Prahara Di Gurun Gobi Jilid 10 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Serial Prahara Di Gurun Gobi Karya Batara

“AKU tak tahu. Tapi mungkin tewas!"

Murid-murid Go-bi berhamburan. Mereka menolong atau membantu suheng-suheng mereka ini yang mendapat hajaran dari Beng Kong Hwesio. Hwesio itu sendiri berdiri tegak dengan tawa menggetarkan, membiarkan saja saudara-saudaranya itu merintih dan melihat murid-murid yang lain menolongnya. Dan ketika semua diangkat bangun hanya Twa-hwesio sendiri yang tak sadarkan diri, pingsan oleh pukulan Beng Kong maka semua pucat dan ngeri memandang murid Ji Leng Hwesio ini, calon ketua atau pimpinan yang menggantikan Ji Beng Hwesio.

"Pinceng masih mengingat hubungan kita sebagai saudara. Pinceng hanya merobohkan kalian. Nah, jangan macam-macam terhadap pinceng dan siapapun yang tak puas boleh mencoba pinceng!"

Semua gentar. Tentu saja mereka ngeri melihat kepandaian Beng Kong Hwesio ini, tunduk dan menjatuhkan diri berlutut dan Beng Kong akhirnya menyuruh mereka kembali ke tempat persemayaman jenasah. Twa-hwesio mendapat perawatan khusus karena di samping pingsan oleh pukulan Beng Kong ia juga baru saja memotong telinga kirinya. Telinga itu berdarah lagi dan tadi dengan keji Beng Kong memukul di bagian sini, luka menjadi bertambah lebar dan murid-murid Go-bi bergidik melihat ketelengasan hwesio ini.

Beng Kong memang dikenal keras tapi tak sekeras sekarang. Kekerasannya ini mengandung kekejaman dan kekejamannya cukup mengerikan. Ia tak segan-segan membuat Twa-hwesio cacad! Tapi ketika semua kembali dan pergi ke ruang jenasah, menunggui mayat sesepuh mereka maka seorang murid tiba-tiba mendekat dan berbisik gemetar bahwa di situ masih ada tiga ketua Hoa-san dan Heng-san serta Kun-lun, yang tubuhnya masih membujur di luar, pingsan.

“Kami tak tahu harus berbuat apa. Mohon suheng memberi petunjuk!”

“Hm, mereka masih di sana? Lempar dan keluarkan saja, Siong-hu. Biar pulang atau kembali sendiri-sendiri!”

“Ah, mereka terluka, suheng. Tak dapat berdiri. Mereka masih pingsan!"

"Kalau begitu bagaimana maumu. Apakah menyuruh merawatnya di sini dan melayaninya seperti seorang kaisar?”

"Ampun, bukan begitu, suheng. Tapi seharusnya kita mengantar mereka pulang dan baik-baik menyerahkannya kepada partainya!"

“Tapi mereka pengacau. Apakah pantas menerima hal itu?"

"Jadi bagaimana maksud suheng?"

"Lempar dan keluarkan mereka dari tembok Go-bi. Mati atau hidup biar di luar sana!"

"Ah, itu tak berperikemanusiaan, suheng. Kita bakal dikutuk dunia!”

"Kalau begitu bawa ke sini, biar aku yang urus!”

Hwesio itu girang. Dia mengira pimpinannya ini berwelas asih dan akan menolong. Kalau begitu baik, Go-bi memang bukan partai persilatan kejam yang semena-mena terhadap orang lain, biarpun musuh. Tapi begitu ia membawa tiga orang ketua itu, yang masih pingsan dan luka-luka berat mendadak Beng Kong Hwesio tertawa dingin dan sekali kebutkan jubah tiba-tiba ia melempar tiga orang ketua itu sampai jauh melampaui tembok gerbang Go-bi.

"Suheng...!”

Teriakan atau pekik kaget terdengar di sana- sini. Mereka sungguh tak menyangka bahwa Beng Kong Hwesio akan memperlakukan tiga ketua Hoa-san dan Kun-lun serta Heng-san seperti itu. Tiga tubuh itu mencelat dan terlempar ratusan meter. Bukan main dahsyatnya. Dan ketika tiga tubuh itu berdebuk dan jatuh di luar tembok, murid- murid berlarian melihat maka It Lun dan Kiam Leng ternyata tewas, tubuhnya remuk!

"Suheng, ketua-ketua Hoa-san dan Kun-lun binasa. Kau telah membunuhnya!"

"Ha-ha, siapa mau main-main denganku, Siong-hu. Boleh mereka datang kalau ingin membalas dendam. Mereka itu sebelumnya memang sudah luka berat dan pasti mampus. Pinceng hanya mempercepat kematiannya saja, agar tidak menderita!"

Siong-hu dan murid-murid lain tertegun. Mereka itu kaget sekali melihat kekejaman dan watak sombong hwesio ini. Dua ketua Hoa-san dan Kun-lun tewas, tinggal ketua Heng-san yang untuk tidak remuk karena jatuh menimpa dua tubuh temannya itu. Dan ketika mereka pucat dan tentu saja bercucuran air mata, Beng Kong dianggap tak berperikemanusiaan dan kejam maka atas inisiatip sendiri enam di antara mereka membawa dan mengangkat tubuh tiga ketua itu.

“Kita harus mengantar jenasahnya ke Hoa-san dan Kun-lun. Siapa di antara kalian yang akan membawa Heng-san-paicu?”

“Biarlah siauw-ceng yang membawanya,” dua di antara hwesio-hwesio muda maju berkata. "Kami yang akan membawa Heng-san-paicu, suheng. Dan kau hati-hatilah mengantar jenasah dua ketua Hoa-san dan Kun-lun."

“Pinceng akan membawanya sampai ke kaki gunung Hoa-san dan Kun-lun saja," Siong-hu berkata. "Pinceng tentu saja tak berani mengantar sampai ke atas."

"Baiklah, mari, suheng. Lihat Beng Kong- suheng tak perduli kepada kita dan kita jaga nama baik Go-bi!"

Enam orang itu bergerak. Beng Kong Hwesio sendiri telah lenyap dan tidak perduli kepada itu. Dia telah memamerkan kepandaiannya yang dahsyat dengan melempar tiga orang ketua itu sampai ratusan meter, hal yang memang luar biasa. Dan ketika Go-bi sendiri berkabung atas kematian Ji Beng Hwesio, Siong-hu dan lima saudaranya membawa ketua-ketua Hoa-san dan Kun-lun serta Heng-san maka tentu saja di tempat yang bersangkutan terjadi geger! Go-bi sendiri akhirnya menyelesaikan masa berkabung itu.

Tidak banyak adat atau upacara. Tapi ketika seminggu masa perkabungan itu selesai maka di pintu gerbang perguruan ini tiba-tiba terpancang enam kepala hwesio yang bukan lain adalah Siong-hu dan kelima saudaranya. Apa yang terjadi? Pembalasan atau kemarahan besar dari pihak Hoa-san dan Kun-lun serta Heng-san!

* * * * * * * *

Mari kita ikuti perjalanan sial enam murid Go-bi yang baik ini. Siong-hu, yang memimpin kelima saudaranya untuk menyerahkan kembali ketua-ketua Kun-lun dan Hoa-san serta Heng-san itu tentu saja tidak berani naik ke atas. Di tengah jalan mereka berpisah dan dua di antara masing-maslng membawa ketua-ketua Hoa-san dan Kun-lun itu. Saudara termuda membawa To Hak Cinjin ke Heng-san, sedangkan yang dua lagi ke Kun-lun membawa Kiam Leng Sianjin sementara Siong-hu sendiri membawa It Lun Tojin yang remuk tulang-tulang tubuhnya itu.

Dan Siong-hu berpesan agar masing-masing tidak usah ke atas gunung menyerahkan jenasah-jenasah itu, kecuali yang membawa To Hak Cinjin karena ketua Heng-san itu tidaklah tewas meskipun luka-luka berat. Dan ketika masing-masing membawa bawaannya dan Siong-hu menuju Hoa-san maka di kaki gunung partai persilatan terkenal itu Siong-hu menurunkan mayat It Lun Tojin.

"Sebenarnya tak baik kita meletakkan mayat ini di sini. Tapi apa boleh buat, kematian It Lun Tojin tentu membuat marah anak-anak murid Hoa-san. Hm, kita taruh di pinggir hutan sini, sute. Dan beri tanda agar segera diketahui orang!"

“Tanda apa?"

"Apa saja, pokoknya menarik perhatian orang!"

Sang sute, yang mengangguk dan melepas pandangan ke kiri kanan akhirnya menemukan sebatang pohon besar, yang roboh. Pohon itu sudah tua dan diangkutnya lalu diberi kain putih. Dan ketika pohon ini ditancapkan di sisi mayat It Lun Tojin dan dua hwesio itu menutup hidung karena bau mayat mulai busuk, dua hari perjalanan membawa mayat bukanlah pekerjaan ringan maka mereka berdoa dan berpantas-pantas sebelum pergi.

"It Lun totiang, kami dari Go-bi amatlah menyesalkan kematianmu ini. Beng Kong suheng memang terlalu, tapi nasi sudah menjadi bubur. Daripada kau dicari-cari anak muridmu di tempat lain biarlah kau beristirahat dan sementara ini tenang di sini. Kami telah memberi tanda bendera putih sebagai petunjuk berkabung!”

"Benar," sang adik menyambung. "Kami pribadi tak menanam permusuhan denganmu, totiang. Tapi kematianmu sedikit banyak berhubungan dengan Go-bi pula. Biarlah kami balas kesalahan kami dengan membawamu ke sini dan semoga mayatmu cepat ditemukan anak-anak murid Hoa-san!"

Dua hwesio itu bersedakap. Mereka menunduk dan tak tahu akan adanya bayangan-bayangan dari lereng gunung. Mereka berada di kaki gunung dan sesungguhnya kedatangan mereka itu sudah diketahui murid-murid Hoa-san. Maklumlah, Hoa-san bukan perkumpulan anak-anak kecil dan sekeliling gunung selalu mendapat pengawasan, setiap limabelas menit tentu ada yang menjaga atau meronda.

Dan ketika dua orang hwesio itu berhenti di kaki gunung dan tentu saja bayangan mereka terlihat, dari atas selalu ada penjaga atau peronda-peronda maka mereka itu sudah saling memberi tanda dan ketika Siong-hu dan sutenya menancapkan pohon dan berdoa di situ maka mereka sudah turun dan tahu-tahu mengepung hwesio-hwesio Go-bi ini. Siong-hu terlalu membuang-buang waktu dengan berdoa dan mencari pohon segala.

"Siapa ini. Kawan atau lawan dari mana berani memasuki wilayah Hoa-san tanpa ijin!"

Siong-hu terkejut. Ia menoleh dan tahu-tahu belasan anak murid Hoa-san berkelebatan di situ, membentak dan berdiri mengurung. Dan ketika hwesio ini terkejut karena ia kalah cepat, musuh mengetahui kehadirannya maka murid-murid Hoa-san terpekik melihat jenasah ketuanya.

"Itu ciangbunjin (ketua)...!”

“Itu It Lun suhu...”

Siong-hu dan adiknya terperanjat. Mereka tahu-tahu diserang dan begitu mayat itu dikenal mendadak murid-murid Hoa-san menjadi histeris. Mereka berteriak dan marah menyerang hwesio-hwesio Go-bi ini. Dan ketika pedang berdesingan dan menyambar dari delapan penjuru, Siong-hu dan sutenya terkejut maka apa boleh buat hwesio ini menangkis dan mengebutkan ujung lengan jubahnya, tidak mencabut toya.

“Omitohud, sabar, saudara-saudara. Kami berdua dari Go-bi!”

“Benar, kami yang membawa mayat ini, saudara-saudara. Jangan menyerang karena kami bukan musuh!”

"Keparat!” tosu-tosu itu membentak. “Bukan musuh tapi membunuh ketua kami keledai- keledai gundul. Apa artinya itu kalau bukan kebohongan!"

“Ah, kami tidak membunuh...” Siong-hu menangkis dan mengelak sana-sini.

“Benar, kami tidak membunuh!" sang sute juga mengelak dan bergerak ke sana-sini. Tapi ketika tosu-tosu itu memekik dan berkata bahwa ketua mereka dibunuh Beng Kong Hwesio, hwesio dari Go-bi pula maka mereka menerjang dan malah semakin kalap.

"Kami tahu hwesio-hwesio rendahan semacam kalian tak mungkin mampu membunuh ketua kami. Tapi Beng Kong adalah murid Ji Leng dan sama-sama anak perguruan Go-bi. Nah, kalian juga dari Go-bi dan tak usah banyak cakap untuk menyangkal atau berdebat... cring-plak!”

Pedang menyambar dan ditangkis Siong-hu, terpental tapi pedang-pedang yang lain datang berhamburan dari kanan dan kiri. Dan ketika Siong-hu kewalahan karena ia dikeroyok belasan tosu, ujung jubahnya robek dan lengan kirinya tergores pedang maka apa boleh buat hwesio ini mencabut toya dan sutenya juga sudah melakuan hal yang sama karena lehernya hampir saja terbabat pedang!

"Omitohud, kalian tak dapat diajak omong baik-baik, siauw-totiang, Maaf bahwa pinceng melawan dan kami akan membalas!" hwesio itu membentak dan menangkis dengan toyanya. Sinar kuning berkelebat dan hebat tenaga hwesio ini. Karena begitu ia menangkis maka belasan pedang terpental. Dan ketika sutenya juga membentak dan berseru keras, mencabut toya maka belasan murid-murid Hoa-san dipukul mundur dan mereka terhuyung-huyung!

"Ah, kurang ajar. Pantas kalau sombong dan berani congkak!"

Siong-hu mengerutkan kening. Ia sudah akan memutar tubuhnya ketika tiba-tiba belasan orang lawannya itu menerjang lagi, bergerak dan menyerang dengan marah dan tiba-tiba mereka saling bersuit memanggil yang lain-lain. Agaknya, sadar bahwa hwesio-hwesio Go-bi ini memiliki kepandaian tinggi yang masih di atas mereka maka buru-buru belasan murid Hoa-san ini memanggil suheng-suhengnya.

Mereka memang hanya penjaga-penjaga biasa dari murid tingkat enam, di Hoa-san ada sepuluh tingkatan. Dan ketika Siong-hu diserang dan tosu-tosu Hoa-san itu melengking marah, menubruk dan menyambar lagi maka apa boleh buat hwesio ini menghadapi lawan-lawannya lagi, sedikit gelisah melihat bayangan-bayangan dari puncak gunung yang datang.

"Sute, robohkan mereka. Kemplang tapi jangan sampai membunuh!”

Sang sute, yang juga berubah dan melihat bayangan-bayangan di puncak gunung lalu membentak dan mengayun toyanya dengan lebih cepat. Pedang ditangkis berdentang dan saat itu pula sang suheng menyapu dari bawah. Dua hwesio Go-bi ini mainkan senjata mereka dengan hebat sekali, yang satu menangkis pedang di atas sedang yang lain menyerampang atau menyapu ke bawah. Dan ketika lawan-lawan mereka itu menjerit dan terjungkal, sapuan Siong-hu-hwesio berhasil maka hwesio ini memberi aba-aba untuk keluar hutan, secepatnya meninggalkan murid-murid Hoa-san itu, yang sedang merintih dan terguling-guling.

"Cepat, kita tak usah bertempur lagi. Lawan-lawan kita datang dari atas sana!”

"Benar, aku juga melihat mereka, suheng. Tosu-tosu bau ini memanggil bantuan!"

“Omitohud, tak usah memaki. Mari pergi dan kita keluar!” Siong-hu-hwesio menyambar sutenya, menyendal dan diajak lari tapi alangkah terkejutnya hwesio ini ketika di luar hutan tiba-tiba sudah muncul puluhan murid Hoa-san. Kiranya hutan juga dikepung! Dan ketika hwesio itu terkejut dan sutenya juga tertegun, masing-masing menahan langkah maka murid-murid Hoa-san itu berlompatan dan mereka membentak apa yang dilakukan hwesio-hwesio ini mengerutkan kening karena tak tahu dari manakah hwesio-hwesio itu berasal.

"Berhenti, dan siapa kalian!"

“Omitohud," Siong-hu-hwesio cepat-cepat merangkapkan tangan, tak ingin berlama-lama di situ. "Pinceng dari Go-bi, sobat. Mohon jalan dan akan pulang!"

Tetapi tosu-tosu yang tadi dipukul bergulingan tiba-tiba berseru bahwa hwesio itu membawa mayat ketua mereka. Dan ketika yang bertanya ini membelalakkan mata dan terkejut, marah, maka yang lain juga berseru bahwa hwesio-hwesio Go-bi itu sebaiknya ditangkap, atau dibunuh.

“Mereka membunuh ketua. Tangkap dan tidak usah banyak bicara!”

Tosu itu bergerak. Tiba-tiba ia menjadi gusar begitu diberi tahu bahwa ciangbunjin dibunuh hwesio Go-bi. Lawan yang ada di depan ini juga hwesio Go-bi dan begitu ia membentak tiba-tiba iapun sudah menyerang Siong-hu-hwesio dan sutenya ini. Dan ketika yang lain juga bergerak namun Siong-hu-hwesio mendahului dan berkelebat menggerakkan toya maka tosu di depan dipukul mundur dan tosu-tosu lainpun dikemplangnya dengan sambaran toya yang kuat.

"Minggir, pinceng tak membunuh ketua kalian. Maaf bahwa pinceng harus pergi... trang-trang-trang!" hwesio itu mementalkan pedang-pedang lawan, maju dan coba menerobos kepungan tosu-tosu Hoa-san.

Namun yang tadi bergulingan sudah meloncat bangun. Mereka inipun menerjang lagi dan gagallah Siong-hu-hwesio melarikan diri. Dan ketika dia bersama sutenya dikeroyok dan dikepung ketat, berkali-kali membentak dan berseru tapi tidak digubris maka hwesio ini pucat karena lawan bertambah banyak. Dari atas gunung berdatangan murid-murid lain yang sudah melihat keributan ini.

"Omitohud, pinceng dipaksa. Baiklah, pinceng akan menurunkan tangan keras dan maaf sobat-sobat dari Hoa-san kalau ada yang terluka!" hwesio ini mengamuk, akhirnya apa boleh buat harus memutar toya dengan lebih kencang dan tiba-tiba menjeritlah dua murid Hoa-san kena kemplangan toyanya. Dan ketika sutenya juga melakukan hal yang sama tapi tak dapat menahan tenaga, mengemplang dan mengenai kepala seorang lawannya maka murid Hoa-san itu roboh dan tewas dan sebuah jiwa akhirnya melayang.

“Prakk!"

Siong-hu-hwesio terkejut. Bukan maksudnya untuk membunuh tapi sutenya telah kelepasan tangan. Dia sebenarnya hanya ingin melukai dan paling banter membuat lawan tak dapat bangkit melawan, pingsan atau mengadu-aduh karena kaki atau tangannya patah. Tapi begitu sutenya tak dapat mengendalikan diri dan seorang murid Hoa-san roboh, kepalanya pecah maka tosu-tosu yang lain menjerit dan mereka menerjang bagai kerbau gila yang haus darah.

"Keparat, mereka membunuh saudara kita!”

"Benar, bunuh pula mereka ini, suheng. Penggal kepalanya!"

Siong-hu-hwesio pucat. Dari puncak gunung meluruk seratus lebih anak-anak murid Hoa- san. Ia terus memutar toyanya dan lawan-lawanpun roboh berteriak. Apa boleh buat, hwesio inipun terpaksa membuka jalan darah. Dan ketika delapan murid tewas dan murid-murid Hoa-san ini semakin marah, mereka naik pitam maka Siong-hu-hwesio dan sutenya menerima pula bacokan atau tikaman pedang.

“Bret-bret!"

Lengan dan bahu dua hwesio itu robek. Hujan pedang tusukan yang demikian banyak akhirnya membuat dua orang ini pun terluka. Darah mulai mengalir dan gemetarlah Siong-hu-hwesio melihat keberingasan lawan. Akhirnya semua murid-murid Hoa-san berkata bahwa dialah yang membunuh It Lun Tojin, membawa mayatnya dan kini mayat ketua Hoa-san itu masih kaku dan membujur di sana. Dan ketika bentakan serta makian riuh rendah menjadi satu, dua hwesio ini terdesak maka satu bacokan lagi akhirnya membuat hwesio itu dan sutenya menggeliat. Sang sute bahkan lebih parah karena lengan kirinya putus!

"Augh, aku tak kuat, suheng. Lari dan terobos kepungan kiri!”

Siong-hu-hwesio mendelik. Ia melihat jatuhnya lengan sutenya itu, yang mencelat dan terlempar dari tempatnya. Dan ketika sang sute terhuyung-huyung dan berteriak menangkis hujan senjata yang masih menyambar, dengan satu tangan yang masih utuh ternyata sutenya itu tak kuat lagi dan toya terlepas ketika tangan kanan itupun putus dibabat. Kemarahan tosu-tosu Hoa-san memang mengerikan!

"Kita balaskan sakit hati ketua. Bunuh dan habisi hwesio-hwesio Go-bi ini!"

Siong-hu-hwesio memejamkan mata. Ia melihat sutenya berteriak ketika lengan satu- satunya kembali putus. Jumlah pengeroyok memang amatlah banyak dan merekapun adalah murid-murid Hoa-san yang berkepandaian tinggi. Sekarang yang datang adalah murid-murid kepala dan tentu saja mereka itu hebat. Dan ketika sutenya terjengkang dan murid-murid Hoa-san yang marah itu memburu, sutenya mengeluh dan tak mampu mengelak maka tujuh pedang menabas atau memenggal kepalanya, yang seketika menggelinding dan memuncratkan darah segar!

"Kejam!" Siong-hu-hwesio tak tahan memekik. "Kalian kejam, tosu-tosu bau! Ah, kalian tak berperikemanusiaan dan tidak mau tahu keadaan kami!" dan maju mengemplangkan toyanya, mendesak dan menyambar ke kiri hwesio inipun memukul roboh seorang murid Hoa-san. Dia menjadi kalap setelah sutenya dibunuh di situ. Kepala sutenya yang menggelinding dan tak jauh darinya terlihat melotot matanya.

Sutenya itu tentunya kesakitan dan menderita, bukan main kaget dan marahnya hwesio ini. Namun ketika ia kembali merobohkan seorang lawan dan murid-murid Hoa-san dipukul mundur, terkejut oleh tandangnya yang buas maka sebatang pedang tiba-tiba ditimpuk dan hwesio itu berteriak ketika pedang ini menancap di bahunya.

"Aduh!” Siong-hu-hwesio melotot. Ia juga merasa kesakitan dan sejenak meregang dengan dada dibusungkan. Bukan untuk gagah-gagahan melainkan karena kesakitan itu. Dan ketika sepasang pedang tiba-tiba kembali menyambar dan kiranya ada seorang murid Hoa-san yang ahli menyambit, hwesio ini menjerit maka tiga pedang telah menancap di belakang punggungnya secara silang.

Hwesio ini terhuyung-huyung dan tentu saja putaran toyanya melemah. Ia hampir tak kuat dan saat itu lawan-lawannya kembali maju membentak. Hwesio ini benar-benar dalam keadaan bahaya. Tapi ketika pedang-pedang kembali berkelebatan dan rupanya juga hendak menabas putus leher hwesio ini, sungguh kasihan maka sesosok bayangan tiba-tiba berkelebat dan seorang tosu tinggi kurus membentak dan mengibaskan lengannya ke kiri kanan.

"Tahan, jangan bunuh!"

Siong-hu-hwesio roboh. Akhirnya ia berkunang dan kehabisan tenaga menghadapi demikian banyak keroyokan. Darah yang mengalir dari tubuhnya juga bertambah banyak dan tepat bayangan itu datang maka hwesio inipun terguling. Di samping mengibas bayangan itupun menotok pundaknya, Siong-hu-hwesio pingsan dan tak ingat apa-apa lagi. Dan ketika murid-murid Hoa-san tertegun tapi mereka tíba-tiba berseru tertahan, melempar pedang dan menjatuhkan diri berlutut maka bayangan itu, seorang tosu bermuka merah telah berkata nyaring,

"Pinto telah mendengar apa yang terjadi. Tapi kalian seharusnya menangkapnya dan membawanya kepada pinto. Lihat, satu di antara mereka tewas, Ken-Lun. Dan kita jelas telah menanam permusuhan dengan Go-bi. Siancai, semua berhenti dan bawa mayat It-suheng ke atas. Pinto akan membawa hwesio yang luka-luka ini!”

Para murid, yang tertegun dan pucat melihat tosu ini segera mengangguk-angguk. Tosu muda yang berikat rambut merah tampak tertegun, tidak puas tapi segera mengiyakan dengan suara rendah. Dan ketika tosu itu menyambar Siong-hu-hwesio dan bergerak naik ke atas maka hwesio itupun menjadi tawanan dan ketika ia sadar iapun telah berhadapan dengan tosu berwajah merah ini, juga tosu-tosu lain yang semuanya berjumlah tujuh orang dan rata-rata bersikap angker!

“Ooh..." hwesio ini mengeluh. "Di mana pinceng?"

"Kau berada di Hoa-san," tosu itu menjawab, suaranya dingin. "Pinto telah membawamu ke sini, Siong-hu-hwesio. Dan sungguh pinto sesalkan bahwa kau bersikap seperti maling. Membawa mayat ketua kami dan pergi cepat-cepat untuk menyelamatkan diri!"

"Ah, aku kiranya berhadapan dengan Hoa-san Sin-jit totiang yang lihai. Maaf, bagaimana dengan saudaraku dan bolehkah aku dibebaskan?"

"Kau sementara ini menanti hukuman,” sang tosu menjawab, lagi-lagi dingin dan tak bersahabat. Kau dituduh telah membunuh dan membuat onar di tempat orang, Siong-hu- hwesio. Dan kami sedang merundingkan hukuman apa yang harus kau terima!"

"Ooh, pinceng... pinceng tidak salah. Kalian orang-orang Hoa-san salah paham!”

“Tutup mulutmu!" seorang tosu bermuka hitam tiba-tiba membentak, kasar dan sengit. "Kau telah membunuh dan menghilangkan sebelas nyawa di sini, hwesio tengik. Dan ini cukup sebagai bukti bahwa kau bersalah. Dan kau menghina pula mayat ketua Hoa-san. Kau perlu dihukum gantung!”

"Pinceng dipaksa keadaan. Murid-murid Hoa-san menyerang pinceng...!”

"Kau tak guna melakukan pembelaan. Kami Hoa-san Sin-jit sedang bersidang untuk mencari hukuman apa yang paling setimpal buatmu. Juga Go-bi yang telah menghina Hoa-san. Nah, tutup mulutmu dan tak usah berkaok-kaok lagi!" sebuah totokan membuat tenggorokan hwesio itu terkancing, tosu muka hitam telah menggerakkan jarinya dan dari jauh terdengar suara mencicit. Itulah totokan jarak jauh yang dipunyai Hoa-san Sin-jit (Tujuh Malaikat Dari Hoa-san), sute atau adik-adik seperguruan It Lun Tojin yang tewas itu.

Dan ketika Siong-hu-hwesio mengeluh dan tak dapat berbuat apa-apa, ia tinggal menunggu hukuman maka hwesio itu melihat kesibukan luar biasa di Hoa-san. It Lun Tojin yang tewas telah dirawat jenasahnya dan Hoa-san berkabung, tentu saja semua muka muram dan wajah-wajah kelihatan bengis memandang Siong-hu-hwesio ini, yang tergolek di tengah ruangan. Dan ketika tujuh tosu itu berbicara dan memutuskan hukuman apa yang akan dilaksanakan kepada hwesio ini, juga perguruannya maka dua hari kemudian tamu-tamu dari Heng-san dan Kun-lun berkelebatan muncul.

Hoa-san sedang berkabung dan tentu saja kedatangan tamu-tamu itu mengejutkan semuanya. Bukan karena mereka datang secara tiba-tiba melainkan kepada apa yang dibawa mereka, yakni empat kepala hwesio gundul yang masih menetes-neteskan darah segar. Dan ketika empat kepala itu dilempar dan Siong-hu-hwesio terbelalak, menjerit namun tak dapat mengeluarkan suara maka ia pucat karena itulah kepala dari empat orang sutenya yang diutus ke Kun-lun dan Heng-san! Apa yang terjadi? Memang nasib buruk!

Waktu itu, seperti yang diperintahkan hwesio ini kepada empat adik-adiknya maka dua di antara mereka datang ke Kun-lun sedang dua lagi yang lain datang ke Heng-san. Mereka seperti juga Siong-hu-hwesio ini tak berani naik ke puncak gunung. Mayat Kiam Leng Sianjin diletakkan di kaki gunung tapi sebelum mereka pergi tiba-tiba saja mereka sudah dikepung anak-anak murid Kun-lun. 

Para penjaga atau murid-murid di situ juga telah mengetahui kedatangan murid-murid Go-bi ini. Dan ketika mereka melihat bahwa dua orang itu membawa ketua mereka, yang sudah tewas dan berbau busuk maka tanpa banyak bicara lagi dan penuh kemarahan meluap mereka itu menyerang sute-sute dari Siong-hu-hwesio ini. Dua hwesio itu terkejut tapi tentu saja mereka melawan.

Sama seperti Siong-hu-hwesio mereka inipun mula-mula berteriak dan berseru berulang-ulang bahwa mereka hanya mengantar mayat, bukan membunuh apalagi memusuhi Kun-lun, karena yang bermusuhan bukanlah mereka sebagai pribadi melainkan partai dengan partal, ketua-ketua mereka itu. Tapi karena anak-anak murid Kun-lun tentu saja tak mau menerima alasan ini dan mereka datang secara berturut-turut, kematian atau tewasnya Kiam Leng Sianjin sungguh membuat kaget mereka.

Maka bentakan atau keroyokan tosu-tosu Kun-lun membuat dua hwesio itu kewalahan. Mereka disuruh menyerah tapi keduanya nekat melawan. Mereka ngeri melihat wajah-wajah menakutkan dari lawan-lawan mereka itu. Dan karena hal ini justeru membuat lawan meluap dan kemarahan tosu-tosu Kun-lun itu tak dapat dibendung lagi maka dua hwesio itu akhirnya tewas terbunuh dan Kun-lun memenggal kepala keduanya untuk dikirim ke Go-bi.

Namun saat itu datang To Hak Cinjin bersama dua orang sesepuh Heng-san. Merekapun datang dengan kepala dua orang hwesio yang berlumuran darah, hwesio terakhir yang membawa ketua Heng-san itu ke markasnya. Dan ketika Kun-lun tertegun karena Heng-san ternyata memiliki persoalan yang sama, mereka menyambut dan membelalakkan mata maka To Hak Cinjin yang beringas dan dipapah dua tosu tua yang tertatih-tatih jalannya berkata bahwa Go-bi harus diberi pelajaran berbareng.

"Pinto datang juga untuk membalas sakit hati, di samping bela-sungkawa. Ini dua keledai dari Go-bi dan kita antarkan kepala mereka bersama-sama!"

Kun-lun guncang. To Hak Cinjin, yang datang bersama dua paman gurunya yang amat sakti tiba-tiba sudah ada di situ dan berkata bahwa Kun-lun dan Heng-san serta Hoa-san harus bersatu. Di Go-bi ada seorang sombong dan itu adalah Ji Beng Hwesio. Ketua Heng-san ini belum tahu akan tewasnya Ji Beng karena waktu itu, ia pingsan, sedang tak sadarkan diri. 

Dan ketika Kun-lun tertegun tapi tentu saja menerima girang, dua tosu renta yang ada di samping ketua Heng-san itu adalah Siang Kek Cinjin dan Siang Lam Cinjin, dua pertapa yang nyaris tak pernah keluar lagi maka To Hak Cinjin membakar bahwa semua ini harus dibalas.

"Pinto terluka berat, tapi susiok dan supek pinto ini telah menolong pinto. Pinto selamat tapi pinto menyesal bahwa yang terhormat ketua Kun-lun binasa dan entah bagaimana dengan nasib yang terhormat ketua Hoa-san. Mari kita ke sana dan siapa yang akan bersama pinto!"

Kun-lun girang. Di tempat mereka, ada juga seorang sesepuh yang mengundurkan diri. Dan itu adalah Hoa-san Lojin yang menjadi guru ketua mereka yang tewas, jadi termasuk sucouw atau kakek guru bagi mereka. Tapi ketika Hoa-san Lojin ini dihubungi dan ternyata kakek itu tak mau, kakek itu bertapa dan khusuk dalam samadhinya maka Kun-lun gagal membawa sesepuh dan hanya Kiam Ting Sianjin yang ikut, sute atau adik seperguruan dari mendiang Kiam Leng.

"Pinto akan menemani To Hak toheng, suhu tak mau lagi mencampuri urusan duniawi. Ah, sungguh mengherankan bagaimana Go-bi tiba- tiba dapat berbuat seperti ini. Siancai!"

Kun-lun berkabung. Mereka tentu saja, tak tahu akan nasib ketua Heng-san. To Hak Cinjin hanya tahu bahwa mula-mula ketua Hoa-san dan Kun-lun itu luka berat, sama seperti dirinya. Dan ketika Kiam Leng Sianjin ternyata tewas dan kini mereka akan menjenguk Hoa-san, jenasah Kiam Leng sudah dimakamkan maka tergesa-gesa To Hak Cinjn dan Kiam Ting Sianjin pergi ke Hoa-san. 

Dua kakek tua di samping ketua Heng-san berkata bahwa mereka akan jalan-jalan dulu, To Hak boleh menyusul dan begitu pula Kiam Ting. Tapi begitu Siang Kek Cinjin dan Siang Lam Cinjin terbungkuk turun gunung, bergerak dan rupanya sukar melewati batu-batu terjal mendadak saja mereka itu sudah lenyap dan tahu-tahu di kaki gunung.

"To Hak, biar kau ikuti kami. Mari dan cepat-cepat saja ke Hoa-san!"

Orang-orang kaget. Dua tua renta yang tadi begitu sukar menggerakkan kaki sekonyong-konyong sudah di bawah gunung. Mereka tertatih memegangi tongkat tapi begitu terbungkuk mendadak keduanya sudah lenyap tak dapat diikuti mata. Dan ketika To Hak Cinjin tersenyum dan murid-murid Kun-lun terbelalak, ia bangga, maka ketua Heng-san ini bergerak dan mengajak pula tuan rumah untuk buru-buru ke Hoa-san.

"Supek dan susiok pinto sudah pergi, mari kita berdua menyusul!”

Kiam Ting Sianjin lalu bergerak. Ia sudah mengikuti kawannya karena To Hak Cinjin berkelebat dan menyusul dua paman gurunya itu. Masing-masing meluncur tapi Kiam Ting harus mengakui bahwa dua kakek renta di depan tak dapat diikuti, mereka itu hilang dan muncul berkali-kali, sepertí iblis. Dan ketika Kiam Ting memuji dan diam-diam menyesal kenapa suhunya tak mau turun gunung, ia tak dapat berbangga seperti temannya ini maka empat kepala hwesio dibawa mereka.

To Hak, yang semula diantar dan dipapah dua murid Go-bi membujuk agar dua hwesio muda itu membawanya sampai ke puncak. Ia berkata bahwa ia menjamin keselamatan dua hwesio itu, karena ia masih hidup, meskipun luka berat. Dan ketika dua hwesio itu ragu-ragu dan tentu saja jerih, Heng-san adalah perkumpulan orang-orang yang amat berangasan maka dua hwesio itu mula-mula menolak.

"Kami tak berani ke puncak. Bagaimana kalau murid-murid totiang marah.”

"Bodoh, justeru dengan meninggalkan pinto di kaki gunung kalian akan dikejar dan ditangkap, Ceng-hi. Antarkan pinto ke atas dan pinto jamin kalian selamat!” ketua Heng-san itu telah mengenal nama dari dua orang hwesio ini, membujuk dan agak merayu padahal diam-diam di dalam hatinya ia berkata lain.

Ia sudah memutuskan bahwa begitu tiba di atas iapun akan berteriak dan menyuruh murid-murid Heng-san mengeroyok. Rasa sakit dan penderitaan dihajar Ji Beng Hwesio membuat ketua Heng-san ini dendam. Ia akan balik menghajar dua murid-murid Go-bi itu. Dan ketika dengan susah payah namun meyakinkan ia akhirnya berhasil mempengaruhi dua orang itu maka Ceng-hi-hwesio dan saudaranya mau juga naik ke atas.

"Pinto jamin kalian akan selamat, asal tidak membiarkan pinto kedinginan di kaki gunung. Nah, bawa dan serahkan saja pinto kepada anak-anak murid Heng-san, dan kalian boleh pergi dengan aman!”

Ceng-hi-hwesio percaya, berhasil dibujuk. Ia menganggap bahwa sebagai ketua sebuah partai persilatan terkenal tak mungkin To Hak Cinjin akan mengingkari janjinya. Dengan susah payah mereka membawa dan jelek-jelek mereka memberi budi kepada ketua Heng-san itu, karena sepanjang jalan mereka juga memberi makan dan minum tosu ini, bahkan untuk pipis dan buang air besar mereka juga yang membersihkan. Ketua Heng-san itu benar-benar luka berat. Tapi begitu mereka tiba di puncak dan anak-anak murid mengelilingi mereka, menyongsong, maka kata yang keluar dari mulut To Hak Cinjin ini adalah bunuh!

"Mereka anjing Go-bi yang memuakkan. Bunuh, dan penggal kepalanya!”

Ceng-hi-hwesio dan adiknya kaget bukan main. Mereka sudah berdebar melihat wajah-wajah beringas dari anak-anak murid Heng-san melihat ketua mereka yang luka parah. Sepanjang jalan To Hak Cinjin menggoyang-goyang lengan agar anak-anak muridnya tidak mengganggu. Tapi begitu ia diserahkan seorang muridnya dan bersila ditopang punggung, melontakkan darah segar maka kata-kata pertama yang muncul adalah bunuh.

Ceng-hi-hwesio tentu saja terkejut dan terbeliak tapi murid-murid Heng-san sudah menyerang dan membentak. Mereka tak menyangka kecurangan ketua Heng-san itu. Dan ketika apa boleh buat mereka menangkis dan memaki To Hak Cinjin itu, yang tertawa bergelak tapi roboh terguling maka Ceng-hi-hwesio dan saudaranya mati-matian mempertahankan diri.

"Pengecut, licik. Ah, kata-kata Heng-san-paicu tak ubahnya kata-kata seekor anjing!"

Murid-murid Heng-san gusar. Ketua mereka dimaki dan mereka melakukan tikaman- tikaman atau bacokan cepat. Lawan mereka dibuat kalang-kabut dan sebentar saja Ceng- hi-hwesio maupun sutenya terdesak. Dan ketika mereka benar-benar di ujung tanduk dan kekecewaan serta kemarahan mereka tak dapat dibendung lagi maka Ceng-hi-hwesio berhasil melukai dua orang lawannya tapi diri sendiri menjerit dan berteriak tertikam punggungnya.

Sutenya juga tidak berbeda banyak karena sutenya itu tiba-tiba juga menjerit tertusuk pedeng. Pangkal pahanya kena. Dan ketika hwesio itu terpincang-pincang dan toya di tangan mereka tak gesit dimainkan lagi, musuh terlalu banyak maka hwesio kedua ini roboh dan tebasan pedang seorang anak murid Heng-san memisahkan kepalanya dari tubuh.

"Crat!” Ceng-hi-hwesio ngeri. Ia pucat melihat kepala saudaranya yang menggelinding di bawah, mata melotot dan darah menyembur bagai pancuran, sungguh mengerikan. Tapi ketika iapun terhuyung-huyung dan tertusuk sebatang pedang, kembali mengemplang lawan tapi diri sendiri juga kesakitan maka dua pedang menyambar secara menggunting dan Ceng-hi-hwesio tewas dengan sangat menyedihkan. Kepalanyapun terpisah.

"Crat!” To Hak Cinjin memandang penuh kebencian tapi juga kegembiraan. la mengeluh panjang pendek merasakan penderitaan sendiri, dada sesak akibat pukulan Ji Beng Hwesio. Dan ketika ia terbahak namun roboh pingsan, dua kepala yang putus itu membuatnya puas dan gembira maka pertempuran pun selesai dan To Hak Cinjin sempat minta dibawa ke supek atau susioknya itu, pak-de dan paman guru. Heng-san guncang. Mereka marah dan juga khawatir melihat keadaan ketua mereka itu.

To Hak Cinjin mengalami luka berat. Tapi ketika dua sesepuh Heng-san turun tangan, Siang Kek dan Siang Lam Cinjin menolong murid mereka maka To Hak Cinjin selamat dan sambil menangis tersedu-sedu ketua Heng-san ini melapor segala “kejahatan” Ji Beng Hwesio, juga murid-murid Go-bi yang tukang keroyok.

“Susiok dan supek harus menolong aku, menyelamatkan dan kembali mengharumkan pamor Heng-san. Mohon dibalas dan hadapilah keledai gundul yang lihai itu. Ji Beng sekarang bukan seperti Ji Beng yang dulu, susiok. Kepandalannya sungguh luar biasa dan kalau tidak salah mewarisi kitab sakti Bu-tek-cin-keng!”

“Hm, dan kau. Ada apa keluyuran sampai Go-bi? Apa yang kau cari?”

"Aku mengantar Hoa-san-paicu dan Kun-lun-paicu, supek. Kami bertiga hendak bersilaturahmi kepada ciangbunjin Go-bi-pai. Tapi Ji Beng menyambut kasar dan kami malah diajak bertanding. Ia rupanya hendak mempraktekkan Bu-tek-cin-kengnya itu!"

"Kita berangkat. Mari sekarang juga ke Go-bi!"

"Nanti dulu, aku... aku merasa dadaku masih sesak!"

"Gampang, terima ini, To Hak. Sekarangpun kau sembuh!" Siang Kek Cinjin menepuk dada murid keponakan ini, perlahan tapi sebuah tenaga sinkang meluncur dan masuk di situ.

Dan ketika To Hak girang karena sakit di dadanya hilang, rasa sesak itu berkurang banyak maka ia menjatuhkan diri berlutut dan berkata bahwa sebaiknya ke Kun-lun atau Hoa-san dulu, jangan sendirian. “Teecu datang bersama rekan-rekan dari Kun- lun dan Hoa-san. Teecu ingin tahu juga bagaimana nasib kedua teman teecu itu. Harap supek atau susiok ke sana!"

“Hm, untuk apa?"

"Melihat nasib mereka, supek. Kun-lun-paicu maupun Hoa-san-paicu juga luka-luka berat. Teecu hendak menunjukkan solidaritas!”

"Baik, kalau begitu mari berangkat!" dua sesepuh ini meraih tongkat, terbungkuk dan berjalan tapi tahu-tahu keduanya sudah turun gunung. Gerakan mereka tampak tertatih tapi tiba-tiba sudah di kaki bukit! 

Dan ketika To Hak terkejut dan tentu saja kagum, ia tak memberi tahu dengan jujur bahwa sesungguhnya ia ingin mengumpuikan banyak kawan, kepandaian Ji Beng sungguh luar biasa dan ia khawatir kurang kuat, meskipun ada supek atau susioknya maka tosu ini bergerak dan turun gunung pula menyusul dua paman gurunya itu. Di Go-bi masih ada Ji Leng Hwesio yang belum keluar sarang!

"Susiok, tunggu. Supek, teecu masih baru sembuh dari luka berat!”

Dua kakek renta itu menunggu. Mereka menoleh dan tangan mereka tiba-tiba bergerak ke belakang. Aneh bin ajaib, To Hak tiba-tiba tersedot dan terbang ke susiok maupun supeknya ini. Dan ketika ia terpegang dan sudah disambar dua orang ini, tertangkap di tengah maka dua kakek itu bergerak dan ketua Heng-san itupun meluncur dibawa terbang.

“Terima kasih!" To Hak berseru kagum. "Aku memang belum sehat, Susiok. Tapi dua tiga hari lagi tentu sembuh!"

Dua paman gurunya tidak menjawab. Mereka itu meluncur dan terus meninggalkan gunung, lenyap dan murid-murid pun bengong karena Siang Kek maupun Siang Lam tidak kelihatan lagi. Dan ketika To Hak mengajak ke Kun-lun dulu, tiba dan bertepatan dengan dua hwesio yang terbunuh maka sekarang ketua Heng-san itu ke Hoa-san bersama Kiam Ting, sute dari Kiam Leng Sianjin yang tewas. Dan begitu tiba di Hoa-san yang sedang berunding maka Siong-hu-hwesio terbelalak melihat kepala empat sutenya yang sudah dipenggal!

"Siancai, Hoa-san-paicu pun kiranya tewas. Ah, menyesal pinto tak mampu melindungi, Hoa-san Sin-jit. Kami datang dan hanya mampu berbela sungkawa!”

Tokoh-tokoh Hoa-san bangkit. Bayangan-bayangan berkelebat dan tertegunlah tosu-tosu melihat kehadiran To Hak Cinjin dan Kiam Ting, juga dua kakek renta di samping mereka itu. Tapi begitu mereka mengenal dan terkejut melihat kakek-kakek ini, sesepuh Heng-san yang tinggi kepandaiannya maka buru-buru Tujuh Malaikat Dari Hoa-san melipat tubuh.

“Siancai, To Hak toheng dan Kiam Ting Sianjin kiranya, juga yang terhormat Siang Kek locianpwe dan Siang Lam locianpwe. Ah, silahkan duduk dan selamat datang, cuwi sekalian. Kami baru saja berkabung dan bagaimana keadaan Kun-lun-paicu?"

"Rekanku Kiam Leng Sianjin tewas dibunuh Ji Beng. Keledai gundul dari Go-bi itu benar- benar sombong dan amat jahat. Pinto datang untuk merundingkan ini dan baru saja berbela sungkawa di Kun-lun!”

"Ah, Kun-lun-paicu juga tewas?"

"Benar," Kiam Ting menjawab, mukapun muram. "Pinto baru saja menerima mayat suheng, Jit-totiang. Dan pinto mendendam atas kematian ini!”

"Siancai, kamipun juga begitu. Ah, kita harus membalas dan ini seorang murid dari Go-bi!”

Siong-hu-hwesio tergetar. Ia tiba-tiba dipandang tamu-tamu dari Kun-lun dan Heng-san itu dan iapun gentar. Mata-mata yang tajam mengawasinya tidak berkedip dan semuanya mencorong menakutkan, seperti mata singa-singa kelaparan yang haus darah. Dan ketika ia memejamkan mata dan dag-dig-dug tak keruan, nasibnya bagai telur di ujung tanduk maka To Hak mendengus dan bertanya untuk apa hwesio itu dibiarkan hidup.

"Kami telah membunuh hwesio-hwesio dari Go-bi, dan Jit-totiang seharusnya tak perlu membiarkan keledai gundul ini menjadi pajangan. Bagaimana kalau pinto memberesinya?"

"Siancai, ia tawanan kami, Heng-san-paicu, Dan Hek-suheng sedang memutuskan apa yang hendak dijatuhkan. Kami juga akan ke Go-bi!"

"Kita berangkat semua dengan membawa kepala mereka ini. Bagaimana pendapat Heng- san-paicu?"

“Ah, pinto setuju, Hek-toheng. Dan tentu saja lebih cepat lebih baik!”

“Kalau begitu sekarang juga hukuman dilaksanakan,” Hek-tosu, tosu muka hitam berkata, tahu-tahu mencabut pedang dan menyambitkannya ke leher Siong-hu-hwesio. “Pinto juga tak sabar, Heng-san-paicu. Dan inilah hukumannya bagi pendosa...crat!" dan Siong-hu-hwesio yang berteriak dan menggelinjang di tempat tahu-tahu telah putus lehernya dan menggelinding ke bawah.

Kejadian amatlah cepat dan hwesio yang pucat serta ngeri itu tak mendapat kesempatan banyak. Ia sudah đicekam perasaan takut dan ngeri akan kematian, apalagi kalau mati dengan kepala dipenggal! Dan ketika benar saja kedatangan To Hak Cinjin justeru mempercepat kematiannya, ia menjerit dan roboh dengan kepala terlempar maka pedang itu menancap di meja sementara kepala hwesio itu melotot dan bergoyang-goyang di sudut. Siong-hu-hwesio menyusul arwah saudara-saudaranya dengan cara menyedihkan!

"Nah,” semua mata berseri-seri. "Pinto telah menyelesaikan tugas, Ang-sute. Dan kita berangkat sekarang juga ke Go-bi. Kita buat perhitungan!”

Semua orang gembira. Tosu muka merah yang ternyata lebih sabar dan tidak sekeras tosu muka hitam tiba-tiba memejamkan mata dan menggigit bibir. Sebenarnya, ia tak sanggup melakukan pembunuhan begitu keji. Siong-hu- hwesio ibarat ayam dan ayam itu kini sudah disembelih. Cara pembunuhan seperti itu sebenarnya tak suka ia lakukan tapi semuanya sudah terjadi. 

Dan ketika suhengnya sudah berkata dan itu adalah keputusan, Hek-tosu adalah orang tertua dari Tujuh Malaikat Hoa-san maka Kiam Ting dan To Hak Cinjin memuji ketegasan Hek-tosu ini. Tidak melihat itu sebagai kekejaman melainkan sebagai sebuah watak tegas yang patut dipuji. Aneh!

"Siancai, kau lebih hebat daripada suhengmu, Hek-toheng. Kau benar-benar berwatak tegas dan tidak lemah. Pinto menyatakan kagum!”

"Benar, pinto juga begitu, Hek-toheng. Kau benar-benar tegas dan patut dipuji. Di bawah pimpinanmu tentu Hoa-san tak bakal diremehkan orang!"

Hek-tosu menendang kepala Siong-hu. Ia menyambar dan membawa kepala itu untuk dilemparkan kepada adiknya, Ang-tosu. Dan ketika tosu muka merah menerima dan sedikit jijik, kepala itu masih berlumuran darah maka Hek-tosu berkata sebaiknya sekarang juga mereka turun gunung.

“Pinto pikir tak ada apa-apa lagi yang harus ditunggu di sini, kecuali cuwi (anda sekalian) ingin beristirahat. Apakah cuwi ingin melepas lelah barang sebentar dahulu?"

"Ah, tidak... tidak. Pinto justeru tak sabar untuk cepat-cepat ke Go-bi, Hek-toheng. Dan pinto ingin memberi pelajaran kepada Ji Beng si gundul itu. Supek dan susiok pinto akan menghadapinya!"

"Dan sayang bahwa kami tak memiliki lagi sesepuh Hoa-san. Kalau tidak tentu sesepuh kami juga dapat bersama-sama Siang Kek locianpwe atau Siang Lam locianpwe ini!”

"Hm, kami berdua cukup,” satu di antara kakek-kakek renta itu bicara, suaranya pelan tapi nada getarannya berat, tanda sinkang yang hebat. "Kami juga ingin tahu bagaimana kedahsyatan Bu-tek-cin-keng, Hek-tosu. Terima kasih kalau sekarang juga berangkat. Bagaimana kalau kami jalan-jalan di depan dulu?”

"Susiok mau duluan?" To Hak Cinjin girang. "Kalau begitu silahkan, susiok, tapi jangan terlalu jauh meninggalkan kami. Kami tentu tak dapat menyusul!"

"Ah, kalian anak-anak yang terlalu lamban. Kalau bukan karena Bu-tek-cin-keng tak mungkin kami mau keluar. Sudahlah, kami merangkak di depan dan kalian menyusul!" Siang Lam, yang berkata dan bicara begini tiba-tiba terbatuk mengetrukkan tongkat. Tongkat itu sebagai penyangga tubuhnya tapi begitu diketrukkan mendadak tubuhnya mumbul ke atas. Dan ketika ia mencelat dan melambung tinggi tahu-tahu kakek ini melesat dan sudah terbang keluar. Itulah yang katanya “merangkak"!

"To Hak, kami sudah gatal-gatal ingin mencari keledai gemuk. Hayo kau keluar dan jangan lama-lama lagi!"

Semua terkejut. Kiam Ting kembali kagum karena seperti siluman saja tahu-tahu sesepuh Heng-san itu meluncur di bawah gunung. Siang Kek belum menyusul tapi ketika ia menoleh mendadak terdengar kesiur angin dingin. Dan ketika sesosok bayangan putih berkelebat dan lenyap di luar maka sesepuh satunya sudah turun dan terbang di bawah, berendeng dengan Siang Lam Cinjin. lblis!

“Hebat!" Kiam Ting tak tahan dan berseru kagum. "Supek dan susiokmu luar biasa sekali, Hak-toheng. Entah bagaimana kalau sesepuhku juga ada di sini!"

"Hm, mengejutkan," Tujuh Malaikat Hoa-san juga terkesiap dan kagum. "Dua locianpwe itu seperti iblis saja, Heng-san-paicu. Tapi coba kami kejar dan mari ke Go-bi!" dan begitu mereka bergerak dan Hek-tosu mendahului, coba mengejar dan berkelebat di bawah gunung maka tosu itu mengerahkan ilmu lari cepatnya namun tetap tak tersusul. 

Dua sesepuh Heng-san itu tetap mendahului di depan dan akhirnya lenyap. Dan ketika Hek-tosu terkejut dan membelalakkan mata, saudara-saudaranya yang lain juga tercengang dan kagum maka tosu bermuka putih tiba-tiba berseru agar mereka menggandengkan tangan.

"Suheng, barangkali dengan jouw-sang-hui-teng kita mampu menyusul!"

"Benar,” Ang-tosu juga penasaran. "Mari gabung dengan Jouw-sang-hui-teng, suheng. Coba susul dan uji kepandaian kita!"

Hek-tosu mengangguk. Jouw-sang-hui-teng atau Terbang Di Atas Rumput adalah ilmu meringankan tubuh yang kalau digabung benar-benar akan membuat mereka bertujuh seakan terbang. Caranya ialah dengan menggandengkan lengan dan masing-masing menjejak tanah. Tujuh tenaga bakal membuat tujuh gabungan yang bukan main hebatnya. Dan ketika Hek-tosu berseru keras dan menyambar adiknya nomor dua, tosu muka putih itu maka tosu itu juga menyambar adiknya nomor tiga di mana adiknya nomor tiga ini cepat menyambar saudaranya yang nomor empat,.

Begitu berturut-turut hingga tujuh bersaudara sudah saling bergandengan tangan dan menjejakkan kaki. Dan ketika mereka mengeluarkan Jouw-sang-hui-teng dan mengayun tenaga berbareng maka tujuh tosu ini mencelat dan tahu-tahu mereka meluncur atau terbang dengan kecepatan luar biasa, menyusul dua sesepuh Heng-san dan meninggalkan Kiam Ting maupun To Hak Cinjin di belakang.

"Iblis!" To Hak Cinjin ganti berseru kaget. "Mereka itu menggabung tenaga, Kiam Ting toheng. Lihat betapa mereka menyusul susiok dan supekku!"

"Benar, dan kita tertinggal jauh, Cinjin. Ah, kita bisa kehilangan mereka dan jauh di belakang!"

"Mari gabung tenaga kita!" To Hak tak mau kalah. "Coba kejar dan kita susul mereka, toheng. Ayo kerahkan ilmu lari cepat dan padukan ginkang!"

Kiam Ting mengangguk. Ia bergerak dan sudah bercekalan tangan dengan ketua Heng-san-pai ini. Mereka membentak nyaring dan coba mengejar tujuh tosu dari Hoa-san itu. Tapi ketika mereka tetap tertinggal dan Hoa-san Sin-jit sudah lenyap di depan maka dua orang ini mandi keringat sementara di sana Tujuh Malaikat Dari Hoa-san itu dapat mengejar tapi tak dapat merendengi dua sesepuh Heng-san ini. Jarak mereka lima puluh meter di belakang!

"Hebat!" Hek-tosu tak habis-habisnya memuji. "Kalian berdua hebat sekali, Siang Kek locianpwe. Kami bertujuh tak dapat menandingi!”

"Hm, Jouw-sang-hui-teng kalian tak perlu diragukan. Kalianpun luar biasa, Hoa-san Sin-jit. Kalian mampu menyusul kami!”

“Tapi kami tak dapat berendeng. Ji-wi locianpwe tetap di depan!"

“Ha-ha, kalian anak-anak memang nakal. Maunya di depan orang tua dan nanti melempar ejekan. Hm, yang dapat menandingi kami hanya mendiang guru kalian, Hoa-san Sin-jit. Atau Kun-lun Lojin bertapa itu. Sudahlah, kalianpun boleh dan tak mengecewakan menggabung tenaga!" dua sesepuh itu mempercepat larinya, terbang dan melesat di depan.

Tujuh Malalkat Hoa-san harus berjuang keras kalau tak mau semakin jauh di belakang. Dan ketika dua hari kemudian mereka tiba di Go-bi dan kakek- kakek renta yang di depan itu berhenti dan tersengal-sengal, napas mereka memburu namun Hoa-san Sin-jit terhuyung dan hampir roboh maka Hek-tosu dan enam saudaranya berseru kagum.

“Ji-wi locianpwe benar-benar bertenaga kuda. Aihh... kami mengaku kalah!"

"Heh-heh, kamipun hampir kehabisan tenaga. Kalau bukan karena malu terhadap kalian yang muda-muda tentu kami beristirahat di tengah jalan, Hoa-san Sin-jit. Ah, kalian tak mengecewakan dalam ilmu ginkang!"

Tujuh Malaikat Hoa-san melempar tubuh di rumput yang tebal. Mereka benar-benar mandi keringat dan jangan ditanya bagaimana dengan Kiam Ting Sianjin ataupun To Hak Cinjin. Mereka itu jauh tertinggal di belakang, baru sehari kemudian muncul. Dan ketika dua orang tosu itu ambruk dan napasnya berkejaran, adu lari itu tiba-tiba seperti lomba merebut piala kaisar maka To Hak maupun Kiam Ting akhirnya terguling setengah pingsan. Mereka juga dipaksa untuk mengejar orang-orang yang ada di depan ini.

"Tobaat..., kita seperti dikejar setan, susiok. Aku tak kuat dan ingin istirahat!"

"Benar, pinto juga kehabisan tenaga. Aduh, kedua kaki pinto serasa patah-patah!"

Dua sesepuh Heng-san tersenyum. Mereka melihat Tujuh Malaikat Hoa-san bersila dan sudah duduk memulihkan tenaga. To Hak maupun Kiam Ting roboh dan benar-benar pingsan. Mereka terlalu memaksa diri. Tapi ketika dua kakek itu menyentuhkan tangan mereka di mata kaki dan masing-masing memberikan tenaga hangat maka baik To Hak maupun Kiam Ting Sianjin akhirnya sadar. Dan di sana Tujuh Malaikat Hoa-san juga sudah pulih kembali.

Mereka kagum dan terheran-heran akan daya tahan dan kekuatan kakek-kakek renta itu. Mereka sungguh menakjubkan! Tapi ketika mereka hendak memasuki Go-bi dan tak sabar mencari Ji Beng ternyata hwesio yang dicari itu tewas. Go-bi sedang berkabung!

“Siancai, kita seperti mengejar-ngejar kapas di tengah angin beliung. Ketika didapat ternyata kapas itu telah hancur!"

"Hm, sia-sia kalau begitu usaha kita, ji-wi locianpwe. Kita tak dapat membalas dendam!"

“Tidak!” To Hak tiba-tiba berseru. "Ji Beng boleh mampus tapi Ji Leng masih ada, Hoa-san Sin-jit. Kita tak sia-sia datang ke sini karena masih ada orang lain yang harus bertanggung jawab!"

"Benar,” Kiam Ting juga teringat dan menganggukkan kepala. "Masih ada ketua Go- bi itu, Hek-totiang. Dan juga murid-murid Go-bi yang lain. Kita dapat mengobrak-abrik dan merusaknya!"

"Siancai, kita cari saja kepala-kepalanya. Yang keroco-keroco tak usah. Aku akan mencari Ji Leng tapi sebaiknya kita menghormat perkabungan sampai selesai!" 

Siang Kek, kakek yang hebat itu berkata. Ia kecewa juga namun tak setuju kalau anak-anak murid akan dihadapi. Yang penting adalah pemimpin-pemimpinnya dan itulah yang akan dilabrak. Dan ketika mereka menunggu dan menghormat masa perkabungan, To Hak melampiaskan marah dengan menancapkan kepala enam murid Go-bi maka Go-bi juga geger ketika melihat kepala Siong-hu-hwesio dan adik-adiknya itu!

"Nah, sekarang sudah selesai," Tujuh Malaikat Hoa-san bergerak ketika tampak tanda-tanda kehidupan di dalam pintu gerbang. Tiga orang murid membuka pintu yang berderit. "Ada yang keluar, Heng-san-paicu. Dan mari kita cegat!"

To Hak Cinjin, yang tak pernah berhenti dan bangkit pula tiba-tiba beringas mukanya melihat tiga murid Go-bi keluar dari tembok. Mereka membawa keranjang besar dan rupanya hendak mencari makanan. Memang Go-bi hendak menambah ransum karena seminggu ini selalu di dalam. 

Dan ketika Hek-tosu bergerak dan enam saudaranya yang lain juga susul-menyusul menjejakkan kaki, To Hak tak mau kalah dan Kiam Ting juga berkelebat maka tiga murid Go-bi itu tahu-tahu tersentak karena leher mereka sudah dicekik. Bayangan- bayangan itu amatlah cepatnya dan Tujuh Malaikat Dari Hoa-san sudah mendahului To Hak Cinjin maupun Kiam Ting Sianjin!

"Mana ketua kalian Ji Leng Hwesio. Suruh ia keluar atau kalian bertiga kami banting mampus!"

Tiga murid Go-bi itu terkejut. Mereka sedang keluar dengan tiga keranjang besar ketika tiba-tiba saja sembilan bayangan berkelebatan cepat. Tiga yang pertama sudah menotok dan mencekik leher mereka, ibu jari mereka menekan jakun dan sakitnya bukan main. Jakun itu seakan hendak diremas pecah! Dan ketika tiga murid itu ah-uh-ah-uh dan roboh terguling, tentu saja tak dapat menjawab maka To Hak tiba-tiba menendang dan tiga orang itu mencelat. Ketua Heng-san ini memang paling berangasan, mudah naik darah.

“Diminta baik-baik malah melotot seperti monyet. Rasakan, kalian akan dihajar dan ini hadiah pertama dariku.. dess!" tiga murid itu bergulingan, mengeluh dan merintih namun To Hak sudah mengejar dan menyambar mereka lagi. Dan ketika tosu itu menyodokkan sikunya ke ulu hati dan dada maka Kiam Ting terkejut karena dikhawatirkan mereka tewas.

"Cinjin, tahan. Jangan dibunuh dulu!"

"Pinto tidak membunuhnya," sang tosu berseru, geram. "Pinto hanya ingin melampiaskan sakit hati setelah menunggu seminggu, Ting-toheng. Dan ini untuk mereka sebagai sarapan pagi.... plak-plak-plak!" tosu itu menampar dan menendang tiga kali, membuat murid-murid itu menjerit dan To Hak akhirnya menginjak perut mereka. Dan ketika tosu itu membentak di mana Ji Leng Hwesio, muka demikian menakutkan seakan harimau kelaparan maka murid-murid Go-bi itu merintih, keranjang mereka cerai-berai, hancur.

"Ampun, ketua kami sedang bertapa, paicu. Kalian dapat masuk kalau ingin mencarinya.”

"Kami memang ingin masuk. Tapi apakah kalian tidak melihat enam kepala yang kami gantung di atas pintu gerbang. Kenapa kalian tidak mengadakan reaksi?"

"Ah, totiang... totiang yang membunuhnya?"

"Benar, dan aku juga ingin membunuh murid-murid Go-bi sebanyak-banyaknya. Hayo mana Ji Leng Hwesio dan apakah ia tidak bertanggung jawab atas perbuatan anak-anak buahnya!"

"Ampun...” tiga hwesio muda itu pucat, mereka tentu saja mengenal ketua Heng-san-pai ini. Kami hanya dapat berkata bahwa ciangbunjin sedang bertapa, totiang. Tapi kalau totiang ingin masuk silahkan saja bertemu dengan Beng Kong suheng....”

"Apa? Murid Ji Leng si keledai gundul itu?"

“Benar, ia sekarang menggantikan Ji Beng susiok yang meninggal dunia, totiang. Dan ialah sekarang yang diserahi tugas memimpin Go-bi!"

“Keparat, kami hanya ingin bertemu ketua kalian Ji Leng Hwesio. Kami tak mau bertemu murid-murid rendahan!"

“Tapi totiang pernah dikalahkan Ji Beng susiok. Totiang tak mungkin menang menghadapi Ji Leng-suhu yang lebih sakti lagi!”

"Bedebah, kalian emang menghina... plak- plak-plak!" dan To Hak Cinjin yang kembali menampar dan menendang tiga hwesio itu tiba-tiba membuat tiga murid Go-bi itu menjerit. Mereka rontok giginya ditampar ketua Heng-san-pai itu. To Hak Cinjin dibuat malu! Tapi ketika tiga murid itu merintih-rintih dan keributan ini didengar murid-murid Go-bi yang lain maka belasan bayangan berkelebat dan Kiam Ting Sianjin berseru agar waspada terhadap musuh-musu baru.

"Paicu, kita masuk saja dan lepaskan mereka. Lihat, anak-anak murid yang lain berdatangan!”

To Hak menoleh. Ia memang ingin menghajar dan memberi pelajaran lagi kepada tiga murid- murid Go-bi ini ketika terdengar gerakan dan desir angin jubah. Tujuh hwesio tiba-tiba muncu di depan mereka dan To Hak Cinjin tergetar karena inilah Pat-kwa-hwesio bersaudara yang datang menyambut. Dan ketika ia melepaskan hwesio-hwesio tawanannya dan bersiap menghadapi tuan rumah, menengok dan terkejut karena dua supeknya tak ada di situ maka menjuralah Ji-hwesio di depan sembilan tamu-tamu tak diundang ini.

"Omitohud, Heng-san-paicu kiranya datang lagi membuat sibuk. Selamat pagi, dan selamat bertemu lagi, paicu. Totiang tentu ingin bertemu pimpinan kami untuk urusan lama!"

“Hm, benar. Tapi aku terlambat karena Ji Beng Hwesio telah meninggal dunia!"

"Kami sedang bersedih, tapi tentu saja kami akan menyambut siapapun yang ingin berurusan dengan Go-bi. Omitohud, bukankah ini Tujuh Malaikat Dari Hoa-san yang lihai dan jarang turun gunung? Ah, kami semakin mendapat kehormatan lagi, cuwi totiang. Mari masuk dan ketua kami menyambut kalian di dalam!"

"Siancai, Ji Leng lo-suhu akhirnya keluar juga?" Kiam Ting, yang sudah mendengar bertapanya ketua Go-bi-pai itu terkejut dan girang juga. "Kalau begitu kami tak menyia-nyiakan kesempatan ini, Ji-siauw-suhu. Dan kau tentu mengenal pinto kalau belum lupa!"

“Omitohud, totiang adalah Kiam Ting Sianjin. Pinceng mengenal dan masih awas pandangan. Silahkan masuk, dan terima kasih bahwa kalian membebaskan murid-murid kami yang bodoh. Ketua sudah menunggu di dalam!"

To Hak tertegun sementara Kiam Ting Sianjin gembira. Kalau lawan mau menyambut secara baik-baik barangkali persoalan dapat lebih mudah lagi. Tak perlu ada anak-anak murid yang menjadi korban dan dia akan sedikit lega. Tapi ketia memandang kawannya dan To Hak Cinjin tampak tolah-toleh, bingung karena supek-supeknya yang diandalkan tak kelihatan di situ maka ia berbisik dan bertanya dengan heran, "Paicu, ada apa?"

"Sst,” To Hak agak berubah. "Apakah toheng tidak melihat di mana supek dan susiokku? Orang-orang Go-bi ini amat lihai. Kalau tak ada susiok atau supekku itu keadaan bakal celaka!”

"Eh, bukankah ada Tujuh Malaikat Hoa-san di sini?"

"Mereka kuragukan, toheng. Hanya kalau ada supek dan susiokku itu hatiku bakal marem!”

"Tapi kita sudah di sini..."

“Benar, dan karena itu kita harus masuk. Mungkin susiok dan supekku sudah di dalam!" berkata begini ketua Heng-san itu lalu membusungkan dada. Ia agak gentar juga kalau susiok atau supeknya tak ada di situ. Kehebatan Go-bi sudah dikenal dan hanya karena adanya susiok serta supeknya itulah dia berani datang. Kalau tidak, mungkin dia akan bersembunyi! 

Dan ketika Heng-san-paicu itu melangkah lebar dan Hoa-san Sin-jit sendiri tampak bisik-bisik di antara saudara maka aneh dan mengherankan hwesio-hwesio Go-bi ini mempersilahkan masuk. Seolah menerima tamu-tamu agung dan bukannya lawan atau musuh yang jelas akan membuat ribut!

“Cuwi totiang sudah diketahui kedatangannya oleh ketua. Dan kami agak heran ketua mengatakan cuwi semua berjumlah sebelas orang. Mana yang dua lagi?"

To Hak Cinjin kaget. "Ji Leng Hwesio tahu kedatangan kami?"

“Ya, dan juga enam kepala yang kalian gantung di atas pintu gerbang, To Hak Cinjin. Tapi kami tak diperbolehkan berbuat apa-apa karena suasana sedang berkabung!"

"Siancai, kalau begitu Ji Leng sungguh sombong. Sudah tahu tapi baru sekarang menerima kami. Ah, pinto ingin melabraknya!"

"Totiang dapat bicara di dalam, Go-bi akan menerima dengan jantan. Tapi ketua kami bukanlah Ji Leng-supek seperti yang kau katakan!”

"Kalau begitu siapa?" To Hak tertegun, muka merah dan hitam berganti-ganti. Ia merasa direndahkan!

Tapi ketíka Ji-hwesio tersenyum dan mengibaskan ujung jubahnya, biarlah nanti di dalam saja mereka lihat maka ketua Heng-san itu berdebar sementara teman-temannya yang lain menahan marah dan tak kenal takut karena belum mengetahui kehebatan Go-bi. “Kita masuk saja, dan kita lihat siapa orang yang sombong itu!"

Rombongan ini masuk. Pat-kwa-hwesio dengan tenang telah mengantar tamu-tamunya ini. Murid-murid menyibak dan berjaga di kiri kanan jalan Go-bi rupanya juga sudah bersiap-siap! Dan ketika mereka masuk dan tiba di bangsal agung, di sini mereka berhenti dan memandang ke atas maka tampaklah seseorang duduk dengan pongahnya di kursi berlapis emas....

Prahara Di Gurun Gobi Jilid 10

Cerita Silat Mandarin Serial Prahara Di Gurun Gobi Karya Batara

“AKU tak tahu. Tapi mungkin tewas!"

Murid-murid Go-bi berhamburan. Mereka menolong atau membantu suheng-suheng mereka ini yang mendapat hajaran dari Beng Kong Hwesio. Hwesio itu sendiri berdiri tegak dengan tawa menggetarkan, membiarkan saja saudara-saudaranya itu merintih dan melihat murid-murid yang lain menolongnya. Dan ketika semua diangkat bangun hanya Twa-hwesio sendiri yang tak sadarkan diri, pingsan oleh pukulan Beng Kong maka semua pucat dan ngeri memandang murid Ji Leng Hwesio ini, calon ketua atau pimpinan yang menggantikan Ji Beng Hwesio.

"Pinceng masih mengingat hubungan kita sebagai saudara. Pinceng hanya merobohkan kalian. Nah, jangan macam-macam terhadap pinceng dan siapapun yang tak puas boleh mencoba pinceng!"

Semua gentar. Tentu saja mereka ngeri melihat kepandaian Beng Kong Hwesio ini, tunduk dan menjatuhkan diri berlutut dan Beng Kong akhirnya menyuruh mereka kembali ke tempat persemayaman jenasah. Twa-hwesio mendapat perawatan khusus karena di samping pingsan oleh pukulan Beng Kong ia juga baru saja memotong telinga kirinya. Telinga itu berdarah lagi dan tadi dengan keji Beng Kong memukul di bagian sini, luka menjadi bertambah lebar dan murid-murid Go-bi bergidik melihat ketelengasan hwesio ini.

Beng Kong memang dikenal keras tapi tak sekeras sekarang. Kekerasannya ini mengandung kekejaman dan kekejamannya cukup mengerikan. Ia tak segan-segan membuat Twa-hwesio cacad! Tapi ketika semua kembali dan pergi ke ruang jenasah, menunggui mayat sesepuh mereka maka seorang murid tiba-tiba mendekat dan berbisik gemetar bahwa di situ masih ada tiga ketua Hoa-san dan Heng-san serta Kun-lun, yang tubuhnya masih membujur di luar, pingsan.

“Kami tak tahu harus berbuat apa. Mohon suheng memberi petunjuk!”

“Hm, mereka masih di sana? Lempar dan keluarkan saja, Siong-hu. Biar pulang atau kembali sendiri-sendiri!”

“Ah, mereka terluka, suheng. Tak dapat berdiri. Mereka masih pingsan!"

"Kalau begitu bagaimana maumu. Apakah menyuruh merawatnya di sini dan melayaninya seperti seorang kaisar?”

"Ampun, bukan begitu, suheng. Tapi seharusnya kita mengantar mereka pulang dan baik-baik menyerahkannya kepada partainya!"

“Tapi mereka pengacau. Apakah pantas menerima hal itu?"

"Jadi bagaimana maksud suheng?"

"Lempar dan keluarkan mereka dari tembok Go-bi. Mati atau hidup biar di luar sana!"

"Ah, itu tak berperikemanusiaan, suheng. Kita bakal dikutuk dunia!”

"Kalau begitu bawa ke sini, biar aku yang urus!”

Hwesio itu girang. Dia mengira pimpinannya ini berwelas asih dan akan menolong. Kalau begitu baik, Go-bi memang bukan partai persilatan kejam yang semena-mena terhadap orang lain, biarpun musuh. Tapi begitu ia membawa tiga orang ketua itu, yang masih pingsan dan luka-luka berat mendadak Beng Kong Hwesio tertawa dingin dan sekali kebutkan jubah tiba-tiba ia melempar tiga orang ketua itu sampai jauh melampaui tembok gerbang Go-bi.

"Suheng...!”

Teriakan atau pekik kaget terdengar di sana- sini. Mereka sungguh tak menyangka bahwa Beng Kong Hwesio akan memperlakukan tiga ketua Hoa-san dan Kun-lun serta Heng-san seperti itu. Tiga tubuh itu mencelat dan terlempar ratusan meter. Bukan main dahsyatnya. Dan ketika tiga tubuh itu berdebuk dan jatuh di luar tembok, murid- murid berlarian melihat maka It Lun dan Kiam Leng ternyata tewas, tubuhnya remuk!

"Suheng, ketua-ketua Hoa-san dan Kun-lun binasa. Kau telah membunuhnya!"

"Ha-ha, siapa mau main-main denganku, Siong-hu. Boleh mereka datang kalau ingin membalas dendam. Mereka itu sebelumnya memang sudah luka berat dan pasti mampus. Pinceng hanya mempercepat kematiannya saja, agar tidak menderita!"

Siong-hu dan murid-murid lain tertegun. Mereka itu kaget sekali melihat kekejaman dan watak sombong hwesio ini. Dua ketua Hoa-san dan Kun-lun tewas, tinggal ketua Heng-san yang untuk tidak remuk karena jatuh menimpa dua tubuh temannya itu. Dan ketika mereka pucat dan tentu saja bercucuran air mata, Beng Kong dianggap tak berperikemanusiaan dan kejam maka atas inisiatip sendiri enam di antara mereka membawa dan mengangkat tubuh tiga ketua itu.

“Kita harus mengantar jenasahnya ke Hoa-san dan Kun-lun. Siapa di antara kalian yang akan membawa Heng-san-paicu?”

“Biarlah siauw-ceng yang membawanya,” dua di antara hwesio-hwesio muda maju berkata. "Kami yang akan membawa Heng-san-paicu, suheng. Dan kau hati-hatilah mengantar jenasah dua ketua Hoa-san dan Kun-lun."

“Pinceng akan membawanya sampai ke kaki gunung Hoa-san dan Kun-lun saja," Siong-hu berkata. "Pinceng tentu saja tak berani mengantar sampai ke atas."

"Baiklah, mari, suheng. Lihat Beng Kong- suheng tak perduli kepada kita dan kita jaga nama baik Go-bi!"

Enam orang itu bergerak. Beng Kong Hwesio sendiri telah lenyap dan tidak perduli kepada itu. Dia telah memamerkan kepandaiannya yang dahsyat dengan melempar tiga orang ketua itu sampai ratusan meter, hal yang memang luar biasa. Dan ketika Go-bi sendiri berkabung atas kematian Ji Beng Hwesio, Siong-hu dan lima saudaranya membawa ketua-ketua Hoa-san dan Kun-lun serta Heng-san maka tentu saja di tempat yang bersangkutan terjadi geger! Go-bi sendiri akhirnya menyelesaikan masa berkabung itu.

Tidak banyak adat atau upacara. Tapi ketika seminggu masa perkabungan itu selesai maka di pintu gerbang perguruan ini tiba-tiba terpancang enam kepala hwesio yang bukan lain adalah Siong-hu dan kelima saudaranya. Apa yang terjadi? Pembalasan atau kemarahan besar dari pihak Hoa-san dan Kun-lun serta Heng-san!

* * * * * * * *

Mari kita ikuti perjalanan sial enam murid Go-bi yang baik ini. Siong-hu, yang memimpin kelima saudaranya untuk menyerahkan kembali ketua-ketua Kun-lun dan Hoa-san serta Heng-san itu tentu saja tidak berani naik ke atas. Di tengah jalan mereka berpisah dan dua di antara masing-maslng membawa ketua-ketua Hoa-san dan Kun-lun itu. Saudara termuda membawa To Hak Cinjin ke Heng-san, sedangkan yang dua lagi ke Kun-lun membawa Kiam Leng Sianjin sementara Siong-hu sendiri membawa It Lun Tojin yang remuk tulang-tulang tubuhnya itu.

Dan Siong-hu berpesan agar masing-masing tidak usah ke atas gunung menyerahkan jenasah-jenasah itu, kecuali yang membawa To Hak Cinjin karena ketua Heng-san itu tidaklah tewas meskipun luka-luka berat. Dan ketika masing-masing membawa bawaannya dan Siong-hu menuju Hoa-san maka di kaki gunung partai persilatan terkenal itu Siong-hu menurunkan mayat It Lun Tojin.

"Sebenarnya tak baik kita meletakkan mayat ini di sini. Tapi apa boleh buat, kematian It Lun Tojin tentu membuat marah anak-anak murid Hoa-san. Hm, kita taruh di pinggir hutan sini, sute. Dan beri tanda agar segera diketahui orang!"

“Tanda apa?"

"Apa saja, pokoknya menarik perhatian orang!"

Sang sute, yang mengangguk dan melepas pandangan ke kiri kanan akhirnya menemukan sebatang pohon besar, yang roboh. Pohon itu sudah tua dan diangkutnya lalu diberi kain putih. Dan ketika pohon ini ditancapkan di sisi mayat It Lun Tojin dan dua hwesio itu menutup hidung karena bau mayat mulai busuk, dua hari perjalanan membawa mayat bukanlah pekerjaan ringan maka mereka berdoa dan berpantas-pantas sebelum pergi.

"It Lun totiang, kami dari Go-bi amatlah menyesalkan kematianmu ini. Beng Kong suheng memang terlalu, tapi nasi sudah menjadi bubur. Daripada kau dicari-cari anak muridmu di tempat lain biarlah kau beristirahat dan sementara ini tenang di sini. Kami telah memberi tanda bendera putih sebagai petunjuk berkabung!”

"Benar," sang adik menyambung. "Kami pribadi tak menanam permusuhan denganmu, totiang. Tapi kematianmu sedikit banyak berhubungan dengan Go-bi pula. Biarlah kami balas kesalahan kami dengan membawamu ke sini dan semoga mayatmu cepat ditemukan anak-anak murid Hoa-san!"

Dua hwesio itu bersedakap. Mereka menunduk dan tak tahu akan adanya bayangan-bayangan dari lereng gunung. Mereka berada di kaki gunung dan sesungguhnya kedatangan mereka itu sudah diketahui murid-murid Hoa-san. Maklumlah, Hoa-san bukan perkumpulan anak-anak kecil dan sekeliling gunung selalu mendapat pengawasan, setiap limabelas menit tentu ada yang menjaga atau meronda.

Dan ketika dua orang hwesio itu berhenti di kaki gunung dan tentu saja bayangan mereka terlihat, dari atas selalu ada penjaga atau peronda-peronda maka mereka itu sudah saling memberi tanda dan ketika Siong-hu dan sutenya menancapkan pohon dan berdoa di situ maka mereka sudah turun dan tahu-tahu mengepung hwesio-hwesio Go-bi ini. Siong-hu terlalu membuang-buang waktu dengan berdoa dan mencari pohon segala.

"Siapa ini. Kawan atau lawan dari mana berani memasuki wilayah Hoa-san tanpa ijin!"

Siong-hu terkejut. Ia menoleh dan tahu-tahu belasan anak murid Hoa-san berkelebatan di situ, membentak dan berdiri mengurung. Dan ketika hwesio ini terkejut karena ia kalah cepat, musuh mengetahui kehadirannya maka murid-murid Hoa-san terpekik melihat jenasah ketuanya.

"Itu ciangbunjin (ketua)...!”

“Itu It Lun suhu...”

Siong-hu dan adiknya terperanjat. Mereka tahu-tahu diserang dan begitu mayat itu dikenal mendadak murid-murid Hoa-san menjadi histeris. Mereka berteriak dan marah menyerang hwesio-hwesio Go-bi ini. Dan ketika pedang berdesingan dan menyambar dari delapan penjuru, Siong-hu dan sutenya terkejut maka apa boleh buat hwesio ini menangkis dan mengebutkan ujung lengan jubahnya, tidak mencabut toya.

“Omitohud, sabar, saudara-saudara. Kami berdua dari Go-bi!”

“Benar, kami yang membawa mayat ini, saudara-saudara. Jangan menyerang karena kami bukan musuh!”

"Keparat!” tosu-tosu itu membentak. “Bukan musuh tapi membunuh ketua kami keledai- keledai gundul. Apa artinya itu kalau bukan kebohongan!"

“Ah, kami tidak membunuh...” Siong-hu menangkis dan mengelak sana-sini.

“Benar, kami tidak membunuh!" sang sute juga mengelak dan bergerak ke sana-sini. Tapi ketika tosu-tosu itu memekik dan berkata bahwa ketua mereka dibunuh Beng Kong Hwesio, hwesio dari Go-bi pula maka mereka menerjang dan malah semakin kalap.

"Kami tahu hwesio-hwesio rendahan semacam kalian tak mungkin mampu membunuh ketua kami. Tapi Beng Kong adalah murid Ji Leng dan sama-sama anak perguruan Go-bi. Nah, kalian juga dari Go-bi dan tak usah banyak cakap untuk menyangkal atau berdebat... cring-plak!”

Pedang menyambar dan ditangkis Siong-hu, terpental tapi pedang-pedang yang lain datang berhamburan dari kanan dan kiri. Dan ketika Siong-hu kewalahan karena ia dikeroyok belasan tosu, ujung jubahnya robek dan lengan kirinya tergores pedang maka apa boleh buat hwesio ini mencabut toya dan sutenya juga sudah melakuan hal yang sama karena lehernya hampir saja terbabat pedang!

"Omitohud, kalian tak dapat diajak omong baik-baik, siauw-totiang, Maaf bahwa pinceng melawan dan kami akan membalas!" hwesio itu membentak dan menangkis dengan toyanya. Sinar kuning berkelebat dan hebat tenaga hwesio ini. Karena begitu ia menangkis maka belasan pedang terpental. Dan ketika sutenya juga membentak dan berseru keras, mencabut toya maka belasan murid-murid Hoa-san dipukul mundur dan mereka terhuyung-huyung!

"Ah, kurang ajar. Pantas kalau sombong dan berani congkak!"

Siong-hu mengerutkan kening. Ia sudah akan memutar tubuhnya ketika tiba-tiba belasan orang lawannya itu menerjang lagi, bergerak dan menyerang dengan marah dan tiba-tiba mereka saling bersuit memanggil yang lain-lain. Agaknya, sadar bahwa hwesio-hwesio Go-bi ini memiliki kepandaian tinggi yang masih di atas mereka maka buru-buru belasan murid Hoa-san ini memanggil suheng-suhengnya.

Mereka memang hanya penjaga-penjaga biasa dari murid tingkat enam, di Hoa-san ada sepuluh tingkatan. Dan ketika Siong-hu diserang dan tosu-tosu Hoa-san itu melengking marah, menubruk dan menyambar lagi maka apa boleh buat hwesio ini menghadapi lawan-lawannya lagi, sedikit gelisah melihat bayangan-bayangan dari puncak gunung yang datang.

"Sute, robohkan mereka. Kemplang tapi jangan sampai membunuh!”

Sang sute, yang juga berubah dan melihat bayangan-bayangan di puncak gunung lalu membentak dan mengayun toyanya dengan lebih cepat. Pedang ditangkis berdentang dan saat itu pula sang suheng menyapu dari bawah. Dua hwesio Go-bi ini mainkan senjata mereka dengan hebat sekali, yang satu menangkis pedang di atas sedang yang lain menyerampang atau menyapu ke bawah. Dan ketika lawan-lawan mereka itu menjerit dan terjungkal, sapuan Siong-hu-hwesio berhasil maka hwesio ini memberi aba-aba untuk keluar hutan, secepatnya meninggalkan murid-murid Hoa-san itu, yang sedang merintih dan terguling-guling.

"Cepat, kita tak usah bertempur lagi. Lawan-lawan kita datang dari atas sana!”

"Benar, aku juga melihat mereka, suheng. Tosu-tosu bau ini memanggil bantuan!"

“Omitohud, tak usah memaki. Mari pergi dan kita keluar!” Siong-hu-hwesio menyambar sutenya, menyendal dan diajak lari tapi alangkah terkejutnya hwesio ini ketika di luar hutan tiba-tiba sudah muncul puluhan murid Hoa-san. Kiranya hutan juga dikepung! Dan ketika hwesio itu terkejut dan sutenya juga tertegun, masing-masing menahan langkah maka murid-murid Hoa-san itu berlompatan dan mereka membentak apa yang dilakukan hwesio-hwesio ini mengerutkan kening karena tak tahu dari manakah hwesio-hwesio itu berasal.

"Berhenti, dan siapa kalian!"

“Omitohud," Siong-hu-hwesio cepat-cepat merangkapkan tangan, tak ingin berlama-lama di situ. "Pinceng dari Go-bi, sobat. Mohon jalan dan akan pulang!"

Tetapi tosu-tosu yang tadi dipukul bergulingan tiba-tiba berseru bahwa hwesio itu membawa mayat ketua mereka. Dan ketika yang bertanya ini membelalakkan mata dan terkejut, marah, maka yang lain juga berseru bahwa hwesio-hwesio Go-bi itu sebaiknya ditangkap, atau dibunuh.

“Mereka membunuh ketua. Tangkap dan tidak usah banyak bicara!”

Tosu itu bergerak. Tiba-tiba ia menjadi gusar begitu diberi tahu bahwa ciangbunjin dibunuh hwesio Go-bi. Lawan yang ada di depan ini juga hwesio Go-bi dan begitu ia membentak tiba-tiba iapun sudah menyerang Siong-hu-hwesio dan sutenya ini. Dan ketika yang lain juga bergerak namun Siong-hu-hwesio mendahului dan berkelebat menggerakkan toya maka tosu di depan dipukul mundur dan tosu-tosu lainpun dikemplangnya dengan sambaran toya yang kuat.

"Minggir, pinceng tak membunuh ketua kalian. Maaf bahwa pinceng harus pergi... trang-trang-trang!" hwesio itu mementalkan pedang-pedang lawan, maju dan coba menerobos kepungan tosu-tosu Hoa-san.

Namun yang tadi bergulingan sudah meloncat bangun. Mereka inipun menerjang lagi dan gagallah Siong-hu-hwesio melarikan diri. Dan ketika dia bersama sutenya dikeroyok dan dikepung ketat, berkali-kali membentak dan berseru tapi tidak digubris maka hwesio ini pucat karena lawan bertambah banyak. Dari atas gunung berdatangan murid-murid lain yang sudah melihat keributan ini.

"Omitohud, pinceng dipaksa. Baiklah, pinceng akan menurunkan tangan keras dan maaf sobat-sobat dari Hoa-san kalau ada yang terluka!" hwesio ini mengamuk, akhirnya apa boleh buat harus memutar toya dengan lebih kencang dan tiba-tiba menjeritlah dua murid Hoa-san kena kemplangan toyanya. Dan ketika sutenya juga melakukan hal yang sama tapi tak dapat menahan tenaga, mengemplang dan mengenai kepala seorang lawannya maka murid Hoa-san itu roboh dan tewas dan sebuah jiwa akhirnya melayang.

“Prakk!"

Siong-hu-hwesio terkejut. Bukan maksudnya untuk membunuh tapi sutenya telah kelepasan tangan. Dia sebenarnya hanya ingin melukai dan paling banter membuat lawan tak dapat bangkit melawan, pingsan atau mengadu-aduh karena kaki atau tangannya patah. Tapi begitu sutenya tak dapat mengendalikan diri dan seorang murid Hoa-san roboh, kepalanya pecah maka tosu-tosu yang lain menjerit dan mereka menerjang bagai kerbau gila yang haus darah.

"Keparat, mereka membunuh saudara kita!”

"Benar, bunuh pula mereka ini, suheng. Penggal kepalanya!"

Siong-hu-hwesio pucat. Dari puncak gunung meluruk seratus lebih anak-anak murid Hoa- san. Ia terus memutar toyanya dan lawan-lawanpun roboh berteriak. Apa boleh buat, hwesio inipun terpaksa membuka jalan darah. Dan ketika delapan murid tewas dan murid-murid Hoa-san ini semakin marah, mereka naik pitam maka Siong-hu-hwesio dan sutenya menerima pula bacokan atau tikaman pedang.

“Bret-bret!"

Lengan dan bahu dua hwesio itu robek. Hujan pedang tusukan yang demikian banyak akhirnya membuat dua orang ini pun terluka. Darah mulai mengalir dan gemetarlah Siong-hu-hwesio melihat keberingasan lawan. Akhirnya semua murid-murid Hoa-san berkata bahwa dialah yang membunuh It Lun Tojin, membawa mayatnya dan kini mayat ketua Hoa-san itu masih kaku dan membujur di sana. Dan ketika bentakan serta makian riuh rendah menjadi satu, dua hwesio ini terdesak maka satu bacokan lagi akhirnya membuat hwesio itu dan sutenya menggeliat. Sang sute bahkan lebih parah karena lengan kirinya putus!

"Augh, aku tak kuat, suheng. Lari dan terobos kepungan kiri!”

Siong-hu-hwesio mendelik. Ia melihat jatuhnya lengan sutenya itu, yang mencelat dan terlempar dari tempatnya. Dan ketika sang sute terhuyung-huyung dan berteriak menangkis hujan senjata yang masih menyambar, dengan satu tangan yang masih utuh ternyata sutenya itu tak kuat lagi dan toya terlepas ketika tangan kanan itupun putus dibabat. Kemarahan tosu-tosu Hoa-san memang mengerikan!

"Kita balaskan sakit hati ketua. Bunuh dan habisi hwesio-hwesio Go-bi ini!"

Siong-hu-hwesio memejamkan mata. Ia melihat sutenya berteriak ketika lengan satu- satunya kembali putus. Jumlah pengeroyok memang amatlah banyak dan merekapun adalah murid-murid Hoa-san yang berkepandaian tinggi. Sekarang yang datang adalah murid-murid kepala dan tentu saja mereka itu hebat. Dan ketika sutenya terjengkang dan murid-murid Hoa-san yang marah itu memburu, sutenya mengeluh dan tak mampu mengelak maka tujuh pedang menabas atau memenggal kepalanya, yang seketika menggelinding dan memuncratkan darah segar!

"Kejam!" Siong-hu-hwesio tak tahan memekik. "Kalian kejam, tosu-tosu bau! Ah, kalian tak berperikemanusiaan dan tidak mau tahu keadaan kami!" dan maju mengemplangkan toyanya, mendesak dan menyambar ke kiri hwesio inipun memukul roboh seorang murid Hoa-san. Dia menjadi kalap setelah sutenya dibunuh di situ. Kepala sutenya yang menggelinding dan tak jauh darinya terlihat melotot matanya.

Sutenya itu tentunya kesakitan dan menderita, bukan main kaget dan marahnya hwesio ini. Namun ketika ia kembali merobohkan seorang lawan dan murid-murid Hoa-san dipukul mundur, terkejut oleh tandangnya yang buas maka sebatang pedang tiba-tiba ditimpuk dan hwesio itu berteriak ketika pedang ini menancap di bahunya.

"Aduh!” Siong-hu-hwesio melotot. Ia juga merasa kesakitan dan sejenak meregang dengan dada dibusungkan. Bukan untuk gagah-gagahan melainkan karena kesakitan itu. Dan ketika sepasang pedang tiba-tiba kembali menyambar dan kiranya ada seorang murid Hoa-san yang ahli menyambit, hwesio ini menjerit maka tiga pedang telah menancap di belakang punggungnya secara silang.

Hwesio ini terhuyung-huyung dan tentu saja putaran toyanya melemah. Ia hampir tak kuat dan saat itu lawan-lawannya kembali maju membentak. Hwesio ini benar-benar dalam keadaan bahaya. Tapi ketika pedang-pedang kembali berkelebatan dan rupanya juga hendak menabas putus leher hwesio ini, sungguh kasihan maka sesosok bayangan tiba-tiba berkelebat dan seorang tosu tinggi kurus membentak dan mengibaskan lengannya ke kiri kanan.

"Tahan, jangan bunuh!"

Siong-hu-hwesio roboh. Akhirnya ia berkunang dan kehabisan tenaga menghadapi demikian banyak keroyokan. Darah yang mengalir dari tubuhnya juga bertambah banyak dan tepat bayangan itu datang maka hwesio inipun terguling. Di samping mengibas bayangan itupun menotok pundaknya, Siong-hu-hwesio pingsan dan tak ingat apa-apa lagi. Dan ketika murid-murid Hoa-san tertegun tapi mereka tíba-tiba berseru tertahan, melempar pedang dan menjatuhkan diri berlutut maka bayangan itu, seorang tosu bermuka merah telah berkata nyaring,

"Pinto telah mendengar apa yang terjadi. Tapi kalian seharusnya menangkapnya dan membawanya kepada pinto. Lihat, satu di antara mereka tewas, Ken-Lun. Dan kita jelas telah menanam permusuhan dengan Go-bi. Siancai, semua berhenti dan bawa mayat It-suheng ke atas. Pinto akan membawa hwesio yang luka-luka ini!”

Para murid, yang tertegun dan pucat melihat tosu ini segera mengangguk-angguk. Tosu muda yang berikat rambut merah tampak tertegun, tidak puas tapi segera mengiyakan dengan suara rendah. Dan ketika tosu itu menyambar Siong-hu-hwesio dan bergerak naik ke atas maka hwesio itupun menjadi tawanan dan ketika ia sadar iapun telah berhadapan dengan tosu berwajah merah ini, juga tosu-tosu lain yang semuanya berjumlah tujuh orang dan rata-rata bersikap angker!

“Ooh..." hwesio ini mengeluh. "Di mana pinceng?"

"Kau berada di Hoa-san," tosu itu menjawab, suaranya dingin. "Pinto telah membawamu ke sini, Siong-hu-hwesio. Dan sungguh pinto sesalkan bahwa kau bersikap seperti maling. Membawa mayat ketua kami dan pergi cepat-cepat untuk menyelamatkan diri!"

"Ah, aku kiranya berhadapan dengan Hoa-san Sin-jit totiang yang lihai. Maaf, bagaimana dengan saudaraku dan bolehkah aku dibebaskan?"

"Kau sementara ini menanti hukuman,” sang tosu menjawab, lagi-lagi dingin dan tak bersahabat. Kau dituduh telah membunuh dan membuat onar di tempat orang, Siong-hu- hwesio. Dan kami sedang merundingkan hukuman apa yang harus kau terima!"

"Ooh, pinceng... pinceng tidak salah. Kalian orang-orang Hoa-san salah paham!”

“Tutup mulutmu!" seorang tosu bermuka hitam tiba-tiba membentak, kasar dan sengit. "Kau telah membunuh dan menghilangkan sebelas nyawa di sini, hwesio tengik. Dan ini cukup sebagai bukti bahwa kau bersalah. Dan kau menghina pula mayat ketua Hoa-san. Kau perlu dihukum gantung!”

"Pinceng dipaksa keadaan. Murid-murid Hoa-san menyerang pinceng...!”

"Kau tak guna melakukan pembelaan. Kami Hoa-san Sin-jit sedang bersidang untuk mencari hukuman apa yang paling setimpal buatmu. Juga Go-bi yang telah menghina Hoa-san. Nah, tutup mulutmu dan tak usah berkaok-kaok lagi!" sebuah totokan membuat tenggorokan hwesio itu terkancing, tosu muka hitam telah menggerakkan jarinya dan dari jauh terdengar suara mencicit. Itulah totokan jarak jauh yang dipunyai Hoa-san Sin-jit (Tujuh Malaikat Dari Hoa-san), sute atau adik-adik seperguruan It Lun Tojin yang tewas itu.

Dan ketika Siong-hu-hwesio mengeluh dan tak dapat berbuat apa-apa, ia tinggal menunggu hukuman maka hwesio itu melihat kesibukan luar biasa di Hoa-san. It Lun Tojin yang tewas telah dirawat jenasahnya dan Hoa-san berkabung, tentu saja semua muka muram dan wajah-wajah kelihatan bengis memandang Siong-hu-hwesio ini, yang tergolek di tengah ruangan. Dan ketika tujuh tosu itu berbicara dan memutuskan hukuman apa yang akan dilaksanakan kepada hwesio ini, juga perguruannya maka dua hari kemudian tamu-tamu dari Heng-san dan Kun-lun berkelebatan muncul.

Hoa-san sedang berkabung dan tentu saja kedatangan tamu-tamu itu mengejutkan semuanya. Bukan karena mereka datang secara tiba-tiba melainkan kepada apa yang dibawa mereka, yakni empat kepala hwesio gundul yang masih menetes-neteskan darah segar. Dan ketika empat kepala itu dilempar dan Siong-hu-hwesio terbelalak, menjerit namun tak dapat mengeluarkan suara maka ia pucat karena itulah kepala dari empat orang sutenya yang diutus ke Kun-lun dan Heng-san! Apa yang terjadi? Memang nasib buruk!

Waktu itu, seperti yang diperintahkan hwesio ini kepada empat adik-adiknya maka dua di antara mereka datang ke Kun-lun sedang dua lagi yang lain datang ke Heng-san. Mereka seperti juga Siong-hu-hwesio ini tak berani naik ke puncak gunung. Mayat Kiam Leng Sianjin diletakkan di kaki gunung tapi sebelum mereka pergi tiba-tiba saja mereka sudah dikepung anak-anak murid Kun-lun. 

Para penjaga atau murid-murid di situ juga telah mengetahui kedatangan murid-murid Go-bi ini. Dan ketika mereka melihat bahwa dua orang itu membawa ketua mereka, yang sudah tewas dan berbau busuk maka tanpa banyak bicara lagi dan penuh kemarahan meluap mereka itu menyerang sute-sute dari Siong-hu-hwesio ini. Dua hwesio itu terkejut tapi tentu saja mereka melawan.

Sama seperti Siong-hu-hwesio mereka inipun mula-mula berteriak dan berseru berulang-ulang bahwa mereka hanya mengantar mayat, bukan membunuh apalagi memusuhi Kun-lun, karena yang bermusuhan bukanlah mereka sebagai pribadi melainkan partai dengan partal, ketua-ketua mereka itu. Tapi karena anak-anak murid Kun-lun tentu saja tak mau menerima alasan ini dan mereka datang secara berturut-turut, kematian atau tewasnya Kiam Leng Sianjin sungguh membuat kaget mereka.

Maka bentakan atau keroyokan tosu-tosu Kun-lun membuat dua hwesio itu kewalahan. Mereka disuruh menyerah tapi keduanya nekat melawan. Mereka ngeri melihat wajah-wajah menakutkan dari lawan-lawan mereka itu. Dan karena hal ini justeru membuat lawan meluap dan kemarahan tosu-tosu Kun-lun itu tak dapat dibendung lagi maka dua hwesio itu akhirnya tewas terbunuh dan Kun-lun memenggal kepala keduanya untuk dikirim ke Go-bi.

Namun saat itu datang To Hak Cinjin bersama dua orang sesepuh Heng-san. Merekapun datang dengan kepala dua orang hwesio yang berlumuran darah, hwesio terakhir yang membawa ketua Heng-san itu ke markasnya. Dan ketika Kun-lun tertegun karena Heng-san ternyata memiliki persoalan yang sama, mereka menyambut dan membelalakkan mata maka To Hak Cinjin yang beringas dan dipapah dua tosu tua yang tertatih-tatih jalannya berkata bahwa Go-bi harus diberi pelajaran berbareng.

"Pinto datang juga untuk membalas sakit hati, di samping bela-sungkawa. Ini dua keledai dari Go-bi dan kita antarkan kepala mereka bersama-sama!"

Kun-lun guncang. To Hak Cinjin, yang datang bersama dua paman gurunya yang amat sakti tiba-tiba sudah ada di situ dan berkata bahwa Kun-lun dan Heng-san serta Hoa-san harus bersatu. Di Go-bi ada seorang sombong dan itu adalah Ji Beng Hwesio. Ketua Heng-san ini belum tahu akan tewasnya Ji Beng karena waktu itu, ia pingsan, sedang tak sadarkan diri. 

Dan ketika Kun-lun tertegun tapi tentu saja menerima girang, dua tosu renta yang ada di samping ketua Heng-san itu adalah Siang Kek Cinjin dan Siang Lam Cinjin, dua pertapa yang nyaris tak pernah keluar lagi maka To Hak Cinjin membakar bahwa semua ini harus dibalas.

"Pinto terluka berat, tapi susiok dan supek pinto ini telah menolong pinto. Pinto selamat tapi pinto menyesal bahwa yang terhormat ketua Kun-lun binasa dan entah bagaimana dengan nasib yang terhormat ketua Hoa-san. Mari kita ke sana dan siapa yang akan bersama pinto!"

Kun-lun girang. Di tempat mereka, ada juga seorang sesepuh yang mengundurkan diri. Dan itu adalah Hoa-san Lojin yang menjadi guru ketua mereka yang tewas, jadi termasuk sucouw atau kakek guru bagi mereka. Tapi ketika Hoa-san Lojin ini dihubungi dan ternyata kakek itu tak mau, kakek itu bertapa dan khusuk dalam samadhinya maka Kun-lun gagal membawa sesepuh dan hanya Kiam Ting Sianjin yang ikut, sute atau adik seperguruan dari mendiang Kiam Leng.

"Pinto akan menemani To Hak toheng, suhu tak mau lagi mencampuri urusan duniawi. Ah, sungguh mengherankan bagaimana Go-bi tiba- tiba dapat berbuat seperti ini. Siancai!"

Kun-lun berkabung. Mereka tentu saja, tak tahu akan nasib ketua Heng-san. To Hak Cinjin hanya tahu bahwa mula-mula ketua Hoa-san dan Kun-lun itu luka berat, sama seperti dirinya. Dan ketika Kiam Leng Sianjin ternyata tewas dan kini mereka akan menjenguk Hoa-san, jenasah Kiam Leng sudah dimakamkan maka tergesa-gesa To Hak Cinjn dan Kiam Ting Sianjin pergi ke Hoa-san. 

Dua kakek tua di samping ketua Heng-san berkata bahwa mereka akan jalan-jalan dulu, To Hak boleh menyusul dan begitu pula Kiam Ting. Tapi begitu Siang Kek Cinjin dan Siang Lam Cinjin terbungkuk turun gunung, bergerak dan rupanya sukar melewati batu-batu terjal mendadak saja mereka itu sudah lenyap dan tahu-tahu di kaki gunung.

"To Hak, biar kau ikuti kami. Mari dan cepat-cepat saja ke Hoa-san!"

Orang-orang kaget. Dua tua renta yang tadi begitu sukar menggerakkan kaki sekonyong-konyong sudah di bawah gunung. Mereka tertatih memegangi tongkat tapi begitu terbungkuk mendadak keduanya sudah lenyap tak dapat diikuti mata. Dan ketika To Hak Cinjin tersenyum dan murid-murid Kun-lun terbelalak, ia bangga, maka ketua Heng-san ini bergerak dan mengajak pula tuan rumah untuk buru-buru ke Hoa-san.

"Supek dan susiok pinto sudah pergi, mari kita berdua menyusul!”

Kiam Ting Sianjin lalu bergerak. Ia sudah mengikuti kawannya karena To Hak Cinjin berkelebat dan menyusul dua paman gurunya itu. Masing-masing meluncur tapi Kiam Ting harus mengakui bahwa dua kakek renta di depan tak dapat diikuti, mereka itu hilang dan muncul berkali-kali, sepertí iblis. Dan ketika Kiam Ting memuji dan diam-diam menyesal kenapa suhunya tak mau turun gunung, ia tak dapat berbangga seperti temannya ini maka empat kepala hwesio dibawa mereka.

To Hak, yang semula diantar dan dipapah dua murid Go-bi membujuk agar dua hwesio muda itu membawanya sampai ke puncak. Ia berkata bahwa ia menjamin keselamatan dua hwesio itu, karena ia masih hidup, meskipun luka berat. Dan ketika dua hwesio itu ragu-ragu dan tentu saja jerih, Heng-san adalah perkumpulan orang-orang yang amat berangasan maka dua hwesio itu mula-mula menolak.

"Kami tak berani ke puncak. Bagaimana kalau murid-murid totiang marah.”

"Bodoh, justeru dengan meninggalkan pinto di kaki gunung kalian akan dikejar dan ditangkap, Ceng-hi. Antarkan pinto ke atas dan pinto jamin kalian selamat!” ketua Heng-san itu telah mengenal nama dari dua orang hwesio ini, membujuk dan agak merayu padahal diam-diam di dalam hatinya ia berkata lain.

Ia sudah memutuskan bahwa begitu tiba di atas iapun akan berteriak dan menyuruh murid-murid Heng-san mengeroyok. Rasa sakit dan penderitaan dihajar Ji Beng Hwesio membuat ketua Heng-san ini dendam. Ia akan balik menghajar dua murid-murid Go-bi itu. Dan ketika dengan susah payah namun meyakinkan ia akhirnya berhasil mempengaruhi dua orang itu maka Ceng-hi-hwesio dan saudaranya mau juga naik ke atas.

"Pinto jamin kalian akan selamat, asal tidak membiarkan pinto kedinginan di kaki gunung. Nah, bawa dan serahkan saja pinto kepada anak-anak murid Heng-san, dan kalian boleh pergi dengan aman!”

Ceng-hi-hwesio percaya, berhasil dibujuk. Ia menganggap bahwa sebagai ketua sebuah partai persilatan terkenal tak mungkin To Hak Cinjin akan mengingkari janjinya. Dengan susah payah mereka membawa dan jelek-jelek mereka memberi budi kepada ketua Heng-san itu, karena sepanjang jalan mereka juga memberi makan dan minum tosu ini, bahkan untuk pipis dan buang air besar mereka juga yang membersihkan. Ketua Heng-san itu benar-benar luka berat. Tapi begitu mereka tiba di puncak dan anak-anak murid mengelilingi mereka, menyongsong, maka kata yang keluar dari mulut To Hak Cinjin ini adalah bunuh!

"Mereka anjing Go-bi yang memuakkan. Bunuh, dan penggal kepalanya!”

Ceng-hi-hwesio dan adiknya kaget bukan main. Mereka sudah berdebar melihat wajah-wajah beringas dari anak-anak murid Heng-san melihat ketua mereka yang luka parah. Sepanjang jalan To Hak Cinjin menggoyang-goyang lengan agar anak-anak muridnya tidak mengganggu. Tapi begitu ia diserahkan seorang muridnya dan bersila ditopang punggung, melontakkan darah segar maka kata-kata pertama yang muncul adalah bunuh.

Ceng-hi-hwesio tentu saja terkejut dan terbeliak tapi murid-murid Heng-san sudah menyerang dan membentak. Mereka tak menyangka kecurangan ketua Heng-san itu. Dan ketika apa boleh buat mereka menangkis dan memaki To Hak Cinjin itu, yang tertawa bergelak tapi roboh terguling maka Ceng-hi-hwesio dan saudaranya mati-matian mempertahankan diri.

"Pengecut, licik. Ah, kata-kata Heng-san-paicu tak ubahnya kata-kata seekor anjing!"

Murid-murid Heng-san gusar. Ketua mereka dimaki dan mereka melakukan tikaman- tikaman atau bacokan cepat. Lawan mereka dibuat kalang-kabut dan sebentar saja Ceng- hi-hwesio maupun sutenya terdesak. Dan ketika mereka benar-benar di ujung tanduk dan kekecewaan serta kemarahan mereka tak dapat dibendung lagi maka Ceng-hi-hwesio berhasil melukai dua orang lawannya tapi diri sendiri menjerit dan berteriak tertikam punggungnya.

Sutenya juga tidak berbeda banyak karena sutenya itu tiba-tiba juga menjerit tertusuk pedeng. Pangkal pahanya kena. Dan ketika hwesio itu terpincang-pincang dan toya di tangan mereka tak gesit dimainkan lagi, musuh terlalu banyak maka hwesio kedua ini roboh dan tebasan pedang seorang anak murid Heng-san memisahkan kepalanya dari tubuh.

"Crat!” Ceng-hi-hwesio ngeri. Ia pucat melihat kepala saudaranya yang menggelinding di bawah, mata melotot dan darah menyembur bagai pancuran, sungguh mengerikan. Tapi ketika iapun terhuyung-huyung dan tertusuk sebatang pedang, kembali mengemplang lawan tapi diri sendiri juga kesakitan maka dua pedang menyambar secara menggunting dan Ceng-hi-hwesio tewas dengan sangat menyedihkan. Kepalanyapun terpisah.

"Crat!” To Hak Cinjin memandang penuh kebencian tapi juga kegembiraan. la mengeluh panjang pendek merasakan penderitaan sendiri, dada sesak akibat pukulan Ji Beng Hwesio. Dan ketika ia terbahak namun roboh pingsan, dua kepala yang putus itu membuatnya puas dan gembira maka pertempuran pun selesai dan To Hak Cinjin sempat minta dibawa ke supek atau susioknya itu, pak-de dan paman guru. Heng-san guncang. Mereka marah dan juga khawatir melihat keadaan ketua mereka itu.

To Hak Cinjin mengalami luka berat. Tapi ketika dua sesepuh Heng-san turun tangan, Siang Kek dan Siang Lam Cinjin menolong murid mereka maka To Hak Cinjin selamat dan sambil menangis tersedu-sedu ketua Heng-san ini melapor segala “kejahatan” Ji Beng Hwesio, juga murid-murid Go-bi yang tukang keroyok.

“Susiok dan supek harus menolong aku, menyelamatkan dan kembali mengharumkan pamor Heng-san. Mohon dibalas dan hadapilah keledai gundul yang lihai itu. Ji Beng sekarang bukan seperti Ji Beng yang dulu, susiok. Kepandalannya sungguh luar biasa dan kalau tidak salah mewarisi kitab sakti Bu-tek-cin-keng!”

“Hm, dan kau. Ada apa keluyuran sampai Go-bi? Apa yang kau cari?”

"Aku mengantar Hoa-san-paicu dan Kun-lun-paicu, supek. Kami bertiga hendak bersilaturahmi kepada ciangbunjin Go-bi-pai. Tapi Ji Beng menyambut kasar dan kami malah diajak bertanding. Ia rupanya hendak mempraktekkan Bu-tek-cin-kengnya itu!"

"Kita berangkat. Mari sekarang juga ke Go-bi!"

"Nanti dulu, aku... aku merasa dadaku masih sesak!"

"Gampang, terima ini, To Hak. Sekarangpun kau sembuh!" Siang Kek Cinjin menepuk dada murid keponakan ini, perlahan tapi sebuah tenaga sinkang meluncur dan masuk di situ.

Dan ketika To Hak girang karena sakit di dadanya hilang, rasa sesak itu berkurang banyak maka ia menjatuhkan diri berlutut dan berkata bahwa sebaiknya ke Kun-lun atau Hoa-san dulu, jangan sendirian. “Teecu datang bersama rekan-rekan dari Kun- lun dan Hoa-san. Teecu ingin tahu juga bagaimana nasib kedua teman teecu itu. Harap supek atau susiok ke sana!"

“Hm, untuk apa?"

"Melihat nasib mereka, supek. Kun-lun-paicu maupun Hoa-san-paicu juga luka-luka berat. Teecu hendak menunjukkan solidaritas!”

"Baik, kalau begitu mari berangkat!" dua sesepuh ini meraih tongkat, terbungkuk dan berjalan tapi tahu-tahu keduanya sudah turun gunung. Gerakan mereka tampak tertatih tapi tiba-tiba sudah di kaki bukit! 

Dan ketika To Hak terkejut dan tentu saja kagum, ia tak memberi tahu dengan jujur bahwa sesungguhnya ia ingin mengumpuikan banyak kawan, kepandaian Ji Beng sungguh luar biasa dan ia khawatir kurang kuat, meskipun ada supek atau susioknya maka tosu ini bergerak dan turun gunung pula menyusul dua paman gurunya itu. Di Go-bi masih ada Ji Leng Hwesio yang belum keluar sarang!

"Susiok, tunggu. Supek, teecu masih baru sembuh dari luka berat!”

Dua kakek renta itu menunggu. Mereka menoleh dan tangan mereka tiba-tiba bergerak ke belakang. Aneh bin ajaib, To Hak tiba-tiba tersedot dan terbang ke susiok maupun supeknya ini. Dan ketika ia terpegang dan sudah disambar dua orang ini, tertangkap di tengah maka dua kakek itu bergerak dan ketua Heng-san itupun meluncur dibawa terbang.

“Terima kasih!" To Hak berseru kagum. "Aku memang belum sehat, Susiok. Tapi dua tiga hari lagi tentu sembuh!"

Dua paman gurunya tidak menjawab. Mereka itu meluncur dan terus meninggalkan gunung, lenyap dan murid-murid pun bengong karena Siang Kek maupun Siang Lam tidak kelihatan lagi. Dan ketika To Hak mengajak ke Kun-lun dulu, tiba dan bertepatan dengan dua hwesio yang terbunuh maka sekarang ketua Heng-san itu ke Hoa-san bersama Kiam Ting, sute dari Kiam Leng Sianjin yang tewas. Dan begitu tiba di Hoa-san yang sedang berunding maka Siong-hu-hwesio terbelalak melihat kepala empat sutenya yang sudah dipenggal!

"Siancai, Hoa-san-paicu pun kiranya tewas. Ah, menyesal pinto tak mampu melindungi, Hoa-san Sin-jit. Kami datang dan hanya mampu berbela sungkawa!”

Tokoh-tokoh Hoa-san bangkit. Bayangan-bayangan berkelebat dan tertegunlah tosu-tosu melihat kehadiran To Hak Cinjin dan Kiam Ting, juga dua kakek renta di samping mereka itu. Tapi begitu mereka mengenal dan terkejut melihat kakek-kakek ini, sesepuh Heng-san yang tinggi kepandaiannya maka buru-buru Tujuh Malaikat Dari Hoa-san melipat tubuh.

“Siancai, To Hak toheng dan Kiam Ting Sianjin kiranya, juga yang terhormat Siang Kek locianpwe dan Siang Lam locianpwe. Ah, silahkan duduk dan selamat datang, cuwi sekalian. Kami baru saja berkabung dan bagaimana keadaan Kun-lun-paicu?"

"Rekanku Kiam Leng Sianjin tewas dibunuh Ji Beng. Keledai gundul dari Go-bi itu benar- benar sombong dan amat jahat. Pinto datang untuk merundingkan ini dan baru saja berbela sungkawa di Kun-lun!”

"Ah, Kun-lun-paicu juga tewas?"

"Benar," Kiam Ting menjawab, mukapun muram. "Pinto baru saja menerima mayat suheng, Jit-totiang. Dan pinto mendendam atas kematian ini!”

"Siancai, kamipun juga begitu. Ah, kita harus membalas dan ini seorang murid dari Go-bi!”

Siong-hu-hwesio tergetar. Ia tiba-tiba dipandang tamu-tamu dari Kun-lun dan Heng-san itu dan iapun gentar. Mata-mata yang tajam mengawasinya tidak berkedip dan semuanya mencorong menakutkan, seperti mata singa-singa kelaparan yang haus darah. Dan ketika ia memejamkan mata dan dag-dig-dug tak keruan, nasibnya bagai telur di ujung tanduk maka To Hak mendengus dan bertanya untuk apa hwesio itu dibiarkan hidup.

"Kami telah membunuh hwesio-hwesio dari Go-bi, dan Jit-totiang seharusnya tak perlu membiarkan keledai gundul ini menjadi pajangan. Bagaimana kalau pinto memberesinya?"

"Siancai, ia tawanan kami, Heng-san-paicu, Dan Hek-suheng sedang memutuskan apa yang hendak dijatuhkan. Kami juga akan ke Go-bi!"

"Kita berangkat semua dengan membawa kepala mereka ini. Bagaimana pendapat Heng- san-paicu?"

“Ah, pinto setuju, Hek-toheng. Dan tentu saja lebih cepat lebih baik!”

“Kalau begitu sekarang juga hukuman dilaksanakan,” Hek-tosu, tosu muka hitam berkata, tahu-tahu mencabut pedang dan menyambitkannya ke leher Siong-hu-hwesio. “Pinto juga tak sabar, Heng-san-paicu. Dan inilah hukumannya bagi pendosa...crat!" dan Siong-hu-hwesio yang berteriak dan menggelinjang di tempat tahu-tahu telah putus lehernya dan menggelinding ke bawah.

Kejadian amatlah cepat dan hwesio yang pucat serta ngeri itu tak mendapat kesempatan banyak. Ia sudah đicekam perasaan takut dan ngeri akan kematian, apalagi kalau mati dengan kepala dipenggal! Dan ketika benar saja kedatangan To Hak Cinjin justeru mempercepat kematiannya, ia menjerit dan roboh dengan kepala terlempar maka pedang itu menancap di meja sementara kepala hwesio itu melotot dan bergoyang-goyang di sudut. Siong-hu-hwesio menyusul arwah saudara-saudaranya dengan cara menyedihkan!

"Nah,” semua mata berseri-seri. "Pinto telah menyelesaikan tugas, Ang-sute. Dan kita berangkat sekarang juga ke Go-bi. Kita buat perhitungan!”

Semua orang gembira. Tosu muka merah yang ternyata lebih sabar dan tidak sekeras tosu muka hitam tiba-tiba memejamkan mata dan menggigit bibir. Sebenarnya, ia tak sanggup melakukan pembunuhan begitu keji. Siong-hu- hwesio ibarat ayam dan ayam itu kini sudah disembelih. Cara pembunuhan seperti itu sebenarnya tak suka ia lakukan tapi semuanya sudah terjadi. 

Dan ketika suhengnya sudah berkata dan itu adalah keputusan, Hek-tosu adalah orang tertua dari Tujuh Malaikat Hoa-san maka Kiam Ting dan To Hak Cinjin memuji ketegasan Hek-tosu ini. Tidak melihat itu sebagai kekejaman melainkan sebagai sebuah watak tegas yang patut dipuji. Aneh!

"Siancai, kau lebih hebat daripada suhengmu, Hek-toheng. Kau benar-benar berwatak tegas dan tidak lemah. Pinto menyatakan kagum!”

"Benar, pinto juga begitu, Hek-toheng. Kau benar-benar tegas dan patut dipuji. Di bawah pimpinanmu tentu Hoa-san tak bakal diremehkan orang!"

Hek-tosu menendang kepala Siong-hu. Ia menyambar dan membawa kepala itu untuk dilemparkan kepada adiknya, Ang-tosu. Dan ketika tosu muka merah menerima dan sedikit jijik, kepala itu masih berlumuran darah maka Hek-tosu berkata sebaiknya sekarang juga mereka turun gunung.

“Pinto pikir tak ada apa-apa lagi yang harus ditunggu di sini, kecuali cuwi (anda sekalian) ingin beristirahat. Apakah cuwi ingin melepas lelah barang sebentar dahulu?"

"Ah, tidak... tidak. Pinto justeru tak sabar untuk cepat-cepat ke Go-bi, Hek-toheng. Dan pinto ingin memberi pelajaran kepada Ji Beng si gundul itu. Supek dan susiok pinto akan menghadapinya!"

"Dan sayang bahwa kami tak memiliki lagi sesepuh Hoa-san. Kalau tidak tentu sesepuh kami juga dapat bersama-sama Siang Kek locianpwe atau Siang Lam locianpwe ini!”

"Hm, kami berdua cukup,” satu di antara kakek-kakek renta itu bicara, suaranya pelan tapi nada getarannya berat, tanda sinkang yang hebat. "Kami juga ingin tahu bagaimana kedahsyatan Bu-tek-cin-keng, Hek-tosu. Terima kasih kalau sekarang juga berangkat. Bagaimana kalau kami jalan-jalan di depan dulu?”

"Susiok mau duluan?" To Hak Cinjin girang. "Kalau begitu silahkan, susiok, tapi jangan terlalu jauh meninggalkan kami. Kami tentu tak dapat menyusul!"

"Ah, kalian anak-anak yang terlalu lamban. Kalau bukan karena Bu-tek-cin-keng tak mungkin kami mau keluar. Sudahlah, kami merangkak di depan dan kalian menyusul!" Siang Lam, yang berkata dan bicara begini tiba-tiba terbatuk mengetrukkan tongkat. Tongkat itu sebagai penyangga tubuhnya tapi begitu diketrukkan mendadak tubuhnya mumbul ke atas. Dan ketika ia mencelat dan melambung tinggi tahu-tahu kakek ini melesat dan sudah terbang keluar. Itulah yang katanya “merangkak"!

"To Hak, kami sudah gatal-gatal ingin mencari keledai gemuk. Hayo kau keluar dan jangan lama-lama lagi!"

Semua terkejut. Kiam Ting kembali kagum karena seperti siluman saja tahu-tahu sesepuh Heng-san itu meluncur di bawah gunung. Siang Kek belum menyusul tapi ketika ia menoleh mendadak terdengar kesiur angin dingin. Dan ketika sesosok bayangan putih berkelebat dan lenyap di luar maka sesepuh satunya sudah turun dan terbang di bawah, berendeng dengan Siang Lam Cinjin. lblis!

“Hebat!" Kiam Ting tak tahan dan berseru kagum. "Supek dan susiokmu luar biasa sekali, Hak-toheng. Entah bagaimana kalau sesepuhku juga ada di sini!"

"Hm, mengejutkan," Tujuh Malaikat Hoa-san juga terkesiap dan kagum. "Dua locianpwe itu seperti iblis saja, Heng-san-paicu. Tapi coba kami kejar dan mari ke Go-bi!" dan begitu mereka bergerak dan Hek-tosu mendahului, coba mengejar dan berkelebat di bawah gunung maka tosu itu mengerahkan ilmu lari cepatnya namun tetap tak tersusul. 

Dua sesepuh Heng-san itu tetap mendahului di depan dan akhirnya lenyap. Dan ketika Hek-tosu terkejut dan membelalakkan mata, saudara-saudaranya yang lain juga tercengang dan kagum maka tosu bermuka putih tiba-tiba berseru agar mereka menggandengkan tangan.

"Suheng, barangkali dengan jouw-sang-hui-teng kita mampu menyusul!"

"Benar,” Ang-tosu juga penasaran. "Mari gabung dengan Jouw-sang-hui-teng, suheng. Coba susul dan uji kepandaian kita!"

Hek-tosu mengangguk. Jouw-sang-hui-teng atau Terbang Di Atas Rumput adalah ilmu meringankan tubuh yang kalau digabung benar-benar akan membuat mereka bertujuh seakan terbang. Caranya ialah dengan menggandengkan lengan dan masing-masing menjejak tanah. Tujuh tenaga bakal membuat tujuh gabungan yang bukan main hebatnya. Dan ketika Hek-tosu berseru keras dan menyambar adiknya nomor dua, tosu muka putih itu maka tosu itu juga menyambar adiknya nomor tiga di mana adiknya nomor tiga ini cepat menyambar saudaranya yang nomor empat,.

Begitu berturut-turut hingga tujuh bersaudara sudah saling bergandengan tangan dan menjejakkan kaki. Dan ketika mereka mengeluarkan Jouw-sang-hui-teng dan mengayun tenaga berbareng maka tujuh tosu ini mencelat dan tahu-tahu mereka meluncur atau terbang dengan kecepatan luar biasa, menyusul dua sesepuh Heng-san dan meninggalkan Kiam Ting maupun To Hak Cinjin di belakang.

"Iblis!" To Hak Cinjin ganti berseru kaget. "Mereka itu menggabung tenaga, Kiam Ting toheng. Lihat betapa mereka menyusul susiok dan supekku!"

"Benar, dan kita tertinggal jauh, Cinjin. Ah, kita bisa kehilangan mereka dan jauh di belakang!"

"Mari gabung tenaga kita!" To Hak tak mau kalah. "Coba kejar dan kita susul mereka, toheng. Ayo kerahkan ilmu lari cepat dan padukan ginkang!"

Kiam Ting mengangguk. Ia bergerak dan sudah bercekalan tangan dengan ketua Heng-san-pai ini. Mereka membentak nyaring dan coba mengejar tujuh tosu dari Hoa-san itu. Tapi ketika mereka tetap tertinggal dan Hoa-san Sin-jit sudah lenyap di depan maka dua orang ini mandi keringat sementara di sana Tujuh Malaikat Dari Hoa-san itu dapat mengejar tapi tak dapat merendengi dua sesepuh Heng-san ini. Jarak mereka lima puluh meter di belakang!

"Hebat!" Hek-tosu tak habis-habisnya memuji. "Kalian berdua hebat sekali, Siang Kek locianpwe. Kami bertujuh tak dapat menandingi!”

"Hm, Jouw-sang-hui-teng kalian tak perlu diragukan. Kalianpun luar biasa, Hoa-san Sin-jit. Kalian mampu menyusul kami!”

“Tapi kami tak dapat berendeng. Ji-wi locianpwe tetap di depan!"

“Ha-ha, kalian anak-anak memang nakal. Maunya di depan orang tua dan nanti melempar ejekan. Hm, yang dapat menandingi kami hanya mendiang guru kalian, Hoa-san Sin-jit. Atau Kun-lun Lojin bertapa itu. Sudahlah, kalianpun boleh dan tak mengecewakan menggabung tenaga!" dua sesepuh itu mempercepat larinya, terbang dan melesat di depan.

Tujuh Malalkat Hoa-san harus berjuang keras kalau tak mau semakin jauh di belakang. Dan ketika dua hari kemudian mereka tiba di Go-bi dan kakek- kakek renta yang di depan itu berhenti dan tersengal-sengal, napas mereka memburu namun Hoa-san Sin-jit terhuyung dan hampir roboh maka Hek-tosu dan enam saudaranya berseru kagum.

“Ji-wi locianpwe benar-benar bertenaga kuda. Aihh... kami mengaku kalah!"

"Heh-heh, kamipun hampir kehabisan tenaga. Kalau bukan karena malu terhadap kalian yang muda-muda tentu kami beristirahat di tengah jalan, Hoa-san Sin-jit. Ah, kalian tak mengecewakan dalam ilmu ginkang!"

Tujuh Malaikat Hoa-san melempar tubuh di rumput yang tebal. Mereka benar-benar mandi keringat dan jangan ditanya bagaimana dengan Kiam Ting Sianjin ataupun To Hak Cinjin. Mereka itu jauh tertinggal di belakang, baru sehari kemudian muncul. Dan ketika dua orang tosu itu ambruk dan napasnya berkejaran, adu lari itu tiba-tiba seperti lomba merebut piala kaisar maka To Hak maupun Kiam Ting akhirnya terguling setengah pingsan. Mereka juga dipaksa untuk mengejar orang-orang yang ada di depan ini.

"Tobaat..., kita seperti dikejar setan, susiok. Aku tak kuat dan ingin istirahat!"

"Benar, pinto juga kehabisan tenaga. Aduh, kedua kaki pinto serasa patah-patah!"

Dua sesepuh Heng-san tersenyum. Mereka melihat Tujuh Malaikat Hoa-san bersila dan sudah duduk memulihkan tenaga. To Hak maupun Kiam Ting roboh dan benar-benar pingsan. Mereka terlalu memaksa diri. Tapi ketika dua kakek itu menyentuhkan tangan mereka di mata kaki dan masing-masing memberikan tenaga hangat maka baik To Hak maupun Kiam Ting Sianjin akhirnya sadar. Dan di sana Tujuh Malaikat Hoa-san juga sudah pulih kembali.

Mereka kagum dan terheran-heran akan daya tahan dan kekuatan kakek-kakek renta itu. Mereka sungguh menakjubkan! Tapi ketika mereka hendak memasuki Go-bi dan tak sabar mencari Ji Beng ternyata hwesio yang dicari itu tewas. Go-bi sedang berkabung!

“Siancai, kita seperti mengejar-ngejar kapas di tengah angin beliung. Ketika didapat ternyata kapas itu telah hancur!"

"Hm, sia-sia kalau begitu usaha kita, ji-wi locianpwe. Kita tak dapat membalas dendam!"

“Tidak!” To Hak tiba-tiba berseru. "Ji Beng boleh mampus tapi Ji Leng masih ada, Hoa-san Sin-jit. Kita tak sia-sia datang ke sini karena masih ada orang lain yang harus bertanggung jawab!"

"Benar,” Kiam Ting juga teringat dan menganggukkan kepala. "Masih ada ketua Go- bi itu, Hek-totiang. Dan juga murid-murid Go-bi yang lain. Kita dapat mengobrak-abrik dan merusaknya!"

"Siancai, kita cari saja kepala-kepalanya. Yang keroco-keroco tak usah. Aku akan mencari Ji Leng tapi sebaiknya kita menghormat perkabungan sampai selesai!" 

Siang Kek, kakek yang hebat itu berkata. Ia kecewa juga namun tak setuju kalau anak-anak murid akan dihadapi. Yang penting adalah pemimpin-pemimpinnya dan itulah yang akan dilabrak. Dan ketika mereka menunggu dan menghormat masa perkabungan, To Hak melampiaskan marah dengan menancapkan kepala enam murid Go-bi maka Go-bi juga geger ketika melihat kepala Siong-hu-hwesio dan adik-adiknya itu!

"Nah, sekarang sudah selesai," Tujuh Malaikat Hoa-san bergerak ketika tampak tanda-tanda kehidupan di dalam pintu gerbang. Tiga orang murid membuka pintu yang berderit. "Ada yang keluar, Heng-san-paicu. Dan mari kita cegat!"

To Hak Cinjin, yang tak pernah berhenti dan bangkit pula tiba-tiba beringas mukanya melihat tiga murid Go-bi keluar dari tembok. Mereka membawa keranjang besar dan rupanya hendak mencari makanan. Memang Go-bi hendak menambah ransum karena seminggu ini selalu di dalam. 

Dan ketika Hek-tosu bergerak dan enam saudaranya yang lain juga susul-menyusul menjejakkan kaki, To Hak tak mau kalah dan Kiam Ting juga berkelebat maka tiga murid Go-bi itu tahu-tahu tersentak karena leher mereka sudah dicekik. Bayangan- bayangan itu amatlah cepatnya dan Tujuh Malaikat Dari Hoa-san sudah mendahului To Hak Cinjin maupun Kiam Ting Sianjin!

"Mana ketua kalian Ji Leng Hwesio. Suruh ia keluar atau kalian bertiga kami banting mampus!"

Tiga murid Go-bi itu terkejut. Mereka sedang keluar dengan tiga keranjang besar ketika tiba-tiba saja sembilan bayangan berkelebatan cepat. Tiga yang pertama sudah menotok dan mencekik leher mereka, ibu jari mereka menekan jakun dan sakitnya bukan main. Jakun itu seakan hendak diremas pecah! Dan ketika tiga murid itu ah-uh-ah-uh dan roboh terguling, tentu saja tak dapat menjawab maka To Hak tiba-tiba menendang dan tiga orang itu mencelat. Ketua Heng-san ini memang paling berangasan, mudah naik darah.

“Diminta baik-baik malah melotot seperti monyet. Rasakan, kalian akan dihajar dan ini hadiah pertama dariku.. dess!" tiga murid itu bergulingan, mengeluh dan merintih namun To Hak sudah mengejar dan menyambar mereka lagi. Dan ketika tosu itu menyodokkan sikunya ke ulu hati dan dada maka Kiam Ting terkejut karena dikhawatirkan mereka tewas.

"Cinjin, tahan. Jangan dibunuh dulu!"

"Pinto tidak membunuhnya," sang tosu berseru, geram. "Pinto hanya ingin melampiaskan sakit hati setelah menunggu seminggu, Ting-toheng. Dan ini untuk mereka sebagai sarapan pagi.... plak-plak-plak!" tosu itu menampar dan menendang tiga kali, membuat murid-murid itu menjerit dan To Hak akhirnya menginjak perut mereka. Dan ketika tosu itu membentak di mana Ji Leng Hwesio, muka demikian menakutkan seakan harimau kelaparan maka murid-murid Go-bi itu merintih, keranjang mereka cerai-berai, hancur.

"Ampun, ketua kami sedang bertapa, paicu. Kalian dapat masuk kalau ingin mencarinya.”

"Kami memang ingin masuk. Tapi apakah kalian tidak melihat enam kepala yang kami gantung di atas pintu gerbang. Kenapa kalian tidak mengadakan reaksi?"

"Ah, totiang... totiang yang membunuhnya?"

"Benar, dan aku juga ingin membunuh murid-murid Go-bi sebanyak-banyaknya. Hayo mana Ji Leng Hwesio dan apakah ia tidak bertanggung jawab atas perbuatan anak-anak buahnya!"

"Ampun...” tiga hwesio muda itu pucat, mereka tentu saja mengenal ketua Heng-san-pai ini. Kami hanya dapat berkata bahwa ciangbunjin sedang bertapa, totiang. Tapi kalau totiang ingin masuk silahkan saja bertemu dengan Beng Kong suheng....”

"Apa? Murid Ji Leng si keledai gundul itu?"

“Benar, ia sekarang menggantikan Ji Beng susiok yang meninggal dunia, totiang. Dan ialah sekarang yang diserahi tugas memimpin Go-bi!"

“Keparat, kami hanya ingin bertemu ketua kalian Ji Leng Hwesio. Kami tak mau bertemu murid-murid rendahan!"

“Tapi totiang pernah dikalahkan Ji Beng susiok. Totiang tak mungkin menang menghadapi Ji Leng-suhu yang lebih sakti lagi!”

"Bedebah, kalian emang menghina... plak- plak-plak!" dan To Hak Cinjin yang kembali menampar dan menendang tiga hwesio itu tiba-tiba membuat tiga murid Go-bi itu menjerit. Mereka rontok giginya ditampar ketua Heng-san-pai itu. To Hak Cinjin dibuat malu! Tapi ketika tiga murid itu merintih-rintih dan keributan ini didengar murid-murid Go-bi yang lain maka belasan bayangan berkelebat dan Kiam Ting Sianjin berseru agar waspada terhadap musuh-musu baru.

"Paicu, kita masuk saja dan lepaskan mereka. Lihat, anak-anak murid yang lain berdatangan!”

To Hak menoleh. Ia memang ingin menghajar dan memberi pelajaran lagi kepada tiga murid- murid Go-bi ini ketika terdengar gerakan dan desir angin jubah. Tujuh hwesio tiba-tiba muncu di depan mereka dan To Hak Cinjin tergetar karena inilah Pat-kwa-hwesio bersaudara yang datang menyambut. Dan ketika ia melepaskan hwesio-hwesio tawanannya dan bersiap menghadapi tuan rumah, menengok dan terkejut karena dua supeknya tak ada di situ maka menjuralah Ji-hwesio di depan sembilan tamu-tamu tak diundang ini.

"Omitohud, Heng-san-paicu kiranya datang lagi membuat sibuk. Selamat pagi, dan selamat bertemu lagi, paicu. Totiang tentu ingin bertemu pimpinan kami untuk urusan lama!"

“Hm, benar. Tapi aku terlambat karena Ji Beng Hwesio telah meninggal dunia!"

"Kami sedang bersedih, tapi tentu saja kami akan menyambut siapapun yang ingin berurusan dengan Go-bi. Omitohud, bukankah ini Tujuh Malaikat Dari Hoa-san yang lihai dan jarang turun gunung? Ah, kami semakin mendapat kehormatan lagi, cuwi totiang. Mari masuk dan ketua kami menyambut kalian di dalam!"

"Siancai, Ji Leng lo-suhu akhirnya keluar juga?" Kiam Ting, yang sudah mendengar bertapanya ketua Go-bi-pai itu terkejut dan girang juga. "Kalau begitu kami tak menyia-nyiakan kesempatan ini, Ji-siauw-suhu. Dan kau tentu mengenal pinto kalau belum lupa!"

“Omitohud, totiang adalah Kiam Ting Sianjin. Pinceng mengenal dan masih awas pandangan. Silahkan masuk, dan terima kasih bahwa kalian membebaskan murid-murid kami yang bodoh. Ketua sudah menunggu di dalam!"

To Hak tertegun sementara Kiam Ting Sianjin gembira. Kalau lawan mau menyambut secara baik-baik barangkali persoalan dapat lebih mudah lagi. Tak perlu ada anak-anak murid yang menjadi korban dan dia akan sedikit lega. Tapi ketia memandang kawannya dan To Hak Cinjin tampak tolah-toleh, bingung karena supek-supeknya yang diandalkan tak kelihatan di situ maka ia berbisik dan bertanya dengan heran, "Paicu, ada apa?"

"Sst,” To Hak agak berubah. "Apakah toheng tidak melihat di mana supek dan susiokku? Orang-orang Go-bi ini amat lihai. Kalau tak ada susiok atau supekku itu keadaan bakal celaka!”

"Eh, bukankah ada Tujuh Malaikat Hoa-san di sini?"

"Mereka kuragukan, toheng. Hanya kalau ada supek dan susiokku itu hatiku bakal marem!”

"Tapi kita sudah di sini..."

“Benar, dan karena itu kita harus masuk. Mungkin susiok dan supekku sudah di dalam!" berkata begini ketua Heng-san itu lalu membusungkan dada. Ia agak gentar juga kalau susiok atau supeknya tak ada di situ. Kehebatan Go-bi sudah dikenal dan hanya karena adanya susiok serta supeknya itulah dia berani datang. Kalau tidak, mungkin dia akan bersembunyi! 

Dan ketika Heng-san-paicu itu melangkah lebar dan Hoa-san Sin-jit sendiri tampak bisik-bisik di antara saudara maka aneh dan mengherankan hwesio-hwesio Go-bi ini mempersilahkan masuk. Seolah menerima tamu-tamu agung dan bukannya lawan atau musuh yang jelas akan membuat ribut!

“Cuwi totiang sudah diketahui kedatangannya oleh ketua. Dan kami agak heran ketua mengatakan cuwi semua berjumlah sebelas orang. Mana yang dua lagi?"

To Hak Cinjin kaget. "Ji Leng Hwesio tahu kedatangan kami?"

“Ya, dan juga enam kepala yang kalian gantung di atas pintu gerbang, To Hak Cinjin. Tapi kami tak diperbolehkan berbuat apa-apa karena suasana sedang berkabung!"

"Siancai, kalau begitu Ji Leng sungguh sombong. Sudah tahu tapi baru sekarang menerima kami. Ah, pinto ingin melabraknya!"

"Totiang dapat bicara di dalam, Go-bi akan menerima dengan jantan. Tapi ketua kami bukanlah Ji Leng-supek seperti yang kau katakan!”

"Kalau begitu siapa?" To Hak tertegun, muka merah dan hitam berganti-ganti. Ia merasa direndahkan!

Tapi ketíka Ji-hwesio tersenyum dan mengibaskan ujung jubahnya, biarlah nanti di dalam saja mereka lihat maka ketua Heng-san itu berdebar sementara teman-temannya yang lain menahan marah dan tak kenal takut karena belum mengetahui kehebatan Go-bi. “Kita masuk saja, dan kita lihat siapa orang yang sombong itu!"

Rombongan ini masuk. Pat-kwa-hwesio dengan tenang telah mengantar tamu-tamunya ini. Murid-murid menyibak dan berjaga di kiri kanan jalan Go-bi rupanya juga sudah bersiap-siap! Dan ketika mereka masuk dan tiba di bangsal agung, di sini mereka berhenti dan memandang ke atas maka tampaklah seseorang duduk dengan pongahnya di kursi berlapis emas....