Prahara Di Gurun Gobi Jilid 11 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Serial Prahara Di Gurun Gobi Karya Batara

“HA-HA, To Hak Cinjin dan kawan-kawan rupanya. Bagus, selamat datang, Cinjin. Selamat datang! Silahkan masuk dan duduk dan katakan apa maksud kedatangan kalian!"

To Hak Cinjin membelalakkan mata. Tosu ini dan rombongannya merah padam melihat seorang hwesio tinggi besar duduk dengan sombongnya di atas kursi berlapis emas itu, sementara mereka di bawah. Dan karena tak ada kursi atau apapun yang dapat dipakai duduk, tuan rumah seolah bersikap hormat namun sesungguhnya menghina mereka, disuruh duduk tapi tak ada tempat duduk maka tosu itu menggeram dan mewakili teman-temannya berseru,

"Beng Kong Hwesio, kau kiranya. Ah, sombong dan amat memandang rendah sekali sikapmu ini. Pinto tidak ingin berbicara denganmu. Pinto ingin bicara dengan yang terhormat ketua Go-bi-pai. Mana gurumu dan suruh ia keluar menghadapi pinto!"

"Ha-ha, berhadapan dengan pinceng sudah cukup, sama saja, malah barangkali bisa lebih cepat selesai. Katakan maksud kedatanganmu, To Hak Cinjin, dan masuk serta duduk sajalah!"

To Hak Cinjin tak dapat menahan diri. Ia dipersilahkan masuk tapi tak ada meja kursi, tentu saja ia tak sudi duduk di lantai. Maka begitu orang berseru nyaring dan ia menjadi marah, tosu ini berkelebat dan masuk ke bangsal agung maka ia membentak, "Beng Kong Hwesio, kau sombong amat. Pinto tak mau bicara lagi kalau kau duduk di situ. Turun, mana gurumu atau nanti kepalamu terpenggal!"

Beng Kong Hwesio tertawa bergelak. Tentu saja ia tahu kemarahan orang namun justeru inilah yang dicari. Di tempat itu dialah yang berkuasa dan tak ada yang dia takuti. Orang-orang ini memang sudah ditunggu kedatangannya dan dia ingin memberi pelajaran. Maka begitu To Hak membentak dan ia dianggap sebagai orang yang tak pantas menyambut tamu, dulu kedudukannya memang bukan sebagai pemimpin maka hwesio ini menggerakkan lengan bajunya dan tanpa berpindah atau menggeser kursinya ia menangkis serangan ketua Heng-san-pai itu, yang menganggap kedudukannya tak sesuai dengan ketua-ketua partai.

“Plak!” Tosu ini mencelat dan terbanting roboh. Ketua Heng-san-pai yang berangasan dan tak menduga hebatnya ujung kebutan tiba-tiba berteriak dan menjerit. Ia terbanting dan seketika muntah darah! Dan ketika yang lain-lain terkejut dan Kiam Ting Cinjin berseru tertahan, berkelebat dan menolong tosu itu maka To Hak Cinjin tak dapat bangun berdiri karena roboh kembali.

"Siancai..." semua terkejut dan berseru tertahan. Hoa-san Sin-jit yang semula tenang-tenang dan adem saja mendadak berubah muka mereka. Mereka melihat tangkisan ujung baju tadi dan tentu saja mereka terkesiap. Dari ujung baju itu menyambar angin pukulan kuat yang membuat mereka yang ada di situpun terkena angin sambarannya. Ini hebat. Bukan main! Dan ketika mereka terkejut tapi berkelebatan maju, melihat atau menolong pula To Hak Cinjin maka ternyata ketua Heng-san-pai itu sudah pingsan, tak sadarkan diri!

"Siancai, Beng Kong lo-suhu kiranya telah mewarisi kepandaian Ji Leng-ciangbunjin. Mengagumkan, tapi pantas kenapa kiranya begitu sombong!"

Kiam Ting Sianjin, yang terbelalak dan tak mampu menyadarkan temannya akhirnya membalik. Sute atau adik seperguruan dari mendiang Kiam Leng Sianjin ini merah padam dan terbakar. Ia telah memberi obat kepada temannya itu tetapi To Hak keburu pingsan, ia malu. Dan ketika tosu itu membalik namun anak-anak murid Go-bi justeru bercahaya dan berseri-seri mukanya, pemimpin mereka itu telah memberi pelajaran maka Hoa-san Sin-jit bergerak dan juga menghadapi hwesio tinggi besar itu, yang sikap dan sepak terjangnya sungguh berubah!

"Siancai, kiranya benar kata Kiam Ting Tojin. Pinto juga melihat bahwa Beng Kong lo-suhu ini hebat sekali. Tetapi sayang, kehebatannya kiranya telah menjadikannya sombong!"

Pek-tosu, satu dari Tujuh Malaikat Hoa-san berseru. Tosu ini juga terkejut dan kagum tapi juga marah melihat keganasan Beng Kong Hwesio. Sekali gerak ia langsung merobohkan lawan, bahkan, membuatnya muntah darah. Tapi karena itu justeru membuatnya marah karena Beng Kong Hwesio dirasa congkak dan amat takebur, sikapnya seolah tiada lawan lagi di dunia maka tosu itu bergerak ke depan tapi suhengnya, Hek-tosu yang berangasan dan mudah marah justeru lebih dulu maju dan membentak,

"Beng Kong, pinto Hek Tojin mohon pelajaran. Kau turunlah dan coba sambut baik-baik keinginan pinto!"

"Ha-ha, Hek-totiang kiranya. Selamat berjumpa, totiang, dan selamat bahwa kau masih sehat-sehat dan panjang umur. Tak perlu sewot, pinceng akan melayani siapapun yang ingin coba-coba dengan pinceng tapi biarlah kau duduk karena pantat pinceng sudah terlanjur terpaku di sini. Lihat, pinceng tak mampu memisahkan kursi ini!”

Beng Kong Hwesio berdiri, tertawa dan benar saja kursi emas itu tiba-tiba ikut dan nempel di pantatnya. Dari jauh kursi itu seolah benar- benar dipaku di bokongnya, tentu saja lucu dan mengejutkan bagi yang tak tahu. Tapi begitu Hek-tosu melihat dan enam saudaranya yang lain juga terkejut dan membelalakkan mata maka mereka berseru tertahan karena itulah ilmu lweekang atau sinkang yang hebat sekali. Tembokpun dapat dicabut dan tertempel di pantat hwesio ini.

"Siancai, semacam Thi-khi-i-beng atau Ilmu Penyedot Nyawa. Ah, Ji Leng Hwesio benar- benar hebat sekali!”

Pek-tosu, yang lagi-lagi kagum dan mendahului saudara-saudaranya berseru memuji. Tosu ini memang paling jujur dan apa adanya. Dia suka berterus terang. Tapi begitu suhengnya mendengar dan melotot, tosu itu tertegun meka Pek-tosu diam dan tidak bicara lagi. Ia lebih memuji Ji Leng Hwesio daripada Beng Kong Hwesio, karena tentu dari ketua Go-bi itulah Beng Kong Hwesio mendapatkan ilmunya.

"Tak perlu memuji musuh, kita sendiri mempunyai ilmu lain yang tak kalah hebat!”

Beng Kong Hwesio tertawa. Ia mendengar dan tentu saja senang dengan pujian itu, namun karena Pek-tosu sudah tidak bicara lagi dan Hek-tosu justeru meradang kepadanya, mendelik, maka ia duduk lagi dan kursi itupun menempel lantai.

"Brukk!” Beng Kong Hwesio mendemonstrasikan sinkangnya. Lantai ruangan, yang bergetar dan membuat enam murid Go-bi terpelanting lagi- lagi membuat Hek-tosu dan teman-temannya terkejut. Mereka yang berada dekat dengan hwesio tinggi besar itu hampir saja terpeleset kalau tidak cepat-cepat mencengkeramkan kuku kaki ke lantai.

Mereka juga hampir terpelanting oleh ulah hwesio keparat ini yang membanting dan menggedrukkan kaki kursinya dengan keras. Tapi karena mereka cepat mengerahkan sinkang dan bertahan, tak perlu terpelanting seperti murid-murid rendahan maka mereka tetap berdiri tegak meskipun diam-diam kaki atau lutut mereka menggigil.

"Sombong, dan suka pamer kepandaian. Aih, pinto jadi tak sabar dan ingin cepat-cepat bertanding!"

"Ha-ha!” Beng Kong Hwesio tertawa bergelak. "Kau tak sabaran dan cepat marah, Hek-totiang. Tapi kalau ingin bertanding tentu saja pinceng juga ingin melihat kepandaianmu. Majulah, dan barangkali boleh coba-coba dengan suteku Pat-kwa-hwesio!”

Tosu muka hitam ini mendelik. Ia menantang hwesio tinggi besar itu namun Beng Kong Hwesio buru-buru menepuk tangan memanggil sutenya. Pat-kwa-hwesio, yang tadi mengantar dan membawa mereka ke ruangan ini ternyata sudah mendekat begitu menerima panggilan. Mereka memang wakil suheng mereka kalau Go-bi menghadapi musuh. Maka begitu meloncat dan berkelebatan maju, Ji-hwesio mewakili adik-adiknya membungkuk maka hwesio itu berkata,

"Hek-totiang, suheng telah memerintahkan kami untuk melayani totiang. Silakan maju dan mari kita main-main sebentar.”

“Kau...?" tosu ini menuding, merah padam. “Kau mau maju dan mencari mampus? Minggir, Ji-hwesio, atau pinto nanti kehilangan kontrol diri!” Hek-tosu membentak dan tak kuasa menahan marahnya. Ia menantang Beng Kong Hwesio namun justeru hwesio itu memberikan sutenya. Tentu saja ia gusar. Tapi begitu ia mengayun lengannya dan Ji-hwesio tenang-tenang saja, menyambut, maka tosu itu terpental karena Ji-hwesio ternyata juga memiliki sinkang kuat.

"Dukk!” Hek-tosu mencelat. Ia terlampau memandang rendah dan tosu ini kaget bukan main ketika ditangkis lawan. Ji-hwesio ternyata unjuk gigi! Dan ketika tosu itu berjungkir balik dan kaget melempar sisa tangkisan, tenaga lawan ternyata hebat maka iapun sudah melayang turun dan berdiri lagi dengan muka hitam gelap! "Orang-orang Go-bi kiranya sombong-sombong. Baik, mari layani pinto dan kita tak usah banyak bicara lagi!"

Ji-hwesio mengerutkan kening. Ia sudah diserang dan tanpa banyak cakap lagi tosu dari Hoa-san itu menerjang. Ji-hwesio mengelak namun lawan mengejar. Dan ketika tujuh pukulan sudah dilancarkan namun semua luput menyambar, Ji-hwesio maju mundur dengan ringan maka Hek-tosu meradang dan membentak dengan suara mengguntur,

"Hayo, jangan main kelit. Mana kepandaian dari Go-bi kalau bersifat pengecut seperti wanita begini!"

"Hm," Ji-hwesio menjawab, kaki tetap melangkah pendek-pendek menghindari pukulan lawan. "Pinceng sebenarnya harus maju berdelapan, Hek-tosu. Dan bagaimana pinceng harus bicara kalau kau tidak memberikan kesempatan begini!"

"Pengecut, boleh saja. Majulah kalian semua tapi mana suheng kalian Twa-hwesio. Bukankah seharusnya ia di sini?"

"Suheng sedang sakit. Kami bertujuh cukup melayanimu, Hek-totiang. Dan karena kami biasa maju berbareng maka tolong kau maju pula bersama saudara-saudaramu itu. Pat- kwa-hwesio jarang maju satu per satu!"

“Kau takut? Mau keroyokan? Heh, kau dan saudara-saudaramu saja yang maju, Ji-hwesio. Pinto pantang mengeroyok kalau tidak terpaksa. Ayo, maju atau kau mampus... duk-dukk!"

Dua lengan yang kembali bertemu dan beradu dengan keras akhirnya membuat Ji-hwesio terpental, lawan menambah tenaga dan Hek-tosu tertawa mengejek. Ia senang! Dan ketika ia merangsek dan Ji-hwesio dibuat kelabakan, lawan bagai matador yang sudah ditanduk banteng maka apa boleh buat hwesio ini melayani dan mulailah ia membalas namun enam saudaranya tiba-tiba bergerak dan mengikuti.

"Ji-suheng, kami terpaksa membantu. Kami tidak menyerang tetapi hanya berputaran saja!”

"Tak apa," Ji-hwesio mengangguk, itu memang seharusnya dilakukan. "Seorang atau seratus orang sama saja, sute. Kalau mereka mau maju silahkan maju. Atau nanti Hek-totiang ini merasakan kelihaian kita... des-dess!"

Dua buah pukulan ditangkis hwesio itu, tepat dan kuat dan tiba-tiba saja Hek-tosu berteriak. Aneh dan ajaib begitu enam hwesio yang lain bergerak sekonyong-konyong kekuatan Ji-hwesio bertambah. Ada semacam kekuatan mujijat yang membuat sinkangnya naik tujuh kali lipat. Dan ketika tosu itu menjerit karena untuk berikutnya ia terpental dan terpelelanting bergulingan, tujuh hwesio itu bergerak ke kiri kanan dan ia menjadi pusing maka Ji-hwesio ganti mendaratkan pukulan-pukulannya dan tosu itu kalang-kabut.

"Curang, licik. Tujuh mengeroyok satu!”

"Hm, pinceng tak mengeroyok," Ji-hwesio berseru, mulai berkelebatan dan mengelilingi lawan. "Saudara-saudara pinceng hanya berputaran saja, Hek-totiang. Lihat dan saksikan bahwa pinceng tak mengeroyok!"

"Tapi saudara-saudaramu membuat pusing. Pinto dikacau!"

"Kalau begitu silahkan Hoa-san Sin-jit maju berbareng. Pinceng sudah mengatakan bahwa sebaiknya totiang dibantu."

"Keparat, kalian licik, Ji-hwesio. Sebelum pinto roboh tak mungkin pinto dibantu!" dan marah menerjang lagi, nekat dan penasaran oleh kelihaian Ji-hwesio akhirnya orang nomor satu dari Hoa-san Sin-jit ini coba mengatasi keadaan. Ia menangkis mengelak pukulan-pukulan berbahaya tapi bayangan enam hwesio yang lain benar-benar mengacau pikirannya. Hwesio-hwesio itu bergerak dan silih berganti mengelilingi dirinya. Kadang di kiri dan kadang di kanan. Dan kerena Ji-hwesio sendiri juga tak pernah henti melepas serangan, ia tertekan dan terdesak hebat tíba-tiba sebuah pukulan mengenai pundaknya.

“Dess!” Tosu ini terpelanting. Ia mengeluh dan berseru tertahan karena lagi-lagi ia tak mampu mengelak. Pukulan itu antep dan iapun terbanting. Dan ketika Hek-tosu terguling- guling dan Beng Kong Hwesio tertawa bergelak, memerahkan telinga maka enam dari Hoa-san Sin-jit yang lain panas terbakar.

"Hek-totiang, cepat saja minta bantuan saudaramu. Awas, jangan sampai terlambat!"

Hoa-san Sin-jit menjadi marah. Pek-tosu, orang yang paling sabar tiba-tiba juga meradang dan merah mukanya. Ia malu dan marah karena suhengnya terdesak hebat, dua kali mendapat pukulan lagi dan suhengnya itu mengaduh. Dan ketika untuk ketiga kalinya suhengnya itu menjerit dan berteriak keras, masing-masing tak tahan maka enam orang dari Hoa-san Sin-jit ini berkelebatan maju. Apa boleh buat harus maju, berbareng!

"Suheng, kau memang harus dibantu. Maaf bahwa kami harus maju karena kami tak ingin melihat kau dicurangi lawan....plak-plak!"

Pek- tosu dan saudara-saudaranya bergerak membentak, menerjang dan menangkis dan selamatlah suhengnya dari pukulan ujung baju. Saat itu Ji-hwesio melancarkan totokan kuat dan sekali kena tentu suhengnya roboh, hal itu tak boleh terjadi. Dan begitu mereka bergerak dan dan melepas serangan, membantu suheng mereka maka Hoa-san Sin-jit sudah bergebrak dan menghadapi Pat-kwa-hwesio, yang hanya ada tujuh orang.

"Des-des-dess!"

Pukulan atau tangkisan menggetarkan ruangan. Tujuh tosu dari Hoa-san Sin-jit sudah menyerang dan memecah barisan Pat-kwa-hwesio. Mereka membobol dari luar dan Pat-kwa-hwesio tiba-tiba berantakan. Tadi mereka mengelilingi Hek-tosu namun kini justeru mereka itulah yang dikelilingi dan diserang Hoa-san Sin-jit. Dan karena masing-masing bergerak dan sama lihai, pertandingan berjalan dengan cepat maka Hoa-san Sin-jit berhasil mengacau barisan segi delapan dan tujuh hwesio dari Pat-kwa-hwesio itu terpental.

"Ha-ha, kalian tak seberapa, Ji-hwesio. Lihat sekarang kalian kocar-kacir begitu bertemu dengan Jit-seng-tin (Barisan Tujuh Bintang) dari Hoa-san!"

Ji-hwesio bermuka gelap. Benar saja ia dan saudara-saudaranya tiba-tiba berantakan diserbu Jit-seng-tin. Musuh sudah bersatu dari luar dan kalang-kabut. Tapi karena pertandingan baru berjalan beberapa gebrak dan itu masih belum dapat dijadikan patokan, mereka belum panas atau mengeluarkan keringat maka Ji-hwesio berseru kepada adik adiknya agar bergandengan tangan, menyatukan kekuatan.

"Jangan sendiri-sendiri. Tetap bergabung!”

“Ha-ha!” Hek-tosu tertawa bergelak. "Barisan Segi Delapan telah kami ketahui kelemahannya, Ji-hwesio. Kalian pincang karena tak ada seorang. Kalian tak lengkap, kalian tak mungkin dapat menandingi Jit-seng-tin kami!"

Ji-hwesio terkejut. Hek-tosu segera memberi aba-aba kepada saudara-saudaranya agar Pat- kwa-hwesio tidak bersatu. Mereka telah mendengar kehebatan delapan murid Ji Beng Hwesio yang luar biasa ini, membentak dan memecah barisan agar tujuh hwesio itu tak dapat bergandengan tangan. Dan karena Hek-tosu kiranya sudah tahu atau mendengar kehebatan barisan delapan hwesio ini, yang sekarang hanya tujuh karena Twa-hweslo, atau orang pertama dari Pat-kwa-hwesio itu tak ada.

Maka dengan cepat dan bertubi-tubi tujuh tosu dari Hoa-san itu menekan dan tak memberi kesempatan. Mereka ingin merobohkan lawan, sebelum lawan bersiap. Dan ketika benar saja Ji-hwesio dan saudara-saudaranya kelabakan, kaget, maka pukulan atau serangan dari tujuh tosu itu mengenai sasarannya.

“Des-des-dess!"

Ji-hwesio dan saudara-saudaranya terhuyung. Mereka itu kebingungan karena setiap hendak bersatu dan bergandengan tangan maka Hoa- san Sin-jit selalu memecah. Mereka tak dibiarkan untuk menyatukan tenaga dan masing-masing dipaksa untuk bertanding seorang lawan seorang. Dan karena inti kekuatan Pat-kwa-hwesio harus serentak delapan orang, bukan satu demi satu yang tentu saja akan melemahkan dan menggoncangkan kehebatan barisan segi delapan ini maka Pat-kwa-hwesio benar-benar kacau dan merekapun porak-poranda.

"Cabut senjata, lawan mematikan gerak langkah kita!"

Hek-tosu tertawa bergelak. Ia dan saudara- saudaranya memang telah memporak- porandakan barisan lawan. Ji-hwesio dan adik- adiknya terdesak. Dan ketika mereka dipaksa untuk bertempur seorang lawan seorang, tak ada kesempatan untuk bersatu dalam usaha mengumpulkan kekuatan maka Hek-tosu terkekeh melihat Ji-hwesio dan adik-adiknya mencabut senjata, toya-toya panjang.

"Ha-ha, belum menetes darahmu, Ji-hwesio. Belum apa-apa sudah ketakutan dan mencabut senjata. Baik, kalian cabut senjata mumpung belum roboh!"

Ji-hwesio tak menggubris. Ia membentak dan marah menghantam lawannya itu tak perduli ejekan. Ia sudah didesak dan Pat-kwa-hwesio diobrak-abrik. Dan begitu ia mencabut senjata sementara lawan bersombong mempergunakan tangan kosong, tak mau mencabut senjatanya pula maka Hek-tosu terkejut ketika tiba-tiba ayunan atau sambaran toya menghantam belakang kepalanya.

“Dess!” Lantai ruangan pecah. Si tosu yang semula bersombong dan yakin akan kemenangannya tiba-tiba dibuat terkejut ketika sambaran atau hantaman toya hampir saja mengenai kepalanya. Sedikit terlambat tentu kepalanya pecah! Dan kaget serta marah karena toya lalu menyambar-nyambar, ia dan adik-adiknya terdesak dan mengelak ke kiri kanan maka tosu itu berseru agar semua mencabut senjata pula, apa boleh buat.

“Kita mainkan Hoa-san Kiam-sut. Tetap pertahankan barisan Jit-seng-tin!"

Adik-adiknya mengangguk. Mereka segera terkejut dan sama-sama kaget ketika tujuh toya di tangan Pat-kwa-hwesio itu naik turun menderu-deru. Mereka menang tapi tangan mereka terpental, hwesio-hwesio itu memang hebat tenaganya. Dan ketika adik terbungsu menjerit dihajar toya, pundaknya serasa patah maka aba-aba atau seruan Hek-tosu itu tepat dan cocok sekali.

“Srat-srat!"

Tujuh pedang berkilauan keluar. Tujuh sinar putih berkeredep dan itulah pedang-pedang Tujuh Malaikat Hoa-san. Selama ini mereka belum mengeluarkan senjata karena Pat-kwa-hwesio tadi dapat didesak. Lawan kalang-kabut tapi kini mereka ganti terkejut ketika lawan-lawan mereka mencabut toya, senjata andalan murid-murid Go-bi dalam menghadapi musuh berat. 

Dan begitu adik termuda kena serangan itu jelas mengganggu, Hek-tosu terkejut dan berseru keras maka tosu itu mencabut senjata dan adik termuda yang tadi bergulingan dan melempar tubuh menjauh sudah mencabut pedangnya pula dan secepat kilat menangkis hantaman toya yang mengejarnya.

“Cranggg...!" bunga api berpijar. Orang termuda dari Pat-kwa-hwesio melotot kecewa karena serangannya tertangkis. Cepat dan tepat lawannya dari Hoa-san itu mencabut pedangnya. Dan ketika apa boleh buat ia harus menghadapi lawan yang bersenjata pula, Hoa-san Sin-jit membentak dan mainkan pedang dalam barisan Jit-seng-tin maka Pat-kwa-hwesio harus gigit jari karena lagi-lagi lawan dapat bertahan. Bahkan, kini juga membalas!

“Ha-ha, mana kehebatan barisan segi delapan, Ji-hwesio. Mana kehandalan Pat-kwa-tin?”

Ji-hwesio merah mukanya. Kalau saja di situ ada suhengnya tertua, Twa-hwesio, tentu tak perlu ia kewalahan. Ini semua karena barisan Pat-kwa-tin tak lengkap. Suhengnya tertua tak ada. Dan ketika lawan mengejek dan barisan segi delapan direndahkan, ia diam saja karena memang Jit-seng-tin dapat menandingi akhirnya hwesio ini menggeram karena untuk kedua kalinya lagi Pat-kwa-tin dipecah-belah. Pedang di tangan tosu-tosu itu dapat bergerak silih berganti dan toya di tangan adik-adiknya bertemu tangkisan pedang yang hebat.

Dia sendiri yang berhadapan langsung dengan Hek-tosu juga akhirnya mengakui bahwa orang pertama dari Hoa-san Sin-jit ini menjadi berlipat ganda lihainya setelah mencabut pedang. Senjata di tangan mampu mementalkan toya dan itu membuatnya tergetar, hwesio ini pucat. Dan ketika adik- adiknya yang lain juga tak mampu menghalau pedang dan justeru pedang yang menghalau toya mereka maka hwesio ini menggigit bibir dan di sana Kiam Ting Sianjin tampak berseri-seri.

"Bagus, hajar mereka, Hoa-san Sin-jit. Robohkan Pat-kwa-tin dan perlihatkan kepada Go-bi bahwa di atas langit masih ada langit!"

"Tutup mulutmu!” Sam-hwesio, orang ketiga dari Pat-kwa-hwesio membentak marah. “Kami hanya bertujuh, Kiam Ting Sianjin, dan bukan berdelapan. Kalau suheng kami tertua ada di sini tentu Jit-seng-tin dapat dirobohkan. Apalagi di sini masih ada Beng Kong-suheng yang tentu akan menghancurkan kesombongan kalian!”

"Ha-ha, tak perlu marah," Beng Kong Hwesio berseru tertawa. "Jit-seng-tin memang hebat, sute. Tapi meskipun suheng kalian tak ada di sini aku dapat mencari penggantinya dan toyaku ini dapat bekerja sama!”

Semua terkejut. Beng Kong Hwesio yang tetap duduk dan tinggal di kursi singgasananya tiba-tiba melempar sebuah toya. Toya itu melayang dan berputaran seperti kena angin beliung, tegak dan tahu-tahu menyambar Jit-seng-tin. Dan ketika orang ke enam berteriak karena toya itu menggebuk pantatnya, lihai sekali maka cepat dan bergantian toya itu melayang dan menyambar Hek-tosu dan saudara-saudaranya.

“Buk-buk-buk!"

Semua terkejut dan berteriak keras. Ji-hwesio, yang terbelalak dan tak mengerti maksud suhengnya tiba-tiba menjadi kagum dan gembira karena toya itu menyambar dan melayang-layang bagai bernyawa. Semua orang terkejut tapi Hek-tosu dan adik-adiknya tentu saja menjadi yang paling terkejut. Mereka itu yang mendapat serangan dan satu demi satu kena gebuk pantatnya, kurang ajar! Dan ketika tosu itu berteriak dan melempar tubuh bergulingan, toya kurang ajar itu bergerak naik turun maka tujuh tosu Hoa-san tahu-tahu berkaok-kaok.

"Kurang ajar, keparat. Jahanam!"

Beng Kong Hwesio tergelak-gelak. Ia telah mendemonstrasikan kepandaiannya dan toya di tangannya tiba-tiba dapat menjadi benda hidup, ini luar biasa. Dan ketika Hoa-san Sin-jit tersentak dan jatuh bangun, pedang dipakai menangkis namun secara lihai dan luar biasa toya itu menyelinap dan menggebuk mereka maka Hek-tosu dan adik-adiknya pucat seolah menghadapi ilmu siluman.

“Iblis! Ini bukan ilmu Go-bi. Ini ilmu siluman!”

"Ha-ha!" Beng Kong Hwesio tertawa berderai-derai. "Jangan mencari-cari kalau kalah, Hek-tojin. Kalian menyerah dan nyatakan takluk saja!"

"Kami tak akan menyerah. Kami masih mempunyai ilmu lain yang akan menghadapi ilmu siluman!" dan Hek-tosu yang berteriak dan melengking tinggi, bergulingan dan meloncat bangun dengan pedang gemetar sudah berseru kepada adik-adiknya untuk mempergunakan Jouw-sang-hui-teng. Ilmu Terbang Di Atas Rumput itu adalah andalan mereka kalau mendemonstrasikan ginkang.

Toya yang bagaikan hidup dan mengejar- ngejar mereka itu sungguh luar biasa cepat dan hebatnya. Hampir tak ada kesempatan mengelak karena pantat atau pundak mereka selalu tergebuk, kurang ajar! Dan ketika Hek- tosu melengking dan Jouw-sang-hui-teng serentak dilakukan, tujuh tosu itu bergandengan tangan dan pedang menyatu dalam tujuh sudut maka toya terpental dan patah menjadi dua berbenturan dengan tujuh senjata di tangan tujuh tosu itu.

"Crangg!" Beng Kong Hwesio tertegun. Wakil dirinya, toya itu, runtuh dan menggeletak di lantai. Patah menjadi tujuh potong tapi Ji-hwesio dan adik-adiknya mendapat kesempatan dengan kejadian tadi. Mereka itu mampu memperbaiki diri setelah Jit-seng-tin dikacau toya, maju dan menyerang dan Hek-tosu mengeluh karena sekarang tujuh orang lawannya menindih dan menekan. Dia dan saudara-saudaranya sedang kebingungan oleh sambaran toya hidup tadi, toya yang bagaikan bernyawa tapi kini sudah terpotong menggeletak di lantai.

Dan karena gangguan toya itu amat membingungkannya dan mengacau setiap di antara mereka, dia dan saudara-saudaranya gugup maka balasan atau gebukan toya dari tujuh hwesio Go-bi tak dapat dihindarkan lagi. Berturut-turut tosu ini dan keenam saudaranya roboh terpelanting, masing-masing mengeluh dan mencelat pedangnya. Dan ketika tujuh tosu itu roboh terduduk dan masing-masing bermuka pucat, menggigil, maka Ji-hwesio menghentikan gerakan toyanya dan hampir bersamaan tujuh hwesio itu menyimpan senjata.

"Cukup, lawan kita sudah kalah!"

Murid-murid Go-bi bersorak. Mereka itu tadi tegang memandang pertempuran karena jelas Ji-hwesio dan barisan Pat-kwa-tinnya kacau- balau. Tujuh tosu Hoa-san dengan Jit-seng-tinnya itu sungguh luar biasa. Tapi begitu ketua maju menolong dan toya Beng Kong Hwesio mengacau Barisan Tujuh Bintang, Hek- tosu dan saudara-saudaranya dibuat kaget dan sibuk maka berturut-turut mendaratlah gebukan-gebukan toya di punggung tosu-tosu Hoa-san itu.

Ji-hwesio dan saudara-saudaranya bukanlah orang-orang kejam, tidak seperti Beng Kong Hwesio misalnya. Maka begitu lawan terduduk dan pedangpun terlepas dari tangan, kekalahan sesungguhnya adalah karena campur tangan suheng mereka maka Ji-hwesio tak mau menurunkan tangan kejam dan tujuh tosu itu terbelalak memandang Beng Kong Hwesio, yang duduk dengan gagah dan pongahnya di atas kursi singgasana.

"Ha-ha, bagaimana sekarang. Apakah kalian masih ingin berhadapan dengan aku?”

Tujuh tosu itu pucat. Kalau mereka mau tahu diri maka jalan satu-satunya hanyalah menyerah. Mereka sudah kalah dan Go-bi memang hebat. Tapi karena kekalahan itu sungguh membuat penasaran karena bagaimana sebatang toya tiba-tiba bisa bergerak dan hidup sendiri, menyerang mereka maka Hek-tosu berteriak, parau, "Beng Kong Hwesio, kau tidak mempergunakan ilmu silat. Kau mempergunakan ilmu siluman!"

"Hm, pinceng tak mau bicara ini. Katakan saja apakah kalian mau menyerah atau tidak?”

"Aku penasaran. Pinto tidak dikalahkan secara jantan!"

"Maumu?" Beng Kong Hwesio tiba-tiba membesi, matanya mencorong bagai naga yang siap melahap mangsa. “Apakah kau tak puas dan ingin berhadapan secara langsung dengan pinceng, tosu bau? Apakah kau ingin mendapat pelajaran lebih berat lagi?”

"Pinto tak dapat menerima kekalahan ini. Pinto dan saudara-saudara bukan dikalahkan Pat-kwa-hwesio!”

"Tapi mereka adik-adikku. Go-bi telah mengalahkan Hoa-san!”

"Pinto tetap penasaran, Beng Kong Hwesio. Pinto masih ingin melanjutkan pertandingan. Kalau kau ikut campur membantu adik-adikmu maka lebih baik kau maju sendiri dan tidak usah keroyokan. Curang!"

“Baik, kalau begitu aku akan maju. Kau dan saudara-saudaramu boleh mengeroyok pinceng. Tapi awas, tangan pinceng lebih berat daripada adik-adik pinceng tadi!”

“Kau mau turun sendiri?"

“Benar, tapi aku tetap di sini. Kalau kalian dapat menggeser pinceng dan meloncat dari kursi ini biarlah pinceng dianggap kalah!"

Semua gempar. Beng Kong Hwesio, yang tertawa dan menggoyang ujung lengan bajunya tampak bicara begitu sombong dan penuh percaya diri. Dia, yang tetap duduk di kursi, minta dikalahkan tanpa berpindah dari duduknya. Dan ketika Tujuh Malaikat Hoa-san itu melotot dan gusar, mereka sungguh dipandang rendah maka Ji-hwesio dan saudara-saudaranya sebaliknya tenang-tenang saja.

Mereka ini tahu kelihaian suheng mereka dan tentu saja tidak heran. Kepandaian suheng mereka itu memang luar biasa. Sekarang suheng mereka ini setingkat dengan mendiang suhu mereka, jadi pantas mewakili Go-bi dan boleh saja bicara begitu besar. Minta dirobohkan sementara dia hanya duduk di kursi saja. Dan ketika Tujuh Malaikat Hoa-san tentu saja tersinggung dan marah, mereka itu benar- benar tertampar maka Hek-tosu meloncat dan menyambar kembali pedangnya.

"Sute, Beng Kong Hwesio sendiri yang minta seperti itu. Mari kita hadapi dia dan bunuh kesombongannya!"

Enam tosu yang lain menyambar pedang. Mereka benar-benar marah tapi juga penasaran tapi kagum kepada hwesio tinggi besar ini. Siapapun tahu bahwa Beng Kong Hwesio adalah murid Ji Leng Hwesio, sute dari mendiang Leng Kong Hwesio yang katanya tewas di tangan Coa-ong. Dan karena mereka telah melihat kelihaian hwesio ini dengan toya terbangnya, yang hidup dan menyambar-nyambar tadi maka enam tosu dari Hoa-san bergerak dan sudah memegang pedang masing-masing.

Ji-hwesio tidak merampas senjata mereka karena hwesio itupun mundur bersama keenam saudaranya yang lain. Hwesio-hwesio yang lain juga ingin menonton. Dan ketika Tujuh Malaikat Hoa-san sudah bergerak dan mengepung kursi ketua, Beng Kong tergelak-gelak tapi tidak beranjak dari tempatnya maka hwesio itu berseru.

"Sin-jit (Tujuh Malaikat), kalian boleh lakukan apa saja terhadap pinceng. Pinceng tidak akan bersenjata. Kalau kalian dapat mengalahkan aku dan syukur memenggal kepalaku, seperti yang kalian lakukan di luar maka aku kalah dan kalian boleh lakukan apa saja terhadap Go-bi!”

Hek-tosu dan adik-adiknya menggigil. Mereka dibuat gemetaran dan marah serta heran sekali oleh keberanian atau kejumawaan hwesio ini. Menurut tingkat, hwesio itu seharusnya di bawah mereka, karena mereka adalah adik- adik seperguruan ketua Hoa-san dan hwesio ini murid ketua Go-bi. Jadi, Beng Kong seolah murid keponakan, mereka paman-paman gurunya.

Namun karena peristiwa-peristiwa di Go-bi telah mereka dengar dan cerita atau kisah tentang adanya Bu-tek-cin-keng membuat mereka berdebar, jangan-jangan semua kepandaian hwesio itu dikarenakan kitab maha sakti itu maka mereka tertegun tapi juga marah mendengar tantangan ini.

Murid Ji Leng itu terlampau jumawa. Kalau tidak melihat kesaktiannya mempermainkan toya hidup tadi tentu mereka melabrak dan mungkin maju satu demi satu saja, tidak semua. Tapi karena kepandaian hwesio itu telah dirasakan dan mereka tahu betul betapa hebatnya hwesio ini, meskipun belum merasakan secara langsung maka Hek-tosu mendelik dan melompat maju dengan pedang menggigil.

“Beng Kong Hwesio, kau sombong. Tapi mungkin kesombonganmu ada benarnya. Baiklah, kalau kami tak dapat merobohkanmu yang tetap duduk di kursi maka nama Hoa-san Sin-jit barangkali sebaiknya dihapus!"

“Ha-ha, tak perlu sekeras itu. Kalau kalian tak dapat mengalahkan aku maka sudah selayaknya kalau kalian bertujuh mengikuti pinceng, Hek-totiang, tunduk dan menjadi pembantu pinceng. Bagaimana?”

“Tak perlu besar mulut. Kau sudah menyuruh dan lihat pedang!" dan Hek-tosu yang tak kuat dan tak mampu bersabar lagi, membentak dan mengajak saudara-saudaranya maju tiba-tiba sudah menusuk dan pedang yang bergerak dengan amat cepat menikam dada Beng Kong Hwesio diramalkan pasti tak meleset. Dan saat itu dari kiri dan kanan juga menyambar bayangan-bayangan dari enam tosu yang lain.

"Ha-ha, ini bagus. Pinceng jadi bergairah!" Beng Kong Hwesio melakukan sesuatu yang mengejutkan, menjejakkan kaki dan tahu-tahu tubuh berikut kursinya mencelat naik. Dan ketika tujuh pedang menusuk angin, otomatis gagal maka hwesio itu melayang turun lagi dan secepat kilat kakinya bergerak dari atas menendang dagu tujuh orang lawannya itu.

“Des-des-dess!"

Balasan ini tak diduga. Hek-tosu dan enam saudaranya yang menjerit dan tentu saja terlempar seketika berteriak karena gerakan atau balasan Beng Kong Hwesio itu tak diduga. Mereka tadi menusuk tapi lawan tahu-tahu lenyap, entah ke mana. Dan ketika bayangan hwesio itu muncul kembali dan kiranya mumbul ke atas, bersama kursinya maka ujung kaki tahu-tahu mencuat dan tujuh Malaikat Hoa-san itu terjengkang!

"Ha-ha, sudah kubilang agar berhati-hati!" Beng Kong Hwesio berseru, tawanya berderai. "Kalian kurang waspada, Hek-tosu. Dan gerakan pedang kalian juga terlalu lamban!”

Hek-tosu bergulingan melompat bangun. Mukanya merah padam karena segebrakan ini saja ia dan saudara-saudaranya dibuat keok. Memalukan! Tapi karena kejadian itu barangkali memang kesalahan mereka, pedang kurang cepat bergerak dan mereka ragu-ragu menyerang lawan yang masih duduk di kursinya, rasanya tak enak maka tosu ini sudah membentak dan maju menerjang lagi. Ia menjadi marah dan tak ragu-ragu lagi menusukkan pedangnya. Gerakan ujung pedang yang bergetar tujuh kali menunjukkan betapa marahnya tosu ini apalagi ia memang termasuk tosu yang paling berangasan dibanding saudara-saudaranya.

Maka begitu ia menusuk dan membentak, pedang berkeredep menyambar tujuh titik jalan darah maka Beng Kong Hwesio diserang kalap namun dengan tenang dan ganda tertawa hwesio itu menggerakkan kakinya seperti tadi. Ia menjejak dan kursipun mencelat ke atas. Dan begitu pedang lewat di bawah kakinya dan ujung kaki kembali menendang dagu, Hek-tosu kali ini waspada maka tosu itu membabat dan kaki hwesio itu disapunya geram.

“Plak!” Tosu ini terpelanting. Ujung kaki yang dibabat pedangnya malah seperti besi dihajar garpu, berdenting tapi ujung celana Beng Kong mengenai wajahnya. Dan ketika tosu itu berteriak dan untuk kedua kalinya ia terguling- guling, Beng Kong tertawa-tawa menghadapi saudara-saudaranya yang lain maka berturut-turut dan cepat sekali hwesio itu juga melakukan hal yang sama dan tubuhnya mencelat-celat bersama kursinya, mental- mental seperti bola.

“Ha-ha, mari tosu-tosu bau. Pinceng akan memberi pelajaran kepada kalian!”

Pek-tosu dan saudara-saudaranya terkejut. Mereka itu kehilangan lawan karena dengan amat cepat dan luar biasanya Beng Kong Hwesio sudah memindah-mindahkan tubuhnya dari satu tempat ke tempat lain. Hwesio itu sama sekali tak memindah-mindahkan tubuhnya dari atas kursi. Ia tetap duduk dan lengket di situ. Tapi karena ia menjejak-jejakkan kakinya dan kursi itu ikut terbawa-bawa, hwesio ini harus mengelak dari hujan serangan atau tusukan pedang.

Maka lawan maupun kawan terkagum-kagum karena dengan cepat dan tepat hwesio itu selalu lolos dari hujan serangan gencar. Akibatnya lawan menjadi marah dan Pek-tosu maupun saudara-saudaranya meningkatkan serangan, mereka membentak tapi tiba-tiba hwesio itu sudah berkelebatan mendahului mereka. Dan ketika mereka terkejut karena bayangan putih tahu-tahu menyambar maka “hadiah" ujung sepatu kembali mencium muka.

“Des-des-dess!”

Enam tosu itu jumpalitan dan mengeluh. Mereka ditendang dan tentu saja terlempar, tidak luka parah tapi dagu yang dibuat mendongak menimbulkan rasa sakit yang hebat, bukan di tubuh melainkan di hati! Dan ketika mereka melompat bangun lagi dan berteriak marah, maju dan membentuk barisan Jit-seng-tin maka Beng Kong Hwesio sudah dikepung tapi ajaib dan lincah sekali hwesio itu mumbul-mumbul seperti bola, tepat di atas kepala mereka.

“Ha-ha, kurang cepat, Hoa-san Sin-jit. Kurang cepat!"

Pek-tosu dan saudara-saudaranya merah padam. Mereka itu sudah bergerak secepat- cepatnya tapi hwesio itu berkata masih kurang cepat juga. Dan ketika tendangan demi tendangan mengenai mereka, dagu dan wajah serta kepala dibuat bulan-bulanan maka Hek- tosu berteriak agar mereka mainkan Jit-seng-kiam (Pedang Tujuh Bintang).

“Kita bergandengan tangan. Mainkan Jit-seng-kiam dan Jouw-sang-hui-teng!”

Enam saudaranya mengangguk. Mereka tiba- tiba berseru keras dan masing-masing yang tadi menyerang sendiri-sendiri mendadak bergandengan tangan. Pedang juga menyatu ke depan dan sekonyong-konyong terlihat kilatan panjang. Tujuh pedang menyatu bagai matahari dan tahu-tahu menghantam Beng Kong Hwesio dari tujuh penjuru.

Beng Kong tertegun dan rupanya belum melihat ini, karena tadi tujuh tosu itu tak mengeluarkan ilmu ini. Dan ketika ia terbelalak tapi tujuh pedang sudah mengurungnya dari atas bawah, kiri dan kanan tentu saja juga dijaga rapat maka Beng Kong Hwesio tak dapat keluar lagi dan tujuh tusukan maut menyambar tubuhnya.

“Awas!”

Ji-hwesio sampai tak tahan dan berseru keras. Suhengnya itu harus menerima tujuh tusukan maut dan jalan keluar tak ada. Murid-murid Go-bi sendiri sampai pucat dan berteriak di tempat. Tujuh Malaikat Hoa-san itu sedang marah dan serangan mereka tentu bukan main hebatnya. Ketua mereka itu bisa terancam, salah-salah, bisa kehilangan nyawa! Tapi ketika Beng Kong Hwesio tertawa bergelak, dan ini mengherankan maka tiba-tiba hwesio itu memutar kursinya dan dengan cepat bagai baling-baling ia menangkis tujuh serangan maut itu dengan lengan kursinya, yang dibungkus jubah.

"Plak-plak-plak!”

Bukan hanya anak-anak murid Go-bi saja yang heran. Hek-tosu, yang paling kuat dan marah menusukkan pedang sudah mengerahkan semua tenaganya untuk membacok putus ingin memenggal kepala atau bagian tubuh hwesio itu dengan pedangnya. Ia sudah terlalu gemas, terlalu benci! Tapi ketika pedang bertemu lengan kursi dan terpental keras, patah, maka tosu ini terpelanting dan enam dari Hoa-san Sin-jit juga menjerit dan berteriak karena pedang mereka patah-patah!

"Ha-ha, kurang pelajaran, kurang lihai...!” Beng Kong Hwesio terbahak-bahak. "Maju dan coba lagi kalahkan pinceng, Hoa-san Sin-jit. Coba keluarkan jurus lain yang lebih ampuh. Jit-seng-kiam masih terlalu rendah!”

Hek-tosu merah padam meloncat bangun. Ia dan enam saudaranya pucat dan merah berganti-ganti oleh hal yang hebat ini. Bayangkan, musuh masih tetap di kursinya tapi mereka tak dapat mengalahkan juga, padahal tinggal menusuk dan membacok. Tapi karena maklum bahwa lawan benar-benar lihai, hwesio tinggi besar itu memiliki kesaktian seperti manusia dewa maka tosu itu dan enam saudaranya melompat bangun, masih penasaran.

“Pinto dan saudara-saudara masih dapat bergerak. Pinto belum roboh!"

“Ha-ha, masih kurang puas? Boleh, maju dan lihat kepandaian pinceng, Hek-tosu. Dan boleh pinjam pedang dari sini kalau ingin maju lagi!" Beng Kong Hwesio meraup tujuh pedang di dinding, melemparkannya kepada Hek-tosu dan tujuh dari Hoa-san Sin-jit itu juga mendapat bagian.

Bagai ilmu sihir saja tahu-tahu hwesio itu telah memberikan tujuh pedang kepada tujuh lawannya, padahal tubuh tidak terangkat atau lepas dari kursi. Dan ketika tujuh pedang juga melayang dan ditangkap tujuh tosu Hoa-san ini, terjengkang dan kaget berteriak keras maka Hek-tosu dan adik-adiknya pucat melompat bangun, kaki menggigil. Pedang yang mereka terima beratnya menindih kepala seolah seberat gunung!

"Siancai, sinkang yang luar biasa!” Kiam Ting, yang berdiri dan semenjak tadi menonton tiba-tiba berseru tak tahan. Ia kagum dan terkejut melihat lontaran pedang itu, yang diterima tapi membuat teman-temannya terjengkang. Dan karena itu menunjukkan betapa hebat tenaga sakti hwesio ini, sampai Hek-tosu dan saudara-saudaranya tak kuat maka tosu ini pucat dan tak terasa iapun menjadi gentar Beng Kong Hwesio seperti iblis!

“Ha-ha, kau!" Beng Kong Hwesio memandang, teringat tosu ini. "Maju sekalian dan bantu teman-temanmu, Kiam Ting Sianjin. Lihat kepandaian pinceng dan berapa jurus kalian roboh!”

Tosu itu pucat. Ia ditantang dan kini sekarang diminta maju. Ia gemetar dan marah namun juga malu. Tidak maju berarti pengecut! Maka membentak dan apa boleh buat mencabut pedangnya, bergerak dan melompat ke depan iapun berkata, "Beng Kong, kau jumawa dan tidak kepalang sombongnya. Heran pinto bagaimana yang terhormat Ji Leng lo-suhu bisa mendapatkan murid seperti dirimu!"

"Ha-ha, tak usah menyebut-nyebut orang lain. Pinceng di sini mewakili Go-bi, Kiam Ting Sianjin, dan pinceng adalah ketua. Maju dan tak perlu banyak cing-cong kalau ingin coba- coba!"

"Kau menantang, pinto tentu saja akan maju!”

“Ya-ya, tapi pedangmu cekal erat-erat. Jangan menggigil!"

Kiam Ting Sianjin merah mukanya. Ia mendengar tawa anak-anak murid Go-bi karena memang ia menggigil memegang pedangnya itu. Ia jerih dan gentar setelah mengetahui kelihaian Beng Kong Hwesio ini. Murid Ji Leng itu luar biasa sekali. Tapi karena malu dan terhina membuat rasa marahnya terbakar, iapun bergolak maka tosu itu membentak dan langsung bersiap di samping tujuh tosu Hoa-san, pedang menuding ke atas dengan siku miring ke kanan.

"Beng Kong Hwesio, tak perlu sombong atau merendahkan. Pinto siap mati atau menjaga nama di sini!"

“Ha-ha, majulah. Kalian berdelapan boleh kalahkan pinceng!'"

Tosu itu tak kuat. Hoa-san Sin-jit sendiri tak mampu menahan perasaan setelah murid-murid Go-bi bersorak. Tadi, para hwesio muda terkesiap dan khawatir akan nasib pimpinannya itu, ketika Beng Kong menerima tujuh tusukan maut. Tapi ketika dengan begitu gampang semua serangan-serangan itu dihancurkan, pedang ditangkis dan patah-patah maka semua murid Go-bi percaya dan kagum akan kelihaian pimpinan mereka ini, dapat menerima sepak terjang hwesio itu dan melupakan kekejaman-kekejamannya ketika dulu menghajar bahkan memotong telinga Twa-hwesio, orang tertua dari Pat-kwa-hwesio.

Dan ketika Ji-hwesio sendiri dapat menerima itu dan bangga akan suhengnya dari murid supek karena Ji Leng Hwesio adalah suheng dari mendiang guru mereka maka perbuatan atau kejumawaan Beng Kong Hwesio itu dapat diterima. Toh semuanya itu demi menjaga nama baik Go-bi!

"Kita maju berbareng," Hek-tosu tak sungkan-sungkan lagi. "Kau di samping kiri kami Kiam Ting-toheng. Dan biarkan kami dengan barisan Jit-seng-tin kami!"

"Baik,” Kiam Ting pun mengangguk. “pinto akan membantu sebisanya, Hek-toheng. Tapi maaf kalau kepandaian pinto masih terlalu rendah!"

“Ah, kepandaianmu tidak selisih jauh dengan kami. Secara orang per orang kita hampir setingkat. Kalau kita kalah maka hwesio itulah yang terlalu hebat!”

Kiam Ting Sianjin mengangguk. Ia juga menyadari dan lega akan kata-kata Hek-tosu ini. Kalau nanti mereka kalah, padahal sudah dibantu, maka janganlah sampai kekalahan itu ditimpakan kepadanya. Lawan memang terlalu tangguh dan agaknya hanya orang-orang di atas mereka saja yang dapat menghadapi Beng Kong Hwesio. Misalnya Siang Kek cinjin atau Siang Lam Cinjin. Dan teringat dua kakek itu dan heran di mana tokoh-tokoh Heng-san itu berada, sejak tadi tak menampakkan batang hidungnya maka diam-diam Kiam-Ting Sianjin ini berharap mudah-mudahan dua sesepuh itu muncul!

"Hayo...!” Beng Kong Hwesio menantang. "Maju dan tunggu apalagi, Kiam-Ting Sianjin. Pinceng aken tetap di kursi ini dan kalau pindah biarlah dianggap kalah!”

Kiam Ting Sianjin melotot. Diejek dan direndahkan seperti itu tentu saja dia naik darah. Murid-murid tertawa dan tosu itu merasa sakit. Ia seolah barang mainan! Dan ketika ia membentak dan Hoa-san Sin-jit juga mulai bergerak menyerang, mereka juga marah mendengar tawa anak-anak murid Go-bi itu maka tujuh pedang berkeredep dan pedang di tangan Kiam Tingpun menusuk dengan cepat.

"Sing-sing-singgg...!”

Beng Kong Hwesio tertawa bergelak. Setelah ia menantang dan menyuruh semua lawan-lawannya maju maka tampak betapa delapan orang itu beringas menyerang. Muka mereka gelap kehitaman dan itu dapat dimengerti. Bayangkan, mereka mau membalas dendam tapi di situ malah dipermainkan. Kiam Ting jadi teringat bahwa omongan To Hak Cinjin ada benarnya. Mereka harus berhati-hati kalau di Go-bi. Apalagi kalau Ji Leng Hwesio sendiri keluar. Tapi ketika Ji Leng tak keluar dan yang mereka hadapi justeru Beng Kong Hwesio, muridnya maka di atas kertas seharusnya mereka tak perlu takut tapi kenyataannya Hoa-san Sin-jit sudah dibuat jatuh bangun. Dan kini iapun disuruh mengeroyok!

Kiam Ting gemas dan ia ingin mengamuk sehabis-habisnya. Suhengnya Kiam Leng Sianjin telah dibunuh dan ia ingin menuntut balas. Tapi bagaimana menuntut balas kalau musuh demikian tinggi ilmunya, ia gelisah dan kecil hati maka tosu itu menyerang dan langsung menusuk dengan jurus Bianglala Menikam Langit, Ilmu pedangnya Kun-lun Kiam-sut sudah dikeluarkan dan dari tujuh penjuru Hoa-san Sin-jit juga menggerakkan pedang masing-masing.

Pedang itu pedang pinjaman tapi cukup baik, terbuat dari baja pilihan dan di tangan orang-orang seperti Tujuh Malaikat Hoa-san ini maka pedang itu berobah menjadi senjata-senjata maut yang berbahaya. Tapi ketika dengan tenangnya Beng kong Hwesio menggerakkan ujung jubahnya dan tanpa menyingkir ia menyapu semua serangan itu, hebat dan meyakinkan maka delapan pedang terpental dan pemiliknya terpelanting.

"Ha-ha, perkenalan pertama, Kiam Ting Sianjin. Aku tak akan terlalu keras agar pedang kalian tidak patah-patah. Itu milik Go-bi!”

Delapan tosu ini berteriak. Mereka ditangkis dan lenganpun tiba-tiba serasa patah. Ujung kebutan lengan baju itu serasa lempengan baja dan mereka menjerit. Dan ketika delapan orang itu berteriak dan mereka bergulingan meloncat bangun, pucat dan gemetar menjadi satu maka Beng Kong melambaikan tangannya dan menyuruh orang-orang itu maju lagi. Hebat!

"Ayo, jangan terlalu lama. Pinceng masih di sini dan akan tetap di kursi ini!”

Kiam Ting Sianjin pucat. Setelah gebrakan pertama dirasakan sendiri dan ia merasa langsung tangkisan hwesio itu, kuat menggetarkan maka tosu ini terkejut dan berubah mukanya. Sekarang ia tahu kenapa Hoa-san Sin-jit begitu mudah dibuat terpelanting. Kiranya tenaga hwesio ini memang hebat, sinkangnya luar biasa! Tapi karena ia belum kalah dan gebrakan pertama itu harus diikuti gebrakan-gebrakan berikut, ia tak boleh menyerah begitu saja maka tosu ini membentak dan maju lagi. Hek-tosu dan enam saudaranya juga membentak dan menerjang marah. Tiga kali mereka dibuat malu.

Maka melengking dan berseru keras Tujuh Malaikat Hoasan itu menyerang lagi, melotot dan hampir keluar dari tempatnya karena mereka mendengar tepuk riuh dan sorak murid-murid Go-bi. Ini keterlaluan! Tapi ketika Beng Kong Hwesio kembali mengebutkan lengan bajunya dan delapan pedang terpental, masing-masing mengeluh dan mendesis kesakitan maka Hoa- san Sin-jit maupun Kiam Ting Sianjin tak mampu memisahkan Beng Kong Hwesio dari kursinya.

"Plak-plak-plakk!"

Delapan orang itu terhuyung dan jatuh bangun. Mereka dipaksa bertahan keras agar pedang di tangan tidak sampai terlepas. Tangkisan atau kebutan lengan baju terasa makin hebat saja, setiap menangkis tentu bertambah tenaganya. Dan ketika Hek-tosu berseru agar adik-adiknya tidak beradu tenaga, sebisa mungkin menghindarkan adu sinkang maka Tujuh Malaikat Hoa-san itu berkelebatan dan menusuk atau membabat dari belakang dan kiri kanan, tidak berdepan lagi.

“Ha-ha!” Beng Kong Hwesio tertawa bergelak. “Kalian cerdik, Hek-tosu, tapi tak apa menyerang dari belakang dan kiri kanan. Pinceng tak takut!"

Tosu itu merah mukanya. Secara tidak langsung ia telah dikata curang, karena ia tak mau menyerang dari depan. Tapi karena ia tak usah perduli dan ejekan atau sorak murid- murid Go-bi juga tak perlu dihiraukan maka tosu ini menerjang kembali dan enam saudaranya juga bergerak sambil menutup telinga. Mereka telah berada di sarang macan, biarlah mampus kalau mau mampus. Dan ketika Tujuh Malaikat Hoa-san itu menerjang dan tak perduli kanan kiri, Kiam Ting Sianjin juga memekik dan menggerakkan pedangnya maka sama seperti Tujuh Malaikat Hoa-san itu tosu dari Kun-lun ini juga tak mau beradu dari depan dan menyerang dari kiri kanan atau belakang.

“Ha-ha, hebat sekali. Tokoh-tokoh Hoa-san dan Kun-lun suka menyerang dari belakang!" Beng Kong, yang tidak takut dan tertawa bergelak justeru mengejek habis-habisan. Ia memutar kursinya dan begitu bergerak ia pun menghadapi lawan-lawannya lagi. Mau tidak mau siapapun harus berdepan dengannya. Dan ketika kebutan kembali menyambar dan tosu- tosu itu menjerit maka Kiam Ting terpelanting sementara orang termuda dari Tujuh Malaikat menggelepar.

"Des-dess!"

Beng Kong Hwesio mulai memberi pelajaran. Ia terbahak menangkis delapan serangan dan lawan-lawanpun dibuat menjerit oleh tangkisannya. Orang termuda tak tahan dan langsung terbanting. Dan ketika Hoa-san Sin- jit terkejut karena adik mereka termuda itu tak bangun kembali, entah pingsan atau mati maka mereka terkejut dan berteriak nyaring.

"Beng Kong, kau boleh bunuh kami semua!”

"Benar," Kiam Ting juga marah. “Pinto pun siap mampus, Beng Kong Hwesio. Lebih baik mati daripada dihina!”

"Ha-ha, aku tak akan membunuh," Beng Kong Hwesio tertawa berderai. "Watak welas asihku sedang timbul, Kiam Ting Sianjin. Buddha tak akan mengampuni aku kalau gampang membunuh orang. Pinceng hanya akan merobohkan, dan setelah itu kalian tunduk...plak-plak-plak!"

Beng Kong Hwesio yang melakukan tujuh tangkisan cepat, memutar kursinya hingga lawan tak dapat membokong akhirnya membuat Tujuh Malaikat dan Kiam Ting Sianjin terbanting. Mereka tadi menyerang lagi tapi hwesio tinggi besar ini benar-benar luar biasa, diserang dari manapun ia tetap dapat menangkis. Dan ketika satu per satu roboh menerima tamparannya, sinkang atau tenaga sakti hwesio itu memang luar biasa maka semua pedang mencelat dan masing-masing merintih memegangi tangan mereka. Beng Kong sudah menyelesaikan pekerjaannya!

"Ha-ha, cukup. Pinceng sudah membuktikan kelihaian pinceng!"

Tujuh orang itu merintih. Kiam Ting pucat mukanya karena pergelangannya terkilir. Ang-tosu dan Pek-tosu juga mengalami hal yang sama. Dan ketika Hek-tosu juga mengerang karena siku kanannya meleset, keluar dari persendiannya maka Beng Kong bangkit dan tampaklah betapa gagah dan tinggi besarnya hwesio ini.

“Nah,” hwesio itu tertawa. “Kalian dari Kun-lun dan Hoa-san telah roboh di tangan pinceng, Kiam Ting Sianjin. Kalau kalian mau menyerah baik-baik tentu pinceng mengampuni. Nah, bagaimana?"

"Apa maksudmu?" Hek-tosu membentak. “Kami sudah kalah dan boleh bunuh kalau mau bunuh, Beng Kong Hwesio. Tapi seluruh murid Hoa-san akan meluruk ke sini dan sahabat- sahabat kami tentu juga akan membalas dendam!"

“Hm, pinceng tak bermaksud membunuh, kalau kalian tak membuat marah pinceng. Pinceng hanya ingin kalian tunduk dan berada di bawah bendera Go-bi. Bagaimana?”

Tujuh orang itu terkejut. Di bawah Go-bi? Di bawah benderanya? Dan ketika mereka berdesir karena tiba-tiba mereka menangkap sesuatu di balik omongan ini, sebuah ambisi yang agaknya siap meletup maka Hek-tosu tertegun tapi tiba-tiba dia menggeleng. "Beng Kong, tak mungkin. Kami masing-masing partai memiliki daulat sendiri-sendiri. Kau terlalu mengimpi kalau ingin Hoa-san dan Kun-lun bernaung di bawah bendera Go-bi. Kau gila!"

"Benar," Kiam Ting juga berseru. "Di pihak kami ada arwah-arwah leluhur, Beng Kong Hwesio, sama seperti di pihak Go-bi yang juga mempunyai cikal-bakal dan sesepuh. Masing- masing tak mungkin mau tunduk di bawah bendera yang lain!"

“Hm, tapi kalian telah roboh di tangan pinceng. Pinceng telah mengalahkan kalian!”

"Kami memang kalah, dan kami pasti menyerah. Tapi jangan bawa-bawa nama partai karena kekalahan kami sebagai pribadi!"

"Hm, kalau begitu kalian menolak?"

"Kami telah kalah, dan kami menerima kekalahan kami dengan jantan. Mau bunuh silahkan bunuh, tak usah banyak cakap!" Hek- tosu yang berangasan dan naik darah oleh sikunya yang meleset membentak dan memaki-maki hwesio itu. Seketika dia tahu bahwa Beng Kong Hwesio hendak merajai dunia. Kiranya Go-bi akan dibawa untuk menundukkan atau menghancurkan partai- partai lain. Hek-tosu gusar. Tapi ketika Beng Kong mengerutkan kening dan sinar mata tajam berkilat dari pandangannya, nafsu membunuh muncul mendadak satu dari Pat- kwa-hwesio berseru,

"To Hak Cinjin hilang!"

Beng Kong terkejut. Perhatian dan matanya yang tadi menyambar Hek-tosu sekonyong- konyong beralih dan menyambar ke kiri. Tadi ketua Heng-san-pai itu menggeletak di situ dan kini tiba-tiba lenyap, tentu saja ia terkejut dan anak-anak murid Go-bipun berseru keheranan karena tak ada orang lain masuk ke situ. Tubuh ketua Heng-san itu pingsan di tengah-tengah ruangan dan siapapun tentu melihat kalau ada seseorang mengambil. Tapi begitu sang tosu tak ada dan mereka menjadi keheranan, bagaimana tosu itu bisa lenyap di depan mata demikian banyak orang tiba-tiba Beng Kong Hwesio mendongak dan berseru, matanya menyambar bagai elang.

"Siang Kek Cinjin, Siang Lam Cinjin, harap turun dan tak usah menakut-nakuti murid-murid Go-bi. Kalian ada di atas dan silahkan turun. Pinceng sudah tahu!"

"Hmmmm...!” sebuah suara panjang terdengar bergema, hebat menggetarkan. "Kau hebat, Beng Kong Hwesio, tapi kau tetap anak kecil bagi kami... slap!”

Dua kakek muka putih dan merah yang tiba-tiba muncul di situ bagaikan iblis sekonyong-konyong membuat anak murid Go-bi-pai berseru tertahan. Mereka tahu-tahu melihat dua kakek renta berdiri di situ, matanya meram-melek tapi seorang di antaranya memondong Heng-san-paicu (ketua) Heng-san. Itulah To Hak Cinjin yang hilang! Dan ketika mereka terkejut tapi Hek-tosu dan kawan-kawannya justeru girang luar biasa, inilah kakek yang ditunggu-tunggu maka kakek muka putih tiba-tiba mengebutkan lengan bajunya dan Jit-tosu atau rang termuda dari Hoa-san Sin-jit melejit ke arahnya, disambar dan ditangkap. Bagai sihir!

"Siancai, hwesio ini mematahkan tulang iganya. Kita harus mencari Ji Leng Hwesio atau menghajar muridnya ini!"

Beng Kong terkejut. Jit-tosu, tosu termuda dari Tujuh Malaikat tahu-tahu sudah dibawa dan diperiksa kakek muka putih itu. Inilah Siang Kek Cinjin sementara kakek muka merah mendengus dan mengurut-urut To Hak Cinjin, yang pingsan tapi kini mulai membuka matanya. Dan ketika kakek itu melempar dan To Hak Cinjin berjungkir balik turun, sadar, maka tosu itu berseru girang melihat supek dan susioknya ini.

"Supek... susiok!”

"Hm!" kakek muka merah menjawab dingin, setengah membentak. “Kau memalukan pinto, To Hak. Masa segebrakan saja roboh!"

"Aku... aku...”

"Maju kembali. Pinto akan menonton dan hadapi lawanmu!"

"Susiok!”

Namun kakek muka merah menggerakkan tangannya. To Hak Cinjin yang baru saja bicara tahu-tahu terlempar dan melayang ke arah Beng Kong Hwesio, tosu itu terkejut dan Beng Kong Hwesio sendiri tentu saja juga kaget. Dan ketika To Hak Cinjin berteriak dan meluncur kearah lawan, Beng Kong terbelalak dan berseru keras tahu-tahu sepasang lengan To Hak Cinjin menghantam mukanya.

“Dess!” Beng Kong Hwesio tentu saja menangkis marah. To Hak yang baru sadar dan sembuh dari lukanya tiba-tiba sudah menyerang dan menghantam dahsyat. Dari kedua lengan tosu itu menyambar pukulan kuat dan Beng Kong terkejut. Pukulan itu membuat ujung bajunya berkibar. Dan ketika ia menangkis tapi terhuyung, To Hak terpental tapi aneh bin ajaib tosu itu tidak apa-apa, mengherankan sekali maka tosu itu tertawa bergelak dan roman girang atau kesenangan yang sangat menyelubungi wajahnya.

“Ha-ha, aku tak apa-apa, susiok. Lempar dan berikan aku lagi kepadanya!"

Kakek muka merah berseri. Ia yang tadi melempar dan menepuk pundak murid keponakannya tiba-tiba menyambar dan melempar lagi ketua Heng-san-pai itu. Tak ada yang tahu betapa cahaya lweekang berkelebat dari telapak kakek ini, masuk dan menembus pundak To Hak Cinjin dan dengan lweekang atau tenaga dalam itulah To Hak Cinjin melepas pukulan.

Beng Kong merasa terkejut karena angin atau sambaran pukulan tosu ini lain daripada tadi, ketika ia terlempar dan roboh dalam sekali gebrak. Dan begitu ia menangkis dan tenaga yang amat kuatnya membuat kuda-kudanya bergetar, ia terhuyung sementara lawan terpental berjungkir balik maka waspadalah hwesio ini bahwa To Hak Cinjin sudah kemasukan tenaga sakti. Dan ia akhirnya melihat tepukan yang bercahaya lweekang itu, ketika lawan dilempar dan minta dilontarkan ke arahnya.

“Hm!” Beng Kong Hwesio mendengus, muka seketika berubah. “Kau tua bangka tak tahu malu, Siang Lam Cinjin. Kalau kau mau mempergunakan orang lain untuk menyerang aku maka pinceng khawatir murid keponakanmu ini bakal mampus!"

Kakek muka merah tak perduli. Ia sudah mencengkeram dan melempar kembali murid keponakannya itu. To Hak tampak kegirangan karena seluruh tubuhnya tiba-tiba menggelembung. Itulah hawa sakti pemberian susioknya. Ia ditepuk dan dimasuki hawa sinkang. Dan ketika tosu itu membentak dan menghantam muka Beng Kong Hwesio, untuk kedua kalinya ia diberi kesempatan maka To Hak mengerahkan semua tenaganya dan Beng Kong menjadi marah karena tahu-tahu kaki dan seluruh mukanya menjadi dingin.

"Keparat!" hwesio itu merunduk dan menekuk lututnya separuh. "Kau minta mampus, To Hak Cinjin. Tapi pinto akan mengantarmu kepada susiokmu lagi... dess!" dan To Hak yang berteriak karena mendapat sambutan keras lawan keras tiba-tiba menjerit dan tak tahan oleh tangkisan lawan.

Beng Kong Hwesio menambah tenaganya pula dan Siang Lam Cinjin berubah. Ia tak menyangka bahwa dari lengan hwesio itu menyambar pula cahaya putih yang menyambut pukulan murid keponakannya. Dan ketika To Hak menjerit dan terlempar bagai layang-layang putus, menabrak atau menghantam tembok maka kakek ini berkelebat dan tiba-tiba menggerakkan lengan baju menangkap atau menerima tubuh murid keponakannya itu.

"Bress!” To Hak patah tulang punggungnya. Tosu itu mengeluh dan tiba-tiba roboh di tangan susioknya. Siang Lam telah menangkap tapi tetap saja muridnya celaka, To Hak pingsan, muntah darah. Dan ketika kakek itu terkejut karena muridnya akan menjadi orang cacad, punggungnya patah dan tertekuk menjadi dua maka Siang Kek Cinjin berseru keras dan kakek muka putih ini berkelebat.

“Siancai, sungguh binatang!"

Murid Go-bi tergetar. Mereka melihat Siang Kek tiba-tiba mengetukkan tongkatnya ke lantai, membentak dan marah melihat keadaan To Hak Cinjin dan lantai tiba-tiba berasap. Dari lubang yang ditusuk ujung tongkat keluar ledakan. Bunga api muncrat dan suara bagai petir keluar dari lubang yang ditusuk tongkat itu. Namun ketika asap lenyap dan Beng Kong Hwesio tertawa bergelak, mengebut dan api yang muncratpun padam maka murid-murid Go-bi bersorak karena ketua mereka itu rupanya dapat menghadapi dua kakek-kakek lihai ini.

“Ha-ha, salahmu sendiri!" hwesio tinggi besar itu tertawa. "Kau mengirim anak-anak yang tidak patut đikirim, Siang Lam Cinjin. Kalau To Hak tidak mampus karena kau tolong maka ia akan menjadi orang cacad seumur hidup!”

“Kau manusia binatang!" kakek itu mendelik, matanya tidak meram melek lagi. "Kau harus menerima pelajaran, Beng Kong Hwesio. Pinto akan menghukummu dan biar Ji Leng berhadapan dengan pinto kalau ia tidak terima!"

Tongkat bergerak, cepat menyambar dan tahu-tahu dari ujung tongkat melesat sinar putih. Siang Kek kaget dan marah bahwa untuk kedua kalinya lagi To Hak Cinjin mengalami luka-luka. Bahkan, yang ini lebih berat karena punggungnya patah. Dan karena ia maklum bahwa murid keponakannya akan cacad, punggung itu tak mungkin diperbaiki lagi maka iapun menyerang dan tujuh murid Go-bi yang ada dibelakang hwesio itu mencelat dan terbang dibawa angin pukulannya.

"Heiii....!” Beng Kong Hwesio juga berseru keras. Ia terkejut karena dari depan menyambar sinar putih yang amat panas itu, sinarnya mendahului dan tentu saja ia tahu pukulan berbahaya. Tapi ketika ia cepat mengangkat lengan jubah dan membentak melepas tenaganya maka dentuman maha dahsyat mengguncang tempat itu. Beng Kong mengerahkan tenaga saktinya melawan tenaga sakti sesepuh Heng-san.

“Blaarrr...!”

Beng Kong Hwesio mencelat terlempar. Hwesio ini tak tahan dan terbawa oleh angin pukulan lawan yang amat kuatnya, benar- benar kuat karena genting dan dinding ruangan tiba-tiba roboh. Namun ketika hwesio itu berjungkir balik dan turun dengan seruan panjang, kagum dan rasa marahnya menjadi satu maka anak-anak Go-bi terlempar dan beterbangan oleh angin pukulan sesepuh Heng-san itu, bagai layang-layang putus.

"Aduh...!”

“Mati aku!"

Beng Kong Hwesio terbelalak. Dinding dan atap yang roboh benar-benar mengejutkan semuanya. Yang tidak sempat menghindar menjadi korban dan tigapuluh lebih murid-murid Go-bi merintih. Yang lain, entah hidup atau mati, bergelimpangan tak keruan oleh adu pukulan dahsyat itu. Dan ketika Beng Kong Hwesio melotot dan gusar, Siang Kek Cinjin benar-benar luar biasa iapun menggeram dan melompat maju, rasa kaget atau tersentaknya sudah hilang, terganti oleh rasa marah yang besar.

"Siang Kek Cinjin, kau tua bangka tak tahu diri. Ada apa kau mencelakai murid-murid rendahan dan pamer sinkang di sini. Jangan kaukira takut karena pinceng akan membalasmu!"

“Hm, kau mengagumkan," kakek renta ini berkedip-kedip, diam-diam kaget dan juga kagum bahwa lawannya dapat selamat, padahal tadi terlempar dan mencelat tinggi. "Kau rupanya sudah mewarisi kepandaian rahasia gurumu, Beng Kong Hwesio. Dan ini kiranya inti rahasia kitab Bu-tek-cin-keng. Siancai, pinto jadi ingin lebih tahu lagi!"

"Kau keparat tua bangka. Aku tak akan memaafkanmu dan sekarang kau terima balasan pinceng, awas...!” dan Beng Kong Hwesio yang berkelebat dan menyambar bagai burung besar tahu-tahu melepas pukulan dan ganti membalas tosu itu....

Prahara Di Gurun Gobi Jilid 11

Cerita Silat Mandarin Serial Prahara Di Gurun Gobi Karya Batara

“HA-HA, To Hak Cinjin dan kawan-kawan rupanya. Bagus, selamat datang, Cinjin. Selamat datang! Silahkan masuk dan duduk dan katakan apa maksud kedatangan kalian!"

To Hak Cinjin membelalakkan mata. Tosu ini dan rombongannya merah padam melihat seorang hwesio tinggi besar duduk dengan sombongnya di atas kursi berlapis emas itu, sementara mereka di bawah. Dan karena tak ada kursi atau apapun yang dapat dipakai duduk, tuan rumah seolah bersikap hormat namun sesungguhnya menghina mereka, disuruh duduk tapi tak ada tempat duduk maka tosu itu menggeram dan mewakili teman-temannya berseru,

"Beng Kong Hwesio, kau kiranya. Ah, sombong dan amat memandang rendah sekali sikapmu ini. Pinto tidak ingin berbicara denganmu. Pinto ingin bicara dengan yang terhormat ketua Go-bi-pai. Mana gurumu dan suruh ia keluar menghadapi pinto!"

"Ha-ha, berhadapan dengan pinceng sudah cukup, sama saja, malah barangkali bisa lebih cepat selesai. Katakan maksud kedatanganmu, To Hak Cinjin, dan masuk serta duduk sajalah!"

To Hak Cinjin tak dapat menahan diri. Ia dipersilahkan masuk tapi tak ada meja kursi, tentu saja ia tak sudi duduk di lantai. Maka begitu orang berseru nyaring dan ia menjadi marah, tosu ini berkelebat dan masuk ke bangsal agung maka ia membentak, "Beng Kong Hwesio, kau sombong amat. Pinto tak mau bicara lagi kalau kau duduk di situ. Turun, mana gurumu atau nanti kepalamu terpenggal!"

Beng Kong Hwesio tertawa bergelak. Tentu saja ia tahu kemarahan orang namun justeru inilah yang dicari. Di tempat itu dialah yang berkuasa dan tak ada yang dia takuti. Orang-orang ini memang sudah ditunggu kedatangannya dan dia ingin memberi pelajaran. Maka begitu To Hak membentak dan ia dianggap sebagai orang yang tak pantas menyambut tamu, dulu kedudukannya memang bukan sebagai pemimpin maka hwesio ini menggerakkan lengan bajunya dan tanpa berpindah atau menggeser kursinya ia menangkis serangan ketua Heng-san-pai itu, yang menganggap kedudukannya tak sesuai dengan ketua-ketua partai.

“Plak!” Tosu ini mencelat dan terbanting roboh. Ketua Heng-san-pai yang berangasan dan tak menduga hebatnya ujung kebutan tiba-tiba berteriak dan menjerit. Ia terbanting dan seketika muntah darah! Dan ketika yang lain-lain terkejut dan Kiam Ting Cinjin berseru tertahan, berkelebat dan menolong tosu itu maka To Hak Cinjin tak dapat bangun berdiri karena roboh kembali.

"Siancai..." semua terkejut dan berseru tertahan. Hoa-san Sin-jit yang semula tenang-tenang dan adem saja mendadak berubah muka mereka. Mereka melihat tangkisan ujung baju tadi dan tentu saja mereka terkesiap. Dari ujung baju itu menyambar angin pukulan kuat yang membuat mereka yang ada di situpun terkena angin sambarannya. Ini hebat. Bukan main! Dan ketika mereka terkejut tapi berkelebatan maju, melihat atau menolong pula To Hak Cinjin maka ternyata ketua Heng-san-pai itu sudah pingsan, tak sadarkan diri!

"Siancai, Beng Kong lo-suhu kiranya telah mewarisi kepandaian Ji Leng-ciangbunjin. Mengagumkan, tapi pantas kenapa kiranya begitu sombong!"

Kiam Ting Sianjin, yang terbelalak dan tak mampu menyadarkan temannya akhirnya membalik. Sute atau adik seperguruan dari mendiang Kiam Leng Sianjin ini merah padam dan terbakar. Ia telah memberi obat kepada temannya itu tetapi To Hak keburu pingsan, ia malu. Dan ketika tosu itu membalik namun anak-anak murid Go-bi justeru bercahaya dan berseri-seri mukanya, pemimpin mereka itu telah memberi pelajaran maka Hoa-san Sin-jit bergerak dan juga menghadapi hwesio tinggi besar itu, yang sikap dan sepak terjangnya sungguh berubah!

"Siancai, kiranya benar kata Kiam Ting Tojin. Pinto juga melihat bahwa Beng Kong lo-suhu ini hebat sekali. Tetapi sayang, kehebatannya kiranya telah menjadikannya sombong!"

Pek-tosu, satu dari Tujuh Malaikat Hoa-san berseru. Tosu ini juga terkejut dan kagum tapi juga marah melihat keganasan Beng Kong Hwesio. Sekali gerak ia langsung merobohkan lawan, bahkan, membuatnya muntah darah. Tapi karena itu justeru membuatnya marah karena Beng Kong Hwesio dirasa congkak dan amat takebur, sikapnya seolah tiada lawan lagi di dunia maka tosu itu bergerak ke depan tapi suhengnya, Hek-tosu yang berangasan dan mudah marah justeru lebih dulu maju dan membentak,

"Beng Kong, pinto Hek Tojin mohon pelajaran. Kau turunlah dan coba sambut baik-baik keinginan pinto!"

"Ha-ha, Hek-totiang kiranya. Selamat berjumpa, totiang, dan selamat bahwa kau masih sehat-sehat dan panjang umur. Tak perlu sewot, pinceng akan melayani siapapun yang ingin coba-coba dengan pinceng tapi biarlah kau duduk karena pantat pinceng sudah terlanjur terpaku di sini. Lihat, pinceng tak mampu memisahkan kursi ini!”

Beng Kong Hwesio berdiri, tertawa dan benar saja kursi emas itu tiba-tiba ikut dan nempel di pantatnya. Dari jauh kursi itu seolah benar- benar dipaku di bokongnya, tentu saja lucu dan mengejutkan bagi yang tak tahu. Tapi begitu Hek-tosu melihat dan enam saudaranya yang lain juga terkejut dan membelalakkan mata maka mereka berseru tertahan karena itulah ilmu lweekang atau sinkang yang hebat sekali. Tembokpun dapat dicabut dan tertempel di pantat hwesio ini.

"Siancai, semacam Thi-khi-i-beng atau Ilmu Penyedot Nyawa. Ah, Ji Leng Hwesio benar- benar hebat sekali!”

Pek-tosu, yang lagi-lagi kagum dan mendahului saudara-saudaranya berseru memuji. Tosu ini memang paling jujur dan apa adanya. Dia suka berterus terang. Tapi begitu suhengnya mendengar dan melotot, tosu itu tertegun meka Pek-tosu diam dan tidak bicara lagi. Ia lebih memuji Ji Leng Hwesio daripada Beng Kong Hwesio, karena tentu dari ketua Go-bi itulah Beng Kong Hwesio mendapatkan ilmunya.

"Tak perlu memuji musuh, kita sendiri mempunyai ilmu lain yang tak kalah hebat!”

Beng Kong Hwesio tertawa. Ia mendengar dan tentu saja senang dengan pujian itu, namun karena Pek-tosu sudah tidak bicara lagi dan Hek-tosu justeru meradang kepadanya, mendelik, maka ia duduk lagi dan kursi itupun menempel lantai.

"Brukk!” Beng Kong Hwesio mendemonstrasikan sinkangnya. Lantai ruangan, yang bergetar dan membuat enam murid Go-bi terpelanting lagi- lagi membuat Hek-tosu dan teman-temannya terkejut. Mereka yang berada dekat dengan hwesio tinggi besar itu hampir saja terpeleset kalau tidak cepat-cepat mencengkeramkan kuku kaki ke lantai.

Mereka juga hampir terpelanting oleh ulah hwesio keparat ini yang membanting dan menggedrukkan kaki kursinya dengan keras. Tapi karena mereka cepat mengerahkan sinkang dan bertahan, tak perlu terpelanting seperti murid-murid rendahan maka mereka tetap berdiri tegak meskipun diam-diam kaki atau lutut mereka menggigil.

"Sombong, dan suka pamer kepandaian. Aih, pinto jadi tak sabar dan ingin cepat-cepat bertanding!"

"Ha-ha!” Beng Kong Hwesio tertawa bergelak. "Kau tak sabaran dan cepat marah, Hek-totiang. Tapi kalau ingin bertanding tentu saja pinceng juga ingin melihat kepandaianmu. Majulah, dan barangkali boleh coba-coba dengan suteku Pat-kwa-hwesio!”

Tosu muka hitam ini mendelik. Ia menantang hwesio tinggi besar itu namun Beng Kong Hwesio buru-buru menepuk tangan memanggil sutenya. Pat-kwa-hwesio, yang tadi mengantar dan membawa mereka ke ruangan ini ternyata sudah mendekat begitu menerima panggilan. Mereka memang wakil suheng mereka kalau Go-bi menghadapi musuh. Maka begitu meloncat dan berkelebatan maju, Ji-hwesio mewakili adik-adiknya membungkuk maka hwesio itu berkata,

"Hek-totiang, suheng telah memerintahkan kami untuk melayani totiang. Silakan maju dan mari kita main-main sebentar.”

“Kau...?" tosu ini menuding, merah padam. “Kau mau maju dan mencari mampus? Minggir, Ji-hwesio, atau pinto nanti kehilangan kontrol diri!” Hek-tosu membentak dan tak kuasa menahan marahnya. Ia menantang Beng Kong Hwesio namun justeru hwesio itu memberikan sutenya. Tentu saja ia gusar. Tapi begitu ia mengayun lengannya dan Ji-hwesio tenang-tenang saja, menyambut, maka tosu itu terpental karena Ji-hwesio ternyata juga memiliki sinkang kuat.

"Dukk!” Hek-tosu mencelat. Ia terlampau memandang rendah dan tosu ini kaget bukan main ketika ditangkis lawan. Ji-hwesio ternyata unjuk gigi! Dan ketika tosu itu berjungkir balik dan kaget melempar sisa tangkisan, tenaga lawan ternyata hebat maka iapun sudah melayang turun dan berdiri lagi dengan muka hitam gelap! "Orang-orang Go-bi kiranya sombong-sombong. Baik, mari layani pinto dan kita tak usah banyak bicara lagi!"

Ji-hwesio mengerutkan kening. Ia sudah diserang dan tanpa banyak cakap lagi tosu dari Hoa-san itu menerjang. Ji-hwesio mengelak namun lawan mengejar. Dan ketika tujuh pukulan sudah dilancarkan namun semua luput menyambar, Ji-hwesio maju mundur dengan ringan maka Hek-tosu meradang dan membentak dengan suara mengguntur,

"Hayo, jangan main kelit. Mana kepandaian dari Go-bi kalau bersifat pengecut seperti wanita begini!"

"Hm," Ji-hwesio menjawab, kaki tetap melangkah pendek-pendek menghindari pukulan lawan. "Pinceng sebenarnya harus maju berdelapan, Hek-tosu. Dan bagaimana pinceng harus bicara kalau kau tidak memberikan kesempatan begini!"

"Pengecut, boleh saja. Majulah kalian semua tapi mana suheng kalian Twa-hwesio. Bukankah seharusnya ia di sini?"

"Suheng sedang sakit. Kami bertujuh cukup melayanimu, Hek-totiang. Dan karena kami biasa maju berbareng maka tolong kau maju pula bersama saudara-saudaramu itu. Pat- kwa-hwesio jarang maju satu per satu!"

“Kau takut? Mau keroyokan? Heh, kau dan saudara-saudaramu saja yang maju, Ji-hwesio. Pinto pantang mengeroyok kalau tidak terpaksa. Ayo, maju atau kau mampus... duk-dukk!"

Dua lengan yang kembali bertemu dan beradu dengan keras akhirnya membuat Ji-hwesio terpental, lawan menambah tenaga dan Hek-tosu tertawa mengejek. Ia senang! Dan ketika ia merangsek dan Ji-hwesio dibuat kelabakan, lawan bagai matador yang sudah ditanduk banteng maka apa boleh buat hwesio ini melayani dan mulailah ia membalas namun enam saudaranya tiba-tiba bergerak dan mengikuti.

"Ji-suheng, kami terpaksa membantu. Kami tidak menyerang tetapi hanya berputaran saja!”

"Tak apa," Ji-hwesio mengangguk, itu memang seharusnya dilakukan. "Seorang atau seratus orang sama saja, sute. Kalau mereka mau maju silahkan maju. Atau nanti Hek-totiang ini merasakan kelihaian kita... des-dess!"

Dua buah pukulan ditangkis hwesio itu, tepat dan kuat dan tiba-tiba saja Hek-tosu berteriak. Aneh dan ajaib begitu enam hwesio yang lain bergerak sekonyong-konyong kekuatan Ji-hwesio bertambah. Ada semacam kekuatan mujijat yang membuat sinkangnya naik tujuh kali lipat. Dan ketika tosu itu menjerit karena untuk berikutnya ia terpental dan terpelelanting bergulingan, tujuh hwesio itu bergerak ke kiri kanan dan ia menjadi pusing maka Ji-hwesio ganti mendaratkan pukulan-pukulannya dan tosu itu kalang-kabut.

"Curang, licik. Tujuh mengeroyok satu!”

"Hm, pinceng tak mengeroyok," Ji-hwesio berseru, mulai berkelebatan dan mengelilingi lawan. "Saudara-saudara pinceng hanya berputaran saja, Hek-totiang. Lihat dan saksikan bahwa pinceng tak mengeroyok!"

"Tapi saudara-saudaramu membuat pusing. Pinto dikacau!"

"Kalau begitu silahkan Hoa-san Sin-jit maju berbareng. Pinceng sudah mengatakan bahwa sebaiknya totiang dibantu."

"Keparat, kalian licik, Ji-hwesio. Sebelum pinto roboh tak mungkin pinto dibantu!" dan marah menerjang lagi, nekat dan penasaran oleh kelihaian Ji-hwesio akhirnya orang nomor satu dari Hoa-san Sin-jit ini coba mengatasi keadaan. Ia menangkis mengelak pukulan-pukulan berbahaya tapi bayangan enam hwesio yang lain benar-benar mengacau pikirannya. Hwesio-hwesio itu bergerak dan silih berganti mengelilingi dirinya. Kadang di kiri dan kadang di kanan. Dan kerena Ji-hwesio sendiri juga tak pernah henti melepas serangan, ia tertekan dan terdesak hebat tíba-tiba sebuah pukulan mengenai pundaknya.

“Dess!” Tosu ini terpelanting. Ia mengeluh dan berseru tertahan karena lagi-lagi ia tak mampu mengelak. Pukulan itu antep dan iapun terbanting. Dan ketika Hek-tosu terguling- guling dan Beng Kong Hwesio tertawa bergelak, memerahkan telinga maka enam dari Hoa-san Sin-jit yang lain panas terbakar.

"Hek-totiang, cepat saja minta bantuan saudaramu. Awas, jangan sampai terlambat!"

Hoa-san Sin-jit menjadi marah. Pek-tosu, orang yang paling sabar tiba-tiba juga meradang dan merah mukanya. Ia malu dan marah karena suhengnya terdesak hebat, dua kali mendapat pukulan lagi dan suhengnya itu mengaduh. Dan ketika untuk ketiga kalinya suhengnya itu menjerit dan berteriak keras, masing-masing tak tahan maka enam orang dari Hoa-san Sin-jit ini berkelebatan maju. Apa boleh buat harus maju, berbareng!

"Suheng, kau memang harus dibantu. Maaf bahwa kami harus maju karena kami tak ingin melihat kau dicurangi lawan....plak-plak!"

Pek- tosu dan saudara-saudaranya bergerak membentak, menerjang dan menangkis dan selamatlah suhengnya dari pukulan ujung baju. Saat itu Ji-hwesio melancarkan totokan kuat dan sekali kena tentu suhengnya roboh, hal itu tak boleh terjadi. Dan begitu mereka bergerak dan dan melepas serangan, membantu suheng mereka maka Hoa-san Sin-jit sudah bergebrak dan menghadapi Pat-kwa-hwesio, yang hanya ada tujuh orang.

"Des-des-dess!"

Pukulan atau tangkisan menggetarkan ruangan. Tujuh tosu dari Hoa-san Sin-jit sudah menyerang dan memecah barisan Pat-kwa-hwesio. Mereka membobol dari luar dan Pat-kwa-hwesio tiba-tiba berantakan. Tadi mereka mengelilingi Hek-tosu namun kini justeru mereka itulah yang dikelilingi dan diserang Hoa-san Sin-jit. Dan karena masing-masing bergerak dan sama lihai, pertandingan berjalan dengan cepat maka Hoa-san Sin-jit berhasil mengacau barisan segi delapan dan tujuh hwesio dari Pat-kwa-hwesio itu terpental.

"Ha-ha, kalian tak seberapa, Ji-hwesio. Lihat sekarang kalian kocar-kacir begitu bertemu dengan Jit-seng-tin (Barisan Tujuh Bintang) dari Hoa-san!"

Ji-hwesio bermuka gelap. Benar saja ia dan saudara-saudaranya tiba-tiba berantakan diserbu Jit-seng-tin. Musuh sudah bersatu dari luar dan kalang-kabut. Tapi karena pertandingan baru berjalan beberapa gebrak dan itu masih belum dapat dijadikan patokan, mereka belum panas atau mengeluarkan keringat maka Ji-hwesio berseru kepada adik adiknya agar bergandengan tangan, menyatukan kekuatan.

"Jangan sendiri-sendiri. Tetap bergabung!”

“Ha-ha!” Hek-tosu tertawa bergelak. "Barisan Segi Delapan telah kami ketahui kelemahannya, Ji-hwesio. Kalian pincang karena tak ada seorang. Kalian tak lengkap, kalian tak mungkin dapat menandingi Jit-seng-tin kami!"

Ji-hwesio terkejut. Hek-tosu segera memberi aba-aba kepada saudara-saudaranya agar Pat- kwa-hwesio tidak bersatu. Mereka telah mendengar kehebatan delapan murid Ji Beng Hwesio yang luar biasa ini, membentak dan memecah barisan agar tujuh hwesio itu tak dapat bergandengan tangan. Dan karena Hek-tosu kiranya sudah tahu atau mendengar kehebatan barisan delapan hwesio ini, yang sekarang hanya tujuh karena Twa-hweslo, atau orang pertama dari Pat-kwa-hwesio itu tak ada.

Maka dengan cepat dan bertubi-tubi tujuh tosu dari Hoa-san itu menekan dan tak memberi kesempatan. Mereka ingin merobohkan lawan, sebelum lawan bersiap. Dan ketika benar saja Ji-hwesio dan saudara-saudaranya kelabakan, kaget, maka pukulan atau serangan dari tujuh tosu itu mengenai sasarannya.

“Des-des-dess!"

Ji-hwesio dan saudara-saudaranya terhuyung. Mereka itu kebingungan karena setiap hendak bersatu dan bergandengan tangan maka Hoa- san Sin-jit selalu memecah. Mereka tak dibiarkan untuk menyatukan tenaga dan masing-masing dipaksa untuk bertanding seorang lawan seorang. Dan karena inti kekuatan Pat-kwa-hwesio harus serentak delapan orang, bukan satu demi satu yang tentu saja akan melemahkan dan menggoncangkan kehebatan barisan segi delapan ini maka Pat-kwa-hwesio benar-benar kacau dan merekapun porak-poranda.

"Cabut senjata, lawan mematikan gerak langkah kita!"

Hek-tosu tertawa bergelak. Ia dan saudara- saudaranya memang telah memporak- porandakan barisan lawan. Ji-hwesio dan adik- adiknya terdesak. Dan ketika mereka dipaksa untuk bertempur seorang lawan seorang, tak ada kesempatan untuk bersatu dalam usaha mengumpulkan kekuatan maka Hek-tosu terkekeh melihat Ji-hwesio dan adik-adiknya mencabut senjata, toya-toya panjang.

"Ha-ha, belum menetes darahmu, Ji-hwesio. Belum apa-apa sudah ketakutan dan mencabut senjata. Baik, kalian cabut senjata mumpung belum roboh!"

Ji-hwesio tak menggubris. Ia membentak dan marah menghantam lawannya itu tak perduli ejekan. Ia sudah didesak dan Pat-kwa-hwesio diobrak-abrik. Dan begitu ia mencabut senjata sementara lawan bersombong mempergunakan tangan kosong, tak mau mencabut senjatanya pula maka Hek-tosu terkejut ketika tiba-tiba ayunan atau sambaran toya menghantam belakang kepalanya.

“Dess!” Lantai ruangan pecah. Si tosu yang semula bersombong dan yakin akan kemenangannya tiba-tiba dibuat terkejut ketika sambaran atau hantaman toya hampir saja mengenai kepalanya. Sedikit terlambat tentu kepalanya pecah! Dan kaget serta marah karena toya lalu menyambar-nyambar, ia dan adik-adiknya terdesak dan mengelak ke kiri kanan maka tosu itu berseru agar semua mencabut senjata pula, apa boleh buat.

“Kita mainkan Hoa-san Kiam-sut. Tetap pertahankan barisan Jit-seng-tin!"

Adik-adiknya mengangguk. Mereka segera terkejut dan sama-sama kaget ketika tujuh toya di tangan Pat-kwa-hwesio itu naik turun menderu-deru. Mereka menang tapi tangan mereka terpental, hwesio-hwesio itu memang hebat tenaganya. Dan ketika adik terbungsu menjerit dihajar toya, pundaknya serasa patah maka aba-aba atau seruan Hek-tosu itu tepat dan cocok sekali.

“Srat-srat!"

Tujuh pedang berkilauan keluar. Tujuh sinar putih berkeredep dan itulah pedang-pedang Tujuh Malaikat Hoa-san. Selama ini mereka belum mengeluarkan senjata karena Pat-kwa-hwesio tadi dapat didesak. Lawan kalang-kabut tapi kini mereka ganti terkejut ketika lawan-lawan mereka mencabut toya, senjata andalan murid-murid Go-bi dalam menghadapi musuh berat. 

Dan begitu adik termuda kena serangan itu jelas mengganggu, Hek-tosu terkejut dan berseru keras maka tosu itu mencabut senjata dan adik termuda yang tadi bergulingan dan melempar tubuh menjauh sudah mencabut pedangnya pula dan secepat kilat menangkis hantaman toya yang mengejarnya.

“Cranggg...!" bunga api berpijar. Orang termuda dari Pat-kwa-hwesio melotot kecewa karena serangannya tertangkis. Cepat dan tepat lawannya dari Hoa-san itu mencabut pedangnya. Dan ketika apa boleh buat ia harus menghadapi lawan yang bersenjata pula, Hoa-san Sin-jit membentak dan mainkan pedang dalam barisan Jit-seng-tin maka Pat-kwa-hwesio harus gigit jari karena lagi-lagi lawan dapat bertahan. Bahkan, kini juga membalas!

“Ha-ha, mana kehebatan barisan segi delapan, Ji-hwesio. Mana kehandalan Pat-kwa-tin?”

Ji-hwesio merah mukanya. Kalau saja di situ ada suhengnya tertua, Twa-hwesio, tentu tak perlu ia kewalahan. Ini semua karena barisan Pat-kwa-tin tak lengkap. Suhengnya tertua tak ada. Dan ketika lawan mengejek dan barisan segi delapan direndahkan, ia diam saja karena memang Jit-seng-tin dapat menandingi akhirnya hwesio ini menggeram karena untuk kedua kalinya lagi Pat-kwa-tin dipecah-belah. Pedang di tangan tosu-tosu itu dapat bergerak silih berganti dan toya di tangan adik-adiknya bertemu tangkisan pedang yang hebat.

Dia sendiri yang berhadapan langsung dengan Hek-tosu juga akhirnya mengakui bahwa orang pertama dari Hoa-san Sin-jit ini menjadi berlipat ganda lihainya setelah mencabut pedang. Senjata di tangan mampu mementalkan toya dan itu membuatnya tergetar, hwesio ini pucat. Dan ketika adik- adiknya yang lain juga tak mampu menghalau pedang dan justeru pedang yang menghalau toya mereka maka hwesio ini menggigit bibir dan di sana Kiam Ting Sianjin tampak berseri-seri.

"Bagus, hajar mereka, Hoa-san Sin-jit. Robohkan Pat-kwa-tin dan perlihatkan kepada Go-bi bahwa di atas langit masih ada langit!"

"Tutup mulutmu!” Sam-hwesio, orang ketiga dari Pat-kwa-hwesio membentak marah. “Kami hanya bertujuh, Kiam Ting Sianjin, dan bukan berdelapan. Kalau suheng kami tertua ada di sini tentu Jit-seng-tin dapat dirobohkan. Apalagi di sini masih ada Beng Kong-suheng yang tentu akan menghancurkan kesombongan kalian!”

"Ha-ha, tak perlu marah," Beng Kong Hwesio berseru tertawa. "Jit-seng-tin memang hebat, sute. Tapi meskipun suheng kalian tak ada di sini aku dapat mencari penggantinya dan toyaku ini dapat bekerja sama!”

Semua terkejut. Beng Kong Hwesio yang tetap duduk dan tinggal di kursi singgasananya tiba-tiba melempar sebuah toya. Toya itu melayang dan berputaran seperti kena angin beliung, tegak dan tahu-tahu menyambar Jit-seng-tin. Dan ketika orang ke enam berteriak karena toya itu menggebuk pantatnya, lihai sekali maka cepat dan bergantian toya itu melayang dan menyambar Hek-tosu dan saudara-saudaranya.

“Buk-buk-buk!"

Semua terkejut dan berteriak keras. Ji-hwesio, yang terbelalak dan tak mengerti maksud suhengnya tiba-tiba menjadi kagum dan gembira karena toya itu menyambar dan melayang-layang bagai bernyawa. Semua orang terkejut tapi Hek-tosu dan adik-adiknya tentu saja menjadi yang paling terkejut. Mereka itu yang mendapat serangan dan satu demi satu kena gebuk pantatnya, kurang ajar! Dan ketika tosu itu berteriak dan melempar tubuh bergulingan, toya kurang ajar itu bergerak naik turun maka tujuh tosu Hoa-san tahu-tahu berkaok-kaok.

"Kurang ajar, keparat. Jahanam!"

Beng Kong Hwesio tergelak-gelak. Ia telah mendemonstrasikan kepandaiannya dan toya di tangannya tiba-tiba dapat menjadi benda hidup, ini luar biasa. Dan ketika Hoa-san Sin-jit tersentak dan jatuh bangun, pedang dipakai menangkis namun secara lihai dan luar biasa toya itu menyelinap dan menggebuk mereka maka Hek-tosu dan adik-adiknya pucat seolah menghadapi ilmu siluman.

“Iblis! Ini bukan ilmu Go-bi. Ini ilmu siluman!”

"Ha-ha!" Beng Kong Hwesio tertawa berderai-derai. "Jangan mencari-cari kalau kalah, Hek-tojin. Kalian menyerah dan nyatakan takluk saja!"

"Kami tak akan menyerah. Kami masih mempunyai ilmu lain yang akan menghadapi ilmu siluman!" dan Hek-tosu yang berteriak dan melengking tinggi, bergulingan dan meloncat bangun dengan pedang gemetar sudah berseru kepada adik-adiknya untuk mempergunakan Jouw-sang-hui-teng. Ilmu Terbang Di Atas Rumput itu adalah andalan mereka kalau mendemonstrasikan ginkang.

Toya yang bagaikan hidup dan mengejar- ngejar mereka itu sungguh luar biasa cepat dan hebatnya. Hampir tak ada kesempatan mengelak karena pantat atau pundak mereka selalu tergebuk, kurang ajar! Dan ketika Hek- tosu melengking dan Jouw-sang-hui-teng serentak dilakukan, tujuh tosu itu bergandengan tangan dan pedang menyatu dalam tujuh sudut maka toya terpental dan patah menjadi dua berbenturan dengan tujuh senjata di tangan tujuh tosu itu.

"Crangg!" Beng Kong Hwesio tertegun. Wakil dirinya, toya itu, runtuh dan menggeletak di lantai. Patah menjadi tujuh potong tapi Ji-hwesio dan adik-adiknya mendapat kesempatan dengan kejadian tadi. Mereka itu mampu memperbaiki diri setelah Jit-seng-tin dikacau toya, maju dan menyerang dan Hek-tosu mengeluh karena sekarang tujuh orang lawannya menindih dan menekan. Dia dan saudara-saudaranya sedang kebingungan oleh sambaran toya hidup tadi, toya yang bagaikan bernyawa tapi kini sudah terpotong menggeletak di lantai.

Dan karena gangguan toya itu amat membingungkannya dan mengacau setiap di antara mereka, dia dan saudara-saudaranya gugup maka balasan atau gebukan toya dari tujuh hwesio Go-bi tak dapat dihindarkan lagi. Berturut-turut tosu ini dan keenam saudaranya roboh terpelanting, masing-masing mengeluh dan mencelat pedangnya. Dan ketika tujuh tosu itu roboh terduduk dan masing-masing bermuka pucat, menggigil, maka Ji-hwesio menghentikan gerakan toyanya dan hampir bersamaan tujuh hwesio itu menyimpan senjata.

"Cukup, lawan kita sudah kalah!"

Murid-murid Go-bi bersorak. Mereka itu tadi tegang memandang pertempuran karena jelas Ji-hwesio dan barisan Pat-kwa-tinnya kacau- balau. Tujuh tosu Hoa-san dengan Jit-seng-tinnya itu sungguh luar biasa. Tapi begitu ketua maju menolong dan toya Beng Kong Hwesio mengacau Barisan Tujuh Bintang, Hek- tosu dan saudara-saudaranya dibuat kaget dan sibuk maka berturut-turut mendaratlah gebukan-gebukan toya di punggung tosu-tosu Hoa-san itu.

Ji-hwesio dan saudara-saudaranya bukanlah orang-orang kejam, tidak seperti Beng Kong Hwesio misalnya. Maka begitu lawan terduduk dan pedangpun terlepas dari tangan, kekalahan sesungguhnya adalah karena campur tangan suheng mereka maka Ji-hwesio tak mau menurunkan tangan kejam dan tujuh tosu itu terbelalak memandang Beng Kong Hwesio, yang duduk dengan gagah dan pongahnya di atas kursi singgasana.

"Ha-ha, bagaimana sekarang. Apakah kalian masih ingin berhadapan dengan aku?”

Tujuh tosu itu pucat. Kalau mereka mau tahu diri maka jalan satu-satunya hanyalah menyerah. Mereka sudah kalah dan Go-bi memang hebat. Tapi karena kekalahan itu sungguh membuat penasaran karena bagaimana sebatang toya tiba-tiba bisa bergerak dan hidup sendiri, menyerang mereka maka Hek-tosu berteriak, parau, "Beng Kong Hwesio, kau tidak mempergunakan ilmu silat. Kau mempergunakan ilmu siluman!"

"Hm, pinceng tak mau bicara ini. Katakan saja apakah kalian mau menyerah atau tidak?”

"Aku penasaran. Pinto tidak dikalahkan secara jantan!"

"Maumu?" Beng Kong Hwesio tiba-tiba membesi, matanya mencorong bagai naga yang siap melahap mangsa. “Apakah kau tak puas dan ingin berhadapan secara langsung dengan pinceng, tosu bau? Apakah kau ingin mendapat pelajaran lebih berat lagi?”

"Pinto tak dapat menerima kekalahan ini. Pinto dan saudara-saudara bukan dikalahkan Pat-kwa-hwesio!”

"Tapi mereka adik-adikku. Go-bi telah mengalahkan Hoa-san!”

"Pinto tetap penasaran, Beng Kong Hwesio. Pinto masih ingin melanjutkan pertandingan. Kalau kau ikut campur membantu adik-adikmu maka lebih baik kau maju sendiri dan tidak usah keroyokan. Curang!"

“Baik, kalau begitu aku akan maju. Kau dan saudara-saudaramu boleh mengeroyok pinceng. Tapi awas, tangan pinceng lebih berat daripada adik-adik pinceng tadi!”

“Kau mau turun sendiri?"

“Benar, tapi aku tetap di sini. Kalau kalian dapat menggeser pinceng dan meloncat dari kursi ini biarlah pinceng dianggap kalah!"

Semua gempar. Beng Kong Hwesio, yang tertawa dan menggoyang ujung lengan bajunya tampak bicara begitu sombong dan penuh percaya diri. Dia, yang tetap duduk di kursi, minta dikalahkan tanpa berpindah dari duduknya. Dan ketika Tujuh Malaikat Hoa-san itu melotot dan gusar, mereka sungguh dipandang rendah maka Ji-hwesio dan saudara-saudaranya sebaliknya tenang-tenang saja.

Mereka ini tahu kelihaian suheng mereka dan tentu saja tidak heran. Kepandaian suheng mereka itu memang luar biasa. Sekarang suheng mereka ini setingkat dengan mendiang suhu mereka, jadi pantas mewakili Go-bi dan boleh saja bicara begitu besar. Minta dirobohkan sementara dia hanya duduk di kursi saja. Dan ketika Tujuh Malaikat Hoa-san tentu saja tersinggung dan marah, mereka itu benar- benar tertampar maka Hek-tosu meloncat dan menyambar kembali pedangnya.

"Sute, Beng Kong Hwesio sendiri yang minta seperti itu. Mari kita hadapi dia dan bunuh kesombongannya!"

Enam tosu yang lain menyambar pedang. Mereka benar-benar marah tapi juga penasaran tapi kagum kepada hwesio tinggi besar ini. Siapapun tahu bahwa Beng Kong Hwesio adalah murid Ji Leng Hwesio, sute dari mendiang Leng Kong Hwesio yang katanya tewas di tangan Coa-ong. Dan karena mereka telah melihat kelihaian hwesio ini dengan toya terbangnya, yang hidup dan menyambar-nyambar tadi maka enam tosu dari Hoa-san bergerak dan sudah memegang pedang masing-masing.

Ji-hwesio tidak merampas senjata mereka karena hwesio itupun mundur bersama keenam saudaranya yang lain. Hwesio-hwesio yang lain juga ingin menonton. Dan ketika Tujuh Malaikat Hoa-san sudah bergerak dan mengepung kursi ketua, Beng Kong tergelak-gelak tapi tidak beranjak dari tempatnya maka hwesio itu berseru.

"Sin-jit (Tujuh Malaikat), kalian boleh lakukan apa saja terhadap pinceng. Pinceng tidak akan bersenjata. Kalau kalian dapat mengalahkan aku dan syukur memenggal kepalaku, seperti yang kalian lakukan di luar maka aku kalah dan kalian boleh lakukan apa saja terhadap Go-bi!”

Hek-tosu dan adik-adiknya menggigil. Mereka dibuat gemetaran dan marah serta heran sekali oleh keberanian atau kejumawaan hwesio ini. Menurut tingkat, hwesio itu seharusnya di bawah mereka, karena mereka adalah adik- adik seperguruan ketua Hoa-san dan hwesio ini murid ketua Go-bi. Jadi, Beng Kong seolah murid keponakan, mereka paman-paman gurunya.

Namun karena peristiwa-peristiwa di Go-bi telah mereka dengar dan cerita atau kisah tentang adanya Bu-tek-cin-keng membuat mereka berdebar, jangan-jangan semua kepandaian hwesio itu dikarenakan kitab maha sakti itu maka mereka tertegun tapi juga marah mendengar tantangan ini.

Murid Ji Leng itu terlampau jumawa. Kalau tidak melihat kesaktiannya mempermainkan toya hidup tadi tentu mereka melabrak dan mungkin maju satu demi satu saja, tidak semua. Tapi karena kepandaian hwesio itu telah dirasakan dan mereka tahu betul betapa hebatnya hwesio ini, meskipun belum merasakan secara langsung maka Hek-tosu mendelik dan melompat maju dengan pedang menggigil.

“Beng Kong Hwesio, kau sombong. Tapi mungkin kesombonganmu ada benarnya. Baiklah, kalau kami tak dapat merobohkanmu yang tetap duduk di kursi maka nama Hoa-san Sin-jit barangkali sebaiknya dihapus!"

“Ha-ha, tak perlu sekeras itu. Kalau kalian tak dapat mengalahkan aku maka sudah selayaknya kalau kalian bertujuh mengikuti pinceng, Hek-totiang, tunduk dan menjadi pembantu pinceng. Bagaimana?”

“Tak perlu besar mulut. Kau sudah menyuruh dan lihat pedang!" dan Hek-tosu yang tak kuat dan tak mampu bersabar lagi, membentak dan mengajak saudara-saudaranya maju tiba-tiba sudah menusuk dan pedang yang bergerak dengan amat cepat menikam dada Beng Kong Hwesio diramalkan pasti tak meleset. Dan saat itu dari kiri dan kanan juga menyambar bayangan-bayangan dari enam tosu yang lain.

"Ha-ha, ini bagus. Pinceng jadi bergairah!" Beng Kong Hwesio melakukan sesuatu yang mengejutkan, menjejakkan kaki dan tahu-tahu tubuh berikut kursinya mencelat naik. Dan ketika tujuh pedang menusuk angin, otomatis gagal maka hwesio itu melayang turun lagi dan secepat kilat kakinya bergerak dari atas menendang dagu tujuh orang lawannya itu.

“Des-des-dess!"

Balasan ini tak diduga. Hek-tosu dan enam saudaranya yang menjerit dan tentu saja terlempar seketika berteriak karena gerakan atau balasan Beng Kong Hwesio itu tak diduga. Mereka tadi menusuk tapi lawan tahu-tahu lenyap, entah ke mana. Dan ketika bayangan hwesio itu muncul kembali dan kiranya mumbul ke atas, bersama kursinya maka ujung kaki tahu-tahu mencuat dan tujuh Malaikat Hoa-san itu terjengkang!

"Ha-ha, sudah kubilang agar berhati-hati!" Beng Kong Hwesio berseru, tawanya berderai. "Kalian kurang waspada, Hek-tosu. Dan gerakan pedang kalian juga terlalu lamban!”

Hek-tosu bergulingan melompat bangun. Mukanya merah padam karena segebrakan ini saja ia dan saudara-saudaranya dibuat keok. Memalukan! Tapi karena kejadian itu barangkali memang kesalahan mereka, pedang kurang cepat bergerak dan mereka ragu-ragu menyerang lawan yang masih duduk di kursinya, rasanya tak enak maka tosu ini sudah membentak dan maju menerjang lagi. Ia menjadi marah dan tak ragu-ragu lagi menusukkan pedangnya. Gerakan ujung pedang yang bergetar tujuh kali menunjukkan betapa marahnya tosu ini apalagi ia memang termasuk tosu yang paling berangasan dibanding saudara-saudaranya.

Maka begitu ia menusuk dan membentak, pedang berkeredep menyambar tujuh titik jalan darah maka Beng Kong Hwesio diserang kalap namun dengan tenang dan ganda tertawa hwesio itu menggerakkan kakinya seperti tadi. Ia menjejak dan kursipun mencelat ke atas. Dan begitu pedang lewat di bawah kakinya dan ujung kaki kembali menendang dagu, Hek-tosu kali ini waspada maka tosu itu membabat dan kaki hwesio itu disapunya geram.

“Plak!” Tosu ini terpelanting. Ujung kaki yang dibabat pedangnya malah seperti besi dihajar garpu, berdenting tapi ujung celana Beng Kong mengenai wajahnya. Dan ketika tosu itu berteriak dan untuk kedua kalinya ia terguling- guling, Beng Kong tertawa-tawa menghadapi saudara-saudaranya yang lain maka berturut-turut dan cepat sekali hwesio itu juga melakukan hal yang sama dan tubuhnya mencelat-celat bersama kursinya, mental- mental seperti bola.

“Ha-ha, mari tosu-tosu bau. Pinceng akan memberi pelajaran kepada kalian!”

Pek-tosu dan saudara-saudaranya terkejut. Mereka itu kehilangan lawan karena dengan amat cepat dan luar biasanya Beng Kong Hwesio sudah memindah-mindahkan tubuhnya dari satu tempat ke tempat lain. Hwesio itu sama sekali tak memindah-mindahkan tubuhnya dari atas kursi. Ia tetap duduk dan lengket di situ. Tapi karena ia menjejak-jejakkan kakinya dan kursi itu ikut terbawa-bawa, hwesio ini harus mengelak dari hujan serangan atau tusukan pedang.

Maka lawan maupun kawan terkagum-kagum karena dengan cepat dan tepat hwesio itu selalu lolos dari hujan serangan gencar. Akibatnya lawan menjadi marah dan Pek-tosu maupun saudara-saudaranya meningkatkan serangan, mereka membentak tapi tiba-tiba hwesio itu sudah berkelebatan mendahului mereka. Dan ketika mereka terkejut karena bayangan putih tahu-tahu menyambar maka “hadiah" ujung sepatu kembali mencium muka.

“Des-des-dess!”

Enam tosu itu jumpalitan dan mengeluh. Mereka ditendang dan tentu saja terlempar, tidak luka parah tapi dagu yang dibuat mendongak menimbulkan rasa sakit yang hebat, bukan di tubuh melainkan di hati! Dan ketika mereka melompat bangun lagi dan berteriak marah, maju dan membentuk barisan Jit-seng-tin maka Beng Kong Hwesio sudah dikepung tapi ajaib dan lincah sekali hwesio itu mumbul-mumbul seperti bola, tepat di atas kepala mereka.

“Ha-ha, kurang cepat, Hoa-san Sin-jit. Kurang cepat!"

Pek-tosu dan saudara-saudaranya merah padam. Mereka itu sudah bergerak secepat- cepatnya tapi hwesio itu berkata masih kurang cepat juga. Dan ketika tendangan demi tendangan mengenai mereka, dagu dan wajah serta kepala dibuat bulan-bulanan maka Hek- tosu berteriak agar mereka mainkan Jit-seng-kiam (Pedang Tujuh Bintang).

“Kita bergandengan tangan. Mainkan Jit-seng-kiam dan Jouw-sang-hui-teng!”

Enam saudaranya mengangguk. Mereka tiba- tiba berseru keras dan masing-masing yang tadi menyerang sendiri-sendiri mendadak bergandengan tangan. Pedang juga menyatu ke depan dan sekonyong-konyong terlihat kilatan panjang. Tujuh pedang menyatu bagai matahari dan tahu-tahu menghantam Beng Kong Hwesio dari tujuh penjuru.

Beng Kong tertegun dan rupanya belum melihat ini, karena tadi tujuh tosu itu tak mengeluarkan ilmu ini. Dan ketika ia terbelalak tapi tujuh pedang sudah mengurungnya dari atas bawah, kiri dan kanan tentu saja juga dijaga rapat maka Beng Kong Hwesio tak dapat keluar lagi dan tujuh tusukan maut menyambar tubuhnya.

“Awas!”

Ji-hwesio sampai tak tahan dan berseru keras. Suhengnya itu harus menerima tujuh tusukan maut dan jalan keluar tak ada. Murid-murid Go-bi sendiri sampai pucat dan berteriak di tempat. Tujuh Malaikat Hoa-san itu sedang marah dan serangan mereka tentu bukan main hebatnya. Ketua mereka itu bisa terancam, salah-salah, bisa kehilangan nyawa! Tapi ketika Beng Kong Hwesio tertawa bergelak, dan ini mengherankan maka tiba-tiba hwesio itu memutar kursinya dan dengan cepat bagai baling-baling ia menangkis tujuh serangan maut itu dengan lengan kursinya, yang dibungkus jubah.

"Plak-plak-plak!”

Bukan hanya anak-anak murid Go-bi saja yang heran. Hek-tosu, yang paling kuat dan marah menusukkan pedang sudah mengerahkan semua tenaganya untuk membacok putus ingin memenggal kepala atau bagian tubuh hwesio itu dengan pedangnya. Ia sudah terlalu gemas, terlalu benci! Tapi ketika pedang bertemu lengan kursi dan terpental keras, patah, maka tosu ini terpelanting dan enam dari Hoa-san Sin-jit juga menjerit dan berteriak karena pedang mereka patah-patah!

"Ha-ha, kurang pelajaran, kurang lihai...!” Beng Kong Hwesio terbahak-bahak. "Maju dan coba lagi kalahkan pinceng, Hoa-san Sin-jit. Coba keluarkan jurus lain yang lebih ampuh. Jit-seng-kiam masih terlalu rendah!”

Hek-tosu merah padam meloncat bangun. Ia dan enam saudaranya pucat dan merah berganti-ganti oleh hal yang hebat ini. Bayangkan, musuh masih tetap di kursinya tapi mereka tak dapat mengalahkan juga, padahal tinggal menusuk dan membacok. Tapi karena maklum bahwa lawan benar-benar lihai, hwesio tinggi besar itu memiliki kesaktian seperti manusia dewa maka tosu itu dan enam saudaranya melompat bangun, masih penasaran.

“Pinto dan saudara-saudara masih dapat bergerak. Pinto belum roboh!"

“Ha-ha, masih kurang puas? Boleh, maju dan lihat kepandaian pinceng, Hek-tosu. Dan boleh pinjam pedang dari sini kalau ingin maju lagi!" Beng Kong Hwesio meraup tujuh pedang di dinding, melemparkannya kepada Hek-tosu dan tujuh dari Hoa-san Sin-jit itu juga mendapat bagian.

Bagai ilmu sihir saja tahu-tahu hwesio itu telah memberikan tujuh pedang kepada tujuh lawannya, padahal tubuh tidak terangkat atau lepas dari kursi. Dan ketika tujuh pedang juga melayang dan ditangkap tujuh tosu Hoa-san ini, terjengkang dan kaget berteriak keras maka Hek-tosu dan adik-adiknya pucat melompat bangun, kaki menggigil. Pedang yang mereka terima beratnya menindih kepala seolah seberat gunung!

"Siancai, sinkang yang luar biasa!” Kiam Ting, yang berdiri dan semenjak tadi menonton tiba-tiba berseru tak tahan. Ia kagum dan terkejut melihat lontaran pedang itu, yang diterima tapi membuat teman-temannya terjengkang. Dan karena itu menunjukkan betapa hebat tenaga sakti hwesio ini, sampai Hek-tosu dan saudara-saudaranya tak kuat maka tosu ini pucat dan tak terasa iapun menjadi gentar Beng Kong Hwesio seperti iblis!

“Ha-ha, kau!" Beng Kong Hwesio memandang, teringat tosu ini. "Maju sekalian dan bantu teman-temanmu, Kiam Ting Sianjin. Lihat kepandaian pinceng dan berapa jurus kalian roboh!”

Tosu itu pucat. Ia ditantang dan kini sekarang diminta maju. Ia gemetar dan marah namun juga malu. Tidak maju berarti pengecut! Maka membentak dan apa boleh buat mencabut pedangnya, bergerak dan melompat ke depan iapun berkata, "Beng Kong, kau jumawa dan tidak kepalang sombongnya. Heran pinto bagaimana yang terhormat Ji Leng lo-suhu bisa mendapatkan murid seperti dirimu!"

"Ha-ha, tak usah menyebut-nyebut orang lain. Pinceng di sini mewakili Go-bi, Kiam Ting Sianjin, dan pinceng adalah ketua. Maju dan tak perlu banyak cing-cong kalau ingin coba- coba!"

"Kau menantang, pinto tentu saja akan maju!”

“Ya-ya, tapi pedangmu cekal erat-erat. Jangan menggigil!"

Kiam Ting Sianjin merah mukanya. Ia mendengar tawa anak-anak murid Go-bi karena memang ia menggigil memegang pedangnya itu. Ia jerih dan gentar setelah mengetahui kelihaian Beng Kong Hwesio ini. Murid Ji Leng itu luar biasa sekali. Tapi karena malu dan terhina membuat rasa marahnya terbakar, iapun bergolak maka tosu itu membentak dan langsung bersiap di samping tujuh tosu Hoa-san, pedang menuding ke atas dengan siku miring ke kanan.

"Beng Kong Hwesio, tak perlu sombong atau merendahkan. Pinto siap mati atau menjaga nama di sini!"

“Ha-ha, majulah. Kalian berdelapan boleh kalahkan pinceng!'"

Tosu itu tak kuat. Hoa-san Sin-jit sendiri tak mampu menahan perasaan setelah murid-murid Go-bi bersorak. Tadi, para hwesio muda terkesiap dan khawatir akan nasib pimpinannya itu, ketika Beng Kong menerima tujuh tusukan maut. Tapi ketika dengan begitu gampang semua serangan-serangan itu dihancurkan, pedang ditangkis dan patah-patah maka semua murid Go-bi percaya dan kagum akan kelihaian pimpinan mereka ini, dapat menerima sepak terjang hwesio itu dan melupakan kekejaman-kekejamannya ketika dulu menghajar bahkan memotong telinga Twa-hwesio, orang tertua dari Pat-kwa-hwesio.

Dan ketika Ji-hwesio sendiri dapat menerima itu dan bangga akan suhengnya dari murid supek karena Ji Leng Hwesio adalah suheng dari mendiang guru mereka maka perbuatan atau kejumawaan Beng Kong Hwesio itu dapat diterima. Toh semuanya itu demi menjaga nama baik Go-bi!

"Kita maju berbareng," Hek-tosu tak sungkan-sungkan lagi. "Kau di samping kiri kami Kiam Ting-toheng. Dan biarkan kami dengan barisan Jit-seng-tin kami!"

"Baik,” Kiam Ting pun mengangguk. “pinto akan membantu sebisanya, Hek-toheng. Tapi maaf kalau kepandaian pinto masih terlalu rendah!"

“Ah, kepandaianmu tidak selisih jauh dengan kami. Secara orang per orang kita hampir setingkat. Kalau kita kalah maka hwesio itulah yang terlalu hebat!”

Kiam Ting Sianjin mengangguk. Ia juga menyadari dan lega akan kata-kata Hek-tosu ini. Kalau nanti mereka kalah, padahal sudah dibantu, maka janganlah sampai kekalahan itu ditimpakan kepadanya. Lawan memang terlalu tangguh dan agaknya hanya orang-orang di atas mereka saja yang dapat menghadapi Beng Kong Hwesio. Misalnya Siang Kek cinjin atau Siang Lam Cinjin. Dan teringat dua kakek itu dan heran di mana tokoh-tokoh Heng-san itu berada, sejak tadi tak menampakkan batang hidungnya maka diam-diam Kiam-Ting Sianjin ini berharap mudah-mudahan dua sesepuh itu muncul!

"Hayo...!” Beng Kong Hwesio menantang. "Maju dan tunggu apalagi, Kiam-Ting Sianjin. Pinceng aken tetap di kursi ini dan kalau pindah biarlah dianggap kalah!”

Kiam Ting Sianjin melotot. Diejek dan direndahkan seperti itu tentu saja dia naik darah. Murid-murid tertawa dan tosu itu merasa sakit. Ia seolah barang mainan! Dan ketika ia membentak dan Hoa-san Sin-jit juga mulai bergerak menyerang, mereka juga marah mendengar tawa anak-anak murid Go-bi itu maka tujuh pedang berkeredep dan pedang di tangan Kiam Tingpun menusuk dengan cepat.

"Sing-sing-singgg...!”

Beng Kong Hwesio tertawa bergelak. Setelah ia menantang dan menyuruh semua lawan-lawannya maju maka tampak betapa delapan orang itu beringas menyerang. Muka mereka gelap kehitaman dan itu dapat dimengerti. Bayangkan, mereka mau membalas dendam tapi di situ malah dipermainkan. Kiam Ting jadi teringat bahwa omongan To Hak Cinjin ada benarnya. Mereka harus berhati-hati kalau di Go-bi. Apalagi kalau Ji Leng Hwesio sendiri keluar. Tapi ketika Ji Leng tak keluar dan yang mereka hadapi justeru Beng Kong Hwesio, muridnya maka di atas kertas seharusnya mereka tak perlu takut tapi kenyataannya Hoa-san Sin-jit sudah dibuat jatuh bangun. Dan kini iapun disuruh mengeroyok!

Kiam Ting gemas dan ia ingin mengamuk sehabis-habisnya. Suhengnya Kiam Leng Sianjin telah dibunuh dan ia ingin menuntut balas. Tapi bagaimana menuntut balas kalau musuh demikian tinggi ilmunya, ia gelisah dan kecil hati maka tosu itu menyerang dan langsung menusuk dengan jurus Bianglala Menikam Langit, Ilmu pedangnya Kun-lun Kiam-sut sudah dikeluarkan dan dari tujuh penjuru Hoa-san Sin-jit juga menggerakkan pedang masing-masing.

Pedang itu pedang pinjaman tapi cukup baik, terbuat dari baja pilihan dan di tangan orang-orang seperti Tujuh Malaikat Hoa-san ini maka pedang itu berobah menjadi senjata-senjata maut yang berbahaya. Tapi ketika dengan tenangnya Beng kong Hwesio menggerakkan ujung jubahnya dan tanpa menyingkir ia menyapu semua serangan itu, hebat dan meyakinkan maka delapan pedang terpental dan pemiliknya terpelanting.

"Ha-ha, perkenalan pertama, Kiam Ting Sianjin. Aku tak akan terlalu keras agar pedang kalian tidak patah-patah. Itu milik Go-bi!”

Delapan tosu ini berteriak. Mereka ditangkis dan lenganpun tiba-tiba serasa patah. Ujung kebutan lengan baju itu serasa lempengan baja dan mereka menjerit. Dan ketika delapan orang itu berteriak dan mereka bergulingan meloncat bangun, pucat dan gemetar menjadi satu maka Beng Kong melambaikan tangannya dan menyuruh orang-orang itu maju lagi. Hebat!

"Ayo, jangan terlalu lama. Pinceng masih di sini dan akan tetap di kursi ini!”

Kiam Ting Sianjin pucat. Setelah gebrakan pertama dirasakan sendiri dan ia merasa langsung tangkisan hwesio itu, kuat menggetarkan maka tosu ini terkejut dan berubah mukanya. Sekarang ia tahu kenapa Hoa-san Sin-jit begitu mudah dibuat terpelanting. Kiranya tenaga hwesio ini memang hebat, sinkangnya luar biasa! Tapi karena ia belum kalah dan gebrakan pertama itu harus diikuti gebrakan-gebrakan berikut, ia tak boleh menyerah begitu saja maka tosu ini membentak dan maju lagi. Hek-tosu dan enam saudaranya juga membentak dan menerjang marah. Tiga kali mereka dibuat malu.

Maka melengking dan berseru keras Tujuh Malaikat Hoasan itu menyerang lagi, melotot dan hampir keluar dari tempatnya karena mereka mendengar tepuk riuh dan sorak murid-murid Go-bi. Ini keterlaluan! Tapi ketika Beng Kong Hwesio kembali mengebutkan lengan bajunya dan delapan pedang terpental, masing-masing mengeluh dan mendesis kesakitan maka Hoa- san Sin-jit maupun Kiam Ting Sianjin tak mampu memisahkan Beng Kong Hwesio dari kursinya.

"Plak-plak-plakk!"

Delapan orang itu terhuyung dan jatuh bangun. Mereka dipaksa bertahan keras agar pedang di tangan tidak sampai terlepas. Tangkisan atau kebutan lengan baju terasa makin hebat saja, setiap menangkis tentu bertambah tenaganya. Dan ketika Hek-tosu berseru agar adik-adiknya tidak beradu tenaga, sebisa mungkin menghindarkan adu sinkang maka Tujuh Malaikat Hoa-san itu berkelebatan dan menusuk atau membabat dari belakang dan kiri kanan, tidak berdepan lagi.

“Ha-ha!” Beng Kong Hwesio tertawa bergelak. “Kalian cerdik, Hek-tosu, tapi tak apa menyerang dari belakang dan kiri kanan. Pinceng tak takut!"

Tosu itu merah mukanya. Secara tidak langsung ia telah dikata curang, karena ia tak mau menyerang dari depan. Tapi karena ia tak usah perduli dan ejekan atau sorak murid- murid Go-bi juga tak perlu dihiraukan maka tosu ini menerjang kembali dan enam saudaranya juga bergerak sambil menutup telinga. Mereka telah berada di sarang macan, biarlah mampus kalau mau mampus. Dan ketika Tujuh Malaikat Hoa-san itu menerjang dan tak perduli kanan kiri, Kiam Ting Sianjin juga memekik dan menggerakkan pedangnya maka sama seperti Tujuh Malaikat Hoa-san itu tosu dari Kun-lun ini juga tak mau beradu dari depan dan menyerang dari kiri kanan atau belakang.

“Ha-ha, hebat sekali. Tokoh-tokoh Hoa-san dan Kun-lun suka menyerang dari belakang!" Beng Kong, yang tidak takut dan tertawa bergelak justeru mengejek habis-habisan. Ia memutar kursinya dan begitu bergerak ia pun menghadapi lawan-lawannya lagi. Mau tidak mau siapapun harus berdepan dengannya. Dan ketika kebutan kembali menyambar dan tosu- tosu itu menjerit maka Kiam Ting terpelanting sementara orang termuda dari Tujuh Malaikat menggelepar.

"Des-dess!"

Beng Kong Hwesio mulai memberi pelajaran. Ia terbahak menangkis delapan serangan dan lawan-lawanpun dibuat menjerit oleh tangkisannya. Orang termuda tak tahan dan langsung terbanting. Dan ketika Hoa-san Sin- jit terkejut karena adik mereka termuda itu tak bangun kembali, entah pingsan atau mati maka mereka terkejut dan berteriak nyaring.

"Beng Kong, kau boleh bunuh kami semua!”

"Benar," Kiam Ting juga marah. “Pinto pun siap mampus, Beng Kong Hwesio. Lebih baik mati daripada dihina!”

"Ha-ha, aku tak akan membunuh," Beng Kong Hwesio tertawa berderai. "Watak welas asihku sedang timbul, Kiam Ting Sianjin. Buddha tak akan mengampuni aku kalau gampang membunuh orang. Pinceng hanya akan merobohkan, dan setelah itu kalian tunduk...plak-plak-plak!"

Beng Kong Hwesio yang melakukan tujuh tangkisan cepat, memutar kursinya hingga lawan tak dapat membokong akhirnya membuat Tujuh Malaikat dan Kiam Ting Sianjin terbanting. Mereka tadi menyerang lagi tapi hwesio tinggi besar ini benar-benar luar biasa, diserang dari manapun ia tetap dapat menangkis. Dan ketika satu per satu roboh menerima tamparannya, sinkang atau tenaga sakti hwesio itu memang luar biasa maka semua pedang mencelat dan masing-masing merintih memegangi tangan mereka. Beng Kong sudah menyelesaikan pekerjaannya!

"Ha-ha, cukup. Pinceng sudah membuktikan kelihaian pinceng!"

Tujuh orang itu merintih. Kiam Ting pucat mukanya karena pergelangannya terkilir. Ang-tosu dan Pek-tosu juga mengalami hal yang sama. Dan ketika Hek-tosu juga mengerang karena siku kanannya meleset, keluar dari persendiannya maka Beng Kong bangkit dan tampaklah betapa gagah dan tinggi besarnya hwesio ini.

“Nah,” hwesio itu tertawa. “Kalian dari Kun-lun dan Hoa-san telah roboh di tangan pinceng, Kiam Ting Sianjin. Kalau kalian mau menyerah baik-baik tentu pinceng mengampuni. Nah, bagaimana?"

"Apa maksudmu?" Hek-tosu membentak. “Kami sudah kalah dan boleh bunuh kalau mau bunuh, Beng Kong Hwesio. Tapi seluruh murid Hoa-san akan meluruk ke sini dan sahabat- sahabat kami tentu juga akan membalas dendam!"

“Hm, pinceng tak bermaksud membunuh, kalau kalian tak membuat marah pinceng. Pinceng hanya ingin kalian tunduk dan berada di bawah bendera Go-bi. Bagaimana?”

Tujuh orang itu terkejut. Di bawah Go-bi? Di bawah benderanya? Dan ketika mereka berdesir karena tiba-tiba mereka menangkap sesuatu di balik omongan ini, sebuah ambisi yang agaknya siap meletup maka Hek-tosu tertegun tapi tiba-tiba dia menggeleng. "Beng Kong, tak mungkin. Kami masing-masing partai memiliki daulat sendiri-sendiri. Kau terlalu mengimpi kalau ingin Hoa-san dan Kun-lun bernaung di bawah bendera Go-bi. Kau gila!"

"Benar," Kiam Ting juga berseru. "Di pihak kami ada arwah-arwah leluhur, Beng Kong Hwesio, sama seperti di pihak Go-bi yang juga mempunyai cikal-bakal dan sesepuh. Masing- masing tak mungkin mau tunduk di bawah bendera yang lain!"

“Hm, tapi kalian telah roboh di tangan pinceng. Pinceng telah mengalahkan kalian!”

"Kami memang kalah, dan kami pasti menyerah. Tapi jangan bawa-bawa nama partai karena kekalahan kami sebagai pribadi!"

"Hm, kalau begitu kalian menolak?"

"Kami telah kalah, dan kami menerima kekalahan kami dengan jantan. Mau bunuh silahkan bunuh, tak usah banyak cakap!" Hek- tosu yang berangasan dan naik darah oleh sikunya yang meleset membentak dan memaki-maki hwesio itu. Seketika dia tahu bahwa Beng Kong Hwesio hendak merajai dunia. Kiranya Go-bi akan dibawa untuk menundukkan atau menghancurkan partai- partai lain. Hek-tosu gusar. Tapi ketika Beng Kong mengerutkan kening dan sinar mata tajam berkilat dari pandangannya, nafsu membunuh muncul mendadak satu dari Pat- kwa-hwesio berseru,

"To Hak Cinjin hilang!"

Beng Kong terkejut. Perhatian dan matanya yang tadi menyambar Hek-tosu sekonyong- konyong beralih dan menyambar ke kiri. Tadi ketua Heng-san-pai itu menggeletak di situ dan kini tiba-tiba lenyap, tentu saja ia terkejut dan anak-anak murid Go-bipun berseru keheranan karena tak ada orang lain masuk ke situ. Tubuh ketua Heng-san itu pingsan di tengah-tengah ruangan dan siapapun tentu melihat kalau ada seseorang mengambil. Tapi begitu sang tosu tak ada dan mereka menjadi keheranan, bagaimana tosu itu bisa lenyap di depan mata demikian banyak orang tiba-tiba Beng Kong Hwesio mendongak dan berseru, matanya menyambar bagai elang.

"Siang Kek Cinjin, Siang Lam Cinjin, harap turun dan tak usah menakut-nakuti murid-murid Go-bi. Kalian ada di atas dan silahkan turun. Pinceng sudah tahu!"

"Hmmmm...!” sebuah suara panjang terdengar bergema, hebat menggetarkan. "Kau hebat, Beng Kong Hwesio, tapi kau tetap anak kecil bagi kami... slap!”

Dua kakek muka putih dan merah yang tiba-tiba muncul di situ bagaikan iblis sekonyong-konyong membuat anak murid Go-bi-pai berseru tertahan. Mereka tahu-tahu melihat dua kakek renta berdiri di situ, matanya meram-melek tapi seorang di antaranya memondong Heng-san-paicu (ketua) Heng-san. Itulah To Hak Cinjin yang hilang! Dan ketika mereka terkejut tapi Hek-tosu dan kawan-kawannya justeru girang luar biasa, inilah kakek yang ditunggu-tunggu maka kakek muka putih tiba-tiba mengebutkan lengan bajunya dan Jit-tosu atau rang termuda dari Hoa-san Sin-jit melejit ke arahnya, disambar dan ditangkap. Bagai sihir!

"Siancai, hwesio ini mematahkan tulang iganya. Kita harus mencari Ji Leng Hwesio atau menghajar muridnya ini!"

Beng Kong terkejut. Jit-tosu, tosu termuda dari Tujuh Malaikat tahu-tahu sudah dibawa dan diperiksa kakek muka putih itu. Inilah Siang Kek Cinjin sementara kakek muka merah mendengus dan mengurut-urut To Hak Cinjin, yang pingsan tapi kini mulai membuka matanya. Dan ketika kakek itu melempar dan To Hak Cinjin berjungkir balik turun, sadar, maka tosu itu berseru girang melihat supek dan susioknya ini.

"Supek... susiok!”

"Hm!" kakek muka merah menjawab dingin, setengah membentak. “Kau memalukan pinto, To Hak. Masa segebrakan saja roboh!"

"Aku... aku...”

"Maju kembali. Pinto akan menonton dan hadapi lawanmu!"

"Susiok!”

Namun kakek muka merah menggerakkan tangannya. To Hak Cinjin yang baru saja bicara tahu-tahu terlempar dan melayang ke arah Beng Kong Hwesio, tosu itu terkejut dan Beng Kong Hwesio sendiri tentu saja juga kaget. Dan ketika To Hak Cinjin berteriak dan meluncur kearah lawan, Beng Kong terbelalak dan berseru keras tahu-tahu sepasang lengan To Hak Cinjin menghantam mukanya.

“Dess!” Beng Kong Hwesio tentu saja menangkis marah. To Hak yang baru sadar dan sembuh dari lukanya tiba-tiba sudah menyerang dan menghantam dahsyat. Dari kedua lengan tosu itu menyambar pukulan kuat dan Beng Kong terkejut. Pukulan itu membuat ujung bajunya berkibar. Dan ketika ia menangkis tapi terhuyung, To Hak terpental tapi aneh bin ajaib tosu itu tidak apa-apa, mengherankan sekali maka tosu itu tertawa bergelak dan roman girang atau kesenangan yang sangat menyelubungi wajahnya.

“Ha-ha, aku tak apa-apa, susiok. Lempar dan berikan aku lagi kepadanya!"

Kakek muka merah berseri. Ia yang tadi melempar dan menepuk pundak murid keponakannya tiba-tiba menyambar dan melempar lagi ketua Heng-san-pai itu. Tak ada yang tahu betapa cahaya lweekang berkelebat dari telapak kakek ini, masuk dan menembus pundak To Hak Cinjin dan dengan lweekang atau tenaga dalam itulah To Hak Cinjin melepas pukulan.

Beng Kong merasa terkejut karena angin atau sambaran pukulan tosu ini lain daripada tadi, ketika ia terlempar dan roboh dalam sekali gebrak. Dan begitu ia menangkis dan tenaga yang amat kuatnya membuat kuda-kudanya bergetar, ia terhuyung sementara lawan terpental berjungkir balik maka waspadalah hwesio ini bahwa To Hak Cinjin sudah kemasukan tenaga sakti. Dan ia akhirnya melihat tepukan yang bercahaya lweekang itu, ketika lawan dilempar dan minta dilontarkan ke arahnya.

“Hm!” Beng Kong Hwesio mendengus, muka seketika berubah. “Kau tua bangka tak tahu malu, Siang Lam Cinjin. Kalau kau mau mempergunakan orang lain untuk menyerang aku maka pinceng khawatir murid keponakanmu ini bakal mampus!"

Kakek muka merah tak perduli. Ia sudah mencengkeram dan melempar kembali murid keponakannya itu. To Hak tampak kegirangan karena seluruh tubuhnya tiba-tiba menggelembung. Itulah hawa sakti pemberian susioknya. Ia ditepuk dan dimasuki hawa sinkang. Dan ketika tosu itu membentak dan menghantam muka Beng Kong Hwesio, untuk kedua kalinya ia diberi kesempatan maka To Hak mengerahkan semua tenaganya dan Beng Kong menjadi marah karena tahu-tahu kaki dan seluruh mukanya menjadi dingin.

"Keparat!" hwesio itu merunduk dan menekuk lututnya separuh. "Kau minta mampus, To Hak Cinjin. Tapi pinto akan mengantarmu kepada susiokmu lagi... dess!" dan To Hak yang berteriak karena mendapat sambutan keras lawan keras tiba-tiba menjerit dan tak tahan oleh tangkisan lawan.

Beng Kong Hwesio menambah tenaganya pula dan Siang Lam Cinjin berubah. Ia tak menyangka bahwa dari lengan hwesio itu menyambar pula cahaya putih yang menyambut pukulan murid keponakannya. Dan ketika To Hak menjerit dan terlempar bagai layang-layang putus, menabrak atau menghantam tembok maka kakek ini berkelebat dan tiba-tiba menggerakkan lengan baju menangkap atau menerima tubuh murid keponakannya itu.

"Bress!” To Hak patah tulang punggungnya. Tosu itu mengeluh dan tiba-tiba roboh di tangan susioknya. Siang Lam telah menangkap tapi tetap saja muridnya celaka, To Hak pingsan, muntah darah. Dan ketika kakek itu terkejut karena muridnya akan menjadi orang cacad, punggungnya patah dan tertekuk menjadi dua maka Siang Kek Cinjin berseru keras dan kakek muka putih ini berkelebat.

“Siancai, sungguh binatang!"

Murid Go-bi tergetar. Mereka melihat Siang Kek tiba-tiba mengetukkan tongkatnya ke lantai, membentak dan marah melihat keadaan To Hak Cinjin dan lantai tiba-tiba berasap. Dari lubang yang ditusuk ujung tongkat keluar ledakan. Bunga api muncrat dan suara bagai petir keluar dari lubang yang ditusuk tongkat itu. Namun ketika asap lenyap dan Beng Kong Hwesio tertawa bergelak, mengebut dan api yang muncratpun padam maka murid-murid Go-bi bersorak karena ketua mereka itu rupanya dapat menghadapi dua kakek-kakek lihai ini.

“Ha-ha, salahmu sendiri!" hwesio tinggi besar itu tertawa. "Kau mengirim anak-anak yang tidak patut đikirim, Siang Lam Cinjin. Kalau To Hak tidak mampus karena kau tolong maka ia akan menjadi orang cacad seumur hidup!”

“Kau manusia binatang!" kakek itu mendelik, matanya tidak meram melek lagi. "Kau harus menerima pelajaran, Beng Kong Hwesio. Pinto akan menghukummu dan biar Ji Leng berhadapan dengan pinto kalau ia tidak terima!"

Tongkat bergerak, cepat menyambar dan tahu-tahu dari ujung tongkat melesat sinar putih. Siang Kek kaget dan marah bahwa untuk kedua kalinya lagi To Hak Cinjin mengalami luka-luka. Bahkan, yang ini lebih berat karena punggungnya patah. Dan karena ia maklum bahwa murid keponakannya akan cacad, punggung itu tak mungkin diperbaiki lagi maka iapun menyerang dan tujuh murid Go-bi yang ada dibelakang hwesio itu mencelat dan terbang dibawa angin pukulannya.

"Heiii....!” Beng Kong Hwesio juga berseru keras. Ia terkejut karena dari depan menyambar sinar putih yang amat panas itu, sinarnya mendahului dan tentu saja ia tahu pukulan berbahaya. Tapi ketika ia cepat mengangkat lengan jubah dan membentak melepas tenaganya maka dentuman maha dahsyat mengguncang tempat itu. Beng Kong mengerahkan tenaga saktinya melawan tenaga sakti sesepuh Heng-san.

“Blaarrr...!”

Beng Kong Hwesio mencelat terlempar. Hwesio ini tak tahan dan terbawa oleh angin pukulan lawan yang amat kuatnya, benar- benar kuat karena genting dan dinding ruangan tiba-tiba roboh. Namun ketika hwesio itu berjungkir balik dan turun dengan seruan panjang, kagum dan rasa marahnya menjadi satu maka anak-anak Go-bi terlempar dan beterbangan oleh angin pukulan sesepuh Heng-san itu, bagai layang-layang putus.

"Aduh...!”

“Mati aku!"

Beng Kong Hwesio terbelalak. Dinding dan atap yang roboh benar-benar mengejutkan semuanya. Yang tidak sempat menghindar menjadi korban dan tigapuluh lebih murid-murid Go-bi merintih. Yang lain, entah hidup atau mati, bergelimpangan tak keruan oleh adu pukulan dahsyat itu. Dan ketika Beng Kong Hwesio melotot dan gusar, Siang Kek Cinjin benar-benar luar biasa iapun menggeram dan melompat maju, rasa kaget atau tersentaknya sudah hilang, terganti oleh rasa marah yang besar.

"Siang Kek Cinjin, kau tua bangka tak tahu diri. Ada apa kau mencelakai murid-murid rendahan dan pamer sinkang di sini. Jangan kaukira takut karena pinceng akan membalasmu!"

“Hm, kau mengagumkan," kakek renta ini berkedip-kedip, diam-diam kaget dan juga kagum bahwa lawannya dapat selamat, padahal tadi terlempar dan mencelat tinggi. "Kau rupanya sudah mewarisi kepandaian rahasia gurumu, Beng Kong Hwesio. Dan ini kiranya inti rahasia kitab Bu-tek-cin-keng. Siancai, pinto jadi ingin lebih tahu lagi!"

"Kau keparat tua bangka. Aku tak akan memaafkanmu dan sekarang kau terima balasan pinceng, awas...!” dan Beng Kong Hwesio yang berkelebat dan menyambar bagai burung besar tahu-tahu melepas pukulan dan ganti membalas tosu itu....