Prahara Di Gurun Gobi Jilid 07 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Serial Prahara Di Gurun Gobi Karya Batara

“HEH-HEH, apa ini? Ada keramaian tidak mengundang kami? Wah, terlalu kalian, hwesio-hwesio Go-bi. Ada pesta tidak mau mengajak orang lain. Ufh, dasar keledai-keledai gundul!" dan tiga bayangan itu yang berkelebat dan langsung melepas pukulan ke Ji Beng Hwesio, tidak memberi tanda tiba-tiba sudah membantu ketua Hoa-san mengeroyok lawannya.

"Des-des-dess!"

Ji Beng Hwesio dan hwesio-hwesio lain terkejut. Mereka itu tiba-tiba sudah melihat tiga bayangan ini meluncur dan melepas pukulan, langsung begitu saja dan juga cepat. Dan ketika Ji Beng terkejut dan menangkis, tiga pukulan itu amatlah hebatnya maka wakil ketua Go-bi ini tergetar dan terhuyung mundur, terbelalak. 

Di situ muncul Kwi-bo dan Coa-ong si Raja Ular, juga seorang kakek setinggi bambu yang terkekeh-kekeh. Dan ketika semua tersentak karena itulah tiga dari Tujuh Siluman Langit, kakek setinggi bambu itu bukan lain adalah Tiok-jin-mo alias Hantu Bambu maka tiga orang itu menyerang lagi dan It Lun Tosu tertegun karena tiba-tiba ia sudah dibantu.

"Hayo, maju dan robohkan keledai gundul ini, It Lun Tojin. Kita ramai-ramai mengganyangnya dan antar dia ke akherat!”

Murid Go-bi gempar. Mereka segera melihat pimpinan mereka itu diserang dan dihujani serangan lagi, cepat dan bertubi-tubi dan meledaklah rambut hitam di kepala si Ratu lblis itu, rambut yang panjang dan berbau harum tapi sekali kena tentu membawa maut. Dan ketika si Raja Ular juga menggerakkan sulingnya dan menari-nari dengan serangan berbahaya, disusul si kakek bambu yang tertawa-tawa serak maka Ji Beng tiba-tiba sudah dikerubut dan menghadapi keroyokan itu tanpa kawan.

Namun hwesio ini memang hebat. Mengeluarkan geraman seperti singa tua tiba-tiba hwesio itu membentak dan mengerotokkan buku-buku jarinya. Rambut dan suling yang naik turun menyambar- nyambar tiba-tiba ditangkis dan bertemu dengan jari-jarinya itu. Dan ketika rambut terpental sementara suling berkeratak seperti pecah, Coa-ong menjerit maka Jin-mo atau si kakek bambu yang menemani dan mengeroyok hwesio ini juga dibuat tergetar oleh satu kepretan jari bagai kipas baja.

"Plak-des-prett!"

Jin-mo dan lain-lain terpekik. Ji Beng yang sudah sadar dan marah oleh kedatangan lawan-lawannya ini lalu menggerak-gerakkan kedua lengan bajunya ke delapan penjuru, kesepuluh jari tangannya juga mengibas atau menampar dan keluarlah angin pukulan yang amat kuat menyambar. Dan ketika tiga orang lawannya terhuyung sementara It Lun Tojin sang ketua Hoa-san berdiri menjublak, tak ikut bertempur maka Coa-ong terbeliak dan memaki-maki tosu itu.

“He, keparat jahanam. Maju dan bantu kami, Hoa-san-paicu. Jangan ndomblong dan diam saja menonton!"

“Benar," Kwi-bo juga melengking, kaget dan penasaran oleh hebatnya wakil ketua Go-bi ini. "Kami datang bukan untuk ditonton, It Lun Tojin. Maju dan bunuh si keledai tua ini atau kami pergi dan kau berhadapan kembali dengan Ji Beng Hwesio!"

It Lun Tojin pucat. la mundur dan membiarkan pertempuran itu karena tentu saja ia tak mau bergaul dengan orang-orang dari dunia hitam itu. Tujuh Siluman Langit bukaniah sahabat bagi orang baik-baik, para pendekar atau ketua partai seperti dia itu. Tapi mendengar ancaman dan lengkingan Kwi-bo, Ji Beng memang berat dilawan seorang diri maka dia maju mundur dan bingung. Dan saat itu Ji Beng mengeluarkan pukulan-pukulan yang membuat ketiga lawannya terhuyung-huyung, ilmu yang mengeluarkan angin panas dan tiga tokoh sesat itu memekik-mekik.

"Heii...!" Coa-ong mulai tak sabar. “Cepat atau kami pergi, tosu bau. Dan Bu-tek-cin-keng akan dirampas kembali oleh keledai gundul ini!"

"Hm!" It Lun Tojin serba salah. "Kalian datang mengambil alih, Coa-ong, dan seharusnya pinto memberi kesempatan. Tapi kalau kedua temanku setuju tentunya mereka juga akan bergerak. Pinto datang juga secara rombongan!"

"Keparat, licik dan pengecut. Membawa-bawa kawan agar tidak disalahkan. Eh, kalau begitu biar kalian hadapi hwesio bau ini, It Lun tua bangka. Dan kami pergi dulu mencari hawa segar di luar. Ayo, silahkan bertanding dan lanjutkan persoalanmu sendiri!" dan Coa-ong yang berjungkir balik memberi aba-aba pada temannya, pergi dan melepaskan diri dari sebuah pukulan Ji Beng tiba-tiba diturut oleh Kwi-bo yang juga membentak dan melempar tubuh dari pukulan dahsyat si hwesio tua.

"Benar, kami akan mencari angin segar dulu di luar. Biar kalian bertiga hadapi si keledai gundul ini dan nanti kami kembali.... dess!" pukulan itu menghantam tembok, ambrol dan Kwi-bo memaki It Lun Tosu yang dinilai lamban itu. Dan ketika Hantu Bambu juga tertawa panjang dan menggerakkan kakinya yang tinggi kurus, cepat sekali menyelinap keluar pintu maka Ji Beng Hwesio sudah mendelik memandang kepergian lawan-lawannya itu.

"Pat-kwa, kejar dan tangkap pengacau-pengacau liar itu!"

Delapan murid Ji Beng, yang berdatangan dan masuk ke situ tiba-tiba membentak dan mengejar tiga tokoh sesat ini. Ji Beng tak mau mengejar karena ia segera berurusan kembali dengan ketua Hoa-san dan lain-lainnya itu. Dan ketika Hoa-san-paicu pucat karena hwesio itu berkelebat dan berdiri di depannya, merah padam maka hwesio itu membentak agar Bu-tek-cin-keng diserahkan kembali.

"Pinceng tak akan main-main lagi, semuanya ini cukup. Serahkan kitab itu dan silahkan pergi, Hoa-san-paicu. Atau pinceng bersikap keras dan kau tinggal nama!"

Ketua Hoa-san ini tergetar. Dia melihat ancaman serius dan kepandaian Ji Beng yang luar biasa membuat dia gentar. Wakil Go-bi ini benar-benar hebat dan telah membuktikan dapat mengatasi Kwi-bo dan lain-lainnya tadi. Betapa tinggi ilmunya! Tapi karena Bu-tek-cin-keng adalah kitab berharga dan menyerahkannya begitu saja juga dirasa sayang, eman-eman maka ketua Hoa-san ini menjublak dan tiba-tiba To Hak Cinjin berkelebat dan berseru kepadanya,

"Hoa-san-paicu, kupikir tak selayaknya hwesio sombong ini memaksa kita. Dia telah berbohong, dan untuk itu patut menerima hukuman. Kalau kau dipaksa dan kita hendak dihina sebaiknya kita hadapi saja hwesio ini dan mati hidup kita tentukan di sini!"

"Benar!" Kiam Leng Sianjin tiba-tiba juga berseru dan berkelebat maju, sudah pulih tenaganya. "Ji Beng Hwesio semena-mena dan mempermainkan kita, paicu. Kalau ia hendak memaksa biarlah sekalian saja kita pertaruhkan nyawa dan mati membela cita-cita!"

Ji Beng membelalakkan mata. Tiga ketua Hoa-san dan Kun-lun serta Heng-san itu tahu-tahu telah berendeng dan siap bertempur, masing- masing mencabut senjata dan marahlah hwesio itu oleh kenekatan lawan-lawannya ini. Nyata bahwa mereka tak mau kehilangan Bu-tek-cin-keng dan itu membuat hwesio ini gusar. Dan ketika tiga ketua itu siap dan akan mengeroyok dirinya maka Ji Beng membentak dan tangan kirinya tiba-tiba bergerak ke arah It Lun Tojin, yang memegang kitab.

"Kalian benar-benar tak tahu malu. Serahkan kitab atau pinceng terpaksa membunuh!"

Sang ketua mengelak. It Lun Tosu telah tahu kehebatan pukulan ini dan tentu saja ia tak mau menangkis. Kitab dimasukkan ke saku baju dan secepat itu pula ia berkelit. Tapi ketika ujung jubah masih menyambar dan angin pukulan yang amat dahsyat mengejarnya juga maka ketua Hoa-san ini menangkis dan ia pun, terlempar tiga meter.

“Dess-aiihhh...!”

Dua yang lain bergerak. Ji Beng berkelebat dan mengejar Hoa-san-paicu yang bergulingan, Kiam Leng dan To Hak Cinjin tak membiarkan rekannya itu dirobohkan, terus saja bergerak dan mengejar pula wakil ketua Go-bi itu. Dan ketika hantaman Khong-san-jeng-kin dan Thi-khi-hiat bergerak susul-menyusul, dua ketua Kun-lun dan Heng-san itu menolong ketua Hoa-san maka Ji Beng membalik dan marah menangkis pukulan dua lawannya ini.

"Des-dess!"

Dua ketua itu terhuyung. Mereka kalah kuat dan tangkisan Ji Beng yang dilakukan secara serampangan telah membuat mereka mundur. Hwesio itu benar-benar kuat! Tapi ketika mereka menyerang lagi dan It Lun Tojin membentak membalas lawannya, tadi dibuat malu dan marah oleh pukulan lawan yang membuatnya terlempar terguling-guling maka Ji Beng sudah dikeroyok dan tiga ketua itu berkelebatan cepat memburu dan mendahului lawan.

“Ji Beng, kau congkak dan sombong. Biarlah kami mencoba kepandaianmu dan mati hidup kami pertaruhkan di sini!"

“Omitohud...!” sang hwesio berseru. “Kalian tak malu-malu mengeroyok, Heng-san-paicu, sungguh menjatuhkan nama kalian sebagai ketua-ketua partai persilatan yang besar. Pinceng tak takut, dan pinceng juga akan merebut Bu-tek-cin-keng dari tangan kalian yang serakah.... plak-dess!"

Dan pukulan serta tamparan yang bertemu ujung lengan jubah lalu terpental dan membalik lagi, menyambar dan bertubi-tubi tiga ketua Hoa-sa dan Kun-lun serta Heng-san itu menyerang lawannya. Ji Beng bertangan kosong dan hebat benar hwesio renta ini.

Meskipun kecil pendek namun tenaga yang keluar selalu berhasil menghalau pukulan-pukulan lawan, tiga ketua itu penasaran! Dan ketika mereka membentak dan pedang di tangan kanan bergerak menyambar, suaranya mendesing menakutkan maka pukulan dan senjata tajam silih berganti menyambar wakil Go-bi itu, dikelit dan ditangkis dan segera empat orang ini berseliweran naik turun bagai burung besar sedang bertarung. Anak-anak murid menyatakan curang namun Ji Beng membentak agar semua mundur, urusan itu akan diselesaikan sendiri dan tak usah siapapun membantu.

Dan ketika hwesio itu berkelebatan mengikuti bayangan lawannya, jubah kuning ini bergerak di antara tiga cahaya pedang yang menyambar-nyambar maka tampak bahwa hwesio ini dapat melayani tiga ketua Hoa-san dan Kun-lun serta Heng-san itu dengan baik. Mula-mula memang tiga orang ketua itu mencoba mendesak dan menekan, pukulan maupun pedang mereka silih berganti melepas tusukan.

Tapi ketika Ji Beng menggerakkan ujung jubahnya dan dari ujung jubah ini keluar angin pukulan yang menyampok atau menghalau, pedang terpental dan semua pukulan-pukulan lawan dapat dimentahkan maka tiga ketua itu terkejut dan tiba-tiba lengan jubah sudah mengeras kaku dan kini tang-ting-tang-ting menghantam pedang mereka.

"Lepaskan, atau pinceng melanggar pantangan membunuh!"

Tiga ketua itu pucat. Akhirnya mereka mendesis ketika telapak terasa pedih dan pedas. Kiam Leng melirik dan ternyata kulit telapaknya membeset! Dan ketika dua ketua yang lain juga mengalami hal yang sama dan masing-masing terkejut karena lama-lama mereka tak kuat menahan pedang, kulit bisa terkupas semua maka Ji Beng melepas pukulan-pukulan berat dan Cui-pek-po-kian atau Ilmu Menggempur Tembok menindih tiga ketua ini.

"Keparat, kita akan kalah!” To Hak Cinjin, sang ketua Heng-san berteriak pucat. Tokoh yang berangasan ini terpekik karena satu tikaman pedangnya dipentalkan. Dan ketika ia marah dan berseru keras, tangan kiri bergerak melepas pukulan listrik maka Ji Beng mengeluarkan suara dari hidung dan lengan kirinya tiba-tiba bergerak menyambut.

"Plak!” Dua tangan itu saling tempel. Pukulan listrik dari Thi-khi-hiat dilepas ketua Heng-san-pai ini, disambut dan diterima Ji Beng Hwesio tapi tiba-tiba sang ketua Heng-san tersentak kaget. Pukulan listrik yang biasanya menyedot dan menghisap darah lawan mendadak bertemu segumpal tenaga lunak seperti kapas, amblas dan tiba-tiba saja malah tersedot masuk! Dan ketika Heng-san-paicu itu terkejut karena pukulannya sia-sia, tak mendapat sasaran sekonyong-konyong lengan jubah hwesio itu bergerak sendiri dan tahu-tahu melecut pergelangan tangannya, tepat kena nadi besar.

"Aughhh!” Heng-san-paicu terpelanting. Ia ditotok dan sejenak menjerit-jerit dengan amat kesakitan. Pusat kekuatannya, di pergelangan tangan itu, dilumpuhkan dan dihancurkan si hwesio. Dan ketika ia bergulingan dan pedangnya terlepas, tentu saja berteriak-teriak di sana maka Kiam Leng Sianjin maupun It Lun Tojin sama-sama mendapat kesempatan untuk menghantam lawannya itu, di kala dua tangan sedang saling tempel mengerahkan tenaga.

“Tak-tak!"

Pedang membacok atau menusuk di pundak dan perut hwesio itu. Sepatutnya lawan akan terjungkal dan roboh. Bacokan dan tusukan dua ketua Hoa-san dan Kun-lun ini bukanlah main-main. Tapi ketika pedang seakan membacok dinding yang liat, terpental dan dua ketua itu kaget maka Ji Beng tertawa dingin dan begitu dia mengedut tahu-tahu lengan jubahnya bergerak dan menghajar dua ketua itu.

"Aduh.... plak-plak!"

Dua ketua ini terlempar dan terguling-guling. Lawan ternyata mengeluarkan Tiat-po-sannya dan ilmu kebal Baju Besi itu melindungi. Pedang terpental dan tentu saja mereka terpekik. Dan ketika hwesio itu membalas dan mereka kena lecutan ujung jubah, dua ketua itu bergulingan menyelamatkan diri maka Ji Beng bergerak dan sudah mendesak dua lawannya ini, karena Heng-san-paicu tak dapat bangkit berdiri dan sementara itu masih merintih-rintih.

"Menyerahlah, atau pinceng menurunkan tangan kejam!”

Dua ketua itu pucat. Mereka, ketua-ketua partai persilatan terkenal ternyata kalah menghadapi wakil ketua Go-bi, padahal mereka mengeroyok pula. Dan ketika desakan semakin menghebat dan Cui-pek-po-kian juga semakin menghimpit, ilmu Menggempur Tembok yang dilakukan wakil Go-bi itu menyesakkan napas maka dua ketua ini menggigit bibir dan mereka berada di persimpangan jalan yang sama-sama merugikan. Menyerah berarti menghancurkan nama sendiri, tidak menyerah berarti siap terbunuh. Paling tidak, pasti luka berat!

Tapi ketika dua ketua itu bingung dan kematian juga membayang-bayangi mereka, hati mulai kecut dan perasaan terguncang mendadak terdengar kekeh Kwi-bo dan Ratu Iblis yang tadi dikejar-kejar delapan hwesio Go-bi muncul di situ disusul dua bayangan temannya.

"Hi-hik, cukup main-main dengan kalian, keledai-keledai gundul. Jangan mengejar- ngejar wanita kecuali kalau ingin mengajakku bercumbu. Ayo, minggir atau kubuat mampus....plak-plakk!" rambut di kepala wanita itu menghantam dua di antara Pat-kwa-hwesio, meledak dan membuat dua hwesio itu mundur dan terkekehlah wanita ini memasuki arena Hoa-san-paicu.

Saat itu dua ketua Hoa-san dan Kun-lun benar-benar terdesak hebat dan mereka tinggal menunggu kekalahan, hal ini tak dapat dicegah lagi. Tapi ketika wanita itu masuk dan rambut juga meledak menyambar Ji Beng Hwesio, langsung ke mata maka hwesio itu terkejut dan menangkis.

“Plakk!” Ratu Iblis berjungkir balik. la terkekeh tapi sudah mematahkan tolakan hwesio itu, menyelamatkan Hoa-san-paicu dan Kun-lun-paicu dan legalah dua ketua itu dari lubang jarum. Mau tidak mau mereka menyatakan terima kasih kepada si Ratu Iblis ini. Dan ketika Kwi-bo terkekeh dan Coa-ong juga berkelebat masuk, menerjang setelah mendorong mundur delapan hwesio Pat-kwa maka Raja Ular itu meniup sulingnya dan masuklah puluhan ular menyerbu tempat itu, merayap dan mendesis-desis dengan buas.

“Ha-ha, kita kacau hwesio ini, Kwi-bo. Porak-porandakan tempatnya!"

"Hi-hik, dan kita bantu tiga ketua Hoa-san dan Kun-lun serta Heng-san itu. Kita sama-sama memiliki musuh yang sama!”

"Dan kita bagi Bu-tek-cin-keng secara adil. Ah, ha-ha.. puas dan tentu menyenangkan!”

Ji Beng Hwesio terbelalak. la marah ketika tiba-tiba tiga manusia sesat itu datang lagi. Delapan muridnya rupanya belum berhasil meringkus dan kini mereka itu membantu Hoa- san-paicu. Keparat! Dan ketika hwesio ini membentak dan ayunan tangannya menyambarkan angin dahsyat, Coa-ong mengelak dengan cara melempar tubuh ke atas maka ratusan ular yang tiba-tiba sudah banyak dan memenuhi tempat itu membuat Pat-kwa-hwesio dan murid-murid Go-bi terkejut, jijik!

"Awas, mereka ular-ular berbisa. Minggir, jangan sampai tergigit!”

"Heh-heh!" Coa-ong tertawa licik, gembira. "Kalian hadapi dulu anak-anakku yang manis itu, Pat-kwa-hwesio. Baru setelah itu aku si tua bangka!”

Pat-kwa-hwesio marah. Tentu saja mereka mengebut-ngebutkan ujung jubah dan ular-ular yang mendekat langsung dibunuh. Hewan melata yang menjijikkan itu bukan lawan berat bagi delapan murid Ji Beng ini. Tapi ketika Coa-ong menyambar ular-ularnya dan melempar-lemparkannya kepada mereka, juga murid-murid Go-bi yang lain maka delapan hwesio ini terkejut dan murid-murid Go-bi yang tahu-tahu sudah dikalungi ular menjerit-jerit dan panik, tujuh di antaranya tergigit dan menggelepar tewas, dikeroyok dan menjadi mangsa dari puluhan atau ratusan ular yang datang menyerbu!

"Keparat!" delapan hwesio mencak-mencak. "Kau licik dan curang, Coa-ong. Ayo hadapi pinceng dan jangan mengandalkan ular-ularmu!”

“Ha-ha, kalianpun licik dan curang. Siapa suruh mengeroyok dengan begini banyak orang. Ayo, siapa mengeroyok siapa?”

Pat-kwa-hwesio mendelik. Mereka kalah berdebat karena itu memang betul, tadi mereka mengeroyok tiga manusia sesat ini. Tapi karena itulah keistimewaan mereka dan menghadapi, seorang atau seratus orang mereka memang akan maju berbareng, itulah keistimewaan mereka sebagai Hwesio Segi Delapan maka mereka tak melayani silat lidah ini, dan sibuk menginjak atau mengebut hancur ratusan ular yang datang. Mereka tak dapat mendekati lawan mereka itu karena tempat itu tiba-tiba penuh ular.

Suling terus meniup melengking-lengking dan masuklah segala ular dari segala penjuru. Coa-ong memanggil anak-anaknya itu dan murid Go-bi kacau. Sungguh si Raja Ular ini membuat keonaran. Tapi ketika Ji Beng membentak agar semua menyalakan obor, ular digebah dengan obor maka benar saja ratusan ular itu mendadak lintang-pukang dan membalik melarikan diri.

"Jangan bodoh, jangan panik. Nyalakan obor dan hancurkan ular-ular itu dengan api!"

Benar saja, semua ular tiba-tiba ketakutan. Mereka mendesis-desis melihat puluhan obor tiba-tiba sudah berada di tangan anak-anak murid Go-bi ini. Coa-ong melengking-lengking namun anak buahnya tetap berserabutan. Dan ketika kakek itu marah dan meniup sulingnya dengan irama pendek-pendek, satu lagu yang menyayat tiba-tiba menggetarkan semua orang maka ular-ular itu mendadak tertegun dan menyerang lagi, nekat menerjang api!

"Hm!” Ji Beng Hwesio membelalakkan matanya. “Kau tak menghargai binatang piaraanmu sendiri, Coa-ong. Pantas dan sungguh keji. Namun pinceng akan menghalau dengan suara pinceng!" hwesio itu tiba-tiba menggereng-gereng, suaranya seperti gajah sedang kelaparan dan irama pendek-pendek dari suling Coa-ong tiba-tiba kacau.

Lagu yang menyayat-nyayat itu bercampur dengan gerengan si hwesio tua, akibatnya menjadi tak keruan dan marahlah si Raja Ular ketika ularnya tertegun kebingungan. Dan ketika suara si hwesio semakin kuat dan bunyi suling nyaris tertutup, Ji Beng memang hebat maka para murid bersorak dan obor yang ada di tangan mereka tiba-tiba dilemparkan ke tengah dan terbakarlah ular-ular yang terlambat menjauhkan diri.

"Hore, ular-ular itu mampus. Mereka saling gigit!"

"Ya, dan Coa-ong tak dapat meniup, sulingnya dengan lancar, suheng. Lihat kakek itu kacau!"

Coa-ong mendelik. la memang tiba-tiba kacau setelah gerengan suara Ji Beng Hwesio menindih irama sulingnya yang pendek-pendek. Suara hwesio itu demikian kuat hingga lengkingan sulingnyapun ikut terpengaruh, menjadi besar dan berat hingga mirip gerengan pula. Dan ketika para murid tertawa dan kakek itu pucat, ia gagal mengemudikan ularnya maka mereka menjadi korban dan sebentar saja bau daging ular memenuhi tempat itu.

"Keparat, kuhancurkan kalian!" kakek itu marah, menghentikan tiupan sulingnya dan sekonyong-konyong ia menerjang masuk menyambar puluhan obor yang menyala di tengah kerumunan ular-ularnya, yang menggeliat dan sekarat oleh api. Dan ketika kakek itu melempar atau menendang puluhan obor ini, yang mencelat dan membakar dinding maka terbakarlah ruangan itu oleh kebakaran besar, api yang menjilat-jllat dan membubung tinggi ke atas!

"Kebakaran, celaka. Tempat kita dibakar!"

Coa-ong tertawa bergelak. Sekarang dia dapat melampiaskan kemarahannya dengan membakar Go-bi. Ruangan itu dijilat api dan marahlah Ji Beng Hwesio oleh perbuatan ini. la sedang melayani Kwi-bo dan si Hantu Langit yang mengeroyok bersama ketua Hoa-san dan Kun-lun. Kiam Leng Sianjin maupun It Lun Tojin akhirnya apa boleh buat menerima bantuan dua orang sesat itu.

Mereka tak ada pilihan lain dan berseru kepada Ji Beng bahwa mereka tak minta dibantu, tiga orang sesat itulah yang maju sendiri dan katanya juga punya urusan dengan si wakil Go-bi. Dan ketika Coa-ong memanggil ular-ularnya dan kini membakar ruangan itu, Go-bi dijilat dan dimakan api maka hwesio ini memekik dan tiba-tiba ia menerjang dengan kedua lengan jubahnya menyambar ke kiri kanan, dahsyat sekali.

"Keparat, kalian benar-benar tak tahu aturan. Ah, pinceng melanggar pantangan membunuh!"

HALAMAN 25 dan 32 HILANG

"Dess!"

Ji Beng mengejar dan tidak perduli teriakan lawan. Hantu Langit dibuat terguling-guling dan kagetlah iblis tinggi kurus itu karena selanjutnya hwesio ini meledak-ledakkan lengan jubahnya. Dan ketika ia tak dapat meloncat bangun karena menghindar dan mengelak sana-siní, hwesio itu marah besar maka Kwi-bo terkekeh-kekeh dan Coa-ong tertawa tergelak-gelak, geli melihat rekannya didesak hebat. Keji!

"Hi-hik, mampus kau, Bambu Kurus. Salahmu kenapa tidak mendahului lawan!"

"Benar," Coa-ong terbahak-bahak. "Keledai gundul ini telah mewarisi sebagian dari Bu-tek-cin-keng, Jin-mo. Kalau tidak tentu tak mungkin ia membuatmu kelabakan. Hayo, berteriaklah kepada kami agar kami bantu. Dan katakan berapa kau sanggup bayar!"

"Bedebah, terkutuk!" Hantu Langit memekik marah. "Kalianpun tak mungkin dilepaskan keledai gundul ini, Coa-ong. Kau telah membunuh Lu Kong Hwesio dan murid-murid lain. Ji Beng tak akan membiarkanmu pula kecuali hwesio bau ini manusila pengecut yang takut dikeroyok!”

"Ah, pinceng tak takut menghadapi kalian semua!” hwesio itu membentak. "Kau maupun Coa-ong tak bakal lolos dari tangan pinceng, Jin-mo. Lihat ini pinceng menghantam Coa-ong!" dan hwesio itu yang benar saja membalik dan melepas pukulan ke arah Coa-ong, yang seketika menghentikan ketawanya dan kaget berseru keras.

Maka Raja Ular terpental dan kakek itu memaki-maki. Dia membentak Ji Beng Hwesio bahwa lawannya adalah si Hantu Langit, bukan dirinya. Tapi ketika Hantu Langit berseru bahwa Coa-ong membunuh Lu Kong, murid utama Go-bi maka Ji Beng Hwesio tak mau perduli dan melepas serangan lagi ke kakek ular ini, selanjutnya berkelebatan di antara dua orang itu dan Coa-ong berteriak-teriak. 

Kakek ini memaki-maki temannya dan terkekehlah Hantu Langit meloncat bangun. la dapat berdiri lagi setelah Ji Beng Hwesio menyerang Coa-ong. Tapi ketika pukulan demi pukulan mengejarnya lagi, ia sibuk menangkis dan mengelak sana-sini maka Kwi-bo tertawa-tawa dan Ratu Iblis itu sendirian berdiri menonton.

Namun Pat-kwa-hwesio bergerak mendekati. Tujuh dari delapan hwesio ini marah melihat Ratu Iblis itu. Coa-ong dan Jin-mo sudah dikurung gurunya dan dua tu tokoh sesat itu berteriak berkali-kali. Ji Beng memusatkan perhatiannya untuk merobohkan lawannya ini, Kwi-bo diserahkan kepada tujuh muridnya itu dan berkelebatlah Pat-kwa-hwesio mengelilingi si Ratu Iblis ini. Dan ketika Kwi-bo terkejut karena segera dibentak dan diserang, Ji Beng sudah berseru agar murid-muridnya merobohkan wanita itu maka Kwi-bo dikeroyok dan berubah mukanya.

"Eiit, laki-laki tak tahu malu. Hwesio-hwesio bau! Ah, kalian tak malu-malu mengeroyok seorang wanita? Licik, pengecut. Hayo minggir atau maju seorang demi seorang, keledai- keledai gundul. Atau aku akan marah dan membunuh kalian.... tar-tar!"

Rambut menjeletar dan mengibas ke sana-sini. Kwi-bo dikeroyok dan wanita itu melengking-lengking karena sebentar saja sudah dihujani pukulan atau sambaran lengan jubah. Suaranya menderu-deru dan marahlah wanita itu karena dirinya didesak. Dan ketika tujuh murid Ji Beng Hwesio itu tak memberinya jalan keluar, ia benar-benar hendak ditangkap atau dirobohkan maka Kwi-bo membentak dan sekonyong-konyong melenggok kian ke mari mengeluarkan tarian sexy-nya.

"Awas, Thian-mo-bu!"

Kwi-bo terkekeh dan tertawa-tawa. la sudah menggemerincingkan gelang-gelangnya dan bergeraklah wanita itu meliak-liuk. la menghindar dan mengelak semua serangan lawan dan satu demi satu pakaian yang melekat di tubuhpun terlepas. Itulah Thian-mo-bu atau Tarian Hantu Langit, tarian yang penuh daya pesona karena segera pemiliknya bertelanjang bulat. Dan ketika benar saja sekejap kemudian Kwi-bo sudah tak mengenakan sehelai benangpun, polos dengan lekuk-lengkung tubuh yang penuh daya pikat maka tujuh murid Ji Beng Hwesio ini terkejut dan "silau.

"Awas, jangan terpancing keindahan tubuhnya!"

Namun seruan atau bentakan Ji Beng Hwesio itu terlambat bagi murid-muridnya. Pat-hwesio, hwesio termuda, sudah tertegun dan terbelalak memandang keindahan tubuh si Ratu Iblis ini. Kwi-bo memang cantik dan menggairahkan. Tak ada satu laki-laki yang normalpun akan melengos dari bentuk tubuh atau keindahan wanita ini, apalagi dalam keadaan telanjang bulat begitu. Polos tanpa sehelai benang pun! Dan ketika Pat-hwesio tertegun dan membelalakkan matanya, darah berdesir maka sekonyong-konyong segumpal rambut menyambar kepalanya.

“Plak!" Hwesio itu roboh. Pat-hwesio yang termuda dan tergampang dirangsang tiba-tiba sudah terpengaruh oleh daya pikat wanita itu. Si Ratu Iblis terkekeh dan bergeraklah dia ke hwesio termuda ini. Matanya yang tajam telah mengetahui bahwa hwesio itulah yang lebih dulu terpesona. Dan ketika ia bergerak dan meledakkan rambutnya, lawan roboh dan pingsan maka berkelebatanlah wanita ini ke Jit-hwesio dan Liok-hwesio, hwesio nomor tujuh dan enam, disusul kemudian kepada hwesio-hwesio yang lain dan tersentak serta kagetlah hwesio-hwesio itu oleh gerakan si Ratu Iblis.

Wanita ini telah mempergunakan daya pikatnya yang besar dan tahu-tahu Jit- hwesio maupun Liok-hwesio berteriak, roboh oleh tamparan atau ledakan rambut wanita itu. Dan ketika tiga dari tujuh hwesio ini roboh oleh serangan yang mendadak, mereka juga terpesona oleh tubuh indah si Ratu Iblis maka Ji-hwesio yang merupakan orang tertua di situ menjadi marah dan gusar.

"Sute, jangan pandangi tubuhnya. Awas, hindarkan rambutnya dan jangan tatap langsung!"

Namun tiga hwesio adik-adik seperguruannya itu repot. Mereka dipaksa mengelak sana-sini dan tak boleh memandangi tubuh lawan. Memang di situlah daya tarik si Ratu Iblis yang membuat silau. Mata laki-laki tak mungkin dilepas begitu saja. Dan karena mereka biasanya berdelapan dan sekarang tiba-tiba dikacau sedemikian rupa, wanita itu memang kurang ajar maka Pat-kwa-hwesio yang tinggal empat orang ini bingung dan gugup mengelak sana-sini. Mereka juga membalas namun setiap akan menyentuh bagian-bagian tubuh tertentu tentu mereka tarik kembali.

Bayangkan, mana mungkin jari mereka harus bertemu langsung dengan pinggul atau buah dada wanita itu, yang sengaja dibiarkan dan melambai-lambai kian kemari, tanpa penutup! Dan karena mereka juga seorang hwesio yang seharusnya menjauhi wanita, hidup berwadat maka sungguh susah menghadapi si Ratu Iblis yang tak tahu malu ini, mengelak dan menghindar saja dan akibatnya mereka didesak hebat, terus tertekan dan tertekan dan marahlah Ji Beng Hwesio melihat kerepotan empat muridnya. Kwi-bo memang kurang ajar!

Dan ketika Ji-hwesio maupun ketiga saudaranya harus sering memejamkan mata melihat bagian-bagian tubuh si Ratu blis yang dipertontonkan sambil terkekeh-kekeh, hati atau perasaan empat hwesio itu terguncang maka Ji Beng melepas sebuah pukulan dan terpekiklah Kwi-bo ketika tahu-tahu terlempar, mencelat.

"Kwi-bo, pakai pakaianmu atau pinceng akan menutupnya dengan lumpur!”

Si Ratu Iblis menjerit. la sedang senang-senangnya mempermainkan empat hwesio yang kebingungan itu, siap menggerakkan tangan atau rambutnya untuk merobohkan. Tapi begitu Ji Beng menghantamnya dan ia terguling-guling, tepat sekali memasuki sebuah kubangan maka si cantik ini menjerit ketika tahu-tahu tubuhnya sudah bermandi lumpur.

“Byurr!" Ratu Iblis itu memekik. la tak menyangka pukulan Ji Beng Hwesio tadi dan penuhlah tubuhnya oleh lumpur kotor. Tubuh yang semula halus putih mendadak menjadi gelap dan hitam! Dan ketika ia mencak-mencak dan keluar memaki-maki, Ji-hwesio dan saudara-saudaranya lega maka Ji Beng berseru agar mereka menolong tiga saudara yang pingsan. Guru mereka itu akan menghajar si Ratu Iblis.

“Kalian cari di mana Hoa-san-paicu dan mana suheng kalian Twa-ji. Pinceng akan menghadapi dan menangkap mereka ini!"

"Keparat!” si Ratu Iblis melengking-lengking. "Kau akan kubunuh, Ji Beng Hwesio. Dan lihat Thian-mo-bu ku yang akan menghancurkan dirimu... tar-tar!" dan rambut yang meledak-ledak mengiringi tubuh yang meliuk naik akhirnya membuat si Ratu Iblis menjerit menyerang lawannya itu, maju membantu si Hantu Langit.

Coa-ong terkekeh-kekeh melihat kemarahan temannya itu. Ia geli melihat Kwi-bo berlepotan lumpur. Tubuh yang halus mulus itu mendadak sudah menjadi hitam dan bau oleh lumpur yang kotor, Dan ketika rekannya itu menerjang dan meledak-ledakkan rambutnya, juga gelang yang berkemerincing nyaring maka Ji Beng diserbu namun hwesio Go-bi ini mendengus dan bahkan membungkuk dan menerima serangan lawannya itu.

"Dess!" Ratu Iblis mencelat. Kwi-bo kalah kuat dan berteriaklah wanita itu oleh kemarahan yang sangat. Tapi ketika ia melompat bangun dan menerjang lagi, rambut dan gelangnya bertubi-tubi menyerang hwesio itu maka Ji Beng kewalahan namun si hwesio mengebutkan lengan jubahnya berulang ulang dan tetap wanita itu terpental.

Kwi-bo menjadi nekat namun tetap saja kalah kuat. Sinkang atau pukulan sakti si hwesio selalu mendorongnya. Dan ketika Coa-ong maupun si Hantu Langit juga terdorong dan berkali-kali jatuh bangun, mereka tak kuat oleh kebutan si hwesio maka tiga orang ini tiba-tiba terperangkap gulungan angin jubah dan tahu-tahu sudah tak dapat melepaskan diri lagi, terbawa pusaran angin kuat.

“Celaka, hwesio ini mengeluarkan Thai-san-ap-ting (Gunung Thai-san Tindih Kepala)!"

"Benar, dan kita terbawa angin putarannya Jin-mo. Awas lempar tubuh ke atas dan jangan disedot!"

Coa-ong, yang kaget berseru keras tiba-tiba membentak. Suling di tangannya bergerak menghantam namun kebutan ujung jubah menangkapnya, Si Raja Ular ini kaget namun ia berseru keras membetot, celaka sekali malah patah dan hancur di tengah jalan. Dan ketika kakek itu terjengkang dan ujung jubah terus menyambarnya, dua temannya yang lain tertahan dan sedang berkutat menghadapi ujung jubah yang lain maka kakek itu berteriak ketika tahu-tahu dada kanannya terhantam.

"Plak!" Coa-ong meraung bagai anjing gila. Kakek ini terguling-guling dan mengeluh di tanah, mulut melontakkan darah segar. Luka dalam! Dan ketika dua temannya terkejut dan berseru keras, Kwi-bo melempar tubuh ke atas untuk coba melepaskan diri maka si Hantu Langit menjadi kaget ketika lawan mengebut dan serpihan suling menyambar mukanya.

“Crat-crat!" Jin-mo tak mampu mengelak, Ji Beng yang menggubat hancur suling si Raja Ular dan kini mengebutkannya ke muka si Hantu Langit tiba-tiba dengan tepat mengenai wajah si kakek setinggi bambu itu. Jin-mo menjerit dan berteriaklah kakek itu berlumuran darah. Pipi dan tulang rahangnya ditembus serpihan suling, tajam dan keras bagai serpihan atau bubuk besi baja. Dan ketika kakek itu bergulingan mengaduh-aduh, Kwi-bo terkejut dan melayang turun oleh kejadian cepat ini maka iapun disambut dan dikejar si hwesio, yang ujung jubahnya kini dililit dan dipelintir seperti toya, kaku dan liat menyambar kakinya.

“Kwi-bo, kaupun robohlah!"

Wanita ini pucat. la sudah dipermalukan hwesio tua itu dengan menceburkannya ke lumpur hitam, kini diserang dan siap menerima serangan ujung jubah itu, yang dipelintir dan menderu dengan amat hebatnya. Dan maklum bahwa ia menghadapi bahaya, kakinya pasti patah bertemu tongkat jubah itu maka wanita ini mencabut jarum-jarum beracunnya dan sambil berteriak putus asa ia menyambitkan itu siap mengadu jiwa.

“Ji Beng, kaupun robohlah!"

Sang hwesio tertegun. Dia sudah merobohkan dua dari tiga orang lawannya ini, kini mendapat serangan jarum-jarum halus yang semuanya menyambar mata. Kwi-bo hendak mengadu jiwa dengannya. Dan maklum bahwa serangan itu tak boleh dibuat main-main, matanya akan buta bila terkena maka hwesio ini mengurangi tenaganya untuk secepat kilat menggerakkan ujung ubahnya yang lain untuk menyampok jarum.

"Plak-plak-dess!”

Kwi-bo terlempar dan mengeluh. Wania itu tak sampai patah kakinya namun tetap saja ia terbanting. Tongkat jubah amatlah hebat dan meskipun dikurangi tenaganya namun ia merasa urat-uratnya hancur. Dan karena hwesio itu menyampok jarum-jarumnya dan jarum-jarum itu tertolak balik, menyambar dan kembali kepadanya maka belasan jarum menancap di tubuh dan satu di antaranya tepat menancap di ujung buah dadanya, sakit bukan main.

"Aduhh....!” Wanita ini mengeluh. Ia menjerit dan dua temannya tiba-tiba juga mengeluarkan senjata-senjata rahasia. Beberapa pelor hitam dan jarum-jarum halus menyambar Ji Beng Hwesio. Tapi ketika hwesio itu menolak runtuh dan tiga orang ini pucat, lawan sungguh hebat maka mereka memutar tubuh danjatuh bangun melarikan diri.

“Tolong....!”

Seruan itu membuat Ji Beng Hwesio terkejut. Hwesio ini akan mengejar lawan-lawannya tapi tba-tiba terdengar teriakan muridnya tertua. Kebakaran sudah mulai padam namun asap, dan puing-puing yang hangus runtuh menimpa ke kiri kanan, memaksa hwesio itu menoleh karena Twa-ji, muridnya tertua, berteriak dari sebelah kiri di mana beberapa bayangan tampak berkelebatan. Dan ketika hwesio itu tertegun karena seseorang menyambar Hoa-san-paicu, muridnya terbanting dan berteriak kepadanya maka hwesio ini tak jadi mengejar dan berkelebat ke arah muridnya itu.

"Suhu, Hoa-san-paicu dilarikan orang itu. Cepat, kejar dia!"

Ji Beng membentak. la sudah melihat bayangan ini namun bayangan-bayangan lain juga mengejar. Empat sosok tubuh bergerak atau berkejaran di malam gelap itu, siapa mereka hwesio ini tak tahu. Tapi ketika ia berkelebat dan menghantam bayangan itu, yang tertawa dan melempar Hoa-san-paicu mendadak bayangan lain menangkap dan menerima si ketua Hoa-san-pai itu, melarikannya ke tempat lain.

"Ha-ha, hebat dan kuat bukan main kau ini, Ji Beng Hwesio. Tapi aku tak takut dan coba terima tangkisanku ini.... dess!" bayangan itu terlempar, kaget berjungkir balik dan Ji Beng Hwesio terkejut karena lawan mampu mematahkan serangannya, turun dan sudah terbahak-bahak melarikan diri. 

Hoa-san-paicu sudah disambar orang lain dan dibawa lari pula ke tempat yang lain. Dan ketika hwesio ini sadar namun yang diburu adalah ketua Hoa-san-pai itu, yang menyimpan Bu-tek-cin-keng maka hwesio ini berseru mengejar dan tidak perduli lagi kepada lawan yang baru saja menangkis pukulannya ini, anak-anak murid Go-bi berseliweran kacau.

"Berhenti, dan serahkan Hoa-san-paicu kepada pinceng!"

Namun bayangan di depan mempercepat larinya. la mendorong dan memukul jatuh murid-murid Go-bi yeng berteriak-teriak di depan. Dari mana-mana memang muncul anak-anak murid yang berdatangan. Tapi ketika Ji Beng berkelebat dan mengerahkan ilmunya meringankan tubuh yang luar biasa, mencelat dan tahu-tahu melewati kepala bayangan ini maka hwesio itu membentak melepas pukulan, melayang turun di depan lawan yang terkejut.

"Manusia busuk, serahkan Hoa-san-paicu kepada pinceng!"

Bayangan itu terpekik. la terkejut ketika tiba-tiba hwesio Go-bi itu sudah ada di depannya, menggerakkan tangan ke bawah dan meluncurlah hawa yang amat kuat menahan larinya. Dan ketika ia menjerit dan Ji Beng tertegun karena itu ternyata wanita, bayangan ini berpakaian hitam-hitam dan memegang sebuah tusuk konde hitam, membentak dan menyambut pukulan hwesio itu maka Ji Beng tergetar tapi lawan juga terpental.

"Dess!” Sang hwesio terbelalak. Go-bi, yang haram didatangi wanita mendadak sudah dua kali dikunjungi perempuan. Yang pertama adalah Kwi-bo dan yang kedua adalah wanita ini, bayangan hitam-hitam ini. Dan ketika wanita itu terlempar dan berjungkir balik menyelamatkan diri, pukulan si hwesio membuat dadanya sesak maka bayangan-bayangan lain berkelebatan dan tahu-tahu mengepung hwesio itu.

“Ji Beng, biarkan Hoa-san-paicu di tangan kami. Mundur atau kau kami bunuh!"

Hwesio ini terkejut. Dia sedang terbelalak dan tertegun bahwa tempatnya sudah dimasuki banyak orang. Tadi adalah ketua-ketua Hoa-san dan Kun-lun serta Heng-san kini tiba-tiba ditambah orang-orang ini, setelah Coa-ong dan Kwi-bo muncul. Dan ketika ia membalik karena tiga pukulan menyambarnya dari kanan kiri, bayangan wanita hitam-hitam itu melengking dan meluncur turun maka hwesio ini menangkis dan tergetarlah dia oleh adu pukulan yang amat dahsyat.

"Dess!” Sang hwesio terhuyung mundur. Di situ tahu-tahu muncul tiga laki-laki berbeda rupa dan bentuk tubuh. Yang di depan adalah laki-laki bermuka pucat sementara yang di sebelah kiri dan kanannya adalah seorang raksasa yang bermuka merah dan temannya yang pendek bermata coklat. Tiga orang itu menggempurnya dengan pukulan yang amat kuat dan hwesio itu terdorong, tadi sedang tertegun dan terkejut oleh datangnya begini banyak orang di malam gelap.

Go-bi benar-benar disatroni musuh! Tapi begitu sang hwesio tergetar dan mundur terhuyung selangkah, wajah berobah penuh amarah maka wanita berpakaian hitam-hitam yang mukanya kuning kehitaman itu membentak dan menerjangnya, setelah tadi dibuat berjungkir balik.

"Kwi-bun, bunuh si keledai gundul ini. Dia hampir mencelakai aku!"

"Hm!" si muka pucat, yang dingin dan kaku wajahnya berkelebat mengangguk. "Aku sudah lama ingin membunuhnya, Tong-si. Hayo kita labrak dan hajar hwesio ini!”

“Ha-ha,” si pendek bermata coklat tertawa bergelak, maju membantu. “Aku juga sudah lama ingin mengasah senjataku, Tong-si. Hayo main-main dan keroyok hwesio ini. Awas, jangan sampal ciangbunjin (ketua) Go-bi-pai muncul!"

“Tak perlu takut kepada siapapun!" si raksasa bertubuh tinggi besar menerjang, ikut berseru menggerakkan senjatanya yang mengerikan, sekumpulan tengkorak yang diayun dan mengaung menderu-deru. “Ji Leng Hwesio boleh menghadapi kita, Cian-jiu-jin-touw. Dan kita bikin mampus semua tokoh-tokoh Go-bi....wher-wherrr!"

Dan tengkorak yang menderu serta menyambar-nyambar ganas, bergerak bersama tusuk konde hitam yang bercuitan dan mengepung si hwesio tiba-tiba sudah susul-menyusul dengan kapak maut yang dibawa si pendek bermata coklat itu, juga ketrikan kuku-kuku hitam yang dipunyai si muka pucat. Ji Beng Hwesio tiba-tiba sudah dikeroyok dan dikepung empat lawan tangguh dan tiba-tiba saja hwesio itu terdesak.

Ji Beng terkejut dan tertegun melihat siapa lawan-lawannya ini, orang-orang dari dunia hitam, empat dari Tujuh Siluman Langit karena mereka itu bukan lain adalah suami isteri Tong-si dan Kwi-bun, laki-laki bermuka pucat dan perempuan berpakaian hitam-hitam itu, yang bertusuk konde. dan ketika si raksasa juga menyambar dan inilah See-tok dari barat, tokoh luar biasa kejam dengan racun-racunnya yang ganas maka si pendek bermata coklat yang bukan lain Cian-jiu-jin-touw alias Pembunuh Bertangan Seribu itu juga mengayunkan kapaknya dan senjata yang berkilauan ditimpa sinar bulan ini menjadi senjata maut yang setiap kali luput tentu membabat roboh pohon-pohon di sekitar.

“Omitohudi" sang hwesio berseru setelah sadar, hilang kagetnya. "Kiraya kalian, Cian-jiu-jin- touw. Dan sekarang malam-malam datang menyatroni Go-bi untuk memercikkan api permusuhan. Ah, Go-bi tak akan mengampuni kalian dan pinceng heran kenapa kalian datang secara tiba-tiba!"

“Ha-ha!" si pendek bermata coklat tertawa bergelak, dialah tampaknya yang paling periang. "Kami datang karena mendengar undangan Bu-tek-cin-keng, Ji Beng Hwesio, juga karena solidaritas kami terhadap Coa-ong yang kau kejar-kejar. Ha-ha, kenapa kau memusuhi rekan kami dan bukankah wajar bila kami memusuhimu!”

“Omitohud, kalian orang-orang sesat yang selalu datang membawa onar. Ah, pinceng telah melukai Coa-ong dan kini pinceng juga akan merobohkan kalian....wut-plak-plak!” si hwesio menangkis dan mengelak dari serangan tengkorak dan tusuk konde hitam, mengibas dan kapak bertemu ujung lengan jubahnya yang meledak bagai petir. Dan ketika kuku jari Kwi-bun (Si Pintu Setan) juga terpental berketrik nyaring, empat orang itu terdorong mundur maka muncullah Kwi-bo dan dua temannya yang tertatih-tatih.

"Ha-ha, itu sobatku Coa-ong. Ah, ia masih sanggup berjalan!"

“Dan itu Kwi-bo. Ah, ia masih cantik dan menggiurkan!" si raksasa, See-tok (Racun Barat), berseru memandang Kwi-bo.

Ratu Iblis itu terpincang setelah tadi dihantam pukulan Ji Beng, masuk dan berseri-seri karena empat kawannya yang lain datang. Lengkaplah mereka sekarang sebagai Tujuh Siluman Langit. Namun ketika ia mendengar kata-kata s raksasa, yang parau dan mengeluarkan air liurnya maka Ratu Iblis yang telah membersihkan dirinya dari lumpur itu mendengus.

“See-tok, kau tua bangka tak tahu malu. Dari dulu selalu mengincar diriku. Huh, bunuh dulu si keledai gundul itu dan baru aku akan melayaní hasratmu yang menggebu-gebu!"

"Ha-ha,” si pendek bermata coklat tertawa bergelak, inilah Pembunuh Bertangan Seribu. “See-tok seorang tak akan mampu, Kwi-bo, harus kubantu dan karena itu imbalannya juga harus dibagi dua. Ah, kau tetap cantik dan memang menggiurkan!”

"la milikku!" si raksasa membentak. “Kau jangan macan-macam, Cian-jiu-jin-touw. Atau kupukul pecah kepalamu dan kau tinggal nama!"

"Ha-ha, Kwi-bo milik banyak orang. la akan memilih siapa yang akan dipilih. Hayo, jangan melotot kepadaku!"

“Tak usah bertengkar,” si wanita berpakaian hitam-hitam membentak, ia adalah Tong-si (Mayat Perunggu) yang menjadi isteri Kwi-bun, Si Pintu Setan. Kita semua membenci Go-bi, See-tok. Bunuh si keledai gundul ini dulu dan baru setelah itu cekcok sesuka kalian!"

"Ha-ha, benar,” Si Pembunuh Bertangan Seribu mengangguk. "Kau selalu menengahi kami Tong-si. Nasihatmu benar dan biarlah kita hadapi dulu si Ji Beng Hwesio ini.... krak-bummm!”

Dan sebatang pohon yang dibabat kapak si pendek bermata coklat ini lalu roboh mengeluarkan suara keras setelah tadi kapak itu luput dikelit si hwesio. Tusuk konde menyambar dari kanan dan Ji Beng mengebutkan ujung jubahnya menangkis serangan itu. Dan ketika tengkorak juga luput menyambar dan meledak mengenai tanah, batu dan pasir berhamburan maka Si Pintu Setan mengeluarkan suara bersiul dan kuku jarinya tiba-tiba molor seperti karet dan menusuk leher si hwesio Go-bi itu.

"Cret-plak!"

Ji Beng Hwesio mengibas dan mengelak. Cepat dan bertubi-tubi tahu-tahu hwesio ini sudah menerima pukulan dari mana-mana, keroyokan atau rangsekan lawan yang menggila. Namun ketika ia mampu menolak semuanya itu dan empat lawannya terpental mundur, masing-masing berseru kaget maka Kwi-bo menjeletarkan rambut dan menerjang, ikut masuk dalam pertempuran hebat ini.

"Kwi-bun, isterimu benar. Kita bunuh dulu si tua bangka ini dan setelah itu cek-cok belakangan!"

Ji Beng Hwesio melengking. Hwesio itu marah karena Kwi-bo menerjang dan menjeletarkan rambutnya, di sana si Raja Ular dan si Hantu Langit juga siap membantu, karena mereka sudah bergerak dan mengambil ancang-ancang. Tapi ketika hwesio itu menangkis dan Kwi-bo terpental, si Ratu Iblis ini menjerit maka berkelebatlah bayangan seorang pemuda yang membantu wakil ketua Go-bi itu.

"Ji Beng lo-suhu, maaf aku datang main-main. Berikan sebagian dari lawan-lawanmu untuk kuhadapi!"

Coa-ong dan Hantu Langit terkejut. Mereka itulah yang diserang dan tahu-tahu menerima dua pukulan panas. Tapi ketika mereka mengelak dan pemuda itu mengejar, mereka menangkis maka Coa-ong maupun Jin-mo terpental.

"Dukk!” Dua kakek iblis itu tersentak. Mereka sudah diserang dan dikejar lagi dan meluncurlah pukulan bertubi-tubi dari pemuda gagah itu. Coa-ong masih menderita luka dalam dan kakek itu memaki-maki. Maklumlah, pukulan Ji Beng Hwesio tadi masih membuat dadanya sesak dan ia baru saja menelan obat, lukanya belum pulih. Dan ketika kakek itu mengelak dan Jin-mo alias si Hantu Langit juga memekik dan memandang lawannya, pemuda yang luar biasa ini maka mereka sama-sama melihat adanya sebuah cambuk lemas yang melilit pinggang pemuda itu.

"Kim-liong-pian, bedebah, kiranya bocah she Song!"

“Benar, ini kiranya Cambuk Lemas Naga Emas, Jin-mo. Bocah ini berani benar memusuhi kita!”

"Hm, aku selamanya akan memusuhi orang-orang seperti kalian!" pemuda itu membentak, kaki tangannya terus bergerak-gerak. “Kalian selalu mengacau dan membuat onar di mana-mana, Coa-ong. Hadapi aku dan jangan main keroyok terhadap yang terhormat ketua Go-bi!" dan mendesak serta melancarkan pukulan-pukulannya yang berhawa panas, dua kakek itu mengelak dan menangkis sana-sini.

Maka Coa-ong mau pun Hantu Langit keteter. Mereka sedang terluka dan hanya Jin-mo yang agak mendingan, karena kakek setinggi galah ini tak mengalami luka dalam seperti yang dialami Coa-ong, yang serasa remuk dadanya tadi. Dan ketika kakek itu mulai membalas namun pemuda ini benar-benar hebat, pukulan dan gerakan kakinya amat luar biasa cepat maka perlahan-lahan pemuda itu mampu mendesak dua lawannya. Dan Coa-ong batuk-batuk menahan lontakan darah yang hendak keluar lagi dari mulutnya.

"Keparat, biar kupakai ular-ularku yang paling berbisa!" kakek itu berseru, mengelak dari serangan lawan dan tiba-tiba ia mengeluarkan dua ekor ularnya yang amat berbisa. Lalu ketika ia didesak dan pemuda itu menyerangnya lagi, bertangan kosong, maka kakek ini sudah mempergunakan sepasang ularnya yang mendesis-desis.

"Plak-plak!" Pemuda itu menangkis dan mengelak. Ia harus membuang tubuh ketika bau ular yang amis menyengat hidungnya, disusul kemudian oleh tendangan kakinya yang menghalau Jin-mo. Dan ketika kakek setinggi galah itu mundur dan Ji Beng Hwesio terbelalak, pemuda itu sudah membantunya maka Kwi-bo melengking-lengking dan bersinar memandang pemuda yang baru datang itu, pemuda gagah yang tampan.

"Eh, biar aku menghadapi saja bocah yang baru datang itu, Kwi-bo. Kau bantu dulu Kwi-bun dan lain-lainnya ini. Coa-ong masih terluka!"

"Hm!" See-tok membentak. "Apa-apaan kau ini, Jin-touw. Musuh yang lebih berat kau tinggal dan musuh yang lebih lemah kau hadapi. Ayo, biarkan saja pemuda itu karena Jin-mo maupun Coa-ong dapat menghadapi!"

“Ah, ha-ha... tidakkah kau lihat Coa-ong sudah mengeluarkan ularnya? Bocah itu juga tak kalah berbahaya, See-tok. Tahan dulu si gundul itu dan aku masuk lagi setelah pemuda itu kurobohkan!"

“Hm, tak usah sombong" si Raja Ular berseru marah. "Aku seorang cukup menghadapinya, Jin-touw. Kalau tidak terluka tak mungkin aku mengeluarkan senjataku. Mundur, dan lihat saja aku membunuhnya!"

"Ah, kau tak mau dibantu?"

“Sementara ini tidak. Dua ularku ini cukup membantu!" dan ketika kakek itu juga berseru agar temannya mundur, Hantu Langit diminta menonton maka kakek itu sudah menghadapi lawannya dengan sepasang ular menyambar-nyambar. Pemuda ini mengelak dan berlompatan ke sana ke mari dan Pemuda ini mengelak dan berlompatan ke sana ke mari dan bergeraklah Coa-ong dan membalasnya. Sejenak, pemuda itu tak mampu membalas. Maklumlah ia, bergeraklah Coa-ong mendesak dan membalasnya.

Sejenak, pemuda itu tak mampu membalas. Maklumlah, ia amat berhati-hati dengan sepasang ular di tangan kakek itu. Namun ketika ia membentak dan ular di tangan lawan mengeluarkan bau semakin amis, busuk, maka sebuah sinar emas tiba-tiba melengkung panjang dan berkelebat dari pinggang pemuda itu.

“Coa-ong, kau licik dan curang. Di mana-mana selalu mempergunakan ular berbisa. Tapi aku tídak takut, dan lihat senjataku ini akan menggebah ularmu.... tar!” dan cambuk lemas (pian) yang tahu-tahu meledak dan lolos dari pinggang pemuda itu tiba-tiba sudah menyambar dan menghantam ular di tangan kakek ini.

Coa-ong terkejut dan ularnya menggeliat, cepat menarik dan menyelamatkan ularnya itu. Dan ketika kakek ini marah karena ledakan cambuk lemas membuat ularnya takut, mengelak dan meronta dari tangannya maka cahaya kuning emas itu sudah menyambar-nyambar lagi dan kini menghalau ular-ularnya.

"Keparat!" kakek itu marah. “Kau hebat, Kim-liong-pian. Tapi aku tak dapat melayanimu secara penuh karena sudah terluka!”

“Tak usah banyak cakap. Suruh dua temanmu yang lain itu maju dan kuhajar biar kapok. Ayo, kalian jangan menonton dan berdiam saja di pinggir!”

“Ha-ha," si Pembunuh Seribu Tangan sudah tertawa bergelak, maju berkelebat. "Bocah ini menantang kita, Jin-mo. Ayo maju dan bunuh dia!"

Jin-mo, yang gusar dan menonton dengan marah tiba-tiba bergerak mengayun tubuhnya. Sebenarnya ia tak mau maju setelah Coa-ong dengan sombong menyuruhnya minggir. Tapi begitu pemuda itu mengeluarkan cambuk emasnya dan sinar kuning mendesak Coa-ong, rekannya itu memang terluka maka ia maju dan marah melihat kesombongan pemuda gagah ini. Ia sudah mendengar nama harum si Cambuk Naga Emas ini, baru kali itu bertemu.

Dan karena lawan tampak sombong dan belum apa-apa minta dikeroyok, ia masih gentar oleh kehebatan Ji Beng Hwesio maka iblis setinggi galah ini jadi ingin menumpahkan kemarahannya kepada Si Naga Emas itu. Dan begitu ia maju sambil mencabut tongkat bambunya, tongkat yang panjangnya hampir tiga meter maka senjata itu menyambar dan keluarlah tujuh sinar hitam dari ujung tongkat.

“Kau minta mampus, baik, kuturuti!” tujuh sinar hitam ini mendahului serangan tongkat, menyambar dan mengejutkan pemuda itu dan saat itu pula dari kiri dan kanan datang pula serangan Coa-ong dan Jin-touw. Tapi begitu pemuda ini mengeluarkan seruan keras dan cambuk emas diputar cepat maka sinar-sinar hitam runtuh dan serangan lawanpun terpental....

Prahara Di Gurun Gobi Jilid 07

Cerita Silat Mandarin Serial Prahara Di Gurun Gobi Karya Batara

“HEH-HEH, apa ini? Ada keramaian tidak mengundang kami? Wah, terlalu kalian, hwesio-hwesio Go-bi. Ada pesta tidak mau mengajak orang lain. Ufh, dasar keledai-keledai gundul!" dan tiga bayangan itu yang berkelebat dan langsung melepas pukulan ke Ji Beng Hwesio, tidak memberi tanda tiba-tiba sudah membantu ketua Hoa-san mengeroyok lawannya.

"Des-des-dess!"

Ji Beng Hwesio dan hwesio-hwesio lain terkejut. Mereka itu tiba-tiba sudah melihat tiga bayangan ini meluncur dan melepas pukulan, langsung begitu saja dan juga cepat. Dan ketika Ji Beng terkejut dan menangkis, tiga pukulan itu amatlah hebatnya maka wakil ketua Go-bi ini tergetar dan terhuyung mundur, terbelalak. 

Di situ muncul Kwi-bo dan Coa-ong si Raja Ular, juga seorang kakek setinggi bambu yang terkekeh-kekeh. Dan ketika semua tersentak karena itulah tiga dari Tujuh Siluman Langit, kakek setinggi bambu itu bukan lain adalah Tiok-jin-mo alias Hantu Bambu maka tiga orang itu menyerang lagi dan It Lun Tosu tertegun karena tiba-tiba ia sudah dibantu.

"Hayo, maju dan robohkan keledai gundul ini, It Lun Tojin. Kita ramai-ramai mengganyangnya dan antar dia ke akherat!”

Murid Go-bi gempar. Mereka segera melihat pimpinan mereka itu diserang dan dihujani serangan lagi, cepat dan bertubi-tubi dan meledaklah rambut hitam di kepala si Ratu lblis itu, rambut yang panjang dan berbau harum tapi sekali kena tentu membawa maut. Dan ketika si Raja Ular juga menggerakkan sulingnya dan menari-nari dengan serangan berbahaya, disusul si kakek bambu yang tertawa-tawa serak maka Ji Beng tiba-tiba sudah dikerubut dan menghadapi keroyokan itu tanpa kawan.

Namun hwesio ini memang hebat. Mengeluarkan geraman seperti singa tua tiba-tiba hwesio itu membentak dan mengerotokkan buku-buku jarinya. Rambut dan suling yang naik turun menyambar- nyambar tiba-tiba ditangkis dan bertemu dengan jari-jarinya itu. Dan ketika rambut terpental sementara suling berkeratak seperti pecah, Coa-ong menjerit maka Jin-mo atau si kakek bambu yang menemani dan mengeroyok hwesio ini juga dibuat tergetar oleh satu kepretan jari bagai kipas baja.

"Plak-des-prett!"

Jin-mo dan lain-lain terpekik. Ji Beng yang sudah sadar dan marah oleh kedatangan lawan-lawannya ini lalu menggerak-gerakkan kedua lengan bajunya ke delapan penjuru, kesepuluh jari tangannya juga mengibas atau menampar dan keluarlah angin pukulan yang amat kuat menyambar. Dan ketika tiga orang lawannya terhuyung sementara It Lun Tojin sang ketua Hoa-san berdiri menjublak, tak ikut bertempur maka Coa-ong terbeliak dan memaki-maki tosu itu.

“He, keparat jahanam. Maju dan bantu kami, Hoa-san-paicu. Jangan ndomblong dan diam saja menonton!"

“Benar," Kwi-bo juga melengking, kaget dan penasaran oleh hebatnya wakil ketua Go-bi ini. "Kami datang bukan untuk ditonton, It Lun Tojin. Maju dan bunuh si keledai tua ini atau kami pergi dan kau berhadapan kembali dengan Ji Beng Hwesio!"

It Lun Tojin pucat. la mundur dan membiarkan pertempuran itu karena tentu saja ia tak mau bergaul dengan orang-orang dari dunia hitam itu. Tujuh Siluman Langit bukaniah sahabat bagi orang baik-baik, para pendekar atau ketua partai seperti dia itu. Tapi mendengar ancaman dan lengkingan Kwi-bo, Ji Beng memang berat dilawan seorang diri maka dia maju mundur dan bingung. Dan saat itu Ji Beng mengeluarkan pukulan-pukulan yang membuat ketiga lawannya terhuyung-huyung, ilmu yang mengeluarkan angin panas dan tiga tokoh sesat itu memekik-mekik.

"Heii...!" Coa-ong mulai tak sabar. “Cepat atau kami pergi, tosu bau. Dan Bu-tek-cin-keng akan dirampas kembali oleh keledai gundul ini!"

"Hm!" It Lun Tojin serba salah. "Kalian datang mengambil alih, Coa-ong, dan seharusnya pinto memberi kesempatan. Tapi kalau kedua temanku setuju tentunya mereka juga akan bergerak. Pinto datang juga secara rombongan!"

"Keparat, licik dan pengecut. Membawa-bawa kawan agar tidak disalahkan. Eh, kalau begitu biar kalian hadapi hwesio bau ini, It Lun tua bangka. Dan kami pergi dulu mencari hawa segar di luar. Ayo, silahkan bertanding dan lanjutkan persoalanmu sendiri!" dan Coa-ong yang berjungkir balik memberi aba-aba pada temannya, pergi dan melepaskan diri dari sebuah pukulan Ji Beng tiba-tiba diturut oleh Kwi-bo yang juga membentak dan melempar tubuh dari pukulan dahsyat si hwesio tua.

"Benar, kami akan mencari angin segar dulu di luar. Biar kalian bertiga hadapi si keledai gundul ini dan nanti kami kembali.... dess!" pukulan itu menghantam tembok, ambrol dan Kwi-bo memaki It Lun Tosu yang dinilai lamban itu. Dan ketika Hantu Bambu juga tertawa panjang dan menggerakkan kakinya yang tinggi kurus, cepat sekali menyelinap keluar pintu maka Ji Beng Hwesio sudah mendelik memandang kepergian lawan-lawannya itu.

"Pat-kwa, kejar dan tangkap pengacau-pengacau liar itu!"

Delapan murid Ji Beng, yang berdatangan dan masuk ke situ tiba-tiba membentak dan mengejar tiga tokoh sesat ini. Ji Beng tak mau mengejar karena ia segera berurusan kembali dengan ketua Hoa-san dan lain-lainnya itu. Dan ketika Hoa-san-paicu pucat karena hwesio itu berkelebat dan berdiri di depannya, merah padam maka hwesio itu membentak agar Bu-tek-cin-keng diserahkan kembali.

"Pinceng tak akan main-main lagi, semuanya ini cukup. Serahkan kitab itu dan silahkan pergi, Hoa-san-paicu. Atau pinceng bersikap keras dan kau tinggal nama!"

Ketua Hoa-san ini tergetar. Dia melihat ancaman serius dan kepandaian Ji Beng yang luar biasa membuat dia gentar. Wakil Go-bi ini benar-benar hebat dan telah membuktikan dapat mengatasi Kwi-bo dan lain-lainnya tadi. Betapa tinggi ilmunya! Tapi karena Bu-tek-cin-keng adalah kitab berharga dan menyerahkannya begitu saja juga dirasa sayang, eman-eman maka ketua Hoa-san ini menjublak dan tiba-tiba To Hak Cinjin berkelebat dan berseru kepadanya,

"Hoa-san-paicu, kupikir tak selayaknya hwesio sombong ini memaksa kita. Dia telah berbohong, dan untuk itu patut menerima hukuman. Kalau kau dipaksa dan kita hendak dihina sebaiknya kita hadapi saja hwesio ini dan mati hidup kita tentukan di sini!"

"Benar!" Kiam Leng Sianjin tiba-tiba juga berseru dan berkelebat maju, sudah pulih tenaganya. "Ji Beng Hwesio semena-mena dan mempermainkan kita, paicu. Kalau ia hendak memaksa biarlah sekalian saja kita pertaruhkan nyawa dan mati membela cita-cita!"

Ji Beng membelalakkan mata. Tiga ketua Hoa-san dan Kun-lun serta Heng-san itu tahu-tahu telah berendeng dan siap bertempur, masing- masing mencabut senjata dan marahlah hwesio itu oleh kenekatan lawan-lawannya ini. Nyata bahwa mereka tak mau kehilangan Bu-tek-cin-keng dan itu membuat hwesio ini gusar. Dan ketika tiga ketua itu siap dan akan mengeroyok dirinya maka Ji Beng membentak dan tangan kirinya tiba-tiba bergerak ke arah It Lun Tojin, yang memegang kitab.

"Kalian benar-benar tak tahu malu. Serahkan kitab atau pinceng terpaksa membunuh!"

Sang ketua mengelak. It Lun Tosu telah tahu kehebatan pukulan ini dan tentu saja ia tak mau menangkis. Kitab dimasukkan ke saku baju dan secepat itu pula ia berkelit. Tapi ketika ujung jubah masih menyambar dan angin pukulan yang amat dahsyat mengejarnya juga maka ketua Hoa-san ini menangkis dan ia pun, terlempar tiga meter.

“Dess-aiihhh...!”

Dua yang lain bergerak. Ji Beng berkelebat dan mengejar Hoa-san-paicu yang bergulingan, Kiam Leng dan To Hak Cinjin tak membiarkan rekannya itu dirobohkan, terus saja bergerak dan mengejar pula wakil ketua Go-bi itu. Dan ketika hantaman Khong-san-jeng-kin dan Thi-khi-hiat bergerak susul-menyusul, dua ketua Kun-lun dan Heng-san itu menolong ketua Hoa-san maka Ji Beng membalik dan marah menangkis pukulan dua lawannya ini.

"Des-dess!"

Dua ketua itu terhuyung. Mereka kalah kuat dan tangkisan Ji Beng yang dilakukan secara serampangan telah membuat mereka mundur. Hwesio itu benar-benar kuat! Tapi ketika mereka menyerang lagi dan It Lun Tojin membentak membalas lawannya, tadi dibuat malu dan marah oleh pukulan lawan yang membuatnya terlempar terguling-guling maka Ji Beng sudah dikeroyok dan tiga ketua itu berkelebatan cepat memburu dan mendahului lawan.

“Ji Beng, kau congkak dan sombong. Biarlah kami mencoba kepandaianmu dan mati hidup kami pertaruhkan di sini!"

“Omitohud...!” sang hwesio berseru. “Kalian tak malu-malu mengeroyok, Heng-san-paicu, sungguh menjatuhkan nama kalian sebagai ketua-ketua partai persilatan yang besar. Pinceng tak takut, dan pinceng juga akan merebut Bu-tek-cin-keng dari tangan kalian yang serakah.... plak-dess!"

Dan pukulan serta tamparan yang bertemu ujung lengan jubah lalu terpental dan membalik lagi, menyambar dan bertubi-tubi tiga ketua Hoa-sa dan Kun-lun serta Heng-san itu menyerang lawannya. Ji Beng bertangan kosong dan hebat benar hwesio renta ini.

Meskipun kecil pendek namun tenaga yang keluar selalu berhasil menghalau pukulan-pukulan lawan, tiga ketua itu penasaran! Dan ketika mereka membentak dan pedang di tangan kanan bergerak menyambar, suaranya mendesing menakutkan maka pukulan dan senjata tajam silih berganti menyambar wakil Go-bi itu, dikelit dan ditangkis dan segera empat orang ini berseliweran naik turun bagai burung besar sedang bertarung. Anak-anak murid menyatakan curang namun Ji Beng membentak agar semua mundur, urusan itu akan diselesaikan sendiri dan tak usah siapapun membantu.

Dan ketika hwesio itu berkelebatan mengikuti bayangan lawannya, jubah kuning ini bergerak di antara tiga cahaya pedang yang menyambar-nyambar maka tampak bahwa hwesio ini dapat melayani tiga ketua Hoa-san dan Kun-lun serta Heng-san itu dengan baik. Mula-mula memang tiga orang ketua itu mencoba mendesak dan menekan, pukulan maupun pedang mereka silih berganti melepas tusukan.

Tapi ketika Ji Beng menggerakkan ujung jubahnya dan dari ujung jubah ini keluar angin pukulan yang menyampok atau menghalau, pedang terpental dan semua pukulan-pukulan lawan dapat dimentahkan maka tiga ketua itu terkejut dan tiba-tiba lengan jubah sudah mengeras kaku dan kini tang-ting-tang-ting menghantam pedang mereka.

"Lepaskan, atau pinceng melanggar pantangan membunuh!"

Tiga ketua itu pucat. Akhirnya mereka mendesis ketika telapak terasa pedih dan pedas. Kiam Leng melirik dan ternyata kulit telapaknya membeset! Dan ketika dua ketua yang lain juga mengalami hal yang sama dan masing-masing terkejut karena lama-lama mereka tak kuat menahan pedang, kulit bisa terkupas semua maka Ji Beng melepas pukulan-pukulan berat dan Cui-pek-po-kian atau Ilmu Menggempur Tembok menindih tiga ketua ini.

"Keparat, kita akan kalah!” To Hak Cinjin, sang ketua Heng-san berteriak pucat. Tokoh yang berangasan ini terpekik karena satu tikaman pedangnya dipentalkan. Dan ketika ia marah dan berseru keras, tangan kiri bergerak melepas pukulan listrik maka Ji Beng mengeluarkan suara dari hidung dan lengan kirinya tiba-tiba bergerak menyambut.

"Plak!” Dua tangan itu saling tempel. Pukulan listrik dari Thi-khi-hiat dilepas ketua Heng-san-pai ini, disambut dan diterima Ji Beng Hwesio tapi tiba-tiba sang ketua Heng-san tersentak kaget. Pukulan listrik yang biasanya menyedot dan menghisap darah lawan mendadak bertemu segumpal tenaga lunak seperti kapas, amblas dan tiba-tiba saja malah tersedot masuk! Dan ketika Heng-san-paicu itu terkejut karena pukulannya sia-sia, tak mendapat sasaran sekonyong-konyong lengan jubah hwesio itu bergerak sendiri dan tahu-tahu melecut pergelangan tangannya, tepat kena nadi besar.

"Aughhh!” Heng-san-paicu terpelanting. Ia ditotok dan sejenak menjerit-jerit dengan amat kesakitan. Pusat kekuatannya, di pergelangan tangan itu, dilumpuhkan dan dihancurkan si hwesio. Dan ketika ia bergulingan dan pedangnya terlepas, tentu saja berteriak-teriak di sana maka Kiam Leng Sianjin maupun It Lun Tojin sama-sama mendapat kesempatan untuk menghantam lawannya itu, di kala dua tangan sedang saling tempel mengerahkan tenaga.

“Tak-tak!"

Pedang membacok atau menusuk di pundak dan perut hwesio itu. Sepatutnya lawan akan terjungkal dan roboh. Bacokan dan tusukan dua ketua Hoa-san dan Kun-lun ini bukanlah main-main. Tapi ketika pedang seakan membacok dinding yang liat, terpental dan dua ketua itu kaget maka Ji Beng tertawa dingin dan begitu dia mengedut tahu-tahu lengan jubahnya bergerak dan menghajar dua ketua itu.

"Aduh.... plak-plak!"

Dua ketua ini terlempar dan terguling-guling. Lawan ternyata mengeluarkan Tiat-po-sannya dan ilmu kebal Baju Besi itu melindungi. Pedang terpental dan tentu saja mereka terpekik. Dan ketika hwesio itu membalas dan mereka kena lecutan ujung jubah, dua ketua itu bergulingan menyelamatkan diri maka Ji Beng bergerak dan sudah mendesak dua lawannya ini, karena Heng-san-paicu tak dapat bangkit berdiri dan sementara itu masih merintih-rintih.

"Menyerahlah, atau pinceng menurunkan tangan kejam!”

Dua ketua itu pucat. Mereka, ketua-ketua partai persilatan terkenal ternyata kalah menghadapi wakil ketua Go-bi, padahal mereka mengeroyok pula. Dan ketika desakan semakin menghebat dan Cui-pek-po-kian juga semakin menghimpit, ilmu Menggempur Tembok yang dilakukan wakil Go-bi itu menyesakkan napas maka dua ketua ini menggigit bibir dan mereka berada di persimpangan jalan yang sama-sama merugikan. Menyerah berarti menghancurkan nama sendiri, tidak menyerah berarti siap terbunuh. Paling tidak, pasti luka berat!

Tapi ketika dua ketua itu bingung dan kematian juga membayang-bayangi mereka, hati mulai kecut dan perasaan terguncang mendadak terdengar kekeh Kwi-bo dan Ratu Iblis yang tadi dikejar-kejar delapan hwesio Go-bi muncul di situ disusul dua bayangan temannya.

"Hi-hik, cukup main-main dengan kalian, keledai-keledai gundul. Jangan mengejar- ngejar wanita kecuali kalau ingin mengajakku bercumbu. Ayo, minggir atau kubuat mampus....plak-plakk!" rambut di kepala wanita itu menghantam dua di antara Pat-kwa-hwesio, meledak dan membuat dua hwesio itu mundur dan terkekehlah wanita ini memasuki arena Hoa-san-paicu.

Saat itu dua ketua Hoa-san dan Kun-lun benar-benar terdesak hebat dan mereka tinggal menunggu kekalahan, hal ini tak dapat dicegah lagi. Tapi ketika wanita itu masuk dan rambut juga meledak menyambar Ji Beng Hwesio, langsung ke mata maka hwesio itu terkejut dan menangkis.

“Plakk!” Ratu Iblis berjungkir balik. la terkekeh tapi sudah mematahkan tolakan hwesio itu, menyelamatkan Hoa-san-paicu dan Kun-lun-paicu dan legalah dua ketua itu dari lubang jarum. Mau tidak mau mereka menyatakan terima kasih kepada si Ratu Iblis ini. Dan ketika Kwi-bo terkekeh dan Coa-ong juga berkelebat masuk, menerjang setelah mendorong mundur delapan hwesio Pat-kwa maka Raja Ular itu meniup sulingnya dan masuklah puluhan ular menyerbu tempat itu, merayap dan mendesis-desis dengan buas.

“Ha-ha, kita kacau hwesio ini, Kwi-bo. Porak-porandakan tempatnya!"

"Hi-hik, dan kita bantu tiga ketua Hoa-san dan Kun-lun serta Heng-san itu. Kita sama-sama memiliki musuh yang sama!”

"Dan kita bagi Bu-tek-cin-keng secara adil. Ah, ha-ha.. puas dan tentu menyenangkan!”

Ji Beng Hwesio terbelalak. la marah ketika tiba-tiba tiga manusia sesat itu datang lagi. Delapan muridnya rupanya belum berhasil meringkus dan kini mereka itu membantu Hoa- san-paicu. Keparat! Dan ketika hwesio ini membentak dan ayunan tangannya menyambarkan angin dahsyat, Coa-ong mengelak dengan cara melempar tubuh ke atas maka ratusan ular yang tiba-tiba sudah banyak dan memenuhi tempat itu membuat Pat-kwa-hwesio dan murid-murid Go-bi terkejut, jijik!

"Awas, mereka ular-ular berbisa. Minggir, jangan sampai tergigit!”

"Heh-heh!" Coa-ong tertawa licik, gembira. "Kalian hadapi dulu anak-anakku yang manis itu, Pat-kwa-hwesio. Baru setelah itu aku si tua bangka!”

Pat-kwa-hwesio marah. Tentu saja mereka mengebut-ngebutkan ujung jubah dan ular-ular yang mendekat langsung dibunuh. Hewan melata yang menjijikkan itu bukan lawan berat bagi delapan murid Ji Beng ini. Tapi ketika Coa-ong menyambar ular-ularnya dan melempar-lemparkannya kepada mereka, juga murid-murid Go-bi yang lain maka delapan hwesio ini terkejut dan murid-murid Go-bi yang tahu-tahu sudah dikalungi ular menjerit-jerit dan panik, tujuh di antaranya tergigit dan menggelepar tewas, dikeroyok dan menjadi mangsa dari puluhan atau ratusan ular yang datang menyerbu!

"Keparat!" delapan hwesio mencak-mencak. "Kau licik dan curang, Coa-ong. Ayo hadapi pinceng dan jangan mengandalkan ular-ularmu!”

“Ha-ha, kalianpun licik dan curang. Siapa suruh mengeroyok dengan begini banyak orang. Ayo, siapa mengeroyok siapa?”

Pat-kwa-hwesio mendelik. Mereka kalah berdebat karena itu memang betul, tadi mereka mengeroyok tiga manusia sesat ini. Tapi karena itulah keistimewaan mereka dan menghadapi, seorang atau seratus orang mereka memang akan maju berbareng, itulah keistimewaan mereka sebagai Hwesio Segi Delapan maka mereka tak melayani silat lidah ini, dan sibuk menginjak atau mengebut hancur ratusan ular yang datang. Mereka tak dapat mendekati lawan mereka itu karena tempat itu tiba-tiba penuh ular.

Suling terus meniup melengking-lengking dan masuklah segala ular dari segala penjuru. Coa-ong memanggil anak-anaknya itu dan murid Go-bi kacau. Sungguh si Raja Ular ini membuat keonaran. Tapi ketika Ji Beng membentak agar semua menyalakan obor, ular digebah dengan obor maka benar saja ratusan ular itu mendadak lintang-pukang dan membalik melarikan diri.

"Jangan bodoh, jangan panik. Nyalakan obor dan hancurkan ular-ular itu dengan api!"

Benar saja, semua ular tiba-tiba ketakutan. Mereka mendesis-desis melihat puluhan obor tiba-tiba sudah berada di tangan anak-anak murid Go-bi ini. Coa-ong melengking-lengking namun anak buahnya tetap berserabutan. Dan ketika kakek itu marah dan meniup sulingnya dengan irama pendek-pendek, satu lagu yang menyayat tiba-tiba menggetarkan semua orang maka ular-ular itu mendadak tertegun dan menyerang lagi, nekat menerjang api!

"Hm!” Ji Beng Hwesio membelalakkan matanya. “Kau tak menghargai binatang piaraanmu sendiri, Coa-ong. Pantas dan sungguh keji. Namun pinceng akan menghalau dengan suara pinceng!" hwesio itu tiba-tiba menggereng-gereng, suaranya seperti gajah sedang kelaparan dan irama pendek-pendek dari suling Coa-ong tiba-tiba kacau.

Lagu yang menyayat-nyayat itu bercampur dengan gerengan si hwesio tua, akibatnya menjadi tak keruan dan marahlah si Raja Ular ketika ularnya tertegun kebingungan. Dan ketika suara si hwesio semakin kuat dan bunyi suling nyaris tertutup, Ji Beng memang hebat maka para murid bersorak dan obor yang ada di tangan mereka tiba-tiba dilemparkan ke tengah dan terbakarlah ular-ular yang terlambat menjauhkan diri.

"Hore, ular-ular itu mampus. Mereka saling gigit!"

"Ya, dan Coa-ong tak dapat meniup, sulingnya dengan lancar, suheng. Lihat kakek itu kacau!"

Coa-ong mendelik. la memang tiba-tiba kacau setelah gerengan suara Ji Beng Hwesio menindih irama sulingnya yang pendek-pendek. Suara hwesio itu demikian kuat hingga lengkingan sulingnyapun ikut terpengaruh, menjadi besar dan berat hingga mirip gerengan pula. Dan ketika para murid tertawa dan kakek itu pucat, ia gagal mengemudikan ularnya maka mereka menjadi korban dan sebentar saja bau daging ular memenuhi tempat itu.

"Keparat, kuhancurkan kalian!" kakek itu marah, menghentikan tiupan sulingnya dan sekonyong-konyong ia menerjang masuk menyambar puluhan obor yang menyala di tengah kerumunan ular-ularnya, yang menggeliat dan sekarat oleh api. Dan ketika kakek itu melempar atau menendang puluhan obor ini, yang mencelat dan membakar dinding maka terbakarlah ruangan itu oleh kebakaran besar, api yang menjilat-jllat dan membubung tinggi ke atas!

"Kebakaran, celaka. Tempat kita dibakar!"

Coa-ong tertawa bergelak. Sekarang dia dapat melampiaskan kemarahannya dengan membakar Go-bi. Ruangan itu dijilat api dan marahlah Ji Beng Hwesio oleh perbuatan ini. la sedang melayani Kwi-bo dan si Hantu Langit yang mengeroyok bersama ketua Hoa-san dan Kun-lun. Kiam Leng Sianjin maupun It Lun Tojin akhirnya apa boleh buat menerima bantuan dua orang sesat itu.

Mereka tak ada pilihan lain dan berseru kepada Ji Beng bahwa mereka tak minta dibantu, tiga orang sesat itulah yang maju sendiri dan katanya juga punya urusan dengan si wakil Go-bi. Dan ketika Coa-ong memanggil ular-ularnya dan kini membakar ruangan itu, Go-bi dijilat dan dimakan api maka hwesio ini memekik dan tiba-tiba ia menerjang dengan kedua lengan jubahnya menyambar ke kiri kanan, dahsyat sekali.

"Keparat, kalian benar-benar tak tahu aturan. Ah, pinceng melanggar pantangan membunuh!"

HALAMAN 25 dan 32 HILANG

"Dess!"

Ji Beng mengejar dan tidak perduli teriakan lawan. Hantu Langit dibuat terguling-guling dan kagetlah iblis tinggi kurus itu karena selanjutnya hwesio ini meledak-ledakkan lengan jubahnya. Dan ketika ia tak dapat meloncat bangun karena menghindar dan mengelak sana-siní, hwesio itu marah besar maka Kwi-bo terkekeh-kekeh dan Coa-ong tertawa tergelak-gelak, geli melihat rekannya didesak hebat. Keji!

"Hi-hik, mampus kau, Bambu Kurus. Salahmu kenapa tidak mendahului lawan!"

"Benar," Coa-ong terbahak-bahak. "Keledai gundul ini telah mewarisi sebagian dari Bu-tek-cin-keng, Jin-mo. Kalau tidak tentu tak mungkin ia membuatmu kelabakan. Hayo, berteriaklah kepada kami agar kami bantu. Dan katakan berapa kau sanggup bayar!"

"Bedebah, terkutuk!" Hantu Langit memekik marah. "Kalianpun tak mungkin dilepaskan keledai gundul ini, Coa-ong. Kau telah membunuh Lu Kong Hwesio dan murid-murid lain. Ji Beng tak akan membiarkanmu pula kecuali hwesio bau ini manusila pengecut yang takut dikeroyok!”

"Ah, pinceng tak takut menghadapi kalian semua!” hwesio itu membentak. "Kau maupun Coa-ong tak bakal lolos dari tangan pinceng, Jin-mo. Lihat ini pinceng menghantam Coa-ong!" dan hwesio itu yang benar saja membalik dan melepas pukulan ke arah Coa-ong, yang seketika menghentikan ketawanya dan kaget berseru keras.

Maka Raja Ular terpental dan kakek itu memaki-maki. Dia membentak Ji Beng Hwesio bahwa lawannya adalah si Hantu Langit, bukan dirinya. Tapi ketika Hantu Langit berseru bahwa Coa-ong membunuh Lu Kong, murid utama Go-bi maka Ji Beng Hwesio tak mau perduli dan melepas serangan lagi ke kakek ular ini, selanjutnya berkelebatan di antara dua orang itu dan Coa-ong berteriak-teriak. 

Kakek ini memaki-maki temannya dan terkekehlah Hantu Langit meloncat bangun. la dapat berdiri lagi setelah Ji Beng Hwesio menyerang Coa-ong. Tapi ketika pukulan demi pukulan mengejarnya lagi, ia sibuk menangkis dan mengelak sana-sini maka Kwi-bo tertawa-tawa dan Ratu Iblis itu sendirian berdiri menonton.

Namun Pat-kwa-hwesio bergerak mendekati. Tujuh dari delapan hwesio ini marah melihat Ratu Iblis itu. Coa-ong dan Jin-mo sudah dikurung gurunya dan dua tu tokoh sesat itu berteriak berkali-kali. Ji Beng memusatkan perhatiannya untuk merobohkan lawannya ini, Kwi-bo diserahkan kepada tujuh muridnya itu dan berkelebatlah Pat-kwa-hwesio mengelilingi si Ratu Iblis ini. Dan ketika Kwi-bo terkejut karena segera dibentak dan diserang, Ji Beng sudah berseru agar murid-muridnya merobohkan wanita itu maka Kwi-bo dikeroyok dan berubah mukanya.

"Eiit, laki-laki tak tahu malu. Hwesio-hwesio bau! Ah, kalian tak malu-malu mengeroyok seorang wanita? Licik, pengecut. Hayo minggir atau maju seorang demi seorang, keledai- keledai gundul. Atau aku akan marah dan membunuh kalian.... tar-tar!"

Rambut menjeletar dan mengibas ke sana-sini. Kwi-bo dikeroyok dan wanita itu melengking-lengking karena sebentar saja sudah dihujani pukulan atau sambaran lengan jubah. Suaranya menderu-deru dan marahlah wanita itu karena dirinya didesak. Dan ketika tujuh murid Ji Beng Hwesio itu tak memberinya jalan keluar, ia benar-benar hendak ditangkap atau dirobohkan maka Kwi-bo membentak dan sekonyong-konyong melenggok kian ke mari mengeluarkan tarian sexy-nya.

"Awas, Thian-mo-bu!"

Kwi-bo terkekeh dan tertawa-tawa. la sudah menggemerincingkan gelang-gelangnya dan bergeraklah wanita itu meliak-liuk. la menghindar dan mengelak semua serangan lawan dan satu demi satu pakaian yang melekat di tubuhpun terlepas. Itulah Thian-mo-bu atau Tarian Hantu Langit, tarian yang penuh daya pesona karena segera pemiliknya bertelanjang bulat. Dan ketika benar saja sekejap kemudian Kwi-bo sudah tak mengenakan sehelai benangpun, polos dengan lekuk-lengkung tubuh yang penuh daya pikat maka tujuh murid Ji Beng Hwesio ini terkejut dan "silau.

"Awas, jangan terpancing keindahan tubuhnya!"

Namun seruan atau bentakan Ji Beng Hwesio itu terlambat bagi murid-muridnya. Pat-hwesio, hwesio termuda, sudah tertegun dan terbelalak memandang keindahan tubuh si Ratu Iblis ini. Kwi-bo memang cantik dan menggairahkan. Tak ada satu laki-laki yang normalpun akan melengos dari bentuk tubuh atau keindahan wanita ini, apalagi dalam keadaan telanjang bulat begitu. Polos tanpa sehelai benang pun! Dan ketika Pat-hwesio tertegun dan membelalakkan matanya, darah berdesir maka sekonyong-konyong segumpal rambut menyambar kepalanya.

“Plak!" Hwesio itu roboh. Pat-hwesio yang termuda dan tergampang dirangsang tiba-tiba sudah terpengaruh oleh daya pikat wanita itu. Si Ratu Iblis terkekeh dan bergeraklah dia ke hwesio termuda ini. Matanya yang tajam telah mengetahui bahwa hwesio itulah yang lebih dulu terpesona. Dan ketika ia bergerak dan meledakkan rambutnya, lawan roboh dan pingsan maka berkelebatanlah wanita ini ke Jit-hwesio dan Liok-hwesio, hwesio nomor tujuh dan enam, disusul kemudian kepada hwesio-hwesio yang lain dan tersentak serta kagetlah hwesio-hwesio itu oleh gerakan si Ratu Iblis.

Wanita ini telah mempergunakan daya pikatnya yang besar dan tahu-tahu Jit- hwesio maupun Liok-hwesio berteriak, roboh oleh tamparan atau ledakan rambut wanita itu. Dan ketika tiga dari tujuh hwesio ini roboh oleh serangan yang mendadak, mereka juga terpesona oleh tubuh indah si Ratu Iblis maka Ji-hwesio yang merupakan orang tertua di situ menjadi marah dan gusar.

"Sute, jangan pandangi tubuhnya. Awas, hindarkan rambutnya dan jangan tatap langsung!"

Namun tiga hwesio adik-adik seperguruannya itu repot. Mereka dipaksa mengelak sana-sini dan tak boleh memandangi tubuh lawan. Memang di situlah daya tarik si Ratu Iblis yang membuat silau. Mata laki-laki tak mungkin dilepas begitu saja. Dan karena mereka biasanya berdelapan dan sekarang tiba-tiba dikacau sedemikian rupa, wanita itu memang kurang ajar maka Pat-kwa-hwesio yang tinggal empat orang ini bingung dan gugup mengelak sana-sini. Mereka juga membalas namun setiap akan menyentuh bagian-bagian tubuh tertentu tentu mereka tarik kembali.

Bayangkan, mana mungkin jari mereka harus bertemu langsung dengan pinggul atau buah dada wanita itu, yang sengaja dibiarkan dan melambai-lambai kian kemari, tanpa penutup! Dan karena mereka juga seorang hwesio yang seharusnya menjauhi wanita, hidup berwadat maka sungguh susah menghadapi si Ratu Iblis yang tak tahu malu ini, mengelak dan menghindar saja dan akibatnya mereka didesak hebat, terus tertekan dan tertekan dan marahlah Ji Beng Hwesio melihat kerepotan empat muridnya. Kwi-bo memang kurang ajar!

Dan ketika Ji-hwesio maupun ketiga saudaranya harus sering memejamkan mata melihat bagian-bagian tubuh si Ratu blis yang dipertontonkan sambil terkekeh-kekeh, hati atau perasaan empat hwesio itu terguncang maka Ji Beng melepas sebuah pukulan dan terpekiklah Kwi-bo ketika tahu-tahu terlempar, mencelat.

"Kwi-bo, pakai pakaianmu atau pinceng akan menutupnya dengan lumpur!”

Si Ratu Iblis menjerit. la sedang senang-senangnya mempermainkan empat hwesio yang kebingungan itu, siap menggerakkan tangan atau rambutnya untuk merobohkan. Tapi begitu Ji Beng menghantamnya dan ia terguling-guling, tepat sekali memasuki sebuah kubangan maka si cantik ini menjerit ketika tahu-tahu tubuhnya sudah bermandi lumpur.

“Byurr!" Ratu Iblis itu memekik. la tak menyangka pukulan Ji Beng Hwesio tadi dan penuhlah tubuhnya oleh lumpur kotor. Tubuh yang semula halus putih mendadak menjadi gelap dan hitam! Dan ketika ia mencak-mencak dan keluar memaki-maki, Ji-hwesio dan saudara-saudaranya lega maka Ji Beng berseru agar mereka menolong tiga saudara yang pingsan. Guru mereka itu akan menghajar si Ratu Iblis.

“Kalian cari di mana Hoa-san-paicu dan mana suheng kalian Twa-ji. Pinceng akan menghadapi dan menangkap mereka ini!"

"Keparat!” si Ratu Iblis melengking-lengking. "Kau akan kubunuh, Ji Beng Hwesio. Dan lihat Thian-mo-bu ku yang akan menghancurkan dirimu... tar-tar!" dan rambut yang meledak-ledak mengiringi tubuh yang meliuk naik akhirnya membuat si Ratu Iblis menjerit menyerang lawannya itu, maju membantu si Hantu Langit.

Coa-ong terkekeh-kekeh melihat kemarahan temannya itu. Ia geli melihat Kwi-bo berlepotan lumpur. Tubuh yang halus mulus itu mendadak sudah menjadi hitam dan bau oleh lumpur yang kotor, Dan ketika rekannya itu menerjang dan meledak-ledakkan rambutnya, juga gelang yang berkemerincing nyaring maka Ji Beng diserbu namun hwesio Go-bi ini mendengus dan bahkan membungkuk dan menerima serangan lawannya itu.

"Dess!" Ratu Iblis mencelat. Kwi-bo kalah kuat dan berteriaklah wanita itu oleh kemarahan yang sangat. Tapi ketika ia melompat bangun dan menerjang lagi, rambut dan gelangnya bertubi-tubi menyerang hwesio itu maka Ji Beng kewalahan namun si hwesio mengebutkan lengan jubahnya berulang ulang dan tetap wanita itu terpental.

Kwi-bo menjadi nekat namun tetap saja kalah kuat. Sinkang atau pukulan sakti si hwesio selalu mendorongnya. Dan ketika Coa-ong maupun si Hantu Langit juga terdorong dan berkali-kali jatuh bangun, mereka tak kuat oleh kebutan si hwesio maka tiga orang ini tiba-tiba terperangkap gulungan angin jubah dan tahu-tahu sudah tak dapat melepaskan diri lagi, terbawa pusaran angin kuat.

“Celaka, hwesio ini mengeluarkan Thai-san-ap-ting (Gunung Thai-san Tindih Kepala)!"

"Benar, dan kita terbawa angin putarannya Jin-mo. Awas lempar tubuh ke atas dan jangan disedot!"

Coa-ong, yang kaget berseru keras tiba-tiba membentak. Suling di tangannya bergerak menghantam namun kebutan ujung jubah menangkapnya, Si Raja Ular ini kaget namun ia berseru keras membetot, celaka sekali malah patah dan hancur di tengah jalan. Dan ketika kakek itu terjengkang dan ujung jubah terus menyambarnya, dua temannya yang lain tertahan dan sedang berkutat menghadapi ujung jubah yang lain maka kakek itu berteriak ketika tahu-tahu dada kanannya terhantam.

"Plak!" Coa-ong meraung bagai anjing gila. Kakek ini terguling-guling dan mengeluh di tanah, mulut melontakkan darah segar. Luka dalam! Dan ketika dua temannya terkejut dan berseru keras, Kwi-bo melempar tubuh ke atas untuk coba melepaskan diri maka si Hantu Langit menjadi kaget ketika lawan mengebut dan serpihan suling menyambar mukanya.

“Crat-crat!" Jin-mo tak mampu mengelak, Ji Beng yang menggubat hancur suling si Raja Ular dan kini mengebutkannya ke muka si Hantu Langit tiba-tiba dengan tepat mengenai wajah si kakek setinggi bambu itu. Jin-mo menjerit dan berteriaklah kakek itu berlumuran darah. Pipi dan tulang rahangnya ditembus serpihan suling, tajam dan keras bagai serpihan atau bubuk besi baja. Dan ketika kakek itu bergulingan mengaduh-aduh, Kwi-bo terkejut dan melayang turun oleh kejadian cepat ini maka iapun disambut dan dikejar si hwesio, yang ujung jubahnya kini dililit dan dipelintir seperti toya, kaku dan liat menyambar kakinya.

“Kwi-bo, kaupun robohlah!"

Wanita ini pucat. la sudah dipermalukan hwesio tua itu dengan menceburkannya ke lumpur hitam, kini diserang dan siap menerima serangan ujung jubah itu, yang dipelintir dan menderu dengan amat hebatnya. Dan maklum bahwa ia menghadapi bahaya, kakinya pasti patah bertemu tongkat jubah itu maka wanita ini mencabut jarum-jarum beracunnya dan sambil berteriak putus asa ia menyambitkan itu siap mengadu jiwa.

“Ji Beng, kaupun robohlah!"

Sang hwesio tertegun. Dia sudah merobohkan dua dari tiga orang lawannya ini, kini mendapat serangan jarum-jarum halus yang semuanya menyambar mata. Kwi-bo hendak mengadu jiwa dengannya. Dan maklum bahwa serangan itu tak boleh dibuat main-main, matanya akan buta bila terkena maka hwesio ini mengurangi tenaganya untuk secepat kilat menggerakkan ujung ubahnya yang lain untuk menyampok jarum.

"Plak-plak-dess!”

Kwi-bo terlempar dan mengeluh. Wania itu tak sampai patah kakinya namun tetap saja ia terbanting. Tongkat jubah amatlah hebat dan meskipun dikurangi tenaganya namun ia merasa urat-uratnya hancur. Dan karena hwesio itu menyampok jarum-jarumnya dan jarum-jarum itu tertolak balik, menyambar dan kembali kepadanya maka belasan jarum menancap di tubuh dan satu di antaranya tepat menancap di ujung buah dadanya, sakit bukan main.

"Aduhh....!” Wanita ini mengeluh. Ia menjerit dan dua temannya tiba-tiba juga mengeluarkan senjata-senjata rahasia. Beberapa pelor hitam dan jarum-jarum halus menyambar Ji Beng Hwesio. Tapi ketika hwesio itu menolak runtuh dan tiga orang ini pucat, lawan sungguh hebat maka mereka memutar tubuh danjatuh bangun melarikan diri.

“Tolong....!”

Seruan itu membuat Ji Beng Hwesio terkejut. Hwesio ini akan mengejar lawan-lawannya tapi tba-tiba terdengar teriakan muridnya tertua. Kebakaran sudah mulai padam namun asap, dan puing-puing yang hangus runtuh menimpa ke kiri kanan, memaksa hwesio itu menoleh karena Twa-ji, muridnya tertua, berteriak dari sebelah kiri di mana beberapa bayangan tampak berkelebatan. Dan ketika hwesio itu tertegun karena seseorang menyambar Hoa-san-paicu, muridnya terbanting dan berteriak kepadanya maka hwesio ini tak jadi mengejar dan berkelebat ke arah muridnya itu.

"Suhu, Hoa-san-paicu dilarikan orang itu. Cepat, kejar dia!"

Ji Beng membentak. la sudah melihat bayangan ini namun bayangan-bayangan lain juga mengejar. Empat sosok tubuh bergerak atau berkejaran di malam gelap itu, siapa mereka hwesio ini tak tahu. Tapi ketika ia berkelebat dan menghantam bayangan itu, yang tertawa dan melempar Hoa-san-paicu mendadak bayangan lain menangkap dan menerima si ketua Hoa-san-pai itu, melarikannya ke tempat lain.

"Ha-ha, hebat dan kuat bukan main kau ini, Ji Beng Hwesio. Tapi aku tak takut dan coba terima tangkisanku ini.... dess!" bayangan itu terlempar, kaget berjungkir balik dan Ji Beng Hwesio terkejut karena lawan mampu mematahkan serangannya, turun dan sudah terbahak-bahak melarikan diri. 

Hoa-san-paicu sudah disambar orang lain dan dibawa lari pula ke tempat yang lain. Dan ketika hwesio ini sadar namun yang diburu adalah ketua Hoa-san-pai itu, yang menyimpan Bu-tek-cin-keng maka hwesio ini berseru mengejar dan tidak perduli lagi kepada lawan yang baru saja menangkis pukulannya ini, anak-anak murid Go-bi berseliweran kacau.

"Berhenti, dan serahkan Hoa-san-paicu kepada pinceng!"

Namun bayangan di depan mempercepat larinya. la mendorong dan memukul jatuh murid-murid Go-bi yeng berteriak-teriak di depan. Dari mana-mana memang muncul anak-anak murid yang berdatangan. Tapi ketika Ji Beng berkelebat dan mengerahkan ilmunya meringankan tubuh yang luar biasa, mencelat dan tahu-tahu melewati kepala bayangan ini maka hwesio itu membentak melepas pukulan, melayang turun di depan lawan yang terkejut.

"Manusia busuk, serahkan Hoa-san-paicu kepada pinceng!"

Bayangan itu terpekik. la terkejut ketika tiba-tiba hwesio Go-bi itu sudah ada di depannya, menggerakkan tangan ke bawah dan meluncurlah hawa yang amat kuat menahan larinya. Dan ketika ia menjerit dan Ji Beng tertegun karena itu ternyata wanita, bayangan ini berpakaian hitam-hitam dan memegang sebuah tusuk konde hitam, membentak dan menyambut pukulan hwesio itu maka Ji Beng tergetar tapi lawan juga terpental.

"Dess!” Sang hwesio terbelalak. Go-bi, yang haram didatangi wanita mendadak sudah dua kali dikunjungi perempuan. Yang pertama adalah Kwi-bo dan yang kedua adalah wanita ini, bayangan hitam-hitam ini. Dan ketika wanita itu terlempar dan berjungkir balik menyelamatkan diri, pukulan si hwesio membuat dadanya sesak maka bayangan-bayangan lain berkelebatan dan tahu-tahu mengepung hwesio itu.

“Ji Beng, biarkan Hoa-san-paicu di tangan kami. Mundur atau kau kami bunuh!"

Hwesio ini terkejut. Dia sedang terbelalak dan tertegun bahwa tempatnya sudah dimasuki banyak orang. Tadi adalah ketua-ketua Hoa-san dan Kun-lun serta Heng-san kini tiba-tiba ditambah orang-orang ini, setelah Coa-ong dan Kwi-bo muncul. Dan ketika ia membalik karena tiga pukulan menyambarnya dari kanan kiri, bayangan wanita hitam-hitam itu melengking dan meluncur turun maka hwesio ini menangkis dan tergetarlah dia oleh adu pukulan yang amat dahsyat.

"Dess!” Sang hwesio terhuyung mundur. Di situ tahu-tahu muncul tiga laki-laki berbeda rupa dan bentuk tubuh. Yang di depan adalah laki-laki bermuka pucat sementara yang di sebelah kiri dan kanannya adalah seorang raksasa yang bermuka merah dan temannya yang pendek bermata coklat. Tiga orang itu menggempurnya dengan pukulan yang amat kuat dan hwesio itu terdorong, tadi sedang tertegun dan terkejut oleh datangnya begini banyak orang di malam gelap.

Go-bi benar-benar disatroni musuh! Tapi begitu sang hwesio tergetar dan mundur terhuyung selangkah, wajah berobah penuh amarah maka wanita berpakaian hitam-hitam yang mukanya kuning kehitaman itu membentak dan menerjangnya, setelah tadi dibuat berjungkir balik.

"Kwi-bun, bunuh si keledai gundul ini. Dia hampir mencelakai aku!"

"Hm!" si muka pucat, yang dingin dan kaku wajahnya berkelebat mengangguk. "Aku sudah lama ingin membunuhnya, Tong-si. Hayo kita labrak dan hajar hwesio ini!”

“Ha-ha,” si pendek bermata coklat tertawa bergelak, maju membantu. “Aku juga sudah lama ingin mengasah senjataku, Tong-si. Hayo main-main dan keroyok hwesio ini. Awas, jangan sampal ciangbunjin (ketua) Go-bi-pai muncul!"

“Tak perlu takut kepada siapapun!" si raksasa bertubuh tinggi besar menerjang, ikut berseru menggerakkan senjatanya yang mengerikan, sekumpulan tengkorak yang diayun dan mengaung menderu-deru. “Ji Leng Hwesio boleh menghadapi kita, Cian-jiu-jin-touw. Dan kita bikin mampus semua tokoh-tokoh Go-bi....wher-wherrr!"

Dan tengkorak yang menderu serta menyambar-nyambar ganas, bergerak bersama tusuk konde hitam yang bercuitan dan mengepung si hwesio tiba-tiba sudah susul-menyusul dengan kapak maut yang dibawa si pendek bermata coklat itu, juga ketrikan kuku-kuku hitam yang dipunyai si muka pucat. Ji Beng Hwesio tiba-tiba sudah dikeroyok dan dikepung empat lawan tangguh dan tiba-tiba saja hwesio itu terdesak.

Ji Beng terkejut dan tertegun melihat siapa lawan-lawannya ini, orang-orang dari dunia hitam, empat dari Tujuh Siluman Langit karena mereka itu bukan lain adalah suami isteri Tong-si dan Kwi-bun, laki-laki bermuka pucat dan perempuan berpakaian hitam-hitam itu, yang bertusuk konde. dan ketika si raksasa juga menyambar dan inilah See-tok dari barat, tokoh luar biasa kejam dengan racun-racunnya yang ganas maka si pendek bermata coklat yang bukan lain Cian-jiu-jin-touw alias Pembunuh Bertangan Seribu itu juga mengayunkan kapaknya dan senjata yang berkilauan ditimpa sinar bulan ini menjadi senjata maut yang setiap kali luput tentu membabat roboh pohon-pohon di sekitar.

“Omitohudi" sang hwesio berseru setelah sadar, hilang kagetnya. "Kiraya kalian, Cian-jiu-jin- touw. Dan sekarang malam-malam datang menyatroni Go-bi untuk memercikkan api permusuhan. Ah, Go-bi tak akan mengampuni kalian dan pinceng heran kenapa kalian datang secara tiba-tiba!"

“Ha-ha!" si pendek bermata coklat tertawa bergelak, dialah tampaknya yang paling periang. "Kami datang karena mendengar undangan Bu-tek-cin-keng, Ji Beng Hwesio, juga karena solidaritas kami terhadap Coa-ong yang kau kejar-kejar. Ha-ha, kenapa kau memusuhi rekan kami dan bukankah wajar bila kami memusuhimu!”

“Omitohud, kalian orang-orang sesat yang selalu datang membawa onar. Ah, pinceng telah melukai Coa-ong dan kini pinceng juga akan merobohkan kalian....wut-plak-plak!” si hwesio menangkis dan mengelak dari serangan tengkorak dan tusuk konde hitam, mengibas dan kapak bertemu ujung lengan jubahnya yang meledak bagai petir. Dan ketika kuku jari Kwi-bun (Si Pintu Setan) juga terpental berketrik nyaring, empat orang itu terdorong mundur maka muncullah Kwi-bo dan dua temannya yang tertatih-tatih.

"Ha-ha, itu sobatku Coa-ong. Ah, ia masih sanggup berjalan!"

“Dan itu Kwi-bo. Ah, ia masih cantik dan menggiurkan!" si raksasa, See-tok (Racun Barat), berseru memandang Kwi-bo.

Ratu Iblis itu terpincang setelah tadi dihantam pukulan Ji Beng, masuk dan berseri-seri karena empat kawannya yang lain datang. Lengkaplah mereka sekarang sebagai Tujuh Siluman Langit. Namun ketika ia mendengar kata-kata s raksasa, yang parau dan mengeluarkan air liurnya maka Ratu Iblis yang telah membersihkan dirinya dari lumpur itu mendengus.

“See-tok, kau tua bangka tak tahu malu. Dari dulu selalu mengincar diriku. Huh, bunuh dulu si keledai gundul itu dan baru aku akan melayaní hasratmu yang menggebu-gebu!"

"Ha-ha,” si pendek bermata coklat tertawa bergelak, inilah Pembunuh Bertangan Seribu. “See-tok seorang tak akan mampu, Kwi-bo, harus kubantu dan karena itu imbalannya juga harus dibagi dua. Ah, kau tetap cantik dan memang menggiurkan!”

"la milikku!" si raksasa membentak. “Kau jangan macan-macam, Cian-jiu-jin-touw. Atau kupukul pecah kepalamu dan kau tinggal nama!"

"Ha-ha, Kwi-bo milik banyak orang. la akan memilih siapa yang akan dipilih. Hayo, jangan melotot kepadaku!"

“Tak usah bertengkar,” si wanita berpakaian hitam-hitam membentak, ia adalah Tong-si (Mayat Perunggu) yang menjadi isteri Kwi-bun, Si Pintu Setan. Kita semua membenci Go-bi, See-tok. Bunuh si keledai gundul ini dulu dan baru setelah itu cekcok sesuka kalian!"

"Ha-ha, benar,” Si Pembunuh Bertangan Seribu mengangguk. "Kau selalu menengahi kami Tong-si. Nasihatmu benar dan biarlah kita hadapi dulu si Ji Beng Hwesio ini.... krak-bummm!”

Dan sebatang pohon yang dibabat kapak si pendek bermata coklat ini lalu roboh mengeluarkan suara keras setelah tadi kapak itu luput dikelit si hwesio. Tusuk konde menyambar dari kanan dan Ji Beng mengebutkan ujung jubahnya menangkis serangan itu. Dan ketika tengkorak juga luput menyambar dan meledak mengenai tanah, batu dan pasir berhamburan maka Si Pintu Setan mengeluarkan suara bersiul dan kuku jarinya tiba-tiba molor seperti karet dan menusuk leher si hwesio Go-bi itu.

"Cret-plak!"

Ji Beng Hwesio mengibas dan mengelak. Cepat dan bertubi-tubi tahu-tahu hwesio ini sudah menerima pukulan dari mana-mana, keroyokan atau rangsekan lawan yang menggila. Namun ketika ia mampu menolak semuanya itu dan empat lawannya terpental mundur, masing-masing berseru kaget maka Kwi-bo menjeletarkan rambut dan menerjang, ikut masuk dalam pertempuran hebat ini.

"Kwi-bun, isterimu benar. Kita bunuh dulu si tua bangka ini dan setelah itu cek-cok belakangan!"

Ji Beng Hwesio melengking. Hwesio itu marah karena Kwi-bo menerjang dan menjeletarkan rambutnya, di sana si Raja Ular dan si Hantu Langit juga siap membantu, karena mereka sudah bergerak dan mengambil ancang-ancang. Tapi ketika hwesio itu menangkis dan Kwi-bo terpental, si Ratu Iblis ini menjerit maka berkelebatlah bayangan seorang pemuda yang membantu wakil ketua Go-bi itu.

"Ji Beng lo-suhu, maaf aku datang main-main. Berikan sebagian dari lawan-lawanmu untuk kuhadapi!"

Coa-ong dan Hantu Langit terkejut. Mereka itulah yang diserang dan tahu-tahu menerima dua pukulan panas. Tapi ketika mereka mengelak dan pemuda itu mengejar, mereka menangkis maka Coa-ong maupun Jin-mo terpental.

"Dukk!” Dua kakek iblis itu tersentak. Mereka sudah diserang dan dikejar lagi dan meluncurlah pukulan bertubi-tubi dari pemuda gagah itu. Coa-ong masih menderita luka dalam dan kakek itu memaki-maki. Maklumlah, pukulan Ji Beng Hwesio tadi masih membuat dadanya sesak dan ia baru saja menelan obat, lukanya belum pulih. Dan ketika kakek itu mengelak dan Jin-mo alias si Hantu Langit juga memekik dan memandang lawannya, pemuda yang luar biasa ini maka mereka sama-sama melihat adanya sebuah cambuk lemas yang melilit pinggang pemuda itu.

"Kim-liong-pian, bedebah, kiranya bocah she Song!"

“Benar, ini kiranya Cambuk Lemas Naga Emas, Jin-mo. Bocah ini berani benar memusuhi kita!”

"Hm, aku selamanya akan memusuhi orang-orang seperti kalian!" pemuda itu membentak, kaki tangannya terus bergerak-gerak. “Kalian selalu mengacau dan membuat onar di mana-mana, Coa-ong. Hadapi aku dan jangan main keroyok terhadap yang terhormat ketua Go-bi!" dan mendesak serta melancarkan pukulan-pukulannya yang berhawa panas, dua kakek itu mengelak dan menangkis sana-sini.

Maka Coa-ong mau pun Hantu Langit keteter. Mereka sedang terluka dan hanya Jin-mo yang agak mendingan, karena kakek setinggi galah ini tak mengalami luka dalam seperti yang dialami Coa-ong, yang serasa remuk dadanya tadi. Dan ketika kakek itu mulai membalas namun pemuda ini benar-benar hebat, pukulan dan gerakan kakinya amat luar biasa cepat maka perlahan-lahan pemuda itu mampu mendesak dua lawannya. Dan Coa-ong batuk-batuk menahan lontakan darah yang hendak keluar lagi dari mulutnya.

"Keparat, biar kupakai ular-ularku yang paling berbisa!" kakek itu berseru, mengelak dari serangan lawan dan tiba-tiba ia mengeluarkan dua ekor ularnya yang amat berbisa. Lalu ketika ia didesak dan pemuda itu menyerangnya lagi, bertangan kosong, maka kakek ini sudah mempergunakan sepasang ularnya yang mendesis-desis.

"Plak-plak!" Pemuda itu menangkis dan mengelak. Ia harus membuang tubuh ketika bau ular yang amis menyengat hidungnya, disusul kemudian oleh tendangan kakinya yang menghalau Jin-mo. Dan ketika kakek setinggi galah itu mundur dan Ji Beng Hwesio terbelalak, pemuda itu sudah membantunya maka Kwi-bo melengking-lengking dan bersinar memandang pemuda yang baru datang itu, pemuda gagah yang tampan.

"Eh, biar aku menghadapi saja bocah yang baru datang itu, Kwi-bo. Kau bantu dulu Kwi-bun dan lain-lainnya ini. Coa-ong masih terluka!"

"Hm!" See-tok membentak. "Apa-apaan kau ini, Jin-touw. Musuh yang lebih berat kau tinggal dan musuh yang lebih lemah kau hadapi. Ayo, biarkan saja pemuda itu karena Jin-mo maupun Coa-ong dapat menghadapi!"

“Ah, ha-ha... tidakkah kau lihat Coa-ong sudah mengeluarkan ularnya? Bocah itu juga tak kalah berbahaya, See-tok. Tahan dulu si gundul itu dan aku masuk lagi setelah pemuda itu kurobohkan!"

“Hm, tak usah sombong" si Raja Ular berseru marah. "Aku seorang cukup menghadapinya, Jin-touw. Kalau tidak terluka tak mungkin aku mengeluarkan senjataku. Mundur, dan lihat saja aku membunuhnya!"

"Ah, kau tak mau dibantu?"

“Sementara ini tidak. Dua ularku ini cukup membantu!" dan ketika kakek itu juga berseru agar temannya mundur, Hantu Langit diminta menonton maka kakek itu sudah menghadapi lawannya dengan sepasang ular menyambar-nyambar. Pemuda ini mengelak dan berlompatan ke sana ke mari dan Pemuda ini mengelak dan berlompatan ke sana ke mari dan bergeraklah Coa-ong dan membalasnya. Sejenak, pemuda itu tak mampu membalas. Maklumlah ia, bergeraklah Coa-ong mendesak dan membalasnya.

Sejenak, pemuda itu tak mampu membalas. Maklumlah, ia amat berhati-hati dengan sepasang ular di tangan kakek itu. Namun ketika ia membentak dan ular di tangan lawan mengeluarkan bau semakin amis, busuk, maka sebuah sinar emas tiba-tiba melengkung panjang dan berkelebat dari pinggang pemuda itu.

“Coa-ong, kau licik dan curang. Di mana-mana selalu mempergunakan ular berbisa. Tapi aku tídak takut, dan lihat senjataku ini akan menggebah ularmu.... tar!” dan cambuk lemas (pian) yang tahu-tahu meledak dan lolos dari pinggang pemuda itu tiba-tiba sudah menyambar dan menghantam ular di tangan kakek ini.

Coa-ong terkejut dan ularnya menggeliat, cepat menarik dan menyelamatkan ularnya itu. Dan ketika kakek ini marah karena ledakan cambuk lemas membuat ularnya takut, mengelak dan meronta dari tangannya maka cahaya kuning emas itu sudah menyambar-nyambar lagi dan kini menghalau ular-ularnya.

"Keparat!" kakek itu marah. “Kau hebat, Kim-liong-pian. Tapi aku tak dapat melayanimu secara penuh karena sudah terluka!”

“Tak usah banyak cakap. Suruh dua temanmu yang lain itu maju dan kuhajar biar kapok. Ayo, kalian jangan menonton dan berdiam saja di pinggir!”

“Ha-ha," si Pembunuh Seribu Tangan sudah tertawa bergelak, maju berkelebat. "Bocah ini menantang kita, Jin-mo. Ayo maju dan bunuh dia!"

Jin-mo, yang gusar dan menonton dengan marah tiba-tiba bergerak mengayun tubuhnya. Sebenarnya ia tak mau maju setelah Coa-ong dengan sombong menyuruhnya minggir. Tapi begitu pemuda itu mengeluarkan cambuk emasnya dan sinar kuning mendesak Coa-ong, rekannya itu memang terluka maka ia maju dan marah melihat kesombongan pemuda gagah ini. Ia sudah mendengar nama harum si Cambuk Naga Emas ini, baru kali itu bertemu.

Dan karena lawan tampak sombong dan belum apa-apa minta dikeroyok, ia masih gentar oleh kehebatan Ji Beng Hwesio maka iblis setinggi galah ini jadi ingin menumpahkan kemarahannya kepada Si Naga Emas itu. Dan begitu ia maju sambil mencabut tongkat bambunya, tongkat yang panjangnya hampir tiga meter maka senjata itu menyambar dan keluarlah tujuh sinar hitam dari ujung tongkat.

“Kau minta mampus, baik, kuturuti!” tujuh sinar hitam ini mendahului serangan tongkat, menyambar dan mengejutkan pemuda itu dan saat itu pula dari kiri dan kanan datang pula serangan Coa-ong dan Jin-touw. Tapi begitu pemuda ini mengeluarkan seruan keras dan cambuk emas diputar cepat maka sinar-sinar hitam runtuh dan serangan lawanpun terpental....