Prahara Di Gurun Gobi Jilid 09

Cerita Silat Mandarin Serial Bu-beng Sian-su episode Prahara Di Gurun Gobi Jilid 09 karya Batara
Sonny Ogawa
Cerita Silat Mandarin Serial Prahara Di Gurun Gobi Karya Batara

“HA-HA, itu milikku!"

“Tidak, itu punyaku!"

Dan ketika senjata atau pukulan saling beradu kuat, Coa-ong maupun yang lain sudah bergerak menghantam yang terdekat maka semuanya terpental dan kitab jatuh di tanah. Jin-mo yang bersenjata panjang mendengus mempergunakan kesempatan ini, galahnya mencongkel dan kitab pun tahu-tahu tersontek ke arahnya. Dan karena memang hanya si Hantu Langit itu yang paling bisa, senjatanya mampu menjangkau sampai tiga meter lebih maka ketika semua terlempar ke kiri kanan si iblis tinggi kurus itupun sudah menyambar kitab dan melarikan diri.

"Heiii....!” Jin-mo masuk hutan. "Awas kawan-kawan, dia lari mau menyembunyikan diri!"

Jin-mo dikejar dan tentu saja tak boleh memasuki hutan. Kwi-bun dan isterinya sudah bergerak saling dahulu-mendahului untuk menghadang atau menyerang si setan galah itu. Si Pintu Setan menjentikkan kuku-kukunya dan menyambarlah belasan sinar-sinar hitam ke punggung lawannya. Dan ketika Jin-mo menangkis namun yang lain juga menyambarkan benda-benda kecil, Jin-touw menendang kerikil dan puluhan kerikil menghantam si setan galah itu maka Jin-mo menggeram ketika beberapa dari senjata-senjata rahasia itu mengenai tubuhnya, lawan- lawannya berkelebat dan tahu-tahu berjungkir balik menghadang di depan, mencegat.

“Jin-mo, serahkan Bu-tek-cin-keng!"

"Setan Galah, serahkan kitab itu!”

Jin-mo membentak dan marah menangkis teman-temannya. Ia sudah dihujani bacokan dan totokan ujung suling. Kapak di tangan Jin- touw malah mendesing dan hampir saja menyobek telinganya. Dan ketika ia menangkis namun galah terpental, ia memang kalah kuat maka Kwi-bo terkekeh-kekeh menjeletarkan rambutnya.

"Hi-hik, mampus kau, Jin-mo. Serahkan Bu-tek-cin-keng atau kau mampus!”

“Hah!" iblis itu berseru. "Kalian licik, Kwi-bo, Beraninya mengeroyok dan berbuat curang. Mana itu kegagahan kalian!"

“Hi-hik, siapa bertanya kegagahan? Bagaimana ketika kau dengan gagah tadi mengeroyok aku? Rasakan, ini hukumannya bagi dirimu, Jin-mo. Serahkan kitab atau kau melayang ke neraka.... tar-tar!"

Jin-mo mengelak namun rambut masih juga mengenai pipinya, tergores dan marahlah kakek itu namun ia tak mungkin menghadapi lima orang temannya. Dan ketika ia mengelak sana-sini dan menerima hajaran- hajaran senjata, mengerahkan sinkang namun kekebalannya tembus juga maka See-tok tiba- tiba muncul dan raksasa yang tadi melarikan diri itu tertawa bergelak. Kiranya tak pergi jauh!

“Ha-ha, rasakan kau, Jin-mo. Tadi enak saja menggebuk pantatku dan sekarang aku ingin membalas... dess!" tengkorak menyambar dan menghantam pantatnya, pantat tepos yang membuat iblis itu menjerit dan terlempar roboh. Dan ketika tengkorak kembali menderu-deru dan Jin-mo pucat, ia semakin berat lagi dikeroyok enam maka iblis itu tiba-tiba berseru kepada Jin-touw untuk menerima Bu-tek-cin-keng.

"Jin-touw, terima kitab ini!"

Si Pembunuh Seribu Tangan terkejut. Ia sedang enak-enaknya menghajar temannya sendiri itu ketika Bu-tek-cin-keng tiba-tiba dilempar dan diberikan kepadanya. Hal ini sungguh di luar dugaan. Tapi karena itu adalah tujuannya dan untuk Bu-tek-cin-keng siapapun siap mempertaruhkan nyawa, termasuk si Pembunuh ini maka Jin-touw menarik kapaknya dan kitab itupun ditangkap.

“Wut!" kitab sudah di tangan. Jin-touw girang tapi akibat berikutnya adalah berhentinya teman-temannya menyerang Jin-mo. Coa-ong dan lain-lain membalik menghadapi dirinya. Dan ketika ia belum memutar tubuhnya untuk menyelamatkan diri, kitab baru saja ditangkap maka Raja Ular itu membentaknya dan langsung menyambar.

“Jin-touw, serahkan kitab!"

Si Pembunuh terkejut. Ia sedang berpikir melarikan diri ketika tahu-tahu Raja Ular itu sudah mendahuluinya, disusul yang lain-lain dan Tong-si maupun Kwi-bun juga menggerakkan tusuk konde atau kuku jari mereka. Dan ketika kapak diputar namun See-tok menderu dengan tengkoraknya, raksasa itu paling girang mengeroyok Jin-touw maka senjata itu menggebuk dan tepat sekali menghantam pundak si Pembunuh ini.

“Ha-ha, aku lagi-lagi dapat membalas.... dess!" Jin-touw mencelat dan terlempar. Ia berteriak dan memaki-maki dan bergulinganlah ia menyelamatkan diri. Tapi ketika lawan-lawan sudah memburu dan Jin-mo juga terkekeh bersama galah bambunya, iblis yang tadi dikeroyok itu kini balik mengeroyok maka kapak di tangan Jin-touw tak banyak berguna karena segera iapun dihajar babak-belur oleh senjata-senjata kawan-kawannya itu.

"Aduh, mati aku... crik-des-dess!" Kwi-bun dan lain-lainnya enak saja mendaratkan serangan. Coa-ong terkekeh-kekeh dan kakek itu girang dapat melampiaskan kemarahan. Sulingnya bergerak dan kembali menotok atas telinga, menyelinap di antara putaran kapak karena Jin-touw harus menghadapi demikian banyak lawan. Dan ketika laki-laki itu pucat dan bingung mengelak sana-sini, ia tak diberi kesempatan meloncat bangun maka kemarahannya dituangkan dengan melempar kitab kepada See-tok, hal yang tak diduga raksasa itu.

"See-tok, kau terima saja kitab ini!"

See-tok terkejut dan tertegun. Ia sudah dihajar kawan-kawannya dalam memperebutkan Bu-tek-cin-keng ini, ketika tadi ia membela Kwi-bo. Dan ketika kitab datang dan ia menerima, tentu saja otomatis maka kawan-kawannya membalik dan raksasa tinggi besar itu gentar, ganti melemparkannya kepada Coa-ong! “Aku tak berani, biar saja Coa-ong!"

Si Raja Ular terkejut. Ia juga tak menduga bahwa See-tok tiba-tiba melempar kitab yang baru saja diterimanya. Jin-touw sudah melompat bangun di sana dan menyeringai keji. Bukanlah kebaikannya kalau ia memberikan kitab kepada See-tok. Justeru si Racun Dari Barat itu bakal menemui bencana kalau menerima kitab. Dan ketika kitab dilempar kepada Coa-ong dan Racun Dari Barat itu tak berani menerimanya, Jin-touw kecewa karena berarti tak dapat membalas sakit hati maka Coa-ong yang menangkap dan menerima kitab ini tiba-tiba terkekeh dan coba melarikan diri memasuki hutan.

"Heh-heh, biar kupinjam sebentar!"

Namun nasibnya sama dengan teman-temannya tadi. Begitu ia memutar tubuh dan mau pergi maka Jin-mo dan Tong-si sudah menghadangnya, langsung menyerang dan sibuklah kakek itu menangkis sana-sini. Dan ketika yang lain-lain maju dan ia kewalahan, Coa-ong gentar maka si Raja Ular itu melempar kitab kepada Kwi-bun, yang selama ini belum mencicipi memegang kitab, karena isterinya tadi yang menyimpan. "Kwi-bun kau saja!"

Namun Kwi-bun melemparkannya kepada sang isteri. Tong-si menangkap tapi tak berani lama-lama, membentak berseru kepada Kwi-bo agar menerima kitab itu. Dan ketika Kwi-bo terkekeh tapi melempar kembali kitab kepada Jin-mo, yang melempar dan memberikannya kepada yang lain maka jadilah Bu-tek-cin-keng itu berpindah-pindah dari satu tangan ke tangan yang lain di udara!

"Hi-hik, aku tak mau menjadi korban. Biar nanti saja kalau sudah ada yang mengalah!”

“Benar,” Jin-mo juga berseru dan melemparkannya kepada yang lain, kapok! "Aku juga belum bergairah, Kwi-bo. Biar nanti saja kalau sudah ada yang tidak mengejar-ngejar aku!"

“Ha-ha, aku juga tak mau. Biar yang lain mampus dulu dan silahkan yang lain!"

Begitulah, kitab berputar-putar dari satu orang ke orang yang lain. Bu-tek-cin-keng melejit berpindah-pindah dengan cara menggelikan di udara. Mereka yang tadi bernafsu untuk menguasai tiba-tiba saja sekarang tak berani menerima, kalau belum ada yang roboh. Dan karena masing-masing tak mau menjadi korban dan Cian-jiu-jin-touw tertawa bergelak, dialah yang paling periang di antara semuanya maka tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan didahului oleh pekik atau bentakan mengguntur.

"Pinceng lebih berhak akan kitab ini!" dan Bu-tek-cin-keng yang disambar atau ditangkap bayangan ini, yang bukan lain Ji Beng Hwesio adanya tiba-tiba sudah membuat tujuh tokoh sesat itu terkejut dan berlompatan mundur. Mereka dikibas oleh serangkum angin dahsyat dan masing-masing terhuyung. Ji Beng Hwesio telah menangkap atau merampas kitab itu dengan amat cepatnya.

Gerakannya demikian luar biasa dan Tujuh Siluman Langit itu tak menyangka kedatangan wakil Go-bi ini, tertegun dan berubah mukanya namun tiba-tiba mereka terkekeh. Kiranya saling cekcok di antara mereka telah membuat hwesio itu mampu mengejar, kini merah padam memegang tongkat dan hwesio tua itu tampak menggigil. la marah bukan main karena ditipu Tong-si. Dan ketika ia membalik dan membentak siluman wanita itu, Tong-si terkejut dan berubah mukanya maka pukulan Thai-san-ap-ting menyambar wanita ini dan Tong-si mencelat kaget.

“Pinceng kau tipu!"

Tong-si mengelak. Ia kaget ketika tahu-tahu pukulan itu menghantamnya. Sang hwesio tampak demikian marah dan ia maklum apa penyebabnya, bukan lain karena Bu-tek-cin- keng itu. Dan ketika ia mengelak namun pukulan tetap mengejar, wanita ini berteriak maka Kwi-bun, suaminya, maju membantu.

"Dess!" Dua-duanya terlempar. Ji Beng bagai harimau beringas yang meskipun tua tapi gigi-giginya masih utuh, menghajar dan berkelebat menyusul Tong-si lagi namun wanita itu melepas jarum-jarum beracun. Dan ketika Ji Beng mengebut dan jarum-jarum terpental berhamburan, menyambar atau menyerang Coa-ong dan kawan-kawannya maka lima siluman yang lain menjadi marah dan See-tok sudah memberi aba-aba untuk menyerbu. Suaranya menggeledek bagai suara si hwesio tua.

"Hantam hwesio ini. Bunuh dia!”

Tujuh Siluman Langit tiba-tiba bersatu. Mereka itu tiba-tiba menerjang Ji Beng Hwesio dan wakil Go-bi yang sakti dan lihai ini dikeroyok. Dan ketika Ji Beng memutar ujung lengan jubahnya dan pukulan Thai-san-ap-ting menangkis semua serangan itu, terpental dan lawan-lawannya berteriak kaget maka hwesio ini sudah mengamuk dan balas menyerang mereka.

"Pinceng kalian perdayai. Pinceng kalian permainkan. Ah, pinceng tak akan mengampuni dan hari ini pinceng akan membunuh!”

Hebat sepak terjang hwesio itu. Kemarahannya yang meletup-letup dan minta jalan keluar sudah dilampiaskannya dengan pukulan- pukulan lengan baju. Jubah hwesio ini mengeras dan tidak ada satu senjatapun yang tak berani ditangkisnya. Mulai dari suling di tangan Coa-ong sampai kepada kapak berkilau di tangan Cian-jiu-jin-touw itu. 

Semua ditangkis dan terpental dari tangan pemiliknya. Dan ketika hwesio sakti ini juga mengeluarkan ilmu temboknya, Cui-pek-po-kian maka lawan tak dapat menembus tubuhnya karena gulungan atau hawa sakti dari ilmu tembok itu membungkus tubuh si hwesio!

“Hebat, luar biasa sekali. Keledai gundul ini seperti harimau kelaparan!"

"Tidak, bukan kelaparan, Coa-ong, tapi seperti harimau haus darah. Lihat, ia mencorong dan matanya tak berkedip-kedip memandang kita!"

"Bukan kita, tetapi Tong-si!" dan ketika iblis wanita itu pucat karena lawan memang lebih memandangnya daripada yang lain, Kwi-bun sendiri sampai ngeri dan seram perasaannya maka Ji Beng sudah berkelebatan dan naik turun mengelilingi mereka. Pukulan-pukulan Thai-san-ap-tingnya semakin dahsyat!

"Pinceng akan membunuh, hari ini pinceng akan membunuh!"

Semua mengkirik. Tujuh Siluman Langit yang terdorong dan selalu terpental bertemu ujung lengan jubah hwesio itu menjadi ngeri dan takut. Lain Ji Beng Hwesio yang tadi lain Ji Beng Hwesio yang sekarang. Sekarang hwesio ini seperti singa kelaparan atau haus darah yang demikian penuh benci memandang mereka. Mereka maklum apa yang menyebabkan itu karena mereka memang telah mempermainkan hwesio ini, terutama Tong-si.

Dan ketika kepada iblis wanita itu hwesio ini lebih melancarkan serangan gencar, Tong-si pucat dan gentar tak keruan maka Ji Beng menerima pukulan-pukulan semua temannya untuk tetap dapat mengejar dan menghantamnya dengan pukulan Thai-san-ap-ting itu. Hwesio Go-bi ini seperti gila.

“Tolongg...!”

Kwi-bun terkejut. la sedang menusuk bola mata hwesio itu dengan kesepuluh kuku-kuku jarinya yang berbahaya. Sang hwesio tidak berkedip kecuali membuang kepala sedikit, dahi tergores dan tidak apa-apa. Dan ketika galah maupun kapak juga bak-bik-buk menghantam hwesio ini, terpental, maka Tong-si menjerit ketika ia berusaha menangkis Thai-san-ap-ting namun pundaknya terpukul juga.

"Krakk-aduh...!" Tong-si menjerit dan terlempar. Iblis wanita ini tak kuasa menahan sendirian dan pundaknyapun hancur. Ujung lengan jubah yang memukul dengan amat telak itu tak kuasa dilindungi sinkangnya pula. Tong-si mencelat dan roboh di sana, tusuk kondenyapun hancur! Dan ketika yang lain menjadi pucat dan gentar, satu di antara Tujuh Siluman langit roboh maka Kwi-bun melengking dan tiba-tiba dari kesepuluh kuku jarinya menyambar jarum-jarum kecil ke mata dan mulut hwesio ini.

"Crep-crep-crep!" hwesio itu mendengus dan menerima semua jarum dengan mulutnya. Sambaran ke mata disedot dan tiba-tiba semua jarum ke arah mulut. Kwi-bun yang hendak mencelakai si hwesio tiba-tiba dibuat terbelalak karena tak ada satu pun jarumnya yang runtuh. Semuanya masuk atau menyambar mulut hwesio itu, yang dibuka lebar-lebar. Dan ketika jarum ditelan dan mulut dikatup, Kwi-bun tersentak maka Ji Beng membentak dan jarum-jarum yang tadi dikunyah atau dikeremus hancur di dalam mulut hwesio ini tiba-tiba dihamburkan atau disemprotkan ke segala penjuru. Ji Beng Hwesio bagai orang kesetanan!

"Pinceng akan membunuh. Kalian semua akan pinceng binasakan!"

Kwi-bun dan lain-lain kaget bukan main. Mereka ngeri melihat keberingasan wakil Go-bi ini. Ji Beng Hwesio seperti orang kalap. Dan ketika mereka mengelak namun ratusan jarum hancur menyebar ke segala penjuru, jarum itu telah dikunyah atau dilumatkan hwesio ini maka Coa-ong dan kawan-kawan menjerit ketika hamburan jarum-jarum halus itu menancap dan melukai tubuh mereka. Coa-ong bahkan mengaduh-aduh ketika satu jarum menancap di kelopak matanya.

“Aduh, hwesio edan. Ji Beng Hwesio keledai kesetanan!” Tujuh Siluman Langit itu kalang-kabut. Mereka benar-benar tak menyangka kedahsyatan hwesio ini, amukannya yang amat nggegirisi dan tentu saja membuat mereka takut gentar. Dan ketika mereka melempar tubuh bergulingan dan Coa-ong serta kawan-kawan melihat ancaman bahaya, hwesio itu benar-benar akan membunuh mereka maka wakil Go-bi ini mengejar dan Kwi-bo yang pertama membuat onar dikebut atau dihantam dengan ujung lengan bajunya.

"Prat!" Kwi-bo memekik. Ia merasa remuk tulang pinggulnya dihantam ujung jubah hwesio yang sedang marah besar itu. Ia mau meloncat bangun ketika tiba-tiba ujung jubah itu meledak. Dan ketika ia roboh dan kembali terguling-guling, keadaan sungguh berbahaya maka iblis wanita ini tiba-tiba melempar granat tangan dan Ji Beng Hwesio terkejut ketika mendengar ledakan.

"Dar!"

Hwesio itu mengelak dan menyampokkan lengan bajunya. la terpaksa mundur tapi tiba- tiba dari kiri dan kanan terdengar ledakan- ledakan lagi. Tujuh Siluman Langit tiba-tiba teringat granat-granat tangan yang biasa mereka miliki, seperti milik Kwi-bo tapi bentuk atau warnanya saja yang berbeda. Dan ketika masing-masing melepas itu dan si hwesio dikepung asap tebal, sebentar kemudian tertutup pandangannya maka Coa-ong berteriak pada teman-temannya agar lari.

"Mundur, hwesio ini berbahaya. Semua pergi!"

Tujuh Siluman Langit bergerak. Mereka mengangguk dengan muka gentar melihat kehebatan atau kesaktian hwesio Go-bi ini. Dulu hwesio itu tidaklah sehebat sekarang karena dulu mereka imbang dengan Ji Beng Hwesio ataupun ketua-ketua persilatan yang lain, baik Hoa-san maupun Kun-lun atau Heng-san. Tapi begitu semuanya sadar dan Kwi-bun sudah menyambar isterinya untuk dibawa lari, masing-masing bergerak dan menyelamatkan diri maka Ji Beng Hwesio yang terkurung atau tertutup asap hitam tiba-tiba menjejakkan kakinya dan melompat ke atas tinggi sekali.

Orang akan terkejut melihat gerakan hwesio ini, mumbul dan tahu-tahu sudah di puncak pohon yang amat tinggi. Dan ketika ia menggigit memandang kiri kanan namun merobek bungkusan hitam yang didapatnya dari Tujuh Siluman Langit, Bu-tek-cin-keng yang dicari-cari maka hwesio itu tiba-tiba melotot lebar karena yang jatuh adalah serpihan kertas kecil-kecil berbentuk segi empat, bukan Bu-tek-cin-keng.

"Keparat!" hwesio itu menggelegar dengan suara menggetarkan. "Jahanam kalian, Jit-mo Thian-it. Bu-tek-cin-keng yang kalian bawa ini bukan Bu-tek-cin-keng!" lalu menyambar dan turun seperti burung.

Coa-ong dan kawan-kawannya kaget karena berpelantingan oleh suara si hwesio yang bagai letusan gunung maka tahu-tahu hwesio itu sudah di depan mereka lagi dan mengamuk!

"Pinceng kalian tipu. Pinceng kalian permainkan. Ah, pinceng tak akan mengampuni kalian dan mana itu kitab Bu-tek-cin-keng?"

Coa-ong dan lain-lain kaget setengah mati. Mereka sudah bergerak untuk melarikan diri ketika tahu-tahu hwesio itu muncul, membentak dan suaranya bagai gunung menggelegar yang membuat tanah yang mereka injak berderak-derak. Tempat itu tiba-tiba bagai diserang letusan gunung dan gempa bumi. Lawan mengamuk lagi dengan amat marahnya. Dan ketika Thai-san-ap-ting kembali menyambar dan mereka dibuat jungkir balik, pukulan demi pukulan bertubi-tubi menghantam mereka maka Coa-ong dan kawan-kawan tertegun melihat hwesio itu membuang bungkusan hitam yang isinya serpihan-serpihan kertas itu. Bukan Bu-tek-cin-keng!

"Ah, apa yang terjadi? Bagaimana bungkusan itu bukan terisi kitab?"

"Benar, apa yang terjadi, Coa-ong. Bagaimana Bu-tek-cin-keng tidak ada?"

"Kita tertipu. Jangan-jangan ditukar Tong-si!”

"Keparat!" Kwi-bun membentak dan membela isterinya. "Bungkusan itu bukan pertama-tama jatuh di tangan isteriku, Jin-touw. Bungkusan itu berpindah-pindah dari tangan See-tok dan lain-lain. Sewaktu di Go-bi kita berempatlah yang membawa secara bergilir. Jangan-jangan kaulah pencurinya!”

"Tutup mulutmu!" si Pembunuh menjadi marah. "Kau dan aku sama-sama tahu gerak-gerik masing-masing, Kwi-bun. Jangan-jangan isterimu yang licik itu yang telah menipu kita. Dia menukar Bu-tek-cin-keng dengan serpihan kertas!"

"Kalau ia menipu tak mungkin mau mempertahankan bungkusan itu sampai dihajar babak-belur oleh kalian. Tutup mulutmu!"

“Tapi....”

“Tapi apalagi? Justeru kaulah yang kucurigai menukarnya, Jin-touw. Kau licik dan biasanya banyak akal. Kau berpura-pura menuduh orang lain pencuri tapi kau sendiri pencurinya!"

"Keparat!" si Pembunuh naik darahnya. “Jaga mulutmu, Kwi-bun. Atau kupecahkan kepalamu!”

"Sudah... sudah!" Jin-mo dan Coa-ong membentak teman-temannya itu. "Kita sekarang menghadapi hwesio yang mengamuk ini, Jin-touw. Nanti saja dibicarakan lagi dan lihat pukulannya... dess!"

Jin-touw mencelat oleh kelengahannya sekejap, terlempar oleh pukulan Thai-san-ap-ting dan mengeluhlah laki-laki itu bergulingan menahan sakit. Dan ketika ia meloncat bangun dan Ji Beng Hwesio mendengus-dengus di sana, heran tapi tetap marah besar maka ia berkelebatan dan satu per satu dihajarnya Tujuh Siluman Langit itu. Semua kata-kata lawan didengar tapi semuanya ini bahkan menjadikan hwesio itu bertambah marah saja. Ia merasa sakit hati dan dipermaínkan habis-habisan.

Ji Beng yang biasa penyabar dan welas asih mendadak berobah bagai seekor singa buas yang kelaparan. Segala ajaran agama tak diingatnya lagi dalam saat seperti itu karena yang ada ialah membunuh dan membunuh. Ia merasa dipermainkan habis-habisan oleh tujuh orang lawannya ini. Tong-si masih menggeletak dan tak jadi dibawa suaminya, Kwi-bun sibuk mengelak atau menangkis pukulan-pukulan si hwesio.

Dan ketika Tujuh Siluman Langit itu tunggang-langgang dan satu demi satu senjata mereka patah-patah, si hwesio sebaliknya demikian kuat dan liat maka mereka yang hendak melarikan diri menjadi putus asa karena putaran ujung lengan baju hwesio itu telah menyedot atau menarik mereka untuk tetap berkumpul di tengah, tak dapat keluar.

"Celaka, mati kita. Hwesio ini kalap!”

"Benar, tamatlah riwayat Tujuh Siluman Langit, Jin-mo. Tapi kita harus juga mampu membunuhnya untuk pengantar ke dasar neraka!”

"Ia terlalu hebat, lengan jubahnya mengeluarkan kesaktian bergulung-gulung...!”

"Ah, aku juga putus asa, Jin-mo. Tapi kita masih punya granat tangan. Lepaskan itu dan kita mati sampyuh!”

Jin-mo dan lain-lain mengangguk. Kehebatan Ji Beng Hwesio sudah tak tertandingi lagi dan mereka mengecil harapannya. Hwesio itu terlampau sakti dan diam-diam mereka kagum bukan main. Ini tentu berkat Bu-tek-cin-keng. Tapi ketika mereka mengeluarkan granat tangan dan melempar ke hwesio itu, dikebut dan terbawa gulungan hawa berputar tiba-tiba semuanya tersedot dan granat-granat tangan itu tertangkap si hwesio.

"Habiskan semua senjata ledak kalian. Pinceng akan menerimanya!”

Enam orang itu pucat. Mereka mencoba lagi namun lagi-lagi senjata itu tak mampu jatuh ke tanah. Putaran lengan baju yang seperti angin beliung menyedot atau menghisap apa saja di tempat itu. Jangankan granat, tubuh mereka sendiri terputar-putar dan hanya berkat usaha mati-matian maka mereka tak terlalu dekat dengan hwesio itu, yang tentu akan memukul pecah kepala mereka.

Dan ketika granat habis ditangkap satu per satu dan enam orang itu benar-benar putus asa, kematian sudah membayang di depan mereka maka Kwi-bo tiba-tiba berseru untuk mendekat dan melancarkan pukulan berbareng, tak perlu berusaha menarik diri dari putaran ujung lengan jubah.

"Kita mati sampyuh. Hantam dan bunuh hwesio ini!”

Semuanya setuju. Mereka tak melihat jalan lain lagi karena Ji Beng Hwesio telah mengurung mereka dengan Thai-san-ap-tingnya yang bergulung-gulung. Kesaktian hwesio itu luar biasa dan sinkangnya pun hebat sekali. Seumur hidup baru kali ini mereka berhadapan dengan orang demikian lihai, padahal masih ada Ji Leng Hwesio sang ketua Go-bi yang tentu lebih hebat lagi! 

Dan ketika semua mengangguk dan suling ataupun tengkorak patah-patah, See-tok mengeluh dan berkali-kali terbanting roboh maka tujuh... eh, enam orang ini mengeluarkan bentakan berbareng dan masing-masing menubruk ke depan menghantam hwesio itu, tidak lagi menjauh atau berusaha melepaskan diri dari gulungan pukulan sinkang.

“Dess!" Ji Beng Hwesio terkejut dan tersentak. Ia tergetar juga ketika tiba-tiba enam orang lawannya itu hendak menyatukan sinkang. Selama ini, dia belum menghadapi serangan semacam itu karena masing-masing menghindar dan bekerja sendiri-sendiri. Tak ada yang bergabung karena mereka memang orang-orang yang berwatak egois, masing-masing membela kepentingan dirinya sendiri. 

Maka begitu ia terkejut ketika tiba-tiba enam orang lawannya mengeluarkan bentakan berbareng, Kwi-bo dan lain-lain menyatukan sinkang untuk menggempur dirinya maka hwesio itu menyambut dan suara bagai gunung roboh menggelegar di tempat itu.

Ji Beng baru kali ini menghadapi enam pukulan sinkang sekaligus. Dari depan dan kiri kanan menyambar enam pukulan dari enam orang lawannya itu. Dan ketika sang hwesio bergoyang sementara yang ada di depan mencelat terlempar, Coa-ong menjerit dan roboh melontakkan darah segar maka berturut-turut yang lain juga terbanting dan mengeluh pendek. 

Kwi-bo yang ada di samping kiri juga menjerit tertahan, disusul oleh Jin-mo yang mendelik disambut pukulan hwesio itu. Dan ketika semua berpelantingan dan Ji Beng bergoyang-goyang, adu pukulan yang amat dahsyat itu menggetarkan jantung si hwesio Go-bi maka berkelebatlah sesosok bayangan hitam yang melepas sesuatu.

“Jit-mo Thian-it, tak perlu khawatir. Aku membantu kalian!”

Ji Beng Hwesio terbelalak. Ia merasa sesak dadanya oleh adu pukulan yang amat dahsyat itu, betapapun ia tergetar dan merasa sesuatu yang amis di mulut. Ia rupanya terluka. Maka begitu seseorang tiba-tiba datang dan menyerangnya dari samping kanan, ia tertegun, maka pukulan itu tak dapat dielak dan hwesio ini kaget karena itulah pukulan Thai-san-ap- ting!

“Dess!” Sang hwesio melotot. Ia hampir tak percaya bahwa ia sendiri dipukul oleh pukulan Thai-san-ap-ting. Pukulan itu adalah milik Go-bi tapi sesuatu membuat hwesio itu berjengit dan mengaduh. Seekor ular tahu-tahu menggigit lehernya. Ular beracun yang amat ganas! Dan ketika hwesio itu-terbelalak dan sang ular masih menancap di lehernya, ia bergerak dan mengeremus hancur kepala ular ini maka hwesio itu terhuyung memandang lawan.

“Kau... kau siapa?"

Orang berkedok ini tertawa aneh. Ia tidak menggubris pertanyaan hwesio itu karena tiba-tiba ia meloncat pergi, menghilang dengan cepat setelah ia memukul dan melontarkan ularnya kepada lawan. Dan ketika Ji Beng tentu saja marah dan membentak parau, mengejar tapi tiba-tiba roboh terguling maka hwesio itu pucat karena racun yang masuk ke tubuhnya tahu-tahu telah mendekati jantung. Ia merasa jantung dan dada sebelah kirinya nyeri!

"Omitohud, kau... kau...!” hwesio ini berkelojotan. Ia yang mencoba bangun namun roboh lagi segera merasa seluruh tubuhnya panas terbakar, tenaga tiba-tiba lenyap dan kagetlah hwesio itu karena ular yang menggigit tubuhnya ternyata benar-benar amat beracun.

Coa-ong yang roboh dan terbanting di sana melihat kejadian ini, terkejut karena itulah ular tiga warna yang amat berbisa. Ularnya yang dulu hilang di Go-bi! Dan ketika Raja Ular ini juga terkejut karena ular itu amat berbisa, siapa yang terpagut bakal mati tiga detik maka Ji Beng Hwesio yang berkelojotan dan merintih-rintih di sana coba bertahan dan mengerahkan tenaganya. 

Hwesio lni sebenarnya hebat kalau saja tidak baru beradu sinkang dengan enam orang lawannya. Baru mengalami guncangan dan tiba-tiba saja dalam keadaan seperti itu datanglah seseorang yang menghantam dengan pukulan Thai-san-ap-ting.

Pukulan yang khas dimiliki tokoh-tokoh Go-bi! Dan karena itu berarti pengkhianatan dan hwesio ini kaget sekali, demikian kagetnya sampai ia tak sempat mengelak sambaran ular berbisa itu maka hwesio ini mengerang ketika seluruh tubuhnya sudah terbakar oleh bisa ular. Ia tak sadar bahwa kulit tubuhnya tiba-tiba sudah menjadi tiga warna, hijau kuning dan biru! Dan ketika hwesio itu berkelojotan dan Coa-ong terbelalak lebar di sana, kaget dan juga heran maka hwesio itu mengeluarkan keluhan panjang dan tiba-tiba roboh dengan tubuh membujur kaku. Tewas tak mampu bertahan!

"Jahanam terkutuk!" sesosok bayangan lain berkelebat dan memaki, "Apa yang terjadi, Ji Beng lo-suhu. Siapa yang membuatmu seperti ini. Ah, kau menjadi korban Ular Tiga Warna!"

Coa-ong dan teman-temannya terkejut. Mereka itu juga bengong oleh kejadian cepat ini, masih nanar dan luka-luka dalam oleh pukulan si hwesio yang dahsyat. Kalau saja mereka tidak maju berenam tentu mereka sudah tewas dan hancur dengan tubuh remuk. Sinkang si hwesio sungguh luar biasa dan tak satupun di antara mereka yang sanggup bertahan. Maka begitu seseorang membantu mereka dan menyerang hwesio ini, menghantam dengan pukulan sinkang di saat hwesio itu bergoyang-goyang maka mereka semua bengong melihat orang itu masih juga melepas seekor ular berbisa ke leher si hwesio.

Siapapun bakal celaka kalau sudah dipagut Ular Tiga Warna, ular itu adalah satu-satunya milik Coa-ong tapi si Raja Ular waktu itu tak membawanya, terbukti selama ini tak pernah kakek itu mengeluarkan ular-ularnya karena sudah habis dipakai ketika bertanding di Go-bi. Maka ketika hwesio itu roboh dan akhirnya tewas, sang hwesio diguncang oleh pukulan Thai-san-ap-ting yang dimiliki sesama tokoh Go-bi maka pagutan ular berbisa yang tak sempat dielaknya telah membawanya ke akherat.

Ji Beng Hwesio tewas dengan mata mendelik. Ia penasaran dan dalam keadaan bertanya-tanya siapa tokoh yang membunuhnya itu, pertanyaan yang tentu saja membuat hwesio itu penasaran dan kaget, bahkan barangkali sampai di akherat sanapun! Dan ketika Coa-ong dan lain-lain tertegun dan melihat bayangan kedua ini, yang kiranya si Naga Emas sahabat Go-bi maka berturut-turut muncul bayangan-bayangan lain dan Pat-kwa-hwesio muncul di situ.

"Suhu tewas!"

"Ah, suhu terbunuh...!"

Coa-ong dan lain-lain cepat menyingkir. Mereka itu tertatih beringsut bangun dan menahan sakit, dua kali batuk-batuk namun darah segar yang akan terlontak keluar ditelan. Demikian pucatnya mereka itu melihat ancaman bahaya. Kwi-bun sudah menyambar isterinya dan menyelinap memasuki hutan. Dan ketika yang lain juga menyusul dan untung si Naga Emas dan hwesio-hwesio Go-bi itu tak melihat mereka, perhatiannya tertuju kepada Ji Beng Hwesio yang tewas maka Tujuh Siluman Langit itu menyingkir dan pergi secara diam-diam.

Hujan tangis dan bentakan-bentakan terdengar di luar hutan itu. Pat-kwa-hwesio marah melihat tewasnya guru mereka. Dan ketika mereka sadar dan berkelebatan mencari musuh, yang telah membunuh guru mereka itu maka semuanya kecewa karena Coa-ong dan kawan-kawannya telah pergi, tak meninggalkan jejak.

"Keparat, mereka menghilang. Mereka telah membunuh suhu!”

"Benar, mereka takut melihat kita, suheng. Dan rupanya juga terluka!”

Tujuh dari delapan hwesio itu merah padam. Guru mereka tewas dan tentu saja anggapan jatuh pada Jit-mo Thian-it. Tujuh Siluman Langit itulah yang dicari guru mereka dan telah membuat onar di Go-bi. Justeru karena mereka itulah Go-bi jadi porak-poranda. Dan ketika si Naga Emas juga tertegun dan melihat bekas-bekas pertempuran, yang dahsyat sekali maka pemuda ini menahan runtuhnya air mata dengan memondong mayat Ji Beng Hwesio.

"Ah, biar pinceng yang membawa," satu di antara Pat-kwa-hwesio berseru, kaget melihat perbuatan si Naga Emas. Tapi ketika pemuda itu menolak dan berkata biarlah tak apa, yang lain mengiring dan berjalan di belakangnya maka Ji-hwesio dan adik-adiknya terharu.

“Ini balas budiku kepada almarhum setelah ajalnya. Ji Beng lo-suhu telah menyelamatkan nyawaku ketika Coa-ong dan kawan-kawannya hampir menewaskan aku, siauw-suhu. Biarlah aku membawa mayatnya dan kita kembali ke Go-bi!"

Tujuh dari Pat-kwa-hwesio mengusap air mata. Mereka jadi ikut-ikutan menitikkan air mata setelah pemuda yang gagah ini juga meruntuhkan air mata. Tangis dan kemarahan bercampur menjadi satu dan merekapun tahu apa yang dimaksud si Naga Emas. Memang di Go-bi pemuda itu hampir saja tewas setelah Jin-touw dan Jin-mo masuk mengeroyok si pemuda, membantu Coa-ong. Dan ketika semua berangkat dan rasa haru serta dendam menyertai mereka, mayat Ji Beng Hwesio dibawa kembali ke Go-bi, maka dapat dibayangkan betapa gempar dan gaduhnya suasana di tempat perkumpulan para hwesio itu.

Go-bi geger untuk kesekian kalinya lagi bukan oleh masuk atau menyerangnya musuh-musuh tak diundang melainkan justeru oleh tewasnya seorang tokoh mereka. Ji Beng Hwesio adalah tokoh nomor dua dan merupakan wakil pimpinan setelah Ji Leng Hwesio, sang ketua, yang menghilang dan sudah lama ini tidak menampakkan diri karena bertapa. Dan ketika jenasah itu disemayamkan di dalam dan semua orang kaget dan pucat, tadi tokoh pimpinan itu masih sehat dan segar-bugar maka segera dikabarkan bahwa pembunuhnya adalah Tujuh Siluman langit, terutama Coa-ong!

“Kakek iblis itu mempergunakan ularnya. Lihat, leher sang pimpinan dipagut Ular Tiga Warna. Kalau kelak kita bertemu kakek itu maka dia harus dibunuh!”

"Kita harus melapor kepada ciangbunjin (ketua). Bagaimana kita, menyampaikannya dan siapa yang akan menyampaikan?"

"Hm, aku yang akan menyampaikan," Twa-hwesio, orang tertua dari Pat-kwa-hwesio tiba-tiba muncul. Dia membuat adik-adiknya kaget karena sejak Tong-si dan kawan-kawannya itu muncul maka suheng mereka ini justeru menghilang. Ji-hwesio, murid kedua atau sute dari Twa-hwesio itu berkerut kening dan memandang penuh selidik suhengnya ini, yang tiba-tiba muncul.

Tapi ketika sang suheng tampak acuh dan hal ini mengherankan adik-adiknya, Twa-hwesio membalik dan mengebutkan lengan bajunya maka ialah yang mewakili dan menjadi utusan untuk menemui ciang-bunjin atau ketua yang sedang bertapa. Wajah hwesio itupun muram tapi tak ada yang berani mengganggu. 

Go-bi sedang berkabung dan tak enak rasanya mempersoalkan ke mana saja Twa-hwesio itu pergi. Kenapa tak pernah muncul dan sebagainya lagi. Dan ketika Ji-hwesio dikedip oleh adik-adiknya yang lain, yang memberi isyarat agar menyusul atau menyertai suheng mereka itu maka Ji-hwesio justeru berkata agar Sam-ji atau saudara nomor tiga yang mengikuti.

“Suheng rupanya lagi mempunyai persoalan sendiri. Wajahnya serius dan keningnyapun berkerut-kerut. Kalau aku menyertainya dan ia tidak berkenan maka salah-salah aku ditegurnya dan mendapat marah. Sam-te saja yang pergi dan ikuti twa-suheng!”

"Bagaimana kalau aku kesalahan pula? Twa-heng aneh sekali, ji-suheng. Aku takut dan jangan-jangan kena damprat!"

"Kalau begitu siapa lagi..."

“Biar aku!" Si Naga Emas tiba-tiba maju, menawarkan diri. "Aku juga heran dan curiga akan gerak-gerik suheng kalian itu, siauw-suhu. Bagaimana kalau aku mengintilnya dan melihat apa yang didapat dari ciang-bunjin!"

"Hm, Song-sicu termasuk orang luar, tapi telah membela Go-bi. Kalau tidak melihat persahabatan sicu dengan tetua-tetua Go-bi tentu kami melarang. Baiklah, pinceng mengabulkan, sicu. Tapi hati-hati karena ruang pertapaan ciang-bunjin di tempat sunyi. Langkah atau jejak sekecil apapun pasti terdengar. Sebaiknya sicu tak usah terlalu dekat dan lihat atau dengar saja dari jauh!"

"Baik, terima kasih, ji-suhu. Aku akan ke sana!"

Ji-hwesio dan adik-adiknya memandang. Mereka itu telah memberi ijin dan ada sedikit rasa was-was di hati mereka, takut kalau ciang-bunjin atau ketua marah. Tapi karena mereka juga segan kepada twa-suheng mereka itu, si Naga Emas tentu lebih bebas dan mempunyai alasan kalau ditegur maka mereka dapat menenangkan hati dan pemuda gagah itu telah berkelebat dan mengikuti bayangan Twa-hwesio secara diam-diam.

Ada kecurigaan dan rasa aneh di hatinya melihat selama beberapa jam ini murid tertua Ji beng Hwesio itu justeru tak muncul-muncul. Dia heran karena selama ini yang tampak adalah Ji-hwesio dan enam adiknya yang lain. Twa-hwesio, murid tertua ini justeru ngumpet entah kemana. Dan ketika dia berkelebat dan mengikuti hwesio itu, yang berjalan dan menuju ke sebuah bukit di belakang gunung- gunungan batu maka tibalah si Naga Emas ini di tempat yang sekelilingnya dipagari kawat berduri. Di tengah-tengah sana tampak sebuah gundukan tanah hitam seperti kuburan. Dan Twa-hwesio berhenti di situ!

"Mohon ijin..." sang hwesio berseru dan tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut tepat di depan kawat berduri di hadapan gundukan tanah hitam itu, suaranya serak dan agak mengigil. "Teecu Twa-ji ingin melapor, supek. Sesuatu yang penting telah terjadi!"

Si Naga Emas menunggu. Dia menjadi tegang juga karena suasana dan tempat di sekitar situ terasa seram. Gundukan tanah di tengah- tengah bukit itu terasa mendirikan bulu kuduk. Tidak tampak lubang atau apa-apa tapi di situlah ternyata ketua Go-bi bertapa, entah dengan cara bagaimana. Apakah ada di dalam kuburan itu! Dan ketika gaung si hwesio lenyap namun tak ada jawaban, Si Naga Emas tertegun maka Twa-hwesio mengulangi lagi seruannya dengan lebih nyaring.

“Supek, teecu Twa-ji mohon menghadap. Ada sesuatu yang penting yang hendak teecu laporkan!"

Tapi, seperti tadi, tak ada jawaban atau suara sambutan. Si Naga Emas menjadi heran dan dia malah menjadi ragu apakah betul di tengah-tengah gundukan tanah itu ada orangnya. Dilihat dari segenap penjuru tak ada lubang atau tempat persembunyian di gundukan tanah hitam itu. Jangan-jangan hwesio itu salah bicara! Tapi ketika hwesio itu mengulang untuk ketiga kalinya dan suaranya lebih keras dan nyaring, mengandung sedikit kedongkolan maka tiba-tiba terdengar jawaban yang entah dari mana. Tampaknya melingkar-lingkar dan seolah dari delapan penjuru mata angin!

“Twa-ji, kau datang membawa teman? Ada apa datang menggangguku?"

"Ampun...!" hwesio itu tiba-tiba gemetar, menjatuhkan jidat. "Teecu datang tanpa kawan, supek (pak-de). Datang untuk melapor sesuatu yang telah menimpa Go-bi!"

“Hm, apa itu," suara itu tenang dan datar. "Dan kenapa kau yang datang, Twa-ji. Kenapa bukan gurumu?"

"Ampun..." hwesio ini menggigil. "Teecu... teecu justeru hendak melaporkan ini, supek. Bahwa suhu... suhu telah tewas terbunuh!”

“Omitohud...!” Suara itu tenang tapi jelas bergetar menyatakan kaget, sedetik saja. "Apa yang terjadi, Twa-ji. Dan bagaimana itu. Pinceng hanya punya waktu tiga detik dan setelah itu kau pergi!"

"Tidak... tidak supek. Tiga detik terlalu sedikit. Teecu hendak melapor bahwa suhu terbunuh dan yang membunuh adalah Jit-mo Thian-it. Siapa sekarang yang menggantikan suhu dan bagaimana teecu membalas sakit hati ini kepada Tujuh Siluman Langit yang telah...”

"Cukup!" bentakan itu disusul teriakan Twa-ji. "Pinceng tak mau diganggu lagi, Twa-ji. Pergi dan sekarang urus teman-temanmu yang lain!" serangkum angin dahsyat menyambar dan melempar hwesio ini, yang terpaksa menghentikan kata-katanya karena tiba-tiba tubuhnya telah “terbang" dibawa pukulan dari tengah gundukan tanah itu.

Entah bagaimana caranya dan kapan pula pukulan itu dilakukan tahu-tahu murid Ji Beng Hwesio ini telah mencelat. Dia mau melanjutkan kata-katanya tapi supeknya telah membentak dengan melemparnya melalui kesaktian tinggi. Dan ketika hwesio itu terguling-guling dan jatuh di luar pagar kawat, tubuh dan pakaiannya robek-robek maka hwesio itu menangis dan berseru,

“Suhu, ada pengkhianat di dalam Go-bi. Beng Kong-suheng mencurigakan gerak-geriknya!"

Namun tak terdengar jawaban atau sahutan atas jerit atau teriakan hwesio ini. Dan ketika Twa-ji merasa penasaran dan masih berteriak-teriak lagi, berseru menyebut-nyebut nama suhengnya, Beng Kong Hwesio yang menjadi murid supeknya itu mendadak tubuhnya terangkat dan terlempar lagi, jauh terguling- guling di sana dan hwesio itu kaget serta pucat. 

Ia tak melihat supeknya namun dirinya tahu-tahu terlempar, hendak berteriak lagi namun tubuhnya kembali mencelat dan terangkat lebih jauh. Dan ketika tiga kali berturut-turut ia dilempar dan jatuh di bawah bukit, merintih dan mengerang maka Naga Emas yang tertegun tiba-tiba keluar dan tak sampai hati.

"Siauw-suhu, maaf. Supekmu tak mau kau ribut-ribut di sini dan mari pergi!”

"Kau...?” hwesio ini terkejut. "Kau di sini Song- sicu? Mengikuti pinceng?"

“Maaf,” si Naga Emas semburat malu. "Sutemu yang menyuruh aku ke sini, siauw-suhu, mengiring atau menjaga keselamatanmu. Aku...”

"Pantas!" hwesio itu marah, melompat bangun. “Supek mengira aku membawa teman, orang she Song. Dan aku kena marah gara-gara ini. Ah, kau lancang!" dan geram mendorong pemuda itu tiba-tiba hwesio ini lari pergi dengan muka merah padam. Ia memaki pemuda itu sebagai orang lancang yang berani memasuki daerah terlarang. Kalau bukan kesalahpahaman itu barangkali supeknya tak akan melemparnya seperti itu.

Dan ketika pemuda ini tertegun dan merasa bersalah, ia ingin membersihkan si hwesio maka tiba-tiba ia malah naik bukit dan berlutut di depan pagar kawat berduri itu, tahu bahwa di sana ciang-bunjin atau ketua Go-bi bertapa. "Ji Leng-losuhu, maaf bahwa aku Kim-liong-pian Song Lim datang mengganggu. Akulah yang kau kira teman si Twa-ji tadi dan aku datang secara lancang. Maafkan aku karena murid keponakanmu tadi benar-benar datang sendiri, tanpa kawan!"

"Aku tahu," sebuah suara menjawab. "Dan cepat pergi dari sini, Song-sicu. Kalau tidak mengingat persahabatanmu dengan Go-bi tentu kau mati. Pergilah!"

Kim-liong-pian si Naga Emas merasa tubuhnya tahu-tahu terangkat naik dan terlempar. Ia coba bertahan dan ingin berdiri sendiri namun apa daya ia tak kuat. Gerakan atau sambaran angin di depan itu amatlah hebatnya. Dan ketika ia berseru tertahan dan terlempar ke belakang, masih dalam keadaan berlutut maka pemuda itu pucat memuji lawannya. Tidak lecet atau babak-belur seperti murid Ji Beng Hwesio tadi.

“Lo-suhu, kau hebat sekali!"

Namun tak ada jawaban. Ketua Go-bi yang bersembunyi dan entah berada di mana itu telah membuat lawannya menjauh dari pagar. Si Naga Emas juga tak berani mendekat karena ia tahu akibat apa kalau nekat. Ia telah lancang memasuki wilayah terlarang dan hanya karena ingin membersihkan nama si Twa-ji saja maka dia berani mendekat. Dan ketika ia berseru dan memuji kagum, tak ada jawaban atau tanggapan akan ini maka sesosok bayangan tiba-tiba muncul di belakangnya dan mendengus.

"Song-sicu, kalau tidak mengingat persahabatanmu dengan Go-bi maka pinceng pasti membunuhmu. Pergilah, dan urusan Go-bi biar kami selesaikan sendiri!"

“Ah, Beng Kong lo-suheng kiranya," si Naga Emas terkejut dan melompat bangun, seorang hwesio tinggi besar tahu-tahu telah ada di situ. "Dari mana saja kau selama ini, lo-suheng. Bagaimana tak pernah muncul selama Go-bi diobrak-abrik musuh. Kenapa kau tak pernah keluar!”

"Hm, pinceng dipanggil suhu. Dan ada Ji-susiok yang mengurusi semuanya itu. Go-bi kini berkabung, harap kau pergi dan tidak usah kembali ke sini lagi!”

“Lo-suheng!" si Naga Emas tiba-tiba membentak, marah. "Kenapa sikapmu demikian kasar dan tidak bersahabat? Bukankah aku membantu Go-bi dan membela mati-matian? Apakah kau tidak tahu bahwa akulah yang membawa jenasah Ji Beng lo-suhu yang terhormat?"

“Hm, kau sahabat Ji-susiok, Song-sicu. Dan itu benar. Tapi susiok sekarang sudah meninggal dan sahabatmu sudah tiada. Sekarang pinceng yang menggantikannya di Go-bi dan kami akan berkabung sendiri, tanpa orang luar!"

Naga Emas merah padam. Ia berapi-api memandang hwesio itu tapi hwesio itu balas memandangnya dingin. Beng Kong Hwesio dinilai dingin dan sombong. Dan karena ia merasa bahwa ia memang orang luar, Go-bi rupanya congkak dan tak mau ia di situ maka pemuda ini membentak dan berkelebat pergi, suaranya penuh kemarahan, ditahan.

“Beng Kong lo-suheng, sikapmu sungguh jauh berbeda dengan Ji Beng lo-suhu yang menjadi susiokmu. Kau tak tahu hormat dan menghargai tamu. Baiklah, karena aku bukan sahabatmu dan kau tuan rumah maka aku pergi dan tak akan ke sini lagi. Terima kasih atas sambutanmu yang demikian ramah tapi aku akan memantau perkembangan Go-bi di bawah pimpinanmu!"

Beng Kong Hwesio tak mengeluarkan kata-kata. Ia hanya mendengus pendek mendengar kata-kata si Naga Emas itu, yang marah ditahan. Dan ketika pemuda itu pergi dan ia berkelebat lenyap, tempat pertapaan ketua Co-bi kembali sunyi dan menyeramkan maka di sana Pat-kwa-hwesio dan lain-lain berhadapan dengan hwesio tinggi besar ini, karena Beng Kong telah datang dan tiba di sini.

“Suhu memerintahkan kepada pinceng untuk menggantikan Ji-susiok. Tampuk pimpinan di sini sekarang berada di tangan pinceng. Kita berkabung tiga hari dan setelah itu menentukan tokoh-tokoh Go-bi!”

"'Hanya tiga hari?" Pat-kwa-hwesio berseru tertahan, kaget. "Yang tiada adalah pimpinan nomor dua di Go-bi, suheng. Menurut undang-undang perkabungan berjalan tigapuluh lima hari. Ini wakil Go-bi yang meninggal, bukan murid biasa!"

"Hm, pinceng sudah bicara. Semua harus tunduk kepada pinceng, sute. Siapa membangkang dia berarti melawan!"

“Tapi....”

"Tak ada tapi. Pinceng harus bebenah dan kalian tunduk atau keluar!” dan ketika delapan murid Ji Beng terbelalak dan kaget, Beng Kong melakukan perintah secara otoriter maka hwesio itu sudah menghadapi yang lain-lain sambil berseru bahwa perkabungan khusus untuk keluarga Go-bi sendiri, tak usah mengirim undangan atau menerima pelayat dari luar.

"lni kebijaksanaan pinceng. Go-bi disatroni banyak musuh. Sebaiknya kita berkabung sendiri dan setelah itu bebenah lagi. Kirim atau kembalikan ketua-ketua Hoa-san atau Kun-lun dan Heng-san yang terluka!”

“Ini... ini...” delapan hwesio terbelalak lebar, tak dapat menahan diri. “Meninggalnya tokoh Go-bi harus resmi diberitahukan orang luar dan menerima pelayat, suheng. Sahabat-sahabat Go-bi masih banyak dibanding musuh-musuh yang menyatroni. Masa perkabungan hanya dilakukan sendiri dan seolah Go-bi memutus hubungan dengan dunia luar. Dan mana itu si Naga Emas Song-sicu. Kenapa ia tak ada. Ia dapat menjadi saksi utama bahwa guru kami dibunuh Jit-mo Thian-it!”

“Hm, orang she Song itu sudah kuusir, sute. Go-bi sudah tidak menerima orang luar seperti kata-kataku tadi. Ini urusan pribadi Go-bi dan akan diselesaikan pula oleh Go-bi. Orang luar tak perlu turut campur!”

"Tapi yang tewas adalah tokoh Go-bi, bukan murid biasa. Masa di samping perkabungan yang hanya tiga hari kita juga tak menerima pelayat. Apa-apaan ini!"

"Hm, ini perintah pinceng, sute. Kebijaksanaan pinceng agar Go-bi tidak disatroni musuh lagi. Menerima pelayat berarti membiarkan diri sendiri disusupi orang-orang jahat!"

"Kita dapat mengerahkan keamanan. Kita dapat menjaga ketat!"

"Kita sedang berkabung, sute. Kita perguruan silat yang bukan hendak mengerahkan orang-orang seperti barisan militer!”

"Betul, tapi ini keterlaluan, suheng. Masa seorang tokoh yang meninggal tak ada pelayat yang hadir!”

"Kita adalah para pelayat itu..."

"Tidak!" Pat-kwa-hwesio meradang. “Kita adalah yang kesripahan, suheng. Kita memang keluarga yang sedang menanggung duka. Tidak lucu kalau kita juga adalah tamu!”

“Hm, apa maumu?"

"Kita mengirim berita lelayu dan menerima pelayat. Kita harus menghargai meninggalnya sesepuh Go-bi!"

“Kalau pinceng tidak dapat menerima?"

"Kau melanggar peraturan. Kau mengobrak-abrik undang-undang partai!"

"Bagus, itu kalau pinceng bukan pimpinan di sini. Tapi pinceng adalah pengganti Ji-susiok, sute. Pinceng pengganti gurumu yang telah tiada. Segala keselamatan dan jatuh bangunnya Go-bi ada di tangan pinceng!"

“Tapi kau tidak bijaksana. Kau mengobrak-abrik perasaan kami. Tidak tahukah kau bahwa yang meninggal dan tewas adalah guru kami!"

"Hm, kau dibakar emosi. Kau menurutkan hawa nafsumu sendiri. Sebagai orang tertua setelah suhu maka kau menghina pinceng, sute. Sepatutnya pinceng menghukummu. Lihat tongkat pimpinan ini dan apakah pinceng tidak dapat menunjukkan kewibawaan!" Beng Kong Hwesio tiba-tiba mencabut tongkat kebesaran, tongkat berwarna kuning keemasan dan tiba-tiba semua murid Go-bi menjatuhkan diri berlutut.

Mereka berseru tertahan karena tongkat pimpinan benar-benar ada di tangan suheng mereka itu. Beng Kong memang murid tertua setelah Lu Kong Hwesio tewas, juga sebagai murid satu-satunya dari ciangbunjin yang sedang bertapa. Dan karena tongkat itu amatlah keramat dan melihat tongkat berarti tunduk dan tak boleh banyak membantah maka Twa-hwesio dan tujuh adiknya juga tiba-tiba terkejut dan menjatuhkan diri berlutut. 

Pat-kwa-hwesio kaget karena suheng mereka itu tiba-tiba mencabut tongkat. Sekali dicabut biasanya lalu jatuh hukuman. Dan ketika Twa-hwesio pucat dan tujuh yang lain juga tergetar, suheng mereka hendak menunjukkan kekuasaan maka benar saja Beng Kong Hwesio berseru, kata-katanya nyaring dan penuh palu hukuman.

“Twa-ji, kau berani melawan ketua. Potong telingamu sebelah kiri dan berikan kepada pinceng!”

“Tidak!" tujuh adik-adik seperguruan Twa-hwesio berteriak. "Jangan secepat itu menjatuhkan putusan, suheng. Kita sedang dalam suasana berkabung!"

“Siapa melawan lagi!" Beng Kong Hwesio mengibaskan dan menggetarkan tongkat tiga kali. "Siapa yang mau membela yang salah, sute. Apa yang kalian bilang dan apakah minta dianggap merongrong kewibawaan pimpinan!"

"Kami... kami tidak merongrong," Ji-hwesio pucat. “Tapi kami mohon ampun kalau twa-suheng salah, suheng. Kami sedang berkabung dan harap kau tidak bersikap kejam!"

"Pinceng hendak menegakkan kewibawaan. Kalau mudah mengampuni orang lain maka tongkat ketua tak akan dihormati lagi. Pinceng tetap meminta sebuah telinga kiri atau pinceng akan menambah hukuman!”

Tujuh hwesio-hwesio andalan menangis. Mereka tiba-tiba tak dapat menahan sedih dan gusar tapi juga takut akan ancaman itu. Murid dari supek mereka ini telah bersikap keras dan kekerasannya mengandung kekejaman. Di saat seperti itu tega juga menghukum seorang murid, yang sebenarnya masih terhitung saudara, karena suheng mereka itu adalah murid keponakan dari supek mereka dan terhitung adik seperguruan keponakan pula dari Beng Kong Hwesio ini. 

Tapi karena Beng Kong Hwesio telah mengeluarkan titah dan titah itu diputuskan di bawah tongkat kebesaran, ini yang amat berat maka tujuh hwesio-hwesio Go-bi itu tak dapat berbuat apa- apa dan Twa-hwesio yang pucat dan menggigil di sana tiba-tiba mencabut belati dan secepat kilat ia memotong telinga kirinya sendiri.

“Crat!” Daun telinga itu putus. Twa-hwesio menggigil dan berlutut menyerahkan daun telinganya. Telapak hwesio ini yang memegang daun telinga tampak gemetar keras, daun telinga itu sendiri juga segera berlumuran darah dan membuat saudara-saudara yang lain menjerit. Ada beberapa murid Go-bi yang sampai roboh pingsan! Tapi ketika Beng Kong menerima dan tertawa dingin, daun telinga itu diamat-amati maka dia tiba-tiba melemparkan ini kepada Ji- hwesio, sute dari Twa-hwesio itu, orang nomor dua dari Pat-kwa-hwesio.

“Kau terima telinga ini dan kubur baik-baik!”

Ji-hwesio melotot. Ia hampir tak kuat menerima daun telinga suhengnya itu. Suhengnya sendiri bermandi darah namun seorang saudaranya sudah melompat dan membebat bekas telinga suhengnya itu. Dan ketika Twa-hwesio sudah diobati dan Ji-hwesio gemetar menerima daun telinga itu, mendapat perintah untuk menguburkannya maka enam saudara yang lain mengguguk dan tersedu- sedu.

"Twa-heng, nasibmu sungguh buruk. Tapi kami tujuh saudaramu tak dapat berbuat apa-apa!"

"Tak apa," hwesio itu bercucuran dan tak kuat menahan runtuhnya air mata pula. "Pinceng memang salah, sute. Pinceng telah merongrong kewibawaan seorang pemimpin. Tapi pinceng akan meminta sesuatu setelah diri pinceng bersih kembali!”

“Suheng mau apa?"

"Hanya sesuatu yang wajar dari Beng Kong-suheng,” dan bangkit serta menjura dalam-dalam, mata berapi-api dan penuh dendam hwesio itu berkata, "Suheng, ada peraturan partai bahwa seorang murid yang telah menebus kesalahannya berarti sudah bersih. Dan dia diperbolehkan minta apa saja kepada penghukumnya selama itu masuk akal. Nah, apakah siauw-ceng (aku yang muda) boleh meminta sesuatu darimu sebagai imbalan atas hukuman yang telah kubayar?”

Beng Kong Hwesio tertegun. “Kau mau minta apa?”

"Bukan apa-apa, sekedar menguji kepandaian suheng apakah pantas suheng diserahi jabatan sebagai pimpinan, pengganti guruku. Beranikah suheng menerimanya atau aku harus kecewa karena ditolak!"

"Hm!" Beng Kong Hwesio tiba-tiba tertawa dingin. "Permintaanmu tentu saja kululuskan, sute. Dan jangan hanya kau seorang melainkan bersama adik-adikmu itu pula. Aku sanggup menerima tantanganmu dan tentu saja akan kubuktikan bahwa aku pantas menggantikan kedudukan di sini!"

“Terima kasih!" Twa-hwesio girang dan berseri-seri. Ini yang diharap. Ia akan melampiaskan dendamnya! "Kau sungguh jantan, suheng. Pantas sebagai pengganti ketua kalau berwatak demikian gagah. Tapi aku ingin sendiri, tak usah melibatkan adik-adikku!"

"Ha-ha!" Beng Kong Hwesio tertawa dengan amat congkaknya. “Lain kau lain adikmu, Twa-te. Kalau kau ingin sendiri justeru adik-adikmu ingin bersama. Kalian terkenal tangguh kalau maju berbareng, nah, aku menyetujuinya dan akan kuhadapi Pat-kwa-hwesio sekaligus!"

“Tapi tidak di depan jenasah suhu," Ji-hwesio tiba-tiba berseru dan berkelebat di samping suhengnya, tentu saja girang dan juga senang menerima tantangan itu, tapi tidak di depan mayat gurunya. Dan ketika Beng Kong tertegun tapi mau mengangguk, berarti setuju dan tidak keberatan maka hwesio tinggi besar itu berkelebat dan tiba-tiba mengajak adik-adiknya ke bangsal agung.

"Sute, permintaanmu masuk akal. Marilah ke tempat yang tenang dan kalian boleh menguji pinceng!"

Delapan hwesio bergerak dan mengikuti. Mereka tadinya ragu-ragu namun akhirnya menjadi panas karena murid supek mereka itu terasa demikian sombong dan merendahkan. Beng Kong tampak demikian pongah dan tidak memandang sebelah mata, padahal kepandaian mereka sebenarnya tidaklah terpaut jauh dan tak pantas hwesio itu bersikap congkak kepada mereka.

Tapi begitu mereka diajak dan tantangan ini menggirangkan mereka, suheng mereka yang putus telinganya hendak dibalaskan sakit hatinya maka berkelebatanlah hwesio-hwesio Go-bi itu dan mereka tidak sadar bahwa antar saudara mereka hendak saling gempur sendirí. Mungkin, saling bunuh!

"Di sini kita uji coba," Beng Kong sudah berhenti dan tiba di bangsal agung. Tempat itu amat luas dan bukan seperti tempat persemayaman jenazah tadi.

Murid-murid yang lain berdatangan dan bersiaplah jago-jago Go- bi itu untuk menghadapi lawannya. Mereka seolah benar-benar musuh dan bukan sesama murid Go-bi, aneh! Dan ketika masing-masing sudah saling berhadapan dan Beng Kong mengibaskan lengan bajunya, angin meniup dan menyambar kencang maka hwesio itu berkata menantang adik-adiknya.

"Kalian tak usah khawatir berhadapan dengan pinceng. Pinceng bergerak bukan sebagai pimpinan melainkan sebagai pribadi. Pribadi melawan pribadi. Nah, bergeraklah dan coba kepandaian pinceng!"

"Suheng tidak akan menggunakan tongkat kekuasaan untuk menekan kami?"

"Ha-ha, tidak. Tak perlu, sute. Kalian tak usah khawatir dan pinceng bergerak atas nama Beng Kong Hwesio. Nah, mulailah dan jangan takut pinceng mengeluarkan tongkat!"

Benar saja, tongkat itu lenyap, Beng Kong telah menyimpannya di balik bajunya yang lebar dan bersiaplah dia menanti serangan adik-adiknya. Murid-murid yang lain sudah berkumpul dan tentu saja bakal adanya pertandingan itu menegangkan mereka. Beberapa di antaranya berbisik bahwa alangkah tidak pantasnya hal itu dilakukan sementara jenasah Ji Beng Hwesio masih hangat, belum dikuburkan.

Tapi karena yang akan bertanding rupanya orang-orang yang sama panas dan masing-masing terbakar oleh kesombongan dan rasa marah, Beng Kong bersikap sombong sementara Pat-kwa-hwesio mengandung marah dan benci maka begitu sang tetua berkata maka serentak pula delapan hwesio itu membentak dan Twa-hwesio mendahului dengan kebutan lengan bajunya.

"Suheng, terima kasih. Kau benar-benar ksatria!"

"Omitohud, kami sekedar memenuhi permintaanmu, suheng. Kalau ada apa-apa jangan salahkan kami berdelapan di depan supek!"

Beng Kong Hwesio tertawa bergelak. Ia sudah mengelak dan berkelebat ke kiri ketika hantaman Twa-hwesio mendahului yang lain- lain, mengelak dan mengelak lagi ketika tujuh adiknya yang lain menghantam dan menyusul serangan suheng mereka. Dan ketika berturut-turut delapan hwesio itu sudah bergerak dan menyerang cepat, masing-masing ingin menghancurkan kesombongan lawannya yang congkak ini maka Beng Kong Hwesio berkelebatan dan mulai menangkis. Ia melejit dari satu tempat ke tempat lain mengikuti bayangan delapan orang lawannya itu.

Semakin cepat mereka bergerak semakin cepat pula ia mengimbangi. Dan ketika Twa-hwesio maupun saudara-saudaranya kaget karena lawanpun tiba-tiba berobah menjadi bayangan yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain dengan amat cepatnya, jauh lebih cepat dari mereka maka Twa-hwesio berseru tertahan ketika lengan bajunya diterima dan bertemu dengan tangkisan suhengnya itu, tergetar dan mencelat.

“Plak!” Hwesio ini kaget disusul oleh yang lain-lain. Lawan tertawa bergelak dan tiba-tiba mulailah Beng Kong Hwesio membalas. Pukulan Thai-san-ap-ting, yang hebat dan menyambar- nyambar itu mendadak menderu-deru dan menerbitkan angin sinkang yang amat kuat. Dan ketika angin pukulan itu semakin kuat dan mereka berdelapan tak kuat menyambut, kaget dan terkesiaplah delapan hwesio itu maka Ji-hwesio dan suhengnya berseru paling dulu.

"Ah, suheng memiliki sinkang aneh. Tenaganya demikian mujijat dan jauh di atas kemarin dulu!"

"Benar, Beng Kong-suheng serasa bukan Beng Kong-suheng beberapa hari yang lalu, sute. Dia tampaknya memperoleh tenaga warisan!"

"Mungkin dari supek. Ah, lihat, pukulan itu seperti milik supek... dess!" dan kilauan cahaya putih yang meledak dan menghantam dari ujung jubah Beng Kong Hwesio tiba-tiba membuat delapan adiknya menjerit dan melempar tubuh bergulingan, kaget dan berteriak keras karena mereka tiba-tiba teringat pukulan supek mereka itu, yang entah apa namun juga mengeluarkan kilatan atau ledakan seperti cahaya putih ini.

Dan ketika Beng Kong Hwesio tertawa bergelak dan berkelebat maju, mengejar, maka delapan hwesio porak-poranda dan Pak-hwesio yang merupakan orang kedelapan tiba-tiba mengeluh dan terbanting oleh serempetan hawa pukulan dari lawannya itu, disusul oleh Jit-hwesio atau hwesio ketujuh yang menjerit dan terlempar menabrak dinding. 

Dan ketika hwesio keenam dan kelima juga berteriak mengaduh, Beng Kong telah berkelebatan menghantam sana-sini maka Pat-kwa-hwesio yang tak sempat mengeluarkan barisan segi delapannya itu hancur total dan mawut. Bagai laron disembur api!

“Tobat... aduh, mati pinceng!”

"Augh, pincengpun celaka.... des-des-dess!” dan delapan hwesio yang mawut diporak-poranda tiba-tiba membuat hwesio-hwesio yang lain terbelalak dan kaget serta kagum. Mereka itu melihat pertandingan berjalan hanya beberapa kejap saja, belum ada lima menit! Dan ketika semua jatuh bangun dan Twa-hwesio sendiri pucat, hwesio tertua dari Pat-kwa-hwesio ini sampai melotot tak percaya maka satu tamparan miring membuat hwesio itu terpelanting ketika Beng Kong menghantam telinganya.

“Robohlah. Sekarang rasakan kelihaian pinceng, sute. Lihat berapa lama pinceng mengalahkan kalian!"

Hwesio itu terbanting. Ia kaget dan mengeluh tapi Beng Kong berkelebat dan memberinya lagi sebuah tamparan, tepat mengenai sisi telinga yang lain. Dan ketika hwesio itu menjerit dan pingsan, tentu saja tak kuat maka berturut-turut murid Ji Leng Hwesio ini telah berkelebatan ke adik-adiknya yang lain dan Pat-kwa-hwesio pun roboh satu per satu, keok!

Kejadian berlangsung cepat dan murid- murid dibuat bengong. Mereka hampir tak percaya bahwa Beng Kong Hwesio demikian hebat, padahal beberapa hari yang lalu masih bertanding seru dengan mendiang Lu Kong Hwesio dan suhengnya itu sendiri nyaris juga mengalahkannya, kalau tidak cepat dibunuh Coa-ong dengan ularnya yang berbisa.

Dan ketika tujuh dari delapan hwesio merintih-rintih dan mereka roboh dalam sekejap saja, kepandaian Beng Kong Hwesio ini mengingatkan mereka pada Ji Beng Hwesio yang tewas maka anak-anak murid Go-bi bengong dan baru sadar ketika Pat-kwa-hwesio meminta tolong.

"Aduh, Beng Kong-suheng seperti supek. Kami bukan lawannya!"

“Benar, ia sekarang amat lihai, liok-sute (adik keenam). Tapi bagaimana nasib twa-suheng (kakak tertua)...?"

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.