Prahara Di Gurun Gobi Jilid 06 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Serial Prahara Di Gurun Gobi Karya Batara

"AIHHH... keparat!" hwesio tertua lupa dirí. Hwesio ini membentak dan melengking karena tiba-tiba dari enam orang saudaranya mendadak empat sudah roboh terluka. Mereka bertujuh tinggal bertiga dan tentu saja hwesio itu marah bukan main. Dan ketika dia membentak dan mengayunkan toyanya ke kiri kanan, menyergap bagai elang haus darah tiba-tiba delapan orang roboh dengan kepala hancur, kena sapuan toyanya itu.

“Mundur, atau pinceng membunuh...!"

Yang lain terkejut. Hwesio yang murka itu berobah menjadi ganas, kembali menyergap dan robohlah tujuh orang oleh sapuan toyanya yang dahsyat. Dan ketika dua hwesio yang lain juga membentak dan mengikuti suhengnya, berkelebatan dan menyambar-nyambar tiba-tiba tiga orang hwesio ini menjadi algojo yang keras dan tidak kenal ampun. Puluhan tubuh malang-melintang namun tiba-tiba terdengar suara ser-ser dua kali.

Yang pertama menghamburkan belasan jarum-jarum hitam sementara yang kedua puluhan jarum-jarum merah, hitam dan merah silih berganti. Dan ketika semua itu menyambar tiga hwesio ini dan hweslo ketiga mengeluh tertahan, menyampok namun tertancap sebatang jarum maka hwesio itu terhuyung dan jatuh terduduk, Seluruh tubuh tiba-tiba gatal dan merah terbakar. Jarum yang menancap demikian lembut dan kini memasuki aliran darahnya!

“Augh, seseorang mencurangi pinceng. Awas musuh yang amat berbahaya!"

“Ha-ha!" sebuah suara terdengar menyeramkan, lagi-lagi suara tanpa rupa itu. "Mampus kalian, hwesio-hwesio Go-bi. Ayo serbu dan serang mereka. Maju lagi!”

Hwesio tertua pucat. Dia melihat adiknya nomor tiga itu menggigil dan menggaruki seluruh tubuhnya, semakin digaruk semakin gatal tapi juga panas. Saudaranya itu mengeluh dan akhirnya bergulingan ke sana ke mari, berteriak-teriak. Tapi ketika dia membentak dan berkelebat mau menolong, ratusan orang itu tertegun tapi tiba-tiba sadar mendadak mereka berteriak dan menyerbu lagi. Suara tanpa rupa itu benar-benar pendorong atau pemimpin di balik layar.

“Betul, serang mereka lagi. Bunuh!"

Twa-hwesio melotot. Dia dihadang puluhan senjata ketika mendekati adiknya nomor tiga itu, tentu saja membentak dan menggerakkan toyanya dengan dahsyat. Dan ketika puluhan orang itu mencelat terlempar, hwesio ini benar-benar luar biasa maka Ji-hwesio, saudaranya nomor dua juga sudah diserbu dan dikeroyok lagi, hwesio nomor tiga berteriak- teriak dan berkelojotan seperti cacing di atas wajan panas!

"Aduh, keparat.... tolong.... tolong pinceng!"

Namun tak ada yang menolongnya. Jarum halus itu menyusup semakin cepat dan sebentar kemudian sudah mendekati jantung. Twa-hwesio dan Ji-hwesio dikeroyok banyak orang dan mereka itupun marah sekali membabat atau mengemplang lawan dengan toya mereka yang ampuh. Tapi ketika puluhan tubuh kembali roboh dan banjir darah terjadi di gerbang Go-bi, keadaan sungguh mengerikan sekali, mendadak terdengar kesiur angin lembut dan sebuah sapaan atau teguran mendahului semuanya itu.

"Omitohud, biadab dan sungguh tak mengenal aturan sekali. Berhenti dan jangan membunuh!"

Orang-orang itu berteriak. Mereka tahu-tahu terlempar dan mencelat ke sana-sini ketika sebuah angin dahsyat mengangkat dan melempar mereka. Seorang hwesio renta mendadak muncul di situ dan jubahnya yang gerombyongan dikibaskan dua tiga kali. Tampaknya biasa-biasa saja namun buktinya puluhan atau ratusan orang itu terbawa naik. Dan ketika mereka berpelantingan dan jatuh berteriak kesakitan, berdebuk atau terbanting dengan keras maka semua pucat melihat hwesio renta itu, yang sudah berdiri dan mengusap hwesio nomor tiga.

“Ji Beng Hwesio...!”

"Wakil ketua Go-bi!"

Semua gentar. Puluhan atau ratusan orang itu mendadak jerih memandang hwesio renta ini. Semua melihat bahwa dengan gerakan biasa saja hwesio itu telah mencerai-beraikan puluhan orang. Begitu mudah namun mereka tak mampu bangkit berdiri karena pantat atau punggung mereka sakit-sakit. Kebutan jubah itu telah membuat lumpuh pertandingan! 

Dan ketika hwesio itu mengangguk dan bersinar-sinar memandang puluhan orang itu, matanya mencorong dan mengeluarkan wibawa yang besar maka Twa-hwesio dan Ji-hwesio yang terhuyung dan roboh terduduk cepat-cepat bangkit berdiri dan berlutut di depan hwesio renta ini, karena itulah guru mereka!

“Ampun...!” Twa-hwesio menggigil dan meratap. "Teecu telah melakukan pembunuhan, suhu. Tapi teecu terpaksa dan dipaksa keadaan. Teecu tak mampu mengendalikan diri!"

“Hm, apa yang terjadi. Bagaimana semuanya ini!”

“Kami kedatangan saudara-saudara dari Hoa-san dan Kun-lun...” Twa-hwesio merintih, menerangkan. "Tapi tahu-tahu muncul ratusan orang ini suhu. Dan kami tahu-tahu diserbu!”

“Benar,” Ji-hwesio juga menyambung suhengnya. "Orang-orang liar ini menyerbu dan mengeroyok kami, suhu. Kami tak dapat berbuat apa-apa dan dipaksa menyambut!"

"Dan mana saudara-saudara dari Kun-lun atau Hoa-san itu?”

"Mereka pergi," Twa-hwesio mendadak tertegun. "Tadi mereka ada di sini!”

"Benar," sesosok bayangan berkelebat, disusul oleh bayangan-bayangan lain, puluhan atau ratusan murid-murid Go-bi. "Mereka itu pergi, suhu. Dan inilah apa yang teecu laporkan tadi!"

Pat-hwesio, hwesio ke delapan, tiba-tiba muncul di situ. Dia tadi masuk ke dalam diperintah suhengnya, melapor tapi keadaan sudah berobah demikian cepat dengan datangnya orang-orang liar itu. Dan ketika orang-orang itu melihat munculnya ratusan murid-murid Go-bi, tak kurang dari dua ratus maka mereka itu tiba-tiba gentar dan satu demi satu pergi secara diam-diam!

“Heii, kalian jangan lari!" Twa-hwesio membentak dan marah, tentu saja berang karena setelah membuat onar tiba-tiba mereka itu pergi. Begitu enaknya! Tapi ketika hwesio ini berkelebat dan hendak menghadang, marah kepada orang-orang itu ternyata suhunya memanggil dan Ji Beng Hwesio berseru,

"Biarkan mereka itu. Tak guna mengurusi cecunguk-cecunguk kecil!”

“Tapi mereka ini pengacau-pengacau liar," Twa-hwesio tertegun. "Mereka ini harus ditangkap dan dihukum, suhu. Mereka telah mengacau!"

“Tidak, biarkan saja," sang suhu mengebutkan jubah. "Ada yang lebih penting dari segalanya ini. Pinceng belum tahu pemimpinnya dan ceritakan siapa yang menggerakkan orang-orang itu!"

Twa-hwesio sadar. Tiba-tiba dia teringat dan celingukan ke sana ke mari namun suara tanpa rupa itu tak ada. Benar, ada seseorang yang menggerakkan orang-orang itu. Ada dalang di balik layar yang membuat ratusan orang itu datang dan mengacau! Dan ketika hwesio ini tertegun sementara saudaranya juga mengerti dan mencari-cari, gagal dan merah padam maka Ji Beng Hwesio bertanya apa yang mereka cari-cari.

“Teecu mencari-cari orang yang menjadi perusuh di antara semua kejadian ini. Ada seseorang yang memimpin tapi tidak menampakkan diri!"

"Benar, dan dialah yang melukai sam-sute (adik ketiga) sampai menderita seperti itu, suhu. Kalau suhu tidak datang barangkali teecu berdua juga menjadi korban!”

“Omitohud, pemilik jarum merah dan hitam itu?”

"Benar.”

"Sudah pinceng duga. Pentolan-pentolan kaum sesat! Ah, sekarang masuk saja ke dalam, Twa-ceng. Bawa saudara-saudaramu yang lain dan tutup pintu gerbang selama seminggu. Pinceng tak memperkenankan dibuka kalau tidak ada perintah. Omitohud, Tujuh Siluman Langit benar-benar mulai mengacau!"

"Tujuh Siluman Langit?"

"Hm, tak usah bertanya. Bawa dan tutup pintu gerbang, Twa-ceng. Bawa saudara-saudaramu dan suruh yang lain mengubur atau merawat yang luka-luka!"

Twa-hwesio terkejut. Dia berobah mendengar kata-kata gurunya dan saudara-saudaranya yang lain terbelalak. Tujuh Siluman Langit? Pantas! Tapi siapa di antara tujuh siluman itu yang datang? Kwi-bo atau Coa-ong? Rasanya bukan. Suara itu bukan suara Coa-ong dan juga Kwi-bo. Mereka merinding namun kemarahan tiba-tiba membakar lagi. Namun karena sang suhu sudah memerintahkan mundur dan adik mereka nomor tiga sudah ditolong suhu mereka, disedot dan ditarik keluar jarumnya maka empat saudara yang lain juga digotong dan dibawa masuk.

Mereka luka-luka dan puluhan mayat yang ada di situ diangkat dan dimasukkan ke dalam lubang yang telah dibuat. Dan ketika pintu gerbang juga sudah ditutup dan dipalang dari dalam, Go-bi menyatakan tak menerima tamu maka suasana di perguruan ini benar-benar suram dan penuh tanda berkabung. Bendera atau umbul-umbul hitam đipancangkan di tembok-tembok gerbang, tinggi dan memberi tahu kepada dunia luar bahwa Go-bi sedang bersuasana duka, tak menerima siapapun dan juga tak mengijinkan siapapun untuk keluar.

Para murid membaca liam-keng dan dengung atau suara orang membaca kitab ini terdengar di mana-mana. Ada yang membaca doa untuk arwah leluhur dan ada pula yang membaca doa untuk keselamatan diri sendiri. Sekali di tengah malam seluruh murid ditarik ke Ruang Genta untuk membaca kitab suci, memohon ampun dan keselamatan Go-bi secara umum. Tentu saja suaranya menyeramkan karena pukulan genta dan dengung yang membaca kitab disusul oleh kepulan asap hio yang harum menyengat, diiring suara jengkerik atau serangga malam yang seolah merupakan musik sendiri.

Musik binatang-binatang jalang yang tak mau kalah dengan manusia! Dan ketika hari ke lima Go-bi berdengung dalam doa-doa, setiap malam genta dan ketrik bunyi tasbeh susul-menyusul, tak ada habisnya maka tiba-tiba menjelang senja enam orang tosu telah berdiri di pintu gerbang minta dibukakan pintunya. Pintu gerbang itu setinggi lima meter!

"Siancai, pinto mohon ijin masuk. Harap para saudara di dalam membukakan pintu!"

Pintu gerbang tergetar. Seorang di antara para tosu itu yang mengetukkan tongkatnya mendadak membuat suara dinding berderak mengejutkan. Para murid yang tak menjaga tempat itu dan berada di ruang dalam tiba-tiba terperanjat. Seruan atau suara di luar itu terdengar tiga kali berturut-turut dan tiga kali itu pula pintu gerbang yang kokoh diketuk menggetarkan. Suaranya sampai ke dalam dan dinding tembok seakan dipukul benda keras, amat menggetarkan!

Dan ketika murid-murid tertegun namun beberapa di antaranya meloncat dan berlari mendekati pintu, membuka lubang kecil dan mengintai maka tertegunlah dia melihat enam tosu itu, tak mengenal siapa mereka. “Omitohud, Go-bi sedang tak menerima tamu. Siapakah kalian dan apakah tidak melihat bendera hitam di atas tembok!"

“Siancai!" sepasang mata berkilat bertemu dengan mata anak murid yang mengintai di lubang kunci ini, mata yang membuat anak murid itu terkejut. "Pinto dari Hoa-san dan Kun-lun, saudara muda, juga Heng-san yang ingin bertemu dan menghadap ketua Go-bi. Tolong beritahukan dan buka pintu!"

"Hoa-san? Kun-lun?”

"Ya, kami dari sana. Datang jauh-jauh ingin menemui ketua atau wakil ketua Go-bi yang terhormat!"

"Ah, kami sedang tak menerima tamu. Lagi pula sudah mulai malam. Besok saja kalian datang setelah hari ke delapan!”

"Siancai, kami jauh-jauh tak mengetahui tutupnya pintu gerbang ini, saudara muda, terlanjur ke mari dan tentu saja tak mungkin menarik keinginan kami. Tolong beri tahu kepada yang terhormat ketua Go-bi atau wakil ketuanya!”

“Kami tak dapat meluluskan permintaan ini," sang hwesio muda mendongkol. “Kami sudah memberi tahu bahwa Go-bi sedang tutup tak menerima tamu dan kalian kembali saja!"

“Hm, hwesio mana yang berani bicara seperti ini kepada yang terhormat ketua Hoa-san? Kalau tidak bisa diajak bicara baik-baik lebih baik kau tinggal di sini saja, berteriak dan panggil saudara-saudaramu!” seorang tosu bermuka merah tiba-tiba membentak dan tidak sabar. Dia menepuk pintu gerbang yang tebal itu dan mendadak hwesio muda ini menjerit. Dia tersengat arus listrik dan tahu-tahu tubuhnya menempel.

Dan ketika tiga yang lain juga begitu dan meronta-ronta dengan muka histeris, pucat dan berteriak-teriak maka para hwesio yang ada di dalam segera berhamburan dan menarik tangan atau pundak temannya ini. Tapi celaka. Begitu mereka memegang begitu pula tubuh mereka terhisap dan tersedot arus panas yang memancar di pintu gerbang itu.

Tosu muka merah ini bukan lain adalah ketua Heng-san yang berangasan, To Hak Cinjin. Dan karena orang-orang Heng-san memang terkenal berdarah panas dan cepat marah, seperti juga Tan Hoo Cinjin dan murid-murid yang lain maka begitu hwesio muda itu menyambut tak bersahabat tiba-tiba saja tosu ini gusar dan langsung menepuk pintu gerbang yang kokoh.

Dari telapak tangannya muncul semacam arus listrik dan kontan saja yang ada di dalam terpekik, kena sengat dan menempel tak dapat melepaskan diri. Dan ketika saudara-saudaranya yang lain terkejut dan ingin menolong, menarik atau membetot hwesio-hwesio muda itu mendadak merekapun tersengat dan belasan orang tiba-tiba menjerit dan meronta-ronta di balik pintu gerbang. Tangan atau kaki mereka lekat satu sama lain diserang tepukan sakti ketua Heng-san.

"Aduh, tobat... tolong!”

"Augh, mati aku. Tolong, para suheng. Di luar ada enam tosu siluman!”

Go-bi geger. Menjelang senja itu tiba-tiba perguruan ini kembali digemparkan oleh peristiwa baru. To Hak Cinjin tersenyum-senyum puas sementara hwesio-hwesio di dalam mendapat "pelajaran". Mereka itu berteriak-teriak dan yang lain meluruk dengan kaget, bingung dan tak berani memegang karena begitu dipegang tentu mereka tertempel pula. Persis orang kena strom! Dan ketika tosu itu terbahak-bahak sementara dua temannya yang lain mengerutkan kening dan tampak tak enak, perbuatan itu membuat keributan maka tosu berhidung mancung tiba-tiba berseru dan memukul perlahan pintu gerbang.

"Maaf, mereka cukup menderita, Heng-san-paicu (ketua Heng-san). Pinto kira cukup dan biarkan mereka melapor ke dalam.... plak!" lima jari tosu itu menggetarkan dinding, mengeluarkan tenaga lembut yang tiba-tiba menghilangkan pengaruh listrik itu. Dan ketika hwesio di dalam terlepas dan jatuh saling tindih, mereka pucat dan gentar maka tosu berhidung mancung itu berseru, "Tolong beritahukan bahwa kami ketua-ketua Heng-san dan Hoa-san serta Kun-lun ingin bertemu. Laporkan ketua kalian dan buka pintu gerbang!"

Para hwesio terkejut. Setelah mereka terlepas dari pukulan sakti To Hak Cinjin tiba-tiba mereka berubah wajah dan memandang satu sama lain. Yang mencelakai mereka itu ketua Heng-san padahal di situ masih ada ketua-ketua Kun-lun dan Hoa-san. Dan ketika mereka ribut-ribut namun berlarian menjauh, hajaran To Hak Cinjin membuat mereka ngeri maka semuanya ke dalam dan melapor kepada pimpinan atau orang-orang yang mereka anggap tokoh-tokoh Go-bi, kebetulan bertemu Pat-kwa-hwesio.

"Suheng, celaka. Enam orang tamu menyatroni tempat kita dan mereka minta bertemu ketua!"

“Hm, siapa mereka?" Twa-hwesio terkejut, tujuh saudaranya yang lain juga membuka mata, mereka sedang bersamadhi.

"Mereka adalah ketua-ketua Hoa-san dan Kun-lun, juga Heng-san!"

"Kun-lun-paicu dan Hoa-san-paicu?"

"Benar, dan Heng-san-paicu, suheng. Ketua Heng-san itu menyengat kami dengan pukulan listriknya. Banyak saudara yang celaka!”

“Benar, dan mereka minta dibukakan pintu gerbang. Kami bingung dan mohon petunjuk!”

"Hm, kalian mundur. Biar aku menyambut dan yang lain memberi tahu suhu!" Twa-hwesio bergerak, kaget dan seketika bangun berdiri dan cepat memerintah dua saudaranya untuk memanggil suhu mereka. Yang datang adalah ketua-ketua partai terkenal dan tentu saja mereka tak boleh main-main.

Twa-hwesio segera teringat peristiwa lima hari yang lalu dan tergetarlah hwesio ini oleh kedatangan tamu, Tentu untuk urusan dulu! Dan ketika hwesio ini memberi tanda dan berkelebat keluar, dua saudaranya mencari atau memberi tahu suhu mereka maka enam dari delapan Hwesio Segi Delapan ini sudah ada di pintu gerbang, menyambut tapi tetap di balik pintu, lubang kecil dibuka.

"Omitohud, selamat datang yang terhormat sam-wi-pangcu (tiga ketua) dari Heng-san dan Hoa-san serta Kun-lun, Kami Pat-kwa-hwesio mohon maaf karena tak tahu!”

“Heh, kalian Pat-kwa-hwesio?" To Hak Cinjin tiba-tiba berseru mendahului, melotot dan marah melihat murid-murid Ji Beng Hwesio ini. "Kalau begitu cepat buka pintu. Pinto To Hak Cinjin ingin bicara dengan kalian!”

"Maaf, kami sedang menunggu suhu. Yang terhormat Heng-san-paicu harap bersabar.”

"Apa, bersabar? Setelah kalian muncul di sini? Heh, menghormati Go-bi pinto tak menghancurkan pintu gerbang ini, Pat-kwa-hwesio. Cepat kalian buka pintu atau pinto menggedornya!"

Benar saja, pintu gerbang tiba-tiba digedor. Lubang kecil yang tak memuaskan ketua Heng-san-pai tiba-tiba dikorek dan melebar, kayunya hancur dan seketika itu juga menganga sebesar kepala manusia. Dan ketika Twa-hwesio terkejut sementara adiknya terbelalak dan marah, pintu digedor hingga berderak engselnya maka Ji-ceng melangkah dan berseru menegur lawan,

“Omitohud, pinceng heran melihat ini, Heng- san-paicu. Masakah seorang ketua bersikap kasar seperti bajak laut. Mohon paicu bersabar dan setelah suhu datang tentu pintu akan dibuka secara baik-baik!" Hwesio ini menggerakkan tangannya, menutup daun jendela kecil tapi sebenarnya mengerahkan tenaga mendorong balik pukulan atau gedoran itu. Tapi ketika To Hak Cinjin berseru keras dan semakin berang, diri sendiri disamakan dengan seorang bajak maka ketua Heng-san itu membentak dan pukulan dari dalam disambutnya dengan sentakan listriknya.

"Siancai, sungguh kurang ajar. Murid kelas rendahan berani menghina pinto. Awas, pinto ingin mengajar adat kepadamu!”

Ji-ceng terkejut, gerbang yang tebal dan kokoh mendadak menjadi panas luar biasa dan aliran listrik tegangan tinggi, tiba-tiba muncul di situ, menyengat atau menyambar lengannya, yang sedang menutup atau mendorong daun pintu kecil. Dan begitu hwesio ini berteriak dan terkejut, serangan Heng-san-paicu itu memang hebat sekali maka lengan hwesio ini tertempel dan tersedot tak dapat dilepaskan.

"Aiiihhhhh....!”

Seruan kaget itu mengguncang saudara-saudaranya yang lain. Lima hwesio melihat Ji- ceng meronta-ronta dan berteriak keras, mukanya pucat dan sekujur tubuh pun tiba- tiba berkeringat deras. Dan ketika Ngo-ceng serta Sam-ceng tak kuat menahan, berseru keras, tiba-tiba keduanya melompat maju dan menarik atau membetot suheng mereka itu.

"Jangan...!”

Namun terlambat. Twa-hwesio, yang tahu dan kaget mencegah tiba-tiba melihat saudaranya ketiga dan lima sudah maju menolong. Mereka itu menarik atau menyambar lengan suheng mereka itu. Tapi begitu dipegang dan ditarik mendadak keduanya berteriak kaget dan tersedot pula, meronta-ronta.

“Aihhhh, ilmu iblis. Tolong...!”

Twa-hwesio kaget. Dia dan saudaranya nomor empat dan enam terbelalak dengan muka berobah. Saudara-saudaranya itu baru saja sembuh setelah ditolong guru mereka, yakni ketika terluka dalam serbuan orang-orang liar itu. Tapi begitu dia hendak bergerak dan membentak Heng-san-paicu, bingung bagaimana menolong tiga orang saudaranya itu mendadak berkesiur angin dingin dan Ji Beng Hwesio muncul di situ, berseru nyaring,

"Omitohud, melawan anak-anak tak ada gunanya, Heng-san-paicu. Mohon kemurahan hatimu dan lepaskan murid-murid pinceng.... plak-plak!" lengan atau jari-jari Ji Beng Hwesio mencengkeram pundak murid-muridnya, bertemu dengan tenaga listrik namun Ji Beng Hwesio rupanya tak terpengaruh, buktinya hwesio itu tak apa-apa dan mampu menarik murid-muridnya mundur menjauhi pintu gerbang.

Dan ketika To Hak Cinjin berseru kaget karena arus serangannya lenyap membentur sesuatu yang kenyal, kuat namun lemas maka tosu ini terhuyung mundur dan sekali Ji Beng Hwesio mengebutkan ujung jubahnya maka pintu gerbangpun terkuak lebar-lebar. "Siancai, Ji Beng lo-suhu sungguh lihai!"

“Omitohud, pinceng sudah tua renta, tak memiliki kepandaian apa-apa. Selamat datang kepada sam-wi totiang dan silahkan masuk!"

Enam orang di depan tertegun. Ketua-ketua Hoa-san dan Kun-lun terkejut karena dengan begitu mudahnya Ji Beng Hwesio mengambil anak-anak muridnya. Sengatan listrik tak dirasakan hwesio itu dan mereka kagum karena pukulan Heng-san-paicu berhasil dipunahkan begitu gampangnya, padahal tadi setiap orang tentu tersedot dan tertempel. Ketua Heng-san itu memiliki apa yang disebut Thi-khi-i-hiat, menempel atau menyedot habis darah korban kalau terus disetrom.

Tapi begitu Ji Beng Hwesio mampu memunahkannya dan Thi-khi-i-hiat tak berpengaruh aba-apa, padahal tiga muridnya itu gosong dan pucat kebiru-biruan maka makumlah tokoh-tokoh di situ bahwa hwesio renta yang matanya meram melek ini benar-benar memiliki kesaktian tinggi. Kesaktian yang mampu mengalahkan Thi-khi-i-hiat, hal yang membuat To Hak Cinjin marah tapi juga penasaran!

"Siancai, Ji Beng lo-suhu kiranya yang datang. Bagus, pinto memang ingin ketemu dan menuntut perbuatan Go-bi terhadap murid-murid Heng-san!"

“Omitohud, mari silahkan sam-wi totiang masuk ke dalam. Hari sudah terlalu senja dan tak enak bicara di luar. Marilah, pinceng persilahkan masuk dan tak apa meskipun cuwi totiang telah membuat sedikit keributan!"

Ketua Kun-lun dan lain-lain merah mukanya. Mereka telah dipersilahkan masuk tapi kata-kata Ji Beng Hwesio cukup menampar. Mereka, ketua-ketua persilatan terkenal telah disindir sebagai orang-orang yang tak dapat memberi contoh yang baik, membuat ribut dan memaksa di rumah orang. Tapi karena urusan amatlah penting dan tiga orang ketua itu menebalkan muka, mereka memang ingin bertemu maka pintu gerbang ditutup ketika enam orang tosu itu masuk ke dalam.

"Kami tak bermaksud membuat ribut, tapl murid-murid lo-suhu yang tak segera membukakan pintu gerbang. Harap Ji Beng lo-suhu maafkan karena tentu lebih tak baik lagi kalau kami semua masuk dan melompati pintu gerbang!"

“Omitohud, pinceng mengerti. Tapi harap cuwi (anda sekalian) masuk dan mari kita bicara di dalam, Ji Beng Hwesio mengangguk-angguk, mengerti namun sinar matanya tetap tak menunjukkan kegembiraannya.

Pancaran tidak senang itu terasa oleh tiga ketua di sini namun mereka juga tidak perduli. Dan ketika tuan rumah mengajak mereka ke dalam dan dipersilahkan duduk, murid-murid yang lain diusir maka Ji Beng mengucap selamat datang dan mohon maaf bahwa sambutan amatlah sederhana, tak sebagaimana layaknya menyambut ketua-ketua partai terhormat.

"Go-bi sedang dilanda petaka, cuwi tentu tahu. Harap sambutan ini tak mengecilkan hati dan apakah maksud kedatangan cuwi."

"Hm, pinto datang untuk menuntut tanggung jawab Go-bi!” To Hak Cinjin berseru mendahului, bangkit berdiri. “Pinto ingin bertanya kenapa Go-bi sewenang-wenang kepada Heng-san, lo-suhu. Mohon jawaban dan tanggung jawab lo-suhu!"

"Siancai, pinto juga begitu!" sang ketua Kun-lun bangkit pula, mengebutkan ujung lengan bajunya. “Pinto dari Kun-lun juga ingin bertanya kenapa Go-bi menghina murid-murid kami, lo-suhu. Apa kesalahan mereka dan bagaimana kata-kata lo-suhu!"

"Dan pinto dari Hoa-san juga bermaksud sama," sang ketua Hoa-san menyibakkan jubah di lutut, bangkit mendampingi. "Pinto dari Hoa-san amat heran bagaimana Go-bi tiba-tiba sewenang-wenang dan mengandalkan kepandaian!"

"Hm, It Lun totiang dan To Hak Cinjin serta yang terhormat Kiam Leng Sianjin rupanya sama-sama membicarakan peristiwa lama. Baiklah, kita terus terang saja dan bicara sama terbuka. Pinceng ingin mendengar apa selanjutnya dan bagaimana Go-bi dituduh sepert itu."

“Eh, tiga murid Heng-san terbunuh di sini, Ji Beng lo-suhu. Dan kau tentu tak usah berpura-pura tak tahu akan ini. Murid-muridmu tentu melapor!"

"Omitohud, To Hak totiang sungguh berangasan, tak habis-habisnya menyerang pinceng. Baik, bagaimana dengan dua ketua yang lain?"

“Apakah kami tak dapat menemui yang terhormat ketua Go-bi?” It Lun Tosu, ketua Hoa-san tiba-tiba bertanya. Dia tak puas karena sejak tadi mereka hanya disambut Ji Beng Hwesio ini saja, yang kedudukannya wakil ketua. Dan ketika ketua Hoa-san itu bertanya sementara Kiam-Leng Sianjin ketua Kun-lun juga teringat tiba-tiba tosu ini angkat bicara, menyambung,

“Benar, apakah Ji Beng lo-suhu tak dapat memanggil yang terhormat ketua Go-bi untuk bicara dengan kami? Bukankah sepantasnya kami bertemu Ji Leng lo-suhu?"

"Maaf," Ji Beng Hwesio mengangguk perlahan. "Sebenarnya sam-wi pantas bertemu suhengku, totiang. Tapi suheng sementara ini sedang bertapa. Pinceng mewakilinya dan tak usah totiang kecil hati karena pinceng pantas menemui sam-wi bertiga. Suheng telah memberi kepercayaan!"

"Hm, pinto sih sebenarnya lebih puas kalau berhadapan dengan Ji Leng lo-suhu, bukan wakilnya. Tapi karena Ji Beng lo-suhu sudah menganggap pantas menyambut pinto biarlah pinto terima kenyataan ini dan mudah-mudahan apa yang Ji Beng lo-suhu katakan sesuai dengan kenyataannya!”

"Pinceng tentu dapat membuktikan itu," Ji Beng Hwesio tersenyum mengangguk, tahu bahwa dia akan diuji! “Tapi pembicaraan kita belum selesai, totiang. Sekarang bagaimana dengan yang lain dan apa pendapat ji-wi."

"Kami dari Kun-lun kehilangan dua jiwa," Kiam Leng Sianjin bicara, tak perlu lagi mengulur-ulur waktu. "Kalau Ji Beng lo-suhu sungguh sudah mendapat kekuasaan penuh tentu dapat menjawab ini dan sekaligus dituntut!"

"Hm, dan pinto dari Hoa-san bertanya kenapa Go-bi menghina murid-murid Hoa-san," It Lun Tosu juga bicara. "Mohon jawaban lo-suhu dan bagaimana penyelesaiannya!”

"Omitohud, sam-wi-paicu melontarkan tuduhan tak berdasar. Go-bi tak merasa melakukan hal-hal seperti itu dan biar pinceng jelaskan...”

"Eh, membunuh orang dianggap menuduh tak berdasar?" ketua Heng-san tiba-tiba membentak. "Jangan main-main, Ji Beng lo-suhu. Biarpun pinto di sarang macan tapi pinto tak takut!"

"Dan pinto juga heran akan kata-kata lo-suhu,” ketua Kun-lun juga mulai merah mukanya. "Bagaimana dua jiwa terbunuh dianggap melepas tuduhan tak berdasar!”

"Hm-hm, ji-wi-paicu (dua ketua berdua) harap bersabar, pinceng akan menjelaskan,” Ji Beng Hwesio tenang-tenang saja, matanya meram melek. "Apa yang pinceng katakan adalah apa yang pinceng lihat atau ketahui. Tuduhan itu memang tak berdasar karena Go-bi tak pernah mulai dulu karena orang-orang lainlah yang mulai dulu dan membuat kekacauan. Dua murid Kun-lun tewas dan tiga murid Heng-san binasa sungguh bukan kesalahan Go-bi. Mereka datang dan menyerang dan mereka itu yang mulai dulu!"

“Lo-suhu, meskipun mereka tamu-tamu tak diundang namun mereka bersikap baik, tidak kasar pada mulanya. Namun karena Go-bi bersikap tak bersahabat dan memaki anak- anak murid kami maka mereka membalas dan tentu saja tak mau dihina. Contohnya pinto sekarang ini. Baik-baik pinto datang dan bicara kepadamu, tapi kalau kau tak bersahabat dan menghina pinto tentu saja pinto akan membalas, marah. Tak ada akibat tanpa suatu sebab!”

“Betul,” Hoa-san-paicu kini bicara, nimbrung. "Mereka pada mulanya datang secara baik-baik, Ji Beng lo-suhu. Hanya karena sambutan Go-bi tak bersahabat dan memusuhi maka mereka bermusuhan dan akibatnya mereka tewas!”

“Hm, ji-wi totiang jangan mau menangnya sendiri," sang hwesio berkedip-kedip, sabar dan tetap tenang. "Go-bi takkan bersikap kasar kalau tamu-tamu juga tak bersikap kasar. Mereka datang dan berteriak-teriak, apakah kami harus menyambut baik? Maaf, pinceng menyalahkan mereka, ji-wi totiang. Dan tak sepantasnya orang-orang macam itu datang di Go-bi!"

“Kalau begitu lo-suhu lah yang mau menang sendiri. Pinto berpendapat bahwa kalau mereka salah maka Go-bi tak layak langsung menghukum. Mereka boleh ditangkap dan diserahkan kepada kami, para ketuanya!"

“Benar," Kun-lun-paicu kini juga mendapat kesempatan, merasa itu benar. “Kalau Go-bi menganggap mereka salah maka tak selayaknya mereka dibunuh, lo-suhu. Ada kami para ketuanya dan kepada kamilah mereka seharusnya diserahkan. Kami tak dapat menerima ini!"

Ji Beng Hwesio melebarkan matanya, Ketua Heng-san dan Kun-lun tiba-tiba berseru menyatakan pendapat, disusul kemudian oleh ketua Hoa-san yang juga tetap berpegang pada itu. Dan ketika mereka ramai-ramai berkata bahwa Go-bi tetap sewenang-wenang membunuh anak-anak murid mereka padahal seharusnya cukup ditangkap dan dimintakan keadilannya kepada ketiga ketua itu maka hwesio ini tiba-tiba berkilat matanya dan merah. 

Dia jadi repot karena kejadian itu bersifat kompleks, orang-orang itu datang bersama segerombolan pengacau yang datang membuat onar. Dan ketika tiga ketua sudah marah-marah dan hwesio inipun merah padam, para tamu menuntut tanggung jawab maka Ji Beng Hwesio berseru mengangkat tangannya.

"Stop, apakah sam-wi tahu bahwa murid-murid sam-wi itu datang bersama geombolan liar. Apakah sam-wi tahu bahwa mereka itu terbawa-bawa atau ikut-ikutan dengan orang lain!"

"Orang lain atau apa kami tak perduli, Ji Beng lo-suhu. Pokoknya kalau, mereka salah maka Go-bi seharusnya menangkap dan menyerahkannya kepada kamí. Kamilah yang akan bertindak dan meminta maaf kepada Go- bi, menghukum mereka!"

"Omitohud, tak segampang itu," hwesio ini mengebutkan ujung jubahnya. "Murid-murid kalian itu bercampur-baur dengan para pengacau, sam-wi totiang. Dan kami tentu saja tak dapat membedakannya. Kami menganggap mereka juga mengacau karena datang membuat ribut!"

"Kalau begitu apa yang mereka ributkan. Untuk apa mereka datang!”

Ji Beng Hwesio tertegun. Seruan atau pertanyaan ketua Heng-san-pai itu tiba-tiba membuatnya terbelalak, alis berkerut-kerut dan mendadak hwesio ini mengeratakkan gigi. Dan karena mau tak mau ia harus bicara apa adanya maka sambil menggeram ia menjawab, "Mereka orang-orang gila yang ingin mencari sesuatu di sini, sam-wi totiang. Datang dan ingin meminta benda yang tidak ada.”

"Benda apa itu, tak usah lo-suhu berputar- putar!"

“Sebuah kitab.”

"Apakah Bu-tek-cin-keng? Benarkah kitab itu kitab rahasia yang dimiliki Go-bi?"

"Hm, Go-bi tak memiliki apa-apa yang patut diperebutkan, Heng-san-paicu. Semua itu omong kosong yang sengaja ditiup-tiupkan orang. Go-bi tak memiliki semua itu!"

"Tapi mereka buktinya datang, dan kabar ini tak mungkin bohong. Eh, sebagai orang-orang persilatan wajarlah mereka kalau ingin tahu, lo-suhu. Dan pinto dapat memaklumi kalau Go-bi kedatangan banyak tamu. Tapi Go-bi tak selayaknya main bunuh, dan ini yang pinto tidak senang!”

"Benar, kalau kitab itu benar tidak ada maka tak seharusnya Go-bi main bunuh, lo-suhu. Kalian dapat mengusirnya dan menyuruhnya pergi. Atau kalian memang bertangan kejam dan pinto dengar bahwa murid keponakanmu Beng Kong Hwesio bertangan telengas. Nah, mana dia itu dan serahkan kepada kami untuk dimintai tanggung jawab. Atau kami semua tak akan pergi dan mencari dia sampai dapat!"

Yang lain tiba-tiba mengangguk-angguk. Para ketua Kun-lun dan Hoa-san serta Heng-san itu tiba-tiba bersikap keras. Mata mereka bersinar-sinar dan masing-masing tampak saling lirik ketika kitab Bu-tek-cin-keng disebut-sebut. Ji Beng Hwesio mengatakan tak ada tapi orang-orang berdatangan di situ. Berarti pasti ada apa-apa!

Dan ketika tuan rumah terbelalak dan melebarkan matanya, tiga tamu itu bersiap untuk bertindak lebih keras maka di luar ruangan tiba-tiba terdengar ribut-ribut dan Ji Beng Hwesio berubah ketika teriakan-teriakan para murid gaduh mengguncangkan suasana.

“Maling... maling... ada pencuri membawa kitab!"

“Benar, dia keluar dari Ruang Merah. Dia membawa Bu-tek-cin-keng!"

Semua hadirin mendadak terkesiap. Bu-tek-cin-keng, kitab yang baru saja disebut-sebut dan dinyatakan tidak ada mendadak saja bergema dan memantul dari mulut ke mulut. Yang berteriak adalah murid-murid Go-bi dan To Hak Cinjin tiba-tiba tersenyum mengejek kepada Ji Beng Hwesio.

Hwesio itu terkejut dan tersentak ketika Bu-tek-cin-keng tiba-tiba disebut-sebut. Seseorang berkelebat di luar dan tampaklah murid-murid Go-bi mengejar dengan teriakan-teriakan riuh. Dan ketika pencuri itu ternyata seorang hwesio pula yang berkepala gundul, masih muda namun memiliki tindakan yang gesit maka tiga ketua tertegun.

.....Halaman 39, 40 hilang.....

"Hwesio kerdil, jangan kau main-main di sini!"

Hwesio itu terkejut. Dia baru saja meloncat bangun dari kibasan Ji Beng Hwesio, tahu-tahu kini sebuah bayangan menyambar dan kedua tangan mirip rajawali mencengkeram batok kepalanya. Dan karena ia amat terkejut serta tak ada kesempatan mengelak, mau tidak mau harus menangkis maka ia menggerakkan tangannya dan lupa bahwa tangan yang satu masih mengempit dan membawa kitab, serangan To Hak Cinjin tiba-tiba berubah karena tangan itu ditarik cepat untuk meraih atau menyambar kitab yang jatuh.

"Plak-brett...!” hwesio muda itu berteriak karena tahu-tahu ia terpental dan kitabnya sudah dirampas.

“Ha-ha!" To Hak Cinjin gembira dąn melihat kitab itu, kitab rampasan. “Kiranya Bu-tek-cin-keng, lo-suhu. Berarti kau bohong bahwa di sini tak ada kitab!"

Ji Beng Hwesio terkejut. Dia melihat pencuri itu bergulingan meloncat bangun kini melarikan diri, kecewa namun tak berani merampas kitabnya karena di situ ada orang-orang lihai. Ketua Kun-lun dan Hoa-san juga berkelebat dan berdiri di samping ketua Heng-san-pai itu. Dan ketika masing-masing juga terbelalak dan membaca kitab itu, yang ternyata Bu-tek-cin- keng maka Kiam Leng Sianjin maupun It Lun Tosu tertegun dan merasa dipermainkan.

"Benar, Bu-tek-cin-keng. Ji Beng lo-suhu sungguh sampai hati berbohong. Siancai sebuah dosa bagi murid Buddha!"

Wakil ketua Go-bi itu pucat. Dia tiba-tiba ditelanjangi karena Bu-tek-cin-keng berada di tangan lawan. To Hak Cinjin tertawa bergelak dan jelas ketua Heng-san-pai itu mengejek padanya. Matanya bersinar-sinar dan pandangan sungguh merendahkan. Tertamparlah hwesio ini. Namun ketika ia menjadi marah dan tak perduli kepada si pencuri, yang sudah lenyap dan dikejar murid-murid Go-bi maka hwesio ini berkelebat dan tiba-tiba merampas kitab itu, kitab yang masih dibawa ketua Heng-san-pai.

"Omitohud, barang millk Go-bl tak boleh dibawa orang lain, Heng-san-paicu. Biar pinceng simpan dan kembalikan!”

Namun To Hak Cinjin membalik dan cepat menyimpan kitab itu di balik saku bajunya yang lebar. Ia marah dan mendongkol kepada hwesio ini karena Ji Beng Hwesio bersikap tak jujur. Tadi mengatakan tak ada Bu-tek-cin- keng namun nyatanya kitab itu ada di situ. Dan karena ingin membalas dan melepas kemarahan, tentu saja tak mau memberikan kitab maka ketua Heng-san itu melompat dan mundur menjauh, berseru nyaring.

"Lo-suhu, kau telah menipu dan mempermainkan kami. Sementara kitab kami pinjam sebagai hukuman untuk ketidakjujuranmu!”

"Eh!" hwesio itu terkejut, terkamannya luput. "Kau jangan membuat onar, Heng-san-paicu. Bu-tek-cin-keng tak boleh dibawa orang lain karena itu pusaka Go-bi!"

“Ha-ha, pusaka tinggal pusaka. Tapi kebohongan dan ketidakjujuranmu harus dibayar. Kau telah mempermainkan kami!"

"Apakah totiang hendak mengangkangi barang milik orang lain?"

"Tutup mulutmu!" ketua Heng-san-pai itu membentak. "Pinto tak bermaksud mengangkangi milik orang lain, Ji Beng lo-suhu. Tapi semata ingin memberi pelajaran kepadamu dan meminjam kitab ini barang sebulan dua, bergantian dengan dua ketua Kun-lun dan Hoa-san!"

"Benar," Kiam Leng Sianjin dan It Lun Tosu tíba-tiba juga berseru, mata berkedip dan sama-sama melompat di sebelah To Hak Cinjin, di samping melindungi barangkali juga menjaga agar ketua Heng-san-pai itu tidak kabur! Maklumlah, Bu-tek-cin-keng tiba-tiba menggetarkan hati mereka dan keinginan yang amat rahasia mendadak muncul dan membuat dua ketua itu mempunyai rencana buruk! “Kami berdua setuju dengan kata-kata To Hak Cinjin, Ji Beng lo-suhu. Biarkan kitab itu di tangan kami bertiga selama sebulan dua. Bukan untuk dikuasai melainkan sekedar dipinjam. Hitung-hitung untuk pembayar kebohonganmu yang telah mempermainkan kami!"

"Ah!” hwesio ini tiba-tiba marah, matanya mencorong. "Apa yang kalian katakan ini, sam-wi totiang. Bu-tek-cin-keng tak mungkin boleh di bawa-bawa karena itu milik Go-bi. Kalau pinceng dianggap berbohong maka itu adalah karena rahasia Go-bi. Pinceng akan membayarnya dengan apa saja asal jangan dengan kitab itu. Kembalikan!"

“Ha-ha, pinto tetap ingin menghukummu dengan meminjam kitab ini. Cukup sepadan untuk ketidakjujuranmu. Kecuali kalau dua rekanku dari Kun-lun dan Hoa-san tidak sependapat!"

“Tidak... tidak, kami sependapat!" It Lun Tosu tiba-tiba berseru, mata sudah bersinar-sinar menjenguk ke balik baju ketua Heng-san. "Pinto juga tak mau lain kecuali itu, Ji Beng lo- suhu. Dan ini pantas untukmu yang telah mempermainkan kami!”

"Dan pinto akan menghabiskan persoalan murid-murid yang terbunuh dengan jalan ini. Kalau Ji Beng lo-suhu menyadari kesalahan!" ketua Kun-lun juga berseru.

Ji Beng Hwesio tentu saja melotot. Mata yang semula meram melek dan sering ditutup itu kini mendadak dibuka lebar-lebar dan menyorotkan hawa seperti api. Panas membakar. To Hak Cinjin dan lain-lain terkejut karena mendadak mereka surut selangkah. Pandangan Ji Beng Hwesio sungguh membuat orang merasa ngeri karena seakan seekor naga yang marah besar, murka dan siap menerjang!

Dan karena mereka waspada dan tentu saja tak mau kedahuluan, maklum bahwa hwesio ini adalah sute Ji Leng Hwesio yang amat lihai maka To Hak Cinjin tiba-tiba berseru menghilangkan rasa kagetnya oleh sinar mata lawan yang mencorong itu, mata yang seperti naga, tua tapi menyembunyikan kedahsyatan yang mengerikan.

"Lo-suhu, jangan menyalahkan kami. Tengok kesalahanmu dan sadarlah. Kami akan bersikap baik-baik kalau kau atau Go-bi juga bersikap baik-baik!"

"Tak bisa!" hwesio itu tiba-tiba membentak dan berkelebat ke depan, geram atau kerot giginya berderit-derit. "Kembalikan itu atau pinceng marah besar, Heng-san-paicu. Serahkan dan kembalikan Bu-tek-cin-keng!"

Namun To Hak Cinjin berseru marah. Tosu ini adalah tosu yang paling berangasan dan mudah terbakar. Murid atau orang-orang Heng-san-pai memang sudah dikenal sebagai orang-orang yang gampang naik darah, temperamen mereka tinggi. Maka begitu diserang dan Ji Beng Hwesio berkelebat maju, tangan bergerak dan melepas pukulan maka tosu inipun tak mau kalah dan kebetulan rasa penasarannya ingin dilampiaskan, penasaran oleh peristiwa di pintu gerbang.

"Pinto juga tak takut kepadamu... duk-plakk!”

Dua pukulan beradu dan menggetarkan dinding. Ji Beng Hwesio mengeraskan lengan jubahnya dan ketua Heng-san mengeraskan lengannya. Dua-duanya sama-sama mengerahkan sinkang dan tentu saja anak-anak murid yang ada di dekat situ terpelanting dan berteriak. Adu pukulan itu serasa tumbukan dua ekor gajah yang sama-sama marah. Tapi ketika To Hak Cinjin masih terhuyung dan terbelalak merah, dia kalah kuat maka tosu ini melengking dan tiba-tiba menerjang maju.

"Ji Beng lo-suhu, kau hebat dan mengagumkan. Tapi mari kita main-main lagi dan lihat pukulan pinto.... wut-wutt!" dan si tosu yang bergerak dan berkelebatan menyambar-nyambar tiba-tiba sudah mendahului dan melepas serangan. 

To Hak Cinjin terkejut dan penasaran karena dua kali ia dibuat kaget. Pertama di pintu gerbang itu dan kini kedua kalinya di sini, adu pukulan yang membuat ia terhuyung, kalah kuat! Dan ketika tosu itu melengking dan berkelebatan menyambar-nyambar, lengan dan kakinya bergerak dengan cepat maka Ji Beng Hwesio sudah dikurung serangan dan sedikitpun hwesio itu tak dapat mengelak.

Tapi hwesio Go-bi ini juga tidak bermaksud mengelak. Dia sudah dikurung dari segala penjuru dan ujung lengan bajunya itulah yang dipakai. menangkis. Empat lima kali ujung baju meledak dan empat lima kali itu pula lawan dibuat terpental. To Hak Cinjin semakin kaget! Dan ketika hwesio itu juga mulai bergerak meliuk-liuk, kaki menancap dan hanya berputaran di lantai ruangan maka kebutan semakin sering den setiap meledak tentu membuat anak murid berteriak, tak tahan.

"Mundur, yang lain mundur!"

Su-hwesio, murid keempat Ji Beng Hwesio berseru menyuruh murid-murid yang lain mundur. Tiga dari Pat-kwa-hwesio ada di situ sementara lima yang lain mengejar atau membekuk pencuri. Mereka di sini sudah tidak mengurus pencuri itu karena To Hak Cinjin sudah mengambil alih. Kitab Bu-tek-cin-keng sudah di tangan ketua Heng-san-pai itu dan bukannya di tangan si pencuri, yang ternyata adalah seorang hwesio gadungan yang menyamar dan menerobos masuk.

Go-bi kecolongan tapi Ji Beng Hwesio segera tahu bahwa orang itu bukanlah murid Go-bi, karena tangkisan yang dilakukan bukanlah ilmu silat Go-bi-pai dan wakil Go-bi ini tentu saja tahu. Dan karena kitab sudah dirampas To Hak Cinjin dan ketua Heng-san-pai ini tak mau menyerahkan kitab, itu adalah milik Go-bi maka Ji Beng Hwesio menjadi marah dan tak dapat mengendalikan diri lagi.

Serang-menyerang terjadi tapi sementara ini tuan rumah sebagai pihak yang didesak, bertahan dan mementalkan pukulan-pukulan lawan dan To Hak Cinjin menjadi berang. Ketua Heng-san-pai itu membelalakkan mata karena semua pukulan-pukulannya selalu tertolak, Bahkan, bukan hanya tertolak melainkan juga dia dibuat terdorong dan terhuyung-huyung! Dan ketika tosu itu melengking-lengking dan membentak agar Ji Beng Hwesio mundur, atau dia akan mencabut pedang maka hwesio Go-bi ini menjengek berkata tenang.

"Totiang boleh keluarkan senjata, pinceng akan bertangan kosong. Kalau totiang masih tidak puas boleh suruh yang lain maju!”

"Kau menantang kami?" ketua Kun-lun tiba-tiba membentak. "Jangan sombong atau menghina kami, Ji Beng lo-suhu. Kami bukan sebangsa pengeroyok atau orang-orang licik!"

Ji Beng Hwesio tak menjawab. Sebenarnya yeng dia maksudkan adalah tosu yang selalu berada di belakang ketua Heng-san ini. Dia bukan lain adalah Tan Hoo Cinjin yang mengawal ketuanya, sementara di sana adalah Kiam Cu Cinjin dan Ko Pek Tojin. Masing-masing ketua Kun-lun dan Hoa-san serta Heng-san itu membawa orang-orang mereka sendiri, yang dulu pernah datang tapi melarikan diri setelah ratusan pengacau datang di Go-bi, menyerang hwesio-hwesio Go-bi tapi juga mereka bertiga. 

Dan karena Ji Beng muncul dan semua dipukul mundur, tiga tosu ini menyelinap dan melarikan diri maka hari itu mereka datang lagi mengiring ketua. Maksudnya hanya sebagai saksi tapi sebelum pembicaraan selesai tiba-tiba muncul pencuri Bu-tek-cin-keng.

Kitab itu dirampas dan kini Heng-san-paicu berhadapan dengan Ji Beng, bukan sebagai tamu dengan tuan rumah melainkan sebagai dua orang yang sedang bertanding. Dan karena pertempuran dirasa merugikan ketua Heng-san itu, semua pukulan-pukulan atau serangannya tertolak Ji Beng Hwesio maka tosu ini mengancam untuk mengeluarkan senjata, ancaman yang sebenarnya gertakan saja agar hwesio itu mundur, berpikir baik-baik. Tapi begitu lawan menjawab tantangannya dan dia malah disuruh mengeluarkan senjata, yang lain boleh maju mengeroyok maka Heng-san-paicu meledak dan kemarahannya tiba-tiba sampai di ubun-ubun.

"Heh, kau keluarkan senjatamu, Ji Beng lo-suhu. Pinto akan mencabut pedang dan jangan sombong berkata congkak!"

"Pinceng tak akan mengeluarkan senjata," Ji Beng Hwesio berkata dingin, tetap pendirian. "Kau keluarkan pedangmu, totiang. Dan pinceng ingin menyelesaikan persoalan ini dengan cepat."

"Kau tak mau mengalah?"

"Bu-tek-cin-keng lebih segala-galanya dibanding pinceng. Nyawa pincengpun siap menjadi taruhannya."

"Keparat, kalau begitu kaupun mampuslah... singg!" dan sebatang pedang bersinar kuning yang tiba-tiba menyambar dan membabat kepala hwesio ini tiba-tiba mendesing namun cepat dikelit lincah. Ji Beng tak bicara apa-apa namun ujung jubahnya tiba-tiba mengepret ke udara. Pedang mengejar dan mendesing lagi. Dan ketika hwesio itu mengelak namun mengangkat tangannya ke atas maka jubah bertemu pedang dan memuncratlah bunga api membuat orang kaget.

“Cringg!”

Heng-san-paicu tersentak. Dia merasa lempengan baja bertemu pedangnya tadi, lempengan yang ternyata ujung jubah yang sudah diisi sinkang. Dan ketika dia melengking dan menggerakkan pedangnya lagi, berkelebat, maka pedang kembali bertemu jubah dan terdengar suara nyaring itu sebanyak dua kali.

"Cring-crangg!"

To Hak Cinjin terbelalak. Dia terkejut karena dua kali pedangnya disampok jubah, sampokan bukan sembarang sampokan melainkan sampokan yang membuat telapaknya pedas dan sakit-sakit! Dan ketika tosu itu terkejut tapi marah bukan main, tentu saja naik pitam maka To Hak Cinjin sudah bergerak seperti terbang dan tangan kirinya ikut naik turun menyambar-nyanmbar!

"Bagus, kau hebat tetapi sombong!" sang tosu membentak dan marah serta penasaran. "Hayo balas serangan pinto, Ji Beng Hwesio. Atau kau mampus dan Go-bi kehilangan seorang pemimpinnya!"

"Hm, pinceng memang akan membalas," sang hwesio tenang mengelak sana-sini, mengebut dan menampar kelebatan cahaya pedang. “Tapi Go-bi tak akan kehilangan pinceng, To Hak totiang, dan justeru Heng-sanlah yang pinceng khawatir akan kehilangan nama!"

"Kau cerewet, sombong dan semakin banyak tingkah saja. Hayo buktikan omonganmu atau kau mampus.... crat!" dan pedang yang bergerak menabas lantai, luput mengenai si hwesio tiba-tiba diiring ketawa dingin ketika mendadak Ji Beng Hwesio bergerak lenyap.

Hwesio itu menjejakkan kakinya dan hilang entah ke mana, pedang menyambar dan membacok mengenai lantai yang diinjaknya tadi, pecah dan terbelah dan hebat tenaga ketua Heng-san-pai ini. Tapi ketika sang ketua berteriak kehilangan lawan, kaget karena itu bahaya maka benar saja bayangan Ji Beng Hwesio muncul lagi dan tahu-tahu berada di belakangnya, mengetuk tengkuk. “Paicu, hati-hati!"

Sang tosu terkejut bukan main. Dia membalik dan pedang menyambar secepat kilat. Tapi ketika pedang bertemu jubah dan terbelit, jubah tidak lagi keras melainkan lemas dan kuat, menangkap dan membetot maka jubah yang lain menyambar dan tetap saja menghantam tengkuk.

“Plak-dess!"

Heng-san-paicu melepas pukulan tangan kirinya. Dalam saat-saat seperti itu tak ada lagi jalan lain kecuali menggerakkan tangan kirinya. Pukulan dahsyat menghantam namun Ji Beng Hwesio rupanya lebih waspada, atau memang lebih lihai. Karena begitu pedang tertangkap jubah dan To Hak Cinjin masih menangkis dengan tangan kirinya, pedang dibetot dan ditarik.

Maka kedudukan tosu itu tiba-tiba terguncang karena terbawa maju. Dan ketika dia terkejut karena tangkisan tangan kirinya tentu saja lemah, tubuh atau tangannya sudah tergetar oleh kecerdikan hwesio ini maka To Hak Cinjin terpelanting dan pedangnya terampas musuh, tengkuk terkena pukulan dan meledak bagai petir!

"Aughh!”

Semua kaget. Heng-san-paicu terguling-guling dan berkelebatlah Tan Hoo Cinjin menolong ketuanya. Tapi ketika ketua itu dapat melompat bangun dan terhuyung, jatuh terduduk maka semua lega karena si tosu tidak sampai tewas, meskipun mendapat pukulan keras.

"Omitohud, pinceng menyesal. Tapi serahkan kitab dan pínceng tak akan mengganggu lagi!"

“Tidak!” To Hak Cinjin tiba-tiba berteriak, melihat Ji Beng berkelebat dan meminta kitab. “Sekarang kau berhadapan dengan kami, Ji Beng Hwesio. Setelah merobohkan ketua-ketua Kun-lun dan Hoa-san bolehlah kau mendapatkan kitabmu.... wut!”

Bu-tek-cin-keng tiba-tiba dilempar, bukan kepada hwesio ini melainkan kepada Kiam Leng Sianjin yang sudah mendapat isyarat agar mendekat, menerima dan tentu saja menangkap kitab. Dan ketika kitab sudah berpindah tangan dan Ji Beng tertegun, wakil Go-bi itu terbelalak maka dia berkelebat dan kini berhadapan dengan ketua Kun-lun-pai itu.

"Maaf, berikan pada pinceng, Kun-lun-paicu. Kau tentu tahu bahwa barang yang bukan haknya tak boleh dimiliki orang lain!"

"Hm!” Kiam Leng Sianjin tertawa memutar, antara maju dan juga mundur. Ji Beng Hwesio telah mengalahkan ketua Heng-san. "Kau mengagumkan, lo-suhu, tapi juga terasa sombong dan semakin congkak. Kau telah mendengar permintaan kami bahwa kitab ini hanya kami pinjam saja, bukan untuk dimiliki. Dan karena kau telah berbohong maka sepatutnya kebohonganmu dibayar!"

“Tapi jangan dengan itu, Bu-tek-cin-keng terlalu keramat!"

"Ah, ini justeru setimpal. Kalau lo-suhu mau berslkeras apa boleh buat pinto pun akan memegang teguh keinginan teman-teman. Pinto juga siap menerima pelajaranmu dan biarlah pinto mulai!” dan Kiam Leng Sianjin yang takut didahului lawan, membentak dan sudah menyerang tiba-tiba mencabut pedangnya dan langsung berkelebat dengan jurus-jurus dari Kun-lun Kiam-sut yang lihai. Tosu ini telah melihat kehebatan lawan dan tak mau berlama-lama. Lawan tentu marah dan akan menyerang.

Maka begitu berseru dan memberi tahu lawan, mata berkedip kepada Hoa-san-paicu tiba-tiba kitab telah disimpan dan bertubi-tubi ketua Kun-lun-pai ini menyerang Ji Beng Hwesio. Kepandaian lawan yang luar biasa dan telah merobohkan Heng-san-paicu cukup memberi tahu bahwa wakil Go-bi ini benar-benar lihai. Kalau wakilnya saja sudah sedemikian apalagi ketuanya! Kiam Leng Sianjin terus terang merasa gentar!

Namun karena di situ ada ketua Hoa-san dan To Hak Cinjin sudah bangkit dipapah pembantunya, berdiri dan tampaknya kuat untuk bertempur lagi maka Kiam Leng Sianjin yang mengilar dan memberatkan Bu-tek-cin-keng tiba-tiba berdalih dengan kebohongan si hwesio dan bertekad untuk memberi "hukuman". 

Ji Beng dinyatakan bersalah dan untuk kesalahannya itu Bu-tek-cin-keng harus dibawa, hal yang tentu saja tak akan dijinkan hwesio ini dan terbeliaklah mata si hwesio oleh keputusan lawan. Dan ketika pedang menyambar-nyambar dan Kun-lun-paicu tak memberi kesempatan, menyerang dan terus menyerang maka Ji Beng Hwesio, menggeram perlahan dan sikap sabarnya sirna.

"Totiang, kau tak malu-malu mengangkangi benda milik orang lain? Kau sebagai seorang ketua hendak berdalih meminjam kitab dan membawa Bu-tek-cin-keng? Omitohud, pinceng tak akan bersabar lagi, totiang, dan maaf kalau pinceng bersikap keras.... plak-plak!" dan pedang yang ditangkis serta ditampar jubah, berdentang dan terpental tiba-tiba disusul gerakan tubuh si hwesio yang beterbangan dan melejit ke sana-sini.

Ji Beng tiba-tiba mengeluarkan ilmunya dan sikap mengalah yang masih tersisa mendadak lenyap. Si hwesio menjadi garang dan meluncurlah kilatan-kilatan petir dari ujung jubah yang meledak-ledak. Dan ketika sebentar kemudian Kiam Leng Sianjin terdesak hebat dan berseru menangkis, dari mendesak berbalik terdesak tiba-tiba berseru keras ketika pedangnya terpental. Dan ketika tosu itu pucat karena pedang terlepas tanpa sadar, pukulan atau tamparan jubah membuat jari-jarinya melepuh maka saat itulah tengkuk disambar jubah dan roboh pula seperti Heng-san-paicu.

"Augh... plak-dess!"

Kiam Leng Sianjin terguling-guling. Cepat dan luar biasa tahu-tahu iapun menjadi korban. Dan ketika pembantunya melompat dan akan menolongnya, tosu itu merintih maka Ji Beng berkelebat dan hendak merampas kitabnya. Namun seperti To Hak Cinjin tiba-tiba ketua Kun-lun ini melampiaskan marah dengan melempar kitab kepada Hoa-san-paicu. Saat itu ketua Hoa-san inilah yang masih ada, berdiri dan tertegun karena pertandingan di antara Kun-lun-paicu ini dengan Heng-san-paicu sungguh berjalan setengah dari yang pertama.

Bukan karena Kiam Leng Sianjin telalu rendah melainkan karena Ji Beng Hwesio tiba-tiba mengeluarkan ilmunya yang luar biasa dan robohlah ketua Kun-lun-pai itu, cepat dan mengejutkan. Tapi ketika ketua Kun-lun itu melempar kitab dan berseru padanya, Hoa-san-paicu sadar dan menangkap kitab maka ketua Hoa-san-pai itu berseru keras dan menerjeng Ji Beng yang lagi-lagi tertegun dan membelalakkan mata.

"Ji Beng, kau benar-benar hebat dan mengagumkan. Tapi pinto harus membela teman. Maaf dan mari main-main dengan pinto sebelum kau mendapatkan Bu-tek-cin-keng!"

Sang hwesio menjublak. Dia sudah akan mendapatkan kitabnya ketika tiba-tiba kitab dilempar dan diterima Hoa-san-paicu. Tampak bahwa ketua-ketua Kun-lun dan Hoa-san serta Heng-san keluar tamaknya. Maklumlah, Bu-tek-cin-keng memang hebat. Maka begitu diserang dan hwesio ini menjadi marah, menangkis dan membentak tiba-tiba ketua Hoa-san itu terpelanting dan kaget berteriak keras.

"Haii...des-dess!" sang tosu terpekik dan terguling-guling. Baru satu jurus saja tiba-tiba dia dikebut dan terlempar. Dan ketika dia meloncat bangun lagi sementara murid-murid Go-bi berdatangan mengepung, pencuri itu tertangkap dan kini diikat kaki tangannya maka Hoa-san-paicu marah besar dan menerjang lagi, membentak dan menggerakkan pedangnya namun dengan satu dua kebutan tosu itu dipentalkan lagi.

Hal ini terjadi dua tiga kali dan It Lun Tosu kaget sekali. Dulu, seingatnya, Ji Beng Hwesio ini tidaklah selihai sekarang. Ketua-ketua Kun-lun dan Hoa-san maupun Go-bi setingkat, begitu pula Heng-san. Tapi begitu dijungkir balik dan wakil Go-bi ini amatlah hebatnya, sekali dua cukup membuatnya terpelanting atau terguling-guling maka It Lun Tosu teringat dan pucat menggenggam Bu-tek-cin-keng itu. Berkat inikah Ji Beng Hwesio menjadi lihai? Berkat Bu-tek-cin-kengkah wakil Go-bi itu menjadi hebat?

Kalau Ji Beng sudah meningkat demikian pesat apalagi suhengnya, Ji Leng Hwesio. Dan mendengar bahwa ketua Go-bi sedang bertapa, hal yang amat tidak biasa maka It Lun Tosu menjadi marah tapi juga kagum bukan main, Bu-tek-cin-keng betul-betul kitab yang luar biasa. Kalau tidak luar biasa tak mungkin dicari-cari orang! Tapi ketika tosu itu memekik dan menerjang lagi, marah tapi juga kagum tiba-tiba berkelebatan tiga bayangan dan Kwi-bo serta Coa-ong muncul, bersama seorang kakek lain yang terke-keh-kekeh....

Prahara Di Gurun Gobi Jilid 06

Cerita Silat Mandarin Serial Prahara Di Gurun Gobi Karya Batara

"AIHHH... keparat!" hwesio tertua lupa dirí. Hwesio ini membentak dan melengking karena tiba-tiba dari enam orang saudaranya mendadak empat sudah roboh terluka. Mereka bertujuh tinggal bertiga dan tentu saja hwesio itu marah bukan main. Dan ketika dia membentak dan mengayunkan toyanya ke kiri kanan, menyergap bagai elang haus darah tiba-tiba delapan orang roboh dengan kepala hancur, kena sapuan toyanya itu.

“Mundur, atau pinceng membunuh...!"

Yang lain terkejut. Hwesio yang murka itu berobah menjadi ganas, kembali menyergap dan robohlah tujuh orang oleh sapuan toyanya yang dahsyat. Dan ketika dua hwesio yang lain juga membentak dan mengikuti suhengnya, berkelebatan dan menyambar-nyambar tiba-tiba tiga orang hwesio ini menjadi algojo yang keras dan tidak kenal ampun. Puluhan tubuh malang-melintang namun tiba-tiba terdengar suara ser-ser dua kali.

Yang pertama menghamburkan belasan jarum-jarum hitam sementara yang kedua puluhan jarum-jarum merah, hitam dan merah silih berganti. Dan ketika semua itu menyambar tiga hwesio ini dan hweslo ketiga mengeluh tertahan, menyampok namun tertancap sebatang jarum maka hwesio itu terhuyung dan jatuh terduduk, Seluruh tubuh tiba-tiba gatal dan merah terbakar. Jarum yang menancap demikian lembut dan kini memasuki aliran darahnya!

“Augh, seseorang mencurangi pinceng. Awas musuh yang amat berbahaya!"

“Ha-ha!" sebuah suara terdengar menyeramkan, lagi-lagi suara tanpa rupa itu. "Mampus kalian, hwesio-hwesio Go-bi. Ayo serbu dan serang mereka. Maju lagi!”

Hwesio tertua pucat. Dia melihat adiknya nomor tiga itu menggigil dan menggaruki seluruh tubuhnya, semakin digaruk semakin gatal tapi juga panas. Saudaranya itu mengeluh dan akhirnya bergulingan ke sana ke mari, berteriak-teriak. Tapi ketika dia membentak dan berkelebat mau menolong, ratusan orang itu tertegun tapi tiba-tiba sadar mendadak mereka berteriak dan menyerbu lagi. Suara tanpa rupa itu benar-benar pendorong atau pemimpin di balik layar.

“Betul, serang mereka lagi. Bunuh!"

Twa-hwesio melotot. Dia dihadang puluhan senjata ketika mendekati adiknya nomor tiga itu, tentu saja membentak dan menggerakkan toyanya dengan dahsyat. Dan ketika puluhan orang itu mencelat terlempar, hwesio ini benar-benar luar biasa maka Ji-hwesio, saudaranya nomor dua juga sudah diserbu dan dikeroyok lagi, hwesio nomor tiga berteriak- teriak dan berkelojotan seperti cacing di atas wajan panas!

"Aduh, keparat.... tolong.... tolong pinceng!"

Namun tak ada yang menolongnya. Jarum halus itu menyusup semakin cepat dan sebentar kemudian sudah mendekati jantung. Twa-hwesio dan Ji-hwesio dikeroyok banyak orang dan mereka itupun marah sekali membabat atau mengemplang lawan dengan toya mereka yang ampuh. Tapi ketika puluhan tubuh kembali roboh dan banjir darah terjadi di gerbang Go-bi, keadaan sungguh mengerikan sekali, mendadak terdengar kesiur angin lembut dan sebuah sapaan atau teguran mendahului semuanya itu.

"Omitohud, biadab dan sungguh tak mengenal aturan sekali. Berhenti dan jangan membunuh!"

Orang-orang itu berteriak. Mereka tahu-tahu terlempar dan mencelat ke sana-sini ketika sebuah angin dahsyat mengangkat dan melempar mereka. Seorang hwesio renta mendadak muncul di situ dan jubahnya yang gerombyongan dikibaskan dua tiga kali. Tampaknya biasa-biasa saja namun buktinya puluhan atau ratusan orang itu terbawa naik. Dan ketika mereka berpelantingan dan jatuh berteriak kesakitan, berdebuk atau terbanting dengan keras maka semua pucat melihat hwesio renta itu, yang sudah berdiri dan mengusap hwesio nomor tiga.

“Ji Beng Hwesio...!”

"Wakil ketua Go-bi!"

Semua gentar. Puluhan atau ratusan orang itu mendadak jerih memandang hwesio renta ini. Semua melihat bahwa dengan gerakan biasa saja hwesio itu telah mencerai-beraikan puluhan orang. Begitu mudah namun mereka tak mampu bangkit berdiri karena pantat atau punggung mereka sakit-sakit. Kebutan jubah itu telah membuat lumpuh pertandingan! 

Dan ketika hwesio itu mengangguk dan bersinar-sinar memandang puluhan orang itu, matanya mencorong dan mengeluarkan wibawa yang besar maka Twa-hwesio dan Ji-hwesio yang terhuyung dan roboh terduduk cepat-cepat bangkit berdiri dan berlutut di depan hwesio renta ini, karena itulah guru mereka!

“Ampun...!” Twa-hwesio menggigil dan meratap. "Teecu telah melakukan pembunuhan, suhu. Tapi teecu terpaksa dan dipaksa keadaan. Teecu tak mampu mengendalikan diri!"

“Hm, apa yang terjadi. Bagaimana semuanya ini!”

“Kami kedatangan saudara-saudara dari Hoa-san dan Kun-lun...” Twa-hwesio merintih, menerangkan. "Tapi tahu-tahu muncul ratusan orang ini suhu. Dan kami tahu-tahu diserbu!”

“Benar,” Ji-hwesio juga menyambung suhengnya. "Orang-orang liar ini menyerbu dan mengeroyok kami, suhu. Kami tak dapat berbuat apa-apa dan dipaksa menyambut!"

"Dan mana saudara-saudara dari Kun-lun atau Hoa-san itu?”

"Mereka pergi," Twa-hwesio mendadak tertegun. "Tadi mereka ada di sini!”

"Benar," sesosok bayangan berkelebat, disusul oleh bayangan-bayangan lain, puluhan atau ratusan murid-murid Go-bi. "Mereka itu pergi, suhu. Dan inilah apa yang teecu laporkan tadi!"

Pat-hwesio, hwesio ke delapan, tiba-tiba muncul di situ. Dia tadi masuk ke dalam diperintah suhengnya, melapor tapi keadaan sudah berobah demikian cepat dengan datangnya orang-orang liar itu. Dan ketika orang-orang itu melihat munculnya ratusan murid-murid Go-bi, tak kurang dari dua ratus maka mereka itu tiba-tiba gentar dan satu demi satu pergi secara diam-diam!

“Heii, kalian jangan lari!" Twa-hwesio membentak dan marah, tentu saja berang karena setelah membuat onar tiba-tiba mereka itu pergi. Begitu enaknya! Tapi ketika hwesio ini berkelebat dan hendak menghadang, marah kepada orang-orang itu ternyata suhunya memanggil dan Ji Beng Hwesio berseru,

"Biarkan mereka itu. Tak guna mengurusi cecunguk-cecunguk kecil!”

“Tapi mereka ini pengacau-pengacau liar," Twa-hwesio tertegun. "Mereka ini harus ditangkap dan dihukum, suhu. Mereka telah mengacau!"

“Tidak, biarkan saja," sang suhu mengebutkan jubah. "Ada yang lebih penting dari segalanya ini. Pinceng belum tahu pemimpinnya dan ceritakan siapa yang menggerakkan orang-orang itu!"

Twa-hwesio sadar. Tiba-tiba dia teringat dan celingukan ke sana ke mari namun suara tanpa rupa itu tak ada. Benar, ada seseorang yang menggerakkan orang-orang itu. Ada dalang di balik layar yang membuat ratusan orang itu datang dan mengacau! Dan ketika hwesio ini tertegun sementara saudaranya juga mengerti dan mencari-cari, gagal dan merah padam maka Ji Beng Hwesio bertanya apa yang mereka cari-cari.

“Teecu mencari-cari orang yang menjadi perusuh di antara semua kejadian ini. Ada seseorang yang memimpin tapi tidak menampakkan diri!"

"Benar, dan dialah yang melukai sam-sute (adik ketiga) sampai menderita seperti itu, suhu. Kalau suhu tidak datang barangkali teecu berdua juga menjadi korban!”

“Omitohud, pemilik jarum merah dan hitam itu?”

"Benar.”

"Sudah pinceng duga. Pentolan-pentolan kaum sesat! Ah, sekarang masuk saja ke dalam, Twa-ceng. Bawa saudara-saudaramu yang lain dan tutup pintu gerbang selama seminggu. Pinceng tak memperkenankan dibuka kalau tidak ada perintah. Omitohud, Tujuh Siluman Langit benar-benar mulai mengacau!"

"Tujuh Siluman Langit?"

"Hm, tak usah bertanya. Bawa dan tutup pintu gerbang, Twa-ceng. Bawa saudara-saudaramu dan suruh yang lain mengubur atau merawat yang luka-luka!"

Twa-hwesio terkejut. Dia berobah mendengar kata-kata gurunya dan saudara-saudaranya yang lain terbelalak. Tujuh Siluman Langit? Pantas! Tapi siapa di antara tujuh siluman itu yang datang? Kwi-bo atau Coa-ong? Rasanya bukan. Suara itu bukan suara Coa-ong dan juga Kwi-bo. Mereka merinding namun kemarahan tiba-tiba membakar lagi. Namun karena sang suhu sudah memerintahkan mundur dan adik mereka nomor tiga sudah ditolong suhu mereka, disedot dan ditarik keluar jarumnya maka empat saudara yang lain juga digotong dan dibawa masuk.

Mereka luka-luka dan puluhan mayat yang ada di situ diangkat dan dimasukkan ke dalam lubang yang telah dibuat. Dan ketika pintu gerbang juga sudah ditutup dan dipalang dari dalam, Go-bi menyatakan tak menerima tamu maka suasana di perguruan ini benar-benar suram dan penuh tanda berkabung. Bendera atau umbul-umbul hitam đipancangkan di tembok-tembok gerbang, tinggi dan memberi tahu kepada dunia luar bahwa Go-bi sedang bersuasana duka, tak menerima siapapun dan juga tak mengijinkan siapapun untuk keluar.

Para murid membaca liam-keng dan dengung atau suara orang membaca kitab ini terdengar di mana-mana. Ada yang membaca doa untuk arwah leluhur dan ada pula yang membaca doa untuk keselamatan diri sendiri. Sekali di tengah malam seluruh murid ditarik ke Ruang Genta untuk membaca kitab suci, memohon ampun dan keselamatan Go-bi secara umum. Tentu saja suaranya menyeramkan karena pukulan genta dan dengung yang membaca kitab disusul oleh kepulan asap hio yang harum menyengat, diiring suara jengkerik atau serangga malam yang seolah merupakan musik sendiri.

Musik binatang-binatang jalang yang tak mau kalah dengan manusia! Dan ketika hari ke lima Go-bi berdengung dalam doa-doa, setiap malam genta dan ketrik bunyi tasbeh susul-menyusul, tak ada habisnya maka tiba-tiba menjelang senja enam orang tosu telah berdiri di pintu gerbang minta dibukakan pintunya. Pintu gerbang itu setinggi lima meter!

"Siancai, pinto mohon ijin masuk. Harap para saudara di dalam membukakan pintu!"

Pintu gerbang tergetar. Seorang di antara para tosu itu yang mengetukkan tongkatnya mendadak membuat suara dinding berderak mengejutkan. Para murid yang tak menjaga tempat itu dan berada di ruang dalam tiba-tiba terperanjat. Seruan atau suara di luar itu terdengar tiga kali berturut-turut dan tiga kali itu pula pintu gerbang yang kokoh diketuk menggetarkan. Suaranya sampai ke dalam dan dinding tembok seakan dipukul benda keras, amat menggetarkan!

Dan ketika murid-murid tertegun namun beberapa di antaranya meloncat dan berlari mendekati pintu, membuka lubang kecil dan mengintai maka tertegunlah dia melihat enam tosu itu, tak mengenal siapa mereka. “Omitohud, Go-bi sedang tak menerima tamu. Siapakah kalian dan apakah tidak melihat bendera hitam di atas tembok!"

“Siancai!" sepasang mata berkilat bertemu dengan mata anak murid yang mengintai di lubang kunci ini, mata yang membuat anak murid itu terkejut. "Pinto dari Hoa-san dan Kun-lun, saudara muda, juga Heng-san yang ingin bertemu dan menghadap ketua Go-bi. Tolong beritahukan dan buka pintu!"

"Hoa-san? Kun-lun?”

"Ya, kami dari sana. Datang jauh-jauh ingin menemui ketua atau wakil ketua Go-bi yang terhormat!"

"Ah, kami sedang tak menerima tamu. Lagi pula sudah mulai malam. Besok saja kalian datang setelah hari ke delapan!”

"Siancai, kami jauh-jauh tak mengetahui tutupnya pintu gerbang ini, saudara muda, terlanjur ke mari dan tentu saja tak mungkin menarik keinginan kami. Tolong beri tahu kepada yang terhormat ketua Go-bi atau wakil ketuanya!”

“Kami tak dapat meluluskan permintaan ini," sang hwesio muda mendongkol. “Kami sudah memberi tahu bahwa Go-bi sedang tutup tak menerima tamu dan kalian kembali saja!"

“Hm, hwesio mana yang berani bicara seperti ini kepada yang terhormat ketua Hoa-san? Kalau tidak bisa diajak bicara baik-baik lebih baik kau tinggal di sini saja, berteriak dan panggil saudara-saudaramu!” seorang tosu bermuka merah tiba-tiba membentak dan tidak sabar. Dia menepuk pintu gerbang yang tebal itu dan mendadak hwesio muda ini menjerit. Dia tersengat arus listrik dan tahu-tahu tubuhnya menempel.

Dan ketika tiga yang lain juga begitu dan meronta-ronta dengan muka histeris, pucat dan berteriak-teriak maka para hwesio yang ada di dalam segera berhamburan dan menarik tangan atau pundak temannya ini. Tapi celaka. Begitu mereka memegang begitu pula tubuh mereka terhisap dan tersedot arus panas yang memancar di pintu gerbang itu.

Tosu muka merah ini bukan lain adalah ketua Heng-san yang berangasan, To Hak Cinjin. Dan karena orang-orang Heng-san memang terkenal berdarah panas dan cepat marah, seperti juga Tan Hoo Cinjin dan murid-murid yang lain maka begitu hwesio muda itu menyambut tak bersahabat tiba-tiba saja tosu ini gusar dan langsung menepuk pintu gerbang yang kokoh.

Dari telapak tangannya muncul semacam arus listrik dan kontan saja yang ada di dalam terpekik, kena sengat dan menempel tak dapat melepaskan diri. Dan ketika saudara-saudaranya yang lain terkejut dan ingin menolong, menarik atau membetot hwesio-hwesio muda itu mendadak merekapun tersengat dan belasan orang tiba-tiba menjerit dan meronta-ronta di balik pintu gerbang. Tangan atau kaki mereka lekat satu sama lain diserang tepukan sakti ketua Heng-san.

"Aduh, tobat... tolong!”

"Augh, mati aku. Tolong, para suheng. Di luar ada enam tosu siluman!”

Go-bi geger. Menjelang senja itu tiba-tiba perguruan ini kembali digemparkan oleh peristiwa baru. To Hak Cinjin tersenyum-senyum puas sementara hwesio-hwesio di dalam mendapat "pelajaran". Mereka itu berteriak-teriak dan yang lain meluruk dengan kaget, bingung dan tak berani memegang karena begitu dipegang tentu mereka tertempel pula. Persis orang kena strom! Dan ketika tosu itu terbahak-bahak sementara dua temannya yang lain mengerutkan kening dan tampak tak enak, perbuatan itu membuat keributan maka tosu berhidung mancung tiba-tiba berseru dan memukul perlahan pintu gerbang.

"Maaf, mereka cukup menderita, Heng-san-paicu (ketua Heng-san). Pinto kira cukup dan biarkan mereka melapor ke dalam.... plak!" lima jari tosu itu menggetarkan dinding, mengeluarkan tenaga lembut yang tiba-tiba menghilangkan pengaruh listrik itu. Dan ketika hwesio di dalam terlepas dan jatuh saling tindih, mereka pucat dan gentar maka tosu berhidung mancung itu berseru, "Tolong beritahukan bahwa kami ketua-ketua Heng-san dan Hoa-san serta Kun-lun ingin bertemu. Laporkan ketua kalian dan buka pintu gerbang!"

Para hwesio terkejut. Setelah mereka terlepas dari pukulan sakti To Hak Cinjin tiba-tiba mereka berubah wajah dan memandang satu sama lain. Yang mencelakai mereka itu ketua Heng-san padahal di situ masih ada ketua-ketua Kun-lun dan Hoa-san. Dan ketika mereka ribut-ribut namun berlarian menjauh, hajaran To Hak Cinjin membuat mereka ngeri maka semuanya ke dalam dan melapor kepada pimpinan atau orang-orang yang mereka anggap tokoh-tokoh Go-bi, kebetulan bertemu Pat-kwa-hwesio.

"Suheng, celaka. Enam orang tamu menyatroni tempat kita dan mereka minta bertemu ketua!"

“Hm, siapa mereka?" Twa-hwesio terkejut, tujuh saudaranya yang lain juga membuka mata, mereka sedang bersamadhi.

"Mereka adalah ketua-ketua Hoa-san dan Kun-lun, juga Heng-san!"

"Kun-lun-paicu dan Hoa-san-paicu?"

"Benar, dan Heng-san-paicu, suheng. Ketua Heng-san itu menyengat kami dengan pukulan listriknya. Banyak saudara yang celaka!”

“Benar, dan mereka minta dibukakan pintu gerbang. Kami bingung dan mohon petunjuk!”

"Hm, kalian mundur. Biar aku menyambut dan yang lain memberi tahu suhu!" Twa-hwesio bergerak, kaget dan seketika bangun berdiri dan cepat memerintah dua saudaranya untuk memanggil suhu mereka. Yang datang adalah ketua-ketua partai terkenal dan tentu saja mereka tak boleh main-main.

Twa-hwesio segera teringat peristiwa lima hari yang lalu dan tergetarlah hwesio ini oleh kedatangan tamu, Tentu untuk urusan dulu! Dan ketika hwesio ini memberi tanda dan berkelebat keluar, dua saudaranya mencari atau memberi tahu suhu mereka maka enam dari delapan Hwesio Segi Delapan ini sudah ada di pintu gerbang, menyambut tapi tetap di balik pintu, lubang kecil dibuka.

"Omitohud, selamat datang yang terhormat sam-wi-pangcu (tiga ketua) dari Heng-san dan Hoa-san serta Kun-lun, Kami Pat-kwa-hwesio mohon maaf karena tak tahu!”

“Heh, kalian Pat-kwa-hwesio?" To Hak Cinjin tiba-tiba berseru mendahului, melotot dan marah melihat murid-murid Ji Beng Hwesio ini. "Kalau begitu cepat buka pintu. Pinto To Hak Cinjin ingin bicara dengan kalian!”

"Maaf, kami sedang menunggu suhu. Yang terhormat Heng-san-paicu harap bersabar.”

"Apa, bersabar? Setelah kalian muncul di sini? Heh, menghormati Go-bi pinto tak menghancurkan pintu gerbang ini, Pat-kwa-hwesio. Cepat kalian buka pintu atau pinto menggedornya!"

Benar saja, pintu gerbang tiba-tiba digedor. Lubang kecil yang tak memuaskan ketua Heng-san-pai tiba-tiba dikorek dan melebar, kayunya hancur dan seketika itu juga menganga sebesar kepala manusia. Dan ketika Twa-hwesio terkejut sementara adiknya terbelalak dan marah, pintu digedor hingga berderak engselnya maka Ji-ceng melangkah dan berseru menegur lawan,

“Omitohud, pinceng heran melihat ini, Heng- san-paicu. Masakah seorang ketua bersikap kasar seperti bajak laut. Mohon paicu bersabar dan setelah suhu datang tentu pintu akan dibuka secara baik-baik!" Hwesio ini menggerakkan tangannya, menutup daun jendela kecil tapi sebenarnya mengerahkan tenaga mendorong balik pukulan atau gedoran itu. Tapi ketika To Hak Cinjin berseru keras dan semakin berang, diri sendiri disamakan dengan seorang bajak maka ketua Heng-san itu membentak dan pukulan dari dalam disambutnya dengan sentakan listriknya.

"Siancai, sungguh kurang ajar. Murid kelas rendahan berani menghina pinto. Awas, pinto ingin mengajar adat kepadamu!”

Ji-ceng terkejut, gerbang yang tebal dan kokoh mendadak menjadi panas luar biasa dan aliran listrik tegangan tinggi, tiba-tiba muncul di situ, menyengat atau menyambar lengannya, yang sedang menutup atau mendorong daun pintu kecil. Dan begitu hwesio ini berteriak dan terkejut, serangan Heng-san-paicu itu memang hebat sekali maka lengan hwesio ini tertempel dan tersedot tak dapat dilepaskan.

"Aiiihhhhh....!”

Seruan kaget itu mengguncang saudara-saudaranya yang lain. Lima hwesio melihat Ji- ceng meronta-ronta dan berteriak keras, mukanya pucat dan sekujur tubuh pun tiba- tiba berkeringat deras. Dan ketika Ngo-ceng serta Sam-ceng tak kuat menahan, berseru keras, tiba-tiba keduanya melompat maju dan menarik atau membetot suheng mereka itu.

"Jangan...!”

Namun terlambat. Twa-hwesio, yang tahu dan kaget mencegah tiba-tiba melihat saudaranya ketiga dan lima sudah maju menolong. Mereka itu menarik atau menyambar lengan suheng mereka itu. Tapi begitu dipegang dan ditarik mendadak keduanya berteriak kaget dan tersedot pula, meronta-ronta.

“Aihhhh, ilmu iblis. Tolong...!”

Twa-hwesio kaget. Dia dan saudaranya nomor empat dan enam terbelalak dengan muka berobah. Saudara-saudaranya itu baru saja sembuh setelah ditolong guru mereka, yakni ketika terluka dalam serbuan orang-orang liar itu. Tapi begitu dia hendak bergerak dan membentak Heng-san-paicu, bingung bagaimana menolong tiga orang saudaranya itu mendadak berkesiur angin dingin dan Ji Beng Hwesio muncul di situ, berseru nyaring,

"Omitohud, melawan anak-anak tak ada gunanya, Heng-san-paicu. Mohon kemurahan hatimu dan lepaskan murid-murid pinceng.... plak-plak!" lengan atau jari-jari Ji Beng Hwesio mencengkeram pundak murid-muridnya, bertemu dengan tenaga listrik namun Ji Beng Hwesio rupanya tak terpengaruh, buktinya hwesio itu tak apa-apa dan mampu menarik murid-muridnya mundur menjauhi pintu gerbang.

Dan ketika To Hak Cinjin berseru kaget karena arus serangannya lenyap membentur sesuatu yang kenyal, kuat namun lemas maka tosu ini terhuyung mundur dan sekali Ji Beng Hwesio mengebutkan ujung jubahnya maka pintu gerbangpun terkuak lebar-lebar. "Siancai, Ji Beng lo-suhu sungguh lihai!"

“Omitohud, pinceng sudah tua renta, tak memiliki kepandaian apa-apa. Selamat datang kepada sam-wi totiang dan silahkan masuk!"

Enam orang di depan tertegun. Ketua-ketua Hoa-san dan Kun-lun terkejut karena dengan begitu mudahnya Ji Beng Hwesio mengambil anak-anak muridnya. Sengatan listrik tak dirasakan hwesio itu dan mereka kagum karena pukulan Heng-san-paicu berhasil dipunahkan begitu gampangnya, padahal tadi setiap orang tentu tersedot dan tertempel. Ketua Heng-san itu memiliki apa yang disebut Thi-khi-i-hiat, menempel atau menyedot habis darah korban kalau terus disetrom.

Tapi begitu Ji Beng Hwesio mampu memunahkannya dan Thi-khi-i-hiat tak berpengaruh aba-apa, padahal tiga muridnya itu gosong dan pucat kebiru-biruan maka makumlah tokoh-tokoh di situ bahwa hwesio renta yang matanya meram melek ini benar-benar memiliki kesaktian tinggi. Kesaktian yang mampu mengalahkan Thi-khi-i-hiat, hal yang membuat To Hak Cinjin marah tapi juga penasaran!

"Siancai, Ji Beng lo-suhu kiranya yang datang. Bagus, pinto memang ingin ketemu dan menuntut perbuatan Go-bi terhadap murid-murid Heng-san!"

“Omitohud, mari silahkan sam-wi totiang masuk ke dalam. Hari sudah terlalu senja dan tak enak bicara di luar. Marilah, pinceng persilahkan masuk dan tak apa meskipun cuwi totiang telah membuat sedikit keributan!"

Ketua Kun-lun dan lain-lain merah mukanya. Mereka telah dipersilahkan masuk tapi kata-kata Ji Beng Hwesio cukup menampar. Mereka, ketua-ketua persilatan terkenal telah disindir sebagai orang-orang yang tak dapat memberi contoh yang baik, membuat ribut dan memaksa di rumah orang. Tapi karena urusan amatlah penting dan tiga orang ketua itu menebalkan muka, mereka memang ingin bertemu maka pintu gerbang ditutup ketika enam orang tosu itu masuk ke dalam.

"Kami tak bermaksud membuat ribut, tapl murid-murid lo-suhu yang tak segera membukakan pintu gerbang. Harap Ji Beng lo-suhu maafkan karena tentu lebih tak baik lagi kalau kami semua masuk dan melompati pintu gerbang!"

“Omitohud, pinceng mengerti. Tapi harap cuwi (anda sekalian) masuk dan mari kita bicara di dalam, Ji Beng Hwesio mengangguk-angguk, mengerti namun sinar matanya tetap tak menunjukkan kegembiraannya.

Pancaran tidak senang itu terasa oleh tiga ketua di sini namun mereka juga tidak perduli. Dan ketika tuan rumah mengajak mereka ke dalam dan dipersilahkan duduk, murid-murid yang lain diusir maka Ji Beng mengucap selamat datang dan mohon maaf bahwa sambutan amatlah sederhana, tak sebagaimana layaknya menyambut ketua-ketua partai terhormat.

"Go-bi sedang dilanda petaka, cuwi tentu tahu. Harap sambutan ini tak mengecilkan hati dan apakah maksud kedatangan cuwi."

"Hm, pinto datang untuk menuntut tanggung jawab Go-bi!” To Hak Cinjin berseru mendahului, bangkit berdiri. “Pinto ingin bertanya kenapa Go-bi sewenang-wenang kepada Heng-san, lo-suhu. Mohon jawaban dan tanggung jawab lo-suhu!"

"Siancai, pinto juga begitu!" sang ketua Kun-lun bangkit pula, mengebutkan ujung lengan bajunya. “Pinto dari Kun-lun juga ingin bertanya kenapa Go-bi menghina murid-murid kami, lo-suhu. Apa kesalahan mereka dan bagaimana kata-kata lo-suhu!"

"Dan pinto dari Hoa-san juga bermaksud sama," sang ketua Hoa-san menyibakkan jubah di lutut, bangkit mendampingi. "Pinto dari Hoa-san amat heran bagaimana Go-bi tiba-tiba sewenang-wenang dan mengandalkan kepandaian!"

"Hm, It Lun totiang dan To Hak Cinjin serta yang terhormat Kiam Leng Sianjin rupanya sama-sama membicarakan peristiwa lama. Baiklah, kita terus terang saja dan bicara sama terbuka. Pinceng ingin mendengar apa selanjutnya dan bagaimana Go-bi dituduh sepert itu."

“Eh, tiga murid Heng-san terbunuh di sini, Ji Beng lo-suhu. Dan kau tentu tak usah berpura-pura tak tahu akan ini. Murid-muridmu tentu melapor!"

"Omitohud, To Hak totiang sungguh berangasan, tak habis-habisnya menyerang pinceng. Baik, bagaimana dengan dua ketua yang lain?"

“Apakah kami tak dapat menemui yang terhormat ketua Go-bi?” It Lun Tosu, ketua Hoa-san tiba-tiba bertanya. Dia tak puas karena sejak tadi mereka hanya disambut Ji Beng Hwesio ini saja, yang kedudukannya wakil ketua. Dan ketika ketua Hoa-san itu bertanya sementara Kiam-Leng Sianjin ketua Kun-lun juga teringat tiba-tiba tosu ini angkat bicara, menyambung,

“Benar, apakah Ji Beng lo-suhu tak dapat memanggil yang terhormat ketua Go-bi untuk bicara dengan kami? Bukankah sepantasnya kami bertemu Ji Leng lo-suhu?"

"Maaf," Ji Beng Hwesio mengangguk perlahan. "Sebenarnya sam-wi pantas bertemu suhengku, totiang. Tapi suheng sementara ini sedang bertapa. Pinceng mewakilinya dan tak usah totiang kecil hati karena pinceng pantas menemui sam-wi bertiga. Suheng telah memberi kepercayaan!"

"Hm, pinto sih sebenarnya lebih puas kalau berhadapan dengan Ji Leng lo-suhu, bukan wakilnya. Tapi karena Ji Beng lo-suhu sudah menganggap pantas menyambut pinto biarlah pinto terima kenyataan ini dan mudah-mudahan apa yang Ji Beng lo-suhu katakan sesuai dengan kenyataannya!”

"Pinceng tentu dapat membuktikan itu," Ji Beng Hwesio tersenyum mengangguk, tahu bahwa dia akan diuji! “Tapi pembicaraan kita belum selesai, totiang. Sekarang bagaimana dengan yang lain dan apa pendapat ji-wi."

"Kami dari Kun-lun kehilangan dua jiwa," Kiam Leng Sianjin bicara, tak perlu lagi mengulur-ulur waktu. "Kalau Ji Beng lo-suhu sungguh sudah mendapat kekuasaan penuh tentu dapat menjawab ini dan sekaligus dituntut!"

"Hm, dan pinto dari Hoa-san bertanya kenapa Go-bi menghina murid-murid Hoa-san," It Lun Tosu juga bicara. "Mohon jawaban lo-suhu dan bagaimana penyelesaiannya!”

"Omitohud, sam-wi-paicu melontarkan tuduhan tak berdasar. Go-bi tak merasa melakukan hal-hal seperti itu dan biar pinceng jelaskan...”

"Eh, membunuh orang dianggap menuduh tak berdasar?" ketua Heng-san tiba-tiba membentak. "Jangan main-main, Ji Beng lo-suhu. Biarpun pinto di sarang macan tapi pinto tak takut!"

"Dan pinto juga heran akan kata-kata lo-suhu,” ketua Kun-lun juga mulai merah mukanya. "Bagaimana dua jiwa terbunuh dianggap melepas tuduhan tak berdasar!”

"Hm-hm, ji-wi-paicu (dua ketua berdua) harap bersabar, pinceng akan menjelaskan,” Ji Beng Hwesio tenang-tenang saja, matanya meram melek. "Apa yang pinceng katakan adalah apa yang pinceng lihat atau ketahui. Tuduhan itu memang tak berdasar karena Go-bi tak pernah mulai dulu karena orang-orang lainlah yang mulai dulu dan membuat kekacauan. Dua murid Kun-lun tewas dan tiga murid Heng-san binasa sungguh bukan kesalahan Go-bi. Mereka datang dan menyerang dan mereka itu yang mulai dulu!"

“Lo-suhu, meskipun mereka tamu-tamu tak diundang namun mereka bersikap baik, tidak kasar pada mulanya. Namun karena Go-bi bersikap tak bersahabat dan memaki anak- anak murid kami maka mereka membalas dan tentu saja tak mau dihina. Contohnya pinto sekarang ini. Baik-baik pinto datang dan bicara kepadamu, tapi kalau kau tak bersahabat dan menghina pinto tentu saja pinto akan membalas, marah. Tak ada akibat tanpa suatu sebab!”

“Betul,” Hoa-san-paicu kini bicara, nimbrung. "Mereka pada mulanya datang secara baik-baik, Ji Beng lo-suhu. Hanya karena sambutan Go-bi tak bersahabat dan memusuhi maka mereka bermusuhan dan akibatnya mereka tewas!”

“Hm, ji-wi totiang jangan mau menangnya sendiri," sang hwesio berkedip-kedip, sabar dan tetap tenang. "Go-bi takkan bersikap kasar kalau tamu-tamu juga tak bersikap kasar. Mereka datang dan berteriak-teriak, apakah kami harus menyambut baik? Maaf, pinceng menyalahkan mereka, ji-wi totiang. Dan tak sepantasnya orang-orang macam itu datang di Go-bi!"

“Kalau begitu lo-suhu lah yang mau menang sendiri. Pinto berpendapat bahwa kalau mereka salah maka Go-bi tak layak langsung menghukum. Mereka boleh ditangkap dan diserahkan kepada kami, para ketuanya!"

“Benar," Kun-lun-paicu kini juga mendapat kesempatan, merasa itu benar. “Kalau Go-bi menganggap mereka salah maka tak selayaknya mereka dibunuh, lo-suhu. Ada kami para ketuanya dan kepada kamilah mereka seharusnya diserahkan. Kami tak dapat menerima ini!"

Ji Beng Hwesio melebarkan matanya, Ketua Heng-san dan Kun-lun tiba-tiba berseru menyatakan pendapat, disusul kemudian oleh ketua Hoa-san yang juga tetap berpegang pada itu. Dan ketika mereka ramai-ramai berkata bahwa Go-bi tetap sewenang-wenang membunuh anak-anak murid mereka padahal seharusnya cukup ditangkap dan dimintakan keadilannya kepada ketiga ketua itu maka hwesio ini tiba-tiba berkilat matanya dan merah. 

Dia jadi repot karena kejadian itu bersifat kompleks, orang-orang itu datang bersama segerombolan pengacau yang datang membuat onar. Dan ketika tiga ketua sudah marah-marah dan hwesio inipun merah padam, para tamu menuntut tanggung jawab maka Ji Beng Hwesio berseru mengangkat tangannya.

"Stop, apakah sam-wi tahu bahwa murid-murid sam-wi itu datang bersama geombolan liar. Apakah sam-wi tahu bahwa mereka itu terbawa-bawa atau ikut-ikutan dengan orang lain!"

"Orang lain atau apa kami tak perduli, Ji Beng lo-suhu. Pokoknya kalau, mereka salah maka Go-bi seharusnya menangkap dan menyerahkannya kepada kamí. Kamilah yang akan bertindak dan meminta maaf kepada Go- bi, menghukum mereka!"

"Omitohud, tak segampang itu," hwesio ini mengebutkan ujung jubahnya. "Murid-murid kalian itu bercampur-baur dengan para pengacau, sam-wi totiang. Dan kami tentu saja tak dapat membedakannya. Kami menganggap mereka juga mengacau karena datang membuat ribut!"

"Kalau begitu apa yang mereka ributkan. Untuk apa mereka datang!”

Ji Beng Hwesio tertegun. Seruan atau pertanyaan ketua Heng-san-pai itu tiba-tiba membuatnya terbelalak, alis berkerut-kerut dan mendadak hwesio ini mengeratakkan gigi. Dan karena mau tak mau ia harus bicara apa adanya maka sambil menggeram ia menjawab, "Mereka orang-orang gila yang ingin mencari sesuatu di sini, sam-wi totiang. Datang dan ingin meminta benda yang tidak ada.”

"Benda apa itu, tak usah lo-suhu berputar- putar!"

“Sebuah kitab.”

"Apakah Bu-tek-cin-keng? Benarkah kitab itu kitab rahasia yang dimiliki Go-bi?"

"Hm, Go-bi tak memiliki apa-apa yang patut diperebutkan, Heng-san-paicu. Semua itu omong kosong yang sengaja ditiup-tiupkan orang. Go-bi tak memiliki semua itu!"

"Tapi mereka buktinya datang, dan kabar ini tak mungkin bohong. Eh, sebagai orang-orang persilatan wajarlah mereka kalau ingin tahu, lo-suhu. Dan pinto dapat memaklumi kalau Go-bi kedatangan banyak tamu. Tapi Go-bi tak selayaknya main bunuh, dan ini yang pinto tidak senang!”

"Benar, kalau kitab itu benar tidak ada maka tak seharusnya Go-bi main bunuh, lo-suhu. Kalian dapat mengusirnya dan menyuruhnya pergi. Atau kalian memang bertangan kejam dan pinto dengar bahwa murid keponakanmu Beng Kong Hwesio bertangan telengas. Nah, mana dia itu dan serahkan kepada kami untuk dimintai tanggung jawab. Atau kami semua tak akan pergi dan mencari dia sampai dapat!"

Yang lain tiba-tiba mengangguk-angguk. Para ketua Kun-lun dan Hoa-san serta Heng-san itu tiba-tiba bersikap keras. Mata mereka bersinar-sinar dan masing-masing tampak saling lirik ketika kitab Bu-tek-cin-keng disebut-sebut. Ji Beng Hwesio mengatakan tak ada tapi orang-orang berdatangan di situ. Berarti pasti ada apa-apa!

Dan ketika tuan rumah terbelalak dan melebarkan matanya, tiga tamu itu bersiap untuk bertindak lebih keras maka di luar ruangan tiba-tiba terdengar ribut-ribut dan Ji Beng Hwesio berubah ketika teriakan-teriakan para murid gaduh mengguncangkan suasana.

“Maling... maling... ada pencuri membawa kitab!"

“Benar, dia keluar dari Ruang Merah. Dia membawa Bu-tek-cin-keng!"

Semua hadirin mendadak terkesiap. Bu-tek-cin-keng, kitab yang baru saja disebut-sebut dan dinyatakan tidak ada mendadak saja bergema dan memantul dari mulut ke mulut. Yang berteriak adalah murid-murid Go-bi dan To Hak Cinjin tiba-tiba tersenyum mengejek kepada Ji Beng Hwesio.

Hwesio itu terkejut dan tersentak ketika Bu-tek-cin-keng tiba-tiba disebut-sebut. Seseorang berkelebat di luar dan tampaklah murid-murid Go-bi mengejar dengan teriakan-teriakan riuh. Dan ketika pencuri itu ternyata seorang hwesio pula yang berkepala gundul, masih muda namun memiliki tindakan yang gesit maka tiga ketua tertegun.

.....Halaman 39, 40 hilang.....

"Hwesio kerdil, jangan kau main-main di sini!"

Hwesio itu terkejut. Dia baru saja meloncat bangun dari kibasan Ji Beng Hwesio, tahu-tahu kini sebuah bayangan menyambar dan kedua tangan mirip rajawali mencengkeram batok kepalanya. Dan karena ia amat terkejut serta tak ada kesempatan mengelak, mau tidak mau harus menangkis maka ia menggerakkan tangannya dan lupa bahwa tangan yang satu masih mengempit dan membawa kitab, serangan To Hak Cinjin tiba-tiba berubah karena tangan itu ditarik cepat untuk meraih atau menyambar kitab yang jatuh.

"Plak-brett...!” hwesio muda itu berteriak karena tahu-tahu ia terpental dan kitabnya sudah dirampas.

“Ha-ha!" To Hak Cinjin gembira dąn melihat kitab itu, kitab rampasan. “Kiranya Bu-tek-cin-keng, lo-suhu. Berarti kau bohong bahwa di sini tak ada kitab!"

Ji Beng Hwesio terkejut. Dia melihat pencuri itu bergulingan meloncat bangun kini melarikan diri, kecewa namun tak berani merampas kitabnya karena di situ ada orang-orang lihai. Ketua Kun-lun dan Hoa-san juga berkelebat dan berdiri di samping ketua Heng-san-pai itu. Dan ketika masing-masing juga terbelalak dan membaca kitab itu, yang ternyata Bu-tek-cin- keng maka Kiam Leng Sianjin maupun It Lun Tosu tertegun dan merasa dipermainkan.

"Benar, Bu-tek-cin-keng. Ji Beng lo-suhu sungguh sampai hati berbohong. Siancai sebuah dosa bagi murid Buddha!"

Wakil ketua Go-bi itu pucat. Dia tiba-tiba ditelanjangi karena Bu-tek-cin-keng berada di tangan lawan. To Hak Cinjin tertawa bergelak dan jelas ketua Heng-san-pai itu mengejek padanya. Matanya bersinar-sinar dan pandangan sungguh merendahkan. Tertamparlah hwesio ini. Namun ketika ia menjadi marah dan tak perduli kepada si pencuri, yang sudah lenyap dan dikejar murid-murid Go-bi maka hwesio ini berkelebat dan tiba-tiba merampas kitab itu, kitab yang masih dibawa ketua Heng-san-pai.

"Omitohud, barang millk Go-bl tak boleh dibawa orang lain, Heng-san-paicu. Biar pinceng simpan dan kembalikan!”

Namun To Hak Cinjin membalik dan cepat menyimpan kitab itu di balik saku bajunya yang lebar. Ia marah dan mendongkol kepada hwesio ini karena Ji Beng Hwesio bersikap tak jujur. Tadi mengatakan tak ada Bu-tek-cin- keng namun nyatanya kitab itu ada di situ. Dan karena ingin membalas dan melepas kemarahan, tentu saja tak mau memberikan kitab maka ketua Heng-san itu melompat dan mundur menjauh, berseru nyaring.

"Lo-suhu, kau telah menipu dan mempermainkan kami. Sementara kitab kami pinjam sebagai hukuman untuk ketidakjujuranmu!”

"Eh!" hwesio itu terkejut, terkamannya luput. "Kau jangan membuat onar, Heng-san-paicu. Bu-tek-cin-keng tak boleh dibawa orang lain karena itu pusaka Go-bi!"

“Ha-ha, pusaka tinggal pusaka. Tapi kebohongan dan ketidakjujuranmu harus dibayar. Kau telah mempermainkan kami!"

"Apakah totiang hendak mengangkangi barang milik orang lain?"

"Tutup mulutmu!" ketua Heng-san-pai itu membentak. "Pinto tak bermaksud mengangkangi milik orang lain, Ji Beng lo-suhu. Tapi semata ingin memberi pelajaran kepadamu dan meminjam kitab ini barang sebulan dua, bergantian dengan dua ketua Kun-lun dan Hoa-san!"

"Benar," Kiam Leng Sianjin dan It Lun Tosu tíba-tiba juga berseru, mata berkedip dan sama-sama melompat di sebelah To Hak Cinjin, di samping melindungi barangkali juga menjaga agar ketua Heng-san-pai itu tidak kabur! Maklumlah, Bu-tek-cin-keng tiba-tiba menggetarkan hati mereka dan keinginan yang amat rahasia mendadak muncul dan membuat dua ketua itu mempunyai rencana buruk! “Kami berdua setuju dengan kata-kata To Hak Cinjin, Ji Beng lo-suhu. Biarkan kitab itu di tangan kami bertiga selama sebulan dua. Bukan untuk dikuasai melainkan sekedar dipinjam. Hitung-hitung untuk pembayar kebohonganmu yang telah mempermainkan kami!"

"Ah!” hwesio ini tiba-tiba marah, matanya mencorong. "Apa yang kalian katakan ini, sam-wi totiang. Bu-tek-cin-keng tak mungkin boleh di bawa-bawa karena itu milik Go-bi. Kalau pinceng dianggap berbohong maka itu adalah karena rahasia Go-bi. Pinceng akan membayarnya dengan apa saja asal jangan dengan kitab itu. Kembalikan!"

“Ha-ha, pinto tetap ingin menghukummu dengan meminjam kitab ini. Cukup sepadan untuk ketidakjujuranmu. Kecuali kalau dua rekanku dari Kun-lun dan Hoa-san tidak sependapat!"

“Tidak... tidak, kami sependapat!" It Lun Tosu tiba-tiba berseru, mata sudah bersinar-sinar menjenguk ke balik baju ketua Heng-san. "Pinto juga tak mau lain kecuali itu, Ji Beng lo- suhu. Dan ini pantas untukmu yang telah mempermainkan kami!”

"Dan pinto akan menghabiskan persoalan murid-murid yang terbunuh dengan jalan ini. Kalau Ji Beng lo-suhu menyadari kesalahan!" ketua Kun-lun juga berseru.

Ji Beng Hwesio tentu saja melotot. Mata yang semula meram melek dan sering ditutup itu kini mendadak dibuka lebar-lebar dan menyorotkan hawa seperti api. Panas membakar. To Hak Cinjin dan lain-lain terkejut karena mendadak mereka surut selangkah. Pandangan Ji Beng Hwesio sungguh membuat orang merasa ngeri karena seakan seekor naga yang marah besar, murka dan siap menerjang!

Dan karena mereka waspada dan tentu saja tak mau kedahuluan, maklum bahwa hwesio ini adalah sute Ji Leng Hwesio yang amat lihai maka To Hak Cinjin tiba-tiba berseru menghilangkan rasa kagetnya oleh sinar mata lawan yang mencorong itu, mata yang seperti naga, tua tapi menyembunyikan kedahsyatan yang mengerikan.

"Lo-suhu, jangan menyalahkan kami. Tengok kesalahanmu dan sadarlah. Kami akan bersikap baik-baik kalau kau atau Go-bi juga bersikap baik-baik!"

"Tak bisa!" hwesio itu tiba-tiba membentak dan berkelebat ke depan, geram atau kerot giginya berderit-derit. "Kembalikan itu atau pinceng marah besar, Heng-san-paicu. Serahkan dan kembalikan Bu-tek-cin-keng!"

Namun To Hak Cinjin berseru marah. Tosu ini adalah tosu yang paling berangasan dan mudah terbakar. Murid atau orang-orang Heng-san-pai memang sudah dikenal sebagai orang-orang yang gampang naik darah, temperamen mereka tinggi. Maka begitu diserang dan Ji Beng Hwesio berkelebat maju, tangan bergerak dan melepas pukulan maka tosu inipun tak mau kalah dan kebetulan rasa penasarannya ingin dilampiaskan, penasaran oleh peristiwa di pintu gerbang.

"Pinto juga tak takut kepadamu... duk-plakk!”

Dua pukulan beradu dan menggetarkan dinding. Ji Beng Hwesio mengeraskan lengan jubahnya dan ketua Heng-san mengeraskan lengannya. Dua-duanya sama-sama mengerahkan sinkang dan tentu saja anak-anak murid yang ada di dekat situ terpelanting dan berteriak. Adu pukulan itu serasa tumbukan dua ekor gajah yang sama-sama marah. Tapi ketika To Hak Cinjin masih terhuyung dan terbelalak merah, dia kalah kuat maka tosu ini melengking dan tiba-tiba menerjang maju.

"Ji Beng lo-suhu, kau hebat dan mengagumkan. Tapi mari kita main-main lagi dan lihat pukulan pinto.... wut-wutt!" dan si tosu yang bergerak dan berkelebatan menyambar-nyambar tiba-tiba sudah mendahului dan melepas serangan. 

To Hak Cinjin terkejut dan penasaran karena dua kali ia dibuat kaget. Pertama di pintu gerbang itu dan kini kedua kalinya di sini, adu pukulan yang membuat ia terhuyung, kalah kuat! Dan ketika tosu itu melengking dan berkelebatan menyambar-nyambar, lengan dan kakinya bergerak dengan cepat maka Ji Beng Hwesio sudah dikurung serangan dan sedikitpun hwesio itu tak dapat mengelak.

Tapi hwesio Go-bi ini juga tidak bermaksud mengelak. Dia sudah dikurung dari segala penjuru dan ujung lengan bajunya itulah yang dipakai. menangkis. Empat lima kali ujung baju meledak dan empat lima kali itu pula lawan dibuat terpental. To Hak Cinjin semakin kaget! Dan ketika hwesio itu juga mulai bergerak meliuk-liuk, kaki menancap dan hanya berputaran di lantai ruangan maka kebutan semakin sering den setiap meledak tentu membuat anak murid berteriak, tak tahan.

"Mundur, yang lain mundur!"

Su-hwesio, murid keempat Ji Beng Hwesio berseru menyuruh murid-murid yang lain mundur. Tiga dari Pat-kwa-hwesio ada di situ sementara lima yang lain mengejar atau membekuk pencuri. Mereka di sini sudah tidak mengurus pencuri itu karena To Hak Cinjin sudah mengambil alih. Kitab Bu-tek-cin-keng sudah di tangan ketua Heng-san-pai itu dan bukannya di tangan si pencuri, yang ternyata adalah seorang hwesio gadungan yang menyamar dan menerobos masuk.

Go-bi kecolongan tapi Ji Beng Hwesio segera tahu bahwa orang itu bukanlah murid Go-bi, karena tangkisan yang dilakukan bukanlah ilmu silat Go-bi-pai dan wakil Go-bi ini tentu saja tahu. Dan karena kitab sudah dirampas To Hak Cinjin dan ketua Heng-san-pai ini tak mau menyerahkan kitab, itu adalah milik Go-bi maka Ji Beng Hwesio menjadi marah dan tak dapat mengendalikan diri lagi.

Serang-menyerang terjadi tapi sementara ini tuan rumah sebagai pihak yang didesak, bertahan dan mementalkan pukulan-pukulan lawan dan To Hak Cinjin menjadi berang. Ketua Heng-san-pai itu membelalakkan mata karena semua pukulan-pukulannya selalu tertolak, Bahkan, bukan hanya tertolak melainkan juga dia dibuat terdorong dan terhuyung-huyung! Dan ketika tosu itu melengking-lengking dan membentak agar Ji Beng Hwesio mundur, atau dia akan mencabut pedang maka hwesio Go-bi ini menjengek berkata tenang.

"Totiang boleh keluarkan senjata, pinceng akan bertangan kosong. Kalau totiang masih tidak puas boleh suruh yang lain maju!”

"Kau menantang kami?" ketua Kun-lun tiba-tiba membentak. "Jangan sombong atau menghina kami, Ji Beng lo-suhu. Kami bukan sebangsa pengeroyok atau orang-orang licik!"

Ji Beng Hwesio tak menjawab. Sebenarnya yeng dia maksudkan adalah tosu yang selalu berada di belakang ketua Heng-san ini. Dia bukan lain adalah Tan Hoo Cinjin yang mengawal ketuanya, sementara di sana adalah Kiam Cu Cinjin dan Ko Pek Tojin. Masing-masing ketua Kun-lun dan Hoa-san serta Heng-san itu membawa orang-orang mereka sendiri, yang dulu pernah datang tapi melarikan diri setelah ratusan pengacau datang di Go-bi, menyerang hwesio-hwesio Go-bi tapi juga mereka bertiga. 

Dan karena Ji Beng muncul dan semua dipukul mundur, tiga tosu ini menyelinap dan melarikan diri maka hari itu mereka datang lagi mengiring ketua. Maksudnya hanya sebagai saksi tapi sebelum pembicaraan selesai tiba-tiba muncul pencuri Bu-tek-cin-keng.

Kitab itu dirampas dan kini Heng-san-paicu berhadapan dengan Ji Beng, bukan sebagai tamu dengan tuan rumah melainkan sebagai dua orang yang sedang bertanding. Dan karena pertempuran dirasa merugikan ketua Heng-san itu, semua pukulan-pukulan atau serangannya tertolak Ji Beng Hwesio maka tosu ini mengancam untuk mengeluarkan senjata, ancaman yang sebenarnya gertakan saja agar hwesio itu mundur, berpikir baik-baik. Tapi begitu lawan menjawab tantangannya dan dia malah disuruh mengeluarkan senjata, yang lain boleh maju mengeroyok maka Heng-san-paicu meledak dan kemarahannya tiba-tiba sampai di ubun-ubun.

"Heh, kau keluarkan senjatamu, Ji Beng lo-suhu. Pinto akan mencabut pedang dan jangan sombong berkata congkak!"

"Pinceng tak akan mengeluarkan senjata," Ji Beng Hwesio berkata dingin, tetap pendirian. "Kau keluarkan pedangmu, totiang. Dan pinceng ingin menyelesaikan persoalan ini dengan cepat."

"Kau tak mau mengalah?"

"Bu-tek-cin-keng lebih segala-galanya dibanding pinceng. Nyawa pincengpun siap menjadi taruhannya."

"Keparat, kalau begitu kaupun mampuslah... singg!" dan sebatang pedang bersinar kuning yang tiba-tiba menyambar dan membabat kepala hwesio ini tiba-tiba mendesing namun cepat dikelit lincah. Ji Beng tak bicara apa-apa namun ujung jubahnya tiba-tiba mengepret ke udara. Pedang mengejar dan mendesing lagi. Dan ketika hwesio itu mengelak namun mengangkat tangannya ke atas maka jubah bertemu pedang dan memuncratlah bunga api membuat orang kaget.

“Cringg!”

Heng-san-paicu tersentak. Dia merasa lempengan baja bertemu pedangnya tadi, lempengan yang ternyata ujung jubah yang sudah diisi sinkang. Dan ketika dia melengking dan menggerakkan pedangnya lagi, berkelebat, maka pedang kembali bertemu jubah dan terdengar suara nyaring itu sebanyak dua kali.

"Cring-crangg!"

To Hak Cinjin terbelalak. Dia terkejut karena dua kali pedangnya disampok jubah, sampokan bukan sembarang sampokan melainkan sampokan yang membuat telapaknya pedas dan sakit-sakit! Dan ketika tosu itu terkejut tapi marah bukan main, tentu saja naik pitam maka To Hak Cinjin sudah bergerak seperti terbang dan tangan kirinya ikut naik turun menyambar-nyanmbar!

"Bagus, kau hebat tetapi sombong!" sang tosu membentak dan marah serta penasaran. "Hayo balas serangan pinto, Ji Beng Hwesio. Atau kau mampus dan Go-bi kehilangan seorang pemimpinnya!"

"Hm, pinceng memang akan membalas," sang hwesio tenang mengelak sana-sini, mengebut dan menampar kelebatan cahaya pedang. “Tapi Go-bi tak akan kehilangan pinceng, To Hak totiang, dan justeru Heng-sanlah yang pinceng khawatir akan kehilangan nama!"

"Kau cerewet, sombong dan semakin banyak tingkah saja. Hayo buktikan omonganmu atau kau mampus.... crat!" dan pedang yang bergerak menabas lantai, luput mengenai si hwesio tiba-tiba diiring ketawa dingin ketika mendadak Ji Beng Hwesio bergerak lenyap.

Hwesio itu menjejakkan kakinya dan hilang entah ke mana, pedang menyambar dan membacok mengenai lantai yang diinjaknya tadi, pecah dan terbelah dan hebat tenaga ketua Heng-san-pai ini. Tapi ketika sang ketua berteriak kehilangan lawan, kaget karena itu bahaya maka benar saja bayangan Ji Beng Hwesio muncul lagi dan tahu-tahu berada di belakangnya, mengetuk tengkuk. “Paicu, hati-hati!"

Sang tosu terkejut bukan main. Dia membalik dan pedang menyambar secepat kilat. Tapi ketika pedang bertemu jubah dan terbelit, jubah tidak lagi keras melainkan lemas dan kuat, menangkap dan membetot maka jubah yang lain menyambar dan tetap saja menghantam tengkuk.

“Plak-dess!"

Heng-san-paicu melepas pukulan tangan kirinya. Dalam saat-saat seperti itu tak ada lagi jalan lain kecuali menggerakkan tangan kirinya. Pukulan dahsyat menghantam namun Ji Beng Hwesio rupanya lebih waspada, atau memang lebih lihai. Karena begitu pedang tertangkap jubah dan To Hak Cinjin masih menangkis dengan tangan kirinya, pedang dibetot dan ditarik.

Maka kedudukan tosu itu tiba-tiba terguncang karena terbawa maju. Dan ketika dia terkejut karena tangkisan tangan kirinya tentu saja lemah, tubuh atau tangannya sudah tergetar oleh kecerdikan hwesio ini maka To Hak Cinjin terpelanting dan pedangnya terampas musuh, tengkuk terkena pukulan dan meledak bagai petir!

"Aughh!”

Semua kaget. Heng-san-paicu terguling-guling dan berkelebatlah Tan Hoo Cinjin menolong ketuanya. Tapi ketika ketua itu dapat melompat bangun dan terhuyung, jatuh terduduk maka semua lega karena si tosu tidak sampai tewas, meskipun mendapat pukulan keras.

"Omitohud, pinceng menyesal. Tapi serahkan kitab dan pínceng tak akan mengganggu lagi!"

“Tidak!” To Hak Cinjin tiba-tiba berteriak, melihat Ji Beng berkelebat dan meminta kitab. “Sekarang kau berhadapan dengan kami, Ji Beng Hwesio. Setelah merobohkan ketua-ketua Kun-lun dan Hoa-san bolehlah kau mendapatkan kitabmu.... wut!”

Bu-tek-cin-keng tiba-tiba dilempar, bukan kepada hwesio ini melainkan kepada Kiam Leng Sianjin yang sudah mendapat isyarat agar mendekat, menerima dan tentu saja menangkap kitab. Dan ketika kitab sudah berpindah tangan dan Ji Beng tertegun, wakil Go-bi itu terbelalak maka dia berkelebat dan kini berhadapan dengan ketua Kun-lun-pai itu.

"Maaf, berikan pada pinceng, Kun-lun-paicu. Kau tentu tahu bahwa barang yang bukan haknya tak boleh dimiliki orang lain!"

"Hm!” Kiam Leng Sianjin tertawa memutar, antara maju dan juga mundur. Ji Beng Hwesio telah mengalahkan ketua Heng-san. "Kau mengagumkan, lo-suhu, tapi juga terasa sombong dan semakin congkak. Kau telah mendengar permintaan kami bahwa kitab ini hanya kami pinjam saja, bukan untuk dimiliki. Dan karena kau telah berbohong maka sepatutnya kebohonganmu dibayar!"

“Tapi jangan dengan itu, Bu-tek-cin-keng terlalu keramat!"

"Ah, ini justeru setimpal. Kalau lo-suhu mau berslkeras apa boleh buat pinto pun akan memegang teguh keinginan teman-teman. Pinto juga siap menerima pelajaranmu dan biarlah pinto mulai!” dan Kiam Leng Sianjin yang takut didahului lawan, membentak dan sudah menyerang tiba-tiba mencabut pedangnya dan langsung berkelebat dengan jurus-jurus dari Kun-lun Kiam-sut yang lihai. Tosu ini telah melihat kehebatan lawan dan tak mau berlama-lama. Lawan tentu marah dan akan menyerang.

Maka begitu berseru dan memberi tahu lawan, mata berkedip kepada Hoa-san-paicu tiba-tiba kitab telah disimpan dan bertubi-tubi ketua Kun-lun-pai ini menyerang Ji Beng Hwesio. Kepandaian lawan yang luar biasa dan telah merobohkan Heng-san-paicu cukup memberi tahu bahwa wakil Go-bi ini benar-benar lihai. Kalau wakilnya saja sudah sedemikian apalagi ketuanya! Kiam Leng Sianjin terus terang merasa gentar!

Namun karena di situ ada ketua Hoa-san dan To Hak Cinjin sudah bangkit dipapah pembantunya, berdiri dan tampaknya kuat untuk bertempur lagi maka Kiam Leng Sianjin yang mengilar dan memberatkan Bu-tek-cin-keng tiba-tiba berdalih dengan kebohongan si hwesio dan bertekad untuk memberi "hukuman". 

Ji Beng dinyatakan bersalah dan untuk kesalahannya itu Bu-tek-cin-keng harus dibawa, hal yang tentu saja tak akan dijinkan hwesio ini dan terbeliaklah mata si hwesio oleh keputusan lawan. Dan ketika pedang menyambar-nyambar dan Kun-lun-paicu tak memberi kesempatan, menyerang dan terus menyerang maka Ji Beng Hwesio, menggeram perlahan dan sikap sabarnya sirna.

"Totiang, kau tak malu-malu mengangkangi benda milik orang lain? Kau sebagai seorang ketua hendak berdalih meminjam kitab dan membawa Bu-tek-cin-keng? Omitohud, pinceng tak akan bersabar lagi, totiang, dan maaf kalau pinceng bersikap keras.... plak-plak!" dan pedang yang ditangkis serta ditampar jubah, berdentang dan terpental tiba-tiba disusul gerakan tubuh si hwesio yang beterbangan dan melejit ke sana-sini.

Ji Beng tiba-tiba mengeluarkan ilmunya dan sikap mengalah yang masih tersisa mendadak lenyap. Si hwesio menjadi garang dan meluncurlah kilatan-kilatan petir dari ujung jubah yang meledak-ledak. Dan ketika sebentar kemudian Kiam Leng Sianjin terdesak hebat dan berseru menangkis, dari mendesak berbalik terdesak tiba-tiba berseru keras ketika pedangnya terpental. Dan ketika tosu itu pucat karena pedang terlepas tanpa sadar, pukulan atau tamparan jubah membuat jari-jarinya melepuh maka saat itulah tengkuk disambar jubah dan roboh pula seperti Heng-san-paicu.

"Augh... plak-dess!"

Kiam Leng Sianjin terguling-guling. Cepat dan luar biasa tahu-tahu iapun menjadi korban. Dan ketika pembantunya melompat dan akan menolongnya, tosu itu merintih maka Ji Beng berkelebat dan hendak merampas kitabnya. Namun seperti To Hak Cinjin tiba-tiba ketua Kun-lun ini melampiaskan marah dengan melempar kitab kepada Hoa-san-paicu. Saat itu ketua Hoa-san inilah yang masih ada, berdiri dan tertegun karena pertandingan di antara Kun-lun-paicu ini dengan Heng-san-paicu sungguh berjalan setengah dari yang pertama.

Bukan karena Kiam Leng Sianjin telalu rendah melainkan karena Ji Beng Hwesio tiba-tiba mengeluarkan ilmunya yang luar biasa dan robohlah ketua Kun-lun-pai itu, cepat dan mengejutkan. Tapi ketika ketua Kun-lun itu melempar kitab dan berseru padanya, Hoa-san-paicu sadar dan menangkap kitab maka ketua Hoa-san-pai itu berseru keras dan menerjeng Ji Beng yang lagi-lagi tertegun dan membelalakkan mata.

"Ji Beng, kau benar-benar hebat dan mengagumkan. Tapi pinto harus membela teman. Maaf dan mari main-main dengan pinto sebelum kau mendapatkan Bu-tek-cin-keng!"

Sang hwesio menjublak. Dia sudah akan mendapatkan kitabnya ketika tiba-tiba kitab dilempar dan diterima Hoa-san-paicu. Tampak bahwa ketua-ketua Kun-lun dan Hoa-san serta Heng-san keluar tamaknya. Maklumlah, Bu-tek-cin-keng memang hebat. Maka begitu diserang dan hwesio ini menjadi marah, menangkis dan membentak tiba-tiba ketua Hoa-san itu terpelanting dan kaget berteriak keras.

"Haii...des-dess!" sang tosu terpekik dan terguling-guling. Baru satu jurus saja tiba-tiba dia dikebut dan terlempar. Dan ketika dia meloncat bangun lagi sementara murid-murid Go-bi berdatangan mengepung, pencuri itu tertangkap dan kini diikat kaki tangannya maka Hoa-san-paicu marah besar dan menerjang lagi, membentak dan menggerakkan pedangnya namun dengan satu dua kebutan tosu itu dipentalkan lagi.

Hal ini terjadi dua tiga kali dan It Lun Tosu kaget sekali. Dulu, seingatnya, Ji Beng Hwesio ini tidaklah selihai sekarang. Ketua-ketua Kun-lun dan Hoa-san maupun Go-bi setingkat, begitu pula Heng-san. Tapi begitu dijungkir balik dan wakil Go-bi ini amatlah hebatnya, sekali dua cukup membuatnya terpelanting atau terguling-guling maka It Lun Tosu teringat dan pucat menggenggam Bu-tek-cin-keng itu. Berkat inikah Ji Beng Hwesio menjadi lihai? Berkat Bu-tek-cin-kengkah wakil Go-bi itu menjadi hebat?

Kalau Ji Beng sudah meningkat demikian pesat apalagi suhengnya, Ji Leng Hwesio. Dan mendengar bahwa ketua Go-bi sedang bertapa, hal yang amat tidak biasa maka It Lun Tosu menjadi marah tapi juga kagum bukan main, Bu-tek-cin-keng betul-betul kitab yang luar biasa. Kalau tidak luar biasa tak mungkin dicari-cari orang! Tapi ketika tosu itu memekik dan menerjang lagi, marah tapi juga kagum tiba-tiba berkelebatan tiga bayangan dan Kwi-bo serta Coa-ong muncul, bersama seorang kakek lain yang terke-keh-kekeh....