Prahara Di Gurun Gobi Jilid 16 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Serial Prahara Di Gurun Gobi Karya Batara

"KAU mau pamer?"

"Bukan, suhu, melainkan meyakinkan hati suhu bahwa ilmuku ini betul-betul sudah kukuasai. Bagaimana kalau orang-orang yang tak puas dipersilahkan maju dan teecu menghadapi dengan Cui-pek-po-kian ini?”

"Ha-ha, boleh saja. Siapa yang tak percaya!"

"Barangkali Ji-susiok dan enam susiok yang lain....”

"Bocah sombong!” Ji-hwesio tiba-tiba membentak dan tak dapat menahan diri, berkelebat. "Kau tak perlu menyindir-nyindir kami, Chi Koan. Boleh aku maju dan biar kulihat kepandaianmu. Awas!" dan belum yang lain terkejut dan hilang kagetnya, Chi Koan menyindir susioknya ini maka Ji-hwesio sudah menyambar dan tidak tanggung-tanggung melepas pukulan. Jubahnya dikebut dan Chi Koan diserang. Angin menderu dan Beng Kong terbelalak, muridnya disambar. Tapi karena hwesio ini telah menjajal muridnya dan ia percaya, tadi Chi Koan mampu menahan pukulannya maka sang hwesio tertawa bergelak dan mundur.

“Dess!” Chi Koan menangkis dan membuat kejutan. Untuk kedua kali ia memamerkan tenaganya dan sang susiok yang tadi ragu tiba-tiba berseru keras. Tak dapat disangkal, hwesio ini memang meragukan Cui-pek-po-kian pemuda itu, mengira bahwa terjadí main sandiwara antara guru dan murid. Bahwa suhengnya tadi mungkin tak sepenuh hati mencoba Chi Koan dan kini dihantamnya pemuda itu. Namun ketika sang pemuda menangkis dan ia terpental, kaget dan menyambar turun lagi dengan pukulan kedua maka Ji-hwesio melancarkan serangan seakan tak percaya.

"Chi Koan, coba terima sekali lagi!"

Pemuda itu tersenyum. Ia telah beradu tenaga dan hasilnya sungguh menggembirakan. Susioknya terpental. Maka ketika ia dicoba lagi dan sang susiok tampak penasaran, kurang percaya maka Chi Koan menambah tenaganya dan kali ini sang susiok roboh terbanting.

“Dess!” Benturan kali ini lebih dahsyat daripada tadi. Chi Koan mempergunakan delapan persepuluh bagian tenaganya dan Ji-hwesio tiba-tiba menjerit. Cui-pek-po-kian yang belum sepenuhnya mampu dikendalikan ternyata berakibat hebat bagi hwesio itu. Tenaga Chi Koan terlampau dahsyat. Dan ketika sang hwesio terbanting dan muntah darah, menggeliat dan roboh maka dua gebrakan itu saja Ji-hwesio pingsan!

“Omitohud...!" enam saudara yang lain berseru tertahan. Mereka tak menyangka dan berkelebatan datang.

Beng Kong juga terkejut dan kaget oleh kehebatan muridnya ini. Chi Koan sungguh luar biasa! Tapi ketika ia bergerak dan mencelat maju, membentak muridnya kenapa mencelakai paman guru maka Beng Kong mencengkeram dan membanting muridnya ini. "Chi Koan, apa yang kau lakukan?"

Chi Koan menjerit. Berhadapan dengan sang guru tentu saja ia kalah, ilmunya baru Cui-pek-po-kian. Dan ketika ia terbanting bergulingan dan pucat berteriak tertahan, gurunya bergerak dan sudah menolong sang paman maka Beng Kong cepat menyalurkan sinkang dan menjejalkan obat ke mulut sutenya. Untung ia ada di situ dan dapat memberikan pertolongan. Kalau tidak, mungkin jantung sutenya ini bisa pecah!

Dan ketika Ji-hwesio siuman dan enam adiknya yang lain berkerumun, masing-masing juga menyalurkan sinkang maka luka dalam yang dialami tak sampai merenggut nyawa. Semua murid terbelalak sementara Chi Koan sendiri berlutut menghadap gurunya. Ia juga tak tahu akibat itu. Pukulannya kiranya terlalu keras! Namun ketika Ji-hwesio membuka mata dan suhunya membalik maka Beng Kong merah padam membentak muridnya ini.

“Chi Koan, apa yang kau lakukan? Berani benar kau melukai susiokmu!"

"Ampun....!” Chi Koan gemetar, namun wajahnya berseri-seri, aneh! “Teecu... teecu tak sengaja, suhu. Teecu sudah menguasai Cui-pek-po-kian namun belum mampu mengendalikan tenaganya. Tadi susiok mencoba ulang dan teecu menambah kekuatan, mengira susiok kuat. Tapi ketika begini akibatnya dan teecu tak tahu maka teecu mohon ampun atau boleh dihukum kalau teecu salah!”

"Hm, kau tak sengaja?"

"Suhu lebih tahu daripada teecu. Teecu baru keluar kamar, ini latihan terakhir. Kalau teecu sudah tahu dan mampu mengendalikan tenaga tentu teecu berhati-hati. Mohon suhu ampuni!"

Beng Kong tertegun. Sebagai orang yang banyak pengalaman dan ilmu-ilmu tinggi tentu saja dia tahu dan dapat menerima alasan muridnya itu. Chi Koan baru keluar kamar dan dapat dipahami kalau dia belum mampu mengendalikan tenaga. Apalagi dilihatnya sutenya tadi masih penasaran dan ingin mengulang, dikira kuat dan akibatnya pemuda itu menambah tenaga. Tapi begitu sang sute terbanting dan inilah bukan kesalahan Chi Koan, pemuda itu mengira susioknya kuat bertahan maka hwesio ini mengangguk-angguk dan dapat menerima.

“Hm, baik, tepat. Tapi kau harus minta maaf kepada susiokmu. Kalau dia hendak menghukum tentu kau harus menerima!"

“Teecu akan menerima, kalau teecu memang salah...” dan ketika Chi Koan bangkit dan sinar mata gurunya tidak sebengis tadi, ada unsur pembelaan di kata-kata suhunya maka ia berlutut dan minta maaf di depan susioknya yang baru bangun itu. Ji-hwesio masih merasa berkunang-kunang.

“Susiok, teecu minta ampun kalau susiok terluka oleh pukulan teecu. Tadi pertama kali susiok dapat bertahan, teecu tak menyangka bahwa untuk yang kedua kalinya susiok tak tahan. Harap susiok ampuni teecu yang belum mahir benar mengendalikan tenaga Cui-pek-po-kian."

“Hm,” hwesio ini mengangguk-angguk, merah padam. "Pinceng dapat menerima kata-katamu, Chi Koan. Dan rupanya memang kesalahan pinceng sendiri. Tak apa, kau benar hebat tapi jangan sombong dengan kehebatanmu itu!”

"Teecu tak akan bersikap sombong, kalau teecu tak diganggu orang lain. Harap susiok maafkan dan terima kasih!”

“Nanti dulu," Sam-hwesio bergerak dan maju ke depan, sinar matanya berkilat. “Melihat ilmumu pinceng jadi gatal-gatal tangan juga, Chi Koan. Beranikah kau menghadapi kami berenam karena konon katanya kau telah menguasai pula Lui-thian-to-jit (Kilat Menyambar Matahari)!”

"Ah, teecu hendak dijajal lagi?"

"Kalau kau berani, Chi Koan, karena kami akan mengeroyok!”

"Teecu tak takut!" Chi Koan tertawa, bangkit meloncat. “Justeru semakin diuji teecu akan semakin senang, sam-susiok. Ini untuk kemajuan teecu sendiri dalam mendalami ilmu suhu. Teecu malah berterima kasih!"

"Kalau begitu kau bersiaplah. Ji-suheng tak dapat maju dan biarkan kami berenam saja!”

Sam-hwesio sudah bergerak dan memberi tanda adik-adiknya. Hwesio ini sendiri langsung mencabut toya dan Chi Koan tertegun, kelima hwesio yang lain juga tertegun tapi hwesio itu berseru agar semua mencabut senjata. Agaknya melihat kepandaian Chi Koan tadi sadarlah Sam-hwesio bahwa si pemuda sesungguhnya benar-benar hebat. Dalam beberapa bulan saja berguru di Go-bi sudah mampu merobohkan suhengnya dalam dua kali gebrakan saja. Ini bukan main-main! Dan ketika kelima adiknya mengangguk dan masing-masing sudah mencabut senjata, toya panjang kesukaan mereka maka enam orang itu bergerak dan Chi Koan sudah dikurung.

“Kau keluarkan senjatamu kalau ingin bersenjata. Barangkali gurumu telah menurunkan ilmu-ilmu bersenjata."

"Tidak," Chi Koan tersenyum, berseri-seri, "Teecu akan bertangan kosong saja, cuwi-susiok (paman-paman sekalian). Lagi pula suhu belum menurunkan permainan toya kepada teecu, baru ilmu Cui-pek-po-kian dan Lui-thian-to-jit itu!"

"Bagus, kalau begitu berhati-hatilah. Kami akan menyerang.... wut!” dan Sam-hwesio yang memulai serangannya tiba-tiba membentak dan tidak banyak bicara lagi. Ia harus menjaga kewibawaan dan semua murid melotot. Gerakan toya itu amatlah cepat tapi lebih cepat lagi Chi Koan mengelak.

Pemuda ini mempergunakan Lui-thian-to-jitnya untuk menghindar dari serangan paman guru, mengejutkan Sam-hwesio tapi hwesio itu berseru mengejar kaget. Kecepatan Chi Koan tadi membuatnya terkesiap. Dalam hal ginkang pun kiranya sang murid keponakan ini juga hebat! Dan ketika ia mengejar namun Chi Koan lagi-lagi berkelebat mendahului, lenyap dengan kecepatannya yang luar biasa itu maka dua kali serangannya luput dan Beng Kong Hwesio tertawa bergelak. Muridnya menunjukkan kepandaian mengagumkan.

“Ha-ha, kurang cepat gerakanmu, Sam-sute. Ayo sambar dan kejar lagi dia. Bagus, Chi Koan mampu mengimbangi kalian!"

Lima hwesio yang lain terbelalak. Mereka juga melihat luputnya serangan suhengnya itu namun masing-masing bergerak susul-menyusul. Barisan pat-kwa (segi delapan) kini dimainkan, meskipun hanya oleh enam orang saja karena dua suheng mereka tak ada. Yang pertama hilang entah ke mana sedang yang kedua masih baru sembuh dari bekas pukulan Chi Koan tadi.

Meskipun enam orang saja namun sesungguhnya cukup hebat. Mereka adalah murid-murid senior Go-bi yang sudah melatih ilmunya bertahun-tahun, bukan murid baru yang masih hijau. Dan ketika benar saja mereka bergerak saling susul dan ke mana Chi Koan berkelebat ke situ pula mereka mencegat maka Chi Koan terkejut karena dirinya tahu- tahu terkurung.

"Chi Koan, tunjukkan Cui-pek-po-kian mu itu. Hati-hati, jangan terlalu keras tapi juga jangan hanya mengelak saja!"

Beng Kong Hwesio, yang menonton pertandingan itu berseru dari luar. Ia melihat keadaan muridnya dan berseru memberi jalan keluar. Chi Koan mengangguk dan sudah melakukan ini. Betapapun pemuda itu juga cerdik dan tak mungkin mengelak saja. Sambaran enam toya amatlah hebat dan masing-masing menderu tak kenal ampun. 

Melihat angin sambarannya ada tanda-tanda bahwa Sam-hwesio dan adik-adiknya itu akan balas dendam. Mereka rupanya masih sakit hati akan robohnya suheng mereka, Ji-hwesio. Dan ketika Chi Koan harus bergerak cepat mengelak dan menangkis, kini apa boleh buat Cui-pek-po-kian nya harus bekerja maka enam hwesio berteriak karena mereka terpental mundur.

"Plak-plak-plak!"

Sam-hwesio dan adik-adiknya terdorong. Mereka pucat bahwa sinkang pemuda itu melebihi sinkang mereka sendiri. Sekarang mereka merasakan langsung Cui-pek-po-kian yang dipunyai pemuda ini. Namun ketika mereka penasaran dan justeru menjadi marah, suheng mereka tak ragu-ragu memberikan ilmunya maka kekhawatiran dan kegelisahan mereka meledak berbaur dengan benci. Chi Koan benar-benar rupanya disayang Beng Kong Hwesio!

"Chi Koan, kami akan bergerak dengan Angin Puyuh. Awas, hati-hati....!”

Chi Koan tertawa lebar. Setelah ia berkelebatan dan menangkis dengan Cui-pek- po-kian nya, keenam susioknya mundur dan terhuyung-huyung maka kepercayaan dirinya semakin besar, tebal. Ia tak takut ketika seruan itu dibentakkan dengan suara nyaring. Karena begitu keenam paman gurunya bergerak mempercepat serangan, deru dan sambaran toya berkesiur di atas kepalanya maka pemuda ini melejit dan tiba-tiba kedua tangannya mengibas semua toya-toya itu.

"Liok-wi-susiok, awas teecu menambah tenaga!"

Sam-hwesio dan adik-adiknya terbelalak. Mereka yang memberi tahu sekarang mereka yang ganti diberi tahu. Sepintas Chi Koan hendak menghina, mengejek. Tapi ketika benar saja dari lengan pemuda itu menyambar angin pukulan dahsyat di mana toya tiba-tiba tertahan dan tersentak di udara, pemuda itu melepas Cui-pek-po-kiannya maka Sam-hwesio dan kelima saudaranya kaget karena tubuh mereka tiba-tiba terangkat naik, tak dapat dicegah lagi.

"Heiii... bres-bres-bress!”

Enam hwesio itu jatuh bangun. Mereka telah mengeluarkan serangan lebih dahsyat tapi Chi Koan membalas tak kalah dahsyat, ini benar- benar luar biasa. Dan karena Cui-pek-po-kian pemuda itu memang hebat dan mereka telah merasakan, satu demi satu tak akan sanggup maka mereka terlempar dan jatuh bergulingan oleh kibasan angin pukulan pemuda ini. Chi Koan menambah tenaganya karena ia harus bertindak cepat. Keenam susioknya mengeluarkan silat Angin Puyuh di mana langkah-langkah pat-kwa-tin digerakkan secara rapi.

Namun karena mereka hanya berenam dan dua yang lain kosong, pat-kwa-tin tak dapat dilakukan seperti biasanya maka kekosongan inilah yang dilihat Chi Koan dan dengan cepat pemuda itu sudah melumpuhkannya. Chi Koan tak mau berlama-lama lagi karena dia sadar akan tekanan-tekanan berikut. Keenam susioknya begitu bersemangat menyerangnya dan ingin membalas kekalahan Ji-hwesio tadi, karena itu ia harus bergerak lebih cepat lagi guna mencapai kemenangan.

Dan karena ilmu meringankan tubuh Lui-thian-to-jit sudah dikuasai baik dan pemuda ini berkelebatan cepat melebihi gerakan burung menyambar-nyambar, Sam-hwesio dan lain-lain kalah cepat maka mereka harus mengakui keunggulan pemuda itu dihantam Cui-pek-po-kian. Tanpa Cui-pek-po-kian tak mungkin Chi Koan mampu mengatasi keenam susioknya, biarpun ia bergerak melebihi kecepatan burung menyambar-nyambar.

Dan karena justeru Cui-pek-po-kiannya itulah yang ditakuti paman-paman gurunya karena berkali-kali mereka tergetar dan terdorong mundur, setiap adu tenaga tentu mereka kalah maka kibasan pemuda itu membuat semua terlempar dan akhir dari pertandingan ini membuat enam senjata di tangan enam orang hwesio itu juga mencelat!

“Kalian kalah!" Beng Kong Hwesio tiba-tiba berseru dan tertawa bergelak. Enam sutenya mengeluh di sana. “Ha-ha, kalian kalah, Sam-sute. Chi Koan menang. Muridku telah mahir memainkan Cui-pek-po-kian maupun Lui-thian-to-jit!”

"Pinceng harus mengakui ini,” Sam-hwesio dan adik-adiknya terhuyung bangun, pucat. "Muridmu hebat sekali, suheng. Tapi tolong hati-hati agar tidak sombong!”

“Ha-ha, pinceng akan mengaturnya. Kalian tak perlu khawatir!" dan ketika hwesio itu berkelebat menepuk-nepuk pundak muridnya, dua kali Chi Koan memberi kebanggaan maka murid-murid Go-bi mendecak dan mereka sungguh takjub akan kemenangan Chi Koan ini. Murid yang baru beberapa bulan belajar itu sudah mampu mengalahkan Pat-kwa-hwesio.

Tapi karena yang menggembleng adalah Beng Kong Hwesio dan hwesio itu adalah tokoh sakti setelah Ji Leng Hwesio maka para murid mengangguk-angguk dan Chi Koan menyeringai lebar. Ia telah menunjukkan kepada gurunya hasil latihannya yang sungguh-sungguh. Gurunya tentu puas dan ia pun juga begitu. Dan ketika hari itu Chi Koan telah menunjukkan kehebatannya semua memuji dan bertepuk kagum adalah Ji-hwesio dan sute-sutenya berkerut dahi.

Mereka merasakan sendiri kehebatan pemuda ini dan justeru mereka semakin khawatir. Entahlah, ada perasaan tak tenang di hati mereka itu, juga tak senang. Tapi karena mereka sudah roboh dan selanjutnya adalah tanggung jawab suheng mereka Beng Kong Hwesio maka sesuai janji Chi Koan mendapat tambahan ilmunya dengan mempelajari Thai-san-ap-ting.

“Kau sudah cukup hebat, tapi akan lebih hebat lagi dengan mempelajari Thai-san-ap-ting. Mari, aku menepati janjiku, Chi Koan. Kalau tiga bulan kau juga dapat menguasai ilmu ini maka dunia sudah di tanganmu!”

"Masa? Di atas gunung masih ada gunung, suhu. Di atas langit masih ada langit. Teecu tak percaya."

"Eh, bukankah kau sudah mampu merobohkan ketujuh susiokmu?”

"Susiok tadi tak dapat dijadikan ukuran. Teecu ingin mengalahkan yang lebih tinggi dan lebih hebat, Siang Kek dan Siang Lam Cinjin itu misalnya!”

"Ha-ha, besar sekali semangatmu. Bagus, dengan gabungan Thai-san-ap-ting dan Cui-pek-po-kian ini kau pasti mampu mengalahkan mereka, Chi Koan, asal bertanding satu lawan satu. Sudahlah, pelajari Thai-san-ap-ting dan coba kulihat apakah tiga bulan lagi kau mampu menahan doronganku!"

Chi Koan girang. Selanjutnya ia disuruh mempelajari ilmu baru itu, mendapat kamar baru karena kamarnya yang lama hancur. Anak-anak murid memandang iri namun mereka tahu diri. Keberhasilan yang dicapai pemuda itu adalah karena bakatnya yang besar, juga kemauannya yang kuat. Dan karena mereka tak mampu melakukan seperti apa yang dilakukan pemuda itu, Chi Koan lain daripada yang lain maka tiga bulan penuh pemuda ini mempelajari Thai-san-ap-ting. Dia menutup pintu kamarnya dan seperti dulu juga dia tak mau diganggu.

Beng Kong berseri-seri. Kesungguhan muridnya itu mengagumkannya. Jarang ada murid yang seperti itu, dan lebih jarang lagi ada guru yang mempunyai murid seperti itu. Dan ketika bulan demi bulan dilalui lagi dan tepat tiga bulan Chi Koan melatih Thai-san-ap-ting maka dia membuat geger lagi karena tembok kamarnya pun jebol. Bahkan, tembok dapur juga roboh terkena gempuran angin pukulannya.

“Braakkkk....!”

Suara hiruk-pikuk itu mengejutkan murid- murid Go-bi. Mereka yang ada di dapur tunggang-langeng karena kamar Chi Koan tak jauh dari tempat ini. Pemuda itu mendapat tempat dibelakang. Dan ketika tembok runtuh dan puing-puing berserakan menimpa pemuda itu, yang di dapur juga tertimpa dan kejatuhan genteng-genteng tebal maka geger di dapur menjadi geger di seluruh Go-bi pula.

"Tolong... tolong.... ada setan kelaparan. Kami diamuk!"

“Hush, bukan setan, Pi Chek, melainkan Chi Koan. Dapur roboh karena tak kuat terkena getaran pukulannya. Lihat, di sana pemuda itu terkubur hidup-hidup!"

Para murid berhenti. Tadinya mereka menyangka ada hantu atau setan kelaparan, datang ke dapur dan marah-marah di situ. Tapi ketika semua menoleh dan melihat ke tempat Chi Koan, kamar itulah yang roboh lebih dulu dan getarannya menyambung ke dapur maka sama seperti dulu banyak mata melotot melihat pemuda itu terbenam di antara runtuhan puing, sampai ke kepala.

"Eh, mari kita tolong dia. Celaka!"

“Nanti dulu!" yang lain menahan, teringat peristiwa tiga bulan lalu. "Chi Koan berbahaya didekati, kauw-suheng. Ingat ketika dia dulu mengibas roboh anak-anak murid Go-bi. Sebaiknya lapor kepada pimpinan!”

"Benar, kita laporkan kepada ciangbunjin. Mari, kita cepat lapor..!"

Anak-anak murid berlarian. Mereka mau memberi tahu tokoh-tokoh Go-bi tentang kejadian itu. Robohnya dua tempat sekaligus terlalu hebat, tidak cepat lapor bisa kena marah. Tapi ketika bayangan Beng Kong Hwesio berkelebat dan mendorong murid-murid itu, terlempar dan berpelantingan maka hwesio itu sudah tegak berseri-seri di depan "kuburan" muridnya.

"Ha-ha, selesai, Chi Koan? Kau telah menguasai Thai-san-ap-ting?"

"Teecu telah bangkit!" Chi Koan berseru dan tertawa bergelak, sikap dan tawanya sudah mirip gurunya. "Lihat, suhu. Teecu akan membuang reruntuhan ini.... blarr!" dan ketika Chi Koan menggerakkan kedua tangannya dari dalam tanah, terbenam tapi mampu mengangkatnya naik maka batu dan benda-benda lain serta debu berhamburan keluar. Chi Koan menjejakkan kakinya dan pemuda itu meloncat, tinggi sekali. Dan ketika ia terbebas dan keluar dari timbunan, wajah dan pakaiannya coreng-moreng maka sang guru berkelebat dan tertawa menyeramkan.

"Chi Koan, awas pinceng mengujimu!"

Chi Koan terbelalak. Ia baru berjungkir balik melayang turun ketika tiba-tiba pukulan gurunya itu menyambar. Angin berkesiur dahsyat dan inilah Thai-san-ap-ting. Kekuatannya dengan Cui-pek-po-kian tak kalah dahsyat namun Chi Koan melengking menggetarkan gurun. Luar biasa, khikang atau ilmu suaranya tiba-tiba juga hebat sekali. Dan ketika semua anak murid terpelanting dan roboh menjerit, pekik atau lengking tadi bagai auman singa di padang pasir maka Chi koan menggerakkan kedua tangannya dan pukulan sang suhu ditangkis.

"Desss!”

Ledakan atau benturan itu amatlah hebatnya. Tujuh bayangan yang berkelebatan datang, Ji-hwesio dan adik-adiknya tiba-tiba berseru tertahan dan terlempar di udara. Anak-anak murid jangan ditanya lagi. Mereka mencelat dan masuk lagi ke dalam pendopo! Dan ketika teriakan dan jerit kaget terdengar di sana-sini, Chi Koan terpental tapi gurunya juga terhuyung dan tergetar maka Beng Kong tertawa bergelak dan menyerang lagi, di saat sang murid baru saja menginjakkan kaki.

“Bagus, hebat, Chi Koan. Tapi coba terima lagi pukulan pinceng dan kerahkan Thai-san-ap-ting!"

Chi Koan berseru keras. Ia baru saja meletakkan kakinya ketika tiba-tiba gurunya itu menyerang lagi. Di sana tujuh susioknya juga baru saja turun setelah terlempar di udara. Benturan mereka tadi amatlah dahsyatnya. Namun begitu sang guru membentak dan Chi Koan girang dapat mengimbanginya, ia kalah sedikit tapi mampu menghadapi pukulan maka dorongan gurunya itu diterimanya lagi, kedua tangan digerakkan ke depan, menyambut.

"Dess!”

Guru dan murid bergoyang-goyang. Chi Koan menahan urat-urat wajahnya ketika sang guru menambah tenaga, membentak dan membalas dan ganti wajah gurunya itu yang kemerah-merahan. Urat-uratnya menonjol dan Beng Kong kaget tapi juga girang bukan main. Kemajuan muridnya ini luar biasa pesat, hampir tak dapat dipercaya. Tapi ketika ia tertawa bergelak dan mengerahkan Hok-tee Sin-kang, bukan lagi Thai-san-ap-ting maka Chi Koan terlempar dan terbanting roboh. Sinkang Penakluk Dunia itu lebih dahsyat daripada Thai-san-ap-ting.

"Suhu!”

Sang guru terbahak-bahak. Ia telah merobah tenaganya secepat kilat dan muridnya yang belum berpengalaman itu terkecoh. Thai-san-ap-ting bukan lagi dilawan dengan Thai-san-ap-ting melainkan dengan pukulan sakti dari Hok-tee-sin-kun, isi terhebat dari kitab pusaka Bu-tek-cin-keng. Dan ketika Chi Koan terbanting dan menjerit di sana, tak menduga, maka Ji-hwesio dan lain-lain berkelebatan maju dan Chi Koan merintih.

"Aduh... apa yang kau keluarkan itu, suhu? Itu bukan Thai-san-ap-ting!"

“Ha-ha, itu Hok-tee Sin-kang. Aku tak dapat mengalahkanmu kalau tidak dengan Hok-tee Sin-kang. Ha-ha, hebat sekali kemajuanmu, Chi Koan. Sungguh mengagumkan dan pinceng memuji. Kau bocah siluman!”

Chi Koan bangkit terhuyung. Ia merasa senut-senut dan tujuh paman gurunya tertegun. Mereka telah melihat kehebatan pemuda ini dan Ji-hwesio semakin dalam berkerut kening. Kalau dulu ia tak dapat mengalahkan pemuda ini apalagi sekarang! Namun ketika tujuh orang itu bergerak dan sudah mendekati Chi Koan, Beng Kong juga berkelebat dan menolong muridnya itu maka hwesio ini berseru,

"Chi Koan, kau sudah pilih tanding. Ada kau di sini Go-bi semakin kuat. Wah, pinceng benar-benar puas!"

"Tapi teecu roboh.... ilmu teecu masih kalah dengan suhu....!”

“Hm, tak usah tamak," Ji-hwesio tiba-tiba menegur, suaranya keren. "Dengan kepandaianmu seperti ini kau harus sudah merasa puas, Chi Koan. Sebenarnya hanya murid pendeta yang boleh menerima pelajaran tinggi. Kau harus berterima kasih!”

Chi Koan melirik marah. Kalau tak ada gurunya di situ tentu ia akan tertawa dingin. Kalau perlu menghajar susioknya ini, orang yang dia tahu paling tak senang kepadanya. Tapi karena ada gurunya di situ dan sita-citanya masih belum berhasil, ia harus mengambil hati gurunya maka ia berlutut.

“Suhu, teecu berterima kasih bahwa kepandaianmu benar-benar diturunkan sepenuh hati. Dan teecu tentu saja tahu rasa terima kasih. Tapi kalau teecu dapat memiliki ilmu yang lebih tinggi lagi tentu teecu akan merasa girang. Go-bi dapat teecu bela secara habis-habisan!"

“Ha-ha, kata-kata susiokmu memang benar, kau bukan murid pendeta, kau murid biasa. Kalau tidak mengingat hubungan lama kita belum tentu aku memberikan semuanya itu. Sudahlah, kau mengagumkan semua orang, Chi Koan. Dan apakah mau kau menjadi murid pendeta?"

"Suhu hendak menyuruh teecu hidup berwadat (tidak kawin)? Suhu hendak minta teecu menggunduli rambut? Ah, tidak suhu. Untuk ini teecu tak sanggup. Teecu tak berpembawaan menjadi pendeta!"

“Tapi kau hapal semua isi kitab suci!”

"Hapal tinggal hapal, suhu. Tapi teecu tak ingin menjadi pendeta. Dan tak ada paksaan pula di Go-bi untuk menjadi hwesio. Teecu tak sanggup!”

"Kalau begitu cukup warisan suheng kepadamu," Ji-hwesio tiba-tiba nimbrung, kembali bicara. “Sebagai murid bukan pendeta kau sudah mendapat lebih, Chi Koan. Sekarang praktekkan ajaran Go-bi membela si lemah melindungi si miskin. Kau harus keluar!”

“Hm," Beng Kong terkejut, memandang sutenya. "Di sini pun tak apa-apa, sute. Kenapa harus keluar. Kalau Chi Koan dapat membantu murid-murid lain belajar silat tentu tenaganya dibutuhkan. Kenapa diusir?”

"Aku tak mengusir, aku hanya minta ia mengamalkan ilmunya!”

“Kebetulan sekali," Chi Koan berseru dan memotong, tahu susioknya itu takut ia mendapat tambahan ilmu-ilmu lagi. "Sudah kuputuskan untuk keluar sebentar, susiok. Kebetulan sekali kalau kau memerintahkan ini. Aku dapat mengamalkan ilmuku dan menjunjung Go-bi!"

“Kau mau pergi?" sang guru terbelalak, tahu pula kekhawatiran sutenya itu. “Eh, tak ada yang mengusir kalau kau suka di sini, Chi Koan. Tapi kalau mau pergi tentu saja boleh, asal tidak macam-macam!”

“Teecu ingin mendatangi beberapa tempat. Teecu ingin mengamalkan seperti apa yang dikata ji-susiok tadi. Kalau suhu merasa kepandaian teecu cukup biarlah hari ini juga teecu berangkat!"

"Ha-ha, kepandaianmu lebih dari cukup. Tapi coba beri tahu dulu siapa yang akan kau datangi itu. Apakah dapat diterima!”

“Teecu akan mencari Coa-ong dan kawan-kawannya. Teecu ingin menghajar mereka karena dulu mereka itulah yang megacau Go-bi. Juga musuh-musuh Go-bi yang lain!”

"Ha-ha, boleh. Tapi sifatnya hanya memberi pelajaran, Chi Koan. Aku tahu maksudmu yang ingin menguji kepandaianmu itu. Boleh, bagus.... pergilah!”

Tapi Ji-wesio berseru menahan. Hwesio ini terkejut karena nada dari suhengnya memberi kebebasan. Itu bisa berbahaya. Dan ketika ia berdehem dan berseru bahwa tindak-tanduk Chi Koan harus sesuai kebenaran, tak boleh pemuda itu membuat cemar Go-bi maka hwesio ini menutup.

"Jelek-jelek pinceng adalah paman gurumu. Meskipun pinceng kalah olehmu tapi bukan berarti kau tak boleh menghormati tetua Go-bi. Di sini masih banyak orang-orang tua yang harus kau hargai, selain suhumu. Nah, karena itu pinceng berpesan agar tindak-tandukmu sesuai kitab suci. Jangan melakukan kejahatan dan coreng di muka Go-bi. Kalau ini kau lakukan tentu suhumu memikul tanggung jawab!”

“Teecu tahu...." Chi Koan gemas di dalam hati. "Petunjuk dan petuahmu tentu takkan kulupakan, susiok. Tapi betapapun juga teecu lebih berkiblat kepada suhu. Masalah yang kau khawatirkan itu tak perlu dicemaskan karena betapapun juga suhu masih di atas kepandaianku!"

"Ha-ha, benar. Dan kau tentu tak ingin menerima hukuman. Sudahlah, susiokmu hanya ingin berhati-hati, Chi Koan, dan iapun benar. Tak perlu kau kecil hati karena pinceng dapat mengendalikan sepak terjangmu!”

Ji-hwesio menarik napas. Lagi-lagi ada kesan melindungi di kata-kata suhengnya itu dan dia kurang puas. Tapi karena suhengnya juga betul dan kata-kata Chi Koan juga masuk akal, anak muda ini masih ada yang mengendalikan, yakni gurunya itu maka Ji-hwesio mundur dan melirik adik-adiknya. Enam hwesio yang lain saling mengangguk rahasia dan mereka menerima itu. Geger di pagi itu tak berakibat lanjut. Gerak-gerik dan sepak terjang Chi Koan masih terkendali, meskipun anak itu agak memandang rendah mereka, para susiok yang kepandaiannya memang masih di bawah.

Ji Leng Hwesio sang ketua sakti tak menghiraukan mereka seperti halnya menghiraukan Beng Kong Hwesio, karena mereka memang hanya murid-murid keponakan saja dan guru mereka Ji Beng Hwesio telah tewas. Dan karena celah ini telah terjadi dan mereka tak dapat berbuat banyak, ilmu-ilmu Go-bi hanya dipelajari suheng mereka itu, ilmu-ilmu dari Bu-tek-cin-keng maka ketujuh hwesio ini tahu diri dan menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab kepada Beng Kong Hwesio. Kalau ada apa-apa suheng mereka itulah yang dituntut.

Kalau tak mau maka supek mereka Ji Leng Hwesio yang bertapa itulah yang diminta turun tangan. Masih ada kekuatan lebih tinggi di situ! Dan ketika semua ini menghapus kekhawatiran dan rasa cemas mereka, sesungguhnya kehadiran Chi Koan di situ merupakan ganjalan maka ketika pemuda itu menyatakan akan pergi Ji- hwesio dan adik-adiknya merasa senang. Tak dapat disangkal, hwesio ini khawatir kalau Chi Koan mendapat ilmunya lagi. Baru Lui-thian-to-jit dan Cui-pek-po-kian saja mereka sudah tak mampu menghadapi, dan kini ditambah lagi dengan Thai-san-ap-ting. Tentu mereka semakin jauh!

Namun karena mereka adalah tokoh-tokoh Go-bi dan Chi Koan harus menghormat mereka, anak muda itu dituntut etika moralnya maka Ji-hwesio agak tenang dan lega. Dia sengaja setengah mengusir agar sang suheng tak dekat-dekat pemuda ini. Semakin banyak suhengnya memberi ilmu semakin tak senang sebenarnya hwesio itu, juga adik-adiknya. Maka ketika Chi Koan menyambut baik dan pemuda itu justeru akan segera pergi, ilmunya Thai-san-ap-ting telah diuji maka kegembiraan dan kelegaan mereka semakin besar.

Tapi sikap dan kata-kata pemuda itu harus diperhatikan. Ji-hwesio sengaja menahan dan mengingatkan agar tindak-tanduk pemuda itu tidak keluar rel. Go-bi tentu tak mau malu kalau anak muridnya berbuat kejahatan. Dan ketika pemuda itu telah diikat janji dan suheng mereka juga dimintai perhatiannya, Chi Koan tak sebebas kuda liar di hutan maka Chi Koan yang berlutut dan memberi hormat di depan gurunya berkata bahwa tentu saja yang akan dilakukan adalah menjunjung dan menambah nama baik Go-bi.

Diam-diam dia mencatat dan mengumpat paman gurunya ini. Rasa tidak senang hwesio itu masih terasa menonjol. Kelak dia akan membalas! Tapi karena Chi Koan terlalu cerdik untuk gegabah di depan gurunya, murid-murid Go-bi yang lain masih ada di situ maka setelah sekali lagi memberi hormat pergilah pemuda itu meninggalkan perguruannya. Ia telah beberapa bulan melanjutkan ilmunya di Go-bi, enam bulan terakhir malah berhasil mempelajari Cui-pek-po-kian dan Thai-san-ap- ting, hal yang tak mungkin dilakukan murid-murid lain bahkan oleh Pat-kwa-hwesio sekalipun. Tapi begitu pemuda itu meninggalkan Go-bi maka seminggu kemudian terjadi geger di Heng-san!

* * * * * * * *

Waktu itu, enam tahun setelah kekalahannya dari ketua Go-bi yang sakti Ji Leng Hwesio dua dedengkot Heng-san kembali dengan wajah murung. Murid keponakan mereka To Hak Cinjin tak dapat ditolong, sebab setelah setahun menderita oleh pukulan Beng Kong Hwesio maka tosu itu meninggal dunia.

Seperti diketahui, ketua Heng-san yang patah punggungnya dihantam Beng Kong Hwesio itu pingsan. Selanjutnya ia menderita semasa hidupnya dan cacad. Pukulan atau tangan besi Beng Kong sungguh hebat, tosu itu tak kuat dan akhirnya setelah mati hidup di tengah-tengah sisa usianya tosu inipun menghembuskan napasnya yang terakhir. Tapi ketika ia minta agar dua paman gurunya membalaskan sakit hatinya itu, Siang kek maupun Siang Lam tak sanggup maka kepedihan atau luka di hati dua orang kakek ini bertambah lagi.

Sebenarnya, kalau tak ada Ji Leng Hwesio di sana tentu mereka dapat membunuh Beng Kong. Setidak-tidaknya membuat hwesio itu terkapar dan luka-luka! Tapi karena Ji Leng ada di sana dan tokoh Go-bi itu melindungi muridnya, Beng Kong selamat maka giliran mereka yang mendapat malu dan akhirnya dua kakek ini pulang dengan malu berat dan kecewa yang tak ada lagi obatnya. Hampir saja Siang Lam membenturkan jidatnya tapi Siang Kek berkelebat mencegah. Orang gagah macam mereka tak boleh bunuh diri. Dan ketika Siang Kek menghibur dan banyak bicara membujuk saudaranya itu maka dua kakek ini pulang dan di Heng-san mereka membuat perubahan-perubahan.

Pertama, Tan Hoo Cinjin yang menjadi sute dari To Hak Cinjin diangkat ketua. Lalu adik seperguruannya yang bernama Sin Gwan Tojin, tosu yang dulu meluruk ke Go-bi dijadikan wakil ketua. Dan karena dua dedengkot Heng-san ini melihat betapa pesatnya kemajuan yang diperoleh Go-bi menganggap murid-murid sendiri amatlah rendah maka dua kakek itu langsung menggembleng sendiri dua orang ini dengan ilmu-ilmu mereka.

"Kalian lihat dan rasakan sendiri betapa hebat kemajuan yang diperoleh Go-bi. Dengan ilmu-ilmu kalian yang serendah itu tak akan ada kemajuan di Heng-san. Ikuti kami berdua dan latihlah ilmu-ilmu dahsyat kami yang selama ini belum dimiliki murid-murid Heng-san!"

Begitu Siang Kek berkata kepada Tan Hoo dan sutenya, ketika dua orang itu sudah dilantik untuk memimpin Heng-san. Mereka sendiri tetap tak mau campur tangan urusan partai.

"Kami kalah dan menelan hinaan hebat, Tan Hoo. Tapi kami berdua akan coba menggembleng kalian untuk mengembalikan pamor. Selanjutnya kalian memimpin anak-anak murid dan latihlah mereka ilmu-ilmu yang akan kami berikan ini, kecuali Lui-yang Sin-kang dan Tit-ci-thian-tung yang akan kalian pelajari secara khusus. Mengerti?"

Tan Hoo mengangguk-angguk.

“Dan lima tahun kalian harus menguasai dua ilmu ini setaraf kami. Kalau tidak maka lebih baik kalian mampus!"

Dua orang itu tergetar. Dalam keadaan seperti itu tak baiklah banyak membantah. Dua kakek ini sedang membawa kemarahannya dari Go-bi, sedikit meleset tentu mereka dibanting. Siang Kek dan Siang Lam memang belum dapat menghilangkan kekecewaannya dikalahkan Ji Leng Hwesio itu. Dan ketika hari itu juga semua ilmu-ilmu dedengkot ini diturunkan, Tan Hoo Cinjin maupun Sin Gwan Tojin seakan mendapat berkah maka dua orang itu berlatih tekun dan mereka benar-benar bersungguh-sungguh.

Banyak ilmu-ilmu yang diserap tapi yang paling dahsyat adalah Lui-yang Sin-kang dan Tit-ci-thian-tung. Dua ilmu ini, yang pertama adalah penghisap darah dan dikenal sebagai ilmu “listrik", dipelajari baik-baik oleh Tan Hoo Cinjin maupun sutenya. Dan karena mereka juga mendapat Tit-ci-thian-tung (Tuding Jari Ke Langit Timur) yang mampu mencoblos gunung, demikian hebat ilmu itu maka anak-anak murid kebagian ilmu-ilmu lain yang sedikit lebih rendah daripada dua ilmu ini namun tetap saja menjadikan mereka murid-murid tangguh!

Sin-sian-hoan-eng (Dewa Sakti Menukar Bayangan) yang menjadi andalan ilmu meringankan tubuh dedengkot Heng-san ini sekarang diwajibkan untuk dipelajari semua murid. Dari bawah sampai ke atas semuanya harus berlatih ilmu meringankan tubuh itu. Dan ketika empat tahun kemudian murid-murid Heng-san sudah pandai beterbangan seperti burung, gerakan mereka amat cepat dan kalah To Hak Cinjin semasa hidupnya maka murid-murid Heng-san ini benar-benar digembleng dan menjadi banteng-banteng perguruan yang pilih tanding.

Dan mereka mendapat pula ilmu-ilmu lain yang diturunkan dua kakek itu melalui Tan Hoo maupun Sin Gwan Tojin, seperti Hui-tung Sin-hoat atau Silat Sakti Tongkat Terbang, juga Hong-thian-lo-tee atau Badai Dan Kilat Kacaukan Bumi serta pukulan Twi-hong-hok-san (Dorong Angin Balikkan Gunung).

Melihat ilmu-ilmu ini dapatlah diketahui betapa besarnya kemauan dedengkot itu untuk menjadikan Heng-san partai yang kuat dan pilih tanding. Kalau perlu semua murid-murid setingkat dirinya. Biarlah mereka menguras kepandaian asal Heng-san bangun dan naik pamornya. Inilah keputusan nekat yang dilakukan dua kakek itu. Kalau semua murid setinggi itu maka dapat dipastikan tak ada murid-murid Go-bi yang mampu mengalahkan. Paling-paling hanya ketuanya tapi itu dapat diatasi, yakni bila semua murid maju dan Ji Leng atau Beng Kong dikeroyok. Dan sekali ini terjadi barangkali Go-bi bakal hancur!

Tapi dua kakek itu tak tergesa-gesa melaksanakan balas dendamnya. Kalau mereka mempunyai strategi tentulah pihak lawan tak tinggal diam. Mereka harus berhati-hati. Menurut perhitungan, paling sedikit enam sampaí tujuh tahun lagi barulah Heng-san kuat. Di situ tingkat kepandaian murid sudah mencapai rata-rata puncak dan Tan Hoo maupun Sin Gwan Tojin diharap sudah mampu menyamai mereka. Inilah perhitungan dua kakek itu. Dan ketika lima tahun kemudian Tan Hoo maupun Sin Gwan menjadi lihai, tenaga mereka sedikit di bawah tenaga kakek itu maka Siang Kek maupun Siang Lam girang. Tapi berbareng dengan itu merekapun jatuh sakit-sakitan.

"Kurang ajar, tubuh bobrok dan tak mau diatur. Eh, bagaimana keadaanmu Lam-te. Apakah masih juga batuk-batuk dan nyeri ulu hati?"

"Ugh, benar. Sakitku ini serasa bertambah, suheng. Dan kedua mataku sekarang kabur. Bagaimana denganmu?"

"Aku juga. Mataku mulai lamur. Eh, siapa itu?"

“Ini kami,” Tan Hoo dan Sin Gwan Tojin berseru, berkelebat masuk. "Kami berdua baru saja menyelesaikan latihan di bawah, susiok. Dan kami juga ingin memberi laporan bahwa rata-rata murid Heng-san kini telah menguasai Sin-sian-hoan-eng seperdelapan bagian!"

“Bagus, kau kiranya. Dan bagaimana ilmu-ilmu lain?"

"Sama saja, susiok. Mereka rata-rata dua tingkat di bawah kami!"

"Bagus, kalau begitu dua tingkat di atas mendiang suhengmu To Hak! Heh-heh, bagaimana pendapatmu, Lam-te? Apakah sekarang juga disuruh meluruk ke Go-bi?”

"Hm, aku inginnya begitu, tapi kita berdua sedang sakit. Tak enak membiarkan mereka tanpa kita lindungi!"

"Benar, dan kalau ada apa-apa malah payah. Keparat, penyakit tua ini menyebalkan hatiku!”

"Susiok tak usah gusar. Masih ada setahun dua tahun lagi memperdalam ilmu. Biarlah kalian beristirahat dan sembuhkan dulu penyakit itu."

“Hm, bisakah? Kita semakin renta, Tan Hoo, dan matapun semakin lamur. Ah, bagaimana kalau sampai tak keburu!”

"Benar, bagaimana kalau sampai tak keburu," Siang Lam tiba-tiba juga berkata, pelan. Rupanya dua dedengkot ini merasa bahwa usia mereka sudah amatlah tua, lebih dari seratus lima tahun. Dan ketika hari-hari berikut sakit mereka semakin parah, Siang Lam batuk dan digerogoti usia tuanya maka dua bulan kemudian kakek ini wafat.

Siang Kek menggerung-gerung melihat kematian adiknya itu dan Heng-san berkabung. Hampir saja kakek ini menyusul bunuh diri dan mencekik tenggorokan. Untunglah, dua murid yang selalu waspada mencegah itu. Tan Hoo maupun sutenya juga menangis namun mereka memaklumi usia tua itu. Tak ada manusia yang lolos dari kematian. Dan ketika mereka mengingatkan bahwa masih ada sedikit lagi ilmu-ilmu yang belum dimatangkan, kehadiran kakek itu amatlah diperlukan sebagai petunjuk maka pada tahun keenam kakek ini mengalami kebutaan.

Siang Kek sudah tak dapat melihat apa-apa lagi dan kakek itu sering menggereng-gereng minta mati. Ia sering batuk-batuk namun daya tahannya tergolong kuat, untuk kakek serenta dia. Dan ketika pagi itu kakek ini mengeluh dan gemetaran di dalam guanya, beberapa bulan kembali lewat sementara Tan Hoo dan sutenya semakin lihai dengan Lui-yang Sin-kang maupun Tit-ci-thian-tungnya maka waktu itulah Chi Koan datang.

Seperti yang direncanakan, pemuda ini hendak mencari dan menemui dua dedengkot itu. Dia hendak menjajal Cui-pek-po-kian dan Thai-san-ap-tingnya, seperti dulu gurunya menghadapi dua kakek itu. Dan karena memang ada suatu rencana di otak pemuda ini guna mencapai cita-citanya, Chi Koan memang pemuda penuh keberanian dan tak gentar memikul resiko maka ia datang ke Heng-san untuk menantang Siang Kek maupun Siang Lam.

Chi Koan tak tahu bahwa Siang Lam telah tiada. Dia juga tak tahu bahwa Siang Kek, kakek satunya, berada dalam penyakit tua yang sewaktu-waktu siap mengantarnya ke kubur. Maka begitu ia datang di Heng-san maka yang dicari adalah langsung dua kakek sakti itu. Dan ia harus berhadapan dengan beberapa murid Heng-san terlebih dahulu. Inilah pengalamannya!

Pagi itu, merendahkan murid-murid yang tak dipandangnya sebelah mata Chi Koan langsung naik dan menuju puncak. Ia tak tahu bahwa Heng-san sekarang bukan Heng-san enam tahun yang lalu. Semua murid sudah berkepandaian tinggi dan tak salah kalau dikatakan bahwa rata-rata murid tingkatnya sudah seperti Pat-kwa-hwesio. Jadi murid-murid Go-bi tingkatan bawah sampai menengah sudah bukan lawan murid-murid Heng-san ini.

Mereka sudah melampaui kepandaian To Hak Cinjin bekas ketua mereka sendiri enam tahun lalu. Murid-murid Heng-san sekarang benar-benar murid-murid yang tangguh! Dan ketika pemuda itu melenggang dan naik di bagian timur gunung, Chi Koan tak takut murid-murid Heng-san yang bakal melihatnya maka benar saja ia berhadapan dengan dua murid yang kebetulan sedang meronda. Lenggangnya yang seenaknya itu membuat marah.

"He, berhenti. Siapa kau dan mau apa naik ke atas?"

Chi Koan tersenyum, meskipun agak terkejut melihat gerakan dua murid yang seperti burung menyambar ini, berhenti. "Aku mau menemui dua kakek tua bangka Siang Kek dan Siang Lam Cinjin. Di manakah mereka dan kebetulan kalian datang. Aku mau bertanya!"

"Apa?” dua murid itu terkejut, seketika marah. "Kau siapa dan ada perlu apa mencari sesepuh kami? Bicaramu tak tahu sopan, kurang ajar!"

"Ha-ha, aku Chi Koan. Aku datang untuk merobohkan dua kakek itu. Di mana mereka dan tunjukkan kepadaku....wut!”

Dua murid itu tiba-tiba memotong omongannya, bergerak dan membentak dan tahu-tahu menerkam seperti harimau. Chi Koan tak dapat lagi meneruskan kata-katanya karena mereka itu marah melihat kekurang ajarannya. Sesepuh Heng-san diperlakukan seperti itu, oleh orang muda tak dikenal. Tapi begitu mereka berkelebat mendadak Chi Koan menghilang.

"Slap!” Pemuda ini mempergunakan Lui-thian-to-jitnya. Chi Koan bergerak cepat ketika dia melihat kecepatan tubrukan itu, terkejut dan heran karena untuk kedua kalinya ia melihat hal-hal luar biasa dari murid Heng-san ini, padahal mereka adalah penjaga gunung, bukan tokoh-tokohnya! Dan ketika ia lenyap dan dua anak murid itu berseru kaget, mereka juga terkejut dan heran bahwa pemuda itu bergerak lebih cepat lagi maka mereka membalik dan dilihatnya pemuda itu sudah di belakang.

"Keparat!" mereka menubruk dan menerjang lagi. "Bocah ini lihai juga, Nu-suheng. Awas dan jangan biarkan ia lolos!"

“Benar dan kita tangkap atau robohkan dia. Lapor kepada ketua dan jangan biarkan ia lolos.... wut!" dua orang itu menubruk angin lagi, terkejut dan berseru keras dan Chi Koan tahu-tahu tertawa meluncur dari atas. Ia tadi menjejakkan kakinya dan lenyap ke atas. Lui-thian-to-jitnya memang lihai. Dan ketika ia melayang dan dua orang itu bertubrukan sendiri maka kakinya menyapu dari kiri ke kahan dan dua murid Heng-san itu menjerit.

“Des-dess.... aduh!"

Chi Koan tak bermaksud memperpanjang main-mainnya lagi. Ia menendang dengan keras dan kedua-duanya terbanting, yang satu malah retak tulang rahangnya. Dan ketika ia berkelebat dan menyambar yang lain maka iapun menotok dan murid itu roboh.

“Nah," Chi Koan mengancam. "Di mana dua kakek itu tinggal atau nanti kucabut nyawamu!"

“Ak... aku tak tahu. Tapi aku dapat memberi petunjuk.... lep... lepaskan cekikanmu!"

“Hm, baik. Di mana mereka!" sekarang Chi Koan mengendorkan cekikannya.

Murid itu terbelalak dan ia tampak gentar dan pucat sekali. Ada membayang kemarahan di situ tapi murid ini tak berani menunjukan. la tahu berhadapan dengan seorang lawan lihai, pemuda ini bukan tandingannya. Dan ketika ia megap-megap dan berkeringat dingin, Chi Koan bertanya di mana Siang Kek Cinjin dan Siang Lam Cinjin maka murid itu menunjuk. “Di... di situ. Kau dapat ke sana dan mencarinya. Bebaskan aku!”

"Tentu," Chi Koan tertawa. “Tapi sinar matamu licik membayang, kawan. Hayo antar dulu dan nanti kubebaskan. Kalau bohong kau kubunuh!"

Murid ini ketakutan. Ia terkejut ketika disendal dan dibawa lari, Chi Koan berkelebat dan menuju ke tempat yang ditunjuk itu, sebuah semak-semak di mana di baliknya ada semacam rumah kecil, seperti sebuah pos penjagaan, atau barangkali rumah peristirahatan. Dan ketika Chi Koan tiba di sini dan murid itu pucat, bayangan-bayangan berkelebatan maka sepuluh anak murid Heng- san tahu-tahu telah mengepungnya. Chi Koan ditipu!

“Berhenti, siapa kau? Dan, heii.... itu Nu Sin!”

Chi Koan tertawa bergelak. Sekarang ia tahu bahwa tawanannya ini benar menipu. Mata kejamnya tiba-tiba bergerak, muncul dan berbalik menjadi kemarahan. Dan ketika sepuluh penjaga-penjaga gunung kembali bermunculan, ia dikepung maka Chi Koan mengerahkan tenaganya dan melempar tawanannya itu.

“Ha-ha, ini adalah kawan kalian. Terimalah, aku sebal!"

Dua puluh orang itu terkejut. Kawan mereka itu ditangkap tapi lehernya ternyata terkulai. Tadi terdengar suara "krek” dan Nu Sin, murid Heng-san ini tewas. Sebelumnya jalan darah ke otaknya dihancurkan Chi Koan, dengan remasan kuat. Dan ketika murid-murid yang lain gempar dan Chi Koan melakukan pembunuhan pertama, semua bergerak dan mencabut senjata maka pemuda itu sudah diterjang dan dibentak murid-murid Heng-san.

"Bocah keji, pemuda siluman. Bunuh dia!”

Chi Koan tertawa bergelak, Lagi-lagi ia terbelalak dan terkejut melihat gerakan anak-anak murid itu, semuanya ringan kaki dan gesit-gesit. Dua puluh tubuh beterbangan menyambar dari segala penjuru, Chi Koan hendak ditangkap. Tapi ketika pemuda itu melejit dan mendorongkan kedua lengannya ke kiri kanan, membentak dan berseru keras maka angin menyambar dari kedua tangannya dan terpekiklah murid-murid Heng-san menerima Thai-san-ap-tingnya.

"Heiii... bres-bress!”

Dua puluh murid tumpang-tindih. Mereka berteriak dan terkejut karena tahu-tahu serangkum angin dahsyat menerpa tubuh mereka, terangkat dan terbanting dan tiba-tiba saja duapuluhan murid-murid Heng-san itu tumpang-tindih. Dan ketika mereka berteriak dan kaget serta pucat, pemuda itu seperti iblis maka Chi Koan yang marah dan gemas akan ini tiba-tiba berkelebat dan naik ke atas.

"Orang-orang Heng-san, kalian tikus-tikus busuk yang tidak tahu diri. Aku hanya pantas berhadapan dengan Siang Kek Cinjin maupun Siang Lam. Mana mereka dan biar kucari!”

Gegerlah partai itu. Mereka yang tumpang-tindih tiba-tiba bersuit. Pekikan dan lengkingan silih berganti memberi tahu ke atas. Dan ketika Chi Koan dihadang bayangan-bayangan baru, mengibas dan terus naik keatas sambil tertawa maka murid-murid Heng-san berpelantingan namun mereka bangkit kembali, bangun.

“Ha-ha, boleh semua mengeroyok aku. Mari... mari kalian maju. Hayo, mana dua tua bangka Siang Kek Cinjin dan Siang Lam Cinjin!"

Heng-san benar-benar gempar. Chi Koan yang terus naik dan membagi-bagi kibasan membuat anak-anak murid berteriak tak keruan. Tapi karena semakin ke atas semakin lihai tingkatan murid-murid itu, Chi Koan tertegun ketika satu demi satu yang lebih hebat bermunculan maka pukulannya mulai tak mampu merobohkan murid-murid itu yang hanya terhuyung atau tergetar saja.

Thai-san-ap-ting yang semula mampu membuat lawan-lawan terpelanting kini hanya mampu membuat mundur atau terhuyung saja, apalagi setelah munculnya empat tosu berikat rambut kuning yang lihai, yang terkejut dan berseru keras terdorong empat langkah. Mereka ini tidak terpelanting dan Chi Koan terkejut. Tapi karena ia menghadapi banyak orang dan pukulannya tadi tidak sepenuhnya menyambar, pecah di sana-sini maka ia menerima bentakan dan ditanya dari mana berasal.

"Siapa kau yang bercecowetan di sini. Ada apa mencari sesepuh kami?"

"Ha-ha, siapa kalian?” Chi Koan tertawa, dan balas membentak, tidak menjawab. "Aku dari Go-bi yang ingin menjajal kepandaian tua bangka itu. Mana mereka dan kenapa bersembunyi saja!"

"Dari Go-bi?” empat orang itu terkejut. "Ah, kau bicara benar? Hati-hati, mulutmu dapat membahayakan, anak muda. Apa maksudmu main-main dan mengacau di tempat orang. Terimalah pukulan kami.... des-dess!"

Chi Koan tergetar menerima hantaman dari kiri kanan, terkejut dan mengerahkan sinkang dan empat lawannya ganti terkejut karena pukulan mereka seperti bertemu tembok baja. Pemuda itu selanjutnya tak bergeming. Dan ketika Chi Koan terbahak dan membalas, sekarang dia memusatkan perhatiannya kepada empat tosu ini maka Cui-pek-po-kian menyambar dan empat orang itu terpental.

“Aihhhh...! Ini... ini Cui-pek-po-kian!" empat tosu berjungkir balik mengenal pukulan itu. Sesepuh mereka telah memberi tahu dan ciri-ciri pukulan itu dikenal, kini mereka merasakan dan tentu saja mereka kaget karena pemuda ini benar dari Go-bi.

Chi Koan sendiri tertawa dan bangkit kepercayaannya, setelah tadi berulang-ulang pukulannya ditahan dan hanya membuat orang-orang ini tergetar, atau terhuyung. Dan ketika empat tosu itu terkejut dan berjungkir balik melayang turun, tempat itu sudah penuh manusia maka Chi Koan berkelebetan di antara yang lain.

"Heii, mana To Hak Cinjin. Mana ketua kalian. Aku mencari siapa saja yang dapat mengalahkan aku. Hayo, mana tua bangka Siang Kek dan Siang Lam Cinjin!”

Gembar-gembor atau teriakan ini membuat marah orang-orang Heng-san. Tiba-tiba mereka tahu bahwa pemuda ini rupanya baru keluar perguruan, karena kematian To Hak Cinjin ternyata tak diketahui dan begitu pula wafatnya Siang Lam, sesepuh mereka. Tapi karena pemuda itu harus dihajar dan Heng-san tak boleh dibuat sembarangan maka empat tosu terlihai yang kini mengenal Cui-pek-po-kian segera menyuruh mundur anak-anak murid yang lain. Mereka adalah wakil atau tokoh-tokoh nomor tiga setelah Tan Hoo Cinjin dan Sin Gwan Tojin.

“Anak muda, tak perlu berteriak-teriak. Bagus sekali kau datang. Kami dari Heng-san dapat membalas sakit hati kepada Go-bi!”

"Ha-ha, siapa yang mau membalas. Ayo, kalian maju dan terima pukulanku, atau mundur dan panggil dua tua bangka itu!”

Empat tosu ini marah. Mereka terhina dan gusar sekali oleh kata-kata Chi Koan, membentak dan menerjang maju dan tongkat di tangan melejit terbang. Hui-thian Sin-hoat (Silat Sakti Tongkat Terbang) menyambar pemuda ini, tiba-tiba dikeluarkan dan Chi Koan terkejut oleh sambaran empat tongkat itu. Namun karena ia memiliki Lui-thian-to-jit dan ilmu meringankan tubuhnya ini dikuasai baik, dengan itulah ia mengelak maka tongkat lewat disamping tubuhnya namun aneh sekali mereka dapat membalik dan pulang kepada tuannya.

“Sam-sute, pemuda ini lihai sekali. Mari keluarkan Sin-sian-hoan-eng dan kejar dia!” tosu bertahi lalat disudut bibir, yang rupanya pemimpin sudah berseru kepada sutenya. Ia telah melihat gerakan cepat lawannya tadi ketika mengelak, ilmu meringankan tubuh Lui-thian-to-jit yang memang luar biasa. Dan begitu ia bergerak menjejakkan kaki ke depan, meloncat dan terbang dengan Sin-sian-hoan-eng atau Dewa Sakti Menukar Bayangan. Maka Chi Koan lagi-lagi terkejut karena empat bayangan kuning tiba-tiba berkelebatan dan membayangi dirinya. Pemuda ini tersentak karena ilmu meringankan tubuhnya kiranya mendapat tandingan!

"Hm!" Chi Koan marah dan geram. Ia memanggil-manggil Siang Kek Cinjin maupun ketua Heng-san namun tak juga orang-orang itu keluar. Yang ada ialah orang-orang ini dan mau tak mau harus dia hadapi. Dan ketika empat tosu itu bergerak menyerang sementara dua ratus lebih anak murid Heng-san mundur menjauh, nonton, maka tongkat di tangan empat tosu itu juga beterbangan dan mengejar Chi Koan. Di sini pemuda itu terkejut karena Heng-san rupanya sudah berobah, kuat dan tidak diduga!

"Plak-plak-plakk!"

Chi Koan menangkis dan mengerahkan Cui-pek-po-kian sekaligus Thai-san-ap-ting nya. Dengan dua ilmu ini ia membuat lawan-lawan terkejut dan empat tosu itu terpental. Tapi karena mereka tidak terpelanting dan itu menunjukkan betapa lihainya tosu-tosu ini, Chi Koan terbelalak maka mereka maju lagi dan empat tosu itu juga melotot. Mereka terkejut dan tersentak dan sesungguhnya kaget sekali. Pemuda ini tak dikenal kecuali asal perguruannya saja, namanya tak diketahui dan merekapun tak tahu siapa guru pemuda ini.

Kalau pemuda ini hanya murid rendahan Go-bi dapatlah dibayangkan betapa hebatnya Go-bi sekarang. Agaknya kemajuan di Heng-san juga diikuti kemajuan di padang pasir itu, Go-bi tetap hebat! Namun ketika kemarahan sudah membakar ubun-ubun dan empat tosu itu berkelebatan naik turun, tongkat menyambar dan beterbangan kembali maka Chi Koan berseru keras dan dengan Lui-thian-to-jit nya ia mengimbangi kecepatan lawan dan di sini tontonan menjadi menarik!

Heng-san, yang diwakili empat tosu itu ternyata dapat menahan Chi Koan. Pemuda yang semula menggegerkan gunung ini mampu dibuat bingung oleh bayangan tongkat yang menyambar-nyambar, apalagi karena tongkat itu juga beterbangan sendiri dan lepas bagai ular hidup, menyodok atau menghantam dan Chi Koan yang baru beberapa bulan belajar di Go-bi sejenak terdesak. Tapi karena pemuda ini juga memiliki Cui-pek-po-kian dan dengan ilmu itu ia menangkis atau menampar.

Thai-san-ap-ting nya dipakai untuk mendorong atau memukul tongkat maka senjata di tangan empat tosu itu tak mampu merobohkannya karena betapapun pertahanan pemuda ini amatlah kuat. Dan ketika pertandingan sudah berjalan tiga puluh jurus dan Chi Koan mulai mengenal gaya serangan lawan, hapal dan tertawa bergelak maka dibalaslah empat tosu itu dan empat batang tongkat yang menyambar-nyambar dihalaunya dengan tiupan mulut, hawa khikangnya.

"Ha-ha, tak mungkin mendesak aku terus-menerus, tosu-tosu bau. Sekarang lihatlah betapa aku akan merobohkan kalian!”

Empat tosu terkejut. Benar saja mereka dibalas dan Hui-thian Sin-hoat yang tadi diandalkan mendadak tak berguna. Tongkat mereka itu terhalau ditiup lawan dan kini pemuda itu melancarkan pukulan-pukulan Thai-san-ap-ting maupun Cui-pek-po-kian, yang kini tak perlu digunakan untuk menghadapi tongkat. Dan karena konsentrasi pemuda itu sudah dapat ditujukan kepada mereka lagi, tidak seperti tadi yang masih terpecah kepada tongkat maka empat tosu terpekik ketika serangan pemuda itu mereka tangkis.

“Plak!" dan mereka mencelat. Chi Koan telah mengetahui kelemahan lawan dan kini tertawalah pemuda itu mengejar tosu termuda, berkelebat dengan Lui-thian-to-jitnya dan kaget serta paniklah tosu termuda ini. Ia bergulingan menangkis tapi terlempar dan terbanting setombak. Dan ketika Chi Koan bergerak ke tosu nomor tiga dan di sini ia melepas pukulannya, si tosu menjerit dan juga terlempar.

Ternyata berturut-turut Chi Koan telah mampu mendesak lawannya itu. Tosu- tosu yang semula galak dan menggigit kini kelabakan, Chi Koan gembira. Namun ketika ia menghajar dan melepas pukulan ke tosu pertama, yang bertahi lalat di sudut mulutnya itu ternyata tosu ini meloncat bangun dan mendorongkan kedua tangannya secepat kilat, menangkis dengan Twi-hong-hok-san, Tangan Mendorong Gunung.

"Bocah pinto masih memiliki perlawanan. Jangan sombong!"

Chi Koan terkejut. Ia kagum akan kecepatan lawan melompat bangun namun lebih kagum lagi akan sambaran angin pukulan yang menangkis pukulannya. Tosu itu hebat juga. Namun karena si tosu dalam posisi tergesa-gesa dan betapapun ia menang angin maka tosu ini terbanting dan mencelat juga.

“Dess!” Tosu itu mengeluh. Tiga adiknya juga merintih dan pening di sana, mereka juga bergulingan ke sana ke mari menghindari pukulan pemuda ini. Dan ketika Chi Koan hendak menyerang lagi dan melumpuhkan tosu itu, anak-anak murid bergerak dan siap melindungi tiba-tiba berkelebatlah dua bayangan orang dan bentakan nyaring.

"Berhenti, jangan bergerak!"

Di situ muncul dua tosu tinggi kurus yang rambutnya diikat dengan kain putih. Chi Koan terdorong dan terkejut berseru tertahan ketika serangannye dipotong dari samping, terbelalak dan sudah melihat serta berhadapan dengan tosu-tosu ini. Dan ketika ia tertegun dan samar-samar ingat tosu bermuka merah, inilah Tan Hoo Cinjin yang dulu pernah melabrak Go-bi maka tosu itu bersinar-sinar, pandangannya marah.

"Siapa kau, dan kenapa mencari-cari Siang Kek-susiok dan ketua Heng-san?"

“Ah, ha-ha... kau... kau Tan Hoo Cinjin?" Chi Koan sekarang ingat. "Bagus aku Chi Koan, Cinjin. Barangkali kau ingat itu. Aku murid Beng Kong lo-suhu, datang untuk menantang dua dedengkot Heng-san!”

Tosu ini terkejut. "Chi Koan? Hmm, bocah yang membuat onar di Go-bi itu? Kau murid Beng Kong Hwesio? Bagus, tidak dinyana datang mencari penyakit. Pinto benar Tan Hoo Cinjin adanya, bocah, dan pinto sekarang adalah ketua Heng-san-pai. To Hak-suheng sudah meninggal gara-gara gurumu. Dan pinto juga cukup mendengar dirimu yang menjadi gara-gara datangnya Tujuh siluman Langit di Go-bi!"

“Ha-ha, ingatanmu bagus!" Chi Koan memuji. “Tapi urusan yang lewat tak usah dibicarakan, Tan Hoo Cinjin. Aku datang untuk menantang tanding. Mana Siang Kek Cinjin ataupun Siang Lam Cinjin. Gagah benar mereka itu dulu mengeroyok guruku!”

"Hm, mulutmu berbisa, jahat sekali. Katakan dulu atas suruhan siapakah kau datang. Atas nama gurumu atau atas namamu pribadi?"

“Aku datang atas nama guruku. Aku ingin mewakilinya menggebuk pantat sesepuh Heng-san yang dulu tak malu-malu main keroyok!"

"Tutup mulutmu!" tosu ini marah sekali. "Pengeroyokan itu adalah atas permintaan gurumu yang sombong, Chi Koan. Lagi pula Go-bi berhutang banyak jiwa kepada Heng-san. Kalau kedatanganmu direstui Ji Leng Hwesio maka pinto akan menuntut tanggung jawab kepada sesepuh Go-bi itu pula!"

"Ha-ha, boleh-boleh saja,” Chi Koan tak berpikir panjang. "Heng-san telah dikalahkan Go-bi, Tan Hoo Cinjin. Dan kini aku ingin mengalahkan lagi. Panggil dua sesepuh kalian dan suruh maju!"

Sin Gwan, yang melotot dan berapi-api di sebelah suhengnya tiba-tiba tak dapat menahan diri. Sejak tadi ia diam saja namun dadanya bergemuruh oleh kemarahan yang sangat. Melihat empat sutenya roboh di sana, kalah oleh pemuda ini tahulah dia bahwa bocah ini memang hebat. Tapi itu bukan lalu berarti nama besar Heng-san boleh diinjak-injak.

Heng-san yang dulu tak sama dengan Heng-san yang sekarang. Heng-san yang sekarang telah memperkuat diri dan justeru ingin dicobakan terhadap Go-bi. Maka ketika kebetulan bocah ini datang dan mulut sombongnya tak dapat ditahan lagi, ia bergerak dan berseru keras tiba-tiba adik seperguruan Tan Hoo Cinjin ini menampar Chi Koan dengan ilmu listriknya, Lui-yang Sin-kang.

“Bocah, kau takabur sekali. Tapi coba terima pukulan pinto!”

Chi Koan terkejut. Hawa sepanas api tiba-tiba menyambarnya, ia berkelit tapi diburu. Dan karena ia tak takut dan menjadi marah, tosu tak dikenal ini menyerangnya lebih dulu maka kontan ia menangkis dan Lui-yang Sin-kang diterimanya dengan Cui-pek-po-kian.

"Blarr!” Letupan api menyembur ke atas. Chi Koan terdorong tapi lawan juga terhuyung, masing-masing sama terkejut. Dan ketika masing-masing sama berseru tertahan dan Chi Koan terbelalak, tak disangkanya masih ada tokoh hebat di situ maka ia merasakan betapa sekujur tubuhnya seakan tersengat listrik tapi untung Cui-pek-po-kian nya itu melindungi. Dan Sin Gwan Tojin melihat kulit pemuda itu sama sekali tak terbakar.

"Dia telah mewarisi Cui-pek-po-kian gurunya. Hebat sekali. Tapi pinto penasaran dan akan maju lagi!" dan tidak menunggu jawaban suhengnya yang mundur menganggukkan kepala, Tan Hoo juga melihat dan terkejut oleh kehebatan Chi Koan maka wakil dari Heng-san ini berkelebat lagi dan Sin-sian-hoan-eng nya dikeluarkan lebih hebat dari empat tosu berikat kepala kuning.

“Wut-wutt!" bayangan tosu itu menyambar dua kali. Ia melepas serangan tapi ditarik lagi karena Chi Koan mengelak dan mundur menjauh, diganti dengan sapuan kaki dan sebentar kemudian lima tusukan jari susul-menyusul menyambar Chi Koan. Cakar Naga yang dulu pernah dipakai Siang Kek maupun Siang Lam di Go-bi kini tiba-tiba diperlihatkan, cepat dan bertubi-tubi.

Dan Chi Koan kaget melihat lawan yang lebih tangguh. Bajunya tahu-tahu robek terkena cakar lima jari itu. Amatlah cepatnya! Dan ketika tahu-tahu ia sudah terdesak dan mendapat tekanan berat, tosu itu mengelilingi tubuhnya dengan Dewa Menukar Bayangan maka apa boleh buat Chi Koan membentak dan mengeluarkan Lui-thian-to-jitnya itu, Kilat Menyambar Matahari.

“Tosu bau, beritahukan dulu siapa kau. Atau nanti aku tak mau bertanding!"

"Keparat, kau berhadapan dengan wakil Heng-san, bocah. Pinto adalah Sin Gwan Tojin. Sekarang hadapi pinto dan coba perlihatkan ilmu-ilmumu apakah pantas menantang sesepuh Heng-san....!"

Prahara Di Gurun Gobi Jilid 16

Cerita Silat Mandarin Serial Prahara Di Gurun Gobi Karya Batara

"KAU mau pamer?"

"Bukan, suhu, melainkan meyakinkan hati suhu bahwa ilmuku ini betul-betul sudah kukuasai. Bagaimana kalau orang-orang yang tak puas dipersilahkan maju dan teecu menghadapi dengan Cui-pek-po-kian ini?”

"Ha-ha, boleh saja. Siapa yang tak percaya!"

"Barangkali Ji-susiok dan enam susiok yang lain....”

"Bocah sombong!” Ji-hwesio tiba-tiba membentak dan tak dapat menahan diri, berkelebat. "Kau tak perlu menyindir-nyindir kami, Chi Koan. Boleh aku maju dan biar kulihat kepandaianmu. Awas!" dan belum yang lain terkejut dan hilang kagetnya, Chi Koan menyindir susioknya ini maka Ji-hwesio sudah menyambar dan tidak tanggung-tanggung melepas pukulan. Jubahnya dikebut dan Chi Koan diserang. Angin menderu dan Beng Kong terbelalak, muridnya disambar. Tapi karena hwesio ini telah menjajal muridnya dan ia percaya, tadi Chi Koan mampu menahan pukulannya maka sang hwesio tertawa bergelak dan mundur.

“Dess!” Chi Koan menangkis dan membuat kejutan. Untuk kedua kali ia memamerkan tenaganya dan sang susiok yang tadi ragu tiba-tiba berseru keras. Tak dapat disangkal, hwesio ini memang meragukan Cui-pek-po-kian pemuda itu, mengira bahwa terjadí main sandiwara antara guru dan murid. Bahwa suhengnya tadi mungkin tak sepenuh hati mencoba Chi Koan dan kini dihantamnya pemuda itu. Namun ketika sang pemuda menangkis dan ia terpental, kaget dan menyambar turun lagi dengan pukulan kedua maka Ji-hwesio melancarkan serangan seakan tak percaya.

"Chi Koan, coba terima sekali lagi!"

Pemuda itu tersenyum. Ia telah beradu tenaga dan hasilnya sungguh menggembirakan. Susioknya terpental. Maka ketika ia dicoba lagi dan sang susiok tampak penasaran, kurang percaya maka Chi Koan menambah tenaganya dan kali ini sang susiok roboh terbanting.

“Dess!” Benturan kali ini lebih dahsyat daripada tadi. Chi Koan mempergunakan delapan persepuluh bagian tenaganya dan Ji-hwesio tiba-tiba menjerit. Cui-pek-po-kian yang belum sepenuhnya mampu dikendalikan ternyata berakibat hebat bagi hwesio itu. Tenaga Chi Koan terlampau dahsyat. Dan ketika sang hwesio terbanting dan muntah darah, menggeliat dan roboh maka dua gebrakan itu saja Ji-hwesio pingsan!

“Omitohud...!" enam saudara yang lain berseru tertahan. Mereka tak menyangka dan berkelebatan datang.

Beng Kong juga terkejut dan kaget oleh kehebatan muridnya ini. Chi Koan sungguh luar biasa! Tapi ketika ia bergerak dan mencelat maju, membentak muridnya kenapa mencelakai paman guru maka Beng Kong mencengkeram dan membanting muridnya ini. "Chi Koan, apa yang kau lakukan?"

Chi Koan menjerit. Berhadapan dengan sang guru tentu saja ia kalah, ilmunya baru Cui-pek-po-kian. Dan ketika ia terbanting bergulingan dan pucat berteriak tertahan, gurunya bergerak dan sudah menolong sang paman maka Beng Kong cepat menyalurkan sinkang dan menjejalkan obat ke mulut sutenya. Untung ia ada di situ dan dapat memberikan pertolongan. Kalau tidak, mungkin jantung sutenya ini bisa pecah!

Dan ketika Ji-hwesio siuman dan enam adiknya yang lain berkerumun, masing-masing juga menyalurkan sinkang maka luka dalam yang dialami tak sampai merenggut nyawa. Semua murid terbelalak sementara Chi Koan sendiri berlutut menghadap gurunya. Ia juga tak tahu akibat itu. Pukulannya kiranya terlalu keras! Namun ketika Ji-hwesio membuka mata dan suhunya membalik maka Beng Kong merah padam membentak muridnya ini.

“Chi Koan, apa yang kau lakukan? Berani benar kau melukai susiokmu!"

"Ampun....!” Chi Koan gemetar, namun wajahnya berseri-seri, aneh! “Teecu... teecu tak sengaja, suhu. Teecu sudah menguasai Cui-pek-po-kian namun belum mampu mengendalikan tenaganya. Tadi susiok mencoba ulang dan teecu menambah kekuatan, mengira susiok kuat. Tapi ketika begini akibatnya dan teecu tak tahu maka teecu mohon ampun atau boleh dihukum kalau teecu salah!”

"Hm, kau tak sengaja?"

"Suhu lebih tahu daripada teecu. Teecu baru keluar kamar, ini latihan terakhir. Kalau teecu sudah tahu dan mampu mengendalikan tenaga tentu teecu berhati-hati. Mohon suhu ampuni!"

Beng Kong tertegun. Sebagai orang yang banyak pengalaman dan ilmu-ilmu tinggi tentu saja dia tahu dan dapat menerima alasan muridnya itu. Chi Koan baru keluar kamar dan dapat dipahami kalau dia belum mampu mengendalikan tenaga. Apalagi dilihatnya sutenya tadi masih penasaran dan ingin mengulang, dikira kuat dan akibatnya pemuda itu menambah tenaga. Tapi begitu sang sute terbanting dan inilah bukan kesalahan Chi Koan, pemuda itu mengira susioknya kuat bertahan maka hwesio ini mengangguk-angguk dan dapat menerima.

“Hm, baik, tepat. Tapi kau harus minta maaf kepada susiokmu. Kalau dia hendak menghukum tentu kau harus menerima!"

“Teecu akan menerima, kalau teecu memang salah...” dan ketika Chi Koan bangkit dan sinar mata gurunya tidak sebengis tadi, ada unsur pembelaan di kata-kata suhunya maka ia berlutut dan minta maaf di depan susioknya yang baru bangun itu. Ji-hwesio masih merasa berkunang-kunang.

“Susiok, teecu minta ampun kalau susiok terluka oleh pukulan teecu. Tadi pertama kali susiok dapat bertahan, teecu tak menyangka bahwa untuk yang kedua kalinya susiok tak tahan. Harap susiok ampuni teecu yang belum mahir benar mengendalikan tenaga Cui-pek-po-kian."

“Hm,” hwesio ini mengangguk-angguk, merah padam. "Pinceng dapat menerima kata-katamu, Chi Koan. Dan rupanya memang kesalahan pinceng sendiri. Tak apa, kau benar hebat tapi jangan sombong dengan kehebatanmu itu!”

"Teecu tak akan bersikap sombong, kalau teecu tak diganggu orang lain. Harap susiok maafkan dan terima kasih!”

“Nanti dulu," Sam-hwesio bergerak dan maju ke depan, sinar matanya berkilat. “Melihat ilmumu pinceng jadi gatal-gatal tangan juga, Chi Koan. Beranikah kau menghadapi kami berenam karena konon katanya kau telah menguasai pula Lui-thian-to-jit (Kilat Menyambar Matahari)!”

"Ah, teecu hendak dijajal lagi?"

"Kalau kau berani, Chi Koan, karena kami akan mengeroyok!”

"Teecu tak takut!" Chi Koan tertawa, bangkit meloncat. “Justeru semakin diuji teecu akan semakin senang, sam-susiok. Ini untuk kemajuan teecu sendiri dalam mendalami ilmu suhu. Teecu malah berterima kasih!"

"Kalau begitu kau bersiaplah. Ji-suheng tak dapat maju dan biarkan kami berenam saja!”

Sam-hwesio sudah bergerak dan memberi tanda adik-adiknya. Hwesio ini sendiri langsung mencabut toya dan Chi Koan tertegun, kelima hwesio yang lain juga tertegun tapi hwesio itu berseru agar semua mencabut senjata. Agaknya melihat kepandaian Chi Koan tadi sadarlah Sam-hwesio bahwa si pemuda sesungguhnya benar-benar hebat. Dalam beberapa bulan saja berguru di Go-bi sudah mampu merobohkan suhengnya dalam dua kali gebrakan saja. Ini bukan main-main! Dan ketika kelima adiknya mengangguk dan masing-masing sudah mencabut senjata, toya panjang kesukaan mereka maka enam orang itu bergerak dan Chi Koan sudah dikurung.

“Kau keluarkan senjatamu kalau ingin bersenjata. Barangkali gurumu telah menurunkan ilmu-ilmu bersenjata."

"Tidak," Chi Koan tersenyum, berseri-seri, "Teecu akan bertangan kosong saja, cuwi-susiok (paman-paman sekalian). Lagi pula suhu belum menurunkan permainan toya kepada teecu, baru ilmu Cui-pek-po-kian dan Lui-thian-to-jit itu!"

"Bagus, kalau begitu berhati-hatilah. Kami akan menyerang.... wut!” dan Sam-hwesio yang memulai serangannya tiba-tiba membentak dan tidak banyak bicara lagi. Ia harus menjaga kewibawaan dan semua murid melotot. Gerakan toya itu amatlah cepat tapi lebih cepat lagi Chi Koan mengelak.

Pemuda ini mempergunakan Lui-thian-to-jitnya untuk menghindar dari serangan paman guru, mengejutkan Sam-hwesio tapi hwesio itu berseru mengejar kaget. Kecepatan Chi Koan tadi membuatnya terkesiap. Dalam hal ginkang pun kiranya sang murid keponakan ini juga hebat! Dan ketika ia mengejar namun Chi Koan lagi-lagi berkelebat mendahului, lenyap dengan kecepatannya yang luar biasa itu maka dua kali serangannya luput dan Beng Kong Hwesio tertawa bergelak. Muridnya menunjukkan kepandaian mengagumkan.

“Ha-ha, kurang cepat gerakanmu, Sam-sute. Ayo sambar dan kejar lagi dia. Bagus, Chi Koan mampu mengimbangi kalian!"

Lima hwesio yang lain terbelalak. Mereka juga melihat luputnya serangan suhengnya itu namun masing-masing bergerak susul-menyusul. Barisan pat-kwa (segi delapan) kini dimainkan, meskipun hanya oleh enam orang saja karena dua suheng mereka tak ada. Yang pertama hilang entah ke mana sedang yang kedua masih baru sembuh dari bekas pukulan Chi Koan tadi.

Meskipun enam orang saja namun sesungguhnya cukup hebat. Mereka adalah murid-murid senior Go-bi yang sudah melatih ilmunya bertahun-tahun, bukan murid baru yang masih hijau. Dan ketika benar saja mereka bergerak saling susul dan ke mana Chi Koan berkelebat ke situ pula mereka mencegat maka Chi Koan terkejut karena dirinya tahu- tahu terkurung.

"Chi Koan, tunjukkan Cui-pek-po-kian mu itu. Hati-hati, jangan terlalu keras tapi juga jangan hanya mengelak saja!"

Beng Kong Hwesio, yang menonton pertandingan itu berseru dari luar. Ia melihat keadaan muridnya dan berseru memberi jalan keluar. Chi Koan mengangguk dan sudah melakukan ini. Betapapun pemuda itu juga cerdik dan tak mungkin mengelak saja. Sambaran enam toya amatlah hebat dan masing-masing menderu tak kenal ampun. 

Melihat angin sambarannya ada tanda-tanda bahwa Sam-hwesio dan adik-adiknya itu akan balas dendam. Mereka rupanya masih sakit hati akan robohnya suheng mereka, Ji-hwesio. Dan ketika Chi Koan harus bergerak cepat mengelak dan menangkis, kini apa boleh buat Cui-pek-po-kian nya harus bekerja maka enam hwesio berteriak karena mereka terpental mundur.

"Plak-plak-plak!"

Sam-hwesio dan adik-adiknya terdorong. Mereka pucat bahwa sinkang pemuda itu melebihi sinkang mereka sendiri. Sekarang mereka merasakan langsung Cui-pek-po-kian yang dipunyai pemuda ini. Namun ketika mereka penasaran dan justeru menjadi marah, suheng mereka tak ragu-ragu memberikan ilmunya maka kekhawatiran dan kegelisahan mereka meledak berbaur dengan benci. Chi Koan benar-benar rupanya disayang Beng Kong Hwesio!

"Chi Koan, kami akan bergerak dengan Angin Puyuh. Awas, hati-hati....!”

Chi Koan tertawa lebar. Setelah ia berkelebatan dan menangkis dengan Cui-pek- po-kian nya, keenam susioknya mundur dan terhuyung-huyung maka kepercayaan dirinya semakin besar, tebal. Ia tak takut ketika seruan itu dibentakkan dengan suara nyaring. Karena begitu keenam paman gurunya bergerak mempercepat serangan, deru dan sambaran toya berkesiur di atas kepalanya maka pemuda ini melejit dan tiba-tiba kedua tangannya mengibas semua toya-toya itu.

"Liok-wi-susiok, awas teecu menambah tenaga!"

Sam-hwesio dan adik-adiknya terbelalak. Mereka yang memberi tahu sekarang mereka yang ganti diberi tahu. Sepintas Chi Koan hendak menghina, mengejek. Tapi ketika benar saja dari lengan pemuda itu menyambar angin pukulan dahsyat di mana toya tiba-tiba tertahan dan tersentak di udara, pemuda itu melepas Cui-pek-po-kiannya maka Sam-hwesio dan kelima saudaranya kaget karena tubuh mereka tiba-tiba terangkat naik, tak dapat dicegah lagi.

"Heiii... bres-bres-bress!”

Enam hwesio itu jatuh bangun. Mereka telah mengeluarkan serangan lebih dahsyat tapi Chi Koan membalas tak kalah dahsyat, ini benar- benar luar biasa. Dan karena Cui-pek-po-kian pemuda itu memang hebat dan mereka telah merasakan, satu demi satu tak akan sanggup maka mereka terlempar dan jatuh bergulingan oleh kibasan angin pukulan pemuda ini. Chi Koan menambah tenaganya karena ia harus bertindak cepat. Keenam susioknya mengeluarkan silat Angin Puyuh di mana langkah-langkah pat-kwa-tin digerakkan secara rapi.

Namun karena mereka hanya berenam dan dua yang lain kosong, pat-kwa-tin tak dapat dilakukan seperti biasanya maka kekosongan inilah yang dilihat Chi Koan dan dengan cepat pemuda itu sudah melumpuhkannya. Chi Koan tak mau berlama-lama lagi karena dia sadar akan tekanan-tekanan berikut. Keenam susioknya begitu bersemangat menyerangnya dan ingin membalas kekalahan Ji-hwesio tadi, karena itu ia harus bergerak lebih cepat lagi guna mencapai kemenangan.

Dan karena ilmu meringankan tubuh Lui-thian-to-jit sudah dikuasai baik dan pemuda ini berkelebatan cepat melebihi gerakan burung menyambar-nyambar, Sam-hwesio dan lain-lain kalah cepat maka mereka harus mengakui keunggulan pemuda itu dihantam Cui-pek-po-kian. Tanpa Cui-pek-po-kian tak mungkin Chi Koan mampu mengatasi keenam susioknya, biarpun ia bergerak melebihi kecepatan burung menyambar-nyambar.

Dan karena justeru Cui-pek-po-kiannya itulah yang ditakuti paman-paman gurunya karena berkali-kali mereka tergetar dan terdorong mundur, setiap adu tenaga tentu mereka kalah maka kibasan pemuda itu membuat semua terlempar dan akhir dari pertandingan ini membuat enam senjata di tangan enam orang hwesio itu juga mencelat!

“Kalian kalah!" Beng Kong Hwesio tiba-tiba berseru dan tertawa bergelak. Enam sutenya mengeluh di sana. “Ha-ha, kalian kalah, Sam-sute. Chi Koan menang. Muridku telah mahir memainkan Cui-pek-po-kian maupun Lui-thian-to-jit!”

"Pinceng harus mengakui ini,” Sam-hwesio dan adik-adiknya terhuyung bangun, pucat. "Muridmu hebat sekali, suheng. Tapi tolong hati-hati agar tidak sombong!”

“Ha-ha, pinceng akan mengaturnya. Kalian tak perlu khawatir!" dan ketika hwesio itu berkelebat menepuk-nepuk pundak muridnya, dua kali Chi Koan memberi kebanggaan maka murid-murid Go-bi mendecak dan mereka sungguh takjub akan kemenangan Chi Koan ini. Murid yang baru beberapa bulan belajar itu sudah mampu mengalahkan Pat-kwa-hwesio.

Tapi karena yang menggembleng adalah Beng Kong Hwesio dan hwesio itu adalah tokoh sakti setelah Ji Leng Hwesio maka para murid mengangguk-angguk dan Chi Koan menyeringai lebar. Ia telah menunjukkan kepada gurunya hasil latihannya yang sungguh-sungguh. Gurunya tentu puas dan ia pun juga begitu. Dan ketika hari itu Chi Koan telah menunjukkan kehebatannya semua memuji dan bertepuk kagum adalah Ji-hwesio dan sute-sutenya berkerut dahi.

Mereka merasakan sendiri kehebatan pemuda ini dan justeru mereka semakin khawatir. Entahlah, ada perasaan tak tenang di hati mereka itu, juga tak senang. Tapi karena mereka sudah roboh dan selanjutnya adalah tanggung jawab suheng mereka Beng Kong Hwesio maka sesuai janji Chi Koan mendapat tambahan ilmunya dengan mempelajari Thai-san-ap-ting.

“Kau sudah cukup hebat, tapi akan lebih hebat lagi dengan mempelajari Thai-san-ap-ting. Mari, aku menepati janjiku, Chi Koan. Kalau tiga bulan kau juga dapat menguasai ilmu ini maka dunia sudah di tanganmu!”

"Masa? Di atas gunung masih ada gunung, suhu. Di atas langit masih ada langit. Teecu tak percaya."

"Eh, bukankah kau sudah mampu merobohkan ketujuh susiokmu?”

"Susiok tadi tak dapat dijadikan ukuran. Teecu ingin mengalahkan yang lebih tinggi dan lebih hebat, Siang Kek dan Siang Lam Cinjin itu misalnya!”

"Ha-ha, besar sekali semangatmu. Bagus, dengan gabungan Thai-san-ap-ting dan Cui-pek-po-kian ini kau pasti mampu mengalahkan mereka, Chi Koan, asal bertanding satu lawan satu. Sudahlah, pelajari Thai-san-ap-ting dan coba kulihat apakah tiga bulan lagi kau mampu menahan doronganku!"

Chi Koan girang. Selanjutnya ia disuruh mempelajari ilmu baru itu, mendapat kamar baru karena kamarnya yang lama hancur. Anak-anak murid memandang iri namun mereka tahu diri. Keberhasilan yang dicapai pemuda itu adalah karena bakatnya yang besar, juga kemauannya yang kuat. Dan karena mereka tak mampu melakukan seperti apa yang dilakukan pemuda itu, Chi Koan lain daripada yang lain maka tiga bulan penuh pemuda ini mempelajari Thai-san-ap-ting. Dia menutup pintu kamarnya dan seperti dulu juga dia tak mau diganggu.

Beng Kong berseri-seri. Kesungguhan muridnya itu mengagumkannya. Jarang ada murid yang seperti itu, dan lebih jarang lagi ada guru yang mempunyai murid seperti itu. Dan ketika bulan demi bulan dilalui lagi dan tepat tiga bulan Chi Koan melatih Thai-san-ap-ting maka dia membuat geger lagi karena tembok kamarnya pun jebol. Bahkan, tembok dapur juga roboh terkena gempuran angin pukulannya.

“Braakkkk....!”

Suara hiruk-pikuk itu mengejutkan murid- murid Go-bi. Mereka yang ada di dapur tunggang-langeng karena kamar Chi Koan tak jauh dari tempat ini. Pemuda itu mendapat tempat dibelakang. Dan ketika tembok runtuh dan puing-puing berserakan menimpa pemuda itu, yang di dapur juga tertimpa dan kejatuhan genteng-genteng tebal maka geger di dapur menjadi geger di seluruh Go-bi pula.

"Tolong... tolong.... ada setan kelaparan. Kami diamuk!"

“Hush, bukan setan, Pi Chek, melainkan Chi Koan. Dapur roboh karena tak kuat terkena getaran pukulannya. Lihat, di sana pemuda itu terkubur hidup-hidup!"

Para murid berhenti. Tadinya mereka menyangka ada hantu atau setan kelaparan, datang ke dapur dan marah-marah di situ. Tapi ketika semua menoleh dan melihat ke tempat Chi Koan, kamar itulah yang roboh lebih dulu dan getarannya menyambung ke dapur maka sama seperti dulu banyak mata melotot melihat pemuda itu terbenam di antara runtuhan puing, sampai ke kepala.

"Eh, mari kita tolong dia. Celaka!"

“Nanti dulu!" yang lain menahan, teringat peristiwa tiga bulan lalu. "Chi Koan berbahaya didekati, kauw-suheng. Ingat ketika dia dulu mengibas roboh anak-anak murid Go-bi. Sebaiknya lapor kepada pimpinan!”

"Benar, kita laporkan kepada ciangbunjin. Mari, kita cepat lapor..!"

Anak-anak murid berlarian. Mereka mau memberi tahu tokoh-tokoh Go-bi tentang kejadian itu. Robohnya dua tempat sekaligus terlalu hebat, tidak cepat lapor bisa kena marah. Tapi ketika bayangan Beng Kong Hwesio berkelebat dan mendorong murid-murid itu, terlempar dan berpelantingan maka hwesio itu sudah tegak berseri-seri di depan "kuburan" muridnya.

"Ha-ha, selesai, Chi Koan? Kau telah menguasai Thai-san-ap-ting?"

"Teecu telah bangkit!" Chi Koan berseru dan tertawa bergelak, sikap dan tawanya sudah mirip gurunya. "Lihat, suhu. Teecu akan membuang reruntuhan ini.... blarr!" dan ketika Chi Koan menggerakkan kedua tangannya dari dalam tanah, terbenam tapi mampu mengangkatnya naik maka batu dan benda-benda lain serta debu berhamburan keluar. Chi Koan menjejakkan kakinya dan pemuda itu meloncat, tinggi sekali. Dan ketika ia terbebas dan keluar dari timbunan, wajah dan pakaiannya coreng-moreng maka sang guru berkelebat dan tertawa menyeramkan.

"Chi Koan, awas pinceng mengujimu!"

Chi Koan terbelalak. Ia baru berjungkir balik melayang turun ketika tiba-tiba pukulan gurunya itu menyambar. Angin berkesiur dahsyat dan inilah Thai-san-ap-ting. Kekuatannya dengan Cui-pek-po-kian tak kalah dahsyat namun Chi Koan melengking menggetarkan gurun. Luar biasa, khikang atau ilmu suaranya tiba-tiba juga hebat sekali. Dan ketika semua anak murid terpelanting dan roboh menjerit, pekik atau lengking tadi bagai auman singa di padang pasir maka Chi koan menggerakkan kedua tangannya dan pukulan sang suhu ditangkis.

"Desss!”

Ledakan atau benturan itu amatlah hebatnya. Tujuh bayangan yang berkelebatan datang, Ji-hwesio dan adik-adiknya tiba-tiba berseru tertahan dan terlempar di udara. Anak-anak murid jangan ditanya lagi. Mereka mencelat dan masuk lagi ke dalam pendopo! Dan ketika teriakan dan jerit kaget terdengar di sana-sini, Chi Koan terpental tapi gurunya juga terhuyung dan tergetar maka Beng Kong tertawa bergelak dan menyerang lagi, di saat sang murid baru saja menginjakkan kaki.

“Bagus, hebat, Chi Koan. Tapi coba terima lagi pukulan pinceng dan kerahkan Thai-san-ap-ting!"

Chi Koan berseru keras. Ia baru saja meletakkan kakinya ketika tiba-tiba gurunya itu menyerang lagi. Di sana tujuh susioknya juga baru saja turun setelah terlempar di udara. Benturan mereka tadi amatlah dahsyatnya. Namun begitu sang guru membentak dan Chi Koan girang dapat mengimbanginya, ia kalah sedikit tapi mampu menghadapi pukulan maka dorongan gurunya itu diterimanya lagi, kedua tangan digerakkan ke depan, menyambut.

"Dess!”

Guru dan murid bergoyang-goyang. Chi Koan menahan urat-urat wajahnya ketika sang guru menambah tenaga, membentak dan membalas dan ganti wajah gurunya itu yang kemerah-merahan. Urat-uratnya menonjol dan Beng Kong kaget tapi juga girang bukan main. Kemajuan muridnya ini luar biasa pesat, hampir tak dapat dipercaya. Tapi ketika ia tertawa bergelak dan mengerahkan Hok-tee Sin-kang, bukan lagi Thai-san-ap-ting maka Chi Koan terlempar dan terbanting roboh. Sinkang Penakluk Dunia itu lebih dahsyat daripada Thai-san-ap-ting.

"Suhu!”

Sang guru terbahak-bahak. Ia telah merobah tenaganya secepat kilat dan muridnya yang belum berpengalaman itu terkecoh. Thai-san-ap-ting bukan lagi dilawan dengan Thai-san-ap-ting melainkan dengan pukulan sakti dari Hok-tee-sin-kun, isi terhebat dari kitab pusaka Bu-tek-cin-keng. Dan ketika Chi Koan terbanting dan menjerit di sana, tak menduga, maka Ji-hwesio dan lain-lain berkelebatan maju dan Chi Koan merintih.

"Aduh... apa yang kau keluarkan itu, suhu? Itu bukan Thai-san-ap-ting!"

“Ha-ha, itu Hok-tee Sin-kang. Aku tak dapat mengalahkanmu kalau tidak dengan Hok-tee Sin-kang. Ha-ha, hebat sekali kemajuanmu, Chi Koan. Sungguh mengagumkan dan pinceng memuji. Kau bocah siluman!”

Chi Koan bangkit terhuyung. Ia merasa senut-senut dan tujuh paman gurunya tertegun. Mereka telah melihat kehebatan pemuda ini dan Ji-hwesio semakin dalam berkerut kening. Kalau dulu ia tak dapat mengalahkan pemuda ini apalagi sekarang! Namun ketika tujuh orang itu bergerak dan sudah mendekati Chi Koan, Beng Kong juga berkelebat dan menolong muridnya itu maka hwesio ini berseru,

"Chi Koan, kau sudah pilih tanding. Ada kau di sini Go-bi semakin kuat. Wah, pinceng benar-benar puas!"

"Tapi teecu roboh.... ilmu teecu masih kalah dengan suhu....!”

“Hm, tak usah tamak," Ji-hwesio tiba-tiba menegur, suaranya keren. "Dengan kepandaianmu seperti ini kau harus sudah merasa puas, Chi Koan. Sebenarnya hanya murid pendeta yang boleh menerima pelajaran tinggi. Kau harus berterima kasih!”

Chi Koan melirik marah. Kalau tak ada gurunya di situ tentu ia akan tertawa dingin. Kalau perlu menghajar susioknya ini, orang yang dia tahu paling tak senang kepadanya. Tapi karena ada gurunya di situ dan sita-citanya masih belum berhasil, ia harus mengambil hati gurunya maka ia berlutut.

“Suhu, teecu berterima kasih bahwa kepandaianmu benar-benar diturunkan sepenuh hati. Dan teecu tentu saja tahu rasa terima kasih. Tapi kalau teecu dapat memiliki ilmu yang lebih tinggi lagi tentu teecu akan merasa girang. Go-bi dapat teecu bela secara habis-habisan!"

“Ha-ha, kata-kata susiokmu memang benar, kau bukan murid pendeta, kau murid biasa. Kalau tidak mengingat hubungan lama kita belum tentu aku memberikan semuanya itu. Sudahlah, kau mengagumkan semua orang, Chi Koan. Dan apakah mau kau menjadi murid pendeta?"

"Suhu hendak menyuruh teecu hidup berwadat (tidak kawin)? Suhu hendak minta teecu menggunduli rambut? Ah, tidak suhu. Untuk ini teecu tak sanggup. Teecu tak berpembawaan menjadi pendeta!"

“Tapi kau hapal semua isi kitab suci!”

"Hapal tinggal hapal, suhu. Tapi teecu tak ingin menjadi pendeta. Dan tak ada paksaan pula di Go-bi untuk menjadi hwesio. Teecu tak sanggup!”

"Kalau begitu cukup warisan suheng kepadamu," Ji-hwesio tiba-tiba nimbrung, kembali bicara. “Sebagai murid bukan pendeta kau sudah mendapat lebih, Chi Koan. Sekarang praktekkan ajaran Go-bi membela si lemah melindungi si miskin. Kau harus keluar!”

“Hm," Beng Kong terkejut, memandang sutenya. "Di sini pun tak apa-apa, sute. Kenapa harus keluar. Kalau Chi Koan dapat membantu murid-murid lain belajar silat tentu tenaganya dibutuhkan. Kenapa diusir?”

"Aku tak mengusir, aku hanya minta ia mengamalkan ilmunya!”

“Kebetulan sekali," Chi Koan berseru dan memotong, tahu susioknya itu takut ia mendapat tambahan ilmu-ilmu lagi. "Sudah kuputuskan untuk keluar sebentar, susiok. Kebetulan sekali kalau kau memerintahkan ini. Aku dapat mengamalkan ilmuku dan menjunjung Go-bi!"

“Kau mau pergi?" sang guru terbelalak, tahu pula kekhawatiran sutenya itu. “Eh, tak ada yang mengusir kalau kau suka di sini, Chi Koan. Tapi kalau mau pergi tentu saja boleh, asal tidak macam-macam!”

“Teecu ingin mendatangi beberapa tempat. Teecu ingin mengamalkan seperti apa yang dikata ji-susiok tadi. Kalau suhu merasa kepandaian teecu cukup biarlah hari ini juga teecu berangkat!"

"Ha-ha, kepandaianmu lebih dari cukup. Tapi coba beri tahu dulu siapa yang akan kau datangi itu. Apakah dapat diterima!”

“Teecu akan mencari Coa-ong dan kawan-kawannya. Teecu ingin menghajar mereka karena dulu mereka itulah yang megacau Go-bi. Juga musuh-musuh Go-bi yang lain!”

"Ha-ha, boleh. Tapi sifatnya hanya memberi pelajaran, Chi Koan. Aku tahu maksudmu yang ingin menguji kepandaianmu itu. Boleh, bagus.... pergilah!”

Tapi Ji-wesio berseru menahan. Hwesio ini terkejut karena nada dari suhengnya memberi kebebasan. Itu bisa berbahaya. Dan ketika ia berdehem dan berseru bahwa tindak-tanduk Chi Koan harus sesuai kebenaran, tak boleh pemuda itu membuat cemar Go-bi maka hwesio ini menutup.

"Jelek-jelek pinceng adalah paman gurumu. Meskipun pinceng kalah olehmu tapi bukan berarti kau tak boleh menghormati tetua Go-bi. Di sini masih banyak orang-orang tua yang harus kau hargai, selain suhumu. Nah, karena itu pinceng berpesan agar tindak-tandukmu sesuai kitab suci. Jangan melakukan kejahatan dan coreng di muka Go-bi. Kalau ini kau lakukan tentu suhumu memikul tanggung jawab!”

“Teecu tahu...." Chi Koan gemas di dalam hati. "Petunjuk dan petuahmu tentu takkan kulupakan, susiok. Tapi betapapun juga teecu lebih berkiblat kepada suhu. Masalah yang kau khawatirkan itu tak perlu dicemaskan karena betapapun juga suhu masih di atas kepandaianku!"

"Ha-ha, benar. Dan kau tentu tak ingin menerima hukuman. Sudahlah, susiokmu hanya ingin berhati-hati, Chi Koan, dan iapun benar. Tak perlu kau kecil hati karena pinceng dapat mengendalikan sepak terjangmu!”

Ji-hwesio menarik napas. Lagi-lagi ada kesan melindungi di kata-kata suhengnya itu dan dia kurang puas. Tapi karena suhengnya juga betul dan kata-kata Chi Koan juga masuk akal, anak muda ini masih ada yang mengendalikan, yakni gurunya itu maka Ji-hwesio mundur dan melirik adik-adiknya. Enam hwesio yang lain saling mengangguk rahasia dan mereka menerima itu. Geger di pagi itu tak berakibat lanjut. Gerak-gerik dan sepak terjang Chi Koan masih terkendali, meskipun anak itu agak memandang rendah mereka, para susiok yang kepandaiannya memang masih di bawah.

Ji Leng Hwesio sang ketua sakti tak menghiraukan mereka seperti halnya menghiraukan Beng Kong Hwesio, karena mereka memang hanya murid-murid keponakan saja dan guru mereka Ji Beng Hwesio telah tewas. Dan karena celah ini telah terjadi dan mereka tak dapat berbuat banyak, ilmu-ilmu Go-bi hanya dipelajari suheng mereka itu, ilmu-ilmu dari Bu-tek-cin-keng maka ketujuh hwesio ini tahu diri dan menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab kepada Beng Kong Hwesio. Kalau ada apa-apa suheng mereka itulah yang dituntut.

Kalau tak mau maka supek mereka Ji Leng Hwesio yang bertapa itulah yang diminta turun tangan. Masih ada kekuatan lebih tinggi di situ! Dan ketika semua ini menghapus kekhawatiran dan rasa cemas mereka, sesungguhnya kehadiran Chi Koan di situ merupakan ganjalan maka ketika pemuda itu menyatakan akan pergi Ji- hwesio dan adik-adiknya merasa senang. Tak dapat disangkal, hwesio ini khawatir kalau Chi Koan mendapat ilmunya lagi. Baru Lui-thian-to-jit dan Cui-pek-po-kian saja mereka sudah tak mampu menghadapi, dan kini ditambah lagi dengan Thai-san-ap-ting. Tentu mereka semakin jauh!

Namun karena mereka adalah tokoh-tokoh Go-bi dan Chi Koan harus menghormat mereka, anak muda itu dituntut etika moralnya maka Ji-hwesio agak tenang dan lega. Dia sengaja setengah mengusir agar sang suheng tak dekat-dekat pemuda ini. Semakin banyak suhengnya memberi ilmu semakin tak senang sebenarnya hwesio itu, juga adik-adiknya. Maka ketika Chi Koan menyambut baik dan pemuda itu justeru akan segera pergi, ilmunya Thai-san-ap-ting telah diuji maka kegembiraan dan kelegaan mereka semakin besar.

Tapi sikap dan kata-kata pemuda itu harus diperhatikan. Ji-hwesio sengaja menahan dan mengingatkan agar tindak-tanduk pemuda itu tidak keluar rel. Go-bi tentu tak mau malu kalau anak muridnya berbuat kejahatan. Dan ketika pemuda itu telah diikat janji dan suheng mereka juga dimintai perhatiannya, Chi Koan tak sebebas kuda liar di hutan maka Chi Koan yang berlutut dan memberi hormat di depan gurunya berkata bahwa tentu saja yang akan dilakukan adalah menjunjung dan menambah nama baik Go-bi.

Diam-diam dia mencatat dan mengumpat paman gurunya ini. Rasa tidak senang hwesio itu masih terasa menonjol. Kelak dia akan membalas! Tapi karena Chi Koan terlalu cerdik untuk gegabah di depan gurunya, murid-murid Go-bi yang lain masih ada di situ maka setelah sekali lagi memberi hormat pergilah pemuda itu meninggalkan perguruannya. Ia telah beberapa bulan melanjutkan ilmunya di Go-bi, enam bulan terakhir malah berhasil mempelajari Cui-pek-po-kian dan Thai-san-ap- ting, hal yang tak mungkin dilakukan murid-murid lain bahkan oleh Pat-kwa-hwesio sekalipun. Tapi begitu pemuda itu meninggalkan Go-bi maka seminggu kemudian terjadi geger di Heng-san!

* * * * * * * *

Waktu itu, enam tahun setelah kekalahannya dari ketua Go-bi yang sakti Ji Leng Hwesio dua dedengkot Heng-san kembali dengan wajah murung. Murid keponakan mereka To Hak Cinjin tak dapat ditolong, sebab setelah setahun menderita oleh pukulan Beng Kong Hwesio maka tosu itu meninggal dunia.

Seperti diketahui, ketua Heng-san yang patah punggungnya dihantam Beng Kong Hwesio itu pingsan. Selanjutnya ia menderita semasa hidupnya dan cacad. Pukulan atau tangan besi Beng Kong sungguh hebat, tosu itu tak kuat dan akhirnya setelah mati hidup di tengah-tengah sisa usianya tosu inipun menghembuskan napasnya yang terakhir. Tapi ketika ia minta agar dua paman gurunya membalaskan sakit hatinya itu, Siang kek maupun Siang Lam tak sanggup maka kepedihan atau luka di hati dua orang kakek ini bertambah lagi.

Sebenarnya, kalau tak ada Ji Leng Hwesio di sana tentu mereka dapat membunuh Beng Kong. Setidak-tidaknya membuat hwesio itu terkapar dan luka-luka! Tapi karena Ji Leng ada di sana dan tokoh Go-bi itu melindungi muridnya, Beng Kong selamat maka giliran mereka yang mendapat malu dan akhirnya dua kakek ini pulang dengan malu berat dan kecewa yang tak ada lagi obatnya. Hampir saja Siang Lam membenturkan jidatnya tapi Siang Kek berkelebat mencegah. Orang gagah macam mereka tak boleh bunuh diri. Dan ketika Siang Kek menghibur dan banyak bicara membujuk saudaranya itu maka dua kakek ini pulang dan di Heng-san mereka membuat perubahan-perubahan.

Pertama, Tan Hoo Cinjin yang menjadi sute dari To Hak Cinjin diangkat ketua. Lalu adik seperguruannya yang bernama Sin Gwan Tojin, tosu yang dulu meluruk ke Go-bi dijadikan wakil ketua. Dan karena dua dedengkot Heng-san ini melihat betapa pesatnya kemajuan yang diperoleh Go-bi menganggap murid-murid sendiri amatlah rendah maka dua kakek itu langsung menggembleng sendiri dua orang ini dengan ilmu-ilmu mereka.

"Kalian lihat dan rasakan sendiri betapa hebat kemajuan yang diperoleh Go-bi. Dengan ilmu-ilmu kalian yang serendah itu tak akan ada kemajuan di Heng-san. Ikuti kami berdua dan latihlah ilmu-ilmu dahsyat kami yang selama ini belum dimiliki murid-murid Heng-san!"

Begitu Siang Kek berkata kepada Tan Hoo dan sutenya, ketika dua orang itu sudah dilantik untuk memimpin Heng-san. Mereka sendiri tetap tak mau campur tangan urusan partai.

"Kami kalah dan menelan hinaan hebat, Tan Hoo. Tapi kami berdua akan coba menggembleng kalian untuk mengembalikan pamor. Selanjutnya kalian memimpin anak-anak murid dan latihlah mereka ilmu-ilmu yang akan kami berikan ini, kecuali Lui-yang Sin-kang dan Tit-ci-thian-tung yang akan kalian pelajari secara khusus. Mengerti?"

Tan Hoo mengangguk-angguk.

“Dan lima tahun kalian harus menguasai dua ilmu ini setaraf kami. Kalau tidak maka lebih baik kalian mampus!"

Dua orang itu tergetar. Dalam keadaan seperti itu tak baiklah banyak membantah. Dua kakek ini sedang membawa kemarahannya dari Go-bi, sedikit meleset tentu mereka dibanting. Siang Kek dan Siang Lam memang belum dapat menghilangkan kekecewaannya dikalahkan Ji Leng Hwesio itu. Dan ketika hari itu juga semua ilmu-ilmu dedengkot ini diturunkan, Tan Hoo Cinjin maupun Sin Gwan Tojin seakan mendapat berkah maka dua orang itu berlatih tekun dan mereka benar-benar bersungguh-sungguh.

Banyak ilmu-ilmu yang diserap tapi yang paling dahsyat adalah Lui-yang Sin-kang dan Tit-ci-thian-tung. Dua ilmu ini, yang pertama adalah penghisap darah dan dikenal sebagai ilmu “listrik", dipelajari baik-baik oleh Tan Hoo Cinjin maupun sutenya. Dan karena mereka juga mendapat Tit-ci-thian-tung (Tuding Jari Ke Langit Timur) yang mampu mencoblos gunung, demikian hebat ilmu itu maka anak-anak murid kebagian ilmu-ilmu lain yang sedikit lebih rendah daripada dua ilmu ini namun tetap saja menjadikan mereka murid-murid tangguh!

Sin-sian-hoan-eng (Dewa Sakti Menukar Bayangan) yang menjadi andalan ilmu meringankan tubuh dedengkot Heng-san ini sekarang diwajibkan untuk dipelajari semua murid. Dari bawah sampai ke atas semuanya harus berlatih ilmu meringankan tubuh itu. Dan ketika empat tahun kemudian murid-murid Heng-san sudah pandai beterbangan seperti burung, gerakan mereka amat cepat dan kalah To Hak Cinjin semasa hidupnya maka murid-murid Heng-san ini benar-benar digembleng dan menjadi banteng-banteng perguruan yang pilih tanding.

Dan mereka mendapat pula ilmu-ilmu lain yang diturunkan dua kakek itu melalui Tan Hoo maupun Sin Gwan Tojin, seperti Hui-tung Sin-hoat atau Silat Sakti Tongkat Terbang, juga Hong-thian-lo-tee atau Badai Dan Kilat Kacaukan Bumi serta pukulan Twi-hong-hok-san (Dorong Angin Balikkan Gunung).

Melihat ilmu-ilmu ini dapatlah diketahui betapa besarnya kemauan dedengkot itu untuk menjadikan Heng-san partai yang kuat dan pilih tanding. Kalau perlu semua murid-murid setingkat dirinya. Biarlah mereka menguras kepandaian asal Heng-san bangun dan naik pamornya. Inilah keputusan nekat yang dilakukan dua kakek itu. Kalau semua murid setinggi itu maka dapat dipastikan tak ada murid-murid Go-bi yang mampu mengalahkan. Paling-paling hanya ketuanya tapi itu dapat diatasi, yakni bila semua murid maju dan Ji Leng atau Beng Kong dikeroyok. Dan sekali ini terjadi barangkali Go-bi bakal hancur!

Tapi dua kakek itu tak tergesa-gesa melaksanakan balas dendamnya. Kalau mereka mempunyai strategi tentulah pihak lawan tak tinggal diam. Mereka harus berhati-hati. Menurut perhitungan, paling sedikit enam sampaí tujuh tahun lagi barulah Heng-san kuat. Di situ tingkat kepandaian murid sudah mencapai rata-rata puncak dan Tan Hoo maupun Sin Gwan Tojin diharap sudah mampu menyamai mereka. Inilah perhitungan dua kakek itu. Dan ketika lima tahun kemudian Tan Hoo maupun Sin Gwan menjadi lihai, tenaga mereka sedikit di bawah tenaga kakek itu maka Siang Kek maupun Siang Lam girang. Tapi berbareng dengan itu merekapun jatuh sakit-sakitan.

"Kurang ajar, tubuh bobrok dan tak mau diatur. Eh, bagaimana keadaanmu Lam-te. Apakah masih juga batuk-batuk dan nyeri ulu hati?"

"Ugh, benar. Sakitku ini serasa bertambah, suheng. Dan kedua mataku sekarang kabur. Bagaimana denganmu?"

"Aku juga. Mataku mulai lamur. Eh, siapa itu?"

“Ini kami,” Tan Hoo dan Sin Gwan Tojin berseru, berkelebat masuk. "Kami berdua baru saja menyelesaikan latihan di bawah, susiok. Dan kami juga ingin memberi laporan bahwa rata-rata murid Heng-san kini telah menguasai Sin-sian-hoan-eng seperdelapan bagian!"

“Bagus, kau kiranya. Dan bagaimana ilmu-ilmu lain?"

"Sama saja, susiok. Mereka rata-rata dua tingkat di bawah kami!"

"Bagus, kalau begitu dua tingkat di atas mendiang suhengmu To Hak! Heh-heh, bagaimana pendapatmu, Lam-te? Apakah sekarang juga disuruh meluruk ke Go-bi?”

"Hm, aku inginnya begitu, tapi kita berdua sedang sakit. Tak enak membiarkan mereka tanpa kita lindungi!"

"Benar, dan kalau ada apa-apa malah payah. Keparat, penyakit tua ini menyebalkan hatiku!”

"Susiok tak usah gusar. Masih ada setahun dua tahun lagi memperdalam ilmu. Biarlah kalian beristirahat dan sembuhkan dulu penyakit itu."

“Hm, bisakah? Kita semakin renta, Tan Hoo, dan matapun semakin lamur. Ah, bagaimana kalau sampai tak keburu!”

"Benar, bagaimana kalau sampai tak keburu," Siang Lam tiba-tiba juga berkata, pelan. Rupanya dua dedengkot ini merasa bahwa usia mereka sudah amatlah tua, lebih dari seratus lima tahun. Dan ketika hari-hari berikut sakit mereka semakin parah, Siang Lam batuk dan digerogoti usia tuanya maka dua bulan kemudian kakek ini wafat.

Siang Kek menggerung-gerung melihat kematian adiknya itu dan Heng-san berkabung. Hampir saja kakek ini menyusul bunuh diri dan mencekik tenggorokan. Untunglah, dua murid yang selalu waspada mencegah itu. Tan Hoo maupun sutenya juga menangis namun mereka memaklumi usia tua itu. Tak ada manusia yang lolos dari kematian. Dan ketika mereka mengingatkan bahwa masih ada sedikit lagi ilmu-ilmu yang belum dimatangkan, kehadiran kakek itu amatlah diperlukan sebagai petunjuk maka pada tahun keenam kakek ini mengalami kebutaan.

Siang Kek sudah tak dapat melihat apa-apa lagi dan kakek itu sering menggereng-gereng minta mati. Ia sering batuk-batuk namun daya tahannya tergolong kuat, untuk kakek serenta dia. Dan ketika pagi itu kakek ini mengeluh dan gemetaran di dalam guanya, beberapa bulan kembali lewat sementara Tan Hoo dan sutenya semakin lihai dengan Lui-yang Sin-kang maupun Tit-ci-thian-tungnya maka waktu itulah Chi Koan datang.

Seperti yang direncanakan, pemuda ini hendak mencari dan menemui dua dedengkot itu. Dia hendak menjajal Cui-pek-po-kian dan Thai-san-ap-tingnya, seperti dulu gurunya menghadapi dua kakek itu. Dan karena memang ada suatu rencana di otak pemuda ini guna mencapai cita-citanya, Chi Koan memang pemuda penuh keberanian dan tak gentar memikul resiko maka ia datang ke Heng-san untuk menantang Siang Kek maupun Siang Lam.

Chi Koan tak tahu bahwa Siang Lam telah tiada. Dia juga tak tahu bahwa Siang Kek, kakek satunya, berada dalam penyakit tua yang sewaktu-waktu siap mengantarnya ke kubur. Maka begitu ia datang di Heng-san maka yang dicari adalah langsung dua kakek sakti itu. Dan ia harus berhadapan dengan beberapa murid Heng-san terlebih dahulu. Inilah pengalamannya!

Pagi itu, merendahkan murid-murid yang tak dipandangnya sebelah mata Chi Koan langsung naik dan menuju puncak. Ia tak tahu bahwa Heng-san sekarang bukan Heng-san enam tahun yang lalu. Semua murid sudah berkepandaian tinggi dan tak salah kalau dikatakan bahwa rata-rata murid tingkatnya sudah seperti Pat-kwa-hwesio. Jadi murid-murid Go-bi tingkatan bawah sampai menengah sudah bukan lawan murid-murid Heng-san ini.

Mereka sudah melampaui kepandaian To Hak Cinjin bekas ketua mereka sendiri enam tahun lalu. Murid-murid Heng-san sekarang benar-benar murid-murid yang tangguh! Dan ketika pemuda itu melenggang dan naik di bagian timur gunung, Chi Koan tak takut murid-murid Heng-san yang bakal melihatnya maka benar saja ia berhadapan dengan dua murid yang kebetulan sedang meronda. Lenggangnya yang seenaknya itu membuat marah.

"He, berhenti. Siapa kau dan mau apa naik ke atas?"

Chi Koan tersenyum, meskipun agak terkejut melihat gerakan dua murid yang seperti burung menyambar ini, berhenti. "Aku mau menemui dua kakek tua bangka Siang Kek dan Siang Lam Cinjin. Di manakah mereka dan kebetulan kalian datang. Aku mau bertanya!"

"Apa?” dua murid itu terkejut, seketika marah. "Kau siapa dan ada perlu apa mencari sesepuh kami? Bicaramu tak tahu sopan, kurang ajar!"

"Ha-ha, aku Chi Koan. Aku datang untuk merobohkan dua kakek itu. Di mana mereka dan tunjukkan kepadaku....wut!”

Dua murid itu tiba-tiba memotong omongannya, bergerak dan membentak dan tahu-tahu menerkam seperti harimau. Chi Koan tak dapat lagi meneruskan kata-katanya karena mereka itu marah melihat kekurang ajarannya. Sesepuh Heng-san diperlakukan seperti itu, oleh orang muda tak dikenal. Tapi begitu mereka berkelebat mendadak Chi Koan menghilang.

"Slap!” Pemuda ini mempergunakan Lui-thian-to-jitnya. Chi Koan bergerak cepat ketika dia melihat kecepatan tubrukan itu, terkejut dan heran karena untuk kedua kalinya ia melihat hal-hal luar biasa dari murid Heng-san ini, padahal mereka adalah penjaga gunung, bukan tokoh-tokohnya! Dan ketika ia lenyap dan dua anak murid itu berseru kaget, mereka juga terkejut dan heran bahwa pemuda itu bergerak lebih cepat lagi maka mereka membalik dan dilihatnya pemuda itu sudah di belakang.

"Keparat!" mereka menubruk dan menerjang lagi. "Bocah ini lihai juga, Nu-suheng. Awas dan jangan biarkan ia lolos!"

“Benar dan kita tangkap atau robohkan dia. Lapor kepada ketua dan jangan biarkan ia lolos.... wut!" dua orang itu menubruk angin lagi, terkejut dan berseru keras dan Chi Koan tahu-tahu tertawa meluncur dari atas. Ia tadi menjejakkan kakinya dan lenyap ke atas. Lui-thian-to-jitnya memang lihai. Dan ketika ia melayang dan dua orang itu bertubrukan sendiri maka kakinya menyapu dari kiri ke kahan dan dua murid Heng-san itu menjerit.

“Des-dess.... aduh!"

Chi Koan tak bermaksud memperpanjang main-mainnya lagi. Ia menendang dengan keras dan kedua-duanya terbanting, yang satu malah retak tulang rahangnya. Dan ketika ia berkelebat dan menyambar yang lain maka iapun menotok dan murid itu roboh.

“Nah," Chi Koan mengancam. "Di mana dua kakek itu tinggal atau nanti kucabut nyawamu!"

“Ak... aku tak tahu. Tapi aku dapat memberi petunjuk.... lep... lepaskan cekikanmu!"

“Hm, baik. Di mana mereka!" sekarang Chi Koan mengendorkan cekikannya.

Murid itu terbelalak dan ia tampak gentar dan pucat sekali. Ada membayang kemarahan di situ tapi murid ini tak berani menunjukan. la tahu berhadapan dengan seorang lawan lihai, pemuda ini bukan tandingannya. Dan ketika ia megap-megap dan berkeringat dingin, Chi Koan bertanya di mana Siang Kek Cinjin dan Siang Lam Cinjin maka murid itu menunjuk. “Di... di situ. Kau dapat ke sana dan mencarinya. Bebaskan aku!”

"Tentu," Chi Koan tertawa. “Tapi sinar matamu licik membayang, kawan. Hayo antar dulu dan nanti kubebaskan. Kalau bohong kau kubunuh!"

Murid ini ketakutan. Ia terkejut ketika disendal dan dibawa lari, Chi Koan berkelebat dan menuju ke tempat yang ditunjuk itu, sebuah semak-semak di mana di baliknya ada semacam rumah kecil, seperti sebuah pos penjagaan, atau barangkali rumah peristirahatan. Dan ketika Chi Koan tiba di sini dan murid itu pucat, bayangan-bayangan berkelebatan maka sepuluh anak murid Heng- san tahu-tahu telah mengepungnya. Chi Koan ditipu!

“Berhenti, siapa kau? Dan, heii.... itu Nu Sin!”

Chi Koan tertawa bergelak. Sekarang ia tahu bahwa tawanannya ini benar menipu. Mata kejamnya tiba-tiba bergerak, muncul dan berbalik menjadi kemarahan. Dan ketika sepuluh penjaga-penjaga gunung kembali bermunculan, ia dikepung maka Chi Koan mengerahkan tenaganya dan melempar tawanannya itu.

“Ha-ha, ini adalah kawan kalian. Terimalah, aku sebal!"

Dua puluh orang itu terkejut. Kawan mereka itu ditangkap tapi lehernya ternyata terkulai. Tadi terdengar suara "krek” dan Nu Sin, murid Heng-san ini tewas. Sebelumnya jalan darah ke otaknya dihancurkan Chi Koan, dengan remasan kuat. Dan ketika murid-murid yang lain gempar dan Chi Koan melakukan pembunuhan pertama, semua bergerak dan mencabut senjata maka pemuda itu sudah diterjang dan dibentak murid-murid Heng-san.

"Bocah keji, pemuda siluman. Bunuh dia!”

Chi Koan tertawa bergelak, Lagi-lagi ia terbelalak dan terkejut melihat gerakan anak-anak murid itu, semuanya ringan kaki dan gesit-gesit. Dua puluh tubuh beterbangan menyambar dari segala penjuru, Chi Koan hendak ditangkap. Tapi ketika pemuda itu melejit dan mendorongkan kedua lengannya ke kiri kanan, membentak dan berseru keras maka angin menyambar dari kedua tangannya dan terpekiklah murid-murid Heng-san menerima Thai-san-ap-tingnya.

"Heiii... bres-bress!”

Dua puluh murid tumpang-tindih. Mereka berteriak dan terkejut karena tahu-tahu serangkum angin dahsyat menerpa tubuh mereka, terangkat dan terbanting dan tiba-tiba saja duapuluhan murid-murid Heng-san itu tumpang-tindih. Dan ketika mereka berteriak dan kaget serta pucat, pemuda itu seperti iblis maka Chi Koan yang marah dan gemas akan ini tiba-tiba berkelebat dan naik ke atas.

"Orang-orang Heng-san, kalian tikus-tikus busuk yang tidak tahu diri. Aku hanya pantas berhadapan dengan Siang Kek Cinjin maupun Siang Lam. Mana mereka dan biar kucari!”

Gegerlah partai itu. Mereka yang tumpang-tindih tiba-tiba bersuit. Pekikan dan lengkingan silih berganti memberi tahu ke atas. Dan ketika Chi Koan dihadang bayangan-bayangan baru, mengibas dan terus naik keatas sambil tertawa maka murid-murid Heng-san berpelantingan namun mereka bangkit kembali, bangun.

“Ha-ha, boleh semua mengeroyok aku. Mari... mari kalian maju. Hayo, mana dua tua bangka Siang Kek Cinjin dan Siang Lam Cinjin!"

Heng-san benar-benar gempar. Chi Koan yang terus naik dan membagi-bagi kibasan membuat anak-anak murid berteriak tak keruan. Tapi karena semakin ke atas semakin lihai tingkatan murid-murid itu, Chi Koan tertegun ketika satu demi satu yang lebih hebat bermunculan maka pukulannya mulai tak mampu merobohkan murid-murid itu yang hanya terhuyung atau tergetar saja.

Thai-san-ap-ting yang semula mampu membuat lawan-lawan terpelanting kini hanya mampu membuat mundur atau terhuyung saja, apalagi setelah munculnya empat tosu berikat rambut kuning yang lihai, yang terkejut dan berseru keras terdorong empat langkah. Mereka ini tidak terpelanting dan Chi Koan terkejut. Tapi karena ia menghadapi banyak orang dan pukulannya tadi tidak sepenuhnya menyambar, pecah di sana-sini maka ia menerima bentakan dan ditanya dari mana berasal.

"Siapa kau yang bercecowetan di sini. Ada apa mencari sesepuh kami?"

"Ha-ha, siapa kalian?” Chi Koan tertawa, dan balas membentak, tidak menjawab. "Aku dari Go-bi yang ingin menjajal kepandaian tua bangka itu. Mana mereka dan kenapa bersembunyi saja!"

"Dari Go-bi?” empat orang itu terkejut. "Ah, kau bicara benar? Hati-hati, mulutmu dapat membahayakan, anak muda. Apa maksudmu main-main dan mengacau di tempat orang. Terimalah pukulan kami.... des-dess!"

Chi Koan tergetar menerima hantaman dari kiri kanan, terkejut dan mengerahkan sinkang dan empat lawannya ganti terkejut karena pukulan mereka seperti bertemu tembok baja. Pemuda itu selanjutnya tak bergeming. Dan ketika Chi Koan terbahak dan membalas, sekarang dia memusatkan perhatiannya kepada empat tosu ini maka Cui-pek-po-kian menyambar dan empat orang itu terpental.

“Aihhhh...! Ini... ini Cui-pek-po-kian!" empat tosu berjungkir balik mengenal pukulan itu. Sesepuh mereka telah memberi tahu dan ciri-ciri pukulan itu dikenal, kini mereka merasakan dan tentu saja mereka kaget karena pemuda ini benar dari Go-bi.

Chi Koan sendiri tertawa dan bangkit kepercayaannya, setelah tadi berulang-ulang pukulannya ditahan dan hanya membuat orang-orang ini tergetar, atau terhuyung. Dan ketika empat tosu itu terkejut dan berjungkir balik melayang turun, tempat itu sudah penuh manusia maka Chi Koan berkelebetan di antara yang lain.

"Heii, mana To Hak Cinjin. Mana ketua kalian. Aku mencari siapa saja yang dapat mengalahkan aku. Hayo, mana tua bangka Siang Kek dan Siang Lam Cinjin!”

Gembar-gembor atau teriakan ini membuat marah orang-orang Heng-san. Tiba-tiba mereka tahu bahwa pemuda ini rupanya baru keluar perguruan, karena kematian To Hak Cinjin ternyata tak diketahui dan begitu pula wafatnya Siang Lam, sesepuh mereka. Tapi karena pemuda itu harus dihajar dan Heng-san tak boleh dibuat sembarangan maka empat tosu terlihai yang kini mengenal Cui-pek-po-kian segera menyuruh mundur anak-anak murid yang lain. Mereka adalah wakil atau tokoh-tokoh nomor tiga setelah Tan Hoo Cinjin dan Sin Gwan Tojin.

“Anak muda, tak perlu berteriak-teriak. Bagus sekali kau datang. Kami dari Heng-san dapat membalas sakit hati kepada Go-bi!”

"Ha-ha, siapa yang mau membalas. Ayo, kalian maju dan terima pukulanku, atau mundur dan panggil dua tua bangka itu!”

Empat tosu ini marah. Mereka terhina dan gusar sekali oleh kata-kata Chi Koan, membentak dan menerjang maju dan tongkat di tangan melejit terbang. Hui-thian Sin-hoat (Silat Sakti Tongkat Terbang) menyambar pemuda ini, tiba-tiba dikeluarkan dan Chi Koan terkejut oleh sambaran empat tongkat itu. Namun karena ia memiliki Lui-thian-to-jit dan ilmu meringankan tubuhnya ini dikuasai baik, dengan itulah ia mengelak maka tongkat lewat disamping tubuhnya namun aneh sekali mereka dapat membalik dan pulang kepada tuannya.

“Sam-sute, pemuda ini lihai sekali. Mari keluarkan Sin-sian-hoan-eng dan kejar dia!” tosu bertahi lalat disudut bibir, yang rupanya pemimpin sudah berseru kepada sutenya. Ia telah melihat gerakan cepat lawannya tadi ketika mengelak, ilmu meringankan tubuh Lui-thian-to-jit yang memang luar biasa. Dan begitu ia bergerak menjejakkan kaki ke depan, meloncat dan terbang dengan Sin-sian-hoan-eng atau Dewa Sakti Menukar Bayangan. Maka Chi Koan lagi-lagi terkejut karena empat bayangan kuning tiba-tiba berkelebatan dan membayangi dirinya. Pemuda ini tersentak karena ilmu meringankan tubuhnya kiranya mendapat tandingan!

"Hm!" Chi Koan marah dan geram. Ia memanggil-manggil Siang Kek Cinjin maupun ketua Heng-san namun tak juga orang-orang itu keluar. Yang ada ialah orang-orang ini dan mau tak mau harus dia hadapi. Dan ketika empat tosu itu bergerak menyerang sementara dua ratus lebih anak murid Heng-san mundur menjauh, nonton, maka tongkat di tangan empat tosu itu juga beterbangan dan mengejar Chi Koan. Di sini pemuda itu terkejut karena Heng-san rupanya sudah berobah, kuat dan tidak diduga!

"Plak-plak-plakk!"

Chi Koan menangkis dan mengerahkan Cui-pek-po-kian sekaligus Thai-san-ap-ting nya. Dengan dua ilmu ini ia membuat lawan-lawan terkejut dan empat tosu itu terpental. Tapi karena mereka tidak terpelanting dan itu menunjukkan betapa lihainya tosu-tosu ini, Chi Koan terbelalak maka mereka maju lagi dan empat tosu itu juga melotot. Mereka terkejut dan tersentak dan sesungguhnya kaget sekali. Pemuda ini tak dikenal kecuali asal perguruannya saja, namanya tak diketahui dan merekapun tak tahu siapa guru pemuda ini.

Kalau pemuda ini hanya murid rendahan Go-bi dapatlah dibayangkan betapa hebatnya Go-bi sekarang. Agaknya kemajuan di Heng-san juga diikuti kemajuan di padang pasir itu, Go-bi tetap hebat! Namun ketika kemarahan sudah membakar ubun-ubun dan empat tosu itu berkelebatan naik turun, tongkat menyambar dan beterbangan kembali maka Chi Koan berseru keras dan dengan Lui-thian-to-jit nya ia mengimbangi kecepatan lawan dan di sini tontonan menjadi menarik!

Heng-san, yang diwakili empat tosu itu ternyata dapat menahan Chi Koan. Pemuda yang semula menggegerkan gunung ini mampu dibuat bingung oleh bayangan tongkat yang menyambar-nyambar, apalagi karena tongkat itu juga beterbangan sendiri dan lepas bagai ular hidup, menyodok atau menghantam dan Chi Koan yang baru beberapa bulan belajar di Go-bi sejenak terdesak. Tapi karena pemuda ini juga memiliki Cui-pek-po-kian dan dengan ilmu itu ia menangkis atau menampar.

Thai-san-ap-ting nya dipakai untuk mendorong atau memukul tongkat maka senjata di tangan empat tosu itu tak mampu merobohkannya karena betapapun pertahanan pemuda ini amatlah kuat. Dan ketika pertandingan sudah berjalan tiga puluh jurus dan Chi Koan mulai mengenal gaya serangan lawan, hapal dan tertawa bergelak maka dibalaslah empat tosu itu dan empat batang tongkat yang menyambar-nyambar dihalaunya dengan tiupan mulut, hawa khikangnya.

"Ha-ha, tak mungkin mendesak aku terus-menerus, tosu-tosu bau. Sekarang lihatlah betapa aku akan merobohkan kalian!”

Empat tosu terkejut. Benar saja mereka dibalas dan Hui-thian Sin-hoat yang tadi diandalkan mendadak tak berguna. Tongkat mereka itu terhalau ditiup lawan dan kini pemuda itu melancarkan pukulan-pukulan Thai-san-ap-ting maupun Cui-pek-po-kian, yang kini tak perlu digunakan untuk menghadapi tongkat. Dan karena konsentrasi pemuda itu sudah dapat ditujukan kepada mereka lagi, tidak seperti tadi yang masih terpecah kepada tongkat maka empat tosu terpekik ketika serangan pemuda itu mereka tangkis.

“Plak!" dan mereka mencelat. Chi Koan telah mengetahui kelemahan lawan dan kini tertawalah pemuda itu mengejar tosu termuda, berkelebat dengan Lui-thian-to-jitnya dan kaget serta paniklah tosu termuda ini. Ia bergulingan menangkis tapi terlempar dan terbanting setombak. Dan ketika Chi Koan bergerak ke tosu nomor tiga dan di sini ia melepas pukulannya, si tosu menjerit dan juga terlempar.

Ternyata berturut-turut Chi Koan telah mampu mendesak lawannya itu. Tosu- tosu yang semula galak dan menggigit kini kelabakan, Chi Koan gembira. Namun ketika ia menghajar dan melepas pukulan ke tosu pertama, yang bertahi lalat di sudut mulutnya itu ternyata tosu ini meloncat bangun dan mendorongkan kedua tangannya secepat kilat, menangkis dengan Twi-hong-hok-san, Tangan Mendorong Gunung.

"Bocah pinto masih memiliki perlawanan. Jangan sombong!"

Chi Koan terkejut. Ia kagum akan kecepatan lawan melompat bangun namun lebih kagum lagi akan sambaran angin pukulan yang menangkis pukulannya. Tosu itu hebat juga. Namun karena si tosu dalam posisi tergesa-gesa dan betapapun ia menang angin maka tosu ini terbanting dan mencelat juga.

“Dess!” Tosu itu mengeluh. Tiga adiknya juga merintih dan pening di sana, mereka juga bergulingan ke sana ke mari menghindari pukulan pemuda ini. Dan ketika Chi Koan hendak menyerang lagi dan melumpuhkan tosu itu, anak-anak murid bergerak dan siap melindungi tiba-tiba berkelebatlah dua bayangan orang dan bentakan nyaring.

"Berhenti, jangan bergerak!"

Di situ muncul dua tosu tinggi kurus yang rambutnya diikat dengan kain putih. Chi Koan terdorong dan terkejut berseru tertahan ketika serangannye dipotong dari samping, terbelalak dan sudah melihat serta berhadapan dengan tosu-tosu ini. Dan ketika ia tertegun dan samar-samar ingat tosu bermuka merah, inilah Tan Hoo Cinjin yang dulu pernah melabrak Go-bi maka tosu itu bersinar-sinar, pandangannya marah.

"Siapa kau, dan kenapa mencari-cari Siang Kek-susiok dan ketua Heng-san?"

“Ah, ha-ha... kau... kau Tan Hoo Cinjin?" Chi Koan sekarang ingat. "Bagus aku Chi Koan, Cinjin. Barangkali kau ingat itu. Aku murid Beng Kong lo-suhu, datang untuk menantang dua dedengkot Heng-san!”

Tosu ini terkejut. "Chi Koan? Hmm, bocah yang membuat onar di Go-bi itu? Kau murid Beng Kong Hwesio? Bagus, tidak dinyana datang mencari penyakit. Pinto benar Tan Hoo Cinjin adanya, bocah, dan pinto sekarang adalah ketua Heng-san-pai. To Hak-suheng sudah meninggal gara-gara gurumu. Dan pinto juga cukup mendengar dirimu yang menjadi gara-gara datangnya Tujuh siluman Langit di Go-bi!"

“Ha-ha, ingatanmu bagus!" Chi Koan memuji. “Tapi urusan yang lewat tak usah dibicarakan, Tan Hoo Cinjin. Aku datang untuk menantang tanding. Mana Siang Kek Cinjin ataupun Siang Lam Cinjin. Gagah benar mereka itu dulu mengeroyok guruku!”

"Hm, mulutmu berbisa, jahat sekali. Katakan dulu atas suruhan siapakah kau datang. Atas nama gurumu atau atas namamu pribadi?"

“Aku datang atas nama guruku. Aku ingin mewakilinya menggebuk pantat sesepuh Heng-san yang dulu tak malu-malu main keroyok!"

"Tutup mulutmu!" tosu ini marah sekali. "Pengeroyokan itu adalah atas permintaan gurumu yang sombong, Chi Koan. Lagi pula Go-bi berhutang banyak jiwa kepada Heng-san. Kalau kedatanganmu direstui Ji Leng Hwesio maka pinto akan menuntut tanggung jawab kepada sesepuh Go-bi itu pula!"

"Ha-ha, boleh-boleh saja,” Chi Koan tak berpikir panjang. "Heng-san telah dikalahkan Go-bi, Tan Hoo Cinjin. Dan kini aku ingin mengalahkan lagi. Panggil dua sesepuh kalian dan suruh maju!"

Sin Gwan, yang melotot dan berapi-api di sebelah suhengnya tiba-tiba tak dapat menahan diri. Sejak tadi ia diam saja namun dadanya bergemuruh oleh kemarahan yang sangat. Melihat empat sutenya roboh di sana, kalah oleh pemuda ini tahulah dia bahwa bocah ini memang hebat. Tapi itu bukan lalu berarti nama besar Heng-san boleh diinjak-injak.

Heng-san yang dulu tak sama dengan Heng-san yang sekarang. Heng-san yang sekarang telah memperkuat diri dan justeru ingin dicobakan terhadap Go-bi. Maka ketika kebetulan bocah ini datang dan mulut sombongnya tak dapat ditahan lagi, ia bergerak dan berseru keras tiba-tiba adik seperguruan Tan Hoo Cinjin ini menampar Chi Koan dengan ilmu listriknya, Lui-yang Sin-kang.

“Bocah, kau takabur sekali. Tapi coba terima pukulan pinto!”

Chi Koan terkejut. Hawa sepanas api tiba-tiba menyambarnya, ia berkelit tapi diburu. Dan karena ia tak takut dan menjadi marah, tosu tak dikenal ini menyerangnya lebih dulu maka kontan ia menangkis dan Lui-yang Sin-kang diterimanya dengan Cui-pek-po-kian.

"Blarr!” Letupan api menyembur ke atas. Chi Koan terdorong tapi lawan juga terhuyung, masing-masing sama terkejut. Dan ketika masing-masing sama berseru tertahan dan Chi Koan terbelalak, tak disangkanya masih ada tokoh hebat di situ maka ia merasakan betapa sekujur tubuhnya seakan tersengat listrik tapi untung Cui-pek-po-kian nya itu melindungi. Dan Sin Gwan Tojin melihat kulit pemuda itu sama sekali tak terbakar.

"Dia telah mewarisi Cui-pek-po-kian gurunya. Hebat sekali. Tapi pinto penasaran dan akan maju lagi!" dan tidak menunggu jawaban suhengnya yang mundur menganggukkan kepala, Tan Hoo juga melihat dan terkejut oleh kehebatan Chi Koan maka wakil dari Heng-san ini berkelebat lagi dan Sin-sian-hoan-eng nya dikeluarkan lebih hebat dari empat tosu berikat kepala kuning.

“Wut-wutt!" bayangan tosu itu menyambar dua kali. Ia melepas serangan tapi ditarik lagi karena Chi Koan mengelak dan mundur menjauh, diganti dengan sapuan kaki dan sebentar kemudian lima tusukan jari susul-menyusul menyambar Chi Koan. Cakar Naga yang dulu pernah dipakai Siang Kek maupun Siang Lam di Go-bi kini tiba-tiba diperlihatkan, cepat dan bertubi-tubi.

Dan Chi Koan kaget melihat lawan yang lebih tangguh. Bajunya tahu-tahu robek terkena cakar lima jari itu. Amatlah cepatnya! Dan ketika tahu-tahu ia sudah terdesak dan mendapat tekanan berat, tosu itu mengelilingi tubuhnya dengan Dewa Menukar Bayangan maka apa boleh buat Chi Koan membentak dan mengeluarkan Lui-thian-to-jitnya itu, Kilat Menyambar Matahari.

“Tosu bau, beritahukan dulu siapa kau. Atau nanti aku tak mau bertanding!"

"Keparat, kau berhadapan dengan wakil Heng-san, bocah. Pinto adalah Sin Gwan Tojin. Sekarang hadapi pinto dan coba perlihatkan ilmu-ilmumu apakah pantas menantang sesepuh Heng-san....!"