuki pintu gerbang dan langkahnya yang gembira disambut mata haru oleh hwesio-hwesio lain, yang telah mendengarkan dan melihat anak muda ini rupanya telah jauh berbeda dengan di masa kanak-kanaknya maka di undak-undakan anak tangga itu Chi Koan telah disambut seorang hwesio tinggi besar yang bukan lain ketua Go-bi. Beng Kong Hwesio sendiri!

“Suhu...!”

Beng Kong Hwesio bersinar. Ia telah mendengar syair-syair yang dibaca anak muda ini, suaranya nyaring melengking dan karena itu mengganggu ketenangan. Tapi karena yang dibaca adalah ayat-ayat kitab suci dan Chi Koan membacanya dengan lantang dan penuh semangat, juga indah maka hwesio itu tak tahan dan akhirnya bertanya siapakah murid Go-bi yang kelewat semangat itu. Dan para hwesiopun lalu menjawab apa adanya, tak berani bobong karena telah disentil ayat-ayat kitab suci oleh Chi Koan. Cerdik pemuda itu! Dan ketika Beng Kong Hwesio terkejut mendengar bahwa itulah muridnya Chi Koan, bocah yang dulu itu meninggalkan Go-bi maka hwesio ini bertanya kenapa tak dibawa menghadap padanya. Apa maksud muridnya itu.

"Ji-susiok mencegah dan melarangnya masuk. Selebihnya kami tak tahu sebab-sebabnya.”

"Begitukah? Panggil susiokmu itu. Suruh menghadap ke mari!"

Ji-hwesio akhirnya muncul. Sang suheng bertanya dan langsung saja muka hwesio ini merah. Maklum, ia berkali-kali juga disentil ayat-ayat kitab suci yang dibaca Chi Koan itu. Dan karena ia tak dapat mengusir pemuda itu karena sebelumnya juga sudah menyuruh tunggu di luar, pemuda itu menepati janji dan tinggal di sana maka hwesio ini salah tingkah antara gusar dan malu, juga bingung. Dan sekarang ia dipanggil ketua!

“Hm, kenapa Chi Koan tak kau ijinkan bertemu aku?” Beng Kong langsung menegur. "Dan kenapa kau bohong mengatakan aku pergi, sute? Padahal bukankah aku di sini?”

“Maaf,” Ji-hwesio langsung menjawab. “Aku sengaja tak memperkenankannya masuk karena ingat peristiwa dulu, suheng. Bukankah gara-gara anak ini maka Go-bi mengalami kekacauan. Pinceng tak mau menerimanya karena takut dia membuat onar lagi!"

“Hm, tapi ia muridku, pernah menjadi muridku. Sebenarmya putusan tentang ini di tanganku, bukan di tanganmu. Lagi pula aku juga ingin bertemu dengannya. Ia bocah pemberani dan mengagumkan!"

"Suheng hendak menerimanya?"'

“Kenapa tidak? Go-bi tak perlu takut kepada siapapun, sute. Ada aku di sini. Panggil dan suruh ia masuk!"

Ji-hwesio sudah menduga Ia berkerut kening tapi mengangguk, menyatakan bahwa kalau ada apa-apa itulah tanggung jawab sang ketua. Dan ketika Beng Kong tertawa dan berseru tak usah takut, kenapa sutenya itu bernyali kecil maka Ji-hwesio dengan wajah mendongkol dan suram menyuruh orang lain membuka pintu gerbang. Dan itulah yang terjadi, pemuda ini sekarang sudah berhadapan dengan gurunya, ketua Go-bi sendiri!

“Suhu!”

Chi Koan memanggil untuk kedua kali. Ia girang dan gembira bukan main melihat gurunya sendiri menyambutnya di situ, di anak tangga teratas di mana beberapa hari yang lalu tujuh susioknya menolak. Dan ketika pemuda itu menjatuhkan diri berlutut dan Beng Kong kagum melihat muridnya yang sekarang, gagah dan tampan serta tegap maka hwesio ini serak suaranya ketika memanggil, keharuan tiba-tiba juga mengusiknya. Maklumlah, pemuda ini pernah dekat dengannya.

"Chi Koan, kau... kau ini? Kau sekarang sudah dewasa dan besar begini? Hm, naiklah, Chi Koan. Coba lompati sebelas anak tangga ini apakah kau sanggup!"

Chi Koan berseru keras. Akhirnya ia mengangguk dan melompati sebelas anak tangga itu, tahu bahwa gurunya sedang mengujinya. Ilmu-ilmu yang dulu didapat sekarang diperlihatkan. Tapi ketika hanya sepuluh anak tangga saja yang dilampaui dan untuk anak tangga kesebelas ia terbentur, roboh, maka sang guru menyambar dan Beng Kong Hwesio tertawa bergelak.

"Ha-ha, kurang tenaga, Chi Koan. Kepandaianmu masih rendah!"

"Maaf," pemuda ini merah dan berlutut di kaki gurunya. “Teecu hanya melatih ilmu-ilmu yang dulu kau berikan, suhu. Selanjutnya hanya itu-itu saja yang teecu hapal, termasuk ayat-ayat suci. Suhu gagah benar menjadi ketua Go-bi. Mana susiok-kong Ji Beng Hwesio?"

“Hm, ia telah tewas. Tak usah bicara tentang itu. Mari masuk dan lihat anak-anak murid lain menonton!"

Chi Koan mengangguk. Sambutan gurunya ternyata menggembirakan dan inilah yang dimaui. Tujuh susioknya boleh memusuhi tapi gurunya jangan. Dan ketika ia kagum bahwa suhunya benar-benar telah menjadi pemimpin Go-bi, ia diangkat dan disambar ke dalam maka di ruang tertutup guru dan murid sudah saling duduk berhadapan. Chi Koan bersimpuh dengan amat hormatnya.

"Teecu mendengar kesaktian suhu yang luar biasa, mengagumkan. Orang-orang kang-ouw memuji suhu dan teecu turut mengucap selamat bahwa suhu telah menjadi tokoh paling ditakuti. Selamat, suhu. Teecu mengucapkan selamat dan ikut gembira sekali!"

“Ha-ha, apa kata orang?"

"Suhu menjadi manusia super, tokoh amat sakti. Dan teecu telah mendengar bahwa dedengkot Heng-san telah dikalahkan suhu!"

“Ha-ha, Siang Kek dan Siang Lam memang bukan tandingan gurumu sekarang. Tapi apalagi yang kau dengar?"

"Uwah, banyak suhu, banyak sekali. Terutama kesaktian suhu ketika menghadapi dedengkot Heng-san itu. Tapi apakah benar bałwa ketika dikeroyok suhu katanya terdesak. Sukong (kakek guru) muncul dan akhirnya mengusir mereka itu?"

"Hm, memang betul. Tapi itu dulu. Sekarang enam tahun telah lewat, Chi Koan. Dan aku yakin mampu merobohkan dua kakek itu, biarpun mengeroyok. Apa maksudmu datang ke sini dan ke mana saja kau gentayangan selama ini?"

“Teecu merasa sial,” Chi Koan tiba-tiba berlinang air mata, menangis. “Enam tahun teecu terlunta-lunta, suhu. Dan enam tahun itu pula teecu mengalami hinaan dan sakit hati. Teecu tak tahu bahwa suhu sekarang menduduki pimpinan Go-bi. Kalau tahu begitu tentu waktu-waktu itu juga teecu kembali ke sini. Ah, dan kepandaian teecu direndahkan orang, suhu. Karena itu teecu ke sini dan minta perlindungan suhu!"

Chi Koan tiba-tiba mengguguk. Ia berkata bahwa selama ini ia pergi tak tentu arah, bertemu perampok atau begal-begal kasar dan ia menjadi bulan-bulanan. Tadinya ia mengancam bahwa ia adalah murid Go-bi, terlebih lagi adalah murid Beng Kong Hwesio yang dimalui orang. Tapi karena ia tak sempat lagi mengenyam gemblengan gurunya, waktu itu gara-gara Peng Houw ia keluar dari Go-bi maka pemuda ini menutup bahwa seminggu yang lalu ia menjadi cemoohan Lutung Hitam, menjadi bulan-bulanan pukulan.

“Lihat, memar dan biru-biru ini akibat tendangannya. Teecu dipermainkan sesuka hati. Apakah suhu mau membiarkan saja teecu begini dan yang lebih menyakitkan lagi adalah si Lutung Hitam itu terbahak-bahak mengejek nama suhu!”

"Apa yang dia katakan? Siapa orang ini?”

"Dia pemimpin rampok yang membawahi seratus orang, suhu. Teecu kebetulan lewat di sana tapi dihajarnya. Dia menghendaki teecu menjadi kekasihnya dan menggebuki teecu yang menolaknya. Dan dia berkata bahwa dia tak percaya kalau teecu adalah murid suhu. Lagi pula, ini yang menyakitkan, diapun menantang suhu dan tak takut meskipun suhu ada di depannya!”

“Hah, berani dia bicara begitu? Perampok di mana dia itu? Jauhkah dari sini?”

“Cukup jauh, suhu, karena di sekitar Go-bi tentu tak ada perampok. Lutung Hitam itu tinggal di hutan di luar kota Lok-yang. Tiga hari perjalanan dari sini!”

"Hah, aku menempuhnya satu jam saja. Siapa yang menempuh tiga hari?"

“Teecu yang menempuhnya. Tapi masa suhu hanya satu jam saja!"

"Ha-ha, tak ada perjalanan jauh yang harus kutempuh berhari-hari, Chi Koan. Aku memiliki Ilmu Kilat Menyambar Matahari. Dengan kepandaianku Lui-thian-to-jit (Kilat Menyambar Matahari) ini aku dapat menempuh Lok-yang hanya satu jam saja. Hm, lalu bagaimana dengan Lutung Hitam itu. Apakah kau minta aku menghajarnya?”

"Suhu mau merendahkan diri seperti itu? Ah, tidak. Teecu tak rela, suhu. Daripada suhu yang maju lebih baik suruh seorang murid Go-bi saja. Tapi teecu ingin agar teecu sendiri yang membalas sakit hati ini. Bagaimana kalau suhu mengajari teecu sejurus dua ilmu silat yang lebih tinggi. Jelek-jelek kan teecu murid suhu. Apa kata orang kalau murid Beng Kong Hwesio sedemikian lemahnya. Apalagi suhu sekarang telah menjadi pemimpin Go-bi dan nama besar suhu sungguh menggetarkan dunia kang-ouw!"

“Hm, betul... betul..." hwesio ini mengangguk-angguk, rasa sayang dan congkaknya tiba-tiba timbul. "Kau tak boleh membuat malu aku, Chi Koan. Tapi karena enam tahun kau meninggalkan aku maka tentu banyak pelajaran yang tertinggal. Tak mungkin dalam satu dua hari kau jadi pandai!"

"Ah, teecu akan giat berlatih. Teecu tak mau bermalas-malasan. Dan yang lebih penting, teecu tak mau kalah dengan Peng Houw!"

"Apa?”

"Benar, apakah suhu tak ingat bahwa Peng Houw mengikuti Giok Kee Cinjin? Dan tosu ini jelas lebih lihai daripada Tujuh Siluman Langit, suhu. Kalau menghadapi Lutung Hitam saja teecu kalah apalagi menghadapi Peng Houw. Hancur nanti nama suhu. Dan sia-sia pembelaan suhu selama ini ketika suhu harus bermusuhan dengan mendiang supek Lu Kong Hwesio!"

Sang guru tertegun. Muka yang tadi biasa mendadak berubah, ada rasa kaget dan terkesiap di situ. Chi Koan benar. Dan ketika hwesio ini teringat permusuhannya dulu-dulu, dengan mendiang suhengnya gara-gara murid maka Beng Kong tepekur dan Chi Koan tiba-tiba membenturkan dahinya ke lantai, tak menyia-nyiakan kesempatan baik.

"Suhu, teecu datang semata sebenarnya untuk menjaga nama baik suhu, bukan merusaknya. Suhu tentu akan malu dan marah kalau teecu yang menjadi murid suhu harus berkali-kali mengalami hinaan dan lecehan orang. Teecu menyadari kepandaian teecu yang amat rendah begini, dan karena itulah kemudian datang dan ingin mendapat gemblengan suhu lagi. Kalau suhu tak menurunkan lagi ilmu-ilmu suhu tentu teecu akan tetap menjadi bahan tertawaan orang, padahal suhu sekarang sudah menjadi ketua dan tokoh Go-bi yang sakti. Apakah teecu harus membuat malu suhu? Apakah teecu harus mandah saja diinjak dan dipermainkan orang? Dan teecu tentu tak mau kalah dengan Peng Houw, suhu. Kalau ia menjadi murid Giok Kee Cinjin tentu teecu sudah bukan tandingannya lagi. Dan arwah supek Lu Kong Hwesio tentu tergelak-gelak di sana. Sekarang terserah suhu dan silahkan suhu pikir baik-baik!"

“Hm-hm!" hwesio ini mengurut-urut dagunya, mata bersinar-sinar. "Tadi sudah kau perlihatkan kepandaianmu yang rendah itu, Chi Koan. Dan aku tahu. Tapi kau harus berlatih luar biasa rajinnya untuk mengejar ketinggalanmu enam tahun. Apakah kau sanggup kugembleng non-stop? Beranikah kau menjalani latihan berat yang akan kuberikan kepadamu?"

“Ah, kenapa takut, suhu? Dibanting sampai mati pun teecu tak takut, apalagi pekerjaan berat yang harus teecu jalani. Teecu sanggup, dan detik ini juga suhu boleh suruh teecu lakukan apa saja!”

"Ha-ha, inilah yang mengagumkan hatiku. Kau tetap pemberani dan penuh semangat, Chi Koan. Kau pantas menjadi satu-satunya murid pinceng. Ha-ha, coba lakukan push-up seribu kali!”

“Menaik-turunkan tubuh? Baik, teecu akan melaksanakannya, suhu. Tapi mungkin baru keseratus teecu akan roboh.Tak apa, teecu akan mengulangi dan mengulangi lagi!" dan ketika dengan berani dan tidak tawar-menawar pemuda ini melakukan push-up, seperti perintah gurunya.

Maka Beng Kong berseri melihat tekad dan semangat muridnya ini, Chi Koan memang keras hati dan keras kemauan, pemuda ini memang luar biasa. Dan ketika ia mulai menaik-turunkan tubuhnya namun pada hitungan keseratus ia gemetar dan mulai menggigil, tak kuat, maka benar saja iapun tiba-tiba roboh. Namun pemuda ini bangun lagi, meneruskan hitungannya namun belum sepuluh roboh lagi. Dan ketika empat kali ia melakukan itu dan tangan tak dapat dipakai menekan, seluruh sendi dan otot-otot terasa kejang maka pemuda ini pingsan dan ambruk di depan suhunya.

“Ha-ha, hebat, Chi Koan. Luar biasa. Kau tetap keras kemauan dan penuh semangat. Tapi bangunlah, minum obat penyegar ini dan sekarang turuti perintah-perintah pinceng!"

Beng Kong Hwesio menyadarkan muridnya, menotok dan memberikan sebutir pil hijau dan Chi Koan mula-mula merintih. Ia membuka mata dan pening, kepala rasanya berputar-putar tapi begitu dijejali obat ia pun merasa segar Chi Koan berdiri dan tertawa. Hebat pemuda ini, ia tak merasakan sakitnya lagi, mau meneruskan push-upnya namun sang guru mencegah. Beng Kong mengangkat dan menyuruhnya berdiri. Dan ketika pemuda itu berdiri dan menyeringai, tekad atau semangatnya sungguh besar maka Beng Kong menepuk-nepuk pundak muridnya.

"Cukup... cukup. Aku telah tahu kekuatanmu. Hm, tak aneh. Pantas seorang rampok bisa merobohkanmu. Eh, mulai hari ini kau belajar Lui-thian-to-jit ku, Chi Koan. Seminggu saja gerakanmu akan secepat kilat menyambar. Dan dengan itu kau pasti dapat mendahului lawan dan dengan sekali gaplok kau dapat merobohkannya!”

"Ilmu meringankan tubuh? Bukan ilmu silat?"

"Ha-ha, kau ingin cepat-cepat menghadapi si Lutung Hitam itu atau tidak?"

"Tentu saja. Tapi aku butuh ilmu silat, suhu, bukan ilmu meringankan tubuh!"

"Bodoh, ilmu meringankan tubuh amat penting. Dengan itu kau melatih kecepatan. Untuk ilmu silat tentu saja kau tak mungkin dapat menerimanya kalau hanya seminggu saja. Buat menggaplok seorang perampok tenagamu cukup. Tapi kalau tak diimbangi ginkang tetap saja kau kalah. Hayo, mulai ini saja dan lakukan lima ratus kali!" sang guru melempar sebuah tali, menyuruh muridnya lompat tali tapi Chi Koan tak membantah.

Hanya sejenak saja ia tertegun tapi tali itupun segera disambarnya, melompat dan menghitung-hitung sebagaimana layaknya orang bermain tali. Sepintas Beng Kong Hwesio rasanya memberi ilmu murahan. Tapi ketika limaratus kali mulai didapat dan sang guru menyuruhnya seribu, dilaksanakan dan berhasil maka berturut-turut Chi Koan disuruh lompat tali sebanyak tiga ribu kali! Pemuda ini mandi keringat namun hebatnya ia tak mengeluh. Paling-paling ia roboh, kalau tak kuat. Dan ketika sang guru mengawasi dan tertawa-tawa, murid yang satu ini memang tahan uji maka sebuah beban tiba-tiba dilemparkan ke atas pundak pemuda itu.

“Baik, ini besi lima belas kilo. Teruskan dan tambah lompatan sampai lima ribu!"

Chi Koan melotot. Besi terlempar di pundaknya dan tentu saja ia bertambah beban. Sang guru tak perduli dan tetap saja menyuruh meneruskan latihan. Chi Koan menggigit bibir. Dan ketika ia meneruskan lompat talinya dan hitungan ke empat ribu sudah membuat ia gemetar tak keruan, lutut ke bawah seakan hendak copot-copot maka sang guru terbahak dan memacu sang murid agar terus dan terus.

"Lima ribu kali, itu perintahku. Tidak boleh lebih atau kurang. Kalau kurang harus diulang!"

“Bab... baik!" pemuda ini basah kuyup, pusing mulai kembali mengganggu. "Tee... teecu tak akan berhenti, suhu. Kalau berhenti biarlah roboh!"

"Ha-ha, betul. Lebih baik roboh daripada menyerah kepada hitungan!"

Si pemuda mandi keringat. Ia pucat namun terus memaksakan diri. Kalau saja tak ada besi di atas pundaknya itu tentu ia berhasil. Tapi karena suhunya menambahi beban dan beban ini di tengah-tengah hitungan, ketika tenaga sudah benyak terkuras maka Chi Koan mendelik ketika hitungan menginjak empat ribu lima ratus. Ia terus melompat dan melompat tapi seratus hitungan lagi tiba-tiba ia terjungkal. Keadaan sungguh payah.

Namun karena ia pemuda keras hati dan keras kemauan, Beng Kong lagi-lagi kagum akan semangat muridnya ini maka Chi Koan bangkit lagi dan coba meloncat tali. Tapi hitungan ke lima puluh lagi-lagi ia terguling. Dicoba lagi namun hitungan ke dua puluh lima roboh. Dan ketika Chi Koan mencoba bangkit namun besi di atas pundaknya itu menimpa kepala, pemuda ini mengeluh maka iapun pingsan!

"Ha-ha, bagus sekali, Chi Koan. Luar biasa. Ah, pinceng kagum kepadamu dan kau pantas menjadi murid pinceng. Ha-ha, sekarang beristirahatlah!" kali ini Beng Kong menyambar muridnya, menotok dan mengurut dan sebotol arak digosok-gosokkan ke seluruh tubuh pemuda itu, terutama kedua kakinya. Dan ketika tak lama kemudian pemuda itu membuka mata namun merintih kejang, Beng Kong mengurut dan menotok lagi maka sang guru menepuk aliran darah di belakang punggung.

“Tak usah takut, tak usah khawatir. Pinceng ada di sini tapi besok latihan harus dilanjutkan lagi. Ingat, kau sudah harus menguasai dasar-dasar Lui-thian-to-jit kalau ingin mengalahkan si Lutung Hitam. Tanpa ilmu silat apapun kau pasti menang, asal menguasai ilmu meringankan tubuh ini!”

“Dasar? Ini... ini baru dasar melatih Lui-thian- to-jit itu, suhu?"

"Ya, kau kira apa? Menguasai ilmu ini paling tidak setahun dua, tergantung kecerdasan otakmu. Tapi kalau seminggu saja dasar-dasar ilmu meringankan tubuh ini kau kuasai maka Tujuh Siluman Langit pun tak perlu membuatmu gentar!”

“Maksud suhu aku dapat mengalahkannya?"

"Ha-ha, bukan begitu. Maksudku adalah kau tak akan tertangkap kalau dikejar. Mana bisa kau mengalahkan mereka hanya dengan menguasai dasar-dasar ilmu meringankan tubuh ini. Yang kumaksud adalah kalau kau ingin lari untuk menyelamatkan diri!”

"Oohhh!” dan Chi Koan yang mengangguk-angguk tapi segera berseri mukanya lalu mengiyakan dan mendengarkan semuanya kata-kata guru. Tujuh Siluman Langit bukanlah orang-orang sembaragan. Kalau seminggu saja ia telah menang untuk "balapan lari", ilmu paling ampuh untuk menyelamatkan diri maka dapatlah dibayangkan betapa hebatnya ilmu ginkang yang dipunyai gurunya itu.

Belajar satu minggu saja sudah berani diadu dengan orang-orang kang-ouw kelas satu menunjukkan ilmu ginkang itu bukanlah ilmu sembarangan. Ia tak boleh melecehkan! Dan ketika hari itu Chi Koan istirahat untuk memulihkan tenaga, keesokannya disuruh mengulang dan berhasil maka pemuda ini girang bukan main karena beban lima belas kilo di atas pundaknya dengan gampang dilalui. Lima ribu hitungan!

“Ha-ha, aku berhasil, suhu. Lihat lima ribu lompatan kujalani. Beban ini tak menggangguku!"

"Bagus, tapi jangan ketawa dulu. Lihat kutambah!" sang hwesio melempar sepotong besi lain, menimpa dan jatuh di pundak yang lain dan Chi Koan terkejut. Ia disuruh meneruskan lompat talinya lagi dengan dua beban. Ada tigapuluh kilo yang harus dibawa. Dan ketika ia bergerak lagi dan terkejut, beban itu mengganggunya maka sang guru tertawa dan berseru bahwa boleh dia melakukan lima ribu lompatan lagi.

“Gila, aku... aku tak mungkin kuat! Paling-paling seribu lagi sudah roboh!"

"Kalau begitu harus kau ulang dan ulang lagi, Chi Koan. Masih ada empat besi yang menunggu gilirannya!"

“Empat besi? Jadi semua sembilan puluh kilo? Astaga, mati aku, suhu. Tapi tak apalah. Lebih baik mampus daripada gagal....wut-wut!” dan Chi Koan yang kembali lompat tali dengan dua beban di pundak akhirnya gemetar dan pucat menghitung-hitung hitungannya. Mula-mula ia bertahan tapi akhirnya gemetaran, roboh dan mencoba lagi tapi ternyata pada hitungan ke seribu ia ambruk.

Pemuda ini benar-benar tak kuat. Dan ketika sang guru berkelebat dan melempar arak obatnya, tertawa dan berkata bahwa sang murid harus mengulang dan mengulang maka hari kedua Chi Koan berkutat dengan dua beban di pundak kiri kanannya ini. Ia tak kenal lelah dan semangatnya sungguh besar. Pemuda ini betul-betul mengagumkan. Dan ketika baru pada hari ketiga ia berhasil, arak obat dipakai untuk mengatasi kejang-kejang.

Maka pada hari keempat dan kelima Beng Kong Hwesio menambah dua kepingan besi lagi, masing-masing di kiri kanan pundak hingga kini beban sembilan puluh kilo menekan pemuda itu. Hebat bukan main. Chi Koan sampai jatuh bangun dan pingsan dua kali. Latihan gurunya sungguh-sungguh berat. Tapi ketika pada hari ketujuh ia mampu membawa semua beban itu, tiga besi terletak di masing- masing pundaknya maka Beng Kong Hwesio tiba-tiba tertawa bergelak dan... melompat di atas pundak muridnya ini.

"Bagus, sekarang coba bergerak dengan membawa gurumu, Chi Koan. Coba mampukah kau atau tidak!"

Sang pemuda terkejut. Ia tak menyangka bahwa gurunya kini menggantikan piring-piring besi itu. Bobot gurunya juga tak kurang dari seratus kilo! Tapi karena ia telah digembleng dengan beban sembilan puluh kilo dan kelebihan sepuluh kilo tak jadi soal, pemuda ini tertawa maka ia bergerak dan sudah mulai lompat-tali.

“Baik, mari coba-coba, suhu. Tapi awas tersangkut taliku!"

Sang guru tertawa bergelak. Beng Kong telah menekan pundak muridnya ini dan tentu saja meloncat ketika tali menyambar. Ia naik turun ketika sang murid bergerak naik turun pula. Dan ketika sang Hwesio menambah bebannya dengan jejakan kuat, setiap hinggap tentu berat tubuhnya bertambah maka Chi Koan terkejut juga karena bobot yang seratus kilo itu menjadi hampir dua kali lipat. Setiap gurunya meloncat dan hinggap lagi di kedua pundaknya maka tekanan telapak kaki ini serasa menindih. Ia bertahan dan untung mulai terlatih. Dan ketika ia menghitung satu demi satu lompat-talinya, sang guru naik turun di atas pundak maka hitungan limaribu juga dilewati dengan enteng.

Akibatnya sang hwesio gembira bukan main sementara sang murid berseri-seri. Chi Koan tak merasa berat lagi. Aneh. Bahkan ia meneruskan hitungannya pada lompatan keenamribu. Dan ketika ia terus bergerak dan bergerak sementara sang guru kagum bukan main, hanya seminggu saja pemuda ini telah mampu menguasai dasar- dasar Lui-thian-to-jit maka Beng Kong terbahak dan meloncat turun.

"Cukup, sekarang kita ke Lok-yang, Chi Koan. Cari musuhmu itu dan lihat betapa dengan amat mudah kau akan mengalahkan si Lutung Hitam itu!"

"Sekarang juga?"

"Ya, bukankah cukup? Tujuh hari sudah kau berlatih, dan sekarang praktekkan ilmumu itu!”

Chi Koan tersenyum. Ia mengangguk dan sang suhupun berkelebat keluar, diikuti dan para murid tiba-tiba terbelalak ketika dua bayangan melesat bagai iblis. Guru dan murid meluncur begitu cepatnya di depan anak-anak murid Go-bi. Dan ketika Beng Kong menghilang di luar pintu gerbang, sementara Chi Koan juga melayang dan berjungkir balik melewati pintu gerbang, para murid ternganga maka mereka takjub melihat gerakan anak muda ini.

"Omitohud, itu Chi Koan-sute. Bukan main, tubuhnya secepat kilat!”

“Dan, ia menyambar tanpa kuketahui siapa. Omitohud... lihat ia sudah terbang di sana!”

Semua hwesio takjub. Chi Koan, yang baru saja melewati pintu gerbang tahu-tahu sudah jauh di ujung gurun. Pemuda itu tampak merupakan titik biru sementara Beng Kong Hwesio dengan jubahnya yang kuning menyala itu, kecil dan lenyap untuk akhirnya membuat para murid bengong. Seminggu saja digembleng sang ketua mendadak Chi Koan sudah berubah. Begitu hebatnya! Dan ketika Chi Koan sendiri berjajar dan sudah berlari di samping gurunya, tertawa, maka ia coba mendahului namun gagal.

“Ha-ha, jangan coba-coba. Kalau aku mau tentu kau yang tertinggal di belakang. Kepandaianmu masih taraf di sini, tapi sudah cukup mengagumkan!"

"Masa? Aku tak dapat mendahuluimu, suhu? Ah, biar kucoba dulu... haiittt!" dan Chi Koan yang bergerak dan melengking nyaring, coba mendahului sang guru tiba-tiba bergerak mengerahkan segenap kekuatannya untuk terbang. Setelah tujuh hari digembleng dengan beban puluhan kilo maka Chi Koan sekarang merasa betapa enteng dan ringannya tubuhnya itu. Tanpa beban sedikitpun ia serasa punya sayap. Tapi ketika ia terbang dengan kecepatan penuh, sang guru dilirik dan masih saja ada di sampingnya maka pemuda ini mandi keringat karena gagal.

“Hebat, aku tak mampu mendahuluimu, suhu. Tapi coba buktikan bahwa kau sebenarnya mampu mendahului aku!"

"Eh, tidak percaya? Omitohud, pinceng akan membuktikan, ha-ha...!” dan sang hwesio yang berkelebat mengebutkan ujung bajunya tiba- tiba mendesir dan mendahului sang murid, cepat dan luar biasa hingga tahu-tahu sudah ratusan meter di depan. Chi Koan terkejut dan tancap gas namun masih tak mampu mengejar. Dan ketika sang guru menoleh dan tertawa bergelak, kembali mengebutkan jubah maka Beng Kong Hwesio lenyap dan menghilang di dalam hutan.

“Ha-ha, coba berapa lama kau memasuki hutan iní, Chi Koan. Tapi pinceng sudah akan di luar!”

Chi Koan terbelalak. Ia benar-benar kagum tapi tak mau menyerah, membentak dan mengerahkan segenap tenaga untuk menuju hutan. Ia coba berpacu. Tapi ketika ia memasuki hutan ternyata gurunya sudah di luar, ia basah kuyup maka pemuda ini mengakui bahwa gurunya memang hebat luar biasa.

“Suhu, aku menyerah. Kau benar-benar hebat. Sekarang jangan tinggal aku lagi dan biar kau tetap di sampingku!"

"Ha-ha, sudah menyerah?"

"Ya, menyerah. Kau hebat dan aku kalah!”

"Ha-ha, tapi kaupun mengagumkan. Seminggu saja sudah mampu seperti ini. Wah, tujuh susiokmu sendiri tak akan mampu mengejarmu!"

“Benarkah?”

"Tentu saja benar. Aku tak usah bohong dan mari teruskan perjalanan!"

Chi Koan berseri. Ia telah dapat mengalahkan tujuh susioknya dan itu dirasa membanggakan, meskipun hanya untuk “balap lari”. Dan ketika ia tertawa dan kembali sudah berendeng dengan gurunya, hutan dan gunung dilalui dengan cepat maka orang-orang kampung atau dusun yang melihat kelebatan tubuh mereka tersentak mengira ada hantu berseliweran.

“Eh, apa itu. Bayangan apa yang baru saja lewat di sisi tubuhku ini!"

“Benar, dan itu mereka. Eh, lenyap dan hilang lagi!"

“Setan... siluman. Jangan-jangan hantu yang kesiangan!"

“Hiihhh, tubuhku mengkirik. Tolong.... tolong!" dan empat orang yang berteriak melempar pikulannya, jatuh dan lari lagi akhirnya membuat dusun atau kampung yang dilalui dua orang ini gempar. Mereka berteriak-teriak tentang hantu sementara Chi Koan dan gurunya tertawa-tawa di sana. 

Beng Kong bahkan mengeluarkan tawa yang menggetarkan bukit, berderak dan memantul dan orang-orang dusun tunggang-langgang. Mereka mengira gempa bumi, Chi Koan terpingkal-pingkal. Dan ketika dusun demi dusun dilewati cepat, juga beberapa kota kecil yang semua terbeliak dan ngeri oleh kelebatan bayangan dua orang ini, Chi Koan yakin akan kepandaiannya maka empat jam kemudian mereka tiba di hutan di mana kepala rampok itu berada.

"Nah, ini dia. Kita berhenti di sini suhu, dan harap kau menyembunyikan diri."

“Ha-ha, kau sudah mantap?"

“Sudah, aku yakin dan akan kuhajar lutung keparat itu!"

“Baik, dan setelah itu tingkatkan ilmu meringankan tubuhmu ini. Kita masih terlalu lama tiba di sini. Seharusnya satu jam saja sudah cukup. Baik, hadapi musuhmu itu dan biar pinceng bersembunyi... slap!" sang hwesio lenyap, untuk kesekian kalinya lagi sang murid menjadi kagum namun Chi Koan tak mau membuang-buang tempo. Ia tak perduli kepada tubuhnya yang mandi keringat padahal gurunya biasa-biasa saja. Setetes pun keringat tak ada di wajah gurunya itu! Dan ketika Chi Koan memasuki hutan dan benar saja beberapa rampok muncul keluar, mereka menghadang dan membentak maka semuanya terkejut melihat pemuda tampan ini.

"He, kau ini. Ada apa dan kenapa datang lagi ke mari. Apakah ingin bertemu Hek-twako dan minta dihajar?"

“Ha-ha, benar. Barangkali minta dicambuk pantatnya dan dijungkir!"

“Hm,” Chi Koan tersenyum dan tenang-tenang saja. “Kalian tak usah cecowetan seperti monyet. Mana Hek-twako itu dan suruh dia keluar. Cepat, aku ingin menggebuk dan menampar pantatnya!”

"Apa? Kau berani...?”

“Tak usah banyak mulut. Kalau kalian cerewet biar kalian dulu yang kuhajar. Nah, lihat... plak-plak-plak!" dan Chi Koan yang berkelebat dan mengerahkan ilmu ginkangnya tiba-tiba dengan mudah menampar enam perampok, menendang dan merekapun menjerit tunggang-langgang. Apa yang terjadi di sini sungguh berbeda dengan apa yang terjadi beberapa hari yang lalu. Beberapa hari yang lalu pemuda itu malah menjadi bulan-bulanan mereka, dihajar dan dipukul dan akhirnya babak-belur disoraki orang banyak.

Kini keadaan tiba-tiba berbalik dan merekalah yang dihajar pemuda itu. Gerakan Chi Koan terlampau cepat dan tahu-tahu semua roboh terpelanting. Pemuda itu seperti kilat menyambar. Dan ketika mereka roboh dan berteriak-teriak, kecepatan pemuda itu tak dapat diikuti mata maka Chi Koan sudah berhenti dan berdiri di depan mereka, bertolak pinggang.

“Nah, apa kataku. Siapa yang ingin dihajar dan menerima tamparanku lagi?"

Enam perampok terkejut. Mereka melompat bangun dan terkejut membelalakkan mata. Pemuda ini seperti siluman! Namun karena beberapa hari yang lalu pemuda itu tak sehebat sekarang dan para perampok ini masih tak percaya, mereka penasaran dan marah membentak nyaring maka masing-masing sudah mencabut senjata dan Chi Koan tertawa melihat ini. Tubuhnya tadi benar-benar ringan dan enteng seolah beterbangan!

"Ha-ha, minta tambah? Baik, majulah, tikus-tikus busuk. Dan lihat tuanmu menghajar kalian!"

Enam perampok berteriak marah. Mereka menerjang dan golok membacok dengan amat ganas. Geraknya cepat, kalap. Tapi karena Chi Koan sudah berlatih Kilat Menyambar Matahari dan gerakan enam orang itu dinilai lamban, pemuda ini mendahului dan membentak tanpa banyak cakap maka enam orang itu dihajarnya dan mereka berteriak melihat pemuda ini tahu- tahu menghilang. Gerakan Chi Koan amatlah cepatnya dan lagi-lagi mereka tak dapat mengikuti.

Senjata berdentingan sendiri dan saat itulah tamparan atau tendangan pemuda ini mengenai wajah atau perut mereka. Semua menjerit dan terlempar roboh. Dan ketika masing-masing mengaduh dan Chi Koan tertawa bergelak, dengan mudah ia merobohkan enam perampok itu maka perampok-perampok lain berdatangan dan muncul. Mereka itu mendengar teriakan atau jerit temannya, bayangan-bayangan berkelebatan dan tahu-tahu lima puluh orang sudah mengepung. Dan ketika Chi Koan mengerutkan kening namun tidak gentar, ia tersenyum dan tertawa lagi maka perampok-perampok itupun tertegun menudingnya.

“Ini bocah dulu itu. Heii, ia datang dan mengacau lagi. Tangkap, serahkan kepada Hek-twako!"

"Benar, ini si tampan yang lembut itu. Tangkap dia, serahkan kepada Hek-twako!”

“Ha-ha!” Chi Koan bersikap jumawa, hasilnya tadi membesarkan hati. “Aku datang justeru untuk menghajar orang she Hek, tikus-tikus busuk. Mana dia itu dan suruh keluar. Ayo, ini Chi Koan yang akan mencabut bulu-bulunya!"

“Eh!" semua melengak. "Bocah ini berani benar. Ia sombong. Tapi ia telah merobohkan enam kawan kita!"

"Dan aneh bahwa ia mampu melakukan itu, padahal beberapa hari yang lalu dikeroyok dua saja jatuh bangun!"

"Panggil saja Hek-twako. Biar dia dibentak roboh!”

“Ha-ha, panggillah dia,” Chi Koan menjawab, tak kecil hati. "Aku yang akan membentaknya roboh, tikus-tikus busuk. Dan akan kutiup ia menghadap Giam-lo-ong!”

“Tangkap dia, serang!" namun orang-orang itu yang marah mendengar kata-katanya lalu membentak dan menerjang. Lima orang bergerak namun Chi Koan mengelak, dikejar dan mengelak lagi dan lima orang itu terkejut karena tubuh pemuda ini licin bagaikan belut. Setiap jari akan menerkam tiba-tiba saja luput, si pemuda lolos dan heranlah mereka juga yang lain-lain. Dan ketika Chi Koan semakin melihat bahwa gerakan orang-orang itu amatlah lambannya, ia dapat bergerak jauh lebih cepat maka ia membalas dan kaki tangannya bereaksi melepas tendangan atau tamparan.

"Ha-ha, ini untuk kalian. Bagus, mari kuberi satu-satu...des-dess!" lima orang itu terjungkal, roboh dan menjerit tapi Chi Koan tidak berhenti di situ saja. Ia ingin membuat orang-orang itu ketakutan dan berkelebatlah tubuhnya ke kelompok yang lain, yang menonton. Dan ketika dengan Lui-thian-to-jitnya itu ia beterbangan dan menyambar-nyambar, membagi pukulan atau tendangan mendadak hutan itu ribut oleh pekik dan jerit kesakitan.

“Aduh, siluman!"

“Mati aku.... des-dess!"

Lima puluh perampok kalang-kabut. Mereka tiba-tiba berteriak dan menjerit satu sama lain begitu Chi Koan berkelebatan di antara mereka. Tak ada satu pun yang dapat mengikuti karena Chi Koan sudah berubah menjadi bayangan biru yang menyambar-nyambar dengan amat cepatnya. Ginkang warisan Beng Kong Hwesio bukan tandingan anak buah rampok. Dan ketika sebentar saja lima puluh tubuh bergelimpangan merintih-rintih, Chi Koan tertawa bergelak maka terdengar geram dan seorang tinggi besar muncul diikuti empat puluh anak buah baru. Itulah si Lutung Hitam!

"Hargh, apa yang kau lakukan ini? Siapa kau.... eh, kau rupanya!" Lutung Hitam, yang bermuka hitam dan bertelanjang dada menghentikan pertanyaannya. Ia kaget melihat anak buahnya bergelimpangan tapi kekagetannya berobah menjadi heran besar melihat Chi Koan. Tentu saja ia mengenal pemuda ini, bocah yang dulu hendak dipaksanya menjadi kekasihnya itu. Lutung Hitam adalah seorang homo. Dan ketika ia menjublak dan heran serta takjub, pemuda ini sudah menjadi demikian luar biasanya mendadak ia tertawa bergelak dan menerkam Chi Koan, hendak dipeluk.

"Ha-ha, hebat, bocah. Tapi kau semakin pantas menjadi kekasihku. Kemarilah, aku jatuh cinta lagi kepadamu!”

Namun Chi Koan mengelak. Tentu saja ia tak membiarkan diri diterkam laki-laki itu karena sekali kena tentu sukar baginya melepaskan diri. Ia belum diajari ilmu silat tangguh, yang diperoleh barulah ilmu meringankan tubuh. Dan ketika ia mengelak dan lawan berseru kaget, gerakan pemuda itu amatlah cepatnya maka Chi Koan sudah di belakang dan menepuk pundak lawannya itu. “Hei, aku di sini, Lutung Hitam. Ke mana kau mencari aku?"

Laki-laki itu membalik. Ia kaget dan heran namun menerkam lagi, kali ini lebih cepat disertai umpatan. Ia kaget, juga marah. Tapi ketika untuk kedua kalinya lagi pemuda itu menghilang dengan cepat, ia tak tahu di mana maka tiba-tiba telinganya dijewer dan Chi Koan menampar kepalanya. Mulai belas dendam.

“Lutung buruk, aku di sini. Ke mana kau mencari? He, lihat... plak-plak!"

Si Lutung berteriak. Ia kaget karena ditampar dan dijewer membalik dan menerkam lagi namun pemuda itu seperti siluman. Ditubruk atau diterkam berapa kalipun luput. Selalu mendahului gerakannya. Dan ketika Lutung Hitam menjadi marah karena Chi Koan menendang dan mulai mempermainkan dirinya, menampar atau mencabuti kumisnya maka laki-laki ini berteriak dan mencabut golok lebar, golok seperti gergaji!

“Hei, jangan mendelong saja. Serang dan bunuh pemuda ini. Bantu aku!”

Empat puluh laki-laki bergerak. Mereka tadi dibuat bengong dan takjub akan gerakan-gerakan pemuda ini, semakin cepat diserang semakin cepat pula mengelak. Tapi begitu sang pimpinan membentak dan mereka kaget, sadar, maka empat puluh perampok itu menerjang dan berteriak-teriak mencabut senjata. Namun Chi Koan justeru semakin gembira. Ia mempraktekkan ginkang gurunya dan benar saja gerakannya amatlah cepat. Seratus kali diterkam seratus kali itu pula luput. Ia melihat bahwa gerakan orang-orang ini amatlah lambat, itu soalnya.

Dan ketika ia dikeroyok dan Lutung Hitam dicabuti kumisnya, mencak-mencak dan marah bukan main maka Chi Koan tertawa dan ia mendahului orang-orang itu. Tubuhnya beterbangan den menyelinap di bawah hujan golok, menyodok atau menyikut dan orang-orang itupun berteriak. Paling tidak mereka terpelanting. Dan ketika Chi Koan terbahak dan mulai mengayunkan tamparan atau tendangan maka empat puluh orang yang semula melompat bangun dan menyerang lagi tiba-tiba mengaduh dan terlempar menjerit keras.

Mereka dipukul dan pingsan, Chi Koan merebut sebatang golok dan dengan gagang dibalik ia menghantami orang-orang itu, kontan mengaduh! Dan ketika sebentar kemudian puluhan tubuh bergelimpangan merintih-rintih, sama dengan yang pertama maka tinggallah si Lutung Hitam sendiri, tanpa kawan.

"Ha-ha, bagaimana sekarang? Maukah kumismu kau cabuti sendiri atau aku yang mencabut?”

Si pemimpin terbeliak. Seperempat dari kumisnya sudah dicabuti dan bawah hidungnya berdarah. Waktu dicabut sakitnya bukan main tapi waktu diejek menjadi lebih sakit lagi. Lutung Hitam mendelik! Dan ketika ia meraung dan goloknya menerjang ganas, Chi Koan mengelak dan dibacok lagi maka pemuda yang sekarang memiliki ilmu meringankan tubuh mengagumkan ini berseru, cukup menggoda.

"Lutung Hitam, sekarang kaupun robohlah. Lihat ini pukulan dariku dan menyerah atau tidak?”

Lutung Hitam membelalak. Ia telah belasan kali membacok dan menusuk namun luput semua. Tubuh pemuda itu selalu mendahului sebelum angin sambaran goloknya tiba. Dan ketika kini pun ia luput dan terhuyung ke depan, hampir saja terjelungup maka pemuda yang dibencinya itu muncul di samping kirinya dan sekali Chi Koan merenggut maka sisa kumis laki-laki tinggi besar ini tertarik semua, berteriak dan kaki pemuda itupun tak tinggal diam. Chi Koan menendang dan telak mengenai lambung. Dan ketika laki-laki itu menjerit dan terlempar roboh, serangan Chi Koan kali ini amatlah kerasnya maka laki-laki itu mengeluh dan melipat perutnya, mengaduh dan merintih tak keruan.

“Aduh... bluk-dess!”

Chi Koan menyelesaikan pertandingan. Sekarang pemuda ini muncul lagi dan berdiri tegak bertolak pinggang. Wajahnya berseri-seri, lawan melipat punggung dan setengah pingsan oleh tendangannya tadi. Meskipun tak mematikan namun membuat Lutung Hitam kelenger, ia benar-benar jera. Dan ketika Chi Koan bertanya apakah dia bertobat, yang dijawab minta ampun maka Chi Koan menyuruh agar mencium kakinya seratus kali.

"Nah, lakukan seperti dulu kau memerintah aku. Cepat atau nanti kuinjak-injak!”

“Ampun... ampun, Chi-siauwhiap. Aku benar-benar bertobat. Tapí... tapi aku tak dapat menggerakkan tubuhku. Disuruh merangkak saja tak kuat!"

“Aku tak perduli. Kau harus berjalan ke sini dan tunduk mencium kakiku. Cepat, atau nanti hukuman bertambah!”

“Perutku sakit... ususku melilit-lilit!"

“Kau masih banyak cakap? Hm, kalau begitu kupenggal kepalamu, biar tahu rasa!"

Chi Koan menakut-nakuti orang, menendang dan menyambar golok lawan dan Lutung Hitam ngeri. Ia pucat dan gentar, tentu saja tak mau dibunuh. Dan ketika apa boleh buat ia harus berjalan tapi roboh merintih-rintih, merangkak dan mendekati pemuda itu maka dengan susah payah ia mencium kaki Chi Koan seratus kali. Chi Koan tertawa dan tergelak-gelak, kakinya diangkat naik menginjak kepala lawan. Dan ketika begitulah dulu lawannya mempermainkan dirinya, menendang dan memukul.

Maka Lutung Hitam yang malu disaksikan anak buahnya ini hampir mati oleh hinaan. Ia tak sanggup menaik turunkan tubuhnya seratus kali, baru tujuh puluh kali saja ia sudah roboh, pingsan. Dan ketika Chi Koan tertawa dan menendang lawannya itu, anak buah rampok terbelalak gentar maka Chi Koan meninggalkan tempat itu seraya mengancam bahwa siapa yang coba-coba membalas dendam akan dihajarnya lebih berat. Ia berada di Go-bi dan siapapun boleh datang kalau ingin dapat pelajaran.

Sesosok bayangan kuning berkelebat dan muncullah Beng Kong Hwesio yang tinggi besar. Dan ketika hwesio itu terbahak menyambung kata-kata muridnya, berseru bahwa para perampok akan dibunuh kalau macam-macam lagi maka hwesio ini mengibaskan lengan bajunya dan seratus orang itu terlempar dan terangkat naik beterbangan ke atas dahan-dahan pohon, tersangkut dan nyangsang jungkir balik.

“Ha-ha, betul. Siapa main-main dengan muridku akan dibunuh. Pergilah kalian... bres- bress!"

Puluhan tubuh tersapu bagai disambar angin puyuh, berteriak dan nyungsang tak keruan di atas pohon sementara Lutung Hitam sendiri berkeratak tulang lehernya disambar pukulan jarak jauh hwesio sakti ini. Chi Koan terkejut tapi tertawa-tawa. Lutung Hitam ternyata tewas! Dan ketika hwesio itu pergi sementara muridnya juga lenyap, para perampok saling tolong menurunkan tubuh maka barulah mereka tahu kalau pimpinan mereka itu tewas, tulang lehernya patah! Guru dan murid tiba-tíba menjadi momok dan semua ketakutan. Go-bi ternyata benar-benar berada di belakang pemuda itu. Sial ketemu musuh tangguh!

Dan ketika mereka pucat dan gentar dihajar pemuda ini, nama Chi Koan menjadi bisik-bisik di antara perampok maka Chi Koan sendiri pulang bersama gurunya dengan kepercayaan besar yang melipatkan keberanian. Sekarang ia benar-benar yakin bahwa kesaktian gurunya benar benar amat luar biasa. Baru berlatih ilmu meringankan tubuhnya saja sudah dapat dipakai menghajar seratus orang, padahal kepandaian itupun baru dipelajarinya hanya seminggu.

Dan ketika kepercayaan ini menjadikan keberanian Chi Koan berlipat-lipat, ia cerdik dan pandai mengambil hati gurunya maka beberapa bulan kemudian pemuda ini telah memperdalam Lui- thian-to-jitnya itu. Bersama itu diturunkan pula ilmu-ilmu silat penyambung enam tahun yang lalu. Hubungan guru dan murid kembali berjalan.

Pada dasarnya Beng Kong Hwesio ini memang nenyukai muridnya. Sejak dulu pemuda ini amat disayang, karena Chi Koan terkenal pemberani dan nakal, kenakalan yang disuka hwesio itu karena dianggapnya sebagai lambang kejantanan. Begitulah seharusnya seorang anak laki-laki tulen, nakal dan agresif!

Dan ketika enam bulan kemudian Chi Koan telah menguasai penuh ilmu meringankan tubuh Kilat Menyambar Matahari ini, Beng Kong terbelalak karena seharusnya ilmu itu dipelajari dalam waktu setahun atau dua tahun maka sang hwesio kagum dan geleng-geleng kepala. Menganggap muridnya ini luar biasa cerdas!

“Ha-ha, setan dangkalan. Kau ini luar biasa sekali, Chi Koan. Enam bulan saja Lui-thian-to-jit sudah kau lalap habis. Wah kau murid luar biasa. Heran benar bahwa Go-bi mempunyai murid seperti ini. Kalau sukongmu tahu tentu beliau akan mendecak kagum!"

“Hm, teecu ada kesempatan bertemu sukong? Hal yang langka, suhu, tak mungkin. Tapi alangkah girangnya kalau sukong mau menemui teecu!"

“Wah, tak usah berpikiran macam-macam. Sukongmu bertapa, akupun sekarang tak berani mengganggunya. Sudahlah, kau pelajari ilmu-ilmu dariku dan mungkin Cui-pek-po-kian ini dapat kau andalkan!”

“Ilmu Meggempur Tembok?"

“Ya, yang dulu diandalkan susiok-kong-mu Ji Beng Hwesio."

"Dan Thai-san-ap-ting, suhu. Kapan aku dilatih ilmu silat ini?”

"Hm, silat Gunung Thai-san Tindih Kepala? Kau akan mempelajarinya juga, Chi Koan. Tapi tergantung semangatmu berapa lama kau mewarisi Cui-pek-po-kian. Kau harus melatihnya satu per satu dulu."

"Teecu pasti akan melatihnya, dan teecu akan tekun belajar. Teecu kira tiga bulan saja sudah sanggup!"

“Tiga bulan? Ha-ha, aku sendiri bertahun-tahun menguasai Cui-pek-po-kian ini, Chi Koan. Jangan bersombong dengan mengatakan tiga bulan berhasil. Eh, buktikan omonganmu itu dan biar kulihat!”

“Suhu boleh buktikan. Tapi bagaimana kalau tiga bulan benar-benar berhasil? Ilmu apalagi yang hendak diberikan kepada teecu?”

"Weh, kau seperti kuda kelaparan? Kenapa begini antusias? Ha-ha, masih banyak ilmu-ilmuku, Chi Koan. Go-bi tak kekurangan ilmu. Kau boleh pilih apa saja kalau kata-katamu benar!”

"Bagaimana kalau Hok-tee-sin-kun Silat Penakluk Dunia)?" "Apa?”

“Maaf, suhu,” Chi Koan tiba-tiba menunduk, menjatuhkan diri berlutut. "Konon katanya dari segala ilmu-ilmu Go-bi yang paling hebat adalah Hok-tee-sin-kun itu. Suhu telah mempelajarinya, dan suhu ternyata menjadi hebat bukan main. Kalau teecu boleh mempelajari itu tentu teecu akan girang bukan main. Tapi terserah suhu...”

“Hm," sang suhu terkejut, muka sedikit berubah. “Dari mana kau tahu ilmu ini, Chi Koan. Siapa yang bilang?"

"Yang bilang adalah anak-anak murid Go-bi. Dulu mereka melihat kesaktian ini diperlihatkan sukong."

“Hm, benar, tapi itu adalah ilmu rahasia. Kau tak boleh melatihnya karena amat berbahaya. Ilmu itu tak boleh dimiliki oleh lebih dari dua orang!"

“Maksud suhu bahwa sekarang yang memilikinya ini adalah suhu dan sukong? Karena sukong masih hidup?"

“Benar, Chi Koan, dan aku tak berani melanggarnya. Sudahlah, tak usah bicara tentang ini karena menguasai Cui-pek-po-kian dan Thai-san-ap-ting saja kau sudah akan menjadi hebat bukan main. Tak akan ada tokoh-tokoh kelas satu mampu menandingimu!"

“Tapi suhu masih tak mampu menghadapi keroyokan Siang Kek Cinjin dan Siang Lam Cinjin!"

"Ah, mereka dedengkot Heng-san. Umurnya hampir seratus tahun!"

"Itulah, dan aku pasti kalah menghadapi mereka, suhu. Biarpun menguasai Cui-pek-po- kian maupun Thai-san-ap-ting!"

"Tidak, kalau kau berhadapan satu lawan satu."

"Tapi dulu nyatanya mereka mengeroyok suhu!"

"Hm, dulu mereka penasaran kepadaku, Chi Koan. Dan aku juga menantang mereka agar maju berdua!”

“Dan teecu juga ingin melakukan itu!”

“Apa? Ha-ha, jangan gila, Chi Koan. Kau baru saja belajar silat. Kau baru menyambung kembali ilmu-ilmu yang dulu putus!”

“Teecu ingin menjunjung tinggi nama Go-bi, suhu. Kalau setengah-setengah menimba ilmu percuma saja. Teecu ingin seperti suhu, terkenal dan ditakuti orang!"

Beng Kong Hwesio tertawa bergelak. Tiba-tiba saja dia geli karena semangat muridnya ini dinilai berlebihan. Baru belajar ilmu beberapa bulan saja sudah ingin mengalahkan Siang Kek dan Siang Lam Cinjin, dedengkot Heng-san. Dan ketika dia terbahak dan menampar muridnya, geli, maka hwesio itu berkelebat dan menyuruh muridnya berlatih.

"Gila, congkak tapi mengagumkan. Ha-ha, latih saja Cui-pek-po-kian itu, Chi Koan. Dan buktikan kepadaku bahwa tiga bulan saja kau mampu menguasainya. Hayo, tak usah besar mulut dan nanti kita bicara lagi!"

Pemuda itu terhuyung. Ia ditampar pundaknya dan terdorong, membelalakkan mata namun gurunya lenyap. Rasa gemas dan penasaran melanda hatinya. Ia ingin ilmu hebat itu, Hok-tee-sin-kun! Tapi karena gurunya tak mau mengajari dan sedikit rahasia terdapat di situ, bahwa Hok-tee-sin-kun tak boleh dimiliki oleh lebih dua orang, hanya gurunya dan sukongnya itu yang memiliki Hok-tee-sin-kun maka Chi Koan mengepal tinju dan seberkas cahaya licik menyambar di matanya. Ia akan melakukan sesuatu untuk memiliki ilmu itu. Ia akan berusaha supaya Hok-tee-sin-kun jatuh ke tangannya.

Dan satu di antara segala cara adalah dengan membujuk dan menyenangkan gurunya, ia harus pandai mengambil hati maka Chi Koan bergerak dan janji kepada gurunya akan dibuktikan. Ia telah diajari tentang Cui-pek-po-kian dan itu akan dilatihnya tiga bulan saja. Selanjutnya ia akan meminta Thai-san-ap-ting dan setelah itu mengerjakan sesuatu. Sebuah akal muncul di benaknya. Akal licik juga culas dan keji. Dan ketika pemuda itu tersenyum dan Go-bi tak tahu apa yang akan dilakukan maka Chi Koan memasuki kamarnya dan di situ ia tak keluar-keluar.

Tiga bulan pemuda ini mengunci kamar dan Beng Kong terheran-heran menyaksikan sikap muridnya. Desir angin menyambar-nyambar di dalam kamar itu dan hwesio ini takjub ketika dilihatnya sang murid berlatih Cui-pek-po-kian, siang malam tak kenal henti dan akhirnya tiga bulan tepat dinding tergetar dan robohlah kamar itu oleh sebuah pukulan angin dahsyat. Hiruk-pikuk membuat murid-murid Go-bi terkejut dan semua berkelebatan.

Kamar pemuda itu ambruk dan Chi Koan tertimpa puing-puing, tertindih namun keluar dengan wajah berseri-seri, mengibas dan semua murid-murid Go-bi terpental. Mereka yang hendak menolong malah terlempar! Dan ketika teriakan kaget dan seruan mengguncang sana-sini, Pat-kwa-hwesio berkelebat dan muncul maka Beng Kong juga tertegun dan sudah berdiri di situ.

"Ha-ha, berhasil, suhu. Lihat dinding kamarku roboh!”

"Apa yang kau lakukan?" Ji-hwesio tiba-tiba membentak, marah. Selama ini mengkhawatirkan gerak-gerik Chi Koan dan keakraban bersama suhengnya. Dia cemas dan khawatir karena beberapa kali ia melihat sinar licik di mata pemuda ini. Ada sesuatu yang disembunyikan pemuda itu namun ia tak tahu apa. Dan ketika hiruk-pikuk di kamar pemuda itu mengundang semua orang, ia kaget dan marah maka dibentaknya pemuda itu.

Namun Chi Koan memandang susioknya ini dengan senyum mengejek, dingin dan tak acuh, cepat menghampiri suhunya dan berlutut di situ. "Suhu, aku telah membuktikan kepadamu. Lihat, Cui-pek-po-kian kulatih hanya dalam waktu tiga bulan saja. Mana sekarang Thai-san-ap-ting seperti yang kau janjikan. Aku ingin membawa tinggi nama Go-bi!"

“Ha-ha!” lain Beng Kong Hwesio lain pula sute-sutenye. "Kau hebat dan mengagumkan, Chi Koan. Tapi bukti ini belum cukup. Yang kau serang adalah benda mati, bukan barang hidup. Kau tak dapat menagih kalau betul-betul belum meyakinkan!”

“Suhu menyuruh teecu apalagi? Lihat, para suheng di sana itu, suhu. Mereka kukibas roboh. Aku benar-benar telah menguasai Cui- pek-po-kian!"

"Ha-ha, mereka murid-murid lemah. Coba kau terima pukulanku dan seberapa kuat Cui-pek-po-kianmu. Awas!"

Sang hwesio bergerak, menyambar dan tahu-tahu lengan jubahnya menghantam sang murid. Pukulan Cui-pek-po-kian juga dilepaskan dan Pat-kwa-hwesio serta anak-anak murid Go-bi terbelalak. Mereka kaget karena Chi Koan ternyata melatih Cui-pek-po-kian, dan hebatnya hanya tiga bulan saja sudah menguasai. Padahal murid-murid tingkat utama harus bertahun-tahun tak ada yang mampu. Dan ketika Chi Koan diserang dan pemuda itu menangkis, Chi Koan mengerahkan tenaganya maka Cui-pek-po-kian beradu dengan Cui-pek-po-kian pula.

"Dess!”

Anak-anak murid terpelanting. Adu tenaga yang amat hebat itu benar-benar membuktikan kelihaian Chi Koan. Anak muda ini mampu menahan pukulan gurunya, tergetar dan sedikit terdorong dan bukan main bangganya sang guru. Beng Kong Hwesio tertawa bergelak memperlihatkan kepada sute-sutenya bahwa muridnya ini benar-benar orang pilihan. Lihat saja ia mampu menahan pukulannya. Dan ketika hwesio itu berseri sementara Ji-hwesio dan enam adiknya mengerutkan kening, bermuka gelap maka Chi Koan yang tahu ketidak senangan tujuh susioknya ini berseru, berani dan menantang.

"Suhu, agaknya ada orang lain yang rupanya masih meragukan Cui-pek-po-kian ku. Mungkin dianggapnya suhu tadi tak sepenuh tenaga mencoba aku. Bagaimana kalau aku membuktikan ini kepada para suheng atau orang-orang itu....?"